repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/49480/1/milah... ·...

113

Upload: others

Post on 16-Feb-2020

19 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Lulusan sarjana hukum, yang akan menjadi praktisi hukum, dibutuhkan

logika berpikir yang handal. Selain itu, dibutuhkan juga pengetahuan-pengetahuan

tertentu untuk dapat mewujudkan keadilan di tengah-tengah masyarakat, yang

salah satunya adalah pengetahuan tentang keadilan gender. Pengetahuan,keadilan

gender bagi para calon professional hukum idealnya dimulai sejak pendidikan di

perguruan tinggi, dimana para mereka mendapatkan pendidikan dasar tentang

hukum

Pentingnya pengetahuan tersebut, terkait dengan kerentanan problem

diskriminasi yang mungkin terjadi di pengadilan yang salah satunya disebabkan

oleh rendahnya kesadaran gender di kalangan professional hukum, seperti hakim

dan pengacara. Hal ini menjadi salah satu hal yang menggerakkan institusi-

institusi pemerhati peradilan dan pegiat gender mengangkat isu ini. KOMNAS

Perempuan, misalnya, telah menerbitkan pedoman-pedoman yang dapat

digunakan oleh hakim dalam menyelesaikan perkara yang melibatkan perempuan,

termasuk di Pengadilan Agama. Pada tahun 2018, Mahkamah Agung Republik

Indonesia bekerjasama dengan MaPPI FHUI dan Australia Indonesia Partnership

for Justice 2 (AIPJ 2) menyusun sebuah buku berjudul “Pedoman Mengadili

Perkara Perempuan Berhadapan dengan Hukum.” Buku ini diperuntukan bagi

hakim dari semua lingkungan peradilan, termasuk Peradilan Agama.1 Selain itu,

INPRES No. 9 Tahun 2000 menyebutkan dalam ayat 6 tentang pedoman

pelaksanaan gender dalam pembangunan nasional salah satunya disebutkan yaitu

1 Hak –Hak Perempuan diakses dalam https://www.slideshare.net/rumahkitab/memastikan-

terpenuhinya-hak-hak-perempuan-pasca-perceraian

2

Jaksa Agung ditunjuk untuk mengarustamakan gender dalam ranah lembaga

pemerintahan.2

Isu pentingnya pendidikan gender bagi hakim pernah diangkat di media

pada kasus hakim Pengadilan Agama Tigaraksa Tangerang yang menolak

menetapkan terjadinya perzinahan dengan hanya bukti dari foto. Advokat dari

LBH Keadilan menilai bahwa penolakan hakim ini terjadi bukan karena

kurangnya kapasitas hakim, tetapi karena minimnya pengetahuan dan sensitivitas

gender di kalangan para hakim. Sehingga, ketua LBH Keadilan, Halimah

Humayrah Tuanaya mendesak Mahkamah Agung untuk memasukan materi

gender dalam pendidikan calon hakim. 3

Selain itu, terkait dengan implementasi hukum Islam, gender selalu menjadi

isu sentral dan menjadi isu perbincangan dalam ranah hukum Islam atau syariat

Islam. Hukum Islam yang universal yang datangnya dari Allah yaitu syariat,

sedangkan ketika masih ada perbedaan yaitu hukum Islam, maka dari itu apabila

terdapat penafsiran berbeda mengenai gender hukum Islam adalah bias gender

maka yang masalah bukanlah ayat dan sunnahnya, tetapi orang yang

mempresentasikannya.4 Dengan begitu, maka keadilan hakim di Pengadilan

Agama, sangat ditentukan oleh bagaimana cara mereka menginterpretasikan

hukum Islam.

Malaysia sebagai Negara dengan mayoritas Muslim, juga menghadapi Isu

yang sama. Situasi ini dibuktikan oleh perbedaan dalam interpretasi

"diskriminasi" berdasarkan dua kasus yaitu kasus Beatrice Fernandez dan

Noorfadilla Saikin yang terjadi di Malaysia Menurut Islam perbedaan jenis

kelamin bukan lah sebuah hal yang bisa membedakan hak. Oleh karena itu,

penerimaan Konvensi CEDAW nampak kepada para pihak, terutama praktisi

2 Inpres no. 9 Tahun 2000

3Pendidikan Gender untuk Calon Hakim diakses dalam

http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt534e4e52c628a/ma-harus-memasukan-pendidikan-gender-

bagi-calon-hakim diakses pada tanggal 24 Desember 2018 4 Asasriwarni, “Gender dalam Perspektif Hukum Islam” Vol.2 No.13

3

hukum untuk secara luas menafsirkan interpretasi "diskriminasi" ini sehingga

tidak ada pengaturan yang mengikat mereka untuk mengikuti keputusan itu.5,

Beatrice Fernandez adalah seorang pramugari, yang mengajukan

permohonan pengunduran diri, karena sedang hamil. Namun ia tetap tidak di

izinkan, kemudian ia mengunggat kasus ini ke Pengadilan Tinggi , dengan

memohon agar diberikan ganti rugi karena kehilangan pekerjaan dan tunjangan

yang berasal darinya, pembayaran gaji dan tunjangan, serta bunga dan biaya

selama ia bekerja. Namun dalam permohonan itu Hakim Tinggi menolak adanya

pembiayaan terhadap pengunduran dirinya sebagai pramugari. Hingga tingkat

banding pun, permohonan itu tetap ditolak. 6

Sama halnya dengan kasus Noorfadilla Saikin, seorang guru sementara yang

mengunggat pemerintah pada tahun 2010. Setelah petugas pendidikan kabupaten

Hulu Langat mencabut pengangkatannya pada tahun 2009 sebagai guru sementara

(GSTT) setelah mengetahui kehamilannya. Pengadilan Tinggi berpendapat bahwa

pencabutan jabatan sebagi guru sementaranya dianggap inkonstitusional.

Kemudian Pengadilan Tinggi memvonis kementerian sebagai terdakwa bersalah. 7

Kasus tersebut menyebabkan dua hasil yang berbeda, berdasarkan fakta

yang sama. Hal tersebut menunjukan bukan karena kompetensi hukumnya yang

kurang, namun pengarustaaman gender di ranh hukum pun belum selesai.

Sehingga tidak semua hakim mampu memiliki senisitifitas gender. Melalui kasus

ini pun, ditemukan bahwa pihak-pihak yang terlibat dalam proses hukum itu

sendiri tidak mematuhi Konvensi CEDAW. Perempuan tidak berarti ditolak

haknya dalam bidang apa pun di Malaysia. Namun keterlibatan perempuan masih

kurang dalam bidang tertentu, seperti politik. Ini mungkin akibat dari budaya

5 Shaharom, “Ratifikasi Cedaw di Malaysia: Kesan Menurut Undang-undang dan

Hukum Syarak.” Jurnal Sharia of Law , 11, 2 ( 2017) h. 210 6 Kasus Beatrice Fernandez “Https://Www.Academia.Edu/28256593/Case_Beatrice_

Fernandez.” Diakses pada tanggal 23 Juli 2019 7 Kasus Noorfadilla Saikin dalam https://www.academia.edu/people/search?utf8=✓

&q=case+Noorfadilla+Saikin+ diakses pada tanggal 23 Juli 2019

4

yang diwujudkan oleh keluarga. Yang mencegah wanita menjadi kompetitif dan

mengekspresikan pendapat mereka dengan keras di depan umum. Hal tersebut

pun nampak stereotif, di mana wanita perlu memprioritaskan pekerjaan rumah

tangga, sementara pria perlu mencari nafkah.8

Dari pemaparan di atas terlihat urgensi dari kesadaran gender bagi para

professional hukum yang berkecimpung di lingkungan peradilan. Namun

demikian, kesadaran tidak bisa serta-merta ditumbuhkan dalam waktu singkat

dengan mengandalkan pedoman-pedoman yang diberikan ketika para hakim dan

pengacara sudah menjalani profesinya. Ada urgensi untuk menanamkan

kesadaran akan keadilan gender melalui pendidikan terutama bagi calon-calon

professional hukum di universitas.

Maka dari itu yang melatar belakangi penulis memilih Fakultas Syariah dan

Hukum sebagai tempat pengarusutamaan gender dari kebijakan hukum yang telah

diatur oleh Negara, karena FSH merupakan gerbang dimana calon Hakim di

Pengadilan Agama harus lulusan Syariah dan Hukum.

Berkaitan dengan hal tersebut maka peneliti akan mengangkat judul

“IMPLEMENTASI KEBIJAKAN HUKUM TENTANG KESETARAAN

GENDER DALAM PENDIDIKAN HUKUM ISLAM (Studi Perbandingan

Program Studi Hukum Keluarga UIN Syarif Hidayatulah Jakarta dan

Jabatan Syariah dan Undang-undang Universiti Malaya)”

B. Identiifkasi Masalah, Pembatasan dan Perumusan Masalah

1. Identifikasi Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah yang telah dijabarkan sebelumnya,

maka identifikasi masalah dalam penelitian adalah sebagai berikut :

a. Mengingat Hukum Islam yang universal yang datangnya dari Allah yaitu

syariat. Ketika masih ada perbedaan dalam hukum Islam, maka dari itu

8 Shaharom, “Ratifikasi Cedaw di Malaysia: Kesan Menurut Undang-Undang dan

Hukum Syarak.” Jurnal Sharia of Law , 11, 2 ( 2017) h. 210

5

masalah bukanlah pada ayat dan sunnahnya, tetapi orang yang

penafsirannya, yang mungkin sekali bias gender9

b. Maka dari itu keadilan gender sangatlah berperan dalam konstruksi

masyarakat. Adapula keadilan gender sangat diperlukan dalam

pembentukan rancangan program pemerintah terutama masalah reformasi

keadilan, dengan berbagai alasan diantaranya mereformasi norma hukum

yang diskriminatif dan meningkatkan perlindungan HAM dan

mengahapuskan kekerasan gender.10

c. Adanya anggapan bahwa ketidakmampuan hakim memberi keadilan

bukan karena kurangnya kapasitas hakim, tetapi karena minimnya

pengetahuan dan sensitivitas gender di kalangan para hakim. Hal ini

membuat ketua LBH Keadilan, Halimah Humayrah Tuanaya mendesak

Mahkamah Agung untuk memasukan materi gender dalam pendidikan

calon hakim. 11

2. Pembatasan Masalah

Agar masalah yang akan peneliti jabarkan tidak terlalu melebar dan

untuk menciptakan kejelasan pada pembahasan, maka peneliti membuat

pembatasan masalah, yakni, implementasi kebijakan hukum tentang

kesetaraan gender pada Program Studi Hukum Keluarga UIN Syarif

Hidayatullah Jakarta dan Jabatan Syariah dan Undang-undang Universiti

Malaya. Hal ini dilakukan dengan melihat bagaimana integrasi isu gender

dalam kurikulum, dan bagaimana perspektif dosen dan mahasiswa terkait isu

ini.

9 Asasriwarni, “Gender dalam Perspektif Hukum Islam “ Vol.2 No.13

10 Perempuan Berhadapan dengan Hukum dalam http://mappifhui.org/wp-

content/uploads/2018/01/Pedoman-Mengadili-Perkara-Perempuan-Berhadapan-dangan-

Hukum-MaPPI-FHUI-2018.pdf diakses pada tanggal 20 Desember 2018 11

Pendidikan Gender untuk Calon Hakim dalam http://www.hukumonline.com/

berita/baca/lt534e4e52c628a/ma-harus-memasukan-pendidikan-gender-bagi-calon-hakim,

diakses pada tanggal 20 Desember 2018

6

Penulis memilih Program Studi Hukum Keluarga Fakultas Syariah dan

Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta dengan dasar

kemudahan akses dan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta juga merupakan

kampus Islam terkemuka dan menjadi role model bagi kampus-kampus Islam

lainnya di Indonesia dan Fakultas Syariah dan Hukum merupakan gerbang

untuk menjadi lulusan sarjana hukum. Sementara Jabatan Syariah dan

Undang-undang dipilih karena Jabatan Syariah dan Undang-undang Akademi

Pengajian Islam University Malaya merupakan kampus Islam yang menjadi

role model bagi kampus-kampus lain di Malaysia. Universiti Malaya pun

merupakan kampus nomor satu di Malaysia.

C. Rumusan Masalah

Masalah utama yang jadi fokus pembahasan dalam penelitian ini terkait

dengan implementasi kebijakan hukum tentang kesetaraan gender dalam

Pendidikan Hukum Islam di Program Studi Hukum Keluarga dan Jabatan Syariah

dan Undang-undang.

Untuk mempertegas arah pembahasan dari masalah utama yang telah

diuraikan di atas, maka dibuat perincian perumusan masalah dalam bentuk

pertanyaan :

1. Bagaimana kebijakan hukum tentang kesetaraan gender di implementasikan di

Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta dan Jabatan

Syariah dan Undang-undang di Akademi Pengakajian Islam Universiti

Malaya?

2. Bagaimana perspektif gender di kalangan mahasiswa dan dosen di kedua

kampus tersebut ?

7

D. Tujuan dan Manfaat Penelitian

1. Tujuan Penelitian

Berdasarkan pokok-pokok permasalahan yang telah disebutkan

diatas,maka tujuan yang hendak dicapai oleh peneliti dalam melakukan

penelitian ini adalah :

a. Untuk mengetahui bagaimana kebijakan hukum tentang gender

diintegrasikan ke dalam kurikulum pendidikan hukum Islam di Program

Studi Hukum Keluarga UIN Syarif Hidayatullah Jakarta dan Jabatan

Syariah dan Undang-undang di Malaysia.

b. Untuk mengetahui bagaimana perspekif dosen dan mahasiswa di Program

Studi Hukum Keluarga UIN Syarif Hidayatullah Jakarta dan Jabatan

Syariah dan Undang-undang di Malaysia

2. Manfaat Penelitian

Adapun manfaat penelitian skripsi ini adalah :

a. Manfaat teoritis

Secara teoritis, penelitian ini dapat memperkaya dalam

pengetahuan hukum Islam mengenai pengimplementasian kebijakan

hukum tentang gender dalam kurikulum Program studi Hukum Keluarga.

Diharapkan penelitian ini dapat memberikan kontribusi dalam dunia

hukum keluarga di Indonesia terlebih di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

b. Manfaat Praktis

Secara praktis, penelitian ini dapat menjadi kerangka acuan dan

landasan bagi peneliti lanjutan, serta diharapkan dapat menjadi masukan

bagi pembaca terutama bagi civitas akademika Program Studi Hukum

Keluarga

8

E. Review Kajian Terdahulu

Ada beberapa studi terkait dengan diskursus gender dalam pendidikan.

Pertama, studi mengenai konsepsi gender yang dilakukan oleh Dariyati

menemukan bahwa terdapat beberapa keberagaman dalam konsep gender dan

pendidikan adil gender terutama untuk para pendidik. Kemudian, ada

kecenderungan bahwa pemahaman konsep gender selalu mengacu pada jenis

kelamin. Sementara konsep “pendidikan adil gender” mengacu pada hal kuantitas

saja atau jumlah saja. Dengan kata lain, pendidikan dianggap adil gender ketika

rasio jumlah partisipasi laki-laki dengan perempuan sama. Meski dengan

program pemerintah berupa pengarusutamaan gender (PUG) di bidang

pendidikan, perlakuan yang di lakukan oleh pendidik malah cenderung bahkan

mengarah kebias gender bukan ke adil gender.12

Penelitian berikutnya dilakukan oleh Taher, Alwin, dkk. Penelitian

mengkaji perspektif mahasiswa terhadap kesadaran gender di Fakultas Ekologi

Manusia, IPB. Dalam penelitian tersebut ditemukan beberapa persepsi mahasiswa

Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat tahun masuk

2016 yang telah mengikuti mata kuliah. Penulis menemukan tingkat persepsi

mahasiswa terhadap kesadaran gender yang sangat signifikan, pada hubungannya

dalam sosialisasi primer hanyalah jenis kelamin sedangkan hal lain seperti agama

suku bangsa, orang tua, tidak memiliki hubungan signifikan terhadap kesadaran

gender. Terlebih lagi dengan sosialisai sekunder yang dialami mahasiswa baik

tempat tinggal, organisasi, IPK, tidak memiliki signifikasi terhadap persepsi

kesadaran gender. 13

Selanjutnya, klasifikasi penelitian sebelumnya mengenai gender dalam

Islam yang diteliti oleh Asasriwarni. Dalam penelitiannya mengemukakan bahwa

gender selalu menjadi isu sentral, dan bukan hal yang lumrah lagi yang selalu

12

Daryati, “Integrasi Perspektif Adil Gender Dalam Pendidikan Di Sekolah Menengah Atas

(Studi Kasus Pada Sekolah Menegah Atas Negeri 6 Surakarta)”. Vol. 2 No. 1 (2012) 13

Taher, Alwin, dkk. “ Persepsi Mahasiswa Terhadap Kesadaran Gender “. Vol. 5. No.2

(2009)

9

menjadi isu perbincangan dalam ranah hukum Islam atau syariat Islam. Hukum

Islam yang universal yang datangnya dari Allah yaitu syariat. Sedangkan fikih itu

merupakan pendapat ulama, yang masih bisa di rekontruksikan ulang sesuai

relevansi zaman.Maka dari itu apabila terdapat penafsiran berbeda mengenai

gender dalam hukum Islam, maka yang masalah bukanlah ayat dan sunnahnya,

tetapi orang yang mempresentasikannya. Maka dari itu penelitian tersebut

berkesimpulan apabila akan ada yang mampu memiliki sudut pandang tentang

gender menurut hukum yang dibuat manusia, itu sangat berkemungkinan besar

dan tidak menjadi masalah yang paling penting tidak keluar dari substansinya

menurut syariat Islam.14

Dari beberapa penelitian di atas yang sudah diteliti dan telah

diklasifikasikan sesuai substansi. Maka dari itu penulis meneliti hal lain dari

keadilan atau kesadaran gender tersebut. Penulis mengangkat judul yang sedikit

berbeda dari penelitian-penelitian sebelumnya yaitu Implementasi kebijakan

hukum tentang kesetaraan gender dalam Pendidikan Hukum Islam di Program

Studi Hukum Keluarga UIN Syarif Hidayatullah Jakarta dan di Jabatan Syariah

dan Undang-undang Universiti Malaya. Dengan bermaksud mengangkat substansi

mengenai integrasi kebijakan hukum tentang gender terhadap kurikulum Hukum

Keluarga dengan implikasi kesadaran gender dari perilaku seluuruh civitas

akademika. Kemudian bagaiamana perspesi mereka mengenai kesadaran gender

dan bagaimana urgensinya untuk profesin sarjana Hukum.

F. Metode Penelitian

Ada beberapa hal terkait metode yang digunakan dalam penulisan ini antara

lain :

1. Pendekatan Penelitian

Dalam penelitian hukum terdapat beberapa pendekatan yang bertujuan

mendapatkan informasi dan berbagai aspek menegenai isu yang akan diteliti.

14

Asasriwarni, gender Dalam Perspektif Hukum Islam Vol.2 No.13

10

Pendekatan yang akan dipakai dalam penelitian ini adalah pendekatan

kualitatif yaitu dengan cara melakukan pendekatan studi kasus di Program

Studi Hukum Keluarga dan Jabatan Syariah dan Undang-undang sumber data

dari wawancara dengan dosen dan mahasiswa.

2. Jenis Penlitian

Metode penelitian adalah salah satu cara untuk memecahkan suatu

masalah dalam suatu penelitian dengan ketelitian dan dapat dipertanggung

jawabkan hasilanya. Menurut Petter Mahmud Marzuki berpendapat, penelitian

hukum adalah proses untuk menemukan suatu aturan dari hukum, prinsip

hukum, maupun doktrin hukum agama untuk menjawab masalah yang

dihadapi. 15

Tipe yang digunakan dalam penelitian ini adalah Empiris yaitu

menganalisis bagaiamana implementasi kebijakan hukum tentang kesetaraan

gender dalam Pendidikan Hukum Islam di Program Studi Hukum Keluarga

dan di Jabatan Syariah dan Undang-undang.

3. Data Penelitian dan Bahan Penelitian

Data penelitian dibagi menjadi:

a. Bahan Primer

Bahan primer dalam penelitian ini dengan menggunakan sumber

utama yaitu berupa, kurikulum, silabus, hasil Focus Grup Discussion

dengan mahasiswa Hukum keluarga dan Jabatan Syariah dan Undang-

undang, serta hasil interview dengan dosen Hukum keluarga dan Jabatan

Syariah dan Undang-undang untuk mengetahui bagaimana materi-materi

tentang gender diajarkan.

b. Bahan Sekunder

Bahan hukum sekunder yaitu bahan pendukung untuk menemukan

jawaban dari masalah pada penelitian ini yaitu Inpres, CEDAW dan Al-

Quran atau sumber hukum islam lainnya

15

Petter Mahmud Marzuki, . Penelitian Hukum. Kencana. Cet. 2. (Jakarta: 2008) h. 35

11

4. Metode Pengumpulan Data

Untuk memproleh data yang relevan dengan permasalahan yang diteliti,

dikaitkan dengan jenis penelitian yang bersifat normative empiris, maka

teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini menggunakan

penelitian studi pustaka dari kebijakan-kebijakan hukum, studi lapangan yakni

upaya memperoleh data dari wawancara dengan dosen Hukum keluarga dan

Jabatan Syariah dan Undang-undang, Focus Grup Discussion dengan

mahasiswa Hukum keluarga dan Jabatan Syariah dan Undang-undang, dan

studi dokumen kurikulum. Kemudian membandingkannya dengan hukum

yang relevan agar peneltiian ini dapat dipakai untuk menjawab suatu

pertanyaan atau untuk memecah suatu masalah.

5. Teknik Pengolalaan dan Analisis data

Penelitian ini menggunakan metode analisis kualitatif. Metode analisis

kualitatif yaitu dengan cara mengambil data dari lapangan kemudian diedit

sesuai yang dibutuhkan dan di bandingkan dengan hukum agar masalah dari

penelitian ini dapat terjawab.

G. Pedoman Penulisan

Pedoman penulisan pada penelitian ini adalah menggunakan kaidah-

kaidah penulisan karya ilmiah dan buku “Pedoman Penulisan Skripsi

Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Tahun 2017’

H. Sistematika Penulisan

Sistematika penulisan skripsi ini terdiri dari lima bab yang masing-masing

terdiri dari sub-bab guna memperjelas cakupan permaslahan yang menjadi objek

penelitian. Urutan masing-masing bab dijadikan sebagai berikut:

Bab I menguraikan yang pertama tentang latar belakang masalah, identifikasi

masalah pembatasan dan perumusan masalah, tujuan penelitian, mamfaat

penelitian, review kajian terdahulu, metode penelitian dan yang terakhir tentang

12

sistematika penulisan. Dengan adanya pembahasan tersebut maka dapat diketahui

mengenai gambaran menyeluruh dari substansi yang akan dipaparkan dalam

penelitian ini. Selanjutnya yaitu bab II, penulis akan menguraikan mengenai

kebijakan hukum yang berperspektif gender, hal tentang diskursus gender dalam

Islam dan Pendidikan Hukum. Dimana bab ini akan berisi mengenai beberapa

pembahasan yaitu gender dan Islam , gender dalam al-Quran menurut pespektif

pemikir islam, urgensi pengarusutamaan gender dalam pendidikan. Pembahasan

akan dilanjutkan oleh penulis pada bab III yaitu mengenai gambaran umum

Program Studi Hukum Keluarga UIN Syarif Hidayatullah Jakarta dan Jabatan

Syariah dan Undang-undang Universiti Malaya. Selanjutnya pada bab IV, penulis

akan menganalisis hasil dari penelitian, memaparkan penemuan-penemuan

tentang implementasi kebijakan hukum tentang gender ketika diturunkan pada

regulasi universitas dan masuk kedalam kurikulum Program Studi Hukum

Keluarga dan Jabatan Syariah dan Undang-undang serta membahas perspektif

dosen dan mahasiswa antara kedua kampus tersebut. Yang terakhir pada bab V

yaitu penutup, berisi tentang kesimpulan dari pembahasan tentang pokok

permasalahan dan saran.

13

BAB II

DISKURSUS GENDER DALAM ISLAM DAN PENDIDIKAN HUKUM

Bab ini akan menyajikan diskusi literatur-literatur terkait dengan kebijakan

hukum yang berperspektif gender, diskursus gender dalam Islam, pentingnya

pengarusutamaan gender dalam pendidikan secara umum, pendidikan hukum, dan

pendidikan hukum Islam. Diskusi tersebut akan membantu menjelaskan perlunya

pendidikan hukum Islam, yang diselenggarakan oleh Fakultas Syariah dan Hukum

dan Jabatan Syariah dan Undang-undang, menimbang pengarustamaan gender dalam

konten pendidikan.

A. Kebijakan Hukum Berperspektif Gender

Indonesia merupakan Negara hukum, maka dari itu segala sesuatu tidak akan

terlepas dari kebijakan hukum. Dengan demikian perspektif gender harus masuk

ke dalam beberapa regulasi kebijakan Negara. Jika melihat regulasi yang

berdasarkan pada Undang-undang Dasar 1945 pasal 27 menyatakan bahwa

perempuan dan laki-laki memiliki kedudukan yang sama dalam bidang hukum dan

pemerintah. Hal tersebut tercermin bahwa, tidak ada pembedaan antara laki-laki

dan perempuan berdasarkan gender. Ketika laki-laki dan perempuan berhadapan

dengan hukum, terlepas dari menjadi pelaku maupun korban. Begitupun dalam

ranah pemerintahan perempuan berhak menempati jabatan berdasarkan

kompetensi yang ia miliki dan menerima regulasi yang menguntungkan pihak

perempuan dan laki-laki. Sehingga tidak menyebabkan terjadinya diskriminasi

perempuan. 1

Namun tidak terlepas dari itu, banyak tantangan terkait undang-undang

nasional dan lokal yang harus diperbaiki ketika masih adanya kesan bias gender.

Sebagaimana Keputusan MPR No. IV/MPR/1999. Atas anjuran organisasi

masyarakat sipil dan KPPPA, beberapa Undang-undang (UU) di bawah ini sudah

peka gender dan mengedepankan perlunya perlindungan hak-hak perempuan:

1 Undang-undang Dasar 1945 pasal 27

14

Yang pertama, UU Pertumbuhan Penduduk dan Pembangunan Keluarga No.

52/2009, yang secara khusus mengharuskan adanya data kependudukan yang

terpilah berdasar jenis kelamin dan kemiskinan yang membebani kelompok

penduduk dengan kepala rumah-tangga perempuan harus dihapuskan.

Yang kedua, UU Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah-tangga No

23/2004, yang memperkuat upaya penghapusan kekerasan dalam rumah-tangga

dan mengharuskan tersedianya pelayanan bagi para korban.2

Sama halnya yang terdapat dalam Undang-undang Nomor 7 Tahun 1984

tentang pengesahan konvensi mengenai penghapusan segala bentuk diskiriminasi

terhadap perempuan (Convention on The Elimination of All Forms of

Discrimination Against Women). Deklarasi tersebut membahas berdasarkan

persamaan hak laki-laki dan perempuan. Maka dari itu CEDAW menyusun

rancangan konvensi tentang pengahapusan segala bentuk diskriminasi perempuan.3

Begitupun yang terdapat dalam Undang-undang Republik Indonesia Nomor

39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, Pasal 48 bahwa perempuan berhak

untuk memperoleh pendidikan dan pengajaran dalam pekerjaan, jabatan, dan

profesi sesuai dengan persyaratan yang telah ditentukan. Dari pasal tersebut

menunjukan bahwa laki-laki dan perempuan berhak mendapatkan pendidikan yang

sama, selain itu berhak pula mendapatkan profesi sesuai dengan keahlian yang

dimiliki. Pendidikan pun harus merata ketika laki-laki diwajibkan untuk sekolah

tinggi, maka tidak ada lagi pepatah bahwa perempuan hanya “di sumur, di dapur

dan di kasur”. Hal tersebut merupakan pembunuhan karakter, di mana perempuan

merasa terkekang oleh budaya yang mengekang kemerdekaan berpikir dan

berbicara didepan umum. Ketika hal itu selalu menjadi paradigm etika hal itu

selalu menjadi paradigm yang terus tumbuh ditengah masyarakat. 4

2 Bappenas “Gender Analysis in Development”, Kementrian Perencanaan Pembangunan

Nasional, Jakarta: 2017 3 Undang-undang Nomor 7 Tahun 1984

4 Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999

15

Diatur pula pengintegrasian gender dalam bidang pekerjaan. Ketika melihat

regulasi berdasarkan Undang-undang ketenagakerjaan No. 13 Tahun 2003 pasal 5

diamanatkan untuk memberi peluang dan perlakuan dalam pekerjaan. Hal ini

menegaskan kembali bahwa tidak ada perbedaan atas dasar jenis kelamin dalam

suatu pekerjaan. Tidak ada lagi penempatan perempuan harus selalu dibawah

pimpinan, atau bahkan diperlakukan seperti objek dalam pekerjaan. Namun

keduanya bisa dibagi sesuai porsi dan kualifikasi kemampuan antara laki-laki dan

perempuan masing-masing. 5

Pedoman untuk pelaksanaan pengarusutamaan gender di tingkat provinsi dan

kabupaten. UUD Negara Indonesia dan ratifikasi berbagai konvensi internasional

menunjukkan komitmen negara terhadap kesetaraan gender dan menyebabkan

dikeluarkannya berbagai undang-undang lokal yang efektif.6

Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia nomor 3 tahun 2017

tentang pedoman mengadili perkara perempuan berhadapan dengan hukum (c )

bahwa Indonesia sebagai negara pihak dalam Konvensi Penghapusan Segala

Bentuk Diskriminasi Terhadap Perempuan (Convention on the Elimination of All

Forms of Discrimination Against Women / CEDAW) mengakui kewajiban negara

untuk memastikan bahwa perempuan memiliki akses terhadap keadilan dan bebas

dari diskriminasi dalam sistem peradilan.7

Dijelaskan kembali dalam PERMA No. 3 Tahun 2017 pasal 6, ditekankan

pula bahwa Hakim dalam menangani kasus perkara perempuan berhadapan

dengan hukum harus selalu mempertimbangkan, melakukan penafsiran kembali

dan menggali nilai-nilai hukum tentang kesetaraan gender dalam perbuatan tertulis

maupun tidak tertulis. 8

5 Undang-undang ketenagakerjaan No. 13 Tahun 2003 pasal 5

6 Ulber silalahi, Kesetaraan Gender dalam Administrasi Publik dalam Promosi Jabatan di

Pemerintah Kota Bandung. ( Bandung : Lppm Unpar Bandung, 2016 ) h. 9 7 PERMA No. 3 Tahun 2017 butir (c)

8 PERMA No. 3 Tahun 2017 pasal 6

16

Sebagaimana diketahui bahwa pengarusutamaan gender merupakan suatu

strategi yang dibangun, untuk mengintegrasikan perspektif gender dalam proses

pembangunan nasional. Pengarusutamaan gender (PUG) adalah salah satu dari tiga

strategi nasional dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional

(RPJMN) Tahun 2010-1014 pada buku II bab 1. Sebagaimana hal tersebut terdapat

dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM 20042009) berisi 38

program responsif gender, meningkat dari 19 program dalam RPJM 2000-2004.

Dua puluh Kementerian sektoral sudah membentuk kelompok kerja dan gender

focal point untuk menerapkan pengarusutamaan gender dalam kebijakan dan

programnya. Strategi Nasional Penanggulangan Kemiskinan (SNPK) tahun 2005

secara eksplisit memasukkan gender sebagai elemen dalam pengentasan

kemiskinan dan memastikan adanya komitmen untuk mengupayakan kesetaraan

gender. Strategi ini dilihat sebagai „uji kasus terhadap kemampuan Pemerintah

Indonesia mewujudkan janjinya untuk mengarus utamakan gender di berbagai

sektor pemerintahan.9

Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 84 Tahun 2008 tentang

Pedoman Pelaksanaan Pengarusutamaan Gender Bidang Pendidikan. Terdapat

dalam Pasal 1 yang berbunyi, Setiap satuan unit kerja bidang pendidikan yang

melakukan perencanaan, pelaksanaan, pemantauan dan evaluasi dari seluruh

kebijakan, dan program pembangunan bidang pendidikan agar mengintegrasikan

gender di dalamnya. Peraturan Menteri tersebut merupakan terusan dari INPRES

NO.9 Tahun 2000 yang dilampirkan dalam lampirannya. 10

Jika melihat kepada Instruksi Presiden Nomor 9 Tahun 2000 tentang

Pengarusutamaan Gender dalam Pembangunan Nasional, dalam intruksi tersebut

menyebutkan bahwa intruksi ditunjukan salah satunya adalah kepada Jaksa Agung

Republik Indonesia. Hal tersebut menunjukan bahwa dalam pembangunan

9 Petunjuk Pelaksanaan Perencanaan dan Penganggaran yang Responsif Gender untuk Pemerintah

Daerah 10

Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 84 Tahun 2008

17

nasional, pengarusutamaan gender ditekankan kepada beberapa profesi salah

satunya seorang Jaksa, karena seorang Jaksa dan pakar hukum lainnya akan rentan

mengalami penyelesaian kasus-kasus hukum yang rentan terhadap isu gender.11

Adapun pada akhir-akhir ini Kementerian Agama telah melakukan MOU

dengan Kementerian Perlindngan Perempuan dan Anak. Yang dihadiri oleh Dirjen

Bimas Islam, Direktur Bina KUA dan Keluarga Sakinah, dan Konsultan Alissa

Wahid. Rapat ini terkait dengan pembahasan rancangan kesepakatan bersama

antara Kementerian PPPA dan Kemenag, tentang Penguatan Keluarga

Berkesetaraan Gender, Peduli Hak Anak dan Sakinah melalui Pusat Pembelajaran

Keluarga (Puspaga) dan Kantor Urusan Agama (KUA). Rapat itu juga dihadiri

oleh perwakilan Deputi Bidang Perlindungan Perempuan Kemen PPPA, pejabat

pada Biro Hukum Kementerian Agama, serta para pejabat eselon 3 dan 4 di

lingkungan Direktorat Bina KUA dan Keluarga Sakinah. Dengan MOU ini

bertujuan untuk menjembatani antara Kementerian PPPA dan Kementerian Agama

memperkuat muatan-muatan tentang keluarga yang berkesetaraan gender. Muatan

tersebut berdasarkan arus zaman dan berpedoman pada Undang-undang.12

Berdasarkan pemaparan diatas terkait dengan kebijakan-kebijakan Negara

yang berperspektif gender. Maka dari itu yang perlu dilihat adalah bagaiamana

kebijakan tersebut diturunkan kepada ranah instansi pendidikan, sebagai salah satu

lembaga pemerintah yang harus melaksanakan pengarusutamaan gender dalam

regulasinya juga. Salah satunya dengan pembentukan Pusat Studi Wanita sebagai

pengimplementasian kebijakan hukum dalam pengarusutamaan gender pada ranah

Universitas.

Sebagaimana nampak peningkatan terhadap PSW (Pusat Studi Wanita) yang

terdapat dalam Universitas. Terhitung peningkatan tersebut berawal dari berjumlah

70 menjadi 110 di Universitas negeri dan swasta yang tersebar di 30 provinsi.

11

INPRES Nomor 9 Tahun 2000 Tentang Pengarusutamaan Gender 12

Kemenag dan Kemen PPPA Jajaki MOU Penguatan Keluarga diakses dalam

https://bimasislam.kemenag.go.id/ post/berita/kemenag-dan-kemen-pppa-jajaki-mou-penguatan-

keluarga

18

PSW bertugas memberikan kebijakan yang peka terhadap gender.13

Hal ini

menunjukkan adanya peningkatan kesadaran terkait perlu adanya

pengarusutamaan gender di dalam ranah Universitas

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta merupakan instansi pendidikan dibawah

naungan kementerian Agama, dimana sebagai salah satu wadah dalam upaya

pengarusutamaan gender yang memiliki Pusat Studi Wanita (PSW). Namun saat

ini telah berubah nama menjadi Pusat Studi Gender dan Anak (PSGA). Dalam

mencapai tujuan gender mainstreaming, PSGA berharap apabila setiap kegiatan-

kegiatan di UIN Jakarta memiliki responsive gender. Maka dari itu setiap rencana-

rencana yang dianggarkan oleh PSGA, selalu berkeadilan antara laki-laki dan

perempuan. Sehingga keduanya bisa mendapatkan akses yang sama. Ervania

Zuhriah, selaku trainer perencanaan dan pengaggaran responsif gender dari UIN

Malang dalam acara sosialisasi dan pelatihan mengungkapkan, program ini diawali

pada tahun 2015 dalam proses perencanaan dan penganggaran responsif gender di

perguruan tinggi, khususnya di Kementerian Agama. Hal tersebut dikarenakan

ketika Erviana melakukan penelurusan tanpa analisis, hampir semua perguruan

tinggi yang berbasis Islam negeri (PTKIN) , masih membuatkan rencana yang

bersifat netral gender.14

Hingga saat ini PSGA sudah menggelar kelas pada angkatan ke-lima tentang

gender dan anak pada tanggal 7 Agustus 2018. Ketua PSGA 2018, Rahmi berharap

bahwa kelas seperti ini akan menjadi role model dilingkungan kampus maupun

diluar atau seluruh Indonesia. 15

Hal tersebut menunjukan bahwa UIN Syarif Hidayatullah Jakarta sudah

mencerminkan bahwa adanya pengarusutamaan gender dalam ranah pendidikan.

13

Petunjuk Pelaksanaan Perencanaan dan Penganggaran yang Responsif Gender untuk

Pemerintah Daerah 14

PSGA Ingin Kegiatan Lebih Responsif Gender dalam https://www.uinjkt.ac.id/id/psga-ingin-

seluruh-kegiatan-lebih-responsif-gender/ diakses pada tanggal 7 Agustus 2019. 15

PSGA Buka Kelas Gender Angkatan V dalam https://www.uinjkt.ac.id/id/psga-buka-kelas-

gender-dan-anak-angkatan-v/ diakses pada tanggal 7 Agustus 2019.

19

Hal tersebutpun diturunkan kepada ranah fakultas yang memiliki program studi

yang mempunyai kurikulum berbasis gender. Program Studi Hukum Keluarga

memiliki mata kuliah Hukum Perlindungan Perempuan dan Anak. Di mana hal itu

menjadi terusan atas pengarusutamaan gender dari tingkat kebijakan Negara,

kemudian ke ranah universitas dan berujung pada kurikulum yang harus diajarkan

kepada Mahasiswa. Yang akan menjadi cikal bakal penerus pemegang regulasi,

sehingga dibutuhkannya sensitifitas gender sejak dini. Terlebih untuk Fakultas

Syariah dan Hukum, Mahasiswa nya akan diproyeksikan sebagai pakar-pakar

hukum, yang harus lebih memahami regulasi Negara dalam bidang hukum yang

berperspektif gender.

Sedangkan di Malaysia, gender hanya terdapat dalam Konvensi CEDAW,

dimana segala hak kebebasan di batasi oleh tiga unsur diantaranya, prinsip

kesetaraan substantif, prinsip tidak mendiskriminasi dan prinsip kewajiban negara

yang meratifikasikannya. Prinsip yang pertama itu mempunyai tujuan bahwa

adanya persamaan hak antara laki-laki dan perempuan. Sedangkan suatu

kebenaran dari diskriminasi adalah ketika perempuan tidak menuntut kesetaraan.

Oleh karenanya perempuan sudah mendapatkan pelayanan yang berbeda

dibanding laki-laki. Seperti perempuan tidak dibolehkan bekerja pada malam hari

untuk mencegah sesuatu yang berbahaya yang tidak diinginkan.16

Lain halnya di Malaysia terkait dengan ratifikasi CEDAW, malah terjadi

pembantahan lewat unjuk rasa 812 di ibu kota Kuala Lumpur. Masyarakat

mendukung langkah pemerinta Negeri Jiran menolak menyetujui dan meratifikasi

Konfensi Dunia untuk penghapusan segala bentuk diskriminasi ras yang diajukan

oleh PBB. Aksi ini diikuti oleh kurang lebih lima puluh ribu orang lebih yang

dihadiri pula oleh mantan Perdana Menteri Nazib Tun Razak. Mereka merasa

bahwa konfensi tersebut memberikan luang lebih kepada etnis China dan India,

seperti yang terjadi pada Tahun 1969 di Malaysia yang membuat 200 orang tewas,

16

Fadhila Shaharoom, “Ratification of CEDAW in Malaysia: The Effect from Perspective of

Law and Ḥukm Syara” Journal of Shariah Law Research vol. 2 (2) 2017 h. 220

20

sehingga membuat pemerintah membuat peraturan diskriminatif. Walaupun

sekarang yang menjabat sebagai Perdana Menteri adalah Mahathir Muhammad

sebagai etnis minoritas, maka dari itu ia tidak banyak leluasa dalam wewenang,

karena masih membutuhkan etnis Melayu yang bersifat mayoritas. Kemudian

selalu ingin di prioritaskan dari segi hak, meskipun etnis minoritas merasakan

ketidak adilan. 17

Melihat dari pemaparan diatas bahwa nampak hukum masih bersifat kaku

dan tertutup. Sebaliknya ketika di Indonesia, pemerintah berhak dan terbuka dalam

meratifikasi CEDAW sekaligus Konfensi PBB, namun di Malaysia sangat

ditentang keras oleh masyarakat sekaligus dukungan Mantan Perdana Menteri.

Mereka bahkan mengusungkan untuk peraturan yang bersifat diskriminatif yang

tetap di prioritaskan kepada etnis Melayu. Regulasi yang berperspektif gender pun,

hanya sebatas terdapat dalam kebijakan Negara yang diajukan oleh PBB. Hal

tersebut tidak menurun kepada regulasi Universiti untuk pengarusutamaan gender,

karena tidak adanya Pusat Studi yang khusus tentang gender, namun hanya

terdapat dalam beberapa fakulti dan jabatan.

B. Diskursus Gender dalam Islam Pespektif Pemikir Islam

Dalam Islam, pada umumnya, dan dalam peradaban Melayu, khususnya,

kata gender masih belum ditemukan world-viewnya. Karena gender bukan

hanya antara hubungan laki-laki dan perempuan. Secara etimologinya, gender

merupakan istilah bahasa Inggris yang dipinjam dari kosa kata lama Perancis

gendre genre yang berarti kind, genus, style. Yang mana sumber ambilannya dari

bahasa Latin gener yang berarti race, kind. Adapun di Malaysia, gender masih

masuk kedalam daftar leksikon oleh Dewan Bahasa dan Pustaka pada 2005.

Namun apabila pengertiannya gender adalah perbedaan jenis Kelamin. Sedangkan

17

Demo Tolak Ratifikasi PBB dalam https://www.cnnindonesia.com/internasional/

20181208164446-106-352115/najib-razak-hadir-di-demo-812-tolak-ratifikasi-konvensi-pbb diakses

pada tanggal 07 Agustus 2019

21

dalam leksikon Indonesia diterjemahkan sebagai Jender. Namun dalam pola

ajaran Islam, gender lebih kepada hubungan timbal balik atau interaksi antara

keduanya.18

Sedangkan dalam Al Quran, perbedaan antara laki-laki dan perempuan

adalah suatu ketetapan dan kepastian karena perbedaan biologi sudah menjadi

qodrat dari Allah SWT. Selain menciptakan perbedan dari segi biologis Allah

SWT juga menciptakan keistimewaan sebagaimana terdapat dalam Al Quran :

Artinya :”Dan janganlah kamu iri hati terhadap apa yang

dikaruniakan Allah kepada sebagian kamu lebih banyak dari sebagian yang

lain. (Karena) bagi orang laki-laki ada bagian dari pada apa yang mereka

usahakan, dan bagi para perempuan (pun) ada bahagian dari apa yang

mereka usahakan, dan mohonlah kepada Allah sebagian dari karunia-Nya.

Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui segala sesuatu”. (An- Nisa : 32)

Dari ayat tersebut dapat dipahami bahwa laki-laki daan perempuan

mempunyai tugas masing-masing yang harus di emban. Namun mengenai hak,

keduanya mempunyai hak yang sama. Oleh karena itu, keduanya mempunyai hak

sama dalam proses intelektual. Adapun dalam Al Quran dijelaskan perbedaan

laki-laki dan perempuan selain dari segi hak namun dari segi ketakwaan. Al

Quran pun diturunkan untuk mengikis perbedaan perempuan dari segi

kemanusiaan. Sedangkan dalam perihal perempuan harus melakukan hal yang

domestik saja, dan adanya diskriminasi terhadap perempuan tidak ada dalam

konsep keadilan dan keseteraan dalam Islam. 19

18

Ramli Mohd Anuar “Analisis Gender Dalam Hukum Islam.” Jurnal Fiqh, I, 9, (2012). H. 36 19

Wartini, " Feminis M.Quraish Shihab: Telaah Ayat-Ayat Gender Dalam Tafsir Al-Misbah.”

Palastren, Vi, 2, ( Desember : 2013) , H.474

22

عن أيب بكرة، قال النيب صلى اهلل عليه وسلم: لن يفلح قوم ولوا أمرهم امرأةDari Abu Bakrah radhiyallahu „anhu, telah berkata Nabi Shallallahu

„alaihi wa sallam: “Tidak akan beruntung suatu kaum (bangsa) apabila

menyerahkan urusan (kepimpinan) nya kepada seorang wanita.” (al-

Bukhari, 2009: 293).20

Hadits tersebut menunjukan bahwa bukan seorang perempuan tidak mampu

memimpin, namun ada beberapa ibadah yang tidak bisa dipimpin oleh seorang

perempuan. Hal itu disebabkan karena perempuan memiliki kelemahan dalam

ibadah, yaitu terkadang mereka haid,dsb. Jadi bukan kepemimpinan atas gender

atau peran sebagai laki-laki atau perempuan, tapi atas jenis kelamin dari segi

biologis dan kodrati.

Terkait dengan diskursus gender, surat An-Nisa ayat 34 yang sering

menjadi kontroversial. Sebenarnya hal ini berangkat dari dasar penafsiran yang

harus dipahami secara sosiologi dan kontekstual. Ketika meurujuk kepada

persoalan partikular, maka posisi perempuan hanya ditempatkan sebagai bagian

dari seorang laki-laki. Hal tersebut sebenarnya muncul dalam suatu peradaban

patriaki. Penempatan tersebut sebenarnya tidak akan memunculkan masalah

sepanjang memperhatikan prinsip kemaslahatan. Karena itu, ayat tersebut pun

menurut ilmu ushul fiqih datang sebagai pemberitahuan saja yang tidak

mengindikasikan suatu ajaran. Asbabun nuzul ayat tersebut juga memperkuat

paradigma bahwasanya ayat tersebut turun untuk meminimalisir kekerasan dan

penolakan budaya patriaki pada masyarakat saat itu terhadap keputusan Nabi

Muhammad Saw. Ketika itu, Nabi SAW memberi kesempatan kepada Habibah

binti Zaid yang dipukul suaminya dan ingin membalas untuk memukulnya

kembali. Dengan demikian, penafisiran ayat tersebut yang menyatakan bahwa

seorang laki-laki yang hanya berhak memimpin dan seorang perempuan tidak

20

Abi Abdillah Muhammad ibn Ismail ibn Ibrahim an-nukhai, Kitab Hadis Shahih Bukhari, 5172

Cet. Ibnu Jauzy

23

mempunyai hak atas kepemimpinan, sesungguhnya merupakan interpretasi yang

sarat dengan muatan sosio-politik.21

Sebenarnya. Al Quran diturunkan untuk menjelaskan perbedaan-perbedaan

dari segi ketakwaan seseorang kepada Allah SWT. Maka dari itu, turunnya Al

Quran untuk membebaskan manusia dari diskriminasi warna kulit, ras, etnis dan

primordial-primordial lainnya. Sedangkan ironisnya, dewasa kini agama sering

dituduh sebagai sumber dari adanya ketidakadilan gender. Sebaliknya perbedaan

tersebut sangat diakui oleh Al Quran, dengan maksud tidak menguntungkan satu

belah pihak saja. Melainkan untuk mendukung keharmonisan antara sesama

manusia dengan penuh kerukunan.22

Karya lain dalam Islam yaitu fikih, terdapat banyak sekali rumusan karya

pikiran intelektual dalam menangani kasus-kasus saat ini. Namun, tidak bisa

dipungkiri bahwa fikih lahir dari sejarah. Sehingga, untuk menghadapi masalah-

masalah saat ini pun tidak bisa ditarik dari penanganan masalah di masa lampau.

Dalam pandangan Husein Muhammad nampak bahwa cara berpikir fikih masih

tetap mempertahankan teks-teks kitab seperti apa adanya. Hal itu masih sangat

lumrah di kebanyakan masyarakat Muslim dari dulu hingga hari ini. Masih ada

pula anggapan bahwasanya penolakan terhadap teks fiqih dan upaya untuk

membongkar warisan intelektual klasik merupakan suatu kesalahan akar tradisi.

Secara tidak sadar hal ini merupakan hegemoni dalam perspektif pemikiran

ilmiah.23

Namun, ketika Al Quran dijadikan sebagai landasan berpikir di atas

pemikiran fiqih, maka tidak akan ada pengkritikan terhadap seseorang yang

berusaha mengembangkan pemikiran para ulama fiqih. dalam artian, ketika

pemikiran tersebut tidak keluar dari konteks. Sebagaimana Imam Ghazali

21

K.H Husein Muhammad, Fikih Perempuan Refleksi Kiai Atastafsir Agama Dan Gender

(Yogyakarta : Ircisod, 2019), H.72-73 22

Suhra, “Kesetaraan Gender dalam Perspektif Al-Qur‟an Dan Implikasinya Terhadap Hukum

Islam.” Jurnal Al-Ulum, Xiii, 2, ( Desember: 2013), H.27 23

K.H Husein Muhammad, Fikih Perempuan Refleksi Kiai Atastafsir Agama Dan Gender

(Yogyakarta : Ircisod, 2019), Hal.269-270

24

menggambarkan perhatian agama Islam terhadap hak-hak asasi manusia terdapat

dalam Maqoshidu Syariah. Hal tersebut menunjukan bahwa Islam bersifat

humanisme universal. Agama selalu hadir dalam bentuk keadilan, tidak

membedakan jenis kelamin, ras, agama, gender, etnis dan lain sebagainya. 24

Seperti halnya dalam tatanan teologis, menentukan kesetaraan laki-laki dan

perempuan di hadapan Allah menjadi dasar untuk menghilangkan bentuk

diskriminasi dan subordinasi yang banyak ditunjukan kepada perempuan. Karena

pada hakikatnya, keadilan adalah menempatkan segala sesuatu secara proposional

sesuai haknya. Bagi pemerhati gender, keadilan terhadap perempuan harus dalam

segala hal. Misalnya, menurut Musdah Mulia, merujuk kepada tauhid, Islam

adalah sebuah acuan dalam berprikemanusiaan dan berketuhanan; dan

bahwasanya yang berhak di agungkan, disembah, ditaati dan dipatuhi hanya Allah

SWT.25

Dengan demikian, Islam sangat menekankan pengajaran tentang kehidupan

yang adil gender secara normatif-universal. Walaupun sampai hari ini masih

dinilai banyak ketidak adilan gender. Pada kenyataannya, itu hanya mengukur

Islam secara praktis-temporal. Sama halnya kelima agama lain pun masih

memiliki problema penafsiran yang bias gender. Dalam hal ini, nampaknya semua

agama belum menemukan jalan keluar dari bingkai budaya yang patriarkhal yang

merupakan arus utama yang mampu memengaruhi pemahaman agama. 26

Feminisme di Kalangan Muslim ketika bercermin kepada sejarah, wacana

gender mulai masuk pada isu keagamaan pada era 90an, walaupun sebenarnya

wacana gender sudah mulai dikembangkan di Indonesia pada era 80an. Adapun

fakta membuktikan, di beberapa negara Muslim, perempuan mengalami

keterasingan. Di banyak kawasan sub Sahara Afrika, perempuan mendapat

24

Ibid, H.272-274 25

Ainiyah, Keadilan Gender Dalam Islam. ( Jawa Timur : Wisma Kali Metro, 2017) , Jilid 2, H.

148-152 26

Pusat Studi Islam, Bersikap Adil Jender “Manifesto Keberagaman Masyarakat Jogja.” (

Yogyakarta: Psi, 2009), H. 90-92

25

wewenang mengelola tanah harus berdasarkan kepada suaminya melalui jalur

pernikahan. Maka dari itu hak tersebut sering kali hilang ketika suami mengalami

kematian atau perceraian. Adapula di Asia Selatan, yang mayoritas Muslim, hak

berpendidikan atau sekolah pun setengahnya hanya dipergunakan oleh laki-laki.

Begitupun dengan jumalah anak perempuan hanya 2/3 dari anak laki-laki yang

mendaftar sekolah. Bercermin kepada fakta-fakta tersebut menjadikan suatu

tantangan besar untuk kalangan masyarakat dalam memahami peran gender

terutama ketika dihadapkan dengan pemikiran-pemikiran keagamaan. Sehingga

melahirkan gerakan-gerakan feminisme yang mempunyai misi memperjuangkan

keadilan gender.27

Sejak hampir satu abad silam, banyak sekali perempuan khusunya

perempuan Muslim yang merasakan ketimpangan gender. Maka dari itu,

perjuangan menciptakan keadilan yang memunculkan adanya gerakan-gerakan

feminisme Islam. Pada hakikatnya tidak ada perbedaan antara gerakan feminisme

Islam dan gerakan feminisme barat, namun yang lebih dominannya gerakan

feminisme Islam berlandaskan pada teks-teks keagamaan. Feminisme Islam ini

dikenal sejak abad 90an, yang berkembang di negara-negara Muslim dan dua

diantaranya adalah Indonesia dan Malaysia. Kekhasan dari feminisme Islam

adalah menelaah sumber-sumber yang ada pada ajaran Islam dengan mencari tau

penyebab terjadinya dominasi laki-laki yang terdapat dalam Al Quran dan Hadits.

Melalui perspektif feminis, berbagai pengetahuan normatif yang bersifat bias

gender dikontruksikan kembali dengan semangat Islam yang berideologikan pada

kebebasan intimidasi terhadap perempuan berlandaskan kepada harkat manusia. 28

Dengan semangat feminisme, munculah kajian-kajian mengenai tafsir Al

Quran mengenai gender yang dilakukan oleh intelektual Muslim. Munculnya

gagasan tersebut berdasarkan pada teologi feminis yang mendorong agar

27

Muqoyyidin, “Wacana Kesetaraan Gender": Pemikiran Islam Kontemporer Tentang Gerakan

Feminisme Islam.” Jurnal Al-Umm, Xiii, 2, (Desember 2013) , Hl.48 28

Ibid, H. 256

26

terjadinya relevansi antara narasi-narasi besar wacana keislaman terhadap isu

gender yang terjadi masa kini. Pada tujuannya, feminisme Muslim hanya

mengagas dua poin besar yaitu: pertama, ketidakadilan gender yang ada pada

pemahaman masyarakat Muslim pada umumnya bukanlah berakar dari teori Islam

yang ada, namun berdasarkan pada pemahaman bias laki-laki yang kemudian

mengkristalkan menjadi keyakinan umat Muslim saat ini. Yang kedua adalah

perlu adanya proses pengkajian kembali terhadap sumber ajaran-ajaran Islam

yang bertolak kepada prinsip dasar ajaran yaitu keadilan dan kesetaraan antara

manusia. Adapun dua tokoh feminisme Muslim yang terkenal atas gagasannya

yaitu Amina Wadud yang mampu menonjolkan semangat egilatarianisme. Ia

membantah bahwa matriakisme adalah alternatif bagi patriakisme yang selama ini

dituding sebagai penyebab subordinasi perempuan. Sedangkan selain Amina, ada

juga yang bernama Fatima Mernisi yang mengganggap bahwa bias gender tidak

lebih lahir dari Muslim patriarki yang harus diadakannya “pembacaan baru“

terhadap sumber-sumber Islam melalui hermeneutika sehingga mampu

menghadirkan Islam Risalah.29

Sejalan dengan itu, saat ini masyarakat masih ramai membicarakan

bahwasanya perempuan mesti terbebas dari kungkungan adat istiadat dan tradisi

yang menjeratnya dari perkembangan potensi. Pada kenyataanya

ketidakberdayaan perempuan adalah dari kebodohannya, karenanya perempuan

harus mengembangkan dirinya tidak lagi karena orang lain, namun harus bisa

berdiri tegak dengan sendirinya. Seperti tokoh-tokoh perempuan yang telah

disebutkan sebelumnya, mereka menggagas gender sesuai dengan pemikirannya.

Sama halnya dengan Kartini yang sampai hari ini menajdi ibu emansipasi

perempuan di Indonesia. Dengan demikian para aktivis perempuan, sampai saat

ini masih membicarakan wacana yang sama ketika perempuan menjadi objek.

29

Ibid, H. 270

27

Seperti kasus pelecehan seksual, kesamaan gajih buruh antara perempuan dan

laki-laki dan ketika perempuan dipercayai untuk menduduki jabatan.30

Adapun pembelaan terkait konteks tersebut dalam hukum dikenal dengan

Jurisprudensi Feminis, yaitu sebuah sistem peradilan yang membela perempuan.

Yang memiliki tujuan untuk mencapai keadilan melalui teori hukum yang

berperspektif perempuan dalam hukum positif sehingga akan tercapainya

emansipasi perempuan melalui jalur hukum. Faminist Jurisprudence lahir pada

tahun 1960, yaitu filsafat hukum berdasarkan pada segi politik, ekonomi, dan

persamaan jenis kelamin. Hal ini ternyata mampu mempengaruhi pola pikir

masyarakat tentang kekerasan dalam rumah tangga, ketidaksamaan perlakuan

dalam dunia kerja akibat jenis kelamin yang berbeda. Sebagaiaman diketahui

diatas bahwasanya munculnya feminist jurisprudence berawal dari pemikiran

hubungan antara perempuan dan hukum. Hubungan yang dimaksud adalah yang

berdasarkan pada norma, pengalaman dan kekuasaan laki-laki dan mengabaikan

perempuan. Karena kenyataan yang nampak adalah hukum dipromosikan oleh

laki-laki dan bertujuan memperkokoh hubungan sosial yang bersifat patriaki. 31

Maka dari itu untuk mencapai perubahan dan perbaikan mengenai hukum

dan perempuan, maka diperlukan suatu gagasan yang memberikan jaminan

perlindungan hukum bagi perempuan. Namun dalam memberikan gagasan-

gagasan tentang hukum berprespektif perempuan ini sangat perlu adanya seperti

pendekatan pemikiran, yaitu adanya beberapa aliran yang penulis klasifikasikan

secara pandangan mereka dan bagaimana mereka menanggapi adanya perbedaan

berdasarkan gender. Adapun aliran-aliran yang berupaya menghapuskan

perbedaan berdasarkan gender, Yang pertama, aliran symmetricist feminism

mengangkat pemikiran teori politik liberal, rasionalitas, hak, persamaan

kesempatan dan berpendapat bahwa perempuan juga sama rasionalitasnya dengan

30

K.H Husein Muhammad, Fikih Perempuan Refleksi Kiai Atastafsir Agama Dan Gender

(Yogyakarta : Ircisod, 2019),Hal 271-273 31

Ainiyah, Keadilan Gender Dalam Islam. ( Jawa Timur : Wisma Kali Metro, 2017), H. 139-140

28

laki-laki. Aliran ini menolak asumsi mengenai inferioritas perempuan dan

menghapuskan perbedaan berdasarkan gender yang sudah diakui oleh hukum.

Adapun aliran ini bertujuan untuk tercapainya persamaan formal perempuan yang

tuntutannya harus disamakan dengan laki-laki. Yang kedua, aliran assimilationist

Feminisme, dimana aliran ini memberikan doktrin kepada masyarakat agar tidak

pernah membedakan antara laki-laki dan perempuan pada jenis kelamin, baik

dalam hukum kelembagaan maupun pada perorangan. Yang ketujuh, the

postmodernisme feminist yang mengklaim bahwa tidak ada satupun teori dan

tujuan yang tepat untuk semua perempuan. Feminitas dan maskulinitas

merupakan jaringan wacana yang lebih luas bukan merupakan kategori yang

dibatasi.32

Sedangkan aliran-aliran yang lebih menekankan bahkan mensyukuri adanya

perbedaan antara laki-laki dan perempuan yaitu, yang pertama aliran the

treatment feminist, pendekatan ini menekankan perbedaan jenis kelamin. Aliran

ini percaya, bahwa perbedaan jenis kelamin bukanlah perbedaan budaya, hukum

yang harus memperhitungkan perbedaan fisiologis. Aliran ini malah sebaliknya,

mereka beranggapan bahwa perempuan harus mendapat tujuan khusus karena

perempuan berbeda dengan laki-laki. Argumen yang bersifat menguntungkan

laki-laki malah merugikan menurut aliran ini. Yang kedua, aliran the

incorporationist feminism dimana aliran ini memberi cara batasan yang tegas bagi

hukum, memberi perbedaan jenis kelamin, yaitu hanya pada dua aspek kehamilan

dan menyusui. Yang ketiga aliran realitional feminism yang mana justru sangat

mensyukuri adanya perbedaan antara laki-laki dan perempuan. Perbedaan tersebut

dicari secara nyata, sehingga mampu memberikan hubungan yang bernilai dan

saling melengkapi. Yang keempat, the radical feminism dimana aliran ini

mempunyai pandangan bahwa perempuan bukanlah sebagai makhluk individu

tetapi sebgai kelas namun kelas tetap didominasi oleh laki-laki. Ketimpangan

32

Ibid, H. 142-143

29

gender ini dianggap sebagai subordinasi yang sistematik tidak sebagi hasil dari

diskriminasi. Adapun yang terakhir yaitu, the postmodernisme feminist yang

mengklaim bahwa tidak ada satupun teori dan tujuan yang tepat untuk semua

perempuan. Feminitas dan maskulinitas merupakan jaringan wacana yang lebih

luas bukan merupakan kategori yang dibatasi.33

Adapun selain yang telah disebutkan diatas mengenai aliran gender yang

menekankan perbedaan, terdapat pula gerakan feminis yang cenderung tertarik

pada perbedaan antara fisik laki-laki dan perempuan. Menurut aliran ini seorang

anak laki-laki dan perempuan akan tumbuh menjadi laki-laki dan perempuan yang

dewasa yang mempunyai peran gender yang berbeda. 34

Keadilan gender yang merupakan tujuan akhir dari perjuangan feminis dan

aliran-aliran yang mempunyai pemikiran masing-masing sekaligus kritikan,

tentunya tidak terlepas dari campur tangan perjuangan feminis Muslim yang

berupaya menciptakan keadilan. Ada pula beberapa tokoh feminis Muslim yang

melakukan reinterpretasi ayat-ayat dengan pendekatan komposisi bahasa, ada

yang mengkaitkan dengan teks dan konteks, dan sebab turunnya ayat. Seperti

tokoh Muslim Nasarudin umar mengungkapkan bahwa reinterpretasi gender

apabila diungkapkan oleh laki-laki dan perempuan dilihat dari segi beban atau

aspek gender dalam Al Quran sering menggunakan kata al-rajul/ar/rijal dan al-

mar’/al-nisa untuk perempuan. Sedangkan apabila dalam beban biologis

penggunaan dalam Alquran menggunakan kata az-zakar/al untsa. Dengan

pemahaman tersebut dapat menginterpretasikan kembali mengenai ayat alquran

dengan pemahaman baru yang lebih egaliter. 35

Adapun feminis Islam telah mengembangkan ajaran Islam melalui

pendekatan yang berbeda pada umumnya. Feminis muslim berusaha membongkar

33

Ibid, H. 143-144 34

Putnam Tong Dan Rosamarie, Feminist Thought "Pengantar Paling Komprehensif Kepada

Aliran Utama Pemikiran Feminis. ( Colarado : West View Press, 1998), H.223-224 35

Program Studi Kajian Perempuan, Perempuan Indonesia Dalam Masyarakat Yang Tengah

Berubah. ( Jakarta: Psw, 2000), H. 326-327

30

berbagai ketimpangan perlakuan terhadap perempuan yang berbasis agama dan

berbasis gender. Hal yang pertama dilakukan dengan cara melihat berbagai

tafsiran ayat yang yang diduga bersifat sterotype atau diskriminatif. Kemudian

melahiran berbagai gagasan dalam bentuk metode interpretasi dari Alquran.

Selain dari itu feminis muslim juga bersungguh-sungguh menginterpretasikannya

untuk menjawab solusi kesetaraan secara tekstual dan kontekstual. Maka dari itu

feminis muslim seringkali menggunakan pendekatan secara hermeneutik. 36

Namun hubungan antara feminisme dengan agama, masih menjadi diskusi

nyata dalam Islam. Hal itu disebabkan karena Islam masih menyimpan sejarah

tentang dunia barat. Maka dari itu menimbulkan dilema baru bagi kaum feminis

yang ditunjukan pada akun etnografi gerakan masjid perempuan perkotaan yang

merupakan bagian dari kebangkitan Islam yang lebih besar di Kairo, Mesir.

Dalam gerakan ini perempuan dari berbagai latar belakang sosial ekonomi

memberikan pelajaran satu sama lain yang berfokus pada pengajaran dan

pembelajaran kitab suci Islam serta praktik sosial. , gerakan masjid ini melibatkan

antara bahan-bahan ilmiah dan penalaran teologis, yang belum pernah ada dan

sampai saat ini menjadi bidang studi para pria terpelajar. Gerakan ini dijadikan

catatan sejarah untuk kebangkitan Islam. 37

C. Gender dalam Pendidikan Hukum Islam

1. Urgensi Pengarusutamaan Gender dalam Pendidikan

Pengarustamaan gender adalah strategi yang dilaksanakan secara

rasional dan sistematis, untuk mencapainya kesetaraan dan keadilan gender

dalam sejumlah aspek kehidupan manusia (rumah tangga,masyarakat dan

negara). Dimana hal tesebut mampu diwujudkan melalui kebijakan dan

program, yang memperhatikan pengalaman, aspirasi, kebutuhan dan

36

Ibid, Hal. 328-329mn 37

Mahmood Saba, “Feminist Theory, Embodiment, And The Docile Agent: Some Reflections On

The Egyptian Islamic Revival.” Cultural Antropologhy, Xvi, 2, ( 2001), H. 204.

31

permasalahan. Untuk perempuan dan laki-laki dalam bidang kehidupan dan

pembangunan.38

Pendidikan merupakan sarana dari berkembangnya pengetahuan pada

masyarakat yang majemuk. Pendidikan juga bertujuan untuk memanusiakan

manusia dan kunci terwujudnya keadilan gender dalam ranah masyarakat.

Oleh karena itu, pendidikan merupakan sarana formal untuk menyalurkan

nilai-nilai kemanusiaan terutama mengenai nilai-nilai keadilan gender, yang

seharusnya sudah tercermin dalam setiap individu generasi bangsa.

Lembaga pendidikan berperan sebagai salah satu institusi untuk

mewujudkan pengarustamaan gender. Sebagaimana yang tercantum dalam

INPRES NO 9 Tahun2000 tentang Pedoman Pelaksanaan Gender Mengenai

Pembangunan Nasional. Seperti yang terdapat dalam INPRES 9 Tahun 2000,

ditegaskan bahwasanya setiap institusi pemerintahan wajib memasukan

dimensi kesetaraan dan keadilan gender dalam setiap program

perencanaandalam pembangunan nasional yang ber perspektif gender, Hal

iniadalah untuk mewujudkan keadilan masyarakat dalam berbangsa dan

bernegara. Hal tersebut menggambarkan bahwasanya penumbuhan kesadaran

untuk menciptakan keadilan gender tidak serta merta langsung tertanam dalam

generasi bangsa, melainkan harus mulai diimplementasikan ataupun diajarkan

pada masa pendidikan. Artinya bahwa segala pengetahuan atau wawasan

mengenai gender mampu tertanam ketika masih dalam proses pendidikan.

Adapun urgensi keadilan gender dalam pendidikan seperti yang dituangkan

dalam GBHN 1999-2004, UU nomor 25 Tahun 2000 tentang Program

Pembangunan Nasionaldan kesepakatan forum pendidikan dunia di Dakkar

pada bulan April Tahun 2000 tentang Pendidikan untuk Semua dimana salah

satu komponen yang dibahas adalah mengenai kesetaraan gender yang

38

Sulistyowati, “Tinjauan Hukum Positif Pada Masa Kolonial Kaitannya Dengan

Pengarustamaan Gender.”

32

didalamnya pula dipaparkan mengenai kurikulum pendidikan berbasis

gender.39

Dalam inplementasinya, di beberapa pendidikan tinggi misalnya sudah

terdapat pusat studi gender yang seyogyanya mampu berperan dalam

pengarusutamaan gender dikalangan pendidikan dari dosen, staf hingga

mahasiswa. Diadakannya pelatihan pelatihan mengenai sensitivitas gender

bertujuan agar seluruh dosen mempunyai wawasan gender atau lebih peka

terhadap isu gender ketika mengajar dan merumuskan silabi mata kuliah.

Selain itu, urgensinya bagi mahasiswa pula agar mampu mengidentifikasi

masalah-masalah gender ketika sedang belajar di dalam kelas .40

Dalam bidang pendidikan, justru ketidaksetaraan gender lebih nampak,

seperti pemilihan jurusan di Perguruan Tinggi. Mereka lebih cenderung

mengkaitkannya dengan fungsi domestik antara laki-laki dan perempuan.

Selain itu, pengaruh utama dalam pendidikan orangtua terhadap anak dapat

mengarahakan pada orientasi dogma-dogma patriakis. Maka dengan konsep

kesetaraan dan keadilan gender dapat dijelaskan secara lebih baik tentang

permasalah-permasalahan yang ada dan juga dapat ditarik kesimpulan untuk

menemukan solusi dan jalan keluar yang lebih bijak.Padahal begitu

pentingnya pengembangan potensi perempuan sebagai upaya pembangunan

bangsa. Karena Perempuan memiliki berbagai posisi strategis untuk

mendukung kegiatan pembangunan. Oleh karena itu, upaya pengembangan

potensi perempuan dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara

adalah sebuah keharusan sebagai bentuk pemberdayaan dari ketidakberdayaan

(powerless) perempuan selama ini.41

39

Khotimah, Khusnul, “Urgensi Kurikulum Gender Dalam Pendidikan.” Insania, Xiii, 3 (2008),

H.423. 40

Ibid, H. 433. 41

Najih, “Gender Dan Kemajuan Teknologi Pemberdayaan Perempuan Pendidikan Dan

Keluarga.” Harkat, Xii, 2, ( 2017 ) H. 1412

33

Lebih dari itu, pembangunan bangsa utamanya mampu dibangun

melalui pendidikan, namun seringkali masyarakat hingga masih mengkaitkan

dengan fungsi domestik dengan pemilihan jurusan pendidikan tinggi.

Misalnya, laki-laki identic dengan memilih pendidikan atau jururan terkait

dengan hukum, teknologi atau elektronik. Sedangkan perempuan masih

cenderung memilih jurusan yang identik dengan “care” atau perawatan dan

pendidikan. Seyogyanya, tingkat awal cara memperkenalkan studi kepada

anak adalah sosialisasi dari orangtua. Hal ini terkait dengan bagaimana

orangtua menegaskan atau menyelipkan konsep gender terhadap anak yang

bisa jadi berpatokan kepada ranah domestik. Meskipun pemilihan jurusan

dalam pendidikan bisa juga merupakan pengaruh dari orang lain, tetapi pada

realitanya orangtua tetap yang lebih dominan dalam keputusan mengenai

pendidikan yang dipilih. 42

Berdasarkan laporan millennium Development Goals Indonesia tahun

2017. Angka partisipasi murni (APM) anak perempuan terhadap laki-laki

presentasenya meningkat. Dalam mencapai tujuan pembangunan pendidikan

di Indonesia, faktor utama yang harus dicapai adalah menghilangkan

ketidaksetaraan gender dalam bidang pendidikan. Walaupun yang namapak

pada presentasi tersebut sebanding, namun ketidaksetaraan gender malah

meningkat pada pemilihan jurusan pada perguruan Tinggi. Pada penelitian

lain, yang dilakukan oleh Widarmato ditermukan bahwa dari sekolah dasar

pun ada kecenderungan pemberian tugas atau kesempatan yang berbeda bagi

siswa laki-laki dan perempuan, seperti dalam upacara. Selain itu, terdapat pula

contoh-contoh stereotyping dalam buku pelajaran , seperti misalnya kalimat:

ibu memasak di dapur, dan ayah pergi ke kantor. Hal tersebut secara tidak

langsung menunjukan adanya sterotip gender terkait dengan pembagian peran

domestik dan publik bagi laki-laki dan perempuan. Adapun solusinya dari

42

Ibid, H.1413

34

beberapa penyebab bias gender dan ketidak adilan gender di dunia pendidikan

adalah dengan peningkatan kesadaran dan kepekaan gender oleh para birokrat

pendidikan, selain itu dengan tidak selalu menggunakan standar laki-laki

dalam memilih keputusan dalam setiap pertimbangan suatu kasus.43

2. Pengarusutamaan Gender dalam Pendidikan Hukum

Sebagaimana yang terdapat dalam INPRES No. 9 Tahun 2000

menyebutkan dalam ayat 6 tentang Pedoman Pelaksanaan Gender Dalam

Pembangunan Nasional salah satunya disebutkan yaitu Jaksa Agung ditunjuk

untuk mengarustamakan gender dalam ranah lembaga pemerintahan.44

.

Hal tersebut mampu menjadi acuan bahwasanya profesi hukum yang

diwaliki oleh Jaksa Agung, berarti sama halnya dengan Hakim, Advokat,

konsultan dan profesi hukum lainnya, merupakan salah satu dari prospek

pengarustamaan gender. Karena profesi hukum bisa sangat dekat dengan isu-

isu gender. Karena pada realitanya,permasalahan hukum yang muncul di

masyarakat tidak akan jauh dari perenggutan hak dan penuntutan hak, yang

salah satunya adalah perselisihan antara pembagian peran antara laki-laki dan

perempuan.

Terkait dengan kasus hukum, ada, atau bahkan banyak kasus yang tidak

tuntas atau dirasa masih belum memberikan keadilan, ketika pengadian

memutuskan perkara tanpa kepekaan gender. Hal ini bukan lagi terjadi karena

hakim yang kurang pengetahuan hukum. Akan tetapi, lebih terkait pada

kepekaan hakim terhadap keadilan gender. Ini menjelaskan mengenai

pentingnya menanamkan kepekaan gender mulai ketika usia pendidikan atau

di bangku kuliah.45

Dalam suatu penelitian yang dilakukan di Serbia, Dragica menjadikan

buku teks objek penelitian untuk melihat bagaimana pendidikan gender pada

43

Ibid, H. 1414 44

Inpres No. 9 Tahun 2000 45

Annals Flb- Belgrade Law Review, Xv, 4 (2017) H. 55

35

studi hukum. Karena menurutnya, buku teks dapat menjadi acuan bagi

pembelajaran mahasiswa untuk mengarahkan pada kepekaan gender, dan bisa

jadi sebaliknya, malah menegaskan stereotype gender. Kemudian, apakah

terjadi soulsi dari pemertintah terhadap sensitifitas gender dalam buku

pelajaran. Bahkan kemungkinan besar, menurut Vetrusic, buku teks

kedepannya akan dijadikan bahan telaah bagi kepekaan gender. Misalnya,

dalam buku sosiologi dan sosiologi hukum terdapat unsur yang mengandung

isu-isu gender. Namun, analisis gender hanya terdapat 10% sampai 15 %

dalam buku tersebut. Undang-undang yang sensitive gender tidak digunakan

dan bahasa yang digunakan juga tidak sensitif gender. Selain itu, sensitifitas

gender bisa juga dilihat dari silabus, kurikulum, bahasa pada program studi,

yang mungkin juga tidak peka gender. Studi yang dilakukan Dragica ini

menunjukan bahwa studi hukum di Serbia tidak memenuhi tujuan dan standar

normatif dan strategis sesuai yang diusulkan oleh pemerintah dan lembaga

pendidikan Serbia tentang pengarustamaan gender. 46

Terlepas dari kenyataan , ditegaskan bahwa konten dan praktik

pendidikan adalah instrumen yang sangat kuat. Terlebih untuk

pengarusutamaan gender di ranah pendidikan dan semua bidang kehidupan

publik dan pribadi. Masalah ketidaksetaraan gender juga tidak menjadi

masalah dalam Strategi Pengembangan Pendidikan di Serbia (2012-2020).

Maka dari itu tujuan dari pembangunan studi gender di tingkat sarjana dan

pasca sarjana, bahkan hingga tingkat tertinggi. Mampu menunjukan bahwa

adanya strategi untuk pencegahan dan perlingunan dari sikap diskrimatif.

Adapun tujuan umumnya yaitu mengubah sterotip patriarki tradisional

sedangkan tujuan khususnya yaitu agar semua program studi menjadi peka

46

Ibid, h. 64

36

gender dan memasukan konten-konten yang tidak bersifat diskriminatif

maupun terkesan bias gender. 47

Seperti pada sebagian besar buku teks Hukum Keluarga masih adanya

bias gender. Hanya ada beberapa saja yang memiliki dimensi gender atau

penafsiran yang mempunyai cara pandang yang peka gender. Bahkan ada pula

buku teks yang berisi pernyataan yang negatif. Contohnya dalam analisis

pernikahan, masih banyak diberikan kepada dogma-dogma agama . Yang

terkesan memberikan sudut pandang negatif mengenai prinsip kesetaraan

gender. Dari buku tersebut bahkan lebih menyudutkan terhadap kritik negatif

Undang-undang tentang pencegahan kekerasan dalam rumah tangga, tidak ada

penjelasan tentang dasar gender yang dalam pemaparannya. 48

Dari beberapa analisis yang telah dilakukan di Serbia, dapat menunjukan

bahwa studi hukum tidak memenuhi tujuan dan standar normatif dan strategis.

Yang diusulkan oleh lembaga pendidikan dan pemerintah Serbia, tentang

pengarusutamaan gender pendidikan tinggi.49

Adapun penelitian lain yang dilakukan oleh Brettel Dawson,

menjelaskan bahwa Pendidikan hukum dalam 25 terakhir telah berkembang

pesat di negar-negara Common Law. Namun di Indonesia baru akhir-akhir ini,

dijadikan sebagai komponen inti dalam reformasi peradilan. Namun

kenyataannya, gender cenderung masih di abaikan dalam kurikulum.

Sedangkan di beberapa negara, seperti Jerman, Bosnia dan Herzegovina, dan

Argentina memiliki persentase hakim perempuan yang tinggi, walaupun di

eselon yang lebih rendah dari sistem pengadilan. Sementara itu sebaliknya, di

negara- negara Common Law dan Jepang, jumlah hakim perempuan relatif

rendah.50

47

Ibid, h. 66 48

Ibid, h. 66-67 49

Ibid, h. 67 50

Dawson Dan Schultz, “Gender And Judicial Education.” International Journal Of The Legal

Profession, Xxi. 3 (2014). H.255

37

Sebagaimana, hasil acara pada Simposium Internasional tentang 'Hakim

adalah Perempuan' di Brussels, pada November 2013. Majda Halilovic dan

Heather Huhtanen, orang-orang yang telah melakukan penelitian tentang

perlunya pendidikan gender di peradilan di Bosnia dan Herzegovina.

Pandangan mereka bahwa Hakim adalah seseorang yang harus

mendefinisikan realitas. Maka dari itu. Kayo Minamino seorang peniliti

urgensi keadilan gender di Pendidikan hukum, menekankan bahwa perlunya

pelatihan gender. Dalam penanganan masalah hak asasi manusia, terlebih

untuk jaminan kualitas yang dimiliki oleh seorang Hakim.51

Seperti halnya dalam studi yang telah dibuktikan di Mexico, bahwa laki-

laki dan perempuan menunjukan kesamaan dalam memilih profesi.

Mengalami pendidikan hukum yang sama, dan praktik dibidang hukum yang

sama. Studi ini menunjukan bahwa laki-laki dan perempuan memiliki jiwa

komepetensi yang sama dalam bidang hukum. Meskipun pada kenyataannya,

perempuan lebih banyak menerima kontroversial dalam profesi hukum

dibandingkan laki-laki. Namun hal tersebut tidak menutup kemungkinan

untuk pengacara perempuan dapat memberikan nilai yang memiliki aspek

kompetitif dari praktik seperti hanya laki-laki.52

Dari awal, feminis sudah mengkritik bahwa sekolah hukum adalah

ciptaan laki-laki, karena saat ini sudah di dominasi oleh siswa perempuan.

Maka dari itu sudah ditekankan kualitas siswa hanya dinilai dari segi nilai,

semua siswa seolah-olah memiliki hal yang sama. Sama halnya dengan gaya

mengajar yang menggunakan metode Sokrates, dimana selalu menekankan

ukuran kekuatan mahasiswa agar memiliki jiwa kompetisi yang sama

dibanding upaya saling mendukung antara laki-laki dan perempuan. 53

51

Ibid, H. 256 52

Teitelbaum, “Gender, Legal Education, and Legal Careers.” Association of American Law

Schools, IVI, 3,4 ( 1991) h. 479 53

Ibid, 447

38

BAB III

GAMBARAN UMUM TENTANG KURIKULUM HUKUM

KELUARGA DAN JABATAN SYARIAH UNDANG-UNDANG

Bab sebelumnya telah dipaparkan mengenai kebijakan hukum tentang gender.

Dengan demikian pada bab ini akan dilanjutkan dengan penjelasan terkait kebijakan

hukum tentang gender yang di implementasikan pada pendidikan hukum Islam di

Indonesia dan Malaysia. Bab ini akan dibagi ke dalam tiga sub pembahasan.

Pembahasan pertama mendiskusikan pendidikan hukum Islam di Malaysia.

Pembahasan kedua mendiskusikan tentang isu gender di Indonesia dan Malaysia dan

pembahasan ketiga yaitu pedoman gender di Indonesia dan Malaysia

A. Pendidikan Hukum Islam di Indonesia dan Malaysia

Di Indonesia, pendidikan hukum Islam diselenggarakan oleh Fakultas

Syariah dan Hukum. Di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Fakultas Syariah dan

Hukum memiliki beberapa Program Studi, yaitu Program Studi yaitu Hukum

Pidana Islam, Hukum Ekonomi Syariah, Perbandingan Madzhab, Hukum

Keluarga dan Ilmu Hukum. Namun, dari beberapa yang telah disebutkan, penulis

menarik salah satu program studi untuk dijadikan fokus pembahasan yaitu

Program Studi Hukum Keluarga.

Program Studi Hukum Keluarga, memiliki visi misi yang selaras dengan

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yaitu “Unggul dalam integritas keilmuan,

keislaman dan keindonesiaan”. Namun dalam profil Program Studi Hukum

Keluarga ini mempunya output untuk menciptakan lulusan sarjana yang ahli di

bidang hukum dan mampu memasuki seluruh sektor-sektor hukum pada prospek

kerjanya, seperti di hakim, konsultan keluarga, mediator dan lain sbeagainya..1

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta merupakan instansi yang menjadi role

model seluruh universitas Islam di Indonesia. Selain itu UIN Syarif Hidayatullah

1 Buku Pedoman akademik Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullak Jakarta dalam

https://fsh.uinjkt.ac.id/beranda/familylaw/, diakses pada 29 mei 2019.

39

Jakarta sudah termasuk keadalam taraf nasional bahkan internasional. Adapun

visi dan misi UIN adalah mengimplemntasikan nilai-nilai keislaman, kebangsaan,

dan kemanusiaan dan bertujuan menghasilkan lulusan yang memiliki wawasan

integratif, adaptif, responsif dan inovatif. Pada tahun akademik 2014/2015

seluruh program studi di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta sudah mulai

menerapkan kurikulum berbasis Kerangka Kualifikasi Nasional Indonesia

(KKNI). Oleh Karena itu, rancangan Kurikulum seluruh Program Studi UIN

Syarif Hidayatullah Jakarta, baik sarjana, profesi, magister dan doktor, telah

mengadopsi KKNI. Spesifikasi visi misi yang dimiliki UIN Syarif Hidayatullah

Jakarta ini telah mencerminakan terhadap seluruh outcome fakultas dan program

studi yang ada di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta2

Sedangkan di Malaysia, hukum Islam dalam basis pendidikan hukum

Islam di selenggarakan oleh Jabatan Syariah dan Undang-Undang. Jabatan

Syariah dan undang-undang merupakan program studi yang hampir sama dengan

program studi Hukum Keluarga yang ada di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

Sebagaiamana Jabatan Syariah dan Undang-undang memiliki visi “Melahirkan

siswazah yang berkemampuan dalam bidang perundangan Islam yang dapat

menguasai ilmu syariah dari sumbernya yang asal serta profesionalisme dalam

bidang kehakiman syariah di Malaysia”.3

Dari visi tersebut, tercermin bahwasanya mahasiswa Jabatan Syariah dan

Undang-undang memiliki potensi untuk mengisi sektor kehakiman. Adapun

selain visi dan misi yang selaras dengan Hukum Keluarga UIN Syarif

Hidayatullah Jakarta, Jabatan Syariah dan Undang-undang juga memiliki

kurikulum yang spesifik terhadap keluarga. Sebagaimana keduanya sama-sama

2 Pedoman akademik UIN Syarif Hidayatullah Jakarta dalam https://www.uinjkt.ac.id/wp-

content/uploads/2019/02/pedoman_akademik_uinjkt_2018-2019.pdf diakses pada 29 mei 2019 3 Buku Panduan Sarjana Muda University Malaya dalam http://ebook.um.edu.my/API

/ijazah%20dasar/#p=219, diakses pada tanggal 29 mei 2019

40

fokus terhadap pengintegrasian hukum Islam dan hukum Positif dalam ranah

hukum keluarga.4

Universiti Malaya memiliki misi memajukan pengetahuan dan

pembelajaran melalui penelitian dan pendidikan berkualitas untuk bangsa dan

kemanusiaan.Untuk memajukan pengetahuan dan pembelajaran melalui penelitian

dan pendidikan berkualitas untuk bangsa dan untuk kemanusiaan. Universiti

Malaya merupakan kampus ternama di Malaysia dari segi keilmuan umum dan

agama. Universiti Malaya memiliki beberapa fakulti, namun sesuai pembahasan

penulis akan fokus pada salah satu diantaranya adalah Fakulti Akademi Pengajian

Islam. Fakulti Akademi Pengajian Islam adalah gabungan antara akademi dan

Jabatan yang ada di Universiti Malaya yang merupakan hasil kerjasama antara

university dengan kolej. Sehingga saat ini Fakulti Akademi Pengajian Islam

memiliki beberapa program studi yang berlandaskan Islam, salah satunya adalah

Jabatan Syariah dan Undang-undang.

Lebih dari 30 tahun pemikiran kritis tentang pengarustamaan gender

dalam pembangunan dan pendidikan telah dibangun oleh beberapa civitas

akademika dari berbagai instansi. Di antara beberapa intansi yang melakukan

pengarustamaan gender, pada saat itu salah satunya adalah program studi gender

di Universiti Malaya yang memiliki unit penelitian pengembangan dan Gender.5

Kesadaran yang nampak pada jabatan ini sekarang semakin terlihat.

Misalnya, ketua jabatan, selain diduduki oleh laki-laki, juga oleh perempuan. Dari

Focus Group Discussion yang dilakukan dengan beberapa mahasiswa di UM,

terungkap bahwa mereka menerima saja ketika keduanya laki laki atau

perempuan. Saat ini sudah banyak staff perempuan, akan tetapi pekerjaan „kasar‟

belum dilakukan oleh perempuan. Sementara yang bertugas memasak sudah ada

laki-laki. Mahasiswa-mahasiswa partisipan FGD juga mengungkapkan

4 Buku Panduan Sarjana Muda dalam http://ebook.um.edu.my/API /ijazah%20dasar/#p=219,

diakses pada tanggal 29 mei 2019 5 Abdullah, “Literatur Dan Kajian Tentang Gender Di Malaysia Sejak 1980 Hingga Dekad

2000an1.” Jurnal islam dan masyarakat kontemporari, V, ( Juli : 2012) h. 28-29

41

Bahwa gerakan-gerakan feminis yang ada di Malaysia itu tidak serta merta

memperjuangkan persamaan hak laki-laki dan perempuan. Namun gerakan

feminis tersebut hanya memperjuangkan kesamarataan gender antara laki-laki dan

perempuan. Contohnya segi pekerjaan, hak upah buruh, fasilitas Negara dan lain

sebaginya. Hal itu pun tercermin di Jabatan Syariah dan Undang-undang, semua

mahasiswa berhak mendaftarkan dirinya untuk menjadi presiden mahasiswa baik

laki-laki maupun perempuan. Begitupun dengan hak memilih, semua mahasiswa

berhak memilih presiden mahasiswa dari segi kualitas bukan berdasarkan jenis

kelamin.6

Adapun aplikasi Gender di kalangan jabatan, menurut Zaidi sebagai Ketua

Jabatan, diberikan peranan yang sama rata. Contohnya dalam memilih presiden

laki laki dan perempuan memiliki kesempatan yang sama. Laki-laki dan

perempuan itu boleh mencalonkan diri menjadi presiden mahasiswa di jabatan.

Hal tersebut merupakan salah satu implementasi tentang kesadaran gender. 7

Kemudian dari segi aktivitas juga, Zaidi jugaelihat bahkan sebab kalau ia

melihat banyak program, selama dua minggu terakhir fakultas mengadakan

seperti bola pimpong bola tampar itu melibatkan perempuan hal tersebut

menunjukkan implementasi keadilan gender. Karena adanya penglibatan join

antara laki laki dan perempuan sama jumlah tentunya dalam jabatannya. Dari

kesungguhan dari segi kerajinan dan kesungguhan itupun lebih banyak

perempuan. Dari itu, ia bisa melihat lebih dan kurang dari segi perempuan. itu

merupakan implementasi jabatan yang tidak mau melihat kalau laki laki lebih

fokus dan perempuan fokus sama keluarga beberapa aktivitas saja. 8

Namun selama ia menjabat dan melihat dosen tidak ada masalah, apabila

tugas akan bentuk kelompok laki-laki dan perempuan itu bersatu kalau diskusi,

6 mardiah dkk, Mahasiswa Jabatan Syariah dan Undang-undang.Foccus Grup Discussion. Kuala

Lumpur, 09 April 2019 7 Mohd Zaidi bin Daud, Ketua Jabatan Syariah dan Undang-undang Wawancara Pribadi. Kuala

Lumpur. 11 April 2019. 8 Mohd Zaidi bin Daud, Ketua Jabatan Syariah dan Undang-undang Wawancara Pribadi. Kuala

Lumpur. 11 April 2019

42

kalau misalnya ada yang masih satu kelompok itu laki-laki. sedangkan ketika ia

menjadi dosen dalam diskusi satu kelompok harus terdiri dari laki-laki dan

perempuan, walaupun tidak semua dosen seperti Itu.9

B. Isu Gender di Indonesia dan Malaysia

1. Indonesia

Secara de jure Indonesia telah mencapai berbagai kemajuan dalam

pembangunan nasional. Namun tidak terlepas dari itu, secara de facto

pemerintah Indonesia harus menyelesaikan masalah-masalah yang terjadi di

Indonesia. Dari beberapa permasalahan yang ada dan belum terselesaikan di

Indonesia, dan yang masih menjadi sorotan saat ini adalah masalah hak-hak

perempuan. Dimana masalah-masalah hak-hak perempuan seperti

diskriminasi, marjinalisasi masih menimbulkan kritikan-kritikan dari

CEDAW terhadap pemerintah. Hingga saat ini CEDAW masih menunggu

respon positif dan pembuktian secara jauh dari pemerintah terhadap masalah

tersebut. Sebagaimana pemerintah Kurang lebih selama 28 tahun, pemerintah

berkomitmen untuk memperjuangkan penghapusan diskriminasi terhadap

perempuan dan Kekerasan pada rumah tangga.10

Alasan yang menjadi permasalahan di Indonesia perempuan masih

mengalami ketimpangan adalah karena masih melekatnya budaya patriarki di

Indonesia.11

Adapun ketika hal tersebut masih menjadi kelalaian pemerintah

Indonesia, akan semakin banyak melahirkan gerakan-gerakan feminin di

Indonesia yang hingga saat ini masih menyuarakan hak atas ketidakadilnnya.

9 Mohd Zaidi bin Daud, Ketua Jabatan Syariah dan Undang-undang Wawancara Pribadi. Kuala

Lumpur. 11 April 2019 10

Rahayu, “Kesetaraan Gender Dalam Aturan Hukum dan Implementasinya Di Indonesia

(Gender Equality In The Rule Of Law In Indonesian and Implementation).” Jurnal Legislasi

Indonesia, IX, 1 (April : 2012), h. 17 11

Kusumawardhana Indra, “Indonesia dipersimpangan : Urgensi„Undang-Undang kesetaraan dan

keadilan gender‟diindonesia pasca deklarasi bersama buenosaires pada tahun 2017.” Jurnal HAM, IX,

2, ( Desember : 2018) h. 158

43

Sehingga, masyarakat feminin beranggapan bahwa sejarah hanya terbentuk

atas dasar patriaki yang saat ini membentuk struktur masyarakat. Yang masih

menjadi perbincangan saat ini adalah ketika paradigma masyarakat masih

menganggap bahwanya perempuan identik dengan “kasur,sumur, dapur”

Mereka menarik sejarah sebagaiamana perempuan dilakukan lebih rendah

diranah yang semestinya setara dengan laki-laki. Perjalanan sejarah pun masih

menorehkan catatan bahwa laki-laki lebih banyak peran di masyarakat lebih

daripada perempuan.12

Namun akibat adanya pegiat gender dan perempuan-perempuan yang

menyuruakan hak-haknya saat ini menjadikan perempuan lebih diakui secara

publik. Bukan hanya berfokus kepada beban ganda saja, tetapi lebih di

afirmasi keberadaanya. Seperti pada sektor publik, pemerintah,

kepemimpinan, pekerjaan, politik dan pendidikan. Di Indonesia, walaupun

masih mendapatkan kritikan keras terhadap pemerintah, tetapi sejauh ini

lambat laun telah mengalami perubahan yang cukup signifikan.Seperti

dimulai pada cikal bakal generasi bangsa. Di lingkungan universitas hari ini,

yang mampu memberikan and mengeluarkan suara bukan hanya mahasiswa

laki-laki saja, tetapi juga perempuan. Perempuan mampu ikut andil dalam

mengadvokasi keadilan masyarakat dan duduk di bangku-bangku jabatan

tinggi di Universitas serta ikut memutuskan suatu perkara, serta duduk sejajar

dengan laki-laki dalam badan legislasi.13

Terkait persoalan hukum keluarga, bidang ini sangat kental berkaitan

dengan isu gender. Berbagai permasalahan seringkali muncul dan

membutuhkan peran para professional hukum dalam penyelesaiannya. Di

Indonesia, salah satu masalah hukum keluarga yang kerap kali muncul adalah

permasalahan terkait dengan pernikahan di bawah umur. pada masyarakat

12

Setiawan, Ouddy dan Pratiwi, "Isu Kesetaraan Gender Dalam Optik Feminist Jurisprudence

dan Implementasinya Di Indonesia.” Jurisprudentie, V, 2, (Desember : 2018 ) h.123 13

Noor Zanariyah, “Gender Justice And Islamic Family Law Reform In Malaysia.” Kajian

Malaysia, XXV, 02 ( Desember : 2007 ) h. 125

44

pedesaan, dalam hal perkawinan, masih banyak orangtua yang menikahkan

anaknya dibawah umur, dengan tujuan mengurangi beban ekonomi

keluarganya. Hal ini terjadi karena mereka beranggapan bahwa perempuan

akan dibebankan masalah ekonomi atau kebutuhannya kemudian akan

menjadi tanggung jawab seorang suami. Seperti pada kasus kawin cerai di

Pantura, Jawa Barat, hal tersebut malah menjadi suatu kebanggaan karena

perempuan dianggap laku keras ketika menikah berulang kali. Sedangkan

dalam Al Quran dijelaskan bahwa tujuan pernikahan adalah kebahagiaan yang

abadi. Kemudian Allah pun sudah membagi secara adil antara kewajiban dan

hak suami isteri. Sama sekali tidak ada ketimpangan, kecuali orang-orang

yang menafsirkannya yang memberikan kesan bias gender. Sehingga

masyarakat beranggapan bahwa adanya diskriminasi perempuan dalam Al

Quran. 14

Menariknya, hal tersebut selalu dikaitkan dengan norma-norma agama

atau pemahaman yang dianut oleh masyarakat. Dengan rujukan pandangan

para ahli fikih terhadap berbagai sumber tentang kawin muda, seperti

pernikahan antara Nabi Muhamad dan Aisyah R.A dan para sahabat Nabi.

Sehingga para pakar Muslim di belahan dunia menyetujui dengan berbagai

argumentasinya. Sedangkan apabila menganalisis secara cermat fenomena

kawin muda akan terlihat berbagai masalah yang ditimbulkan. Menurut

madzhab Syafi‟i perkawinan tersebut menjadi makruh ketika yang

bersangkutan belum mampu melaksanakan kewajibannya sebagai suami isteri.

Adapun menurut Madzhab Hanafi, perkawinan itu dikatakan haram ketika

laki-laki masih bisa menahan dirinya dari perbuatan zina tetapi belum mampu

menafkahi dari harta yang halal. Madzhab Hanafi pun menyatakan hal yang

sama. Keterangan tersebut menunjukan bahwa nikah muda itu yang menjadi

masalah krusialnya tentang seberapa maslahat dan mudharatnya akibat

14

K.H Husein Muhammad, Fikih Perempuan Refleksi Kiai atasTafsir Agama dan Gender

(Yogyakarta : IRCiSoD, 2019), h.45-49.

45

pernikahan tersebut. Hal itu menunjukan bahwa Islam sangat mengutamakan

hak laki-laki dan perempuan pada pernikahan. Sehingga disitu terlihat jelas

bahwa yang paling dikhawatirkan itu tidak mampu menafkahi, sedangkan

objek nafkah itu adalah seorang perempuan 15

Seringkali doktrin nenek moyang membentuk paradigma masyarakat

tentang karakteristik yang di miliki oleh seorang perempuan dan laki-laki.

Seperti pada fenomena pelatihan gender mainstreaming (pengarustamaan

gender). Pada pelatihan tersebut secara rata-rata peserta secara spontan

menjawab bahwasanya sifat laki-laki adalah tegas, rapi, kasar, rasional.

Sedangkan sifat perempuan itu sopan, lembut, emosional. Sebenarnya

jawaban peserta bisa saja ditukar, ketika laki-laki bersifat rasional perempuan

pun bisa. Sebaliknya, jika perempuan pun bisa bersifat emosional, laki-laki

pun tidak menutup kemungkinan masih banyak yang emosional. Namun

kenyataannya yang saat ini dilabelkan oleh masyarakat adalah pelabelan

(stereotype) yang melekat anatara laki-laki dan perempuan. Tanpa disadari hal

tersebut akan terbentuk hingga dewasa ketika pelabelan itu diajarkan kepada

anak-anak. Sehingga keterbatasan ruang gerak dan menyamaratakan hak-hak

tertentu masih sulit dalam konteks keadilan gender. 16

Ketika sterotif tersebut terus ditanamkan hingga dewasa, laki-laki

seringkali mendapat atribut bahwa mereka adalah kepala keluarga dan pencari

nafkah utama setelah menikah. Pada akhirnya seorang isteri yang harus

menangung nafkah juga dan hal itu tidak terlepas dari izin suami. Sedangkan

pada realitasnya masih ada keluarga-keluarga dengan suami yang tidak

mampu mencukupi nafkah keluarga. Hal tersebut menunjukan bahwa ketika

laki-laki di labelkan sebagai kepala keluarga, namun belum tentu menjadi

15

Ibid, hal. 147-170 16

Relawati Rahayu, Konsep Dan Aplikasi Penelitian Gender.( Bandung : CV Muara Indah, 2010)

h. 10

46

pencari nafkah utama. Seringkali perempuan lebih besar mendapatkan

pendapatan untuk menanggung biaya kehidupan keluarga. 17

Dengan demikian hal tersebut mencerminkan bahwa yang menjadi

tantangan besar perihal isu gender adalah adanya kesulitan dalam pemberian

pemahaman di tengah-tengah masyarakat, terlebih apabiladihadapkan dengan

pikiran-pikiran keagamaan. Misalnya apabila ceramah tersebut disampaikan

oleh tokoh agama yang dianggap memiliki ilmu agama yang tinggi oleh

masyarakat kemudian disampaikannya secara berulang-ulang. Maka akan

menimbulkan kekhawatirkan ketika hal tersebut dijadikan suatu keyakinan

dalam agama Islam sendiri.18

2. Malaysia

Sementara itu di Malaysia, reformasi hukum keluarga melahirkan

kesadaran gender yang diinisasi oleh kebijakan pengadilan untuk kepentingan

publik. Hal tersebut di mulai sejak umat Islam menyadari perbedaan

perempuan Muslim dan barat. Gerakan-gerakan yang muncul terkait dengan

perjuangan hak asasi manusia dan gender tersebut bertujuan untuk

mengadvokasi peningkatan status sosial dan hukum perempuan. Sehingga

memunculkan gerakan-gerakan dan kesadaran gender di beberapa negara

Muslim. Akan tetapi, hal itu memunculkan kontroversi ketika isu gender

masuk ke dalam ranah keluarga. Selain itu, terjadi pula perbedaan perspektif

dimana Al Quran dan Sunnah hanya mengatur tentang bagaimana caranya

mengelola keadilan di rumah tangga. Aturan ini kemudian dikaitkan dengan

pemikiran para intelektual dengan mengembangkan dasar hukum dengan

fakta-fakta sosial yang terjadi pada saat ini. Perbedaan antara latar belakang

pendidikan dan pengetahuan para inteleketual inilah yang menjadi penyebab

17

Sukessi, Gender dan Kemiskinan di Indonesia. ( Malang : Universitas Brawijaya Press, 2015)h.

64 18

K.H Husein Muhammad, Fikih Perempuan Refleksi Kiai atasTafsir Agama dan Gender

(Yogyakarta : IRCiSoD, 2019) hal.52

47

adanya perbedaan pada aspek-aspek tertentu dalam undang-undang hukum

kelurga di negara Muslim salah satunya yaitu Malaysia.19

Setelah merdeka kurang lebih selama 50 tahun Malaysia mengalami

perubahan yang signifikan dalam hal pembangunan dan modernisasi. Hal

tersebut menimbulkan implikasi pada penyelesaian kasus-kasus gender.

Masalah gender di Malaysia sudah ditemukan pada wacana ilmiah.Selain itu,

masalah gender juga berdasar kepada Rancangan Malaysia ke-8 2001-2005

dan Rancangan Malaysia ke-9 (2006-2010). Adapun rancangan atau rencana

tersebut bertujuan untuk meningkatkan potensi para perempuan di Malaysia

agar mampu melakukan kerja sama dengan laki-laki dalam membangun visi

nasional. Selain itu, permasalahan perempuan juga terkait dengan ranah

keluarga, dimana perempuan sering menjadi korban penindasan dalam

keluarga. Hal tersebut menjadi sorotan para civitas akademika dan mendorong

penelitian dan studi gender. Pedoman Pengarusutamaan Gender di Indonesia

dan Malaysia

Setelah mengetahui bagaimana isu gender di Indonesia dan Malaysia,

begitupun dengan integrasi pada ranah instansi universitas yang menjadi role

model di Indonesia maupun Malaysia, yang selanjutnya menjadi pembahsan

adalah pedoman yang dipakai kedua negara tersebut. Tidak mungkin terjadi

pengintegrasian apabila tidak ada landasan atau standarisasi pemenuhan syarat

telah di integrasikannya gender.

Indonesia sudah mempunyai pedoman hukum positif yang disebut

UUD 1945, namun hal tersebut tidak menutup kemungkinan untuk tidak

terimplementasikannya kesadaran gender, apabila tidak diatur khusus dalam

Undang-undang. Maka dari itu, akibat belum terakomodasinya undang-

undang secara komprehensif, maka perlindungan terhadap diskriminasi

perempuan dan bentuk kekerasan lainnya dalam pembangunan nasional masih

19

Ibid, h. 136

48

belum bisa dianggap memadai. Adapun upaya lainnya dalam mewujudkan

keadilan gender yang terdapat pada rancangan Undang-undang tentang

keadilan dan kesetaraan gender, sebenarnya sudah memiliki dua landasan

legal yang telah di sepakati bersama. PPengarustamaan gender (PUG) dalam

menjalankan misi nasional terdapat pada (1) UUD NKRI 1945 Pasal 31 Ayat

1 yang berbunyi “setiap laki-laki dan perempuan mendapatkan kesempatan

setara untuk mengecap pendidikan”;.(2) Inpres Nomor 9 Tahun 2000 tentang

Pengarustamaan Gender dalam Pembangunan Nasional yang menjadi

landasan hukum yang kuat untuk menjalankan pemerintahan.20

Secara normatif, Malaysia meratifikasi Penghapusan Segala Bentuk

Diskriminasi Terhadap Perempuan atau CEDAW. Sementara pada peraturan

undang-undang lebih bersifat substantif, Malaysia memiliki Enakmen

Keluarga Islam Malaysia (EKIM). Dalam Enakmen tersebut sudah dirancang

agar terjadinya keselarasan antara syariah dan dunia modern. Salah satu

diantara tujuannya adalah menjaga kebajikan perempuan dan anak-anak agar

terhindar dari penindasan. Apabila merujuk kepada intellectual discourse

yang berkaitan dengan kesadaran gender yang berlandaskan pada perspektif

Islam, ada usaha untuk memperbaiki elemen-elemen yang bersifat bias gender

di fikih munkahat Islam.21

C. Implementasi Kebijakan Hukum Tentang Kesetaraan Gender pada

Kurikulum Hukum Keluarga dan Jabatan Syariah Undang-undang

Peraturan yang telah dipaparkan di atas mengenai keadilan gender di

Indonesia dan Malaysia sudah tercantum pada masing-masing keduanya. Kedua

peraturan tersebut masih sama-sama berlandaskan pada peraturan Internasional

dan tersebut sudah diadopsi kepada peraturan-peraturan instansi atau universitas

20

Kusumawardhana, “Indonesiadipersimpangan:Urgensi„Undang-Undang kesetaraan dan

keadilan gender‟diindonesia pasca deklarasi bersama buenosaires padatahun2017.” 21

Affandi, Ismail, And Mohd Dahlal, “Reformasi Undang-Undang Keluarga Islam Di Malaysia:

Satu Analisis Terhadap Gagasan Konsep Fiqh Semasa.”

49

agar isu keadilan gender menjadi perhatian generasi bangsa yang kesadarannya

ditanamkan melalui kurikulum.

Adapun di Hukum Keluarga UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, gender

masuk ke dalam ranah kurikulum sebagaimana terdapat matakuliah Hukum

Perlindungan Perempuan dan Anak yang mempunyai bobot matakuliah sebanyak

2 sks. 22

Akan tetapi, kedua mata kuliah tersebut adalah matakuliah pilihan.

Sehingga, tidak semua mahasiswa mengambil matakuliah tersebut. Hanya mereka

yang memiliki ketertarikan pada isu ini yang akhirnya mengambil perkuliahan.

Selain itu pedoman mengenai gender yaitu adanya Pusat Studi Gender di rektorat

UIN syarif Hidayatullah Jakarta. Yang sering mengadakan penelitian dan seminar

seminar tentang gender.

Sedangkan Kurikulum yang terdapat di Jabatan Syariah dan Undang-

undang adalah terdapat pada mata kuliah Undang-Undang Islam dan Gender

yang memiliki bobot 3 SKS.23

Namun, sama halnya dengan yang terjadi di UIN

Jakarta, mata kuliah ini sebatas mata kuliah pilihan. Sehingga tidak ada kewajiban

bagi mahasiswa untuk mengambil mata kuliah ini. Selain itu, di jabatan juga

sering diadakan diskusi atau seminar yang diisi oleh pemateri ahli gender seperti

Prof Datin Raihanah,

Namun setiap adanya peraturan tidak selalu berjalan mulus dalam

mempraktikannya, akan selalu ada hambatan. Begitupun dengan kurikulum

mengenai gender ini. Adapun hambatan yang terdapat di Jabatan Syariah Undang-

undang sebagai ketua jabatan, Mohd Zaidi bin Daud melihat permasalahan

misalnya pada pembagian warisan. Pada topik ini, perlu penjelasan mendalam

agar ketentuan waris dalam Islam tidak dianggap bias gender. Menurutnya,

perempuan dan laki-laki sama saja dalam hal kualifikasi dan emosi. Meskipun

22

Buku pedoman Akademik Fakultas Syariah dan Hukum dalam https://fsh.uinjkt.ac.id/beranda

/kurikulum/, diakses pada tanggal 29 mei 2019 23

Buku Panduan Sarjana Muda University Malaya dalam http://ebook.um.edu.my/API/ijazah

%20dasar/#p=225

50

Malaysia belum seperti New Zealand yang memiliki perdana menteri

perempuan.24

Zaidi bin Daud melihat bahwa tantangan pengarustaman gender di

pendidikan hukum Islam yaitu merubah pola pikir mahasiswanya atau civitas

akademika terlebih dahulu. Namun dalam perkembangannya, kesadaran gender

dalam pendidikan sekarang sudah terbuka. Dalam Qonun Malaysia pun seperti

mufti atau pembuat fatwa, tidak dilantik oleh pentadbir agung karena sesuai

dengan Qonun pun di dalam syarat ketentuan menjadi mufi tidak tercantum atas

dasar jenis kelamin, melainkan kemampuan yang dimilki.25

Sama halnya dengan yang dipaparkan oleh ketua jabatan, mahasiswa pun

menganggap bahwa hambatan utama dalam mengintegrasikan kesadaran gender

yaitu merubah pola pikir di masyarakat tentang perempuan yang hanya di dapur.

Begitupun dengan kesadaran gender yang di tanamkan di perkuliahan, sama

halnya harus di mulai dari individu mahasiswa walaupun untuk memberikan

contoh kepada orang lain masih menjadi suatu hambatan.26

24

Mohd Zaidi bin Daud, Ketua Jabatan Syariah dan Undang-undang Wawancara Pribadi. Kuala

Lumpur. 11 April 2019. 25

Mohd Zaidi bin Daud, Ketua Jabatan Syariah dan Undang-undang Wawancara Pribadi. Kuala

Lumpur. 11 April 2019. 26

Mardhiah aina, dkk, Mahasiswa semester akhir Jabatan Syariah dan Undang-undang. Foccus

Grup Discussion. Kuala Lumpur 09 April 2019.

51

BAB IV

IMPLEMENTASI KEBIJAKAN HUKUM TENTANG GENDER DALAM

PENDIDIKAN HUKUM ISLAM DI HUKUM KELUARGA DAN JABATAN

SYARIAH DAN UNDANG-UNDANG

Bab ini merupakan penjelasan lebih mendalam mengenai pengarusutamaan

gender dalam pendidikan hukum Islam di Indonesia dan Malaysia. Beberapa hal yang

akan menjadi pembahasan yaitu kurikulum pada program studi Hukum Keluarga di

UIN Jakarta dan Jabatan Syariah dan Undang-Undang di Malaysia; perspektif gender

pada dosen dan mahasiswa; pendapat dosen dan mahasiswa terkait implementasi

pengarusutamaan gender dan kesadaran gender di kalangan civitas akademika kedua

institusi tersebut.

A. Kurikulum Hukum Keluarga UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Program studi perlu merumuskan visi yang merupakan outcome yang

akan dicapai secara jelas pada rentang waktu tertentu. Visi perlu memenuhi

kriteria jelas, realistik dan terukur serta adanya pelibatan stakeholder internal dan

eksternal/pengguna lulusan dalam penyusunannya. Sementara itu, misi

merupakan penjabaran operasional dari visi yang setidaknya meliputi pendidikan

pengajaran, penelitian, dan pengabdian kepada masyarakat di bidang yang sesuai

keahlian program studi. Tujuan adalah hasil yang ingin dicapai oleh program

studi dalam hal output lulusan yang sejalan dengan kompetensi utama program

studi.1

Adapun visi dari program studi Hukum Keluarga adalah unggul dalam

integrasi ilmu hukum keluarga berdasarkan nilai-nilai keislaman, keindonesiaan,

dan kemanusiaan dikawasan Asia Tenggara pada tahun 2018 dan Internasional

1Kurikulum FSH 2016 dalam “File:///E:/SKRISPI%20GENDER/Buku%20 pedoman/ Kurikulum

-FSH-2016_UIN-Jakarta_Cetak.Pdf.” diakses pada tanggal 15 juli 2019

52

pada Tahun 2026. Sedangkan salah satu misi nya adalah menghasilkan lulusan

yang professional, unggul, dan kompetitif dalam bidang hukum keluarga.2

Sebagaiamana yang terdapat dalam misi program Studi Hukum Keluarga

yaitu menghasilkan profesi lulusan yang professional, adapun beberapa prorfil

lulusan serta deskripsinya adalah sebagai berikut:

No. Profil Deskripsi

1. Hakim Praktisi hukum yang mampu menerima, memeriksa,

mengadili, menyelesaikan/ memutus setiap perkara yang

diajukan kepadanya secara adil, jujur, professional,

bertakwa, berakhlak mulia dan bertanggungjawab di

Pengadilan Agama.

2. Pengacara Praktisi hukum yang memiliki kemampuan dalam

memberi jasa hukum, memberikan bantuan dan

advokasi hukum kepada pihak yang berperkara di

bidang hukum keluarga baik didalam maupun diluar

pengadilan yang memenuhi persyaratan berdasarkan

undang-undang yang berlaku.

3. Konsultan

dan mediator

Praktisi hukum yang memiliki kemampuan untuk

memberikan layanan dan nasehat hukum selakukan

mediasi antara pihak-pihak yang bersengketa serta bagi

pihak-pihak yang memiliki masalah hukum dalam

bidang hukum keluarga.

4. Legal drafter Praktisi perundang-undangan yang memiliki

kemampuan dan ahli dalam merancang naskah

akademik, rancangan undang-undangan dan produk

perundangan lainnya terutama dalam bidang hukum

keluarga.

2 UIN Syarif Hidayatullah Jakrta, Pedoman Akademik Program Strata Satu (S1) 2017/2018.

(Jakarta : UIN) h.210

53

Profil tersebut memiliki meniscayakan lulusan untuk memiliki

pengetahuan yang salah satunya terkait dengan kesadaran gender. Hal ini arena

profesi tersebut sangat berhubungan dengan kurikulum yang mana mendukung

pembekalan mahasiswa untuk menjadi lulusan yang diproyeksikan sebagai

praktisi hukum maupun akademisi.3

Maka dari itu penulis mengklasifikasikan beberapa mata kuliah yang

mengandung perspektif gender secara jelas dan secara substansi. Pada mata kuliah

yang nampak jelas dari nama matakuliah nya maupun secara substansi nya yaitu,

mata kuliah hukum perlindungan perempuan dan anak.

No. Mata Kuliah Konten

1. Hukum perlindungan

perempuan dan Anak

Menjelaskan tentang Hak dan kewajiban

perempuan dan anak, bagaiamana

hukum memayungi perempuan dan anak

melalui kebijakan, masalah-masalah

yang sering terjadi kepada perempuan,

dispensasi hukum terhadap kasus pidana

anak dan batas usia pernikahan terhadap

anak agar mendapat dispensasi nikah.

Mata kuliah Hukum Perlindungan Perempuan dan Anak pada awalnya

dalam kurikulum 2016 matakuliah tersebut hanya menjadi mata kuliah pilihan

saja. Dimana mahasiswa berhak memilih untuk mengambil atau tidak matakuliah

tersebut dalam pemenuhan SKS pada semester akhir.4 Sedangkan, terdapat

perubahan pada 2017 mata kulaih hukum perlindungan perempuan dan anak telah

menjadi matakuliah wajib yang terdapat pada semester 6. 5

3 UIN Syarif Hidayatullah Jakrta. (Jakarta : UIN,2017), h.210-211

4 Ibid, h.211

5 Ibid, h. 212

54

Mesraini, selaku ketua program studi Hukum Keluarga Tahun 2019

menegaskan bahwa mata kuliah Hukum Perempuan dan Perlindungan anak di

program studi Hukum keluarga sekarang sudah menjadi wajib. Hal ini karena

memang konsen hukum keluarga nanti akan fokus untuk persoalan-persoalan

keluarga makanya bersifat wajib. Tidak ditambahkannya lagi mata kuliah gender

untuk saat ini, karena adanya pembatasan SKS untuk mata kuliah yang lain. Maka

sementara hanya satu yaitu Hukum Perlindungan Perempuan dan Anak.

Selebihnya yang paling penting adalah perspektif gender dari dosen sebagai

penghantar mata kuliah yang memiliki sensitifitas gender secara substantif..6

Pada matakuliah Hukum Perlindungan Perempuan dan Anak, Rosdiana

selaku dosen pengampu mata kuliah tersebut menerangkan bahwa mata kuliah

tersebut berkaitan langsung dengan bagaiamana pembangunan perempuan dan

perlindungan anak. Pada dasarnya, mata kuliah tersebut mencakup penjelasan

tentang berbagai masalah yang dihadapi perempuan dan anak, kemudian

bagaimana hukum memayunginya dengan kebijakan. Namun menurutnya untuk

matakuliah syariah tidak hanya cukup dengan satu matakuliah saja.7

Selain mata kuliah yang secara eksplisit menyebut isu gender dalam

namanya, pada kurikulum program studi Hukum Keluarga, terdapat pula

matakuliah yang mengandung unsur gender dalam substansinya, meskipun pada

penamaannya tidak secara eksplisit menyebut gender atau perempuan. Mata

kuliah-mata kuliah tersebut adalah:

6 Mesraini, Kepala program studi Hukum Keluarga. Wawancara Pribadi, pada tanggal 17 Juli

2019 7 Rosdiana, Dosen pengampu Hukum Perlindungan Perempuan dan Anak Hukum Keluarga.

Wawancara pribadi, 19 Juli 2019

55

No. Mata Kuliah Konten

1. Fikih

Munakahat

Menjelaskan tentang segala yang mencakup

perkawinan, dari mulai hak dan kewajiban suami

isteri, hingga hak isteri setelah perceraian.

2. Tafsir Ahkam Menjelaskan beberapa penafsiran pada teks ayat

Alquran mengenai pernikahan.

3. Hadis Ahkam Menjelaskan tentang hadis-hadis dalam pernikahan

yang mencakup perempuan dan laki-laki.

4. Fikih Mawaris Membahas tentang harta peninggalan pewaris,

pembagian harta waris untuk laki-laki dan

perempuan, beserta hikmah atas pembagian

tersebut.

6

.

Hukum perdata

Islam

Menjelaskan bagaiamana hukum Islam memayungi

hak dan kewajiban perempuan dan laki-laki untuk

pribadi dan sosialnya.

Pada beberapa matakuliah yang mengandung unsur sensitif gender

merupakan mata kuliah wajib dalam kurikulum dari 2016 hingga 2017. Bahkan

terdapat beberapa pendalaman, seperti pada fikih munakahat 1, terdapat pula fikih

munakahat 2. Hal tersebut bahkan mampu menjelaskan secara eksplit hak dan

kewajiban suami dan isteri dalam keluarga.8

Sejak dahulu, yang sudah menjadi mata kuliah wajib hanya mata kuliah

yang mengandung sensitivitas gender secara substansi. Adapun yang menjadi

sebuah peningkatan adalah ketika mata kuliah yang secara spesifik membahas

tentang isu gender menjadi mata kuliah yang wajib saat ini, meskipun pada tahun

2016 itu masih menjdi mata kuliah pilihan. Hal tersebut menjadi sebuah

peningkatan untuk tercapainya lulusan yang di harapkan oleh program studi

8 Ibid, h. 214

56

Hukum Keluarga. Karena profil lulusan yang dipaparkan di atas tidak akan

pernah lepas dari pembahasan kasus antara hak perempuan dan laki-laki. Lebih

jelasnya lagi, para lulusan dengan profil-profil tersebut akan dihadapkan pada

kasus-kasus terkait dengan hak dan kewajiban suami dan isteri. Hal tersebut akan

sangat rentan terhadap adanya bias gender dalam penanganan kasus, apabila jika

dari sejak perkuliahan tidak ditanamkan secara ekspilit mengenai pemahaman

gender, urgensi dan pengimplementasiannya terhadap mahasiswa.

B. Kurikulum Jabatan Syariah dan Undang-undang Universiti Malaya

Adapun Jabatan Syariah dan Undang-undang memiliki misi untuk

memenuhi keperluan secara professional di dalam kehakiman Islam, bidang

perundangan Islam modern dan penasihat kekeluargaan dan kehartaan orang

Islam. 9

Dari misi tersebut tercermin bahwasanya pemahaman gender sangat

dibutuhkan oleh lulusan sarjana muda Jabatan Syariah dan Undang-undang. Hal

ini karena prospek kerjanya tidak terlepas dari penaganan isu-isu perempuan atau

gender sekalipun. Di antaranya terkait penuntutan hak dan kewajiban suami isteri,

maupun penanganan konsultasi keluarga yang didominasi antara suami dan isteri.

Sebagaimana disebutkan di atas, bahwasanya penting adanya

pengintegrasian gender dalam kurikulum Jabatan Syariah dan Undang-undang.

Maka, terdapat beberapa kurikulum yang mengandung sensitifitas gender secara

jelas. Penulis menemukan bahwa mata kuliah yang mengandung unsur kajian

gender yang secara eksplisit disebutkan pada judul adalah Undang-undang Islam

dan gender. Namun matakuliah tersebut masih menjadi mata kuliah pilihan. Yang

mana mahasiswa berhak mengambil atau tidak tergantung pada minat atau

kebutuhan.10

9Buku Panduan Sarjana Muda University Malaya dalam http://ebook.um.edu.my/API/ijazah%

20dasar/#p=219,diakses pada tanggal 19 Juli 2019 10

Ibid, hal.182

57

No. Mata Kuliah Konten

1. Undang-undang Islam

dan Gender

Mata kuliah ini menekankan mengenai isu-isu

gender kontemporer dan bagaimana

penyelesaian menurut perundang Islam.

Pembahasan ini meliputi menegenai wanita

tentang diskriminasi, perlindungan, kesalahan

dsb. 11

Selain matakuliah pilihan yang jelas membahas tentang gender, terdapat

pula beberapa matakuliah yang mengandung isu gender hanya secara

substansinya saja. Di antara matakuliah tersebut adalah Ayat al Hadits al Ahkam,

Maqasid al Syariah, Undang-Undang Keluarga Islam, dan Undang-Undang

Pusaka.12

No. Mata Kuliah Konten

1. Ayat Hadits al Ahkam Menjelaskan tentang ayat-ayat Alquran

dan hadits mengenai thaharah,

kekekluargaan, jual beli, jenayat

kemasyarakatan dan kenegaraan.

2. Family Islamic Law Menjelaskan tentang konsep keluarga

dalam hukum Islam, bagaiamana

implementasi di Malaysia dan semua

unsur-unsur penikahan.

3. Undang-undang Pusaka Membahas tentang harta peninggalan

pewaris, pembagian serta hikmahnya.

11

Buku Panduan Sarjana Muda University Malaya dalam

http://ebook.um.edu.my/API/ijazah%20dasar/#p=219, diakses pada tanggal 29 mei 2019

12

Ibid, hal 183

58

Raihanah, selaku ahli gender di Malaysia, Kepala Akademi Pengkajian

Islam, serta dosen pengampu mata kuliah Undang-undang Islam dan gender

mengatakan bahwa di dalam silabus ada pembahasan tentang gender, seperti

undang-undang dan gender di Jabatan Syariah dan undang-undang khususnya.

C. Gender Perspektif Dosen Hukum Keluarga UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Dari kurikulum di atas, yang paling penting adalah bagaimana perspektif

dosen dalam menyampaikan mata kuliah-mata kuliah tersebut, karena yang paling

banyak memberi pemahaman dan menularkan pemikiran terhadap mahasiswa

adalah dosen tersebut. Apabila dosennya keliru maka pemahaman gender

terhadap mahasiswa dan masyarakatnya pun keliru. 13

Mukmin Rauf, selaku aktivis gender sekaligus dosen di Fakultas Syariah

dan Hukum, menerangkan bahwa gender adalah sebuah konsep yang sebetulnya

ingin memisahkan antara peran biologis dan sosial. Ini karena, selama ini, ketika

peran biologis dan sosial disatukan maka terjadi kekerasan dan diskriminasi dan

marjinalisasi. Maka muncul konsep gender agar masyarakat meletakan mana

peran biologis dan sosial.14

Misalnya, orang awam seringkali mempunyai pemahaman bahwa

perempuan itu penyayang, laki-laki itu keras. Itu hal yang salah. Jadi yang benar

itu adalah dengan memberikan peran kepada seseorang tidak berdasarkan

seksnya. Seperti peran sosial dalam masyarakat. Sedangkan yang pertama yang

harus ditumbuhkan dalam pemahaman gender itu adalah pola asuh pada keluarga

terutama untuk orangtua. 15

Maka dari itu, setelah dari ranah keluarga perlu adanya pemahaman

gender di ranah perkuliahan. Terlebih untuk mahasiswa Hukum keluarga, Karena

output nya nanti lulusan Hukum Keluarga akan menajadi hakim, pengacara, dan

13

Mesraini, Kepala prodi Hukum Keluarga.Wawancara Pribadi, 17 Juli 2019 14

Mukmin Rouf, Aktivis gender dan Dosen Fakultas Syariah dan Hukum. 15

Mesraini, Kepala prodi Hukum Keluarga.

59

lain-lain. Mereka harus memiliki sensitifitas gender, karena ketika posisi tadi

dipegang oleh orang yang tidak sensitif terhadap gender, maka keputusannya akan

mendatangkan ketidakadilan bagi para perempuan. Maka dari itu, sangat penting

semua kurikulum itu memiliki aturan-aturan yang berdasarkan kepada kesetaraan

gender.16

Kesadaran tersebut diharapkan tertanam pada mahasiswa Hukum

Keluarga, setidaknya untuk individu-individu terlebih dahulu. Apalagi nanti untuk

mempengaruhi pasangan, anak, dan lebih jauh lagi nanti mempengaruhi

masyarakat. Selain itu, untuk mereka yang berkarir sebagai professional di bidang

hukum, mereka bisa berpihak dengan tidak membedakan laki-laki dan perempuan

pada peran-peran yang dilabelkan masyarakat tersebut hanya karena seks saja.17

Terkait dengan pentingnya perspektif gender di kalangan dosen, Mesraini

menegaskan kembali bahwa :

“Hal yang paling utama adalah perpsektif pengajar (dan) yang kedua

(adalah) kurikulum. Karena apabila hanya kurikulum saja, belum tentu

(pesan tersebut) dihantarkan. Namun apabila sudah melek gender,

pengajarnya itu pasti mengantarkan. Sudah aman, (dan) sudah mewakili

gender dalam kurikulum”.18

Namun pengharapan itu tidak akan terlepas dari kendala yang dialami

sebagai pengajar. Menurut Mesraini, Justru kendala utama itu ketika dihadapkan

dengan dosen-dosen yang memang tidak begitu mendukung, tentang isu relasi

kesetaraan gender. Sehingga hal ini menjadi tantangan sendiri ketika

mensuarakan isu tersebut. Tentang bagaimana poligami misalnya. Karena para

dosen tidak begitu fokus pada realitas sosial atau bisa jadi mereka yang terlalu

saklek dalam pemahaman kitabnya, sehingga sulit untuk mempertimbangkan

16

Rosdiana, Dosen pengampu Hukum Perlindungan Perempuan dan Anak Hukum Keluarga.

Wawancara Pribadi, 19 Juli 2019

17

Mesraini, Kepala prodi Hukum Keluarga.Wawancara Pribadi, 17 Juli 2019 18

Mesraini.Wawancara Pribadi, 17 Juli 2019

60

aspek selain dari yang terdapat dalam kitab fiqh tentang poligami. Meskipun

demikian, kebanyakan dosen memiliki pemahaman yang lebih terbuka.19

Sejauh

ini menurut Mukmin Rouf, yang menjadi hambatan dari pengarustamaan gender

itu adalah argumentasi-argumentasi dari kalangan korban ketidak adilan gender

tersebut.20

Sedangkan apabila untuk mahasiswa tidak ada hambatan, mereka

semuanya menerima dengan antusias.Meskipun untuk pengimplementasian

kembali lagi kepada lingkungan mereka.21

D. Gender perspektif dosen di Jabatan Syariah dan Undang-Undang Universiti

Malaya

Gender dalam kacamata Nurhusairi, pengajar di Akademi pengkajian

Islam, adalah laki-laki dan perempuan hidup menjalankan sebagaimana

fungsinya. Karena keadilan gender pun saling menghargai, membangun norma

kehidupan yang mana laki-laki menjalankan kewajibannya sebagai laki-laki, dan

perempuan pun seperti itu. Apabila melakukan hal yang tidak berkeseimbangan

maka akan terjadinya ketidakadilan gender.22

Hal tersebut lebih dipaparkan secara luas lagi mengenai gender yang

sering disinggungkan dengan keadilan. Gender adalah perihal kualifikasi antara

laki-laki dan perempuan. Apabila dikaitkan dengan keadilan, keadilan gender

adalah persamaan hak yang didasarkan pada kemampuan seorang laki-laki dan

perempuan. Maka dari itu, tidak ada lagi pembatasan antara keduanya. Meskipun

perempuan masih dianggap lemah, tetapi tidak menutup kemungkinan apabila ia

mampu melakukan suatu hal karena kualifikasinya maka itu sah saja. Seperti yang

dikatakan oleh Zaidi selaku Ketua jabatan. Ia mengatakan, seperti kasus yang

19

Mesraini.Wawancara Pribadi, 17 Juli 2019 20

Mukmin Rouf, Aktivis gender dan Dosen Fakultas Syariah dan Hukum. Wawancara Pribadi,

19 Juli 2019 21

Rosdiana, Dosen pengampu Hukum Perlindungan Perempuan dan Anak Hukum Keluarga.

Wawancara Pribadi, 19 Juli 2019 22

Mohd Norhusairi Mat Hussin,Pensyarah Kanan Jabatan Syariah dan Undang-undang Universiti

Malaya. Wawancara Pribadi, Kuala lumpur 10 April 2019.

61

terjadi di Jabatan, dalam proses pengangkatan jabatan ia tidak melihat sama sekali

terhadap aspek gendernya namun lebih kepada kualifikasi yang dimiliki.23

Dalam hal definisi, lebih dipertegas oleh ahli gender di Malaysia Prof.

Datin Raihanah Abdullah, gender sangat luas, tergantung dari sisi mana dilihat.

Gender sama halnya dengan peran laki-laki dan perempuan yang berdasarkan

pada kualifikasi yang mereka punya dalam bidang tersebut. Jadi keadilan gender

bukan mengenai jenis kelamin, melainkan kemampuan atau kualifikasi seseorang

antara laki-laki dan perempuan.24

E. Gender Perspektif Mahasiswa Hukum Keluarga UIN Syarif Hidayatullah

Jakarta

Dari hasil Focus Group Discussion dengan beberapa mahasiswa Program

Studi Hukum Keluarga, ditemukan bahwa menurut mahasiswa gender adalah

konstruksi sosial-budaya masyarakat, yang mana lebih kepada sikap pembeda

antara laki-laki dan perempuan. Hal tersebut lebih dominan kepada sifat,

pertanggung jawaban yang disebabkan oleh kontruksi budaya. Perbedaan ini

bukanlah dari segi kodrati seperti segi biologis. Karena itu, apabila dibahas adalah

aspek biologis, maka itu bukanlah gender, melainkan seks. Misalnya seorang

perempuan mampu melahirkan, haid, nifas, dan lain sebagainya. 25

Kesadaran akan keadilan gender di dunia pendidikan hukum itu sangat

penting. Seperti yang Oceania Hasanah alami sendiri bahwasanya dalam

programnya pada saat ia menjabat sebagai Ketua Divisi Pemberdayaan

Perempuan , di Himpunan Mahasiswa Hukum Keluarga, ia mencanangkan

program “gender talks”. Program ini menekankan bahwasanya keadilan gender

itu bukan hanya membela hak-hak wanita saja dari patriakisme, tetapi juga

23

Mohd Zaidi bin Daud, Ketua Jabatan Syariah dan Undang-undang Universiiti Malaya,

Wawancara Pribadi, 13 April 2019. 24

Datin Raihanah Abdullah, Dekan Akademi Pengajian Islam Universiti Malaya dan Ahli Gender

di Malaysia. Wawancara Pribadi, 14 April 2019. 25

Ratu Bilqis, dkk. Mahasiswa Hukum Keluarga Fakultas Syariah dan Hukum UIN syarif

Hidayatullah Jakarta, Foccus Grup Discussion, Ciputat 22 Mei 2019.

62

mencakup laki-laki. Karena di dalam hukum Islam itu laki-laki dan perempuan

perihal hak nya sama. Maka dari, itu penting adanya konsep gender equity. Selain

itu, program tersebut bertujuan untuk membuka pikiran dan memambah wawasan

mahasiswa yang ketika ditanya, masih ada yang menjawab bahwasanya gender itu

hanya sebatas jenis kelamin laki-laki dan perempuan. Padahal jauh dari itu,

cakupan gender sangat luas.Partisipan FGD berkeyakinan bahwa tidak sensitive

gender lebih banyak dikalangan laki-laki. Terlebih untuk mahasiswa laki-laki

yang sampai saat ini masih belum sensitif gender. Sehingga, perlu adanya

pemahaman bahwa isu gender bukan hanya perlu dipelajari oleh perempuan,

tetapi juga oleh laki-laki,26

Selain itu, urgensi dari keadilan gender pun dalam dunia pendidikan

hukum Islam yaitu agar mahasiswa lebih paham dan mampu menjelaskan kepada

khalayak bahwasanya hukum Islam itu tidak bersifat patriaki.27

Hambatan bagi

keterbukaan terhadap pemahaman ini terkait dengan sosial. Maka sebaiknya isu

gender masuk ke dalam kurikulum. Tetapi, kembali lagi kepada pertanyaan

apakah pemegang system memiliki sensitifitas gender atau tidak. 28

Namun dalam segi pengimplementasian, ketika sebagian besar partisipan

dosen menganggap bahwa mahasiswa sudah mengalami kesadaran gender. Ketika

dilihat pada saat belajar antusiasme mahasiswa laki-laki dan perempuan sama.

Lain halnya, ketika pada pandangan mahasiswa semester 2 yang berpatisipasi

dalam FGD, mereka menganggap bahwa masih banyak mahasiswa laki-laki yang

masih sering menjadikan perempuan sebagai objek, secara langsung maupun

lewat media sosial. Mereka pun masih menganggap bahwa masih ada beberapa

dosen yang terkesan patriaki dari segi pengajarannya. 29

26

Ratu Bilqis, dkk. Mahasiswa Hukum Keluarga Fakultas Syariah dan Hukum UIN syarif

Hidayatullah Jakarta, Foccus Grup Discussion , Ciputat 22 Mei 2019 27

Ratu Bilqis, dkk. Mahasiswa Hukum Keluarga Fakultas Syariah dan Hukum UIN syarif

Hidayatullah Jakarta, Foccus Grup Discussion , Ciputat 22 Mei 2019 28

Ratu Bilqis, dkk. Mahasiswa Hukum Keluarga Fakultas Syariah dan Hukum UIN syarif

Hidayatullah Jakarta, Foccus Grup Discussion , Ciputat 22 Mei 2019 29

Ratu Bilqis, dkk. Mahasiswa Hukum Keluarga Fakultas Syariah dan Hukum UIN syarif

Hidayatullah Jakarta, Foccus Grup Discussion , Ciputat 22 Mei 2019

63

“Saya sendiri sebagai laki-laki malah belum paham mengenai gender.

Menurut saya, gender itu jenis kelamin laki-laki dan perempuan. Bahkan

saya sebagai laki-laki masih senang menjadikan mahasiswa perempuan

sebagai objek becanda, mungkin karena saya belum paham gender”30

F. Gender Perspektif Mahasiswa Jabatan Syariah dan Undang-undang

Universiti Malaya

Selanjutnya, gender menurut mahasiswa hukum di Malaysia merupakan

ciri khas yang dimiliki oleh laki-laki dan perempuan sejak lahir. Seperti laki-laki

yang bersifat maskulin dan perempuan yang feminin. Laki-laki dan perempuan

mempunyai karakteristik dimana yang lebih cenderung menangis yaitu

perempuan, dan laki-laki lebih berkesan kuat. Sedangkan gender bukan hanya

tentang itu, melainkan tentang peran apabila ingin diperjuangkan kesamaan

rataan, yaitu dari segi hak hidup, bukan dari kodrati. Adapun hal lain, keadilan

gender ini lebih kepada perempuan yang lebih banyak memiliki kebutuhan

dibanding laki-laki seperti dalam Islam. Jadi, untuk memperjuangkan kesamaan

gender itu sebenarnya tidak patut, karena tidak adanya asas.31

Sedangkan menurut mahasiswa Hukum Islam di Jabatan Syariah dan

Undang- Undang Universiti Malaya, mereka mengatakan bahwasanya

kesamarataan gender tidak perlu diperjuangkan karena keduanya sudah

mendapatkan tempatnya masing-masing. Begitupun dalam hukum Islam

semuanya sudah diatur sesuai porsinya. Seperti dalam Al Quran sudah tercantum

Surrah Ar-rijal dan An-nisa. Jadi, laki-laki dan perempuan itu tidak dibedakan

oleh Allah SWT, atas jenis kelaminnya. Melainkan hanya dari ketakwaannya saja.

Namun yang harus diperjuangkan saat ini adalah keadilan gender itu sendiri.

30

Imam, Mahasiswa semester 2 Hukum Keluarga. Fakultas Syariah dan Hukum UIN syarif

Hidayatullah Jakarta, Foccus Grup Discussion , Ciputat 22 Mei 2019 31

Mardhiah Aina, dkk. Mahasiswa Jabatan Syariah dan Undang-undang Universiti Malaya,

Foccus Grup Discussion , Kuala Lumpur 9 April 2019.

64

Pada konteks pendidikan hukum, menurut mereka, penting adanya

diskusi tentang keadilan gender untuk membuka pemikiran masyarakat. Misalnya,

bahwasa seorang perempuan tidak mesti selalu harus di dapur. Kemudian, sangat

penting ketika mahasiswa lulusan hukum Islam nanti akan memutus perkara

seperti hadhanah, waris, dan harta bersama.

Di samping itu, Aina Mardhiah seorang mahasiswa semester 8 di Jabatan

Syariah dan Undang-undang, menegaskan bahwa kesadaran akan keadilan gender

itu sangat penting. Seperti halnya dalam kasus warisan perempuan dapat satu,

laki-laki dapat dua. Ini diperlukan untuk bisa menjelaskan kepada masyarakat

alasan dan falsafah pembagian seperti dalam Islam. Yaitu karena laki-laki itu

banyak tanggung jawab penting. Masyarakat tidak tahu bahwa tidak semua hal

harus disamaratakan, dan adil itu mengatakan sesuatu pada tempatnya. Misalnya

ketika ada kasus perempuan yang merawat ibunya dan laki-laki tidak, warisan

seorang laki laki tersebut boleh dihibahkan kepada perempuan. Islam tidak lengah

untuk menetapkan pembagian tersebut namun ada jalan lain ketika harus ada yang

dipertimbangkan. Di Malaysia ini sangat jarang yang menggugat masalah

pembagian warisan. pada umumnya masyarakat ta‟at dengan ketetapan dan ilmu

Fara‟id itu sudah menjadi undang-undang tertulis sudah bisa menjadi landasan

seorang hakim memutuskan perkara.32

G. Implementasi Kebijakan Hukum Tentang Gender dalam Studi Hukum

Islam di Kedua Program Studi Tersebut

Sebagaiamana yang terdapat dalam beberapa kebijakan Negara yang

memiliki perspektif gender, mulai dari undang-undang hingga Intruksi Presiden.

Lebih jelasnya lagi seperti yang terdapat dalam INPRES No. 9 Tahun 2000,

dimana salah satu profesi yang disebutkan dalam pengarusutamaan gender adalah

seorang Jaksa. Hal tersebut mencerminkan bahwa Jaksa mewakili beberapa

32

Mardhiah Aina, dkk. Mahasiswa Jabatan Syariah dan Undang-undang Universiti Malaya,

Foccus Grup Discussion , Kuala Lumpur 9 April 2019.

65

profesi hukum lainnya. Maka dari itu UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang

memiliki Pusat Studi Gender dan Anak tercermin mengadopsi beberapa regulasi

yang berperspektif gender, karena adanya peraturan yang telah ditetapkan oleh

Negara yang sensitive gender.

Hal itu pun tercermin kedalam kurikulum yang terdapat di Program Studi

Hukum Keluarga, dimana terdapat beberapa matakuliah yang sensitive gender

baik secara jelas maupun substantif. Hal itu tidak serta merta hanya atas dasar

regulasi di fakultas, namun sudah menjadi turunan atas regulasi yang terdapat

pada kebijakan Negara.

Namun lain halnya ketika melihat di Malaysia, Negara hanya mengatur

kebijakan hukum yang berperspektif gender berdasarkan CEDAW, maka dari itu

sangat diwajarkan apabila regulasi tersebut tidak di cerminkan pada ranah

Universiti dan tidak terdapatnya Pusat Studi Wanita. Sebagaimana hukum dibuat

karena keadaan dan sebaliknya keadaan dapat menimbulkan adanya hukum. Jadi,

kebijakan Negara merupakan sebab akibat adanya regulasi hingga implementasi

pada Program Studi Hukum Keluarga UIN syarif Hidayatullah Jakarta dan

Jabatan Syariah dan Undang-undang.

66

BAB V

PENUTUP

A. Kesimpulan

Berdasarkan pembahasan mulai dari BAB I sampai dengan BAB IV, maka

penulis dapat menyimpulkan bahwa kebijakan Negara tentang gender ketika

diimplementasikan kepada kurikulum, urgensi keadilan gender sudah dijelaskan

dalam Islam. Dimana dalam Al-quran termaktub bahwa yang membedakan

seseorang hanyalah dari ketakwaan. Hal tersebut menunjukan bahwa Islam sudah

menghapuskan diskriminasi seperti ras, warna kulit, maupun jenis kelamin.

Sesuai dengan INPRES NO. 9 Tahun 2000 tentang Pedoman Pelaksanaan

Gender mengenai Pembangunan Nasional menegaskan bahwa setiap institusi

pemerintah wajib memasukan dimensi kesetaraan dan keadilan gender dalam

setiap program perencanaan. Begitupun di Malaysia berdasarkan Komite

CEDAW telah memberikan kredit kepada Malaysia untuk pencapaian

pengembangan perempuan dalam pendidikan.

Maka dari itu untuk pengarustamaan gender di bidang pendidikan

khususnya di studi Hukum Islam di Indonesia dan Malaysia penulis

mengemukakan terkait Implementasi kebijakan hukum pada studi hukum Islam

di Prodi Hukum Keluarga UIN Syarif Hidayatullah Jakarta dan Jabatan Syariah

dan Undang-undang di University Malaya.

Dari penelitian tersebut penulis menemukan temuan yang menarik terdapat

persamaan dan perbedaan. Persamaannya Hukum keluarga dengan Jabatan

Syariah Undang-undang sama-sama memiliki mata kuliah yang yang membahas

isu gender. Walaupun mata kuliah Undang-undang Islam dan gender di Jabatan

Syariah dan Undang-Undang itu masih menjadi pilihan, sedangkan mata kuliah

Hukum Perlindungan Perempuan dan Anak di Hukum Keluarga sudah menjadi

mata kuliah wajib. sehingga tertarik atau tidak mahasiswa harus mengikuti mata

kuliah tersebut.

67

Perbedaannya terlihat dari segi kebijakan Negara Indonesia dan Malaysia

dalam regulasi yang bersperspektif gender, dimana di Indonesia sudah banyak

pengarusutamaan terhadap beberapa Undang-undang hingga peraturan menteri.

Sedangkan di Malaysia hanya berdasarkan kepada CEDAW. Hal tersebut

kemudian terlihat bagaiamana terjadinya pengarusutumaan pada kurikulum untuk

di implementasikan di kalangan mahasiswa. Ketika Dosen menganggap sudah

tidak adanya diskriminasi atau marjinalisasi. Namun pada realitasnya partisipan

perempuan FGD, mengakui bahwa ia pernah menjadi objek seksual seperti bersiul

sekalipun via media sosial, yang dilakukan oleh mahasiswa laki-laki. Bersamaan

dengan itu pula partisipan laki-laki FGD , mengakui bahwa ia masih senang

menjadikan perempuan sebagai objek becandaan atau memandangnya selalu dari

segi fisik.

Adapun perbedaan pandangan mahasiswa di Program Studi Hukum

Keluarga dan Jabatan Syariah dan Undang-undang adalah dari segi progresifitas.

Ketika partisipan FGD dari Program Studi Hukum Keluarga mengatakan bahwa

Fiqih itu masih bisa di rekontruksikan sesuai dengan relevansi zaman. Namun

partisipan FGD Jabatan Syariah dan Undang-undang bahwa Fikih itu harus

ditaati, karena bagaimanapun aturannya tetaplah ketentuan Islam dan akan selalu

ada hikmah dibaliknya.

Selain itu, masih belum ada keselarasan antara pandangan dosen dan

mahasiswa terkait dengan kesadaran gender. Karena ketika mayoritas dosen

sudah menganggap bahwa tidak ada masalah ketimpangan dan diskriminasi di

kalangan mahasiswa, mahasiswa masih menganggap bahwa masih banyak

mahasiswa laki-laki yang sering menjadikan mahasiswa perempuan sebagai objek

candaan atau perendahan terhadap argumentasi-argumentasi yang dilontarkan

oleh perempuan.

Sementara itu, ketika dibandingkan antara pandangan mahasiswa Hukum

Keluarga UIN Syarif Hidayatullah Jakarta dan Mahasiswa Jabatan Syariah

Undang-Undang University Malaya, ada perbedaan dalam menanggapi isu hukum

68

Islam yang sangat terkait dengan gender. Pada pembagian waris, misalnya,

mahasiswa UIN menganggap ketentuan pembagian waris, harta bersama, dan

beberapa masalah lain yang terdapat dalam Al Qur‟an dan Hadits, ada kesan bias

gender. Namun demikian, pada implementasinya, ketentuan-ketentuan tersebut

masih bisa dihubungkan dengan kaidah maslahah murshalah. Sedangkan

pandangan dari mahasiswa Jabatan Syariah dan Undang-undang di Malaysia,

mereka menganggap bahwa ketentuan-ketentuan sudah peraturan dari fiqih.

Tugas seorang Muslim hanyalah mentaati, karena, walaupun terkesan bias gender

itu pasti terdapat hikmah setelahnya.

Dua pandangan berbeda itu menunjukan bahwa sisi progresifitas

mahasiswa pada FGD mahasiswa di Indonesia lebih tinggi. Mereka lebih

menganggap bahwa hukum harus terus berkembang sesuai dengan yang

dibuthkan oleh masyarakat. Hukum harus bisa menjadi alat rekayasa sosial.

Sedangkan pendapat partisipan FGD Malaysia menunjukan bahwa hukum itu

kaku, harus tetap di ikuti walaupun dalam perkembangan zaman.

B. Saran

Berdasarkan penelitian, pembahasan dan kesimpulan pada penulisan

skripsi ini. Maka dari itu penulis perlu memberikan saran-saran untuk

dipertimbangkan di kemudian hari. Saran-saran tersebut penulisan tujukan

kepada:

1. Dekan Fakultas Syariah dan Hukum dan Seluruh Kepala Program Studi,

untuk memperhatikan kembali mahasiswa Syariah dan Hukum terkait

sensitifitas gender dalam pengajaran seluruh mata kuliah dari Dosen dan

Kurikulum.

2. Dosen-dosen Fakultas Syariah dan Hukum untuk memasukan aspek

sensitifitas gender di setiap mata kuliah.

69

3. Ketua Jabatan Syariah dan Undang-undang untuk meningkatkan lagi

sensitifitas gende pada Mahasiswa dan menjadikan mata kuliah Islam dan

Gender sebagai mata kuliah wajib dalam kurikulum.

4. Dosen-dosen di Jabatan Syariah dan Undang-undang untuk memasukan aspek

sensitifitas gender di setiap mata kuliah.

5. Akademisi untuk menjadikan penelitian ini sebagai cerminan mengenai

sensitifitas gender yang sudah di miliki untuk menunjang profil lulusan

Sarjana Hukum dan untuk bahan penelitian selanjutnya, yang belum di bahas

oleh penulis. Penulis melihat hal-hal yang dapat diteliti dari tema ini,

mengenai efektivitas kurikulum berbasis gender di pendidikan hukum Islam

melalui profil Alumni dan pengarustamaan gender dalam bahan ajar dosen

dan buku catatan mahasiswa.

70

DAFTAR PUSTAKA

Ainiyah dan Quratul, Keadilan Gender Dalam Islam, Jawa Timur : Wisma

Kalimetro.

Dewantoro dan dkk, Rekonstruksi Fikih Perempuan dalam Peradaban Mayarakat

Modern, Yogyakarta : Ababil, 1996.

Program Studi Kajian Wanita, Perempuan Indonesia Dalam Masyarakat Yang

Tengah Berubah, Jakarta : Ford Foundation,Ehwa Women University Dan

Program Studi Kajian Wanita, 2000.

Pusat Studi Islam, Bersikap Adil Jender Manifesto Keberagaman Masyarakat Jogja,

Yogyakarta : Center Foislamic Studies, 2009.

Putnam Tong dan Rosamarie, Feminist Thought Pengantar Paling Komprehensif

Kepada Aliran Utama Pemikiran Feminis, Kolarado : West View Press, 1998.

Rafida dan Rini, Konsep Dasar Organisasi Definisi, Tujuan dan Proses, Surakarta.

Relawati dan Rahayu, Konsep dan Aplikasi Penelitian Gender, Bandung : Cv Muara

Indah, 2010.

Rokhayati dan Ana, Pengaruh Soft Skill dan Perencanaan Karir Terhadap Kinerja

Karyawan dengan Kualitas Pelatihan Sebagai Variabel Modertor, 2017.

Sukessi dan Keppi, Gender dan Kemiskinan di Indonesia, Malang : Universitas

Brawijaya Press, 2015.

Sulistyowati Herwin, Tinjauan Hukum Positif pada Masa Kolonial Kaitannya dengan

Pengarustamaan Gender.

71

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Pedoman Akademik Program Strata Satu (S1)

2017/2018, Jakarta : UIN Jakarta, 2017.

Sumber Jurnal

Abdullah dan Azlina Literatur Dan Kajian Tentang Gender Di Malaysia Sejak 1980

Hingga Dekade 2000an, Vol.5 Jurnal Islam Dan Masyarakat Kontemporari,

2012.

Affandi dkk, Reformasi Undang-Undang Keluarga Islam Di Malaysia: Satu Analisis

Terhadap Gagasan Konsep Fiqh Semasa, Vol. 16 Jurnal Syariah, 2008.

Babcock dan Barbara Allen Gender Bias In The Courts And Civic And Legal

Education, Vol.45 Stanford Law Review, 1993.

Basten dan John, Judical Education On" Gender Awareness In Australia, The Judical

Review, 2017.

Dragica Dan Vujadinovic, Gender Mainstreaming In Legal Education In Serbia: A

Pilot Analysis Of Curricula And Textbooks, Vol.15.Annals Flb- Belgrade Law

Review, 2017.

Firdaus, Urgensi Soft Skill Dan Caracther Building Untuk Mahasiswa, Vol.14, Tapis,

2017.

Hadi dan Abdul, Gender dan Feminisme dalam Islam, Vol.2, Muwajah, 2010.

Ilyas dan Yunahar, Perspektif Gender dalam Islam Pendekatan Tafsir Al-Qur’an,

Vol. XVII Mimbar, 2001.

72

Jilfa dan Rohil, Telaah Komparatif Pengarusutamaan Gender Dalam Pendidikan

Islam Di Saudi Arabia, Mesir, Malaysia, Dan Indonesia, Vol.5, Jurnal

Pendidikan Agama Islam (Journal Of Islamic Education Studies), 2017.

Khotima, dan Khusnul, Urgensi Kurikulum Gender dalam Pendidikan, Vol.1,

Insania, 2008.

Kusumawardhana dan Indra, Indonesia dipersimpangan: Urgensi Undang-Undang

kesetaraan dan keadilangender di Indonesia pasca deklarasi bersama

buenosaires pada tahun 2017, Vol.9, Jurnal Ham, 2018.

Mahmood dan Saba, Feminist Theory, Embodiment, And The Docile Agent: Some

Reflections On The Egyptian Islamic Revival, Vol. 16, Cultural Antropologhy,

2001.

Muhammad dan Husein, Fikih Perempuan Refleksi Kiai Atastafsir Agama Dan

Gender, Yogyakarta : Ircisod, 2019.

Muqoyyidin dan Wahyun Andik, Wacana Kesetaraan Gender: Pemikiran Islam

Kontemporer Tentang Gerakan Feminisme Islam, Vol.13, Jurnal Al-Uum,

2013.

Najih dan Muhammad Aqibun, Gender dan Kemajuan Teknologi Pemberdayaan

Perempuan Pendidikan Dan Keluarga, Vol.12 Harkat, 2017.

Noor dan Zanariah, Gender Justice and Islamic Family Law Reform In Malaysia,

Vol.XXV Kajian Malaysia, 2007.

Rahayu dan Ninik, Kesetaraan Gender dalam Aturan Hukum dan Implementasinya di

Indonesia (Gender Equality In The Rule Of Law In Indonesian And

Implementation), Vol. 9, Jurnal Legislasi Indonesia, 2012.

73

Ramli dan Anuar Mohd, Analisis Gender dalam Hukum Islam”,Vol.9 Jurnal

Fiqh,2012.

Rokhayati dan Ana, Pengaruh Soft Skill Dan Perencanaan Karir Terhadap Kinerja

Karyawan dengan Kualitas Pelatihan Sebagai Variabel Modertor, Vol.1, 2017.

Salim dkk, Gendering The Islamic Judiciary: Female Judges In The Religious Courts

Of Indonesia, Vol.51, Al-Jamiah, 2013.

Salim dkk, Gendering The Islamic Judiciary: Female Judges In The Religious Courts

Of Indonesia, Vol.51, Al-Jamiah, 2013.

Wantini dan Atik, Tafsir Feminis M.Quraish Shihab: Telaah Ayat-Ayat Gender

dalam Tafsir Al-Misbah, Vol.6, Palastren, 2013.

Sumber Internet

E-Sumber Buku Pedoman Kurikulum dalam

File:///E:/Skrispi%20gender/Buku%20pedoman/Kurikulum-Fsh-2016_Uin

Jakarta_Cetak.Pdf. Diakses Pada 09 Juli 2019.

Sumber Foccus Group Discuccion

Foccus Grup Discussion dengan Mardhiah Aina dkk, Mahasiswa Semester 10 Jabatan

Syariah dan Undang-Undang Kuala Lumpur, 10 April 2019.

Foccus Grup Discussion dengan Ratu Bilqis Dkk, Mahasiswa Semester 2 Hukum

Keluarga, Ciputat, 17 Juli 2019.

Sumber Wawancara Pribadi

Wawancara Pribadi dengan Mesraini, Kepala Prodi Hukum Keluarga, Ciputat, 17 Juli

2019.

74

Wawancara Pribadi dengan Mukmin Rouf, Aktivis Gender dan Dosen Fakultas

Syariah Dan Hukum, Ciputat, 19 Juli 2019.

Wawancara Pribadi dengan Raihanah, Kepala Akademi Pengkajian Islam, Kuala

Lumpur, 14 April 2019.

Wawancara Pribadi dengan Rosdiana, Dosen Pengampu Hukum Perlindungan

Perempuan dan Anak Hukum Keluarga, Ciputat 19 Juli 2019.

Wawancara Pribadi dengan Zaidi dan Mohd, Keadilan Gender Di Pendidikan Hukum

Islam di Hukum Keluarga dan Jabatan Syariah Undang-Undang, Ciputat, 11

April 2019