peran ulama pesantren dalam melestarikan sekte...
TRANSCRIPT
PERAN ULAMA PESANTREN DALAM MELESTARIKAN
SEKTE SUNNI DI PULAU MADURA
Skripsi
Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh
Gelar Sarjana Agama (S.Ag)
Oleh
Hodari
NIM: 1111032100031
PROGRAM STUDI AGAMA-AGAMA
FAKULTAS USHULUDDIN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
2016
i
ABSTRAK
Fokus skripsi ini adalah membahas peran ulama pesantren dalam
melestarikan sekte Sunni di Pulau Madura. Pengambilan fokus riset tersebut
dilatarbelakangi oleh dua poin masalah. Pertama, keberislaman orang-orang
Madura yang kuat dan fanatisme mereka terhadap sekte Sunni. Hal ini ditandai
dengan empat hal: jumlah pesantren yang banyak; banyak jumlah langgar dan
masjid; maraknya ritual keislaman; dan, diterimanya NU secara masif. Kedua,
dinamika keempat hal yang menandai kuatnya keberislaman dan fanatisme
golongan orang-orang Madura itu sangat tergantung kepada peran ulama
pesantren. Karena mereka di Madura dianggap sebagai “jenderal” dalam bidang
keagamaan. Kedua poin ini merupakan fenomena yang masih berlangsung di
Pulau Madura di tengah gempuran modernisasi dan informasi yang tak terelakkan.
Ini dapat terjadi tak lepas dari peran ulama pesantren.
Tujuan riset ini adalah mengeksplorasi dan menganalisis data sejauh mana
peran mereka dalam melestarikan sekte Sunni di Pulau Madura. Secara
metodologis, riset ini menggunakan pendekatan sosiologis dengan format riset
sudi kasus dan dengan jenis riset kualitatif. Teknik pengumpulan datanya berupa
wawancara, observasi, dan dokumentasi, sementara teknik sampelnya adalah
snowball dan teknik analisis datanya adalah deskriptif-analitis.
Hasil riset ini menunjukkan bahwa peran ulama pesantren dalam
melestarikan sekte Sunni di Pulau Madura terbagi ke dalam tiga sektor: ulama dan
pesantren; ulama dan masyarakat; dan, ulama dan organisasi. Di pesantren,
mereka berperan sebagai guru, di masyarakat sebagai tokoh, dan di organisasi
sebagai pemantau sekaligus aktifis yang bergerak di bidang keagamaan dalam
rangka menjaga dan membentengi sekte Sunni. Selain di tiga sektor tersebut
terdapat pula beberapa ulama yang bergerak melestarikan sekte Sunni melalui
karya tulisan. Salah satu contoh kasus di antara mereka yang sangat produktif
adalah Kyai Taifur Ali Wafa. Dia sudah rampung menelurkan 43 karya berbahasa
Arab.
Kata Kunci: ulama pesantren, Madura, Islam, kyai, Sunni.
ii
KATA PENGANTAR
Ide riset ini berawal dari sebuah diskusi kecil antara penulis dengan salah
satu dosen Studi Agama-Agama, Dadi Darmadi—peneliti di PPIM yang pernah
menempuh pendidikan di Department of Anthropology Harvard University—di
lantai tujuh gedung Fakultas Ushuludin UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2016
lalu. Di ruang 703 itu, kami membincangkan pemilihan topik yang sekiranya
menarik untuk dijadikan fokus penelitian skripsi penulis kali ini. Beberapa hari
kemudian, penulis menyambangi beberapa orang untuk meminta masukan tentang
proposal skripsi yang sedang penulis garap. Di antara mereka adalah; Dr. M.
Amin Nurdin, MA, dosen pembimbing skripsi penulis; Prof. Iik Mansurnoor,
seorang peneliti senior paska-sarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang
pernah melakukan riset tentang Madura; beberapa teman di Forum Mahasiswa
Ciputat (Formaci); dan di Warung Sejarah RI. Berdasarkan hasil diskusi yang
cukup panjang dengan beberapa orang tersebut, penulis menyimpulkan bahwa
judul yang menarik untuk diangkat adalah “Peran Ulama Pesantren Dalam
Melestarikan Sunni di Pulau Madura.”
Riset ini menghabiskan waktu sekitar empat bulan lebih. Dua bulan
digunakan untuk riset lapangan di Pulau Madura dan selebihnya adalah proses
menuliskan laporan tersebut dalam bentuk skripsi. Penulis menyambangi kurang
lebih 15 pesantren untuk melakukan observasi dan mendatangi sembilan
narasumber: delapan di antaranya adalah para ulama pesantren dan yang satu
iii
orang terakhir adalah seorang peneliti senior STAIN Pamekasan, Dr. Zainuddin
Syarif, yang juga pernah melakukan riset tentang pesantren di Madura.
Rampungnya penulisan skripsi ini tak lepas dari bantuan, dukungan,
motivasi, dan bimbingan banyak pihak, terutama jajaran birokrasi kampus yakni
seperti Prof. Masri Mansoer selaku Dekan Fakultas Ushuludin dan segenap
jajarannya; Dr. Media Zainul Bahri, Ketua Jurusan Program Studi Studi Agama-
Agama; Dra. Halimah SM, M.Ag, Sekertaris Jurusan sekaligus Pembimbing
Akademik (PA) penulis; Prof. M. Ridwan Lubis, penguji proposal penulis; dan
Dr. M. Amin Nurdin yang terus setia membimbing penulis dalam menyelesaikan
riset ini.
Proses keberlangsungan penelitian ini juga tak lepas dari peran teman-
teman di Madura. Saat melangsungkan penelitian di Madura bagian Timur,
penulis sangat berhutang budi kepada Fathor Rahman Longos (sepupu), Fathor
Rahman Jadung (teman angkatan pondok), dan teman-teman di Komunitas Fataria
STAIN Pamekasan. Ketika melangsungkan riset di Madura bagian Barat, penulis
sangat terbantu dengan partisipasi teman-teman di IPNU PCNU Sampang dan
Rabdu Abdillah (kakak kandung) untuk jaringan kepada beberapa ulama.
Terakhir yang tak kalah penting, penulis ucapkan terima kasih kepada
keluarga besar penulis. Untuk bapak dan ibu, terima kasih atas doa, dukungan,
dan dana yang telah dikeluarkan selama proses pendidikan berlangsung hingga
riset ini rampung. Untuk istri dan anak penulis, terima kasih atas kesabaran
mereka. Untuk keluarga kakak penulis di Sampang terima kasih atas bantuan
iv
mereka dalam membangun jaringan dengan beberapa kyai untuk dijadikan
narasumber.
Skripsi ini merupakan penelitian awal penulis di bidang sains dan tentu
jauh dari sempurna. Oleh karena itu penulis sangat menghargai segala bentuk
masukan dan kritikan.
Ciputat, 29 April 2017
Penulis
v
DAFTAR TABEL
Tabel I Pesantren dan Santri Tahun 187 — 43
Tabel II Daftar Judul Kitab Kuning Mu’tabaroh Yang Biasa Diajarkan di
Pesantren Madura — 51
Tabel III Daftar Judul Kitab Karya Kyai Toifur Ali Wafa — 70-71
vi
PEDOMAN TRANSLITERASI
Huruf Arab Huruf Latin
ا
b ب
t ت
ts ث
j ج
h ح
kh خ
d د
dz ذ
r ر
z ز
s س
sy ش
s ص
dl ض
t ط
z ظ
‘ ع
gh غ
f ف
q ق
k ك
l ل
m م
n ن
w و
h ه
` ء
y ى
lam alif ال
vii
DAFTAR ISI
ABSTRAK — i
KATA PENGANTAR — ii
DAFTAR TABEL — v
PEDOMAN LITERASI — vi
DAFTAR ISI — vii
BAB I PENDAHULUAN — 1
A. Latar Belakang Riset — 1
B. Batasan Riset — 6
C. Rumusan Pertanyaan Riset — 7
D. Tujuan dan Manfaat Penelitian — 7
E. Tinjauan Pustaka — 7
F. Metode Riset — 10
G. Sistematika Penulisan — 11
BAB II DEFINISI DAN SEJARAH SUNNI — 13
A. Definisi Sunni — 13
B. Sejarah Paham Ahl al-Sunnah wa al-Jama’ah — 14
BAB III PROFIL ULAMA PESANTREN DI PULAU MADURA — 26
A. Ulama Sebagai Kyaéh — 26
B. Sejarah Ulama di Pulau Madura — 28
1. Periode I: Ulama di Masa Islamisasi Awal — 28
2. Periode II: Ulama di Masa Islamisasi Istana — 29
3. Periode III: Ulama di Masa Skripturalisasi Islam — 34
BAB IV PERAN ULAMA PESANTREN DALAM MELESTARIKAN
SEKTE SUNNI DI PULAU MADURA — 48
A. Peran Ulama di Tiga Sektor — 48
1. Ulama dan Pesantren — 48
2. Ulama dan Masyarakat — 59
3. Ulama dan Organisasi — 64
viii
B. Ulama Yang Melestarikan Sekte Sunni di Pulau Madura Melalui
Karya Tulis: Perjalanan Intelektual Kyai Toifur Ali Wafa — 69
BAB V PENUTUP — 78
A. Kesimpulan — 78
B. Saran — 79
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Riset
Riset ini akan meneliti peran ulama pesantren dalam melestarikan sekte
Sunni di Madura. Penelitian ini berangkat dari dua persoalan. Pertama, sekte
Sunni di pulau Madura merupakan paham keagamaan yang dianut oleh
mayoritas masyarakat Madura secara fanatik (Iik Mansurnoor,).1 Besarnya
perkembangan dan kemapanan sekte tersebut yang dianut secara fanatik oleh
orang-orang Madura di pulau itu ditandai dengan empat hal: jumlah pesantren
yang banyak; banyaknya langgar dan masjid; maraknya ritual keagamaan; dan,
diterimanya organisasi keagaaan yang bernama Nahdlatul Ulama (NU) secara
masif. Kedua, pesatnya perkembangan sekte tersebut di pulau itu dan sikap
fanatisme keagamaan penduduk di dalamnya tak lepas dari karisma, otoritas
dan supremasi para ulama pesantren di bidang keagamaan.2 Hal tersebut dapat
ditandai dengan adanya pola relasi masyarakat dengan ulama pesantren yang
bersifat sentralistik.
Bersadarkan laporan Direktorat Jenderal Pendidikan Islam Kementerian
Agama Republik Indonesia untuk tahun 2008 hingga 2015 terdapat data
statistik tentang jumlah pesantren di Madura. Pada tahun 2008/2009, di
Bangkalan terdapat 171 pesantren dengan jumlah total santri 35.702 laki-laki
1 Iik Mansurnoor, Islam in An Indonesian World: Ulama of Madura (Yogyakarta: Gadjah
Mada University Press, 1990), h. 274-300. 2 Yanwar Pribadi, Pribadi, Yanwar, “Islam and Politics in Madura: Ulama and Other
Local Leaders in Search of Influence 1990-2010,” (Desertasi S3 Universitas Leiden, 2013), h. 15-
70.
2
dan 27.305 perempuan. Di Sampang ada 275 pesantren dengan santri laki-
lakinya berjumlah 32.830 dan perempuannya 22.407 orang. Di Pamekasan
terdapat 231 Pesantren dengan total jumlah santri laki-lakinya 19.719 dan
perempuannya 16.622. Terakhir, di Sumenep jumlah pesantren yang terdata
mencapai 238 dengan total jumlah santri 25.450 laki-laki dan 26.034
perempuan.3 Bilamana semua pesantren di empat kabupaten yang berada di
Pulau Madura tersebut dijumlahkan, angka yang akan tercapai adalah 915
pesantren: sebuah angka yang menakjubkan. Nangro Aceh Darussalam (NAD)
saja dengan 22 kabupaten, jumlah pesantren yang ada di provinsi tersebut baru
mencapai angka 1077.4 Bila dibandingkan dengan NAD, Madura yang tak
dihitung sebagai provinsi dengan sebatas empat kabupaten di dalamnya hanya
kekurangan 162 angka.
Di samping banyaknya jumlah pesantren, Pulau Madura juga terkenal
dengan banyaknya jumlah langgar dan masjid.5 Di Madura, langgar sendiri
terbagi menjadi dua, langgar roma dan langgar ngaji. Langgar roma
merupakan sebuah bangunan yang sengaja diletakkan di dekat rumah. Biasanya
dalam satu pemukiman keluarga besar—baik itu bentuknya adalah tanean
lanjang maupun kampoeng meji—terdapat satu langgar roma. Fungsi
bangunan langgar roma adalah sebagai tempat pertemuan ketika ada
3 Bagian Perencanaan dan Data Setdijen Pendidikan Islam Departemen Agama R.I,
“Daftar Jumlah Santri dan Nama Kyai Tahun 2008/2009,” dokumen diakses dari
http://pendis.kemenag.go.id/index.php?a=artikel&id2=statponpes2009, h. 831-849. 4 Bagian Perencanaan dan Data Setdijen Pendidikan Islam Departemen Agama R.I, h.
464-485. 5 Mansurnoor, Islam in An Indonesian World: Ulama of Madura, h. 212-216 dan Latief
Wiyata, Carok: Konflik Kekerasan dan Harga Diri Orang Madura (Yogyakarta: LkiS, 2002), h.
38-45.
3
kunjungan pihak kerabat, tempat salat keluarga, dan acara ritual keislaman
tertentu yang dipelopori oleh keluarga besar. Adapun langgar ngaji merupakan
bangunan khusus yang disediakan sebagai tempat berlangsungnya proses
pengajian bagi anak-anak yang ingin belajar membaca Al-Qur’an. Langgar
semacam ini terdapat pada tiap dusun: satu dusun biasanya satu langgar
bahkan kadang-kadang lebih. Begitu pun dengan masjid, hampir di setiap
dusun di Madura memiliki satu masjid. Langgar dan masjid selain sebagai
tempat menunaikan salat lima waktu pun kerap dijadikan sebagai sarana ritual-
ritual tertentu yang dilakukan secara serentak oleh masyarakat atau keluarga
besar. Ritualitas keislaman yang kerap dipraktikkan tersebut berupa selametan6
dengan pembacaan yásin,7 tahlil,
8 dan doa. Pelaksanaan ritual tersebut hampir
terjadi setiap hari—paling lamanya seminggu sekali—tergantung keperluan
tuan rumah yang sedang membutuhkan ritualitas tersebut. Biasanya itu
dilakukan pada setiap ada kematian, syukuran, dan atau kompolan.9
Poin terakhir yang menandai kemapanan sekte Sunni di Madura adalah
diterimanya NU secara masif. NU pertama kali masuk ke Madura diperkirakan
pada tahun 1926, tahun awal pendirian. Karena salah satu penentu berdirinya
6 Tradisi Slametan di Madura berbeda dengan Slametan yang ditulis Geertz tentang
tradisi Jawa dalam bukunya, Religion of Java (1960). Menurut Geertz, tradisi Slametan di Jawa
erat kaitannya dengan varian Abangan. Adapun di Madura tidak demikian. Di sana, Slametan juga
berlaku bagi kalangan para santri, yakni Muslim. Hal ini dapat dipahami karena Islam sejak awal
di Madura tidak “menciptakan dualitas pemahaman dan penerimaan Islam ke dalam tradisi
Madura” sebagaimana di Jawa (Mansurnoor, 1990: 8). 7 Ritual pembacaan yásín merupakan pembacaan surah dalam Al-Qur’an yang ke-36.
8 Ritual pembacaan tahlil merupakan pembacaan kalimat tauhid yakni “lá iláha illa
Allah.” 9 Sebuah tradisi berkumpul di Madura. Dalam perkumpulan tersebut, para anggota
masyarakat yang tergabung melakukan aktifitas ritual keagamaan seperti pembacaan tahlil atau
kadang-kadang solawatan. Untuk lebih jelasnya tentang tradisi kompolan silakan baca tulisan
Rokat Bhuju’ Vis-a-Vis Kompolan: Metamorfosis Elit Madura Pasca Keruntuhan Orde Baru
(2007: 133-148) karya Fathol Khalik yang diterbitkan jurnal Karsa pada bulan Oktober 2007, Vol.
XII. No. 2.
4
organisasi yang berbasis pesantren tersebut adalah Kyai Kholil Bangkalan.10
Dia merupakan ulama Madura sekaligus guru Kyai Hasyim Asy’ari, pendiri
NU. Faktor yang menyebabkan pesatnya perkembangan NU di Madura selain
karena faktor elit—sosok kyai Kholil—juga faktor kesesuaian ideologi.
Berdasarkan dokumen hasil Muktamar yang pertama di Surabaya, 21 Oktober
192611
, dan Anggaran Dasar NU (Qanún Asási li Jam’iyyah Nahdlati al-
‘Ulamá’) pasal kedua yang merupakan hasil keputusan Muktamar yang ketiga,
28 September 1928 di Surabaya12
, penulis mendapati data bahwa salah satu
tujuan penting berdirinya NU adalah melestarikan dan membentengi paham ahl
al-ssunnah wa al-jama’ah, yakni merawat sekte Sunni. Tujuan NU untuk
melestarikan sekte Sunni mendapat sambutan baik dari para kyai di Madura.
Karena jauh sebelum NU terbentuk, para ulama di Madura sudah menerapkan
paham sekte Sunni.
Hal tersebut terjadi diakibatkan karena peran dakwah ulama pesantren
yang merupakan alumni Mekkah: menyebarkan kitab kuning. Dalam
pembahasan ini, tesis Azra tentang adanya jaringan antara ulama Nusantara
dengan ulama Mekkah dalam proses transmisi keilmuan sangat membantu
penulis.13
Pada abad ke-19 akhir dan awal abad ke-20 terdapat tiga ulama
pesantren yang sama-sama merupakan alumni Mekkah: Kyai Abdul Hamid di
10
M. Solahudin, Nahkoda Nahdliyyin (Kediri: Nous Pustaka Utama, 2013), h. 23. 11
Aziz Masyhuri, Masalah Keagamaan Hasil Muktamar dan Munas Ulama Nadlatul
Ulama Kesatu 1926 Sampai Dengan Kedua Puluh Sembilan 1994 (Surabaya: Dinamika Press
Group, 1977), h. 2. 12
Tim Aswaja NU Center PWNU Jawa Timur, Risalah Ahlussunnah Wal-Jama’ah: Dari
Pembiasaan Menuju Pemahaman dan Pembelaan Akidah-Amaliyah NU (Surabaya: Khalista,
2015), h. 161. 13
Asyumardi Azra, The Origin of Islamic Reformism in Southest Asia: Network of
Malay-Indonesian and Middle Eastern ‘Ulamá’ in The Seventeenth And Eighteenth Centuries
(Crows Nest: Allen & Unwin,2004. Reprint, Honolulu: University of Hawai’i Press, 2004), h. 8.
5
Pamekasan, Kyai Syarqowi di Sumenep, dan Kyai Muhammad Kholil di
Bangkalan. Ketiga kyai tersebut merupakan tiga tokoh agama yang sangat
populer di Madura. Kyai Abdul Hamid adalah pengasuh pesantren terbesar di
Pamekasan, Darul Ulum Banyuanyar periode 1868-1933.14
Kyai Syarqowi
merupakan pendiri pesantren Annuqayah di Sumenep, 1860-an.15
Adapun Kyai
Muhammad Kholil adalah pendiri dua pesantren besar di Bangkalan—
pesantren Kademangan dan Jangkebuan—sekaligus sebagai ulama yang
berjasa dalam pembentukan organisasi NU, 1926 sebagaimana penulis
singgung di awal.16
Demikian empat hal yang menandai kemapanan sekte Sunni di Madura.
Perkembangan keempat hal tersebut sangat terikat kepada peran ulama
pesantren.17
Sebab dalam bidang keagamaan, pola relasi masyarakat Madura
dengan ulama pesantren sangat sentralistik. Orang Madura menjadikan ulama
pesantren sebagai tokoh sentral keagamaan dan menempatkannya sebagai kyai
yang berada di level tertinggi, kalau meminjam istilahnya Iik Mansurnoor,
sebagai “focus.”18
Ulama pesantren selalu menjadi panutan kyai-kyai lain dan
bahkan sejumlah besar elemen masyarakat luas. Masyarakat Madura
sepenuhnya patuh kepada apa yang pernah disampaikan oleh ulama pesantren
sembari menempatkan ulama pesantren sebagai orang-orang yang terpilih dan
14
Zainuddin Syarif, Dinamisasi Manajemen Pesantren dari Tradisional hingga Modern
(Yogyakarta: Sunan Kalijaga, 2007), h. 28-30. 15
Huub de Jonge, Madura dalam Empat Zaman: Pedagang, Perkembangan Ekonomi,
dan Islam (Jakarta: Gramedia, 1989), h. 239-245. 16
Fuad Amin Imron, Syaikhona Kholil Bangkalan: Penentu Berdirinya Nahdlatul Ulama
(Surabaya: Khalista, 2016). 17
Pribadi, “Islam and Politics in Madura: Ulama and Other Local Leaders in Search of
Influence 1990-2010,” h. 15-53. 18
Mansurnoor, Islam in An Indonesian World: Ulama of Madura, h. 323.
6
menganggapnya lebih mulia dari diri mereka. Dengan kata lain, para kyai
pesantren adalah “jenderal” dalam urusan paham keagamaan, yang dapat
menentukan ke arah mana nasib paham tersebut menuju: berkembang atau
mundur; radikal atau moderat.
Gambaran pembahasan di atas menyimpulkan bahwa obyek riset ini
merupakan kasus yang unik. Di tengah gempuran banyaknya ragam paham-
paham keagamaan yang kerap memanfaatkan kemajuan teknologi informatika
melalui media-media seperti TV, radio, koran, dan social-media, sekte Sunni di
pulau Madura tetap bertahan dan terlestarikan. Hal tersebut terbukti dengan
banyaknya pesantren, rumah ibadah, ritual kegamaan, dan kemapanan NU di
Madura. Keempat hal yang menandai kemapanan sekte Sunni di pulau Madura
dalam proses perkembangannya sangat terikat dan tergantung kepada peran
ulama pesantren. Dari itu, penulis tertarik untuk mengetahui peran ulama
pesantren—yang memiliki kedudukan level tertinggi sebaga kyai—dalam
melestarikan sekte Sunni di pulau tersebut.
B. Batasan Riset
Fokus riset ini adalah meneliti peran ulama pesantren di pulau Madura
dalam melestarikan sekte Sunni. Untuk membatasi penelitian ini penulis
merinci peran mereka menjadi tiga: yakni, metode, bagaimana dan apa saja
yang mereka lakukan; tempat, di mana saja mereka lakukan; dan waktu, kapan
saja mereka lakukan. Batasan wilayahnya adalah Pulau Madura. Penulis akan
meneliti ulama pesantren di empat kabupaten, yakni Bangkalan, Sampang,
Pamekasan, dan Sumenep.
7
C. Rumusan Pertanyaan Riset
Dari penjelasan di atas, penulis akhirnya dapat merumuskan permasalan
riset kali ini dalam bentuk pertanyaan singkat dan jelas sebagai berikut:
bagaimana Peran Ulama Pesantren dalam Melestarikan Paham Ahl al-Sunnah
Wa al-Jama’ah (Sunni) di Pulau Madura?
D. Tujuan dan Manfaat Riset
Tujuan riset kali ini adalah mengeksplorasi, mengolah, dan menganalisis
data sejauh mana peran ulama pesantren di Madura dalam melestarikan sekte
Sunni. Penulis akan mengeksplorasi data tentang metode, tempat, dan waktu
yang mereka gunakan dalam melestarikan Sunni di pulau Madura.
Adapun manfaatnya melahirkan dua kegunaan: kegunaan akademis dan
praktis. Kegunaan akademis, penulis dapat menyajikan data tentang peran
ulama pesantren di Madura dalam melestarikan sekte Sunni, mulai dari metode,
tempat, dan waktu yang mereka gunakan—yang mana penyajian data tersebut
untuk mengukuhkan penemuan-penemuan sebelumnya yang sudah pernah
dilakukan oleh para peneliti. Adapun kegunaan praktisnya, penulis dapat
menyelesaikan tugas akhir skripsi. Selain itu, karya ini juga dapat menjadi
bahan bacaan yang komprehensif mengenai hubungan ulama pesantren di
Madura dengan institusi pendidikan dan masyarakat dalam menjaga
keagamaan.
E. Tinjauan Pustaka
Mengenai buku-buku yang pernah membahas ulama Madura, penulis
temukan cukup banyak. Sebuah buku dan artikel ini, Islam in Indonesian
8
World: Ulama of Madura (1990) dan Linking The Scripture to Villages in
Madura (2011) merupakan karya Iik Mansurnoor. Pada karyanya yang
pertama, Iik—sapaan akrabnya—membahas ulama di Madura dari sudut
pandang antropologi. Dalam penelitiannya itu dia menemukan bahwa ulama
Madura—sama dengan sejumlah ulama Nusantara di luar Madura—termasuk
sebagai ulama non-birokratis. Pangkat keulamaan yang mereka sandang bukan
merupakan pemberian resmi oleh suatu lembaga agama. Orang disebut ulama
di Madura lantaran pertama, memiliki ikatan keluarga dengan ulama
sebelumnya, kedua, memiliki pengetahuan Islam yang luas dan ketiga,
karismatik. Di Madura ulama biasanya dipanggil dengan sebutan Kyaéh
(Kyai). Di samping menjabarkan tentang karateristik ulama Madura, Iik juga
berhasil memaparkan peran mereka dalam mewujudkan pendidikan Islam dan
keterlibatannya dalam politik. Pada tulisan keduanya, dia mengeksplorasi data
temuan lapangan dan membuat kesimpulan yang cukup kontroversial. Menurut
Iik, kyai di Madura setelah kemerdekaan merupakan pengganti posisi raja
(rato) di tengah-tengah masyarakat. Iik berhasil melakukan komparasi antara
karateristik dan peran-peran raja dengan kyai.
Selain Iik, ada pula seorang peneliti Belanda, Huub de Jonge. Dia menulis
dua buku tentang Madura. Pertama merupakan karya dia sendiri, Madura
dalam Empat Zaman: Pedagang, Perkembangan Ekonomi, dan Islam (1989).
Dalam buku tersebut dia memaparkan sejarah masuknya Islam di Madura dan
keterlibatan ulama dalam mewujudkan pedidikan Islam di sana. Penelitian dia
fokus pada satu daerah yang bernama Parindu, kemudian menyinggung sedikit
9
tentang perjalanan seorang ulama asal Kota Kudus yang mendirikan pesantren
terbesar di Sumenep, Annuqayah. Di dalam buku tersebut dia menyebut-nyebut
dua nama kyai, Syarqowi dan Gema. Menurut Jonge, dua ulama itu sangat
berpengaruh dalam dinamika perkembangan pendidikan Islam di Sumenep
pada abad ke-19 akhir. Pada buku kedua yang merupakan kumpulan beberapa
penulis, Agama, Kebudayaan, dan Ekonomi, Jonge menghadirkan wacana
tentang kesinambungan antara pertumbuhan ideologi agama, politik dan
ekonomi di Madura. Dia berhasil mengadirkan beberapa tulisan. Diantaranya
adalah sebuah karya dia sendiri yang merupakan cuplikan dari buku dia di
awal, Perkembangan Ekonomi dan Islamisasi di Madura; karya Kuntowijoyo,
Agama Islam dan Politik: Gerakan-gerakan Sarekat Islam Lokal di Madura,
1913-1920; dan, karya Ahmad Khusyairi, Orientasi Politik, dan
Kepemimpinan Lokal di Antara Orang-orang Madura di Lumajang.
Selebihnya masih ada beberapa karya namun tak terkait dengan tema penulisan
kali ini.
Kuntowijoyo dengan sebuah bukunya yang sangat populer, Perubahan
Sosial dalam Masyarakat Agraris: Madura 1850-1940 juga pernah
menyinggung tentang ulama di Madura. Dalam buku tersebut, Kuntowijoyo
memaparkan peran ulama di masyarakat terumata keterlibatan mereka dalam
dunia politik dan pendidikan. Zainuddin Syarif pun menelurkan dua buku:
Dinamikan Manajemen Pesantren dari Tradisional hingga Modern (2007) dan
Dinamika Politik Kiai dan Santri dalam Pilkada Pamekasa (2010). Buku
pertama membahas perjalanan pesantren Banyuanyar dalam membentuk sistem
10
pendidikan, mulai dari tradisional hingga modern. Di dalamnya juga sempat
diulas tentang biografi para pengasuh dari masa ke masa. Adapun buku kedua
lebih fokus pada keterlibatan kyai dalam dunia politik dan pendidikan.
Bagaimana sosok kyai yang merupakan guru dapat menjadi “jenderal” politik
pada Pemilihan Umum (Pemilu) di Pamekasan, itu lah fokus kajian buku
tersebut. Satu lagi buku karya Muhammad Kosim, Pondok Pesantren di
Pamekasan (2002). Dalam buku itu, Kosim memaparkan sejumlah pesantren di
Pamekasan dan beberapa ulama penting di dalamnya.
Yanwar Pribadi, Islam and Politics in Madura: Ulama and Other Local
Leaders in Search of Influence 1990-2010 (2013)—dengan data historis-
antropologis—memaparkan hubungan Islam dan politik di Madura. Fokus
penelitian dia adalah keterlibatan ulama yang disebut kyai dan pemimpin lokal,
blater dan kalebun, dalam dunia politik.19
Muthmainnah lewat karyanya,
Jembatan Suramadu: Respon Ulama Terhadap Industrialisasi (1998) menyoal
respon para ulama tentang pembangunan Jembatan Suramadu dan
Industrialisasi di Madura.
Jika penulis tarik kesimpulan dari sekian buku di atas, wacana
pembahasan yang diangkat seputar tigal hal: ekonomi, politik, dan pendidikan.
Hal ini menunjukkan bahwa belum ada riset ilmiah yang melakukan penelitian
tentang peran ulama pesantren dalam melestarikan paham Sunni di Pulau
Madura.
F. Metode Riset
19
Pribadi, “Islam and Politics in Madura: Ulama and Other Local Leaders in Search of
Influence 1990-2010,”h. All.
11
Riset ini merupakan penelitian sosiologis. Dengan pendekatan sosiologi
agama, peneliti akan mengamati gejala-gejala sosial keberagamaan
masyarakat. Fokus penelitiannya adalah peran ulama pesantren dalam
melestarikan sekte Sunni di Pulau Madura. Penelitian ini membutuhkan
pendalaman kasus. Dari itu, peneliti menggunakan format riset studi kasus
dengan jenis riset kualitatif.
Adapun teknik pengumpulan data yang digunakan adalah wawancara,
observasi, dan dokumentasi. Peneliti akan membuat kerangka pertanyaan
dalam wawancara, atau sering disebut sebagai pedoman wawancara atau
angket, yang cukup longgar, bahkan bersifat induktif. Demi kedalaman
informasi, peneliti butuh terjun langsung mengamati subyek riset (observasi).
Terakhir, peneliti akan mengumpulkan data dokumentatif berupa apa saja yang
masih terkait: bisa berbentuk buku, koran, pamflet, gambar, video, dll.
Teknik sampel yang digunakan adalah snowball. Dalam upaya
pengumpulan data dan mencari nara sumber, peneliti akan mempertimbangkan
arahan nara sumber sebelumnya atau warga sekitar (baca: informan) tentang
siapa yang lebih tepat untuk dijadikan nara sumber selanjutnya. Peneliti akan
menggali data dan memperbanyak nara sumber sesuai kebutuhan dan
berdasarkan saran dari pihak-pihak terdekat. Adapun teknik analisis datanya
nanti adalah deskriptif-analitis.
Waktu riset berlangsung sekitar kurang lebih dua bulan dan tempatnya
adalah pulau Madura, dari barat, ada Kabupaten Bangkalan, Sampang,
12
Pamekasan, dan Sumenep. Ulama dari keempat kabupaten tersebut lah yang
akan dijadikan narasumber dalam riset ini.
G. Sistematika Penulisan
Penulisan buku ini terbagi ke dalam lima bab. Bab I adalah Pendahuluan.
Pada bab ini penulis akan menjelaskan latar belakang masalah; batasan
masalah; rumusan riset; tujuan dan manfaat riset; buku-buku yang terbit lebih
awal dan dapat dijadikan rujukan; dan metode riset yang akan digunakan.
Bab II adalah kajian konseptual. Penulis akan menjelaskan dua hal:
definisi Sunni dan sejarahnya. Bab III adalah pemaparan profil ulama
pesantren di Pulau Madura. Pada bab ini, penulis akan menjabarkan macam-
macam ulama di Madura dan sejarah ulama hingga pembentukan pesantren di
Pulau Madura. Bab IV adalah analisis. Pada bab ini penulis akan menjelaskan
temuan-temuan lapangan: pertama, tentang peran ulama pesantren dalam
melestarikan Sunni di Madura dan kedua, perbedaan metode dakwah di antara
para ulama pesantren dalam melestarikan Sunni di Madura. Bab V adalah
Penutup. Pada bab ini penulis akan menjabarkan dua hal: kesimpulan dan
saran.
13
BAB II
DEFINISI DAN SEJARAH SUNNI
A. Definisi Sunni
Istilah Sunni merupakan nomenklatur yang merujuk pada salah satu sekte
dalam Islam yang kerap dikenal sebagai ahl al-sunnah wa al-jama’ah (Adams,
1971: 602).1 Adapun istilah tersebut merupakan frasa (idlafah) yang terdiri dari
tiga kumpulan kata (kalimah) berbahasa Arab: ahlun, sunnah, dan jama’ah.
Kata ahlun dapat berarti “keluarga,” “golongan,” dan atau “pengikut;” sunnah
adalah “jalan,” “cara,” “metode,” “tabiat,” “watak,” dan atau “peraturan;” dan
terakhir, kata jama’ah bisa bermakna “kumpulan orang-orang,” “mayoritas,”
dan atau “sekumpulan orang yang bersepakat dalam suatu persoalan.”2
Penggunaan terma ini pun dapat kita jumpai pada sejumlah hadits (baca:
hadits)3 Nabi Muhammad. Dua di antaranya adalah perkataan seperti, “ikutilah
sunnah-ku dan sunnah para Khulafa al-Rasyidin setelahku”4 dan “siapa yang
hendak dapat hidup damai di surga ikutilah jama’ah.”5 Seorang intelektual
Muslim, Abdullah Harari menegaskan definisi ahl al-sunnah wa al-jama’ah
secara terminologis. Menurut dia, “ahl al-sunnah adalah mayoritas umat
1 W. Richard Comstock, ed. Religion and Man: An Introduction (New York: Harper and Row,
1971), h. 602-608. 2 Ahmad Warson Munawwir, Al-Munawwir: Kamus Arab-Indonesia (Surabaya: Pustaka
Progressif, 1997). 3Dokumen hadits adalah kumpulan dokumentasi yang berisi laporan-laporan tentang Nabi
Muhammad. Laporan tersebut meliputi tindakannya (sunnah fi’liyyah), perkataannya (sunnah
qauliyyah), dan legitimasi yang dia buat (sunnah taqririyyah). 4 ‘Alikum bi sunnatí wa sunnati Khulafái Rásyidína min ba’dí (Hasyim Asy‟ari, Risalah; dan,
Tim Aswaja NU Center PWNU Jawa Timur, 2015: 2). 5 Man aráda buhbúhata al-jannati falyalzami al-jamá’ata (HR. Tirmidzi: 2091; Al-Hakim I:
77-78) dan Tim Aswaja NU Center PWNU Jawa Timur, 2015: 4.
14
Muhammad. Mereka adalah para sahabat dan para pengikut mereka dalam
urusan prinsip-prinsip teologi. Adapun al-jama’ah adalah mayoritas terbesar
kaum Muslim.”6
B. Sejarah Paham Ahl al-Ssunnah wa al-Jama’ah
Terma ini nampak kerap dipakai—sebagai nomenklatur bahkan legitimasi
terhadap sekte tertentu dalam Islam—baru pada sekitar abad ke-10 Masehi,
yakni setelah kemunculan aliran-aliran Asy‟ariyah dan Maturidiyah.7 Pada era
itu, di Semenanjung Arab sedang terjadi perdebatan teologis yang cukup
menegangkan di kalangan intelektual Muslim. Di sana, terdapat tiga sekte
besar yang memiliki pandangan teologi berbeda satu sama lain dan saling
bertentangan: Syiah, Mu‟tazilah, dan suatu kelompok baru yang menamai
dirinya sebagai ahl al-sunnah wa al-jama’ah. Kemunculan kelompok terakhir
merupakan reaksi terhadap keberadaan sekte Mu‟tazilah.8 Fenomena ini
berawal dari gagasan besar seorang cendekiawan bernama Abdu al-Hasan Ali
bin Isma‟il al-Asy‟ari (873-935 M) yang memproklamirkan pemikiran baru.
Lelaki asal Basra itu menghabiskan masa mudanya selama sekitar 30
tahun-an sebagai seorang cendekia ternama beraliran Mu‟tazilah. Di kalangan
intelektual dia dikenal sebagai pemuda yang cerdas bahkan gurunya, Jubba‟i
acap kali menyuruh dia untuk melayani penantang debat. Hal itu merupakan
penghormatan baginya. Sebab dalam sekte bergengsi seperti Mu‟tazilah yang
6 Liyu’lam anna ahla as-sunnati hum jumhur al-ummati Muhammadiyyah wa hum al-shahabah
wa man tabi’ahum fi al-mu’taqadi ay fí ushúli al-i’tiqádi...wa al-jamá’ah hum as-sawádu al-
a’dhám (al-Harari, 1997: 14-15 dan Tim Aswaja, 2015: 4-5). 7 Harun Nasution, Teologi Islam: Aliran-Aliran Sejarah Analisa Perbandingan (Jakarta: UI
Press, 2010), h. 65. 8 Nasution, Teologi Islam: Aliran-Aliran Sejarah Analisa Perbandingan, h. 62.
15
dikenal sangat rasional, tak sembarang orang mendapatkan kepercayaan
semacam itu. Namun pada usianya yang ke-40, sekitar tahun 912 dia
menyatakan diri keluar dari sekte itu. Banyak pengamat sejarah teologi
kebingunan untuk menentukana faktor penyebab Asy‟ari keluar dari sekte
Mu‟tazilah.
Terkait hal tersebut, kemungkinan ada empat faktor penyebab yang
penulis temukan. Pertama, Asy‟ari keluar dari sekte Mu‟tazilah karena faktor
politik. Di era itu Mu‟tazilah sedang berada dalam fase kemunduran. Fase
tersebut ditandai dengan keputusan Mutawakkil untuk tak lagi menjadikan
sekte Mu‟tazilah sebagai madzhab resmi negara. Sebelumnya di bawah
pimpinan Ma‟mun, Mu‟tazilah mendapatkan kedudukan yang sangat strategis.
Dia pernah menjadikan sekte tersebut sebagai madzhab resmi negara. Namun
di era Mutawakkil sebaliknya, dia justru berpihak kepada para ulama yang
berada dalam barisan ahl al-sunnah, seperti Hanbali—orang yang dikenal
sangat bertentangan dengan Mu‟tazilah—dan para pengikutnya. Melihat
fenomena kemunduran sekte Mu‟tazilah yang kian hari pengaruhnya semakin
lemah, Asy‟ari kemudian menyatakan diri keluar dari sekte tersebut.9
Mengenai sebab berikutnya, yang kedua, Montgomery Watt pernah
menuturkan bahwa Asy‟ari meninggalkan Mu‟tazilah lantaran faktor
kecemburuan sosial. Semasa dekat dengan Jubba‟i, Asy‟ari sering kali
menggantikan posisinya untuk melawan penantang debat. Jubba‟i mengakui
kecerdasan Asy‟ari dan kemungkinan besar bisa menjadi penggantinya. Tapi di
9 Nasution, Teologi Islam: Aliran-Aliran Sejarah Analisa Perbandingan, h. 68-69.
16
lain sisi, Jubba‟i memiliki seorang putra yang juga dikenal sangat cerdas.
Namanya adalah Abu Hasyim. Lantaran kehadiran Abu Hasyim yang cerdas
dan merupakan putra Jubba‟i sendiri, kesempatan Asy‟ari untuk mendapatkan
kursi sebagai pengganti gurunya semakin sempit. Terbukti nantinya yang
menggantikan Jubba‟i bukan Asy‟ari tapi putranya sendiri, Hasyim.
Kemungkinan lantaran faktor itu lah, Asy‟ari rela meninggalkan sekte yang
sudah berpuluh-puluh tahun dia bina itu.10
Namun menurut Watt, selain itu masih ada kemungkinan faktor lain yaitu
wacana yang dikembangkan oleh kaum Mu‟tazilah terlampau elitis dan tak
menyentuh kalangan masyarakat awam. Mereka mengembangkan pemikiran-
pemikiran yang susah diterima masyarakat luas dan bahkan kadang-kadang
bertentangan dengan kelompok Sunni. Lalu faktor keempat yang dia tuturkan
pula adalah adanya sejumlah laporan tentang peristiwa mimpi. Asy‟ari sebelum
keluar dari sekte lamanya pernah bermimpi Nabi Muhammad selama tiga kali
pada bulan Ramadlan. Pada mimpi pertama, Nabi hadir dengan memerintahkan
Asy‟ari untuk tak terlalu jauh meninggalkan sunnah. Kisah lain menyebutkan
bahwa sebelum bermimpi Nabi, Asy‟ari mempelajari tafsír al-qur’an dan
sunnah terlebih dulu. Pada mimpi keduanya Nabi hadir untuk mempertegas
mimpi pertama. Pada mimpi yang ketiga kedatangan Nabi membuat Ay‟ari
gembira. Karena Nabi tak melarang dia menggunakan akal-rasio, melainkan
menggambungkannya dengan referensi sunnah.11
10
W. Montgomery Watt, Pemikiran Teologi dan Filsafat Islam. Penerjemah Umar Basalim
(Jakarta: P3M, 1987), h. 99. 11
Watt, Pemikiran Teologi dan Filsafat Islam, h. 101.
17
Di tengah dilema antara memilih untuk bergabung dengan kelompok ahl
al-sunnah atau Mu‟tazilah, Asy‟ari pada suatu kesempatan pernah berdebat
dengan gurunya, Jubba‟i (faktor penyebab yang kelima). Rekaman perdebatan
tersebut dapat kita lihat di bawah ini.
“Asy‟ari: Bagaimana kedudukan ketiga orang berikut: Mukmin, kafir dan
anak kecil di akhirat?
Jubba‟i: Yang mukmin mendapatkan kedudukan baik di surga, yang kafir
masuk neraka, dan yang kecil terlepas dari bahaya neraka.
Asy‟ari: Kalau yang kecil ingin memperoleh tempat yang lebih tinggi di
surga, mungkin kah itu?
Jubba‟i: Tidak, yang mungkin mendapatkan tempat yang baik itu karena
kepatuhannya kepada Tuhan. Yang kecil belum mempunyai kepatuhan yang
serupa itu.
Asy‟ari: Kalau anak itu mengatakan kepada Tuhan: Itu bukan lah salahku.
Jika sekiranya Engkau bolehkan aku terus hidup aku akan mengerjakan perbuatan-
perbuatan baik seperti yang dilakukan orang mukmin itu.
Jubba‟i: Allah akan menjawab: “Aku tahu bahwa jika engkau terus hidup
engkau akan berbuat dosa dan oleh karena itu akan kena hukum. Maka untuk
kepentinganmu Aku cabut nyawamu sebelum engkau sampai kepada umur
tanggung jawab.”
Asy‟ari: Sekiranya yang kafir mengakatan: “Engkau ketahui masa depanku
sebagaimana Engkau ketahui masa depannya. Apa sebabnya Engkau tidak jaga
kepentinganku?”
Di sini Jubba‟i terpaksa diam.”12
12
Nasution, Teologi Islam: Aliran-Aliran Sejarah Analisa Perbandingan, h. 67.
18
Terlepas faktual atau pun tidak, dialog di atas menunjukkan bahwa Asy‟ari
pernah berada dalam fase keraguan. Dia meragukan sekte yang dia geluti
selama ini. Selain faktor-faktor di atas, Ahmad Hanafi pun menyebutkan
bahwa salah satu penyebabnya (yang keenam) adalah keretakan persaudaraan
antara umat Islam (ukhuwah al-islamiyah) yang terjadi saat itu. Mendapat
fenomena yang tak elok semacam itu—umat Islam mengalami perpecahan--
Asy‟ari khawatir ajaran-ajaran keislaman justru dibuat semakin kabur.13
Oleh
karena itu dia tak hanya keluar dari Mu‟tazilah namun sebenarnya juga sedang
membuat rumusan teologi baru. Setelah lima belas hari menyendiri di
rumahnya, dia kemudian keluar menuju Masjid dan berdiri di mimbar. Di sana,
dia mendeklarasikan pemikiran terbarunya.
“Hadirin sekalian, saya selama ini mengasingkan diri untuk berpikir tentang
keterangan-keterangan dan dali1-dalil yang diberikan masing-masing golongan.
Dalil-dalil yang dimajukan, dalam penelitian saya, sama kuatnya. OIeh karena itu
saya meminta petunjuk dari Allah dan atas petunjuk-Nya saya sekarang
meninggalkan keyakinan-keyakinan lama dan menganut keyakinan-keyakinan
baru yang saya tulis dalam buku-buku ini. Keyakinan-keyakinan lama saya
lemparkan sebagaimana saya melemparkan baju ini."14
Pernyataannya di mimbar itu mengindikasikan bahwa dia menganut
keyakinan baru. Keyakinan tersebut kemudian populer dengan sebutan ahl al-
sunnah wa al-jama’ah dan dalam rumusan teologi (aqidah) secara khusus
13
Ahmad Hanafi, Theology Islam (Ilmu Kalam) (Jakarta: Bulan Bintang, 1974), h. 59. 14
Nasution, Teologi Islam: Aliran-Aliran Sejarah Analisa Perbandingan, h. 67
19
kadang-kadang menggunakan namanya sendiri, Asy‟ariyah. Paham barunya
populer dengan sebutan ahl al-sunnah karena menurut Ahmad Mahmud Subhi,
dia merupakan teolog Muslim yang ber-madzhab Syafi‟i.15
Namun menurut
Hanafi, ada sebagian pendapat yang menyatakan bahwa Asy‟ari juga
bermadzhab Maliki dan ada yang Hanbali.16
Terlepas dari perdebatan tersebut,
terbukti bahwa Asy‟ari memiliki relasi keilmuan (sanadiyyah) dengan para ahli
fikih yang berada di “garis” ahl al-sunnah, yakni mereka yang mendahulukan
bukti-bukti hadits dari pada rasionalitas akal dalam memutuskan suatu
persoalan. Mereka yang tergabung di dalamnya dan populer adalah Maliki,
Hanafi, Syafi‟i, dan Hanbali. Keempat ulama tersebut dikenal sebagai pendiri
madzáhib al-arba’ah, empat sekte.
1. Pemikiran Asy’ari: Ahlussunnah versus Mu’tazilah
Sebagaimana penulis katakan di awal bahwa Asy‟ari muda adalah
seorang Mu‟tazili. Pada usianya yang ke-40 dia baru mengubah haluan dari
madzhab yang terkenal sangat rasional menuju kepada madzhab ahli
sunnah. Perubahan haluan pemikiran ini menarik untuk ditinjau. Asy‟ari
tak seutuhnya meninggalkan perangkat rasionalitas dalam menganalisis
suatu persoalan. Dia mencipatakan sintesa baru antara kelompok Sunnah
yang terlalu tekstual dengan kelompok Mu‟tazili yang terlampau rasional.
Dia ingin mendamaikan cara berpikir kedua. Hasilnya, dia dapat
menelurkan buah pemikiran-pemikiran yang berbeda dari kalangan
Mu‟tazilah. Pemikiran-pemikiran dia ini dapat kita jumpai dalam beberapa
15
Nasution, Teologi Islam: Aliran-Aliran Sejarah Analisa Perbandingan, h. 68. 16
Hanafi, Theology Islam (Ilmu Kalam), h. 61.
20
karyanya seperti Kitab al-Luma’ Fí al-Rad ‘alá Ahl al-Ziagh wa al-Bidá
dan al-Ibanah ‘an Ushul al-Diyanah di samping pula beberapa buku karya
para murid-murid dan pengikutnya.
Terdapat enam poin pemikiran dia yang populer diperdebatkan dengan
kalangan Mu‟tazili. Pertama, persoalan tentang sifat Tuhan. Menurut
kalangan Mu‟tazili, Tuhan tak bersifat. Sifat-sifat yang disandangkan
kepada Tuhan sejatinya tak terpisah dan bukan esensi di luar Tuhan,
melainkan esensi Tuhan itu sendiri, demikian argumentasi mereka.17
Lain
dengan Asy‟ari, menurut dia Tuhan memiliki sifat. Sifat-sifat Tuhan
berbeda dengan dzat-Nya namun tak terpisah.18
Selain persoalan sifat Tuhan, yang kedua, Asy‟ari berbeda pandangan
teologis dengan Mu‟tazili tentang Al-Qur‟an. Menurut kalangan Mu‟tazili,
Al-Qur‟an merupakan ciptaan Tuhan (makhluk). Mereka membangun
argumentasi dengan terlebih dulu menguliti makna kalám. Kalám adalah
suara yang terdiri dari sejumlah huruf dan dapat disimak. Bila mana Al-
Qur‟an adalah kalámulláh berarti ia tak kekal (laitsal qadím) dan
merupakan ciptaan Tuhan. Allah sebagai mutakallim, bagi kalangan
Mu‟tazila—terutama kalau kita menyimak pendapat Wasil (700-748
M/121-169 H), Jubba‟i (w. 874 M/295 H), dan Hasyim (w. 900 M/321
H)—bukan merupakan “Yang Berbicara” melainkan “Yang Mencipta.” Al-
Qur‟an sebagai kalám itu diciptakan oleh Tuhan.19
Adapun Al-Qur‟an
17
Muhammad Ibn „Abd al-Karim Syahrastani, Milal wa al-Nihal (Kairo, 1951), Juz I, h. 48
dan Nasution, Teologi Islam: Aliran-Aliran Sejarah Analisa Perbandingan, h. 45. 18
Nasution, Teologi Islam: Aliran-Aliran Sejarah Analisa Perbandingan, h. 70. 19
Nasution, Teologi Islam: Aliran-Aliran Sejarah Analisa Perbandingan, h. 50-51.
21
sebagai mu’jizát, kalangan Mu‟tazili melakukan pemetaan definisi.
Menurut mereka, yang tergolong sebagai mu’jizát hanya isi kandungan Al-
Qur‟an—sementara redaksi tekstualnya, bukan.
Dulunya, kala masih di usia muda dapat dipastikan bahwa Asy‟ari pernah
mengamini pandangan ini. Namun semenjak berpindah haluan pemikiran,
pandangan itu tak luput dari protes-kritiknya. Menurut dia, Al-Qur‟an
sebagai kalám Alláh tak diciptakan. Argumentasi yang dia telurkan adalah
bila mana Al-Qur‟an diciptakan akan banyak kata kun bermunculan. Salah
satu ayat dalam kitab suci tersebut berbunyi, “Bila Kami menghendaki
sesuatu, Kami bersabda: “terjadilah (kun),” maka ia pun terjadi.”20
Pada
ayat tersebut terdapat kata “kun” yang bermakna “terjadilah.” Dalam proses
penciptaan, Tuhan—sesuai pernyataan-Nya sendiri dalam ayat tersebut—
menggunakan kata “kun.” Berarti bila mana Al-Qur‟an dianggap ciptaan
maka untuk menciptakan kata “kun” dalam ayat tersebut membutuhkan
kata “kun” yang lain, dan seterusnya hingga tanpa batas. Itu menurut
Asy‟ari tak mungkin. Makanya dia menolak.
Poin pemikiran dia selanjutnya, yang ketiga, adalah bahwa Tuhan dapat
dilihat di akhirat. Kenapa bisa demikian? Sebab, menurut Asy‟ari, sifat-
sifat yang tak pantas disandang Tuhan hanya sifat yang menggiring
pengertian bahwa Dia diciptakan. Sementara, sifat Tuhan dapat dilihat di
akhirat nanti sama sekali tak membawa kepada pengertian bahwa Dia
diciptakan. Karena sifat dapat dilihat tak selalu berarti identik dengan sifat
20
Lihat QS Al-Nahl (16-40). Penerjemahan ayat ini penulis tirukan dari gaya terjemahan dalam
bukunya Harun Nasution (2010: 70).
22
diciptakan.21
Keempat, soal ketentuan-ketentuan (taqdir). Dalam kajian ini
dia menelurkan satu konsep “kasb”: sebuah konsep yang rumit. Menurut
dia, tindak-tanduk manusia tak dapat lepas dari jejaring kuasa Tuhan
(qudrah-irádah) namun pada saat yang sama dia memiliki kendali. Kendali
itu itu pun adalah kuasa Tuhan. Menurut Nurcholish Madjid, bangunan
teologi dia tentang takdir hampir-hampir menyerupai Jabariyah: sebuah
madzhab teologi yang fatalistik.22
Kelima adalah topik antropomorfisme Tuhan. Pada masalah ini, dia
menangguhkan logika-rasio. Menurut dia Tuhan tak dapat
dirasionalisasikan. Dia menolak takwil terhadap beberapa ayat Al-Qur‟an
yang terkesan antropomorfistik seperti bahwa Tuhan memiliki tangan,
berwajah, bertempat, dan lain-lain. Satu sisi dia mengakui bahwa Tuhan
laisa kamitslihi sya’ (tak ada seseuatu pun menyerupai-Nya), lain sisi dia
mengamini konsep antropomorfisme tentang Tuhan. Mengatasi kayakinan
yang seakan-akan paradoks tersebut, Asy‟ari membentengi diri dengan
apologi “bilá kaifa”: tanpa perlu ditanyakan bagaimana sejatinya bentuk
Tuhan. Sebab menurut dia, Tuhan itu lá yukayyaf wa lá yuhad: tak
berbentuk dan tak berbatas.
Selanjutnya, masalah keenam, adalah keadilan Tuhan. Gagasan yang dia
telurkan adalah upaya mempertahankan kemutlakan otoritas Tuhan.
Keadilan Tuhan, bagi dia, berbeda dengan keadilan versi manusia. Untuk
mengimplementasikan keadilan, Tuhan tak pernah mempertimbangkan
21
Nasution, Teologi Islam: Aliran-Aliran Sejarah Analisa Perbandingan, h. 70. 22
Nurcholish Madjid, Islam Doktrin dan Peradaban (Jakarta: Paramadina, 1999), h. 283-303.
23
manusia dan apalagi patuh pada gagasan-gagasan keadilan yang mereka
ketahui. Keadilan Tuhan melampaui keadilan versi mereka. Dia menolak
keras doktrin Mu‟tazili tentang al-wa’d wa al-wa’id23
. Menurut Asy‟ari,
Tuhan memiliki kebebasan sebebas-bebasnya untuk menghukum siapa pun
yang Dia kehendaki dan sebaliknya, menganugerahi pahala. Kebebasan
tersebut tanpa syarat. Tuhan bebas memilih, berbuat, dan memutuskan
tanpa tergantung pada perilaku manusia (‘amal al-insániyah). Itu lah
keadilan Tuhan menurut Asy‟ari. Adapun persoalan yang ketujuh adalah
penolakan terhadap konsep manzilah bain manzilatain-nya Mu‟tazili. Di
kalangan sekte rasionalis itu populer sebuah ajaran bahwa ada sebuah
tempat di antara surga (jannáh) dan neraka (al-nár). Itu lah yang kerap
disebut manzilah bain manzilatain: tempat di antara dua tempat. Tempat
tersebut merupakan ruang khusus di akhirat nanti yang diperuntukkan bagi
manusia-manusia yang tak dapat dikenakan sangsi hukum dan anugerah
pahala, seperti bayi, atau mereka yang tak layak di surga dan pun di neraka,
seperti pendosa besar. Orang berdosa besar tak pantas di surga, demikian
keyakinan Mu‟tazili dan tak pula mesti di neraka. Sebab neraka hanya
diperuntukkan bagi kalangan kafir, pendosa besar bukan kafir. Asy‟ari
menolak ajaran itu. Bagi dia, orang Islam yang berdosa besar adalah fasiq.
Namun Asy‟ari tak memutuskan apakah fasiq lantas masuk surga atau
neraka, termasuk kafir atau mu’min. Bagi dia, otoritas itu berada di bawah
bayang-bayang kuasa Tuhan. Selain beberapa masalah di atas tentu masih
23
Konsep ini merupakan ajaran Mu‟tazili tentang keadilan Tuhan. Bagi kalangan Mu‟tazili,
Tuhan tak akan disebut adil bila tak memberikan pahala bagi yang beramal baik (al-wa’d) dan
menyiksa yang bersalah (al-wa’id).
24
banyak poin-poin lain yang tak mungkin penulis paparkan satu per satu di
sini secara lebih detail.
2. Maturidiyyah dan Pemikirannya
Selain Asy‟ari tokoh yang sering dilibatkan sebagai salah satu “tiang”
ahlussunnah wal jama’ah adalah Abu Mansur Muhammad Ibn Muhammad
Ibn Mahmud al-Maturidi (w. 944 M). Lelaki kelahiran Samarkand pada
pertengahan kedua abad ke-9 M itu memiliki konsep teologi yang hampir
mirip dengan Asy‟ari namun dalam beberapa hal berbeda. Perbedaannya
terletak pada segelitir ajaran, seperti: takdir; al-wa’d wa al-wa’id; dan
antropomorfisme.
Dalam diskursus takdir, Maturidi dekat dengan Mu‟tazili. Dia
mengamini bahwa manusia dapat bertindak atas dasar dirinya sendiri dan
takdir dapat ditentukan olehnya. Demikian pula dengan masalah al-wa’d
wa al-wa’id dan antropomorfisme. Dia menggunakan logika-rasio,
sebagaimana juga Mu‟tazili, untuk mengatasi kedua masalah tersebut.
Menurutnya, kelak hukum dan anugerah Tuhan mesti harus terjadi dan
gambaran-gambaran Tuhan yang antropomorfistik dapat dirasionalisasi
(ta’wil). Selebihnya, Maturidi—sebagai mana ditegaskan di awal—dalam
hal teologi mirip dengan Asy‟ari. Hal tersebut dapat dimaklumi lantaran
Maturidi adalah pengikut madzhab Hanafi: seorang mujtahid yang banyak
menggunakan rasio di samping pula sangat berpegang teguh pada
Sunnah.24
24
Nasution, Teologi Islam: Aliran-Aliran Sejarah Analisa Perbandingan, h. 78.
25
Sebagaimana lumrah dalam tradisi intelektual Arab, pemilik nama Abu
Mansur itu memiliki banyak pengikut. Para pengikutnya tak selalu satu
pandangan. Mereka terbelah menjadi dua. Para pengikut yang berada di
kota Samarkand memiliki pandangan teologis mirip Mu‟tazili, sementara
mereka yang berdomisili di kota Bukhara lebih dekat dengan Asy‟ari.
Menariknya, Maturidiyyin (para pengikut madzhab Maturidi) Samarkand
merupakan para pengikut Abu Mansur sendiri. Adapun yang dari Bukhara
sebenarnya adalah generasi penerus Bazdawi (421-439 H): salah satu
pengikut Maturidi yang tak pernah langsung belajar kepada Abu Mansur.
Bazdawi mengetahui pandangan teologi Maturidi dari orang tuanya dan
kemungkinan orang tuanya belajar kepada neneknya—yang merupakan
murid langsung dari Abu Mansur.
26
BAB III
PROFIL ULAMA PESANTREN DI PULAU MADURA
A. Ulama Sebagai Kyaéh
Terma ulama („ulama) secara etimologi berasal dari bahasa Arab yang
berarti “orang-orang yang memiliki pengetahuan.” Ia merupakan bentuk jamak
dari kata „alim.1 Dalam konteks ini pengetahuan (al-„ilm)
2 tersebut memiliki
arti sempit (ism al-ma‟rifah), yakni “pengetahuan tentang Islam.” Jadi secara
terminologi kata “ulama” berarti “orang-orang yang memiliki pengetahuan
tentang Islam.”3 Di Madura ulama dikenal dengan sebutan kyaéh
4 (selanjutnya:
1 Ahmad Warson Munawwir, Al-Munawwir: Kamus Arab-Indonesia, 14
th ed. (Surabaya:
Pustaka Progressif, 1997), h. 965. 2 Kata al-„ilm dalam susunan gramatika bahasa Arab merupakan bentuk mashdar
(Inggris: knowledge sebagai abstract noun). Kalau dirinci berdasarkan rumusan tashrif akan
berbentuk demikian: „alima (fi‟il madli)-ya‟lamu (fi‟il mudlari‟)-„ilman (ism mashdar)-„áliman
(ism fá‟il). 3 Definisi ini sejalan dengan pengertian yang diberikan oleh Geertz dan berbeda dengan
Jajat Burhanudin (Geertz 1959-60:230). Jajat mendefinisikannya secara lebih luas (ism al-
nakirah) bahwa ulama tak selalu berarti pemimpin keagamaan tradisional. Dia menulis, “the
„ulama institution that this article intends to deal with is not exvlusively associated with the
traditional religious leaders as addressed by Geertz and other scholars.” “Here, the term
„ulama is used in a broder sense, denoting those who have legitimate authority primarily in
field of religion, i.e. reproducing socially accepted religious meanings within the Muslim
community. (Jajat 2004: 27)” 4 Istilah kyaéh merupakan kata yang berasal dari bahasa Madura. Kata tersebut sepadan
dengan kata “kyai” (dicetak tegak lurus) dalam bahasa Indonesia dan ada beberapa
kesamaan—namun berbeda—dengan kata “kyai” (dicetak miring) dalam bahasa Jawa. Kata
tersebut merupakan gelar kehormatan bagi seorang ulama atau tokoh agama Islam.
Untuk menyebut kyaéh, Iik Mansurnoor menggunakan sebutan “kyai” dan “kyai” dalam
beberapa tulisannya dengan cetak miring (Iik, 2011) dan beberapa tidak (Iik, 1990). Demikian
pula dengan Kuntowijoyo (2002) dengan cetak tegak lurus, “kyai.” Adapun Zainuddin Syarif
pada bukunya, Dinamisasi Manajemen Pesantren: Dari Tradisional Hingga Modern (2007)
menggunakan istilah “kyai.” Namun pada kesempatan lain dalam karyanya, Dinamika Politik
Kiai dan Santri dalam Pilkada Pamekasan (2010) dia menggunakan “kiai.” Hal ini sama
dengan Yanwar Pribadi. Dalam tulisannya, Islam and Politics in Madura: Ulama and Other
Local Leaders in Search of Influence 1990-2010 (2013) dia mencantumkan istilah “kiai,”
hanya saja dengan cetak miring.
Saya berani menuliskan istilah “kyaéh” karena dua hal. Pertama, dalam tradisi masyarakat
Madura, penyebutan “kyai” atau “kiai”—terlepas dengan problem cetak miring maupun tegak
lurus—atas tokoh agama yang dihormati hampir tak ada dalam dialog percakapan keseharian
27
kyai). Ada empat sarjana yang pernah mendefiniskan istilah tersebut secara
khusus: Iik Mansurnoor; Kuntowijoyo; Yanwar Pribadi dan Sunyoto Usman.
Keempat sarjana tersebut menelurkan definisi yang sama. Menurut mereka,
kyai adalah gelar kehormatan bagi mereka yang memiliki kecakapan dalam
disiplin pengetahuan keislaman dan atau menjadi tokoh masyarakat. Gelar
tersebut mereka dapatkan bukan secara birokratis melainkan sebagai pemberian
masyarakat.
Mansurnoor membagi kyai ke dalam empat macam level: kyai sebagai
pengasuh pondok pesantren besar dengan jumlah santri yang banyak (kyaéh
raja); sebagai pengasuh pondok pesantren kecil dengan jumlah santri yang
sedikit (kyaéh kéni‟); sebagai imam masjid desa (ma‟ kaéh atau kéaji, dan atau
kéajji); dan sebagai guru langgar5 (ma‟ kaéh).
6 Semuanya merupakan ulama
non-birokratis. Berbeda dengan Mansurnoor, Kuntowijoyo tak hanya
menggolongkan kyai sebagai tokoh agama yang non-birokratis. Lebih dari itu,
dia menyebutkan bahwa gelar tersebut juga dalam sejarah pernah disandangkan
kepada seseorang yang berada di tatanan birokrasi pribumi seperti punggawa,
(verbal) kecuali dalam percakapan tersebut menggunakan bahasa Indonesia atau Jawa. Kalau
percakapan itu menggunakan bahasa Madura dan diucapkan oleh orang Madura yang asli, kita
akan mendengar mereka menyebut “kyaéh.” Kedua, penulisan kata tersebut dalam literatur-
lietatur bahasa Madura belum ada ketentuan baku. Jadi penulisan kata “kyaéh” penulis
sesuaikan dengan pengucapan orang Madura sendiri. Namun demi memudahkan penulisan,
untuk penyebutan selanjutnya penulis akan menggantinya menjadi “kyai” (dengan cetak tegak
lurus). 5 Kata lain dari langgar adalah musala.
6 Iik Arifin Mansurnoor, Living Islamically in The Periphery: Muslim Discourse,
Institution, And Intelektual Tradition in Southeast Asia (Ciputat: UIN Jakarta Press, 2011), h.
230.
28
mantri, atau keturunan mereka.7 Adapun menurut Pribadi, di Madura ada
empat macam kyai: kyai pesantren, kyai tarekat, kyai dukun, dan kyai
langgar.8 Terakhir menurut Usman. Bagi dia, kyai terbagi menjadi tiga macam.
Pertama kyai sebagai figur pimpinan pesantren; kedua, sebagai tokoh
masyarakat yang pandai dalam disiplin pengetahuan keislaman; dan ketiga,
kyai sebagai guru langgar.9 Di sini, penulis akan mengulas kyai jenis pertama,
yakni seorang ulama sebagai pemimpin tertinggi dari sebuah pondok pesantren
yang diasuhnya.
B. Sejarah Ulama di Pulau Madura
Sejarah ulama di Pulau Madura dapat dibagi ke dalam tiga gelombang
periode. Masing-masing periode tersebut memiliki karakteristik peranan yang
berbeda satu sama lain. Ketiga periode itu akan penulis bahas secara lebih rinci
di bawah ini.
1. Periode I: Ulama di Masa Islamisasi Awal
Penyebaran Islam pertama kali ke Pulau Madura diperkirakan terjadi
pada sekitar paruh kedua abad ke-15, tepatnya di daerah pesisir bagian
selatan Sumenep. Penyebaran tersebut kemudian meluas hingga ke sejumlah
wilayah seperti salah satunya adalah desa Parindu, sebuah kampung yang
berada di lereng pebukitan dekat Dataran Tinggi Guluk-Guluk dengan luas
7 Kuntowijoyo, Kuntowijoyo, Perubahan Sosial dalam Masyarakat Agraris Madura
1850-1940. Penerjemah Machmoed Effendhie dan Punang Amaripuja (Yogyakarta: Mata
Bangsa, 2002), h. 432. 8 Pribadi, “Islam and Politics in Madura: Ulama and Other Local Leaders in Search of
Influence 1990-2010,” h. 49-50. 9 Sunyoto Usman, Citra Status Sosial Kiai Di Kalangan Masyarakat Madura: Studi
Kasus di Kecamatan Palengaan Kabupaten Pamekasan (Yogyakarta: Depdikbud Yogyakarta,
1981), h. 101-102.
29
4,5 km2. Hal ini terjadi lantaran adanya kontak perdagangan antara orang-
orang Madura yang gemar merantau dengan berbagai daerah seberang
seperti Sumatera (Palembang), Malaka, dan bahkan India (Gujarat).10
Mereka yang membawa ajaran itu adalah para ulama dengan ragam latar
belakang profesi: ada yang sebagai pedagang; palayar; dan guru.
Penyeberan itu mereka lakukan secara individual. Mereka ada yang berasal
dari luar Madura dan ada yang merupakan warga setempat. Mereka
memanfaatkan bandar-bandar pelabuhan—seperti beberapa kota bandar di
dekat jalur Selat Malaka dan Laut Jawa—sebagai tempat berlangsungnya
transmisi keagamaan. Di sana mereka satu sama lain mendiskusikan Islam
pun beberapa orang yang belum mengenal Islam menjadi tahu. 11
Beberapa orang Madura yang sudah mengenal Islam lalu pulang ke
kampung halaman—atau pihak asing yang baru datang dari luar—mulai
memperkenalkan Islam kepada penduduk pedalaman setempat. Namun,
pada periode ini, sebagaimana juga diakui oleh Mansurnoor, bukti-bukti
sejarah tentang ulama yang tersedia sangat terbatas.12
Sejarah ulama akan
semakin jelas yakni pada periode kedua.
2. Periode II: Ulama di Masa Islamisasi Istana
Penyebaran Islam lalu semakin masif di Pulau Madura ketika pihak
kerajaan mulai terlibat aktif. Itu terjadi sekitar paruh kedua abad ke-16 dan
seterusnya. Pada gelombang kedua ini, hubungan ulama dengan kerajaan
10
Jonge, Madura dalam Empat Zaman: Pedagang, Perkembangan Ekonomi, dan Islam,
h. 239. 11
Mansurnoor, Islam in An Indonesian World: Ulama of Madura, h. 8. 12
Mansurnoor, Islam in An Indonesian World: Ulama of Madura, h. 8
30
semakin erat. Islamisasi tak hanya berlangsung secara individual
sebagaimana yang terjadi pada gelombang pertama. Pihak kerajaan sudah
mulai campur tangan. Kerajaan-kerajaan besar di Sumenep, Pamekasan,
Pemadekan, dan Arosbaya sangat antusias terhadap Islam. Kerajaan-
kerajaan tersebut turut menyebarluaskan agama yang pernah dibawa oleh
Nabi Muhammad Saw itu sebab para rajanya sebelumnya sudah bersedia
untuk memeluk Islam. Salah satu faktor penyebab mereka pindah agama
adalah lantaran perjumpaan mereka dengan tokoh-tokoh semi-mythical
teachers dan saints—menirukan gaya tutur Iik—seperti Sunan Ampel,
Kudus, dan Giri, yang diketahui memiliki hubungan baik dengan kerajaan
Demak.13
Mereka semua adalah ulama kharismatik dan sangat disegani di
Pulau Jawa saat itu. Penulis kurang mengetahui secara detail dalam
perjumpaan itu, materi keislaman apa saja yang para Sunan—sebagai
ulama—dan raja perbincangkan. Terlepas dari itu, sejarah mencatat bahwa
Islamisasi di Pulau Madura pada periode kedua berjalan lebih mulus.
Faktor lain yang menyebabkan Islamisasi di pulau tersebut di bawah
kekuasaan bayang-bayang kerajaan berjalan dengan sedikit—untuk tak
mengatakan “tanpa”—kendala dan hambatan adalah melemahnya kekuasan
Kerajaan Majapahit yang berakhir runtuh.14
Hal tersebut kemudian
diperkuat dengan terbentuknya jaringan keluarga antara kerajaan-kerajaan di
Madura dengan Kerajaan Demak. Salah satu contohnya adalah pernikahan
antara putri bungsu sultan Demak dengan pangeran dari Kerajaan
13
Iik Arifin Mansurnoor, Islam in An Indonesian World: Ulama of Madura, h. 9. 14
Iik Arifin Mansurnoor, Islam in An Indonesian World: Ulama of Madura, h. 10.
31
Pamadekan di Sampang. Selain membangun jaringan politik juga
memperkuat tali ukhuwah islamiyah, persaudaraan yang berasaskan
keislaman, di antara kedua kerajaan besar itu. 15
Akibat semakin menguatnya jaringan Islam di Madura, para ulama
mendapatkan posisi penting dalam kerajaan. Hal ini ditandai dengan
diberikannya tanah perdikan oleh raja kepada para ulama yang ada di sana.
Tanah tersebut merupakan sebuah desa yang biasanya diberikan oleh raja
kepada orang-orang terhormat seperti tentara dan guru agama (ulama). Di
Sumenep, sebagai contoh, raja pernah memberikan desa Sendir, Batuampar
dan Barangbang kepada para ulama.16
Untuk memperjelas gambaran di atas, penulis akan mengangkat tiga
contoh kasus ulama di Madura. Penulis ingin mengawalinya dengan kisah
seorang guru agama yang bernama Abdullah. Nama ini kemudian hari
dikenal dengan Modin Teja. Dia adalah keturunan bangsawan dari salah
satu kerajaan di Sumenep yang sudah kehilangan kekuatan politik sejak
kemunculan dinasti Demak di Madura bagian Timur. Kiprahnya dalam
dunia keulamaan adalah mengajarkan pengetahuan tentang Islam di sebuah
kampung Teja, Pamekasan, ketika kerajaan masih menyisakan praktik-
praktik ritual dan simbol-simbol Buddhisme-Siwaisme. Dia berdiam di desa
tersebut. Sembari mengembangkan pertanian, dia juga tak lupa mengajarkan
pengetahuan-pengatahuan keislaman kepada masyarakat desa. Lantaran
memiliki kecakapan dalam memimpin rakyat desa, dia kemudian diangkat
15
Mansurnoor, Islam in An Indonesian World: Ulama of Madura, h. 9. 16
Mansurnoor, Islam in An Indonesian World: Ulama of Madura, h. 9; dan Muthmainnah,
Jembatan Suramadu: Respon Ulama terhadap Industrialisasi (Yoyakarta: LKPSM, 1998), h. 39.
32
menjadi seorang Modin. Dari itu kenapa dia kemudian dikenal dengan
sebutan Modin Teja.
Menurut Iik, Modin adalah contoh ril khothib17
dan guru agama yang
sangat disegani di Madura, masa itu. Walaupun masyarakat desa Teja
menghormatinya sedemikian mungkin, dia sama sekali tak tertarik
memanfaatkan popularitasnya itu sebagai modal kekuatan dalam urusan
politik, bergabung dengan pemerintahan (saat itu: kerajaan). Dia tetap
menjadi pelayan masyarakat desa dengan mengembangkan pertanian
sembari mengajarkan pengetahuan-pengetahuan agama.18
Berbeda dengan anaknya—lebih tepatnya menantunya yang merupakan
santri-nya yang menikah dengan anak perempuannya—bernama
Abdurrahman. Dia tak hanya ahli dalam urusan agama dan pertanian
sebagaimana mertuanya. Dia bahkan juga memiliki pengetahuan yang luas
tentang kemasyarakatan dan dekat dengan kerajaan. Sebelum dia berkiprah
dalam jaringan keulamaan demi kelancaran misi keislaman selanjutnya,
ayahnya (mertuanya) mengirim dia ke sebuah pondhuk19
di Sampang, yang
kabarnya masih ada kaitan kekeluargaan dengan Kerajaan Pamadekan. Di
sana dia belajar pengetahuan Islam secara lebih mendalam. Setelah
menyelesaikan studi, dia tak tinggal serumah dengan mertuanya. Dia lebih
17
Khothib berasal dari bahasa Arab—asal katanya menurut susunan tasrif adalah
khothaba-yakhtubu-khothbatan—yang berarti “penceramah.” 18
Iik Arifin Mansurnoor, Islam in An Indonesian World: Ulama of Madura, h. 10. 19
Istilah “pondhuk” merupakan bahasa Madura yang berarti pondok atau pondok
pesantren. Di Aceh dikenal dengan Dayah, Jawa Barat Surau atau Kobong. Sementara dalam
bahasa Arab biasanya sepadang dengan kata al-ma‟had. Kita tak dapat membayangkan sistem
pondok saat itu sebaik dan semapan pondok pesantren yang berkembang saebagaimana saat ini.
Barangkali pondok yang dimakasud di situ lebih menyerupai sistem pendidikan langgar (Iik,
1990: 12)
33
memilih untuk memperluas jaringan. Terbukti, kemudian hari dia berhasil
menyebar-luaskan Islam secara lebih sistematis. Berkat hubungan baik
dengan rato20
(selanjutnya: rato) Pamekasan lantaran berhasil membangun
pertanian di daerah selatan, pihak kerajaan memberikan dia tanah untuk
kepentingan—kemungkinan—membangun pondok dan turut merenovasi
langgar. Demi melancarkan pendidikan yang sudah terbangun secara lebih
baik dibanding ayahnya (mertuanya), Abdurrahman tentu sangat
membutuhkan fasilitas tersebut. Tanah pemberian kerajaan tersebut berada
di kampung Raba. Lantaran di kampung tersebut, di tanah pemberian
kerajaan itu, Abdurrahman berhasil membangun sistem pendidikan yang
lebih bagus dibanding mertuanya tak heran kalau kemudian namanya
popular dengan sebutan Kyaéh21
Raba22
(selanjutnya: Kyai Raba). Di
samping memperbaiki sistem pendidikan, dia juga berhasil membuat rato
menerima Islam secara baik. Hubungan baik antara rato dengan Kyai Raba
membuat propaganda Islamisasi di Madura semakin berjalan lancar.23
Setelah santri semakin banyak, Kyai Raba menugaskan santrinya yang
pintar dan taat untuk pulang ke rumah dan membangun pesantren baru
20
Sebutan untuk seorang raja. Ia merupakan bahasa resmi orang Madura. 21
Istilah kyaéh asli bahasa Madura sepadang dalam bahasa Indonesia dengan kata
“Kyai.” Ia merupakan julukan untuk orang yang dihormati. Iik Mansurnoor tetap menggunakan
sebutan “Kyai” dalam beberapa tulisannya ditulis dengan cetak miring (Iik, 2011) dan beberapa
tidak (Iik, 1990). Saya berani menuliskan “Kyai” menjadi kyaéh karena dua hal. Pertama, dalam
tradisi masyarakat Madura, penyebutan “Kyai” secara verbal atas tokoh agama yang dihormati
hampir tak ada. Mereka akrab dengan kata “kyaéh.” Kedua, kata tersebut belum penulis temukan
dalam kamus bahasa Madura, sejauh jangakauan ketelitian penulis. Kata “kyaéh” penulisannya
saya sesuaikan dengan cara ucap masyarakat Madura sendiri. 22
“Raba” bisa juga ditulis “Rabeh.” Iik dalam karyanya, Islam in And Indonesian World:
Ulama of Madura (1990:12), menggunakan kata “Raba.” Sementara Mohammad Kosim dalam
Pondok Pesantren di Pamekasan: Pertumbuhan dan Perkembangan (2002:10) menggunakan
istilah “Rabeh.” 23
Iik Arifin Mansurnoor, Islam in An Indonesian World: Ulama of Madura, h. 12.
34
sebagai bentuk jaringan keulamaan. Dia menugaskan muridnya yang
bernama Bungso. Bungso kemudian membangun pondok di Batuampar,
Sumenep. Nama dia kemudian dikenal dengan Kyai Batuampar.24
Tiga
contoh kyai tadi—sebagai ulama—berhasil melakukan Islamisasi di Pulau
Madura. Tentu dengan berbagai cara. Satu hal yang menarik adalah cara
yang digunakan ketiga kyai tersebut untuk menyebarkan keislaman bukan
dengan egosentrisme keagamaan. Mereka justru lebih menekankan
hubungan sosial dengan strategi diplomasi, kebudayaan, dan pertanian.
Gambaran di atas menyimpulkan bahwa sejarah Islamisasi awal di Pulau
Madura tebagi ke dalam dua gelombang. Gelombang pertama adalah adanya
interaksi antara para perantau dengan para pembawa Islam di luar Madura.
Penyebaran Islam ini ke Pulau Madura—sebagaimana interaksi yang
berlangsung—pun terjadi secara individual. Berbeda dengan gelombang ke
dua, kerajaan sudah turut andil. Ulama yang melangsungkan misi
keagamaan selain dapat menarik “hati” masyarakat desa dengan melakukan
pendekatan budaya dan pertanian pun mendapat dukungan bulat dari pihak
kerajaan. Proses Islamisasi yang mereka lakukan sedikit kendala bahkan
justru sangat menguntungkan.
3. Periode III: Ulama di Masa Skripturalisasi Islam
Dengan semakin licinnya proses Islamisasi yang berlangsung dan
pengaruh ulama semakin besar, keberagamaan masyarakat desa mengalami
perubahan. Perubahan tersebut ditandai dengan apa yang oleh Iik sebut
24
Iik Arifin Mansurnoor, Islam in An Indonesian World: Ulama of Madura, h. 14.
35
sebagai “skripturalisasi”25
keberagamaan masyarakat desa oleh para ulama.
Upaya skripturalisasi tersebut berangkat dari “kegelisahan26
”—meminjam
istilahnya Zainuddin Syarif—ulama saat itu. Ulama ingin supaya
masyarakat Madura dalam berislam tak hanya mengandalkan pengetahuan
yang didapat dari mendengar, tapi lebih kepada pengenalan secara lebih
baik atas teks-teks keislaman. Dari itu, kegelisahan tersebut memunculkan
gagasan untuk membangun pondok pesantren dengan sistem yang lebih baik
dan dengan jangkauan yang lebih luas (supralocal religious center,
istilahnya Iik)27
.
Pada sekitar abad ke-16, berdiri dua pesantren tertua di Pamekasan.
Pertama, pesantren Bere’ Léké yang didirikan oleh Syeikh Abdurrahman,
seorang ulama asal Sumenep. Selain sebagai ulama, dia juga dikenal sebagai
pengembara. Sebelum mendirikan pesantren, tentu sebagaimana tradisi
pendahulunya, dia menghabiskan masa mudanya dalam menempuh studi
keislaman. Berdasarkan jejak rekam sejarah, dia pernah belajar Islam di dua
tempat secara berurutan: di Camplong, Sampang, kepada Kyai Prajjan dan
kemudian kepada Kyai Zainal Abidin di Candenah Kwanyar, Bangkalan. Di
tempat studinya yang terakhir dia tak hanya dapat meraup pengetahuan
keislaman tetapi juga berhasil menjadi menantu Kyai Candenah.
Setelah menikah, dia diperintahkan oleh Kyai—sekaligus mertua
barunya—Cendanah untuk merantau (hijrah) ke arah Utara Pamekasan.
25
Istilah “skripturalisasi” penulis ambil dari tulisannya Iik. Lih: Iik Arifin Mansurnoor,
Islam in An Indonesian World: Ulama of Madura, h. 229. 26
Zainuddin Syarif, Dinamisasi Manajemen Pesantren: Dari Tradisional Hingga
Modern (Yogyakarta: Sunan Kalijaga Press, 2007), h. 24. 27
Mansurnoor, Islam in An Indonesian World: Ulama of Madura, h. 216.
36
Sebelum dia dan istrinya berangkat, Kyai Cendanah sempat berpesan.
Pesannya adalah bahwa bila mana mereka berdua nanti di tengah perjalanan
menemui dua sumber mata air yang mengalir ke sungai harap berhenti.
Sebab di sana lah, di hamparan tanah kosong yang berada di antara dua
sumber mata air itu, mereka nantinya—harap Kyai Cendanah—membangun
pesantren. Tanah yang hendak dijadikan pesantren itu adalah hutan
belantara. Dari itu, kemudian wilayah tersebut dikenal dengan nama Bere’
Léké, Toronan, berada tepat di Desa Larangan Badung, Kecamatan
Palengaan. Di sana lah, Syeikh Abdurrahman membangun pesantren
perdananya: pesantren Bere’ Léké.28
Kedua, pesantren lain yang juga diduga tertua adalah Sumberanyar.
Pesantren tersebut terletak di Desa Larangan Tokol, Kecamatan Tlanakan.
Pendiri pesantren tersebut adalah Kyai Zubeir sekitar tahun 1515 M. Dia
hidup sekawan dengan Buju’ Agung Raba (Kyai Raba). Mengenai
silsilahnya masih polemik. Ada tiga pendapat yang penulis temui. Pertama
menyatakan bahwa Kyai Zubeir merupakan putra Kyai Raidin bin Buju’
Kyai Kosambih bin Raden Kabul alias Buju’ Aji Gunung Sampang. Kedua,
dia adalah putra Kyai Khatib bin Muhammad al-Azhari bin Ahmad bin Kyai
Mujahid Arosbaya Bangkalan. Terakhir ketiga, dia sebagai sepupu Kyai
Abdul Alam Prajjan, Camplong, Sampang. Menurut laporan dari
Mohammad Kosim, kedua pesantren tersebut diduga kuat berdiri di abad
yang sama, namun masih keterbatasan data untuk menyimpulkan mana yang
28
Mohammad Kosim, Pondok Pesantren di Pamekasan: Pertumbuhan dan
Perkembangan (Pamekasan: P3M, 2002), h. 8-11.
37
lebih tua. Tetapi yang jelas, dugaan kuat bahwa pendiri kedua pesantren
tersebut hidup di abad—bahkan di tahun-tahun—yang sama lantaran dua
alasan: keduanya sama-sama terekam sejarah sebagai santri Kyai Prajjan;
dan, generasi kepemimpinan selanjutnya pun sama, yakni tujuh kali
pergantian pemimpin dihitung dari generasi pertama. Generasi penerus
Syeikh Abdurrahman di antaranya adalah KH. Hasan; KH. Ishak; KH. Isbat;
KH. Nashirudin; Ny. Halimah; KH. Mawardi. Adapun penerus Kyai Zubeir
adalah KH. Zubeir II; Kyai Umrah/Kyai Rato; KH. Sukriwe; KH. Marzuki;
KH. Syahri; dan KH. Maliji.29
Pada sekitar tahun 1788 M, salah seorang keturunan Syeikh
Abdurrahman, Kyai Isbat kembali mengembangkan jaringan keulaman
dengan membuat pesantren baru di lokasi baru: sekarang termasuk bagian
Desa Poto’an Daja, Kecamatan Palengaan, Kabupaten Pamekasan. Berawal
dari sebuah langgar kecil, kiprahnya dalam dunia pendidikan keislaman
mendapatkan dukungan penuh dari masyarakat. Pelan-pelan langgar
tersebut berubah menjadi pesantren lantaran banyak santri dari luar daerah
hendak menimba pengetahuan keislaman, di sana.30
Pasalnya gagasan
tentang pembentukan jaringan baru itu sama dengan apa yang terjadi kepada
para ulama pendulunya. Satu hal yang selalu membuat ulama berjuang
keras, yakni kegelisahan atas minimnya pengetahuan masyarakat tentang
agama Islam. Meski Islamisasi terus mengalami kemajuan, bagi Kyai Isbat
saat itu masih banyak masyarakat yang perlu dididik secara lebih baik lagi.
29
Kosim, Pondok Pesantren di Pamekasan: Pertumbuhan dan Perkembangan, h. 8-11. 30
Syarif, Dinamisasi Manajemen Pesantren: Dari Tradisional Hingga Modern, h. 24-25.
38
Dia tak mudah puas dengan pencapaian para pendahulunya. Semangat juang
(Arab: jihad) Islamisasi di Madura terus dia bangkitkan.
Demi cita-citanya itu Kyai Isbat dan istrinya suatu ketika mencari lahan
baru untuk ditempati sebuah langgar. Dia akan menyebarkan pengetahuan
keislaman di tempat tersebut. Dari hasil pencariannya itu, dia menemukan
sebuah desa terpencil. Namanya Longsereh. Desa itu sekarang merupakan
bagian dari Kecamatan Rabatal, Kabupaten Sampang. Tapi, dia tinggal di
desa itu hanya sebentar. Istrinya tak kerasan sebab trauma atas kejadian
yang pernah menimpa putranya. Anaknya kecelakaan, tenggelam di sungai
dekat kediamannya. Akhirnya, mau tak mau mereka pindah. Lokasi baru
kali ini berada di Desa Poto’an Daja itu dan diberi nama Banyuanyar.
Secara etimologi “banyu” merupakan bahasa Jawa yang berarti “air.”
Adapun “anyar” artinya “baru.” Banyuanyar memiliki arti “air baru.”
Nampaknya nama ini dipakai dan diabadikan sebagai bentuk penghargaan
atas jasa Kyai Isbat yang telah menemukan sumber mata air dan lalu
membuatkan sumur di sana, yang sampai sekarang masih bisa berfungsi.
Dari sejak itu-lah pesantren Banyuanyar terbentuk. Perlahan demi perlahan,
pesantren tersebut semakin besar. Periode 1817-1868 merupakan periode
perintisan di bawah kendali Kyai Isbat, putra Kyai Ishak; 1868-1933
merupakan periode skripturalisasi ajaran-ajaran keislaman secara lebih baik
di bawah kepemimpinan Kyai Abdul Hamid yang pernah langsung berguru
kepada Syeikh Nawawi Al-Bantani di Mekkah; 1943-1966 di bawah
bimbingan KH. Baidawi; 1966-1980 diasuh oleh KH. Abdul Hamid Baqir;
39
1980-sekarang adalah periode pembaruan pesantren dengan membuka
Madrasah Tsanawiyah (MTs) pada tahun ajaran 1979/1980 dan Madrasah
Aliyah (MA) pada tahun 1983/1984 di bawah kepemimpinan KH.
Muhammad Syamsul Arifin.31
Berbeda dengan apa yang terjadi di Pamekasan, di Sumenep pada sekitar
tahun 1860-an terdapat kisah menarik dua ulama, Gema dan Kyai Syarqowi.
Gema adalah seorang pedagang yang berhasil berangkat haji dan
memberikan banyak perubahan di daerah Prenduan. Adapun Syarqowi
adalah temannya. Dia adalah keturunan salah satu ulama populer di kota
Kudus. Ayahnya bernama Kyai Shidiq Romo dan kakeknya bernama Kyai
Kanjeng Sinuwun. Pertemuan dia dengan Gema adalah saat sama-sama
dalam sebuah kapal yang sedang berlabuh menuju Mekkah. Gema tertarik
atas kecerdasan dan perilaku Kyai Syarqowi. Setelah tiba di Hijaz, Gema
mangalami sakit parah dan tak lama kemudian meninggal dunia. Sebelum
meninggal dan dikuburkan di Taif, dia sempat berpesan kepada Kyai
Syarqowi. Pesannya adalah bahwa bila Gema meninggal, dia ingin supaya
Kyai Syarqowi menikahi istri mudanya, Khotijah, di Parindu. Kyai
Syarqowi menyanggupi hal itu. Setibanya di Parindu, setelah selesai
menunaikan ibadah haji, Kyai Syarqowi betul-betul menikahi Khotijah.
Orang yang menjadi saksi pernikahan tersebut bernama Abdullah.
Suami Khotijah yang baru itu kian hari semakin kesohor di Parindu.
Namun popularitas yang dia miliki tak melulu tanpa perlawanan. Tak sedikit
31
Syarif, Dinamisasi Manajemen Pesantren: Dari Tradisional Hingga Modern, h. 24-25.
40
pemuka agama tradisional di sekitar Parindu iri dan dengki kepadanya. Itu
lah alasan kenapa kemudian dia pindah tempat ke daerah Guluk-Guluk. Di
sana dia membuat pesantren yang menjadi cikal bakal pesantren terbesar di
Kabupaten Sumenep hingga sekarang, Annuqoyah. Pesantren lama di
Parindu digantikan oleh Kyai Chotib, muridnya yang pertama. Kabarnya,
murid senior Kyai Syarqowi ini lah orang pertama yang berhasil membuat
pemahaman keberislaman selama ini di masyarakat menjadi jelas.32
Di Bangkalan, pada tahun 1870-an berdiri dua pesantren, Jangkebuan dan
Kademangan. Kedua pesantren tersebut didirikan oleh seorang ulama yang
namanya sangat populer saat itu—bahkan hingga sekarang—yakni
Syaikhona33
K.H. Muhammad Kholil. Pesantren pertama tersebut (baca:
Jangkebuan) didirikan di atas lahan pemberian Panembahan Isma’il—
seorang penguasa Bangkalan saat itu—tepatnya pada tanggal 19 Rajab 1290
Hijriyah (1873 M). Pesantren tersebut masih aktif sampai sekarang dengan
nama Al-Muntaha Al-Kholili. Adapun pesantren kedua juga masih
dilestarikan oleh keturunannya sampai sekarang dengan nama Pondok
Pesantren Syaikhona Muhammad Kholil. Keturunannya yang masih aktif
mengasuh pondok tersebut adalah Kyai Fahri As-Schal, adapun yang
membidangi manajemen pesantren adalah adiknya, Kyai Nasih As-Schal.
Kedua pesantren tersebut merupakan pesantren yang terbilang cukup tua di
Madura, khususnya di Bangkalan. Mulanya, Kyai Kholil membangun kedua
pesantren itu sebagai bentuk misionarisasi keislaman yang memang sedang
32
Jonge, Madura dalam Empat Zaman: Pedagang, Perkembangan Ekonomi, h. 239-245. 33
Syaikhona merupakan gelar kehormatan bagi seorang ulama.
41
tumbuh subur saat itu di samping juga sebagai strategi perlawanan terhadap
penjajahan Belanda.34
Hampir sama dengan yang dilakukan para kyai yang lain. Sebelum
membangun pesantren, terlebih dahulu dia memperdalam pengetahuan
keislaman. Dia menempuh studi tersebut dari satu tempat ke tempat yang
lain. Sebuah laporan menyebutkan bahwa pada masa mudanya dia belajar
Islam kepada ayahnya, Kyai Abdul Latif, seorang penceramah keliling.
Setelah itu dia melanjutkan berguru kepada Tuan Guru Dawuh (Buju’
Dawuh, Desa Malajeh, Bangkalan); Tuan Guru Agung (Buju’ Agung); Kyai
Sholeh, pengasuh pesantren Bungah, Gresik; Kyai Muhammad Noer,
pengasuh pesantren Langitan, Tuban; Kyai Arif, pesantren Darussalam,
Kebon Candi, Pasuruan; Kyai Asyik, pesantren Cangaan, Bangil, Pasuruan;
Kyai Noerhasan Sidogiri, Kraton, Pasuruan; Kyai Abu Dzarrin, Winongan;
dan Kyai Abdul Basyar, Banyuwangi. Demikian guru-guru dia semua
adalah orang Jawa. Dia belajar di beberapa pesantren Jawa tersebut sekitar
enam tahun, dari tahun 1852-1958 M. Kemudian pada tahun 1859 dia
menempuh studinya ke luar negeri, yakni tepatnya di Mekkah. Pada waktu
itu, dia sempat berjumpa dan berteman dengan beberapa sarjana asal
Nusantara yang telah lebih dulu bermukim di sana. Diantaranya adalah
Syeikh Abdul Ghoni, Bima; Syaikh Ibrahim; Syeikh Abdul Ghani al Asyi;
Syeikh Abdur Rouf Sungkeli; Syeikh Yusuf, Sumbawa; Syeikh Nahrawi;
Syeihk Abdul Hamid Dhagistani; K.H. Asnawi Kudus; K.H. Asnawi
34
Fuad Amin Imron, Syaikhona Kholil Bangkalan Penentu Berdirinya Nadhlatul Ulama
(Surabaya: Khalista, 2016), h. 73.
42
Banten; Ajengan Tubagus Bakri, Purwakarta; Syeikh Arsyad Banten; K.H.
Asy’ari Bawean; K.H. Majnun Mauk, Tangerang; Syeikh Muhammad
Khatib Hambali; Syeikh Ahmad Katib, Minangkabau; dan Syeikh
Muhammad Yasin, Padang.35
Di Mekkah, dia berguru kepada Syeikh Nawawi Al-Bantani dan Syeikh
Ali Rahbini. Kepada Syeikh Nawawi dia belajar pengetahuan fiqh (hukum
Islam), aqidah (teologi), dan tasawwuf (spiritual) sesuai dengan paham
ahlussunnah wal jama‟ah.36
Sekembalinya dari luar negeri, dia menjadi
misionaris Islam di tanah air, tepatnya di Madura. Sebelum mendirikan
pesantren, dia bekerja sebagai penasehat keagamaan di bidang keislaman di
kantor Adipati Bangkalan hingga kemudian menjadi menantu Pangeran
Lodrapati, yakni menikahi Raden Ayu Assek.37
Kemudian, sebagaimana
penulis paparkan di awal, setelah menjalin hubungan erat dengan kerajaan,
dua pesantren berhasil dia bangun dan berkembang sampai sekarang.
Selain pesantren-pesantren yang penulis paparkan di atas masih banyak
yang lain. Pada tahun 1871 saja, jumlah pesantren mencapai 126. Jumlah
tersebut merupakan total keseluruhan dari pesantren-pesantren yang ada di
empat kabupaten: di Bangkalan terdapat 15 pesantren; di Sampang terdapat
19; di Pamekasan terdapat 43; dan di Sumenep paling banyak, yakni ada 49
pesantren. Jumlah semua santri mencapai 4.632 (lih: Tabel I). Semakin ke
sini jumlah santri semakin meningkat. AVIO mencatat peningkatan jumlah
santri dari tahun ke tahun. Pada tahun 1865 jumlah santri baru ada 2.504;
35
Imron, Syaikhona Kholil Bangkalan Penentu Berdirinya Nadhlatul Ulama, h. 64-74. 36
Imron, Syaikhona Kholil Bangkalan Penentu Berdirinya Nadhlatul Ulama, h. 68. 37
Imron, Syaikhona Kholil Bangkalan Penentu Berdirinya Nadhlatul Ulama, h. 69-73.
43
setahun berikutnya, 1866 ada 9.674; dan 1871, 18.106; 1881, 30.336; 1887,
44.625; 1893, 54.915. Jumlah tersebut merupakan jumlah total dari
gabungan antara jumlah santri pesantren (seterusnya: santri pondok) dengan
santri langgar. Faktor yang menyebabkan jumlah santri pondok menurun
pada tahun 1881 adalah berdirinya sekolah-sekolah umum (sejak 1863).
Para santri yang tamat belajar membaca Al-Qur’an—mulai dari alif-alifan
(belajar huruf Arab), ngijha (mengeja), turutan (surat-surat pendek), dan
kemudian lalar (mengaji Al-Qur’an)—di langgar-langgar banyak tak
meneruskan ke pesantren tetapi ke sekolah-sekolah umum. Namun
sebagaimana Kuntowijoyo tegaskan bahwa pendidikan keagamaan tetap
merupakan “bagian yang esensial dari kehidupan masyarakat.”38
Tabel I
Pesantren dan Santri Tahun 187139
38
Kuntowijoyo, Perubahan Sosial dalam Masyarakat Agraris Madura 1850-1940, h.
328-345. 39
Tabel ini diambil dari Kuntowijoyo, Perubahan Sosial dalam Masyarakat Agraris
Madura 1850-1940, h. 328-345.
Pesantren
Bangkalan
Sampang
Pamekasan
Sumenep
Total
JUMLAH MURID
Jml Skl Llk Prp Anak Llk Anak Prp
(di bawah 15 tahun)
Total
15
19
43
49
126
894
738
415
-
2.047
-
-
57
-
57
1.223
22
379
734
2.358
45
-
125
-
170
2.162
760
976
734
4.632
44
Pendidikan keagamaan, bahkan, bukan hanya menjadi “bagian yang
esensial” sebagaimana Kuntowijoyo katakan di awal tetapi terus mengalami
skripturalisasi. Usaha skripturalisasi keagamaan yang dilakukan oleh para
ulama semakin lancar dan memiliki arah yang semakin jelas selain karena
kedekatan ulama dengan masyarakat, kondisi sosiol ekonomi-politik juga
menentukan. Pada abad ke-19, Belanda—VOC lalu kolonial—mulai
menekan kerajaan. Kerajaan menjadi seperti mulai kehilangan kekuasaan.
Banyak tokoh masyarakat saat itu marah dan kecewa terhadap kerejaan
karena patuh terhadap Belanda. Dari itu ulama aristokratik yang independen
bebas melancarkan misinya dan semakin populer lantaran keberaniannya
menghadapi Belanda maupun kerajaan yang sudah takluk di bawah
pemerintahan Belanda. Tak heran kenapa pada abad itu, banyak
bermunculan pesantren yang tak lagi terikat dengan kerajaan mana pun.
Basis kekuatannya adalah masyarakat pedasaan bukan lagi kerajaan.40
Sikap
independensi—dan bahkan dengan bentuk perlawanan—ini ditandai dengan
peristiwa perang Prajjan pada pukul 22.00, tanggal 9 Desember 1895,
peperangan melawan penjajahan Belanda dibawah komando Kyai Semantri,
seorang ulama kesohor asal Sampang.41
Di samping sikap independensi,
pada paruh kedua abad ke-19, harapan masyarakat Muslim Madura untuk
mengetahui dan menjalankan keberislaman secara lebih skripturalis semakin
kuat. Hal ini sejalan dengan semakin meningkatnya hubungan
40
Iik Arifin Mansurnoor, Islam in An Indonesian World: Ulama of Madura, h. 36. 41
Iik Arifin Mansurnoor, Islam in An Indonesian World: Ulama of Madura, h. 37;
Kuntowijoyo, Perubahan Sosial dalam Masyarakat Agraris Madura 1850-1940, h. 341.
45
“keilmuan42
”—meminjam istilahnya Azra—antara penduduk Nusantara
dengan Semenajung Arab. Pengalaman para haji (selanjutnya: haji) yang
baru pulang dari Mekkah, informasi dari imigran Arab yang datang ke
Nusantara, dan beberapa buku-buku keislaman yang diperoleh dari Arab
membuat gambaran ajaran-ajaran keislaman semakin jelas. Orang Madura
yang ingin mendapatkan gambaran Islam dengan lebih jelas—baik
persoalan keilmuan maupun contoh praktik—tentu jalannya adalah
berangkat naik haji. Mereka harus ke Mekkah, selain belajar agama kepada
sejumlah guru—sebagaimana sudah dipraktekkan banyak ulama di Madura
saat itu—juga mengamati bagaimana orang-orang Arab menjalankan
praktik-praktik keislaman.
Penulis temukan data yang menakjubkan bahwa pada tahun 1880 di
Pulau Madura, terdapat 896 haji; 1885 ada 1.111; dan, 1890 ada 1.364.43
Jumlah haji dari tahun ke tahun di pulau itu terus meningkat. Hubungan
orang-orang Madura dengan Arab melalui keberangkatan haji itu
meningkatkan kesadaran pentingnya skripturalisasi kebaragamaan. Mereka
akan mengetahui sendiri praktik-praktik keagamaan yang berkembang di
Mekkah saat itu dan hal tersebut dapat memicu penasaran mereka untuk
mendalami pengetahuan Islam lebih lauh. Tak semua haji dari Madura saat
berada di Mekkah menuntut pengetahuan agama secara lebih serius
sebagaimana yang dilakukan Syaikhona Kholil dan Kyai Abdul Hamid.
42
Azyumardi Azra, The Origins of Islamic Reformism in Southest Asia: Networks of
Malay-Indonesian and Middle Eastern Ulama’ in The Seventeenth and Eighteenth Centuries
(Alexander Street: Allen and Unwin, 2004). 43
Kuntowijoyo, Perubahan Sosial dalam Masyarakat Agraris Madura 1850-1940, h.
334.
46
Namun dapat diasumsikan bahwa kesadaran skripturalisasi pemahaman
keagamaanya akan muncul. Hal tersebut disebabkan dua hal, pertama, bekal
pengetahuan keagamaan yang didapat dari guru-guru agama (ulama) di
Madura yang memang sudah mapan secara keilmuan, dan kedua mereka
berhadapan sendiri dengan realitas keberagamaan di pusat keislaman saat
itu. Mereka yang pulang dari haji tak tentu menjadi tokoh agama setempat
dan mengajarkan pengetahuan keislaman yang baru saja diperoleh dari
Arab. Namun mereka setidaknya dapat memberikan contoh praktik-praktik
keagamaan yang mereka perolah dari pengalaman selama di Mekkah,
setidaknya seperti praktik salat dan berpakaian. Menurut Kuntowijoyo
mereka, para haji, sepulang dari Mekkah tak memiliki perbedaan dengan
masyarakat pada umumnya kecuali cara berpakaian.44
Ciri khas pakaian
mereka adalah peci putih. Ini merupakan simbol haji dan juga sekaligus
religiusitas seseorang di Madura. Penggunaan simbol peci putih di Madura
memiliki dampak sosial. Mereka yang menggunakan peci tersebut identik
dua hal: kalau bukan haji biasanya adalah santri. Identitas berpakaian yang
digunakan oleh para haji tersebut semakin memperkuat kultur santri
sedangkan kultur santri di Madura identik dengan kultur keislaman yang
sudah mengalami skripturalisasi. Puncak skripturalisasi keislaman di
Madura terjadi semenjak kedatangan organisasi baru yang bernama
Nahdlatul Ulama (disingkat: NU).
44
Kuntowijoyo, Perubahan Sosial dalam Masyarakat Agraris Madura 1850-1940, h.
335.
47
Pada tahun 1926, sebagaimana penulis paparkan di awal (baca: Bab II),
para ulama pesantren mendirikan NU di Surabaya. Kehadiran organisasi
Islam—yang oleh Geertz disebut sebagai tradisionalis (Geertz, )—tersebut
memiliki dampak besar bagi para ulama tradisional yang berbasis di
pedesaan untuk memperkuat pengaruhnya. Keberhasilan mereka dalam
memperkuat pengaruh di Madura dapat dibuktikan dengan terbentuknya—
apa yang oleh Yanwar Pribadi sebut sebagai—“kultur santri” (Santri
Culture).45
Kultur santri tersebut ditandai dengan kuatnya hubungan antara
tiga institusi: ulama, NU, dan pesantren. Adapun salah satu faktor yang
mengikat hubungan tersebut adalah paham keagamaan. Paham keagamaan
ulama di Madura adalah Sunni.
45
Yanwar Pribadi, “Islam and Politics in Madura: Ulama and Other Local Leaders in
Search of Influence 1990-2010,” (Dessertation, University of Leiden, 2013), h. 15-53.
48
BAB IV
PERAN ULAMA PESANTREN DALAM MELESTARIKAN SEKTE
SUNNI DI PULAU MADURA
A. Peran Ulama di Tiga Sektor
Peran ulama pesantren dalam melestarikan sekte Sunni di pulau Madura
dapat terbagi ke dalam tiga sektor, yang mana pada masing-masing bidang
tersebut menggunakan metode yang berbeda-beda. Ketiga sektor itu adalah
peran mereka sebagai guru di pesantren, tokoh atau sesepuh di masyarakat, dan
anggota organisasi.
1. Ulama dan Pesantren
Untuk melestarikan sekte Sunni di pesantren, ulama pesantren
Madura berperan sebagai guru agama. Mereka mengajarkan
pengetahuan-pengetahuan keislaman yang sesuai dengan ajaran Sunni
kepada para santri. Dalam bidang hukum praktis, mereka mengajarkan
pengetahuan keislaman yang masih tergolong dalam kategori paham
madzhab Syafi‟iyah. Di bidang teologi mereka mengajarkan paham-
paham Asy‟ariyah dan dalam bidang spiritual mereka memberikan
suguhan doktrin-doktrin Ghazaliyah.
Pengetahuan keislaman semacam itu mereka ajarkan berdasarkan
kurikulum tradisional, yakni sistem pembelajaran yang didapat secara
turun-temurun (sanadiya wa nasabiyah). Kurikulum tersebut—sebagai
kurikulum pendidikan Islam tertua di Indonesia—merujuk kepada
49
buku-buku ajar dan metode pembelajaran yang khas. Buku ajar yang
mereka gunakan adalah kitab kuning (baca: kitab kuning) dan metode
pembelajarannya adalah weton dan bandongan.1
Kitab kuning—sebagai buku ajar pesantren—merupakan buku
karya para ulama klasik. Buku-buku semacam itu biasanya berwarna
cokelat muda, tampak seperti buku tua, ada yang tipis dan ada yang
tebal.2 Isi yang terkandung di dalamnya biasanya merupakan buah
pikir para ulama klasik di tiga bidang disiplin pengetahuan, teologi,
hukum, dan spiritual. Selain ketiga bidang itu, ada juga yang
mengandung pengetahuan khusus seperti gramatika bahasa Arab dan
karya-karya sastra Arab.3 Gaya penulisannya ada dua bentuk, matan
dan syarah. Kitab kuning matan merupakan karya ulama klasik yang
belum dikomentari. Sebagai karya literasi, teks yang tersaji di
dalamnya masih utuh sebagai karya asli, belum ada campuran tangan
pihak lain. Hal ini berbeda dengan kitab kuning syarah. Ia merupakan
buku komentar atas kitab kuning matan. Untuk kitab kuning yang
mengandung ajaran teologi, hukum, dan spiritual dalam tradisi
pendidikan pesantren Sunni di Madura—ini juga berlaku di daerah lain
di Jawa—ada kategori khusus yang boleh diajarkan di pesantren. Para
ulama pesantren—secara turun temurun—mengkategorikan kitab
1 Syarif, Dinamisasi Manajemen Pesantren dari Tradisional hingga Modern, h. 66.
2 Untuk memperkaya data tentang kitab kuning silakan baca karya Martin van Bruinessen,
Pesantren and Kitab Kuning: Continuity and Change in A Tradition of Religious Learning, yang
diterbitkan dalam sebuah buku bersama (bunga rampai) yang diedisi oleh: Wolfgang Marschall,
ed., Texts from The Islands: Oral and Written Traditions of Indonesia and the Malay World
(Berne: The University of Berne Institute of Ethnology, 1994), h. 121-146. 3 Iik Arifin Mansurnoor, Islam in An Indonesian World: Ulama of Madura, h. 280-283.
50
kuning yang boleh diajarkan di pesantren adalah buku-buku klasik
yang mu’tabaroh. Istilah mu’tabroh sendiri dalam bahasa Arab berarti
“layak dipertimbangkan.” Nampaknya kategorisasi ini merupakan
usaha untuk membentengi hasil buah pikiran dalam bentuk literasi dari
luar sekte Sunni. Pemilihan kitab mu’tabaroh di kalangan ulama
pesantren Madura memiliki kesesuaian dengan kategorisasi yang
dirumuskan oleh NU pada muktamarnya yang ke-27 di Pondok
Pesantren Salafiyah Syafi‟iyah Sukorejo Situbondo Jawa Timur.
Dalam keputusan muktamar tersebut menurut Shofiyullah yang disebut
dengan kitab-kitab mu’tabaroh adalah kitab-kitab klasik yang para
penulisnya memiliki ikatan pemahaman keagamaan yang kuat dengan
empat madzhab (madzhib al-arba’ah).4 Untuk mengetahui lebih rinci
beberapa contoh kitab-kitab mu’tabaroh yang diajarkan di pesantren
Madura silah lihat pada Tabel II di bawah ini.
4 Shofiyullah, Al-Kutub Al-Mu’tabarah: Kajian atas Sumber Rujukan dalam Beristinbath
Menurut NU, Muhammadiyah, dan Persis (T.tp.: T.tp., t.t.), h. 12.
51
Tabel II
Judul Kitab Mu’tabarah Yang Diajarkan di Pesantren Madura
No. Judul
Kitab
(Matan)
Nama Penulis Judul
Kitab
(Syarah)
Nama
Penulis
Jenis
Kitab
1. Safinah
al-Najah
Salim bin Sumair
Al-Hadhromi (w.
1271 H)
Kasyifah
Al-Saja
Nawai Al-
Bantani
Fikih
2. Sullam
al-Taufiq
Abdullah bin Al-
Husain bin Thohir
Al-Alawi Al
Hadhromi (1191-
1242 H)
Mirqat
Shu’ud Al-
Tashdiq
Nawawi Al-
Bantani
Fikih
3. ‘Aqidah
al-Awam
Sayyid Al-Marzuki Nur Al-
Dholam
Nawawi Al-
Bantani
Akidah
(Teologi)
4. Bidayah
al-
Hidayah
Hamid Al-Ghazali Muraqi Al-
‘Ubud
Nawawi Al-
Bantani
Tasaww
uf
5. Ghayah
wa Taqrib
Ahamd bin Husein
bin Ahmad Al-
Ashbahani (Qadhi
Abu Suja‟)
Fath al-
Qorib
Mujib
Muhammad
Ibn Qosim
Al-Ghazi
(w. 928 H)
Fikih
6. Ihya’
Ulumuddi
n
Hamid Al-Ghazali - - Tasawuf,
Fikih,
Akidah
7. Al-
Muharrah
Al-Rafi‟i Fathu Al-
Wahhab
Abu
Zakariya
bin
Muhammad
Al-Anshari
(w. 926 H)
Fikih
8. Fathu
Mu’in
Zainuddin bin Abdul
Aziz Al-Malibari
I’anah al-
Thalibin
Abu Bakar
Syatta‟ Al-
Dimyati
Fikih
Selain delapan kitab kuning yang tertulis pada tabel di atas tentu
masih banyak kitab kuning lain yang tergolong sebagai kitab
52
mu’tabaroh, seperti Shahih Bukhari,5 Shahih Muslim,
6 dll. Kitab
kuning mu’tabaroh tersebut di pesantren biasanya diajarkan oleh kyai
langsung kecuali di pesantren besar. Dalam pesantren besar, biasanya
para kyai pengasuh hanya mengajarkan kitab kuning yang termasuk
kategori pelajaran lanjutan seperti I’anah al-Thalibin, Ihya Ulum al-
Din, dan kitab-kitab kuning lanjutan lain. Metode pengajaran yang
mereka gunakan, sebagaimana sudah penulis jelaskan di awal, adalah
weton dan bandongan.7 Metode tersebut merupakan metode
pembelajaran yang diperoleh secara turun temurun. Kyai mendapatkan
metode tersebut dari pondok pesantren, di mana dia dulu menimba
pengetahuan atau dari orang tuanya sendiri. Bentuk metode tersebut
adalah kyai—sebagai guru—membacakan teks kitab kuning yang
dianggap mu’tabaroh lalu mengurai susunan gramatika bahasa
Arabnya dan kemudian menterjemahkannya dalam bahasa Madura.
Adapun santri menuliskan catatan singkat pada kitab yang mereka
pegang sesuai dengan penjelasan Kyai. Proses pembelajaran tersebut
sering kali disebut sebagai pangajian (pengajian). Pengajian tersebut
biasanya berlangsung setiap selesai menunaikan salat lima waktu.
Namun yang sering terjadi adalah selepas maghrib dan subuh.8 Tempat
yang kyai gunakan biasanya adalah masjid atau kadang-kadang
5 Merupakan kitab yang di dalamnya memuat Hadits-hadits Nabi Muhammad karya Abu
Abdillah Muhammad bin Ismail bin Ibrahim bin Al-Mughirah bin Bardizbah Al-Jufi Al-Bukhari
(w. 870 M). 6 Buku kumpulan hadits karya Abu Husain Muslim bin Al-Hajjaj Al-Qusyairi Al-
Naisaburi (821-875 M) 7 Syarif, Dinamisasi Manajemen Pesantren dari Tradisional hingga Modern, h. 66.
8 Iik Arifin Mansurnoor, Islam in An Indonesian World: Ulama of Madura, h. 298.
53
musala. Formasi kelas yang dibentuk adalah kyai duduk di depan para
santri dan para santri duduk menghadap kyai.
Di dalam kelas pangajian itu ada sejumlah etiket santri yang
dibangun. Untuk menerapkan sejumlah etiket santri kepada guru saat
proses belajar berlangsung, kyai menggunakan rujukan sebuah buku
karya Zarnuji, Ta’limul-Muta’allim. Dalam kitab tersebut dijelaskan
bahwa santri harus patuh kepada guru. Kepatuhan tersebut berupa
sikap diam tak memandang wajah guru dan tak bertanya kalau tak
dipersilakan. Konsep etiket dalam kitab itu, penulis amati berjalan di
pesantren. Saat kyai mulai memasuki kelas—sebut saja masjid atau
musala—para santri berdiri, atau kadang-kadang di sebagian pesantren
duduk diam menundukkan kepala. Sikap semacam itu merupakan
penyambutan hormat kepada guru. Ketika kyai sudah mulai
membacakan teks kitab, para santri tak satu pun dapat memberanikan
diri untuk menatap muka kyai. Biasanya santri fokus sekitar tiga jam
lebih untuk menundukkan kepala, melihat teks-teks Arab pada kitab
yang mereka pegang. Mereka tak berbicara, bercanda, apalagi teriak-
teriak meledek guru di depan. Hal-hal semacam itu di pesantren susah
terjadi bila mana kyai langsung yang mengajar. Fenomena itu
merupakan bentuk penghormatan kepada guru dalam tradisi pesantren.
Etiket semacam itu di pesantren Madura sangat mengikat. Ada satu hal
yang membuat para santri sangat terikat dengan etiket tersebut: istilah
barokah. Para santri pondok di Madura meyakini bahwa untuk
54
mendapatkan barokah santri mau tak mau harus tunduk dan patuh
kepada guru dengan etiket kesantrian yang berlaku di sana.
Di samping penggunaan metode tradisional dan sejumlah
penerapan etiket kepada guru, dalam institusi pesantren di Madura pun
terdapat fasilitas sarana pembelajaran. Untuk pesantren yang jumlah
santrinya kurang dari seratus orang (pondhuk kéné) fasilitas yang
disediakan hanya ada tiga: pondok sebagai tempat tinggal atau asrama
para santri; masjid atau kadang-kadang hanya musala sebagai tempat
pembelajaran berlangsung; dan ketiga tenaga pengajar, yakni kyai itu
sendiri sebagai pengasuh. Adapun untuk ponduk raja, pesantren yang
memiliki jumlah santri lebih dari seratus orang, fasilitasnya pun
bertambah. Untuk pesantren jenis salaf hanya bertambah tenaga
pendidik dan untuk jenis modern (khalaf)9 selain tambahan tenaga
pendidik juga gedung sekolah sebagai tempat berlangsungnya proses
pembelajaran pendidikan formal.
Di dalam pesantren kyai tak hanya mengajarkan pengetahuan
keislaman semata. Mereka juga membekali santri dengan ragam ritual
keislaman tertentu dan kecakapan dalam menerapkan akhlak, etiket
seorang santri. Oleh karena itu, di pesantren kyai dihormati bukan
hanya karena kecakapan intelektualitasnya namun juga lantaran
kegemaran dalam praktik-praktik ritual keislaman (‘abid) dan juga
9 Pesantren salaf adalah bentuk pesantren yang hanya menerapkan metode pembelajaran
tradisional. Di dalamnya hanya mengajarkan pendidikan keagamaan. Adapun pesantren modern
adalah pesantren yang sudah mulai memasukkan kurikul nasional dalam metode pembelajarannya,
yakni seperti membuat lebaga pendidikan formal. Untuk lebih jelasnya silahkan baca buku,
Dinamisasi Manajemen Pesantren dari Tradisonal Hingga Modern (2007) karya Zainudin Syarif.
55
akhlaknya (sháleh). Kyai yang gemar dengan tarekat biasanya juga
membekali santri dengan aliran tarekat yang dia geluti. Seperti Kyai
Toifur Ali Wafa, misalnya. Dia merupakan mursyid tarekat
Naqsyabandiyah di Sumenep. Selain mengajarkan beberapa kitab
kepada para santrinya, dia juga mengajarkan ritual-ritual tarekat
tersebut. Hal ini juga terjadi pada Kyai Ali Karrar. Dia merupakan
mursyid tarekat Alawiyyah di Pamekasan. Adapun kyai yang tak aktif
di tarekat tetap melestarikan ritual-ritual keagamaan yang kerap
disebut sebagai ritual nahdliyah.
Ritual nahdliyah itu ada sembilan macam bentuk ritual yang umum
dikenal oleh masyarakat Madura.
a. Empa’ Bulanan dan Mérét Kandung
Tradisi empa’ bulanan merupakan aktifitas religius berupa
praktik ritual tertentu seperti membaca doa-doa khusus. Itu
dilakukan untuk mendoakan janin yang sedang berumur empat
bulan dalam kandungan. Hal tersebut hampir sama dengan
tradisi méret kandung—hanya saja diperuntukkan sebagai
upacara kehamilan ketika berusia tujuh bulan.
b. Tahlil
Masyarakat Muslim Madura akrab dengan istilah tahlil.
Istilah tersebut ialah serapan dari bahasa Arab, tahlil yang
berarti membacakan kalimat tauhid: láilaha illálláh
muhammadurrasúlulláh. Sebagai ritual, praktik tahlil itu
56
biasanya dilakukan dengan, pertama, tawasshul kepada orang-
orang yang telah meninggal dengan membacakan surah Al-
Fatihah; kedua, dilanjutkan dengan membacakan surah Yasin,
lalu—atau langsung—membaca tiga surah pendek: al-falaq,
an-nás, dan al-ikhlas. Setelah pembacaan itu, para praktisi
ritual tahlil biasanya melanjutkan dengan membacakan
sholawat, istighfar, atau langsung kalimat tauhid. Terakhir
adalah doa (lihat Lampiran I).
c. Upacara Pemakaman
Dalam upacara pemakaman tak ada yang berbeda dengan
beberapa tradisi keislaman yang golongan lain kecuali dua hal:
saat pengiringan janazah dan setelah pemakaman. Dalam
tradisi kaum nahdliyyin, ketika membawa janazah dari tempat
disalatkan menuju keburuan, mereka mengiringi janazah
sepanjang perjalanan dengan membacakan kalimat tauhid.
Adapun ketika proses penguburan selesai mereka meneruskan
dengan pembacaan talqin (lihat: Lampiran II) dan kemudian
tahlil di kuburan. Selepas itu, para pelayat tak langsung pulang
ke rumah masing-masing namun mampir dulu ke rumah duka
(baca: pihak al-marhum atau al-marhumah). Di sana mereka
mendapatkan jamuan makan dari keluarga orang yang telah
meninggal.
d. Maulid
57
Kelahiran Nabi Muhammad dalam Islam dikenal dengan kata
maulid: bermakna “sebuah hari kelahiran.” Dalam acara maulid
biasanya jamaah nahdliyin membacakan sholawat dengan buku
panduan bermacam-macam. Ada yang menggunakan buku
Barzanji, Simtudduror, Dibái, dan Habsyi.
e. Manaqib
Dalam tradisi NU, kita mengenal manaqib-ban. Itu
merupakan ritual pembacaan biografi tokoh tertentu. Misalnya,
salah satu ulama yang sering dikenang lewat tradisi ini adalah
Syeikh Abdul Qodir Al-Jailani, dan dikenal dengan istilah
Manaqib-an Syeikh Abdul Qadir Jailani.
f. Haul
Begitu pun juga ketika hendak menghormati ulama sesepuh
yang sudah meninggal. Dalam NU ada tradisi haul. Tradisi
tersebut merupakan bentuk upacara peringatan hari wafatnya
seorang ulama. Salah satu agenda ritual semacam itu yang
sering kita kenal adalah Haul Gus Dur. Itu merupakan upacara
kenangan wafatnya K.H. Abdurrahman Wahid.
g. Asyura
Tradisi asyura merupakan ritual yang kerap dilakukan oleh
jamaah nahdliyin ketika memasuki sepuluh hari pertama bulan
Asyura versi tahun Hijriyah. Pada sejumlah hari itu—terutama
tanggal 9 dan 10—merupakan hari istimewa bagi mereka untuk
58
melakukan beberap ritual. Sembari mengutip pendapat Ahmad
bin Hanbal mereka biasanya menganjurkan untuk melakukan
lima belas keutamaan praktik ritual: baik bersifat individual
maupun sosial. Pertama, bersedekah kepada orang-orang
miskin; kedua, mengusap kepala yatim; ketiga, menyuguhkan
hidangan buka bagi orang yang berpuasa; keempat,
menyiramkan air; kelima, mengunjungi saudara yang seiman;
keenam, mandi; ketujuh, menjenguk orang yang sedang sakit;
kedelapan, berbakti kepada orang tua dan memuliakan mereka;
kesembilan, mengontrol emosi; kesepuluh, memaafkan orang
yang pernah jahat; kesebelas, perbanyak salat, doa dan istghfar;
kedua-belas, maksimalkan dzikir; ketiga-belas, membersihkan
jalan dari rintangan; keempat-belas, berjabat tangan dengan
tiap orang yang dijumpai; kelima-belas, perbanyak membaca
surah Al-Ikhlash. Sejumlah ritual tersebut hanya merupakan
anjuran. Tak semua orang nahdliyin melakukan itu. Namun
pada bulan tersebut ada satu kebiasaan masyarakat nahdliyin
yakni membuat bubur dan mereka menamainya, Tajin Sora.
h. Sya’ban
Dalam lingkungan jamaah nahdliyin terdapat satu tradisi
ritual yang kerap disebut sebagai sya’ban. Tradisi keagamaan
tersebut merupakan sebuah bentuk ritual dalam rangka
pertama, memperingati hari penutupan buku catatan amal.
59
Kedua, membacakan surah Yasin diulang tiga kali. Pembacaan
pertama untuk meminta supaya rezeki lancar; kedua, supaya
umur panjang; dan ketiga dosa-dosa diampuni. Lalu, ritual
tersebut diakhiri dengan pembacaan doa khusus (lihat:
Lampiran III)
Selain membekali santri dengan praktik ritual keislaman, para kyai
juga mengajarkan etiket kesantrian. Etiket kesantrian adalah prinsip
sopan santun yang biasa dipraktikkan oleh kalangan santri. Mereka
memilih kostum, cara berlajar, menyapa orang, dan bertindak-tanduk
keseharian yang khas. Kostum yang mereka gunakan adalah sarung
dan peci: dua pakaian yang mencirikan kesantrian seseorang. Cara
menyapa dan berbicara dengan orang sangat dianjurkan untuk dengen
tutur yang lembut dan bahasa Madura yang halus. Di Madura, santri
dan non-santri betul-betul dapat dibedakan.
2. Ulama dan Masyarakat
Di luar pesantren, kyai juga merawat sekte Sunni dengan berperan
sebagai pangasepoh (baca: sesepuh) di masyarakat. Dia mengemban
tugas sebagai tokoh masyarakat. Peran-peran yang dia laksanakan
berbentuk pelayanan kepada masyarakat dengan ragam aktifitas.
Semua aktifitas itu dapat dibagi ke dalam dua bentuk jenis kegiatan
yang tujuannya adalah melestarikan paham aswaja. Pertama, kegiatan
intelektual berupa pengajian dan kedua kegiatan spiritual berupa ritual-
ritual keislaman.
60
Pengajian yang disampaikan oleh ulama pesantren ada dua bentuk:
pengajian kitab kuning dan ceramah. Pengajian kitab kuning
berlangsung hampir sama dengan metode yang para kyai terapkan di
pesantren. Bedanya hanya soal tempat dan waktu. Tempatnya kadang
berpindah-pindah dan kadang menetap di tempat tertentu seperti Majlis
Ta’lim.10
Adapun waktunya amat tergantung kepada permintaan
masyarakat. Biasanya pengajian jenis ini dilakukan secara rutin, kalau
tidak mingguan, sebulan dua kali, atau sebulan sekali.
Di masyarakat Madura tradisi semacam ini dikenal dengan
sebuatan kompolan pangajian. Kata kompolan sendiri memiliki arti
kumpulan.11
Kata ini dapat disepadankan dengan kata forum atau
himpunan. Forum ini berbentuk informal dan lahir dari tradisi orang
Madura. Tradisi ini muncul lantaran faktor geografis-agraria.
Kepulauan tersebut secara geografis tepat berada di sebalah Timur
Pulau Jawa dan sebelah Barat Laut Pulau Bali. Pulau yang terkenal
dengan garam dan tembakaunya itu dipisahkan dengan Jawa oleh
bentangan perairan: yang kemudian disebut sebagai Selat Madura.
Berdasarkan peta tahun 1846 Madura berada di antara 6o42‟ dan 7
o18‟
Lintang Selatan, dan di antara 112o40‟ dan 114
o2‟ Bujur Timur.
12
Untuk mengetahui lebih baik tentang keadaan ekologisnya, P.J. Veth
10
Sebuah forum di mana pengajian berlangsung. 11
Khusus untuk daerah Pamekasan, istilah kompolan dikenal dengan istilah koloman
yang memiliki arti sama. Untuk lebih jelasnya tentang tradisi kompolan silakan baca tulisan Rokat
Bhuju‟ Vis-a-Vis Kompolan: Metamorfosis Elit Madura Pasca Keruntuhan Orde Baru (2007: 133-
148) karya Fathol Khalik yang diterbitkan jurnal Karsa pada bulan Oktober 2007, Vol. XII. No. 2. 12
Kuntowijoyo, Perubahan Sosial Dalam Masyarakat Agraris, h. 27.
61
pada tahun 1903 pernah mengkomparasikannya dengan Pulau Jawa.
Dia menulis bahwa pemandangan alam di Pulau Jawa nampak dengan
warna-warna yang kuat dan bentuk rupa memukau, sedangkan Madura
sebaliknya. Sebagai sebuah pulau yang terpisah, alamnya
menampakkan pemandangan yang sederhana: warna-warna yang
lembut dan bergaris-garis, di sana sini warna putih kapur silang-
menyilang.13
Bentuk lahan tanah di pulau tersebut didominasi oleh
tegal bukan persawahan sebagaimana di Jawa. Jika dibandingkan
dengan lahan tegal, lahan persawahan di Madura terbilang sangat
terbatas. Tegal merupakan lahan pertanian yang tanahnya adalah
perkapuran.14
Lahan pertanian semacam ini membuat formasi rumah-rumah
penduduk memiliki dua pola, ada yang berupa kampung meji dan
tanéan lanjang.15
Kampung meji merupakan pola pemukiman
terpencar, yang mana satu kelompok pemukiman dengan pemukian
lain terisolasi. Jarak antara kedua kelompok pemukiman bisa mencapai
satu hingga dua kilometer.16
Rumah yang dibangun dalam satu bentuk
pemukiman itu biasanya menghadap ke selatan semua. Berbeda
dengan kampung meji, pola tanéan lanjang merupakan pemukiman
berkelompok dengan skala kecil. Formasi perumahan di dalamnya
berderet dan menghadap ke selatan semua. Bentuk pemukiman
13
Kuntowijoyo, Perubahan Sosial Dalam Masyarakat Agraris, h. 24. 14
Kuntowijoyo, Perubahan Sosial Dalam Masyarakat Agraris, h. 31. 15
Latief Wiyata, Carok: Konflik Kekerasan dan Harga Diri Orang Madura, h. 39-43. 16
Latief Wiyata, Carok: Konflik Kekerasan dan Harga Diri Orang Madura, h. 39.
62
tersebut—berdasarkan sejarah dan susunan keluarga penghuni—
biasanya dibangun oleh sebuah keluarga yang memiliki banyak anak
perempuan. Di Madura terdapat sebauh pola pernikahan yang
menkombinasikan antara unsorilokal dan matrilokal (uxori-
matrilokal). Pihak lelaki mau tak mau harus tinggal di rumah
perempuan setelah menikah. Pihak keluarga yang memiliki banyak
anak perempuan harus menyediakan banyak rumah. Dari sana
terbentuk lah pola pemukiman tanéan lanjang.17
Pemukiman semacam
ini kebanyakan berada di daerah Sumenep. Walaupun berbeda formasi,
pola pemukiman tanéan lanjang tetap memiliki kesamaan dengan
kampung meji. Persamaannya terletak pada bagaimana kedua
pemukiman tersebut mencerminkan pola kehidupan yang
individualistik jika dilihat dari jarak antar pemukiman. Sebagaimana
kampung meji, antar tanéan lanjang pun jaraknya cukup jauh. Kedua
pemukiman tersebut dengan pemukiman-pemukiman yang lain
dipisahkan oleh lahan-lahan tegal. Jauhnya jarak antar pemukiman ini
nampaknya dapat menjadi alasan yang logis kenapa orang Madura
kemudian membentuk suatu pola relasi sosial yang disebut kompolan
untuk melakukan kegiatan sosial. Di Madura, kompolan sendiri
memiliki banyak ragam bentuk. Kompolan yang didirikan dan
dilestarikan oleh orang-orang Madura yang gemar menimba
17
Untuk lebih detailnya, penjelasan tentang tanéan lanjang dapat dibaca pada buku
Carok: Konflik Kekerasan dan Harga Diri Orang Madura (2002) karya Latief Wiyata.
63
pengetahuan keislaman dinamai kompolan pangajian. Ini merupakan
sebuah tradisi himpunan kalangan santri di Madura.
Selain pembacaan teks kitab kuning di kompolan, beberapa kyai
juga kerap mengisi pengajian dalam bentuk ceramah. Berbeda dengan
pembacaan teks kitab kuning di kompolan, materi ceramah yang
disampaikan biasanya seputar pengetahuan keislaman yang mudah
dipahami dan waktunya tak menentu. Para kyai penceramah itu jarang
mengupas pemikiran-pemikiran para tokoh dalam Islam. Acap kali
mereka sekadar menyampaikan materi-materi himbauan untuk beramal
baik dan fokus untuk kehidupan setelah kematian. Pelaksanaan acara
ini lumrahnya di salah satu rumah penduduk yang sedang memiliki
keperluan seperti kenduri pernikahan (walimah al-nikah),
memperingati kelahiran Nabi Muhammad (maulid), khitan18
anaknya,
dan lain-lain. Selain di rumah penduduk kadang-kadang juga di musala
atau masjid dalam acara-acara hari besar tertentu dalam Islam, seperti
maulid, tahun baru Hijriyah, Isra’ Mi’raj, dan kadang-kadang juga di
pesantren dalam acara haflah al-imtihan, haul, dan lain-lain. Bentuk
pengajian jenis ini disampaikan tentu oleh kyai yang mahir
berceramah. Tak semua kyai dapat melakukan itu, sama sebagaimana
juga pembacaan teks kitab kuning. Masing-masing kyai memiliki
bidang keunggulan tersendiri.
18
Sebuah tradisi sunatan.
64
Selain pematangan intelektualitas keislaman masyarakat, aktifitas
yang juga para kyai selenggarakan adalah pematangan spiritualitas.
Dalam bidang ini, biasanya mereka bergerak sebagai mursyid19
atau
pemimpin doa. Mereka yang bergerak sebagai mursyid adalah para
kyai yang aktif di tarekat tertentu. Tarekat yang dapat diterima dan
dijalani oleh ulama pesantren di Madura adalah salah satu dari dua
puluh dua tarekat terpilih yang sudah disahkan oleh kalangan Sunni
(thariqah mu’tabaroh).20
Adapun yang berkembang dan cukup besar
ada tiga: Tarekat Tijaniyyah, Alawiyyah, dan Naqsyabandiyyah.
Pesantren yang reperentatif dengan Tijaniyyah-nya adalah pesantren
Al-Amin Prenduan Suemenep, Alawiyyah adalah Darut Tauhid Proppo
Pamekasan, dan Naqsyabandiyyah adalah Assadad Ambunten
Sumenep. Selain bergerak sebagai mursyid, terdapat pula sejumlah
kyai yang berperan sebagai pemimpin doa. Mereka biasanya
memimpin doa dalam setiap acara ritual keislaman ala nahdliyyin.
3. Ulama dan Organisasi
Adapun sektor yang ketiga adalah peran mereka dalam organisasi.
Sejumlah besar para kyai di Madura aktif di dalam NU, mulai dari
menduduki jabatan Syuriyah,21
Tanfidhiyah,22
bahkan hingga hanya
sekadar aktif dalam menerapkan cita-cita NU. Seperti salah contoh
19
Sebutan yang akrab digunakan buat para guru tarekat dalam Islam. 20
Untuk mengetahui daftar nama tarekat yang dianggap mu’tabaroh di kalangan Sunni
silakan baca: Aziz Masyhuri, Ensiklopedi 22 Aliran Tarekat dalam Tasawuf (Surabaya: Imtiyaz,
2014). 21
Jabatan Syuriyah dalam NU adalah jabatan sebagai pemandu atau pemantau perjalanan
organisasi. Posisi ini biasanya diduduki oleh para kyai pesantren. 22
Jabatan Tanfidhiyah adalah jabatan sebagai pelaksana organisasi.
65
Kyai Ilyasi, pengasuh pesantren Nurul Islam Bluto. Dalam rangka
turut merujudkan cita-cita NU, dia mengintruksikan kepada para
jajaran pendidik di sekolah yang dia asuh itu untuk mengganti OSIS
dengan IPNU.23
Namun selain NU ada pula beberapa organisasi
khusus yang bergerak dengan tujuan untuk membentengi aswaja dan
didirikan oleh para kyai. Penulis temukan di Madura ada tiga
organisasi semacam itu yang sedang aktif. Pertama, organisasi dengan
nama Aliansi Ulama Madura (AUMA), Forum Kiai Muda Madura
(FKM Madura), dan Harkah Pimpinan Pondok Pesantren Madura
(HP3M). Ketiganya lahir di Pamekasan.
AUMA didirikan pada tanggal 31 Oktober 2015 di Pondok
Pesantren Nurul Cholil Demangan Barat, Bangkalan. Sebagaimana
tercantum dalam salah satu selebaran edar yang penulis dapati di
kantor AUMA itu sendiri, latar belakang pendirian organisasi tersebut
adalah konflik kekerasan agama yang terjadi di Tolikara Papua. Pada
tanggal 17 Juli 2015 (1 Syawal 1436) sedang terjadi kericuhan.
Menjelang pelaksanaan salat Idul Fitri, salah satu masjid di sana
dibakar oleh sebagian kelompok non-Muslim. Sebagian jamaah masjid
tersebut adalah orang Madura perantau yang berada di sana. Berawal
23
Munif, “Meneguhkan Pesantren Sebagai Pilar NKRI: Studi Atas Peran dan Strategi
Pesantren Madura Dalam Menghadapi Kelompok Islam Radikal,” (Tesis S2 Program Studi
Pendidikan Islam, Institut Ilmu Keislaman Annuqiyah Guluk-Guluk Sumenep, 2015), h. 80.
66
dari peristiwa tersebut sebagian para kyai di Pulau Madura membentuk
organisasi yang kemudian diberi nama AUMA.24
Visi dan misi pembentukan organisasi keagamaan baru tersebut—
sebagaimana tertulis dalam Anggaran Dasar/Anggaran Rumah Tangga
(AD/ART) Bab VIII, Visi dan Misi—disebutkan pada Pasal 14 bahwa
visi AUMA adalah pertama, “melindungi kemurnian aqidah, syariat,
akhlaq dan ukhuwah islamiyah „ala ahlissunnah wal jama’ah di bawah
madzáhib al-arba’ah; kedua, beramal baik secara maksimal dan ikhlas
karena Allah SWT demi memperoleh kebahagiaan dunia dan akhirat.
Adapun misinya dapat dilihat pada Pasal 15. Di sana disebutkan ada
enam poin: “pertama, melestarikan kegiatan keagamaan; kedua,
mempererat tali ukhuwah islamiyah; ketiga, mengupayakan penolakan
segala bentuk aliran-aliran yang menodai dan mengganggu kemurnian
aqidah islamiyah; keempat, menggali prakarsa ulama dan tokoh agama
Madura setelah melalui musyawarah dan memperjuangkannya; kelima,
membina dan membimbing umat dalam mewujudkan tujuan AUMA;
dan, keenam, mengawasi setiap program pembangunan Madura untuk
dapat membawa kemaslahatan umat secara utuh dan komperehensif,
dunia dan akhirat.” Tujuannya adalah—dapat dilihat pada Pasal 16—
“untuk menciptakan masyarakat Madura yang agamis dan islami serta
benar-benar bersinergi dengan ulama.”25
24
Brosur AUMA yang penulis dapatkan pada tanggal 27 Januari 2017 pukul 16.40 di
Kantor AUMA, Proppo Pamekasan. 25
AUMA, AD/ART, h. 7-8.
67
Organisasi yang memperoleh izin—No SK. Menkumham: AHU-
0030091.AH.01.07.Tahun 2015—itu diketuai oleh Kyai Ali Karrar
selama periode 2016-2020. Dia merupakan pengasuh Pondok
Pesantren Darut Tauhid Proppo Pamekasan dan segaligus mursyid
tarekah naqsyabandiyah di Madura. Kantornya berada di Proppo tak
jauh dari pesantren Darut Tauhid, kira-kira kurang lebih lima ratus
meter. Orang yang bergerak di AUMA adalah para ulama dan tokoh
keagamaan di Madura, baik yang punya pesantren maupun tidak.
FKM berdiri pada tanggal 15 April 2015. Tujuan keorganisasian
ini tak jauh berbeda dengan AUMA. Dalam AD/ART FKM Madura
Bab VIII Pasal 15 disebutkan bahwa tujuan pembentukannya adalah
“untuk membentuk tatanan masyarakat bersendikan syari’at islamiyah
‘ala alhlis sunnah wal jama’ah.” Visi dan misinya tercantum dalam
Bab VII. Pada pasal 13, visinya adalah “terwujudnya tatanan
masyarakat bersendikan syari’ah islamiyah ‘ala ahlissunnah wal
jama’ah.” Adapun misinya—pada Pasal 14—terbagi menjadi enam
poin: pertama, beramal baik secara maksimal dan ikhlas karena Allah
SWT demi memperoleh keuntungan dunia dan akhirat; kedua,
mempererat tali kebersamaan anggota dalam berdakwah; ketiga,
mengadakan pertemuan dengan pemerintah atau pihak-pihak tertentu
dalam mewujudkan tujuan FKM Madura bilamana dipandang perlu;
keempat, membentengi dan melanjutkan perjuangan kyai-kyai sepuh
dalam memperjuangkan ajaran Islam ‘ala ahlissunnah wal jama’ah:
68
kelima, menggali prakarsa lora/ustadz dan menindaklanjutinya setelah
melalui musyawarah pengurus; keenam, melindungi syari’ah
islamiyah ala ahlissunnah wal jama’ah. Ketua organisasi ini adalah
Umar Hamdan Karrar, putra Kyai Ali Karrar. Organisasi ini
digerakkan oleh para lora (putra para kyai) di Madura.26
Adapun HP3M merupakan organisasi keagamaan yang digerakkan
oleh para pengasuh pesantren dan didirikan pada tanggal 21 September
2016 di Pamekasan. Kantor sekretariatnya berada di Dusun
Pangaporan, Desa Plakpak, Kecamatan Pegantenan. Itu berada tepat di
samping pintu gerbang Pondok Pesantren Ummul Qura, yang mana
pengasuhnya, K.H Lailur Rahman merupakan ketua perdana organisasi
baru tersebut. Organisasi ini bergerak di bidang pelayanan umat, yakni
sebagaimana tercantum dalam AD/ART-nya, untuk menjaga paham
ahlussunnah wal jama’ah (Sunni) yang berbasis kepada empat
madzhab: Maliki, Syafi‟i, Hanafi, dan Hanbali. Dalam usaha
membentengi paham Sunni, sebagaimana penulis peroleh dari data
wawancara dengan Kyai Lailur, dinyatakan bahwa setidaknya ada
empat agenda. Agenda pertama adalah memantau dan
mempertahankan paham Sunni di pesantren; kedua, di masjid-masjid,
sekolah dan beberapa langgar; ketiga, di masyarakat dalam bentuk
kompolan, tahlilan, khaul, dan ritaul nahdliyin lainnya; dan, terakhir
26
FKM, AD/ART, h. 6-10.
69
keempat adalah di daerah luar Pulau Madura, di mana di situ ada
masyarakat Madura perantauan.27
Peran ulama pesantren Madura di organisasi selalu menduduki
posisi penting. Mereka menjadi elit dan pemegang semua kendali
organisasi. Peran mereka kalau tidak sebagai ketua umum biasanya
sebagai penggerak utama. Kedudukan atau posisi formal di organisasi
tak terlalu signifikan dalam pergerakan untuk melestarikan Sunni di
Madura. Untuk melestarikan sekte tersebut, peran signifikan para
ulama pesantren Madura di organisasi adalah mewujudkan
perkumpulan dan penjagaan semangat juang bersama. Dengan adanya
organisasi, mereka memiliki wadah resmi dan bahkan legal untuk
melakukan pergerakan demi melestarikan sekte Sunni.
B. Ulama Yang Melestarikan Sunni Melalui Karya Tulis: Contoh Kasus
Perjalanan Intelektual Kyai Toifur Ali Wafa
Ulama pesantren di Madura selain berperan di tiga sektor—pesantren,
masyarakat, dan organisasi—sebagaimana penulis jelaskan di atas, terdapat
beberapa di antara mereka dengan jumlah yang sangat terbatas yang juga turut
melestarikan paham Sunni melalui karya tulisan. Salah satu di antaranya adalah
K.H. Toifur Ali Wafa. Lelaki kelahiran 20 Sya‟ban 1384 H (1963 M) itu
merupakan salah satu ulama pesantren yang paling produktif dalam menulis.
Karya yang dia tulis berjumlah 43 buku (lihat Tabel III) dalam bahasa Arab.28
27
Lampiran HP3M. 28
Habib Alaidrus, Manár al-Wafá (Sumenep: T.pn., 2005), h. 235-246.
70
Salah satu buku monumentalnya adalah Firdaus al-Na’im: sebuah tafsir Al-
Qur‟an.
Tabel III: Kitab-Kitab Karya Kyai Toifur Ali Wafa
No. Judul Kitab
1. Minhah al-Karim al-Mannán
2. Taudlíh al-Maqál
3. Al-Dzhab al-Sabík
4. Riyádl al-Muhibbín
5. Daf’u al-Ihám wa al-Hab
6. Tuhfah al-Ráki’ wa al-Sájid
7. Kasyf al-Awhám
8. Mazíl al-‘Uná’
9. Taudlíh al-Ta’bír
10. Kasyf al-Khafá’
11. Al-Quthúf al-Diniyah
12. Balaghah al-Thulláb fí Talkhísh Fatwá Masyáyikhí
13. Al-Jawáhir al-Sunniyyah
14. Habáil al-Syawárid
15. Al-Badr al-Munír
16. Al-Tadríb
17. Jawáhir al-Qláid
18. Misykat al-Anwár
19. Zauraq al-Najá’
20. Raf’u al-Rain wa al-Ríbah
21. Miftah al-Ghawámidl
22. Baráhin dzawi al-‘Irfán
23. Al-Tibyán
24. Aríj al-Nasím
25. Sullam al-Qáshidín
26. Nail al-Arb
27. Al-Raudl al-Nadlír
28. Núr al-Dhalám
29. Al-Riyádl al-Bahiyyah
30. Al-ídlah
31. Fath al-Lathíf
32. Al-Fiyah Ibn Ali Wafa
33. Darar al-Táj
34. Al-Iklíl
35. Al-Munahhil al-Syafí
36. Al-Firqad al-Rafi’
71
37. Núr al-Sáthi’
38. Al-Nifhah al-‘Anbariyyah
39. Izálah al-Waná’
40. Al-Kaukib al-Aghr
41. Jawáhir al-Shafá
42. Risálah al-Musammáh
43. Firdaus al-Na’im
Dia merupakan pengasuh Pondok Pesantren Assadad. Pondok tersebut
berdempetan dengan rumahnya di desa Ambunten, Kabupaten Sumenep. Di
lembaga pendidikan Islam tersebut dia mengajarkan beberapa buku-buku ajar
pesantren sebagaimana pada umumnya, di samping pula kadang-kadang
membedah buku-bukunya sendiri. Dia mengajar studi keislaman biasanya
selepas salat Maghrib secara berjama‟ah dan Subuh di Masjid yang berada di
halaman pesantren. Pesantren yang dia asuh itu masih tergolong sebagai
pesantren tradisional (salaf). Di sana, dia tak membuka sekolah formal. Tapi
meskipun demikian, dia tak melarang para santri—bagi yang berkehendak—
untuk belajar di sekolah formal.
Selain di pesantren dia juga aktif melestarikan paham Sunni di
masyarakat. Keterlibatan dia di masyarakat sama dengan kyai-kyai yang lain,
yaitu mengisi ceramah, pengajian, dll. Walaupun nama dia tak terlalu populer
bagi kalangan masyarakat Madura bagian Barat, dia merupakan salah satu
tokoh tarekat naqsyabandi yang disegani di Sumenep. Basis kekuatan masa dia
memang di Madura bagian Timur. Meskipun termasuk ulama yang produktif
menulis, di masyarakat dia bukan terkenal lantaran buku-bukunya tetapi karena
karisma dan ketauladanannya yang lemah lembut. Kesibukan dia sebagai
pangasepoh di masyarakat nampaknya melebihi kesibukan dia sebagai guru di
72
pesantren. Tapi sesibuk apa pun, dia tetap selalu menyediakan waktu khusus
untuk berada di pesantren. Dia memilih malam untuk tetap berada di pesantren,
terutama di rumahnya. Belakangan ini dia tak mau menerima undangan
masyarakat bila mana penyelenggaraan acaranya di malam hari. Dia
beraktifitas di masyarakat selalu di siang hari. Di malam hari, total mulai
menjelang maghrib hingga setelah pengajian Subuh, dia khususnya waktunya
untuk berada di pesantren.
Sebagai kyai yang memiliki daya intelektualitas mumpuni, namanya tentu
tak asing lagi bagi kalangan para kyai NU yang lain. Di Sumenep, dia
bergabung dengan organisasi yang berlambang bumi dan bintang sembilan itu.
Salah satu peran yang dia tekuni adalah mengisi pengajian kitab kuning pada
waktu-waktu tertentu di Pengurus Cabang Nahdlatul Ulama (PCNU). Di
samping aktif menyumbangkan intelektualitas keislaman kepada para anggota
organisasi tersebut, dia juga menyepuhi—sebagai Ketua Umum—sebuah
wadah gerakan para kyai, komunitas Majelis Alumni-Alumni Pondok
Pesantren (Massa Pontren).
Salah satu tujuan utama gerakan tersebut adalah membentengi paham
Sunni dari rongrongan ajaran lain. Agenda yang dijalankan adalah pertama,
pengajian rutin setiap bulan. Kyai Toifur merupakan salah seorang ulama yang
kerap kali dimintai untuk membacakan teks kitab kuning tertentu di agenda
tersebut. Kedua, penyuluhan ke pesantren-pesantren dan sekolah-sekolah
tentang pentingnya Sunni melalui beberapa anggota yang sudah direkrut.
Ketiga adalah menghimbau kepada masyarakat untuk tak menjual tanah kepada
73
asing melalui kompolan maupun ceramah. Agenda yang sudah berhasil adalah
terwujudnya peraturan kepada seluruh siswi Muslimah di Sumenep untuk
menggunakan kerudung. Data ini penulis peroleh ketika mewawancarai Kyai
Toifur di rumahnya.
Salah satu dari keberhasilan Massa Pontren adalah diterapkannya sampai
sekarang peraturan berkerudung bagi para siswi Muslimah.29
Melalui
komunitas itu, dia nampaknya ingin supaya paham Sunni betul-betul
terlestarikan di Pulau Madura. Dia tak ingin paham Sunni yang berkembang di
masyarakat Madura tercampuri oleh paham-paham lain.30
Pemahaman
keagamaan dia ini dapat tergolong ekslusif. Hal tersebut dapat dipahami
lantaran dia merupakan santri jebolan Mekkah. Dia merupakan salah satu
ulama Madura yang memiliki jaringan keilmuan yang kuat dengan Mekkah.
Sebelum mendirikan Pondok Pesantren Assadad itu pada tahun 1992, dia
sempat merantau ke Mekkah. Perjalanan dia itu dalam rangka menimba ilmu
kepada beberapa ulama yang berada di sana. Diantara ulama yang dia jadikan
guru adalah Syeikh Ahmad Dardum dan Syeikh Ismail Zein. Kepada Syeikh
Dardum, dia belajar studi gramatika bahasa Arab (nahwu) dan hukum Islam
(fiqh). Salah dua buku yang pernah dia pelajari kepada gurunya yang terkenal
sebagai pakar nahwu itu adalah pertama, Syarah Ibn ‘Aqil—karya Ibn Aqil
yang merupakan buku komentar atas buku gramatika bahasa Arab yang
29
Wawancara Pribadi dengan Kyai Toifur Ali Wafa pada 19 Februari 2017 pukul 12.30. 30
Khusus kasus kerudung dan jilbab, paham yang lain yang dimaksud di sini adalah
ajaran fikih yang membolehkan perempuan untuk tidak memakai kerudung sebagaimana doktrin
Muhammad Said Al-Asymawi dalam kitabnya, Haqiqat al-Hijab wa Hujjiyatu Al-Hadits. Kitab
ini pernah diterjemahkan oleh Jaringan Islam Liberal dengan judul baru, Kritik Atas Jilbab.
Adapun paham lain di bidang akidah adalah Syiah, Wahabi, dan Liberal.
74
terkenal puitik, Al-Fiyah karya Ibn Malik—dan kedua, buku fiqh yang berjudul
Kifayatul Akhyar karya Abu Bakar bin Muhammad bin Abdul Mu‟min. Kitab
kuning terakhir tersebut merupakan buku komentar atas karya Abu Syuja‟,
Taqrib.
Biasanya dia berangkat ke rumah gurunya itu, Syeikh Dardum, pada pagi
hari. Di sore harinya, selepas menunaikan salat Ashar, dia pergi ke rumah
Syeikh Ismail. Di sana, dia belajar banyak kitab-kitab kuning hingga malam.
Dari selepas Ashar hingga Maghrib dia belajar karya para ulama terdahulu
seperti Nihayatul Muhtaj dan beberapa kitab fiqh lain. Setelah Isya‟ dia belajar
kitab-kitab Hadits (kutub al-sittah).31
Sebelum merantau ke Mekkah, sebagaimana kebanyakan para ulama
Madura yang lain, dia juga pernah menempuh pendidikan Islam di Pulau
Madura dan beberapa di Pulau Jawa. Studi keislaman perdananya dia dapatkan
dari orang tuanya sendiri, Kyai Ali Wafa, seorang ulama yang terkenal sebagai
tokoh tarekat naqsyabandiyah di Sumenep. Dia belajar kepada ayahnya
tentang metode membaca Al-Qur‟an—mulai dari mengenal huruf hingga dapat
membacanya secara baik—(baca: sesuai tajwid) dan praktik salat (Madura:
duana bajang). Setelah dapat membaca Al-Qur‟an dan mempraktikkan salat
dengan baik, dia kemudian melanjutkan belajar tentang beberapa kitab kuning
dasar. Di antaranya adalah jurmiyah, kafrawi, mutammimah, matan safinah,
matan sullam, aqidatul awam, risalah mukhtashar fi ‘ilmi al-tauhid, bidayh al-
hidayah, dll. Tak lama setelah menyelesaikan beberapa buku ajar dasar
31
Alaidrus, Manár al-Wafá, h. 45-83.
75
pesantren tersebut hingga dia berhasil dapat membaca kitab kuning dengan
baik, ayahnya wafat. Umur Kyai Toifur muda saat itu belum menginjak usia
ke-14 tahun. Saat itu dia sudah menjadi yatim. Tapi status ke-yatiman-nya tak
membuat semangat dia dalam mengejar pendidikan keislaman surut. Dia
melanjutkan studinya kepada saudaranya, Kyai Ali Hisyam. Kepadanya dia
belajar buku-buku karya Syeikh Nawawi Banten, seperti Kasyifah al-Najah,
buku komentar atas Safina; Syarah Sullami; dan Syarah Bidayah al-Hidayah.
Pada saat sudah menginjak usia yang ke-14 tahun, dia berangkat ke
Mekkah untuk menunaikan rukun Islam yang kelima (hajj). Pada tahun itu pula
dia dijodohkan dengan salah satu putri Kyai Abdullah Salil Kholil dan sampai
sekarang menjadi istrinya. Sepulang dari Mekkah dia kembali mengejar
pendidikan keislaman. Kali ini dia dibawa oleh saudarannya, Kyai Hisyam,
untuk bertemu dengan Kyai Ahmad Zaini bin Miftahul Arifin, salah seorang
ulama Sumenep yang pernah menjadi Imam Besar Masjid Istiqlal di Jakarta.
Kyai Hisyam menyampaikan pinutur kepada Kyai Zaini bahwa ada surat dari
ayahnya—Kyai Ali Wafa—sebelum wafat. Surat itu kira-kira berisi tentang
pesan Kyai Ali Wafa kepada Kyai Zaini untuk membantu putranya bila mana
suatu saat nanti tak ada umur. Singkat cerita, Kyai Toifur muda diterima di
pesantren untuk menjadi santri baru. Di sana dia menghabiskan waktu
belajarnya hanya depalapan bulan. Sebab tak lama setelah kepulangannya dari
Jakarta, Kyai Zaini yang mendapatkan titipan putra Kyai Ali Wafa itu pun
wafat. Akhirnya terpaksa Kyai Toifur muda harus meninggalkan pesantren.
Tapi walaupun sebentar, di sana dia sudah sempat menyelesaikan studinya
76
tentang beberapa disiplin pengetahuan keislaman, seperti fiqh, hadits, dan
nahwu.
Kemudian selepas belajar dari pesantennya Kyai Zaini, dia melanjutkan ke
pesantren Sidogiri. Di sana dia langsung belajar kepada Kyai Abdullah Salil
Kholil. Beberapa kitab yang dia pelajari adalah Shahih Bukhari, Asymuni
Syarah Al-Fiyah, Syarah Baiquniyah, Syarah Sullam Munawwaraq fi Mantiq
wa al-Luma’, dll. Sebagai memang terjadi dalam tradisi pesantren, selain
belajar di pondok dia juga belajar kepada kyai tertentu dalam waktu tertentu
(nyolok). Selama bulan puasa (ramadhan), dia mengaji kitab kuning kepada
Kyai Jamaludin. Kitab kuning yang dia pelajari dengan sistem bandongan
adalah Shohih Bukhari. Selama satu bulan suntuk, Kyai Jamaludin
menuntaskan (khatam) pembacaan teks. Waktunya seharian penuh, muali dari
selepas Subuh hingga tengah malam. Waktu istirahatnya hanya di waktu salat
dan setelah Maghrib. Selebihnya hanya untuk mengaji kitab. Kyai Toifur muda
mengikuti pengajian itu dengan aktif sebulan penuh.
Saat dia sedang aktif-aktifnya belajar di pesantren, kakak kandungnya—
yang selama ini membiayai dia—menyusul ayahnya. Kyai Hisyam meninggal
dunia di usia muda. Lantaran ditinggal kakaknya itu, dia terpaksa untuk pulang
ke kampung halaman dan berhenti mondok. Meskipun keadaan mendesak
seperti itu, dia tetap semangat untuk meneruskan studi. Dia bercita-cita untuk
melanjutkan studi keislamannya di Mekkah. Cita-cita tersebut terlaksana
lantaran pertemuannya dengan salah seorang Habib—Fadhlil Muhammad bin
Sholih al-Muhdlar—di rumah Habib Husein bin Abdullah al-Hinduan,
77
Ambunten. Berkat pertemuan tersebut, dia bisa melanjutkan studinya di
Mekkah.32
Di kota Mekkah lah dia kemudian belajar untuk menulis. Kemungkinan
besar latar belakang pendidikan keagamaan itu yang membuat dia dapat
dengan mahir menelurkan karya-karya dalam bahasa Arab. Ulama pesantren di
Madura jarang yang dapat meniru produktifitas dia dalam berkarya. Ulama
sekaliber kyai Habibullah Kalabaan—pendiri pondok pesantren salaf terbesar
di Sumenep—saja baru berhasil menulis kitab kurang lebih tiga karya. Salah
satunya adalah syarah Al-Fiyah Ibn Malik. Kyai Toifur bagi kalangan para kyai
selain terkenal karena prilakunya yang sopan juga karena karyanya yang
banyak. Gambaran tersebut menyimpukan bahwa dalam melestarikan Sunni di
Pulau Madura melalui karya tulisan berupa kitab, ulama pesantren yang patut
untuk dipelajari adalah Kyai Toifur Ali Wafa.
32
Alaidrus, Manár al-Wafá, h. 22-45.
78
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Sunni merupakan salah satu sekte terbesar dalam Islam. Sekte ini
secara geneologi intelektual merujuk kepada garis pemikiran yang
dibangun oleh dua tokoh yakni Asya‟ri dan Maturidi. Sejarah
perkembangan sekte ini cukup panjang. Awal kemunculannya sebagai
sebuah institusi diperkirakan terjadi pada sekitar abad ke-10 Masehi. Sekte
ini kemudian berkembang secara pesat ke ke semenanjung Asia Tenggara,
termasuk Indonesia di dalamnya. Di negara tersebut terdapat satu daerah
kepulauan di mana para penduduknya merupakan penganut sekte Sunni
secara fanatik. Kepulauan tersebut bernama Madura.
Sekte Sunni di sana berkembang dengan pesat dan terlestarikan
dengan baik. Perkembangan sekte tersebut di pulau itu tak lepas dari peran
para ulama. Transmisi paham Sunni ke pulau Madura terjadi secara besar-
besaran pada abad ke-19. Pada saat itu, banyak ulama Madura yang sudah
memiliki jaringan keilmuan dengan Mekkah. Hal yang menarik adalah
para ulama yang memiliki jaringan keilmuan dengan Mekkah itu
merupakan para ulama pesantren.
Dalam melestarikan sekte Sunni mereka bergerak di tiga sektor:
pesantren, masyarakat, dan organisasi. Ketiga sektor tersebut mereka
jadikan medan dakwah dalam menyebarkan dan mempertahankan sekte
79
Sunni. Para ulama pesantren bergerak di pesantren dengan berperan
sebagai guru. Adapun di masyarakat mereka berperan sebagai tokoh
masyarakat dan sebagai pemandu dinamika keagamaan di organisasi.
Namun selain bergerak di tiga sektor, ada pula ulama pesantren yang
bergerak melestarikan sekte Sunni di Madura melalui karya tulis. Salah
satunya adalah Kyai Toifur Ali Wafa. Dia merupakan kyai pesantren yang
sangat produktif menulis kitab. Kitab yang sudah rampung dia tulis
berjumlah 43 karya.
B. Saran
Berdasarkan hasil riset kali ini penulis memberikan beberapa saran
buat para ulama pesantren di Pulau Madura dan para peneliti yang tertarik
di bidang ini. Buat para ulama pesantren Madura, penulis memberikan satu
saran. Untuk menjaga dan melestarikan Sunni di pulau tersebut para ulama
pesantren harus terus menjaga hubungan baik dengan para ulama—baik
dengan para pesantren lain maupun dengan ulama non-pesantren—dan
dengan masyarakat luas, terutama dengan masyarakat di daerah perkotaan.
Dalam hal ini para ulama pesantren perlu mempertimbangkan langkah
yang diawali oleh para ulama pesantren di NU dan HP3M. Kedua gerakan
tersebut sebagai langkah dakwah sangat tepat. Karena gerakan yang
mereka bangun dapat menyentuh masyarakat hingga di level pedesaan.
Mereka memanfaatkan sarana-sarana masjid dan langgar-langgar. Lebih
dari itu mereka juga perlu memperhatikan masyarakat perkotaan. Menurut
penulis, masyarakat yang berada di perkotaan memerlukan perhatian
80
khusus mengingat efek dari industrialisasi dan modernisasi. Nasib roda
perkembangan sekte Sunni di pulau Madura hampir sepenuhnya
tergantung kepada peran ulama pesantren. Karena di Madura ulama
pesantren dianggap sebagai “jenderal” dalam bidang keagamaan. Cara
pandangan masyarakat terhadap ulama pesantren yang seperti itu akan
memudar seiring dengan akibat dari modernisasi yang berlangsung.
Mereka yang hidup dengan pola modern dapat dengan mudah tak lagi
mengukuhkan posisi kyai sebagai “jenderal” dalam bidang keagamaan.
Bilamana ini terjadi sekte Sunni dengan sendirinya dapat mengalami
kebangkrutan.
Buat para peneliti yang tertarik di bidang ini—yakni penelitian
tentang pola keagamaan di Madura—masih banyak tugas yang perlu
diselesaikan. Pertama, riset utuh tentang sejarah masuknya Islam ke Pulau
Madura belum pernah digarap kecuali sekadar berupa profil-profil singkat.
Kedua, penelitian tentang hubungan ulama pesantren dengan para pemuka
agama lain di Pulau Madura. Ketiga, respon penganut agama lain terhadap
masyarakat Muslim Madura dan para ulamanya. Terakhir yang keempat
adalah peran ulama Madura dalam merespon paham atau sekte lain di luar
Sunni. Selain keempat poin di atas tentu masih banyak garapan riset
tentang Madura yang selalu “menarik” meminjam istilahnya Iik
Mansurnoor saat penulis menemuinya di gedung Pascasarjana UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta sebelum berangkat melakukan riset kali ini.
DAFTAR PUSTAKA
Buku
Al-Harari, Abdullah, Izhar al-‘Aqidah al-Sunniyah bi Syarh al-‘Aqidah al-Thahawiyyah.
Beirut: Dar al-Masyari‟, 1997.
Ali, Abdullah Yusuf, The Holy Qur’an: Original Arabic Text with English Translation and
Selected Commentaries. Kuala Lumpur: Saba Islamic Media, 2008.
Azra, Asyumardi. “The Origin of Islamic Reformism in Southest Asia: Network of Malay-
Indonesian and Middle Eastern „Ulamá‟ in The Seventeenth And Eighteenth
Centuries.” Crows Nest: Allen & Unwin,2004. Reprint, Honolulu: University of
Hawai‟i Press, 2004.
Buhanudin, Jajat. “The Fragmentation of Religious Authority: Islamic Print Media in Early
20th Century Indonesia.” Studia Islamika XI, no. 1 (Desember 2004), h: 23-63.
Bruinessen, Martin van. “Pesantren and Kitab Kuning: Continuity and Change in A Tradition
of Religious Lerning.” diterbitkan dalam sebuah buku bersama yang diedisi oleh:
Wolfgang Marschall, ed., Texts from The Islands: Oral and Written Traditions of
Indonesia and the Malay World. (Berne: The University of Berne Institute of
Ethnology, 1994): h. 121-146.
Comstock, W. Richard, ed. Religion and Man: An Introduction. New York: Harper and Row,
1971.
Geertz, Clifford, Agama Jawa: Abangan, Santri, Priyayi dalam Kebudayaan Jawa.
Penerjemah Aswab Mahasin dan Bur Rasuanto, 2th
ed. Depok: Komunitas Bambu,
2014.
Habib Alaidrus, Manár al-Wafá. Sumenep: T.pn., 2005.
Hanafi, Ahmad, Theology Islam (Ilmu Kalam). Jakarta: Bulan Bintang, 1974.
Imron, Fuad Amin, Syaikhona Kholil Bangkalan: Penentu Berdirinya Nahdlatul Ulama.
Surabaya: Khalista, 2016.
Jonge, Huub de, Madura dalam Empat Zaman: Pedagang, Perkembangan Ekonomi, dan
Islam. Penerjemah KITLV-LIPI. Jakarta: Gramedia, 1989.
Khalik, Fathol. “Rokat Bhuju‟ Vis-a-Vis Kompolan: Metamorfosis Elit Madura Pasca
Keruntuhan Orde Baru.” Karsa XII, no. 2 (Oktober 2007): h. 133-148.
Kosim, Mohammad, Pondok Pesantren di Pamekasan: Pertumbuhan dan Perkembangan.
Pamekasan: P3M, 2002.
Kuntowijoyo, Perubahan Sosial Dalam Masyarakat Agraris. Penerjemah Machmoed
Effendhie dan Punang Amaripuja. Yogyakarta: Mata Bangsa, 2002.
Madjid, Nurcholish Madjid, Islam Doktrin dan Peradaban. Jakarta: Paramadina, 1999.
Mansurnoor, Iik Arifin, Islam in An Indonesian World: Ulama of Madura. Yogyakarta:
Gadjah Mada University Press, 1990.
__________________, Living Islamically in The Periphery: Muslim Discourse, Institution,
And Intelektual Tradition in Southeast Asia. Ciputat: UIN Jakarta Press, 2011.
Masyhuri, Aziz, Masalah Keagamaan Hasil Muktamar dan Munas Ulama Nadlatul Ulama
Kesatu 1926 Sampai Dengan Kedua Puluh Sembilan 1994. Surabaya: Dinamika
Press Group, 1977.
Munawwir, Ahmad Warson. Al-Munawwir: Kamus Arab-Indonesia. Surabaya: Pustaka
Progressif, 1997.
Munif. “Meneguhkan Pesantren Sebagai Pilar NKRI: Studi Atas Peran dan Strategi Pesantren
Madura Dalam Menghadapi Kelompok Islam Radikal.” Tesis S2 Program Studi
Pendidikan Islam, Institut Ilmu Keislaman Annuqiyah Guluk-Guluk Sumenep, 2015.
Muthmainnah, Jembatan Suramadu: Respon Ulama terhadap Industrialisasi. Yoyakarta:
LKPSM, 1998.
Nasution, Harun, Teologi Islam: Aliran-Aliran Sejarah Analisa Perbandingan. Jakarta: UI
Press, 2010.
Pribadi, Yanwar. “Islam and Politics in Madura: Ulama and Other Local Leaders in Search of
Influence 1990-2010.” Disertasi S3 Universitas Leiden, 2013.
Shofiyullah, Al-Kutub Al-Mu’tabarah: Kajian atas Sumber Rujukan dalam Beristinbath
Menurut NU, Muhammadiyah, dan Persis (T.tp.: T.tp., t.t.).
Solahudin, M, Nahkoda Nahdliyyin. Kediri: Nous Pustaka Utama, 2013.
Syahrastani, Muhammad Ibn „Abd al-Karim, Milal wa al-Nihal I. Kairo, 1951.
Syarif, Zainuddin. “Dinamika Politik Kiai dan Santri dalam Pilkada Pamekasan.” Disertasi
S3 IAIN Sunan Ampel Surabaya, 2010.
______________, Dinamisasi Manajemen Pesantren: Dari Tradisional Hingga Modern.
Yogyakarta: Sunan Kalijaga Press, 2007.
Tim Aswaja NU Center PWNU Jawa Timur, Risalah Ahlussunnah Wal-Jama’ah: Dari
Pembiasaan Menuju Pemahaman dan Pembelaan Akidah-Amaliyah NU. Surabaya:
Khalista, 2015.
Usman, Sunyoto, Citra Status Sosial Kiai Di Kalangan Masyarakat Madura: Studi Kasus di
Kecamatan Palengaan Kabupaten Pamekasan. Yogyakarta: Depdikbud Yogyakarta,
1981.
Wiyata, Latief, Carok: Konflik Kekerasan dan Harga Diri Orang Madura. Yogyakarta: LkiS,
2002.
Watt, W. Montgomery, Pemikiran Teologi dan Filsafat Islam. Penerjemah Umar Basalim.
Jakarta: P3M, 1987.
Internet
Bagian Perencanaan dan Data Setdijen Pendidikan Islam Departemen Agama R.I, “Daftar
Jumlah Santri dan Nama Kyai Tahun 2008/2009,” dokumen diakses dari
http://pendis.kemenag.go.id/index.php?a=artikel&id2=statponpes2009.
Dokumen Institusi
AUMA, AD/ART.
FKM, AD/ART.
HP3M, AD/ART.
Brosur
Brosur AUMA yang penulis dapatkan pada tanggal 27 Januari 2017 pukul 16.40 di Kantor
AUMA, Proppo Pamekasan.
Dokumen Wawancara
Wawancara Pribadi dengan Kyai Athaullah. Sampang, 10 Februari 2017.
Wawancara Pribadi dengan Kyai Halimi. Sumenep, 16 Januari 2017.
Wawancara Pribadi dengan Kyai Jurjiz. Sumenep, 20 Januari 2017.
Wawancara Pribadi dengan Kyai Lailurrahman. Pamekasan, 26 Januari 2017.
Wawancara Pribadi dengan Kyai Munif. Sumenep, 21 Januari 2017.
Wawancara Pribadi dengan Kyai Nasih. Bangkalan, 11 Februari 2017.
Wawancara Pribadi dengan Kyai Syamsul Arifin, 26 Januari 2017.
Wawancara Pribadi dengan Kyai Toifur Ali Wafa, 19 Februari 2017.
Wawancara Pribadi dengan Zainuddin Syarif, 20 Februari 2017.
DAFTAR PERTANYAAN UNTUK PARA KYAI PESANTREN
1. Dalam Islam, kita mengenal banyak sekte. Menurut Anda, sekte yang terbaik untuk
diikuti itu apa dan alasannya kenapa?
2. Bagaimana pendapat Anda tentang sekte Sunni, Syiah, dan Ahmadiyah?
3. Apakah menurut Anda sekte di luar Anda pantas disebut kafir?
4. Menurut Anda, siapakah yang pantas disebut kafir?
5. Dari mana Anda mengetahui bahwa sekte Anda adalah yang terbaik?
6. Upaya apa saja yang Anda lakukan untuk meletarikan sekte yang Anda ikuti?
7. Sekarang banyak paham keislaman yang berkembang, apakah banyaknya paham
tersebut menurut Anda mengancam terhadap sekte yang Anda anut? Kalau memang
mengancam sekte apa saja yang mengancam dan bagaimana upaya Anda untuk
membentengi sekte Anda dari ancaman itu.
8. Kalau boleh saya tahu biografi Anda
a. Pendidikan
b. Umur
DAFTAR PERTANYAAN UNTUK PARA KYAI PESANTREN
Kyai Athaullah
(Tanggal 05 Februari 2017 pukul 12.15 s/d 12.30)
1. Dalam Islam, kita mengenal banyak sekte. Menurut Anda, sekte yang terbaik untuk
diikuti itu apa dan alasannya kenapa?
Akidah dan ajaran-ajaran yang diberikan guru. Itu yang benar. Ya kalau dalam
bahasa kitabnya adalah Ahlussunnah wal jama’ah.
2. Bagaimana pendapat Anda tentang sekte Sunni, Syiah, dan Ahmadiyah?
Kalau sekarang memang banyak sekte. Tapi sebenarnya dari dulu. Di Islam
sudah memang banyak sekte muncul. Tapi kita perlu hati-hati dengan sekte yang tidak
atau bukan ajaran dari guru atau ulama. Seperti Syiah, wahabi, dan Ahmadiyah. Itu
aliran sesat.
3. Apakah menurut Anda sekte di luar Anda pantas disebut kafir?
Bukan kafir yang pantas buat mereka. Tapi mungkin sesat atau dlalal. Kafir
itu ya buat orang yang tidak membaca syahatain.
4. Menurut Anda, siapakah yang pantas disebut kafir?
Ya itu tadi orang murtad bisa kafir, orang yang memang tidak masuk Islam itu
kafir.
5. Dari mana Anda mengetahui bahwa sekte Anda adalah yang terbaik?
Mengaji dan membaca kitab-kitab. Itu kan sudah ada di kitab-kitab.
6. Upaya apa saja yang Anda lakukan untuk meletarikan sekte yang Anda ikuti?
Selain memang mengajarkan beberapa kitab klasik, saya menjaga etika pesantren
saja. Jadi kalau di pesantren sudah diikat dengan etika, ya gak mungkin akan
melenceng. Salah satu etika yang saya tekankan adalah sopan santun kepada guru dan
kedua orang tua. Itu pertama, kedua, berpakaian. Boleh saja berpakaian modern yang
penting jangan lepas kopiah. Kopiah ini wajib kalau mengikuti Kitab Sullam. Nah,
itu, santri boleh tampil modern tapi jangan sampai melenceng dari syariah. Nah, kalau
sudah itunya dijaga insya Allah pahamnya pun akan selamat. Berangkat dari diri
sendiri saja soal itu. Artinya untuk mencegah paham dari luar, kita perlu melestarikan
apa yang kita punya saja. Karena begini, Akhlak dulu baru ilmu. Jadi paham itu kan
ilmu. Jadi yang dipraktikkan adalah akhlak dulu.
Kalau saya di sini, pokoknya kita amalkan yang di pondok. Insyaallah yang di luar
gak masuk. Ini negara hukum. Kalau pakai kekerasan tak bisa. Hukum yang
berbicara. Kalau kita sudah mapan dengan amaliya sehari-harinya selesai sudah.
Kadanga sepupuan ini. Sepupunya ini wahabi. Ini membantah. Ini pernah ada kasus
seperti ini. Akhirnya oleh sepupu yang NU yang sudah di rumah aja. Ini kan ada
ilmunya. Kita mapankan amaliyah NU aja selesai. Kadang-kadang itu orang awam
yang bentrok.
7. Sekarang banyak paham keislaman yang berkembang, apakah banyaknya paham
tersebut menurut Anda mengancam terhadap sekte yang Anda anut? Kalau memang
mengancam sekte apa saja yang mengancam dan bagaimana upaya Anda untuk
membentengi sekte Anda dari ancaman itu.
Itu seperti yang tadi saya jelaskan. Saya melakukan gerakan pembenahan
amaliyah di pesantren saja.
8. Kalau boleh saya tahu biografi Anda
a. Pendidikan
Saya dulu belajar kepada Abad lalu biasa sambil sekolah. Dulu saya bercita-
cita jadi pengacara tapi kata Abah sayang ini pesantren siapa yang mau ngelola.
b. Umur
Sekarang saya sudah berumur 50 tahuan ke atas.
DAFTAR PERTANYAAN UNTUK PARA KYAI PESANTREN
Kyai Halimi
(Tanggal 16 Januari 2017, pukul 14.52 s/d 15.30)
1. Dalam Islam, kita mengenal banyak sekte. Menurut Anda, sekte yang terbaik untuk
diikuti itu apa dan alasannya kenapa?
Sunni. Alasannya karena pendapatnya kuat baik secara naqli maupun aqli. Dan
selain itu dibuktikan dengan mayoritas.
2. Bagaimana pendapat Anda tentang sekte Sunni, Syiah, dan Ahmadiyah?
Syiah selama mereka meyakini syahadat dan tidak melakukan sesuatu yang
darudah itu mereka masih Muslim. Misalnya ada Syiah yang mengakfirkan sahabat,
gimana, itu. Maka itu adalah berbuatan salah. Apakah itu bisa menyebabkan kafir.
Bisa tapi saya gak berani menyatakan kafir. Nah, syiah itu masih sayahatnya sama.
Jadi mereka masih Muslim.
Kalau mengenai Ahmadiyah saya lebih duka pendapat Gus Dur, Ahmadiyah
itu salah. Kalau Wahabi enggak. Wahabi gak kafir.
3. Apakah menurut Anda sekte di luar Anda pantas disebut kafir?
Kafir itu sebenernya dari istilah bahasa Arab. Istilah kafir dari segi bahasa bisa
bermakna tertutup. Secara istilah bisa bermakna orang yang tidak memeluk agama
Islam di zaman nabi. Kalau kita melihat ke Al-Qur’an, ada ayat yang menyebut kata
kafir tapi tak merujuk kepada kafir dalam artian non-Muslim, seperti fain syakartum
la-azidannakum wa lainkafartum inna ‘adzabi la syadid. Nah, kata kafir disitu adalah
kafur nikmat bukan kafir secara ideologis. Kafir dalam arti perbuatan. Terus ada
hadits misalnya, sibabul muslim fusuqun wa qitaluhu kufrun. Yang artinya, mencela
orang Muslim itu perbuatan fasik dan memerangi orang Muslim kekufuran. Bahkan
dalam Quran ada istilah kuffar yang maknanya itu petani. Ya memang istilah kafir
dalam segi bahasa itu memang banyak artinya. Kafir itu ada dua. Kafir i’tiqadi dan
ada kafir amali. Untuk yang kedua ini orang Muslim bisa kufur. Seperti ISIS, itu
kufur kalau menurut Hadits, karena kufur amali.
4. Menurut Anda, siapakah yang pantas disebut kafir?
Siapa saja yang disebut kafir, ya istilah Al-Qur’an, ya non-Muslim itu kafir.
Itu menurut saya memang tak perlu disikapi over. Ya saya gak perlu marah juga kalau
ada orang Katolik bilang kita domba tersesat tak boleh marah. Karena memang itu
istilah internal. Seperti kita juga bilang kafir kepada mereka, mereka bilang ke kita
sebagai domba tersesat. Itu biasa. Kalau ada kasus seperti wanita yang bilang ada
pahlawan kafir di Indonesia itu, nah itu gak bener sacara etika sosial. Jadi kalau ada
orang kafir berbuat baik kepada kita ya sudah kita tetap berbuat baik kepada mereka
dan tak perlu bilang kafir. Jadi sebenarnya, kalau kita lihat dalam Quran ada kecaman
secara ideologi terhadap orang kafir. Seperti ayat yang membahas trinitas. Jadi itu
jelas, itu kafir menurut ideologi Islam. Siapa yang disebut kafir? Sebenarnya kalau
orang gak ada. Tapi kalau ideologi, itu ada. Siapa yang melenceng dari Islam itu kafir.
Dalam etika Qur’an itu orang ngomong itu harus dijaga. Itu soal ideologi saja.
5. Dari mana Anda mengetahui bahwa sekte Anda adalah yang terbaik?
Dari kitab. Masa kyai dari TV.
6. Upaya apa saja yang Anda lakukan untuk meletarikan sekte yang Anda ikuti?
Dakwah. Kita harus terus melancarkan dakwah. Dakwah itu bisa berupa
ceramah bisa berupa perilaku.
7. Sekarang banyak paham keislaman yang berkembang, apakah banyaknya paham
tersebut menurut Anda mengancam terhadap sekte yang Anda anut? Kalau memang
mengancam sekte apa saja yang mengancam dan bagaimana upaya Anda untuk
membentengi sekte Anda dari ancaman itu.
Tidak ada yang mengancam. Perbedaan itu biasa. Tapi bila itu meresahkan
masyarakat itu bahaya. Kita perlu untuk menyebarkan kepada masyarakat tentang
bagusnya Sunni dan seperti itu lah pokoknya.
8. Kalau boleh saya tahu biografi Anda
a. Pendidikan
-
b. Umur
34 tahun
DAFTAR PERTANYAAN UNTUK PARA KYAI PESANTREN
Narasumber: Kyai Jurjiz
(Tanggal 20 Januari 2017 pukul 04.00 s/d 05.21)
1. Dalam Islam, kita mengenal banyak sekte. Menurut Anda, sekte yang terbaik untuk
diikuti itu apa dan alasannya kenapa?
Sekte yang paling bagus ya Sunni, yakni Ahlussunnah wal Jama’ah. Kenapa?
Karena sekte tersebut merupakan sekte leluhur yang sanadnya nyambung hingga
rasulullah. Para pendahulu kita, guru-guru kita, dulu itu menganut sekte ini. Lagi-lagi
ini sekte yang sesuai dengan ajaran Nabi Muhammad Saw. Kita bersekte kan bukan
untuk memecah belah umat Islam. Tidak. Tetapi tujuannya adalah mengikuti ajaran
Nabi yang benar. Istilah kitabnya itu najiyah. Nah, Sunni atau aswaja itu adalah ajaran
yang tepat.
2. Bagaimana pendapat Anda tentang sekte Sunni, Syiah, dan Ahmadiyah?
Seperti yang katakan di awal, kalau saya memilih Sunni. Ya kalau sunni yang
dimaksud itu adalah aswaja yang menyandarkan pahamnya kepada Asy’ariyah atau
Maturidiyah. Nah, sekarang banyak yang ngaku-ngaku Sunni seperti Wahabi, Salafi,
dan lain-lain. Mereka hanya mengaku ahlussunnah tapi pada kenyatannya berbeda
dengan Sunni yang saya maksud. Wahabi itu kan Sunni-nya ke Ibn Taimiyyah.
Padahal Sunni itu ya Asy’ariyah dan dalam bidang fikih itu salah satu dari empat
madzhab.
Kalau soal Syiah, sekte yang menyimpang dari ajaran Nabi. Mereka sesat.
Tapi mereka belum tentu kafir tapi kalau mendekati iya. Kenapa karena mereka,
begini. Sekte Syiah itu banyak golongan juga ya. Nah, suka mengkafirkan sahabat
misalnya. Dalam Islam itu sudah dijelaskan bahwa kalau suka mengkafirkan orang
lain itu bisa jadi kafir sendiri. Nah, ini ada sekte Syiah yang seperti ini. Ini bahaya.
Mereka bisa mendekati kafir karena sudah mengkafirkan para sahabat. Tapi mengenai
siapa yang kafir sebenarnya, wallahu a’lam.
Kalau Ahmadiyah jelas sesat. Itu yang kontroversial kan yang satunya. Yang
mempercayai bahwa Mirza Ghulam Ahmad itu nabi. Itu dia. Itu masalah dalam Islam.
Setelah Nabi Muhammad tak ada nabi lagi. Tapi untuk dihukumi kafir belum tentu.
Mereka mendekati kafir seperti Syiah. Kenapa saya belum berani menyatakan kafir,
karena selama membaca syahadat itu masih Muslim. Soal kafir itu urusan Allah. Yang
jelas kategorinya begitu.
3. Apakah menurut Anda sekte di luar Anda pantas disebut kafir?
Saya tadi sudah jelaskan, seperti Syiah, Wahabi, dan Ahmadiyah, itu belum
tentu kafir. Seorang Muslim itu tidak bisa sembarang menuduh kafir orang lain
apalagi masih membaca syahadat. Yang jelas-jelas kafir itu ya orang tidak membaca
syahadat seperti Kristen, Katolik, dll. Itu kafir.
4. Menurut Anda, siapakah yang pantas disebut kafir?
Kafir itu begini ya. Orang kafir itu bisa jadi karena murtad dan memang
agamanya bukan Islam. Kalau yang murtad itu hukumnya wajib dibunuh. Nah,
murtad itu apa. Murtad itu ada tiga. Murtad bil qauli dengan perkataan, murtad bil
fi’li perbuatan, dan murtad bil qalbi bisikan hati. Murtad dengan perkataan itu bisa
terjadi karena melecehkan simbol-simbol Islam atau ingkar kepada Allah. Kalau yang
dengan perbuatan misalanya melempar tanah ke pintu gerbang Al-Is’af itu murtad.
Namanya murtad bil fi’li. Kenapa? Karena orang itu melakukan pelecehan terhadap
simbol-simbol Islam. Pesantren itu kan simbol Islam. Nah begitu.
5. Dari mana Anda mengetahui bahwa sekte Anda adalah yang terbaik?
Ya saya belajar Islam dari kecil. Ini saya dapati dari guru-guru saya. Islam itu
ya yang diajarkan oleh Nabi Muhammad Saw. Kalau mau mengikuti nabi ya ikuti
para ulama yang sanadnya nyambung. Nah, ajaran Islam yang sampai ke saya ini saya
yakin itu dilestarikan oleh para ulama yang benar.
6. Upaya apa saja yang Anda lakukan untuk meletarikan sekte yang Anda ikuti?
Saya mengajarkan kitab-kitab kepada santri di sini, mengisi pengajian, dan ya
seperti kompolan dan lain-lain. Ya biasa gimana seorang kyai, pokoknya tempat saya
merawat aswaja itu di pesantren dan di masyarakat. Sekarang saya lagi aktif selain di
NU juga di AUMA dan FKM. Itu forumnya para kyai. Saya ikut di dalamnya. Itu
untuk berjuang membela agama Allah.
7. Sekarang banyak paham keislaman yang berkembang, apakah banyaknya paham
tersebut menurut Anda mengancam terhadap sekte yang Anda anut? Kalau memang
mengancam sekte apa saja yang mengancam dan bagaimana upaya Anda untuk
membentengi sekte Anda dari ancaman itu.
Ya menurut saya beberapa sekte di luar yang diajarkan oleh ulama-ulama salaf
yang sudah diakui itu banyak sekali yang perlu diwaspadai. Terlebih ketika kita bicara
soal Syiah, Wahabi, dan Ahmadiyah. Di Madura Ahmadiyah sendiri belum ada.
Tetapi bukan berarti tak akan ada. Jadi saya bersama sejumlah besar ulama pesantren
di Pamekasan membuat forum Islam seperti AUMA dan FKM. Itu tujuannya adalah
membentengi Islam dari paham-paham sesat. Di Sumenep ini saya sedang menggarap
FPI. Saya sebagai ketuanya tapi belum dilantik.
Jadi, saya kedepan sangat berharap mahasiswa juga ikut terlibat dalam
bersama-sama dengan ulama untuk menjaga Islam dari rongrongan asing maupun
orang-orang munafik di dalamnya.
Sekarang itu banyak orang yang mengaku Islam tapi munafik. Kenapa
dibilang munafik karena mereka percaya bahwa Islam benar tapi tidak mau dengan
syariat Islam. Seperti usaha-usaha untuk membangun daerah-daerah di Indonesia
menjadi lebih Islam dan berdasarkan syariat, itu banyak gak mau. Ini bahaya. Ini
munafik namanya.
Usaha saya dan para ulama itu untuk membentengi Sunni dari paham lain itu
menjaga ukhuwah islamiyah. Saya terus menyebarkan pentingnya untuk berhati-hati
kepada masyarakat atas banyaknya paham-paham yang sesat.
8. Kalau boleh saya tahu biografi Anda
a. Pendidikan
Saya mondok tidak sekolah. Pondok saya di sini dulu lalu ke Sidogiri.
b. Umur
Umur saya sekarang sekitar 50-an.
DAFTAR PERTANYAAN UNTUK PARA KYAI PESANTREN
Kyai Lailurrahman
(Tanggal...)
1. Dalam Islam, kita mengenal banyak sekte. Menurut Anda, sekte yang terbaik untuk
diikuti itu apa dan alasannya kenapa?
Sekte yang baik itu ya Sunni. Sunni itu kan sekte yang paling bisa
dipertanggung-jawabkan secara dalil aqli maupun naqli.
2. Bagaimana pendapat Anda tentang sekte Sunni, Wahabi, Syiah, dan Ahmadiyah?
Kalau Wahabi itu masih ada kemiripan dengan Sunni tapi kalau Syiah dan
Ahmadiyah itu jelas sesat.
3. Apakah menurut Anda sekte di luar Anda pantas disebut kafir?
Tidak lah. Yang kafir itu kalau keluar dari Islam seperti murtad. Kalau orang
itu murtad bisa kafir. Tapi kalau mendekati murtad belum tentu. Sekte tidak
menjadikan seseorang kafir.
4. Menurut Anda, siapakah yang pantas disebut kafir?
Orang yang sudah atau sama-sekali tidak meyakini syhadatain. Itu kafir.
5. Dari mana Anda mengetahui bahwa sekte Anda adalah yang terbaik?
Bejalar. Saya bukan hanya karena keturunan lantas menjadi ikut-ikutan Sunni
tapi karena memang Sunni ini bagus.
6. Upaya apa saja yang Anda lakukan untuk melestarikan sekte yang Anda ikuti?
Saya melestarikannya dengan dua cara, tradisional dan modern. Cara
tradisional dengan melalui pesantren dan ke masyarakat. Tetapi yang secara modern
saya dan beberapa teman kyai termasuk Kyai Ali Fikri yang nyuruh kamu ke sini
membentuk suatu wadah buat para kyai. Wadah itu saya beri nama Harkah Pimpinan
Pondok Pesantren (HP3M).
7. Sekarang banyak paham keislaman yang berkembang, apakah banyaknya paham
tersebut menurut Anda mengancam terhadap sekte yang Anda anut? Kalau memang
mengancam sekte apa saja yang mengancam dan bagaimana upaya Anda untuk
membentengi sekte Anda dari ancaman itu.
Ya itu tadi saya dan beberapa kyai akan turun ke masyarakat melalui hal yang paling
terkecil surau. Supaya anak-anaknya nanti dipondokkan. Kalau dipondokkan insya-
Allah selamat akidahnya.
8. Kalau boleh saya tahu biografi Anda
a. Pendidikan
Universitas Ummul Quro Mekkah
b. Umur
54 tahun.
DAFTAR PERTANYAAN UNTUK PARA KYAI PESANTREN
Nasarumber: Kyai Munif
(Tanggal...)
1. Dalam Islam, kita mengenal banyak sekte. Menurut Anda, sekte yang terbaik untuk
diikuti itu apa dan alasannya kenapa?
Kita tahu bahwa Islam memang banyak memiliki sekte. Sekte itu kan muncul
karena politik. Banyak sekte dalam Islam yang kemudian bermunculan. Itu kalau gak
salah masalah perbedaan semakin meruncing ketika di masa Sayyidina Utsman.
Makanya di waktu itu disebut sebagai zaman fitnatul kubro.
Banyaknya sekte itu membuat banyak umat Islam bingung. Tapi kebingunan
itu dapat diatas dengan belajar Islam yang benar. Kalau kita belajar Islam dengan
benar kita akan temukan sekte atau kelompok yang najiyah yang selamat itu yang
mana. Kyai Hasyim Asy’ari menyebutkan bahwa yang disebut dengan kelompok
selamat itu adalah ahlussunnah wal jama’ah. Kelompok ini didasarkan pada ajaran-
ajaran Nabi Muhammad Saw yang diajarkan atau ditunrunkan secara sanadiyah.
Makanya ajaran ini terpercaya.
2. Bagaimana pendapat Anda tentang sekte Sunni, Syiah, dan Ahmadiyah?
Kalau kita merujuk kepada pedoman aswaja yang ditulis oleh Kyai Hasyim
Asy’ari kita akan menemukan bahwa sekte di luar jalur aswaja itu sebenarnya adalah
sekte yang paham-paham di dalamnya banyak dicurigakan artinya kebenarannya
masih diragukan. Kalau sekte seperti Syiah ya itu sesat Ahmadiyah apalagi. Tapi
walau pun mereka sesat mereka tidak boleh disakiti apalagi mereka tinggal di daerah
atau suatu negara hukum seperti Indonesia. Kita harus menghargai mereka walaupun
bagi kita mereka itu sesat.
Kesesatan seseorang tidak lantas sepantasnya menjadi alasan bagi kita untuk
menyerang dengan cara-cara kekerasan. Kekerasan dalam Islam itu tak ada kecuali
kita sedang terpojokkan. Kita harus pandai-pandai membedakan mana perang dan
mana sekadar kerusuhan. Perang dalam Islam memang ada tapi ada aturannya juga
tidak sembarangan.
3. Apakah menurut Anda sekte di luar Anda pantas disebut kafir?
Tidak lah. Kalau sekte di luar Islam itu selama masih membaca kedua
syahadat itu masih merupakan Muslim. Kalau kita mengikuti paham Sunni, untuk
mengatakan orang lain kafir itu susah. Kita lebih baik diam dari pada salah.
4. Menurut Anda, siapakah yang pantas disebut kafir?
Kalau yang pantas disebut kafir ya orang kafir. Orang kafir itu ya yang bukan
orang Islam. Itu kafir. Tapi kalau masih membaca syahadat itu masih Muslim. Seperti
Kristen, Yahudi, itu kafir. Tapi kafir sendiri dalam Islam itu kan ada definisnya dan
macam-macamnya. Ada kafir yang boleh diperangi ada yang tidak. Nah, kita harus
jeli di situ.
5. Dari mana Anda mengetahui bahwa sekte Anda adalah yang terbaik?
Tentu belajar. Pelajarannya ya berdasarkan kitab kuning pastinya. Tradisi
ulama pesantren di Madura kan memang begitu dalam menimba ilmu. Kita tahu Islam
kan bukan dari TV.
Oh ya sekarang banyak orang belajar Islam dari internet. Itu mengkhawatirkan
sekali. Mereka bisa salah paham dengan ajaran-ajaran yang sebenarnya karena
mereka tidak punya guru. Dalam belajar guru itu penting.
6. Upaya apa saja yang Anda lakukan untuk meletarikan sekte yang Anda ikuti?
Saya mengisi penagajian-pengajian, ikut memperkuat sepak terjak organisasi
NU dan di pesantren ini. Saya bahkan punya rencana ke masyarakat untuk
memperkuat paham Sunni. Tujuannya adalah selain untuk menjaga kemurnian Sunni
juga untuk mencegah paham-paham Islam radikal.
Sekarang saya lihat, banyak banget sekte keislaman yang bercorak radikal. Itu
semua gara-gara Wahabi. Dikit-dikit kafir, bid’ah, bunuh. Waduh pokoknya kisruh
sekali. Saya jadi sangat khawatir. Makanya saya ingin terjun ke masyarakat datang ke
desa-desa, ke langgar-langgar untuk memberikan pandangan kepada para kyainya
supaya tidak terkontaminasi paham tidak jelas. Soalnya mereka pinter sekali mencari
cela memasuki wilayah-wilayah yang sudah dikuasai oleh kyai-kyai Sunni.
7. Sekarang banyak paham keislaman yang berkembang, apakah banyaknya paham
tersebut menurut Anda mengancam terhadap sekte yang Anda anut? Kalau memang
mengancam sekte apa saja yang mengancam dan bagaimana upaya Anda untuk
membentengi sekte Anda dari ancaman itu.
Yang jelas-jelas mengancam bagi saya itu adalah Wahabi yang bercorak
khawarij itu, seperti ISIS, Al-Qaedah, bahkan FPI. Karena mereka itu walaupun
berbeda ada kesamaan. Suka rusuh. Itu saja. Ini bahaya kalau suka rusuh begitu. Islam
itu harus mengajarkan sesuatu yang berarti dan rahmatan lil ‘alamin.
Untuk melestarikan Sunni dan membentengi dari sekte sempalan itu kita harus
memperkuat pesantren. Di tesis saya ini saya jelaskan betapa pesantren sangat
berguna dalam mewujudkan Islam yang anti-radikalisme. Sebenarnya untuk
mencegah paham-paham sempalan itu kita cukup memperkuat tradisi nahdliyin saja
itu sudah selesai.
8. Kalau boleh saya tahu biografi Anda
a. Pendidikan
Saya S1 di IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta dan S2 di INSTIKA Guluk-Guluk.
b. Umur
58.
DAFTAR PERTANYAAN UNTUK PARA KYAI PESANTREN
Kyai Nasih As-Schal
(Tanggal 11 Februari 2017 pukul 14.15 s/d 14.30)
1. Dalam Islam, kita mengenal banyak sekte. Menurut Anda, sekte yang terbaik untuk
diikuti itu apa dan alasannya kenapa?
Ajaran bisa dikatan benar itu kan karena ada bukti. Bukti yang dibutuhkan
untuk mengetahui sekte mana di antara banyak sekte dalam Islam adalah dengan
melakukan rujukan literatur. Kedua adalah mayoritas. Sampai sekarang terbukti
ahlussunnah adalah yang merupakan sekte paling banyak penganutnya dan secara
literatur dapat dipertanggung jawabkan.
2. Bagaimana pendapat Anda tentang sekte Sunni, Syiah, dan Ahmadiyah?
Kalau paham-paham di luar Sunni, apakah itu Syiah, Ahmadiyah, Wahabi dan
lain-lain pokoknya perlu diwaspadai. Di Bangkalan ini kita menampung semua
organisasi para kyai untuk tujuan yang sama yakni membentengi Sunni.
3. Apakah menurut Anda sekte di luar Anda pantas disebut kafir?
Bisa jadi. Tapi tidak semudah itu. Orang menuduh kafir dalam Islam itu bisa
kafir. Itu kan cirinya orang khawarij yang suka mengkafirkan orang. Kalau Sunni
tidak begitu. Sunni adalah kelompok yang tidak mudah mengkafirkan orang lain.
Mungkin sebatas sampai pada level sesat. Tapi bisa jadi juga mendekati kafir seperti
Ahmadiyah yang meyakini ajarannya bahwa Nabi Muhammad Saw itu bukan nabi
terakhir itu bahaya.
4. Menurut Anda, siapakah yang pantas disebut kafir?
Orang non-Muslim dan yang keluar dari Islam. Di dalam Islam sendiri selama
masih mengaku Muslim tidak bisa dihukumi kafir. Pengakuan itu harus ada buktinya,
apa itu yakni syahadat.
5. Dari mana Anda mengetahui bahwa sekte Anda adalah yang terbaik?
Mengaji. Saya belajar Islam melalui pesantren.
6. Upaya apa saja yang Anda lakukan untuk meletarikan sekte yang Anda ikuti?
Usaha saya sendiri itu bergabung dengan ulama untuk bersama-sama
membentuk gerakan yang lebih baik selain melaksanakan tugas seperti biasa, yakni
pengajian, dan di pesantren sendiri.
7. Sekarang banyak paham keislaman yang berkembang, apakah banyaknya paham
tersebut menurut Anda mengancam terhadap sekte yang Anda anut? Kalau memang
mengancam sekte apa saja yang mengancam dan bagaimana upaya Anda untuk
membentengi sekte Anda dari ancaman itu.
Syiah itu mengancam. Wahabi juga. Tapi selama mereka tidak membuat rusuh
kita perlu untuk hati-hati. Makanya kita perlu ada semacam forum dengan para ulama
di Madura. Itu tujuannya jelas buat melancarkan agenda pelestarian Sunni atau lebih
tepatnya tradisi-tadisi keislaman yang diajarkan oleh para pendahulu kita.
8. Kalau boleh saya tahu biografi Anda
a. Pendidikan
--
b. Umur
Sekitar 32-an.
DAFTAR PERTANYAAN UNTUK PARA KYAI PESANTREN
Kyai Syamsul Arifin
(Tanggal 26 Januari 2017 pukul 16.30 s/d 16.00)
1. Dalam Islam, kita mengenal banyak sekte. Menurut Anda, sekte yang terbaik untuk
diikuti itu apa dan alasannya kenapa?
Ahlussunnah wal Jama’ah. Karena sekte tersebut merupakan sekte yang
selamat. Orang sekarang banyak memecah belah Islam dengan sekte. Sunni
seharusnya tidak begitu. Siapa pun dia kalau masih mengikuti para ulama terdahulu
yang berada di garis Sunni itu perlu untuk dirangkul bersama-sama. Umat Islam
sekarang perlu bangkit. Sekarang banyak sudah generasi santri yang pandai. Dari itu
mereka harus bisa menggerakkan Islam menuju kemajuan.
2. Bagaimana pendapat Anda tentang sekte Sunni, Syiah, Wahabi, dan Ahmadiyah?
Kalau Syiah jelas sesat itu. Wahabi masih mendingan. Artinya sekte Wahabi
dalam beberapa hal masih ada kesamaan, tapi tetap harus waspada terutama Wahabi-
Salafi yang suka membid’ahkan praktik-praktik umat Islam seperti Maulid dan lain-
lain.
Kalau Ahmadiyah itu kan ada yang tidak mengakui siapa itu nabinya itu
sebagai nabi. Ada yang tidak sesat. Tapi yang sudah mengamini adanya nabi setelah
nabi Muhammad Saw. itu sudah keterlaluan. Itu adalah ajaran sesat.
3. Apakah menurut Anda sekte di luar Anda pantas disebut kafir?
Tidak. Tidak gampang menyebut kafir bagi kelompok lain. Harus hati-hati.
Orang Sunni itu tidak mudah menyebut kelompok lain itu sebagai kafir.
4. Menurut Anda, siapakah yang pantas disebut kafir?
Ya orang kafir. Masa orang Islam disebut kafir. Orang kafir itu yang tidak
membaca atau tidak meyakini adanya Allah dan Nabi Muhammad Saw. sebagai rasul.
Mereka yang orang-orang non-Islam seperti Kristen, itu kafir.
5. Dari mana Anda mengetahui bahwa sekte Anda adalah yang terbaik?
Belajar. Ngaji.
6. Upaya apa saja yang Anda lakukan untuk melestarikan sekte yang Anda ikuti?
Saya mengisi pengajian, di sini di pesantren, organisasi seperti AUMA. Saya
terlibat di dalamnya. Itu penting organisasi seperti itu untuk mencegah paham dari
luar. Di masyarakat saya juga bergerak. Tapi sekarang saya jarang turun ke
masyarakat karena faktor usia.
7. Sekarang banyak paham keislaman yang berkembang, apakah banyaknya paham
tersebut menurut Anda mengancam terhadap sekte yang Anda anut? Kalau memang
mengancam sekte apa saja yang mengancam dan bagaimana upaya Anda untuk
membentengi sekte Anda dari ancaman itu.
Syibilis itu yang mengancam. Syiah, wahabi, dan liberal. Itu perlu terus
diwaspadai. Mereka itu bahaya. Caranya adalah masyarakat diberitahu.
Penyebarannya melalui kyai-kyai muda yang masih semangat untuk memperjuangkan
Islam.
8. Kalau boleh saya tahu biografi Anda
a. Pendidikan
Mondok saya.
b. Umur
Lebih dari 60 tahun. Usia saya sudah lanjut.
DAFTAR PERTANYAAN UNTUK PARA KYAI PESANTREN
Kyai Toifur Ali Wafa
(Tanggal 19 Februari 2017)
1. Dalam Islam, kita mengenal banyak sekte. Menurut Anda, sekte yang terbaik untuk
diikuti itu apa dan alasannya kenapa?
Ahlussunnah wal jama’ah karena madzhab itu merupakan ajaran yang dibawa
oleh ulama-ulama salaf yang terpercaya.
2. Bagaimana pendapat Anda tentang sekte Sunni, Syiah, dan Ahmadiyah?
Madzhab di luar Sunni itu memang perlu dikoreksi kebenarannya. Sebab
banyak di antara mereka yang kurang benar dalam memberikan suatu keputusan
agama.
3. Apakah menurut Anda sekte di luar Anda pantas disebut kafir?
Tidak. Mereka masih Muslim. Selama masih membaca syahadat masih muslim.
4. Menurut Anda, siapakah yang pantas disebut kafir?
Orang yang mengingkari syahadat.
5. Upaya apa saja yang Anda lakukan untuk meletarikan sekte yang Anda ikuti?
Saya mengajar di pesantren, mengisi pengajian, dan menyebarkan paham
Sunni melalui tulisan. Di biografi saya sudah ada semua tulisan saya kecuali
Firdausunna’im.
6. Sekarang banyak paham keislaman yang berkembang, apakah banyaknya paham
tersebut menurut Anda mengancam terhadap sekte yang Anda anut? Kalau memang
mengancam sekte apa saja yang mengancam dan bagaimana upaya Anda untuk
membentengi sekte Anda dari ancaman itu.
Saya membentengi Sunni dengan cara berkumpul dengan para kyai. Di
Sumenep saya mengetuai forum Massapontren. Itu kami yang mengusulkan untuk
seluruh siswi di Madura supaya menggunakan jilba dan berhasil.
Mengenai serangan dari pihak di luar Sunni kita bisa antisipasi kalau
masyarakat masih dekat dengan kyai.
7. Kalau boleh saya tahu biografi Anda
a. Pendidikan
--
b. Umur
54 tahun.
WAWANCARA DENGAN ZAINUDDIN SYARIF
20 Februari 2017
Saya dengar bahwa di Pamekasan, dua pesantren besar Banyuanyar dengan Bata-Bata itu
adalah SI bukan NU, Anda kan pernah melakukan penelitian tentang pesantren tersebut, lalu
bagaimana menurut Anda?
Sebenarnya kedua pesantren tersebut memang SI namun itu hanya di sektor politik.
Mereka dalam urusan paham keagamaan tetap Sunni bahkan mirip dengan NU. Hanya saja
mereka tak dilibatkan ke dalam NU secara organisasi, itu ceritanya panjang kamu coba baca
bukunya Iik Mansurnoor di situ sudah ada penjelasannya. Kalau di Pamekasan PCNU-nya itu
memang paling kecil se-Madura. Pesantren yang oleh Iik disebut sebagai reperesentasi NU di
Pamekasan adalah Bettet.
Jadi, ya secara ritual maupun paham keagamaan ulama pesantren di Madura itu
semuanya Sunni. Mereka menganut paham keagamaan yang berdasarkan Sunni Maturidiyah
dan Asy’ariyah. Paham itu kuat sekali.
Lampiran I
Teks Bacaan Tahlil Lengkap
Teks Bacaan Tahlil
د صلى اهلل عليو وسلم )الفاتة( إل حضرة النب المصطفى مم
هداء قربي ث إل حضرة إخوانو من األنبياء والمرسلي واألولياء والش
الئكة امل
يع امل صنفي وج
الي والصحابة والتابعي والعلماء وامل خصوصا سيدنا والص
شيخ عبد القادر اجليالن رضي اهلل عنو )الفاتة(
يع أىل القب ور هاتنا وأجدادنا من المسلمي والمسلمات والمؤمني والمؤمنات من مشارق االرض إل مغاربا ب رىا ث إل ج وبرىا خصوصا أباءنا وأم
اتنا ومشاينا ومشايخ مشاينا ولمن اج )الفاتة( (Nama arwah yang dikirimi hadiah tahlil) تمعنا ىهنا بسببو وخصوصاوجد
ب سم اهلل الرحن الرحيم
مد ل يلد ول يولد * ول يكن لو كفوا أحد قل ىو اللو أحد * اللو الص
إال اهلل اهلل أكب ر وللو المد ال إلو
ب سم اهلل الرحن الرحيم
ف ثات ف العقد * ومن شر حاسد إذا حسد قل أعوذ برب الفلق * من شر ما خلق * ومن شر غاسق إذا وقب * ومن شر الن
ال إلو إال اهلل اهلل أكب ر وللو المد
ب سم اهلل الرحن الرحيم
اجلنة والناس ف صدور الناس * من قل أعوذ برب الناس * ملك الناس * إلو الناس * من شر الوسواس الناس * الذي ي وسوس
ال إلو إال اهلل اهلل أكب ر وللو المد
بسم اللو الرحن الرحيم
ين * إياك ن عبد وإياك نس دنا الصراط المستقيم * صراط الذين أن عمت عليهم غي تعي * اى المد للو رب العالمي * الرحن الرحيم * مالك ي وم الد
الي. أمي المغضوب عليهم وال الض
. الذين ي ؤمن ون بالغيب ويقيمون الصالة وما رزق ناىم ي نفقون. والذين ي ؤمن ون با بسم اهلل الرحن الرحيم. ال. ذلك الكتاب الريب فيو ىدى للمتقي
وإهلكم إلو واحد الإلو إال ىو الرحن الرحيم اهلل ك ىم المفلحون.أنزل إليك وما أنزل من ق بلك وباالخرة ىم ي وقن ون. اولئك على ىدى من ربم واولئ
ماوات وماف األرض م وم التأخذه سنة والن وم. لو ماف الس م ماب ي أيديهم وما خلفهم ن ذالذى يشفع عنده إال بإذنو ي عل ال إلو اال ىو الي القي
ماوات واألرض وال يؤده حفظ يطون بشيء من علمو إال با شاء وسع كرسيو الس ماوات وما ف األرض وإ والي ن هما وىو العلي العظيم. للو ماف الس
ب من يشاء. و اهلل على كل شيء قدي ر. امن الرسول با أنزل اليو من ربو ت بدوا ماف أن فسكم أو تفوه ياسبكم بو اهلل ف ي غفر لمن يشاء وي عذ
عنا وأطعنا غفرانك ر والمؤمن ون. كل امن باهلل ن فسا إال وسعها ومالئكتو وكتبو ورسلو الن فرق ب ي أحد من رسلو وقالوا س ر. اليكل ب نا وإليك المصي
ها مااكتسبت رب نا الت نا إصرا كما حلتو على الذين من ق هلا ماكسبت وعلي لنا ماالطاقة ؤاخذنا إن نسي أو أخطعنا رب نا وال تمل علي بلنا رب نا وال تم
لنا بو
عنا واغفر لنا وارحنا ) مرة( 7واع
فانصرنا على القوم الكافرين.أنت موالنا
ي ) ، إرحنا ياأرحم الراح ي مرة( 7برحتك يا أرحم الراح
ا يريد اهلل ليذىب ع يد. إن يد م را. إن اهلل ومالئكتو يصلون على النب ورحة اهلل وب ركاتو عليكم أىل الب يت إنو ح ركم تطهي نكم الرجس أىل الب يت ويطه
يا أي ها الذين أمن وا صلوا عليو وسلموا تسليما.
الة على أسعد ملو د. عدد معلوماتك ومداد أللهم صل أفضل الص د وعلى أل سيدنا مم كلماتك كلما ذكرك قاتك ن ور اهلدى سيدنا وموالنا مم
اكرون. وغفل عن ذكرك الغافلون. الذ
الة على أ دعدد معلومات أللهم صل أفضل الص د وعلى أل سيدنا مم ك ومداد كلماتك كلما ذكرك سعد ملوقاتك شس الضحى سيدنا وموالنا مم
اكرون. وغفل عن ذكرك الغافلون الذ
ال د. عدد أللهم صل أفضل الص د وعلى أل سيدنا مم جى سيدنا وموالنا مم معلوماتك ومداد كلماتك كلما ذكرك ة على أسعد ملوقاتك بدر الد
اكرون. وغفل عن ذكرك الغافلون. الذ
. وحسب نا اهلل ونعم الوكيل نعم المول وسلم ورضي ر. والحول والق وة إال باهلل العلي العظيم اهلل ت عال عن سادتنا أصحاب رسول اهلل أجعي ونعم النصي
مرة( 7أست غفر اهلل العظيم )
, اهلل حي باق ل الذكر فاعلم أنو الإلو إال اهلل حي موجود الإلو إال اهلل حي معب ود الإلو إال أفض
مرة( 7/11/33الإلو إال اهلل )
الإلو إال اهلل الإلو إال اهلل
د رسول اهلل الإلو إال اهلل مم
د أللهم صل عليو وسلم ) مرة( 2أللهم صل على مم
د يارب صل عليو وسلم أللهم صل على مم
33سبحان اهلل وبمده سبحان اهلل العظيم
د وعلى الو وصحبو وسلم أللهم صل على حبيبك سي دنا مم
د وعلى الو وصحبو وبارك وسلم أللهم صل على حبيبك سيدنا مم
د وعلى الو وصحبو وبارك وسلم أج . )الفاتة(أللهم صل على حبيبك سيدنا مم عي
Doa Tahlil
يطان الرجيم. بسم اهلل الرحن الرحيم. المد للو رب العالمي ، حدا ي واف نعمو ويكافئ أعوذ باهلل من الش اكرين حد الناعمي مزيده. يا رب نا . حد الش
لك المد كما ي نبغي جلالل وجهك وعظيم سلطانك.
د ف اآل . وصل وسلم على سيدنا مم لي د ف االو . وصل وصل وسلم ع خرين.اللهم صل وسلم على سيدنا مم د ف كل وقت وحي لى سيدنا مم
ين. د ف المالء االعلى ال ي وم الد وسلم على سيدنا مم
د صلى اهلل عليو وسلم ىدية واصلة ورحة ن اللهم اجعل واوصل وت قبل ما ق رأناه من القرآن العظيم وما ىللناه وما ناه على النب مم ازلة سبحناه وما صلي
م ذالك ون هديو ال حضرة سيدنا وحبيبنا وشف بربكة شاملة وصدقة مت قب لة ن قد يع إخوانو من و د صلى اهلل عليو وسلم وإل ج يعنا وق رة أعيننا وموالنا مم
الي والصحابة والتابعي والعلم هداء والص ، واالولياء والش يع المجاىدين ف سبيل اهلل رب اء العام األنبياء والمرسلي لي والمصنفي المخلصي وج
يخ عبد القادر اجليالن رضي اهلل عنوالعالمي والمالئكة المقربي خصوصا ال سيدنا الش
Jika berkendak ditujukan kepada ruh seseorang, maka baca :
..………… وخصوصا ال حضرة روح
(sebutkan nama ruh yang dituju)
Lalu melanjutkan bacaan doa :
يع أىل القب ور من المسلمي والمسلمات والمؤمني والمؤمنات من هاتنا وأجداتنا ث إل ج مشارق االرض ومغاربا ب رىا وبرىا خصوصا إل آبائنا وام
اتنا ونص خصوصا إل من اجتمعنا ىاىنا بسببو وألجلو هم. أللهم انزل الرحة والمغفرة على أىل القب ور أللهم اغفرهلم وارحهم وعافهم و .وجد عن اع
ن يا حسنة وف االخرة حس د رسول اهلل. رب نا آتنا ف الد ا يصفون نة وقنا عذاب النار. سبحان ر من أىل ال إلو إال اهلل مم والمد للو .بك رب العزة عم
الفاتة .رب العالمي
Lampiran II
Teks Bacaan Talqin Berbahasa Arab :
. ذطجؼ ا١ حى ج . ا ش١ئ اه االه . و اهطح١ ح اطه للاه خ . تس فس شائمح ا و فه ا ذ اهجهح فمس فاظ. ا ازذ اهاض ظحعح ػ ح . ف م١ا ا ٠ ضو ف١ا اج , ا ذماو ض. غط راع ا ١ا االه ح١اج اس ا ا
ذ ا رطجى , ؼ١سو ا رطجى ز ارطاب. س ف١ا ؼ١سو اب. اثه لجط اذماو ؼط اضج اذط.
صه للاه هح ضسي للاه ػ ا للاه للاه تالله للاه حساب. تس ا صسق ح ػس اطه ا . صا سه ػ١
. حضط ١غ س٠ا ج احسج فاشا واد االه ص١حح . ا طس ا
ه للاه د ....... ٠طح / ت ظ٠را ٠ا ...... ت ١ا ه اس س . شثد ػ تطاظ٠د ا٢ذطج. فال ذ تطظخ ف صطخ ا٢ .
شازج ا ا زاض ا٢ذطج. د ت لس ١ا زاض اس ف فاضلرا ػ١ س اهص ؼ ا ي للاه سا ضس ه ح ه ا . ف شا ال ا االه للاه
فال ٠ع سه ػ١ س صه للاه ه ح ح ه ا ثاه تأ ته وهال ا ىا جاءن ا ك ا ذ اه اػ ال ٠طػثان. ػجان
ك ذ ك د ذ ا ا ذؼا و ك للاه ذ ؟. فم ده ػ١ ا اهص ا اػرمازن؟ ا ز٠ه؟ ضته؟ اشا ساالن . ا للاه
ا اشا سأالن اثهاثح . ضت ا للاه اشا سأالن اثها١ح فم . ضت ال ر للاه ف ك تال ذ ط ا تسا حس فم ح ا اذ
ا ىؼثح لثر ا ا ا مطآ ا س ث١ـ ه ح ز٠ اإلسال ضت فعع. للاه ا اذ س ا اخ فط٠ضر صه
ات . ي للاه س ضس ه ح ي ال ا االه للاه د ػ ل اا ػشد ات ر١ ا ١ طا
٠ثؼث ثطظخ ا ٠ تصا ا م١ اهه اػ ........ ح ٠ا ........ ت حجه ا سهه تص . ذ ج صا اط ي ف ا ذم ه ف شا ل١
جاءا تا سه ػ١ س صه للاه ه ح . فم ؼ١ ك اج ر ف ا تؼث ف١ى ا اهص ه ذ . ف ها ت آ فاذهثؼا ضت اخ ث١
. فم ؼظ١ ؼطش ا ضب ا د وه ذ ػ١ ال ا االه للاه حسث
ثؼث ه ا ا ى١ط حك ىط ه سؤاي ا مثط حك ي ا ه ع ا خ حك ه ا ا اػ حساب ح ه ا ا حك حك ١عا ه ا ا ك
ه ا اػح آذ١ح ال ض٠ة ف١ا ه اسه ا جهح حك ه ا ا ه اهاض حك ا طاط حك ه اص ا ض مث ف ا ٠ثؼث للاه
Sampai di sini pembacaan Talqin mayit, kemudian dilanjutkan dengan pembacaan
doa. Pada saat dibacakan doa, semua pelayat atau pengiring disunnahkan duduk dan
mengamini doa tersebut. Berikut ini teks doanya :
حسذا ٠ا حاضطا ١س تغائة, آس ح١س ه ٠ا أ١س و ـ زػه اه ال سر ر حجه م غطتر غطترا اضح حسذ . ١ ٠ا ضبه اؼا اغفط ا ذفرها تؼس
“Kami menitipkan saudaraku kepada-Mu ya Allah, Ya Tuhan yang memberi kesenangan
setiap orang yang mendirikan, Ya Tuhan yang selalu hadir tidak pernah absen berilah
kesenangan atas kesendirian saudaraku ini. Kasihanilah pengembaraan kami dan
pengembaraan saudara kami ini, peringatkanlah dua dari hujjah yang telah kami ajarkan
kepadanya, janganlah Engkau menfitnah kami sesudah dia meninggal dan ampunilah kami
dan dia wahai Tuhan seluruh Alam”.
١ . آ ١ ؼا ضب ا س لله ح ا سه صحث ػ آ س ه ح ػ س١سا صه للاه
Lampiran III
Do’a Malam Nisfu Sya’ban
وس وصحب د و عى ا ح عى سدا ص ه , ا ذا اه ع وال ا ذا ا اه
ال إ عا طىي واإل اذا ا جالي واإلورا ا ا و أ ر سحج وجارا ث ظهر االج إال ا
طرو ا أو حرو ىحاب شما أو ا أ دن ف ع ث وحبحـ و إ , اه خا ئـف ا ا محر ا أو
ح ا زق فا ار ف ي و إ لحار ع وطر ا وحر ىحاب شما و ج ا أ بفضه ف ه
ث رات فإ ه ل خ ى فما ر زو لا ا د ىحاب سع ا أ دن ف ع و أشبحـ ولى ه رزل
وحا به ا حك ف ا د أ اشاء و ثبث و ع حى هللا , رس به ا ي عى سا س
فر اح ىر ا شهرشعبا ة اصف ف باحجى األ عظ ىحاب , إ ه ا ها و ق ف
ر ث عال أ وأ أع ث ب ا أ و اال أع و اأع بالء ا إصرف ع و بر حى ار ح حه ا ارح غىب , برح ا وصحب د و عى ا ح وصى هللا عى سدا وس
عا د هلل رب ا ح وا
Foto bersama Kyai Dardiri Ziubairi Foto bersama Kyai Munif Zubairi
Foto bersama Kyai Halimi
Foto bersama Kyai Jurjiz Kalabaan Foto bersama Kyai Ilyasi Bluto
Foto para ulama Madura saat berkumpul di kantor AUMA, Pamekasan
Kyai Lailurrahman Kyai Syamsul Arifin
Kyai Athaullah Kyai Hanif