penyakit paru obstruktif kronik
TRANSCRIPT
Penyakit Paru Obstruktif Kronik
Grace Vanny Sayow
102009097/C4
Mahasiswi
Fakultas Kedokteran
Universitas Kristen Krida Wacana
Jalan Arjuna Utara No 6, Jakarta 11510
Pendahuluan
Istilah Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) atau Chronic Obstructive Pulmonary Disease
(COPD) ditujukan untuk mengelompokkan penyakit-penyakit yang mempunyai gejala
terhambatnya arus udara pernapasan. Istilah ini mulai dikenal pada akhir 1950-an dan permulaan
tahun 1960-an. Masalah yang menyebabkan terhambatnya arus udara tersebut bisa terletak pada
saluran pernapasan maupun parenkim paru. Kelompok penyakit yang dimaksud adalah
bronchitis kronik (masalah saluran pernapasa), emfisema (masalah pada parenkim). Ada
beberapa ahli yang menambahkan ke dalam kelompok ini, yaitu asma bronchial kronik, fibrosis
kistik dan bronkiektasis. Secara logika penyakit asma bronchial seharusnya dapat digolongkan ke
dalam golongan arus napas yang terhambat, tetapi pada kenyataannya tidak dimasukkan ke
dalam golongan PPOK.
Anamnesis
Anamnesis atau history taking adalah pendekatan pada pasien dengan memberikan pertanyaan
mengenai keluhan utama, perjalanan penyakit yang kini diderita, riwayat penyakit yang pernah
diderita, kemudia review sistem, kebiasaan pribadi seperti merokok, jumlah rokok yang dihisap,
dan kebiasaan minum minuman keras.
Seseorang disebut perokok jika selama hidupnya pernah mengisap rokok sebanyak 100
batang rokok atau lebih dan masih merokok hingga saat dilakukan anamnesis. Disebut bekas
perokok jika seorang perokok terlah meninggalkan kebiasaan merokok sejak satu tahun sebelum
dilakukan anamnesis. Seorang perokok disebut perokok berat (heavy smoker) jika hasil perkalian
jumlah batang rokok per hari dengan jumlah tahun merokok > 400, atau Indeks Brinkman lebih
besar dari 400 atau 20 pack-years. Perlu pula ditanyakan apakah anggota keluarga di rumah atau
teman di tempat kerja ada yang merokok, hal ini untuk menentukan seseotang sebagai “perokok
pasif” atau bukan. Pertanyaan dilanjutkan dengan apakah ada kebiasaan minum minuman keras,
adakah penggunaan narkoba dan obat terlarang lainnya, riwayat penyakit dahulu (baik penyakit
pernapasan maupun penyakit lain). Selain itu, juga perlu ditanyakan tentang riwayat pekerjaan
sekarang dan dahulu (banyak penyakit yang disebabkan oleh pekerjaan yang melibatkan paru).
Apakah pasien pernah bepergian ke daerah lain yang merupakan daerah endemic suatu penyakit.
Dengan anamnesis dapat dikumpulkan keluhan yang dikemukakan oleh pasien yang
kemudian diterjemahkan sebagai gejala umum dan gejala repiratorik, kemudian juga
dikumpulkan riwayat penyakit sekarang dan dahulu.1
Riwayat penyakit sekarang
Berapa lama pasien merasa sesak napas? Kapan pasien merasa sesak napas: saat istirahat
atau aktivitas?
Apa yang dilakukan pasien sebelum merasa sulit bernapas? Berapa jauh pasien dapat
berjalan? Apakah pasien mengalami keterbatasan olahraga yang progresif?
Apakah pasien batuk? Jika ya, adakah sputum, berapa banyak, dan apa warnanya?
Apakah terdapat mengi? Jika ya, kapan?
Berapa lama pasien mengalami keadaan seburuk ini? Kira-kira apa pemicunya?
Apakah pasien mengalami nyeri dada atau sesak napas saat berbaring?
Pernahkah pasien mendapat ventilasi? Pernahkan pasien dirawat di rumah sakit? (Jika ya,
berapa hasil spirometri dan gas darah awal?)
Apakah terdapat penurunan berat badan?
Riwayat penyakit dahulu
Tanyakan kondisi pernapasan terdahulu (misalnya asma, TB, karsinoma bronkus, bronkiektasis,
atau emfisema).
Selidiki adanya kelainan kondisi jantung atau pernapasan lain.
Pernahkah ada episode pneumonia?
Tanyakan gejala apnea saat tidur (mengantuk di siang hari, mendengkur). Adakah kemunduran
di musim dingin?
Obat-obatan
Tanyakan respons pasien terhadap terapi kortikosteroid, nebulizer, oksigen di rumah? Apakah
pasien menggunakan oksigen di rumah? Jika ya, selama berapa jam sehari digunakan?
Dapatkan riwayat merokok pasien (dahulu [bungkus per hari/ tahun], sekarang, dan pasif).
Riwayat keluarga dan social
Bagaimana riwayat pekerjaan pasien? (pneumoconiosis?)
Adakah riwayat masalah pernapasan kronis di keluarga (pertimbangkan defisiensi α1-
antitripsin)?
Bagaimana tingkat disabilitas pasien? Bagaimana toleransi olahraga pasien? Apakah pasien
mampu keluar rumah? Bisakah pasien naik tangga? Di mana kamar tidur/ kamar mandi pasien,
dan sebagainya? Siapa yang berbelanja, mencuci, memasak, dan sebagainya?2
Pemeriksaan Fisik dan Pemeriksaan Penunjang
Gejala dikumpulkan melalui anamnesis atau history taking sedangkan tanda dikumpulkan
melalui pemeriksaan fisik.
Pemeriksaan fisik (physical examination) juga sering disebut sebagai diagnosis fisik. Dalam
melakukan pemeriksaan fisik pada penyakit pernapasam, pemeriksaan jangan hanya dibatasi
pada sistem pernapasan saja tetapi harus juga memeriksa organ yang sering berkaitan dengan
penyakit pernapasan, misalnya penyakit jantung memengaruhi pola pernapasan, adanya
tromboflebitis perifer merupakan indikasi kemungkinan terjadinya emboli paru. Ditemukannya
gejala jari tabuh (clubbing of fingers) dapat merupakan manifestasi gejala penyakit paru, begitu
juga dengan sianosis ujung jari atau bibir dapat merupakan gejalanya adanya kelainan pada
sistem pernapasan.
Untuk keperluan pemeriksaan fisik, pasien diminta untuk melepas baju sehingga dada
dan perut dapat diperiksa dengan leluasa. Diperlukan sinar yang cukup untuk penerangan,
kadang-kadang diperlukan sinar dari arah samping atau tangensial. Mula-mula pasien diperiksa
dalam posisi duduk, kemudian berbaring atau berbaring setengah duduk dengan sudut 30-45˚.
Ada 4 komponen dasar pemeriksaan fisik, yaitu inspeksi, palpasi, perkusi dan auskultasi.
Pemeriksaan fisik paru secara umum
Inspeksi
Pemeriksaan dengan cara melihat objek yang diperiksa disebut inspeksi. Inspeksi
merupakan fase awal pemeriksaan yang sangat penting untuk mendapatkan informasi tentang
gejala penyakit. Pemeriksaan ini bertujuan untuk mendapatkan informasi tentang tampilan
umum, tingkat penderitaan karena penyakitnya, tingkat stress, status perkembangan tubuh,
habitus, sianosis, gaya jalan, nutrisi, warna kulit, corak kulit, dan perilaku pasien. Inspeksi yang
berkaitan dengan sistem pernapasan adalah observasi dada, bentuknya simetris atau tidak, gerak
dada, pola napas, frekuensi napas, irama, apakah terdapat ekhalasi yang panjang (sighing) atau
unjal ambegan (Jw), apakah terdapat penggunaan otot pernapasan tambahan, gerak paradoks,
retraksi iga, retraski di atas klavikula, apakah terdapat parut luka yang kemungkinan bekas
operasi. Gerak paradoks karena diafragma lemah atau paresis sering terlewat dalam pemeriksaan.
Penghitungan frekuensi napas jangan diketahui oleh pasien karena akan mengubah pola
napasnya. Lakukan penghitungan frekuensi napas seolah-olah seperti menghitung frekuensi
detak nadi.
Palpasi
Palpasi dimulai dengan memeriksa telapak tangan dan jari, leher, dada, dan abdomen. Jari
tabuh atau clubbing of finger bisa didapatkan pada kanker paru, abses paru, empiema, serta
bronkiektasis. Tekanan vena jugularis (Jugular Venous Pressure, JVP) diperlukan untuk
mengetahui tekanan pada atrium kanan. Pemeriksaan leher bertujuan untuk menentukan apakah
trakea tetap di tengah atau bergeser dari tempatnya, apakah terdapat penonjolan nodus limfa.
Pemeriksaan palpasi dada akan memberikan informasi tentang penonjolan di dinding dada, nyeri
tekan, gerakan pernapasan yang simetris atau asimetris, derajat ekspansi dada, dan untuk
menentukan tactile vocal fremitus. Untuk mengukur derajat ekspansi dada diperlukan
pengukuran menggunakan pita ukur (mitlin, measuring tape). Pemeriksaan gerak dada dilakukan
dengan cara meletakkan kedua telapak tangan secara simetris pada punggung. Kedua ujung ibu
jari diletakkan di samping linea vertebralis dengan jarak yang sama. Pasien diminta untuk
melakukan inspirasi dalam. Jika gerak dada tidak simetris, jarak ibu jari kanan dan kiri terhadap
linea vertebralis akan berbeda.
Pemeriksaan tactile vocal fremitus berdasarkan persepsi telapak tangan terhadap vibrasi
di dada yang disebabkan oleh adanya transmisi getaran suara dari laring ke dinding dada. Sisi
ulnar telapak tangan diletakkkan dengan ringan pada dinding dada kemudian pasien diminta
untuk mengucapkan kata ninety nine (bukan Sembilan puluh Sembilan) atau tujuh puluh tujuh.
Apakah vibrasi yang dirasakan pada beberapa tempat sama (normal) atau berbeda (ada yang
lebih lemah atau lebih kuat). Pemeriksaan tactile vocal fremitus dilakukan dengan satu tangan
yang sama dan berpindah-pindah, bukan dengan dua tangan.
Gambar 1. Pemeriksaan gerakan dada
Sumber: http://ebookperawat.blogspot.com/2009/12/lung-
examination-pemeriksaan-paru.html
Perkusi
Pengetukan dada (perkusi) akan menghasilkan vibrasi pada dinding dada dan organ paru
di bawahnya akan dipantulkan dan diterima oleh pendengaran pemeriksa. Nada dan kerasnya
bunyi tergantung pada kuatnya perkusi dan sifat organ di bawah lokasi perkusi. Perkusi di atas
organ yang padat atau organ yang berisi cairan akan menimbulkan bunyi dengan amplitudo
rendah dan frekuensi tinggi yang disebut suara pekak (dull, stony dull). Perkusi di atas organ
yang berisi udara menimbulkan bunyi resonansi, hiperesonansi dan timpani. Cara melakukan
perkusi adalah permukaan palmar jari tengah (yang berperan sebagai pleksimeter) diletakkan
pada dinding dada di atas sela iga kemudian diketuk dengan jari tengah yang lain (sebagai
fleksor).
Auskultasi
Indera pendengaran pemeriksa sangat penting dalam pemeriksaan sistem pernapasan.
Penyakit pada laring dapat diduga dari adanya perubahan suara saat berbicara. Stridor, yaitu
suatu bunyi inspirasi yang terdengar nyaring, bernada tinggi serta kasar, menandakan adanya
obstruksi saluran napas atas. Suara mengi pada serangan asma dapat terdengar dari jarak yang
jauh. Semua suara tersebut dapat didengar dengan telinga tanpa bantuan apa pun.
Auskultasi adalah mendengarkan suara yang berasal dari dalam tubuh dengan cara
menempelkan telinga ke dekat sumber bunyi atau agar lebih mudah dengan menggunakan
stetoskop.
Auskultasi dilakukan mulai dari leher, dada, dan kemudian abdomen. Urutan melakukan
auskultasi sebaiknya sistematik. Untuk keperluan ini dinding dada anterior dibagi menjadi 6
lokus sedangkan punggung posterior dibagi menjadi 12 lokus. Mula-mula batas dasar posterior
paru ditentukan dengan perkusi.
Suara napas
Suara napas ditimbulkan oleh pergerakan turbulen udara dalam saluran napas, terutama di trakea
dan saluran napas besar. Getaran bunyi ini akan merambat melalui udara yang terdapat pada
bronkus utama menuju ke perifer paru. Ketika melalui udara pada bronkiolus yang kecil,
transmisi getaran suara menjadi sangat terbatas sehingga getaran beralih memilih melewati
parenkim paru. Suara napas mempunyai dua komponen bunyi, yaitu bunyi bronchial yang
berfrekuensi tinggi dan bunyi vesicular yang berfrekuensi lebih rendah.
Suara napas bronchial berfrekuensi tinggi, kasar dan nyaring, dan terdapat waktu jeda di
antara inspirasi dan ekspirasi. Suara napas bronchial ditransmisikan ke segala penjuru tetapi
tersaring oleh parenkim paru sehingga suara bronchial murni hanya terdengar jelas di atas trakea.
Di lapangan dada bagian atas, suara bronchial terdengar berbaur dengan suara vesicular
berfrekuensi rendah sehingga disebut sebagai suara bronkovesikular. Dengan demikian, di
lapangan atas paru, suara yang dominan adalah suara bronkovesikular. Suara napas bronchial
sebaiknya didengar menggunakan stetoskop berbentuk diafragma.
Suara napas vesicular sifatnya lemah, berfrekuensi rendah dan seperti tiupan, terdengar
terutama saat inspirasi dan akan hilang beberapa saat ketika ekspirasi. Suara napas vesicular
yang tidak berbaur dengan suara napas bronchial dapat didengar di lapangan bawah paru. Suara
napas vesicular sebaiknya didengar dengan menggunakan stetoskop bentuk bel.
Penghantaran suara napas paru dipengaruhi oleh jenis dan sifat jaringan yang dilalui.
Suara napas akan terdengar nyaring pada anak-anak dan orang yang kurus, sedangkan pada
orang gemuk terdengar lemah dan memberikan kesan bahwa sumber suaranya jauh.
Terdengarnya suara napas bronchial yang tidak pada tempat biasanya, menunjukkan adanya
kelaina paru yang dapat berupa konsolidasi ataupun atelektasis.
Intensitas suara dapat normal, menurun ataupun meningkat. Intensitas yang menurun
dapat disebabkan oleh dua kemungkinan, yaitu aliran udara pernapasan yang berkurang sehingga
suara napas menjadi pelan seperti yang terjadi pada emfisema, paralisis diafragma atau
kemungkinan obstruksi saluran napas. Kemungkinan lain adalah transmisi suara napas dari
sumber bunyi ke dinding dada yang berkurang seperti pada pneumotoraks, efusi pleura maupun
penebalan pleura. Transmisi suara yang bertambah menyebabkan terdengarnya suara napas
bronchial pada lapangan paru perifer, seperti pada konsolidasi paru atau pada interface antara
efusi pleura dan paru yang terhimpit.
Jika terdengar suara napas bronchial, pemeriksaan dilanjutkan kepada ada tidaknya
resonansi suara napas (vocal resonance), egofoni, bronkofoni dan whispering pectoriloquy.
Suara napas tambahan
Selain suara napas bronchial dan vesicular yang merupakan suara napas normal, terdapat suara
napas lain yang disebut suara napas tambahan. Suara napas tambahan hanya didapatkan pada
keadaan tidak normal. Suara napas tambahan disebut juga suara napas tidak normal, suara ini
disebabkan karena adanya penyempitan jalan napas atau obstruksi. Menurut lamanya bunyi,
suara napas tambahan dibedakan menjadi suara yang terdengar kontinu dan suara yang terdengar
tidak kontinu.
Suara napas tambahan dibedakan menjadi empat bunyi, yaitu:
Stridor, yaitu suara yang terdengar kontinu (tidak terputus-putus), bernada tinggi yang
terjadi baik pada saat inspirasi maupun pada saat ekspirasi, dapat terdengar tanpa
menggunakan stetoskop, bunyinya ditemukan pada lokasi saluran napas atas (laring) atau
trakea, disebabkan karena adanya penyempitan pada saluran napas tersebut.
Pada orang dewasam keadaan ini mengarahkan kepada dugaan adanya edema laring,
kelumpuhan pita suaram tumor laring, stenosis laring yang biasanya disebabkan oleh
tindakan trakeostomi atau dapat juga akibat pipa endotrakeal.
Ronkhi basah, yaitu suara yang terdengar kontinu. Ronkhi adalah suara napas tambahan
bernada rendah sehingga bersifat sonor, terdengar tidak mengenakkan (raspy), terjadi
pada saluran napas besar seperti trakea bagian bawah dan bronkus utama. Disebabkan
karena udara melewati penyempitan, dapat terjadi pada inspirasi maupun ekspirasi.
Suara mengi (wheezing), yaitu suara yang terdengar kontinu, nadanya lebih tinggi
dibandingkan suara napas lainnya, sifatnya musical, disebabkan karena adanya
penyempitan saluran napas kecil (bronkus perifer dan bronkiolus). Karena udara
melewati suatu penyempitan, mengi dapat terjadi, baik pada saat inspirasi maupun saat
ekspirasi. Penyempiran jalan napas dapat disebabkan oleh sekresi berlebihan, konstriksi
otot polos, edema mukosa, tumor, maupun benda asing.
Ronkhi kering (Rales atau crackles) yang terdengar diskontunu (terputus-putus)
ditimbulkan karena adanya cairan di dalam saluran napas dan kolapsnya saluran udara
bagian distal dan alveoli. Ada tiga macam ronkhi kering: halus, sedang, dan kasar.
Bising gesek pleura (Pleural friction rubs)
Bising gesek pleura dihasilkan oleh bunyi gesekan permukaan antara pleura parietalis dan
pleura viseralis. Bunyi gesekan terjadi karena kedua permukaan pleura kasar. Permukaan
pleura yang kasar biasanya disebabkan oleh eksudat fibrin. Suara gesekan terdengar keras
pada akhir inspirasi walaupun sebenarnya bising gesek terdengar selama inspirasi
maupun ekspirasi. Bising gesek pleura terdengar saat bernapas dalam. Gesekan lebih
sering terdengar pada dinding dada lateral bawah dan anteriot. Gesekan yang kuat juga
dapat dirasakan pada saat palpasi, dan terasa sebagai vibrasi.
Ronkhi yang terdengar dini saat inspirasi disebabkan oleh obstruksi saluran napas.
Ronkhi kering yang terjadi dini saat inspirasi biasanya disebabkan oleh penutupan
saluran pernapasan kecil pada saat akhir ekspirasi, suara ini akan hilang setelah menarik
napas dalam dalam beberapa kali. Ronkhi kering yang terjadi terlambat pada saat
inspirasi (suaranya seperti ketika mengelentek “Velcro”, (hook and loop fastener),
biasanya berkaitan dengan penyakit yang menyebabkan defek ventilasi yang sifatnya
restriktif seperti fibrosis interstitial difus idiopatik, asbestosis dan sarkoidosis.
Tabel 1. Jenis Crackles dan Penyakit yang Menimbulkannya
Ronkhi yang terdengar dini
(early crackles)
Ronkhi yang terdengar terlambat
(late crackles)
Bronkitis kronik Fibrosis interstitial difus
Asma Pneumonia alveolar
Emfisema Kongesti paru dan edema
Atelektasis crackles Sarkoidosis
Bronkopneumonia
Paru reumatoid
asbestosis
Sumber: Djojodibroto RD. Respirologi (respiratory medicine). Jakarta: Penerbit Buku
Kedokteran EGC, 2009. H. 52-125.
Pola pernapasan
Pada orang normal dalam keadaan istirahat, pernapasannya teratur (regular) denga frekuensi di
antara 12-20 kali per menit. Pergerakan napas terlihat pada dada dan perut. Secara umum pada
laki-laki, pergerakan yang dominan adalah pergerakan perut (abdominal atau diaphragmatic
breathing), sedangkan pada perempuan yang dominan adalah pergerakan dada (costal breathing).
Dalam keadaan normal, rasio durasi inspirasi: durasi ekspirasi = 4:5, yang berarti inspirasi
mengambil waktu 4/ 9 dari durasi respirasi sedangkan ekspirasi 5/ 9 dari durasi respirasi. Namun
pada auskultasi, suara napas yang terdengar pada saat inspirasi lebih panjang dibandingkan
dengan saat ekspirasi. Perubahan pola pernapasan dapat berupa perubahan frekuensi, perubahan
dalamnya inspirasi, perubahan irama (rhytm), rasio antara durasi inspirasi dengan durasi
ekspirasi, dan perubahan pergerakan dada atau perut (mana yang lebih dominan).
Takipnea atau polipnea adalah bernapas dengan cepat, biasanya menunjukkan adanya
penurunan keteregangan paru atau tongga dada. Keadaan seperti itu terdapat pada pneumonia,
kongesti paru, edema, ataupun kelainan dada restritif lainnya. Jika frekuensi napas lebih dari 20
per menit, keadaan ini disebut takipnea.
Bradipnea, yaitu penurunan frekuensi napas atau pernapasannya melambat. Keadaan ini
ditemukan pada depresi pusat pernapasan seperti pada overdosis narkotika.
Apnea, yaitu tidak adanya respirasi selama paling sedikit 10 detik. Keadaan ini sering
ditemukan pada saat tidur dan menandakan adanyua sleep apnea syndrome.
Seperti disebutkan sebelumnya, gejala harus dikumpulkan untuk evaluasi agar didapatkan
hasil evaluasi klinik. Untuk melakukan evaluasi klinik, pemeriksa harus mempunyai
pengetahuan fisiologi klinik, yaitu materi ilmu faal yang banyak kaitannya dengan masalah
klinik.
Berdasarkan evaluasi klinik, dapat diperoleh kesimpulan akhir ataupun sementara tentang
keadaan pasien yang diperiksa, yaitu berupa:
Pasien dikatakan normal, tidak ditemui kelainan yang berkaitan dengan sistem
pernapasannya
Batas antara normal dan abnormal pada pasien yang diperiksa masih sulit untuk
ditentukan, masih perlu dilakukan investigasi.
Terdapat kesan adanya kelainan berdasarkan permeriksaan bed site yang dapat berupa
tanda penyakit paru obstruktif, penyakit paru restriktif, ataupun penyakit paru vascular,
dan diperlukan investigasi lebih lanjut untuk menentukan perluasan penyakit.
Penyakit sistem pernapasan memang ada, namun pola penyakitnya belum dapat ditentukan, dan
masih memerlukan investigasi.
Pemeriksaan penunjang pada penyakit paru
Pemeriksaan penunjang yang mungkin dan sering diperlukan dalam menangani penyakit paru
adalah:
Pemeriksaan darah rutin.
Pemeriksaan jumlah hemoglobin untuk menentukan apakah terdapat anemia,
pemeriksaan Packed cell volume (PCV) untuk menentukan apakah terdapat polisitemia
yang disebabkan oleh bronchitis kronik atau emfisema.
Pemeriksaan mikrobiologik darah.
Pemeriksaan sputum: tampilannya, pemeriksaan mikrobiologik adan sitologik sputum.
Untuk mendapatkan sputum, dapat dilakukan dengan menggunakan teknik aspirasi
transtrakeal.
Pemeriksaan rontgen dada (Chest X-ray).
Pemeriksaan biokimia: kadar α-1 antitripisin, autoantibody, dan IgE untuk allergen
spesifik.
Tes Faal Paru: spirometri, analisis gas darah arteri, tes difusi.
Aspirasi cairan pleura ataupun drainase serta water sealed drainage.
Bronkoskopi: visualisasi, washing, brushing, biopsy, BAL.
Torakoskopi.
Mediastinoskopi.
Ultrasonografi.
CT scan
MRI
Radioisotope Lung Scanning.
Pemeriksaan dengan menggunakan penanda tumor.
Skin prick test
Tes provokasi, exercise test.1
Pemeriksaan fisik untuk PPOK
Penurunan tingkat kesadaran dan sianosis selama eksaserbasi akut; takipnea; peningkatan
diameter anterior-posterior dada (dada tong); penggunaan otot bantu pernapasan, diafragma
rendah pada perkusi; penurunan suara napas; fase ekspirasi pernapasan memanjang; mengi saat
ekspirasi dan krepitasi kasar; jari gada, sianosis, dan edema kaki (penyakit lanjut).3
Penyakit paru obstruksi kronik sering dikaitkan dengan gejala eksaserbasi akut. Pasien
PPOK dikatakan mengalami eksaserbasi akut bila kondisi pasien mengalami perburukan yang
bersifat akut dari kondisi sebelumnya yang stabil dan degna variasi gejala harian normal
sehingga pasien memerlukan perubahan pengobatan yang sudah biasa digunakan. Eksaserbasi
akut ini biasanya disebabkan oleh infeksi (bakteri atau virus), bronkospasme, polusi udara atau
obat golongan sedative. Sekitar sepertiga penyebab eksaserbasi akut dapat ditandai dengan gejala
yang khas seperti sesak napas yang semakin bertambah, batuk produktif dengan perubahan
volume atau purulensi sputum, atau dapat juga memberikan gejala yang tidak kahas seperti
malaise, fatigue dan gangguan susah tidur. Roisin membagi gejala klinis PPOK eksaserbasi akut
menjadi gejala respirasi dan gejala sistemik. Gejala respirasi yaitu berupa sesak napas yang
semakin bertambah berat, peningkatan volume dan purulensi spututm, batuk yang semakin
sering dan napas yang dangkal dan cepat. Gejala sistemik ditandai dengan peningkatan suhu
tubuh, peningkatan denyut nadi serta gangguan status mental pasien.
Pemeriksaan yang diperlukan untuk menilai tingkat keparahan pasien PPOK yang
mengalami eksaserbasi akut adalah:
Tes fungsi paru (mungkin sukar dilakukan untuk pasien yang kondisinya parah)
PEF < 100 L/ menit atau FEV1 < 1L mengindikasikan adanya eksaserbasi yang parah.
Pemeriksaan analisis gas darah
- PaO2 < 8, 0 kPa (60 mmHg) dan atau SaO2 < 90% dengan atau atau tanpa PaCO2 > 6,
7 kPa (50 mmHg), saat bernapas dalam udara ruangan, mengindikasikan adanya
gagal napas.
- PaO2 < 6,7 kPa (50 mmHg), PaCO2 > 9, 3 kPa (70 mmHg) dan pH < 7, 30 memberi
kesan episode yang mengancam jiwa dan perlu dilakukan monitor ketat serta
penanganan intensif.
Foto toraks. Dilakukan untuk melihat adanya komplikasi seperti pneumoni.
Elektrokardiografi (EKG). Pemeriksaan EKG dapat membantu penegakan diagnosis
hipertropi ventrikel kanan, aritmia dan iskemia.
Kultur dan sensitivitas kuman.. Diperlukan untuk mengetahui kuman penyebab serta
resistensi kuman penyebab terhadap antibiotic yang dipakai. Pemeriksaan ini juga
diperlukan jika tidak ada respon terhadap antibiotic yang dipakai sebagai pengobatan
pada permulaan penyakit. Kuman penyebab eksaserbasi akut yang paling sering
ditemukan adalah Streptococcus pneumoniae, Moraxella catarrhalis dan H. influenza
Diagnosis:
Penyakit Paru Obstruktif Kronis (PPOK)
Istilah Penyakit Paru Obstruktif (PPOK) atau Chronic Obstructive Pulmonary Disease(COPD)
ditujukan untuk mengelompokkan penyakit penyakit yang mempunyai gejala berupa
terhambatnya arus udara pernapasan. Istilah ini mulai dikenal pada akhir 1960-an. Masalah yang
menyebabkan terhambatnya arus udara tersebut terletak pada saluran pernapasan maupun pada
parenkim paru. Kelompok penyakit yang dimaksud adalah bronchitis kronik(masalah pada
saluran pernapasan), emfisema (masalah pada parenkim). Secara logika penyakit paru asma
bronkial seharusnya dapat digolongkan ke dalamnya.
Suatu kasus obstruksi aliran udara eskpirasi dapat digolongkan sebagai PPOK jika
obstruktif aliran udara ekspirasi tersebut dapat cenderung progresif. Kedua penyakit tadi
(bronchitis kronik, emfisema) hanya dapat dimasukkan ke dalam PPOK jika keparahan
penyakitnya telah berlanjut dan obstruktifnya bersifat progesif.
Emfisema
Adalah keadaan paru yang ditandai oleh pembesaran abnormal menetap ruang udara
disebelah distal bronkiolus terminal, disertai kerusakan dinding –dindingnya tampa fibrosis yang
nyata. Sebaliknya pembesaran ruang udara tanpa disertai kerusakan tersebut “overinflation”,
sebagai contoh, peregangan ruang udara yang terjadi pada paru yang tersisa setelah
pnemonektomi unilateral.
Gambar 2. Emfisema
Sumber: http://ketobapadah.blogspot.com/2011/05/emfisema.html
Jenis Emfisema
Emfisema diklasifikasikan berdasarkan distribusi anatomiknya di dalam lobules.
Meskipun kata “emfisema” kadang secara longgar diterapkan untuk berbagai penyakit, terdapat
empat tipe utama, yaitu (1) sentriasinus, (2) panasinus, (3) paraseptum, (4) irregular. Emfisema
sentrisinus jauh lebih sering dijumpai dibandingkan bentuk panasinus , membentuk lebih dari
95% kasus.
Emfisema Sentriasinus(Sentrilobulus) Gambaran khas pada emfisema tipe ini adalah
keterlibatan lobules; bagain sentral atau proksimal asinus, yang dibentuk oleh bronkiolus
respiratorik terkena, sedangkan alveolus distal tidak. Oleh sebab itu di dalam asinus dan
lobules yang sama terutama di segmen apical, dapat ditemukan, baik ruang udara yang
emfisematosa maupun normal. Dinding emfisematosa sering mengandung banyak
pigmen hitam. Sering terjadi peradangan di sekitar bronkus dan bronkioulus. Pada
emfisema sentriasinus yang parah, asinus distal mungkin terkena, dan menjadi sulit
dibedakan dengan emfisema parasinus. Emfisema ini sering terjadi pada perokok berat,
disertai bronchitis kronik.
Emfisema Panasinus(Panlobulus). Pada tipe ini, asinus secara merata membesar dari
tingkat bronkioulus respiratorik hingga ke alveolus terminal. Awalan “pan” merujuk
keseluruhan paru. Berbeda dengan sentriasinus, emfisema panasinus scenderung terjadi
di zona bawah dan di batas anterior paru, dan biasanya paling parah di basal. Disebabkan
defisiensi alfa antitrypsin.
Emfisema Asinus Distal(Paraseptum). Pada tipe ini, bagian proksimal asinus normal dan
kelainan terutama mengenai bagian distal. Emfisema ini lebih jelas di dekat pleura, di
sepanjang septum jaringan ikat lobules, dan tepi lobulus, dan ditepi lobulus. Kelainan ini
terbentuk di dekat daerah-daerah fibrosis, jaringan parut, atau ateletaksis dan biasanya
lebih parah di separu paru. Temuan khas adalah ruang udara yang membesar,
bersambungan, kadang membentuk struktur seperti kista. Emfisema ini dapat menjadi
penyebab banyak kasus pneumotoraks spontan pada dewasa muda.
Pembesaran Ruang Udara dengan Fibrosis(Emfisema Ireguler). Emfisema ireguler, diberi
nama demikian karena asinus terkena terbentuk irregular, dan hamper selalu disertai
dengan pembentukkan jaringan parut. Pada kebanyakan kasus, focus-fokus emfisema
irregular ini asimtomatik dan secara klini kurang penting.
Epidemiologi:
Prevalensi dan angka mortalitas meningkat. Di Amerika kasus kunjungan PPOK mecapai
1,5juta, 119.00 orang meninggal selama tahun 2000. Sebagai penyebab kematian, PPOK
menduduki peringkat keempat setelah penyakit jantung, kanker, dan penyakit serebro
vaskuler. Berdasarkan survey kesehatan Dep.Kes.RI tahun 1992, PPOK bersama asma
bronkial menduduki peringkat keenam. Merokok merupakan factor risiko terpenting
penyebab PPOK di samping factor risijo lainnya seperti polusi udara, factor genetic dan lain-
lainnya.
Etiologi:
PPOK adalah masalah kesehatan masyarakat yang besar. Penyakit ini merupakan
penyebab tertinggi keempat morbiditas dan mortalitas di Amerika Serikat dan diperkirakan
mencapai peringkat kelima pada tahun 2020 diseluruh dunia. Dalam sebuah penelitian,
ditemukan emfisema kombinasi panasinus dan sentriasinus pada 50% kasus saat autopsy, dan
penyakit paru dianggap menjadi penyebab kematian pada 6,5% pasien-pasien ini. Terdapat
hubungan yang jelas antara merokok dan emfisema, dan tipe emfisema terjadi pada pria
perokok berat.
Manifestasi Klinis:
Belum terlihat pasti sampai paling sedikit sepertiga parenkim paru fungsional rusak.
Dispnae biasanya adalah gejala awal, sesak napas ini muncul secara perlahan, tetapi terus
progresif. Pada sebagian pasien, batuk atau mengi merupakan keluhan utama sehingga
mudah disangka asma. Batuk dan pengeluaran dahak sangat bervariasidan bergantung pada
keparahan bronchitis yang menyebabkannya. Penurunan berat badan sering terjadi dan dan
dapat sedemikian hebat sehingga seperti menandakan adanya tumor ganas tersembunyi.
Secara klasik, pasien tampak memiliki dada berbentuk tong dan sesak, dengan ekspirasi yang
jelas memanjang, duduk condong ke depan dengan posisi membungkuk, dan bernapas
melalui bibir yang mengkerut.Kematian pada kebanyakan PPOK disebabkan oleh asidosis
repiratorik dan koma, gagal jantung sisi-kanan dan kolaps massif paru akibat pneumotoraks.
Patofisiologis:
PPOK ditandai oleh peradangan kronik ringan di seluruh saluran napas, parenkim, dan
pembuluh darah paru. Makrofag, limfosit T CD8+, dan neutrofil meningkat diberbagai
bagian paru. Sel radang aktif mengeluarkan berbagai mediator, termasuk leukotrien B4, IL-8,
TNF, dan lain-lain yang mampu merusak struktur paru atau mempertahankan peradangan
neutrofilik. Meski demikian rincian mengenai pembentukkan dua bentuk umum emfisema-
sentriasinus dan panasinus-masih belum dipastikan, hipotesis yang paling mungkin untuk
menjelaskan keruakan dinding alveolus adalah mekanisme prostease-antiprostease, dibantu
dnegan ketidakseimbangan oksidan-antioksidan.
Teori protease-antiprotease menyatakan kerusakan dinding alveolus terjadi akibat
ketidakseimbangan antara protease dan antiprotease diparu. Emfisema dipandang sebagai
hasil dari efek destruktif aktivitas protease yang tinggi pada orang dengan aktivitas
antiprotease yang rendah. Hipotesis protease-antiprotease menjelaskan efek merugikan dari
merokok karena pada perokok terjadi, baik peningkatan ketersediaan elastase maupun
penurunan aktivitas antielastase. Untuk perokok , terjadi akumalasi neutrofil dan makrofag di
alveolus. Merokok juga berperan dalam berlanjutnya ketidakseimbangan oksidan-antioksidan
dalam pathogenesis emfisema. Normalnya, paru mengandung sejumlah antioksidan yang
agar kerusakan oksidatif minimal. Asap rokok mengandung banyak spesies oksigen reaktif
yang menguras mekanisme antioksidan ini sehingga terjadi kerusakan jaringan.
Terjadi kemungkinan bahwa tumbukan partikel asap, terutama di percabangan bronkiolus
respiratorik , menyebabkan influks neutrofil dan makrofag dan keduanya kemudian
mengeluarkan berbagai protease. Peningkatan aktivasi protease terlokalisasi di regio
sentiasinus , bersama dengan kerusakan oksidatif akibat asap, menyebabkan terbentuknya
emfisema sentiasinus yang dijumpai pada perokok. Kerusakan jaringan lebih parah akibat
inaktivasi antiprotease protektif oleh spesies oksigen reaktif dalam asap rokok.
Bronkitis Kronik
Bronkitis kronik, sedemikian sering pada pecandu rokok danpenghuni kota-kota yang
diselimuti kabut asap, tidaklah seremeh seperti diperkirakan sebelumnya. Jika menetap hingga
tahunan, penyakit ini dapat berkembang menjadi penyakit saluran napas abstruktif, menimbulkan
kor pulmonate dan gagal jantung, atau menyebabkan metaplasia atipikal dan dysplasia epitel
saluran napas, membentuk lahan subur bagi transformasi keganasan. Definisi-definisi penting
dalam brokitis mencakup yang berikut.
Bronkitis kronik per se didefinisikan secara klinis. Penyakit ini terdapat pada
semua pasien yang mengalami batuk menetap disertai pembentukan sputum
selama paling sedikit 3bulan pada paling tidak 2thun berturutan, tampa kausa lain
yang dapat teridentifikasikan.
Pada bronchitis kronik biasa, pasien mengalami batuk produktif, tetapi tampa
bukti-bukti fisiologik obstruktif saluran napas.
Sebagian orang mungkin memperlihatkan hiperaktivitas saluran napas dengan
serangan bronkospasme dan mengi. Keadaan ini disebut bronchitis asmatik akut.
Yang terakhir, sebagian pasien, terutama perokok berat, mengalami obstruksi
saluran napas kronik, biasanya disertai tanda-tanda emfisema, dan
diklasifikasikan sebagai bronchitis kronik obstruktif.
Epidemiologi:
Bronkitis kronik palin sering dijumpai pada usia pertengahan. Bronkitis kronik 4 sampai 10 kali
lebih sering pada perokok berat tampa memandang jenis kelamin, usia, pekerjaan, atau tempat
tinggal.
Patofisiologis:
Faktor primer atau pemicu dalam pembentukkan bronchitis kronik tampakanya adalah iritasi
kronik oleh bahan-bahan yang terhirup, misalnya asap rokok dan padi-padian, kapas, dan debu
silika. Infeksi bakteri dan virus merupakan hal penting yang dapat memicu eksaserbasi akut
penyakit.
Gambaran paling dini pada bronchitis kronik adalah hipersekresi mucus di saluran napas
besar karena terjadinya hipertrofi kelenjar sumukosa di trakea dan brokus. Protease yang
dikeluarkan dari neutrofil, misalnya elastase dam katepsin neotrofil srta metalloproteinase
matriks, merangsang hipersekresi mucus ini. Seiring dengan menetapnya bronchitis kronik, juga
terjadi peningkatan mencolok jumlah sel goblet di saluran napas kecil, bronkus kecil dan
bronkioulus sehingga produksi mucus berlebihan yang ikut menyebabkan obstuksi saluran napas.
Hipersekresi mucus di saluran napas besar adalah penyebab pembentukkan berlebihan
sputum. Namun kini diperkirakan bahwa perubahan di saluran napas kecil paru dapat
menyebabkan manifestasi obstruksi saluran napas kronik yang secara fisiologis penting dan
muncul dini.
Peran infeksi tampaknya hanya sekunder. Infeksi tidak memicu bronchitis kronik, tetapi
mungkin penting dalam mempertahankannya dan mungkin berperan dalam menimbulkan
eksaserbasi akut. Asap rokok mempermudah terjadinya infeksi melauli lebih dari satu cara, dapat
dengan mengganggu kerja silia epitel saluran napas, dapat secara langsung merusak epitel
saluran napas, dan menghambat kemampuan leokosit bronkus dan alveolus membersihkan
bakteri. Infeksi virus juga dapat menyebabkan eksaserbasi bronchitis kronik.
Terutama Bronkitis Terutama Emfisema
Usia (tahun) 40-45 50-75
Dispnea Ringan , lambat Parah, dini
Batuk Dini, sputum banyak Lambat, sputum sedikit
Infeksi Sering Kadang-kadang
Insufisiensi
pernapasan
Berulang Terminal
Kor pulmonale Sering Jarang, terlambat
Resisten saluran
napas
Meningkat Normal atau sedikit
meningkat
Tabel 1. Emfisema dan Bronkitis Kronik
Dalam spectrum PPOK, dikenal dua gambaran klinis yang ekstrem: tipe A dan tipe B. Dulu
dianggap bahwa tipe ini berkolerasi dengan jumlah relatif emfisema dan bronchitis kronik,
khususnya dalam paru, tetapi keadaannya lebih rumit. Walaupun demikian, penjelasan kedua
pola gambaran klinis ini masih berguna karena mereka mewakili patofisiologi yang berbeda.
Dalam praktik, kebanyakan pasien memiliki gambaran keduanya.
Tipe A
Gambaran khasnya adalah seorang laki-laki pada pertengahan usia 50-an yang semakin sesak
napas dalam 3 atau 4 tahun terakhir. Mungkin tidak ada batuk, mungkin juga terdapat sedikit
dahak putih. Pemeriksaan fisik menunjukkan badan kurus disertai penurunan berat badan. Tidak
ada sianosis. Dada mengembang berlebihan dengan suara napas yang cukup bersih tanpa suara
tambahan. Foto toraks memastikan inflasi berlebihan dengan diafragma yang rendah dan
mendatar, mediastinum yang sempit, dan peningkatan translusensi retrosternal (di antara sternum
dan jantung pada pandangan lateral). Selain itu, foto toraks menunjukkan corakan pembuluh paru
perifer yang menipis dan menyempit. Pasien dijuluki sebagai “pink puffer.”
Tipe B
Gambaran yang khas adalah seorang laki-laki berusia 50-an dengan riwayat batuk kronis disertai
ekspektorasi selama beberapa tahun. Ekspektorasi ini semakin bertambah berat, awalnya hanya
terjadi sewaktu musim dingin, tetapi akhirnya terjadi hampir sepanjang tahun. Eksaserbasi akut
dengan spututm yang jelas purulen semakin sering terjadi. Sesak napas saat kelelahan secara
bertahap memburuk, yang semakin mengurangi toleransi terhadap olahraga. Pasien hampir selalu
seorang perokok selama bertahun-tahun. Hal ini dapat ditunjukkan dengan jumlah bungkus
rokok per hari dikalikan dengan jumlah tahun merokok untuk menyatakan “bungkus—tahun”
(pack years).
Pada pemeriksaan pasien memiliki bentuk tubuh gemuk dengan kulit wajah pletorik dan
sedikit sianosis. Auskultasi menunjukkan rales dan ronki yang menyebar. Mungkin tampak
peningkatan tekanan vena jugularis dan edema pergelangan kaki. Foto toraks menunjukkan
pembesaran jantung, kongesti lapangan paru, dan peningkatan corakan akibat infeksi lama. Garis
paralel (tram lines) dapat terlihat, mungkin disebabkan oleh penebalan dinding bronchi yang
meradang. Pada autopsy, perubahan inflamasi kronis pada bronchi merupakan tanda pasien
menderita bronchitis berat, tetapi mungkin juga terdapat emfisema berat. Pasien ini kadang-
kadang disebut “blue bloaters”.
Dasar patologik tipe A dan B
Seperti yang ditunjukkan sebelumnya, awalnya diyakini bahwa pasien tie A sebagian besar
menderita emfisema sementara pasien tipe B terutama menderita bronchitis kronis. Namun,
pernyataan ini terlalu sederhana. Bagian yang membingungkan adalah bahwa kriteria yang
berbeda untuk kedua tipe tersebut telah digunakan oleh dokter yang berbeda. Biasanya, jika kita
membatasi klasifikasi tipe B untuk pasien batuk kronik berat dengan ekspektorasi, seperti pada
deskripsi yang asli, pasien demikian cenderung menunjukkan gambaran patologik bronchitis
kronk. Akan tetapi, luasnya emfisema pada paru sulit untuk diperkirakan selama hidup.
Beberapa dokter yakin bahwa perbedaan terpenting antara kedua tipe adalah dalam
pengendalian napas. Mereka menyatakan bahwa hipoksemia yang lebih berat dan dampak
insiden kor pulmonale yang lebih tinggi pada pasoen tipe B dapat disebabkan oleh dorongan
ventilasi yang berkurang, terutama sewaktu tidur.14
Tabel 3. Beberapa gambaran tipe A dan tipe B pada PPOK
Tipe A—Pink Putter Tipe B—Blue Bloater
Dispnea yang memberat dalam beberapa tahun Dispnea yang bertambah dalam beberapa tahun
Sedikit atau tanpa batuk Batuk berdahak yang sering
Ekspansi berlebihan yang jelas pada dada Penambahan volume dada yang sedang atau
tidak bertambah
Tidak ada sianosis Seringkali ada sianosis
Suara napas yang bersih Mungkin ada rales ronkhi
Tekanan v ena jugularis normal Mungkin ada peningkatan tekanan vena
jugularis
Tidak ada edema perifer Mungkin ada edema perifer
PO2 arterinya berkurang sedikit PO2 biasnya sangat rendah
PCO2 arteri normal PCO2 seringkali meningkat
Sumber: West JB. Pulmonary pathophysiology: the essentials. 6th Ed. Nuraini, editor. Jakarta:
Penerbit Buku Kedokteran EGC, 2010. h. 69-97.
Eksaserbasi Akut
Pada seseorang yang telah didiagnosis sebagai penderita PPOK, dalam keadaan normal penderita
ini telah berada dalam keadaan dispnea, berdahak dan batuk. Pada eksaserbasi akut PPOK dapat
disebabkan oleh infeksi sistem pernapasan, pengaruh polusi lingkungan, gagal jantung, infeksi
sistemik pernapasan, pengaruh polusi lingkungan, gagal jantung, infeksi sistemik, atau juga
emboli paru. Eksaserbasi akut PPOK yang ringan belum memerlukan perawatan di rumah sakit,
sedangkan eksaserbasi yang sedang dan berat harus dipertimbangkan untuk dirawat di rumah
sakit.
Tabel 4. Klasifikasi Eksaserbasi Akut PPO
Tipe 1 Adanya salah satu gejala utama:
Bertambahnya dispnea
Bertambahnya sputum purulen
Bertambahnya volume sputumdan disertai
salah satu dari:
Infeksi sistem pernapasan 5 hari terakhir
Demam yang tidak diketahui penyebabnya
Bertambahnya suara mengi
Bertambahnya gejala batuk
Bertambahnya frekuensi napas dan detak
jantung > 20% dari baseline
Tipe 2 Adanya dua dari tiga gejala utama
Tipe 3 Adanya tiga gejala utama
Sumber: Djojodibroto RD. Respirologi (respiratory medicine). Jakarta: Penerbit Buku
Kedokteran EGC, 2009. h. 52-125.
Penatalaksanaan
Penatalaksanaan PPOK mencakup penghentian merokok, imunisasi terhadap influenza,
vaksin pneumokokus, pemberian antibiotik (pada beberapa negara bahkam sebagai profilaksis),
bronkodilator, dan kortikosteroid, terapi oksigen, pengontrolan sekresi, serta latihan dan
rehabilitasi yang berupa latihan fisik, latihan napas khusus dan bantuan psikis.1
Penatalaksanaan non medika mentosa
Berhenti merokok: banyak modalitas yang tersedia, termasuk hipoksia, penggantian
nikotin (nasal, oral, dermal), buspiron, dan kelompok pendukung.
1) Segera memperbaiki fungsi paru.
2) Memperlambat laju penurunan fungsi paru selama bertahun-tahun/
3) Mengurangi jumlah komplikasi infeksi dan eksaserbasi.
4) Sering disertai dengan peningkatan batuk dan kecemasan selama beberapa minggu
pertama.
5) Kontak tidak lanjut yang sering antara penyedia jasa dan pasien dapat meningkatkan
peluang berhenti merokok dalam jangka panjang.
Terapi oksigen: pada eksaserbasi akut dengan hipoksemia berat, oksigen sangat vital
untuk kelangsungan hidup; pada pasien hipoksemia berkelanjutan dan pasien cor pulmonale,
terapi oksigen di rumah memperbaiki toleransi terhadap olahraga dan ketahanan hidup.3
Gagal napas akut ditandai dengan PaO2 < 50 mmHg (ketika bernapas dengan udara kamar) atau
dapat juga PaCO2 > 50 mmHg, dengan pH < 7, 35. Suplemen oksigen akan mengurangi
vasokonstriksi kapiler paru dan juga mengurangi beban jantung kanan, mengurangi iskemia otot
jantung dan memperbaiki penyerapan oksigen. Suplemen oksigen yang berlebihan menyebabkan
hiperkapnia karena perubahan keseimbangan ventilasi-perfusi, dan juga menyebakan ventilator
drive hipoksik. Terapi oksigen diyakini dapat meningkatkan angka harapan hidup dan
mengurangi risiko terjadinya kor pulmonale.1
Nutrisi: berat badan rendah berhubungan dengan penurunan kekuatan otot respirasi dan
peningkatan mortalitas; suplemen diet dan pemberian makanan tambahan dengan cepat bila
dirawat di rumah sakit sangan penting.
Vaksinasi: influenza dan pneumokokus regular.
Rehabilitasi: beberapa teknik lebih efektif dari yang lainnya, tetapi semuanya berpotensi
membantu; teknik kontrol pernapasan, fisioterapi dada, latihan olah raga, latihan otot
pernapasan, terapi okupasional.
Edukasi: penelitian memperlihatkan bahwa pasien yang diberi informasi mengenai
penyakit mereka dan mengenai implikasi penanganannya akan lebih bisa memahami, mengenal,
dan menangani gejala penyakit mereka.
Dukungan psikologis: kecemasan, depresi dan keletihan sering terjadi pada pasien PPOK;
bukti kuat menunjukkan bahwa partisipasi dalam program rehabilitasi dengan edukasi, olah raga,
dan teknik relaksasi lebih efektif dalam mengurangi kecemasan dibandingkan psikoterapi.
Rujukan untuk kemungkinan pembedahan: beberapa teknik kini tersedia untuk pasien
yang dipilih secara cermat, termasuk pembedahan untuk mengurangi volume paru, bulektomi,
dan transplantasi paru, menghasilkan perbaikan dispnea, dan uji fungsi paru.
tuk pengobatan yang non asidosis. 1, 3, 15
Antibiotic. Diberkan jika gejala seseak napas dan batuk disertai dengan peningkatan
Farmakoterapi kronis
Ipratropium: obat garis pertama untuk PPOK stabil (bukannya agonis beta) karena
efektivitasnya lebih lama dengan efek samping lebih sedikit dan ada beberapa bukti bahwa
ipratropium dapat memperlambat progresi penyakit; harus digunakan secara teratur; agen baru
dengan kerja lebih panjang, seperti tiotropium, dapat meningkatkan kepatuhan.
Beta2 agonis inhalasi: sekarang dianggap sebagai obat garis kedua yang dapat digunakan
sebagai suplemen ipratropium (inhaler kombinasi terlah tersedia); obat kerja panjang
(salmeterol) dapat menhasilkan perbaikan gejala secara bermakna, terutama di sepanjang
malam.3
Pemberian inhalasi agonis β2 short-acting maupun long-acting dan antikolinergik dapat
berfungsi sebagai bronkodilator, lebih baik jika dibandingkan dengan penggunaan metilxantin.
Pada praktiknya yang paling baik adalah pemberian kombinasi ipratropium (antikolonergik)
dengan albuterol (agonis β2). Metilxantin diperkirakan mempunyai pengaruh dalam memperkuat
kontraksi diafragma.1
Pemberian secara inhalasi (MDI) lebih menguntungkan daripada cara oral atau parenteral
karena efeknya cepat pada organ paru dan efek sampingnya minimal. Pemberian secara MDI
lebih disarankan daripada pemberian cara nebulizer. Obat dapat diberikan sebanyak 4-6 kali, 2-4
hirup sehari. Bronkodilator kerja cepat (fenoterol, salbutamol, terbutalin) lebih menguntungkan
daripada yang kerja lambat (salmeterol, formeterol), karena efek bronkodilatornya sudah dimulai
dalam beberapa menit dan efek puncaknya terjadi setelah 15-20 menit dan berakhir setelah 4-5
jam. Bila tidak segera memberikan perbaikan, bisa ditambah dengan pemakaian antikolinergik
sampai dengan perbaikan gejala. Obat-obat bronkodilator yang sering digunakan untuk
penanganan PPOK: 15
Tabel 5. Daftar Obat yang Umum Dipakai pada PPOK
Obat Inhaler (g) Nebuliser (mg/
ml)
Oral (mg) Lama kerja
(jam)
Antikolinergik
Ipatropium brom
Tiotropium
40-80 (MDI)
18 (DPI)
0,25-0,5 6-8
24
Β2-agonis
Fenoterol
Salbutamol
Terbutalin
Procaterol
Formoterol
Salmeterol
100-200 (MDI)
100-200(MDI
& DPI)
250-500 (DPI)
10
12-24 (MDI &
PDI)
50-100 (MDI &
PDI)
0,5-2,0
2,5-5,
05-10
2-4
2,5-5
0,25-0,5
4-6
4-6
4-6
6-8
12
12
Metilxantin
Aminofilin
Teofilin SR
200
100-400
4-6
12-24
Glukokortikoid
sistemik
Prednison 5-60 (pil)
Metilprednison 10-2000 mg 4, 8, 16 (pil)
Glukokortikoid
Inhaler
Beklometason
Budesonide
Flutikasone
Triamsinolon
100, 250, 400
(MDI & DPI)
100, 200, 400
(DPI)
50-500 (MDI &
PDI)
100 (MDI)
0,2-0,4
0,2; 0, 25; 0, 5
40
Kombinasi β2-agonis
(short-acting) dengan
antikolinergik dalam
satu inhaler
Fenoterol/ Ipratropium
Salbutamol/
Ipratropium
200/ 80 (MDI)
75/ 15 (MDI)
1, 25/ 0, 5
0, 75/ 4, 5
6-8
6-8
Kombinasi β2-agonis
(long-acting) dengan
glukokortikosteroid
dalam satu inhaler
Formoterol/
Budesonide
Salmeterol/
Flutikasone
4, 5/ 50, 160
(DPI)
(9/ 320) (DPI)
50/ 100, 250,
500 (DPI)
25/ 50, 125,
250 (MDI)
MDI: metered dose inhaler; DPI: dry powder inhaler; SR: slow release
Sumber: Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata M, Setiati S. Pulmonologi. Jakarta:
Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia,
2006. h. 994-6.
Teofilin: rasio keuntungan risiko yang kontrversial; mungkin berguna di malam hari
untuk peredaan yang lama saat tidur; kadar serum dan potensi interaksi obat harus dipantau
dengan ketat.
Steroid: tidak seperti asma, obat anti—inflamasi tidak diperlukan untuk perlindungan
jalan napas pada PPOK dan hanya sekitar 20% pasien yang akan membaik dengan steroid, maka
uji terapeutik hanya boleh dilakukan pada PPOK berat dan obat harus dihentikan bila tidak ada
perbaikan FEV1 yang terukur dalam 2 minggu. Penggunaan steroid pada PPOK yang stabil
dinilai controversial. Namun, untuk penderita yang mempunyai saluran pernapasan reaktif dan
pada PPOK derajat menengah atau berat, pemberian kortikosteroid memberikan perbaikan yang
signifikan dan mengurangi frekuensi terjadinya eksaserbasi. Pemberian kortikosteroid pada kasus
ini harus secara sitemik dan bukan per inhalasi. Pada pasien yang berespons terhadap steroid,
bisa dipertimbangankan pemberian steroid inhalasi. Pada PPOK yang disertai eksaserbasi akut,
pemberian kortikosteroid per inhalasi tidak memberikan perbaikan.
Komplikasi
Komplikasi yang paling umum dari PPOK adalah infeksi pernapasan. Sistem pernapasan
merespons terhadap proses infeksi termasuk dengan meningkatkan frekuensi pernapasan, iritasi
mukosa, dan peningkatan pembentukan sputum. Karena respons setempat ini, klien dapat
mengalami spasme bronkus dan perubahan dalam pola pembentukan sputum mereka. Jika infeksi
tetap tidak teratasi akibatnya adalah peningkatan kerja bernapas dengan akibat akhir gagal napas.
Itulah sebabnya penting sekali untuk mengingatkan klien adar menghindari infeksi pernapasan
(suruh klien untuk melakukan langkah-langkah berikut unutk mengurangi kemungkinan tertular
infeksi pernapasan; (a) hindari kerumunan banyak orang terutama ketika musim influenza,
hindari orang yang terinfeksi saluran napas atasm (b) hubungi tenaga perawatan kesehatan jika
mengalami perubahan warna, jumlah, dan konsistensi sputum; batuk meningkat, peningkatan
keletihan, dispnea, penambahan berat badan, edema perifer dan kenaikan suhu tubuh.6
Hipertensi paru yang menyebabkan cor pulmonal.
Hipoksemia (rendahnya PaO2) kronik pada PPOK merupakan vasokonstriktor pulmonal
yang kuat. Vasokonstriksi pulmonary meningkatkan tekanan arteri pulmonal/ hipertensi
pulmonal. Hipoksemia sebagian besar disebabkan oleh ketidakcocokan Va/ Q dan
menyebabkan polisitemia (peningkatan sel darah merah) dan peningkatan tekanan arteri
pulmonalis (hipertensi pulmonal) akibat vasokonstriksi paru hipoksik. Gangguan yang
terjadi pada fungsi jantung kanan menyebabkan retensi cairan oleh ginjal, peningkatan
tekanan vena sentralis, dan edema perifer. Keadaan tersebut kemudian dapat
menyebabkan cor pulmonal (retensi cairan/ gagal jantung akibat penyakit paru).
Hipertensi pulmonal dipotensiasi oleh hilangnya kapiler yang luas pada penyakit lanjut.5
Intervensi keperawatan untuk kelebihan cairan yang diakibatkan oleh cor pulmonale
didasarkan pada pemahaman bahwa penyakit diatasi dengan menangani penyebab yang
mendasari hipertensi pulmonal. Oleh karenanya, intervensi keperawatan difokuskan pada
peningkatan ventilasi yang adekuat untuk mengoptimlakan pertukaran O2/ CO2 dan
menghilangkan gejala-gejala yang diakibatkan oleh kelebihan cairan.6
Pneumotoraks
Pneumotoraks adalah adanya udara dalam rongga pleura. Bisa terjadi dalam konteks
penyakit pernapasan kronis seperti asma atau PPOK.5 Salah satu penyebab pneumotoraks
adalah penyakit paru sebelumnya: peningkatan insidensi pneumotoraks dengan penyakit
paru yang mendasari seperti emfisema, fibrosis kistik, atau penyakit paru interstisial.14
Pneumotoraks spontan terjadi bila pada seseorang dengan emfisema (paru yang melebar
abnormal akibat penyakit menahun, sehingga paru dalam keadaan inspirasi terus), sebuah
nleb pada permukaan paru pecah dan membebaskan udara ke dalam rongga pleura.
Kadang-kadang udara dapat memasuki rongga pleura pada inspirasi tetapi karena
jaringan menutupi lubang itu pada ekspirasi, maka udara tidak dapat ke luar. Akibatnya
terjadi “tension pneumotjorax.”
Gejala klinik pneumotoraks adalah dispnea dan nyeri dada mendadak. Pergeseran letak
trakea, suara napas bronkial pada sisi yang bersangkutan. Pada awalnya terdapat hipoksia
akut. Berat ringannya gejala klinik tergantung berat/ tingkatnya pneumotoraks. Gejala
“tension pneumootoraks” termasuk distres/ gawat paru yang menghebat disertai sianosis,
sternum menonjol, vena leher melebar, CVP meningkat dan hipotensi.9
Prognosis
Prognosis keseluruhan untuk pasien PPOK bergantung pada keparahan obstruksi aliran udara.
Pasien dengan FEV1 < 0, 8 L mempunyai angka mortalitas tahunan ~25%. Pasien dengan cor
pulmonal, hiperkapnia, kebiasaan merokok, dan penurunan berat badan memiliki prognosis
buruk. Kematian biasanya terjadi akibat infeksi, gagal napas kaut, embolus paru, atau aritmia
jantung.5