performance appraisal -...

26
1 Tuntutan era persaingan global saat ini membutuhkan sumber daya manusia yang berkualitas agar suatu negara dapat terus maju dan berkembang. Sumber daya manusia adalah aset yang paling berharga di suatu organisasi, termasuk di Perguruan Tinggi (Schuler & Jackson, 2006). Bidang pendidikan adalah salah satu posisi yang sangat penting dan harus dipenuhi sesuai dengan Tridharma Perguruan Tinggi yaitu pendidikan, penelitian dan pengabdian masyarakat (Dikti, 2011). Pendidikan bertujuan untuk membentuk sumber daya manusia yang berkualitas dan berpendidikan, hal ini adalah tugas dari sebuah institusi atau perguruan tinggi. Salah satu faktor yang mempengaruhi kualitas pendidikan adalah tenaga kependidikan, yaitu dengan cara melihat dari kualitas kinerjanya. Kualitas kinerja tenaga kependidikan dibutuhkan untuk memberikan dampak positif kepada sebuah institusi, namun fenomena yang terjadi saat ini di sebuah institusi pendidikan adalah tenaga kependidikan (SDM) yang kurang berkualitas. Tuntutan era persaingan global saat ini membutuhkan sumber daya manusia yang berkualitas agar suatu negara dapat terus maju dan berkembang. Sumber daya manusia adalah aset yang paling berharga di suatu organisasi, termasuk di Perguruan Tinggi (Schuler & Jackson, 2006). Bidang pendidikan adalah salah satu posisi yang sangat penting dan harus dipenuhi sesuai dengan Tridharma Perguruan Tinggi yaitu pendidikan, penelitian dan pengabdian masyarakat (Dikti, 2011). Pendidikan bertujuan untuk membentuk sumber daya manusia yang berkualitas dan berpendidikan, hal ini adalah tugas dari sebuah institusi atau perguruan tinggi. Salah satu faktor yang mempengaruhi kualitas pendidikan adalah tenaga kependidikan,

Upload: dodan

Post on 10-Mar-2019

251 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

1

Tuntutan era persaingan global saat ini membutuhkan sumber daya manusia

yang berkualitas agar suatu negara dapat terus maju dan berkembang. Sumber daya

manusia adalah aset yang paling berharga di suatu organisasi, termasuk di Perguruan

Tinggi (Schuler & Jackson, 2006). Bidang pendidikan adalah salah satu posisi yang

sangat penting dan harus dipenuhi sesuai dengan Tridharma Perguruan Tinggi yaitu

pendidikan, penelitian dan pengabdian masyarakat (Dikti, 2011). Pendidikan

bertujuan untuk membentuk sumber daya manusia yang berkualitas dan

berpendidikan, hal ini adalah tugas dari sebuah institusi atau perguruan tinggi. Salah

satu faktor yang mempengaruhi kualitas pendidikan adalah tenaga kependidikan,

yaitu dengan cara melihat dari kualitas kinerjanya. Kualitas kinerja tenaga

kependidikan dibutuhkan untuk memberikan dampak positif kepada sebuah institusi,

namun fenomena yang terjadi saat ini di sebuah institusi pendidikan adalah tenaga

kependidikan (SDM) yang kurang berkualitas.

Tuntutan era persaingan global saat ini membutuhkan sumber daya manusia

yang berkualitas agar suatu negara dapat terus maju dan berkembang. Sumber daya

manusia adalah aset yang paling berharga di suatu organisasi, termasuk di Perguruan

Tinggi (Schuler & Jackson, 2006). Bidang pendidikan adalah salah satu posisi yang

sangat penting dan harus dipenuhi sesuai dengan Tridharma Perguruan Tinggi yaitu

pendidikan, penelitian dan pengabdian masyarakat (Dikti, 2011). Pendidikan

bertujuan untuk membentuk sumber daya manusia yang berkualitas dan

berpendidikan, hal ini adalah tugas dari sebuah institusi atau perguruan tinggi. Salah

satu faktor yang mempengaruhi kualitas pendidikan adalah tenaga kependidikan,

2

yaitu dengan cara melihat dari kualitas kinerjanya. Kualitas kinerja tenaga

kependidikan dibutuhkan untuk memberikan dampak positif kepada sebuah institusi,

namun fenomena yang terjadi saat ini di sebuah institusi pendidikan adalah tenaga

kependidikan (SDM) yang kurang berkualitas.

Arsyiati (2008) mengungkap bahwa salah satu indikator dari kualitas SDM

yang tinggi tercermin dari kinerja yang baik. Kinerja yang baik dapat dilihat dengan

menggunakan penilaian kinerja, hal ini sama dengan yang digunakan dalam penilaian

kinerja pegawai PNS dengan tujuan untuk proses evaluasi tingkat pelaksanaan

pekerjaan atau performance appraisal seorang pegawai, yang didasarkan dalam

beberapa komponen perilaku yaitu orientasi pelayanan, integritas, komitmen, disiplin

kerja, kerjasama, kepemimpinan (Kemenag, 2014). Prawirosentono (2008) juga

memaparkan bahwa kinerja dapat dinilai atau diukur dengan beberapa indikator,

yaitu:

a). Efektifitas

Efektifitas yaitu bila tujuan kelompok dapat dicapai dengan kebutuhan yang

direncanakan.

b) Tanggung jawab

Merupakan bagian yang tak terpisahkan atau sebagai akibat kepemilikan

wewenang.

c) Disiplin

Yaitu taat pada hukum dan aturan yang belaku. Disiplin karyawan adalah ketaatan

karyawan yang bersangkutan dalam menghormati perjanjian kerja dengan

3

perusahaan dimana dia bekerja.

d) Inisiatif

Berkaitan dengan daya pikir, kreatifitas dalam bentuk suatu ide yang berkaitan

tujuan perusahaan.

Salah satu indikator yang dapat mengukur kinerja adalah disiplin kerja, hal ini

sejalan dengan penelitian Wahyu (2014) yang mengungkap bahwa disiplin kerja

merupakan salah satu hal yang dapat mempengaruhi kinerja karyawan serta disiplin

dapat mendorong tercapainya tujuan kinerja yang optimal. Menurut Budi Setiyawan

dan Waridin (2006) dan Aritonang (2005) menyatakan bahwa disiplin kerja karyawan

bagian dari faktor kinerja. Disiplin kerja harus dimiliki setiap karyawan dan harus

dibudayakan di kalangan karyawan agar bisa mendukung tercapainya tujuan

organisasi karena merupakan wujud dari kepatuhan terhadap aturan kerja dan juga

sebagai tanggung jawab diri terhadap perusahaan. Pelaksanaan disiplin dengan

dilandasi kesadaran dan tanggung jawab akan terciptanya suatu kondisi yang

harmonis antara keinginan dan kenyataan. Kondisi yang harmonis harus tercipta

dahulu harus diwujudkan keselarasan antara kewajiban dan hak karyawan. Hasil

penelitian oleh Primawestri (2010), Indrawati (2006) mengungkap bahwa terdapat

faktor-faktor yang mempengaruhi kinerja adalah sikap mental, berupa motivasi kerja,

disiplin kerja, dan etika kerja, pendidikan dan pelatihan, ketrampilan, manajemen,

hubungan industrial pancasila, tingkat penghasilan, gizi dan kesehatan jaminan

sosial, lingkungan dan iklim kerja, sarana produksi, teknologi dan kesempatan

berprestasi.

Permasalahan yang muncul saat ini dengan adanya MEA yang tidak terlepas

4

dari sisi tenaga kerja yaitu kualitas kinerja yang rendah dan kualitas keahlian yang

belum memadai. Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin menyatakan, tunjangan

kinerja atau remunerasi pegawai akan dibayarkan mengacu pada dua hal yaitu,

disiplin kerja dan kinerja. Acuan pertama, kata Menag, berdasarkan disiplin kerja

sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 53 tahun 2010 tentang

Disiplin PNS. Acuan kedua, berdasarkan kinerja sebagaimana diatur dalam Peraturan

Pemerintah Nomor 46 tahun 2011 tentang Penilaian Prestasi Kerja PNS (Kemenag,

2014). Masalah disiplin kerja pada organisasi atau instansi tertuju pada proses

pelaksanaannya dan tingkat keberhasilan kegiatan yang dilakukan oleh para pegawai.

Kegiatan yang dimaksud adalah kegiatan yang dapat memberikan manfaat dari hasil

pekerjaan yang dilaksanakan. Menurut Hasibuan (2008) ketidakdisiplinan dalam diri

pegawai dapat disebabkan karena kurangnya kesadaran pada diri seseorang tersebut

akan arti pentingnya disiplin sebagai pendukung dalam kelancaran bekerja.

Kesadaran pada diri sendiri memiliki arti bahwa seseorang tersebut secara sukarela

menaati semua peraturan dan sadar akan tugas dan tanggung jawabnya.

Saydam (2005), hambatan pendisiplinan karyawan akan terlihat dalam

suasana kerja berikut ini :

1. Tingginya angka kemangkiran (absensi) karyawan.

2. Sering terlambatnya karyawan masuk kantor atau pulang lebih cepat dari jam yang

sudah ditentukan.

4. Menurunnya semangat dan gairah kerja. Berkembangnya rasa tidak puas dan

5

saling melempar tanggung jawab.

5. Penyelesaian pekerjaan yang lambat, karena karyawan lebih sering mengobrol dari

pada bekerja.

6. Tidak terlaksananya supervisi dan pengawasan yang melekat dari atasan.

7. Sering terjadinya konflik antar karyawan dan pimpinan perusahaan

Davis dan Newstrom (2005), mengungkap bahwa disiplin kerja karyawan

akan membawa dampak positif baik bagi karyawan maupun organisasi. Dampak

positif bagi karyawan adalah meningkatnya hasil kerja (output) dan input, antara lain

adalah tercapainya tujuan organisasi dan produktivitas kerja. Hasil pemaparan diatas

menunjukkan bahwa disiplin adalah faktor yang penting untuk pertumbuhan

organisasi dan salah satu cara yang digunakan untuk memotivasi pegawai agar dapat

mendisiplinkan diri dalam melaksanakan pekerjaannya. Oleh karena itu, perlu upaya

meningkatkan kesadaran akan disiplin kerja pada pegawai.

Sarworno dan Meinarno (2012) memaparkan bahwa bentuk dasar dari

kedisiplinan adalah adanya kesadaran akan tanggung jawab. Peraturan perusahaan

bertujuan untuk mendisiplinkan pegawai. Disiplin pegawai adalah perilaku seseorang

yang sesuai dengan peraturan, prosedur kerja yang ada baik tertulis maupun yang

tidak tertulis (Sutrisno, 2009). Peraturan dibuat karena adanya pengaruh sosial, yaitu

usaha untuk mengubah sikap, kepercayaan (belief), persepsi atau pun tingkah laku

satu atau beberapa orang lainnya (Caldini, 1994 dalam Sarworno & Meinarno, 2012).

Menurut Kassin (2013) menjelaskan bahwa teori pengaruh sosial, tingkah laku

individu dapat terbentuk berdasarkan tiga aspek yaitu konformitas (conformity),

6

compliance (ketaatan), dan obedience (kepatuhan). Pada penelitian ini, peneliti

mendasarkan definisi disiplin kerja dari aspek compliance (ketaatan), dan obedience

(kepatuhan). Perilaku individu dipengaruhi oleh permintaan langsung orang lain, hal

tersebut merupakan suatu bentuk pengaruh sosial yang disebut dengan ketaatan

(compliance) adalah perubahan perilaku yang ditimbulkan oleh permintaan langsung,

ciri utama yaitu kemauan merespon permintaan orang lain atau kelompok lain

(Kassin, 2013). Obedience (kepatuhan) adalah kondisi seseorang menaati dan

mematuhi permintaan orang lain untuk melakukan tingkah laku tertentu karena

adanya unsur kekuasaan serta perubahan perilaku yang dihasilkan oleh perintah dari

otoritas (Baron, Branscombe, & Byrne, 2008).

Menurut Kelman (1996) perubahan sikap mental dalam perilaku terdapat tiga

tingkatan yaitu:

1. Disiplin karena kepatuhan

Kepatuhan terhadap aturan-aturan yang didasarkan atas dasar perasaan takut dan

khawatir. Displin kerja dalam tingkatan ini dilakukan hanya untuk mendapatkan

reaksi positif dari pimpinan.

2. Disiplin karena identifikasi

Kepatuhan terhadap aturan-aturan didasarkan pada identifikasi adanya perasaan

kekaguman penghargaan pada pimpinan. Pemimpin yang kharismatik adalah

figure yang dihormati, dihargai dan sebagai pusat identifikasi.

3. Disiplin karena internalisasi

Disiplin kerja dalam tingkat ini terjadi karyawan punya sistem nilai pribadi yang

7

menujukkan tinggi nilai-nilai kedisplinan. Dalam taraf ini, orang dikategorikan

mempunyai disiplin diri.

Internalisasi terjadi apabila individu menerima pengaruh dan bersedia menuruti

pengaruh itu dikarenakan sikap tersebut sesuai dengan hal yang telah dipercaya dan

sesuai dengan sistem nilai yang dianutnya. Hal ini berhubungan dengan hakekat sikap

yang diterima itu sendiri dianggap memuaskan oleh individu yang menjunjung tinggi

nilai kedisiplinan. Sikap demikian itulah yang biasanya merupakan sikap yang

dipertahankan oleh individu dan biasanya tidak mudah untuk berubah selama sistem

nilai yang ada dalam diri individu yang bersangkutan masih bertahan (Azwar, 2003).

Sinungan (2003) mengemukakan bahwa disiplin adalah sebagai sikap mental yang

tercermin dalam perbuatan atau tingkah laku perorangan, kelompok atau masyarakat

berupa ketaatan (compliance) terhadap peraturan-peraturan atau ketentuan yang

ditetapkan pemerintah atau etik, norma dan kaidah yang berlaku dalam masyarakat.

Pemaparan diatas menunjukkan bahwa sebuah aturan dibuat untuk mendisiplikan

individu yang didasarkan adanya kepatuhan (obedience) dan dengan aturan atau

norma tersebut sehingga individu dapat melakukan sesuai dengan aturan yang berlaku

yaitu dengan cara mematuhi (obedience) setiap aturan yang berlaku dan membagun

disiplin diri.

Disiplin kerja ditujukan dalam mengatur seorang karyawan untuk menaati

segala norma, kaidah, dan peraturan yang berlaku dalam organisasi. Ravianto (1988)

mengungkap bahwa disiplin kerja adalah ketaatan dalam melaksanakan aturan-aturan

yang ditentukan atau diharapkan oleh organisasi atau perusahaan dalam bekerja,

8

dengan maksud agar tenaga kerja melaksanakan tugasnya dengan tata tertib dan

lancar, termasuk penahanan diri untuk tidak melakukan perbuatan yang menyimpang

dari peraturan. Dale dalam Sudjadi (2005) menjelaskan bahwa disiplin yang utuh

adalah suatu kondisi atau sikap yang ada pada pegawai yang tunduk dan taat pada

peraturan perusahaan. Warsono (dalam Kusumawarni, 2007), mengungkap bahwa

disiplin kerja juga diartikan sebagai sikap ketaatan seseorang terhadap suatu aturan

atau ketentuan yang berlaku dalam organisasi yaitu menggabungkan diri dalam

organisasi itu atas dasar kesadaran diri bukan karena adanya paksaan. Kedisiplinan

(Hasibuan, 2008) adalah kesadaran dan ketaatan seseorang terhadap peraturan

perusahaan atau lembaga dan norma sosial yang berlaku. Sedarmayanti (2009),

disiplin merupakan sikap mental yang tercermin dalam perbuatan tingkah laku

perorangan, kelompok, atau masyarakat berupa kepatuhan atau ketaatan terhadap

peraturan, ketentuan, etika, norma, dan kaidah yang berlaku.

Gordon dalam Moenir (2010) disiplin dalam pengertian yang utuh adalah

suatu kondisi dan sikap yang ada pada semua anggota organisasi yang tunduk dan

taat pada aturan organisasi. Disiplin menurut Moenir (2010) adalah suatu bentuk

ketaatan terhadap aturan, baik tertulis maupun tidak tertulis. Disiplin kerja, pada

dasarnya dapat diartikan sebagai bentuk ketaatan dari perilaku seseorang dalam

mematuhi ketentuan-ketentuan ataupun peraturan-peraturan tertentu yang berkaitan

dengan pekerjaan, dan diberlakukan dalam suatu organisasi atau perusahaan.

Kedisiplinan suatu perusahaan dikatakan baik, jika sebagian besar karyawan menaati

peraturan-peraturan yang ada. Hukuman diperlukan dalam meningkatkan kedisiplinan

9

dan mendidik karyawan supaya menaati semua peraturan perusahaan. Pemberian

hukuman harus adil dan tegas terhadap semua karyawan. Peraturan tanpa diimbangi

dengan pemberian hukuman yang tegas bagi pelanggarannya bukan menjadi alat

pendidik bagi karyawan. Tanpa dukungan disiplin karyawan yang baik, sulit bagi

perusahaan untuk mewujudkan tujuannya. (Gusti, 2012).

Tujuan disiplin kerja adalah memperlancar pekerjaan setiap karyawan agar

pencapaian tujuan organisasi dapat dilakukan dengan tepat waktu, tepat sasaran,

efektif dan efisien (Srieyono, Djiwanto & Hasibuan, 2006). Sutrisno (2009)

mengungkap bahwa disiplin kerja dapat dilihat sebagai sesuatu yang besar

manfaatnya, baik bagi kepentingan organisasi maupun bagi para karyawan.

Organisasi yang menjunjung tinggi disiplin kerja akan menjamin terpeliharanya tata

tertib dan kelancaran pelaksanaan tugas, sehingga diperoleh hasil yang optimal,

sedangkan bagi karyawan akan diperoleh suasana kerja yang menyenangkan sehingga

akan menambah semangat kerja dalam melaksanakan pekerjaannya. Karyawan dapat

melaksanakan tugasnya dengan penuh kesadaran serta dapat mengembangkan tenaga

dan pikirannya semaksimal mungkin dengan terwujudnya tujuan organisasi.

Sastrohadiwirjo (2003) menyebutkan pembinaan disiplin kerja dapat dikelompokkan

menjadi dua garis besar, yaitu :

1. Tujuan umum penerapan disiplin kerja adalah demi kelangsungan perusahaan

sesuai dengan motif perusahaan yang bersangkutan, baik hari ini maupun masa

yang akan datang.

2. Tujuan khusus penerapan disiplin kerja adalah (1) agar para tenaga kerja menepati

10

segala peraturan dan kebijakan ketenagakerjaan maupun peraturan dan kebijakan

perusahaan yang berlaku, baik tertulis maupun tidak, serta melaksanankan

perintah manajemen, (2) dapat melaksanakan pekerjaan dengan sebaik-baiknya

serta mampu memberikan pelayanan maksimum kepada pihak tertentu, (3) dapat

menggunakan dan memelihara sarana dan prasarana, barang dan jasa perusahaan

dengan sebaik-baiknya, (4) dapat bertindak dan berperilaku sesuai dengan norma-

norma yang berlaku di perusahaan, (5) tenaga kerja mampu memperoleh tingkat

produktivitas yang tinggi sesuai dengan harapan perusahaan.

Terdapat beberapa tipe kegiatan pendisiplinan menurut Davis dan Newstrom

(2005) serta Mathis dan Jackson (2002), antara lain :

1. Disiplin Preventif

Adalah kegiatan yang dilaksanakan untuk mendorong para karyawan agar

mengikuti berbagai standar dan aturan, sehingga penyelewengan-penyelewengan

dapat dicegah. Tujuan pokok dari disiplin preventif ini adalah mendorong

karyawan untuk disiplin diri.

2. Disiplin Korektif

Adalah kegiatan yang diambil untuk menangani pelanggaran terhadap aturan-

aturan dan mencoba untuk menghindari pelanggaran-pelanggaran lebih lanjut.

Disiplin korektif ini biasanya berupa jenis hukuman tertentu yang ditetapkan

organisasi misalnya peringatan atau penskoran yang lebih dikenal dengan tindakan

disipliner.

3. Disiplin Progresif

11

Adalah memberikan hukuman-hukuman yang lebih berat terhadap pelanggaran-

pelanggaran yang berulang. Disiplin progresif melembagakan sejumlah langkah

dalam membentuk perilaku karyawan. Penerapan disiplin ini dilakukan dengan

pemberian hukuman yang lebih berat terhadap pengulangan kesalahan yang

dilakukan.

Disiplin dibuat untuk mengatur tata hubungan yang berlaku tidak saja dalam

perusahaan-perusahaan besar atau kecil, tetapi juga pada seluruh organisasi yang

mempekerjakan banyak sumber daya manusia untuk melaksanakan pekerjaan.

Pembuatan suatu peraturan disiplin dimaksudkan, agar para karyawan dapat

melaksanakan pekerjaan tersebut sesuai dengan apa yang diharapkan. Tetapi

penerapan disiplin itu banyak menemui hambatan dalam pelaksanaannya.

Menurut Nurmansyah (2011), bahwa faktor-faktor yang dapat menunjang

kedisiplinan tersebut adalah sebagai berikut: (a) Adanya peraturan yang pasti dan

jelas untuk dijadikan pegangan seluruh karyawan. (b) Adanya ketegasan terhadap

pelanggaran disiplin. (c) Adanya ancaman atau sanksi yang diberikan terhadap

pelanggaran disiplin. (d) Memperhatikan tingkat kesejahtraan karyawan. e) Adanya

partisipasi karyawan. (f) Menunjang tugas serta sesuai dengan kemampuan karyawan.

(g) Adanya keteladanan dari pemimpin. Wadji, Farid dan Harnowo Narmado (2006),

menjelaskan aspek-aspek dalam disiplin kerja, antara lain: (1) disiplin terhadap

waktu, meliputi tingkat absensi dan waktu kerja. (2) disiplin terhadap waktu kerja,

meliputi efektifitas kerja, penggunaan peralatan dan sikap hati-hati dalam

12

melaksanakan tugas. (3) disiplin terhadap prosedur kerja, yang meliputi ketaatan pada

tata tertib dan menguasai cara kerja.

Indikator disiplin kerja menurut Singodimendjo dalam Sutrisno (2009) adalah

sebagai berikut:

1. Taat terhadap aturan waktu

Dilihat dari jam masuk kerja, jam pulang, dan jam istirahat yang tepat waktu

sesuai dengan aturan yang berlaku di perusahaan.

2. Taat terhadap peraturan perusahaan

Peraturan dasar tentang cara berpakaian, dan bertingkah laku dalam pekerjaan.

3. Taat terhadap aturan perilaku dalam pekerjaan

Ditunjukan dengan cara-cara melakukan pekerjaan-pekerjaan sesuai dengan

jabatan, tugas dan tanggung jawab serta cara berhubungan dengan unit kerja lain.

4. Taat terhadap peraturan lainnya diperusahaan

Aturan tentang apa yang boleh dan apa yang tidak boleh dilakukan oleh para

pegawai dalam perusahaan.

Dampak dalam sebuah organisasi memiliki dampak yang kuat bagi individu-

individu yang berada di dalamnya. Tegaknya standar organisasi dan keteraturan pola

tingkah laku individu dalam organisasi dapat dicapai melalui disiplin kerja (Davis &

Newstrom, 2005). Mathis dan Jackson (2002) mengatakan bahwa disiplin dapat

berdamak pada kinerja. Tindakan pendisiplinan dengan menegakkan standar

organisasi dapat medorong adanya norma kelompok dan menghasilkan peningkatan

kinerja serta rasa keadilan. Anoraga (2006), berpendapat bahwa seorang pekerja yang

13

berdisiplin tinggi, masuk kerja, dan pulang tepat pada waktunya, selalu taat pada tata

tertib, belum akan efisien tugasnya jika tidak memiliki keahlian pada bidang

tugasnya. Oleh karena itu perlu upaya yang dapat menimbulkan dan meningkatkan

kesadaran akan disiplin kerja karyawan, terutama displin kerja, karena disiplin yang

paling baik adalah disiplin kerja (Strauss & Sayles, 1990; Harris, 1984; Davis &

Newstrom, 1989). Oleh karena itu peneliti memutuskan meneliti variabel disiplin

kerja sebagai variabel dependen dalam penelitian ini.

Berdasarkan dari pendapat para ahli, penulis menarik kesimpulan bahwa

komponen perilaku yaitu disiplin kerja dari teori penilaian kinerja PNS yang

digunakan dalam pengembangan skala penelitian dan definisi disiplin kerja yang

digunakan adalah suatu ketaatan terhadap peraturan organisasi untuk mencapai

perilaku yang dikendalikan melalui penyesuaian diri terhadap aturan dan pelaksanaan

hukuman. Dari uraian di atas aspek yang dipakai dalam penelitian aspek adalah

ketepatan waktu, penyelesaian tugas dan mematuhi semua peraturan perusahaan.

Indikator yang dipakai dalam penelitian ini adalah indikator yang terdapat dalam

disiplin kerja yang dipakai pada penelitian ini adalah taat terhadap aturan waktu, taat

terhadap peraturan perusahaan dan pekerjaan.

Selain faktor-faktor yang telah dipaparkan diatas ada pula anteseden yang

dapat mempengaruhi serta meningkatkan disiplin kerja, yaitu kepuasan kerja

(Tarigan, V., & Ariani, D. W., 2015; Toni, L. & Bambang S., 2006; Widia, A., 2014)

dan komitmen organisasi (Anggi, 2014; Hasan, 2012; Vandenberghe & Trembla,

2008). Davis dan Newstrom (1989) menyatakan kepuasan kerja yang rendah akan

14

meyebabkan sikap yang negatif seperti pemogokan, kemunduran kerja, absensi dan

turnover. Sedangkan menurut (Hussain & Saleem, 2014); Robbins (2003); Kreitner

dan Kinicki (2010) dan Wexley dan Yulk (2000) adanya ketidakpuasan dapat

mengakibatkan perilaku penarikan diri yang terlihat dari adanya absensi dan perilaku

agresif. Ketidakpuasan karyawan tersebut juga mengarahkan mereka melakukan

tindakan yang bertentangan dengan peraturan organisasi, mengakibatkan karyawan

suka membolos dan menjadi kurang kooperatif yang mana ketidakdisiplinan

karyawan.

Kepuasan kerja merupakan salah satu kriteria mengukur kesehatan organisasi

(Crossman & Abou-Zaki, 2003). Salah satu faktor yang juga mempengaruhi disiplin

kerja karyawan adalah kepuasan kerja, karena pada dasarnya kepuasan kerja

merupakan dambaan setiap karyawan di dalam bekerja. Pada dasarnya kepuasan kerja

merupakan sesuatu yang bersifat individual. Locked (1976) mendefinisikan kepuasan

kerja sebagai suatu keadaan emosi yang menyenangkan atau keadaan emosi yang

positif sebagai akibat dari penilaian seseorang terhadap pekerjaan atau pengalaman

kerjanya. Semakin karyawan merasa lebih dihargai oleh organisasi dengan

terpenuhinya kebutuhan-kebutuhan, khususnya kebutuhan fisiologis dan rasa aman,

maka karyawan akan berinvestasi lebih besar dalam organisasi, dalam hal ini

komitmen yang terbentuk akan semakin kuat (Barling & Cooper, 2008).

Kepuasan kerja dianggap sebagai salah satu variabel penting dalam rangka

manajemen sumber daya manusia karena jika seseorang karyawan telah mendapatkan

kepuasan di dalam bekerja maka akan menimbulkan motivasi diri untuk bekerja lebih

15

maju, karena kepuasan itu sendiri mencerminkan perasaan seseorang terhadap sesuatu

yang dilakukan dan telah dianggap berhasil, sebaliknya jika tingkat kepuasan kerja

rendah maka mengakibatkan ketidaklancaran perusahaan dan proses produksi yang

dikarenakan tingginya keterlambatan dan kemangkiran serta tingginya tingkat keluar

masuknya karyawan juga pindah kerja (Tuhumena, 2004). Hussain & Saleem (2014)

mendefinisikan kepuasan kerja sebagai perasaan dan sikap positif ataupun negatif

terhadap suatu pekerjaan. Selain itu kepuasan kerja juga merupakan sikap atau

perasaan seseorang mengenai pekerjaannya, gaji, promosi, hubungan dengan

pemimpin dan beban kerja.

Teori tentang kepuasan kerja yang cukup dikenal dalam (Rivai, 2004) adalah

teori dua faktor (Two factor theory) oleh Herzberg (1966). Menurut teori ini kepuasan

kerja dan ketidakpuasan kerja merupakan hal yang berbeda. Kepuasan dan

ketidakpuasan terhadap pekerjaan bukan merupakan variabel yang kontinyu. Teori ini

merumuskan karakteristik pekerjaan menjadi dua kelompok yaitu satisfies

(motivator) dan dissatisfies. Satisfies ialah faktor-faktor atau situasi yang dibutuhkan

sebagai sumber kepuasan kerja yang terdiri dari pekerjaan : pekerjaan yang menarik,

penuh tantangan, ada kesempatan untuk berprestasi, kesempatan memperoleh

penghargaan dan promosi. Dissatisfies (hygiene faktor) adalah faktor-faktor yang

menjadi sumber ketidakpuasan, yang terdiri dari: gaji atau upah, pengawasan,

hubungan antar pribadi, kondisi kerja dan status.

Aspek-aspek kepuasan kerja yang dikemukakan oleh Locke (1969) dan

Luthans (2005), Riyono (1991) membagi kepuasan kerja menjadi lima aspek, yakni

16

pekerjaan itu sendiri; upah dan kesejahteraan pengawasan; meliputi supervisi,

perusahaan dan pengakuan; rekan kerja; dan promosi. Kelima aspek ini merupakan

bentuk ringkas dari aspek yang dikemukakan oleh Locke (1969) dan Luthans (1985),

yang dinilai paling cocok untuk menggambarkan kepuasan kerja pada karyawan.

Mathis dan Jackson (2001), kepuasan kerja mempunyai banyak dimensi. Tahap yang

diamati adalah kepuasan dalam pekerjaan itu sendiri, gaji, pengakuan, hubungan

antara atasan dengan karyawan, dan kesempatan untuk maju. Setiap dimensi

menghasilkan perasaan puas secara keseluruhan dengan pekerjaan itu sendiri, namun

pekerjaan juga mempunyai definisi yang berbeda bagi orang lain.

Ketidakpuasan kerja dapat mengarahkan karyawan melakukan tindakan yang

bertentangan peraturan organisasi (Cascio, 1978), mengakibatkan mereka suka

membolos dan menjadi kurang kooperatif (Mitchel, 1982) dan hal ini menunjukkan

ketidakdisiplinan karyawan. Hal ini sesuai dengan pendapat Ancok dan Rasimin

(1988) yang menyatakan bahwa karyawan yang kurang produktif, seringkali

mengambil waktu istirahat di luang jam kerja yang telah ditentukan dan sering pula

datang terlambat ke tempat kerja. Murdiasih (2007) mengemukakan bahwa kepuasan

kerja adalah hasil suatu hubungan yang harmonis antara karyawan dengsn

lingkungannya sehingga akan berdampak positif ke lingkungan kerja serta terhadap

sikap dan perilaku kerjanya. Menurut Strauss dan Sayles (1990) menjelaskan bahwa

karyawan yang tidak memperoleh kepusahan kerja tidak akan pernah mencapai

kematangan secara psikologis dan pada gilirannya akan menjadi frustasi. Karyawan

seperti ini akan menampakkan perilaku-perilaku seperti sering melamun, semangat

17

kerja yang rendah, cepat lelah dan bosan, sering absen dan tidak melakukan

kesibukan yang tidak ada hubungannya dengan pekerjaan yang harusnya dilakukan.

Berdasarkan uraian dari definisi kepuasan kerja yang telah dijelaskan di atas,

maka peneliti dapat menarik kesimpulan dari pendapat para ahli diatas dan mengacu

pada definisi bahwa penilaian, perasaan atau sikap pegawai terhadap pekerjaannya

yang berhubungan dengan lingkungan kerja. Aspek-aspek kepuasan kerja yang akan

dipakai dalam penelitian ini yakni berdasarkan Riyono (1991), yakni pekerjaan itu

sendiri; upah dan kesejahteraan; pengawasan yang meliputi supervisi, perusahaan dan

pengakuan; rekan kerja; serta promosi.

Komitmen organisasi merupakan salah satu faktor yang juga dapat

memperngaruhi disiplin kerja. Faktor komitmen organisasi mampu memprediksi

disiplin kerja. Komitmen pada organisasi yang tinggi berarti pemihakan pada

organisasi yang mempekerjakannya (Robbins, 2001; Malik, M. E., Nawab, S. &

Naeem, B, 2010). Penelitian yang dilakukan oleh Nouri dan Parker (dalam

Murwaningsari, 2008); Vandenberghe & Tremblay (2008), memaparkan bahwa

komitmen organisasi yang tinggi merupakan sebuah bentuk penerimaan karyawan

terhadap tujuan organisasi dan kesediaan untuk berusaha demi kepentingan

organisasi guna meningkatkan performa manajerial. Komitmen organisasi mampu

mendorong seorang karyawan untuk menunjukkan perilaku yang positif seperti,

meningkatkan disiplin kerja, mematuhi kebijakan-kebijakan dan peraturan-peraturan

organisasi, membangun hubungan yang baik dengan rekan kerja, serta meningkatkan

pencapaian dalam pekerjaan (Dwianasari dan Mardiasmo, 2004), oleh karena itu

sangat penting menanamkan suatu komitmen terhadap organisasi agar tercipta

18

disiplin kerja pegawai sehingga segala tujuan yang ingin dicapai oleh instansi dapat

tercapai.

Meyer dan Allen (1991), mengemukakan aspek-aspek komitmen organisasi

terdiri dari tiga aspek yaitu: kelekatan afektif, faktor biaya yang dirasakan dan faktor

kewajiban (kondisi ini kemudian disebut sebagai komitmen keberlanjutan).

a. Komitmen Afektif

Salah satu komponen pembentuk komponen adalah aspek komitmen afektif

karyawan terhadap perusahaan tempatnya bekerja. Seorang karyawan dikatakan

memiliki komitmen afektif dengan organisasi tempatnya bekerja bila yang

bersangkutan bersedia untuk menerima nilai-nilai yang dianut oleh organisasi,

memiliki kemauan untuk berusaha keras demi kemajuan organisasi, dan memiliki

keinginan untuk tetap berada dalam organisasi.

b. Komitmen Keberlanjutan

Aspek kedua ini adalah persepsi mengenai biaya. Hal ini merupakan suatu keadaan

dimana seorang karyawan terus berada dalam organisasi karena adanya

pertimbangan biaya yang ia rasakan bila ia berhenti bekerja pada organisasi

tersebut.

a. Komitmen Normatif

Aspek kewajiban merupakan sebuah kondisi dimana karyawan tetap bertahan pada

perusahaan karena merasa harus memenuhi kewajibannya terhadap organisasi.

Pada penelitian ini untuk mengungkap perilaku disiplin kerja, peneliti hanya

akan menggunakan aspek afektif, hal ini disebabkan bahwa aspek afektif terbentuk

19

apabila pegawai mengalami pengalaman kerja maka akan muncul perilaku disiplin

kerja. Karyawan dengan komitmen afektif yang tinggi akan tetap bekerja karena

karyawan merasa ingin tetap bekerja, oleh karena itu peneliti ingin meneliti variabel

komitmen afektif untuk memprediksi disiplin kerja. Komitmen karyawan menjadi

penting bagi organisasi, maka upaya-upaya untuk mengelola dan meningkatkan

komitmen karyawan telah banyak dilakukan, yakni dengan menciptakan dalam diri

setiap karyawan rasa keikatan, yaitu sejauh mana seorang karyawan

mengidentifikasikan dirinya dan melibatkan dirinya terhadap organisasi tempatnya

bekerja (Marchiori & Henkin, 2004; Mowday, Steers, & Porter, 1972). Penelitian

hingga saat ini banyak terfokus pada efek langsung dari peristiwa yang dialami

karyawan ketika bekerja dengan komitmen mereka terhadap organisasi, padahal

peristiwa yang dialami karyawan dalam bekerja menumbuhkan emosi dan keyakinan

tertentu terlebih dahulu kemudian barulah perasaan ini menumbuhkan komitmen

mereka terhadap organisasi.

Pengaruh komitmen organisasi terhadap kinerja telah banyak diteliti, antara

lain Meyer dkk. (1989) menemukan adanya korelasi positif antara komitmen afektif

dengan pengukuran kinerja yang dilakukan oleh atasan mereka. Sebaliknya, korelasi

antara komitmen keberlanjutan dengan kinerja memiliki korelasi negatif. Penelitian

Abbott dkk. (2005) menemukan bahwa keinginan untuk meninggalkan organisasi

lebih diprediksi oleh komitmen afektif. Komitmen nomatif dan komitmen

keberlanjutan tidak menunjukkan adanya hubungan yang jelas dengan keinginan

untuk meninggalkan organisasi, bahkan komitmen keberlanjutan cenderung justru

20

berkebalikan daya prediksinya. Dengan kata lain, keterlibatan emosi pada komitmen

afektif memiliki pengaruh yang lebih kuat terhadap keinginan karyawan untuk tetap

bekerja di organisasi yang bersangkutan dibanding adanya keharusan ataupun hitung-

hitungan biaya ketika akan meninggalkan organisasi. Chai-Amonphaisal dan

Ussahawanitchakit (2008) pada perusahaan yang memiliki ISO di Thailand

membuktikan bahwa komitmen afektif terhadap organisasi memiliki pengaruh yang

kuat terhadap kinerja karyawan. Chen dkk. (2009) meneliti pengaruh kepemimpinan

konsiderasi dan kepemimpinan ideal, kepuasan dan kepercayaan terhadap kinerja

dengan dimoderatori oleh komitmen organisasi dan menemukan bahwa komitmen

organisasi memiliki hubungan kuat dengan kinerja.

Meyer dan Herscovitch (2001) mengartikan komitmen sebagai kekuatan yang

mengikat seorang individu untuk mengejar suatu tindakan yang relevan dengan satu

atau lebih target tertentu. Kekuatan yang mengikat ini dapat dialami dengan cara yang

berbeda, seperti kelekatan emosioanl dan keterlibatan dengan target (komitmen

afektif), kewajiban yang dirasakan (komitmen normatif), dan kesadaran dari biaya

yang berkaitan dengan penghentian keterlibatan dengan target (komitmen

keberlanjutan) (Scrima, Di Stefano, Guarnaccia, Lorito, 2015). Komitmen afektif

merupakan proses identifikasi, keterlibatan, dan nilai dengan target tertentu (Meyer &

Herscovitch, 2001). Penelitian Siders dkk. (2009) juga menemukan bahwa komitmen

afektif berkorelasi dengan kinerja yang diukur dengan pengukuran obyektif, dalam

penelitian ini pekerjaan yang diteliti adalah karyawan penjualan dengan kinerja yang

21

terukur secara kuantitatif sekaligus dihargai organisasi dalam bentuk bonus capaian

penjualan.

Penelitian terdahulu juga didukung oleh penelitian yang dilakukan Ali dan

Zilli (2013) yang menemukan bahwa komitmen afektif. Komitmen afektif memiliki

asosiasi dengan tingkat absensi dan performansi. Turnover dan intensi untuk turnover

merupakan hal yang memiliki hubungan paling kuat dengan komitmen afektif.

Pengalaman yang didapatkan selama proses bekerja seperti penghargaan organisasi,

keadilan prosedural dan dukungan yang diperoleh dari pengawas menunjukan

asosiasi yang kuat dengan komitmen afektif dibandingkan dengan aspek-aspek

struktural seperti desentralisasi atau karakteristik personal dari karyawan (Eby, 2000).

Komitmen afektif memiliki hubungan yang positif dengan keinginan yang berasal

dari individu untuk bersedia memberikan usaha yang lebih terhadap pekerjaan yang

mereka lakukan. Komitmen afektif merupakan suatu hal yang dapat diprediksi untuk

memiliki hubungan dengan kegiatan pemberian dan penerimaan tentang pengetahuan

yang sehubungan dengan aktivitas pada suatu organisasi (van den Hoof, 2004).

Berdasarkan pendapat para ahli dapat diambil kesimpulan definisi komitmen

afektif yang dipakai dalam penelitian ini bahwa tingkatan kondisi individu

memposisikan dirinya pada nilai-nilai organisasi dan kemauan untuk mengupayakan

pencapaian kepentingan organisasinya. Aspek - aspek komitmen organisasi (Meyer

dan Allen, 1991) yang akan dipakai dalam penelitian ini peneliti hanya akan

menggunakan aspek afektif, hal ini disebabkan bahwa aspek afektif terbentuk apabila

pegawai mengalami pengalaman kerja maka akan muncul perilaku disiplin kerja.

22

Adomi (2004) dan Siagian (1999) menjelaskan bahwa disiplin karyawan

dapat mendorong anggota organisasi memenuhi tuntutan berbagai ketentuan yaitu

dari memperbaiki dan membentuk pengetahuan, sikap dan perilaku karyawan

sehingga karyawan secara sukarela berusaha bekerja secara kooperatif dengan rekan

kerjanya serta meningkatkan prestasi kerja. Naderi (2012); Silva (2006) dan Gunlu

(2010) menyatakan studi saat ini mendukung adanya korelasi positif yang signifikan

antara kepuasan kerja dan komitmen organisasi. Sebuah penjelasan logis dari hasil ini

dapat bahwa komitmen organisasi merupakan fungsi dari kepuasan kerja. Dimensi

kepuasan kerja seperti kepuasan dengan gaji, rekan kerja, supervisi, dan bekerja

sendiri dibutuhkan oleh para pekerja untuk memenuhi kebutuhan dasar mereka.

Temuan Boles (2007) dan Azeem (2010) menggambarkan bahwa aspek-aspek

yang menunjukan kepuasan kerja berhubungan dengan komitmen afektif karyawan.

Adapun aspek kepuasan kerja yang dipergunakan pada penelitian ini adalah promosi,

gaji, pekerjaan, supervisi pimpinan, kelompok kerja. Komitmen afektif merupakan

proses identifikasi, keterlibatan, dan nilai dengan target tertentu (Meyer &

Herscovitch, 2001). Penelitian yang dilakukan oleh Maryadi (2012), dimana hasil

penelitian menunjukkan adanya hasil signifikan antara kepuasan kerja terhadap

disiplin kerja. Tenaga guru yang merasa puas akan memiliki sikap positif dengan

pekerjaannya, sehingga dapat memacu kinerjanya dan otomatis juga disiplin kerjanya

akan baik, namun bila tenaga guru tersebut tidak merasa puas maka kinerja mereka

akan tidak baik begitupula halnya dengan disiplin kerja mereka yang menjadi tidak

baik pula. Berdasarkan uraian penelitian dari beberapa ahli di atas dijelaskan bahwa

23

kepuasan kerja dan komitmen organisasi dengan aspek afektif adalah faktor yang

penting dalam memprediksi disiplin kerja pegawai.

Hasil dari penelitian dari Chan (2006) dan English (2010) menjelaskan bahwa

komitmen yang dimiliki oleh anggota kelompok akan memberikan energi dan

memotivasi dalam bekerja lebih baik. Anggota kelompok yang berkomitmen tinggi

akan saling menerima, belajar dari anggota kelompok yang lain dan berpartisipasi

penuh dalam setiap kegiatan organisasi. Mereka akan menciptakan norma mereka

sendiri untuk menangani anggota lainnya yang tidak disiplin, mereka akan

mengembangkan norma tersebut, sehingga anggota yang berkomitmen tinggi

berusaha mempertahankan disiplin mereka dan membuat anggota yang lain ikut

memiliki disiplin seperti mereka. Meyer (2002), komitmen afektif yang tinggi

ditemukan berhubungan dengan turnorver karyawan yang rendah, ketidakhadiran

rendah dan kinerja lebih baik. Hasil penelitian Wicaksono (2009), menjelaskan

bahwa disiplin kerja sangat berperan penting dalam produktivitas kerja dalam

organisasi. Penelitian dari Yiing, Lee Huey (2009) yaitu hasil yang signifikan antara

kepuasan kerja dan komitmen organisasi terhadap kinerja dalam disiplin kerja. Hal ini

dapat dilihat dari hasil penelitian menunjukkan jika karyawan memiliki kepuasan

kerja dan komitmen organisasi yang tinggi maka disiplin kerja juga tinggi dan

berdampak pada kinerja.

Pegawai dapat melakukan disiplin kerja jika mengalami subjective well being

yang positif. Subjective well being meliputi evaluasi subjektif seseorang terhadap

keadaan dirinya saat ini dan merupakan kombinasi antara adanya afek positif atau

24

ketiadaan afek negatif serta kepuasan hidup secara umum (Diener, 2008). Seseorang

dikatakan memiliki subjective well-being yang tinggi jika mereka merasa puas

dengan kondisi hidup mereka dan faktor-faktor yang didapatkan di lingkungan kerja

yang sesuai dengan keinginan pegawai, seringkali merasakan emosi positif dan jarang

merasakan emosi negatif. Pada penelitian ini subjective well being memakai

pendekatan secara hedonic memandang well-being tersusun atas kebahagiaan

subjektif dan berfokus pada pengalaman yang mendatangkan kenikmatan (Edington,

2005 dalam Arbiyah, Nurwiyanti & Oriza, 2008).

Subjective well being kondisi individu melakukan evaluasi pengalaman secara

kognitif yaitu tentang kepuasan hidup dan afektif yaitu afeksi positif maupun negatif

yang mencakup seluruh aspek kehidupan yang telah diterima. Pegawai dapat

dikatakan memiliki subjective well being yang tinggi, jika pegawai tersebut lebih

banyak menerima hal-hal yang positif pada pengalamannya dan mendatangkan

kebahagiaan. Seorang pegawai memiliki subjective well being yang positif yaitu

pegawai merasakan perasaan yang nyaman dan puas terhadap lingkungan kerja dan

mengalami pengalaman bekerja yang baik yang dilakukan secara afektif, serta

pegawai dapat mengevaluasi secara koginitif yaitu penilaian kepuasan pada

pekerjaannya. Ketika pegawai merasakan kepuasan yang tinggi maka akan timbul

keinginan berkomitmen afektif.

Huang dan Hasio (2007) menyatakan adanya hubungan signifikan dan positif

antara kepuasan kerja dengan komitmen organisasi. Karyawan akan memiliki

komitmen organisasi yang tinggi ketika merasa puas dengan pekerjaan, supervisi,

25

gaji, promosi dan rekan kerja (Harrison dan Hubbard, 1998). Hal tersebut setelah

diterima sesuai dengan harapan dari pegawai maka akan timbul keinginan dan

kemauan untuk berusaha bekerja secara optimal untuk kepentingan institusi dan

keinginan tetap berada di institusi tersebut. Sehingga dampaknya adalah pegawai

tersebut dapat melakukan disiplin kerja yaitu dengan menaati peraturan di institusi

baik tertulis dan tidak tertulis dan bertanggung jawab terhadap pekerjaannya dengan

mengerjakan pekerjaan secara tepat waktu. Hal ini akan berdampak positif untuk diri

pegawai dan sesuai dengan tujuan institusi sehingga produktivitas dari institusi

menjadi efektif dan efisien. Kerangka penelitian yang diajukan oleh peneliti:

Komitmen Afektif

Disiplin Kerja

Kepuasan Kerja

Gambar 1. Kerangka Konseptual Hubungan Antar Variabel

Disiplin kerja para pegawai terhadap organisasi adalah faktor yang penting,

terutama pada bidang pendidikan. Hal ini dikarenakan banyaknya persaingan antara

institusi pendidikan dalam hal kualitas sumber daya manusia. Apabila institusi

memiliki pegawai yang mempunyai disiplin kerja maka kualitas institusi pendidikan

juga semakin tinggi. Maka dari itu, penelitian ini perlu dilakukan untuk melihat

disiplin kerja dari para pegawai yang bekerja di Universitas X. Peneliti membangun

sebuah kerangka penelitian yaitu kepuasan kerja dan komitmen afektif secara

26

bersama-sama merupakan prediktor disiplin kerja.