penyakit tulang dan sendi pada lansia 1

23
PENYAKIT TULANG DAN SENDI PADA LANSIA Pendahuluan Manusia memiliki tulang dan sendi (sistem gerak) yang memiliki banyak fungsi untuk menunjang kehidupan manusia. Tanpa kondisi fit tulang dan sendi, manusia akan kesulitan untuk melakukan aktivitas sehari-hari. Ada berbagai macam penyakit tulang dan sendi. Dalam makalah ini penulis ingin memfokuskan kepada Osteoarthritis dan Osteoporosis. OSTEOARTHRITIS I. Pendahuluan Osteoarthritis (OA) merupakan penyakit sendi degenerative yang berkaitan dengan kerusakan kartilago sendi. Vertebra, panggul, lutut dan pergelangan kaki paling sering terkena OA. Pasien OA biasanya mengeluh nyeri pada waktu melakukan aktivitas atau jika ada pembebanan pada sendi yang terkena. II. Etiopatogenesis OA Berdasarkan patogenesisnya OA dibedakan menjadi 2, yaitu OA primer dan OA sekunder. OA primer disebut juga OA idiopatik, tidak diketahui penyebabnya. OA sekunder yaitu OA yang didasari oleh adanya kelainan endokrin, inflamasi, metabolic, pertumbuhan, herediter, serta imobilisasi yang terlalu lama.

Upload: martha-aprilia-susanto

Post on 02-Jul-2015

752 views

Category:

Documents


3 download

TRANSCRIPT

Page 1: Penyakit Tulang Dan Sendi Pada Lansia 1

PENYAKIT TULANG DAN SENDI PADA LANSIA

Pendahuluan

Manusia memiliki tulang dan sendi (sistem gerak) yang memiliki banyak fungsi untuk

menunjang kehidupan manusia. Tanpa kondisi fit tulang dan sendi, manusia akan kesulitan untuk

melakukan aktivitas sehari-hari. Ada berbagai macam penyakit tulang dan sendi. Dalam makalah

ini penulis ingin memfokuskan kepada Osteoarthritis dan Osteoporosis.

OSTEOARTHRITIS

I. Pendahuluan

Osteoarthritis (OA) merupakan penyakit sendi degenerative yang berkaitan dengan

kerusakan kartilago sendi. Vertebra, panggul, lutut dan pergelangan kaki paling sering terkena

OA. Pasien OA biasanya mengeluh nyeri pada waktu melakukan aktivitas atau jika ada

pembebanan pada sendi yang terkena.

II. Etiopatogenesis OA

Berdasarkan patogenesisnya OA dibedakan menjadi 2, yaitu OA primer dan OA

sekunder. OA primer disebut juga OA idiopatik, tidak diketahui penyebabnya. OA sekunder

yaitu OA yang didasari oleh adanya kelainan endokrin, inflamasi, metabolic, pertumbuhan,

herediter, serta imobilisasi yang terlalu lama.

Osteoarthritis terjadi sebagai hasil kombinasi antara degradasi rawan sendi, remodeling

tulang dan inflamasi cairan sendi.

Degradasi rawan sendi terjadi karena jejas mekanis dan kimiawi pada synovia karena

faktor umur, stress mekanis atau penggunaan sendi berlebihan, defek anatomik, obesitas, dan

genetik.

Remodelling tulang. Rawan sendi dapat melakukan perbaikan sendiri dimana khondrosit

akan mengalami replikasi dan memproduksi matriks baru.

Page 2: Penyakit Tulang Dan Sendi Pada Lansia 1

Inflamasi cairan sendi terjadi karena adanya kelebihan produk degradasi matriks rawan

sendi yang berakumulasi di sendi.

Pasien OA sering mengeluh nyeri. Nyeri disini terjadi akibat adanya osteofit yang

menekan periosteum dan radiks saraf yang berasal dari medulla spinalis. Nyeri juga terjadi

karena adanya pelepasan mediator kimia seperti prostaglandin dan kinin yang menyebabkan

suatu radang sendi. Selain itu, adanya peregangan tendo atau ligamentum serta spasmus otot –

otot ekstra artikuler akibat kerja berlebihan juga menimbulkan nyeri.

III. Faktor – Faktor Resiko OA

Ada beberapa faktor resiko dari Osteoarthritis, diantaranya ;

1. Umur.

OA jarang dijumpai pada usia dibawah 40 tahun dan sering ditemui pada orang dengan

usia lebih dari 60 tahun.

2. Jenis kelamin

Pada usia <45 tahun, frekuensi OA pada wanita dan laki – laki dengan perbandingan

sama, tetapi pada usia >50 tahun, frekuensi OA banyak terdapat pada wanita daripada

laki – laki.

3. Suku bangsa

OA lebih sering dijumpai pada orang amerika asli (Indian) dari pada orang kulit putih.

4. Genetik

Faktor herediter berperan dalam timbulnya OA.

5. Kegemukan dan Penyakit metabolik

Berat badan yang berlebih nyata berkaitan dengan meningkatnya resiko untuk timbulnya

OA. Ada hubungannya antara penyakit OA dengan kelainan metabolik. Pasien - pasien

OA ternyata mempunyai resiko penyakit jantung coroner dan hipertensi yang lebih tinggi

dibandingkan dengan orang – orang tanpa OA.

6. Cedera sendi , Pekerjaan dan Olah raga

Pekerjaan berat maupun dengan pemakaian satu sendi yang terus menerus berkaitan

dengan peningkatan resiko OA. Demikian juga cedera sendi dan Olah raga yang sering

menimbulkan cedera sendi berkaitan dengan resiko OA.

Page 3: Penyakit Tulang Dan Sendi Pada Lansia 1

7. Faktor – Faktor lain

Tingginya kepadatan tulang dikatakan dapat meningkatkan resiko timbulnya OA.

IV. Riwayat Penyakit

Pada umumnya pasien OA mengatakan bahwa keluhan – keluhannya sudah

berlangsung lama, tetapi berkembang secara perlahan – lahan.

Nyeri sendi

Keluhan ini merupakan keluhan utama yang sering kali membawa pasien berobat

ke dokter. Nyeri biasanya bertambah dengan gerakan dan sedikit berkurang

dengan istirahat. Nyeri pada OA dapat berupa penjalaran atau akibat radikulopati,

misalnya pada OA cervikal atau OA lumbal.

Hambatan gerakkan sendi

Gangguan ini biasanya semakin bertambah berat dengan pelan – pelan sejalan

dengan bertambahnya rasa nyeri.

Kaku pagi

Pada beberapa pasien, nyeri atau kaku sendi dapat timbul setelah imobilitas,

seperti duduk di kursi atau mobil dalam waktu yang cukup lama atau bahkan

setelah bangun tidur.

Krepitasi

Rasa gemeretak pada sendi yang sakit.

Pembesaran sendi (deformitas)

Pasien mungkin menunjukkan bahwa salah satu sendinya secara perlahan

membesar.

Perubahan gaya berjalan

Gejala ini merupakan gejala yang menyusahkan pasien. Hampir semua pasien OA

pergelangan kaki, tumit, lutut atau panggul berkembang menjadi pincang.

Gangguan berjalan dan gangguan fungsi sendi yang lain merupakan ancaman

besar untuk kemandirian pasien OA yang umumnya tua.

Page 4: Penyakit Tulang Dan Sendi Pada Lansia 1

V. Pemeriksaan Fisik

Hambatan gerak

Perubahan ini sering kali sudah ada meskipun OA yang masih dini. Biasanya

bertambah berat dengan semakin beratnya penyakit, sampai sendi biasa

digoyangkan dan menjadi kontraktur. Hambatan gerak dapat konsentris ( seluruh

alat gerak) atau eksentris (salah satu alat gerak saja).

Krepitasi

Gejala ini lebih berarti untuk pemeriksaan klinis OA lutut. Gejala ini timbul

karena adanya gesekan antara kedua permukaan tulang sendi pada saat sendi

digerakkan atau secara pasif dimanipulasi.

Pembengkakan sendi yang sering kali asimetris

Pembengkakan sendi pada OA dapat timbul karena efusi pada sendi. Sebab lain

ialah karena adanya osteofit yang dapat mengubah permukaan sendi.

Tanda – tanda peradangan

Tanda – tanda peradangan pada sendi mungkin dijumpai karena adanya sinovitis.

Biasanya tanda – tanda ini tidak menonjol dan timbul belakangan.

Perubahan gaya berjalan

Keadaan ini hamper selalu berhubungan dengan nyeri karena menjadi tumpuan

berat badan.

VI. Pemeriksaan Diagnostik

Diagnosis OA biasanya didasarkan pada gambaran klinis dan radiografis.

Radiografis

Pada sebagian besar kasus, radiografi pada sendi yang terkena OA sudah cukup

memberikan gambaran diagnostik.

Gambaran radiografi sendi yang menyokong diagnosa OA ialah :

1. Penyempitan celah sendi yang seringkali asimetris.

2. Peningkatan densitas tulang subkondral.

3. Kista tulang

4. Osteofit pada pinggir sendi

5. Perubahan struktur anatomi sendi.

Page 5: Penyakit Tulang Dan Sendi Pada Lansia 1

Pemeriksaan Laboratorium

Pada OA yang disertai peradangan mungkin ditemukan penurunan viskositas, pleositosis

ringan sampai sedang, peningkatan ringan sel peradangan (<8000/m) dan peningkatan protein.

VII. Pemantauan Progresivitas dan Outcome OA

Terdapat 3 cara utama untuk memantau progesivitas dan outcome OA :

1. Pengukuran nyeri sendi dan disabilitas pada pasien, misalnya dengan algofungsional dari

WOMAC, indeks beratnya nyeri lutut dan panggul.

2. Pengukuran perubahan struktur pada sendi yang terserang misalnya dengan radiografi

polos, MRI, Artroskopi, dan Ultrasound frekuensi tinggi.

3. Pengukuran proses penyakit yang dinyatakan dengan perubahan metabolism atau

perubahan kemampuan fungsional dari rawan sendi artikuler, tulang subkondral atau

jaringan sendi lainnya misalnya marker rawan sendi dalam cairan tubuh, skintigrafi

tulang, pengukuran resistensi terhadap kompresi pada rawan sendi dengan mengukur

kemampuan identasi atau penyebaran.

VIII. Pengelolaan

Pengelolaan OA terdiri dari 3 hal :

1. Terapi non farmakologis :

a. Edukasi dan penerangan

b. Terapi fisik dan rehabilitasi

c. Penurunan berat badan

2. Terapi farmakologis

a. Analgetik oral non opiate

b. Analgetik topical

c. OAINS (obat anti inflamasi non steroid)

d. Chondroprotective

e. Steroid intra artikuler

3. Terapi bedah

a. Arthroscopic debridement dan joint lavage

Page 6: Penyakit Tulang Dan Sendi Pada Lansia 1

b. Osteotomy

c. Artroplasti sendi total

Terapi Non Farmakologis

1. Penerangan

Maksud dari penerangan adalah agar pasien mengetahui tentang penyakitnya, bagaimana

menjaga agar penyakitnya agar penyakitnya tidak bertambah parah.

2. Terapi fisik dan Rehabilitasi

Terapi ini untuk melatih pasien agar persendiannya tetap dapat dipakai dan melatih

pasien untuk melindungi sendi yang sakit.

3. Penurunan berat badan

Berat badan yang berlebih ternyata merupakanfaktor yang akan memperberat penyakit

OA. Oleh karena itu, berat badan harus dijaga agar tidak berlebihan.

Terapi Farmakologis

1. Analgetik oral non opiate

2. Analgetik topical

3. OAINS (obat anti inflamasi non steroid)

4. Chondroprotective

Asam hialuronat

Bekerja dengan cara memperbaiki viskositas cairan synovial, obat ini diberikan

secara intra artikuler. Asam hialuronat ternyata memegang peranan penting dalam

pembentukan matriks tulang rawan.

Glikosaminoglikan

Dapat menghambat sejumlah enzim yang berperan dalam proses degradasi tulang

rawan.

Kondroitin sulfat

Vitamin C

Bekerja dengan menghambat aktivitas enzim lisozim

Superoxide dismutase

5. Steroid intra artikuler

Page 7: Penyakit Tulang Dan Sendi Pada Lansia 1

Terapi Bedah

Terapi ini diberikan apabila terapi farmakologis tidak berhasil untuk mengurangi rasa

sakit dan juga untuk melakukan koreksi apabila terjadi deformitas sendi yang mengganggu

aktivitas sehari – hari.

OSTEOPOROSIS

I. Pendahuluan

Osteoporosis adalah penyakit tulang sistemik yang ditandai oleh penurunan densitas

massa tulang dan perburukkan mikroarsitektur tulang sehingga tulang menjadi rapuh dan mudah

patah.

Berbagai problem yang cukup prinsipil masih harus dihadapi oleh Indonesia dalam

penatalaksaan osteoporosis yang optimal seperti tidak meratanya alat pemeriksaan densitas

massa tulang (DEXA), mahalnya pemeriksaan biokimia tulang dan belum adanya pengobatan

standart untuk osteoporosis di Indonesia.

II. Faktor Resiko Osteoporosis

Ada beberapa faktor yang dapat menimbulkan osteoporosis, diantaranya :

1. Umur

Tiap peningkatan 1 dekade, resiko meningkat 1,4 – 1,8 x

2. Genetik

a. Etnis (kaukasian dan oriental > kulit hitam)

b. Seks (perempuan > laki – laki)

c. Riwayat keluarga

3. Lingkungan

a. Defisiensi kalsium

b. Aktivitas fisik kurang

c. Obat – obatan (kortikosteroid, anti konvulsan, heparin, siklosporin)

d. Merokok dan alcohol

Page 8: Penyakit Tulang Dan Sendi Pada Lansia 1

4. Hormonal dan penyakit kronik

a. Defisiensi esterogen, androgen

b. Tirotoksikosis, hiperparatiroidisme primer, hiperkortisolisme

c. Penyakit kronik (sirosis hepatis, gagal ginjal, gastrektomi)

5. Sifat fisik tulang

a. Densitas (massa)

b. Ukuran dan geometri

c. Mikroarsitektur

d. Komposisi

III. Penggolongan Osteoporosis

Osteoporosis dibagi menjadi 2 kelompok, yaitu osteoporosis primer (involusional) dan

osteoporosis sekunder. Osteoporosis primer adalah osteoporosis yang tidak diketahui

penyebabnya. Sedangkan osteoporosis sekunder yang diketahui penyebabnya.

Osteoporosis primer dibagi lagi menjadi osteoporosis tipe I dan osteoporosis tipe II.

Osteoporosis tipe I disebut juga osteoporosis pasca menopause, disebabkan oleh defisiensi

estrogen akibat menopause. Osteoporosis tipe II disebut juga osteoporosis senilis disebabkan

karena gangguan absorpsi kalsium di usus sehingga menyebabkan hiperparatiroidisme sekunder

yang mengakibatkan timbulnya osteoporosis. Belakangan konsep ini berubah, karena ternyata

peran estrogen juga menonjol pada osteoporosis tipe II.

Estrogen merupakan faktor yang sangat penting dan berperan pada timbulnya

osteoporosis primer baik pasca menopause maupun senilis.

Patogenesis osteoporosis tipe I

Setelah menopause, maka reasorpsi tulang akan meningkat terutama pada dekade awal

setelah menopause. Hal ini dapat dicegah dengan terapi sulih estrogen. Petanda resorpsi tulang

dan formasi tulang yang meningkat menunjukan adanya peningkatan bone turnover.

Estogen juga berperan menurunkan produksi berbagai sitokin oleh bone marrow stromal

cells dan sel – sel mononuclear seperti IL-1, IL-6, dan TNF-α yang berperan meningkatkan kerja

osteoklas, jadi bila terdapat penurunan kadar estrogen maka akan meningkatkan aktivitas sitokin

yang akhirnya meningkat juga kerja dari osteoklas.

Page 9: Penyakit Tulang Dan Sendi Pada Lansia 1

Selain meningkatkan kerja osteoklas, menopause juga menurunkan absorpsi kalsium di

usus dan meningkatkan ekskresi kalsium di ginjal.

Patogenesis osteoporosis tipe II

Pada dekade ke delapan dan Sembilan, terjadi ketidakseimbangan remodeling tulang,

dimana resorpsi tulang meningkat sedangkan formasi tulang tidak berubah atau menurun. Hal ini

akan menyebabkan kehilangan massa tulang, perubahan mikroarsitektur tulang dan peningkatan

resiko fraktur.

Defisiensi kalsium dan vit D juga sering didapatkan pada orang tua, hal ini disebabkan

oleh asupan kalsium dan vit D yang kurang, anoreksia, malabsorpsi, dan paparan sinar matahari

yang rendah. Akibat kurangnya kalsium dan vit D akan timbul hiperparatiroidisme sekunder

yang persisten sehingga semakin meningkatkan resorpsi tulang dan kehilangan massa tulang.

Selain itu juga terdapat penurunan hormon pertumbuhan (GH) dan IGF-1 yang

meningkatkan resorpsi tulang dan mengganggu fungsi osteoblast.

Menurunnya kadar estrogen menyebabkan peningkatan dari turnover tulang dan

mengganggu fungsi dari osteoblast. Sehingga timbul osteoporosis.

IV. Pendekatan Klinis Osteoporosis

Untuk menegakkan diagnosis osteoporosis, diperlukan pendekatan yang sistematis,

terutama untuk menyingkirkan osteoporosis sekunder. Sebagaimana penyakit lain, diperlukan

anamnesis, pemeriksaan fisik, laboratorium, pemeriksaan radiologi dan kalau perlu biopsi tulang.

Anamnesis

Anamnesis memegang peran penting pada evaluasi pasien osteoporosis. Misal kesemutan

dan rasa kebal di sekitar mulut dan ujung jari pada hipokalsemia.

Perlu ditanyakan riwayat pemakaian obat seperti kortikosteroid, dll. Pecandu alkohol

ataukah seorang perokok. Riwayat penyakit yang diderita seperti penyakit ginjal, hati, saluran

cerna, dan endokrin. Riwayat penggunaan obat kontraseptif, dan riwayat keluarga.

Page 10: Penyakit Tulang Dan Sendi Pada Lansia 1

Pemeriksaan fisik

Tinggi badan dan berat badan harus diukur pada setiap pasien osteoporosis. Demikian

juga cara berjalan, deformitas tulang, nyeri spinal, dan jaringan parut pada leher.

Pada pasien hipokalsemia ditandai oleh iritasi musculoskeletal yang berupa tetani.

Dijumpai test chovstek dan trousseau yang positif.

Pasien dengan osteoporosis sering menunjukkan kifosis dorsal atau gibbus (Dowager’s

hump) dan penurunan tinggi badan.

Pemeriksaan biokimia tulang

Pemeriksaan biokimia tulang terdiri dari kalsium total dalam serum, ion kalsium, kadar

fosfor serum, kalsium urine, fosfat urine, osteokalsin serum, piridinolin urine dan bila perlu

hormon paratiroid dan vit D.

Pemeriksaan radiologis

Pemeriksaan radiologis untuk menilai densitas tulang sangat tidak sensitive, seringkali

penurunan densitas massa tulang spinal lebih dari 50% belum memberikan gambaran radiologic

yang spesifik.

Gambaran radiologik yang khas untuk osteoporosis adalah penipisan korteks dan daerah

trabekular yang lebih lusen. Hal ini akan tampak pada tulang – tulang vertebra yang memberikan

gambaran picture frame vertebra.

Pemeriksaan densitas massa tulang (Densitometri)

Densitrometri tulang merupakan pemeriksaan yang akurat dan presisi untuk menilai

densitas massa tulang, sehingga dapat digunakan untuk menilai faktor prognosis, prediksi fraktur

dan bahkan diagnosis osteoporosis.berbagai metode yang digunakan untuk menilai densitas

massa tulang adalah Single photon absorptiometry (SPA) dan single energy X-ray

absorptiometry (SPX) lengan bawah dan tumit, dual energy X-ray absorptiometry (DXA)

lumbal dan proximal femur, dan quantitative computed tomography (QCT).

Dual energy X-ray absorptiometry (DXA) merupakan metode yang paling banyak

digunakan dalam diagnosis osteoporosis karena mempunyai tingkat akurasi dan presisi yang

tinggi.

Page 11: Penyakit Tulang Dan Sendi Pada Lansia 1

The World Health Organization has defined the following categories based on bone density in white women:

I. Normal bone: T-score better than -1 II. Osteopenia: T-score between -1 and -2.5

III. Osteoporosis: T-score less than -2.5

IV. Established (severe) osteoporosis includes the presence of a non-traumatic fracture.

Bagian – bagian tulang yang diukur :

Tulang belakang (L1-L4)

Panggul

Femoral neck

Total femoral neck

Trokanter

Lengan bawah (33% radius), bila :

Tulang belakang dan / atau panggul tak dapat diukur

Hiperparatiroidisme

Sangat obes

Dari ketiga lokasi tersebut, maka nilai T – Score yang terendah yang digunakan untuk

mendiagnosis.

Page 12: Penyakit Tulang Dan Sendi Pada Lansia 1

Indikasi densitometry tulang :

1. Wanita premenopause dengan resiko tinggi seperti hipomenore atau amenore.

2. Laki – laki dengan1 atau lebih faktor resiko.

3. Imobilisasi lama

4. Masukan kalsium yang rendah lebih dari 10 tahun

5. Penguna obat – obatan missal kortikosteroid, anti konvulsan, dll.

6. Hiperparatiroidisme

7. Evaluasi terapi osteoporosis

8. Postmenopause dengan2 faktor resiko atau lebih.

9. Diabetes mellitus tipe I

Sonodensitometri

Salah satu metode yang lebih murah dalam menilai densitas tulang perifer dengan

menggunakan gelombang suara dan tanpa adanya resiko radiasi.

Magnetic resonance imaging (MRI)

Page 13: Penyakit Tulang Dan Sendi Pada Lansia 1

MRI mempunyai kemampuan yang cukup menjanjikan dalam menganalisa struktur

trabekula dan sekitarnya. Metode ini mempunyai kelebihan berupa tak adanya radiasi.

Biopsi tulang dan histomorfometri

Biopsi tulang dan histomorfometri merupakan pemeriksaan yang sangat penting untuk

menilai kelainan metabolism tulang. Biopsi biasanya dilakukan di daerah transiliakal, yaitu 2 cm

posterior SIAS dan sedikit inferior krista iliaka. Alat yang digunakan adalah jarum Bordier –

Meunier.

Indikasi biopsi tulang meliputi berbagai kelainan metabolik tulang seperti osteoporosis

pasca menopause, osteodistrofi renal, osteomalacia, rikets, hiperparatiroidisme primer, penyakit

tulang akibat kelainan gastrointestinal kronik atau pasca operasi gastrointestinal.

Osteoporosis pada laki – laki

Osteoporosis pada laki – laki seringkali kurandiperhatikan dibandingkan osteoporosis

pada wanita.

Pada laki – laki dengan bertambahnya umur, maka tulang kortikal akan semakin menipis,

tetapi penipisan ini tidak secepat pada wanita, karena laki – laki tidak pernah mengalami

menopause. Selain itu, pada laki – laki kehilangan massa tulang lebih bersifat penipisan,

sedangkan wanita lebih diakibatkan oleh kehilangan elemen trabekula dari tulang.

Etiologi Osteoporosis pada laki – laki

Genetik

Laki – laki yang orang tuanya menderita osteoporosis ternyata memiliki densitas tulang

yang lebih rendah dibandingkan laki – laki pada umumnya.

Hipogonadisme.

Hipogonadisme merupakan salah satu penyebab osteoporosis dan gagalnya pencapaian

puncak masa tulang pada laki – laki. Dalam hal ini, terapi pengganti testosterone

memiliki efek yang baik untuk meningkatkan masa tulang pada laki – laki.

Involusi

Page 14: Penyakit Tulang Dan Sendi Pada Lansia 1

Dengan bertambahnya umur, terjadi penurunan massa dan densitas tulang pada laki –

laki, kira – kira 3 – 4% per dekade setelah usia 40 tahun. Setelah umur 50 tahun,

kehilangan massa tulang lebih besar lagi, walaupun demikian tetap lebih rendah

dibandingkan dengan wanita.

Penyakit dan obat – obatan

Berbagai penyakit dan obat – obatan menyebabkan osteoporosis seperti glukokortikoid,

merokok, alkohol, insufisiensi ginjal, kelainan gastrointestinal dan hati.

Idiopatik

Sekitar 30% osteoporosis pada laki – laki tidak diketahui penyebabnya.

V. Penatalaksaan

Secara teoritis, osteoporosis dapat diobati dengan cara menghambat kerja osteoklas

(antiresorpsi) dan / atau meningkatkan kerja osteoblast (stimulator tulang). Walaupun demikian,

saat ini obat yang beredar pada umumnya bersifat anti resorpsi, yaitu golongan estrogen,

antiestrogen, bisfosfonat dan kalsitonin. Sedangkan yang termasuk golongan obat stimulator

tulang adalah Na-fluorida, PTH dan lain sebagainya.

Kalsium dan Vit D tidak mempunyai efek anti resorpsi maupun stimulator tulang, tetapi

diperlukan untuk optimalisasi mineralisasi osteoid setelah proses formasi oleh osteoblast.

Kekurangan kalsium akan menyebabkan peningkatan PTH yang dapat menyebabkan pengobatan

osteoporosis tak efektif.

Edukasi dan pencegahan

Anjurkan untuk melakukan aktifitas fisik yang teratur.

Jaga asupan kalsium 1000 – 1500 mg / hari.

Hindari rokok dan alkohol

Diagnosis dini dan terapi yang tepat

Kenali berbagai penyakit dan obat yang dapat menyebabkan osteoporosis

Hindari pengangkatan barang – barang berat pada pasien dengan osteoporosis.

Jaga asupan Vit D. Suplementasi vit D 400IU/hari atau 800IU/hari pada orang tua.

Latihan dan program rehabilitasi

Page 15: Penyakit Tulang Dan Sendi Pada Lansia 1

Latihan bertujuan untuk melatih kelincahan, ketangkasan, dan kekuatan otot sehingga tak

mudah jatuh. Selain itu, latihan juga meningkatkan remodeling tulang.

Pada pasien yang belum osteoporosis maka latihan adalah pembebanan terhadap tulang.

Sedangkan untuk yang osteoporosis latihan dengan tanpa beban yang kemudian ditingkatkan

secara bertahap sehingga mencapai beban yang adekuat.

Selain latihan juga diberikan alat bantu (ortosis) missal korset lumbal untuk pasien yang

mengalami fraktur korpus vertebra, tongkat atau alat bantu lainnya terutama pada orang tua yang

terganggu keseimbangannya.

Pembedahan

Beberapa prinsip yang harus diperhatikan pada terapi bedah pasien osteoporosis adalah :

1. Pasien osteoporosis usia lanjut dengan fraktur.

2. Tujuan bedah adalah untuk mendapatkan fiksasi yang stabil sehingga mobilisasi pasien

dapat dilakukan sedini mungkin.

3. Asupan kalsium harus diperhatikan sehingga pembentukan kalus sempurna

4. Walaupun dilakukan pembedahan, pengobatan medikamentosa osteoporosis harus tetap

dilaksanakan.

Evaluasi hasil pengobatan

Evalusai dilakukan dengan pengulangan pemeriksaan densitometry setelah 1 – 2 tahun

pengobatan dan dinilai densitasnya. Bila dalam waktu 1 tahun tidak terjadi peningkatan maupun

penurunan densitas massa tulang,maka pengobatan sudah dianggap berhasil karena resorpsi

tulang sudah dapat ditekan.

Page 16: Penyakit Tulang Dan Sendi Pada Lansia 1