disbudpar.jatimprov.go.iddisbudpar.jatimprov.go.id/uploads/berkas/hikmah peristiwa... · web...
TRANSCRIPT
HIKMAH PERISTIWA BUBAT DALAM PENGEMBANGAN KARAKTER BANGSA Sebuah Pengantar Dialog1
Oleh: Hariyono2
“Rwaneka dhatu winuwus wara Buddha Wiswa bhinneki rakwa ring apan ke “parwwanose” n mangkaang Jinatwa kalawan Siwatatwa tunggal bbhineka tunggal ika tan hana dharmma mangrva” (Konon dikatakan bahwa wujud Buddha dan Siwa itu berbeda. Mereka memang berbeda. Namun bagaimana kita bisa mengenali perbedaannya dalam selintas pandang. Karena kebenaran yang diajarkan Buddha dan Siwa itu sesungguhnya satu jua. Mereka memang berbeda-beda. Namun pada hakekatnya sama. Karena tidak ada kebenaran yang mendua)”
Kitab Sutasoma pupuh CXXXIX karya Mpu Tantular.
Sesanti “Bhineka Tunggal Ika” dari kitab Sutasoma yang kemudian menjadi
sesanti bangsa Indonesia telah mengalami transformasi makna secara dinamis dan
substansial. Pendiri bangsa tidak hanya sekedar membatasi dalam keragaman agama,
melainkan juga dengan keragaman suku, bahasa, adat istiadat serta kepulauan.
(Sedyawati & Subroto, 1992: 7). Dari keberagaman masyarakat itulah juga potensial
timbulnya tafsir terhadap sesuatu secara beragam. Dan tentu saja tafsir dan makna
kebhinekaan tersebut juga dapat ditarik seiring dengan perkembangan zaman. Makna
tersebut juga potensial berkembang dalam konteks menafsirkan “Peristiwa Bubat” sesuai
dengan pengalaman generasi zaman yang memaknai.
Maksudnya “Peristiwa Bubat” yang selama ini cenderung dimaknai secara
“pejoratif” dan meninggalkan “luka batin” pada sebagian suku Jawa dan sebagaian suku
Sunda perlu disikapi secara bijak. Belajar dan melihat sejarah sebenarnya tidak semata-
mata ditentukan oleh data yang ada, tetapi juga ditentukan oleh “imaginasi dan cita-cita
masa depannya”. Maksudnya dalam proses transformasi kesadaran, manusia justru harus
dapat membebaskan diri dari belenggu masa lalu agar dirinya dapat menjadi subyek
1 Makalah disampaikan dalam Seminar “Pasuda-Bubat; Sejarah yang Paripurna” yang diadakan oleh Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Propinsi Jawa Timur pada tanggal 6 Maret 2018. Sebagian dari naskah ini sudah pernah disampaikan dalam forum diskusi lain.2Guru Besar Sejarah Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri Malang, Deputi Advokasi Unit Kerja Presiden Pembinaan Ideologi Pancasila.
1
sejarah yang memiliki kadaulatan atau otonomi diri dalam menyikapi hari ini dan masa
depan. “Peristiwa Bubat” hendaknya tidak membelenggu kesadaran sejarah serta visi
kewarganegaraan masyarakat Jawa dan Sunda dalam kehidupan berbangsa dan
bernegara.
Untuk mengantisipasi pelbagai peristiwa sejarah yang “kontroversial” dan
menyisakan “luka batin” diperlukan keberanian dan terobosan dengan memposisikan
sejarah sebagai proses penyembuhan (healing process). Melalui dialog dan terus
berusaha menempatkan peristiwa masa lalu sesuai dengan konteks zamannya, terdapat
peluang untuk saling menerima informasi dari pelbagai sisi. Informasi tersebut dapat
membuka dan atau melenturkan selaput kesadaran sejarah yang selama ini terlanjur
membeku dan membatu. “Peristiwa Bubat” sebagai suatu peristiwa di masa lalu pasti
tidak dapat diubah, karena sejarah bersifat “einmalig”. Namun, sebagai suatu kisah dan
tafsir terhadap masa lalu kita dapat “mengubahnya” tanpa harus “memperkosa”
peristiwanya demi kehidupan masa kini dan masa depan yang lebih baik.
Untuk itulah seminar yang diadakan oleh Dinas Kebudayaan dan Pariwisata
Propinsi Jawa Timur dengan mengambil Tema “Pasuda-Bubat; Sejarah Yang Paripurna”
memiliki peran yang cukup signifikan. Relasi Majapahit dengan Pajajaran di masa lalu,
yang diwarnai dengan “Perang Bubat" perlu di “reinterpretasi” dalam kehidupan
berbangsa dan bernegara sesuai dengan kebutuhan zaman, khususnya dalam proses
pergaulan dunia yang makin intensif dengan perkembangan teknologi informasi,
komunikasi dan transportasi.
Warisan narasi sejarah “Peristiwa Bubat”, termasuk narasi yang hidup dalam
cerita rakyat perlu kita pahami dan kembangkan secara kontekstual dan futuristik. Hal
ini perlu mendapat penekanan karena realitas dan sikap generasi muda zaman sekarang
telah berubah dengan munculnya “revolusi tiga T”. “Revolusi tiga T” sejak tahun 1980-
an sering digunakan untuk menjelaskan terjadinya perubahan yang mendasar tentang
perekonomian dan dunia usaha yang juga berpengaruh terhadap hubungan social sebagai
konsekuensi dari perkembangan teknologi di bidang telekomunikasi, transportasi dan
turisme. Bahkan, generasi abad XXI telah hidup dalam era digital dengan segala
konsekuensinya (Schmidt & Cohen, 2013). Nilai-nilai lama terasa tidak relevan
sementara nilai-nilai baru belum terformulasi dan terinternalisasi, termasuk dalam
2
memahami sejarah Indonesia sebelum bangsa Indonesia menjadi satu bagsa dan sat
negara, yaitu saudara sebangsa dan setanah air.
Dalam konteks yang demikian banyak pihak prihatin dengan pelbagai peristiwa
bangsa Indonesia di masa lampau dalam menghadapi tantangan dunia yang telah
berubah secara mendasar. Pendidikan sejarah merupakan sesuatu yang inheren dalam
dirinya untuk membangun kesadaran sejarah melalui melalui internalisasi dan habituasi
nilai (Ryan & Bohlin, 1999). Pelbagai peristiwa kontroversial dilihat secara utuh dan
memfasilitasi si pebelajar untuk bisa memahami konteks zamannya sekaligus menarik
hikmah dari peristiwa yang bersangkutan.
Melalui pendidikan sejarah yang kritis dan kreatif dan bersumber dari pola pikir
(mindset) moralitas bangsa dapat dijaga dan dikembangkan sesuai dengan kebutuhan
dan tantangan zaman. Salah satu referensi untuk mengembangkan pola pikir tersebut
adalah warisan “sejarah kontroversial” bangsa, salah satunya “Peristiwa Bubat” yang
kita bahas sekarang ini.
Melalui dialog dan refleksi tentang “Peristiwa Bubat” yang berbasis pada
moralitas bangsa diperlukan keberanian kita semua terutama para elit untuk
menyikapinya secara cerdas dan futuristik. Dimensi teleologis dari sejarah nasional perlu
memberikan pemahaman bagaimana dalam kebhinekaan bangsa Indonesia, termasuk
pengalaman sejarah di masa lampau dapat memperkokoh persatuan dan kesatuan
bangsa.
Sebagai bagian dari bahan dialog, penulis akan memaparkan sekilas pentingnya
kesadaran posisi, “Peristiwa Bubat” dalam Keindonesiaan, eksistensi manusia sebagai
agen sejarah, nasionalisme dan energy positif serta kemungkinan mengembangkan
sekaligus melembagakan nilai-nilai dan moralitas bangsa yang relevan dalam
mempertahankan serta meningkatkan karakter sebagai bangsa yang merdeka, berdaulat,
maju, adil dan makmur.
Sadar Posisi
Disadari atau tidak masyarakat Indonesia cenderung gagap melihat perubahan,
termasuk perubahan sejarah. Sejak zaman penjajahan, pergerakan nasional, revolusi
nasional, demokrasi liberal, demokrasi terpimpin, Orde Baru, dan orde reformasi
pembelajaran dan pendidikan karakter cenderung dianggap sebagai penggalan sejarah
3
yang saling terpisah antara periode yang satu dengan yang lain. Dimensi perubahan
dalam kelanjutan (change in continuity) seolah hilang. Konsekuensinya sejarah yang
notabene merupakan perubahan cenderung dipahami dalam penggalan-penggalan (atom
narrative), bukan kisah yang berangkai dalam keberlanjutan (strings narrative).
Konsekuensinya pendidikan sejarah tidak mampu menjadi bahan refleksi, referensi dan
orientasi kehidupan akibat kehilangan perspektif kesejarahannya yang futuristik.
Realitas baru yang sudah berubah secara mendasar masih cenderung disikapi
dengan cara pandang sempit. Realitas social, budaya, ekonomi dan politik yang sudah
berubah namun pola pikir (mindset) belum banyak mengalami perubahan, sehingga
mental Inlander masih berpengaruh hingga sekarang. Bahkan masih banyak yang
berpola pikir lama dalam menghadapi dunia yang dipengaruhi “revolusi tiga T”,
sehingga tatkala ada kehidupan yang berbeda, menjadi kaget dan reaktif.
Dalam suasana kegalauan tersebut masyarakat telah mengalami dislokasi dan
disorientasi. Mereka sulit memposisikan diri secara bijak dalam proses perubahan
budaya yang semakin mondial atau global. Identitas diri baik sebagai pribadi maupun
komunitas kolektif telah mengalami kekacauan. Nalar dan nurani sebagai karakteristik
manusia yang berbasis nilai luhur sebagaimana diformulasikan dalam pandangan hidup
sekaligus ideology negara, Pancasila, telah mengalami distorsi.
Nilai-nilai luhur yang dibingkai dalam Pancasila banyak yang tidak terealisasi
dalam kehidupan sehari-hari. Banyak karakter elit politik, birokrasi, penegak hukum dan
elit masyarakat yang perilakunya tidak konsisten dengan nilai-nilai luhur Pancasila. Kita
menyatakan diri sebagai bangsa religius ditengah-tengah anggota warga yang rakus dan
kurang menghargai keyakinan pihak lain. Menyatakan diri sebagai bangsa yang toleran,
namun perbedaan keyakinan sering disikapi dengan kekerasan. Hampir semua
perkembangan dan kemajuan bangsa tidak diawali oleh kekerasan, melainkan oleh
kreativitas, inovasi dari kelompok kecil yang cerdas.
Secara historis, keberadaan masyarakat Nusantara tidak dapat dipisahkan dengan
keanekaragamannya, termasuk pengalaman sejarah di masa lampau. Banyak relasi antar
elemen masyarakat Nusantara di masa lampau yang selain meninggalkan kesamaan juga
diwarnai oleh kompetisi, rivalitas dan konflik. Pengalaman sejarah di masa lampau yang
sempat menimbulkan “luka batin” tidak bisa diobati dan adanya perubahan cara pandang
4
yang diawali dengan sikap berdamai dengan masa lampau. Pelbagai peristiwa masa
lampau yang menyedihkan tidak harus membuat diri kita galau dan sedih. Masa lampau
yang diwarnai oleh peperangan tidak harus membuat diri kita saling berperang. Pelbagai
kisah negative di masa lampau yang negative dapat kita sikapi secara positif.
Keberadaan kita sebagai satu bangsa yang merdeka memberi ruang memaknai
kemerdekaan secara negative, yaitu merdeka dari penjajahan, menjadi kemerdekaan
secara positif, yaitu merdeka untuk mempererat persatuan dan kemajuan bangsa.
Di tengah-tengah masyarakat mengalami “dislokasi” dan “disorientasi”, salah
satu wahana untuk menemukan identitas diri sekaligus memposisikan diri dalam
kehidupan berbangsa adalah pendidikan sejarah yang reflektif, emansipatoris dan
transformatif. Maksudnya dalam proses pembelajaran sejarah potensial untuk
menemukan sesuatu yang dapat menjadi referensi dalam menghadapi realitas yang kini
dan di sini serta membantu memberikan perspektif ke masa depan. Visi sejarah tentang
masa depan inilah yang dapat menjadi pijakan sekaligus menuntun cara pandang
terhadap sejarah, termasuk sejarah “Perang Bubat”.
Pembelajaran sejarah yang dimaksud bukan hanya sekedar mengkaji materi
“Peristiwa Bubat” secara tekstual. Diperlukan suatu pendekatan yang memungkinkan
perubahan dan pengembangan “mindset yang dinamis dan positif” (Dweck, 2007).
Sejarah sebagai suatu peristiwa dan proses merupakan suatu proses dialektika yang
terus mengalir hingga kini menuju masa depan. Sebuah being dalam proses becoming.
Sejarah kehidupan membuktikan bahwa realitas yang kini ada bukan sekedar
produk dari masa lampau. Realitas diri dan lingkungan yang kini kita tempati dan
maknai merupakan suatu rangkaian kausalitas yang selalu terkait dengan konteks zaman
yang terus berubah. Dari proses sejarah itulah manusia dapat memposisikan diri sesuai
dengan semangat dan dinamika zamannya. Keragaman yang di masa kolonial dijadikan
sarana memecahbelah (devide et impera) dipertahankan dalam bentuk sterotipe. Dalam
konteks tersebut dibutuhkan para pendidik yang mampu menggugah cara tafsir baru
terhadap kebhinekaan (peristiwa Bubat) dalam masyarakat secara kontekstual dan
futuristik.
Pendidik perlu menyadari posisinya bukan hanya sekedar menjadi penyambung
lidah penulis buku teks, pengingat dan penghafal materi buku ajar. Peran yang lebih
5
utama dari pendidik adalah fasilitator, motivator, dan inspirator yang terus berusaha
“membuka hati dan pikiran siswa” (Palmer, 2009) agar yang bersangkutan memikili
kemauan dan dorongan internal untuk belajar, termasuk belajar dari perbedaan orang
lain sehingga menjadi lebih dewasa dan bijak. Mendorong siswa untuk menyadari
bahwa hidup adalah gerak yang tidak selalu linier, melainkan selalu terkait dengan
sesuatu yang berbeda. Dan setiap gerak menimbulkan perubahan. Dalam mengarungi
perubahan manusia memerlukan nilai sebagai pegangan hidup agar tidak mengalami
disorientasi nilai.
Sadar posisi merupakan langkah awal dan strategis untuk melakukan perubahan.
Setiap pembelajaran perlu mengubah kebiasaan untuk membangun karakter yang
positif, mengubah “mindset statis” menjadi “mindset berkembang”. “Pendidik yang
berani mengubah dirinya” merupakan prasyarat dan langkah awal untuk menciptakan
pembelajaran secara menarik dan bermakna (Palmer, 2009) dalam melihat dan
memaknai pluralitas kehidupan sehari-hari. Nilai-nilai utama yang terkandung dalam
dasar negara sekaligus pandangan hidup Pancasila mencakup beberapa prinsip nilai
dasar dan universal yaitu ketuhanan, kemanusiaan, persatuan, demokrasi dan keadilan.
Berbasis pada nilai-nilai tersebut kebhinekaan yang terjadi pada alam, flora, fauna
hingga komunitas penghuninya dapat disikapi secara positif dan kreatif. Hal ini perlu
penulis tekankan, karena realitas sejarah di masa lampau tidak memiliki makna dan arti
yang signifikan sebelum ditafsirkan dan dimaknai oleh manusia. Untuk itu pemahaman
terhadap “peristiwa Bubat” dalam konteks perjalanan sejarah bangsa menjadi sesuatu
yang perlu dipahami bersama untuk membangun prestasi dan reputasi bangsa yang
besar.
“Peristiwa Bubat” dalam Keindonesiaan
Kisah “Pasunda-Bubat, yang juga sering disebut Perang Bubat diawali dari kisah
asmara sang raja Hayamwuruk. Sang raja jatuh cinta pada putri Sunda, Dyah Pitaloka.
Sang raja ingin menjadikan Dyah Pitaloka sebagai permaisuri.
Ironisnya keinginan dan harapan sang raja tidak berjalan mulus. Terdapat tafsir
dari pejabat Majapahit dan keluarga Dyah Pitaloka yang berbeda. Pejabat yang dibawah
pimpinan Gajah Mada menafsirkan peristiwa tersebut dari kebesaran Majapahit,
sehingga meminta agar putri Sunda diserahkan sebagai tanda persembahan kepada sang
6
raja Majapahit. Rombongan putri Sunda yang merasa berasal dari suatu kelarga raja dan
kerajaan yang berdaulat enggan menerima permintaan Gajah Mada. Konsekuensi dari
“pemahaman” yang berbeda tersebut menyebabkan sebuah tragedy yaitu perang antara
keluarga Dyah Pitaloka dengan prajurit Majapahit. Semua rombongan Dyah Ptaloka
meninggal dalam peperangan.
Kisah diatas bagi pisak Pasundan menimbulkan kesedihan yang sulit terlupakan.
Peristiwa tersebut menjadi pembicaraan yang ikut membentuk memori kolektif secara
turun temurun. Kisah masa lampau yang dapat membuat distorsi kebangsaan. Demikian
pula sebaliknya, walaupun secara fisik pihak Majapahit “menang” namun peristiwa
tersebut juga menimbulkan “luka sejarah” dan “luka batin”. Pasca peristiwa Bubat,
Gajah Mada melakukan “mukti palapa”, mengundurkan diri dari jabatannya. Raja
Hayam Wuruk mengalami kesedihan yang sulit terlupakan. Kebesaran dan Kemegahan
Majapahit terganggu oleh “Peristiwa Bubat” (Poesponegoro & Notosusanto, 1984: 436-
7).
Uniknya kisah tersebut berkembang dengan pelbagai variannya, baik dalam
kisah sejarah yang tertulis dalam Pararaton dan Kidung Sundayana maupun kisah lisan
yang berkembang di masyarakat. Dan kisah yang beragam tersebut sebagian
menginternaisasi sebagai bagian memori kolektif yang kurang kondusif dalam
membangun persaudaraan sebagai saudara sebangsa dan setanah air. Untungnya
nasionalisme yang dianut bangsa Indonesia adalah nasionalisme inklusif, sebuah
nasionalisme yang tidak hanya mengakui perbedaan di antara warga Indonesia
melainkan juga menerima kesederajatan dan keadilan dari dari pelbagai elemen bangsa.
Dalam konteks itulah, kita perlu bijak dan cerdas dalam menyikapi dan
menyampaikan “Peristiwa Bubat”. Peristiwa sejarah memang tidak boleh dilupakan.
Tetapi kita sebagai generasi penerus sejarah tidak harus terbelenggu oleh peristiwa
tersebut. Kita dapat memahami dan memaafkan “peristiwa Bubat” sebagai bagian dari
perjalanan masa lalu masyarakat Nusantara yang beragam sehingga sering menimbulkan
distorsi komunikasi. Kondisi tersebut sebelum kehadiran penjajah sering menyebabkan
peperangan antara kerajaan-kerajaan tradisional dan setelah kedatangan penjajah sering
dimanfaatkan sebagai sarana “devide et impera”.
7
Kita perlu memahami bahwa di masa lalu kekuasaan politik yang ada di
Nusantara tidak tunggal. Sejak masa Hindu-Budha, Islam hingga colonial, Negara-
negara tradisional ada dan hidup di Nusantara sehingga friksi antar Negara tradisional
cukup tinggi. Misal antara kerajaan Kediri dan Singosari, antara Tidore dan Ternate,
antara Bone dan Gowa dlln. Perbedaan dan persaingan tersebut masih cukup kental
dalam memori kolektif masyarakat, terutama dalam kisah-kisah sejarah local dan tidak
resmi.
Dalam kondisi itulah diperlukan kesadaran dan pemahaman mengapa para
pendiri bangsa membentuk Negara kebangsaan (nation-state) yang tidak berbentuk
monarkhi melainkan republic. Para pendiri bangsa berkeinginan pelbagai Negara-negara
tradisional yang ada menjadi satu bangsa dan satu Negara, sehingga walaupun kita
memiliki latar sejarah yang berbeda sejak tahun 1945 adalah saudara sebangsa dan
setanah air. Demikian pula pemilihan bentuk republic diharapkan utuk menghindari
“sirkulasi elit” yang tidak jelas dan sering diwarnai oleh kekerasan. Kisah pilu dan
seteru nenek moyang tidak ingin diwarisi. Salah satu cara yang mendasar adalah
memposisikan Pancasila sebagai dasar Negara dan pandangan hidup bangsa.
Untuk merealisasi harapan diatas diperlukan keberanian kita semua untuk
bermatamorposis sebagai pribadi yang tidak hanya berperan sebagai obyek sejarah,
melainkan juga sebagai subyek atau agen sejarah. Berani bermetamorfosis dari
kepompong primordial menjadi warga yang cerdas dalam mengantisipasi tantangan
zamannya.
Agen Sejarah
Sejarah dalam masyarakat tradisional sering dilakukan secara monologis melalui
sosialisasi nilai-nilai kultural, terutama aspek kosmogoni. Masyarakat menerima nilai
yang sudah ada tanpa ada upaya untuk mempertanyakan dan menggugat suatu wacana
yang diwarisi dari generasi sebelumnya secara fundamental. Kondisi tersebut sering
dimanfaatkan oleh kelompok dominan untuk melegitimasi posisi dan dominasinya.
Kisah sejarah yang bersifat magis-religius dan mengarah pada kosmosentris lebih
ditonjolkan. Manusia tinggal menjalani aktivitas yang ada. Mereka tidak berani
mempertanyakan asumsi maupun proses sejarah yang dianggap sakral dan dominan.
8
Dekonstruksi terhadap narasi sejarah dianggap tabu walaupun secara de facto
membelenggu dirinya untuk maju.
Dalam masyarakat modern yang sudah menempatkan akal dan hati sebagai
referensi yang sangat signifikan, kisah sejarah disikapi secara berbeda dengan masa
sebelumnya. Sejarah tidak lagi dianggap sebagai kisah yang beku melainkan telah
dianggap sebagai bagian dari pergulatan manusia dalam menghadapi tantangan hidup
yang ada. Pelbagai kisah sejarah tidak hanya untuk mencakup “dimensi penghidupan”,
melainkan juga memberi “pemaknaan terhadap kehidupan”. Individuisasi mulai muncul
dan merangsang manusia untuk bertanggungjawab terhadap proses sejarah zamannya.
Manusia memiliki otonomi diri. Kebebasan manusia memberi ruang untuk “ikut
mengambil peran” dalam menentukan proses sejarah. Sejarah tidak lagi dianggap
sebagai produk absolut kekuatan di luar diri manusia. Kenyataan tersebut membawa
konsekuensi akan peran manusia dalam proses sejarah. Posisi manusia dalam sejarah
tidak dianggap sebagai pelaku sejarah yang pasif. Manusia sebagai agen sejarah
mempunyai fungsi yang aktif dan dinamis dalam mempengaruhi dan menggerakkan
sejarah.
Kisah sejarah disikapi secara reflektif, kritis dan emansipatoris. Kepercayaan
terhadap Tuhan tidak disikapi secara fatalistic. Manusia menyadari bahwa Tuhan telah
memberi kebebasan pada dirinya untuk mengembangkan diri secara maksimal atau
tidak. Eksistensi manusia sebagai “homo sapiens”, mahkluk yang berpikir selalu diminta
tanggungjawab. Tuhan hanya meminta pertanggungjawaban pada manusia yang berakal.
“Orang yang tidak berakal” tidak pernah diminta tanggungjawab. Ironisnya dalam
kehidupan sehari-hari, manusia justru malas berpikir. Kalau diajak berpikir hanya mikir-
mikir. Dendam kolektif akibat peristiwa masa lalu, misalnya Peristiwa Bubat apa layak
dilestarikan bagi orang yang mau berpikir?
Banyak manusia yang mengelak dari kebebasan, sebagaimana pernah
diungkapkan oleh Eric Fromm dengan menyebutnya “escape from freedom”. Mereka
cenderung menerima proses perubahan sosial yang ada secara pasif. Mayoritas manusia
suka berada dalam perasaan rasa aman yang semu, comfort zone. Kedaulatan diri
mereka tergadaikan oleh opini yang diyakini sebagai suatu kebenaran. Mereka
menikmati sebagai sosok resipien dan obyek sejarah.
9
Dialog yang memungkinkan pemikiran kritis dan kreatif dengan tema Perang
Bubat dan atau peristiwa kontroversial lainnya perlu dikembangkan secara terus
menerus. Masyarakat dan peserta didik tidak dibiasakan untuk melihat realitas secara
baru. Mereka distimulasi untuk bermimpi besar, berpikir besar serta berjiwa besar guna
merealisasikan bangsa yang merdeka, mandiri, berdaulat, adil dan makmur.
Belajar dari pengalaman sejarah “peristiwa Bubat” harus didekati secara dialogis
agar memungkinkan pelbagai perspektif tampil dalam segala multiinterpretasinya.
Pendidikan nilai tidak dijadikan alas an untuk mempertahankan status quo. Dengan kata
lain mereka diajak belajar dengan prinsip bermain dan menghindari sikap main-main.
Pembelajaran dalam suasana bermain potensial menimbulkan inspirasi bagi
perkembangan intelektual dan emosional siswa dan guru. Mereka dirangsang untuk
berani melakukan dekonstruksi wawasan serta kesadaran yang sudah dimiliki
berdasarkan pertimbangan yang didukung oleh nalar dan bukti yang akurat.
Tumbuhnya kesadaran diri yang positif sekaligus optimis salah satu indikatornya
adalah munculnya kesadaran bahwa semua peristiwa sejarah di dunia sangat dipengaruhi
oleh kiprah anak-anak manusia. Ada peristiwa sejarah yang berkembang sesuai dengan
apa yang diinginkan (intended results) melainkan juga ada perkembangan sejarah yang
berkembang secara mendadak dan di luar perkiraan dan atau maksud manusia
(unintended results). Hal ini akan semakin kondusif bila pendekatan yang digunakan
sebagai landasan interpretasi tidak terlalu berlebihan dalam menekankan aspek
struktural. Pendekatan struktural memang bagus dalam menjelaskan bagaimana sistem
yang ada mengatur dan membatasi ruang gerak manusia, namun mempunyai kelemahan
seolah manusia sebagai agen tidak berdaya dalam melakukan perubahan.
Demikian pula halnya pendekatan perilaku yang berlebihan justru akan
mengaburkan peran sistem dan struktur kehidupan yang relatif dominan. Kesadaran
peserta didik sebagai agen tetap perlu memahami adanya situasi batas yang selalu ada
dalam aktivitas sosial. Barangkali konsep eksternalisasi dalam kaitannya dengan
internalisasi dan objektifikasi yang dikemukakan oleh Peter L. Berger dapat dijadikan
sebagai salah satu penjelasan. Maksudnya peserta didik tidak hanya diberitahu dan
diajari tentang pelbagai peristiwa pergulatan anak-anak manusia dengan tantangan
jamannya, melainkan juga dirangsang untuk membangkitkan pengetahuan dan kesadaran
10
untuk cancut taliwondo dalam proses sejarah yang dihadapi oleh bangsanya (Hariyono,
1995).
Kita harus berani mempertanyakan kisah sejarah termasuk asumsi yang
mendasarinya sebagai referensi untuk mempertanyakan dirinya sendiri. Maksudnya
dengan terbiasa bertanya, kita mendapat ruang untuk mempertanyakan kembali
kepercayaan-kepercayaan yang bersifat self-limiting. Self-limiting belief adalah apa saja
yang dipersepsikan dan diyakini oleh peserta didik bahwa dirinya terbatas dan tidak
mampu dalam bidang tertentu sehingga membatasi pengembangan potensi dirinya secara
maksimal (Tracy, 2007; 47).
Salah satu materi dari hal tersebut adalah melihat bagaimana proses dialektika
terbentuknya bangsa dan negara Indonesia secara jujur dan obyektif. Sikap keprihatinan,
kesahajaan, kepedulian dan rela berkorban serta mau memberikan maaf para pendiri
bangsa mempunyai peran yang cukup signifikan dalam membentuk agensi sejarah yang
kreatif dan inovatif.
Tanggungjawab Sejarah
Sebagaimana kita ketahui bangsa Indonesia baru ada sejak abad duapuluh.
Secara formal sebagai negara bangsa baru ada sejak tahun 1945. Sebelum abad XX
belum ada kesadaran akan perasaan sebangsa bagi warga Nusantara. Proses penemuan
dan pengembangan kesadaran akan identitas diri tersebut terbentuk melalui proses
dialog yang mengedepankan kesejajaran dan keadilan. Dialog antar anak-anak
pergerakan nasional, maupun dialog mereka dengan tantangan zamannya. Perasaan
senasib dan seperjuangan inilah yang melelehkan batas-batas etnisitas dan lokalitas yang
sebelumnya diakui sebagai suatu bangsa. Sejak saat itu mulai berkembang nilai-nilai
yang menimbulkan kemauan bersama dalam membangun negara republik tercinta
dengan segala cita-cita luhurnya, khususnya memposisikan warga Indonesia yang
beragam dalam ranah persatuan bangsa.
Dalam perjalanan menentukan eksistensi bangsa dan negara telah terjadi
pergulatan yang kadang diselingi dengan kekerasan yang memakan korban jiwa cukup
besar. Masing-masing kelompok berusaha untuk memaknai Indonesia dalam referensi
struktur kognitif-kultural yang dominan di kelompoknya. Ketegangan dan gesekan yang
terjadi seringkali merangsang kekuatan yang ada menjalin koalisi dengan kekuatan di
11
luar Indonesia dalam menjatuhkan saingannya. Hal ini menjadikan bangsa Indonesia
sering kehilangan momentum dalam memanfaatkan pergolakan global untuk
kepentingan bangsa sendiri (Anderson, 1998).
Begitu lemahnya kemampuan berpikir luas dan reflektif menyebabkan sebagian
bangsa Indonesia mudah terjebak pada komunikasi yang manipulatif dan terdistorsi
(Habermas, 1984). Realitas primordial terseret pada primordialisme. Wacana
primordialitas yang hidup dalam realitas pluralitas tidak dapat berkembang secara
maksimal. Khebinekaan yang sudah melekat pada pasa prasejarah mengalami ancaman
dan tantangan.
Harapan untuk melakukan rejuvenisasi terletak pada peran warga negara,
khususnya generasi muda. Kaum muda dengan segala keterbatasan serta kelebihannya
masih merupakan kelompok strategis yang dapat melihat dan mempertimbangkan
kehidupan berbangsa dan bernegara ke depan lebih visioner. Idealisme yang ada pada
sebagaian pemuda merupakan modal dasar dalam memperjuangkan nilai-nilai kehidupan
berbangsa dan bernegara secara kreatif. Sejarah Indonesia menunjukkan bahwa kaum
muda bukan sekedar obyek sejarah melainkan dalam pelbagai momentum selalu menjadi
pelopor dan agen perubahan sejarah.
Nasionalisme dan Energi Positif
Ditengah-tengah arus globalisasi muncul kesan bahwa nasionalisme tidak
relevan lagi dalam percaturan dunia. Nasionalisme yang biasanya selalu terkait dengan
eksistensi suatu bangsa dan negara dengan batas-batas yang jelas dan pasti dianggap
bertentangan dengan perkembangan teknologi dan informasi yang mampu menembus
batas-batas teritorial suatu negara. Peralatan teknologi komunikasi dan informasi kini
memang dengan cepat masuk dalam kehidupan rumah tangga dan keseharian.
Memang kemajuan teknologi dan informasi tidak dapat disangkal telah
mempengaruhi realitas masyarakat modern. Namun juga tidak dapat disangkal bahwa
arus informasi yang mengglobal tersebut tidak selamanya membawa kehidupan
masyarakat lebih otonom dan demokratis. Justru sebaliknya dalam masyarakat banyak
aspek kehidupan yang terpasung akibat kurangnya kesadaran kritis. Masyarakat dengan
mudah terjebak pada kehidupan yang konsumtif dan hedonistik sehingga dengan mudah
12
menjadi sasaran eksploitasi kekuatan-kekuatan ekonomi dunia (Falk, 1999). Bargaining
position kita sebagai bangsa menjadi lemah dalam berhadapan dengan bangsa lain.
Sebuah karakter bangsa harus dibangun dengan tetap berpijak pada kemampuan
riil yang dimiliki oleh bangsa Indonesia. Salah satunya adalah menggalang dan
mengaktualisasikan nilai-nilai luhur sehingga mampu menjadi etos yang mendorong
vistuositas (keunggulan) bangsa. Kebanggan nasional yang kini terkoyak oleh pelbagai
perilaku yang sarat dengan kejahatan sosial perlu segera diantisipasi secara kritis dan
kreatif. Dorongan untuk memberlakukan transparansi dalam pelbagai kebijakan dan
kepentingan publik sehingga muncul akuntabilitas menjadi tugas bersama.
Merupakan kewajiban bagi kita bersama membangun pola pkir dan etos kerja
yang lebh berkualitas. Kerjasama dengan bangsa lain, terutama dalam lingkup
masyarakat dunia tidak hanya menampilkan aspek kooperasi (kerjasama) melainkan juga
menampilkan aspek kompetisi (persaingan). Dalam proses persaingan tersebut
diperlukan keahlian dalam bidang yang digeluti. Tetapi dalam proses kerjasama dan
bersaing, biasanya tidak semata-mata ditentukan oleh kompetensi, melainkan juga pola
pikir yang terbuka dalam menghadapi pelbagai perubahan dan perbedaan. Untuk itulah
“kebhinekaan” yang sudah lama menjadi karakter bangsa layak dikembangkan, salah
satunya dengan menyikapi “Peristiwa Bubat” secara bijak dan futuritik.
Dalam konteks yang demikian dibutuhkan sarana dan pemahaman nilai sehingga
kesedihan dan keprihatinan terhadap kisah masa lalu yang pilu menjadi kepedulian yang
dapat memicu etos perjuangan, rela memaafkan, respek dan rela berkorban. Pelbagai
kisah sejarah harus bermuara pada berkembangnya etos kerja dan moralitas bangsa yang
unggul dan luhur.
Salah satu sarana mengembangkan nilai-nilai yang luhur dapat dipetik dari
“Peristiwa Bubat” untuk menumbuhkembangkan etos virtuisitas bangsa di masa depan.
Di sinilah untungnya belajar secara reflektif, kritis dan emansipatoris.
Tentu ini membutuhkan karakter dan sikap hidup yang berbeda dengan masa
sebelumnya. Tanpa kisa sadari globalisasi industry telah berubah menjadi globalisasi
individual. Persepsi diri perlu diubah agar tidak hanya puas menjadi orang yang sedang-
sedang saja (mediocre). Kita perlu melakukan reorientasi secara mendasar terhadap
pelbagai kisah sejarah di masa lalu yang tanpa disadari menimbulkan luka batin kolektif.
13
Bangsa Indonesia dapat menatap ke depan tatkala sudah dapat berdamai dengan
masa lalunya. Kita sulit menjadi bangsa yang maju dan sejahtera tatkala jiwa dan
pikiran kita masih terbelenggu oleh masa lalu yang pilu dan penuh dendam. Kita semua
harus segera “move on” dengan melampaui masa lalu. Kehidupan masa kini memang
dipengaruhi oleh masa lalu, namun tugas kita semua bukan sekedar mewarisi masa lalu
melainkan memposisikan diri di masa sekarang dan masa depan untuk menjadi bangsa
yang lebih maju. SEMOGA.
14