perang kesabaran di afghanistan · berlangsung, kapan akan berakhir, bagaimana garis waktunya,...
TRANSCRIPT
K.�MUSTAROMK.�MUSTAROM
PERANG�KESABARAN�DI�AFGHANISTAN
KEMENANGAN�IMARAH�ISLAM�AFGHANISTAN�ATAS�AMERIKA
K. Mustarom
Laporan Edisi 2 / Februari 2019
ABOUT US
Laporan ini merupakan sebuah publikasi dari Lembaga Kajian Syamina (LKS). LKS merupakan sebuah lembaga kajian independen yang bekerja dalam rangka membantu masyarakat untuk mencegah segala bentuk kezaliman. Publikasi ini didesain untuk dibaca oleh pengambil kebijakan dan dapat diakses oleh semua elemen masyarakat. Laporan yang terbit sejak tahun 2013 ini merupakan salah satu dari sekian banyak media yang mengajak segenap elemen umat untuk bekerja mencegah kezaliman. Media ini berusaha untuk menjadi corong kebenaran yang ditujukan kepada segenap lapisan dan tokoh masyarakat agar sadar realitas dan peduli terhadap hajat akan keadilan. Isinya mengemukakan gagasan ilmiah dan menitikberatkan pada metode analisis dengan uraian yang lugas dan tujuan yang legal. Pandangan yang tertuang dalam laporan ini merupakan pendapat yang diekspresikan oleh masing-masing penulis.
Untuk komentar atau pertanyaan tentang publikasi kami,
kirimkan e-mail ke:
Seluruh laporan kami bisa didownload di website:
www.syamina.org
SYAMINA
PERANG KESABARAN DI AFGHANISTANKemenangan Imarah Islam Afghanistan atas Amerika
SYAMINA Edisi 2 / Februari 2019
3
DAFTAR ISI
DAFTAR ISI — 3
EXECUTIVE SUMMARY — 4
Janji Allah atau Janji Amerika? — 6
Jalan Buntu Amerika di Afghanistan — 8
Kekalahan Amerika dalam Perang Propaganda — 14
Biaya Mahal Perang Afghanistan — 15
Perang Kesabaran — 18
Kesimpulan — 20
SYAMINAEdisi 2 / Februari 2019
4
Kata-kata di atas terus menghantui Amerika. Dan kata-kata tersebut sangat
mewakili bagaimana Amerika dan Taliban menyikapi perang di Afghanistan
saat ini. Para pejuang Taliban sangat yakin bahwa Allah bersama mereka.
Mereka menjalani perjuangan dengan penuh kesabaran. Waktu bersama mereka,
detail-detail yang lain pun seolah tidak lagi relevan: sudah berapa lama perang
berlangsung, kapan akan berakhir, bagaimana garis waktunya, beban ekonomi,
keuangan, dan politik yang sehari-hari terus menguras tenaga dan pikiran pembuat
kebijakan Amerika. Para pejuang Taliban tidak terlalu tertarik dengan angka dan
statistik. Mereka hanya fokus pada kemenangan yang mereka yakini akan mereka
capai.
Taliban yakin, bahwa Amerika lah yang pertama kali akan keluar dari peperangan.
“Ketika pasukan Amerika datang ke sini, mereka mulai menyalakan stopwatch.
Menghitung setiap detik, menit, dan jam hingga mereka pulang kembali ke rumah,”
tutur mantan menteri Imarah Islam Afghanistan.
EXECUTIVE SUMMARY
“Kalian memang punya jam tangan, tapi kami punya waktu. Batere jam kalian akan habis, namun waktu kami dalam perjuangan
ini tidak akan pernah berakhir. Dan kami akan menang.”
—Mujahid Rahman, Pejuang Imarah Afghanistan—
SYAMINA Edisi 2 / Februari 2019
5
Tidak seperti tentara Amerika, Taliban muda memiliki tidak terlalu rindu
dengan kenyamanan hidup. "Pejuang muda kami memiliki kehidupan yang ideal
hanya dengan sepeda motor, AK-47, RPG, rambut panjang, dan tujuan suci untuk
diperjuangkan," katanya. "Mereka tidak memikirkan waktu dan konsekuensi, hanya
perjuangan tanpa akhir untuk meraih kemenangan."
Tujuh belas tahun sejak perang dideklarasikan, Amerika semakin kesulitan untuk
menjalani perang di Afghanistan. Sumpah Bush untuk menumpas Taliban dan Al-
Qaeda, misi utama saat mendeklarasikan Perang Global Melawan Teror, semakin
jauh dari kenyataan. Hampir semua taktik dan strategi sudah pernah dicoba, mulai
dari serangan masif bergelombang dengan ratusan ribu pasukan sekutu, hingga
pendekatan lunak nation building. Dana yang sudah dikeluarkan juga tidak sedikit,
hingga triliunan dollar. Belum lagi biaya psikologis dan beban para veteran.
Harga dari invasi dan penjajahan tersebut adalah 50 jurnalis terbunuh, 400
pekerja kemanusiaan terbunuh, 38.000 warga sipil Afghanistan terbunuh, 59.000
pasukan Afghanistan terbunuh, 4.000 pasukan bayaran Amerika terbunuh, 2.400
pasukan Amerika tewas, dan 20.000 pasukan Amerika terluka. Untuk inikah Amerika
berperang?
Triliunan dollar pajak rakyat Amerika dihabiskan untuk mengebom, merampas,
dan menyiksa rakyat Afghanistan. Triliunan dollar lainnya harus dikeluarkan untuk
merawat para vetaran yang terluka.
Namun, para pakar di Amerika sendiri merasa mereka sedang menuju kekalahan,
atau paling tidak masih sangat kesulitan untuk menang, melawan pejuang Imarah
Islam Afghanistan. Dengan biaya yang begitu besar, baik dari segi ekonomi,
psikologis, hingga jiwa manusia, mereka belum juga mampu membawa hasil yang
diharapkan. Dalam perang generasi keempat, tidak menangnya pasukan yang jauh
lebih kuat adalah sebuah kekalahan.
Tak hanya itu, Afghanistan juga menunjukkan bagaimana Amerika kehilangan
posisi moralnya di hadapan dunia. Anda tidak akan bisa menampilkan diri sebagai
bangsa yang beradab disaat Anda menginvasi negara miskin, menculik rakyatnya,
menyiksanya dalam sebuah kamp kematian, serta memanjakan bandit-bandit lokal.
Kini, mereka harus memelas. Memohon pada Imarah Islam Afghanistan untuk
bernegosiasi. Satu hal yang tidak pernah terbersit di benak Amerika Serikat saat
mengawali serangan ke Afghanistan. Afghanistan, bumi yang selama ini menjadi
kuburan para imperium, perlahan mengancam nasib Amerika. Kekhawatiran ini
diungkapkan oleh mantan pejabat militer Amerika, Letkol Scott Mann, “Jika kita
tidak membuat perubahan signifikan dari pendekatan yang dilakukan selama ini,
Amerika kan menjadi batu nisan berikutnya dari kuburan imperium di Afghanistan.”
Jadi, mengapa Amerika kalah di Afghanistan? Menurut Ted Ral, terlalu gampang
menjawabnya: Afghanistan adalah kuburan imperium. Kekalahan Amerika sudah
terjadi bahkan sebelum perang dimulai.
SYAMINAEdisi 2 / Februari 2019
6
PERANG KESABARAN DI AFGHANISTANKemenangan Imarah Islam Afghanistan atas Amerika
Janji Allah atau Janji Amerika?
“Allah menjanjikan kemenangan kepada kami, sedang Amerika menjanjikan
kekalahan kami. Kita akan lihat, janji yang mana dari keduanya yang akan
terpenuhi.”
—Mullah Muhammad Umar—
Sautu hari, di bulan september 2001, Mullah Muhammad Umar diwawancarai
oleh Voice of America. Dalam wawancara tersebut, si jurnalis memberi tahu bahwa
Amerika sudah mendeklarasikan perang melawan terorisme dan akan menyerang
Afghanistan. Mendengar pertanyaan tersebut, ia menjawab,
Saya mempertimbangkan dua janji. Yang satu adalah janji Allah, yang lain
adalah janji Bush. Janji Allah adalah bahwa tanah saya sangat luas. Jika kita
memulai perjalanan di jalan Allah, kita dapat tinggal di mana saja di bumi ini dan
akan dilindungi ... Janji Bush adalah bahwa tidak ada tempat di bumi ini di mana
kita dapat bersembunyi [dari Amerika]. Kita akan melihat, mana dari kedua janji
yang akan terpenuhi.
VOA: Tapi bukankah tidakkah khawatir dengan nasib rakyat Anda, diri Anda
sendiri, Taliban, negara Anda?
SYAMINA Edisi 2 / Februari 2019
7
Mullah Umar: Allah Yang Mahakuasa ... membantu orang-orang beriman dan
Muslim. Allah berkata Dia tidak akan pernah ridla dengan orang-orang kafir. Dalam hal
urusan duniawi, Amerika sangat kuat. Namun, meski mereka dua kali lebih kuat atau
dua kali lipat dari itu, semua itu tidak akan cukup kuat untuk mengalahkan kami. Kami
yakin bahwa tidak ada yang dapat membahayakan kami jika Allah menyertai kami.
VOA: Anda memberi tahu saya bahwa Anda tidak khawatir, tetapi orang Afghanistan
di seluruh dunia khawatir.
Mullah Umar: Kami juga prihatin. Masalah besar ada di depan. Tetapi kami
bergantung pada rahmat Allah. Pertimbangkan sudut pandang kami: jika kita
memberikan Usamah hari ini, Muslim yang sekarang memohon untuk melepaskannya
akan mencerca kami karena melepaskannya ... Semua orang takut pada Amerika dan
ingin menyenangkannya. Tetapi orang Amerika tidak akan dapat mencegah tindakan
seperti yang baru saja terjadi karena Amerika telah mengambil Islam sebagai sandera.
Jika Anda melihat negara-negara Islam, orang-orang putus asa. Mereka mengeluh
bahwa Islam hilang. Tetapi orang-orang tetap teguh dalam keyakinan Islam mereka.
Dalam rasa sakit dan frustrasi mereka, beberapa dari mereka melakukan tindakan
bunuh diri. Mereka merasa tidak ada ruginya.
VOA: Apa maksud Anda dengan mengatakan Amerika telah menyandera dunia
Islam?
Mullah Umar: Amerika mengendalikan pemerintah negara-negara Islam. Rakyat
meminta untuk mengikuti Islam, tetapi pemerintah tidak mendengarkan karena
mereka berada dalam cengkeraman Amerika Serikat. Jika seseorang mengikuti jalan
Islam, pemerintah menangkapnya, menyiksanya atau membunuhnya. Inilah yang
dilakukan Amerika. Jika [Amerika] berhenti mendukung pemerintah-pemerintah itu
dan membiarkan rakyat berurusan dengan mereka, maka hal-hal seperti itu tidak akan
terjadi. Amerika telah menciptakan kejahatan yang menyerangnya sendiri. Kejahatan
tidak akan hilang bahkan jika saya mati dan Usamah mati dan yang lain mati. AS harus
mundur dan meninjau kebijakannya. Ia harus berhenti berusaha untuk memaksakan
imperiumnya di seluruh dunia, terutama di negara-negara Islam.
VOA: Jadi Anda tidak akan menyerahkan Usamah bin Laden?
Mullah Umar: Tidak. Kita tidak bisa melakukan itu. Jika kita melakukannya, itu
berarti kami bukan Muslim ... bahwa Islam sudah selesai. Jika kami takut diserang,
kami bisa menyerahkannya pada kali terakhir kami diancam dan diserang. Jadi, suatu
saat, Amerika bisa memukul kami lagi, dan saat itu kami bahkan tidak punya teman.
VOA: Jika Anda ingin melawan Amerika dengan sekuat tenaga, bisakah Taliban
melakukan itu? Tidakkah Amerika akan mengalahkanmu dan tidakkah rakyatmu akan
semakin menderita?
Mullah Umar: Saya sangat yakin bahwa hasilnya bukan seperti itu. Harap perhatikan:
tidak ada lagi yang bisa kita lakukan selain bergantung pada Allah yang Maha Kuasa. Jika
seseorang melakukannya, maka ia yakin bahwa Yang Mahakuasa akan membantunya,
merahmatinya dan ia akan berhasil.
SYAMINAEdisi 2 / Februari 2019
8
Wawancara tersebut kini seolah menjadi “ramalan” yang menjadi kenyataan.
Sejak awal, Imarah Islam Afghanistan yakin bahwa mereka akan menang. Tujuh
belas tahun sejak perang dideklarasikan, Amerika semakin kesulitan untuk menjalani
perang di Afghanistan. Sumpah Bush untuk menumpas Taliban dan Al-Qaeda, misi
utama saat mendeklarasikan Perang Global Melawan Teror, semakin jauh dari
kenyataan. Amerika kalah, atau paling tidak masih sangat kesulitan untuk menang,
melawan pejuang Imarah Islam Afghanistan. Dengan biaya yang begitu besar, baik
dari segi ekonomi, psikologis, hingga jiwa manusia, mereka belum juga mampu
membawa hasil yang diharapkan. Dalam perang generasi keempat, tidak menangnya
pasukan yang jauh lebih kuat adalah sebuah kekalahan.
Kini, mereka harus memelas. Memohon pada Imarah Islam Afghanistan1 untuk
bernegosiasi. Satu hal yang tidak pernah terbersit di benak Amerika Serikat saat
mengawali serangan ke Afghanistan. Afghanistan, bumi yang selama ini menjadi
kuburan para imperium, perlahan mengancam nasib Amerika. Kekhawatiran ini
diungkapkan oleh mantan pejabat militer Amerika, Letkol Scott Mann, “Jika kita tidak
membuat perubahan signifikan dari pendekatan yang dilakukan selama ini, Amerika
kan menjadi batu nisan berikutnya dari kuburan imperium di Afghanistan.”2
Jalan Buntu Amerika di Afghanistan
“Jadi, mengapa Amerika kalah di Afghanistan? Terlalu gampang menjawabnya:
Afghanistan adalah kuburan bagi imperium.”
—Ted Ral, Japantimes—
Bicara Afghanistan, Amerika Serikat sudah mencoba segalanya untuk
memenangkan peperangan. Hasilnya adalah: Tidak ada yang berhasil, begitu
kesimpulan Bret Stephens dalam tulisannya di New York Times.3
Amerika telah mencoba "jejak kaki ringan." Sejak tahun 2001 hingga 2007, jumlah
pasukan AS bulanan tidak pernah melebihi 25.000.4
Hasilnya: Taliban terbentuk kembali, kepemimpinan mereka aman di Pakistan,
dan membuat terobosan ke lebih dari separuh Afghanistan.5
Amerika telah mencoba jejak besar. Barack Obama mencalonkan diri sebagai
presiden dengan menyebut Afghanistan sebagai "perang yang harus kita menangi."
1 Pihak Taliban dalam beberapa pernyataannya menyebut diri mereka sebagai Imarah Islam Afghanistan dalam rilis pernyataan maupun dalam forum-forum internasional. Dalam artikel ini, keduanya digunakan.
2 https://smallwarsjournal.com/jrnl/art/bypassing-the-graveyard-a-new-approach-to-stabilizing-afghanistan#_edn26
3 https://www.nytimes.com/2017/08/24/opinion/on-afghanistan-theres-no-way-out.html4 https://www.militarytimes.com/news/your-military/2016/07/06/a-timeline-of-u-s-troop-levels-in-
afghanistan-since-2001/5 https://www.theguardian.com/world/2007/nov/22/afghanistan.richardnortontaylor
SYAMINA Edisi 2 / Februari 2019
9
Setelah menjabat sebagai presiden, ia memerintahkan lonjakan jumlah tentara
hingga mencapai angka 100.000, bersama dengan puluhan ribu pasukan NATO.6
Hasilnya: Taliban sempat tersingkir dari banyak benteng mereka, yang diambil
alih di bawah kendali pemerintah Kabul. Tetapi, karena gelombang serangan itu
memiliki tenggat waktu yang telah ditentukan, Taliban tahu mereka bisa menunggu.
"NATO memiliki semua arloji, tetapi kami memiliki semua waktu," tutur salah satu
pejuang Taliban.
Amerika telah mencoba program pembangunan bangsa (nation building).
Setidaknya, hingga tahun 2014, Amerika Serikat telah menghabiskan dana $ 104
miliar untuk bantuan dan rekonstruksi Afghanistan, sebagian besar diantaranya
untuk keamanan. Hampir $ 30 miliar dialokasikan untuk "pemerintahan dan
pengembangan".7
Hasilnya: Pada 2015, tiga dari lima warga Afghanistan tetap buta huruf.8 Pasukan
keamanan Afghanistan kehilangan 4.000 anggota per bulan, sebagian besar karena
desersi.9 Negara ini berada di peringkat 169 dari 176 negara dalam Indeks Persepsi
Korupsi versi Transparency International.
Amerika sudah mencoba melakukan pembunuhan. Banyak sekali yang
sudah dibunuh oleh Amerika di Afghanistan. Sebanyak 42.000 pejuang Imarah
Islam Afghanistan dan gerilyawan lainnya tewas dan 19.000 lainnya cedera dalam
pertempuran sejak 2001.10 Amerika Serikat juga telah melakukan lebih dari 400
serangan pesawat tak berawak di Pakistan, bahkan membunuh Usamah bin Ladin.11
Tahun 2016, sebuah serangan drone diluncurkan untuk membunuh pemimpin
Imarah Islam Afghanistan, Mullah Akhtar Muhammad Mansour.
Hasilnya: Jumlah pejuang Imarah Islam Afghanistan pada tahun 2005 diperkirakan
antara 2.000 dan 10.000 pejuang.12 Dalam satu dekade berikutnya, jumlah itu telah
berkembang menjadi sekitar 60.000 pejuang.13
Amerika sudah mencoba taktik sticks and carrots terhadap Pakistan. Pada tahun
2011, Washington memberikan bantuan $ 3,5 miliar kepada Islamabad.
Hasilnya: pertengahan 2017, menteri pertahanan waktu itu, James Mattis,
menahan $ 50 juta bantuan lainnya karena Departemen Pertahanan tidak dapat
menyatakan bahwa Pakistan telah "mengambil tindakan yang cukup terhadap
jaringan Haqqani," meskipun Islamabad mengklaim sebaliknya.14 Pengaruh Amerika
6 http://www.nato.int/isaf/placemats_archive/2011-06-06-ISAF-Placemat.pdf7 http://watson.brown.edu/costsofwar/files/cow/imce/papers/2015/US%20Reconstruction%20Aid%20
for%20Afghanistan.pdf8 http://data.worldbank.org/indicator/SE.ADT.LITR.ZS?locations=AF9 https://www.stripes.com/news/middle-east/tide-of-desertions-among-highest-in-recent-history-strains-
afghan-forces-1.366071#.WZ3WtJOGNGN10 http://watson.brown.edu/costsofwar/files/cow/imce/papers/2015/War%20in%20Afghanistan%20and%20
Pakistan%20UPDATE_FINAL.pdf11 https://www.nytimes.com/2015/04/25/world/asia/cia-qaeda-drone-strikes-warren-weinstein-giovanni-lo-
porto-deaths.html?mcubz=3&_r=0&module=inline12 http://www.washingtonpost.com/wp-dyn/content/article/2005/06/21/AR2005062101728.html13 https://www.cfr.org/interactives/tal iban?cid=marketing_use-tal iban_infoguide-012115#!/
taliban?cid=marketing_use-taliban_infoguide-01211514 http://www.cnn.com/2017/07/21/politics/us-withhold-funds-pakistan-haqqani-taliban/index.html
SYAMINAEdisi 2 / Februari 2019
10
di Pakistan semakin menurun karena investasi Cina di negara itu melonjak, mencapai
$ 62 miliar di tahun 2017.
Amerika sudah mencoba upaya diplomasi. Membawa Imarah Islam Afghanistan
ke meja perundingan adalah salah satu ambisi utama John Kerry sebagai menteri
luar negeri waktu itu. Presiden Afghanistan Ashraf Ghani dan pendahulunya, Hamid
Karzai, keduanya menegaskan bahwa mereka ingin mengakomodasi Imarah Islam
Afghanistan.
Hasilnya: Imarah Islam Afghanistan meluncurkan serangan roket yang ditujukan
pada Kerry selama kunjungannya ke negara itu tahun 2016.15 Mereka bersikukuh
hanya akan berunding jika pasukan asing mau keluar dari Afghanistan.
Lalu, bagaimana dengan dua opsi lain yang "belum dicoba"? Serangan
bergelombang, dengan pasukan yang lebih besar dari apa yang sudah dilakukan
Obama tetapi tidak dibatasi oleh tenggat waktu atau aturan keterlibatan yang
membatasi; atau, sebagai alternatif, penarikan pasukan secara total?
Tapi pilihan itu juga sudah pernah dicoba sebelumnya. Pasukan Soviet di
Afghanistan pada 1980-an mempraktikkan pendekatan bumi hangus, termasuk
penggunaan senjata kimia. Mereka mencurahkan daya dan upaya selama satu dekade,
dan pada akhirnya kalah. Amerika juga pernah meninggalkan wilayah tersebut pada
tahun 1990-an. Kita tahu apa yang terjadi selanjutnya. Taliban merebut Kabul pada
tahun 1996; Usamah bin Laden kembali pada tahun yang sama. Pakistan dan India
menguji senjata nuklir dua tahun kemudian.
Kemudian datang 11 September 2001. Donald Trump mungkin berpikir dia
sedang mencoba sesuatu yang baru dengan kebijakan Afghanistannya. Tapi
sebenarnya bukan. Obama sudah membunuh banyak warga Afghanistan. George W.
Bush mengupayakan pendekatan "berbasis kondisi", tanpa tanggal target penarikan.
Keduanya sering bersikap tegas terhadap Pakistan. Keduanya melakukan tinjauan
kebijakan intensif. Trump juga mungkin berpikir dia akan "menang" di Afghanistan.
Tapi itu semua belum pernah terwujud, setidaknya hingga saat ini. Kesimpulannya,
menurut Stephens, tidak ada jalan keluar bagi Amerika Serikat di Afghanistan.
“Di Amerika, hampir semua orang ingin lepas tangan dari perang ini, terutama
di Pentagon dan Gedung Putih,” kata Anthony Cordesman, pakar keamanan
nasional Amerika yang cukup berpengaruh. “Mereka membiarkannya hilang dari
pandangan.”16
Seiring berlalunya waktu, sejarawan dan analis kebijakan luar negeri banyak yang
membandingkan Afghainstan dengan Vietnam. Benjamin Hopkins, profesor di bidang
internasional dan sejarah di Universitas George Washington, mengatakan bahwa
para pembuat kebijakan terus terbayang-bayang dengan kekalahan memalukan di
Vietnam saat mereka berusaha menyelesaikan konflik di Afghanistan.
Dalam konteks ini, bagi Hopkins, tidak mengherankan jika pemerintah AS tidak
terlalu terbuka tentang keadaan perang di Afghanistan. "Sejak awal pemerintahan
15 http://www.cnn.com/2016/04/10/politics/kerry-afghanistan-taliban-rockets/index.html16 https://www.businessinsider.sg/the-us-is-losing-in-afghanistan-but-the-trump-admin-wont-admit-it-2018-
9/?r=US&IR=T
SYAMINA Edisi 2 / Februari 2019
11
Obama, telah ada konsensus di antara pemerintah AS dan para politisi Amerika untuk
mengecilkan perang ini," kata Hopkins. "Kapan terakhir kali Afghanistan menjadi
headline? Padahal ia adalah perang terpanjang dan, dengan memperhitungkan
inflasi, salah satu perang paling mahal dalam sejarah Amerika. Dan kita sedang
menuju kekalahan, bahkan mungkin sudah kalah," tambah Hopkins.
Selain Vietnam, perang Afghanistan merepresentasikan kegagalan terbesar
dalam sejarah militer Amerika. Indikator paling signifikan bahwa perang Amerika di
Afghanistan berujung pada kegagalan adalah keinginan mereka untuk secara terbuka
bernegosiasi dengan musuhnya. Ingat, tujuan militer dari Operasi Kebebasan Abadi
(Operation Enduring Freedom) adalah untuk menghancurkan Taliban dan mencegah
Afghanistan sebagai tempat perlindungan teroris. Namun, kini Amerika justru
berusaha mengakhiri perang dengan bernegosiasi dengan Taliban. Ini, menurut
sejarawan Andrew J. Bacevich adalah pengakuan kegagalan secara de facto.
Perang Amerika di Afghanistan bermula dari sebuah ilusi: bahwa sudah menjadi
tugas Amerika untuk membebaskan dan mentransformasi negara tersebut. Namun,
seiring dengan waktu, perang Amerika di Afghanistan berakhir dengan rasa malu,
sebagaimana berakhirnya perang Vietnam.
Harga dari invasi dan penjajahan tersebut adalah 50 jurnalis terbunuh, 400
pekerja kemanusiaan terbunuh, 38.000 warga sipil Afghanistan terbunuh, 59.000
pasukan Afghanistan terbunuh, 4.000 pasukan bayaran Amerika terbunuh, 2.400
pasukan Amerika tewas, dan 20.000 pasukan Amerika terluka. Untuk inikah Amerika
berperang?
Triliunan dollar pajak rakyat Amerika dihabiskan untuk mengebom, merampas,
dan menyiksa rakyat Afghanistan. Triliunan dollar lainnya harus dikeluarkan untuk
merawat para vetaran yang terluka.
Tak hanya itu, Afghanistan juga menunjukkan bagaimana Amerika kehilangan
posisi moralnya di hadapan dunia. Anda tidak akan bisa menampilkan diri sebagai
bangsa yang beradab disaat Anda menginvasi negara miskin, menculik rakyatnya,
menyiksanya dalam sebuah kamp kematian, serta memanjakan bandit-bandit lokal.
Haroun Mir menyimpulkan bahwa "rakyat Afghanistan telah kehilangan
kepercayaan terhadap proses politik demokratis. Terlepas dari intimidasi Taliban,
mereka sudah memboikot pendaftaran pemilih yang sedang berlangsung di seluruh
negeri."17
Proses "demokratis" macam apa yang ingin dibangun Amerika di sana? Penipuan
menyebar luas dalam pemilihan presiden dan parlemen. “Semua orang curang di
TPS saya. Hanya 10 persen yang memilih, tetapi mereka mendaftarkan partisipasi
100 persen. Satu orang membawa lima buku surat suara, masing-masing berisi
100 suara, dan memasukkannya ke dalam kotak setelah pemilihan berakhir, ”kata
seorang pejabat pemilu Afghanistan pada 2009.18
17 http://www.atimes.com/what-has-gone-wrong-in-afghanistan/'18 https://www.theguardian.com/world/2009/sep/18/afghanistan-election-fraud-evidence
SYAMINAEdisi 2 / Februari 2019
12
Jadi, mengapa Amerika kalah di Afghanistan? Menurut Ted Ral, terlalu gampang
menjawabnya: Afghanistan adalah kuburan imperium. Kekalahan Amerika sudah
terjadi bahkan sebelum perang dimulai, tambah Ted Ral.19
Menduduki dan mengelola Afghanistan adalah tugas yang sangat sulit. Sangat
sedikit sekali imperium yang berhasil melakukannya.
Dalam tulisannya di the Atlantic, Peter Beinart menggambarkan perang
yang dipimpin AS di sana sebagai hal yang sia-sia: Taliban tidak mungkin untuk
menurunkan nilai tawar karena waktu berada di pihak mereka.20 Mereka hanya harus
menunggu sampai Amerika Serikat memutuskan untuk pergi. Amerika Serikat sudah
terlibat di Afghanistan selama hampir 17 tahun, menjadikannya sebagai konflik
terpanjang dalam sejarah Amerika (kecuali Vietnam, tergantung pada bagaimana
kita menafsirkan kronologi konflik tersebut). Meskipun telah menghabiskan lebih
banyak waktu untuk Afghanistan daripada untuk membangun kembali Eropa setelah
Perang Dunia II, tak banyak kemajuan yang telah dibuat.21
Afghanistan adalah negara yang terkenal sulit untuk ditaklukkan. Imperium
demi imperium, negara demi negara gagal menaklukkan apa yang sekarang menjadi
wilayah modern Afghanistan. Membuatnya dijuluki "Kuburan Imperium," meskipun
terkadang imperium-imperium tersebut memenangkan beberapa pertempuran awal
dan membuat terobosan ke wilayah tersebut. Jika Amerika Serikat dan sekutunya
memutuskan untuk meninggalkan Afghanistan, mereka hanya akan menjadi pengisi
barisan selanjutnya dalam rangkaian panjang negara yang pernah melakukannya.
Pertanyaannya, mengapa Afghanistan begitu sulit ditaklukkan oleh kekuatan
superpower para imperium?
Seperti yang dipelajari Inggris dalam perang pada tahun 1839-1842 di Afghanistan,
sering kali lebih mudah berbisnis dengan penguasa lokal yang mendapat dukungan
rakyat daripada mendukung pemimpin yang didukung oleh kekuatan asing; biaya
untuk menopang pemimpin semacam itu pada akhirnya sangat besar. Dalam
sejarah, imperium yang paling mendekati kemampuan untuk mengendalikan
Afghanistan adalah Kesultanan Mughal. Mereka mengadopsi pendekatan ringan.
Mereka melakukannya dengan mengendalikan wilayah tersebut secara longgar,
dengan membujuk berbagai suku, atau memberi mereka otonomi. Upaya untuk
melakukan kontrol terpusat, meskipun oleh pemerintah asli Afghanistan, sebagian
besar berujung pada kegagalan.
Pilalamari menyimpulkan ada beberapa faktor yang membuat Afghanistan
sangat sulit ditaklukkan.22
Pertama, karena Afghanistan terletak di jalur darat utama antara Iran, Asia
Tengah, dan India, mereka telah berkali-kali diserbu dan dihuni oleh banyak suku.
Banyak diantara mereka yang saling bermusuhan satu sama lain dan dengan pihak
luar.
19 https://www.japantimes.co.jp/opinion/2019/01/29/commentary/world-commentary/u-s-lost-afghanistan-war/
20 https://www.theatlantic.com/international/archive/2017/05/trump-afghanistan-surge/526161/21 https://thediplomat.com/2014/08/why-the-us-spent-more-on-afghanistan-than-on-the-marshall-plan/22 https://thediplomat.com/2017/06/why-is-afghanistan-the-graveyard-of-empires/
SYAMINA Edisi 2 / Februari 2019
13
Kedua, karena frekuensi invasi dan prevalensi kesukuan di wilayah tersebut,
situasinya mengarah ke situasi di mana hampir setiap desa atau rumah dibangun
seperti benteng.
Ketiga, medan di Afghanistan membuat penaklukan dan pemerintahan menjadi
sangat sulit. Ditambah lagi dengan kecenderungan kesukuannya. Afghanistan
didominasi oleh beberapa gunung tertinggi dan bergerigi di dunia.
Gambar 1. Rangkaian pegunungan Hindu Kush yang membentang dari Afghanistan
hingga bagian utara Pakistan
Sebagaimana pengalaman yang didapatkan oleh Inggris dan Rusia, mungkin
para penjajah bisa menguasai wilayah di Afghanistan untuk sementara waktu, dan
mengalahkan orang-orang Afghanistan secara militer dalam pertempuran terbuka,
namun hampir tidak mungkin untuk menguasai wilayah tersebut dalam waktu lama,
ketika mereka dipenuhi dengan gerilyawan, suku, dan benteng yang secara konstan
menekan kekuatan asing.
Orang-orang Afghanistan dapat terus berjuang seumur hidup mereka, sebuah
kemewahan yang tidak dimiliki pihak lain. Amerika Serikat harus belajar dari
sejarah Afghanistan, dan memahami bahwa meningkatkan eskalasi perang tidak
akan berdampak banyak pada hasilnya. Pillalamarri menyimpulkan, pendudukan
permanen akan berdampak sangat buruk bagi Amerika. Mahal dan sangat berdarah.
Satu-satunya cara yang tersisa, menurutnya, adalah dengan menerima Taliban,
dengan imbalan stabilitas dan janji untuk tidak menjadi tuan rumah bagi organisasi
teroris. Alternatifnya adalah perang yang tidak dapat dimenangkan dan tidak akan
pernah berakhir.23
23 idem
SYAMINAEdisi 2 / Februari 2019
14
Kekalahan Amerika dalam Perang Propaganda"Dalam sejarah, pemberontakan dimenangkan atau kalah dalam tiga tahun
pertama. Tiga tahun pertama itu justru adalah saat-saat terburuk pesan budaya
kita, karena kita sama sekali tidak memiliki pengetahuan budaya."
—Thomas Johnson, Taliban Narratives—
Perang 17 tahun Amerika di Afghanistan tidak akan pernah dimenangkan
oleh para tentara yang meledakkan segalanya, tetapi dengan memenangkan
pertempuran narasi, tulis Johnson, profesor di Naval Postgraduate School. Siapa pun
yang memiliki narasi terbaik akan menang. Kampanye operasi informasi yang efektif
dapat mendorong orang untuk menafsirkan suatu peristiwa dengan cara tertentu.
Taliban mampu menggunakan syair untuk meyakinkan masyarakat Afghanistan
bahwa AS dan sekutunya adalah para penjajah. Sebaliknya, Amerika tidak mampu
meyakinkan rakyat Afghanistan kenapa pasukan asing diperlukan di sana.
Narasi mereka sering berubah-ubah dan tidak sensitif dengan kultur masyarakat
Afghanistan, tulis Thomas Johnson dalam bukunya Taliban Narratives: The Use and
Power of Stories in the Afghanistan Conflict.
Pada tahun 2009, Johnson berbicara di depan pimpinan militer Amerika. Ia
meminta mereka menuliskan tiga tema yang bisa digunakan untuk meyakinkan
rakyat Afghanistan bahwa Amerika Serikat bukanlah bangsa penjajah. Hasilnya?
Satu ruangan terdiam. Dari situ Johnson menyimpulkan bahwa perang Afghanistan
sudah berakhir dan Amerika kalah. “Kita kalah dalam perang narasi di Afghanistan,
dan kita tidak bisa melakukan pemulihan.”24
Kampanye propaganda berteknologi tinggi yang digunakan oleh AS kalah dalam
perang demi hati dan pikiran melawan teknik-teknik Taliban yang lebih murah.
“Saya pikir Taliban mampu mengontrol situasi... Saya pikir mereka telah menang,”
sambung Johnson.25
Menurut Johnson, ada dua faktor utama yang menyebabkan kekalahan
propaganda Amerika.
Pertama, AS tidak cukup tahu tentang Afghanistan sebelum melakukan invasi.
AS hanya sedikit memiliki pakar tentang Afghanistan atau penutur bahasa lokal
pada tahun 2001 dan sangat bergantung pada orang-orang Afghanistan yang sudah
lama tidak berada di negara tersebut. "Dalam sejarah, pemberontakan dimenangkan
atau kalah dalam tiga tahun pertama," kata Johnson. "Tiga tahun pertama itu justru
adalah saat-saat terburuk pesan budaya kita, karena kita tidak memiliki pengetahuan
budaya."
Beberapa hari setelah 9/11, Johnson membantu merancang selebaran
propaganda yang menjelaskan kepada warga Afghanistan mengapa tentara Amerika
datang. Johnson, yang saat itu bekerja untuk Menteri Pertahanan, mengusulkan
desain yang menyoroti kekerasan pemerintahan Taliban. Kemudian dia melihat
produk akhir yang disampaikan oleh Pasukan Khusus Amerika: selebaran ditulis
24 https://www.wbur.org/onpoint/2018/02/02/afghanistan-war-recover25 idem
SYAMINA Edisi 2 / Februari 2019
15
dalam bahasa yang salah. Mereka menggunakan bahasa Dari, meskipun semua
orang di wilayah itu berbicara bahasa Pashto.
Di antara 80 juta selebaran yang dijatuhkan di Afghanistan, bendera Afghanistan
salah cetak, dengan memberinya garis-garis horizontal, bukannya garis-garis vertikal.
Selebaran juga mempertontonkan wanita dengan wajah terbuka atau kata-kata dari
Al-Quran yang ditempelkan pada seekor anjing, yang dianggap penistaan agama
bagi kalangan warga Afghanistan. Sementara itu, Taliban mengulangi beberapa
pesan sederhana, kata Johnson. Taliban menggunakan tema yang sama dengan
yang digunakan ketika negara itu memerangi Rusia. Tema tentang kemerdekaan
dari penjajah asing, pengabdian kepada Allah, negara dan keluarga dipercaya oleh
kebanyakan orang Afghanistan, apa pun pandangan mereka tentang Taliban dan
Amerika.
Johnson menyimpulkan Taliban banyak menggunakan puisi dan nasyid.
Afghanistan adalah negara yang mencintai puisi. Syair-syair Taliban—tentang
burung bulbul yang berduka atas hilangnya kebun mereka dan sejenisnya-- bergaung
di antara orang-orang Afghanistan pedesaan. Hasil yang sama gagal dicapai Amerika
dengan propagandanya.
Biaya Mahal Perang Afghanistan"Ia merasa Tuhan tidak akan memaafkannya... Ia merasa ia akan masuk neraka…
Dia tidak bisa hidup dengan itu lagi.”
—Ashley Hagemanns, Istri Veteran perang Amerika—
Perang Afghanistan bukanlah perang yang murah bagi Amerika. Harga yang
harus dibayar sangat mahal, baik dari sisi ekonomi maupun psikologis. Perang yang
dimulai pada 2001 tersebut telah menelan biaya sebesar $ 1,07 triliun, menurut
Kimberly Aamadeo dalam majalah the Balance. Dengan dalih perang melawan teror,
Amerika meluncurkan serangan ke Afghanistan pada tahun 2001.26
Perang panjang ini telah memasuki dekade kedua, dan Barat masih kesulitan
mencari solusi. Kekuatan militer mereka yang dianggap superpower menemui jalan
buntu.
Harga dari perang ini telah memengaruhi semua orang; baik dari Amerika sebagi
pihak yang melakukan penjajahan, maupun warga sipil tak berdosa di wilayah
AfPak. Di internet, jika kita sedikit lebih rajin melakukan penjelajahan, kita akan
mendengarkan suara rintihan dan jeritan keluarga yang terkena dampak. Kita juga
mungkin bisa melihat aliran air mata dan darah yang mengalir keluar dari mata
yang berlinangan air mata; Anda mungkin dapat merasakan kepedihan dan derita
keluarga yang hancur oleh drone, yang menghantui seluruh masyarakat FATA
dan Afghanistan, dengan dengungan suaranya yang telah menciptakan penyakit
psikologis insomnia, khususnya anak-anak dan perempuan.
26 https://www.thebalance.com/cost-of-afghanistan-war-timeline-economic-impact-4122493
SYAMINAEdisi 2 / Februari 2019
16
Jika kejadian yang sama terjadi di London dan Washington, mungkin hasilnya
serupa. Biarkan seseorang menerbangkan drone yang jelek selama dua jam per
malam, sambil memastikan bahwa drone ini tidak dipersenjatai. Biarkan orang-orang
tersebut diberitahu bahwa drone tersebut bersenjata dan hanya akan menyerang
teroris yang sembunyi di suatu tempat di kota-kota tersebut. Untuk menambah
realita, mungkin bisa ditambah dengan simulasi suara serangan drone dua kali per
malam.
Pada akhir minggu pertama, mungkin lebih dari 70 persen penduduk kota London
dan Washington akan bermigrasi ke kota-kota lain atau memblokir Trafalgar Square
dan jalan-jalan di sekitar Capitol Hill untuk menuntut penggulingan pemerintah.
Biaya Perang Panjang di wilayah AfPak tidak dapat diukur hanya dalam dolar dan
rupee, tetapi bisa juga dengan mengajukan beberapa pertanyaan terkait: Apa dampak
serangan pesawat tak berawak pada keterpaduan sistem keluarga di Afghanistan dan
FATA, terutama bagi keluarga-keluarga yang penopang perekonomian keluarganya
terbunuh? Apa dampak psikologis dari serangan pesawat tak berawak di desa
tertentu, berapa banyak anak-anak dan perempuan menderita insomnia, gangguan
stres dan kecemasan pasca-trauma?
Biaya psikologis juga ditanggung oleh pasukan Amerika Serikat. Tentara AS
menemukan mayat Staf Sersan Jared Hagemanns di area pelatihan Pangkalan
Bersama Lewis McChord. Istri Jared Hagemanns, Ashley Hagemanns, mengatakan
bahwa suaminya melakukan bunuh diri. Sebelumnya, ia sering menangis. Ashley
mengatakan Jared mencoba memahami apa yang telah dilihatnya dan dilakukan
pada saat penempatan di Irak dan Afghanistan. "Ia merasa Tuhan tidak akan
memaafkannya... Ia merasa ia akan masuk neraka," kata Ashley. "Dia tidak bisa hidup
dengan itu lagi.”
Tentara AS dan veteran yang tewas karena bunuh diri lebih banyak daripada
tewas karena perang selama sepuluh tahun terakhir. Degradasi psikologis para
penjajah terlihat jelas dari blog para veteran dan prajurit Amerika.
Sebuah video yang menayangkan mantan veteran tentara Inggris yang tidur di
jalanan, menjadi viral. Ia dengan susah payah menjelaskan penderitaan hidupnya
sebagai gelandangan. Ia mengatakan bahwa para prajurit dikirim ke medan perang
untuk mati demi Ratu dan pemerintah Inggris, tetapi ketika mereka menjadi veteran,
mereka ditinggalkan di jalan-jalan untuk tidur di jalan setapak, di tengah cuaca
dingin.
Kembali ke Kimberly Aamadeo, ia mengingatkan para pejabat di Gedung Putih,
“Biaya sejati dari Perang Afghanistan sebenarnya lebih dari $ 1,07 triliun. Pertama,
dan yang paling penting, adalah biaya yang ditanggung oleh 2.350 tentara AS yang
tewas, 20.092 tentara yang menderita luka-luka, dan keluarga mereka yang harus
hidup dengan konsekuensinya.27
Lebih dari 320.000 tentara dari Afghanistan dan Irak mengalami cedera otak
traumatis yang menyebabkan disorientasi dan kebingungan. Dari mereka, 8.237
27 https://www.defense.gov/casualty.pdf
SYAMINA Edisi 2 / Februari 2019
17
menderita cedera otak parah atau invasif. Selain itu, 1.645 tentara kehilangan seluruh
atau sebagian anggota badan. Lebih dari 138.000 memiliki kelainan stres pasca-
trauma. Mereka mengalami kewaspadaan berlebih dan sulit tidur.28
Rata-rata, 20 veteran bunuh diri setiap hari menurut sebuah studi Veterans
Affairs (VA) pada tahun 2016.29 Veteran Irak dan Afghanistan Amerika menemukan
bahwa 47 persen anggotanya mencoba bunuh diri setelah kembali dari tugas aktif.
Kelompok itu menganggap bunuh diri di kalangan veteran sebagai masalah nomor
satu.30
Biaya pembayaran medis dan disabilitas veteran selama 40 tahun ke depan akan
lebih dari $ 1 triliun. Menurut Linda Bilmes, seorang dosen senior di bidang keuangan
publik di Harvard’s Kennedy School of Government. "Biaya merawat veteran perang
biasanya memuncak pada 30 hingga 40 tahun atau lebih setelah konflik," kata Bilmes.31
Rangkuman Biaya Perang Afghanistan (dalam Milyar Dollar)32
Laporan Guardian pada September 2018 dengan judul, 'Keadaan darurat
nasional: lonjakan angka bunuh diri di kalangan veteran muda AS' membenarkan
28 https://fas.org/sgp/crs/natsec/RS22452.pdf29 https://www.va.gov/OPA/pressrel/includes/viewPDF.cfm30 https://www.washingtonpost.com/news/federal-eye/wp/2014/03/24/veterans-group-to-launch-suicide-
prevention-campaign/?noredirect=on&utm_term=.455e8af65a7931 https://csbaonline.org/about/news/iraq-war-lives-on-as-second-costliest-u-s-conflict-fuels-debt32 idem
SYAMINAEdisi 2 / Februari 2019
18
angka yang diberikan oleh The Balance. Lebih dari 6.000 veteran bunuh diri setiap
tahun sejak 2008, menurut data VA. Tidak kalah mengkhawatirkan, 30% dari semua
veteran menganggap bunuh diri sebagai pilihan untuk mengatasi gangguan stres
pascatrauma (PTSD) mereka.
Biaya psikologis perang ini tidak dapat dihitung dengan model matematika.
Namun, untuk melakukan analisis, ia membutuhkan hati manusia.
Perang Kesabaran “Kalian memang punya jam tangan, tapi kami punya waktu. Batere jam kalian
akan habis, namun waktu kami dalam perjuangan ini tidak akan pernah berakhir.
Dan kami akan menang.”
—Mujahid Rahman, Pejuang Imarah Afghanistan—
Kata-kata di atas terus menghantui Amerika. Dan kata-kata tersebut sangat
mewakili bagaimana Amerika dan Taliban menyikapi perang di Afghanistan saat ini.
Para pejuang Taliban sangat yakin bahwa Allah bersama mereka. Mereka menjalani
perjuangan dengan penuh kesabaran. Waktu bersama mereka, detail-detail yang lain
pun seolah tidak lagi relevan: sudah berapa lama perang berlangsung, kapan akan
berakhir, bagaimana garis waktunya, beban ekonomi, keuangan, dan politik yang
sehari-hari terus menguras tenaga dan pikiran pembuat kebijakan Amerika. Para
pejuang Taliban tidak terlalu tertarik dengan angka dan statistik. Mereka hanya fokus
pada kemenangan yang mereka yakini akan mereka capai.
Ketika Mullah Mohammed Omar dan para santri meluncurkan pertempuran
mereka melawan para panglima perang di negara itu pada tahun 1994, mereka tidak
menetapkan tanggal target untuk menguasai Kabul. Yang terjadi kemudian, hanya
perlu dua tahun bagi mereka untuk menguasai ibu kota. Lima tahun kemudian,
ketika Amerika menyerang, mereka tidak kalah terkejut dengan seberapa cepat
Imarah Islam mereka runtuh. Tetapi mereka mulai membangun kembali gerakan
mereka yang hancur, masih tanpa kerangka waktu yang ditentukan. "Kami tidak
pernah memiliki kalender, jam tangan, atau kalkulator seperti yang dilakukan orang
Amerika," kata seorang mantan menteri Imarah Islam Afghanistan "Dari sudut
pandang Taliban, waktu bahkan belum dimulai."33
Taliban yakin, bahwa Amerika lah yang pertama kali akan keluar dari peperangan.
“Ketika pasukan Amerika datang ke sini, mereka mulai menyalakan stopwatch.
Menghitung setiap detik, menit, dan jam hingga mereka pulang kembali ke rumah,”
tutur mantan menteri tersebut.
Tidak seperti tentara Amerika, Taliban muda memiliki tidak terlalu rindu dengan
kenyamanan hidup. "Pejuang muda kami memiliki kehidupan yang ideal dengan
sepeda motor, AK-47, RPG, rambut panjang, dan tujuan suci untuk diperjuangkan,"
katanya. "Mereka tidak memikirkan waktu dan konsekuensi, hanya perjuangan
tanpa akhir untuk meraih kemenangan." Dia mengatakan bahwa kalaupun para
33 https://www.newsweek.com/10-years-afghan-war-how-taliban-go-68223
SYAMINA Edisi 2 / Februari 2019
19
pejuang muda mengukur waktu, itu hanya berdasarkan panjang rambut mereka:
"Dibutuhkan sekitar satu tahun bagi rambut mereka untuk tumbuh hingga setengah
meter."
Gambar 2. Sepeda motor dan AK47 cukup menjadi kenyamanan hidup bagi
pemuda Taliban
Para pejuang yang tak henti-hentinya membanggakan tentang daya tahan
mereka mungkin terdengar seperti propaganda, tetapi jika dilihat dari poin tersebut,
para pejuang memiliki jawaban yang meyakinkan: terlepas dari semua kematian dan
cedera, panjangnya penjara, kurangnya dana, makanan, dan perawatan medis, dan
jauhnya mereka dari orang yang mereka cintai, relatif sedikit pasukan Taliban yang
pernah membelot.
Tidak ada satu pun komandan senior yang beralih pihak atau menyerah
dalam pertempuran, dan hanya beberapa pejuang tingkat rendah yang bergabung
dengan program amnesti dan reintegrasi pemerintah Kabul. "Jika Taliban khawatir
tentang panjangnya perang dan berapa lama lagi mereka bisa berkorban, akan ada
pembelotan besar," kata mantan menteri tersebut. “Itu belum terjadi. Dan kami
masih mendapatkan semua rekrutan baru yang kami butuhkan.”
Kekejaman Amerika dengan berbagai serangan drone yang tidak
bertanggungjawab menjadikan para pemuda banyak yang bergabung dengan
Taliban. Sebagian besar dari mereka tidak tahu apa-apa tentang sejarah terkini dan
tidak tertarik pada masa lalu atau masa depan. "Enam puluh persen pejuang kami
terlalu muda untuk mengingat 11 September atau keruntuhan Taliban," kata seorang
pejabat senior Taliban yang dikenal sebagai Zabibullah.
"Mereka hanya tahu bahwa ada penjajah dan boneka mereka yang menduduki
tanah kami, dan bahwa mereka harus dikalahkan tidak peduli berapa lama waktu
yang diperlukan." Sikap itulah yang membuat pemberontakan terus berjalan.
Ia menambahkan: jika Taliban khawatir tentang berapa lama perjuangan akan
berlangsung dan betapa jauhnya perbandingan kekuatan persenjataan dengan
SYAMINAEdisi 2 / Februari 2019
20
musuh mereka, pemberontakan akan runtuh beberapa tahun yang lalu. "AS tidak
pernah percaya kita mampu bertahan lama melawan B-52, drone, serangan
komando SEAL, dan pasokan dolar yang tak berkesudahan yang diarahkan kepada
kami oleh negara terkaya di muka bumi," katanya. "Jika kami memikirkan peluang
dan kerangka waktu, kami akan selesai."
Cerita lain muncul dari Jabar, pejuang Taliban berusia 26 tahun yang tinggal di
desa dekat perbatasan Pakistan, di mana ia dirawat karena migrain dan tangan kiri
yang lumpuh sebagian. Ia sudah kehilangan tiga jarinya. Namun, semua itu tidak
menghentikannya, bersama dengan tujuh temannya, terlibat dalam baku tembak
dengan pasukan AS dan Afghanistan. "Hanya Allah yang tahu berapa kali kami telah
menyergap dan menyerang musuh selama beberapa tahun terakhir," katanya. "Saya
hanya bisa mengingat selusin dari mereka." Dia bergabung dengan Taliban segera
setelah janggutnya tumbuh. Ia ingat, hadir sebagai rekrutan baru di sebuah pidato
yang dilakukan oleh komandan senior Mullah Dadullah Akhund, tak lama sebelum
beliau terbunuh pada tahun 2007. "Tidak ada batasan waktu untuk memenangkan
perang ini," kata Dadullah, yang kehilangan kaki kirinya melawan Soviet pada 1980-
an.
Jabar mengatakan, dia belum melihat istri dan tiga anaknya, sejak setahun
yang lalu. Saat itu, Marinir AS mengusirnya, bersama teman-temannya, keluar dari
Marja, distrik asalnya. Kadang-kadang dia menelepon ke rumah, tetapi dia tahu
dia mengambil risiko: panggilan itu mungkin akan membuat posisinya diketahui
dan memicu serangan drone. Saat menelepon putra sulungnya, Jabar mengatakan
bahwa jika ia gugur dalam pertempuran ia berharap bocah itu akan tumbuh
untuk menggantikan posisinya di jajaran Taliban. "Aku yakin kami masih akan
tetap bertarung ketika putraku tumbuh dewasa," kata Jabar. "Dia akan bangga
menggantikan tempatku."
KesimpulanSejarah memberikan bayangan panjang pada mereka yang tidak menghargai
sejarah Afghanistan dan nilai-nilai rakyatnya yang kokoh. Kuburan imperium itu
berjalan jauh dan dalam, yang berasal dari nilai-nilai kemuliaan yang mereka miliki.
Bangsa yang tidak mau ditindas, merdeka dan tidak terlalu rindu dengan kenyamanan
hidup.
Dalam sebuah perang panjang, bukan persenjataan dan kecanggihan teknologi
yang menentukan. Bukan jam yang suatu saat kehabisan batere, tapi kesabaran
menjalani waktu hingga tercapai tujuan. Dan inilah yang dimiliki Imarah Islam
Afghanistan, dan tidak dimiliki oleh Amerika Serikat. Bahkan bagi mereka, waktu
belum dimulai.
Mereka adalah bangsa yang rela menghabiskan umurnya dalam perjuangan.
Demi tercapainya tujuan mereka, tegaknya hukum Allah di muka bumi.