pening palakpening palakpening palak

21
1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sinusitis didefenisikan sebagai inflamasi mukosa sinus paranasal. umumnya disertai atau dipicu oleh rinitis sehingga sering disebut rinosinusitis. 1,3 Rinosinusitis adalah penyakit multifaktorial. Penyebab utamanya adalah selesma (common cold) yang merupakan infeksi virus ataupun rinitis akibat alergi. Faktor predisposisi seperti polip, deviasi septum kavum nasi, tumor dapat obstruksi kompleks osteomeatal yang nantinya akan menyebabkan rinosinusitis yang umumnya merupakan infeksi bakteri. 1,2 Rinosinusitis merupakan penyakit yang sering ditemukan dalam praktek dokter sehari-hari, bahkan dianggap sebagai salah satu penyebab gangguan kesehatan tersering seluruh dunia. 2 Rinosinusitis memberikan dampak baik terhadap kualitas hidup pasien, biaya kesehatan maupun masalah kurangnya produktivitas kerja. Diperkirakan Amerika Serikat sekitar 6 miliar dolar dihabiskan setiap tahunnya untuk terapi rinosinusitis. 3 Insidensi rinosinusitis sulit diketehaui angka pastinya mengingat tidak semua pasien melakukan pengobatan ataupun pengobatan rinosinusitis akut yang gagal dan berkembang menjadi rinosinusitis kronik. Menurut data dari Amerika Serikat, rinosinusitis bakterialis akut terjadi sekitar 26 juta orang. 3 Rinosinusitis kronik mempunyai prevalensi yang cukup tinggi. Diperkirakan sebanyak 13,4-25 juta kunjungan ke dokter per tahun dihubungkan dengan rinosinusitis atau akibatnya. Di Eropa, rinosinusitis diperkirakan mengenai 10%30% populasi. Sebanyak 14% penduduk Amerika, paling sedikitnya pernah mengalami episode rinosinusitis semasa hidupnya dan sekitar 15% diperkirakan menderita RSK. Dari respiratory surveillance program, diperoleh data demografik mengenai rinosinusitis paling banyak ditemukan secara berturut-turut pada etnis kulit putih, Afrika Amerika, Spanyol dan Asia. 4

Upload: amir-ibnu

Post on 11-Apr-2017

33 views

Category:

Education


1 download

TRANSCRIPT

Page 1: pening palakpening palakpening palak

1

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Sinusitis didefenisikan sebagai inflamasi mukosa sinus paranasal.

umumnya disertai atau dipicu oleh rinitis sehingga sering disebut rinosinusitis.1,3

Rinosinusitis adalah penyakit multifaktorial. Penyebab utamanya adalah selesma

(common cold) yang merupakan infeksi virus ataupun rinitis akibat alergi. Faktor

predisposisi seperti polip, deviasi septum kavum nasi, tumor dapat obstruksi

kompleks osteomeatal yang nantinya akan menyebabkan rinosinusitis yang

umumnya merupakan infeksi bakteri.1,2

Rinosinusitis merupakan penyakit yang sering ditemukan dalam praktek

dokter sehari-hari, bahkan dianggap sebagai salah satu penyebab gangguan

kesehatan tersering seluruh dunia.2 Rinosinusitis memberikan dampak baik

terhadap kualitas hidup pasien, biaya kesehatan maupun masalah kurangnya

produktivitas kerja. Diperkirakan Amerika Serikat sekitar 6 miliar dolar

dihabiskan setiap tahunnya untuk terapi rinosinusitis.3 Insidensi rinosinusitis sulit

diketehaui angka pastinya mengingat tidak semua pasien melakukan pengobatan

ataupun pengobatan rinosinusitis akut yang gagal dan berkembang menjadi

rinosinusitis kronik. Menurut data dari Amerika Serikat, rinosinusitis bakterialis

akut terjadi sekitar 26 juta orang.3

Rinosinusitis kronik mempunyai prevalensi yang cukup tinggi.

Diperkirakan sebanyak 13,4-25 juta kunjungan ke dokter per tahun dihubungkan

dengan rinosinusitis atau akibatnya. Di Eropa, rinosinusitis diperkirakan mengenai

10%–30% populasi. Sebanyak 14% penduduk Amerika, paling sedikitnya pernah

mengalami episode rinosinusitis semasa hidupnya dan sekitar 15% diperkirakan

menderita RSK. Dari respiratory surveillance program, diperoleh data

demografik mengenai rinosinusitis paling banyak ditemukan secara berturut-turut

pada etnis kulit putih, Afrika Amerika, Spanyol dan Asia.4

Page 2: pening palakpening palakpening palak

2

Belum ada data yang menunjukkan angka kejadian rinosinusitis di

Indonesia, ditambah dengan rinosinusitis yang bisa berkembang (0,5-2%) dari

infeksi saluran pernapasan atas yang merupakan penyakit utama di masyarakat.

Insiden kasus baru rinosinusitis pada penderita dewasa yang berkunjung di Divisi

Rinologi Departemen THT RS Cipto Mangunkusumo, selama Januari–Agustus

2005 adalah 435 pasien, sedangkan di Makassar tercatat terutama di rumah akit

pendidikan selama tahun 2003–2007 terdapat 41,5% penderita rinosinusitis dari

seluruh kasus rawat inap di Bagian THT.3,4

1.2 Batasan Masalah

Referat ini membahas mengenai rinosinusitos meliputi definisi, anatomi

rongga hidung dan sinus paranasal, etiologi dan faktor risiko, klasifikasi,

patogenesis, diagnosis, pentalaksanaan, dan komplikasi rinosinusitis.

1.3 Tujuan Penulisan

Tujuan penulisan referat ini adalah unutk memahami rinosinusitos

meliputi definisi, anatomi rongga hidung dan sinus paranasal, etiologi dan faktor

risiko, klasifikasi, patogenesis, diagnosis, pentalaksanaan, dan komplikasi

rinosinusitis.

1.4 Metode Penulisan

Referat ini disusun berdasarkan studi kepustakaan dengan merujuk ke

berbagai literatur.

Page 3: pening palakpening palakpening palak

3

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi

Sinusitis didefenisikan sebagai inflamasi mukosa sinus paranasal

umumnya dipicu atau muncul bersamaan dengan rinitis, sehingga sering disebut

rinosinusitis.1,3,5

Sinusitis adalah keradangan pada satu atau lebih mukosa sinus

paranasal dengan gejala berupa hidung tersumbat, nyeri pada wajah, dan pilek

kental (purulen).5

Definisi klinis rinosinusitis pada dewasa dan anak-anak berbeda.

Rinosinusitis pada dewasa adalah radang hidung dan sinus paranasal yang

ditandai dengan dua atau lebih gejala, salah satunya harus hidung tersumbat/

obstruksi/ kongesti atau hidung berair (anterior/posterior nasal drip) disertai gejala

lain berupa ada atau tidaknya nyeri pada wajah, penurunan atau hilangnya

penciuman, dan pada pemeriksaan rinoskopi ditemukan adanya polip hidung,

obstruksi dan edema pada mukosa meatus media, dan/atau sekret yang

mukopurulen dari meatus media, serta pada CT-Scan ditemukan adanya

perubahan mukosa pada kompleks ostiomeatal ataupun mukosa hidung. Pada

anak-anak dengan tambahan ada atau tidaknya batuk.6

2.2 Anatomi Rongga Hidung dan Sinus Paranasal

Bagian hidung dalam terdiri atas struktur yang membentang dari os.internum

di sebelah anterior hingga koana di posterior, yang memisahkan rongga hidung dari

nasofaring. Kavum nasi dibagi oleh septum, dinding lateral terdapat konka superior,

konka media, dan konka inferior. Celah antara konka inferior dengan dasar hidung

dinamakan meatus inferior, berikutnya celah antara konka media dan inferior disebut

meatus media dan sebelah atas konka media disebut meatus superior.7

Page 4: pening palakpening palakpening palak

4

Gambar 1. Anatomi hidung gambaran melintang.

Sinus paranasal terdiri dari empat pasang, yaitu sinus frontal, sinus etmoid,

sinus maksila, dan sinus sfenoid. Sinus-sinus ini pada dasarnya adalah rongga-

rongga udara yang berlapis mukosa di dalam tulang wajah dan tengkorak.

Pembentukannya dimulai sejak dalam kandungan, akan tetapi hanya ditemukan

dua sinus ketika baru lahir yaitu sinus maksila dan etmoid. Sinus frontal mulai

berkembang dari sinus etmoid anterior pada usia sekitar 8 tahun dan menjadi

penting secara klinis menjelang usia 13 tahun, terus berkembang hingga usia 25

tahun.7

Sekitar 20% populasi, sinus frontal tidak ditemukan atau rudimenter, dan

tidak memiliki makna klinis. Sinus sfenoidalis mulai mengalami pneumatisasi

sekitar usia 8 hingga 10 tahun dan terus berkembang hingga akhir usia belasan

atau dua puluhan. Dinding lateral nasal mulai sebagai struktur rata yang belum

berdiferensiasi. Pertumbuhan pertama yaitu pembentukan maxilloturbinal yang

kemudian akan menjadi kokha inferior. Selanjutnya, pembentukan ethmoturbinal,

yang akan menjadi konka media, superior dan supreme dengan cara terbagi

Page 5: pening palakpening palakpening palak

5

menjadi ethmoturbinal pertama dan kedua. Pertumbuhan ini diikuti pertumbuhan

sel-sel ager nasi, prosesus uncinatus, dan infundibulum etmoid. Sinus-sinus

kemudian mulai berkembang. Rangkaian rongga, depresi, ostium dan prosesus

yang dihasilkan merupakan struktur yang kompleks yang perlu dipahami secara

detail dalam penanganan sinusitis, terutama sebelum tindakan bedah. Tulang-

tulang pembentuk dinding lateral hidung dijelaskan dalam gambar 2.2.7

Gambar 2. Tulang-tulang pembentuk dinding lateral hidung (1. Nasal; 2.

Frontal; 3. Etmoid; 4. Sfenoid; 5. Maksila; 6. Prosesus palatina

horizontal; 7. Konka superior (etmoid); 8. Konka media

(etmoid); 9. Konka inferior; 10. Foramene sfenopalatina; 11.

Lempeng pterigoid media; 13. Hamulus pterigoid media)7

2.3 Klasifikasi

Konsensus internasional tahun 1995 membagi sinusitis menjadi akut dan

kronik. Rinosinusitis akut dengan batas sampai dengan 8 minggu, sedangkan

rinosinusitis kronik apabila lebih dari 8 minggu. Konsensus thaun 2004

rinosinusitis dibagi menjadi akut, subakut, dan kronik. Rinosinusitis akut dengan

batas sampai dengan 4 minggu, subakut antara 4 minggu sampai dengan 3 bulan,

serta kronik apabila lebih dari 3 bulan.1,6,8

Rinosinusitis akut sendiri juga dibagi menjadi 3 yaitu :

Rinosinusitis akut viral, jika gejala-gejala yang muncul kurang dari 10

hari.

Page 6: pening palakpening palakpening palak

6

Rinosinusitis akut post infeksi viral, jika adanya peningkatan keparahan

dari gejala lebih dari 5 hari atau gejala menetap selama lebih dari 10 hari

tetapi masih kurang dari 12 minggu.

Rinosinusitis akut bakterial, apabila setidaknya muncul 3 dari gejala

seperti sekret yang keluar berubah warna (dominan unilateral) dan

sekretnya purulen, nyeri lokal yang hebat (dominan unilateral), demam

>38ºC, peningkatan CRP (C-Reactive Protein), dan double-sickening atau

bertambah parahnya keluhan dari penyakit.6

Sinusitis kronik dengan penyebab rinogenik biasanya merupakan

kelanjutan dari sinusitis akut yang tidak diterapi secara memadai.1

Selain itu,

terdapat juga klasifikasi yang menyebutkan rinosinusitis rekuren akut.

Rinosinusitis rekuren akut didefinisikan jika adanya 4 atau lebih episode sinusitis

dalam satu tahun dengan adanya resolusi sempurna diantara setiap episode.7

Sementara berdasarkan lokasi, sinusitis dapat dibagi menjadi :

a. Sinusitis maksilaris mengenai sinus maksila, bisa menyebabkan nyeri pipi

khas yang tumpul ataupun menusuk, selain itu ada nyeri pada palpasi dan

perkusi.

b. Sinusitits frontalis mengenai sinus frontalis, bisa menyebabkan nyeri atau

rasa tertekan di atas alis mata.

c. Sinusitis etmoidalis mengenai sinus etmoid, bisa menyebabkan nyeri atau

nyeri tekan di antara kedua mata dan dia tas jembatan hidung, drainase, dan

sumbatan hidung.

d. Sinusitis sfenoidalis mengenai sinus sfenoid, bisa menyebabkan nyeri atau

rasa tertekan dibelakang mata tapi sering menjalar ke verteks kranium.9

2.4 Etiologi dan Faktor Risiko

Mikroorganisme penyebab rinosinusitis bisa berupa virus, bakteri, ataupun

jamur. Infeksi virus biasanya terjadi selama infeksi selama infeksi saluran napas

atas. Selain menyerang mukosa hidung, virus tersebut juga menyerang mukosa

sinus.9

Virus yang paling banyak menyebabkan rinosinusitis adalah rhinovirus

(50%) dan coronavirus. Virus lain yang dapat menyebabkan rinosinusitis adalah

Page 7: pening palakpening palakpening palak

7

virus influenza, virus parainfluenza, adenovirus, respiratory syncytial virus, dan

enterevirus.6

Bakteri sering menjadi penyebab terjadinya sinusitis akut. Streptococcus

pneumonia (30-50%). Hemophillus Influenzae (20-40%), dan Moraxella

catarrhalis (4%) dan Staphylococcus aureus.1,6

Sedangkan pada anak, M.

Catarrhalis merupakan 20% penyebab. Bakteri penyebab sinusitis kronik biasanya

sama dengan yang menyebabkan sinusitis akut. Akan tetapi, siusitis kronik juga

biasanya berhubungan dengan adanya gangguan drainase ataupun fungsi

mukosiliar, maka agen infeksi biasanya bakteri anaerob.1,9

Faktor-faktor fisik, kimia, saraf hormonal atau emosional dapat

mempengaruhi mukosa hidung yang selanjutnya mempengaruhi mukosa sinus.

Defisiensi nutrisi, kelelahan, kebugaran fisik yang menurun dan penyakit sistemik

juga penting dalam etiologi sinusitis. Sebagai faktor risiko lain ialah lingkungan

berpolusi, udara dingin atau kering serta kebiasaan merokok yang dapat

menyebabkan perubahan pada mukosa serta kerusakan silia. Faktor risiko lain

yang penting adalah adanya riwayat infeksi sebelumnya seperti common cold.9

2.5 Patofisiologi

Kesehatan sinus dipengaruhi oleh patensi ostium-ostium sinus dan

kelancaran klirens dari mukosiliar di dalam komplek osteo-meatal (KOM).

Disamping itu, mukus juga mengandung substansi antimikrobial dan zat-zat yang

berfungsi sebagai pertahanan terhadap mikroorganisme yang masuk bersama

udara pernafasan.1

Apabila terjadi terinfeksi organ yang membentuk KOM mengalami edema,

sehingga mukosa yang berhadapan akan saling bertemu. Hal tersebut

menyebabkan silia tidak dapat bergerak dan juga mengakibatkan tersumbatnya

ostium. Hal ini menimbulkan tekanan negatif di dalam rongga sinus yang

menyebabkan terjadinya. Efek awal yang ditimbulkan adalah keluarnya cairan

serous yang dianggap sebagai sinusitis non bakterial yang dapat sembuh walaupun

tidak diberi pengobatan.1

Page 8: pening palakpening palakpening palak

8

Bila tidak sembuh maka sekret yang tertumpuk dalam sinus akan menjadi

media yang sesuai untuk pertumbuhan dan multiplikasi bakteri. Sekret akan

berubah menjadi purulen yang disebut sebagai sinusitis akut bakterialis yang

membutuhkan terapi antibiotik. Jika terapi tidak adekuat, maka inflamasi akan

terus berlanjut, akan terjadi hipoksia, dan berkembanglah bakteri anerob. Keadaan

tersebut akan menyebabkan perubahan kronik dari mukosa yaitu hipertrofi,

polipoid atau pembentukan polip dan kista.1

Dalam keadaan normal, rongga sinus merupakan lingkungan yang steril.

Setiap bakteri atau mikroorganisme lain yang masuk akan langsung dieliminasi

oleh aktivitas mukosiliar yang terdapat pada mukosa. Gangguan dari fungsi

mukosiliar tersebut menyebabkan mikroorganisme dapat masuk dan berkembang

biak. 8

2.6 Diagnosis6,9

Diagnosis rinosinusitis ditegakkan apabila ditemui :

inflamasi hidung dan sinus paranasal yang ditandai dengan adanya dua

atau lebih gejala, salah satunya termasuk hidung tersumbat/ obstruksi/

kongesti atau pilek (sekret hidung anterior/ posterior):

± nyeri wajah/ rasa tertekan di wajah

± penurunan/ hilangnya penghidu

dan salah satu dari :

temuan nasoendoskopi:

- polip dan/ atau

- sekret mukopurulen dari meatus medius dan/ atau

- edema/ obstruksi mukosa di meatus medius

dan/ atau

gambaran tomografi komputer:

- perubahan mukosa di kompleks osteomeatal dan/atau sinus

Selain itu dapat juga dinilai berdasarkan beratnya penyakit. Penyakit ini

dapat dibagi menjadi RINGAN, SEDANG dan BERAT berdasarkan skor total

visual analogue scale.

Page 9: pening palakpening palakpening palak

9

Selanjutnya ditentukan apakah penyakit ini termasuk akut atau kronik.

Dikatakan akut apabila terjadi kurang dari 12 minggu dan mengalami resolusi

komplit. Sedangkan kronik apabila terjadi lebih dari 12 minggu, tanpa adanya

resolusi komplit. Termasuk dalam kategori ini yaitu rinosinusitis kronik

eksaserbasi akut. Berikut adalah kriteria diagnosis rinosinusitis pada dewasa dan

anak, baik akut maupun kronik.

1. Rinosinusitis Akut pada Dewasa

2. Rinosinusitis Akut pada Anak

Page 10: pening palakpening palakpening palak

10

3. Rinosinusitis Kronik pada Dewasa

4. Rinosinusitis Kronik pada Anak

Page 11: pening palakpening palakpening palak

11

2.7 Tatalaksana6,9

1. Rinosinusitis Akut pada Dewasa

Gambar 3. Penatalaksanaan Rinosinusitis Akut pada Dewasa untuk

Pelayanan Kesehatan Primer

2. Rinosinusitis Akut pada Anak

Gambar 4. Penatalaksanaan Rinosinusitis Akut pada Anak

Page 12: pening palakpening palakpening palak

12

3. Rinosinusitis Kronik pada Dewasa

Gambar 5. Penatalaksanaan Rinosinusitis Kronik dengan/tanpa Polip Hidung pada

Dewasa untuk Pelayanan Kesehatan Primer

Page 13: pening palakpening palakpening palak

13

4. Rinosinusitis Kronik pada Anak

Gambar 6. Penatalaksanaan Rinosinusitis Kronik pada Anak

5. Terapi Bedah Berbasis Bukti Untuk Rinosinusitis

Penelitian mengenai operasi sinus sangat sulit untuk digeneralisasi, karena operasi

diindikasikan pada pasien tertentu yang tidak memberikan respon yang adekuat

terhadap pengobatan medikamentosa.

a. Pada rinosinusitis akut, operasi diindikasikan pada kasus yang berat dan

komplikasi yang berhubungan.

b. Lebih dari 100 kasus berseri (level IV) dengan hasil yang konsisten bahwa

pasien rinosinusitis kronis dengan dan tanpa polip mendapat manfaat dari

operasi sinus.

Page 14: pening palakpening palakpening palak

14

c. Komplikasi mayor terjadi pada kurang dari 1 % dan operasi revisi

dilaksanakan kira - kira 10 % dalam kurun waktu 3 tahun.

d. Pada sebagian besar kasus rinosinusitis kronis, pengobatan medikamentosa

yang adekuat sama efektifnya dengan operasi, jadi operasi sinus

seharusnya dicadangkan untuk pasien yang tidak memberikan respon

memuaskan terhadap pengobatan medikamentosa. (level Ib)

e. Bedah sinus endoskopik fungsional lebih superior dibandingkan prosedur

konvensional termasuk polipektomi dan irigasi antrum (Level Ib), tetapi

superioritas terhadap antrostomi meatus inferior atau sfenoetmoidektomi

belum terbukti

f. Pada pasien rinosinusitis kronis yang belum pernah dioperasi, operasi yang

lebih luas tidak memberikan hasil yang lebih baik dibandingkan prosedur

operasi yang terbatas (level Ib). Walaupun bukan berbasis bukti, perluasan

operasi biasanya disesuaikan terhadap perluasan penyakit, yang

merupakan pendekatan secara rasional. Pada bedah sinus paranasal primer,

direkomendasikan bedah secara konservatif.

g. Operasi sinus endonasal revisi hanya diindikasikan jika pengobatan

medikamentosa tidak efektif. Perbaikan gejala secara umum diobservasi

pada pasien dengan rinosinusitis kronis dengan dan tanpa polip, walaupun

perbaikannya kurang dibandingkan setelah operasi primer. Angka

komplikasi dan terutama resiko rekurensi penyakit lebih tinggi

dibandingkan operasi primer

2.8 Komplikasi1,9

Beberapa faktor yang diduga sebagai penyebab terjadinya komplikasi, antara

lain :

1. Terapi yang tidak adekuat

2. Daya tahan tubuh yang rendah

3. Virulensi kuman

4. Penanganan tindakan operasi terlambat dilakukan

Komplikasi berat biasanya terjadi pada sinusitis akut atau pada sinusitis

kronis dengan eksaserbasi akut, berupa komplikasi orbita atau intrakranial.

Page 15: pening palakpening palakpening palak

15

a. Kelainan orbita

Disebabkan oleh sinus paranasal yang dekat dengan mata, paling sering

sinusitis etmoid, sinusitis frontal dan sinusitis maksila. Orbita dipisahkan oleh

sebuah lamina setipis selembar kertas dari sinus etmoid. Karena lemahnya barrier

ini, komplikasi akibat penyebaran infeksi ke mata sering terjadi pada sinusitis akut.

Penyebaran infeksi terjadi melalui tromboflebitis dan perkontinuitatum.Kelainan

yang dapat timbul adalah udem palpebra, selulitis orbita, abses subperiostal, abses

orbita dan selanjutnya dapat terjadi thrombosis sinus kavernosus.

b. Mukokel

Mukokel adalah suatu kista yang mengandung mukus yang timbul di

dalam sinus. Kista ini paling sering ditemukan pada sinus maksilaris, sering

disebut juga sebagai krista retensi mukus yang biasanya tidak berbahaya. Dalam

sinus frontalis, ethmoidalis dan sfenoidalis, kista ini dapat membesar dan melalui

atropi tekanan mengikis struktur sekitarnya. Dengan demikian,kista ini dapat

bermanifestasi sebagai pembengkakan pada dahi atau fenestra nasalis dan dapat

menggeser mata ke lateral. Dalam sinus sfenoidalis, kista dapat menimbulkan

diplopia dan gangguan penglihatan dengan menekan saraf didekatnya.

Mukokel primer berkembang akibat hambatan duktus kelenjar saliva

mayor, terutama pada sinus maksilaris. Mukokel sekunder disebabakan obstruksi

ostium sinus sebagai komplikasi obstruksi dari rinosinusitis, polip, trauma,

pembedahan, dan tumor. Nyeri kepala dan berkurangnya visus merupakan gejala

tersering pada mukokel di sinus frontal, dimana gejala berlangsung perlahan

seiring membesarnya mukokel dalam beberapa tahun. Terapi mukokel adalah

dengan mengangkat secara total mukokel, dan umumnya melalui bedah terbuka.

c. Piokel

Piokel adalah mukokel terinfeksi. Gejala piokel hampir sama dengan

mukokel meskipun lebih akut dan lebih berat. Eksplorasi sinus secara bedah untuk

mengangkat semua mukosa yang terinfeksi dan berpenyakit serta memastikan

suatu drainase yang baik.

Page 16: pening palakpening palakpening palak

16

d. Kelainan intrakranial

Sinusitis yang tersering menyebabkan komplikasi intrakranial adalah

sinusitis frontalis diikuti sinusitis ethmoidalis, sfenoidalis dan maksilaris.

Komplikasi ini lebih sering pada laki-laki dewasa, diduga ada faktor predileksi

yang berhubungan dengan pertumbuhan tulang frontal dan meluasnya sistem

anyaman pembuluh darah yang terbentuk. Dapat berupa kelainan :

1. Meningitis

Meningitis merupakan komplikasi intrakranial yang tersering dari

sinusitis. Sinus frontal jarang menyebabkan meningitis tetapi seringkali

karena infeksi sekunder dari sinus etmoidalis dan sfenoid. Lapisan

arakhnoid pada dewasa relatif lebih resisten terhadap invasi langsung

bakteri, namun pada anak-anak infeksi dapat lebih mudah menyebar

karena jaringan yang masih immatur. Infeksi dari sinus paranasal dapat

pula menyebar sepanjang saluran vena atau langsung dari sinus yang

berdektan, seperti melalui dinding posterior sinus frontalis atau melaui

lamina kribriformis di dekat sistem sel udara ethmoidalis.

2. Abses Dura

Abses dura adalah kumpulan pus diantara dura dan tabula interna kranium,

seringkali mengikuti sinus frontalis. Proses ini mungkin timbul lambat

sehingga hanya mengeluh nyeri kepala, dan sebelum pus yang terkumpul

mampu menimbulkan tekanan intrakranial yang memadai, mungkin tidak

terdapat gejala neurologik lain. Abses subdural adalah kumpulan pus di

antara abses dura meter dan araknoid atau permukaan otak. Gejala – gejala

kondisi ini serupa dengan abses dura yaitu nyeri kepala yang hebat dan

demam tinggi dengan tanda – tanda rangsangan meningen. Gejala utama

tidak timbul sebelum tekanan intrakranial meningkat atau sebelum abses

memecah ke dalam ruang subaraknoid.

3. Abses otak

Setelah sistem vena dalam mukoperiosteum sinus terinfeksi , maka dapat

dimengerti bahwa dpat terjadi perluasan metastatik secara hematogen

kedalam otak. Namun, abses otak biasa nya terjadi melalui tromboflebitis

Page 17: pening palakpening palakpening palak

17

yang meluas secara langsung. Dengan demikian, lokasi abses yang lazim

adalah pada ujung vena yang pecah, meluas menembus dura dan araknoid

hingga ke perbatasan antara substansia alba dan grisea korteks serebri.

Kontaminasi substansi otak dapat terjadi pada puncak suatu sinus supuratif

yang berat, dan proses pembentukan abses otak dapat berlanjut sekalipun

penyakit pada sinus telah memasuki tahap resolusi normal. Pada kasus ini

perlu di observasi selama beberapa bulan. Hilangnya nafsu makan,

penurunan berat badan, kakeksia sedang, demam, nyeri kepala berulang,

serta mual dan muntah yang merupakan tanda infeksi yang berlokasi

dalam hemisfer serebri.

4. Trombosis sinus kavernosus

Emboli septic dapat menyebar melalui system vena oftalmika ke sinus

kavernosus, menyebabkan infeksi, inflamasi, dan bahkan thrombosis sinus.

Gejala okuler seperti khemosis, respon pupil yang lambat, oftalmoplegia,

dan kebutaan. Temuan klinis ini sering bersifat bilateral. Antibiotik

intravena harus diberikan segera dan bila ada indikasi, surgical drainage

pada sinus harus dilakukan.

e. Osteomielitis dan abses subperiosteal

Paling sering timbul akibat sinusitis frontal dan biasanya ditemukan pada

anak – anak. Penyebab tersering osteomielitis dan abses subperiosteal pada

tulang frontalis adalah infeksi sinus frontalis. Nyeri dan nyeri tekan dahi

setempat sangat berat. Gejala sistemik berupa malaise, demam, dan

menggigil . Pembengkakan di atas alis mata juga lazim terjadi dan

bertambah hebat bila terbentuk abses subperiostel, dalam hal mana

terbentuk edema supraorbita dan mata menjadi tertutup. Timbul fluktuasi

dan tulang menjadi sangat nyeri tekan. Radiogram dapat memperlihatkan

erosi batas- batas tulang dan hilang nya septa intrasinus dalam sinus yang

keruh.

Pada stadium lanjut, radiogram memperlihatkan gambaran seperti “

digerogoti rayap “ pada batas-batas sinus menunjukan infeksi telah meluas

Page 18: pening palakpening palakpening palak

18

melampaui sinus. Sebelum penggunaan antibiotik, penyebaran infeksi ke

kalvaria akan mengangkat perikranium dan menimbulkan gambaran klasik

tumor pott yang bengkak . pengobatan komplikasi ini termasuk antibiotik

dosis tinggi yang diberikan intravena, diikuti insisi segera abses periosteal

dan trepanasi sinus frontalis guna memungkinkan drainase. Pada

osteomielitis kalvarium yang menyebar , di haruskan suatu debridement

yang luas dan terapi antibiotik masif.

f. Kelainan paru

Kelainan paru, seperti bronkitis kronik dan bronkiektasis. Adanya kelainan

sinus paranasal disertai dengan kelainan paru ini disebut sinobronkitis. Selain itu

dapat juga menyebabkan kambuhnya asma bronkial yang sukar dihilangkan

sebelum sinusitisnya disembuhkan.

Page 19: pening palakpening palakpening palak

19

BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Sinusitis didefenisikan sebagai inflamasi mukosa sinus paranasal

umumnya dipicu atau muncul bersamaan dengan rinitis, sehingga sering disebut

rinosinusitis. Sinusitis adalah keradangan pada satu atau lebih mukosa sinus

paranasal dengan gejala berupa hidung tersumbat, nyeri pada wajah, dan pilek

kental (purulen). Definisi klinis rinosinusitis pada dewasa dan anak-anak berbeda.

Rinosinusitis pada dewasa adalah radang hidung dan sinus paranasal yang

ditandai dengan dua atau lebih gejala, salah satunya harus hidung tersumbat/

obstruksi/ kongesti atau hidung berair (anterior/posterior nasal drip) disertai gejala

lain berupa ada atau tidaknya nyeri pada wajah, penurunan atau hilangnya

penciuman, dan pada pemeriksaan rinoskopi ditemukan adanya polip hidung,

obstruksi dan edema pada mukosa meatus media, dan/atau sekret yang

mukopurulen dari meatus media, serta pada CT-Scan ditemukan adanya

perubahan mukosa pada kompleks ostiomeatal ataupun mukosa hidung. Pada

anak-anak dengan tambahan ada atau tidaknya batuk.

Defisiensi nutrisi, kelelahan, kebugaran fisik yang menurun dan penyakit

sistemik juga penting dalam etiologi sinusitis. Sebagai faktor risiko lain ialah

lingkungan berpolusi, udara dingin atau kering serta kebiasaan merokok yang

dapat menyebabkan perubahan pada mukosa serta kerusakan silia. Faktor risiko

lain yang penting adalah adanya riwayat infeksi sebelumnya seperti common cold.

Mikroorganisme penyebab rinosinusitis bisa berupa virus, bakteri, ataupun jamur.

Bakteri sering menjadi penyebab terjadinya sinusitis akut. Streptococcus

pneumonia (30-50%). Hemophillus Influenzae (20-40%), dan Moraxella

catarrhalis (4%). Sedangkan pada anak 20 % penyebab nya adalah M. Catarrhalis.

Kesehatan sinus dipengaruhi oleh patensi ostium-ostium sinus dan kelancaran

klirens dari mukosiliar di dalam komplek osteo-meatal (KOM).

Konsensus thaun 2004 rinosinusitis dibagi menjadi akut, subakut, dan

kronik. Rinosinusitis akut dengan batas sampai dengan 4 minggu, subakut antara

4 minggu sampai dengan 3 bulan, serta kronik apabila lebih dari 3 bulan. Keluhan

utama rhinosinusitis akut adalah hidung tersumbat disertai nyeri/rasa tekanan pada

Page 20: pening palakpening palakpening palak

20

muka dan ingus purulen, yang seringkali turun ke tenggorok ( post nasal drip ).

Dapat disertai gejala sistemik seperti demam dan lesu. Gejala lain adalah sakit

kepala, hiposmia/anosmia, halitosis, post nasal drip yang menyebabkan batuk dan

sesak pada anak. Keluhan sinusitis kronik tidak khas sehingga sulit di diagnosis.

Kadang – kadang hanya 1 atau 2 dari gejala – gejala dibawah ini yaitu sakit kepala

kronik, post nasal drip, batuk kronik, gangguan tenggorok, gangguan kronik

muara tuba eustachius, gangguan ke paru seperti bronkitis. Diagnosis ditegakkan

berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang.

Pemeriksaan fisik dengan rinoskopi anterior dan posterior, pemeriksaan

nasoendoskopi untuk diagnosis yang lebih tepat dan dini. Pemeriksaan pembantu

yang penting adalah foto polos atau CT-scan. Sinusitis dikatakan akut jika

terdapat dua gejala atau lebih gejala yang onsetnya mendadak, dimana salah

satunya harus terdapat sumbatan hidung/obstruksi/kongesti atau terdapatnya

sekret hidung anterior atau posterior dalam waktu kurang dari 4 minggu.

Tujuan terapi sinusitis adalah mempercepat penyembuhan, mencegah

komplikasi, dan mencegah perubahan menjadi kronik. Prinsip pengobatan ialah

membuka sumbatan KOM sehingga drenase dan ventilasi sinus-sinus pulih secara

alami. Antibiotik dan dekongestan merupakan terapi pilihan pada sinusitis akut

bakterial, untuk menghilangkan infeksi dan pembengkakan mukosa serta

membuka sumbatan ostium sinus. Antibiotik yang dipilih adalah golongan

penicilin seperti amoksicilin. Jika diperkirakan kuman telah resisten atau

memproduksi beta-laktamase, maka dapat diberikan amoksiccilin-klavulanat atau

jenis sefalosforin generasi ke-2. Selain dekongestan oral dan topikal, terapi lain

dapat diberikan jika diperlukan, seperti analgetik, mukolitik, steroid oral/topikal,

pencucian rongga hidung dengan NaCl atau pemanasan (diatermi).

3.2 Saran

Untuk penangan kasus pada rinosinusitis kita harus dapat mengkaji

terlebih dahulu kondisi pasien dan melakukan pemeriksaan lebih lanjut untuk

mempermudah melakukan tindakan selanjutnya.

Page 21: pening palakpening palakpening palak

21

DAFTAR PUSTAKA

1. Mangunkusumo E, Soetjipto D. Sinusitis. Dalam: Soepardi EA, Iskandar N,

Bashiruddin J, Restuti RD. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung

Tenggorok Kepala Leher Edisi 6. Jakarta: Balai Penerbit FK UI. 2011.

2. Asyari Ade, Budiman BJ. Diagnosis dan Penatalaksanaan Rinosinusitis

dengan Polip Nasi.

3. Desrosier M, et al. Canadian Clinical Practice Guidlines for Acute and

Chronic Rhinosinusitis. Journal of Otolaryngology–Head & Neck Surgery.

2011: Volume 40, Number S2.

4. Bubun J, Azis A, Akil A, Perkasa F. Hubungan Gejala dan Tanda

Rinosinusitis Kronik dengan Gambaran CT Scan berdasarkan Skor Lund-

Mackay. Bagian THT-KL Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin

Makasar. [citied 2014 Desember 17]. Avaible from: http://www.perhati-

kl.or.id/v1/wp-content/uploads/2011/11/Hubungan-gejala-rinosinusitis-kronik-

Jeanny-Bubun1.pdf

5. Ketjono WA, Rinosinusitis: Etiologi dan Patofisiologi. Bagian THT-KL

Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga RSU dr. Soetomo Surabaya. 2008.

[citied 2014 Desember 17]. Avaible from:

http://journal.lib.unair.ac.id/index.php/JK/article/viewFile/931/919

6. Fokkens W, et al. EPOS 2012: European position paper on rhinosinusitis and

nasal polyps 2012 A summary for otorhinolaryngologists. 2012

7. Norman W. Nasal Cavity, Paranasal Sinuses, Maxillary Division of

Trigeminal Nerve. [citied 2014 Desember 17]. Avaible from:

http://home.comcast.net/~wnor/lesson9.htm.

8. Snow JB, Ballenger JJ. Ballenger’s Otolaryngology Head and Neck Surgery.

Spain 2003. DC Bekcer. Page 760-64.

9. Adams, Boies, Highler. Dalam buku ajar penyakit THT. EGC. Jakarta 1997.

Hal 240-59.