penonton bayaran

32

Upload: ahmad-faiq-syukron

Post on 02-Jul-2015

473 views

Category:

Documents


3 download

DESCRIPTION

tulisan ini jauh dari kesempurnaan, karena isinya juga banyak sekali dari berbagai pandangan, mohon saran dan ide :)

TRANSCRIPT

Page 1: Penonton Bayaran
Page 2: Penonton Bayaran

REKAYASA REALITASMELALUI PENONTON BAYARAN

MEDIA DAN KAJIAN BUDAYA

Dosen Pengampu :

Dr Turnomo Rahardjo

Triyono Lukmantoro, S.Sos, MSi

Ahmad Faiq SyukronIlmu Komunikasi

D2C607003

Page 3: Penonton Bayaran

PENDAHULUAN

Perkembangan musik di Indonesia sekarang ini semakin hari semakin

berkembang pesat. Terbukti dengan semakin menjamurnya grup musik/band yang

bermunculan. Pihak label rekaman pun tak perlu repot-repot lagi dalam mencari suatu

band.

Perkembangan musik di Indonesia sendiri diawali sekitar tahun 70an yang

didominasi oleh lagu-lagu perjuangan seperti Maju Tak Gentar dan lagu-lagu dari

KoesPlus yang sebagian besar bertemakan tentang tanah air dan Nusantara.

Kemudian pada era 80an musik di Indonesia di dominasi oleh lagu-lagu pop yang

mendayu-dayu dan cengeng, lagu-lagu balada dengan tempo yang lambat juga

lumayan laku, dan sempat juga lagu-lagu disko khas anak muda merajai di era ini.

Sekitar awal tahun 90an dominasi aliran musik di Indonesia didominasi oleh

lagu-lagu dangdut. Disaat genre pop di Indonesia mulai kehilangan nuansanya,

muncul lagu-lagu Melayu. Lagu dari negeri Jiran yang menjadi hits pada era itu

adalah “Isabella” dan kemudian disusul lagu-lagu lain dari Malaysia yang merajai

perkembangan musik di Indonesia.

Masuk ke era 2000an, musik kita semakin bergelora, mulai banyak musisi-

musisi daerah yang percaya diri menunjukkan kebolehannya, lewat Indie kompetisi.

Perhatian terhadap perkembangan musik Indonesia pun semakin terlihat dari

banyaknya kompetisi musik untuk mencari bakat-bakat baru, serta intensnya media

yang menghadirkan program-program musik Indonesia di akhir 2009.

Di tahun 2000an ini terdapat pengkriteriaan label musik, yaitu antara indie

dengan mainstream atau yang biasa disebut dengan major label. Umumnya yang

dimaksud dengan mainstream adalah arus utama, tempat dimana band-band yang

bernaung di bawah label besar, sebuah industri yang mapan. Band-band tersebut

Page 4: Penonton Bayaran

dipasarkan secara meluas yang jangkauan promosinya juga secara luas, nasional

maupun internasional, dan mereka mendominasi promosi di seluruh media massa,

mulai dari media cetak, media elektronik hingga multimedia dan mereka terekspos

dengan baik.

Jadi jika kita berbicara kriteria dari mainstream dengan indie itu lebih kepada

industrinya, perbedaannya lebih kepada nilai investasi yang dikeluarkan oleh

perusahaan rekaman. Persoalan talenta, tidak ada yang memungkiri kalau band-band

indie terkadang lebih bagus daripada band-band mainstream. Jadi disini hanya

masalah uang, karena industri musik berbasis kepada profit, label menanamkan

modal yang besar untuk mencari keuntungan yang lebih besar.

Sebenarnya perkembangan musik indie akan menjadi cikal bakal musik

mainstream baru. Jadi yang akan terjadi adalah musik indie akan jadi ladang

pertumbuhan dan perkembangan yang kemudian akan berbuahnya di major label. Jadi

kontribusi terbesar adalah mereka membawa perubahan bagi ragam jenis musik di

Indonesia.

Kembali ke permasalahan tentang intensnya media yang menghadirkan

program-program musik Indonesia di akhir 2009. Bermunculan berbagai program

acara yang disiarkan juga secara langsung di televisi, mulai dari INBOX,

DAHSYAT, DERINGS, KISS VAGANZA dan lain sebagainya. Program acara

seperti ini dianggap sebagai sarana untuk mempromosikan suatu band, khususnya

band-band pendatang baru.

Sebagian besar band-band, baik band yang sudah ternama maupun dari band

pendatang baru yang berpartisipasi dalam program acara tersebut merupakan band

dengan genre pop yang bertemakan tentang percintaan dengan nada yang mendayu-

dayu dan bernuansa cengeng.

Page 5: Penonton Bayaran

Konsep acara dari pertunjukan musik ini disiarkan pada pagi hari secara live

atau langsung, dengan sederet bintang yang mengisi acara ini, mulai dari host atau

pembawa acaranya yang pastinya sudah dikenal oleh masyarakat, dan artis-artis dari

grup band ternama. Sedangkan dari segi latar dan setting tempat dari program acara

ini bertempatkan di studio yang megah dan bahkan kerapkali diadakan di suatu

tempat perbelanjaan atau biasa disebut dengan mall.

Acara seperti ini pasti sangat menghibur sekali, bagaimana tidak karena

program acara yang disiarkan pada pagi hari ini tidak hanya menawarkan hiburan

semata, tetapi juga sebagai alternatif lain dimana program acara di televisi pada pagi

hari biasanya dibanjiri oleh sederetan acara gosip dan infotainment.

Program acara seperti ini, dalam dunia modern kekinian tidak lagi harus

dilihat sebagai satu sisi otonom, yang hanya berfungsi sebagai sarana penghibur.

Akan tetapi, tayangan musik sepert ini juga harus dianggap sebagai produk

Page 6: Penonton Bayaran

kapitalisme yang berusaha membeli dan menjual aset hiburan tersebut untuk

keuntungan ekonomis. Keuntungan ekonomis tersebut dapat dijumpai pada

massifikasi kawula muda untuk hadir di mall.

Gambaran yang tampak sekarang ini merupakan gambaran realitas yang

dipresentasikan oleh media yang menjembatani aliran arus budaya mayor ke budaya

minor, sehingga pencitraan-pencitraan atas realitas juga mengikuti irama presentasi

media tersebut. Adalah Jean Baudrillard, salah satu intelek yang peduli dengan

keresahan zaman sekarang itu.

Jean Baudrillard, lahir tahun 1929 dari

pasangan petani kecil dan miskin dikota kecil

Reims, Perancis. Pada masanya dia adalah

orang pertama kali di lingkungan keluarga dan

desanya yang menjadi mahasiswa.

Pendidikannya banyak dipengaruhi oleh

kondisi perang Aljazair tahun 1950an, sehingga pemikiran kritis akan kondisi-kondisi

sosiologis muncul dari iklim ini. Sebelum selesai kuliah dia sudah mengampu Bahasa

Jerman di Lycee. Di bawah bimbingan Henri Lefebvre, Baudrillard banyak

menggeluti persoalan filsafat sosial dan budaya, dan dengan kecerdasan yang

dimilikinya mulai September 1966 dia dipercaya oleh Lefebvre untuk

mengasisteninya di Universitas Nanterre Paris X. Di samping itu dia juga berkolega

dengan Roland Barthes, seorang pionir semiotis, sehingga karya pertamanya yang

menguraikan analisis semiotik terhadap budaya, The System of Object (1968), banyak

dipengaruhi oleh Barthes.

Dalam pemikiran sosiologinya, khususnya tentang budaya media, banyak

dipengaruhi oleh Marshall McLuhan. Ketika tahun 1968 terjadi persistiwa

demonstrasi besar oleh mahasiswa di universitasnya, Baudrillard bergabung dengan

Page 7: Penonton Bayaran

jurnal “kiri”, Utopie, yang dijadikan mediasi untuk menuangkan ide-idenya tentang

kritik budaya dan kritik teknologi dari perspektif Struktural-Marxis dalam teori-teori

tentang media. Tahun 1970 Baudrillard menjadi Maitre-assistant di Universitas

Nanterre, dan tahun 1987 dia pensiun. Karier akademiknya juga dititinya di EGS

(European Graduate School) di Saas-Fee, Swiss, dan di sini pula dia menjadi

professor dalam filsafat budaya dan kritik media.

Tokoh-tokoh yang mempengaruhi analisis kritisnya tentang media dan

teknologi, selain yang telah disebutkan di atas, adalah Marcel Mauss dalam

objektivitas dan analisis sosio-linguistiknya, juga masuk dalam lini ini adalah

strukturasi Levi-Staruss dan sosiologi Durkheimian. Kemudian Bataille, Sartre,

Dostoyevsky, dan Nietzsche mengisi warna-warna Situasionisme dan Surealisme

dalam analisisnya, sedangkan Freud dalam psikoanalisis. Sekalipun demikian

pengaruh terbesar adalah Marxisme. Oleh karena itu pemikirannyapun dibedakan

dalam tiga fase:

1. Aktualisasi paradigma, strategi, tujuan dan penekanan analisis daripada

muatan yakni era post-Marxisme (1968-1971)

2. Akurasi analisis sosio-linguistik dalam pemikirannya (1972-1977)

3. Kritisisasi budaya teknologis dan media, sehingga dalam fase ini dia

dikenal dengan the prophet of the implosion of meaning that attends the

postmodern condition.

Basic core pemikiran Baudrillard adalah teori tentang hyper-reality dan

simulation. Konsep ini sepenuhnya mengacu pada kondisi realitas budaya yang

virtual ataupun artifisial di dalam era komunikasi massa dan konsumsi massa.

Realitas-realitas itu mengungkung kita dengan berbagai bentuk simulasi

(penggambaran dengan peniruan). Simulasi itulah yang mencitrakan sebuah realitas

Page 8: Penonton Bayaran

yang pada hakikatnya tidak senyata realitas yang sesungguhnya. Realitas yang tidak

sesungguhnya tetapi dicitrakan sebagai realitas yang mendeterminasi kesadaran kita

itulah yang disebut dengan realitas semu (hyper-reality). Realitas ini tampil melalui

media-media yang menjadi kiblat utama masyarakat massa. Melalui media realitas-

realitas dikonstruksikan dan ditampilkan dengan simulators, dan pada gilirannya

menggugus menjadi gugusan-gugusan imaji yang menuntun manusia modern pada

kesadaran yang ditampilkan oleh simulator-simulator tersebut, inilah yang disebut

gugusan simulacra. Simulator-simulator itu antara lain muncul dalam bentuk iklan,

film, cybernetics, kuis, sinetron dan lain-lain yang tampil dalam televisi atau media

lain yang mengobral kepuasan fashion, food dan funs.

Baudrillard tampaknya mengikuti tradisi berfikir Claudé Levi-Strauss dalam

membuat relasi antara sosiologi dan semiotika, meskipun dia jauh melampaui tradisi

sosiologi itu sendiri. Baudrillard mengkonsepkan masyarakat (society dalam

sosiologi) dengan menggunakan mass (massa) yang merupakan konseptualisasi

masyarakat yang telah terdeterminasi oleh faktor budaya yang berada dalam selubung

gugusan simulacra. Di sinilah tampak sekali bahwa Baudrillard mengadopsi kritik

Situasionis dari Marxisme.

Berkembangnya teknologi informasi seperti sekarang ini, yang diklaim

sebagai wujud nyata dari modernitas, telah memposisikan realitas-realitas menjadi

sebatas imaji yang dihasilkan oleh proses simulasi. Media, sekali lagi, telah

menciptakan makna pesan yang dipublikasikan sebagai sesuatu yang terputus dari

asal-usulnya, sehingga tidak salah kalau Baudrillard menyatakan bahwa konstruk

budaya dewasa ini mengikuti pola-pola simulasi, yakni penciptaan model-model

nyata yang tanpa asal-usul (realitas), inilah yang disebutnya hyper-reality.

http://kpiaku.wordpress.com/artikel_ku/bb/

Page 9: Penonton Bayaran

Di dalam budaya massa itu, Baudrillard menunjukkan bagaimana proses

transformasi nilai dari media ke dalam kesadaran masyarakat massa telah

memanjakan kesadaran itu dalam memperturutkan keinginannya untuk mengikuti

ritual-ritual ekonomi-konsumtif. Kondisi psikologis ini mengantarkan pada pemujaan

(fetishisme) terhadap idola yang dipresentasikan oleh media. Pada saat yang sama

budaya ini menjebak masyarakatnya pada “silent majorities”. Bagi Baudrillard proses

ini meluruhkan segala struktur kelas ke dalam massa yang tidak ada kategori nilai

selain nilai ekonomis. Dia memberikan analisis tentang masyarakat massa ini dalam

karya America, dan di sinilah the real mass community ditampilkan. Dalam

masyarakat seperti ini tidak ada lagi ikatan konvensional yang mempererat relasi

antar individu, yang ada hanya ikatan semu yang hanya terbatas pada relasi

ekonomis. Oleh karena itu satu-satunya kiblat adalah media, yang secara massif

membentuk kesadaran individu-individu itu dalam ikatan massa.

Dengan mengemukakan teori simulation dan hyper-reality, Baudrillard

mengembangkan analisisnya ke dalam kebudayaan kontemporer. Sebagai seorang

kritikus budaya dan media, kepekaan sosialnya tampak ketika melihat gejala budaya

masyarakat yang dikreasi oleh dunia kapitalisme. Dengan serangkaian media,

kapitalisme global telah merengkuh kesadaran manusia kontemporer ke dalam

citraan-citraan model produk yang ditawarkan. Melalui televisi, dunia kapitalisme

mengubah perilaku masyarakat konsumen menjadi tindakan semu dengan mengikuti

model simulasi yang ditampilkan iklan, film, kuis, dan lainnya. Oleh karena itu

dengan mengembangkan teori medium as message dan global village dari Marshall

McLuhan, dia membangun paradigma pemikiran bahwa televisi, ataupun media

lainya, berubah peran dari entitas yang diatur menjadi entitas yang mengatur.

Kesadaran manusia kontemporer telah diatur oleh televisi.

http://ushuluddin.uin-suka.ac.id/file_kuliah/Konstruk%20agama%20dan%20Budaya%20dalam

%20media%20TV.rtf

Page 10: Penonton Bayaran

PERUMUSAN MASALAH

Program musik INBOX di SCTV merupakan program acara musik yang

pertama tayang di televisi, kemudian baru bermunculan program acara musik lainnya

dari stasiun yang berbeda yang berusaha memecah belah pasar musik dari INBOX itu

sendiri, dengan karakteristik maupun konsep yang berbeda tetapi pada intinya

semuanya sama saja, karena ideologinya adalah pasar.

Program acara ini telah dibungkus sedemikian rupa, hingga sukar menemukan

sisi orisinalitasnya. Tak heran, dalam tulisannya, “A Sosial Critique of Radio Music,”

Theodor W. Adorno memandang musik, termasuk tayangan INBOX dan sejenisnya

telah menjadi commodity listening. Adorno juga yang lain, masih yakin bahwa di

dalam logika industri kebudayaan segala kriteria dapat berubah. Selera dan hasrat

senantiasa berubah di balik mesin hawa nafsu yang lahir, seperti lewat pesona iklan

sebagai ekspresi dari estetika produksi komoditas kapitalisme. Segala produk dan

simbol budaya pada gilirannya harus distandarisasikan, dihomogenisasikan, dikomer-

sialisasikan, dan dikomodifikasikan, karena semua hal harus menjadi produk budaya

untuk konsumsi massa.

http://homoculture.wordpress.com/2009/02/14/musik-inbox-mall-dan-kawula-muda/

Keunikan dari acara seperti INBOX dan sejenisnya ini ditayangkan secara

langsung di mall. Beberapa mall di Jakarta, seperti ITC Cempaka Mas, Supermal

Karawaci, Margo City Depok dan di kota-kota besar lain juga tak kalah ketinggalan,

seperti di Bandung Indah Plaza, Plaza Ambarukmo Jogjakarta, Sun Plaza Medan

maupun di Plaza Tunjungan Surabaya kerapkali menjadi acuan diselenggarakannya

acara musik ini.

Page 11: Penonton Bayaran

Mall sendiri dapat dimaknai sebagai tempat pusat perbelanjaan yang modern,

disini terdapat sederetan tanda-tanda modernisasi. Orang-orang yang berkunjung

dapat dipastikan seolah-olah memasuki dunia baru penuh dengan imaji modernitas.

Soejadmiko (2008:53) dalam bukunya bertajuk Saya Belanja, maka Saya Ada

melukiskan mall sebagai surga bagi konsumerisme (a temple of consumerism),

dimana secara sadar, pengalaman belanja berlanjut hingga masuk wilayah hiburan.

Mall tidak hanya merupakan tempat di mana konsumen bebas memilih dan juga

merupakan pusat ekonomi, melainkan secara aktif membentuk imaji mengenai

kehidupan yang seharusnya, dan imaji itu disebut konsumerisme.

http://cetak.kompas.com/read/xml/2009/03/07/10161361/musik.inbox.mal.dan.kawula.muda

Page 12: Penonton Bayaran

Penayangan INBOX di mall yang banyak menghadirkan kawula muda perlu

dicurigai. Bagaimana tidak, coba kita bayangkan pada jam yang relatif masih sangat

pagi, sekitar jam 8 - jam 9 pagi, banyak para ABG/remaja yang beramai-ramai ikut

menyaksikan secara langsung berada di tempat acara tersebut. Bukankah pada jam-

jam tersebut mereka seharusnya berada di lingkungan sekolah untuk menuntut ilmu.

Adanya para ABG yang ikut meramaikan program acara tersebut perlu dikaji

lebih mendalam. Apakah mereka itu benar-benar penonton yang sukarela

menyaksikan secara langsung demi idola mereka, atau terdapat sesuatu yang lain

yang menjadikan mereka mau bersorak dan berjingkrak-jingkrak. Adakah yang tidak

artifisial pada acara hiburan televisi? Rasanya tidak ada sebab penonton acara musik,

peserta kuis, dan pemain reality show sebagian besar adalah orang bayaran.

Fenomena dari penonton bayaran ini sudah tak asing lagi bagi sebagian orang

yang mengerti program acara musik yang sudah beberapa tahun ini menghiasi layar

kotak ajaib. Mengapa televisi memerlukan penonton bayaran? Alasan utama dari

pertanyaan tersebut karena penonton merupakan bagian dari pertunjukan. Sebuah

acara musik tidak akan meriah jika tak ada penonton. Ironisnya, sebagian besar

pemirsa percaya bahwa apa yang ditampilkan televisi adalah realitas sungguhan.

Page 13: Penonton Bayaran

PEMBAHASAN

Penonton merupakan salah satu aspek yang sangat penting dalam suatu

pertunjukan, khususnya acara musik. Penonton merupakan bagian dari pertunjukan,

bisa dibilang mereka adalah pemanis dalam suatu program acara. Sebuah acara musik

tidak akan meriah jika tak ada penonton.

Tidak banyak yang tahu, tidak semua penonton program televisi yang hadir di

lokasi syuting atau studio berasal dari masyarakat biasa. Sebagian besar dari mereka

justru orang-orang bayaran. Mereka dipekerjakan untuk memeriahkan acara.

Pasalnya, unsur look atau tampilan gambar di layar memang menjadi kebutuhan

utama. Semakin meriah dan ramai, maka program tersebut akan lebih menarik minat

pemirsa di rumah.

Page 14: Penonton Bayaran

Hal inilah yang kemudian memunculkan sebuah profesi, yaitu sebagai

penonton bayaran. Penonton bayaran berbeda dengan penonton yang hadir dengan

sukarela atau biasanya mereka adalah penggemar fanatik dari suatu grup musik,

sedangkan penonton bayaran itu sendiri merupakan orang-orang yang bekerja dan

bahkan sudah profesional dalam meramaikan suatu pertunjukan.

Penonton bayaran ini biasanya lebih siap, karena sudah fasih dengan yel-yel,

tepuk tangan dan gimmick-gimmick lainnya. Tepukan, sorakan, dan teriakan mereka

di studio akan menyampaikan kegemuruhan ke pemirsa di rumah, karena ketika

penonton riuh dengan segala kehebohannya, saat itulah atmosfer meriah tercipta.

Dengan begitu, pemirsa di rumah secara tak sadar akan tertarik dengan acara tersebut,

sehingga akan tetap mengikuti acara tersebut.

Eka Reza Saputra (18) adalah salah satu penonton bayaran. Demi profesi yang

digelutinya sejak 2007 ini, Eka rela meninggalkan pekerjaan awalnya membantu

usaha ayahnya. “Tadinya saya iseng menonton sebuah program musik sebagai

penonton biasa. Setelah acara selesai, seorang agen menawarkan saya untuk menjadi

penonton tetap di program-program televisi lain. Katanya gaya saya asyik dan

berbeda dari yang lain,” cerita Eka riang.

Di penampilan perdana Eka hanya diupah Rp 30 ribu per program setiap hari.

Namun, setelah satu setengah tahun menekuni profesi ini, Eka bisa dipercaya bergaya

untuk 4 acara. “Yah, lumayanlah, rata-rata per hari bisa bawa pulang uang sampai Rp

80.000,” kata Eka. Hasil bersih itu setelah dipotongan Rp 5 ribu-Rp 15 ribu untuk si

agen. Potongan tidak pernah memberatkan Eka. “Yah, itu kan, untuk jerih payah agen

juga,” ujar Eka yang kini juga kerap menjadi figuran sinetron.

Eka menganggap pekerjaan sebagai penonton bayaran hanya untuk seru-

seruan saja. Lantaran secara fee belum bisa diandalkan, paling hanya untuk jajan saja.

Page 15: Penonton Bayaran

“Pekerjaan kayak begini kan, umurnya enggak lama. Uangnya habis begitu saja.

Untuk menjadi mata pencaharian, enggaklah. Nanti saya akan kembali kerja dengan

ayah saya saja. Tapi kalau sedang bosan, sesekali saya kembali jadi penonton

bayaran” ujarnya.

Lain Eka, lain pula cerita Noviyanti. Gadis berusia 19 tahun asal Depok ini

sudah memiliki pekerjaan tetap sebagai Sales Promotion Girl (SPG). Novi menjadi

penonton bayaran jika ada waktu senggang. Setiap tampil Novi mendapat bayaran Rp

15 ribu di luar fasilitas makan siang dan transport. Namun bukan honor itu yang

penting buat Novi. Melainkan bisa tampil di televisi dan memperluas pergaulan.

“Kerja jadi penonton (bayaran) capek, loh. Apalagi syutingnya kadang sampai pagi.

Kalau enggak enjoy, bisa bosan,” ungkap Novi.

http://regional.kompas.com/read/xml/2009/10/21/16514212/penonton.bayaran.makin.unik.makin.tinggi.bayaran.3

Selain penonton bayaran, ternyata juga terdapat koordinator penonton, mereka

inilah yang mengkoordinir penonton-penonton bayaran tersebut. Bahkan ternyata

juga terdapat agency yang khusus menyediakan penonton bayaran. Pihak stasiun

televisi biasa menyewa jasa pihak ketiga atau agency untuk mengumpulkan puluhan

hingga ratusan penonton tersebut.

Harsono adalah salah satu contoh pengerah penonton atau biasa disebut

koordinator penonton, bisnis itu dia tekuni sejak 2003. Sebelumnya, dia bekerja

sebagai mekanik di sebuah pabrik di kawasan industri Pulogadung. Namun, saat ada

perampingan karyawan, pria 34 tahun itu kena PHK (pemutusan hubungan kerja).

Kerja Harsono sendiri tidak terlalu sulit. Ia hanya perlu menyewa jasa

koordinator lapangan (korlap) di tiap daerah di wilayah Jabodetabek. Korlap tersebut

yang turun langsung mencari penonton bayaran. “Biasanya korlap itu ibu-ibu. Dari

Page 16: Penonton Bayaran

awal saya sudah menentukan untuk mencari yang asyik. Saya sendiri membawahi 8

korlap. Biasanya kami pilih penonton yang lokasinya dekat dengan studio atau lokasi

syuting program, jadi biaya enggak terlalu tinggi.”

Harsono bahkan memiliki 25 penonton bayaran tetap. Mereka selalu dipakai

karena kemampuannya dalam menghidupkan suasana. Selebihnya, untuk mengisi

permintaan, Harsono mengambil penonton bayaran yang dikontrak lepas per hari.

Bayaran yang diterima para penonton ini tergantung pihak stasiun televisi.

Karena, beda program, beda pula bayarannya. Yang jelas, dari masing-masing

pekerjannya, Harsono memotong 20% pendapatan mereka untuk kostum, aksesori,

pernak-pernik, dan untuk dirinya sendiri. “Satu program misalnya ngasih Rp 25

ribu/orang, saya bayarkan Rp 22 ribu atau Rp 20 ribu, sesuai kategori. Orang baru

enggak sama dengan yang lama. Kalau dia semangat, dan serius, baru kami naikkan

honornya. Itu buat 1 acara. Minimal mereka dapat 3 acara per hari. Jadi, lumayanlah,”

ungkap Harsono.

Harsono selalu menjaga kualitas penonton rekrutannya. Hasilnya, jasa

Harsono dipercaya oleh banyak rumah produksi dan stasiun televisi. “Sebelum masuk

studio, ada seleksi penonton. Ratusan orang kami bawa dan beritahu, kalau kami

maunya yang tampilannya bagus, suara keras, ramai, ceria dan bisa koreo (menari).

Sekarang tercipta deh, penonton kami yang sudah terkenal dimana-mana,” tukas

Harsono.

Saat ini Harsono termasuk salah satu agency penyedia jasa penonton bayaran

yang sukses. Di bulan puasa kemarin saja, Harsono dipercaya menyuplai penonton

untuk 11 program televisi. Hasilnya, pendapatan yang tidak sedikit pun diraup

Harsono. “Bulan puasa ini saja bisa lebih dari Rp 50 juta. Ya alhamdulilah, rezeki

bulan suci,” kata pria yang sering disapa dengan panggilan “Ayah” oleh penonton-

penonton bayarannya itu.

Page 17: Penonton Bayaran

http://megapolitan.kompas.com/read/xml/2009/10/21/11255143/penonton.bayaran.makin.unik.makin.tinggi.bayaran.1

Lain lagi dengan cerita Ely Suhari. Awalnya, Ely justru menjadi salah satu

penonton bayaran. Karena penampilannya yang unik, Ely kemudian ditawari menjadi

pemain figuran di program Ngelenong Yuuk di Trans TV. Belakangan, ibu dua anak

ini malah tergoda menjajaki profesi baru sebagai penyedia jasa penonton bayaran.

“Mulainya tahun 2006. Awalnya ngeladenin permintaan anak-anak kampus.

Satu orang mau nonton, besoknya bawa teman 5 orang. Yang 5 orang itu bawa teman

lagi. Begitu seterusnya sampai akhirnya aku punya korlap juga. Mereka yang bawa

50 orang, terus nambah lagi jadi 100, sampai paling banyak 500 orang,” ujar Ely.

Ely sendiri tidak memberlakukan status permanen pada penontonnya. Semua

dikontrak lepas per program. Hanya korlap yang dipekerjakan secara tetap oleh Ely.

Penonton yang dikoordinir pun tidak dikategorikan sesuai wilayah, tapi dibagi per

korlap. “Misalnya butuhnya 200 orang, aku bagi per korlap. Bukan per wilayah.

Pokoknya dimana saja. Kalau memang syuting di Bogor terus yang datang dari

Bekasi, bisa saja. Karena kami menyediakan bis sewaan,” kata  Ely.

Untuk penontonnya, Ely memberlakukan beberapa kelas yang berbeda.

Biasanya dibedakan sesuai penampilan. Dari yang berpenampilan menarik secara

fisik, hingga yang biasa-biasa saja. Tak sedikit pula penonton langganan Ely yang

melebarkan kariernya di dunia hiburan. Ada yang ditawarkan untuk menjadi figuran,

model video klip hingga Sales Promotion Girl (SPG).

Meski dibanjiri job, Ely membatasi hanya menyuplai maksimal dua program

setiap harinya. “Tapi, karena sistem kontrak lepas, satu orang penonton tidak hanya

kerja untuk saya saja. Jadi kadang mereka bisa tampil di program yang berbeda setiap

Page 18: Penonton Bayaran

harinya. Satu orang bisa jadi penonton di 4 acara per hari. Secara pendapatan ya,

lumayan sekali.”

Dilihat dari honor, penonton Ely cukup terfasilitasi dengan baik. Untuk

potongannya, Ely hanya mengambil 20-25%. Pendapatan masing-masing tergantung

programnya, karena setiap stasiun televisi memberikan honor berbeda. Biasanya,

cerita Ely, satu penonton bisa meraup Rp 15 ribu sampai Rp 40 ribu per program. Tak

hanya penontonnya, Ely pun meraup untung cukup besar. Konon, perempuan

berpenampilan unik ini sudah bisa membeli perhiasan dan mobil dari hasil kerjanya

itu.

Semua tentu tak lepas dari kedisiplinan Ely. Ia dikenal cukup ketat mengawasi

penontonnya. Jika ada yang berulah di lokasi, Ely tak segan menegur. Perempuan ini

bahkan selalu menjalin hubungan baik dengan para penjaga keamanan di lokasi, demi

bisa mengawasi pekerjanya.

Dalam sehari, kini Ely mampu menyediakan 150-500 penonton, mulai dari

anak kecil, hingga ibu-ibu, tergantung permintaan. Uniknya, meski tidak terikat

kotrak tertulis, Ely tetap berusaha menyediakan fasilitas kesehatan bagi pekerjanya.

“Kalau mereka pingsan atau sakit, aku bawa ke RS, selama masih dalam tanggung

jawab aku, aku biayain semua. Selama ini udah 3 orang yang kayak begitu. Tapi saya

sekarang lebih selektif milih penonton yang sehat,” kata Ely.

http://regional.kompas.com/read/xml/2009/10/21/11525846/penonton.bayaran.makin.unik.makin.tinggi.bayaran.2

Dari beberapa cerita diatas dapat diketahui bahwa dalam suatu pertunjukkan,

khususnya acara musik seperti INBOX dan sejenisnya ternyata terdapat suatu

kepalsuan yang sengaja dibuat. Kepalsuan tersebut dimulai dari acara yang diadakan

pada pagi hari, tidak mungkin jika mereka (para penonton) secara sukarela hanya

Page 19: Penonton Bayaran

untuk sekedar datang menyaksikan acara tersebut, mungkin berbeda jika mereka

adalah benar-benar penggemar fanatik atau grupis, tak dibayarpun mereka akan setia

mengikuti kemanapun idola mereka tampil.

Berbeda pula dengan situasi pada pertunjukan konser musik live dengan

model ticketing. Penonton dari pertunjukkan seperti ini merupakan orang-orang yang

membayar tiket dan tentu saja mereka benar-benar ingin menikmati konsernya. Tak

ada penonton bayaran dalam acara ini, tak ada keterlibatan penonton yang pura-pura

bersorak, berjingkrak seperti halnya yang biasa dilakukan oleh penonton bayaran.

Page 20: Penonton Bayaran

KESIMPULAN

Tidak dapat pungkiri bahwa kapitalisme global telah menjadikan acara musik

INBOX dan sejenisnya sebagai komoditas. Sebagai komoditas, acara ini juga dipaksa

atau terpaksa harus mengikuti kriteria standarisasi produk layaknya barang-barang

komoditas massal lainnya. Standarisasi tersebut cenderung mengarahkan dunia musik

ke dalam komodifikasi, dimana peran musik telah diubah demi meraih keuntungan

semata, terutama diperoleh dari kawula muda, sebagai pasar yang menggiurkan.

Penayangan INBOX di mall yang banyak menghadirkan kawula muda perlu

dicurigai. Kecurigaan itu dapat dituju pada hasrat musik yang identik dengan alat

penguasaan kesadaran manusia melalui perannya sebagai komoditas kapitalisme,

sementara mall adalah pusat perbelanjaan yang mempertontonkan produk

kapitalisme. Sedangkan, kawula muda yang penuh dengan imaji adalah pasar yang

dituju dari dua industri budaya ini. Di sinilah, ketiga aspek ini, yaitu INBOX, mall,

dan kawula muda saling berkaitan dan membawa keuntungan mutualisme pada

industri kebudayaan.

Dan permasalahan selanjutnya bahwa penonton yang sebagian besar

merupakan kawula muda itu merupakan penonton bayaran. Dari sinilah terlihat

bahwa terdapat rekayasa dari realitas yang ada, terdapat keterlibatan penonton yang

berpura-pura. Realitas yang sesungguhnya bahwa acara tersebut dibanjiri oleh

penonton merupakan realitas yang seolah-olah dan sengaja dibuat.

Page 21: Penonton Bayaran

DAFTAR PUSTAKA

Referensi Buku/Jurnal :

Jean Baudrillard, “Simularca and Simulations” dalam Mark Poster (ed.), Selected Writings (Stanford : Standford University Press, 1988), Hal 166-184.

Ustadi Hamsah, “Jean Baudrillard”, Jurnal Studi Agama-agama Religi, No. 1, vol.III (2004)

Referensi Internet :

Dampak Musik Indie Bagi Perkembangan Industri Musik Indonesia

http://pedeepro.multiply.com/journal/item/31/Dampak_Musik_Indie_Bagi_Perkembangan_Industri_Musik_Indonesia

Hantu Baudrillard http://www.ruangbaca.com/ruangbaca/?doky=MjAwNw==&dokm=MDQ=&dokd=MDE=&dig=YXJjaGl2ZXM=&on=c3Nr&uniq=NDU5

Inbox, Tayangan Musik Unggulan para Penyanyi

http://www.suarakarya-online.com/news.html?id=230869

Jean Baudrillard, Hyper Reality & Efek Simulacra

http://kpiaku.wordpress.com/artikel_ku/bb/

Jean Baudrillard Tentang Simulacra dan Hiperrealitas

http://aprillins.com/jean-baudrillard-tentang-simulacra-dan-hiperrealitas

Musik "Inbox", Mal, dan Kawula Muda

http://cetak.kompas.com/read/xml/2009/03/07/10161361/musik.inbox.mal.dan.kawula.muda

Musik Inbox, Mall, dan Kawula   Muda

http://homoculture.wordpress.com/2009/02/14/musik-inbox-mall-dan-kawula-muda/

Page 22: Penonton Bayaran

Para Pengerah Penonton Bayaran Pendukung Acara Televisi (1) http://batampos.co.id/Utama/Utama/Para_Pengerah_Penonton_Bayaran_Pendukung_Acara_Televisi_%281%29.html

Pemikiran Jean Baudrillard tentang Determinasi Imaji 

http://ushuluddin.uin-suka.ac.id/file_kuliah/Konstruk%20agama%20dan%20Budaya%20dalam%20media%20TV.rtf.

Penonton Bayaran: Makin Unik, Makin Tinggi Bayaran (1)

http://megapolitan.kompas.com/read/xml/2009/10/21/11255143/penonton.bayaran.makin.unik.makin.tinggi.bayaran.1

Penonton Bayaran: Makin Unik, Makin Tinggi Bayaran (2)

http://regional.kompas.com/read/xml/2009/10/21/11525846/penonton.bayaran.makin.unik.makin.tinggi.bayaran.2

Penonton Bayaran: Makin Unik, Makin Tinggi Bayaran (3)

http://regional.kompas.com/read/xml/2009/10/21/16514212/penonton.bayaran.makin.unik.makin.tinggi.bayaran.3

Perkembangan Musik   Indonesia

http://trijayafmplg.wordpress.com/2009/04/12/perkembangan-musik-indonesia/