perencanaan dan implementasi kebijakan komunikasi penertiban pedagang kaki lima
DESCRIPTION
Pemerintah seharusnya mengevaluasi perencanaan dan implementasi kebijakan komunikasi dalam penertiban PKL. Setiap kebijakan semestinya mempertimbangkan kebutuhan para PKL sebagai target utama perubahan yang diinginkan dalam penertiban. Pemerintah harus menunjukkan ketegasan dan konsisten terhadap kebijakan-kebijakan yang telah dibuat dengan melaksanakan secara berkelanjutan.Kebijakan komunikasi akan lebih efektif apabila melibatkan secara aktif semua komponen masyarakat dalam setiap merumuskan kebijakan, seperti para tokoh masyarakat dan para akademisi serta organisasi masyarakat lainnya.TRANSCRIPT
PERENCANAAN DAN IMPLEMENTASI KEBIJAKAN KOMUNIKASI PENERTIBAN PEDAGANG KAKI LIMA OLEH
PEMERINTAH KOTA PEKANBARU
YasirProgram Studi Ilmu Komunikasi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
Universitas Riau, Pekanbaru [email protected]
ABSTRAK
The aim of this research is to analyze the communication policy planning by Pekanbaru Govement in controlling sidewalk traders. This research was held by using qualitatif method through a case study. The techniques of collecting data of this research were by using depth interview, participant observation, and documentation. The planning of communication policy by the goverment in Pekanbaru has several weaknesses. Of courses it determined the ways of goverment how to socialize to the sidewalks traders (PKL). The communication policy planning to control the trades used several ways such as giving some letters, creating integrated team, making routine operation by patrol cars and building new markets. The goverment communication policy was based on the regulation number 5, 2002 and also the “Program K3”. In fact, the regulation is not implemented well by the goverment. Therefore, the traders (PKL) will always come back to the sidewalk or road to sell their goods again.
Key words: communication planning, policy, sidewalk traders and market.
PENDAHULUAN
Keberadaan pedagang kaki lima (PKL) merupakan fenomena sosial
yang dapat ditemukan di kota-kota besar di Indonesia. Hampir tiap hari di
media massa, baik cetak maupun elektronik, memuat berita mengenai
penggusuran atau penertiban PKL. Pedagang berkepentingan untuk mencari
nafkah, namun di sisi lain pemerintah menertibkan dan memperindah tata
ruang kota. Pada sisi yang lain, investor baik secara mandiri maupun
berkerjasama dengan pemerintah, membangun pasar-pasar modern, secara
tidak langsung menggusur pasar tradisional dan pedagang kecil.
1
Pemerintah Kota (Pemko) Pekanbaru memiliki kebijakan menjadikan
Kota Pekanbaru yang bersih dan tertib sesuai dengan program yang dimiliki
yaitu K-3 (Kebersihan, Keindahan dan Ketertiban). Berpijak pada program K-
3 tersebut Pemerintah Kota Pekanbaru berusaha memembuat kebijakan dan
melakukan komunikasi untuk menertibkan keberadaan pedagang kaki lima.
Pemerintah berusaha menyadarkan PKL melalui sosialisasi dengan cara
menawarkan lokasi penampungan di pasar tertentu yang dibangun sebagai
tempat alternatif. Namun kenyataannya para PKL masih enggan untuk
menempati pasar-pasar alternatif tersebut.
Peraturan Daerah (Perda) Kota Pekanbaru Nomor 7 Tahun 2001 telah
mengatur bahwa Dinas Pasar Kota Pekanbaru mempunyai tugas pokok yaitu
membantu walikota dalam melaksanakan kebijaksanaan walikota dalam
bidang pengelolaan pasar. Dinas ini juga mempunyai kewenangan tentang
penataan dan pembinaan pedagang kaki lima. Salah satu penataan dan
pembinaan pedagang kaki lima yang dilakukan Dinas Pasar Kota Pekanbaru
adalah melakukan penertiban pedagang kaki lima yang melakukan aktivitas
usahanya menggunakan badan jalan, dimana aktivitas ini mengganggu
ketertiban umum.
Sebagai contoh, pelaksanaan kegiatan komunikasi yang sudah
dilakukan Sub-Dinas Penertiban dan Kebersihan adalah menyosialisasikan
kepada para PKL dengan cara mengeluarkan Surat Edaran Nomor:
250/511.2/DP-III/07). Surat edaran ini mempertegas surat keputusan
Walikota Pekanbaru No. 31 tahun 2007 tanggal 2 Februari 2007 tentang
penertiban Pedagang Kaki Lima (PKL) se-Kota Pekanbaru. Surat tersebut
ditujukan kepada para pedagang di areal Pasar Agus Salim, Simpang
2
Ahmad Yani, Simpang Sudirman dan sekitarnya. Dimana poin-poinnya
adalah: 1) Bahwa batas waktu yang telah ditentukan untuk menggelar
dagangan hanya sampai dengan pukul 07.00 WIB; 2) Bagi pedagang yang
tertangkap tangan ketika menggelar dagangan di atas pukul 07.00 WIB
terhitung sejak tanggal 10 Maret 2007 akan diambil tindakan penertiban oleh
petugas untuk diproses sesuai dengan hukum yang berlaku.
Kebijakan komunikasi sudah dilakukan oleh pemerintah Kota
Pekanbaru untuk PKL, namun kenyatannya belum berhasil maksimal. Ini
terlihat banyaknya para pedagang kaki lima yang belum mau pindah ke
lokasi pasar yang telah disediakan pemerintah. Perencanaan kebijakan
komunikasi pemerintah dalam penertiban PKL sepertinya belum memberikan
solusi yang tepat. Ini tampak dari kebijakan penertiban PKL dengan
membangun pasar alternatif yang masih belum didukung dengan sarana dan
prasarana yang layak, harga sewa los dan kios tinggi, disamping belum
adanya pemerataan penertiban PKL.
Budiharsono (2003:3) menjelaskan bahwa kebijakan komunikasi
dipandang sebagai perangkat norma-norma sosial “yang ditegakkan untuk
memberi arah perilaku sistem komunikasi”. Kebijakan komunikasi harus
memperhatikan faktor demografi atau kependudukan dengan segala
akibatnya pada strategi pembangunan yang berbeda-beda. Kebijakan
komunikasi harus membangun sumber yang diperlukan untuk kebutuhan
sektor penduduk yang bergam. Komunikasi akan membutuhkan infastruktur
yang berbeda. Oleh karena itu, tujuan pokok dari setiap kebijakan
komunikasi adalah menyediakan infastruktur pada umumnya dan media
serta komunikasi khususnya yang paling sesuai kebutuhannya bagi
3
masyarakat. Ini berarti perlu adanya peningkatan kesadaran dari seluruh
penduduk bahwa perubahan kesadaran sangat penting. Komunikasi tidak
mungkin menjadi monopoli media, tetapi harus dilakukan oleh para karyawan
seperti guru, petugas kesehatan, penyuluh pertanian, para teknisi,
pengusaha, dan lain sebagainya.
Berangkat dari permasalahan yang ada, maka tujuan penelitian ini
adalah: Pertama, untuk mengetahui perencanaan kebijakan komunikasi
penertiban pedagang kaki lima oleh pemerintah Kota Pekanbaru. Kedua,
untuk mengetahui implementasi kebijakan komunikasi dalam penertiban
Pedagang Kaki Lima (PKL) untuk mewujudkan ketertiban umum oleh Dinas
Pasar Kota Pekanbaru.
Penelitian ini diharapkan bermanfaat sebagai sumbangan berupa
temuan-temuan yang dapat menjadi titik awal bagi penelitian komunikasi,
bagi pengembangan kajian perencanaan kebijakan komunikasi
pemerintahan. Selain itu, penelitian ini berguna sebagai bahan pertimbangan
dan masukan bagi pemerintah dalam proses pengambilan keputusan,
penetapan strategi, kebijakan, dan tindakan komunikasi khususnya
berkenaan dengan komunikasi dalam penertiban pedagang kaki lima.
METODE PENELITIAN
Penelitian ini menggunakan penelitian kualitatif dengan tradisi
penelitian studi kasus. Creswell (1998: 61) dan Mulyana (2002: 201)
menjelaskan bahwa studi kasus merupakan penelitian empiris yang
menyelidiki dan menguraikan fenomena kontemporer dalam konteks
kehidupan nyata, ketika batasan antara fenomena dan konteks tidak terbukti
4
secara jelas, dengan menggunakan berbagai sumber termasuk observasi,
wawancara, materi audio-visual, dan dokumen atau laporan. Dalam hal ini,
peneliti studi kasus berupaya menelaah sebanyak mungkin data mengenai
subjek yang diteliti melalui sumber-sumber tersebut.
Penelitian ini secara jelas dapat tergambarkan dari 14 karakteristik
pendekatan kualitatif. Karakteristiknya adalah sebagai berikut: latar alamiah,
manusia sebagai instrumen, penggunaan pengetahuan yang tidak eksplisit,
metode-metode kualitatif, sampel purposif, analisis data induktif, teori
berlandaskan pada data dilapangan, desain penelitian mencuat secara
alamiah, hasil penelitian berdasarkan negosiasi, cara pelaporan studi kasus,
interpretasi idiografik/kontekstual, aplikasi temuan tentatif, batasan
ditentukan fokus, dan keterpecayaan dengan kriteria khusus (Lincon dan
Guba, 1985: 39-43).
Teknik pengumpulan data penelitian adalah peneliti sebagai instrumen
utama. Peran peneliti sangat menentukan dalam setiap proses penjaringan
data. Sumber data utama dalam penelitian kualitatif menurut Lofland dan
Lofland (dalam Moleong, 2000: 112) adalah kata-kata dan tindakan.
Berkaitan dengan hal ini, jenis data dalam penelitian ini dibagi dalam simbol-
simbol, kata-kata dan tindakan atau perilaku masyarakat (perilaku pedagang
dan aparat pemerintah). Sedangkan analisis data dilakukan dengan upaya
mencari dan menata secara sistematis catatan hasil observasi, wawancara
dan dokumentasi, untuk meningkatkan pemahaman peneliti tentang temuan-
temuan yang berdasarkan permasalahan yang diteliti. Pembahasan
dilakukan dengan menggunakan metode komparatif atas hasil wawancara
dengan informan, analisis dokumen serta sekaligus membandingkan dengan
5
hasil observasi yang dilakukan. Untuk mempertinggi keabsahan data langkah
selanjutnya adalah mengadakan analisis terhadap wawancara. Menurut
Miles dan Huberman (1992:16) bahwa analisis kualitatif tetap menggunakan
kata-kata, yang biasanya disusun kedalam teks yang diperluas.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Perencanaan Kebijakan Komunikasi Penertiban Pedagang Kaki Lima
(PKL)
Peraturan Daerah Kota Pekanbaru Nomor 7 Tahun 2001 menjelaskan
bahwa Dinas Pasar mempunyai tugas pokok dalam membantu walikota
dalam melaksanakan kebijaksanaan walikota dalam bidang pengelolaan
pasar. Adapun fungsi Dinas Pasar dalam penyelenggaraan tugas-tugas
tersebut adalah merumusan kebijakan teknis di bidang pengelolaan pasar,
pemberian perizinan dan pelaksanaan pelayanan umum di bidang
pengelolaan pasar, pembinaan terhadap unit pelaksana teknis dinas pasar
dan pengelolaan urusan ketatausahaan dinas.
Selain itu, Peraturan Daerah Nomor 5 Tahun 2002 juga menjelaskan
tentang ketertiban umum bahwa masyarakat dilarang menempatkan
benda/barang dalam bentuk apapun ditepi jalan, jalur hijau, taman dan
tempat-tempat umum dengan tujuan untuk menjalankan suatu usaha atau
tidak, kecuali di tempat-tempat yang diizinkan oleh walikota atau pejabat
yang ditunjuk.
Keterangan Peraturan Daerah (Perda) tersebut merupakan
perencanaan kebijakan komunikasi Pemerintah Kota Pekanbaru dalam
menciptakan suasana kota yang indah, bersih dan tertib sebagaimana
6
program milik Pemerintah Kota Pekanbaru. Sejalan dengan Peraturan
Daerah Nomor 5 Tahun 2002, maka keberadaan PKL yang berjualan
menggunakan badan jalan harus ditertibkan karena melanggar Perda. Dalam
melakukan kegiatan komunikasi atau sosialisasi untuk penertiban terhadap
pedagang kaki lima, Dinas Pasar Kota Pekanbaru bertindak sebagai
pelaksana. Sebagai pelaksanan teknis kebijakan komunikasi di lapangan
Kasubdis Pasar Kota Pekanbaru melakukan sosialisasi penertiban dengan
cara memberikan surat edaran, membuat plang tanda larangan berjualan,
melakukan sosialisasi ke media cetak dan elektronik tentang kawasan bebas
pedagang kaki lima serta malakukan patroli keliling dengan menggunakan 2
unit mobil patroli setiap hari.
Terkait dengan ini, untuk menghadapi pedagang kaki lima yang tidak
tertib, perencanaan kebijakan komunikasi yang diambil oleh Dinas pasar
melalui Sub-Dinas Ketertiban dan Kebersihan adalah dengan membentuk
Tim Terpadu. Tim ini terdiri dari 102 orang, adapun rinciannya adalah 28
orang dari Dinas Pasar, 15 orang dari pemuda tempatan, 40 Satuan Polisi
Pamong Praja (Satpol PP), 20 anggota Poltabes, 8 petugas Dishub dan 6
petugas Kodim. Personel Tim Terpadu ini bertugas untuk menertibkan
pedagang kaki lima di lokasi yang dianggap rawan seperti pedagang kaki
lima di jalan Teratai, Seroja, IstiQomah, Agus Salim dan Ahmad Yani.
Selain itu perencanaan kebijakan komunikasi secara teknis banyak
dilakukan dengan berbagai cara. Untuk menertibkan pedagang kaki lima ini
salah satunya adalah dengan mengeluarkan berbagai jenis surat edaran.
Salah satunya seperti pada surat dengan nomor: 264/511.2/PP-III/2007,
yang menyatakan bahwa PKL dilarang untuk menggelar dagangannya baik
7
pada badan jalan maupun halaman pertokoan dan pemilik toko tidak
meletakkan dagangannya hingga melewati batas pintu toko serta dilarang
untuk memberikan izin atau membiarkan PKL menempati halaman tokonya.
Namun demikian, perencanaan kebijakan komunikasi yang dilakukan
belum berjalan dengan baik, ini terbukti banyak kebijakan yang tidak
memberikan solusi terhadap pedagang kaki lima. Meski Pemerintah Kota
Pekanbaru melakukan komunikasi dan sosialisasi untuk penertiban
pedagang kaki lima dengan berbagai cara. Namun, pemerintah belum dapat
memberikan kenyamanan dan kesejahteraan kepada pedagang melalui
tempat yang layak dan sesuai dengan yang diinginkan. Dengan kata lain
pemerintah belum merencanakan dan mencarikan alternatif tempat atau
pekerjaan yang tepat apabila pendagang kaki lima harus “digusur”. Ini terkait
dengan kenyataan bahwa memang sulit untuk menghindari dominasi
pemerintah dalam membuat kebijakan komunikasi. Proses pembuatan
kebijakan komunikai dari tahap identifikasi hingga tahap formulasi dipilih dan
ditelaah sesuai kepentingan pemerintah (Abrar, 2008 72).
Kebijakan dengan langkah yang kongkret memang telah ditunjukkan
oleh Pemerintah Kota Pekanbaru dengan program penertiban PKL melalui
peremajaan dan pembangunan pasar baru. Kebijakan yang telah dilakukan
ini kiranya berguna menampung para PKL, masing-masing pasar tersebut
adalah Pasar Sail, Pasar Bawah dan Pasar Senapelan yang dijadikan pasar
tradisional modern. Pasar-pasar ini dalam pelaksanaan pembangunannya
dilakukan oleh pihak ketiga, yang telah menghabiskan biaya sebesar Rp.
113.366.001.740,- dan dua lokasi pasar tradisional lain melalui dana APBD
Kota Pekanbaru yakni Pasar Labuh Baru dengan alokasi dana sebesar Rp.
8
716.920.000,- dan untuk Pasar Inpres Agus Salim sebesar Rp.
4.460.815.050,-. Kemudian ditambah dengan Pasar Pujasera Arifin Ahmad,
Pasar pagi Limapuluh dan pasar baru lainnya yang siap menampung
pedagang kaki lima.
Pembangunan pasar dengan lokasi yang telah ditentukan tersebut
adalah sebagai wadah untuk menampung pedagang kaki lima agar
terencana, tertib dan terorganisir dengan baik. Kenyataannya pembangunan
dan peremajaan pasar yang dilakukan Pemerintah Kota Pekanbaru itu belum
sesuai dengan kebutuhan, keinginan dan kepentingan masyarakat.
Ketidakmampuan pedagang dari sisi finansial tidak diperhatikan, hal ini
terlihat dari sewa gedung yang jauh dari jangkauan pedagang. Selain itu
kesulitan yang dihadapi adalah akses ke pasar yang sulit baik bagi
pedagang maupun bagi masyarakat pembeli. Belum lagi konstruksi
bangunan pasar yang berlantai banyak, dengan tidak disertai fasilitas
pendukung seperti parkir, akses ke lantai atas, dan fasilitas lainnya.
Setelah pembangunan Pasar Senapelan selesai dikerjakan, PKL tetap
melakukan aktivitas perekonomian dengan menggunakan badan jalan, yakni
jalan Teratai, Seroja dan Gang Istiqomah. Pedagang kaki lima tidak mau
pindah ke Pasar Senapelan karena sewa los dan kios yang tawarkan terlalu
tinggi. Untuk harga satu kios di Pasar Senapelan berkisar Rp 63.000.000,-
dengan uang pangkal sebesar Rp 18.000.000,- kemudian untuk angsuran
setiap tahunnya sebesar Rp 10.000.000,- (Riau Pos: 9 November 2006).
Mahalnya harga kios ini menyebabkan banyaknya ruang atau kios di pasar
tersebut terbengkalai dan kosong khususnya yang ada di lantai tiga.
9
Pasar Senapelan dibangun dengan kerjasama antara Pemerintah
Kota dengan PT. Peputra Maha Jaya (PMJ). Dalam pengelolaan Pasar
Senapelan tidak lagi menjadi tanggung jawab pemerintah kota melainkan
langsung kepada PT. Peputra Maha Jaya. Akan tetapi PT. Peputra Maha
Jaya harus membayar royalti kepada Pemerintah Kota Pekanbaru sebesar
Rp. 100.000.000,- setiap tahun selama masa kontrak 25 tahun ke depan
terhitung pada tahun 2005. Hal inilah yang menyebabkan sewa kios dan los
Pasar Senapelan terlalu tinggi karena latar belakang pembangunan Pasar
Senapelan merupakan lahan bisnis antara pemerintah dengan pihak ketiga
tanpa mempertimbangkan kondisi sosial-ekonomi PKL.
Perencanaan komunikasi penertiban PKL oleh Pemerintah Kota
Pekanbaru dalam hal ini juga tidak konsisten terhadap program yang telah
direncanakan yakni salah satunya mengenai Peraturan Daerah Nomor 5
Tahun 2002 tentang Ketertiban Umum. Salah satunya adalah dengan
melakukan pemungutan retribusi kepada pedagang kaki lima selayaknya
pasar-pasar resmi lainnya. Tindakan aparat Pemerintah Kota Pekanbaru
menarik retribusi kepada pedagang kaki lima yang terlihat resmi dan
memakai karcis ini melegalisasi PKL untuk tetap berdagang menggunakan
badan jalan. Dalam hal ini, Dinas Pasar Kota Pekanbaru dalam menangani
permasalahan PKL masih belum maksimal dan belum konsisten dalam
mengambil sikap dan keputusan.
Kenyataan di lapangan sangat berbeda dengan yang ada pada
perencanaan yang telah dibuat. Keragu-raguan ini terkait juga dengan
kurangnya koordinasi dengan dinas lainnya, wewenangnya yang masih
terbatas dan tanggung jawab terhadap permasalahan ketertiban dan
10
kebersihan pasar itu sendiri. Tidak hanya di Pasar Agus Salim, keadaan
yang sama juga terjadi di Jalan Soekarno-Hatta Simpang Arengka. Dinas
Pasar juga melakukan pemungutan retribusi kepada pedagang kaki lima
setiap harinya. Pemerintah Kota Pekanbaru melalui dinas-dinasnya
melakukan pungutan retribusi kepada PKL—melalui Dinas Pasar maupun
Dinas Perhubungan, ini menunjukkan Pemerintah Kota Pekanbaru tidak
konsisten dan tidak berkoordinasi dengan baik.
Implementasi Kebijakan Komunikasi Penertiban PKL
Implementasi kebijakan komunikasi penertiban PKL dilakukan Dinas
Pasar Kota Pekanbaru sesuai dengan Perda nomor 5 tentang ketertiban
umum. Implementasi dan sosialisasi kebijakan penertiban pedagang kaki
lima yang umum dilakukan oleh Dinas Pasar adalah dengan melakukan
patroli terutama di jalan sekitar Pasar Senapelan dan Agus Salim setiap hari.
Pelaksanaan kebijakan dengan patroli ini dilakukan dengan upaya
mengontrol agar para PKL tidak menggunakan tempat-tempat yang dilarang
untuk berjualan. Khusus untuk Pasar Agus Salim Dinas Pasar melakukan
sosisalisasi penertiban setiap hari dengan menggunakan 2 (dua) unit mobil
operasional dinas untuk patroli setiap harinya. Tujuan patroli tersebut adalah
untuk menertibkan pedagang yang berjualan di badan jalan sehingga
pengguna jalan tidak terganggu dengan aktivitas pedagang kaki lima. Tidak
hanya itu, terkadang pemerintah kota melalui Tim Terpadu juga melakukan
penertiban bagi pedagang yang berjualan di luar area Jalan Agus Salim
seperti Jalan Sudirman dan Jalan Ahmad Yani setelah Pukul 07.00 WIB.
11
Selain melakukan operasi tersebut, Pemerintah Kota telah
memberikan solusi dengan membangun 5 (lima) lokasi pasar sebagai
lokalisasi penampungan untuk pedagang kaki lima. Lima lokasi pasar ini
adalah Pasar Senapelan terletak di Jalan Ahmad Yani, Pasar Inpres Agus
Salim di Jalan Agus Salim, Pasar Limapuluh di Jalan Sultan Syarif Kasim,
Pasar Labuh Baru di Jalan Durian dan Pasar Rumbai. Lima pasar tersebut
diarahkan sebagai lokasi penampungan untuk pedagang kaki lima yang
masih berjualan di beberapa ruas jalan di sudut Kota Pekanbaru.
Pasar Senapelan sebagai lokalisasi penampungan PKL yang
berjualan di Jalan Teratai, Seroja dan Gang Istiqomah. Tujuan pembangunan
Pasar Senapelan merupakan strategi dan kebijakan Komunikasi Pemerintah
Kota Pekanbaru kepada pedagang untuk menertibkan PKL yang berjualan
sekitar Pasar Senapelan agar terorganisir dan terencana serta dapat
mewujudkan ketertiban umum di Kota Pekanbaru. Dalam kenyataannya
hingga tahun 2008, Pasar Senapelan belum sepenuhnya diisi oleh pedagang
untuk menempati los dan kios yang disediakan di dalam gedung. Berkaitan
dengan ini, Dinas Pasar selalu mengkomunikasikan Pasar Senapelan ini
agar segera diisi dan para PKL dapat melakukan aktivitas berjualan di dalam
gedung. Sosialisasi yang dilakukan oleh Dinas Pasar dilakukan dengan cara
memberikan surat edaran ke pedagang untuk segera mengisi los dan kios di
dalam gedung Pasar Senapelan.
Selain itu, Pemerintah kota juga berupaya untuk mengembalikan
fungsi Jalan Agus Salim sebagai jalan umum. Kebijakan yang diambil adalah
dengan membangun Gedung Inpres Agus Salim pada tahun 2005 sebagai
lokasi penampungan para pedagang. Adapun bentuk sosialisasi yang
12
dilakukan Kasudis Penertiban dan Kebersihan Dinas Pasar adalah sebagai
berikut:
“.....Memberikan surat edaran No. 097/511.2/DP-1/2007 tertanggal 29 Januari berisikan, diberitahukan kepada seluruh pedagang ikan basah Jalan Agus Salim sebagai berikut: Pertama, Pedagang ikan basah tidak dibenarkan berjualan pada lapak/meja yang ada pada tanah pemerintah dan badan Jalan Agus Salim. Kedua, seluruh pedagang ikan basah supaya masuk ke pasar yang disediakan PT Makmur Papan Permata di Pasar Sukaramai. Ketiga, khusus pedagang sayur dan jenis dagangan lainnya tidak dibenarkan memakai badan jalan, parit, trotoar dan ditempatkan/masuk ke Pasar Inpres Agus Salim” (Sumber Riau Pos, 3 Februari 2007).
Meskipun pemerintah sudah melakukan sosialisasi Pasar Inpres Agus
Salim ini, para pedagang masih tetap belum pindah untuk menggunakan
fasilitas gedung sebagai aktifitas untuk berdagang. Untuk menarik minat
pedagang kaki lima, Dinas Pasar menggratiskan sewa los dan kios selama
tiga bulan. Namun sosialisasi tersebut hanya menarik beberapa pedang saja
dan hingga kini gedung Inpres Agus Salim masih kosong terutama di lantai
dua dan tiga.
Pasar Pujasera Arifin Ahmad merupakan lokalisasi yang ditujukan
untuk menampung pedagang kaki lima di sekitar wilayah Jalan Teratai,
Seroja, Gang Iastiqomah, Ahmad Yani dan PKL yang bertebaran di setiap
sudut kota Pekanbaru. Sosialisasi Pasar Pujasera Arifin Ahmad oleh Dinas
Pasar hampir sama dengan Pasar Agus Salim. Untuk menempati lokasi
pasar yang disediakan oleh Pemerintah Kota Pekanbaru tersebut, pedagang
dibebaskan dari pungutan sewa los dan kios selama satu tahun. Kemudian
Dinas Pasar juga akan membantu melakukan pemindahan barang dagangan
para PKL jika pindah ke lokasi Pasar Pujasera Arifin Ahmad.
13
Implementasi kebijakan komunikasi yang dilakukan Dinas Pasar
selain dengan bentuk surat edaran, juga dilakukan secara lisan maupun
tulisan yang dimuat di media massa cetak. Untuk mengarahkan agar los dan
kios yang masih kosong bisa segera diisi oleh PKL, sosialisasi dijalankan
dengan cara menggiring pedagang ke lokasi dengan mobil operasional
Dinas Pasar. Sosialiasasi ini dilakukan secara bersama dengan Tim
Terpadu. Kegiatan ini selalu dilakukan di berbagai titik lokasi seperti Jalan
Teratai, Seroja, Sudirman dan lokasi lainnya. Tujuannya agar para pedagang
kaki lima tidak lagi berjualan menggunakan fasilitas umum. Senada dengan
ini Hasan (2005: 47) karena strategi komunikasi adalah suatu kemampuan
pemerintah dalam mencapai tujuan negara dan pemerintahan, maka
kemampuan tersebut meliputi mengajak orang lain berkerja sama yang
mencakup aktivitas; merencanakan, melaksanakan, mengendalikan dan
evaluasi.
Pasar Labuh Baru atau lebih dikenal dengan Pasar Palapa
menggunakan strategi dan kebijakan komunikasi yang tepat. Pasar ini
menjadi pasar tradisional percontohan. Keberadaan pasar palapa ini
memang memiliki tempat yang strategis. Sosialisasi Pasar Palapa yang
dilakukan Dinas Pasar termasuk berhasil berdasarkan pendataan pedagang
kaki lima yang masuk. Para PKL ini mau berpindah tempat ke Pasar Palapa
karena pemerintah melakukan pembenahan fisik lokasi pasar, sehingga
bangunan los dan kiosnya kokoh. Keberhasilan sosialisasi pasar ini didukung
dengan tempat perumahan penduduk yang padat, mudah dijangkau fasilitas
transportasi dan fasilitas lainnya seperti parkir.
14
Implementasi kebijakan untuk penertiban pedagang kaki lima ini
merupakan bagian dari kebijakan untuk mewujudkan program Kota
Pekanbaru yaitu program K3 (Kebersihan, Keindahan dan Ketertiban). Untuk
mewujudkan kota yang bersih, indah dan tertib, Dinas Pasar juga melakukan
pemasangan papan pengumuman tentang Perda nomor 5 tentang ketertiban
di beberapa titik lokasi yang paling rawan untuk dilanggar. Dengan sudah
terpasangnya papan pengumuman tersebut maka Dinas Pasar memalui Tim
Terpadu dapat melakukan penertiban dengan tegas dan tanpa beban untuk
melakukan pembongkaran, penyitaan serta mengusir pedagang kaki lima
kapan saja.
Berkaitan dengan ini, Perda Kota Pekanbaru Nomor 5 Tahun 2002
tentang ketertiban umum merupakan landasan utama dalam melaksanakan
penertiban pedagang kaki lima (PKL). Senada dengan ini, L Sommeriad
(dalam Abrar 2008: 9) mengatakan bahwa the ways in which communication
is used, the networks through which it flows, the structures of the media
system, the regulatory framework for the system, and the desicion of people
who operate it, are all the outcomes of communication policies”.
Akan tetapi, Pemerintah Kota Pekanbaru hingga saat ini belum secara
tegas dan konsisten dalam mengimplementasikan Perda tersebut.
Pemerintah Kota Pekanbaru cenderung hanya sekedar memberikan
larangan-larangan bukan dengan tindakan tegas bagi yang melanggar.
Lemahnya implementasi Perda ini di lapangan merupakan salah satu
penyebab penanganan masalah PKL di Kota Pekanbaru menjadi berlarut-
larut. Para PKL mengganggap mereka sudah memiliki tempat dan legal
15
seperti halnya pedagang di jalan Agus Salim yang menganggap jalan
tersebut sebagai pasar.
Pelaksanaan kebijakan penertiban PKL oleh Dinas Pasar
menunjukkan bahwa pemerintah Kota Pekanbaru belum menerapkan
kebijakan ke arah penegakan hukum. Padahal Perda Nomor 5 Tahun 2002
pada Bab VIII mengatur ketentuan pidana yang berbunyi: “Pelanggaran
terhadap ketentuan-ketentuan dalam Perda ini dapat diancam dengan
pidana kurungan paling lama 6 (enam) bulan atau denda sebesar-besarnya
Rp 5.000.000,- (Lima Juta Rupiah)”. Dalam praktiknya di lapangan belum
ada tindakan kongkret secara hukum kepada pedagang kaki lima yang
melanggar Perda Nomor 5 Tahun 2002 tersebut. Implementasi Perda sendiri
mengenai penertiban pedagang kaki lima baru sebatas penertiban yang
bersifat memberitahukan saja.
Tidak diimplementasikannya kebijakan Pemerintah Kota Pekanbaru ini
menyebabkan pelaksanaan penertiban pedagang kaki lima dalam
mewujudkan ketertiban umum menjadi tidak efektif. Sejauh ini implementasi
Perda baru sebatas penahanan barang dan membuat surat pernyataan
tertulis bagi pedagang kaki lima yang tertangkap tangan ketika melanggar
ketentuan yang ada. Lemahnya implementasi Perda tentang ketertiban
menimbulkan persoalan baru bagi sesama pedagang dan berdampak
kepada pemerintah kota. Ini terbukti bahwa tidak efektifnya kebijakan
komunikasi pemerintah dalam hal penampungan atau penertiban PKL
dengan cara menawarkan Pasar Pujasera Arifin Ahmad dimana pasar baru
tersebut tidak berfungsi maksimal karena tidak banyak pedagang yang mau
16
berjualan di sana. Ini disebabkan oleh adanya pasar dan pedagang kaki lima
di Simpang Arengka.
Pasar Senapelan, Pasar Inpres, Pasar Limapuluh dan terutama Pasar
Agus Salim tidak berfungsi baik karena pedagang kaki lima masih berjualan
di sekitar lingkungan pasar. Di pasar tersebut banyak los dan kios di dalam
gedung masih kosong karena masih banyak pedagang kaki lima berjualan di
luar pasar tersebut atau tepatnya memakai badan jalan. Pasar Inpres Agus
Salim yang lokasinya tepat berada di Jalan Agus Salim hingga saat ini dari 3
(tiga) lantai yang dibangun hanya lantai satu saja yang ditempati oleh para
pedagang. Oleh karena itu, aktifitas PKL dan berbagai ketidakkonsitenan
pemerintah ini jelas menunjukkan bahwa pelaksanaan atau implementasi
Perda tidak berjalan maksimal dan ini adalah bagian dari komunikasi
pemerintah itu sendiri.
SIMPULAN
Perencanaan kebijakan komunikasi penertiban pedagang kaki lima
(PKL) dilakukan pemerintah kota Pekanbaru dengan mengeluarkan
peraturan daerah (Perda). Namun kurangnya dilakukan analisis yang
mendalam terhadap masalah-masalah berkaitan dengan situasi pasar dan
khalayak pedagang sangat memengaruhi keberhasilan perencanaan dan
implementasi yang dilakukan oleh Dinas pasar. Kebijakan komunikasi
penertiban PKL menggunakan saluran komunikasi dengan cara memberi
surat-surat edaran, operasi rutin dan patroli setiap hari di pasar-pasar yang
dianggap rawan PKL hingga membangun pasar baru.
17
Implementasi kebijakan kebijakan Perda Nomor 5 Tahun 2002 masih
rendah. Tidak diimplementasikannya kebijakan ini dengan tegas dan
konsisten oleh Pemerintah Kota Pekanbaru ini menyebabkan pelaksanaan
penertiban pedagang kaki lima dalam mewujudkan ketertiban umum menjadi
tidak efektif sehingga para pedagang berpeluang untuk kembali berjualan di
tempat yang dilarang.
Berkaitan dengan ini, Pemerintah Kota Pekanbaru seharusnya
mengevaluasi perencanaan dan implementasi kebijakan komunikasi dalam
penertiban PKL. Setiap perencanaan kebijakan semestinya
mempertimbangkan kebutuhan para PKL sebagai target utama perubahan
yang diinginkan dalam penertiban. Melakukan analisis dan perencanaan
secara mendalam dalam membangun pasar, disertai dengan koordinasi
antar dinas-dinas terkait seperti, Dinas Perhubungan mengenai trayek
transportasi dan penempatan PKL di Terminal. Koordinasi juga perlu
dilakukan dengan Dinas Kimpraswil dalam menentukan lokasi dan rancang
bangun pasar yang tepat sesuai kebutuhan PKL.
Pemerintah Kota Pekanbaru melalui Dinas Pasar semestinya
menggunakan media dan saluran komunikasi yang tepat seperti melakukan
pertemuan, pembinaan dan penyuluhan secara intensif terhadap para PKL,
dan membuat plang yang jelas di tempat yang dilarang berjualan. Di samping
itu, pemerintah harus menunjukkan ketegasan dan konsisten terhadap
kebijakan-kebijakan yang telah dibuat dengan melaksanakan secara
berkelanjutan. Selain menindak oknum-oknum yang bermain di belakang
(becking) yang membuat PKL masih merasa aman berjualan, pemerintah
Kota Pekanbaru juga semestinya memberikan wewenang yang lebih luas
18
kepada Dinas Pasar Kota Pekanbaru untuk menjalankan fungsinya. Dan
akhirnya, kebijakan komunikasi akan lebih efektif apabila melibatkan secara
aktif semua komponen masyarakat dalam setiap merumuskan kebijakan,
seperti para tokoh masyarakat dan para akademisi serta organisasi
masyarakat lainnya.
DAFTAR PUSTAKA
Abrar, Ana Nadhya, 2008, Kebijakan Komunikasi; Konsep, Hakekat dan Praktek, Gava Media, Yogyakarta.
Budiharsono, Suyuti S., 2003, Politik Komunikasi, Grasindo, Jakarta.
Cresswell, Jhon W., 1998, Qualitative Inquiry and Research Design; Choosing Among Five Tradition, Sage Publication, California.
Effendy, Onong Uchjana, 2003, Ilmu, Teori dan Filsafat Komunikasi, Citra Aditya Bakti, Bandung.
Hasan, Erliana, 2005, Komunikasi Pemerintahan, Refika Aditama, Bandung.
Iriantara, Yosal, 2004, Manajemen Strategis Public Relations, Ghalia Indonesia, Jakarta.
Littlejohn, Stephen W., 1999, Theories of Human Communication, 6th Edition, Wadsworth Publishing Company, Belmont, USA.
Moleong, Lexy, 2005, Metode Penelitian Kualitatif, Bumi Aksara, Bandung.
Mulyana, Deddy, 2002, Metodologi Penelitian Kualitatif; Paradigma Baru Ilmu Komunikasi dan Ilmu Sosial Lainnya, Remaja Rosdakarya, Bandung.
Nasution, Zulkarimein, 2000, Perencanaan Program Komunikasi; Buku Materi Pokok, Universitas Terbuka, Jakarta.
Ruslan, Rusady, 2003, Manajemen Public Relations & Media Komunikasi, Raja Grafindo Persada, Jakarta
Suhandang, Kustadi, 2004, Public Relations Perusahaan; Kajian Program Implementasi, Penerbit Nuansa, Bandung.
Wibowo, Edi, dkk., 2004, Kebijakan Publik dan Budaya, YPAPI, Yogyakarta.
19