penyakit paru obstruktif kronik

42
Penyakit Paru Obstruktif Kronik Grace Vanny Sayow 102009097/C4 Mahasiswi Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida Wacana Jalan Arjuna Utara No 6, Jakarta 11510 Pendahuluan Istilah Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) atau Chronic Obstructive Pulmonary Disease (COPD) ditujukan untuk mengelompokkan penyakit-penyakit yang mempunyai gejala terhambatnya arus udara pernapasan. Istilah ini mulai dikenal pada akhir 1950-an dan permulaan tahun 1960-an. Masalah yang menyebabkan terhambatnya arus udara tersebut bisa terletak pada saluran pernapasan maupun parenkim paru. Kelompok penyakit yang dimaksud adalah bronchitis

Upload: grace-vanny-sayow

Post on 28-Nov-2015

76 views

Category:

Documents


2 download

TRANSCRIPT

Page 1: Penyakit Paru Obstruktif Kronik

Penyakit Paru Obstruktif Kronik

Grace Vanny Sayow

102009097/C4

Mahasiswi

Fakultas Kedokteran

Universitas Kristen Krida Wacana

Jalan Arjuna Utara No 6, Jakarta 11510

Pendahuluan

Istilah Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) atau Chronic Obstructive Pulmonary Disease

(COPD) ditujukan untuk mengelompokkan penyakit-penyakit yang mempunyai gejala

terhambatnya arus udara pernapasan. Istilah ini mulai dikenal pada akhir 1950-an dan permulaan

tahun 1960-an. Masalah yang menyebabkan terhambatnya arus udara tersebut bisa terletak pada

saluran pernapasan maupun parenkim paru. Kelompok penyakit yang dimaksud adalah

bronchitis kronik (masalah saluran pernapasa), emfisema (masalah pada parenkim). Ada

beberapa ahli yang menambahkan ke dalam kelompok ini, yaitu asma bronchial kronik, fibrosis

kistik dan bronkiektasis. Secara logika penyakit asma bronchial seharusnya dapat digolongkan ke

dalam golongan arus napas yang terhambat, tetapi pada kenyataannya tidak dimasukkan ke

dalam golongan PPOK.

Page 2: Penyakit Paru Obstruktif Kronik

Anamnesis

Anamnesis atau history taking adalah pendekatan pada pasien dengan memberikan pertanyaan

mengenai keluhan utama, perjalanan penyakit yang kini diderita, riwayat penyakit yang pernah

diderita, kemudia review sistem, kebiasaan pribadi seperti merokok, jumlah rokok yang dihisap,

dan kebiasaan minum minuman keras.

Seseorang disebut perokok jika selama hidupnya pernah mengisap rokok sebanyak 100

batang rokok atau lebih dan masih merokok hingga saat dilakukan anamnesis. Disebut bekas

perokok jika seorang perokok terlah meninggalkan kebiasaan merokok sejak satu tahun sebelum

dilakukan anamnesis. Seorang perokok disebut perokok berat (heavy smoker) jika hasil perkalian

jumlah batang rokok per hari dengan jumlah tahun merokok > 400, atau Indeks Brinkman lebih

besar dari 400 atau 20 pack-years. Perlu pula ditanyakan apakah anggota keluarga di rumah atau

teman di tempat kerja ada yang merokok, hal ini untuk menentukan seseotang sebagai “perokok

pasif” atau bukan. Pertanyaan dilanjutkan dengan apakah ada kebiasaan minum minuman keras,

adakah penggunaan narkoba dan obat terlarang lainnya, riwayat penyakit dahulu (baik penyakit

pernapasan maupun penyakit lain). Selain itu, juga perlu ditanyakan tentang riwayat pekerjaan

sekarang dan dahulu (banyak penyakit yang disebabkan oleh pekerjaan yang melibatkan paru).

Apakah pasien pernah bepergian ke daerah lain yang merupakan daerah endemic suatu penyakit.

Dengan anamnesis dapat dikumpulkan keluhan yang dikemukakan oleh pasien yang

kemudian diterjemahkan sebagai gejala umum dan gejala repiratorik, kemudian juga

dikumpulkan riwayat penyakit sekarang dan dahulu.1

Riwayat penyakit sekarang

Berapa lama pasien merasa sesak napas? Kapan pasien merasa sesak napas: saat istirahat

atau aktivitas?

Apa yang dilakukan pasien sebelum merasa sulit bernapas? Berapa jauh pasien dapat

berjalan? Apakah pasien mengalami keterbatasan olahraga yang progresif?

Apakah pasien batuk? Jika ya, adakah sputum, berapa banyak, dan apa warnanya?

Apakah terdapat mengi? Jika ya, kapan?

Berapa lama pasien mengalami keadaan seburuk ini? Kira-kira apa pemicunya?

Apakah pasien mengalami nyeri dada atau sesak napas saat berbaring?

Pernahkah pasien mendapat ventilasi? Pernahkan pasien dirawat di rumah sakit? (Jika ya,

berapa hasil spirometri dan gas darah awal?)

Page 3: Penyakit Paru Obstruktif Kronik

Apakah terdapat penurunan berat badan?

Riwayat penyakit dahulu

Tanyakan kondisi pernapasan terdahulu (misalnya asma, TB, karsinoma bronkus, bronkiektasis,

atau emfisema).

Selidiki adanya kelainan kondisi jantung atau pernapasan lain.

Pernahkah ada episode pneumonia?

Tanyakan gejala apnea saat tidur (mengantuk di siang hari, mendengkur). Adakah kemunduran

di musim dingin?

Obat-obatan

Tanyakan respons pasien terhadap terapi kortikosteroid, nebulizer, oksigen di rumah? Apakah

pasien menggunakan oksigen di rumah? Jika ya, selama berapa jam sehari digunakan?

Dapatkan riwayat merokok pasien (dahulu [bungkus per hari/ tahun], sekarang, dan pasif).

Riwayat keluarga dan social

Bagaimana riwayat pekerjaan pasien? (pneumoconiosis?)

Adakah riwayat masalah pernapasan kronis di keluarga (pertimbangkan defisiensi α1-

antitripsin)?

Bagaimana tingkat disabilitas pasien? Bagaimana toleransi olahraga pasien? Apakah pasien

mampu keluar rumah? Bisakah pasien naik tangga? Di mana kamar tidur/ kamar mandi pasien,

dan sebagainya? Siapa yang berbelanja, mencuci, memasak, dan sebagainya?2

Pemeriksaan Fisik dan Pemeriksaan Penunjang

Gejala dikumpulkan melalui anamnesis atau history taking sedangkan tanda dikumpulkan

melalui pemeriksaan fisik.

Pemeriksaan fisik (physical examination) juga sering disebut sebagai diagnosis fisik. Dalam

melakukan pemeriksaan fisik pada penyakit pernapasam, pemeriksaan jangan hanya dibatasi

pada sistem pernapasan saja tetapi harus juga memeriksa organ yang sering berkaitan dengan

penyakit pernapasan, misalnya penyakit jantung memengaruhi pola pernapasan, adanya

tromboflebitis perifer merupakan indikasi kemungkinan terjadinya emboli paru. Ditemukannya

gejala jari tabuh (clubbing of fingers) dapat merupakan manifestasi gejala penyakit paru, begitu

juga dengan sianosis ujung jari atau bibir dapat merupakan gejalanya adanya kelainan pada

sistem pernapasan.

Page 4: Penyakit Paru Obstruktif Kronik

Untuk keperluan pemeriksaan fisik, pasien diminta untuk melepas baju sehingga dada

dan perut dapat diperiksa dengan leluasa. Diperlukan sinar yang cukup untuk penerangan,

kadang-kadang diperlukan sinar dari arah samping atau tangensial. Mula-mula pasien diperiksa

dalam posisi duduk, kemudian berbaring atau berbaring setengah duduk dengan sudut 30-45˚.

Ada 4 komponen dasar pemeriksaan fisik, yaitu inspeksi, palpasi, perkusi dan auskultasi.

Pemeriksaan fisik paru secara umum

Inspeksi

Pemeriksaan dengan cara melihat objek yang diperiksa disebut inspeksi. Inspeksi

merupakan fase awal pemeriksaan yang sangat penting untuk mendapatkan informasi tentang

gejala penyakit. Pemeriksaan ini bertujuan untuk mendapatkan informasi tentang tampilan

umum, tingkat penderitaan karena penyakitnya, tingkat stress, status perkembangan tubuh,

habitus, sianosis, gaya jalan, nutrisi, warna kulit, corak kulit, dan perilaku pasien. Inspeksi yang

berkaitan dengan sistem pernapasan adalah observasi dada, bentuknya simetris atau tidak, gerak

dada, pola napas, frekuensi napas, irama, apakah terdapat ekhalasi yang panjang (sighing) atau

unjal ambegan (Jw), apakah terdapat penggunaan otot pernapasan tambahan, gerak paradoks,

retraksi iga, retraski di atas klavikula, apakah terdapat parut luka yang kemungkinan bekas

operasi. Gerak paradoks karena diafragma lemah atau paresis sering terlewat dalam pemeriksaan.

Penghitungan frekuensi napas jangan diketahui oleh pasien karena akan mengubah pola

napasnya. Lakukan penghitungan frekuensi napas seolah-olah seperti menghitung frekuensi

detak nadi.

Palpasi

Palpasi dimulai dengan memeriksa telapak tangan dan jari, leher, dada, dan abdomen. Jari

tabuh atau clubbing of finger bisa didapatkan pada kanker paru, abses paru, empiema, serta

bronkiektasis. Tekanan vena jugularis (Jugular Venous Pressure, JVP) diperlukan untuk

mengetahui tekanan pada atrium kanan. Pemeriksaan leher bertujuan untuk menentukan apakah

trakea tetap di tengah atau bergeser dari tempatnya, apakah terdapat penonjolan nodus limfa.

Pemeriksaan palpasi dada akan memberikan informasi tentang penonjolan di dinding dada, nyeri

tekan, gerakan pernapasan yang simetris atau asimetris, derajat ekspansi dada, dan untuk

menentukan tactile vocal fremitus. Untuk mengukur derajat ekspansi dada diperlukan

pengukuran menggunakan pita ukur (mitlin, measuring tape). Pemeriksaan gerak dada dilakukan

dengan cara meletakkan kedua telapak tangan secara simetris pada punggung. Kedua ujung ibu

Page 5: Penyakit Paru Obstruktif Kronik

jari diletakkan di samping linea vertebralis dengan jarak yang sama. Pasien diminta untuk

melakukan inspirasi dalam. Jika gerak dada tidak simetris, jarak ibu jari kanan dan kiri terhadap

linea vertebralis akan berbeda.

Pemeriksaan tactile vocal fremitus berdasarkan persepsi telapak tangan terhadap vibrasi

di dada yang disebabkan oleh adanya transmisi getaran suara dari laring ke dinding dada. Sisi

ulnar telapak tangan diletakkkan dengan ringan pada dinding dada kemudian pasien diminta

untuk mengucapkan kata ninety nine (bukan Sembilan puluh Sembilan) atau tujuh puluh tujuh.

Apakah vibrasi yang dirasakan pada beberapa tempat sama (normal) atau berbeda (ada yang

lebih lemah atau lebih kuat). Pemeriksaan tactile vocal fremitus dilakukan dengan satu tangan

yang sama dan berpindah-pindah, bukan dengan dua tangan.

Gambar 1. Pemeriksaan gerakan dada

Sumber: http://ebookperawat.blogspot.com/2009/12/lung-

examination-pemeriksaan-paru.html

Perkusi

Pengetukan dada (perkusi) akan menghasilkan vibrasi pada dinding dada dan organ paru

di bawahnya akan dipantulkan dan diterima oleh pendengaran pemeriksa. Nada dan kerasnya

bunyi tergantung pada kuatnya perkusi dan sifat organ di bawah lokasi perkusi. Perkusi di atas

organ yang padat atau organ yang berisi cairan akan menimbulkan bunyi dengan amplitudo

rendah dan frekuensi tinggi yang disebut suara pekak (dull, stony dull). Perkusi di atas organ

yang berisi udara menimbulkan bunyi resonansi, hiperesonansi dan timpani. Cara melakukan

perkusi adalah permukaan palmar jari tengah (yang berperan sebagai pleksimeter) diletakkan

pada dinding dada di atas sela iga kemudian diketuk dengan jari tengah yang lain (sebagai

fleksor).

Auskultasi

Indera pendengaran pemeriksa sangat penting dalam pemeriksaan sistem pernapasan.

Penyakit pada laring dapat diduga dari adanya perubahan suara saat berbicara. Stridor, yaitu

suatu bunyi inspirasi yang terdengar nyaring, bernada tinggi serta kasar, menandakan adanya

Page 6: Penyakit Paru Obstruktif Kronik

obstruksi saluran napas atas. Suara mengi pada serangan asma dapat terdengar dari jarak yang

jauh. Semua suara tersebut dapat didengar dengan telinga tanpa bantuan apa pun.

Auskultasi adalah mendengarkan suara yang berasal dari dalam tubuh dengan cara

menempelkan telinga ke dekat sumber bunyi atau agar lebih mudah dengan menggunakan

stetoskop.

Auskultasi dilakukan mulai dari leher, dada, dan kemudian abdomen. Urutan melakukan

auskultasi sebaiknya sistematik. Untuk keperluan ini dinding dada anterior dibagi menjadi 6

lokus sedangkan punggung posterior dibagi menjadi 12 lokus. Mula-mula batas dasar posterior

paru ditentukan dengan perkusi.

Suara napas

Suara napas ditimbulkan oleh pergerakan turbulen udara dalam saluran napas, terutama di trakea

dan saluran napas besar. Getaran bunyi ini akan merambat melalui udara yang terdapat pada

bronkus utama menuju ke perifer paru. Ketika melalui udara pada bronkiolus yang kecil,

transmisi getaran suara menjadi sangat terbatas sehingga getaran beralih memilih melewati

parenkim paru. Suara napas mempunyai dua komponen bunyi, yaitu bunyi bronchial yang

berfrekuensi tinggi dan bunyi vesicular yang berfrekuensi lebih rendah.

Suara napas bronchial berfrekuensi tinggi, kasar dan nyaring, dan terdapat waktu jeda di

antara inspirasi dan ekspirasi. Suara napas bronchial ditransmisikan ke segala penjuru tetapi

tersaring oleh parenkim paru sehingga suara bronchial murni hanya terdengar jelas di atas trakea.

Di lapangan dada bagian atas, suara bronchial terdengar berbaur dengan suara vesicular

berfrekuensi rendah sehingga disebut sebagai suara bronkovesikular. Dengan demikian, di

lapangan atas paru, suara yang dominan adalah suara bronkovesikular. Suara napas bronchial

sebaiknya didengar menggunakan stetoskop berbentuk diafragma.

Suara napas vesicular sifatnya lemah, berfrekuensi rendah dan seperti tiupan, terdengar

terutama saat inspirasi dan akan hilang beberapa saat ketika ekspirasi. Suara napas vesicular

yang tidak berbaur dengan suara napas bronchial dapat didengar di lapangan bawah paru. Suara

napas vesicular sebaiknya didengar dengan menggunakan stetoskop bentuk bel.

Penghantaran suara napas paru dipengaruhi oleh jenis dan sifat jaringan yang dilalui.

Suara napas akan terdengar nyaring pada anak-anak dan orang yang kurus, sedangkan pada

orang gemuk terdengar lemah dan memberikan kesan bahwa sumber suaranya jauh.

Page 7: Penyakit Paru Obstruktif Kronik

Terdengarnya suara napas bronchial yang tidak pada tempat biasanya, menunjukkan adanya

kelaina paru yang dapat berupa konsolidasi ataupun atelektasis.

Intensitas suara dapat normal, menurun ataupun meningkat. Intensitas yang menurun

dapat disebabkan oleh dua kemungkinan, yaitu aliran udara pernapasan yang berkurang sehingga

suara napas menjadi pelan seperti yang terjadi pada emfisema, paralisis diafragma atau

kemungkinan obstruksi saluran napas. Kemungkinan lain adalah transmisi suara napas dari

sumber bunyi ke dinding dada yang berkurang seperti pada pneumotoraks, efusi pleura maupun

penebalan pleura. Transmisi suara yang bertambah menyebabkan terdengarnya suara napas

bronchial pada lapangan paru perifer, seperti pada konsolidasi paru atau pada interface antara

efusi pleura dan paru yang terhimpit.

Jika terdengar suara napas bronchial, pemeriksaan dilanjutkan kepada ada tidaknya

resonansi suara napas (vocal resonance), egofoni, bronkofoni dan whispering pectoriloquy.

Suara napas tambahan

Selain suara napas bronchial dan vesicular yang merupakan suara napas normal, terdapat suara

napas lain yang disebut suara napas tambahan. Suara napas tambahan hanya didapatkan pada

keadaan tidak normal. Suara napas tambahan disebut juga suara napas tidak normal, suara ini

disebabkan karena adanya penyempitan jalan napas atau obstruksi. Menurut lamanya bunyi,

suara napas tambahan dibedakan menjadi suara yang terdengar kontinu dan suara yang terdengar

tidak kontinu.

Suara napas tambahan dibedakan menjadi empat bunyi, yaitu:

Stridor, yaitu suara yang terdengar kontinu (tidak terputus-putus), bernada tinggi yang

terjadi baik pada saat inspirasi maupun pada saat ekspirasi, dapat terdengar tanpa

menggunakan stetoskop, bunyinya ditemukan pada lokasi saluran napas atas (laring) atau

trakea, disebabkan karena adanya penyempitan pada saluran napas tersebut.

Pada orang dewasam keadaan ini mengarahkan kepada dugaan adanya edema laring,

kelumpuhan pita suaram tumor laring, stenosis laring yang biasanya disebabkan oleh

tindakan trakeostomi atau dapat juga akibat pipa endotrakeal.

Ronkhi basah, yaitu suara yang terdengar kontinu. Ronkhi adalah suara napas tambahan

bernada rendah sehingga bersifat sonor, terdengar tidak mengenakkan (raspy), terjadi

pada saluran napas besar seperti trakea bagian bawah dan bronkus utama. Disebabkan

karena udara melewati penyempitan, dapat terjadi pada inspirasi maupun ekspirasi.

Page 8: Penyakit Paru Obstruktif Kronik

Suara mengi (wheezing), yaitu suara yang terdengar kontinu, nadanya lebih tinggi

dibandingkan suara napas lainnya, sifatnya musical, disebabkan karena adanya

penyempitan saluran napas kecil (bronkus perifer dan bronkiolus). Karena udara

melewati suatu penyempitan, mengi dapat terjadi, baik pada saat inspirasi maupun saat

ekspirasi. Penyempiran jalan napas dapat disebabkan oleh sekresi berlebihan, konstriksi

otot polos, edema mukosa, tumor, maupun benda asing.

Ronkhi kering (Rales atau crackles) yang terdengar diskontunu (terputus-putus)

ditimbulkan karena adanya cairan di dalam saluran napas dan kolapsnya saluran udara

bagian distal dan alveoli. Ada tiga macam ronkhi kering: halus, sedang, dan kasar.

Bising gesek pleura (Pleural friction rubs)

Bising gesek pleura dihasilkan oleh bunyi gesekan permukaan antara pleura parietalis dan

pleura viseralis. Bunyi gesekan terjadi karena kedua permukaan pleura kasar. Permukaan

pleura yang kasar biasanya disebabkan oleh eksudat fibrin. Suara gesekan terdengar keras

pada akhir inspirasi walaupun sebenarnya bising gesek terdengar selama inspirasi

maupun ekspirasi. Bising gesek pleura terdengar saat bernapas dalam. Gesekan lebih

sering terdengar pada dinding dada lateral bawah dan anteriot. Gesekan yang kuat juga

dapat dirasakan pada saat palpasi, dan terasa sebagai vibrasi.

Ronkhi yang terdengar dini saat inspirasi disebabkan oleh obstruksi saluran napas.

Ronkhi kering yang terjadi dini saat inspirasi biasanya disebabkan oleh penutupan

saluran pernapasan kecil pada saat akhir ekspirasi, suara ini akan hilang setelah menarik

napas dalam dalam beberapa kali. Ronkhi kering yang terjadi terlambat pada saat

inspirasi (suaranya seperti ketika mengelentek “Velcro”, (hook and loop fastener),

biasanya berkaitan dengan penyakit yang menyebabkan defek ventilasi yang sifatnya

restriktif seperti fibrosis interstitial difus idiopatik, asbestosis dan sarkoidosis.

Tabel 1. Jenis Crackles dan Penyakit yang Menimbulkannya

Ronkhi yang terdengar dini

(early crackles)

Ronkhi yang terdengar terlambat

(late crackles)

Bronkitis kronik Fibrosis interstitial difus

Asma Pneumonia alveolar

Emfisema Kongesti paru dan edema

Atelektasis crackles Sarkoidosis

Page 9: Penyakit Paru Obstruktif Kronik

Bronkopneumonia

Paru reumatoid

asbestosis

Sumber: Djojodibroto RD. Respirologi (respiratory medicine). Jakarta: Penerbit Buku

Kedokteran EGC, 2009. H. 52-125.

Pola pernapasan

Pada orang normal dalam keadaan istirahat, pernapasannya teratur (regular) denga frekuensi di

antara 12-20 kali per menit. Pergerakan napas terlihat pada dada dan perut. Secara umum pada

laki-laki, pergerakan yang dominan adalah pergerakan perut (abdominal atau diaphragmatic

breathing), sedangkan pada perempuan yang dominan adalah pergerakan dada (costal breathing).

Dalam keadaan normal, rasio durasi inspirasi: durasi ekspirasi = 4:5, yang berarti inspirasi

mengambil waktu 4/ 9 dari durasi respirasi sedangkan ekspirasi 5/ 9 dari durasi respirasi. Namun

pada auskultasi, suara napas yang terdengar pada saat inspirasi lebih panjang dibandingkan

dengan saat ekspirasi. Perubahan pola pernapasan dapat berupa perubahan frekuensi, perubahan

dalamnya inspirasi, perubahan irama (rhytm), rasio antara durasi inspirasi dengan durasi

ekspirasi, dan perubahan pergerakan dada atau perut (mana yang lebih dominan).

Takipnea atau polipnea adalah bernapas dengan cepat, biasanya menunjukkan adanya

penurunan keteregangan paru atau tongga dada. Keadaan seperti itu terdapat pada pneumonia,

kongesti paru, edema, ataupun kelainan dada restritif lainnya. Jika frekuensi napas lebih dari 20

per menit, keadaan ini disebut takipnea.

Bradipnea, yaitu penurunan frekuensi napas atau pernapasannya melambat. Keadaan ini

ditemukan pada depresi pusat pernapasan seperti pada overdosis narkotika.

Apnea, yaitu tidak adanya respirasi selama paling sedikit 10 detik. Keadaan ini sering

ditemukan pada saat tidur dan menandakan adanyua sleep apnea syndrome.

Seperti disebutkan sebelumnya, gejala harus dikumpulkan untuk evaluasi agar didapatkan

hasil evaluasi klinik. Untuk melakukan evaluasi klinik, pemeriksa harus mempunyai

pengetahuan fisiologi klinik, yaitu materi ilmu faal yang banyak kaitannya dengan masalah

klinik.

Berdasarkan evaluasi klinik, dapat diperoleh kesimpulan akhir ataupun sementara tentang

keadaan pasien yang diperiksa, yaitu berupa:

Page 10: Penyakit Paru Obstruktif Kronik

Pasien dikatakan normal, tidak ditemui kelainan yang berkaitan dengan sistem

pernapasannya

Batas antara normal dan abnormal pada pasien yang diperiksa masih sulit untuk

ditentukan, masih perlu dilakukan investigasi.

Terdapat kesan adanya kelainan berdasarkan permeriksaan bed site yang dapat berupa

tanda penyakit paru obstruktif, penyakit paru restriktif, ataupun penyakit paru vascular,

dan diperlukan investigasi lebih lanjut untuk menentukan perluasan penyakit.

Penyakit sistem pernapasan memang ada, namun pola penyakitnya belum dapat ditentukan, dan

masih memerlukan investigasi.

Pemeriksaan penunjang pada penyakit paru

Pemeriksaan penunjang yang mungkin dan sering diperlukan dalam menangani penyakit paru

adalah:

Pemeriksaan darah rutin.

Pemeriksaan jumlah hemoglobin untuk menentukan apakah terdapat anemia,

pemeriksaan Packed cell volume (PCV) untuk menentukan apakah terdapat polisitemia

yang disebabkan oleh bronchitis kronik atau emfisema.

Pemeriksaan mikrobiologik darah.

Pemeriksaan sputum: tampilannya, pemeriksaan mikrobiologik adan sitologik sputum.

Untuk mendapatkan sputum, dapat dilakukan dengan menggunakan teknik aspirasi

transtrakeal.

Pemeriksaan rontgen dada (Chest X-ray).

Pemeriksaan biokimia: kadar α-1 antitripisin, autoantibody, dan IgE untuk allergen

spesifik.

Tes Faal Paru: spirometri, analisis gas darah arteri, tes difusi.

Aspirasi cairan pleura ataupun drainase serta water sealed drainage.

Bronkoskopi: visualisasi, washing, brushing, biopsy, BAL.

Torakoskopi.

Mediastinoskopi.

Ultrasonografi.

CT scan

MRI

Page 11: Penyakit Paru Obstruktif Kronik

Radioisotope Lung Scanning.

Pemeriksaan dengan menggunakan penanda tumor.

Skin prick test

Tes provokasi, exercise test.1

Pemeriksaan fisik untuk PPOK

Penurunan tingkat kesadaran dan sianosis selama eksaserbasi akut; takipnea; peningkatan

diameter anterior-posterior dada (dada tong); penggunaan otot bantu pernapasan, diafragma

rendah pada perkusi; penurunan suara napas; fase ekspirasi pernapasan memanjang; mengi saat

ekspirasi dan krepitasi kasar; jari gada, sianosis, dan edema kaki (penyakit lanjut).3

Penyakit paru obstruksi kronik sering dikaitkan dengan gejala eksaserbasi akut. Pasien

PPOK dikatakan mengalami eksaserbasi akut bila kondisi pasien mengalami perburukan yang

bersifat akut dari kondisi sebelumnya yang stabil dan degna variasi gejala harian normal

sehingga pasien memerlukan perubahan pengobatan yang sudah biasa digunakan. Eksaserbasi

akut ini biasanya disebabkan oleh infeksi (bakteri atau virus), bronkospasme, polusi udara atau

obat golongan sedative. Sekitar sepertiga penyebab eksaserbasi akut dapat ditandai dengan gejala

yang khas seperti sesak napas yang semakin bertambah, batuk produktif dengan perubahan

volume atau purulensi sputum, atau dapat juga memberikan gejala yang tidak kahas seperti

malaise, fatigue dan gangguan susah tidur. Roisin membagi gejala klinis PPOK eksaserbasi akut

menjadi gejala respirasi dan gejala sistemik. Gejala respirasi yaitu berupa sesak napas yang

semakin bertambah berat, peningkatan volume dan purulensi spututm, batuk yang semakin

sering dan napas yang dangkal dan cepat. Gejala sistemik ditandai dengan peningkatan suhu

tubuh, peningkatan denyut nadi serta gangguan status mental pasien.

Pemeriksaan yang diperlukan untuk menilai tingkat keparahan pasien PPOK yang

mengalami eksaserbasi akut adalah:

Tes fungsi paru (mungkin sukar dilakukan untuk pasien yang kondisinya parah)

PEF < 100 L/ menit atau FEV1 < 1L mengindikasikan adanya eksaserbasi yang parah.

Pemeriksaan analisis gas darah

- PaO2 < 8, 0 kPa (60 mmHg) dan atau SaO2 < 90% dengan atau atau tanpa PaCO2 > 6,

7 kPa (50 mmHg), saat bernapas dalam udara ruangan, mengindikasikan adanya

gagal napas.

Page 12: Penyakit Paru Obstruktif Kronik

- PaO2 < 6,7 kPa (50 mmHg), PaCO2 > 9, 3 kPa (70 mmHg) dan pH < 7, 30 memberi

kesan episode yang mengancam jiwa dan perlu dilakukan monitor ketat serta

penanganan intensif.

Foto toraks. Dilakukan untuk melihat adanya komplikasi seperti pneumoni.

Elektrokardiografi (EKG). Pemeriksaan EKG dapat membantu penegakan diagnosis

hipertropi ventrikel kanan, aritmia dan iskemia.

Kultur dan sensitivitas kuman.. Diperlukan untuk mengetahui kuman penyebab serta

resistensi kuman penyebab terhadap antibiotic yang dipakai. Pemeriksaan ini juga

diperlukan jika tidak ada respon terhadap antibiotic yang dipakai sebagai pengobatan

pada permulaan penyakit. Kuman penyebab eksaserbasi akut yang paling sering

ditemukan adalah Streptococcus pneumoniae, Moraxella catarrhalis dan H. influenza

Diagnosis:

Penyakit Paru Obstruktif Kronis (PPOK)

Istilah Penyakit Paru Obstruktif (PPOK) atau Chronic Obstructive Pulmonary Disease(COPD)

ditujukan untuk mengelompokkan penyakit penyakit yang mempunyai gejala berupa

terhambatnya arus udara pernapasan. Istilah ini mulai dikenal pada akhir 1960-an. Masalah yang

menyebabkan terhambatnya arus udara tersebut terletak pada saluran pernapasan maupun pada

parenkim paru. Kelompok penyakit yang dimaksud adalah bronchitis kronik(masalah pada

saluran pernapasan), emfisema (masalah pada parenkim). Secara logika penyakit paru asma

bronkial seharusnya dapat digolongkan ke dalamnya.

Suatu kasus obstruksi aliran udara eskpirasi dapat digolongkan sebagai PPOK jika

obstruktif aliran udara ekspirasi tersebut dapat cenderung progresif. Kedua penyakit tadi

(bronchitis kronik, emfisema) hanya dapat dimasukkan ke dalam PPOK jika keparahan

penyakitnya telah berlanjut dan obstruktifnya bersifat progesif.

Emfisema

Adalah keadaan paru yang ditandai oleh pembesaran abnormal menetap ruang udara

disebelah distal bronkiolus terminal, disertai kerusakan dinding –dindingnya tampa fibrosis yang

nyata. Sebaliknya pembesaran ruang udara tanpa disertai kerusakan tersebut “overinflation”,

Page 13: Penyakit Paru Obstruktif Kronik

sebagai contoh, peregangan ruang udara yang terjadi pada paru yang tersisa setelah

pnemonektomi unilateral.

Gambar 2. Emfisema

Sumber: http://ketobapadah.blogspot.com/2011/05/emfisema.html

Jenis Emfisema

Emfisema diklasifikasikan berdasarkan distribusi anatomiknya di dalam lobules.

Meskipun kata “emfisema” kadang secara longgar diterapkan untuk berbagai penyakit, terdapat

empat tipe utama, yaitu (1) sentriasinus, (2) panasinus, (3) paraseptum, (4) irregular. Emfisema

sentrisinus jauh lebih sering dijumpai dibandingkan bentuk panasinus , membentuk lebih dari

95% kasus.

Emfisema Sentriasinus(Sentrilobulus) Gambaran khas pada emfisema tipe ini adalah

keterlibatan lobules; bagain sentral atau proksimal asinus, yang dibentuk oleh bronkiolus

respiratorik terkena, sedangkan alveolus distal tidak. Oleh sebab itu di dalam asinus dan

lobules yang sama terutama di segmen apical, dapat ditemukan, baik ruang udara yang

emfisematosa maupun normal. Dinding emfisematosa sering mengandung banyak

pigmen hitam. Sering terjadi peradangan di sekitar bronkus dan bronkioulus. Pada

emfisema sentriasinus yang parah, asinus distal mungkin terkena, dan menjadi sulit

dibedakan dengan emfisema parasinus. Emfisema ini sering terjadi pada perokok berat,

disertai bronchitis kronik.

Emfisema Panasinus(Panlobulus). Pada tipe ini, asinus secara merata membesar dari

tingkat bronkioulus respiratorik hingga ke alveolus terminal. Awalan “pan” merujuk

keseluruhan paru. Berbeda dengan sentriasinus, emfisema panasinus scenderung terjadi

di zona bawah dan di batas anterior paru, dan biasanya paling parah di basal. Disebabkan

defisiensi alfa antitrypsin.

Emfisema Asinus Distal(Paraseptum). Pada tipe ini, bagian proksimal asinus normal dan

kelainan terutama mengenai bagian distal. Emfisema ini lebih jelas di dekat pleura, di

sepanjang septum jaringan ikat lobules, dan tepi lobulus, dan ditepi lobulus. Kelainan ini

terbentuk di dekat daerah-daerah fibrosis, jaringan parut, atau ateletaksis dan biasanya

Page 14: Penyakit Paru Obstruktif Kronik

lebih parah di separu paru. Temuan khas adalah ruang udara yang membesar,

bersambungan, kadang membentuk struktur seperti kista. Emfisema ini dapat menjadi

penyebab banyak kasus pneumotoraks spontan pada dewasa muda.

Pembesaran Ruang Udara dengan Fibrosis(Emfisema Ireguler). Emfisema ireguler, diberi

nama demikian karena asinus terkena terbentuk irregular, dan hamper selalu disertai

dengan pembentukkan jaringan parut. Pada kebanyakan kasus, focus-fokus emfisema

irregular ini asimtomatik dan secara klini kurang penting.

Epidemiologi:

Prevalensi dan angka mortalitas meningkat. Di Amerika kasus kunjungan PPOK mecapai

1,5juta, 119.00 orang meninggal selama tahun 2000. Sebagai penyebab kematian, PPOK

menduduki peringkat keempat setelah penyakit jantung, kanker, dan penyakit serebro

vaskuler. Berdasarkan survey kesehatan Dep.Kes.RI tahun 1992, PPOK bersama asma

bronkial menduduki peringkat keenam. Merokok merupakan factor risiko terpenting

penyebab PPOK di samping factor risijo lainnya seperti polusi udara, factor genetic dan lain-

lainnya.

Etiologi:

PPOK adalah masalah kesehatan masyarakat yang besar. Penyakit ini merupakan

penyebab tertinggi keempat morbiditas dan mortalitas di Amerika Serikat dan diperkirakan

mencapai peringkat kelima pada tahun 2020 diseluruh dunia. Dalam sebuah penelitian,

ditemukan emfisema kombinasi panasinus dan sentriasinus pada 50% kasus saat autopsy, dan

penyakit paru dianggap menjadi penyebab kematian pada 6,5% pasien-pasien ini. Terdapat

hubungan yang jelas antara merokok dan emfisema, dan tipe emfisema terjadi pada pria

perokok berat.

Manifestasi Klinis:

Belum terlihat pasti sampai paling sedikit sepertiga parenkim paru fungsional rusak.

Dispnae biasanya adalah gejala awal, sesak napas ini muncul secara perlahan, tetapi terus

progresif. Pada sebagian pasien, batuk atau mengi merupakan keluhan utama sehingga

mudah disangka asma. Batuk dan pengeluaran dahak sangat bervariasidan bergantung pada

Page 15: Penyakit Paru Obstruktif Kronik

keparahan bronchitis yang menyebabkannya. Penurunan berat badan sering terjadi dan dan

dapat sedemikian hebat sehingga seperti menandakan adanya tumor ganas tersembunyi.

Secara klasik, pasien tampak memiliki dada berbentuk tong dan sesak, dengan ekspirasi yang

jelas memanjang, duduk condong ke depan dengan posisi membungkuk, dan bernapas

melalui bibir yang mengkerut.Kematian pada kebanyakan PPOK disebabkan oleh asidosis

repiratorik dan koma, gagal jantung sisi-kanan dan kolaps massif paru akibat pneumotoraks.

Patofisiologis:

PPOK ditandai oleh peradangan kronik ringan di seluruh saluran napas, parenkim, dan

pembuluh darah paru. Makrofag, limfosit T CD8+, dan neutrofil meningkat diberbagai

bagian paru. Sel radang aktif mengeluarkan berbagai mediator, termasuk leukotrien B4, IL-8,

TNF, dan lain-lain yang mampu merusak struktur paru atau mempertahankan peradangan

neutrofilik. Meski demikian rincian mengenai pembentukkan dua bentuk umum emfisema-

sentriasinus dan panasinus-masih belum dipastikan, hipotesis yang paling mungkin untuk

menjelaskan keruakan dinding alveolus adalah mekanisme prostease-antiprostease, dibantu

dnegan ketidakseimbangan oksidan-antioksidan.

Teori protease-antiprotease menyatakan kerusakan dinding alveolus terjadi akibat

ketidakseimbangan antara protease dan antiprotease diparu. Emfisema dipandang sebagai

hasil dari efek destruktif aktivitas protease yang tinggi pada orang dengan aktivitas

antiprotease yang rendah. Hipotesis protease-antiprotease menjelaskan efek merugikan dari

merokok karena pada perokok terjadi, baik peningkatan ketersediaan elastase maupun

penurunan aktivitas antielastase. Untuk perokok , terjadi akumalasi neutrofil dan makrofag di

alveolus. Merokok juga berperan dalam berlanjutnya ketidakseimbangan oksidan-antioksidan

dalam pathogenesis emfisema. Normalnya, paru mengandung sejumlah antioksidan yang

agar kerusakan oksidatif minimal. Asap rokok mengandung banyak spesies oksigen reaktif

yang menguras mekanisme antioksidan ini sehingga terjadi kerusakan jaringan.

Terjadi kemungkinan bahwa tumbukan partikel asap, terutama di percabangan bronkiolus

respiratorik , menyebabkan influks neutrofil dan makrofag dan keduanya kemudian

mengeluarkan berbagai protease. Peningkatan aktivasi protease terlokalisasi di regio

sentiasinus , bersama dengan kerusakan oksidatif akibat asap, menyebabkan terbentuknya

Page 16: Penyakit Paru Obstruktif Kronik

emfisema sentiasinus yang dijumpai pada perokok. Kerusakan jaringan lebih parah akibat

inaktivasi antiprotease protektif oleh spesies oksigen reaktif dalam asap rokok.

Bronkitis Kronik

Bronkitis kronik, sedemikian sering pada pecandu rokok danpenghuni kota-kota yang

diselimuti kabut asap, tidaklah seremeh seperti diperkirakan sebelumnya. Jika menetap hingga

tahunan, penyakit ini dapat berkembang menjadi penyakit saluran napas abstruktif, menimbulkan

kor pulmonate dan gagal jantung, atau menyebabkan metaplasia atipikal dan dysplasia epitel

saluran napas, membentuk lahan subur bagi transformasi keganasan. Definisi-definisi penting

dalam brokitis mencakup yang berikut.

Bronkitis kronik per se didefinisikan secara klinis. Penyakit ini terdapat pada

semua pasien yang mengalami batuk menetap disertai pembentukan sputum

selama paling sedikit 3bulan pada paling tidak 2thun berturutan, tampa kausa lain

yang dapat teridentifikasikan.

Pada bronchitis kronik biasa, pasien mengalami batuk produktif, tetapi tampa

bukti-bukti fisiologik obstruktif saluran napas.

Sebagian orang mungkin memperlihatkan hiperaktivitas saluran napas dengan

serangan bronkospasme dan mengi. Keadaan ini disebut bronchitis asmatik akut.

Yang terakhir, sebagian pasien, terutama perokok berat, mengalami obstruksi

saluran napas kronik, biasanya disertai tanda-tanda emfisema, dan

diklasifikasikan sebagai bronchitis kronik obstruktif.

Epidemiologi:

Bronkitis kronik palin sering dijumpai pada usia pertengahan. Bronkitis kronik 4 sampai 10 kali

lebih sering pada perokok berat tampa memandang jenis kelamin, usia, pekerjaan, atau tempat

tinggal.

Page 17: Penyakit Paru Obstruktif Kronik

Patofisiologis:

Faktor primer atau pemicu dalam pembentukkan bronchitis kronik tampakanya adalah iritasi

kronik oleh bahan-bahan yang terhirup, misalnya asap rokok dan padi-padian, kapas, dan debu

silika. Infeksi bakteri dan virus merupakan hal penting yang dapat memicu eksaserbasi akut

penyakit.

Gambaran paling dini pada bronchitis kronik adalah hipersekresi mucus di saluran napas

besar karena terjadinya hipertrofi kelenjar sumukosa di trakea dan brokus. Protease yang

dikeluarkan dari neutrofil, misalnya elastase dam katepsin neotrofil srta metalloproteinase

matriks, merangsang hipersekresi mucus ini. Seiring dengan menetapnya bronchitis kronik, juga

terjadi peningkatan mencolok jumlah sel goblet di saluran napas kecil, bronkus kecil dan

bronkioulus sehingga produksi mucus berlebihan yang ikut menyebabkan obstuksi saluran napas.

Hipersekresi mucus di saluran napas besar adalah penyebab pembentukkan berlebihan

sputum. Namun kini diperkirakan bahwa perubahan di saluran napas kecil paru dapat

menyebabkan manifestasi obstruksi saluran napas kronik yang secara fisiologis penting dan

muncul dini.

Peran infeksi tampaknya hanya sekunder. Infeksi tidak memicu bronchitis kronik, tetapi

mungkin penting dalam mempertahankannya dan mungkin berperan dalam menimbulkan

eksaserbasi akut. Asap rokok mempermudah terjadinya infeksi melauli lebih dari satu cara, dapat

dengan mengganggu kerja silia epitel saluran napas, dapat secara langsung merusak epitel

saluran napas, dan menghambat kemampuan leokosit bronkus dan alveolus membersihkan

bakteri. Infeksi virus juga dapat menyebabkan eksaserbasi bronchitis kronik.

Terutama Bronkitis Terutama Emfisema

Usia (tahun) 40-45 50-75

Dispnea Ringan , lambat Parah, dini

Batuk Dini, sputum banyak Lambat, sputum sedikit

Infeksi Sering Kadang-kadang

Insufisiensi

pernapasan

Berulang Terminal

Kor pulmonale Sering Jarang, terlambat

Page 18: Penyakit Paru Obstruktif Kronik

Resisten saluran

napas

Meningkat Normal atau sedikit

meningkat

Tabel 1. Emfisema dan Bronkitis Kronik

Dalam spectrum PPOK, dikenal dua gambaran klinis yang ekstrem: tipe A dan tipe B. Dulu

dianggap bahwa tipe ini berkolerasi dengan jumlah relatif emfisema dan bronchitis kronik,

khususnya dalam paru, tetapi keadaannya lebih rumit. Walaupun demikian, penjelasan kedua

pola gambaran klinis ini masih berguna karena mereka mewakili patofisiologi yang berbeda.

Dalam praktik, kebanyakan pasien memiliki gambaran keduanya.

Tipe A

Gambaran khasnya adalah seorang laki-laki pada pertengahan usia 50-an yang semakin sesak

napas dalam 3 atau 4 tahun terakhir. Mungkin tidak ada batuk, mungkin juga terdapat sedikit

dahak putih. Pemeriksaan fisik menunjukkan badan kurus disertai penurunan berat badan. Tidak

ada sianosis. Dada mengembang berlebihan dengan suara napas yang cukup bersih tanpa suara

tambahan. Foto toraks memastikan inflasi berlebihan dengan diafragma yang rendah dan

mendatar, mediastinum yang sempit, dan peningkatan translusensi retrosternal (di antara sternum

dan jantung pada pandangan lateral). Selain itu, foto toraks menunjukkan corakan pembuluh paru

perifer yang menipis dan menyempit. Pasien dijuluki sebagai “pink puffer.”

Tipe B

Gambaran yang khas adalah seorang laki-laki berusia 50-an dengan riwayat batuk kronis disertai

ekspektorasi selama beberapa tahun. Ekspektorasi ini semakin bertambah berat, awalnya hanya

terjadi sewaktu musim dingin, tetapi akhirnya terjadi hampir sepanjang tahun. Eksaserbasi akut

dengan spututm yang jelas purulen semakin sering terjadi. Sesak napas saat kelelahan secara

bertahap memburuk, yang semakin mengurangi toleransi terhadap olahraga. Pasien hampir selalu

seorang perokok selama bertahun-tahun. Hal ini dapat ditunjukkan dengan jumlah bungkus

rokok per hari dikalikan dengan jumlah tahun merokok untuk menyatakan “bungkus—tahun”

(pack years).

Pada pemeriksaan pasien memiliki bentuk tubuh gemuk dengan kulit wajah pletorik dan

sedikit sianosis. Auskultasi menunjukkan rales dan ronki yang menyebar. Mungkin tampak

peningkatan tekanan vena jugularis dan edema pergelangan kaki. Foto toraks menunjukkan

pembesaran jantung, kongesti lapangan paru, dan peningkatan corakan akibat infeksi lama. Garis

Page 19: Penyakit Paru Obstruktif Kronik

paralel (tram lines) dapat terlihat, mungkin disebabkan oleh penebalan dinding bronchi yang

meradang. Pada autopsy, perubahan inflamasi kronis pada bronchi merupakan tanda pasien

menderita bronchitis berat, tetapi mungkin juga terdapat emfisema berat. Pasien ini kadang-

kadang disebut “blue bloaters”.

Dasar patologik tipe A dan B

Seperti yang ditunjukkan sebelumnya, awalnya diyakini bahwa pasien tie A sebagian besar

menderita emfisema sementara pasien tipe B terutama menderita bronchitis kronis. Namun,

pernyataan ini terlalu sederhana. Bagian yang membingungkan adalah bahwa kriteria yang

berbeda untuk kedua tipe tersebut telah digunakan oleh dokter yang berbeda. Biasanya, jika kita

membatasi klasifikasi tipe B untuk pasien batuk kronik berat dengan ekspektorasi, seperti pada

deskripsi yang asli, pasien demikian cenderung menunjukkan gambaran patologik bronchitis

kronk. Akan tetapi, luasnya emfisema pada paru sulit untuk diperkirakan selama hidup.

Beberapa dokter yakin bahwa perbedaan terpenting antara kedua tipe adalah dalam

pengendalian napas. Mereka menyatakan bahwa hipoksemia yang lebih berat dan dampak

insiden kor pulmonale yang lebih tinggi pada pasoen tipe B dapat disebabkan oleh dorongan

ventilasi yang berkurang, terutama sewaktu tidur.14

Tabel 3. Beberapa gambaran tipe A dan tipe B pada PPOK

Tipe A—Pink Putter Tipe B—Blue Bloater

Dispnea yang memberat dalam beberapa tahun Dispnea yang bertambah dalam beberapa tahun

Sedikit atau tanpa batuk Batuk berdahak yang sering

Ekspansi berlebihan yang jelas pada dada Penambahan volume dada yang sedang atau

tidak bertambah

Tidak ada sianosis Seringkali ada sianosis

Suara napas yang bersih Mungkin ada rales ronkhi

Tekanan v ena jugularis normal Mungkin ada peningkatan tekanan vena

jugularis

Tidak ada edema perifer Mungkin ada edema perifer

PO2 arterinya berkurang sedikit PO2 biasnya sangat rendah

PCO2 arteri normal PCO2 seringkali meningkat

Sumber: West JB. Pulmonary pathophysiology: the essentials. 6th Ed. Nuraini, editor. Jakarta:

Penerbit Buku Kedokteran EGC, 2010. h. 69-97.

Page 20: Penyakit Paru Obstruktif Kronik

Eksaserbasi Akut

Pada seseorang yang telah didiagnosis sebagai penderita PPOK, dalam keadaan normal penderita

ini telah berada dalam keadaan dispnea, berdahak dan batuk. Pada eksaserbasi akut PPOK dapat

disebabkan oleh infeksi sistem pernapasan, pengaruh polusi lingkungan, gagal jantung, infeksi

sistemik pernapasan, pengaruh polusi lingkungan, gagal jantung, infeksi sistemik, atau juga

emboli paru. Eksaserbasi akut PPOK yang ringan belum memerlukan perawatan di rumah sakit,

sedangkan eksaserbasi yang sedang dan berat harus dipertimbangkan untuk dirawat di rumah

sakit.

Tabel 4. Klasifikasi Eksaserbasi Akut PPO

Tipe 1 Adanya salah satu gejala utama:

Bertambahnya dispnea

Bertambahnya sputum purulen

Bertambahnya volume sputumdan disertai

salah satu dari:

Infeksi sistem pernapasan 5 hari terakhir

Demam yang tidak diketahui penyebabnya

Bertambahnya suara mengi

Bertambahnya gejala batuk

Bertambahnya frekuensi napas dan detak

jantung > 20% dari baseline

Tipe 2 Adanya dua dari tiga gejala utama

Tipe 3 Adanya tiga gejala utama

Sumber: Djojodibroto RD. Respirologi (respiratory medicine). Jakarta: Penerbit Buku

Kedokteran EGC, 2009. h. 52-125.

Penatalaksanaan

Penatalaksanaan PPOK mencakup penghentian merokok, imunisasi terhadap influenza,

vaksin pneumokokus, pemberian antibiotik (pada beberapa negara bahkam sebagai profilaksis),

bronkodilator, dan kortikosteroid, terapi oksigen, pengontrolan sekresi, serta latihan dan

rehabilitasi yang berupa latihan fisik, latihan napas khusus dan bantuan psikis.1

Page 21: Penyakit Paru Obstruktif Kronik

Penatalaksanaan non medika mentosa

Berhenti merokok: banyak modalitas yang tersedia, termasuk hipoksia, penggantian

nikotin (nasal, oral, dermal), buspiron, dan kelompok pendukung.

1) Segera memperbaiki fungsi paru.

2) Memperlambat laju penurunan fungsi paru selama bertahun-tahun/

3) Mengurangi jumlah komplikasi infeksi dan eksaserbasi.

4) Sering disertai dengan peningkatan batuk dan kecemasan selama beberapa minggu

pertama.

5) Kontak tidak lanjut yang sering antara penyedia jasa dan pasien dapat meningkatkan

peluang berhenti merokok dalam jangka panjang.

Terapi oksigen: pada eksaserbasi akut dengan hipoksemia berat, oksigen sangat vital

untuk kelangsungan hidup; pada pasien hipoksemia berkelanjutan dan pasien cor pulmonale,

terapi oksigen di rumah memperbaiki toleransi terhadap olahraga dan ketahanan hidup.3

Gagal napas akut ditandai dengan PaO2 < 50 mmHg (ketika bernapas dengan udara kamar) atau

dapat juga PaCO2 > 50 mmHg, dengan pH < 7, 35. Suplemen oksigen akan mengurangi

vasokonstriksi kapiler paru dan juga mengurangi beban jantung kanan, mengurangi iskemia otot

jantung dan memperbaiki penyerapan oksigen. Suplemen oksigen yang berlebihan menyebabkan

hiperkapnia karena perubahan keseimbangan ventilasi-perfusi, dan juga menyebakan ventilator

drive hipoksik. Terapi oksigen diyakini dapat meningkatkan angka harapan hidup dan

mengurangi risiko terjadinya kor pulmonale.1

Nutrisi: berat badan rendah berhubungan dengan penurunan kekuatan otot respirasi dan

peningkatan mortalitas; suplemen diet dan pemberian makanan tambahan dengan cepat bila

dirawat di rumah sakit sangan penting.

Vaksinasi: influenza dan pneumokokus regular.

Rehabilitasi: beberapa teknik lebih efektif dari yang lainnya, tetapi semuanya berpotensi

membantu; teknik kontrol pernapasan, fisioterapi dada, latihan olah raga, latihan otot

pernapasan, terapi okupasional.

Edukasi: penelitian memperlihatkan bahwa pasien yang diberi informasi mengenai

penyakit mereka dan mengenai implikasi penanganannya akan lebih bisa memahami, mengenal,

dan menangani gejala penyakit mereka.

Page 22: Penyakit Paru Obstruktif Kronik

Dukungan psikologis: kecemasan, depresi dan keletihan sering terjadi pada pasien PPOK;

bukti kuat menunjukkan bahwa partisipasi dalam program rehabilitasi dengan edukasi, olah raga,

dan teknik relaksasi lebih efektif dalam mengurangi kecemasan dibandingkan psikoterapi.

Rujukan untuk kemungkinan pembedahan: beberapa teknik kini tersedia untuk pasien

yang dipilih secara cermat, termasuk pembedahan untuk mengurangi volume paru, bulektomi,

dan transplantasi paru, menghasilkan perbaikan dispnea, dan uji fungsi paru.

tuk pengobatan yang non asidosis. 1, 3, 15

Antibiotic. Diberkan jika gejala seseak napas dan batuk disertai dengan peningkatan

Farmakoterapi kronis

Ipratropium: obat garis pertama untuk PPOK stabil (bukannya agonis beta) karena

efektivitasnya lebih lama dengan efek samping lebih sedikit dan ada beberapa bukti bahwa

ipratropium dapat memperlambat progresi penyakit; harus digunakan secara teratur; agen baru

dengan kerja lebih panjang, seperti tiotropium, dapat meningkatkan kepatuhan.

Beta2 agonis inhalasi: sekarang dianggap sebagai obat garis kedua yang dapat digunakan

sebagai suplemen ipratropium (inhaler kombinasi terlah tersedia); obat kerja panjang

(salmeterol) dapat menhasilkan perbaikan gejala secara bermakna, terutama di sepanjang

malam.3

Pemberian inhalasi agonis β2 short-acting maupun long-acting dan antikolinergik dapat

berfungsi sebagai bronkodilator, lebih baik jika dibandingkan dengan penggunaan metilxantin.

Pada praktiknya yang paling baik adalah pemberian kombinasi ipratropium (antikolonergik)

dengan albuterol (agonis β2). Metilxantin diperkirakan mempunyai pengaruh dalam memperkuat

kontraksi diafragma.1

Pemberian secara inhalasi (MDI) lebih menguntungkan daripada cara oral atau parenteral

karena efeknya cepat pada organ paru dan efek sampingnya minimal. Pemberian secara MDI

lebih disarankan daripada pemberian cara nebulizer. Obat dapat diberikan sebanyak 4-6 kali, 2-4

hirup sehari. Bronkodilator kerja cepat (fenoterol, salbutamol, terbutalin) lebih menguntungkan

daripada yang kerja lambat (salmeterol, formeterol), karena efek bronkodilatornya sudah dimulai

dalam beberapa menit dan efek puncaknya terjadi setelah 15-20 menit dan berakhir setelah 4-5

jam. Bila tidak segera memberikan perbaikan, bisa ditambah dengan pemakaian antikolinergik

sampai dengan perbaikan gejala. Obat-obat bronkodilator yang sering digunakan untuk

penanganan PPOK: 15

Page 23: Penyakit Paru Obstruktif Kronik

Tabel 5. Daftar Obat yang Umum Dipakai pada PPOK

Obat Inhaler (g) Nebuliser (mg/

ml)

Oral (mg) Lama kerja

(jam)

Antikolinergik

Ipatropium brom

Tiotropium

40-80 (MDI)

18 (DPI)

0,25-0,5 6-8

24

Β2-agonis

Fenoterol

Salbutamol

Terbutalin

Procaterol

Formoterol

Salmeterol

100-200 (MDI)

100-200(MDI

& DPI)

250-500 (DPI)

10

12-24 (MDI &

PDI)

50-100 (MDI &

PDI)

0,5-2,0

2,5-5,

05-10

2-4

2,5-5

0,25-0,5

4-6

4-6

4-6

6-8

12

12

Metilxantin

Aminofilin

Teofilin SR

200

100-400

4-6

12-24

Glukokortikoid

sistemik

Prednison 5-60 (pil)

Page 24: Penyakit Paru Obstruktif Kronik

Metilprednison 10-2000 mg 4, 8, 16 (pil)

Glukokortikoid

Inhaler

Beklometason

Budesonide

Flutikasone

Triamsinolon

100, 250, 400

(MDI & DPI)

100, 200, 400

(DPI)

50-500 (MDI &

PDI)

100 (MDI)

0,2-0,4

0,2; 0, 25; 0, 5

40

Kombinasi β2-agonis

(short-acting) dengan

antikolinergik dalam

satu inhaler

Fenoterol/ Ipratropium

Salbutamol/

Ipratropium

200/ 80 (MDI)

75/ 15 (MDI)

1, 25/ 0, 5

0, 75/ 4, 5

6-8

6-8

Kombinasi β2-agonis

(long-acting) dengan

glukokortikosteroid

dalam satu inhaler

Formoterol/

Budesonide

Salmeterol/

Flutikasone

4, 5/ 50, 160

(DPI)

(9/ 320) (DPI)

50/ 100, 250,

500 (DPI)

25/ 50, 125,

250 (MDI)

MDI: metered dose inhaler; DPI: dry powder inhaler; SR: slow release

Page 25: Penyakit Paru Obstruktif Kronik

Sumber: Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata M, Setiati S. Pulmonologi. Jakarta:

Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia,

2006. h. 994-6.

Teofilin: rasio keuntungan risiko yang kontrversial; mungkin berguna di malam hari

untuk peredaan yang lama saat tidur; kadar serum dan potensi interaksi obat harus dipantau

dengan ketat.

Steroid: tidak seperti asma, obat anti—inflamasi tidak diperlukan untuk perlindungan

jalan napas pada PPOK dan hanya sekitar 20% pasien yang akan membaik dengan steroid, maka

uji terapeutik hanya boleh dilakukan pada PPOK berat dan obat harus dihentikan bila tidak ada

perbaikan FEV1 yang terukur dalam 2 minggu. Penggunaan steroid pada PPOK yang stabil

dinilai controversial. Namun, untuk penderita yang mempunyai saluran pernapasan reaktif dan

pada PPOK derajat menengah atau berat, pemberian kortikosteroid memberikan perbaikan yang

signifikan dan mengurangi frekuensi terjadinya eksaserbasi. Pemberian kortikosteroid pada kasus

ini harus secara sitemik dan bukan per inhalasi. Pada pasien yang berespons terhadap steroid,

bisa dipertimbangankan pemberian steroid inhalasi. Pada PPOK yang disertai eksaserbasi akut,

pemberian kortikosteroid per inhalasi tidak memberikan perbaikan.

Komplikasi

Komplikasi yang paling umum dari PPOK adalah infeksi pernapasan. Sistem pernapasan

merespons terhadap proses infeksi termasuk dengan meningkatkan frekuensi pernapasan, iritasi

mukosa, dan peningkatan pembentukan sputum. Karena respons setempat ini, klien dapat

mengalami spasme bronkus dan perubahan dalam pola pembentukan sputum mereka. Jika infeksi

tetap tidak teratasi akibatnya adalah peningkatan kerja bernapas dengan akibat akhir gagal napas.

Itulah sebabnya penting sekali untuk mengingatkan klien adar menghindari infeksi pernapasan

(suruh klien untuk melakukan langkah-langkah berikut unutk mengurangi kemungkinan tertular

infeksi pernapasan; (a) hindari kerumunan banyak orang terutama ketika musim influenza,

hindari orang yang terinfeksi saluran napas atasm (b) hubungi tenaga perawatan kesehatan jika

mengalami perubahan warna, jumlah, dan konsistensi sputum; batuk meningkat, peningkatan

keletihan, dispnea, penambahan berat badan, edema perifer dan kenaikan suhu tubuh.6

Hipertensi paru yang menyebabkan cor pulmonal.

Page 26: Penyakit Paru Obstruktif Kronik

Hipoksemia (rendahnya PaO2) kronik pada PPOK merupakan vasokonstriktor pulmonal

yang kuat. Vasokonstriksi pulmonary meningkatkan tekanan arteri pulmonal/ hipertensi

pulmonal. Hipoksemia sebagian besar disebabkan oleh ketidakcocokan Va/ Q dan

menyebabkan polisitemia (peningkatan sel darah merah) dan peningkatan tekanan arteri

pulmonalis (hipertensi pulmonal) akibat vasokonstriksi paru hipoksik. Gangguan yang

terjadi pada fungsi jantung kanan menyebabkan retensi cairan oleh ginjal, peningkatan

tekanan vena sentralis, dan edema perifer. Keadaan tersebut kemudian dapat

menyebabkan cor pulmonal (retensi cairan/ gagal jantung akibat penyakit paru).

Hipertensi pulmonal dipotensiasi oleh hilangnya kapiler yang luas pada penyakit lanjut.5

Intervensi keperawatan untuk kelebihan cairan yang diakibatkan oleh cor pulmonale

didasarkan pada pemahaman bahwa penyakit diatasi dengan menangani penyebab yang

mendasari hipertensi pulmonal. Oleh karenanya, intervensi keperawatan difokuskan pada

peningkatan ventilasi yang adekuat untuk mengoptimlakan pertukaran O2/ CO2 dan

menghilangkan gejala-gejala yang diakibatkan oleh kelebihan cairan.6

Pneumotoraks

Pneumotoraks adalah adanya udara dalam rongga pleura. Bisa terjadi dalam konteks

penyakit pernapasan kronis seperti asma atau PPOK.5 Salah satu penyebab pneumotoraks

adalah penyakit paru sebelumnya: peningkatan insidensi pneumotoraks dengan penyakit

paru yang mendasari seperti emfisema, fibrosis kistik, atau penyakit paru interstisial.14

Pneumotoraks spontan terjadi bila pada seseorang dengan emfisema (paru yang melebar

abnormal akibat penyakit menahun, sehingga paru dalam keadaan inspirasi terus), sebuah

nleb pada permukaan paru pecah dan membebaskan udara ke dalam rongga pleura.

Kadang-kadang udara dapat memasuki rongga pleura pada inspirasi tetapi karena

jaringan menutupi lubang itu pada ekspirasi, maka udara tidak dapat ke luar. Akibatnya

terjadi “tension pneumotjorax.”

Gejala klinik pneumotoraks adalah dispnea dan nyeri dada mendadak. Pergeseran letak

trakea, suara napas bronkial pada sisi yang bersangkutan. Pada awalnya terdapat hipoksia

akut. Berat ringannya gejala klinik tergantung berat/ tingkatnya pneumotoraks. Gejala

“tension pneumootoraks” termasuk distres/ gawat paru yang menghebat disertai sianosis,

sternum menonjol, vena leher melebar, CVP meningkat dan hipotensi.9

Page 27: Penyakit Paru Obstruktif Kronik

Prognosis

Prognosis keseluruhan untuk pasien PPOK bergantung pada keparahan obstruksi aliran udara.

Pasien dengan FEV1 < 0, 8 L mempunyai angka mortalitas tahunan ~25%. Pasien dengan cor

pulmonal, hiperkapnia, kebiasaan merokok, dan penurunan berat badan memiliki prognosis

buruk. Kematian biasanya terjadi akibat infeksi, gagal napas kaut, embolus paru, atau aritmia

jantung.5