peranan naskah wawacan dalam …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/50454/...naskah...
TRANSCRIPT
PERANAN NASKAH WAWACAN
DALAM KEHIDUPAN MASYARAKAT SUNDA
”Studi Kasus: Ieu Wawacan Papatah Pranata ka
Caroge”
Skripsi
Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh
Gelar Sarjana Humaniora (S.Hum)
Disusun Oleh:
Reisa Rizkia Fauziah
1112022000053
PROGRAM STUDI SEJARAH DAN PERADABAN ISLAM
FAKULTAS ADAB DAN HUMANIORA
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
2019/ 1440 H
i
ABSTRAK
Skripsi ini bertujuan untuk menjelaskan bagaiman sejarah awal
masuknya Islam di tanah Sunda dan bagaimana naskah Sunda bergenre
wawacan dapat berperan dalam kehidupan masyarakat Sunda. Naskah
wawacan memiliki peranan penting dalam menyebarkan Islam karena
daya tarik yang diberikan para pendakwah ke seluruh lapisan
masyarakat Sunda, salah satunya ialah tradisi seni beluk. Tradisi
membaca naskah wawacan dengan menggunakan tembang atau lagu
yang disebut pupuh.
Penulis mendapat temuan bahwa naskah wawacan yang
berjudul Ieu Wawacan Papatah Pranata ka Caroge merupakan salah
satu naskah wawacan yang diambil oleh penulis untuk sebagai naskah
wawacan yang isinya mengajarkan ajaran-ajaran Islam kepada kaum
lelaki dan perempuan dalam memilih jodoh dan membina rumah tangga
yang sakinah.
Kata Kunci: Islam, Sunda, Naskah Wawacan, Naskah Ieu Papatah
Pranata ka Caroge
ii
KATA PENGANTAR
Bismillahirrahmanirrahiim
Syukur Alhamdulillah, segala puji bagi Allah SWT yang telah
memberikan nikmat dan karunia yang tiada terhingga kepada penulis,
sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini sebagai salah satu
syarat memperoleh gelar Sarjana Sosial. Shalawat dan salam semoga
tercurahkan kepada manusia mulia, baginda nabi besar Muhammad
SAW. Semoga tercurahkan pula kepada para keluarganya, sahabat-
sahabatnya dan mudah-mudahan sampai kepada kita selaku ummatnya
yang tunduk dan yang tunduk dan patuh menjalankan ajaran dan
Sunnah-sunnah beliau.
Proses penyusunan skripsi ini sungguh memakan waktu,
stamina, biaya, pikiran dan diwarnai dengan banyak dinamika
kehidupan yang indah dalam dunia ilmiah. Namun bantuan, perhatian
dan dorongan baik berupa kritikan dan saran maupun dorongan dalam
bentuk lain, senantiasa Allah kirimkan melalui orang-orang terdekat
dan tersayang. Ucapan terima kasih dan penghargaan tak terhingga juga
penulis sampaikan kepada yang terhormat:
1. Rektor UIN Jakarta Prof. Dr. Hj. Amany Burhanuddin Umar
Lubis, Lc., M.A.
2. Dekan Fakultas Adab dan Humaniora Drs. Saiful Umam, M.A,
Ph.D.
3. Nurhasan, MA. selaku Ketua Prodi Sejarah Perdaban Islam UIN
Jakarta yang senantiasa memotivasi penulis dan teman-teman
angkatan 2012 untuk segera menyelesaikan skripsi.
iii
4. Sholikatus Sa’diyah, M. Pd. selaku Sekretaris Prodi Sejarah dan
Peradaban Islam UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang telah
turut membantu melancarkan semua proses yang dibutuhkan
oleh penulis.
5. Dra. Hj. Tati Hartimah, MA. selaku Dosen Pembimbing Skripsi
penulis yang telah meluangkan banyak waktunya dan
mencurahkan segenap ilmu, arahan, masukan, saran dan
motivasi kepada penulis selama ini. Penulis
juga mohon dimaafkan lahir-bathin atas segala kesalahan yang
telah penulis lakukan selama ini.
6. Bapak dan ibu dosen Prodi Sejarah dan Peradaban Islam serta
bapak dan ibu dosen Fakultas Adab dan Humaniora UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta yang telah banyak memberikan ilmu
kepada penulis selama ini.
7. Pimpinan dan seluruh staf Perpustakaan Utama dan
Perpustakaan Fakultas UIN Syarif Hidayatullah Jakarta serta
seluruh civitas akademik Universitas Islam Negeri Syarif
Hidayatullah Jakarta.
8. Pimpinan dan seluruh staf Perpustakaan Nasional Republik
Indonesia.
9. Kedua orang tua penulis Alm. Endang Ruhyana dan Maesaroh,
terima kasih yang tiada terhingga, kalian tak pernah lelah dan
tanpa henti mendoakan penulis siang dan malam.
10. Empat saudara penulis (Teh Ita, Teh Ani, Teh Ate dan Aa Riza)
dan nenek tercinta (Mak Engkom) yang telah bersabar
mendukung penulis untuk segera menyelesaikan pendidikan di
UIN ini.
iv
11. Kak Maria, Kak Nadiya, Widy, Nurul, Asreni dan anak-anak
Kosan Bu Eva, Kosan Assalam, Kosan BBS, Kosan Pondok
Cemerlang dan Kosan Hj. Udjang yang telah mensupport
penulis untuk terus bergerak maju agar cepat wisuda. Mudah-
mudahan Allah membalas jasa-jasa kalian dengan sebaik-
baiknya.
12. KLB (Kita Luar Biasa): Mbak Fitri, Mia, Alinda, Mas Haidir,
Egi, Aries, Waaliman, dan Kak Fathzry.Yang mengiringi
perjalanan masa kampus yang indah dan penuh kenangan ini.
Kalian yang terbaik.
13. Teman-teman seperjuangan di Prodi SPI UIN Jakarta seluruh
angkatan, juga teman-teman seperjuangan di UIN Jakarta.
14. Teman-teman Alumni Ponpes Modern Daarul Huda Banjar
yang telah memberikan semangat untuk menyelesaikan studi S1
ini. Terima kasih juga penulis sampaikan kepada semua pihak
tanpa terkecuali yang telah membantu seluruh proses skripsi ini
dari awal hingga akhir serta membantu proses perkuliahan
penulis dari awal hingga akhir di kampus tercinta ini. Mudah-
mudahan segala macam bantuan dalam bentuk apapun menjadi
amal ibadah dan dibalas oleh Allah SWT, Tuhan pencipta alam.
Semoga skripsi ini dapat bermanfaat, amiin.
Ciputat, 10 Mei 2019
Reisa Rizkia Fauziah
v
DAFTAR ISI
ABSTRAK ........................................................................................ i
KATA PENGANTAR ..................................................................... ii
DAFTAR ISI .................................................................................... v
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah ............................................ 1
B. Identifikasi Masalah .................................................... 5
C. Batasan dan Rumusan Masalah .................................. 6
1. Batasan Masalah .................................................. 6
2. Rumusan Masalah ............................................... 6
D. Tujuan dan Manfaat Penelitian ................................... 6
1. Tujuan Penelitian ................................................. 6
2. Manfaat Penelitian ............................................... 6
E. Kerangka Teori .......................................................... 7
F. Metode Penelitian ....................................................... 8
G. Tinjauan Pustaka ......................................................... 10
H. Sistematika Penulisan ................................................. 11
BAB II ISLAM DI TANAH SUNDA
A. Masuknya Islam di Tanah Sunda ................................ 13
B. Tokoh-tokoh Penyebar Islam Awal di Tanah Sunda .. 19
1. Syarif Hidayatullah ............................................. 19
2. Faletehan ............................................................. 22
3. Pangeran Hasanuddin .......................................... 23
vi
BAB III NASKAH SUNDA WAWACAN
A. Asal-Usul Naskah Sunda Wawacan ............................ 25
B. Perkembangan Naskah Sunda Wawacan .................... 31
C. Klasifikasi Penulisan Naskah Sunda Wawacan ......... 34
1. Berdasarkan Bahan dan Sumber Penulisan ......... 34
2. Berdasarkan Bahasa dan Aksara ......................... 35
3. Berdasarkan Isi Teks Penulisan .......................... 40
BAB IV PERANAN NASKAH WAWACAN DALAM
KEHIDUPAN MASYARAKAT SUNDA Studi Kasus:
Naskah Ieu Wawacan Papatah Pranata ka Caroge
A. Deskripsi Naskah ....................................................... 41
B. Ajaran dan Nasihat Naskah Ieu Wawacan Papatah
Pranata ka Caroge ...................................................... 43
C. Peranan Naskah Ieu Wawacan Papatah Pranata ka
Caroge Dalam Kehidupan Masyarakat Sunda ............ 61
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan ................................................................. 72
B. Saran .......................................................................... 73
DAFTAR PUSTAKA ....................................................................... 74
LAMPIRAN
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Indonesia dikenal kaya akan kebudayaan dan kearifan
lokal, dari Sabang sampai Merauke keragaman budaya dan
kearifan lokal terdapat dalam masyarakat Indonesia. Dalam
Bhineka Tunggal Ika disebutkan bahwa perbedaan bukanlah
suatu hambatan untuk saling bahu membahu, membantu sesama
dalam mewujudkan kedamaian dan kemakmuran Indonesia.
Kehidupan masyarakat dalam satu daerah telah membentuk
keragaman budaya yang kaya. Maka dari itu, melestarikan
kekayaan budaya Indonesia adalah satu kewajiban supaya dapat
dinikmati hingga generasi selanjutnya.1
Kajian satu budaya dalam suatu daerah tidak lepas dari
kearifan lokal yang sejalan dengan budaya itu sendiri. Salah
satu kearifan lokal yang ada ialah masyarakat Sunda, kearifan
lokal yang tersimpan secara turun temurun dan berkembang ini
dilakukan secara lisan maupun tulisan. Kearifan lokal secara
tertulis biasa kita sebut dengan naskah-naskah kuno atau klasik.
Naskah sebagai salah satu peninggalan tertulis tentu
mempunyai kedudukan yang penting dalam menyampaikan
informasi mengenai kehidupan manusia di masa lampau
1 Asep Ashly N. Maryono, “Etika Murid dan Guru Dalam Naskah
Sewaka Darma; Peti Tiga Ciburuy Garut”. (Skripsi, Fakultas Ushuludin,
Universitas Islam Negeri Jakarta, 2018)
2
dibandingkan dengan informasi yang ada pada peninggalan
lainnya. Sebagai perkembangan budaya bangsa masa lampau,
naskah mampu mengungkapkan berbagai aspek kehidupan
masa lampau seperti politik, ekonomi, sosial, budaya dan agama
yang memperlihatkan hubungan dengan masa kini. Menggali
kebudayaan masa lampau merupakan suatu hal yang sangat
penting dalam rangka membina dan mengembangkan
kebudayaan masa kini dan masa datang. Melalui telaah atas
naskah-naskah tersebut, kita dapat memahami dan menghayati
pandangan serta cita-cita yang menjadi pedoman hidup
masyarakat di masa lampau. Naskah adalah budaya yang
merekam nilai-nilai luhur budaya lokal dalam bentuk tulisan.
Nilai-nilai luhur dan kearifan lokal bermamfaat untuk
kemaslahatan masyarakat dan pemecahan permasalahan saat
ini.2
Selain dari itu juga, penelitian naskah-naskah
keagamaan merupakan bagian dari penyediaan media informasi
keagamaan yang berbasiskan budaya Indonesia. Diantara
naskah klasik Sunda yang penulis adalah menarik bagi naskah
klasik Sunda yang bergenre hikayat yang berbentuk puisi dan
ditembangkan dalam sebuah pupuh yang sangat di gandrungi
oleh masyarakat Sunda bahkan masih bisa dilihat dan dinikmati
hingga saat ini.
“Pupuh ialah suatu karya sastra dalam bentuk puisi dari
tanah Sunda. Seperti pada puisi kebanyakan, kebanyakan pupuh
2Ahmad Rahman, Tarekat di Bugis Makassar Abad ke-17 sampai
Abad ke-20, (Jakarta: Rabbani Press, 2011), h.2.
3
juga memiliki patokan. Patokan tersebut berupa guru wilangan,
guru lagu dan watek. Guru wilangan adalah jumlah suku kata
yang ada dalam suatu baris (padalisan). Guru lagu adalah bunyi
vokal akhir atau rima dalam setiap baris. Sedangkan watek
adalah sifat atau tema keseluruhan isi pupuh. Pupuh merupakan
karya sastra yang sering dibawakan dengan cara ditembangkan
atau dinyanyikan. Pupuh sendiri terbagi atas dua kelompok
yaitu Sekar Ageung dan Sekar Alit. Sekar Ageung merupakan
pupuh yang dapat dinyanyikan dengan lebih dari satu jenis lagu,
sedangkan Sekar Alit hanya dapat dinyanyikan dengan satu
jenis lagu.”3
Naskah klasik Sunda yang bergenre hikayat ini disebut
wawacan4 atau babacaan5. Secara antropologi budaya, yang
disebut sebagai Orang Sunda atau Suku Sunda adalah orang-
orang yang secara turun temurun menggunakan bahasa dan
dialek Sunda sebagai bahasa ibu serta dialek dalam percakapan
sehari-hari. Orang Sunda dimaksud, tinggal di daerah Jawa
Barat dan Banten yang dulu dikenal sebagai Tanah Pasundan
atau Tatar Sunda.6
3 Putri Yulianti Suhayat, Pupuh. (2018): https://budaya-
indonesia.org/Pupuh 4 Berasal dari kata wawacan (babacaan) yang artinya: apa yang
dibaca. Wawacan merupakan bentuk karya sastra yang berasal dari Jawa,
dan dibawa ke daerah Sunda melalui kaum bangsawan (menak) dan kaum
ulama (lingkungan pesantren). Lihat Ajip Rosidi, Kesusastraan Sunda
Dewasa Ini, (Jatiwangi: Cupumanik, 1966), h. 11. 5 Kata yang berasal dari bahasa Sunda yang artinya apa yang
dibaca. 6 Koentjaraningrat, Manusia dan Kebudayaan di Indonesia,
(Jakarta: Djambatan, 1971), h. 300.
4
Dalam konteks pemikiran diatas sering kali Urang
Sunda (Orang Sunda) ialah mereka yang mengaku dirinya dan
diakui oleh orang lain sebagai orang Sunda. Dengan demikian
sekurang-kurangnya ada dua kriteria bahwa seseorang atau
sekelompok orang dikatakan sebagai orang Sunda. Pertama,
aspek genetik (keturunan) atau hubungan darah. Seseorang atau
sekelompok orang bisa disebut orang Sunda bila orang tuanya,
baik dari pihak ayah atau pihak ibu maupun keduanya adalah
orang Sunda dan di manapun orang itu dilahirkan, dibesarkan
dan berada. Kedua, aspek lingkungan sosial budaya. Mereka
akan disebut orang Sunda jika lahir, tinggal dan dibesarkan di
daerah Sunda serta menggunakan dan menghayati norma-norma
dan nilai-nilai budaya Sunda walaupun kedua orang tuanya atau
leluhurnya bukan orang Sunda.7
Naskah Sunda salah satu naskah yang paling banyak
dikenal dalam khazanah pernaskahan Nusantara. Naskah Sunda
yang tersebar dan tersimpan di lokasi penyimpanan, salah
satunya di Perpustakaan Nasional Republik Indonesia. Naskah-
naskah yang tersimpan rapi ini bisa diakses dengan mudah di
perpustakaan nasional, contoh-contoh naskah Sunda bergenre
wawacan yang terdapat di perpustakaan nasional ialah Babad
Galuh, Babad Cirebon, Sejarah Sumedang, Wawacan Anbiya,
Wawacan Barjah, Wawacan Kian Santang, Wawacan Panji
Wulung.
7 Edi Suhardi Ekadjati, Kebudayaan Sunda Jilid 1, (Jakarta: Pustaka
Jaya, 1995), h. 7.
5
Dalam Penelitian Skripsi ini, Penulis memang akan
lebih spesifik membahas tentang peranan naskah wawacan
dalam kehidupan masyarakat Sunda khususnya yang dituangkan
dalam naskah Ieu Wawacan Papatah Pranata ka Caroge, juga
kontribusi naskah wawacan terhadap masyarakat Sunda, dalam
naskah Sunda ini sudah ada beberapa penelitian yang
membahas naskah Sunda klasik berbentuk hikayat atau
wawacan. Keseluruhan cerita berisi ajaran-ajaran Islam yang
menceritakan adab istri terhadap seorang suami. Ajaran Islam
dalam naskah wawacan yang berjumlah banyak membahas
ajaran-ajaran dan nasihat-nasihat seorang guru atau sunan
kepada muridnya. Naskah wawacan memiliki peranan penting
dalam kehidupan khususnya di dalam masyarakat Sunda.
B. Identifikasi Masalah
Berdasarkan latar belakang tersebut, penulis melihat ada
beberapa permasalahan yang akan dibahas dalam tulisan ini.
1. Mengenai asal-usul naskah genre wawacan dalam khazanah
karya sastra klasik Sunda yang ternyata setara dan bahkan
lebih dikenal daripada naskah-naskah lainnya.
2. Memiliki peranan penting dalam kehidupan masyarakat
Sunda, namun banyak sekali naskah yang sudah rapuh
termakan usia.
3. Isi dari naskah wawacan berperan dalam penyebaran ajaran
Islam di wilayah Sunda, namun pelestarian tradisi tulisan
ini semakin jarang terdengar lagi.
6
C. Batasan dan Rumusan Masalah
1. Batasan Masalah
Berdasarkan identifikasi masalah di atas, maka
penulis telah membatasinya pada peranan naskah wawacan
Sunda khususnya dalam naskah Ieu Wawacan Papatah
Pranata ka Caroge terhadap masyarakat Sunda.
2. Rumusan Masalah
Berdasarkan pembatasan masalah di atas, maka dapat
dirumuskan permasalahannya sebagai berikut:
1. Bagaimana awal masuknya Islam di tanah Sunda?
2. Bagaimana asal-usul munculnya naskah Sunda
wawacan?
3. Bagaimana peranan naskah Sunda wawacan dalam
masyarakat Sunda?
D. Tujuan dan Manfaat Penelitian
Tujuan penelitian ini sebagai berikut:
1. Untuk mengetahui asal-muasal naskah Sunda bergenre
wawacan di Sunda.
2. Untuk mengetahui seberapa besar peranan naskah Sunda
wawacan.
3. Untuk mengetahui peranan dan maksud karya sastra
berjudul Ieu Wawacan Papatah Pranata ka Caroge
terhadap kehidupan masyarakat Sunda.
Adapun manfaat dari penelitian ini sebagai berikut:
7
1. Penelitian ini diharapkan bisa menjadi literatur mahasiswa
UIN dalam mengetahui seberapa besar peranan naskah
Sunda bergenre wawacan terhadap khazanah keilmuan.
2. Penelitian ini diharap bisa memberikan acuan pada
masyarakat umum untuk melestarikan tradisi tulisan
Nusantara khususnya masyarakat Sunda.
3. Bisa menjadi salah satu informasi bagi peneliti yang akan
melakukan penelitian lebih jauh dalam bidang sejarah.
E. Kerangka Teori
Penelitian ini menggunakan pendekatan struktur.
Pendekatan struktur digunakan untuk melihat unsur-unsur
dalam teks naskah wawacan dan nasihat-nasihat yang
tekandung didalamnya. Naskah merupakan semua tulisan
tangan yang mengandung berbagai ungkapan pikiran dan
perasaan sebagai hasil budaya masa lampau. Sedangkan teks
merupakan kandungan atau muatan naskah suatu yang abstrak
yang hanya dapat dibayangkan saja. Selain pendekatan untuk
kajian tekstual tersebut, dalam penelitian ini juga akan
digunakan pendekatan struktural untuk kajian tekstual naskah.
Dijelaskan bahwa karya sastra diasumsikan sebagai salah satu
pendekatan kesusastraan yang menekankan pada kajian
hubungan antar unsur pembangun karya yang bersangkutan.
Setiap unsur dalam bagian sistem struktur akan bermakna
apabila dihubungkan dengan unsur lain yang terkandung
didalamnya. Analisis struktural bertujuan untuk membongkar
dan memaparkan secermat, seteliti, semendetil dan semendalam
8
mungkin keterkaitan dan keterjalinan semua anasir dan aspek
karya sastra yang semata-mata menghasilkan makna.
Sebagaimana yang dikemukakan, hal ini perlu dilakukan karena
karya sastra merupakan sebuah struktur yang kompleks dan
unik, namun hal inilah yang membedakan antara karya sastra
yang satu dengan karya yang lainnya. Dalam penelitian ini, teori
struktural akan digunakan untuk melihat persoalan struktur-
struktur dalam teks naskah wawacan tersebut.8
F. Metode Penelitan
1. Sumber Data
Data primer yaitu data yang langsung dikumpulkan oleh
peneliti dari sumber pertama. Data primer berbentuk opini
subjek, yaitu pendapat narasumber secara individual atau
kelompok yang merupakan hasil observasi. Penelitian ini
tergolong kedalam penelitian pustaka dan bersifat penelitian
kepustakaan (Library Research) sehingga bersifat kualitatif.
Naskah Sunda wawacan dalam bentuk asli yang ditransliterasi
dan diterjemahkan penulis dengan judul Ieu Wawacan Papatah
Pranata ka Caroge sebagai sumber primer sedangkan sumber
sekunder atau sumber lain yang ada hubungannya dengan judul
skripsi yakni penelitian yang berjudul “Karakteristik Wanoja
Sunda Dina Naskah Wawacan “Pranata Istri ka Caroge” oleh
Kuswan Nurhidayat dalam tesisnya juga buku penunjang seperti
terjemahan Bahasa Indonesia naskah kuno Purwaka Tjaruban
8 Burhan Nurgiyantoro, Teori Pengkajian Fiksi, (Yogyakarta: Gajah
Mada Unversity Press, 1995), h. 36-38.
9
Nagari dan “Wawacan Sebuah Genre Sastra Sunda” karya
Ruhaliah, “Tinjauan Kritis Tentang Sajarah Banten” karya
Hoesein Djajadiningrat dan “Menemukan Peradaban Arkeologi
dan Islam di Indonesia” karya Hasan Muarif Ambary dan
beberapa referensi lainnya yang mendukung dan berkaitan
dengan judul skripsi ini.
2. Jenis Penelitian
Penelitian ini bersifat deskriptif-analitis, yaitu dengan
mendeskripsikan secara terperinci terkait dengan masalah yang
hendak diteliti kemudian menganalisa setiap masalah untuk
memperoleh pemahaman secara komprehensif. Metode ini
ditulis untuk memahami naskah Ieu Wawacan Papatah Pranata
ka Caroge.
3. Teknik Pengumpulan Data
Karena penelitian ini termasuk penelitian library
research, maka teknik pengumpulan data dilakukan di sebagian
besar perpustakaan, baik Perpustakaan Nasional Republik
Indonesia, Perpustakaan Universitas Islam Negeri Syarif
Hidayatullah Jakarta, Perpustakaan Fakultas Adab dan
Humaniora UIN Jakarta, juga dari sumber referensi digital yang
diakses ditempat tinggal penulis dan atau mengunjungi
beberapa tokoh sesepuh Sunda untuk diskusi dan mengkaji
referensi yang berkaitan dengan tema dan judul skripsi ini.
Semua buku yang berkaitan dengan pembahasan penelitian ini
dikumpulkan dan di klasifikasi berdasarkan relevansi terhadap
pembahasan penelitian ini.
4. Teknik Analisa Data
10
Proses pengumpulan data atau disebut juga inventarisasi
data, merupakan langkah awal dalam proses analisis data. Data-
data yang berhubungan dengan penelitian, yaitu berupa naskah
Ieu Wawacan Papatah Pranata ka Caroge dikumpulkan. Dalam
proses pengumpulan data, data yang telah terkumpul tidak
semuanya dapat digunakan dalam penelitian. Oleh karena itu,
data direduksi dan difokuskan sesuai dengan tujuan penelitian,
yakni menemukan data yang memuat nilai-nilai pendidikan bagi
masyarakat Sunda dari naskah tersebut.
Data hasil dari reduksi kemudian dikelompokkan
menurut ciri khas atau kategori masing-masing data sesuai
dengan tujuan penelitian. Dalam penelitian mempunyai tujuan
mendeskripsikan nilai pendidikan yang terdapat dalam naskah,
sehingga dikategorikan nilai-nilai pendidikan yang meliputi
sejarah naskah wawacan, peranan naskah wawacan dalam
kehidupan masyarakat Sunda Hasil dari pengelompokan data
tersebut kemudian diorganisasikan.
G. Tinjauan Pustaka
Penelitian naskah-naskah kuno dan klasik memang
masih jarang dilakukan oleh peneliti-peneliti Indonesia.
Keterbatasan sumber, keterbatasan bahasa, rusaknya naskah
kuno menjadi hambatan yang berat bagi para peneliti.
Penggalakkan dan pelestarian naskah-naskah klasik
Nusantara terus dikembangkan agar naskah-naskah
Nusantara tetap bisa diperlihatkan pada generasi selanjutnya.
11
Salah satu buku yang membahas naskah Sunda
bergenre wawacan ialah berjudul Wawacan: Sebuah Genre
Sastra Sunda yang ditulis oleh Ruhaliah, buku tersebut
menjelaskan secara lengkap mengenai naskah klasik Sunda
bergenre hikayat atau wawacan dari perkembangannya
hingga ringkasan wawacan-wawacan Sunda yang tersebar di
berbagai daerah.
Buku Menemukan Peradaban Arkeologi dan Islam di
Indonesia oleh Hasan Muarif Ambary. Buku ini merupakan
kumpulna karangan yang ditulis untuk kepentingan khusus
seperti untuk seminar dan konferensi. Dalam buku ini
dibahas mengenai bidang yang kurang memperoleh perhatian
yaitu arkeologi Islam, khazanah keilmuan ini merupakan
tombak awal mengetahui sejarah Islam di Indonesia.
Hoesein Djajadiningrat dalam buku Tinjauan Kritis
Tentang Sejarah Banten. Buku ini merupakan disertasi yang
dijadikan buku. Disertasi ini mengupas tentang penulisan
sejarah Jawa, yaitu dengan jalan menganalisa sebuah kitab
sejarah, Sajarah Banten atau Babad Banten. Karena dua
sebab kronik ini dipandang dari sudut historis dan
historiografis menarik perhatian.
H. Sistematika Penulisan
Tulisan ini dibuat untuk membahas peranan dari
naskah Sunda wawacan dalam penyebaran dan
pengembangan ajaran Islam di tanah Sunda. Supaya
12
pembahasan berdasarkan urutan waktu atau kejadian, maka
penulis menyusun sistematika penulisan sebagai berikut:
Bab I, Dalam bab ini adalah Pendahuluan yang terdiri
dari, Latar Belakang Masalah, Identifikasi Masalah, Batasan
dan Rumusan Masalah, Tujuan Penelitian, Kerangka Teori,
Manfaat Penelitian, Metode Penelitian, dan Sistematika
Penulisan.
Bab II, Dalam bab ini menjelaskan sejarah masuknya
Islam ke tanah Sunda, tokoh-tokoh penyebar awal Islam ke
tanah Sunda.
Bab III, Dalam bab ini menjelaskan asal-usul naskah
Sunda wawacan, perkembangan wawacan dan klasifikasi
penulisan naskah Sunda wawacan.
Bab IV, Dalam bab ini menjelaskan deskripsi naskah
Ieu Wawacan Papatah Pranata ka Caroge, ajaran-ajaran
Islam dalam naskah Ieu Wawacan Papatah Pranata ka
Caroge, dan peranan naskah wawacan dalam kehidupan
masyarakat Indonesia.
Bab V, Penutup. Bab ini merupakan bab terakhir dan
sekaligus penutup, yang terdiri dari kesimpulan dan saran-
saran.
13
BAB II
ISLAM DI TANAH SUNDA
A. Masuknya Islam di Tanah Sunda
Sunda adalah Jawa Barat dan Jawa Barat adalah Sunda,
istilah itu sering diidentikkan dan dikenal masyarakat. Secara
etimologis, kata sunda berasal dari bahasa Sansekerta “sund”
atau “suddha” yang berarti terang, putih dan bersinar. Kata
sunda dalam bahasa Kawi dan bahasa Bali juga berarti tak
bernoda, suci, putih, bersih, tumpukan, pangkat dan waspada.9
Provinsi Jawa Barat menjadi daerah Sunda yang paling
banyak dihuni dan dikenal sebagai salah satu daerah
peninggalan warisan-warisan budaya masyarakat Sunda pada
zaman dahulu. Jawa Barat juga menjadi salah satu tempat yang
paling banyak diceritakan dalam sebuah naskah atau karya yang
ditulis oleh para pengarang asli Sunda.
Pada tanggal 1 Januari 1926, Provinsi Jawa Barat berdiri
dalam bentukan kolonial Belanda. Pembentukan provinsi ini
tertulis dalam Staatblad (Lembaran Negara) Tahun 1925 Nomor
378 tanggal 14 Agustus. Pada waktu itu masyarakat Sunda
menjulukinya sebagai Provinsi Pasundan, dan Provinsi Jawa
Barat tercatat sebagai provinsi pertama dalam pembentukan
provinsi. Setelah Jawa Barat, Provinsi Jawa Timur terbentuk
pada tahun 1928 dan Provinsi Jawa Tengah pada tahun 1929.
9 Mumuh Muhsin Zakaria, Sunda, Priangan dan Jawa Barat,
disampaikan dalam Diskusi Hari Jadi Jawa Barat, diselenggarakan oleh
Harian Umum Pikiran Rakyat dan Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Jawa
Barat, 2009, h. 2.
Setelah penjajahan usai, pada tanggal 17 Agustus 1945, Jawa
Barat bergabung menjadi salah satu provinsi di Indonesia. Jawa
Barat diumumkan menjadi salah satu dari 8 provinsi di
Indonesia pada Sidang Persiapan Kemerdekaan Indonesia
(PPKI). Ditetapkan pada tanggal 19 Agustus 1945 melalui
Perda Nomor 26 Tahun 2010 menjadi Hari Jadi Pemerintahan
Provinsi Jawa Barat. Lalu pada tanggal 27 Agustus 1945, Jawa
Barat menjadi Negara Pasundan yang merupakan salah satu
negara bagian dari Republik Indonesia Serikat (RIS). Dan
akhirnya, pada tahun 1950 Jawa Barat kembali bergabung
dengan Republik Indonesia. Namun dalam perkembangannya,
Batavia (Jakarta) dan disusul Banten keluar dari Provinsi Jawa
Barat pada tahun 2000.10
Cirebon, Banten dan Sunda Kelapa, ketiga wilayah ini
berada di wilayah Jawa Barat atau di Tatar Sunda. Ketiga
wilayah ini juga merupakan pusat peradaban Islam pertama di
Tanah Sunda, Islam datang dan berkembang pesat melalui
wilayah-wilayah ini. Cirebon dahulunya ialah sebuah desa
nelayan yang tidak dikenal, dulu dikenal dengan nama Dukuh
Pasambangan. Dukuh Pasambangan terletak ± 5 Km di sebelah
utara Kota Cirebon saat ini, sedangkan Cirebon dahulunya
bernama Lemah Wungkuk, desa tersebut memiliki satu tokoh
bernama Ki Gedeng Alang-alang yang membuat pemukiman
bagi muslim. Ki Gedeng Alang-alang lalu berganti nama
menjadi Walangsungsang, ia ditunjuk menjadi Adipati Cirebon
10 Pemerintah Provinsi Jawa Barat, Sejarah Jawa Barat. (2018):
http://www.jabarprov.go.id/infografis/#1#sejarah-jabar.
dengan gelar Cakrabhumi oleh Raja Galuh karena telah
menaklukan Singapura. Namun, ia harus menyerahkan upeti
kepada Raja Galuh berbentuk hasil produksi dari Kota Cirebon.
Namun, saat Cirebon menjadi kota yang kuat, Walangsungsang
menghentikan pemberian upeti itu, hingga membuat Raja Galuh
marah dan menyerang Cirebon namun tak dapat
melumpuhkannya. Disebutkan dalam Babad Cirebon bahwa
telah ada sebuah pesantren yang terletak di Gunung Jati atau ± 5
Km di sebelah utara Kota Cirebon yang dipimpin oleh Syekh
Datu Kahfi. Tome Pires yang berkelana ke Cirebon mengatakan
bahwa Islam telah hadir di Cirebon sejak tahun 1470-1475. H. J
de Graaf menyatakan bahwa Cirebon adalah daerah pertama di
Jawa Barat yang telah memeluk Islam. Dalam Babad Cirebon
dan Carita Purwaka Caruban Nagari, Jawa Barat memiliki dua
pesantren yang sangat berpengaruh yaitu di Kuro (Karawang)
dan Gunung Jati (Pasambangan, Cerbon), Kuro disebutkan
sebagai pesantren tertua dan berhasil mengIslamkan satu tokoh
wanita bernama Nyi Subang Larang, isteri dari Prabu Siliwangi
dan memiliki putera dan puteri bernama Kian Santang dan Nyi
Subang Larang.11
Cirebon dikenal sebagai salah satu bandar perdagangan
yang pesat pada masanya juga sebagai pusat peradaban Islam
yang memiliki karakter yaitu:
11 Hasan Muarif Ambary, Menemukan Peradaban Arkeologi dan
Islam di Indonesia, (Jakarta: Pusat Penelitian Arkeologi Nasional, 1998), h.
107-108.
1. Pertumbuhan kehidupan kota bernafaskan Islam dengan
pola-pola penyusunan masyarakat serta hirarki sosila
yang kompleks.
2. Berkembangnya arsitektur baik sakral maupun profan,
misalnya Masjid Agung Cirebon (Sang cipta rasa),
keraton-keraton Kasepuhan, Kanoman, Kacerbonan dan
Kaprabonan, bangunan Sitinggil yang mengadaptasi
rancang bangun dan ornamen lokal termasuk pra-Islam.
3. Seni lukis dan seni pahat yang tumbuh dan
menghasilkan karya-karya kaligrafi Islam khas Cirebon.
4. Pertumbuhan dalam bidang kesenian seperti membatik,
tari dan musik juga seni pertunjukan yang bernafaskan
Islam dan lain-lain;
5. Perkembangan penulisan naskah/teks keagamaan yang
sisanya masih tersimpan di keraton-keraton Cirebon dan
wilayah lainnya di Jawa Barat seperti di Geusan Ulun
Sumedang dan Cigugur Kuningan, dan masih banyak
yang belum terinventarisasi dan dipelajari lebih lanjut.
6. Berkembangnya tarekat aliran Syatariah yang
selanjutnya melahirkan karya sastra dalam bentuk serat
suluk yang mengandung ajaran wujudiyah atau martabat
yang ketujuh. Tradisi serat suluk ini berkembang dan
berpengaruh pada tradisi sastra tulis di Surakarta.
7. Pesatnya pertumbuhan pendidikan Islam yaitu pesantren
di daerah Cirebon, Indramayu, Karawang, Majalengka
dan Kuningan.12
Tahun 1513 menurut Tome Pires, Banten ialah
pelabuhan dagang milik Kerajaan Sunda.13 Banten empat belas
tahun kemudian juga didatangi oleh Barros, seorang Portugis, ia
menyebut bahwa pelabuhan Banten sejajar dengan Malaka dan
Sumatera saat itu. Rombongan orang Belanda yang dipimpin
oleh Cornelis de Houtman tiba di Banten pada tanggal 22 Juni
1596, ia berkata bahwa Banten menjdai salah satu pusat
kekuatan Islam dan menjadi kota pelabuhan yang banyak
didatangi saudagar kaya dari berbagai belahan dunia seperti
Cina, Persi, Arab, Turki, India dan Portugis.
Pada abad 16 sampai 19 Masehi Banten merupakan
salah satu bandar Nusantara yang bertaraf internasional.
Letaknya yang strategis pada wilayah Malaka dan Gresik
menjadikan Banten sebagai bandar yang banyak disinggahi oleh
kapal-kapal yang berlabuh dari negara asing seperti Cina, India,
Arab dan Eropa. Bukti kuat Banten adalah bandar internasional
adalah arkeologi di Situs Banten, bandar ini berpeengaruh di
Nusantara baik sosial, ekonomi, budaya dan agama. Kapal-
kapal yang berlabuh membeli barang komoditi dari Banten dan
daerah sekitarnya dan menjual barang negara asalnya, hingga
12 Hasan Muarif Ambary, Menemukan Peradaban Arkeologi dan
Islam di Indonesia, (Jakarta: Pusat Penelitian Arkeologi Nasional, 1998), h.
108-109. 13 Armando Cortesao, The Suma Oriental of Tome Pires; an
Account of The East from The Red Sea to Japan; Written in Malacca and in
India in 1512-1515, (London: Hakluyt Society, 1944), h. 170.
bisa dipastikan bahwa Banten menjadi pintu gerbang bagi dunia
luar yang menghubungkan daerah pedalaman dan pedagang
asing.14
Kerajaan Banten berkembang dari abad ke-16 sampai
abad ke-19, pada awal abad ke-19, Banten ditinggalan oleh
penduduknya karena faktor politik yakni kejamnya sikap
penguasa Belanda di Batavia terhadap elit politik dan rakyat
Banten. Banten Lama merupakan kota metropolitan pada
masanya, pada tahun 1787 menurut Breughel yang menulis
Banten pada saat itu terdapat beberapa gudang dan penjara dan
terdapat pendopo dan bagian-bagian pemukiman penduduk asli
kota tidak banyak berubah dan hanya ada beberapa rumah yang
beratap genteng, kampung Arab dan kampung Cina hanya ada
beberapa penghuni. Kekuatan ekonomi Batavia semakin
berkembang dan hanya menjadikan Banten sebagai daerah atau
propinsi, runtuhnya Banten juga disebabkan karena peristiwa
politik dan militer, perang Napoleon, pendudukan Inggris serta
kembalinya Belanda hingga membuat Banten semakin sepi dan
menjadi desa saja.15
Tome Pires (1513)16, J. De Barros (1527), dan Cornelis
de Houtman (1598), ketiganya menceritakan bagaimana
14 Hasan Muarif Ambary, Menemukan Peradaban Arkeologi dan
Islam di Indonesia, (Jakarta: Pusat Penelitian Arkeologi Nasional, 1998), h.
117. 15 Hasan Muarif Ambary, Menemukan Peradaban Arkeologi dan
Islam di Indonesia, (Jakarta: Pusat Penelitian Arkeologi Nasional, 1998), h.
122. 16 Armando Cortesao, The Suma Oriental of Tome Pires; an
Account of The East from The Red Sea to Japan; Written in Malacca and in
India in 1512-1515, (London: Hakluyt Society, 1944), h. 172.
perkembangan Sunda Kalapa, mereka menyaksikan dan
menceritakan apa yang mereka lihat bahwa Sunda Kalapa
menjadi kota pelabuhan yang sibuk dan ramai dikunjungi para
pedagang. Awalnya Kerajaan Sunda memiliki pelabuhan utama
Sunda Kalapa, namun setelah Faletehan masuk dan menduduki
pelabuhan ini, maka pelabuhan Sunda Kalapa menjadi di bawah
kekuasaan pasukan Islam dari Demak dan Cirebon pada tahun
1527. Ketika pasukan Islam datang, pelabuhan Sunda Kalapa
ini berganti nama menjadi Jayakarta.
B. Tokoh-tokoh Penyebar Islam Awal di Tanah Sunda
1. Syarif Hidayatullah
Dengan demikian, pada awal abad ke-14 di tatar
Sunda sudah ada pemukiman orang Islam khususnya di
Cirebon. Tome Pires menuturkan bahwa tahun 1513
sebagian masyarakat Jawa Barat telah memeluk agama
Islam, mereka berada di kota pelabuhan Cirebon dan kota
pelabuhan Cimanuk (Indramayu). Juga terdapat kota-kota
pelabuhan lainnya di tatar Sunda seperti Banten, Pontang,
Cikande, Tangerang dan Kalapa yang sudah memeluk
Islam, namun Tome Pires tidak menjelaskan lebih dalam.
Seperti dijelaskan di atas bahwa sebagian daerah di tatar
Sunda telah menerima ajaran Islam dari para pedagang
yang singgah di pelabuhan, diceritakan bahwa Kerajaan
Sunda membatasi jumlah saudagar-saudagar muslim untuk
singgah, namun pembatasan ini tidak menyurutkan para
saudagar untuk mengenalkan Islam kepada para penduduk
di wilayah-wilayah pelabuhan.
Syarif Hidayatullah atau lebih dikenal Sunan Gunung
Jati ialah putra dari seorang dari Mesir yaitu Syarif
Abdullah yang menikahi Syarifah Mudha’im dan lahir pada
tahun 1448 M. Syarifah Mudha’im sendiri ialah adik dari
Pangeran Cakrabuwana. Dalam sumber lokal seperti Babad
Cirebon dan Carita Purwaka Caruban Nagari, dikisahkan
bahwa Pangeran Cakrabuwana dan adiknya Nyai Lara
Santang pergi untuk menunaikan ibadah haji atas saran dari
Syekh Datuk Kahfi, mereka berdua tinggal di Caruban
selama sembilan bulan di Kebon Pesisir atau Caruban, lalu
mereka melaksanakan haji selama dua tahun di Mekkah.
Setelah melakukan ibadah haji, Pangeran Cakrabuwana
memiliki gelar Syekh Duliman atau Abdullah Iman dan
Nyai Lara Santang mendapatkan gelar Syarifah Mudha’im.
Dari Syarifah Mudha’im inilah lahir Sunan Gunung Jati
yang akan menyebarkan Islam di kawasan Cirebon hingga
meluas ke daaerah Sunda lainnya.
Bukti bahwa wilayah Cirebon berada di bawah
kekuasaan Kerajaan Sunda Pajajaran tidak hanya dalam
cerita sastra sejarah lokal atau dalam cerita namun juga
diceritakan dalam berita asing oleh Tome Pires dalam Suma
Oriental (1512-1515), ia singgah di Kota Cirebon
(Cherimon atau Choroboam) sekitar tahun 1513.
Tahun 1526 M, Syarif Hidayatullah menyebarkan
Islam ke berbagai wilayah di tanah Sunda, karena
kesibukannya dalam berdakwah, kepemimpinannya di
pemerintahan Cirebon digantikan oleh anaknya Pangeran
Pasarean, namun pada tahun 1552 Pangeran Pasarean
meninggal dunia. Kekuasaannya di berikan kepada
Fadhilah Khan, dalam naskah Carita Purwaka Caruban
Nagari Fadhilah Khan ialah menantu dari Syarif
Hidayatullah atau Sunan Gunung Jati, ia berkuasa di
Cirebon hingga tahun 1570.17
Sunan Gunung Jati disebut sebagai penegak
kekuasaan Islam di Jawa Barat, ia wafat pada tahun 1568
dan dimakamkan di Cirebon18 lebih tepatnya di puncak
Gunung Sembung. Astana Gunung Sembung ialah komplek
pemakaman para tokoh Cirebon yaitu makam Nyi Gede
Tepasan atau Nyi Mas Tepasari (istri Sunan Gunung Jati
yang memiliki putra Ratu Aju dan Pangeran Pasarean) yang
berada di atas puncak, lalu disebelah timur ialah makam
Sunan Gunung Jati, lalu sebelah timurnya lagi ialah makam
Faletehan (menantu dari Sunan Gunung Jati). Sebelah timur
lainnya ialah makam Syarifah Muda’im (Ibunda Susuhunan
Cirebon) dan sebelah timur terakhir ialah makam Nyi Gede
17 Edi S. Ekadjati, “Penyebaran Agama Islam di Jawa Barat”,
dalam Teguh Asmar et al. Sejarah Jawa Barat; dari Masa Pra Sejarah
hingga Masa Penyebaran Agama Islam (Bandung: Proyek Penunjang
Peningkatan Kebudayaan Nasional Provinsi Jawa Barat, 1975), h. 97. 18 Hoesein Djajadiningrat, Tinjauan Kritis Tentang Sejarah Banten,
(Banten: Djambatan, 1983), h. 95.
Sembung atau Nyi Sampang atau disebut Nyi Gede
Kantjingan.19
2. Faletehan
Faletehan atau Maulana Fadilah Khan Al-Pasai Ibnu
Maulana Machdar Ibrahim Al-Gudjarat ialah tokoh lainnya
yang sering disebutkan dalam sejarah Islam Banten. Ia lahir
di Pasai, Sumatera tahun 1490, ia pergi ke Mekkah pada
tahun 1521 disaat Portugis menduduki Kota Pasai. Setelah
dua atau tiga tahun di Mekkah, akhirnya Faletehan datang
ke Pasai dan ketika Portugis mendirikan benteng disana,
Faletehan merasa tidak betah dan pergi ke Jepara dan
mengaku sebagai kadi Nabi Muhammad dan berhasil
mengislamkan raja dan masyarakat disana. Bahkan ia
menikahi adik dari Pangeran Trenggana Demak. Sang raja
memerintah Faletehan untuk pergi ke Bantam, stad va
Sunda (Banten, kota Sunda). Banten menjadi kota yang
damai dan menerima Faletehan dan rombongannya dari
Jawa hingga menyulitkan tentara-tentara Portugis untuk
masuk ke wilayah Banten.20 Selain menaklukan Banten, ia
dan juga pasukannya memperluas kekuasaan hingga arah
timur dan pada tahun 1527 hingga berhasil merebut Sunda
19 Pangeran Aria Carbon, Purwaka Caruban Nagari. terj. P. S.
Sulendraningrat, (Jakarta: Bhratara, 1972), h. 31. 20 Hoesein Djajadiningrat, Tinjauan Kritis Tentang Sejarah Banten,
(Banten: Djambatan, 1983), h. 81.
Kelapa dari Ratu Pajajaran.21 Ia wafat pada tahun 1570 di
Cirebon dan dimakamkan di Gunung Sembung, Cirebon di
sebelah timur makam dari mertuanya yaitu Sunan Gunung
Jati.22
3. Pangeran Hasanudin
Pangeran Sabakingkin adalah putra dari Sunan
Gunung Jati dan Nyai Kawunganten yang lahir pada tahun
1479.23 Ia diangkat menjadi Bupati Banten mewakili Sunan
Gunung Jati pada tahun 1526 dan bergelar Pangeran
Hasanuddin, saat itu Sunan Gunung Jati menguasai sebagian
besar wilayah Jawa Barat. Pangeran Hasanuddin menjadi
Sultan pertama Banten dengan Gelar Sultan Hasanuddin.
Pada tahun ± 1550 M Sultan Maulana Hasanudin berhasil
mendirikan kerajaan Islam di Banten setelah lenyapnya
kerajaan Demak yang sangat terkenal di Pulau Jawa dan
sekitarnya. Ia juga menaklukan Lampung dan daerah
sekitarnya, ia juga menikahi puteri dari Pangeran Trenggana
dari Demak. Sejak zaman kependudukan Belanda Sultan
Hasanuddin mulai menyadari pentingnya kedudukan Banten
dalam hal perniagaan. Untuk kemakmuran negeri dan
rakyatnya maka Sultan Maulana Hasanuddin merencanakan
untuk memperluas daerah perkebunannya. Pangeran
21 Hoesein Djajadiningrat, Tinjauan Kritis Tentang Sejarah Banten,
(Banten: Djambatan, 1983), h. 213. 22 Pangeran Aria Carbon, Purwaka Caruban Nagari. terj. P. S.
Sulendraningrat, (Jakarta: Bhratara, 1972), h. 31 23 Pangeran Aria Carbon, Purwaka Caruban Nagari. Terj. P. S.
Sulendraningrat, (Jakarta: Bhratara, 1972), h. 19.
Hasanuddin wafat pada tahun 1570 di Banten, ia
dimakamkan dalam masjid di pemakaman Sabankingkin.24
24 Hoesein Djajadiningrat, Tinjauan Kritis Tentang Sejarah Banten,
(Banten: Djambatan, 1983), h. 214.
25
BAB III
NASKAH SUNDA WAWACAN
A. Asal-usul Naskah Sunda Wawacan
Naskah menjadi salah satu peninggalan paling berharga
yang diberikan masa lampau untuk masa kini, peninggalan
karya-karya tulis yang mengandung unsur kehidupan masa lalu,
untuk digunakan dan dipelajari masa ini sebagai salah satu
cerminan bagi hidup seseorang agar tidak mengikuti kesalahan
yang sama di masa lampau.
“Naskah merupakan tulisan tangan yang menyimpan
berbagai ungkapan pikiran dan perasaan sebagai hasil budaya
masa lampau. Dari berbagai macam ungkapan dan pikiran yang
terkandung di dalamnya, di sinilah peran serta sumbangsih
garapan naskah sebagai alternatif pengembangan terhadap ilmu-
ilmu lain. Salah satunya terhadap pengembangan studi sejarah
sebagaimana yang telah dipaparkan.”25
Namun saat ini banyak masyarakat yang tidak peduli
akan kontribusi naskah terhadap bidang keilmuan. Dikatakan
sebelumnya bahwa teks yang terkandung dalam suatu naskah
adalah bukti adanya kegiatan manusia zaman dahulu yang bisa
dijadikan sebagai contoh untuk kehidupan masa datang.26
25 B. Barried, Pengantar Teori Filologi, (Yogyakarta: BPPF, 1994),
h. 55. 26 Reli Fitriani, dkk, Kontribusi Penelitian Filologi Untuk
Pengembangan Studi Sejarah, (Bandung: Metasastra Jurnal Penelitian
Sastra, Vol. 11, No. 2, 2018), h. 183.
26
Dalam pendahuluan buku Henri Chambert-Loir dan
Oman Fathurahman, mereka mengatakan bahwa:
“Bidang-bidang yang terkandung dalam naskah
sangatlah luas. Siapapun yang akrab dengan naskah
Indonesia, mengetahui bahwa naskah-naskah itu
mengandung kekayaan informasi yang berlimpah. Naskah
memuat informasi lebih banyak daripada sastra yang
bersifat terbatas. Naskah mengandung hal-hal yang terdapat
dalam disiplin ilmu lain seperti agama, sejarah, hukum, adat
istiadat, obat-obatan, teknologi, dan informasi yang
beragam ini seharusnya dapat memanfaatkan kekayaan
informasi ini. Ahli hukum dan ahli sejarah telah lama
menyadari hal ini. Meskipun begitu mereka cenderung
menggunakan edisi teks yang disunting ahli-ahli filologi,
walaupun banyak sekali naskah-naskah yang belum
diterbitkan dan belum terpakai.”27
Pernaskahan klasik ialah naskah yang ditulis tangan
pada periode klasik. Menurut V.I Braginsky, sejarah
kesusastraan pertengahan terbagi menjadi tiga periode yaitu,
periode kesusastraan Melayu kuno (masa indianisasi kerajaan-
kerajaan Sumatera dan Semenanjung Melayu) periode ini terjadi
sekitar abad ke-7 sampai awal pertengahan abad ke-14, lalu
kedua periode kesusastraan Islam awal, yang terjadi dari awal
pertengahan abad ke-14 sampai awal pertengahan abad ke-16
27 Henri Chamber-Loir dan Oman Fathurahman, Khazanah Naskah:
Panduan Koleksi Naskah-Naskah Indonesia Sedunia (World Guide to
Indonesian Manuscript Collections), (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia -
EFEO, 1999), h. 19-20.
dan yang terakhir periode kesusastraan klasik sekitar awal
pertengahan abad ke-16 sampai pertengahan abad ke-19.28
Keberadaan naskah seperti kita ketahui berada di
lembaga-lembaga pemerintahan dan swasta, baik di dalam
maupun di luar negeri. Terdapat masyarakat juga yang memiliki
naskah-naskah dan mengoleksinya secara pribadi, keberadaan
naskah milik pribadi juga tersebar di berbagai belahan dunia.
Katalog pernaskahan itu diantaranya29
1. Katalog Koleksi Naskah Melayu Museum Pusat
Departemen Pendidikan Kebudayaan 1972 (Tim Drs. M.
Sutaarga).
2. Koleksi naskah-naskah di 26 Museum Provinsi.
3. Naskah Sunda: Inventarisasi dan Pencatatan, Edi S.
Ekadjati, Universitas Pajajaran bekerja sama dengan
Toyota Foundation, Bandung, 1998.
4. Katalog Naskah Melayu Bima I dan Bima II, Dr. S.W.R
Mulyadi dan Maryam R. Salahudin SH, Yayasan
Museum Samparaja Bima, 1990.
5. Katalog Induk Naskah-naskah Nusantara Museum
Sonobudoyo-Yogyakarta, disunting oleh T.E. Behrend,
Penerbit Djambatan, 1990.
6. Khazanah Naskah: Panduan Koleksi Naskah-naskah
Indonesia Sedunia, Henri Chambert-Loir dan Oman
28 V.I Braginksy, The System of Classical Malay Literature,
(Leiden: KITLV Press, 1993), h. 9-10. 29 Uka Tjandrasasmita, Arkeologi Islam Nusantara, (Jakarta: PT.
Gramedia, 2009), h. 183-184.
Fathurahman, École française d'Extrême-Orient dan
Yayasan Obor Indonesia, 1999.
7. Indonesian Manuscripts in Great Britain: A Catalogue
of Manuscripts in Indonesian Languanges in Britich
Collesctions, M.C. Ricklefs dan P. Voorhoeve, Oxford
University Press, 1997.
Keberadaan naskah Nusantara tersebar di berbagai
tempat. Menurut Tommy Christomy, naskah Nusantara
khususnya naskah-naskah Sunda rusak bahkan hilang dan tak
pernah terekspos atau ditemukan. Naskah akan menjadi satu
manfaat bila digunakan sebaik-baiknya.30 Naskah-naskah lama
memberikan sumbangan yang besar terhadap studi tentang satu
bangsa atau kelompok sosial budaya. Naskah-naskah tersebut
merupakan dokumen yang mengandung pikiran, perasaan dan
pengetahuan dari suatu bangsa atau kelompok sosial budaya.31
Naskah Sunda ialah naskah yang ditulis di daerah Jawa Barat
dan isi atau uraian dari naskah cerita tersebut berhubungan
dengan daerah dan orang Sunda.
Naskah Sunda merupakan salah satu bukti pengenalan
masyarakat Sunda terhadap tulisan. Masyarakat Sunda
menggunakan berbagai huruf sesuai dengan perkembangan
zamannya diantaranya ialah Pallawa, Sunda Kuno,
Budha/Gunung, Jawa Sunda (Cacarakan), Arab dan Latin.
30 Tommy Christomy, A Preliminary Note on the Function of
Manuscripts in Pamijahan West Java, (Jakarta: Masyarakat Pernaskahan
Nusantara atas bantuan Caltex Pacific Indonesia, 2000), h. 321. 31 Edi S. Ekadjati, Naskah Sunda: Inventarisasi dan Pencatatan,
(Bandung: Universitas Padjadjaran bekerja sama dengan Toyota Foundation,
1998), h.1.
Untuk penggunaan penulisan naskah diketahui menggunakan
huruf selain huruf Pallawa, Pallawa diketahui digunakan untuk
penulisan prasasti saja.32
Penulisan prasasti dengan huruf Pallawa diketahui
dipergunakan sekitar abad ke-5 M, abad ke-14 hingga abad ke-
16 menggunakan huruf Sunda Kuno pada penulisan prasasti,
pada penulisan naskah dimulai sekitar abad 16 M hingga abad
18 M, untuk huruf Jawa-Sunda digunakan kurang lebih sejak
abad ke-17 M hingga abad sekarang, huruf Arab/Pegon lebih
banyak digunakan sejak abad ke-19 M dan terakhir untuk huruf
Latin digunakan sejak abad ke-19 M.33
Naskah Sunda diketahui memiliki jumlah yang banyak,
meskipun jumlahnya tidak menyamai naskah Jawa dan Melayu,
dijelaskan bahwa terdapat ribuan naskah Sunda yang tersebar di
berbagai tempat.34
Naskah-naskah Sunda yang tersebar di dalam dan luar
negeri diketahui telah banyak yang diteliti, ditransliterasikan
dan diterjemahkan. Namun pada kenyataan saat ini, masih
banyak naskah-naskah Sunda yang rusak sebelum diteliti lebih
lanjut. Naskah yang tersebar ini bukan hanya terdapat dalam
lembaga penyimpanan saja, namun juga dimiliki oleh
masyarakat perorangan. Naskah milik perorangan tidak dapat
32 Ruhaliah, Wawacan: Sebuah Genre Sastra Sunda, (Bandung:
Pustaka Jaya, 2018), h. 9. 33 Edi S. Ekadjati, Naskah Sunda Lama, (Jakarta: Pusat Pembinaan
dan Pengembangan Bahasa, 1980), h. 2. 34 Ekadjati, Edi. S, “Naskah Sunda: Sumber Pengetahuan Budaya
Sunda” dalam Prosiding Konferensi Internasional Budaya Sunda, Jilid I,
(Bandung: Yayasan Kebudayaan Rancagé, 2006), h. 198.
ditelusuri lebih dalam karena pemilik sudah berpindah tempat,
naskah sudah pindah kepemilikan dan telah meninggal dunia.35
Dalam penelitian sejarawan Edi S. Ekadjati, ia mencatat ada
1.904 koleksi naskah Sunda yang tersebar di berbagai tempat
koleksi penyimpanan dan perorangan, sebanyak 95 naskah
menggunakan aksara Sunda Kuno, lalu sebanyak 438 naskah
menggunakan aksara Jawa (Cacarakan), dengan aksara
Arab/Pegon terdiri sebanyak 1.060 naskah, dan aksara Latin
berjumlah 311 naskah.36
Klasifikasi naskah berdasarkan isi yang tersimpan di
lembaga-lembaga penyimpanan naskah terbagi atas kelompok
naskah agama, hukum adat-istiadat, etika, mitologi, legenda,
pengetahuan, pendidikan, sastra, sastra sejarah, sejarah,
primbon dan seni.37 Jenis sastra Sunda yang tertera dalam
naskah diantaranya ialah pantun, kawih (sya’ir/pujangga),
carios (cerita), babad (hikayat), sawer, jampe (mantra),
silsilah, layang dan wawacan (hikayat). Dalam klasifikasi ini,
terdapat kelompok naskah yang disebut dengan genre wawacan.
Wawacan ialah cerita panjang (naratif), terdapat juga
uraian (deskriptif) yang disusun dalam bentuk pupuh. Pelaku
dalam teks wawacan berjumlah relatif banyak, pupuh yang
35 Edi S. Ekadjati, Naskah Sunda: Inventarisasi dan Pencatatan,
(Bandung: Universitas Padjadjaran bekerja sama dengan Toyota Foundation,
1998), h. 9. 36 Ayatrohaedi, Jatiniskala: Kehidupan Kerohanian Masyarakat
Sunda Sebelum Islam, (Jakarta: Proyek Pengkajian dan Pembinaan Nilai-
nilai Budaya Pusat, 1995), h. 4. 37 Edi S. Ekadjati, Naskah Sunda: Inventarisasi dan Pencatatan,
(Bandung: Universitas Padjadjaran bekerja sama dengan Toyota Foundation,
1998), h. 4.
digunakan berganti-ganti sesuai episode.Wawacan juga disebut
sebagai hikayat yang ditulis dalam bentuk puisi tertentu dan
dinamakan dangding. Dangding adalah ikatan puisi yang sudah
tertentu untuk melukiskan hal-hal yang sudah tertentu pula.38
Naskah wawacan sebenarnya dituangkan dalam bentuk
tulisan naskah dan cetakan buku, namun masyarakat Sunda
menyebarkan wawacan dalam bentuk lisan (mulut ke mulut).
Pagelaran Beluk adalah pagelaran atau seni pertunjukan yang
lahir dari penyebaran teks wawacan melalui lisan. Dalam
pertunjukan inilah banyak naskah-naskah wawacan yang terjaga
keberadaannya walaupun memiliki kekurangan dalam keaslian
teks wawacan.
Naskah Sunda wawacan memiliki jumlah yang sangat
banyak dibanding naskah genre lainnya. Kegemaran masyarakat
Sunda dalam bercerita menjadi salah satu aspek mengapa
naskah wawacan sangat dikenal. Naskah Sunda yang berisikan
cerita satu tokoh atau cerita dalam kehidupan masyarakat Sunda
dengan dalam bentuk puisi dan ditembangkan sangat populer
pada abad ke-19 dan awal abad ke-20.
B. Perkembangan Naskah Sunda Wawacan
Perkembangan naskah klasik semakin pesat saat Islam
masuk ke Nusantara, penyebaran Islam yang terjadi lewat jalur
perdagangan, pelabuhan dan perkawinan, semakin membuat
corak tulisan sangat beragam.
38 Ajip Rosidi, Kesusastraan Sunda Dewasa Ini, (Jatiwangi:
Cupumanik, 1966), h. 11.
“Ketika Islam datang ke tanah air kita ini, juru dakwah
atau mubaligh yang berminat untuk menyebarkan keaslian ilmu
pengetahuan Islam telah memperkenalkan huruf-huruf Arab
untuk dijadikan sebagai skrip dalam tulisan Indonesia. Dengan
itu timbullah kegiatan penulisan dalam bahasa Indonesia dengan
menggunakan huruf Arab. Tulisan-tulisan yang dititik beratkan
oleh ulama-ulama Islam pada masa yang lalu ialah dalam
bidang ilmu pengetahuan Islam untuk rujukan pelajar-pelajar
Islam terutama di institusi-institusi pengajian agama Islam.”39
Naskah-naskah Sunda khususnya yang menggunakan
tulisan Arab Pegon40 menggunakan aksara Arab namun
dikarang dengan menggunakan bahasa Sunda atau Jawa. Ketika
Islam hadir di Nusantara, pengajaran menggunakan aksara Arab
semakin dikembangkan diberbagai tempat pengajian yang
dilaksanakan oleh para pendakwah, mengenalkan huruf Arab
sangat bermanfaat saat itu, karena Islam yang datang dari
Mekkah dan dari tempat-tempat yang kebanyakan penduduknya
menggunakan bahasa Arab sebagai bahasa sehari-hari. Bahasa
Arab terasa semakin berguna, ketika banyaknya masyarakat
Indonesia pada masa itu yang berangkat ke tanah suci, selain
untuk mengemban ilmu, dan melaksanakan ibadah haji untuk
waktu yang lama, bahasa Arab mendatangkan keuntungan bagi
39 Ismail Hamid, Kesusastraan Indonesia Lama Bercorak Islam,
(Jakarta: Pustaka Al-Husna, 1989), h. 1. 40 Tulisan Arab-Pegon ialah corak tulisan yang penulisannya
memakai bahasa Arab namun menggunakan bahasa lokal contohnya
menggunakan bahasa Sunda. Tidak seperti di Jawa dan Sunda, penyebutan
Arab Pegon berbeda dengan di Sumatera, mereka menyebutnya dengan
Arab-Melayu.
masyarakat pelabuhan atau masyarakat pedalaman yang
berkenalan dengan saudagar atau pedagang muslim yang
notabene menggunakan bahasa Arab dalam percakapannya.
Bahasa Jawa masuk ke wilayah Jawa Barat melalui
pengaruh kekuasaan Mataram pada abad ke-17. Pengaruh
bahasa Jawa terhadap kesusastraan Sunda diantaranya
wawacan. Bahkan hingga abad ke-19, bahasa Jawa menjadi
bahasa resmi dalam pemerintahan wilayah ini. Pada
pertengahan abad ke-19, bahasa Sunda cenderung dijadikan lagi
bahasa tulis di Jawa Barat.41
Pengaruh kesusastraan Jawa dalam kesusastraan Sunda
dibawa melalui kaum bangsawan dan kaum ulama Islam
(lingkungan pesantren), tidak heran perkembangan wawacan
tumbuh subur. Pada abad ke-18, diperkirakan munculnya
naskah wawacan pertama berjudul Cariosan Prabu Siliwangi,
yang ditulis antara tahun 1746-1753 M.42
Pengaruh Jawa terhadap naskah-naskah Sunda
khususnya dalam naskah-naskah berbentuk wawacan, banyak
salinan atau saduran dari bahasa Jawa bahkan ada dari Bahasa
Melayu seperti Wawacan-wawacan Angling Darma, Batara
Rama, Johar Maningkem, dan sebagainya. Namun terdapat juga
wawacan yang berasal dari sejarah lokal contohnya Wawacan
Babad Sumedang, Wawacan Sukapura dan sebagainya.
Kejadian-kejadian aktual pun banyak yang dijadikan wawacan
41 Edi S. Ekadjati, Ceritera Dipati Ukur Karya Sastra Sejarah
Sunda, (Jakarta: Pustaka Jaya, 1982), h. 8. 42 Edi S. Ekadjati, Kebudayaan Sunda, (Jakarta: Yayasan
Pembangunan Jawa Barat, 1991), h. 9.
diantaranya Carios Munada (menceritakan tentang seorang
Cina yang masuk Islam dan ada hubungannya dengan huru-hara
di Bandung akhir Desember 1842).
Namun, jumlah yang paling banyak dalam naskah
wawacan Sunda adalah yang bertalian dengan agama Islam baik
berupa uraian tentang rukun Islam, rukun Iman seperti
Wawacan Pangajaran Agama Islam dan Pakih (Fiqh), lalu yang
bersifat kesejarahan seperti Sajarah Nabi Muhammad, Seh
Abdul Jaelani, dan lain-lain, selain itu karya-karya fiksi
khazanah kesusastraan Islam yaitu Wawacan Anbiya dan
Samaun, dan banyak karya-karya lainnya yang bernafaskan
Islam beserta ajaran-ajarannya.43
C. Klasifikasi Penulisan Naskah Sunda Wawacan
1. Berdasarkan Bahan dan Sumber Penulisan
Naskah wawacan khususnya yang berasal dari wilayah
Jawa Barat (Sunda) memiliki kategori yang beragam dalam
bahan maupun sumber penulisannya. Bahan penulisan naskah-
naskah kuno maupun klasik di Nusantara diantaranya dengan
menggunakan daun lontar, daluang (Saeh), kertas Eropa dan
kertas pabrik lokal.
“Lontar adalah salah satu bentuk naskah kuno
(manuskrip) yang ada di nusantara. Lontar banyak ditemukan di
pulau Bali, tetapi beberapa ditemukan di Jawa, Sulawesi
(disebut lontara), dan di Lombok. Lontar dipakai sebagai alat
43 Ajip Rosidi, Sastera dan Budaya Kedaerahan Dalam
Keindonesiaan, (Jakarta: Dunia Pustaka Jaya, 1995), h. 385.
tulis menulis pada saat itu sebelum orang mengenal kertas.
Selain lontar adapula bahan yang serupa lontar yang dipakai
untuk tempat menulis, seperti di Jawa memakai daun nipah
(serupa lontar), dluwang (dari kulit kayu), dan perkamen (dari
kulit kambing), di Sulawesi memakai bambu (ditulis melingkar)
dan rotan, sedangkan di Batak selain lontar ada juga tribak (dari
kulit kayu). Lontar merupakan dokumentasi budaya masa
lampau, merupakan benda yang sangat bernilai. Isi yang
terkandung dalam manuskrip lontar begitu bermanfaat seperti
tentang mantra, keagamaan, pengetahuan tentang astronomi dan
astrologi (wariga), pengobatan tradisional (usada), prosa,
kekawih, kidung, sejarah, cerita-cerita, dan lain-lain. Seiring
dengan perkembangan zaman, banyak lontar-lontar yang tidak
lagi terpelihara. Lontar-lontar tersebut mengalami
kerusakan karena dimakan rayap, binatang pengerat (tikus)
terbakar, dan lain-lain, sebelum sempat diidentifikasikan dan
diketahui isinya.”44
Daun lontar yang dipergunakan sebagai alat untuk
menulis naskah kuno yang dianggap sebagai persembahan dari
sumber-sumber lokal yang paling otentik dan juga dapat
memberikan informasi sejarah mengenai masa lalu. Salah satu
naskah wawacan dengan menggunakan bahan daun lontar ini
ialah Babad Ratu Galuh dan Babad Galuh.
Kemudian, naskah dengan bahan daluang, kertas
daulangpertama kali dikenalkan oleh orang-orang Cina yang
44 Made Ayu Wirayati, Konservasi Manuskrip Lontar.
http://old.perpusnas.go.id/Attachment/MajalahOnline/Made_Ayu_Wirayati_
Konservasi_manuskrip_Lontar.pdf.
telah memakai teknologi alat tulis dari bahan dasar daluang.
Teknologi ini akhirnya diikuti oleh komunitas muslim
Nusantara sebagai bahan penulisan naskah-naskah Nusantara.45
Pohon saeh46 adalah bahan dasar dari pembuatan kertas ini,
pohon ini diduga berasal dari Cina, saat ini pohon saeh sulit
didapat karena populasi pohon ini yang cenderung punah.
Naskah wawacan dengan menggunakan bahan kertas daluang
ini diantaranya ialah Cariosan Prabu Siliwangi, Carita Nabi
Yusuf, Kitab Safinatun Nadja, Tasawuf dan Tauhid dan Silsilah.
Ketiga, bahan penulisan naskah wawacan dengan
menggunakan kertas Eropa. Saat Islam masuk dan mulai
menyebar ke seluruh wilayah Nusantara disusul dengan
kedatangan bangsa Eropa ke Nusantara. Penggunaan kertas
Eropa semakin berkembang, hal ini dikarenakan kertas Eropa
memiliki ciri khas tersendiri seperti adanya watermark, garis
tebal, tipis dan lainnya. Kertas Eropa juga digunakan sebagai
media untuk menulis naskah-naskah Nusantara, naskah
wawacan yang menggunakan bahan kertas Eropa ialah Ieu
Wawacan Papatah Pranata ka Caroge, Babad Cirebon, Ciung
Wanara, Lalakon Natakusumah, Ningrum Kusumah, Sejarah
Cirebon, Sejarah Sumedang, Suryakanta, Talaga Manggung,
Wawacan Carbon dan Wahosan Ciyung Wanara.
45 Josep Needham and Tsien \tsuen-Hsuin, Science and Civilization
in China, Chemistry and Chemical Technology, Part 1, Paper and Printing,
Vol. 5, (Cambridge: Cambridge University Press, 1985), h. 333. 46 Nama latin dari pohon ini ialah broussonetia papyrifera vent.
Lihat dalam Setiawan Sabana dan Hawe Setiawan, Legenda Kertas:
Menelusuri Jalan Sebuah Peradaban, (Bandung: Kiblat, 2009), h. 56.
Terakhir ialah bahan kertas pabrik lokal, bahan ini ialah
bahan asli dalam negeri yang dipergunakan sebagai media
untuk menulis naskah-naskah kuno juga naskah klasik
Nusantara, salah satunya ialah naskah wawacan yaitu, Babad
Bojonagara, Babad Gebang, Babad Mataram, Bayawak,
Damarwulan, Danumaya, Sejarah Wali, Wawacan Jaka
Bayawak dan Pua-pua Bernama Sakti.
Sumber penulisan naskah wawacan datang dari berbagai
sumber, untuk lebih jelasnya sumber penulisan naskah wawacan
diantaranya ialah wawacan yang berasal dari saduran antar lain
dari sastra Jawa, sumber ini dapat dilihat dalam naskah
wawacan yang berjudul Wawacan Sekar Taji, Wawacan
Bayawak, Wawacan Damarwulan, Wawacan Bernama Alam,
Wawacan Rahmana dan Wawacan Candra Kirana.
Selain dari sumber sastra Jawa, naskah wawacan juga
berasal dari sastra Arab dan kisah-kisah Islamisasi yang
tertuang dalam cerita-cerita Arab. Salah satu cerita dari sastra
Arab ialah Wawacan Paras Adam, Babad Mekah, Sajarah
Anbiya dan Wawacan Rawi Mulud, naskah wawacan ini disadur
ke dalam bentuk wawacan melalui bahasa Jawa dan Melayu.
Kisah-kisah ini berisikan cerita para nabi khususnya Nabi
Muhammad, keluarganya serta para sahabatnya. Bahkan dalam
naskah wawacan seperti Sajarah Sunan Gunung Jati, Wawacan
Wali Sanga, Babad Cirebon, diceritakan bahwa terdapat orang
Arab yang menikah dengan orang Sunda bahkan dengan
pribumi Nusantara lainnya.47 Selain wawacan saduran di atas,
terdapat juga wawacan berasal dari sastra barat seperti
Pangeran Hamlet dan Wawacan Prabu Odyseus.48
2. Berdasarkan Aksara dan Bahasa
Dalam penulisan naskah wawacan yang tersebar di
berbaga wilayah initerdapat aksara yang digunakan agar dapat
dipahami oleh para sejarawan, peneliti dan ahli filolog dalam
meneliti naskah-naskah tersebut. Diketahui bahwa aksara
pertama kali di tanah Sunda ialah cacarakan.49
“Aksara Pallawa merupakan induk dari semua aksara di
Nusantara, termasuk Aksara Hanacaraka. Aksara Pallawa
sendiri berinduk dari aksara India tertua yaitu Brahmani yang
menurunkan dua kelompok tulisan yaitu aksara India Utara
yang dinamakan aksara Nagari dan aksara India Selatan yang
dinamakan aksara Pallawa.”50
Aksara Cacarakan atau Hanacaraka ada dalam naskah
wawacan diantaranya yaitu Amir Hamzah, Babad Galuh,
Babad Cirebon, Babad Pakuan, Babad Ratu Galuh dan Ciung
Wanara.
47 Undang Ahmad Darsa, Naskah-naskah Sunda (Sebuah
Pemahaman Berdasarkan Konsepsi Keislaman), (Jatinangor: Fakultas Sastra
Universitas Padjadjaran, 1995), h. 33. 48 Ruhaliah, Wawacan: Sebuah Genre Sastra Sunda, (Bandung:
Pustaka Jaya, 2018), h. 77. 49 Cacarakan adalah aksara Jawa Sunda. Ruhaliah, Wawacan:
Sebuah Genre Sastra Sunda, (Bandung: Pustaka Jaya, 2018), h. 185. 50 Uli Kozok, Warisan Leluhur: Sastra Lama dan Aksara Batak,
(Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia, 1999), h. 62.
Aksara Pegon dalam penulisan naskah wawacan paling
banyak dikembangkan di tengah-tengah masyarakat. Ekadjati
dkk, dalam inventarisasi naskah Sunda menggambarkan bahwa
dari 1.904 naskah Sunda, 1.060 diantaranya menggunakan
aksara Pegon.51 Hal ini juga dipengaruhi karena adanya
pesantren yang kian berkembang dan di kalangan masyarakat
Sunda, kekuatan agama Islam dalam menumbuhkan kecintaan
para santri terhadap aksara Arab semakin memajukan penulisan
naskah wawacan dengan menggunakan aksara Pegon. Naskah
wawacan dengan aksara Pegon diantaranya ialah Ieu Wawacaan
Papatah Pranata Ka Caroge, Babad Mataram, Jaka Paringga,
Panji Wulung, Wawacan Sejarah Rasulullah, Wawacan Sajarah
Nabi dan lainnya.
Selain aksara Cacarakan (Hanacaraka) dan aksara
Pegon, didapati juga aksara Latin yang ditulis dalam naskah
Sunda wawacan ini. Contohnya ialah, Abunawas, Kitab
Nasihat, Rengganis, Samaun, Surat Pengukuhan Makam,
Wawacan Raja Darma dan lainnya.
Bahasa yang digunakan dalam naskah wawacan adalah
bahasa Sunda, seperti Babad Cirebon, Wawacan Umarmaya,
dan Carios Panji Wulung. Bahasa Jawa seperti Babad Pasir,
Wawacan Ciyung Wanara, dan Sejarah Wali. Terakhir dengan
menggunakan lebih dari dua bahasa seperti Sejarah Sumedang,
dan Wawacan Pangajaran Agama Islam.52
51 Edi S. Ekadjati, Khazanah Naskah Sunda Suatu Harta
Terpendam Terancam Punah?, Jurnal Sastra Tahun III No. 2 (1995): 7. 52 Ruhaliah, Wawacan: Sebuah Genre Sastra Sunda, (Bandung:
Pustaka Jaya, 2018), h. 83-86.
3. Berdasarkan Isi Teks Penulisan
Penulisan naskah wawacan khususnya di tanah Sunda
terdiri dari kelompok-kelompok seperti kelompok agama,
mitologi, primbon, sastra, seni, pengetahuan, pendidikan, sastra
sejarah dan sejarah.53 Untuk karangan yang berisi teks sejarah
dan sastra sejarah, penulis naskah kadang-kadang menyebutnya
babad, carita atau carios, sajarah, wawacan, pustaka.”54
Kelompok-kelompok ini diklasifikasikan agar dapat
membedakan naskah mana yang dapat dicari dan digunakan.
Naskah Ieu Papatah Pranata ka Caroge terbuat dari bahan
kertas Eropa dan bersumber dari sastra Jawa (nasihat Sunan
Solo), ditulis dalam aksara Pegon (Arab dan Sunda) dan naskah
ini termasuk ke dalam kelompok naskah pendidikan. Hal ini
dapat dipahami karena isi dari naskah tersebut menggambarkan
nasihat dan ajaran yang diberikan oleh seorang guru untuk laki-
laki dan perempuan dalam memilih jodoh dan dalam membina
rumah tangga.
53 Edi S. Ekadjati, Naskah Sunda: Inventarisasi dan Pencatatan
(Bandung: Universitas Padjadjaran bekerja sama dengan Toyota Foundation,
1988), h. vi. 54 Edi S. Ekadjati, Babad Sunda: Pengertian, Eksistensi, Ruang
Lingkup Isi, dan Fungsinya, (Bahan Ceramah pada Rotary Club Bandung,
1986), h. 23.
41
BAB IV
PERANAN NASKAH WAWACAN DALAM KEHIDUPAN
MASYARAKAT SUNDA
Studi Kasus: Naskah Ieu Wawacan Papatah Pranata Ka Caroge
A. Deskripsi Naskah
Naskah Ieu Wawacan Papatah Pranata Ka Caroge atau
disingkat menjadi naskah wawacan PPkC adalah naskah Sunda
klasik yang bergenre wawacan atau hikayat, judul naskah dalam
bahasa Indonesia ialah “Cara Berbakti Pada Suami”. Naskah
yang berkaitan dengan sejarah penyebaran agama Islam pada
umumnya dapat diamati dari berbagai naskah yang
dikelompokkan dalam bentuk wawacan, cariosan, babad dan
sebagainya. Naskah ini merupakan koleksi dari K. F. Holle, dan
naskah asli terdapat di Perpustakaan Nasional Indonesia dengan
kode naskah adalah SD.7. Dalam halaman kedua naskah
wawacan PPkC tertera bahwa naskah ini merupakan pemberian
dari seorang asisten demang di Pebajoeran yang dahulu pernah
menjabat sebagai juru tulis di Bataviaasch Genootachap van
Kunsten en Wettinschappen kepada perpustakaan tersebut yang
sekarang menjadi Perpustakaan Nasional RI. Dalam akhir
halaman naskah wawacan PPkC dicatat bahwa naskah ini ditulis
oleh seseorang bernama Muhammad Ilyas.
Tanggal penulisan naskah wawacan PPkC tidak
diketahui secara pasti, namun pada halaman kedua tertera
bahwa naskah ini diberikan dan diserahkan pada Perpustakaan
Nasional RI di bulan Agustus tahun 1882, serta menggunakan
42
cap kertas Lion in Medallion dengan tulisan Concordia
Pesparvae Crescunt.55 Namun, dalam akhir halaman, dicatatkan
bahwa naskah tamat pada tanggal 20 Siam (Ramadhan) bulan
Hijriyah (tanpa tahun yang jelas).
Naskah ini menggunakan bahan kertas Eropa berukuran 16 x 20
cm, terdiri dari 27 halaman (24 halaman adalah isi naskah).
Terdapat 13 baris/halaman, menggunakan aksara pegon dengan
memakai dua bahasa yaitu bahasa Arab dan bahasa Sunda.
Naskah Wawacan PPkC sendiri berisikan nasihat-nasihat bagi
laki-laki dan perempuan dalam memilih jodoh masing-masing
dan nasihat bagi seorang istri untuk beprilaku baik terhadap
seorang suami. Penulisan naskah bersumber pada Wulang Sunu
atau Sunan Solo yang juga mengajarkan agar lelaki dan wanita
untuk memilih jodoh yang baik.56
Naskah Sunda bergenre wawacan ini menjadi salah satu
karya yang dibuat dalam bentuk tembang,57 terlihat dari
halaman 13 bagian tengah yang mengatakan Asmarandana telah
berakhir lalu diganti dengan tembang Kinanti. Lalu dilanjutkan
dengan pupuh Sinom dan Dangdanggula. Pupuh Asmarandana
Kinanti, Sinom dan Dangdanggula adalah salah satu pupuh atau
tembang yang ada di Sunda.
55https://opac.perpusnas.go.id/DetailOpacBlank_v2.aspx?id=23085
1 56 Edi S. Ekadjati, Naskah Sunda: Inventarisasi dan Pencatatan,
(Bandung: Universitas Padjadjaran bekerja sama dengan Toyota Foundation,
1998), h. 66. 57 Wawacan ialah hikayat yang ditulis dalam bentuk puisi tertentu
dinamakan dangding. Dangding ialah ikatan puisi yang sudah tertentu untuk
melukiskan hal-hal yang sudah tertentu pula. Danding terdiri daripada
beberapa buah bentuk puisi yang disebut pupuh. Ruhaliah, Wawacan:
Sebuah Genre Sastra Sunda, (Bandung: Pustaka Jaya, 2018), h. 10
43
B. Ajaran dan Nasihat Dalam Naskah Wawacan PPkC
Ajaran yang ditulis dalam naskah wawacan PPkC berisi
mengenai nasihat bagi kaum wanita untuk menjadi seorang istri
yang berprilaku baik dan sopan, dalam naskah ini juga
dijelaskan kewajiban laki-laki dan wanita dalam memilih jodoh.
Dalam naskah wawacan ini, dijelaskan ada 16 perkara
yang menyatakan kepatuhan istri terhadap suami. Namun, untuk
poin yang ketiga tidak disebutkan secara jelas. Naskah wawacan
PPkC berisikan nasihat yang ditujukan untuk perempuan yang
telah berumah tangga, terdapat pada halaman 7-13. Nasihat-
nasihat dalam naskah wawacan PPkC tersebut yang penulis
transliterasikan dan terjemahkan yaitu,
PUPUH ASMARANDANA
Saperkara anu mimiti,
mungguhing istri natana,
kuring menak sarua bae kudu
gétén,
kudu tulatén ulah sok karajenan,
geus puguh mun aya pamunduh,
mun aya geuwat
Mun teu aya kudu eurih,
nya ngongoweul heunteu aya,
ulah bari mokaha ogé,
PUPUH ASMARANDANA
Poin pertama yaitu,
apalagi untuk istri,
siapapun juga harus rajin,
harus rajin jangan diluarnya saja,
apalagi punya pekerjaan,
haruslah cepat
Walau tak harus rapih,
jangan hanya satu pekerjaan,
jangan merengut tak ingin,
44
geubras-geubris matak cuwa,
kadua perkarana,
upama lamun disaur,
mun aya geuwat temuan,
Ulah sok di selang cicing,
kajeun nunda pagawean,
upama eukeur di gawe,
geus puguh lamun heunteu mah,
samingkeun kudu geuwat,
ulah diselang ngajentul,
pamali kabina-bina,
Upama éta salaki,
kaurang aya paréntah,
pacuan ulah talangké,
kudu geuwat dilakonan,
sanajan ka anu hina,
manéh poma ulah embung,
teu hadé nu bésaran,
Kaopat perkara deui,
mun dicandak sasauran,
poma masing hadé,
ulah budi matak cuwa,
masing hadé nyaleuleuyan,
dikerjakan tapi setengah hati,
Poin kedua yaitu,
ketika di panggil,
cepatlah menyahuti panggilannya,
Jangan diam saja,
lebih baik menunda pekerjaan,
ketika sedang bekerja,
apalagi kalau sedang tidak,
tak apa untuk cepat datang,
jangan diam saja,
pamali,
ketika seorang suami,
menyuruh kita,
cepatlah datang jangan malas,
cepatlah laksanakan,
meskipun perintah buruk,
kamu jangan menolak,
tidak akan baik itu,
Poin keempat yaitu,
ketika diajak berbincang,
berhati-hatilah berbicara,
jangan bersikap menyebalkan,
haruslah lemah lembut,
45
ari ngomong bari émut,
caréta dina carita,
Gerwana baginda Ali
jenengan Dewi Fatimah,
gerwana reujeung carogé,
layeutna kabina-bina,
geus taya kuciwana,
isteri-isteri kudu niru,
da éta panutanana,
Kalima perkara deui,
lamun aya kasalahan,
kudu geuwat tobat baé,
nyuhunkeun pangampura na,
ulah daék di lila,
bisi jadi wuwuh-wuwuh,
tambah-tambah nya doraka,
Geus kitu bubuhan isteri,
geus puguh anu ayeuna,
isteri nu ayeuna ogé,
dengdeng aya kasalahan,
ngan kudu geuwat kudu heula
tobat,
ubar dosa ngan sakitu,
berbicara seadanya,
cerita dalam cerita,
kepada yang Mulia Ali,
dan Siti Fatimah,
Baginda Ali dan istri.
sangat saling mengasihi,
tidak ada kekurangannya,
para istri harus menirunya,
karena itu panutannya,
Poin kelima yaitu,
ketika melakukan kesalahan,
cepatlah bertobat,
minta maaflah,
jangan ditunda,
daripada terus berdosa,
malah akan bertambah durhaka,
Untuk itu para istri,
apalagi masa sekarang,
istri sekarang pun,
ketika membuat kesalahan,
ya tentu harus cepat bertobat,
meskipun dosanya hanya secuil,
tidak ada sisanya,
46
taya saja bati dinya
Kagenep perkara deui,
ulah leumpang teu pamitan,
sanajan rék pulang poé,
geus puguh lamun meuting mah,
samingkeun kudu pisan,
enggeus tangtu kudu kitu,
mungguhing adab tatana.
Katujuh perkara deui,
pacuan ulah érék leumpang,
lamun keur euweuh carogé,
dilarang ku hukum sareng,
kadalapan perkara,
lampah anu matak alus,
jadi tambah téh nyaah,
Lamun keur pundung salaki,
heunteu meunang heunteu pisan,
awéwé kudu
geus kitu adab natana,
mokaha di baeudan,
ulah dilawanan pundung,
kudu tarima wayahna,
Poin keenam yaitu,
jangan berpergian tanpa pamit,
meskipun hanya berpergian siang
hari,
apalagi bermalam di luar,
tidak apa-apa,
haruslah begitu,
karena itulah aturannya,
Poin ketujuh yaitu,
jangan berpergian,
apalagi ketika suami tidak ada,
dilarang oleh hukum dan,
Poin kedelapan yaitu,
perilaku yang baik,
akan bertambah sayang,
Bila sang suami sedang bermuram
durja,
janganlah seorang istri,
istri harus
karena itu adabnya,
jikalau di cemberutin,
jangan dilawan oleh rasa kesal,
47
Jeung kasalapan perkara,
pacuan ulah rék ngupat,
dikagorengan carogé,
éta anu saat pisan,
ulah di pilampah,
cara keur Nabi Luth,
dina carita anbiya,
Disiksa kaliwat leuwih,
pécat iman manjing kufar,
sabab ngupat ka carogé,
ngomongkeun ka tatangga na,
tah éta kitu petana,
awéwé nu ngumbar nafsu,
heunteu kudu di ahérat,
Di dunya ogé ka panggih,
geus réa-réa contona,
poma-poma nu aronam,
sing éling di sakituna,
ulah sok rasa mokaha,
sababna ari kaduhung,
datangna tara tiheula,
berusahalah menerimanya,
Poin kesembilan yaitu,
janganlah membicarakan,
kejelekan suami,
itu adalah waktu,
yang jangan dilakukan,
seperti saat Nabi Luth,
dalam kisah para nabi,
Siksaannya sangat berat,
runtuh iman juga kufur,
karena bergosip tentang suami,
dan mengatakannya pada tetangga,
nah itu penjelasannya,
istri yang mengumbar hawa nafsu,
tidak hanya di akhirat,
Di duniapun terlihat,
sudah banyak contohnya,
kepada yang mengetahuinya,
ingatlah seharusnya,
jangan merasa sombong,
karena penyesalan,
tidak datang di awal,
48
Sapuluh perkara deui,
ulah miheulaan dahar,
kudu babarengan baé,
atawa rorodanana,
enging mun dipiwarang,
éta matak jadi luluh,
jadi tambah matak nyaah,
Sawelas perkara deui,
lampah isteri nu utama,
mun carogé ngajak saré,
éta kudu geuwat,
ulah sing sarua di selang,
najan saré lain usimna,
geus puguh lamun mangsana,
Kudu kadua welas perkara deui,
dina pasaréan,
ulah réa teuing omong,
bisi ka langsuya ucap,
temah na jadi paséa,
piomong nu heunteu patut,
nu matak nungtun amarah,
Katilu welas perkawis,
mun carogé sumping angkat,
Poin kesepuluh yaitu,
jangan mendahului makan,
makan harus bersama-sama,
meskipun hanya sisa,
patuhi ketika di suruh,
itu akan menambah rasa suka,
menambah rasa sayang,
Poin kesebelas yaitu,
perilaku yang utama,
ketika suami mengajak tidur,
harus cepat bergegas,
jangan berdiam diri terus,
apalagi tidur bukan pada waktunya,
tentu saja ketika saatnya tidur,
Poin yang keduabelas yaitu,
ketika diatas kasur,
jangan banyak berbicara,
takut kebablasan berbicara,
nantinya malah bertengkar,
berbicara yang tidak sopan,
menuntun pada amarah,
Poin ketiga belas yaitu,
ketika suami pulang,
49
geuwat papagkeun ka panto,
tampanan langgukana na,
sok ngurus kadaharan,
asmarandana geus tutup,
Kinanti ngagentos tembang,
PUPUH KINANTI
Kaopat welas di catur,
tataning isteri sejati,
lamun urang keur paséa,
atawa keur cuwa,
jol sémah anu nganjang,
leungitkeun ulah kaciri,
Ulah katara jamedud,
budi ucap kudu manis,
bari ngurus keur nyuguhan,
lamun keur teu boga duit,
di belaan anjuk hutang,
ulah nembongkeun kaisin,
Ari nyuguhan tatamu,
pirang-pirang hadist nabi,
bergegaslah menyambutnya,
suguhkan wajah yang indah,
lalu sajikanlah hidangan makanan,
Asamaranda telah berakhir,
Kinanti yang menggantikan
tembang,
PUPUH KINANTI
Poin keempat belas yaitu,
pada istri sejati,
ketika sedang bertengkar,
atau dalam sifat menyebalkan,
tiba-tiba datang tamu berkunjung,
hilangkan jangan terihat,
Jangan terlihat cemberut,
budi juga perkataan harus manis,
sembari menyajikan hidangan,
bila sepertinya sedang tidak ada
uang,
maka berhutanglah,
jangan memperlihatkan
kekurangan,
menyajikan hidangan pada tamu,
didalam hadist Nabi dikatakan,
50
nyeun gede ganjaranana,
ulah sok nguruskeun rugi,
suguhan saenya-enya,
geus tangtu di tambah rezeki,
Ku pangéran anu agung,
nu sifat rahman jeung rohim,
anu héman ka abdina,
heunteu pegat berang peuting,
urang téh kudu tarima,
paparin rabbul ‘alamin,
Kalima welas di catur,
tataning istri sajati,
kudu gedean nya wiwirang,
ulah sok jalingkak teuing,
di sebut di jero kitab,
pangandi ka kanjeng nabi,
Basa arabna di sebut,
di jieun Tembang Kinanti,
al mar’atu bilaa haya,
ka tto’ami bilaa milhin,
awewe nu taya kaéra,
cara kadaharan tiis,
besar pahalanya,
jangan memikirkan rugi,
bersunggulah dalam menyajikan,
tentu rizki akan bertambah,
dari Pangeran Yang Agung,
Yang sifatnya Rohman dan Rohim,
yang baik pada makhluk-Nya,
yang tak putus siang malam,
kita harus menerima semua,
dari Rabbul’Alamin,
Poin kelima belas yaitu,
bahwa istri sejati,
harus banyak rasa malu,
jangan bertingkah seperti bukan
wanita,
disebutkan dalam kitab,
bahwa Nabi,
yang bahasa arabnya,
yang dibuat dalam tembang kinanti,
ألمرأة بال حيا
كا طعا م بال مالح
wanita yang tak punya rasa malu,
layaknya makanan yang tak berasa,
51
Teu maké uyah sahuntu,
taya rasa taya sari,
tah kitu éta Sunda na
hadist nu kasebut tadi,
ulah nya di pilampah,
mun hayang salamet dirina,
Kagenep welas di catur,
sing bisa miara diri,
tegesna kudu berséka,
unggal poé kudu mandi,
dina kulit leuleungitan,
kosokan masing baresih,
Tai bujal, tai kuku,
dago kélék sing baresih,
ngaleungitkeun babauan,
bau hapeuk bau tai,
tuluy maké seuseungitan,
sampurna isteri sajati,
ka anak putu,
poma kudu ati-ati,
mun hayang awét lakian,
jeung kapaké ku salaki,
tidak memakai garam sedikitpun,
tak ada rasa tak ada sari,
nah itu dalam peribahasa Sunda,
hadist yang tadi disebut,
jangan dikerjakan,
bila ingin selamat dirinya,
Poin keenam belas yaitu,
harus bisa memelihara diri,
lebih jelasnya harus bersih,
tiap hari harus mandi,
kulit tubuh harus dibersihkan,
kulit harus digosok sampai bersih,
kotoran pusar, kotoran kuku,
dagu dan ketiak harus bersih,
hilangkan bau badan,
bau apek bau tidak sedap,
lalu pakailah wewangian,
jadilah istri sejati yang sempurna,
pada anak dan cucu,
ingatlah bahwa harus berhati-hati,
kalau ingin awet bersuami,
dan berguna untuk suami,
52
turutkeun ulah kaliwat,
sapiwuruk ieu tulis,
Ieu piwuruk saieu,
nyalametkeun kana diri,
di dunya jeung di ahérat,
meunang rohmat ti hyang widi,
insyaAllahu ta’ala,
ulah heumheum dina ati.
ikuti jangan sampai terlewat,
sesuai ajaran yang ditulis,
Inilah ajarannya,
untuk menyelamatkan diri,
di dunia maupun di akhirat,
dan mendapatkan rahmat dari Allah
insyaAllahu ta’ala,
jangan hanya disimpan dalam hati
saja
“Dina ieu papatah, aya pituduh ngeunan budi basa
pamajikan anu hadé enggoning kumawula ka salakina, nya éta
budi anu matak ngeunahkeun haté salaki, paripolah pamajikan
sangkan pikaresepeun salaki, kumaha mernahkeun omongan,
nepi ka papatah yén istri kudu bisa mapantes diri sangkan
merenah sagala rupana. Ditungtungan ku nyebutkeun bisi
doraka lamun henteu hormat ka salaki.”58
Naskah wawacan PPkC dengan enam belas nasihat yang
dituangkan oleh sang penulis untuk menjadi cerminan bagi
58 Dalam nasihat ini, terdapat anjuran atau nasihat mengenai budi
pekerti seorang istri terhadap suaminya sendiri, budi pekerti yang dimaksud
ialah budi atau perilaku yang akan membuat suami senang, tutur dan laku
istri menjadi kesukaan suami, bagaimana cara bertutur kata yang baik,
hingga nasihat yang mewajibkan seorang istri untuk bisa memelihara diri
dengan baik, nasihat ini juga menyatakan bahwa durhakalah seorang istri
bila tidak hormat pada suami. Kuswan Nurhidayat, Karakteristik Wanoja
Sunda Dina Naskah Wawacan “Pranata Istri ka Caroge”, (Tesis Master,
Pendidikan Bahasa dan Budaya Sunda, Universitas Pendidikan Indonesia,
2016), h. 50.
53
kehidupan rumah tangga ini, memberikan manfaat bagi
masyarakat Islam. Pada masanya saat naskah ini dibuat dalam
mengerjakan tugas agama yang sudah diajarkan oleh Rasulullah
SAW terhadap pengikutnya hingga masa kini dan untuk masa
yang akan datang.
Nasihat pertama dan kedua ialah istri harus rajin dan
telaten dalam mengurus suami, mengurus suami adalah
kewajiban bagi setiap istri di muka bumi ini. Istri juga harus
menjadi seorang yang penyabar59 dan harus tetap siaga dalam
mewujudkan perintah suami, setiap pekerjaan atau urusan yang
sedang dikerjakan oleh istri, ketika suami memanggil atau
memerintah untuk melakuakan sesuatu, maka wajib hukumnya
bagi istri untuk melakukannya. Wanita terhormat dalam sejarah
Islam ialah mereka yang teladan dalam hal kesabaran,
kebajikan, kedewasaan, dan yang benar-benar mengabdi bagi
suami dan rumah tangganya, meskipun hidup dalam kesusahan
dan kemiskinan.60 Kewajiban ini telah dijelaskan dalam
Syaikhul Islam berkata,
ا حفحظ الل ات قانحتات حافحظات لحلغيبح بح تح فالصالح نشوزهن تافون والل
عح فح واهجروهن فعحظوهن غوا فل أطعنكم فإحن واضرحبوهن المضاجح عليهحن ت ب
كبحريا اعلحي كان الل إحن سبحيل
59 Ahmad Muhammad Jamal, Problematika Muslimah di Era
Globalisasi, (Solo: CV. Pustaka Mantiq, 1995), h. 287. 60 Muhammad Ali Al-Hasyimy, Jati Diri Wanita Muslimah,
(Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 1997), h. 151.
54
“Sebab itu maka wanita yang saleh, ialah yang taat kepada
Allah lagi memelihara diriketika suaminya tidak ada, oleh
karena Allah telah memelihara (mereka).” (QS. An Nisa: 34).
Nasihat yang selanjutnya dikatakan bahwa istri harus
segera meminta maaf pada suami bila melakukan kesalahan.61
Dalam firman Allah dijelaskan,
وسارحعواإحل مغفحرة محن ربحكم وجنة عرضها السموت والرض أعحدت اءح والكظحمحني الغيظ والعافحني لحلمتقحني الذحين ينفحقون فح السراءح والضر
نحني عنح الناسح والل ه يحب المحسح“Dan bersegeralah kamu kepada ampunan dari Tuhanmu dan
kepada surga yang luasnya seluas langit dan bumi yang
disediakan untuk orang-orang yang bertakwa; (yaitu) orang-
orang yang menafkahkan (hartanya), baik di waktu lapang
maupun sempit, dan orang-orang yang menahan amarahnya
dan memaafkan (kesalahan) orang. Allah menyukai orang-
orang yang berbuat kebaikan” (QS. Ali Imran: 133-134).
Nasihat selanjutnya dijelaskan bahwa istri dilarang
bepergian tanpa pamit atau tanpa izin suami. Istri harus
meminta izin pada suami ketika akan berpergian kemanapun.
Sebaik-baik wanita ialah tinggal di rumah, wanita yang keluar
rumah akan disesatkan oleh iblis. Istri harus mendapatkan izin
suami ketika akan keluar rumah, tanpa izin suami istri dilarang
untuk berpergian.
Rasulullah SAW bersabda:
61 Cahyadi Takariawan, Maafkan Pasangan Anda Walau Ia Tidak
Meminta, (Yogyakarta: Kompasiana, 2017).
https://www.kompasiana.com/pakcah
55
د إحال بححذنحهح، ب يتحهح وهو شاهح د إحال بححذنحهح، وال تذن فح ال تصمح المرأة وب علها شاهح
فإحن نحصف أجرحهح له وما أن فقت محن كسبحهح محن غريح أمرحهح
“Tidak boleh seorang wanita puasa (sunnat) sedangkan
suaminya ada (tidak safar) kecuali dengan izinnya. Tidak boleh
ia mengizinkan seseorang memasuki rumahnya kecuali dengan
izinnya dan apabila ia menginfakkan harta dari usaha
suaminya tanpa perintahnya, maka separuh ganjarannya
adalah untuk suaminya.” (HR. Bukhari Muslim).
Nasihat selanjutnya ialah kala suami sedang marah maka
sang istri harus meredam kemarahannya, jangan ikut untuk
marah. Dalam Islam, diajarkan bahwa wanita muslimah yang
paham akan ajaran Islam tidak boleh lupa bahwa diantara
amalnya yang paling baik ialah menyenangkan suami dan
menyejukkan hatinya. Wanita muslimah ialah perhiasan dunia
yang paling baik, seperti dikatakan dalam hadist yaitu
ة ن يا المرأة الصالح ن يا متاع وخري متاعح الد الد
“Dunia itu perhiasan dan sebaik-baik perhiasan ialah wanita
sholihah.” (HR. Muslim, Nasai, Ibn Majah dan Ahmad)
Selanjutnya ialah istri dilarang untuk menceritakan
kejelekan suami, istri yang solihah tidak akan membuka atau
menyebarkan rahasia kepada seorang pun tentang hubungannya
dengan suami. Dalam naskah Sunda ini juga menjelaskan akan
keburukan seorang istri Nabi yaitu istri Nabi Luth terhadap
suaminya. Ia merupakan istri yang kufur yang tidak mentaati
suaminya, dan menyebarkan rahasia kepada kaum Nabi Luth.
Wanita yang solihah tidak akan membuang waktunya untuk
membual dan berbicara sia-sia di lingkungan sekitarnya. Istri
Nabi Luth yang kufur itu juga dijelaskan dalam Al-Quran,
ناه وأهله إحال امرأته كانت محن الغابحرحين فأني
“Kemudian Kami selamatkan dia (Nabi Luth) dan pengikutnya,
kecuali istrinya. Dia (istrinya) termasuk orang-orang yang
tertinggal.” (QS.Al-A’Araf: 83)
Nasihat selanjutnya ialah jangan mendahului makan,
istri solihah ialah istri yang mengurus makanan bagi suami juga
anak-anaknya. Terlebih istri solihah yang dapat memasak
dengan baik itu bisa menyenangkan hati suami. Dalam waktu
makan pun harus dijaga, jangan sampai istri mendahului suami
ketika suami sedang berada di rumah. Umamah istri dari Auf
bin Muhalim Asy-Syaibani ketika menikahkan anaknya Umu
Iyas dengan Haris bin Amer Al-Kindi berpesan pada anaknya,
disalah satu pesan tersebut dijelaskan bahwa sang istri harus
memperhatikan jam makan suami, karena perihnya perut lapar
akan menyulut api nafsu yang nantinya akan berujung pada
pertengkaran.
Nasihat-nasihat selankutkan digambarkan bahwa ketika
suami mengajak istri untuk tidur bersama maka sang istri tak
boleh menolaknya apalagi menunda-nunda. Ketika tidur juga
disarankan agar tidak banyak bercengkrama, karena apa, karena
itu hanya akan menyulut emosi suami. Bila suami lelah setelah
bekerja tentu dia membutuhkan istirahat ketika sampai rumah.
Nah bila akan tidur, istri dilarang untuk banyak berbicara. Bila
suami memanggil istrinya untuk tidur, maka sang istri harus
mematuhinya. Dalam hadist dikatakan bahwa
ي بحيدحهح ما محن رجل يدعو امرأ ها ف تأب عليهح إحال كان والذحي ن فسح ته إحل فحراشح
ها ها حت ي رضى عن طا علي الذحي فح السماءح ساخح
“Demi Dzat yang jiwaku berada di tangan-Nya, tidaklah
seorang suami memanggil istrinya ke tempat tidurnya lalu si
istri menolak ajakan suaminya melainkan yang di langit
(penduduk langit) murka pada istri tersebut sampai suaminya
ridha kepadanya.” (HR. Muslim).
Menyambut suami dengan mesra dan gembira adalah
nasihat selanjutnya, salah satu sifat istri solihah yang bijak
adalah selalu bermuka cerah dan manis. Ketika suami pulang
dengan lelah sehabis bekerja, istri yang solihah akan
menyambutnya dengan wajah yang ceria juga senyum yang
merekah. Hal ini akan membuat keletihan juga beban pikiran
suami lenyap seketika. Sifat yang lainnya ialah mengurus
makanan bagi suami, makanan yang lezat akan membuat suami
senang. Suami yang bahagia akan tindak-tanduk sang istri akan
menghantarkan sang istri pada gerbang Surga yang penuh
dengan kenikmatan.
Kepatuhan istri selanjutnya ialah memuliakan tamu,
dalam naskah Sunda ini dikatakan bahwa ketika suami istri
sedang bertengkar lalu datanglah seorang tamu yang berkunjung
ke rumah. Maka pertengkaran itu harus segera dihilangkan lalu
muliakanlah tamu sesuai dengan ajaran Islam. Dalam firman
Allah disebutkan,
ئا وال تشرحكوا بحهح شي لوالحدينح واعبدوا الل والي تامى القرب وبحذحي إححسان وبح
بح النبح والارح القرب ذحي والارح والمساكحنيح لنبح والصاحح السبحيلح وابنح بح
فخورا متاال كان من يحب ال الل إحن ا ملكت أيانكم وم
“Sembahlah Allah dan janganlah kamu mempersekutukan-Nya
dengan sesuatu pun. Dan berbuat baiklah kepada kedua orang
tua, karib-kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin,
tetangga yang memiliki hubungan kerabat dan tetangga yang
bukan kerabat, teman sejawat, ibnu sabil dan hamba
sahayamu. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang
yang sombong dan membangga-banggakan diri” (QS. An Nisa:
36).
Dikatakan dalam naskah juga yang sama dengan ajaran
Islam bahwa dalam memuliakan tamu, sang tuan rumah harus
menyiapkan hidangan dengan sebaik-baiknya. Bila tak memiliki
uang untuk menyiapkan hidangan, maka dianjurkan untuk
hutang dulu.Bila manusia itu beriman kepada Allah juga hari
akhir maka muliakanlah tamu dengan sebaik-baiknya. Rasa
malu (al-istihya) merupakan salah satu unsur utama dari
kecantikan dan keindahan, baik bagi laki-laki maupun
perempuan. Hanya rasa malu ini agaknya lebih diperlukan
dalam pribadi seorang perempuan.62
62 Abd al-Qadir Manshur, Buku Pintar Fikih Wanita, (Jakarta:
Zaman, 2009), h. 222.
Nasihat selanjutnya ialah wanita muslimah harus
memiliki sifat malu. Malu disini yaitu suatu akhlak luhur yang
mencegah pemiliknya melakukan perbuatan yang buruk. Wanita
muslimah yang memiliki sifat malu akan membawa kebaikan
bagi pemiliknya maupun pada orang lain.Dalam Islam, malu
adalah salah satu cabang iman. Malu disini bukanlah malu pada
sesama namun malu yang utama ialah pada Allah SWT. Ada
hadist yang menjelaskan akan kebaikan memiliki sifat malu
ialah,
ي ر إحال بح ال حياء ال يتح“Malu itu tidak datang kecuali membawa kebaikan”
(HR.Mutafaqun Alaih).
ال حياء خري كله
Atau beliau bersabda: Malu itu adalah kebaikan seluruhnya”.
(HR. Muslim).
Nasihat terakhir yang tercantum dalam naskah wawacan
PPkC ialah istri harus memelihara kesegaran tubuhnya. Selalu
mandi juga memakai wangi-wangian akan membuat suami
menjadi senang. Rasulullah pun mengajarkan kepada ummatnya
agar selalu bersih badan. Hadist beliau yang menganjurkan
mandi dan memakai wangi-wangian terutama di hari jum’at
yaitu,
م ي وما عةح أي ل فح كلح سب للحح ت عال على كلح مسلحم حق أن ي غتسح
“Hak Allah yang wajib ditunaikan oleh setiap muslim adalah ia
mandi dalam satu hari dalam sepekan dari hari-hari yang ada.”
(HR. Bukhari dan Muslim).
“Kebersihan merupakan salah satu sifat manusia yang
paling lazim, khususnya wanita. Juga sebagai indikasi yang
menunjukkan kepribadiannya yang normal, cerdas dan dicintai.
Kebersihan itu tidak hanya menjadikannya dekat dengan
suaminya saja, tetapi juga pada setiap wanita yang dikenalnya
dan juga muhrimnya.”63
Kebersihan ialah sifat manusia yang paling lazim
terutama bagi wanita. Kebersihan menunjukkan kepribadian
yang disenangi bagi kaum wanita. Bersih dan rapi tidak hanya
menarik bagi suami namun juga bagi wanita-wanita lainnya.
Rasulullah SAW tidak menyenangi orang yang berpakaian
kotor nan lusuh. Sikap beliau ini menunjukkan bahwa seorang
muslim harus bersih, segar dan rapi dalam penampilan.
Hidup rukun dalam rumah tangga memang menjadi
dambaan setiap orang. Terlebih dalam Islam telah dijelaskan
bahwa menikah dapat menjauhkan dari fitnah. Pernikahan
dalam Islam merupakan ikatan yang diberkahi antara seorang
laki-laki dan seorang perempuan yang akan menempuh
kehidupan dengan saling mencintai dan tolong menolong.
63 Muhammad Ali Al-Hasyimy, Jati Diri Wanita Muslimah,
(Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 1997), h. 104.
C. Kontribusi Naskah Wawacan PPkC Dalam Kehidupan
Masyarakat Sunda
Budaya dan masyarakat Sunda khususnya di Banten
pernah hancur karena serangan yang terus menerus dari
kolonialisme Belanda dan fasisme Jepang. Kyai dan ulama
beserta rakyat bahu-membahu melakukan unjuk rasa dalam
bentuk perlawanan walaupun dalam skala kecil, terbatas,
berjangka pendek dan mudah di eliminir. Namun, fakta penting
dalam konteks ini ialah kharisma kyai dan pemimpin spiritual
Islam di Banten yang masih bertahan. Kharisma kyai dapata
dianggap sebagai faktor utama dalam menggerakkan sejarah di
Banten. Mesin sejarah yang dibawa oleh mereka sejak proses
Islamisasi terus berlangsung hingga masa berkembangnya
peradaban Islam masa kesultanan yang dapat dilihat sebagai
puncak kejayaan Islam di Banten. Fenomena kejayaan Islam
menurut Edi Sedyawati ditandai dengan pembinaan hubungan
politik-regional, pemantapan hubungan perdagangan,
tumbuhnya arsitektur keraton dan masjid-masjid besar,
penulisan karya-karya sastra dan kitab-kitab keIslaman.64
Naskah-naskah klasik hasil karya dari para cendekiawan
muslim yang berisikan ilmu-ilmu pengetahuan, ilmu-ilmu
keagamaan dan pengetahuan umum berkembang seiring dengan
pertumbuhan Islam di Nusantara. Naskah Sunda wawacan ini
memiliki pengaruh yang sangat besar dalam masyarakat Sunda.
Wawacan berpengaruh dalam menyebarkan ajaran Islam di
64 Hasan Muarif Ambary, Menemukan Peradaban Arkeologi dan
Islam di Indonesia, (Jakarta: Pusat Penelitian Arkeologi Nasional, 1998), h.
212-214.
Tanah Sunda, dengan tradisi Beluk yang terus dilestarikan
hingga saat ini, wawacan berisikan ajaran-ajaran dan nasihat-
nasihat yang ditujukan pada masyarakat Sunda setelah Islam
datang dan menyebar di kawasan ini.
“Pada akhir abad ke-19 hingga awal abad ke-20
wawacan dianggap sebagai puncak cita-cita kesusastraan Sunda
dan dianggap sebagai syarat mutlak untuk keindahan suatu
karya sastra yang digemari oleh masyarakat Sunda, sehingga
bermunculan penulis-penulis wawacan, baik dari kalangan
pamongpraja maupun dari kalangan pesantren.”
Wawacan yang berkembang setelah Islam datang ke
Nusantara dan juga Islam yang masuk ke Sunda melalui para
pendakwah dari luar Sunda salah satunya ketika pada kuartal
pertama abad ke-17 Mataram mulai menguasai wilayah
Priangan. Bahasa Jawa yang dibawa oleh Mataram ke Priangan
dan dipakai sebagai bahasa dinas dan pemerintahan dan juga
berperan sebagai alat komunikasi Mataram dan Priangan.
Setelah itu, masuk pula hasil sastra ke dalam lingkungan
kabupaten dengan kelas menak sebagai peminatnya. Penyebaran
Islam di pedalaman Jawa Barat juga menjadi pintu masuk karya
sastra berbentuk wawacan ini ke lingkungan pesantren dengan
para ulama Jawa atau Cirebon sebagai perantaranya. Bukan hal
yang mustahil penyebaran tembang macapat melalui para ulama
Islam bila dihubungkan dengan tradisi sejarah Jawa pada
periode Islam, dimana tembang macapat65 ialah salah satu
65 Tembang macapat merupakan salah satu warisan budaya Jawa
yang sangat terkenal.Macapat merupakan puisi tradisional dalam bahasa
diantara unsur-unsur kebudayaan Jawa yang digunakan sebagai
media penyebaran agama Islam. Dapat dilihat dari banyaknya
isi wawacan baik yang berbentuk naskah maupun dalam bentuk
cetak, berisi ajaran agama Islam dan kisah-kisah Islami, baik
saduran maupun asli. Penulisan wawacan di lingkungan
pesantren diperkirakan lebih banyak menggunakan aksara
pegon, salah satu alasannya karena penggunaan baca tulis Arab
lebih dominan dikalangan ini. Tulisan yang berisikan ajaran
agama islam seperti tentang fiqh, tauhid, rukun iman, riwayat
nabi dan sebagainya, bisa dipastikan berasal dari lingkungan
pesantren dan ditulis menggunakan aksara Arab dan Pegon.66
Naskah yang berkaitan dengan sejarah penyebaran
agama Islam pada umumnya dapat diamati dari berbagai naskah
yang dikelompokkan dalam bentuk wawacan, cariosan, babad
dan sebagainya. Salah satu contoh naskah yang telah dikaji
secara ilmiah dan berkaitan erat dengan para tokoh yang
menyebarkan Islam dan pendirian sebauh kerajaan yaitu Babad
Banten (Sejarah Banten) dan Carita Purwaka Caruban Nagari.
Dalam Babad Banten yang dikaji dalam bentuk disertasi oleh
Hoesein Djajadiningrat Critische Beschouwing van de Sedjarah
Banten yang pada tahun 1983 diterjemahkan dengan judul
Tinjauan Kritis Tentang Sejarah Banten. Djajadiningrat dalam
Jawa yang disusun dengan menggunakan aturan tertentu.Penulisan tembang
macapat memiliki aturan dalam jumlah baris, jumlah suku kata, ataupun
bunyi sajak akhir tiap baris yang disebut guru gatra, guru lagu, dan guru
wilangan. Zahra Haidar, Macapat Tembang Jawa, Indah dan Kaya Makna,
(Jakarta: Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa, 2018), h. 2. 66 Ruhaliah, Wawacan: Sebuah Genre Sastra Sunda, (Bandung:
Pustaka Jaya, 2018), h. 13-15.
naskah tersebut mengatakan bahwa banyak aspek yang
berkaitan dengan penyebaran Islam di daerah Banten, cikal
bakal tumbuhnya suatu kelompok masyarakat yang akan
membentuk kerajaan bercorak Islam dengan membangun
ibukota bernama Surosowan. Tokoh utama dalam naskah
tersebut ialah Sunan Gunung Jati dan Maulana Hasanuddin.
Kedatangan Islam merubah karya sastra yang awalnya bersifat
lisan menjadi sastra tulis. Sebenarnya sebelum Islam datang,
karya sastra telah berkembang di masyarakat Sunda, namun
masih dalam bentuk sastra tutur seperti sastra pantun. Islam lalu
memperkenalkan karya tutur menjadi karya tulis.67
Salah satu jenis naskah Sunda yang disebut wawacan
mempunyai peranan penting dalam berbagai aspek kehidupan
masyarakat. Karya sastra ini sering dibuat dalam bentuk
dangding (tembang). Perkembangan wawacan terbilang pesat
setelah diajarkan di sekolah-sekolah. Selain itu, wawacan juga
ditampilkan pada acara beluk, mamaca dan gaok, yang menjadi
media untuk dikenalnya teks wawacan di seluruh lapisan
masyarakat. Salah satu seni vokal masyarakat Sunda dalam
ialah seni beluk.
“Beluk adalah suatu jenis (genre) nyanyian yang
terdapat secara luas dalam wilayah budaya Sunda. Istilah lain
untuk beluk, terutama di wilayah bagian timur seperti
Majalengka, adalah gaok. Mungkin kedua istilah itu diambil
dari karakteristik teknik nyanyiannya, yang elak-aluk (berkelok-
67 Hasan Muarif Ambary, Menemukan Peradaban Arkeologi dan
Islam di Indonesia, (Jakarta: Pusat Penelitian Arkeologi Nasional, 1998), h.
220-225.
kelok), atau yang guak-gaok, gagaokan (berteriak, melengking-
lengking). Beluk membawakan suatu cerita, yang dibaca dari
suatu buku yang disebut wawacan (bacaan), yaitu cerita yang
ditulis dalam puisi tradisional berbentuk pupuh, seperti
misalnya pupuh Kinanti, Sinom, Asmarandana, Dangdanggula,
Maskumambang, Magatruh, dan lain-lain, yang dalam
vokabuler Sunda berjumlah 17 pupuh. Satu wawacan, atau satu
(episode) cerita yang berdiri sendiri secara utuh, mungkin
memakai seluruh 17 pupuh, atau mungkin pula hanya sebagian
saja umumnya memiliki belasan jenis pupuh. Ada 4 pupuh yang
selalu ada, yaitu Kinanti, Sinom, Asmarandana, dan
Dangdanggula, yang karena itu pula dalam dunia sastra disebut
“pupuh besar”, disingkat KSAD.”68
Beluk umumnya mengacu pada cerita keteladanan dan
sikap keagamaan yang tinggi dari si tokoh, wawacan disebutkan
sebagai perpaduan antara unsur budaya pra-Islam dengan unsur
Islam salah satu contoh wawacan ialah Wawacan Ogin, Samaun
dan Umar Maya. Bila diteliti secara mendalam bahwa
pembacaan wawacan dalam bentuk beluk menunjukkan bahwa
isi naskah merupakan ajaran tentang etika keagamaan dan
tuntutan budi pekerti luhur.69
Menurut informasi sejarah, seni pupuh digunakan oleh
kalangan elit Sunda. Pada zaman kolonial, seni pupuh
68http://www.disparbud.jabarprov.go.id/wisata/destdet.php?id=887
&lang=id 69 Hasan Muarif Ambary, Menemukan Peradaban Arkeologi dan
Islam di Indonesia, (Jakarta: Pusat Penelitian Arkeologi Nasional, 1998), h.
221-222.
digunakan sebagai alat untuk surat menyurat dan pidato kaum
menak (elit). Namun perkembangan zaman mengubah seni
pupuh menjadi salah satu kesenian tradisi Sunda, misalnya:
Cianjuran, Cigawiran, Ciawian, Gending Karesmen dan
Wawacan.70
Seperti dikatakan diatas bahwa seni beluk yang
dipertontonkan dan juga sebagai sarana ritual masyarakat Sunda
ditulis dalam puisi tradisional Sunda. Semuanya ada 17 jenis
pupuh, yang masing-masing pupuh menggambarkan tentang
jalan kehidupan manusia mulai sejak lahir sampai kembali pada
Sang Pemilik kehidupan. Gambaran yang dimaksud adalah:
1. Maskumambang, menggambarkan jabang bayi dalam
kandungan ibunya. Mas artinya belum ketahuan apakah dia
akan menjadi anak laki-laki atau perempuan. Sedangkan
Kumambang artinya hidup jabang bayi itu mengambang
dalam kandungan ibunya.
2. Mijil. Artinya bayi tadi sudah lahir. Sudah diketahui laki-
laki atau perempuan.
3. Kinanthi. Berasal dari kata Kanthi atau tuntun. Artinya
dituntun, supaya setiap anak manusia bisa berjalan
menempuh alam kehidupan di dunia.
4. Sinom. Artinya bekal untuk para remaja supaya menimba
ilmu sebanyak-banyaknya.
5. Asmarandana. Artinya rasa cinta terhadap seseorang.
70 Dede Burhanudin, Tembang dalam Tradisi Orang Sunda: Kajian
Naskah Guguritan Haji Hasan Mustapa, (Jurnal Lektur Keagamaan, Vol. 11,
No. 1, 2013), h. 222.
6. Gambuh. Merupakan terusan dari asmarandana. Berasal dari
kata Jumbuh, artinya jika dua orang (laki-laki dan
perempuan) sudah jumbuh atau cocok sebaiknya disatukan
dalam sebuah pernikahan.
7. Dangdanggula. Menggambarkan seseorang yang sedang
bahagia. Apa yang diinginkan bisa terlaksana. Punya
keluarga, anak dan harta yang cukup.
8. Durma. Artinya berderma. Ketika seseorang sudah memiliki
kehidupan yang berkecukupan, akan muncul dalam hatinya
untuk berbagi.
9. Pungkur. Artinya, menyingkir dari segala nafsu angkara
murka. Berusaha untuk menolong orang lain dan tidak lagi
memikirkan kepentingan pribadi.
10. Magatru. Artinya putus nyawa. Seseorang harus rela untuk
kembali pada sang pencipta.
11. Pucung. Artinya hidup kita akan berakhir dengan kain mori
atau pucung kemudian di kubur.
12. Wirangrong. Untuk menggambarkan orang yang sedang
mendapatkan kesialan atau mendapatkan malu.
13. Lamban, menggambarkan anak-anak yang sedang bermain
atau pembantu sedang bersenang-senang.
14. Gambuh, menggambarkan orang yang sedang bingung,
tidak jelas tujuan, dan maksud.
15. Balakbak, untuk menggambarkan orang yang sedang
bergembira dan bersenangsenang.
16. Ladrang, menggambarkan orang yang sedang bersenang-
senang seperti halnya pupuh Lambang.
17. Jurudemung, untuk menggambarkan yang sedang dalam
penyesalan, tetapi tidak kecil hati dan selalu optimis.71
“Kesenian Beluk ini muncul dan berkembang di
lingkungan masyarakat tradisional yang kebanyakan
penduduknya bermata pencaharian sebagai petani dan mayoritas
penduduknya beragama Islam. Pada awal tahun 1960-an, seni
Beluk ini mengalami perkembangannya, karena banyak ditemui
dalam acara “ngayunkeun” syukuran 40 hari setelah kelahiran
bayi. Seiring dengan perkembangan zaman jenis kesenian ini
mengalami pergeseran nilai yang semula hanya dipertunjukan
dalam acara “ngayunkeun” tetapi kini bisa dijumpai dalam
perayaan-perayaan besar seperti 17 Agustusan atau hari ulang
tahun desa, juga perayaan khitanan atau pernikahan. Kemudian
sekira tahun 1980-an kesenian Beluk ini mulai dipertunjukkan
dengan menggunakan waditra berupa kecapi.”72
Naskah wawacan PPkC yang berisikan nasihat bagi
kaum lelaki dan wanita dalam memilih jodoh yang baik, nasihat
yang ditujukan pada istri saat membina rumah tangga
dikategorikan sebagai teks kelompok pendidikan. Ajaran yang
disampaikan berhubungan langsung dengan didikan seorang
guru terhadap muridnya, dalam menyampaikan ajaran naskah
wawacan PPkC yang bersumber dari Sunan Solo, ia mendidik
masyarakat agar selektif dalam memilih jodoh dan membina
rumah tangga yang baik. Hal ini berkaitan erat dengan ajaran
71 Dian Hendrayana, Guguritan Sunda Dalam Gaya Tiga Penyair,
(Bandung: Jentera, 2018), h. 40. 72 Suwardi Alamsyah P, Kesenian Beluk di Desa Ciapus Kecamatan
Banjaran Kabupaten Bandung, (Bandung: Ejurnalpatanjala, 2013), h.5.
Islam yang dibawakan oleh para pendakwah kepada masyarakat
Sunda bahwasannya jodoh, wanita yang baik, dan membina
rumah tangga telah ada dan tercantum dalam Al-Quran dan
Hadist Nabi. Ajaran yang telah disebarkan ini tentunya menjadi
acuan bagi masyarakat Nusantara, khususnya di Jawa Barat agar
mengikuti apa yang telah di sabdakan dan diajarkan oleh
pendakwah.73
Tertera pada naskah wawacan PPkC bahwa naskah ini
ditembangkan dengan menggunakan empat pupuh. Namun
untuk nasihat yang menjelaskan untuk membina rumah tangga
secara baik dan memilikh jodoh yang baik pula. Pupuh
Asmarandana yang tercantum dalam transkrip naskah diatas
yaitu menggambarkan isi hati sang guru terhadap generasi
penerusnya, ia mengharapkan agar penerusnya dapat memiliki
kehidupan yang bahagia dalam berumah tangga. Selanjutnya,
Pupuh Kinanti yang menggambarkan keinginan suami terhadap
istri yang solehah dan lemah lembut. Naskah wawacan PPkC ini
berperan penting pada masa itu dalam meneruskan apa yang
disampaikan oleh sang sunan atau guru untuk hidup berumah
tangga dengan damai. Sang sunan menginginkan bagi siapa
saja, terlebih untuk orang Sunda bijak dalam memilih jodoh.
Meskipun kini ada kesetaraan gender di Indonesia,
namun tidak menutup celah bagi kaum wanita untuk patuh dan
taat terhadap suami. Kesetaraan gender tidak hanya terjadi di
73 Ruhaliah, Wawacan: Sebuah Genre Sastra Sunda, (Bandung:
Pustaka Jaya, 2018), h. 88.
Asia saja namun sudah merambat ke Indonesia.74 Kehidupan
rumah tangga yang dibina oleh dua indan yang berbeda akan
sangat berpengaruh bila berhubungan dengan kesetaraan
gender, bagi seorang istri yang memilih untuk berdiri sendiri
dan menolak bantuan dari sang suami, itu merupakan keputusan
yang sudah dibuat sebelum membina rumah tangga. Kesetaraan
gender menjadi isu hangat pada abad ini, namun bila melihat ke
sejarah lalu. Istri selalu berada di belakang suami untuk
meminta perlindungan.
Salah satu tokoh sastrawan Sunda yang terkenal ialah
Haji Hasan Mustapa. Menafsirkan bahwa seluruh ranah
kehidupan orang Sunda mengandung nilai-nilai Islam. Ajaran
dan hukum dalam masyarakat Sunda pun disosialisasikan
melalui beragam matra kehidupan, seperti seni dan budaya,
sebagaimana dapat dilihat pada lelakon pewayangan (wayang
golek), lagu-lagu, pantun dan banyolan-banyolan.75 Dalam
naskah PPkC ini juga mengandung unsur pendidikan Islam bagi
orang Sunda maupun luar Sunda yang dirangkum dalam satu
kesenian berbentuk seni beluk. Ketika berbicara bahwa naskah
wawacan PPkC ini berperan bagi kehidupan masyarakat Sunda,
tentu memiliki peran sebagai salah satu bentuk peninggalan
karya sastra yang mengandung ilmu dan ajaran dan dapat dikaji
74 Yekti Hesti Murthi, dkk, Mewujudkan Kesetaraan Gender,
(Jakarta: INFID, 2017), h. 7. 75 Agus Ahmad Safei, Kearifan Sunda, Kearifan Semesta;
Menelusuri Jejak Islam Dalam Khazanah Budaya Sunda, (Bandung: Jurnal
Ilmu Dakwah Vol. 5 No. 16, 2010), h. 39.
secara teliti sebagai khazanah keilmuan antara kehidupan
masyarakat yang beragama.
Sebenarnya dalam kehidupan masyarakat Sunda, agama
dan kehidupan sosial-budaya merupakan satu bagian yang
integral. Karena para wali dan alim ulama melakukan apa yang
dapat diterima oleh masyarakat Sunda. Lalu perkembangan dan
berkembangnya tradisi karya sastra tulis hingga terbukti saat ini
banyaknya naskah-naskah lama yang tersimpan. Lalu naskah
lama dan naskah klasik Sunda yang merupakan sumber sejarah
dan sumber informasi sosial-budaya sebagai cerminan masa
lampau kehidupan masyarakat Sunda.76
76 Hasan Muarif Ambary, Menemukan Peradaban Arkeologi dan
Islam di Indonesia, (Jakarta: Pusat Penelitian Arkeologi Nasional, 1998), h.
226.
72
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Penyebaran Islam ke tanah Sunda terjadi sekitar tahun 1525-
1619, dimana Sunan Gunung Jati di Cirebon dan Maulana
Hasanuddin yang beraliansi dengan Demak. Cirebon dan Banten
merupakan kota pesisir yang berubah menjadi pusat pemerintahan
dan kota pelabuhan terkenal dan banyak didatangi oleh pedagang-
pedagang dari seluruh mancanegara. Penempatan kota pesisir
sebagai pusat pemerintahan merupakan pilihan yang tepat karena
pada saat itu pelayaran dan perdagangan tengah berkembang. Sunan
Gunung Jati, Faletehan, dan Pangeran Hasanuddin adalah tokoh-
tokoh terkenal dari tanah Sunda. Ketiga tokoh ini yang berperan
banyak dalam menyebarkan Islam di Jawa Barat pada saat itu.
Naskah wawacan berkembang pada abad ke-16 hingga abad
ke-19, wawacan atau hikayat. Awal mula munculnya naskah
wawacan karena tradisi karya sastra masyarakat Sunda yang
awalnya dalam bentuk lisan atau tutur berubah menjadi karya sastra
tulis. Sumber dan informasi sejarah Sunda biasanya ditulis dalam
babad, wawacan atau hikayat. Salah satu sumber sejarah dalam
bentuk babad yang paling terkenal ialah Babad Banten dan Babad
Cirebon.
Naskah Sunda bergenre wawacan memiliki peranan di
kehidupan masyarakat Sunda, sebagai contohnya naskah wawacan
yang mengandung unsur sejarah ialah Babad Banten dan Babad
Cirebon, sedangkan wawacan yang mengandung unsur pendidikan
73
ialah naskah Ieu Wawacan Papatah Pranata ka Caroge. Naskah ini
berperan dalam kehidupan rumah tangga orang Sunda, isi dari
naskah tersebut memiliki arti yang dalam kehidupan masyarakat.
Naskah wawacan diperdengarkan dan dipertunjukan dalam sebuah
seni, yaitu seni beluk. Para ulama atau penulis naskah klasik Sunda
merangkumnya dalam sebuah cerita yang ditembangkan agar
diterima khususnya oleh masyarakat Sunda.
B. Saran
Wawacan adalah genre yang jarang didengar oleh generasi
sekarang karena pelestariannya semakin menurun. Generasi muda
tidak banyak belajar tradisi-tradisi Nusantara khususnya di wilayah
Sunda yang menjadi pembahasan dipenulisan ini. Tradisi yang telah
ada akan punah dan tidak terdengar lagi, bila masyarakatnya tidak
sadar betapa pentingnya menjaga pemberian leluhurnya.
Sepatutnya tradisi membaca wawacan digalakkan oleh
pemerintah dan diperkenalkan kepada generasi-generasi millenial
agar diturunkan kepada generasi selanjutnya.
74
DAFTAR PUSTAKA
Buku
Ahmad Darsa, Undang. Naskah-naskah Sunda (Sebuah Pemahaman
Berdasarkan Konsepsi Keislaman). Jatinangor: Fakultas Sastra
Universitas Padjadjaran, 1995.
Ali Al-Hasyimy, Muhammad. Jati Diri Wanita Muslimah. Jakarta:
Pustaka Al-Kautsar, 1997.
Ambary, Hasan Muarif. Menemukan Peradaban Arkeologi dan Islam
di Indonesia. Jakarta: Pusat Penelitian Arkeologi Nasional,
1998.
Ayatrohaedi. Jatiniskala: Kehidupan Kerohanian Masyarakat Sunda
Sebelum Islam. Jakarta: Proyek Pengkajian dan Pembinaan
Nilai-nilai Budaya Pusat, 1995.
Barried, B. Pengantar Teori Filologi. Yogyakarta: BPPF, 1994.
Braginksy, V.I. The System of Classical Malay Literature. Leiden:
KITLV Press, 1993.
Carbon, Pangeran Aria. Purwaka Caruban Nagari. Terj. P. S.
Sulendraningrat. Jakarta: Bhratara, 1972.
Cortesao, Armando. The Suma Oriental of Tome Pires; an Account of
The East from The Red Sea to Japan; Written in Malacca and in
India in 1512-1515. London: Hakluyt Society, 1944.
Chamber-Loir, Henri dan Oman Fathurahman. Khazanah Naskah:
Panduan Koleksi Naskah-Naskah Indonesia Sedunia (World
Guide to Indonesian Manuscript Collections). Jakarta: Yayasan
Obor Indonesia - EFEO, 1999.
Christomy, Tommy. A Preliminary Note on the Function of
Manuscripts in Pamijahan West Java. Jakarta: Masyarakat
75
Pernaskahan Nusantara atas bantuan Caltex Pacific Indonesia,
2000.
Djajadiningrat, Hoesein. Tinjauan Kritis Tentang Sejarah Banten.
Banten: Djambatan, 1983.
Ekadjati, Edi S. Babad Sunda: Pengertian, Eksistensi, Ruang Lingkup
Isi, dan Fungsinya. Bahan Ceramah pada Rotary Club Bandung,
1986.
____________. Ceritera Dipati Ukur Karya Sastra Sejarah Sunda.
Jakarta: Pustaka Jaya, 1982.
___________. Kebudayaan Sunda. Jakarta: Yayasan Pembangunan
Jawa Barat, 1991.
___________. Kebudayaan Sunda Jilid 1. Jakarta: Pustaka Jaya, 1995.
___________. Naskah Sunda: Inventarisasi dan Pencatatan. Bandung:
Universitas Padjadjaran bekerja sama dengan Toyota
Foundation, 1998.
___________. Naskah Sunda Lama. Jakarta: Pusat Pembinaan dan
Pengembangan Bahasa, 1980.
___________. “Naskah Sunda: Sumber Pengetahuan Budaya Sunda”
dalam Prosiding Konferensi Internasional Budaya Sunda, Jilid
I, (Bandung: Yayasan Kebudayaan Rancagé, 2006),
___________. “Penyebaran Agama Islam di Jawa Barat”, dalam
Teguh Asmar et al. Sejarah Jawa Barat; dari Masa Pra Sejarah
hingga Masa Penyebaran Agama Islam. Bandung: Proyek
Penunjang Peningkatan Kebudayaan Nasional Provinsi Jawa
Barat, 1975.
Haidar, Zahra. Macapat Tembang Jawa, Indah dan Kaya Makna.
Jakarta: Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa, 2018.
Hamid, Ismail. Kesusastraan Indonesia Lama Bercorak Islam. Jakarta:
Pustaka Al-Husna, 1989.
76
Jamal, Ahmad Muhammad. Problematika Muslimah di Era
Globalisasi. Solo: Pustaka Mantiq, 1995.
Koentjaraningrat. Manusia dan Kebudayaan di Indonesia. Jakarta:
Djambatan, 1971.
Kozok, Uli. Warisan Leluhur: Sastra Lama dan Aksara Batak. Jakarta:
Kepustakaan Populer Gramedia, 1999.
Manshur, Abd al-Qadir. Buku Pintar Fikih Wanita. Jakarta: Zaman,
2009.
Murthi, Yekti Hesti, dkk. Mewujudkan Kesetaraan Gender. Jakarta:
INFID, 2017.
Nurgiyantoro, Burhan. Teori Pengkajian Fiksi. Yogyakarta: Gajah
Mada Unversity Press, 1995.
Rahman, Ahmad. Tarekat di Bugis Makassar Abad ke-17 sampai Abad
ke-20. Jakarta: Rabbani Press, 2011.
Ricklefs, Mc. A History of Modern Indonesia. Penerjemah Dharmono
Hardjowidjono. Yogyakarta: Gajah Mada Univ Press, 2005.
Rosidi, Ajip. Kesusastraan Sunda Dewasa Ini. Jatiwangi: Cupumanik,
1966.
__________. Sastera dan Budaya Kedaerahan Dalam Keindonesiaan.
Jakarta: Dunia Pustaka Jaya, 1995.
Ruhaliah. Wawacan: Sebuah Genre Sastra Sunda. Bandung: Pustaka
Jaya, 2018.
Sabana, Setiawan dan Hawe Setiawan. Legenda Kertas: Menelusuri
Jalan Sebuah Peradaban. Bandung: Kiblat, 2009.
Tjandrasasmita, Uka. Arkeologi Islam Nusantara. Jakarta: Gramedia,
2009.
77
Artikel dan Jurnal
Alamsyah P, Suwardi. Kesenian Beluk di Desa Ciapus Kecamatan
Banjaran Kabupaten Bandung. Bandung: Ejurnalpatanjala,
(2013).
Burhanudin, Dede. Tembang dalam Tradisi Orang Sunda: Kajian
Naskah Guguritan Haji Hasan Mustapa. Jurnal Lektur
Keagamaan, Vol. 11, No. 1, (2013).
Ekadjati, Edi S. Khazanah Naskah Sunda Suatu Harta Terpendam
Terancam Punah?. Dimuat dalam Jurnal Sastra Tahun III No. 2,
1995.
Fitriani, Reli, dkk. Kontribusi Penelitian Filologi Untuk
Pengembangan Studi Sejarah. Bandung: Metasastra Jurnal
Penelitian Sastra, Vol. 11, No. 2 (2018).
Hendrayana, Dian. Guguritan Sunda Dalam Gaya Tiga Penyair.
Bandung: Jentera, (2018).
Muhsin Zakaria, Mumuh. “Sunda, Priangan dan Jawa Barat”.
Disampaikan dalam Diskusi Hari Jadi Jawa Barat: Harian
Umum Pikiran Rakyat dan Dinas Pariwisata dan Kebudayaan
Jawa Barat, (2009).
Needham, Josep and Tsien \tsuen-Hsuin. Science and Civilization in
China, Chemistry and Chemical Technology, Part 1, Paper and
Printing, Vol. 5. Cambridge: Cambridge University Press, 1985.
Safei, Agus Ahmad. Kearifan Sunda, Kearifan Semesta; Menelusuri
Jejak Islam Dalam Khazanah Budaya Sunda. Bandung: Jurnal
Ilmu Dakwah Vol. 5 No. 16, (2010).
Skripsi dan Tesis
Ashly N. Maryono, Asep. “Etika Murid dan Guru Dalam Naskah
Sewaka Darma; Peti Tiga Ciburuy Garut”. Skripsi, Fakultas
78
Ushuludin, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah,
Jakarta. 2018.
Nurhidayat, Kuswan. “Karakteristik Wanoja Sunda Dina Naskah
Wawacan “Pranata Istri ka Caroge”. Tesis, Program
Pascasarjana Universitas Pendidikan Indonesia, Bandung. 2016.
Website
Ayu Wirayati, Made. Konservasi Manuskrip Lontar. Perpusnas.go.id.
http://old.perpusnas.go.id/Attachment/MajalahOnline/Made_Ay
u_Wirayati_Konservasi_manuskrip_Lontar.pdf.
http://www.disparbud.jabarprov.go.id/wisata/destdet.php?id=887&lang
https://opac.perpusnas.go.id/DetailOpacBlank_v2.aspx?id=230851
Pemerintah Provinsi Jawa Barat, Sejarah Jawa Barat. 2018.
http://www.jabarprov.go.id/infografis/#1#sejarah-jabar.
Takariawan, Cahyadi. Maafkan Pasangan Anda Walau Ia Tidak
Meminta. Yogyakarta: Kompasiana. 2017. Juga dapat dilihat
dan diunduh pada https://www.kompasiana.com/pakcah
Yulianti Suhayat, Putri. Pupuh. 2018.
https://budayaindonesia.org/Pupuh
LAMPIRAN