perdarahan thalamus ludi
DESCRIPTION
ThalamicTRANSCRIPT
SMF/Lab Ilmu Penyakit Saraf ReferatFakultas Kedokteran Universitas Mulawarman
PERDARAHAN THALAMUS
Disusun olehIbnu Ludi Nugroho
0910015050
Pembimbing
dr. Susilo S, Sp. S
Dibawakan Dalam Rangka Tugas Kepaniteraan Klinik Pada SMF/Laboratorium Ilmu Penyakit Saraf
Program Studi Profesi DokterFakultas Kedokteran Universitas Mulawarman
2014
BAB I
PENDAHULUAN
Thalamus berasal dari bahasa Yunani yang berarti ruang didalam.
Thalamus adalah suatu massa substansia grisea yang berbentuk seperti telur
(oval) dengan diameter 3 x 1,5 cm dan membentuk sebagian diencephalon
(kurang lebih empat perlima volume diencephalon). Organ thalamus, bukan
merupakan kumpulan sel yang sama, tetapi kumpulan sel yang berbeda dengan
fungsinya dan hubungan eferen dan aferennya masing-masing. (Duus,2005:
Snell,2007)
Struktur thalamus dibagi-bagi berdasarkan jenis kumpulan sel-sel sarafnya
(nukleus). Kumpulan sel saraf pada salah satu bagian thalamus adalah pusat
pemrosesan informasi-informasi sensoris. Mereka menerima informasi dari
reseptor sensoris, memproses informasi tersebut, dan mengirimkan
(mentransmisikan) informasi tersebut ke cortex sensoris yang sesuai. Contohnya
lateral geniculate nukleus yang merupakan pusat pemrosesan indera penglihatan
(visual), medial geniculate nukleus yang merupakan pusat pemrosesan indera
pendengaran (auditory), dan ventral posterior nukleus yang merupakan pusat
pemrosesan indera somatosensoris. Nukleus thalamus yang tidak terlibat dalam
proses sensoris, memproyeksikan diri (lewat projection fiber) ke bagian-bagian
cortex yang tidak memiliki fungsi sensoris, contohnya ventrolateral nukleus yang
menerima informasi dari cerebellum (otak kecil) dan memproyeksikan ke kotek
motorik primer. (Duus,2005: Snell,2007)
Oleh karena thalamus merupakan pusat penyalur dan integrasi yang
penting, kelainan yang mengenai area didalam susunan saraf pusat ini akan
menimbulkan efek yang besar. Gangguan pada thalamus dapat berupa neoplasma,
degenerasi akibat penyakit arteri yang memperdarahinya, atau rusak akibat
perdarahan otak. Dalam referat ini akan kami bahas mengenai perdarahan pada
thalamus.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Thalamus
2.1 Topografi Thalamus
Setiap hemisper serebri memiliki sebuah thalamus dan masing-masing
terletak di sisi ventriculus tertius. Ujung anterior thalamus sempit dan bulat serta
merupakan batas lateral foramen interventriculare. Ujung posterior melebar
membentuk pulvinar, yang tergantung melewati colliculus superior. Permukaan
inferior berhubungan dengan tegmentum mesencephali dan permukaan medial
thalamus membentuk dinding lateral ventriculus tertius dan biasanya berhubungan
dengan thalamus sisi berlawanan melalui sebuah pita substansia grisea.
Permukaaan superior thalamus di tutupi oleh lapisan tipis substansia alba yang
disebut stratum zonale, sedangkan permukaan lateralnya oleh lapisan lain yang
disebut lamina medularis externa.(Snell,2007)
Gambar.2.1 Lokasi thalamus (Snell,2001)
2.2 Batas-Batas Anatomi Thalamus
Thalamus berbentuk oval dengan penonjolan dibagian posteriornya.
Sumbu panjangnya membentuk sudut membuka keatas dengan bidang horizontal
sehingga bagian inferiornya juga dapat dikatakan bagian ventral. Dibagian depan,
thalamus berbatasan dengan foramen intervertriculare (Monroi), ke belakang
berhubungan dengan tegmentum mesencephalon. Permukaan medialnya dibatasi
lapisan ependim yang membentuk dinding ventriculus III sedangkan bagian
lateralnyanya, yang berbatasan dengan capsula interna dilapisi oleh lamina
medullare externa. Bagian lateral atas thalamus membentuk sebagian dasar
ventriculus lateralis yang juga dilapisi plexus choroideus. Bagian atasnya dilapisi
oleh stratum zonale. Diujung posterior thalamus terdapat pulvinar yang
berhubungan dengan fungsi pendengaran dan pengelihatan. Pada bagian
lateroanterior terdapat corpus geniculatum mediale (CGM) dan corpus
geniculatum laterale (CGL). Thalamus kiri dan kanan dihubungkan oleh massa
intermedia atau adhesion interthalamica. Disebelah dalam thalamus dibagi
menjadi pars anterior, pars medial, dan pars lateral oleh lamina medullare interna
yang berbentuk huruf “Y”. pada masing-masing bagian terdapat kelompok-
kelompok sel saraf membentuk nukleus thalami. (Wibowo,1994)
Gambar 2.2 Anatomi Thalamus potongan horisontal (Netter,2002)
Gambar .2.3 Thalamus potongan koronal (Netter,2002)
2.3 Nukleus Thalamus
2.3.1 Anterior
Mengandung nukleus anterior thalami. Nukleus tersebut menerima tractus
mamillothalamicus dari nukleus mammilare. Nukleus anterior thalami ini juga
menerima hubungan timbal-balik dengan gyrus cinguli dan hipotalamus. Fungsi
nukleus anterior thalami berhubungan erat dengan fungsi sistem limbic, yaitu
berkaitan dengan emosi dan mekanisme memori yang baru. (Sukardi,1984;
Snell,2001)
2.3.2 Medial
Mengandung nukleus dorsomedialis yang besar dan beberapa nukleus
yang lebih kecil. Nukleus dorsomedialis mempunyai dua cara hubungan dengan
seluruh korteks prefrontalis lobus frontalis hemispherium cerebri. Nukleus ini
juga mempunyai hubungan yang sama dengan seluruh kelompok nukcleus
thalamus lainnya. Bagian medial thalamus berperan mengintegrasikan berbagai
informasi sensorik, termasuk informasi somatic, visceral, dan olfaktorius serta
mengaitkan informasi tersebut dengan perasaan emosional dan keadaan seseorang.
(Sukardi,1984; Snell,2001)
2.3.3 Lateral
Terbagi menjadi dua, yaitu, deretan dorsal dan ventral. (Sukardi,1984; Snell,2001)
1. Nukleus deretan dorsal
Deretan ini meliputin nukleus dorsalis lateralis thalami, nukleus
posterolateral thalami, dan pilvinar thalami. Hubungan nukleus ini belum
jelas, namun ketiganya diketahui memiliki hubungan dengan thalamus
lainnya, juga dengan lobus parietalis, gyrus cinguli, serta lobus occipitalis
dan temporalis.
2. Nukleus deretan ventral
a. Nukleus ventralis anterior
Nukleus ini dihubungkan dengan formation reticularis, substansia
nigra, corpus striatum, dan korteks premotorik, serta berbagai
nukleus thalamus lainnya. Oleh karena terletak pada jaras antara
corpus striatum dan area motorik korteks frontalis, nukleus ini
kemungkinan mempengaruhi aktifitas korteks motoris.
b. Nukleus ventralis lateralis
Nukleus ini mempunyai hubungan sama seperti pada nukleus ventralis
anterior tetapi, mendapatkan banyak input dari cerebellum dan
sedikit dari nukleus ruber. Proyeksi utamanya menuju daerah
motorik dan premotorik cortex cerebri sehingga kemungjinan
nukleus ini juga berperan dalam aktifitas motorik.
c. Nukleus ventralis posterior
Nukleus ini terbagi menjadi nukleus ventralis posteromedialis dan
nukleus ventralis posterolateralis. Nukleus ventralis
posteromedialis menerima serabut-serabut asendens trigeminus
dan jaras pengecapan, sedangkan nukleus ventralis posterolateralis
menerima traktus sensorik asendens yang penting, lemniscus
spinalis. Proyeksi thalamokortikal dari nukleus-nukleus yang
penting ini berjalan melalui crus posterius capsula interna dan
corona radiata menuju area sensorik somatik primer cortex cerebri
di gyrus postcentralis (area 3,1, dan 2).
2.4 Nukleus Thalamus lainnya (Sukardi,1984; Snell,2001)
Nukleus-nukleus ini, antara lain nukleus intralaminares, nukleus di garis
tengah, nukleus reticularis, serta corpus geniculatum mediale dan corpus
geniculatum laterale. (Sukardi,1984; Snell,2001)
a. Nukleus intralaminares
Sekumpulan kecil sel-sel saraf di dalam lamina medullaris interna.
Nukleus ini menerima serabut-serabut aferen dari formation reticularis,
tractus spinothalamicus dan tractus trigeminothalamicus. Mengirimkan
serabut serabut-serabut eferen ke nukleus thalami lain nya yang kemudian
diproyeksikan ke cortex cerebri, dan mengirimkan serabut ke corpus
striatum. Nukleus-nukleus ini diduga mempengaruhi tingkat kesadaran dan
kesiagaan seseorang.
b. Nukleus di garis tengah
Terdiri dari kelompok sek saraf yang terletak di dekat ventriculus
tertius dan didalam hubungan intertalamik. Nukleus ini menerima serabut
aferen dari formation reticularis. Fungsi tepat nya tidak diketahui
c. Nukleus reticularis
Lapisan tipis sel saraf yang tersusun berlapis diantara lamian
medullaris externa dan ekstremitas posterior capsula interna.
Serabut-serabut aferen dari cotex cerebri dan formatio reticularis berkumpul
pada nukleus ini dan outputnya,terutama nukleus thalami lain nya. Fungsi
nukleus reticularis belum dimengerti seluruh nya, tetapi kemungkinan
berkaitan dengan mekanisme regulasi aktivitas thalamus oleh cortx
cerebri.
d. Corpus geniculatum mediale
Membentuk sebagia jaras audiotorik dan merupakan sebuah
penonjolan pada permukaan posterior thalamus dibawah pulvinar. Serabut-
serabut aferen ke corpus geniculatum mediale membentuk brachium
inferior dan berasal dari colliculus inferior. Harus diingat bahwa colliculus
inferior inferior merupakan tempat berakhirnya serabut-serabut lemniscus
lateralis. Corpus geniculatum mediale menerima informasi auditorik dari
kedua telnga, terutama dari telinga sisi kontralateral. Serabut-serabut
eferen meninggalkan corpus geniculatum mediale dengan membentuk
radiatio audiotorius, yang berjalan menuju cortex audiotorik dibgyrus
temporalis superior.
e. Corpus geniculatum laterale
Membentuk bagian jaras visual dan merupakan sebuah penonjolan
pada permukaan bawah pulvinar thalami. Nukleus ini terdiri terdiri dari
enam lapisan sel saraf dan merupakan tempat tempat berakhirnya semua
serabut saraf, kecuali beberapa serabut tractus opticus ( kecuali serabut
yang menuju nukleus pretectalis). Serabut-serabut merupakan akson sel
lapisan ganglion retina dan berasal dari setengah lapang pandang temporal
mata sisi ipsilateral dan setengah lapang pandang nasal mata kontralateral.
Serabut-serabut terakhir ini menyilang garis tengah di chiasma opticum.
Oleh karena itu, masing-masing corpus geniculatum laterale menerima
informasi visual dari lapang pandang sisi yang berlawanan. Serabut-
serabut eferen meninggalkan corpus geniculatum laterale untuk
membentuk radiation optica, yang berjalan ke korteks visual di lobus
occipitalis.
Gambar 2.4 Nukleus-nukleus Thalamus (Netter,2002)
Tabel 1.1 Nukleus-nukleus Thalamus (Netter, 2002)
Gambar 2.5 Topografi nukleus Thalamus (Netter,2002)
Gambar. 2.6 Perjalanan Impuls (Duus,2005)
2.5 Vaskularisasi Thalamus
2.5.1 Sistem arteri
Terdapat dua sistem vaskularisasi otak yaitu sistem carotis dan sistem
vertebrobasiler. Thalamus terutama mendapat darah dari cabang-cabang arteria
kommunikans posterior dan arteria serebri posterior.
Arteri komunikans posterior membentuk cabang perforans yang halus
ketuber sinerium, corpus mamilare, nucleus rostal thalamus, subthalamus, dan
sebagian capsula interna.
Arteri serebri posterior, memiliki hubungan yang baik dengan sirkulasi
anterior dan sirkulasi posterior. Sebagian besar darah yang mengalir didalamnya
biasanya berasal dari basilar tip, tetapi juga terdapat sedikit kontribusi arteri
karotis interna melalui arteri kommunikans posterior. Arteri komunikans posterior
bergabung dengan arteri serebri posterior sekitar 10 mm di distal basilar tip.
Segmen arteri serebri posterior di bagian proksimal titik ini disebut segmen
precommunicating, atau dalam terminology Fisher, segmen P1, sedangkan
segmen yang terletak distal dari titik ini adalah segmen postcommunicating atau
P2. Baik arteri serebri posterior maupun arteri komunikans posterior membentuk
cabang perforans ke mesensefalon dan thalamus. Cabang-cabang arteri tersebut:
1. Arteri thalami perforans anterior dan posterior. Arteri thalami perforans
anterior merupan cabang arteri kommunikans posterior yang terutama
menyuplai bagian rostal thalamus. Arteri thalami perforans posterior
berasal dari arteri serebri posterior di proksimal hubungan dengan arteri
kommunikans posterior dan arteri thalami perforan menyuplai bagian
basal dan medial thalamus, serta pulvinar.
2. Arteri thalamogenikulatum, berasal dari arteri serebri posterior di distal
tempat keluarnya arteri kommunikans posterior. Arteri ini menyuplai
bagian lateral thalamus.
3. Arteri khoridea posterior lateralis dan medialis, berasal dari arteri serebri
posterior, juga keluar dari di sebelah distal tempat berasalnya arteri
kommunikans posterior. Arteri ini menyuplai corpus genikulatum, nucleus
medialis thalami, nucleus posteromedialis thalami dan pulvinar.
(Duus,2005)
Gambar. 2.7 Sirkulasi arteri Thalamus (Duus,2005)
Gambar. 2.8 Wilayah Sirkulasi Thalamus (Schmahmann,2003)
2.5.2 Sistem Vena
Vena-vena otak, tidak seperti vena pada bagian tubuh lain nya, tidak
berjalan bersama dengan arteri. Teritori arteri cerebri tidak sama dengan area
drainase vena cerebral. Darah vena dari parenkim otak melewati ruangan
subaraknoid dan ruangan subdural di dalam vena kortikal yang pendek yang
memiliki anatomi relative sama. Vena-vena tersebut meliputi vena anastomotika
superior (Trolard), vena dorsalis superior cerebri, vena media suferfisialis cerebri
dan vena anastomotika inferior (Labbe) pada permukaan lateral lobus temporalis.
(Duus,2005).
Darah vena dari region otak yang dalam, termasuk ganglia basalis dan
thalamus, mengalir sepanjang vena interna serebri dan sepasang vena basalis
Rosenhim. Vena interna cerebri terbentuk oleh penggabungan vena-vena septum
pelusidum (vena septalis) dengan vena talamostiata. Keempat vena ini, dari kedua
sisi, bergabung dibelakang splenium untuk membentuk vena Magna serebri
Galen. Dari sini, darah vena mengalir kedalam sinus rektus dan kemudian
kedalam gabungan sinus (Confluens sinuum, torcular Herophii ), yang merupakan
pertautan sinus rektus, sinus sagitalis superior, dan sinus transversus kedua sisi.
(Duus,2005).
Gambar. 2.9 Sistem Vena Otak (Duus,2005)
Gambar. 2.10 Sistem vena (Duus,2005)
Perdarahan Intra Serebral
2.6. Definisi
Perdarahan intraserebral (PIS) adalah perdarahan yang terjadi di otak yang
disebabkan oleh pecahnya (ruptur) pada pembuluh darah otak. Perdarahan dalam
dapat terjadi di bagian manapun di otak. Darah dapat terkumpul di jaringan otak,
ataupun di ruang antara otak dan selaput membran yang melindungi otak.
Perdarahan dapat terjadi hanya pada satu hemisfer (lobar intracerebral
hemorrhage), atau dapat pula terjadi pada struktur dari otak, seperti thalamus,
basal ganglia, pons, ataupun cerebellum (deep intracerebral hemorrhage).
2.7. Epidemiologi
Di seluruh dunia insiden perdarahan intraserebral berkisar 10 sampai 20
kasus per 100.000 penduduk dan meningkat seiring dengan usia. Perdarahan
intraserebral lebih sering terjadi pada pria daripada wanita, terutama yang lebih
tua dari 55 tahun, dan dalam populasi tertentu, termasuk orang kulit hitam dan
Jepang. Selama periode 20 tahun studi The National Health and Nutrition
Examination Survey Epidemiologic menunjukkan insiden perdarahan
intraserebral antara orang kulit hitam adalah 50 per 100.000, dua kali insiden
orang kulit putih. Perbedaan dalam prevalensi hipertensi dan tingkat pendidikan
berhubungan dengan perbedaan resiko. Peningkatan risiko terkait dengan
tingkat pendidikan yang lebih rendah mungkin terkait dengan kurangnya
kesadaran akan pencegahan primer dan akses ke perawatan kesehatan. Insiden
perdarahan intraserebral di Jepang yaitu 55 per 100.000 jumlah ini sama dengan
orang kulit hitam. Tingginya prevalensi hipertensi dan pengguna alkohol pada
populasi Jepang dikaitkan dengan insiden. Rendahnya observasi kadar kolesterol
serum pada populasi ini juga dapat meningkatkan resiko perdarahan intraserebral.
Usia rata-rata pada umur 53 tahun, interval 40 – 75 tahun. Insiden pada laki-laki
sama dengan pada wanita. Angka kematian 60 – 90 %.
2.8. Anatomi
Otak terdiri dari sel-sel otak yang disebut neuron, sel-sel penunjang yang
dikenal sebagai sel glia, cairan serebrospinal, dan pembuluh darah. Semua orang
memiliki jumlah neuron yang sama sekitar 100 miliar, tetapi koneksi di antara
berbagi neuron berbeda-beda. Pada orang dewasa, otak membentuk hanya sekitar
2% (sekitar 1,4 kg) dari berat tubuh total, tetapi mengkonsumsi sekitar 20%
oksigen dan 50% glukosa yang ada di dalam darah arterial.
Otak harus menerima lebih kurang satu liter darah per menit, yaitu sekitar
15% dari darah total yang dipompa oleh jantung saat istirahat agar berfungsi
normal. Otak mendapat darah dari arteri. Yang pertama adalah arteri karotis
interna yang terdiri dari arteri karotis (kanan dan kiri), yang menyalurkan darah ke
bagian depan otak disebut sebagai sirkulasi arteri cerebrum anterior. Yang kedua
adalah vertebrobasiler, yang memasok darah ke bagian belakang otak disebut
sebagai sirkulasi arteri cerebrum posterior. Selanjutnya sirkulasi arteri cerebrum
anterior bertemu dengan sirkulasi arteri cerebrum posterior membentuk suatu
sirkulus willisi.
Ada dua hemisfer di otak yang memiliki masing-masing fungsi. Fungsi-
fungsi dari otak adalah otak merupakan pusat gerakan atau motorik, sebagai pusat
sensibilitas, sebagai area broca atau pusat bicara motorik, sebagai area wernicke
atau pusat bicara sensoris, sebagai area visuosensoris, dan otak kecil yang
berfungsi sebagai pusat koordinasi serta batang otak yang merupakan tempat jalan
serabut-serabut saraf ke target organ. Jika terjadi kerusakan gangguan otak maka
akan mengakibatkan kelumpuhan pada anggota gerak, gangguan bicara, serta
gangguan dalam pengaturan nafas dan tekanan darah. Gejala di atas biasanya
terjadi karena adanya serangan stroke.
2.9. Etiologi
Hipertensi merupakan penyebab terbanyak (72-81%). Perdarahan
intraserebral spontan yang tidak berhubungan dengan hipertensi,
biasanya berhubungan dengan diskrasia darah, hemartroma, neoplasma,
aneurisma, AVM, tumor otak metastasis, pengobatan dengan antikoagulans,
gangguan koagulasi seperti pada leukemia atau trombositopenia, serebralarteritis,
amyloid angiopathy dan adiksi narkotika.
Perdarahan intraserebral dapat disebabkan oleh :
1. Hipertensi
Hipertensi lama akan menimbulkan lipohialinosis dan nekrosis fibrinoid yang
memperlemah dinding pembuluh darah yang kemudian menyebabkan ruptur
intima dan menimbulkan aneurisma. Selanjutnya dapat menyebabkan
mikrohematoma dan edema. Hipertensi kronik dapat juga menimbulkan
sneurisma-aneurisma kecil (diameternya 1 mm) yang tersebar di sepanjang
pembuluh darah, aneurisma ini dikenal sebagai aneurisma Charcot Bouchard.
2. Cerebral Amyloid Angiopathy
Cerebral Amyloid Angiopathy adalah suatu perubahan vaskular yang unik
ditandai oleh adanya deposit amiloid di dalam tunika media dan tunika
adventisia pada arteri kecil dan arteri sedang di hemisfer serebral. Arteri-arteri
yang terkena biasanya adalah arteri-arteri kortical superfisial dan arteri-arteri
leptomening. Sehingga perdarahan lebih sering di daerah subkortikal lobar
ketimbang daerah basal ganglia. Deposit amiloid menyebabkan dinding arteri
menjadi lemah sehingga kemudian pecah dan terjadi perdarahan intraserebral.
Di samping hipertensi, amyloid angiopathy dianggap faktor penyebab kedua
terjadinya perdarahan intraserebral pada penderita lanjut usia.
3. Arteriovenous Malformation
4. Neoplasma intrakranial. Akibat nekrosis dan perdarahan oleh jaringan
neoplasma yang hipervaskular.
Perdarahan di putamen, thalamus, dan pons biasanya akibat ruptur
a. lentikulostriata, a. thalamoperforating dan kelompok basilar-paramedian.
Sedangkan perdarahan di serebelum biasanya terdapat di daerah nukleus
dentatus yang mendapat pendarahan dari cabang a. serebelaris superior dan a.
serecelaris inferior anterior.
Gambar 1. Lokasi tersering sumber perdarahan intraserebral4
2.10. Patofisiologi
Kasus PIS umumnya terjadi di kapsula interna (70 %), di fossa
posterior (batang otak dan serebelum) 20 % dan 10 % di hemisfer (di luar kapsula
interna). Gambaran patologik menunjukkan ekstravasasi darah karena robeknya
pembuluh darah otak dan diikuti adanya edema dalam jaringan otak di sekitar
hematom. Akibatnya terjadi diskontinuitas jaringan dan kompresi oleh hematom
dan edema pada struktur sekitar, termasuk pembuluh darah otak dan penyempitan
atau penyumbatannya sehingga terjadi iskemia pada jaringan yang dilayaninya,
maka gejala klinis yang timbul bersumber dari destruksi jaringan otak,
kompresi pembuluh darah otak / iskemia dan akibat kompresi pada jaringan otak
lainnya.
2.11. Gejala Klinis
Secara umum gejala klinis PIS merupakan gambaran klinis akibat
akumulasi darah di dalam parenkim otak. PIS khas terjadi sewaktu aktivitas, onset
pada saat tidur sangat jarang. Perjalanan penyakitnya, sebagian besar (37,5-70%)
per akut. Biasanya disertai dengan penurunan kesadaran. Penurunan kesadaran ini
bervariasi frekuensi dan derajatnya tergantung dari lokasi dan besarnya
perdarahan tetapi secara keseluruhan minimal terdapat pada 60% kasus. dua
pertiganya mengalami koma, yang dihubungkan dengan adanya perluasan
perdarahan ke arah ventrikel, ukuran hematomnya besar dan prognosis yang jelek.
Sakit kepala hebat dan muntah yang merupakan tanda peningkatan tekanan
intrakranial dijumpai pada PIS, tetapi frekuensinya bervariasi. Tetapi hanya 36%
kasus yang disertai dengan sakit kepal sedang muntah didapati pada 44% kasus.
Jadi tidak adanya sakit kepala dan muntah tidak menyingkirkan PIS, sebaliknya
bila dijumpai akan sangat mendukung diagnosis PIS atau perdarahn subarakhnoid
sebab hanya 10% kasus stroke oklusif disertai gejala tersebut. Kejang jarang
dijumpai pada saat onset PIS.
2.12. Pemeriksaan Fisik
Hipertensi arterial dijumpai pada 91% kasus PIS. Tingginya frekuensi
hipertensi berkorelasi dengan tanda fisik lain yang menunjukkan adanya
hipertensi sistemik seperti hipertrofi ventrikel kiri dan retinopati hipertensif.
Pemeriksaan fundus okuli pada kasus yang diduga PIS mempunyai tujuan ganda
yaitu mendeteksi adanya tanda-tanda retinopati hipertensif dan mencari adanya
perdarahan subhialoid (adanya darah di ruang preretina, yang merupakan tanda
diagnostik perdarahan subarakhnoid) yang mempunyai korelasi dengan ruptur
aneurisma. Kaku kuduk terdapat pada 48% kasus PIS.
Gerakan mata, pada perdarahan putamen terdapat deviation conjugae ke
arah lesi, sedang pada perdarahan nukleus kaudatus terjadi kelumpuhan gerak
horisontal mata dengan deviation conjugae ke arah lesi. Perdarahan thalamus akan
berakibat kelumpuhan gerak mata atas (upward gaze palsy), jadi mata melihat ke
bawah dan kedua mata melihat ke arah hidung. Pada perdarahan pons terdapat
kelumpuhan gerak horisontal mata dengan ocular bobbing.
Pada perdarahan putamen, reaksi pupil normal atau bila terjadi herniasi
unkus maka pupil anisokor dengan paralisis N. III ipsilateral lesi. Perdarahan di
thalamus akan berakibat pupil miosis dan reaksinya lambat. Pada perdarahan di
mesensefalon, posisi pupil di tengah, diameternya sekitar 4-6 mm, reaksi pupil
negatif. Keadaan ini juga sering dijumpai pada herniasi transtentorial. Pada
perdarahn di pons terjadi pinpoint pupils bilateral tetapi masih terdapat reaksi,
pemeriksaannya membutuhkan kaca pembesar.
Pola pernafasan pada perdarahan diensefalon adalah Cheyne-Stroke,
sedang pada lesi di mesensefalon atau pons pola pernafasannya hiperventilasi
sentral neurogenik. Pada lesi di bagian tengah atau caudal pons memperlihatkan
pola pernafasan apneustik. Pola pernafasan ataksik timbul pada lesi di medula
oblongata. Pola pernafasan ini biasanya terdapat pada pasien dalam stadium
agonal.
2.13. Klasifikasi PIS
Tipe perdarahan intaserebral yang tersering adalah seperti berikut :
1. Putaminal Hemorrhage
Antara sindroma klinis perdarahan yang tersering adalah
disebabkan oleh perdarahan putaminal dengan terjadinya penekanan pada
daerah berdekatan dengan kapsula interna. Gejala dan kelainan neurologic
hampir bervariasi berdasarkan kedudukan dan ukuran penekanan.
Perdarahan putaminal khas dengan onset progresif pada hampir
duapertiga pasien, dan kurang dari sepertiga mempunyai gejala mendadak
dan hampir maksimal saat onset. Nyeri kepala tampil saat onset gejala
hanya pada 14% kasus dan pada setiap waktu hanya 28%; semua pasien
menunjukkan berbagai bentuk defisit motorik dan sekitar 65%
mengalami perubahan reaksi terhadap pin-prick. Perdarahan putaminal
kecil menyebabkan defisit sedang motorik dan sensori kontralateral.
Perdarahan berukuran sedang mula-mula mungkin tampil dengan
hemiplegia flaksid, defisit hemisensori, deviasi konjugasi mata pada sisi
perdarahan, hemianopia homonim, dan disfasia bila yang terkena hemisfer
dominan. Progresi menjadi perdarahan masif berakibat stupor dan
lalukoma, variasi respirasi, pupil tak berreaksi yang berdilatasi, hilangnya
gerak ekstra-okuler, postur motor abnormal, dan respons
Babinski bilateral.
Gejala muntah terjadi hampir setengah daripada penderita. Sakit
kepala adalah gejala tersering tetapi tidak seharusnya ada. Dengan jumlah
perdarahan yang banyak, penderita dapat segera masuk kepada kondisi
stupor dengan hemiplegi dan kondisi penderita akan tampak memburuk
dengan berjalannya masa.
Walau bagaimanapun, penderita akan lebih sering mengeluh
dengan sakit kepala atau gangguan kepala yang dirasakan pusing. Dalam
waktu beberapa menit wajah penderita akan terlihat mencong ke satu sisi,
bicara cadel atau aphasia, lemas tangan dan tungkai dan bola mataakan
cenderung berdeviasi menjauhi daripada ekxtremitas yang lemah. Hal ini
terjadi, bertahap mengikuti waktu dari menit ke jam di mana sangat kuat
mengarah kepada perdarahan intraserebral. Paralisis dapat terjadi semakin
memburuk dengan munculnya refleks Babinski yang mana pada awalnya
dapat muncul unilateral dan kemudian bisa bilateral dengan ekstremitas
menjadi flaksid, stimulasi nyeri menghilang, tidak dapat bicara dan
memperlihatkan tingkat kesadaran stupor. Karekteristik tingkat keparahan
paling parah adalah dengan tanda kompresi batang otak atas (koma); tanda
Babinski bilateral; respirasi dalam, irregular atau intermitten; pupil dilatasi
dengan posisi tetap pada bagian bekuan dan biasanya adanya kekakuan
yang deserebrasi.
Gambar 2.
Perdarahan
Putaminal
2. Thalamic
Hemorrhage
Sindroma klinis akibat perdarahan talamus sudah dikenal.
Umumnya perdarahan talamus kecil menyebabkan defisit neurologis lebih
berat dari perdarahan putaminal. Seperti perdarahan putaminal,
hemiparesis kontralateral terjadi bila kapsula internal tertekan. Namun
khas dengan hilangnya hemisensori kontralateral yang nyata yang
mengenai kepala, muka, lengan, dan tubuh. Perluasan perdarahan ke
subtalamus dan batang otak berakibat gambaran okuler klasik yaitu
terbatasnya gaze vertikal, deviasi mata kebawah, pupil kecil namun
bereaksi baik atau lemah. Anisokoria, hilangnya konvergensi, pupil tak
bereaksi, deviasi serong, defisit lapang pandang, dan nistagmus retraksi
juga tampak. Anosognosia yang berkaitan dengan perdarahan sisi kanan
dan gangguan bicara yang berhubungan dengan lesi sisi kiri tidak jarang
terjadi. Nyeri kepala terjadi pada 20-40 % pasien. Hidrosefalus dapat
terjadi akibat penekanan jalur CSS.
Gambar 3. Perdarahan
Thalamus
3. Perdarahan Pons
Perdarahan pons merupakan hal yang jarang terjadi dibandingkan
dengan perdarahan intraserebral supratentorial, tetapi 50% dari perdarahan
infratentorial terjadi di pons. Gejala klinik yang sangat menonjol pada
perdarahan pons ialah onset yang tiba-tiba dan terjadi koma yang dalam
dengan defisit neurologik bilateral serta progresif dan fatal. Perdarahan
ponting paling umum menyebabkan kematian dari semua perdarahan otak.
Bahkan perdarahan kecil segera menyebabkan koma, pupil pinpoint (1
mm) namun reaktif, gangguan gerak okuler lateral, kelainan saraf kranial,
kuadriplegia, dan postur ekstensor. Nyeri kepala, mual dan muntah jarang.
4. Perdarahan Serebelum
Lokasi yang pasti dari tempat asal perdarahan di serebelum sulit
diketahui. Tampaknya sering terjadi di daerah nukleus dentatus dengan
arteri serebeli superior sebagai suplai utama. Perluasan perdarahan ke
dalam ventrikel IV sering terjadi pada 50% dari kasus perdarahan di
serebelum. Batang otak sering mengalami kompresi dan distorsi sekunder
terhadap tekanan oleh gumpalan darah. Obstruksi jalan keluar cairan
serebrospinal dapat menyebabkan dilatasi ventrikel III dan kedua ventrikel
lateralis sehingga dapat terjadi hidrosefalus akut dan peningkatan tekanan
intrakranial dan memburuknya keadaan umum penderita. Kematian
biasanya disebabkan tekanan dari hematoma yang menyebabkan herniasi
tonsil dan kompresi medula spinalis.
Sindroma klinis perdarahan serebeler pertama dijelaskan secara
jelas oleh Fisher. Yang khas adalah onset mendadak dari mual, muntah,
tidak mampu bejalan atau berdiri. Tergantung dari evolusi perdarahan,
derajat gangguan neurologis terjadi. Hipertensi adalah faktor etiologi pada
kebanyakan kasus. Duapertiga dari pasien dengan perdarahan
serebeler spontan mengalami gangguan tingkat kesadaran dan tetap
responsif saat datang; hanya 14% koma saat masuk. 50% menjadi koma
dalam 24 jam, dan 75% dalam seminggu sejak onset. Mual dan muntah
tampil pada 95%, nyeri kepala (umumnya bioksipital) pada 73%,
dan pusing (dizziness) pada 55 %. Ketidakmampuan berjalan atau berdiri
pada 94 %. Dari pasien non koma, tanda-tanda serebeler umum terjadi
termasuk ataksia langkah (78 %), ataksia trunkal (65 %), dan ataksia
apendikuler ipsilateral (65 %). Temuan lain adalah palsi saraf fasial perifer
(61%), palsi gaze ipsilateral (54 %), nistagmus horizontal (51 %), dan
miosis (30%). Hemiplegia dan hemiparesis jarang, dan bila ada biasanya
disebabkan oleh stroke oklusif yang terjadi sebelumnya atau bersamaan.
Triad klinis ataksia apendikuler, palsi gaze ipsilateral, dan palsi fasial
perifer mengarahkan pada perdarahan serebeler. Perdarahan serebeler garis
tengah menimbulkan dilema diagnostik atas pemeriksaan klinis.
Umumnya perjalanan pasien lebih ganas dan tampil dengan oftalmoplegia
total, arefleksia, dan kuadriplegia flaksid.
Pada pasien koma, diagnosis klinis perdarahan serebeler lebih sulit
karena disfungsi batang otak berat. Dari pasien koma, 83 % dengan
oftalmoplegia eksternal yang lengkap, 53 % dengan irreguleritas
pernafasan, 54 % dengan kelemahan fasial ipsilateral. Pupil umumnya
kecil; tak ada reaksi pupil terhadap sinar pada 40 % pasien.
5. Perdarahan Lober
Sindroma klinis akut perdarahan lober dijelaskan Ropper dan
Davis. Hipertensi kronik tampil hanya pada 31 % kasus, dan 4 % pasien
yang koma saat datang. Perdarahan oksipital khas menyebabkan nyeri
berat sekitar mata ipsilateral dan hemianopsia yang jelas. Perdarahan
temporal kiri khas dengan nyeri ringan pada atau dekat bagian anterior
telinga, disfasia fluent dengan pengertian pendengaran yang buruk namun
repetisi relatif baik. Perdarahan frontal menyebabkan kelemahan lengan
kontralateral berat, kelemahan muka dantungkai ringan, dan nyeri kepala
frontal. Perdarahan parietal mulai dengan nyeri kepala temporal anterior
('temple') serta defisit hemisensori, terkadang mengenai tubuh ke garis
tengah. Evolusi gejala yang lebih cepat, dalam beberapa menit, namun
tidak seketika bersama dengan satu dari sindroma tersebut membantu
membedakan perdarahan lober dari stroke jenis lain. Kebanyakan
AVM dan tumor memiliki lokasi lober.
6. Perdarahan intraserebral akibat trauma
Adalah perdarahan yang terjadi di dalam jaringan otak. Hematom
intraserebral pascatraumatik merupkan koleksi darah fokal yang biasanya
diakibatkan cedera regangan atau robekan rasional terhadap pembuluh-
pembuluh darah intraparenkimal otak atau kadang-kadang cedera
penetrans. Ukuran hematom ini bervariasi dari beberapa milimeter sampai
beberapa sentimeter dan dapat terjadi pada 2%-16% kasus cedera.
Intracerebral hematom mengacu pada hemorragi / perdarahan lebih dari 5
ml dalam substansi otak (hemoragi yang lebih kecil dinamakan punctate
atau petechial/bercak).
2.14. Diagnosis
Cara yang paling akurat untuk mendefinisikan stroke hemoragik dengan
stroke non hemoragik adalah dengan CT scan tetapi alat ini membutuhkan biaya
yang besar sehingga diagnosis ditegakkan atas dasar adanya suatu kelumpuhan
gejala yang dapat membedakan manifestasi klinis antara perdarahan infark.
Pemeriksaan Penunjang
Kimia darah
Lumbal punksi
EEG
CT scan
Arteriografi
Pemeriksaan koagulasi harus dikerjakan pada pasien.
2.15 . Komplikasi
o Stroke hemoragik
o Kehilangan fungsi otak permanen
o Efek samping obat-obatan dalam terapi medikasi
2.16. Penanganan PIS
Semua penderita yang dirawat dengan ‟intracerebral hemorrhage‟ harus
mendapat pengobatan untuk :
1. ”Normalisasi” tekanan darah
2. Pengurangan tekanan intrakranial
3. Pengontrolan terhadap edema serebral
4. Pencegahan kejang.
Hipertensi dapat dikontrol dengan obat, sebaiknya tidak berlebihan karena
adanya beberapa pasien yang tidak menderita hipertensi; hipertensi terjadi karena
cathecholaminergic discharge pada fase permulaan. Lebih lanjut autoregulasi dari
aliran darah otak akan terganggu baik karena hipertensi kronik maupun oleh
tekanan intrakranial yang meninggi. Kontrol yang berlebihan terhadap tekanan
darah akan menyebabkan iskemia pada miokard, ginjal dan otak.
Dalam suatu studi retrospektif memeriksa dengan CT-Scan untuk
mengetahui hubungan tekanan darah dan pembesaran hematoma terhadap 79
penderita dengan PISH, mereka menemukan penambahan volume hematoma pada
16 penderita yang secara bermakna berhubungan dengan tekanan darah sistolik.
Tekanan darah sistolik ≥ 160 mmHg tampak berhubungan dengan penambahan
volume hematoma dibandingkan dengan tekanan darah sistolik ≤ 150 mmHg.
Obat-obat anti hipertensi yang dianjurkan adalah dari golongan :9
1. Angiotensin Converting Enzyme Inhibitors
2. Angiotensin Receptor Blockers
3. Calcium Channel Blockers
Tindakan segera terhadap pasien dengan PIS ditujukan langsung
terhadap pengendalian TIK serta mencegah perburukan neurologis berikutnya.
Tindakan medis seperti hiperventilasi, diuretik osmotik dan steroid (bila
perdarahan tumoral) digunakan untuk mengurangi hipertensi intrakranial yang
disebabkan oleh efek massa perdarahan. Sudah dibuktikan bahwa evakuasi
perdarahan yang luas meninggikan survival pada pasien dengan koma, terutama
yang bila dilakukan segera setelah onset perdarahan.
Walau begitu pasien sering tetap dengan defisit neurologis yang jelas.
Pasien memperlihatkan tanda-tanda herniasi unkus memerlukan evakuasi yang
sangat segera dari hematoma. Angiogram memungkinkan untuk menemukan
kelainan vaskuler. Adalah sangat serius untuk memikirkan pengangkatan PIS
yang besar terutama bila ia bersamaan dengan hipertensi intrakranial yang
menetap dan diikuti atau telah terjadi defisit neurologis walau telah diberikan
tindakan medis maksimal.
Adanya hematoma dalam jaringan otak bersamaan dengan adanya
kelainan neurologis memerlukan evakuasi bedah segera sebagai tindakan terpilih.
Beratnya perdarahan inisial menggolongkan pasien ke dalam tiga kelompok :
1. Perdarahan progresif fatal.
Kebanyakan pasien berada pada keadaan medis buruk. Perubahan hebat
tekanan darah mempengaruhi kemampuan otak untuk mengatur darahnya,
gangguan elektrolit umum terjadi dan pasien sering dehidrasi. Hipoksia akibat
efek serebral dari perdarahan serta obstruksi jalan nafas memperburuk keadaan.
Perburukan dapat diikuti sejak saat perdarahan dengan bertambahnya tanda-tanda
peninggian TIK dan gangguan batang otak. Pengelolaan inisial pada kasus berat
ini adalah medikal dengan mengontrol tekanan darah ke tingkat yang tepat,
memulihkan kelainan metabolik, mencegah hipoksia dan menurunkan tekanan
intrakranial dengan manitol, steroid ( bila penyebabnya perdarahan tumoral) serta
tindakan hiperventilasi. GCS biasanya kurang dari 6.
2. Kelompok sakit ringan (GCS 13-15).
3. Kelompok intermediet, dimana perdarahan cukup berat untuk menimbulkan
defisit neurologis parah namun tidak cukup untuk menyebabkan pasien tidak
dapat bertahan hidup (GCS 6-12). Tindakan medikal di atas diberikan hingga ia
keluar dari keadaan berbahaya, namun keadaan neurologis tidak menunjukkan
tanda-tanda perbaikan. Pada keadaan ini pengangkatan hematoma dilakukan
secara bedah
PENGELOLAAN SECARA MEDIKAL
Penilaian dan Pengelolaan Inisial
Pengelolaan spontan terutama tergantung keadaan klinis pasien serta
etiologi, ukuran serta lokasi perdarahan. Tak peduli apakah tindakan konservatif
atau bedah yang akan dilakukan, penilaian dan tindakan medikal inisial terhadap
pasien adalah sama.
Saat pasien datang atau berkonsultasi, evaluasi dan pengelolaan awal harus
dilakukan bersama tanpa penundaan yang tidak perlu. Pemeriksaan neurologis
inisial dapat dilakukan dalam 10 menit, harus menyeluruh. Informasi ini untuk
memastikan prognosis, juga untuk membuat rencana tindakan selanjutnya.
Pemeriksaan neurologis serial harus dilakukan.
Tindakan standar adalah untuk mempertahankan jalan nafas, pernafasan,
dan sirkulasi. Hipoksia harus ditindak segera untuk mencegah cedera serebral
sekunder akibat iskemia. Pengamatan ketat dan pengaturan tekanan darah penting
baik pada pasien hipertensif maupun nonhipertensif. Jalur arterial dipasang untuk
pemantauan yang sinambung atas tekanan darah. Setelah PIS, kebanyakan pasien
adalah hipertensif. Penting untuk tidak menurunkan tekanan darah secara
berlebihan pada pasien dengan lesi massa intrakranial dan peninggian TIK, karena
secara bersamaan akan menurunkan tekanan perfusi serebral. Awalnya, usaha
dilakukan untuk mempertahankan tekanan darah sistolik sekitar 160 mmHg pada
pasien yang sadar dan sekitar 180 mmHg pada pasien koma, walau nilai ini tidak
mutlak dan akan bervariasi tergantung masing-masing pasien. Pasien dengan
hipertensi berat dan tak terkontrol mungkin diperkenankan untuk
mempertahankan tekanan darah sistoliknya di atas 180 mmHg, namun biasanya di
bawah 210 mmHg, untuk mencegah meluasnya perdarahan oleh perdarahan
ulang. Pengelolaan awal hipertensinya, lebih disukai labetalol, suatu antagonis
alfa-1, beta-1 dan beta-2 kompetitif. Drip nitrogliserin mungkin perlu untuk kasus
tertentu.
Gas darah arterial diperiksa untuk menilai oksigenasi dan status asam-
basa. Bila jalan nafas tidak dapat dijamin, atau diduga suatu lesi massa
intrakranial pada pasien koma atau obtundan, dilakukan intubasi endotrakheal.
Cegah pemakaian agen anestetik yang akan meninggikan TIK seperti oksida nitro.
Agen anestetik aksi pendek lebih disukai. Bila diduga ada peninggian TIK,
dilakukan hiperventilasi untuk mempertahankan PCO2 sekitar 25-30 mmHg, dan
setelah kateter Foley terpasang, diberikan mannitol 1,5 g/kg IV. Tindakan ini juga
dilakukan pada pasien dengan perburukan neurologis progresif seperti perburukan
hemiparesis, anisokoria progresif, atau penurunan tingkat kesadaran. Dilakukan
elektrokardiografi, dan denyut nadi dipantau.
Darah diambil saat jalur intravena dipasang. Hitung darah lengkap, hitung
platelet, elektrolit, nitrogen urea darah, creatinin serum, waktu protrombin, waktu
tromboplastin parsial, dan tes fungsi hati dinilai. Foto polos dilakukan bila perlu.
Setelah penilaian secara cepat dan stabilisasi pasien, dilakukan CT-scan
kepala tanpa kontras. Sekali diagnosis PIS ditegakkan, pasien dibawa untuk
mendapatkan pemeriksaan radiologis lain yang diperlukan, ke unit perawatan
intensif, kamar operasi atau ke bangsal, tergantung status klinis pasien, perluasan
dan lokasi perdarahan, serta etiologi perdarahan. Sasaran awal pengelolaan adalah
pencegahan perdarahan ulang dan mengurangi efek massa, sedang tindakan
berikutnya diarahkan pada perawatan medikal umum serta pencegahan
komplikasi.
Pencegahan atas Perdarahan Ulang
Perdarahan ulang jarang pada perdarahan hipertensif. Saat pasien sampai
di dokter, perdarahan aktif biasanya sudah berhenti. Risiko perdarahan ulang dari
AVM dan tumor juga jarang. Tindakan utama yang dilakukan adalah mengontrol
tekanan darah seperti dijelaskan di atas. Pada perdarahan karena aneurisma yang
ruptur, risiko perdarahan ulang lebih tinggi. Pertahankan tekanan darah 10-20 %
di atas tingkat normotensif untuk mencegah vasospasme, namun cukup rendah
untuk menekan risiko perdarahan. Beberapa menganjurkan asam aminokaproat,
suatu agen antifibrinolitik. Namun manfaat serta indikasinya tetap belum jelas.
Kasus dengan koagulasi abnormal, risiko perdarahan ulang atau
perdarahan yang berlanjut sangat nyata kecuali bila koagulopati dikoreksi. Pasien
dengan kelainan perdarahan lain dikoreksi sesuai dengan penyakitnya.
Mengurangi Efek Massa
Pengurangan efek massa dapat dilakukan secara medikal maupun bedah.
Pasien dengan peninggian TIK dan atau dengan area yang lebih fokal dari efek
massa, usaha nonbedah untuk mengurangi efek massa penting untuk mencegah
iskemia serebral sekunder dan kompresi batang otak yang mengancam jiwa.
Tindakan untuk mengurangi peninggian TIK antara lain :9
1. Elevasi kepala higga 30o untuk mengurangi volume vena intrakranial serta
memperbaiki drainase vena.
2. Manitol intravena (mula-mula 1,5 g/kg bolus, lalu 0,5 g/kg tiap 4-6 jam
untuk mempertahankan osmolalitas serum 295-310 mOsm/L).
3. Restriksi cairan ringan (67-75% dari pemeliharaan) dengan penambahan bolus
cairan koloid bila perlu.
4. Ventrikulostomi dengan pemantauan TIK serta drainase CSS untuk
mempertahankan TIK kurang dari 20 mmHg.
5. Intubasi endotrakheal dan hiperventilasi, mempertahankan PCO2 25-30
mmHg.
Pada pasien sadar dengan efek massa regional akibat PIS, peninggian
kepala, restriksi cairan, dan manitol biasanya memadai. Tindakan ini dilakukan
untuk memperbaiki tekanan perfusi serebral dan mengurangi cedera iskemik
sekunder. Harus ingat bahwa tekanan perfusi serebral adalah sama dengan tekanan
darah arterial rata-rata dikurangi tekanan intrakranial, hingga tekanan darah
sistemik harus dipertahankan pada tingkat normal, atau lebih disukai sedikit lebih
tinggi dari tingkat normal. Diusahakan tekanan perfusi serebral setidaknya 70
mmHg, bila perlu memakai vasopresor seperti dopamin intravena atau fenilefrin.
Pasien sadar dipantau dengan pemeriksaan neurologis serial, pemantauan
TIK jarang diperlukan. Pada pasien koma yang tidak sekarat (moribund), TIK
dipantau secara rutin. Disukai ventrikulostomi karena memungkinkan
mengalirkan CSS, karenanya lebih mudah mengontrol TIK. Perdarahan
intraventrikuler menjadi esensial karena sering terjadi hidrosefalus akibat
hilangnya jalur keluar CSS. Lebih disukai pengaliran CSS dengan ventrikulostomi
dibanding hiperventilasi untuk pengontrolan TIK jangka lama. Pemantauan TIK
membantu menilai manfaat tindakan medikal dan membantu memutuskan apakah
intervensi bedah diperlukan.
Pemakaian kortikosteroid untuk mengurangi edema serebral akibat PIS
pernah dilaporkan bermanfaat pada banyak kasus anekdotal. Namun penelitian
menunjukkan bahwa deksametason tidak menunjukkan manfaat, di samping jelas
meningkatkan komplikasi (infeksi dan diabetes). Namun digunakan deksametason
pada perdarahan parenkhimal karena tumor yang berdarah dimana CT-scan
memperlihatkan edema serebral yang berat.
Perawatan Umum
Pasien dengan perdarahan intraventrikuler atau kombinasi dengan
perdarahan subarakhnoid atau parenkhimal akibat robeknya aneurisma nimodipin
diberikan 60 mg melalui mulut atau NGT setiap 4 jam. Belum ada
bukti pemberian intravena lebih baik. Namun penggunaan pada PIS non-
aneurismal belum pasti.
Antikonvulsan diberikan begitu diagnosis PIS supratentorial ditegakkan,
kecuali bila perdarahan terbatas pada thalamus atau ganglia basal. Secara inisial
disukai fenitoin, karena kadar darah terapeutik dapat dicapai dalam 1 jam dengan
pemberian IV, mudah pemberiannya, dan efektif mencegah kejang umum. Pada
dewasa, pembebanan 1 g IV (50 mg/menit) diikuti 300-400 mg IV atau oral
perhari. Tekanan darah harus dipantau selama pembebanan IV karena infus yang
terlalu cepat dapat berakibat penurunan tekanan darah mendesak. Sebagai
tambahan, EKG harus dipantau karena fenitoin berkaitan dengan aritmia cardiac
termasuk pelebaran interval PR dan gelombang Q dengan diikuti kolaps vaskuler.
Kadar fenitoin dipantau ketat dan dosis disesuaikan hingga kadar fenitoin serum
dalam jangkauan terapeutik (10-20 µg/ml) dan pasien bebas kejang.
Antikonvulsan lain seperti fenobarbital (60 mg/IV atau oral, dua kali
sehari, kadar terapeutik darah 20-40 µg/ml) dan Carbamazepin (200 mg oral, 3-4
kali sehari, kadar terapeutik 4-12 µg/ml). Kejang bisa bersamaan
dengan peninggian dramatik TIK dan tekanan darah sistemik, yang dapat
menyebabkan perdarahan, karenanya harus dicegah. Selain itu hipoksia dan
asidosis sering tampak selama aktifitas kejang, potensial untuk menambah cedera
otak sekunder.
Pengelolaan metabolik yang baik diperlukan pada pasien dengan PIS.
Status cairan, elektrolit serum, dan fungsi renal harus ditaksir berulang, terutama
pada pasien dengan restriksi cairan, mendapat manitol atau diuretika lain, atau
tidak makan. Nutrisi memadai adalah esensial.
PENGOBATAN DENGAN CARA OPERASI
Untuk menentukan pasien mana yang harus dioperasi adalah suatu
masalah yang sulit. Ada beberapa pandangan yang dapat dijadikan patokan atau
pedoman :
1. Dari seluruh penderita PISH hanya sedikit kasus yang harus dioperasi.
2. Kriteria memilih pasien untuk operasi harus ketat dan sesuai dengan norma-
norma kemanusiaan. Harapan terhadap hasil tindakan operasi harus terfokus
terhadap quality of survival yang dapat diterima oleh pasien, keluarganya dan
masyarakat.
Segera yang ingin dicapai dari operasi adalah kembalinya pergeseran garis
tengah, kembalinya tekanan intrakanial ke dalam batas normal, kontrol
pendarahan dan mencegah pendarahan ulang. Indikasi operasi pada cedera kepala
harus mempertimbangkan status neurologis, status radiologis, pengukuran tekanan
intrakranial
Secara umum indikasi operasi pada hematoma intrakranial :8,9
1. Massa hematoma kira-kira 40 cc
2. Massa dengan pergeseran garis tengah lebih dari 5 mm
3. IED dan SDH ketebalan lebih dari 5 mm dan pergeseran garis tengah
dengan GCS 8 atau kurang.
4. Konstusio serebri dengan diameter 2 cm dengan efek massa yang jelas
atau pergeseran garis tengah lebih dari 5 mm.
5. Pasien-pasien yang menurun kesadarannya dikemudian waktu disertai
berkembangnya tanda- tanda lokal dan peningkatan tekanan intraknial
lebih dari 25 mmHg.
Tindakannya :
Pemasangan kateter yang melewati pembuluh darah otak untuk
melebarkan pembuluh darah otak, guna menghindari prosedur operasi
yang invasif.
Aspirasi dengan stereotactic surgery atau endoscopic drainage
digunakan untuk basal ganglia hemorrhage, meskipun angka
keberhasilannya masih sedikit.
Penggunaan manitol
Pada gangguan neurologis, Diuretic Osmotik (Manitol) merupakan jenis
diuretik yang paling banyak digunakan. Manitol adalah suatu Hiperosmotik Agent
yang digunakan dengan segera meningkat. Volume plasma untuk meningkatkan
aliran darah otak dan menghantarkan oksigen (Norma D McNair dalam Black,
Joyce M, 2005). Ini merupakan salah satu alasan manitol sampai saat ini masih
digunakan untuk mengobati klien menurunkan peningkatan tekanan intrakranial.
Manitol selalu dipakai untuk terapi edema otak, khususnya pada kasus dengan
Hernisiasi. Manitol masih merupakan obat magic untuk menurunkan tekanan
intrakranial, tetapi jika hanya digunakan sebagai mana mestinya. Bila tidak
semestinya akan menimbulkan toksisitas dari pemberian manitol, dan hal ini harus
dicegah dan dimonitor.
Indikasi dan dosis pada terapi menurunkan tekanan intrakranial.
Terapi penatalaksanaan untuk menurunkan peningkatan tekanan
intrakranial dimulai bilamana tekanan Intrakranial 20-25 mmHg. Management
penatalaksanaan peningkatan tekanan Intrakranial salah satunya adalah pemberian
obat diuretik osmotik (manitol), khususnya pada keadaan patologis edema otak.
Tidak direkomendasikan untuk penatalaksanaan tumor otak. Seperti yang telah
dijelaskan di atas, diuretik osmotik (manitol) menurunkan cairan total tubuh lebih
dari kation total tubuh sehingga menurunkan volume cairan intraseluler.
Dosis : Untuk menurunkan tekanan intrakranial, dosis manitol 0,25 – 1 gram/kgbb
diberikan bolus intravena, atau dosis tersebut diberikan intravena selama lebih
dari 10 – 15 menit. Manitol dapat jugadiberikan atau dicampur dalam larutan
Infus 1,5 – 2 gram/kgbb sebagai larutan 15-20% yang diberikan selama 30-60
menit. Manitol diberikan untuk menghasilkan nilai serum osmolalitas 310 – 320
mOsm/L. Osmolalitas serum sering kali dipertahankan antara 290 – 310 mOsm.
Tekanan Intrakranial harus dimonitor, harus turun dalam waktu 60 - 90 menit,
karena efek manitol dimulai setelah 0,5 - 1 jam pemberian. Fungsi ginjal,
elektrolit, osmolalitas serum juga dimonitor selama pasien mendapatkan manitol.
Perawat perlu memperhatikan secara serius, pemberian manitol bila osmolalitas
lebih dari 320 mOsm/L. Karena diureis, hipotensi dan dehidrasi dapat terjadi
dengan pemberian manitol dalam jumlah dosis yang banyak. Foley catheter harus
dipasang selama pasien mendapat terapi manitol. Dehidrasi adalah manisfestasi
dari peningkatan sodium serum dan nilai osmolalitas.
Obat Neuroprotektor :
1. Piracetam 1200 mg/kaplet
Indikasi : Kemunduran daya pikir, astenia, gangguan adaptasi,
gangguan reaksi psikomotor. Alkoholisme kronik dan adiksi.
Disfungsi serebral sehubungan dengan akibat pasca trauma.
Dosis : Oral sindroma psikoorganik yang berhubungan dengan
penuaan, awal 6 kapsul atau 3 kaplet/hari dalam 2-3 dosis terbagi
untuk 6 minggu. Pemeliharaan : 1,2 g/hr. Sindroma pasca trauma, awal
2 kapsul atau 1 kaplet 3x/hari sampai mencapai efek yang diinginkan,
lalu 1 kapsul atau ½ kaplet/hari. Inj IM atau IV 1 g 3x/hari.
Pemberian obat : sesudah makan.
Kontra indikasi : Kerusakan ginjal parah, hipersensitif.
Efek samping : Keguguran, lekas marah, sukar tidur, gelisah, gemetar,
agitasi, lelah, gangguan GI, mengantuk.
Mekanisme kerja : piracetam adalah suatu nootropic agent.
Rencana edukasi :
Oleh karena piracetam seluruhnya dieliminasi melalui ginjal,
peringatan harus diberikan pada penderita gangguan fungsi ginjal,
oleh karena itu dianjurkan melakukan pengecekan fungsi ginjal.
Oleh karena efek piracetam pada agregasi platelet, peringatan harus
diberikan pada penderita dengan gangguan hemostatis atau
perdarahan hebat.
2. Injeksi Citicoline
Indikasi : Gangguan kesadaran yang menyertai kerusakan atau cedera
serebral, trauma serebral, operasi otak, dan infark serebral.
Mempercepat rehabilitasi tungkai atas dan bawah pada pasien
hemiplegia apopleksi.
Dosis : Gangguan kesadaran karena cedera kepala atau operasi otak
100-500 mg 1-2x/hari secara IV drip atau injeksi. Gangguan
kesadaran karena infark serebral 1000 mg 1x/hari secara injeksi IV.
Hemiplegia apopleksi 1000 mg 1x/hari secara oral atau injeksi IV.
Pemberian obat : berikan pada saat makan atau di antara waktu
makan.
Efek samping : hipotensi, ruam, insomnia, sakit kepala, diplopia.
Mekanisme kerja :
Citicoline meningkatkan kerja formatio reticularis dari batang
otak, terutama sistem pengaktifan formatio reticularis
ascendens yang berhubungan dengan kesadaran.
Citicoline mengaktifkan sistem pyramidal dan memperbaiki
kelumpuhan sistem motoris.
Citicoline menaikkan konsumsi O2 dari otak dan memperbaiki
metabolisme otak.
2.17. Prognosis
Perdarahan yang besar jelas mempunyai morbiditas dan mortalitas yang
tinggi. diperkirakan mortalitas seluruhnya berkisar 26-50%. Mortalitas secara
dramatis meningkat pada perdarahan talamus dan serebelar yang diameternya
lebih dari 3 cm, dan pada perdarahan pons yang lebih dari 1 cm. Untuk
perdarahan lobar mortalitas berkisar dari 6-30 %. Bila volume darah
sesungguhnya yang dihitung (bukan diameter hematomnya), maka mortalitas
kurang dari 10% bila volume darahnya kurang dari 20 mm3 dan 90% bila volume
darahnya lebih dari 60 mm3.
Kondisi neurologik awal setelah terserang perdarahan juga penting untuk
prognosis pasien. Pasien yang kesadarannya menurun mortalitas meningkat
menjadi 63%. Mortalitas juga meningkat pada perdarahan yang besar dan letaknya
dalam, pada fossa posterior atau yang meluas masuk ke dalam ventrikel. Felmann
E mengatakan bahwa 45% pasien meninggal bila disertai perdarahan
intraventrikular. Suatu penilaian dilakukan untuk memperkirakan mortalitas
dalam waktu 30 hari pertama dengan menggunakan 3 variabel pada saat masuk
rumah sakit yaitu Glasgow Coma Scale (GCS), ukuran perdarahan dan tekanan
nadi. Perdarahan kecil bila ukurannya kurang dari satu lobus, sedangkan
perdarahan besar bila ukurannya lebih dari satu lobus. Bila GCS lebih dari 9,
perdarahannya kecil, tekanan nadi kurang dari 40 mmHg, maka probabilitas
hidupnya dalam waktu 30 hari adalah 98%. Tetapi bila pasien koma,
perdarahannya besar dan tekanan nadinya lebih dari 65 mmHg, maka probabilitas
hidupnya dalam waktu 30 hari hanya 8%. Pada PIS hipertensif jarang terjadi
perdarahan ulang.
BAB III
KESIMPULAN
Perdarahan intraserebral (PIS) adalah perdarahan fokal dari pembuluh
darah dalam parenkim otak. Penyebabnya biasanya hipertensi kronis. Gejala
umum termasuk defisit neurologis fokal, seringkali dengan onset mendadak sakit
kepala, mual, dan penurunan kesadaran. Kebanyakan perdarahan intraserebral
juga dapat terjadi ganglia basal, lobus otak, otak kecil, atau pons. Perdarahan
intraserebral juga dapat terjadi di bagian lain dari batang otak atau otak tengah.
Aada sindroma utama yang menyertai stroke hemoragik menurut Smith dapat
dibagi menurut tempat perdarahannya yaitu putaminal hemorrhage, thalamic
hemorrhage, pontine hemorrhage, cerebellar hemorrhage, lobar hemorrhage.
Pemeriksaan penunjang dengan lumbal pungsi, CT-scan, MRI, serta
angiografi. Adapun penatalaksanannya di ruang gawat darurat (evaluasi cepat dan
diagnosis, terapi umum, stabilisasi jalan napas dan pernapasan, stabilisasi
hemodinamik, pemeriksaan awal fisik umum, pengendalian peninggian TIK,
pengendalian kejang, pengendalian suhu tubuh, pemeriksaan penunjang)
kemudian penatalaksanaan di ruang rawat inap (cairan, nutrisi, pencegahan dan
mengatasi komplikasi, penatalaksanaan medik yang lain. Penatalaksanaan stroke
perdarahan intraserebral (PIS) meliputi terapi medik pada PIS akut (terapi
hemostatik, reversal of anticoagulation) dan tindakan operatif.
Prognosis bervariasi tergantung dari keparahan stroke, lokasi dan volume
perdarahan. Semakin rendah nilai GCS, maka prognosis semakin buruk dan
tingkat mortalitasnya tinggi. Semakin besar volume perdarahan maka prognosis
semakin buruk. Dan adanya darah di dalam ventrikel berhubungan dengan angka
mortalitas yang tinggi. Adanya darah di dalam ventrikel meningkatkan angka
kematian sebanyak 2 kali lipat.
Jika perdarahan terletak pada thalamus, maka kondisi pasien dapat
bervariasi tergantung pada nucleus yang terkena. Dikarenakan banyak serabut
sensoris yang melewati thalamus, sering terjadi hemisensoris pada pasien. Setelah
pasien mulai membaik, central neuropathic pain juga sering dialami.
DAFTAR PUSTAKA
1. Baehr M, Frotscher M. Duus’ : Topical Diagnosis in Neurology. 4 th revised
edition. New York : Thieme. 2005.
2. Castel JP, Kissel P. Spontaneous intracerebral and infratentorial hemorrhage.
In:Youmans JR. ed. Neurological Surgery, 3rd ed, vol.IIIl. Philadelphia: WB
Saunders Company; 2006 .p. 1890-1913.
3. Goetz Christopher G. Cerebrovascular Diseases. In : Goetz: Textbook of
Clinical Neurology, 3rd ed. Philadelphia : Saunders. 2007.
4. Kelompok Studi Stroke PERDOSSI. Pencegahan Primer Stroke. Dalam :
Guideline Stroke 2007. Jakarta.
5. Luyendijk W. Intracerebral hemorrhage. In : Vinken FG, Bruyn GW, editors.
Handbook of Clinical Neurology. New York : Elsevier ; 2005; 660-719.
6. Netter. Thalamus. In Netter,s Concise Neuroanatomy. Netter’s atlas of
Neuroanatomy and Neurophysiology. 2002, p.138-143
7. Noback, C.R. Damarest, R.J. Thalamus. In Anatomi Susunan Saraf Manusia,
Edisi 2. EGC, 1991, p. 332 – 342
8. Perdarahan Intraserebral Hipertensif Abdul Gofar Sastrodiningrat Divisi Ilmu
Bedah Saraf Departemen Ilmu Bedah Fakultas Kedokteran Universitas
Sumatera Utara, Medan Suplemen Majalah Kedokteran Nusantara Volume 39
y No. 3 y September 2006.
9. Ropper AH, Brown RH. Cerebrovascular Diseases. In : Adam and Victor’s
Priciples of Neurology. Eight edition. New York : Mc Graw-Hill. 2005.
10. Rumantir CU. Gangguan peredaran darah otak. Pekanbaru : SMF Saraf RSUD
Arifin Achmad/FK UNRI. Pekanbaru. 2007.
11. Rumantir CU. Pola Penderita Stroke Di Lab/UPF Ilmu Penyakit Saraf
Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran Rumah Sakit Hasan Sadikin
Bandung Periode 1984-1985. Laporan Penelitian Pengalaman Belajar Riset
Dokter Spesialis Bidang Ilmu Penyakit Saraf. 2000.
12. Ropper AH, Brown RH. Cerebrovascular Diseases. In : Adam and Victor’s
Priciples of Neurology. Eight edition. New York : Mc Graw-Hill. 2005.
13. Schmahmann,J D. Vascular Syndromes of the Thalamus, Stroke. 2003;
p.34:2264-2278;
14. Snell, R.S. Thalamus. In Neuroanatomi Klinik, edisi 5 ( terjemahan ), EGC,
2007, p. 411 – 417
15. Sukardi, E. Thalamus. In Neuroanatomi Medica, UI-Press, Jakarta, 1984, p.
270 – 282
16. Wibowo, D.S. Thalamus, In Anatomi susunan saraf pusat, edisi II, EGC.
1994. p. 69 -71