peran apoteker di apotek-bpjs
TRANSCRIPT
FARMASI FORENSIK
TUPOKSI (TUGAS POKOK FUNGSI) APOTEKER DI UNIT FARMASI
KOMUNITAS/APOTEK (PRAKTEK PENGGUNAAN OBAT YANG RASIONAL
PADA SISTEM KESEHATAN BPJS (BADAN PENYELENGGARA JAMINAN
SOSIAL)-KESEHATAN 2014
KELOMPOK 23
Luh Putu Verryani Ayu Savitri (1308515023)
A.A.Ayu Putri Kusuma Dewi (1308515049)
PROGRAM STUDI PROFESI APOTEKER
JURUSAN FARMASI
UNIVERSITAS UDAYANA
2013
BAB I
TUPOKSI APOTEKER DI KOMUNITAS/APOTEK
Tinjauan per-UU yang Mengatur Tupoksi Pada Unit Farmasi Komunitas/Apotek
Peraturan Perundang-Undangan yang mengatur tupoksi Apoteker di bidang ini adalah sebagai
berikut :
Undang-Undang Dasar Negara RI Tahun 1945
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 1992 Tentang Usaha Perasuransian.
PerMenkes No. 1027/MenKes/SK/IX Tahun 2004 tentang Standar Pelayanan Kefarmasian di
Apotek.
KepMenKes No. 1332 Tahun 2002 tentang Ketentuan dan Tata Cara Pemberian Izin Apotek.
PerMenKes No. 919/MenKes/Per/X/1993 tentang Kriteria Obat yang Dapat Diserahkan
Tanpa Resep.
KepMenKes No. 280 tahun 1981 tentang Ketentuan dan Tata Cara Pengelolaan Apotek
Undang-Undang No.23 Tahun 1992 tentang Kesehatan
Undang-Undang No.36 Tahun 2009 tentang Kesehatan
Undang-Undang No.5 Tahun 1997 tentang Psikotropika
Undang-undang No. 40 tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN)
Undang No. 24 tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Nasional
Peraturan Presiden Republik Indonesia No.12 tahun 2013 tentang jaminan kesehatan
Undang-Undang No.22 Tahun 1997 tentang Narkotika
Undang-Undang No.35 Tahun 2009 tentang Narkotika
PP No.72 Tahun 1998 tentang Pengamanan Sediaan Farmasi dan Alat Kesehatan
PP No.51 Tahun 2009 tentang Pekerjaan Kefarmasian
PerMenKes No.922 Tahun 1993 tentang Ketentuan dan Tata Cara Pemberian Izin Apotik
Permenkes No.918/Menkes/PER/X/1993 tentang Pedagang Besar Farmasi
Petunjuk Teknis Pelaksanaan Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek (SK nomor
1027/Menkes/SK/IX/2004).
KepMenKes No. 280/Menkes/SK/V/1981 tentang Ketentuan dan
Surat Edaran Direktur Jendral Pengawasan Obat dan Makanan Depkes RI No. 336/E/SE/77
tentang salinan resep narkotika.
Dalam PP No. 51 tahun 2009, apotek merupakan sarana pelayanan kefarmasian tempat
dilakukan praktek kefarmasian oleh apoteker. Peraturan tersebut juga menyebutkan
pengelolaan obat, pelayanan obat atas resep dokter, dan pelayanan informasi obat merupakan
salah satu pekerjaan kefarmasian di apotek.
Pada UU No. 24 tahun 2011, disebutkan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS)
adalah badan hukum yang dibentuk untuk menyelenggarakan program jaminan sosial. BPJS-
Kesehatan bertujuan untuk menyelenggarakan program jaminan sosial di bidang kesehatan.
Adapun dasar ditujuknya PT. Askes (Persero) sebagai BPJS Kesehatan oleh pemerintah
adalah:
a) Undang-undang No. 40 tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) .
Sistem jaminan sosial nasional (SJSN), merupakan suatu tata cara penyelenggaraan
program jaminan sosial oleh beberapa Badan Penyelenggaraan Jaminan Sosial (BPJS).
b) Undang No. 24 tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Nasiona l.
c) Peraturan Presiden Republik Indonesia No.12 tahun 2013 tentang jaminan kesehatan .
Jaminan kesehatan berupa perlindungan kesehatan agar peserta memperoleh manfaat
pemeliharaan kesehatan dan perlindungan dalam memenuhi kebutuhan dasar kesehatan
yang diberikan kepada setiap orang yang telah membayar iuran atau iurannya dibayar
oleh pemerintah.
Dalam pelayanan kefarmasian di komunitas/apotek berdasarkan PP No. 51 tahun 2009
dan berkaitan dengan sistem kesehatan BPJS-Kesehatan, apoteker memiliki dua peranan
penting yang meliputi professional dan manajemen.
1.1 Peran Apoteker Sebagai Profesional
Menurut PerMenkes No.1027 tahun 2004, pelayanan kefarmasian pada saat ini telah
bergeser orientasinya dari obat ke pasien yang mengacu kepada Pharmaceutical Care atau
asuhan kefarmasian. Kegiatan pelayanan kefarmasian yang semula hanya berfokus pada
pengelolaan obat sebagai komoditi menjadi pelayanan yang komprehensif yang bertujuan
untuk meningkatkan kualitas hidup dari pasien. Hal inilah yang menjadi cerminan program
BPJS-Kesehatan sebagai program jaminan sosial di bidang kesehatan. Peran utama apoteker
di apotek adalah sebagai seorang profesional untuk melaksanakan kegiatan Pharmaceutical
Care atau asuhan kefarmasian.
Standar Pelayanan Kefarmasian di apotek disusun:
a. Sebagai pedoman praktik apoteker dalam menjalankan profesi.
b. Untuk melindungi masyarakat dari pelayanan yang tidak profesional
c. Melindungi profesi dalam menjalankan praktik kefarmasian
Berdasarkan KepMenKes No. 1027 tahun 2004, jenis pelayanan yang dilakukan di apotek
meliputi pelayanan resep, promosi dan edukasi serta pelayanan residensial. Penyerahan
sediaan farmasi dan alat kesehatan untuk digunakan dalam pelayanan kesehatan dilakukan
berdasarkan resep dokter dan tanpa resep dokter, hal ini sesuai dengan PP No. 72 Tahun
1998, pasal 16 ayat (2).
1.1.1 Pelayanan Resep
Berdasarkan sistem BPJS-Kesehatan, setelah mendapatkan pelayanan dari poliklinik atau
rumah sakit, pasien harus mendapatkan pelayanan obat dengan membawa resep dan atau
protokol terapi/surat keterangan lain ke loket Askes Center untuk dilegalisir, kemudian untuk
pelayanan obat dilakukan oleh apoteker di apotek. Bila peserta mendapat resep obat biasa
maka peserta harus menyerahkan resep, menyerahkan SJP (Surat Jaminan Pelayanan) lembar
kedua, menunjukan kartu Askes yang asli. Apoteker memverifikasi resep, kartu Askes dan
SJP lembar kedua serta persyaratan lain yang diperlukan, serta menulis nomor SJP- RJTL
pada lembar resep (PT Askes a, 2011).
Menurut KepMenKes No. 1027 tahun 2004, resep adalah permintaan tertulis dari dokter,
dokter gigi, dokter hewan kepada apoteker untuk menyediakan dan menyerahkan obat bagi
pasien sesuai peraturan perundangan yang berlaku.
Beberapa pasal yang berhubungan dengan pelayanan resep dalam KepMenKes No. 1332
tahun 2002 antara lain :
Pasal 14 :
1) Apotek wajib melayani resep dokter, dokter gigi dan dokter hewan.
2) Pelayanan resep dimaksud dalam ayat (1) sepenuhnya atas tanggung jawab Apoteker
Pengelola Apotek.
Pasal 15 :
1) Apoteker wajib melayani resep sesuai dengan tanggung jawab dan keahlian
profesinya yang dilandasi pada kepentingan masyarakat.
2) Apoteker tidak diizinkan untuk mengganti obat generik yg ditulis didalam resep
dengan obat paten.
3) Dalam hal pasien tidak mampu menebus obat yang tertulis dalam resep, Apoteker
wajib berkonsultasi dengan dokter untuk pemilihan obat yang lebih tepat.
4) Apoteker wajib memberikan informasi :
a. yang berkaitan dengan penggunaan obat yang diserahkan kepada pasien.
b. penggunaan obat secara tepat, aman, rasional atas permintaan masyarakat.
Pasal 16 :
1) Apabila Apoteker menganggap bahwa dalam resep terdapat kekeliruan atau penulisan
resep yang tidak tepat, Apoteker harus memberitahukan kepada dokter penulis resep.
2) Apabila dalam hal dimaksud ayat (1) karena pertimbangan tertentu dokter penulis
resep tetap pada pendiriannya, dokter wajib menyatakannya secara tertulis atau
membubuhkan ttd yang lazim di atas resep.
Pelayanan resep yang dilakukan meliputi pelayanan non narkotika/psikotropika dan
pelayanan resep narkotika/psikotropika. Berdasarkan KepMenKes No. 1027 tahun 2004,
pelayanan resep terdiri dari tahap skrining (administratif, kesesuaian farmasetik, dan
pertimbangan klinis), penyiapan dan penyerahan obat, serta pemberian informasi atau KIE
(Komunikasi, Informasi, Edukasi), dan konseling.
1) Pelayanan Resep Non narkotika/psikotropika
a. Medication Record
Medication Record merupakan catatan pengobatan pasien yang harus dibuat oleh
seorang apoteker dalam memberikan suatu pelayanan kefarmasian. Hal ini dikarenakan
medication record digunakan sebagai pengawasan dan monitoring terhadap pasien dalam
rangka menjamin kepastian mengenai penggunaan obat yang benar kepada pasien. Selain
itu pembuatan catatan pengobatan pasien juga dimaksudkan untuk memastikan bahwa
informasi yang dikandung di dalamnya akan ditinjau ulang oleh apoteker dengan cara
yang konsisten dengan praktek profesional dan legal setiap saat resep ditebus. Oleh
karena itu pada pelayanan kefarmasian di apotek, pembuatan medication record
merupakan tahapan awal yang harus dilakukan oleh seorang apoteker. Adapun hal-hal
yang harus dicantumkan oleh apoteker pada pembuatan medication record awal adalah
sebagai berikut :
Nama pasien
Umur pasien
Alamat pasien
Identitas personal dari pasien
Identitas personal dari penulis resep atau dokter
Pencatatan identitas personal baik pasien maupun dokter, merupakan hal penting yang
harus dilakukan oleh seorang apoteker pada awal pemberian pelayanan kefarmasian. Hal
ini dikarenakan identitas personal tersebut akan sangat diperlukan untuk memudahkan
penelusuran jika terjadi hal-hal yang tidak diinginkan dalam jangka panjang kedepannya.
b. Skrining Resep
Dalam Surat Keputusan Menteri Kesehatan RI nomor 1027/Menkes/SK/IX/2004
disebutkan bahwa apoteker harus memahami dan menyadari kemungkinan terjadi
kesalahan pengobatan (medication eror). Oleh karena itu tahapan skrining resep perlu
dilakukan oleh seorang apoteker untuk mencegah terjadinya medication eror. Adapun
skrining resep yang dilakukan oleh seorang apoteker adalah sebagai berikut :
Persyaratan Administratif
Berguna untuk menghindari kesalahan penulisan resep maupun pemalsuan resep.
Yang dianalisis dalam skrining ini antara lain ada tidaknya maupun keaslian dari :
- Nama, SIP dan alamat dokter
- Tanggal penulisan resep
- Tanda tangan atau paraf dokter penulis resep
- Nama, alamat, umur, jenis kelamin, dan berat badan pasien
- Nama obat, potensi, dosis, jumlah yang diminta
- Cara pemakaian yang jelas
- Informasi lainnya
Kesesuaian Farmasetik
- Bentuk sediaan
- Dosis
- Potensi
- Stabilitas
- Inkompatibilitas
- Cara Pemberian
- Lama pemberian
Pertimbangan Klinis
- Adanya alergi
- Efek samping
- Interaksi kesesuaian (dosis, durasi, jumlah obat, dll)
c. Anamnese Farmasi
Anamnese kefarmasian adalah kegiatan apoteker dalam menganalisa indikasi masing-
masing obat yang diresepkan oleh dokter, dan menerjemahkannya ke dalam suatu dugaan
diagnose apa yang telah ditegakkan oleh dokter atau sakit apa yang diderita oleh pasien.
Ketepatan dari anamnese kefarmasian yang dihasilkan tergantung dari kecakapan yang
dimiliki oleh masing-masing apoteker.
d. Cross Check dengan Pasien
Setelah melakukan anamnese kefarmasian, seorang apoteker harus melakukan
crosscheck kepada pasien untuk memastikan ketepatan dari anamnese tersebut.
Crosscheck kepada pasien dilakukan dengan menanyakan keluhan apa yang disampaikan
oleh pasien kepada dokter dengan mengajukan 3 prime question, yaitu (1) Apa yang telah
dokter katakan mengenai obat ini, cara pemakaian, (2) Bagaimanan dokter menerangkan
cara pemakaian, dan (3) Apa yang diharapkan dalam pengobatan ini. Selain itu Apoteker
juga dapat menanyakan langsung diagnose dari pasien melalui komunikasi dengan dokter
penulis resep.
e. Analisa Penggunaan Obat yang Rasional
Penggunaan obat dinyatakan rasional apabila pasien menerima pengobatan sesuai
dengan kebutuhan klinisnya, dalam dosis yang sesuai dengan kebutuhan, dalam periode
waktu yang adequate dan dengan biaya yang terjangkau oleh masyarakat banyak
(Bahaudin, tt). Analisa penggunaan obat yang rasional dapat dilakukan dengan
melakukan penilaian terhadap parameter 4 T (tepat pasien, tepat indikasi, tepat dosis,
tepat obat dan pemakaian) dan 1 W (waspada efek samping obat).
Tepat Pasien
Analisa tepat pasien berkaitan dengan pemilihan obat yang sesuai untuk kondisi
spesifik pasien. Umumnya lebih ditekankan perlunya perhatian khusus untuk pasien
yang termasuk dalam populasi khusus seperti pasien pediatrik, geriatrik, ibu hamil,
gangguan ginjal, gangguan hati, dan sebagainya.
Tepat Indikasi
Berkaitan dengan penentuan perlu tidaknya suatu obat diberikan pada kasus
tertentu dan disesuaikan dengan indikasi medis dari pasien tersebut.
Tepat Dosis
Berkaitan dengan penilaian terhadap penentuan dosis (termasuk frekuensi dan
durasi pengobatan) apakah telah tepat dan disesuaikan dengan kondisi masing–
masing pasien.
Tepat Obat
Berkaitan dengan pemilihan kelas terapi dan jenis obat berdasarkan
pertimbangan manfaat, keamanan, mutu dan harga. Selain itu juga disesuaikan
dengan kondisi spesifik dari pasien seperti kemampuan untuk mengkonsumsi obat
tersebut sesuai dengan rute pemberian yang dianjurkan, serta pertimbangan adanya
reaksi alergi pasien terhadap obat tertentu.
Waspada Efek Samping Obat
Seorang apoteker hendaknya mencatat efek samping obat (adverse drug
reaction) atau interaksi obat yang mungkin ditimbulkan. Seorang apoteker
diharapkan dapat melihat kemungkinan terjadinya interaksi obat, baik pada fase
farmasetik (peracikan), farmakokinetik (adsorpsi, distribusi, dan eliminasi), dan fase
farmakodinamik. Jika terjadi interaksi apoteker diharapkan dapat
mengkomunikasikan kepada pasien.
Berdasarkan analisa apoteker tersebut, apabila terdapat ketidaktepatan dalam
pemilihan obat oleh dokter dalam tujuan pengobatan, apoteker diharuskan melakukan
komunikasi kepada dokter penulis resep untuk menanyakan tujuan dokter dalam
menuliskan obat dalam resep tersebut.
f. Analisa Farmakoekonomi (Reduce Cost)
Farmakoekonomi adalah ilmu yang mengukur biaya dan hasil yang diperoleh
dihubungkan dengan penggunaan obat dalam perawatan kesehatan (Orion, 1997).
Farmakoekonomi juga didefenisikan sebagai deskripsi dan analisis dari biaya terapi
dalam suatu sistem pelayanan kesehatan. Lebih spesifik lagi adalah sebuah penelitian
tentang proses identifikasi, mengukur dan membandingkan biaya, resiko dan keuntungan
dari suatu program, pelayanan dan terapi (Vogenberg, 2001).
Tujuan farmakoekonomi adalah membandingkan obat yang berbeda untuk
pengobatan pada kondisi yang sama. Selain itu juga membandingkan pengobatan yang
berbeda pada kondisi yang berbeda (Vogenberg, 2001). Dimana hasilnya bisa dijadikan
informasi yang dapat membantu para pembuat kebijakan dalam menentukan pilihan atas
alternatif-alternatif pengobatan yang tersedia agar pelayanan kesehatan menjadi lebih
efisien dan ekonomis. Informasi farmakoekonomi saat ini dianggap sama pentingnya
dengan informasi khasiat dan keamanan obat dalam menentukan pilihan obat mana yang
akan digunakan. Farmakoekonomi dapat diaplikasikan baik dalam skala mikro maupun
dalam skala makro.
Farmakoekonomi diperlukan karena adanya sumber daya yang terbatas, dimana hal
yang terpenting adalah bagaimana memberikan obat yang efektif dengan dana yang
tersedia, pengalokasian sumber daya yang tersedia secara efisien, kebutuhan pasien
dimana dari sudut pandang pasien adalah biaya yang seminimal mungkin (Vogenberg,
2001).
g. Medication Record
Seperti yang dijelaskan sebelumnya, medication record merupakan catatan
pengobatan pasien yang harus dibuat oleh seorang apoteker dalam memberikan suatu
pelayanan kefarmasian. Tidak hanya nama pasien, umur pasien, alamat pasien, identitas
personal dari pasien, dan identitas personal dari penulis resep atau dokter, dalam
medication record tahap ini, diperlukan pencatatan waktu/tanggal pengambilan resep;
nama, kekuatan, bentuk, dan jumlah dosis obat; aturan penggunaan obat; perintah
pengulangan dari penulisan resep; identifikasi siapa yang melayani obat; dan alergi
setiap pasien, keanehan, atau kondisi kronis yang mungkin berhubungan dengan
penggunaan obat (Windarti dkk, tt).
Dalam hal ini menurut Surat Keputusan Menteri Kesehatan RI nomor
1027/Menkes/SK/IX/2004, sangat diutamakan pemantauan penggunaan obat untuk
pasien tertentu seperti cardiovascular, diabetes, TBC, asthma, dan penyakit lainnya.
Apoteker sebagai care giver juga dapat melakukan pelayanan kefarmasian yang bersifat
kunjungan rumah, khususnya untuk kelompok lansia dan pasien dengan pengobatan
penyakit kronis lainnya. Sehingga untuk mendukung aktifitas ini apoteker harus
membuat catatan berupa catatan pengobatan (medication record) seperti yang dijelaskan
sebelumnya.
h. Compounding and Dispensing
Compounding melibatkan pembuatan (preparation), pencampuran (mixing),
pemasangan (asembling), pembungkusan (packaging), dan pemberian label (labelling)
dari obat atau alat sesuai dengan resep dokter yang berlisensi atas inisiatif yang
didasarkan atas hubungan dokter/pasien/ farmasis/compounder dalam praktek
profesional (USP, 2004).
Dispensing adalah salah satu unsur vital dari penggunaan obat secara rasional. Di
dalam program penggunaan obat secara rasional, upaya sering kali dikonsentrasikan pada
pemastian kebiasaan penulisan secara rasional, dan sering melupakan dispensing dan
penggunaan obat yang sebenarnya dari penderita. Praktik dispensing yang baik adalah
suatu proses praktik yang memastikan bahwa suatu bentuk yang efektif dari obat yang
benar dihantarkan kepada penderita yang benar, dalam dosis dan kuantitas yang tertulis,
dengan instruksi yang jelas, dan dalam suatu kemasan yang memelihara potensi obat
(Siregar, dkk, 2004).
Penyiapan Obat
Peracikan
Merupakan kegiatan menyiapkan, menimbang, mencampur, mengemas dan
memberikan etiket pada wadah. Dalam melaksanakan peracikan obat harus dibuat
suatu prosedur tetap dengan memperhatikan dosis, jenis dan jumlah obat serta
penulisan etiket yang benar.
Etiket
Etiket harus jelas dan dapat dibaca
Kemasan obat yang diserahkan
Obat hendaknya dikemas dengan rapi dalam kemasan yang cocok sehingga terjaga
kualitasnya.
Penyerahan Obat
Sebelum obat diserahkan pada pasien harus dilakukan pemeriksaan akhir terhadap
kesesuaian antara obat dengan resep. Penyerahan obat dilakukan oleh apoteker
disertai pemberian informasi obat dan konseling kepada pasien dan tenaga kesehatan.
i. Informasi Obat
Selain penekanan dosis, frekuensi, lama pengobatan, dan rute pemberian, prioritas
adalah memberikan pasien informasi yang akan memaksimalkan efek pengobatan. Oleh
karena itu, informasi perlu dikonsentrasikan pada :
a) Kapan obat digunakan/dikonsumsi (terutama berkaitan dengan makanan dan
obat-obat lain).
b) Cara obat digunakan (dikunyah, ditelan seluruhnya, tidak boleh digerus, dikocok
dulu, dikonsumsi dengan banyak air minum, dan sebagainya.
c) Cara menyimpan dan memelihara obat.
d) Peringatan tentang kemungkinan aktivitas, makanan minuman yang harus
dihindari selama terapi, dan efek samping. Efek samping yang umum, tetapi tidak
berbahaya (mual, diare ringan, perubahan warna urin) perlu dberitahukan guna
mencegah pasien yang takut dari penghentian pengobatan.
Menurut Surat Keputusan Menteri Kesehatan RI nomor 1027/Menkes/SK/IX/2004,
seorang apoteker harus memberikan informasi yang benar, jelas, dan mudah dimengerti,
akurat, tidak bias, etis, bijaksana, dan terkini. Apoteker juga sebaiknya memperagakan
dan menjelaskan mengenai pemakaian obat-obat tertentu (inhaler, supositoria, dan lain-
lain), serta melakukan verifikasi akhir meliputi:
Mengecek pemahaman pasien
Mengidentifikasi dan menyelesaikan masalah yang berhubungan dengan cara
penggunaan obat untuk mengoptimalkan tujuan terapi
j. Konseling
Apoteker juga harus memberikan konseling, mengenai sediaan farmasi, pengobatan
dan berbekalan kesehatan lainnya, sehingga dapat memperbaiki kualitas hidup pasien atau
yang bersangkutan terhindar dari bahaya penyalahgunaan atau penggunaan salah sediaan
farmasi atau perbekalan kesehatan lainnya. Untuk penderita penyakit tertentu seperti
cardiovascular, diabetes, TBC, asthma, dan penyakit kronis lainnya, apoteker harus
memberikan konseling secara berkelanjutan, sehingga diperlukan pencatatan alamat dan
nomor telepon pasien. Selain itu juga dalam rangka pemberdayaan masyarakat, apoteker
harus berpartisipasi secara aktif dalam promosi dan edukasi untuk membantu diseminasi
informasi, antara lain penyebaran leaflet/brosur, poster, penyuluhan, dan lain-lain.
k. Monitoring Penggunaan Obat
Setelah penyerahan obat kepada pasien, apoteker harus melaksanakan pemantauan
penggunaan obat, terutama untuk pasien tertentu cardiovascular, diabetes, TBC, asthma,
dan penyakit kronis lainnya.
2) Resep yang Mengandung Narkotika dan Psikotropika
a) Narkotika
Berdasarkan UU No. 35 tahun 2009, disebutkan bahwa :
Pasal 14
(1) Narkotika yang berada dalam penguasaan industri farmasi, pedagang besar farmasi,
sarana penyimpanan sediaan farmasi pemerintah, apotek, rumah sakit, pusat kesehatan
masyarakat, balai pengobatan, dokter, dan lembaga ilmu pengetahuan wajib disimpan
secara khusus.
(2) Industri Farmasi, pedagang besar farmasi, sarana penyimpanan sediaan farmasi
pemerintah, apotek, rumah sakit, pusat kesehatan masyarakat, balai pengobatan,
dokter, dan lembaga ilmu pengetahuan wajib membuat, menyampaikan, dan
menyimpan laporan berkala mengenai pemasukan dan/atau pengeluaran Narkotika
yang berada dalam penguasaannya.
Pasal 43
(2) Apotek hanya dapat menyerahkan natkotika kepada : rumah sakit, pusat kesehatan
masyarakat, apotek lainnya, balai pengobatan, dokter, dan pasien.
(3) Rumah sakit, apotek, pusat kesehatan masyarakat, dan balai pengobatan hanya dapat
menyerahkan Narkotika kepada pasien berdasarkan resep dokter.
b) Psikotropika
Berdasarkan undang-undang No. 5 tahun 1997
Pasal 14
(2) Penyerahan psikotropika oleh apotek hanya dapat dilakukan kepada apotek lainnya,
RS, puskesmas, balai pengobatan, dokter dan pengguna/pasien.
(4) Penyerahan psikotropika oleh apotek, rumah sakit, puskesmas, dan balai pengobatan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan berdasarkan resep dokter
(5) Penyerahan psikotropika oleh dokter sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
dilaksanakan dalam hal :
a. menjalankan praktik terapi dan diberikan melalui suntikan;
b. menolong orang sakit dalam keadaan darurat;
c. menjalankan tugas di daerah terpencil yang tidak ada apotek.
(6) Psikotropika yang diserahkan dokter sebagaimana dimaksud pada ayat (5) hanya
dapat diperoleh dari apotek
Pasal 33 ayat (1)
Pabrik obat, pedagang besar farmasi, sarana penyimpanan sediaan farmasi
Pemerintah, apotek, rumah sakit, puskesmas, balai pengobatan, dokter, lembaga
penelitian dan/atau lembaga pendidikan, wajib membuat dan menyimpan catatan
mengenai kegiatan masing-masing yang berhubungan dengan psikotropika.
1.1.2 Pelayanan Non-Resep
Pelayanan Non-resep berhubungan dengan kegiatan pengobatan sendiri (swamedikasi)
dengan menggunakan obat bebas dan obat bebas terbatas yang dilakukan secara tepat guna
dan bertanggung jawab. Obat yang dapat diserahkan tanpa resep harus memenuhi kriteria
yang dicantumkan dalam PerMenKes No. 919 tahun 1993 tentang kriteria obat yang dapat
diserahkan tanpa resep yaitu :
1) Tidak dikontraindikasikan untuk penggunaan pada wanita hamil, anak dibawah usia 2
tahun dan orang tua di atas 65 tahun.
2) Pengobatan sendiri dengan obat dimaksud tidak memberikan risiko pada kelanjutan
penyakit
3) Tidak memerlukan cara dan atau alat khusus yang harus dilakukan oleh tenaga
kesehatan
4) Penggunaannya diperlukan untuk penyakit yang prevalensinya tinggi di Indonesia
5) Obat dimaksud memiliki rasio khasiat keamanan yang dapat dipertanggungjawabkan
untuk pengobatan sendiri
1.1.3 Promosi dan Edukasi
Berdasarkan KepMenKes No. 1027 tahun 2004, dalam rangka pemberdayaan masyarakat,
apoteker harus berpartisipasi secara aktif dalam promosi dan edukasi. Apoteker ikut
membantu diseminasi informasi, antara lain dengan penyebaran leaflet / brosur, poster,
penyuluhan, dan lain lainnya.
1.1.4 Pelayanan Residensial (Home Care)
Apoteker sebagai care giver diharapkan juga dapat melakukan pelayanan kefarmasian
yang bersifat kunjungan rumah, khususnya untuk kelompok lansia dan pasien dengan
pengobatan penyakit kronis lainnya. Untuk aktivitas ini apoteker harus membuat catatan
berupa catatan pengobatan (medication record).
Dari penjelasan di atas dapat diketahui tupoksi apoteker sebagai seorang profesional
adalah sebagai berikut.
Pada Pelayanan Resep Non Narkotika dan Psikotropika:
Prosedur Tetap Skrining Resep
a) Melakukan pemeriksaan kelengkapan dan keabsahan resep yaitu nama dokter, nomor
ijin praktek, alamat, tanggal penulisan resep, tanda tangan atau paraf dokter serta
nama, alamat, umur, jenis kelamin dan berat badan pasien.
b) Melakukan pemeriksaan kesesuaian farmasetik yaitu: bentuk sediaan, dosis,
frekuensi, kekuatan, stabilitas, inkompatibilitas, cara dan lama pemberian obat.
c) Mengkaji aspek klinis yaitu : adanya alergi, efek samping, interaksi, kesesuaian
(dosis, durasi, jumlah obat dan kondisi khusus lainnya). Membuatkan kartu
pengobatan pasien (medication record).
d) Mengkonsultasikan ke dokter tentang masalah resep apabila diperlukan
Prosedur Tetap Penyiapan Sediaan Farmasi dan Perbekalan Kesehatan
a) Menyiapkan sediaan farmasi dan perbekalan kesehatan sesuai dengan permintaan
pada resep
b) Menghitung kesesuaian dosis dan tidak melebihi dosis maksimum.
c) Mengambil obat dengan menggunakan sarung tangan / alat / spatula/sendok
d) Menutup kembali wadah obat setelah pengambilan dan mengembalikan ke tempat
semula.
e) Meracik obat (timbang, campur, kemas)
f) Mengencerkan sirup kering sesuai takaran dengan air yang layak minum
g) Menyiapkan etiket (warna putih untuk obat dalam, warna biru untuk obat luar, dan
etiket lainnya seperti label kocok dahulu untuk sediaan cair)
h) Menulis nama dan cara pemakaian obat pada etiket sesuai dengan permintaan dalam
resep.
Prosedur Tetap Penyerahan Obat
a) Melakukan pemeriksaan akhir kesesuaian antara penulisan etiket dengan resep
sebelum dilakukan penyerahan
b) Memanggil nama dan nomor tunggu pasien
c) Mengecek identitas dan alamat pasien yang berhak menerima
d) Menyerahkan obat yang disertai pemberian informasi obat
e) Menanyakan dan menuliskan alamat/nomor telepon pasien dibalik resep
f) Menyimpan resep pada tempatnya dan mendokumentasikannya
Prosedur Tetap Pelayanan Informasi Obat
a) Memberikan informasi obat kepada pasien berdasarkan resep atau kartu pengobatan
pasien (medication record) atau kondisi kesehatan pasien baik lisan maupun tertulis
b) Melakukan penelusuran literatur bila diperlukan, secara sistematis untuk memberikan
informasi
c) Menjawab pertanyaan pasien dengan jelas dan mudah dimengerti, tidak bias, etis dan
bijaksana baik secara lisan maupun tertulis
d) Mendisplai brosur, leaflet, poster atau majalah kesehatan untuk informasi pasien.
e) Mendokumentasikan setiap kegiatan pelayanan informasi obat
Prosedur Tetap Konseling :
a) Melakukan konseling sesuai dengan kondisi penyakit pasien
b) Membuka komunikasi antara apoteker dengan pasien/keluarga pasien
c) Menanyakan tiga pertanyaan kunci menyangkut obat yang dikatakan oleh dokter
kepada pasien dengan metode open-ended question :
a. Apa yang telah dokter katakan mengenai obat ini
b. Cara pemakaian, bagaimanan dokter menerangkan cara pemakaian
c. Apa yang diharapkan dalam pengobatan ini
d) Memperagakan dan menjelaskan mengenai pemakaian obat-obat tertentu (inhaler,
supositoria, dll)
e) Melakukan verifikasi akhir meliputi:
Mengecek pemahaman pasien
Mengidentifikasi dan menyelesaikan masalah yang berhubungan dengan cara
penggunaan obat untuk mengoptimalkan tujuan terapi
f) Melakukan pencatatan konseling yang dilakukan pada kartu pengobatan
Pada Pelayanan Resep Narkotika dan Psikotropika
Prosedur Tetap Skrining resep
a) Melakukan pemeriksaan terhadap kelengkapan administrasi
b) Melakukan pemeriksaan kesesuaian farmaseutik yaitu : bentuk sediaan, dosis, potensi,
stabilitas, inkompatibilitas, cara dan lama pemberian
c) Mengkaji pertimbangan klinis yaitu : adanya alergi, efek samping, interaksi,
kesesuaian (dosis, durasi, jumlah obat dan lain-lain).
d) Narkotik hanya dapat diserahkan atas dasar resep asli rumah sakit, puskesmas, apotek
lainnya, balai pengobatan, dokter. Salinan resep narkotika dalam tulisan “iter” tidak
boleh dilayani sama sekali
e) Salinan resep narkotik yang baru dilayani sebagian atau yang belum dilayani sama
sekali hanya boleh dilayani oleh apotek yang menyimpan resep asli.
f) Mengkonsultasikan ke dokter tentang masalah resep apabila diperlukan.
Prosedur Tetap Penyiapan Resep
a) Menyiapkan obat sesuai dengan permintaan pada resep
b) Untuk obat racikan apoteker menyiapkan obat jadi yang mengandung narkotika atau
menimbang bahan baku narkotika
c) Menutup dan mengembalikan wadah obat pada tempatnya
d) Menulis nama dan cara pemakaian obat pada etiket sesuai dengan permintaan dalam
resep
e) Obat diberi wadah yang sesuai dan diperiksa kembali jenis dan jumlah obat sesuai
permintaan dalam resep
Prosedur Tetap Penyerahan Obat
g) Melakukan pemeriksaan akhir kesesuaian antara penulisan etiket dengan resep
sebelum dilakukan penyerahan
h) Memanggil nama dan nomor tunggu pasien
i) Mengecek identitas dan alamat pasien yang berhak menerima
j) Menyerahkan obat yang disertai pemberian informasi obat
k) Menanyakan dan menuliskan alamat/nomor telepon pasien dibalik resep
l) Menyimpan resep pada tempatnya dan mendokumentasikannya
Pelayanan Swamedikasi
Tupoksi Apoteker dalam Pelayanan Swamedikasi :
1. Mendengarkan keluhan penyakit pasien yang ingin melakukan swamedikasi
2. Menggali informasi dari pasien meliputi:
a) Tempat timbulnya gejala penyakit
b) Seperti apa rasanya gejala penyakit
c) Kapan mulai timbul gejala dan apa yang menjadi pencetusnya
d) Sudah berapa lama gejala dirasakan
e) Ada tidaknya gejala penyerta
f) Pengobatan yang sebelumnya sudah dilakukan
3. Memilihkan obat sesuai dengan kerasionalan dan kemampuan ekonomi pasien dengan
menggunakan obat bebas, bebas terbatas dan obat wajib apotek.
4. Memberikan informasi tentang obat yang diberikan kepada pasien meliputi: nama
obat, tujuan pengobatan, cara pakai, lamanya pengobatan, efek samping yang
mungkin timbul, serta hal-hal lain yang harus dilakukan maupun yang harus dihindari
oleh pasien dalam menunjang pengobatan. Bila sakit berlanjut/lebih dari 3 hari
hubungi dokter.
5. Mendokumentasikan data pelayanan swamedikasi yang telah dilakukan
Pelayanan Residensial
Tupoksi Apoteker dalam Pelayanan Residensial meliputi :
a) Menyeleksi pasien melalui kartu pengobatan
b) Menawarkan pelayanan residensial
c) Mempelajari riwayat pengobatan pasien
d) Menyepakati jadwal kunjungan
e) Melakukan kunjungan ke rumah pasien
f) Melakukan tindak lanjut dg memanfaatkan sarana komunikasi yang ada atau kunjungan
berikutnya, secara berkesinambungan
g) Melakukan pencatatan dan evaluasi pengobatan
1.2 Peran Apoteker Sebagai Manajerial
Manajemen secara umum merupakan suatu proses yang menyatukan sumber daya dan
mempersatukan mereka sedemikian rupa sehingga, secara kolektif, untuk mencapai tujuan
dengan cara yang efisien. Menurut Ricky W. Griffin dalam Syahruddin, (2011), manajemen
merupakan sebuah proses perencanaan, pengorganisasian, pengkoordinasian, dan
pengontrolan sumber daya untuk mencapai sasaran (goals) secara efektif dan efesien
(Desselle and Zgarrick, 2009). Berdasarkan pada BAB II KepMenKes No. 1027 tahun 2004,
bahwa pengelolaan sumber daya di apotek meliputi:
1.2.1 Pengelolaan Sumber Daya Manusia
a. Apoteker yang profesional
Dalam KepMenKes No. 1027 tahun 2004 tentang Standar Pelayanan Kefarmasian di
Apotek, Apoteker di apotek senantiasa harus memiliki kompetensi:
1. Menyediakan dan memberikan pelayanan yang baik.
Melalui sistem BPJS-Kesehatan, Apoteker sebagai pengelola apotek harus dapat
memberikan pelayanan kefarmasian yang profesional. Dalam memberikan pelayanan,
apoteker harus dapat mengintegrasikan pelayanannya dalam sistem pelayanan
kesehatan kepada masyarakat secara keseluruhan sehingga dihasilkan sistem
pelayanan kesehatan yang berkesinambungan.
2. Mengambil keputusan yang tepat.
Apoteker harus mampu mengambil keputusan yang tepat, berdasarkan pada efikasi,
efektifitas dan efisiensi terhadap penggunaan obat dan alat kesehatan.
3. Kemampuan berkomunikasi antar profesi
Apoteker harus mempunyai kemampuan berkomunikasi yang baik dengan pasien
maupun dengan profesi kesehatan lainnya secara verbal maupun nonverbal.
4. Menempatkan diri sebagai pimpinan dalam situasi multidispliner.
Apoteker harus mampu menjadi pemimpin yaitu mampu mengambil keputusan yang
tepat dan efektif, mampu mengkomunikasikannya dan mampu mengelola hasil
keputusan tersebut.
5. Mempunyai kemampuan dalam mengelola sumber daya secara sefektif
Dalam mengelola sumber daya (manusia, fisik, anggaran) dan informasi, juga harus
dapat dipimpin dan memimpin orang lain dalam tim kesehatan.
6. Selalu belajar sepanjang karier.
Apoteker harus selalu belajar baik pada jalur formal maupun informal sepanjang
kariernya, sehingga ilmu dan keterampilan yang dipunyai selalu baru (up to date).
7. Membantu memberi pendidikan dan memberi peluang untuk meningkatkan pengetahuan.
Apoteker mempunyai tanggung jawab untuk mendidik dan melatih sumber daya yang
ada, serta memberi kesempatan untuk memperoleh pengalaman untuk meningkatkan
keterampilan.
Di apotek, Apoteketer dapat bertugas sebagai:
1) Apoteker Pengelola Apotek (Apoteker Pengelola Apotek) adalah Apoteker yang
telah diberi Surat Ijin Apotek (SIA). Setiap satu apotek harus ada 1 Apoteker
Pengelola Apotek dan seorang Apoteker hanya bisa menjadi Apoteker Pengelola
Apotek di satu apotek saja. Untuk menjadi Apoteker Pengelola Apotek harus
memenuhi persyaratan sesuai dalam pasal 5 PerMenKes No.922 tahun 1993 yaitu
sebagai berikut :
Ijasahnya telah terdaftar pada Departemen Kesehatan.
Telah mengucapkan sumpah/janji sebagai Apoteker.
Memiliki Surat Izin dari Menteri.
Memenuhi syarat-syarat kesehatan fisik dan mental untuk melaksanakan
tugasnya sebagai Apoteker.
Tidak bekerja di suatu perusahaan farmasi dan tidak menjadi Apoteker
Pengelola Apotek di Apotek lain.
(Hartini dan Sulasmono, 2008; MenKes RI, 1993)
2) Apoteker Pendamping adalah apoteker yang bekerja di apotek di samping Apoteker
Pengelola Apotek dan/atau menggantikannya pada jam-jam tertentu pada hari buka
apotek. Menurut KepMenKes No. 1332 tahun 2002 pasal 19 ayat 1 “Apoteker
Pengelola Apotek bila Apoteker Pengelola Apotek berhalangan melakukan tugasnya
pada jam buka Apotek, Apoteker Pengelola Apotek harus menunjuk Apoteker
pendamping”. Syarat menjadi apoteker pendamping sama dengan syarat menjadi
Apoteker Pengelola Apotek sesuai dalam pasal 5 PerMenKes No.922 tahun 1993
(Hartini dan Sulasmono, 2008; MenKes RI, 1993; MenKes RI, 2002).
3) Apoteker pengganti adalah apoteker yang menggantikan Apoteker Pengelola Apotek
Selama Apoteker Pengelola Apotek dan Apoteker Pendamping karena hal-hal
tertentu berhalangan melakukan tugasnya. Ini sesuai dengan KepMenKes No. 1332
tahun 2002 pasal 19 ayat 2 yaitu Apabila Apoteker Pengelola Apotek dan Apoteker
Pendamping karena hal-hal tertentu berhalangan meiakukan tugasnya, Apoteker
Pengelola Apotek menunjuk Apoteker Pengganti. Apoteker Pengganti harus
memnuhi persyaratan pada pasal 5 PerMenKes No.922 tahun 1993 (MenKes RI,
1993; MenKes RI, 2002)
b. Tenaga Teknis Kefarmasian
Menurut Peraturan Pemerintah No. 51 Tahun 2009, Tenaga Teknis Kefarmasian adalah
tenaga yang membantu Apoteker dalam menjalani Pekerjaan Kefarmasian, yang terdiri atas
Sarjana Farmasi, Ahli Madya Farmasi, Analis Farmasi, dan Tenaga Menengah
Farmasi/Asisten Apoteker. Dalam pasal 26 dan pasal 47 PP No. 51 disebutkan bahwa untuk
melaksanakan tugasnya di Fasilitas Pelayanan Kefarmasian sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 19 huruf e dilaksanakan oleh Tenaga Teknis Kefarmasian yang memiliki STRTTK
sesuai dengan tugas dan fungsinya. Berdasarkan PP No. 51 tahun 2009, tenaga Teknis
Kefarmasian yang telah memiliki STRTTK mempunyai wewenang untuk melakukan
Pekerjaan Kefarmasian dibawah bimbingan dan pengawasan Apoteker yang telah memiliki
STRA sesuai dengan pendidikan dan keterampilan yang dimilikinya.
c. Pemilik Sarana Apotek
Pemilik Sarana Apotek tidak harus seorang Apoteker, namun seorang Apoteker Pengelola
Apotek dapat bekerjasama dengan Pemilik Sarana Apotek apa diperlukan saja, misal karena
Apoteker Pengelola Apotek belum memiliki cukup modal untuk pengadaan sarana apotek.
Dalam PerMenKes No.922 tahun 1993 pasal 8 ayat 2 menyebutkan bahwa Pemilik sarana
dimaksud ayat (1) harus memenuhi persyaratan tidak pernah terlibat dalam pelanggaran
peraturan perundang-undangan di bidang obat sebagaimana dinyatakan dalam Surat
Pernyataan yang bersangkutan (Hartini dan Sulasmono, 2008, MenKes RI, 1993).
2.2.2 Sarana dan Prasarana
Sarana adalah suatu tempat dilakukannya pekerjaan kefarmasian sedangkan prasarana
apotek meliputi perlengkapan, peralatan dan fasilitas apotek yang memadai untuk
mendukung pelayanan kefarmasian yang berkualitas. Dalam upaya mendukung operasional
pelayanan kefarmasian di apotek berdasarkan sistem BPJS-Kesehatan, diperlukan sarana dan
prasarana yang memadai untuk meningkatkan kualitas pelayanan terhadap pasien, mulai dari
tempat, peralatan sampai dengan kelengkapan administrasi yang berhubungan dengan
pengobatan.
Peran apoteker sebagai manajerial di apotek dimulai dari pengurusan izin untuk
membuka apotek. Pengurusan izin apotek diatur dalam PerMenKes No. 922 Tahun 1993 dan
KepMenKes No. 1332 Tahun 2002. Beberapa pasal yang mengatur tentang perizinan apotek
antara lain :
Pasal 4 :
1) Izin Apotek diberikan oleh Menteri
2) Menteri melimpahkan wewenang pemberian izin apotek kepada kepala Dinas
Kesehatan Kabupaten/Kota
3) Kepala dinas kesehatan kabupaten/kota wajib melaporkan pelaksanaan pemberian
izin, pembekuan izin, pencairan izin, dan pencabutan izin apotek sekali setahun
kepada Menteri dan tembusan disampaikan kepada Kepala Dinas Kesehatan
Provinsi.
Pasal 6 : Persyaratan Apotek
1) Untuk mendapatkan izin Apotek, Apoteker atau Apoteker yang bekerjasama
dengan pemilik sarana yang telah memenuhi persyaratan harus siap dengan
tempat, perlengkapan termasuk sediaan farmasi dan perbekalan lainnya yang
merupakan milik sendiri atau milik pihak lain.
2) Sarana Apotek dapat didirikan pada lokasi yang sama dengan kegiatan pelayanan
komoditi lainnya diluar sediaan farmasi.
3) Apotek dapat melakukan kegiatan pelayanan komoditi lainnya diluar sediaan
farmasi.
Gambar 2.1. Skema Pemberian Izin Apotek
Persyaratan bangunan apotek tertera pada Petunjuk Teknis Pelaksanaan Standar
Pelayanan Kefarmasian di Apotek Sk Nomor 1027/Menkes/Sk/Ix/2004 yng berisi yaitu
Apotek berlokasi pada daerah yang dengan mudah dikenali oleh masyarakat; pada halaman
terdapat papan petunjuk yang dengan jelas tertulis kata apotek apotek harus dapat dengan
mudah diakses oleh anggota masyarakat; pelayanan produk kefarmasian diberikan pada
tempat yang terpisah dari aktivitas pelayanan dan penjualan produk lainnya; hal ini berguna
untuk menunjukkan integritas dan kualitas produk serta mengurangi resiko kesalahan
penyerahan; masyarakat harus diberi akses secara langsung dan mudah oleh apoteker untuk
memperoleh informasi dan konseling. Lingkungan apotek harus dijaga kebersihannya.
Apotek harus bebas dari hewan pengerat, serangga. Apotek memiliki suplai listrik yang
konstan, terutama untuk lemari pendingin. Apotek harus memiliki:
1)Ruang tunggu yang nyaman bagi pasien.
2)Tempat untuk mendisplai informasi bagi pasien, termasuk penempatan brosur/materi
informasi.
3)Ruangan tertutup untuk konseling bagi pasien. Untuk melaksanakan konseling, perlu
disediakan fasilitas maupun sarana dan prasarana yang memadai sehingga memudahkan
apoteker untuk memberikan informasi dan menjaga kerahasiaan pasien. Diperlukan juga
lemari untuk menyimpan catatan pengobatan pasien. Ada sumber informasi dan literature
yang memadai dan up to date seperti Farmakope Indonesia, Informasi Spesialite Obat
(ISO) dan Informasi Obat Nasional Indonesia (IONI), Martindale The Extra
Pharmacopeae, AHFS Drug Information, Internet, artikel dan jurnal ilmiah, United State
Pharmacopeae Drug Information (USPDI), British National Formulary (BNF )
4)Ruang racikan untuk melaksanakan peracikan obat yang memadai serta dilengkapi
peralatan peracikan yang sesuai dengan peraturan dan kebutuhan.
5)Ruang/tempat penyerahan obat. Penyerahan obat dilakukan pada tempat yang memadai,
sehingga memudahkan untuk melakukan pelayanan informasi obat.
6)Ruang/tempat penyimpanan sediaan farmasi dan perbekalan kesehatan lainnya. Di
tempat ini terdapat serangkaian kegiatan yang meliputi: penerimaan,penyimpanan,
pengawasan, pengendalian persediaan dan pengeluaran obat. Apoteker harus memastikan
bahwa kondisi penyimpanan sediaan farmasi dan perbekalan kesehatan lainnya sesuai
dengan persyaratan masing-masing produk disertai dengan label yang jelas. Selain itu
perlu didukung dengan catatan penyimpanan yang akurat untuk mengontrol sediaan
farmasi baik secara manual (misalnya dengan menyediakan kartu stok untuk
masingmasing barang) maupun komputerisasi sehingga efektivitas rotasi persediaan dan
pengawasan tanggal kadaluarsa berjalan dengan baik.
7)Tempat pencucian alat.
8)Peralatan penunjang kebersihan Apotek.
(MenKes RI, 2002; DepKes RI, 2006; DepKes Ri, 2008).
2.2.3 Pengelolaan Sediaan Farmasi dan Perbekalan Kesehatan Lainnya
Pengelolaan Sediaan Farmasi dan Perbekalan Kesehatan adalah suatu proses yang
merupakan suatu siklus kegiatan yang dimulai dari perencanaan, pengadaan, penerimaan,
penyimpanan dan penyerahan. Tujuannya adalah agar tersedianya perbekalan farmasi yang
bermutu serta jumlah, jenis dan waktu yang tepat (DepKes RI, 2008). Berdasarkan
KepMenKes No. 1027 tahun 2004 Pengelolaan persediaan farmasi dan perbekalan kesehatan
lainnya dilakukan sesuai ketentuan perundangan yang berlaku meliputi: perencanaan,
pengadaan, penyimpanan dan pelayanan. Pengeluaran obat memakai sistim FIFO (first in
first out) dan FEFO (first expire first out).Beberapa peraturan terkait pengadaan sediaan
farmasi adalah sebagai berikut:
1. Apoteker berkewajiban menyediakan, menyimpan, dan menyerahkan sediaan farmasi
yang bermutu baik dan yang keabsahannya terjamin (KepMenKes No.1332 tahun
2002).
2. Pabrik Farmasi dapat menyalurkan hasil produksinya langsung ke PBF, Apotek, Toko
Obat dan sarana pelayanan kesehatan lainnya (PerMenKes No.918 tahun 1993).
3. Apotek dilarang membeli atau menerima bahan baku obat selain dari PBF Penyalur
Bahan Baku Obat PT. Kimia Farma dan PBF yang akan ditetapkan kemudian.
(PerMenKes No. 287 tahun 1976 tentang pengimporan, penyimpanan, dan penyaluran
bahan baku obat).
(Hartini dan Sulasmono, 2008; DepKes RI, 2006; DepKes RI, 2008)
Kegiatan pengelolaan sediaan farmasi di apotek dapat dikelompokkan menjadi tiga yaitu:
a) Perencanaan
Perencanaan merupakan suatu proses kegiatan seleksi sediaan farmasi dan perbekalan
kesehatan untuk menentukan sediaan farmasi dan perbekalan kesehatan sesuai dengan
jumlah, jenis, harga dan waktu yang tepat. Kegiatan perencanaan bertujuan untuk
mendapatkan jenis dan jumlah sediaan farmasi dan perbekalan kesehatan yang sesuai
kebutuhan serta untuk menghindari terjadinya kekosongan obat/ penumpukan obat (Hartini
dan Sulasmono, 2008; DepKes RI, 2006; DepKes RI, 2008).
Sesuai dengan Petunjuk Teknis Pelaksanaan Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek
Sk Nomor 1027/Menkes/SK/IX/2004, maka dalam membuat perencanaan pengadaan
sediaan farmasi perlu memperhatikan:
a. Pola penyakit. Perlu memperhatikan dan mencermati pola penyakit yang timbul di
sekitar masyarakat sehingga apotek dapat memenuhi kebutuhan masyarakat tentang
obat-obat untuk penyakit tersebut.
b. Kemampuan/daya beli masyarakat. Tingkat ekonomi masyarakat di sekitar apotek
juga akan mempengaruhi daya beli terhadap obat-obatan.
c. Budaya masyarakat (kebiasaan masyarakat setempat). Pandangan masyarakat
terhadap obat, pabrik obat, bahkan iklan obat dapat mempengaruhi dalam hal
pemilihan obat-obatan khususnya obat-obat tanpa resep.
d. Pola penggunaan obat yang lalu (Hartini dan Sulasmono, 2008; DepKes RI, 2008).
b) Pengadaan
Pengadaan merupakan suatu proses kegiatan yang bertujuan agar tersedianya sediaan
farmasi dengan jumlah dan jenis yang cukup sesuai dengan kebutuhan pelayanan. Untuk
menjamin kualitas pelayanan kefarmasian maka pengadaan sediaan farmasi harus melalui
jalur resmi sesuai peraturan perundangundangan yang berlaku (DepKes RI, 2006; DepKes
RI, 2008).
Pengadaan barang meliputi proses pemesanan, pembelian, dan penerimaan barang. Ada
tiga macam pengadaan yang biasa dilakukan di apotek, yaitu:
a. Pengadaan dalam jumlah terbatas yang dimaksudkan untuk pembelian barang apabila
persediaan barang yang dalam hal ini adalah obat sudah menipis.
b. Pengadaan secara berencana adalah pembelian obat berdasarkan penjualan perminggu
atau perbulan. Sitem ini dilakukan pendataan obat-obat mana yang laku banyak dan
tergantung pula pada kondisi cuaca.
c. Pengadaan secara spekulatif dilakukan apabila aka nada kenaikan harga serta bonus
yang ditawarkan (Hartini dan Sulasmono, 2008).
c) Penyimpanan
Penyimpanan adalah kegiatan menyimpan dan memelihara dengan cara menempatkan
sediaan farmasi dan perbekalan kesehatan yang diterima pada tempat yang aman dan dapat
menjamin mutunya. Obat dan bahan obat harus disimpan dalam wadah yang cocok dan
harus memenuhi ketentuan pembungkusan dan penandaan sesua dengan ketentuan yang
berlaku. Obat yang disimpan harus terhindar dari cemaran dan peruraian, terhindar dari
pengaruh udara, kelembaban, panas, dan cahaya. Berdasarkan DepKes RI, (2006) dan
DepKes RI, (2008), hal – hal yang harus dilakukan dalam penyimpanan adalah :
Pemeriksaan organoleptik.
Pemeriksaan kesesuaian antara surat pesanan dan faktur.
Kegiatan administrasi penyimpanan sediaan farmasi dan perbekalan kesehatan.
Menyimpan sediaan farmasi dan perbekalan kesehatan pada tempat yang dapat
menjamin mutu (bila ditaruh dilantai harus di atas palet, ditata rapi diatas rak, lemari
khusus untuk narkotika dan psikotropik).
Berdasarkan KepMenKes 1027 tahun 2004, pengeluaran barang di apotek
menggunakan system FIFO (First In First Out), demikian pula halnya untuk obat-obat yang
mempunyai waktu kadarluarsa lebih singkat disimpan paling depan yang memungkinkan
untuk diambil terlebih dahulu (First Expire First Out) atau FEFO.
Berikut ini adalah prosedur tetap penyimpanan sediaan farmasi dan perbekalan kesehatan :
1. Memeriksa kesesuaiaan nama dan jumlah sediaan farmasi dan perbekalan kesehatan
yang tertera pada faktur, kondisi fisik serta tanggal kadaluarsa.
2. Memberi paraf dan stempel pada faktur penerimaan barang.
3. Menulis tanggal kadaluarsa sediaan farmasi dan perbekalan kesehatan pada kartu stok.
4. Menyimpan sediaan farmasi dan perbekalan kesehatan pada rak yang sesuai, secara
alfabetis menurut bentuk sediaan dan memperhatikan sistem FIFO (first in first out)
maupun FEFO (first expired first out).
5. Memasukkan bahan baku obat ke dalam wadah yang sesuai, memberi etiket yang
memuat nama obat, nomor batch dan tanggal kadaluarsa.
6. Menyimpan bahan obat pada kondisi yang sesuai, layak dan menjamin stabilitasnya
pada rak secara alfabetis.
7. Mengisi kartu stok setiap penambahan dan pengambilan.
8. Menjumlahkan setiap penerimaan dan pengeluaran pada akhir bulan.
9. Menyimpan secara terpisah dan mendokumentasikan sediaan farmasi dan perbekalan
kesehatan yang rusak/kadaluarsa untuk ditindaklanjuti.
(DepKes RI, 2008)
2.2.4 Administrasi
Administrasi adalah rangkaian aktivitas pencatatan dan pengarsipan, penyiapan laporan dan
penggunaan laporan untuk mengelola sediaan farmasi. Berdasarkan DepKes RI, (2006) dan
DepKes RI, (2008), kegiatan administrasi yang dapat dilaksanakan meliputi:
a) Administrasi Umum meliputi pencatatan, pengarsipan, pelaporan narkotika,
psikotropika dan dokumentasi sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
b) Administrasi Pelayanan meliputi pengarsipan resep, pengarsipan catatan pengobatan
pasien, pengarsipan hasil monitoring penggunaan obat.
Kegiatan di apotek yang berhubungan dengan administrasi adalah :
a) Pengelolaan resep.
Menurut DepKes RI (2008), prosedur tetap pengelolaan resep meliputi :
1. Resep asli dikumpulkan berdasarkan tanggal yang sama dan diurutkan sesuai nomor
resep.
2. Resep yang berisi narkotika dipisahkan atau digaris bawah dengan tinta merah.
3. Resep yang berisi psikotropika digaris bawah dengan tinta biru.
4. Resep dibendel sesuai dengan kelompoknya.
5. Bendel resep ditulis tanggal, bulan dan tahun yang mudah dibaca dan disimpan di tempat
yang telah ditentukan.
6. Penyimpanan bendel resep dilakukan secara berurutan dan teratur sehingga memudahkan
untuk penelusuran resep.
7. Resep yang diambil dari bendel pada saat penelusuran harus dikembalikan pada bendel
semula tanpa merubah urutan.
8. Resep yang telah disimpan selama dari tiga tahun dapat dimusnahkan sesuai tata cara
pemusnahan.
b) Salinan resep
Berdasarkan PerMenKes No. 922 tahun 1993, pasal 17 menyebutkan bahwa :
1) Salinan resep harus ditandatangani oleh Apoteker.
2) Resep harus dirahasiakan dan disimpan di Apotek dengan baik dalam jangka waktu 3
(tiga) tahun.
3) Resep atau salinan resep hanya boleh diperlihatkan kepada dokter penulis resep atau
yang merawat penderita, penderita yang bersangkutan, petugas kesehatan atau petugas
lain yang berwenang menurut perundang-undangan yang berlaku.
c) Pemusnahan Resep
Berdasarkan KepMenKes No. 280 tahun 1981 pasal 7 menyebutkan bahwa :
1) Apoteker pengelola apotek mengatur resep yang telah dikerjakan menurut urutan
tanggal dan nomor urut penerimaan resep dan harus disimpan sekurang-kurangnya
tiga tahun.
2) Resep yang mengandung narkotika harus dipisahkan dari resep lainnya
3) Resep yang telah disimpan melebihi jangka waktu dimkasud ayat (1), dapat
dimusnahkan
4) Pemusnahan resep dimaksudkan ayat 3 pasal ini, dilakukan dengan cara dibakar atau
dengan cara lain yang memadai oleh apoteker pengelola apotek bersama-sama dengan
sekurang—kurangnya seorang petugas Apotek.
5) Pada pemusnahan resep, harus dibuat berita acara pemusnahan sesuai dengan bentuk
yang telah ditentukan dalam rangkap emapat dan ditandatangani oleh mereka yang
dimaksud pada ayat 4 pasal ini.
Berikut ini adalah prosedur tetap pemusnahan resep, meliputi :
1. Memusnahkan resep yang telah disimpan tiga tahun atau lebih.
2. Tata cara pemusnahan:
• Resep narkotika dihitung lembarannya
• Resep lain ditimbang
• Resep dihancurkan, lalu dikubur atau dibakar
3. Membuat berita acara pemusnahan sesuai dengan format terlampir.
d) Psikotropika
Pencatatan dan pelaporan terhadap pengelolaan psikotropika diatur dalam pasal 33 UU
no. 5 tahun 1997 yakni “Pabrik obat, pedagang besar farmasi, sarana penyimpanan sediaan
farmasi Pemerintah, apotek, rumah sakit, puskesmas, balai pengobatan, dokter, lembaga
penelitian dan/atau lembaga pendidikan, wajib membuat dan menyimpan catatan mengenai
kegiatan masing-masing yang berhubungan dengan psikotropika”. Pada UU No.5 tahun
1997 pasal 53 ayat 1 disebutkan bahwa pemusnahan psikotropika dilaksanakan dalam hal :
a. Berhubungan dengan tindak pidana;
b. Diproduksi tanpa memenuhi standar dan persyaratan yang berlaku dan/atau tidak
dapat digunakan dalam proses produksi psikotropika;
c. Kadaluwarsa;
d. Tidak memenuhi syarat untuk digunakan pada pelayanan kesehatan dan/atau untuk
kepentingan ilmu pengetahuan.
Dalam UU No. 5 tahun 1997 ini tidak mengatur secara detail tentang teknis pelaksanaan
pemusnahan psikotropika. Dalam pasal 12 ayat 2 KepMenKes No.1332 tahun disebutkan
bahwa : Sediaan Farmasi yang karena sesuatu hal tidak dapat diigunakan lagi atau dilarang
digunakan, harus dimusnahkan dengan cara dibakar atau ditanam atau dengan cara lain yang
ditetapkan oleh Menteri”. Sedangkan pasal 53 ayat 2 hanya menyebutkan tentang siapa
yang memusnahkan psikotropika.
e. Narkotika
Pemusnahan narkotika diatur dalam pasal 60 dan pasal 61 UU No. 22 tahun 1997. Pasal
60menyebutkan bahwa pemusnahan dilakukan dalam hal:
a. Diproduksi tanpa memenuhi standard an persyaratan yang berlaku dan atau tidak
dapat digunakan dalam proses produksi.
b. Kadaluarsa
c. Tidak memenuhi syarat untuk digunakan pada pelayanan kesehatan dan atau untuk
pengembangan ilmu pengetahuan; atau
d. Berkaitan dengan tindak pidana.
Dan pada Pasal 61 disebutkan bahwa :
1) Pemusnahan narkotika sebagaiman dimaksud dalam pasal 60 ayat a, b, c dilaksanakan
oleh Pemerintah, orang, atau badan yang bertanggung jawab atas produksi dan atau
peredaran narkotika, sarana kesehatan tertentu, serta lembaga ilmu pengetahuan
tertentu dengan disaksikan oleh pejabat yang ditunjuk Menteri Kesehatan.
2) Pemusnahan sebagaimana dimaksud dalam ayat 1 dilakukan dengan pembuatan berita
acara yang sekurang-kurangnya memuat:
a. Nama jenis, sifat dan jumlah;
b. Keterangan tempat, jam, hari, tanggal, bulan, dan tahun dilakukan pemusnahan;
dan
c. Tanda tangan dan identitas lengkap pelaksana dan pejabat yang menyaksikan
pemusnahan.
3) Ketentuan lebih lanjut mengenai syarat dan tata cara pemusnahan narkotika
sebagaimana dimaksud dalam ayat 1 diatur dengan Keputusan Menteri Kesehatan.
2.5. Evaluasi Mutu Pelayanan Apoteker Di Apotek
Menurut Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia nomor 1027/2004 pada
bab IV terdapat indikator untuk mengevaluasi mutu pelayanan kefarmasian adalah :
1. Tingkat kepuasan konsumen : dilakukan dengan survei berupa angket atau wawancara
langsung.
2. Dimensi waktu : lama pelayanan diukur dengan waktu (yang telah ditetapkan).
3. Prosedur Tetap (Protap) : Untuk menjamin mutu pelayanan sesuai standar yang telah
ditetapkan.
Disamping itu prosedur tetap bermanfaat untuk:
• Memastikan bahwa praktik yang baik dapat tercapai setiap saat;
• Adanya pembagian tugas dan wewenang;
• Memberikan pertimbangan dan panduan untuk tenaga kesehatan lain yang bekerja di
apotek;
• Dapat digunakan sebagai alat untuk melatih staf baru;
• Membantu proses audit.
BAB II
TINJAUAN KOMPETENSI ATAU PHARMACEUTICAL SCIENCES
Adapun tinjauan kompetensi atau pharmaceutical sciences yang diperlukan atau yang
mendasari agar apoteker dapat menjalankan tupoksi (tugas pokok fungsi) apoteker di unit
farmasi komunitas/apotek berkatian dengan sistem kesehatan BPJS (Badan Penyelenggara
Jaminan Sosial)-Kesehatan 2014 adalah sebagai berikut.
1. Farmasi Forensik dan pemahaman perundang-undangan.
Segala prosedur dalam pelayanan kefarmasian kepada pasien, tata cara permohonan
izin pendirian dan pengelolaan apotek, serta kegiatan pelayanan komoditi lainnya di
luar sediaan farmasi yang dilakukan oleh seorang apoteker memerlukan pemahaman
mengenai farmasi forensik dan perundang-undangan.
2. Farmakoterapi dan Farmakologi-Toksikologi
Dalam menerapkan pengobatan yang rasional kepada pasien, diperlukan pemahaman
mengenai bidang Farmakoterapi dan Farmakologi-Toksikologi. Hal ini untuk
menghindari tejadinya medication eror dalam pelayanan kefarmasian.
3. Compounding and Dispensing serta Komunikasi dan Konseling.
Untuk dapat melakukan penyerahan obat maupun sediaan farmasi kepada pasien
berdasarkan pengobatan yang rasional, diperlukan pemahaman bidang ilmu
Compounding and Dispensing. Untuk meningkatkan kepatuhan pasien dalam menjalani
terapi, pemahaman apoteker dalam komunikasi dan konseling sangat diperlukan,
terutama dalam tahap promosi dan edukasi serta pelayanan residensial.
4. Farmasetika dan Teknologi Sediaan Non-Steril.
Untuk dapat memformulasi sediaan khusus seperti pembuatan sirup, puyer, salep dan
lain-lain untuk mendukung terapi pengobatan yang rasional, diperlukan pemahaman
terhadap bidang ilmu Farmasetika dan Teknologi Sediaan Non-Steril.
5. Manajemen Farmasi dan Kewirausahaan.
Pengelolaan sediaan farmasi dan alat kesehatan, sumber daya manusia, serta
perbekalan kesehatan memerlukan pemahaman mengenai bidang ilmu Manajemen
Farmasi dan Kewirausahaan.
DAFTAR PUSTAKA
Bahaudin, N. tt. Implementasi Kebijakan Penggunaan Obat Rasional (POR) Di Indonesia. Jakarta : Ditjen Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan Departemen Kesehatan RI.
Desselle, S.P. and D.P. Zgarrick. 2009. Pharmacy Manajement Essential For All Practice Setting 2nd ed. New York : Mc. GrawHill Medical.
Hartini, Y.S. dan Sulasmono. 2008. Apotek Ulasan Beserta Naskah Peraturan Perundang-Undangan Terkait Apotek Termasuk Naskah Dan Ulasan Permenkes Tentang Apotek Rakyat. Yogyakarta : Universitas Sanata Dharma.
Orion. 1997. Pharmacoeconomics Primer and Guide Introduction to Economic Evaluation.
Virginia: Hoesch Marion Rousell Incorporation.
Siregar, C. J. P., dan Lia A. 2004. Farmasi Rumah Sakit Teori dan Penerapan. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC.
Syahruddin. 2011. Manajemen Koperasi. Jakarta: Fakultas Ekonomi-Universitan Persada Indonesia.
Vogenberg, F.R. 2001. Introduction To Applied Pharmacoeconomics. USA: McGraw-Hill Companies.
Windarti, S., Sumiyatun., R.Puspita. tt. Pengembangan Patient Medication Record System (PMR) Sebagai Alat Bantu Peningkatan Kualitas Pelayanan Kefarmasian. Yogyakarta : STMIK AKAKOM Yogyakarta.
Peraturan Perundang-Undangan yang digunakan :
Undang-Undang Dasar Negara RI Tahun 1945
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 1992 Tentang Usaha Perasuransian.
PerMenkes No. 1027/MenKes/SK/IX Tahun 2004 tentang Standar Pelayanan Kefarmasian di
Apotek.
KepMenKes No. 1332 Tahun 2002 tentang Ketentuan dan Tata Cara Pemberian Izin Apotek.
PerMenKes No. 919/MenKes/Per/X/1993 tentang Kriteria Obat yang Dapat Diserahkan
Tanpa Resep.
KepMenKes No. 280 tahun 1981 tentang Ketentuan dan Tata Cara Pengelolaan Apotek
Undang-Undang No.23 Tahun 1992 tentang Kesehatan
Undang-Undang No.36 Tahun 2009 tentang Kesehatan
Undang-Undang No.5 Tahun 1997 tentang Psikotropika
Undang-undang No. 40 tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN)
Undang No. 24 tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Nasional
Peraturan Presiden Republik Indonesia No.12 tahun 2013 tentang jaminan kesehatan
Undang-Undang No.22 Tahun 1997 tentang Narkotika
Undang-Undang No.35 Tahun 2009 tentang Narkotika
PP No.72 Tahun 1998 tentang Pengamanan Sediaan Farmasi dan Alat Kesehatan
PP No.51 Tahun 2009 tentang Pekerjaan Kefarmasian
PerMenKes No.922 Tahun 1993 tentang Ketentuan dan Tata Cara Pemberian Izin Apotik
Permenkes No.918/Menkes/PER/X/1993 tentang Pedagang Besar Farmasi
Petunjuk Teknis Pelaksanaan Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek (SK nomor
1027/Menkes/SK/IX/2004).
KepMenKes No. 280/Menkes/SK/V/1981 tentang Ketentuan dan
Surat Edaran Direktur Jendral Pengawasan Obat dan Makanan Depkes RI No. 336/E/SE/77
tentang salinan resep narkotika.