perjuangan kh. qusyaeri
DESCRIPTION
pdfTRANSCRIPT
PERJUANGAN KH. QUSYAERI DALAM PENGEMBANGAN PONDOK
PESANTREN AL-IKHLASH KANGGRAKSAN CURUG KECAMATAN
HARJAMUKTI KOTA CIREBON
SKRIPSI
Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat
Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Humaniora Islam (S.Hum.I)
Pada Program Studi Sejarah Peradaban Islam
Fakultas Ushuluddin Adab Dakwah
Disusun Oleh :
Syahri Nugraha
NIM 14103110018
KEMENTRIAN AGAMA
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN)
SYEKH NURJATI CIREBON
2014 M/ 1435 H
RIWAYAT HIDUP
Nama lengkap penulis adalah Syahri
Nugraha, lahir di Cirebon pada tanggal 24 April
1991. Penulis adalah anak pertama, putera dari
Bapak Nurochmat Wiznudin dan Ibu Kurniasih.
Beralamat di Dusun I Rt/Rw 003/002 Desa Curug,
Kecamatan Susukan Lebak, Kabupaten Cirebon.
Adapun riwayat pendidikan yang penulis tempuh adalah:
1. SDN 1 Curug tahun 1996 – 2002
2. MDA Nur Hidayah Curug tahun 1998-2002
3. SMP N 2 Susukan Lebak tahun 2003-2006
4. Pondok Pesantren Muallimin Babakan Ciwaringin Cirebon tahun 2006-
2011
5. Madrasah Al Hikamus Salafiyyah (MHS) tahun 2007-2011
6. MAN MODEL Ciwaringin tahun 2007-2009
7. IAIN Syekh Nurjati Cirebon Fakultas Ushuluddin Adab Dakwah Jurusan
Sejarah Peradaban Islam (SPI) tahun 2010-2014
8. Pondok Pesantren Al- Ikhlash Kanggraksan Curug tahun 2012- Sekarang
Selain itu selama menjadi mahasiswa penulis juga aktif di berbagai
organisasi kampus dan diluar kampus diantaranya adalah:
1. Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) IAIN Syekh Nurjati
Cirebon
2. Himpunan Mahasiswa Jurusan Sejarah Peradaban Islam (HIMASPI)
3. Anggota Komunitas Pusaka Kendi Pertula Cirebon
4. Ketua Senat Mahasiswa Fakultas Ushuluddin Adab Dakwah (SEMA-
FUAD)
MOTO
“When There A Will There is A Way”
Dimana Ada Kemauan Disana Ada Jalan
PERSEMBAHAN
Skripsi Ini Saya Persembahkan Kepada Ayahanda Dan Ibunda
Tercinta yang tak pernah bosannya selalu mendo’akan penulis.
Dan tak lupa juga kepada guru-guruku yang tak pernah lelah
mengajarkan ilmunya.
ABSTRAKSI
Syahri Nugraha. NIM 14103110018. “PERJUANGAN KH. QUSYAERI
DALAM PENGEMBANGAN PONDOK PESANTREN AL-IKHLASH
KANGGRAKSAN KECAMATAN HARJAMUKTI KOTA CIREBON”.
Skripsi. Cirebon : Fakultas Adab Dakwah Ushuluddin, Jurusan Sejarah
Peradaban Islam, Juni 2014.
Figur seorang Kyai di pesantren merupakan hal yang pokok dalam tatanan
pengembangan Pondok Pesantren agar lebih maju, terlebih perjuangan seorang
Kyai dalam mengembangkan Pesantren agar selalu berdiri tegak di berbagai
zaman, dengan tujuan untuk mempertahankan nilai-nilai keislaman di masyarakat.
Penelitian tentang KH. Qusyaeri ini, penulis memposisikan sebagai jawaban atas
sesosok figur tersebut. Selain sebuah potret perjalanan hidup seorang tokoh lokal,
penulis ingin lebih menggali sesuatu lebih mendalam lagi dengan merokunstruksi
melalui genersi penerus pesantren selanjutnya, khususnya kepada keturunan tokoh
pejuang Islam di wilayah Kanggraksan Curug Kota Cirebon. Penulis merasa
tertarik untuk mengkajinya lebih lanjut mengenai KH. Qusyaeri yang merupakan
tokoh pejuang dari Pesantren, yang notabene hanyalah lulusan dari sekolah
informal atau pesantren-pesantren, akan tetapi beliau mampu mengembangkan
pesantren sampai sekarang.
Yang akan penulis bahas dalam penelitan ini yaitu mengenai Perjuangan
Pengembangan Pesantren yang dilakukan oleh KH. Qusyaeri. Metode yang
digunakan dalam penelitian ini adalah deskriptif-analisis yaitu suatu metode yang
digunakan untuk menggambarkan cerita yang telah terjadi di masa lampau secara
sistematis, faktual, dan akurat mengenai fakta-fakta untuk memperoleh
kesimpulan yang kuat dengan pendekatan observasi dan melakukan wawancara
dengan keluarga, kerabat maupun yang mengetahui sejarahnya.
Dari hasil penelitian di lapangan, penulis dapat menarik beberapa kesimpulan,
yaitu: Pertama, KH. Qusyaeri adalah putera pertama dari pasangan Bapak Kastari
dan Nyai. Hj. Habibah yang terlahir dari keluarga sederhana pada tanggal 29
Oktober 1936 M di desa Kepompongan Kecamatan Talun Kabupaten Cirebon.
KH. Qusyaeri pertama belajar di Volks Scholl (sekolah zaman Belanda) namun
tidak sampai selesai. Kemudian ia lebih memilih melanjutkan ke Pesantren di
tanah Jawa ini untuk memperdalam ilmu agama Islam. Kedua, Pondok Pesantren
al-ikhlash didirikan pada tahun 1935 oleh KH. Makdum. Ketiga, seorang KH.
Qusyaeri yakni merupakan tokoh pejuang dalam memajukan pengembangan
Pondok Pesantren Al-Ikhlash.
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, yang telah
melimpahkan rahmat dan hidayah-Nya kepada kita semua termasuk penulis,
sehingga alhamdulillah penulis dapat menyelesaikan tugas akhir Strata Satu (S1)
pada Jurusan Sejarah Peradaban Islam (SPI), yakni penulisan skripsi. Shalawat
serta salam semoga terlimpah curahkan kepada junjungan Nabi Muhammad SAW
beserta keluarga, sahabat, dan para pengikutnya hingga akhir zaman.
Penyusunan skripsi ini merupakan kajian singkat tentang Perjuangan KH.
Qusyaeri Dalam Pengembangan Pondok Pesantren Al-Ikhlash Kanggraksan Curug
Kecamatan Harjamukti Kota Cirebon.
Penulis menyadari bahwa penyusunan skripsi ini tidak akan terwujud
tanpa adanya bantuan, bimbingan, dan dorongan dari berbagai pihak. Oleh karena
itu, dengan segala kerendahan hati pada kesempatan ini penulis mengucapkan rasa
terima kasih kepada:
Ungkapan ini penulis sampaikan kepada yang terhormat:
1. Prof. Dr. H. Maksum Mukhtar, M.A, selaku Rektor IAIN Syekh
Nurjati Cirebon.
2. Dr. H. Adib, M.Ag, selaku Dekan Fakultas Ushuluddin Adab
Dakwah.
3. Dedeh Nur Hamidah, M.Ag, selaku Ketua Jurusan Sejarah
Peradaban Islam (SPI) yang selalu memberikan nasihatnya kepada
penulis.
4. Dr. H. Didin Nurul Rosyidin, M.A, P.hD, selaku pembimbing I dan
Zaenal Masduqi, M.Ag, M.A, selaku pembimbing II yang dengan
tulus ikhlash memberikan arahan dan bimbingan dalam penyelesaian
tugas akhir ini.
5. KH. Zamzami Amin, KH. Marzuki Amin beserta keluarga besar.
selaku guru dan Pengasuh Pondok Pesantren Mua‟llimin Babakan
Ciwaringin Cirebon yang tak pernah lelah mengajari penulis tentang
ilmu agama yang hakiki, memberikan nasihat-nasihat yang berguna
bagi penulis di masa yang akan datang.
6. Hj. Maemanah, selaku istri KH. Qusyaeri (Alm) sekaligus Pengasuh
Pondok Pesantren Al-Ikhlash Kanggraksan Curug Kecamatan
Harjamukti Kota Cirebon yang telah memberikan restu kepada
penulis untuk melakukan penelitian di Pondok Pesantren Al-Ikhlash.
7. Para pengurus, dan Asatidz/Asatidzah Pondok Pesantren Al-Ikhlash
Kanggraksan Curug Kecamatan Harjamukti Kota Cirebon yang telah
berkenan membantu penulis dengan memberikan selama proses
penelitian dan pencarian dokumen tentang KH. Qusyaeri.
8. Ayahanda tercinta Nurochmat Wiznudin dan Ibunda tercinta
Kurniasih, yang selalu memberikan do‟a kepada penulis dari
semenjak kecil hingga dewasa, yang sampai saat ini penulis belum
bisa membalasnya.
9. Adik-adik tercinta Hikmatul Maula dan Roja Roihatul Jannah, yang
menjadi sumber inspirasi penulis sehingga bisa terselesaikan dengan
baik.
10. Kawan-kawan Jurusan Sejarah Peradaban Islam yang selalu
memberikan motivasi dan semangat kepada penulis dalam
penyelesaian skripsi ini.
Akhirnya dengan segala kerendahan hati penulis berharap kritik dan
saran yang membangun dari semua pihak, demi kemajuan penulis di masa yang
akan datang.
Cirebon, Juni 2014
Penulis
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL .............................................................................. i
PERSETUJUAN .................................................................................... ii
NOTA DINAS ........................................................................................ iii
PERNYATAAN OTENSITITAS SKRIPSI .......................................... iv
LEMBAR PENGESAHAN .................................................................... v
RIWAYAT HIDUP ................................................................................ vi
MOTO .................................................................................................... vii
PERSEMBAHAN .................................................................................. viii
ABSTRAKSI .......................................................................................... ix
KATA PENGANTAR ............................................................................ x
DAFTAR ISI .......................................................................................... xi
DAFTAR TABEL .................................................................................. xii
DAFTAR LAMPIRAN .......................................................................... xiii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah ............................................................... 1
B. Rumusan Masalah ........................................................................ 7
C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian .................................................. 7
D. Tinjauan Pustaka .......................................................................... 7
E. Kerangka Pemikiran ..................................................................... 9
F. Metode dan Sumber Penelitian ..................................................... 11
G. Sistematika Penulisan ................................................................... 14
BAB II BIOGRAFI KH. QUSYAERI
A. Latar Belakang Keluarga .............................................................. 16
B. Pendidikan ................................................................................... 17
C. Pengabdian Beliau ........................................................................ 26
D. Sakit dan Wafat ............................................................................ 29
BAB III SEKELUMIT PONDOK PESANTREN AL-IKHLASH
A. Pondok Pesantren di Cirebon ........................................................ 31
a. Pondok Pesantren Buntet ........................................................ 33
b. Pondok Pesantren Ciwaringin ................................................. 34
c. Pondok Pesantren Kempek ..................................................... 35
B. Pesantren Al-Ikhlash .................................................................... 36
a. Sejarah Pondok Pesantren Al-Ikhlash ..................................... 36
b. Tujuan Berdiri Pondok Pesantren Al-Ikhlash .......................... 37
c. Sistem Pesantren Al-Ikhlash ................................................... 38
1. Wetonan ........................................................................... 39
2. Ceramah ........................................................................... 40
3. Sistem Klasikal ................................................................. 40
d. Kurikulum Pesantren .............................................................. 40
e. Kondisi Objektif Pesantren Al-Ikhlash ................................... 43
a) Lokasi Pesantren .............................................................. 43
b) Tenaga Pendidik/Guru ...................................................... 44
c) Santri ................................................................................ 44
d) Struktur Pengurus Pondok Pesantren Al-Ikhlash ................ 44
BAB IV PERJUANGAN KH. QUSYAERI DALAM PENGEMBANGAN
PONDOK PESANTREN AL-IKHLASH
A. Perjuangan KH. Qusyaeri ............................................................ 47
1. Sistem Pengajaran di Al-Ikhlash ............................................. 47
2. Kurikulum pesantren Al-Ikhlash ............................................. 48
3. Kajian yang KH. Qusyaeri Ampu ........................................... 50
4. Metode Pendidikan dan Pengajaran ........................................ 51
1. Tariqah al-qudwah ........................................................... 51
2. Tariqah al-talqin............................................................... 52
3. Tariqah takwin al-‘adah al-hasanah ................................. 52
4. Tariqah al-syugl auqat al-farag ........................................ 53
5. Tariqah al-masubah wa al-‘uqubah .................................. 53
B. Nasihat/ Fatwa KH. Qusyaeri ....................................................... 54
1. Tidak Boleh keluar Malam ..................................................... 55
2. Jangan Main Bola di Tanah Orang .......................................... 55
3. Jangan Sering Pulang .............................................................. 55
4. Melaksanakan Perintah Allah dan Menjauhi Larangannya ...... 56
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan .................................................................................. 58
B. Saran ............................................................................................ 59
DAFTAR PUSTAKA ............................................................................. 61
DAFTAR TABEL
Tabel 1.1 Pengajian Ba‟da Shubuh ........................................................... 41
Tabel 1.2 Pengajian Ba‟da Isya ................................................................ 42
Tabel 3.1 Lokasi Pesantren ...................................................................... 43
Tabel 4.1 Kelas I ...................................................................................... 48
Tabel 4.2 Kelas II .................................................................................... 49
Tabel 4.3 Kelas III ................................................................................... 49
Tabel 5.1 Kajian yang KH. Qusyaeri Ampu ............................................. 50
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1 Rekapan wawancara dengan Ust. Haris Ustman Hakim ......... 65
Lampiran 2 Rekapan wawancara dengan Nyai Hj. Maemanah ................. 68
Lampiran 3 Denah Pesantren ................................................................... 70
Lampiran 4 Peta Pesantren ....................................................................... 71
Lampiran 5 KH. Qusyaeri ........................................................................ 72
Lampiran 6 Pondok Pesantren Al-Ikhlash ................................................ 73
Lampiran 7 Kegiatan Haul KH. Qusyaeri ................................................. 74
Lampiran 8 Surat Keterangan Penelitian Al-Ikhlash ................................. 77
Lampiran 9 Surat Keputusan Pembimbing Skripsi ................................... 78
Lampiran 10 Surat Pengantar Penelitian ................................................... 79
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Pada abad ke XV agama Islam sudah berkembang di Pulau Jawa,
terutama di Jawa Timur, Maulana Malik Ibrahim membuka Pesantren bagi siapa
saja yang berminat mempelajari agama Islam. Sebagian besar santrinya datang
dari daerah-daerah sekitarnya dan hanya sedikit dari mereka asal dari Jawa Barat.
Meski demikian bukan berarti di Jawa Barat tidak berperan dalam perkembangan
Islam paling awal. Sebaliknya melalui daerah yang bernama Gunung Jati yang
merupakan wilayah negeri atau daerah bawahan Pajajaran.1 Jawa Barat berperan
lebih dulu dalam melakukan gerakan Islamisasi Nusantara. Karena letaknya yang
strategis di tepi pelabuhan Muara Jati, pedagang-pedagang asing Muslim yang
datang ke wilayah ini, baik dari Cina, Arab, Gujarat maupun Pantai Barat India.
Selain sebagai pedagang, mereka juga berperan sebagai Mubaligh yang sengaja
membawa ajaran Islam keseluruh wilayah Asia Tenggara, termasuk Nusantara.
Sekitar tahun 1420 M datanglah serombongan pedagang dari Baghdad
yang dipimpin oleh Syekh Idhofi Mahdi (Syekh Dzatul Kahfi) mereka ke
Pelabuhan Muara Jati meminta izin kepada Ki Jumanjan Jati agar diperkenankan
menetap di perkampungan sekitar Muara Jati dengan alasan untuk memperlancar
dagangnya. Ki Jumanjan Jati memberi izin kepada rombongan Syekh Idhofi
untuk tinggal di kampung Pasambangan yang sekarang terdapat di wilayah
Gunung Jati.2 Di tempat Syekh Idhofi mengajarkan ilmu agama Islam kepada
masyarakat sekitar dengan mendirikan sebuah pengguron atau lebih dikenal
dengan pondok pesantren. Secara umum sebagaimana dikatakan oleh Muhaimin
AG, bahwa penyebaran Islam di Cirebon ini mengikuti tradisi pembelajaran Islam
1 Wahyudi Asnan, Kisah Wali Sanga.( Surabaya: Karya Ilmu, 2001), hlm 5.
2 Musthofa Bisri, Kitab Tarikh Auliya. (Kudus: Menara Kudus, 1952), hlm 11-12.
di seluruh Jawa.3 Tradisi pembelajaran yang demikian kita sebut dengan sebuah
istilah pesantren.
Pondok pesantren merupakan lembaga dan wahana pendidikan agama
Islam sekaligus sebagai komunitas santri yang “ngaji” ilmu agama Islam. Pondok
pesantren tidak hanya identik dengan makna keislaman, tetapi juga mengandung
makna keaslian (indigenious) Indonesia.4 Terlebih di Jawa Barat yakni Cirebon,
yang dalam perkembangannya mampu menjadi tempat berseminya dakwah Islam
hingga tersebar luas di wilayah Jawa Barat.
Menurut Babad Cirebon, daerah Cirebon tumbuh dan berkembang
dengan kegiatan belajar mengajar dari lembaga yang mirip pesantren yang disebut
pengguron atau peguron. Dengan cara ini, pesantren memperoleh pengakuan,
legitimasi dan dukungan politis penuh dari Kraton. Karena dalam penyebaran
Islam, Kraton sendiri mengambil dan memantapkan misi dari pesantren itu
sendiri.
Ada dugaan kuat bahwa pada masa awal Kraton, penyebaran Islam di
Cirebon berpusat di desa.5 Sejak Cirebon memiliki sendiri dewan kekuasaan yang
merdeka di bawah Pangeran Cakrabuana dan kemudian dikembangkan oleh
Sunan Gunung Jati (1570 M) dan penerusnya, Panembahan Ratu (sekitar 1650
M), pusat penyebaran Islam berpindah dari desa ke lembaga kekuasaan (Kraton).
Pada sekitar awal abad ke- 19-20 M, Cirebon menjadi salah satu pusat
pesantren di Jawa dengan berdirinya beberapa pesantren seperti Pesantren Buntet,
Pesantren Bale Rante, dan Pesantren Ciwaringin. Hal ini tidak terlepas dari
3 Tradisi pembelajaran Islam di Jawa dalam penjelasannya yang mengutip dari
Dhofier seperti, kewajiban pengucapan kalimat syahadat. Sebagai contoh, di Jawa pembacaan syahadat di saat bayi yang baru lahir, orang menikah, dan sebagainya. Zamakhsyari Dhofier,
Tradisi Pesantren Studi Tentang Pandangan Hidup Kyai. (Jakarta: LP3ES, 1982), hlm 18-24.
4 Muhtarom H.M, Reproduksi Ulama di Era Globalisasi Resistansi Tradisional Islam.
(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005), hlm 5.
5 Masa awal kraton diartikan sebagai masa awal-awal Cirebon berdiri. Sedangkaan
contoh yang berpusat di desa seperti pesantren Syekh Kahfi Di Amparan Jati.
pembatasan tindakan-tindakan yang dilancarkan oleh Pemerintah Kolonial
Belanda terhadap proses pendidikan dan penyebaran agama Islam di dalam
Kraton sejak awal abad ke- 18 .
Cirebon dikenal dengan ajaran Islamnya yang kuat. Tidak heran jika
Cirebon memiliki banyak pesantren. Di Pasambangan terdapat sebuah pesantren
yang bernama Pasambangan yang dipimpin oleh Syekh Dzatul Kahfi (Syekh
Nurul Jati) yang bisa dikatakan sebagai cikal bakal Pesantren di Cirebon, sebelum
nantinya pusat pendidikan Islam di Cirebon berpindah ke Kraton. Di pesantren
inilah Pangeran Walangsungsang (putra raja Pajajaran, Prabu Siliwangi) dan
adiknya, Nyai Rara Santang, pertama kali mendapat pendidikan agama Islam.6
Pesantren di daerah Cirebon dari satu ke masa itu semakin berkembang pesat.
Begitu pun juga di daerah Kanggraksan Curug Cirebon di mana terdapat pondok
pesantren dengan nama Pondok Pesantren Al-Ikhlash.
Pondok Pesantren Al-Ikhlash didirikan pada tahun 1935 M yang terletak
di Kanggraksan Curug Harjamukti Kota Cirebon, dengan pendiri dan pengasuh
pertama dipegang oleh KH. Makdum (cucunya KH. Imam Prabu). Imam Prabu
merupakan kakek dari KH. Makdum yang ikut membantu mendirikan pesantren.
Cikal bakal berdirinya berawal dari kepulangan beliau dari melaksanakan ibadah
Haji, beliau mendapatkan tanah warisan dari Ibu mertuanya seluas ± 1680 m2,
yang kemudian digunakan untuk membangun Pesantren Al-Ikhlash.
Pasca wafatnya KH. Makdum tampuk kepemimpinan pesantren
diteruskan menantunya KH. Qusyaeri yang pernah menjadi santrinya KH.
Makdum selama 4 tahun, dari tahun 1955-1959 M. Selama masa kepemimpinan
KH. Qusyaeri banyak melakukan gebrakan dalam rangka mengembangkan
pondok pesantren.
6 http://www.dessykomalawatiblogspot.com/2011/sejarah-cirebon.html.oleh Dessy
Komalawati. Diunggah 26 Februari 2014 pukul 16.11 WIB
Seiring dengan perkembangan kepemimpinan pesantren dan perjalanan
waktu sistem pendidikan pondok pesantren, serta banyaknya santri yang mukim
dan berasal dari daerah sewilayah III Cirebon dan bahkan juga dari luar Jawa.
KH. Qusyaeri dilahirkan pada tanggal 29 Oktober 1936 M dari pasangan
Nyai Hj. Habibah dan Bapak Kastari. Beliau biasa disapa dengan panggilan Eri.
Kiai ini merupakan putera pertama dari empat bersaudara. Beliau disekolahkan di
volkschool (pada zaman dulu) di desa Kepompongan Kecamatan Talun Kabupaten
Cirebon, akan tetapi hanya sampai kelas IV, beliau sekolah dan tidak sampai
lulus. Beliau memilih pendidikan lanjutannya dengan hanya melanjutkan ke
Pesantren di berbagai tempat selama 8 tahun, diantaranya di Tegal 2 tahun,
Sindang Laut Kabupaten Cirebon 2 tahun, kemudian di Kanggraksan Curug Kota
Cirebon 4 tahun.7
Sepanjang perjalanan hidupnya KH. Qusyaeri termasuk orang yang
sederhana dari kalangan keluarga biasa. Meskipun tidak tamat Sekolah Rakyat,
beliau tidak pernah putus harapan. Dengan memiliki kepribadian yang baik dan
bekal ilmu selama mengenyam pendidikannya di pesantren, beliau akhirnya
dipercayai oleh KH. Makdum. Bahkan beliau dijadikan sebagai menantu sang
Kiai, untuk meneruskan kepemimpinan KH. Makdum di Pesantren Al-Ikhlash.
Tepat pada hari Kamis malam Jum‟at tanggal 12 Djulhijjah 1380 H/1959 M,
beliau dinikahkan dengan putri bungsu KH. Makdum yang bernama Hj.
Maemanah, dan dikaruniai 13 (tiga belas) anak, yang meninggal 6 (lima) yang
hidup 7 (tujuh). Kemudian KH. Qusyaeri menikah lagi pada tahun 1970 M,
dengan Nyai Hj. Hafsah binti Kyai Sholihin Kampung Grenjeng Kecamatan
Harjamukti Kota Cirebon, dan dikarunia 8 (delapan) anak, yakni 3 (tiga) laki-laki,
dan 5 (lima) perempuan.
7 Tuti Alawiyah, “Kepemimpinan Pondok Pesantren: (Studi Kasus Kepemimpinan dan
Perjuangan KH. Qusyaeri Pengasuh Pondok Pesantren Al-Ikhlash Curug Kanggraksan Cirebon) ,
Tesis Megister Manajemen Pendidikan Islam (Cirebon: IAIN Syekh Nurjati, 2012) hlm. 125, tidak
diterbitkan.
Di dalam mengembangkan pesantren KH. Qusyaeri memiliki strategi-
strategi yang jitu seperti halnya dalam mengambil keputusan, penyelesaian
konflik, dan pengembangan Pondok Pesantren Al-Ikhlash:
a. Pengambilan Keputusan
Pengambilan keputusan di Pondok Pesantren Al-Ikhlash senantiasa
dilakukan dengan musyawarah mufakat dari jajaran level santri, organisasi santri,
guru, dan pengurus. Demikian juga dalam proses pengambilan keputusan dalam
perencanaan pendanaan pondok melalui proses musyawarah. Misalnya dalam hal
keuangan, KH. Qusyaeri tidak memegang keuangan, namun beliau tahu masuk
dan keluarnya dana tersebut. Karena kiai selalu meminta laporan kepada
bendahara pondok, agar selalu melaporkan sirkulasi keuangan pondok.
b. Penyelesaian Konflik dan Perkembangan
Di dalam menyelesaikan konflik yang terjadi pada santrinya, KH.
Qusyaeri tidak turun tangan langsung menangani masalah tersebut melainkan
beliau menyerahkan urusan itu kepada pengurus terlebih dahulu. Jikalau dari
pengurus itu sendiri tidak mampu, barulah permasalahan itu diselesaikan oleh
beliau.
Selain itu di Pondok Pesantren Al-Ikhlash beliau juga menerapkan sistem
pengajaran yang masih mempertahankan unsur ke tradisionalan pesantren pada
umumnya, yakni wetonan/bandungan, sistem ceramah, dan juga sistem klasikal.
a. Wetonan
Wetonan atau disebut bandungan adalah metode yang paling utama di
lingkungan pesantren. Zamakhsyari Dhofier menerangkan bahwa metode wetonan
(bandungan) ialah suatu metode pengajaran dengan cara guru membaca,
menterjemahkan, menerangkan dan mengulas buku-buku Islam dalam bahasa
Arab sedang sekelompok mendengarkannya.8
Kegiatan pengajian wetonan ini KH. Qusyaeri menggunakan kitab-kitab
yang beliau kaji dengan konsep perpaduan antara salafi dan modern, yakni dari
kitab salafi beliau menerangkannya serta mengkorelasikan dengan konteks
kekinian, hal ini yang bisa memudahkan para santri untuk bisa memahami maksud
dari kitab yang sedang di kaji tersebut.
b. Ceramah
Kegiatan ini dilakukan KH. Qusyaeri dalam penyampaian materi
pengajian kepada santrinya, yang dilaksanakan satu minggu sekali yaitu dengan
mendengarkan mauidhoh hasanah atau tausiyah dari beliau pada malam jum‟at
sebelum melaksanakan tahlil bersama. Isi dari mauidhoh hasanah itu, beliau
menyampaikan materi dengan cara bercerita, kemudian cerita tersebut di dukung
dengan dalil-dalilnya.
c. Sistem klasikal
Kegiatan ini dilakukan oleh pengurus, anak, dan cucu beliau yang
memiliki kompeten dan mendapat kepercayaan dari KH. Qusyaeri untuk
mengabdi dan mengajarkan ilmunya kepada para santri. Sistem klasikal yang di
terapkan di Pesantren Al-Ikhlash ini disesuaikan dengan kadar kemampuan
masing-masing santri mulai dari kelas 1 s/d III. Dan kegiatan ini dilakukan pada
ba’da shubuh dan ba’da isya’.
Berangkat dari pemaparan diatas, KH. Qusyaeri memang sangat
memiliki peranan yang besar. Banyak alasan mengapa penulis ingin menulis
penelitian mengenai KH. Qusyaeri. Salah satunya karena kurangnya informasi
dan pembahasan mengenai perjuangan seorang ulama yang sebenarnya mereka
memiliki peran yang sangat besar dalam mengembangkan pondok pesantren dan
8Mujamil Qomar, M.Ag, Pesantren Dari Transformasi Metodologi Menuju
Demokratisasi Institusi. Jakarta: Penerbit Erlangga, 1996, hlm 143.
ikut andil dalam penyebaran agama Islam, akan tetapi tidak diketahui khalayak
umum. Banyak para ulama yang kurang dikenal oleh masyarakat,
karena mereka menutup diri sehingga banyak yang tidak mengenalnya. Oleh
karena itu, penulis ingin mengkaji lebih jauh mengenai “Perjuangan KH.
Qusyaeri dalam Pengembangan Pondok Pesantren Al-Ikhlash Kanggraksan
Curug Kecamatan Harjamukti Kota Cirebon”.
B. Rumusan Masalah
Kajian ini secara umum berusaha untuk memenuhi dan mengetahui peran
dari tokoh KH. Qusyaeri sebagai salah satu tokoh yang berhasil dalam
pengembangan pesantren yakni Pondok Pesantren Al-Ikhlash Kanggraksan Curug
Cirebon.
Secara spesifik berdasarkan latar belakang masalah diatas, maka
permasalahan yang akan dibahas dalam kajian ini dapat dijabarkan dalam bentuk
pertanyaan-pertanyaan berikut ini:
1. Bagaimanakah biografi KH. Qusyaeri?
2. Bagaimana sejarah Pondok Pesantren Al-Ikhlash?
3. Bagaimanakah perjuangan KH. Qusyaeri dalam pengembangan Pondok
Pesantren Al-Ikhlash ?
C. Tujuan dan kegunaan penelitian
Tujuan penelitian ini merupakan target yang hendak dicapai melalui
serangkaian aktivitas penelitian, karena segala yang diusahakan pasti mempunyai
tujuan tertentu yang sesuai dengan permasalahannya. Sesuai dengan persepsi
tersebut dan berpijak pada rumusan masalah yang telah disebutkan, maka
penelitian ini mempunyai tujuan :
1. Untuk mengetahui Biografi KH. Qusyaeri.
2. Untuk mengetahui sejarah Pondok Pesantren Al-Ikhlash.
3. Untuk mengetahui perjuangan KH. Qusyaeri dalam pengembangan
Pondok Pesantren Al-Ikhlash.
D. Tinjauan Pustaka
Penelitian ini banyak membutuhkan referensi untuk menambah bobot
kajian tentang sejarah tokoh KH. Qusyaeri. Sumber pustaka yang di gunakan
dalam kajian ini baik yang bersifat primer, sekunder, maupun tersier dengan
harapan mampu memberikan informasi-informasi yang relevan terhadap
penelitian ini.
Tidak banyak buku yang menceritakan tentang KH. Qusyaeri, akan tetapi
masih ada beberapa yang bisa menjadi sumber rujukan dalam penelitian ini,
diantaranya yaitu sebagai berikut:
1. Kepemimpinan pondok pesantren: (Studi Kasus Kepemimpinan dan
Perjuangan Dakwah KH. Qusyaeri Pengasuh Pondok Pesantren Al-
Ikhlash Curug Kanggraksan Cirebon). Sebuah tesis yang disusun oleh
Tuti Alawiyah mahasiswi Program Pasca Sarjana IAIN Syekh Nurjati
Cirebon tahun 2012. Dalam tesis ini dijelaskan tentang kepemimpinan dan
perjuangan dakwah KH. Qusyaeri selaku Pengasuh Pondok Pesantren Al-
Ikhlash dalam memajukan lembaga pendidikan ini. Urgensi dari penelitian
tesis tersebut memberikan acuan pembahasan bagi kajian pembahasan ini.
Di dalam tesis tersebut belum terdapat tentang biografi dan peran KH.
Qusyaeri secara rinci, yang menjadi fokus skripsi ini. Sumber ini akan
penulis jadikan sebagai bahan bab II dan bab III
2. Tradisi Pesantren Studi Tentang Hidup Kyai. Sebuah buku yang disusun
oleh Zamakhsyari Dhofier. Dalam pembahasan buku ini banyak
memberikan pengetahuan tentang peranan kiai dalam memelihara dan
mengembangkan faham Islam tradisional di Jawa. Sumber ini akan penulis
jadikan sebagai bahan bab I dan bab IV.
3. Menggerakan Tradisi Esai-Esai Pesantren. Sebuah buku yang disusun
oleh Abdurrahman Wahid. Dalam pembahasannya buku ini menjelaskan
gagasan-gagasan tentang peran dan kedudukan institusi pesantren dalam
modernisasi. Sumber ini akan penulis jadikan sebagai bahan bab I.
4. Modernisasi Sistem Pembelajaran Pesantren Studi Pada Pondok
Pesantren Al-Hikmah Pedurungan Semarang. Sebuah skripsi yang disusun
oleh Khoirun Nuri mahasiswa Fakultas Tarbiyah IAIN Walisongo
semarang. Dalam pembahasannya skripsi ini menjelaskan tentang arti
penting moderniasasi dalam sistem pembelajaran di Pondok Pesantren Al-
Hikmah, bagaimana proses modernisasinya pesantren tersebut. Sumber ini
akan penulis jadikan sebagai bahan bab III.
5. Reproduksi Ulama di Era Globalisasi Resistansi Tradisional Islam.
Sebuah buku yang disusun oleh Dr. H. Muhtarom H.M. Dalam
pembahasannya buku ini menjelaskan tentang kredibilitas pondok
pesantren dalam menangani pengaruh globalisasi dan mampu
mengeksplorasi reproduksi ulama pondok pesantren tradisional. Sumber
ini akan penulis jadikan sebagai bahan bab IV.
6. Pesantren Dari Transformasi Metodologi Menuju Demokratisasi Institusi.
Buku yang disusun oleh Prof. Dr. Mujamil Qomar, M.Ag. dalam
pembahasannya buku ini menjelaskan tentang transformasi kepemimpinan
pesantren, sistem pendidikan pesantren, kurikulum pesantren, dan
transformasi pendidikan pesantren. sumber ini akan penulis jadikan
sebagai bahan bab I dan bab III.
E. Kerangka Pemikiran
Perjuangan merupakan suatu usaha untuk meraih sesuatu yang
diharapkan demi kemuliaan dan kebaikan. Karena pada dasarnya, segala apa pun
yang ingin diraih dengan kesuksesan yang gemilang itu membutuhkan
perjuangan.9 Seperti halnya perjuangan yang dilakukan oleh seorang ulama/kiyai
untuk mempertahankan dan mengembangkan pesantrennya, itu memerlukan
perjuangan yang amat sangat. Selain itu, perjuangan juga memerlukan kesabaran
9 http://cerianurrohmah.blogspot.com/2012/11/sejarah-perjuangan-bangsa-indonesia-
dan.html. Oleh: Nur Rochmah. (Diunduh pada 30 Agustus 2014).
serta keikhlasan yang penuh segenap jiwa dan raga. Karena tanpa adanya sifat-
sifat tersebut, sebuah perjuangan itu tidak berbuah kesuksesan.
Kyai merupakan elemen yang paling esensial dari suatu pesantren. Ia
seringkali bahkan merupakan pendirinya. Istilah kyai memiliki pengertian yang
plural. Kata Kyai bisa berarti:
1. Sebutan bagi alim ulama (cerdik pandai dalam agama Islam);
2. Alim ulama;
3. Sebutan bagi guru ilmu ghaib (dukun dan sebgainya);
4. Kepala distrik (di Kalimantan Selatan);
5. Sebutan yang mengawali nama benda yang dianggap bertuah
(senjata, gamelan, dan sebagainya);
6. Sebutan samaran untuk harimau (jika orang melewati
hutan).10
Menurut asal-usulnya, perkataan kyai dalam bahasa Jawa dipakai untuk
tiga gelar yang saling berbeda:
1. Sebagai gelar kehormatan bagi barang-barang yang dianggap keramat;
umpamanya, “Kyai Garuda Kencana” dipakai untuk sebutan kereta
emas yang ada di Keraton Yogyakarta.
2. Gelar kehormatan untuk orang-orang tua pada umumnya.
3. Gelar yang diberikan oleh masyarakat kepada seorang ahli agama
Islam yang memiliki atau menjadi pimpinan pesantren dan mengajar
kitab-kitab Islam klasik kepada para santrinya. Selain gelar kyai, ia
juga sering disebut alim (orang yang dalam pengetahuan islamnya).11
Gelar kyai dewasa ini juga dianugerahkan sebagai bentuk penghormatan
kepada seorang ulama yang mumpuni dalam bidang ilmu-ilmu keagamaan,
10 Ibid, hlm 27.
11
Zamakhsyari Dhofier, Tradisi Pesantren Studi Tentang Pandangan Hidup Kyai.
Jakarta: LP3ES, 1982, hlm 55.
walaupun yang bersangkutan tidak memiliki pesantren. Dengan kata lain, bahwa
gelar kyai tetap dipakai bagi seorang ulama yang mempunyai ikatan primordial
dengan kelompok Islam tradisional. Bahkan dalam banyak hal, gelar kyai ini juga
sering dipakai oleh para da’i yang biasa memberikan tausiyah dalam rangka
menyiarkan Islam.12
Di Indonesia istilah kuttab lebih dikenal dengan istilah “pondok
pesantren”, yaitu suatu lembaga pendidikan Islam yang didalamnya terdapat
seorang kyai (pendidik) yang mengajar dan mendidik para santri (peserta didik)
dengan sarana masjid yang digunakan untuk menyelenggarakan penddikan
tersebut, serta didukung adanya pemondokan atau asrama sebagai tempat tinggal
para santri.13
Sebuah pesantren pada dasarnya adalah sebuah asrama pendidikan Islam
tradisional di mana para siswanya tinggal bersama dan belajar di bawah
bimbingan seorang (atau lebih) guru yang lebih dikenal dengan sebutan „Kyai”.
Asrama untuk para siswa tersebut berada dalam lingkungan komplek pesantren di
mana kyai bertempat tinggal yang juga menyediakan sebuah masjid untuk
beribadah, ruang untuk belajar dan kegiatan-kegiatan keagamaan yang lain.
Komplek pesantren ini biasanya dikelilingi tembok untuk dapat mengawasi keluar
dan masuknya para santri sesuai dengan peraturan yang berlaku.14
Pada kamus besar bahasa Indonesia, pesantren diartikan sebagai asrama,
tempat santri, atau tempat murid-murid belajar mengaji. Sedangkan secara istilah
pesantren adalah lembaga pendidikan Islam, di mana para santri biasanya tinggal
di pondok (asrama) dengan materi pengajaran kitab-kitab klasik dan kitab-kitab
umum, yang bertujuan untuk menguasai ilmu agama Islam secara detail, serta
12http://mughits-sumberilmu.blogspot.com/2011/10/pengertian-kyaiustadz-dan-
penceramah.html. Oleh Mughits. (Diunduh pada 31 Agustus 2014).
13 Mujamil Qomar, Op. Cit hlm. 15.
14
Zamakhsyari Dhofier, Op.Cit, hlm. 44.
mengamalkannya sebagai pedoman hidup keseharian dengan menekankan
pentingnya moral dalam kehidupan bermasyarakat.
Dari pengertian diatas bisa di tarik kesimpulan bahwa pondok pesantren
adalah salah satu pendidikan Islam di Indonesia yang mempunyai ciri-ciri khas
tersendiri. Di mulai dari tempat, sistem pengajaran, guru-guru (pendidik), dan
juga para penghuninya yakni para murid yang biasa dikenal dengan sebutan
santri.
F. Metode dan Sumber Penelitian
Metode penelitian sejarah menurut Nugroho Notosusanto meliputi empat
langkah yaitu heuristik, verifikasi, interprestasi dan historiografi.15
Metode
penelitian sejarah menurut Nugroho Notosusanto:
a. Heuristik
Tahapan pertama yaitu mencari dan mengumpulkan sumber yang
berhubungan dengan topik yang akan dibahas baik sumber primer maupun
sekunder.
Sumber primer adalah sumber yang disampaikan oleh saksi mata. Hal ini
bisa dalam bentuk lisan maupun bentuk dokumen. Untuk sumber primer itu
sendiri belum ditemukan, dan sumber primer lisannya berupa wawancara dengan
saksi mata sejarah tokoh pesantren pada masa itu.
Sumber sekunder adalah sumber yang disampaikan bukan oleh saksi
mata. Sumber sekunder dalam penelitian ini berupa dokumen tertulis yang tidak
sejaman. Dan sumber sekunder lisannya berupa wawancara dengan para tokoh
yang mengetahui benar tentang KH. Qusayeri berdasarkan fakta.
Dokumen-dokumen tertulis yang diperoleh diantaranya, Perpustakaan
IAIN Syekh Nurjati Cirebon, Perpustakaan Umum 400, berbagai koleksi buku
pribadi dan buku dari Dosen maupun buku dari rekan-rekan kuliah mengenai KH.
Qusyaeri.
15Nugroho Notosusanto, Norma-Norma Penelitian dan Penulisan Sejarah. Jakarta:
Dep. HANKAM Pusat ABRI, 1978, hlm. 18.
b. Verifikasi (Kritik Sumber)
Pada tahap ini, sumber yang telah dikumpulkan pada kegiatan heuristik
kemudian dilakukan penyeleksian dengan mengacu pada prosedur yang ada, yakni
sumber yang faktual dan orisinalnya terjamin. Tahap verifikasi merupakan
kritikan untuk memperoleh kredibilitas sumber. Dalam hal ini dilakukan uji
keabsahan tentang keaslian sumber melalui kritik ekstern dan kredibilitas sumber
yang ditelusuri melalui kritik intern.
Pada kritik ekstern artinya peneliti melakukan pengujian atas asli atau
tidaknya sumber, yaitu peneliti menyeleksi sumber yang ditemukan. Dalam hal ini
berkaitan dengan memastikan keabsahan sumber sejarah, jenis tulisan dan kertas,
menentukkan pribadi penulis dan waktu serta tempat penulisan. Bila sumber yang
ditemukan berupa dokumen tertulis maka sumber itu harus diteliti dengan diuji
melalui pertanyaan-pertanyaan pokok mengunakan rumus 5W+1H yaitu what
(apa), who (siapa), where (dimana), when (kapan), why (mengapa), dan how
(bagaimana). Dari pertanyaan-pertanyaan tersebut maka peneliti dapat melihat
jawabannya sesuai dengan fakta atau tidak, karena dari sini peneliti dapat
mengklasifikasikan kualitas dari sumber-sumber-sumber tersebut.
Pada kritik intern membahas keadaan mental (kejiwaan) yang dilalui oleh
penulis sumber sejarah, dan kritik ini berusaha mengetahui jelas tujuan penulis
dari apa yang ia tulis, mengetahui apakah penulis yakin akan apa yang ia tulis, dan
apakah ada alasan cukup yang menjadikannya yakin dengan keabsahannya itu.16
Peneliti harus bisa menetapkan kredibilitas sumber sehingga tidak terjadi
kekeliruan.
c. Interpretasi
Interpretasi disebut juga dengan analisis sejarah. Ada dua metode yang
digunakan dalam tahap interpretasi, yaitu analisis dan sintesis. Analisis berarti
menguraikan, sedangkan sintesis berarti menyatukan.
16 Hasan Usman, Metode Penelitian Sejarah, penerjemah: H.A. Muin Umar, dkk.
(Jakarta: Proyek Pembinaan Prasarana dan Sarana Perguruan Tinggi Agama/IAIN di Jakarta
Direktorat Jenderal Pembinaan Kelembagaan Agama Islam Departemen Agama RI. 1986). hlm.
79.
Kegiatan penafsiran fakta ini bertujuan memberikan makna dan
pengertian serta menghidupkan kembali proses sejarah. Tahapan ini merupakan
kelanjutan dari tahapan sebelumnya karena setelah melakukan kritik sejarah,
maka harus dikembangkan pada pengambilan pengertian fakta dan data. Sehingga
dapat membuat sesuatu analisa terhadap sumber.
Dalam proses interpretasi sejarah, peneliti menggunakan metode analisis
yaitu menguraikan suatu peristiwa sejarah. Dalam menguraikan suatu peristiwa
sejarah ini maka peneliti berusaha mencapai pengertian faktor-faktor yang
menyebabkan terjadinya peristiwa. Interpretasi dilakukan peneliti dengan
memperbandingkan data guna menyingkap peristiwa-peristiwa mana yang terjadi
dalam waktu yang sama. Untuk mengetahui sebab-sebab dalam peristiwa sejarah
maka peneliti harus mengetahui data peristiwa masa lalu (lampau) guna
memberikan gambaran mengenai situasi pelaku, tindakan, maupun tempat
peristiwa itu terjadi.
Seperti pada penelitian skripsi ini setelah data-data mengenai perjuangan
KH. Qusyaeri dalam Pengembangan Pondok Pesantren Al-Ikhlash melalui
tahapan kritik, maka peneliti menginterpretasikannya dengan cara menguraikan
kronologi Perjuangan KH. Qusyaeri dalam Pengembangan Pondok Pesantren Al-
Ikhlash Kanggraksan Curug Kecamatan Harjamukti Kota Cirebon disertai
peristiwa-peristiwa penting lainnya yang terjadi pada masa itu.
d. Historiografi
Historiografi merupakan penulisan hasil penelitian sejarah yang telah
dilakukan. Penulisan hasil penelitian sejarah ini memberikan gambaran yang jelas
mengenai proses penelitian dari awal sampai akhir. Tahapan penulisan ini,
tegasnya menyampaikan informasi kepada khalayak dalam memberikan jawaban
terhadap rumusan masalah yang diajukan dalam penelitian ini. Pada tahap
historiografi ini peneliti memaparkan dalam bentuk dokumen tertulis data-data
yang didapat selama melakukan penelitian mengenai Perjuangan KH. Qusyaeri
dalam Pengembangan Pondok Pesantren Al-Ikhlash Kanggraksan Curug
Kecamatan Harjamukti Kota Cirebon.
G. Sistematika Penulisan
Untuk mempermudah dalam pembahasan ini, akan dijabarkan lebih
lanjut mengenai pembagian bab-bab yang sesuai dengan alur diakronis, sehingga
terungkap Perjuangan KH. Qusyaeri dalam Pengembangan Pondok Pesantren Al-
Ikhlash Kanggraksan Curug Kecamatan Harjamukti Kota Cirebon. Secara
keseluruhan skripsi ini terbagi ke dalam lima bab, dengan sistematika penulisan
sebagai berikut:
Pada Bab I, akan menjelaskan mengenai latar belakang pengambilan
tema tokoh ini, sehingga bisa dibahas secara detail. Bab ini merupakan
pendahuluan dari keseluruhan kajian dalam sebuah deskripsi rinci yang
memperlihatkan rencana-rencana bagaimana kajian ini akan dikerjakan dan
diselesaikan.
Bab II, mendeskripsikan biografi KH. Qusyaeri secara terperinci. Dalam
bab ini akan membahas tentang latar belakang keluarga, pendidikan, pengabdian
beliau, sakit dan wafatnya.
Bab III, mendeskripsikan Sekelumit Pondok Pesantren Al-Ikhlash.
Dalam bab ini akan membahas Pondok Pesantren di Cirebon, sejarah berdirinya
Pondok Pesantren Al-Ikhlash, tujuan pesantren, sistem pesantren, kurikulum
pesantren, dan kondisi objektif pesantren.
Bab IV, mendeskripsikan Perjuangan KH. Qusyaeri dalam
Pengembangan Pondok Pesantren Al-Ikhlash. Dalam bab ini akan membahas
Perjuangan yang dilakukan beliau seperti: Sistem Pengajaran di Al-Ikhlash,
Pembaharuan Kurikulum Pesantren, kajian yang KH. Qusyaeri ampu, Metode
Pendidikan dan Pengajaran.
Bab V, penutup. Dalam bab ini berisikan tentang kesimpulan dari semua
pembahasan, serta saran-saran untuk penelitian tersebut.
BAB II
BIOGRAFI KH. QUSYAERI
A. Latar Belakang Keluarga
Diberi nama Qusyaeri oleh orang tuanya, lahir dari keluarga sederhana
pada tanggal 29 Oktober 1936 M di desa Kepompongan Kecamatan Talun
Kabupaten Cirebon. Ia terlahir dari pasangan Nyai Hj. Habibah dan Bapak
Kastari. Ayahnya bekerja sebagai petani biasa sekaligus guru ngaji kampung,
sedangkan ibunya hanyalah seorang Ibu rumah tangga. Keadaan ekonomi pada
masa itu, sangatlah memprihatinkan artinya masih serba kekurangan, karena saat
itu Indonesia dalam keadaan di Jajah oleh Kolonial Belanda. Beliau biasa disapa
dengan panggilan Eri. Kiai ini merupakan putera pertama dari empat bersaudara
yakni Shobari (wafat), Nuriah (wafat), Mureti, dan Sunani (mereka bekerja
sebagai petani dan masih tinggal di desa Kepompongan).
Beliau disekolahkan di Volks School17
(pada zaman dulu) desa
Kepompongan Kecamatan Talun Kabupaten Cirebon. akan tetapi hanya sampai
kelas IV, beliau sekolah dan tidak sampai lulus. Alasan yang dikemukakan adalah
bahwa beliau merasa bosan dengan apa yang diajarkan disana. Beliau lebih
memilih pendidikan lanjutannya dengan melanjutkan ke pesantren di berbagai
tempat selama 8 tahun, di antaranya di Tegal (Kaliwungu) 2 tahun, Sindang Laut
Kabupaten Cirebon (Buntet) 2 tahun, kemudian di Kanggraksan Kota Cirebon
(Pondok Pesantren Al-Islamiyah) yang sekarang berubah nama menjadi Pondok
Pesantren Al-Ikhlash 4 tahun.18
17
Sekolah Desa atau Volkschool, adalah sekolah yang disediakan oleh Pemerintah
Jajahan Belanda untuk menampung hasrat anak-anak desa yang ingin bersekolah. Lama waktunya
hanya 3 tahun. Setelah selesai, bagi yang berminat bisa meneruskan ke Sekolah Lanjutan atau
Vervolgschool yang lebih dikenal dengan Sekolah Ongko Loro, sampai tamat klas 5.
http://rzhakim.blogspot.com/2012/10/mengenal-volkschool-atau-sekolah-desa.html, oleh RZ
Hakim. (Diunduh 21 Maret 2014).
18
Tuti Alawiyah, “kepemimpinan Pondok Pesantren: (Studi Kasus Kepemimpinan dan
Perjuangan KH. Qusyaeri Pengasuh Pondok Pesantren Al-Ikhlash Curug Kanggraksan Cirebon) ,
Sepanjang perjalanan hidupnya, KH. Qusyaeri termasuk orang yang
sederhana dari kalangan keluarga biasa. Hal ini bisa dilihat dari strata sosial dan
mata pencaharian kedua orang tuanya yakni sebagai petani biasa dan Ibu rumah
tangga. Meskipun tidak tamat Sekolah Rakyat, beliau tidak pernah putus harapan,
beliau terus melanjutkan pencarian ilmunya di berbagai pesantren. kedudukan
yang dimilikinya serta berbagai prestasi selama mengikuti pendidikan di
pesantren, beliau berhasil mendapatkan kepercayaan yang begitu besar dari
kiainya. Bahkan kepekaan yang dimiliki akhirnya menghantarkan beliau diangkat
menjadi menantu KH. Makdum. Status perkawinan ini mengangkatnya sebagai
calon penerus kepemimpinan pesantren. Maka setelah KH. Makdum wafat, KH.
Qusyaeri diangkat sebagai pengasuh pesantren pengganti KH. Makdum.
KH. Makdum atau KH. Abdul Shomad merupakan ayahanda dari istri
KH. Qusyaeri Hj. Maemanah dan sekaligus pengasuh pertama Pondok Pesantren
Al-Ikhlash. Tepat pada hari Kamis malam Jum‟at tanggal 12 Dzulhijjah 1380
H/1959 M, KH. Qusyaeri dinikahkan dengan putri bungsu KH. Makdum yang
bernama Hj. Maemanah. Dalam pernikahan ini KH. Qusyaeri dikaruniai 13 (tiga
belas) anak, yang meninggal 6 (enam) yaitu Abdul Azis, Abdullah Sahid, Imron
Rosidi, Suaebah, Faridah, dan Rabiatul Adawiyah. Sedangkan yang masih hidup
ada 7 (tujuh) di antaranya adalah Roikhah (pedagang, Desa Arga Sunya Cirebon)
Abdullah Syafi‟i (pedagang, Karang Jalak Sunyaragi Cirebon) , Afifah (istri KH.
Suja‟i Pengasuh Pondok Pesantren Az-Ziyadah Kanggraksan Curug), Haris
Usman Hakim (penasehat Pondok Pesantren Al-Ikhlash Kanggraksan Curug),
Atikah (Pedagang, Kanggraksan Curug), Syukron (Wiraswasta, Kanggraksan
Curug), dan Makmun (pedagang, Penggung Cirebon).19
Kemudian KH. Qusyaeri menikah lagi pada tahun 1970 M, dengan Nyai
Hj. Hafsah binti Kyai Sholihin Desa Grenjeng Kecamatan Harjamukti Kota
Tesis Megister Manajemen Pendidikan Islam. (Cirebon: IAIN Syekh Nurjati, 2012) hlm. 125,
tidak diterbitkan.
19 Wawancara dengan Nyai Hj. Maemanah (isteri KH. Qusyaeri) di kediamannya pada
tanggal 09 Mei 2014.
Cirebon, dan dikarunia 8 (delapan) anak, yakni 3 (tiga) laki-laki, diantaranya
adalah Asep kholil dan Agus Ali (biasa dipanggil Edi) sedangkan 5 (lima)
perempuan, diantaranya adalah Siti Masitoh, Siti Masruroh, Fariyah, Siti Faizah,
dan Halimatus Sa‟diyah.
B. Pendidikan
Pada masa KH. Qusyaeri muda, ada dua sistem pendidikan yang tersedia
bagi penduduk pribumi Indonesia. Pertama adalah sistem pendidikan yang
disediakan untuk santri muslim di pesantren dengan fokus pengajarannya adalah
ilmu agama. Kedua adalah sistem pendidikan Barat yang dikenalkan oleh
pemerintah Kolonial Belanda dengan tujuan menyiapkan para siswa untuk
menempati posisi-posisi administrasi pemerintahan baik tingkat rendah maupun
menengah.
Sejak awal abad 19 diperkenalkanlah sistem sekolah desa atau Volks
school, yang pendiriannya tergantung atas kemampuan masyarakat setempat dan
subsidi serta bimbingan pemerintah. Pada tahun 1819 M, Gubernur Jendral van
den Capellen mempunyai inisiatif untuk mendirikan sekolah dasar bagi penduduk
pribumi, agar dapat membantu pemerintah Belanda. Dalam surat edarannya
kepada para Bupati tersebut sebagai berikut: “Dianggap penting untuk secepat
mungkin mengadakan peraturan pemerintah yang menjamin meratanya
kemampuan membaca dan menulis bagi penduduk pribumi agar mereka lebih
mudah untuk menaati undang-undang dan hukum negara”.20
Jiwa dari surat edaran diatas menggambarkan tujuan daripada
didirikannya sekolah dasar pada zaman itu. Pendidikan agama Islam yang ada di
pondok pesantren, masjid, mushalla dan lain sebagainya dianggap tidak
membantu pemerintah Belanda. Para santri pondok pesantren masih dianggap
buta huruf Latin. Setelah menyelesaikan sekolah yang bisa diselesaikan dalam
20 Zuhairini Muchtarom, dkk, Sejarah Pendidikan Islam. (Jakarta: Bumi Aksara, 2010),
Cet. 10, hlm. 148.
waktu 3 (tiga) tahun ini dan yang diajarkan hanyalah sekedar kepandaian
membaca, menulis dan berhitung sederhana saja.21
Usaha Belanda untuk membatasi pendidikan terhadap kalangan pribumi
terus berlanjut, hingga saat muncul kritik dari para kaum humanis Belanda.
Sindiran dan kritik para kaum humanis yang dituangkan dalam tulisan seperti,
Max Havelaar (Max Havelaar: Or the Coffee Auctions of the Dutch Trading
Company, Multatuli, 1860) sedikit banyak telah memaksa Belanda untuk
memberlakukan politik etis (Ethical Policy - „Ethische Politiek), atau juga dikenal
sebagai politik balas budi, pada sekitar tahun 1901. Tiga poin utama dalam
politik etis Belanda pada masa itu adalah irigasi, migrasi, dan edukasi. Dalam
poin edukasi, pemerintah Belanda mendirikan sekolah-sekolah gaya barat untuk
kalangan pribumi. Akan tetapi keberadaan sekolah-sekolah ini ternyata tidak
menjadi sebuah sarana pencerdasan masyarakat pribumi. Pendidikan yang
disediakan Belanda ternyata hanya sebatas mengajari para pribumi berhitung,
membaca, dan menulis. Setelah lulus dari sekolah, mereka akan dipekerjakan
sebagai pegawai kelas rendah untuk kantor-kantor Belanda di Indonesia.22
Setelah munculnya politik etis yang dimotori van Deventer dan Baron
van Hoevel, maka terjadi perubahan kebijakan pendidikan di Indonesia. Sistem
persekolah dan kurikulum mengalami banyak perubahan. Semula jenjang
pendidikan terlama di bangku sekolah dasar hanya tiga tahun, dengan kebijakan
baru berubah menjadi 5 (lima) tahun dan 6 (enam tahun). Model persekolahan ini
dinamakan Schakel School dan HIS (Holland Inlandsche School). Materi
pengajaran mengalami perubahan yang cukup banyak. Tingkat kesulitan
mengalami peningkatan dan tidak setiap anak bangsa bisa menjadi siswa di
sekolah ini. Kedua sekolah ini tetap mempertahankan sistem lama dalam
penerimaan siswa baru. Mereka yang berasal dari kalangan rakyat biasa tetap
21 Marwati Djoned Poesponegoro Nugroho Notosusanto, Sejarah Nasional Indonesia
Jilid V. (Jakarta: Departemen Pendidikan Dan Kebudayaan, 1993), Cet. 8, hlm. 122.
22 http://eckobager.blogspot.com/2012/09/pendidikan-masa-kolonial.html, oleh Eko.
(Diunduh pada 27 April 2014).
tidak diperbolehkan memasuki jenjang pendidikan HIS. Mereka yang berasal dari
kalangan priyayi rendah, tentu saja harus ngenger dahulu agar dapat diterima
menjadi siswa sekolah ini. Di dalam persekolahan ini, Bahasa Belanda menjadi
bahasa pengantar dalam kegiatan belajar.
Di Jawa dan Sumatra keberadaan sekolah-sekolah Belanda maupun
pribumi telah mengakibatkan mobilitas sosial masyarakat. Kaum terpelajar
tersebut muncul sebagai hasil pendidikan Pemerintah Kolonial Belanda yang
otomatis pula meningkatkan derajatnya. Banyak dari mereka yang pada awalnya
berasal dari kelas rendah meningkat menjadi golongan kelas atas karena pengaruh
pendidikan. Contohnya para pegawai pemerintah kolonial Belanda yang berasal
dari bangsa pribumi. Di Indonesia Bagian Timur dan di Betawi telah lama ada
sekolah gubernemen bagi pribumi, sedangkan di Jawa tahun 1840-an.23
Namun pendidikan untuk pribumi itu sangat terbatas sekali. Dari
kalangan masyarakat pribumi, hanya anak-anak keluarga priyayi tinggi yang dapat
mendaftarkan diri. Masa belajar juga dibatasi hanya tujuh tahun dan mereka yang
berharap melanjutkan pendidikan harus ke negeri Belanda. Namun orang-orang
Eropa dan Timur Asing (yaitu Cina dan Arab) mendapat kesempatan lebih baik
untuk belajar di sekolah Model Barat yang berkualitas. Karena golongan tersebut
akan lebih mudah memberikan sumbangan terhadap sekolah. Adapun sekolah-
sekolah yang didirikan oleh Pemerintah Belanda di antaranya sebagai berikut:
1. Sekolah Kelas Satu
Didirikannya sekolah kelas satu pada awalnya diperuntukkan untuk anak
aristokrasi dan orang berada, sedangkan sekolah kelas dua untuk rakyat pada
umumnya. Sekolah Kelas Satu, sekolah yang terbaik yang tersedia bagi anak-anak
Indonesia, hanya terdapat di kota-kota penting di Jawa. Pulau-pulau di luar jawa
padahal ini dianaktirikan. Sekolah Kelas Satu di luar Jawa pertama kali didirikan
pada tahun 1909 M, sewaktu Jawa telah memiliki 60 sekolah serupa itu. Hal ini
23 http://blog-pelajaransekolah.blogspot.com/2013/10/sistem-pendidikan-pada-masa-
kolonial.html, oleh Luci Huki. (Diunduh 07 April 2014).
menimbulkan rasa tidak puas di kalangan penduduk luar Jawa, yang tidak diberi
kesempatan untuk memperoleh pendidikan Barat yang sangat di dambakkan itu.
2. Sekolah Kelas Dua
Sekolah Kelas Dua hanya mempunyai kurikulum yang sederhana, yakni
meliputi pelajaran membaca, menulis, dan berhitung. Sekolah Kelas Dua yang
dimaksud sebagai Sekolah Rakyat yang memberi pendidikan sederhana bagi
seluruh rakyat. Akibat dari krisis finansial yang sedang melanda Belanda, maka
keuangan pemerintah tidak mengizinkan pengeluaran yang demikian banyak,
sehingga perluasan Sekolah Kelas Dua menjadi sangat terhambat, bahkan di
hentikan. Keberatan lainnya ialah perluasan Sekolah Kelas Dua yang cepat dapat
menimbulkan bahaya terbentuknya sejumlah besar manusia yang menjauhkan diri
dari kehidupan desa dan pekerjaan kasar dan yang menginginkan pekerjaan pada
kantor pemerintah.
3. Sekolah Desa (Volks School)
Pada tahun 1907 M diciptakanlah sekolah baru, yakni Sekolah Desa. Di
samping pelajaran membaca, menulis, dan berhitung juga di ajarkan pekerjaan
tangan membuat keranjang, pot, genteng dan sebagainya. Yang digunakan sebagai
tempat belajar sementara ialah pendopo, sambil mendirikan sekolah dengan
bantuan murid-murid. Guru-guru diambil dari kalngan penduduk sendiri. Sekolah
itu sendiri primitif, di mana murid-murid duduk di lantai seperti di rumah sendiri,
alas tulisnya pun masih sangat sederhana yakni kaleng kosong yang diperoleh dari
toko-toko Cina digunakan sebagai alas untuk menulis. Sebidang tanah dipagari
sebagai tempat untuk menggembala kerbau-kerbau saat mereka sedang belajar
yang diawasi oleh seorang pengawas sekolah. Sekolah ini dibuka pada jam 09.00-
12.00 dan 13.00-15.00.
4. ELS (Eropesch Lagere School)
Setelah Hindia Belanda diterima kembali dari tangan inggris pada tahun
1816 M oleh para Komisaris Jenderal, maka pendidikan ditanggapi secara serius
dan sungguh-sungguh. Akan tetapi mereka lebih tertuju kepada anak-anak
keturunan Belanda saja. Sekolah Belanda atau (ELS) dimaksudkan agar sama
dengan yang ada di Nederland, walaupun terdapat perbedaan dengan muridnya.
Sebelum tahun 1870 M hanya sedikit sekali dari murid-murid yang sanggup
berbahasa Belanda.
5. HCS (Holland Chinese School)
Di Indonesia berdiri perkumpulan Cina, Tung Hoa Hwee Kuan (THHK)
pada tahun 1900 M. Awalnya mendirikan gedung pertemuan untuk menyebarkan
kebiasaan dan moral Cina menurut ajaran Kong Fu Tse. Kemudian lambat laun,
Perhatian mereka tertuju pada pendidikan, yakni dengan cara mendirikan sekolah.
Pada mulanya Bahasa Belanda termasuk ke dalam kurikulum sekolah, akan tetapi
ternyata orang belanda kurang suka menggunakan bahasanya kepada bukan orang
Belanda. Karena sukar memasuki ELS maka mereka menggaji guru Belanda
dengan gaji tinggi agar dapat mengajarkan bahasa Belanda, namun permintaan
mereka itu ditolak. Karena permintaan mereka ditolak, kemudian mereka
memanggil orang Inggris untuk mengajar bahasa Inggris. Karena mereka sadar di
luar sana banyak yang menguasai bahasa Inggris dan selain itu orang-orang
Inggris dengan senang hati menyebarkan bahasa Inggris.
Keadaan itu menyadarkan Pemerintah Belanda untuk segera
meninggalkan politik non-intervensi dalam pendidikan anak Cina. Kemudian
mereka mendirikan Hollands Chinese School (HCS) pada tahun 1908 M.
Tujuannya ialah agar dengan bahasa Belanda dapat dengan mudah mempelajari
bahasa dan kebudayaan Cina. Kurikulum HCS sama dengan ELS agar dapat
memberikan pendidikan yang murni kepada anak-anak Cina.
6. HAS (Holland Arab School) sekolah yang didirikan Pemerintah
Kolonial Belanda untuk golongan bangsa Arab/Timur Tengah.
7. HIS (Holand Inlandsche School)
Didirikannya HIS karena keinginan dari rakyat Indonesia sendiri untuk
mendapatkan pendidikan ala Barat. Hal itu merupakan akibat dari perubahan
kondisi social ekonomi di kawasan timur jauh yang telah diperkenalkan pada
masa politik etis, yang masa itu berlaku di Indonesia. Selain itu juga didorong
oleh organisasi-organisasi yang telah berdiri di Indonesia pada waktu itu, sperti
Budi Utomo dan Sarekat Islam.
HIS pada awalnya adalah sekolah kelas Satu, dan resmi diganti menjadi
HiS pada tahun 1914 M. Tanggapan dari pihak Belanda dengan berdirinya
sekolah ini kurang begitu baik. Karena kekhawatiran Belanda akan munculnya
orang pandai yang menyaingi orang Belanda. Kurikulum yang dipakai adalah
sesuai dengan yang tercantum dalam Statua 1914 No. 764, yaitu meliputi semua
pelajaran ELS. Selain itu peserta didik juga diajarkan membaca dan menulis
bahasa daerah dalam aksara latin dan Melayu, yang ditulis dalam tulisan Arab dan
latin. Namun yang lebih ditekankan adalah pelajaran bahasa Belanda bahkan
sejarah negeri Belanda pun dipelajari.
8. MULO (Meer Uitgebreid Lager Onderwijs)
MULO adalah bagian dari sistem pendidikan zaman Kolonial Belanda di
Indonesia. Sekolah lanjutan tingkat pertama yang merupakan singkatan dari Meer
Uitgebreid Lager Onderwijs dengan tingkatan yang sama dengan SMP / SLTP
pada masa kini. MULO menggunakan Bahasa Belanda sebagai bahasa pengantar.
Pada akhir tahun 30-an, MULO sudah ada hampir di setiap kota kawedanaan (
Kabupaten ).
9. AMS (Algemene Middelbare School)
AMS yang merupakan bagian dari sistem pendidikan zaman Kolonial
Belanda di Indonesia. AMS setara dengan SMA (Sekolah Menengah Atas) pada
saat ini yakni pada jenjang sekolah lanjutan tingkat atas. AMS menggunakan
pengantar bahasa Belanda dan pada tahun 1930-an, sekolah-sekolah AMS hanya
ada di beberapa ibu kota Provinsi Hindia Belanda yaitu Medan (Sumatera),
Bandung (Jawa Barat), Semarang (Jawa Tengah), Surabaya (Jawa Timur),
Makassar (Indonesia Timur). Selain itu AMS ada di Yogyakarta (Kasultanan
Yogyakarta), Surakarta (Kasunanan Surakarta) dan beberapa kota Karesidenan
seperti di Malang. Selain itu ada beberapa AMS Swasta yang dipersamakan
dengan Negeri di Provinsi Borneo (Kalimantan) belum ada AMS.
10. HBS (Hogere Burger School)
HBS (Hogere Burger School) yang merupakan sekolah lanjutan tinggi
pertama untuk warga negara pribumi dengan belajar selama 5 tahun, dan
menggunakan bahasa Belanda sebagai bahasa pengantarnya. Pendidikan HBS
selama 5 tahun setelah HIS atau ELS adalah masanya lebih pendek dari pada
melalui jalur MULO (3 tahun) + AMS (3 tahun). Di sini dibutuhkan murid yang
pandai, terutama bahasa Belanda. Bung Karno merupakan salah satu murid HBS
di Surabaya sebelum beliau masuk THS ( sekarang ITB ) di Bandung. Pada waktu
itu HBS hanya ada di kota Surabaya, Semarang, Bandung, Jakarta dan Medan,
sedangkan AMS ada di kota Jakarta, Bandung, Medan, Yoyakarta dan Surabaya.24
Mayoritas penduduk pribumi yang sebagian besar muslim, tidak
mendapatkan kesempatan itu. Hal ini, dilatar belakangi oleh politik Belanda
dalam menstabilkan pendanaan sekolah, karena orang-orang tersebut itu tentu
akan memberikan sokongan dan dukungan dana bagi pengembangan sekolah.
Mereka yang kaya akan berusaha memberikan partisipasi dana yang maksimal
agar anak-anaknya bisa sukses di sekolah.25
Jadi, karena pembatasan pemerintah,
institusi yang tersedia bagi mayoritas penduduk pribumi hanyalah pesantren.
Belajar di pesantren26
tidak hanya terjangkau, maksudnya pesantren
dalam hal ini memiliki aturan-aturan, administrasi, dan kurikulum yang mudah
dipahami, selain itu juga ada nilai ibadahnya yaitu berupa penuntutan ilmu agama.
Jumlah pesantren yang cukup banyak dapat menampung masyarakat, khususnya
karena pesantren seringkali terletak di dalam atau di dekat desa. Secara umum
24
http://pendidikan4sejarah.blogspot.com/2011/04/sekolah-jaman-kolonialbelanda.html.
Oleh Ivan Sujatmoko. (Diunduh 08 Mei 2014).
25 http://konsepblackbook.blogspot.com/2012/03/sistem-pendidikan-indonesia-pada-
masa.html. Oleh Himpunan Mahasiswa IPS terpadu UNM 2012-2013. (Diunduh 11 April 2014).
26 Pesantren adalah sekolah tradisional Islam berasrama di Indonesia. Institusi
pengajaran ini memfokuskan pada pengajaran agama dengan metode pengajaran tradisional dan
mempunyai aturan-aturan, administrasi, dan kurikulum pengajaran yang khas. Pesantren biasanya
dipimpin oleh seorang guru agama atau ulama yang sekaligus sebgai pengajar para santri. Untuk
tinjauan yang lebih lengkap, lihat Karel A. Steenbrink , Pesantren, Madrasah, Dan Sekolah:
Pendidikan Islam dalam Kurun Modern. (Jakarta: LP3ES, 1986).
dapat dikatakan bahwa beberapa pesantren, memfokuskan pada pengajarran
tingkat tinggi, sementara yang lainnya hanya menyediakan pengajaran tingkat
dasar. Ketenaran suatu pesantren tergantung pada reputasi pemimpinnya,
kemampuannya dalam menarik murid, dan ketinggian ilmu agamanya.27
Secara faktual ada beberapa tipe pondok pesantren yang berkembang
dalam masyarakat, yaitu pertama, pondok pesantren tardisional/salafi yaitu
pondok pesantren yang masih mempertahankan unsur aslinya dengan semata-mata
mengajarkan kitab yang ditulis ulama abad ke-15 dengan menggunakan bahasa
arab. Pola pengajarannya pun menerapkan sisitem halaqah28
yang dilaksanakan di
Masjid atau Surau. Kedua, pondok pesantren modern yaitu pondok pesantren
yang belajarnya cenderung berorientasi pada sistem pembelajaran secara modern
dan meninggalkan sistem pembelajaran tradisional. Penerapan sistem belajar
modern ini terutama nampak pada penggunaan kelas-kelas belajar baik dalam
bentuk madrasah atau sekolah. Kurikulum yang dipakai pun menggunakan
kurikulum sekolah atau madrasah yang berlaku secara nasional. Ketiga, pondok
pesantren komprehensip yaitu pondok pesantren yang menerapkan sistem
penggabungan antara tradisional dan modern. Artinya di dalamnya diterapkan
pendidikan dan pengajaran kitab dengan metode sorogan29
, bandongan atau
wetonan30
, namun secara reguler sistem persekolahan pun terus dikembangkan.
27Lathiful Khuluq, Fajar Kebangunan Ulama Biografi KH. Hasyim Asy’ari
(Yogyakarta: Lkis, 2000), hlm. 22-23.
28
Halaqah; dalam sistem pengajaran di lembaga pendidikan islam tradisional pesantren
dikenal dengan dua metode utama pengajaran: sorogan dan Halaqah. Untuk tinjauan yang lebih
lengkap, lihat Tim IAIN Syarif Hidayatullah, Ensiklopedi Islam Indonesia. (Jakarta: Djambatan
Anggota IKAPI, 1992).
29 Sorogan, yakni suatu metode dimana santri menghadap kiai seorang demi seorang
dengan membawa kitab yang akan dipeljarinya. Untuk tinjauan yang lebih lengkap, lihat Samsul
Nizar, Sejarah Pendidikan Islam Menelusuri Jejak Sejarah Pendidikan Era Rasulullah Sampai
Indonesia, (Jakarta: Kencana, 2007), hlm. 287.
30 Weton berasal dari kata wektu (bahasa jawa) yang berarti waktu, sebab pengajian
tersebut di berikan pada waktu-waktu tertentu, yaitu sebelum dan atau sesudah melakukan sholat
fardhu. Untuk tinjauan yang lebih lengkap, lihat Tuti Alawiyah, Kepemimpinan Pondok
Pesantren; (Studi Kasus Kepemimpinan KH. Qusyaeri Pengasuh Pondok Pesantren Al-Ikhlash
Curug kanggraksan cirebon), Tesis Megister Manajemen Pendidikan Islam. (Cirebon: IAIN Syekh
Nurjati, 2012, hlm. 84.
Dalam hal ini, KH. Qusyaeri menempuh pendidikannya di pesantren tradisional
sampai bertahun-tahun lamanya.
Sudah menjadi hal biasa bagi para santri mengikuti pelajaran di berbagai
pesantren, mengingat masing-masing pesantren mempunyai spesialisasi dalam
pengajaran ilmu agama.31
Tradisi pesantren dalam mencari ilmu inilah yang
memberi kesempatan pada KH. Qusyaeri untuk mendalami ilmu agama secara
sempurna yaitu dengan melalui penjelajahannya belajar ke pesantren-pesantren di
tanah Jawa ini, seperti Pesantren Kaliwungu yang dipimpin KH. Khumaidullah,
Pesantren Sindang laut (Buntet), dan yang terakhir di Pondok Pesantren Al-
Islamiyah Kanggraksan Curug Cirebon (sekarang berubah nama menjadi Pondok
Pesantren Al-Ikhlash) yang masa itu dipimpin oleh KH. Makdum.
C. Pengabdian Beliau
Pasca wafat mertuanya yaitu KH. Makdum tahun 1958 M, tampuk
kepemimpinan pesantren digantikan oleh sang menantu yakni KH. Qusyaeri
dikarenakan beliau merupakan santri yang alim dan dipercaya oleh KH. Makdum,
sehingga beliau mendapatkan wasiat/amanat untuk meneruskan pesantren. Maka
dari sinilah di mulainya era baru pengabdian beliau terhadap pesantren.
Pengabdian KH. Qusyaeri di Pondok Pesantren Al-Ikhlash ini terbilang cukup
lama, yang mana telah banyak jasa-jasa beliau dalam memajukan pesantren. baik
itu dari segi akhlak, pendidikan, serta pengembangan pesantren itu sendiri. pada
tahun 1956-1964 M dengan ditemani KH. Abbas (putera KH. Makdum), KH.
Maksudi (putera/kakak ipar Hj. Maemanah), dan Hj. Farihah bersama-sama
berupaya mengabdi dan mengembangkan pesantren.32
Pada tahun 1964 M pondok pesantren mengalami fase kevakuman,
dikarenakan saat itu sedang terjadi insiden Gerakan 30 September Partai Komunis
31 Zamakhsyari Dhofier, Op.Cit, hlm. 24.
32
Wawancara dengan Ust. H. Harits Usman Hakim (putera KH. Qusyaeri) di
kediamannya pada tanggal 24 Maret 2014.
Indonesia (PKI) atau biasa dikenal dengan istilah G30 S/PKI. Awalnya peristiwa
ini terjadi tahun 1948 M saat Muso telah menguasai daerah Karesidenan Madiun
(Madiun, Ponorogo, Magetan, Pacitan dan Ngawi) dan membunuh banyak tokoh
agama, dimana pada saat itu TNI sudah dilumpuhkan oleh PKI.33
Oleh karena itu,
PKI saat itu menutup rapat-rapat lembaga-lembaga yang berkaitan dengan
keagamaan untuk menjalankan aktifitasnya, sehingga membuat santri-santri
membubarkan diri dari pesantren.
Dengan adanya kejadian tersebut, demi menyelamatkan diri KH.
Qusyaeri beserta keluarganya hijrah ke Jakarta. Disana beliau menetap cukup
lama hingga beberapa tahun sampai keadaan daerah Cirebon dan sekitarnya dirasa
sudah aman. Pada tahun 1979 M beliau kembali ke Cirebon dan sudah membawa
2 (dua) orang anak yaitu Roikhah (Desa Arga Sunya Cirebon) dan Abdullah
Syafi‟i (Karang Jalak Sunyaragi Cirebon), di tahun itu beliau mencoba merintis
pesantren kembali dengan membuka pengajian di pondok kecil yang berada di
dalam rumahnya. Pembangunan pondok saat itu, masih sangat sederhana sekali
yaitu dengan hanya menggunakan triplek kayu sebagai pembatas tempat untuk
mengaji.
Di awal perintisan pondok pesantren, beliau hanya memiliki 2 (dua)
santri saja, yaitu Suryana (sampai sekarang masih tinggal di Majalengka) dan
Samsuddin (sekarang tinggal di Indramayu) yang berasal dari Majalengka sekitar
tahun 1985-1986 M. Walaupun demikian adanya, beliau tetap memberikan
pengajaran ilmu agama terhadap santrinya itu. Selain mengajar ilmu agama
kepada para santri, beliau dibantu KH. Soleh juga membuka pengajian untuk para
lansia (lanjut usia) yang dilaksanakan setiap hari Rabu, yang sampai saat ini
pengajian tersebut masih diteruskan oleh sang anak yakni Nyai Hj. Afifah (istri
KH. Suja‟i Pengasuh Pondok Pesantren Az- Ziyadah).
Kemudian setelah mengalami perubahan zaman, pesantren ini mulai
tumbuh dan berekembang pesat. Santri-santri mulai banyak berdatangan dari
33
http://ferisyanurfitriana.blogspot.com/2013/01/gerakan-pembaharuan-pendidikan-
di.html. (Diunduh 13 April 2014).
berbagai daerah, tidak hanya Jawa Barat saja melainkan dari daerah luar Jawa pun
ada. Selain aktif mengajar, beliau juga aktif dalam mengembangkan dakwah Islam
di Tanah Cirebon ini. Diantaranya beliau mengisi pengajian di berbagai daerah
seperti di daerah Megu Cilik dan Megu Gede (Plered), Indramayu dan daerah
lainnya. Selain itu, Sosok seorang KH. Qusyaeri ini adalah sebagai figur kiai/da‟i
yang kharismatik mudah dipercayai masyarakat sekitar dikarenakan beliau
memiliki karakter sebagai berikut34
:
1. Bijak dalam Bertindak
Segala masalah yang dihadapi baik berkaitan dengan pesantren maupun
masyarakat, dalam mengambil keputusan beliau bersikap bijak. Artinya beliau
tidak terburu-buru dalam mengambil keputusan, namun melalui pertimbangan
yang matang agar dapat menghasilkan keputusan yang tepat. Dalam hal ini, sikap
bijak bisa dijadikan panutan bagi santri-santrinya terutama pengurusnya.
2. Tegas dalam Berfikir
Perkataan beliau dalam berdakwah baik dalam hal tausiyah terhadap
santri maupun masyarakat bersifat tegas dan jelas, sehingga bisa diterima dengan
mudah. Artinya alur pikirannya itu tepat mengenai pokok pembahasan
pembicaraan, dan ucapannya tersebut tidak hanya di mulut saja melainkan di
aplikasikan dalam kehidupan sehari-harinya.
3. Selalu Mengarahkan Santri-Santrinya untuk Pintar
Setiap kegiatan pengajian KH. Qusyaeri selalu memberi motivasi agar
selalu rajin belajar dan pintar, sehingga bisa mendapatkan ilmu yang bermanfaat.
Karena dengan ilmu yang bermanfaat diharapkan para santri mampu
mengamalkan ilmunya kepada masyarakat di daerah masing-masing, sepulang
dari mesantren. Kalaupun tidak demikian, maka ilmu tersebut cukup untuk diri
sendiri sebagai benteng pondasi hidup.
34 Tuti Alawiyah,, Op.Cit, hlm. 149-150 .
4. Memberikan Nasihatnya Bersifat Paternalistik
Dalam memberikan fatwa dan nasihat kepada para santrinya bersifat
paternalistik yakni selayaknya memberikan nasihat bapak kepada anaknya,
sehingga tidak ada kecanggungan diantara beliau dan santrinya. Artinya disini
santri tidak hanya dianggap sebagai murid saja, melainkan beliau menganggap
para santri itu seperti anak kandung beliau sendiri. Sehingga dengan adanya
perlakuan ini, para santri tidak lagi merasa sungkan atau malu untuk meminta
nasihat atas masalah yang dihadapi santri.
D. Sakit dan Wafat
Pada tahun 1990-1995 M beliau mulai merasakan sesak nafas atau asma.
Sering sekali asma tersebut kambuh di waktu-waktu tertentu seperti menjelang
shubuh dan sore hari, namun dalam keadaan seperti itu beliau masih tetap saja
aktif dalam melakukan aktifitasnya, yakni mengisi pengajian rutinnya di daerah
Megu Cilik (hari selasa), dan Megu Gede (minggu ke-3) yakni di Madrasah At
Tarwiyah. Kejadian ini berawal dari ketika beliau mengisi pengajian di
Indramayu. Sekitar tahun 1972 M Ketika beliau pernah mengalami kecelakaan
beserta 4 orang santrinya dikarenakan supirnya mengantuk sewaktu berkendara.
Kemudian beliau dilarikan ke rumah sakit, setelah beberapa hari beliau sembuh
dan mulai menjalankan aktivitas seperti biasa.
Kemudian kejadian kecelakaan serupa tersebut terulang kembali, yaitu
saat beliau pulang dari pengajian di daerah Megu (Plered) sekitar jam 12 siang.
Pada saat itu beliau mengendarai sepeda motor lalu dari arah belakang ditabrak
oleh sepeda motor hingga mengakibatkan beliau terjatuh dari motornya. Pasca
kecelakaan itu, lalu oleh sang pelaku beliau dibawa ke rumahnya terlebih dahulu,
karena melihat keadaan beliau yang semakin parah, akhirnya mereka bergegas
membawanya ke Rumah Sakit Ciremai Kesambi Cirebon. Sesampai dirumah
sakit, beliau langsung dibawa ke UGD. Setelah melewati pemeriksaan di UGD,
beliau di rawat di ruang kelas 3 untuk beristirahat. Sekitar 15 menit di rawat,
beliau menghembuskan nafas terakhir tepat pada hari Selasa tanggal 28 Juni 2011
M pukul. 13.25 WIB. Lalu beliau di makamkan di pemakaman yang bersebelahan
dengan pondok pesantren.
Untuk menghormati hari wafat KH. Qusyaeri, Pondok Pesantren Al-
Ikhlash pada setiap tahunnya mengadakan acara haulan. Haul Ini, dilaksanakan
pada waktu ba’da dzuhur (khusus santri) dan ba’da ashar (santri dan masyarakat
sekitar). Dalam pelaksanaan Haul tersebut ada beberapa prosesi rangkaian acara
yang harus dilaksanakan di antaranya adalah sebagai berikut:
1. Pada ba’da dzuhur para santri membaca al-Qur‟an yang masing-masing
orang membaca satu juz.
2. Ba’da ashar para santri dan seluruh masyarakat sekitar untuk
melaksanakan do’a dan tahlil bersama di pesantren, dan
3. Acara yang terakhir yakni seluruh santri baik putra maupun putri wajib
mengikuti tahlil di Maqbarah KH. Qusyaeri.
Dengan adanya agenda kegiatan ini, diharapkan pondok pesantren al-
ikhlash mendapatkan keberkahan dari para sesepuh pendiri pesantren, dan
sekaligus mengajarkan para santri untuk tidak pernah lupa bersyukur atas segala
nikmat, serta memperbanyak ibadah kepada Allah SWT, karena hakikatnya kita
hidup di dunia ini hanyalah sementara.
BAB III
SEKELUMIT TENTANG PESANTREN AL-IKHLASH
A. Pondok Pesantren di Cirebon
Pondok pesantren merupakan lembaga dan wahana pendidikan agama
sekaligus sebagai komunitas santri yang “ngaji” ilmu agama Islam. Pondok
pesantren tidak hanya identik dengan makna keislaman, tetapi juga mengandung
makna keaslian “(indigenious)” Indonesia.35
Di Jawa Barat khususnya Cirebon,
merupakan tempat berseminya dakwah Islam paling awal di Pulau Jawa, memiliki
sejarah yang panjang terkait keberadaan pesantren sebagai lembaga pendidikan
Islam.
Sekitar tahun 1420 M sejarah pesantren di Cirebon erat kaitannya dengan
serombongan pedagang sekaligus ulama (mubaligh) dari Baghdad yang dipimpin
oleh Syekh Idhofi Mahdi (Syekh Dzatul Kahfi) datang ke pelabuhan Muara Jati,
salah satu pelabuhan utama pada abad ke-15 di wilayah Pantai Utara Pulau Jawa
selain Tanjung Priuk, Jepara dan lain-lain. Mereka kemudian meminta izin kepada
Ki Jumanjan Jati penguasa pelabuhan Muara Jati, untuk diperkenankan menetap
di perkampungan sekitar Muara Jati dengan alasan untuk memperlancar
dagangnya. Ki Jumanjan Jati yang menyambut rombongan Syekh Idhofi tersebut
mengizinkan tamunya tinggal di Kampung Pasambangan yang sekarang terdapat
di wilayah Gunung Jati.36
Di tempat baru tersebut, Syekh Nurjati tidak hanya saja mengajarkan
agama Islam kepada para pengikutnya yang memang sudah menjadi muslim, akan
tetapi juga giat berdakwah mengajak masyarakat lokal/pribumi untuk mengenal
dan memeluk agama Islam. Setelah mendengar tentang agama baru itu, orang-
orang pribumi berdatangan dan menyatakan diri masuk Islam dengan tulus ikhlas.
35
Muhtarom H.M, Reproduksi Ulama di Era Globalisasi Resistansi Tradisional Islam,
(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005), hlm 5.
36
Musthofa Bisri, Kitab Tarikh Auliya, (Kudus: Menara Kudus, 1952), hlm 11-12.
Oleh karenanya, semakin hari semakin banyak jumlah orang yang menjadi
pengikut Syekh Nurjati.37
Dalam interaksinya dengan masyarakat sekitar, akhirnya Syekh Nurjati
juga mengajarkan metode perkawinan dengan penduduk lokal. Ketika ia menikah
dengan Hadijah, cucu Haji Purwa Galuh Raden Bratalegawa, yang diyakini
sebagai pribumi pertama di wilayah Jawa Barat yang memeluk Islam. Hadijah
adalah janda dari seorang saudagar kaya raya yang berasal dari Hadramaut. Berkat
dukungan material dari istrinya itu, Syekh Nurjati mendirikan sebuah pondok
pesantren yang diberi nama Pasambangan Jati sesuai dengan nama tempat di
mana pondok itu berada. Pondok Pesantren ini diyakini sebagai pondok
pesanteran tertua di wilayah Cirebon (saat itu masih bernama Nagari Singapura)
dan pondok pesantren tertua kedua di Jawa Barat (saat itu masih bernama
Kerajaan Galuh), setelah Pondok Pesantren Quro di Karawang, yang didirikan
oleh Syekh Quro (Syekh Hasanudin/Syekh Mursahadatillah).38
Di kampung Pesambangan, Syekh Nurjati melakukan dakwah Islam.
Dengan menggunakan cara yang bijaksana dan penuh khidmat dalam
mengajarkan agama Islam, maka dalam waktu relatif singkat pengikutnya
semakin banyak, termasuk putra-putri Prabu Siliwangi dari istrinya yang bukan
Nyi Mas Subanglarang antara lain Pangeran Walangsungsang beserta istrinya, Nyi
Indang Geulis/ Nyi Endang Ayu dan adiknya, Nyi Mas Ratu Rarasantang
ketiganya memiliki tujuan yang sama yaitu untuk memperdalam ilmu agama
Islam yang telah mereka terima dari Ibunya dan guru Ibunya, Syekh
Hasanudin/Syekh Quro.
Cirebon dikenal sebagai pusat penyebaran Islam di Bagian Barat Pulau
Jawa. Tidak heran jika Cirebon dikenal dengan keberadaan Pondok Pesantren
Pasambangan dan kokohnya agama Islam di Cirebon terutama setelah ada di
37 Bambang Irianto, dan Siti Fatimah, Syekh Nurjati (Syekh Dzatul Kahfi) Perintis
Dakwah dan Pendidikan, (Cirebon: STAIN Press, 2009), hlm 14.
38
Ibid, hlm. 15.
tangan Sunan Gunung Jati. Dalam periode berikutnya Cirebon memiliki banyak
pesantren terutama sejak pertengahan abad ke-18. Dari masa ke masa pesantren di
Cirebon sekarang semakin berkembang, baik secara kuantitatif maupun kualitatif
seperti halnya di Pesantren Buntet, Ciwaringin, dan Kempek yang sampai
sekarang telah menorehkan sejarah dan eksistensinya di wilayah Cirebon ini.
a. Pondok Pesantren Buntet
Pondok Pesantren Buntet didirikan oleh Kyai Muqayim pada tahun 1758
M. Pada awalnya, Mbah Muqayim (sebutan untuk Kyai Muqayim bagi anak
cucunya) membuka pengajian dasar-dasar al-Quran, bagi masyarakat Desa
Dawuan Sela, sekitar 1 Km ke sebelah Barat dari Desa Mertapada Kulon (lokasi
Pondok Pesantren Buntet sejak tahun 1750-an). Tempat berlangsungnya pengajian
itu adalah sebuah Panggung Bilik Bambu ilalang yang di dalamnya terdapat
beberapa kamar tidur atau pondokan yang dindingnya terbuat dari bambu dan
atapnya terbuat dari pohon ilalang (sejenis rumput yang tinggi). Pendirian sebuah
pesantren bukan saja dilakukan beliau, melainkan banyak dilakukan oleh kyai
atau ulama lain yang disamping untuk memberikan pendidikan agama bagi umat
Islam, juga sebagai simbol dan basis perlawanan terhadap Penjajah Belanda pada
waktu itu.39
Mbah Muqayim adalah seorang pejuang yang selama hidupnya selalu
dikejar-kejar tentara Belanda sehingga beliau selalu berpindah-pindah dari satu
daerah ke daerah lain dalam upaya mencari perlindungan hingga beliau
menemukan “daerah aman” dari kejaran tentara Belanda. Di daerah itulah, ia
mendirikan sebuah bangunan untuk “tempat berlindung” dari kejaran tentara
Belanda. Bangunan yang berukuran 8 x 12 M itulah di kemudian hari dikenal
dengan sebutan “Buntet” yang berarti tempat perlindungan. Di dalam “Buntet”
itu, Mbah Muqayim membangun mushalla yang berfungsi sebagai tempat shalat
dan pendidikan keagamaan. Namun, tidak lama kemudian tempat persembunyian
itu ditemukan oleh tentara Belanda, akibatnya tempat itu dibakar. Mbah
39
Ahmad Zaeni Hasan, Perlawanan Dari Tanah Pengasingan Kiai Abbas, Pesantren
Buntet, dan Bela Negara, (Jakarta: Elsas, 2000), hlm. 18.
Muqayyim bersama beberapa santrinya berhasil meloloskan diri dan pergi menuju
ke arah timur untuk beberapa saat. Ketika sudah dirasa aman, Mbah Muqoyyim
memutuskan untuk kembali lagi ke “wilayah Buntet” sebelah utara (konon,
wilayah ini kemudian menjadi desa Buntet). Di daerah baru ini beliau mendirikan
pondok pesantren.
b. Pondok Pesantren Ciwaringin
Babakan adalah suatu pedukuhan kecil terletak di bagian Barat Daya
Kabupaten Cirebon ± 25 Km dari pusat keramaian kota. Pondok Pesantren
Ciwaringin yang berada di Babakan merupakan salah satu dari sekian banyak
pondok pesantren yang berdiri di bumi pertiwi ini. Sebagaimana pondok
pesantren lain, Babakan hingga kini masih mampu bertahan, berdiri kokoh, bak
batu karang di tengah hutan.
Pondok Pesantren Babakan Ciwaringin Cirebon didirikan sekitar tahun
1127 H. / 1705 M, oleh Kiai Jatira. Kiai Jatira adalah gelar dari KH. Hasanuddin
putra KH. Abdul Latief dari desa Mijahan Plumbon Cirebon.40
KH. Hasanuddin adalah seorang pejuang agama yang sangat dekat
dengan masyarakat miskin. Desa yang kering dengan lahan pertanian yang kurang
subur menjadikan dirinya berpacu mengembangkan pondoknya sebagai tempat
peristirahatan yang jauh dari keramaian terutama dari pengaruh kekuasaan dan
penjajah belanda. Maka dirintislah sebuah pesantren sederhana yang diberi nama
Pesantren Babakan.
Stagnasi kepemimpinan dalam pesantren terjadi ketika Kyai Jatira
meninggal dunia, kesalahan dalam proses kaderisasi di Pesantren Babakan telah
mengakibatkan terputusnya kegiatan pesantren sampai sarana fisik pun tidak
berbekas. Sampai kemudian KH. Nawawi menantu dari Kyai Jatira mambangun
kembali Pondok Pesantren Babakan yang letaknya satu kilometer ke arah selatan
40
http://indra-andarun.blogspot.com/2011/10/pesantren-babakanciwaringincirebon.html.
(Diunduh pada 07 April 2014).
dari tempat semula. Dalam mengasuh pesantren beliau dibantu oleh KH. Adzro‟i.
Setelah itu pesantren dipegang oleh KH. Ismail putra KH. Adzro‟i tahun 1225
H/1800 M. Mulai tahun 1916 M pesantren diasuh oleh KH. Amien Sepuh bin KH.
Arsyad.
c. Pondok Pesantren Kempek
Salah satu lembaga pondok pesantren yang telah lama berkiprah dalam
mencerdaskan bangsa adalah Pondok Pesantren Kempek Kecematan Gempol
Kabupaten Cirebon. Pondok Pesantren yang terletak kurang lebih 14 KM arah
barat kota Cirebon ini didirikan pada tahun 1908 M oleh Mbah KH. Harun, putra
pasangan KH. Abdul Jalil (Pekalongan) dengan Ny. Hj. Kamali (Kedongdong).
KH. Harun adalah seorang ulama karismatik yang disegani akan keilmuannya
terutama dalam penguasan Ilmu Nahwu dan Ilmu Sharaf.41
KH. Harun sendiri sepanjang hidupnya membaktikan seluruh waktu dan
tenaganya untuk mengajarkan santri-santri kedua ilmu tersebut, dan ilmu-ilmu
kitab kuning lain yang kelak menjadi ciri yang tidak bisa dipisahkan dari Pondok
Pesantren Kempek. Setelah KH. Harun wafat ( 23 Maret 1935 M ), kepemimpinan
pesantren dipegang oleh putra beliau yang tertua yakni KH. Yusuf Harun.
Kepemimpinan Putra sulung KH. Harun ini berlangsung singkat, karena
tidak lama kemudian beliau wafat menyusul Ayahanda tercinta. Kemudian setelah
beliau meninggal, Pesantren diteruskan oleh adiknya KH. Umar Sholeh Harun
yang dibantu oleh Saudara-saudaranya. Disaat inilah diperkenalkan pengajian
baca Al Qur'an dengan pola khusus ala Kempekan yang digagas oleh Mbah Umar.
Pengajian baca Al-Qur‟an ala kempekan sampai saat ini juga merupakan
keistimewaan Pesantren Kempek yang tidak ditemukan di pesantren lain.
41 http://aspek-kempek.blogspot.com/2009/06/sejarah-pondok-pesantren-kempek.html,.
(Diunduh pada 08 April 2014).
B. Pesantren Al-Ikhlash
a. Sejarah Pondok Pesantren Al-Ikhlash
Jauh sebelum Indonesia merdeka sejarah mencatat perjalanan seorang
hamba Allah yang mendapatkan kemuliaan untuk menegakkan kalimat Allah di
Muka Bumi Nusantara umumnya dan di Kawasan Cirebon khususnya. Ia adalah
KH. Abdul Shomad di mana masyarakat menyebutnya dengan panggilan KH.
Makdum. Ia lahir di desa kecil yang bernama Kanggraksan Curug sekitar tahun
1895 M. Setelah mengahabiskan perjalanan waktunya untuk menyebarkan Islam,
ia wafat pada tahun 1958 M.
Pondok Pesantren Al-Ikhlash pertama kali didirikan pada tahun 1935 M
dan terletak di Kanggraksan Curug kecamatan Harjamukti Kota Cirebon. Pendiri
dan pengasuh pertama pesantren ini adalah KH. Makdum atau KH. Abdul
Shomad yang merupakan anak dari pasangan KH. Abdul Majid dengan R. Priatna.
Cikal bakal berdirinya berawal dari kepulangannya dari melaksanakan ibadah
haji, beliau mendapatkan tanah warisan dari Ibu mertuanya seluas ± 1680 m2,
yang kemudian digunakan untuk membangun Pesantren Al-Ikhlash.
Pasangan KH. Makdum dan Hj. Aminah dikaruniai 13 (tiga belas) orang
anak dengan laki-laki 4 (empat) yaitu Abbas, H. Mukhlash, Muh. Mukti, dan
Muktadi. Sedangkan perempuan ada 9 (enam) yaitu Fatimah, Farikhah,
Maemunah, Water, Kusasih, Zuhroh, Umroh, Munawwaroh , dan Hj. Maemanah.
Untuk saat ini, 10 (sepuluh) orang telah meninggal dunia yaitu Fatimah, Abbas,
H. Mukhlash Farikhah, Water, Kusasih, Zuhroh, Umroh, Muh. Mukti,
Munawwaroh, dan Muktadi , yang tersisa tinggal 2 (dua) orang perempuan, yakni
urutan ke-3 (tiga) yaitu Maemunah dan ke-13 (tiga belas) yaitu Hj. Maemanah.42
Dalam pembangunan pesantren tidak terlalu mengalami kendala, walaupun dalam
pembangunannya beliau tidak menerima sumbangan dari manapun, tetapi beliau
hanya mengandalkan fasilitas-fasilitas yang diberikan oleh ibu mertuanya.
42
Wawancara dengan Nyai Hj. Maemanah (isteri KH. Qusyaeri) di kediamannya pada
tanggal 09 Mei 2014.
Dengan tekad yang kuat yang beliau miliki dan dukungan dari sang istri, akhirnya
pembangunan pesantren pun dapat terealisasi.
Atas inisiatif KH. Makdum, beliau menyediakan fasilitas gedung
sederhana yang terdiri atas 4 kamar, dapur dan kamar mandi yang dapat
menampung santri mukim dari santri putera, agar bisa membentuk pribadi yang
“tafaqquh Fi al-Adin”.43
Pasca wafatnya KH. Makdum tampuk kepemimpinan
pesantren diteruskan menantunya KH. Qusyaeri yang pernah menjadi santri KH.
Makdum selama 4 tahun, dari tahun 1955-1959 M. Maka dari sinilah kemudian
KH. Qusyaeri banyak melakukan gebrakan dalam mengembangkan pondok
pesantren.
Pada saat KH. Qusyaeri sakit pondok pesantren menjadi tidak terarur,
dan mengalami keterpurukan. Satu per satu santri Al-Ikhlash membubarkan diri
dari pesantren karena ketidak efektivan pesantren tersebut baik itu dari segi
peraturan maupun proses pembelajarannya . kemudian pada tahun 2011 M
Pondok Pesantren Al-Ikhlash kembali, yang saat itu hanya terdiri dari lima orang
santri yaitu Ahmad Zamzami (Tegal), Aef Saeful Bahri (Majalengka), Syahroni
Aziz (Tegal), Wawan Gunawan (Majalengka), dan Nashir (Losari Cirebon).
Barulah pada tahun 2012 M santri-santri baru mulai berdatangan kembali. Pasca
wafatnya KH. Qusyaeri tampuk kepemimpinan pesantren digantikan oleh istrinya
Nyai Hj. Maemanah sampai sekarang. Setelah pergantian kepemimpinan
pesantren, barulah pesantren ini sedikit demi sedikit mulai berkembang pesat.
b. Tujuan Berdiri Pondok Pesantren Al-Ikhlash
Tujuan Pesantren Al-Ikhlash secara umum adalah membina warga negara
agar berkepribadian muslim sesuai dengan ajaran-ajaran agama Islam, dan
43 Tafaqquh Fi al-din artinya mendalami ilmu agama Islam secara mendalam dengan
cara mengaji di pondok pesantren. untuk lebih lengkapnya, lihat Muhtarom H.M, Reproduksi
Ulama di Era Global Resistensi Tradisional Islam, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005).
menanamkan rasa keagamaan tersebut pada semua segi kehidupan. Adapun tujuan
khusus Pondok Pesantren Al-Ikhalsh adalah sebagai berikut44
:
1. Mendidik santri untuk menjadi seorang muslim yang bertaqwa kepada
Allah SWT, berakhlak mulia, memiliki kesadaran, berketerampilan,
serta sehat lahir dan bathin.
2. Mendidik santri untuk menjadikan manusia muslim selaku kader-
kader ulama dan mubaligh yang berjiwa ikhlash, tabah, tangguh,
wiraswasta dalam mengamalkan ajaran-ajaran Islam secara utuh dan
dinamis.
3. Mendidik santri untuk memperoleh kepribadian dan mempertebal
semangat kebangsaan agar dapat menumbuhkan manusia-manusia
pembangunan yang dapat membangun dirinya dan bertanggung jawab
kepada pembangunan bangsa dan negara.
4. Mendidik tenaga-tenaga penyuluh pembangunan mikro (keluarga) dan
regional (masyarakat dan lingkungannya).
5. Mendidik santri agar menjadi tenaga-tenaga yang mencakup dalam
berbagai sektor pembangunan khususnya pembangunan mental
spiritual.
6. Mendidik santri untuk meningkatkan kesejahteraan sosial masyarakat
dalam rangka usaha pembangunan bangsa.
Tujuan pendidikan Pesantren Al-Ikhlash juga diarahkan pada
pengkaderan ulama yang mampu berdiri sendiri, bebas dan teguh dalam
berkepribadian, menyebar agama, menegakkan kejayaan Islam dan umat di tengah
masyarakat (izzul Islam wa al-muslimin), serta mencintai ilmu dalam rangka
mengembangkan kepribadian manusia.45
44
Arsip Pondok Pesantren Al-Ikhlash, 2011. 45 Tuti Alawiyah, “Kepemimpinan Pondok Pesantren: (Studi Kasus Kepemimpinan Dan
Perjuangan Dakwah KH. Qusyaeri Pengasuh Pondok Pesantren Al-Ikhlash Curug Kanggraksan
Cirebon)”, Tesis Megister Pendidikan Islam, (Cirebon:IAIN, 2012), hlm 104, tidak diterbitkan.
c. Sistem Pesantren Al-Ikhlash
Pada awalnya pemikiran berdirinya Pesantren Al-Ikhlash adalah karena
niat ikhlash dan pengabdian KH. Makdum. Yang mana pada kepemimpinannya
itu, beliau masih menerapkan sistem pesantren tradisional yang kolot, artinya
penerapan sistem pendidikan tersebut masih belum menerima unsur-unsur
kemodernan.
Dengan berjalannya waktu, pemikiran dan orientasi Pesantren Al-Ikhlash
mulai ada perubahan. Perubahan mulai terlihat ketika KH. Qusyaeri memimpin
Pesantren Al-Ikhlash pada 1970-2010 M. Perubahan ini tentunya merupakan
konsekuensi logis dalam menghadapi kemajuan zaman yang penuh dengan
tantangan terutama dinamika masyarakat yang disebut era modernitas.
Dalam hal ini, KH. Qusyaeri tidak meninggalkan tradisi lama, hanya saja
dimasukan sedikit unsur-unsur modern dengan tujuan untuk mengikuti
perkembangan pada zaman modern ini. Maka dari itu, Pondok Pesantren Al-
Ikhlash menerapkan sistem pengajaran yang masih mempertahankan unsur ke
tradisionalan pesantren pada umumnya, hanya diaplikasikan secara modern yaitu
wetonan/bandungan, sistem ceramah, dan juga sistem klasikal.
1. Wetonan
Wetonan atau disebut bandungan adalah metode yang paling utama di
lingkungan pesantren. Zamakhsyari Dhofier menerangkan bahwa metode wetonan
(bandungan) ialah suatu metode pengajaran dengan cara guru membaca,
menterjemahkan, menerangkan dan mengulas buku-buku Islam dalam bahasa
Arab sedang sekelompok santri mendengarkannya.46
Kegiatan pengajian wetonan ini KH. Qusyaeri menggunakan kitab-kitab
yang beliau kaji dengan konsep perpaduan antara salafi dan modern, yakni dari
kitab salafi beliau nenerangkannya dan mengkorelasikan disesuaikan dengan
46
Mujamil Qomar, Pesantren Dari Transformasi Metodologi Menuju Demokratisasi
Institusi, (Jakarta: Penerbit Erlangga, 1996), hlm 143.
zaman sekarang, hal ini yang bisa memudahkan para santrinya untuk bisa
dipahami.
2. Ceramah
Kegiatan ini dilakukan KH. Qusyaeri dalam penyampaian materi
pengajian kepada santrinya, yang dilaksanakan satu minggu sekali yaitu dengan
mendengarkan mau’idhoh hasanah atau tausiyah47
dari beliau pada malam jum‟at
sebelum melaksanakan tahlil bersama. Isi dari mauidhoh hasanah itu, beliau
menyampaikan materi dengan cara bercerita, kemudia cerita tersebut di dukung
dengan dalil-dalilnya.
3. Sistem klasikal
Kegiatan ini dilakukan oleh pengurus, anak, dan cucu beliau yang
memiliki kompeten dan dapat kepercayaan dari KH. Qusyaeri untuk mengabdi
dan mengajarkan ilmunya kepada para santri dengan sistem klasikal yang
disesuaikan dengan kadar kemampuan santri masing-masing mulai dari kelas 1 s/d
III. Dan kegiatan ini dilakukan pada ba’da shubuh dan ba’da isya’.
Walaupun pada masa ini kepemimipinannya masih bersifat single
management tapi tampak terjadi adanya perubahan dan pergeseran orientasi.
Perubahan yang terjadi saat itu, ditandai dengan dibukanya sistem pendidikan
madrasah (persekolahan). Dengan dibukanya sitem persekolahan, baik metode
maupun penyelenggaraan pendidikannya mulai menyesuaikan dengan lembaga
pendidikan modern yaitu dibentuknya kepemimpinan madrasah, digunakan kelas,
penjadwalan mata pelajaran dan spesialisasi guru serta ditentukan perjenjangan
dalam pendidikan. Perubahan ini pula membawa konsekuensi pada kebutuhan
terhadap fasilitas bangunan maupun perangkat pembelajaran lainnya.
47
al-mauidzah al-hasanah adalah memberi nasehat dan memberi ingat
(memperingatkan) kepada orang lain dengan bahasa yang baik yang dapat menggugah hatinya
sehingga pendengar mau menerima nasehat tersebut. (Masyhur Amin,
pengertianblogspot.com/2011/12/pengertian-al mauidzah-al-hasanah.html (Diunduh pada 21 Maret
2014).
d. Kurikulum Pesantren
Kurikulum pendidikan ialah suatu perangkat mata pelajaran yang
diajarkan pada lembaga pendidikan Pondok Pesantren Al-Ikhlash. Kurikulum Al-
Ikhlash merupakan penjabaran dari undang-undang pesantren “dua perintah dan
sembilan larangan Guru”, dengan tujuan membentuk insan muslim yang pintar
dan benar. Insan yang pintar yaitu insan yang mampu membedakan antara haq
dan bathil, sedangkan insan yang benar yaitu insan yang memiliki akhlaqul
karimah dengan serta merta berusaha menjauhi perbuatan-perbuatan tercela yang
bertentangan dengan Agama dan Negara. Dengan demikian, diharapkan Pondok
Pesantren Al-Ikhlash mampu melahirkan manusia yang memiliki derajat taqwa,
mulia, dan bahagia di dunia dan di akhirat.48
Adapun kurikulum yang diterapkan di Pesantren Al-Ikhlash adalah
sebagai berikut:
Pengajian Ba’da Shubuh
Kelas Hari Pelajaran Pengajar
I
Senin Tauhid Ust. Sya‟roni Azizi
Selasa Pegon Ust. Syahri Nugraha
Rabu Fiqih Ustdz. Siti Aminah
Kamis B. Arab Ust. Wawan Gunawan
Jum‟at Ziarah Kubur -
Sabtu Akhlak Ust. Moh. Chaerul Umam
Minggu Tajwid Ust. Moh. Chaerul Umam
II
Senin Akhlak Ust. Moh. Chaerul Umam
Selasa B. Inggris Ustdz. Ayu Utami
Rabu B. Arab Ust. Wawan Gunawan
Kamis Tajwid Ust. Moh. Chaerul Umam
Jum‟at Ziarah Kubur -
Sabtu Tauhid Ust. Sya‟roni Azizi
Minggu Safinah N Ust. Syahri Nugraha
III
Senin Bulughul Maram Ust. Haris Utsman Hakim
Selasa Bulughul Maram Ust. Haris Utsman Hakim
Rabu Akhlak Ust. Moh. Chaerul Umam
48 Izzudin, “Strategi Pondok Pesantren Kebon Jambu Al-Islamy Babakan Ciwaringin
Cirebon Dalam Mengembangkan Fikih Lingkungan” Penelitian Individu, (Cirebon:IAIN Syekh
Nurati, 2012), hlm. 68. Tidak diterbitkan.
Kamis Kaelani Ust. Aef Saeful Bahri
Jum‟at Ziarah Kubur -
Sabtu Mabadi Awwaliyyah Ust. Moh. Khotimussalam
Minggu Risalah Mahidh Ust. Sya‟roni Azizi
IV
Senin Jauharul Maknun Ust. Moh. Khotimussalam
Selasa Risalah Mu‟awwanah Ust. Sya‟roni Azizi
Rabu Fathul Mu‟in Ust. Haris Utsman Hakim
Kamis Fathul Mu‟in Ust. Haris Utsman Hakim
Jum‟at Ziarah Kubur -
Sabtu Riyadus Solihin Ust. Haris Utsman Hakim
Minggu Riyadus Shalihin Ust. Haris Utsman Hakim
Tabel. 1.1
Pengajian Ba’da Isya
Kelas Hari Pelajaran Pengajar
I
Senin B. Inggris Ustdz. Ririn Karina
Nuraeni
Selasa Tarikh Ust. Moh. Chaerul Umam
Rabu Shorof Ust. Aef Saeful Bahri
Kamis Diba‟iyyah Putra -
Jum‟at Nahwu Ust. A. Dzu‟izzin
Sabtu Ta‟lim / Diskusi -
Minggu Dibaiyyah Putri -
II
Senin Shorof Ust. Aef Saeful Bahri
Selasa Nahwu Ust. Moh. Khotimussalam
Rabu Tarikh Ust. Moh. Chaerul Umam
Kamis Diba‟iyyah Putra -
Jum‟at Nahwu Ust. Moh. Khotimussalam
Sabtu Ta‟lim / Diskusi -
Minggu Dibaiyyah Putri -
III
Senin Taqrib Ust. Haris Utsman Hakim
Selasa Nahwu Ust. Sya‟roni Azizi
Rabu Nahwu Ust. Sya‟roni Azizi
Kamis Diba‟iyyah Putra -
Jum‟at Taqrib Ust. Haris Utsman Hakim
Sabtu Ta‟lim / Diskusi -
Minggu Dibaiyyah Putri -
IV
Senin Musyawarah
Bulughul Maram -
Selasa Musyawarah Fathul
Mu‟in -
Rabu Musyawarah Jauharul
Maknun -
Kamis Diba‟iyyah Putra -
Jum‟at Musyawarah Fathil
Mu‟in -
Sabtu Ta‟lim / Diskusi -
Minggu Dibaiyyah Putri -
Tabel. 1.2
Itulah beberapa kegiatan pengajian yang dilakukan setiap hari di
Pesantren Al-Ikhlash, adapun kegiatan yang sifatnya mingguan adalah ba’da
shalat Jum’at selalu ziarah ke makam sesepuh pendiri Pondok Pesantren Al-
Ikhlash yakni KH. Makdum dengan membacakan tahlil dan surat yasin serta
mengadakan bahsul masail setiap malam minggu.
e. Kondisi Objektif Pesantren Al-Ikhlash
a) Lokasi Pesantren
Pesantren Al-Ikhlash letaknya berdekatan dengan dua pesantren, yaitu
Pesantren Al-Istiqomah, dan Pesantren Siti Fatimah. Adapun Pesantren Al-Ikhlash
itu sendiri berada tepatnya di Kelurahan Kanggraksan Curug Cirebon, ada dua
jalan yang dapat ditempuh apabila menuju Pesantren Al-Ikhlash, yaitu melalui
jalan Kanggraksan dan melalui jalan Penggung. Apabila melalui jalan
Kanggraksan hal ini dapat dilalui oleh angkutan kota GC jika dari terminal
Harjamukti Cirebon, dan jalan lainnya dapat melalui angkutan Cirebon Kuningan
dan turun di Yayasan Sosial dan Anak Yatim Piatu Daar Sholihin.Untuk lebih
detailnya lihat tabel berikut di bawah ini.
Pondok
Puteri
M
Pondok
Putera
Kel. Kanggraksan Curug
Jl. Brigjen Darsono Jl. Jend. A. Yani
Rumah Warga Pon-Pest Siti
Fatimah Yayasan Daar
Sholihin
Tabel. 2.1
b) Tenaga Pendidik/ Guru
Tenaga pendidik di Al-Ikhlash seluruhnya berjumlah 11 orang. Beberapa
tenaga pendidik sevbagian besar dalam proses pendidikan di perguruan tinggi.
Adapaun tenaga pendidik Pondok Pesantren Al-Ikhlash di antaranya sebagai
berikut:
1. Ust. H. Haris Utsman Hakim
2. Ust. Wawan Gunawan
3. Ust. Moh. Chaerul Umam
4. Ust. A. Dzu‟izzin
5. Ust. Syahri Nugraha
6. Ust. Sya‟roni Azizi
7. Ustdz. Ayu Utami
8. Ust. Moh. Khotimussalam
9. Ustdz. Ririn Karina Nuraeni
10. Ust. Aef Saeful Bahri
11. Ustdz. Siti Aminah
c) Santri
Saat ini santri Pondok Pesantren Al-Ikhlash seluruhnya berjumlah kurang
lebih 49 orang. Dengan orientasi santri putera 21 orang, sedangkan santri putri 28
orang. Santri Al-Ikhlash memiliki latar sosial dan pendidikan yang berbeda-beda,
namun sebagian besar sedang mengenyam pendidikan di perguruan tinggi.
Mereka berasal dari berbagai pelosok daerah, seperti Indramayu, Cirebon,
Kuningan, Majalengka, Subang, Brebes, dan Tegal (Jawa Tengah).
d) Struktur Pondok Pesantren Al-Ikhlash
Pada masa kepemimpinan KH. Qusyaeri, struktur kepengurusan
pesantren di pimpin oleh seorang kepala pondok yang dipilih langsung oleh KH.
Qusyaeri. Seorang kepala pondok akan memimpin kepengurusan selama satu
periode.49
Adapun kepengurusan dibawahnya hanya sedikit lebih lengkap pada
kepengurusan masa setelah wafatnya KH. Qusyaeri, yaitu kepemimpinan
pesantren oleh para penerusnya.
Kepengurusan Al-Ikhlash pada masa paska KH. Qusyaeri dijabat oleh
santri senior dengan cara dipilih secara langsung oleh santri. Sedangkan Kiai dan
keluarganya (ahlil-bait) dalam kepengurusan secara formal hanya duduk sebagai
pengasuh dan penasehat.
Kepengurusan Pondok Pesantren Al-Iklash ini terdiri atas Pengasuh
dengan satu orang Kyai/Nyai, Penasehat, ketua/kepala pondok, sekretaris,
bendahara, dan empat seksi, yaitu seksi pendidikan, seksi kerohanian, seksi
kebersihan, dan seksi keamanan. Adapun struktur kepengurusan Pondok
Pesantren Al-Ikhlash masa khidmat 1434-1435 H/2013-2014 M adalah sebagai
berikut:
PUTERA AL-IKHLASH
Pengasuh : Nyai Hj. Maemanah
Penasehat : Ust. H. Haris Usman Hakim
Pembimbing : - Ust. Choirul umam
- Ust. A. Zamzami
- Ust. Wawan Gunawan
- Ust. Aef Saeful Bahri
Ketua : Ust. Syahroni Azis
Sekretaris : Syahri Nugraha
Bendahara : Ali Nurdin
49 Muzaki, “Pengaruh Kepemimpinan Kyai Terhadap Kecerdasan Emosi Santri Pondok
Pesantren Kebon Jambu Babakan Ciwaringin Cirebon”, Penelitian Individu (Cirebon: IAIN
Syekh Nurjati, 2012), tidak diterbitkan, hlm. 48.
Seksi-seksi
Seksi Pendidikan : Ust. Khotimus Salam
Seksi Kerohanian : Ahmad Dzu‟izin
Seksi Kebersihan : Budi Sujati
Seksi Keamanan : Tajudin
PUTERI AL-IKHLASH
Pengasuh : Nyai Hj. Maemanah
Penasehat : Ust. H. Haris Usman Hakim
Ketua : Ustz. Ayu Utami
Sekretaris : Diayatul Khoiriyah
Bendahara : Afif Nur Afifah, Neni Nur‟aeni
Seksi-seksi
Seksi Pendidikan : Ririn Karina Nur‟aeni
Seksi Kerohanian : Nurlelah
Seksi Kebersihan : Siti Aminah
Seksi Keamanan : Dewi Rikana, Safitri Wulandari
BAB IV
PERJUANGAN KH. QUSYAERI
DALAM PENGEMBANGAN PONDOK PESANTREN AL-IKHLASH
KH. Qusyaeri merupakan salah satu pengasuh Pondok Pesantren Al-
Ikhlash Kanggraksan Curug Kecamatan Harjamukti Kota Cirebon, yang berhasil
memimpin dan membimbing santri yang terdiri dari tingkat pendidikan menengah
sampai dengan perguruan tinggi. Hal ini bisa kita lihat, bahwa santri-santrinya itu
sebagian besar tingkat pendidikannya itu SMA/SMK sampai Perguruan Tinggi.
Pesantren Al-Ikhlash ini memiliki program kegiatan di antaranya dengan
menyelenggarakan pengajian baik dengan sistem wetonan/bandongan, sistem
ceramah, ataupun sistem klasikal yang harus diikuti oleh semua santri, baik itu
santri putra maupun santri putri.
A. Perjuangan KH. Qusyaeri
1. Sistem Pengajaran di Al-Ikhlash
a. Wetonan atau Bandungan
Wetonan atau disebut bandungan adalah metode yang paling utama di
lingkungan pesantren. Zamakhsyari Dhofier menerangkan bahwa metode wetonan
(bandungan) ialah suatu metode pengajaran dengan cara guru membaca,
menterjemahkan, menerangkan dan mengulas buku-buku Islam dalam bahasa
Arab sedang sekelompok santri mendengarkannya.50
Kegiatan pengajian wetonan ini KH. Qusyaeri menggunakan kitab-kitab
yang beliau kaji dengan konsep perpaduan antara salafi dan modern, yakni dari
kitab salafi beliau nenerangkannya dengan mengkorelasikan dengan konteks
kekinian, hal ini yang bisa memudahkan para santri untuk bisa memahami maksud
dari kitab yang sedang di kaji tersebut.
50
Mujamil Qomar, M.Ag, Pesantren Dari Transformasi Metodologi Menuju
Demokratisasi Institusi. Jakarta: Penerbit Erlangga, 1996, hlm 143.
b. Ceramah
Kegiatan ini dilakukan KH. Qusyaeri dalam penyampaian materi
pengajian kepada santrinya, yang dilaksanakan satu minggu sekali yaitu dengan
mendengarkan mauidhoh hasanah atau tausiyah dari beliau pada malam jum‟at
sebelum melaksanakan tahlil bersama. Isi dari mauidhoh hasanah itu, beliau
menyampaikan materi dengan cara bercerita, kemudia cerita tersebut di dukung
dengan dalil-dalilnya.
c. Klasikal
Model klasikal mulai diperkenalkan melalui madrasah dan sekolah-
sekolah Islam, terutama yang dibentuk oleh Muhammadiyah. Meluasnya
pembentukan madrasah yang menjadi mediator antara keperluan transmisi
pemikiran dan pengetahuan keislaman dan penguasaan pengetahuan umum,
madarasah dengan sistem klasikal tidak lagi menggunakan halaqah. Dalam sistem
klasikal guru menjelaskan materi kurikulum yang diajarkannya di depan kelas dan
murid-murid duduk menerima pengajaran dari gurunya.51
Maka kegiatan ini juga
diterapkan di Pesantren Al-Ikhlash pada tahun 2011.
Kegiatan ini dilakukan oleh pengurus, anak, dan cucu beliau yang
memiliki kompeten dan dapat kepercayaan dari KH. Qusyaeri untuk mengabdi
dan mengajarkan ilmunya kepada para santri dengan sistem klasikal yang
disesuaikan dengan kadar kemampuan santri masing-masing mulai dari kelas 1 s/d
III. Dan kegiatan ini dilakukan pada ba’da shubuh dan ba’da isya’.
2. Pembaharuan Kurikulum Pesantren
Pembaharuan (inovasi) kurikulum adalah suatu gagasan atau praktek
kurikulum baru dengan mengadopsi bagian-bagian yang potensial dari kurikulum
tersebut dengan tujuan memecahkan masalah atau mencapai tujuan tertentu.
Dengan kata lain, pembaharuan itu di ajukan berkenaan dengan ide dan teknis
51 Nurhayati Djamas, Dinamika Pendidikan Islam Di Indonesia Pasca Kemerdekaan,
(Jakarta: PT Raja Grafindo, 2009), hlm. 203.
pada skala yang terbatas. Pembaharuan selalu berkaitan dengan masalah kreasi
dan atau penciptaan sesuatu yang baru dan menuju ke arah yang lebih baik.
Pembaharuan kurikulum perlu dilakukan sebab tidak ada satu
kurikulum yang sesuai dengan keadaan sepanjang masa, kurikulum harus dapat
menyesuaikan dengan perkembangan zaman yang senantiasa cenderung berubah.
Pembaharuan kurikulum perlu dilakukan mengingat kurikulum sebagai alat untuk
mencapai tujuan harus menyesuaikan dengan perkembangan masyarakat yang
senantiasa berubah dan terus berlangsung.
Pada masa pendiri dahulu masih bersifat tradisonal, mungkin yang
diajarkan hanyalah kitab-kitab karangan ulama klasik, terlebih ditekankan pada
Al-Qur‟an. Sedangkan pada masa KH. Qusyaeri ini dimasukan sedikit unsur
modern namun tidak meninggalakan unsur tradisi yang telah melekat di pesantren,
seperti materi bahasa (bahasa Arab dan bahasa Inggris). Karena beliau
beranggapan bahwa bahasa Inggris ini adalah merupakan bahasa yang penting
dipelajari dikarenakan bahasa Inggris itu bahasa internasional, sehingga sudah
selayaknya umat Islam pun menguasai bahasa tersebut. Adapun materi-materi
yang diajarkan di Pondok Pesantren Al-Ikhlash adalah:
KELAS I
No Nama Kitab Materi
1. - Pegon (agar bisa mengabsahi kitab kuning serta
membacanya)
2. Tukhfatul Athfal Tajwid
3. Aqidatul Awam Tauhid
4. Akhlaqul Banin Juz I Akhlak
5. Tashrif Al-Amtsilah Shorof
6. Nahwul Wadih Nahwu
7. Mabadiul Fiqhiyyah Fiqh
8. - Bahasa Arab
9. - Bahasa Inggris
Tabel.3.1
KELAS II
No Nama Kitab Materi
1. Tashrif Al-Amtsilah Shorof
2. Jurmiyah Nahwu
3. Safinatun Najah Fiqh
4. Tijan Ad-Darori Tauhid
5. - Bahasa Arab
6. - Bahasa Inggris
Tabel.3.2
KELAS III
No Nama Kitab Materi
1. Nadhom Maqshud Shorof
2. Mutamimah Nahwu
3. Fatkhul Qorib Fiqh
4. Mabadiul Awwaliyyah Ushul Fiqh/Qowaidhul Fiqh
5. Bahjatul Wasail Ushuluddin, Fiqh, Tasawuf
Tabel.3.3
Itulah beberapa kegiatan pengajian yang dilakukan setiap hari di
Pesantren Al-Ikhlash, adapun kegiatan yang sifatnya mingguan adalah ba’da
shalat Jum’at selalu ziarah ke makam sesepuh pendiri Pondok Pesantren Al-
Ikhlash yakni KH. Makdum dengan membacakan tahlil dan surat yasin serta
mengadakan bahsul masail setiap malam minggu.
3. Kajian yang KH. Qusyaeri Ampu
Kitab-kitab yang diajarkan sebagian besar mempelajari syariat yaitu
hukum dan tata aturan pelaksanaan ibadah dan mempelajari ilmu alat (kitab yang
berkaitan dengan Nahwu dan Shorof). Serta metode penyampaiannya dengan
ceramah.52
Adapun kitab- kitab yang beliau kaji adalah:
No Nama Kitab Waktu
1. Durrotun Nashihin Ba‟da Ashar
2. Tafsir Jalalain Ba‟da Maghrib
Tabel.4.1
4. Metode Pendidikan dan Pengajaran
Program pendidikan dalam persfektif Islam, seperti yang dikatakan Ali
Ahmad Madkur, dapat mempergunakan beberapa macam al-tariqah (metode): al-
tariqah al-qudwah (metode keteladanan), al-tariqah al-talqin (metode
memahamkan secara lisan), al-tariqah al-masubah wa al-‘uqubah (metode
memberikan ganjaran dan hukuman), al-tariqah al-qissah (metode cerita), tariqah
takwin al-‘adah al-hasanah (metode membuat tradisi/kebiasaan yang baik),
tariqah al-tarbiyyah bi al-ahdas (metode kajian perkara baru), tariqah al-
tarbiyyah ‘an tariq istismar al-taqah al-hasanah (metode pendidikan dengan
pengembangan kekuatan untuk melahirkan kekuatan baik), tariqah al-syugl auqat
al-farag (metode mengisi waktu kosong), tariqah al-munaqasyah wa al-hiwar
(metode perdebatan dan diskusi), tariqah hill al-musykilat (metode pemecahan
masalah), dan sebagainya.53
Pendidikan yang dominan dipergunakan oleh Pondok Pesantren Al-Ikhlash
terdiri dari:
1. Tariqah al-qudwah (Metode Keteladanan)
Bentuk aktivitas pendidikan yang mempergunakan metode keteladanan
(tariqah al-qudwah) tampak pada keteladanan dari diri Kyai maupun Ustadz
52 A. Syathori, “Modernisasi Pendidikan Di Pesantren (Studi Sistem Pendidikan
Pesantren al-shighor gedongan kec. Pangenan kab. Cirebon)” Penelitian Individu , (Cirebon:IAIN
Syekh Nurati, 2012), hlm. 54-55. Tidak diterbitkan.
53
H. M, Mukhtarom. Reproduksi Ulama Di Era Globalisasi Resistensi Tradisional
Islam. (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005), hlm. 172-173.
dalam aspek ilmu, akhlak, ide-ide dan ibadah. Santri dikondisikan untuk
meneladani aspek-aspek tersebut pada Kyai sebagai pewaris Nabi. Santri dalam
persfektif psikologi, dan sebagai individu dalam sistem sosial di pondok pesantren
agaknya dikondisikan untuk masuk ke dalam koridor proses imitasi. Imitasi yang
berproses di Pondok Pesantren Al-Ikhlash, seperti dalam proses pembelajaran
bahasa Arab dan bahasa Inggris, cara santri menyatakan terima kasih, cara
memberi hormat, cara berpakain dan ekspresi lain sebagai hasil mengimitasi.
Proses imitasi yang dibangunnya merangsang perkembangan pribadi dan
mendorong santri/siswa untuk melaksanakan perbuatan yang baik. Apabila
seseorang telah dididik dalam suatu tradisi tertentu yang melingkupi segala situasi
sosial maka orang itu memiliki sebuah kerangka cara-cara tingkah laku dan sikap-
sikap moril yang dapat menjadi pokok pangkal untuk memperluas
perkembangannnya dengan positif.
2. Tariqah al-talqin (Metode Memahamkan secara Lisan)
Modus dominan dalam sistem pendidikan pesantren tradisional adalah
pembelajaran secara lisan. Transfer ilmu pengetahuan berlangsung melalui
interaksi verbal di sebuah ruangan atau kelas. Kenyataan ini di temukan di
Pondok Pesantren Al-Ikhlash dalam pembelajaran kitab klasik dengan bentuk
sorogan, dan wetonan /bandungan oleh Kyai.
Pengajaran terhadap kitab klasik di kelas-kelas juga memakai bahasa
Jawa yang kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia. Ustadz adalah
orang yang menguasai isi kitab-kitab kuning yang ia ajarkan. Kebanyakan dari
ustadz sendiri mengajarkan kitab klasik sebagaimana gurunya dahulu
mengajarkan.
3. Tariqah takwin al-‘adah al-hasanah (Metode Membentuk Tradisi atau
Kebiasaan Baik)
Metode untuk membentuk tradisi atau kebiasaan baik (tariqah takwin al-
‘adah al-hasanah) di pakai oleh Pondok Pesantren Al-Ikhlash. Pemakaian ini,
diawali dengan memahamkan secara lisan di ruang-ruang atau kelas-kelas, dan
dilakukan secara berkelanjutan sehingga cenderung menjadi tradisi atau
kebiasaan.
Proses dari pemahaman ini, Kyai dan para ustadz memahamkan teori-
teorinya terhadap santri dan di prakatekan dalam kehidupan sehari-hari.
Contohnya adalah pembiasaan membaca al-Qur‟an setiap selesai shalat Maghrib,
membiasakan shalat berjama‟ah, dan membaca tahlil setiap malam Jum‟at setelah
shalat Maghrib, dan lain sebagainya.
Metode pembiasaan ini di pandang oleh Pondok Pesantren Al-Ikhlash
sebagai metode pendidikan Islam yang baik, karena kebiasaan yang baik di kala
muda akan menjadi kebiasaan baik pula ketika dewasa.
4. Tariqah al-syugl auqat al-farag (Metode Mengisi Waktu Kosong)
Kesaharian santri/siswa diisi dengan belajar dan kegiatan-kegiatan lain
yang bersifat pedagogis dan rekreatif. Sebenarnya pengajian kitab kuning di luar
sistem pengajaran klasikal di madrasah bukanlah semata-mata sebagai upaya
pengisi waktu kosong bagi santri/siswa, melainkan sudah menjadi upaya sadar
melestarikan tradisi pondok pesantren dalam mentransfer keilmuan Islam dari
kitab kuning sebagai bekal bagi kader-kader ulama
5. Tariqah al-masubah wa al-‘uqubah (Metode Memberikan Ganjaran dan
Hukuman)
Metode memberikan ganjaran atau hadiah telah lama di pergunakan
dalam dunia pendidikan. Ganjaran diberikan pada peserta didik manakala mereka
telah berhasil dengan baik dalam menyelesaikan pelajarannya, ataupun bilamana
mereka selalu mentaati peraturan-peraturan yang berlaku dalam lembaga
pendidikan. Sebaliknya, hukuman diberikan pada mereka manakala mereka
melanggar aturan dan tidak mentaati norma-norma yang berlaku di lembaga
pendidikan.
Hukuman sebenarnya merupakan metode yang buruk, tetapi harus
dilakukan dalam kondisi tertentu dengan maksud untuk memperbaiki peserta
didik (curative) yang melakukan penyimpangan atau kesalahan dan bukan
dilakukan untuk balas dendam. Pendidik dalam masalah ini sepakat berpegang
teguh pada prinsip mengutamakan tindakan preventif daripada tindakan kuratif.
Metode memberikan ganjaran dan hukuman yang di pakai oleh Pondok
Pesantren Al-Ikhlash. Kyai dan ustadz memberikan ganjaran atau hadiah kepada
santri yang berprestasi, untuk lebih memberikan motivasi kepada mereka agar
tetap menjaga prestasi baik yang telah diraihnya dan memotivasi santri lain agar
mereka berupaya mendapatkan prestasi juga. Sebaliknya, hukuman diberikan
kepada santri yang melanggar tat tertib atau peraturan pondok pesantren.
Hukuman diberikan setelah diberi peringatan dan nasihat, namun tidak berhasil.
Bilamana pelanggaran yang dilakukan santri cukup berat, seperti mencuri, maka
hukuman yang diberikan adalah dikeluarkan dari pondok pesantren.
B. Nasihat/Fatwa KH. Qusyaeri
Selain KH. Qusyaeri sebagai pembaharu dan sekaligus pendakwah,
fatwa-fatwa yang dikemukakan beliau selalu di dengar baik oleh santrinya atau
pun maasyarakat sekitar, oleh karena itu KH. Qusyaeri bisa dikatakan kiai yang
memiliki karismatik setelah KH. Makdum mertuanya.
Nasihat KH. Qusyaeri kepada santri-santrinya untuk menjadi orang yang
pintar dan benar, karena memang pada kenyataannya banyak orang yang menjadi
pintar karena sekolah pada perguruan tinggi atau universitas yang terkenal, tetapi
tidak jarang setelah menjadi pintar, kepintaran atau kepandaiannya
disalahgunakan untuk menipu orang lain. Atau setelah mempunyai kedudukan
atau jabatan mereka melakukan tindakan penggelapan ataupun tindakan korupsi
yang bertentangan dengan agama.54
Selain nasihat atau perintah pada para
santrinya sebagaimana di jelaskan diatas, KH.Qusyaeri pun memberikan larangan-
larangan, di antaranya sebagai berikut:
54 Tuti Alawiyah, Op. Cit, hlm. 153
1. Tidak Boleh Keluar Malam
Prinsip KH. Qusyaeri dalam memberi larangan tidak boleh keluar malam
kepada para santrinya dengan tujuan agar para santrinya bisa mengikuti kegiatan
yang ada di pondok dan menjaga fitnah dari pandangan masyarakat serta menjaga
nama baik almamater Pesantren Al-Ikhlash. Artinya bahwa budaya keluar malam
baik itu di lingkungan pesantren maupun lingkungan masyarakat itu adalah
perbuatan yang buruk, karena dapat menimbulkan fitnah, di antaranya bisa
menimbulkan keresahan bagi warga atau kecurigaan warga sekitar terhadap
terjadinya pencurian.
2. Jangan Main Bola di Tanah Orang
KH. Qusyaeri melarang para santrinya untuk bermain bola di tanah
orang, karena dengan fasilitas yang terbatas para santri suka main bola di tanah
orang, dan hal tersebut dilarang oleh beliau. Sehingga beliau ada niatan dan
rencana untuk membangun kembali lantai atas untuk fasilitas olahraga, agar tidak
mengganggu orang lain. Pelarangan yang ditekankan disini adalah main di tanah
orang lainnya itu, karena KH. Qusyaeri berpandangan bahwa menggunakan
fasilitas yang bukan hak milik sendiri itu merupakan tindakan yang tidak baik atau
buruk.
3. Jangan Sering Pulang
Menuntut ilmu tidak boleh sering pulang ke kampung halaman. Hal ini
karena hanya akan menimbulkan perasaan tidak betah tinggal di pesantren. selain
itu, santri juga akan ketiggalan materi pengajian pesantren, sehingga ketika lulus
dari pesantren itu belum bisa menguasai ilmu agamanya secara sempurna. Artinya
jikalau santri menginginkan ilmunya berhasil dan berkah, maka ia jangan sering
pulang. Karena KH. Qusyaeri berpendapat bahwa jikalau sering pulang itu akan
mengakibatkan susahnya mengejar materi yang ditinggalkan serta daya tangkap
untuk menyerap ilmu menjadi berkurang.
4. Melakasanakan Perintah Allah dan Menjauhi Segala Larangan-Nya
Orang yang mencari ilmu, dan ingin mendapatkan ilmu yang barokah
harus melaksanakan semua perintah Allah yang wajib, sunnah, dan menjauhi
larangan-Nya baik yang haram ataupun makruh. Atas dasar realitas yang demikian
itu, maka wajib bagi penuntut ilmu, dan ingin mendapatkan ilmu yang barokah
harus selalu beribadah kepada Allah. Yakni dengan melakasanakan semua
perintah Allah yang wajib, sunnah dan menjauhi larangan-Nya baik yang haram
ataupun makruh. Artinya KH. Qusyaeri menyuruh para santri untuk bertaqwa
kepada Allah SWT.
Menurut Muhammad Mutwalli Asy-Sya‟rawi, dalam al-Qur‟an takwa secara
umum berarti mencegah diri dengan menggunakan tameng atau perisai dari suatu
yang membahayakan diri kita. Kata-kata Fattaqun-naar yang berarti cegahlah
dirimu dari api dan yang dimaksud oleh al-Qur‟an ialah api neraka. Penjelasannya
ialah “Jadikanlah antara kamu dengan api neraka perisai dari amal saleh”.55
Jadi arti taqwa disini ialah menjauhkan diri dari api neraka atau dengan
arti lain, bila terjadi kobaran api karena kebakaran atau lainnya, api disiram
dengan air sampai padam atau dijauhi sampai api padam sendiri. Arti kata
Ittaqullah bukan jauhi Allah tetapi jauhi siksa Allah atau jauhi murka Allah atau
cegahlah dirimu dari adzab Allah atau dijadikan perisai dari ketaatan dan
kepatuhan kepada Allah untuk mencegah dirimu dari adzab.
Menurut M. Quraish Shihab kata takwa (taqwa’) dalam literatur
keagamaan dan kebahasaan (Arab) terambil dari kata waqa‟, yang oleh banyak
ulama dinilai terambil dari akar kata waqa yaqiy yang bermakna “menjaga atau
melindungi dari bencana atau sesuatu yang menyakitkan”. Ada juga yang
berpendapat bahwa kata itu terambil dari kata waqwa, kemudian huruf wawu pada
awalnya diganti dengan ta’ sehingga berbunyi taqwa, yang berarti terhalang.
55
Muhammad Mutawalli Asy-Sya‟rawi, Anda Bertanya Islam Menjawab, (Jakarta:
Gema Insani, 2007), Cet. I, hlm. 553-554.
Dalam al-Qur‟an, perintah untuk bertakwa, ittaqu, terulang sebanyak
enam puluh sembilan kali, umunya terhadap Allah dengan redaksi, ittaqu Allah,
dan juga perintah bertakwa dari api neraka serta hari pembalasan. Ada sisipan kata
yang terdapat antara “ittaqu” dan “Allah”, yaitu “siksa” atau “sanksi” atau yang
semakna dengannya. Sehingga perintah bertakwa kepada Allah berarti perintah
untuk berlindung dari siksa Allah atau sanksi hukum-Nya.56
56
M. Quraish Shihab, M. Quraish Shihab Menjawab 1001 Soal Keislaman yang Patut
Anda Ketahui, (Jakarta: Lentera Hati, 2008), hlm. 901-902.
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan secara mendalam tentang
perjungan KH. Qusyaeri dalam mengembangkan pesanttren, yang peneliti lakukan
di Pondok Pesantren Al-Ikhlash Kanggraksan Curug Kecamatan Harjamukti Kota
Cirebon dapat diambil beberapa kesimpulan sebagai berikut:
1. KH. Qusyaeri dilahirkan pada tanggal 29 Oktober 1936 M dari pasangan
Bapak Kastari dan Nyai. Hj. Habibah desa Kepompongan Kecamatan
Talun Kabupaten Cirebon. KH. Qusyaeri belajar di sekolah Volks School
(sekolah zaman dulu) namun tidak lulus, tetapi beliau lebih banyak
mengenyam pendidikan di pesantren-pesantren. Selama di pesantren
beliau banyak mengabdi kepada guru/kyai, sehingga ketika di Pesantren
Al-Islamiyah (sekarang Pesantren Al-Ikhlash) beliau diangkat menjadi
menantu oleh KH. Makdum (Pendiri sekaligus pengasuh Pesantren Al-
Ikhlash). Pada tahun 1959 M beliau dinikahkan dengan Nyai Hj.
Maemanah (Puteri KH. Makdum). Kemudian pada tahun 1970 M dengan
Nyai Hj. Hafsah puteri Kyai Sholihin desa Grenjeng Kecamatan
Harjamukti Kota Cirebon.
2. Pondok Pesantren Al-Ikhlash didirikan pada tahun 1935 M oleh KH.
Abdul Shomad atau KH. Makdum. Tanah pesantren berasal dari hibbah
mertua KH. Makdum, dan kemudian membangun pesantren yang
sederhana, yakni hanya memiliki 4 kamar, dapur, dan kamar mandi. KH.
Qusyaeri memimpin pada tahun (1958-2011 M), sedikit demi sedikit
bangunan pesantren mulai berkembang.
3. KH. Qusyaeri merupakan salah satu pengasuh Pondok Pesantren Al-
Ikhlash Kanggraksan Curug Kecamatan Harjamukti Kota Cirebon, yang
berhasil memimpin dan membimbing santri yang terdiri dari tingkat
pendidikan menengah sampai dengan perguruan tinggi. Hal ini, bisa
dibuktikan dengan perjuangan beliau dalam hal mengembangkan
pesantren sampai dengan sekarang. Diantara perjuangan beliau adalah
memperbaharui sistem pengajaran pesantren meski tidak jauh berbeda
dengan yang terdahulu, memperbaharui kurikulum pesantren yang di
bantu oleh santrinya yang senior atau pengurus, memperbaharui metode
pembelajaran, dan yang terakhir beliau bisa berperan sebagai guru
sekaligus seorang bapak bagi para santrinya, yakni karena beliau selalu
memberikan motivasi dan nasihat yang membangun kepada santri-
santrinya.
B. Saran
Berdasarkan kesimpulan diatas, berikut ini penulis menyampaikan saran-
saran yang merupakan sumbangan hasil pemikiran untuk meningkatkan penelitian
selanjutnya jika suatu saat masalah diatas akan dibahas kembali, yaitu sebagai
berikut:
1. Pentingnya membahas lebih mendalam mengenai sejarah lokal yang
bersangkutan dengan para Ulama zaman dahulu dari kakalangan
pesantren-pesantren yang ada di tanah Jawa umumnya, dan di tanah
Cirebon ini khususnya. Karena terbukti lembaga ini banyak memilki
peranan penting dalam mengibarkan dan mempertahankan ideologi
keislaman yang membumikan Islam di tengah-tengah masyarakat luas
seperti yang kita rasakan saat ini.
2. Estafet perjuangan dan pengibaran Islam memerlukan penelitian dan
pelajaran dari para tokoh dan pejuang Islam untuk dijadikan studi
perbandingan dan suri tauladan bagi penerus perjuangan Islam di masa
kini dan yang akan datang. Untuk itu perlu kiranya peningkatan dalam
menyusun buku-buku sejarah pesantren yang lebih sistematis, agar apa
yang disampaikan dapat menjadi pelajaran penting bagi kalangan muda
intelektual Islam.
3. Tidak semua tradisi pesantren harus menganut tradisi tradisional yang
kolot, yang tidak mau menerima tradisi modern. Namun demi mengikuti
perkembangan zaman, maka pesantren di harapkan lebih terbuka dalam
menerima tradisi modern.
4. Penulis mengharapkan agar masyarakat Pesantren Al-Ikhlash mampu
melakukan upaya-upaya yang lebih inovatif, dan mampu memberikan
kontribusi pemikiran yang modern dalam mengembangkan dan
memajukan pesantren untuk lebih maju di masa yang akan datang.
DAFTAR PUSTAKA
A. Buku-Buku
Alawiyah, Tuti. 2012. “Kepemimpinan Pondok Pesantren (Studi Kasus
Kepemimpinan Dan Perjuangan Dakwah KH. Qusyaeri Pengasuh
Pondok Pesantren Al-Ikhlash Curug Kanggraksan Cirebon)”.
Cirebon: IAIN Syekh Nurjati.
Arsip Pondok Pesantren Al-Ikhlash, 2010.
Asnan, Wahyudi. 2001. Kisah Wali Songo. Surabaya: Karya Ilmu.
Bishri, Musthofa. 1952. Tarikh Auliya. Kudus: Menara Kudus.
Dhofier, Zamakhsyari. 1982. Tradisi Pesantren Studi Tentang Pandangan Hidup
Kiyai, Cet I. Jakarta: LP3ES.
Djamas, Nurhayati. 2009. Dinamika Pendidikan Islam Di Indonesia Pasca
Kemerdekaan. Jakarta: PT. Raja Grafindo.
H. M, Mukhtarom. 2005. Reproduksi Ulama Di Era Globalisasi Resistensi
Tradisional Islam. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Hasan, Ahmad Zaeni. 2000. Perlawanan dari Tanah Pengasingan Kiai Abbas,
Pesantren Buntet, dan Bela Negara. Jakarta: Elsas.
Irianto, Bambang. dan Fatimah, Siti. 2009. Syekh Nurjati (Syekh Dzatul Kahfi)
Perintis Dakwah dan Pendidikan. Cirebon: STAIN Press.
Izzudin. 2012. “Strategi Pondok Pesantren Kebon Jambu Al-Islamy Babakan
Ciwaringin Cirebon dalam Mengembangkan Fikih Lingkungan”.
Cirebon: IAIN Syekh Nurjati.
Khuluq, Lathiful. 2000. Fajar Kebangunan Ulama Biografi KH. Hasyim Asy’ari.
Yogyakarta: LkiS.
Muchtarom, Zahairini, dkk. 2010. Sejarah Pendidikan Islam. Jakarta: Bumi
Aksara.
Mutawalli, Muhammad. 2007. Anda Bertanya Islam Menjawab, Cet I. Jakarta:
Gema Insani.
Muzakki. 2012. “Pengaruh Kepemimpinan Kiyai terhadap Kecerdasan Emosi
Santri Pondok Pesantren Jambu Babakan Ciwaringin Cirebon”.
Cirebon: IAIN Syekh Nurjati.
Nizar, Samsul. 2007. Sejarah Pendidikan Islam Menelusuri Jejak Sejarah
Pendidikan Era Rasulullah Sampai Indonesia. Jakarta: Kencana.
Notosusanto, Nugroho. 1978. Norma-Norma Penelitian dan Penulisan Sejarah.
Jakarta: Dep. HANKAM Pusat ABRI.
................. 1993. Sejarah Nasional Indonesia, Jilid V, Cet 3. Jakarta:
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
Qomar, Mujamil. 1996. Pesantren Dari Transformasi Metodologi Menuju
Demokratisasi Institusi. Jakarta: Erlangga.
Quraish Shihab, M. 2008. M. Quraish Shihab Menjawab 1001 Soal Keislaman
yang Patut Anda Ketahui. Jakarta: Lentera Hati.
Steenbrink, Karel A. 1986. Pesantren, Madrasah, dan Sekolah: Pendidikan Islam
dalam Kurun Modern. Jakarta: LP3ES.
Syathori, A. 2012. “Modernisasi Pendidikan Di Pesantren (Studi Sistem
Pendidikan Pesantren Al-Shighor Gedongan Kecamatan Pangenan
Kabupaten Cirebon)”. Cirebon: IAIN Syekh Nurjati.
Tim IAIN Syekh Syarif Hidayatullah. 1992. Ensiklopedi Islam Indonesia. Jakarta:
Djambatan Anggota IKAPI.
Usman, Hasan. 1986. Metode Penelitian Sejarah. Terj. Muin Umar, dkk. Jakarta:
Direktorat Jenderal Pembinaan Kelembagaan Agama Islam Departemen
Agama RI.
B. Website
http://aspek-kempek.blogspot.com/2009/06/sejarah-pondok-pesantren
kempek.html. Diunduh 8-4-2014.
http://blog-pelajaransekolah.blogspot.com/2013/10/sistem-pendidikan-pada-masa-
kolonial.html. Oleh:Luci Hakim. Diunduh 7-9-2014.
http://cerianurrohmah.blogspot.com/2012/11/sejarah-perjuangan-bangsa-
indonesia-dan.html. Oleh: Nur Rochmah. Diunduh 31 -8-2014.
http://dessykomalawatiblogspot.com/2011/sejarah-cirebon.html.Oleh:Dessy
Komalawati. Diunduh 26-2-2014.
http://eckobager.blogspot.com/2012/09/pendidikan-masa-kolonial.html.Oleh:Eko.
Diunduh 27-4-2014.
http://ferisyanurfitriani.blogspot.com/2013/01.html. Oleh: Ferisya Nur Fitriani.
Diunduh 13-4-2014.
http://indraandarun.blogspot.com/2011/10/pesantrenbabakanciwaringincirebon.ht
ml. Oleh: Indra. Diunduh 7-4-2014.
http://konsepblockbook.blogspot.com/2012/03/sistempendidikan-indonesia-pada-
masa.html. Oleh: Himpunan Mahasiswa IPS terpadu di UNM 2012-
2013. Diunduh 11-4-2014.
http://mughits-sumberilmu.blogspot.com/2011/10/pengertian-kyaiustadz-dan-
penceramah.html. Diunduh 31-8-2014.
http://pendidikan4sejarah.blogspot.com/2011/04/sekolah-jaman-
kolonialbelanda.html. Oleh: Ivan Sujatmoko. Diunduh 8-5-2014.
http://pengertianblogspot.com/2011/12/pengertian-almauidzah-al-hasanah.html.
Oleh: Masyhur Amin. Diunduh 21-3-2014.
C. Wawancara
Wawancara dengan Ust. H. Haris Usman Hakim, putera KH. Qusyaeri pada
tanggal 29 Maret 2014 pukul 18.45 WIB.
Wawancara dengan Nyai. Hj. Maemanah , istri KH.Qusyaeri pada tanggal 9 Mei
2014 pukul 09.00 WIB.
Rekapan Wawancara dengan Ust. H. Haris Utsman Hakim
Sebelum wawancara peneliti terlebih dahulu memberikan surat pengantar
penelitian yang di dapat dari Fakultas kepada nara sumber. Setelah surat tersebut
di baca sampai selesai dan menjelaskan maksud dari wawancara tersebut, barulah
peneliti di persilahkan untuk melakukan wawancara. Tepatnya pada tanggal 29
Maret 2014, pukul 18.45 WIB, peneliti melakukan wawancara dengan nara
sumber yakni Ust. H. Haris Ustman Hakim selaku penasehat dan sekaligus putera
dari Alm. KH. Qusyaeri di kediaman beliau sendiri.
Berikut Hasil wawancara peneliti dengan Ust. H. Haris Ustman Hakim
Peniliti : Bagaimana sebenarnya latar belakang KH. Qusyaeri itu?
Nara Sumber : Nama lengkap beliau adalah Qusyaeri, beliau lahir di desa
Kepompongan kec. Comberan Kab. Cirebon. Terlahir dari
pasangan Kiai Kastari dan Hj. Habibah yang merupakan anak
pertama dari empat bersaudara.
Peneliti : Jenjang pendidikan apa sajakah yang telah di tempuh oleh KH.
Qusyaeri?
Nara Sumber : Sebelum mondok ke pesantren beliau sekolah dulu di Volk School
(sekolah zaman dulu), namun tidak sampai selesai. Kemudian
beliau hanya melanjutkan pendidikannya ke pesantren-pesantren,
diantaranya beliau mondok selama 3 tahun di Brebes yakni sekitar
tahun 1952-an, lalu tahun 1953-1955 mondok di Kaliwungu yang
pada saat itu pimpinan pesantrennya adalah KH. Khumaidullah,
KH. Irfan, dan KH. Asror. Kemudian tahun 1956 beliau kembali ke
Cirebon mondok di Pesantren Al-Islamiyyah selama 4 tahun, yang
saat itu pimpinan pesantrennya adalah KH. Makdum. Kemudian
beliau dinikahkan dengan puteri bungsu KH. Makdum pada usia ±
17 tahun.
Peneliti : Bagaimanakah permulaan KH. Qusyaeri mengabdi di Pondok Pesantren
Al-Ikhlash?
Nara Sumber : Setelah pernikahan beliau dengan puteri KH. Makdum. KH.
Qusyaeri di percaya untuk melanjutkan tampuk kepemimpinan pesantren.
Pada tahun 1956-164 di temani KH. Abbas (putera KH. Makdum) dan
KH. Maksudi serta Hj. Farihah, mereka bersama-sama berupaya untuk
meneruskan dan memajukan pesantren. Tahun 1964 pondok pesantren
mengalami kebangkrutan, karena pada saat itu sedang terjadi insiden G
30 S/PKI. Kemudian KH. Qusyaeri hijrah/pindah untuk sementara ke
Jakarta dengan membawa kedua orang puteranya.
Setelah insiden itu selesai, Pada tahun 1979 M beliau kembali ke Cirebon
dan sudah membawa 2 (dua) orang anak yaitu Roikhah dan Abdullah
Syafi‟i, di tahun itu beliau mencoba merintis pesantren kembali dengan
membuka pengajian di pondok kecil yang berada di dalam rumahnya.
Pembangunan pondok saat itu, masih sangat sederhana sekali yaitu
dengan hanya menggunakan triplek kayu sebagai pembatas tempat untuk
mengaji.
Di awal perintisan pondok pesantren, beliau hanya memiliki 2 (dua)
santri saja, yaitu Suryana dan Samsuddin yang berasal dari Majalengka.
Selain itu. beliau juga aktif mengisi pengajian di berbagai daerah seperti
di daerah Megu Cilik dan Megu Gede (Plered), Indramayu dan daerah
lainnya.
Peneliti : Bagaimanakah keadaan KH. Qusyaeri / peristiwa apa yang terjadi
sebelum beliau wafat?
Nara Sumber : Pada tahun 1990-1995 beliau mulai merasakan sesak nafas atau
asma. Sering sekali asma tersebut kambuh di waktu-waktu tertentu
seperti menjelang shubuh dan sore hari, namun dalam keadaan
seperti itu beliau masih tetap saja aktif dalam melakukan
aktifitasnya, yakni mengisi pengajian rutinnya di daerah Megu
Rekapan Wawancara dengan Nyai Hj. Maemanah
Sebelum wawancara peneliti terlebih dahulu meminta izin kepada nara
sumber untuk melakukan wawancara. Kemudian peneliti menjelaskan maksud
dari wawancara tersebut, barulah peneliti di persilahkan untuk melakukan
wawancara. Tepatnya pada tanggal 09 Mei 2014, pukul 09.00 WIB, peneliti
melakukan wawancara dengan nara sumber yakni Nyai Hj. Maemanah selaku
Pengasuh Pesantren Al-Ikhlash dan sekaligus isteri Alm. KH. Qusyaeri di
kediaman beliau sendiri.
Berikut hasil wawancara peneliti dengan Nyai Hj. Maemanah
Peneliti : Tahun berapakah lahir dan wafatnya KH. Makdum? Serta siapa
ayah dan ibunya beliau?
Nara sumber : Kebetulan untuk lahirnya sendiri saya kurang tahu kapan
tahunnya, tetapi saya hanya ingat tahun wafatnya saja yaitu tahun
1958 bertepatan dengan umur 63 tahun dari umur beliau. Mungkin
untuk kelahirannya, anda bisa menghitung dari tahun wafatnya
beliau dikurangi dengan umur beliau. Beliau lahir dari pasangan
KH. Abdul Hamid dan R. Priatna.
Peneliti : Ada berapa dan siapa sajakah anak-anak dari KH. Makdum?
Nara Sumber : KH. Makdum dan Hj. Aminah mempunyai anak 13 (tiga belas)
dengan laki-laki 4 (empat) yaitu Abbas, H. Mukhlash, Muh. Mukti,
dan Muktadi. Sedangkan perempuan ada 9 (enam) yaitu Fatimah,
Farikhah, Maemunah, Water, Kusasih, Zuhroh, Umroh,
Munawwaroh , dan Hj. Maemanah. Untuk saat ini, 10 (sepuluh)
orang telah meninggal dunia yaitu Fatimah, Abbas, H. Mukhlash
Farikhah, Water, Kusasih, Zuhroh, Umroh, Muh. Mukti,
Munawwaroh, dan Muktadi , yang tersisa tinggal 2 (dua) orang
perempuan, yakni urutan ke-3 (tiga) yaitu Maemunah dan ke-13
(tiga belas) yaitu Hj. Maemanah.
Lokasi Pondok Pesantren Al-Ikhlash di lihat dari denah
Lokasi Pondok Pesantren Al-Ikhlash di lihat dari satelit
KH. Qusyaeri (Pengasuh Pondok Pesantren Al-Ikhlash)
Pondok Pesantren Al-Ikhlash (2010-sekarang)
Foto Kegiatan Haul KH. Makdum dan KH. Qusyaeri
Ba‟da Dzuhur Pembacaan Al-Qur‟an per Juz
Ba‟da Ashar Tahlil Bersama Warga di Pesantren Al-Ikhlash
Tahlil di Maqbarah KH. Qusyaeri dan KH. Makdum