periodik paralisis2

27
TINJAUAN KASUS I. IDENTITAS PASIEN Nama : Ny. S Umur : 44 th Jenis kelamin : Wanita Pekerjaan : IRT Agama : Status pernikahan : Menikah Suku bangsa : Melayu Tanggal masuk : 11 Mei 2016 II. ANAMNESA KELUHAN UTAMA : Lemah pada keempat anggota gerak dan leher KELUHAN TAMBAHAN : - RIWAYAT PENYAKIT SEKARANG : Wanita, 44 tahun, menikah, datang dengan keluhan utama kelemahan keempat anggota gerak sejak satu hari sebelum masuk rumah sakit (SMRS). Lebih kurang satu hari sebelum masuk rumah sakit mengeluh keempat anggota geraknya secara mendadak menjadi lemah dan terasa berat bila digerakkan, kelemahan ini juga dirasakan pada bagian leher oleh pasien hingga tidak bisa dipertahankan dalam posisi tegak lurus. Pasien juga

Upload: chuck55

Post on 09-Jul-2016

238 views

Category:

Documents


3 download

TRANSCRIPT

Page 1: periodik paralisis2

TINJAUAN KASUS

I. IDENTITAS PASIEN

Nama : Ny. S

Umur : 44 th

Jenis kelamin : Wanita

Pekerjaan : IRT

Agama :

Status pernikahan : Menikah

Suku bangsa : Melayu

Tanggal masuk : 11 Mei 2016

II. ANAMNESA

KELUHAN UTAMA : Lemah pada keempat anggota gerak dan

leher

KELUHAN TAMBAHAN : -

RIWAYAT PENYAKIT SEKARANG :

Wanita, 44 tahun, menikah, datang dengan keluhan utama kelemahan keempat

anggota gerak sejak satu hari sebelum masuk rumah sakit (SMRS).

Lebih kurang satu hari sebelum masuk rumah sakit mengeluh keempat anggota

geraknya secara mendadak menjadi lemah dan terasa berat bila digerakkan, kelemahan ini

juga dirasakan pada bagian leher oleh pasien hingga tidak bisa dipertahankan dalam

posisi tegak lurus. Pasien juga mengeluhkan rasa kesemutan di keempat anggota gerak.

Keluhan tidak disertai pandangan gelap, bicara pelo, mulut mencong, dan makan menjadi

tersedak.

Keluhan tidak disertai maupun diawali, diare, muntah-muntah, demam, sakit

kepala, berdebar, batuk pilek dalam 1 bulan terakhir, aktivitas berat, maupun makan

tinggi karbohidrat sebelumnya. Riwayat minum obat-obatan rutin disangkal. Riwayat

trauma pada bagian leher juga disangkal.

Page 2: periodik paralisis2

RIWAYAT PENYAKIT DAHULU :

Hipertensi : disangkal

Diabetes melitus : disangkal

Sakit jantung : disangkal

Trauma kepala dan leher : disangkal

RIWAYAT PENYAKIT KELUARGA :

Tidak ada anggota keluarga yang mengalami keluhan seperti pasien.

RIWAYAT KELAHIRAN/PERTUMBUHAN/PERKEMBANGAN :

Tidak ada kelainan

III. PEMERIKSAAN (12 Mei 2016)

STATUS INTERNUS

Keadaan umum : Tampak sakit sedang

Gizi : Baik

Tanda vital :

Tekanan darah : 120/80 mmHg

Nadi : 78 x/menit

Pernafasan : 18 x/menit

Suhu : 36,7 ºC

Limfonodi : Tidak teraba

Jantung : BJ I - II reguler, gallop (-), murmur (-)

Paru : Suara nafas vesikuler +/+, wheezing -/-, rhonki -/-

Hepar : Tidak teraba pembesaran

Lien : Tidak teraba pembesaran

Ekstremitas : Akral hangat, edema (-), CRT < 2”, sianosis (-)

STATUS PSIKIATRI

Tingkah laku : wajar

Perasaan hati : baik

Page 3: periodik paralisis2

Orientasi : baik

Jalan fikiran : baik

Daya ingat : baik

STATUS NEUROLOGI

Kesadaran : Compos Mentis, GCS : 15 ( E4M6V5 )

Sikap tubuh : Berbaring terlentang

Cara berjalan : Tidak dilakukan

Gerakan abnormal : Tidak ada

Kepala

Bentuk : Normocephal

Simetris : Simetris

Pulsasi a.Temporalis : Teraba

Nyeri tekan : Tidak ada

Leher

Gerakan : Lemah

Vertebrae : Dalam batas normal

Nyeri tekan : Tidak ada

Pulsasi a. Carotis : Teraba

TANDA RANGSANG MENINGEAL

Kanan Kiri

Kaku kuduk : ( - )

Laseque : ( - ) ( - )

Kernig : ( - ) ( - )

Brudzinsky I : ( - ) ( - )

Brudzinsky II : ( - ) ( - )

Page 4: periodik paralisis2

NERVUS KRANIALIS

Kanan KiriN I ( Olfactorius )

Daya penghidu : Normosmia Normosmia

N II ( Optikus )

Kanan Kiri

Ketajaman penglihatan : Baik Baik

Pengenalan warna : Baik Baik

Lapang pandang : Sama dengan pemeriksa

Fundus : Tidak dilakukan

N III ( Occulomotoris )/ N IV ( Trochlearis )/ N VI ( Abducens )

Kanan Kiri

Ptosis : ( - ) ( - )

Strabismus : ( - ) ( - )

Nistagmus : ( - ) ( - )

Exopthalmus : ( - ) ( - )

Enopthalmus : ( - ) ( - )

Gerakan bola mata :

Lateral : ( + ) ( + )

Medial : ( + ) ( + )

Atas lateral : ( + ) ( + )

Atas medial : ( + ) ( + )

Bawah lateral : ( + ) ( + )

Bawah medial : ( + ) ( + )

Atas : ( + ) ( + )

Bawah : ( + ) ( + )

Pupil :

Ukuran pupil : Ø 3 mm Ø 3 mm

Bentuk pupil : Bulat Bulat

Isokor/anisokor : Isokor

Page 5: periodik paralisis2

Posisi : ditengah ditengah

Reflek cahaya langsung : ( + ) ( + )

Reflek cahaya tidak langsung : ( + ) ( + )

N V ( Trigeminus )

Kanan Kiri

Menggigit : Baik

Membuka mulut : Simetris

Sensibilitas atas : ( + ) ( + )

Tengah : ( + ) ( + )

Bawah : ( + ) ( + )

Reflek masseter : ( + ) ( + )

Reflek zigomatikus : ( + ) ( + )

Reflek kornea : Tidak dilakukan

Reflek bersin : Tidak dilakukan

N VII ( Facialis )

Pasif

Kerutan kulit dahi : Simetris

Kedipan mata : Simetris

Lipatan nasolabial : Simetris

Sudut mulut : Simetris

Aktif

Mengerutkan dahi : Simetris

Mengerutkan alis : Simetris

Menutup mata : Simetris

Meringis : Simetris

Mengembungkan pipi : Simetris

Gerakan bersiul : Baik

Daya pengecapan lidah 2/3 depan: Tidak dilakukan

Hiperlakrimasi : Tidak ada

Lidah kering : Tidak ada

Page 6: periodik paralisis2

N VIII ( Vestibulocochlearis )

Kanan KiriMendengarkan suara gesekan jari tangan : ( + ) ( + )

Mendengar detik jam arloji : ( + ) ( + )

Test rinne : Tidak dilakukan

Test weber : Tidak dilakukan

Test swabach : Tidak dilakukan

N IX ( Glossopharyngeus )

Arcus pharynx : Simetris

Posisi uvula : Di tengah

Daya pengecapan lidah 1/3 belakang : Tidak dilakukan

Reflek muntah : Tidak dilakukan

N X ( Vagus )

Denyut nadi : Teraba, Reguler

Arcus pharynx : Simetris

Bersuara : Baik

Menelan : Tidak ada gangguan.

N XI ( Accesorius )

Memalingkan kepala : Normal

Sikap bahu : Simetris

Mengangkat bahu : Simetris

N XII ( Hipoglossus )

Menjulurkan lidah : Tidak ada deviasi

Kekuatan lidah : Simetris

Atrofi lidah : Tidak ada

Artikulasi : Baik

Tremor lidah : Tidak ada

Page 7: periodik paralisis2

MOTORIK

Gerakan :

Kekuatan :

Tonus :

Bentuk :

REFLEK FISIOLOGI

Reflek tendon Kanan Kiri

Reflek bicep : ( + ) ( + )

Reflek tricep : ( + ) ( + )

Reflek patella : ( + ) ( + )

Reflek achilles : ( + ) ( + )

REFLEK PATOLOGIS Kanan Kiri

Hoffman tromer : ( - ) ( - )

Babinski : ( - ) ( - )

Chaddok : ( - ) ( - )

Oppenheim : ( - ) ( - )

Gordon : ( - ) ( - )

SENSIBILITAS

Kanan Kiri

Eksteroseptif

Nyeri : ( + ) ( + )

Suhu : Tidak dilakukan

Terbatas Terbatas

Terbatas Terbatas

4 5 5 4 5 5355 255

Normotonus Normotonus

Normotonus Normotonus

Eutrofi Eutrofi

Eutrofi Eutrofi

Page 8: periodik paralisis2

Taktil : ( + ) ( + )

Propioseptif

Posisi : ( + ) ( + )

Tekanan dalam : ( + ) ( + )

FUNGSI OTONOM

Miksi

Inkontinentia : Tidak ada kelainan

Retensi : Tidak ada kelainan

Anuria : Tidak ada kelainan

Defekasi

Inkontinentia : Tidak ada kelainan

Retensi : Tidak ada kelainan

FUNGSI LUHUR

Fungsi bahasa : Baik

Fungsi orientasi : Baik

Fungsi memori : Baik

Fungsi emosi : Baik

Fungsi kognisi : Baik

Hasil Pemeriksaan Penunjang :

Laboratorium

Jenis

Pemeriksaan

HASILRujukan

11 Mei 2016 12 Mei 2016

Albumin 3,5 – 5,0 g/dL

SGOT < 40 u/L

SGPT < 35 u/L

Ureum 25 20 – 50 mg/dL

Kreatinin 1,37 0,5 -1,5 mg/dL

Natrium 139 141 135 – 145 mEq/L

Kalium 1,9 2,4 3,5 – 5,3 mEq/L

Klorida 102 101 97 – 107 mEq/L

DIAGNOSIS

Page 9: periodik paralisis2

Diagnosis klinis : Tetraparesis LMN

Diagnosis topic : Membran Otot Rangka

Diagnosis etiologi : Hipokalemi

Diagnosis patologi : Channelopathy

DIAGNOSA BANDING : Guillian Barre Syndrom

Myastenia Gravis

TERAPI

Non medikamentosa :

Tirah baring

Diet tinggi kalium

Medikamentosa :

PEMERIKSAAN ANJURAN

Laboratorium : Darah lengkap : Hb, Ht, leukosit, trombosit

Kimia : Ureum, kreatinin, kolesterol, trigliserida, gula darah

Elektroit : Na, K, Cl

EKG

Foto rontgen thoraks

PROGNOSA

Ad vitam : Ad bonam

Ad fungsionam : Ad bonam

Ad santionam : Ad bonam

Ad cosmeticum : Ad bonam

FOLLOW UP :

Page 10: periodik paralisis2

ANALISA KASUS

Diagnosis klinis : Tetraparesis LMN

Diagnosis topic : Membran Otot Rangka

Diagnosis etiologi : Hipokalemi

Diagnosis patologi : Channelopathy

Diagnosis tersebut ditegakkan berdasarkan anamnesa, pemeriksaan fisik

dan pemeriksaan penunjang. Pada anamnesa :

o Pasien dengan keluhan utama, keempat anggota gerak terasa lemah

sejak 1 hari SMRS. Pasien tidak mengeluhkan rasa baal, kesemutan, bicara

cadel, wajah mencong ke satu sisi.

Dari keluhan utama pasien menunjukkan adanya kelemahan akut pada

daerah ekstremitas, hal ini dapat merupakan manifestasi klinis dari stroke,

tetapi setelah dianamnesa lebih lanjut mengenai keluhan utamanya maka

diagnosis stroke dapat dilemahkan karena pasien tidak mengeluhkan

adanya gangguan sensoris dan gangguan pada saraf kranial, tetapi hal ini

masih memungkinkan terjadi stroke apabila lesi hanya berada di korteks

motorik. Selain itu keluhan pasien yang bersifat motorik dan timbul secara

berkala, dapat mengarah kepada kelemahan tipe LMN, adapun penyakit

yang dapat menimbulkan kelemahan tipe LMN adalah paralisis periodik,

gullian barre sindrom, miastenia gravis

o Pasien menyangkal adanya keluhan sakit kepala, mual, muntah,

gangguan menelan, riwayat penurunan kesadaran maupun trauma/terjatuh,

demam, batuk-pilek

Berdasarkan keluhan pasien tersebut menunjukan bahwa tidak adanya

tanda peningkatan intrakranial, dan gangguan fungsi otonom yang semakin

melemahkan diagnosa stroke dan mempertegas bahwa kelemahan yang

dialami pasien bersifat murni motorik. Selain itu melemahkan pula

diagnosa gullian barre sindrom karena pasien tidak memiliki riwayat

demam maupun batuk-pilek dalam 1 bulan terakhir.

Page 11: periodik paralisis2

Diagnosa miastenia gravis juga dapat dilemahkan karena pada miastenia

gravis, kelemahan terutama terjadi pada otot yang sering digunakan seperti

otot bola mata, otot – otot untuk menelan dan berbicara.

o Pada pemeriksaan fisik ditemukan kelemahan pada keempat

anggota gerak, hal ini sesuai dengan kepustakaan, dikatakan bahwa pada

periodik paralisis ini ditandai dengan kelemahan dari otot-otot skeletal

episodik tanpa gangguan dari sensoris ataupun kognitif yang berhubungan

dengan kadar kalium yang rendah di dalam darah. Pada refleks fisiologis tidak

didapatkan peningkatan refleks, hal ini menyingkirkan semua diagnose

banding dari lesi UMN.

o Pada pemeriksaan laboratorium didapatkan hipokalemia, hal ini

menunjukkan kelemahan otot pada pasien terjadi karena hipokalemia, menurut

kepustakaan periodik paralise adalah kelainan yang ditandai dengan hilangnya

kekuatan otot, umumnya terkait dengan abnormalitas K+ dan abnormalnya

respon akibat perubahan K+ dalam serum. Periodik paralise dapat

dikelompokkan menjadi (1) Periodik paralise hipokalemia yang dapat

disebabkan oleh : genetik, hipertiroid, hiperaldosteronism, gagal ginjal kronik

dan idiopatik, (2) Periodik paralise hiperkalemia. (3). Periodik paralise

normokalemia

o Pada pemeriksaan EKG tidak ditemukan adanya kelainan. Pada

pasien paralisis periodik hipokalemia perlu dilakukan pemeriksaan EKG,

karena keadaan hipokalemia dapat mengganggu kerja dari organ lain, terutama

sekali jantung yang banyak sekali mengandung otot dan berpengaruh terhadap

perubahan kadar kalium serum. Perubahan kerja jantung ini dapat dideteksi

dari pemeriksaan elektrokardiogram (EKG). Perubahan pada EKG ini dapat

mulai terjadi pada kadar kalium serum dibawah 3,5 dan 3,0 mEq/L. Kelainan

yang terjadi berupa inversi gelombang T, timbulnya gelombang U dan ST

depresi, pemanjangan dari PR, QRS, dan QT interval.

o Penatalaksaan pada pasien ini dilakukan berdasarkan :

Page 12: periodik paralisis2

Pada pasien ini diberikan IVFD RL 20 tetes per menit untuk memelihara

keseimbangan cairan dan elektrolit, serta untuk memasukkan obat melalui

vena.

Penatalaksanan priodik paralise hipokalemi harus didasari dengan prinsip

terapi untuk keadaan hipokalemia, yaitu mengembalikan jumlah kalium

dalam tubuh kembali ke nilai normal. Pemberian rutin kalium chlorida

(KCL) 5 hingga 10 g per hari secara oral dapat mencegah timbulnya

serangan pada kebanyakan pasien. Pada suatu serangan yang akut atau

berat, KCL dapat diberikan melalui intravena dengan dosis inisial 0,05

hingga 0,1 mEq/KgBB dalam bolus pelan, diikuti dengan pemberian KCL

dalam 5 % manitol dengan dosis 20 hingga 40 mEq. Kepustakaan lain

KCL dapat diberikan dengan dosis 50 mEq/L dalam 250 cc larutan 5 %

manitol. Monitoring kadar kalium tiap 2-4 jam perlu dilakukan untuk

menghindari hiperkalemia terutama pada pemberian secara intravena.

Sinyal listrik pada otot skeletal, jantung, dan saraf merupakan suatu alat

untuk mentransmisikan suatu informasi secara cepat dan jarak yang jauh.

Kontraksi otot skeletal diinisiasi dengan pelepasan ion kalsium oleh retikulum

sarkoplasma, yang kemudian terjadi aksi potensial pada motor end-plate yang

dicetuskan oleh depolarisasi dari transverse tubule (T tubule). Ketepatan dan

kecepatan dari jalur sinyal ini tergantung aksi koordinasi beberapa kelas voltage-

sensitive kanal ion. Mutasi dari gen dari kanal ion tersebut akan menyebabkan

kelainan yang diturunkan pada manusia. Dan kelainannya disebut chanelopathies

yang cenderung menimbulkan gejala yang paroksismal : miotonia atau periodik

paralisis dari otot-oto skeletal. Defek pada kanal ion tersebut dapat meningkatkan

eksitasi elektrik suatu sel, menurunkan kemampuan eksitasi, bahkan dapat

menyebabkan kehilangan kemampuan eksitasi. Dan kehilangan dari eksitasi listrik

pada otot skeletal merupakan kelainan dasar dari periodik paralisis.

Periodik paralisis merupakan kelainan neuromuscular yang jarang serta

diturunkan, yang secara karakteristik ditandai dengan serangan episodik dari

kelemahan otot. Berbagai kepustakaan membagi kelainan ini secara bervariasi,

kelainan ini dapat dibedakan sebagai primer atau sekunder. Pada yang primer

Page 13: periodik paralisis2

secara umum dikarakteristikkan dengan : (1). kelainan yang diturunkan; (2).

sering berhubungan dengan kadar kalium di dalam darah; (3). kadang disertai

miotonia; (4) miotonia dan periodik paralisis tersebut disebabkan karena defek

dari ion channels. Sedangkan klasifikasi yang berguna secara klinis dari periodik

paralisis primer ini dapat dilihat pada tabel.1 :

Tabel 1 Periodik Paralisis Primer

Sodium Channel Hyperkalemic PP

Paramyotonia congenital

Potassium-aggravated myotonias

Calcium Channel Hypokalemic PP

Chloride Channel Becker myotonia congenital

Thomsen myotonia congenital

Sedangkan secara klasik dibagi menjadi dua kategori besar berdasarkan kadar

kalium darah saat terjadinya serangan kelemahan otot : periodik paralisis

hiperkalemi dan periodik paralisis hipokalemi. Pada kelainan sekunder suatu

keadaan hipokalemi dapat disebabkan oleh beberapa keadaan diantaranya : asupan

kalium yang kurang, renal tubular asidosis, gangguan gastrointestinal seperti

diare, intoksikasi obat seperti amphotericin B dan barium, dan hipertiroid.

Hipokalemia merupakan kelainan elektrolit yang sering terjadi pada

praktek klinis yang didefinisikan dengan kadar kalium serum kurang dari 3,5

mEq/L, pada hipokalemia sedang kadar kalium serum 2,5-3 mEq/L, dan

hipokalemia berat kadar kalium serumnya kurang dari 2,5 mEq/L. Keadaan ini

dapat dicetuskan melalui berbagai mekanisme, termasuk asupan yang tidak

adekuat, pengeluaran berlebihan melalui ginjal atau gastrointestinal, obat-obatan,

dan perpindahan transelular (perpindahan kalium dari serum ke intraselular) yang

kami bahas pada kasus ini. Gejala hipokalemi ini terutama terjadi kelainan di otot.

Konsentrasi kalium serum pada 3,0-3,5 mEq/L berhubungan dengan suatu

keadaan klinis seperti kelemahan otot ringan, fatigue, dan mialgia. Pada

Page 14: periodik paralisis2

konsentrasi serum kalium 2,5-3,0 mEq/L kelemahan otot menjadi lebih berat

terutama pada bagian proximal dari tungkai. Ketika serum kalium turun hingga

dibawah dari 2,5 mEq/L maka dapat terjadi kerusakan struktural dari otot,

termasuk rhabdomiolisis dan miogobinuria. Peningkatan osmolaritas serum dapat

menjadi suatu prediktor terjadinya rhabdomiolisis. Selain itu suatu keadaan

hipokalemia dapat mengganggu kerja dari organ lain, terutama sekali jantung

yang banyak sekali mengandung otot dan berpengaruh terhadap perubahan kadar

kalium serum. Perubahan kerja jantung ini dapat kita deteksi dari pemeriksaan

elektrokardiogram(EKG). Perubahan pada EKG ini dapat mulai terjadi pada kadar

kalium serum dibawah 3,5 dan 3,0 mEq/L. Kelainan yang terjadi berupa inversi

gelombang T, timbulnya gelombang U dan ST depresi, pemanjangan dari PR,

QRS, dan QT interval.

Periodik paralisis hipokalemi (HypoPP) merupakan bentuk umum dari

kejadian periodik paralisis yang diturunkan. Dimana kelainan ini diturunkan

secara autosomal dominan. Dari kebanyakan kasus pada periodik paralisis

hipokalemi terjadi karena mutasi dari gen reseptor dihidropiridin pada kromosom

1q. Reseptor ini merupakan calcium channel yang bersama dengan reseptor

ryanodin berperan dalam proses coupling pada eksitasi-kontraksi otot. Fontaine

et.al telah berhasil memetakan mengenai lokus gen dari kelainan HypoPP ini

terletak tepatnya di kromosom 1q2131. Dimana gen ini mengkode subunit alfa

dari L-type calcium channel dari otot skeletal secara singkat di kode sebagai

CACNL1A3. Mutasi dari CACNL1A3 ini dapat disubsitusi oleh 3 jenis protein

arginin (Arg) yang berbeda, diantaranya Arg-528-His, Arg-1239-His, dan Arg-

1239-Gly. Pada Arg-528-His terjadi sekitar 50 % kasus pada periodik paralisis

hipokalemi familial dan kelainan ini kejadiannya lebih rendah pada wanita

dibanding pria. Pada wanita yang memiliki kelainan pada Arg-528-His dan Arg-

1239-His sekitar setengah dan sepertiganya tidak menimbulkan gejala klinis.

Sebagai gejala klinis dari periodik paralisis hipokalemi ini ditandai dengan

kelemahan dari otot-otot skeletal episodik tanpa gangguan dari sensoris ataupun

kognitif yang berhubungan dengan kadar kalium yang rendah di dalam darah dan

tidak ditemukan tanda-tanda miotonia dan tidak ada penyebab sekunder lain yang

Page 15: periodik paralisis2

menyebabkan hipokalemi. Gejala pada penyakit ini biasanya timbul pada usia

pubertas atau lebih, dengan serangan kelemahan yang episodik dari derajat ringan

atau berat yang menyebabkan quadriparesis dengan disertai penurunan kapasitas

vital dan hipoventilasi, gejala lain seperti fatigue dapat menjadi gejala awal yang

timbul sebelum serangan namun hal ini tidak selalu diikuti dengan terjadinya

serangan kelemahan. Serangan sering terjadi saat malam hari atau saat bangun

dari tidur dan dicetuskan dengan asupan karbohidrat yang banyak serta riwayat

melakukan aktivitas berat sebelumnya yang tidak seperti biasanya. Serangan ini

dapat terjadi hingga beberapa jam sampai yang paling berat dapat terjadi beberapa

hari dari kelumpuhan tersebut.

Distribusi kelemahan otot dapat bervariasi. Kelemahan pada tungkai

biasanya terjadi lebih dulu daripada lengan dan sering lebih berat kelemahannya

dibanding lengan, dan bagian proksimal dari ekstremitas lebih jelas terlihat

kelemahannya dibanding bagian distalnya. Terkecuali, kelemahan ini dapat juga

terjadi sebaliknya dimana kelemahan lebih dulu terjadi pada lengan yang

kemudian diikuti kelemahan pada kedua tungkai dimana terjadi pada pasien ini.

Otot-otot lain yang jarang sekali lumpuh diantaranya otot-otot dari mata, wajah,

lidah, pharing, laring, diafragma, dan spingter, namun pada kasus tertentu

kelemahan ini dapat saja terjadi. Saat puncak dari serangan kelemahan otot,

refleks tendon menjadi menurun dan terus berkurang menjadi hilang sama sekali

dan reflek kutaneus masih tetap ada. Rasa sensoris masih baik. Setelah serangan

berakhir, kekuatan otot secara umum pulih biasanya dimulai dari otot yang

terakhir kali menjadi lemah. Miotonia tidak terjadi pada keadaan ini, dan bila

terjadi dan terlihat pada klinis atau pemeriksaan EMG menunjukkan terjadinya

miotonia maka diagnosis HypoPP kita dapat singkirkan.

Selain dari anamnesa, pemeriksaan penunjang lain seperti laboratorium

darah dalam hal ini fungsi ginjal, elektrolit darah dan urin, urinalisa urin 24 jam,

kadar hormonal seperti T4 dan TSHs sangat membantu kita untuk menyingkirkan

penyebab sekunder dari hipokalemia. Keadaan lain atau penyakit yang dapat

menyebabkan hipokalemi diantaranya intake kalium yang kurang, intake

karbohidrat yang berlebihan, intoksikasi barium, kehilangan kalium karena diare,

Page 16: periodik paralisis2

periodik paralisis karena tirotoksikosis, renal tubular asidosis, dan

hyperaldosteronism.

Pada kasus pasien ini terjadi kelemahan pada keempat anggota gerak yang

diawali gejala prodormal mialgia dan fatigue dimana kelainan ini tidak disertai

kelemahan pada otot-otot wajah, lidah, pharing, laring, diafragma, dan spingter

serta tidak disertai tanda-tanda miotonia seperti kejang otot. Rasa sensoris masih

dalam keadaan baik. Dan saat diperiksa kadar kalium serumnya = 1.9 mEq/L, dan

dari pemeriksaan laboratorium lain seperti urinalisa urin 24 jam, fungsi ginjal, dan

hormonal seperti T4 dan TSHs dalam batas normal.

Diagnosis HypoPP harus dipertimbangkan ketika suatu serangan

kelemahan terjadi episodik dan berkaitan dengan hipokalemia. Hipokalemi yang

terjadi pada HypoPP ini diduga karena adanya defek permeabilitas membran sel

terhadap kalium sehingga menurunkan kadar kalium ekstraselular. Kadar kalium

serum akan kembali menjadi normal diantara serangan, dan apabila hipokalemia

menetap harus dipikirkan penyebab lain dari periodik paralisis, seperti penurunan

kadar kalium pada kelainan ginjal, gastrointestinal atau gangguan metabolisme

lain.

Diagnostik lain yang dapat kita lakukan untuk menentukan hypoPP bila

pasien tidak dalam keadaan serangan yaitu dengan cara tes provokatif. Dimana

pasien dimonitor tanda vitalnya dan keadaan jantungnya melalui EKG, kemudian

pasien diberikan glukosa sebanyak 50 sampai 100 gram atau dilarutkan dalam 2

gram NaCl perjam yang diberikan dalam tujuh dosis, diikuti dengan pencetusan

latihan, maka akan timbul serangan kelemahan, yang dapat diatasi dengan

pemberian 2 sampai 4 gram KCL per oral.

Seperti pada bentuk lain dari periodik paralisis dan miotonia, kebanyakan

pasien dengan HypoPP tidak memerlukan intervensi farmakologis. Pasien kita

edukasi dan berikan informasi untuk mencegah dan menurunkan kejadian

serangan melalui menghindari kegiatan yang memerlukan kekuatan fisik yang

berat, hindari kedinginan, mengkonsumsi buah-buahan atau jus yang tinggi akan

kalium, membatasi intake karbohidrat dan garam(160 mEq/hari).

Page 17: periodik paralisis2

Pemberian obat-obatan seperti penghambat carbonic anhidrase dapat

diberikan untuk menurunkan frekuensi dan beratnya serangan kelemahan episodik

dan memperbaiki kekuatan otot diantara serangan. Acetazolamide merupakan obat

jenis tersebut yang banyak diresepkan, dosis dimulai dari 125 mg/hari dan secara

bertahap ditingkatkan hingga dosis yang dibutuhkan maksimum 1500 mg/hari.

Pasien yang tidak berespon dengan pemberian acetazolamide dapat diberikan

penghambat carbonic anhidrase yang lebih poten seperti, dichlorphenamide 50

hingga 150 mg/hari atau pemberian diuretik hemat kalium seperti spironolactone

atau triamterine (keduanya dalam dosis 25 hingga 100 mg/hari). Pemberian rutin

kalium chlorida (KCL) 5 hingga 10 g per hari secara oral yang dilarutkan dengan

cairan tanpa pemanis dapat mencegah timbulnya serangan pada kebanyakan

pasien. Pada suatu serangan HypoPP yang akut atau berat, KCL dapat diberikan

melalui intravena dengan dosis inisial 0,05 hingga 0,1 mEq/KgBB dalam bolus

pelan, diikuti dengan pemberian KCL dalam 5 % manitol dengan dosis 20 hingga

40 mEq, hindari pemberian dalam larutan glukosa sebagai cairan pembawa.

Kepustakaan lain KCL dapat diberikan dengan dosis 50 mEq/L dalam 250 cc

larutan 5 % manitol.

Kesimpulan

Periodik paralisis merupakan sindroma klinis yang dapat menyebabkan

kelemahan yang akut pada anak-anak maupun dewasa muda. Pasien akan

mengalami kelemahan progresif dari anggota gerak baik tungkai maupun lengan

tanpa adanya gangguan sensoris yang diikuti oleh suatu keadaan hipokalemia

pada HypoPP. Keadaan hipokalemia yang berat dapat mengganggu fungsi organ

lain seperti jantung hingga terjadi gangguan irama jantung yang bila tidak

ditangani akan memperburuk keadaan pasien hingga mengancam nyawa.

Mengenal dan menegakkan suatu keadaan HypoPP menjadi sangat penting dalam

hal ini, dan terapi yang diberikan sangatlah mudah dan murah.

Page 18: periodik paralisis2
Page 19: periodik paralisis2