perihal_undang-undang

Upload: cool182

Post on 14-Apr-2018

267 views

Category:

Documents


1 download

TRANSCRIPT

  • 7/27/2019 Perihal_Undang-Undang

    1/206

    BAB INORMA HUKUM

    DAN KEPUTUSAN HUKUM

    A. PERIHAL NORMA HUKUM

    Norma atau kaidah (kaedah) merupakan pe-lembagaan nilai-nilai baik dan buruk dalam bentuk tataaturan yang berisi kebolehan, anjuran, atau perintah.Baik anjuran maupun perintah dapat berisi kaidah yangbersifat positif atau negatif sehingga mencakup normaanjuran untuk mengerjakan atau anjuran untuk tidakmengerjakan sesuatu, dan norma perintah untuk me-lakukan atau perintah untuk tidak melakukan sesuatu.Apabila ditinjau dari segi etimologinya, kata norma itusendiri berasal dari bahasa Latin, sedangkan kaidah ataukaedah berasal dari bahasa Arab. Norma berasal darikata nomos yang berarti nilai dan kemudian dipersempitmaknanya menjadi norma hukum. Karya Plato yangberjudul Nomoi biasa diterjemahkan ke dalam bahasaInggris dengan istilah The Law1. Sedangkan kaidahdalam bahasa Arab, qoidah berarti ukuran atau nilaipengukur.

    Jika pengertian norma atau kaidah sebagai pe-lembagaan nilai itu dirinci, kaidah atau norma yang di-maksud dapat berisi:(i) kebolehan atau yang dalam bahasa Arab disebut

    ibahah, mubah (permittere);(ii) anjuran positif untuk mengerjakan sesuatu atau da-lam bahasa Arab disebut sunnah;

    1 Plato, The Laws, translated by: Trevor J. Saunders, (New York: Penguin

    Books, 2005).

    Perihal Undang-Undang

    2

    (iii) anjuran negatif untuk tidak mengerjakan sesuatuatau dalam bahasa Arab disebut makruh;

    (iv) perintah positif untuk melakukan sesuatu atau ke-wajiban (obligattere); dan

    (v) perintah negatif untuk tidak melakukan sesuatuatau yang dalam bahasa Arab disebut haram ataularangan (prohibere).

    Dalam teori yang dikenal di dunia barat, norma-norma tersebut biasanya hanya digambarkan terdiri atastiga macam saja, yaitu: (a) obligattere, (b) prohibere;dan (c) permittere. Akan tetapi di Indonesia, denganmeminjam teori hukum fiqh, menurut Profesor Hazai-rin2, norma terdiri atas lima macam, yaitu:(a)halal atau mubah (permittere);(b)sunnah;(c) makruh;(d)

    wajib (obligattere); dan(e) haram (prohibere).

    Dalam sistem ajaran Islam, kelima kaidahtersebut sama-sama disebut sebagai kaidah agama. Akantetapi, jika diklasifikasikan, ketiga sistem norma agama(dalam arti sempit), sistem norma hukum, dan sistemnorma etika (kesusilaan) dapat saja dibedakan satu samalain. Norma etika atau norma kesusilaan dapat dikatakanhanya menyangkut kaidah mubah (permittere), sunah,dan makruh saja; sedangkan norma hukum berkaitandengan kaidah mubah (permittere, mogen), kewajiban

    atau suruhan (obligattere, gebod), dan larangan (pro-hibere, verbod).Kaidah kesusilaan yang dipahami sebagai etika

    dalam arti sempit (sittlichkeit) hanya dapat dimengerti

    2 Hazairin, Hukum Islam dan Masyarakat, Cet. 3, (Jakarta: Bulan Bintang,

    1963).

  • 7/27/2019 Perihal_Undang-Undang

    2/206

    Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie, S.H.

    - 3 -

    sebagai kaidah yang timbul dalam kehidupan pribadi(internal life)3. Karena itu, kaidah semacam itu disebutjuga dengan kesusilaan pribadi. Misalnya, dikatakanbahwa seseorang (i) tidak boleh curiga, (ii) tidak bolehmembenci, (iii) tidak boleh lekas marah, (iv) tidak bolehdengki atau iri hati, dan sebagainya. Di samping itu, adapula kaidah kesusilaan yang dimaksudkan untuk meng-hasilkan kebahagiaan dalam kehidupan bersama (ko-lektif) atau semacam keadaan a pleasant living to-gether (het uitwendig verkeer onder de mensen teverfijnen, te veraangenamen). Yang terakhir ini misal-nya biasa disebut dengan kaidah sopan santun ataupunadat istiadat yang merupakan kaidah kesusilaan antarpribadi. Misalnya, seseorang tidak boleh bertamu kerumah orang melalui pintu belakang, seorang muridharus memberi salam lebih dulu kepada gurunya, se-orang laki-laki harus mendahulukan wanita tua untuk

    mendapatkan tempat duduk lebih dulu dari dirinya, dansebagainya.Jika ketiga macam kaidah tersebut di atas di-

    bandingkan satu sama lain, dapat dikatakan bahwakaidah agama dalam arti vertikal dan sempit bertujuanuntuk kesucian hidup pribadi, kaidah kesusilaan (pri-badi) bertujuan agar terbentuk kebaikan akhlak pribadi,dan kaidah kesusilaan antar pribadi atau kaidah keso-panan bertujuan untuk mencapai kesedapan hidupbersama antar pribadi. Ketiga kaidah tersebut mem-punyai daya ikat yang bersifat volunteer yaitu berasaldari kesadaran pribadi dari dalam diri setiap pendukung

    kaidah itu sendiri. Artinya, daya lakunya tidak dapatdipaksakan dari luar, melainkan tumbuh dari dalam dirimanusia sendiri (imposed from within). Berlainan de-ngan itu, daya laku kaidah hukum (legal norm) justru

    3 Purnadi Purbacaraka dan Soerjono Soekanto, Perihal Kaedah Hukum,

    (Bandung: Alumni, 1982), hal. 26.

    Perihal Undang-Undang

    4

    dipaksakan dari luar diri manusia (imposed from with-out).

    Dari segi tujuannya, kaidah hukum atau normahukum itu tertuju kepada cita kedamaian hidup antar-pribadi (het recht wil de vrede). Karena itu, sering di-katakan bahwa penegak hukum itu bekerja to preservepeace4. Dalam kedamaian atau keadaan damai selaluterdapat orde en rust. Orde menyangkut ketertibandan keamanan, sedangkan rust berkenaan dengan ke-tentraman dan ketenangan. Orde terkait dengan di-mensi lahiriah, sedangkan rust menyangkut dimensibatiniah. Keadaan damai yang menjadi tujuan akhirnorma hukum terletak pada keseimbangan antara rustdan orde itu, yaitu antara dimensi lahiriah dan batiniahyang menghasilkan keseimbangan antara ketertiban danketenteraman, antara keamanan dan ketenangan.

    Tujuan kedamaian hidup bersama tersebut biasa-

    nya dikaitkan pula dengan perumusan tugas kaidahhukum, yaitu untuk mewujudkan kepastian, keadilan,dan kebergunaan. Artinya, setiap norma hukum ituharuslah menghasilkan keseimbangan antara nilai ke-pastian (certainty, zekerheid), keadilan (equity, billij-kheid, evenredigheid), dan kebergunaan (utility). Adapula sarjana yang hanya menyebut pentingnya tugas dwi-tunggal kaidah hukum, yaitu kepastian hukum (rechts-zekerheid) dan keadilan hukum (rechtsbillijkheid).

    Kaidah-kaidah hukum itu dapat pula dibedakanantara yang bersifat imperatif dan yang bersifat fakul-tatif.5 Yang bersifat imperatif biasa disebut juga dengan

    hukum yang memaksa (dwingendrecht), sedangkan yangbersifat fakultatif dibedakan antara norma hukum yangmengatur (regelendrecht) dan norma hukum yang me-

    4 Garner Bryan A. (Ed.). Black Law Dictionary.(ST. Paul, Minn: West

    Group, 1968).5

    W. L. G. Lemaire,Het Recht in Indonesie, (Van Hoeve, 1955).

    http://-/?-
  • 7/27/2019 Perihal_Undang-Undang

    3/206

    Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie, S.H.

    - 5 -

    nambah (aanvullendrecht). Kadang-kadang ada pulakaidah-kaidah hukum yang bersifat campuran atau yangsekaligus bersifat memaksa (dwingende) dan mengatur(regelende).6

    Kaidah hukum dapat pula dibedakan antara yangbersifat umum dan abstrak (general and abstractnorms) dan yang bersifat konkret dan individual (con-crete and individual norms). Kaidah umum selalubersifat abstrak karena ditujukan kepada semua subjekyang terkait tanpa menunjuk atau mengaitkannya de-ngan subjek konkret, pihak, atau individu tertentu.Kaidah hukum yang bersifat umum dan abstrak inilahyang biasanya menjadi materi peraturan hukum yangberlaku bagi setiap orang atau siapa saja yang dikenaiperumusan kaidah hukum yang tertuang dalam per-aturan perundang-undangan yang terkait.

    Sementara itu, kaidah hukum individuil selalubersifat konkret. Kaidah konkret ini ditujukan kepadaorang tertentu, pihak, atau subjek-subjek hukum ter-tentu, atau peristiwa dan keadaan-keadaan tertentu.Sebagai contoh dapat dikemukakan, misalnya, (i) kaidahhukum yang ditentukan oleh pengadilan dalam bentukputusan (vonnis) selalu berisi hal-hal dan subjek hukumyang bersifat individuil dan konkret, misalnya si Adipidana 10 tahun; (ii) kaidah hukum yang ditentukanoleh pejabat pemerintahan (bestuur), misalnya, si Bdiberi izin untuk mengimpor mobil bekas, atau si Xdiangkat menjadi Direktur Jenderal suatu departemen;(iii) kaidah hukum yang dilakukan oleh kepolisian,

    misalnya, si A ditangkap dan ditahan untuk tujuan penyi-dikan; atau (iv) kaidah hukum yang ditentukan dalamperjanjian perdata, misalnya, si X berjanji akan memba-

    6 L.J. van Apeldoorn,Pendahuluan Ilmu Hukum , terjemahan Oetarid Sadino,

    cet. 22, (Jakarta: Pradnya Paramita, 1985), hlm. 167180.

    Perihal Undang-Undang

    6

    yar sewa rumah yang ditempatinya kepada pemilik ru-mah. Keempat contoh di atas jelas menggambarkan sifatkaidah hukum yang bersifat konkret dan individuil (con-crete and individual norms) yang sangat berbeda darisifat kaidah hukum yang umum dan abstrak (generaland abstract norms)7.

    Terhadap berbagai bentuk norma hukum tersebutdi atas dapat dilakukan kontrol atau pengawasan melaluiapa yang biasa disebut sebagai mekanisme kontrolnorma hukum (legal norm control mechanism). Kontrolterhadap norma hukum itu dapat dilakukan melaluipengawasan atau pengendalian politik, pengendalianadministratif, atau melalui kontrol hukum (judisial).Kontrol politik dilakukan oleh lembaga politik, misalnyaoleh lembaga perwakilan rakyat atau parlemen. Dalamhal ini, mekanisme kontrolnya disebut sebagai legis-lative control atau legislative review. Misalnya, revisiterhadap sesuatu undang-undang dapat dilakukan mela-lui dan oleh lembaga perwakilan rakyat sendiri sebagailembaga yang memang berwenang membentuk danmengubah undang-undang yang bersangkutan. Jikadalam perjalanan waktu ternyata Dewan PerwakilanRakyat menganggap bahwa suatu undang-undang yangtelah berlaku mengikat untuk umum harus diperbaiki,maka dengan sendirinya DPR sendiri berwenang untukmengambil inisiatif mengadakan perbaikan terhadapundang-undang tersebut melalui mekanisme pemben-tukan undang-undang yang berlaku.

    Demikian pula, apabila upaya kontrol terhadap

    norma hukum dimaksud dapat pula dilakukan olehlembaga administrasi yang menjalankan fungsi bestuurdi bidang eksekutif. Badan-badan yang memang secaralangsung diberi delegasi kewenangan oleh undang-

    7 Baca lebih lanjut dalam Jimly Asshiddiqie, Model-Model Pengujian

    Konstitusional di Berbagai Negara , (Jakarta: Konpress, 2005).

    http://-/?-
  • 7/27/2019 Perihal_Undang-Undang

    4/206

    Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie, S.H.

    - 7 -

    undang untuk melaksanakan undang-undang yang ber-sangkutan dapat saja mengambil prakarsa untuk meng-evaluasi dan apabila diperlukan memprakarsai usaha un-tuk mengadakan perbaikan atau perubahan atas undang-undang yang bersangkutan. Jika upaya dimaksud ber-ujung pada kebutuhan untuk mengubah atau merevisi isiundang-undang, maka tentunya lembaga eksekutif di-maksud berwenang melakukan langkah-langkah sehing-ga perubahan itu dapat dilakukan sesuai ketentuan yangberlaku. Mekanisme kontrol yang dilakukan oleh lem-baga eksekutif semacam ini lah yang dapat kita sebutsebagai administrative control atau executive re-view8.

    Sementara itu, kontrol terhadap norma hukumtersebut (norms control) dinamakan legal control,judicial control, atau judicial review jika me-kanismenya dilakukan oleh pengadilan. Pada pokoknya,kaidah hukum yang bersifat umum dan abstrak (generaland abstract norms) hanya dapat dikontrol melaluimekanisme hukum, yaitu judicial review oleh peng-adilan. Ada negara yang menganut sistem yang terpusat(centralised system) yaitu pada Mahkamah Agung,Mahkamah Konstitusi, atau lembaga lain yang khusus.Ada pula negara yang menganut sistem tersebar atautidak terpusat (decentralised system) sehingga setiapbadan peradilan dapat melakukan pengujian atasperaturan perundang-undangan yang berisi normaumum dan abstrak. Indonesia termasuk negara yang me-nganut sistem tersentralisasi, yaitu untuk undang-

    undang terpusat di Mahkamah Konstitusi, sedangkan pe-ngujian atas peraturan perundang-undangan di bawahundang-undang dipusatkan di Mahkamah Agung.

    Sementara itu, kaidah hukum yang bersifat kon-kret dan individuil juga dapat dikontrol secara hukum

    8Ibid.

    Perihal Undang-Undang

    8

    oleh pengadilan. Dalam hal ini, jika norma hukum ituberbentuk keputusan atau ketetapan yang bersifatbeschikking, pengawasan atau pengujiannya dilakukanoleh pengadilan tata usaha negara (administratieve-rechtspraak). Sedangkan norma hukum konkret danindividuil lainnya yaitu yang berupa vonnis atau putus-an pengadilan dapat diawasi atau dikontrol oleh peng-adilan tingkat yang lebih tinggi. Putusan pengadilantingkat pertama dapat diuji lagi oleh pengadilan tingkatbanding, putusan pengadilan tingkat banding dapat diujioleh pengadilan tingkat kasasi, dan bahkan putusankasasi dapat pula diuji lagi dengan peninjauan kembali.Tingkatan-tingkatan peradilan tersebut terdapat dalamlingkungan peradilan di Mahkamah Agung. Di lingkung-an peradilan umum, dimulai dari Pengadilan Negerisebagai pengadilan tingkat pertama, Pengadilan Tinggisebagai pengadilan banding, dan Mahkamah Agung se-bagai pengadilan tingkat kasasi dan peninjauan kembali.

    Sementara itu, di lingkungan peradilan agama,peradilan tata usaha negara, dan peradilan militer, jugademikian. Pada tingkat pertama ada Pengadilan Agama,Pengadilan Tata Usaha Negara (TUN), dan PengadilanMiliter; pada tingkat banding ada Pengadilan TinggiAgama, Pengadilan Tinggi TUN, dan Pengadilan TinggiMiliter; dan pada tingkat kasasi dan peninjauan kembaliprosesnya dilakukan di Mahkamah Agung. Juga peng-adilan-pengadilan yang bersifat ad hoc seperti penga-dilan pajak, pengadilan perburuhan, pengadilan maritim,pengadilan hak asasi manusia, pengadilan tindak pidana

    korupsi, dan lain-lain sebagainya, semuanya bertingkat-tingkat dan berpuncak di Mahkamah Agung. Di daerahotonomi khusus Papua terdapat pula adanya pengadilanadat Papua yang putusannya bersifat mandiri dan lang-sung dapat dilaksanakan atau dieksekusi dengan du-kungan penetapan oleh pengadilan negeri terdekat atau

    http://-/?-http://-/?-
  • 7/27/2019 Perihal_Undang-Undang

    5/206

    Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie, S.H.

    - 9 -

    setempat.9 Di daerah otonomi khusus Aceh juga demi-kian, terdapat pula pengadilan yang disebut MahkamahSyariyah yang menerapkan materi hukum tertentu ber-dasarkan syariat Islam yang berbeda dari daerah lain diIndonesia.10 Seluruh mekanisme peradilan tersebutberpuncak di Mahkamah Agung, sehingga puncak sistemkekuasaan kehakiman di Indonesia tercermin dalam dualembaga kekuasaan kehakiman, yaitu Mahkamah Agungdan Mahkamah Konstitusi.

    B. HUKUM SEBAGAI PRODUK KEPUTUSANHukum pada pokoknya adalah produk pengam-

    bilan keputusan yang ditetapkan oleh fungsi-fungsi ke-kuasaan negara yang mengikat subjek hukum denganhak-hak dan kewajiban hukum berupa larangan (pro-hibere), atau keharusan (obligatere), ataupun kebolehan(permittere). Hukum negara adalah hukum yang ditetap-kan dengan keputusan kekuasaan negara sebagai hasiltindakan pengaturan, penetapan, atau pengadilan. Kare-na itu, dapat dikatakan bahwa negara sebagai organisasikekuasaan umum dapat membuat tiga macam keputusanyang mengikat secara hukum bagi subjek-subjek hukumyang terkait dengan keputusan-keputusan itu.

    Kadang-kadang, subjek hukum yang terkenaadalah subyek-subyek yang tertentu saja. Kadang-kadang, yang terkena itu adalah subjek hukum padaumumnya, karena sifat perumusan subjek hukum itumasih bersifat umum dan abstrak. Jika subjek yang

    9 Diatur dalam Pasal 50 sampai 52 UU Nomor 21 Tahun 2001 tentang

    Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua, Lembaran Negara Republik Indonesia

    Tahun 2001 135, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4151.10

    Diatur dalam Pasal 25 dan 26 UU Nomor 18 Tahun 2001 tentang Otonomi

    Khusus Bagi Provinsi Daerah Istimewa Aceh Sebagai Provinsi Nanggroe

    Aceh Darussalam, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2001 Nomor

    114, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4134.

    Perihal Undang-Undang

    10

    terkena akibat keputusan organisasi negara itu bersifatkonkret dan individual, maka dikatakan bahwa normaatau kaedah hukum yang terkandung di dalam keputus-an itu merupakan norma hukum yang bersifat indivi-dual-konkret (individual and concret norms). Tetapiapabila subjek hukum yang terkait itu bersifat umum danabstrak atau belum tertentu secara konkret, maka normahukum yang terkandung di dalam keputusan itu disebutsebagai norma hukum yang bersifat abstrak dan umum(abstract and general norms).

    Keputusan-keputusan yang bersifat umum danabstrak (general and abstract) tersebut biasanya bersifatmengatur (regeling), sedangkan yang bersifat individualdan konkret dapat merupakan keputusan yang bersifatatau berisi penetapan administratif (beschikking) ataupun keputusan yang berupa vonnis hakim yang lazim-nya disebut dengan istilah putusan. Oleh karena itu,ketiga bentuk kegiatan pengambilan keputusan tersebut,dapat dibedakan dengan istilah:1) Pengaturan menghasilkan peraturan (regels). Hasil

    kegiatan pengaturan itu sudah seharusnya tidak di-sebut dengan istilah lain kecuali peraturan;

    2) Penetapan menghasilkan ketetapan atau keputusan(beschikkings). Hasil kegiatan penetapan atau peng-ambilan keputusan administratif ini sebaiknya hanyadimungkinkan untuk disebut Keputusan atau Ke-tetapan, bukan dengan istilah lain, seperti misalnyakebiasaan di lingkungan pengadilan yang mengguna-kan istilah penetapan untuk sebutan bagi keputus-

    an-keputusan administrasi di bidang judisial. Istilahyang dipakai sebaiknya, bukan penetapan tetapi Ke-tetapan yang sepadan dengan istilah Keputusan.Sedangkan penetapan adalah bentuk gerund ataukata benda kegiatannya, bukan sebutan untuk hasil-nya; dan

    http://-/?-
  • 7/27/2019 Perihal_Undang-Undang

    6/206

    Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie, S.H.

    - 11 -

    3) Penghakiman atau pengadilan menghasilkan putusan(vonnis). Istilah ini sebenarnya tidak jelas bagaimanaterbentuknya. Jika kata putusan dianggap benar se-cara gramatikal, maka seharusnya dapat dipadankandengan tetapan yang berasal dari kata tetap, danaturan yang berasal dari atur. Namun, karena is-tilah ini sudah diterima umum dalam praktik, telahmenjadi konvensi bahwa keputusan judisial hakimatas perkara yang diadili disebut putusan.

    Kewenangan untuk mengatur atau membuataturan (regeling) pada dasarnya merupakan domainkewenangan lembaga legislatif yang berdasarkan prinsipkedaulatan merupakan kewenangan eksklusif para wakilrakyat yang berdaulat untuk menentukan sesuatu per-aturan yang mengikat dan membatasi kebebasan setiapindividu warga negara (presumption of liberty of thesouvereign people). Namun demikian, cabang-cabangkekuasaan lainnya dapat pula memiliki kewenanganuntuk mengatur atau menetapkan peraturan yang jugamengikat untuk umum, apabila para wakil rakyat sendiritelah memberikan persetujuannya dalam undang-un-dang. Karena itu, apabila mendapat pendelegasiankewenangan, cabang kekuasaan eksekutif dan judikatifjuga dapat membuat peraturan, sehingga dapat di-katakan bahwa kewenangan mengatur itu juga dimilikibaik (a) oleh cabang kekuasaan legislatif, (b) cabangkekuasaan eksekutif, maupun (c) oleh cabang kekuasaanjudikatif. Oleh karena itu, di samping menetapkan

    putusan (vonnis), pengadilan juga memiliki kewenanganregulasi yang dapat juga disebut sebagai judiciallegislation. Judicial legislation dapat diartikan denganpernyataan, It is the rule-making power of the superiorcourts for the regulation of their own procedure. It is a

    Perihal Undang-Undang

    12

    true form of legislation except that it cannot create newlaw by way of precedent11.

    Demikian pula cabang kekuasaan eksekutif jugamempunyai kewenangan regulasi yang dapat puladisebut sebagai executive legislation yang menurutMian Khurshid, It is the legislation by the executive for

    conducting the adminsitrative departments of a State.Executive legislation itu merupakan peraturan yangdibuat oleh eksekutif untuk menjalankan roda peme-rintahan negara. Where the Act does not contain thewhole legislation but delegates to a foreign authority tolegislate in the matter, it is subordinate or delegatedlegislation. There has grown up a practice whereby thestatute confines itself to the general provisions andleaves the details to be worked out in departmentalregulations operating under the statute. Such regu-lations furnish examples of subordinate or delegatedlegislation12. Sudah menjadi kebiasaan umum di duniabahwa undang-undang yang dibuat oleh parlemen hanyamengatur garis besar ketentuan yang diperlukan, se-dangkan rincian operasionalnya diatur lebih lanjut olehpihak eksekutif sendiri yang lebih mengetahui rincianpersoalan yang perlu diatur.

    Dalam sistem preseden (common law), putusanhakim (vonnis) menjadi sumber hukum yang utama.Sesuai dengan doktrin stare decisis, putusan hakim ter-dahulu secara otomatis langsung mengikat bagi hakimyang terkemudian. Namun, dalam sistem civil law yangdianut oleh negara-negara Eropa Barat, termasuk Indo-

    nesia, yang lebih diutamakan adalah statutory law atauundang-undang tertulis. Namun demikian, karena per-kembangan zaman, baik di lingkungan negara-negara

    11 Mian Khurshid A. Nasim, Interpretation of Statutes, (Lahore: Mansoor

    Book House, 1998), hal. 5.12

    Ibid.

    http://-/?-
  • 7/27/2019 Perihal_Undang-Undang

    7/206

    Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie, S.H.

    - 13 -

    yang menganut civil law maupun common law, de-wasa ini, bentuk peraturan tertulis berkembang semakinpenting. Bahkan dikatakan, Legislation or law-makingby the formal declaration in statutory form of rules by acompetent authority is the most powerful and yet thelatest of the law-making instruments. Statute law is

    today the principle source of law and is a very conve-nient method of making law.

    Betapapun, antara undang-undang tertulis ataustatute law (legislative act) dan putusan hakim sebagaijudge-made law atau judiciary law memang berbedasatu sama lain. Menurut John Austin, statute law ituadalah setiap hukum yang dibuat secara langsung ataumelalui proses legislasi sebagaimana mestinya (any lawwhich is made directly or in the way of proper legisla-tion). Sedangkan judiciary law merupakan hukumyang dibuat secara tidak langsung atau melalui peradilanatau legislasi yang tidak semestinya (any law which ismade indirectly or in the way of judicial or improperlegislation).13

    1. Kelebihan Statutory law

    Peraturan tertulis dalam bentuk statutory lawsatau statutory legislations dapat dibedakan antarayang utama (primary legislations) dan yang sekunder(secondary legislations). Yang utama disebut juga seba-gai legislative acts, sedangkan yang kedua dikenal jugadengan istilah executive acts, delegated legislations,

    atau subordinate legislations. Peraturan yang berben-tuk tertulis yang disebut statutory laws itu pada po-koknya mempunyai beberapa kelebihan utama apabila

    13 J. L. Austin,The Province of Jurisprudence Determined and the Uses of

    the Study of Jurisprudence, (London: Weidenfeld and Nicolson, 1954).

    Perihal Undang-Undang

    14

    dibandingkan dengan hukum buatan hakim ataujudiciary law sesuai dengan asas preseden (precedent).

    Beberapa kelebihan yang biasa dikenal dapat di-kemukakan bahwa: (i) Legislation is both constitutiveand abrogative, whereas precedent merely possessesconstitutive efficacy; (ii) Legislation is not only a

    source of law, but is equally effective in increasing,amending, or annulling the existing law. Procedent onthe other hand, cannot abrogate the existing rule oflaw,although it may produce very good law and in somerespects better than legislation; (iii) Di samping itu,asas preseden juga tidak dapat menelusuri jejaknyasendiri (it cannot retrace its steps). Sedangkan legisla-tion as a destructive and reformative agent has noequal; (iv) Legislation allows an advantageous divi-sion of labour by dividing the two functions of makingthe law and administering it. This results in increasedefficiency. Sedangkan sistem precedent, dapat dikata-kan menggabungkan 2 (dua) fungsi sekaligus di satutangan, yaitu hakim.

    Di samping itu ada pula beberapa kelebihan lain-nya, yaitu (v) prinsip keadilan menghendaki agar hukumsudah lebih dulu diketahui oleh umum, sebelum hukumitu ditegakkan oleh aparat penegak hukum danditerapkan di pengadilan. Akan tetapi, the judiciarylaw atau disebut juga the case law diciptakan dandideklarasikan berlakunya bersamaan waktunya dengantindakan penegakan dan penerapannya. Oleh karena itu,dapat dikatakan bahwa case law bekerja secara retro-

    spektif, yaitu dengan diberlakukan terhadap fakta-faktaatau peristiwa sebelum norma hukum itu sendiriditetapkan (Case law operates retrospectively, beingapplied to the facts which are prior in date to the lawitself); (vi) Legislasi dapat dibuat dalam rangka meng-antisipasi kasus-kasus yang belum terjadi, sedangkansistem precedentharus lebih dulu menunggu terjadinya

    http://-/?-
  • 7/27/2019 Perihal_Undang-Undang

    8/206

    Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie, S.H.

    - 15 -

    perselisihan sebelum pengadilan dapat membuat putus-an yang bernilai dalam rangka rule of law(Legislationcan make rules in anticipation of cases that have not yetarisen, whereas precedent must wait for the occuranceof some dispute before the Court can create any definiterule of law).

    Pada hakikatnya, case-law mengandung sifat-sifat ex post facto. Oleh karena itu, seperti dikatakanoleh Sir John Salmond, precedent independent on, le-gislation independent of, the accidental course of litiga-tion. Sistem precedent bersifat independen terhadap,sedangkan legislation bersifat independen dari peng-adilan; dan (vii) Legislation is superior form brief,clear, easily accessible and understandable whilstvaluable part of case-law has to be extracted from a tonof dross. One has to wade through the whole judgementbefore the ratio decidendi can be found out or case-lawdiscovered. Secara figuratif, oleh Salmond dikatakan,Case-law is gold in mine a few grains of preciousmetal to the ton of useless matter while statute law iscoin of the realm, ready for immediate use.14

    2. Kelebihan Case-law

    Namun demikian, judge-made law atau caselaw juga mempunyai kelebihan-kelebihan tersendiriapabila dibandingkan dengan statutory law atau un-dang-undang tertulis (staturoty legislation). Kelebihan-kelebihan sistim case-law (judge-made law) yang da-

    pat dikemukakan di sini adalah:(i) Moralitas pengadilan, menurut A.V. Dicey, jauhlebih tinggi daripada moralitas para politisi diparlemen untuk menetapkan suatu hukum. Karenaitu, hukum buatan hakim dianggap lebih mencer-

    14

    Ibid.

    Perihal Undang-Undang

    16

    minkan keadilan dan kebenaran daripada hukumbuatan politisi. Legislation is the product of thewill of politicians, who are affected by the popularfeelings and passions. That is why the judiciaryoften denounces statutes as wrong, tyrannical,unjust or contrary to fundamental principles laid

    down in the written Constitution;15(ii) Undang-undang sebagai hukum tertulis pada

    umumnya cenderung bersifat rigid, straitlybound within the limits of authoritative formu-late. Sebaliknya, case law dengan segalaketidak-sempurnaannya bersifat lebih lentur(fleksibel) dan tetap memiliki hubungan yang hidupdengan (remains in living contact) dengan penalar-an dan keadilan yang melatarinya;

    (iii) Dalam statute law, perumusan kata hukum (theletter of the law) mendahului the true spirit of thelaw. Sedangkan dalam case-law, tidak adaauthoritative verbal expression, sehingga di-katakan oleh Sir John Salmond, there is no barrierbetween the Courts of justice and the very spiritand purpose of the law which they are called toadminister16.

    C. PRODUK PENGATURAN (Regeling)1. Statute dan Enactment

    Menurut Halsburys Law of England17, A statute

    or Act of Parliament, is a pronouncement by the Sove-reign in Parliament, that is to say, made by the Queen

    15 A.V. Dicey, Introduction To The Study Of The Law Of The Constitution,

    Tenth Edition, (London: Macmillan Education Ltd., 1959).16 Ibid. hal. 6-7.17Halsburys Law of England, 3

    rd edition, vol. 36, Simonds edition, page

    361.

  • 7/27/2019 Perihal_Undang-Undang

    9/206

    Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie, S.H.

    - 17 -

    by and with the advice and consent of both Houses ofParliament, or in a certain circumstances the House ofCommons alone, the effect of which is either to declarethe law, or to change the law or to both. Semua statutedapat disebut sebagai enactment, tetapi kata enactmentitu juga dapat dipakai untuk menyebut a particular

    provision in a statute. Dengan demikian, enactmentitu dapat diterjemahkan sebagai ketentuan undang-undang, sedangkan statute adalah undang-undang.

    Statute dapat diklasifikasikan dalam limakelompok, yaitu (i) general, (ii) local, (iii) personal, (iv)public, or (v) private. General statute berlaku bagi se-genap warga (the whole community) atau dalam bahasaBelanda biasa disebut sebagai algemene verbindendevoorschiften; Local statute (locale wet) hanya berlakuterbatas untuk atau di daerah tertentu; Personalstatute berlaku untuk individu tertentu meskipun dizaman modern sekarang hal ini sudah sangat jarang.Sementara itu, a public statute is one of which judicialnotice is taken, while a private statute is required to bepleaded and proved by the party seeking to take theadvantage of it18.

    Mengenai kelompok keempat dan kelima, yaitupublic statute dan private statute dapat dijelaskandengan mengaitkannya dengan materinya, yaitumengatur norma hukum publik (public law) atau normahukum privat (private law). Undang-Undang tentangPemberantasan Tindak Pidana Korupsi jelas merupakanhukum publik, sedangkan Undang-Undang tentang

    Perbankan, Undang-Undang tentang Perdagangan, atau-pun Undang-Undang tentang Perkawinan jelas meru-pakan hukum perdata (private law). Undang-undang itudapat dikatakan bersifat publik atau perdata tergantunghubungan hukum yang diatur di dalamnya. Jika hubung-

    18

    Mian Khurshid A. Nasim, Op.Cit., hal. 8.

    Perihal Undang-Undang

    18

    an hukum yang diaturnya adalah hubungan hukum yangtimbul dalam lalu lintas publik, maka undang-undang itudapat dikatakan sebagai public statute. Sebaliknya, jikahubungan hukum yang diaturnya berada dalam lalulintas privat, maka undang-undang demikian termasukundang-undang hukum perdata.

    Oleh karena itu, yang penting dari kelimaklasifikasi tersebut adalah kelompok general statute,personal statute, dan local statute. Di samping ketigakelompok ini ada pula kategori lain yang penting, yaituperaturan yang bersifat internal atau interne regeling(internal regulation). Karena itu, ada empat kategoriperaturan tertulis yang penting mendapat perhatian disini, yaitu:(i) Peraturan perundang-undangan yang bersifat umum,

    yaitu berlaku umum bagi siapa saja dan bersifat ab-strak karena tidak menunjuk kepada hal, atau peris-tiwa, atau kasus konkret yang sudah ada sebelumperaturan itu ditetapkan;

    (ii)Peraturan perundang-undangan yang bersifat khususkarena kekhususan subjek yang diaturnya, yaitu ha-nya berlaku bagi subjek hukum tertentu;

    (iii)Peraturan perundang-undangan yang bersifat khususkarena kekhususan wilayah berlakunya, yaitu hanyaberlaku di dalam wilayah lokal tertentu;

    (iv)Peraturan perundang-undangan yang bersifat khususkarena kekhususan daya ikat materinya, yaitu hanyaberlaku internal.

    Peraturan tertulis kelompok pertama, yaitu

    peraturan yang bersifat umum atau yang biasa disebutjuga dengan algemene verbindende voorschiften biasa-nya berisi norma hukum yang menurut Hans Kelsen ber-sifat umum dan abstrak (general and abstract norms).19

    19 Hans Kelsen, General Theory of Law And State, Translated by Anders

    Wedberg, (New York: Russel & Russel, 1961).

    http://-/?-http://-/?-
  • 7/27/2019 Perihal_Undang-Undang

    10/206

    Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie, S.H.

    - 19 -

    Suatu norma hukum disebut bersifat abstrak jikarumusannya berisi nilai-nilai baik-buruk sehingga harusdilarang (prohibere), disuruh (obligatere), ataupun di-bolehkan (permittere) yang tidak secara langsung di-kaitkan dengan subyek-subyek, keadaan, atau peristiwakonkret tertentu. Misalnya, dalam perumusan kalimat

    Barangsiapa yang dengan sengaja mengambil hakmilik orang lain tanpa persetujuan pemiliknya yangsah, dihukum dengan ancaman pidana sekurang-kurangnya 5 tahun. Ketentuan di atas sama sekali tidakterkait dengan kasus tertentu, peristiwa atau keadaantertentu yang sudah ada sebelumnya (retrospektif),sehingga dapat disebut bersifat konkret (concretenorms).

    Di samping itu, subjek yang ditunjuk dalamkalimat tersebut juga bersifat umum atau abstrak, yaitudengan menggunakan perkataan barangsiapa. Artinya,subjek yang termasuk dalam ketentuan itu adalah siapasaja yang memenuhi kualifikasi sebagaimana yangdimaksud dalam ketentuan tersebut, yaitu siapa sajayang dengan sengaja mengambil hak milik orang laintanpa persetujuan pemiliknya yang sah. Oleh karenaitu, rumusan ketentuan normatif dalam kalimat di atasdikatakan berisi kaedah hukum yang bersifat umum(general norms), karena daya ikatnya tidak terkaitdengan subjek-subjek hukum tertentu saja, melainkankepada siapa saja yang karena kesengajaan atau ketidak-sengajaan memenuhi kualifikasi yang dimaksud.

    Norma-norma hukum yang bersifat mengatur

    (regeling) dengan isi norma yang bersifat umum danabstrak (general and abstract norms) itu dituangkandalam bentuk tertulis tertentu yang disebut sebagai per-aturan perundang-undangan. Disebut peraturan (regels)karena produk hukum tersebut memang merupakanhasil atau outcome dari suatu rangkaian aktifitas peng-aturan (regeling). Produk hukum yang bersifat mengatur

    Perihal Undang-Undang

    20

    (regeling) dan karena itu disebut sebagai peraturan iniharus dibedakan dari produk hukum yang tidak bersifatmengatur, melainkan hanya menetapkan atau penetapan(beschikking) yang karenanya tidak dapat disebut seba-gai peraturan. Produk yang bersifat penetapan (beschk-king) itu dapat disebut sebagai Ketetapan atau Keputus-

    an yang tidak berisi aturan. Isinya tidak boleh meng-andung materi normatif yang bersifat pengaturan (rege-ling) dan karena itu, tidak dapat disebut sebagai peratur-an (regels, regulations, legislations).

    Jenis-jenis dan bentuk peraturan tertulis yangbiasa disebut sebagai peraturan atau regels, regula-tion, legislation, dan bentuk-bentuk statutory instru-ments lainnya sangat beraneka-ragam. Bahkan, adapula bentuk-bentuk khusus yang biasa disebut sebagaipolicy rules atau beleidsregels yang merupakanbentuk peraturan kebijakan yang tidak dapat dikate-gorikan sebagai bentuk peraturan perundang-undanganyang biasa. Misalnya, Instruksi Presiden, surat-suratedaran yang berisi kebijakan tertentu, rancangan-ran-cangan program, kerangka acuan proyek, action planyang tertulis, dan sebagainya adalah contoh-contohmengenai apa yang disebut sebagai policy rules yangbukan merupakan peraturan perundang-undangan. Ke-anekaragaman peraturan-peraturan itu dapat dikatakansangat tergantung kepada (i) tingkatan kepentingan, dan(ii) relevansi materi muatan yang hendak diaturnya,serta (iii) lembaga atau organ jabatan kenegaraan danpemerintahan yang diberi wewenang untuk menetapkan-

    nya menjadi peraturan yang mengikat untuk umum.Misalnya, dalam Undang-Undang No. 10 Tahun2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-un-dangan, ditentukan adanya bentuk (i) Undang-Undang(UU), dan (ii) Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang yang biasa disingkat Perpu atau kadang-kadang Perppu; (iii) Peraturan Pemerintah (PP), (iv)

  • 7/27/2019 Perihal_Undang-Undang

    11/206

    Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie, S.H.

    - 21 -

    Peraturan Presiden (Perpres); dan (v) Peraturan Daerah(Perda); Ada pula bentuk peraturan-peraturan lain yangdibentuk oleh lembaga-lembaga negara yang bersifatindependen dan diberi kewenangan regulasi berdasarkanundang-undang, seperti (vi) Peraturan Menteri(Permen), (vii) Peraturan Bank Indonesia (PBI), (viii)

    Peraturan Komisi Pemilihan Umum, (ix) PeraturanDirektur Jenderal, (x) Peraturan Kepala atau KetuaLembaga Pemerintahan Non-Departemen, (xi) PeraturanGubernur, (xii) Peraturan Bupati, (xiv) PeraturanWalikota, dan lain-lain sebagainya. Semua bentuk-ben-tuk peraturan tersebut adalah peraturan perundang-un-dangan yang bersifat umum.

    Pada kelompok kedua, yaitu peraturan yangbersifat khusus karena kekhususan subjek yangdiaturnya. Sebagai contoh, Pasal 4 Ketetapan MPR No.XI/MPR/1998 menentukan, Upaya pemberantasankorupsi, kolusi, dan nepotisme harus dilakukan secarategas terhadap siapapun juga, baik pejabat negara,mantan pejabat negara, keluarga, dan kroninya mau-pun pihak swasta/konglomerat, termasuk mantanPresiden Soeharto dengan tetap memperhatikan prinsippraduga tak bersalah dan hak-hak asasi manusia.Adanya anak kalima termasuk mantan PresidenSoeharto dalam ketentuan tersebut bersifat personal,karena menyebut nama orang secara konkret danindividual. Dengan demikian, norma hukum yang ter-kandung di dalam Pasal 4 Ketetapan MPR No.XI/MPR/1998 tersebut dapat dikatakan bersifat konkret

    dan individual (concrete and individual norm) sepertiyang dikemukakan oleh Hans Kelsen.20Dalam contoh lain, dapat pula terjadi, adanya

    undang-undang yang secara khusus mengatur mengenaisubyek hukum tertentu saja. Misalnya, untuk pemerin-

    20

    Ibid.

    Perihal Undang-Undang

    22

    tahan daerah istimewa Yogyakarta, dapat saja dibentuksatu undang-undang yang secara khusus menentukanadanya hak historis yang bersifat mutlak ataupun se-tidak-tidaknya hak prioritas bagi Sultan Hamengkubu-wono untuk dipilih menjadi Gubernur Daerah IstimewaYogyakarta. Undang-undang yang berisi norma hukum

    yang demikian itu, dapat disebut sebagai personalstatute seperti yang diuraikan di atas. Meskipun hal inidapat dinilai sebagai sesuatu yang tidak lazim di duniamodern sekarang ini, tetapi dalam kenyataan praktik, disetiap negara selalu ada saja sifat norma hukum yangbersifat konkret dan individual seperti itu yangtercantum di dalam satu-dua undang-undang. Apalagi,dalam Pasal 18B ayat (1) UUD 1945 dinyatakan dengantegas, Negara mengakui dan menghormati satuan-satuan pemerintahan daerah yang bersifat khusus ataubersifat istimewa yang diatur dengan undang-undang.Artinya, Undang-Undang Dasar 1945 sendiri mengakuiadanya satuan-satuan pemerintahan yang bersifatkhusus atau istimewa itu, termasuk apabila satuan peme-rintahan daerah yang dimaksud memiliki kekhususandalam pengaturan mengenai kedudukan gubernurnyayang dikaitkan dengan keturunan keluarga tertentusecara konkret dengan penyebutan yang bersifat perso-nal sebagai subjek hukum tatanegara yang bersifatkhusus atau istimewa itu.

    Sementara itu, undang-undang dapat pula bersi-fat nasional atau bersifat lokal. Undang-undang yangbersifat lokal biasanya adalah undang-undang yang ber-

    laku di tingkat provinsi saja atau di tingkat kabupa-ten/kota saja. Apakah misalnya undang-undang tentangpembentukan suatu pemerintahan kabupaten dapatdisebut sebagai undang-undang lokal (locale wet)? Ja-wabannya jelas tidak, karena undang-undang tentangpembentukan kabupaten itu, meskipun hanya mengaturpemerintahan lokal di suatu daerah saja, tetapi kekuatan

  • 7/27/2019 Perihal_Undang-Undang

    12/206

    Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie, S.H.

    - 23 -

    berlakunya tetap bersifat nasional. Undang-undangtersebut, seperti halnya undang-undang pada umumnyajuga dimaksud berlaku mengikat semua subjek hukumdalam penyelenggaraan kegiatan bernegara. Artinya,undang-undang tentang pembentukan kabupaten terse-but juga mengikat Presiden, DPR, Mahkamah Agung,

    Mahkamah Konstitusi, dan semua subyek hukum dalamsistem ketatanegaraan Republik Indonesia. Karena itu,undang-undang dimaksud tidak dapat disebut sebagailocale wet hanya karena ia mengatur materi yang ber-sifat lokal.

    Sebaliknya, peraturan daerah sebagai salah satubentuk peraturan perundang-undangan berdasarkanUUD 1945 juga tidak dapat dikatakan hanya berlakumengikat daerah. Presiden dan Menteri serta lembaga-lembaga negara lainnya seperti Mahkamah Agung,Mahkamah Konstitusi, DPR, DPD, BPK, dan sebagainyajuga terikat kepada ketentuan yang diatur dalamPeraturan Daerah. Misalnya, meskipun Badan PemeriksaKeuangan (BPK) adalah lembaga (tinggi) negara yangbersifat independen, tetapi BPK tidak boleh semena-mena membangun kantor di suatu ibukota kabupatendengan tanpa mengindahkan Peraturan Daerah yangberlaku di daerah itu. Artinya, dalam hal ini, BPK jugaterikat untuk tunduk kepada norma yang terkandung didalam Peraturan Daerah tersebut.

    Demikian pula, misalnya, para hakim konstitusi,para hakim agung, para anggota DPR, menteri dan lain-lain harus pula tunduk kepada ketentuan Peraturan

    Daerah yang melarang orang merokok di gedung per-kantoran di Jakarta, kecuali di tempat-tempat yang di-tentukan secara khusus untuk merokok. Contoh lainadalah qanun tentang larangan minum khamar yangditetapkan berlaku di Nangro Aceh Darussalam. Dayaikatnya hanya berlaku kepada mereka yang berada diwilayah hukum Nanggoe Aceh Darussalam. Baik orang

    Perihal Undang-Undang

    24

    Jakarta atau orang Aceh, apabila sedang berada dalamwilayah hukum NAD, dengan sendirinya terkena la-rangan tersebut. Tetapi, orang Aceh sendiri kalau sedangberada di Jakarta, tentu tidak terkena larangan tersebut.Artinya, locale wet itu tidak ditentukan oleh subjekhukum yang dapat dijangkaunya, melainkan ditentukan

    oleh lembaga yang membentuknya dan lingkup teritorialdaerah berlakunya.

    Oleh karena itu, yang dimaksud dengan undang-undang lokal atau locale wet (local legislation) ituadalah peraturan yang dibentuk oleh lembaga legislatiflokal dengan kekuatan berlaku hanya dalam lingkupwilayah satuan pemerintahan lokal tertentu saja. Dengandemikian, locale wet yang dimaksud itu dapat dikatakansetara dengan pengertian peraturan daerah. Di ling-kungan negara-negara federal, undang-undang lokal ituadalah undang-undang yang dibentuk dan berlaku dinegara bagian sebagai bentuk local legislation (localewet). Tentu saja, di lingkungan negara-negara kesatuanseperti Indonesia, peraturan daerah tingkat provinsiataupun tingkat kabupaten dan kota memang tidak lazimdisebut formal sebagai wet atau undang-undang. Kare-na, di dalam ketentuan UUD 1945, istilah undang-undang itu sendiri sudah tegas merupakan istilah yanghanya terkait dengan produk legislatif yang dibentukoleh DPR21 setelah dibahas dan disetujui bersama olehDPR bersama dengan Presiden, dan kemudian disahkanoleh Presiden sebagaimana mestinya.

    Sementara itu, ada pula peraturan perundang-

    undangan pada kelompok keempat, yaitu yang biasa di-sebut sebagai peraturan yang bersifat internal atauinternal regulation (interne regeling). Sebenarnya,

    21 Kadang-kadang, untuk rancangan undang-undang tertentu yang berkaitan

    dengan kepentingan pemerintahan daerah, melibatkan pula peranan Dewan

    Perwakilan Daerah (DPD).

    http://-/?-http://-/?-
  • 7/27/2019 Perihal_Undang-Undang

    13/206

    Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie, S.H.

    - 25 -

    peraturan kategori keempat ini, bukan lah peraturan per-undang-undangan menurut UU No. 10 Tahun 2004.Dalam Pasal 1 angka 2 undang-undang ini, peraturanperundang-undangan diartikan sebagai aturan tertulisyang dibentuk oleh lembaga negara atau pejabat yangberwenang dan mengikat secara umum. Karena itu, per-

    aturan dalam kategori keempat ini tidak dapat dimasuk-kan ke dalam pengertian peraturan perundang-undang-an menurut ketentuan Undang-Undang No. 10 Tahun2004.

    Namun demikian, untuk beberapa kasus, kadang-kadang kriteria yang dapat diterapkan untuk norma-norma hukum yang dianggap berlaku mengikat keluaratau kedalam, juga sangat tipis perbedaannya. Di dalamnorma hukum yang dianggap mengikat hanya kedalam,ternyata terkandung juga unsur-unsur daya ikat yangbersifat keluar. Apalagi, sesuai dengan prinsip persama-an di hadapan hukum (equality before the law), setiapperaturan perundang-undangan yang berlaku keluar,pasti juga berlaku mengikat ke dalam. Artinya, semuanorma hukum yang berlaku keluar pasti berlaku juga kedalam, sedangkan semua yang berlaku ke dalam belumtentu otomatis juga berlaku keluar. Akan tetapi, manaperaturan dan norma hukum yang hanya berlaku kedalam dan mana yang berlaku keluar dan ke dalam,sering tidak mudah ditentukan.

    Misalnya, Mahkamah Agung dan MahkamahKonstitusi yang diberi kewenangan mengatur secarainternal dengan menetapkan Peraturan Mahkamah

    Agung (PERMA) dan Peraturan Mahkamah Konstitusi(PMK) untuk tujuan kelancaran pelaksanaan tugas danwewenangnya menurut UUD 1945. Meskipun secarateoritis sering dikatakan bahwa sifat regulasi yang di-tetapkan dalam bentuk PERMA dan PMK itu hanya ber-sifat internal, tetapi norma yang terkandung di dalamkedua bentuk peraturan itu sedikit banyak bersentuhan

    Perihal Undang-Undang

    26

    dengan subjek-subjek hukum (legal subjects) di luarMahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi. MisalnyaPMK tentang Tata Tertib Persidangan ataupun tentanghukum acara di Mahkamah Konstitusi, tentulah didalamnya terkandung norma-norma yang mengaturpengunjung sidang ataupun warga masyarakat pencari

    keadilan atau justitiabelen (justice seekers) padaumumnya. Artinya, peraturan internal Mahkamah Kon-stitusi dan Mahkamah Agung itu juga mengikat subjekhukum (legal subjects) di luar kedua mahkamah ini.Demikian pula Peraturan Tata Tertib Dewan PerwakilanRakyat (DPR), Peraturan Tata Tertib Dewan PerwakilanDaerah (DPD), dan Peraturan Tata Tertib MajelisPermusyawaratan Rakyat (MPR) juga mengandung hal-hal yang sedikit banyaknya bersangkut-pautan pula de-ngan orang atau pihak luar DPR, DPD, atau MPR.

    Namun demikian, meskipun disana-sini tetap ter-dapat pengecualian-pengecualian (exceptions) ataupunkekhususan demi kekhususan -- di samping adanya per-aturan yang bersifat umum dan abstrak seperti yangsudah diuraikan di atas -- memang terdapat pula per-aturan-peraturan tertentu yang bersifat khusus. Kekhu-susan-kekhususan normatif suatu peraturan tersebutdapat terjadi karena beberapa alasan, yaitu: (i) kekhu-susan karena subyek hukum yang diaturnya, (ii) kekhu-susan karena lokalitas wilayah berlakunya, atau (iii)kekhususan karena sifat internal daya ikatnya secarahukum. Ketiga macam alasan ini dapat menimbulkanbentuk-bentuk pengecualian atas kriteria umum per-

    aturan perundang-undangan yang baik.Selain itu, dari segi fungsinya, terutama dalamkonteks pengertian peraturan perundang-undangansebagai subordinate legislation seperti yang diklasifi-kasikan dalam undang-undang federal Amerika Serikat,yaitu Administrative Procedure ActTahun 1946 (APA),bentuk-bentuk peraturan itu dapat pula dibedakan anta-

    http://-/?-
  • 7/27/2019 Perihal_Undang-Undang

    14/206

    Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie, S.H.

    - 27 -

    ra (i) legislative rules atau substantive rules, (ii)interpretive rules, dan (iii) procedural rules. Sepertidikemukakan oleh Cornelius M. Kerwin, The first andmost important category consists of legislative orsubstantive rules. These are instances when, bycongressional mandate or authorization, agencies write

    what amounts to new law22. Sementara itu, A secondcategory consists of interpretive rules. These occurwhen agencies are compelled to explain to the publichow it interprets existing law and policy. Sedangkanyang ketiga dinyatakan oleh Cornelius M. Kerwin, Thethird category consists of procedural rules that definethe organization and processes of agencies. Yangterakhir ini menyediakan petunjuk jalan yang pentinguntuk mengetahui segala sesuatu yang berkenaandengan proses pembuatan keputusan dalam birokrasipemerintahan dan penyelenggaraan negara dalam artiluas.

    2. Ketentuan Directory dan Mandatory dalamUndang-Undang

    Setiap undang-undang (statute) dapat berisi ke-tentuan (provisions) yang bersifat mandatori (mand-atory provisions) atau yang bersifat direktori (directoryprovisions). Menurut Mian khurshid A. Nasim, When astatute is passed for the purpose of enabling somethingto be done, it may be either a mandatory enactment, ora directory one, the difference being that a mandatoryenactment must be obeyed or fulfilled exactly, but it issufficient, if a directly (pen: directory[!]) enactment beobeyed or fulfilled substantially. If a mandatory enact-ment is not strictly complied with, the thing done shall

    22 Cornelius M. Kerwin,Rulemaking: How Government Agencies Write Law

    and Make Policy, (New York: Universal Book Traders, 1997), hal. 21.

    Perihal Undang-Undang

    28

    be invalid. On the other hand, if an enactment is merelydirectory, it is immaterial, so far as relates to thevalidity of the thing done, whether the provisions of thatenactment are strictly complied with or not23.

    Jika suatu undang-undang disahkan untuk me-mungkinkan sesuatu dilaksanakan, maka norma yang

    terdapat di dalamnya dapat bersifat mandatory ataudirectory. Bedanya adalah bahwa ketentuan yang ber-sifat mandatory harus ditaati atau dipenuhi secaratepat atau mutlak, tetapi ketentuan yang bersifat di-rectory dipandang sudah cukup jika ditaati atau di-penuhi secara substantif saja. Jika ketentuan yang ber-sifat mandatory tidak dipenuhi secara tepat, maka hal-hal yang dilakukan menjadi tidak sah. Sebaliknya, jikasuatu ketentuan hanya bersifat directory, ia bersifatimmateriel sepanjang terkait dengan keabsahan sesuatuyang telah dilakukan, apakah ketentuan itu dipenuhisecara mutlak atau tidak.

    Prinsipnya, ketentuan yang bersifat mandatoryharus ditaati secara mutlak, sedangkan ketentuan yangbersifat directory cukup dipenuhi secara substansial(Mandatory or absolute provisions must be obeyedstrictly. Directory provisions may be complied withsubstantively). Mian Khurshid menggambarkan apayang dimaksud dengan Non-compliance of directoryprovisionsdengan menyatakan, where the prescriptionof an Act relates to the performance of a duty by apublic officer the breach of such prescription, when itdoes not cause any real injustice, does not invalidate theact done under the Act and therefore such prescriptionsare merely directory. Meskipun demikian, katanya,when the breach of a directory provision does notcreate, and invalidating effect, the wrongdoer may beexposed to a penalty for his negligence.

    23Mian Khurshid A. Nasim, Op Cit., hal. 63.

  • 7/27/2019 Perihal_Undang-Undang

    15/206

    Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie, S.H.

    - 29 -

    Dalam hal suatu ketentuan undang-undang ber-kaitan dengan pelaksanaan suatu tugas pejabat publiktertentu, pelanggaran terhadapnya, sepanjang tidak me-nimbulkan ketidakadilan yang nyata, tidak menyebabkanbatalnya perbuatan yang dilakukan berdasarkan undang-undang yang bersangkutan, dan karenanya ketentuan

    yang demikian itu dapat dikatakan bersifat directory.Dalam hal pelanggaran terhadap ketentuan yang bersifatdirectory itu, tidak menimbulkan efek pembatalan,maka pelanggarnya dapat diancam dengan hukumankarena kelalaian.

    Beberapa ciri yang dapat dipakai untuk mem-bedakan kedua jenis ketentuan yang bersifat man-datory atau directory itu adalah (i) the creation ofrights and obligation. Jika suatu undang-undang mela-hirkan hak dan kewajiban dengan menentukan carakeduanya dilaksanakan (enforcement), maka ketentuanyang demikian dianggap bersifat mandatory, dan pem-bentuknya menginginkan agar pemenuhan atas keten-tuan demikian dijadikan sebagai hal yang pokok dalamrangka pemberlakuan undang-undang yang bersangkut-an; (ii) jika undang-undang menentukan waktu tertentudalam rangka pelaksanaan suatu ketentuan atau dalamrangka pelaksanaan suatu tugas tertentu, maka undang-undang itu dikatakan bersifat directory yang pemenuh-annya tidak perlu bersifat formal dan mutlak, tetapicukup bersifat substantif atau materiel.

    Perihal Undang-Undang

    30

    http://-/?-
  • 7/27/2019 Perihal_Undang-Undang

    16/206

    Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie, S.H.

    - 31 -

    BAB IITENTANG UNDANG-UNDANG

    A. LINGKUP PENGERTIAN UNDANG-UNDANGDalam UUD 1945, tidak terang apa lingkup

    batasan pengertian undang-undang. Pasal 20 UUD 1945hanya menyebut kewenangan DPR untuk membentukundang-undang dengan persetujuan bersama denganPemerintah. Pasal 24C ayat (1) hanya menentukan bah-wa Mahkamah Konstitusi berwenang menguji undang-undang terhadap UUD. Istilah yang dipakai adalah un-dang-undang dengan huruf kecil. Jika dipakai istilahUndang-Undang apakah mempunyai perbedaan pe-ngertian yang signifikan dengan perkataan undang-undang dengan huruf kecil?

    Biasanya, penggunaan huruf besar Undang-Undang dipahami dalam arti nama atau sebutan un-dang-undang yang sudah tertentu (definite), misalnyadengan nomor dan nama tertentu, seperti Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang MahkamahKonstitusi. Jika digunakan huruf kecil undang-undangmaka yang dimaksudkan adalah kata undang-undang da-lam arti umum atau belum tertentu atau terkait dengannomor dan judul tertentu. Dengan kata lain, undang-undang adalah genus, sedangkan Undang-Undangadalah perkataan yang terkait dengan undang-undangyang tertentu atau dikaitkan dengan nama tertentu.

    Jika demikian, maka undang-undang itu dapatdipahami sebagai naskah hukum dalam arti yang luas,yang menyangkut materi dan bentuk tertentu. Jeremy

    Perihal Undang-Undang

    32

    Bentham24 dan John Austin25, misalnya, mengaitkanistilah legislation sebagai any form of law-making.The term is, however, restricted to a particular form oflaw-making, viz. the declaration in statutory form ofrules of laws by the legislature of the State. The law thathas its source in legislation is called enacted law or

    statute or written law. Dengan demikian, bentuk per-aturan yang ditetapkan oleh lembaga legislatif untukmaksud mengikat umum dapat dikaitkan dengan pe-ngertian enacted law, statute atau undang-undangdalam arti yang luas.

    Bentuk peraturan yang ditetapkan oleh lembagalegislatif itu tentu berbeda dari peraturan yang di-tetapkan oleh lembaga eksekutif ataupun oleh lembagajudikatif. Misalnya, Makamah Konstitusi dan MahkamahAgung juga mempunyai kewenangan untuk mengaturdengan menetapkan Peraturan Mahkamah Konstitusi(PMK) dan Peraturan Mahkamah Agung (PERMA).Pemerintah/eksekutif mempunyai kewenangan menga-tur dengan menetapkan Peraturan Pemerintah (PP)ataupun Peraturan Presiden (Perpres). Oleh karena itu,sering dibedakan antara pengertian (i) judicial legis-lation, (ii) legislative act, dan (iii) executive act atauexecutive legislation.

    Yang kita maksud dengan undang-undang dalamarti yang sempit adalah legislative act atau akta hukumyang dibentuk oleh lembaga legislatif dengan per-setujuan bersama dengan lembaga eksekutif. Yang mem-bedakan sehingga naskah hukum tertulis tersebut di-sebut sebagai legislative act, bukan executive actadalah karena dalam proses pembentukan legislative

    24Jeremy Bentham, An Introduction to the Principles of Morals and

    Legislation, ed. J.H. Burns and H.L.A. Hart, (Oxford: Clarendon Press,

    1996).25

    Austin, Op Cit.

    http://-/?-http://-/?-http://-/?-
  • 7/27/2019 Perihal_Undang-Undang

    17/206

    Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie, S.H.

    - 33 -

    act itu, peranan lembaga legislatif sangat menentukankeabsahan materiel peraturan yang dimaksud. Denganperanan lembaga legislatif yang sangat menentukan ituberarti peranan para wakil rakyat yang dipilih danmewakili kepentingan rakyat yang berdaulat dari manakedaulatan negara berasal sangat menentukan ke-

    absahan dan daya ikat undang-undang itu untuk umum.Karena pada dasarnya rakyatlah yang berdaulat

    dalam negara demokrasi, maka rakyat pulalah yangberhak untuk menentukan kebijakan-kebijakan ke-negaraan yang akan mengikat bagi seluruh rakyat.Pemerintah sebagai pihak yang mendapat mandat keper-cayaan untuk menjalankan tugas-tugas pemerintahannegara tidak boleh menetapkan sendiri segala sesuatuyang menyangkut kebijakan bernegara yang akanmengikat warga negara dengan beban-beban kewajibanyang tidak disepakati oleh mereka sendiri, baik yangmenyangkut kebebasan (liberty), prinsip persamaan(equality), ataupun pemilikan (property) yang menyang-kut kepentingan rakyat. Jika sekiranya kebijakan-kebijakan kenegaraan tersebut akan membebani rakyat,maka rakyat harus menyatakan persetujuannya melaluiperantaraan wakil-wakil mereka di lembaga legislatif.Karena itu, kebijakan-kebijakan kenegaraan tersebut ha-rus dituangkan dalam bentuk undang-undang sebagaiproduk legislatif (legislative act) sebagaimana dimaksuddi atas.

    Akan tetapi, yang menjadi persoalan ialah ba-gaimanakah jika seandainya Pemerintah menetapkan se-suatu kebijakan seperti dimaksud tidak dalam bentukundang-undang, melainkan dalam bentuk PeraturanPresiden, padahal seharusnya dalam bentuk undang-undang. Apakah Peraturan Presiden (Perpres) yangdemikian dapat dinilai atau diuji, misalnya, oleh Mah-kamah Konstitusi mengenai konstitusionalitasnya? Bu-kankah Mahkamah Konstitusi, menurut Pasal 24C ayat

    Perihal Undang-Undang

    34

    (1) UUD 1945 hanya berwenang menguji undang-undangterhadap UUD 1945? Memang benar, secara formal, Per-aturan Presiden itu bukan undang-undang, dan karenaitu, berdasarkan ketentuan Pasal 24A ayat (1) UUD 1945,yang berwenang mengujinya terhadap undang-undangadalah Mahkamah Agung, bukan Mahkamah Konstitusi.

    Akan tetapi, dapat timbul masalah jika seandai-nya, Peraturan Presiden dimaksud memang sama sekalitidak berlandaskan kepada undang-undang yang sudahada sebelumnya, karena memang belum ada undang-undangnya. Misalnya, Presiden atau Pemerintah justruberusaha untuk melewati jalan yang aman untuk me-netapkan sesuatu kebijakan yang sama sekali baru tanpamelalui pintu parlemen atau lembaga perwakilan rakyatataupun pintu peradilan konstitusi yang dinilai me-ngandung risiko ganda jika dituangkan dalam bentukundang-undang. Dengan perkataan lain, sebenarnya ma-teri Peraturan Presiden itu sendiri adalah materi un-dang-undang, tetapi penuangannya dilakukan dalambentuk Peraturan Presiden.

    Kenyataan ini dapat dijadikan bahan untuk men-jelaskan bahwa sesungguhnya memang terdapat perbe-daan antara materi dan struktur, atau antara isi danbentuk undang-undang. Dalam setiap undang-undang,kedua hal itu sudah seharusnya dapat kita bedakan satusama lain. Para ahli biasa membedakan antara:1) undang-undang dalam arti materiel atau wet in

    materiele zin;2) undang-undang dalam arti formil atau wet in

    formele zin.Kedua jenis undang-undang tersebut kadang-

    kadang dilihat secara kategoris, yaitu ada kategori un-dang-undang yang disebut undang-undang materiel ataudalam bahasa Belanda disebut wet in materiele zin,dan ada pula kategori undang-undang formil yang dalambahasa Belanda disebut wet in formele zin. Sarjana

    http://-/?-
  • 7/27/2019 Perihal_Undang-Undang

    18/206

    Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie, S.H.

    - 35 -

    Belanda sendiri seperti Buijs, Van der Vlies, dansebagainya membedakan keduanya juga secara kategorisdengan menggolongkan satu kelompok undang-undangsebagai undang-undang formil dan golongan yang lainmerupakan undang-undang materiel. Keduanya di-bedakan dengan ketat seperti orang membedakan antara

    hukum materiel (substantive rules) dari hukum formilyang menyangkut procedural rules atau hukum acara.

    Namun demikian, pengertian undang-undangdalam arti materiel itu (wet in materiele zin) dapat pulakita lihat sebagai perbedaan cara pandang atau perspek-tif. Pengertian undang-undang dalam arti materiel itumenyangkut undang-undang yang dilihat dari segi isi,materi, atau substansinya, sedangkan undang-undangdalam arti formil (wet in formele zin) dilihat dari segibentuk dan pembentukannya. Pembedaan keduanya da-pat dilihat hanya dari segi penekanan atau sudut peng-lihatan, yaitu suatu undang-undang yang dapat dilihat

    dari segi materinya atau dilihat dari segi bentuknya, yangdapat dilihat sebagai dua hal yang sama sekali terpisah.Misalnya, bentuknya adalah telur, tetapi isinya tempe.

    Untuk lebih jelas, perbedaan antara bentuk danisi peraturan yang dimaksud dapat kita gambarkan da-lam beberapa kemungkinan sebagai berikut. (i) Adaperaturan yang berbentuk undang-undang, tetapi materiyang diaturnya seharusnya cukup dituangkan dalambentuk peraturan pemerintah saja. Hal ini tentu dapatdinilai mubazir. (ii) Ada peraturan yang berbentukperaturan presiden, padahal isinya seharusnya berben-tuk undang-undang. Contoh yang lebih konkret adalahperaturan pemerintah pengganti undang-undang(Perpu). Dari segi bentuknya, jelas bentuk Perpu itu ada-lah peraturan pemerintah, tetapi dari segi isinya Perpuitu sebenarnya adalah undang-undang yang karena ala-san kegentingan yang memaksa ditetapkan sendiri oleh

    Perihal Undang-Undang

    36

    Presiden tanpa lebih dulu mendapat persetujuan DewanPerwakilan Rakyat.

    Contoh lain yang dapat juga dipersoalkan ialahKetetapan MPR atau MPRS yang sebagian di antaranyasampai sekarang masih berlaku sebagai peraturan yangmengikat untuk umum (algemene verbindende voor-

    schriften). Dari segi bentuknya, jelas ketetapan-ketetap-an MPR tersebut bukan undang-undang. Apalagi, se-belum era reformasi, kedudukan Ketetapan-KetetapanMPR/S itu sendiri ditentukan berada pada urutan hirarkiyang lebih tinggi daripada undang-undang. Semuacontoh-contoh tersebut cukup sebagai bahan untuk me-nyatakan bahwa aspek bentuk dan isi suatu undang-undang memang dapat dibedakan dan bahkan dipisah-kan antara satu sama lain. Pengertian undang-undangdalam arti materiel (wet in materiele zin) dan undang-undang dalam arti formil (wet in formele zin), tidak sajaperbedaan mengenai segi penglihatan kita atas suatu

    undang-undang, tetapi memang dapat dilihat sebagaidua hal yang terpisah sama sekali.

    Bahkan, seperti dikemukakan oleh Mian Khur-shid26, undang-undang (statute) itu sendiri dapat di-bedakan dalam lima kelompok, yaitu:(i) undang-undang (statute) yang bersifat umum

    (general);(ii) undang-undang yang bersifat lokal (local statute,

    locale wet)27;

    26 Mian Khurshid A. Nasim, Op.Cit., hal. 8.27 Mian Khurshid A. Nasim adalah seorang advokat senior Republik Islam

    Pakistan yang susunan negaranya berbentuk negara kesatuan yang berbeda

    dari India yang berbentuk federal. Dalam tulisannya ini Mian Khurshid

    menggunakan istilah local statute, karena di Pakistan istilah local statute

    ataupun provincial law ini memang biasa dipakai untuk menyebut produk

    hukum peraturan daerah provinsi (a law made by or under the authority of

    the Provincial Assembly). Artinya, kalau mau, peraturan daerah di Indonesia

    http://-/?-
  • 7/27/2019 Perihal_Undang-Undang

    19/206

    Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie, S.H.

    - 37 -

    (iii) undang-undang yang bersifat personal (personalstatute) ataupun undang-undang yang bersifatindividual (individual statute);

    (iv) undang-undang yang bersifat publik (publicstatute);

    (v) undang-undang yang bersifat perdata (privatestatute).

    Pertama, undang-undang yang diklasifikasikansebagai general statute adalah karena undang-undangitu berlaku bagi segenap warga (the whole community)atau yang dalam bahasa Belanda biasa disebut sebagaialgemene verbindende voorschriften. Kedua, undang-undang dapat diklasifikasikan sebagai undang-undangyang bersifat lokal atau local statute (locale wet), yaituyang hanya berlaku terbatas untuk atau di daerah ter-tentu saja. Ketiga, undang-undang juga dapat sajaditetapkan berlaku untuk subjek-subjek hukum tertentu

    saja atau bahkan individu tertentu saja dan ini yangdisebut sebagai personal statute. Norma hukum yangterkandung di dalamnya tidak bersifat umum dan abs-trak seperti yang dikemukakan oleh Hans Kelsen, me-lainkan bersifat konkret dan individuil.

    Di zaman sekarang, undang-undang yang hanyaberlaku untuk individu tertentu saja ini dapat dikatakansangat jarang, meskipun masih saja yang dapat dijumpaidi dalam praktik di setiap negara. Apalagi, jika yang di-maksud dengan individu itu tidak hanya bersifatpersonal tetapi juga subjek hukum tertentu dalam artiyang lebih luas. Karena itu, yang dimaksud denganpersonal statute menurut Mian Khurshid dapat kitabedakan lagi antara (a) personal statute dalam arti sem-pit, dan (b) personal statute dalam arti luas atau dalam

    dapat saja disebut dengan istilah undang-undang, yaitu undang-undang

    provinsi, undang-undang kabupaten, atau undang -undang lokal.

    Perihal Undang-Undang

    38

    arti individual statute. Misalnya Ketetapan MPRtentang Soeharto adalah contoh peraturan tertulis yangbersifat personal (personal statute). Pada tahun 1947,kita mengenal UU Naturalisasi yang berisi naturalisasibagi perseorangan, yang hanya mengikat orang yangbersangkutan (yang dinaturalisasi) dan tidak mengikat

    umum. Demikian pula undang-undang tentang Pe-merintahan Daerah Provinsi Yogyakarta yang mengaturmengenai hak keturunan Sri Sultan Hamengkubuwonodalam jabatan Gubernur Daerah Istimewa Yogyakartaataupun undang-undang pembentukan suatu pemerin-tahan daerah kabupaten baru yang hanya berlaku untuksubjek hukum pemerintahan daerah yang bersangkutan.

    Keberadaan jenis undang-undang yang berisinorma yang bersifat personal itu tentu sulit diterimajika dipandang dari pandang stuffenbau theorie desrechts yang dikembangkan oleh Hans Kelsen. MenurutHans Kelsen, hirarki norma hukum terdiri atas (i) norma

    dasar (fundamental norm), (ii) norma umum (generalnorms), dan (iii) norma konkret (concrete norms).Fundamental norms terdapat dalam konstitusi, gene-ral norms terdapat dalam undang-undang, statuteatau legislative acts, sedangkan concrete normsterdapat dalam putusan pengadilan (vonnis) dan ke-putusan-keputusan pejabat administrasi negara. Oleh ka-rena itu, tidaklah mungkin ada undang-undang yang be-risi norma yang bersifat konkret dan individuil (concreteand individual norms) seperti yang terdapat dalampersonal statute tersebut di atas. Namun karena dalampraktik ternyata ada saja negara yang memiliki jenisundang-undang seperti demikian, tentunya kita tidakdapat mengingkarinya secara mutlak. Gejala personalstatute ini, paling-paling dapat kita sebut sebagai pe-nyimpangan yang bertentangan atau sebagai pengecuali-

  • 7/27/2019 Perihal_Undang-Undang

    20/206

    Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie, S.H.

    - 39 -

    an yang tidak lazim atas materi undang-undang yangbaik.28

    Sementara itu, keempat dan kelima adalahundang-undang yang diklasifikasikan sebagai undang-undang yang termasuk kategori hukum publik danundang-undang yang termasuk golongan hukum privat.

    Keduanya dapat dibedakan bahwa a public statute isone of which judicial notice is taken, while a privatestatute is required to be pleaded and proved by theparty seeking to take the advantage of it. Public statu-te itu merupakan hukum negara yang menjadi pusatperhatian hakim untuk menegakkannya, sedangkan pri-vate statute merupakan undang-undang yang dipakaioleh pihak-pihak untuk menggugat ataupun membuk-tikan hak dan kepentingannya terhadap pihak lain.

    Kelima kelompok undang-undang (statute) terse-but dapat dibedakan atau dilihat dari segi isinya (ma-teriel) atau dari segi bentuknya (formil). Dari segi isinya,

    ada undang-undang yang memang mengatur hal-halyang (i) mengikat untuk umum, (ii) hanya mengikatuntuk daerah tertentu, (iii) hanya mengikat untuk subjektertentu, (iv) bersifat publik, dan (v) bersifat perdata(private). Namun, dari segi bentuknya, pembedaan ter-sebut dapat dilihat sebagai berikut:(i) ada undang-undang dalam bentuknya yang bersifat

    umum (algemene verbindende voorschriften). Mi-salnya, KUHP, KUH Perdata, UU tentang Per-kawinan, UU tentang Kekuasaan Kehakiman, UUtentang Hak Asasi Manusia, UU tentang Kewar-ganegaraan, UU tentang Sistem Pendidikan Nasio-nal, UU tentang Pemilihan Umum, UU tentangKetenagakerjaan, dan lain sebagainya. Semua un-dang-undang tersebut berisi norma-norma hukumyang bersifat abstrak dan mengikat untuk umum.

    28Kelsen, Op Cit.

    Perihal Undang-Undang

    40

    (ii) ada pula undang-undang yang bentuknya bersifatkhusus karena berkaitan dengan lokalitas wilayahatau daerah tertentu. Misalnya UU tentang Otono-mi Khusus Papua atau UU tentang Otonomi Khu-sus Nangro Aceh Darussalam. Di tingkat daerah,misalnya, ada Perda (Peraturan Daerah) yang

    mempunyai bentuk-bentuk yang khusus, sepertiPerdasi (Peraturan Daerah Provinsi) dan Perdasus(Peraturan Daerah Otonomi Khusus) di Papua, danQanun di Aceh.

    (iii) undang-undang yang bentuknya bersifat khususkarena subjek hukum individu atau person yang di-aturnya bersifat tertentu. Misalnya undang-undangyang secara khusus mengatur keluarga raja, ataumengatur seseorang tertentu. Contoh lainnya ada-lah undang-undang yang khusus mengatur pem-bentukan satu kabupaten ataupun satu pengadilandi kabupaten tertentu.

    (iv) undang-undang yang bentuknya bersifat khusus,karena lembaga yang terlibat dalam pembentuk-annya bersifat khusus atau berbeda dari undang-undang pada umumnya. Dalam sistem bikameral,di beberapa negara diatur mekanisme overrideapabila rancangan undang-undang tidak menda-patkan dukungan mayoritas mutlak, rancangan un-dang-undang itu harus dibawa ke kamar kedua de-ngan persyaratan suara dukungan ditingkatkan.Jika tidak juga terpenuhi, rancangan undang-undang itu tidak dapat disahkan. Dengan demikian,akan ada perbedaan antara undang-undang yangdisahkan hanya di satu kamar parlemen dan ran-cangan undang-undang yang disahkan dengan du-kungan dua kamar parlemen.

    (v) undang-undang yang bentuknya bersifat khususkarena prosedur pembentukannya yang bersifatkhusus dan/atau berbeda dari undang-undang

  • 7/27/2019 Perihal_Undang-Undang

    21/206

    Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie, S.H.

    - 41 -

    pada umumnya. Perbedaan itu dapat terjadi karenaperubahan hukum atau karena memang diadakanperbedaan prosedural karena alasan-alasan politikatau lainnya. Misalnya, suatu ketentuan mengenaisesuatu di daerah perbatasan dengan negara lainyang perlu dituangkan dalam bentuk undang-

    undang, tetapi karena keharusan mengakomodasikepentingan negara tetangga karena sesuatu danlain hal, maka boleh jadi prosedur yang diterapkanharus berbeda dari pembentukan undang-undangpada umumnya. Dapat pula terjadi, undang-undang lama dan undang-undang baru berbedasatu sama lain karena terjadinya perubahan dalamprosedur pembentukan undang-undang. Misalnya,sebelum reformasi dikenal adanya Ketetapan MPRsebagai bentuk peraturan di atas undang-undang,tetapi sekarang dalam sistem yang baru, bentukketetapan MPR itu ditiadakan. Akan tetapi, karena

    sampai sekarang masih ada beberapa KetetapanMPR yang masih berlaku, maka selain bentuk Kete-tapan MPR dan undang-undang dapat dikatakanberbeda, prosedur pembentukan keduanya punberbeda pula satu sama lain.

    B. UNDANG-UNDANG DAN RANCANGANUNDANG-UNDANG

    Undang-undang secara formil jelas berbeda darirancangan undang-undang. Pembatas antara suaturancangan undang-undang dan undang-undang adalahtindakan pengesahan formil berupa pengundangan un-dang-undang itu dalam Lembaran Negara. Sejak un-dang-undang itu diundangkan, maka naskahnya resmidisebut sebagai undang-undang. Akan tetapi, sebelumnaskah yang bersangkutan resmi disahkan oleh Presidendan kemudian diundangkan sebagaimana mestinya da-

    Perihal Undang-Undang

    42

    lam Lembaran Negara, maka naskah rancangan itumasih tetap disebut sebagai rancangan undang-undang.Tentu saja dapat dibedakan antara (i) rancangan un-dang-undang yang belum dibahas bersama oleh DewanPerwakilan Rakyat, (ii) rancangan undang-undang yangsedang dalam proses pembahasan bersama oleh DPR

    bersama dengan pemerintah, dan (iii) rancanganundang-undang yang telah mendapat persetujuan bersa-ma oleh DPR bersama dengan pemerintah, yaitu yangsudah disahkan secara materiel dalam rapat paripurnaDPR-RI sebagai tanda dicapainya persetujuan bersamaantara DPR dan Presiden atas rancangan undang--undang yang bersangkutan.

    Rancangan undang-undang dalam ketiga kualitastersebut, secara sekilas dapat dikatakan sama saja. Akantetapi, jika kualitasnya masing-masing didalami satu persatu, akan ternyata bahwa ketiganya berbeda-beda satudengan yang lain. Suatu rancangan undang-undang,

    meskipun belum dibahas secara resmi dalam per-sidangan, sudah dapat dianggap resmi statusnya sebagairancangan undang-undang, apabila atas inisiatif DPRresmi telah dikirimkan kepada Presiden, atau atas ini-siatif Pemerintah resmi telah dikirimkan kepada DPR.Statusnya sebagai rancangan undang-undang terus ber-lanjut sampai rancangan undang-undang dibahas ber-sama oleh DPR bersama Pemerintah. Dalam prosespembahasan itu, tentu dapat terjadi penambahan danpengurangan materi ketentuan yang diatur di dalamnya.

    Proses pembahasan itu sendiri mencakup pulakegiatan pengambilan keputusan butir demi butir materiketentuan yang terdapat di dalam rancangan undang-undang itu. Materi yang sudah disepakati dalam rapat-rapat itu secara akumulatif akhirnya akan dibawa kerapat paripurna DPR untuk mendapatkan pengesahansebagai tanda dicapainya persetujuan bersama antaraDPR dan Pemerintah atas rancangan undang-undang itu

    http://-/?-
  • 7/27/2019 Perihal_Undang-Undang

    22/206

    Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie, S.H.

    - 43 -

    sebagai keseluruhan. Setelah rancangan undang-undangitu secara resmi disahkan dalam rapat paripurna DPRsebagai tanda persetujuan bersama, maka secara ma-teriel rancangan undang-undang itu dapat dikatakansudah bersifat final. Dikatakan bahwa penyusunan ma-terinya sudah selesai, karena materinya sudah tidak

    dapat lagi diubah oleh siapapun, termasuk oleh Presidendan DPR. Sesuai dengan ketentuan Pasal 20 ayat (4)UUD 1945, rancangan undang-undang yang sudahmendapatkan persetujuan bersama itu, akan disahkansebagaimana mestinya oleh Presiden. Bahkan, oleh Pasal20 ayat (5) UUD 1945 ditentukan jika Presiden sendiritidak bersedia mengesahkannya, maka rancanganundang-undang itu akan berlaku dengan sendirinya sete-lah 30 hari semenjak rancangan undang-undang itu res-mi mendapat persetujuan bersama oleh DPR dan Presi-den.

    Oleh karena materi rancangan undang-undang

    yang telah mendapat persetujuan bersama itu tidakdapat berubah lagi, maka saya sendiri menamakanpengetukan palu sidang paripurna DPR-RI yang me-nyatakan bahwa rancangan undang-undang itu telah di-setujui secara bersama oleh DPR bersama Pemerintahsebagai pengesahan yang bersifat materiel. Sedangkanpengesahan yang dilakukan oleh Presiden sesuai denganketentuan Pasal 20 ayat (4) UUD 1945, yaitu denganmenandatangani dan memerintahkan pengundangannyadalam Lembaran Negara dan Tambahan Lembaran Ne-gara merupakan pengesahan formil yang bersifat adm-inistratif. Rancangan undang-undang yang telah disah-kan secara materiel, karena tidak dapat berubah lagi danmaterinya sudah final itu, menurut saya dapat dikua-lifikasikan sebagai undang-undang dalam arti materiil(wet in materiele zin). Secara materiil, kualitas rancang-an undang-undang tersebut sudah dapat dianggap se-

    Perihal Undang-Undang

    44

    bagai undang-undang, meskipun secara formil belumberlaku mengikat untuk umum.

    Tentu saja, pendapat seperti ini dapat dianggaptidak lazim dan dapat mengundang kontroversi ter-sendiri di kalangan ahli hukum. Pasti banyak di antarapara ahli hukum kita yang tidak setuju dengan pendapat

    demikian, karena bagaimana pun juga secara resmistatus Rancangan Undang-Undang (RUU) tetap merupa-kan RUU sampai ia disahkan oleh Presiden dan diun-dangkan sebagaimana mestinya dalam Lembaran Nega-ra. Antara RUU (wetsontwerp) dan UU (wet) jelas tidaksama. Walaupun RUU yang sudah disetujui bersama olehPresiden bersama dengan DPR, selama belum disahkanmenjadi UU, tetapi masih berbaju RUU (wetsonwerp),bukan UU (wet).

    Namun, rancangan undang-undang (wet-sontwerp) itu sendiri, jika telah mendapat persetujuanbersama dan disahkan secara materiel dalam rapat pari-

    purna DPR, secara materiel, sudah bersifat final. Dayamengikatnya hanya tinggal menunggu waktu penge-sahannya saja secara formil oleh Presiden untuk selan-jutnya diundangkan sebagaimana mestinya dalam Lem-baran Negara. Oleh karena itu, kalau pun RUU yangtelah memiliki kualitas sebagai undang-undang dalamarti materiel itu tidak disahkan secara formil se-bagaimana mestinya oleh Presiden, maka berlakulahketentuan Pasal 20 ayat (5) UUD 1945, yang menyatakanbahwa rancangan undang-undang itu akan berlakudengan sendirinya sebagai undang-undang setelah 30hari semenjak rancangan undang-undang itu disahkansecara materiel dalam rapat paripurna DPR. Kalaurancangan undang-undang disahkan secara formil, makasejak pengesahan formil itu, rancangan undang-undangitu berlaku mengikat untuk umum sebagai undang-undang. Dengan kata lain, setelah pengesahan formil,rancangan undang-undang itu menjadi berlaku baik

  • 7/27/2019 Perihal_Undang-Undang

    23/206

    Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie, S.H.

    - 45 -

    secara materiel maupun secara formil. Akan tetapi, sebe-lum rancangan itu berlaku secara formil, ia terlebih dulutelah berlaku secara materiel, yaitu setelah rancangan itudisahkan oleh DPR dan belum disahkan secara formiloleh Presiden dalam jangka waktu 30 hari sejak penge-sahan oleh DPR.

    Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa ran-cangan undang-undang dalam kualitas ketiga seperti di-kemukakan di atas sudah dapat disebut sebagai undang-undang dalam arti materiel (wet in materiele zin).Pentingnya pengertian ini, menurut saya, karena dalamperkembangan praktik dapat timbul kebutuhan hukum(legal need) untuk menentukan status rancanganundang-undang yang telah mendapat persetujuan ber-sama antara DPR dan Presiden dalam tenggat 30 hariseperti dimaksud di atas. Pengaturan konstitusionalmengenai tenggat 30 hari ini memang tidak jelas ke-gunaannya untuk apa, kecuali perhitungan administratif

    saja untuk memungkinkan para pejabat pembantu Pre-siden mempersiapkan diri untuk pengesahan undang-undang itu. Kalau dimaksudkan untuk mempersiapkanaparat untuk melaksanakan undang-undang, tentu sajawaktu 30 hari itu terlalu singkat. Waktu 30 hari itu dapatdikatakan hanya dimaksudkan untuk memastikan bahwaPresiden harus mengesahkan rancangan undang-undangitu menjadi undang-undang dalam waktu secepatnyaatau paling lambat 30 hari sejak rancangan undang-undang itu disetujui bersama.

    Oleh karena itu untuk memberi makna yang lebihberguna pada tenggat 30 hari itu, saya sendiri me-ngusulkan agar jangka waktu itu dipakai untuk Presidenmenentukan sikapnya akan mengesahkan atau tidak me-ngesahkan rancangan undang-undang itu menjadi un-dang-undang. Dengan demikian, terlepas dari tanggung-jawab administrasi untuk pengesahan formil dan peng-undangan, Presiden masih dapat menentukan sikap

    Perihal Undang-Undang

    46

    berkenaan dengan substansi rancangan undang-undangitu. Meskipun diakui bahwa dalam proses pembahasansuatu rancangan undang-undang di DPR, pasti ada tarikmenarik dan proses menerima dan memberi (take andgive) antara DPR dan Presiden dalam menyetujui ataumenolak sesuatu materi yang terdapat dalam rancangan

    undang-undang. Akan tetapi, jika rancangan undang-undang itu berasal dari inisiatif DPR, berarti pada tahapterakhir Presiden lah yang seharusnya menentukan kataakhir untuk menyetujui atau menolak rancanganundang-undang itu dalam rapat paripurna terakhir DPR-RI. Sebaliknya, jika rancangan undang-undang itu ber-asal dari inisiatif Presiden, maka DPR lah yang seharus-nya menentukan kata akhir untuk menyetujui atau me-nolak rancangan undang-undang itu.

    Dengan mekanisme seperti itu, maka dapatterjadi bahwa rancangan undang-undang yang datangdari pemerintah, setelah dibahas secara mendalam

    melalui proses take and give yang seksama makaakhirnya disepakatilah suatu naskah yang sama sekalitelah berubah dari rancangan asli yang semula diajukanoleh pemerintah. Padahal, terhadap rancangan itu, kataakhirnya mesti datang dari DPR. Apa jadinya, apabilaternyata Presiden sendiri tidak puas dengan hasil kese-pakatan akhir atas materi rancangan undang-undang itu.Demikian pula jika rancangan undang-undang ituberasal dari inisiatif DPR, maka kata akhir harus datangdari Pemerintah. Biasanya, dalam proses pembahasanrancangan undang-undang yang berasal dari DPR ini,posisi DPR sebagai institusi sudah sejak awal terbentukketika rancangan undang-undang masih digodok dikalangan internal DPR sendiri. Karena posisi DPR seba-gai institusi sudah terbentuk lebih dulu, maka dalammenghadapi pemerintah dalam tahap pembahasan selan-jutnya, partai politik pendukung pemerintah sendiri

  • 7/27/2019 Perihal_Undang-Undang

    24/206

    Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie, S.H.

    - 47 -

    tidak dapat dimanfaatkan oleh Pemerintah sendiri untukmendukung posisinya.

    Pengalaman seperti ini pernah terjadi ketikarancangan undang-undang tentang Otonomi KhususAceh dan rancangan undang-undang tentang OtonomiKhusus Papua sedang dibahas di DPR. Anggota Panitia

    Khusus kedua RUU ini terdiri atas orang-orang yanghampir sama yaitu terdiri atas anggota DPR yang berasaldari Aceh dan Papua dari semua partai politik yangduduk di DPR. Akibatnya, posisinya dalam proses pem-bahasan kedua rancangan undang-undang itu beradadalam satu front dalam berhadapan dengan pemerintah.Pemerintah bahkan tidak dapat memanfaatkan partainyasendiri dalam mendukung posisi pemerintah. Dalamkeadaan seperti itu sangat mungkin terjadi bahwa suaturancangan undang-undang yang telah disahkan secaramateriel oleh DPR-RI tidak memuaskan bagi pemerin-tah. Jika ketidakpuasan itu disebabkan oleh alasan-

    alasan yang bersifat konstitusional, maka sudah seharus-nya, kepada Presiden diberi kesempatan untuk menolakuntuk menyetujui rancangan undang-undang itu.Namun, jika kata akhir justru berada di tangan DPR,misalnya, karena rancangan undang-undang itu berasaldari inisiatif pemerintah, maka kesempatan selamatenggat 30 hari itu dapat dipakai untuk Presiden me-ngajukan mempersoalkan konstitusionalitas rancanganundang-undang yang telah menjadi undang-undangdalam arti materiel (wet in materiele zin) itu ke Mah-kamah Konstitusi.

    Mekanisme pengujian konstitusional rancanganundang-undang sebagai wet in materiele zin itu masukakal untuk dimungkinkan, karena setelah 30 hari,rancangan undang-undang itu dengan sendiri akan ber-laku mengikat sebagai undang-undang, meskipun tanpadisahkan oleh Presiden. Khusus untuk mempersoalkankonstitusionalitas rancangan undang-undang sebagai

    Perihal Undang-Undang

    48

    undang-undang dalam arti materiel itu, diberikan kewe-nangannya kepada pemerintah/presiden karena sifatnyayang khusus, yaitu selama masa tenggat 30 hari itu.Apabila perlu dapat ditentukan bahwa pengajuan per-kara pengujian konstitusionalitas rancangan undang-undang sebagai wet in materiele zin itu harus sudah

    diajukan kepada Mahkamah Konstitusi selambat-lambatnya 3 hari setelah rancangan undang-undang itudisahkan oleh DPR, dan dalam waktu 27 hari sejak itu,putusan Mahkamah Konstitusi yang bersifat final danmengikat sudah diucapkan dalam sidang pleno yangterbuka untuk umum.

    Dengan demikian, angka 30 hari yang ditentukanoleh Pasal 20 ayat (5) UUD 1945 dapat diberi maknayang lebih berguna daripada sekedar angka 30 begitusaja. Di samping itu, rancangan undang-undang pascapengesahan materiel oleh DPR dapat dikembangkanpengertiannya sebagai undang-undang dalam arti ma-

    teriel (wet in materiele zin). Pengertian pengesahanundang-undang dapat kita kembangkan dalam duapengertian, yaitu pengesahan materiel oleh DPR-RI danpengesahan formil oleh Presiden Republik Indonesiaberdasarkan ketentuan Pasal 20 ayat (4) UUD 1945.

    C. UNDANG-UNDANG DAN KETETAPAN MPR/SSebelum dilakukan perubahan atas UUD 1945,

    Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) dikonstruk-sikan sebagai wadah penjelmaan seluruh rakyat yangberdaulat, tempat kemana Presiden harus tunduk danmempertanggungjawabkan segala pelaksanaan tugas-tugas konstitusionalnya. Dalam Penjelasan UUD 1945sebelum diadakan perubahan itu, dinyatakan bahwaPresiden bertunduk dan bertanggungjawab kepadaMPR. Dari konstruksi yang demikian, maka MajelisPermusyawaratan Rakyat dipahami sebagai lembaga

    http://-/?-
  • 7/27/2019 Perihal_Undang-Undang

    25/206

    Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie, S.H.

    - 49 -

    tertinggi negara dimana kedaulatan seluruh rakyatIndonesia terjelma. Oleh karena itu, segala ketetapanyang dikeluarkannya mempunyai kedudukan lebih tinggidari produk hukum yang ditetapkan oleh lembaga-lembaga tinggi negara yang lain, seperti Presiden, DPR,ataupun Mahkamah Agung. Dengan demikian, Kete-

    tapan MPR/S lebih tinggi kedudukan hirarkinya dari-pada undang-undang ataupun bentuk-bentuk peraturanlainnya.

    Menurut ketentuan Pasal 3 juncto Pasal 37 UUD1945 yang asli (sebelum perubahan), Majelis Permus-yawaratan Rakyat berwenang (i) menetapkan undang-undang dasar, (ii) mengubah undang-undang dasar, (iii)memilih presiden dan/atau wakil presiden, dan (iv) me-netapkan garis-garis besar daripada haluan negara.Mengapa MPR diberi kewenangan menetapkan garis-garis besar haluan (daripada) negara? Selain untukmemberi pedoman kerja dan panduan penyusunan prog-

    ram kerja bagi Presiden dalam melaksanakan tugasnya,garis-garis besar haluan (daripada) negara itu diperlukankarena pedoman atau haluan-haluan kebijakan ber-negara yang ditentukan dalam UUD 1945 sangat ataubahkan terlalu ringkas dan sederhana. Oleh karena itu, disamping haluan-haluan yang telah ditentukan dalamUUD 1945, masih diperlukan haluan-haluan negara yanglebih jelas di luar UUD 1945.

    Dengan pertimbangan yang demikian, makahaluan-haluan negara yang dimaksud perlu dituangkandalam bentuk ketetapan-ketetapan yang mengatur de-ngan daya ikat yang efektif. Karena kedudukan MPRsendiri lebih tinggi daripada Presiden dan Dewan Per-wakilan Rakyat, maka dengan sendirinya kedudukanKetetapan MPR/S dianggap lebih tinggi daripadaundang-undang. Sesungguhnya, ketetapan-ketetapanMPR/S yang bersifat mengatur itu juga mempunyaikedudukan sebagai hukum konstitusi, karena dibuat dan

    Perihal Undang-Undang

    50

    ditetapkan oleh lembaga yang sama dengan yangmenetapkan undang-undang dasar. Karena itu, sebenar-nya, adanya Ketetapan MPR/S sebagai produk hukumyang mengatur (regeling) merupakan bentuk penafsiranMPR atas UUD 1945 yang dikenal sangat ringkas.Ketetapan yang berisi penafsiran dan elaborasi normatif

    itu diperlukan untuk melengkapi haluan-haluan negarayang terdapat dalam konstitusi tertulis yang belumlengkap itu. Dengan perkataan lain, ketetapan MPR/S itujuga mempunyai nilai konstitusi atau setidaknya sebagaibentuk penafsiran atas UUD 1945 atau bahkan merupa-kan perubahan undang-undang dasar dalam bentuk yangtidak resmi menurut ketentuan Pasal 37 UUD 1945.

    Hanya saja, karena prosedur pembahasan danpengambilan keputusan dalam proses pembentukan Ke-tetapan MPR/S itu memang berbeda dari penyusunanatau perubahan undang-undang dasar menurut ke-tentuan Pasal 37 UUD 1945, maka kedudukan keduanya

    dianggap tidak sederajat. Undang-undang dasar sebagaihukum tertinggi tetap mempunyai kedudukan yang lebihtinggi daripada Ketetapan MPR/S lainnya.

    Itu sebabnya maka Ketetapan MPRS No.XX/MPRS/1966 tentang Sumber Tertib Hukum me-nentukan hirarki Ketetapan MPR/S itu sebagai peraturandi bawah undang-undang dasar, tetapi di atas undang-undang. Tata urut peraturan perundang-undangan me-nurut ketetapan MPRS ini adalah:1) Undang-Undang Dasar;2) Ketetapan MPR/S;3) Undang-Undang dan Peraturan Pemerintah

    Pengganti Undang-Undang;4) Peraturan Pemerintah;5) Keputusan Presiden;6) Peraturan Menteri, dan sebagainya.

  • 7/27/2019 Perihal_Undang-Undang

    26/206

    Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie, S.H.

    - 51 -

    Kelemahan dan kekurangan dalam ketetapanMPRS tersebut telah disempurnakan dengan KetetapanMPR No. III/MPR/2000 yang menentukan tata urutan(hirarki) peraturan perundang-undangan sebagai be-rikut:1) Undang-Undang Dasar (UUD);2) Ketetapan MPR/S;3) Undang-Undang (UU);4) Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang

    (Perpu);5) Peraturan Pemerintah (PP);6) Keputusan Presiden (Keppres);7) Peraturan Daerah (Perda).

    Meskipun di satu pihak TAP MPR No.III/MPR/2000 tersebut memang bersifat me-nyempurnakan ketetapan terdahulu, tetapi KetetapanMPR Tahun 2000 itu justru menimbulkan masalah lain

    lagi, yaitu dengan menempatkan Perpu pada urutan dibawah undang-undang. Padahal, seharusnya keduanyaberada dalam derajat yang sama. Karena itu, dalamketentuan UU No. 10 Tahun 2004 tentang PembentukanPeraturan Perundang-undangan yang antara lain me-mang dimaksudkan untuk menggantikan fungsi danmengadopsikan materi Ketetapan No. III/MPR/2000tersebut, bentuk-bentuk peraturan perundang-undanganitu ditentukan terdiri atas:1) Undang-Undang Dasar dan Perubahan Undang-

    Undang Dasar;2) Undang-Undang dan Peraturan Pemerintah Peng-

    ganti Undang-Undang;3) Peraturan Pemerintah;4) Peraturan Presiden;5) Peraturan Daerah;

    Perihal Undang-Undang

    52

    Dalam ketentuan yang baru tersebut, status Ke-tetapan MPR/S sebagai salah satu bentuk peraturan per-undang-undangan ditiadakan. Karena itu, MPR hasil Pe-milihan Umum 2004 yang telah mendasarkan dirikepada UUD 1945 pasca perubahan keempat tahun2002, tidak lagi berwenang menetapkan garis-garis besar

    haluan negara dan ketetapan-ketetapan yang bersifatmengatur (regeling) dan mengikat untuk umum sepertisebelumnya. Satu-satunya produk hukum yang bersifatmengatur (regeling) yang termasuk lingkup kewenanganMPR dewasa in