perilaku memilih transmigran jawa
TRANSCRIPT
PERILAKU MEMILIH TRANSMIGRAN JAWA
M. Nur Alamsyah1
PENGANTAR
Pemilu di Indonesia dalam realitasnya menuju pada penciptaan demokrasi yang
baik, dilihat dari sistem maupun kualitas partisipasi politik masyarakat jika dibandingkan
dengan era sebelumnya (orde baru). Ini akan memungkinkan masyarakat memenuhi
ekspektasi dirinya pada pilihannya bahkan dapat memilih secara langsung calon yang
dikehendakinya.
Perbandingan pemilu pasca reformasi 1999 dan 2004, menunjukkan beberapa hal,
pertama, agregasi kepentingan masyarakat semakin meningkat, demikian juga tingginya
jumlah non voting sebagai wujud dari protes (protest voters) atau terjadinya perpindahan
suara pemilih dari satu partai ke partai lain sebagai wujud retrospektif voting. Ini
menunjukkan independensi pemilih dan atau mungkin karena kuatnya apatisme politik
terhadap proses politik era sebelumnya. Kedua, tingginya angka pemilih yang dapat
menjaga jarak atau otonom dengan proses politik (civic disenggagement), sehingga terjadi
swing voters atau lahirnya pemilih yang derajat afiliasinya (parthisanship) lemah ke partai
yang dahulu dan sekarang mencari partai alternatif dan split voters atau inkonsistensi
pemberian suara pemilih kepartai tertentu yang di akibatkan bukan karena seidieologi,
melainkan kondisi dimana pemilih bertindak secara rasional.
Fenomena tersebut merupakan proses terkait kesadaran individu dalam
menerjemahkan pilihannya pada peristiwa-peristiwa politik . Hal ini dikenal dengan
ideologi atau sistem kepercayaan yang menciptakan pola-pola tingkah laku politik (Apter,
1996;209-210). Masyarakat akan melakukan evaluasi, terutama dengan semakin
1 Dosen Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Tadulako Palu
independennya proses pemilu yang tidak lagi digerakkan oleh mekanisme birokrasi dan
kini bergeser kepada sosialisasi dan mobilisasi politik yang digerakkan oleh civic
education yang digerakkan oleh berbagai komponen masyarakat.
Masyarakat marginal, dalam pemilahan kelas dalam konteks politik diera pasca
reformasi, merupakan komunitas yang masih dianggap akan menjadi ajang bulan-bulanan
bagi tiap konstestan pemilu. Ini dikarenakan banyaknya hal yang memungkinkan hal
tersebut dapat terjadi. Meskipun dalam era pasca reformasi, semua masyarakat memiliki
banyak kesempatan untuk dapat bersikap dan mengapresiasikan agregasi kepentingan
atau hasrat politikknya ke arah yang lebih kompetitif.
Masyarakat Transmigran di Indonesia diidentifikasi sebagai komunitas marginal
dari komunitas Jawa, Bali, Lombok meskipun di era kekinian program ini mengalami
perluasan dengan berbagai program yang diadakan. Secara politis, komunitas periferal
tersebut adalah bentukan birokrasi pada era rezim orde baru. Status itu(transmigran)
sekaligus menempatkan posisi mereka dalam problematika hidup, dibalik penyelesaian
problematika lainnya terutama ekonomi yang menjadi latar belakang komunitas untuk
bertransmigrasi.
Alienasi politik pada komunitas ini pada satu pihak membangun mental untuk
dapat hidup secara layak dan berdampak pada strategi hidup komunitas untuk dapat tetap
survive. Seperi dikatakan Erikson (Isaac,1993) bahwa: ”seberapa besarpun keadaan
kehidupan menimpa, masalah identitas seperti ras, agama, kesukuan, tetap tidak akan
hilang, bahkan akan berkembang menjadi kekuatan-kekuatan baru dan disuburkan oleh
intensitas emosi dan keruwetan psikologis”. Sehingga penting mencemati faktor budaya
pada perilaku memilih komunitas.
2
Secara konseptual, studi perilaku pemilih sangat dipengaruhi oleh 3 (tiga) aliran
pemikiran yang kesemuanya berasal dari paradigma “positivis liberal”( Martin Harrop
and William L. Miller, 1987;130-162) yaitu, mashab sosiologis yang dikembangkan oleh
Columbia university bureau allied social science. Kedua adalah mashab psikologis yang
dikembangkan oleh Michigan’s survey research. Ketiga adalah mashab yang
penekanannya kepada pendekatan ekonomi yang dikenal dengan Model Rational Choice.
Ketiga pendekatan tersebut, merupakan pendekatan yang secara konsepsional di bangun
dari berbagai pandangan dan realitas yang memungkinkan lahirnya kecendrungan untuk
berperilaku, khususnya dalam salah satu konteks perilaku politik yaitu memilih dalam
Pemilu.
Perilaku memilih menurut (Fisben and Ijek, 1975; 15) selalu dipengaruhi sistem
yang terdiri dari; kepercayaan (belief), sikap (attitude), maksud (intention), dan perilaku
(behavior) dimana sistem ini merupakan dasar dari rule system yang menjadikannya
sebagai aksen activity. Orientasi pilihan (preferensi) menurut (Grenstein, 1969) terkait 3
(tiga) fungsi sikap yaitu ;1. sikap sebagai fungsi kepentingan yaitu penilaian terhadap
suatu obyek diberikan berdasarkan motivasi, minat, dan kepentingan individu
bersangkutan. 2. individu bersikap tertentu sesuai keinginan individu tersebut, untuk
dapat sama atau berbeda dengan tokoh panutan yang diseganinya. 3. fungsi sikap yang
merupakan fungsi eksternalisasi dari pertahanan diri yaitu upaya untuk mengatasi konflik
bathin atau tekanan psikis yang mungkin berujud mekanisme pertahanan diri atau defence
mechanism dan eksternaslisasi diri seperti proyeksi, idealisasi, rasionalisasi dan
identifikasi.
Anthony Giddens (Piliang,2004), memberikan dimensi lain yang mempengaruhi
yaitu karena motivasi tak sadar (unsconsious motives), kesadaran praktis (practical
3
consciousnes) dan kesadaran diskursif (discursive consciousnes). Dimana pemilih dengan
Motivasi tak sadar, melakukan kegiatan pada Pemilu dengan asumsi sebagai sebuah arena
pesta atau seperti suasana carnaval. Pemilih dengan motivasi kesadaran praktis, yang
memiliki pengetahuan dalam melakukan tindakan pada masa pemilu sebagai kegiatan
yang tidak dapat diuraikan, tetapi merupakan nilai yang melekat dalam diri pemilih
tersebut seperti nilai pada jamaah pada shalat Jumat akan diam saat Khatib sedang bicara.
Kesadaran diskursif adalah tindakan pemilih yang merupakan kapasitas untuk
merefleksikan dan memberikan penjelasan rinci serta eksplisit atas tindakan seperti
konsekwensi yang timbul akibat memilih seperti akan dipecat dan sebagainya. Atau
memilih karena yang menjadi kontestan adalah Ayah atau keluarganya atau karena
didasari oleh program kerja kontestan yang baik, atau adanya janji akan dibangunkan
sesuatu atau kondisi dimana pemilih sadar dan mengetahui berposisi dimana.
Kurt Lewin (Brigham, 1991), merumuskan suatu model hubungan perilaku yang
mengatakan bahwa perilaku adalah fungsi karakteristik individu dan lingkungan dimana
karakteristik individu meliputi berbagai variabel seperti motive, nilai-nilai, sifat
kepribadian dan sikap yang saling berinterakasi satu sama lain dan berinteraksi pula
dengan faktor-faktor lingkungan dalam menentukan perilaku. Penyelenggaraan pemilihan
umum (Pemilu) oleh (Saragih, 1997;35) ditentukan oleh 2 (dua) yaitu yang terkait dengan
sistem adalah electrocal laws (aturan umum pemilu) dan electoral process
(penyelenggara, peserta, cara/teknis, tempat, pemilih dan yang terkait kesuksesannya).
Faktor yang berpengaruh menurut Milbraith (Sudijono. S, 1995; 92-94) terhadap
perubahan partisipasi politik seseorang: pertama kepekaan menerima rangsangan politik
yang dipengaruhi oleh pengetahuan, sikap, dan nilai-nilai, pengalaman-pengalaman, dan
kepribadian, kedua karakteristik sosial seperti usia, status ekonomi, karakter suku, jenis
4
kelamin dan agama atau keyakinan ketiga sifat dan sistem partai keempat perbedaan
regional atau perbedaan watak dan tingkah laku individu.
(Miriam Budiarjo, 1981;49) bahwa ada 4 (empat) faktor yang berpengaruh
terhadap pemilih yaitu: 1. Kekuasaan, yaitu cara mencapai yang diinginkan melalui
sumber-sumber di antara kelompok dimasyarakat, 2. Kepentingan yaitu tujuan yang
dikejar-kejar oleh pelaku atau kelompok-kelompok politik, 3. Kebijakan yaitu hasil dari
interaksi antara kekuasaan dan kepentingan yang biasanya di bentuk dalam perundang-
undangan, 4. Budaya politik yaitu orientasi subyektif individu terhadap sistem politik.
(Ramlan Surbakti, 1992; 132-134), menyatakan bahwa perilaku politik aktor
dipengaruhi 4 (empat) faktor yaitu : 1. Lingkungan sosial politik tidak langsung misalnya
sistem politik, ekonomi, budaya dan media massa, 2. Lingkungan sosial politik langsung,
membentuk kepribadian aktor misalnya keluarga, agama, sekolah, dan kelompok
pergaulan, 3. Struktur kepribadian yang tercermin dalam sikap individu, 4. Lingkungan
sosial politik langsung, berupa situasi yaitu keadaan yang mempengaruhi aktor ketika
hendak melakukan suatu kegiatan
Kajian fenomenal dan banyak dijadikan starting point untuk membangun kajian
tentang masyarakat Jawa terutama dalam tendensi perilaku politik adalah kajian (Clifford
Geertz;1964), yang mempolakan masyarakat jawa dengan santri, abangan dan priyayi.
Disini Geerts melihat dari sisi religiusitas untuk meneropong berbagai aspek. Riset Karl
D. Jackson yang menemukan fenomena lain di Jawa barat terkait dengan hubungan
antara elit dan masyarakat dalam realitas mengapa masyarakat terlibat pada
pemberontakan DI/TII di Jawa barat dan hubungannya dengan pemimpinnya dengan
sistem tradisional authority .
5
Penelitian (Affan Gaffar;1992) tentang Javanese Voters yang menelaah
pendekatan struktural Geertz dan tradisional authority dari Jackson. Menemukan adanya
konsistensi memilih partai tertentu meskipun Golkar sebagai partai pemerintah
mendapatkan sarana melakukan intimidasi untuk menggiring pilihan rakyat. Studi J.
Kristiadi ;1994,dengan variabel socio cultural menemukan bahwa secara kuantitatif,
pengaruh panutan masih kuat bagi kecenderungan perilaku politik memilih masyarakat
sehingga orientasi perilaku memilih masyarakat masih paternalistis. Secara umum,
penelitian pada akhir era orde baru (1992 dan 1997), menunjukkan di beberapa tempat di
Jawa sebagian masyarakat rural area menunjukkan partisipasi yang semakin baik.
Untuk itu, menjadi sangat menarik untuk melihat perilaku memilih komunitas
Jawa dalam ranah (budaya, geografis, demografis, politik) yang lain jika dibandingkan
dengan daerah yang masih terpengaruh kuat oleh lingkungan mereka (Etnis Jawa). Salah
satu daerah yang menarik untuk itu adalah Sul-Sel, yang secara politik didominasi agent
negara. Sehingga, menarik melihat dimana dan bagaimana perilaku memilih komunitas
transmigran Jawa berada. Riset Ini akan menghasilkan perspektif dan pandangan baru
akan komunitas ”Jawa perantau” ini.
CARA PENELITIAN
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui Faktor-faktor apa, yang mempengaruhi
perilaku memilih transmigran Jawa dalam pemilihan umum.dan akan dijelaskan dengan
menggunakan metode penelitian deskriptif kualitatif. Teknik pengumpulan dan jenis data
dibedakan atas 2 (dua) yaitu data observasi langsung, indepth interview terhadap
beberapa informan komunitas yang dapat memberikan informasi tentang penelitian ini,
sedangkan dokumenter untuk data sekunder yang dibutuhkan dalam studi ini.
6
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
Menakar Pemilu Dalam Perubahan Dan Harapan
Kehidupan masyarakat marginal yang dibangun atas hasrat untuk merubah kondisi
kehidupan ekonomi, merupakan sebuah kondisi yang penuh problematika dan dilema.
Terjadinya pengaruh terbesar dalam aspek kekuasaan (power) salah satunya adalah
suasana kehidupan demokratisasi yang memungkinkan lahirmya kesadaran politik untuk
berpartisipasi dalam setiap proses politik. Kehidupan tersebut dalam konteks kehidupan
bangsa Indonesia, mengalami banyak perubahan pasca reformasi digulirkan dengan
diadakannya perombakan dan perubahan terhadap berbagai sistem perundang-undangan
yang dianggap bertentangan dengan unsur keadilan bagi masyarakat.
Di antara perundangan itu, satu yang cukup pokok, dan berperan penting adalah
dikeluarkannya UU No. 22 tentang pemerintahan daerah yang merubah secara drastis
kerangka dasar peran masyarakat (partisipasi) dalam tatanan penyelenggaraan sistem
pemerintahan daerah, maupun UU politik yang baru. Hal ini berpengaruh terjadinya
perubahan pola mobilisasi komunitas yang dulunya bersumbu pada birokrasi
pemerintahan desa sebagai patron bergeser pada sumbu-sumbu yang menggunakan
modus yang bersifat emosional seperti keluarga, daerah asal, tingkat kedekatan yang
berpatron pada masing-masing kharisma elit komunitas meskipun orientasi yang
bersumbu pada patron elit lokal masih cukup kuat tetapi mesti mendapat support dan
dukungan dari elit komunitas. Fenomena tersebut sangat jelas terjadi pada pemilu era
pasca reformasi karena melemahnya pengaruh birokrasi dan militer yang selama ini
menjadi bagian (kaki tangan) dari Trikarya Golkar.
Berbagai faktor yang seperti diatas menjadikan masalah budaya dalam komunitas
Jawa yang dikenal dengan “pakewuh ataupun manut” dan berdiri diatas budaya patron
7
client yang kental sehingga kecenderungan mereka untuk melakukan suatu kegiatan
berdasarkan nilai-nilai patrimonialistik yang kuat. Dominasi tradisionalistik seperti itu,
menjadi realitas kehidupan komunitas ini disebabkan keterbatasan-keterbatasan yang
dimiliki seperti tingkat pendidikan, keadaan ekonomi, kuatnya aspek budaya lokalistik,
meskipun juga mereka sangat dipengaruhi oleh perubahan sistem kenegaraan yang ada.
Berbagai faktor tersebut diatas, menjadi bahan dasar konstruksi perilaku politik Hal ini
dapat dilihat dengan hasil kedua pemilu pada tabel dibawah.
Pergeseran Perolehan Pada Partai Politik terbesar Pemilu 1999 dan 2004
DESAPARTAI PEMENANG PEMILU PARTA PEMENANG PEMILU
1999 % 2004 %
SidobinangunGOLKARPDIPPKB
61.91%18.89%8.15%
GOLKARPDIPMERDEKA
43.59%18.80%13.68%
SidomakmurPDIPGOLKARPKB
33.45%32.93%11.96%
GOLKARPKPBMERDEKA
37.50%22.92%12.31%
Cendana Putih 2GOLKARPDIPPKB
50.45%14.34%13.72%
GOLKARPKSPKPB
63.35%13.41%5.49%
Hasanah
GOLKARPDIPPKB
52.34%14.55%8.44%
GOLKARPDIPPKB
58.7%7.5%6.8%
Sumber : olahan data pemilu 1999 dan 2004 di desa penelitian
Keberhasilan membangun hegemoni dan Image pada komunitas, menjadi faktor
terbesar memberikan kecenderungan dari pemilih komunitas Transmigran Jawa untuk
menentukan pilihannya dalam pemilu. Hal ini karena berkorelasi dengan aspek budaya
komunitas yang sangat mengutamakan keselarasan sebagai dasar utama pembentukan
kepribadian dan sikap budaya mereka. Faktor lainnya adalah proses transmigrasi yang
dilalui komunitas ini, yang menempatkan tokoh lokal baik dari unsur trans ataupun
setempat (indegineus local) yang awalnya banyak berprofesi sebagai aparat pemerintah
baik di level desa, kecamatan dan lainnya memiliki kharisma dan pesona tersendiri bagi
komunitas trans untuk dipilih.
8
Pengalaman sejarah masa lalu masyarakat Jawa yang traumatik sehingga berupaya
tidak terjebak pada hal-hal yang bersifat ideologis seperti di era Partai Komunis Indonesia
(PKI) terutama pasca G30S/PKI pecah, maka di daerah wilayah penelitian ini (Luwu
secara keseluruhan) masyarakat Jawa, utamanya Jawa kolonisasi banyak di klaim sebagai
"antek-antek" PKI. Traumatik yang dibangun sejak era kolonialisme ini, masih sangat
segar dalam ingatan komunitas akan susahnya menjadi komunitas marginal utamanya
dibidang politik lokal.
Munculnya berbagai tokoh yang dijadikan sebagai vote getter partai seperti
Megawati yang mengusung nama Sukarno, yang memberi kontribusi terhadap perolehan
PDIP, hal ini tidak dapat dilepaskan dari masa lalu sebagian anggota komunitas,
utamanya sebagian tokoh Tua komunitas ini yang menjadi patron penting dimasyarakat,
dulunya saat di Jawa adalah pendukung PNI atau sukarnois. Begitupun Abdurrahman
Wahid (Gus Dur) yang menjadi ketua umum Nahdatul Ulama (NU), dan dewan syura
PKB dan anak pendiri aliran NU ini, sehingga karena kuatnya Kharisma yang melekat
pada tokoh-tokoh tersebut menjadi perekat bagi masyarakat untuk memilihnya. Begitupun
dengan Tokoh lain seperti Habibie yang menjadi representasi masyarakat Sul-Sel,
menjadi pilihan strategis bagi komunitas yang dapat merampungkan hasrat (ekspektasi
politik) mereka dilihat secara kualitas, partai, realitas hasil program pembangunan
utamanya sektor pertanian dengan naiknya harga hasil pertanian, dan yang terpenting
adalah secara geografis.
Latar belakang masa lalu dengan perbandingan kondisi kekinian dengan kapasitas
pengetahuan, wawasan dan pendidikan serta ekonomi yang terbatas dalam masyarakat ini
relatif menumbuh suburkan image pentingnya dan berhasilnya kebijakan rezim lama atau
orde baru terhadap kehidupan mereka. Akibatnya adalah, terbangun suatu mekanisme
9
untuk bersikap tetap bahkan berimplikasi lahirnya defence mechanism function
(mekanisme pertahanan diri). Ini utamanya terdapat pada tokoh-tokoh Tua komunitas.
Terpuruknya berbagai pilihan Partai diatas disamping keberhasilan partai lain
untuk memperoleh suara merupakan bukti bahwa mekanisme perilaku politik masyarakat
sangat dipengaruhi oleh faktor-faktor diatas. Begitupun terdapatnya partai politik yang
dapat mempertahankan seperti fenomena semakin menguatnya partai Golkar setelah
mengalami masa transisi pada pemilu 1999.
Kebijakan yang dikonstruksi pada pemilu 1999 umumnya jauh lebih elitis dengan
penggunaan sistem vote gettermeskipun 2004 tetap menggunakannya. Yang umumnya
secara teknis diletakkan partai politik pada tingkat-tingkat urutan utama atau menjadi Tim
Kampanye yang dapat berasal dari tokoh agama, pemerintah, ataupun ilmuwan yang
dapat dianggap akan dapat memancing prefernsi masyarakat dan untuk mendekati
kontinum yang diinginkan. Hal tersebut ditanggapi oleh perilaku memilih komunitas
dengan termobilisasi pada satu calon tertentu meskipun terdapat pemilih yang juga relatif
lebih otonom untuk kepentingan dirinya, yang kemudian memobilisasi anggota komunitas
lain untuk mengikutinya.
Ini terutama terjadi pada elit kelas menengah yang mencoba merubah diri dengan
menaikkan kelas dengan mendekati patron pada elit yang lebih kuat dalam pengertian
rasionalitasnya memiliki kharisma, harapan, kekayaan dan kedudukan yang lebih tinggi di
masyarakat, hal ini dapat dilihat pada orientasi perilaku memilih kalangan generasi muda
komunitas trans ini pada semua wilayah penelitian dimana tokoh-tokoh tersebut
merupakan tokoh pemuda yang memiliki latar belakang pekerjaan sebagai petani
sekaligus sebagai pedagang atau pengusaha.
10
Pada pemilu 2004 terlihat bahwa modus tersebut relatif berbeda. Sebagai ilustrasi
adalah untuk dapat menangkap suara dari para komunitas trans di daerah ini, tokoh-tokoh
yang berasal dari komunitas Jawa digunakan sebagai pencari suara meskipun ditempatkan
pada posisi “Mati” atau tidak akan jadi. Dan pada kenyataannya hal tersebut berhasil
mengkatrol perolehan kursi partai-partai tertentu walaupun bagi sebagian anggota
komunitas adalah sangat merugikan karena suara merekapun kemudian tidak terwakili
oleh calon yang diinginkan karena harus diwakilkan berdasarkan urutan “catch all”,
meskipun mendapat suara dominan di wilayah tersebut. Ini dikarenakan ketentuan tentang
urutannya yang jauh dari nomor jadi sehingga tidak memungkinkan memperoleh kursi
dan ini terjadi pada beberapa tokoh andalan komunitas Jawa trans.
Terjadinya keberagaman orientasi memilih anggota komunitas dapat terjadi
karena banyaknya elit yang mempengaruhi mereka, tetapi juga terlihat bahwa orientasi
pilihan politik mereka pada kontestan pemilu, umumnya tidak diorientasikan oleh aspek
etnisitas melinkan budaya (Jawa) yang bersifat kewilayahan atau geografis. Meskipun
disini juga terbukti bahwa masyarakat senantiasa melakukan evaluasi terhadap
pilihannya. Ini dapat terlihat dengan fenomena PKB dan PDIP beserta kharsima tokohnya
yang ditinggalkan pemilihnya karena kegagalan menjalin hubungan baik dengan
pendukungnya (delegitimasi).
Kebijakan pembangunan yang telah dilaksanakan sejak era pemerintahan orde
baru diwilayah ini, dimaknai secara beragam oleh kalangan anggota komunitas. Seperti
terdapat perbedaan orientasi masyarakat pada tiap wilayah untuk merepresentasikan hal
tersebut. Masyarakat Sidomakmur, menjadi komunitas yang sangat merasakan betapa
pembangunan tidak berpihak kepada mereka, sehingga meskipun pembangunan
dilaksanakan oleh pemerintah daerah dengan berbagai program yang dilaksanakan tetapi
11
tidak menyentuh substansi yang dikehendaki masyarakat, seperti pen gairan, infrastruktur
seperti listrik maupun suprastrukturnya berupa jalanan ataupun jembatan yang secara
ekonomis akan membuka isolasi daerah ini terhadap daerah disekitarnya.
Perilaku Intransitif pertautan Hegemoni, Euforia, dan Evaluasi Rasionalitas
Pemilu 2004 merupakan arena evaluasi pemilu era orde baru dan pemilu 1999.
Hasilnya evaluasi bagi masyarakat sangat jelas terlihat dari hasil-hasil pemilu-pemilu
tersebut. Terbukti bahwa ketika masyarakat merasakan akan adanya harapan untuk dapat
lebih baik pada pemilu 1999 dengan melihat realitas, dimungkinkannya sesuatu
pembangunan diwilayah komunitas mereka, orientasi dukungan politikpun diarahkan ke
partai yang mendukung hal tersebut.
Jika dibandingkan dengan kondisi yang diciptakan era orde baru maka komunitas
lebih apresiatif terhadap pembangunan dan kebijakan yang dilakukan era orde baru
ketimbang era 1999 yang bentuknya adalah “janji” dan masih merupakan harapan.
Sebagian komunitas berani menempuhnya dengan merubah prefernsi meskipun pada
akhirnya pemilu 2004 kembali ke preferensi semula dan sebagian yang masih mencoba
pilihan lain yang intinya adalah mengembalikan preferensi kepada kekuatan lama yang
tercermin dalam tiap-tiap partai atau kontestan yang didentifikasi dengan figur. Tetapi
perolehan partai Golkar tidak lagi menjadi mutlak, yang berarti ada keberanian Protes
dari masyarakat terhadap kebijakan yang dilakukan.
Sehingga sangat jelas dari pemaparan dan tabel diatas, berbagai kejadian yang
dilakukan periode sebelumnya terutama terkait kebijakan pembangunan, yang banyak
menjadi indikator ekspektasi masyarakat selain kesigapan elit partai membangun jaringan
kepada elit komunitas sebab ini menjadi bahan evaluasi anggota komunitas. Suara protes
yang dahulunya meninggalkan Golkar, ternyata dapat pelan-pelan kembali. Ini terbukti
12
dari berpindahnya suara, partisipan partai lain kepada partai lamanya. Fenomena tersebut
tidak lepas dari keberhasilan partai atau birokrasi daerah yang di topang oleh kebijakan
politik para anggota legislatif dalam melakukan “pengabdian” kepada komunitas.
Model perpindahan (Retrospektif Voting), merupakan wujud kekecewaan sehingga
melakukan protes terhadap pilihan yang lalu. Dimana sistem perpindahan pilihan tersebut
secara umum dipengaruhi oleh dampak mobilisasi yang dilakukan oleh elit desa kepada
konstituen yang dapat dipetakan berdasarkan; garis keluarga, organisasi perkumpulan,
asal daerah dan status pekerjaan. Ini secara real terlihat pada tabel diatas bahwa faktor
tergerusnya perolehan partai seperti di beberapa desa (sidobinangun, Sidomakmur, CP II
dan Hasanah), adalah dampak sangat dekatnya calon yang berkompetisi dengan
masyarakat yang lebih diuntungkan oleh aspek Jasa masa lalu. Dimana ini berdampak
berkurangnya dan beralihnya suara Golkar sebagian dan demikian juga dengan PKB dan
partai lain.
Tidak pada partai Golkar hal tersebut terjadi, hampir semua partai mengalaminya.
Ini terasa pada partai Golkar karena dilihat dari jumlah perolehan selama ini (pemilu orde
baru), perolehannya sangat mendominasi. Pada pemilu 1999 dan 2004 ditinggalkan dan
juga didatangi oleh pemilihnya, ini menunjukkan kekuasaan dan legitimasi kejayaan
Golkar (hegemonic party) telah mulai surut dan bergeser menjadi partai rasional dengan
menggunakan political marketing yang relatif lebih baik dalam mendekati kontinum
prefernsi masyarakat pemilihnya terutama terhadap kalangan kelas elit lokal yang
memiliki agregasi kepentingan pribadi terhadap sebuah pemilu.
Hal diatas, juga digunakan partai lain utamanya yang telah memiliki pengalaman
pada pemilu 1999 seperti PKS yang menanamkan keyakinan konstituennya melalui
investasi modal sosial dalam upayanya menarik preferensi pemilih. Sebaliknya, partai
13
yang relatif menggunakan kekuatan kharisma ataupun patrimonial semata, tidak dapat
mempertahankan perolahan suaranya yang lama. Ini dikarenakan masyarakat selalu
menilai berdasarkan hal-hal terakhir yang pada umumnya bersifat ekonomis dan ril.
Hal tersebut mengangkat citra para politisi Golkar untuk mendapat simpati dari
masyarakat diwilayah ini yang melihat secara langsung seberapa antusiasnya para politisi
Golkar memperhatikan setiap “keresahan” utamanya pembangunan yang terdapat pada
tiap wilayah yang diwakilinya dan perhatian yang besar terhadap berbagai aspek sosial
pada masyarakat. Dan strategi inilah yang tidak dimiliki oleh partai lain pra pemilu 2004
kecuali PKS yang menggunakan strategi sosial (charity) dalam menjalankan strategi
mendekati kontinuumnya.
KESIMPULAN
1. Faktor-faktor penting yang berpengaruh adalah sistem (UU), elit, tingkat
pendidikan, kondisi ekonomi yang beragam antara anggota komunitas, aspek
hegemoni masa lalu, kebijakan pembangun.
2. sifat perilaku memilih komunitas trans umumnya masih bersifat mobilisasi
yang bertumpu pada simpul-simpul patron (domination tradisional) meskipun terdapat
tindakan yang relatif otonom sesuai agregasi kepentingannya.
3. Tetapi kecenderungan pilihan yang diberikan oleh pemilih dari komunitas ini,
menunjukkan pilihan yang bersifat intransitif atau transisi baik yang bersifat otonom
maupun mobilisasi.
4. Terdapat aspek positif dan negatif dalam penciptaan kehidupan demokrasi di
Indonesia, seperti semakin kuatnya bargaining politik tiap komunitas terhadap proses
politik. Negatifnya adalah dapat menjurus kepada kekisruhan jika aspek catch all
urutan ini dipertahankan sebab menggangu prinsip dasar demokrasi masyarakat yang
14
terbiasa menggunakan simple mayoriti/mayoritas utama yang berpotensi bergeser ke
anarkhi etnisitas, kelompok pendukung dan sebagainya.
DAFTAR PUSTAKA
Alfian, 1879. Pemikiran Dan Perubahan Politik, Gramedia Jakarta
Apter, David E., 1996. Pengantar analisa Politik, LP3ES, Jakarta
Budiarjo, Miriam., 1981. Dasar-Dasar Ilmu Politik, Gramedia Jakarta
Fisben and Ijek.,1975. Belief, Attitude, Intention And Behaviour, Addison Wesley publication. Co. New York
Gaffar, Affan., 1992. Javanese Voters: a case study of election under hegemony party system. (disertasi, the ohio state university, 1988); Gama Press. Yogyakarta
----------------, 1998. Laporan Penelitian Pemilu 1997. sebuah analisa tentang proses dan hasil, Fisipol UGM (tidak diterbitkan)
Grenstein, Freed., 1969. Personal and Politics, Chicago, Markham Publishing
Harrop, Martin and Miller, William L., 1987. Election And Voters A Comparative Introduction, Mac Millan Press
Kristiadi, J., 1996. Pemilu dan Perilaku Pemilih Di Indonesia (studi kasus Yogyakarta dan Kab. Banjarnegara) 1994 , Prisma 2 Februari
Nimmo, Dan ., 2001. Komunikasi Politik , Rosda Karya, Bandung, cet.3
Piliang, Indra.,2004.Ahmad Wahib, Politik Aliran dan Pemilu, Suara Pembaharuan, 1 April
S, Sudijono.,1995. Perilaku Politik. IKIP Semarang Press
Saragih, Bintan., 1997. (kumpulan tulisan) Evaluasi Pemilu Orde Baru, Lab. Politik UI dan Mizan, Bandung
Sudibyo, 1995, Evaluasi Terhadap Pemilu 1992,CSIS, Jakarta
Surbakti, Ramlan., 1992. Memahami Ilmu Politik, Gramedia Widya Sarana, Jakarta
Sztompka, Piötr., 2004, (terj) Sosiologi Perubahan Sosial, Prenada, Jakarta
Weber, Max., ( edited by. Guenther Roth and caluss wittich). 1978. Economic and Society, Barkley University of Columbia Press
15