peran dinas sosial, tenaga kerja dan pemberdayaan ...digilib.unila.ac.id/25992/3/skripsi tanpa bab...
TRANSCRIPT
-
PERAN DINAS SOSIAL, TENAGA KERJA DAN PEMBERDAYAAN
MASYARAKAT KOTA METRO DALAM PENYELESAIAN
PERSELISIHAN HUBUNGAN INDUSTRIAL
(Skripsi)
Oleh
ELVIN CHAEDAR ALWASILLAH
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS LAMPUNG
BANDAR LAMPUNG
2017
http://www.kvisoft.com/pdf-merger/
-
ABSTRAK
PERAN DINAS SOSIAL, TENAGA KERJA DAN PEMBERDAYAAN
MASYARAKAT KOTA METRO DALAM PENYELESAIAN
PERSELISIHAN HUBUNGAN INDUSTRIAL
Oleh
ELVIN CHAEDAR ALWASILLAH
Upaya penyelesaian perselisihan hubungan industrial harus ditempuh dengan cara
yang baik dalam rangka memperbaiki hubungan kerja sama antara buruh dan
pengusaha, dengan dasar hukum Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 Tentang
Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial. Permasalahan penelitian ini adalah:
1) Bagaimanakah peran Dinas Sosial, Tenaga Kerja dan Pemberdayaan Masyarakat
Kota Metro dalam penyelesaian perselisihan hubungan industrial? 2) Apakah faktor-
faktor penghambat peran Dinas Sosial, Tenaga Kerja dan Pemberdayaan Masyarakat
Kota Metro dalam penyelesaian perselisihan hubungan industrial?
Penelitian ini menggunakan pendekatan yuridis normatif dan empiris. Pengumpulan
data dengan studi lapangan dan studi pustaka. Pengolahan data meliputi seleksi,
klasifikasi dan penyusunan data. Analisis data dilakukan secara yuridis kualitatif.
Hasil penelitian ini menunjukkan: (1) Peran Dinas Sosial, Tenaga Kerja dan
Pemberdayaan Masyarakat Kota Metro dalam penyelesaian perselisihan hubungan
industrial dilaksanakan melalui proses mediasi oleh mediator melalui tahap pra
mediasi dan tahap mediasi. Pada tahap pra mediasi, mediator mengumpulkan
informasi latar belakang dan fakta perselisihan, isu-isu yang menonjol, karakter
perorangan dari pihak-pihak yang berselisih. Pada tahap mediasi, mediator
melaksanakan mediasi sesuai dengan kapasitasnya sebagai perantara yang
profesional, netral dan tidak berpihak kepada kepentingan salah satu pihak yang
terlibat dalam perselisihan hubungan industrial. (2) Faktor-faktor yang menghambat
peran Dinas Sosial, Tenaga Kerja dan Pemberdayaan Masyarakat Kota Metro dalam
penyelesaian perselisihan hubungan industrial adalah: a). Kurangnya pengetahuan
para pihak tentang mekanisme dan tata cara penyelesaian perselisihan hubungan
industrial. b)Karakter personal para pihak yang berselisih tidak mendukung
implementasi mediasi c) Salah satu pihak mengundurkan diri dari proses mediasi
yang sedang berlangsung d) Belum adanya ruangan khusus untuk pelaksanaan
mediasi di Dinas Sosial, Tenaga Kerja dan Pemberdayaan Masyarakat Kota Metro
Saran dalam penelitian ini adalah: (1) Mediator hendaknya terus meningkatkan
profesionalisme dan kapasitas sebagai pelaksana proses mediasi dengan cara terus
mengasah potensi dengan mengikuti berbagai pendidikan dan pelatihan (2) Para
pihak yang terlibat dalam perselisihan industrial hendaknya memberikan data dan
informasi secara lengkap dan akurat kepada mediator.
Kata Kunci: Peran, Perselisihan, Hubungan Industrial
-
ABSTRACT
ROLE OF SOCIAL SERVICE, LABOR AND COMMUNITY EMPOWERMENT
METRO CITY DEPARTMENT IN INDUSTRIAL RELATIONS DISPUTES
SETTLEMENT
By
ELVIN CHAEDAR ALWASILLAH
Efforts resolution of industrial disputes should be pursued in a good way in order to
improve cooperation between workers and employers, the legal basis of Law No. 2
of 2004 concerning Industrial Relations Dispute Settlement. The problems of this
research are: 1) What is the role of Social Service, Labor and Community
Empowerment Metro City in a labor dispute resolution? 2) What are the factors
inhibiting the role of Social Service, Labor and Community Empowerment Metro
City in a labor dispute resolution?
This study uses normative and empirical approach. The collection of data with field
studies and literature. Data processing includes the selection, classification and
compilation of data. Data analysis was carried out by juridical qualitative.
The results showed: (1) The Role of Social Service, Labor and Community
Empowerment Metro City in a labor dispute resolution through mediation
conducted by a mediator through stage pre-mediation and the mediation session. At
the stage of pre-mediation, the mediator gather background information and facts
disputes, issues that stand out, the individual character of the parties to the dispute.
At this stage of the mediation, the mediator carry out mediation in accordance with
professional capacity as a neutral and does not favor the interests of one of the
parties involved in industrial disputes. (2) Factors that inhibit the role of Social
Service, Labor and Community Empowerment Metro City in a labor dispute
resolution are: a). Lack of knowledge of the mechanisms and procedures for the
settlement of industrial disputes. b) the personal character of the parties involved do
not support the implementation of the mediation c) One of the parties withdrew from
the mediation process is ongoing d) The absence of a special room for the
implementation of mediation in the Department of Social Welfare, Labour and
Community Empowerment Metro City.
Suggestions in this study are: (1) The mediator should continue to improve the
professionalism and capacity as executor of the mediation process by continuing to
hone the potential to follow a variety of education and training (2) The parties
involved in industrial disputes should provide data and information is complete and
accurate the mediator.
Keywords: Role, Disputes, Industrial Relations
-
PERAN DINAS SOSIAL, TENAGA KERJA DAN PEMBERDAYAAN
MASYARAKAT KOTA METRO DALAM PENYELESAIAN
PERSELISIHAN HUBUNGAN INDUSTRIAL
Oleh
ELVIN CHAEDAR ALWASILLAH
Skripsi
Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Mencapai Gelar
SARJANA HUKUM
pada
Jurusan Hukum Administrasi Negara
Fakultas Hukum
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS LAMPUNG
BANDAR LAMPUNG
2017
-
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Simbar Waringin Kecamatan Trimurjo Kabupaten Lampung
Tengah, pada tanggal 1 Januari 1993, sebagai anak pertama dari tiga bersaudara,
pasangan Bapak Sungkowo dan Ibu Siti Aisyah.
Penulis menyelesaikan pendidikan formal di Sekolah Dasar Negeri 2 Simbar
Waringin Kecamatan Trimurjo Kabupaten Lampung Tengah pada tahun 2004,
kemudian melajutkan pada Sekolah Menengah Pertama (SMP) Negeri 1 Trimurjo
Kabupaten Lampung Tengah yang diselesaikan pada tahun 2007 dan Sekolah
Menengah Atas (SMA) Utama Wacana Kota Metro yang diselesaikan pada tahun
2010. Pada tahun yang sama penulis diterima dan terdaftar sebagai mahasiswa di
Fakultas Hukum Universitas Lampung.
-
M O T O
“Mudahkanlah terhadap orang lain dan janganlah kamu mempersulit
mereka dan berilah mereka kegembiraan, dan janganlah mereka diusahakan
untuk lari (terkejut)”
(H.R.Bukhari)
Tugas kita bukanlah untuk berhasil.
Tugas kita adalah untuk mencoba, karena di dalam mencoba itulah kita menemukan dan belajar membangun kesempatan untuk berhasil
(Mario Teguh)
-
PERSEMBAHAN
Penulis persembahkan kepada:
Kedua orang tuaku Tercinta Bapak Sungkowo dan Ibu Siti Aisyah
yang telah memberikan kasih sayang tiada batas, perjuangan dan pengorbanan serta selalu mendoakan demi keberhasilanku
Adik-adikku: Fajri Imam Mukhsinun dan Arjuna Fathurrahman
Atas motivasi dan dukungan yang diberikan kepadaku
Almamaterku Universitas Lampung
-
SAN WACANA
Alhamdulillahirabbil alamin. Segala puji dan syukur penulis panjatkan Kehadirat
Allah SWT Tuhan Semesta Alam, sebab hanya dengan rahmat dan karunianya-Nya
semata, maka penulis dapat menyelesaikan Skripsi yang berjudul: Peran Dinas
Sosial, Tenaga Kerja dan Pemberdayaan Masyarakat Kota Metro dalam
Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial. Skripsi ini disusun sebagai salah
satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Hukum pada Fakultas Hukum
Universitas Lampung.
Penulis menyadari bahwa proses penyusunan hingga selesainya skripsi ini, penulis
banyak mendapatkan, bimbingan dan dukungan berbagai pihak, oleh karena itu,
dalam kesempatan ini penulis menyampaikan terima kasih kepada:
1. Bapak Armen Yasir, S.H., M.Hum.,selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas
Lampung
2. Ibu Upik Hamidah, S.H., M.H., selaku Ketua Bagian Hukum Administrasi
Negara Fakultas Hukum Universitas Lampung
3. Ibu Sri Sulastuti, S.H., M.H., selaku Pembimbing I yang telah bersedia
meluangkan waktunya dalam membimbing dan mengajari untuk menjadikan
Skripsi ini menjadi lebih baik.
-
4. Bapak Satria Prayoga, S.H., M.H., selaku Pembimbing II yang telah bersedia
meluangkan waktunya dalam membimbing dan mengajari untuk menjadikan
Skripsi ini menjadi lebih baik.
5. Bapak Syamsir Syamsu, S.H., M.H., selaku Pembahas I, yang telah memberikan
masukan dan saran dalam proses perbaikan skripsi ini.
6. Ibu Marlia Eka Putri.A.T., S.H., M.H., selaku Pembahas II, yang telah
memberikan masukan dan saran dalam proses perbaikan skripsi ini.
7. Seluruh dosen dan karyawan Fakultas Hukum Universitas Lampung yang telah
banyak mengajari dan memberi ilmu kepada saya
8. Staf dan karyawan Fakultas Hukum Universitas Lampung yang telah banyak
memberikan bantuan selama menempuh studi
9. Teman-teman Angkatan 2010 Fakultas Hukum Universitas Lampung atas
kebersamaannya selama ini
10. Seluruh Pihak yang tidak bisa di sebutkan satu persatu.
Penulis berdoa semoga kebaikan yang telah diberikan kepada penulis, akan
mendapatkan balasan kebaikan yang lebih besar dari Allah SWT, dan akhirnya
penulis berharap semoga skripsi ini dapat bermanfaat. Amin
Bandar Lampung, Februari 2017
Penulis
-
DAFTAR ISI
BAB I PENDAHULUAN ................................................................................. 1
1.1 Latar Belakang .................................................................................. 1
1.2 Permasalahan dan Ruang Lingkup .................................................... 8
1.2.1 Permasalahan ........................................................................... 8
1.2.2 Ruang Lingkup ........................................................................ 8
1.3 Tujuan dan Kegunaan Penelitian ..................................................... 9
1.3.1 Tujuan Penelitian .................................................................... 9
1.3.2 Kegunaan Penelitian ............................................................... 9
BAB II TINJAUAN PUSTAKA ..................................................................... 10
2.1 Pengertian Peran .............................................................................. 10
2.2 Tinjauan Umum tentang Ketenagakerjaan ....................................... 12
2.2.1 Hubungan Antara Pekerja dengan Perusahaan ....................... 12
2.2.1 Fungsi Pemerintah dalam Perburuhan ..................................... 14
2.3 Tinjauan Umum Perselisihan Hubungan Industrial .......................... 16
2.3.1 Pengertian Perselisihan Hubungan Industrial .......................... 16
2.3.2 Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial ...................... 20
2.4 Tinjauan Umum Mediasi .................................................................. 28
2.4.1 Pengertian Mediasi .................................................................. 28
2.4.2 Tujuan Mediasi ........................................................................ 30
2.4.3 Unsur-Unsur Mediasi .............................................................. 30
2.5 Tinjauan Umum Mediator dalam Perselisihan Hubungan Industrial 31
2.5.1 Pengertian Mediator ................................................................ 31
2.5.2 Tipologi Mediator .................................................................... 33
2.5.3 Fungsi dan Peran Mediator ...................................................... 34
-
BAB III METODE PENELITIAN .................................................................. 37
3.1 Pendekatan Masalah ......................................................................... 37
3.2 Sumber dan Jenis Data...................................................................... 37
3.2.1 Data Sekunder ......................................................................... 38
3.2.2 Data Primer .............................................................................. 39
3.3 Prosedur Pengumpulan Data ............................................................ 40
3.4 Prosedur Pengolahan Data ................................................................ 40
3.5 Analisis Data ..................................................................................... 41
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ................................. 42
4.1 Gambaran Umum Dinas Soaial, Tenaga Kerja dan Pemberdayaan, Masyarakat Kota Metro..................................................................... 42
4.2 Peran Dinas Soaial, Tenaga Kerja dan Pemberdayaan, Masyarakat Kota Metro dalam Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial . 48
4.2.1 Prinsip-Prinsip Implementasi Mediasi dalam Perselisihan
Hubungan Industrial ................................................................ 54
4.2.2 Mediasi Sebagai Tahapan Penyelesaian Perselisihan
Hubungan Industrial ................................................................ 56
4.2.3 Pelaksanaan Peran Dinas Soaial, Tenaga Kerja dan
Pemberdayaan, Masyarakat Kota Metro dalam Penyelesaian
Perselisihan Hubungan Industrial ............................................ 60
4.3 Faktor-Faktor yang Menghambat Peran Dinas Soaial, Tenaga Kerja dan Pemberdayaan, Masyarakat Kota Metro dalam Penyelesaian
Perselisihan Hubungan Industrial ..................................................... 72
BAB V PENUTUP ............................................................................................. 78
5.1 Simpulan .......................................................................................... 78
5.2 Saran ................................................................................................. 79
DAFTAR PUSTAKA
-
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Perselisihan perburuhan pada dasarnya memiliki potensi besar dalam merusak
sistem hubungan kerja sama antara buruh dan pengusaha. Apalagi, jika para pihak
salah memilih mekanisme penyelesaian perselisihan yang terjadi di antara pihak-
pihak yang berselisih. Sengketa perburuhan ataupun perselisihan hubungan
industrial sendiri adalah bagian tak terpisahkan dari proses industrialisasi.
Benturan kepentingan antara buruh dan pengusaha acapkali terjadi dalam suatu
hubungan industrial.
Permasalahan ketenagakerjaan merupakan hal yang menarik untuk dicermati
karena sebagian besar penduduk Indonesia kini mulai beralih profesi, yang
dulunya bermata pencaharian sebagai petani mulai banyak yang beralih ke sektor
industri Namun demikian, walaupun pemerintah sudah membentengi dengan
suatu peraturan perundang-undangan untuk mengatur mekanisme hubungan
antara pengusaha dan pekerja (buruh) tetapi hubungan antara buruh dan
pengusaha seperti dua kubu yang saling bertentangan.
Penyelesaian sengketa buruh sebelum era reformasi, masih menggunakan
Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1957 Lembaran Negara Nomor 42 Tahun 1957
tentang Penyelesaian Perselisihan Perburuhan dan Undang-Undang Nomor 12
Tahun 1964 Lembaga Negara Nomor 93 Tahun 1964 tentang Pemutusan
-
2
Hubungan Kerja di perusahaan swasta. Didalam kedua produk Perundang-
undangan ini memberikan jalan penyelesaian sengketa buruh lebih di titik
beratkan pada musyawarah mufakat antara buruh dan majikan melalui Lembaga
Bepartiet, dan bila tidak terselesaikan dapat dilanjutkan ke Lembaga Tripartie, dan
seterusnya dapat dilanjutkan ke Pengadilan1
Seiring dengan perkembangan zaman dan semakin kompleksnya permasalahan
perburuhan Undang-Undang lama tersebut tidak dapat lagi memberikan jalan
keluar dalam menyelesaikan sengketa perburuhan. Kondisi ini sudah barang tentu
melahirkan perbaikan aturan dan payung hukum yang komperehensif bagi
penyelesaian berbagai perselisihan perburuhan. Lahirnya Undang-Undang Nomor
21 Tahun 2000 tentang Serikat Pekerja, Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003
tentang Ketenagakerjaan dan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang
Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial adalah upaya untuk memberikan
kepastian hukum dalam hubungan industrial.
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan
Hubungan Industrial secara khusus mengatur penyelesaian perselisihan hubungan
industrial di luar pengadilan (non litigasi) dan di Pengadilan Hubungan Industri
(litigasi). Pengadilan Hubungan Industrial (PHI) sendiri merupakan lembaga
penyelesaian perselisihan hubungan industrial yang menggantikan keberadaan
Pantian Penyelesaian Perselisihan Perburuhan Daerah/Pusat (P4D/P). Keberadaan
PHI sendiri dapat dilihat dalam Pasal 1 angka 17 UU Nomor 2 Tahun 2004 yang
menyatakan Pengadilan Hubungan Industrial (PHI) adalah pengadilan khusus
1 Sendjun Manulang, Pokok-Pokok Hukum Ketenagakerjaan di Indonesia, 1995 hlm. 23.
-
3
yang dibentuk di lingkungan Pengadilan Negeri (PN) yang berwenang memeriksa,
mengadili dan memberi putusan terhadap perselisihan hubungan industrial.
Definisi Perselisihan Hubungan Industrial dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun
2004 Tentang Penyelesaian Perselisihan Industrial adalah perbedaan pendapat
yang mengakibatkan pertentangan antara Pengusaha atau gabungan Pengusaha
dengan Pekerja/Buruh atau Serikat Pekerja/Serikat Buruh karena adanya
perselisihan hak, perselisihan kepentingan, perselisihan pemutusan hubungan
kerja, dan perselisihan antar serikat pekerja/serikat buruh dalam satu perusahaan.
Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial sendiri sejak awal tentunya
diusahakan melalui penyelesaian perselisihan yang terbaik di antara pihak-pihak
yang berselisih, sehingga dapat diperoleh hasil yang menguntungkan kedua belah
pihak. Menurut UU Nomor 2 Tahun 2004 Penyelesaian perselisihan hubungan
industrial sebelum mencapai tahap atau tingkat Pengadilan PHI dapat ditempuh
cara-cara alternatif yang terdiri dari:
1. Perundingan Bipartit adalah perundingan antara pekerja/ buruh atau serikat
pekerja/serikat buruh dengan pengusaha untuk menyelesaikan perselisihan
hubungan industrial.
2. Mediasi adalah penyelesaian perselisihan hak, perselisihan kepentingan,
perselisihan pemutusan hubungan kerja, dan perselisihan antar serikat
pekerja/serikat buruh hanya dalam satu perusahaan melalui musyawarah di
tengahi oleh seorang atau lebih mediator yang netral.
3. Konsiliasi adalah penyelesaian perselisihan kepentingan, perselisihan
pemutusan hubungan kerja atau perselisihan antar serikat pekerja / serikat
-
4
buruh hanya dalam suatu perusahaan melalui musyawarah yang di tengahi
oleh seorang atau lebih konsiliator yang netral.
4. Arbitrase adalah penyelesain suatu perselisihan kepentingan, dan perselisihan
antar serikat pekerja/serikat buruh hanya dalam satu perusahaan, di luar
pengadilan hubungan industrial melalui kesepakatan tertulis dari para pihak
yang berselisih untuk menyelesaikan perselisihan kepada arbiter yang
putusannya mengikat para pihak dan bersifat final.2
Penyelesaian sengketa melalui mekanisme mediasi di Indonesia sesungguhnya
telah dikenal tidak hanya dalam masyarakat tradisional, tetapi telah diatur dalam
berbagai undang-undang, misalnya Undang-undang Pengelolaan Lingkungan
Hidup, Undang-undang Perlindungan Konsumen, Undang-Undang Kehutanan,
Undang-undang tentang Arbitrasi dan Alternatif Penyelesaian Sengketa dan juga
Undang-undang tentang Perselisihan Hubungan Industrial. Dengan demikian
istilah mediasi, konsiliasi maupun arbitrase kini bukan hanya milik perkara
perdata bisnis atau komersil. Ketiga istilah itu juga dapat dijumpai dalam perkara
ketenagakerjaan atau lazim dikenal sebagai perkara perselisihan hubungan
industrial. Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian
Perselisihan Hubungan Industrial (UU PPHI) menjadi dasar hukum keberadaan
tiga lembaga alternatif penyelesaian sengketa itu. Proses mediasi, konsiliasi dan
arbitrase sendiri baru bisa dipakai jika perundingan langsung antara pekerja dan
pengusaha atau yang dikenal dengan perundingan bipartit menemui jalan buntu.
2 Dadang Budiaji, Modul Diklat Konsultan Hukum Perusahaan, Yayasan Cipta Bangsa, Bandung,
2007, hlm. 143
-
5
Berawal dari ketidakpuasan akan proses pengadilan yang memakan waktu relatif
lama, biaya yang mahal, dan rasa ketidakpuasan pihak yang merasa sebagai pihak
yang kalah, dikembangkan mediasi sebagai salah satu cara penyelesaian sengketa
di luar pengadilan. Selain itu, pengembangan mediasi juga didukung oleh
berbagai faktor yaitu cara penyelesaiannya dikenal di berbagai budaya, bersifat
non adversial, mengikutsertakan baik pihak yang langsung berkaitan maupun
pihak yang tidak langsung berkaitan dengan sengketa dalam perundingan, dan
bertujuan win-win solution.3
Berdasarkan prariset pada Dinas Sosial, Tenaga Kerja dan Pemberdayaan
Masyarakat Kota Metro maka diketahui bahwa jumlah perusahaan/badan usaha di
Kota Metro selama tahun 2010 sampai dengan 2014 adalah sebagai berikut:
Tabel 1. Jumlah Perusahaan/Badan Usaha di Kota Metro Tahun 2010- 2014
No Tahun Jumlah Perusahaan
1 2010 466
2 2011 486
3 2012 507
4 2013 546
5 2014 557
Sumber: Dinas Sosial, Tenaga Kerja dan Pemberdayaan Masyarakat Kota Metro
Tahun 2015
Berdasarkan tabel di atas maka diketahui bahwa jumlah perusahaan/badan usaha
yang terdaftar pada Dinas Sosial, Tenaga Kerja dan Pemberdayaan Masyarakat
Kota Metro mengalami peningkatan dari tahun 2010 sampai dengan tahun 2014.
Pada tahun 2010 terdapat 466 perusahaan/badan usaha, tahun 2011 terdapat 486
3 Kelelung Bukit, Beberapa Cara Penyelesaian Sengketa Perburuhan di Dalam dan di Luar
Pengadilan, Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, 2004, hlm. 13
-
6
perusahaan/badan usaha, tahun 2012 terdapat 507 perusahaan/badan usaha, tahun
2013 terdapat 546 perusahaan/badan usaha dan tahun 2014 terdapat 466
perusahaan/badan usaha.
Adapun jumlah pekerja/buruh di Kota Metro selama tahun 2010 sampai dengan
2014 adalah sebagai berikut:
Tabel 1. Jumlah Pekerja/Buruh di Kota Metro Tahun 2010- 2014
No Tahun Jumlah Pekerja Buruh
1 2010 2.987
2 2011 3.097
3 2012 3.327
4 2013 3.625
5 2014 3.894
Sumber: Dinas Sosial, Tenaga Kerja dan Pemberdayaan Masyarakat Kota Metro
Tahun 2015
Berdasarkan tabel di atas maka diketahui bahwa jumlah pekerja/buruh di Kota
Metro mengalami peningkatan dari tahun 2010 sampai dengan tahun 2014. Pada
tahun 2010 terdapat 2.987 orang, tahun 2011 terdapat 3.097 orang, tahun 2012
terdapat 3.327 orang, tahun 2013 terdapat 3.625 orang dan tahun 2014 terdapat
3.894 orang.
Hubungan perusahaan/badan usaha dengan pekerja/buruh di Kota Metro tidak
selamanya berjalan dengan baik, berdasarkan data Dinas Sosial, Tenaga Kerja dan
Pemberdayaan Masyarakat Kota Metro pada tahun 2014 terdapat 4 laporan kasus
Pemecatan Hubungan Kerja oleh perusahaan/badan usaha kepada para pekerja.
Para pekerja melalui Serikat Pekerja melaporkan hal ini ke Dinas Sosial, Tenaga
Kerja dan Pemberdayaan Masyarakat Kota Metro, dan selanjutnya dilaksanakan
proses mediasi untuk menyelesaikan hubungan industrial kedua belah pihak.
-
7
Mediasi dalam hubungan industrial adalah penyelesaian perselisihan hak,
perselisihan kepentingan, perselisihan pemutusan hubungan kerja, dan
perselisihan antar serikat pekerja/serikat buruh hanya dalam satu perusahaan
melalui musyawarah yang ditengahi oleh seorang atau lebih mediator yang netral.
Penyelesaian perselisihan melalui mediasi ini diatur dalam Pasal 8 sampai Pasal
16 UU PPHI. Proses mediasi dipimpin oleh mediator yang berada di setiap kantor
instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan kabupaten/kota.
Sesuai dengan ketentuan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang
Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial maka Dinas Sosial, Tenaga Kerja
dan Pemberdayaan Masyarakat Kota Metro memiliki kedudukan yang penting
dalam menyelesaikan perselisihan hubungan industrial melalui proses mediasi.
Keberhasilan proses mediasi oleh Dinas Sosial, Tenaga Kerja dan Pemberdayaan
Masyarakat Kota Metro tentunya dipengaruhi oleh kecakapan mediator, oleh
karena itu mediator harus menguasi berbagai keterampilan dan teknik. Agar dapat
membantu para pihak menyelesaikan sengketa dan dapat menawarkan alternatif
penyelesaian, mediator harus dapat memetakan apa yang menjadi penyebab
konflik. Hal ini dapat dilakukan melalui pengamatan terhadap sikap, persepsi,
pola interaksi, dan komunikasi yang ditunjukkan para pihak dalam perundingan.
Dalam praktiknya, upaya mediator mendamaikan para pihak tidak selalu
mencapai keberhasilan. Jika demikian, maka mediator akan mengeluarkan sebuah
anjuran tertulis yang isinya meminta agar salah satu pihak melaksanakan atau
tidak melaksanakan sesuatu. Apabila tidak ada keberatan dari para pihak atas
anjuran tertulis, maka para pihak harus menuangkan kesepakatannya ke dalam
-
8
perjanjian bersama, selanjutnya perjanjian bersama itu harus didaftarkan ke PHI.
Tapi jika para pihak merasa tidak puas dengan anjuran tertulis, para pihak
menyelesaikan perselisihannya ke PHI.
Berdasarkan uraian di atas, penulis melakukan penelitian dan menuangkannya ke
dalam Skripsi berjudul: Peran Dinas Sosial, Tenaga Kerja dan Pemberdayaan
Masyarakat Kota Metro dalam Penyelesaian Perselisihan Hubungan
Industrial.
1.2 Permasalahan dan Ruang Lingkup Penelitian
1.2.1 Permasalahan
Berdasarkan latar belakang di atas, maka permasalahan dalam penelitian ini
dirumuskan sebagai berikut:
1. Bagaimanakah peran Dinas Sosial, Tenaga Kerja dan Pemberdayaan
Masyarakat Kota Metro dalam penyelesaian perselisihan hubungan industrial?
2. Apakah faktor-faktor yang menghambat pelaksanaan peran Dinas Sosial,
Tenaga Kerja dan Pemberdayaan Masyarakat Kota Metro dalam penyelesaian
perselisihan hubungan industrial?
1.2.2 Ruang Lingkup
Ruang lingkup kajian dalam penelitian adalah bidang Hukum Administrasi
Negara yang dibatasi pada peran Dinas Sosial, Tenaga Kerja dan Pemberdayaan
Masyarakat Kota Metro dalam penyelesaian perselisihan hubungan industrial.
Ruang lingkup lokasi penelitian ini adalah pada Dinas Sosial, Tenaga Kerja dan
-
9
Pemberdayaan Masyarakat Kota Metro dan ruang lingkup waktu penelitian ini
adalah pada Tahun 2015.
1.3 Tujuan dan Kegunaan Penelitian
1.3.1 Tujuan Penelitian
Berdasarkan permasalahan yang diajukan maka tujuan penelitian ini adalah
sebagai berikut:
1. Untuk mengetahui peran Dinas Sosial, Tenaga Kerja dan Pemberdayaan
Masyarakat Kota Metro dalam penyelesaian perselisihan hubungan industrial
2. Untuk mengetahui faktor-faktor yang menghambat pelaksanaan peran Dinas
Sosial, Tenaga Kerja dan Pemberdayaan Masyarakat Kota Metro dalam
penyelesaian perselisihan hubungan industrial
1.3.2 Kegunaan Penelitian
Kegunaan penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Kegunaan teoritis
Secara teoritis hasil penelitian ini diharapkan dapat berguna dalam
pengembangan kajian Hukum Administrasi Negara, khususnya yang berkaitan
dengan peran Dinas Sosial, Tenaga Kerja dan Pemberdayaan Masyarakat Kota
Metro dalam penyelesaian perselisihan hubungan industrial
2. Kegunaan praktis
Secara praktis hasil penelitian ini secara praktis diharapkan berguna sebagai
sumbangan pemikiran bagi Dinas Sosial, Tenaga Kerja dan Pemberdayaan
Masyarakat Kota Metro dalam penyelesaian perselisihan hubungan
industrialdi masa-masa yang akan datang.
-
10
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Pengertian Peran
Peran adalah sekumpulan tingkah laku yang dihubungkan dengan suatu posisi
tertentu. Peran yang berbeda membuat jenis tingkah laku yang berbeda pula.
Tetapi apa yang membuat tingkah laku itu sesuai dalam suatu situasi dan tidak
sesuai dalam situasi lain relatif bebas pada seseorang yang menjalankan peran
tersebut.4
Peran adalah aspek dinamis yang berupa tindakan atau perilaku yang dilaksanakan
oleh seseorang yang menempati atau memangku suatu posisi dan melaksanakan
hak-hak dan kewajiban sesuai dengan kedudukannya. Jika seseorang menjalankan
peran tersebut dengan baik, dengan sendirinya akan berharap bahwa apa yang
dijalankan sesuai keinginan dari lingkungannya.5
Peran merupakan dinamisasi dari statis ataupun penggunaan dari pihak dan
kewajiban atau disebut subyektif. Peran dimaknai sebagai tugas atau pemberian
tugas kepada seseorang atau sekumpulan orang. Peran memiliki aspek-aspek
sebagai berikut:
4 Soerjono Soekanto. Sosiologi Suatu Pengantar. Rajawali Press. Jakarta. 2002. hlm. 221.
5 Ibid. hlm. 223.
-
11
1) Peran meliputi norma-norma yang dihubungkan dengan posisi atau tempat
seseorang dalam masyarakat. Peran dalam arti ini merupakan rangkaian
peraturan yang membimbing seseorang dalam kehidupan masyarakat.
2) Peran adalah suatu konsep perihal apa yang dapat dilakukan oleh individu
dalam masyarakat sebagai organisasi.
3) Peran juga dapat diartikan sebagai perilaku individu yang penting bagi
struktur sosial masyarakat.
Berdasarkan uraian di atas maka dapat dinyatakan bahwa peran merupakan
seperangkat tingkah yang diharapkan dimiliki oleh orang yang berkedudukan di
masyarakat. Seseorang yang mempunyai kedudukan tertentu dapat dikatakan
sebagai pemegang peran. Suatu hak sebenarnya merupakan wewenang untuk
berbuat atau tidak berbuat, sedangkan kewajiban adalah beban atau tugas.
Peran dalam suatu lembaga berkaitan dengan tugas dan fungsi, yaitu dua hal yang
tidak dapat dipisahkan dalam pelaksanaan pekerjaan oleh seseorang atau lembaga.
Tugas merupakan seperangkat bidang pekerjaan yang harus dikerjakan dan
melekat pada seseorang atau lembaga sesuai dengan fungsi yang dimilikinya.
Fungsi berasal dari kata dalam Bahasa Inggris function, yang berarti sesuatu yang
mengandung kegunaan atau manfaat. Fungsi suatu lembaga atau institusi formal
adalah adanya kekuasaan berupa hak dan tugas yang dimiliki oleh seseorang
dalam kedudukannya di dalam organisasi untuk melakukan sesuatu sesuai dengan
bidang tugas dan wewenangnya masing-masing dalam rangka melaksanakan
kegiatan dan mencapai tujuan organisasi.6
6 Muammar Himawan. Pokok-Pokok Organisasi Modern. Bina Ilmu. Jakarta. 2004. hlm. 51.
-
12
2.2 Tinjauan Umum tentang Ketenagakerjaan
2.2.1 Hubungan antara Pekerja dengan Perusahaan
Hubungan antara pekerja dengan perusahaan disebut hubungan industrial adalah
hubungan kerja yang didasari oleh kesepakatan kedua belah pihak untuk
mengikatkan diri dalam suatu hubungan kerja.7 Hubungan Industrial juga adalah
suatu sistem hubungan yang terbentuk antara pelaku proses produksi barang
dan/atau jasa yang terdiri dari unsur Pengusaha, Pekerja dan Pemerintah.
Pekerja atau buruh adalah orang yang siap masuk dalam pasar kerja sesuai dengan
upah yang ditawarkan oleh penyedia pekerjaan. Jumlah tenaga kerja dihitung dari
penduduk usia produktif (umur 15 thn–65 thn) yang masuk kategori angkatan
kerja (labourforce). Kondisi di negara berkembang pada umumnya memiliki
tingkat pengangguran yang jauh lebih tinggi dari angka resmi yang dikeluarkan
oleh pemerintah. Hal ini terjadi karena ukuran sektor informal masih cukup besar
sebagai salah satu lapangan nafkah bagi tenaga kerja tidak terdidik. Sektor
informal tersebut dianggap sebagai katup pengaman bagi pengangguran. 8
Pasal 1 angka 4 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan
memberikan pengertian pekerja atau buruh adalah setiap orang yang bekerja
dengan menerima upah atau imbalan dalam bentuk apapun. Pengertian ini agak
umum namun maknanya lebih luas karena dapat mencakup semua orang yang
bekerja pada siapa saja baik perorangan, persekutuan, badan hukum atau badan
lainnya dengan menerima upah atau imbalan dalam bentuk apapun.
7 Imam Soepomo, Pengantar Hukum Perburuhan, Djambatan, Jakarta, 1995. hlm. 7
8 E.St. Harahap, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta 2007.hlm. 854
-
13
Angkatan kerja (labour force) adalah bagian dari jumlah penduduk yang
mempunyai pekerjaan atau yang sedang mencari kesempatan untuk melakukan
pekerjaan yang produktif dan bisa juga disebut sumber daya manusia. Banyak
sedikitnya jumlah angkatan kerja tergantung komposisi jumlah penduduknya.
Kenaikan jumlah penduduk terutama yang termasuk golongan usia kerja akan
menghasilkan angkatan kerja yang banyak pula. Angkatan kerja yang banyak
tersebut diharapkan akan mampu memacu meningkatkan kegiatan ekonomi yang
pada akhirnya akan meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Pada kenyataannya,
jumlah penduduk yang banyak tidak selalu memberikan dampak yang positif
terhadap kesejahteraan. 9
Sebagaimana halnya dengan buruh, istilah majikan ini juga sangat populer karena
perundang-undangan sebelum Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003
menggunakan istilah majikan. Dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1957
tentang penyelesaian perselisihan perburuhan disebut bahwa majikan adalah
“orang atau badan hukum yang memperkerjakan buruh”. Sama halnya dengan
istilah buruh, istilah majikan juga kurang sesuai dengan konsep hubungan industri
pancasila karena istilah majikan berkonotasi sebagai pihak yang selalu berada di
atas sebagai lawan atau kelompok penekan dari buruh, padahal antara buruh dan
majikan secara yuridis merupakan mitra kerja yang mempunyai kedudukan yang
sama10
.
Pelaksanaan hak-hak normatif pekerja di Indonesia saat ini yang masih jauh dari
harapan atau dengan kata lain terjadi kesenjangan yang jauh antara ketentuan
9 Edi Suharto. Pekerja Sosial di Dunia Industri. PT Refika Aditama. Bandung 2009. hlm.54
10 Asri Wijayanti, Ketenagakerjaan Pasca Reformasi, Jakarta, 2012, hlm. 33.
-
14
normatif (law in books) dengan kenyataan di lapangan (law in society/action)
salah satu penyebabnya adalah belum optimalnya pengawasan perburuhan atau
ketenagakerjaan, hal ini di sebabkan karena keterbatasan baik secara kuantitas
maupun kualitas dari aparat pengawasan perburuhan atau ketenagakerjaan.11
Secara kualitas aparat pengawasan perburuhan sangat terbatas jika di bandingkan
dengan jumlah perusahaan yang harus di awasi, belum lagi pegawai pengawas
tersebut harus melaksanakan tugas-tugas administratif yang di bebankan
kepadanya. Demikian juga kualitas dalam melaksanakan tugas sebagai penyidik
yang masih terbatas.
2.2.2 Fungsi Pemerintah dalam Perburuhan
Pemerintah adalah lembaga yang memiliki kekuasaan untuk memerintah.
Pemerintah ini memiliki power yang lebih dari yang diperintah. Jadi dengan kata
lain pemerintah memiliki fungsi untuk memerintah mayoritas atau orang banyak.
Pemerintah memiliki dua macam fungsi, yaitu:
1. Fungsi Primer
Fungsi Primer adalah fungsi yang terus menerus berjalan dan berhubungan
positif dengan kondisi yang diperintah (masyarakat). Artinya, fungsi ini tidak
akan berkurang dengan situasi dan kondisi dari masyarakat, baik dari segi
ekonomi, politik, sosial dan budaya. Semakin meningkat kondisi yang
diperintah maka fungsi ini akan lebih meningkat lagi. Jadi, fungsi ini tidak
terpengaruh oleh apa pun. Pemerintah akan tetap konsisten dalam
menjalankan fungsinya. Yang termasuk fungsi ini adalah sebagai berikut:
11
Zaeni Asyhadie, Hukum Kerja, Rajawali Press. Jakarta, 2007, hal 55
-
15
a. Fungsi Pelayanan (Serving)
Tugas utama dari pemerintah adalah memberikan pelayanan kepada yang
diperintah. Masyarakat membentuk pemerintah karena masyarakat tidak
mampu memenuhi kebutuhan privatenya. Masyarakat mebutuhkan sebuah
lembaga yang bisa untuk memberikan pelayanan yang prima, yaitu
pemerintah. Fungsi pelayanan ini bersifat universal, maksudnya adalah
dijalankan oleh semua pemerintahan di seluruh dunia, baik Negara maju,
berkembang dan terbelakang.
b. Fungsi Pengaturan (Reguling)
Fungsi pengaturan dikatakan sebagai fungsi primer, karena pemerintah
diberikan kekuasaan yang lebih (powerful) oleh yang diperintah
(powerless). Ini merupakan modal pemerintah untuk bisa mengatur
masyarakat yang memiliki kuantitas jauh lebih besar. Pengaturan ini bisa
berupa Undang-Undang, Peraturan Pemerintah, Perda, atau pun
sejenisnya. Pemerintah mengatur dengan tujuan untuk bisa menjaga
keamanan masyarakat yang kondusif.
2. Fungsi Sekunder
Fungsi sekunder adalah fungsi yang berhubungan negatif dengan situasi dan
kondisi di masyarakat. Artinya adalah semakin tinggi taraf hidup yang
diperintah, maka semakin kuat bargaining position, sedangkan apabila
semakin integrative masyarakat, maka fungsi sekundernya akan berkurang.
Fungsi-fungsi sekunder adalah sebagai berikut:
-
16
a. Fungsi Pembangunan (development)
Fungsi ini dikategorikan sekunder karena dilakukan apabila situasi dan
kondisi masyarakat lemah. Pembangunan akan berkurang apabila keadaan
masyarakat membaik (sejahtera). Fungsi pembangunan akan lebih
dilakukan oleh pemerintah atau Negara berkembang dan terbelakang,
sedangkan Negara maju akan melaksanakan fungsi ini seperlunya.
b. Fungsi Pemberdayaan (Empowerment)
Fungsi ini dilakukan apabila yang diperintah atau masyarakat tidak
memiliki kemampuan dan skill untuk bisa keluar dari zona aman.
Contohnya masyarakat tertindas, kemiskinan, kurang pendidikan dan
sebagainya. Pemerintah harus mampu mebawa masyarakat keluar dari
zona ini dengan melakuan pemberdayaan. Pemeberdayaan dimaksud untuk
bisa mengeluarkan kemampuan yang dimiliki oleh masyarakat sehingga
pemerintah tidak terbebani. Pemeberdayaan dilakukan demi meningkatkan
kualitas masyarakat. Semakin masyarakat berdaya maka ketergantungan
terhadap pemerintah akan berkurang. Jadi, pemerintah tidak memiliki
suatu pekerjaan yang berat untuk mencapai visi dan misi organisasi. 12
2.3 Tinjauan Umum Perselisihan Hubungan Industrial
2.3.1 Pengertian Perselisihan Hubungan Industrial
Perselisihan hubungan industrial dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004
tentang Penyelesaian Sengketa Hubungan Industrial adalah perbedaan pendapat
yang mengakibatkan pertentangan antara pengusaha atau gabungan pengusaha
12
Ibid, hlm. 57-60
-
17
dengan pekerja atau buruh atau serikat pekerja atau serikat buruh karena adanya
perselisihan mengenai hak, perselisihan kepentingan, perselisihan pemutusan
hubungan kerja dan perselisihan antara serikat pekerja atau serikat buruh dalam
suatu perusahaan.
Perselisihan hubungan industrial adalah perbedaan pendapat atau perselisihan
pengusaha dengan pekerja dan atau serikat pekerja berkaitan dengan syarat-syarat
kerja seperti pemenuhan hak-hak pekerja dan atau serikat pekerja, harapan atau
kepentingan pekerja, dan pemutusan hubungan keria, serta perselisihan antar
serikat pekerja di satu perusahaan. Adapun jenis perselisihan yang dimaksud
dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 adalah:
1. Perselisihan Hak
Perselisihan Hak adalah perselisihan yang timbul karena tidak dipenuhinya
hak, akibat adanya perbedaan pelaksanaan atau penafsiran terhadap ketentuan
peraturan perundang-undangan, perjanjian kerja, peraturan perusahaan atau
perjanjian kerja bersama.
2. Perselisihan Kepentingan
Perselisihan kepentingan adalah perselisihan yang timbul dalam hubungan
kerja karena tidak adanya kesesuaian pendapat mengenai perbuatan dan/atau
perubahan syarat-syarat kerja yang ditetapkan dalam perjanjian kerja atau
peraturan perusahaan atau perjanjian kerja bersama.
3. Perselisihan Pemutusan Hubungan Kerja
Perselisihan Pemutusan Hubungan Kerja adalah perselisihan yang timbul
karena tidak adanya kesesuaian pendapat mengenai pengakhiran hubungan
kerja yang dilakukan oleh salah satu pihak.
-
18
Menurut Pasal 1 angka 25 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang
Ketenagakerjaan, definisi pemutusan hubungan kerja (PHK) adalah
pengakhiran hubungan kerja karena suatu hal tertentu yang mengakibatkan
berakhirnya hak dan kewajiban antara buruh/pekerja dan pengusaha.
Mengenai PHK itu sendiri secara khusus juga diatur dalam Undang-Undang
Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial
(PPHI). Dengan berlakukan UU PPHI 2004 tersebut, Undang-Undang Nomor
12 Tahun 1964 tentang Pemutusan Hubungan Kerja di Perusahaan Swasta dan
Undang-undang Nomor 22 Tahun 1957 tentang Penyelesaian Perselisihan
Perburuhan (P3) dinyatakan tidak berlaku lagi. Peraturan pelaksanaan kedua
undang-undang tersebut masih tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan
dengan UU PPHI 2004. UU PPHI 2004, istilah sengketa yang digunakan
adalah perselisihan atau perselisihan hubungan industrial.
Pasal 1 angka 1 UU PPHI menjelaskan bahwa perselisihan Hubungan
Industrial adalah perbedaan pendapat yang mengakibatkan pertentangan
antara pengusaha atau gabungan pengusaha dengan pekerja/buruh atau se-rikat
pekerja/serikat buruh karena adanya perselisihan mengenai hak, perselisihan
kepentingan, perselisihan pemutusan hubungan kerja dan perselisihan antar
serikat pekerja/serikat buruh dalam satu perusahaan.
Pasal 1 angka 4 UU PPHI menyeburkan Perselisihan pemutusan hubungan
kerja adalah perselisihan yang timbul karena tidak adanya kesesuaian
pendapat mengenai pengakhiran hubungan kerja yang dilakukan oleh salah
satu pihak.
-
19
PHK berarti berkaitan dengan pemenuhan hak-hak ekonomi pekerja dan
kondisi keuangan dari perusahaan. Karenanya sangat wajar jika kemudian
pemerintah melakukan intervensi, bukan hanya melindungi hak-hak pekerja,
tetapi juga memerhatikan kemampuan dari keuangan perusahaan tersebut
dengan memberikan pengaturan-pengaturan berpatokan standar, baik secara
nasional maupun internasional. Praktiknya, tidak semua perusahaan
menerapkan ketentuan mengenai PHK dalam memberikan kompensasi
pesangon kepada pekerja jika hubungan kerja berakhir.
Hal tersebut kadang-kadang dikaitkan dengan status hukum dari perusahaan.
Kata perusahaan selalu diidentikan dengan perseroan terbatas (PT), sehingga
di luar status hukum tersebut, pihak pengusaha seringkali mengelak atau
bahkan menanamkan pengertian kepada karyawannya bahwa perusahaannya
bukan sebuah PT. Akibatnya, munculnya PHK tidak menjamin hak-hak
pekerja menjadi utuh sesuai dengan yang diharapkan undang-undang.
Pasal 150 UU Ketenagakerjaan 2003 yang menyebutkan, “Ketentuan
mengenai pemutusan hubungan kerja dalam undang-undang ini meliputi
pemutusan hubungan kerja yang terjadi di badan usaha yang berbadan hukum
atau tidak, milik orang perseorangan, milik persekutuan atau milik badan
hukum, baik milik swasta maupun milik negara, maupun usaha-usaha sosial
dan usaha-usaha lain yang mempunyai pengurus dan mempekerjakan orang
lain dengan membayar upah atau imbalan dalam bentuk lain.
-
20
4. Perselisihan Antar Serikat Pekerja/Serikat Buruh Dalam Satu Perusahaan
Perselisihan Antar Serikat Pekerja/Serikat Buruh Dalam Satu Perusahaan
adalah perselisihan antar Serikat Pekerja/Serikat Buruh dengan Serikat
Pekerja/Serikat Buruh lain hanya dalam satu perusahaan, karena tidak adanya
persesuaian paham mengenai keanggotaan, pelaksanaan hak dan kewajiban ke
serikat pekerja.13
2.3.2 Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial
Perselisihan hubungan industrial pada dasarnya diselesaikan di Pengadilan
Perselisihan Hubungan Industrial (Pengadilan PHI). Adapun tahapan penyelesaian
perselisihan hubungan indutrial di luar pengadilan adalah sebagai berikut:
1. Bipartit
Lembaga bipartit terdiri dari wakil pengusaha dan wakil pekerja dan atau serikat
pekerja. Bila dalam perusahaan belum terbentuk serikat pekerja, wakil pekerja di
Lembaga Bipartit dipilih mewakili unit-unit kerja dan atau kelompok profesi. Bila
terdapat lebih dari satu serikat pekerja, wakil mereka di Lembaga Bipartit
ditetapkan secara proporsional.
Semua jenis perselisihan diupayakan diselesaikan di Lembaga Bipartit.
Kesepakatan atau kompromi yang di Lembaga Bipartit dirumuskan dalam bentuk
Persetujan Bersama dan ditandatangani oleh para pihak yang berselisih. Bila satu
pihak tidak melaksanakan Persetujuan Bersama tersebut, pihak yang dirugikan
dapat mengajukan permohonan penetapan eksekusi kepada Pengadilan PHI di
Pengadilan Negeri setempat tidak diatur secara khusus dalam Undang-undang.
13
TURC Press, Praktek Pengadilan Hubungan Industrial, panduan Bagi Serikat Buruh, Jakarta,
2004, hlm. 13
-
21
Walaupun tidak diatur secara khusus dalam Undang-Undang serikat-serikat
pekerja di satu perusahaan dapat membentuk Forum Komunikasi Antar Serikat
Pekerja. Penyelesaian perselisihan antar serikat pekerja dianjurkan dilakukan
secara bipartit dalam forum ini bila mereka enggan menyelesaikannya di Lembaga
Bipartit yang telah ada. 14
2. Mediasi oleh Mediator
Setiap kantor Pemerintah yang bertanggungjawab di bidang ketenagakerjaan
mengangkat beberapa orang pegawai sebagai mediator yang berfungsi melakukan
mediasi menyelesaikan perselisihan antara pengusaha dengan pekerja. Atas
kesepakatan bersama, pengusaha dan pekerja atau serikat pekerja memilih seorang
mediator dari daftar nama mediator yang tersedia di Kantor Pemerintah setempat,
kemudian secara tertulis mengajukan permintaan untuk membantu menyelesaikan
perselisihan mereka.
Selama waktu 7 hari setelah menerima permintaan penyelesaian perselisihan,
mediator sudah harus mempelajari dan menghimpun informasi yang diperlukan,
kemudian segera paling lambat pada hari kedelapan mengadakan pertemuan atau
sidang mediasi. Untuk itu, mediator dapat memanggil saksi dan atau saksi ahli.
Apabila pengusaha dan pekerja atau serikat pekerja mencapai kesepakatan,
kesepakatan tersebut dirumuskan dalam Persetujuan Bersama yang ditandatangani
para pihak yang berselisih diketahui mediator.
14
Ibid, hlm. 15
-
22
Apabila pengusaha dan atau pekerja tidak mencapai kesepakatan, dalam paling
lama 14 hari setelah sidang mediasi pertama, mediator harus sudah membuat
anjuran tertulis kepada pihak-pihak yang berselisih. Kemudian dalam 14 hari
setelah menerima anjuran tertulis tersebut, para pihak yang berselisih harus sudah
menyampaikan pendapat secara tertulis kepada mediator menyatakan menyetujui
atau menolaknya.
Apabila pihak-pihak yang berselisih menerima anjuran mediator, kesepakatan
tersebut dirumuskan dalam Persetujuan Bersama. Bila anjuran tertulis ditolak,
maka pihak yang menolak mengajukan gugatan kepada Pengadilan PHI setempat.
Untuk itu mediator menyelesaikan dokumen yang diperlukan dalam 5 hari kerja.
Dengan demikian seluruh proses mediasi diselesaikan paling lama dalam 40 hari
kerja. 15
3. Konsiliasi oleh Konsiliator
Konsiliator adalah anggota masyarakat yang telah berpengalaman di bidang
hubungan industrial dan menguasai peraturan perundang-undangan
ketenagakerjaan yang ditunjuk oleh Menteri melakukan konsiliasi dan anjuran
tertulis kepada pengusaha dan pekerja atau serikat pekerja menyelesaikan
perselisihan kepentingan dan perselisihan pemutusan hubungan kerja.
Daftar konsiliator untuk satu wilayah kerja disediakan di kantor Pemerintah yang
bertanggungjawab di bidang ketenagakerjaan. Atas kesepakatan para pihak yang
berselisih pengusaha dan pekerja atau serikat pekerja memilih dan meminta
15
Ibid, hlm. 16
-
23
konsiliator dari daftar konsiliator setempat untuk menyelesaikan perselisihan
mereka mengenai kepentingan atau PHK.
Sama halnya dengan mediator, konsiliator harus menghimpun informasi yang
diperlukan dalam 7 hari setelah menerima permintaan konsiliasi, dan paling
lambat pada hari kedelapan sudah memulai usaha konsiliasi. Paling lambat dalam
14 hari sesudah sidang konsiliasi pertama, kesepakatan pengusaha dan pekerja
sudah dirumuskan dalam Perjanjian Bersama, atau bila pihak yang berselisih tidak
mencapai kesepakatan, konsiliator sudah menyampaikan anjuran tertulis.
Pengusaha dan pekerja harus menyampaikan pernyataan meneriama atau menolak
anjuran konsiliator paling lama dalam 14 hari. Bila kedua pihak menerima
anjuran, Perjanjian Bersama untuk itu diselesaikan dalam 5 hari. Bila pengusaha
atau pekerja menolak anjuran, pihak yang menolak menggugat pihak yang lain ke
Pengadilan PHI.
Secara keseluruhan, konsiliator harus menyelesaikan satu kasus perselisihan
maksimum dalam 40 hari. Dalam proses konsiliasi, konsiliator dapat memanggil
saksi dan saksi ahli. Pemerintah membayar honorarium konsiliator, serta biaya
perjalanan dan akomodasi saksi dan saksi ahli.16
4. Arbitrase oleh Arbiter
Arbitrase adalah penyelesaian perselisihan oleh seorang atau tiga orang arbiter,
yang atas kesepakatan para pihak yang berselisih diminta menyelesaikan
perselisihan kepentingan, perselisihan PHK dan perselisihan antar serikat pekerja.
16
Ibid, hlm. 17-18
-
24
Dalam hal pihak yang berselisih memilih 3 orang arbiter, dalam 3 hari masing-
masing pihak dapat menunjuk seorang arbiter, dan paling lambat 7 hari sesudah
itu, kedua arbiter tersebut menunjuk arbiter ketiga sebagai Ketua Majelis Arbiter.
Sama halnya dengan juru atau dewan pemisah dalam UU Nomor 22 tahun 1957,
arbiter menurut RUU PPHI ini harus memenuhi syarat tertentu yang oleh
pemerintah dan terdaftar di Kantor Pemerintah yang membidangi
ketenagakerjaan. Dalam kesepakatan memilih penyelesaian arbitrase, pengusaha
dan pekerja atau serikat pekerja membuat surat perjanjian arbitrase yang antara
lain memuat pokok persoalan perselisihan yang diserahkan kepada arbiter, jumlah
arbiter yang akan dipilih dan kesiapan untuk tunduk pada dan menjalankan
keputusan arbitrase.
Arbiter pertama-tama mengupayakan penyelesaian secara bipartit. Bila
penyelesaian berhasil, arbiter membuat akte perdamaian. Bila kedua pihak-pihak
tidak mencapai titik perdamaian, arbiter melanjutkan siding-sidang kedua belah
pihak dan bila perlu mengundang saksi. Secara keseluruhan, arbiter wajib
menyelesaikan perselisihan hubungan indusrtrial dalam waktu 30 hari kerja sejak
penandatanganan surat perjanjian penunjukkan arbiter. Atas persetujuan kedua
belah pihak yang berselisih, arbiter hanya dapat memperpanjang waktu
penyelesaian paling lama 14 hari kerja.
Putusan arbitrase merupakan putusan yang bersifat akhir dan tetap mempunyai
kekuatan hukum yang mengikat para pihak yang berselisih. Bila salah satu pihak
tidak melaksanakan keputusan arbitrase, pihak yang dirugikan dapat mengajukan
permohonan kepada Pengadilan Negeri untuk memerintahkan pihak tersebut
-
25
melaksanakan keputusan arbitrase. Dalam paling lama 30 hari sejak keputusan
arbiter, salah satu pihak dapat mengajukan permohonan peninjauan kembali
kepada Mahkamah Agung, hanya apabila:
a. Surat atau dokumen yang diajukan dalam pemeriksaan ternyata diakui atau
terbukti palsu;
b. Pihak lawan terbukti secara sengaja menyembunyikan dokumen yang bersifat
menentukan dalam pengambilan keputusan;
c. Keputusan arbitrase terbukti didasarkan pada tipu muslihat pihak lawan;
d. Putusan melampaui kewenangan arbiter;
e. Putusan bertentangan dengan peraturan perundang-undangan.17
5. Pengadilan Perselisihan Hubungan Industrial
Pengadilan Perselisihan Hubungan Industrial (Pengadilan PHI) dibentuk di
Pengadilan Negeri dan pada Mahkamah Agung. Untuk pertama kali, Pengadilan
PHI dibentuk di Pengadilan Negeri yang berada di ibukota propinsi. Secara
bertahap, Pengadilan PHI akan dibentuk di Pengadilan Negeri yang berada di
Kabupaten atau Kota yang padat industri. Susunan Pengadilan PHI pada
Pengadilan Negeri terdiri dari hakim, Hakim Ad-Hoc, Panitera Muda, dan
Panitera Muda Pengganti.
Hakim adalah hakim karier di pengadilan negeri yang diangkat untuk memeriksa
perkara perselisihan industrial, dan diberhentikan oleh Ketua Mahkamah Agung.
Hakim Ad-Hoc adalah hakim Pengadilan PHI, diangkat dan diberhentikan oleh
Presiden atas usul serikat pekerja dan organisasi pengusaha melalui Ketua
17
Ibid, hlm. 18-19
-
26
Mahkamah Agung dan Menteri. Setiap Pengadilan Negeri terdapat 5 orang Hakim
Ad-Hoc mewakili unsur serikat pekerja dan 5 orang mewakili unsur asosiasi
pengusaha. Hakim Ad-Hoc diangkat untuk masa tugas 5 tahun dan dapat diangkat
kembali maksimum satu kali masa jabatan. Hakim ad-hoc tidak boleh
merangkapp jabatan sebagal anggota Lembaga Tinggi dan Tertinggi Negara,
kepala daerah, pengacara, mediator, konsiliator atau arbiter. Ketua Pengadilan
Negeri mengawasi pelaksanaan tugas hakim, Hakim Ad-Hoc, panitera muda dan
panitera muda pengganti.
Pengadilan PHI pada Pengadilan Negeri berwenang memeriksa dan memutus:
1) Perselisihan hak untuk tingkat pertama dan terakhir;
2) Perselisihan kepentingan untuk tingkat pertama;
3) Perselisihan pemutusan hubungan kerja untuk tingkat pertama;
4) Perselisihan antar serikat pekerja untuk tingkat pertama dan terakhir.
Paling lama 7 hari kerja setelah menerima permohonan penyelesaian perselisihan,
Ketua Pengadilan Negeri telah menetapkan Majelis Hakim yang terdiri dari
seorang hakim sebagai Ketua Majelis satu orang hakim ad-hoc mewakili unsur
serikat pekerja dan satu orang hakim ad-hoc mewakili unsur asosiasi pengusaha.
Paling lama 7 hari sejak penetapan Majelis Hakim, Ketua Majelis Hakim harus
sudah menetapkan jadwal sidang. Majelis Hakim dapat memanggil pihak-pihak
yang berselisih, saksi, dan saksi ahli. Majelis Hakim wajib menyelesaikan
perselisihan paling lama 50 hari keria sejak sidang pertama. Dalam mengambil
keputusan, Majelis Hakim mempertimbangkan hukum, perjanjian yang ada,
kebiasaan, dan keadilan.
-
27
Paling lama 7 hari kerja setelah putusan Majelis Hakim dibacakan, Panitera
Pengganti harus sudah menyampaikan pemberitahuan putusan kepada pihak yang
tidak hadir pada saat pembacaan putusan Majelis Hakim. Putusan Pengadilan PHI
mengenai perselisihan hak dan perselisihan antar serikat pekerja merupakan
putusan akhir dan bersifat tetap.
Putusan Pengadilan PHI mengenai perselisihan kepentingan dan perselisihan PHK
mempunyai hukum tetap apabila dalam 14 hari kerja setelah mendengar langsung
atau menerima pemberitahuan putusan Pengadilan PHI, tidak ada diantara yang
berselisih mengajukan permohonan kasasi kepada Mahkamah Agung.
Permohonan kasasi diajukan melalui kepanitraan Pengadilan PHI pada Pengadilan
Negeri.18
6. Majelis Hakim Kasasi
Permohonan kasasi atas putusan Pengadilan PHI pada Pengadilan Negeri
diperiksa dan diputus oleh Majelis Hakim Kasasi. Untuk itu pada Mahkarnah
Agung dibentuk dan diangkat Hakim Agung, Hakim Agung Ad-Hoc, dan
Panitera. Hakim Agung adalah hakim agung yang ditugaskan di Mahkamah
Agung. Hakim Agung Ad-Hoc diangkat dan diberhentikan oleh Presiden atas usul
serikat pekerja dan asosiasi pengusaha melalui Mahkamah Agung dan Menteri.
Hakim Agung Ad-Hoc dipilih untuk masa jabatan 5 tahun dan dapat diperpanjang
maksimum satu periode. Hakim Agung Ad-Hoc tidak boleh merangkap jabatan
sebagai anggota Lembaga Tinggi dan Tertinggi Negara, kepala daerah, pengacara,
mediator, konsoliator atau arbiter.
18
Ibid, hlm. 20-21
-
28
Setelah menerima kasasi atas putusan Pengadilan PHI, Ketua Mahkamah Agung
menetapkan susunan Majelis Hakim Kasasi yang terdiri dari seorang Hakim
Agung, seorang Hakim Agung Ad-Hoc dari unsur serikat pekerja, dan seorang
Hakim Agung Ad-Hoc dari unsur asosiasi pengusaha. Majelis Hakim Kasasi
harus menye-lesaikan kasus perselisihan dimaksud paling lama 30 hari kerja
terhitung sejak tanggal penerimaan permohonan kasasi. 19
2.4 Tinjauan Umum Mediasi
2.4.1 Pengertian Mediasi
Ada banyak pengertian dan definisi terkait mediasi, beberapa pengertian tersebut
di antaranya:. Mediasi adalah proses negosiasi penyelesaian masalah (sengketa) di
mana suatu pihak luar, tidak memihak, netral, tidak bekerja dengan para pihak
yang besengketa, membantu mereka (yang bersengketa) mencapai suatu
kesepakatan hasil negosiasi yang memuaskan20
. Peter Lovenheim mendefinisikan
mediasi Mediation is a process in which two or more people involved in a dispute
come together, to try to work out a solution to their problem with the help of a
neutral third person, called the “Mediator”.21
Mediasi menurut Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian
Perselisihan Hubungan Industrial adalah penyelesaian perselisihan hak,
perselisihan kepentingan, perselisihan pemutusan hubungan kerja, dan
19
Ibid, hlm. 22 20
Garry Goodpaster, Panduan Negosiasi dan Mediasi, Seri Dasar Hukum Ekonomi 9, ELIPS,
2004 hlm. 241 21
Peter Lovenheim, How to Mediate Your Dispute, Nolo-Press, Berkeley, 2000 hlm. 13
-
29
perselisihan antar serikat pekerja/serikat buruh hanya dalam satu perusahaan
melalui musyawarah yang ditengahi oleh seorang atau lebih mediator yang netral.
Mediasi juga adalah kegiatan pemberian jasa oleh pihak ketiga yang netral untuk
membantu para pihak yang berselisih memperkecil perbedaan guna mencapai
suatu penyelesaian yang dapat diterima dan disepakati.22
Penyelesaian
perselisihan melalui mediasi ini diatur dalam Pasal 8 sampai Pasal 16 UU PPHI.
Mediasi dipimpin oleh mediator yang berada di setiap kantor instansi yang
bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan kabupaten/kota. Kadang
menggunakan nomenklatur suku dinas ketenagakerjaan (sudinaker).
Mengenai ruang lingkup perselisihan, mediasi tergolong sebagai lembaga
alternatif yang lebih istimewa ketimbang konsiliasi dan arbitrase. Betapa tidak.
Dari empat jenis perselisihan hubungan industrial, tidak ada satu pun yang lepas
dari jangkauan ruang lingkup mediasi. Keistimewaan lain mediasi terlihat dari
bunyi Pasal 4 Ayat (4). Pasal itu merumuskan: ”Dalam hal para pihak tidak
menetapkan pilihan penyelesaian melalui konsiliasi atau arbitrase dalam waktu
tujuh hari kerja, maka instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan
melimpahkan penyelesaian perselisihan kepada mediator”.
Hasil mediasi terdiri dari dua bentuk, yakni23
:
1) Berhasil mendorong pihak-pihak yang berselisih mencapai kesepakatan dan
hasilnya dirumuskan dalam perjanjian bersama; atau
22
Lalu Husni, Penyelesaian Perselisian Hubungan Industrial Melalui Pengadilan dan Diluar
Pengadilan, Jakarta, hlm. 67 23
Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi Republik Indonesia dan ILO, Manual Mediasi,
Konsiliasi dan Arbitrasi, Jakarta, hlm. 75
-
30
2) Tidak berhasil mendorong pihak-pihak yang berselisih mencapai
kesepakatan. Untuk itu mediator menyusun risalah upaya penyelesaian
sebagai laporan pertanggung jawaban dan sebagai bahan bagi salah satu
pihak yang berselisih untuk dilanjutkan mengajkan gugatan ke Pengadilan
Hubungan Industrial.
2.4.2 Tujuan Mediasi
Proses mediasi memiliki tujuan untuk:
a. Membantu mencarikan jalan keluar/alternatif penyelesaian atas sengketa yang
timbul di antara para pihak yang disepakati dan dapat diterima oleh para pihak
yang bersengketa.
b. Menjalin komunikasi yang lebih baik di antara para pihak yang bersengketa.
c. Menjadikan para pihak yang bersengketa dapat mendengar, memahami
alasan/penjelasan/argumentasi yang menjadi dasar/pertimbangan pihak yang
bersengketa
d. Memahami kekurangan/kelebihan/kekuatan masing-masing, dan hal ini
diharapkan dapat mendekatkan cara pandang dari pihak-pihak yang
bersengketa, menuju suatu kompromi yang dapat diterima para pihak. 24
2.4.3 Unsur-Unsur Mediasi
Berawal dari ketidakpuasan akan proses pengadilan yang memakan waktu relatif
lama, biaya yang mahal, dan rasa ketidakpuasan pihak yang merasa sebagai pihak
yang kalah, dikembangkan mediasi sebagai salah satu cara penyelesaian sengketa
24
Ibid, hlm. 78
-
31
di luar pengadilan. Penerapan mediasi di berbagai negara secara umum
mengandung unsur-unsur25
:
a. Sebuah proses penyelesaian sengketa berdasarkan perundingan
b. Adanya pihak ketiga yang bersifat netral yang disebut sebagai mediator
(penengah) terlibat dan diterima oleh para pihak yang bersengketa di dalam
perundingan itu
c. Mediator tersebut bertugas membantu para pihak yang bersengketa untuk
mencari penyelesaian atas masalah-masalah sengketa
d. Mediator tidak mempunyai kewenangan membuat keputusan selama proses
perundingan berlangsung
e. Mempunyai tujuan untuk mencapai atau menghasilkan kesepakatan yang
dapat diterima para pihak yang bersengketa guna mengakhiri sengketa.
2.5 Tinjauan Umum Mediator dalam Perselisihan Hubungan Industrial
2.5.1 Pengertian Mediator
Mediator dapat diartikan sebagai pihak yang bersifat netral dan tidak memihak,
yang berfungsi membantu para pihak dalam mencari berbagai kemungkinan
penyelesaian sengketa. Pengertian mediator menurut Undang-Undang Nomor 2
Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial adalah
pegawai instansi pemerintah yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan
yang memenuhi syarat-syarat sebagai mediator yang ditetapkan oleh Menteri
untuk bertugas melakukan mediasi dan mempunyai kewajiban memberikan
anjuran tertulis pada para pihak yang berselisih untuk menyelesaikan perselisihan
25
Gayuh Arya Hardika, Quo Vadis Pengadilan Hubungan Industrial Indonesia, Trade Union
Rights Centre, 2004 hlm. 4
-
32
hak, perselisihan kepentingan, perselisihan pemutusan hubungan kerja, dan
perselisihan antar serikat pekerja/serikat buruh hanya dalam satu perusahaan.
Keberhasilan mediasi ditentukan oleh kecakapan mediator, oleh karena itu
mediator harus menguasi berbagai keterampilan dan teknik. Agar dapat membantu
para pihak menyelesaikan sengketa dan dapat menawarkan alternatif
penyelesaian, mediator harus dapat memetakan apa yang menjadi penyebab
konflik. Hal ini dapat dilakukan melalui pengamatan terhadap sikap, persepsi,
pola interaksi, dan komunikasi yang ditunjukkan para pihak dalam perundingan.26
Untuk menjadi seorang mediator, pemerintah menentukan syarat-syarat yaitu:
a. Pegawai Negeri Sipil (PNS) pada instansi/dinas yangbertanggungjawab di
bidang ketenagakerjaan
b. Beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa
c. Warga Negara Indonesia
d. Berbadan sehat menurut keterangan dokter
e. Menguasai peraturan perundang-undangan di bidang ketenagakerjaan
f. Berpendidikan sekurang-kurangnya Strata Satu (S1) dan memiliki legitimasi
dari Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi.27
Legitimasi Mediator ditetapkan oleh Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi.
Legitimasi Mediator berupa Surat Keputusan penunjukan dan Pengangkatan
Mediator serta Kartu Tanda Pengenal sebagai mediator. Untuk memperoleh
legitimasi mediator ,calon mediator harus:
26
Kelelung Bukit, Beberapa Cara Penyelesaian Sengketa Perburuhan Di dalam Dan Di Luar
Pengadilan, Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, 2006, hlm. 21
27 Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi Republik Indonesia dan ILO, op cit hlm. 100
-
33
1.) Telah mengikuti dan lulus ujian pendidikan dan pelatihan teknis hubungan
industrial dan syarat kerja yang dibuktikan dengan sertifikat dari Departemen
Tenaga Kerja dan Transmigrasi RI.
2.) Telah melaksanakan tugas di bidang pembinaan hubungan industrial
sekurang-kurangnya 1 (satu) tahun, setelah lulus kerja pendidikan dan latihan
teknis hubungan industrial dan syarat kerja.28
Pencabutan legitimasi mediator dilakukan karena:
1) Meninggal dunia
2) Permintaan sendiri
3) Memasuki usia pensiun
4) Diberhentikan sebagai Pegawai Negeri Sipil
5) Tidak bertugas lagi pada instansi yang bertanggung jawab di bidang
ketenagakerjaan
6) Telah dikenakan pemberhentian sebanyak 3 (tiga) kali.29
2.5.2 Tipologi Mediator
Menurut Moore, ada tiga tipe mediator, yaitu:
1. Social Network Mediator (Mediator Jaringan Sosial)
a. Mediator dikenal oleh para pihak
b. Dipilih karena ketokohannya, umumnya terdapat di lingkungan
komunitas)
2. Social Network Mediator (Mediator Jaringan Sosial)
3. Authoritative Mediator (Mediator otoritatif)
28
Ibid, hlm. 100 29
Ibid, hlm. 29
-
34
a. Mediator sesungguhnya memiliki posisi yang kuat dan berpengaruh
sehingga mempunyai kapasitas untuk mempengaruhi hasil akhir proses
mediasi
b. Mediator tidak mempunyai wewenang atau menggunakan pengaruh
didasarkan pada pandangannya.
c. Para pihak tetap diberi kesempatan untuk menentukan hasil kesepakatan
mereka sendiri
4. Independent Mediator (Mediator Mandiri)
Mediator yang menjaga jarak antara para pihak maupun dengan persoalan
yang tengah dihadapi oleh para pihak. Mediator tipe ini lebih banyak
ditemukan dalam masyarakat atau budaya yang telah mengembangkan tradisi
kemandirian dan menghasilkan mediator-mediator profesional.30
2.5.3 Fungsi dan Peran Mediator
Mediator dalam penyelesaian perselisihan hubungan industrial memiliki beberapa
fungsi, yakni:
1. Sebagai Katalisator, yakni mampu mendorong lahirnya suasana yang
konstruktif bagi diskusi dan bukan sebaliknya, yakni menyebabkan terjadinya
salah pengertian di antara para pihak
2. Sebagai Pendidik, yakni berusaha memahami kehendak, aspirasi, prosedur
kerja, keterbatasan dan kendala usaha dari para pihak
3. Sebagai Penerjemah, yakni harus berusaha menyampaikan dan merumuskan
usulan pihak yang satu kepada pihak yang lainnya melalui bahasa, atau
30
Ibid, hlm. 202
-
35
ungkapan yang enak didengar oleh pihak lainnya, tetapi tanpa mengurangi
maksud atau sasaran yang hendak dicapai oleh si pengusul.
4. Sebagai Narasumber, yakni harus mampu mendayagunakan atau
melipatgandakan kemanfaatan sumber-sumber informasi yang tersedia.
5. Sebagai Penyandang Berita Jelek, yakni harus menyadari bahwa para pihak
dalam proses perundingan dapat bersikap emosional.
6. Sebagai Agen Realitas, yakni harus memberitahu atau memberi pengertian
secara terus terang kepada satu atau para pihak, bahwa sasarannya tidak
mungkin atau tidak masuk akal untuk dicapa melalui proses perundingan.
7. Sebagai Kambing Hitam, yakni harus siap menjadi pihak yang dipersalahkan
apabila ada pihak yang tidak sepenuhnya merasa puas terhadap prasyarat-
prasyarat dalam kesepakatan.31
Dalam menjalankan tugasnya, mediator harus mengupayakan agar tercapai
kesepakatan di antara pihak yang bertikai. Jika terwujud, maka kesepakatan
perdamaian itu dituangkan dalam sebuah perjanjian bersama. si mediator tentunya
ikut menandatangani perjanjian itu dalam kapasitasnya sebagai saksi. Lebih lanjut
perjanjian itu kemudian didaftarkan ke Pengadilan Hubungan Industrial (PHI).
Namun dalam praktik, upaya mediator mendamaikan para pihak lebih sering
menemui kegagalan. Jika demikian, maka mediator akan mengeluarkan sebuah
anjuran tertulis yang isinya meminta agar salah satu pihak melaksanakan atau
tidak melaksanakan sesuatu. Para pihak harus sudah memberikan jawaban secara
tertulis kepada mediator yang isinya menyetujui atau menolak anjuran tertulis
dalam waktu selambat-lambatnya 10 (sepuluh) hari kerja setelah menerima
31
Moore, dikutip dari Sri Mamudji, op cit hlm. 201
-
36
anjuran tertulis. Pihak yang tidak memberikan pendapatnya secara tertulis
dianggap menolak anjuran tertulis32
Apabila tidak ada keberatan dari para pihak atas anjuran tertulis, maka para pihak
harus menuangkan kesepakatannya ke dalam perjanjian bersama. Lagi-lagi
perjanjian bersama itu harus didaftarkan ke PHI. Tapi jika para pihak merasa tidak
puas dengan anjuran tertulis, para pihak menyelesaikan perselisihannya ke
Pengadilan Hubungan Industrial (PHI) pada Pengadilan Negeri setempat. dengan
cara pengajuan gugatan oleh salah satu pihak di Pengadilan Hubungan Industrial
pada Pengadilan Negeri setempat.33
32
Pasal 13 ayat 1UU N0 2 Tahun 2004 Tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial 33
Pasal 14 ayat 1UU N0 2 Tahun 2004 Tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial
-
37
BAB III
METODE PENELITIAN
3.1 Pendekatan Masalah
Pendekatan masalah yang digunakan dalam penelitian ini adalah yuridis normatif
dan pendekatan yuridis empiris.
1. Pendekatan yuridis normatif adalah pendekatan melalui studi kepustakaan
(library research) dengan cara membaca, mengutip dan menganalisis teori-
teori hukum dan peraturan perundang-undangan yang berhubungan dengan
permasalahan dalam penelitian.
2. Pendekatan yuridis empiris adalah upaya untuk memperoleh kejelasan dan
pemahaman dari permasalahan berdasarkan realitas yang ada berdasarkan
hasil wawancara di lokasi penelitian34
3.2 Sumber dan Jenis Data
Berdasarkan sumbernya, data terdiri dari data lapangan dan data kepustakaan.
Data lapangan adalah yang diperoleh dari lokasi penelitian, sementara itu data
kepustakaan adalah data yang diperoleh dari berbagai sumber kepustakaan. Jenis
data meliputi data primer dan data sekunder 35
Data yang digunakan dalam
penelitian sebagai berikut:
34
Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, Rineka Cipta, Jakarta, 1983, hlm.7. 35
Ibid, . hlm.36
-
38
3.2.1 Data Sekunder
Data sekunder adalah data yang diperoleh melalui studi kepustakaan (library
research), dengan cara membaca, menelaah dan mengutip terhadap berbagai teori,
asas dan peraturan yang berhubungan dengan permasalahan dalam penelitian.
Data sekunder yang digunakan dalam penelitian ini adalah:
1. Bahan Hukum Primer, terdiri dari:
(a) Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945 Hasil
Amandemen
(b) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1999 tentang Pembentukan Kabupaten
Daerah Tingkat II Way Kanan, Kabupaten Daerah Tingkat II Lampung
Timur, dan Kotamadya Daerah Tingkat II Metro
(c) Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2000 Tentang Serikat Pekerja
(d) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 Tentang Penyelesaian Perselisihan
Hubungan Industrial
(e) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2004 Tentang Ketenagakerjaan
(f) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah
(g) Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan
Pemerintahan Antara Pemerintah, Pemerintahan Daerah Provinsi dan
Pemerintahan Daerah Kabupaten/Kota
(h) Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 2007 Tentang Organisasi
Perangkat Daerah
(i) Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Republik Indonesia
Nomor Per.16/Men/Xi/2011 Tentang Tata Cara Pembuatan Dan
-
39
Pengesahan Peraturan Perusahaan Serta Pembuatan dan Pendaftaran
Perjanjian Kerja Bersama
(j) Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Republik Indonesia
Nomor 17 Tahun 2014 Tentang Pengangkatan dan Pemberhentian
Mediator Hubungan Industrial Serta Tata Kerja Mediasi
(k) Peraturan Daerah Kota Metro Nomor 07 Tahun 2008 sebagaimana telah
diubah dengan Peraturan Daerah Kota Metro Nomor 12 Tahun 2010
tentang Pembentukan Organisasi dan Tata Kerja Perangkat Daerah Kota
Metro
2. Bahan Hukum Sekunder
Bahan hukum sekunder dalam penelitian bersumber dari bahan-bahan hukum
yang dapat membantu pemahaman dalam menganalisa serta memahami
permasalahan, berbagai buku hukum, arsip dan dokumen, brosur, makalah dan
sumber internet.
3.2.2 Data Primer
Data primer adalah data utama yang diperoleh secara langsung dari lokasi
penelitian dengan cara melakukan observasi dan wawancara (interview) dengan
narasumber yang mengetahui masalah yang akan diteliti. Narasumber penelitian
ini adalah sebagai berikut:
1. Kepala Dinas Sosial, Tenaga Kerja dan Pemberdayaan Masyarakat Kota
Metro (Yusuf Kota Alam)
2. Mediator pada Dinas Sosial, Tenaga Kerja dan Pemberdayaan Masyarakat
Kota Metro (Kristanto)
-
40
3. Perwakilan perusahaan (Irwansyah Adenan)
4. Perwakilan buruh (Alimudin)
3.3 Prosedur Pengumpulan Data
Prosedur pengumpulan data dilakukan dengan:
1) Studi pustaka (library research), adalah pengumpulan data dengan melakukan
serangkaian kegiatan membaca, menelaah dan mengutip dari bahan
kepustakaan serta melakukan pengkajian terhadap ketentuan peraturan
perundang-undangan yang berkaitan dengan pokok bahasan
2) Studi lapangan (field research), dilakukan sebagai usaha mengumpulkan data
secara langsung di lapangan penelitian guna memperoleh data yang
dibutuhkan melalui wawancara dengan menggunakan pedoman wawancara
yang telah dipersiapkan sebelumnya.
3.4 Prosedur Pengolahan Data
Setelah data terkumpul maka tahap selanjutnya dilakukan pengolahan data,
dengan prosedur sebagai berikut:
1. Seleksi Data
Data yang terkumpul kemudian diperiksa untuk mengetahui kelengkapan data
selanjutnya data dipilih sesuai dengan permasalahan yang diteliti.
2. Klasifikasi Data
Penempatan data menurut kelompok-kelompok yang telah ditetapkan dalam
rangka memperoleh data yang benar-benar diperlukan dan akurat untuk
kepentingan penelitian.
-
41
3. Penyusunan Data
Penempatan data yang saling berhubungan dan merupakan satu kesatuan yang
bulat dan terpadu pada subpokok bahasan sesuai sistematika yang ditetapkan
untuk mempermudah interpretasi data
3.5 Analisis Data
Setelah pengolahan data selesai, maka dilakukan analisis data. Setelah itu
dilakukan analisis kualitatif, artinya hasil penelitian ini dideskripsikan dalam
bentuk penjelasan dan uraian kalimat yang mudah dibaca dan dimengerti untuk
diinterprestasikan dan dirangkum secara umum yang didasarkan fakta-fakta yang
bersifat khusus terhadap pokok bahasan yang diteliti, guna pembahasan pada bab-
bab selanjutnya.
-
BAB V
P E N U T U P
5.1 Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan maka dapat ditarik kesimpulan
sebagai berikut:
1. Peran Dinas Sosial, Tenaga Kerja dan Pemberdayaan Masyarakat Kota Metro
dalam penyelesaian perselisihan hubungan industrial dilaksanakan melalui
proses mediasi, yaitu mediator bertindak sebagai pihak netral dan penengah,
membantu memecahkan masalah dan mencari jalan keluar atas perselisihan
yang dihadapi. Implementasi peran tersebut dilaksanakan mediator melalui
tahap pahap pra mediasi dan tahap mediasi. Pada tahap pra mediasi, mediator
mengumpulkan informasi latar belakang dan fakta perselisihan, isu-isu yang
menonjol, karakter perorangan dari pihak-pihak yang berselisih. Pada tahap
mediasi, mediator melaksanakan mediasi sesuai dengan kapasitasnya sebagai
pemerantara yang profesional, netral dan tidak berpihak kepada kepentingan
salah satu pihak yang terlibat dalam perselisihan hubungan industrial.
2. Faktor-faktor yang menghambat peran Dinas Sosial, Tenaga Kerja dan
Pemberdayaan Masyarakat Kota Metro dalam penyelesaian perselisihan
hubungan industrial adalah sebagai berikut:
a. Kurangnya pengetahuan para pihak tentang mekanisme dan tata cara
penyelesaian perselisihan hubungan industrial.
-
79
b. Karakter personal para pihak yang berselisih tidak mendukung
implementasi mediasi, yaitu ada kecenderungan para pihak untuk mencari-
cari kesalahan dan kelemahan pihak lain dalam bermediasi, sehingga
mediasi tidak menemukan titik terang.
c. Salah satu pihak mengundurkan diri dari proses mediasi yang sedang
berlangsung, sehingga secara otomatis menghilangkan semua tahapan
yang telah ditempuh dalam proses mediasi.
d. Belum adanya ruangan khusus untuk pelaksanaan mediasi pada Dinas
Sosial, Tenaga Kerja dan Pemberdayaan Masyarakat Kota Metro
5.2 Saran
Saran dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Mediator hendaknya terus meningkatkan profesionalisme dan kapasitas
sebagai pelaksana proses mediasi antara pihak-pihak yang terlibat dalam
perselisihan hubungan industrial, dengan cara terus mengasah potensi dengan
mengikuti berbagai pendidikan dan pelatihan untuk menyesuaikan diri dengan
perkembangan teknik mediasi, baik di tingkat lokal, nasional dan
internasional. Hal ini penting dilakukan dalam rangka memaksimalkan
pencapaian tujuan mediasi yaitu mencari penyelesaian atas perselisihan.
2. Para pihak yang terlibat dalam perselisihan industrial hendaknya memberikan
data dan informasi secara lengkap dan akurat kepada mediator mengenai latar
belakang dan fakta perselisihan, isu-isu yang menonjol dari pihak perusahaan
dan serikat pekerja. Hal ini penting dilakukan agar mediator memiliki
gambaran yang jelas mengenai perselisihan yang terjadi serta dapat
mengupayakan jalan keluar terbaik dengan prinsip win win solution.
-
DAFTAR PUSTAKA
BUKU-BUKU
Abdul Wahab Solihin, Analisis Kebijaksanaan dari Formulasi ke Implementasi
Kebijakan Negara, PT. Bumi Aksara, Jakarta. 2001.
Asri Wijayanti, Ketenagakerjaan Pasca Reformasi, Jakarta, 2012.
Dadang Budiaji dkk, Modul Diklat Konsultan Hukum Perusahaan, Yayasan Cipta
Bangsa, Bandung, 2007.
Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi Republik Indonesia dan ILO, Manual
Mediasi,Konsiliasi dan Arbitrasi, Jakarta, 2006.
_____________,Konvensi Ketenagakerjaan Internasional yang Diratifikasi
Indonesia serta Prinsip-Prinsip dan Hak-Hak Mendasar di Tempat Kerja
dan Tindak Lanjutnya, Jakarta, 2005.
Edi Suharto. Pekerja Sosial di Dunia Industri. PT Refika Aditama. Bandung
2009.
E.St. Harahap, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta 2007.
Garry Goodpaster, Panduan Negosiasi dan Mediasi, Seri Dasar Hukum Ekonomi.
ELIPS, Jakarta, 1999.
______________, Tinjauan Terhadap Penyelesaian Sengketa, dalam Soebagjo
dan Radjagukguk, Arbitrase di Indonesia, Seri Dasar Hukum Ekonomi 2.
Ghalia Indonesia, Jakarta. 1995.
Gayuh Arya Hardika, Quo Vadis Pengadilan Hubungan Industrial Indonesia,
Trade Union Rights Centre, 2004.
Imam Soepomo, Pengantar Hukum Perburuhan, Djambatan, Jakarta, 1995.
Kelelung Bukit, Beberapa Cara Penyelesaian Sengketa Perburuhan di Dalam
dan di Luar Pengadilan, Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara,
2004
-
Lalu Husni, Penyelesaian Perselisian Hubungan Industrial Melalui Pengadilan
dan Di Luar Pengadilan, Penerbit PT. Raja Grafindo Parsada, Jakarta,
2004.
_________, Hukum Ketenagakerjaan Indonesia, PT Raja Gravibdo Persada,
Jakarta, 2007.
_________, Hukum Ketenagakerjaan Indonesia, Rajawali Pers, Jakarta,2007
Marsen Sinaga, Pengadilan Perburuhan di Indonesia, Tnjauan Hukum Kritis Atas
Undang-Undang PPHI,cet1, Perhimpunan Solidaritas Buruh, Yogyakarta,
2006
Muammar Himawan. Pokok-Pokok Organisasi Modern. Bina Ilmu. Jakarta. 2004.
Peter Lovenheim, How to Mediate Your Dispute, Nolo-Press, Berkeley, 2000
Sendjun H Manulang, Pokok-Pokok Hukum Ketenagakerjaan di Indonesia,Rineka
Cipta, Jakarta 1995.
Soebagjo, Felix O., dan Erman Radjagukguk, Editor, Arbitrase di Indonesia, Seri
Dasar Hukum Ekonomi 2, Ghalia Indonesia, Jakarta., 1995.
Soejono dan Abdurrahman, Metode Penelitian Hukum, Rineke Cipta, Jakarta,
1999.
Soerjono Soekanto. Sosiologi Suatu Pengantar. Rajawali Press. Jakarta. 2002.
_____, Penelitian Hukum Normatif, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2006.
TURC, Belajar Hukum Perburuhan,TURC Press, Jakarta, 2006.
_____, Praktek Pengadilan Hubungan Industrial, panduan Bagi Serikat Buruh,
TURC Press, Jakarta, 2004.
Zaeni Asyhadie, Hukum Kerja, Rajawali Press. Jakarta, 2007.
PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945 Hasil Amandemen
Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1999 tentang Pembentukan Kabupaten Daerah
Tingkat II Way Kanan, Kabupaten Daerah Tingkat II Lampung Timur, dan
Kotamadya Daerah Tingkat II Metro
-
Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2000 Tentang Serikat Pekerja
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 Tentang Penyelesaian Perselisihan
Hubungan Industrial
Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2004 Tentang Ketenagakerjaan
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah
Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan
Pemerintahan Antara Pemerintah, Pemerintahan Daerah Provinsi dan
Pemerintahan Daerah Kabupaten/Kota
Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 2007 Tentang Organisasi Perangkat
Daerah
Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Republik Indonesia Nomor
Per.16/Men/Xi/2011 Tentang Tata Cara Pembuatan Dan Pengesahan
Peraturan Perusahaan Serta Pembuatan Dan Pendaftaran Perjanjian Kerja
Bersama
Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Republik Indonesia Nomor 17
Tahun 2014 tentang Pengangkatan dan Pemberhentian Mediator
Hubungan Industrial Serta Tata Kerja Mediasi
Peraturan Daerah Kota Metro Nomor 07 Tahun 2008 sebagaimana telah diubah
dengan Peraturan Daerah Kota Metro Nomor 12 Tahun 2010 tentang
Pembentukan Organisasi dan Tata Kerja Perangkat Daerah Kota Metro