peraturan perasuransian konvensional dan … · lembaga keuangan non bank yang sedang berkembang...

30
PERATURAN PERASURANSIAN KONVENSIONAL DAN SYARIAH DI INDONESIA Nurul Ichsan abstraksi Tulisan ini berkenaan dengan salah satu permasalahan ekonomi modern yaitu masalah lembaga keuangan non bank yang sedang berkembang pada saat ini yaitu asuransi, tepatnya kajian mengenai peraturan dan dasar hukum perasuransian di Indonesia yang bertujuan untuk mengeksplorasi dan menjelaskan secara luas serta mendalam tentang bagaimanakah peraturan-peraturan dan dasar hukum perasuransian di negara kita yang kini eksis, seperti juga sistem lembaga keuangan perbankan, telah ada dua sistem asuransi yaitu asuransi konvensional dan asuransi syariah, yang mana keduanya memiliki persamaan dalam beberapa peraturan dan untuk asuransi syariah mempunyai ketentuan dasar hukum tambahan yang berbeda yang lebih banyak karena bersumber kepada hukum fiqh Islam dan fatwa MUI. A. Pendahuluan Asuransi bagi dunia bisnis saat ini sangatlah berkembang pesat karena mempunyai banyak kepentingan dan manfaat, beberapa manfaatnya yaitu antara lain membantu masyarakat mengatasi segala masalah risiko yang dihadapinya, sarana pengumpulan dana yang cukup besar yang dapat dimanfaatkan untuk kepentingan ekonomi masyarakat dan pembangunan ekonomi secara luas serta sebagai sarana untuk mengatasi risiko-risiko yang dihadapi dalam melaksanakan pembangunan bagi sebuah negara. Tetapi di dalam pembangunan negara ini janganlah diabaikan bagaimana pembangunan masyarakat yang religius, agamis, karena tanpa pembangunan pribadi masyarakat yang baik maka pembangunan ini akan menuju kepada jurang pemisah yang dalam antara yang kaya dengan si miskin sehingga tidak tercipta keadilan ekonomi dan kesejahteraan sosial yang didambakan dan dicita-citakan oleh seluruh komponen bangsa Indonesia. Oleh karena itu pembangunan ekonomi juga haruslah melihat bagaimana

Upload: hoanghanh

Post on 02-Mar-2019

228 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

PERATURAN PERASURANSIAN

KONVENSIONAL DAN SYARIAH DI INDONESIA

Nurul Ichsan

abstraksi

Tulisan ini berkenaan dengan salah satu permasalahan ekonomi modern yaitu masalah

lembaga keuangan non bank yang sedang berkembang pada saat ini yaitu asuransi, tepatnya

kajian mengenai peraturan dan dasar hukum perasuransian di Indonesia yang bertujuan

untuk mengeksplorasi dan menjelaskan secara luas serta mendalam tentang bagaimanakah

peraturan-peraturan dan dasar hukum perasuransian di negara kita yang kini eksis, seperti

juga sistem lembaga keuangan perbankan, telah ada dua sistem asuransi yaitu asuransi

konvensional dan asuransi syariah, yang mana keduanya memiliki persamaan dalam

beberapa peraturan dan untuk asuransi syariah mempunyai ketentuan dasar hukum

tambahan yang berbeda yang lebih banyak karena bersumber kepada hukum fiqh Islam dan

fatwa MUI.

A. Pendahuluan

Asuransi bagi dunia bisnis saat ini sangatlah berkembang pesat karena mempunyai

banyak kepentingan dan manfaat, beberapa manfaatnya yaitu antara lain membantu

masyarakat mengatasi segala masalah risiko yang dihadapinya, sarana pengumpulan dana

yang cukup besar yang dapat dimanfaatkan untuk kepentingan ekonomi masyarakat dan

pembangunan ekonomi secara luas serta sebagai sarana untuk mengatasi risiko-risiko yang

dihadapi dalam melaksanakan pembangunan bagi sebuah negara.

Tetapi di dalam pembangunan negara ini janganlah diabaikan bagaimana

pembangunan masyarakat yang religius, agamis, karena tanpa pembangunan pribadi

masyarakat yang baik maka pembangunan ini akan menuju kepada jurang pemisah yang

dalam antara yang kaya dengan si miskin sehingga tidak tercipta keadilan ekonomi dan

kesejahteraan sosial yang didambakan dan dicita-citakan oleh seluruh komponen bangsa

Indonesia. Oleh karena itu pembangunan ekonomi juga haruslah melihat bagaimana

keterlibatan agama di dalam unsur ekonomi dan pembangunan, sehingga tidak terpisah antara

peraturan negara dengan hukum Islam yang dianut oleh sebagian besar rakyat Indonesia.

Islam adalah agama yang membawa rahmat bagi seluruh alam, sehingga sifat

hukumnya yang lengkap dan universal itu dapat dipakai secara menyeluruh bagi kepentingan

umat manusia di muka bumi tak terkecuali di Indonesia. Oleh karena itu dalam agama Islam

sudah terdapat aturan-aturan bagi manusia baik yang berhubungan langsung kepada Allah

maupun yang berhubungan dengan antara sesama manusia yang biasa disebut muamalah.

Apabila dilihat dari sejarah hukum pada awalnya, dasar hukum yang mutlak kebenarannya

adalah Al-Quran sebagai sumber hukum utama dan hadist sebagai penjelas dari Al-Quran.

Namun seiring dengan berkembangnya zaman yang dari waktu ke waktu selanjutnya karena

terdapat masalah-masalah baru dan disertai dengan situasi dan kondisi yang berubah-ubah

setiap saat timbulah kemudian fiqh sebagai penafsiran manusia terhadap hukum Islam dan

permaslahan hukum yang dihadapi. Salah satu aspek hukum yang banyak sekali timbul

permasalahan baru dan bersifat ijtihadiyah adalah aspek ekonomi yang termasuk dalam

lingkup fiqh muamalah.

Salah satu masalah ekonomi yang menjadi perbincangan ulama dan cendekiawan

muslim pada saat ini adalah asuransi. Perbedaan pendapat mengenai asuransi ini tentu

didasari dengan alasan dan sudut pandang yang berbeda-beda ditinjau dari segi sejarah,

tujuan, mafsadah, dan maslahah yang terdapat dalam asuransi itu sendiri. Akan tetapi sejalan

dengan kemajuan zaman dan ijtihad kaum muslimin maka asuransi syariah lahir untuk

memberikan solusi dengan sistem baru dan berbeda yang ditawarkan untuk memenuhi

kepentingan pembagunan ekonomi masyarakat yang religius. Oleh karena itu selain undang

undang negara maka asuransi syariah juga bedasarkan kepada fatwa ulama sebagai sandaran

hukum beragama, bernegara dan berbangsa.

B. Pengertian dan Ruang Lingkup Asuransi

1. Definisi dan Unsur Asuransi

Menurut bahasa, kata “asuransi” itu diambil dari bahasa Belanda, “assurantie”, yang

artinya meyakinkan orang. Dalam hukum Belanda, asuransi ini disebut dengan Verzekering,

yang berarti pertanggungan. Istilah tersebut kemudian berkembang menjadi “assuradeur”

yang berarti penanggung dan tertanggung disebut “geassureerde”.1

Menurut Ketentuan Pasal 246 KUHD (Kitab Undang Undang Dagang), asuransi atau

pertanggungan adalah perjanjian dengan mana penanggung mengikatkan diri kepada

tertanggung dengan menerima premi untuk memberikan penggantian kepadanya karena

kerugian, kerusakan atau kehilangan keuntungan yang diharapkan yang mungkin dideritanya

akibat dari suatu evenemen (peristiwa tidak pasti).

Sedangkan menurut Undang–undang No. 2 Tahun 1992 tertanggal 11 Februari 1992

tentang Usaha Perasuransian, asuransi atau pertanggungan adalah perjanjian antara dua pihak

atau lebih dengan mana pihak penanggung mengikatkan diri kepada tertanggung dengan

menerima premi asuransi untuk memberikan penggantian kepada tertanggung karena

kerugian, kerusakan atau kehilangan keuntungan yang diharapkan, atau tanggung jawab

hukum kepada pihak ketiga yang mungkin akan diderita tertanggung yang timbul dari suatu

peristiwa yang tidak pasti, atau untuk memberikan suatu pembayaran yang didasarkan atas

meninggal atau hidupnya seseorang yang dipertanggungkan. Dengan demikian menurut UU

RI No. 2 Tahun 1992 tentang Usaha Perasuransian ini, asuransi atau pertanggungan itu

adalah perjanjian antara dua pihak atau lebih, dimana pihak penanggung mengikatkan diri

kepada tertanggung, dengan menerima premi asuransi yang bertujuan untuk memberikan :

1. Penggantian kepada tertanggung karena kerugian, kerusakan, atau kehilangan

keuntungan yang diharapkan.

2. Tanggung jawab hukum kepada pihak ketiga yang mungkin akan diderita

tertanggung, yang timbul dari suatu peristiwa yang tidak pasti.

3. Pembayaran uang yang didasarkan atas meninggal atau hidupnya seseorang yang

dipertanggungkan.

Sedangkan Menurut KUH Perdata asuransi merupakan suatu bentuk perjanjian yang

harus dipenuhi syarat sebagaimana dalam Pasal 1320 KUH Perdata, dengan karakteristik

bahwa asuransi adalah persetujuan yang bersifat untung-untungan sebagaimana dinyatakan

dalam Pasal 1774 KUH Perdata. 2 Menurut Pasal 1774 KUH Perdata, “Suatu persetujuan

1 Abdullah Amrin, Asuransi Syariah (Keberadaan dan Kelebihannya di Tengah Asuransi Konvensional),Jakarta , PT Gramedia, 2006, hlm: 1

2 Wirdyaningsih, Dkk, Bank Dan Asuransi Islam Di Indonesia, Jakarta, Kencana, 2005, h, 202-203

untung–untungan (kans-overeenkomst) adalah suatu perbuatan yang hasilnya, mengenai

untung ruginya, baik bagi semua pihak maupun bagi sementara pihak, bergantung kepada

suatu kejadian yang belum tentu”. Beberapa hal penting mengenai asuransi menurut KUH

Perdata yaitu bahwa asuransi itu:

1. Merupakan suatu perjanjian yang harus memenuhi Pasal 1320 KUH Perdata.

2. Perjanjian tersebut bersifat adhesif artinya isi perjanjian tersebut sudah ditentukan

oleh Perusahaan Asuransi (kontrak standar). Namun demikian, hal ini tidak sejalan

dengan ketentuan dalam Undang-undang No.8 tahun 1999 tertanggal 20 April 1999

tentang Perlindungan Konsumen.

3. Terdapat 2 (dua) pihak di dalamnya yaitu Penanggung dan Tertanggung, namun

dapat juga diperjanjikan bahwa Tertanggung berbeda pihak dengan yang akan

menerima tanggungan.

4. Adanya premi sebagai yang merupakan bukti bahwa Tertanggung setuju untuk

diadakan perjanjian asuransi.

5. Adanya perjanjian asuransi mengakibatkan kedua belah pihak terikat untuk

melaksanakan kewajibannya.

Berdasarkan definisi-definisi tersebut di atas maka dapat disimpulkan unsur-unsur

yang harus ada pada asuransi adalah:

1. Subyek hukum (penanggung dan tertanggung);

2. Persetujuan bebas antara penanggung dan tertanggung;

3. Benda asuransi dan kepentingan tertanggung;

4. Tujuan yang ingin dicapai;

5. Resiko dan premi;

6. Evenemen (peristiwa yang tidak pasti) dan ganti kerugian;

7. Syarat-syarat yang berlaku;

8. Polis asuransi.

Adapun menurut Fatwa DSN No. 21 / DSN-MUI / III / 2002 tentang Asuransi Syariah,

asuransi syariah didefiniskan yaitu usaha saling melindungi dan tolong-menolong diantara

sejumlah orang / pihak melalui investasi dalam bentuk asset/ tabarru/ yang memberikan pola

pengembalian untuk menghadapi resiko tertentu melalui akad (perikatan) yang sesuai dengan

syariah.3 Berdasarkan pengertian diatas, maka dapat dipahami bahwa asuransi syariah adalah

usaha saling tolong-menolong, dan saling melindungi satu sama lainnya antara sejumlah

pihak melalui investasi dalam bentuk tabarru’ sesuai yang telah disepakati sesuai dengan

syariah, serta berhak mendapatkan ganti rugi terhadap hartanya jika mengalami kehilangan,

kerusakan, atau mengalami peristiwa yang tidak pasti.4

2. Jenis Badan Hukum Asuransi

Berdasarkan ketentuan yang tercantum dalam Undang–Undang no 2 tahun 1992 pasal

7 ayat 1, yang menyatakan bahwa badan hukum yang diperbolehkan menyediakan jasa

asuransi adalah :

koperasi

usaha bersama (mutual)

perseroan terbatas (PT)

Perusahaan Perseroan (Persero)

3. Perizinan Pendirian Perusahaan Asuransi

Pemberian izin oleh Menteri Keuangan bagi perusahaan perasuransian menurut PP

no. 73 tahun 1992 dalam dua tahap yaitu:

1. Persetujuan prinsip

Adalah persetujuan yang diberikan untuk melakukan persiapan pendirian suatu

perusahaan yang bergerak dibidang perasuransian, dengan batas waktu persetujuan

prinsip dibatasi selama-lamanya satu tahun.

2. Izin usaha

Adalah izin yang diberikan untuk melakukan usaha setelah persiapan pendirian

selesai, dengan izin usaha diberikan setelah persyaratan izin usaha dipenuhi dan

Ketentuan modal disetor perusahaan perasuransian.

4. Kepemilikan Perusahaan dan Izin Usaha

Berdasarkan Undang–Undang no 2 tahun 1992 pasal 8 ayat 1, warga yang boleh

mendirikan adalah WNI dan atau badan hukum yang sepenuhnya dimiliki oleh WNI atau

3 Muhammad Firdaus, Sofiniyah Ghufron, Muhammad Aziz Hakim, Mukhtar Alshodiq,Sistem Operasional Asuransi Syariah, Jakarta, Renaisan, hlm. 18

4 Nurul Ichsan, Takaful Konsep Asuransi Dalam Islam, Jakarta, Kalam Mulia, 2011, h.23

badan hukum Indonesia, sedangkan perizinan usaha perasuransian telah diatur dalam

Undang–Undang No. 2 Tahun 1992 pasal 9, yang menyatakan :

setiap pihak yang akan memberikan layanan jasa asuransi harus mendapatkan izin

usaha yang diterbitkan oleh Menteri, kecuali jika jasa asuransi yang diberikan

adalah program asuransi sosial. Karena asuransi sosial diselenggarakan oleh

pemerintah, apabila ada kerugian akan ditanggung oleh pemerintah dan bila ada

keuntungan akan dikembalikan kepada masyarakat.

untuk mendapatkan perizinan usaha, sebuah perusahaan harus melengkapi

persyaratan berupa :

anggaran dasar

susuna organisasi

permodalan

kepemilikan

keahlian di bidang perasuransian

kelayakan rencana kerja

hal- hal lain yang diperlukan untuk mendukung pertumbuhan usaha

peasuransian secara sehat bisa berupa dokumen atau lainnya untuk

mendukung berjalannya usaha perasuransian.

Untuk mendapat izin usaha perasuransian, pemilik perusahaan harus memiliki

kecakapan atau pegawai dengan kecakapan yang berkaitan dengan asuransi, seperti :

aktuaria

underwriting

manajemen resiko

penilai kerugian asuransi

dan kecakapan lainnya

Jika semua yang dibutuhkan untuk mendapatka izin usaha perasuransian telah

terpenuhi, maka pemilik bisa mendapatkan izin usaha. Selain itu, persyaratan untuk

memperoleh izin usaha reasuransi nasional terdapat dalam pasal 2 keputusan Menteri

Keuangan RI nomor 1249/KMK.013/1988 di antaranya:

a) memiliki akta pendirian yang telah disahkan menurut ketentuan perundang-

undangan yang berlaku

b) memiliki modal disetor bagi perseroan terbatas atau jumlah simpanan pokok dan

simpanan wajib bagi koperasi Rp. 10.000.000.000.000 (sepuluh milyar rupiah)

c) menetapkan dana jaminan sebesar 20% dari modal disetor atau simpanan pokok

dan simpanan wajib

d) memiliki nomor pokok wajib pajak

e) komisaris dan direksi perusahaan yang berbentuk perseroan terbatas seluruhnya

warga Negara Indonesia

f) direksi bagi perseroan terbatas atau koperasi tidak boleh merangkap jabatan

eksekutif pada perusahaan lain

g) memiliki neraca pembukuan.

Disamping kemungkinan terdapat perusahaan reasuransi nasional juga dapat dibentuk

perusahaan reasuransi patungan seperti diatur dalampasal 4 Keputusan Menteri Keuangan

nomor 1249/MKM.013/1988 yang menyebutkan bahwa hanya dapat didirikan dalam bentuk

perseroan terbatas dan wajib memperoleh Izin Usaha dari Menteri Keuangan.

Adapun izin usaha bagi perusahaan pialang atau broker asuransi kita memperhatikan

ketentuan pasal 2 ayat 2 Keptusan Menteri Keuangan Nomor 1249/MKM.013/1988. Di atur

dalam pasal 5 Undang- Undang Nomor 2 tahun 1992 yaitu sebagai berikut:

a) perusahaan asuransi dapat menyelenggarakan usaha dengan bertindak mewakili

tertanggung dalam rangka transaksi yang berkaitan dengan kontrak asuransi

b) perusahaan pialang reasuransi hanya dapat menyelenggarakan usaha dengan

bertindak mewakili perusahaan asuransi dalam rangka transaksi yang berkaitan

dengan kontrak reasuransi

c) perusahaan penilai kerugian asuransi hanya dapat menyelenggarakan usaha jasa

penilaian kerugian atau kehilangan dan kerusakan yang terjadi pada objek

asuransi kerugian.

5. Polis Asuransi

Menurut ketentuan pasal 225 KUHD perjanjian asuransi harus dibuat secara tertulis

dalam bentuk akta yang disebut polis yang memuat kesepakatan, syarat-syarat khusus dan

janji-janji khusus yang menjadi dasar pemenuhan hak dan kewajiban para pihak (penanggung

dan tertanggung) dalam mencapai tujuan asuransi. Dengan demikian, polis merupakan alat

bukti tertulis tentang telah terjadinya perjanjian asuransi antara tertanggung dan penanggung.

Mengingat fungsinya sebagai alat bukti tertulis maka para pihak (khususnya

Tertanggung) wajib memperhatikan kejelasan isi polis dimana sebaiknya tidak mengandung

kata-kata atau kalimat yang memungkinkan perbedaan interpretasi sehingga dapat

menimbulkan perselisihan (dispute). Menurut ketentuan pasal 256 KUHD, setiap polis

kecuali mengenai asuransi jiwa harus memuat syarat-syarat khusus berikut ini :

Hari dan tanggal pembuatan perjanjian asuransi

Nama tertanggung, untuk diri sendiri atau pihak ketiga

Uraian yang jelas mengenai benda yang diasuransikan

Jumlah yang diasuransikan (nilai pertanggungan)

Bahaya-bahaya/ evenemen yang ditanggung oleh penanggung

Saat bahaya mulai berjalan dan berakhir yang menjadi tanggungan penanggung

Premi asuransi.

Umumnya semua keadaan yang perlu diketahui oleh penanggung dan segala janji-

janji khusus yang diadakan antara para pihak, antara lain mencantumkan “Banker’s Clause”,

jika terjadi peristiwa (evenemen) yang menimbulkan kerugian penanggung dapat berhadapan

dengan siapa pemilik atau pemegang hak.

Untuk jenis asuransi kebakaran Pasal 287 KUHD menentukan bahwa di dalam

polisnya harus pula menyebutkan:

Letak barang tetap serta batas-batasnya.

Pemakaiannya.

Sifat dan pemakaian gedung-gedung yang berbatasan, sepanjang berpengaruh

terhadap obyek pertanggungan.

Harga barang-barang yang dipertanggungkan.

Letak dan pembatasan gedung-gedung dan tempat-tempat dimana barang-

barang bergerak yang dipertanggungkan itu berada.

Untuk mengetahui perlindungan yang diberikan oleh suatu polis asuransi, perlu

diperhatikan aspek penutupannya, yaitu:

Bencana yang ditutup

Kerugian yang ditutup

Orang-orang yang ditutup

Lokasi-lokasi yang ditutup

Jangka waktu yang ditutup

Bahaya-bahaya yang dikecualikan.

6. Jenis Klausula Asuransi

Dalam perjanjian asuransi sering dimuat janji-janji khusus yang dirumuskan secara

tegas dalam polis, yang lazim disebut klausula asuransi yang maksudnya untuk mengetahui

batas tanggung jawab penanggung dalam pembayaran ganti kerugian apabila terjadi peristiwa

yang menimbulkan kerugian. Jenis-jenis asuransi tersebut ditentukan oleh sifat objek asuransi

itu, bahaya yang mengancam dalam setiap asuransi. Klausula-klausula yang dimaksud antara

lain:

1) Klausula Premier Risque

Klausula ini menyatakan bahwa apabila pada asuransi dibawah nilai benda terjadi

kerugian, penanggung akan membayar ganti kerugian seluruhnya sampai maksimum jumlah

yang diasuransikan (Pasal 253 ayat 3 KUHD). Klausula ini biasa digunakan pada asuransi

pembongkaran dan pencurian, asuransi tanggung jawab.

2) Klausula All Risk

Klausula ini menentukan bahwa penanggung memikul segala resiko atau benda yang

diasuransikan. ini berarti penanggung akan mengganti semua kerugian yang timbul akibat

peristiwa apapun, kecuali kerugian yang timbul karena kesalahan tertanggung sendiri (Pasal

276 KUHD) dan karena cacat sendiri bendanya (Pasal 249 KUHD).

3) Klausula Total Loss Only (TLO)

Klausula ini menentukan bahwa penanggung hanya menanggung kerugian yang

merupakan kerugian keseluruhan/total atas benda yang diasuransikan.

4) Klausula Sudah Diketahui (All Seen)

Klausula ini digunakan pada asuransi kebakaran. Klausula ini menentukan bahwa

penanggung sudah mengetahui keadaan, konstruksi, letak dan cara pemakaian bangunan yang

diasuransikan.

5) Klausula Renunsiasi (Renunciation)

Menurut Klausula renunsiasi, penanggung tidak akan menggugat tertanggung, dengan

alasan pasal 251 KUHD, kecuali jika hakim menetapkan bahwa pasal tersebut harus

diberlakukan secara jujur atau itikad baik dan sesuai dengan kebiasaan. Berarti apabila timbul

kerugian akibat evenemen tertanggung tidak memberitahukan keadaan benda objek asuransi

kepada penanggung, maka penanggung tidak akan mengajukan pasal 251 KUHD dan

penanggung akan membayar klaim ganti kerugian kepada tertanggung.

6) Klausula Free Particular Average (FPA)

Bahwa penaggung dibebaskan dari kewajiban membayar ganti kerugian yang timbul

akibat peristiwa khusus di laut (Particular Average) seperti ditentukan dalam pasal 709

KUHD dengan kata lain penanggung menolak pembayaran ganti kerugian yang diklaim oleh

tertanggung yang sebenarnya timbul dari akibat peristiwa khusus yang sudah

dibebaskanklausula FPA.

7) Klausula Riot, Strike & Civil Commotion (RSCC)

Riot (kerusuhan) adalah tindakan suatu kelompok orang, minimal sebanyak 12 orang,

yang dalam melaksanakan suatu tujuan bersama menimbulkan suasana gangguan ketertiban

umum dengan kegaduhan dan menggunakan kekerasan serta pengrusakan harta benda orang

lain, yang belum dianggap sebagai huru-hara.

Strike (pemogokan) adalah tindakan pengrusakan yang disengaja oleh sekelompok

pekerja, minimal 12 orang pekerja atau separuh dari jumlah pekerja (dalam hal jumlah

seluruh pekerja kurang dari 24 orang), yang menolak bekerja sebagaimana biasanya dalam

usaha untuk memaksa majikan memenuhi tuntutan dari pekerja atau dalam melakukan protes

terhadap peraturan atau persyaratan kerja yang diberlakukan oleh majikan.

Civil Commotion (huru-hara) adalah keadaan di suatu kota dimana sejumlah besar

massa secara bersama-sama atau dalam kelompok-kelompok kecil menimbulkan suasana

gangguan ketertiban dan keamanan masyarakat dengan kegaduhan dan menggunakan

kekerasan serta rentetan pengrusakan sejumlah besar harta benda, sedemikian rupa sehingga

timbul ketakutan umum, yang ditandai dengan terhentinya lebih dari separuh kegiatan normal

pusat perdagangan/pertokoan atau perkantoran atau sekolah atau transportasi umum di kota

tersebut selama minimal 24 jam secara terus menerus yang dimulai sebelum, selama atau

setelah kejadian tersebut.

Hal yang harus diperhatikan : Banker’s Clause atau Klausula Bank adalah suatu

klausula yang tercantum dalam Polis yang hanya dicantumkan atas permintaan pihak Bank

dimana dalam polis secara tegas dinyatakan bahwa Pihak Bank adalah sebagai penerima ganti

rugi atas peristiwa yang terjadi atas obyek pertanggungan sebagaimana disebutkan dalam

perjanjian asuransi (polis). Klausula ini muncul sebagai akibat adanya hubungan hutang

piutang antara Debitur dan Kreditur dimana obyek pertanggungan adalah menjadi jaminan

Bank, sehingga klausula ini bukan merupakan standar yang pada umumnya tercantum dalam

Polis.

7. Sanksi Pelanggaran

Terhadap pelanggaran ketentuan yang dilakukan Penanggung dan Tertanggung dapat

dikenakan sanksi berupa :

Sanksi Administratif, (berlaku hanya untuk perusahaan perasuransian, bukan

pada tertanggung).

Sanksi Pidana.

1. Sanksi Administratif yaitu setiap perusahaan perasuransian yang tidak memenuhi

ketentuan dalam Peraturan Pemerintah No.73 tahun 1992 tertanggal 30 Oktober 1992

tentang Penyelenggaraan Usaha Perasuransian (“PP No.73/1992”) serta peraturan

pelaksanaannya yang berkenaan dengan:

Perizinan usaha

Kesehatan keuangan

Penyelenggaraan usaha

Penyampaian laporan

Pengumuman neraca dan perhitungan laba rugi atau tentang pemeriksaan

langsung. dikenakan sanksi peringatan, sanksi pembatasan kegiatan usaha

dan sanksi pencabutan izin usaha (Pasal 37 PP No.73/1992).

Tanpa mengurangi ketentuan Pasal 37, maka terhadap :

Perusahaan Asuransi atau Perusahaan Reasuransi yang tidak menyampaikan

laporan keuangan tahunan dan laporan operasional tahunan dan atau tidak

mengumumkan neraca dan perhitungan laba rugi, sesuai dengan jangka

waktu yang ditetapkan, dikenakan denda administratif Rp. 1.000.000.00 (satu

juta Rupiah) untuk setiap hari keterlambatan;

Perusahaan Pialang Asuransi atau Perusahaan Pialang Reasuransi yang tidak

menyampaikan laporan operasional tahunan sesuai dengan jangka waktu

yang ditetapkan dikenakan denda administratif Rp. 500.000.00 (lima ratus

ribu Rupiah) untuk setiap hari keterlambatan (Pasal 38 PP No.73/1992).

2. Sanksi Pidana, yaitu sanksi pidana dikenakan pada kejahatan perasuransian yang diatur

dalam Pasal 21 UU Asuransi, berikut ini:

Terhadap Pelaku Utama

Orang yang menjalankan atau menyuruh menjalankan usaha perasuransian tanpa izin

usaha, menggelapkan premi asuransi, menggelapkan dengan cara mengalihkan,

menjaminkan, dan atau mengagunkan tanpa hak kekayaan Perusahaan Asuransi Kerugian

atau Perusahaan Asuransi Jiwa atau perusahaan Reasuransi, diancam dengan pidana penjara

paling lama 15 (lima belas) tahun dan denda paling banyak Rp. 2.500.000.000 (dua milyar

lima ratus juta Rupiah).

Terhadap Pelaku Pembantu

Orang yang menerima, menadah, membeli, atau mengagunkan atau menjal kembali

kekayaan perusahaan hasil penggelapan dengan cara tersebut yang diketahuinya atau patut

diketahuinya bahwa barang–barang tersebut adalah kekayaan Perusahaan Asuransi Kerugian

atau Perusahaan Asuransi Jiwa atau Perusahaan Reasuransi, dianjam dengan pidana penjara

paling lama 5 (lima) tahun dan denda paling banyak Rp. 500.000.000 (lima ratus juta

Rupiah).

Terhadap Pemalsu Dokumen

Orang yang secara sendiri-sendiri atau bersama-sama melakukan pemalsuan atas

dokumen Perusahaan Asuransi Kerugian atau Perusahaan Asuransi Jiwa atau Perusahaan

Reasuransi, diancam dengan pidana penjara paling lama 5 tahun dan denda paling banyak Rp.

250.000.000 (dua ratus lima puluh juta Rupiah).

8. Solvabilitas

Perusahaan asuransi kerugian dan perusahaan reasuransi yang melakukan kegiatan

usahanya di Indonesia, menurut ketentuan, wajib memelihara tingkat solvabilitas, yaitu

selisih antara kekayaan yang diperkenankan (admitted assets) dengan jumlah kewajiban dan

modal disetor perusahaan yang bersangkutan. Dalam pemenuhan ketentuan tingkat

solvabilitas atau solvency margin ini, menurut Keputusan Menteri Keuangan No.

224/KMK.017/1993 tanggal 26 Februari 1993, dapat dibedakan sebagai berikut:

a. Perusahaan asuransi kerugian dan perusahaan reasuransi minimal 10% dari

premi bruto.

b. Perusahaan asuransi jiwa minimal 1% dari cadangan premi, untuk bidang

usaha asuransi jiwa, ditambah dengan 10% dari premi neto untuk bidang usaha

asuransi kesehatan dan asuransi kecelakaan.

9. Kekayaan yang diperkenankan (Admitted Assets)

Yang dimaksud dengan kekayaan yang diperkenankan atau admitted assets bagi

perusahaan asuranssi terdiri atas:

a. Kas dan Bank

b. Investasi

c. Tagihan premi langsung atau premi murni bagi asuransi jiwa

d. Tagihan reasuransi yang meliputi tagihan:

a) Premi reasuransi

b) Komisi reasuransi

c) Klaim reasuransi

e. Tagihan hasil investasi

f. Perangkat keras computer

g. Tanah dan bangunan, ketentuan pemilikan tanah dan bangun ditetapkan

sebagai berikut:

1) Perusahaan asuransi kerugian dan perusahaan reasuransi maksimum

20% dari modal sendiri

2) Perusahaan asuransi jiwa 40% dari modal sendiri

10. Investasi

Kegiatan investasi perusahaan asuransi dan perusahaan reasuransi sebagai mana

disebutkan dalam komponen admitted assets terdiri atas:

a. Deposito Berjangka dan Sertifikat Deposito

b. Saham, Obligasi, dan surat berharga lain yang dicatat di bursa efek di

Indonesia

c. Sertifikat Bank Indonesia (SBI)

d. Surat Berharga Pasar Uang (SBPU)

e. Surat pengakuan utang berjangka waktu leebih dari satu tahun

f. Penyertaan langsung

g. Bangunan atau tanah dan bangunan untuk tujuan investasi

h. Pinjaman hipotek

i. Pinjaman pois (khusus bagi perusahaan asuransi jiwa) dengan jaminan

nilai tunai polis mereka

11. Cadangan Teknis

a. Cadangan Premi, Ketentuan pembentukan cadangan premi adalah sebagai berikut:

1) Pembentukan cadangan atas premi yang belum merupakan pendapatan bagi

asuransi kerugian dihitung dengan cara harian dikurangi bagian yang

direasuransikan untuk setiap polis.

2) Pembentukan cadangan premi asuransi jiwa harus dihitung dari selisih antara

nilai sekarang dari manfaat yang akan datang dengan nilai sekarang dari

premi murni yang akan diterima di masa yang akan datang. Penggunaan

Tabel Mortalitas dengan penghitungan cadangan premi tersebut harus

konsisten untuk masing-masing program asuransi jiwa. Di samping itu,

amortisasi terhadap cadangan premi yang telah dibentuk tidak diperbolehkan.

b. Cadangan Klaim

1). Perhitungan cadangan klaim asuransi kerugian ditetapkan sebagai berikut:

- Jumlah klaim yang disepakati tetapi belum dibayar, berikut biaya jasa

penilai kerugian, dikurangi dengan beban klaim yang menjadi bagian dari

penanggung ulang.

- Klaim dalam proses penyelesaian, berikut biaya jasa penilai kerugian,

dikurangi dengan beban klaim yang akan menjadi bagian dari penanggung

ulang.

- Klaim yang sudah terjadi tetapi belum dilaporkan, berikut biaya jasa

penilai kerugian, dikurangi dengan beban klaim yang akan menjadi bagian

dari penanggung ulang.

2). Perhitungan cadangan klaim asuransi jiwa didasaran pada selisih lebih antara

perkiraan jumlah klaim kematian berdasarkan Tabel Mortalitas dengan klaim

yang telah dilaporkan.

12. Retensi Sendiri

Retensi sendiri, atau own retention, adalah bagian dari jumlah uang pertanggungan

setiap risiko yang menjadi tanggungan sendiri tanpa dukungan reasuransi. Perusahaan

asuransi dan perusahaan reasuransi menurut ketentuan harus memiliki retensi untuk setiap

risiko. Ketentuan mengenai retensi sendiri tersebut adalah sebagai berikut:

a. Besarnya retensi sendiri maksimum 10% dari modal sendiri

b. Penetapan retensi sendiri harus didasarkan pada profil risiko yang dibuat

secara tertib, relevan, dan akurat

c. Jumlah seluruh premi neto yang ditahan minimal 30% dari jumlah premi bruto

d. Perusahaan asuransi kerugian dan perusahaan reasuransi hanya dapat menahan

premi bruto maksimal 300% dari modal sendiri

e. Perusahaan asuransi jiwa hanya dapat menahan jumlah premi neto untuk

asuransi kecelakaan diri dan asuransi kesehatan paling banyak 150% dari

modal sendiri

f. Perusahaan asuransi tidak diperbolehkan menerima premi penutupan tidak

langsung melebihi 2/3 dari jumlah premi penutupan langsung. Penutupan tidak

langsung adalah penutupan risiko dalam rangka reasuransi

13. Premi Bruto dan Premi Neto

Premi bruto adalah premi penutupan langsung ditambah premi penutupan tidak

langsung setelah masing-masing dikurangi komisi. Sedangkan premi neto adalah premi bruto

dikurangi premi reasuransi dibayar, setelah premi reasuransi dibayar tersebut dikurangi

komisinya.5

5 Siamat, Dahlan. Manajemen Lembaga Keuangan, Kebijakan Moneter dan Perbankan. Jakarta,Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, 2005, Edisi V, hlm. 697-700

D. Perkembangan Asuransi di Indonesia

Bisnis asuransi masuk ke Indonesia pada waktu penjajahan Belanda dan negara kita

pada waktu itu disebut Nederlands Indie. Keberadaan asuransi di negeri kita ini sebagai

akibat berhasilnya Bangsa Belanda dalam sektor perkebunan dan perdagangan di negeri

jajahannya. Untuk menjamin kelangsungan usahanya, maka adanya asuransi mutlak

diperlukan. Dengan demikian usaha perasuransian di Indonesia dapat dibagi dalam dua kurun

waktu, yakni zaman penjajahan sampai tahun 1942 dan zaman sesudah Perang Dunia II atau

zaman kemerdekaan. Pada waktu pendudukan bala tentara Jepang selama kurang lebih tiga

setengah tahun, hampir tidak mencatat sejarah perkembangan.

Perusahaan-perusahaan asuransi yang ada di Hindia Belanda pada zaman penjajahan

itu adalah :

Perusahaan-perusahaan yang didirikan oleh orang Belanda.

Perusahaan-perusahaan yang merupakan Kantor Cabang dari Perusahaan

Asuransi yang berkantor pusat di Belanda, Inggris dan di negeri lainnya.

Dengan sistem monopoli yang dijalankan di Hindia Belanda, perkembangan asuransi

kerugian di Hindia Belanda terbatas pada kegiatan dagang dan kepentingan bangsa Belanda,

Inggris, dan bangsa Eropa lainnya. Manfaat dan peranan asuransi belum dikenal oleh

masyarakat, lebih-lebih oleh masyarakat pribumi. Jenis asuransi yang telah diperkenalkan di

Hindia Belanda pada waktu itu masih sangat terbatas dan sebagian besar terdiri dari asuransi

kebakaran dan pengangkutan. Asuransi kendaraan bermotor masih belum memegang peran,

karena jumlah kendaraan bermotor masih sangat sedikit dan hanya dimiliki oleh Bangsa

Belanda dan Bangsa Asing lainnya. Pada zaman penjajahan tidak tercatat adanya perusahaan

asuransi kerugian satupun. Selama terjadinya Perang Dunia II kegiatan perasuransian di

Indonesia praktis terhenti, terutama karena ditutupnya pemsahaan- perusahaan asuransi milik

Belanda dan Inggris.

Setelah Perang Dunia usai, perusahaan-perusahaan Belanda dan Inggris kembali beroperasi di

negara yang sudah merdeka ini. Sampai tahun 1964 pasar industri asuransi di Indonesia

masih dikuasai oleh Perusahaan Asing, terutama Belanda dan Inggris. Pada awal mulanya

beroperasi di Indonesia mereka mendirikan sebuah badan yang disebut “Bataviasche

Verzekerings Unie” (BVU) pada tahun 1946, yang melakukan kegiatan asuransi secara

kolektif. Dengan demikian dari setiap penutupan, masing-masing anggota BVU memperoleh

share tertentu. Cara ini dilakukan mengingat keadaan pada waktu itu belum teratur dan tenaga

asuransi masih kurang sekali.

Pada tahun 1950 berdiri sebuah perusahaan asuransi kerugian yang pertama, yakni

NV. Maskapai Asuransi Indonesia yang kemudian pada awal 2004 sudah menjadi PT MAI

PARK. Pada saat itu, sebagai perintis perusahaan asuransi kerugian nasional yang pertama,

maka perusahaan ini harus bersaing dengan perusahaan asuransi asing yang unggul baik

dalam faktor permodalan maupun pengetahuan teknis. Dengan berdirinya perusahaan

asuransi kerugian nasional tersebut, keberanian pengusaha nasional dipacu untuk mendirikan

perusahaan-perusahaan asuransi kerugian. Keberanian ini didukung pula oleh Peraturan

Pemerintah bahwa semua barang impor harus diasuransikan di Indonesia. Pengaturan ini

dimaksudkan untuk menanggulangi pemakaian devisa untuk membayar premi asuransi di luar

negeri.

Pada tahun 1953 berdiri pula perusahaan swasta nasional yang bergerak dalam bidang

reasuransi Belanda dan Inggris di Indonesia, pemakaian devisa untuk membayar premi

reasuransi ke luar negeri juga masih tetap besar. Untuk menanggulangi hal ini, didirikanlah

pada tahun 1954 sebuah perusahaan reasuransi profesional, yakni “PT. REASURANSI

UMUM INDONESIA” yang mendapat dukungan dari bank-bank pemerintah.

Lembaga yang tersebut terakhir ini mengeluarkan peraturan-peraturan yang mengikat

untuk perusahaan-perusahaan asuransi asing untuk menggunakanjasa perusahaan reasuransi

nasional. Langkah-langkah yang diambil pemerintah dalam hal ini memberikan hasil yang

diharapkan. Kegiatan PT. Reasuransi Umum Indonesia pada tahun 1963 diperluas dengan

kegiatan reasuransi jiwa. Pada saat PT. Reasuransi Umum Indonesia didirikan, banyak

perusahaan-perusahaan asuransi kerugian nasional bermunculan, tetapi perkembangannya

masih terhambat oleh persaingan yang berat dari perusahaan-perusahaan asuransi swasta

asing. Pada waktu perjuangan mengembalikan Irian Barat ke pangkuan Republik Indonesia,

pemerintah melakukan nasionalisasi perusahaan milik Belanda. Perusahaan-perusahaan

Inggris dinasionalisasi dalam peristiwa konfrontasi.

E. Asuransi Syariah di Indonesia

Seiring waktu lahirlah kemudian berbagai perusahaan asuransi yang menjalankan

usaha perasuransian berlandaskan prinsip syariah. Perusahaan yang mewujudkan asuransi

syariah ini bukan saja perusahaan yang dimiliki orang Islam, namun juga berbagai

perusahaan milik non-muslim serta ada yang secara induk perusahaan berbasis konvensional

ikut terjun usaha memberikan layanan asuransi syariah dengan membuka kantor cabang dan

divisi syariah. Seiring dengan bergulirnya waktu dan ijtihad para pemerhati ekonomi Islam

secara kontinyu, akhirnya mereka sampai kepada sebuah konsep yang dapat disepakati

bersama serta menjadi acuan perasuransian syariah di dunia. Konsep tersebut populer dengan

nama asuransi mutual, kerja sama (ta’awuni), atau takmin ta’awuni.

Konsep Asuransi Ta’awuni merupakan rekomendasi fatwa Muktamar Ekonomi Islam

yang bersidang kali pertama tahun 1976 M di Mekah.Peserta hampir 200 orang dari kalangan

ulama. Kemudian dikuatkan lagi dalam sidang Majma’ Fiqh Islami ‘Alami (Lembaga Fiqih

Dunia) pada 21 Desember 1985 di Jeddah yang memutuskan pengharaman Asuransi Jenis

Perniagaan (Komersial). Majma’ Fiqih juga secara ijma’ mengharuskan dioperasikannya

usaha perasuransian jenis kerja sama (ta’awuni) sebagai alternatif menggantikan jenis

asuransi konvensional serta menyerukan umat Islam dunia menggunakan asuransi ta’awuni.

Dalam rangka menindaklanjuti fatwa tersebut dan kebutuhan umat terhadap asuransi

berdasarkan hukum Islam, Pada dekade 70-an di beberapa negara Islam atau di negara-negara

yang mayoritas penduduknya muslim bermunculan asuransi yang prinsip operasionalnya

mengacu kepada nilai-nilai Islam dan terhindar dari ketiga unsur yang diharamkan Islam.

Pada tahun 1979 Faisal Islamic Bank of Sudan memprakarsai berdirinya perusahaan

asuransi syariah Islamic Insurance Co. Ltd. di Sudan dan Islamic Insurance Co. Ltd. di Arab

Saudi. Keberhasilan asuransi syariah ini kemudian diikuti oleh berdirinya Dar al-Mal al-

Islami di Geneva, Swiss dan Takaful Islami di Luxemburg, Takaful Islam Bahamas di

Bahamas dan al-Takaful al-Islami di Bahrain pada tahun 1983. Di Malaysia, Syarikat Takaful

Sendirian Berhad berdiri pada tahun 1984. Selanjutnya diikuti oleh negara-negara lain seperti

Bahrain, UAE, Brunei, Singapura, dan Indonesia.6

Di negara Republik Indonesia yang penduduknya mayoritas muslim, berdirinya Bank

Muamalat Indonesia pada tahun 1992 (tepatnya Bulan Juli) memunculkan pemikiran baru di

kalangan ulama dan praktisi ekonomi syariah ketika itu untuk membuat asuransi Islam. Hal

ini dikarenakan operasional bank Islam tidak bisa lepas dari praktik asuransi yang sesuai

yang sudah barang tentu harus sesuai pula dengan prinsip-prinsip syariah pula.

Maka pada tanggal 27 Juli 1993 dibentuk tim TEPATI (Tim Pembentukan Takaful

Indonesia) yang disponsori oleh Yayasan Abadi Bangsa (ICMI), Bank Muamalat, Asuransi

Tugu Mandiri dan Departemen Keuangan (yang pada saat itu diwakili oleh Pejabat Depkeu

6 Nurul Ichsan, Takaful Konsep Asuransi Dalam Islam, h. 6-7

Firdaus Djaelani dan Karnaen A Perwataadmaja). Selanjunya beberapa orang anggota tim

Tepati berangkat ke Malaysia untuk mempelajari operasional asuransi Islam yang sejak tahun

1984 telah beroperasi dan telah didukung penuh oleh Kerajaan Malaysia. Tim TEPATI ini

kemudian memulai kerja mereka di bidang perekenomian syariah dengan modal 30 juta

(masing-masing 10 juta dari ICMI, BMI dan Tugu Mandiri). Modal inilah yang digunakan

untuk membiayai tim ke Malaysia untuk mengadakan Seminar dan persiapan-persiapan lain

yang bersifat asuransi ke Depkeu.

Setelah melakukan beberapa persiapan, akhirnya pada tanggal 24 Februari 1994

berdirilah PT Syarikat Takaful Indonesia sebagai holding company dengan Direktur Utama

Rahmat Husen yang selanjutnya mendirikan dua anak perusahaan yatu PT Asuransi Takaful

Keluarga (berdiri tanggal 25 Agustus 1994, dan diresmikan oleh Menteri Keuangan Mar`ie

Muhammad) dan PT Asuransi Takaful Umum (berdiri pada tanggal 2 Juni 1995, dan

diresmikan oleh Menristek/Ketua BPPT BJ Habibie di Hotel Shangri La).

Cukup panjang juga perjalanan takaful, yang hanya bermodal 2,5 milyar sebagaimana

persyaratan minimal dalam undang-undang asuransi. Suka-duka dan tantangan sebagai

pionir, telah dilalui dengan perangkat peraturan yang sangat minim, modal yang kecil, SDM

yang sangat terbatas, dan pemahaman masyarakat akan asuransi syariah masih sangat kecil.

Bahkan untuk menyebut kata takaful pun begitu susah, ada yang menyebut, taiful, takafur,

takabur, tapakul, dan sebagainya.

Memasuki tahun ke-8 (delapan) pada 2001, barulah muncul asuransi syariah lainnya

yaitu Mubarokah syariah, Tripakarta Cabang Syariah, Great Estern Cabang Syariah, Jasindo

Cabang Syariah, BSAM Cabang syariah, Bringin Cabang syariah dan sebagainya.

Perkembangan asuransi syariah dalam decade 2001 ke sini sungguh sangat mengembirakan,

terutama karena bersamaan dengan tumbuh dan berkembangnya bank-bank syariah serta

lembaga keuangan syariah lainnya seperti reksadana syariah, leasing syariah, obligasi

syariah, penggadaian syariah, pasar modal syariah, koperasi syariah, selain BMT dan BPRS

yang jauh sebelumnya sudah berkembang ke daerah-daerah. Dan, semakin lengkap dengan

munculnya KMK baru dari Menteri Keuangan, yang secara resmi mengatur keberadaan

asuransi yang dijalankan dengan prinsip-prinsip syariah.

Perusahaan asuransi Takaful sampai dengan tahun 2001 awal merupakan pemain

tunggal dalam asuransi syariah di Indonesia, namun peluang terbuka untuk usaha asuransi

syariah dengan adanya kebijakan pemerintah melalui SK. Menkeu No. 268/KMK.06/2002

tanggal 7 November 2002, yang memberi peluang bagi perusahaan asuransi konvensional

untuk menjalankan usahanya berbasis syariah melalui 3 (tiga) alternatif pendirian yaitu:

konversi langsung secara penuh dari asuransi konvensional ke asuransi syariah

dengan mengubah akad dan menghilangkan unsur maisir, gharar, dan riba.

Membentuk langsung lembaga asuransi syariah.

Membuka kantor cabang asuransi syariah atau devisi asuransi syariah.

Adapun perusahaan asuransi syariah dengan sistem dan prinsip Islami dari tahun 1994

sampai tahun 2002 antara lain :

1. Asuransi takaful keluarga berdiri tahun 1994

2. Asuransi takaful umum berdiri tahun 1995

3. Asuransi syariah mubarakah berdiri tahun 2001

4. MAA asuransi jiwa berdiri tahun 2001

5. Asih Grent Eastern berdiri tahun 2001

6. Tri pakarta berdiri tahun 2002

7. AJB Bumiputera sejahtera berdiri tahun 2002

8. BRIngin jiwa sejahtera berdiri tahun 2002

Sedangkan pada tahun 2012 kurang lebih terdapat 37 perusahaan yang berbasis

syariah Beriringan dengan perkembangan tersebut, perusahaan asuransi syariah yang telah

ada pada tanggal 14 agustus 2003 kemudian membentuk suatu wadah perkumpulan atau

asosiasi yaitu Asosiasi Asuransi Syariah Indonesia (AASI). AASI dibentuk selain wadah

media komunikasi sesama anggota, juga secara eksternal sebagai wadah resmi untuk

mewakili asuransi syariah, baik kepada pemerintah, legislative, maupun ke luar negeri.

Terutama dalam rangka membangun kerja sama dengan lembaga–lembaga serupa diluar

negeri yang menggunakan prinsip-prinsip syariah.

AASI sebagai wadah tunggal asuransi syariah telah menyiapkan sertifikasi ahli

asuransi syariah sebagaimana telah diatur dalam Keputusan Menteri Keuangan (KMK),

bekerja sama dengan BPPK DepKeu, LPKG Yayasan Artha Bhakti Depkeu, menyiapkan

edukasi program yaitu Certified Islamic Insurance Specialist (CIIS). Saat itu AASI telah

memberikan Sertifkasi Ahli Asuransi Syariah kepada tujuh orang dengan gelar professional

FIIS (Fellow Islamic Insurance Society), dan sekitar 20 Ajun Ahli Asuransi Syariah dengan

gelar professional AIIS ( Ajunt Islamic Asurance Society).

F. Peraturan Perasuransian di Indonesia

Di Indonesia hukum perasuransian tertulis di dalam KUH Perdata, KUHD (Kitab

Undang Undang Hukum Dagang), undang-undang, peraturan pemerintah dan keputusan

menteri. Peraturan perundangan perasuransian tersebut digunakan sebagai dasar acuan

pembinaan dan pengawasan atas usaha perasuransian di Indonesia sejak kolonial Belanda

sampai kini, baik itu asuransi yang konvensional maupun asuransi syariah. Karena usaha

perasuransian menyangkut kepentingan masyarakat banyak, khususnya berhubungan dengan

dana yang dikumpulkan oleh mereka yang cukup besar dan kadang-kadang berlangsung

untuk jangka waktu yang cukup lama maka peraturan mengenai asuransi ini jelas selalu

diperlukan up to date dan memenuhi perkembangan perekonomian masyarakat, terutama kini

masalah dengan asuransi syariah, maka RUU asuransi syariah yang kini usaha

pengasuransiannya mulai bertambah banyak sangatlah diperlukan adanya.

Tugas DPR dan pemerintah untuk menciptakan peraturan perasuransian bagi

masyarakat dan mengenalkan asuransi itu kepada masyarakat luas agar tercipta usaha bisnis

asuransi yang sehat dan halal, sehingga masyarakat yang menggunakan asuransi dapat

memperoleh perlindungan dan kepastian hukum. Selain itu dengan adanya bisnis asuransi

yang sehat maka perusahaan asuransi dapat menikmati hasil usahanya sebagaimana yang

mereka harapkan yang pada akhirnya tercipta pembangunan ekonomi yang baik di

masyarakat.

Sebagaimana alasan diatas maka sangat tepat apabila negara berusaha untuk

menciptakan kepastian dan payung hukum dengan mengeluarkan undang- undang usaha

perasuransian seperti yang tercantum dalam Undang-Undang RI No. 2 Tahun 1992 yang

dinyatakan berlaku pada tanggal 11 Pebruari 1992 sebagai pengganti peraturan yang dibuat

oleh kolonial Belanda. Selain itu, usaha pemerintah untuk mengembangkan bidang usaha

asuransi ini juga bisa dilihat dengan mengeluarkan berbagai peraturan tentang perizinan

usaha perusahaan asuransi dan keputusan menteri mengenai berbagai hal yang berkenaan

dengan keperluan asuransi.

Sebelum UU RI No. 2 Tahun 1992 ini berlaku usaha asuransi berdasarkan undang

undang penjajah Belanda merupakan bagian dari perjanjian kemungkinan

(Kansoverieenkomst), menurut KUH Perdata yang merupakan salah satu sumber hukum

asuransi, perjanjian asuransi ini dimasukkan ke dalam perjanjian kemungkinan

(Kansoverieenkomst pasal 1774 ayat 2 KUH Perdata) disebabkan karena dalam perjanjian

kemungkinan para pihak secara sengaja atau sadar menjalani suatu kesempatan untung-

untungan dimana prestasi timbal balik tidak seimbang.

Dapat dikatakan bahwa hukum asuransi atau pertanggungan di Indonesia dalam

bentuk dan pengertian yang terlihat pada waktu itu secara menyeluruh adalah berasal dari

hukum barat, hukum Belanda. Penguasa negeri Belanda lah yang mengimport asuransi selaku

bentuk hukum di Indonesia dengan mengundangkan Burgerlijke Wetboek dan Wetboek Van

Koophandle dengan suatu pengumuman pada tanggal 30 April 1847, termuat dalam Stateblad

18 nomor 23. Asuransi dalam pasal 1774 BW disebutkan sebagai contoh dari persetujuan

untung-untungan dan dalam Kitab Undang Undang Dagang (WVK) diatur secara umum

(Buku 1 Tittle 9) dan secara khusus mengenai asuransi kebakaran, asuransi pertanian,

asuransi jiwa (Buku 1 Tittle 10), asuransi laut (Buku 11 Tittle 9) dan asuransi pengangkutan

(Buku 11 Tittle 10). 7

Sekarang di negara merdeka Indonesia usaha perasuransian telah banyak di keluarkan

peraturan baik yang berupa undang-undang, Keputusan Presiden, Keputusan Menteri

Keuangan maupun peraturan lainnya. Peraturan yang dibuat sebelum Undang undang No. 2

Tahun 1992 tentang perasuransian ini tetap berlaku selama tidak bertentangan dengan undang

undang seperti Keputusan Presiden atau keputusan Menteri Keuangan.

Adapun peraturan perasuransian yang dimaksud antara lain adalah Keputusan

Presiden RI nomor 40 tahun 1988 tentang pengawasan dan pembinaan terhadap perusahaan

asuransi kerugian, Keputusan Menteri Keuangan Republik Indonesia nomor

1249/KMK.013/1988 tentang tata cara pelaksanaan usaha dibidang asuransi kerugian dan

Keputusan Menteri Keuangan nomor 1250/KMK.031/1988 tentang usaha asuransi jiwa .

Ketentuan yang disebutkan di atas dengan adanya undang- undang nomor 2 tahun

1992 tentang usaha perasuransian masih tetap berlaku. Hal itu sesuai dengan ketentuan pasal

26 undang- undang nomor 2 tahun 1992 yang berbunyi” peraturan perundang- undangan

mengenai usaha perasuransian yang mengenai yang telah ada pada saat undang- undang

mulai berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan undang- undang ini dinyatakan tetap

7 Projodikoro, Wirjono, Hukum Asuransi Di Indonesia, Jakarta, Pembimbing, 1954, Hal. 6

berlaku sampai peraturan perundang- undangan yang menggantikannya berdasarkan

undang- undang ini ditetapkan”. Adapun yang secara tegas dinyatakan tidak berlaku menurut

pasal 27 Undang- Undang Nomor 2 Tahun 1992 adalah Ordonanti Op Het Levensverzekering

Bedrijf ( Staatsblad Tahun 1941 Nomor 101).

Menurut peraturan lama, perjanjian asuransi tidak termasuk jenis perjanjian yang

secara khusus diatur dalam KUH Perdata, tetapi pengaturannya terdapat dalam KUHD (Kitab

Undang Undang Hukum Dagang). Walaupun demikian berdasakan pasal 1 KUHD, ketentuan

umum perjanjian dalam KUHP itu dapat berlaku pula bagi perjanjian asuransi. Di dalam

perkembangannya sendiri asuransi yang terdapat di dalam KUHD yang dapat dikatakan

sebagai asuransi komersial, tidak dapat sepenuhnya menampung risiko sosial dalam

masyarakat. Oleh karena itu kemudian muncul golongan asuransi sosial sebagai

pengembangan dari asuransi komersial yang terdapat dalam pasal 1 sub 3 Undang- Undang

Nomor 2 Tahun 1992 mengenai program asuransi sosial yaitu program asuransi yang

diselenggarakan secara wajib berdasarkan UU, dengan tujuan memberikan perlindungan

dasar bagi kesejahteraan masyarakat.

Di Indonesia sendiri sebagai negara kesejahteraan telah menyelenggarakan berbagai

jenis asuransi sosial yaitu diantaranya:

a) Asuransi Sosial Pegawai Negeri Sipil yang di atur dalam Peraturan Pemerintah

Nomor 25 dan 26 tahun 1981 (dulu dengan sebutan TASPEN yang di atur dalam PP

nomor 10 tahun 1963).

b) Dana Pertanggungan Wajib Kecelakaan Penumpang (UU Nomor 33 Tahun 1964 Jo

Peraturan Pemerintah Nomor 17 Tahun 1965).

c) Dana Kecelakaan Lalu Lintas Jalan (UU Nomor 34 Tahun 1964 Jo Peraturan

Pemerintah Nomor 18 Tahun 1965).

d) Pemeliharaan Kesehatan Pegawai Negeri Sipil Dan Penerima Pensiun beserta anggota

keluarganya yang diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 22 Tahun 1984. Jenis

asuransi ini dikenal dengan asuransi kesehatan.

e) Asuransi Sosial ABRI (diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 44 Tahun 1971 dan

Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 1971)

f) Asuransi Sosial Tenaga Kerja (ASTEK) yang diatur dalam Peraturan Pemerintah

Nomor 33 Tahun 1977 dan Peraturan Pemerintah Nomor 34 Tahun 1977. 8

Dengan demikian peraturan perundang-undangan yang digunakan sebagai dasar acuan

pembinaan dan pengawasan atas usaha perasuransian di Indonesia yang dipergunakan hingga

sampai saat ini adalah:

1. UU RI No. 2 Tahun 1992 tentang Usaha Perasuransian

2. PP No.73 tahun 1992 tentang Penyelenggaraan Usaha Perasuransian

3. PP No. 63 Tahun 1999 tentang perubahan PP No. 73 tahun 1992 tentang

Penyelenggaraan Usaha Perasuransian

4. PP No 39 Tahun 2008 tentang perubahan kedua atas PP No. 73 Tahun 1992 tentang

Penyelenggaraan Usaha Perasuransian

5. PP No. 81 Tahun 2008 tentang perubahan terakhir atas PP No. 73 Tahun 1992 tentang

Penyelenggaraan Usaha Perasuransian

6. Keputusan Menteri Keuangan, antara lain:

No.223/KMK.017/1993 tanggal 26 Februari 1993 tentang perizinan

perusahaan asuransi dan reasuransi.

No.224/KNE.017/1993 tanggal 26 Februari 1993 tentang kesehatan keuangan

perusahaan asuransi atau reasuransi.

No.225/KMK.017/1993 tanggal 26 Februari 1993 tentang penyelenggaraan

usaha perusahaan asuransi atau reasuransi.

No.226/CMK.017/1993 tanggal 26 Februari 1993 tentang perizinan dan

penyelenggaran kegiatan usaha perusahaan penunjang usaha asuransi. 9

Adapun secara lebih teknis operasional perusahaan asuransi/perusahaan reasuransi

berdasarkan prinsip syariah mengacu kepada SK Dirjen Lembaga Keuangan No.

4499/LK/2000 tentang Jenis, Penilaian, dan pembatasan Investasi Perusahaan Asuransi dan

Perusahaan Reasuransi dengan Sistem Syariah dan beberapa Keputusan Menteri Keuangan

(KMK) serta PMK dan juga di dalam beberapa fatwa DSN-MUI.10 Oleh karena asuransi

syariah masih terbatas dan belum diatur secara khusus dalam undang-undang inilah yang

8 Sastrawidjaja, Man Suparman. Hukum Asuransi, Bandung, Alumni. 1997. Hal.121

9 Sri Susilo,Y, dkk. Bank & Lembaga Keuangan Lain, Salemba Empat, Jakarta, 2000, hal. 21310 Wirdyaningsih, Dkk, Bank Dan Asuransi Islam Di Indonesia, Jakarta, Kencana, 2005, h, 204-205

menjadi kendala sampai saat ini walaupun rancangan undang undang (RUU) asuransi syariah

telah lama diajukan.

Dengan demikian perusahaan asuransi/perusahaan reasuransi berdasarkan prinsip

syariah mengacu kepada :

1. Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1992 tentang Usaha Perasuransian

2. Peraturan Pemerintah Nomor 73 Tahun 1992 tentang Penyelenggaraan Usaha

Perasuransian

3. PP No. 63 Tahun 1999 tentang perubahan PP No. 73 tahun 1992 tentang

Penyelenggaraan Usaha Perasuransian

4. PP No 39 Tahun 2008 tentang perubahan kedua atas PP No. 73 Tahun 1992

tentang Penyelenggaraan Usaha Perasuransian

5. PP No. 81 Tahun 2008 tentang perubahan terakhir atas PP No. 73 Tahun 1992

tentang Penyelenggaraan Usaha Perasuransian

6. SK Dirjen Lembaga Keuangan No. 4499/LK/2000 tentang Jenis, Penilaian,

dan pembatasan Investasi Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Reasuransi

dengan Sistem Syariah

7. Keputusan Menteri Keuangan (KMK), yaitu

KMK No. 422/KMK.06/2003 tentang Penyelenggaraan Usaha

Perusahaan Asuransi;

KMK No. 424/KMK.06/2003 tentang Kesehatan Keuangan

Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Reasuransi; dan

KMK No. 426/KMK.06/2003 tentang Perizinan Usaha dan

Kelembagaan Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Reasuransi.

8. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 18/PMK.010/2010 tentang Penerapan

Prinsip Dasar Penyelenggaraan Usaha Asuransi dan Usaha Reasuransi Dengan

Prinsip Syariah

9. Peraturan Menteri Keuangan nomor 11/PMK.010/2011 tentang Kesehatan

keuangan usaha asuransi dan usaha reasuransi dengan prinsip syariah

Di samping itu, perasuransian syariah di Indonesia juga diatur di dalam beberapa

fatwa DSN-MUI (Dewan Syariah Nasional Majlis Ulama Indonesia), antara lain :

1. Fatwa DSN-MUI No. 21/DSN-MUI/X/2001 tentang Pedoman Umum

Asuransi Syariah

2. Fatwa DSN-MUI No. 51/DSN-MUI/III/2006 tentang akad Mudharabah

Musyarakah pada Asuransi Syariah

3. Fatwa DSN-MUI No. 52/DSN-MUI/III/2006 tentang Akad Wakalah Bil Ujrah

Pada Asuransi dan Reasuransi Syariah

4. Fatwa DSN-MUI No. 58/DSN-MUI/III/2006 tentang akad Tabarru’ pada

Asuransi dan Reasuransi Syariah.

Fatwa Dewan Syariah Nasional (Dsn) No. 21 /Dsn-Mui/X/2001 Tentang pedoman

umum asuransi syariah berbunyi:

Pertama : Ketentuan Umum

1. Asuransi Syariah (Ta’min, Takaful atau Tadhamun) adalah usaha saling melindungi

dan tolong-menolong di antara sejumlah orang/pihak melalui investasi dalam bentuk

aset dan atau tabarru’ yang memberikan pola pengembalian untuk menghadapi resiko

tertentu melalui akad (perikatan) yang sesuai dengan syariah.

2. Akad yang sesuai dengan syariah yang dimaksud pada point (1) adalah yang tidak

mengandung gharar (penipuan), maysir (perjudian), riba, zhulm (penganiayaan),

risywah (suap), barang haram dan maksiat.

3. Akad tijarah adalah semua bentuk akad yang dilakukan untuk tujuan komersial.

4. Akad tabarru’ adalah semua bentuk akad yang dilakukan dengan tujuan kebajikan

dan tolong-menolong, bukan semata untuk tujuan komersial.

5. Premi adalah kewajiban peserta Asuransi untuk memberikan sejumlah dana kepada

perusahaan asuransi sesuai dengan kesepakatan dalam akad.

6. Klaim adalah hak peserta Asuransi yang wajib diberikan oleh perusahaan asuransi

sesuai dengan kesepakatan dalam akad.

Kedua: Akad dalam Asuransi

1. Akad yang dilakukan antara peserta dengan perusahaan terdiri atas akad tijarah dan

atau akad tabarru‘.

2. Akad tijarah yang dimaksud dalam ayat (1) adalah mudharabah. Sedangkan akad

tabarru’ adalah hibah.

3. Dalam akad, sekurang-kurangnya harus disebutkan :

a. hak & kewajiban peserta dan perusahaan;

b. cara dan waktu pembayaran premi;

c. jenis akad tijarah dan atau akad tabarru’ serta syarat-syarat yang disepakati,

sesuai dengan jenis asuransi yang diakadkan.

Ketiga: Kedudukan Para Pihak dalam Akad Tijarah & Tabarru’

1. Dalam akad tijarah (mudharabah), perusahaan bertindak sebagai mudharib

(pengelola) dan peserta bertindak sebagai shahibul mal (pemegang polis).

2. Dalam akad tabarru’ (hibah), peserta memberikan hibah yang akan digunakan untuk

menolong peserta lain yang terkena musibah. Sedangkan perusahaan bertindak

sebagai pengelola dana hibah.

Keempat : Ketentuan dalam Akad Tijarah & Tabarru’

1. Jenis akad tijarah dapat diubah menjadi jenis akad tabarru’ bila pihak yang tertahan

haknya, dengan rela melepaskan haknya sehingga menggugurkan kewajiban pihak

yang belum menunaikan kewajibannya.

2. Jenis akad tabarru’ tidak dapat diubah menjadi jenis akad tijarah.

Kelima : Jenis Asuransi dan Akadnya

1. Dipandang dari segi jenis asuransi itu terdiri atas asuransi kerugian dan asuransi jiwa.

2. Sedangkan akad bagi kedua jenis asuransi tersebut adalah mudharabah dan hibah.

Keenam : Premi

1. Pembayaran premi didasarkan atas jenis akad tijarah dan jenis akad tabarru‘.

2. Untuk menentukan besarnya premi perusahaan asuransi syariah dapat menggunakan

rujukan, misalnya tabel mortalita untuk asuransi jiwa dan tabel morbidita untuk

asuransi kesehatan, dengan syarat tidak memasukkan unsur riba dalam

penghitungannya.

3. Premi yang berasal dari jenis akad mudharabah dapat diinvestasikan dan hasil

investasinya dibagi-hasilkan kepada peserta.

4. Premi yang berasal dari jenis akad tabarru‘ dapat diinvestasikan.

Ketujuh : Klaim

1. Klaim dibayarkan berdasarkan akad yang disepakati pada awal perjanjian.

2. Klaim dapat berbeda dalam jumlah, sesuai dengan premi yang dibayarkan.

3. Klaim atas akad tijarah sepenuhnya merupakan hak peserta, dan merupakan

kewajiban perusahaan untuk memenuhinya.

4. Klaim atas akad tabarru‘, merupakan hak peserta dan merupakan kewajiban

perusahaan, sebatas yang disepakati dalam akad.

Kedelapan : Investasi

1. Perusahaan selaku pemegang amanah wajib melakukan investasi dari dana yang

terkumpul.

2. Investasi wajib dilakukan sesuai dengan syariah.

Kesembilan:Reasuransi

Asuransi syariah hanya dapat melakukan reasuransi kepada perusahaan reasuransi yang

berlandaskan prinsip syari’ah.

Kesepuluh : Pengelolaan

1. Pengelolaan asuransi syariah hanya boleh dilakukan oleh suatu lembaga yang

berfungsi sebagai pemegang amanah.

2. Perusahaan Asuransi Syariah memperoleh bagi hasil dari pengelolaan dana yang

terkumpul atas dasar akad tijarah (mudharabah).

3. Perusahaan Asuransi Syariah memperoleh ujrah (fee) dari pengelolaan dana akad

tabarru’ (hibah).

Kesebelas : Ketentuan Tambahan

1. Implementasi dari fatwa ini harus selalu dikonsultasikan dan diawasi oleh DPS.

2. Jika salah satu pihak tidak menunaikan kewajibannya atau jika terjadi perselisihan di

antara para pihak, maka penyelesaiannya dilakukan melalui Badan Arbitrasi Syari’ah

setelah tidak tercapai kesepakatan melalui musyawarah.

3. Fatwa ini berlaku sejak tanggal ditetapkan, dengan ketentuan jika di kemudian hari

ternyata terdapat kekeliruan, akan diubah dan disempurnakan sebagaimana mestinya.

G. Kesimpulan

Usaha perasuransian dapat diartikan sebagai salah satu bentuk lembaga keuangan

bukan bank yang menjanjikan perlindungan kepada pihak tertanggung (pihak yang

mengasuransikan sesuatu) agar apabila terjadi sesuatu dengan yang diasuransikan tersebut di

masa mendatang, pihak tertanggung akan memperoleh uang untuk mengganti (mengurangi)

kerugian yang terjadi dari pihak penanggung (lembaga asuransi).

Dalam Undang Nomor 2 Tahun 1992, dirumuskan definisi asuransi yang lebih

lengkap jika dibandingkan dengan rumusan yang terdapat dalam Pasal 246 KUHD. Menurut

ketentuan Pasal 1 angka (1) Undang-undang Nomor 2 Tahun 1992: Asuransi atau

pertanggungan adalah perjanjian antara 2 (dua) pihak atau lebih, dengan mana pihak

penanggung mengikatkan diri kepada tertanggung dengan menerima premi asuransi, untuk

memberikan penggantian kepada tertanggung karena kerugian kerusakan atau kehilangan

keuntungan yang diharapkan atau taggung jawab hukum kepada pihak ketiga yang mungkin

akan diderita tertanggung, yang timbul dan suatu peristiwa tidak pasti atau untuk memberikan

suatu pembayaran yang didasarkan atas rneninggal atau hidupnya seseorang yang

dipertanggungkan.

Peraturan perundang-undangan tentang perasuransian di Indonesia diatur dalam

beberapa tempat, antara lain dalam kitab Undang-Undang Hukum Dagang (KUHD), UU No.

2 Tahun 1992 tentang Usaha Perasuransian, PP No. 63 tahun 1999 tentang perubahan atas PP

No. 73 Tahun 1992 tentang Penyelenggaraan Usaha Perasuransian serta aturan-aturan lain

yang mengatur Asuransi Sosial yang diselenggarakan oleh BUMN Jasa Raharja (Asuransi

Sosial Kecelakaan Penumpang), Astek (Asuransi Sosial Tenaga Kerja), dan Askes (Asuransi

Sosial Pemeliharaan Kesehatan).

DAFTAR PUSTAKA

Abdul Nasih Ulwan, Hukm Al Islam Fi Alta’min, Beirut:Dar Al Salam, 1980.

Abdulkadir Muhammad, Hukum Asuransi Indonesia, Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 1999

Abdullah, Daud Vicary Dan Keon Chee, Buku Pintar Keuangan Syaria, Jakarta: Zaman,2012

Hasanuddin Rahman, Aspek–Aspek Hukum Pemberian Kredit Perbankan di Indonesia,Bandung : Penerbit PT. Citra Aditya Bakti, , 1995.

Mashudi, dan Moch. Chidir Ali, Hukum Asuransi, Jakarta: CV. Mandar Maju, 1995

Muhammad Syakir Sula, Asuransi Syariah Konsep dan Sistem Operasional, Jakarta: GemaInsani Pers, 2004.

Nurul Ichsan, Takaful Konsep Asuransi Dalam Islam, Jakarta: Kalam Mulia, 2011.

Sastrawidjaja, Man Suparman. Hukum Asuransi. Bandung: Alumni. 1997.

Sri Susilo,Y, dkk, Bank & Lembaga Keuangan Lain, Jakarta: Salemba Empat, 2000.

Undang – Undang Usaha Perasuransian Jaminan Sosial Tenaga Kerja Perbankan 1992,Penerbit CV. Eko Jaya, Jakarta, 1992

Wirdyaningsih, Dkk. Bank Dan Asuransi Islam Di Indonesia, Jakarta: Kencana, 2005.

Wirjono Prodjodikoro, Hukum Asuransi di Indonesia, Jakarta: PT Intermasa, 1986

Zainuddin Ali, Hukum Asuransi Syariah, Jakarta: Sinar Grafika. 2008.