penugasan darah
TRANSCRIPT
Case Report Asli:
AD-4 Case Report:
A 37-year-old woman with no significant past medical history presented to the endocrinology clinic with a one-year history of palpitations, tachycardia, anxiety, diarrhea, and a 20 pound weight loss. Clinical and biochemical findings were consistent with overt hyperthyroidism. Her TSH was 0.02 mIU/L (reference range 0.4-5.5 mIU/L), her free T4 was 2.9 ng/dL (reference range 0.8-1.8 ng/dL), her T3 was 388 ng/dL (reference range 60-181 ng/dL), and her thyroid uptake showed homogenous increased 24- hour uptake at 65%. Thyroid ultrasound showed a diffusely enlarged thyroid with no focal lesion. The patient was started on methimazole, 10 mg bid, and propranolol, 40mg bid, for symptom control. She developed facial rash after starting methimazole, so it was discontinued after three weeks of treatment.
Blood tests showed hemoglobin/hematocrit to be 10.9 g/dl/33.3% with a MCV of 68. Iron studies revealed iron-deficiency anemia. Her iron level was 32 ìg/dL (reference range 40-175 ìg/dL), transferrin saturation was 8% (reference range15-50%), and total ironbinding capacity (TIBC) was 400 ìg/dL (reference range 250-450 ìg/dL). The patient was referred to Gastroenterology Department for a work up for anemia and chronic diar rhea. She was found to have positive anti-gliadin antibodies and positive tissue transglutaminase IgG antibodies that are consistent with celiac disease. Endoscopic small bowel biopsies were suggestive of celiac disease. The patient was then placed on a gluten- free diet, which gradually improved her diarrhea and anemia.
Two months after she started a gluten-free diet, the patient was no longer anemic (hemoglobin/hematocrit was 14.4 g/dl/41.4%), and her symptoms improved. She remained clinically euthyroid, and a blood test showed a TSH level of 0.04 mIU/L, a free T4 level of 1.1 ng/dL, and a T3 level of 115 ng/dL. She remained clinically euthyroid except for occasional palpitations which were controlled by Toprol XL, 25 mg daily. Twelve months after adopting a gluten-free diet, she gained 4 lbs and blood tests showed a TSH level of 0.03 mIU/L, a free T4 level of 1.1 ng/dL, and a free T3 level of 412 ng/dL.
1
Terjemahan Case Report:
LAPORAN KASUS
Wanita usia 34 tahun, tanpa ada riwayat penyakit dirujuk ke klinik endokrinologi dengan
riwayat mengggil, takikardi, kecemasan, diare dan berat badan turun 20 pound (50 Kg) selama
satu tahun. Dari pemeriksaan klinis dan biomedis tetap didapatkan hasil hipertiroid. TSH 0,02
mUI/L (normal 0,4 – 5,5 mIU/L), T4 bebas 2,9 ng/dl (normal 0,8 – 1,8 ng/dl), T3 388 ng/dl
(normal 60 – 181 ng/dl), dan kadar serapan tiroid 24 jam mengalami peningkatan 65%.
Pemeriksaan ultrasound tiroid menunjukkan pembesaran tiroid secara difus tanpa lesi focal.
Pasien pernah diobati dengan methimazole 10 mg dan propanolol 40 mg untuk mengurangi
gejala. Tapi setelah konsumsi methimazole pasien mendapat rash diwajah, jadi pengobatan yang
telah dilakukan tiga minggu itu dihentikan.
Dari pemeriksaan darah didapatkan Hebmoglobin (Hb) 10 g/dl dan Hematokrit (Hmt)
33,3%, MCV 68 μk. Terdapat anemia defisiensi besi pada pemeriksaan kadar besi didapat 32
og/Dl (normal 40 – 175 ig/Dl), saturasi transferin 8% (normal 15-50%) dan TIBC 400 ig/dL
(normal 250-450 ig/dL). pasien dirujuk pada bagian Gastroenterologi untuk penanganan anemia
an diare kronik. Ditemukan bahwa pasien positif memiliki antibody anti-glidiadin dan jaringan
antibody Ig G. transglutaminase yang ada pada penyakit celiac. Biopsi endoskopik mengarah
pada Celiac Disease. Pasien diarahkan untuk melakukan diet-bebas gluein.
Dua bulan setelah mulai diet, pasien tidak lagi anemia (Hb 14,4 g/dl, hematokrit 41,4)
dan gejala membaik. Pasien tetap eutiroid, pemeriksaan darah menunjukkan level TSH 0,04
mIU/L, dan level T4 bebes 1,1 ng.dl, level T3 115 ng/dl. Secara klinis pasien eutiroid, dan
menggigil yang terjadi di kontrol dengan Toprol XL 25 mg/ hari. 2 bulan setelah diet, berat
badan pasien meningkat 4 lbs, dan pemeriksaan darah menunjukkan hasil TSH 0,03 mIU/L, T4
bebas 1,1 ng/dl, dan T3 bebas 412 ng/dl.
2
RESUME
A. Anamnesis
Wanita 34 tahun dirujuk ke klinik endokrinologi dengan keluhan menggigil,
takikardi, kecemasa, diare dan penurunan berat badan 20 pound selama 1 tahun. Dan di
diagnosis hipertiroid, terapi yang telah diberikan methimazole dan propanolol. Setelah 3
minggu pengobatan, pemakain methilmazole dihentikan karena pasien mendapat rash pada
wajahnya.
Pada saat pemeriksaan darah menunjukkan adanya anemia defisiensi besi. Pasien
dirujuk ke bagian Gastroenterologi untuk penanganan anemia dan diare kroniknya. Setelah
melakukan pemeriksaan lebih lanjut, pasien terdiagnosis menderita penyakit celiac.
B. Pemeriksaan laboratorium
Pemeriksaan darah
Hb : 10,9 g/dl
Hmt : 33,3%
Kadar Besi : 32 ig/DI (Normal: 40 – 175 ig/Dl)
Saturasi Transferin: 8% (Normal: 15-50%)
TIBC : 400 ig/dL (Normal: 250-450 ig/dL)
MCV 68 μk
Anemia mikrositik terjadi karena karena gangguan sintesis atau defek hemoglobin sehingga
menyebabkan kadar hemoglobin yang terikat pada eritrosit menjadi rendah. Karena kadar
hemoglobin rendah menyebabkan ukuran eritrosit lebih kecil (MCV kurang dari < 80 fl), dan ini
merupakan bentuk kompensasi sel agar dapat lebih mudah kontak dengan oksigen dengan kadar
hemoglobin terbatas . Anemia mikrositik paling sering disebabkan karena defesiensi zat besi
(anemia defisiensi besi) dan pada pemeriksaan diatas menunjukkan adanya anemia defisiensi
besi.
Pemeriksaan tiroid
TSH : 0,02 mIU/L (Normal: 0,4 – 5,5 mIU/L)
T4 bebas : 2,9 bg/dl (Normal: 0,8 – 1,8 ng/dl)
T3 : 388 ng/dl (Normal: 60 – 181 ng/dl)
3
Kadar serapan tiroid 24 jam: meningkat 65%
Pemeriksaan Ultrasound tiroid: pembesaran tiroid secara difus tanpa lesi focal.
Peningkatan kadar T4 bebas dan T3 serta keabnormalan TSH menunjukkan adanya
kelainan pada kelenjar tiroid. Pada pemeriksaan ultrasound tiroid juga tampak pembesaran
tiroid secara difus akan tetapi tidak ada lesi focal. Ini menandakan adanya hipertiroid pada
pemeriksaan.
Antibody anti-gliadin: Positf (+)
Jaringan antibody Ig G transglutamindase: Positif (+)
Biopsy endoskopia: mengarah pada penyakit celiac.
Terdapat antibodi anti-gliadin dan antibodi IgG pada pemeriksaan TTG (antibodi IgG
terhadap transglutamunasi) mengarah ke penyakit celiac dan dipastikan lagi dengan
pemeriksaan biopsy endoskopi sebagai pemeriksaan gold standar pada penyakit celiac
memastikan adanya kerusakan pada villi usus kecilnya.
C. Diagnosis
Diagnosis Kerja:
Anemia Defisiensi Besi et causa penyakit celiac
Dilihat dari hasil anamnesis dan pemeriksaan mengarahkan diagnosis kerja anemia
defisiensi besi (ADB) karena penyakit celiac yang merupakan penyakit karena adanya
kerusakan pada villi usus kecil sehingga ada gangguan dalam absorbsi nutrisi didalam
tubuh, salah satu contohnya adalah besi.
Hipertiroid
Dari hasil anamnesis dan pemeriksaan laboratorium yang dilakukan pasien juga ada
gangguan pada hormone TSH dan T4 yang menyebabkan hipertiroid selain itu penyebab
dari hipertiroid ini sendiri adalah autoimun. Sehingga ada gangguan dalam penyerapan
nutrisi sama halnya dengan penyakit celiac.
D. Pengobatan
Pengobatan hipertiroid pasien diobati dengan methimazole 10 mg dan propanolol 40 mg.
Setelah tiga minggu pasien mendpat rash diwajah karena mengkonsumsi methimazole dan
pengobatan dihentikan.
4
Pengobatan penyakit celiac pasien disarankan untuk diet-bebas glutein. Dua bulan setelah
mulai diet, pasien tidak lagi anemia dan gejala membaik akan tetapi tetep eutiroid, dan
pemberian Taprol XL 25mg/hari untuk mengontrol eutiroidnya.
PEMBAHASAAN
BAB I
I.1 ETIOLOGI
Penyakit celiac (Celiac Diseas) merupakan intoleransi gluten diet (makanan) yang
mengakibatkan kerusakan inflamasi immunologically-dimediasi inflamasi kerusakan small
intestinal mucosal. Kerusakan itu ditandai oleh peradangan, hiperplasia crypt, dan atrofi vili.
Penyakit celiac merupakan penyakit genetic autoimun, ini juga dikenal sebagai sariawan
eliac, non-tropis sariawan, sariawan endemik, enteropati gluten atau sensitif enteropati
gluten, dan intoleransi gluten.
Pada penyakit celiac, ada reaksi immunologi (alergi) didalam lapisan bagian dalam
dari usus kecil pada protein-protein (gluten) yang terdapat pada wheat (terigu/gandum), rye,
barley dan pada tingkat yang lebih kecil, pada oats (sejenis gandum). Reaksi immunologi
menyebabkan peradangan yang menghancurkan lapisan usus kecil. Ini mengurangi absorbsi
dari nutrisi diet dan dapat menjurus pada gejala dan tanda dari kekurangan nutrisi, vitamin,
dan mineral.
Anemia defisisensi besi dapat disebabkan oleh kaena rendahnya masukan besi,
gangguan absorbs, serta kehilangan besi akibat perdarahan menahun.
Kehilangan besi sebagai akibat perdarahan menahun apat berasal dari:
Saluran cerna: akibat luka peptic, pemakaian salisilat atau NSAID, kanker lambung,
kanker kolon, divertikulosis, hemoroid, dan infeksi cancing tambang.
Saluran genitelia wanita: menorrhagia dan metrorhagia.
Saluran kemih: hematuria
Saluran nafas: hemoptoe
Faktor nutrisi: akibat kurangnya jumlah besi total dalam makanan, atau kualitas besi
(bioavailabilitas) besi yang tidak baik (makanan banyak serat, rendah vitamin C, dan
rendah daging)
5
Kebutuhan meningkat: seperti pada prematuritas, anak dalam masa pertumbuhan dan
kehamilan.
Gangguan absorbsi besi: gastrektomi, tropical sprue atau kolitiasis kronik.
I.2 EPIDEMIOLOGI
Penyakit celiac benyak terdapat pada negara Eropa dan Amerika Serikat. Di Eropa 1
dari 4800 orang (1:4800) memiliki kemungkinan terkena penyakit celiac, sedangkan di
Amerika Serikat 1 dari 10.000 (1:10.000) memiliki kemungkinan terkena penyakit celiac.
Penelitian di Amerika Serikat di dapat dari 13.145 partisipan, 4.508 orang positif terkena
penyakit celiac, 3.236 orang memiliki gejala penyakit celiac, sedangkan 4.126 orang negatif
dengan adanya penyakit celiac.
Menurut American Gastroenterological Association (AGA), orang dengan defisiensi
besi dan tidak memiliki gejala gastrointestinal (GI) memiliki prevalensi kejadian penyakit
celiac 2% sampai 5% yang dilihat dari pemeriksaan darahnya positif, dan 3% sampai 9%
positif dengan pemeriksaan biopsi. Pada pasien dengan anemia kekurangan zat besi yang
memiliki gejala GI, prevalensi penyakit celiac bahkan lebih tinggi, 10% sampai 15%. Oleh
karena itu, AGA merekomendasikan bahwa setiap orang dewasa dengan anemia defisiensi
besi yang tidak dapat dijelaskan (termasuk wanita haid) diuji untuk penyakit celiac.
BAB II
II.1 PATOFISIOLOGI
Anemia dapar terjadi karena berkurang/meningkatnya penghancuran eritrosit, atau karena
kehilangan banyak darah. Anemia pada penyakit celiac dapat terjadi karena kekurangan besi,
folat, atau vitamin B12. Dan dapat juga terjadi dari kombinasi ketiga hal tersebut. Walaupun
begitu, anemia defisiensi besi adalah penyakit yang paling sering dikaitkan dengan penyakit
celiac. Ada banyak alasan untuk fenomena ini. Besi awalnya diabsorbsi oleh duodenum, yang
merupakan bagian terkecil dari intestine. Dan duodenum merupakan tempat yang paling sering
mengalami kerusakan pada penyakit celiac, dan duodenum juga merupakan tempat pencernaan
gluten. (Itu sebabnya duodenum digunakan sebagai sampel biopsi ketika melakukan pemeriksaan
endoskopi untuk mendiagnosis penyakit celiac).
6
Kerusakan pada mukosa usus dapat merusak absorbsi besi dari makanan. Dan seiring
berkembangnya anemia, simpanan besi dalam tubuh akan terus berkurang. Penderita akan
menunjukkan berbagai gejala termasuk lelah dan nafas pendek. Memberikan tambahan besi
melalui mulut, tidak akan banyak membantu pada kasus ini, karena besi tidak dapat diserap
secara adekuat oleh usus. Dengan memberikan gluten-free diet akan membantu menyembuhkan
mukosa, dan memperbaiki proses absorbsi besi, dan anemia dapat disembuhkan. Dan suplemen
besi mungkin dibutuhkan pada beberapa kasus untuk meningkatkan simpanan besi dalam tubuh.
Sedangkan untuk hubungan penyakit celiac dan hipertiroid yaitu sama-sama merupakan
penyakit autoimun. Asosiasi ini didasarkan pada, orang yang memiliki penyakit autoimun
cenderung untuk terkena penyakit autoimun lainnya. Istilah autoimun merujuk pada penyakit
dimana sistem kekebalan tubuh membuat antibodi (biasanya dibuat untuk menyerang bahan
asing seperti virus). Jika seseorang memiliki antibodi terhadap bagian dari diri sendiri, antibodi
tersebut dapat menyebabkan penyakit, yaitu autoimune disorder. Penyakit celiac adalah kondisi
autoimun, demikian pula sejumlah penyakit tiroid adalah kondisi autoimun. Dan para peneliti
menyimpulkan bahwa penyakit celiac berhubungan dengan penyakit tiroid dan bahwa pasien
dengan penyakit celiac lebih mungkin terkena penyakit tiroid dibandingkan dengan orang yang
sehat.
II.2 MEKANISME KLINIS
Gejala anemia defisiensi besi dapat digolongkan menjadi 3 golongan besar, yaitu gejala
umum, gejala khas akibat defisiensi besi, dan gejala penyakit dasar.
Gejala Umum
Gejala umum anemia yang disebut sebagai sindrom anemia dijumpai pada anemia
defisiensi besi apabila kadar hemoglobin turun dibawah 7-8 g/dl. Gejala lain berupa badan
lemah, lesu, cepat lelah, mata berkunang0kunag, serta telinga berdenging. Pada anemia
defisensi besi karena hemoglobin yang terjadi secara perlahan-lahan sehingga anemia tidak
terlalu mencolok. Anemia bersifat simtomatik jika hemoglobin telah turun dibawah 7 g/dl.
Gejala Khas
Koilonychia: kuku sendok, kuku menjadi rapuh, bergaris-garis vertical, dan menjadi
cekung sehingga mirip seperti sendok.
Atrofi papil lidah: permukaan lidah jadi licin dan mengkilap
7
Stomatitis angularis: radang pada sudut mulut, sehingga tampak sebagai bercak berwarna
pucat keputihan.
Disfagia: nyeri menelan karena kerusakan epitel.
Atrofi mukosa gaster sehingga menimbulkan akhloridia.
Pica: keinginan untuk memakan bahan yang tidak lazim, seperti: tanah liat, es, lem, dan
lain-lain.
Gejala Penyakit Dasar
Gejala penyakit dasar lebih difokuskan pada penyakit celiac. Tanda dan gejala penyakit
celiac bervariasi antar individu. Ada dua kategori tanda dan gejala, yaitu:
1. Tanda dan gejala akibat malabsorpsi
Lemak adalah yang paling sering dan parah terkena gizi pada penyakit celiac. gejala
gastrointestinal dari malabsorpsi lemak termasuk:
diare,
gas berbau busuk,
meningkatkan jumlah lemak dalam tinja, dan
perut kembung.
2. Tanda dan gejala karena kekurangan gizi termasuk kekurangan vitamin dan mineral yang
meliputi:
berat badan,
retensi cairan,
anemia,
osteoporosis,
mudah memar,
neuropati perifer,
infertilitas, dan
kelemahan otot.
II.3 PEMERIKSAAN
a. Pemeriksaan laboratorium pada anemia defisiensi besi adalah:
Pemeriksaan darah rutin dan lengkap
Pada pemeriksaan darah ditemukan penurunan kadar Hb (Hemoglobin), jumlah eritrosit
dan hematokit, yang merupakan tanda dari anemia itu sendiri. MCV, MCH, dan MCHC
8
terjadi penurunan dan ini menandakan eritrosit berbentuk mikrositik hipokrom. Dan
peningkatan RDW (red cell distribution width) menandakan adanya anisositosis.
Pemeriksaan morfologi darah tepi (MDT)
Pemeriksaan MDT menunjukkan anemia hipokromik mikrositer, anisositosis,
poikilositosis, anulosit, sel pensil, dan kadang-kadang sel target.
Pemeriksaan cadangan besi
Besi serum(SI) menurun < 30, TIBC meningkat >360, saturasi transferin menurun 15%,
besi pada sumsum tulang kosong, protoporfirin meningkat, dan feritin serum menurun
<20 μg/L.
b. Pemeriksaan laboratorium penyakit celiac
Pemeriksaan antibodi
Terdapat antibodi anti-gliadin pada pengukuran serologi. Antibodi yang dapat diukur
dengan pemeriksaan serologis adalah anti-retikulin (ARA), anti-gliadin (AGA), anti-
endomysium (EMA). Serologi dapat diandalkan untuk anak-anak, dengan anti-
gliadin berkinerja lebih baik dari pada tes lain pada anak di bawah lima.
Selain serologis dapat juga melakukan pemeriksaan ELISA untuk mendeteksi TTG
antibodi. Terdapat antibody IgG pada pemeriksaan TTG (antibodi IgG terhadap
transglutamunasi).
Pemeriksaan biopsy endoskopi
Pemeriksaaan ini merupakan gold standar dari penyakit celiac. Untuk melihat kerusakan
pada villi ususnya. Endoskopi dapat diperiksa melalui duodenum atau
jejunum. menunjukkan villi pada usus yang mengecil dan menjadi rata.
Pada pemeriksaan kasus sudah sesuai dengan teori yang ada, yaitu untuk memeriksa adanya
penyakit celiac dapat dilakukan dengan pemeriksaan antibodi dan biopsi endoskopi pada
jaringan duodemun atau jejunum. Dan pemeriksaan untuk melihat adanya anemia sudah sesuai
dengan teori, begitu juga dengan pemeriksaan hipertiroidnya.
II.4 PENATALAKSANAAN
a. Pada Anemia Defisiensi Besi:
Pemberian preparat besi untuk mengganti kekurangan besi dalam tubuh (iron replacement
therapy):
1) Terapi besi oral.
9
Merupakan pilihan utama karena efektif, murah, dan aman. Preparat yang utama adalah
ferrous sulphat. Diberikan 3 sampai 6 bulan, setelah kadar hemoglobin normal untuk mengisi
cadangan besi tubuh. Dosis pemeliharaan adalah 100-200 mg. Jika tidak diberikan dosis
pemeliharaan, maka anemia sering kambuh kembali. Dianjurkan pemberian diet yang banyak
mengandung hati dan daging.
2) Terapi besi parenteral
Sangat efektif tetapi lebih berisiko dan mahal. Karena itu terapi besi parenteral hanya
diberikan untuk indikasi tertentu seperti 1) intoleransi terhadap besi oral, 2) kepatuhan pada
obat rendah, 3) gangguan pencernaan, 4) penyerapan besi terganggu, 5) kehilangan darah
yang banyak, 6) kebutuhan besi besar dalam waktu pendek, dan 7) defisiensi besi fungsional
relatif akibat pemberian eritropoietin pada anemia gagal ginjal kronik atau anemia akibat
penyakit kronik.
3) Pengobatan Lain
a. Diet: sebaiknya diberikan makanan bergizi dengan tinggi protein terutama protein
hewani.
b. Vitamin C: diberikan 3×1000 mg/hari untuk meningkatkan absorpsi besi.
c. Transfusi darah: ADB jarang memerlukan transfusi darah. Indikasi transfusi pada
anemia defisiensi besi adalah 1) adanya penyakit jantung simptomatik, 2) anemia yang
sangat simptomatik, dan 3) pasien yang memerlukan peningkatan kadar Hb yang cepat
seperti pada kehamilan trimester akhir atau preoperasi (Bakta et.al., 2006).
b. Pada Penyakit Celiac
1) Hindari makanan yang terbuat dari gandum. Seperti, roti; sereal; pasta; atau pie.
2) Hindari oat;
3) Perhatikan pada setiap pembuatan makanan harus mengandung gluten;
Contoh beberapa makanan yang mengandung gluten:
Sup kalengan;
Ice cream;
Candy bars;
Kecap;
Mustard;
Daging kaleng;
10
Dan yogurt.
4) Hindari susu dan makanan-makanan yang mengandung laktosa;
5) Disarankan untuk mengkonsumsi oikan, daging segar, nasi, jagung, kacang kedelai,
kentang, unggas, buah, dan sayuran.
Allowed Foods
amarantharrowrootbuckwheatcassavacornflaxIndian rice grassJob’s tears
legumesmilletnutspotatoesquinoaricesago
seedssorghumsoytapiocateffwild riceyucca
Foods To Avoid
wheat
including einkorn, emmer, spelt, kamut wheat starch, wheat bran, wheat germ, cracked wheat,
hydrolyzed wheat protein
barleyryetriticale (a cross between wheat and rye)
Other Wheat Products
bromated flourdurum flourenriched flourfarina
graham flourphosphated flourplain flour
self-rising floursemolinawhite flour
Processed Foods that May Contain Wheat, Barley, or Rye*
bouillon cubesbrown rice syrupcandychips/potato chipscold cuts, hot dogs, salami, sausagecommunion wafers
French friesgravyimitation fishmatzorice mixessauces
seasoned tortilla chipsself-basting turkeysoupssoy saucevegetables in sauce
Sumber: Thompson T. Celiac Disease Nutrition Guide, 2nd ed. Chicago: American Dietetic
Association; 2006.
c. Pengobatan untuk Hipertiroid
11
Pengobatan hipertiroid dilaksanakan dengan tujuan untuk membatasi produksi hormon
tiroid yg berlebihan. Pengobatan yang dimaksud antara lain :
1.Obat antitiroid.
Biasanya diberikan sekitar 18 - 24 bln. Contoh obatnya: propil tio urasil (PTU), karbimazol.
2.Pemberian yodium radioaktif.
Biasa untuk pasien berumur 35 /lebih atau pasien yang hipertiroidnya kambuh stlh operasi.
3.Operasi Tiroidektomi subtotal.
Cara ini dipilih untuk pasien yang pembesaran kelenjar tiroid-nya tidak bisa disembuhkah
hanya dengan bantuan obat-obatan, untuk wanita hamil (trimester kedua ), dan untuk yang
alergi terhadap obat / yodium radioaktif. Sekitar 25% dr semua kasus terjadi penyembuhan
spontan dlm waktu 1 thn.
II.5 PROGNOSIS
Penanganan yang benar terhadap penyakit celiac dan anemia defisiensi besi menghasilkan
prognosis yang baik. Dengan diet glutein pada pengyakit celiac meningkatkan keadaan fisik
pasien yang lebih baik serta dengan mengkonsumsi makanan atau pun suplemen yang dapat
meningkatkan kadar besi dapat meningkatkan kadar besi didalam tubuhnya sehingga tidak terjadi
anemia. Dan pengobatan hipertiroid yang adekuat dapat menyembuhkan pasien.
BAB III
KESIMPULAN
12
Penyakit celiac (Celiac Diseas) merupakan penyakit genetic autoimun yang intoleransi
terhadap gluten diet (makanan) yang mengakibatkan kerusakan inflamasi immunologically-
dimediasi inflamasi kerusakan small intestinal mucosal.
Kerusakan itu ditandai oleh peradangan, hiperplasia crypt, dan atrofi vili.
Pada penyakit celiac, ada reaksi immunologi (alergi) didalam lapisan bagian dalam dari usus
kecil pada protein-protein (gluten) yang terdapat pada wheat (terigu/gandum), rye, barley dan
pada tingkat yang lebih kecil, pada oats (sejenis gandum).
Reaksi immunologi menyebabkan peradangan yang menghancurkan lapisan usus kecil. Ini
mengurangi absorbsi dari nutrisi diet dan dapat menjurus pada gejala dan tanda dari
kekurangan nutrisi, vitamin, dan mineral.
Anemia defisiensi besi adalah penyakit yang paling sering dikaitkan dengan penyakit celiac.
Ada banyak alasan untuk fenomena ini. Besi awalnya diabsorbsi oleh duodenum, yang
merupakan bagian terkecil dari intestine. Dan duodenum merupakan tempat yang paling
sering mengalami kerusakan pada penyakit celiac, dan duodenum juga merupakan tempat
pencernaan gluten. (Itu sebabnya duodenum digunakan sebagai sampel biopsi ketika
melakukan pemeriksaan endoskopi untuk mendiagnosis penyakit celiac).
Penyakit celiac adalah kondisi autoimun, demikian pula sejumlah penyakit tiroid adalah
kondisi autoimun. Asosiasi ini didasarkan pada, orang yang memiliki penyakit autoimun
cenderung untuk terkena penyakit autoimun lainnya.
Daftar Pustaka
13
Anonim, Celiac Disease, National Digestive Diseases Information Clearinghous,
http://digestive.niddk.nih.gov/ddiseases/pubs/celiac/: akses 17 Mei 2011.
Bekta. I.M, 2007, Hematologi Klinik Ringkas, Penerbit Buku Kedokteran EGC: Jakarta
Ed: Sudoyo. A.W, Bambang. S, Idrus. A, Marcellus. S.K, Siti.S, 2007, Ilmu Penyakit Dalam
Jilid II. Edisi IV., Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI: Jakarta.
Mark.J.W, ed: Bhupinder. A, 2011, Celiac Disease (Gluten Enteropathy), Division of
Gastroenterology, Baylor University College of Medicine,
http://www.medicinenet.com/celiac_disease/article.htm: akses 14 Mei 2011.
Maltin. V, 2008, Study Verifies Link Between Celiac Disease & Thyroid Disease, NFCA
Director of Programming & Communications,
http://www.celiaccentral.org/News/News-Feeds/View-Research-News/Celiac-Disease-
Research/134/vobid--418/: akses 14 Mei 2011.
Whipple. E.G, Pharm. D, Meghan. A.G, 2009, Celiac Disease: More Common Than Once
Thought, Clinical Assistant Professor University of Georgia College of Pharmacy,
Athens, Georgia Pediatric Pharmacist, Children's Healthcare of Atlanta at Egleston,
Atlanta, Georgia, http://www.medscape.com/viewarticle/588631_3: akses 16 Mei 2011
14