perilaku keluarga terhadap pencegahan penyakit demam berdarah dengue (dbd) di lingkungan rumah di...
TRANSCRIPT
1
BAB IPENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Demam Berdarah Dengue (DBD) adalah penyakit infeksi virus yang dibawa
melalui gigitan nyamuk aedes aegepty. Penyakit DBD sampai saat ini masih
merupakan salah satu masalah kesehatan masyarakat yang utama di Indonesia
dan sering menimbulkan angka Kejadian Luar Biasa (KLB) dengan kematian
yang besar. Tempat yang disukai sebagai tempat perindukannya adalah tempat
penampungan air (TPA ) untuk keperluan sehari-hari, seperti: drum, tangki
reservoir, tempayan, bak mandi,/wc dan ember, tempat penampungan air bukan
untuk keperluan sehari-hari, seperti: tempat minum burung, vas bunga,
perangkap semut tampungan air dibelakang lemari es, dan barang-barang bekas
(ban, botol, kaleng, plastik dan lain lain) serta tempat penampungan air alamiah
seperti: lobang pohon, lobang batu, pelempah daun, tempurung kelapa, pelempah
pisang dan potongan bambu (Soegijanto, 2004).
Penyakit DBD pertama kali ditemukan pada tahun 1968 di Surabaya dengan
kasus 58 orang anak, 24 diantaranya meninggal dengan Case Fatality Rate
(CFR) = 41,3%. Sejak itu penyakit DBD menunjukkan kecenderungan
peningkatan jumlah kasus dan luas daerah terjangkit. Seluruh wilayah Indonesia
mempunyai resiko untuk terjangkit penyakit DBD, kecuali daerah yang memiliki
2
ketinggian lebih dari 1000 meter diatas permukaan laut. Penyakit DBD
dipengaruhi oleh kondisi lingkungan, mobilitas penduduk, kepadatan penduduk,
adanya kontainer buatan ataupun alami ditempat pembuangan akhir sampah
(TPA) ataupun ditempat sampah lainnya, penyuluhan dan perilaku masyarakat,
antara lain : pengetahuan, sikap, kegiatan pemberantasan sarang nyamuk (PSN),
fogging, abatisasi, dan pelaksanaan 3M+T (menguras, menutup, mengubur dan
taburkan) (Marlinda 2005) diakses tanggal 02 Oktober 2010.
Penanganan yang paling efektif untuk pencegahan penyakit DBD sesuai juga
dengan yang disampaikan oleh DepKes RI (2005) adalah meningkatkan
kebersihan lingkungan dengan cara 3M+T, yaitu menguras tempat penampungan
air, dikuras paling sedikit seminggu sekali, menutup rapat-rapat tempat
penampungan air dan menimbun dalam tanah barang-barang bekas atau sampah
yang dapat menampung air hujan, taburkan bubuk abate di sumur atau di bak
penampungan air. Kepadatan nyamuk ini akan meningkat pada waktu musim
hujan, dimana terdapat genangan air bersih yang dapat menjadi tempat
berkembangbiaknya nyamuk Aedes aegypti (Depkes RI, 2005).
Pemerintah melalui Puskesmas memberikan bantuan berupa pengasapan sarang
nyamuk (fogging) dan memberikan bubuk abate untuk membunuh jentik nyamuk
bagi daerah yang memiliki penderita penyakit DBD. Penyakit DBD mudah
berkembang oleh karena: antara rumah jaraknya berdekatan, yang
3
memungkinkan penularan karena jarak terbang aedes aegypti 40-100 meter.
Aedes aegypti betina mempunyai kebiasaan menggigit berulang (multiple biters),
yaitu menggigit beberapa orang secara bergantian dalam waktu singkat (Depkes
RI, 2005).
Informasi tentang pencegahan penyakit DBD umumnya masyarakat sudah
teriama, salah satu informasi yang sudah diberikan pada masyarakat yaitu tentang
program 3M. Informasi tentang penyakit DBD ini telah sejak lama dapat kita
saksikan di berbagi media, baik media elektronik maupun media cetak serta
penyuluhan dari petugas dan kader kesehatan terdekat. Tujuan penyebarluasan
informasi mengenai penyakit DBD yaitu terbentuknya pengetahuan, sikap dan
perilaku orang dalam menjaga atau memelihara kebersihan lingkungan
khususnya kebersihan tempat-tempat penampungan air yang dapat menjadi
sarang nyamuk DBD dan terbebasnya lingkungan baik rumah-rumah
pemukiman, sekolah maupun tempat-tempat umum dari jentik nyamuk sehingga
angka kesakitan dan kematian dapat terus berkurang atau diminimalisir serendah
mungkin.
Penyebaran penyakit DBD terkait dengan perilaku keluarga, sangat erat
hubungannya dengan kebiasaan hidup bersih dan kesadaran keluarga terhadap
bahaya penyakit DBD (Satari, 2004). Tingginya angka kesakitan penyakit ini
disebabkan oleh karena perilaku keluarga itu sendiri. Faktor lain yang
4
mempengaruhi adalah pengetahuan, sikap, dan tindakan keluarga untuk menjaga
kebersihan lingkungan.
Keluarga merupakan pembentuk unit dasar dari masyarakat, keluarga juga
berfungsi sebagai tolak ukur penilaian tingkah laku. Peningkatan kesehatan
keluarga antara lain adalah dengan perilaku hidup bersih dan sehat. Sedangkan
gerakan PSN dilakukan mulai dari rumah tangga secara kontinyu, serentak dan
berkesinambungan. Jika di rumah terdapat jentik nyamuk aedes aegypti berarti
keluarga dan tetangga terancam penularan penyakit DBD. Itulah sebabnya
pencegahan penyakit DBD sangat dipengaruhi oleh perilaku keluarga di rumah.
Pada awal tahun 2004 masyarakat Indonesia dikejutkan kembali dengan
merebaknya penyakit DBD dengan jumlah kasus yang cukup banyak.
Merebaknya kembali kasus pnyakit DBD ini menimbulkan reaksi dari berbagai
kalangan. Sebagian menganggap hal ini terjadi karena kurangnya kesadaran
masyarakat akan keberhasilan lingkungan dan sebagian lagi menganggap karena
pemerintah lambat dalam mengantisipasi dan merespon kasus ini (Litbang kes,
2004).
Di Indonesia, jumlah penderita penyakit DBD periode Januari –Agustus 2005 di
seluruh Indonesia mencapai 38.635 orang, sebanyak 539 penderita diantaranya
meninggal dunia (Utama, 2007). Di Jawa Barat korban demam berdarah Januari-
5
Desember 2009 mencapai 37.861 orang (Lucyati, 2009). Dari jumlah penderita
tersebut korban yang meninggal dunia sebanyak 307 orang. Di Kabupaten
Bandung periode Januari- Desember 2009 terdapat 1370 orang penderita dan dari
jumlah tersebut 2 orang meninggal dunia, (Dinkes Kab. Bandung, 2010).
Hasil rekapitulasi penderita penyakit DBD dari Puskesmas Baleendah periode
Januari sampai dengan Desember 2009 sebanyak 53 orang penderita. Jumlah
penderita terbanyak adalah di Kelurahan Baleendah sebanyak 38 orang penderita
dan Januari sampai dengan Juni 2010 sebanyak 13 orang penderita.
Secara geografis sebagian wilayah Kelurahan Baleendah terletak di bantara
sungai Citarum. Pada musim hujan sungai ini sering mendatangkan banjir dan
menggenangi sebagian rumah warga dan wilayah di Kelurahan Baleendah.
Lingkungan seperti ini memungkinkan meningkatnya perkembang-biakan
nyamuk Aedes Aegypti.
Berdasarkan uraian diatas, peneliti masih perlu untuk melakukan penelitian
mengenai perilaku keluarga terhadap pencegahan penyakit DBD di lingkungan
rumah di Kelurahan Baleendah Kecamatan Baleendah. Penentuan Kelurahan
Baleendah sebagai lokasi penelitian adalah karena masih tingginya angka
kasus/jumlah penderita penyakit DBD di Kelurahan Baleendah Kecamatan
Baleendah.
6
Menurut data yang diperoleh dari Puskesmas Baleendah, belum pernah
dilakukannya penelitian mengenai perilaku keluarga terhadap pencegahan
penyakit DBD di lingkungan rumah. Maka sangatlah tepat apabila dilakukan
penelitian mengenai perilaku keluarga terhadap pencegahan penyakit DBD di
lingkungan rumah di Kelurahan Baleendah Kecamatan Baleendah.
B. Rumusan masalah
Berdasarkan dari latar belakang dan fenomena diatas, maka peneliti tertarik
untuk mengetahui “Bagaimana gambaran perilaku keluarga terhadap
pencegahan penyakit DBD di lingkungan rumah di Kelurahan Baleendah
Kecamatan Baleendah”.
C. Tujuan Penelitian
1. Tujuan Umum
Tujuan penelitian ini adalah untuk melihat gambaran perilaku keluarga
terhadap pencegahan penyakit DBD di lingkungan rumah di Kelurahan
Baleendah Kecamatan Baleendah.
2. Tujuan khusus
a) Mengidentifikasi pengetahuan keluarga terhadap pencegahan penyakit
DBD.
b) Mengidentifikasi sikap keluarga terhadap pencegahan penyakit DBD.
7
c) Mengidentifikasi tindakan keluarga terhadap pencegahan penyakit
DBD.
d) Mengidentifikasi perilaku keluarga terhadap pencegahan penyakit DBD
D. Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan bermanfaat bagi:
1. Peneliti
Menambah pengetahuan dan informasi tentang penyakit DBD dan proses
penelitian memperoleh gambaran perilaku keluarga terhadap pencegahan
penyakit DBD di lingkungan rumah di Kelurahan Baleendah Kecamatan
Baleendah.
2. Puskesmas
Data awal bagi puskemas dalam melakukan program kerja di Kelurahan
Baleendah Kecamatan Baleendah, sehingga dapat menjadi perhatian serius
bagi Puskesmas dalam pencegahan penyakit DBD dan pengembangan sasaran
pelayanan kesehatan kepada masyarakat di masa mendatang.
3. STIK Immanuel Bandung
Diharapkan dapat memberi kontribusi dalam proses belajar bagi mahasiswa
STIK Immanuel Bandung, baik dalam belajar maupun dalam melakukan
penelitian selanjutnya.
8
E. Defenisi Konseptual dan Defenisi Operasional
1. Defenisi Konseptual
a. Perilaku
Perilaku adalah bentuk respon atau reaksiterhadap stimulus atau
rangsangan dari luar organisme (orang), namun dalam memberikan
respon sangat tergantung pada karakteristik atau faktor-faktor lain yang
bersangkutan (Notoatmodjo, 2007).
b. Pengetahuan
Pengetahuan merupakan hasil dari tahu (Know) dan terjadi setelah
seseorang melakukan pengindraan terhadap objek tertentu, mengingat
(Comprehension), aplikasi (Aplication), analisis (Analysis), sistesis
(Synthesis), dan evaluasi (Evaluation). Pengindraan ini terjadi melalui
panca indra manusia yaitu : indra penglihatan, pendengaran, penciuman,
indra raba, indra rasa. ( Notoatmodjo, 2003).
c. Sikap
Sikap merupakan reaksi atau respons seseorang yang masih tertutup
terhadap stimulus atau objek. Sikap terdiri dari beberapa struktur dan
tingkatan. Struktur sikap yaitu Komponen Kognitif (Cognitif) berisi
kepercayaan seseorang mengenai apa yang berlaku atau apa yang benar
bagi objek sikap, Komponen Afektif (affective) komponen afektif
menyangkut masalah emosional subektif seseorang terhadap suatu objek
9
sikap dan Komponen konatif (conative) Komponen perilaku atau
komponen konatif dalam struktur sikap menunjukkan bagaimana
perilaku atau kecenderungan berperilaku yang ada dalam diri seseorang
berkaitan dengan objek sikap yang dihadapinya. Sedangkan tingkatan
dari sikap yaitu menerima (receiving), merespon (responding),
menghargai (valuting), dan bertanggung jawab (responsible)
(Notoatmodjo, 2003).
d. Tindakan
Tindakan atau praktik adalah suatu perbuatan nyata untuk melaksanakan
atau mempraktikan apa yang diketahui atau disikapinya (Notaotmodjo,
2007)
e. Keluarga
Keluarga adalah unit terkecil dari masyarakat yang terdiri atas kepala
keluarga dan beberapa orang yang berkumpul dan tinggal di suatu
tempat dibawah suatu atap dalam suatu keadaan ketergantungan
(Depkes RI, 1998).
f. Pencegahan Penyakit DBD
Pencegahan adalah usaha yang ditujukan untuk mencegah terjadinya
penyakit melalui suatu usaha yang dilakukan secara berkala untuk
mendeteksi suatu penyakit secara dini (Effendy, 1998). Pencegahan
10
dilakukan oleh masyarakat di lingkungan rumah dengan melakukan
Pemberantasan Sarang Nyamuk (PSN) (Depkes RI, 1998).
10
2. Defenisi Operasional
Tabel 1. Definisi operasional
Variabel Sub variabel Defenisi Operasional Alat Hasil Ukur Skala ukur
Perilak keluarga terhadap
pencegahan penyakit DBD
a. Pengetahuan
keluarga terhadap
pencegahan DBD
Pengetahuan adalah sesuatu yang
diketahui keluarga tentang
penyakit DBD, dengan tingka
pengetahuan tahu (C1),
memahami (C2) dan
mengaplikasikan (C3) yang
meliputi:
Tahu (Know) mengetaui
pengertian penyakit DBD,
penyebab, DBD serta tanda
dan gejala DBD.
Angket Baik : apabila
didapatkan > 60% -
100%
Kurang : apabila
didapatkan < 60%
Ordinal
11
Pemahaman (Comperhansion)
memahami cara pencegahan
penyakit DBD itu sendiri.
Mengamplikasikan, yaitu cara
penganan penyakit DBD.
b. Sikap keluarga
terhadap
pencegahan DBD
Sikap yang dimaksud dalam
penelitian ini penilaian atau
pendapat keluarga terhadap
pencegahan DBD yang meliputi
respon kognitif, respon afektif dan
respon konatif.
Angket Mendukung
(Favorable) apabila
didapatkan: Nilai T
≥ mean T
Tidak mendukung
(Unfavorable
)apabila didapatkan:
Nilai T < mean T
Ordinal
12
c. Tindakan
keluarga terhadap
pencegahan DBD
Tindakan dalam penelitian ini
apakah keluarga melaksanakan
program pencegahan penyakit
DBD dalam hal ini meliputi 3M :
1. Menguras bak air
2. Menutup penampungan air
3. Mengubur barang-barang bekas
4. Menyingkirkan pakaian-
pakaian yang tergantung di
balik pintu di dalam kamar
5. Menghindari tidur siang,
terutama di pagi hari antara
jam 9-10 atau sore hari sekitar
Observasi Mendukung
(Favorable) apabila
didapatkan: nilai T ≥
mean T
Tidak mendukung
(Unfavorable
)apabila didapatkan:
nilai T < mean T
Ordinal
13
jam 3-5
6. Penggunaan racun nyamuk
boleh obat nyamuk bakar,
gosok, maupun yang semprot.
7. Memelihara ikan pemakan
jentik
14
F. Kerangka Pikir
Pencegahan penyakit menular khususnya demam berdarah melalui upaya
penyuluhan dan pendidikan kesehatan kepada masyarakat serta melakukan
tindakan pengasapan (fogging). Upaya dari pihak masyarakat yang dalam hal
ini diwakili oleh para orang tua. Kesadaran masyarakat tercermin dari perilaku
kesehatannya yang sangat ditentukan oleh peran aktif para orang tua dalam
menanamkan perilaku sehat bagi keluarganya.
Perilaku kesehatan pada dasarnya adalah salah satu respon keluarga terhadap
stimulasi yang berkaitan dengan pencegahan penyakit DBD. Respon tersebut
dapat bersifat pasif (pengetahuan dan sikap,) yaitu bagaimana keluarga dapat
mengetahui dan menyikapi suatu stimulasi yang diberikan . Dan respon yang
bersifat aktif, yaitu tindakan yang bersifat nyata atau praktis. Selain itu pula
perilaku dalam mencari pelayanan kesehatan yang disediakan, seperti RS,
Puskesmas, Posyandu, dan lain-lain akan mempengaruhi derajat kesehatan
seseorang.
Pengetahuan atau kognitif merupakan domain yang sangat penting dalam
membentuk tindakan seseorang (Overt behavior). Apabila penerimaan perilaku
baru atau adopsi perilaku baru melalui proses yang didasari oleh pengetahuan,
kesadaran dan sikap yang positif maka perilaku tersebut akan bersifat langgeng
(long lasting) sebaliknya apabila perilaku tidak didasari oleh pengetahuan,
kesadaran dan sikap yang positif maka tindakan tersebut tidak akan
15
berlangsung lama. Oleh karena itu apabila pengetahuan masyarakat memadai
dan diiringi sikap yang posotif maka akan tercapai upaya pencegahan penyakit
DBD yang lebih baik.
Menurut Lewrence Green 1980 (dalam Notoatmodjo, 2003), bahwa perilaku
kesehatan dipengaruhi atau terbentuk dari tiga faktor yaitu : faktor predisposisi
(Predisposing factor), yang terwujud dalam pengetahuan, sikap, kepercayaan,
nilai-nilai dan keyakinan. Faktor pendukung (Enabling factor), yang terwujud
dalam lingkungan fisik, tersedianya fasilitas kesehatan atau sarana kesehatan.
Faktor pendorong (Reinforcing factor), yang terwujud dalam sikap dan
perilaku petugas kesehatan, tokoh masayarakat (Notoatmodjo, 2003)
Perilaku keluarga dapat dipengaruhi oleh berbagai faktor yaitu diantaranya
faktor internal dan faktor eksternal. Faktor internal atau faktor dari dalam
dipengaruhi oleh : umur, jenis kelamin, pendidikan dan sosial dan ekonomi.
Faktor eksternal atau faktor dari luar didapat dari sumber-sumber informasi
seperti informasi dari petugas kesehatan, informasi media cetak : buku,
majalah, informasi dari media elektronik : TV, Radio.
Faktor predisposisi(Predisposing factor)
1. Pengetahuan keluarga meliputi : menyebutkan dan memahami tentang pencegahan DBD
2. Sikap keluarga meliputi : penilaian dan pendapat keluarga terhadap pencegahan DBD
3. Tindakan keluarga meliputi : tindakan
PENCEGAHAN DBD
Sumber : Modifikasil Lewrence Green dalam Notoatmodjo, 2007
Faktor internal: umur, jenis kelamin, pendidikan dan sosial ekonomi. Faktor eksternal: informasi dari petugas kesehatan dan informasi dari media
Faktor Pendukung/ Enabling Tersedianya fasilitas pelayanan
kesehatan Tersedianya pelayanan
pengobatan gratis di Puskesmas
Faktor Pendorong/Reinforcing Dukungan Petugas Kesehatan Penyuluhan Kesehatan
= Variabel yang diteliti
= Variabel yang tidak diteliti
Keterangan:
16
G. KERANGKA KONSEP PERILAKU KELUARGA TERHADAP PENCEGAHAN PENYAKIT DBD DI LINGKUNGAN
RUMAH DI KELURAHAN BALEENDAH KECAMATAN BALEENDAH
- Baik > 60%-100%- Kurang Baik < 60%
- Favorable T ≥ mean T- Unfavorable T < mean
- Favorable T ≥ mean T- Unfavorable T < mean
17
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Perilaku
1. Defenisi Perilaku
Perilaku adalah suatu kegiatan atau aktivitas organisme (makhluk hidup) yang
bersangkutan. Perilaku manusia berasal dari dorongan yang ada dalam diri
manusia, sedang dorongan merupakan usaha untuk memenuhi kebutuhan yang
ada dalam diri manusia. Terdapat berbagai macam kebutuhan diantaranya
kebutuhan dasar dan kebutuhan tambahan,(Marlinda,2004).
Perilaku merupakan tindakan atau perbuatan suatu organisme yang dapat
diamati dan bahkan dapat dipelajari, Robert Kwick (1974 dalam
Notoadmodjo, 2007). Menurut Skinner (1938 dalam Notoadmodjo, 2007)
menyatakan bahwa perilaku merupakan hasil hubungan antara perangsang,
(stimulus), tanggapan dan respon. Aspek prilaku yang dikembangkan dalam
proses pendidikan meliputi tiga ranah yaitu: ranah kognitif (pengetahuan),
ranah afektif (sikap) dan ranah psikomotor (ketrampilan). Bloom (1908,
dalam Notoadmodjo, 2007)
Dari uraian diatas, Notoadmodjo (2007) mengambil kesimpulan bahwa
perilaku manusia secara operasional dapat di kelompokkan menjadi tiga
18
macam, yaitu perilaku dalam bentuk pengetahuan, sikap dan tindakan nyata
atau perbuatan.
2. Bentuk Operasional Perilaku
Menurut Notoatmodjo (2007) bentuk operasional dari pada perilaku dapat
dikelompokkan menjadi tiga jenis yaitu:
a. Perilaku dalam bentuk pengetahuan (knowledge) merupakan hasil dari
tahu, dan ini terjadi setelah orang melakukan penginderaan terhadap suatu
objek tertentu. Penginderaan terjadi melalui pancaindera manusia, yakni
indera penglihatan, pendengaran, penciuman, rasa dan raba. Sebagian
besar pengetahuan manusia diperoleh melalui mata dan telinga.
b. Perilaku dalam bentuk sikap (attitude) merupakan reaksi atau respon
yang masih tertutup dari seseorang terhadap suatu stimulus atau obyek.
Atau dengan kata lain bahwa manifestasi sikap itu tidak dapat langsung
dilihat, tetapi hanya dapat ditafsirkan terlebih dahulu dari perilaku yang
tertutup.
c. Perilaku dalam bentuk tindakan (practice) adalah suatu sikap belum
otomatis terwujud dalam suatu tindakan (overt behavior). Untuk
mewujudkan sikap menjadi suatu perbuatan nyata diperlukan factor
pendukung atau suatu kondisi yang memungkinkan, antara lain adalah
fasilitas.
19
3. Faktor-faktor yang berperan dalam pembentukan perilaku
Menurut Green dalam Notoadmodjo (2007), yaitu:
a. Faktor prediposisi (predisposing factors) : pengetahuan, sikap,
kepercayaan, tradisi, nilai dan sebagainya.
b. Faktor yang mendukung(enabling factors) : ketersediaan sumber-
sumber/fasilitas.
c. Faktor memperkuat atau mendorong (reinforcing factors) : sikap dan
perilaku
4. Klasifikasi perilaku
Klasifikasi perilaku yang berhubungan dengan kesehatan (Health related
behavior) menurut Becker (1979, dikutip dari Notoadmodjo, 2007) sebagai
berikut:
a. Perilaku kesehatan
b. Perilaku sakit
c. Perilaku peran sakit
5. Perilaku Kesehatan
Menurut Notoadmodjo (2007) mengatakan bahwa perilaku kesehatan pada
dasarnya adalah suatu respon seseorang (organisme) terhadap stimulus yang
20
berkaitan dengan sakit dan penyakit, sistem pelayanan kesehatan, makanan,
serta lingkungan.
Perilaku seseorang terhadap sakit dan penyakit, yaitu bagaimana manusia
berespon, baik secara pasif (mengetahui, bersikap, dan mempersepsi penyakit
dan rasa sakit yang ada pada dirinya dan di luar dirinya, maupun aktif
(tindakan) yang dilakukan sehubungan dengan penyakit dan sakit tersebut.
Perilaku terhadap sakit dan penyakit ini dengan sendirinya sesuai dengan
tingkat-tingkat pencegahan penyakit, Notoadmodjo (2007), yakni:
a. Perilaku sehubungan dengan peningkatan dan pemeliharaan kesehatan,
(health promotion behavior).
b. Perilaku pencegahan penyakit (health prevention behavior), adalah respon
untuk melakukan pencegahan penyakit, misalnya: tidur memakai kelambu
untuk mencegah gigitan nyamuk aedes aegepty. Termasuk juga perilaku
untuk tidak menularkan penyakit kepada orang lain.
c. Perilaku sehubungan dengan pencarian pengobatan (health seeking
behavior). Yaitu perilaku untuk melakukan atau mencari pengobatan,
misalnya usaha-usaha mengobati sendiri penyakitnya, atau mencari
pengobatan ke fasilitas-fasilitas kesehatan modern (puskesmas, mantri,
dokter praktek, dan sebagainya), maupun ke fasilitas kesehatan tradisional
(dukun, sinshe dan sebagainya).
21
d. Perilaku sehubungan dengan pemulihan kesehatan (health rehabilitation
behavior), yaitu perilaku yang berhubungan dengan usaha-usaha pemulihan
kesehatan setelah sembuh dari suatu penyakit.
B. Demam Berdarah Dengue (DBD)
1. Pengertian
Penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD) merupakan salah satu masalah
kesehatan masyarakat di Indonesia. Sejak tahun 1968 jumlah kasusnya
cenderung meningkat dan penyebarannya bertambah luas. Keeadaan ini
erat kaitannya dengan peningkatan mobilitas penduduk sejalan dengan
semakin lancarnya hubungan transfortasi serta tersebarluasnya virus dengue
dan nyamuk penularannya diberbagai wilayah di Indonesia(Depkes, 2005).
Demam berdarah dengue adalahpenyakit yang terutama terdapat pada anak
dan remaja atau pada orang dewasa dengan tanda-tanda klinis berupa
demam, nyeri otot / nyeri sendi yang disertai leukopeia., dengan tanpa ruam,
dan limfadenopati, demambifasik, sakit kepala yang hebat, nyeri pada
pergerkan bola mata, gangguan rasa mengecap, trombositopenia ringan dan
petekie spontan. Demam berdarah dengue terdapat pada anak dan dewasa
dengan gejala utama demam, nyeri otot, dan sendi, yang biasanyan
memburuk setelah pada dua hari pertama. Sindrom renjatan dengue (dengue
shock syndrom, disingkat DSS).
22
2. Etiologi
Penyebab penyakit DBD adalah virus dengue yang dibawa oleh nyamuk
aedes aegypti yang mempunyai ciri belang hitam-putih diseluruh tubuh
sebagai vektor ke tubuh manusia melalui gigitan nyamuk tersebut. Infeksi
yang pertama kali dapat memberi gejala sebagai demam dengue (DD).
Apabila orang itu mendapat infeksi berulang oleh tipe virus dengue yang
berlainan akan menimbulkan reaksi yang berbeda (Mansjoer, 2000).
Virus Dengue dahulu termasuk group B Antropod Borne Virus
(Arboviruses) adalah virus RNA, genus Flavivirus, termasuk family
Flacviridae. Sampai saat ini dikenal ada 4 serotipe: DEN-1, DEN-2, DEN-3
dan DEN 4. infeksi dengan salah satu serotype akan menimbulkan antibodi
protektif seumur hidup untuk serotype yang bersangkutan, tetapi tidak untuk
serotype yang lain. Ke-4 serotype virus tersebut diketemukan diberbagai
daerah di Indonesia. Serotype DEN-3 merupakan serotype yang dominan di
Indonesia dan ada hubungannya dengan kasus-kasus berat pada saat terjadi
kejadian luar biasa (KLB) (Depkes, 2005).
3. Patofisiologi
Ada dua perubahan patofisiologis utama terjadi pada demam berdarah
dengue. Pertama adalah peningkatan permeabilitas vaskuler yang
meningkatkan kehilangan plasma dari kompartemen vaskuler. Keadaan ini
23
mengakibatkan hemokonsentrasi, tekanan nadi rendah, dan tanda syok lain,
bila kehilangan plasma sangat membahayakan. Perubahan kedua adalah
ganguan pada hemostatis yang mencakup perubahan vaskuler,
trmbositopenia, dan koagulopati.
Temuan konstan pada demam berdarah dengue adalah aktivasi system
komplemen, dengan depresi besar kadar C3 dan C5. Mediator yang
meningkatkan permeabilitas vaskuler dan mekanisme pasti fenomena
perdarahan yang timbul pada infeksi dengue belum teridentifikasi, sehingga
diperlukan studi lebih lanjut.
Defek trombosit terjadi baik kualitatif dan kuantitatif yaitu beberapa
trombosit yang bersirkulasi selama fase akut demam berdarah dengue
mungkin kelelahan (tidak mampu berfungsi normal). Karenanya, meskipun
pasien dengan jumlah trombosit lebih besar dari 100.000 per mm3 mungkin
masih mengalami fase perdarahan yang panjang (Ngastiyah, 2005).
4. Manifestasi Klinis
Infeksi virus dengue mengakibatkan manifestasi klinis yang bervariasi mulai
dari asimtomatik, penyakit paling ringan (mild undifferentiated febrile
illness), demam dengue , demam berdarah dengue, sampai sindrom syok
dengue. Masa inkubasi dengue 4-7 hari.Secara klinis biasanya ditandai
24
dengan demam tinggi, fenomena perdarahan, hepatomegali, dan kegagalan
sirkulasi. Demam dengue pada bayi dan anak berupa demam ringan disertai
timbulnya ruam makulopapular. Pada anak besar dan dewasa dikenal
sindrom trias dengue berupa demam tinggi mendadak, nyeri pada anggota
badan (kepala, bola mata, punggung, dan sendi), dan timbul ruam
makulopapular. Tanda lain menyerupai demam dengue yaitu anoreksia,
muntah, dan nyeri kepala (Depkes, 2005).
5. Diagnosa
Diagnosis penyakit DBD biasa dilakukan secara klinis (WHO, 1999):
a. Demam akut, yang tetap tinggi selama 2-7 hari, kemudian turun secara
disertai gagal ginjal tidak spesifik, seperti: lisis. Demam berkisar 39º-
40ºC anoreksi, malaise, nyeri pada punggung, tulang, persendian, dan
kepala.
b. Manifestasi perdarahan, seperti uji torniquet positif, petekie, pirpura,
ekimosis, epistaksia, perdarahan gusi, hematemesis, dan melena.
c. Pembesaran hati dan nyeri tekan tanpa ikterus.
d. Dengan/tanpa syok. Syok yang terjadi pada saat demam biasanya
mempunyai prognosis yang buruk.
e. Kenaikan nilai Ht/hemokonsentrasi, yaitu sedikitnya 20%.
f. Adanya ruam-ruam pada kulit.
g. Leukopenia
25
Derajat beratnya penyakit DBD secara klinis sangat bervariasi, (Depkes,
2005) membagi menjadi 4 derajat yaitu:
1) Derajat I:
Demam disertai gejala-gejala umum yang tidak khas dan manifestasi
perdarahan spontan satu-satunya adalah uji tourniquet positif
2) Derajat II :
Gejala-gejala derajat I, disertai gejala-gejala perdarahan kulit spontan
atau manifestasi perdarahan yang lebih berat.
3) Derajat III :
Didapatkan kegagalan sirkulasi, yaitu nadi cepat dan lemah, tekanan
nadi menyempit (< 20 mmHg), hipotensi, sianosis disekitar mulut, kulit
dingin dan lembab, gelisah.
4) Derajat IV:
Syok berat (profound shock), nadi tidak dapat diraba dan tekanan darah
tidak terukur.
Kriteria Laboratorium:
Menurut Mansjor, (2000) seseorang didiagnosa penyakit DBD jika hasil
laboratorium menunjukkan hasil trombositopenia (<100.000/mm) dan
peningkatan nilai hematokrit >20%, diagnosis penyakit DBD dipastikan
dengan pemeriksaan serologi (IHA, Imunoglobulin) dan atau isolasi virus.
Beberapa pemeriksaan laboratorium yang dapat membantu diagnosis adalah:
26
hipoalbuminemia, hiponatremia, peningkatan kadar transaminase, limposit
plasma biru (20-50%).
Pemeriksaan radiologi yang menunjang diagnosis:
1) Dilatasi pembuluh darah paru, efusi pleura, kardiomegali, dan efusi
perikard.
2) Hepatomegali, dilatasi vena hepatica, cairan rongga peritonium (ascites)
dan penebalan dinding kandung empedu pada USG abdomen (Mansjoer,
2000).
6. Penatalaksanaan
Pada pasien dngan keluhan demam 2-7 hari, disertai uji tourniquet positif
atauperdarahan spontan, dan trombositopenia ringan dapat dikelolah seperti
berikut : Apabila pasien msih dapat minum, berikan minuman 1-2 liter/hari
atau1 sendok makan setiap 5 menit. Obat antipiretik (paracetamol) diberikan
bila suhu > 38º C. Pada dengan riwayat kejang dapat diberikan obat anti
konvulsif. Apabila pasien tidak dapat minum atau muntah terus menerus,
sebaiknya diberikan infuse NaCl. 0,45% : dektrosa 5% (1:3) dipasang
dengan tetesan rumatan sesuai berat badan. Di samping itu perlu dlakukan
pemeriksaan Hb, Ht tiap 6 jam dan trombosit setiap 6-12 jam. Apabila pada
tindak lanjut telah terjadi perbaikan klinis dan laborantorium, pasien dapat
dipulangkan, tetapi bila kadar Ht cenderung naik dan trombosit menurun,
27
maka infuse caiaran diganti dengan ringer laktat dan tetesan disesuaikan
(Depkes RI, 2005)
7. Pencegahan Penyakit DBD
Untuk memutuskan rantai penularan, pemberantasan vektor dianggap cara
paling memadai saat ini. Vektor Dengue khususnya aedes aegypty yang
mempunyai ciri-ciri berupa belang hitam putih sebenarnya mudah diberantas
karena sarang-sarangnya terbatas di tempat yang berisi air bersih dan jarak
terbangnya maksimum 100 meter. Tetapi karena vektor tersebar luas, untuk
keberhasilan pemberantasan diperlukan total coverage (meliputi seluruh
wilayah) agar nyamuk tak dapat berkembang biak lagi.
Pencegahan wabah penyakit DBD didasarkan pada pengendalian vektor,
karena vaksin belum tersedia. Saat ini satu-satunya cara yang efektif untuk
menghindari infeksi virus Dengue adalah menghindari gigitan dari nyamuk
yang terinfeksi (Marlinda, 2004).
8. Perilaku keluarga terhadap pencegahan penyakit DBD
Dalam masalah ini pemerintah telah melakukan berbagai upaya pencegahan
penyakit DBD dengan memutus mata rantai penularannya dengan
pemberantasan vektor penyakit demam berdarah dengue. Namun yang
terdepan dan strategis dalam pelaksanaan pencegahan DBD ini adalah
28
perilaku keluarga dalam memutuskan mata rantai penularan penyakit DBD
di lingkungannya (Depkes RI, 2005).
Perilaku keluarga yang dimaksud dalam pencegahan penyakit DBD adalah
keterlibatan tanggung jawab mental dan emosional. Keterlibatan tanggung
jawab meliputi penyediaan sarana kesehatan lingkungan yang memenuhi
syarat kesehatan misalnya penyediaan tong sampah, pengelolaan sarana yang
diadakan agar tetap terjamin dan terpelihara sehingga tidak menjadi
perindukan vektor penyakit DBD misalnya memelihara parit dengan tidak
membuang sampah kedalamnya, pemantauan dan pengawasan lingkungan
rumah tangga dan halaman erat kaitannya dalam pencegahan penyakit DBD.
Keterlibatan emosional menyangkut berbagai anjuran-anjuran kepada
anggota keluarga dengan berbuat sesuatu dalam kaitannya dengan
penyediaan sarana dan upaya pemberantasan penyakit DBD (, 2005).
Menurut Maironah (2005), dalam melakukan pencegahan penyakit DBD ini
keluarga perlu melakukan beberapa metode yang tepat yaitu:
a. Lingkungan
Menurut Maironah (2005)
Metode lingkungan untuk mengendalikan nyamuk tersebut antara lain
dengan pemberantasan sarang nyamuk (PSN), pengelolaan sampah padat,
modifikasi tempat perkembangbiakan nyamuk, sebagai contoh keluarga
dapat melakukan:
29
1) Menguras bak mandi/penampungan air satu kali seminggu.
2) Mengganti/menguras vas bunga dan tempat minuman
burungseminggu sekali.
3) Menutup rapat tempat penampungan air.
4) Mengubur kaleng bekas, botol-botol, ban, pelastik, kulit kerang,
bekas pembungkus makanan yang ada disekitar rumah.
b. Biologi
Pencegahan penyakit DBD secara biologi antara lain dengan
menggunakan ikan pemakan jentik jika mempunyai kolam di sekitar
rumah.
c. Kimiawi
Cara pencegahan menurut Depkes (2004), antara lain:
1) Pengasapan/fogging berguna untuk mengurangi kemungkinan
penularan sampai batas waktu tertentu.
2) Memberikan bubuk abate pada tempat-tempat penampungan seperti
gentong air, bak mandi, vas bunga, dan kolam sesuai dengan
dosis/takaran yaitu 1 gram bubuk abate untuk 10 liter air.
3) Cara lain yang dapat dilakukan keluarga, misalnya:
(a) Pakaian sebagai pelindung dapat mengurangi resiko gigitan
nyamuk jika pakaian cukup tebal atau longgar dan gunakanlah
baju lengan panjang dan celana panjang.
30
(b) Gunakan racun nyamuk boleh obat nyamuk bakar, gosok,
maupun yang semprot.
(c) Hindari tidur siang, terutama di pagi hari antara jam 9-10 atau
sore hari sekitar jam 3-5, karena nyamuk aedes aegepty
mempunyai kebiasaan menggigit pada pada jam-jam tersebut.
(d) Gunakan kelambu saat tidur atau gunakan kipas angin di kamar
tidur karena nyamuk pada umumnya tidak suka dilingkungan
berangin.
(e) Singkirkan pakaian-pakaian yang tergantung di balik pintu di
dalam kamar, karena nyamuk aedes aegepty senang berada
ditempat gelap dan istirahat di pakaian yang bergantungan.
Dari keterangan diatas dapat disimpulkan bahwa cara yang paling efektif
yang dapat dilakukan keluarga dalam pencegahan penyaki DBD adalah
dengan 3M, yaitu menutup, menguras, menimbun. Selain itu juga melakukan
beberapa cara pencegahan yang lain seperti memelihara ikan pemakan
jentik, memberikan bubuk abate, menggunakan kelambu pada waktu tidur,
memasang kelambu, menyemprot dengan insektisida, memasang obat
nyamuk, memeriksa jentik berkala, dan lain-lain sesuai dengan kondisi
setempat (Marlinda, 2004).
31
9. Peran Perawat
Peran perawat adalah memberi pelayanan kesehatan kepada keluraga berupa
pendidikan dan fasilitas agar perilaku keluraga terhadap pencegahan
penyakit DBD di lingkungan rumah semakin meningkat.
Peran adalah seperangkat tingkah laku yang diharapkan oleh orang lain
terhadap seseorang sesuai kedudukannya dalam suatu sistem. Peran
dipengaruhi oleh keadaan sosial baik dari dalam maupun dari luar dan
bersifat stabil. Peran adalah bentuk dari perilaku yang diharapkan dari
seseorang pada situasi sosial tertentu. (Kozier Barbara, 1995)
32
BAB III
METODE PENELITIAN
A. Desain Penelitian
1. Desain penelitian
Desain yang digunakan dalam penelitian ini adalah desain deskriptif yaitu
untuk mendapatkan gambaran atau deskripsi tentang perilaku keluarga
terhadap pencegahan penyakit DBD di lingkungan rumah di Kelurahan
Baleendah Kecamatan Baleendah (Arikunto, 2006).
2. Variabel Penelitian
Variabel adalah suatu atribut atau objek yang mempunyai variasi tertentu
yang ditetapkan oleh peneliti untuk dipelajari dan ditarik kesimpulan
(Sugiyono, 2005). Variabel penelitian adalah perilaku keluarga terhadap
pencegahan penyakit DBD di lingkungan rumah di Kelurahan Baleendah
Kecamatan Baleendah Kabupaten Bandung.
3. Sub Variabel Penelitian
Sub variabel dalam penelitian ini adalah:
a. Pengetahuan keluarga terhadap pencegahan penyakit DBD.
b. Sikap keluarga terhadap pencegahan penyakit DBD
c. Tindakan keluarga terhadap pencegahan penyakit DBD.
33
B. Populasi dan Sampel Penelitian
1. Populasi
Populasi adalah keseluruhan objek penelitian atau objek yang diteliti
(Notoatmodjo, 2002). Sebagai populasi dalam penelitian ini adalah seluruh
keluarga di Kelurahan Baleendah Kecamatan Baleendah. Jumlah keluarga di
Kelurahan Baleendah adalah 11996 keluarga.
2. Sampel
Sampel adalah sebagian atau wakil yang diteliti (Arikunto, 2002). Tehnik
pengambilan sampel yang digunakan dalam penelitian ini adalah diambil
secara Area Probability sample. Dilakukan dengan mengambil wakil dari
setiap wilayah yang terdapat dalam populasi. Cara menentukan besarnya
sampel dari masing-masing wilayah di Kelurahan Baleendah digunakan
teknik Proposional Rondom Sample. Cara pengambilan banyaknya seimbang
dari tiap-tiap wilayah dan diambil secara acak. Besar sampel dalam penelitian
ini ditentukan oleh rumus Cochran (1991), yaitu:
n= N
1+N (d2)
Keterangan :
n = Besar Sampel Minimum
N = Jumlah Populasi
d = Kesalahan (absolute) yang dapat di tolerir pada penelitian ini yaitu (0.1)
34
Besarnya proporsi jumlah sampel dari setiap wilaya di tentukan dengan
menggunakan rumus :
n= Xn
x S
Keterangan :
n = Jumlah sempel dalam setiap wilayah
X= Jumlah populasi dalam setiap wilayah
N= Jumlah total populasi
S= Ukuran sampel total
Tabel Proporsi Sampel Setiap Rw
NOPOPULASI
SETIAP RWSAMPEL SETIAP
RWPENGGENAPAN
SAMPEL1 429 3,546627 42 787 6,506283 73 482 3,984788 44 997 8,242394 85 721 5,960648 66 451 3,728505 47 260 2,149471 28 923 7,630622 89 573 4,737103 5
10 832 6,878307 711 425 3,513558 312 495 4,092262 413 305 2,521495 214 324 2,678571 315 328 2,711640 316 267 2,207341 217 427 3,530093 418 742 6,134259 619 424 3,505291 3
35
20 347 2,868717 321 294 2,430556 222 386 3,191138 323 528 4,365079 424 249 2,058532 2
Total 11.996 99,17328 99Setelah dilakukan perhitungan dengan diketahui jumlah populasi 11996
keluarga di Kelurahan Baleendah Kecamatan Baleendah, maka didapat besar
sampel sebanyak 99 keluarga.
C. Kriteria Sampel
Adapun kriteria sampel adalah sebagai berikut:
1. Orang tua (ayah atau ibu) dari anggota keluarga,
2. Bersedia menjadi responden dan
3. Mampu membaca dan menggunakan bahasa Indonesia dengan baik.
D. Variabel Penelitian
Variabel Penelitian adalah suatu atribut, sifar, atau nilai dari orang, objek kegiana
yang mempunyai variasi tertentu yang di tetapkan oleh peneliti untuk dipelajari,
atau kemudian ditarik kesimpulan (sugiyono, 2006).
1. Variabel Pengetahuan keluarga tentang pencegahan penyakit DBD
2. Variabel Sikap keluarga terhadap pencegahan penyakit DBD
3. Variabel Tindakan keluarga pencegahan penyakit DBD
36
E. Lokasi dan Waktu Penelitian
Lokasi penelitian ini di lingkungan rumah di Kelurahan Baleendah Kecamatan
Baleendah Kabupaten Bandung yang akan dilaksanakan pada bulan Maret 2011
sampai dengan April 2011.
F. Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data pada penelitian ini mempergunakan angket atau
kuesioner yaitu : suatu daftar pertanyaan yang dipergunakan untuk
memperoleh data atau informasi dari responden tentang hal-hal yang ingin
diketahui (Arikunto, 2003). Angket yang digunakan berbentuk angket tertutup,
artinya jawaban sudah disediakan sehingga responden tinggal memilih
jawaban yang telah ada. Komponen angket terdiri dari aspek pengetahuan,
sikap keluarga terhadap pencegahan penyakit DBD. Alasan penggunaan
angket tertutup adalah untuk memungkinkan jawaban lebih terarah.
Jumlah pertanyaan dan pernyataan dalam angket yang dibagikan yaitu 30
yang terdiri dari 15 pertanyaan untuk pengetahuan, 15 pertanyaan untuk sikap,
sedangkan untuk tindakan dilakukan dengan cara observasi, meliputi 3M dan
cara lain yang dapat dilakukan keluarga untuk pencegahan DBD, seperti :
menyingkirkan pakaian-pakaian yang tergantung di balik pintu atau di dalam
kamar, menghindari tidur siang, terutama di pagi hari antara jam 9-10 atau
37
sore hari sekitar jam 3-5, penggunaan racun nyamuk baik obat nyamuk bakar,
maupun yang disemprot.
G. Uji Coba Instrumen
1. Uji Validitas
Validitas adalah keadaan yang menggambarkan tingkat instrument yang
bersangkutan mampu mengukur yang akan diukur (Arikunto, 2006). Uji
validitas ini dilakukan untuk menguji ketepatan suatu item dalam pengukuran
instrumentnya. Suatu pernyataan dikatakan valid dan dapat mengukur varibel
penelitian yang dimaksud jika nilai keofisiennya lebih dari 0,3 maka item
tersebut dapat digunakan dalam dalam analisis selanjutnya, bila nilai
koefisiennya di bawah 0,3 maka butir instrument tersebut tidak valid
(Sugiono, 2005).
Uji validitas akan dilakukan kepada keluarga di Kelurahan Manggahang
Kecamatan Baleendah Kabupaten Bandung yang juga termasuk endemik
penyakit DBD. Uji validitas yang digunakan untuk instrument pengetahuan
yang berupa skor dikotomi yaitu bernilai 0 dan 1 digunakan koefisien
korelasi biseral (Agus Riyanto, 2009).
rbis(i)=(xi−xt)
St{√ Pi
Qi}
Keterangan :
38
rbis(i)=¿ Koefisien korelasi biseral antara skor butir soal nomor i dengan skor
total
x i=¿ Rata-rata skor total responden yang menjawab benar butir soal nomor i
x t=¿ Rata-rata skor toral semua responden
St=¿ Standar deviasi skor total semua responden
Pi=¿ Proporsi jawaban yang benar untuk butir soal nomor i
Qi=¿ Proporsi jawaban yang salah untuk butir soal nomor i
Sedangkan untuk uji validitas instrument sikap yang berupa skor yang
memiliki tingkatan (ordinal) rumus yang digunakan adalah dengan
menggunakan validitas korelasi pearson product moment :
rxy=n∑ xy−(∑ x )(∑ y )
√¿¿¿
Keterangan :
rxy = Koefisien korelasi variabel X dan variabel Y
n = Jumlah sampel
X = Skor jawaban masing-masing item
Y = Skor total
Uji validitas dilakukan pada 30 keluarga yang berada di Kelurahan
Manggahang Kecamatan Baleendah Kabupaten Bandung.
39
H. Reliabilitas
Menurut Arikunto (2002), reliabilitas menunjuk pada suatu pengertian bahwa
sesuatu instrumen cukup dapat dipercaya untuk digunakan sebagai alat
pengumpul data karena instrumen tersebut sudah baik. Reliabilitas menunjuk
pada tingkat keterandalan sesuatu. Reliabel artinya dapat dipercaya, jadi
dapat diandalkan. Uji reliabilitas ini dilakukan pada seluruh item pertanyaan
yang valid atau seluruh item pertanyaan yang tidak valid disisihkan.
Sekumpulan pertanyaan dikatakan reliable dan berhasil mengukur variable
yang kita ukur apabila koefesien reliabilitasnya lebih besar dari atau sama
dengan 0,70 (Kaplan, 1993).
Uji reabilitas untuk variabel pengetahuan digunkanan teknik koefisien
reabilitas kuder richardson 20 dengan rumus sebagai berikut :
r11=( KK−1 )(V t−∑ pq
V t)
Keterangan :
r11=¿ Reabilitas instrument
K=¿ Banyaknya butir pertanyaan
V t=¿ Varians total
p=¿ Proporsi subjek yang menjawab betul (Skor 1)
q=¿ Proporsi subjek yang menjawab salah (Skor 0)
40
Uji reabilitas yang digunakan untuk variabel sikap adalah koefisien reabilitas
Alpha Cronbach, dengan rumus sebagai berikut :
a=[ kk−1 ] [1−
∑ Si2
Sx2 ]
Keterangan :
k=¿ Jumlah instrument pertanyaan
Si2=¿ Jumlah Varians dari tiap instrument
Sx2=¿ Varian dari keseluruhan instrument
Uji reabilitas dilakukan pada 30 keluarga yang berada di Kelurahan
Manggahang Kecamatan Baleendah Kabupaten Bandung. Dalam penelitian
ini untuk perhitungan uji validitas dan uji reliabilitas dilakukan dengan
menggunakan bantuan computerized.
I. Pengumpulan data
1. Pengolahan Data
Pengolahan data pada dasarnya merupakan suatu proses untuk memperoleh
data atau data ringkasan berdasarkan suatu kelompok data mentah dengan
menggunakan rumus tertentu sehingga menghasilkan informasi yang
diperlukan (Setiadi, 2007). Pengolahan data dilakukan dengan cara:
41
a. Editing
Editing adalah menyeleksi data yang telah didapat dari hasil wawancara
untuk mendapatkan data yang akurat.
b. Koding
Koding adalah melakukan pengkodean data agar tidak terjadi kekeliruan
dalam melakukan tabulasi data.
1) Koding butir jawaban untuk pengetahuan dengan menggunakan
penilaian : Nilai 1 untuk jawaban yang benar dan Nilai 0 untuk
jawaban yang salah.
2) Koding butir untuk jawaban pertanyaan sikap (skala likert)
Bersikap positif : (SS=4, S=3, TS=2, STS=1)
Bersikap negatif : (SS=1, S=2, TS=3, STS=4)
c. Tabulasi data
Tabulasi data adalah penyusunan data sedemikian rupa sehingga
memudahkan dalam penjumlahan data dan disajikan dalam bentuk
tulisan.
d. Entri data
Entri data adalah memasukan data melalui pengolahan komputer.
2. Analisa Data
Analisa data dalam penelitian ini dilakukan dengan cara:
42
a. Analisa Univariat
Dilakukan untuk mendiskripsikan tiap variabel dalam bentuk distribusi
frekuensi.
1) Pengetahuan keluarga tentang pencegahan penyakit DBD
Untuk mengukur variabel pengetahuan tentang pencegahan penyakit
DBD. Dari jawaban responden masing-masing item pertanyaan diberi
skor. Untuk setiap item yang dijawab benar diberi nilai satu (1), dan
jika salah satu jawaban tidak diisi diberi nilai nol (0). Untuk variabel
pengetahuan teknik analisa yang digunakan dalam penelitian ini
adalah dengan rumus proporsi. Rumusnya adalah :
P= xn
x100 %
Keterangan :
P = Persentase
x = Jumlah skor jawaban benar responden
n = Jumlah nilai maksimal responden
Selanjutnya hasil perhitungan pada tingkat penyesusaian kualitatif
dimasukkan dalam batasan-batasan kriteria objektif seperti di utarakan
Arikunto (2002) sebagai berikut:
>60% -100% = Baik
<60% = Kurang
43
Setelah itu dimasukkan dalam batasan-batasan kriteria objektif
kemudian dihitung persentase untuk masing-masing kelompok, dengan
menggunakan rumus sebagai berikut :
P= fn
x100 %
Keterangan :
P : Persentase klien
f : Jumlah klien yang termasuk dalam kriteria
n : Jumlah keseluruhan klien
Dari hasil perhitungan kemudian diinterprestasikan berdasarkan
kriteria sebagai berikut (Arikunto, 2002)
100% : Seluruh klien
80% - 90% : Hampir seluruh klien
60% - 79% : Sebagian besar dari seluruh klien
40% - 59% : Sebagian dari seluruh klien
20% - 39% : Sebagian kecil dari seluruh klien
1% - 19% : Hampir tidak ada dari seluruh klien
0% : Tidak ada dari seluruh klien
2) Sikap keluarga tentang pencegahan penyakit DBD
44
Untuk mengukur sikap digunakan skala likert. Pada skala likert
disediakan lima alternative jawaban dan setiap jawaban sudah tersedia
nilainya. Dalam skala likert item ada yang bersifat positif (favorable)
terhadap masalah yang diteliti, sebaliknya ada yang bersifat negatif
(unfavorable) terhadap masalah yang diteliti.
Untuk pertanyaan positif (favorable) yaitu:
Sangat setuju (SS) diberi skor = 4
Setuju (S) diberi skor = 3
Tidak setuju (TS) diberi skor = 2
Sangat tidak setuju (STS) diberi skor = 1
Untuk pertanyaan negatif (unfavorable) yaitu:
Sangat setuju (SS) diberi skor = 1
Setuju (S) diberi skor = 2
Tidak setuju (TS) diberi skor = 3
Sangat tidak setuju (STS) diberi skor = 4
Kemudian dari jawaban responden masing-masing item pertanyaan
dihitung tabulasi. Untuk sikap dikategorikan menjadi posittif dan
negatif dengan menghitung terlebih dahulu skor-T (Azwar, 2008).
Interprestasi data menggunakan rumus Skor T (Azwar 2008)
45
T=50+10( x−xSD )
Keterangan :
T = Skor responden
X = Skor responden pada skala sikap yang hendak diubah
menjadi skor T
x = Mean skor dalam kelompok
SD = Standar deviasi
Penentuan skor T dilakukan pada setiap item pertanyaan, selanjutnya
hasil perhitungan dimasukkan dalam standar kriteria objektif yang
bersifat kualitatif yaitu : mendukung (favorabel) jika T > dari mean T
dan tidak mendukung (unfavorabel) jika T < dari mean T.
Kategori:
a) Kurang dari mean yaitu nilai skor kurang dari rata-rata
b) Lebih dari mean yaitu nilai skor lebih dari rata-rata
Setelah itu dimasukkan dalam batasan-batasan kriteria objektif
kemudian dihitung persentase untuk masing-masing kelompok, dengan
menggunakan rumus sebagai berikut :
46
P= fn
x100 %
Keterangan :
P : Persentase klien
f : Jumlah klien yang termasuk dalam kriteria
n : Jumlah keseluruhan klien
Dari hasil perhitungan kemudian diinterprestasikan berdasarkan
kriteria sebagai berikut (Arikunto, 2002)
100% : Seluruh klien
80% - 90% : Hampir seluruh klien
60% - 79% : Sebagian besar dari seluruh klien
40% - 59% : Sebagian dari seluruh klien
20% - 39% : Sebagian kecil dari seluruh klien
1% - 19% : Hampir tidak ada dari seluruh klien
0% : Tidak ada dari seluruh klien
3) Variabel Tindakan keluarga tentang pencegahan penyakit DBD
Untuk mengukur variabel Tindakan keluarga tentang pencegahan
penyakit DBD menggunakan hasil observasi, apakah tindakan
responden benar (+) atau tidak benar (-) digunakan skor T:
Interprestasi data menggunakan rumus Skor T (Azwar 2008)
47
T=50+10( x−xSD )
Keterangan :
T = Skor responden
X = Skor responden pada skala tindakan yang hendak diubah
menjadi skor T
x = Mean skor dalam kelompok
SD = Standar Deviasi
Penentuan skor T dilakukan pada setiap item pernyataan, selanjutnya
hasil perhitungan dimasukkan dalam standar kriteria objektif yang
bersifat kualitatif yaitu : mendukung (favorabel) jika T > dari mean T
dan tidak mendukung (unfavorabel) jika T < dari mean T.
Kategori:
a) Kurang dari mean yaitu nilai skor kurang dari rata-rata
b) Lebih dari mean yaitu nilai skor lebih dari rata-rata
Setelah itu dimasukkan dalam batasan-batasan kriteria objektif
kemudian dihitung persentase untuk masing-masing kelompok, dengan
menggunakan rumus sebagai berikut :
48
P= fn
x100 %
Keterangan :
P : Persentase klien
f : Jumlah klien yang termasuk dalam kriteria
n : Jumlah keseluruhan klien
Dari hasil perhitungan kemudian diinterprestasikan berdasarkan
kriteria sebagai berikut (Arikunto, 2002)
100% : Seluruh klien
80% - 90% : Hampir seluruh klien
60% - 79% : Sebagian besar dari seluruh klien
40% - 59% : Sebagian dari seluruh klien
20% - 39% : Sebagian kecil dari seluruh klien
1% - 19% : Hampir tidak ada dari seluruh klien
0% : Tidak ada dari seluruh klien
4) Variabel perilaku keluarga terhadap pencegahan DBD
Untuk mengetahu perilaku keluarga terhadap pencegahan penyakit
DBD ini dilakukan dengan cara mengakumulasikan nilai total yang
didapatkan dari tiap sub variabel. Skor tersebut selanjutnya di
49
jumlahkan dan ditransformasikan ke dalam skor T dengan rumus
sebagai berikut :
T=50+10( x−xSD )
Keterangan :
T = Skor responden
X = Skor responden pada skala perilaku yang hendak diubah
menjadi skor T
x = Mean skor dalam kelompok
SD = Standar Deviasi
Penentuan skor T dilakukan pada setiap item pernyataan, selanjutnya
hasil perhitungan dimasukkan dalam standar kriteria objektif yang
bersifat kualitatif yaitu : mendukung (favorabel) jika T > dari mean T
dan tidak mendukung (unfavorabel) jika T < dari mean T.
Kategori:
a) Kurang dari mean yaitu nilai skor kurang dari rata-rata
b) Lebih dari mean yaitu nilai skor lebih dari rata-rata
Setelah itu dimasukkan dalam batasan-batasan kriteria objektif
kemudian dihitung persentase untuk masing-masing kelompok, dengan
menggunakan rumus sebagai berikut :
50
P= fn
x100 %
Keterangan :
P : Persentase klien
f : Jumlah klien yang termasuk dalam kriteria
n : Jumlah keseluruhan klien
Dari hasil perhitungan kemudian diinterprestasikan berdasarkan
kriteria sebagai berikut (Arikunto, 2002)
100% : Seluruh klien
80% - 90% : Hampir seluruh klien
60% - 79% : Sebagian besar dari seluruh klien
40% - 59% : Sebagian dari seluruh klien
20% - 39% : Sebagian kecil dari seluruh klien
1% - 19% : Hampir tidak ada dari seluruh klien
0% : Tidak ada dari seluruh klien
J. Prosedur penelitian
1. Tahap Persiapan
a. Memilih lahan penelitian
51
b. Melakukan studi pendahuluan dan pengambilan data untuk menentukan
masalah
c. Melakukan studi kepustakaan tentang hal yang berkaitan dengan
penelitian
d. Menyusun proposal penelitian
e. Konsultasi proposal penelitian
f. Seminar proposal penelitian
g. Perbaikan proposal
h. Permohonan ijin peneitian
2. Tahap pelaksanaan
a. Melakukan uji coba instrument
b. Mendapatkan informant consent dari responden
c. Melakukan pengumpulan data
3. Tahap akhir
a. Pengolahan data dan analisa data
b. Penyusunan laporan penelitian
c. Penyajian hasil penelitian