perlindungan hah pasien dalam pelyanan kesehatan di rumah sakit

9
 PERLINDUNGAN HAK PASIEN DALAM PELYANAN KESEHATAN DI RUMAH SAKIT Disusun untuk memenuhi Tugas Mata Kuliah Hukum Konsumen Oleh : Ani Suryani, S.ked PROGRAM STUDI MAGISTER HUKUM UNIVERSITA S 17 AGUSTUS 1945 SEMARANG 2015 1

Upload: ani-suryani

Post on 04-Nov-2015

8 views

Category:

Documents


1 download

DESCRIPTION

ANI SURYANI MAGISTER HUKUM KESEHATAN

TRANSCRIPT

PERLINDUNGAN HAK PASIEN DALAM PELYANAN KESEHATAN DI RUMAH SAKIT

Disusun untuk memenuhi TugasMata Kuliah Hukum Konsumen

Oleh:

Ani Suryani, S.ked

PROGRAM STUDI MAGISTER HUKUMUNIVERSITAS 17 AGUSTUS 1945SEMARANG2015A. PENDAHULUANRumah Sakit (RS) adalah institusi pelayanan kesehatan yang menyelenggarakan pelayanan kesehatan perorangan secara paripurna yang menyediakan pelayanan rawat inap, rawat jalan, dan gawat darurat. Rumah sakit merupakan organisasi bisnis yang memiliki sifat selalu mengedepankan unsur unsur sosial dibandingkan keuntungan (socioeconomic). Pengelolaan RS sangat komplek dan untuk menjadi lembaga yang mampu beroperasi secara efisien, transparan, akuntabel, menghasilkan kinerja sesuai indikator mutu pelayanan dan produktivitas yang telah ditetapkan serta mampu menerapkan praktek bisnis yang sehat. Pasien dalam bahasa Indonesia analog dengan kata patient dalam bahasa Inggris yang berarti sabar, dalam bahasa latin pasien memiliki kesamaan arti dengan kata menderita. Definisi pasien adalah orang yang menderita sakit yang memperoleh pelayanan tenaga medis, sarana pelayanan atau rumah sakit. Asimetrik informasi dan pengetahuan tentang penyakit / kesehatan antara dokter dan pasien, mengakibatkan pasien pun tidak banyak haknya dan cenderung menurut saja terhadap apa yang diputuskan oleh dokter. Kinerja penyedia layanan kesehatan terutama Rumah Sakit di Indonesia pada akhir-akhir ini sering menjadi perhatian media dan masyarakat. Beberapa issu mulai diangkat dan dipertanyakan, mulai pelayanan yang kurang ramah, mutu pelayanan yang kurang baik, dugaan adanya malpraktik, perbandingan pelayanan Rumah Sakit di luar negeri sampai dengan issu privatisasi Rumah Sakit pemerintah baik pusat maupun daerah. Kasus yang berkaitan dengan adanya dugaan malpraktik semakin meningkat dalam kurun 5 tahun terakhir dan menjadi perhatian masyarakat secara luas. Kondisi tersebut diatas menunjukkan rentannya perlindungan hukum bagi pasien sebagai penerima jasa layanan kesehatan. Keberanian masyarakat untuk mengungkapkan keluhan bahkan melayangkan gugatan atas pelayanan Rumah Sakit merupakan hal yang menggembirakan, karena hal ini dapat dipakai ukuran meningkatnya kesadaran pasien untuk menuntut haknya sebagai pihak yang penerima layanan kesehatan. Sebaliknya bagi penyedia layanan kesehatan baik dokter, perawat maupun Rumah sakit sebagai satu kesatuan unit kerja, fenomena tersebut harus direspon secara proporsional karena apapun yang dilayanai oleh seseorang suah selayaknya dapat dipertanggungjawabkan kepada publik.Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana perlindungan hak pasien dalam pelayanan kesehatan di rumah sakit.

B. BAHAN DAN METODAMetoda penelitian ini menggunakan pendekatan yuridis normatif artinya penelitian hukum yang dilakukan dengan cara meneliti atau mempelajari masalah dilihat dari segi aturan hukumnya, meneliti bahan pustaka atau data sekunder. Sumber hukum yang dipergunakan untuk menjawab permasalahan dalam penelitian ini adalah: Undang-Undang Republik Indonesia ,Nomor 23 tahun 1992 tentang Kesehatan, Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 29 tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran dan undang-undang republik indonesia Nomor 44 tahun 2009 Tentang Rumah sakit.Bahan hukum yang menjadi sumber penelitian didapatkan melalui kajian kepustakaan, selanjutnya dipilih dan dipilah berdasarkan kualifikasi bahan hukum. Analisa data dilakukan dengan menggunakan Content analysis (analisis isi)dengan cara mengidentifikasikanpasal-pasalyang berkaitan, menginterpretasikan isi pasal serta menganalisa ketaatasasan antara aturan hukum yang satu dengan yang lainnya.

C. HASILSeiring dengan perkembangan budaya, perekonomian dan ilmu pengetahuan. menunjukkan adanya perkembangan yang sangat dinamis. Secara historis, Hubungan antara dokter dan pasien didasarkan pada pola hubungan paternalistik atas dasar kepercayaan.Model hubungan seperti ini memiliki keunggulan jika dibandingkandengan model hubungan yang semata-mata didasarkan pada prinsip-prinsip hukum. Akan tetapi hubungan seperti itu juga mengandung kelemahan karena tidak adanya instrumen yang jelas untuk menyelesaikan sengketa dan tidak ada badan yang memiliki otoritas untuk memaksakan keputusan yang diambil. Seorang dokter dianggap paling mengetahui keadaan pasiennya, artinya semua keputusan atas diri pasien ditentukan oleh dokter. Hal ini tampak pada sikap dokter dalam hubungan terapeutik yang merasa tidak perlu meminta keterangan pasien secara jelas mengenai keluhannya. Sehingga model hubungannya ini bersifat Vertikal Paternalistik yang intinya adalah kedudukan antara dokter dan pasien tidak sejajar. Dokter memiliki posisi yang lebih tinggi dari pasien ,karena dokter dianggap tahu tentang sesuatu yang berkaitan dengan penyakit. Sedangkan pasien cenderung bersikap pasrah kepada dokter. Perkembangan pola hubungan antara dokter dan pasien berubah seiring dengan berkembangnya kesadaran akan hak-hak pasien, sehingga melahirkan konsep hubungan hukum yang bersifat inspanning verbentenis. Hubungan hukum ini tidak menjanjikan sesuatu yang pasti (misalnya kesembuhan) akan tetapi obyek dari hubungan ini adalah upaya maksimal yang dilakukan secara cermat dan hati-hati berdasarkan ilmu pengetahuan dan pengalamannya dalam menangani penyakit. Pola hubungan antara dokter dan pasien yang bersifat horizontal kontraktual atau kedudukan antara dokter dan pasien sejajar, tidak lepas dari sejarah hukum kedokteran pada masa perang dunia pertama, karena adanya percobaan-percobaan dibidang kedokteran dengan menngunakan manusia sebagai kelinci percobaan oleh dokter-dokter Jerman yang tidak menghiraukan otonomi pasien. Oleh karena itu pada tahun 1947 pengakuan hak pasien terutama hak otonomi dirumuskan dalam Nuremberg code 1947 yang secara eksplisit mengakui hak pasien atas diri sendiri yang selanjutnya melahirkan apa yang disebut dengan informed consent. Pola hubungan antara dokter dan pasien yang ideal menurut Thiroux didasarkan pada tiga hal yaitu: Peternalisme, individualisme dan reciprocal. Paternalisme artinya dokter harus berperan sebagai orang tua terhadap pasiennya, karena tingkat pengetahuan dan pengalamannya di bidang pengobatan. Sehingga setiap keputusan terbaik bagi pasien ada ditangan dokter. Individualisme artinya pasien memiliki hak mutlak atas tubuh dan nyawanya sendiri sehingga segala keputusan tentang perawatan dan pengobatan pasien harus dihormati.Sedangkan pandangan reciprocal atau collegial artinya pasien dan keluarganya adalah anggota dalam satu kelompok. Sedangkan dokter, perawat dan tenaga kesehatan lainnya bekerjasama untuk melakukan yang terbaik bagi pasien. Akan tetapi harus diingat bahwa dinamika hubungan antara dokter dan pasien ini juga dipengaruhi oleh nilai-nilai budaya dan sistem pelayanan kesehatan yang ada di satu negara. Di Indonesia, pola hubungan antara dokter dan pasien memiliki tingkat perkembangan yang berbeda tergantung pada kondisi sosial ekonomi masyarakat setempat. Di daerah-daerah yang terpencil dan jauh dari akses pelayanan kesehatan, model vertikal paternalistik masih berlaku. Sebaliknya di kota-kota besar pola hubungan antara dokter dan pasien lebih mengarah pada horisontal kontraktual. Perkembangan yang menarik untuk dicermati tentang hubungan antara dokter dan pasien adalah bergesernya peran antara dokter dan pasien yangdipandang sebagai penyedia jasa dan penerima jasa pelayanan kesehatan dalam konteks transaksi komersial. Pasien rumah sakit adalah konsumen, sehingga secara umum pasien dilindungi dengan Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (UU No. 8/1999). Menurut pasal 4 UU No. 8/1999, hak-hak konsumen adalah:1. Hak atas kenyamanan, keamanan, dan keselamatan dalam mengkonsumsi barang dan/atau jasa;2. Hak untuk memilih barang dan/atau jasa serta mendapatkan barang dan/atau jasatersebut sesuai dengan nilai tukar dan kondisi serta jaminan yang dijanjikan;3. Hak atas informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa;4. Hak untuk didengar pendapat dan keluhannya atas barang dan/atau jasa yang digunakan;5. Hak untuk mendapatkan advokasi, perlindungan, dan upaya penyelesaian sengketa 6. Hak untuk mendapat pembinaan dan pendidikan konsumen;7. Hak untuk diperlakukan atau dilayani secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif;8. Hak untuk mendapatkan kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian, apabila barang dan/atau jasa yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian atau tidak sebagaimana mestinya;Undang-Undang No. 29 Tahun 2004 tentang Praktek Kedokteran juga merupakan Undang-Undang yang bertujuan untuk memberikan perlindungan bagi pasien. Hak-hak pasien diatur dalam pasal 52 UU No. 29/2004 adalah:1. Mendapatkan penjelasan secara lengkap tentang tindakan medis sebagaimana dimaksud dalam pasal 45 ayat (3);2. Meminta pendapat dokter atau dokter lain;3. Mendapatkan pelayanan sesuai dengan kebutuhan medis;4. Menolak tindakan medis;5. Mendapatkan isi rekam medis.Perlindungan hak pasien juga tercantum dalam pasal 32 Undang-Undang No. 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit, yaitu:1. Memperoleh informasi mengenai tata tertib dan peraturan yang berlaku di Rumah Sakit;2. Memperoleh informasi tentang hak dan kewajiban pasien;3. Memperoleh layanan yang manusiawi, adil, jujur, dan tanpa diskriminasi;4. Memperoleh layanan kesehatan yang bermutu sesuai dengan standar profesi dan standar prosedur operasional;5. Memperoleh layanan yang efektif dan efisien sehingga pasien terhindar dari kerugian fisik dan materi;6. Mengajukan pengaduan atas kualitas pelayanan yang didapatkan;7. Memilih dokter dan kelas perawatan sesuai dengan keinginannya dan peraturan yang berlaku di Rumah Sakit;8. Meminta konsultasi tentang penyakit yang dideritanya kepada dokter lain yang mempunyai Surat Izin Praktik (SIP) baik di dalam maupun di luar Rumah Sakit;9. Mendapatkan privasi dan kerahasiaan penyakit yang diderita termasuk data-data medisnya;10. Mendapat informasi yang meliputi diagnosis dan tata cara tindakan medis, tujuan tindakan medis, alternatif tindakan, risiko dan komplikasi yang mungkin terjadi, dan prognosis terhadap tindakan yang dilakukan serta perkiraan biaya pengobatan;11. Memberikan persetujuan atau menolak atas tindakan yang akan dilakukan oleh tenaga kesehatan terhadap penyakit yang dideritanya;12. Didampingi keluarganya dalam keadaan kritis;13. Menjalankan ibadah sesuai agama atau kepercayaan yang dianutnya selama hal itu tidak mengganggu pasien lainnya;14. Memperoleh keamanan dan keselamatan dirinya selama dalam perawatan di Rumah Sakit;15. Mengajukan usul, saran, perbaikan atas perlakuan Rumah Sakit terhadap dirinya;16. Menolak pelayanan bimbingan rohani yang tidak sesuai dengan agama dan kepercayaan yang dianutnya;17. Menggugat dan/atau menuntut Rumah Sakit apabila Rumah Sakit diduga memberikan pelayanan yang tidak sesuai dengan standar baik secara perdata ataupun pidana; dan18. Mengeluhkan pelayanan Rumah Sakit yang tidak sesuai dengan standar pelayanan melalui media cetak dan elektronik sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

D. KESIMPULANSarana pelaanan kesehatan Rumah sakit semakin berkembang seiring dengan berkembangnya Ilmu dan teknologi di Bidang Ilmu Kedokteran. Pemanfaatan Rumah sakit oleh Pasen sering dipengaruhi oleh berbagai kepentingan seperti: kepentingan pribadi tenaga kesehartan, kepentingan busnis Rumah Sakit dan kepentingan pasien itu sendiri. Dengan semakin kompleksnya pelayanan kesehatan di Rumah Sakit perlu dijamin hak hak pasien terutama tentang mutu dan keselamatan pasien.Perlindungan hak pasien dalam pelayanan kesehatan di Rumah sakit telah diatur dalam: Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (UU No. 8/1999). Menurut pasal 4 UU No. 8/1999, hak-hak konsumen, Undang-Undang No. 29 Tahun 2004 tentang Praktek Kedokteran dan pasal 32 Undang-Undang No. 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit,

DAFTAR PUSTAKA

1. Hariadi, Aspek Etik Dalam Pelayanan Kesehatan di Rumah Sakit, Seminar Etiko legal dan hukum dalam Pelayanan di Rumah Sakit, RSSA, Malang, 2004.2. Sofwan Dahlan, Hukum Kesehatan, Badan Penerbit UNDIP, Edisi 2. Semarang,2000. 3. Veronika Komalawati,1990 Peranan Informed Consent dalam Transaksi Terapeutik, Citra Aditya Bakti, Bandung.4. Soejono dan h. Abdurrahman, 2003, Metode Penelitian Hukum, Rineka Cipta, Jakarta 2003. 5. Kamus Besar Bahasa Indonesia

1