peran perempuan paska perceraian di gpm jemaat kategorial...
TRANSCRIPT
BAB III
HASIL PENELITIAN, PEMBAHASAN, DAN ANALISA PERAN PEREMPUAN
PASKA PERCERAIAN DI GPM JEMAAT KATEGORIAL LANUD PATTIMURA
DARI PERSPEKTIF KONSELING FEMINIS
Pada bab ini, penulis akan memaparkan hasil penelitian, akan melakukan
pembahasan, serta menganalisis peran perempuan paska percaian di GPM Jemaat
Kategorial Lanud Pattimura dari perspektif konseling feminis. Tulisan ini akan diawali
dengan gambaran umum tentang tingkat perceraian di kota Ambon, kemudian
pemaparan permasalahan perempuan paska perceraian, dan analisis peran perempuan
paska perceraian dari perspektif konseling feminis.
3.1 Gambaran umum tingkat perceraian di Kota Ambon
Secara umum penulis menemukan tingkat perceraian di kota Ambon dari tahun ke
tahun semakin meningkat. Dari hasil penelitian, penulis menemukan bahwa pada lima
tahun terakhir, jumlah perkara gugatan cerai di Pengadilan Negeri Ambon adalah sebagai
berikut1 :
Tahun 2011 : 119 perkara.
Tahun 2012 : 123 perkara.
Tahun 2013 : 116 perkara.
Tahun 2014 : 156 perkara
Tahun 2015 (01 Januari- 29 April) : 40 perkara
Melalui Data perceraian di Desa Tawiri, penulis menemukan bahwa dari tingkat
perceraian pada lima tahun terakhir, tercatat ada 30 perkara. Data ini meningkat dari
tahun-tahun sebelumnya, dan sebagian besar korban dari perceraian tersebut adalah
perempuan.
1 Data Pengadilan Negeri Ambon, 29 April 2015.
Menurut Tuhuleruw,2 perceraian sering terjadi karena adanya perselingkuhan.
Perselingkuhan kerap dilakukan oleh para suami. Selain itu, judi dapat menjadi pemicu
keretakan rumah tangga yang berujung pada perceraian.3
3.2 Permasalahan Perempuan Paska Perceraian
Perkara-perkara yang terjadi di kota Ambon, khususnya di Jemaat Kategorial
Lapangan Udara (Lanud) Pattimura tentang perceraian, menunjukkan bahwa sebagian
besar perceraian terjadi karena masalah perselingkuhan yang dilakukan oleh para suami.
Perceraian tersebut membawa banyak dampak terhadap perempuan. Masalah yang
muncul bagi perempuan paska perceraian ialah masalah ekonomi berkaitan dengan
pembiayaan kehidupan anak-anak, karena sebagian besar para perempuan yang penulis
wawancarai adalah ibu-ibu rumah tangga yang tidak memiliki pekerjaan. Selain masalah
ekonomi, kehormatan juga kerap menjadi masalah. Para perempuan yang mengalami
perceraian justru dianggap bersalah ketika terjadi perpisahan dengan suami mereka.
“Tidak dapat mengurus diri”, “selalu membuat masalah”, serta “tidak dapat menjaga
suami” adalah serangkaian kalimat cercaan yang diterima oleh para perempuan ini, baik
dalam keluarga maupun dalam masyarakat.
Dalam pengamatan penulis, kedua masalah kompleks yang ditimbulkan akibat
perceraian di atas, akan menimbulkan masalah-masalah yang lain. Meskipun tidak
nampak tetapi dapat dilihat melalui keadaan psikologis dari perempuan yang mengalami
perceraian. Masalah-masalah laian tersebut berkaitan dengan adanya penyesalan,
ratapan diri dan penyangkalan terhadap diri sendiri ketika menghadapi kenyataan
pernikahan mereka yang tidak harmonis. Ungkapan penyesalan itu nampak misalnya
dalam diri Jasmin. Hal ini dapat ditunjukkan melalui pernyataan berikut,4
2 Wawancara dengan Kepala Desa Tawiri, Ambon, 17 April 2015.
3 Wawancara dengan Kepala Desa Tawiri.
4 Wawancara dengan Jasmin, 18 April 2015.
“Beta manyasal nikah muda nona. Beta sadar, saat itu beta masih muda deng labil.
Beta nikah umur 18 tahun. Beta yakin mau nikah deng suami karena beta suami
paleng bae deng perhatian.”
Berdasarkan pernyataan tersebut penulis menemukan bahwa konseli sangat menyesal
dengan kondisi yang dialaminya. Melalui wawancara yang penulis lakukan dengan
konseli, dapat dilihat bahwa konseli menerima kenyataan terhadap apa yang dialaminya.
Menyikapi masalah ini, konseli berusaha untuk melampauinya demi menopang
kehidupan anak-anaknya.
Dari permasalahan-permasalahan tersebut, penulis mendapati ketiga narasumber ini
adalah perempuan-perempuan yang tidak memiliki pekerjaan tetap (ibu rumah tangga).
Ketiga narasumber ini akan menjadi fokus penelitian penulis, namun ada juga satu
narasumber yang penulis teliti berkaitan dengan posisinya sebagai perempuan yang
memiliki pekerjaan tetap. Guna melakukan perbandingan, penulis juga melakukan
penelitian meneliti salah satu narasumber yang telah bercerai, namun telah memiliki
pekerjaan tetap sebelum bercerai. Hal ini dimaksudkan, supaya penulis dapat melihat
peran dan kondisi perempuan paska perceraian, dengan atau tanpa pekerjaan.
Dalam rangka membahas tentang permasalahan-permasalahan yang dialami oleh
para perempuan pasca perceraian, maka secara teoritis penulis menemukan adanya dua
ranah permasalahan perempuan paska perceraian, yaitu ranah domestik dan ranah
transisi. Namun, selain dua ranah masalah di atas, ada dua ranah masalah lain yang
penulis temukan di lapangan yang dialami oleh para perempuan yang telah bercerai.
Berikut ini adalah gambaran empat ranah masalah tersebut.
3.2.1 Permasalahan Domestik Perempuan paska Perceraian
Penelitian yang berkaitan dengan kondisi para perempuan ini, penulis lakukan pada
tiga narasumber. Ketiga narasumber tersebut berprofesi sebagai ibu rumah tangga. Dari
hasil penelitian terhadap tiga narasumber, diketahui bahwa ketiganya adalah
perempuan-perempuan yang tidak memiliki pekerjaan tetap. Berikut adalah keadaan
mereka sebelum mengalami perceraian. Mawar (59), adalah seorang ibu rumah tangga
yang bertugas untuk mengurus suami dan anak-anaknya. Konseli tidak bekerja, karena
suaminya yang memenuhi semua kebutuhan rumah tangga mereka, sebagai seorang
pegawai swasta.5 Rosa (35), keadaannya tidak berbeda jauh dengan mawar. Konseli
tidak memiliki pekerjaan tetap. Kebutuhan hidup rumah tangganya, dicukupkan oleh
suaminya yang bekerja sebagai anggota kepolisian.6 Jasmin (43), juga demikian.
Pekerjaan suaminya sebagai pegawai swasta, membuat ia harus bergantung kepada
suaminya dalam hal pemenuhan kebutuhan rumah tangga.7
Kehidupan ketiga narasumber ini berubah ketika mereka mengalami perceraian.
Masalah domestik yang muncul paska perceraian bagi seorang perempuan ialah
masalah ekonomi. Masalah ekonomi menjadi masalah yang sangat krusial karena
berkaitan dengan pemenuhan kebutuhan rumah tangga. Perempuan-perempuan yang
mengalami perceraian biasanya akan mengalami kesulitan secara ekonomi, karena
selama ini sumber pendapatan berasal dari suami mereka. Menyikapi permasalahan
yang terjadi, dua konseli (Mawar dan Rosa) berupaya untuk mencari pekerjaan agar
dapat memenuhi kebutuhan hidup rumah tangga mereka. Jasmin tidak dapat mencari
pekerjaan, karena terhambat oleh kesehatan anaknya yang cacat. Pada akhirnya, konseli
hanya mengharapkan bantuan keluarganya untuk membantu membiayai kehidupan
rumah tangganya.
Berdasarkan masalah domestik ini, penulis melihat bahwa dampak perceraian bagi
seorang perempuan yang tidak memiliki pekerjaan tetap adalah kesusahan yang
berkelanjutan mengingat beban pemenuhan kebutuhan yang semakin tinggi apalagi jika
dikaitkan dengan biaya pendidikan anak. Perempuan harus berupaya lebih keras untuk
5 Wawancara dengan Mawar, 19 April 2015.
6 Wawancara dengan Rosa, 20 April 2015.
7 Wawancara dengan Jasmin, 18 April 2015.
memenuhi kebutuhan sambil memperhatikan anak-anaknya. Hal ini sesuai dengan
penelitian yang dilakukan oleh Li Sun. Dalam pemaparannya terhadap dampak
perceraian bagi seorang perempuan, menjelaskan bahwa perempuan akan mengalami
kesulitan dalam memenuhi kebutuhan hidup bersama anak-anaknya, karena suami tidak
lagi menafkahi mereka.8
Menurut penulis, ada kesamaan antara teori dengan kenyataan di lapangan dalam
kaitannya dengan masalah ekonomi perempuan paska perceraian. Hal ini disebabkan
oleh peran perempuan yang dekat dengan peran domestik. Peran domestik biasanya
selalu berkaitan dengan kebutuhan hidup. Dengan demikian, inti masalah paska
perceraian bagi perempuan adalah masalah ekonomi.
Temuan yang berbeda dengan teori Li Sun adalah bahwa perempuan tidak tinggal
diam ketika menghadapi kesulitan yang mereka alami. Mereka kemudian berusaha untuk
bekerja memenuhi kebutuhan hidupnya. Pada hasil penelitian Li Sun, umumnya
perempuan akan mengalami kesulitan karena tidak lagi dinafkahi oleh suami. Pada hasil
penelitian ini, penulis menemukan bahwa perempuan memang mengalami kesulitan
karena tidak dibiayai, tetapi mereka tetap berjuang untuk memenuhi peran sebagai orang
tua secara utuh, baik itu memperhatikan anak-anak dan menafkahi mereka. Tidak
memiliki pekerjaan tetap bukanlah suatu halangan, karena ia mampu memberdayakan
situasi yang ada untuk keberlangsungan kehidupannya. Dari temuan ini, penulis
menyimpulkan bahwa teori Li sun memaparkan keadaan perempuan setelah perceraian
yang tidak berdaya. Tetapi, persoalan yang tidak disentuh oleh Li Sun adalah tentang
apakah para perempuan tersebut sanggup melawan pandangan masyarakat terhadap
dirinya yang cenderung bergantung kepada suami. Ternyata, tidak demikian dengan hasil
penelitian penulis. Hasil temuan penulis ialah ternyata ada perempuan-perempuan yang
8 Hsiao-Li Sun, Wen En Chong dan Si Hui Lim, “Gender and Divorce...”,, 132-134.
dapat melawan anggapan masyrakat, dan mampu hidup sendiri tanpa bantuan suaminya.
Penulis mendapati ada perempuan-perempuan yang dapat melawan stigma tersebut, dan
dapat memberdayakan dirinya sehingga mampu hidup sendiri tanpa bantuan suami
mereka.
3.2.2 Permasalahan Transisi Perempuan paska Perceraian
Permasalahan transisi perempuan paska perceraian dapat dilihat pada narasumber
keempat yang menjadi narasumber pembanding dalam penelitian penulis. Perempuan ini
memiliki pekerjaan sebagai seorang pendidik (guru).9 Dalam kehidupan rumah
tangganya, konseli tidak bergantung kepada suaminya, karena ia memiliki pekerjaan.
Sebelum bercerai, kehidupannya bersama anak-anak berjalan baik dan kedekatan mereka
sangat intim. Kinerjanya pada lembaga pendidikan juga dipandang sangat baik, karena
konseli merupakan salah satu guru yang teladan dan disiplin. Konseli dikenal di dalam
masyarakat sebagai perempuan yang berkarakter.
Paska perceraian, konseli mengalami kesulitan dari berbagai kehidupan. Kesulitan-
kesulitan tersebut dilihat dalam tiga aspek kehidupan, yakni:
1. Aspek keluarga. Konseli kehilangan partner untuk membantunya mengasuh dan
menjaga anak-anak. Suami yang biasanya selalu membantu dan secara
bergantian menjaga anak-anak, kini tidak lagi melakukan fungsinya. Akibatnya,
anak-anak sering dititipkan kepada orang tuanya.
2. Aspek sosial. Konseli dianggap sebagai perempuan yang tidak dapat menjaga
keharmonisan rumah tangganya. Ada stigma yang diberikan oleh masyarakat
berkaitan dengan status pekerjaannya sebagai seorang pendidik. Masyarakat
cenderung menganggapnya sebagai perempuan yang tidak bertanggung jawab
9 Wawancara dengan narasumber keempat (narasumber pembanding), 21 April 2015.
terhadap keluarga, karena bagi masyarakat, seorang pendidik pasti mengetahui
bahwa perceraian bukanlah hal yang dapat dibenarkan.
3. Aspek pekerjaan. Kinerja konseli dipertanyakan setelah ia mengalami
perceraian. Ada keraguan terhadap loyalitasnya. Keteladanannya sebagai
seorang pendidik tidak lagi dilihat sebagai potensi yang dapat memberdayakan.
Melalui permasalahan rumah tangganya, konseli kemudian dinilai tidak mampu
menjadi seorang pendidik. dikucilkan dan dianggap tidak layak menjadi seorang
pendidik. Hal ini berkaitan dengan penelitian Faye Xiao di Cina tentang paska
perceraian perempuan kemudian diberhentikan dari pekerjaannya.
Terhadap pemahaman Faye ini, penulis menemukan bahwa kewibawaan seorang
perempuan cenderung dikaitkan dengan kehidupan pribadinya. Penulis berpendapat
bahwa perempuan akan berguna dalam ranah publik jika ia dapat berguna bagi
kehidupan pribadinya termasuk dalam kehidupan rumah tangganya. Dengan kata lain
penelitian di Cina menunjukkan adanya stigma terhadap perempuan yang mengalami
perceraian sehingga memiliki kepribadian yang buruk dan tidak akan dipercaya untuk
bekerja lagi. Hal ini menyebabkan perempuan kembali mendapat pengekangan, sehingga
tidak dapat secara bebas berperan dalam dunia publik.
Teori Faye ini mendukung hasil penelitian penulis. Penulis menemukan bahwa
dalam ranah transisi, masalah rumah tangga perempuan sering dikaitkan dengan
kariernya. Dengan demikian, perempuan mengalami tekanan dari dalam dan dari luar
kehidupannya.
3.2.3 Permasalahan Transisi mengabaikan Domestik Perempuan paska
Perceraian
Masalah transisi yang mengabaikan domestik ialah kurangnya perhatian seorang
perempuan (ibu) terhadap keluarganya (anak-anak). Pekerjaan-pekerjaan part time yang
dilakukan seringkali memaksa seorang perempuan harus meninggalkan anak-anaknya.
Hal ini menjadi masalah jika perempuan tersebut harus bekerja ke luar daerah dan
meninggalkan anak-anaknya untuk waktu yang lama.
Penulis mendapatinya pada narasumber kedua yaitu Rosa (35). Sebagaimana
permasalahan perceraian yang dihadapinya, ia pun segera berangkat ke Kota Sorong
untuk mencari pekerjaan agar dapat menghidupi ketiga anaknya. Hal ini mengakibatkan
perannya sebagai ibu rumah tangga terabaikan, bahkan anak-anaknya harus dititipkan
kepada orang tuanya sehingga kesempatan bersama anak-anaknya menjadi sangat
terbatas.10
Penulis melakukan wawancara dengan ibu konseli, karena konseli telah berangkat ke
kota Sorong.11
Menurut ibunya, paska perceraian ia terlihat sangat depresi. Hal ini
disebabkan karena konseli memiliki 3 orang anak yang masih kecil dan ketiganya
masih sangat membutuhkan perlindungan dan kasih sayang kedua orang tua mereka.
Konseli juga tidak memiliki pekerjaan tetap sehingga ia mengalami kesulitan untuk
menghidupi ketiga anaknya. Berdasarkan keterangan ibunya, konseli memutuskan
untuk meninggalkan ketiga anaknya dan berangkat ke kota Sorong agar mendapat
pekerjaan sehingga ia bisa memenuhi kebutuhan hidup mereka dengan mengirimkan
pendapatannya setiap bulan. Hal ini dilakukan semata-mata untuk ketiga anaknya,
walaupun ia sadari bahwa waktu untuk bersama mereka sudah terabaikan.
Berdasarkan pembicaraan ini, penulis berpendapat bahwa Rosa adalah tipe
perempuan yang bertanggung jawab dalam segi pemenuhan kebutuhan ekonomi, namun
mengabaikan kebutuhan psikologis anak-anaknya. Keputusannya untuk meninggalkan
ketiga anaknya adalah suatu keterpaksaan karena menurut penjelasan ibunya, ia tidak
10
Wawancara dengan Rosa, 20 April 2015. 11
Wawancara dengan Ibu Rosa, 22 April 2015.
ingin anak-anaknya mengalami kekurangan. Hal ini dianggap sebagai suatu keputusan
yang tepat baginya.
Anak-anak menjadi terlantar dan kehilangan kasih sayang seorang ibu. Masa
pertumbuhan mereka hanya dilalui bersama kakek nenek mereka. Pola pembinaan dan
didikan tidak diberikan langsung dari seorang ibu sehingga memaksa mereka untuk
bertumbuh tanpa kasih ibu. Masalah lain yang nampak juga ialah dalam pergaulan
mereka, misalnya dengan teman-teman sebaya mereka. Tidak menutup kemungkinan
mereka akan merasa minder dan sedih jika melihat ada teman lain yang hidup bersama
dengan ibunya.
Selain masalah di atas, ada juga masalah ketidakharmonisan perempuan dengan
orang tua mereka. Ada kalanya terjadi perdebatan antar seorang perempuan dengan ibu
atau ayahnya karena kebutuhan anak-anak yang tidak sanggup dipenuhi oleh orang tua
perempuan tersebut, ketika perempuan ini harus bekerja di luar daerah. Kondisi ini
menjadi lebih sulit, saat diketahui oleh keluarga besar. Pada akhirnya fungsi perempuan
tersebut sebagai seorang ibu seringkali direndahkan dan dihujat. Jadi, permasalahan
seorang perempuan pada level ini ialah mengacu pada fungsi mereka sebagai seorang ibu
yang tidak diberdayakan secara baik dengan anak-anak mereka karena tuntutan domestik
(ekonomi).
Berdasarkan masalah-masalah di atas, maka penulis menyimpulkan bahwa dampak
perceraian bagi seorang perempuan, jika dilihat dari segi transisi yang mengabaikan
domestik, dapat sejalan dengan penelitian Ahrons yang menemukan bahwa setelah
bercerai anak-anak cenderung mengalami gangguan dalam kehidupan mereka, baik relasi
dengan sesama ataupun dukungan dari orang tua mereka.12
12
Ahrons, “Family Ties after Divorce...”, 58-59.
Teori Ahrons mendukung hasil penelitian ini, sehingga bagi penulis masalah transisi
mengabaikan domestik berakibat gangguan secara psikologis bagi anak-anak tetapi juga
bagi perempuan itu sendiri, karena tidak adanya kedekatan di antara kedua pihak (baik
ibu dan anak). Secara sosial, anak mengalami pertumbuhan yang tidak sehat dengan
lingkungannya. Ada kemungkinan anak tersebut akan diolok-olok karena tidak memiliki
orang tua yang utuh. Dari sisi spiritual, anak akan kehilangan peran seorang ibu untuk
mengajar, mengasuh serta mendidiknya dalam pengenalan akan keimanannya. Kondisi
yang umumnya terjadi adalah anak tidak diajarkan untuk pergi beribadah, anak tidak
diajarkan untuk berdoa karena ibunya tidak tinggal bersamanya. Selain anak,
sesungguhnya ibu juga adalah korban dari masalah ini. Keputusan untuk meninggalkan
anak-anaknya adalah suatu keterpaksaan. Dalam penjelasan sebelumnya jelas terlihat
bahwa kebutuhan ekonomi yang mendesak mengakibatkan seorang perempuan pasca
perceraian harus berperan dalam ranah transisi juga. Pada akhirnya, keputusan untuk
meninggalkan anak-anak adalah pilihan sulit dari seorang ibu. Anak membutuhkan
kehangatan ibu, ibu pun demikian ingin menghangatkan anak. Dengan demikian, hal-hal
inilah yang menjadi masalah utama pada peran transisi mengabaikan domestik ini.
3.2.4 Permasalahan Domestik mengabaikan Transisi perempuan paska
perceraian
Pada level ini, masalah yang muncul pada perempuan paska perceraian tidak
berbeda jauh dengan pada level masalah domestik yakni berhubungan dengan masalah
ekonomi. Perbedaanya adalah pada level ini salah seorang perempuan yang penulis teliti
tidak dapat mencari pekerjaan untuk memenuhi kebutuhan hidup anak-anaknya.
Ada beberapa alasan yang menjadi akar masalah sehingga perempuan tidak
berupaya mencari pekerjaan sampingan. Pertama, perempuan menyadari bahwa dirinya
tidak memiliki keterampilan untuk bekerja, karena sebelum menikah ia sangat
dimanjakan dan berasal dari keluarga berada. Kedua, kemalasan, karena selama masa
perkawinannya dan kehidupan bersama suaminya sebelum bercerai, ia mempekerjakan
pembantu untuk membantu meringankan pekerjaan rumahnya. Ketiga, perempuan yang
memiliki keinginan untuk mencari pekerjaan sampingan, namun terhalang oleh kondisi
anak yang berkebutuhan khusus (cacat), dan memaksanya harus mengabaikan tanggung
jawab transisi demi menjaga dan merawat anaknya yang cacat itu. Alasan lain juga ialah
karena perempuan cenderung bergantung kepada mantan suaminya. Ada ketetapan
hukum yang menentukan bahwa sang suami akan tetap membiayai kehidupan anak-
anaknya setelah bercerai, sehingga perempuan tidak perlu bekerja lagi karena biaya yang
diberikan oleh mantan suaminya dirasa mencukupi kehidupan mereka.
Berdasarkan gambaran tentang kondisi dari Jasmin (narasumber ketiga), penulis
melihat bahwa situasi Jasmin ini dapat dikategorikan ke dalam ranah ketiga, yaitu peran
domestik namun mengabaikan transisi. Alasan tidak ingin bekerja ialah karena keadaan
anaknya yang cacat. Hal ini mengakibatkan ia tidak mampu menghidupi anaknya,
sehingga ia hanya mengharapkan bantuan dari keluarganya (kakaknya) yang selalu
mengirimkan uang kepadanya setiap bulan.
Permasalahan Jasmin ialah perselingkuhan suaminya. Konseli mengetahui suaminya
berselingkuh, dan berupaya untuk menegur dan berbicara kepada suaminya agar tidak
berselingkuh lagi. Tetapi suaminya masih tetap melakukan hal yang sama. Konseli
memanggil pendeta untuk melakukan pastoralia kepada suaminya, namun suaminya
tidak berubah. Konseli mulai putus asa dan tidak tahan dengan keadaan rumah
tangganya. Konseli tidak berani untuk menceraikan suaminya, karena konseli tidak
memiliki pekerjaan tetap dan menggantungkan hidupnya pada suaminya, selain itu
anak-anaknya masih membutuhkan biaya. Konseli bertahan dalam kehidupan rumah
tangganya yang mulai hancur.
Anak bungsu konseli cacat. Konseli tidak dapat berbuat apa-apa, hanya pasrah dan
berdoa menghadapi masalah dalam kehidupannya. Pada tahun 2009, konseli
meninggalkan suaminya dan kembali ke kota Ambon bersama kedua anaknya. Konseli
tinggal bersama keluarganya. Kebutuhan hidupnya masih ditanggung oleh suaminya,
walaupun mereka tidak bersama-sama. Tahun 2011, suami konseli tidak mengirimkan
uang lagi kepada konseli. Konseli mengalami kesulitan ekonomi. Kebutuhannya
dicukupkan oleh kakak perempuannya yang mengirimkan uang kepadanya setiap bulan.
Konseli meratapi penderitaannya. Anak sulungnya ternyata seorang homoseksual
(gay). Sebagai seorang ibu, konseli mengakui bahwa tugasnya sangat berat dalam
menghadapi masalah anak sulungnya. Malu, marah, kecewa dan putus asa adalah
serangkaian perasaan yang dialami konseli. Walaupun demikian, konseli mengakui
bahwa ia merasa lebih tenang ketika berpisah dengan suaminya.
Terhadap masalah yang dihadapinya, konseli mengutarakannya sebagai berikut,13
“ beta pung laki selingkuh, seng bertanggung jawab, anak bungsu cacat / seng
normal, anak sulung jadi bencong,, hayooeee.. beta seng kuat nona kalau hadapi
ini semua, tapi beta harus kuat bertahan,, harus bersyukur juga karena walaupun
begini beta masih bisa makan 1 hari 3 kali. Beta percaya Tuhan seng kastinggal
beta”
Penggalan kalimat di atas adalah ungkapan hati dari konseli dengan semua keadaan
yang ia hadapi. Konseli berkata bahwa walaupun ujian ini berat namun ia harus
bertahan untuk anak-anaknya.
Berdasarkan masalah di atas, penulis menemukan bahwa alasan yang ditemui di
lapangan ketika penulis melakukan penelitian ialah alasan ketiga yakni tentang anak
yang cacat, sehingga perempuan tersebut tidak mencari pekerjaan. Dari hasil penelitian,
ternyata ketergantungan terhadap tanggung jawab suami membuat perempuan itu harus
13
Wawancara dengan Jasmin, 18 April 2015.
mengabaikan segi transisi, namun hal itu tidak berlangsung lama. Pada akhirnya, suami
melepas tanggung jawab untuk membiayai anak-anaknya, apalagi diketahui bahwa ada
anaknya yang cacat. Hal ini sejalan dengan penelitian yang terjadi di Singapura ketika
pemerintah menetapkan hak pengasuhan anak jatuh kepada perempuan, saat terjadi
perceraian, karena menurut pemerintah tersebut perempuan yang mampu melakukan
tugas dan tanggung jawab dalam mengurus serta mendidik anak.14
Bedanya ialah suami
tidak lagi menafkahi anak ketika hak pengasuhan telah jatuh kepada seorang perempuan,
hal ini kemudian menjadi salah satu dampak perceraian.15
Pada akhirnya, perempuan harus menganggung penderitaan, apalagi ketika
diperhadapkan dengan masalah seperti yang penulis temui di lapangan, yang akhirnya
keputusan perempuan itu harus mengabaikan kebutuhan transisi dan lebih fokus kepada
kebutuhan domestik. Teori Li Sun mendukung hasil penelitian di lapangan yaitu istri
mengalami kesulitan karena tidak adanya pertanggungjawaban dari suami. Penderitaan
perempuan dalam kasus ini diperparah dengan ketidaknormalan anaknya yang memaksa
ia untuk tetap diam di rumah dan menjaga anaknya. Pada akhirnya, perempuan tersebut
tidak dapat mencari nafkah untuk memenuhi kebutuhan hidupnya dan hanya berharap
bantuan dari keluarga setiap bulan yang mengirimkan uang padanya.
Dari segi psikologis, masalah domestik mengabaikan transisi perempuan paska
perceraian berdampak pada ketidakstabilan pikiran perempuan tersebut, karena harus
berhadapan dengan realitas yang pahit. Gangguan emosional yang sangat
mengguncangnya ialah anak-anaknya yang “sakit” (cacat dan gay). Walaupun demikian,
dari segi spiritual perempuan tetap menerima dan berharap Tuhan akan memulihkan
keadaannya. Perempuan tersebut percaya bahwa akan selalu ada berkat yang diberikan
14
Hsiao-Li Sun, et all, “Gender and Divorce...”, 132-134. 15
Hsiao-Li Sun, et all, “Gender and Divorce...”, 132-134.
Tuhan meskipun ia tidak memiliki pekerjaan tetap. Dari segi sosial, dukungan keluarga
sangat besar bagi kehidupan perempuan, sehingga ia merasa sangat terbantu.
3.3 Peran perempuan paska perceraian dari Perspektif Konseling Feminis
Berdasarkan teori yang penulis temukan, ada dua peran perempuan secara umum,
yakni Peran Trandisi (Domestik) dan Peran Transisi. Dalam penelitian, penulis
menemukan enam peran perempuan paska perceraian, dan hal ini terkait dengan empat
level masalah yang sudah dijelaskan di atas.
Bagian ini akan membahas dan menganalisi peran perempuan paska perceraian.
3.3.1 Peran Domestik
Dalam pembahasan permasalahan di atas, dapat dilihat bahwa peran perempuan
paska perceraian di ranah domestik ialah berkaitan dengan masalah ekonomi. Berkaitan
dengan masalah tersebut, maka dapat diklasifikasikan ada tiga peran yang muncul dari
permasalahan domestik ini, yakni :
3.3.1.1 Peran Domestik Murni
Dari permasalahan yang telah dipaparkan, masalah domestik murni ditemui dalam
peran perempuan yang tidak bekerja sama sekali dan hanya melakukan tugas sebagai
seorang ibu rumah tangga untuk mengurus, menjaga dan mendidik anaknya yang cacat.
Dapat dijumpai pada narasumber ketiga yang tidak memiliki pekerjaan tetap dan
berperan hanya sebagai ibu rumah tangga. Paska perceraian, perempuan ini hanya
melakukan aktivitas mengurus anaknya yang cacat, membersihkan rumah, mencuci,
dan memasak. Waktu untuk mengurus anaknya menjadi lebih tinggi, karena tidak lagi
dibantu oleh suaminya. Hal ini sejalan dengan teori Saparinah yang menjelaskan bahwa
peran domestik perempuan ialah peran yang dilakukan hanya sebagai ibu rumah tangga
dan ia harus dapat menjaga, merawat, memberikan ketenangan dan menciptakan
suasana bahagia dalam rumah tangganya.16
Dengan demikian, bagi penulis teori ini
mendukung hasil lapangan. Alasannya ialah karena masalah kesehatan anak, akhirnya
perempuan ini hanya bergelut dalam ranah domestik.
Terhadap realitas di atas, Stein menyebutkan salah satu tujuan konseling feminis
ialah berfokus pada pemberdayaan kesadaran kepercayaan diri untuk meyakini nilai
mereka sendiri.17
Hal ini dimaksudkan agar perempuan dapat memberdayakan dirinya
dan mengenali potensi yang ada. Penulis sejalan dengan teori ini, namun untuk kasus
pada narasumber ketiga, teori tersebut tidak dapat teraplikasikan karena masalah
kesehatan anak. Perempuan ini sebenarnya memiliki keinginan untuk bekerja, memiliki
potensi yang besar dalam memberdayakan kemampuannya. Akan tetapi, hal tersebut
tidak dapat dilakukannya. Keadaan anaknya yang cacat memaksanya untuk
mengurungkan niatnya itu. Perempuan ini tidak mampu melampaui dan keluar dari
hambatan yang dialami anaknya. Pada akhirnya, perempuan tersebut dipaksakan untuk
tidak memberdayakan dirinya karena situasi yang memaksanya untuk tetap berperan
hanya di ranah domestik.
3.3.1.2 Peran Domestik Transisi
Peran domestik transisi adalah gabungan antara peran domestik dan peran transisi.
Peran ini bagi seorang perempuan paska perceraian tidak hanya dilakukan dalam ranah
domestik, namun juga dalam ranah transisi. Perempuan ini tidak memiliki pekerjaan
tetap, namun untuk menghidupi keluarganya paska perceraian, ia harus mencari
pekerjaan dan mengusahakan yang ada di sekitarnya agar dapat menghasilkan uang.
Berjualan roti, menjadi tukang cuci pakaian, menjaga kios orang, menjadi baby
sitter, menjadi anggota LSM perempuan adalah serangkaian peran transisi yang
dilakukan perempuan dalam peran ini.
16
Sadli, Berbeda tetapi Setara: Pemikiran tentang kajian Perempuan, 173. 17
Theinkaw dan Rungreangkulkij, “The Effectiveness of Postmodern Feminist Empowering...”, 38.
Terhadap realitas ini, Worell dan Remer di dalam Black menjelaskan bahwa salah
satu tujuan konseling feminis ialah untuk mengembangkan sejumlah perilaku yang
dipilih secara bebas.18
Perilaku yang dimaksudkan dalam peran domestik transisi ini
ialah perilaku perempuan yang bebas untuk melakukan apa saja yang menjadi
keinginannya dan bertujuan positif.. Hal ini bagi penulis, merupakan suatu kebebasan
perempuan dari pemahaman umum bahwa perempuan hanya berkutat pada ranah
domestik. Perempuan pada akhirnya dapat menentukan sejumlah aktivitas yang dapat
dilakukannya dalam kesehariannya tanpa ada pengekangan dan pembatasan.
Peran domestik transisi terjadi pada dua tempat. Pertama, yang dilakukan di dalam
rumah, dan kedua, yang dilakukan di luar rumah. Berjualan roti dan mencuci pakaian
dilakukan di dalam rumah, sedangkan menjaga kios orang, menjadi baby sitter, dan
menjadi anggota LSM dilakukan di luar rumah.
Dari realitas di atas, dapat disimpulkan bahwa peran domestik transisi perempuan
paska perceraian adalah peran yang dapat diberdayakan dalam diri seorang perempuan
dan menjadi pilihan bebasnya. Perempuan pada akhirnya menjadi sosok yang mampu
mengambil keputusan atas dirinya. Perempuan hidup dalam hak kebebasannya
berperilaku. Tanggung jawab yang disadari ialah memenuhi kebutuhan anak-anak
paska perceraian, dan hal tersebut bukanlah penghalang baginya. Peran ini
memberikan ruang bagi perempuan untuk mengeksplor keterampilannya dalam
mengusahakan segala sesuatu. Selain itu, dapat mengkritisi teori Ellis yang
memaparkan bahwa paska perceraian posisi perempuan menjadi lebih rendah dan hak-
hak mereka cenderung dibatasi.19
18
Black dan Foster, “Sexuality of Women with Young Children...,” 97. 19
Nurlaelawati, “Islamic Law and Society,” 243.
3.3.1.3 Peran Domestik mengabaikan Transisi
Peran domestik mengabaikan transisi sangat berhubungan dengan kasus pada
narasumber ketiga. Paska perceraian, kondisi anaknya yang cacat terpaksa membuat
ibu tersebut harus menjaga anaknya dan tidak mencari pekerjaan. Perempuan ini hanya
melakukan tugasnya sebagai ibu rumah tangga dalam hal mengurus anaknya sehingga
peran transisi diabaikannya.
Penjelasan di atas sejalan dengan teori Gamble yang menyatakan bahwa perempuan
selalu dikaitkan dengan tugas-tugas ibu rumah tangga seperti mengurus anak dan
mengurus suami.20
Dengan demikian teori ini mendukung hasil penelitian, karena telah
terbukti bahwa peran perempuan pada ranah domestik mengabaikan transisi terjadi
karena konteks situasi dan pemahaman terhadap peran perempuan itu sendiri yang
sudah menjadi stereotype. Berbeda dengan Gamble, justru dalam pemahaman konseling
feminis dijelaskan bahwa peran perempuan yang mengabaikan transisi ini terjadi
karena tekanan.21
Di sini konselor feminis memahami bahwa ketimpangan sosial
berdampak negatif bagi seorang perempuan, untuk itu konseling feminis akan
membantu perempuan tersebut agar dapat membuat perubahan dalam hidupnya serta
perubahan sosial yang akan membebaskan masyarakat dari stereotype dan
marginalisasi.
Dari kedua pemahaman yang berbeda di atas, bagi penulis peran domestik
mengabaikan transisi perempuan paska perceraian terjadi selain masalah pribadi
perempuan tersebut tetapi juga karena stereotype yang kerap merendahkan perempuan
dalam artian jika perempuan itu bekerja maka anaknya terlantar dan hal ini merupakan
penelantaran yang tidak dipantas dilakukan oleh seorang ibu.
20 Gamble, Pengantar memahami Feminisme dan Postfeminisme, 295. 21
Theinkaw dan Rungreangkulkij, “The Effectiveness of Postmodern Feminist Empowering...”, 38-40.
3.3.2 Peran Transisi
Bertolak dari permasalahan yang telah dijelaskan, peran transisi kemudian
diklasifikasikan dalam tiga bagian, yakni :
3.3.2.1 Peran Transisi Murni
Dalam peran ini, sosok perempuan dilihat sebagai perempuan karier yang memiliki
pekerjaan tetap. Paska perceraian, perempuan ini tidak mengalami kesulitan secara
ekonomi, karena kebutuhannya dapat tercukupkan oleh pekerjaan yang ditekuninya.
Tidak ada ketergantungan terhadap suami sehingga tidak merasa sulit untuk mengurus
anak-anaknya. Selain itu, perempuan ini dapat berperan di ranah publik secara bebas
dan dapat mengembangkan dirinya.
Peran transisi seperti dalam pembahasan sebelumnya, sangatlah berkaitan dengan
kinerja dan kedudukan seorang perempuan dalam ranah publik. Status
kewibawaannnya kemudian menurun jika ia mengalami masalah dalam rumah
tangganya dan harus bercerai. Hal ini bekaitan dengan pemahaman Samphorn yang
memahami bahwa masalah perempuan dalam ranah publik berkaitan dengan konteks
politik. Artinya ketika terjadi perceraian dalam diri perempuan yang memiliki
pekerjaan, maka dengan sendirinya lingkungan kerjanya akan menilai bahwa
perempuan tersebut tidak mampu bekerja, jika urusan rumah tangganya tidak
terselesaikan dengan baik. Terkait dengan pemahaman tersebut, menurut penulis bias
gender dapat diangkat menjadi sebuah isu untuk menjatuhkan perempuan, dengan
pemahaman bahwa laki-laki lebih baik dalam ranah publik dan perempuan harusnya
hanya dalam ranah domestik.
3.3.2.2 Peran Transisi Domestik
Gabungan kedua peran ini dirasakan cukup sulit untuk dilakukan oleh perempuan
yang memiliki pekerjaan tetap. Walaupun kesulitan, namun perempuan tetap
melakukan tugasnya dalam merawat dan membagi waktu antara pekerjaan dan ibu
rumah tangga.
Terlihat bahwa peran ganda ini membuat seorang perempuan menjadi lebih
berkualitas dalam hal membagi waktu. Di tengah-tengah kepadatan pekerjaan dan
tugas-tugas kantor yang menumpuk, perempuan masih dapat bersama anak-anaknya
dalam melakukan aktivitas di rumah. Memandikan anak, menyuapnya saat makan, tidur
bersama anak, belajar bersama anak, serta bermain bersama merupakan rangkaian
kegiatan yang dilakukan perempuan saat bersama anak-anaknya di rumah.
Peran transisi domestik pada akhirnya bertumpu pada kualitas perempuan dalam
berbagi perannya. Tugas sebagai perempuan karir dan ibu rumah tangga. Malahayati
mendukung pemahaman ini. Melalui penelitiannya, ia menemukan bahwa peran
perempuan dalam ranah transisi domestik berjalan baik, karena perempuan mampu
membawakan kehangatan, menjadi pendengar yang baik serta tekun dalam melakukan
aktivitasnya.22
Hal ini berarti, peran transisi domestik bagi seorang perempuan paska
perceraian adalah menyangkut quality time. Perempuan mampu mengatur waktunya
secara baik, walaupun tanpa bantuan pendampingnya.
Dengan demikian, salah satu tujuan konseling feminis yang diungkapkan Worrel dan
Remer di dalam Foster dapat teraplikasikan dalam peran ini, yakni mempercayai
pengalaman pribadi dan intuisinya. Perempuan percaya bahwa pengalamannya sebagai
22
Malahayati, I’m the Boss, 22-24.
seorang ibu dengan dua tugas di ranah transisi dan domestik, adalah kekuatan baginya
dalam memaksimalkan potensi yang ia miliki.23
3.3.2.3 Peran Transisi mengabaikan Domestik
Peran ini terjadi pada dua sosok perempuan yang berbeda. Perempuan pertama ialah
perempuan yang memiliki pekerjaan tetap dan yang kedua perempuan yang tidak
memiliki pekerjaan tetap.
Untuk perempuan pertama, terjadi pada perempuan yang memiliki pekerjaan tetap.
Perempuan ini mengabaikan peran domestiknya, karena pekerjaan yang dilakukannya.
Mertuanya tidak mempercayakannya untuk mengasuh anak-anaknya. Kehilangan peran
domestik adalah konsekuensi, ketika perempuan ini menghabiskan waktu di ranah
transisi.
Untuk perempuan kedua, dijumpai dalam diri seorang perempuan yang terpaksa
meninggalkan anak-anaknya demi mencari pekerjaan. Perempuan ini tidak memiliki
pekerjaan tetap, sehingga paska perceraian ia mengalami kesulitan untuk menghidupi
anak-anaknya. Tugas sebagai seorang ibu diabaikannya, dan ia memilih berperan dalam
ranah transisi.
Briggs berpendapat bahwa pengabaian peran domestik seorang perempuan paska
perceraian, diakibatkan oleh kurangnya dukungan sosial.24
Dukungan yang
dimaksudkan terjadi dalam keluarga dan lingkungan. Dalam sosok perempuan pertama,
dijelaskan alasan perempuan mengabaikan peran domestik adalah kesibukan karena
pekerjaan. Dalam sosok perempuan kedua, masalah pekerjaan yang tidak diperoleh
dalam lingkungannya, mengakibatkan perempuan harus mengabaikan peran
domestiknya karena berangkat ke luar kota.
23
Black dan Foster, “Sexuality of Women with Young Children...,” 97. 24
Kay, E. C, “Social Support in Single Parents Transition from Welfare to Work: Analysis of Qualitative
Finding,” 344.
Dari kedua permasalahan di atas, bagi penulis, dukungan sosial turut mempengaruhi
peran seorang perempuan paska perceraian dalam melakukan tugas dan tanggung
jawabnya. Artinya, baik keluarga maupun lingkungan haruslah memberikan ruang bagi
perempuan tersebut agar dapat melakukan tugasnya dalam dua ranah ini. Dengan
demikian, tidak akan terjadi pengabaian peran domestik terhadap peran transisi.