pengurangan risiko gempabumi melalui evaluasi bangunan

22
i PENGURANGAN RISIKO GEMPABUMI MELALUI EVALUASI BANGUNAN TEMPAT TINGGAL DAN LINGKUNGANNYA DI KECAMATAN PLERET KABUPATEN BANTUL HALAMAN JUDUL Naskah Publikasi Program Studi Ilmu Lingkungan Minat Studi Geo-Informasi untuk Manajemen Bencana Diajukan Oleh: ADITYA SAPUTRA 10/309448/PMU/06820 Kepada SEKOLAH PASCASARJANA UNIVERSITAS GADJAH MADA YOGYAKARTA 2012

Upload: trinhlien

Post on 12-Jan-2017

232 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: Pengurangan Risiko Gempabumi Melalui Evaluasi Bangunan

i

PENGURANGAN RISIKO GEMPABUMI

MELALUI EVALUASI BANGUNAN TEMPAT TINGGAL

DAN LINGKUNGANNYA DI KECAMATAN PLERET

KABUPATEN BANTUL

HALAMAN JUDUL

Naskah Publikasi

Program Studi Ilmu Lingkungan

Minat Studi Geo-Informasi untuk Manajemen Bencana

Diajukan Oleh:

ADITYA SAPUTRA

10/309448/PMU/06820

Kepada

SEKOLAH PASCASARJANA

UNIVERSITAS GADJAH MADA

YOGYAKARTA

2012

Page 2: Pengurangan Risiko Gempabumi Melalui Evaluasi Bangunan

ii

NASKAH PUBLIKASI

HALAMAN PENGESAHAN

Judul Tesis :

PENGURANGAN RISIKO GEMPABUMI MELALUI EVALUASI

BANGUNAN TEMPAT TINGGAL DAN LINGKUNGANNYA

DI KECAMATAN PLERET KABUPATEN BANTUL

Dipersiapkan dan disusun oleh

Aditya Saputra

10/309448/PMU/06820

Telah disetujui oleh :

Pembimbing Utama

Prof. Dr. Junun Sartohadi, M.Sc. Tanggal, 22 Februari 2012

Pembimbing Pendamping I

Dr. Rini Rachmawati, M.T. Tanggal, 21 Februari 2012

Page 3: Pengurangan Risiko Gempabumi Melalui Evaluasi Bangunan

1

PENGURANGAN RISIKO GEMPABUMI MELALUI EVALUASI

BANGUNAN TEMPAT TINGGAL DAN LINGKUNGANNYA

DI KECAMATAN PLERET KABUPATEN BANTUL

Aditya Saputra 1)

, Junun Sartohadi 2)

, Rini Rachmawati 3)

1) Mahasiswa Geo-Information For Spatial Planning and Risk Management,

Pascasarjana Universitas Gadjah Mada Yogyakarta

2) dan 3) Staff Pengajar Fakultas Geografi Universitas Gadjah Mada Yogyakarta

ABSTRACT

Kecamatan Pleret merupakan salah satu daerah yang rawan gempabumi.

Terbukti pada gempabumi 27 Mei 2006, Kecamatan Pleret mengalami kerusakan

yang sangat parah. Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui kondisi risiko

gempabumi melalui identifikasi karakteristik bahaya, kerentanan bangunan tempat

tinggal, dan kapasitas masyarakat. Metode yang digunakan dalam penelitian ini

adalah integrasi antara penginderaan jauh, sistem informasi geografis, dan observasi

di lapangan. Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa satuan litologi

Endapan Merapi Muda memiliki indek seismik yang tinggi berkisar antara 7,0 – 13,8.

Endapan Aluviual rombakan material Formasi Semilir dan Nglanggran memiliki

indek seismik yang sedang berkisar antara 2,1 – 3,8. Formasi Semilir dan Nglanggran

yang merupakan batuan kompak memiliki indek seismik yang rendah yaitu tidak

lebih dari 1. Struktur bangunan di Kecamatan Pleret didominasi oleh pasangan batu

bata diperkuat dengan diafragma flexibel (RM2) yang memiliki tingkat kerentanan

rendah yaitu diatas nilai 1,75. Kapasitas masyarakat Kecamatan Pleret tergolong

masih rendah dikarenakan kurangnya tingkat kesiapsiagaan dalam menghadapi

gempabumi. Upaya pengurangan risiko dengan menitikberatkan pada peningkatan

kapasitas terutama aspek kesiapsiagaan dapat efektif meredam risiko gempabumi

yang mungkin akan terjadi.

Pleret sub-district is one of the earthquake prone area. Proved, in the event

of May 27, 2006 Yogyakarta earthquake, Pleret Sub-District was badly damaged.

This research was conducted to determine the earthquake risk condition through

identification of hazard characteristic, residential building vulnerability, and social

capacity. The method used in this research was integration between remote sensing,

geographic information system, and field observation Based on the research result, it

can be concluded that lithology unit of Recent Merapi Material Deposit have high

seismic index ranged from 7.0 – 13.8. Aluvial deposits from denudation material of

Semilir and Nglanggran Formation have moderate seismic index ranged from 2.1 –

3.8. Semilir and Nglanggran Formation which are solid rock have low seismic index

i.e not more than 1. Building structure in the Pleret sub-district are dominated by

Reinforced masonry buildings with rigid floor and roof diaphragms (RM2) which

have low level of vulnerability i.e. above the value of 1.75. The social capacity of

Pleret sub-district are still low due to lack of preparedness to cope with eartquake

hazard. Risk reduction effort which is emphasize on rising the capacity particularly

on preparedness aspect could effectively reduce the earthquake risk that might be

occurred.

Kata kunci : indek seismik, kerentanan, kapasitas, dan risiko.

Key word : seismic index, vulnerability, capacity, and risk.

Page 4: Pengurangan Risiko Gempabumi Melalui Evaluasi Bangunan

2

I. Pendahuluan

Gempabumi merupakan guncangan di permukaan bumi yang disebabkan

oleh pelepasan energi secara tiba-tiba akibat adanya pensesaran batuan kerak bumi di

sepanjang zona sesar atau zona penunjaman lempeng (subduksi). Energi yang

dilepaskan berupa getaran seismik yang menjalar di dalam bumi. Getaran seismik

tersebut dirasakan sebagai gempabumi setelah mencapai permukaan bumi (Bath,

1979). Fenomena alam ini sangat terkait dengan kondisi geologi dan konfigurasi

lempeng tektonik di suatu wilayah. Daerah-daerah yang berada pada zona pertemuan

lempeng memiliki tingkat kerawanan gempabumi yang tinggi.

Indonesia yang terletak di antara pertemuan tiga lempeng tektonik aktif

memiliki tingkat kerawanan yang tinggi terhadap terjadinya gempa-gempa tektonik.

Gempabumi dapat terjadi kapan saja di wilayah Indonesia. Terbukti, pada tanggal 27

Mei 2006 terjadi gempabumi besar di Yogyakarta yang berlokasi di utara zona

subduksi Lempeng Eurasia dan Lempeng Hindia-Australia. Gempabumi tersebut

menyebabkan kerusakan parah dan menimbulkan banyak korban jiwa di sejumlah

wilayah di Yogyakarta. Salah satunya adalah Kabupaten Bantul yang terletak paling

dekat dengan sumber gempabumi versi USGS. Sebanyak 26.045 unit bangunan

mengalami rusak parah, 29.582 unit bangunan rusak sedang, dan 24.262 unit

bangunan rusak ringan. Jumlah korban meninggal mencapai 4.121 jiwa dan korban

luka-luka mencapai 12.026 jiwa. Detail kerusakan dan jumlah korban jiwa di

Yogyakarta dapat dilihat pada Tabel 1 dan Tabel 2.

Tabel 1 Data Jumlah Bangunan Rusak di Provinsi DIY

Kabupaten Jumlah Permukiman (2003) Parah Sedang Ringan

Bantul 181.991 26.045 29.582 24.262

Gunungkidul 158.570 11.323 5.355 16.360

Sleman 196.965 4.719 14.403 29.910

Yogyakarta 78.079 1.948 4.119 2.355

Kulonprogo 87.940 3.485 4.726 7.999

Sumber: Bappenas, 2006

Tabel 2 Data Korban Jiwa dan Luka-Luka di Provinsi DIY

Kabupaten Korban jiwa Luka-luka

Bantul 4,121 12,026

Sleman 240 3,792

Yogyakarta 195 318

Kulonprogo 22 2,179

Gunungkidul 81 1,086

Sumber : Bappenas, 2006

Page 5: Pengurangan Risiko Gempabumi Melalui Evaluasi Bangunan

3

Kecamatan Pleret merupakan salah satu kecamatan di Kabupaten Bantul

berlokasi di dekat sistem Sesar Opak yang diperkirakan sebagai lokasi sumber

gempabumi 27 Mei 2006 silam. Dalam kejadian gempabumi tersebut Pleret

mengalami kerusakan parah. Berdasarkan data BPS tahun 2010, sebanyak 8.309 unit

bangunan di Kecamatan Pleret mengalami kerusakan parah dan 579 orang penduduk

Kecamatan Pleret meninggal dalam peristiwa gempabumi ini.

Kajian risiko bencana gempabumi perlu dilakukan di Kecamatan Pleret

mengingat bahwa sewaktu-waktu dapat terjadi kembali gempabumi, selain itu

populasi penduduk Pleret yang terus meningkat dari tahun ketahun. Kajian risiko ini

dapat dilakukan dengan mengidentifikasi karakteristik bahaya gempabumi,

kerentanan bangunan, dan kondisi kapasitas masyarakat dalam menghadapi

gempabumi. Kajian risiko ini untuk selanjutnya dapat digunakan dalam menentukan

strategi-strategi pengurangan risiko yang sesuai dengan karakteristik bahaya (hazard)

gempabumi, kerentanan (vulnerability) bangunan, dan kapasitas (capacity)

masyarakat.

Tujuan utama dalam penelitian ini adalah untuk mengkaji pengurangan

risiko gempabumi melalui identifikasi karakteristik bahaya gempabumi, kerentanan

bangunan, dan kapasitas masyarakat dalam menghadapi bencana gempabumi.

II. Metode Penelitian

Metode penelitian yang digunakan merupakan integrasi antara penginderaan

jauh, sistem informasi geografis, dan observasi lapangan. Ketiga teknik tersebut

digunakan secara komprehensif dalam menganalisis empat parameter utama dalam

penelitian ini. Parameter tersebut adalah bahaya gempabumi, kerentanan bangunan

tempat tinggal, kapasitas masyarakat, dan risiko gempabumi.

Analisis bahaya gempabumi dilakukan dengan menggabungkan antara

informasi geologi dan indek seismik di lokasi penelitian. Informasi geologi

didapatkan dari proses intepretasi visual citra ASTER komposit 3,4 PCA 56789.

Penggunaan komposit ini didasarkan pada komposit citra Landsat 7 ETM+ 4,5,7.

Band 4 pada citra Landsat 7 ETM+ ini merupakan saluran infra merah dekat yang

sangat baik digunakan untuk mengetahui biomassa vegetasi, identifikasi tanaman

pertanian, kerapatan vegetasi dan identifikasi tubuh air. Band 5 merupakan band infra

merah tengah yang baik digunakan untuk identifikasi kelembaban vegetasi dan tanah.

Page 6: Pengurangan Risiko Gempabumi Melalui Evaluasi Bangunan

4

Band 7 merupakan band infra merah tengah kedua yang baik digunakan untuk

diskriminasi formasi batuan, diskripsi litologi dan mineral (Santosa, 2003). Secara

kesuluruhan komposit 4,5,7 pada citra Landsat sangat baik dalam menonjolkan

batasan litologi. Indek Seismik didapatkan melalui observasi lapangan di Kecamatan

Pleret dan sekitarnya pada penelitian sebelumnya. Analisis bahaya dilakukan secara

superimpose dalam sistem informasi geografis sehingga dapat diketahui karakteristik

indek seismik dalam setiap satuan litologi.

Analisis kerentanan bangunan tempat tinggal mengacu pada prosedur rapid

visual screening of building for potential seismic hazard yang dikembangkan oleh

FEMA, 2002. Variabel yang diamati dalam prosedur penilaian ini adalah jenis

struktur bangunan, jumlah lantai, iregularitas bangungan, dan jenis litologi

permukaan. Pengambilan sampel dalam analisis kerentanan bangunan ini

menggunakan metode stratified random sampling. Dasar pengkelasan yang

digunakan adalah bentuk tapak bangunan dan bentuk atap bangunan. Berdasarkan

bentuk tapak bangunan bangunan tempat tinggal dibagi menjadi bangunan reguler

(bentuk dasar persegi atau persegi panjang) dan bentuk ireguler (bentuk L, U, H, dan

O). Berdasarkan bentuk atap bangunan dibagi menjadi bangunan dengan bentuk atap

joglo, limasan, kampung, dan cor atau dag (Ronald, 1997). Jumlah sampel yang

diambil bersifat proporsional antara jumlah populasi total bangunan dengan populasi

bangunan pada setiap kelas yang ada. Berdasarkan prosedur rapid visual screening of

building for potential seismic hazard bangunan yang dikatakan rentan adalah

bangunan yang memiliki skor akhir dibawah 1,75.

Metode analisis kapasitas masyarakat yang digunakan dalam penelitian ini

adalah penilaian secara semi kualitatif terhadap dua variabel yang dianalisis. Variabel

tersebut adalah kesadaran dan kesiapsiagaan (Carter, 1991). Kesadaran terdiri dari

respon, pengetahuan, persepsi, dan informasi lokasi-lokasi penting. Kesiapsiagaan

terdiri dari persiapan, keanggotaan, dan sosialisasi atau pelatihan. Masing-masing

aspek tersebut memiliki beberapa pertanyaan yang akan diajukan kepada sejumlah

responden di Kecamatan Pleret melalui wawancara terstruktur. Penduduk yang

menjadi responden adalah pemilik rumah (kepala rumah tangga) yang telah disurvei

dalam analisis kerentanan bangunan. Setiap variabel, sub variabel, dan indikator

dalam analisis kapasitas diberikan bobot yang berbeda berdasarkan level

Page 7: Pengurangan Risiko Gempabumi Melalui Evaluasi Bangunan

5

kepentingannya. Penentuan bobot pada setiap indikator, sub variabel, dan variabel

dilakukan dengan menggunakan metode matrik perbandingan (pairwise comparison

method) Secara lebih rinci dapat dilihat pada Tabel 3 dan 4.

Tabel 3. Sub Variabel dan Indikator Yang Digunakan Dalam Analisis Tingkat Kesadaran

Sub

Variebel

Bobot

Sub

Variabel

Indikator Bobot

Indikator

Respon 0,35

Mencari tempat yang aman (di bawah meja, pojok ruangan) 0,45

Berkumpul di tempat yang terbuka 0,45

Lampu senter sebagai penerangan 0,09

Pengetahuan 0,19

Pengetahuan tentang bangunan tahan gempa 0,50

Pengetahuan tentang organisasi kebencanaan 0,05

Pengetahuan tentang penyebab gempabumi 0,10

Pengetahuan tentang adanya gempa susulan 0,34

Persepsi 0,35 Daerah rawan gempabumi 0,50

Persepsi mengenai tempat tinggalnya 0,50

Informasi 0,11

Lahan terbuka 0,08

Rumah sakit 0,52

Tempat pengungsian sementara 0,28

Kantor polisi 0,12

Tabel 4. Sub Variabel dan Indikator Yang Digunakan Dalam Analisis Tingkat

Kesiapsiagaan

Sub

Variebel

Bobot

Sub

Variabel

Indikator Bobot

Indikator

Persiapan 0,58

Identifikasi lokasi paling aman di dalam rumah 0,29

Identifikasi rute paling aman keluar dari rumah 0,14

Merencanakan tempat bertemu 0,06

Persiapan alat-alat darurat (Kotak P3K, lampu senter, dll) 0,10

Menata ulang perabot rumah tangga agar tidak membahayakan 0,41

Keanggotaan 0,11

Organisasi sosial (RT,RW, Pemuda, dll) 0,09

Organisasi penanggulangan bencana (Tagana, BNPB, dll) 0,48

TIM SAR 0,16

Palang merah indonesia 0,27

Pelatihan 0,31

Sosialisasi penanganan kondisi darurat 0,16

Sosialisasi pertolongan pertama pada korban 0,08

Sosialisasi kebencanaan (gempabumi) 0,28

Simulasi gempabumi 0,48

Persamaan yang digunakan untuk menghitung indek sub variabel dan indek

kapasitas dapat dilihat dalam persamaan 1 dan 2 seperti di bawah ini.

Ssv = ...................................................................... (1)

∑ (Max Si x Max BSi)

∑ (Si x BSi)

Page 8: Pengurangan Risiko Gempabumi Melalui Evaluasi Bangunan

6

Ssv = Skor Sub Variabel

Si = Skor indikator dari wawancara

Max Si = Skor maksimum indikator yang mungkin terjadi dalam wawancara

BSi = Bobot Indikator

Max BSi = Bobot maksimum indikator

IK = ................................................... (2)

IK = Indek kapasitas

AI = Indek kesadaran

PI = Indek kesiapsiagaan

Max AI = Indek kesadaran maksimum yang mungkin terjadi

Max PI = Indek kesiapsiagaan maksimum yang mungkin terjadi

BA = Bobot kesadaran

BP = Bobot kesiapsiagaan

Indek risiko didapatkan dengan mengkalkulasikan aspek bahaya, kerentanan

bangunan, dan kapasitas masyarakat ke dalam persamaan 3 sebagai berikut ini.

R = ................................................................................................ (3)

R adalah indek risiko, H adalah bahaya, V adalah kerentanan bangunan

tempat tinggal, dan C adalah kapasitas masyarakat. Kalkulasi bahaya sudah secara

otomatis masuk kedalam indek kerentanan bangunan. Hal ini dikarenakan pada saat

melakukan penilaian kerentanan bangunan sudah memperhatikan aspek litologi

daerah sekitarnya. Skor dari hasil perhitungan kerentanan, sebelum dimasukkan ke

dalam persamaan 3 harus dilakukan konversi terlebih dahulu. Konversi bertujuan

untuk merubah nilai maksimum pada penilaian kerentanan menjadi nilai 0 (tidak

rentan) dan nilai minimum pada penilaian kerentanan menjadi nilai 1 (rentan). Begitu

pula dengan nilai indek kapasitas yang harus dikonversi terlebih dahulu sebelum

dimasukkan kedalam persamaan 3. Konversi nilai kapasitas ini bertujuan untuk

[(AI x BA) + (PI x BP)]

[(Max AI x BA ) + (Max PI x BP)]

H x V

C

Page 9: Pengurangan Risiko Gempabumi Melalui Evaluasi Bangunan

7

mendapatkan nilai 0 (kapasitas tinggi) dan nilai 1 (kapasitas rendah). Konversi indek

ini sesuai dengan konsep kapasitas yang dapat bersifat mengurangi nilai risiko dan

mendapatkan nilai risiko antara 0 (risiko rendah ) hingga 1 (risiko tinggi). Konversi

nilai indek kerentanan dan indek kapasitas dilakukan dengan menggunakan konsep

standarisasi skor yang dinamakan cost standardization factors. Dengan adanya

konversi skor ini, perlu dilakukan modifikasi pada persamaan 3 menjadi persamaan 4

agar indek risiko yang dihasilkan sesuai dengan teori yang telah dijelaskan

sebelumnya.

R = H x V x C-1

..................................................................................................... (4)

C-1

adalah fungsi invers dari nilai kapasitas yang dihasilkan dari proses wawancara.

Nilai Risiko yang dihasilkan dari persamaan 4 untuk selanjutnya dilakukan

modifikasi terhadap aspek-aspek lingkungan seperti kepadatan bangunan, kedekatan

dengan jalan, dan kedekatan dengan fasilitas pelayanan medis. Hasil skor analisis

lingkungan tersebut akan digunakan untu menambahkan nilai risiko yang dihasilkan

oleh persamaan 4. Hal ini sesuai dengan konsep bahwa kualitas lingkungan dapat

memperparah keadaan pada saat terjadi bencana, dengan kata lain kondisi lingkungan

ini dapat menambah nilai risiko yang dihasilkan pada persamaan 4. Nilai risiko yang

telah dimodifikasi akan dikelaskan kedalam 3 kelompok yaitu tinggi, sedang, dan

rendah. Pengkelasan ini dilakukan dengan metode equal interval terhadap nilai

minimum dan maksimum dari indek risiko yang dihasilkan.

III. Hasil Penelitian

Berdasarkan hasil intepretasi secara visual pada citra ASTER komposit 3, 4,

PCA 56789 didapatkan 4 satuan litologi yang berbeda di Kecamatan Pleret. Keempat

satuan litologi tersebut adalah Formasi Semilir (Tmse), Formasi Nglanggran (Tmn),

Aluvium (Qa) dan Endapan Gunungapi Merapi Muda (Qmi). Keempat satuan litologi

tersebut memiliki susunan material yang berbeda-beda yang dapat dilihat dalam

Tebel 5. Berdasarkan proses terjadinya Formasi Semilir merupakan produk material

volkanik dari gunungapi purba di sekitar lokasi penelitian. Formasi Semilir memiliki

umur paling tua diantara satuan litologi yang lain yaitu diendapkan selaras pada

Oligosen akhir hingga Miosen awal. Diatas formasi ini diendapkan secara selaras

Formasi Nglanggran yang juga merupakan produk gunungapi purba, namun memiliki

karakteristik yang sangat berbeda dengan Formasi Semilir. Formasi Nglanggran

Page 10: Pengurangan Risiko Gempabumi Melalui Evaluasi Bangunan

8

diperkirakan diendapkan pada Kala Miosen awal hingga Miosen tengah. Endapan

Merapi Muda dan Aluvium merupakan endapan Kuarter yang berasal dari dua

sumber yang berbeda. Endapan Merapi Muda berasal dari material volkanik

Gunungapi Merapi yang terbawa oleh aliran Sungai Opak yang melewati daerah

penelitian, sedangkan Aluvium berasal dari rombakan material Semilir dan

Nglanggran di bagian timur dan selatan daerah penelitian yang terbawa oleh Sungai

Pesing.

Tabel 5 Jenis Litologi di Kecamatan Pleret

No Simbol Litologi Batuan Luas

Ha %

1 Qa Aluvium

Kerakal, pasir, lanau, dan lempung

dari material batuan Formasi

Semilir dan Nglanggran

267,94 11,24

2 Qmi

Endapan

Gunungapi

Merapi Muda

Tuf, abu, breksi, aglomerat dan

leleran lava tak terpisahkan 1.086,68 45,62

3 Tmn Formasi

Nglanggran

Breksi volkanik, breksi aliran,

aglomerat, lava dan tuf. 82,16 3,44

4 Tmse Formasi Semilir Perselingan antara breksi-tuf,

breksi batuapung, 945,03 39,68

Sumber: Pengolahan data, 2011

Formasi Semilir dapat diidentifikasi dengan mudah pada citra ASTER

komposit 3, 4 PCA 56789. Berdasarkan karakteristik warna/ rona, tekstur, topografi,

Formasi Semilir memberikan kesan warna dominan biru cerah dengan bercak merah

kecoklatan. Warna biru cerah menunjukkan lahan terbuka dan tegalan, sedangkan

warna merah kecoklatan menunjukkan vegetasi berkayu. Pola ini mununjukkan

bahwa Formasi Semilir didominasi daerah terbuka (daerah penambangan breksi

batuapung) dan pertanian lahan kering berupa tegalan. Tutupan vegetasi yang rendah

menunjukkan bahwa lapisan tanah pada formasi ini relatif tipis. Tidak hanya itu pada

satuan litologi ini memiliki kesan tekstur kasar ditunjukkan dengan banyaknya alur-

alur erosi pada lereng perbukitan Semilir. Topografi pada satuan litologi ini

didominasi oleh kelas kelerengan miring hingga curam. Kelas kemiringan lereng

miring terdapat pada perbukitan bagian tengah dan selatan, semakin ke arah timur

kelerengannya semakin curam.

Page 11: Pengurangan Risiko Gempabumi Melalui Evaluasi Bangunan

9

Formasi Nglanggran memiliki warna yang jelas berbeda dengan satuan

litologi Semilir yaitu merah kecoklatan dengan bercak warna biru. Merah kecoklatan

menunjukkan vegetasi berkayu, sedangkan warna biru menunjukkan lahan terbuka

atau singkapan batuan. Perbedaan warna ini dikarenakan sifat batuan penyusunnya

yang berbeda. Formasi Nglanggran tersusun atas batuan kompak yang didominasi

oleh breksi andesit dari leleran lava. Warna batuan Formasi Nglanggran lebih gelap

dibandingkan dengan batuan Formasi Semilir. Warna batuan tersebut menunjukkan

tingkat keasaman yang berbeda. Warna terang menunjukkan tingkat keasaman yang

tinggi, sedangkan warna gelap menunjukkan tingkat keasaman rendah atau sedang.

Lapisan tanah pada Formasi Nglanggran telah berkembang dengan baik. Hal ini

ditunjukkan dengan tingkat kerapatan vegetasi yang tinggi. Tekstur Formasi

Nglanggran lebih halus daripada Formasi Semilir. Topografi pada satuan litologi ini

didominasi oleh kemiringan lereng landai hingga miring. Distribusi spasial satuan

litologi ini adalah berada di puncak perbukitan Baturagung.

Aluvium merupakan rombakan material Semilir dan Nglanggran yang

terbawa oleh air dan diendapkan di sekitar kaki perbukitan. Dalam citra ASTER

meterial ini memiliki tekstur halus karena berada pada daerah yang miring hingga

landai. Warna satuan litologi ini diominasi dengan warna hijau kebiruan dan banyak

dijumpai bercak merah kecoklatan memanjang di sepanjang sungai. Bercak merah

kecoklatan ini menunjukkan adanya vegetasi di sepanjang tanggul sungai, dan warna

kebiruan menunjukkan adanya permukiman. Warna hijau tua menunjukkan tanaman

budidaya persawahan, namun jika di cek langsung ke lapangan, persawahan ini

merupakan persawahan lahan kering. Tanahnya memiliki kandungan lempung yang

tinggi, sehingga pada musim kemarau tanah akan pecah-pecah. Pengairan

mengandalkan air hujan dan air Sungai Pesing yang dipompa.

Satuan litologi Endapan Merapi Muda pada citra ASTER didominasi oleh

warna hijau kebiruan dan coklat kemerahan. Warna hijau kebiruan menunjukkan

wilayah permukiman dan lahan pertanian, sedangkan warna coklat kemerahan

menunjukkan adanya vegetasi. Sekilas satuan ini hampir sama dengan satuan

Aluvium, karena sama-sama menempati morfologi dataran, namun jika dianalisis

lebih lanjut pada Endapan Merapi Muda dijumpai tanah-tanah yang subur produk dari

gunungapi Merapi yang ditandai dengan banyak dijumpainya lahan pertanian.

Page 12: Pengurangan Risiko Gempabumi Melalui Evaluasi Bangunan

10

Kandungan lempung pada satuan litologi ini relatif lebih sedikit dibandingkan dengan

material Aluvium. Pada satuan litologi ini juga banyak dijumpai pengrajin batu bata

tanah liat. Hal ini dikarenakan kandungan lempung pada satuan litologi ini tidak

terlalu tinggi dan cocok digunakan sebagai bahan dasar pembuatan batu bata.

Kandungan lempung yang tinggi dapat menyebabkan batu bata yang dihasilkan

mudah pecah.

Setiap satuan litologi yang telah diuraikan di atas memberikan nilai indek

seismik yang berbeda-beda. Indek seismik adalah suatu indek yang menunjukkan

tingkat kemudahan terjadinya deformasi lapisan tanah permukaan saat terjadi

gempabumi. Semakin tinggi nilai indek seismik maka akan semakin mudah lapisan

tanah permukaan mengalami deformasi. Berdasarkan hasil yang diperoleh dapat

diketahui bahwa Formasi Semilir dan Formasi Nglanggran yang merupakan batuan

kompak produk gunungapi purba memiliki nilai indek seismik yang rendah, Aluvium

rombakan material Semilir dan Nglanggran memiliki nilai indek seismik yang

sedang, dan endapan Gunungapi Merapi muda memiliki nilai indek seismik yang

tinggi. Pola indek seismik yang dihasilkan sangat bersesuaian dengan pola kerusakan

bangunan pada peristiwa gempabumi 27 Mei 2006. Sebagian besar bangunan yang

berada pada litologi Aluvium dan Endapan Merapi Muda mengalami kerusakan

parah, sedangkan bangunan pada litologi Semilir dan Nglanggran hanya mengalami

kerusakan ringan walaupun bangunannya berupa susunan batu bata tanpa perkuatan.

Secara lebih rinci dapat diketahui dalam Tabel 6.

Tabel 6 Jenis Litologi dan Nilai Indek Seismiknya

No Simbol Litologi Batuan Indek

Seismik

1 Qa Aluvium kerakal, pasir, lanau, dan lempung dari material

batuan Formasi Semilir dan Nglanggran 2,1 – 3,8

2 Qmi Endapan Gunungapi

Merapi Muda

Tuf, abu, breksi, aglomerat dan leleran lava tak

terpisahkan 7,0 – 13,8

3 Tmn Formasi Nglanggran Breksi volkanik, breksi aliran, aglomerat, lava dan

tuf. 0,2 – 0,3

4 Tmse Formasi Semilir Perselingan antara breksi-tuf, breksi batuapung, 0,4 – 0,7

Sumber : Pengolahan data primer, 2011

Penilaian kerentanan bangunan dilakukan pada sampel yang diambil

berdasarkan kelas bentuk atapnya dan bentuk bangunan dasarnya. Populasi dalam

Page 13: Pengurangan Risiko Gempabumi Melalui Evaluasi Bangunan

11

penelitian ini adalah seluruh bangunan tempat tinggal yang ada di Kecamatan Pleret.

Pemisahan bangunan tempat tinggal dan bangunan bukan tempat tinggal dilakukan

intepretasi citra Quickbird secara visual dengan mempertimbangkan warna, bentuk,

ukuran, dan asosiasi. Pada citra Quickbird warna bangunan tempat tinggal memiliki

warna coklat muda hingga tua. Warna coklat muda hingga tua ini menunjukkan

warna atap genteng. Warna-warna lain yang sering dijumpai dalam intepretasi adalah

warna putih (atap seng dan asbes), warna biru dan hijau (genteng yang di cat), serta

warna abu-abu (atap cor atau dag). Bangunan tempat tinggal di Kecamatan Pleret

mayoritas berbentuk reguler (persegi atau persegi panjang), bentuk-bentuk seperti

bentuk huruf L, U, O dan H biasanya digunakan sebagai gedung sekolah,

perkantoran, rumah sakit, dan fasilitas-fasilitas umum yang lain. Ukuran bangunan

yang digunakan sebagai pembeda antara bangunan tempat tinggal dan bangunan

bukan tempat tinggal mengacu pada keputusan Menteri Kimpraswil Republik

Indonesia Nomor 403/KPTS/M/2002, terdapat tiga klasifikasi rumah tempat tinggal

berdasarkan luas bangunannya, yaitu rumah sederhana, menengah, dan mewah.

Rumah sederhana merupakan rumah yang memiliki luas 21 – 36 m2, rumah

menengah 36 – 90 m2, dan rumah mewah >90m

2. Bangunan-bangunan yang memilik

luas kurang dari 21 m2 atau lebih dari 300 m

2 dianggap bukan sebagai bangunan

tempat tinggal dan tidak diikutkan dalam analisis kerentanan. Berdasarkan proses

klasifikasi maka dapat diketahui bahwa 89,50% bangunan tempat tinggal

menggunakan atap kampung, 9,60% atap limasan, 0,63% joglo, cor atau dag 0,12%,

0,06% kampung ireguler, dan 0,04% limasan ireguler.

Penilaian kerentanan bangunan dilakukan kepada 341 sampel bangunan

tempat tinggal dengan distribusi sampel sebagai berikut:

Tabel 7 Distribusi Sampel Menurut Pengkelasannya Beserta Jumlahnya

Bentuk

dasar

bangunan

Bentuk atap

Joglo Limasan Kampung Cor atau dag

R S T R S T R S T R S T

Reguler 6 - 24 9 2 33 30 5 199 - 2 15

Ireguler - - - - - 6 1 1 7 - - -

Sumber: Pengolahan data primer, 2011

R menunjukkan tingkat bahaya rendah, S menunjukkan tingkat bahaya sedang, dan T

menunjukkan tingkat bahaya tinggi. Berdasarkan hasil yang didapat struktur

bangunan tempat tinggal yang paling banyak dijumpai berturut-turut adalah struktur

Page 14: Pengurangan Risiko Gempabumi Melalui Evaluasi Bangunan

12

pasangan batu-bata diperkuat dengan diafragma kaku (RM2), struktur kayu (W1),

struktur pasangan batu-bata diperkuat dengan diafragma fleksibel (RM1), dan

struktur pasangan batu-bata tanpa perkuatan (URM). Presentase struktur bangunan di

daerah penelitian dapat dilihat pada Gambar 1, sedangkan presentase struktur

bangunan berdasarkan tipe atapnya dapat dilihat pada Gambar 2.

Keterangan: RM2= Pasangan bata diperkuat, diafragma kaku; RM1= Pasangan bata

diperkuat, diafragma fleksibel; URM= Pasangan bata tidak diperkuat; W1= Bangunan

struktur kayu

Gambar 1. Komposisi Bangunan Berdasarkan Tipe Strukturnya

Sumber: Pengolahan data primer, 2011

Gambar 2. Presentase Struktur Bangunan Berdasarkan Bentuk Atapnya

Sumber: Pengolahan data primer, 2011

Berdasarkan hasil penilaian kerentanan bangunan dapat diketahui bahwa

joglo memiliki skor akhir paling tinggi yaitu 3,54. Nilai ini merupakan nilai rata-rata

dari skor akhir. Skor RVS yang tinggi (diatas 1,75) memiliki arti bahwa bangunan

tersebut tidak rentan. Semakin tinggi skor akhir menunjukkan semakin tinggi

kekuatan bangunan dan semakin kecil probabilitas keruntuhannya jika terjadi

2,1 %

1,3 %

0,4 %

Page 15: Pengurangan Risiko Gempabumi Melalui Evaluasi Bangunan

13

gempabumi. Nilai kerentanan tinggi terdapat pada kelompok bangunan bertipe atap

kampung ireguler dan limasan ireguler. Hal ini disebabkan oleh adanya

ketidakteraturan bangunan secara horizontal (memiliki bentuk L) dan terletak pada

satuan litologi yang berasosiasi pada tingkat kerawanan gempabumi sedang hingga

tinggi. Nilai kerentanan pada kelompok bangunan ini adalah 1,70. Secara lengkap

hasil penilaian kerentanan bangunan berdasarkan prosedur rapid visual screening of

building for potential seismic hazard dapat dilihat pada Gambar 3 sebagai berikut.

Gambar 3 Tingkat Kerentanan Bangunan Tempat Tinggal Menurut Tipe Atapnya

Sumber: Pengolahan data primer, 2011

Hasil skor penilaian RVS harus dilakukan konversi menggunakan cost

standardization factor agar dapat dikalkulasi menggunakan persamaan 4 dalam

analisis risiko. Konsep konversi yang digunakan akan mengubah nilai minimum pada

skor RVS menjadi 1 (rentan) dan nilai maksimum akan dirubah menjadi nilai 0 (tidak

rentan). Hasil konversi nilai RVS dapat dilihat dalam Tabel 8.

Tabel 8 Indek Kerentanan Bangunan Berdasarkan Hasil Konversi “Cost Standardization”

Tipe atap Kerawanan rendah Kerawanan sedang Kerawanan tinggi

Skor RVS Indek Skor RVS Indek Skor RVS Indek

Joglo 3,54 0,48 - - 3,30 0,51

Limasan 2,80 0,59 2,20 0,68 2,20 0,68

Kampung 2,75 0,595 2,20 0.68 2,20 0,68

Cor atau dag - - 2,20 0,68 2,20 0,68

Limasan (ireguler) - - - - 1,70 0,75

Kampung (ireguler) 2,30 0,66 1,70 0,75 1,70 0,75

Untuk mengetahui tingkat kapasitas masyarakat di Kecamatan Pleret telah

dilakukan wawancara kepada sejumlah responden. Masyarakat yang dijadikan

Batas Kerentanan

(FEMA 154, 2002)

Sumber: Pengolahan data, 2011

Joglo

Kampung (reguler)

Limasan (ireguler)

Limasan (reguler)

Cor atau dag

Kampung (ireguler)

Kerawanan Rendah Kerawanan Sedang Kerawanan Tinggi

Page 16: Pengurangan Risiko Gempabumi Melalui Evaluasi Bangunan

14

responden adalah pemilik rumah yang telah disurvei dalam proses RVS. Variabel

yang diamati adalah aspek kesadaran dan kesiapsiagaan. Kesadaran meliputi respon,

pengetahuan, persepsi, dan informasi lokasi-lokasi penting, sedangkan kesiapsiagaan

meliputi persiapan, keanggotaan, dan sosialisasi atau pelatihan.

Berdasarkan survei yang dilakukan tidak terdapat perbedaan pola jawaban

antara responden yang berada pada tingkat kerawanan tinggi, sedang, atau rendah.

Perbedaan pola jawaban justru ditemukan antara kelompok responden berdasarkan

tipe atapnya. Pemilik atap joglo yang rata-rata digunakan oleh golongan bangsawan

atau orang-orang dengan tingkat perekonomian, pengetahuan, dan tingkat pendidikan

yang lebih tinggi memiliki pola jawaban yang mencerminkan tingkat kapasitas yang

tinggi. Sebaliknya, atap kampung yang digunakan oleh masyarakat kebanyakan

memiliki pola jawaban yang mencerminkan tingkat kapasitas yang lebih rendah.

Berdasarkan pengolahan data hasil wawancara, tingkat kesadaran kelompok

masyarakat pada tipe atap joglo, limasan, cor atau dag, limasan ireguler, dan

kampung ireguler tergolong tinggi. Tingkat kesadaran yang rendah hanya terdapat

pada kelompok masyarakat tipe atap kampung. Rendahnya tingkat kesadaran ini

sangat dipengaruhi oleh rendahnya tingkat respon, pengetahuan, dan persepsi. Hasil

perhitungan sub variabel yang menyusun indek kesadaran dapat dilihat dalam Tabel 9

sebagai berikut.

Tabel 9 Hasil Perhitungan Tingkat Kesadaran Pada Setiap Tipe Atap Bangunan

Sub variabel Joglo Limasan Kampung Cor/ dag Limasan

ireguler

Kampung

ireguler

Respon 0,68 0,50 0,47 0,65 0,68 0,63

Pengetahuan 0,84 0,80 0,48 0,97 0,83 0,97

Persepsi 0,88 0,67 0,45 1,00 0,50 0,50

Informasi 1,00 1,00 0,82 1,00 1,00 0,97

Sumber: Pengolahan data primer, 2011

Kesiapsiagaan masyarakat dapat dilihat dari persiapan pada level rumah

tangga yang sudah dilakukan, keikutsertaan dalam organisasi kemasyarakatan, dan

keikutsertaan dalam kegiatan-kegiatan pelatihan kegempaan. Berdasarkan hasil

wawancara sebagian besar masyarakat Pleret belum melakukan persiapan untuk

menghadapi gempabumi yang mungkin terjadi kembali di masa yang akan datang.

Menurut Jimme (2006) faktor yang menyebabkan rendahnya tingkat kesiapsiagaan ini

adalah tingkat pendidikan, persepsi masyarakat, dan penguasaan terhadap sumber

daya. Ketiga faktor penyebab rendahnya tingkat kesiapsiagaan tersebut juga

Page 17: Pengurangan Risiko Gempabumi Melalui Evaluasi Bangunan

15

ditemukan di daerah penelitian, namun juga dipengaruhi oleh faktor budaya yang

berkembang di kalangan masyarakat. Masyarakat di Kecamatan Pleret masih

memegang prinsip Jawa yaitu prinsip nrimo. Terbukti pada pemilik tipe atap joglo

yang dianggap sebagai golongan sosial kelas atas dengan tingkat pendidikan,

persepsi, dan penguasaan sumberdaya yang tinggi, ternyata tidak memiliki tingkat

kesiapsiagaan yang tinggi. Selain itu di kalangan masyarakat Pleret berkembang

anggapan bahwa jika melakukan persiapan untuk menghadapi gempabumi secara

tidak langsung dianggap meminta terjadi gempabumi. Tingkat kesiapsiagaan

masyarakat di Kecamatan Pleret dapat dilihat pada Tabel 10, sedangkan indek

kapasitas masyarakat dapat dilihat pada Tabel 11.

Tabel 10 Hasil Perhitungan Tingkat Kesiapsiagaan Pada Setiap Tipe Atap Bangunan

Sub variabel Joglo Limasan Kampung Cor/ dag Limasan

ireguler

Kampung

ireguler

Persiapan 0,22 0,10 0,06 0,23 0,18 0,29

Pelatihan 0,09 0,10 0,08 0,08 0,09 0,19

Sosialisasi 0,17 0,23 0,15 0,28 0,15 0,36

Sumber: Pengolahan data primer, 2011

Tebel 11 Indek Kesadaran, Kesiapsiagaan, dan Kapasitas

Tipe Indek

kesadaran

Indek

kesiapsiagaan

Indek

kapasitas

Joglo 0,81 0,19 0,61

Limasan (Reguler) 0,67 0,14 0,52

Kampung (Reguler) 0,50 0,09 0,37

Cor atau dag 0,87 0,21 0,65

Limasan (Ireguler) 0,68 0,16 0,51

Kampung (Ireguler) 0,69 0,30 0,56

Sumber: Pengolahan data primer, 2011

Berdasarkan Tabel 11 di atas dapat diketahui bahwa tingkat kapasitas paling

tinggi terdapat pada responden pemilik rumah tipe atap cor atau dag (0,65) dan yang

terendah terdapat pada responden pemilik rumah tipe atap kampung reguler (0,37).

Rendahnya tingkat kesiapsiagaan masyarakat menyebabkan indek kapasitas

mayoritas masyarakat menjadi sedang. Tingkat kapasitas rendah (pemilik rumah tipe

atap kampung) dikarenakan tingkat kesadaran pada kelompok masyarakat ini rendah.

Analisis risiko dilakukan pada seluruh bangunan tempat tinggal setelah

melalui proses generalisasi nilai kerentanan dan kapasitas dari sampel yang diambil.

Nilai risiko yang dihasilkan berkisar antara 0,20 – 0,43. Semakin tinggi nilai indek

Page 18: Pengurangan Risiko Gempabumi Melalui Evaluasi Bangunan

16

yang dihasilkan maka akan semakin tinggi risiko yang mungkin ditimbulkan oleh

gempabumi. Nilai risiko rendah (0,20) merupakan nilai risiko yang mewakili tipe atap

joglo pada daerah kerawanan tinggi, sedangkan nilai risiko tinggi (0,43) mewakili

tipe atap kampung pada daerah kerawanan sedang dan tinggi. Nilai risiko ini

selanjutnya akan dimodifikasi dengan parameter kondisi lingkungan yaitu tingkat

kepadatan bangunan, kedekatan dengan jalan, dan kedekatan dengan pusat-pusat

pelayanan medis sehingga didapatkan nilai risiko final.

Unit bangunan yang memiliki risiko tinggi terkosentrasi di Desa Wonokromo

blok 18 (Dusun Ketonggo). Bangunan di blok-blok tersebut didominasi oleh

bangunan RM2 dengan tipe bentuk atap kampung, tingkat kapasitas daerah ini

tergolong rendah. Blok ini berada di dekat jalan arteri dengan kepadatan bangunan

sedang dan dekat dengan pusat pelayanan medis. Tingkat risiko tinggi ini lebih

disebabkan karena faktor kerawanan yang tinggi, rendahnya tingkat kapasitas, dan

tingkat kepadatan bangunan sedang.

Di Desa Pleret, unit bangunan yang memiliki risiko tinggi terkosentrasi berada

pada blok 9 (Dusun Keputren). Penyebab kerentanan tinggi pada blok 9 ini adalah

tingkat kerawanan yang tinggi, tingkat kapasitas yang rendah, dan kepadatan

bangunan sedang. Bangunan di dominasi oleh tipe struktur RM2 beratap kampung..

Blok ini memiliki tingkat kepadatan sedang yang berada dekat dengan jalan arteri dan

pusat pelayanan medis.

Unit bangunan yang memiliki tingkat risiko tinggi juga terdapat pada blok 5

Desa Bawuran dan Blok 5 Desa Segoroyoso. Seperti di Desa Wonokromo dan Pleret,

tingginya risiko di blok 5 Desa Bawuran (Dusun Bawuran Dua) dikarenakan oleh

tingginya tingkat kerawanan gempabumi, rendahnya tingkat kapasitas dan tingkat

kepadatan bangunan sedang. Bangunan tempat tinggal didominasi oleh tipe struktur

RM2 dengan atap kampung.

Di bagian selatan Dusun Jongkrang Segoroyoso (Blok 5) terdapat beberapa

unit bangunan yang tergolong ke dalam tingkat risiko tinggi. Tingginya tingkat risiko

ini lebih disebabkan oleh tingkat kerawanan gempabumi dan rendahnya tingkat

kapasitas. Kondisi ini akan diperparah dengan lokasi yang jauh dari jalan arteri,

kolektor, atau lokal, serta lokasi yang jauh dari pusat-pusat pelayanan medis.

Page 19: Pengurangan Risiko Gempabumi Melalui Evaluasi Bangunan

17

Desa Wonolelo memiliki topografi yang berbukit dan sebagian besar berada

pada Formasi Semilir (perlapisan breksibatuapung dan tuf) yang indek seismiknya

tergolong rendah (tidak lebih dari 1,0). Kondisi ini berimbas pada tingkat risiko yaitu

rendah hingga sedang. Tingkat risiko sedang disebabkan karena rendahnya tingkat

kapasitas. Kondisi ini diperparah dengan lokasi yang berbukit dan jauh dari jalan

arteri, kolektor, atau lokal. Secara lebih lengkap peta tingkat risiko dapat dilihat pada

Gambar 4, 5, 6, 7, dan 8

IV. Kesimpulan dan Saran

Kecamatan Pleret dibagi menjadi tiga zona kerawanan yaitu kerawanan

rendah, sedang, dan tinggi. Zona kerawanan tinggi didominasi oleh material Endapan

Merapai Muda dengan indek seismik berkisar antara 7,00 – 13,8. Zona kerawanan

sedang didominasi oleh Aluvium hasil rombakan Formasi Semilir dan Formasi

Nglanggran. Pada zona ini indek seismik berkisar antara 2,1 – 3,8. Zona kerawanan

rendah terdapat pada Formasi Semilir dan Formasi Nglanggran dengan indek seismik

relatif kecil yaitu tidak lebih dari 1.

Mayoritas bangunan tempat tinggal yang terdapat di Kecamatan Pleret

merupakan bangunan dengan struktur pasangan batu bata dengan perkuatan dan

diafragma kaku dengan nilai indek kerentanan bangunan berkisar 2,20 – 2,80. Nilai

ini menunjukkan struktur pasangan batu bata dengan perkuatan dan diafragma kaku

tergolong dalam bangunan tidak rentan. Bangunan tempat tinggal yang tergolong

rentan adalah tipe struktur pasangan batu bata dengan perkuatan, diafragma kaku, dan

bentuk ireguler (bentuk U, L, dan O). Indek kerentanan bangunan struktur ini berada

di bawah ambang batas kerentanan dengan nilai 1,70.

Kapasitas masyarakat terhadap gempabumi di Kecamatan Pleret masih

tergolong rendah. Terdapat kesamaan pola jawaban responden sesuai jenis atap

bangunannya. Tipe atap bangunan joglo dan cor atau dag memberikan respon yang

menunjukkan tingkat kapasitas masyarakat yang tinggi, sedangkan tingkat kapasitas

masyarakat rendah terdapat pada tipe atap kampung.

Tingkat Risiko Tinggi terdapat pada pada Desa Wonokromo blok 18 (Dusun

Kanggotan), Desa Pleret blok 9 (Dusun Keputren bagian timur), Desa Bawuran blok

5 (Dusun Bawuran Dua), dan Desa Segoroyoso blok 5 (Dusun Jongkrang bagian

selatan). Mayaoritas bangunan di Desa Wonokromo, Pleret, Bawuran, dan

Page 20: Pengurangan Risiko Gempabumi Melalui Evaluasi Bangunan

18

Segoroyoso memiliki tingkat risiko sedang, sedangkan mayoritas tingkat risiko

rendah berada di Wonolelo

Peta tapak bangunan yang dihasilkan pada penelitian ini merupakan hasil

intepretasi visual citra Quickbird tahun 2010. Kesalahan dalam ekstraksi tapak

bangunan sangat mungkin terjadi terutama kesalahan pada perhitungan luasan tapak

bangunan. Menyadari kondisi tersebut perlu dilakukan penelitian lanjutan dengan

menggunakan instrumen survei yang lebih akurat untuk menghasilkan peta tapak

bangunan yang lebih akurat baik secara spasial maupun temporal.

Survei kerentanan bangunan dilakukan pada bangunan tempat tinggal tanpa

mengikutsertakan fasilitas-fasilitas penting seperti sekolah, gedung perkantoran, dan

rumah sakit. Fasilitas-fasilitas umum tersebut dapat dijadikan sebagai tempat

pengungsian sementara yang aman dalam kondisi darurat. Perlu dilakukan penelitian

lebih lanjut tentang kerentanan bangunan pada fasilitas-fasilitas umum tersebut untuk

perencanaan penentuan tempat pengungsian sementara. Survei kerentanan bangunan

yang dilakukan pada bangunan tempat tinggal mengacu pada pengamatan secara

visual di lapangan. Untuk itu perlu dilakukan kajian keteknikan yang lebih detil

mengenai struktur bangunan baik tempat tinggal maupun fasilitas umum mengingat

Kecamatan Pleret merupakan salah satu daerah rawan gempabumi.

Tingkat kesadaran, persiapan, dan kapasitas yang digambarkan dalam

penelitian ini berdasarkan atas hasil wawancara dengan menggunakan parameter dan

pertanyaan yang terbatas yang mungkin tidak sesuai dengan kondisi sebenarnya di

lapangan. Dengan demikian perlu dilakukan wawancara yang lebih dalam

menggunakan parameter yang lebih detil untuk menggambarkan tingkat kesadaran,

persiapan, dan kapasitas masyarakat di Kecamatan Pleret.

Page 21: Pengurangan Risiko Gempabumi Melalui Evaluasi Bangunan

19

Gambar 5 Peta Risiko Gempabumi Desa Pleret,

Sumber: Pengolahan data, 2011

Gambar 4 Peta Risiko Gempabumi Desa Wonokromo

Sumber: Pengolahan data, 2011

Gambar 6 Peta Risiko Gempabumi Desa Segoroyoso

Sumber: Pengolahan data, 2011

Page 22: Pengurangan Risiko Gempabumi Melalui Evaluasi Bangunan

20

Gambar 7 Peta Risiko Gempabumi Desa Bawuran

Sumber: Pengolahan data, 2011

DAFTAR PUSTAKA

Bappenas. 2006. Preliminary Damage and Loss Assessment. Consultatif Group

Indonesia. Jakarta.

Bath, M. 1979. Introduction to Seismology,Second Edition. Birkhauser. Verlaag.

BPS. 2010. Pleret Dalam Angka. Badan Pusat Statistik (BPS). Yogyakarta

Carter. 1991. Disaster Management: A Disaster Manager’s Handbook,1. Asian

Development Bank. Manila Philippines.

FEMA. 2002. Rapid Visual Screening of Buildings for Potential Seismic Hazards: A

Handbook FEMA 154, Edition 2. The Federal Emergency Management Agency

(FEMA). Washington, DC.

Jimme. 2006. Seismic Vulnerability and Capacity Assessment at Ward Level A Case

Study of Ward No.20, Lalitpur Sub-Metropolitan City, Nepal. MSc Thesis, ITC.

Enschede, Netherland.

Ronald, A. 1997. Ciri-Ciri Karya Budaya Di Balik Tabir Keagungan Rumah Jawa:

Cetakan kedua. Penerbitan Universitas Atma Jaya. Yogyakarta

Santoso, S. 2003. Studi Potensi Bahan Galian Sebagai Bahan Baku Industri Keramik

di Kabupaten Blitar Bagian Selatan (Ditinjau Dari Aspek Geologi dan

Geomorfologi). Skripsi S-1. Fakultas Geografi UGM. Yogyakarta.

Peraturan Perundang-undangan

Keputusan Menteri Permukiman dan Prasarana Wilayah No 403/KPTS/M/2002

tentang Pedoman Teknis Pembangunan Rumah Sederhana Sehat (Rs SEHAT).

Gambar 6 Peta Risiko Gempabumi Desa Wonolelo

Sumber: Pengolahan data, 2011