perbandingan implementasi peraturan ...etheses.uin-malang.ac.id/20469/1/16210109-khoirul...
TRANSCRIPT
PERBANDINGAN IMPLEMENTASI PERATURAN MAHKAMAH
AGUNG NOMOR 3 TAHUN 2017 TENTANG PEDOMAN MENGADILI
PERKARA PEREMPUAN BERHADAPAN DENGAN HUKUM DALAM
PERKARA PERCERAIAN
(Studi di Pengadilan Agama dan Pengadilan Negeri Kota Madiun)
Skripsi
oleh
Khoirul Faridah
NIM : 16210109
PROGRAM STUDI HUKUM KELUARGA ISLAM
FAKULTAS SYARIAH
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI MAULANA MALIK IBRAHIM MALANG
2020
ii
PERNYATAAN KEASLIAN SKRIPSI
Demi Allah,
Dengan kesadaran dan rasa tanggung jawab terhadap pengembangan keilmuan,
penulis menyatakan bahwa skripsi dengan judul:
PERBANDINGAN IMPLEMENTASI PERATURAN MAHKAMAH
AGUNG NOMOR 3 TAHUN 2017 TENTANG PEDOMAN MENGADILI
PERKARA PEREMPUAN BERHADAPAN DENGAN HUKUM DALAM
PERKARA PERCERAIAN
(Studi di Pengadilan Agama dan Pengadilan Negeri Kota Madiun)
Benar benar merupakan karya ilmiah yang disusun sendiri, bukan duplikat atau
memindah data milik orang lain, kecuali yang disebutkan refrensinya secara benar.
Jika dikemudian hari terbukti disusun orang lain, ada penjiplakan, duplikasi, atau
memindah data orang lain, baik secara keseluruhan atau sebagian, maka skripsi dan
gelar sarjana yang diperoleh karenanya, batal demi hukum.
Malang, 03 Maret 2020
Penulis,
Khoirul Faridah
NIM 1621009
iii
HALAMAN PERSETUJUAN
Setelah membaca dan mengoreksi skripsi saudara Khoirul Faridah, NIM 16210109,
Program Studi Hukum Keluarga Islam Fakultas Syariah Universitas Islam Negeri
Maulana Malik Ibrahim Malang dengan judul:
PERBANDINGAN IMPLEMENTASI PERATURAN MAHKAMAH
AGUNG NOMOR 3 TAHUN 2017 TENTANG PEDOMAN MENGADILI
PERKARA PEREMPUAN BERHADAPAN DENGAN HUKUM DALAM
PERKARA PERCERAIAN.
(Studi di Pengadilan Agama dan Pengadilan Negeri Kota Madiun)
Maka pembimbing menyatakan bahwa skripsi tersebut telah memenuhi syarat-syarat
ilmiah untuk diajukan dan diuji pada Majelis Dewan Penguji.
Mengetahui, Malang, 03 Maret 2020
Ketua Program Studi Hukum
Keluarga Islam
Dosen Pembimbing
Dr. Sudirman, M.A
NIP. 197708 22200501 1 003
Iffaty Nasyi’ah, SH, M.HI
NIP. 197606082009012007
iv
HALAMAN PENGESAHAN
Dewan Penguji Skripsi saudara Khoirul Faridah, NIM 16210109, mahasiswa
Program Studi Hukum Keluarga Islam Fakultas Syariah Universitas Islam Negeri
Maulana Malik Ibrahim Malang, dengan judul:
PERBANDINGAN IMPLEMENTASI PERATURAN MAHKAMAH
AGUNG NOMOR 3 TAHUN 2017 TENTANG PEDOMAN MENGADILI
PERKARA PEREMPUAN BERHADAPAN DENGAN HUKUM DALAM
PERKARA PERCERAIAN.
(Studi di Pengadilan Agama dan Pengadilan Negeri Kota Madiun)
Telah dinyatakan lulus
Dewan Penguji:
1. Dr. Sudriman, M.A. ( )
NIP. 197708 22200501 1 003 Ketua
2. Iffaty Nasyi’ah, SH, M.HI. ( )
NIP. 197606082009012007 Sekretaris
3. Musleh Herry, S.H, M.Hum. ( )
NIP.196807101999031002 Penguji Utama
Malang, 28 Maret 2020
Dekan,
v
MOTTO
ممم وافبما رحمة مهن الله لنت لمم ولوم كنت فظها غليظ المقلمب لانفض ل فافم فن م ت غمف وام منم ووم رم سم
ب الممت وكهلن لمم وشاورمهمم ف الأممر فإذا فزممت ف ت وكلم فلى الله إن الله ي
Artinya:
“Maka berkat rahmat Allah engkau (Muhammad) berlaku lemah lembut terhadap
mereka. Sekiranya engkau bersikap keras dan berhati kasar, tentulah mereka
menjauhkan diri dari sekitarmu. Karena itu maafkanlah mereka dan mohonkanlah
ampunan untuk mereka, dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan itu.
Kemudian, apabila engkau telah membulatkan tekad, maka bertawakallah kepada
Allah. Sungguh, Allah Mencintai orang yang bertawakal” (Al-Imran : 159)
vi
PEDOMAN TRANSLITERASI
A. Umum
Transliterasi adalah pemindah alihan tulisan Arab ke dalam tulisan
Indonesia (Latin), bukan terjemah bahasa Arab ke dalam bahasa Indonesia. termasuk
dalam kategoriini ialah nama Arab dari bangsa Araba, sedangkan nama Arab dari
bangsa Arab ditulis sebagaimana ejaan bahasa nasionalnya, atau sebagaimana yang
tertulis dalam buku yang menjadi rujukan. Penulisan judul buku dalam footnote
maupun daftar pustaka, tetap menggunakan ketentuan
transliterasi.
Banyak pilihan dan ketentuan transliterasi yang dapat digunakan dalam
penulisan karya ilmiah, baik yang standar internasional, nasional maupun ketentuan
yang khusus digunakan penerbit tertentu. Transliterasi yang digunakan Fakultas
Syariah Universitas Islam Negeri (UIN) Maulana Malik Ibrahim Malang
menggunakan EYD plus, yaitu transliterasi yang didasarkan atas Surat Keputusan
Bersama (SKB) Menteri Agama Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia, 22
Januari 1998, No. 159/1987 dan 0543.b/U/1987, sebagaimana tertera dalam buku
Pedoman Transliterasi bahasa Arab (A Guidge Arabic Transliteration), INIS Fellow
1992.
B. Konsonan
dl = ض tidak dilambangkan = ا
th = ط b = ب
dh = ظ t = ت
(koma menghadap ke atas) ‘ = ع tsa = ث
gh = غ j = ج
f = ف h = ح
vii
q = ق kh = خ
k = ك d = د
l = ل dz = ذ
m = م r = ر
n = ن z = ز
w = و s = س
h = ه sy = ش
y = ي sh = ص
Hamzah (ء) yang sering dilambangkan dengan alif, apabila terletak diawal
kata maka dalam transliterasinya mengikuti vokalnya, tidak dilambangkan, namun
apabila terletak di tengah atau akhir kata, maka dilambangkan dengan tanda koma di
atas (ʼ), berbalik dengan koma (‘) untuk pengganti lambing "ع" .
C. Vokal, Panjang dan Diftong
Setiap penulisan Bahasa Arab dalam bentuk tulisan latin vocal fathah ditulis
dengan “a” , kasrah dengan “I”, dlommah dengan “u”, sedangkan panjang
masing-masing ditulis dengan cara berikut :
Vokal (a) panjang = â misalnya قال menjadi qâla
Vokal (i) panjang = ȋ misalnya قيل menjadi qȋla
Vokal (u) panjang = û misalnya دون menjadi dûna
Khususnya untuk bacaan ya’ nisbat, maka tidak boleh digantikan dengan
“i”, melainkan tetap ditulis dengan “iy” agar dapat menggambarkan ya’ nisbat
diakhirnya. Begitu juga untuk suara diftong, wasu dan ya’ setelah fathah ditulis
dengan “aw” dan “ay”. Perhatikan contoh berikut :
Diftong (aw) = و misalnya قول menjadi qawlun
Diftong (ay) = ي misalnya خير menjadi khayrun
viii
D. Ta’marbûthah (ة)
Ta’ marbûthah (ة) ditransliterasikan dengan “t” jika berada di tengah kalimat,
tetapi ta’ marbûthah tersebut berada di akhir kalimat, maka ditransliterasikan dengan
menggunakan “h” misalnya الرسلة للمدريسة menjadi al-risala li-mudarrisah, atau
apabila berada di tengah-tengah kalimat yang terdiri dari susunan mudlaf dan mudlaf
ilayh, maka ditransliterasikan dengan menggunakan “t” yang disambungkan dengan
kalimat berikut, misalnya في رحمة
.menjadi fi rahmatillâh الله
E. Kata Sandang dan Lafdh al-Jalâlah
Kata sandang berupa “al” )ال( dalam lafadh jalâlah yang berada di tengah-
tengah kalimat yang disandarkan (idhafah) maka dihilangkan. Perhatikan contoh-
contoh berikut :
1. Al-Imâm al-Bukhâriy mengatakan………………………
2. Al-Bukhâriy dalam muqaddimah kitabnya menjelaskan …………..
3. Masyâ’Allah kânâ wa mâlam yasyâ lam yakun
4. Billâh ‘azza wa jalla
F. Hamzah
Hamzah ditransliterasikan dengan apostrof. Namun itu hanya berlaku bagi
hamzah yang terletak di tengah dan di akhir kata. Bila terletak di awal kata, hamzah
tidak dilambangkan, karena dalam tulisan Arab berupa alif.
Contoh : شيء - syai’un أمرت - umirtu
ta’khudzûna- تأخذون an-nau’un - النون
G. Penulisan Kata
Pada dasarnya setiap kata, baik fi’il (kata kerja), isim atau huruf, ditulis
terpisah. Hanya kata-kata tertentu yang penulisannya dengan huruf Arab sudah lazim
dirangkaikan dengan kata lain, karena ada huruf Arab atau harakat yang dihilangkan,
ix
maka dalam transliterasi ini penulisan kata tersebut dirangkaikan juga dengan kata
lain yang mengikutinya.
Contoh : خير الرازقين وإن الله لهو - wa innalillâha lahuwa khairar-râziqȋn.
Meskipun dalam sistem tulisan Arab huruf kapital tidak dikenal, dalam
transliterasi ini huruf tersebut digunakan juga. Penggunaan huruf kapital seperti yang
berlaku dalam EYD, diantaranya huruf kapital digunakan untuk menuliskan oleh
kata sandang, maka yang ditulis dengan huruf kapital tetap awal nama diri tersebut,
bukan huruf awal kata sandangnya.
Contoh : وما محمد إلا رسول = wa maâ Muhammadun illâ Rasûl
inna Awwala baitin wu dli’a linnâsi = إن أول بيت وضع للنس
Penggunaan huruf kapital untuk Allah hanya berlaku bila dalam tulisan
arabnya memang lengkap demikian dan jika penulisan itu disatukan dengan kata lain
sehingga ada huruf atau harakat yang dihilangkan, maka huruf kapital tidak
dipergunakan.
Contoh : ن الله و فتح قريبنصر م = nasاrun minallâhi wa fathun qarȋb
lillâhi al-amru jamȋ’an = لله الامرجميعا
Begi mereka yang menginginkan kefasihan dalam bacaan, pedoman transliterasi
merupakan bagian yang tidak terpisahkan dengan ilmu tajwid.
x
KATA PENGANTAR
بسم الله الرهحن الرهويم
Segala puji dan syukur hanyalah kepada Allah SWT, Dzat yang telah
melimpahkan nikmat dan karunia kepada kita semua, khususnya kepada peneliti
sehingga peneliti mampu menyelesaikan skripsi dengan judul
PERBANDINGAN IMPLEMENTASI PERATURAN MAHKAMAH
AGUNG NOMOR 3 TAHUN 2017 TENTANG PEDOMAN MENGADILI
PERKARA PEREMPUAN BERHADAPAN DENGAN HUKUM DALAM
PERKARA PERCERAIAN
(Studi di Pengadilan Agama dan Pengadilan Negeri Kota Madiun)
Shalawat dan salam senantiasa kita haturkan atas Nabi Muhammad sallahu
alaihi wasallam yang telah membawa kita dari jaman kegelapan menuju jaman yang
terang benerang yakni dinul islam. Penyusunan skripsi ini dimaksudkan untuk
memenuhi salah satu persyaratan dalam menyelesaikan progam Sarjana Hukum
Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim Malang dan sebagai wujud serta
partisipasi peneliti dalam mengembangkan ilmu-ilmu yang telah peneliti peroleh
dibangku kuliah khususnya di Jurusan Hukum Keluarga Islam Fakultas Syariah.
Peneliti mengucapkan terimakasih yang sebesar-besarnya kepada semua
pihak yang telah membantu peneliti dalam menyelesaikan penyusunan skripsi ini,
baik secara langsung maupun tidak langsung, oleh karena itu perkenankan peneliti
berterimakasih kepada:
1. Prof. Dr. Abdul Haris M.Ag selaku Rektor Universitas Islam Negeri Maulana
Malik Ibrahim Malang.
2. Dr. Saifullah, S.H, M.Hum. selaku Dekan Fakultas Syariah (UIN) Maulana Malik
Ibrahim Malang.
xi
3. Dr. Sudirman, M.Ag selaku Ketua Jurusan Hukum Keluarga Islam Universitas
Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim Malang.
4. Iffaty Nasyi’ah, S.H., M.HI., selaku dosen pembimbing yang telah membimbing
dan menggerakkan peneliti dalam menyusun skripsi.
5. Dr. H. Isroqunnajah, M. Ag. selaku dosen wali peneliti yang telah menjadi “ayah”
selama peneliti menjadi mahasiswa di Universitas Islam Negeri Maulana Malik
Ibrahim Malang;
6. Segenap Dosen dan Staff Fakultas Syariah Universitas Islam Negeri Maulana
Malik Ibrahim Malang.
7. Hakim yang ada di Pengadilan Agama dan Pengadilan Negeri Kota Madiun yaitu
Ahmad Imron, S.HI., MH. Syarifah Isnaeni, S.Ag., M.H. Alfian Yusuf, S.HI. Ni
Kadek Kusuma Wardani, SH.,MH Murdian Eka Wati, S.H., M.H selaku hakim
yang memutus perkara, kemudian staff di Pengadilan Agama dan Pengadilan
Negeri Kota Madiun yaitu, Drs. Khusnul Salim Rishandayono Sukarno, S.H
Ambo Dele, S.H.,M.H. yang telah bersedia memberikan banyak ilmunya guna
menyempurnakan penelitian ini.
8. Kedua orangtua penulis Bapak Abdul Halim, S.H. dan ibu Siti Zubaidah yang
telah memberikan semangat, motivasi, kasih sayang, doa, serta segala
pengorbanan untuk ananda dalam mendidik serta mengiringi perjalanan peneliti
hingga dapat menyelesaikan skripsi ini.
9. Untuk beliau K.H M. Chusaini Al-Hafidz dan Segenap Keluarga Ndalem yang
telah menjadi Guru sekaligus Orangtua yang senantiasa memberikan motivasi,
kasih sayang, Doa untuk ananda dalam mendidik serta mengiringi perjalanan
peneliti hingga dapat menyelesaikan skripsi ini.
10. Untuk adik-adikku tercinta Muhammad Abdul Latif dan Muhammad Ahsin
Maulana serta keluarga besarku yang selalu memberikan motivasi dan doa dalam
setiap langkaku.
11. Teman teman dan sahabatku kamar Juwayiyah di PPTQ Nurul Furqon Malang,
Ning Shofi, Mbak Ami, Mbak Sella, Diva, Mbak Nita, Mbak Hani, Mbak Nila,
Mbak Badriyah, Mbak Halim, Mbak Rahma, Mbak Shobi, Mbak Ratna, Mbak
xii
Khusnul, Aulia, Rachel, Elly yang sudah banyak direpotkan oleh peneliti terima
kasih banyak untuk tidak pernah lelah membantu dan mensuport.
12. Sahabat sambatku Rissa Canggista Ngabriba, Isnaini Lailatu Firtria, dan teman
yang selalu direpotkan, terimakasih atas dukungan dan motivasinya dalam
penulisan skripsi.
13. Untuk teman-teman ASC 2016 atas dukungan dan motivasinya dalam penulisan
skripsi.
14. Keluarga besar PPTQ Nurul Furqon yang tidak dapat peneliti sebutkan satu
persatu, terimakasih untuk semua bantuan, motivasi dan doa nya.
15. Kepada semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu yang telah dengan
tulus membantu penyusunan skripsi.
xiii
xiv
ABSTRAK
Khoirul Faridah, NIM 16210109, 2020. Perbandingan Implementasi Peraturan
Mahkamah Agung Nomor 3 Tahun 2017 Tentang Pedoman Mengadili Perkara
Perempuan Berhadapan Dengan Hukum Dalam Perkara Perceraian. (Studi Di
Pengadilan Agama Dan Pengadilan Negeri Kota Madiun) Skripsi. Program
Studi Hukum Keluarga Islam, Fakultas Syariah, Universitas Islam Negeri
Maulana Malik Ibrahim Malang. Pembimbing: Iffaty Nasyi’ah, S.H., M.HI.
Kata Kunci: Implementasi, Perkara Perempuan, Perceraian.
Terdapat perbedaan dalam implementasi Peraturan Mahkamah Agung Nomor
3 Tahun 2017 Tentang Pedoman Mengadili Perkara Perempuan Berhadapan Dengan
Hukum. Peraturan ini mencakup pelayanan publik, proses beracara, dan putusan.
Sehingga peneliti membandingkan implementasinya pada Pengadilan Agama dan
Pengadilan Negeri.Tujuan penelitian ini untuk membandingan implementasi
Peraturan Mahkamah Agung Nomor 3 Tahun 2017 Tentang Pedoman Mengadili
Perkara Perempuan Berhadapan Dengan Hukum pada perkara perceraian di
Pengadilan Agama dan Pengadilan Negeri Kota Madiun.
Metode dalam penelitian ini menggunakan jenis penelitian hukum yuridis
empiris. Pendekatan penelitian menggunakan yuridis sosiologis, yang hasilnya
diuraikan dalam bentuk kalimat deskriptis analitis. Lokasi penelitian di Pengadilan
Agama dan Pengadilan Negeri Kota Madiun. Data utama dalam penelitian yakni
wawancara 4 hakim dari dua lembaga, data sekunder berupa buku, putusan, jurnal,
dan data tersier berupa Al-Quran. Metode dalam pengumpulan data dengan cara
wawancara, observasi dan dokumentasi kemudian data diolah diuraikan dalam bentuk
hasil penelitian.
Peraturan Mahkamah Agung Nomor 3 Tahun 2017 Tentang Pedoman Mengadili
Perkara Perempuan Berhadapan Dengan Hukum telah diterapkan secara efektif pada
Pengadilan Agama dan Pengadilan Negeri Kota Madiun. Namun putusan adalah
bukti tertulis yang berkekuatan hukum tetap dalam penerapan implementasi Peraturan
Mahkamah Agung Nomor 3 Tahun 2017 pada pengadilan. Perbedaan yang terlihat
pada putusan yang dipengaruhi oleh proses persidangan pada Pengadilan Agama
yang dipengaruhi oleh doktrin-doktrin islam sehingga putusan yang dikeluarkan
berbeda dengan putusan yang dikeluarkan oleh Pengadilan Negeri walaupun
keduanya sama-sama telah mengimplementasikan peraturan ini. Putusan dari
Pengadilan Agama dalam proses pemeriksaan perkara pengadilan agama dipengaruhi
oleh doktrin keagamaan dalam mengadili sehingga berperngaruh pada pemutusan
perkara. Sehingga teori Hukum Islam menjelaskan bahwa tujuan Hukum Islam adalah
kemaslahatan. Sedangkan pada Pengadilan Negeri, dalam penggalian fakta hukum
oleh hakim lebih cenderung mengunakan asas keadilan yang ditekankan dalam
pembentukan putusan.
xv
ABSTRACT
Khoirul Faridah, NIM 16210109, 2020. Comparison of the Implementation of
Supreme Court Regulation Number 3 of 2017 concerning Guidelines for
Judging Women's Cases in Dealing with Laws in Divorce Cases. (Study in
the Religious Courts and the District Court of Madiun City) Thesis. Islamic
Family Law Study Program, Faculty of Sharia, Maulana Malik Ibrahim State
Islamic University of Malang. Supervisor: Iffaty Nasyi’ah, S.H., M.HI.
Keywords: Implementation, Women's Case, divorce.
Weak injustices in the state of law create polemic in society, encouraging the
Government to continue to study and strengthen regulations that have been promulred
but not maximally in protecting women's rights. Many times women as litigants
experience discrimination and injustices in resolving problems with the law. It is not
uncommon to result in the cause of women facing this law. So it requires the escort of
the community related to justice and non discrimination that is still commonly
encountered in this country. Therefore, the study will discuss the implementation of
implementing the Supreme Court Regulation No. 3 of 2017 on guidelines for
prosecute women's issues with the law in religious courts and the District Court of
Madiun
The method in this study uses a type of research law empirical. The research
approach uses sociological juridical, whose results are outlined in the form of
analytical descriptic sentences. Research location in the religious court and District
Court of Madiun. The main data in the study is 4 judges from two institutions,
secondary data in the form of books, decisions, journals, and tertiary data in the form
of the Koran. Methods of collecting data by way of interviews, observations and
documentation then the data is processed in the form of research results.
Supreme Court Regulation No. 3 of 2017 concerning Guidelines for Judging
Women's Cases Confronting the Law has been effectively applied to the Religious
Courts and the District Court of Madiun City. The verdict is written evidence that has
legal force on the implementation of the Supreme Court Regulation No. 3 of 2017 at
the court. The difference is seen in the decisions that are influenced by the
proceedings at the Religious Courts which are influenced by Islamic doctrines so that
the decisions issued differ from those issued by the District Court even though both
of them have implemented this regulation. Decisions of the Religious Courts in the
process of examining religious court cases are influenced by religious doctrines in
prosecuting such that they affect the termination of the case. So the theory of Islamic
Law explains that the purpose of Islamic Law is benefit. Whereas in the District
Court, in extracting legal facts by judges it is more likely to use the principle of
justice which is emphasized in the formation of decisions.
xvi
ملخص البحث
3. مقارنة التطبيق التنظيم المحكمة العليا رقم 2020، 16210109خير الفريدة،
عن المبادئ التوجيهية المسألة الإمرأة التي توجه بحكم في المسألة 2017عام
حكمة الحكومية مدينة ماديون(. البحث الطلاقية. )الدراسة في المحكمة الدينية والم
العلمي. قسم الأحوال الشخصية، كلية الشريعة، جامعة مولانا مالك إبراهيم الإسلامية
الحكومية مالانج. المشرفة: عفاة ناشئة الماجستير.
الكلمات المفتاحيات: تطبيق، المسألة الإمرأة، الطلاقية.
لظلم في هذا البلاد الحكم جدليا في المجتمع، حتى يرغم الحكومة لبحث يطلع ضعف ا
مرة ويؤكد التنظيمات التي يدعى. بل، لا تقصي في حفظ حقائق المرأة. طالما تكابد
المرأة المتقاضية تمييزا وظلما في انتهاء المسألة الحكمية. لايندر حاصل التقرير
جانب واحد. حتى يحتاج مواكبة من المجتمع للمسألة المرأة التي توجه بهذا الحكم من
يرتبط على قائم العدل ولا تمييز الذي يكتشف كثيرا في هذا البلاد. حتى ستبحث
عن المبادئ 2017عام 3الباحثة عن مقارنة التطبيق التنظيم المحكمة العليا رقم
سة في التوجيهية المسألة الإمرأة التي توجه بحكم في المسألة الطلاقية. )الدرا
المحكمة الدينية والمحكمة الحكومية مدينة ماديون(.
تستخدم الطريقة في هذا البحث تجريبيا قانونيا. يستخدم النهج البحث قانونيا
إجتماعيا، ويتبين حاصله بالجملة الوصفية التحليلية. المكان البحث في المحكمة
سية في هذا البحث هي الدينية والمحكمة الحكومية مدينة ماديون. البيانات الرئي
الحكام من هيئتين، البيانات الثانوية بالكتب، التقريرية، السجل، 4المقابلة مع
والبيانات الجامعية بالقرأن الكريم. الطريقة لجمع البيانات بالمقابلة، الملاحظة،
والتوثيقة ثم تدار البيانات بالشكل الحاصل البحث.
عن المبادئ 2017عام 3العليا رقم حاصل البحث، بتطبيق تنظيم المحكمة
التوجيهية المسألة الإمرأة التي توجه بحكم فحقائق المرأة التي مازلها تصرف عن
عن 2017عام 3كثيرا ستحفظ جيدا. الدليل من التطبيق التنظيم المحكمة العليا رقم
الحاكم. المبادئ التوجيهية المسألة الإمرأة التي توجه بحكم يكون التقرير الذي يقرر
حتى تكتشف الباحثة الفرق في العملية المحاكمة التي ستؤثر التقرير الذي يخرج
المحكمة الدينية والمحكمة الحكومة مدينة ماديون.
xvii
DAFTAR ISI
HALAMAN SAMPUL ....................................................................................... i
HALAMAN JUDUL ........................................................................................... i
PERNYATAAN KEASLIAN SKRIPSI .......................................................... ii
HALAMAN PERSETUJUAN ........................................................................iii
HALAMAN PENGESAHAN .......................................................................... iv
HALAMAN MOTTO ....................................................................................... v
PEDOMAN TRANSLITERASI ..................................................................... vi
KATA PENGANTAR ....................................................................................... x
ABSTRAK .......................................................................................................xiii
ABSTRACT .................................................................................................... xiv
xv ......................................................................................................... ملخص البحث
DAFTAR ISI ................................................................................................... xvi
DAFTAR TABEL .......................................................................................... xix
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang .................................................................................... 1
B. Rumusan Masalah .............................................................................. 8
C. Tujuan Penelitian ................................................................................ 9
D. Manfaat Penelitian ............................................................................. 9
E. Definisi Operasioal ........................................................................... 10
F. Sistematika Pembahasan .................................................................. 12
xviii
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
A. Penelitian Terdahulu ......................................................................... 15
B. Kajian Pustaka . ................................................................................ 22
1. Tinjauan Umum Teori Perceraian ............................................. 22
a. Pengertian Perceraian ....................................................... 22
b. Macam-macam Perceraian ............................................... 23
c. Alasan Perceraian .............................................................. 27
d. Akibat Hukum dari Perceraian .......................................... 28
2. Peraturan Mahkamah Agung Nomor 3 Tahun 2017 .................. 30
a. Latar Belakang Dibentuknya Peraturan Mahkamah Agung
Nomor 3 Tahun 2017 ....................................................... 30
b. Isi Peraturan Mahkamah Agung Nomor 3 Tahun 2017 .... 36
3. Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 3 Tahun 2018 ............. 38
4. SK KMA No. 026 Tahun 2012 Tentang Standar Pelayanan
Publik .......................................................................................... 38
BAB III METODE PENELITIAN
A. Jenis Penelitian .................................................................................. 47
B. Pendekatan Penelitian ....................................................................... 47
C. Lokasi Penelitian ............................................................................... 49
D. Jenis dan Sumber Data ..................................................................... 49
E. Metode Pengumpulan Data .............................................................. 52
F. Metode Penentuan Subyek ............................................................... 55
xix
G. Metode Pengolahan Data ................................................................. 56
BAB IV PAPARAN DATA DAN ANALISIS
A. Gambaran Umum Objek Penelitian ................................................... 61
B. Paparan Data ..................................................................................... 75
C. Analisis ............................................................................................. 98
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan ...................................................................................... 161
DAFTAR PUSTAKA .................................................................................... 164
LAMPIRAN ................................................................................................... 170
DAFTAR RIWAYAT HIDUP ..................................................................... 245
xx
DAFTAR TABEL
Tabel 1.1 Penelitian Terdahulu .......................................................................... 20
Tabel 1.2 Data Interviewer ................................................................................. 53
Tabel 1.3 Data Informan .................................................................................... 55
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Perlindungan terhadap warga negara dari segala tindakan diskriminasi
merupakan implementasi dari hak konstitusional sebagaimana tertuang dalam
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.1 Salah satunya
terdapat pada payung hukum Peraturan Mahkamah Agung Nomor 3 Tahun 2017
tentang Pedoman Mengadili Perempuan Berhadapan Dengan Hukum.
Pengadilan Agama dan Pengadilan Negeri menangani kasus perdata yang
sama, yaitu perceraian. Dimana kedua lembaga tersebut menjadi jalan bagi
1 Peraturan Mahkamah Agung Nomor 3 Tahun 2017
2
pasangan yang ingin memutus tali pernikahan antara mereka yang sah dimata
hukum dan negara. Dalam prosesnya setiap lembaga, Pengadilan Agama ataupun
Pengadilan Negeri telah berpacu pada semua aturan yang telah ditetapkan.
Namun, dalam hukum materiil ataupun substansinya di Pengadilan Agama dan
Pengadilan Negeri Kota Madiun mempunyai beberapa perbedaan dalam
mengimplementasikan Peraturan Mahkamah Agung Nomor 3 Tahun 2017
tentang pedoman mengadili perkara perempuan yang berhadapan dengan hukum
pada kasus perceraian. Sehingga perbandingan implementasi Peraturan
Mahkamah Agung Nomor 3 Tahun 2017 ini sangat menarik bila diulik lebih
dalam.
Pengadilan Agama sendiri mempunyai wewenang dalam mengadili yakni
Kewenangan absolut yaitu memeriksa, memutuskan, dan menyelesaikan perkara
salah satunya dalam hal perceraian orang-orang yang beragama Islam pada
tingkat pertama yang bertujuan untuk menegakkan hukum dan keadilan.2 Begitu
juga Pengadilan Negeri yang memiliki Kewenangan absolut dalam menangani
kasus perceraian pada orang-oarang yang beragama selain Islam. Kedua lembaga
Pengadilan tersebut mempunyai tujuan yang sama untuk menegakkan hak dan
keadilan pasca perceraian. Sehingga dalam Peraturan Mahkamah Agung Nomor
3 Tahun 2017 tentang pedoman mengadili perkara perempuan yang berhadapan
dengan hukum ini adalah peraturan yang diundangkan untuk melindungi
2 Jaenal Aripin, Peradilan Agama dalam Bingkai Reformasi Hukum di Indonesia, (Jakarta: Kencana,
2008), 343.
3
perempuan sebagai pihak berperkara yang sedang menjalankan proses
penyelesaiaan perkara di pengadilan.
Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 juga menegaskan kepastian hukum
untuk melindungi suami istri selama hingga setelah proses perceraian diputuskan
oleh hakim secara adil. Oleh karena itu, untuk menghindari perlakuan
diskriminatif dan stereotip gender terhadap perempuan dalam sistem peradilan
berbanding lurus dengan aksesibilitas perempuan untuk mendapatkan keadilan
dibuatlah Peraturan Mahkamah Agung Nomor 3 Tahun 2017 tentang pedoman
mengadili perkara perempuan berhadapan dengan hukum. Karena semakin
perempuan mengalami diskriminasi dan/atau stereotip negatif maka akan
semakin terbatas akses perempuan terhadap keadilan.3 Dalam tataran seperti ini,
hukum acara yang kodratnya selalu mengabdi kepada hukum materiil seharusnya
mengikuti sifat perkembangan, keunikan, dan keanekaragaman hukum materiil
untuk menjaga keseimbangan keadilan hukum yang dipikul oleh Surat Edaran
Mahkamah Agung (SEMA) dan Peraturan Mahkamah Agung (Peraturan
Mahkamah Agung).4
Perceraian sendiri diatur dalam Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 bahwa
perceraian hanya dapat dilakukan di depan pengadilan setelah pengadilan tidak
bisa mendamainkan kedua belah pihak yang berperkara dan tidak ada lagi alasan
3 Sulistyo Irianto, Perempuan dan Hukum : Menuju Hukum yang Berprespektif Kesetaraan
dan Keadilan, Edisi Pertama. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2006. 98 4 Kamil, Ahmad., & Fauzan, M. Ke Arah Pembaruan Hukum Acara Perdata Dalam SEMA Dan
PERMA. (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2008), 6.
4
untuk menjalin rumah tangga bersama.5 Kewajiban hakim dalam mendamaikan
pasangan yang ingin bercerai dalam setiap memulai sidang harus dilakukan,
walaupun terkadang tidak membuahkan hasil. Oleh karena itu, pernikahan sangat
dimudahkan dan perceraian juga sangat disukarkan sehingga perlu melalui
tahapan-tahapan persidangan yang ketat. Meskipun Islam memperkenankan
perceraian, tapi harus disertai dengan alasan-alasan yang kuat baginya, namun
hak itu hanya dapat dipergunakan hanya dalam keadaan yang sangat mendesak.6
Sabda Nabi Muhammad SAW:
ث نا ممد بن خالد، عن معر ف بن و ث نا كثير بن عب يد، حد ، عن ما حد ، عن اصبن اص ب بن دث
أب غض اصللل إل اصلل ت ” عمر، عن اصلنب لى الله عليه وسلم قال: واصه اصبوداصود( عال اصلل (
Artinya : “Diriwayatkan dari Katsir bin Ubaid Al-Himsiy, diriwayatkan
Muhammad bin Khalid dari Mu`arif bin Washil dari Muharib bin
Ditsar dari sahabat Abdillah bin Umar berkata; Rasulullah SAW.
bersabda: Perkara halal yang paling dibenci Allah SWT adalah
perceraian”. (H.R. Abu Dawud dan Ibnu Majjah)7
Penyelesaian perkara yang diajukan di Pengadilan Agama Kota Madiun
pada tahun 2017 adalah 380 perkara perceraian, dimana jumlah perkara cerai
talak 106 dan cerai gugat 274. Sedangkan pada tahun 2018 jumlah perkara
perceraian yang diajukan pada Pengadilan Agama Kota Madiun mengalami
kenaikan yaitu berjumlah 422 perkara perceraian, 120 cerai talak dan 302 cerai
5 Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 6 Abdur Rahman, Inilah Syariat Islam Terjemahan Buku The Islamic Law, diterjemahkan oleh Usman
Efendi dan Abdul Khalid, Lembaga Bahasa Universitas Ibn Khaldun Bogor, Jilid 1, )Jakarta : Pustaka
Panjimas, 1990 ( 241 7 Khalil Ahmad Al-Sahar, Badzlu Al- Majhud f Khalli Abi Dawud, Jilid 7, (Beirut : Dâr Al-Kutub, t.th)
242.
5
gugat. Dan pada tahun 2019 perkara perceraian yang diajukan pada Pengadilan
Agama Kota Madiun mengalami penurunan yaitu berjumlah 412 perkara
perceraian, 109 perkara cerai talak dan 303 cerai gugat. Sedangkan di Pengadilan
Negeri perkara perceraian pada tahun 2017 berjumlah 26 perkara cerai gugat.
Sedangkan pada tahun 2018 jumlah perkara cerai gugat di Pengadilan Agama
Kota Madiun meningkat menjadi 28 perkara dan pada tahun 2019 juga
mengalami peningkatan sehingga menjadi 34 perkara cerai gugat. Suami atau
istri, yang mengajukan gugatan baru atas dasar suatu sebab baru yang timbul
setelah perdamaian, boleh mempergunakan alasan-alasan yang lama untuk
mendukung gugatannya.8 Sehingga pihak istri ataupun pihak suami berhak
mengajukan gugatan pada Pengadilan Negeri yang biasa disebut dengan perkara
gugat cerai. Dari data tersebut terlihat bahwasanya perkara cerai gugat dari pihak
perempuan lebih dominan, sehingga perlu pegawalan atas kesetaraan pada pihak
perempuan yang sedang berhadapan dengan hukum, atau sedang menjalankan
proses persidangan. Implementasi Peraturan Mahkamah Agung Nomor 3 Tahun
2017 ini tidak hanya pada proses persidangan, tetapi juga pelayana publik, proses
persidangan dan juga putusan yang dikeluarkan oleh pengadilan.
Beda dengan Pengadilan Agama dimana mempunyai istilah gugat cerai jika
yang mengajukan gugatan pihak istri dan cerai talak adalah permohonan yang
diajukan pihak suami untuk menceraikan istrinya. Di Pengadilan Negeri hanya
terdapat cerai gugat, namun cerai gugat memiliki dua bentuk: cerai gugat dari
8 KUHPerdata Buku I Bagian 3 Perceraian Perkawinan Pasal 217
6
pihak istri dan cerai gugat dari pihak suami, terlihat persamaan hak dalam
mendapatkan kepastian hukum.
Pandangan hakim berada di posisi tiga dimensi yaitu, dimensi: Kepastian
hukum, keadilan, dan kemanfaatan.9 Dimana keputusan hakim dalam mengadili
perkara yang ada dihadapannya harus berkepastian hukum, adil dalam
memutuskan dan kemanfaatan setelah perkara itu diputuskan. Di dalam proses
penanganan perkara sering kali ditemukan semacam stereotip perlakuan yang
diskriminatif. Pada Pengadilan Negeri diskriminasi pada perempuan sering
terjadi pada pihak perempuan yang mengajukan gugatan, ketidakadilan pada
pertimbangan hakim dalam memutuskan mengakibatkan perempuan tidak bisa
mengurus perceraian yang diajukannya. Sehingga putusan tersebut tidak
memenuhi tujuan hukum yang sudah pasti tidak memenuhi keadilan kepada
kedua pihak berperkara. Pada Pengadilan Agama pada cerai gugat perempuan
tidak juga mendapatka haknya dengan adil. Dalam cerai talak, pertimbangan
hukum terdapat amar pembayaran nafkah iddah dan mut’ah yang dibayarkan
sebelum pengucapan ikrar talak, akan tetapi kurang itu maksimal. Pembayaran
nafkah yang dilaksanakan setelah ikrar talak mengakibatkan perempuan tidak
mendapatkan haknya, karena pihak mantan suami belum membayarkannya
hingga beberapa setelah selesai masa iddahnya.
Hak laki-laki dan perempuan setara di dalam hukum, sehingga ketika terjadi
tindak diskriminasi dan ketidakadilan pada perempuan itu adalah hal yang tidak
benar. Kesamaan dan keseimbangan kondisi antara laki-laki dan perempuan
9 Dr. H. Sunarto, Peran Aktif Hakim dalam Perkara Perdata, (Jakarta : Kencana, 2006) 8
7
untuk memperoleh kesempatan dan haknya sebagai manusia agar mampu
berperan dan berpartisipasi diberbagai bidang.10 Dimana laki-laki dan perempuan
mempunyai hak yang sama di pengadilan, perempuan berhak mengajukan
gugatan, perempuan berkesempatan melakukan replik duplik, berkesempatan
menggunakan saksi untuk memperkuat fakta yang dia ajukan.
Sehingga tanggal 4 Agustus 2017 Direktur Jenderal Peraturan Perundang-
undangan Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Widodo Ekatjahjana
menandatangani Peraturan Mahkamah Agung (Peraturan Mahkamah Agung)
Nomor 3 Tahun 2017 tentang Pedoman Mengadili Perkara Perempuan
Berhadapan dengan Hukum. Peraturan Mahkamah Agung ini dibuat untuk
menguatkan perlindungan yang diberikan oleh negara kepada perempuan yang
berhadapan dengan hukum, karena seringkali dalam berhadapan dengan hukum,
perempuan mendapatkan diskriminasi ganda.11 Artinya perempuan yang
berkonflik dengan hukum baik sebagai pihak berperkara dalam kasus perdata
perceraian itu mendapatkan diskriminasi lain dari para hakim saat perempuan
diperiksa kasusnya secara hukum. Sebelum Peraturan Mahkamah Agung Nomor
3 Tahun 2017, lembaga Mahkamah Agung pengadilan tertinggi berinisiatif untuk
mengambil langkah guna secara bertahap memastikan tidak adanya diskriminasi
dalam praktik peradilan di Indonesia.12
10 PERMA Nomor 3 Tahun 2017 Tentang Pedoman Mengadili Perempuan Berhadapan dengan Hukum 11 Achie Sudiarti Luhulima, “Hak Perempuan dalam Konstitusi Indonesia”, dalam
Sulistyowati Irianto (ed.), Perempuan dan Hukum: Menuju Hukum yang Berperspektif Kesetaraan
dan Keadilan, Edisi Pertama, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2006) h. 85. 12 Sulistyowati, Perempuan dan Hukum. (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2006) 112
8
Untuk menghindari segala tindakan diskriminasi terhadap perempuan telah
dibentuk beberapa peraturan perundang-undangan, diantaranya Undang-Undang
Nomor 12 Tahun 2005 tentang pengesahan Covenant on Civil and Political
Rights (Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik) yang
menegaskan bahwa semua orang adalah sama di hadapan hukum dan peraturan
perundang-undangan melarang diskriminasi serta menjamin perlindungan yang
setara bagi semua orang dari diskriminasi berdasarkan alasan apapun, termasuk
jenis kelamin atau gender.13 Serta Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1984 tentang
pengesahan konvensi mengenai Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi
Terhadap Wanita (Convention on The Elimination of All Forms of
Discrimination Againts Women). Hukum dan turunannya telah banyak dibentuk
sebagaimana agar bisa melindungi perempuan dengan baik, tetapi perempuan
masih sering menghadapi diskriminasi dalam meraih pemenuhan hak
dikarenakan pandangan stereotip negatif berdasarkan jenis kelamin dan gender.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana implementasi Peraturan Mahkamah Agung Nomor 3 Tahun
2017 terhadap pedoman mengadili perkara perempuan berhadapan dengan
hukum dalam kasus perceraian di Pengadilan Agama Kota Madiun dan
Pengadilan Negeri Kota Madiun?
2. Bagaimana perbandingan dalam implementasi Peraturan Mahkamah
Agung Nomor 3 Tahun 2017 terhadap pedoman mengadili perkara
13 Donny Danardono, “Teori Hukum Feminis: Menolak Netralitas Hukum”, dalam Sulistyowati
Irianto (ed.), Perempuan dan Hukum: Menuju Hukum yang Berperspektif Kesetaraan dan
Keadilan, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2006) 10-11.
9
perempuan berhadapan dengan hukum dalam kasus perceraian di
Pengadilan Agama Kota Madiun dan Pengadilan Negeri Kota Madiun?
C. Tujuan Penelitian
Berdasarkan rumusan masalah di atas, penelitian ini memiliki tujuan yang
menjawab latar belakang yang telah dikemukakan di atas. Adapun tujuan dari
penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Mendeskripsikan dan menganalisis implementasi Peraturan Mahkamah
Agung Nomor 3 Tahun 2017 terhadap pedoman mengadili perkara
perempuan berhadapan dengan hukum dalam kasus perceraian di
Pengadilan Agama Kota Madiun dan Pengadilan Negeri Kota Madiun.
2. Mendeskripsikan dan menganalisis perbandingan implementasi Peraturan
Mahkamah Agung Nomor 3 Tahun 2017 terhadap pedoman mengadili
perkara perempuan berhadapan dengan hukum dalam kasus perceraian di
Pengadilan Agama Kota Madiun dan Pengadilan Negeri Kota Madiun.
D. Manfaat Penelitian
Dalam melakukan penelitian selain mencari jawaban sebagai tujuan
penelitian yang dilakukan baik secara rasional dan ilmiah terhadap sesuatu
yang diteliti, maka diharapkan penelitian ini dapat memberikan kontribusi
positif, diantaranya dalam bidang ilmu pengetahuan dan pengembangannya.
Untuk itu penelitian ini dilakukan untuk dapat memberikan manfaat, baik
secara teoritis maupun praktis.
Dalam penelitian ini kiranya dapat diambil guna dan manfaat antara lain
adalah sebagai berikut:
10
1. Manfaat Teoritis
Sebagai perkembangan keilmuan dalam bidang Hukum Acara Perdata dan
Hukum Acara Pidana mengenai perbandingan implementasi Peraturan
Mahkamah Agung Nomor 3 Tahun 2017 tentang pedoman mengadili
perkara perempuan berhadapan dengan hukum pada kasus perceraian di
Pengadilan Agama Kota Madiun dan Pengadilan Negeri Kota Madiun
2. Manfaat Praktis
a. Bagi masyarakat dapat digunakan sebagai sebuah pengetahuan bahwa
pentingnya pemahaman terhadap hukum yang berlaku sehingga dapat
memberikan informasi pada hukum acara perdata dan hukum acara
pidana pada kasus perceraian dan implementasi Peraturan Mahkamah
Agung Nomor 3 Tahun 2017 pada kasus perceraian di Pengadilan
Agama Kota Madiun dan Pengadilan Negeri Kota Madiun.
b. Bagi mahasiswa diharapkan dapat digunakan sebagai wacana, diskusi,
dan penelitian selanjutnya dengan tema yang sama bagi para
mahasiswa Fakultas Hukum dan Fakultas Syari’ah Jurusan Al-Akhwal
Al-Syakhsiyyah UIN Maulana Malik Ibrahim Malang.
E. Definisi Operasional
Untuk menghindari kemungkinan terjadinya penafsiran yang berbeda
dengan maksud utama peneliti dalam judul “Perbandingan Implementasi
Peraturan Mahkamah Agung Nomor 3 Tahun 2017 tentang Pedoman
Mengadili Perkara Perempuan Berhadapan dengan Hukum dalam Kasus
11
Perceraian di Pengadilan Agama Kota Madiun dan Pengadilan Negeri Kota
Madiun”, maka kiranya perlu penjelasan beberapa kata pokok yang menjadi
variabel penelitian. Adapun variabel penelitian beserta penjelasannya adalah
sebagai berikut:
1. Perbandingan : Perbedaan (selisih); kesamaan persamaan;
ibarat14
2. Implementasi : Pelaksanaan; penerapan15
3. Peraturan Mahkamah Agung Nomor 3 Tahun 2017 : Aturan-
aturan yang dibuat oleh pemerintah dalam bidang keagamaan,
Peraturan Menteri Agama ini diundangkan dalam berita negara
republik Indonesia nomor 1153 di Jakarta pada 27 Agustus 2018.16
4. Perceraian : Berakhirnya suatu ikatan pernikahan pada pasangan
suami istri
5. Pengadilan Agama : Salah satu pelaksana kekuasaan kehakiman
bagi rakyat pencari keadilan yang beragama Islam mengenai perkara
perdata tertentu yang diatur dalam Undang-Undang.17
6. Pengadilan Negeri : Pelaksana Kekuasaan Kehakiman bagi rakyat
pencari keadilan pada umumnya.18
14 https://kbbi.kata.web.id/perbandingan/ 15 https://kbbi.kata.web.id/?s=implementasi 16Peraturan Menteri Agama Nomor 19 Tahun 2018 tentang Pencatatan Perkawinan Bab 1 Ketentuan
Umum. 17Undang-undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama Bab I
Ketentuan Umum 18Undang-undang Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 1986 Tentang Peradilan Agama Bab I
Ketentuan Umum
12
F. Sistematika Penelitian
Supaya pembahasan dalam penelitian ini terstruktur dengan baik dan mudah
untuk dipahami dengan jelas oleh para pembaca serta memperoleh suatu
gambaran di lapangan dengan jelas dari penelitian ini, maka penelitian ini
disusun dengan sistematika pembahasan yang terdiri dari lima bab, yakni
sebagai berikut:
Bab I : Pada bab pendahuluan ini berisi tentang latar belakang masalah yang
konteksnya berisikan ide awal, serta awal dikemukakannya Peraturan Mahkamah
Agung yang menarik minat peneliti dan mendesak untuk diteliti. Kemudian
pokok Peraturan Mahkamah Agung dari latar belakang dijadikan rumusan
masalah. Berupa dirumuskannya dalam bentuk kalimat tanya, agar dalam
menguraikan hasil penelitian dan pembahasan mengacu pada rumusan masalah.
Kemudian dipaparkan pula apa yang peneliti hendak capai dalam penelitian ini
berupa pemaparan yang jelas dan tegas dari tujuan penelitian ini. Serta manfaat
penelitian ini yang dapat mengimplikasi timbulnya motivasi dalam
menyelesaikan penelitian ini. Selanjutnya definisi operasional memuat definisi
yang menjelaskan dari variabel pokok pada penelitian ini dan sistematika
pembahasan.
Bab II : Pada bab ini berisi kajian pustaka yang meliputi penelitian terdahulu
dan kerangka teori. Peneliti memaparkan penelitian terdahulu yang menjelaskan
13
tentang tema atau pembahasan yang serupa dengan penelitian ini. Sehingga
peneliti mencari titik perbedaan penelitian terdahulu dengan penelitian ini,
namun yang masih ada korelasi tema yang sama dengan penelitian ini. Dan
kerangka teori ini memaparkan secara jelas konsep-konsep yuridis yang
berhubungan dengan Peraturan Mahkamah Agung yang diteliti terhadap landasan
untuk pengkajian dan analisis Peraturan Mahkamah Agung. Nantinya yang akan
dijadikan acuan untuk menganalisis Peraturan Mahkamah Agung dalam
penelitian ini. Dengan memaparkan teori-teori di buku, jurnal, ataupun di
penelitian terdahulu guna kepentingan penelitiannya.
Bab III : Pada bab ini membahas metode penelitian yaitu meliputi jenis
penelitian, pendekatan penelitian, sumber data atau bahan hukum, metode
pengumpulan data, dan juga metode analisis data. Peneliti membahas ke 5
pembahasan dalam bab ini karena peneliti ingin menjelaskan jenis penelitian
yang dilakukan apakah yuridis empiris atau yuridis normatif dan juga yang akan
mempermudah peneliti sehingga diperoleh penelitian yang berjalan sistematis
dan terarah serta hasil yang maksimal. Karena sudah tertera rambu-rambu yang
harus dilakukan dalam penelitian ini.
Bab IV : Pada bab ini memaparkan hasil penelitian dan pembahasan. Peneliti
menguraikan data-data yang sudah diperoleh dari sumber data primer maupun
sekunder yang mengacu pada rumusan masalah. Sehingga dalam bab ini semua
persoalan yang dirumuskan pada rumusan masalah dapat terjawab secara jelas
dan rinci dari hasil kegiatan penelitian di lapangan. Kemudian hasil pengolahan
14
data dikaitkan ataupun dikaji dengan konsep-konsep yang ada pada kerangka
teori.
Bab V : Pada bab terakhir yang berisi mengenai kesimpulan dan saran.
Kesimpulan merupakan jawaban singkat dari rumusan masalah yang sudah
diringkas. Sehingga ketika rumusan masalah ada 2 point kesimpulan yang
dipaparkan juga harus 2 point. Dan saran yang berupa anjuran atau usulan dari
penelitian ini untuk menindak lanjuti penelitian bagi peneliti-peneliti yang akan
datang.
15
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
A. Penelitian Terdahulu
Peneliti akan memaparkan penelitian-penelitian terdahulu yang sedikit
banyak memiliki kesamaan dengan penelitian ini. Penelitian terdahulu digunakan
untuk mengetahui dimana letak perbedaan maupun persamaanya dengan
penelitian-penelitian yang sebelumnya dilakukan, selain itu digunakan sebagai
pembanding untuk mengetahui Peraturan Mahkamah Agung yang telah
16
dilaksanakan terkait dengan Peraturan Mahkamah Agung pada penelitian ini,
diantaranya penelitian yang memiliki kesamaan yaitu:
1. Siti Ainun Makiyah, penelitian dalam bentuk skripsi dengan judul
“Pandangan Hakim Pengadilan Agama Sidoarjo Terhadap Penerapan
Peraturan Mahkamah Agung No. 3 Tahun 2017 Dalam Perkara Permohonan
Izin Poligami”. Penelitian ini membahas tentang asas dan tujuan Peraturan
Mahkamah Agung No. 3 Tahun 2017 yang mana peran hakim dalam
mengadili perkara perempuan berhadapan dengan hukum dan
implementasinya di pengadilan agama pada kasus perizinan poligami
prespektif Hakim Pengadilan Agama Sidoarjo dalam penyelesaian perkara
dipengadilan agama. Penelitian lapangan ini menghasilkan temuan pandangan
hakim pengadilan agama Sidoarjo terhadap keberlakuan PERMA Nomor 3
Tahun 2017 dalam penyelesaian perkara di pengadilan agama yang
merupakan ketentuan bersifat hukum acara yang termasuk peraturan
pendukung UU Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974. Serta pandangan hakim
terhadap penerapan asas-asas PERMA Nomor 3 Tahun 2017 dalam perkara
permohonan izin poligami di pengadilan agama Sidoarjo sebagai salah satu
upaya perlindungan hukum bagi perempuan dan bentuk standarisasi bagi
hakim dalam mengadili perkara permohonan izin poligami yang melibatkan
perempuan sebagai pihak yang berperkara untuk mendapatkan hak-haknya
terhadap akses yang setara dalam memperoleh keadilan dalam perkara
17
permohonan izin poligami. PERMA Nomor 3 Tahun 2017 dalam
penyelesaian perkara di pengadilan agama.19
2. Wazirotus Sa’adah, skripsi dari jurnal UIN Maulana Malik Ibrahim Malang
yang berjudul “Implementasi Asas Kesetaraan Gender Pada Pasal 2
Peraturan Mahkamah Agung No. 3 Tahun 2017 Tentang Pedoman
Mengadili Perkara Perempuan Berhadapan dengan Hukum Terhadap
Perceraian ”. Penelitian ini membahas asas kesetaraan gender pada pasal 2
Peraturan Mahkamah Agung Nomor 3 Tahun 2017 terhadap perceraian.
Pertimbangan hakim dalam mewujudkan asas kesetaraan gender dalam
mengadili perempuan berhadapan dengan hukum terhadap kasus perceraian
yang disebabkan oleh diskriminasi dan pandangan stereotip negatif
berdasarkan jenis kelamin dan gender. Dengan jenis penelitian empiris
penelitian ini menemukan pertimbangan hakim dalam memutuskan perkara
dengan melihat penyeimbang hak antara kedua pihak suami dan istri dengan
menelaah bukti-bukti yang ada.20
3. Silmi Mursidah, skripsi dari UIN Sunan Ampel Surabaya yang berjudul
“Anaslisis Maslahah terhadap Peraturan Mahkamah Agung No. 3 Tahun
2017 tentang Pedoman Mengadili Perkara Perempuan Berhadapan dengan
Hukum”. Skrispi ini menjelaskan tentang latar belakang dibentuknya
Peraturan Mahkamah Agung Nomor 3 Tahun 2017 yang disebabkan oleh
19 Siti Ainun Makiyah, “Pandangan Hakim Pengadilan Agama Sidoarjo Terhadap Penerapan Perma
No. 3 Tahun 2017 Dalam Perkara Permohonan Izin Poligami”. Skripsi Sarjana, (Malang,: UIN
Maulana Malik Ibrahim Malang, 2019) 20 Wazirotus Sa’adah, “Implementasi Asas Kesetaraan Gender Pada Pasal 2 Perma No. 3 Tahun 2017
Tentang Pedoman Mengadili Perkara Perempuan Berhadapan dengan Hukum Terhadap Perceraian”
Skripsi Sarjana, (Surabaya: UIN Sunan Ampel Surabaya, 2018)
18
diskriminasi dan pandangan stereotip negatif berdasarkan jenis kelamin dan
gender. Dalam skripsi ini juga menjelaskan dikeluarkannya Peraturan
Mahkamah Agung Nomor 3 Tahun 2017 ini merupakan maslahah hajiyah
karena kemaslahatan ini yang dibutuhkan manusia, khususnya perempuan
berhadapan dengan hukum untuk kemudahan hidupnya dan menghilangkan
kesempitan. Apabila tidak ada, maka tidak sampai menyebabkan rusaknya
tatanan kehidupan, seperti dalam maslahah daruri, tetapi akan menimbulkan
kesempitan dan kesulitan. Dengan menggunakan metode penelitian studi
kepustakaan (Library Research) terdapat temuan latar belakang dibnetuknya
aturan ini serta analisis maslahah pada peraturan ini. 21
4. Nur Ilmiyah, jurnal dari Universitas Muhammdiyah Sumatera Utara. Jurnal ini
berjudul “Perlindungan Hukum Terhadap Perempuan Berhadapan Dengan
Hukum Sebelum Dan Sesudah Lahirnya Peraturan Mahkamah Agung Nomor
3 Tahun 2017 Tentang Pedoman Mengadili Perkara Perempuan Berhadapan
Dengan Hukum”. Jurnal ini membahas implementasi perlindungan hukum
pada wanita dalam Peraturan Mahkamah Agung Nomor 3 Tahun 2017
sebelum hingga sesudah dibuatnya Peraturan Mahkamah Agung Nomor 3
tahun 2017. Dalam jurnal ini juga membahas tentang jaminan perlindungan
yang didapatkan perempuan dari sikap diskriminasi, dan gender sesudah
sebelum adanya Peraturan Mahkamah Agung ini. Masalah perlindungan
terhadap perempuan masih menarik untuk diteliti. Aturan perundangundangan
21 Silmi Mursidah, “Anasilis Maslahah Terhadap Perma No. 3 Tahun 2017 Tentang Pedoman
Mengadili Perkara Perempuan Berhadapan Dengan Hukum”. Skripsi Sarjana, (Surabaya: UIN Sunan
Ampel Surabaya, 2018)
19
yang ada sejauh ini harus terus memastikan implementasinya dengan baik dan
benar. Setiap orang adalah sama sebelum hukum dan perundang-undangan
melarang diskriminasi dan menjamin perlindungan yang sama bagi setiap
orang dari diskriminasi berdasarkan alasan apa pun, termasuk gender. Menjadi
menarik ketika Mahkamah Agung Indonesia mengeluarkan Perma No. 3
tahun 2017 dari pedoman untuk menuntut masalah perempuan dengan hukum.
Penulis ingin menemukan jawaban atas pertanyaan tersebut, bagaimana
tepatnya perlindungan negara terhadap perempuan yang bertentangan dengan
hukum sebelum dan sesudah penerbitan Perma No. 3 tahun 2017. 22
Dari penelitian terdahulu dapat dipahami bahwa ada perbedaan dan
persamaan dalam penelitian sebelumnya. Persamaannya Peraturan Mahkamah
Agung Nomor 3 Tahun 2017 tetapi ada perbedaan secara spesifik dengan peneliti
sebelumnya. Kalau penelitian ini membahas mengenai perbandingan dalam
pengimplementasian Peraturan Mahkamah Agung Nomor 3 Tahun 2017 tentang
pedoman mengadili perkara perempuan berhadapan dengan hukum pada perkara
perceraian di dua pengadilan, yaitu Pengadilan Agama dan Pengadilan Negeri
Kota Madiun. Dimana peneliti akan menerangkan perbedaan dan persamaan
kedua lembaga tersebut dalam menangani perkara perceraian, bagaimana hak-
hak perempuan pada saat dalam proses perceraian hingga akhir putusan yang
diberikan pada perempuan.
22 Nurul Ilmiyah, “Perlindungan Hukum Terhadap Perempuan Berhadapan Dengan Hukum Sebelum
Dan Sesudah Lahirnya Peraturan Mahkamah Agung Nomor 3 Tahun 2017 Tentang Pedoman
Mengadili Perkara Perempuan Berhadapan Dengan Hukum” Jurnal Universitas Muhammadiyah
Sumatera Utara. (Sumatera Utara, 2019)
20
Tabel 1.1 Penelitian Terdahulu
No Nama/Jenis/PT/Tahun/
Judul Penelitian
Persamaan Perbedaan
1. Siti Ainun
Makiyah/Skripsi/Universitas
Islam Negeri Maulana
Malik Ibrahim
Malang/2019/Pandangan
Hakim Pengadilan Agama
Sidoarjo Terhadap
Penerapan Peraturan
Mahkamah Agung No. 3
Tahun 2017 Dalam Perkara
Permohonan Izin Poligami.
Pada penelitian
ini sama-sama
membahas
tentang
Peraturan
Mahkamah
Agung Nomor 3
Tahun 2017
Siti Ainun
Makiyah:
Membahas
implementasi
Peraturan
Mahkamah
Agung Nomor 3
Tahun 2017
perkara perizinan
poligami
Peneliti:
Membahas
tentang
perbedaan dan
persamaan
implementasi
Peraturan
Mahkamah
Agung Nomor 3
Tahun 2017
dalam kasus
perceraian
2. Wazirotus Sa’adah/Skripsi/
Universitas Islam Negeri
Malang/2018/ Implementasi
Asas Kesetaraan Gender
Pada Pasal 2 Peraturan
Mahkamah Agung No. 3
Tahun 2017 tentang
Pedoman Mengadili Perkara
Perempuan Berhadapan
dengan Hukum Terhadap
Perceraian
Pada penelitian
ini sama-sama
membahas
tentang
Peraturan
Mahkamah
Agung Nomor 3
Tahun 2017
Wazirotus
Sa’adah:
Membahas
implementasi
Asas kesetaraan
gender pada
pasal 2 Peraturan
Mahkamah
Agung Nomor 3
Tahun 2017
Peneliti:
Membahas
perbadningan
implementasi
21
Peraturan
Mahkamah Agung
Nomor 3 Tahun
2017 yang
mendeskripsikan
persamaan dan
perbedaan pada
pengadilan agama
dan pengadilan
negeri
3. Silmi
Mursidah/Skripsi/Universitas
Islam Negeri Maulana Malik
Ibrahim Malang/2018/
Anaslisis Maslahah terhadap
Peraturan Mahkamah Agung
No. 3 Tahun 2017 tentang
Pedoman Mengadili Perkara
Perempuan Berhadapan
dengan Hukum
Pada penelitian
ini sama-sama
membahas
tentang
Peraturan
Mahkamah
Agung Nomor 3
Tahun 2017
Silmi Mursidah:
Menganalaisis
dengan teori
maslahah mursalah
Peneliti: Membahas
perbedaan dan
persamaan pada
implementasi
Peraturan
Mahkamah Agung
Nomor 3 Tahun
2017 pada kasus
perceraian di
pengadilan agama
dan pengadilan
negeri
4. Nur
Ilmiyah/Jurnal/Universitas
Muhammadiyah Sumatera
Utara/2019/ Perlindungan
Hukum Terhadap Perempuan
Berhadapan Dengan Hukum
Sebelum Dan Sesudah
Lahirnya Peraturan
Mahkamah Agung Nomor 3
Tahun 2017 tentang
Pedoman Mengadili Perkara
Perempuan Berhadapan
Dengan Hukum
Pada penelitian
ini sama-sama
membahas
tentang
Peraturan
Mahkamah
Agung Nomor 3
Tahhun 2017
Nur Ilmiyah:
Membahas
perlindungan
hukum sesudah dan
sebelum Peraturan
Mahkamah Agung
Nomor 3 Tahhun
2017
diimplementasikan
Peneliti: Membahas
perbandingan yang
menerangkan
persamaan dan
perbedaan
implementasi
Peraturan
22
Mahkamah Agung
Nomor 3 Tahun
2017 pada
Pengadilan Agama
dan Pengadilan
Negeri
B. Kajian Pustaka
1. Tinjauan Umum Teori Perceraian
a. Pengertian Perceraian
Masalah putusnya perkawinan, Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974
mengaturnya dalam Bab VIII Pasal 38 sampai dengan Pasal 40 :23
Pasal 38:
Perkawinan dapat putus karena (a) kematian (b) perceraian (c) atas
putusan pengadilan.
Pasal 39:
1. Perceraian hanya dapat dilakukan di depan sidang Pengadilan setelah
Pengadilan yang bersangkutan berusaha dan tidak berhasil mendamaikan
kedua belah pihak.
2. Untuk melakukan perceraian harus ada cukup alasan bahwa antara suami
dan istri itu tidak akan dapat hidup rukun sebagai suami istri.
3. Tata cara perceraian di depan sidang pengadilan diatur dalam peraturan
perundang-undangan tersendiri.
Pasal 40:
1. Gugatan perceraian diajukan kepada pengadilan.
2. Tata cara mengajukan gugatan tersebut pada ayat 1 pasal ini diatur dalam
peraturan perundang-undangan tersendiri.24
Seperti yang tertera pada pasal-pasal tersebut, perceraian adalah
putusnya status hubungan antara suami istri yang telah menyatukan tali
23 Ahmad Rofiq, Hukum Perdata Islam di Indonesia, (Jakarta : Raja Grafindo Persada, 2003) Cet. 1.
213-214. 24 Undang-undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan dan Kompilasi
Hukum Islam, (Bandung : Citra Umbaran, 2007) 15-16.
23
perkawinan. Penyebab perceraian telah diatur dalam Kompilasi Hukum
Islam pada Bab XVI Pasal 113 disebutkan bahwa perkawinan dapat putus
karena kematian, perceraian, juga putusan pengadilan. Pada Pasal 115
menyebutkan bahwa perceraian hanya dapat dilakukan di depan sidang
pengadilan agama setelah lembaga tersebut tidak berhasil menyatukan
hubungan pasangan yang sedang di ujung tanduk tersebut.
Menurut terminologi syariat adalah melepaskan hubungan pernikahan
dan mengakhiri hubungan suami istri.25 Perceraian dalam Bahasa Indonesia
berasal dari suku kata cerai, dan perceraian menurut bahasa berarti
perpisahan, perihal bercerai antara suami dan istri, perpecahan,
menceraikan.26 Hukum dari perceraian sendiri adalah perbuatan yang halal
namun perceraian adalah hal yang sangat dibenci oleh Allah, sehingga
proses perceraian pada pengadilan agama dibuat rumit agar suami atau istri
yang ingin bercerai melewati beberapa prosedur yang benar-benar harus
dilaksanakan sebelum keputusan hakim keluar.
b. Macam-macam Perceraian
UU Perkawinan No. 1 Tahun 1974, Peraturan Pemerintah No. 4 Tahun
1975, tiga jenis gugatan perceraian, yaitu:
1. Gugat talak dari seorang suami Muslim kepada istrinya yang
Muslim melalui Pengadilan Agama;
2. Gugat cerai dari seorang istri Muslim kepada suaminya yang
Muslim melalui Pengadilan Agama
25 Sulaiman Al-Faifi, Ringkasan Fiqih Sunah, (Depok: Senja Media Utama, 2017), 430. 26 WJS. Poerwadarminta, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 2003), 200. 17 R.
Subekti, Pokok Pokok Hukum Perdata, 42.
24
3. Gugat cerai dari seorang suami/istri kepada pasangannya melalui
Pengadilan Negeri.
Pengadilan Negeri menangani gugat cerai non-Muslim, bahwa
gugatan cerai dilakukan oleh suami atau istri atau kuasanya kepada
pengadilan yang daerah hukumnya meliputi tempat kediaman tergugat
yang sesuai dengan Pasal 20 Ayat (1) PP 9 Tahun 1975. Perceraian
dalam Pengadilan Negeri disebut dengan gugat cerai. Namun gugat
cerai ada dua macam yaitu: cerai gugat dari pihak laki-laki dan cerai
gugat dari pihak perempuan. Keduanya merupakan perkara perdata yang
masuk dalam Pengadilan Negeri. Berbeda dengan perkara perceraian di
Pengadilan Agama, dimana permohonan gugatan yang dilakukan oleh
pihak perempuan disebut dengan gugat cerai, sedangkan gugatan yang
diajukan oleh laki-laki disebut dengan cerai talak.
Cerai gugat sendiri adalah ikatan perkawinan yang putus sebagai
permohonan yang diajukan oleh istri ke pengadilan agama, yang
kemudian Termohon (suami) menyetujuinya, sehingga pengadilan
Agama mengabulkan permohonan yang dimaksud.27 Dalam Islam
khulu’ merupakan suatu putusnya perkawinan, namun berbeda dengan
bentuk lain dari putusnya perkawinan, dalam khulu’ terdapat uang
tebusan, atau ganti rugi.28 Sehingga dalam Islam mengenal nafkah
iddah, nafkah mut’ah dan nafkah madliyah. Dalam Pengadilan Agama
27 Zainudin Ali, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, (Jakarta:Kencana, 2006), 222 28 Amir Syaifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, (Jakarta: Kencana, 2014), 231
25
dan Pengadilan Negeri Kota Madiun cerai gugat atau permohonan cerai
dari pihak perempuan lebih mendominasi.
Cerai talak secara istilah ialah perceraian yang dijatuhkan oleh
suami terhadap istri.29 Cerai talak adalah permohonan dari laki-laki
untuk menceraikan istrinya. Menurut hukum Islam talak mempunyai arti
bebas atau lepas. Dihubungkan kata talak dalam arti kata dengan
putusnya hubungan perkawinan antara suami dan istri sudah lepas
hubungannya atau masing-masing sudah bebas.30 Maksud dari bebas
adalah lepas dari semua tanggung jawab, dimana dalam pernikahan
seorang suami dan istri memiliki hak dan kewajiban masing-masing.
Sehingga setelah talak di ikrarkan hak dan kewajiban sebagai suami istri
sudah lepas.
Dalam Kompilasi Hukum Islam Pasal 117 menjelaskan talak adalah
ikrar suami di hadapan sidang Pengadilan Agama yang menjadi salah
satu sebab sahnya perkawinan itu putus.31 Talak sendiri mempunyai
beberapa jenis, dan masing-masing talak mempunyai syarat dan khasnya
masing-masing, yaitu:
a. Talak Raj’i yaitu talak suami yang masih bisa kembali kepada
istrinya tanpa melalui pernikahan baru, selama istrinya masih
dalam masa iddah. Masa iddah perempuan dihitung dari
29 Kamal muchtar, Asas-asas Hukum Islam tentang Perkawinan, (Jakarta : Bulan Bintang, 1974), Cet.
1, 144. 30 Alimuddin, Penyelesaian Kasus KDRT di Pengadilan Agama, (Bandung: Mandar Maju, 2014), 27-
28 31 Kompilasi Hukum Islam Pasal 117
26
pengikraran talak di hadapan sidang sampai 3 quru’ maka
perempuan masih dalam keadaan iddah. Sehingga dalam masa 3
quru’ itu laki-laki masih bisa rujuk bersatu lagi dengan istrinya
tanpa melalu pernikahan yang baru.
b. Talak Ba’in yaitu talak yang tidak membolehkan suami rujuk
bersatu lagi dengan istrinya kecuali dengan nikah baru. Talak ba’in
juga disebut talak penuh. Sehingga talak ini tidak memperbolehkan
suami kembali pada istrinya kecuali apabila ada pernikahan baru
pada suami istri yang ingin bersama lagi. Talak ba’in memiliki dua
jenis, yaitu :
1. Talak ba’in sugra ialah talak yang suami tidak boleh rujuk
pada istrinya, tetapi dapat menikah lagi dengan nikah baru
tanpa melalui muhalil.32 Menururt Kompilasi Hukum Islam
Pasal 119 yang termasuk talak ba’in sugra yaitu :33
a. Talak yang terjadi qabla al dukhul
b. Talak dengan tebusan atau khuluk
c. Talak yang dijatuhkan oleh Pengadilan Agama
2. Talak ba’in kubra yaitu talak dimana suami tidak bisa rujuk
kembali dengan istrinya sebelum suami istri menikah dengan
orang lain dan cerai, juga selama masa iddahnya belum habis.
32 Prof. Dr. Amir Syaifuddin, Hukum Perkawinan Islam Indonesia, (Jakarta: Kencana, 2006), 220 33 Kompilasi Hukum Islam Pasal 119
27
c. Alasan Perceraian
Perceraian adalah hal yang harus dihindari, walaupun perceraian halal
tetapi perceraian adalah hal yang paling dibenci oleh Allah. Sehingga rumah
tangga harus dipertahankan dan diperjuangkan keutuhannya. Dalam rumah
tangga konflik selalu ada sebagai bumbu-bumbu pernikahan, tetapi
terkadang ada pasangan suami istri yang tidak bisa mempertahankan rumah
tangganya karena alasan dan sebabnya. Alasan-alasan perceraian ditentukan
dalam Pasal 39 Ayat 2 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 yang telah
diperinci pada PP Nomor 9 Tahum 1975 jo. Pasal 116 Kompilasi Hukum
Islam, yaitu:
1. Zina, pemabuk, pemadat, penjudi, dan tabiat buruk lainnya
yang sukar disembuhkan
2. Salah satu pihak meninggalkan pihak lain selama 2 tahun
berturut-turut tanpa izin pihak lain tanpa alasan yang sah
atau karena hal-hal lain diluar kemampuannya
3. Salah satu pihak mendapatkan hukuman penjara 5 tahun
atau hukuman yang lebih berat setelah perkawinan
berlangsung
4. Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan
berat yang membahayakan pihak lain
28
5. Salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit
dengan akibat tidak dapat menjalankan kewajiban sebagai
suami/istri
6. Antara suami dan istri terus menerus terjadi perselisihan
dan pertengkaran dan tidak ada harapan untuk hidup rukun
lagi dalam rumah tangga
d. Akibat Hukum dari Perceraian
Hak dan kewajiban suami istri pasca perceraian ada pada Pasal 41 huruf
c Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 dimana pengadilan dapat
membebankan hak dari mantan istri pada mantan suami berupa biaya
kehidupan untuk istri. Berkaitan dengan pasal 11 Undang-undang Nomor 1
Tahun 1974 bahwasanya seorang wanita yang putus perkawinannya berlaku
jangka waktu tunggu atau masa iddah. Dimana waktu tunggu seorang janda
yang perkawinannya putus adalah tiga kali suci dengan sekurang-kurangnya
adalah sembilan puluh hari. Akibat hukum dari perceraian telah diatur dalam
Undang-undang Perkawinan Pasal 41, yaitu:
a. Baik ibu atau bapak tetap berkewajiban memelihara dan mendidik anak-
anaknya, semata-mata berdasarkan kepentingan anak; bilamana ada
perselisihan mengenai penguasaan anak-anak, Pengadilan memberi
keputusannya;
b. Bapak yang bertanggung-jawab atas semua biaya pemeliharaan dan
pendidikan yang diperlukan anak itu; bilamana bapak dalam kenyataan
29
tidak dapat memenuhi kewajiban tersebut, Pengadilan dapat
menentukan bahwa ibu ikut memikul biaya tersebut;
c. Pengadilan dapat mewajibkan kepada bekas suami untuk memberikan
biaya penghidupan dan/atau menentukan sesuatu kewajiban bagi bekas
istri.
Seperti pasal yang telah disebutkan diatas, akibat hukum dari
perceraian mengatur tentang pasca cerai hubungan anak dan mantan
istri, dimana pengadilan dapat menentukan dalam pemeliharaan, dan
biaya penghidupan pada anak dan mantan istri. Sedangkan kibat
perceraian diatur juga dalam Kompilasi Hukum Islam Pasal 156 :34
1. Anak yang belum mumayyiz berhak mendapatkan hadlanah dan
ibunya, kecuali bila ibunya telah meninggal dunia, maka
kedudukannya digantikan oleh:
a. Wanita-wanita dalam garis lurus ke atas dari ibu;
b. Ayah;
c. Wanita-wanita dalam garis lurus ke atas dari ayah;
d. Saudara perempuan dari anak yang bersangkutan;
e. Wanita-wanita kerabat sedarah menurut garis samping dari
ayah.
2. Anak yang sudah mumayyiz berhak memilih untuk mendapatkan
hadlanah dari ayah atau ibunya;
34 Ahmda Rofiq, Hukum Perdata Islam di Indonesia, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2015), 226
30
3. Apabila pemegang hadlanah ternyata tidak dapat menjamin
keselamatan jasmani dan rohani anak, meskipun biaya nafkah dan
hadlanah telah dicukupi, maka atas permintaann kerabat yang
bersangkutan Pengadilan Agama dapat memindahkan hak hadlanah
kepada kerabat lain yang mempunyai hak hadlanah pula;
4. Semua biaya hadlanah dan nafkah anak menjadi tanggung jawab
ayah menurut kemampuannya, sekurang-kurangnya sampai anak
tersebut dewasa dapat mengurus diri sendiri (21 tahun);
5. Bilamana terjadi perselisihan mengenai hadlanah dan nafkah anak,
Pengadilan Agama memberikan putusannya berdasarkan huruf (a),
(b), dan (d);
6. Pengadilan dapat pula dengan mengingat kemampuan ayahnya
menetapkan jumlah biaya untuk pemeliharaan dan pendidikan anak-
anak yang tidak turut padanya.
2. Peraturan Mahkamah Agung Nomor 3 Tahun 2017
a. Latar Belakang Dibentuknya Peraturan Mahkamah Agung Nomor 3 Tahun
2017
Latar belakang dibentuknya Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1
Tahun 1974 Tentang Pedoman Mengadili Perkara Perempuan Berhadapan
dengan Hukum. Perlindungan secara konstitusional pada perempuan di
Negara Indonesia telah diatur pada Pasal 28 I Ayat (2) Undang-Undang
Dasar 1945 menyatakan bahwa perempuan harus bebas dari perlakuan
diskriminasi terutama karena kodratnya yang cenderung lemah daripada
31
kaum laki-laki. Melalui Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan
Politik (International Covenant on Civil and Political Right/ICCPR)
dengan UU Nomor 12 Tahun 2005 tentang Pengesahan International
Covenant on Civil and Political Right, negara telah meratifikasi dan
menegaskan bahwa semua orang baik itu laki-laki atau perempuan adalah
sama dihadapan hukum.
Aturan tersebut juga melarang adanya diskriminasi serta jaminan
perlindangan terhadap wanita dari diskriminasi dengan alasan apapun.
Sedangkan untuk melindungi perempuan dari tindak diskriminasi dalam
sistem peradilan, Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1984 tentang
Pengesahan Konvensi Mengenai Penghapusan Segala Diskriminasi
Terhadap Wanita (Convention on The Elimination of All Forms of
Discrimination Againts Women) telah diratifikasi oleh Indonesia.
Undang-Undang untuk melindungi perempuan dari tindak diskriminasi
telah disahkan, disusun sebagaimana eloknya agar menjamin keadilan bagi
perempuan dari tindak diskriminasi, namun dalam praktiknya ketidakadilan
dan diskriminasi pada perempuan masih marak dijumpai dalam proses
persidangan di pengadilan. Bukan omong kosong, tetapi kenyataannya
MAPPI FHUI berkolaborasi oleh LBH Apik Jakarta telah meneliti ratusan
putusan pada penanganan perkara pidana pada perempuan, wawancara,
sampai focus group discussion (FGD). Hasil penemuan sangat
mengejutkan, dimana ketidakadilan dalam proses berperkara ditemukan
pada perempuan yang sedang berhadapan dengan hukum.
32
Ketidakadilan tersebut mulai dari stereotip gender hingga perlakuan
diskriminatif. Tahun 2015 Mahkamah Agung membentuk Kelompok Kerja
(Pokja) Perempuan dan Anak karena melihat banyaknya perkara
perempuan dan anak. Pokja dibentuk melalui SK Ketua Mahkamah Agung
Nomor 43/KMA/SK/IV/2015 tanggal 13 April 2015 tentang Pembentukan
Kelompok Kerja Perempuan dan Anak yang diperbaharui dengan SK
Ketua Mahkamah Agung Nomor 88/KMA/SK/V/2016. Dalam hal
menindaklanjuti adanya Bangkok Guidelines, bentuk komitmen Mahkamah
Agung kemudian berencana untuk membuat peraturan terkait penanganan
perempuan di pengadilan. Selain karena adanya Bangkok Guidelines,
inisiatif untuk membuat peraturan terkait perkara perempuan juga didorong
dengan meningkatnya perhatian dunia mengenai isu-isu perempuan.35
Pelanggaran-pelanggaran yang dilakukan dalam diskriminasi
perempuan tersebut itu yang mendorong Mahkamah Agung, yang
didukung Masyarakat Pemantauan Peradilan Indonesia (MaPPI) FHUI,
serta Australia Indonesia Partnership for Justice 2 (AIPJ2), menggagas
sistem peradilan yang menjamin hak perempuan. Bertujuan antara lain agar
perempuan juga mendapatkan akses keadilan yang setara. Gagasan tersebut
didengungkan dalam seminar yang digelar hari ini di Jakarta. Perlakuan
diskriminatif dan stereotip gender terhadap perempuan dalam sistem
peradilan berbanding lurus dengan aksesibilitas perempuan untuk
35 5 MaPPfhui, “cerita perubahan perma no 3 tahun 2017 terobosan hukum bagi perempuan dalam
sistem peradilan” http://mappifhui.org/2018/07/24/cerita-perubahan-perma-no-3-tahun-2017-
terobosan-hukum-bagi-perempuan-dalam-sistem-peradilan/, diakses pada 23 Desember 2019.
33
mendapatkan keadilan. Semakin perempuan mengalami diskriminasi dan
atau stereotip negatif maka akan semakin terbatas akses perempuan
terhadap keadilan.36
Setelah dirasa perlunya penegakan keadilan untuk perempuan yang
sedang berhadapan dengan hukum maka tanggal 4 Agustus 2017 Direktur
Jenderal Peraturan Perundang-undangan Kementerian Hukum dan Hak
Asasi Manusia Widodo Ekatjahjana menandatangani Peraturan Mahkamah
Agung (Perma) Nomor 3 Tahun 2017 tentang Pedoman Mengadili Perkara
Perempuan Berhadapan Dengan Hukum. Perma ini dibuat untuk
menguatkan perlindungan yang diberikan oleh negara kepada perempuan
yang berhadapan dengan hukum, karena seringkali dalam berhadapan
dengan hukum, perempuan mendapatkan disksriminasi ganda.37 Institute
for Criminal Justice Reform (ICJR) telah menyatakan adanya Peraturan
Mahkamah Agung Nomor 3 Tahun 2017 ini bentuk aksi nyata yang
merupakan terobosan bagi permasalahan perempuan. Karena isi dari
materi-materi yang diatur dalam Peraturan Mahkamah Agung Nomor 3
Tahun 2017 ini belum terakomodir dalam peraturan perundangan-
undangan yang khususnya Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana
(KUHAP).
36 Sulistyowati, Perempuan dan Hukum.98 37 Achie Sudiarti Luhulima, “Hak Perempuan dalam Konstitusi Indonesia”, dalam Sulistyowati Irianto
(ed.), Perempuan dan Hukum: Menuju Hukum yang Berperspektif Kesetaraan dan Keadilan, Edisi
Pertama, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2006), 85
34
Meskipun Peraturan Mahkamah Agung Nomor 3 Tahun 2017 ini
secara lebih luas mengatur tentang pedoman hakim dalam mengadili
perkara pidana maupun perdata yang melibatkan perempuan sebagai pihak
yg berperkara. Keberadaannya sangat diperlukan terutama dalam peradilan
agama dan perempuan-perempuan yang berhadapan dengan hukum.
Sehingga diperlukan adanya aturan hukum yang tegas dalam mengadili
perermpuan yang sedang berperkara berhadapan dengan hukum.
Memastikan kesetaraan gender dalam hukum dan peradilan akan
berpengaruh pada pembentukan nilai dan konstruksi sosial masyarakat.38
Kedudukan Peraturan Mahkamah Agung merupakan salah satu
perundang-undangan yang diundangkan pada Berita Negara Republik
Indonesia. Sehingga Peraturan Mahkamah Agung ini merupakan peraturan
yang berisi ketentuan bersifat hukum acara sebagaimana terlampir pada
Keputusan Ketua Mahkamah Agung RI Nomor: 57/KMA/SK/1V/2016
Tentang Perubahan Atas Keputusan Ketua Mahkamah Agung Republik
Indonesia Nomor 271 /KMA/SK/X/2013 Tentang Pedoman Penyusunan
Kebijakan Mahkamah Agung Republik Indonesia. Peraturan Mahkamah
Agung merupakan peraturan perundang-undangan yang disusun
berlandaskan 3 (tiga) undang-undang yakni :39
38 Pokja Perempuan dan Anak Mahkamah Agung Republik Indonesiadan MaPPI FHUI, Pedoman
Mengadili Perkara Perempuan Berhadapan Dengan Hukum, (Jakarta: AIPJ, 2018), 18 39 Riki Perdana Raya Waruwu, “Penerapan asas fiksi hukum dalam perma dalam
https://jdih.mahkamahagung.go.id/index.php?option=com_content&view=article&id=139:penerapan-
asas-fiksi-hukum-dalam-perma&catid=9:kegiatan&Itemid=24, diakses 23 desember 2019.
35
1. Ketentuan Pasal 79 Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang
Mahkamah Agung yang mengatur “Mahkamah Agung dapat mengatur
lebih lanjut hal-hal yang diperlukan bagi kelancaran penyelenggaraan
peradilan apabila terdapat hal-hal yang belum cukup diatur dalam undang-
undang ini”. Ketentuan ini merupakan refleksi dari kewenangan lain yang
dimiliki Mahkamah Agung selain mengadili pada tingkat kasasi, menguji
peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang terhadap undang-
undang sebagaimana dimaksud ketentuan Pasal 24A ayat (1) UUD 1945.
2. Ketentuan Pasal 8 ayat (1) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang
Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, mengatur "salah satu jenis
peraturan perundang-undangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat
(1) mencakup peraturan yang ditetapkan oleh Mahkamah Agung".
Pengakuan kewenangan Mahkamah Agung menyusun peraturan dipertegas
dalam peraturan ini, bahkan kekhususan yang dimiliki Mahkamah Agung
dibandingkan lembaga negara lainnya adalah konten peraturan untuk
mengisi kekosongan hukum bagi penyelenggaraan peradilan.
3. Ketentuan Pasal 4 ayat (2) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang
Kekuasaan Kehakiman yang mengatur "Pengadilan membantu pencari
keadilan dan berusaha mengatasi segala hambatan dan rintangan untuk
dapat tercapainya peradilan yang sederhana, cepat, dan biaya ringan".
Untuk mengisi kekosongan hukum terhadap materi yang belum diatur
dalam Undang-undang Mahkamah Agung sebagai lembaga yudikatif
36
diberikan kewenangan yang bersifat atributif untuk membentuk suatu
peraturan maka diatur kedudukan Peraturan Mahkamah Agung Pasal 79
Undang–Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung
(Undang-Undang Mahkamah Agung). Kewenangan yang dimiliki dibatasi
dalam penyelenggaraan peradilan. Lembaga-lembaga yang menetapkan
peraturan-peraturan tersebut pada umumnya yaitu lembaga yang bukan
ruang lingkup eksekutif, lembaga yang berada dalam eksekutif tidaklah
berwenang untuk menetapkan peraturan tersebut, apabila tidak
mendapatkan delegasi kewenangan dari UU. Karena itu peraturan seperti
Peraturan Mahkamah Agung biasa disebut juga dengan “executive acts”
atau peraturan yang ditetapkan oleh lembaga pelaksana undang-undang.40
b. Isi Peraturan Mahkamah Agug Nomor 3 Tahun 2017
Isi Peraturan Mahkamah Agung Nomor 3 Tahun 2017 terdiri dari lima
bab, yaitu: Pada bab pertama berisi tentang ketentuan umum, pada bab
kedua berisi tentang asas dan tujuan, bab ketiga tentang pemeriksaan
perkara, bab empat pemeriksaan uji materiil, dan bab lima berisi ketentuan
penutup.
Pada bab I terdapat sepuluh pasal yaitu: penjelasan tentang perempuan
yang berhadapan dengan hukum, jenis kelamin, gender, kesetaraan gender,
analisis gender, keadilan gender, streotip gender, diskriminasi, relasi kuasa,
pendamping. Pada bab ini menjelaskan tentang ketentuan umum pada
40 Jimly Assiddiqie, Perihal Undang-Undang, (Jakarta : Rajawali Pers 2011), 194
37
sepuluh kata yang ada disetiap pasal tersebut, bertujuan untuk
menerangkan presepsi dan pemahaman kata agar tidak terjadi multitafsir.
Pada bab II terdiri dari dua pasal, dimana bab ini membahas asas dan
tujuan dari peraturan ini sendiri. Sehingga dalam bab II pasal dua
menjelaskan asas yang harus dijunjung tinggi saat hakim sedang mengadili
perempuan berhadapan dengan hukum. Sedangkan pada pasal tiga
menjelaskan tujuan hakim dalam mengadili perkara perempuan berhadapan
dengan hukum.
Pada bab III berisi pemeriksaan perkara yang terdiri dari tujuh pasal.
Bab III pada pasal empat yang berisi proses pemeriksaan perkara, hakim
agar mempertimbangkan Kesetaraan Gender dan non-diskriminasi, dengan
mengidentifikasi fakta persidangan. Pada pasal lima ada empat ayat
larangan hakim dalam proses pemeriksaan perkara. Pada pasal enam
terdapat empat ayat yang berisi pedoman hakim dalam mengadili perkara
perempuan yang berhadapan dengan hukum. Pada pasal tujuh berisi agar
hakim mencegah adanya diskriminasi selama jalannya pemeriksaan
persidangan. Pada pasal delapan terdapat tiga ayat dimana semua berisi
tentang memberikan hak pada perempuan menjelaskan apa saja yang
didapatkan perempuan pasca perceraian. Kemudian pada pasal sembilan
terdiri dari dua ayat yang membahas diperbolehkannya perempuan
didampingi apabila terdapat hambatan fisik dan psikis. Pada pasal sepuluh
terdapat tiga ayat yang memperbolehkan pemeriksaan perkara dengan
38
komunikasi audio visual jarak jauh apabila kondisi psikis, keselamatan, dan
hambatan fisik perempuan tersebut terganggu.
Pada bab empat tentang pemeriksaan uji materiil pada pasal sebelas
terdiri dari lima ayat yang menjelaskan pertimbangan hakim dalam
pemeriksaan uji materiil pada perempuan yang berhadapan dengan hukum.
Pada bab terakhir bab lima pasal dua belas menjelaskan bahwa peraturan
Mahkamah Agung ini mulai diundang-undangkan.
3. Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 3 Tahun 2017
Rumusan Hukum Kamar Agama, mengenai hukum keluarga, hukum
ekonomi syariah, hukum jinayat. Terkait hukum keluarga, merumuskan
hukum mengenai perceraian dengan alasan pecah perkawinan (broken
marriage); nafkah madhiyah, nafkah iddah, mut’ah dan nafkah anak
menyempurnakan rumusan kamar agama dalam SEMA No. 7 Tahun 2012;
kewajiban suami akibat perceraian terhadap istri yang tidak nusyuz;
gugatan yang objek sengketa masih menjadi jaminan utang; objek
tanah/bangunan yang belum terdaftar; perbedaan data fisik tanah antara
gugatan dengan hasil pemeriksaan setempat (descente); pihak dalam
gugatan pembatalan hibah; permohonan istbat nikah poligami atas dasar
nikah siri; putusan ultra petita.
39
4. SK KMA No. 026 Tahun 2012 Tentang Standar Pelayanan Publik
a. Pelayanan Permohonan
1. Pemohon yang tidak dapat membaca dan menulis berhak mendapatkan
bantuan hukum dari Advokat Piket pada Pos Bantuan Hukum (Posbakum)
yang ada di Pengadilan Agama setempat yang akan membantu Pemohon
untuk menyusun Surat Permohonannya.
2. Pemohon menyampaikan permohonan kepada Ketua Pengadilan Agama
di tempat tinggal Pemohon. Pengadilan mendaftarkan permohonan dalam
buku register dan memberi nomor urut setelah pemohon membayar panjar
biaya perkara yang besarnya sudah ditentukan dalam SKUM. Khusus
untuk permohonan pengangkatan/adopsi anak, Surat Permohonan
diajukan kepada Ketua Pengadilan Agama yang daerah hukumnya
meliputi tempat tinggal anak yang hendak diangkat.
3. Jenis-jenis permohonan yang dapat diajukan melalui Pengadilan Agama,
yaitu:
a) Permohonan pengangkatan wali bagi anak yang belum
berumur 18 tahun atau belum pernah melangsungkan
perkawinan yang tidak berada di bawah kekuasaan orang
tua.
b) Permohonan pengangkatan wali/pengampu bagi orang
dewasa yang kurang ingatannya atau orang dewasa yang
tidak bisa mengurus hartanya lagi, misalnya karena pikun.
40
c) Permohonan dispensasi kawin bagi pria yang belum
mencapai umur 19 15 (sembilan belas) tahun dan bagi
wanita yang belum mencapai umur 16 (enam belas) tahun.
d) Permohonan izin kawin bagi calon mempelai yang belum
berusia 21 (dua puluh satu) tahun.
e) Permohonan pengangkatan anak
f) Permohonan untuk menunjuk seorang atau beberapa orang
wasit (arbiter) oleh karena para pihak tidak bisa atau tidak
bersedia untuk menunjuk wasit (arbiter).
g) Permohonan sita atas harta besama tanpa adanya gugatan
cerai dalam hal salah satu dari suami isteri h. Melakukan
perbuatan yang merugikan dan membahayakan harta
bersama seperti judi, mabuk, boros dan sebagainya.
h) Permohonan izin untuk menjual harta bersama yang berada
dalam status sita untuk kepentingan keluarga.
i) Permohonan agar seseorang dinyatakan dalam keadaan
mafqud.
j) Permohonan penetapan ahli waris.
k) Permohonan penetapan wali adhal, apabila wali nikah
calon mempelai wanita yang akan melangsungkan
perkawinan tidak mau menjadi wali dalam perkawinan
tersebut.
l) Permohonan pencabutan surat penolakan perkawinan dari
Pegawai Pencatat Nikah.
41
m) Permohonan pencegahan perkawinan, apabila calon
mempelai atau salah satu calon mempelai tidak memenuhi
syarat-syarat perkawinan.
n) Permohonan pembatalan perkawinan, apabila perkawinan
telah dilangsungkan, sedangkan calon mempelai atau salah
satu calon mempelai tidak memenuhi syarat-syarat
perkawinan.
o) Permohonan itsbat kesaksian rukyat hilal.
b. Pelayanan Gugatan
Para Pihak dapat mengajukan gugatan dengan menyerahkan surat gugatan
kepada Petugas Meja Pertama sebanyak jumlah pihak, ditambah 4 (empat)
rangkap untuk Majelis Hakim dan arsip. Dokumen yang perlu diserahkan
adalah:
a) Surat gugatan atau surat permohonan yang ditujukan kepada
Ketua Pengadilan Agama atau Mahkamah Syar'iyah yang
berwenang.
b) Surat Kuasa Khusus (dalam hal Penggugat atau Pemohon
menguasakan kepada pihak lain).
c) Fotokopi Kartu Anggota Advokat bagi yang menggunakan
jasa advokat.
d) Bagi pihak yang menggunakan perwakilan selain advokat
(Kuasa Insidentil), harus ada surat keterangan tentang
hubungan keluarga dari Kepala Desa/ Lurah dan/atau surat
izin khusus dari atasan bagi PNS dan Anggota TNI/Polri.
e) Salinan putusan (untuk permohonan eksekusi).
42
f) Salinan surat-surat yang dibuat di luar negeri yang disahkan
oleh Kedutaan atau perwakilan Indonesia di negara tersebut,
dan telah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia oleh
penerjemah yang disumpah.
Penggugat yang tidak dapat membaca dan menulis, dapat mengajukan
gugatannya secara lisan di hadapan Ketua Pengadilan Agama dan wajib dicatat
oleh Pengadilan. 3. Petugas Meja Pertama menaksir panjar biaya perkara yang
kemudian ditulis dalam Surat Kuasa Untuk Membayar (SKUM). Pihak pemohon
atau penggugat tidak akan diminta untuk membayar apapun yang tidak tertera
dalam SKUM. 4. Penaksiran panjar biaya perkara mempertimbangkan:
a. Jumlah pihak yang berperkara.
b. Jarak tempat tinggal dan kondisi daerah para pihak (radius).
c. Untuk perkara cerai talak harus diperhitungkan juga biaya pemanggilan
para pihak untuk sidang ikrar talak.
d. Biaya pemanggilan para pihak untuk menghadiri proses mediasi lebih
dahulu dibebankan kepada pihak Penggugat melalui uang panjar biaya perkara.
Bagi masyarakat yang tidak mampu dapat mengajukan permohonan
berperkara secara prodeo (cuma-cuma) kepada Ketua Pengadilan. (Lihat bagian
II.B tentang biaya perkara) 16
Penggugat menerima Surat Kuasa Untuk Membayar (SKUM) dalam rangkap
4 (empat) dari Petugas Meja Pertama yang berisi informasi mengenai rincian
43
panjar biaya perkara yang harus dibayar. 7. Penggugat melakukan pembayaran
panjar biaya perkara melalui bank yang ditunjuk oleh Pengadilan.
Penggugat menyerahkan bukti pembayaran berikut SKUM kepada Pemegang
Kas untuk diberi tanda lunas serta surat gugatan atau permohonan. Berkas yang
telah memiliki tanda lunas diserahkan kepada petugas Meja Kedua untuk
diberikan nomor register. Lamanya proses pendaftaran perkara, dalam hal
berkas-berkas telah terpenuhi, adalah paling lama 1 (satu) hari.
c. Pelayanan Bantuan Hukum (SEMA Nomor 10 Tahun 2010 tentang Pedoman
Bantuan Hukum)
1. Masyarakat dapat menggunakan layanan bantuan hukum yang tersedia
pada setiap kantor pengadilan.
2. Pengadilan menyediakan Pos Bantuan Hukum (Posbakum) yang mudah
diakses oleh pihak-pihak yang tidak mampu.
3. Pengadilan menyediakan Advokat Piket (bekerjasama dengan lembaga
penyedia bantuan hukum) yang bertugas pada Posbakum dan memberikan
layanan hukum sebagai berikut:
a. bantuan pengisian formulir permohonan bantuan hukum;
b. bantuan pembuatan dokumen hukum;
c. advis, konsultasi hukum dan bantuan hukum lainnya baik dalam
perkara pidana
maupun perkara perdata;
d. rujukan kepada Ketua Pengadilan Negeri untuk pembebasan
pembayaran biaya
perkara sesuai syarat yang berlaku;
44
e. rujukan kepada Ketua Pengadilan Negeri untuk mendapat
bantuan jasa advokat
sesuai syarat yang berlaku.
4. Pengadilan memberikan layanan pembebasan biaya perkara (prodeo)
kepada pihak-pihak yang tidak mampu dengan mengajukan permohonan
kepada Ketua Pengadilan atau kepada Ketua Majelis Hakim.
5. Penggugat berhak mendapatkan semua jenis pelayanan secara cuma-
cuma yang berkaitan dengan pemeriksaan perkara prodeo. Komponen
biaya prodeo meliputi antara lain: biaya pemanggilan, biaya
pemberitahuan isi putusan, biaya saksi/saksi ahli, biaya materai, biaya
alat tulis kantor, biaya penggandaan/fotokopi, biaya pemberkasan dan
biaya pengiriman berkas.
6. Bagi masyarakat yang tidak mampu dapat mengajukan surat
permohonan berperkara secara prodeo (cuma-cuma) dengan
mencantumkan alasan-alasannya kepada Ketua Pengadilan dengan
melampirkan:
a. Surat Keterangan Tidak Mampu (SKTM)
dari Lurah/Kepala Desa setempat; atau
b. Surat Keterangan Tunjangan Sosial
lainnya seperti Kartu Keluarga Miskin
atau Kartu Jaminan Kesehatan Masyarakat
(Jamkesmas) atau Kartu Program
Keluarga Harapan (PKH) atau Kartu
Bantuan Langsung Tunai (BLT).
45
c. Surat pernyataan tidak mampu yang dibuat
dan ditandatangani pemohon bantuan
hukum dan diketahui oleh Ketua
Pengadilan Negeri.
7. Jika pemohon prodeo tidak dapat menulis atau membaca maka
permohonan beracara secara prodeo dapat diajukan secara lisan dengan
menghadap Ketua Pengadilan.
8. Prosedur permohonan berperkara secara prodeo:
a) Permohonan diajukan secara lisan atau tertulis
kepada Ketua Pengadilan Tingkat Pertama
dengan dilampiri dokumen pendukung.
b) Dalam tenggang waktu 14 (empat belas) hari
sejak permohonan itu dicatat oleh Panitera,
Hakim yang ditunjuk (Hakim yang
menyidangkan pada tingkat pertama)
memerintahkan Panitera untuk memberitahukan
permohonan itu kepada pihak lawan dan
memerintahkan untuk memanggil kedua belah
pihak supaya datang di muka Hakim untuk
dilakukan pemeriksaan tentang ketidakmampuan
Pemohon.
c) Dalam tenggang waktu paling lambat 7 (tujuh)
hari setelah pemeriksaan, Pengadilan Tingkat
Pertama mengirimkan berita acara hasil
pemeriksaan dilampiri permohonan izin
46
beracara secara prodeo dan dokumen pendukung
ke Pengadilan, yang berwenang memutus
perkara yang dimohonkan tersebut, untuk
diputus apakah dikabulkan atau tidak.
d) Jika permohonan dianggap memenuhi syarat
maka diberikan penetapan ijin berperkara secara
prodeo. Izin beracara secara prodeo diberikan
Pengadilan atas perkara yang diajukan pada
tingkatan pengadilan tertentu saja. Jika ternyata
pemohon orang yang mampu maka diberikan
penetapan tidak dapat berperkara secara prodeo
dan pemohon harus membayar biaya seperti
layaknya berperkara secara umum. Pengadilan
menyediakan anggaran untuk biaya perkara
prodeo dengan memperhatikan anggaran yang
tersedia. Ketersediaan anggaran tersebut
diumumkan kepada masyarakat secara berkala
melalui papan pengumuman Pengadilan atau
media lain yang mudah diakses.
47
BAB III
METODE PENELITIAN
1. Jenis Penelitian
Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini menggunakan yuridis
empiris dengan kata lain adalah jenis penelitian hukum sosiologis atau lapangan,
karena penelitian ini menganalisis dan mengkaji problematika41 yang berada di
Pengadilan Agama Kota Madiun dan Pengadilan Negeri Kota Madiun.
Beberapa hakim yang mempunyai kekuasan kehakiman menjadi narasumber
sebagai pejabat yang faham hukum dalam mengulik infomasi yang lebih dalam.
41 Bambang Waluyo, Penelitian Hukum Dalam Praktek. (Jakarta: Sinar Grafika, 2002), 15.
48
Oleh sebab itu penelitian ini langsung terjun ke lapangan, agar memperoleh
informasi dari para informan. Mengingat problematika yang peneliti analisis dan
mengkaji pada perbandingan implementasi Peraturan Mahkamah Agung Nomor
3 Tahun 2017 tentang pedoman mengadili perkara perempuan berhadapan
dengan hukum pada perkara perceraian.
Data dan hasil wawancara yang diperoleh di lapangan kemudian dipaparkan
dan dianalisis untuk menemukan jawaban dari para informan untuk
menyelesaikan objek yang diteliti.
2. Pendekatan Penelitian
Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan yuridis
sosiologis, yaitu data yang digambarkan dengan rangkaian kata-kata atau kalimat
untuk menjelaskan secara rinci dalam proses beracara hingga akhir putusan
sehingga dapat membandingkan implementasi Peraturan Mahkamah Agung
Nomor 3 Tahun 2017 tentang pedoman mengadili perkara perempuan yang
berhadapan dengan hukum dalam perkara perceraian pada dua lembaga berbeda
yakni, Pengadilan Agama dan Pengadilan Negeri Kota Madiun. Data yang
diperoleh kemudian akan dianalisis dan dikelompokkan sesuai dengan data yang
dibutuhkan.
3. Lokasi Penelitian
Lokasi dalam penelitian ini berada di Pengadilan Agama Kota Madiun, Jl.
Ringroad No. 1 Barat Kota Madiun. Sedangkan Pengadilan Negeri Kota Madiun
beralamatkan di Jalan R.A. Kartini No. 7 Madiun. Alasan akademik dari
49
pemilihan lokasi dikarenakan kedua lembaga tersebut sudah
mengimplementasikan Peraturan Mahkamah Agung Nomor 3 Tahun 2017
tentang pedoman mengadili perkara perempuan yang berhadapan dengan hukum
dalam perkara perceraian dengan baik. Perbedaan pola dalam proses dan
penyelesaian merupakan hal yang menarik. Disamping itu jumlah perkara
perceraian di Pengadilan Agama Kota Madiun dan di Pengadilan Negeri Kota
Madiun cukup banyak, sehingga perkara perdata di kedua lembaga tersebut perlu
diteliti. Maka peneliti memilih melakukan penelitian di Pengadilan Agama Kota
Madiun karena keunikannya.
4. Jenis dan Sumber Data
Penelitian ini merupakan jenis penelitian empiris. Berbeda dengan jenis
penelitian normatif yang hanya menggunakan sumber data sekunder atau bahan
kepustakaan. Jenis penelitian empiris menggunakan data primer dan data
sekunder. Menurut Lofland, sumber data utama dalam penelitian kualitatif
(empiris) adalah kata-kata, dan tindakan selebihnya data tambahan seperti
dokumen, dan lain sebagainya.42 Berikut adalah rinciannya:
a. Data Primer
Data primer, data ini diperoleh langsung dari lapangan atau tempat
penelitian yang berupa hasil wawancara dengan tiga hakim pemeriksa
perkara yaitu; Murdian Ekawati S.H, M.H pada perkara Nomor Perkara
42 Lexy J. Moleong, “Metode Penelitian Kualitatif Edisi Revisi”, (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya,
2013), 4.
50
Nomor 25/Pdt.G/2019/PNMad, Ni Kadek Kusuma Wardani, S.H. pada
perkara Nomor Perkara Nomor 37/Pdt.G/2018/PNMad, Alfian Yusuf, S.HI.
pada perkara Nomor 0241/Pdt.G/2019/PA.Mn. Kemudian wawancara oleh
hakim senior, panitera, dan juga salah satu pelayanan pos bantuan hukum
Pengadilan Agama dan panitera muda perdata di Pengadilan Negeri Kota
Madiun. Data untuk diperoleh informasi berupa data pokok atau inti dari
Peraturan Mahkamah Agung yang sedang dikaji dan diteliti oleh peneliti.
Data yang diperoleh atau dikumpulkan langsung di lapangan oleh
peneliti.43 Berupa data dari informan selaku narasumber utama dan
memeriksa perkara perceraian. Sehingga peneliti dapat menganalisis dan
mendeskripsikan perbandingan implementasi Peraturan Mahkamah Agung
Nomor 3 Tahun 2017 tentang pedoman mengadili perkara perempuan yang
berhadapan dengan hukum dalam perkara perceraian di Pengadilan Agama
dan Pengadilan Negeri Kota Madiun.
b. Data Sekunder
Data pendukung dari data primer yang berasal dari buku atau literatur,
makalah, jurnal, hasil penelitian terdahulu, dan website yang berkaitan
dengan perbandingan implementasi Peraturan Mahkamah Agung Nomor 3
Tahun 2017 tentang pedoman mengadili perkara perempuan yang
berhadapan dengan hukum dalam perkara perceraian di Pengadilan Agama
43 Iqbal Hasan, “Pokok-pokok Materi Metodologi Penelitian dan Aplikasinya”, (Jakarta: Ghalia
Indonesia, 2002), 82.
51
dan Pengadilan Negeri Kota Madiun sumber data dalam penelitian ini
yaitu:
1) Data sekunder diperoleh dari :
Sumber data sekunder yaitu data-data yang diperoleh dari sumber
kedua sebagai pelengkap, diantaranya yaitu buku, jurnal, artikel, berita
dan lain-lain yang menjadi sumber rujukan dari tema yang diangkat.44
Adapun yang menjadi data sekunder:
a) Arsip atau data tentang perkara perceraian,
b) Buku/literatur berupa Hukum Acara Perdata karya M.
Yahya Harahap dan Praktek Perkara Perdata Pada
Pengadilan Agama karya H.A. Mukti Arto. Selain itu dapat
berupa jurnal tentang Peradilan Agama, buku tentang
beracara di Pengadilan Agama dan beracara di pengadilan
negeri, Kitab Undang-Undang: HIR/Rbg, Undang-Undang
Nomor 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-Ketentuan
Pokok Kekuasaan Kehakiman, Undang-Undang Nomor 7
Tahun 1989 tentang Peradilan Agama, Undang-Undang
Nomor 3 Tahun 2006 perubahan atas Undang-Undang
Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama, dan
Undang-Undang Nomor 50 Tahun 2009 perubahan kedua
atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang
44 Burhan Bugin, Metodologi Penelitian Sosial: Format-Format Kuantittatif dan Kualitatif (Surabaya:
Airlangga Press, 2001), 129
52
Peradilan Agama. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989
tentang Peradilan Agama, Peraturan Mahkamah Agung
Nomor 3 Tahun 2017, Undang-Undang Nomor 12 Tahun
2005 tentang pengesahan Covenant on Civil and Political
Rights (Kovenan Internasional tentang Hak- Hak Sipil dan
Politik). Kemudian Standar dan Maklumat Pelayanan
Pengadilan, hasil penelitian terdahulu, dan website yang
berkaitan dengan kasus perceraian.
5. Metode Pengumpulan Data
Untuk memperoleh data yang berkaitan dengan masalah yang akan dibahas
dalam penelitian ini dibutuhkan beberapa teknik pengumpulan data diantaranya
sebagai berikut:
a. Teknik pengumpulan data primer dapat diperoleh melalui:
1) Wawancara
Pada wawancara ini peneliti menggunakan wawancara terbuka,45
yakni peneliti wawancara kepada para hakim Pengadilan Agama dan
Pengadilan Negeri Kota Madiun yang mengetahui tentang implementasi
Peraturan Mahkamah Agung Nomor 3 Tahun 2017 terhadap Pedoman
Mengadili Perkara Perempuan Berhadapan dengan Hukum.
Pertanyaannya adalah 1) Bagaimana implementasi Peraturan Mahkamah
Agung Nomor 3 Tahun 2017 tentang pedoman mengadili perkara
45 J. Moleong, Metode Penelitian Kualitatif, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 1991), 186
53
perempuan berhadapan dengan hukum dalam kasus perceraian di
Pengadilan Agama dan Pengadilan Negeri Kota Madiun 2) Bagaimana
perbandingan implementasi Peraturan Mahkamah Agung Nomor 3
Tahun 2017 tentang pedoman mengadili perkara perempuan berhadapan
dengan hukum dalam kasus perceraian di Pengadilan Agama dan
Pengadilan Negeri Kota Madiun. Dalam hal ini yang menjadi
interviewer sebagai berikut:
Tabel 1.2 Data Interviewer
No Nama Interviewer Jabatan
1. Syarifah Isnaeni, S.Ag., M.H. Hakim Pengadilan
Agama Kota Madiun
2. Alfian Yusuf, S.HI. Hakim Pengadilan
Agama Kota Madiun
3. Drs. Khusnul Salim Panitera Pengadilan
Agama Kota Madiun
4. Rishandayono Sukarno, S.H Posbakum Pengadilan
Agama Kota Madiun
5. Ni Kadek Kusuma Wardani, SH.,MH Hakim Pengadilan
Negeri Kota Madiun
6. Murdian Eka Wati, S.H., M.H Hakim Pengadilan
Negeri Kota Madiun
7. Ambo Dele, S.H.,M.H. Panitera Muda Perdata
Pengadilan Negeri
Kota Madiun
2) Dokumentasi
54
Salah satu metode yang digunakan untuk mendapatkan data yang
otentik yang bersifat dokumentasi, yang dilakukan dengan mencari data-
data yang berkenaan dengan pihak yang berperkara perceraian yakni
berupa : 1.) Jumlah berapa persen kasus perceraian di Pengadilan
Agama Kota Madiun dan Pengadilan Negeri Kota Madiun, 2.) Data
kasus perceraian per tahun yang diterima oleh Pengadilan Agama dan
Pengadilan Negeri Kota Madiun, 3.) PERATURAN MAHKAMAH
AGUNG Nomor 3 Tahun 2017, 4.) Putusan Nomor 241/Pdt.G/2019/PA
Mad, 6) Putusan perkara nomor 0268/Pdt.G/2019/Pa.Mn,7) Putusan
perkara nomor 0353/Pdt.G/2019/Pa.Mn, 8) Putusan perkara nomor
09/Pdt.G/2019/PN.Mad, 9) Putusan perkara nomor
037/Pdt.G/2018/PN.Mad, 10) Putusan perkara nomor
025/Pdt.G/2019/PN.Mad, 11) Foto wawancara peneliti dengan Hakim
di Pengadilan Agama dan Pengadilan Negeri Kota Madiun, 12) Struktur
organisasi Pengadilan Agama dan Pengadilan Negeri Kota Madiun, dan
13) Standar dan Maklumat Pelayanan Pengadilan.
Teknik pengumpulan data sekunder diperoleh dari data tertulis
dengan melakukan pencarian kepustakaan, informasi, dan mempelajari
buku-buku atau literatur, jurnal dan website yang berkaitan dengan
objek penelitian
55
6. Metode Penentuan Subjek
Menurut Ismiyanto, populasi adalah totalitas atau seluruh subjek
penelitian bisa berupa benda, orang, atau hal lain yang di dalamnya bisa
dijadikan informasi penting berupa data penelitian. Sedangkan sampel
adalah himpunan bagian atau sebagian dari populasi.46 Pengambilan
sampel pada penelitian ini dilakukan dengan cara purposive sampling
yaitu penarikan sampel dilakukan dengan cara mengambil subjek yang
didasarkan pada tujuan yang telah direncanakan.47
Penentuan sampel dengan cara purposive sampling adalah untuk
memudahkan peneliti dengan langsung mencari data dan wawancara
kepada pihak yang berkompeten dan sudah menjadi tugasnya sehari-hari.
Sampel yang dipilih berdasarkan pertimbangan atau penelitian subjektif
dari penelitian.48
Informan adalah orang yang menjawab pertanyaan yang diajukan
oleh peneliti untuk tujuan penelitian. Adapun yang menjadi informan
pada penelitian ini adalah:
Tabel 1.3 Data Informan
No Nama Informan Jabatan
1. Syarifah Isnaeni, S.Ag., M.H. Hakim Pengadilan
Agama Kota Madiun
46 Bambang Sunggono, Metodologi Penelitian Hukum. (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2003), 19. 47 Bambang Sunggono, Metodologi Penelitian Hukum, 38. 48 Burhan Ashshofa, Metode Penelitian Hukum (Jakarta: PT. Rineka Cipta, 2004), 91.
56
2. Alfian Yusuf, S.HI. Hakim Pengadilan
Agama Kota Madiun
3. Drs. Khusnul Salim Panitera Pengadilan
Agama Kota Madiun
4. Rishandayono Sukarno, S.H Posbakum Pengadilan
Agama Kota Madiun
5. Ni Kadek Kusuma Wardani, SH.,MH Hakim Pengadilan
Negeri Kota Madiun
6. Murdian Eka Wati, S.H., M.H Hakim Pengadilan
Negeri Kota Madiun
7. Ambo Dele, S.H., M.H. Panitera Muda Perdata
Pengadilan Negeri
Kota Madiun
7. Metode Pengolahan Data
a. Pemeriksaan data (Editing)
Proses pemeriksaan data dalam penelitian ini dilakukan dengan
memeriksa kembali catatan dari hasil wawancara dengan hasil rekaman
wawancara, kemudian catatan tersebut dilengkapi sesuai yang ada di
rekaman. Lalu jika dirasa sudah cukup, hasil akhir data yang sudah
dilakukan pengeditan dituliskan di dalam penelitian. Tahap pemeriksaan
data adalah tahap meneliti kembali catatan, informasi, dan data yang telah
diperoleh di lapangan untuk mengetahui data yang diperoleh sudah cukup
atau masih perlu ditambahi. Dengan adanya proses ini peneliti berharap
mampu meningkatkan kualitas data yang telah dikumpulkan untuk
dianalisis. Adapun langkah-langkahnya sebagai berikut:
57
1) Memilih data-data penelitian yang berkaitan dengan perbandingan
implementasi Peraturan Mahkamah Agung Nomor 3 Tahun 2017
terhadap Pedoman Mengadili Perkara Perempuan Berhadapan
dengan Hukum.
2) Membuang data-data yang tidak berkaitan dengan perbandingan
implementasi Peraturan Mahkamah Agung Nomor 3 Tahun 2017
terhadap Pedoman Mengadili Perkara Perempuan Berhadapan
dengan Hukum.
b. Klarifikasi
Klasifikasi atau pengelompokan data ini bertujuan untuk
mengelompokkan data dan diklasifikasikan berdasarkan kategori tertentu,
berdasarkan pertanyaan dalam rumusan masalah.
1) Mengelompokkan data wawancara
2) Mengelompokkan data dari dokumen-dokumen terkait.
c. Verifikasi Data (verifying)
Setelah data diklasifikasi tahapan selanjutnya yaitu data
diverifikasi atau pengecekan ulang terhadap data yang telah didapat
untuk mencegah kekeliruan sehingga data yang terkumpul akurat dan
dapat diterima oleh pembaca. Adapun langkah verifikasi dalam
penelitian ini antara lain:
58
1) Membandingkan data hasil pengamatan dengan data hasil
wawancara.
2) Membandingkan hasil wawancara dari seluruh Hakim Pengadilan
Agama dan Pengadilan Negeri Kota Madiun.
3) Membandingkan hasil wawancara dengan suatu dokumen yang
berkaitan.
d. Analisis Data (analysing)
Adapun analisis yang digunakan pada penelitian ini bersifat
deskriptif analisis. Penelitian deskriptif adalah penelitian yang
bertujuan untuk menyusun gambaran atau potret suatu Peraturan
Mahkamah Agung tentang pola dan problematika.49 Data yang
terkumpul mengenai perbandingan Implementasi Peraturan
Mahkamah Agung Nomor 3 Tahun 2017 tentang pedoman mengadili
perempuan yang berhadapan dengan hukum dalam kasus perceraian di
Pengadilan Agama dan Pengadilan Negeri Kota Madiun akan
dianalisis secara deskriptif. Langkah analisis deskriptif ini meliputi
beberapa tahap antara lain:
1) Memulai pengumpulan data. Pada tahap ini, data tentang
Implementasi Perbandingan Peraturan Mahkamah Agung No. 3
Tahun 2017 Terhadap Pedoman Mengadili Perkara Perempuan
Berhadapan Dengan Hukum Prespektif Hakim Pengadilan Agama
49 Endang Poerwanti, Dimensi-Dimensi Riset Ilmiah (Malang: UMM Press, 1998), 26.
59
dan Pengadilan Negeri Kota Madiun dikumpulkan dengan
berbagai metode seperti wawancara mendalam dan pengumpulan
dokumen-dokumen yang berkaitan.
2) Mencermati isu-isu terkait dengan fokus penelitian. Isu-isu
penting yang dimaksud tentang urgensi dan perbandingan
implementasi Peraturan Mahkamah Agung Nomor 3 Tahun 2017
pada dua peradilan yang berbeda.
3) Mulai menulis dengan menguraikan secara mendalam mengenai
Perbandingan Implementasi Peraturan Mahkamah Agung Nomor
3 Tahun 2017 Terhadap Pedoman Mengadili Perkara Perempuan
Berhadapan Dengan Hukum Prespektif Hakim Pengadilan Agama
dan Pengadilan Negeri Kota Madiun Menganalisis. Dalam proses
ini data mentah yang diperoleh akan diolah dan dipaparkan untuk
menjawab semua pertanyaan dalam rumusan masalah.
Peneliti memaparkan data yang telah didapat melalui penelitian di
lapangan melalui wawancara, dokumentasi, dan studi kepustakaan
sehingga dapat dijadikan pedoman dalam menyelesaikan masalah.
e. Kesimpulan (concluding)
Kesimpulan merupakan tahap akhir dari sebuah penelitian, dari sini
peneliti membuat kesimpulan atas kegiatan penelitian yang telah
dilakukan. Tujuan metode ini untuk memperoleh jawaban-jawaban dari
semua pertanyaan yang telah dipaparkan dalam rumusan masalah dengan
jelas dan mudah dipahami.
60
Setelah data terkumpul diolah dan di analisis, tahapan berikutnya
menarik kesimpulan dari jawaban atas rumusan masalah. Berkaitan
dengan rumusan masalah dalam penelitian ini maka kesimpulannya juga
ada tiga sub data yang didapat melalui jawaban atas rumusan masalah.
Jawaban tersebut dapat diperoleh dari hasil wawancara para informan
Hakim di Pengadilan Agama dan Pengadilan Negeri Kota Madiun. Maka
kesimpulan dari penelitian ini berkaitan dengan perbandingan
implementasi Peraturan Mahkamah Agung Nomor 3 Tahun 2017 tentang
pedoman mengadili perkara perempuan yang berhadapan dengan hukum
dalam kasus perceraian di Pengadilan Agama dan Pengadilan Negeri
Kota Madiun.
61
BAB IV
PAPARAN DATA DAN ANALISIS
A. Gambaran Umum Objek Penelitian
1. Profil dan Sejarah Berdirinya Pengadilan Agama Kota Madiun
Dalam sebuah penelitian, pertama yang harus diketahui adalah lokasi
yang akan dijadikan penelitian. Adapun lokasi yang dijadikan penelitian ini
oleh peneliti adalah Pengadilan Agama Kota Madiun. Wilayah lokasi
Pengadilan Agama Kota Madiun termasuk wilayah geografis provinsi Jawa
62
Timur terletak pada 111˚ BT - 112 ˚ BT dan 7 ˚ LS – 8 ˚ LS dan berbatasan
langsung dengan Kecamatan Geger di sebelah selatan, sebelah timur dengan
Kecamatan Wungu, dan sebelah barat dengan Kabupaten Magetan. Kota
Madiun hampir berbatasan dengan Kabupaten Madiun, serta dengan
Kabupaten Magetan di sebelah Barat. Kota Madiun ini terletak di daratan
dengan tinggi 63 meter yang terletak di tengah dan ketinggian 67 meter dari
permukaan terletak disebelah selatan.50
Wilayah hukum pengadilan Agama Kota Madiun mempunyai luas 65,67
km2 terbagi menjadi 3 kecamatan dan 26 kelurahan yaitu:51
1. Kecamatan Manguharjo terdiri dari 8 kelurahan dengan jumlah
penduduk pemeluk agama Islam 89%. Berikut adalah kelurahan yang
terdapat pada Kecamatan Manguharjo:
a. Kelurahan/Desa Pangongangan
b. Kelurahan/Desa Madiun Lor
c. Kelurahan/Desa Patihan
d. Kelurahan/Desa Ngegong
e. Kelurahan/Desa Winongo
f. Kelurahan/Desa Manguharjo
g. Kelurahan/Desa Nambangan Kidul
h. Kelurahan/Desa Nambangan Lor
50 Pengadilan Agama Kota Madiun, www.pa-kotamadiun.go.id diakses tanggal 23 November 2019. 51Pengadilan Agama Kota Madiun, www.pa-kotamadiun.go.id diakses tanggal 23 November 2019.
63
2. Kecamatan Taman terdiri dari 9 kelurahan dengan pemeluk agama
islam 88,5%. Berikut adalah kelurahan yang terdapat pada
Kecamatan Taman:
a. Kelurahan/Desa Taman
b. Kelurahan/Desa Kejuron
c. Kelurahan/Desa Pandean
d. Kelurahan/Desa Josenan
e. Kelurahan/Desa Kuncen
f. Kelurahan/Desa Demangan
g. Kelurahan/Desa Banjarejo
h. Kelurahan/Desa Manisrejo
i. Kelurahan/Desa Mojorejo
3. Kecamatan Kartoharjo terdiri dari 9 kelurahan dengan jumlah
penduduk agama Islam 89%. Berikut adalah kelurahan yang terdapat
pada Kecamatan Kartoharjo:
a. Kelurahan/Desa Rejomulyo
b. Kelurahan/Desa Kelun
c. Kelurahan/Desa Tawangrejo
d. Kelurahan/Desa Kartoharjo
e. Kelurahan/Desa Klegen
f. Kelurahan/Desa Kanigoro
g. Kelurahan/Desa Oro Oro Ombo
h. Kelurahan/Desa Pilangbango
64
i. Kelurahan/Desa Sukosari
Selanjutnya sejarah berdirinya Pengadilan Agama Kota Madiun
dibentuk berdasarkan Staatsblad 1882 Noor 152 Jo Staatsblad 1937
Nomor 116 dan 610 JIS Pasal 106 Undang-Undang Nomor 7 Tahun
1989 dimana saat itu mempunyai dua wilayah yuridiksi yaitu
Kabupaten dan Kotamadya Madiun. Baru pada tahun 1988
Pengadilan Agama Kota Madiun dipecah menjadi dua bagian yaitu
Pengadilan Agama Kota Madiun dan Pengadilan Agama Kabupaten
Madiun.52 Selanjutnya Pengadian Agama Kota Madiun
berkedudukan di Jalan Cokrobasonto No. 2 Madiun, dimana
bangunannya menempati tanah hak pakai. Kemudian pada tahun
2006 Pengadilan Agama Kota Madiun mendapatkan anggaran untuk
pembelian tanah di Jalan Ring Road barat Kota Madiun dan pada
tahun 2007 mendapatkan anggaran untuk pembangunan gedung.53
Sejak tahun 2008 dengan diresmikannya gedung Pengadilan
Agama Kota Madiun yang baru maka secara resmi Pengadilan
Agama Kota Madiun pindah dan menempati gedung baru yang
terletak di Jalan Ring Road barat No. 1 Madiun dengan nomor
telepon 0351-464854 dan faximile 0351-495878.54 Gedung
Pengadilan Agama Kota Madiun berdiri di atas tanah seluas 1.539 m2
52 Pengadilan Agama Kota Madiun, www.pa-kotamadiun.go.id diakses tanggal 23 November 2019. 53 Pengadilan Agama Kota Madiun, www.pa-kotamadiun.go.id diakses tanggal 23 November 2019. 54 Pengadilan Agama Kota Madiun, www.pa-kotamadiun.go.id diakses tanggal 23 November 2019.
65
dengan gedung Peraturan Mahkamah Agung ukuran 250 m2 dengan
status hak milik nomor 187/PELITA IV/II/87 yang dibangun secara
Peraturan Mahkamah Agung mulai proyek tahun 1986/1987 dan
diresmikan penggunaannya pada hari Kamis Kliwon tanggal 3
Jumadil Awal 1408 Hijriyah yang bertepatan dengan tanggal 24
Desember 1987 Masehi oleh Bupati Kepala Daerah Tingkat II
Madiun, Bapak Drs. Bambang Koesbandono. Kemudian mulai tahun
1995/1996 diperluas dengan proyek tahun 1995/1996 dengan luas
100 m2, diatas tanah milik Negara (Departemen Agama seluas 1539
m2).55
2. Visi dan Misi
Adapun visi dan misi yang diangkat oleh Pengadilan Agama Kota
Madiun adalah sebagai berikut: 56
a. Visi
“Terwujudnya Pengadilan Agama Kota Madiun yang Agung”.
b. Misi
(1) Menjaga kemandirian Pengadilan Agama Kota Madiun
(2) Memberikan pelayanan hukum yang berkeadilan pada pencari
keadilan
55 Pengadilan Agama Kota Madiun, www.pa-kotamadiun.go.id diakses tanggal 23 November 2019. 56 Pengadilan Agama Kota Madiun, www.pa-kotamadiun.go.id diakses tanggal 23 November 2019.
66
(3) Meningkatkan kualitas sumber daya manusia Pengadilan Agama
Kota Madiun
(4) Meningkatkan kredibilitas dan transparansi Pengadilan Agama Kota
Madiun.
3. Struktur Organisasi Pengadilan Agama Kota Madiun 57
Ketua : Dr. H. Zaenal Fanani, S.HI., M.Si
Wakil : Ahmad Imron, S.HI., M.H
Hakim :
a. Syarifah Isnaeni, S.Ag., M.H
b. Ulfa Fithriani, S.HI., MH
c. Wahib Latukau, S.HI
d. Wakhidah, S.H., S.HI., M.H
e. Amni Trisnawati, S.HI., MA
f. Siti Juwariyah, S.HI
g. Alfian Yusuf, S.HI
Ketua Panitera : Drs. Khusnul Salim
Wakil Panitera : Drs. Agus Singgih By Arifin
Sekretaris : Onis Nur Islahi, Sos., M.M
Panmud Permohonan : Suriyana, S.HI
Panmud Gugatan : Drs. Mashudi
57 Pengadilan Agama Kota Madiun, www.pa-kotamadiun.go.id diakses tanggal 23 November 2019.
67
Panmud Hukum : Maksum, S.Ag
Panitera Pengganti :
a. Taufik Farida, S.H
b. Wiwin Sukristiana, S.H. M.H
Jurusita/Jurusita Pengganti :
a. Juminem, S.H. M.Hum
b. Erina Fatkul Fatimah, S.H., M.H
Kaur Umum : Juminem, S.H. M.Hum
Kasubag Kepegawaian : Erina Fatkul Fatimah, S.H., M.H
Kasubag Perencanaan
Teknologi Informasi dan
Pelaksana : Anita Nurhikma, S.H., M.H
Staf Sub Keuangan : Erina Fatkul Fatimah, S.H., M.H
Staf :
a. Sri Lestari
b. Erna Susanti, A.Md
c. Imam Mahmudi, S.H
d. Darussurur
e. Kusnaini
f. Irkhamni
g. Agung Setiyawan
68
h. Paryono
i. Suparlan
j. Arif Kurniadi
k. Anang Marfianto, S.Kom
l. Rochis Fajar Setiawan, S.Pd
4. Statistika Perkara Perceraian
Tahun ke tahun jumlah perkara yang masuk dan mendominasi di
Pengadilan Agama Kota Madiun adalah perkara perceraian. Baik cerai
gugat atau cerai talak. Pada tahun 2017, permohonan cerai talak yang
diterima berjumlah 106 perkara, dan cerai gugat berjumlah 274 perkara.
Dengan total jumlah perceraian tahun 2017 adalah 380 perkara. Terlihat
bahwa jumlah cerai gugat lebih mendominasi daripada cerai talak.
Pada tahun 2018 perkara perceraian mengalami kenaikan, permohonan
cerai talak yang diterima berjumlah 120 perkara, dan cerai gugat
berjumlah 302 perkara. Dengan total jumlah perceraian tahun 2018 adalah
422 perkara. Dari data tersebut terlihat bahwa jumlah cerai gugat lebih
mendominasi daripada cerai talak.
Pada tahun 2019 perkara perceraian mengalami penurunan,
permohonan cerai talak yang diterima berjumlah 109 perkara, dan cerai
gugat berjumlah 303 perkara. Dengan total jumlah perceraian tahun 2019
69
adalah 412 perkara. Terlihat bahwa jumlah cerai gugat lebih mendominasi
daripada cerai talak. 58
3. Profil dan Sejarah Berdirinya Pengadilan Negeri Kota Madiun59
Madiun merupakan suatu wilayah yang dirintis oleh Ki Panembahan
Ronggo Jumeno atau biasa disebut Ki Ageng Ronggo. Asal kata Madiun
dapat dimaknai "Pertama" Secara segi bahasa Madiun bisa diartikan dari
kata Medi (hantu) dan Ayun-ayun (berayunan) maksudnya adalah bahwa
ketika Ronggo Jumeno melakukan babad tanah Madiun terjadi banyak
hantu yang berkeliaran. "Kedua" karena nama keris yang digunakan oleh
Ronggo Jumeno yaitu keris Tundhung Medhiun. Namun pada mulanya
bukan dinamakan Madiun, tetapi Wonosari. Pada dasarnya Madiun
Merupakan sebuah wilayah di bawah kekuasaan Mataram, dalam
perjalanan sejarah Mataram, Madiun memang sangat strategis mengingat
wilayahnya terletak ditengah-tengah perbatasan dengan kerajaan Kadiri
(Doho). Oleh karenanya pada masa pemerintahan Mataram banyak
pemberontak-pemberontak kerajaan Mataram yang membangun basis
kekuatan di Madiun. Seperti munculnya tokoh Retno Dumilah.
Beberapa peninggalan kerajaan Madiun salah satunya dapat dilihat di
Kelurahan Kuncen, dimana terdapat makam Ki Ageng Panembahan
Ronggo Jumeno, Patih Wonosari selain makam para Bupati Madiun,
Masjid Tertua di Madiun yaitu Masjid Nur Hidayatullah, artefak-artefak
58 Buku Laporan Pengadilan Agama Kota Madiun Tahun 2016-2019 59 Pengadilan Negeri Kota Madiun https://www.pn-madiun.go.id diakses pada tanggal 22 Desember
2019
70
disekeliling masjid, serta sendang (tempat pemandian) keramat. Kota
Madiun dahulu merupakan pusat dari Karesidenan Madiun, yang meliputi
wilayah:
1. Magetan
2. Ngawi
3. Ponorogo
4. Pacitan.
Meski berada di wilayah Jawa Timur, secara kultural Madiun lebih
dekat ke budaya Jawa Tengahan (Solo-Jogja), karena lebih dekat secara
geografis.
Untuk wilayah hukum Pengadilan Negeri Madiun, awalnya terdiri dari
wilayah hukum 2 (dua) Kabupaten yaitu: Kabupaten Madiun dan Kota
Madiun. Dengan adanya pemekaran daerah pada tahun 1985 wilayah
Hukum Pengadilan Negeri Kotamadya Madiun hanya terdiri dari 3 (tiga)
Kecamatan dengan masing-masing Kecamatan 9 (sembilan) Kelurahan,
dengan demikian wilayah hukum Pengadilan Negeri Kotamadya Madiun
tidak seluas dengan wilayah hukum Pengadilan Negeri Kabupaten Madiun
yang terdiri dari 15 (lima belas) kecamatan.60
4. Visi dan Misi
Dengan Sistem Peradilan Satu Atap (One Roof System) dari empat
lingkungan peradilan, maka Pengadilan Negeri Kota Madiun mempunyai
60 Pengadilan Negeri Kota Madiun https://www.pn-madiun.go.id diakses pada tanggal 22 Desember
2019
71
Visi yang sama dengan Mahkamah Agung RI yakni: "Terwujudnya Badan
Peradilan Indonesia Yang Agung"61
Adapun Misi Pengadilan Negeri Kota Madiun sesuai dengan Misi
Mahkamah Agung Republik Indonesia yaitu:62
Misi:
Menjaga kemandirian badan peradilan. :
1. Memberikan pelayanan hukum yang berkeadilan kepada pencari
keadilan.
2. Meningkatkan kualitas kinerja aparatur Pengadilan Negeri Kota
Madiun.
3. Meningkatkan kredibilitas dan tranparansi Pengadilan Negeri Kota
Madiun.
5. Struktur Organisai
Struktur Organisasi Pengadilana Negeri Kota Madiun:63
Ketua : I Wayan Gede Rumega, S.H., M.H
Wakil : Bambang Eka Putra, S.H., M.H
Hakim :
a. Ni Kadek Kusuma Wardani, S.H
61 Pengadilan Negeri Kota Madiun https://www.pn-madiun.go.id diakses pada tanggal 22 Desember
2019 62 Pengadilan Negeri Kota Madiun https://www.pn-madiun.go.id diakses pada tanggal 22 Desember
2019
63 Pengadilan Negeri Kota Madiun https://www.pn-madiun.go.id diakses pada tanggal 22 Desember
2019
72
b. Catur Bayu Sulistiyo, S.H
c. Ika Dhianawati, S.H., M.H
d. Wuryanti, S.H, M.H
e. Murdian Eka Wati, S.H., M.H
f. Hastuti, S.H., M.H.
Ketua Panitera : Murtoyo, S.H., M.Hum
Sekretaris : Supriyanto, S.H., M.Hum
Panmud Pidana : Marjaka, S.H
Panmud Perdata : Ambo Dele, S.H., M.H.
Kepanitraan Umum : Maksum, S.Ag
Panitera Pengganti :
a. Isdes Pegriwati, S.H
b. Umi Tien Rahmawati, S.H.
c. Susi Bagiyaningsih, S.H.
d. Diana Ratna Santi, S.H
e. Siti Patimah, S.H
f. Suparman, S.H
g. Eddy Djoko Pramono, S.H
h. Samsul Hadi Effendi, S.H
i. Budi Atmoko, S.H
j. Agus Supriyanto, S.H
73
k. Supriyati
l. Budry Herlandin Soenaryo
m. Sardjono, S.H
n. Sunjoto, S.H
o. Kusmianto
p. Suryanto,S.H
Jurusita/Jurusita Pengganti :
a. Suharto
b. Hariadi
c. Ali Mashadi
d. Resti Handayani
e. Condro Triyono, S.H
f. Aris Sumarlan
g. Ari Setiyawan, S.H
h. Novita Kurnia Dewi, S.E
i. Juti Minarni
j. Asihning Rahayu
k. Mukti Wulandari, S.Sos
l. Anton Satriaji, S.H
m. Payanto Sri Budi
n. Diah marhaeni Suharti
o. Sudiyo
74
Kaur Umum dan Keuangan: Dadang Sumarno, S.E
Kasubag Kepegawaian :
a. Juti Mirani
b. Basuki Ranggono
Kasubag Perencanaan
Teknologi Informasi dan
Pelaksana : Drs. Sukeniyanto
Kelompok Fungsional :
a. Arsiparis
b. Pustakawan
c. Pranata Komputer
d. Bendahara
6. Statistika Perkara Perceraian
Meskipun tidak banyak namun tahun ke tahun jumlah perkara
perceraian yang masuk di Pengadilan Negeri Kota Madiun semakin
meningkat. Sehingga perkara cerai gugat pada tahun 2017 dengan jumlah
26 perkara percerain. Pada tahun 2018 perkara perceraian mengalami
kenaikan, dimana jumlah perkara perceraian berjumlah 28 perkara cerai
75
gugat. Kemudian di tahun 2019 ada 34 perkara cerai gugat yang masuk di
Pengadilan Negeri Kota Madiun.64
B. Pemaparan Data
Mengenai implementasai Peraturan Mahkamah Agung Nomor 3 Tahun 2017
tentang pedoman mengadili perkara perempuan berhadapan dengan hukum dalam
perkara perceraian merupakan suatu hal yang perlu diulik lebih dalam lagi.
Terkadang hak-hak perempuan di acuhkan begitu saja. Dalam praktiknya
implementasi Peraturan Mahkamah Agung Nomor 3 Tahun 2017 tentang pedoman
mengadili perkara perempuan berhadapan dengan hukum adalah luas. Dimana
pelayanan publik, pemeriksaan perkara, hingga putusan dalam mengadili perkara
perceraian termasuk dalam pengimplementasian Peraturan Mahkamah Agung Nomor
3 Tahun 2017.
Disini peneliti melakukan wawancara di Pengadilan Agama dan Pengadilan
Negeri Kota Madiun. Pertanyaan pertama yang peneliti lontarkan untuk Bapak
Rishandayono Sukarno, S.H. bagian pelayanan di Posbakum yaitu, Bagaimana
implementasi Peraturan Mahkamah Agung Nomor 3 Tahun 2017 dalam kasus
perceraian pada pelayanan di lembaga ini? Apa saja pelayanan yang sudah diberikan?
Bapak Rishandayono Sukarno S.H. menjawab:
“Menurut saya implementasi Peraturan Mahkamah Agung Nomor 3 Tahun
2017 disini sudah dilaksanakan dengan baagus kok, saya rasa dengan adanya
aturan ini ruang untuk deskriminasi bisa terminimalisir. Dengan adanya
64 SIPP Pengadilan Negeri Kota Madiun
76
keterbukaan informasi, posbakum bisa memberikan konsultasi, jadi apa yang
mereka tanya kita jawab sesuai dengan teori yang kita tahu. Jadi ngerti
prosesnya gimana, proses cerai pas ditalak. Rata-rata laki-laki perempuan
nggak ngerti prosesnya dalam hukum masih polos. Tapi sekarang
keterbukaan informasi publik, makanya disini ada chatting online di webnya
PA ya, mau konsultasi, mau tanya informasi nggak usah capek-capek kesini
lewat chat aja itu bisa, sehingga memudahkan lah. Nggak ada deskriminasi
siapapun sudah dimudahkan. Sejauh ini kami hanya mendampingi di luar
ruang sidang jadi sebelum masuk ke ruang persidangan. Bisa jadi
pendamping (pengacara) dalam persidangan konsultasi disini gratis, kita bisa
buatin surat gugatan, surat permohonan, bisa juga duplik atau jawaban
tertulis yang mau disidangkan. Jadi mengenai informasi bisa kita konsultasi,
jadi kita kasih saran bikin surat gugatan, surat permohonan, tanpa ada
diskriminasi dan gratis. Asalkan dalam kasus yang rumit itu juga bisa gratis
asalkan memenuhi persyaratan yang, jadi untuk orang-orang yang bener-
bener tidak mampu.”65
Lalu pertanyaan kedua kami lontarkan yaitu, apakah ada hukuman pada
pelanggaran pengimplementasian Peraturan Mahkamah Agung Nomor 3 Tahun
2017?
“Disini kalau misalnya ada pegawai atau siapapun yang nakal ada prosesnya
kok, bisa dilaporkan ke pengadilan tinggi. Kan Pengadilan agama ini di
bawah naungan pengadilan tinggi yang megawasi pengadilan-pengadilan
yang di bawahnya. Jadi saya rasa buat ruang deskriminasi sudah tereliminir
dengan sistem ini.”66
Setelah peneliti mewawancarai Bapak Rishandayono Sukarno S.H.. Kemudian
peneliti melakukan wawancara pada Ketua Panitera Pengadilan Agama Kota Madiun.
Pertanyaan pertama yang peneliti lontarkan untuk Bapak Drs. Khusnul Salim dalam
pelayanan umum di Pengadilan Agama Kota Madiun yaitu, bagaimana implementasi
Peraturan Mahkamah Agung Nomor 3 Tahun 2017 dalam kasus perceraian pada
pelayanan di lembaga ini? Apa saja pelayanan yang sudah diberikan?
65 Rishandayono Sukarno, Wawancara. (Madiun, 29 Januari 2020) 66 Rishandayono Sukarno, Wawancara. (Madiun, 29 Januari 2020)
77
“Secara umum implementasi Peraturan Mahkamah Agung Nomor 3 Tahun
2017 sudah dilakukan dengan baik Mbak, semua fasilitas disini benar-benar
sudah sesuai dengan zona intergritas yang ada. Contohnya apa? Contohnya
fasilitas ruang bermain anak dan ruang ibu menyusui, kamar mandi
perempuan dan laki-laki yang berbeda. Menurut saya semua itu adalah untuk
memberikan kenyamanan pada perempuan. Selain untuk perempuan Mbak,
juga ada fasilitas untuk lansia atau disabilitas, contohnya itu tempat duduk
khusus untuk lansia dan disabilitas, kemudian ada juga akses jalan yang
dibuat untuk mempermudah lansia dan disabilitas melewatinya. Jadi orang-
orang berperkara akan merasa nyaman dan mudah dalam melewati
Peraturan Mahkamah Agung. Kaya ini PTSP, orang-orang nggak perlu lagi
Mbak wira-wiri kesana kemari untuk daftar, disini langsung, satu tempat
lebih cepat, efisien, dan mudah, tapi sayangnya kita yang belum bisa
memenuhi itu layanan pembayaran melalui bank, jadi teller bank belum bisa
datang kesini karena perkara yang ditangani setiap tahuannya sedikit, kan
bank pun nggak mau rugi.”67
Pertanyaan kedua yang peneliti lontarkan adalah berapa jumlah kasus perkara
perceraian dalam tiga tahun terkahir? Apakah mengalami kenaikan?
“Kalau jumlah perkara perceraian disini nggak sampek ribuan Mbak, nggak
kaya Pengadilan Agama Kabupaten. Disini kisaran ratusan aja pertahun. Tiga tahun
terakhir ‘kan? Tahun 2017 itu ada 380 mbak, terus tahun 2018 itu ada 422, tahun
lalu itu ada 412.”68
Perkara perceraian yang diputus kisaran raturan dalam pertahunnya, karena
wilayah hukum Pengadilan Agama Kota Madiun mempunyai luas 65,67 km2 terbagi
menjadi 3 kecamatan dan 26 kelurahan.69 Sehingga perkara yang ada hanya
menangani 3 kecamatan dan 26 kelurahan.
Pertanyaan kedua yang peneliti lontarkan adalah berapa jumlah kasus dalam
perkara cerai gugat dan cerai talak?
“Tahun 2017 itu ada 106 cerai talak dan 274 cerai gugat, terus tahun 2018
itu ada 120 kasus cerai talak terus cerai gugatnya ada 422. Terus kalau tahun
67 Khusnul Salim, Wawancara. (Madiun, 29 Januari 2020) 68 Khusnul Salim, Wawancara. (Madiun, 29 Januari 2020) 69Pengadilan Agama Kota Madiun, www.pa-kotamadiun.go.id diakses tanggal 23 November 2019.
78
lalu ada 109 cerai talak 303 cerai gugat. Dari tahun ketahun yang lebih
banyak itu pasti perempuan yang menggugat Mbak, disini ‘kan bisa
disimpulkan perempuan pun berani dalam mengajukan gugatan, entah itu
melalu bantuan kuasa hukum ataupun lewat posbakum ‘kan itu juga fasilitas
dari pengadilan.”70
Peneliti telah mewawancarai pihak yang berkompeten dalam hal proses
pemeriksaan dan putusan dalam sidang, yaitu hakim senior Pengadilan Agama Kota
Madiun Syarifah Isnaeni S.Ag., M.H dengan memberi pertanyaan bagaimana
pandangan anda dalam implementasi Peraturan Mahkamah Agung Nomor 3 Tahun
2017 tentang pedoman mengadili perkara perempuan berhadapan dengan hukum
dalam kasus perceraian?
“Memang perempuan diberi ruangan yang lebih untuk berhadapan dengan
hukum, kan selama ini seperti perempuan dalam posisi tersudutlah
perempuan itu. Nah sekarang dengan lahirnya Peraturan Mahkamah Agung
ini ’kan diberi ruang lebih. Ini lo, bisa kok. Artinya dia lindungi secara
undang-undang, tidak ada lagi rasa ketakutakan, dia bisa dating dan
didampingi, ‘kan seperti itu.”71
Pertanyaan kedua peneliti lontarkan lagi Apa pertimbangan lahirnya Peraturan
Mahkamah Agung Nomor 3 Tahun 2017 dan tujuan dari materi muatan pada
Peraturan Mahkamah Agung Nomor 3 Tahun 2017?
“Banyak sih ya, pastinya lembaga-lembaga yang mengatasnamakan gender
pastinya juga ikut berperan. Pertimbangan lahirnya Peraturan Mahkamah
Agung Nomor 3 Tahun 2017 ini sudah digodok lama ini Mbak, cuma baru
lahir tahun 2017 ini.”72
Pertanyaan ketiga juga peneliti lontarkan yaitu apa perbedaan dari sebelum dan
sesudah adanya Peraturan Mahkamah Agung Nomor 3 Tahun 2017 pada perkara
perceraian?
70 Khusnul Salim, Wawancara. (Madiun, 29 Januari 2020) 71 Syarifah Isnaeni, Wawancara (Madiun, 06 Desember 2019) 72 Syarifah Isnaeni, Wawancara (Madiun, 06 Desember 2019)
79
“Saya pikir kok sama aja ya, oh iya masalah nafkah yang di Perma itu ya?
Kalau yang dulu itu memang tidak ditentukan kalau tidak ada permintaan gitu
ya, kalau sekarang kita bisa langsung menentukan tanpa ada permintaan dari
pihak, perbedaannya disitu. Kalau cerai talak nafkah iddah, mut’ah itu harus
karena itukan kewajiban suami, selama istrinya tidak nusyuz ya. Biasanya
‘kan itu muncul di mediasi, kalaupun misal dalam mediasi tidak muncul kita
secara exofficio kita menentukan semua itu. Menetukan berapa nafkah iddah
sekian sekian yang diberikan Pemohon pada Termohon seperti itu. Dalam
gugat cerai pun nafkah iddah dan mut’ah tidak gugur, tetep sama. Di
hadapan hukum tetep mempunyai hak yang sama. Dia mendapatkan
kesempatan jawaban, mengajukan duplik, mengajukan alat bukti bahkan
punya kelebihan lain, dia boleh didampingi selain kuasa hukum, ‘kan seperti
itu bunyi Permanya. Dia ga punya uang untuk bayar kuasa hukum LBH
mungkin, atau keluarganya boleh mendampingi. Apalagi dengan Perma ini
semakin kuat posisi perempuan ‘kan.”73
Pertanyaan keempat juga peneliti lontarkan yaitu apakah ada hukuman pada
pelanggaran pengimplementasian Peraturan Mahkamah Agung Nomor 3 Tahun
2017?
“Sejauh ini saya lihat belum, nggak tau ditempat lain. Tapi kayanya
hukuman atas pelanggaran perma ini belum saya baca, jadi pelanggaran
hakim-hakim itu tidak terkait dengan perma ini. Belum ada, rasanya
pelanggaran seperti ini khusus kasus kasus asusila kebanyakan.”74
Pertanyaan kelima juga peneliti lontarkan yaitu bagaimana implementasi
tujuan pada Pasal 3 c dalam menjamin hak perempuan terhadap akses yang setara
dalam memperoleh keadilan?
“Kalau perkara yang saya tangani ini yang sedang jalan manager FC mau
kita kasih nafkah meskipun dia yang menggugat tapi akan kita tentukan dapat
nafkah juga.”75
73 Syarifah Isnaeni, Wawancara (Madiun, 06 Desember 2019) 74 Syarifah Isnaeni, Wawancara (Madiun, 06 Desember 2019) 75 Syarifah Isnaeni, Wawancara (Madiun, 06 Desember 2019)
80
Kemudian selain kepada hakim senior di Pengadilan Agama Kota Madiun,
peneliti juga mewawancara hakim lain yang bernama Alfian Yusuf S.HI., yang
menangani beberapa kasus tentang implementasi pada Peraturan Mahkamah Agung
Nomor 3 Tahun 2013 tentang Pedoman Mengadili Perkara Perempuan Berhadapan
dengan hukum. Dimana peneliti melontarkan pertanyaan pertama pada bapak Alfian
Yusuf S.HI., yaitu: Bagaimana pandangan anda dalam implementasi Peraturan
Mahkamah Agung Nomor 3 Tahun 2017 tentang pedoman mengadili perkara
perempuan berhadapan dengan hukum dalam kasus perceraian?
“Secara umum saya pribadi dengan perma ini setuju banget ya, karena
memang pro gender satu, terus yang kedua juga memang selama ini banyak
hakim-hakim sudah melakukan penemuan hukum terhadap kasus-kasus
perceraian ataupun kasus-kasus di bidang perkawinan tentang hak-hak
perempuan. Kalau dulu sebelumnya mereka belum punya payung hukum
pasti, tetapi dengan adanya perma ini akhirnya penemuan-penmuan hukum
yang dilakukan oleh hakim-hakim sebelunya dalam kasus perceraian
khususnya kasus perceraian pemberian nafkah, kemudian juga hak-hak
mantan istri, itu lebih terjamin gitu lho.”76
Kemudian peneliti melontarkan pertanyaan kedua pada bapak Alfian Yusuf
S.HI., yaitu apa pertimbangan lahirnya Peraturan Mahkamah Agung Nomor 3 Tahun
2017 dan tujuan dari materi muatan pada Peraturan Mahkamah Agung Nomor 3
Tahun 2017? Dan bapak Alfian Yusuf S.HI. menjawab:
“Memang melihat selama ini banyak ya khususnya perkara bidang
perceraian itu yang menjadi pihak berperkara ataupun orang yang
melakukan gugatan atau itu adalah pihak perempuan yang merasa
bahwasanya merupakan korban atau mendapatkan kerugian dalam berumah
tangga itu, merasanya mereka seperti itu sehingga 60% lebih bahkan 70%
disetiap pengadilan pasti cerai gugat lebih mendominasi itu pasti, dan selalu
seperti itu. Sehingga dengan materi atau muatan perma ini khususnya kami di
pengadilan agama, muatan dan meterinya itu mengatur tentang hak-hak
perempuan berhadapan dengan hukum, mulai dari hak dari dia mendapatkan
76 Alfian Yusuf, Wawancara. (Madiun, 10 Januari 2020)
81
layanan saat akan berperkara, informasi sampai nanti penyelesaian perkara.
Jadi perma ini bukan sekedar ketika dia menjalani persidangan, tapi hak-hak
yang didapatkan oleh perempuan itu mulai dari informasi ataupun konseling
di awal, sampai nanti penyelesaian perkaranya, khususnya di bidang
perceraian seperti itu.”77
Kemudian peneliti melontarkan pertanyaan ketiga pada bapak Alfian Yusuf
S.HI., yaitu apa perbedaan dari sebelum dan sesudah adanya Peraturan Mahkamah
Agung Nomor 3 Tahun 2017 pada perkara perceraian? Bapak Alfian Yusuf S.HI.
menjawab:
“Bagi kami hakim, dahulu sebelum adanya perma ini banyak disparitas,
disparitas itu perbedaan putusan –putusan khususnya dalam bidang
perceraian tentang pembebanan pelaksaan nafkah. Jadi seandainya seorang
perempuan diceraikan oleh suaminya kemudian dia mendapatkan hak nafkah,
sebelum perma ini banyak pandangan dari hakim-hakim bahwasanya
pelaksanaannya sebelum ikrar talak, ada sebagaian berpendapat itu tidak
boleh, karena ikarar talak sendiri itu merupakan penyelesaian perkara.
Sedangkan nafkah yang dimuat dalam amar putusan itu adalah hanya bisa
upaya paksanya melewati eksekusi, itu pandangan-pandangan yang normatif
seperti itu. Tapi dengan diaturnya perma ini, dan turunannya yaitu sema
nomor 3 tahun 2018 akhirnya menjadi sebuah payung hukum bagi hakim, oh
sekarang menetapkan nafkah untuk menghukum pihak suami dengan
membayar nafkah pada istri tidak bisa dilaksanakan sebelum ikrar talak,
bahkan yang terbaru 2019 cerai gugat pun seandainya suami dibebani oleh
nafkah, dia tidak boleh mengambil akta cerai sebelum dia membayar nafkah,
ini adalah salah satu bentuk perlindungan bagi perempuan. Akhirnya payung
hukum ini sebagai kebijakan-kebijakan Mahkamah Agung khususnya melalui
sema, putusan-putusannya banyak membela hak-hak perempuan itu agar
terpenuhi, sebelum dia bener-bener bercerai. Contohnya perempuan
melakukan cerai gugat kemudian dia mendapatkan hak dari suaminya,
meskipun dia mengajukan cerai gugat kalau menurut fiqh klasik perempuan
atau istri yang mengajukan cerai ke pengadilan itu merupakan sebuah
tindakan nusyuz (bentuk pembangkangan), itu menurut fiqh klasik. Namun
dengan perkembangan fiqh kontemporer ini, nusyuz itu bukan hanya sekedar
keluar rumah atau mengajukan gugatan, tapi bener-bener dilihat faktanya.
Apa bentuk pembangkangan istri terhadap suami? Toh kalau dia mebangkang
ada sebab yang mengharuskan dia untuk membangkang, mungkin dia keluar
rumah karena dianiaya, merasa tidak nyaman, itu bukan dianggap sebagai
77 Alfian Yusuf, Wawancara. (Madiun, 10 Januari 2020)
82
nusyuz. Jadi terminologi nusyuz itu tidak sama seperti halnya yang ada
dibuku fiqh klasik. Melihat perkembangan sekarang, sehingga saat
mendapatkan hak-haknya sebagai mantan istri itu bisa gitu lho, menurut
perma nomor 3 tahun 2017 rumusan kamar agama itu pihak suami dibebani
untuk membayar nafkah, lah bagaimana bentuk eksekusinya? Nah dia bisa
saja mengajukan eksekusi, tapi juga ada aturan terbaru pihak suami
(tergugat) itu tidak bisa mengambil akta cerai sebelum dia melunasi isi
putusan. Itu salah satu bentuk perlindungan perma terhadap perempuan yang
berhadapan dengan hukum.78
Kemudian peneliti melontarkan pertanyaan selanjutnya, yaitu: Bagaimana
implementasi asas dan tujuan pada Pasal 2 Peraturan Mahkamah Agung Nomor 3
Tahun 2017?
“Dari awal sudah saya sampaikan bahwasanya perma ini bukan hanya
putusan hakim, tapi mulai dari perempuan datang sampai pada putusan itu
akan selalu berkaitan dengan perma itu. Bukan hanya perkara-perkara
biasa saja, namun khususnya perkara dengan perempuan, tapi juga
pelayanan publik untuk perempuan itu memang dikhususkan, makanya kita
disini ada ruang bermain anak, ruang ibu menyusui (laktasi) itu salah satu
bentuk implementasi perma dalam pelayanan publik kepada perempuan.
Kemudian berperkara pada persidanganpun selalu kita menyampaikan
pada pihak Termohon (istri) itu bukan berarti hakim tidak impersial (tidak
ditengah) tapi hanya memberitahukan hak. Karena tugas daripada hakim
selain mengadili perkara dia juga memberikan informasi membantu para
pihak agar pelaksanaan proses berperkara supaya lancar. Mau masalah
dia mau nuntut haknya ya monggo kalau tidak ya nggak apa-apa, kita tidak
maksa. Tapi permintaan harus sesuai dengan realitas keadaan suami,
begitu juga masalah anak, hak-hak anak pun kita juga laksanakan untuk
menjamin kepastian siapa yang mau menafkahi anak. Kita bisa
menawarkan ataupun secara hak officio (menetapkan secara langsung)
meskipun para pihak tidak meminta. Karena dipandang bahwasanya perlu
kepastian hukum, perlu pemenuhan hak-hak bekas istri itu hakim bisa
secara jabatannya.”79
Kemudian peneliti melontarkan pertanyaan selanjutnya, yaitu: Bagaimana
implementasi tujuan pada Pasal 3 c dalam menjamin hak perempuan terhadap akses
yang setara dalam memperoleh keadilan? Dan Bapak Alfian Yusuf S.HI. menjawab:
78 Alfian Yusuf, Wawancara. (Madiun, 10 Januari 2020) 79 Alfian Yusuf, Wawancara. (Madiun, 10 Januari 2020)
83
“Akses yang setara dalam memperoleh keadilan itu banyak, bisa akses
memperoleh informasi, akses pelayanan, dilayani dengan setara tidak ada
diskriminasi disitu, juga akses mencari keadilan yang substansi kita dalam
perkara cerai talak, kalau kita melihat bahwasanya penyebab perselisihan
dan pertengkaran ada perkara saya itu tahun 2019 itu majelisnya pak ketua,
dimana istri itu ketahuan selingkuh sudah itu kemudian yang menyebabkan
rumah tangganya retak dan itu diakui tapi dia masih menuntut hak dia
sebagai seorang mantan istri namun hanya dikabulkan sebagian saja. Itu
salah satu bentuk akses memperoleh kesetaraan yang sama khususnya pada
perempuan itu sah-sah saja meskipun perempuan ditunjuk sebagai
penyebabnya bahkan terbukti sebagai penyebab perselisihan dan
pertengkaran, tapi tetep dia mendapatkan haknya sebagai seorang istri
karena bagaimanapun rumah tangga itu tidak bisa salah-salahan cuma satu
orang. Bentuk ketaatan dia selama menjadi istri dengan berkumpul dengan
suami, melayani dan menyiapkan itu tetep harus kita apresiasi dan kita
berikan mut’ah, dia menuntut nafkah iddah tapi dia tidak dikasih kerna dia
tebukti nusyuz dengan dia berselingkuh. Jadi dia meskipun nusyuz dia tetep
dapat mut’ah, itu perkara 241.”80
Pertanyaan selanjutnya yang diberikan yaitu : Bagaimana implementasi
Peraturan Mahkamah Agung Nomor 3 Tahun 2017 pasal 4 dalam pemeriksaan
perkara?
“Sama seperti kasus nomor perkara 241 tadi, meskipun dalam pemeriksaan
perkara perempuan itu mengakui dan terbukti berselingkuh sehingga jadi
penyebab perselisihan dan retaknya rumah tangga, kami selalu
menyampaikan kepada para pihak, kita beri akses apakah anda mau
mengajukan alat bukti? Apakah anda mau mengajukan saksi? Silahkan, kita
berikan hak-haknya meskipun itu adalah pihak atau tergugat, Karena
memang dalam asas pembuktian itu kan siapa yang mendalilkan dia yang
harus membuktikan itu adalah bentuk implementasi perma pada pemeriksaan
perkara. Di pengadilan agama kota Madiun ini diberita acara ikrar talak
akan kelihatan karena diberita acara ikrar talak ada putusan daripada
perkara sebelumnya, ternyata di ikrar talak ditanya kan sudah ditentukan
sidang ikrar talak: “Anda sudah siap belum untuk membayar kewajiban
saudara sebagai seorang suami kepada mantan istri saudara?” “Oh saya
belum siap pak” kalau belum siap akan kita tunda sampai dia siap untuk
membayar, pemenuhannya sampai seperti itu. Ada perkara rojudin abbas,
ikrar talak dia hampir 3 bulan karena dia belum siap, jadi ditunda cari uang
dulu. Istrinya kita tanya: “Bagaimana suami ga siap?” istrinya menjawab:
“Iya pak semuanya harus tetep dua juta” harus lunas. Ini salah satu
pemeunuhan hak-hak karena kita memastikan disitu agar putusannya tidak
ilusi jadi buat apa tercantumkan hukum atau beban dalam putusan tapi disitu
80 Alfian Yusuf, Wawancara. (Madiun, 10 Januari 2020)
84
ternyata perempuan ga dapat haknya. Dia harus menuntut eksekusi, eksekusi
biayanya lebih mahal lagi, padahal hanya untuk memenuhi hak yang dua juta,
seperti itu. Itu contoh yang paling update kemarin.”81
Selanjutnya peneliti memberikan pertanyaan lagi yaitu: Bagaimana
implementasi Peraturan Mahkamah Agung Nomor 3 Tahun 2017 pasal 6 dalam
mengadili perkara perceraian?
“Di pengadilan agama kota Madiun ini diberita acara ikrar talak akan
kelihatan karena diberita acara ikrar talak ada putusan daripada perkara
sebelumnya, ternyata diikrar talak ditanya kan sudah ditentukan sidang ikrar
talak: “Anda sudah siap belum untuk membayar kewajiban saudara sebagai
seorang suami kepada mantan istri saudara?” “Oh saya belum siap pak”
kalau belum siap akan kita tunda sampai dia siap untuk membayar,
pemenuhannya sampai seperti itu. Ada perkara rojudin abbas, ikrar talak dia
hampir 3 bulan karena dia belum siap, jadi ditunda cari uang dulu. Istrinya
kita tanya: “bagaimana suami ga siap?” Istrinya menjawab: “Iya pak
semuanya harus tetep dua juta” harus lunas. Ini salah satu pemeunuhan hak-
hak karena kita memastikan disitu agar putusannya tidak ilusi jadi buat apa
tercantumkan hukum atau beban dalam putusan tapi disitu ternyata
perempuan ga dapat haknya. Dia harus menuntut eksekusi, eksekusi biayanya
lebih mahal lagi, padahal hanya untuk memenuhi hak yang dua juta, seperti
itu. Itu contoh yang paling update kemarin.”82
Selanjutnya peneliti melontarkan lagi pertanyaan mengenai Pada pasal 7
Peraturan Mahkamah Agung Nomor 3 Tahun 2017 bagaimana implementasi dalam
mencegah atau menegur apabila terjadi deskriminasi atau intimidasi dalam kasus
perceraian?
“Selalu, begitu pula saat hakim sedang melaksanakan persidangan selalu
menghimbau tata cara kami bertanya, ataupun mengajukan pertanyaan
apalagi kalau perkara-perkara berkaitan dengan asusila, meskipun sidang
kita tertutup kita akan mencoba untuk menggunakan bahasa yang tidak
menyakiti gitu lho, selalu seperti itu. Tidak sampai merendahkan atau
mengintimidasi. Salah satunya juga dalam perkara kewarisan, ada beberapa
putusan dalam pengadilan itu hak perempuan itu bisa dipersamakan dengan
laki-laki. Jadi mengimpelementasikan teori hazarain itu, namun itu masih
81 Alfian Yusuf, Wawancara. (Madiun, 10 Januari 2020) 82 Alfian Yusuf, Wawancara. (Madiun, 10 Januari 2020)
85
banyak kontroversi. Dalam artian masih banyak perbedaan pendapat, ga ada
masalah. Contoh anak pertama perempuan yang bantu, yang jaga orang tua
sakit sampai meninggal. Adek kamu kuliah sampai kerja dapat kerjaan tetap,
lah yang anak pertama perempuan ini tadi kalau disamakan haknya sama
anak kedua laki-laki seharusnya kan 1:2 apakah secara logika saja, saya ga
ngomongin dalil hukum, kalau dalil hukum kita bisa cari, tapi secara logika
apakah itu adil?atau begini, dalam KHI itu hak perempuan dan hak laki-laki
itu 50:50 tapi tidak menutup kemungkinan pemeriksaan perkara apabila
dilihat bahwasanya si istri ini yang lebih dominan dalam mencari nafkah,
harta bersama itu bisa dilebihkan istri lebih banyak. Sama-sama suami istri
bekerja namun si istri ini lebih dominan padahal sebetulnya laki-laki
tugasnya menafkahi istri, ini istri sudah mandiri contohnya lah itu kalau
perceraian hakim bisa melebihkan harta pada istri, karena yang sebetulnya
yang bertanggung jawab itu yang laki-laki untuk memenuhi kebutuhan rumah
tangga itu sudah dibantu oleh istri, jadi pembagian bisa 60% 40% itu bisa
tergantung fakta dari pemeriksaan, itu salah satu bentuk implementasi perma
ini dalam putusan, kita keluar dari aturan baku KHI yang 50:50 tapi karena
sekarang untuk menjamin hak perempuan. Dan fakta itu bukan hanya
perasaan yang dirasakan tapi juga alat-alat bukti, itu harus mendukung
semuanya. Jadi kalau fakta itu tidak didukung kita tidak mengabulkan
permintaan tersebut meskipun kenyataannya dia terdzolimi tapi karena tidak
ada bukti yang menguatkan menurut kami maka tidak bisa dikabulkan.”83
Kemudian peneliti memberikan pertanyaan lagi, yaitu: Bagaimana
implementasi pada Pasal 9 Peraturan Mahkamah Agung Nomor 3 Tahun 2017
tentang pendampingan? Apakah sudah pernah ada perempuan yang berhadapan
dengan hukum dan didampingi oleh pendamping?
“Kalau saya dulu di NTT itu pernah melakukan pendampingan tapi ini
masalah kasus anak, seorang suami istri sudah menikah punya anak, anaknya
ini ikut keluarga daripada laki-laki karena memang orang NTT sifat
keskuannya masih sangat tinggi. Akhirnya kita ingin memeriksa perkara
supaya ada pendampingan karena anak itu memiliki mengalami guncangan
psikologis akhirnya ada pendampingan dari KPAI waktu itu, karena
psikologis dari anak ini yang akan kita selamatkan. Yang kita takutkan ‘kan
itu anak menjadi korban karena anak dianggap batang sehingga diperebutkan
orang tua. Tapi kalau dalam perkara perceraian disini tidak pernah
melakukan pendampingan kecuali para pihak mengalami gangguan psikolog
contohnya stres, memang dia butuh yang namanya pengampu itu bisa dengan
keluarga yang mendampingi itu boleh. Contoh ya, mungkin dia konflik rumah
83 Alfian Yusuf, Wawancara. (Madiun, 10 Januari 2020)
86
tangga akhirnya dia stress ditinggal suaminya banyak utang gitu, dia ingin
menggugat cerai. Boleh ga pak orang stress menggugat cerai? Boleh tetapi
harus didampinginya itu biasanya lewat keluarga atau komisi perlindungan
perempuan, silakan ga ada masalah kalau memang diperlukan
pendampingan. Kalau bayar orang lewat LSM silahkan, tapi kalau keluarga
saja juga gapapa tetep kita terima. Nah pendampingan ada dua, ada
pendampingan secara fisik, ada juga pendampinga secara hukum. Akhirnya
kita bekerjasama dengan pos bantuan hukum untuk melayani masyarakat
mencari keadilan, khususnya untuk orang yang awam dan perempuan, orang
difabel atau orang-orang miskin itu bisa melalui posbakum, contoh membuat
gugatan, membantu konsultasi masalah hak-hak dia, memberi masukan pada
pihak-pihak berperkara. Dia juga bisa masuk dalam persidangan untuk
melakukan pendampingan pada para pihak. Juga perkara poligami meskipun
suami sudah mendapatkan surat pernyataan bermatrei dari pihak istri,
pengadilan itu wajib mendengarkan secara langsung, maka istri juga
dijadikan para pihak. Meskipun perkara gugatan tapi menjadi permohonan
izin (volunteer, sehingga istri pertama dijadikan para pihak. Perkaranya izin
poligami, tapi Termohon dan Pemohon bukan penggugat dan tergugat lho ya.
Karena hak untuk menihak lebih dari satu itu hak dari laki-laki lho ya, namun
Undang-undang mengatur dasar pernikahan nomor 1 tahun 1974 pernikahan
itu hanya dapat menikahi satu orang, dapat lebih dari satu asalkan ada izin
dari istri pertama, sehingga dengan itu istri dijadikan Termohon untuk
didengar langsung keridhoannya untuk perkara ii, itupun kalau dia ga hadir
pak karena sakit, ga bisa jalan? Kita akan turun langsung melakukan
pemeriksaan setempat pada pihak perempuan. Kalau sampai ada penekanan
dan paksaan maka izin poligami akan ditolak.”84
Peneliti memberikan pertanyaan lagi kepada Bapak Alfian Yusuf S.Hi:
Apakah ada problematika dalam implementasi Peraturan Mahkamah Agung Nomor 3
Tahun 2017 dalam kasus perceraian?
“Kalau disini problematika ada pada permasalahan KDRT, banyak sekali
kasus-kasus KDRT yang menyebabkan perkara itu tidak jadi, karena setelah
dia dipukuli itu ya langusung cerai aja. Dulu itu ada wacana dalam hukum
terapan pengadilan agama dimasukkan juga perkara KDRT, tapi itukan
pidana sedangkan KDRT itu kan perdata, dihukum sekalipun kalau dia
terbutki melakukan KDRT bisa dengan hukuman penjara atau denda, tapi
sampai sekarang peraturan itu belum jadi-jadi. Sehingga perkara-perkara
perceraian yang didalamnya ada KDRT belum bisa diselesaikan dalam satu
penyelesaian kasus. Dulu itu praktisi hukum dan ahli hukum pengennya gini,
pengadilan agama menyidang perceraian didalamnya ada KDRT yoweslah
84 Alfian Yusuf, Wawancara. (Madiun, 10 Januari 2020)
87
silahkan sekaligus putus cerai orangnya dihukum berapa tahun? Atau
didenda berapa? Nah, ini belum ada sampai sekarang.85
Karena penelitian ini dilakukan untuk mengetahui implementasi perbandingan
Peraturan Mahkamah Agung Nomor 3 Tahun 2017 tentang pedoman mengadili
perempuan berhadapan dengan hukum pada perkara perceraian, peneliti juga
melakukan wawancara di Pengadilan Negeri Kota Madiun. Dimana narasumber
pertama adalah Panitra Muda Perdata Bapak Ambo Dalle S.H, M.H. dengan
pertanyaan pertama, bagaimana implementasi implementasi perbandingan Peraturan
Mahkamah Agung Nomor 3 Tahun 2017 tentang pedoman mengadili perempuan
berhadapan dengan hukum pada perkara perceraian pada lembaga ini?
“Tentang pelayanan, kami selalu berusaha memberikan kenyaman pada pihak
berperkara, bukannya pada perempuan tapi ada semua pihak yang akan
berperkara disini. Ruangan khusus memang ada untuk perempuan seperti
penjara perempuan, ruang laktasi (menyusui), dan juga kamar mandi khusus
untuk perempuan. Bukan hanya perempuan aja sih mbak sebenernya, ada
juga ruang sidang anak ruang tunggu anak sebelum melakukan sidang. Jadi
tempat khusus untuk menangani kasus anak semua dibedakan”86
Pertanyaan kedua peneliti lontarkan adalah: Berapa jumlah kasus perkara
perceraian dalam tiga tahun ini?
“Dalam tiga tahun ini berarti dari tahun 2017 ya mbak? Kalau kasus
perceraian disini dikit mbak, dalam setahun ga pernah sampai ratusan. Kalau
tahun 2017 kasus perceraian disini ada 26 perkara mbak, kemudian tahun
2018 ada 28 perkara, dan tahun 2019 mengalami kenaikan yang jumlahnya
jadi 34 perkara mbak, disini cuma puluhan kalau kasus perceraian dan rata-
rata setiap tahunnya cerai gugat oleh perempuan lebih dominan mbak.”87
Pertanyaan kedua peneliti lontarkan adalah: Berapa jumlah kasus perkara
perceraian dalam tiga tahun ini? Bapak panitra muda perdata menjawab:
85 Alfian Yusuf, Wawancara. (Madiun, 10 Januari 2020) 86 Ambo Dalle, Wawancara (Madiun, 20 Januari 2020) 87 Ambo Dalle, Wawancara (Madiun, 20 Januari 2020)
88
”Kalau penyebab utama pada perceraian biasanya ekonomi Mbak, paling
banyak ekonomi, setelah itu perselingkuhan, dan selanjutnya masalah pindah
agama. Kalau disini itu sih kebanyakan penyebabnya perceraian”88
Kemudian setelah mendapatkan infromasi dari bagian bagian panitra muda
perdata, peneliti melakukan wawancara kembali dengan hakim senior di Pengadilan
Negeri Kota Madiun yaitu Ibu Ni Kadek Kusuma Wardani S.H dan Ibu Murdian Eka
Wati S.H., M.H yang ditunjuk oleh Ketua Pengadilan Negeri Kota Madiun. Dalam
praktiknya Ibu Ni Kadek Kusuma Wardani S.H dan Ibu Murdian Eka Wati S.H.,
M.H adalah hakim yang berkompeten dalam hal Peraturan Mahkamah Agung Nomor
3 Tahun 2017, oleh karena itu Ibu Ni Kadek Kusuma Wardani S.H dan Ibu Murdian
Eka Wati S.H., M.H adalah narasumber yang tepat di Pengadilan Negeri Kota
Madiun. Peneliti pertamakali mewawancarai ibu Murdian Eka Wati S.H., M.H yang
pertanyaan pertama peneliti berikan adalah: Bagaimana pandangan anda dalam
implementasi PERMA Nomor 3 Tahun 2017 tentang pedoman mengadili perkara
perempuan berhadapan dengan hukum dalam kasus perceraian?
”Kalau di PN perceraian itu cuma ada satu dengan bentuk gugatan, jadi yang
mengajukan gugatan itu bisa lak-laki bisa juga perempuan, sehingga tidak
ada beda dalam sebutan. Mungkin kalau di PA ada permohonan cerai talak
dan gugatan yaitu cerai gugat. Jadi jenisnya gugatan, posisinya bisa
perempuan yang menggugat dan laki-laki yang menggugat. Kemudian posisi
perempuan sebagai tergugat ataupun penggugat dia punya hak yang sama,
selaian cerai pun dia juga punya hak yang sama. Kemudian hak-haknya
perempuan sebagai tergugat maupun penggugat mempunyai hak yang sama,
jadi perempuan berhak mengajukan duplik, saksi, kesimpulan, dia juga jadi
tergugatpun dia berhak mengajukan jawaban, duplik, mengajukan alat bukti,
kesimpulan.”89
88 Ambo Dalle, Wawancara (Madiun, 20 Januari 2020) 89 Murdian Eka Wati, Wawancara (Madiun, 24 Januari 2020)
89
Pertanyaan kedua peneliti berikan yaitu: Bagiamana implementasi tujuan pada
Pasal 3 c dalam menjamin hak perempuan terhadap akses yang setara dalam
memperoleh keadilan? Kemudian Ibu Murdian Eka Wati S.H., M.H menjawab
“Namanya keadilan itu ada dua hal, keadilan prosedural dan keadilan
materiil. Keadilan prosedural itu ya selama proses persidangan, dari mulai
mengajukan, hukum acara selama dipersidangan, dan pemeriksaan. Kalau
keadilan materiilnya ya isi dari putusan itu sendiri. Untuk perceraian sendiri
itu justru sama rata, maksudnya semua sama dimata hukum tidak
membedakan antara laki-laki dan perempuan. Intinya siapa yang mendalilkan
harus membuktikan, dia menyangkal asal bisa membuktikan itu bisa saja.
Entah itu perempuan sebagai penggugat ataupun tergugat dia mempunyai
hak yang sama, hak mengajukan gugatan, hak mengajukan bukti, alat bukti,
saat perempuan sebagai tergugat dia juga punya hak untuk mengajukan
jawaban, bisa membantah dan menyangkal, itu secara proseduralnya semua
sama tidak ada pembedaan dan diskriminasi, tidak ada pembedaan dalam
administrasi, saat pendaftaran pun sama. Nah kalau materiilnya itu relatif,
tergantung dengan sudut pandangnya. Intinya gini selama proses
pemeriksaan persidangan itu sama, fair, seimbang, itu berarti putusannya pun
insyaAllah akan adil, artinya sudah diberikan haknya masing-masing.
Kemarin juga saya pernah menangani kasus perceraian yang perempuan
menjadi tergugat, nah karena perempuan ini tadi tidak mau diceraikan
dengan pembuktian fakta yang ada dipersidangan bahwa suami yang
selingkuh seingga jadi penyebab perselisihan dalam rumah tangga, akhirnya
hakim pun menolak dan tidak mengabulkan permintaan penggugat atau sang
suami yang menginginkan perceraian tersebut. Sampai akhirnya setelah
beberapa tahun kemudian masuk lagi perkara dengan penggugat dan
tergugat yang sama tapi saat itu hakim mengabulkan permintaan dari
penggugat atau sang suami karena si istri tadi sudah setuju dan mau
diceraikan, tentunya dengan bukti-bukti dan fakta dalam persidangan.
Menurut saya ini salah satu implementasi perma tentang pedoman mengadili
perempuan mbak.”90
Pertanyaan selanjutnya peneliti berikan yaitu: Bagaimana implementasi
Peraturan Mahkamah Agung Nomor 3 Tahun 2017 pasal 6 dalam mengadili perkara
perceraian? Apakah ada faktor penghambat dalam mengimplementasikan pasal 6
tersebut? Kemudian Ibu Murdian Eka Wati, S.H., M.H menjawab:
90 Murdian Eka Wati, Wawancara (Madiun, 24 Januari 2020)
90
“Gini Mbak, jadi hakim itu memutus sesuai apa yang diminta misalnya
istrinya yang jadi penyebab perceraian kemudian yang menggugat suaminya
ketika untuk menjatuhkan putusan cerai atau tidak kami hakim harus
memperhatikan PP nomor 9 Tahun 1975, kemudian mengenai hak anak, hata
gono-gini itu sebenarnya hak dari para pihak. Misalnya dia mau minta
pengasuhan anak itu bisa saja, jadi dari sisi hukumnya akan terlindungi kalau
dia punya hak asuh anak. Tapi ada juga yang tidak meminta, sehingga anak
itu bebas mau ke ibu atau ayahnya. Jadi kalau disini kebanyakan hanya fokus
pada perceraian aja mbak. Hakim bisa mengabulkan hak anak tapi mengikuti
aturan yang ada di pasal 47, 48 UU 1974 itu nanti dibaca itu ada ketentuan-
ketentuannya. Intinya kalau hak asuh anak itu yang bisa kita kabulkan adalah
anak yang belum dewasa belum 18 tahun atau belum menikah, jadi kalau 17
tahu tapi udah pernah menikahya itu ga bisa. Itu tentang ha asuh anak. Selain
undang-undang kita juga harus melihat selama ini siapa yang mengasuh,
bagaimana pengasuhannya, sehingga kita tidak bisa langsung memutuskan
tanpa mengorek informasi lebih detail, nanti kita juga akan tanya anaknya.
Dari sini kita bisa lihat bahwa hakim telah mengimplementasikan perma
nomoe 3 tahun 2017 pasal 6 mempertimbangkan kesetaraan gender, menggali
nilai-nilai hukum, kearifan loka, dan juga non diskriminasi pastinya. Dari
upaya hukum pun sama mbak, hakim akan memberikan hak-hak perempuan
yang sedang berperkara di pengadilan ini seadil-adilnya, tanpa ada relasi
kuasa, diskriminasi, bahkan kami sebagai hakim selalu menjunjung tinggi
asas dan tujuan dari perma nomor 3 Tahun 2017 ini, buktinya kalau kami
telah melaksanakan ada di putusan yang telah di inkracht. Dalam
memberikan keadilan yang sama di mata hukum hakim pastinya akan
melakukan pemeriksaan dengan detail, sehingga akan terlihat apa penyebab
keretakan rumah tangga suatu pasanagan. Selama mengorek info kita akan
ikuti alur cerita dari dan tergugat, dari saksi saat pembuktian, sehingga nanti
ketahuan dimana penyebab perselisihan ini.”91
Pertanyaan selanjutnya peneliti berikan yaitu: Bagaimana implementasi pada
Pasal 9 Peraturan Mahkamah Agung Nomor 3 Tahun 2017 tentang pendampingan?
Apakah sudah pernah ada perempuan yang berhadapan dengan hukum dan
didampingi oleh pendamping? Pendampingan seperti apa yang dilakukan? Kemudian
Ibu Murdian Eka Wati S.H., M.H menjawab:
“Kalau dalam perdata sifatnya kuasa itu menggantikan kehadirannya, kecuali
dalam mediasi semua pihak harus datang. Jadi tidak ada pendampingan tapi
kuasa hukum. Jadi kalau sudah menguasakan ke saudaranya misalnya
91 Murdian Eka Wati, Wawancara (Madiun, 24 Januari 2020)
91
walaupun pihak saat itu hadir, tetap saja dia duduk di kursi penonton. Jadi
menggunakan kuasa insidentil. Jadi sifatnya menggantikan kehadirannya.
Jadi kalau dalam pidana pendampingnya itu disebut penasihat hukum,
sedangkan dalam perdata pendamping itu disebut kuasa hukum perlu diingat
juga, kasus perceraian adalah tertutup tapi misalnya ada kebutuhan khusus
bagi para pihak berperkara jadi hakim akan mengizinkan orang lain untuk
mendampingi, jadi posisi dia itu cuma sebagai pengantar mendampingi
keperluannya ketika dibutuhkan, tetapi secara hukum dia tidak mempunyai
hak mbak. Kan dia hadir cuma fisik jadi ga punya hak dalam hukum.”92
Pertanyaan selanjutnya peneliti berikan yaitu: Pada pasal 7 Peraturan
Mahkamah Agung Nomor 3 Tahun 2017 bagaimana implementasi dalam mencegah
atau menegur apabila terjadi deskriminasi atau intimidasi dalam kasus perceraian?
Kemudian Ibu Murdian Eka Wati S.H., M.H menjawab
“Sebenernya bukan hanya pada perempuan saja bukan hanya untuk
melindungi perempuan saja tapi ketika itu menyimpang dari asas yang ada
proses persidangan pasti kita tegur. Contoh dalam perkara perceraian, ada
penggugat perempuan menggunggat suaminya kemudian pihak tergugat
mengajukan saksi, saksinya itu kakaknya, kakaknya belum menikah umurnya
lebih tua, tetapi tanggapannya itu bernada tinggi, kurang ada rasa hormat,
dan sudah melecehkan dan menghina, itu langsung kita tegur. Saksinya itu
perempuan, jadi ini perempuan terhadap perempuan lo Mbak. Jadi selama
pemeriksaan kami akan menegur para pihak ketika para pihak sudah
melanggar dan keluar dari ketentuan. Jadi ketika ditegur itu bukan malah
perempuan harus dilindungi nggak, tapi justru ketika perempuan juga kurang
baik prilakunya dipersidangan itu juga kita tegur. Sehingga disini malah
pihak yang merendahkan dan menyudutkan saksi kakak iparnya tadi,
perempuan juga. Itu tadi contohnya, tapi memang kalau kaya gitu ‘kan nggak
ditulis di berita acara Mbak. Jadi bukti dari perma memang ada di putusan
Mbak. Kalau pada masalah latar belakang seksual kita akan menanyai
dengan bahasa dan kalimat yang halus, karena itu harus diungkap, sehingga
tahu titik permasalahan dimana. Contohnya ibu malah yang datang ke laki-
laki, jadi cara bertanyanya itu tidak langsung menjudst, tapi kita ngikuti
alurnya aja apa yang diceritakan nanti akhirnya kalau ada sesuatu yang
ditutupi kan ketahuan sendiri, loh kenapa kok buru-buru? Terus kenapa kok
perempuannya yang datang ke laki-laki? Nanti kan akhirnya kebuka, dan kita
tidak mengintimidasi Cuma sekedar menggali informasi tok.”93
92 Murdian Eka Wati, Wawancara (Madiun, 24 Januari 2020) 93 Murdian Eka Wati, Wawancara (Madiun, 24 Januari 2020)
92
Pertanyaan selanjutnya peneliti berikan yaitu: Bagaimana implementasi pada
Pasal 10 Peraturan Mahkamah Agung Nomor 3 Tahun 2017 tentang pemeriksaan
melalui komunikasi audio visual? Apakah sudah pernah ada? Kemudian Ibu Murdian
Eka Wati S.H., M.H menjawab:
“Audio visual itu biasanya dalam perkara pidana Mbak, dan itu anak-anak.
Bisa dikarenakan jarak atau trauma. Kalau dalam perkara perdata selama
saya disini 3 tahun kalau masalah perdata belum ada. Tapi secara payung
hukumnya memang ada, dan memungkinkan untuk melakukan audio visual
dan saat pemeriksaan secara audio visual itu ada pendampingnya. Sekarang
ada e-court juga jadi semua proses bisa melalui eletronik, daftar dari email,
sidang, dan datang saat pembuktian aja, selain itu jawab menjawab bisa dari
email aja.”94
Pertanyaan selanjutnya peneliti berikan yaitu: Apakah ada problematika dalam
implementasi Peraturan Mahkamah Agung Nomor 3 Tahun 2017 dalam kasus
perceraian? Kemudian Ibu Murdian Eka Wati S.H., M.H menjawab:
“Oh iya, misalnya itu tadi mereka menikah itu karena hamil duluan itu tetap
kita gali, cuma itu tadi caranya bertanya itu tidak langsung menjudge
memberikan pertanyaan yang menyudutkan sehingga kita harus tetep
menjaga cara bicara dan kalimat yang akan dikeluarkan. Karena hal-hal
kaya gitu itu belum tentu ditulis dalam gugatan, cuma akhirnya kita bisa tau
itu dari penjelasan-penjelasan tadi. Problemnya itu tadi, disatu sisi kita harus
menggali, disatu sisi harus memeriksa dengan cara yang baik unruk menjaga
perasaan dan menghindari deskriminasi dan penyudutan. Dari pemilihan
bahasa, intonasi, dan ekspresi jadi harus kita jaga.”95
Setelah wawancara dengan Ibu Murdian Eka Wati S.H., M.H. terpenuhi,
peneliti melakukan wawancara selanjutya untuk mengorek lebih dalam tentang
Peraturan Mahkamah Agung Nomor 3 Tahun 2017 oleh hakim senior di Pengadilan
Negeri Kota Madiun Ibu Ni Kadek Kusuma Wardani S.H. Pertanyaan pertama yang
diberikan oleh peneliti yaitu: Bagaimana pandangan anda dalam implementasi
94 Murdian Eka Wati, Wawancara (Madiun, 24 Januari 2020) 95 Murdian Eka Wati, Wawancara (Madiun, 24 Januari 2020)
93
PERMA Nomor 3 Tahun 2017 tentang pedoman mengadili perkara perempuan
berhadapan dengan hukum dalam kasus perceraian? Ibu Ni Kadek Kusuma Wardani
S.H. menjawab:
“Sudah, apa buktinya kalau perma ini sudah dilaksanakan? Bahwa kita sudah
memberikan hak-hak yang sama. Karena perma itu dasarnya adalah non
diskriminasi, tidak ada perbedaan perlakuan, sudahkah kita perlakukan
sama? Sudah. Ada namanya kesetaraan gender, misalnya seorang perempuan
yang berhadapan dengan hukum kalau itu terkait dengan pihak berperkara
kita berikan hak sebagai berarti dia punya hak mengajukan gugatan,
mengajukan saksi untuk membuktikan kebenaran dalilnya. Kalau tergugat
kita berikan kesempatan untuk menjawab yang di dalilkan oleh, mengajukan
bukti untuk membantah yang didalilkan tergugat. Kita berikan kesempatan
yang sama untuk perempuan yang sedang menghadapi perkara perempuan
yang berhadapan dengan hukum. Dalam suatu pemeriksaan perkara hakim
tidak boleh disparitas (tidak boleh memihak). Apa yang bisa disimpulkan dari
situ? Semua hak perempuan sebagai pihak yang berperkara telah diberikan,
terlepas dipakai atau tidak. Ini adalah bentuk penghargaan dari hakim untuk
perempuan. Karena ketika seorang sedang duduk sebagai pihak berperkara
hakim tidak boleh menyatakan bahwa ini salah atau salah, tetapi hakim harus
menggunakan praduga tak bersalah sebelum di persidangan membuktikan
bahwa penggugat atau tergugat bersalah.”96
Pertanyaan kedua yang diberikan oleh peneliti yaitu: Apa pertimbangan
lahirnya Peraturan Mahkamah Agung Nomor 3 Tahun 2017 dan tujuan dari materi
muatan pada Peraturan Mahkamah Agung Nomor 3 Tahun 2017? Ibu Ni Kadek
Kusuma Wardani S.H. menjawab:
“Jadi sebenernya semua yang ada di perma itu sudah diatur dalam KUHAP.
Di perma, ‘kan mengatur masalah adat kebiasaan yang dipakai, di KUHAP
pun ada. Pernah melihat ga di KUHAP. Sebenernya perma adalah turunan
atau penegas dari KUHAP cuma perma ini dikhususkan untuk perempuan.
Ketika pihak perempuan menjadi pihak berperkara perma ini datang suapaya
sebagai penegas suapaya jangan sampai kata-kata menjudst pihak
berperkara, atau bahkan alibi untuk mengabulkan apa yang didalilkan”.97
96 Ni Kadek , Wawancara (Madiun, 24 Januari 2020) 97 Ni Kadek , Wawancara (Madiun, 24 Januari 2020)
94
Pertanyaan ketiga yang diberikan oleh peneliti yaitu: Bagaimana implementasi
Peraturan Mahkamah Agung Nomor 3 Tahun 2017 pasal 6 dalam mengadili perkara
perceraian? Apakah ada faktor penghambat dalam mengimplementasikan pasal 6
tersebut? Kemudian Ibu Ni Kadek Kusuma Wardani S.H. menjawab:
“Secara umum semuanya sama, karena kita tidak boleh disparitas, tidak
boleh memberikan pertanyaan yang menukik, itu sama. Siapapun pelakunya
entah laki atau perempuan itu sama. Jadi jika tanya sudahkah
diimplementasikan? Sudah. Bahwa kita merubah cara bertanya, artinya
seorang hakim merubah cara penyampaiannya sehingga menghindari
pertanyaan yang menukik. Jadi gini Mbak contohnya saya itu pernah
menangani kasus dimana ada perempuan mengajukan gugatan alasannya
terjadi perselisihan, tidak ada komunikasi dengan baik, kemudian pihak
tergugat sering berkata kotor dan lain sebagainya. Jadi sidang pertama
semua hadir dan kita mediasikan, kemudian laporan tanggal 31 ini tidak
berhasil. Ketika proses sidang dilanjutkan tergugat mengajukan jawaban
yang intinya menolak semua dalil dan tergugat tidak mau bercerai dengan
penggugat. Kemudian kita beri kesempatan pembuktian oleh tergugat, tapi
tergugat hanya memberikan surat-surat sebagai bukti, tidak mengajukan saksi
padahal sudah diberikan hak yang sama, tetapi tidak dipakai. Jadi dari dalil
gugatan hingga dalil jawaban maka permasalahan yang timbul apakah benar
sering terjadi perselisihan sehingga perkawinan ini tidak bisa dipertahanan
sebagaimana dalil dari gugatan? Kan itu, itu masalahnya. Sebenarnya pihak
tergugat atau suami membantah ‘nih dalam jawaban tetapi dia tidak
membuktikan bahwa dia memberi nafkah, dia hanya mengajukan bukti surat
dan tidak memakai saksi, sehingga tidak bisa menguatkan bantahan dari
jawaban tergugat, malah saksi dari penggugat menguatkan dalil dari
penggugat. Jadi hakim sudah mempertimbangkan kesetaraan gender,
penafsiran yang tidak tertulis yang menjamin genderkan ini.”98
Pertanyaan selanjutnya yang diberikan oleh peneliti yaitu: Bagaimana
implementasi asas dan tujuan pada Pasal 2 Peraturan Mahkamah Agung Nomor 3
Tahun 2017? Kemudian Ibu Ni Kadek Kusuma Wardani S.H. menjawab:
“Secara umum kami hakim mempunyai kode etik hal-hal apa yang boleh
dilakukan dipersidangan dan hal-hal apa yang dilarang. Satu yang ga boleh
itu, marah. Marah itu sangat ga boleh, karena apa? Ketika hakim marah
seluruh emosi yang tidak karuan membuat hukum acara yang harusnya
98 Ni Kadek , Wawancara (Madiun, 24 Januari 2020)
95
dijalankan, lupa blank gitu. Hakim itu juga tidak boleh disparitas sehingga
kita harus memberikan satu porsi yang sama, artinya secara umum kita punya
panduan kode etik yang harus kita patuhi. Cuma saya katakan, itu masalah
beda pengeluaran bahasa. ”99
Pertanyaan selanjutnya yang diberikan oleh peneliti yaitu: Bagaimana
implementasi tujuan pada Pasal 3 c dalam menjamin hak perempuan terhadap akses
yang setara dalam memperoleh keadilan? Ibu Ni Kadek Kusuma Wardani S.H.
menjawab:
”Dasar dari pembuatan perma ini adalah prinsip keadilan atas harkat
martabat, kesetaraan gender. Asas-asas dari ini adalah adanya keadilan,
adanya kepastian, dan ada persamaan di depan hukum. Itu yang saya bilang
tadi persamaan di mata hukum. Di Pengadilan Negeri dan di Pengadilan
Agama perempuan sama mempunyai hak mengajukan gugatan, kalau disini
perempuan bisa jadi penggugat bisa jadi tergugat, artinya perempuan sama-
sama mempunyai hak mengajukan gugatan. Pelaksanaannya adalah ketika
dia diberikan haknya, dia tidak hanya sebagai tergugat tetapi bisa juga
sebagai penggugat, jadi kalau implikasi dari kesetaraan hak ya salah
satunya itu. Tidak hanya laki-laki yang boleh menggugat istrinya tapi istri
juga bole menggugat suaminya. Karena setidaknya prinsip Pengadilan
Negeri itu seperti itu, apa yang dia minta itu yang kita kabulkan dan tidak
boleh melebihi yang diminta, masak orang ga minta nafkah tapi dikasih
nafkah. Nanti gimana pemeriksaannya? Misal mbak masalah nafkah, untuk
membuktikan dalilnya ‘Oh suami saya gajinya 10 Juta perbulan, berarti
saya minta dinafkahi 3 Juta karena mengajak anak saya, missal’ bisa ga dia
membuktikan dalam artian mengajukan bukti dalam slip gaji yang bisa
membukti gajinya 10 juta, jadi ya wajar kalau dia minta 3 juta perbulannya
yang kebetulan mengajak anaknya. Jadi semua kembali ke pembuktian, bisa
dikabulkan bisa tidak, tidak dikabulkan kalau tidak bisa membuktikan,
masalah suami kerja apa? Pengahasilannya berapa? Itu kalau tidak bisa dia
buktikan itu bisa ditolak. Bisa juga dikabulkan tapi tidak sejenak nominal
yang diminta, tapi hakim memberikan kekuasaan sekemampuan pihak
suami. Artinya di Pengadilan Negeri bisa kadang diminta, kadang tidak.
Kalau diminta bisa ditolak kalau tidak bisa membuktikan, atau dikabulkan
seperti permintaan atau dikabulkan tidak seperti permintaan tanpa
menyebut nominal yang pasti.” 100
99 Ni Kadek , Wawancara (Madiun, 24 Januari 2020) 100 Ni Kadek Kusuma Wardani, Wawancara (Madiun, 24 Januari 2020)
96
Selanjutnya peneliti mengorek tentang proses pemeriksaan dengan
pertanyaan: Bagaimana implementasi Peraturan Mahkamah Agung Nomor 3 Tahun
2017 pasal 4 dalam pemeriksaan perkara? Kemudian Ibu Ni Kadek Kusuma Wardani
S.H. menjawab:
“Untuk di Mahkamah Agung itu kan 4 pilar peradilan yaitu: Peradilan
Umum, Peradilan militer, Pengadilan Tata Usaha Negara, dan Pengadilan
Agama. Nah, semuanya ini perma mengatur tentang mediasi ini ‘kan ke
semua ini peradilan dibawahnya. Artinya kalau ada sengketa-sengketa
keperdataan, karena saat sidang pertama itu dihadiri oleh kedua belah pihak
maka sidang pertama diwajibkan mediasi. Mediasi ini akan terjadi kalau dua
belah pihak hadir, kalau misalnya salah satu pihak saja yang hadir itu tidak
bisa. Misalnya saya lewatin aja, tanpa saya mediasi maka putusannya akan
batal dan ga ada nilainya. Jadi fungsinya hakim mediasi itu untuk merujukkan
kembali, mendamaikan kembali mereka gitu ‘kan ya. Waktunya itu 30 hari
kerja ditambah 30 hari kerja kalau dikehendaki. Kemudian apa yang bisa
dilakukan kalau kedua belah pihak setuju untuk berdamai ataupun rujuk?
Upaya selanjutnya hanya bisa dilakukan adalah mencabut gugatan, tidak ada
istilahnya membuat akta perdamaian, itu tidak bisa. Akta perdamaian bisa
dilakukan kalau terjadi perkara yang diluar perceraian. Tapi kalau
perceraiannya itu ya dicabut aja. Ini adalah kesamaan dari implementasi
perma nomor 3 tahun 2017. Jadi ketika dua belah pihak hadir di Pengadilan
Agama dan di Pengadilan Negeri itu sama-sama dimediasikan ini salah satu
hak yang sama yang diberikan pada para pihak. Setau saya sepanjang tidak
ada permintaan itu tidak bisa. Bentuk gugatan apapun tanah, warisan, segala
macam ya gugatan lainnya itu semua dasarnya apa yang dia minta, tidak
boleh memberikan lebih. Dan mengajukan atau meminta itu boleh
jawabannya dua, bisa dikabulkan dan bisa tidak. Bisa dikabulkan kalau dia
bisa membuktikaan, dan dikabulkannya bisa dua juga, bisa dikabulkan seperti
yang dia minta atau Kabul tidak sesuai yang dia minta, artinya tidak
menyebut nominal. Bisa ditolak kalau tuntutan itu tidak bisa dibuktikan.”101
Kemudian pertanyaan selanjutnya adalah: Bagaimana implementasi pada
Pasal 10 Peraturan Mahkamah Agung Nomor 3 Tahun 2017 tentang pemeriksaan
melalui komunikasi audio visual? Apakah sudah pernah ada?
“Selama ini saya rasa belum ada, masalah perdata yang memeriksa
menggunakan komunikasi visual. Karena sekarang hakim punya trik,
101 Ni Kadek , Wawancara (Madiun, 24 Januari 2020)
97
seandainya perempuan itu mengalami trauma psikis, hakim bisa mengelurkan
pihak tergugat dan memanggil masuk pihak tergugat. Bisa seperti itu, jadi
tidak dipertemkan dalam satu ruangan.”102
Selanjutnya peneliti mengorek tentang efektivitas dengan pertanyaan: Apakah
pasal tersebut sudah efektif dalam melindungi hak-hak perempuan? Kemudian Ibu Ni
Kadek Kusuma Wardani S.H. menjawab:
“Pelaksanaan sudah, sudah sekali. Karena dalam putusan yang dikeluarkan
oleh Pengadilan Negeri Kota Madiun sudah menerapkan perma.”
Kemudian pertanyaan selanjutnya adalah: Bagaimana implementasi pada
Peraturan Mahkamah Agung Nomor 3 Tahun 2017 tentang dasar hukum atau
landasan hukum apa saja yg digunakan di Pengadilan Negeri dalam menangani kasus
perceraian?
“Selama ini dasar saya hanya UU Perkawinan dan perma. Saya memakai
Undang-Undang administrasi kependudukan terkait dengan pencatatan
perceraiannya.” 103
Pertanyaan selanjutnya adalah: Bagaimana penanganan kasus perceraian yg
didalamnya terdapat KDRT? Dan bagaimana penyelesaiannya? Bagaimana
penanganan kasus perceraian yg didalamnya terdapat KDRT? Dan bagaimana
penyelesaiannya?
“Saya belum pernah mengalaminya. Kadang ada dalam posita masalah
KDRT, tapi ujung-ujungnya gugatan tersebut didalilkan pada percekcokan
102 Ni Kadek , Wawancara (Madiun, 24 Januari 2020) 103 Ni Kadek , Wawancara (Madiun, 24 Januari 2020)
98
pasal 19 F PP 9 75. Jadi yg hakim buktikan tentu mengarah pada
percekcokannya.” 104
C. Analisis
1. Implementasi Peraturan Mahkamah Agung Nomor 3 Tahun 2017 tentang
Pedoman Mengadili Perempuan Berhadapan dengan Hukum di Pengadilan
Agama dan Pengadilan Negeri Kota Madiun.
Dalam praktiknya implementasi Peraturan Mahkamah Agung Nomor 3
Tahun 2017 tentang pedoman mengadili perkara perempuan berhadapan dengan
hukum sangatlah luas. Peraturan Mahkamah Agung Nomor 3 Tahun 2017 pada
Bab III berisi tentang proses berperkara dimana pelayanan publik, pemeriksaan
perkara, hingga putusan dalam mengadili perkara perceraian termasuk dalam
pengimplementasian Peraturan Mahkamah Agung Nomor 3 Tahun 2017. Seperti
yang telah disampaikan hakim Pengadilan Agama Kota Madiun bahwa perma
bukan hanya hasil dari putusan hakim, tetapi bagaimana perempuan berperkara
datang, proeses persidangan, hingga mendapatkan keputusan yang adil dan non
diskriminasi itu adalah implementasi perma yang telah di implementasikan di
Pengadilan Agama Kota Madiun.
Menurut peneliti implementasi dari Peraturan Mahkamah Agung Nomor 3
Tahun 2017 pada Pasal 2 tidak hanya pada proses persidangan saja, tetapi dari
mulai perempuan masuk pengadilan, pelayan publik yang diberikan pada
perempuan yang sedang menyelesaikan perkara di pengadilan, pemeriksaan
104 Ni Kadek , Wawancara (Madiun, 24 Januari 2020)
99
perkara dalam proses persidangan, hingga dalam putusan yang menjadi produk
hukum. Begitu dalamnya Peraturan Mahkamah Agung Nomor 3 Tahun 2017
dalam menjaga hak-hak perempuan. Kemudian telah disebutkan pada Peraturan
Mahkamah Agung perempuan yang dimaksud adalah perempuan yang sedang
menghadapi proses hukum, perempuan sebagai korban, perempuan sebagai saksi
atau perempuan sebagai pihak. Dimana dalam Pengadilan Agama dan Pengadilan
Negeri menangani perkara perempuan yang sedang menjadi pihak berperkara.
Dalam Peraturan Mahkamah Agung Nomor 3 Tahun 2017 pada Pasal 1 Ayat
(1) disebutkan: Perempuan berhadapan dengan hukum adalah perempuan yang
berkonflik dengan hukum, perempuan sebagai korban, perempuan sebagai saksi
atau perempuan sebagai pihak.105
a. Pelayanan publik pada Pengadilan Agama Kota Madiun
Undang-Undang 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik Pasal 1
Ayat (7) berbunyi: Standar pelayanan adalah tolok ukur yang
dipergunakan sebagai pedoman penyelenggaraan pelayanan dan acuan
penilaian kualitas pelayanan sebagai kewajiban dan janji penyelenggara
kepada masyarakat dalam rangka pelayanan yang berkualitas, cepat,
mudah, terjangkau, dan terukur.106 Pelayanan publik meliputi pendaftaran
perkara, keterbukaan informasi, fasilitas umum yang memenuhi standar
pelayanan di pengadilan.
105 Peraturan Mahkamah Agung Nomor 3 Tahun 2017 Bab I Ketentuan Umum 106 Undang-undang Nomor 25 Tahun 2009
100
Dalam pelayanan publik yang sudah diatur dalam Peraturan
Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2014 tentang pedoman pemberian
layanan hukum bagi masyarakat awam atau bagi orang yang tidak mampu
di Pengadilan pada Pasal 4 ayat (3) penyediaan posbakum pengadilan.107
Pos bantuan hukum adalah salah satu fasilitas yang diberikan oleh
pengadilan tingkat pertama, dimana dengan adanya posbakum ini sangat
memudahkan para pencari keadilan, terutama untuk perempuan atau orang-
orang yang buta hukum. Adanya posbakum menjadi salah satu bentuk dari
pengimplementasian Peraturan Mahkamah Agung Nomor 3 Tahun 2017
tentang Pedoman mengadili perkara perempuan berhadapan dengan
hukum. Dalam pelayanan publik kenyaman memang hal pertama yang
harus didapatkan, semua fasilitas dipenuhi untuk memberikan kemudahan,
kenyamanan bagi para pihak berperkara. Menurut salah satu anggota
posbakum di pengadilan agama kota Madiun Rishandayono Sukarno S.H.
adanya keterbukaan informasi memberikan ruang untuk mempermudah
para pihak berperkara untuk konsultasi, memberikan masukan, juga dalam
pembuatan dokumen yang diperlukan dalam persidangan secara gratis dan
mudah karena adanya akses online yang disediakan di website Pengadilan
Agama Kota Madiun.
Perkara perceraian mendominasi di Pengadilan Agama Kota Madiun,
dan cerai gugat merupakan kasus yang lebih banyak daripada cerai talak.
107 Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2014 tentang pedoman pemberian layanan hukum
bagi masyarakat tidak mampu di Pengadilan
101
Dari sini dapat dilihat, kebanyakan perempuan yang mengajukan gugatan.
Bisa disimpulkan untuk sekarang perempuan difasilitasi dalam
menegakkan keadilan, dimana setiap pengadilan telah menyediakan pos
bantuan hukum. Sehingga pos bantuan hukum ini sangat membantu
perempuan-perempuan dalam mengajukan perkara pada pengadilan. Dari
mulai konsultasi, pembuatan surat, alur persidangan semua akan informasi
tentang jalannya persidangan bisa didapatkan. Adanya pelayan terpadu satu
pintu juga mempermudah pihak berperkara dalam mendaftarkan kasusnya
pada pengadilan. Luasnya Peraturan Mahkamah Agung Nomor 7 Tahun
2017 tidak hanya pada pelayanan publik yang diberikan, tetapi juga pada
proses pemeriksaan perkara dan putusan. Penerapan pada pos bantuan
hukum sangat membantu para pihak berperkara yang memerlukan bantuan.
Selain pos bantuan hukum. Selain bantuan dari pengadilan sebelum
berperkara pengadilan juga memudahkan perndaftaran bagi pihak yang
akan mengajukan perkaranya. Pelayanan Terpadu Satu Pintu merupakan
terobosan terbaru pengadilan dalam memudahkan pihak berperkara dalam
mendaftarkan perkaranya di pengadilan. Peraturan Presiden Republik
Indonesia Nomor 97 Tahun 2014 Tentang Penyelenggaraan Pelayanan
Terpadu Satu Pintu pada pasal 2 tujuan PTSP yaitu: memberikan
perlindungan dan kepastian hukum kepada masyarakat; memperpendek
proses pelayanan; mewujudkan proses pelayanan yang cepat, mudah,
murah, transparan, pasti, dan terjangkau; dan mendekatkan dan
102
memberikan pelayanan yang lebih luas kepada masyarakat.108 Selain
pendaftaran, pengadilan juga menyediakan fasilitas yang menjamin
kenyamanan para pihak berperkara, terutama perempuan. Dimana
pengadilan menyediakan ruangan khusus untuk ibu menyusui, ruang
bermain anak, dan juga kamar mandi yang khusus untuk perempuan
sendiri. Seperti yang disampaikan oleh hakim Alfian Yusuf, S.H. bahwa
pelayanan publik sangat penting agar para pihak berperkara mendapatkan
kenyamanan selama proses berpekara sedang dijalani. Pelayanan publik
yang mencakup pos bantuan hukum, proses pendaftaran melalui PTSP, dan
fasilitas yang disediakan oleh Pengadilan Agama sudah sesui strandar
Mahkamah Agung.
b. Pelayanan publik pada Pengadilan Negeri Kota Madiun
Pada setiap pengadilan tingkat pertama memberikan layanan hukum
berupa informasi, konsultasi, dan advis hukum, serta pembuatan dokumen
hukum yang dibutuhkan sesuai dengan peraturan perundang-undangan
yang mengatur tentang Kekuasaan Kehakiman, Peradilan Umum, Peradilan
Agama, dan Peradilan Tata Usaha Negara.109 Begitu juga implementasi
pelayanan publik pada Pengadilan Negeri Kota Madiun yang juga
memfasilitasi posbakum untuk memudahkan para pihak berperkara.
Sehingga tidak ada yang perlu dikhawatirkan dalam pembuatan dokumen
108 Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 97 Tahun 2014 Tentang Penyelenggaraan Pelayanan
Terpadu Satu diakses pada tanggal 22 Desember 2019 109https://www.hukumonline.com/klinik/detail/ulasan/lt59789def9467e/cara-mengajukan-bantuan-
hukum-ke-pos-bantuan-hukum-posbakum-di-pengadilan/ diakses tanggal 22 Desember 2019
103
surat gugatan atau surat permohonan, karena akan dibantu oleh posbakum
secara gratis. Sehingga adanya pos bantuan hukum ini sangat membantu
para pihak berperkara yang ingin mendaftarkan perkaranya di Pengadilan
Negeri Kota Madiun.
Kemudian mengenai pendaftaran, Peraturan Mahkamah Agung
Nomor 3 Tahun 2017 ini juga berlaku dalam tahap pertama yaitu
pendaftaran. Dengan adanya pelayanan terpadu satu pintu ini sangat
mempermudah proses pendaftaran perkara sehingga pelayanan yang
diberikan semakin efektif dan mudah. Karena dengan adanya pelayanan
satu pintu ini pihak berperkara tidak perlu menghabiskan waktu untuk
mencari lokasi yang berbeda di meja satu untuk mengurus administrasi
keungan, ke meja dua untuk registrasi perkara, ke meja tiga untuk
mengambil salinan putusan dan penetapan. Dengan adanya pelayanan satu
pintu meja satu, meja dua dan meja tiga digabung dalam satu lokasi,
sehingga semua pihak berperkara tinggal menuju satu tempat. Pelayanan
satu pintu yang disediakan oleh Pengadilan Negeri Kota Madiun sesuai
dengan asas peradilan yang tercantum dalam Pasal 4 Ayat(2) Undang-
Undang Nomor 4 tahun 2004 tentang kekuasaan Kehakiman.110 Dengan
diberlakukannya pelayanannya satu pintu sangat sama halnya dengan
mengimplementasikan asas peradilan, sederhana, cepat dan biayanya
ringan.
110 Undang-Undang Nomor 4 tahun 2004 tentang kekuasaan Kehakiman
104
Selain itu untuk memberikan kenyamanan pada perempuan ada
beberapa fasilitas yang disiapkan untuk perempuan adalah ruang menyusui
dan juga ruang bermain anak, adalah tempat yang privat untuk perempuan,
dimana perempuan akan merasakan nyaman saat kebutuhannya dipenuhi.
Begitu juga kamar mandi yang berbeda, jadi ada kamar mandi untuk
perempuan dan kamar mandi mandi untuk laki-laki. Seperti yang
disampaiakan oleh Hakim Alfian Yusuf S.H. mengenai pelayanan yang
khusus diberikan untuk perempuan adalah fasilitas ruang bermain anak,
ruang untuk ibu menyusui (laktasi), kamar mandi yang terpisah antara laki-
laki dan perempuan di Pengadilan Agama Kota Madiun. Begitu juga di
Pengadilan Negeri Kota Madiun Hakim Ni Kadek Kusuma Wardani, S.H.
mengantar peneliti melihat ruangan khusus untuk perempuan yang
merupakan fasilitas dari Pengadilan Negeri Kota Madiun yaitu, ruang ibu
menyusui (laktasi), ruang bermain anak, dan juga kama mandi yang
terpisah anatara laki-laki dan perempuan. Karena pengadilan negeri juga
menangani kasus pidana, peneliti juga diantar untuk melihat penjara khusus
perempuan, penjara untuk anak, dan pengadilan untuk anak. Tidak hanya
fasilitas khusus perempuan, Pengadilan Negeri Kota Madiun juga
memberikan fasilitas untuk difabel, berupa kursi roda, jalan khusus, tempat
duduk khusus dan juga kamar mandi khusus untuk lansia dan juga
penyandang disabilitas.
105
c. Proses persidangan pada Pengadilan Agama Kota Madiun
Peraturan Mahkamag Agung Nomor 3 Tahun 2017 telah mengatur
proses pemeriksaan perkara pada BAB III Pasal 4 memerintahkan agar
hakim mempertimbangkan kesetaraan gender dan non diskriminasi.
Kemudian pada Pasal 5 hakim dilarang menunjukan sikap merendahkan,
menyalahkan atau mengintimidasi perempuan, tidak membenarkan
terjadinya diskriminasi pada perempuan menggunakan budaya, adat, dan
praktik tradisional lainnya ataupun penafsiran bias gender, bahkan
mengeluarkan pernyataan yang mengandung stereotip gender. Kemudian
ada pada Pasal 7 hakim harus menegur atau mencegah para pihak
berperkara yang bersikap merendahkan, menyalahkan dan mengintimidadi
perempuan berhadapan dengan hukum selama proses pemeriksaan
persidangan. Seperti yang disampaiakan hakim Syarifah Isnaeni S.Ag.,
M.H. di Pengadilan Agama Kota Madiun bahwa pertimbangan lahirnya
Peraturan Mahkamah Agung Nomor 3 Tahun 2017 ini tidak lepas dari
komunitas bahkan lembaga-lembaga yang mengatas namakan gender yang
ikut berperan menyuarakan hak asasi manusia dan juga keadilan untuk
perempuan atau yang berbau gender. Sehingga ruang perempuan untuk
mendapatkan keadilan semakin kuat.
Pada pemeriksaan perkara, di dalam persidangan hakim memeriksa
perkara dengan mempertimbangkan kesetaraan gender dan non-
diskriminasi. Mencegah diskriminasi terhadap wanita, melarang
diskriminasi terhadap wanita, melakukan identifikasi adanya diskriminasi
106
terhadap wanita, melakukan identifikasi adanya diskriminasi terhadap
wanita dan melakukan langkah-langkah untuk meperbaikinya,
melaksanakan sanksi atas tindakan diskriminasi terhadap wanita,
memberikan dukungan pada penegakan hak-hak wanita dan mendorong
persamaan, kesetaraan, dan keadilan melalui langkah-langkah proaktif,
serta meningkatkan persamaan de-facto wanita dan pria111
Hakim Syarifah Isnaeni S.Ag., M.H. juga menyampaikan dalam cerai
gugat di Pengadilan Agama nafkah iddah dan mut’ah tidak gugur dan tetap
sama, di hadapan hukum tetap sama sehingga mendapatkan kesempatan
menjawab, mengajukan duplik, mengajukan alat bukti, bahkan perempuan
boleh didampingi oleh selain kuasa hukum.
Hakim Alfian Yusuf S.HI. menyampaikan bahwa dalam materi atau
muatan peraturan ini mengatur tentang hak-hak perempuan yang
berhadapan dengan hukum khususnya di Pengadilan Agama, mulai dari
mendapatkan pelayanan, informasi, hingga menjalankan persidangan.
Dominannya cerai gugat yang dilakukan oleh pihak perempuan didasari
rasa sebagai korban ataupun mendapatkan kerugian dalam berumah tangga,
sehingga tidak heran data yang didapatkan dari peneliti bahwa cerai gugat
oleh pihak perempuan itu lebih banyak. Untuk menghindari tindak
diskriminasi pada saat proses pemeriksaan dalam persidangan peraturan ini
telah mengatur dalam Pasal 7. Seperti yang disampaikan oleh hakim Alfian
Yusuf, S.HI. deskriminasi ataupun intimidasi selalu dicegah oleh hakim
111 Sulistiyowati, Perempuan dan Hukum, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2006), 124
107
saat melaksanakan proses pemeriksaan, pada saat persidangan hakim selalu
menghimbau tata cara bertanya,ataupun pernyataan yang dikeluar apalagi
mengenai perkara-perkara asusila, sehingga tidak merendahkan,
mengintimidasi bahkan menyakiti perasaan pihak berperkara, khususnya
perempuan.
Dalam mengadili perkara perempuan yang sedang berhadapan
dengan hukum perma ini telah mengatur pada Pasal 6 dimana hakim
mengadili perkara perempuan harus mempertimbangkan kesetaraan gender,
menggali nilai-nilai hukum, kearifan lokak dan rasa keadilan yang hidup
dalam masyarakat untuk menjamin kesetaraan gender dan menghindari
dikriminasi. Seperti yang disampaikan oleh hakim senior Syarifah Isnaeni,
S.H. yang pernah menangani kasus nafkah dengan perempuan sebagai
penggugat, namun tetap mendapatkan nafkah. Adanya peraturan ini banyak
hakim yang melakukan penemuan terhadap kasus-kasus perceraian
dibidang perkawinan tentang hak-hak perempuan setelah diceraikan,
sehingga adanya peraturan ini sebagai payung hukum dan penguat hak-hak
perempuan yang semakin terjamin. Hakim Alfian Yusuf, S.HI.
menyampaikan bahwa implementasi tujuan peraturan ini ada pada Pasal 3 c
yang menjamin akses kesetaraan dalam memperoleh keadilan itu bisa akses
informasi, askses pelayanan, hingga keadilan saat mendapatkan putusan.
Dalam substansinya cerai talak yang mana seorang isteri menjadi sebab
perselisihan dan pertengkaran, dalam proses pemeriksaan perempuan juga
terbukti melakukan perslingkuhan, sehingga hakim memutuskan untuk
108
tidak memberi nafkah iddah karena nusyuznya perempuan berselingkuh,
tetapi hakim tetep meberikan nafkah mut’ah untuk istri tersebut. Di
Pengadilan Agama kota Madiun , ikrar talak dilakukan saat pihak laki-laki
sudah memberikan semua kewajibannya terhadap mantan istrinya.
Sehingga sidang ikrar talak dapat ditunda sampai pihak laki-laki membayar
kewajiban nafkah pada mantan istri.
Hakim Alfian Yusuf S.H. juga menyampaikan dulu sebelum ada
perma perempuan tidak mempunyai payung hukum yang pasti, adanya
perma ini akhirnya hakim menemukan penemuan-penemuan hukum dalam
kasus perceraian khususnya pemberian nafkah dan juga hak-hak mantan
istri yang terdapat pada turunan Perma Nomor 3 Tahun 2017 yaitu Sema
Nomor 3 Tahun 2018 Rumusan Hukum Kamar Agama. Sehingga aturan ini
berdiri untuk melindungi secara hukum hak-hak yang harus diperoleh
perempuan. Hukum bisa ditegakkan dan keadilan bisa dirasakan apabila
proses pemeriksaan di dalam persidangan oleh hakim di lakukan penuh
dengan kecermatan dan ketelitian.112 Selain dalam Sema dasar hukum hak
ex officio juga ada pada:
a. Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 Pasal 24 ayat (2)
huruf a yang mana gugatan perceraian atas permohonanan
penggugat ataupun tergugat pengadilan dapat menentukan
nafkah yang harus ditanggung oleh suami.
112 Dr. H. Sunarto, Peran Aktif Hakim dalam Perkara Perdata, (Jakarta:Kencana, 2014) 79.
109
b. Pasal 152 Kompilasi Hukum Islam juga menegaskan bahwa
bekas istri berhak mendapatkan nafkah iddah dari bekas suami
kecuali istri nusyuz.
Seperti yang disampaikan Hakim Alfian Yusuf S.HI., hakim juga
menyampaikan pada pihak perempuan apa saja hak-hak yang dia dapatkan.
Dalam menyampaikan hak ini bukan berarti hakim tidak impersial, tetapi
selain mengadili hakim juga memberikan informasi pada para pihak agar
proses pemeriksaan berjalan dengan lancar. Ketika perempuan sama sekali
tidak mengajukan hak-haknya hakim mempunyai hak officio untuk
memberikan hak yang seharusnya didapatkan oleh perempuan tersebut.
Menurut Subekti bahwa Hak ex officio berasal dari Bahasa Latin,
ambeteshalve bahasa Belanda yang berarti karena jabatan, tidak
berdasarkan surat penetapan atau pengangkatan, juga tidak berdasarkan
suatu permohonan113.
Menurut peneliti pada perkara cerai talak tidak ada amar yang
memerintahkan kepada Pemohon atau pihak suami untuk membayar
kewajibannya sebelum ikrar talak diucapakan. Namun setelah adanya
aturan ini suami boleh membayar kewajibannya sebelum atau sesudah
melaksanakan pengucapan ikrar talak. Jadi dalam praktiknya suami harus
menyelesaikan kewajibannya membayar nafkah kepada istri sebelum atau
sesudah pengikraran talak, jadi jaminannya adalah akta cerai. Sehingga
113 Subekti dan R. Tjitrosoedibio, Kamus Hukum, cet Ke-4, (Jakarta; Pradnya Paramita, 1979). 43.
110
akta cerai tidak akan diberikan sebelum suami menyelesaikan pembebanan
nafkah tersebut.
Hakim Syarifah Isnaeni S.Ag., M.H. di Pengadilan Agama Kota
Madiun juga menjelaskan bahwa cerai talak menimbulkan akibat
membayar kewajiban kepada istri nafkah iddah, nafkah mut’ah, selama
istri tidak nyusuz. Disampaikan juga misalnya hak nafkah untuk perempuan
tidak muncul di mediasi hakim secara ex officio menetukan hak yang harus
didapatkan oleh istri tersebut. Hakim karena jabatannya atau secara ex
officio dapat memutuskan suatu perkaa lebih dari apa yang dituntut,
sekalipun hal tersebut tidak dituntut oleh pihak yang berperkara.114
Menurut peneliti hakim di Pengadilan Agama Kota Madiun telah
memutuskan perkara dengan menggunakan wewenangnya untuk
mewujudkan nilai-nilai keadilan, kemanfaatan dan juga kepastian hukum
terhadap pihak berperkara, terutama pada perempuan. Seperti yang
diudangkan dalam Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan Pasal 41 (c) “Pengadilan dapat mewajibkan kepada bekas
suami untuk memberikan biaya penghidupan dana tau menentukan suatau
kewajiban bagi bekas istri”115 Pasal ini merupakan dasar hukum hakim
yang dengan jabatannya dapat memutuskan lebih dari apa yang diminta
oleh para pihak berperkara.
114 Yahya Harahap, Hukum Acara Perdata tentang Gugatan, Persidangan, Penyitaan, Pembuktian dan
Putusan Pengadilan, cet. Ke-9, (Jakarta: Sinar Grafika, 2009), 420 115 Undang-Undang RI No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam,
(Bandung: Citra Umbara, 2014). 14
111
Dalam pasal 8 pearutan ini menjelaskan agar hakim menanyakan
kerugian dampak dan kebutuhan untuk pemulihan, sehingga hakim
memberikan masukan tentang hak-hak yang dimiliki oleh perempuan
sebagai pihak berperkara untuk menjamin keadilan, kesetaraan, dan juga
tidak menimbulkan kerugian pada pihak perempuan. Seperti yang
disampaikan oleh hakim Alfian Yusuf, S.HI. bahwa hakim selalu
menyampaikan pada termohon kasus cerai talak atau kepada pihak isteri
bahwa perempuan mempunyai hak nafkah. Membritahukan masukan pada
pihak perempuan yang sedang berhadapan dengan hukum bukan berarti
hakim impersial, tetapi hanya memberitahu hak yang dimiliki untuk
membantu para pihak agar proses berperkara berjalan dengan lancar.
Pada Pasal 9 peraturan ini memberikan kewenangan pada hakim agar
mengabulkan permintaan pendampingan apabila perempuan mengalami
hambatan fisik dan psikis. Seperti yang disampaikan pada hakim Alfian
Yusuf, S.HI. menyampaikan adanya guncangan psikologis hakim berhak
mengabulkan seorang perempuan sebagai pihak berperkara mendampingi
dalam persidangan. Sehingga pihak perempuan tidak merasakan ancaman
dan tetap merasa aman.
Pada Pasal 10 terdapat aturan tentang inisiatif hakim untuk
mendengarkan keterangannya melalui audio visual. selama menjabat di
Pengadilan Agama Kota Madiun hakim Alfian Yusuf, S.HI. dan Syarifah
Isnaeni, S.Ag., M.H. belum pernah melakukan persidangan secara audio
visual.
112
d. Proses Persidangan pada Pengadilan Negeri Kota Madiun
Untuk menghindari segala tindakan diskriminasi terhadap perempuan
telah lama dibentuk beberapa peraturan perundang-undangan, diantaranya
Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2005 tentang pengesahan Covenant on
Civil and Political Rights (Kovenan Internasional tentang Hak- Hak Sipil
dan Politik) yang menegaskan bahwa semua orang adalah sama di hadapan
hukum dan peraturan perundang-undangan melarang diskriminasi serta
menjamin perlindungan yang setara bagi semua orang dari diskriminasi
berdasarkan alasan apapun, termasuk jenis kelamin atau gender.116
Ada juga Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1984 tentang pengesahan
konvensi mengenai Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap
Wanita (Convention on The Elimination of All Forms of Discrimination
Againts Women). Dari semua usaha perlindungan hak-hak perempuan
semua undang-undang itu terus dipelajari dan ratifikasi. Sampai pada
akhirnya penegakan keadilan untuk perempuan yang sedang berhadapan
dengan hukum ini dikeluarkan pada tanggal 4 Agustus 2017 Direktur
Jenderal Peraturan Perundang-undangan Kementerian Hukum dan Hak
Asasi Manusia Widodo Ekatjahjana menandatangani Peraturan Mahkamah
Agung (Perma) Nomor 3 Tahun 2017 tentang Pedoman Mengadili Perkara
Perempuan Berhadapan Dengan Hukum.
116 Donny Danardono, “Teori Hukum Feminis: Menolak Netralitas Hukum”, dalam Sulistyowati
Irianto (ed.), Perempuan dan Hukum: Menuju Hukum yang Berperspektif Kesetaraan dan
Keadilan, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2006) 10-11.
113
Dalam proses pemeriksaan terhadap pihak berperkara, Peraturan
Mahkamah Agung Nomor 3 Tahun 2017 tentang Pedoman Mengadili
Perkara Perempuan Berhadapan Dengan Hukum memiliki tiga Pasal yang
mengatur proses pemeriksaan, yaitu pada Pasal 4, Pasal 5, dan Pasal 7
dimana dalam pemeriksaan perkara hakim mempertimbangkan kesetaraan
gender dan non-diskriminasi dengan mengidentifikasi fakta persidangan
tidak setara dengan status social antara pihak berperkara serta
ketidaksetaraan perlindungan hukum yang berdampak pada akses keadilan,
diksriminasi, relasi kuasa, dan juga riwayat kekerasan pihak berperkara.
Dalam mengulik fakta didalam sidang hakim menyetarakan status
social, diskriminasi, dampak psikis dari pihak perempuan, sehingga
persidangan berjalan dengan adil dan tidak ada diskriminasi pada
perempuan. Hakim Ni Kadek Kusuma Wardani, S.H. menyampaikan
bahwa semua isi perma ini ada dalam KUHP. Sehingga adanya perma ini
adalah turunan dari KUHP sebagai penegas, namun perma ini dikhususkan
untuk perempuan.
Dalam proses pemeriksaan perkara hakim harus bertindak sesuai
pedoman yang sudah ada, dimana hakim memberikan hak yang sama
kepada para pihak berperkara. Hakim secara fungsional di pengadilan
melaksanakan dan mengendalikan serta berusaha mengatasi segala
hambatan dan rintangan untuk tercapainya peradilan yang dikehendaki
114
Undang-Undang.117 Seperti yang disampaikan hakim Pengadilan Negeri
Kota Madiun Ni Kadek Kusuma Wardani bahwa Pengadilan Negeri Kota
Madiun sudah mengimpelementasikan Perma Nomor 3 Tahun 2017 yang
mana kesetaraan gender dan non-diskriminasi telah dilakukan dalam proses
pemeriksaan perkara. Misalnya seorang perempuan berhadapan dengan
hukum, kalau itu terkait pihak berperkara sebagai penggugat, hakim
memberikan hak mengajukan gugatan dan mengajukan saksi dan bukti
untuk membenarkan apa yang didalilkan. Kalau tergugat perempuan hakim
juga memberikan hak yang sama untuk menyangkal, memberikan saksi dan
bukti untuk menguatkan sangkalannya, itu yang dinamakan non-
diskriminasi dalam proses persidangan. Dalam proses persidangan semua
orang sama di mata hukum, dimana penggungat dan tergugat mempunyai
hak yang sama, sehingga proses persidangan berjalan dengan lancar karena
tidak ada diskriminasi terhadap pihak berperkara. Hakim dalam mengadili
perkara perempuan berhadapan dengah hukum:118
a. Mempertimbangkan Kesetaraan Gender dan Stereotip Gender dalam
peraturan perundang-undangan dan hukum tidak tertulis;
b. Melakukan penafsiran peraturan perundang-undangan dan/atau hukum
tidak tertulis yang dapat menjamin Kesetaraan Gender;
c. Menggali nilai-nilai hukum, kearifan lokal dan rasa keadilan yang
hidup dalam masyarakat guna menjamin Kesetaraan Gender,
perlindungan yang setara dan non diskriminasi; dan
d. Mempertimbangkan penerapan konvensi dan perjanjianperjanjian
internasional terkait Kesetaraan Gender yang telah diratifikasi.
117 Prof. Dr. H.M. Agus Santoso, S.H.,M.H., Hukum, moral keadilan: sebuah kajian filsafat hukum,
(Jakarta:Prenada Media Group, 2014), 79. 118 Peraturan Mahkamah Agung Nomor 3 Tahun 2017 Pasal 6
115
Hakim Ni Kadek Kusuma Wardani, S.H. menyampaikan penerapan
implementasi peraturan ini telah dilaksanakan di Pengadilan Negeri Kota
Madiun, dimana hak-hak pihak berperkara telah diberikan secara adil tanpa
adanya diskriminas dan kesetaraan gender. Sehingga perempuan yang sedang
menjalankan proses persidangan tidak perlu khawatir, karena hak-haknya
akan terpenuhi. Semua pihak berperkara berhak mengajukan gugatan,
mengajukan saksi, mengajukan bukti, sedangkan untuk tergugat berhak
berkesempatan untuk menjawab dan menangkal, membuktikan untuk
membantah yang didalilkan penggugat. Dalam pemeriksaan perkara hakim
menggali nilai-nilai kearifan lokal, mempertimbangkan kesetaraan gender,
dan menggali nilai-nilai hukum tanpa diskriminasi. Hakim Murdian Ekawati
S.H., M.H. menyampaikan bahwa dalam memberikan keadilan yang sama
dimata hukum, hakim akan melakukan pemeriksaan secara detail. Sehingga
akan terlihat apa penyebab keretakan rumah tangga dalam kasus percerain.
Selama proses pemeriksaan perkara hakim akan mengorek informasi
mengikuti alur cerita dari saksi saat pembuktian, sehingga nantinya akan
terlihat kebenaran dari semua yang didalilkan oleh para pihak berperkara.
Dalam proses persidangan hakim akan menegur saat pihak berperkara
menyimpang dari asas keadilan dan kesetaraan. Seperti yang disampaikan
oleh hakim Murdian Ekawati, S.H.,M.H. yang pernah menegur pihak
berperkara yang melecehkan dan menghina kakak iparnya sebagai saksi
didalam persidangan dalam proses percerain. Implementasi peraturan ini telah
dilaksanakan dalam proses pemeriksaan.
116
Dalam mengadili perkara perceraian Hakim Pengadilan Negeri Kota
Madiun Murdian Ekawati S.H., M.H. juga menyampaikan keadilan ada dua
macam, keadilan materiil dan keadilan procedural, keadilan procedural
sendiri adalah proses dalam persidangan. Untuk perceraian Pengadilan Negeri
justru sama rata, tidak membedakan laki-laki atau perempuan yang sebagai
penggugat, intinya dimana seseorang mendalilkan para pihak harus
membuktikan. Tidak peduli laki-laki atau perempuan, perempuan sebagai
penggugat atau tergugat mempunyai hak yang sama yaitu mengajukan
gugatan, mengajukan bukti, alat bukti, mengajukan jawaban, bebas
membantah dan menyangkal, mengajukan bukti dan saksi, itu keadilan secara
procedural sudah diimplementasikan di Pengadilan Negeri Kota Madiun.
Seperti dalam Pasal 1792 KUHPerdata bahwa pemberian kuasa adalah suatu
perjanjian dengan mana seorang memberikan kekuasaan kepada seorang lain,
yang menerimanya untuk dan atas namanya menyelenggarakan suatu
urusan.119
Semua pihak berperka sama di mata hukum, pertikaian yang terjadi antara
suami dan istri sama sekali tidak mempengaruhi hak masing-masing dari
tergugat ataupun penggugat ataupun Pemohon dan Termohon, sebelum masuk
dalam persidangan dalam agenda pembacaan isi gugatan para pihak
mempunyai hak untuk mediasi. Seperti yang tertuang dalam Peraturan
Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2008 tentang mediasi yang merupakan
proses penyelesaian sengketa yang terjadi antara pihak-pikah berperkara agar
119 Pasal 1792 KUHPerdata
117
terjadi perdamaian antara pihak berperkara. Mediasi juga salah satu proses
penyelesaian permasalahan yang lebih cepat, mudah, murah dan merupakan
salah satu akses untuk memenuhi keadilan antara pihak berperkara, sehingga
keduanya merasakan kemanfaatan dan keadilan sebagai fungsi dari hukum.
Mediasi tidak hanya bisa menyelamatkan keutuhan rumah tangga, tetapi
terkait dengan hak-hak perempuan pasca bercerai dapat dibicarakan
sebagaimana mestinya.
Pada Peraturan Mahkamah Agung Nomor 3 Tahun 2017 pada Pasal 5
berisi pedoman hakim dalam memeriksa perkara, hakim tidak boleh
menunjukkan sikap merendahkan, menyalahkan bahkan mengintimidasi,
kemudian hakim juga tidak boleh membenarkan terjadinya deskriminasi pada
perempuan menggunakan kebudayaan, aturan adat, maupun menggunakan
penafsiran lain yang bias gender, kemudian pada kasus kesusialaan hakim
tidak boleh mempertimbangkan latar belakang seksualitas korban untuk
membebaskan pelaku atau meringankan hukuman pelaku, dan mengeluarkan
pernyataan dan pandangan stereotip gender. Menurut Ni Kadek Kusuma
Wardani S.H. menyatakan dalam suatu pemeriksaan perkara hakim tidak
boleh disparitas, secara umum hakim mempunyai kode etik hal-hal apa saja
yang boleh dan tidak boleh dilakukan oleh hakim, sehingga bahasa dan nada
bicara, kemudian ekspresi wajah dan sikap, pernyataan dan pandangan bias
gender hakim pengadilan negeri lakukan.
Hakim Ni kadek Kusuma Wardani meyampaikan bahwa prinsip
Pengadilan Negeri hanya mengabulkan apa yang diminta, tidak boleh
118
melebihi yang diminta. Sehingga jika dalam gugatan tidak membahas dalil,
maka hakim tidak akan memberikan. Karena siapa yang mendalilkan harus
membuktikan.
Dalam pasal 8 pearutan ini menjelaskan agar hakim menanyakan
kerugian dampak dan kebutuhan untuk pemulihan, sehingga hakim
memberikan masukan tentang hak-hak yang dimiliki oleh perempuan sebagai
pihak berperkara untuk menjamin keadilan, kesetaraan, dan juga tidak
menimbulkan kerugian pada pihak perempuan. Disampaikan oleh hakim Ni
Kadek Kusuma Wardani, S.H. semua hak perempuan sebagai pihak
berperkara telah diberikan selepas dipakai atau tidak. Dimana ini adalah salah
satu bentuk pengharagaan kepada perempuan. Tetapi selama bertugas hakim
Ni Kadek Kusuma Wardani, S.H. tidak menjumpai perempuan meminta hak
harta ataupun anak, sehingga murni hanya meminta dikabulkannya perceraian.
Seperti dalam Perma Nomor 3 Tahun 2017 Pasal 9 (a) dan (b) bahwa
hakim dapat menyarankan dan mengabulkan permintaan perempuan yang
memerlukan pendampingan. Begitu juga Hakim Pengadilan Negeri Kota
Madiun Murdian Ekawati S.H., M.H. menyampaiakan dalam wawancara yang
dilakukan bahwa kasus percerain sifatnya tertutup, tetapi jika ada kebutuhan
khusus maka hakim mengizinkan pendamping masuk ruang sidang untuk
menemani, tetapi secara hukum pedamping tidak punya hak apapun, berbeda
dengan kuasa hukum dimana pengacara diberikan hak menggantikan dengan
surat kuasa insidentil sehingga kuasa hukum mempunyai hak di mata hukum,
tidak hanya sebagai peendamping fisik tapi mempunyai hak di mata hukum.
119
Kemudian peneliti melakukan wawancara, semua hakim yang
diwawancarai pernah melakukan teguran pada pihak berperkara yang
merendahkan pihak lain, seperti yang tertuang dalam Peraturan Mahkamah
Agung Nomor 3 Tahun 2017 Pada Pasal 7 Perma Nomor 3 Tahun 2017
selama jalannya pemeriksaan persidangan, hakim agar mencegah atau
menegur para pihak, atau penasehat hukum, atau kuasa hukum yang
merendahkan, menyalahkan, atau mengintimidasi perempuan yang sedang
berhadapan dengan hukum. Hakim Murdian Ekawati S.H., M.H. juga
menyampaiakan bahwa selama pemeriksaan perkara hakim pengadilan negeri
akan menegur para pihak sudah melanggar dan keluar dari ketentuan. Bahkan
yang merendahkan juga perempuan, ketika kakak ipar menjadi saksi dalam
perceraian adalah perempuan saat kakak ipar menjadi saksi dari tergugat,
malah merendahkan dan mengatakan hal yang tidak pantas diucapkan pada
yang lebih tua, saat itu juga hakim menegur dan menghentikan penggugat.
Peneliti dapat menyimpulkan bahwa saat ada pihak yang bertindak diluar
aturan dan ketentuan maka hakim mempunyai hak untuk menghentikan dan
menegur tidak peduli itu perempuan atau laki-laki. jadi perlindungan tersebut
tidak hanya untuk perempuan tetapi untuk siapa saja yang mendapatkan
diskriminasi dan disudutkan saat proses persidangan.
Pada Pasal 10 terdapat aturan tentang inisiatif hakim untuk
mendengarkan keterangannya melalui audio visual. selama menjabat di
Pengadilan Agama Kota Madiun hakim Ni Kadek Kusuma Wardani, S.H.
120
dan Murdian Ekawati, S.H.,M.H. belum pernah melakukan persidangan
secara audio visual.
e. Putusan di Pengadilan Agama Kota Madiun
1. Perkara nomor 0241/Pdt.G/2019/PA.Mn
Adapun isi dari duduk perkara Termohon telah mengajukan surat
gugatan tanggal 16 Juli 2019 yang telah didaftarkan di Kepaniteraan
Pengadilan Negeri Kota Madiun dalam Register perkara nomor
0241/Pdt.G/2019/PA.Mn yang isi gugatannya sebagian dilampirkan.
c. Menikah selama 2 tahun Pemohon dan Termohon tinggal di
rumah orang tua Termohon, setelah itu pindah ke rumah orang
tua Pemohon 1 tahun;
d. Mempunyai satu orang anak laki-laki yang ikut Pemohon;
e. Pertengkaran disebabkan karena Termohon berani terhadap
Pemohon, Termohon terlalu sibuk hingga lalai dengan kewajiban
sebagai istri dan ibu;
f. Termohon berhutang pada rentenir tanpa sepengetahuan
Pemohon, kemudian Pemohonlah yang membayar cicilan hutang
Termohon;
g. Termohon berselingkuh dengan Noel;
h. Puncak perselisihan pada Januari 2019 Termohon meninggalkan
Pemohon sehingga pisah ranjang sampai 6 bulan;
i. Selama perpisahan sama sekali tidak ada komunikasi antara
Pemohon dan Termohon.
121
Pemohon meminta agar Hakim memberi keputusan sebagai berikut:
a. Mengabulkan permohonan Pemohon;
b. Menetapkan, memberi ijin kepada Pemohon untuk mengucapkan
ikrar talak terhadap Termohon di hadapan sidang Pengadilan
Agama Kota Madiun;
c. Membebankan biaya perkara kepada Pemohon sesuai dengan
hukum yang berlaku;
Jawaban Termohon sebagai berikut:
a. Termohon juga ikut mengasuh anak laki-lakinya;
b. Termohon tidak berani tetapi Termohon menuntut nafkah kepada
Pemohon sebab selama menikah Pemohon tidak memberi
nafkah;
c. Termohon tidak sibuk tetapi Pemohon bekerja mencari nafkah;
d. Termohon mempunyai hutang sebab Termohon butuh untuk
kebutuhan hidup dan makan;
e. Termohon juga tidak mempunyai hubungan dengan laki-laki
lain, karena itu hanya teman.
f. Selisih paham disebabkan karena hutang;
g. Pemohon yang menutup akses komunikasi dan baru
menghubungi lagi setelah mengajukan cerai;
Termohon meminta agar hakim memutuskan sebagai berikut:
a. Mengabulkan permohonan Pemohon.
122
b. Menetapkan, memberi ijin kepada Pemohon untuk mengucapkan
ikrar talak terhadap Termohon di hadapan sidang Pengadilan
Agama Kota Madiun;
c. Membebankan biaya perkara kepada Pemohon sesuai dengan
hukum yang berlaku;
Penggugat Rekonvensi akan menyampaikan Gugatan Rekonvensi
sebagai berikut:
a. Bahwa selama pernikahan Tergugat Rekonvensi tidak
memberikan nafkah kepada Penggugat Rekonvensi maka pada
kesempatan ini Tergugat Rekonvensi menuntut nafkah-nafkah
yang harus di berikan oleh Tergugat Rekonvensi kepada
Penggugat Rekonvensi;
b. Bahwa oleh kerena semua permohonan cerai merupakan
keinginan dari Tergugat Rekonvensi bukan merupakan keinginan
dari Penggugat Rekonvensi maka Penggugat Rekonvensi
menuntut berupa:
Nafkah Madliyah (lampau): selama 48 bulan semenjak
bulan Oktober tahun 2014 sampai dengan bulan September
tahun 2019, Penggugat Rekonvensi untuk per bulan
menuntut sebesar Rp. 10.000.000 (sepuluh juta rupiah)
sehingga 48 bulan X Rp. 10.000.000 (sepuluh juta rupiah)
total Rp. 480.000.000 (empat ratus delapan puluh juta
rupiah);
Nafkah Iddah: selama tiga bulan per bulan menuntut
sebesar Rp. 10.000.000 (sepuluh juta rupiah ), 3 bulan X
Rp. 10.000.000 (sepuluh Juta Rupiah) total Rp. 30.000.000
(tiga puluh juta rupiah);
123
Nafkah Mut’ah: sebesar Rp. 100.000.000 (seratus juta
rupiah);
Nafkah Hadlonah (nafkah anak): sebesar Rp. 5.000.000
(lima juta rupaiah ) per bulan.
c. Bahwa yang ingin menghancurkan keutuhan keluarga yang
harmonis adalah juga Tergugat Rekonvensi sendiri;
Penggugat Rekonvensi/Termohon Konvensi memohon kepada
Majelis Hakim menjatuhkan putusan sebagai berikut:
a. Menerima dan Mengabulkan Gugatan Rekonvensi dari
Penggugat Rekonvensi seluruhnya ;
b. Memutuskan Tergugat Rekonvensi memberikan berupa nafkah
kepada Penggugat Rekonvensi seperti berikut:
Nafkah Madliyah (lampau): selama 48 bulan semenjak
bulan Oktober tahun 2014 sampai dengan bulan September
tahun 2019, Penggugat Rekonvensi untuk per bulan
menuntut sebesar Rp.10.000.000 (sepuluh juta rupiah)
sehingga 48 bulan X Rp. 10.000.000 (sepuluh juta rupiah)
total Rp. 480.000.000 (empat ratus delapan puluh juta
rupiah) ;
Nafkah Iddah: selama tiga bulan per bulan menuntut
sebesar Rp. 10.000.000 (sepuluh juta rupiah ), 3 bulan X
Rp. 10.000.000 (sepuluh Juta Rupiah) total Rp. 30.000.000
(tiga puluh juta rupiah);
Nafkah Mut’ah: sebesar Rp. 100.000.000 (seratus juta
rupiah);
Nafkah Hadlonah (nafkah anak): sebesar Rp. 5.000.000
(lima juta rupaiah ) per bulan.
124
c. Membebankan biaya perkara sesuai dengan hukum yang
berlaku kepada Tergugat Rekonvensi
Replik dari Pemohon sebagai berikut:
a. Termohon terlalu sibuk dan selalu menyibukkan diri sehingga
lalai dan acuh kepada anaknya sehingga melalaikan
kewajibannya sebagai sepatutnya seorang ibu kandung yang
seharusnya memberikan perhatian lebih kepada anaknya dan
dalam hal ini Pemohon lah yang sering merawat anaknya;
b. Bahwa Pemohon sebagai seorang suami sangat bertanggung
jawab kepada Termohon terutama dalam perihal nafkah,
bahkan apa yang Termohon minta di luar kebutuhan rumah
tangga sebisa mungkin Pemohon selalu menuruti permintaan
Termohon dan bahkan juga Pemohon pernah sesekali
membantu keluarga Termohon;
c. Termohon berdalil jika Termohon mempunyai hutang sebab
untuk kebutuhan hidup dan Pemohon tidak menafkahi
Termohon itu juga sangat mengada-ada sekali dan tidak masuk
diakal, bahwa sekali lagi Pemohon selalu berusaha untuk
menuruti permintaan dan kebutuhan Termohon baik kebutuhan
rumah tangga dan permintaan Termohon yang lainnya. Bahwa
jikalau Termohon berdalil mempunyai hutang untuk memenuhi
kebutuhan hidupnya, sudah tentu jumlah nominal hutangnya
tidak akan banyak dan bahkan jumlahnya pun sewajarnya
sesuai kebutuhannya, tapi ini jumlah nominal pinjamannya pun
berkisar puluhan juta rupiah dan minjamnya pun ada yang
kepada pihak rentenir dimana pinjaman itu berbunga, dan ada
juga kepada tetangga Pemohon, untuk apa Termohon
meminjam uang sebanyak itu jika Termohon bekerja dan dalam
pekerjaannya pun Termohon mendapatkan penghasilan yang
lumayan setiap bulannya dan juga Pemohon selalu berusaha
125
memenuhi kebutuhan Termohon, dan akhirnya ketika pinjaman
itu tidak kunjung dibayar atau dicicil pihak yang menghutangi
Termohon selalu mendatangi Pemohon untuk menagih hutang
tersebut;
d. Bahwa Termohon memang benar mempunyai hubungan
terlarang dengan Pria Idaman Lain yang bernama Noel.
(Pemohon siap membuktikan perihal dalil ini);
e. Memang benar sudah tidak ada komunikasi lagi dengan
Termohon karena Pemohon sudah kecewa atas perbuatan
Termohon seperti yang sudah didalilkan Pemohon, dan
Pemohon juga terbuka kepada Termohon untuk berkomunikasi
asalkan Termohon datang secara baik-baik kepada Pemohon.
Pemohon mohon kepada Ketua Pengadilan Agama Kota Madiun
Cq. Majelis Hakim menjatuhkan putusan sebagai berikut:
a. Mengabulkan semua permohonan dari Pemohon;
b. Memberi ijin kepada Pemohon untuk mengucapkan Ikrar Talak
terhadap Termohon di hadapan persidangan Pengadilan Agama
Kota Madiun;
c. Membebankan biaya yang timbul dari perkara ini kepada
Pemohon;
Termohon/Penggugat Rekonpensi maka dengan ini
Pemohon/Tergugat Rekonpensi akan menyampaikan tanggapan dari dalil-
dalil Penggugat Rekonpensi;
a. Tidak benar dalil Penggugat Rekonpensi yang menyatakan
bahwa selama pernikahan Tergugat Rekonpensi tidak
memberikan nafkah kepada Penggugat Rekonpensi, seperti
yang sudah diuraikan sebelumnya dalam dalil Replik Pemohon
Konpensi/Tergugat Rekonpensi, dan Tergugat Rekonpensi
akan membuktikan hal ini di dalam Persidangan.
b. Dalil yang diajukan oleh Penggugat Rekonpensi berupa:
126
Nafkah Madhiyah (lampau): yang diajukan Penggugat
Rekonpensi kepada Tergugat Rekonpensi selama 48 bulan
dimana per bulannya Penggugat Rekonpensi menuntut
Rp.10.000.000,- (sepuluh juta rupiah) dengan total sejumlah
Rp. 480.000.000,- (empat ratus delapan puluh juta rupiah) itu
sangatlah tidak masuk akal selain jumlah nominalnya yang
diluar kewajaran (tidak masuk akal), hal ini juga sudah
sepatutnya ditolak karena selama pernikahan Tergugat
Rekonpensi seperti yang diuraikan sebelumnya selalu
menafkahi dan berusaha memenuhi kebutuhan Penggugat
Rekonpensi (Tergugat Rekonpesi siap membuktikan dalil ini di
persidangan);
Nafkah iddah: yang diajukan Penggugat Rekonpensi selama
tiga bulan, per bulannya Penggugat Rekonpensi menuntut 3
bulan x Rp. 10.000.000,- (sepuluh juta rupiah) total Rp.
30.000.000,- (tiga puluh juta rupiah), sudah seharusnya ditolak.
Karena seperti yang didalilkan Pemohon Konpensi/Tergugat
Rekonpensi bahwa Termohon Konpensi/Penggugat Rekonpensi
merupakan seorang istri yang Nusyuz.
Penggugat Rekonpensi menuntut Nafkah Mut’ah sebesar Rp.
100.000.000,- (seratus juta rupiah) hal ini juga sangat tidak
masuk diakal jumlah nominalnya, perlu diketahui Tergugat
Rekonpensi pekerjaannya merupakan seorang guru TK swasta
di desa tempat ia tinggal dan juga pekerjaan itu tidak ada gaji,
kalaupun dapat tiap bulannya itu bukan berupa gaji, namun itu
berupa uang transport saja dengan nominal jumlah yang minim
sekali, disamping itu Tergugat Rekonpensi bekerja serabutan
sebagai MC (Master of Ceremony), dan dengan pekerjaan ini
juga tidak tentu dan tidak rutin setiap bulannya mendapatkan
pemasukan yang pasti. (Tergugat Rekonpensi akan
127
membuktikan dalil ini di persidangan) dan juga Tergugat
Rekonpensi tabungannya sudah habis dikarenakan digunakan
untuk membayar sebagian hutang Penggugat Rekonpensi
bahkan tidak hanya tabungan saja. Tergugat Rekonpensi juga
sampai berhutang kepada pihak lain untuk menutupi sebagian
hutang Penggugat Rekonpensi;
Penggugat Rekonpensi menuntut Nafkah Hadlonah (nafkah
anak) sebesar Rp. 5.000.000,- (lima juta rupiah) setiap
bulannya. Hal ini juga tidak masuk diakal dan sudah sepatutnya
ditolak, perlu diketahui anak dari hasil pernikahan antara
Penggugat Rekonpensi dan Tergugat Rekonpensi sekarang
dirawat dan diasuh oleh Tergugat Rekonpensi, Penggugat
Rekonpensi sebagai seorang ibu telah lalai dalam kewajibannya
untuk merawat anak tersebut bahkan acuh kepada anaknya
ketika masih tinggal bersama dengan Tergugat Rekonpensi.
(Tergugat Rekonpensi akan membuktikan dalil ini di
persidangan);
c. Penggugat Rekonpensi mendalilkan bahwa Tergugat
Rekonpensi-lah yang menghancurkan keutuhan rumah tangga
merupakan tuduhan yang tidak berdasar, bahwa di dalam dalil-
dalil Permohonan Cerai Talak Pemohon Konpensi/Tergugat
Rekonpensi sudah sangat jelas penyebabnya adalah Penggugat
Rekonpensi itu sendiri;
Pemohon Konpensi/Tergugat Rekonpensi mohon kepada Ketua
Pengadilan Agama Kota Madiun menjatuhkan putusan sebagai berikut:
a. Tidak mengabulkan gugatan dari Penggugat Rekonpensi untuk
seluruhnya;
b. Dan/atau jika Majelis Hakim mangabulkan sebagian tuntutan
Penggugat Rekonpensi kepada Tergugat Rekonpensi untuk
membayar uang nafkah yang diajukan Penggugat Rekonpensi,
128
mohon kepada majelis hakim untuk menentukan nominal yang
sewajarnya sesuai dengan kemampuan Tergugat Rekonpensi;
Hakim mengadili sebagai berikut:
Dalam Konvensi:
a. Mengabulkan Permohonan Pemohon;
b. Memberi ijin kepada Pemohon (NAMA PEMOHON)
untuk mengucapkan ikrar talak satu raj’i kepada
Termohon (NAMA TERMOHON) di hadapan sidang
Pengadilan Agama Kota Madiun;
Dalam Rekonvensi:
a. Mengabulkan Gugatan Rekonvensi sebagian;
b. Menghukum Tergugat Rekonvensi untuk membayar
kepada Penggugat Rekonvensi mut’ah dalam bentuk
uang sebesar Rp.1.500.000,- (satu juta lima ratus
rupiah) yang dibayar secara tunai pada saat sebelum
ikrar talak;
c. Menolak Gugatan Rekonvensi selain dan selebihnya;
Dalam perkara cerai talak semua produk hukum yang akan
dikeluarkan adalah permohonan. Dimana dalam perkara cerai talak
sifatnya menjadi permohonan bukan gugatan. Sehingga yang didalilkan
oleh Pemohon adalah adanya perselisihan dan pertengakaran terus
menerus antara suami dan istri dan tidak ada harapan lagi untuk kembali
rukun seperti yang tertuang dalam Peraturan Pemerintah Nomor 9
Tahun 1975 Pasal 19 (f) jo. Kompilasi Hukum Islam Pasal 116 (f).
Termohon pun menjawab dan membantah yang disampaikan Pemohon,
masalah anak diasuhan Pemohon itu tidak benar karena Termohon juga
mengurus anaknya, Termohon juga menyampaikan bahwa tidak
meninggalkan Pemohon namum bekerja di Surabaya karena Pemohon
tidak menafkahi, dan nafkah yg diberikan kurang sehingga Termohon
129
meminjam ke rentenir. Termohon juga membantah bahwa laki-laki yang
bernama Noel itu hanya temannya.
Pemohon mempunyai bukti pelunasan hutang rentenir, printout
screenshoot percakapan WA Termohon telah berselingkuh dengan laki-
laki yang bernama Noel, dan juga screenshoot WA penagih hutang
Termohon sebanyak Rp.11.500.000,-, juga memberi bukti gaji sebagai
guru TK sebesar Rp. 150.000,-. Setelah menimbang hakim melihat
terjadinya perselisihan membuat pernikahan tidak seperti tujuannya,
karena kemudharatan yang ditanggung lebih besar daripada
maslahatnya jadi memutuskan ikatan perkawinan akan diperoleh
maslahatnya bagi keduanya daripada mempertahankan perkawinan.
Menimbang bahwa berdasarkan pertimbangan-pertimbangan
tersebut di atas maka majelis hakim berpendapat dalil-dalil perceraian
Pemohon telah terbukti dan telah memenuhi alasan perceraian
sebagaimana yang ditentukan dalam Pasal 39 Ayat (2) Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan jo. Pasal 19 huruf (f)
Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 jo. Pasal 116 huruf (f)
Kompilasi Hukum Islam yakni antara suami istri terjadi perselisihan dan
pertengkaran yang terus menerus yang sudah tidak ada harapan untuk
hidup rukun lagi sebagai suami istri.120 Karena permohonan Pemohon
diizinkan untuk menjatuhkan talak satu raj’i terhadap Termohon
dikabulkan, seperti dalam surat Al-Baqarah ayat 227 :
سميع عليم وإن عزموا الطلاق فإن الل
Artinya : “Dan jika mereka berazam (bertetap hati) untuk talak, maka
sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui”
120 Perkara Nomor 0241/Pdt.G/2019/PA.Mn
130
Cerai talak mengakibatkan sebuah kewajiban. Telah diatur dalam
Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 maupun Kompilasi
Hukum Islam dalam pasal 149 bahwa mantan suami:121
a. Memberikan mut`ah yang layak kepada bekas istrinya, baik
berupa uang atau benda, kecuali bekas istri tersebut qobla al
dukhul;
b. Memberi nafkah, maskan, dan kiswah kepada bekas istri
selama dalam iddah, kecuali bekas istri telah dijatuhi talak
ba’in atau nusyuz dan dalam keadaan tidak hamil;
c. Melunasi mahar yang masih terhutang seluruhnya, dan separuh
apabila qobla al dukhul;
d. Memberikan biaya hadlanah untuk anak-anaknya yang belum
mencapai umur 21 tahun.
Dalam perkara cerai talak ini Termohon mengajukan rekonvensi
dimana Termohon sebagai Penggugat Rekonvensi mengajukan dalil-
dalil:122
1. Gugatan pertama tentang tentang nafkah istri yang belum
diberikan (nafkah madliyah) selama 48 bulan semenjak bulan
Oktober tahun 2014 sampai dengan bulan September tahun
2019 per bulan menuntut sebesar Rp. 10.000.000 (sepuluh juta
rupiah) sehingga 48 bulan X Rp. 10.000.000 (sepuluh juta
rupiah) total Rp. 480.000.000 (empat ratus delapan puluh juta
rupiah);
2. Gugatan kedua tentang nafkah Iddah selama tiga bulan per
bulan menuntut sebesar Rp. 10.000.000 (sepuluh juta rupiah) ,
3 bulan X Rp. 10.000.000 (sepuluh juta rupiah) total Rp.
30.000.000 (tiga puluh juta rupiah);
121 Kompilasi Hukum Islam Pasal 149 122 Perkara Nomor 0241/Pdt.G/2019/PA.Mn 32
131
3. Gugatan ketiga tentang tentang mut’ah sebesar Rp.
100.000.000 (seratus juta rupiah);
4. Gugatan keempat tetang nafkah anak sebesar Rp. 5.000.000
(lima juta rupaiah ) per bulan;
Dan Tergugat Rekonvensi atau yang sebelumnya Termohon
menyampaikan jawaban:
1. Tergugat Rekonvensi menolak karena selama ini tergugat
memberi nafkah pada penggugat walaupun sudah beda tempat
tinggal;
2. Tergugat juga menolak karena penggugat telah nusyuz dengan
berselingkuh dengan laki-laki lain;
3. Tergugat menolak memberi nafkah mut’ah;
4. Tergugat menolak nafkah anak karena anak diasuh oleh
tergugat;
Dengan bukti-bukti yang ada maka hakim memutuskan untuk
mempertimbangkan Petitum Gugatan Rekonvensi, sehingga nafkah
madliyah tidak dikabulkan karena selama dengan bukti dari saksi dan
bukti pelunasan hutang rentenir, dan penggugat telah nusyuz sehingga
hakim memutuskan tidak perlu mempertimbangkannya. Kemudian
nafkah iddah tidak bisa diberikan karena perempuan telah nuzyus.
Menimbang bahwa dalam kaitannya dengan aturan hukum mengenai
nafkah iddah yang dihubungkan dengan kasus perkara ini, ada beberapa
aspek hukum yang harus dipertimbangkan sebagai berikut:123
1. Apakah Penggugat Rekonvensi berhak mendapat nafkah iddah;
2. Berapa lama waktu iddah;
3. Apakah jumlah nafkah iddah yang dituntut berdasarkan
kemampuan dan kepatutan hukum;
Sehingga hakim memutuskan nafkah iddah juga tidak perlu
dipertimbangkan. Kemudian dalam nafkah mut’ah hakim mempunyai
123 Perkara Nomor 0241/Pdt.G/2019/PA.Mn 36
132
dua pertimbangan apakah penggugat berhak menerima dan apakah
jumlah nilai tuntunan sesuai dengan kemampuan suami atau tidak
seperti yang disammpaikan dalam Pasal 41 (c) Undang-undang Nomor 1
Tahun 1974 jo. Pasal 149 (a) Kompilasi Hukum Islam.
Seperti yang telah dijelaskan dalam Al-Qur’an rujuklah dengan cara
yang baik atau lepaskan dengan cara yang baik. Berdasarkan perintah
Al-Qur’an tersebut bahwa memberi nafkah mut’ah adalah sunnah.
Sehingga hikmah dari pemberian mut’ah ini adalah membahagiakan dan
menenangkan hati atau menggembirakan perasaan dan beban berat yang
dirasakan oleh istri karena talak tersebut. Dan menimbang asas
kemampuan yang berdoktrin pada Hukum Islam dimana seseorang tidak
boleh dibebani sesuatu diluar batas kemampuannya karena akan
menimbulkan mudlarat dan ketidakadilan. Karena faktanya tergugat
bekerja sebegai guru swasta sebagai Kepala Sekolah TK, sehingga
hakim memutuskan mut’ah sebesar Rp. 1.500.000-, Sehingga menurut
peneliti ini adalah bukti bahwa implementasi Peraturan Mahkamah
Agung Nomor 3 Tahun 2017 Tentang Pedoman Mengadili Perempuan
berhadapan dengan Hukum untuk memberikan hak setelah perceraian,
dan kewajiban membayar akibat perceraian berupa mut’ah dibayar
secara tunai sesaat sebelum ikrar talak diucapkan didepan sidang.
Dalam Kompilasi Hukum Islam pasal 80 ayat (7) hukum Islam
telah tegas bahwasanya salah satu syarat agar istri mempuyai hak
mendapatkan nafkah dari suami adalah istri tidak nusyuz atau
melaksanakan kewajibannya dengan baik. Dalam putusan hakim pada
perkara nomor 241 tersebut telah dijelaskan bahwa istri telah melakukan
perselingkuhan. Dalam pembuktiannya juga tergugat bisa membuktikan
bahwa tidak melaksanakan kewajibannya sebagai ibu rumah tangga,
sehingga menguatkan bantahan dari tergugat. Sedangkan sidang
selanjutanya penggugat tidak mengajukan alat bukti apapun baik tertulis
maupun saksi, tetapi tergugat mengajukan alat bukti tertulis dan 4 orang
133
saksi. Dari pembuktian tersebut terkuak fakta bahwa memang benar
melakukan perselingkuhan. Sehingga terbukti nusyuz pada perkara ini
membuat nafkah madliyah, nafkah iddah, ditolak oleh majelis hakim.
Tidak mengabaikan hak-hak perermpuan sebagai penggugat, hakim
memutuskan memberi hak nafkah mut’ah, dengan Pasal 41 huruf (c)
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 jo Pasal 149 huruf (a) Kompilasi
Hukum Islam mengatur bahwa tergugat selaku suami dapat dibebani
kewajiban untuk memberikan mut’ah yang layak kepada selaku istri
sesuai dengan kemampuan dan kepatutan.124 Selain mengacu pada
undang-udang hakim Pengadilan Agama Kota Madiun juga mengacu
pada ayat Al-Qur’an:
لا جناح عليكم إن طلقتم النساء ما لم تمسوهن أو تفرضوا لهن فريضة
نين قدره متاعا بالمعروف حقا على المحس الموسع قدره وعلى المقتر ومتعوهن على
Artinya :
“Dan hendaklah kamu berikan suatu mut’ah (pemberian) kepada
mereka. Orang yang mampu menurut kemampuannya dan orang yang
miskin menurut kemampuannya (pula) yaitu pemberian menurut yang
patut; Yang demikian itu merupakan ketentuan bagi orang yang berbuat
Kebaikan” (QS Al-Baqarah: 236);
Sehingga dari sini bisa dilihat bagaimana Peraturan Mahkamah
Agung melindungi hak perempuan, walaupun penggugat terbukti
nusyuz, tidak mendapatkan nafkah madliyah, dan nafkah iddah, tetapi
hakim memutuskan memperoleh nafkah mut’ah. Sedangkan jumlah
yang tidak sesuai dengan keadaan dan bukti. Menentukan besarnya
jumlah mut’ah maka asas yang sangat urgen untuk diperhatikan dan
ditegakkan adalah asas kepatutan dan asas sesuai kemampuan.125
124 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 Pasal 41 125 Perkara Nomor 0241/Pdt.G/2019/PA.Mn.
134
Sehingga besarnya nafkah harus sesuai dengan kemampuan tergugat
tanpa membebani tergugat.
2. Perkara Nomor 0268/Pdt.G/2019/PA.Mn
Adapun isi dari duduk perkara Termohon telah mengajukan surat
gugatan tanggal 14 Agustus 2019 yang telah didaftarkan di Kepaniteraan
Pengadilan Negeri Kota Madiun dalam Register perkara nomor
0268/Pdt.G/2019/PA.Mn yang isi gugatannya sebagian dilampirkan:
a. Bahwa setelah menikah Penggugat dan Tergugat tinggal bersama di
rumah orang tua Tergugat selama kurang lebih 4 bulan setelah itu
Penggugat dan Tergugat hidup berpisah karena Tergugat bekerja di
Manado dan Penggugat bekerja di Surabaya;
b. Bahwa selama menikah Penggugat dan Tergugat telah melakukan
hubungan suami istri (ba'da dukhul) dan sudah dikarunia 1 orang
anak Perempuan;
c. Bulan Februari tahun 2017 rumah tangga Penggugat dan Tergugat
mulai tidak harmonis, sering terjadi perselisihan dan pertengkaran;
d. Bahwa Tergugat bekerja memberi nafkah namun semenjak bulan
Januari tahun 2018 hingga sekarang Tergugat tidak pernah memberi
nafkah pada Penggugat;
e. Tergugat sering melontarkan kata-kata kasar terhadap Penggugat
ketika terjadi pertengkaran;
f. Bahwa Penggugat sudah tidak ada kecocokan dalam hal apapun dan
sering berselisih paham karena Tergugat memiliki sifat egois dan
temperamental;
Penggugat mohon agar Ketua Pengadilan Agama Kota Madiun
mengadili perkara ini, selanjutnya memutuskan sebagai berikut:
a. Mengabulkan gugatan Penggugat;
b. Menjatuhkan talak satu ba’in sughra dari Tergugat terhadap
Penggugat;
135
c. Membebankan biaya perkara kepada Penggugat sesuai dengan
hukum yang berlaku;
Penggugat telah nyata hadir menghadap sendiri ke persidangan,
sedangkan Tergugat tidak hadir di persidangan tanpa alasan yang sah dan
tidak pula menyuruh orang lain untuk menghadap sebagai kuasa dan atau
wakilnya, meskipun untuk itu Tergugat telah dipanggil secara resmi dan
patut dengan relas Nomor 0268/Pdt.G/2019/PA.Mn, tanggal 27 Agustus
2019 dan 26 September 2019 yang dibacakan di depan sidang telah
dipanggil secara resmi dan patut, dan tidak ternyata ketidakhadirannya
dikarenakan halangan dan atau alasan yang sah menurut hukum;
Hakim mengadili sebagai berikut:
a. Menyatakan Tergugat telah dipanggil secara resmi dan patut untuk
menghadap ke persidangan, tidak hadir;
b. Mengabulkan gugatan Penggugat dengan verstek;
c. Menjatuhkan talak satu ba’in sughra Tergugat terhadap Penggugat;
d. Menghukum Tergugat untuk membayar kepada Penggugat;
e. Nafkah iddah sejumlah Rp. 4.500.000,- (Empat juta lima ratus ribu
rupiah) untuk masa iddah 3 bulan;
f. Nafkah anak Penggugat dan Tergugat Perempuan berumur 1 tahun 9
bulan, minimal sebesar Rp. 1.500.000,- (satu juta lima ratus ribu
rupiah) per bulan, dengan dikenakan kenaikan 10% setiap tahunnya,
sampai anak tersebut dewasa/mandiri;
g. Membebankan kepada Penggugat biaya perkara sebesar Rp. 771.000
(Tujuh Ratus Tujuh Puluh Satu Ribu Rupiah);
136
Dalam perkara Nomor 0268/Pdt.G/2019/PA.Mn penggugat
mendalilkan isi pokok gugatannya, tidak terjadi mediasi karena salah satu
pihak tidak hadir dan juga tidak menyuruh orang lain untuk menguasakan
dan mewakilinya dalam persidangan. Hingga sampai dalam persidangan
selanjutnya tergugat tidak datang dan juga tidak mewakilkan pada orang
lain. Hingga putusan dijatuhkan dan diputuskan secara verstek seperti yang
tertuang dalam Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 jo. Pasal 125
HIR. Seharusnya penggugat dan tergugat punya hak yang sama di dalam
persidangan. Tetapi karena tergugat tidak datang saat telah dipanggil secara
patut maka gugurlah hak-hak yng dimilikunya. Seperti yang disampaikan
dalam hadist:
عليه السلام: ثني أبو الأشهب، عن الحسن قال: قال رسول الل من »وحد
«دعي إلى حكم من حكام المسلمين فلم يجب فهو ظالم لا حق له
Artinya :
Dari Al Hasan, sesungguhnya Nabi SAW., telah bersabda: “Barangsiapa
yang dipanggil oleh Hakim Islam untuk menghadap di persidangan,
sedangkan ia tidak memenuhi panggilan itu, maka ia termasuk orang
yang dhalim dan gugurlah haknya”.126
Semua yang didalilkan oleh penggugat mengisyaratkan adanya
perselisihan juga pertengkaran yang tidak akan ada harapan untuk rukun
lagi. Penggugat juga memberikan 2 saksi saat agenda pembuktian. Hakim
menimbang berdasarkan bukti dan dikaitkan dengan dalil-dalil dari saksi
pengugat dan menemukan fakta hukum bahwa: menikah pada 04
November 2016, kemudian sejak Februari 2017 sampai sekarang teguugat
tidak pernah mengunjungi penggugat bahkan tidak memberi nafkah,
selama berpisah sama sekali tidak menjalin komunikasi. Sehingga hakim
126 Kitab Hadits Mu’inul Hukkam. h 96
137
menimbang bahhwa semua yang didalilkan menunjukkan rumah tangga
penggugat dan tergugat telah rusak dan tidak terjalin komunikasi dengan
baik dan harmonis layaknya suami istri.
Seperti tujuan dari maqasid syariah bahwa hukum asal dari
perceraian dilarang dan dibenci Allah, kecuali ada alasan yang darurat.
Dalam permasalahan keluarga landasannya bukan semata-mata adanya
pertengkaran fisik (phsysical cruelty), akan tetapi termasuk juga kekejaman
mental (mental cruelty) yang menyebabkan tidak terpenuhinya hak dan
kewajiban suami istri sehingga meskipun tidak terjadi pertengkaran mulut
atau kekerasan fisik maupun penganiayaan secara terus menerus, akan
tetapi telah secara nyata terjadi dan berlangsung kekejaman mental atau
penelantaran terhadap salah satu pihak, maka sudah dianggap terjadi
broken marriage.127 Setelah perselisihan dan pertengkaran ini
menyebabkan suami istri tidak bisa rukun kembali, pengadilan juga sudah
berupaya mendamaikan dan tidak berhasil. Menurut hakim fakta hukum
dan analisis menggambarkan bahwa rumah tangga Tergugat dan Penggugat
tidak bisa diperbaiki lagi sudah hancur berantakan dan akibat yang timbul
saat berusaha dipertahankan adalah kesusahan dan kesengsaraan yang
menimbulkan kemudharatan. Pertimbangan hakim ini menunjukan
implementasi Peraturan Mahkamah Agung Nomor 3 Tahun 2017 tentang
pedoman mengadili perkara perempuan berhadapan dengan hukum.
127 Perkara Nomor 0268/Pdt.G/2019/PA.Mn
138
Seperti dalam kutipan “Jika istri menggugat cerai karena suaminya
memudlorotkan terhadap istri (misal : memukul, mencaci maki, berkata
kasar, melakukan perbuatan yang munkar, seperti berjudi dan lain-lainnya
sehingga menggoyahkan keutuhan rumah tangga, maka dibolehkan bagi
istrinya tersebut utnuk meminta cerai kepada hakim dan bila madlorot
tersebut telah terbukti, sedangkan perdamaianpun tidak tercapai, maka
hakim menetapkan jatuh talak satu ba’in”.128
Dengan demikian hakim memutuskan mengabulkan gugatan
penggugat degan verstek sehingga dijatuhkan talak satu ba’in sughra
terhadap penggugat. Menimbang, dengan dikabulkannya gugatan
Penggugat untuk menjatuhkan talak satu ba’ín shugra Tergugat terhadap
Penggugat, maka Penggugat akan menjalani masa iddah, sebagaimana
diungkapkan pada Pasal 41 huruf c Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974
tentang Perkawinan menyatakan bahwa “Pengadilan dapat mewajibkan
kepada bekas suami untuk memberikan biaya penghidupan dan/atau
menentukan sesuatu kewajiban bagi bekas istri.129 Menurut peneliti untuk
mempraktikkan maksud dari Peraturan Mahkamah Agung yang tertuang
dalam Buku II. Dimana Pengadilan Agama secara ex officio dapat
menetapkan kewajiban nafkah iddah atas suami untuk istrinya, sepanjang
128Sayyid Sabiq Kitab Fiqhu as Sunnah, Juz II, halaman 249 129 Perkara Nomor 0268/Pdt.G/2019/PA.Mn
139
istri tidak berbuat nusyuz dan menetapkan kewajiban mut’ah.130 Dengan
pertimbangan hak dan wewenang hakim dalam perkara cerai gugat ini,
hakim memutuskan memberi nafkh iddah dengan hak ex officio karena
penggugat terbukti tidak melakukan nusyuz. Seperti yang disampaikan oleh
Hakim Syarifah Isnaeni S.Ag., M.H. bahwa kalau dulu memang tidak
ditentukan kalau para pihak itu tidak meminta, tetapi kalau sekarang kita
para hakim bisa menentukan tanpa ada permintaan dari pihak. Biasanya
‘kan itu muncul saat mediasi, kalaupun tidak hakim mempunyai hak ex
officio yang bisa menentukan nafkah yang akan ditaanggungkan kepada
suami.
Cerai gugat bagi mantan istri pasca perceraian masih mendapatkan
haknya secara untuh terkecuali mantan istri tersebut terbukti melakukan
nusyuz. Tertuang pada Surat Edaram Mahkamah Agung Nomor 3 Tahun
2018 Mengakomodir Perma Nomor 3 Tahun 2017 tentang Pedoman
Mengadili Perkara Perempuan Berhadapan Dengan Hukum, maka istri
dalam perkara cerai gugat dapat diberikan mut’ah, dan nafkah iddah
130 Buku II, Pedoman Pelaksanakan Tugas dan Administrasi Peradilan Agama, edisi revisi 2010,(Mahkamah Agung RI: Jakarta, 2010), 152.
140
sepanjang tidak terbukti nusyuz.131 Peraturan Mahkamah Agung Nomor 3
Tahun 2017 benar-benar menjamin keadilan bagi hak-hak perempuan.
Peraturan Mahkamah Agung Nomor 3 Tahun 2017 memiliki turunan pada
Rumusan Kamar Agama pada Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 3
Tahun 2018 yang digunakan pada Pengadilan Agama.
f. Putusan Pengadilan Negeri Kota Madiun
Seperti yang disampaikan Hakim Murdian Ekawati S.H., M.H. bahwa
implementasi Peraturan Mahkamah Agung Nomor 3 Tahun 2017 memang
ada di putusan, karena kalau dalam proses persidangan terkadang tidak
tercatat di berita acara sidang. Misal seperti ada yang mendiskriminasi antar
pihak berperkara, atau hakim yang merendahkan itu tidak tertulis dalam
berita acara sidang, jadi putusan adalah bukti implementasi Perma karena dia
merupakan produk hukum. Peneliti telah mendapatkan perkara-perkara yang
mengimplementasikan Peraturan Mahkamah Agung Nomor 3 Tahun 2017
dalam perkara perceraian, baik di Pengadilan Agama dan Pengadilan Negeri
Kota Madiun.
1. Putusan Nomor 37/Pdt.G/2018/PN Mad132
Adapun isi dari duduk perkara (Kornelius Denny Mulyanto
SE.) telah mengajukan surat gugatan tanggal 14 Agustus 2018
131 Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 3 Tahun 2018. 132 Perkara Nomor 37/Pdt.G/2018/PN Mad
141
yang telah didaftarkan di Kepaniteraan Pengadilan Negeri Kota
Madiun dalam Register perkara nomor 37/Pdt.G/2018/PN Mad
yang isi gugatannya sebagian dilampirkan.133
a. Perkawinan antara penggugat dan tergugat dikarunia satu
anak;
b. Permasalahan muncul saat penggugat dan tergugat tinggal di
rumah orang tua pada bulan Desember 2017;
c. Bulan Januari 2018 tergugat meninggal rumah orang tua.
Kalau bertemu selalu timbul perselisihan dan tergugat selalu
menghujat orang tua penggugat;
d. Sering adanya pertengkaran tersebut membuat tergugat
minta cerai dari penggugat, dan menganjurkan untuk
mengurus sendiri;
Penggugat meminta agar Hakim memberikan putusan sebagai
berikut:
a. Menerima dan mengabulkan gugatan penggugat untuk
keseluruhannya;
b. Memutuskan perkawinan antara penggugat (Kornelius
Denny Mulyanto, SE.) dengan tergugat (Agnes Meriyam
Natalenda) putus karena adanya perceraian;
c. Memerintahkan Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil
Kota Madiun untuk dicatat terjadinya perceraian antara
133 Perkara Nomor 37/Pdt.G/2018/PN Mad
142
antara penggugat (Kornelius Denny Mulyanto SE.) dengan
tergugat (Agnes Meriyam Natalenda) dalam buku
perkawinan yang disediakan untuk menerbitkan Kutipan
Akta Cerai;
Jawaban dari tergugat sebagai berikut:
a. Tergugat tidak ingin bercerai dengan penggugat karena
terggugat sangat mencintai penggugat;
b. Dalam keyakinan tergugat perceraian tidak diperkenankan
oleh Tuhan.
c. Bukti bahwa tergugat masih mencintai penggugat adalah
penggugat pernah selingkuh dan tergugat memaakannya;
d. Percekcokan yang timbul akibat mertua tergugat ikut
campur dalam permasalahan rumah tangganya;
e. Penggugat yang berkali-kali ingin bercerai;
f. Tergugat tidak dinafkahi sejak Juli sampai September, saat
dinafkahipun yang diberikan sebenarnya tidak cukup tetapi
tergugat sangat bersyukur dan menerima dengan ikhlas;
g. Tergugat hanya ingin penggugat dan tergugat hidup mandiri
dalam membangun rumah tangganya.
Hakim mengadili sebagai berikut:
a. Gugatan penggugat tidak dapat diterima;
b. Menghukum penggugat untuk membayar ongkos perkara
yang timbul akibat perkara ini.
143
Dari putusan yang dikeluarkan oleh Pengadilan Negeri Kota
Madiun ini terlihat implementasi Peraturan Mahkamah Agung Nomor
3 Tahun 2017 tentang pedoman mengadili perempuan berhadapan
dengan hukum telah dilaksananakan dengan semestinya, dimana
proses pemeriksaan perkara menjadi sangat penting dalam
memutuskan suatau perkara, agar fungsi hukum bisa dirasakan dengan
adil oleh para pihak yang berperkara.
Para pihak telah mengajukan bukti untuk menguatkan gugatan dan
bantahan. Alasan yang diajukan oleh penggugat dalam mengajukan
gugatan cerai termuat dalam posita gugatan penggugat bahwa
terjadinya percekcokan terus menerus antara penggugat dan tergugat
karena perselisihan tempat tinggal yang mereka diami, dimana
penggugat menginginkan penggugat, tergugat, dan anaknya tinggal
bersama orang tua penggugat, sedangkan tergugat menginginkan
tinggal terpisah dengan orang tua untuk mandiri.134 Tergugat
membantah dan menyampaikan jawabannya bahwa tergugat masih
mencintai penggugat, sehingga saat perselingkuhan penggugat terkuak,
tergugat masih memaafkan dan menerima penggugat lagi. Tetapi
penggugat malah sering mengatakan ingin bercerai tapi tidak
dihiraukan karena tergugat memaafkan dan masih menyanyangi
penggugat. Tergugat juga mengatakan percekcokan ini akan dengan
baik terselesaikan apabila tidak ada campur tangan orang tua.
134 Perkara Nomor 37/Pdt.G/2018/PN Mad 18
144
Alasan-alasan dapat terjadinya perceraian:135
a. Salah satu pihak berbuat zina, mabuk, pemadat, dan lain
sebagainya yang susah disembuhkan;
b. Salah satu pihak meninggalkan pihak lain seama 2 tahun
berturut-turut tanpa izin pihak lain dan tanpa alasan yang sah
atau karena hal lain di luar kemampuannya;
c. Salah satu pihak mendapat hukuman penjara 5 tahun atau
hukuman yang lebih berat setelah perkawinan berlangsung;
d. Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan
berat yang membahayakan pihak lain;
e. Salah satu pihak mendapatkan cacat badan atau penyakit
dengan akibat tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai
suami/istri;
f. Antara suami istri terus menerus terjadi perselisihan dan
pertengkaran dan tidak ada harapan untuk hidup rukun
kembali dalam berumah tangga.
Dari posita penggungat hanya ada satu alasan yang memenuhi
syarat sebagai alasan perceraian yang isinya dimana penggungat dan
tergugat tidak tinggal satu rumah, sedangkan penggugat menginginkan
tergugat dan pengggat tinggal satu rumah di rumah orang tua
penggugat, tetapi keinginan tergugat sendiri ingin hidup mandiri
dengan penggugat dan tinggal pisah dari oangtua. Perpisahan
135 Perkara Nomor 37/Pdt.G/2018/PN Mad 19
145
penggugat dan tergugat masih prematur dan belum ada 2 tahun seperti
yang tertuang dalam Pasal 19 (b) Peraturan Pemerintah Nomor 9
Tahun 1975.
Hakim juga menilai persoalan yang dihadapi penggugat dan
tergugat adalah masalah tempat tinggal yang sebenarnya masih dapat
dimusyawarahkan dengan baik-baik untuk mencapai kemufakatan,
dimana masalah tempat tinggal bukanlah alasan untuk suami istri
bercerai karena hal ini masih bisa dibicarakan dan dicarikan solusinya.
Menurut peneliti, hakim telah mengimplementasikan Peraturan
Mahkamah Agung Nomor 3 Tahun 2017 dimana proses pemeriksaan
hakim mempertimbangkan keadilan dan kesetaraan gender. Karena
tergugat dalam jawabannya mengatakan bahwa tergugat masih
mencintai penggungat dan dikuatkan oleh saksi saat tergugat diberikan
kesempatan untuk membuktikan. Sehingga majelis hakim masih
mempunyai harapan untuk pernikahan ini diselamatkan dan sehingga
gugatan penggugat dinyatakan tidak diterima.
2. Perkara Nomor 25/Pdt.G/2019/PNMad136
Adapun isi dari duduk perkara Penggugat ( Riyuh Ratna Kumala
Dewi) telah mengajukan surat gugatan pada tanggal 2 Juli 2019 yang
didaftarkan di Kepaniteraan Pengadilan Negeri Kota Madiun dengan
perkara Nomor 25/Pdt.G/2019/PNMad:
a. Selama 10 tahun perkawinan tidak dikaruniani anak;
136 Perkara Nomor 25/Pdt.G/2019/PNMad
146
b. Selama 10 tahun tergugat tidak diberi nafkah lahir maupun
batin;
c. Sering terjadi perselisihan dan komunikasi yang tidak baik
antara suami dan istri;
d. Puncaknya pada 11 Maret 2013 penggugat pulang ke rumah
orang tua penggugat;
e. Tergugat tidak pernah mencari penggugat selama tinggal
dirumah orang tua penggugat;
Penggugat meminta supaya hakim memberi putusan sebagai
berikut:
a. Mengabulkan gugatan penggugat seluruhnya;
b. Menyatakan perkawinan antara penggugat dan tergugat putus
karena perceraian dengan segala akibat hukumnya;
c. Memerintahkan Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil
Kota Madiun untuk dicatat terjadinya perceraian antara antara
penggugat dengan tergugat dalam buku perkawinan yang
disediakan untuk menerbitkan Kutipan Akta Cerai.
Jawaban dari tergugat:
a. Tergugat berstatus perjaka dan penggugat berstatus janda 2
anak;
b. Selama perkawinan belum dikarunia anak;
c. Selama tergugat kumpul dengan penggugat tidak pernah
bersikap dan kata-kata yang kasar;
147
d. Tergugat sebagai kepala rumah tangga selalu bertanggung
jawab kepada keluarga;
e. Tergugat memberi nafkah lahir dan batin dan mencarikan
anak pekerjaan dan masuk menjadi ABRI/TNI AU dan
menguliahkan anak perempuan saya;
f. Tergugat masih mencintai penggugat;
g. Tergugat sudah menjemput tergugat dirumah mertua tergugat
tetapi ibu mertua sedang sakit sehingga penggugat tidak bisa
ikut pulang tergugat;
Hakim mengadili sebagai berikut:
a. Mengabulkan gugatan penggugat untuk seluruhnya;
b. Menyatakan perkawinan antara penggugat dan tergugat putus
karena perceraian;
c. Memerintahkan Panitra Pengadilan Negeri Kota Madiun
untuk memberikan salinan putusan yang berkekuatan tetap
kepada penggugat;
d. Menghukum penggugat untuk membayar baiya perkara
sampai hari ini.
Implementasi pada Peraturan Mahkamah Agung Nomor 3 Tahun
2017 ada pada putusan perkara Nomor 25/Pdt.G/2019/PNMad. Dalam
kasus cerai gugat ini penggugat telah menyampaikan isi gugatannya
dan tergugat pun memberikan jawaban, dimana tergugat tidak pernah
memperlihatkan sikap dan kata-kata yang kasar selama tinggal dengan
148
penggugat, membantah bahwa tergugat tidak menafkahi dengan
menyampaikan bahwa tergugat selaku kepala rumah tangga sangat
bertanggung jawab dengan kepada keluarganya, tergugat juga memberi
nafkah baik lahir maupun batin terhadap tergugat. Tergugat juga
menjawab bahwa penggugat telah dipengarhi oleh pihak ketiga yang
mengganggu keharmonisan rumah tangga, tergugat juga menyatakan
bahwa tergugat dan penggugat itu masih saling mencintai, tergugat
juga sudah menjemput ke rumah orang tua penggugat untuk
mengajaknya pulang kembali tetapi tergugat menolak. Penggugat juga
mengajukan 2 saksi untuk menguatkan gugatannya. Dalam proses
persidangan semua pihak berperkara diberikan kesempatan yang sama
termasuk dalam agenda pembuktian, namun tergugat tidak mengambil
kesempatan itu untuk membuktikan bahwa jawaban tergugat itu benar.
Namun tergugat menyatakan bahwa ingin mempertahankan
perkawinannya dan tidak ingin bercerai. Siapa yang mendalilkan
mempunyai suatu hak atau mengajukan suatu peristiwa, untuk
menegaskan haknya atau membantah adanya hak orang lain, harus
membuktikan tentang adanya peristiwa tersebut.137 Karena menurut
peneliti penggugat dan tergugat mempunyai hak yang sama, yaitu
membuktikan apa yang telah didalilkan oleh masing-masing pihak
berperkara, karena dalam pasal 164 HIR penggugat dan tergugat sudah
mendalilkan pokok-pokoknya jadi sudah menjadi kewajiban bagi
137 Pasal163 HIR
149
penggugat dan tergugat untuk membuktikan dalil-dalinya tersebut.
Dalam keterangan saksi dari penggugat, penggugat pernah bercerita
kepada saksi bahwa tergugat tidak ada niat untuk memperbaiki diri,
untuk memberi nafkah lahir dan batin dan juga meneror bos penggugat
agar memecatnya dari tempat kerja.
Tergugat juga tidak dapat memberikan saksi untuk menguatkan
dalilnya, sehingga dalil yang diajukan tergugat tidak bisa dibuktikan
dan bantahan-bantahan tersebut malah dibuktikan sebaliknya melalui
saksi penggugat. Majelis hakim berpandangan bahwa penggugat dan
tergugat sudah tidak ada kesepahaman lagi dalam upaya membentuk
keluarga yang rukun, seperti yang dipokokkan bahwa penggugat ingin
bercerai, tetapi tergugat ingin tetap mempertahankan pernikahannya.
Pada Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 pasal 22 menyatakan
bahwa gugatan dapat diterima apabila telah cukup jelas bagi
pengadilan mengenai sebab-sebab perselisihan dan pertengkaran itu
dan setelah mendengar pihak keluarga serta orang-orang yang dekat
dengan suami istri tersebut.138 Dimana dalam proses persidangan
dengan agenda pembuktian saksi dari penggugat juga menguatkan
pendapatnya tentang dalil penggugat yang tidak dinafkahi selama 6
tahun 6 bulan tergugat tidak meberi nafkah sama sekali.
Juga dalam yurisprudensi yang bersifat tetap pada Putusan
Mahmakah Agung RI Nomor 1354K/Pdt/2000 tanggal 18 September
138 25/Pdt.G/2019/PNMad 22
150
2003 yang dalam kaidah hukum “Suami istri telah pisah tempat dan
tidak saling memperdulikan sudah merupakan fakta adanya
perselisihan dan pertengkaran, sehingga tidak ada harapan untuk hidup
rukun dalam rumah tangga dan dapat dijadikan alasan untuk
mengabulkan gugatan.139 Sehingga dengan proses pemeriksaan perkara
dan pertimbangan hakim inilah semua gugatan penggugat dikabulkan.
Menurut peneliti hakim mempertimbangkan dengan baik dan
mengimplementasikan pasal 6 Peraturan Mahkamah Agung Nomor 3
Tahun 2017.
2. Perbandingan Implementasi Peraturan Mahkamah Agung Nomor 3 Tahun
2017 tentang Pedoman Mengadili Perempuan Berhadapan dengan Hukum di
Pengadilan Agama dan Pengadilan Negeri Kota Madiun.
Dalam implementasi Peraturan Mahkamah Agung Nomor 3 Tahun 2017
tentang Pedoman Mengadili Perkara Perempuan Berhadapan dengan Hukum
tidak hanya ada pada proses persidangan bahkan sampai dengan putusan. Seperti
yang disampaikan oleh Hakim Alfian Yusuf S.HI. bahwa Perma ini bukan hanya
putusan hakim, tapi mulai dari perempuan datang sampai pada dikeluarkannya
putusan itu berkaitan dengan Perma.140 Peraturan Mahkamah Agung Nomor 3
Tahun 2017 adalah aplikasi gender dalam hukum. Sehingga isi dari Peraturan
139 25/Pdt.G/2019/PNMad 23 140 Alfian Yusuf, Wawancara. (Madiun, 10 Januari 2020)
151
Mahkamah Agung Nomor 3 Tahun 2017 terdapat pada pelayanan publik, proses
pemeriksaan perkara, dan putusan.
Seperti yang telah dipaparkan dalam analisis implementasi Peraturan
Mahkamah Agung Nomor 3 Tahun 2017 tentang Pedoman Mengadili Perempuan
Berhadapan dengan Hukum di Pengadilan Agama dan Pengadilan Negeri Kota
Madiun peneliti mendapatkan fakta dilapangan tentang implementasi Perma pada
perempuan yang sedang berhadapan dengan hukum. Dalam perbandingan
terdapat persamaan dan perbedaan implementasi peraturan ini pada Pengadilan
Agama dan Pengadilan Negeri.
A. Persamaan
Persamaan implementasi peraturan ini adalah dalam pelayanan publik yang
mana Pengadilan Agama dan Pengadilan Negeri telah memberikan pelayanan
secara maksimal dalam proses pendaftaran menggunakan PTSP, ketersedian pos
bantuan hukum, dan fasilitas-fasilitas yang menunjang kenyamanan pihak yang
sedang berperkara.
Kemudian mengenai pendaftaran, Peraturan Mahkamah Agung Nomor 3
Tahun 2017 ini juga berlaku dalam tahap pertama yaitu pendaftaran yang dimana
telah diatur dalam Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 97 Tahun 2014
Tentang Penyelenggaraan Pelayanan Terpadu Satu Pintu pada pasal 2 tujuan
PTSP yaitu: memberikan perlindungan dan kepastian hukum kepada masyarakat;
memperpendek proses pelayanan; mewujudkan proses pelayanan yang cepat,
152
mudah, murah, transparan, pasti, dan terjangkau; dan mendekatkan dan
memberikan pelayanan yang lebih luas kepada masyarakat.141
Pada setiap pengadilan tingkat pertama memberikan layanan hukum berupa
informasi, konsultasi, dan advis hukum, serta pembuatan dokumen hukum yang
dibutuhkan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang
Kekuasaan Kehakiman, Peradilan Umum, Peradilan Agama, dan Peradilan Tata
Usaha Negara.142 Peneliti telah melakukan wawancara dan mengamati
implementasi di lapangan, Pelayan terpadu satu pintu ini telah dijalankan oleh
pengadilan agama dan Pengadilan Negeri Kota Madiun. Selain pelayanan
terpadu satu pintu, pos bantuan hukum juga telah disediakan di setiap pengadilan
tingkat pertama. Dalam pelayanan publik yang sudah diatur dalam Peraturan
Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2014 tentang pedoman pemberian layanan
hukum bagi masyarakat awam atau bagi orang yang tidak mampu di Pengadilan
pada Pasal 4 ayat (3) penyediaan posbakum pengadilan.143 Posbakum adalah
salah satu fasilitas yang diberikan oleh pengadilan tingkat pertama, dimana
dengan adanya posbakum ini sangat memudahkan para pencari keadilan,
terutama untuk perempuan atau orang-orang yang buta hukum. Setelah peneliti
melakukan wawancara dengan salah satu advokad yang menjaga pos bantuan
hukum Rishandayono Sukarno S.H. menyampaikan bahwa “Konsultasi disini
gratis, kita bisa buatin surat gugatan, surat permohonan, bisa juga duplik atau
141 Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 97 Tahun 2014 Tentang Penyelenggaraan Pelayanan
Terpadu Satu diakses pada tanggal 22 Desember 2019 142https://www.hukumonline.com/klinik/detail/ulasan/lt59789def9467e/cara-mengajukan-bantuan-
hukum-ke-pos-bantuan-hukum-posbakum-di-pengadilan/ diakses tanggal 22 Desember 2019 143 Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2014 tentang pedoman pemberian layanan hukum
bagi masyarakat tidak mampu di Pengadilan
153
jawaban tertulis yang mau disidangkan. Jadi mengenai informasi bisa kita
konsultasi, jadi kita kasih saran bikin surat gugatan, surat permohonan, tanpa ada
diskriminasi dan gratis. Asalkan dalam kasus yang rumit itu juga bisa gratis
asalkan memenuhi persyaratan yang jadi untuk orang-orang yang bener-bener
tidak mampu.”144 Posbakum bisa memberikan informasi, konsultasi tentang
proses beracara, dan juga memberikan masukan saat para pihak anak menghadapi
proses persidangan termasuk pembuatan surat gugatan, surat permohonan, replik,
duplik dan semua yang para pihak perlukan.
Dalam kenyamanan pihak berperkara, Pengadilan Agama dan Pengadilan
Negeri Kota Madiun menyiapkan fasilitas-fasilitas ramah perempuan seperti
ruang laktasi, ruang bermain anak, dan juga kamar mandi yang terpisah antara
laki-laki dan perempuan. Seperti yang telah disampaikan oleh Bapak Panitera
Drs. Khusnul Salim bahwa “Secara umum implementasi Peraturan Mahkamah
Agung Nomor 3 Tahun 2017 sudah dilakukan dengan baik mbak, semua fasilitas
disini benar-benar sudah sesuai dengan zona intergritas yang ada. Contohnya
apa? Contohnya fasilitas ruang bermain anak dan ruang ibu menyusui, kamar
mandi perempuan dan laki-laki yang berbeda. Menurut saya semua itu adalah
untuk memberikan kenyamanan pada perempuan”145 Dalam pelayanan publik
kenyaman memang hal pertama yang harus didapatkan, semua fasilitas dipenuhi
untuk memberikan kemudahan, kenyamanan bagi para pihak berperkara. Selain
itu untuk melindung hak-hak perempuan adalah ruang menyusui dan juga ruang
144 Rishandayono Sukarno, Wawancara, (Madiun, 29 Januari 2020) 145 Khusnul Salim, wawancara. (Madiun, 29 Januari 2020)
154
bermain anak, adalah tempat yang privat untuk perempuan, dimana perempuan
akan merasakan nyaman saat kebutuhannya dipenuhi. Begitu juga kamar mandi
yang berbeda, jadi ada kamar mandi untuk perempuan dan kamar mandi mandi
untuk laki-laki.
Persamaan dalam implememntasi pada peraturan ini ada pada proses
persidangan. Peraturan Mahkamag Agung Nomor 3 Tahun 2017 telah mengatur
proses pemeriksaan perkara pada BAB III Pasal 4 memerintahkan agar hakim
mempertimbangkan kesetaraan gender dan non diskriminasi. Kemudian pada
Pasal 5 hakim dilarang menunjukan sikap merendahkan, menyalahkan atau
mengintimidasi perempuan, tidak membenarkan terjadinya diskriminasi pada
perempuan menggunakan budaya, adat, dan praktik tradisional lainnya ataupun
penafsiran bias gender, bahkan mengeluarkan pernyataan yang mengandung
stereotip gender. Kemudian ada pada Pasal 7 hakim harus menegur atau
mencegah para pihak berperkara yang bersikap merendahkan, menyalahkan dan
mengintimidadi perempuan berhadapan dengan hukum selama proses
pemeriksaan persidangan. Dari hasil penelitian implementasi peraturan ini,
Pengadilan Agama dan Pengadilan Negeri Kota Madiun telah menerapkan
peraturan ini secara maksimal.
Kemudian implementasi dalam mengadili perkara perempuan yang sedang
berhadapan dengan hukum perma ini telah mengatur pada Pasal 6 dimana hakim
mengadili perkara perempuan harus mempertimbangkan kesetaraan gender,
menggali nilai-nilai hukum, kearifan lokak dan rasa keadilan yang hidup dalam
masyarakat untuk menjamin kesetaraan gender dan menghindari dikriminasi.
155
Dalam praktiknya peneliti mewawancarai hakim yang ada di pengadilan agama
dan Pengadilan Negeri Kota Madiun dan mendapati data dari wawancara
faktanya bahwa para hakim telah mengimplementasikan peraturan ini.
Kemudian pada Pasal 8 peraturan ini menjelaskan agar hakim menanyakan
kerugian dampak dan kebutuhan untuk pemulihan, sehingga hakim memberikan
masukan tentang hak-hak yang dimiliki oleh perempuan sebagai pihak
berperkara untuk menjamin keadilan, kesetaraan, dan juga tidak menimbulkan
kerugian pada pihak perempuan. Dari pemaparan yang ada Hakim Pengadilan
Agama dan Pengadilan Negeri Kota Madiun telah menerapkannya. Sehingga
hakim selalu menyampaikan pada termohon kasus cerai talak atau kepada pihak
isteri bahwa perempuan mempunyai hak nafkah. Membritahukan masukan pada
pihak perempuan yang sedang berhadapan dengan hukum bukan berarti hakim
impersial, tetapi hanya memberitahu hak yang dimiliki untuk membantu para
pihak agar proses berperkara berjalan dengan lancar, bukan berarti hakim tidak
disparitas, namun demi kelencaran proses persidangan.
Pada Pasal 9 peraturan ini memberikan kewenangan pada hakim agar
mengabulkan permintaan pendampingan apabila perempuan mengalami
hambatan fisik dan psikis. Dari hasil pemaparan yang ada hakim Pengadilan
Agama dan Pengadilan Negeri telah menerapkannya pada proses persidangan
berlangsung.
Pada Pasal 10 terdapat aturan tentang inisiatif hakim untuk mendengarkan
keterangannya melalui audio visual. selama menjabat di Pengadilan Agama dan
156
Pengadilan Negeri Kota Madiun para hakim belum pernah melakukan
persidangan secara audio visual.
Pengadilan Agama dan Pengadilan Negeri Kota Madiun juga
mengimplementasikan peraturan ini pada putusan yang telah inkracht. Seperti
pemaparan dalam analisis diatas bahwa para hakim sudah melaksanakan
Peraturan Mahkamah Agung itu dengan baik, bukti nyatanya adalah hasil dari
pertimbangan hakim saat mengadili perkara perempuan yang telah tercantum
dalam putusan. Hakim Murdian Ekawati S.H., M.H. juga pernah menyampaikan
bahwa “Bukti dari implementasi perma perempuan ini ada pada putusan”. Peran
hakim dalam mempertimbangkan dan mengkaji dalil dan bukti yang disampaikan
saat proses pemeriksaan akan mempengaruhi hasil putusan, sehingga pentingnya
proses pemeriksaan perkara yang adil, non diskriminasi dan menjunjung
kesetaraan gender akan berpengaruh pada putusan yang akan dikeluarkan oleh
hakim. Dalam proses persidangan hakim memberikan hak yang sama pada para
pihak. Entah itu perempuan sebagai penggugat atau perempuan sebagai tergugat,
entah itu perempuan sebagai penggugat atau Termohon para pihak berperkara
mendapatkan haknya dengan baik.
B. Perbedaan
Dalam mengadili perkara percerain hakim Pengadilan Agama dan Pengadilan
Negeri berbeda. Seperti yang telah disampaikan oleh hakim Alfian Yusuf, S.H.
bahwa hakim selalu menyampaikan pada pihak perempuan dalam perkara
perceraian apa saja hak-hak yang dimiliki. Karena tugas daripada hakim selain
157
mengadili perkara dia juga memberikan informasi membantu para pihak agar
pelaksanaan proses berperkara supaya lancar, terlepas hak itu digunakan atau
tidak. Dalam perkara perceraian hakim dapat memutuskan lebih dari yang
diminta karna jabatannya, hal ini berdasarkan Pasal 41 huruf c Undang-undang
Perkawinan.146 Hakim juga bisa menawarkan ataupun secara hak officio
(menetapkan secara langsung) meskipun para pihak tidak meminta. Karena
dipandang bahwasanya perlu kepastian hukum, perlu pemenuhan hak-hak bekas
istri itu hakim bisa secara jabatannya.
Dalam pertimbangan hukum yang diambil hakim Pengadilan Agama memuat
peraturan-peraturan yang bersangkutan baik dalam aturan dalam negara dan
hukum syara’ seperti dalil Al-Qur’an, hadist dan kitab-kitab klasik yang
berkaitan dengan permasalahan. Sehingga dalam mengadili perkara perceraian
pada Pengadilan Agama hakim dipengaruhi oleh doktrin agama. Hukum bisa
ditegakkan dan keadilan bisa dirasakan apabila proses pemeriksaan di dalam
persidangan oleh hakim dilakukan penuh dengan kecermatan dan ketelitian.147
Dalam konteks penegakan hukum oleh hakim dalam mengadili tidak cukup
dalam Undang-Undang saja, sebab tidak mengatur dengan jelas dan lengkap,
sehingga hakim harus menggali nilai-nilai hukum yang hidup di masyrakat.148
Sehingga hakim Pengadilan Agama dalam memutuskan perkara dituntut untuk
memberikan putusan yang adil dan memberikan maslahat bagi para pihak dan
146 Mukti Arto, Praktek Perkara Perdata pada Pengadilan Agama, cet. Ke-6 (Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 2005) 11 147 Dr. H. Sunarto, Peran Aktif Hakim dalam Perkara Perdata, (Jakarta:Kencana, 2014) 79. 148 Busyro Muqaddas, “Mengkritik Asas-Asas Hukum Acara Perdata.”, 21.
158
umat. Seperti pada perkara Perceraian hakim sudah melakukanya seperti yang
dijelaskan dalam paparan data kemaslahatan bagi para pihak dalam hal
melindungi hak-hak perempuan yang berhadpan dengan hukum baik berupa
nafkah iddah, mut‟ah, lampau, nafkah anak, dan nafkah yang lain.
Contoh implementasi yang diterapkan hakim di Pengadilan Agama pada
perkara perceraian dimana hakim dapat menghukum laki-laki secara ex oficio
untuk membayar nafkah yang wajib diberikan kepada istri pasca perceraian.
Disini menunjukan bahwasanya perlindungan hak-hak demi kemaslahatan para
pihak secara adil. Pada saat ikrar talak suami belum mampu membayar
kewajibannya terhadap mantan isterinya maka persidangan akan ditunda sampai
suami melunasi kewajibannya kepada isteri. Dengan hak ex oficio juga hakim
memberikan nafkah mut’ah dan menolak nafkah iddah karena perempuan
terbukti nusyuz dalam persidangan. Sehingga dalam proses mengadili perkara
akan berpengaruh pada putusan yang dikeluarkan oleh Pengadilan Agama .
Sedangkan dalam mengadili perkara perceraian pada Pengadilan Negeri
hakim secara substansi menggunakan dasar hukum UU Nomor 1 Tahun 1974,
Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975, dan Peraturan Mahkamah Agung
Nomor 3 Tahun 2017. Hakim Ni Kadek Kusuma Wardani, S.H. juga
menyampaikan bahwa prinsip Pengadilan Negeri hanya mengabulkan apa yang
diminta, tidak boleh melebihi yang diminta. Sehingga jika dalam gugatan tidak
membahas dalil, maka hakim tidak akan memberikan. Karena siapa yang
mendalilkan harus membuktikan. Berdasarkan Pasal 178 ayat (3) HIR/Pasal 189
ayat (3) RBG dan Pasal 50 RV, putusan tidak boleh mengabulkan melebihi
159
tuntutan yang dikemukakan dalam gugatan. Larangan itu disebut ultra petitum
partium. Hakim yang mengabulkan posita maupun petitum gugatan, dianggap
telah melampaui batas wewenang atau ultar vires yakni bertindak melampaui
wewenangnya. Apabila putusan mengandung ultra petitum, harus dinyatakan
cacat (invalid) meskipun hal itu dilakukan hakim dengan itikad baik (good faith)
maupun sesuai dengan kepentingan umum (public interest). Mengadili dengan
cara mengabulkan melebihi dari apa yang di gugat dapat dipersamakan dengan
tindakan yang tidak sah (illegal)meskipun dilakukan dengan itikad baik149
Dalam penggalian fakta hukum oleh hakim lebih cenderung mengunakan asas
keadilan yang ditekankan dalam pembentukan putusan. Dimana putusan yang
dikeluarkan juga sudah menerapkan implementasi perma ini, namun hasil
putusan cenderung menggunakan asas keadilan dalam menegeluarkan putusan.
Contoh implementasinya perkara perceraian dimana pihak perempuan sebagai
penggungat dan laki-laki sebagai tergugat yang tidak ingin bercerai. Setelah
proses pemeriksaan perkara hakim mempertimbangkan bahwa tidak ada niat
memperbaiki diri dan usaha untuk kembali pada isteri. Sehingga hakim
mengabulkan gugatan yang diajukan oleh isteri. Kemudian perkara perceraian
kedua penggugat adalah laki-laki yang ingin menceraikan isterinya, diaman
tergugat atau istri tersebut masih mencintai suaminya dan bertahan dari
perselingkuhan yang pernah dilakukan oleh pihak penggugat. Dalam proses
pemeriksaan perkara, hakim memutuskan tidak mengabulkan gugatan penggugat
149 M. Yahya Harahap, Hukum Acara Perdata, (Jakarta:Sinar Grafika, 2005) 801-802.
160
karena perselisihan yang didalilkan penggugat hanya masalah tempat tinggal
yang masih bisa dimusyawarahkan dengan baik-baik.
161
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
1. Implementasi Peraturan Mahkamah Agung Nomor 3 Tahun 2017 Tentang
Pedoman Mengadili Perkara Perempuan Berhadapan Dengan Hukum pada
Perkara Perceraian di Pengadilan Agama dan Pengadilan Negeri Kota
Madiun sudah dilaksanakan dengan baik. Dengan diimplementasikan
Peraturan Mahkamah Agung Nomor 3 Tahun 2017 Tentang Pedoman
Mengadili Perkara Perempuan Berhadapan Dengan Hukum maka hak-hak
162
perempuan yang masih sering dikesampingkan akan terlindungi dengan baik,
dari mulai perempuan masuk pengadilan, sampai keluarnya putusan atau
produk hukum dari Lembaga Pegadilan Agama dan Pengadilan Negeri Kota
Madiun.
Sehingga dalam pelayan publik, proses persidangan, hingga putusan dapat
dilaksanakan seadil-adilnya tanpa diskriminasi oleh pihak lain. Dalam proses
persidangan terdapat pemeriksaan perkara yang dimana pembuktian dan
keputusan hakim sangat berpengaruh pada hasil putusan yang adil dan non
diskriminasi. Bukti dari implementasi Peraturan mahkamah Agung Nomor 3
Tahun 2017 Tentang Pedoman Mengadili Perkara Perempuan Berhadapan
Dengan Hukum ada pada putusan yang telah ditetapkan oleh para penegak
keadilan.
2. Perbandingan Implementasi Peraturan Mahkamah Agung Nomor 3 Tahun
2017 Tentang Pedoman Mengadili Perkara Perempuan Berhadapan Dengan
Hukum pada perkara perceraian di Pengadilan Agama dan Pengadilan
Negeri Kota Madiun memiliki kesamaan pada pelayanan publik yaitu
ketersediaan pos bantuan hukum, PTSP, dan fasilitas yang dimiliki.
Kesamaan pada proses persidangan, dalam pemeriksaan pada Pasal 4,5, dan
7. Dalam pasal 6 mengadili dan dalam pasal 8 memberitahu hak yang
dimiliki oleh perempuan. Kesamaan dalam mengizinkan pendampingan pada
proses persidangan dan sama belum pernah melakukan sidang secara audio
visual. Namun perbedaan ada pada proses persidangan dalam mengadili
163
perkara perceraian.. Dimana dalam proses pemeriksaan perkara pengadilan
agama dipengaruhi oleh doktrin keagamaan dalam mengadili sehingga
berperngaruh pada pemutusan perkara. Sehingga teori Hukum Islam
menjelaskan bahwa tujuan Hukum Islam adalah kemaslahatan umat,
dikaitkan dengan pembentukan putusan hakim yang mempertimbangkan
antara keadilan, kemanfaatan dan kepastian hukum dan ditambah dengan
kemaslahatan bagi para pihak dan umat. Sedangkan di Pengadilan Negeri
hakim memutuskan murni dengan aturan-aturan yang digunakan di
Indonesia. Perbedaan Implementasi Peraturan Mahkamah Agung Nomor 3
Tahun 2017 Tentang Pedoman Mengadili Perkara Perempuan Berhadapan
Dengan Hukum pada perkara perceraian di Pengadilan Agama dan
Pengadilan Negeri Kota Madiun adalah terletak pada putusan yang
dikeluarkan. Pengadilan Agama dan Pegadilan Negeri Kota Madiun sama-
sama telah mengimplementasikan Implementasi Peraturan Mahkamah
Agung Nomor 3 Tahun 2017 Tentang Pedoman Mengadili Perkara
Perempuan Berhadapan Dengan Hukum ini.
164
DAFTAR PUSTAKA
A. Buku
Ahmad, Kamil, & Fauzan M. Ke Arah Pembaruan Hukum Acara Perdata Dalam
SEMA Dan PERMA. Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2008.
Al-Faifi, Sulaiman. Ringkasan Fiqih Sunah. Depok: Senja Media Utama, 2017.
Ali, Zainudin. Hukum Perkawinan Islam di Indonesia. Jakarta: Kencana, 2006.
Alimuddin. Penyelesaian Kasus KDRT di Pengadilan Agama. Bandung: Mandar
Maju, 2014.
Aripin, Jaenal. Peradilan Agama dalam Bingkai Reformasi Hukum di Indonesia.
Jakarta: Kencana, 2008.
Ashshofa, Burhan. Metode Penelitian Hukum. Jakarta: PT. Rineka Cipta, 2004.
Assiddiqie, Jimly. Perihal Undang-Undang. Jakarta: Rajawali Pers, 2011.
Bugin, Burhan. Metodologi Penelitian Sosial: Format-Format Kuantitatif dan
Kualitatif. Surabaya: Airlangga Press, 2001.
Buku Laporan Pengadilan Agama Kota Madiun Tahun 2016-2019. Madiun:
2016.
Danardono, Donny. “Teori Hukum Feminis: Menolak Netralitas Hukum”, dalam
Sulistyowati Irianto (ed.), Perempuan dan Hukum: Menuju Hukum yang
Berperspektif Kesetaraan dan Keadilan. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2006.
Harahap, Yahya. Hukum Acara Perdata tentang Gugatan, Persidangan,
Penyitaan, Pembuktian dan Putusan Pengadilan, cet. Ke-9. Jakarta: Sinar Grafika,
2009.
Hasan, Iqbal. “Pokok-pokok Materi Metodologi Penelitian dan Aplikasinya”,
Jakarta: Ghalia Indonesia, 2002.
165
Luhulima, Achie Sudiarti. “Hak Perempuan dalam Konstitusi Indonesia”, dalam
Moleong, Lexy J. “Metode Penelitian Kualitatif Edisi Revisi”. Bandung: PT. Remaja
Rosdakarya, 2013.
Muchtar, Kamal. Asas-asas Hukum Islam tentang Perkawinan. Jakarta: Bulan
Bintang, 1974. Cet. 1.
Poerwanti, Endang. Dimensi-Dimensi Riset Ilmiah. Malang: UMM Press, 1998.
Prastowo, Andi. Metode Penelitian Kualitatif Dalam Prespektif Rancangan
Penelitian. Yogyakarta: Ar-Ruzz Media, 2011.
Rahman, Abdur. Inilah Syariat Islam Terjemahan Buku The Islamic Law,
diterjemahkan oleh Usman Efendi dan Abdul Khalid, Lembaga Bahasa Universitas
Ibn Khaldun Bogor, Jilid 1. Jakarta: Pustaka Panjimas, 1990.
Rofiq, Ahmad. Hukum Perdata Islam di Indonesia. Jakarta: Raja Grafindo
Persada, 2003. Cet. 1.
Santoso, Agus. Hukum, Moral Keadilan: Sebuah Kajian Filsafat Hukum.
Jakarta: Prenada Media Group, 2014.
Subekti, dan R. Tjitrosoedibio. Kamus Hukum, cet Ke-4. Jakarta: Pradnya
Paramita, 1979.
Sulistyowati Irianto (ed.), Perempuan dan Hukum: Menuju Hukum yang
Berperspektif Kesetaraan dan Keadilan, Edisi Pertama. Jakarta: Yayasan Obor
Indonesia, 2006.
Sunarto. Peran Aktif Hakim dalam Perkara Perdata. Jakarta: Kencana, 2014.
Sunggono, Bambang. Metodologi Penelitian Hukum. Jakarta: Raja Grafindo
Persada, 2003.
Syaifuddin, Amir. Hukum Perkawinan Islam di Indonesia. Jakarta: Kencana,
2014.
Waluyo, Bambang. Penelitian Hukum Dalam Praktek. Jakarta: Sinar Grafika,
2002.
WJS., Poerwadarminta. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai
Pustaka, 2003.
166
B. Undang-Undang
Buku II, Pedoman Pelaksanakan Tugas dan Administrasi Peradilan Agama,
edisi revisi 2010,(Mahkamah Agung RI: Jakarta, 2010).
HIR Pasal163.
Kompilasi Hukum Islam Pasal 117
Kompilasi Hukum Islam Pasal 119
Kompilasi Hukum Islam Pasal 149.
Kompilasi Hukum Islam, (Bandung : Citra Umbaran, 2007).
KUHPerdata Buku I Bagian 3 Perceraian Perkawinan Pasal 217
KUHPerdata Pasal 1792.
Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2014 tentang pedoman pemberian
layanan hukum bagi masyarakat tidak mampu di Pengadilan.
Peraturan Mahkamah Agung Nomor 3 Tahun 2017 Bab I Ketentuan Umum.
Peraturan Mahkamah Agunug Nomor 3 Tahun 2017
Peraturan Menteri Agama Nomor 19 Tahun 2018 tentang Pencatatan Perkawinan
Bab 1 Ketentuan Umum.
Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 97 Tahun 2014 Tentang
Penyelenggaraan Pelayanan Terpadu Satu diakses pada tanggal 22 Desember 2019.
Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 97 Tahun 2014 Tentang
Penyelenggaraan Pelayanan Terpadu Satu diakses pada tanggal 22 Desember 2019.
Pokja Perempuan dan Anak Mahkamah Agung Republik Indonesiadan MaPPI
FHUI, Pedoman Mengadili Perkara Perempuan Berhadapan Dengan Hukum,
(Jakarta: AIPJ, 2018).
167
Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 3 Tahun 2018.
Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 Pasal 41.
Undang-undang Nomor 25 Tahun 2009.
Undang-Undang Nomor 4 tahun 2004 tentang kekuasaan Kehakiman.
Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974
Undang-undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan
Undang-undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan
Agama Bab I Ketentuan Umum
Undang-Undang RI No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan Kompilasi
Hukum Islam, (Bandung: Citra Umbara, 2014).
C. Kitab
Hadits Mu’inul Hukkam
Khalil Ahmad Al-Sahar, Badzlu Al- Majhud f Khalli Abi Dawud, Jilid 7, (Beirut:
Dâr Al-Kutub, t.th).
Sayyid Sabiq Kitab Fiqhu as Sunnah, Juz II, halaman 249.
D. Wawancara
Alfian Yusuf, Wawancara. (Madiun, 10 Januari 2020)
Ambo Dalle, Wawancara. (Madiun, 20 Januari 2020)
Khusnul Salim, Wawancara. (Madiun, 29 Januari 2020)
Murdian Eka Wati, Wawancara. (Madiun, 24 Januari 2020)
Ni Kadek Kusuma Wardani, Wawancara. (Madiun, 24 Januari 2020)
168
Rishandayono Sukarno, Wawancara. (Madiun, 29 Januari 2020)
Syarifah Isnaeni, Wawancara. (Madiun, 06 Desember 2019)
E. Website
https://jdih.mahkamahagung.go.id/index.php?option=com_content&view=article
&id=139:penerapan-asas-fiksi-hukum-dalam-perma&catid=9:kegiatan&Itemid=24,
diakses 23 desember 2019.
https://kbbi.kata.web.id/?s=implementasi
https://kbbi.kata.web.id/perbandingan/
https://www.hukumonline.com/klinik/detail/ulasan/lt59789def9467e/cara-
mengajukan-bantuan-hukum-ke-pos-bantuan-hukum-posbakum-di-pengadilan/
diakses tanggal 22 Desember 2019.
https://www.hukumonline.com/klinik/detail/ulasan/lt59789def9467e/cara-
mengajukan-bantuan-hukum-ke-pos-bantuan-hukum-posbakum-di-pengadilan/
diakses tanggal 22 Desember 2019.
MaPPfhui, “cerita perubahan perma no 3 tahun 2017 terobosan hukum bagi
perempuan dalam sistem peradilan” http://mappifhui.org/2018/07/24/cerita-
perubahan-perma-no-3-tahun-2017- terobosan-hukum-bagi-perempuan-dalam-sistem-
peradilan/, diakses pada 23 Desember 2019.
Pengadilan Agama Kota Madiun, www.pa-kotamadiun.go.id diakses tanggal 23
November 2019.
Pengadilan Negeri Kota Madiun https://www.pn-madiun.go.id diakses pada
tanggal 22 Desember 2019.
F. Skripsi dan Jurnal
Ilmiyah, Nurul. “Perlindungan Hukum Terhadap Perempuan Berhadapan
Dengan Hukum Sebelum Dan Sesudah Lahirnya Peraturan Mahkamah Agung Nomor
3 Tahun 2017 Tentang Pedoman Mengadili Perkara Perempuan Berhadapan
Dengan Hukum”. Sumatera Utara: Jurnal Universitas Muhammadiyah Sumatera
Utara, 2019.
169
Makiyah, Siti Ainun. “Pandangan Hakim Pengadilan Agama Sidoarjo Terhadap
Penerapan Perma No. 3 Tahun 2017 Dalam Perkara Permohonan Izin Poligami”.
Skripsi Sarjana. Malang: UIN Maulana Malik Ibrahim Malang, 2019.
Mursidah, Silmi. “Anasilis Maslahah Terhadap Perma No. 3 Tahun 2017
Tentang Pedoman Mengadili Perkara Perempuan Berhadapan Dengan Hukum”.
Skripsi Sarjana. Surabaya: UIN Sunan Ampel Surabaya, 2018.
Sa’adah, Wazirotus. “Implementasi Asas Kesetaraan Gender Pada Pasal 2
Perma No. 3 Tahun 2017 Tentang Pedoman Mengadili Perkara Perempuan
Berhadapan dengan Hukum Terhadap Perceraian”. Skripsi Sarjana. Surabaya: UIN
Sunan Ampel Surabaya, 2018.
170
LAMPIRAN
Gambar 1.1 Wawancara Hakim Pengadilan Agama Kota Madiun:
Pak Alfiyan Yusuf S.HI
Gambar 1.2 Wawancara Hakim Senior Pengadilan Agama Kota Madiun:
Bu Syarifah Isnaeni S.H., M.H.
Gambar 1.3 Wawancara Ketua Panitera Pengadilan Agama Kota Madiun:
Pak Drs. Khusnul Salim
171
Gambar 1.4 Wawancara Posbakum: Rishandayono Sukarno S.H.
Gambar 1.5 Wawancara Hakim Senior Pengadilan Negeri Kota Madiun:
Ibu Ni Kadek Kusuma Wardani S.H.
Gambar 1.6 Wawancara Hakim Pengadilan Negeri Kota Madiun:
Ibu Murdian Eka Wati S.H., M.H
Gambar 1.7 Wawancara Panitra Perdata Pengadilan Negeri Kota Madiun:
Bapak Ambo Delle S.H.
172
Gambar 1.8 Data Perkara Diputus Tahun 2017.
173
Gambar 1.9 Data Perkara Diputus Tahun 2018.
174
Gambar 1.10 Data Perkara Diputus Tahun 2019.
Gambar 1.11 Struktur Organisasi Pengadilan Agama Kota Madiun.
Gambar 1.12 Struktur Organisasi Pengadilan Negeri Kota Madiun.
175
PUTUSAN
Nomor 0241/Pdt.G/2019/PA.Mn
DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA
Pengadilan Agama Kota Madiun yang memeriksa dan mengadili perkara
Cerai Talak pada tingkat pertama dalam sidang majelis telah menjatuhkan putusan
sebagai berikut, antara pihak-pihak :
NAMA PEMOHON, umur 31 tahun (Madiun, 14 Desember 1987), agama Islam,
pekerjaan Guru TK Swasta, Pendidikan S1, tempat kediaman
(ALAMAT PEMOHON), Kota Madiun, sekarang bertempat
tinggal di Desa Ngadirejo RT.017 RW.008, Kecamatan
Wonoasri, Kabupaten Madiun, dalam hal ini dikuasakan
kepada Rishandoyo Sukarno, S.H. dan Novita Mustika Dewi,
S.H., Advokat, yang beralamat di Perum Panorama Willis II,
Blok A Nomor 2-3, Kelurahan Pandean Kecamatan Taman
Kota Madiun, berdasarkan surat kuasa khusus tanggal 28
Agustus 2019 yang telah didaftarkan di Kepaniteraan
Pengadilan Agama Kota Madiun Nomor
115/Kuasa/VIII/2019/PA.Mn. tanggal 30 Agustus 2019,
selanjutnya disebut sebagai Pemohon/Tergugat Rekonvensi;
Melawan
NAMA TERMOHON, umur 29 tahun (Madiun, 31 Maret 1990), agama Islam,
pekerjaan swasta, pendidikan SLTA, bertempat tinggal di
(ALAMAT TERMOHON), Kota Madiun, dalam hal ini
dikuasakan kepada Mas Sri Mulyono, S.H., M.H., Advokat,
yang beralamat di Jalan Jatijajar Nomor 30 Taman Kota
176
Madiun, berdasarkan surat kuasa khusus tanggal 06 Agustus
2019 yang telah didaftarkan di Kepaniteraan Pengadilan
Agama Kota Madiun Nomor 93/Kuasa/VIII/2019/PA.Mn.
tanggal 06 Agustus 2019, selanjutnya disebut sebagai
Termohon/Penggugat Rekonvensi;
Pengadilan Agama tersebut;
Telah membaca dan mempelajari berkas perkara yang bersangkutan;
Telah mendengar keterangan para pihak serta para saksi di persidangan;
TENTANG DUDUK PERKARA
Menimbang, bahwa Pemohon dengan surat permohonannya tertanggal 16 Juli
2019 yang telah terdaftar di Kepaniteraan Pengadilan Agama Kota Madiun Nomor
0241/Pdt.G/2019/PA.Mn mengemukakan hal-hal sebagai berikut :
1. Bahwa Pemohon dan Termohon telah melangsungkan pernikahan pada tanggal 17
Oktober 2014 yang dicatat oleh Pegawai Pencatat Nikah Kantor Urusan Agama
Kecamatan Taman, Kota Madiun, sebagaimana Kutipan Akta Nikah Nomor :
tanggal 17 Oktober 2014;
2. Bahwa setelah menikah Pemohon dan Termohon tinggal bersama di rumah orang
tua Termohon selama kurang lebih 2 tahun dan setelah itu pindah ke rumah orang
tua Pemohon selama kurang lebih 1 tahun;
3. Bahwa selama menikah Pemohon dan Termohon telah melakukan hubungan
suami istri (ba'da dukhul) dan sudah dikarunia seorang anak Laki-laki yang
bernama : (NAMA ANAK) (sekarang ikut dengan Pemohon);
4. Bahwa pada awalnya rumah tangga Pemohon dan Termohon berjalan harmonis,
namun sejak bulan Mei tahun 2016, rumah tangga Pemohon dan Termohon mulai
tidak harmonis, sering terjadi perselisihan dan pertengkaran yang disebabkan :
a. Bahwa Termohon terlalu berani terhadap Pemohon;
b. Bahwa Termohon terlalu sibuk sehingga melalaikan kewajiban seorang istri
untuk merawat anak;
177
c. Bahwa Termohon diketahui mempunyai hutang kepada rentenir tanpa
sepengetahuan Pemohon dan pada akhirnya Pemohon yang menyicil hutang
Termohon;
d. Bahwa Termohon diketahui mempunyai hubungan dengan Pria Idaman Lain
(PIL) yang bernama Noel;
5. Bahwa puncak perselisihan dan pertengkaran tersebut terjadi pada bulan Januari
tahun 2019, yang berakibat Termohon meninggalkan Pemohon sehingga terjadi
perpisahan antara Pemohon dan Termohon selama kurang lebih 6 bulan sampai
dengan sekarang;
6. Bahwa selama hidup berpisah antara Pemohon dan Termohon tidak ada hubungan
komunikasi;
7. Bahwa atas kejadian-kejadian tersebut di atas, Pemohon merasa keadaan rumah
tangga Pemohon dan Termohon sudah tidak sesuai dengan tujuan perkawinan
yaitu sakinah mawaddah wa rahmah, sehingga perceraian adalah jalan satu-
satunya untuk mengakhiri perkawinan Pemohon dan Termohon;
8. Bahwa Pemohon mampu membayar seluruh biaya yang timbul dalam perkara ini;
Berdasarkan hal-hal tersebut di atas, Pemohon mohon kepada Ketua
Pengadilan Agama Kota Madiun Cq. Majelis Hakim untuk berkenan menerima,
memeriksa dan memutuskan perkara ini dengan amar sebagai berikut :
PRIMAIR :
1. Mengabulkan permohonan Pemohon ;
2. Menetapkan, memberi ijin kepada Pemohon untuk mengucapkan ikrar talak
terhadap Termohon di hadapan sidang Pengadilan Agama Kota Madiun;
3. Membebankan biaya perkara kepada Pemohon sesuai dengan hukum yang
berlaku;
SUBSIDAIR :
Apabila Majelis Hakim berpendapat lain, mohon putusan yang seadil-adilnya ;
178
Bahwa pada hari persidangan yang telah ditetapkan, Pemohon didampingi
kuasanya dan Termohon didampingi kuasanya hadir di persidangan. Dan Majelis
Hakim pada setiap persidangan telah berusaha mendamaikan dengan cara menasehati
Pemohon dan Termohon agar rukun lagi dalam rumah tangga yang baik, tetapi tidak
berhasil;
Bahwa upaya merukunkan Pemohon dan Termohon juga ditempuh melalui
mediasi oleh mediator yang terdafatar di Pengadilan Agama Kota Madiun Syarifah
Isnaeni, S.Ag. (Mediator Hakim Pengadilan Agama Kota Madiun), akan tetapi tetap
tidak berhasil;
Bahwa kemudian dibacakan permohonan Pemohon dalam sidang tertutup
untuk umum, yang maksud dan isinya tetap dipertahankan oleh Pemohon;
Bahwa atas permohonan Pemohon tersebut, Termohon memberikan jawaban
secara tertulis pada sidang tanggal 26 Agusus 2019 yang pada pokoknya adalah :
DALAM KONVENSI:
1. Bahwa dalam Jawaban ini Termohon, menyangkal dalil – dalil Gugatan Cerai
yang telah diajukan oleh Pemohon, kecuali yang telah nyata – nyata diakui
secara tegas oleh Termohon;
2. Bahwa pada poin 1 (satu ) benar Termohon telah menikah dengan Pemohon;
3. Bahwa pada poin 2 ( dua ) dalil Permohonan Pemohon benar adanya;
4. Bahwa pada point 3 ( tiga ) dalil Permohonan Pemohon yang telah
mempunyai anak laki-laki bernama NAMA ANAK adalah benar adanya, akan
tetapi keberadaanya sama-sama mengasuhnya terkadang anak juga ikut
Termohon;
5. Bahwa pada Point 4 ( empat ) dalil dari Permohonan Pemohon pada huruf a,
b, c dan d adalah tidak benar adanya ;
Adapun yang benar :
a. Bahwa Termohon tidak berani akan tetapi menuntut nafkah kepada
Pemohon sebab selama nikah Pemohon tidak memberikan nafkah;
179
b. Bahwa Termohon tidak menyibukkan diri sebab Termohon bekerja
mencari nafkah untuk memenuhi kebutuhan hidup, sebab Pemohon juga
tidak memberikan nafkah untuk kebutuhan hidup;
c. Bahwa Termohon mempunyai hutang sebab untuk kebutuhan hidup dan
makan, karena Pemohon selama menikah juga tidak memberi nafkah, dan
sebalilknya apabila Pemohon memberi nafkah maka Termohon juga tidak
mempunyai hutang ;
d. Bahwa Termohon tidak mempunyai hubungan denga Pria lain akan tetapi
pria lain hanya sebatas teman ;
6. Bahwa pada Point 5 (lima) dalil Permohonan Pemohon terkait perselisihan
pada bulan Januari 2019 dan meninggalkan selama 6 bulan adalah tidak benar
:
Adapun yang benar :
Bahwa perselisihan tersebut bukan merupakan puncak perselisihan akan tetapi
baru berselisih paham terkait hutang Termohon, sedangkan Termohon tidak
meninggalkan Pemohon akan tetapi Termohon hanya bekerja di surabaya
sedangkan pada hari sabtu dan minggu juga pulang ke madiun, adapun
kepergian Termohon bekerja ke Surabaya Pemohon juga memberi ijin kepada
Termohon untuk bekerja di Surabaya, mengingat Pemohon juga tidak
memberi nafkah kepada Termohon untuk kebutuhan hidup ;
Sedangkan untuk aturan salah satu pihak meninggalkan selama 2 tahun
berturut – turut tanpa ijin sesuai dengan dengan Kompilasi hukum Islam Pasal
116 huruf b Jonto Pasal 19 huruf b Peraturan Pemerintah Republik Indonesia
Nomor 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 1 Tahun
1974;
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974, sehingga pernyataan Pemohon adalah
tidak benar sama sekali dan terlalu prematur ;
180
7. Bahwa pada Point 6 (enam) dalil Permohonan Pemohon yang tidak ada
hubungan komunikasi adalah tidak benar :
Adapun yang benar :
Bahwa Pemohon yang menutup akses komunikasi, sedangkan Termohon
bekerja untuk mencukupi kebutuhan hidup, selanjutnya baru Pemohon
mengajukan Permohonan cerai baru di buka akses telpon Hand phon dan
Whatsapp yang telah di blokir oleh Pemohon ;
8. Bahwa pada Point 7 (tujuh) dalil Permohonan Pemohon tidak sesuainya
maksud dan tujuan perkawinan, dan perceraian jalan satu-satunya adalah tidak
benar :
Adalah yang benar :
Perselisihan dan pertengkaran tersebut terlalu prematur selanjutnya apabila
Pemohon merasa sebagai seorang suami yang baik maka akan bisa
memberikan nafkah, dan kehidupan bagi Istrinya untuk keperluan hidup,
bukannya Termohon sebagai istri untuk mencari nafkah guna mencukupi
kebutuhan hidup, seharusnya semua sandang, pangan dan papan merupakan
tanggung jawab Pemohon sebagai seorang suami yang bertanggung jawab
akan keadaan Termohon (istrinya), sedangkan selama ini untuk kehidupannya
juga masih numpang kepada orang tua ;
9. Bahwa pada point 8 (delapan) dari dalil Pemohon dalam Permohonanya
merupakan pembuktikan pengakukan yang akurat dan pernyataannya dengan
kesombongannya kalau Pemohon mampu membayar seluruh biaya yang
timbul dalam perkara ini, maka pernyataan ini oleh Termohon menjadi
Pegangan dan majelis hakim bisa mengabulkan permohonan tersebut ;
PRIMAIR : Mengabulkan permohonan Pemohon ;
SUBSIDAIR : Mohon Putusan yang seadail-adilnya;
DALAM REKONVENSI
181
Bahwa dalam Rekonvensi ini Termohon Konvensi disebut sebagai Penggugat
Rekonvensi sedangkan Pemohon Konvensi disebut sebagai Tergugat Rekonvensi
dengan demikian Penggugat Rekonvensi akan menyampaikan Gugatan Rekonvensi
sebagai berikut :
1. Bahwa dalil – dalil yang telah dikemukakan oleh Penggugat Rekonvensi /
Termohon Konvensi dalam Jawaban Konvensi mohon dianggap dikemukaan
secara Mutatis mutandis dalam dalil Gugatan Rekonvensi;
2. Bahwa oleh karena dalam Permohonan Konvensi dari Pemohon Konvensi
(Tergugat Rekonvensi) pada Point 8 (delapan) dalil Permohonan Pemohon
Konvensi (Tergugat Rekonvesi), dengan kesombongannya yang merasa
mampu untuk memenuhi seluruh biaya yang timbul maka sudah sewajarnya
Penggugat Rekonvensi menuntut nafkah ;
3. Bahwa selama pernikahan Tergugat Rekonvensi tidak memberikan nafkah
kepada Penggugat Rekonvensi maka pada kesempatan ini Tergugat
Rekonvensi menuntut nafkah-nafkah yang harus di berikan oleh Tergugat
Rekonvensi kepada Penggugat Rekonvensi ;
4. Bahwa oleh kerena semua Permohonan cerai merupakan keinginan dari
Tergugat Rekonvensi bukan merupakan keinginan dari Penggugat Rekonvensi
maka Penggugat Rekonvensi menuntut berupa :
Nafkah Madhiyah ( lampau ) : selama 48 bulan semenjak bulan Oktober tahun
2014 sampai dengan bulan september tahun 2019, Penggugat Rekonvensi
untuk per bulan menuntut sebesar Rp. 10.000.000 (sepuluh juta rupiah)
sehingga 48 bulan X Rp. 10.000.000 (sepuluh juta rupiah ) total Rp.
480.000.000 (empat ratus delapan puluh juta rupiah);
Nafkah Iddah: selama tiga bulan per bulan menuntut sebesar Rp. 10.000.000
(sepuluh juta rupiah ), 3 bulan X Rp. 10.000.000 (sepuluh Juta Rupiah) total
Rp. 30.000.000 (tiga puluh juta rupiah ) ;
Nafkah Mut’ah : sebesar Rp. 100.000.000 ( seratus juta rupiah ) ;
182
Nafkah Hadlonah (nafkah anak ) sebesar Rp. 5.000.000 (lima juta rupaiah )
per bulan
5. Bahwa yang ingin menghancurka keutuhan keluarga yang harmonis adalah
juga Tergugat Rekonvensi sendiri ;
Berdasarkan dalil-dalil tersebut diatas maka Penggugat Rekonvensi / Termohon
Konvensi memohon kepada Majelis Hakim Pemeriksa Perkara menjatuhkan putusan
sebagai berikut :
PRIMAIR :
1. Menerima dan Mengabulkan Gugatan Rekonvnsi dari Penggugat Rekonvensi
seluruhnya ;
2. Memutuskan Tergugat Rekonvensi memberikan berupa nafkah kepada
Penggugat Rekonvensi :
Nafkah Madhiyah ( lampau ) : selama 48 bulan semenjak bulan Oktober tahun
2014 sampai dengan bulan september tahun 2019, Penggugat Rekonvensi
untuk per bulan menuntut sebesar Rp.10.000.000 ( sepuluh juta rupiah )
sehingga 48 bulan X Rp. 10.000.000 (sepuluh juta rupiah ) total Rp.
480.000.000 (empat ratus delapan puluh juta rupiah) ;
Nafkah Idah : selama tiga bulan per bulan menuntut sebesar Rp. 10.000.000
(sepuluh juta rupiah ), 3 bulan X Rp. 10.000.000 (sepuluh Juta Rupiah) total
Rp. 30.000.000 (tiga puluh juta rupiah ) ;
Nafkah Mut’ah : sebesar Rp. 100.000.000 ( seratus juta rupiah ) ;
Nafkah Hadlonah (nafkah anak ) sebesar Rp. 5.000.000 (lima juta rupaiah )
per bulan
3. Membebankan biaya perkara sesuai dengan hukum yang berlaku kepada
Tergugat Rekonvensi ;
SUBSIDAIR : Apabila Majelis Hakim berpendapat lain mohon memutuskan yang
seadil-adilnya demi keadilan dan kebijaksanaan (ex aequo et bono);
183
Bahwa atas jawaban dan gugatan rekonvensi Termohon tersebut, Pemohon
memberikan replik secara tertulis pada persidangan tanggal 02 September 2019
Masehi sebagai berikut:
Dalam Konpensi:
1. Bahwa Pemohon menolak dengan tegas dalil-dalil Jawaban Termohon kecuali apa
yang diakui kebenarannya oleh Pemohon;
2. Bahwa pada point 4 yang mengatakan Termohon yang sama-sama mengasuh anak
dari Pemohon dan Termohon itu sangat mengada-ada dan tidak sesuai dengan
fakta yang sebenarnya, Termohon terlalu sibuk dan selalu menyibukkan diri
sehingga lalai dan acuh kepada anaknya sehingga melalaikan kewajibannya
sebagai sepatutnya seorang ibu kandung yang seharusnya memberikan perhatian
lebih kepada anaknya dan dalam hal ini Pemohon lah yang sering merawat
anaknya.
3. Bahwa pada point 5 dalil dari Jawaban Termohon pada huruf a, b, c, d adalah tidak
benar adanya, adapun yang benar:
a. Bahwa Pemohon sebagai seorang suami sangat bertanggung jawab kepada
Termohon terutama dalam perihal nafkah, bahkan apa yang Termohon minta di
luar kebutuhan rumah tangga sebisa mungkin Pemohon selalu menuruti
permintaan Termohon dan bahkan juga Pemohon pernahsesekali membantu
keluarga Termohon;
b. Bahwa Termohon berdalih tidak menyibukan diri dan bekerja untuk mencari
nafkah karena Pemohon tidak memberi nafkah untuk kebutuhan hidup, hal ini
sangat mengada-ada sekali, sesibuk-sibuk Termohon dalam bekerja tentu
harusnya tidak lalai dengan kewajibannya dalam mengasuh anak, tapi dalam hal
ini Termohon terlalu menyibukan diri sehingga lalai dalam mengasuh anak.
Dan perihal Pemohon tidak memberikan nafkah sehingga Termohon bekerja
juga sangat janggal, karena kebutuhan Termohon baik dalam kebutuhan rumah
tangga dan juga permintaan Termohon selalu dituruti Pemohon;
c. Bahwa Termohon berdalil jika Termohon mempunyai hutang sebab untuk
kebutuhan hidup dan Pemohon tidak menafkahi Termohon itu juga sangat
184
mengada-ada sekali dan tidak masuk diakal, bahwa sekali lagi Pemohon selalu
berusaha untuk menuruti permintaan dan kebutuhan Termohon baik kebutuhan
rumah tangga dan permintaan Termohon yang lainnya. Bahwa jikalau
Termohon berdalil mempunyai hutang untuk memenuhi kebutuhan hidupnya,
sudah tentu jumlah nominal hutangnya tidak akan banyak dan bahkan
jumlahnya pun sewajarnya sesuai kebutuhannya, tapi ini jumlah nominal
pinjamannya pun berkisar puluhan juta rupiah dan minjamnya pun ada yang
kepada pihak rentenir dimana pinjaman itu berbunga, dan ada juga kepada
tetangga Pemohon, untuk apa Termohon meminjam uang sebanyak itu jika
Termohon bekerja dan dalam pekerjaannya pun Termohon mendapatkan
penghasilan yang lumayan setiap bulannya dan juga Pemohon selalu berusaha
memenuhi kebutuhan Termohon, dan akhirnya ketika pinjaman itu tidak
kunjung dibayar atau dicicil pihak yang menghutangi Termohon selalu
mendatangi Pemohon untuk menagih hutang tersebut, Pemohon pun rasanya
seperti diteror karenanya sering ditagih oleh orang yang menghutangi
Termohon yang mempunyai hutang disana-sini, yang digunakan entah untuk
kebutuhan apa. Dan dari sebagian hutang tersebut ada yang diangsur dan ada
pula sebagian yang di lunasi Pemohon, hal ini sudah sangat menunjukan bahwa
Pemohon sudah memenuhi kewajibannya sebagai seorang suami untuk
memenuhi kebutuhan Termohon, mulai dari kebutuhan rumah tangga,
permintaan Termohon, bahkan sampai mengasur dan melunasi sebagian
hutang-hutang Termohon;
d. Bahwa Termohon memang benar mempunyai hubungan Terlarang dengan Pria
Idaman Lain yang bernama Noel. (Pemohon siap membuktikan perihal dalil ini)
4. Bahwa pada point 6 puncak perselisihan memang terjadi pada bulan 2019 dimana
terjadi perselisihan antara Pemohon dan Termohon perihal hutang Termohon dan
setelah Termohon pergi meninggalkan Pemohon untuk pergi bekerja di Surabaya;
Bahwa penjelasan Termohon mengenai pernyataan Pemohon prematur dengan
dalil salah satu pihak meninggalkan selama 2 tahun berturut-turut tanpa ijin sesuai
dengan Kompilasi Hukum Islam Pasal 116 Huruf b Jo Pasal 19 huruf b Peraturan
185
Pemerintah Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 itu sangat tidak sesuai dengan konteks
keseluruhan yang ada di dalam Permohonan Cerai Talak Pemohon dimana
perpisahan selama 6 bulan itu tidak serta merta seperti itu tapi terjadi karena ada
suatu rententan kejadian permasalahan rumah tangga antara Pemohon dan
Termohon seperti yang telah di dalilkan Pemohon;
5. Bahwa pada point 7 memang benar sudah tidak ada komunikasi lagi dengan
Termohon karena Pemohon sudah kecewa atas perbuatan Termohon seperti yang
sudah di dalil kan Pemohon, dan Pemohon juga terbuka kepada Termohon untuk
berkomunikasi asalkan Termohon datang secara baik-baik kepada Pemohon;
6. Bahwa dalam point 8 penjelasan Termohon yang mengatakan dalil Permohonan
Cerai Talak Pemohon prematur adalah sangat mengada-ada, bahwa dalil
Permohonan Cerai Talak Pemohon adalah benar adanya dan sesuai dengan fakta
yang sebenarnya, dan Pemohon siap untuk membuktikannya di persidangan ini.
7. Bahwa dalam point 9 dalil Termohon yang menyatakan “dengan kesombongannya
kalau Pemohon mampu membayar seluruh biaya yang timbul dalam perkara ini”
itu adalah suatu pernyataan yang melecehkan dari Termohon kepada suatu
Lembaga Peradilan. Karena perihal tentang biaya perkara itu sudah diatur dalam
Pasal 182 HIRdan Pasal 193 RBG jo Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor: 04
tahun 2008 tentang Pemungutan Biaya Perkara. Pemohon sebagai warga negara
Indonesia yang taat pada hukum sadar betul sebagai pihak yang berperkara dan
sebagai pihak yang mendaftarkan Permohonan Cerai Talak harus ada biaya panjar
yang harus di bayarkan dan Pemohon sanggup membayar biaya perkara tersebut
dan ini bukanlah suatu tindak kesombongan maupun bentuk kearoganan atau
gagah-gagahan ini semata-mata karena Pemohon sadar akan hukum.
Berdasarkan semua uraian diatas, Pemohon mohon kepada Ketua Pengadilan
Agama Kota Madiun Cq. Majelis Hakim pemeriksa perkara ini, menjatuhkan putusan
sebagai berikut :
Dalam Konpensi:
186
mengabulkan semua permohonan dari Pemohon;
Memberi ijin kepada Pemohon untuk mengucapkan Ikrar Talak terhadap
Termohon di hadapan persidangan Pengadilan Agama Kota Madiun;
Membebankanbiaya yang timbuldariperkarainikepada Pemohon;
Dan atau jika pengadilan berpendapat lain, mohon putusan seadil-adilnya (ex aequoet
bono).
Dalam Rekonpensi:
Dalam Gugatan Rekonpensi yang diajukan oleh Termohon/Penggugat Rekonpensi
maka dengan ini Pemohon/Tergugat Rekonpensi akan menyampaikan Tanggapan
dari dalil-dalil Penggugat Rekonpensi;
1. Bahwa dalam Point 2 kembali Penggugat Rekonpensi membuat pernyataan yang
melecehkan lembaga peradilan, dan perlu diketahui biaya perkara itu suatu hal
yang berbeda dengan nafkah-nafkah yang diajukan oleh Penggugat Rekonpensi.
2. Bahwa dalam point 3 tidak benar dalil Penggugat Rekonpensi yang menyatakan
bahwa selama pernikahan Tergugat Rekonpensi tidak memberikan nafkah kepada
Penggugat Rekonpensi, seperti yang sudah diuraikan sebelumnya dalam dalil
Replik Pemohon Konpensi/Tergugat Rekonpensi, dan Tergugat Rekonpensi akan
membuktikan hal ini di dalam Persidangan.
3. Bahwa pada point 4 dalil yang diajukan oleh Penggugat Rekonpensi berupa:
Nafkah Madhiyah (Lampau) yang diajukan Penggugat Rekonpensi kepada
Tergugat Rekonpensi selama 48 bulan dimana per bulannya Penggugat
Rekonpensi menuntut Rp.10.000.000,- (sepuluh juta rupiah) dengan total
sejumlah Rp. 480.000.000,- (empat ratus delapan puluh juta rupiah) itu
sangatlah tidak masuk akal selain jumlah nominalnya yang diluar kewajaran
(tidak masuk akal), hal ini juga sudah sepatutnya ditolak karena selama
pernikahan Tergugat Rekonpensi seperti yang diuraikan sebelumnya selalu
menafkahi dan berusaha memenuhi kebutuhan Penggugat Rekonpensi
(Tergugat Rekonpesi siap membuktikan dalil ini di persidangan);
187
Nafkah iddah yang diajukan Penggugat Rekonpensi: selama tiga bulan, per
bulannya Penggugat Rekonpensi menuntut 3 bulan x Rp. 10.000.000,- (sepuluh
juta rupiah) total Rp. 30.000.000,- (tiga puluh juta rupiah), sudah
seharusnyaditolak.Karena seperti yang di dalilkan Pemohon Konpensi/Tergugat
Rekonpensi bahwa Termohon Konpensi/Penggugat Rekonpensi merupakan
seorang istri yang Nusyuz, hal ini sesuai dengan Kompilasi Hukum Islam Pasal
152, adapun yang dimaksud Nusyuz menurut Mustafa Al-Khin dan Musthafa al-
Bugha dalam al-Fiqh al-Manhaji’ala Madzab al-Imam al-Syafi’i (Surabaya:
Al-Fitrah,2000) adalah Seorang perempuan ialah sikap durhaka yang
ditampakan di hadapan suami dengan jalan tidak melaksanakan apa yang
Allah wajibkan padanya, yakni taat kepada suami..
Dalam hal ini dimana Penggugat Rekonpensi telah durhaka terhadap suami
dengan membantah terang-terangan perintah Tergugat Rekonpensi yang
sebagai seorang suami, sering Tergugat Rekonpensi menasihati Penggugat
Rekonpensi seperti mengingatkan sholat lima waktu, mengingatkan untuk
mengurus anak, dan mengingatkan untuk tidak boros dan tidak menghutang
kepada rentenir akan tetapi hal ini selalu tidak diindahkan dan bahkan perintah
ini ditentang oleh Penggugat Rekonpensi, dan juga Penggugat Rekonpensi
melakukan perselingkuhan dengan Pria Idaman Lain (PIL) yang bernama Noel.
(Tergugat Rekonpensi akan membuktikan dalil ini di persidangan);
Penggugat Rekonpensi menuntut Nafkah Mut’ah sebesar Rp. 100.000.000,-
(seratus juta rupiah) hal ini juga sangat tidak masuk diakal jumlah nominalnya,
perlu diketahui Tergugat Rekonpensi pekerjaannya merupakan seorang guru
TK swasta di desa tempat ia tinggal dan juga pekerjaan itu tidak ada gaji,
kalaupun dapat tiap bulannya itu bukan berupa gaji, namun itu berupa uang
transport saja dengan nominal jumlah yang minim sekali, disamping itu
Tergugat rekonpensi bekerja serabutan sebagai MC (Master of Ceremony), dan
dengan pekerjaan ini juga tidak tentu dan tidak rutin setiap bulannya
mendapatkan pemasukan yang pasti. (Tergugat Rekonpensi akan membuktikan
dalil ini di persidangan) dan juga Tergugat Rekonpensi tabungannya sudah
188
habis dikarenakan digunakan untuk membayar sebagian hutang Penggugat
Rekonpensi bahkan tidak hanya tabungan saja, Tergugat Rekonpensi juga
sampai berhutang kepada pihak lain untuk menutupi sebagian hutang
Penggugat Rekonpensi;
Penggugat Rekonpensi menuntut Nafkah Hadlonah (nafkah anak) sebesar Rp.
5.000.000,- (lima juta rupiah) setiap bulannya. Hal ini juga tidak masuk diakal
dan sudah sepatutnya di tolak, perlu diketahui anak dari hasil pernikahan antara
Penggugat Rekonpensi dan Tergugat Rekonpensi sekarang dirawat dan di asuh
oleh Tergugat Rekonpensi, Penggugat Rekonpensi sebagai seorang ibu telah
lalai dalam kewajibannya untuk merawat anak tersebut bahkan acuh kepada
anaknya ketika masih tinggal bersama dengan Tergugat Rekonpensi. (Tergugat
Rekonpensi akan membuktikan dalil ini di persidangan);
4. Bahwa pada point 5 Penggugat Rekonpensi mendalilkan bahwa Tergugat
Rekonpensi lah yang menghancurkan keutuhan rumah tangga merupakan tuduhan
yang tidak berdasar, bahwa di dalam dalil-dalil Permohonan Cerai Talak Pemohon
Konpensi/Tergugat Rekonpensi sudah sangat jelas penyebabnya adalah Penggugat
Rekonpensi itu sendiri;
Berdasarkan semua uraian diatas, Pemohon Konpensi/Tergugat Rekonpensi
mohon kepada Ketua Pengadilan Agama Kota Madiun Cq. Majelis Hakim pemeriksa
perkara ini, menjatuhkan putusan sebagai berikut :
Dalam Rekonpensi:
Tidak Mengabulkan Gugatan dari Penggugat Rekonpensi untuk seluruhnya;
Dan/atau jika Majelis Hakim mangabulkan sebagiantuntutan Penggugat
Rekonpensi kepada Tergugat Rekonpensi untuk membayaruang nafkah yang
diajukanPenggugat Rekonpensi, mohon kepada majelis hakim untuk menentukan
nominal yang sewajarnya sesuai dengan kemampuan Tergugat Rekonpensi;
Dan atau jika pengadilan berpendapat lain, mohon putusan seadil-adilnya (ex aequo
et bono);
189
Bahwa atas Replik Pemohon tersebut, Termohon menyampaikan duplik
secara tertulis pada persidangan tanggal 04 September 2019 Masehi yang pada
pokoknya terkait konvensi dan rekonvensi tetap seperti jawaban Termohon;
Bahwa selanjutnya Pemohon dan Termohon masing-masing menyatakan
mencukupkan jawab menjawab sampai tahap replik dan duplik;
Bahwa untuk memperkuat dalil-dalil permohonannya, Pemohon telah
mengajukan alat bukti tertulis, berupa :
1. Fotokopi Kartu Tanda Penduduk atas nama Pemohon nomor:
3519151412870003 tanggal 18 April 2016 yang dikeluarkan oleh Dinas
Catatan Sipil Kota Madiun, bermaterai cukup dan bercap pos (zegelen) serta
cocok dengan aslinya, oleh Ketua Majelis diberi paraf, tanggal dan ditandai
dengan P.1;
2. Fotokopi Kutipan Akta Nikah Nomor , tanggal 17 Oktober 2014 yang
dikeluarkan dan ditandatangani oleh Pegawai Pencatat Nikah Kantor Urusan
Agama Kecamatan Taman, Kota Madiun, bermaterai cukup dan bercap pos
(zegelen) serta cocok dengan aslinya, oleh Ketua Majelis diberi paraf, tanggal
dan ditandai dengan P.2;
3. Asli bukti pelunasan dari Rentenir dan Tulisan Riska (Termohon) saat
mengaku mempunyai hitang diberbagai tempat. bermaterai cukup dan bercap
pos (zagelen) tanggal 26 Agustus 2019, oleh Ketua Majelis diberi paraf dan
ditandai dengan P.3;
4. Printout screenshoot chatting Termohon dengan mbak Fitri, tanggal 5
September 2019 dan tanggal 6 September 2019, telah dicocokkan dengan
catting asli di HP. Mbak Fitri dan sesuai, bermeterai cukup dan bercap Pos
(zagelen). Oleh Ketua Majelis diberi paraf dan ditandai dengan P.4;
5. CD Video bukti pengakuan Noel tentang hubungan dengan Arieska
(Termohon), bermaterai cukup dan bercap Pos (Zagelen) dan oleh Ketua
Majelis telah dicocokkan dengan vidio aslinya dan sesuai lalu diparaf dan
ditandai dengan P.5;
190
6. Asli surat Keterangan Kepala Desa (NOMOR SURAT) tanggal 15 Juli 2019,
bermaterai cukup dan bercap pos (zegelen), oleh Ketua Majelis diberi paraf,
tanggal dan ditandai dengan P.6;
7. Printout screenshoot percakapan WA antara Pemohon dan Termohon (Ibuk
Javas), bermaterai cukup dan bercap pos (zegelen) serta telah dicocokkan
dengan screenshoot yang terdapat di Geogle drive milik Pemohon tanggal 17
Juli 2019 dan sesuai, oleh Ketua Majelis diberi paraf, tanggal dan ditandai
dengan P.7;
8. Printout screenshoot percakapan WA antara Pemohon dan Termohon (Ibuk
Javas), bermaterai cukup dan bercap pos (zegelen) serta telah dicocokkan
dengan screenshoot yang terdapat di Geogle drive milik Pemohon tanggal 17
Juli 2019 dan sesuai, oleh Ketua Majelis diberi paraf, tanggal dan ditandai
dengan P.8;
9. Printout screenshoot percakapan WA antara Pemohon dengan seorang yang
bernama Putut Martabak, bermaterai cukup dan bercap pos (zegelen) serta
telah dicocokkan dengan screenshoot yang terdapat di Geogle drive milik
Pemohon tanggal 17 Juli 2019 dan sesuai, oleh Ketua Majelis diberi paraf,
tanggal dan ditandai dengan P.9;
10. Printout screenshoot percakapan WA antara Pemohon dengan Termohon,
bermaterai cukup dan bercap pos (zegelen) serta telah dicocokkan dengan
screenshoot yang terdapat di Geogle drive milik Pemohon tanggal 17 Juli
2019 dan sesuai, oleh Ketua Majelis diberi paraf, tanggal dan ditandai dengan
P.10;
11. Fotokopi Surat Keputusan Penyelenggara TK Mutiara Bunda II tentang
Perpanjangan kepala sekolah pada TK Mutiara Bunda II Kecamatan Wonoasri
Kabupaten Madiun, Nomor 141.005/SK.KS.TK. MB ii/i/2017 tanggal 4
Januari 2017, bermaterai cukup dan bercap pos (zegelen), oleh Ketua Majelis
telah dicocokkan dengan aslinya dan sesuai, selanjutnya diberi paraf, tanggal
dan ditandai dengan P.11;
191
12. Fotokopi daftar honor transport guru TK Mutiara Bunda II bulan Januari
2019, bermaterai cukup dan bercap pos (zegelen), oleh Ketua Majelis telah
dicocokkan dengan aslinya dan sesuai, selanjutnya diberi paraf, tanggal dan
ditandai dengan P.12;
Bahwa disamping alat bukti tertulis tersebut, Pemohon juga menghadirkan
empat orang saksi, masing-masing sebagai berikut :
Saksi I : NAMA SAKSI, umur 51 tahun, agama Islam, pekerjaan Mengurus rumah
tangga, bertempat tinggal di Jln. Sulawesi RT. 025 Desa Sangatta Utara
Kecamatan Sangatta Utara Kabupaten Kutai Timur, dibawah
sumpahnya di depan sidang memberikan keterangan pada pokoknya
sebagai berikut :
- Bahwa saksi tahu Pemohon dan Termohon adalah suami istri sah, menikah pada
tahun 2014;
- Bahwa saksi adalah ibu kandung Pemohon;
- Bahwa saksi tahu selama berumah tangga, Pemohon dan Termohon kadang tinggal
bersama di rumah saksi kadang tinggal di rumah orang tua Termohon;
- Bahwa selama pernikahan Pemohon dan Termohon dikaruniai 1 orang anak
bernama NAMA ANAK umur 3 tahun dan sekarang tinggal dengan Pemohon;
- Bahwa saksi tahu semula rumah tangga Pemohon dan Termohon rukun dan
harmonis, namun sejak 2016 sudah tidak harmonis lagi, karena sering terjadi
pertengkaran mulut yang disebabkan karena Termohon sering lalai dengan
tugasnya dalam mengurus rumah tangga seperti mencuci, memasak dan lain-lain
dan Termohon juga kurang perhatian terhadp anaknya, serta banyak hutang dan
informasi dari Pemohon Termohon selingkuh dengan laki-laki lain;
- Bahwa saksi melihat langsung video pengakuan laki-laki yang menjadi
selingkuhan Termohon;
- Bahwa saksi mengetahui akibat perselisihan dan pertengkaran tersebut, Pemohon
dan Termohon pisah tempat tinggal selama lebih 4 (empat) bulan. Selama pisah
Pemohon dan Termohon sudah tidak saling mengunjungi lagi;
192
- Bahwa sepengetahuan saksi selama ini Pemohon telah memberi nafkah kepada
Termohon;
- Bahwa saksi telah berusaha merukunkan Pemohon dengan Termohon akan tetapi
tidak berhasil;
- Bahwa saksi sudah tidak sanggup untuk merukunkan keduanya, karena Pemohon
sudah bersikukuh untuk bercerai;
- Bahwa anak hasil perkawinan Pemohon dan Termohon sekarang tinggal dengan
Pemohon dan keadaannya baik sehat jasmani dan rohainya;
Saksi II : NAMA SAKSI, umur 36 tahun, agama Islam, pekerjaan Mengurus rumah
tangga, bertempat tinggal di Dukuh Cambor RT. 017 RW. 008 Desa
Ngadirejo Kecamatan Wonoasri Kabupaten Madiun, dibawah sumpahnya
di depan sidang memberikan keterangan pada pokoknya sebagai berikut:
- Bahwa saksi kenal dengan Pemohon dan Termohon karena saksi adalah saudara kandung
Pemohon;
- Bahwa saksi tahu Pemohon dan Termohon adalah suami istri yang sah;
- Bahwa saksi tahu selama berumah tangga, Pemohon dan Termohon tinggal
bersama di rumah Pemohon;
- Bahwa Pemohon dan Termohon dan dikaruniai 1 orang anak yang bernama
NAMA ANAK, umur 3 tahun dan sekarang tinggal dengan Pemohon;
- Baha anak tersebut keadaannya sekarang sehat dan baik selama diasuh oleh
Pemohon;
- Bahwa selama ini Pemohon memberi nafkah kepada Termohon;
- Bahwa Keadaan rumahtangga Pemohon dan Termohon awalnya harmonis, namun
sejak lebaran tahun 2019 Pemohon dan Termohon mulai tidak rukun;
- Bahwa setahu saksi diantara penyebab pertengkaran yaitu Termohon punya hutang
tanpa sepengetahuan Pemohon kepada rentenir sejumlah Rp. 20.000.000,- (dua
puluh juta rupiah) dan punya hutang kepada penjual martabak (Mas Putut)
sejumlah Rp. 10.000.000,- (sepuluh juta rupiah) dan punya hutang di Koperasi
yang jumlahnya saya tidak tahu;
193
- Bahwa Pemohon yang membayar da melunasi hutang-hutang Termohon tersebut;
- Bahwa penyebab lain pertengkan adalah saksi pernah ditunjukkan video oleh
Pemohon yang isinya Termohon telah selingkuh degan laki-laki bernama Noel,
dan juga Termohon tidak bisa menjadi istri yang baik, karena semua pekerjaan
rumahtangga diserahkan kepada Pemohon;
- Bahwa saksi mengetahui akibat perselisihan dan pertengkaran tersebut, Pemohon
dan Termohon pisah tempat tinggal selama lebih 4 (empat) bulan. Selama pisah
Pemohon dan Termohon sudah tidak saling mengunjungi lagi;
- Bahwa saksi telah berusaha merukunkan Pemohon dengan Termohon akan tetapi
tidak berhasil;
Saksi III : NAMA SAKSI, umur 47 tahun, agama Islam, pekerjaan Guru TK,
bertempat tinggal di Dukuh Cambor RT. 018 RW. 008 Desa Ngadirojo
Kecamatan Wonosari Kabupaten Madiun, dibawah sumpahnya di depan
sidang memberikan keterangan pada pokoknya sebagai berikut:
- Bahwa saksi kenal dengan Pemohon dan Termohon karena saksi adalah rekan kerja Pemohon
dan juga sebagai bendahara dimana Pemohon mengajar di sekolah TK Mutiara
Bunda;
- Bahwa saksi tahu Pemohon dan Termohon adalah suami istri yang sah;
- Bahwa Pemohon bekerja sebagai kepala sekolah TK Mutiara Bunda;
- Bahwa awalnya gaji Pemohon Rp. 150.000,- per bulan sekarang gaji Pemohon Rp.
250.000,- per bulan;
- Bahwa ada tunjangan lain yaitu tunjangan dari Desa yang setiap 3 bulan cair
jumlahnya Rp. 750.000,- dan tunjangan dari Pemkab per bulannya Rp. 350.000,-
dan cairnya tidak per bulan tetapi 4 bulan baru cair/diterima Pemohon;
- Bahwa pekerjaan lain Pemohon adalah sebagai MC tapi saksi tidak tahu honornya;
- Bahwa Pemohon pada bulan Januari 2019 pernah hutang kepada saksi sebagai
bendahara sekolah sejumlah Rp. 15.000.000,- (lima belas juta rupiah) dan pada
saat itu menurut Pemohon uang tersebut untuk menutup hutang Termohon kepada
Rentenir;
194
- Bahwa Hutang tersebut belum dibayar Pemohon, perjanjiannya Pemohon akan
membayar jika sudah ada uang, akan tetapi sampai sekarang Pemohon belum
mencicil/belum membayar;
Saksi IV : NAMA SAKSI, umur 25 tahun, agama Islam, pekerjaan Karyawan PT
Surya Magistrado, bertempat tinggal di Jalan TRuno Lantaran No. 43
RT. 001 RW. 001 Desa Mojorejo Kecamatan Taman Kota Madiun,
dibawah sumpahnya di depan sidang memberikan keterangan pada
pokoknya sebagai berikut:
- Bahwa saksi kenal dengan Pemohon dan Termohon karena saksi adalah tetangga Pemohon;
- Bahwa saksi tahu Pemohon dan Termohon adalah suami istri yang sah;
- Bahwa saksi tahu selama berumah tangga, Pemohon dan Termohon tinggal
bersama di rumah Pemohon;
- Bahwa Pemohon dan Termohon dan dikaruniai 1 orang anak;
- Baha anak tersebut keadaannya sekarang seat dan baik selama diasuh oleh
Pemohon;
- Bahwa Keadaan rumahtangga Pemohon dan Termohon sejak awal kurang
harmonis karena yang mengerjakan tugas-tugas rumahtangga mereka adalah
Pemohon;
- Bahwa saksi pernah melihat di HP. Pacar saksi bahwa ada foto Termohon bersama
laki-laki lain dalam keadaan mesra tapi tetap memakai baju, Termohon bersama
laki-laki lain tersebut terlihat di kamar karena kelihatan kasurnya;
- Bahwa pacar saksi dengan Termohon hubungannya adalah teman Termohon;
- Bahwa Pemohon dan Termohon sekarng sudah pisah tempat tingggal tapi saksi
tidak tahu sudah berapa lama;
Bahwa Pemohon dan Termohon mencukupkan keterangan saksi-saksi
tersebut;
Bahwa dalam perkara ini, Termohon menyatakan tidak mengajukan bukti baik
tertulis maupun saksi baik terkait gugatan konvensi maupun rekonvensi, meskipun
majelis hakim telah memberi waktu yang cukup untuk itu;
195
Bahwa selanjutnya Pemohon menyampaikan kesimpulan secara tertulis yang
pada pokoknya dalam konvensi tetap pada permohonannya untuk menceraikan
Termohon dan dalam rekonvensi Pemohon/Tergugat rekonvensi menolak seluruh
gugatan rekonvensi, sedangkan Termohon menyampaikan kesimpulan secara tertulis
yang pada pokoknya dalam konvensi menyerahkan kepada majelis terkait perceraian
dan gugatan rekonvensinya mohon dikabulkan seluruhnya serta mohon putusan;
Bahwa untuk mempersingkat uraian putusan ini, maka ditunjuk segala hal
sebagaimana yang tercantum dalam berita acara persidangan yang merupakan bagian
yang tak terpisahkan dari putusan ini;
TENTANG PERTIMBANGAN HUKUM
Dalam Konvensi:
Menimbang bahwa maksud dan tujuan permohonan Pemohon pada
pokoknya adalah sebagaimana terurai di atas;
Menimbang, bahwa sebelum mempertimbangkan substansi pokok perkara,
terlebih dahulu Majelis Hakim memastikan perkara ini merupakan wewenang
Pengadilan Agama Kota Madiun;
Menimbang, bahwa dalil permohonan Pemohon menyatakan Pemohon dan
Termohon beragama Islam, oleh karena itu berdasarkan Pasal Pasal 63 Ayat (1) huruf
(a) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan jo. Pasal 49 Undang-
Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama sebagaimana diubah dengan
Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 dan terakhir dengan Undang-Undang Nomor
50 Tahun 2009 jo. Pasal 1 huruf (b) Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975
tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan,
karenanya perkara ini termasuk dalam kompetensi absolut Peradilan Agama, maka
Pengadilan Agama Kota Madiun berwenang secara Absolut untuk mengadili perkara
a quo;
196
Menimbang, bahwa karena Pemohon dan Termohon bertempat tinggal di
wilayah Kota Madiun, yang termasuk dalam wilayah yurisdiksi Pengadilan Agama
Kota Madiun, untuk itu berdasarkan Pasal 118 Ayat (1) HIR, Pengadilan Agama Kota
Madiun berwenang memeriksa dan mengadili perkara a quo;
Menimbang bahwa Pemohon dalam permohonannya mendalilkan Pemohon
telah melangsungkan perkawinan dan rumah tangga Pemohon dan Termohon sudah
tidak harmonis, oleh karena itu Pemohon memiliki legal standing untuk mengajukan
permohoan cerai sebagaimana diatur Pasal 49 Ayat (1) huruf (a) dan Pasal 66
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama yang diubah dengan
Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 dan Undang-Undang Nomor 50 Tahun 2009;
Menimbang, bahwa Majelis Hakim juga perlu mempertimbangkan terlebih
dahulu tentang keabsahan surat kuasa khusus yang diberikan oleh kedua belah pihak
berperkara dalam perkara ini dan tentang keabsahan Penerima Kuasa yang dalam
surat kuasa tersebut berprofesi sebagai Advokat, sebagaimana ketentuan pasal 123
HIR, Pasal 4 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat,
Surat Edaran Mahkamah Agung RI Nomor 2 Tahun 1959 dan Surat Edaran
Mahkamah Agung RI nomor 6 Tahun 1994 serta ketentuan Pasal 7 Ayat (5) dan Ayat
(9) Undang-undang Republik Indonesia Nomor 13 Tahun 1985 tentang Bea Meterai;
Menimbang, bahwa setelah Majelis Hakim memperhatikan dan mempelajari
surat kuasa khusus yang diberikan oleh Pemohon dan Termohon maka Majelis
Hakim berkesimpulan bahwa surat kuasa khusus baik dari Pemohon maupun
Termohon tersebut telah memenuhi persyaratan surat kuasa khusus serta kuasa
hukum Pemohon dan kuasa hukum Termohon telah memenuhi syarat untuk bertindak
sebagai Advokat, karenanya Kuasa Hukum Pemohon berhak mewakili Pemohon
untuk beracara di muka persidangan perkara ini dan Kuasa hukum Termohon berhak
mewakili Termohon untuk beracara di muka persidangan perkara ini;
Menimbang bahwa Majelis Hakim telah berusaha mendamaikan dengan cara
memberikan nasehat kepada Pemohon dan Termohon agar rukun kembali pada setiap
197
persidangan, namun tidak berhasil, karenanya ketentuan Pasal 130 HIR jo. Pasal
65 dan 82 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 telah terpenuhi dalam perkara ini;
Menimbang bahwa usaha mendamaikan Pemohon dan Termohon juga
ditempuh melalui mediasi oleh mediator Syarifah Isnaeni, S.Ag. (mediator hakim
Pengadilan Agama Kota Madiun), namun tidak berhasil, karenanya ketentuan dalam
Peraturan Mahkamah Agung RI. Nomor 1 Tahun 2016 telah terpenuhi dalam perkara
ini;
Menimbang bahwa dalil-dalil permohonan Pemohon merupakan rangkaian
dalil yang pada pokoknya bahwa rumah tangga Pemohon dan Termohon sudah tidak
harmonis karena sering berselisih dan bertengkar dan keduanya sudah pisah tempat
tinggal. Atas dasar itu, Pemohon mohon untuk diberi ijin menjatuhkan talak satu
terhadap Termohon;
Menimbang bahwa berdasarkan rangkaian dalil permohonan Pemohon
tersebut dan keterangan Pemohon di persidangan, Majelis Hakim berpendapat bahwa
permohonan Pemohon mengisyaratkan didasarkan pada ketentuan Pasal 19 huruf (f)
Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 jo. Pasal 116 huruf (f) Kompilasi Hukum
Islam, yaitu adanya perselisihan dan pertengkaran terus menerus antara suami istri
dan tidak ada harapan lagi untuk kembali rukun;
Menimbang, bahwa atas permohonan Pemohon tersebut, Termohon
mengajukan jawaban secara tertulis yang pada pokoknya dapat diklasifikasikan
sebagai berikut:
1. Bahwa pada pada pokoknya sebagian permohonan Pemohon dibenarkan tentang
adanya hubungan hukum perkawinan antara Pemohon dengan Termohon dan
tentang tempat tinggal selama berumah tangga, serta telah dikaruniai anak satu
orang bernama NAMA ANAK;
2. Bahwa pada pokoknya sebagian permohonan Pemohon dibantah dan tidak
dibenarkan tentang anak diasuh Pemohon, yang benar anak kadang diasuh
Pemohon kadang diasuh Termohon, Termohon juga membantah tentang semua
198
penyebab perselisihan dan pertengkaran yang diajukan oleh Pemohon, Termohon
tidak meninggalkan Pemohon tetapi hanya bekerja disurabaya;
3. Bahwa Termohon terkait permohonan perceraian meminta hakim untuk
mengabulkan permohonan Pemohon tersebut;
Menimbang, bahwa guna meneguhkan dalil-dalil permohonannya, Pemohon
telah mengajukan alat bukti tertulis dan alat bukti saksi yang penilaiannya sebagai
berikut;
Menimbang, bahwa alat bukti tertulis yang diajukan oleh Pemohon adalah
berupa beberapa lembar yang telah diberi tanda P.1 sampai dengan P.12;
Menimbang, bahwa alat bukti tertulis tersebut yang berupa fotokopi, printout
sreenchoot dan video dalam CD telah dicocokkan dan sesuai dengan aslinya dan
semua alat bukti tersebut telah diberi meterai secukupnya dan telah dinazegelen di
kantor pos, sehingga majelis hakim menilai alat bukti tertulis tersebut dinyatakan sah
sebagai alat bukti, hal ini sesuai dengan ketentuan pasal 1888 Kitab Undang-Undang
Hukum Perdata (KUHPer), pasal 5 ayat (1) Undang-Undang Nomor 11 tahun 2008
tentang informasi dan transaksi elektronik dan pasal 2 ayat (3) Undang-Undang
Nomor 13 tahun 1985 tentang Bea Meterai serta pasal 2 ayat (1) Peraturan
Pemerintah (PP) Nomor 24 Tahun 2000 tentang Perubahan Tarif Bea Meterai dan
Besarnya Batas Pengenaan Harga Nominal Yang Dikenakan Bea Meterai;
Menimbang, bahwa alat bukti P.1 dan P.6 yaitu fotokopi Kartu Tanda
Penduduk (KTP) atas nama Pemohon dan surat keterangan domisili memberi bukti
bahwa Pemohon beralamat di Jl. Trunolantaran No. 32, RT.001 RW.001, Kelurahan
Mojorejo, Kecamatan Taman, Kota Madiun, sekarang bertempat tinggal di Desa
Ngadirejo RT.017 RW.008, Kecamatan Wonoasri, Kabupaten Madiun;
Menimbang, bahwa alat bukti P.2 yaitu fotokopi Kutipan Akta Nikah, alat
bukti tersebut merupakan akta otentik yang berdaya bukti sempurna dan mengikat
yang memberi bukti bahwa Pemohon dan Termohon adalah suami istri yang sah;
199
Menimbang, bahwa alat bukti P.3 yaitu asli bukti pelunasan hutang Rentenir,
memberi bukti bahwa Pemohon telah bertanggungjawab untuk melunasi hutang
Termohon;
Menimbang, bahwa alat bukti P.4 yaitu Printout screenshoot chatting
Termohon dengan mbak Fitri (kakak Pemohon), memberi bukti bahwa Termohon
tidak dipersulit untuk mengetahui perkembangan anak;
Menimbang, bahwa alat bukti P.5, P.7, P.8, dan P.10 yaitu CD Video dan
sejumlah printout screenshoot chatting Pemohon dan Termohon, memberi bukti
bahwa Termohon telah berselingkuh dengan laki-laki bernama Noel;
Menimbang, bahwa alat bukti P.9 yaitu printout screenshoot percakapan WA
antara Pemohon dengan seorang yang bernama Putut Martabak, memberi bukti
bahwa Putut Martabak menagih hutang Termohon kepada Pemohon sebanyak
Rp.11.500.000,- (sebelas juta lima ratus ribu rupiah);
Menimbang, bahwa alat bukti P.11 yaitu Fotokopi Surat Keputusan
Penyelenggara TK Mutiara Bunda II tentang Perpanjangan kepala sekolah pada TK
Mutiara Bunda II Kecamatan Wonoasri Kabupaten Madiun, memberi bukti bahwa
pekerjaan Pemohon adalah kepala sekolah pada TK Mutiara Bunda II Kecamatan
Wonoasri Kabupaten Madiun;
Menimbang, bahwa alat bukti P.12 yaitu fotokopi gaji guru TK Mutiara
Bunda II bulan Januari 2019, memberi bukti bahwa gaji Pemohon sebesar Rp.
150.000,- (seratus lima puluh ribu rupiah);
Menimbang, bahwa selain alat bukti tulis, Pemohon juga mengajukan empat
orang saksi;
Menimbang, bahwa saksi-saksi Pemohon bukan orang yang dilarang untuk
menjadi saksi, memberi keterangan didepan sidang seorang demi seorang dengan
mengangkat sumpah, oleh karena itu memenuhi syarat formil saksi;
Menimbang, bahwa dari segi materi keterangan dan dihubungkan dengan dalil
permohonan, keterangan saksi berdasarkan alasan dan pengetahuan, relevan dengan
200
pokok perkara dan saling bersesuaian antara yang satu dengan yang lain, oleh karena
itu memenuhi syarat materiil saksi;
Menimbang, bahwa keterangan saksi-saksi Pemohon yang memenuhi syarat
materiil saksi tersebut dapat diklasifikasikan sebagai berikut:
Bahwa keterangan saksi membuktikan bahwa rumah tangga Pemohon dan
Termohon sudah tidak harmonis dan keduanya sering berselisih dan
bertengkar dan sudah pisah tempat tinggal;
Bahwa keterangan saksi membuktikan bahwa penyebab perselisihan dan
pertengkaran Pemohon dan Termohon diantaranya adalah karena masalah
hutang Termohon tanpa sepengetahuan Pemohon, Termohon tidak mau
melaksanakan tugas yang lazimnya dilaksanakan istri seperti mencuci dan
memasak, dan Termohon telah selingkuh dengan laki-laki lain;
Bahwa keterangan saksi membuktikan bahwa Pemohon dan Termohon sudah
pisah tempat tinggal selama lebih dari 4 bulan;
Bahwa keterangan saksi membuktikan bahwa Pemohon dan Termohon sudah
pernah dirukunkan akan tetapi tidak berhasil rukun dan saksi tidak sanggup
merukunkan lagi;
Menimbang, bahwa berdasarkan dalil Pemohon dan jawaban Termohon yang
dihubungkan dengan bukti-bukti Pemohon telah ditemukan sejumlah fakta hukum
sebagai berikut :
1. Bahwa Pemohon dan Termohon adalah suami istri sah dan telah dikaruniai 1
(satu) orang anak yang bernama NAMA ANAK, umur 3 tahun dan sekarang
tinggal dengan Pemohon;
2. Bahwa Pemohon dan Termohon sering terjadi perselisihan dan pertengkaran
secara terus menerus;
3. Bahwa penyebab perselisihan dan pertengkaran diantaranya adalah karena
masalah hutang Termohon tanpa sepengetahuan Pemohon, Termohon tidak mau
201
melaksanakan tugas yang lazimnya dilaksanakan istri seperti mencuci dan
memasak, dan Termohon telah selingkuh dengan laki-laki lain bernama Noel;
4. Bahwa Pemohon dan Termohon sudah pisah tempat tinggal selama lebih dari 4
bulan;
5. Bahwa rumah tangga Pemohon dan Termohon sudah sulit atau tidak bisa
dirukunkan lagi;
Menimbang bahwa fakta hukum yang telah dirumuskan di atas, perlu
dianalisis dan dipertimbangkan berdasarkan penalaran hukum dengan berpijak pada
argumentasi yuridis dalam rangkaian pertimbangan hukum berikut ini :
Menimbang bahwa fakta hukum pertama sampai ketiga Pemohon dan
Termohon adalah suami istri sah telah dikaruniai seorang anak, antara Pemohon dan
Termohon sudah sering berselisih dan bertengkar terus menerus karena masalah
ekonomi, menunjukkan bahwa rumah tangga Pemohon dan Termohon sudah tidak
harmonis;
Menimbang bahwa perselisihan dan pertengkaran yang terus menerus
merupakan gejala hilangnya rasa cinta dan kasih sayang diantara suami istri serta
pertanda kehidupan rumah tangga sudah hancur berantakan, sehingga dalam kondisi
yang demikian sudah berat bahkan sulit membangun rumah tangga ideal yang
diharapkan;
Menimbang bahwa hancur dan retaknya rumah tangga, merupakan gambaran
di dalamnya sudah tidak ditemukan lagi ketenangan, ketentraman dan kedamaian,
sehingga harapan untuk memegang teguh cita-cita dan tujuan perkawinan bagaikan
menggenggam bara api, sebagai suatu gambaran sungguh sulit dan berat untuk
dilakukan;
Menimbang bahwa fakta hukum keempat Pemohon dan Termohon sudah
pisah tempat tinggal yang sudah tidak terbangun komunikasi yang baik layaknya
suami istri, menunjukkan bahwa diantara Pemohon dan Termohon sudah tidak dapat
mewujudkan hak dan kewajiban masing-masing;
202
Menimbang bahwa berdasarkan ketentuan hukum perkawinan suami istri
diperintahkan agar hidup bersatu pada tempat kediaman bersama, dan tidak
dibenarkan untuk hidup berpisah tempat tinggal, agar bisa menjalankan tugas dan
kewajiban sebagai suami istri, kecuali ada alasan yang dapat dibenarkan oleh hukum;
Menimbang bahwa hidup bersama merupakan salah satu tolok ukur rumah
tangga bahagia harmonis sekaligus sebagai salah satu tanda keutuhan suami istri, oleh
karena itu fakta hukum adanya pisah tempat tinggal merupakan bentuk
penyimpangan dari konsep dasar dibangunnya lembaga perkawinan, agar suami istri
utuh kompak dalam segala aktivitas kehidupan rumah tangga bukan dengan pola
hidup berpisah;
Menimbang bahwa suami istri yang hidup berpisah dan satu sama lain saling
diam dan membisu menunjukkan komunikasi yang tidak harmonis, proses interaksi
yang kurang bersahabat dan pola hubungan yang kurang kondusif serta jauh dari
suasana utuh dalam kebahagiaan;
Menimbang bahwa fakta hukum kelima Pemohon dan Termohon sulit
dirukunkan, keduanya sudah sering dirukunkan akan tetapi tidak berhasil, hal ini
menunjukkah rumah tangga Pemohon dan Termohon telah pecah sedemikian rupa
dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga sebagaimana tujuan
adanya pernikahan;
Menimbang bahwa nilai asasi yang harus diemban oleh suami istri adalah
memikul kewajiban yang luhur untuk menegakkan rumah tangga yang sakinah,
mawaddah dan rahmah yang menjadi sendi dasar kehidupan berumah tangga dalam
susunan masyarakat, dan tujuan tersebut hanya bisa dicapai jika suami istri
menjalankan kehidupan berumah tangga dengan rukun, tenteram dan damai;
Menimbang bahwa berdasarkan fakta hukum dan analisis atas fakta hukum
diatas, maka petitum permohonan Pemohon nomor 1 dan 2 dapat dipertimbangkan
sebagai berikut :
203
Menimbang bahwa apabila dikaji secara mendalam tujuan syariah (maqasid
syariah), khususnya mengenai hukum munakahat, dapat disimpulkan bahwa pada
hakikatnya hukum asal (dasar) perceraian adalah dilarang dan dibenci, kecuali
berdasarkan alasan yang sangat darurat;
Menimbang bahwa mengenai formulasi rumusan alasan darurat sebagai
alasan perceraian, dalam syariat tidak ditentukan secara terinci dan limitatif, akan
tetapi dapat ditemukan melalui hasil ijtihad atau pemahaman fikih atau peraturan
perundang-undangan;
Menimbang bahwa berdasarkan ketentuan Pasal 39 Undang-Undang Nomor 1
Tahun 1974 tentang Perkawinan yaitu untuk melakukan suatu perceraian harus ada
cukup alasan dimana suami istri tidak akan dapat hidup rukun sebagai suami istri dan
pengadilan telah berusaha dan tidak berhasil mendamaikan kedua belah pihak.
Selanjutnya dalam Pasal 19 huruf (f) Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 jo.
Pasal 116 huruf (f) Kompilasi Hukum lslam menegaskan salah satu alasan perceraian
yaitu adanya perselisihan dan pertengkaran terus menerus antara suami istri dan tidak
ada harapan lagi untuk kembali rukun;
Menimbang bahwa dari ketentuan pasal-pasal tersebut terdapat beberapa
unsur yang harus dipenuhi terjadinya perceraian yaitu :
- Adanya alasan terjadinya perselisihan dan pertengkaran yang terus menerus;
- Perselisihan dan pertengkaran menyebabkan suami istri sudah tidak ada harapan
untuk kembali rukun;
- Pengadilan telah berupaya mendamaikan suami istri tapi tidak berhasil;
Menimbang bahwa unsur-unsur tersebut akan dipertimbangkan satu persatu
dengan mengaitkan fakta-fakta hukum yang terjadi dalam rumah tangga Pemohon
dengan Termohon sehingga dipandang telah memenuhi unsur-unsur terjadinya suatu
perceraian;
1. Adanya alasan terjadinya perselisihan dan pertengkaran yang terus menerus;
Menimbang bahwa berdasarkan fakta hukum tersebut di atas, telah terbukti
bahwa penyebab atau alasan terjadinya perselisihan dan pertengkaran secara terus
204
menerus antara Pemohon dengan Termohon adalah masalah ekonomi, karenanya
Majelis Hakim menilai terdapat disharmoni dalam rumah tangga Pemohon dan
Termohon;
Menimbang bahwa Majelis Hakim berpendapat disharmoni sebuah
perkawinan dalam hukum Islam disebut juga azzawwaj al-maksuroh atau dalam
hukum lainnya disebut broken marriage, yang dalam permasalahan keluarga
landasannya bukan semata-mata adanya pertengkaran fisik (phsysical cruelty), akan
tetapi termasuk juga kekejaman mental (mental cruelty) yang menyebabkan tidak
terpenuhinya hak dan kewajiban suami istri sehingga meskipun tidak terjadi
pertengkaran mulut atau kekerasan fisik maupun penganiayaan secara terus menerus,
akan tetapi telah secara nyata terjadi dan berlangsung kekejaman mental atau
penelantaran terhadap salah satu pihak, maka sudah dianggap terjadi broken
marriage;
Menimbang bahwa berdasarkan pertimbangan tersebut maka Majelis Hakim
berpendapat unsur pertama telah terpenuhi dalam perkara ini;
2. Perselisihan dan pertengkaran menyebabkan suami istri sudah tidak ada harapan
untuk kembali rukun;
Menimbang bahwa akibat dari perselisihan dan pertengkaran yang terjadi
antara Pemohon dengan Termohon adalah telah terjadi pisah tempat tinggal dan
selama pisah tersebut Termohon sudah tidak memperdulikan Pemohon;
Menimbang bahwa Majelis Hakim menilai tindakan Termohon yang sudah
tidak memperdulikan dan menghiraukan Pemohon dalam kurun waktu yang cukup
lama tersebut tanpa adanya komunikasi atau hubungan lahir dan batin tersebut adalah
sesuatu yang tidak wajar dalam sebuah keluarga yang rukun dan harmonis, karenanya
Majelis Hakim berpendapat rumah tangga keduanya sudah tidak ada harapan untuk
dirukunkan kembali;
Menimbang bahwa berdasarkan pertimbangan tersebut maka Majelis Hakim
berpendapat unsur kedua telah terpenuhi dalam perkara ini;
205
3. Pengadilan telah berupaya mendamaikan suami istri tapi tidak berhasil;
Menimbang bahwa Majelis Hakim telah berupaya untuk memberikan nasehat
kepada Pemohon agar rukun kembali dengan Termohon pada setiap persidangan
sesuai ketentuan Pasal 31 Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975, namun upaya
tersebut tidak berhasil, begitu pula upaya mediasi juga tidak dapat dilaksanakan
karena ketidakhadiran Termohon;
Menimbang bahwa berdasarkan pertimbangan tersebut maka Majelis Hakim
berpendapat unsur ketiga telah terpenuhi dalam perkara ini;
Menimbang bahwa berdasarkan fakta hukum dan analisis atas fakta hukum di
atas dapat diketahui bahwa rumah tangga Pemohon dan Termohon sudah hancur
berantakan, jika dipertahankan akan menimbulkan kesusahan dan kesengsaraan yang
terus menerus, hati Pemohon akan selalu diselimuti kesedihan, rumah bagaikan
penjara kehidupan yang tidak jelas batas akhirnya, tiada bertambahnya hari selain
bertambahnya kehancuran hati dan pahitnya penderitaan, dan kondisi kehidupan yang
demikian bisa menimbulkan mudharat lahir dan batin;
Menimbang bahwa menutup pintu yang menyebabkan kesengsaraan dan
penderitaan, merupakan alternatif pemecahan masalah guna menghilangkan
kemafsadatan;
Menimbang bahwa tujuan inti hukum Islam dapat dirumuskan dengan kalimat
mengandung (mencapai maslahat dan menolak mafsadat) جلب المصا لح ودرءالمفا سد
pengertian tujuan disyariatkannya hukum termasuk di dalamnya hukum perkawinan,
adalah untuk kemaslahatan dalam arti untuk kebaikan, keselamatan dan kebahagiaan
manusia baik di dunia maupun di akhirat;
Menimbang, bahwa oleh karena itu dalam rangka mewujudkan tujuan
tersebut, karena mudharat yang ditanggung lebih besar daripada maslahat yang
diperoleh, maka memutuskan ikatan perkawinan akan diperoleh maslahat bagi kedua
belah pihak daripada mempertahankan perkawinan;
Menimbang bahwa relevant dengan perkara ini, dapat diambil sebuah
tuntunan dari Hadits Nabi SAW., yang diriwayatkan oleh Imam Malik menegaskan :
206
لاضررولاضرارمن ضرضره الله ومن شق شق الله عليه
Artinya : “Tidak boleh memudharatkan dan dimudharatkan, barangsiapa yang
memudharatkan maka Allah akan memudharatkannya dan siapa saja yang
menyusahkan maka Allah akan menyusahkannya”;
Menimbang bahwa bertolak dari hadits tersebut dan dihubungkan dengan
kasus ini, maka seorang suami tidak boleh memberi mudharat kepada istrinya begitu
juga sebaliknya, seorang istri tidak boleh memberi mudharat kepada suaminya,
karena perbuatan yang demikian dilarang oleh syariat;
Menimbang bahwa Majelis Hakim menilai tindakan Termohon seperti terurai
dalam unsur kedua diatas merupakan bentuk kekerasan dalam rumah tangga
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 huruf (d) jo. Pasal 9 Undang-Undang Nomor
23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga, karenanya
harus segera dihentikan;
Menimbang bahwa berdasarkan pertimbangan-pertimbangan tersebut di atas
maka majelis hakim berpendapat dalil-dalil perceraian Pemohon telah terbukti dan
telah memenuhi alasan perceraian sebagaimana yang ditentukan dalam Pasal 39 Ayat
(2) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan jo. Pasal 19 huruf (f)
Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 jo. Pasal 116 huruf (f) Kompilasi Hukum
Islam yakni antara suami istri terjadi perselisihan dan pertengkaran yang terus
menerus yang sudah tidak ada harapan untuk hidup rukun lagi sebagai suami istri;
Menimbang, bahwa dalam perkara ini Majelis Hakim memandang perlu
mengemukakan dalil Syar’i yang terdapat dalam al-Qur’an surat al-Baqarah ayat 227
yang berbunyi sebagai berikut :
عليم سميع الله فإن الطلاق عزموا وإن
Artinya : “Dan jika mereka berazam (bertetap hati) untuk talak, maka sesungguhnya
Allah maha mendengar lagi maha mengetahui” ;
Menimbang bahwa oleh karena itu permohonan Pemohon petitum nomor 1
dapat dikabulkan;
207
Menimbang bahwa oleh karena permohonan Pemohon dikabulkan maka
petitum permohonan nomor 2 yang mohon untuk diberi izin untuk menjatuhkan talak
satu raj’i terhadap Termohon dapat dikabulkan;
Dalam Rekonvensi :
Menimbang, bahwa maksud dan tujuan gugatan Penggugat Rekonvensi
sebagaimana diuraikan diatas;
Menimbang, bahwa guna menghindari kesalahpahaman dalam penyebutan para
pihak dalam perkara rekonvensi ini, maka untuk selanjutnya digunakan istilah sebagai
berikut semula Termohon menjadi Penggugat Rekonvensi dan semula Pemohon
menjadi Tergugat Rekonvensi, penyebutan yang demikian sesuai dengan
yurisprudensi Mahkamah Agung R.I. Nomor 608 K/AG/2003 tanggal 23 Maret
2005;
Menimbang, bahwa apa yang telah dipertimbangkan dalam Konvensi selama
ada relevansinya harus dianggap telah termuat dalam rekonvensi;
Menimbang, bahwa Penggugat Rekonvensi mengajukan gugatan balik
tersebut bersamaan dengan jawabannya dan mempuyai pertautan hubungan yang erat
dengan gugatan konvensi, karenanya gugatan balik Penggugat rekonvensi tersebut
dapat diterima untuk dipertimbangkan, hal ini sesuai dengan ketentuan Pasal 132b (1)
HIR jo. pasal 66 ayat (5) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 yang telah diubah
dan ditambah dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 dan Undang-Undang
Nomor 50 Tahun 2009;
Menimbang bahwa tuntutan Penggugat Rekonvensi merupakan rangkaian
dalil yang terdiri dari beberapa pokok dalil gugatan sebagai berikut:
2. Gugatan pertama tentang tentang nafkah istri yang belum diberikan (nafkah
madliyah) selama 48 bulan semenjak bulan Oktober tahun 2014 sampai
dengan bulan september tahun 2019 per bulan menuntut sebesar Rp.
10.000.000 ( sepuluh juta rupiah ) sehingga 48 bulan X Rp. 10.000.000
208
(sepuluh juta rupiah ) total Rp. 480.000.000 (empat ratus delapan puluh juta
rupiah);
3. Gugatan kedua tentang Nafkah Iddah selama tiga bulan per bulan menuntut
sebesar Rp. 10.000.000 (sepuluh juta rupiah ) , 3 bulan X Rp. 10.000.000
(sepuluh Juta Rupiah) total Rp. 30.000.000 (tiga puluh juta rupiah);
4. Gugatan ketiga tentang tentang mut’ah sebesar Rp. 100.000.000 (seratus juta
rupiah);
5. Gugatan keempat tetang nafkah anak sebesar Rp. 5.000.000 (lima juta rupaiah
) per bulan;
Menimbang bahwa atas gugatan Rekonvensi tersebut, Tergugat Rekonvensi
menyampaikan jawaban yang pada pokoknya dapat diklasifikasikan sebagai berikut:
1. Bahwa gugatan pertama tentang nafkah istri yang belum diberikan (nafkah
madliyah), tergugat rekonvensi menjawab bahwa menolak memberikan
nafkah lampau karena selama ini ia telah memberi nafkah Penggugat
Rekonpensi, selama ini tetap memberi nafkah sesuai kemampuan walau
sudah pisah tempat tinggal dan Tergugat Rekonvensi menyatakan bahwa
penghasilannya digunakan untuk mengangsur uang pinjaman yang dipinjam
penggugat rekonvensi tanpa sepengetahuannya;
2. Bahwa gugatan kedua tentang Nafkah Iddah, tergugat rekonvensi menjawab
bahwa menolak memberikan nafkah iddah karena penggugat rekonvensi
telah nusyuz dan berselingkuh dengan laki-laki lain;
3. Bahwa gugatan ketiga tentang mut’ah, tergugat rekonvensi menolak
memberi mutah;
4. Bahwa gugatan keempat tetang nafkah anak, tergugat rekonvensi menolak
karena anak tinggal dan diasuh oleh Tergugat rekonvensi;
Menimbang, bahwa untuk membuktikan gugatan rekonvensinya, Penggugat
Rekonvensi telah tidak mengajukan alat bukti apapun baik tertulis maupun saksi;
209
Menimbang, bahwa untuk membuktikan jawaban atas gugatan rekonvensinya,
Tergugat rekonvensi telah mengajukan alat bukti tertulis yang diberi tanda P.1 sampai
dengan P.12 serta alat bukti 4 (empat) orang saksi;
Menimbang, bahwa alat bukti tertulis dan alat bukti saksi yang diajukan
tergugat rekonvensi tersebut sama dengan yang telah diajukan dalam konvensi
sebagaimana telah dipertimbangkan dalam bagian konvensi maka semua
pertimbangan hukum dalam konvensi tentang penilaian alat bukti tertulis dan saksi
baik yang terkait dengan syarat formil dan materiil, kekuatan pembuktian serta
analisis perbandingan alat bukti menjadi bagian satu kesatuan dengan pertimbangan
hukum dalam rekonvensi sehinggga tidak perlu diulang kembali dalam pertimbangan
hukum rekonvensi ini;
Menimbang, bahwa berdasarkan dalil-dalil gugatan penggugat rekonvensi dan
jawaban tergugat rekonvensi yang dihubungkan dengan bukti-bukti yang diajukan
telah ditemukan sejumlah fakta hukum terkait gugatan rekonvensi sebagai berikut :
1. Bahwa penggugat rekonvensi dan tergugat rekonvensi adalah suami istri sah;
2. Bahwa pernikahan penggugat rekonvensi dan tergugat rekonvensi telah
dikaruniai 1 (satu) orang anak yang bernama yang bernama NAMA ANAK,
umur 3 tahun dan sekarang tinggal dengan tergugat rekonvensi;
6. Bahwa penyebab perselisihan dan pertengkaran diantaranya adalah karena
masalah hutang penggugat rekonvensi tanpa sepengetahuan tergugat rekonvensi,
penggugat rekonvensi tidak mau melaksanakan tugas yang lazimnya
dilaksanakan istri seperti mencuci dan memasak, dan penggugat rekonvensi
selingkuh dengan laki-laki lain bernama Noel;
3. Bahwa penggugat rekonvensi dan tergugat rekonvensi sudah pisah tempat tinggal
lebih dari 4 bulan;
4. Bahwa selama ini tergugat rekonvensi memberi nafkah kepada tergugat
rekonvensi;
5. Bahwa tergugat rekonvensi yang melunasi hutang penggugat rekonvensi;
210
6. Bahwa tergugat rekonvensi bekerja sebagai guru swasta dan menjabat sebagai
Kepala Sekolah TK Mutiara Bunda II dengan gaji Rp. 250.000,- per bulan,
dengan tunjangan lain yaitu tunjangan dari Desa yang setiap 3 bulan cair
jumlahnya Rp. 750.000,- dan tunjangan dari Pemkab per 4 bulan sejumlah Rp.
350.000,-;
Menimbang bahwa berdasarkan fakta-fakta hukum diatas, maka terhadap
petitum gugatan rekonvensi tersebut dapat dipertimbangkan satu persatu sebagaimana
pertimbangan hukum dibawah;
1. Nafkah madliyah
Menimbang, bahwa terkait petitum rekonvensi tentang tentang nafkah lampau
istri yang belum dibayarkan (nafkah madliyah), maka Majelis Hakim akan
mempertimbangkan gugatan tersebut sebagai berikut;
Menimbang bahwa dalam mempertimbangkan gugatan mengenai nafkah
madliyah, apakah bisa dikabulkan atau tidak? setidaknya ada dua aspek hukum yang
harus diperhatikan yakni (1) apakah penggugat rekonvensi selama 48 bulan, sejak
bulan Oktober tahun 2014 sampai dengan bulan september tahun 2019 terbukti tidak
pernah diberi nafkah? sehingga ia berhak untuk memperoleh nafkah madiah; dan (2)
apakah besaran nominal tuntutan nafkah madliyah telah sesuai asas kemampuan dan
kepatutan hukum atau tidak?;
Menimbang, bahwa terkait aspek hukum pertama, bahwa Penggugat
Rekonvensi mengajukan gugatan rekonvensi tentang nafkah istri yang belum
diberikan (nafkah madliyah) selama 48 bulan semenjak bulan Oktober tahun 2014
sampai dengan bulan september tahun 2019;
Menimbang, bahwa terhadap gugatan penggugat rekonvensi tersebut, tergugat
rekonvensi dalam jawabannya pada pokoknya menolak memberikan nafkah lampau,
karena selama perkawinan ia telah berupaya memberi nafkah yang layak kepada
penggugat rekonvensi, bahkan ketika pisah tempat tinggal tergugat rekonvensi tetap
memberi nafkah sesuai kemampuannya. Selain itu Tergugat Rekonvensi juga
menyatakan bahwa uang tabungan beserta penghasilannya ia gunakan untuk
211
mengangsur hutang-hutang yang dilakukan oleh penggugat rekonvensi tanpa
sepengetahuannya;
Menimbang, bahwa sesuai prinsip hukum pembuktian dalam hal pembebanan
bukti secara seimbang, jika terjadi pertentangan dalil maka pembuktian dibebankan
pada pihak mengajukan dalil yang bersifat positif bukan pihak yang mengajukan dalil
yang bersifat negatif;
Menimbang, bahwa berdasarkan prinsip hukum pembuktian diatas maka
tergugat rekonvensi yang menyatakan telah memberi nafkah kepada penggugat
rekonvensi harus dibebani beban pembuktian tentang hal tersebut;
Menimbang bahwa alat bukti tertulis dan alat bukti saksi yang diajukan oleh
tergugat rekonvensi telah mampu membuktikan bahwa selama ini tergugat rekonvensi
telah memberi nafkah kepada penggugat rekonvensi sesuai dengan kemampuannya
sebagai guru swasta;
Menimbang, bahwa juga terbukti senyatanya penggugat rekonvensi tanpa
sepengetahuan tergugat rekonvensi sering meminjam uang dari beberapa orang, dan
atas hutang-hutang tersebut selama ini yang melunasinya adalah Tergugat
Rekonvensi (vide alat bukti P.3). Pembayaran sejumlah hutang penggugat rekonvensi
oleh Tergugat rekonvensi dapat dinilai sebagai bentuk nafkah yang diberikan
Tergugat rekonvensi kepada Penggugat rekonvensi;
Menimbang, bahwa berdasarkan pertimbangan di atas, maka majelis hakim
berpendapat aspek hukum pertama tidak terbukti, bahwa tergugat rekonvensi telah
lalai/tidak memberi nafkah kepada penggugat rekonvensi selama 48 bulan;
Menimbang, bahwa oleh karena aspek pertama tidak terbukti, maka terkait
dengan aspek kedua tentang apakah jumlah nilai tuntutan nafkah madliyah
berdasarkan asas kemampuan dan asas kepatutan atau kelayakan hidup atau tidak,
majelis hakim menyatakan tidak perlu mempertimbangkan lebih lanjut;
212
Menimbang, bahwa ikatan perkawinan dipandang sebagai suatu perjanjian
yang agung (mitsaqan gholidzo), maka salah satu akibat hukum perkawinan sebagai
suatu perjanjian adalah lahirnya hak dan kewajiban yang bertimbal balik yang harus
dilaksanakan secara baik oleh suami maupun istri;
Menimbang, bahwa jika istri melaksanakan kewajibannya dengan baik maka
dari sisi hukum perjanjian suami terikat dengan kewajiban memberi nafkah yang
harus dilaksanakannya, demikian juga sebaliknya jika istri tidak melaksanakan
kewajiban dengan baik maka dari sisi hukum perjanjian suami tidak terikat dengan
kewajiban memberi nafkah yang harus dilaksanakannya;
Menimbang, bahwa atas dasar itu, dalam hukum Islam ditegaskan bahwa
salah satu syarat agar istri mempuyai hak mendapatkan nafkah dari suami adalah istri
tidak nusyuz atau melaksanakan kewajibannya dengan baik. Hal ini sesuai dengan
ketentuan pasal 80 ayat (7) Kompilasi Hukum Islam;
Menimbang, bahwa rumusan fakta hukum di atas tentang penyebab
perselisihan yang terbukti diantaranya adalah karena masalah hutang penggugat
rekonvensi tanpa sepengetahuan tergugat rekonvensi, penggugat rekonvensi tidak
mau melaksanakan tugas yang lazimnya dilaksanakan istri seperti mencuci dan
memasak, dan penggugat rekonvensi selingkuh dengan laki-laki lain bernama Noel
sehingga majelis hakim berpendapat istri terbukti nusyuz sehingga dari aspek
perkawinan sebagai perjanjian (lahirnya hak dan kewajiban yang bertimbal balik
yang harus dilaksanakan baik oleh suami maupun istri) di atas istri tidak mempuyai
hak untuk mendapatkan nafkah madliyah dari suami;
Menimbang berdasarkan pertimbangan-pertimbangan hukum diatas maka
tuntutan terkait nafkah madliyah harus ditolak;
2. Nafkah Iddah
Menimbang, bahwa terkait tuntutan rekonvensi tentang nafkah iddah selama
tiga bulan per bulan menuntut sebesar Rp.10.000.000,- (sepuluh juta rupiah), 3 bulan
213
X Rp. 10.000.000 (sepuluh Juta Rupiah) total Rp. 30.000.000 (tiga puluh juta rupiah),
majelis hakim mempertimbangkan sebagai berikut;
Menimbang, bahwa terhadap gugatan Penggugat tersebut, Tergugat
memberikan jawaban yang pada pokoknya menolak memberikan nafkah iddah karena
penggugat telah nusyuz karena terbukti berselingkuh dengan laki-laki lain bernama
Noel;
Menimbang bahwa untuk bisa menentukan apakah gugatan nafkah iddah bisa
dikabulkan atau tidak, maka harus mengacu dan berpijak pada aturan hukum yang
mengatur masalah nafkah iddah;
Menimbang bahwa dalam kaitannya dengan aturan hukum mengenai nafkah
iddah yang dihubungkan dengan kasus perkara ini, ada beberapa aspek hukum yang
harus dipertimbangkan sebagai berikut:
4. Apakah penggugat rekonvensi berhak mendapat nafkah iddah;
5. Berapa lama waktu iddah;
6. Apakah jumlah nafkah iddah yang dituntut berdasarkan kemampuan dan
kepatutan hukum;
Menimbang bahwa aspek-aspek hukum yang telah disebutkan di atas, perlu
dianalisis satu persatu sesuai pertimbangan hukum berikut ini;
Menimbang bahwa aspek hukum pertama yang perlu dipertimbangkan dalam
kaitannya dengan gugatan nafkah iddah adalah apakah penggugat rekonvensi berhak
memperoleh nafkah iddah atau tidak;
Menimbang bahwa pertimbangan mengenai aspek hukum di atas sangat urgen,
karena dilihat dari aspek dasar hak atau alas hak sebagai pedoman untuk menentukan
boleh tidaknya memperoleh nafkah iddah;
Menimbang, bahwa secara normatif ketentuan Pasal 41 huruf (c) Undang-
Undang Nomor 1 Tahun 1974 jo. Pasal 149 huruf (b) Kompilasi Hukum Islam
214
mengatur bahwa suami yang menceraikan istrinya dapat dibebani kewajiban untuk
memberikan iddah yang layak kepada istri;
Menimbang bahwa sehubungan dengan hak seorang istri dalam masa iddah talak
raj’i sesuai ketentuan pasal 149 huruf (b) Kompilasi Hukum Islam maka suami wajib
memberi kepada istri nafkah, maskan (tempat tinggal) dan kiswah (pakaian) selama
dalam iddah, kecuali bekas istri telah dijatuhkan talak bain atau nusyuz dan dalam
keadaan tidak hamil;
Menimbang, bahwa berdasarkan rumusan fakta-fakta hukum di atas terbukti
bahwa penggugat rekonvensi merupakan istri yang nusyuz karena penggugat rekonvensi
tidak mau melaksanakan tugas yang lazimnya dilaksanakan istri seperti mencuci dan
memasak, dan penggugat rekonvensi telah selingkuh dengan laki-laki lain bernama
Noel;
Menimbang, bahwa oleh karena Penggugat terbukti nusyuz maka sesuai
ketentuan pasal 149 huruf (b) Kompilasi Hukum Islam maka penggugat tidak berhak
mendapatkan nafkah iddah;
Menimbang, bahwa berdasarkan pertimbangan-pertimbangan di atas, maka
majelis hakim berpendapat gugatan rekonvensi tentang nafkah iddah harus ditolak;
3. Mut’ah
Menimbang, bahwa gugatan Rekonvensi tentang uang mut’ah dapat
dipertimbangkan sebagaimana uraian dan analisis hukum dalam rangkaian
pertimbangan hukum berikut ini;
Menimbang, bahwa penggugat rekonvensi menuntut Tergugat Rekonvensi
untuk membayar Mut’ah kepada Istri / Penggugat Rekonvensi sebesar
Rp.100.000.000,- (seratus juta rupiah);
Menimbang, bahwa atas gugatan tersebut, tergugat rekonvensi menegaskan
bahwa menolak mut’ah tersebut;
215
Menimbang bahwa dalam mempertimbangkan gugatan mengenai uang
mut’ah, apakah bisa dikabulkan atau tidak ada dua aspek hukum yang harus
diperhatikan yakni pertama, apakah penggugat rekonvensi berhak untuk memperoleh
mut’ah dan kedua, apakah jumlah nilai tuntutan berdasarkan kemampuan suami dan
kepatutan hukum atau tidak;
Menimbang bahwa dalam mempertimbangkan aspek hukum yang pertama
apakah penggugat rekonvensi berhak memperoleh uang mut’ah atau tidak, harus
berpedoman dan berpijak pada aturan hukum yang mengatur masalah tersebut;
Menimbang, bahwa ketentuan Pasal 41 huruf (c) Undang-Undang Nomor 1
Tahun 1974 jo. Pasal 149 huruf (a) Kompilasi Hukum Islam mengatur bahwa
Tergugat Rekonvensi selaku suami dapat dibebani kewajiban untuk memberikan
mut’ah yang layak kepada Penggugat Rekonvensi selaku istri sesuai dengan
kemampuan dan kepatutan.
Menimbang bahwa dalam Al-Qur’an dalam menjelaskan mengenai hukum
mut’ah, Allah telah menjelaskan dalam beberapa ayat sebagai berikut :
Artinya :
“Dan hendaklah kamu berikan suatu mut’ah (pemberian) kepada mereka. Orang
yang mampu menurut kemampuannya dan orang yang miskin menurut
kemampuannya (pula) yaitu pemberian menurut yang patut; Yang demikian itu
merupakan ketentuan bagi orang yang berbuat Kebaikan” (QS Al-Baqarah: 236);
Artinya :
“Kepada wanita-wanita yang diceraikan (hendaklah) diberi oleh suaminya mut’ah
sebagai suatu kewajiban bagi orang-orang yang takwa” (QS Al-Baqarah : 241);
Artinya :
“Maka berilah mereka mut’ah dan ceraikanlah mereka dengan cara yang sebaik-
baiknya” (QS Al-Ahzab : 49);
Menimbang bahwa dalam kaitannya dengan pemberian mut’ah dapat
dikatagorikan dalam memenuhi ketentuan Allah dalam Al-Qur’an surah surah Al-
Baqarah ayat 229 yang menegaskan “rujuklah dengan cara yang baik atau lepaskan
dengan cara yang baik”;
216
Menimbang bahwa dalam menerapkan secara kontekstual ketentuan mut’ah
terhadap kasus ini, sehubungan dengan pemberian mut’ah kepada istri yang dicerai
perlu ditegakkan di atas asas atau prinsip sebagai landasan berpikir sekaligus fondasi
berpijak yakni:
1. Asas kebajikan agar menceraikan istri dengan cara yang baik;
2. Asas itikad baik dalam melaksanakan hukum;
3. Asas kepatutan;
4. Asas sesuai kemampuan;
Menimbang bahwa di samping asas yang telah disebutkan di atas, perlu
dipedomani ketentuan dalam kaidah fiqhiyah sebagai panduan berpikir yang
menegaskan “Kemudharatan harus dihilangkan“;
Menimbang bahwa apabila dikaji dari segi tujuan hukum Islam termasuk di
dalamnya hukum munakahat lebih khusus lagi dalam konteks kasus ini hukum
perceraian, dalam menetapkan hukum harus mewujudkan tujuan hukum yakni
mencapai maslahat dan menghilangkan mafsadat;
Menimbang bahwa jika dilihat dari segi hikmah disyariatkannya mut’ah di
dalamnya terkandung nilai faedah yang jika diperhatikan secara seksama dan
menyeluruh segi-segi kehidupan berumah tangga, nilai ikatan batin antara suami dan
istri, pahit manisnya kehidupan berumah tangga telah dijalani bersama dalam rentang
waktu yang cukup lama, maka berdasarkan sudut pandang kelayakan hukum guna
mengurangi beban berat psikologis yang dirasakan oleh istri dihadapan suami,
keluarga suami dan keluarganya sendiri serta dalam kehidupan masyarakat adalah
amat bijaksana sebagai bukti ketinggian akhlak seorang muslim, perlunya ada mut’ah
dari seorang suami kepada istri yang dicerai;
Menimbang bahwa dengan pemberian mut’ah dari suami kepada istri yang
diceraikan, diharapkan akan bisa menyenangkan hati atau menggembirakan
perasaannya serta mengurangi beban berat yang dirasakan oleh istri akibat talak
tersebut;
Menimbang, bahwa berdasarkan ketentuan Pasal 158 Kompilasi Hukum Islam
Mut’ah wajib diberikan oleh bekas suami dengan syarat
1. Belum ditetapkan mahar bagi istri ba’da dukhul;
2. perceraian itu atas kehendak suami;
Menimbang bahwa berdasarkan ketentuan pasal 159 Kompilasi Hukum
Islam, mut’ah sunnah diberikan oleh bekas suami tanpa syarat tersebut pada pasal 158
Kompilasi Hukum Islam ;
217
Menimbang, bahwa mengacu pada ketentuan tersebut diatas dihubungkan
dengan pokok perkara dalam kasus ini, maka pemberian mut’ah oleh Tergugat
Rekonvensi kepada Penggugat Rekonvensi termasuk hal yang sunat bukan wajib;
Menimbang bahwa dalam kaitannya dengan pemberian mut’ah yang sunat,
ada satu asas yang tidak boleh dilupakan dalam Hukum Islam yakni asas kebajikan
yang mengandung makna setiap hubungan keperdataan seyogyanya mendatangkan
kebajikan (kebaikan) kepada kedua belah pihak maupun pihak ketiga dalam
masyarakat;
Menimbang bahwa berdasarkan asas kebajikan tersebut dalam hal terjadinya
cerai talak perlu dilaksanakan dengan cara yang baik dalam segala segi, sifat dan
caranya melakukan perbuatan hukum talak tersebut;
Menimbang bahwa salah satu norma luhur yang digariskan oleh Allah dalam
Al-Qur’an sehubungan dengan pelaksanaan hukum perkawinan yakni peganglah
dengan cara yang baik atau lepaskan (ceraikan) dengan cara yang baik;
Menimbang bahwa bertitik tolak, berpijak dan berpedoman pada ketentuan
asas kebajikan tersebut, maka pemenuhan dan pelaksanaan seluruh ketentuan hukum
Islam dalam hal ini hukum perceraian, harus memegang teguh asas kebajikan;
Menimbang bahwa berdasarkan alur pikir pertimbangan yang demikian guna
mewujudkan asas kebajikan dalam pelaksanaan hukum Islam khususnya hukum
perceraian, maka menurut pertimbangan majelis hakim melaksanakan ketentuan
hukum yang meskipun sifatnya sunat adalah lebih utama daripada tidak
melaksanakannya;
Menimbang bahwa oleh karena itu memberlakukan ketentuan yang sifatnya
sunat dalam hal pemberian mut’ah adalah lebih baik daripada tidak melakukannya;
Menimbang, bahwa dengan demikian pemberian mut’ah termasuk dalam
kategori menceraikan dengan cara yang ma’ruf guna menyenangkan hati istri yang
diceraikan;
Menimbang bahwa berdasarkan argumentasi pertimbangan hukum di atas,
maka majelis hakim menetapkan penggugat rekonvensi berhak untuk memperoleh
mut’ah;
Menimbang bahwa setelah mempertimbangkan aspek berhak tidaknya
penggugat rekonvensi mendapat mut’ah, aspek kedua yang perlu dipertimbangkan
adalah jumlah tuntutan uang mut’ah apakah berdasarkan kepatutan hukum atau tidak;
Menimbang bahwa sesuai dengan pertimbangan hukum sebelumnya dalam
kaitannya dengan penentuan pemberian mut’ah harus berlandaskan dan ditegakkan di
atas asas kebajikan, asas itikad baik, asas kepatutan dan asas sesuai kemampuan
suami;
218
Menimbang bahwa dalam konteks menentukan besarnya jumlah mut’ah maka
asas yang sangat urgen untuk diperhatikan dan ditegakkan adalah asas kepatutan dan
asas sesuai kemampuan;
Menimbang bahwa berdasarkan asas kepatutan pemberian mut’ah dapat
dilihat dari dua sisi yakni sisi cara memberikan dan sisi nilai mut’ah yang diberikan;
Menimbang bahwa dilihat dari sisi cara memberikan maka pemberian mut’ah
harus dilakukan dengan cara yang baik dan etika yang santun, karena akan
bertentangan atau berlawanan dengan asas kepatutan jika memberi sesuatu kepada
orang lain tetapi cara memberikannya menyakiti hati penerima;
Menimbang bahwa dilihat dari sisi nilai jumlah mut’ah harus patut
mempunyai hubungan yang erat dengan asas sesuai kemampuan yang bisa diketahui
menurut syariat, adat dan akal, akan tetapi penekanan dalam pertimbangan hukum ini
adalah dari sisi syariat atau hukum Islam karena menyangkut segi pembebanan
hukum;
Menimbang, bahwa untuk menentukan jumlah mut’ah yang menjadi
kewajiban suami kepada istri harus mempertimbangkan dua asas yaitu asas
kemampuan dan asas kepatutan;
Menimbang bahwa asas kemampuan adalah jumlah mut’ah harus didasarkan
kepada gaji dan penghasilan yang nyata yang diperoleh oleh tergugat rekonvensi
setiap bulan sehingga tergugat rekonvensi mampu untuk memenuhi mut’ah tersebut;
Menimbang bahwa asas kemampuan ini didasarkan kepada doktrin hukum
Islam bahwa seseorang tidak boleh dibebani sesuatu yang dluar batas kemampuannya
karena akan menimbulkan madlarat dan ketidakadilan, sebagaimana firman Allah
dalam Al-Qur’an surah Al-Baqarah ayat 233 :
Artinya:
“Seseorang tidak dibebani melainkan menurut kadar kesanggupannya”
Menimbang, bahwa berdasarkan rumusan fakta hukum di atas terbukti bahwa
tergugat rekonvensi bekerja sebagai guru swasta dan menjabat sebagai Kepala
Sekolah TK Mutiara Bunda II dengan gaji Rp. 250.000,- (dua ratus lima puluh ribu
219
rupiah) per bulan, ada tunjangan lain yaitu tunjangan dari Desa yang setiap 3 bulan
cair jumlahnya Rp. 750.000,-(tujuh ratus lima puluh ribu rupiah) dan tunjangan dari
Pemkab per 4 bulan Rp. 350.000,-(tiga ratus lima puluh ribu rupiah);
Menimbang bahwa berdasarkan pertimbangan-pertimbangan hukum di atas
maka majelis hakim berpendapat bahwa gugatan rekonvensi tentang mut’ah dapat
dikabulkan dengan menghukum tergugat rekonvensi untuk membayar mut’ah kepada
penggugat rekonvensi dalam bentuk uang sebesar Rp. 1.500.000,00 (satu juta lima
ratus ribu rupiah);
Menimbang, bahwa dalam rangka pelaksanaan Perma No. 3 Tahun 2017
Tentang Pedoman Mengadili Perempuan Berhadapan dengan Hukum untuk memberi
perlindungan hukum bagi hak-hak perempuan pasca perceraian, maka pembayaran
kewajiban akibat perceraian, berupa mut’ah dibayarkan secara tunai sesaat sebelum
ikrar talak diucapkan di muka sidang pengadilan majelis hakim;
4. Nafkah anak
Menimbang, bahwa tuntutan rekonvensi tentang nafkah anak yang bernama
NAMA ANAK, umur 3 tahun sebesar Rp. 5.000.000,- (lima juta rupaiah) per bulan;
Menimbang, bahwa terhadap gugatan Penggugat Rekonvensi tersebut, Tergugat
Rekonvensi memberikan jawaban yang pada pokoknya menolak memberikan nafkah
anak karena anak tersebut sekarang tinggal dengan tergugat rekonvensi dan dalam
kondisi sehat dan baik;
Menimbang bahwa, anak yang bernama NAMA ANAK meskipun sekarang
berada dalam pemeliharaan (ayah) Tergugat rekonvensi, berdasarkan bukti P.4
Penggugat rekonvensi selaku ibu kandungnya tetap mendapat informasi mengenai
tumbuh kembang anak tersebut, selain itu Penggugat rekonvensi juga dapat bertemu
serta berinteraksi bersama anak tersebut secara leluasa;
Menimbang, bahwa berdasarkan fakta hukum di atas terbukti bahwa anak yang
bernama NAMA ANAK, umur 3 tahun sekarang tinggal dan diasuh oleh tergugat
rekonvensi dan anak tersebut tumbuh dan berkembang dengan baik dan sehat.;
220
Menimbang, bahwa berdasarkan pertimbangan hukum tersebut maka majelis
hakim berpendapat bahwa gugatan rekonvensi tentang nafkah anak tidak terbukti
sehingga harus ditolak;
Dalam Konvensi dan Rekonvensi :
Menimbang bahwa tentang petitum permohonan Pemohon nomor 3, majelis
hakim berpendapat bahwa berdasarkan berdasarkan Pasal 89 Ayat (1) Undang-
undang Nomor 7 Tahun 1989 yang telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 3
Tahun 2006 dan Undang-Undang Nomor 50 Tahun 2009, maka semua biaya yang
timbul akibat perkara ini dibebankan kepada Pemohon/Tergugat rekonvensi;
Mengingat segala peraturan perundang-undangan yang berlaku dan hukum
syar’i yang berkaitan dengan perkara ini;
M E N G A D I L I
Dalam Konvensi :
1. Mengabulkan Permohonan Pemohon;
2. Memberi ijin kepada Pemohon (NAMA PEMOHON) untuk mengucapkan ikrar
talak satu raj’i kepada Termohon (NAMA TERMOHON) di hadapan sidang
Pengadilan Agama Kota Madiun;
Dalam Rekonvensi :
1. Mengabulkan gugatan rekonvensi sebagian;
2. Menghukum Tergugat Rekonvensi untuk membayar kepada Penggugat
Rekonvensi mut’ah dalam bentuk uang sebesar Rp.1.500.000,-(satu juta lima
ratus rupiah) yang dibayar secara tunai pada saat sebelum ikrar talak;
3. Menolak gugatan rekonvensi selain dan selebihnya;
Dalam Konvensi dan Rekonvensi :
1. Membebankan kepada Pemohon/Tergugat Rekonvensi biaya perkara dalam
Konvensi dan Rekonvensi sebesar Rp. 601.000,- (enam ratus satu ribu rupiah);
221
Demikian putusan ini dijatuhkan pada hari Rabu tanggal 25 September 2019 Masehi
bertepatan dengan 25 Muharram 1440 Hijriyah oleh kami Dr. H. Ahmad Zaenal
Fanani, SHI., M.Si sebagai Ketua Majelis, Siti Juwairiyah, S.H.I. dan Alfian Yusuf,
S.H.I. masing-masing sebagai Hakim Anggota, dan diucapkan oleh Ketua Majelis dan
Hakim-Hakim Anggota tersebut dalam persidangan yang terbuka untuk umum pada
hari itu juga, dengan dibantu oleh Drs. H. Agus By Arifin, sebagai Panitera Pengganti,
dan dihadiri oleh Pemohon serta Termohon.
Hakim Anggota, Ketua Majelis,
1. Siti Juwairiyah, S.H.I. Dr. H. Ahmad Zaenal Fanani, SHI., M.Si
2. Alfian Yusuf, S.H.I. Panitera Pengganti,
Drs. H. Agus By Arifin
222
Perincian biaya :
1. Pendaftaran Rp. 30.000,00
2. Proses Rp. 75.000,00
3. Panggilan Rp. 460 .000,00
4. PNBP Relaas Panggilan Rp. 20.000,00
4. Redaksi Rp. 10.000,00
5. Meterai Rp. 6.000,00
Jumlah Rp. 601.000,00
(Enam ratus satu ribu rupiah )
PUTUSAN
Nomor 0268/Pdt.G/2019/PA.Mn
DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA
Pengadilan Agama Kota Madiun yang memeriksa dan mengadili perkara
Cerai Gugat pada tingkat pertama telah menjatuhkan putusan sebagai berikut, antara
pihak-pihak :
Yulianita Riskhianingtyas binti Sujaspar, tempat dan tanggal lahir Madiun, 22 Juli
1987 (umur 32 tahun), agama Islam, pekerjaan Pegawai
BUMN/BUMD, Pendidikan S1, tempat kediaman Jalan Argo Manis
III No. 7, RT. 025, RW 007, Kelurahan Manisrejo, Kecamatan
Taman, Kota Madiun, sebagai Penggugat;
M e l a w a n
Vandika Dwi Putra bin Eko Budhi Winaryanto, tempat dan tanggal lahir
Surabaya, 29 Maret 1989 (umur 30 tahun), agama Islam, pekerjaan
223
Pegawai BUMN/ PT Angkasa Pura, pendidikan S1, bertempat
tinggal di Jalan Griyo Mapan Sentosa AB-39, Kelurahan Tropodo,
Kecamatan Waru, Kabupaten Sidoarjo, sebagai Tergugat;
Pengadilan Agama tersebut;
Telah membaca dan mempelajari berkas perkara yang bersangkutan;
Telah mendengar keterangan Penggugat serta para saksi di persidangan;
DUDUK PERKARA
Menimbang, bahwa Penggugat dengan surat gugatannya tertanggal 14
Agustus 2019 yang telah terdaftar di Kepaniteraan Pengadilan Agama Kota Madiun
Nomor 0268/Pdt.G/2019/PA.Mn, tanggal 14 Agustus 2019 mengemukakan hal-hal
sebagai berikut :
1. Bahwa Penggugat dan Tergugat telah melangsungkan pernikahan pada tanggal
04 November 2016, yang dicatat oleh Pegawai Pencatat Nikah Kantor Urusan
Agama Kecamatan Taman, Kota Madiun sebagaimana Kutipan Akta Nikah
Nomor 0385/003/XI/2016 pada tanggal 07 November 2016;
2. Bahwa setelah menikah Penggugat dan Tergugat tinggal bersama di rumah orang
tua Tergugat selama kurang lebih 4 bulan setelah itu Penggugat dan Tergugat
hidup berpisah karena Tergugat Bekerja di Manado dan Penggugat bekerja di
Surabaya;
3. Bahwa selama menikah Penggugat dan Tergugat telah melakukan hubungan
suami istri (ba'da dukhul) dan sudah dikarunia 1 orang anak Perempuan yang
bernama Clemira Malayeka Azzahra binti Vandika Dwi Putra, Perempuan, Umur
1 tahun 9 bulan;
4. Bahwa pada awalnya rumah tangga Penggugat dan Tergugat berjalan harmonis,
namun sekitar bulan Februari tahun 2017 rumah tangga Penggugat dan Tergugat
mulai tidak harmonis, sering terjadi perselisihan dan pertengkaran yang
disebabkan oleh:
224
a. Bahwa Tergugat bekerja memberi nafkah namun semenjak bulan Januari
tahun 2018 hingga sekarang Tergugat tidak pernah memberi nafkah pada
Penggugat;
b. Tergugat sering melontarkan kata-kata kasar terhadap Penggugat ketika
terjadi pertengkaran;
c. Bahwa Penggugat sudah tidak ada kecocokan dalam hal apapun dan sering
berselisih paham karena Tergugat memiliki sifat egois dan temperamental;
5. Bahwa puncak perselisihan dan pertengkaran tersebut terjadi sekitar bulan
Januari tahun 2018, yang dimana Tergugat tidak pernah menghubungi Penggugat
lagi selama kurang lebih 1 tahun 8 bulan sampai dengan sekarang;
6. Bahwa Penggugat sudah berusaha untuk rukun dan membina rumah tangga
dengan Tergugat, akan tetapi tidak berhasil ;
7. Bahwa atas kejadian-kejadian tersebut di atas, Penggugat merasa keadaan rumah
tangga Penggugat dan Tergugat sudah tidak sesuai dengan tujuan perkawinan
yaitu sakinah mawaddah wa rahmah, sehingga perceraian adalah jalan satu-
satunya untuk mengakhiri perkawinan Penggugat dan Tergugat ;
8. Bahwa Penggugat mampu membayar seluruh biaya yang timbul dalam perkara
ini ;
Berdasarkan alasan/dalil-dalil di atas, Penggugat mohon agar Ketua Pengadilan
Agama Kota Madiun segera memeriksa dan mengadili perkara ini, selanjutnya
memutuskan sebagai berikut :
PRIMAIR :
1. Mengabulkan gugatan Penggugat ;
2. Menjatuhkan talak satu ba’in sughra dari Tergugat terhadap Penggugat ;
3. Membebankan biaya perkara kepada Penggugat sesuai dengan hukum yang
berlaku ;
SUBSIDAIR :
Apabila Majelis Hakim berpendapat lain, mohon putusan yang seadil-adilnya;
Bahwa pada hari persidangan yang telah ditetapkan, Penggugat telah nyata
hadir menghadap sendiri ke persidangan, sedangkan Tergugat tidak hadir di
225
persidangan tanpa alasan yang sah dan tidak pula menyuruh orang lain untuk
menghadap sebagai kuasa dan atau wakilnya, meskipun untuk itu Tergugat telah
dipanggil secara resmi dan patut dengan relaas Nomor 0268/Pdt.G/2019/PA.Mn,
tanggal 27 Agustus 2019 dan 26 September 2019 yang dibacakan di depan sidang
telah dipanggil secara resmi dan patut, dan tidak ternyata ketidak hadirannya
dikarenakan halangan dan atau alasan yang sah menurut hukum;
Bahwa selanjutnya Majelis Hakim memberi nasehat kepada Penggugat selaku
pihak yang hadir agar rukun kembali dengan Tergugat dalam rumah tangga yang
baik, akan tetapi tidak berhasil, sedangkan mediasi tidak dapat dilaksanakan karena
Tergugat tidak pernah hadir di persidangan;
Bahwa pemeriksaan ini dilanjutkan dengan membacakan surat gugatan
Penggugat dalam sidang tertutup untuk umum, yang isi dan maksudnya tetap
dipertahankan oleh Penggugat;
Bahwa untuk memperkuat dalil-dalil gugatannya, Penggugat telah
mengajukan alat bukti tertulis, berupa:
1. Fotokopi Kartu Tanda Penduduk atas nama Pemohon nomor: 3577036207870002
tanggal 18 Desember 2017 yang dikeluarkan oleh Dinas Catatan Sipil Kota
Madiun, bermaterai cukup dan bercap pos (zegelen) serta cocok dengan aslinya,
oleh Ketua Majelis diberi paraf, tanggal dan ditandai dengan P.1;
2. Fotokopi Kutipan Akta Nikah Nomor: 0385/003/XI/2016, tanggal 07 November
2016 yang dikeluarkan dan ditandatangani oleh Pegawai Pencatat Nikah Kantor
Urusan Agama Kecamatan Manguharjo, Kota Madiun, bermaterai cukup dan
bercap pos (nazegelen) serta cocok dengan aslinya, oleh Ketua Majelis diberi
paraf, tanggal dan ditandai dengan P.2;
3. Fotokopi Kutipan Akta Kelahiran Nomor: 3577-LU-06122017-0025 tertanggal 06
Desember 2017 atas nama CLEMIRA MALAYEKA AZZAHRA yang
dikeluarkan oleh Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kota Madiun,
bermaterai cukup dan bercap pos (nazegelen) serta cocok dengan aslinya, oleh
Ketua Majelis diberi paraf, tanggal dan ditandai dengan P.3;
226
4. Fotokopi Slip Gaji Tergugat (Vandika Dwi Putra) bulan oktober yang dikeluarkan
oleh PT Angkasa Pura, bermaterai cukup dan bercap pos (nazegelen), oleh Ketua
Majelis diberi paraf, tanggal dan ditandai dengan P.4
Bahwa disamping alat bukti tertulis tersebut, Penggugat juga menghadirkan
dua orang saksi keluarga, masing-masing sebagai berikut :
Saksi I : Suliana Binti Achmari, umur 47 tahun, agama Islam, pekerjaan Swasta,
bertempat tinggal di Jalan Argomanis Gg I No 13, RT 22, RW 007, Kelurahan
Manisrejo, Kecamatan Taman Kota Madiun, dibawah sumpahnya didepan sidang
memberikan keterangan yang pada pokoknya sebagai berikut :
Bahwa saksi kenal dengan Penggugat dan Tergugat karena saksi adalah Bibi
Penggugat;
Bahwa saksi tahu Penggugat dan Tergugat adalah suami istri, menikah pada
tahun 2016, saksi ikut menghadiri pernikahan tersebut;
Bahwa saksi tahu selama berumah tangga Penggugat dan Tergugat tinggal
dirumah orang tua Tergugat selama 4 bulan di Surabaya kemudian Penggugat
dan Tergugat hidup berpisah karena Tergugat bekerja di Manado dan
Penggugat bekerja di Surabaya;
Bahwa Penggugat dan Tergugat sudah dikaruniai satu orang anak perempuan
yang sekarang berada dalam asuhan Penggugat;
Bahwa saksi tahu rumah tangga Penggugat dan Tergugat semula rukun dan
harmonis, namun sejak bulan Mei 2017 sampai sekarang rumah tangga
Penggugat dan Tergugat sudah tidak harmonis lagi karena sejak saat
Penggugat sedang hamil 7 bulan, Tergugat tidak pernah datang menemui
Penggugat dan melihat anaknya sampai sekarang;
Bahwa saksi tidak tahu tahu penyebab kenapa Tergugat tidak datang melihat
Penggugat dan anaknya;
Bahwa setahu Saksi Tergugat tidak pernah memberikan nafkah kepada
Penggugat dan anaknya sejak Penggugat hamil 7 bulan, saksi mengetahui
227
karena Penggugat bekerja sendiri untuk memenuhi kebutuhan hidupnya dan
anaknya dan Penggugat serta orang tua juga bercerita;
Bahwa setahu Saksi, Tergugat bekerja sebagai staf di Angkasa Pura sebagai
karyawan tetap, tapi Saksi tidak mengetahui di bagian apa;
Bahwa setahu saksi puncak perselisihan antara Penggugat dan Tergugat
tersebut adalah sejak bulan Januari tahun 2018, karena Tergugat tidak pernah
menghubungi Penggugat lagi;
Bahwa saksi beserta keluarga (Ibu Penggugat) telah berusaha merukunkan
Penggugat dengan Tergugat dengan mendatangi keluarga Tergugat, akan
tetapi tidak berhasil;
Bahwa saksi sudah tidak sanggup untuk merukunkan keduanya, karena
Penggugat sudah bersikukuh untuk bercerai dari Tergugat;
Bahwa Penggugat menyatakan mencukupkan dengan keterangan saksi
tersebut;
Saksi II : Roni Buchori Bin Daud Sanusi, umur 50 tahun, agama Islam, pekerjaan
wiraswasta, bertempat tinggal di Jalan Argomanis Gg I, No. 13, RT 022, RW 007,
Kelurahan Manisrejo, Kecamatan Taman Kota Madiun, dibawah sumpahnya didepan
sidang memberikan keterangan yang pada pokoknya sebagai berikut :
Bahwa saksi kenal dengan Penggugat dan Tergugat karena saksi adalah Paman
Penggugat;
Bahwa saksi tahu Penggugat dan Tergugat adalah suami istri, menikah pada
tanggal November 2016, saksi ikut menghadiri pernikahan tersebut;
Bahwa saksi tahu selama berumah tangga Penggugat dan Tergugat tinggal
dirumah orang tua Tergugat di Surabaya selama 4 bulan kemudian Penggugat
dan Tergugat hidup berpisah karena Tergugat bekerja di Manado dan
Penggugat bekerja di Surabaya;
Bahwa Penggugat dan Tergugat sudah dikaruniai satu orang anak Perempuan
yang sekarang diasuh oleh Penggugat;
228
Bahwa saksi tahu rumah tangga Penggugat dan Tergugat semula rukun dan
harmonis, hanya sejak bulan Februari 2017 sampai sekarang rumah tangga
Penggugat dan Tergugat sudah tidak harmonis lagi karena Penggugat pindah
kerja ke Madiun dan setahu Saksi sejak itu Tergugat tidak pernah datang ke
Madiun sampai sekarang, padahal pada waktu itu Penggugat dalam kondisi
hamil 7 bulan;
Bahwa saksi tidak tahu penyebab Tergugat tidak datang ke Madiun sampai
sekarang;
Bahwa Tergugat sama sekali tidak pernah datang melihat anaknya;
Bahwa setahu Saksi, Tergugat bekerja sebagai staf di Angkasa Pura sebagai
karyawan tetap, tapi Saksi tidak mengetahui dibagian apa;
Bahwa saksi mengetahui puncak perselisihan dan pertengkaran tersebut adalah
sejak bulan Januari tahun 2018, karena Tergugat tidak pernah menghubungi
Penggugat lagi serta tidak mengirimkan nafkah untuk Penggugat dan anaknya;
Bahwa saksi beserta keluarga (Ibu Penggugat) telah berusaha merukunkan
Penggugat dengan Tergugat dengan mendatangi keluarga Tergugat, akan tetapi
tidak berhasil;
Bahwa saksi sudah tidak sanggup untuk merukunkan keduanya, karena
Penggugat sudah bersikukuh untuk bercerai dari Tergugat;
Bahwa Penggugat menambahkan bahwa sejak Penggugat hamil 7 bulan
sampai sekarang Penggugat dan anak Penggugat dan Tergugat juga tidak pernah
dikasih nafkah oleh Tergugat, padahal Tergugat bekerja di Angkasa Pura sebagai staf
dengan gaji Rp. 6.310.016,-, untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari Penggugat
dan anaknya dipenuhi dengan cara Penggugat bekerja sendiri serta dibantu dengan
orang tua/keluarga Penggugat;
Bahwa selanjutnya Penggugat menyampaikan kesimpulan secara lisan yang
pada pokoknya tetap pada gugatannya untuk bercerai dengan Tergugat dan mohon
putusan;
Bahwa untuk mempersingkat uraian putusan ini, maka ditunjuk segala hal
ihwal sebagaimana yang tercantum dalam berita acara sidang dan merupakan bagian
yang tak terpisahkan dari putusan ini;
PERTIMBANGAN HUKUM
229
Menimbang bahwa maksud dan tujuan gugatan Penggugat pada pokoknya
adalah sebagaimana terurai di atas;
Menimbang bahwa Penggugat dalam gugatannya mendalilkan bahwa
Penggugat telah melangsungkan perkawinan dan rumah tangga Penggugat dan
Tergugat sudah tidak harmonis, oleh karena itu Penggugat memiliki legal standing
untuk mengajukan gugatan perceraian sebagaimana diatur Pasal 49 Ayat (1) huruf (a)
dan Pasal 73 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama yang
diubah dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 dan Undang-Undang Nomor
50 Tahun 2009;
Menimbang bahwa dalam dalil gugatan Penggugat yang menyatakan
Penggugat dan Tergugat beragama Islam yang tidak terbantahkan, oleh karena itu
berdasarkan Pasal 40 dan Pasal 63 Ayat (1) huruf (a) Undang-Undang Nomor 1
Tahun 1974 jo. Pasal 49 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan
Agama sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 dan
terakhir dengan Undang-Undang Nomor 50 Tahun 2009 jo. Pasal 1 huruf (b)
Peraturan Pemrintah Nomor 9 Tahun 1975, karenanya Pengadilan Agama berwenang
memeriksa dan mengadili serta memutus perkara a quo;
Menimbang bahwa dalam gugatan Penggugat domisili Penggugat berada
pada yurisdiksi Pengadilan Agama Kota Madiun, sesuai Pasal 73 Undang-Undang
Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama sebagaimana diubah dengan Undang-
Undang Nomor 3 Tahun 2006 dan terakhir dengan Undang-Undang Nomor 50 Tahun
230
2009, maka perkara ini merupakan kewenangan relatif Pengadilan Agama Kota
Madiun;
Menimbang bahwa Majelis Hakim telah berusaha memberikan nasehat
kepada Penggugat pada setiap persidangan secara maksimal agar Penggugat bersabar
dan rukun kembali dengan Tergugat, namun tidak berhasil, karenanya ketentuan
Pasal 130 HIR jo. Pasal 82 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 telah terpenuhi
dalam perkara ini;
Menimbang bahwa menurut Peraturan Mahkamah Agung R.I. Nomor 1
Tahun 2016 tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan, mediasi mengharuskan
kehadiran kedua pihak yang berperkara, oleh karena Tergugat tidak pernah hadir di
persidangan, maka mediasi tidak dapat dilaksanakan;
Menimbang bahwa oleh karena Tergugat tidak hadir di persidangan tanpa
alasan yang sah, dan tidak pula menyuruh orang lain untuk menghadap ke
persidangan sebagai wakil dan atau kuasanya meskipun Pengadilan Agama Kota
Madiun telah memanggilnya secara resmi dan patut, sebagaimana ketentuan Pasal
125 HIR jo. Pasal 26 Peraturan Pemerinah Nomor 9 Tahun 1975, karenanya Tergugat
harus dinyatakan tidak hadir dan gugatan Penggugat dapat diputus dengan Verstek;
Menimbang bahwa ketentuan tersebut diatas relevant dengan Hadits Nabi
dalam Kitab Hadits Mu’inul Hukkam halaman 96 :
حاكم من حكام المسلمين فلم يجب فهو ظالم لا وعن الحسن أن النبي صلى الله عليه وسلم قال : من دعي إلى
حق له
Artinya : Dari Al Hasan, sesungguhnya Nabi SAW., telah bersabda : “barangsiapa
yang dipanggil oleh Hakim Islam untuk menghadap di persidangan,
sedangkan ia tidak memenuhi panggilan itu, maka ia termasuk orang
yang dhalim dan gugurlah haknya”.
Menimbang bahwa dalil-dalil gugatan Penggugat merupakan rangkaian dalil
yang isinya bahwa rumah tangga Penggugat dan Tergugat sudah tidak harmonis
karena sering berselisih dan bertengkar bahkan sudah pisah tempat tinggal. Atas dasar
itu, Penggugat mohon untuk dijatuhkan talak satu bain sugra Tergugat terhadap
Penggugat;
231
Menimbang bahwa berdasarkan rangkaian dalil gugatan Penggugat tersebut
dan keterangan Penggugat di persidangan, Majelis Hakim berpendapat bahwa
gugatan Penggugat mengisyaratkan didasarkan pada ketentuan Pasal 19 huruf (f)
Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 jo. Pasal 116 huruf (f) Kompilasi Hukum
Islam, yaitu adanya perselisihan dan pertengkaran terus menerus antara suami istri
dan tidak ada harapan lagi untuk kembali rukun;
Menimbang bahwa karena Tergugat tidak pernah hadir di ruang sidang setelah
dipanggil dengan resmi dan patut maka majelis hakim berpendapat alasan pokok yang
didalilkan Penggugat tersebut dianggap tidak disangkal dan dibenarkan oleh
Tergugat;
Menimbang bahwa meskipun Tergugat tidak pernah hadir, Majelis Hakim
tetap membebankan kepada Penggugat untuk membuktikan dalil-dalil gugatannya,
karena perkara ini menyangkut bidang perkawinan yang menggunakan hukum acara
khusus sesuai kehendak Pasal 54, 76 ayat (1) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989
dan dalam hukum Islam pernikahan bukanlah sebagai ikatan perdata biasa akan tetapi
sebagai ikatan yang akadnya mitsaqan gholidhon (ikatan yang kokoh/kuat);
Menimbang bahwa untuk meneguhkan dalil-dalil gugatannya Penggugat telah
mengajukan bukti surat (P.1, P.2 dan P.3) berupa fotokopi KTP, fotokopi Kutipan
Akta Nikah dan fotokopi Akta Kelahiran bermeterai cukup dan telah dicocokkan dan
sesuai dengan aslinya sehingga majelis hakim menilai alat bukti tertulis tersebut sah
sebagai alat bukti berdasarkan Pasal 1888 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata dan
Pasal 2 ayat (3) Undang-Undang Nomor 13 tahun 1985 tentang Bea Meterai serta
pasal 2 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2000 tentang Perubahan Tarif
Bea Meterai dan Besarnya Batas Pengenaan Harga Nominal Yang Dikenakan Bea
Meterai;
Menimbang bahwa untuk meneguhkan dalil-dalil gugatannya Penggugat telah
mengajukan bukti surat (P.3) berupa fotokopi Slip Gaji Tergugat bermeterai cukup
namun tidak dapat dicocokkan dan disesuaikan dengan aslinya sehingga majelis
hakim menilai alat bukti tertulis tersebut adalah sebagai bukti permulaan berdasarkan
Pasal 1889 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata dan Pasal 2 ayat (3) Undang-
232
Undang Nomor 13 tahun 1985 tentang Bea Meterai serta pasal 2 ayat (1) Peraturan
Pemerintah Nomor 24 Tahun 2000 tentang Perubahan Tarif Bea Meterai dan
Besarnya Batas Pengenaan Harga Nominal Yang Dikenakan Bea Meterai;
Menimbang bahwa alat bukti P.1, P.2 dan P.3 tersebut merupakan akta
autentik yang dibuat oleh pejabat yang berwenang, dan isinya tersebut tidak dibantah,
maka nilai kekuatan pembuktianya adalah bersifat sempurna dan mengikat
berdasarkan Pasal 1870 KUH Perdata dan Pasal 165 HIR;
Menimbang bahwa Majelis hakim telah mendengar keterangan 2 (dua) orang
saksi Penggugat yang telah memberikan keterangan di bawah sumpahnya
sebagaimana terurai di atas;
Menimbang bahwa saksi-saksi Penggugat bukan orang yang dilarang untuk
menjadi saksi, memberi keterangan di depan sidang seorang demi seorang dengan
mengangkat sumpah, oleh karena itu memenuhi syarat formil saksi;
Menimbang bahwa dari segi syarat materil saksi, keterangan kedua saksi yang
menerangkan bahwa antara Penggugat dan Tergugat sudah tidak saling mengunjungi
sejak bulan Februari 2017;
Menimbang bahwa oleh karena saksi-saksi tersebut telah memenuhi syarat
formil dan materiil sebagaimana ketentuan Pasal 170, 171, 172 HIR jo. Pasal 76 ayat
(1) Undang-Undang Nomor 7 tahun 1989 jo. Pasal 22 ayat (2) Peraturan Pemerintah
Nomor 9 Tahun 1975 jo. Pasal 134 Kompilasi Hukum Islam, maka keterangan saksi
tersebut mempunyai nilai pembuktian;
Menimbang bahwa berdasarkan dalil-dalil Penggugat yang dihubungkan
dengan bukti-bukti yang saling bersesuaian telah ditemukan fakta hukum sebagai
berikut :
4. Bahwa Penggugat dan Tergugat adalah suami istri sah yang menikah pada
tanggal 04 November 2016;
5. Bahwa Penggugat dan Tergugat sudah dikaruniai 1 orang anak perempuan yang
bernama Clemira Malayeka Azzahra yang diasuh oleh Penggugat;
6. Bahwa antara Penggugat dan Tergugat sejak Februari 2017 sampai sekarang
sudah tidak harmonis lagi karena Tergugat tidak pernah datang mengunjungi
233
Penggugat dan anak Penggugat dan Tergugat serta tidak pernah memberikan
nafkah untuk Penggugat dan anaknya ;
7. Bahwa sejak berpisah Tergugat sudah tidak ada mengirim kabar lagi dan
menjalin komunikasi dengan Penggugat;
8. Bahwa antara Penggugat dan Tergugat sudah pernah dirukunkan oleh keluarga,
akan tetapi tidak berhasil;
Menimbang bahwa fakta hukum yang telah dirumuskan di atas, perlu
dianalisis dan dipertimbangkan berdasarkan penalaran hukum dengan berpijak pada
argumentasi yuridis dalam rangkaian pertimbangan hukum berikut ini :
Menimbang bahwa fakta hukum pertama sampai keempat Penggugat dan
Tergugat adalah suami istri sah, antara Penggugat dan Tergugat sudah pisah tempat
tinggal serta tidak ada komunikasi lagi, menunjukkan bahwa rumah tangga
Penggugat dan Tergugat sudah tidak harmonis;
Menimbang bahwa Penggugat dan Tergugat sudah pisah tempat tinggal tidak
saling mengunjungi dan sudah tidak terbangun komunikasi yang baik layaknya suami
istri, menunjukkan bahwa diantara Penggugat dan Tergugat sudah tidak dapat
mewujudkan hak dan kewajiban masing-masing;
Menimbang bahwa suami istri yang hidup berpisah dan satu sama lain saling
diam dan membisu menunjukkan komunikasi yang tidak harmonis, proses interaksi
yang kurang bersahabat dan pola hubungan yang kurang kondusif serta jauh dari
suasana utuh dalam kebahagiaan;
Menimbang bahwa hancur dan retaknya rumah tangga, merupakan gambaran
di dalamnya sudah tidak ditemukan lagi ketenangan, ketentraman dan kedamaian,
sehingga harapan untuk memegang teguh cita-cita dan tujuan perkawinan bagaikan
menggenggam bara api, sebagai suatu gambaran sungguh sulit dan berat untuk
dilakukan;
Menimbang bahwa fakta hukum kelima Penggugat dan Tergugat sudah sering
dirukunkan akan tetapi tidak berhasil, hal ini menunjukkan rumah tangga Penggugat
dan Tergugat telah pecah sedemikian rupa dan tidak ada harapan akan hidup rukun
lagi dalam rumah tangga sebagaimana tujuan adanya pernikahan;
234
Menimbang bahwa nilai asasi yang harus diemban oleh suami istri adalah
memikul kewajiban yang luhur untuk menegakkan rumah tangga yang sakinah,
mawaddah dan rahmah yang menjadi sendi dasar kehidupan berumah tangga dalam
susunan masyarakat, dan tujuan tersebut hanya bisa dicapai jika suami istri
menjalankan kehidupan berumah tangga dengan rukun, tenteram dan damai;
Menimbang bahwa berdasarkan fakta hukum dan analisis atas fakta hukum
diatas, maka petitum gugatan Penggugat nomor 1 dan 2 dapat dipertimbangkan
sebagai berikut :
Menimbang bahwa apabila dikaji secara mendalam tujuan syariah (maqasid
syariah), khususnya mengenai hukum munakahat, dapat disimpulkan bahwa pada
hakekatnya hukum asal (dasar) perceraian adalah dilarang dan dibenci, kecuali
berdasarkan alasan yang sangat darurat;
Menimbang bahwa mengenai formulasi rumusan alasan darurat sebagai
alasan perceraian, dalam syariat tidak ditentukan secara terinci dan limitatif, akan
tetapi dapat ditemukan melalui hasil ijtihad atau pemahaman fikih atau peraturan
perundang-undangan;
Menimbang bahwa berdasarkan ketentuan Pasal 39 Undang-Undang Nomor 1
Tahun 1974 tentang Perkawinan yaitu untuk melakukan suatu perceraian harus ada
cukup alasan dimana suami istri tidak akan dapat hidup rukun sebagai suami istri dan
pengadilan telah berusaha dan tidak berhasil mendamaikan kedua belah pihak.
Selanjutnya dalam Pasal 19 huruf (f) Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 jo.
Pasal 116 huruf (f) Kompilasi Hukum lslam menegaskan salah satu alasan perceraian
yaitu adanya perselisihan dan pertengkaran terus menerus antara suami istri dan tidak
ada harapan lagi untuk kembali rukun;
Menimbang bahwa dari ketentuan pasal-pasal tersebut terdapat beberapa
unsur yang harus dipenuhi terjadinya perceraian yaitu :
Adanya alasan terjadinya perselisihan dan pertengkaran terus menerus;
Perselisihan dan pertengkaran menyebabkan suami istri sudah tidak ada harapan
untuk kembali rukun;
Pengadilan telah berupaya mendamaikan suami istri tapi tidak berhasil;
235
Menimbang bahwa unsur-unsur tersebut akan dipertimbangkan satu persatu
dengan mengaitkan fakta-fakta hukum yang terjadi dalam rumah tangga Penggugat
dengan Tergugat sehingga dipandang telah memenuhi unsur-unsur terjadinya suatu
perceraian;
5. Adanya alasan terjadinya perselisihan dan pertengkaran yang terus
menerus;
Menimbang bahwa berdasarkan fakta hukum tersebut di atas, telah terbukti
bahwa terjadi perselisihan dan pertengkaran terus menerus antara Penggugat dan
Tergugat yang disebabkan karena “Tergugat tidak dapat memberikan nafkah yang
cukup, pisah tempat tinggal serta tidak ada lagi komunikasi antara Penggugat dan
Tergugat”, karenanya Majelis Hakim menilai terdapat disharmoni dalam rumah
tangga Penggugat dan Tergugat;
Menimbang bahwa Majelis Hakim berpendapat disharmoni sebuah
perkawinan dalam hukum Islam disebut juga azzawwaj al-maksuroh atau dalam
hukum lainnya disebut broken marriage, yang dalam permasalahan keluarga
landasannya bukan semata-mata adanya pertengkaran fisik (phsysical cruelty), akan
tetapi termasuk juga kekejaman mental (mental cruelty) yang menyebabkan tidak
terpenuhinya hak dan kewajiban suami istri sehingga meskipun tidak terjadi
pertengkaran mulut atau kekerasan fisik maupun penganiayaan secara terus menerus,
akan tetapi telah secara nyata terjadi dan berlangsung kekejaman mental atau
penelantaran terhadap salah satu pihak, maka sudah dianggap terjadi broken
marriage;
Menimbang bahwa berdasarkan pertimbangan tersebut maka Majelis Hakim
berpendapat unsur pertama telah terpenuhi dalam perkara ini;
6. Perselisihan dan pertengkaran menyebabkan suami istri sudah tidak ada
harapan untuk kembali rukun;
Menimbang bahwa akibat dari perselisihan dan pertengkaran yang terjadi
antara Penggugat dengan Tergugat adalah tidak saling mengunjungi dan Tergugat
tidak ada komunikasi lagi bahkan antara sudah tidak memperdulikan Penggugat serta
anak Penggugat dan Tergugat;
236
Menimbang bahwa suami istri yang hidup terpisah jarak yang cukup jauh dan
serta tidak saling mengunjungi bahkan antara Penggugat dan Tergugat sudah tidak
terjalin lagi komunikasi yang baik, keadaan demikian tentu sangat jauh dari suasana
utuh dalam kebahagiaan sebagaimana yang diharapkan setiap suami istri dalam
berumahtangga;
Menimbang bahwa Majelis Hakim menilai tindakan Tergugat yang sudah
tidak memperdulikan dan menghiraukan Penggugat dalam kurun waktu yang cukup
lama tersebut tanpa adanya komunikasi atau hubungan lahir dan batin tersebut adalah
sesuatu yang tidak wajar dalam sebuah keluarga yang rukun dan harmonis, karenanya
Majelis Hakim berpendapat rumah tangga Penggugat dan Tergugat sudah tidak ada
harapan untuk dirukunkan kembali;
Menimbang bahwa berdasarkan pertimbangan tersebut maka Majelis Hakim
berpendapat unsur kedua telah terpenuhi dalam perkara ini;
7. Pengadilan telah berupaya mendamaikan suami istri tapi tidak berhasil;
Menimbang bahwa Majelis Hakim telah berupaya untuk memberikan nasehat
kepada Penggugat agar rukun kembali dengan Tergugat pada setiap persidangan
sesuai ketentuan Pasal 31 Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975, namun upaya
tersebut tidak berhasil, begitu pula upaya mediasi juga tidak dapat dilaksanakan
karena ketidakhadiran Tergugat;
Menimbang bahwa berdasarkan pertimbangan tersebut maka Majelis Hakim
berpendapat unsur ketiga telah terpenuhi dalam perkara ini;
Menimbang bahwa berdasarkan fakta hukum dan analisis atas fakta hukum di
atas dapat diketahui bahwa rumah tangga Penggugat dan Tergugat sudah hancur
berantakan, jika dipertahankan akan menimbulkan kesusahan dan kesengsaraan yang
terus menerus, hati Penggugat akan selalu diselimuti kesedihan, rumah bagaikan
penjara kehidupan yang tidak jelas batas akhirnya, tiada bertambahnya hari selain
bertambahnya kehancuran hati dan pahitnya penderitaan, dan kondisi kehidupan yang
demikian bisa menimbulkan mudharat lahir dan batin;
237
Menimbang bahwa menutup pintu yang menyebabkan kesengsaraan dan
penderitaan, merupakan alternatif pemecahan masalah guna menghilangkan
kemafsadatan;
Menimbang bahwa tujuan inti hukum Islam dapat dirumuskan dengan kalimat
المصا لح سد جلب mengandung (mencapai maslahat dan menolak mafsadat) ودرءالمفا
pengertian tujuan disyariatkannya hukum termasuk di dalamnya hukum perkawinan,
adalah untuk kemaslahatan dalam arti untuk kebaikan, keselamatan dan kebahagiaan
manusia baik di dunia maupun di akhirat;
Menimbang, bahwa oleh karena itu dalam rangka mewujudkan tujuan
tersebut, karena mudharat yang ditanggung lebih besar daripada maslahat yang
diperoleh, maka memutuskan ikatan perkawinan akan diperoleh maslahat bagi kedua
belah pihak daripada mempertahankan perkawinan;
Menimbang bahwa relevant dengan perkara ini, dapat diambil sebuah
tuntunan dari Hadits Nabi SAW., yang diriwayatkan oleh Imam Malik menegaskan :
لاضررولاضرارمن ضرضره الله ومن شق شق الله عليه
Artinya : “Tidak boleh memudharatkan dan dimudharatkan, barangsiapa yang
memudharatkan maka Allah akan memudharatkannya dan siapa saja yang
menyusahkan maka Allah akan menyusahkannya”;
Menimbang bahwa bertolak dari hadits tersebut dan dihubungkan dengan
kasus ini, maka seorang suami tidak boleh memberi mudharat kepada istrinya begitu
juga sebaliknya, seorang istri tidak boleh memberi mudharat kepada suaminya,
karena perbuatan yang demikian dilarang oleh syariat;
Menimbang bahwa Majelis Hakim menilai tindakan Tergugat seperti terurai
dalam unsur kedua diatas merupakan bentuk kekerasan dalam rumah tangga
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 huruf (d) jo. Pasal 9 Undang-Undang Nomor
23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga, karenanya
harus segera dihentikan;
238
Menimbang bahwa berdasarkan pertimbangan-pertimbangan tersebut di atas
maka Majelis Hakim berpendapat dalil-dalil perceraian Penggugat telah terbukti dan
telah memenuhi alasan perceraian sebagaimana yang ditentukan dalam Pasal 39 Ayat
(2) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan jo. Pasal 19 huruf (f)
Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 jo. Pasal 116 huruf (f) Kompilasi Hukum
Islam yakni antara suami istri terjadi perselisihan dan pertengkaran yang terus
menerus yang sudah tidak ada harapan untuk hidup rukun lagi sebagai suami istri;
Menimbang, bahwa dalam perkara ini Majelis Hakim sependapat dan
mengambil alih pendapat pakar hukum Islam:
- Sayyid Sabiq dalam Kitab Fiqhu as Sunnah, Juz II, halaman 249 :
اذا ادعت الزوجة اضرار الزوج بـها بما لا يستطاع معه دوام العشرة بين امثالهما يجوزلها ان تطلب من
.القاضى التفريق وحينئذ يطلقها القاضى طلقة بائنة اذا ثبت الضرر وعجز عن الاصلاح بينهما
Artinya : “Jika istri menggugat cerai karena suaminya memudlorotkan terhadap istri
(misal : memukul, mencaci maki, berkata kasar, melakukan perbuatan
yang munkar, seperti berjudi dan lain-lainnya sehingga menggoyahkan
keutuhan rumah tangga, maka dibolehkan bagi istrinya tersebut utnuk
meminta cerai kepada hakim dan bila madlorot tersebut telah terbukti,
sedangkan perdamaianpun tidak tercapai, maka hakim menetapkan jatuh
talak satu ba’in”.
- Kitab Ghoyatul Maram Lil Syarh al-Majdi:
اشتد عدم رغبة الزوجة لزوجها طلق عليه القا ضى طلقة نوإ
Artinya :“Dan apabila ketidak sukaan istri terhadap suaminya sudah
sedemikian rupa, maka hakim boleh menjatuhkan talak suami dengan talak
satu” ;
Menimbang bahwa oleh karena itu gugatan Penggugat petitum nomor 1 dapat
dikabulkan dengan verstek;
Menimbang bahwa oleh karena gugatan Penggugat dikabulkan maka petitum
gugatan nomor 2 yang mohon untuk dijatuhkan talak satu bain sughra Tergugat
terhadap Penggugat dapat dikabulkan;
Menimbang, dengan dikabulkannya gugatan Penggugat untuk menjatuhkan
talak satu baín shugra Tergugat terhadap Penggugat, maka Penggugat akan menjalani
masa iddah, sebagaimana diungkapkan pada Pasal 41 huruf c Undang-Undang
239
Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan menyatakan bahwa “Pengadilan dapat
mewajibkan kepada bekas suami untuk memberikan biaya penghidupan dan/atau
menentukan sesuatu kewajiban bagi bekas istri. Dan juga telah dijelaskan dalam
Pedoman Pelaksanaan Tugas dan Administrasi buku II halaman 150, maka Majelis
Hakim secara ex officio mempertimbangkan oleh karena Penggugat mengajukan
gugatan cerai dan setelah di periksa ternyata tidak terbukti telah melakukan nusyuz,
Majelis Hakim memandang perlu untuk menetapkan kewajiban Tergugat
membayarkan nafkah iddah untuk Penggugat selama 3 bulan;
Menimbang, bahwa besaran jumlah nafkah iddah yang ditanggung Tergugat
bukanlah berdasarkan kemauan subjektif Penggugat maupun Tergugat namun
haruslah berdasarkan kebutuhan riil dan menyesuaikan dengan kemampuan dan
penghasilan Tergugat;
Menimbang, bahwa berdasarkan fakta persidangan telah terbukti bahwa
Tergugat berpenghasilan tetap sebagai karyawan PT Angkasa Pura sebesar
Rp.6.310.016,- (Enam Juta Tiga Ratus Sepuluh Ribu Enam Belas Rupiah)
berdasarkan jumlah tersebut dengan mempertimbangkan kebutuhan minimal
kehidupan di kota Madiun, majelis hakim menetapkan kewajiban nafkah iddah yang
dibebankan kepada Tergugat untuk dibayarkan kepada Penggugat nafkah iddah satu
bulan sejumlah Rp. 1.500.000,-, sehingga karena iddah yang akan dijalani oleh
Penggugat selama 3 (tiga) bulan maka Tergugat berkewajiban membayar nafkah
iddah terhadap Penggugat sejumlah Rp. 4.500.000,- (Empat Juta Lima Ratus Ribu
Rupiah);
Menimbang, bahwa jika terjadi perceraian, maka akan ada akibat akibat
hukum terhadap kewajiban orang tua terhadap anaknya, dalam hal ini majelis
berpendapat bahwa baik ibu maupun bapak tetap memiliki hubungan yang dengan
alasan apapun secara hukum tidak dapat diputuskan dengan anak hasil
perkawinannya tersebut, sehingga sepatutnyalah sebagai orang tua harus bisa
membangun pola hubungan serta komunikasi yang baik sebagai upaya untuk
melaksanakan kewajibannya dalam memelihara dan mendidik anaknya, semata-mata
berdasarkan pada kepentingan dan kebaikan sang anak, sehingga diharapkan jangan
240
sampai anak menjadi korban yang paling dirugikan sebagai akibat dari perceraian
orang tuanya;
Menimbang bahwa Tergugat dan Penggugat merupakan orang tua yang
sudah putus ikatan perkawinannya, yang telah dikaruniai anak maka wajib
memelihara dan mendidik anak mereka sebaik-baiknya sampai anak tersebut mandiri,
hal ini diatur dalam ketentuan Pasal 45 ayat (1) dan (2) Undang-Undang Nomor 1
Tahun 1974 tentang Perkawinan, maka Majelis Hakim secara ex officio harus
mempertimbangkan demi terwujudnya suatu keadilan yang merata khususnya untuk
menjamin kelangsungan hidup dan masa depan anak tersebut, maka Tergugat sebagai
ayahnya berkewajiban menanggung biaya hidup dan pendidikan anak tersebut sampai
dewasa;
Menimbang, bahwa dalam ketentuan Pasal 149 Jo pasal 156 huruf (d) dan (f)
Kompilasi Hukum Islam disebutkan :
(d). Semua biaya hadlanah dan nafkah anak menjadi tanggungjawab ayah menurut
kemampuannya, sekurang-kurangnya sampai anak tersebut dewasa dapat
mengurus diri sendiri (21 tahun);
(f). Pengadilan dapat pula dengan mengingat kemampuan ayahnya menetapkan
jumlah biaya untuk pemeliharaan dan pendidikan anak-anak yang tidak turut
padanya;
Menimbang, bahwa berdasarkan Yurisprudensi Putusan Mahkamah Agung
Nomor 280 K/AG/2004 tanggal 10 Nopember 2004 disebutkan bahwasannya apabila
terjadi perceraian, maka akibat perceraian tersebut harus ditetapkan nafkah anak
sesuai dengan kebutuhan hidup minimum berdasarkan kepatutan dan keadilan untuk
menjamin kepastian dan masa depan anak, sehingga perlu ditetapkan kewajiban
suami untuk membiayai nafkah anaknya;
Menimbang, bahwa Majelis Hakim juga mengemukakan dalil-dalil syar’i
yang kemudian diambil alih sebagai pendapat Majelis Hakim sebagai berikut :
- Kitab Al Muhadzab Juz II hal 177:
ويجب على الاب نفقة الولد لما روى ابو هريرة ان رجلا جاء الى النبي فقال : يل رسول الله عندي دينار .
فقال انفقه علي نفسك . فقال : عندي اخر . فقال : انفقه على ولك ... الخ
Artinya : “nafkah anak adalah beban ayah, sesuai riwayat Abi Hurarirah
241
bahwa seseorang datang kepada Nabi SAW dan berkata : Ya Rasulullah, saya
mempunyai 1 dinar. Nabi berkata : pakailah untuk nafkah dirimu. Orang
tersebut berkata lagi : Saya mempunyai 1 dinar lagi. Nabi berkata : Pakailah
untuk nafkah anakmu … dan seterusnya.”
- Kitab Al Um hal 78:
وخادمه وكسوتان على الاب ان يقوم بالتى فى صلاح صغار ولد من رضاع و نفقة
Artinya : “Diwajibkan atas ayah menjamin kemaslahatan anaknya yang
masih kecil, baik dari segi penyusuannya, nafkahnya, pakaiannya serta
perawatannya”
Menimbang, bahwa berdasarkan fakta persidangan telah terbukti bahwa
Tergugat berpenghasilan tetap sebagai karyawan PT Angkasa Pura dengan gaji bersih
sejumlah Rp.6.310.016,- (Enam Juta Tiga Ratus Sepuluh Ribu Enam Belas Rupiah)
berdasarkan jumlah tersebut dengan mempertimbangkan kebutuhan minimal
kehidupan di kota Madiun, majelis hakim berpendapat dengan asumsi nominal gaji
Tergugat Rp.6.310.016,- (Enam Juta Tiga Ratus Sepuluh Ribu Enam Belas Rupiah)
tersebut jika dibagi 4 (suami, istri, 1 orang anak dan untuk biaya tak terduga) maka
masing-masing bagian akan mendapatkan sekitar Rp.1.577.504,- (satu juta lima ratus
tujuh puluh tujuh ribu lima ratus empat rupiah), dengan bagian jumlah tersebut
tentunya layak dan patut dibebankan kepada Tergugat sebagai hak dari masing-
masing bagian dalam hal ini termasuk anak Penggugat dan Tergugat;
Menimbang, bahwa berdasarkan pertimbangan-pertimbangan tersebut di atas,
serta mempertimbangkan kebutuhan anak yang disesuaikan dengan standar minimal
kelayakan biaya hidup di kota Madiun serta untuk memenuhi kebutuhan anak, maka
Majelis Hakim memutuskan menghukum Tergugat untuk membayar biaya nafkah
anak minimal sebesar Rp. 1.500.000,- (Satu juta lima ratus ribu rupiah) setiap bulan
diluar biaya pendidikan dan kesehatan, dengan ketentuan kenaikan sepuluh persen
(10%) setiap tahunnya, yang dibayarkan melalui Penggugat hingga anak tersebut
dewasa atau mandiri;
242
Menimbang, bahwa perkara ini termasuk dalam bidang perkawinan.
Berdasarkan ketentuan Pasal 89 ayat (1) Undang-Undang Nomor 7 tahun 1989
tentang Peradilan Agama sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor
3 tahun 2006 dan perubahan kedua dengan Undang-Undang Nomor 50 tahun 2009,
maka dibebankan kepada Penggugat untuk membayar biaya perkara ini;
Mengingat, segala peraturan perundang-undangan yang berlaku dan hukum
syara` yang berkaitan dengan perkara ini;
M E N G A D I L I
h. Menyatakan Tergugat telah dipanggil secara resmi dan patut untuk menghadap
ke persidangan, tidak hadir;
i. Mengabulkan gugatan Penggugat dengan verstek;
j. Menjatuhkan talak satu bain sughra Tergugat (Vandika Dwi Putra bin Eko Budhi
Winaryanto) terhadap Penggugat (Yulianita Riskhianingtyas binti Sujaspar)
k. Menghukum Tergugat untuk membayar kepada Penggugat:
a. Nafkah iddah sejumlah Rp. 4.500.000,- (Empat juta lima ratus ribu rupiah)
untuk masa iddah 3 bulan;
b. Nafkah anak Penggugat dan Tergugat yang bernama Clemira Malayeka
Azzahra binti Vandika Dwi Putra Perempuan berumur 1 tahun 9 bulan,
minimal sebesar Rp. 1.500.000,- (satu juta lima ratus ribu rupiah) perbulan,
dengan dikenakan kenaikan 10% setiap tahunnya, sampai anak tersebut
dewasa/ mandiri
l. Membebankan kepada Penggugat biaya perkara sebesar Rp. 771.000 (Tujuh
Ratus Tujuh Puluh Satu Ribu Rupiah);
Demikian putusan ini dijatuhkan pada hari tanggal 04 November 2019
Masehi bertepatan dengan tanggal 07 Rabiul Awal 1441 Hijriyah oleh kami Ulfa
Fithriani, S.H.I., M. H. sebagai Ketua Majelis, Wahib Latukau, S.H.I. dan Amni
Trisnawati, S.H.I., M.A. masing-masing sebagai Hakim Anggota, dan diucapkan oleh
Ketua Majelis dan Hakim-Hakim Anggota tersebut dalam persidangan yang
243
dinyatakan terbuka untuk umum pada hari itu juga, dengan dibantu oleh Taufik
Farida, S.H. sebagai Panitera Pengganti, dan dihadiri oleh Penggugat serta tanpa
hadirnya Tergugat .
Hakim Anggota, Ketua Majelis,
1. Wahib Latukau, S.H.I. Ulfa Fithriani, S.H.I., M. H.
2. Amni Trisnawati, S.H.I., M.A.
Panitera Pengganti,
Taufik Farida, S.H.
Perincian Biaya Perkara :
Pendaftaran Rp 30.000,-
Proses
PNBP
Rp
Rp
75.000,-
20.000,-
Panggilan Rp 630.000,-
Redaksi Rp 10.000,-
Meterai Rp 6.000,-
JUMLAH Rp 771.000,-
244
Gambar Bukti Cek Plagiasi
Gambar Bukti ACC Pembimbing
245
RIWAYAT HIDUP
A. Data Pribadi
Nama :Khoirul Faridah
Tempat & Tanggal Lahir : Ponorogo, 25 Desember 1997
Alamat Asal : Jl. Trunojoyo 62 04/01 Mangkujayan, Ponorogo,
Jawa Timur.
Telepon & Hp : 081217744248
Email : [email protected]
B. Riwayat Pendidikan Formal
2002-2004 : TK Muslimat NU Tegalsari
2004-2010 :SD N 1 Wonoketro Jetis
2010-2013 :MTs Al-Islam Joresan Mlarak
2013-2016 : SMK Telekomunikasi Darul ‘Ulum Rejoso
Jombang
2016-sekarang :UIN Maulana Malik Ibrahim Malang
C. Riwayat Pendidikan Nonformal
2013-2016 :Pondok Pesatren Darul ‘Ulum Rejoso Jombang
2016-2017 :MSAA UIN Maulana Malik Ibrahim Malang
2017 -2018 : PPP. Al-Hikmah Al-Fathimiyyah Malang
2018-sekarang :PPTQ Nurul Furqon Kota Malang
246