peranan filsafat dalam mengembangkan

Upload: andrey-carver

Post on 19-Jul-2015

414 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

PERANAN FILSAFAT DALAM MENGEMBANGKAN LINGUISTIK0PERANAN FILSAFAT DALAM MENGEMBANGKAN LINGUISTIK

Iqbal Nurul Azhar Ananda Surya Negara

A. Pendahuluan Kebanyakan pakar dalam mengupas hubungan ilmu bahasa dan filsafat selalu menempatkan filsafat kedalam posisi yang prestisius. Hal ini tidaklah aneh mengingat filsafat adalah roh dari semua ilmu termasuk ilmu bahasa. Kajian bahasa pertama kalipun justru dilakukan oleh filosof dan bukan oleh ahli bahasa. Pada jaman dulu, para filosof memecahkan berbagai macam problem filsafat melalui pendekatan analisis bahasa. Sebagai contoh problem filsafat yang menyangkut pertanyaan-pertanyaan kefilsafatan mendasar seperti yang ada, reality, eksistensi, sensi substansi, materi, bentuk kausalitas, makna pernyataan dan verifikasinya (Katsoff, 1989:48-63) dan pertanyaan-peranyaan fundamental lainnya dapat dijelaskan dengan menggunakan analisis data bahasa. Tradisi ini oleh para ahli sejarah filsafat disebut sebagai Filsafat Analitik, yang berkembang di Eropa terutama di Inggris abad XX.

Semua ahli filsafat sepakat bahwa ada hubungan yang sangat erat antara filsafat dan bahasa terutama yang berhubungan dengan peran pokok filsafat sebagai analisator konsep-konsep. Konsep-konsep yang dianalisa filsafat memiliki raga kuat karena berbentuk istilah-istilah bahasa dan karenanya, tidak bisa tidak, filosof harus memahami makna apa itu bahasa yang selalu digunakan dalam memahami konsep-konsep tersebut.

Sejak zaman Yunani kuno, sudah muncul paham Phusis yang menyatakan bahwa bahasa bersifat alamiah (fisei atau fisis), yaitu bahasa mempunyai hubungan dengan asal-usul, sumber dalam prinsip-prinsip abadi dan tidak dapat diganti di luar manusia itu sendiri dan karena itu tidak dapat ditolak. Dengan demikian dalam bahasa ada keterkaitan antara kata dan alam. Tokoh paham natural ini diantaranya Cratylus dalam Dialog Pluto (Solikhan, 2008:55)

Paham naturalis ini mendapat penentangan dari paham Thesis yang berpendapat bahwa bahasa bersifat konvensi (nomos). Bahasa diperoleh dari hasil-hasil tradisi, kebiasaan berupa tacit agreement (persetujuan diam). Bahasa bukan pemberian Tuhan, melainkan bersifat konvensional. Pendapat ini diwakili oleh Hermoganes dalam Dialog Pluto (Kaelan, 1998:29)

Dikotomi spekulatif tentang hakikat bahasa fusie dan nomos merupakan pusat perhatian filosof pada saat itu. Demikian juga dikotomi analogi dan anomali merupakan diskursus filosofis yang mendasar mengingat bahasa merupakan sarana utama dalam filsafat terutama dalam logika. Golongan analogi yang dianut kelompok Plato dan Aristoteles mengatakan bahwa alam ini memiliki keteraturan demikian juga manusia yang terefleksi dalam bahasa. Oleh karena itu bahasa memiliki keteraturan dan disusun secara teratur. Sebaliknya, kaum Anomalis berpendapat bahwa

bahasa tidak memiliki keteraturan. Mereka mununjukkan bukti kenyataan sehari-hari mengapa ada kata yang bersifat sinonim, dan homonim, mengapa ada unsur kata yang bersifat netral, dan jika bahasa itu bersifat universal seharusnya kekacauan itu dapat diperbaiki. Dalam pengertian inilah bahasa pada hakekatnya bersifat alamiah (Parera dalam Solikhan, 2008: 55).

Perbedaan-perbedaan perspektif tentang bahasa dan segala hal yang berkaitan namun tetap berada dalam payung bahasa, yang dilakukan oleh para filosof ternyata memiliki kontribusi yang demikian besar terhadap kemajuan dari ilmu bahasa. Perbedaan-perbedaan ini memunculkan adanya diskusi, dialog, bahkan debat. Diskusi, dialog, dan dan debat inilah yang menyuntikkan darah segar pada para filosof untuk selalu melahirkan inovasi-inovasi dan revisi-revisi terhadap teori lama yang berkenaan dengan bahasa. Dimulai dengan dimunculkannya filsafat bahasa oleh para filosof yaitu pengetahuan dan penyelidikan dengan akal budi mengenai hakikat bahasa, sebab, asal dan hukumnya (yang kemudian menjadi embrio dari lahirnya ilmu bahasa atau linguistik) (Sallyanti, 2004:1), maka lahirlah ilmu bahasa atau linguistik yang kita kenal dewasa ini.

Artikel ini secara khusus berusaha menjelaskan tentang apa kontribusi dari filsafat dalam mengembangkan linguistik. Untuk mempermudah paparan tersebut, maka artikel ini disusun menjadi beberapa bagian yaitu: (a) pendahuluan, (b) hakikat bahasa dalam tinjauan filsafat, (c) peranan filsafat dalam mengembangkan ilmu bahasa, (d) simpulan dan penutup.

B. Esensi dan Hakikat Bahasa dalam Tinjauan Filsafat B.1. Esensi Bahasa Orang-orang Yunani kuno dan orang-orang kuno lainnya mempunya bakat ingin mengetahui hal-hal yang oleh orang-orang lain dianggap sebagaimana semestinya. Dengan berani dan gigih, mereka membuat spekulasi mengenai definisi, asal mula, sejarah, dan struktur bahasa. Pengetahuan tradisional kita mengenai bahasa sebagian besar adalah berkat mereka (Bloomfield, 1995:2).

Keingin tahuan ini terlihat dari apa yang disampaikan Herodotus, yang menulis pada abad kelima sebelum Masehi, ia menuliskan bahwa Raja Psammetichus di Mesir pernah mengasingkan dua orang bayi yang baru lahir di sebuah taman, untuk mengetahui mana bangsa dan bahasa tertua di dunia. Ketika bayi-bayi tersebut mulai berbicara, mereka mengucapkan kata bekos, yang ternyata dari bahasa Frigia yang berarti roti (Yule, 1985: 2)

Penelitian-penelitian seperti yang dilakukan Raja Psammetichus ini melahirkan beberapa pengetahuan baru tentang bahasa, yang kadang dari pengetahuan ini memunculkan adanya perdebatan. Bagi Raja Psammetichus, berdasarkan hasil penelitiannya ia menjumpai bahwa ternyata bangsa dan bahasa tertua adalah bangsa dan bahasa Frigia. Namun bagi peneliti-peneliti kuno lainnya belum tentu demikian. Raja James IV of Scotland 1500 M berdasarkan hasil penelitiannya yang serupa menyebutkan bahwa bahasa Ibranilah sebagai bahasa tertua di dunia. (Yule, 1985: 2)

Raja Psammetichus dan dan Raja James IV tidak memiliki hubungan kekerabatan yang dekat karena hal itu tidaklah mungkin. Kedua raja tersebut hidup di dua era berbeda dan di wilayah yang berbeda pula. Psammetichus tinggal di Yunani dan hidup sebelum masehi sedangkan

James IV tinggal di Britania Raya jauh setelah Masehi. Yang membuat mereka sama adalah, dua tokoh ini dikenal memiliki ketertarikan kuat terhadap misteri bahasa. Ketertarikan ini muncul akibat dari kuatnya pengaruh filsafat yang menjadi pegangan hidup mereka.

Beberapa definisi bahasa tercipta dari hasil pemikiran dan penelitian para filosof kuno ini. Sebagian besar filosof tersebut sependapat bahwa bahasa adalah sistem tanda. Dikatakan bahwa manusia hidup dalam tanda-tanda yang mencakup segala segi kehidupan manusia, misalnya bangunan, kedokteran, kesehatan, geografi, dan sebagainya. Definisi bahasa yang lain seperti yang diungkapkan Plato lewat Socrates: Bahasa adalah pernyataan pikiran seseorang dengan perantaraan onomata dan rhemata yang merupakan cerminan dari ide seseorang dalam arus udara lewat mulut.

B.2 Hakikat Bahasa Dalam dialog Cratylusnya, Plato membicarakan asal mula kata, dan khususnya soal apakah hubungan kata-kata dengan benda yang dirujuknya adalah alami ataukah hanya merupakan hasil kesepakatan saja. Dialog itu memberikan kepada kita kilasan pertama ke dalam perselisihan yang telah berlangsung satu abad antara kaum Analogis dan Anomalis (Bloomfield, 1995:2). Bagaimanapun sengitnya perdebatan antara dua kubu tersebut, pemikiran-pemikiran yang muncul tentang bahasa menyadarkan kepada para filosof bahwa bentuk-bentuk bahasa berubah dalam perjalanan waktu. Secara perlahan namun pasti, mereka akhirnya menemukan hakikat sejati dari bahasa yang terefleksikan lewat wujud-wujud dan perubahannya. Di bawah ini adalah beberapa hakikat bahasa yang telah ditemukan oleh para filosof. Sebenarnya ada banyak sekali hakikat bahasa yang telah ditemukan, namun penulis membatasinya menjadi lima saja. (a) Bahasa Sebagai Sistem Hakikat ini sebenarnya telah diyakini oleh pengikut paham anomalis namun hakikat ini menjadi jelas setelah Kaum Sofis pada abad ke-5 merumuskan kesistematisan bahasa secara empirik. Salah satu tokoh dari kaum Sofis adalah Pitagoras. Ia membedakan tipe-tipe kalimat atas: narasi, pertanyaan, jawaban, perintah, laporan, doa dan undangan. (Parera, 1991:36-37).

Plato juga menegaskan kesistematisan bahasa dengan memberikan perbedaan kata dalam Onoma dan Rhema. Onoma dapat berarti nama atau nomina, dan subyek. Rhema dapat berarti frasa, verba, dan predikat. Onoma dan Rhema merupakan anggota dari logos yang berarti kalimat atau frasa atau klausa (Parera, 1991:37).

Ide bahwa bahasa memiliki sistem juga didukung oleh Aristoteles. Sejalan dengan pendahulunya Plato, ia tetap membedakan dua kelas yakni Onoma dan Rhema, tetapi ia menambahkan satu lagi yang disebut Syndesmoi. Syndesmoi ini kemudian digolongkan ke dalam penghubung partikel. Kata-kata lebih banyak bertugas dalam hubngan sintaksis. Aristoteles selalu bertolak dari logika. Ia memberikan pengertian, definisi, dan makna dari sudut pandang logika.

Selain membedakan Onoma, Rhema, dan Syndesmoi, Aristoteles juga membedakan jenis kelamin kata (Gender). Ia membedakan tiga jenis kelamin kata atas maskulin, feminin dan neuter atau netral. Ia juga mengakui bahwa rhema menunjukkan pula pada tense atau waktu, yaitu Rhema dapat menunjukkan apakah pekerjaan telah selesai, belum selesai dan sebagainya (Parera, 1991:37). Keyakina bahwa bahasa merupakan sebuah sistem diyakini kebenaranya hingga sekarang terutama oleh para ahli linguistik. Banyak aliran-aliran

yang pada intinya menganalisa sistem-sistem dalam bahasa bermunculan dan memperkaya keragaman linguistik. (b) Bahasa Sebagai Lambang Eaerns Cassirer, seorang sarjana dan seorang filosof mengatakan bahwa manusia adalah mahluk bersimbol (animal symbolicum). Hampir tidak ada kegiatan yang tidak terlepas dari simbol atau lambang. Termasuk alat komunikasi verbal yang disebut bahasa. Satuan-satuan bahasa misalnya kata adalah simbol atau lambang (Chaer, 2007:39). Kalau ide atau konsep untuk menyatakan kematian adalah bendera hitam (dalam bentuk tanda), dan ide atau konsep ketuhanan dilambangkan dengan gambar bintang (dalam bentuk gambar), maka lambang-lambang bahasa diwujudkan dalam bentuk bunyi, yang berupa satuan-satuan bahasa, seperti kata atau gabungan kata yang sifatnya arbriter. Dalam bahasa Indonesia, binatang berkaki empat yang bisa dikendarai dilambangkan dengan bunyi [kuda], dalam bahasa Inggris berupa bunyi yang ditulis horse dan dalam bahasa Belanda berupa bunyi yang ditulis paard. (c) Bahasa Adalah Bunyi Hakikat bahasa sebagai bunyi di kupas dengan seksama oleh Kaum Stoik. Kaum Stoik merupakan kelompok filosof atau logikus yang berkembang pada permulaan abad ke-4 SM. Kontribusi mereka cukup besar dalam menganalisis bahasa, walaupun mereka belum lepas dari pandangan logika.

Kaum ini membicarakan bentuk-bentuk bermakna bahasa dengan cara membedakan tiga aspek utama dari bahasa yaitu (1) tanda atau simbol yang disebut semainon, dan ini adalah bunyi atau materi bahasa (2) makna, atau apa yang disebut lekton dan (3) hal-hal eksternal yang disebut benda atau situasi itu atau apa yang disebut sebagai pragma (Parera, 1991:38). Kaum ini memiliki ketertarikan yang sangat tinggi pada bunyi atau phone, dan mereka membedakan antara legein, yaitu tutur bunyi yang mungkin merupakan bagian dari fonologi sebuah bahasa namun tidak bermakna, dan propheretai atau ucapan bunyi bahasa yang memiliki makna (d) Bahasa itu Bermakna Penelitian sitematis tentang konsep bahasa itu bermakna juga dilakukan oleh Kaum Stoik. Dalam bidang lekta, atau makna, mereka mempunyai pandangan yang berbeda dengan analisis logika Aristoteles yang kurang sistematis dan sering absurd maknanya. Aristoteles hanya mengakui adanya onoma dan onomata. Semua perubahan dari onoma sesuai dengan fungsinya tidak ia akui. Ia sebut itu kasus saja. Hal ini disebabkan oleh karena dasar logika Aristoteles dengan silogismenya yang hanya menggunakan kode huruf A, B, dan C dan tidak mempergunakan bentuk-bentuk onoma secara praktis dalam contoh. Kaum Stoik mengatakan bahwa kasus itupun Onoma yang sesuai dengan fungsinya. Lalu mereka membedakan atas kasus nominatif genetif datif akusatif dan sebagainya. Hal yang sama juga berlaku bagi Rhema. Walaupun Aristoteles telah membedakan rhema dalam tense, ia tetap berbicara tentang sesuatu yang tidak komplit. Kaum Stoik dalam hal ini membedakan rhema dan kategorrhema, yang dalam pengertian kita sekarang memiliki makna finit dan infinit. (Parera, 1991:38). (e) Bahasa itu Universal Kaum Modiste adalah filosof jaman pertengahan yang menaruh perhatian besar pada tata bahasa. Mereka disebut demikian karena ucapan mereka yang terkenal dengan nama De modis Sicnficandi. (Parera, 1991:46). Merekapun mengulang pertentangan lama antara Fisis dan Nomos, antara Analogi dan Anomali. Mereka menerima konsep Analogi karena menurut mereka bahasa bersifat reguler dan universal (Parera, 1991:46). Keuniversalan bahasa dapat dibuktikan dengan adanya sifat dan ciri-ciri yang sama yang dimiliki oleh bahasa-bahasa di dunia. Karena bahasa itu berupa ujaran, maka ciri-ciri universal dari bahasa yang paling umum dijumpai adalah bahwa bahasa-bahasa di dunia mempunyai bunyi bahasa

yang umum yang terdiri dari konsonan dan vokal. Bahwa sebuah kalimat pada bahasa-bahasa di dunia tersusun dari kata-kata yang memiliki fungsi dan peran tertentu. Kesamaan sifat dan ciri inilah yang kemudian dikenal sebagai universalitas bahasa.

C. Peranan Filsafat dalam Mengembangkan Ilmu Bahasa Umur kajian tentang bahasa itu sudah tua. Dimulai sejak zaman Yunani kuno hingga jaman modern. Setiap periode perkembangan kajian bahasa, filsafat berperan secara signifikan. Pada awalnya, filosoflah yang mengkaji bahasa dan memberikan definisi, kategori, membedakan jenis, bentuk dan sifat, dan perbedaan-perbedaan lainnya. Setelah linguistik mampu berdiri sendiri menjadi satu bidang ilmu yang kukuh, peranan filsafat masih tetap mengakar kuat. Meskipun bukan lagi filosof yang mengkaji bahasa karena telah diambil alih oleh linguis, namun dimensi-dimensi filsafat masih tetap melekat kuat di dalamnya. Hal ini disebabkan oleh masih tetap diyakininya filsafat bahasa sebagai roh dari ilmu bahasa dalam menemukan teori-teori kebahasaan baru oleh para linguis.

Definisi, Obyek Studi Filsafat Ilmu, Fungsi dan Peranan Filsafat Ilmu

14FEB2010 Leave a Commentby Sophia Scientia in Class Materials Selintas kita sudah membahas apa itu filsafat pada pertemuan sebelumnya. Saat ini kita akan mendalami apa itu filsafat dan filsafat ilmu, serta membahas tentang obyek kajian, fungsi dan tujuan serta peranan filsafat ilmu bagi kegiatan ilmiah.

Filsafat berasal dari kata Yunani yang berarti cinta akan kebijaksanaan. Sehingga secara sederhana filsafat dapat dimengerti sebagai cinta atau kecenderungan akan kebijaksanaan atau cinta akan pengetahuan (Mustansyir dan Munir, 2009; Rapar, 1996). Pythagoras, misalnya, sang pencetus kata filsafat mengatakan ia hanyalah orang yang mencintai pengetahuan. Secara umum, para filusuf bersepakat akan pengertian etimologis tersebut. Sedangkan filsafat sebagai sebuah disiplin ilmu, dipahami berbeda-beda oleh mereka. Plato sebagai salah satu filosof awal memahami filsafat sebagai ilmu pengetahuan yang berusaha meraih kebenaran, dan penyelidikan tentang sebab-sebab dan asasasas yang paling akhir dari segala sesuatu yang ada. Sedangkan Beerling seorang guru besar filsafat di Indonesia mengajukan bahwa filsafat mengajukan pertanyaan tentang kenyataan seluruhnya atau tentang hakikat, asas, dan prinsip dari kenyataan. (Rapar, 1996) Dalam dunia Islam yang juga memiliki masa kejayaannya filsafat dipahami secara beragam. Al-Farabi, sang penerjemah karya filosof YUnani memahami filsafat sebagai Ilmu tentang alam yang maujud, dan bertujuan menyelidiki hakikat yang sebenarnya. Sedangkan dalam pandangan Sidi Gazalba, filsafat adalah Berfikir secara mendalam, sistematik, radikal dan universal dalam rangka mencari kebenaran, inti atau hakikat mengenai segala sesuatu. (Bakhtiar, 2009)

Meskipun para filusuf berbeda dengan pengertian filsafat, tetapi di antara pemahaman tersebut terdapat kesepahaman tentang sifat dasar dari berfikir filsafat. Ada tiga unsur yang menjadi dasar berfikir filsafat, antara lain radikal, universal dan komprehensif. Berfikir radikal berarti berfilsafat hingga pada hakikat atau substansi yang dipikirkan. Sedangkan universal berarti pemikiran filsafat mempelajari segala sesuatu yang menjadi pengalaman umum manusia dan komprehensif tidak lain adalah berfikir filsafat merupakan usaha menjelaskan alam semesta secara keseluruhan. Definisi dan Obyek Studi Filsafat Ilmu Sebagai bagian dari cabang filsafat, para pemikir juga memiliki pengertian yang beragam mengenai apa itu filsafat ilmu. Sebagaimana Jujun S. Suriasumantri menyimpulkan filsafat ilmu sebagai refleksi sekunder yang mendalam atas kajian pengetahuan ilmiah, the Liang Gie, dalam bukunya menyebutkan beberapa pengertian mengenai filsafat ilmu yang salah satunya berpendapat Filsafat ilmu adalah cabang filsafat yang menelaah sistematis mengenai sifat dasar ilmu, metode, konsep dan asumsi (praanggapan) serta letak dan kerangka umum dari cabang pengetahuan intelektual. (Mustansyir dan Munir, 2009) Pengertian mengenai Filsafat ilmu juga dikemukakan oleh Lewis White Beck dalam bukunya mengenai pengantar filsafat ilmu, mendefinisikan cabang filsafat ini sebagai Filsafat yang mempertanyakan dan mengevaluasi metode pemikiran ilmiah untuk menentukan nilai dan signifikansi dari seluruh kegiatan ilmiah. (Muslih, 2003) Selain itu, Amtsal Bakhtiar, seorang muslim ahli Filsafat yang mendefisinikan Filsafat Ilmu sebagai kajian secara mendalam tentang dasar-dasar ilmu dengan menjawab persoalan tentang landasan ilmu (hakikat, sumber dan proses pengetahuan serta guna dan nilai dari ilmu). (Bakhtiar, 2009) Lebih lanjut, Bakhtiar menguraikan ketiga landasan ilmu tersebut yang akan dibahas secara lebih mendalam, dimana mengenai hakikat ilmu akan dibahas pada landasan Ontologi. Jika sumber dan proses pengetahuan dipelajari secara mendalam oleh landasan Epistemologi, maka landasan ilmu terakhir yang menjadi inti bahasan dari filsafat ilmu adalah mempelajari guna atau tujuan dan nilai yang dikandung di dalam ilmu, yakni studi mengenai Aksiologi. Dari ketiga pengertian di atas kita dapat memahami bahwa filsafat ilmu tidak lain adalah segenap pemikiran yang sistematis dan radikal (berfikir mendalam) atas persoalan mengenai ilmu pengetahuan, landasan serta hubungannya dengan kehidupan manusia. Sebagai suatu studi, filsafat ilmu tentu memiliki bahasan sebagaimana tersirat dalam pengetian di atas. Mengenai hal ini, para pembahas filsafat ilmu memahami obyek studi dari Filsafat Ilmu dalam dua hal, terdiri atas obyek material dan obyek formal. Obyek material atau pokok bahasan dari filsafat ilmu adalah ilmu pengetahuan yang telah tersistemasisasi dengan metode ilmiah dan telaah terhadap kebenarannya. Sedangkan obyek formal atau konsentrasi bahasan dari filsafat ilmu tidak lain adalah hakikat dari ilmu pengetahuan. Dengan kata lain, filsafat ilmu bekerja untuk memahami persoalan mendasar dari suatu ilmu pengetahuan, seperti landasan filsafat ilmu (ontologi, epistemologi, dan aksiologi) (Mustansyir dan Munir, 2009) Fungsi dan Tujuan, serta Peranan Filsafat Ilmu Dalam rangkumannya, Muslih mengutarakan bahwa filsafat ilmu berfungsi untuk mengetahui struktur logis yang bekerja di balik kelahiran, pertumbuhan, dan perkembangan ilmu, baik itu ilmu alam, ilmu sosial, juga ilmu humaniora, dan bahkan ilmu agama. (Muslih, 2003) Senada dengan ulasan Muslih, Rizal Mustansyir dan Misnal Munir menegaskan fungsi filsafat ilmu yang meletakkan pendasaran logis terhadap metode keilmuwan, dimana setiap orang dapat memahami serta menelaah metode tersebut

secara logis-rasional dan menggunakannya. Selain itu filsafat ilmu juga menjadi sarana pengujian penalaran ilmiah, terhadap suatu penemuan ilmiah sehingga secara bersamaan orang juga dapat mengkritisi asumsi dan metode keilmuwan tersebut. Selain tujuan di atas, filsafat ilmu juga memiliki peranan yang membedakan ruang lingkup studinya dari studi ilmu yang lebih khusus (ilmu alam, ilmu sosial, ilmu humaniora, dan termasuk juga ilmu agama). Jika ilmu khusus mengarahkan metodologinya pada penyelidikan tentang hukum yang beraku pada perilaku alam, sosial, dan kekhususan lainnya, maka filsafat ilmu memiliki peranan dengan lebih mengarahkan kajiannya tentang hakikat dari ilmu khusus seperti hakikat ilmu alam, hakikat sosial, dsb. (Muslih, 2003) Pada taraf tertentu, filsafat ilmu tidak saja berperan dalam mengarahkan pola pikir para filosof dan aliran pemikiran di antara mereka, tetapi pada kehidupan sosial, filsafat ilmu juga sangat berperan dalam melahirkan pola hidup bahkan pandangan hidup masyarakat di era tertentu. Sebagai missal, pola pikir saintifik yang mengusung rasionalisasai pada akhirnya muncul sebagai sebuah peradaban modern, yakni peradaban yang menuntut efisiensi, kompetitif, dinamis, dsb.. (Muslih, 2003) Jika melihat fungsi dan peranan dari filsafat ilmu yang cukup luas, maka bagaimana dengan cara kerja filsafat ilmu terhadap ilmu agama? Mungkinkan masyarakat Islam dapat menerima pemikiran dan aplikasi peranan serta fungsi filsafat ilmu ke dalam studi ini? Bagaimana pula dengan adagium integrasi-interkoneksi keilmuwan Islam dengan kegiatan ilmiah yang menjadi slogan sekaligus tujuan dari UIN saat ini? Apakah adagium tersebut dapat dianggap sebagai salah satu penerimaan masyarakat akademik UIN terhadap aplikasi filsafat ilmu dalam memberikan landasan bagi wilayah studi kita?

DASAR, TUJUAN, DAN PERANAN FILSAFATBAB I RINGKASAN MATERI A. Dasar dan Tujuan Filsafat Pendidikan Dasar filsafat pendidikan : 1. Metafisika 2. Epistemologi 3. AksiologiTujuan filsafat pendidikan : 1. Dengan berfikir filsafat seseorang bisa menjadi manusia, lebih mendidik dan membangun diri sendiri 2. Seseorang dapat menjadi orang yang dapat berfikir sendiri

3. Memberikan dasar-dasar pengetahuan, memberikan pandangna yang sintesis pula sehingga seluruh pengetahuan merupakan satu kesatuan 4. Hidup seseorang tersebut dipimpin oleh pengetahuan yang dimiliki oleh seseorang tersebut. Sebab itu mengetahuai pengetahuan-pengetahuan terdasar berarti mengetahui dasar-dasar hidup diri sendiri 5. Bagi seorang pendidik filsafat mempunyai kepentingan istimewa karena filsafatlah yang memberikan dasardasar dari ilmu-ilmu pengetahuan lainnya yang mengenai manusia seperti misalnya ilmu mendidik Tujuan filsafat pendidikan juga dapat dilihat dari beberapa aliran filsafat pendidikan yang dapat mengembangkan pendidikan itu sendiri yaitu :

1. Idealisme 2. Realisme 3. Pragmatisme 4. Humanisme 5. Behaviorisme 6. konstruktivisme.B. Peranan dan Fungsi Filsafat Pendidikan Filsafat, termasuk juga filsafat pendidikan, juga mempunyai fungsi untuk memberikan petunjuk dan arah dalam pengembangan teori-teori pendidikan menjadi ilmu pendidikan atau paedagogik. Suatu praktek kependidikan yang didasarkan dan diarahkan oleh suatu filsafat pendidikan tertentu, akan menghasilkan dan menimbulkan bentuk-bentuk dan gejala-gejalan kependidikan yang tertentu pula. Hal ini adalah data-data kependidikan yang ada dalam suatu masyarakat tertentu. Analisa filsafat berusaha untuk menganalisa dan memberikan arti terhadap data-data kependidikan tersebut, dan untuk selanjutnya menyimpulkan serta dapat disusun teori-teori pendidikan yang realistis dan selanjutnya akan berkembanglah ilmu pendidikan (paedagogik). Filsafat, juga berfungsi memberikan arah agar teori pendidikan yang telah dikembangkan oleh para ahlinya, yang berdasarkan dan menurut pandangan dan aliran filsafat tertentu, mempunyai relevansi dengan kehidupan nyata.artinya mengarahkan agar teori-teori dan pandangan filsafat pendidikan yang telah dikembangkan tersebut bisa diterapkan dalam praktek kependidikan sesuai dengan kenyataan dan kebutuhan hidup yang juga berkembang dalam masyarakat. Di samping itu, adalah merupakan kenyataan bahwa setiap masyarakat hidup dengan pandangan filsafat hidupnya sendiri-sendiri yang berbeda antara satu dengan yang lainnya, dan dengan sendirinya akan menyangkut kebutuhan-kebutuhan hidupnya. Di sinilah letak fungsi filsafat dan filsafat pendidikan dalam memilih dan mengarahkan teori-teori pendidikan dan kalau perlu juga merevisi teori pendidikan tersebut, yang sesuai dan relevan dengan kebutuhan, tujuan dan pandangan hidup dari masyarakat. BAB II PEMBAHASAN A. Dasar dan Tujuan Filsafat

Dasar filsafat pendidikan : 1. Metafisika bagian filsafat yang mempelajari masalah hakekat. Mulai hakekat dunia, hakekat manusia, hakekat tuhan, termasuk di dalamnya hakekat anak. Metafisika secara praktis akan menjadi persoalan utama dalam pendidkan. Karena anak bergaul dengan dunia sekitarnya. Maka ia akan memiliki dorongna yang kuat untuk memahami tentang segala sesuatu yang ada. Memahami filsafat ini diperlukan cara implisit untuk mengetahui ke arah tujuan pendidikan

2. Epistemologi ini diperlukan dalam pendidikan antara lain dalam hubungannya dengan penyusunan dasar kurikulum. Pengetahuan apa yang harus diberikan pada anak didik, diajarkan di sekolah dan bagaimana cara memperoleh pengetahuan dan cara menyampaikannya seperti apa. Tepri pengetahuan ini berhubungan dengan hakikat dari ilmu pengetahuan, pengadaian-pengandaian, dasar-dasarnya serta pertanggungjawaban atas pernyataan mengenai pengetahuan yang dimiliki oleh setiap manusia. Pengetahuan tersebut diperoleh manusia melalui akal dan panca indera dengan berbagai metode induktif, metode positivisme, metode kontemplatis 3. Aksiologi dasar ini membahas nilai baik atau nilai buruk. Nilai indah atau tidak indah. Dan tidak mengakui nilai absolut tetapi menolak pula nilai yang bersifat subjektif seperti yang berlaku dalam nilai estetis. Nilai yang ada adalah nilai yang bersifat io-psikologis ekonomik historis. Dasar tingkah laku moral adalah pengetahuan ilmiah serta cinta dan simpati manusia. Pertimbanganpertimbangan moral yang tertanam dalam diri pribadi melalui proses pendidikan dan sosialisasi menjadi dasar kemauan bebas dalam menentukan pilihan norma-norma yang tertanam dalam kebiasaan-kebiasaan berfungsi motivatif bersifat mewajibkan.Tujuan pendidikan beberapa aliran filsafat bisa membentuk karakter manusia. Aliran realisme berpandangan bahwa hakikat realitas adalah fisik dan ruh, bersifat dualistis. Tujuan pendidikannya membentuk individu yang mampu menyesuaikan diri dalam masyarakat dan memiliki rasa tanggung jawab kepada masyarakat. Pragmatisme merupakan kreasi filsafat dari Amerika, dipengaruhi oleh empirisme, utilitarianisme, dan positivisme. Esensi ajarannya, hidup bukan untuk mencari kebenaran melainkan untuk menemukan arti atau kegunaan. Tujuan pendidikannya menggunakan pengalaman sebagai alat untuk menyelesaikan hal-hal baru dalam kehidupan priabdi dan masyarakat. Humanisme berpandangan bahwa pendidikan harus ditekankan pada kebutuhan anak (child centered). Tujuannya untuk aktualisasi diri, perkembangan efektif, dan pembentukan moral. Paham behaviorisme memandang perubahan perilaku setelah seseorang memperoleh stimulus dari luar merupakan hal yang sangat penting. Oleh sebab itu, pendidikan behaviorisme menekankan pada proses mengubah atau memodifikasi perilaku. Tujuannya untuk menyiapkan pribadi-pribadi yang sesuai dengan kemampuannya, mempunyai rasa tanggung jawab dalam kehidupan pribadi dan masyarakat. Menurut paham konstruktivisme, pengetahuan diperoleh melalui proses aktif individu mengkonstruksi arti dari suatu teks, pengalaman fisik, dialog, dan lain-lain melalui asimilasi pengalaman baru dengan pengertian yang telah dimiliki seseorang. Tujuan pendidikannya menghasilkan individu yang memiliki kemampuan berpikir untuk menyelesaikan persoalan hidupnya. Tujuan filsafat pendidikan memberikan inspirasi bagaimana mengorganisasikan proses pembelajaran yang ideal. Teori pendidikan bertujuan menghasilkan pemikiran tentang kebijakan dan prinsip-rinsip pendidikan yang didasari oleh filsafat pendidikan. Praktik pendidikan atau proses pendidikan menerapkan serangkaian kegiatan berupa implementasi kurikulum dan interaksi antara guru dengan peserta didik guna mencapai tujuan pendidikan dengan menggunakan rambu-rambu dari teoriteori pendidikan. Peranan filsafat pendidikan memberikan inspirasi, yakni menyatakan tujuan pendidikan negara bagi masyarakat, memberikan arah yang jelas dan tepat dengan mengajukan pertanyaan tentang kebijakan pendidikan dan praktik di lapangan dengan menggunakan rambu-rambu dari teori pendidik. Seorang guru perlu menguasai konsep-konsep yang akan dikaji serta pedagogi atau ilmu dan seni mengajar materi subyek terkait, agar tidak terjadi salah konsep atau miskonsepsi pada diri peserta didik. C. Peranan dan Fungsi Filsafat Pendidikan Tidak semua masalah kependidikan dapat dipecahkan dengan mengunakan metode ilmiah semata-mata. Banyak diantara masalah- masalah kependidikan tersebut yang merupakan pertanyaan- pertanyaan filosofis, yang memerlukan Pendekatan filosofis pula dalam memecahkannya. Analisa filsafat terhadap masalahmasalah kependidikan tersebut, dan atas dasar itu bisa disusun secara sistematis teori- teori pendidikan.disamping itu jawaban- jawaban yang telah dikemukakan oleh jenis dan aliran fisafat tertentu sepanjang sejarah terhadap problematika pendidikan yang dihadapinya, menunjukan pandangan- pandangan tertentu, yang tentunya juga akan memperkaya teori-teori pendidikan. Dengan demikian, terdapat hubungan fungsional antara filsafat dengan teori pendidikan. Hubungan fungsional antara filsafat dan teori pendidikan tersebut, secara legih rinci dapapt diuraukan sebagai berikut :

a. Filsafat, dalam arti analisa filsafat adalah merupakan salah satu cara Pendekatan yang digunakan oleh para ahli pendidikan dalam memecahkan problematika pendidikan dan menyusun teori- teori pendidikannya, disamping menggunakan metode- metode ilmiah lainnya. Sementara itu dengan filsafat, sebagi pandangan tertentu terhadap sesuatu obyek, misalnya filsafat idelisme, realisme, materialisme dan sebaginya, akan mewarnai pula pandangan ahli pendidikan tersebut dalam teori- teori pendidikan yang dikembangkannya. Aliran filsafat tertentu terhadap teori- teori pendidikan yang di kembangkan atas dasar aliran filsafat tersebut. Dengan kata lain, teori- teori dan pandangan- pandangan filsafat pendidikan yang dikembangkan oleh fillosof, tentu berdasarkan dan bercorak serta diwarnai oleh pandangan dan airan filsafat yang dianutnya. b. Filsafat, juga berpungsi memberikan arah agar teori pendidikan yang telah dikembangkan oleh para ahlinya, yang berdasarkan dan menurut pandangan dan aliran filsafat tertentu, mempunyai relevansi dengan kehidupan nyata.artinya mengarahkan agar teori-teori dan pandangan filsafat pendidikan yang telah dikembangkan tersebut bisa diterapkan dalam praktek kependidikan sesuai dengan kenyataan dan kebutuhan hidup yang juga berkembang dalam masyarakat. Di samping itu, adalah merupakan kenyataan bahwa setiap masyarakat hidup dengan pandangan filsafat hidupnya sendiri-sendiri yang berbeda antara satu dengan yang lainnya, dan dengan sendirinya akan menyangkut kebutuhan-kebutuhan hidupnya. Di sinilah letak fungsi filsafat dan filsafat pendidikan dalam memilih dan mengarahkan teori-teori pendidikan dan kalau perlu juga merevisi teori pendidikan tersebut, yang sesuai dan relevan dengan kebutuhan, tujuan dan pandangan hidup dari masyarakat. e. Filsafat, termasuk juga filsafat pendidikan, juga mempunyai fungsi untuk memberikan petunjuk dan arah dalam pengembangan teori-teori pendidikan menjadi ilmu pendidikan atau paedagogik. Suatu praktek kependidikan yang didasarkan dan diarahkan oleh suatu filsafat pendidikan tertentu, akan menghasilkan dan menimbulkan bentuk-bentuk dan gejala-gejalan kependidikan yang tertentu pula. Hal ini adalah datadata kependidikan yang ada dalam suatu masyarakat tertentu. Analisa filsafat berusaha untuk menganalisa dan memberikan arti terhadap data-data kependidikan tersebut, dan untuk selanjutnya menyimpulkan serta dapat disusun teori-teori pendidikan yang realistis dan selanjutnya akan berkembanglah ilmu pendidikan (paedagogik). Di samping hubungan fungsional tersebut, antara filsafat dan teori pendidikan, juga terdapat hubungan yang bersifat suplementer, sebagaimana dikemukakan oleh Ali Saifullah dalam bukunya Antara Filsafat dan Pendidikan, sebagai berikut : a. Kegiatan merumuskan dasar-dasar, dan tujuan-tujuan pendidikan, konsep tentang sifat hakikat manusia, serta konsepsi hakikat dan segi-segi pendidikan serta isi moral pendidikannya. b. Kegiatan merumuskan sistem atau teori pendidikan (science of education) yang meliputi politik pendidikan, kepemimpinan pendidikan atau organisasi pendidikan, metodologi pendidikan dan pengajaran, termasuk pola-pola akulturasi dan peranan pendidikan dalam pembangunan masyarakat dan Negara. Definisi di atas merangkum dua cabang ilmu pendidikan yaitu, filsafat pendidikan dan system atau teori pendidikan, dan hubungan antara keduanya adalah bahwa yang satu supplemen terhadap yang lain dan keduanya diperlukan oleh setiap guru sebagai pendidik dan bukan hanya sebagai pengajar di bidang studi tertentu. Beberapa pandangan tokoh perenialisme terhadap pendidikan:

1. Program pendidikan yang ideal harus didasarkan atas paham adanya nafsu, kemauan, dan akal (Plato) 2. Perkemhangan budi merupakan titik pusat perhatian pendidikan dengan filsafat sebagai alat untuk mencapainya ( Aristoteles) 3. Pendidikan adalah menuntun kemampuan-kemampuan yang masih tidur agar menjadi aktif atau nyata. (Thomas Aquinas) BAB III KESIMPULAN Dasar filsafat pendidikan :

1. Metafisika 2. Epistemologi 3. AksiologiTujuan filsafat pendidikan juga dapat dilihat dari beberapa aliran filsafat pendidikan yang dapat mengembangkan pendidikan itu sendiri yaitu :

1. Idealisme 4. Humanisme 2. Realisme 5. Behaviorisme 3. Pragmatisme 6. konstruktivisme. Filsafat, termasuk juga filsafat pendidikan, juga mempunyai fungsi untuk memberikan petunjuk dan arah dalam pengembangan teori-teori pendidikan menjadi ilmu pendidikan atau paedagogik. Suatu praktek kependidikan yang didasarkan dan diarahkan oleh suatu filsafat pendidikan tertentu, akan menghasilkan dan menimbulkan bentuk-bentuk dan gejala-gejalan kependidikan yang tertentu pula. Hal ini adalah data-data kependidikan yang ada dalam suatu masyarakat tertentu filsafat pendidikan, juga mempunyai fungsi untuk memberikan petunjuk dan arah dalam pengembangan teori-teori pendidikan menjadi ilmu pendidikan atau paedagogik. Suatu praktek kependidikan yang didasarkan dan diarahkan oleh suatu filsafat pendidikan tertentu, akan menghasilkan dan menimbulkan bentuk-bentuk dan gejalagejalan kependidikan yang tertentu pula. Hal ini adalah data-data kependidikan yang ada dalam suatu masyarakat tertentu. Analisa filsafat berusaha untuk menganalisa dan memberikan arti terhadap data-data kependidikan tersebut, dan untuk selanjutnya menyimpulkan serta dapat disusun teori-teori pendidikan yang realistis dan selanjutnya akan berkembanglah ilmu pendidikan (paedagogik).