perlindungan hukum atas pelanggaran hak pasien...
TRANSCRIPT
PERLINDUNGAN HUKUM ATAS PELANGGARAN HAK PASIEN
DALAM PERSETUJUAN TINDAKAN KEDOKTERAN
(STUDI KASUS PUTUSAN NOMOR 462/Pdt/2016/PT.BDG)
SKRIPSI
Diajukan kepada Fakultas Syariah dan Hukum untuk Memenuhi
Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana (S.H.)
Oleh
FINA ROZANA ROHIMA AKMAL
NIM 1113048000066
KONSENTRASI HUKUM BISNIS
PROGRAM STUDI ILMU HUKUM
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIFHIDAYATULLAH
JAKARTA
1437 H / 2016 M
iv
ABSTRAK
Fina Rozana Rohima Akmal, NIM 1113048000066,”PERLINDUNGAN
HUKUM ATAS PELANGGARAN HAK PASIEN DALAM PERSETUJUAN
TINDAKAN KEDOKTERAN (Studi Kasus Putusan Nomor:
462/Pdt/2016/PT.Bdg), Konsentrasi Hukum Bisnis, Program Studi Ilmu Hukum,
Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah
Jakarta, 1437 H/ 2017 M, ix + 89 halaman + halaman daftar pustaka + lampiran.
Permasalahan utama dalam penelitian ini adalah bagaimana perlindungan hukum
yang diberikan oleh undang-undang kesehatan, undang-undang perlindungan
konsumen dan undang-undang terkait lainnya kepada pasien yang hak-nya
tercederai selaku penerima layanan kesehatan. Dalam penelitian ini mengangkat
kasus yang terjadi antara Rumah Sakit AB dan Dr.Y di Bekasi selaku Tergugat
dan Ibrahim Blegur selaku Penggugat, dimana Tergugat diduga mengabaikan hak
dari Penguggat selaku Pasien dari Dr. Y di Rumah Sakit AB. Serta meneliti
mengenai pertimbangan majelis hakim dalam memutus perkara putusan nomor
462/Pdt/2016/PT.Bdg, apakah hakim sudah memutus perkara sesuai ketentuan
yang berlaku serta apa saja yang menjadi bahan pertimbangan hakim dalam
memutus perkara tersebut.
Penelitian ini menggunakan pendekatan perundang-undangan (statutory
approach) dan pendekatan kasus (case approach) dengan jenis penelitian
normatif. Dalam penelitian sumber data berasal dari bahan hukum primer, bahan
hukum sekunder dan bahan non – hukum. Metode pengumpulan data yang
dilakukan dalam penelitian ini adalah studi kepustakaan, wawancara dan
dokumentasi.
Kesimpulan dari hasil penelitian bahwa sebagai Pasien yang juga termasuk
Konsumen kesehatan yang hak-nya terlanggar, terdapat berbagai perlindungan
yang diberikan oleh undang-undang, baik secara perdata, pidana atau administrasi.
Hakim dalam memutus perkara putusan nomor 462/Pdt/2016/PT.Bdg
mengenyampingkan putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 14/PUU-XII/2014
mengenai ranah Majelis Kehormatan Dewan Kedokteran Indonesia (MKDKI).
Kata Kunci: Perlindungan Hukum, Pelanggaran Hak, Pasien, Persetujuan
Tindakan Kedokteran
Pembimbing: Dr. Ali Hanafiah Selian S.H., M.H,.
Dewi Sukarti S.H., M.H,
Daftar Pustaka: Tahun 1994 s.d Tahun 2014.
v
KATA PENGANTAR
حيم ن الر حم الر بسم للا
Assalamualaikum, Wr.Wb..
Segala puji dan syukur bagi Allah SWT, yang berkat rahmat dan nikmat-
Nya, penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “PERLINDUNGAN
HUKUM ATAS PELANGGARAN HAK PASIEN DALAM PERSETUJUAN
TINDAKAN KEDOKTERAN (Studi Kasus Nomor 462/Pdt/2016/PT.Bdg)”
dengan baik. Shalawat serta salam disampaikan kepada junjungan Nabi
Muhammad SAW beserta keluarga dan sahabatnya.
Penelitian dan penulisan skripsi ini merupakan salah satu syarat
memperoleh Gelar Sarjana Hukum (S.H) di Fakultas Syariah dan Hukum
Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta, yang dalam
penulisannya tidak luput dari doa dan bantuan banyak pihak. Dalam kesempatan
ini penulis ingin menyampaikan terima kasih kepada yang terhormat:
1. Dr. Asep Saepudin Jahar, M.A Dekan Fakultas Syariah dan Hukum
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Dr. Asep Syarifuddin Hidayat , S.H., M.H., Ketua Program Studi Ilmu
Hukum dan Drs. Abu Tamrin , S.H., M.Hum., Sekertaris Program
Studi Ilmu Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
3. Dr. M. Ali Hanafiah Selian, S.H., M.H., dan Dewi Sukarti M.A.,
selaku dosen pembimbing terbaik yang selama penyusunan skripsi
bersedia mencurahkan tenaga, waktu dan fikirannya.
vi
4. Drg. Nanang Abimanyu, Sp.KG, M.Kes, M.H.Kes, S.H,. narasumber
yang sabar dan tidak lelah menerima pertanyaan – pertanyaan dan
sudah berkenan untuk melakukan wawancara. Tanpa narasumber
penelitian jauh dari kata baik.
5. Kedua Orang Tua tercinta, Indra Permana dan Tertakori, yang selama
ini tidak pernah berhenti mendoakan penulis dan mendukung secara
materiil maupun moral. Semua perjuangan selama penulisan diberikan
khusus untuk Mama dan Papa.
6. Kakak tersayang, Fanita Rohimma, S.Psi, yang sudah menjadi kaka
terbaik sepanjang masa, yang selalu ada disaat suka dan duka,
mendukung disaat susah dan bahagia. Semua tidak akan terjadi tanpa
ada Kakak di hidup Penulis.
7. Orang terbaik, Andi Malingkaan Mangkunegara, yang tidak pernah
lelah menemani Penulis sejak 2015 untuk berjuang bersama. Terima
kasih untuk dukungan dan bantuan yang tidak akan bisa dibalas,
8. Primadona tercantik, Bela Awaliyah A, Delila Sandriva L, dan Siti
Nurhadiyanti yang selama ini menjadi teman untuk mengisi hari
selama 4 tahun di bangku perkuliahan. Dukungan dan kehadiran
kalian luar biasa.
9. Teman – teman Ilmu Hukum B 2013 dan Hukum Bisnis 2013, yang
sudah memberikan pengalaman dan pengetahuan berharga selama 4
tahun menempuh pendidikan bersama.
vii
10. Semua pihak tidak bisa disebutan satu – satu namanya yang telah
membantu penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.
Akhir kata, penulis berharap semoga semua bentuk dukungan dan
kontribusi yang telah diberikan mendapatkan balasan dari Allah SWT.
Wassalamualaikum, Wr.Wb.
Jakarta, 5 Mei 2017
Fina Rozana Rohima Akmal R
viii
DAFTAR ISI
PERSETUJUAN PEMBIMBING……………………………………………. i
LEMBAR PENGESAHAN……………………………………………………ii
LEMBAR PERNYATAAN……………………………………………….….. iii
ABSTRAK…………………………………………………………………….. iv
KATA PENGANTAR………………………………………………………… v
DAFTAR ISI………………………………………………………………….. viii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah……………………………..…………1
B. Identifikasi Masalah……………………………………...……..6
C. Pembatasan dan Rumusan Masalah……………………...……..7
D. Tujuan dan Manfaat Penelitian…………………………...…….7
E. Review Studi Terdahulu……………………..………………....9
F. Metode Penelitian……………..………………………………11
G. Sistematika Penulisan…………………...…...………………..15
BAB II DEFINISI & KETENTUAN HUKUM MENGENAI
PERLINDUNGAN HUKUM DAN PERSETUJUAN TINDAKAN
KEDOKTERAN (INFORMED CONSENT)
A. Hukum Perlindungan Konsumen
1. Pengertian Perlindungan Konsumen…………………..…16
2. Pengertian Hukum Perlindungan Konsumen…….……....18
3. Konsumen menurut Hukum….……..……………………19
B. Perjanjian Dalam Hukum
1. Perjanjian secara Umum…………..……………………..22
2. Perjanjian Terapeutik…..………………………………...23
C. Persetujuan Tindakan Kedokteran (Informed Consent)
1. Pengertian Tindakan Kedokteran………...………………25
2. Pengertian Persetujuan Tindakan Kedokteran……...……26
3. Tujuan dan Manfaat Persetujuan Tindakan Kedoktera.….27
D. Hubungan Pasien dan Dokter
1. Pengertian Pasien dan Dokter Menurut Hukum…..……...28
2. Hak dan Kewajiban Pasien………………...……………..30
ix
3. Hak dan Kewajiban Dokter………………...…………….31
BAB III PERLINDUNGAN SECARA HUKUM BAGI PASIEN YANG
TERCEDERAI HAK-NYA DALAM PUTUSAN NOMOR
462/Pdt/2016/PT.BDG
A. Duduk Perkara…………...……………………………….......34
B. Prosedur Tindakan Kedokteran Terhadap Falya………..……40
C. Perlindungan Hukum Pasien Dalam Peraturan Perundang –
Undangan…...………………………………………………...44
BAB IV METODE PERTIMBANGAN HAKIM PADA PUTUSAN
NOMOR 462/Pd/2016/PT.BDG
A. Pertimbangan Hakim dalam Memutus Perkara Nomor
462/Pdt/2016/PT.BDG……………………………..……......57
B. Metode Pertimbangan Hakim dalam Memutus Perkara Nomor
462/Pdt/2016/PT.BDG……………………….……………...61
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan………………………………...…………………72
B. Saran.. ……………………………………………..…….…...73
DAFTAR PUSTAKA…………………………………………….…….……….75
LAMPIRAN
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Kehilangan nyawa merupakan hal yang dianggap sangat menakutkan.
Terlebih kehilangan nyawa yang dianggap diakibatkan oleh kelalaian pihak
ketiga. Tahun 2015 kemarin, media nasional dihebohkan dengan
pemberitaan kematian Falya Raafani Blegur (1,5 Tahun) yang diduga akibat
pemberian antibiotik yang tidak seharusnya oleh Rumah Sakit AB.
Kematian Falya akhirnya menggiring Dokter Y yang bertugas memeriksa
Falya dan Rumah Sakit AB ke meja hijau. Dokter dan Rumah Sakit yang
dianggap bisa melindungi serta memberikan penyembuhan untuk
masyarakat saat itu berbanding terbalik dan menyebabkan kehilangan nyawa
dari Falya.
Berbicara mengenai kesehatan, hal tersebut boleh dikatakan sama tua-
nya dengan umur sejarah peradaban manusia, dimana manusia mulai
mengenal hidup berkelompok.1 Dalam Undang - undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945 yang selanjutnya ditulis UUD 1945 dalam
pembukaannya menyatakan bahwa cita – cita bangsa Indonesia adalah,
“Melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah
Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan
kehidupan bangsa dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang
1 Desriza Ratman, Aspek Hukum Informed Consent dan Rekam Medis dalam Transaksi
Terapeutik (Jakarta : Keni Media, 2013), h. 1.
2
berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial”. Salah
satu cita – cita mulia yang diharapkan adalah kesejahteraan umum,
meskipun lingkup dari kesejahteraan umum sangatlah luas, namun kerap
kehidupan yang sejahtera dikaitkan dengan kehidupan yang baik dan layak.
Masih pada konstitusi Indonesia, didalam Pasal 28H ayat (1) UUD
1945 menyatakan,
“Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat
tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta
berhak memperoleh pelayanan kesehatan”.
Berdasarkan Pasal 28H UUD 1945 tersebut dinyatakan bahwa
mendapatkan kesehatan dan pelayanan yang baik merupakan hak setiap
manusia, dan hukum – lah yang akan menjadi sarana dalam
mewujudkannya. Tenaga kesehatan dan fasilitas pelayanan kesehatan
merupakan perangkat penting dalam dunia kesehatan. Tenaga kesehatan
menurut Undang - undang Nomor 36 Tahun 2014 tentang Tenaga
Kesehatan (yang selanjutnya ditulis UU Tenaga Kesehatan) adalah setiap
orang yang mengabdikan diri dalam bidang kesehatan serta memiliki
pengetahuan dan/atau keterampilan melalui pendidikan di bidang kesehatan
yang untuk jenis tertentu memiliki kewenangan untuk melakukan upaya
kesehatan.
Tenaga kesehatan ataupun perangkat lainnya yang dianggap sudah
ahli dalam displin ilmu kesehatan, mereka tidak hanya terikat dalam disiplin
ilmu kesehatan atau kedokteran saja. Ilmu kedokteran atau kesehatan tidak
lepas dari displin ilmu lainnya karena pada dasarnya dunia kedokteran atau
kesehatan merupakan suatu hubungan kompleks, salah satu disiplin ilmu
3
yang juga erat hubungannya dengan dunia kedokteran adalah disiplin ilmu
hukum.
Dalam dua dekade ini kalangan kesehatan lebih akrab dengan disiplin
ilmu hukum.2 Hukum dan kesehatan sama – sama sebagai institusi sosial.
Hukum mengatur mengenai ketertiban dan hubungan yang ada di
masyarakat, sedangkan kesehatan mengatasi masalah kesehatan yang ada di
masyarakat. Sekarang ini, keduanya saling berkaitan dan membutuhkan satu
sama lain. Lahirnya hubungan antara dua disiplin ilmu yang berbeda ini,
dalam dunia hukum dibuktikan dengan lahirnya 311 produk hukum3 yang
berhubungan dengan dunia kesehatan. Lahirnya begitu banyak produk
hukum mengenai kesehatan membuktikan bahwa hukum mengatur secara
komprehensif mengenai dunia kesehatan dan kedokteran. Pada dasarnya,
setiap tindakan dan hal yang akan dilakukan oleh seorang tenaga kesehatan
untuk melakukan upaya pelayanan kesehatan harus diatur dan diawasi oleh
hukum.
Salah satu yang menjadi fokus pengaturan hukum dalam dunia
kesehatan adalah mengenai Informed Consent atau kerap diartikan sebagai
Persetujuan Tindakan Kedokteran. Produk hukum yang membahas
mengenai hal ini adalah Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia
Nomor 290/MENKES/PER/III/2008 tentang Persetujuan Tindakan
Kedokteran yang selanjutnya ditulis PMK 290. Lahirnya PMK 290
2 Cecep Triwibowo, Etika dan Hukum Kesehatan (Yogyakarta: Nuha Medika, 2014), h. 14.
3 Badan Hukum Pembinaan Nasional, “Jaringan Dokumentasi dan Informasi Hukum
Nasional”, data diakses pada 20 November 2016 dari http://jdihn.bphn.go.id/
4
merupakan peraturan lanjutan dari UU Tenaga Kesehatan. Dalam Pasal 58
ayat (1) poin – B UU Tenaga Kesehatan yang menyatakan, “Setiap
tindakan kedokteran atau kedokteran gigi yang akan dilakukan oleh dokter
atau dokter gigi terhadap pasien harus mendapat persetujuan pasien”.
Persetujuan inilah yang dimaksud dengan Informed Consent.
Dalam pelaksanaan pengaturannya, saat seseorang menyerahkan
dirinya untuk diberi pelayanan kesehatan oleh seorang tenaga medis, maka
sudah menjadi kewajiban tenaga medis memberikan usaha yang terbaik
dalam penyembuhannya. Hal yang sama seperti yang diharapkan keluarga
dari Falya saat membawa Falya ke Rumah Sakit AB dengan harapan
mendapatkan penyembuhan. Namun, untuk memberikan penyembuhan
tidak serta – merta membuat tenaga medis berhak seutuhnya atas diri
seorang pasien. Tenaga medis atau dokter dalam melaksanakan pengobatan
atau upaya penyembuhan tetap harus menghargai hak dari pasien.
Bentuk penghargaan pada hak pasien dilakukan dengan adanya
Informed Consent, dimana dokter atau tenaga medis akan melakukan
kontrak yang berbentuk formulir persetujuan yang diserahkan kepada pasien
untuk memberikan persetujuan untuk tindakan medik yang akan dilakukan
terhadapnya. Namun, sebelum pasien menandatangani persetujuan, tenaga
medis atau dokter wajib menjelaskan terlebih dahulu mengenai tindakan
medis yang akan dilakukan dan resiko yang akan terjadi apabila melakukan
tindakan medis tersebut. Informasi seharusnya diberikan secara jelas dan
5
acceptable atau dapat diterima dan dicerna dengan baik oleh pasien atau
keluarga pasien.
Sudah menjadi rahasia umum banyak tenaga medis atau dokter yang
kerap menjelaskan mengenai tindakan medis dengan bahasa kedokteran
yang banyak tidak bisa dipahami oleh pasien ataupun keluarga pasien
dikarenakan adanya keterbatasan pengetahuan ataupun perbedaan latar
belakang pendidikan. Hal yang terjadi pada kasus kematian Falya akibat
pemberian antiobiotik, yang dalam pemberiannya tidak dimintakan
persetujuan dari pihak keluarga. Pihak keluarga tidak mendapatkan haknya
untuk mendapatkan informasi atas tindakan kedokteran yang dilakukan
terhadap anaknya.
Persetujuan tindakan kedokteran dituangkan dalam bentuk formulir
yang selanjutnya dianggap sebagai kontrak antara pasien dan tenaga
kesehatan. Dalam dunia hukum kontrak, kontrak yang dilakukan ini
termasuk ke dalam kontrak terapeutik, kontrak yang mengatur hubungan
hukum antara pemberi layanan kesehatan dan penerima layanan kesehatan.
Hal menarik dalam kontrak ini adalah objek dalam kontrak, dimana dalam
kontrak biasanya yang menjadi objek adalah hasil atau prestasi yang
dilakukan oleh pihak lain, namun dalam kontrak terapeutik bukanlah hasil
atau resultaatsverbintenis melainkan upaya maksimal pemberi layanan
kesehatan dalam menyembuhkan pasien atau inspaningsverbintenis. Jadi,
dalam kontrak ini pemberi layanan kesehatan yang dapat berupa tenaga
medis atau dokter hanya berusaha untuk menyembuhkan pasien dan upaya
6
yang dilakukannya belum tentu berhasil. Hal inilah yang menjadikan
Informed Consent sebagai perlindungan hukum bagi tenaga medis atau
dokter dalam kemungkinan terjadinya perselisihan di kemudian hari.
Dalam praktek di lapangan, saat memberikan Informed Consent, terjadi
adanya ketidakseimbangan kedudukan antara pasien sebagai konsumen
dengan dokter sebagai pemberi jasa, dimana pasien sebagai pihak lemah, yang
dianggap kurang memahami dan kompeten dalam pengetahuan kesehatan dan
dokter yang tentu sudah cakap dalam pengetahuan kesehatan melaksanakan
kontrak berupa Informed Consent, hal tersebut tentu memungkinkan adanya
hak – hak dari pasien sebagai konsumen yang dilanggar.
Berdasarkan latar belakang masalah itulah, peneliti mengambil
permasalahan tersebut untuk diteliti dan dicari jawabannya melalui penelitian
skripsi yang berjudul, “Perlindungan Hukum atas Pelanggaran Hak Pasien
dalam Persetujuan Tindakan Kedokteran (Studi Kasus Putusan Nomor
462/Pdt/2016/PT.BDG) ”.
B. Identifikasi Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, maka ditemukan masalah yang
diantaranya adalah:
1. Banyak hak – hak dari pasien yang kerap dikesampingkan atau tidak
di hargai oleh pemberi layanan kesehatan, yang kemudian akan
merugikan pasien.
2. Pasien sebagai pihak lemah saat berhubungan dengan Rumah Sakit,
diakibatkan adanya perbedaan latar belakang pendidikan.
7
3. Adanya ketidakseimbangan kedudukan antara pasien dan dokter
selaku pelaku dalam pelayanan kesehatan yang berpotensi merugikan
pasien.
C. Pembatasan dan Rumusan Masalah
1. Pembatasan Masalah
Permasalahan dalam penelitian ini dibatasi pada perlindungan
yang diberikan oleh undang – undang kepada Pasien yang hak-nya
dilanggar oleh pihak ketiga serta mengacu pada putusan Pengadilan
Tinggi Jawa Barat Nomor 462/Pdt/2016/PT.Bdg.
2. Rumusan Masalah
Dalam penelitian ini dirumuskan beberapa pertanyaan penelitian
sebagai berikut:
a. Bagaimana perlindungan secara hukum yang diberikan oleh
Peraturan Perundang - Undangan kepada Pasien yang hak -
haknya dilanggar ?
b. Apakah pertimbangan majelis hakim pada studi kasus putusan
nomor 462/Pdt/2016/PT.Bdg sudah sesuai dengan Peraturan
Perundang-undangan yang berlaku?
D. Tujuan dan Manfaat Penelitian
1. Tujuan Penelitian
a. Untuk mengetahui bentuk perlindungan hukum yang diberikan
kepada pasien ditinjau dari Undang - undang Perlindungan
Konsumen dan Undang – undang Kesehatan.
8
b. Untuk mengetahui pertimbangan – pertimbangan yang
dilakukan hakim dalam memutus perkara nomor
462/Pdt/2016/PT.BDG.
2. Manfaat Penelitian
a. Manfaat Akademis
Penelitian ini akan memberikan manfaat secara akademis
berupa pengetahuan dan wawasan kepada mahasiswa Fakultas
Syariah dan Hukum serta pihak lain terkait perjanjian yang
dilakukan di Rumah Sakit, serta perlindungan yang dapat
diberikan oleh undang – undang bagi pasien atau pihak yang
hak-nya terlanggar.
b. Manfaat Praktis
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat
secara praktis yang merupakan manfaat yang dapat langsung
diaplikasikan. Manfaat praktis tersebut berupa:
1) Masukan kepada pihak Rumah Sakit ataupun instansi yang
terkait agar dapat memperbaiki sistem administrasi yang
diharapkan tidak akan merugikan Pasien sebagai
konsumen pelayanan kesehatan;
2) Evaluasi kepada pemerintah agar bisa menegakkan
Undang - undang perlindungan konsumen hingga bisa
memberikan perlindungan hukum kepada pasien yang hak
– hak – nya tercederai,dan;
9
3) Evaluasi kepada hakim agar dalam memutus perkara dapat
meng-review Undang - undang terbaru, agar dalam
memutus tidak menggunakan Undang - undang yang
sudah tidak berlaku atau tidak mengacu pada aturan yang
sudah tidak berlaku.
E. Review Studi Terdahulu
1. Perlindungan Hukum Terhadap Pasien Dalam Pelayanan Medis di
Rumah Sakit PKU Muhammadiyah Yogyakarta, skripsi yang ditulis
oleh Suci Lestari, mahasiswi Jurusan Ilmu Hukum, Fakultas Syariah
dan Hukum, Universitas Sunan Kalijaga Yogyakarta pada tahun 2015.
Skripsi ini membahas sistem pelaksanaan perlindungan atas hak
pasien yang dilindungi oleh Undang – undang Perlindungan
Konsumen di lapangan, yang penulis mengambil lokasi penelitian di
Rumah Sakit PKU Muhammadiyah Yogyakarta.
Perbedaan antara skripsi ini dengan yang akan diteliti dalam
perlindungan hukum, dimana skripsi diatas melihat pelaksanaan
perlindungan terhadap pasien di lapangan sedangkan peneliti
membahas mengenai perlindungan hukum terhadap pasien yang
dianggap sebagai pihak lemah dalam pelaksanaan Informed Consent.
2. Pertanggungjawaban Hukum Dokter Terhadap Malapraktik Medis
(Analisis Putusan Pengadilan Negeri Nomor
329/Pdt.G/2012/PN.Jkt.Tim), skripsi yang ditulis oleh Sukarno Putra,
mahasiswa Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah, Fakultas
10
Syariah dan Hukum, Jurusan Ilmu Hukum dan konsentrasi Hukum
Bisnis pada tahun 2016.
Skripsi membahas mengenai malapraktik yang terjadi berdasarkan
putusan pengadilan negeri nomor 329/Pdt.G/2012/PN/Jkt.Tim dan
pertanggungjawaban yang diberikan oleh pihak dokter atas
malapraktik tersebut.
Perbedaan antara skripsi ini dengan yang akan diteliti adalah dalam
objek penelitian, dimana peneliti mengambil objek persetujuan
tindakan kedokteran.
3. Aspek Hukum Informed Consent dan Rekam Medis dalam Transaksi
Terapeutik, buku yang ditulis oleh Desriza Ratman yang diterbitkan di
Bandung oleh Keni Media pada tahun 2013.
Buku ini membahas mengenai transaksi terapeutik, dan salah satu
bentuk transaksi terapeutik yaitu Informed Consent atau Persetujuan
Tindakan Kedokteran. Penulis menjelaskan mengeni aspek – aspek
hukum dalam persetujuan tindakan kedokteran atau Informed Consent.
Perbedaan antara buku ini dengan yang akan diteliti adalah penulis
buku membahas mengenai sanksi atas pelanggaran informed consent
dan rekam medis, sedangkan peneliti membahas mengenai
perlindungan hukum yang diberikan oleh Peraturan Perundang-
undangan mengenai pelanggaran hak pasien atas persetujuan tindakan
kedokteran.
11
4. Keabsahan Perjanjian Dengan Klausula Baku, jurnal yang ditulis
oleh R.M Panggabean yang berasal dari Fakultas Hukum, Universitas
Bhayangkara Jakarta pada tahun 2012.
Penulis memaparkan mengenai penerapan dan keabsahan perjanjian
baku yang dilihat dari Kitab Undang - undang Hukum Perdata serta
akibat hukum dari ketiadaan asas kebebasan berkontrak dalam
pelaksanaan permintaan persetujuan tindakan kedokteran di lapangan.
Perbedaan antara jurnal ini dengan yang akan diteliti adalah peneliti
memfokuskan penelitian mengenai pelanggaran hak pasien dalam
pelaksanaan persetujuan tindakan kedokteran di lapangan.
F. Metode Penelitian
1. Pendekatan Penelitian
Dalam penelitian ini, peneliti melakukan pendekatan perundang
- undangan (statutory approach) dan pendekatan kasus (case
approach), dimana penelitian dilakukan dengan menelaah Undang -
undang dan regulasi yang bersangkut-paut dengan isu hukum yang
sedang ditangani dan kasus nyata yang diteliti yaitu putusan nomor
462/Pdt/2016/T.Bdg.
2. Jenis Penelitian
Metode penelitian hukum normatif adalah penelitian ilmiah
untuk menemukan kebenaran berdasarkan logika keilmuan hukum
12
dari sisi normatifnya, yang dibangun berdasarkan objek hukum itu
sendiri.4 Maka jenis penelitian ini adalah, normatif.
3. Sumber Data
Dalam penelitian pada umumnya dibedakan antara data yang
diperoleh secara langsung dari masyarakat dan dari bahan – bahan
pustaka.5 Sumber data dalam penelitian ini adalah:
a. Bahan hukum primer terdiri dari perundang - undangan, putusan
hakim,dll.6 Bahan hukum primer dari penelitian ini yaitu:
(1) Kitab Undang - undang Hukum Perdata;
(2) Undang - undang Nomor 36 Tahun 2014 tentang Tenaga
Kesehatan;
(3) Undang - undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang
Perlindungan Konsumen,;
(4) Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 1/PUU-XII/2014;
(5) Putusan Pengadilan Tinggi Jawa Barat Nomor
462/Pdt/2016/PT.Bdg;
(6) Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 290 Tahun 2008
tentang Persetujuan Tindakan Kedokteran.
(7) Bentuk Persetujuan Tindakan Kedokteran (Informed
Consent) beberapa Rumah Sakit.
b. Bahan hukum sekunder, adalah bahan hukum yang bersumber
dari buku – buku dan literatur hukum, skripsi, jurnal, tesis, atau
4 Johnny Ibrahim, Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif ( Surabaya :
Bayumedia Publishing, 2005), h 57.
5 Soerjono Soekanto dan Sri, Penelitian Hukum Normatif, cet.XIII, edisi I, (Jakarta : PT.
RajaGrafindo Persada, 2011), h. 12.
6 Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum (Edisi Revisi), h. 181.
13
bahkan komentar atas putusan pengadilan.7 Contohnya adalah
jurnal hukum, rancangan Undang - undang , dst.
c. Bahan non - hukum (tertier), bahan hukum yang bersumber dari
literatur diluar hukum yang masih ada kaitannya dengan tema
penelitian, yang kemudian memberikan petunjuk maupun
penjelasan terhadap bahan hukum primer dan sekunder.8
Contohnya adalah buku – buku mengenai kedokteran, kamus,
ensiklopedia, dst
4. Metode Pengumpulan Data
Dalam pengumpulan data, peneliti menggunakan tiga metode,
yaitu:
a. Studi kepustakaan, metode pengumpulan data dengan cara
mempelajari bahan bacaan berupa buku-buku yang dijadikan
referensi dan dokumen yang berkaitan dengan pokok
permasalahan penelitian guna memperoleh teori-teori dan
informasi yang dibutuhkan.9 Studi kepustakaan pada dasarnya
menunjukkan jalan pemecahan pemasalahan penelitian10
dan
7 Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum (Edisi Revisi), h. 196.
8 Soerjono Soekanto dan Sri, Penelitian Hukum Normatif, cet. XIII, edisi I. (Jakarta : PT.
RajaGrafindo Persada, 2011), h. 13.
9 Bambang Waluyo, Penelitian Hukum dalam Praktek, cet.IV, edisi I, (Jakarta : Sinar
Grafika, 2008), h 50.
10 Nomensen Sinamo, Metode Penelitian Hukum, ( Jakarta: PT. Bumi Inititama Sejahtera,
2009), h. 88.
14
selanjutnya digunakan oleh penulis untuk mendapatkan
informasi tentang analisis data yang digunakan.
b. Wawancara, yaitu pengumpulan data yang dilakukan dengan
cara tanya jawab langsung antara peneliti dengan subjek
penelitan yang dalam hal ini adalah dokter. Teknik ini dilakukan
dengan berpedoman pada pertanyaan yang terstruktur.
c. Dokumentasi, yaitu pengumpulan data melalui pengumpulan
dokumen yang berhubungan dengan dokumen persetujuan
tindakan kedokteran antara pasien dan rumah sakit.
5. Metode Pengolahan Data
Pengolahan data yang berasal dari bahan hukum primer,
sekunder dan tersier akan dilakukan secara kualitatif. Dalam
penelitian kualitatif, semua data dikelompokkan sesuai dengan jenis
data, agar dalam pencariannya lebih mudah, setelah itu data diolah dan
dianalisis. Setelah itu, data yang sudah diolah di sajikan dalam bentuk
narasi. melalui prosedur penalaran deduktif, dimana nantinya akan
ditarik sebuah kesimpulan atas penelitian yang sudah dilakukan untuk
menjawab pertanyaan dari masalah penelitian.11
6. Metode Analisis Data
Metode analisis data yang digunakan dalam penelitian adalah
analisis deskriptif. Analisa dilakukan dengan mendeskripsikan dengan
11
Nomensen Sinamo, Metode Penelitian Hukum, h. 60.
15
cara mengeksplorasikan hasil – hasil temuan dan analisis serta
pembahasan data yang diperoleh.12
G. Sistematika Penulisan
Penulisan disusun berdasarkan Pedoman Penulisan Skripsi yang
dikeluarkan oleh Pusat Peningkatan dan Jaminan Mutu (PPJM) Fakultas
Syariah dan Hukum Tahun 2012. Dalam penulisan skripsi terdiri dari 5 bab
dengan sistematika penulisan sebagai berikut:
BAB I : bab ini berisikan pendahuluan yang meliputi latar belakang
masalah, identifikasi masalah, pembatasan masalah, perumusan
masalah, tujuan dan manfaat penelitian, review studi terdahulu,
metode penelitian dan sistematika penulisan.
BAB II : bab ini berisikan teori mengenai perlindungan hukum ,
persetujuan tindakan kedokteran dan hubungan pasien dan dokter.
BAB III : bab ini berisikan hasil data penelitian yang menguraikan
mengenai perlindungan secara hukum bagi pasien yang tercederai
hak-nya.
BAB IV : bab ini berisikan analisa hasil data penelitian yang menguraikan
mengenai pertimbangan majelis hakim Pengadilan Tinggi Jawa
Barat dalam memutus perkara nomor 462/Pdt/2016/PT.Bdg.
BAB V : bab ini berisikan kesimpulan yang diambil dari uraian / deskripsi
yang menjawab masalah berdasarkan data yang diperoleh, serta
saran.
12
Suharsimi Arikunto, Manajemen Penelitian, (Jakarta: Rinneka Cipta, 2000), h. 138.
16
BAB II
DEFINISI & KETENTUAN HUKUM MENGENAI PERLINDUNGAN
HUKUM DAN PERSETUJUAN TINDAKAN KEDOKTERAN
(Informed Consent)
A. Perlindungan Hukum
1. Pengertian Perlindungan Hukum
Perlindungan hukum adalah perlindungan akan harkat dan
martabat, serta pengakuan terhadap hak-hak asasi manusia yang
dimiliki oleh subyek hukum berdasarkan ketentuan hukum dari
kesewenangan atau sebagai kumpulan peraturan atau kaidah yang
akan dapat melindungi suatu hal dari hal lainnya. Berkaitan dengan
konsumen, berarti hukum memberikan perlindungan terhadap hak-hak
pelanggan dari sesuatu yang mengakibatkan tidak terpenuhinya hak-
hak tersebut.1
Menurut Muchsin, perlindungan hukum merupakan suatu hal
yang melindungi subyek-subyek hukum melalui peraturan perundang-
undangan yang berlaku dan dipaksakan pelaksanaannya dengan suatu
sanksi. Perlindungan hukum dapat dibedakan menjadi dua, yaitu2:
1 Philipus M. Hadjon, Perlindungan Hukum Bagi Rakyat Di Indonesia (Surabaya: Bina Ilmu,
1987), h. 25.
2 Muchsin, Perlindungan dan Kepastian Hukum Bagi Investor di Indonesia (Surakarta:
Universitas Sebelas Maret, 2003), h.20
17
a. Perlindungan Hukum Preventif yaitu Perlindungan yang
diberikan oleh pemerintah dengan tujuan untuk mencegah
sebelum terjadinya pelanggaran. Hal ini terdapat dalam
peraturan perundang-undangan dengan maksud untuk mencegah
suatu pelanggaran serta memberikan rambu-rambu atau batasan-
batasan dalam melakukan sutu kewajiban.
b. Perlindungan Hukum Represif yaitu perlindungan akhir berupa
sanksi seperti denda, penjara, dan hukuman tambahan yang
diberikan apabila sudah terjadi sengketa atau telah dilakukan
suatu pelanggaran.
Menurut Philipus M. Hadjon, bahwa sarana perlindungan
Hukum ada dua macam,yaitu3 :
a. Sarana Perlindungan Hukum Preventif yaitu perlindungan
hukum preventif yang dimana subyek hukum diberikan
kesempatan untuk mengajukan keberatan atau pendapatnya
sebelum suatu keputusan pemerintah mendapat bentuk yang
definitif. Tujuannya adalah mencegah terjadinya sengketa.
Perlindungan hukum preventif sangat besar artinya bagi tindak
pemerintahan yang didasarkan pada kebebasan bertindak karena
dengan adanya perlindungan hukum yang preventif pemerintah
terdorong untuk bersifat hati-hati dalam mengambil keputusan
3 Philipus M. Hadjon, Perlindungan Hukum Bagi Rakyat Di Indonesia, h.30.
18
yang didasarkan pada diskresi. Di indonesia belum ada
pengaturan khusus mengenai perlindungan hukum preventif.
b. Sarana Perlindungan Hukum Represif yaitu Perlindungan
hukum yang bertujuan untuk menyelesaikan sengketa.
Penanganan perlindungan hukum oleh Pengadilan Umum dan
Pengadilan Administrasi di Indonesia termasuk kategori
perlindungan hukum ini. Prinsip perlindungan hukum terhadap
tindakan pemerintah bertumpu dan bersumber dari konsep
tentang pengakuan dan perlindungan terhadap hak-hak asasi
manusia karena menurut sejarah dari barat, lahirnya konsep-
konsep tentang pengakuan dan perlindungan terhadap hak-hak
asasi manusia diarahkan kepada pembatasan-pembatasan dan
peletakan kewajiban masyarakat dan pemerintah. Prinsip kedua
yang mendasari perlindungan hukum terhadap tindak
pemerintahan adalah prinsip negara hukum. Dikaitkan dengan
pengakuan dan perlindungan terhadap hak-hak asasi manusia,
pengakuan dan perlindungan terhadap hak-hak asasi manusia
mendapat tempat utama dan dapat dikaitkan dengan tujuan dari
negara hukum.
2. Pengertian Hukum Perlindungan Konsumen
Perlindungan konsumen merupakan konsekuensi dan bagian
dari kemajuan teknologi dan industri. Kemajuan teknologi dan
industri tersebut ternyata telah memperkuat perbedaan antara pola
19
hidup masyarakat tradisional dan masyarakat modern.4
Menurut
Business English Dictionary, perlindungan konsumen adalah
“protecting consumers against unfair or illegal traders”. Adapun
Black’s Law Dictionary mendefinisikan perlindungan konsumen
adalah “a statute that safeguards consumers in the use of goods and
service”.5
Undang – undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang
Perlindungan Konsumen yang selanjutnya disebut UU Perlindungan
Konsumen menyatakan bahwa perlindungan konsumen adalah, segala
upaya yang menjamin adanya kepastian hukum untuk memberi
perlindungan kepada konsumen.
Maka hukum perlindungan konsumen adalah keseluruhan asas –
asas dan kaidah – kaidah yang mengatur dan melindungi konsumen
dalam hubungan dan masalah penyediaan dan penggunaan produk
konsumen antara penyedia dan penggunanya, dalam kehidupan
bermasyarakat.6
3. Konsumen Menurut Hukum
Istilah konsumen berasal dan alih bahasa dari kata consumer7
yang berarti person who buys goods (setiap orang yang menggunakan
4 Zulham, Hukum Perlindungan Konsumen (Jakarta : Kencana, 2013), h. 2.
5 Zulham, Hukum Perlindungan Konsumen, h. 21
6 Az. Nasution, Hukum Perlindungan Konsumen Suatu Pengantar (Jakarta : Diadit
Media, 2007), h. 20.
7 University of Oxford. Oxford Learner’s Pocket Dictionary. (Oxford : Oxford University
Press, 2008). h. 92.
20
barang). Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia8, konsumen adalah
“pemakai barang hasil produksi (bahan pakaian, makanan dan
sebagainya), pemakai jasa (pelanggan dan sebagainya)”. Business
English Dictionary9
mengartikan consumer adalah “person or
company which buys and uses goods and service”. Black’s Law
Dictionary mendefinisikan konsumen sebagai:
“A person who buys goods or a service for personal, family, or
a house-hold use, with no intention or resale: a natural person who
use products for personal rather than business purpose”
Insentius Samsul menyebutkan konsumen adalah pengguna
atau pemakai akhir suatu produk, baik sebagai pembeli maupun
diperoleh melalui cara lain, seperti pemberian, hadiah dan undangan.
Mariam Darus Badrul Zaman sebagaimana dikutip Zulham dalam
buku Hukum Perlindungan Konsumen mendefinisikan konsumen
dengan cara mengambil alih pengertian yang digunakan oleh
kepustakaan Belanda yaitu, semua individu yang menggunakan
barang dan jasa secara konkret dan riil.10
Dalam dunia medis, jasa yang diberikan oleh pelayan kesehatan
terutama dalam Rumah Sakit non – profit atau Rumah Sakit
Pemerintah yang tujuannya bukan untuk mencari keuntungan
8 Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa, “Kamus Besar Bahasa Indonesia”,
kamus diakses pada 7 April 2017 dari https://kbbi.kemdikbud.go.id/entri/konsumen
9 Online Business Dictionary yang diakses pada 3 Februari 2017 dari
http://businessdictionary.com//
10 Zulham, Hukum Perlindungan Konsumen, h. 16.
21
ekonomi, maka segala tindakan medis yang dilakukan oleh pelayan
kesehatan atau dokter tidak bisa dianggap sebagai pelaku usaha
sebagaimana yang terdapat dalam ketentuan UU Perlindungan
Konsumen11
, yang dimana dalam prakteknya pelayan kesehatan atau
dokter dalam etika kedokteran masih berpegang pada prinsip
“pengabdian dan kemanusiaan”. Banyaknya pengertian dan definisi
dari konsumen, maka rumusan pengertian konsumen menurut UU
Perlindungan Konsumen Pasal 1 Angka 2 adalah setiap orang pemakai
barang dan/atau jasa yang tersedia dalam masyarakat, baik bagi
kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain, maupun makhluk hidup
lain dan tidak untuk diperdagangkan.
B. Perjanjian dalam Hukum
Dalam Kitab Undang – Undang Hukum Perdata (KUHPer) Buku ke-
III dibahas mengenai Perikatan atau dikenal juga dengan istilah verbintenis.
Buku ke-III mengatur hubungan hukum antara orang dengan orang (hak
perseorangan), oleh karena itu sifat hukum dalam buku ke-III berupa tuntut
– menuntut. Sumber – sumber perikatan dapat lahir dari suatu persetujuan
(perjanjian) atau dari undang – undang. Perikatan yang lahir dari suatu
persetujuan yaitu, para pihak mengadakan perjanjian, baik dalam bentuk
11
Hasrul Buamona, “Perlindungan Konsumen dalam Hubungan Medis Pasien dan Dokter” artikel diakses pada 15 Februari 2017 dari http://www.lbhyogyakarta.org/2013/08/kedudukan-uu-no-8-tahun-1999-tentang-perlindungan-konsumen-dalam-hubungan-medis-pasien-dan-dokter/
22
lisan (consent) atau tertulis (contract)12
. Nantinya perjanjian tersebut akan
mengikat para pihak yang menandatangani kontrak tersebut. Sedangkan,
perikatan yang lahir dari undang – undang terbagi menjadi dua, yaitu13
:
a) Perikatan yang lahir dari undang – undang saja, yaitu perikatan
yang timbul oleh hubungan kekeluargaan. Contohnya, kewajiban anak yang
mampu untuk memberi nafkah kepada orangtuanya yang dalam kemiskinan.
b) Perikatan yang lahir dari undang – undang karena suatu perbuatan
yang diperbolehkan dan perbuatan yang melanggar hukum. Contoh
perbuatan yang diperbolehkan adalah “pembayaran yang tidak diwajibkan”
(Pasal 1359). Contoh perbuatan yang melanggar hukum, membujuk seorang
buruh dari perusahaan saingannya untuk memberikan rahasia dari
perusahaannya.
1. Perjanjian secara Umum
Pengertian perjanjian atau kontrak diatur dalam Pasal 1313
KUH Perdata, yang berbunyi, “Perjanjian adalah suatu perbuatan
dengan mana satu pihak atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu
orang atau lebih”. Menurut dokrtin (teori lama) yang disebut
perjanjian adalah, “Perbuatan hukum berdasarkan kata sepakat untuk
menimbulkan akibat hukum”.14
Definisi teori lama telah tampak
12
Abdulkadir Muhammad, Hukum Perusahaan Indonesia (Bandung : PT Citra Aditya Bakti, 2010), h. 214.
13 Subekti, Pokok – Pokok Hukum Perdata, h. 133.
14 Salim H.S, Hukum Kontrak Teori & Teknik Penyusunan Kontrak, cet.IX, (Jakarta : Sinar
Grafika, 2013), h. 25.
23
adanya asas konsensualisme15
dan timbulnya akibat hukum
(tumbuh/lenyapnya hak dan kewajiban). Di dalam Pasal 1320
KUHPer dijelaskan mengenai empat syarat yang harus dipenuhi untuk
sahnya suatu perjanjian, yaitu16
:
a. Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya17
;
b. Kecakapan untuk membuat perikatan;
c. Suatu hal atau objek tertentu, dan18
;
d. Suatu sebab yang halal atau diperbolehkan..
2. Perjanjian Terapeutik
Kontrak menurut namanya berdasarkan Pasal 1319 KUH
Perdata dibagi menjadi dua yaitu, kontrak nominaat (bernama) dan
kontrak innominaat (tidak bernama). Kontrak nominaat adalah kontrak
yang dikenal dalam KUH Perdata, seperti, kontrak jual – beli, kontrak
15
Konsensualisme, adalah perjanjian itu telah terjadi jika telah ada consensus antara pihak – pihak yang mengadakan kontrak. (Abdul Rasyid Saliman, Hukum Bisnis untuk Perusahaan : Teori dan Contoh Kasus, cet.VI, (Jakarta : Kencana Preneda Media Group, 2011), h. 46. )
16 Agus Yudha Hernoko, Hukum Perjanjian (Asas Proporsionalitas dalam Kontrak
Komersial), cet.IV, ed.1, (Jakarta : Kencana Prenadamedia Group, 2010), h. 157.)
17 Sepakat dan kecakapan merupakan syarat subjektif, syarat yang apabila dilanggar maka
perjanjian atau kontrak dapat dibatalkan. (Abdul Rasyid Saliman, Hukum Bisnis untuk Perusahaan : Teori dan Contoh Kasus,cet.VI, ( Jakarta : Kencana Preneda Media Group, 2011), h. 46.) Perjanjian yang dapat dibatalkan bersifat relatif, artinya pihak dalam kontrak atau pihak ketiga yang berkepentingan ingin membatalkan kontrak dapat mengajukan pembatalan (voidable) ke muka pengadilan yang berwenang. (Abdulkadir Muhammad, Hukum Perusahaan Indonesia (Bandung : PT Citra Aditya Bakti, 2010), h. 230)
18 Objek tertentu dan sebab yang halal merupakan syarat objektif, syarat yang apabila
dilanggar maka perjanjian atau kontrak batal demi hukum. (Abdul Rasyid Saliman, Hukum Bisnis untuk Perusahaan : Teori dan Contoh Kasus, cet.VI, (Jakarta : Kencana Preneda Media Group, 2011),. h. 46.) Perjanjian yang batal demi hukum bersifat mutlak, artinya kontrak yang dibuat dianggap tidak pernah ada. Kebatalan (annulment) dimohonkan kepada dan melalui penetapan pengadilan yang berwenang. (Abdulkadir Muhammad, Hukum Perusahaan Indonesia (Bandung : PT Citra Aditya Bakti, 2010), h. 233)
24
sewa – menyewa, dan lain – lain.19
Sedangkan kontrak innominaat
adalah kontrak yang timbul, tumbuh dan berkembang di masyarakat.
Jenis kontrak ini belum dikenal dalam KUH Perdata seperti, kontrak
leasing, franchise, kontrak terapeutik, dan lain – lain.
Salah satu kontrak innominaat adalah kontrak terapeutik, yang
dalam bahasa Inggrisnya disebut dengan therapeutic contract dan
dalam bahasa Belandanya disebut dengan therapeutische contract,
sedangkan dalam bahasa Jerman disebut dengan therapeutiche vertag,
yang semuanya sama – sama mempunya arti sebagai perjanjian yang
mengatur hubungan hukum antara pemberi layanan kesehatan dan
penerima layanan kesahatan.20
Menurut Fred Ameln, kontrak
terapeutik adalah “kontrak dimana pihak dokter berupaya secara
maksimal menyembuhkan pasien (inspaningsverbintenis21
) jarang
merupakan resultaatverbintenis”. Menurut Salim H.S, kontrak
terapeutik yaitu “Kontrak yang dibuat antara pasien dengan tenaga
kesehatan dan/atau dokter atau dokter gigi, dimana tenaga kesehatan
atau dokter atau dokter gigi berusaha untuk melakukan upaya
maksimal untuk melakukan penyembuhan terhadap pasien sesuai
19
Salim H.S, Hukum Kontrak Teori & Teknik Penyusunan Kontrak, cet.IX, h. 28.
20 Salim, H.S dan Erlies, Perkembangan Hukum Kontrak Innominat di Indonesia. (Jakarta:
Sinar Grafika, 2014), h. 31.
21 Disebut inspaningsverbintenis, karena disini tenaga kesehatan/dokter/dokter gigi hanya
berupaya menyembuhkan pasien, namun belum tentu ada hasilnya. Lain halnya dengan kontrak seperti jual – beli, sewa – menyewa, dan lain – lain, yang hasilnya jelas dan seketika itu dapat dilihat oleh para pihak.
25
dengan kesepakatan yang dibuat antara keduanya, dan pasien
berkewajiban untuk membayar biaya penyembuhannya”22
Ada tiga unsur yang terkandung dalam definisi menurut Salim
H.S, yaitu:
a. Adanya subjek hukum, yaitu pasien dan tenaga
kesehatan/dokter/dokter gigi;
b. Adanya objek hukum, yaitu upaya maksimal untuk
melakukan penyembuhan terhadap pasien yang dilakukan
oleh tenaga kesehatan/dokter/dokter gigi;
c. Adanya hak dan kewajiban, yaitu kewajiban pasien adanya
membayar biaya atau jasa terhadap tenaga
kesehatan/dokter/dokter gigi dan hak-nya adalah
mendapatkan upaya penyembuhan.23
C. Persetujuan Tindakan Kedokteran (Informed Consent)
1. Pengertian Tindakan Kedokteran
Berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia
Nomor 290/MENKES/PER/III/2008 tentang Persetujuan Tindakan
Kedokteran dalam Pasal 1 angka 3 yang dimaksud dengan tindakan
kedokteran atau kedokteran gigi yang selanjutnya disebut tindakan
kedokteran adalah suatu tindakan medis berupa preventif, diagnostik,
22
Salim, H.S dan Erlies, Perkembangan Hukum Kontrak Innominat di Indonesia. h. 32.
23 Salim, H.S dan Erlies, Perkembangan Hukum Kontrak Innominat di Indonesia, h. 32.
26
terapeutik atau rehabilitatif yang dilakukan oleh dokter atau dokter
gigi terhadap pasien.
Dalam memberikan tindakan kedokteran atau pelayanan
kesehatan, dalam Undang – undang Nomor Nomor 36 Tahun 2009
tentang Kesehatan yang selanjutnya disebut UUKes, terbagi menjadi 5
(lima) jenis pelayanan kesehatan yaitu,Pelayanan kesehatan promotif,
Pelayanan kesehatan preventif, Pelayanan kesehatan kuratif,
Pelayanan kesehatan rehabilitatif, dan Pelayanan kesehatan
tradisional.
2. Pengertian Persetujuan Tindakan Kedokteran (Informed Consent)
Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 290 Tahun 2008 tentang
Persetujuan Tindakan Kedokteran yang menyatakan dalam Pasal 1
ayat (1):
“Persetujuan tindakan kedokteran adalah persetujuan yang
diberikan oleh pasien atau keluarga terdekat setelan mendapat
penjelasan secara lengkap mengenai tindakan kedokteran atau
kedokteran gigi yang akan dilakukan kepada pasien”
Dalam Informed Consent terdapat dua unsur penting, sesuai
dengan namanya, informed, yang dapat diartikan penjelasan yang
diterima oleh pasien dari dokter atau tenaga kesehatan; dan consent,
yang dapat diartikan persetujuan dari pasien atas tindakan medis yang
hendak dilakukan. Informed, yang dilakukan tenaga kesehatan tentu
harus memiliki teknik tersendiri agar pasien dapat dengan mudah
menerima dan mencerna penjelasan yang diinformasikan kepadanya,
bahkan seorang dokter harus mengetahui secara teknis (status
27
kesehatan pasien) dan non - teknis (situasi dan kondisi pasien atau
keluarga pasien), seperti latar belakang kultur budaya, sosial,
ekonomi, agama bahkan kejiwaan/psikis pasien.24
Berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 290 Tahun
2008 tentang Persetujuan Tindakan Kedokteran Pasal 2 bahwa semua
tindakan kedokteran yang akan dilakukan terhadap pasien harus
mendapat persetujuan baik secara tertulis maupun lisan. Persetujuan
diberikan setelah pasien mendapat penjelasan yang diperlukan tentang
perlunya tindakan kedokteran dilakukan.
3. Tujuan dan Manfaat Persetujuan Tindakan Kedokteran
Dilihat dari fungsinya, informed consent memiliki fungsi ganda,
yaitu fungsi bagi pasien dan fungsi bagi dokter. Dari sisi pasien,
informed consent berfungsi untuk :
a. Menjamin bahwa setiap orang mempunyai hak untuk
memutuskan secara bebas pilihannya berdasarkan pemahaman
yang memadai;
b. Proteksi dari pasien dan subyek;
c. Mencegah terjadinya penipuan atau paksaan;
d. Menimbulkan rangsangan kepada profesi medis untuk
mengadakan intropeksi diri sendiri (self-Secrunity);
24
Desriza Ratman, Aspek Hukum Informed Consent dan Rekam Medis dalam Transaksi Terapeutik, h. 47.
28
e. Membantu keterlibatan masyarakat (dalam memajukan prinsip
otonomi sebagai suatu nilai sosial dan mengadakan pengawasan
penyelidikan biomedik).
Sedangkan bagi pihak dokter, informed consent berfungi
untuk membatasi otoritas dokter terhadap pasiennya,
sehingga dokter dalam melakukan tindakan medis lebih berhati-
hati. Dengan kata lain mengadakan tindakan medis atas persetujuan
dari pasien. Tujuan dari Informed Consent menurut J. Guwandi
adalah:
a. Melindungi pasien terhadap segala tindakan medis yang
dilakukan tanpa sepengetahuan pasien, dan;
b. Memberikan perlindungan hukum kepada dokter terhadap akibat
yang tidak terduga dan bersifat negatif, misalnya terhadap risk
of treatment yang tak mungkin dihindarkan walaupun dokter
sudah mengusahakan dengan cara semaksimal mungkin dan
bertindak dengan sangat hati-hati dan teliti25
.
D. Hubungan Pasien dan Dokter
1. Pengertian Pasien dan Dokter
Hubungan pasien dan dokter telah dikenal sejak zaman sebelum
masehi, yaitu dengan diketemukannya dalam codex Hammurabi yang
25
J. Guwandi, Rahasia Medis (Jakarta : Fakultas Kedokteran UI, 2005), h. 32.
29
mengatur mengenai hak – kewajiban antara dokter dan pasien.26
Hubungan pasien dan dokter telah diatur oleh banyak regulasi di
Indonesia, termasuk pengertian dari pasien dan dokter itu sendiri.
Menurut Undang – undang Nomor 36 Tahun 2014 tentang
Tenaga Kesehatan yang dimaksud dengan tenaga kesehatan adalah
setiap orang yang mengabdikan diri dalam bidang kesehatan serta
memiliki pengetahuan dan/atau keterampilan melalui pendidikan di
bidang kesehatan yang untuk jenis tertentu memerlukan kewenangan
untuk melakukan upaya kesehatan.
Menurut Peraturan Menteri Kesehatan Nomor
290/MENKES/PER/III/2008 tentang Persetujuan Tindakan
Kedokteran yang dimaksud dengan dokter dan dokter gigi adalah
dokter, dokter spesialis, dokter gigi dan dokter gigi spesialis lulusan
pendidikan kedokteran atau kedokteran gigi baik di dalam maupun di
luar negeri yang diakui oleh Pemerintah Republik Indonesia sesuai
dengan peraturan perundang - undangan.
Dalam Undang – undang Nomor 36 Tahun 2014 tentang
Tenaga Kesehatan yang dimaksud dengan Penerima Pelayanan
Kesehatan adalah setiap orang yang melakukan konsultasi tentang
kesehatan untuk memperoleh pelayanan kesehatan yang diperlukan,
baik secara langsung maupun tidak langsung kepada tenaga kesehatan.
26
Desriza Ratman, Aspek Hukum Informed Consent dan Rekam Medis dalam Transaksi Terapeutik (Bandung: Keni Media, 2013), h. 15.
30
Dalam Peraturan Menteri Kesehatan Nomor
290/MENKES/PER/III/2008 tentang Persetujuan Tindakan
Kedokteran hanya mengartikan yang dimaksud dengan Pasien
Kompeten yaitu, pasien dewasa atau bukan anak menurut peraturan
perundang – undang atau telah/pernah menikah, tidak terganggu
kesadaran fisiknya, mampu berkomunikasi secara wajar, tidak
mengalami kemunduran perkembangan (retardasi) mental dan tidak
mengalami penyakit mental sehingga mampu membuat keputusan
secara bebas.
2. Hak dan Kewajiban Pasien
Dalam Kode Etik Kedokteran Indonesia (KODEKI) , terdapat
pasal - pasal mengenai hak - hak pasien selaku penerima layanan
kesehatan, yaitu diantaranya27
:
a. Hak untuk hidup, hak atas tubuhnya sendiri dan hak untuk mati
secara wajar;
b. Memperoleh pelayanan kedokteran yang manusiawi sesuai
dengan standar profesi kedokteran;
c. Memperoleh penjelasan tentang diagnosis dan terapi dari dokter
yang mengobatinya;
d. Memperoleh penjelasan tentang riset kedokteran yang akan
diikutinya,dan;
27
M. Jusuf Hanafiah dan Amri, Etika Kedokteran dan Hukum Kesehatan (Jakarta: EGC, 1999), h. 47
31
e. Menolak atau menerima keikutsertaannya dalam riset
kedokteran.
Kewajiban pasien pada garis besarnya adalah sebagai berikut:
a. Memeriksakan diri sedini mungkin pada dokter;
b. Memberikan informasi yang benar dan lengkap tentang
penyakitnya;
c. Mematuhi nasihat dan petunjuk dokter;
d. Menandatangani surat - surat Persetujuan Tindakan Kedokteran
(Informed Consent) , surat jaminan, dan lain - lain;
e. Melunasi biaya perawatan di rumah sakit, biaya pemeriksaan
dan pengobatan serta honorarium dokter.
3. Hak dan Kewajiban Dokter
Hak dari dokter berdasarkan Undang - Undang Nomor 36 Tahun
2014 tentang Tenaga Kesehatan antara lain:
a. Memperoleh perlindungan hukum sepanjang melaksanakan
tugas sesuai dengan Standar Profesi, Standar Pelayanan Profesi
dan Standar Prosedur Operasional;
b. Memperoleh informasi yang lengkap dan benar dari Penerima
Layanan Kesehatan atau keluarganya;
c. Menerima imbalan jasa;
d. Memperoleh perlindungan atas keselamatan dan kesehatan
kerja, perlakuan yang sesuai dengan harkat dan martabat
manusia, moral, kesusilaan, serta nilai - nilai agama,dan;
32
e. Menolak keinginan penerima layanan kesehatan atau pihak lain
yang bertentangan dengan standar profesi, kode etik, standar
pelayanan, atau ketentuan peraturan perundang – undangan.
Kewajiban dokter sebagai pemberi layanan kesehatan antara lain:
a. Memberikan pelayanan kesehatan sesuai dengan Standar
Profesi, Standar Pelayanan Profesi, Standar Prosedur
Operasional dan etika profesi serta kebutuhan kesehatan
penerima layanan kesehatan;
b. Memperoleh persetujuan dari penerima layanan kesehatan atau
keluarganya atas tindakan yang akan diberikan;
c. Menjaga kerahasiaan kesehatan penerima pelayanan kesehatan;
d. Membuat dan menyimpan catatan dan/atau dokumen tentang
pemeriksaan, asuhan, dan tindakan yang dilakukannya.
Pada dasarnya memberikan pelayanan medis merupakan amanah
yang harus dilakukan oleh seorang dokter yang harus
dipertanggungjawabkannya kepada Allah SWT, yang telah
memberikan ilmu kepada manusia dan menjanjikan balasan yang
kekal kepada manusia sebagaimana firman-Nya di dalam Al-Qur’an
yang artinya sebagai berikut:
٢٣والذين هم لمـنـتهم وعهد هم رعون
“Dan orang-orang yang memelihara amanah-amanah (yang
dipikulnya) dan janjinya” (Q.S. Al- Ma’arij (70) ayat 32).
33
ا ت مكرمو ن ٢٣أولئك في جن
“Mereka itu dimuliakan di dalam surga” (Q.S. Al- Ma’arij (70) ayat
35)
Agar dokter memperoleh balasan surga yang kekal di akhirat
nanti, maka dalam menjalankan profesinya untuk memberikan
pelayanan medis yang kompeten dengan kebebasan teknik dan moral
sepenuhnya sebagai tanggungjawab kepada Sang Pencipta disertai
rasa kasih sayang dan penghormatan kepada pasien yang di
obatinya.28
Di dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Bukhari
r.a., Rasulullah SAW bersabda:
“Orang yang belas kasihan akan dikasihi Ar-Rahman, karena itu
kasih sayangilah yang dimuka bumi, niscaya kamu dikasih-sayangi
mereka yang dilangit”
Seorang dokter yang mengobati pasien dengan penuh kasih
sayang sebagaimana dianjurkan di dalam KODEKI , insya Allah akan
dikasih-sayangi oleh penghuni langit sebagaimana sabda Rasulullah
SAW tersebut29
.
28
Anny Isfandyarie. Tanggung Jawab Hukum dan Sanksi bagi Dokter Buku I. h.40.
29 Anny Isfandyarie. Tanggung Jawab Hukum dan Sanksi bagi Dokter Buku I. h.40.
34
BAB III
PERLINDUNGAN SECARA HUKUM BAGI PASIEN YANG
TERCEDERAI HAK-NYA DALAM PUTUSAN
NOMOR 462/Pdt/2016/PT.BDG
A. Duduk Perkara
1. Para Pihak
Putusan Nomor 462/Pdt/2016/PT.BDG merupakan sengketa
perdata antara Rumah AB yang berkedudukan di Jalan KH. Nur Ali,
Bekasi 17144 sebagai Pembanding I semula Tergugat I dan Dr. Y
yang bertempat tinggal di Kemang Pratama 3 Kota Bekasi sebagai
Pembanding II semula Tergugat II yang dalam hal ini diwakili oleh
kuasanya Arif Hidayat, S.H., Harry F.M Sitorus, S.H., Sahatman
Anton Siregar, S.H., Riki Sidabutar S.H., Hutami Simatupang, S.H.,
dan Bintang W.J.R ButarButar, S.H.. Melawan Terbanding yang
dahulunya Penggugat yaitu Ibrahim Blegur, bertempat tinggal di Jalan
Tahir, gang Genang RT/RW 04/011 No. 79 Kranji, Bekasi Barat,
Kodya Bekasi, Jawa Barat. Dalam hal ini diwakili oleh kuasanya: M.
Ihsan S.H., M.H., M.Si., Nur Hakim, S.H., dan Henry Agustua
Sihombing, S.H.
2. Posisi Kasus
Sengketa berawal saat Terbanding semula Penggugat membawa
anaknya, Falya Raafani Blegur ke RS AB yang merupakan
Pembanding I semula Tergugat I untuk berobat dikarenakan muntah
35
dan diare pada tanggal 28 Oktober 2015, kemudian Falya diperiksa
oleh Pembanding II semula Tergugat II dan diharuskan untuk
menjalani rawat inap di tempat Pembanding I semula Tergugat I.
Setelah rawat inap satu malam hinggal 29 Oktober 2015 keadaan
Falya semakin membaik dengan perawatan infus hingga esok paginya
keadaan Falya semakin membaik. Pembanding II semula Tergugat II
kemudian memeriksa Falya, setelah memeriksa Falya, Pembanding II
semula Tergugat II langsung pergi tanpa memberikan informasi
apapun tentang perkembangan status penyakit/kondisi pasca
pengobatan rawat inap setelah satu malam.
Satu jam setelah pemeriksaan oleh Pembanding II semula
Tergugat II, perawat datang mengganti botol infus dengan botol anti
biotik kepada Falya yang saat itu di jaga oleh istri Terbanding semula
Penggugat. Tak beberapa lama kemudian, istri Terbanding semula
Penggugat melihat perut Falya membuncit atau melembung gendut
membesar dan mata terlihat bengkak meskipun sedang tertidur. 2 jam
kemudian, Terbanding semula Penggugat datang dan melihat istrinya
menangis, istrinya kemudian menjelaskan mengenai keadaan Falya
setelah diberi anti biotik.
Terbanding semula Penggugat melihat kondisi Falya yang kini
bibirnya sudah membiru, badan sekujur tubuh dingin, nafas cepat dan
tersenggal - senggal, perut buncit atau kembung dan sekitar mata
bengkak. Terbanding semula Penggugat kemudian menghubungi
36
perawat, namun tanggapan dari Perawat lama dan lalai sehingga
Terbanding semula Penggugat marah karena menunggu 30 menit
untuk mendapatkan respon. Sampai akhirnya dokter jaga dan perawat
datang untuk melihat keadaan Falya lalu melakukan pemeriksaan suhu
badan dan pemeriksaan detak jantung.
Dokter dan perawat tersadar bahwa Falya dalam kondisi kritis,
mereka baru menunjukkan kepanikan dan mempersipakan alat bantu
oksigen. Disela kepanikan, seorang perawat datang untuk memberikan
SanMol namun dihentikan oleh Terbanding semula Penggugat karena
Falya tidak membutuhkannya sebab tadi baru saja di ukur suhunya
hanya menunjukkan 35 derajat celcius. SanMol diberikan untuk
kondisi suhu tubuh yang cukup tinggi atau demam.
Satu jam kemudian, Pembanding II semula Tergugat II datang
memeriksa dan meminta Falya di pindahkan di ruang NICU. Pada 30
Oktober 2015, istri Terbanding semula Penggugat menanyakan
keadaan Falya kepada Pembanding II semula Tergugat II yang
kemudian menjelaskan bahwa keadaan kritis Falya bukan disebabkan
oleh pemberian anti biotik.
Pembanding II semula Tergugat II dan dokter Rina yang berasal
dari Rumah Sakit Hermina bertemu dengan Terbanding semula
Penggugat untuk menjelaskan keadaan Falya dengan bahasa medis.
Terbanding semula Penggugat mempertanyakan keadaan Falya yang
membiru, perut membesar, keluar busa dari mulut setelah diberikan
37
anti biotik. Dokter Rina terlihat bingung dan bertanya kepada
Tergugat II mengenai hal tersebut. Pembanding II semula Tergugat II
hanya diam.
Pada 1 November 2015, dilakukan operasi disekitar paha bagian
dalam Falya dan dokter atau pihak Rumah Sakit tidak menjelaskan
kepada Terbanding semula Penggugat mengenai tindakan kedokteran
yang dilakukan kepada Falya. 5 jam setelah dilakukan operasi, Falya
dinyatakan meninggal di ruang rawat NICU.
Terbanding semula Penguggat menganggap kematian anaknya
disebabkan kelalaian Pembanding II semula Tergugat II dan tidak
melakukan kewajibannya seperti melakukan skin test sebelum
memberikan anti biotik, lambat merespon dan mengatasi
permasalahan yang ditimbulkan akibat pemberian anti biotik sehingga
anak Terbanding semula Penggugat meninggal dunia dan hak
Terbanding semula Penggugat selaku pasien tidak diberikan.
Terbanding semula Penggugat menuntut kepada Pengadilan Negeri
Bekasi untuk memberikan putusan dalam perkara ini sebagai berikut:
1. Menerima dan mengabulkan gugatan Penggugat untuk
seluruhnya;
2. Menyatakan sah dan berharga sita jaminan yang telah
dilaksanakan terlebih dahulu atas:
- Sebidang tanah dan bangunan yang berdiri diatasnya setempat
dikenal dengan nama Rumah Sakit AB milik Tergugat I.
- Sebidang tanah dan bangunan rumah tinggal yang berdiri
diatas milik Tergugat II.
3. Menyatakan Tergugat I dan Tergugat II telah melakukan
perbuatan melawan hukum;
4. Menghukum Tergugat I dan Tergugat II secara tanggung
renteng untuk membayar kerugian materiil dan immateriil kepada
38
Penggugat sebesar Rp. 15,500,000 + 15,000,000,000 = Rp.
15,015,500,000,- (Lima Belas Milyar Lima Belas Juta Lima Ratus
Ribu Rupiah);
5. Menghukum Tergugat I dan Tergugat II secara tanggung
renteng untuk membayar uang paksa (dwangsom) sebesar Rp.
10,000,000,- (sepuluh juta rupiah) untuk setiap hari keterlambatannya
memenuhi isi putusan ini terhitung sejak isi putusan ini diucapkan;
6. Menyatakan putusan perkara ini dinyatakan dapat dilaksankan
terlebih dahulu (uit voorbaar bij voorraad) meskipun ada upaya
Verzet, Banding maupun Kasasi dan upaya hukum lainnya;
7. Menghukum Tergugat I dan Tergugat II membayar biaya
perkara
Terhadap gugatan tersebut, Pembanding I dan Pembanding II
semula Tergugat I dan Tergugat II mengajukan eksepsi. Dalam
eksepsi, para Pembanding semula para Tergugat membantah dalil -
dalil yang dikemukan Terbanding semula Penggugat. Gugatan
Terbanding semula Penggugat keliru menempatkan Pembanding I
semula Tergugat I sebagai pihak dalam perkara a quo, karena Rumah
Sakit AB Bekasi bukan merupakan badan hukum, melainkan Badan
usaha milik PT. FGAB yang kemudian tidak dapat dikategorikan
sebagai subyek hukum, Recht persoon, yang mempunyai hak dan
kewajiban menurut hukum, sehinggal Rumah Sakit Awal Bros Bekasi
tidak diminta pertanggungjawaban hukum dengan memasukkan
sebagai pihak dalam perkara a quo. Sehingga sudah sepatutnya
Majelis Hakim pemeriksa perkara menyatakan gugatan Terbanding
semula Penggugat tidak dapat diterima.
Dalam eksepsi, Pembanding I dan Pembanding II semula
Tergugat I dan Tergugat II menyatakan bahwa gugatan Tebanding
39
semula Penggugat Prematur, dikarenakan dalil Terbanding semula
Penggugat yang menyebutkan bahwa perbuatan Pembanding I dan
Pembanding II semula Tergugat I dan Tergugat II yang
mengakibatkan Falya meninggal dunia adalah Perbuatan Melawan
Hukum adalah keliru dan prematur, sebab adanya gugatan Perbuatan
Melawa Hukum tidak didahului oleh putusan pidana yang menyatakan
meninggalnya Falya disebabkan adanya kelalaian dari Pembanding I
dan Pembanding II semula Tergugat I dan Tergugat II.
Berdasarkan gugatan tersebut Pengadilan Negeri Bekasi telah
menjatuhkan putusan tanggal 27 Juni 2016 Nomor
630/Pdt.G/2015/Pn.Bks yang amarnya sebagai berikut:
Dalam Eksepsi:
- Menolak eksepsi dari Tergugat I dan Tergugat II untuk
seluruhnya;
Dalam Pokok Perkara:
1. Mengabulan gugatan Penggugat sebagian;
2. Menyatakan Tergugat I dan Tergugat II telah melakukan
perbuatan melawan hukum;
3. Menghukum Tergugat I dan Tergugat II untuk membayar
ganti rugi materiil secara tanggung renteng kepada Penggugat sebesar
Rp. 205,500,000,- (dua ratus lima juta lima ratus ribu rupiah);
4. Menghukum Tergugat I dan Tergugat II membayar biaya
perkara secara tanggung renteng sejumlah Rp. 406,000 (empat ratus
enam ribu rupiah);
5. Menolak gugatan Penggugat untuk lain dan sebagainya.
Sesudah putusan diberitahukan kepada Pembanding I dan
Pembanding II semula Tergugat I dan Tergugat II, Pengadilan Negeri
Bekasi menerangkan bahwa tanggal 1 Juli 2016 Kuasa Hukum Para
Pembanding semula Para Tergugat menyatakan memohon banding
terhadap putusan Pengadilan Negeri Bekasi tanggal 27 Juni 2016
40
dengan Nomor 630/Pdt/G/2015/Pn.Bks, pernyataan banding
diberitahukan kepada kuasa hukum Terbanding semula Penggugat
pada tanggal 22 Juli 2016.
B. Prosedur Tindakan Medis Terhadap Falya Menurut UU Tenaga
Kesehatan
Sengketa bermula saat adanya kematian Falya, anak dari Penggugat di
tempat Tergugat yang kemudian Penggugat melayangkan gugatan ke
Pengadilan Negeri Bekasi yang merupakan wilayah hukum dari Tergugat
yaitu Rumah Sakit AB. Kematian Falya diduga akibat pemberian anti biotik
yang tidak didahului oleh skin test yang menyebabkan kondisi Falya
menjadi memburuk, bibirnya membiru, sekujur tubuh dingin, nafas cepat
dan tersenggal - senggal, perut buncit dan sekitar mata membengkak.
Skin test merupakan salah satu Standar Operation Procedure yang
harus dilakukan oleh Dokter atau tenaga kesehatan yang akan melakukan
pemberian untuk obat yang kerap menimbulkan alergi dengan catatan, obat
tersebut rencananya diberikan melalui suntikan atau dicampurkan di infus
pasien, karena untuk obat minum tidak dilakukan skin test1. Skin Test
bertujuan untuk menguji tingkat alergi seseorang terhadap suatu jenis obat
tertentu, yang dilakukan dengan pengambilan obat tersebut dalam dosis
yang kecil.2
Skin test dilakukan dengan disuntikkan dibawah kulit
1 Wawancara pribadi dengan Drg. Nanang A, pada tanggal 16 April 2016 Pukul 20:05 WIB
menggunakan jaringan telfon.
2 Wawancara pribadi dengan Drg. Nanang A, pada tanggal 16 April 2016 Pukul 20:05 WIB
menggunakan jaringan telfon.
41
(subkutan), kemudian ditandai, lalu dievaluasi beberapa menit untuk melihat
reaksi pasien terhadap obat tersebut.3
Dalam kasus Falya, perawat atau tenaga kesehatan tidak melakukan
skin test terlebih dahulu untuk mengecek tingkat alergi Falya atas obat anti
biotik tricefin yang akan diberikan kepadanya melalui infusnya. Selain tidak
dilakukan skin test, bahkan sebelum pemberian anti biotik, keluarga Falya
selaku pasien tidak diberikan penjelasan atas tindakan medis yang akan
dilakukan terhadap anaknya. Pada dasarnya pemberian antibiotik memang
tidak harus selalu dilakukan skin test terutama kepada anak kecil yang
berkemungkinan kecil mempunyai alergi.
Namun, selain melakukan skin test sebelum memberikan antibiotik
dapat dilakukan anamnesis atau tanya - jawab kepada pasien atau keluarga
pasien mengenai tingkat alergi pasien atas obat yang akan diberikan. Dalam
kasus Falya, perawat atau tenaga kesehatan tidak melakukan anamnesis
(Tanya-jawab) pula. Menurut Undang - undang Nomor 36 Tahun 2014
tentang Tenaga Kesehatan dan Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 290
Tahun 2008 tentang Persetujuan Tindakan Kedokteran, setiap tindakan
kedokteran yang akan dilakukan terhadap pasien harus mendapatkan
persetujuan dari Pasien ataupun keluarga pasien yang didahului oleh
pemberian informasi yang dapat dipahami oleh pasien ataupun keluarga
pasien.
3 Wawancara pribadi dengan Drg. Nanang A, pada tanggal 16 April 2016 Pukul 20:05 WIB
menggunakan jaringan telfon.
42
Informasi yang disampaikan diantaranya mengenai diagnosa, sifat dan
luasnya tindakan yang akan dilakukan, manfaat dan urgensinya dilakukan
tindakan tersebut, risiko – risiko dari tindakan tersebut,konsekuensi apabila
tidak dilakukan tindakan, dan biaya yang menyangkut tindakan tersebut.4
Pihak Penggugat yang merupakan keluarga dari Falya selaku pasien
tidak mendapatkan informasi yang berkaitan mengenai tindakan medis,
tujuan tindakan medis serta risiko tindakan medis yang akan diberikan
kepada anaknya, yang bertujuan untuk mengetahui anaknya alergi atau tidak
dengan obat yang akan diberikan. Persetujuan tindakan kedokteran atau
Informed Consent sendiri merupakan syarat subyektif untuk terjadinya
transaksi terapeutik yang dalam hal ini dilakukan antara Para Pembanding
semula Para Tergugat dengan Terbanding semula Penggugat, yang
merupakan tumpuan dari 2 hak pasien yaitu hak atas informasi dan hak
untuk menentukan nasibnya sendiri.5
Berdasarkan hal tersebut menurut analisa peneliti dalam kasus
sengketa dengan nomor putusan 462/Pdt/2016/PT.Bdg dapat dikatakan
bahwa Pembanding I dan Pembanding II semula Tergugat I dan Tergugat II
telah melanggar hak - hak Terbading semula Penggugat sebagai Pasien yang
diatur dalam Undang - undang Nomor 36 Tahun 2016 tentang Tenaga
Kesehatan Pasal 68 yaitu mendapatkan informasi mengenai tindakan
kedokteran yang akan dilakukan kepadanya dan memberikan persetujuan
4 Cecep Triwibowo, Etika dan Hukum Kesehatan ( Yogyakarta: Nuha Medika, 2014), h. 71.
5 Anny Isfandyarie. Tanggung Jawab Hukum dan Sanksi bagi Dokter Buku I. h.127.
43
atas tindakan kedokteran yang akan dilakukan kepadanya. Bahkan, beberapa
Negara secara umum menyatakan tidak adanya persetujuan tindakan
kedokteran atau informed consent dianggap sebagai kelalaian atau
keteledoran6.
Selain hak-nya sebagai Pasien terlanggar, nyawa Falya juga harus ikut
menjadi korban. Meninggalnya Falya menjadikan Pembanding I dan
Pembanding II semula Tergugat I dan Tergugat II diduga melakukan
Perbuatan Melawan Hukum. Untuk mengatakan suatu tindakan termasuk ke
dalam Perbuatan Melawan Hukum harus memenuhi unsur - unsur sebagai
berikut berdasarkan Pasal 1365 KUHPer, Perbuatan Melawan Hukum,
adanya kesalahan,adanya kerugian dan adanya hubungan sebab akibat
antara kesalahan dan kerugian.
Peneliti kemudian menganalisa unsur - unsur perbuatan melawan
hukum ke dalam kasus sengketa dengan nomor putusan
462/Pdt/2016/PT.Bdg adalah sebagai berikut:
1. Pembanding I dan Pembanding II semula Tergugat I dan Tergugat
II telah melakukan kelalaian dalam memberikan pelayanan
kesehatan kepada Terbanding semula Penggugat yaitu, tidak
melakukan skin test sebelum memberikan anti biotik kepada anak
Terbanding semula Penggugat, lambat merespon dan mengatasi
6 Anny Isfandyarie. Tanggung Jawab Hukum dan Sanksi bagi Dokter Buku I. h.160
44
permasalahan yang terjadi akibat pemberian anti biotik kepada
anak Terbanding semula Penggugat. ;
2. Pembanding I dan Pembanding II semula Tergugat I dan Tergugat
II dalam melakukan tindakan kedokteran berupa pemberian anti
biotik juga tidak dilakukannya pemberian informasi kepada Pasien
atau Keluarga Pasien dan permintaan persetujuan atas tindakan
kedokteran yang dilakukan kepada anak Terbanding semula
Penggugat, dan;
3. Akibat kelalaian dari Pembanding I dan Pembanding II semula
Tergugat I dan Tergugat II, maka Terbanding semula Penggugat
telah mengalami kerugian yaitu hilangnya nyawa dari anak
Terbanding semula Penggugat, kerugian materiil seperti biaya
penyelenggaraan pemakaman dan upaya keagamaan;
Berdasarkan hal tersebut menurut analisa peneliti, dalam kasus
sengketa dengan nomor putusan 462/Pdt/2016/PT.Bdg dapat dikatakan
bahwa Pembanding I dan Pembanding II semula Tergugat I dan Tergugat II
telah melakukan perbuatan melawan hukum.
C. Perlindungan Hukum Pasien dalam Peraturan Perundang – Undangan
Dalam Undang – undang Nomor Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak
Asasi Manusia terdapat macam – macam dari Hak Asasi Manusia (HAM)
diantaranya, Hak Asasi Pribadi atau Personal Rights, seperti hak kebebasan
beragama, lalu ada juga Hak Asasi Ekonomi atau Economic Property
Rights, seperti hak kebebasan melakukan transaksi.
45
Selain hak yang disebutkan diatas, terdapat pula hak asasi dalam ranah
hukum yang dikenal sebagai Legal Equality Rights yang salah satunya
berupa hak setiap warga Negara mempunyai kedudukan yang sama di mata
hukum (equality before the law). Dalam hak tersebut, setiap orang harus
dilihat sama, tanpa memandang status, ras, suku ataupun agama. Equality
before the law tidak hanya berlaku dalam ranah hubungan hukum, hal
tersebut juga berlaku saat terjadinya hubungan antara dokter dan pasien.
Posisi dokter tidak boleh lebih tinggi secara hukum dari posisi pasien,
walaupun dokter sangat berkuasa atas pasien karena ilmu pengetahuannya.7
Posisi pasien yang awam terhadap masalah kesehatan, tidak berarti
menerima pasrah apa yang diperbuat dokter.
Pemerintah mengatur dalam Undang – undang dan aturan
pelaksananya bahwa dokter diberi hak atas standar profesinya dan
berkewajiban menghormati dan menghargai hak pasien. Seandainya dokter
melanggar kewajiban – kewajibannya itu, maka Negara telah memberi
sanksi atas pelanggaran melawan hukum dan wanprestasi tersebut.
1. Perlindungan Hukum berdasarkan Kitab Undang – undang
Hukum Pidana (KUHP)
Perlindungan bagi pasien yang terlanggar hak-nya yang pertama
adalah dalam Kitab Undang – undang Hukum Pidana (KUHP). Pada
dasarnya, tindakan dokter harus dilakukan dengan teliti dan hati –
7 Desriza Ratman, Aspek Hukum Informed Consent dan Rekam Medis dalam Transaksi
Terapeutik (Bandung: Keni Media, 2013), h. 97.
46
hati8
. Kecerobohan yang dilakukan oleh tenaga kesehatan dapat
berakibat kepada terancamnya jiwa dari pasien. Hal tersebut akan
mengakibatkan tuntutan pidana kepada tenaga kesehatan atau dokter
yang tidak berhati – hati dalam melakukan tindakan medis.
Di dunia kedokteran terdapat perbedaan antara peristiwa umum
dan peristiwa yang dilakukan dalam praktek kedokteran. Tindakan
medis yang dilakukan tenaga kesehatan yang membuat luka atau
memakai benda tajam, apabila tindakan tersebut dilakukan tanpa
informed consent, maka dokter/tenaga kesehatan bisa dikenakan Pasal
351 ayat (4) KUHP tentang Penganiayaan, yang dimana:,“Dengan
sengaja merusak kesehatan orang disamakan dengan penganiayaan”.
Namun, untuk mengetahui apakah kasus Falya juga terdapat unsur
pidana, maka harus dilakukan penyelidikkan terlebih dahulu oleh
pihak kepolisian atau kejaksaan.
2. Perlindungan Hukum berdasarkan Kitab Undang – undang
Hukum Perdata (KUHPer)
Dalam sanksi ranah hukum perdata, biasanya berasal dari pasien
yang mengalami kerugian secara finansial yang merupakan kelalaian
dari dokter. Selain menderita kerugian finansial, pasien juga menderita
kerugian psikis seperti merasa dibohongi, dipaksa, ditipu atas
8 Anny Isfandyarie. Tanggung Jawab Hukum dan Sanksi bagi Dokter Buku I (Malang:
Prestasi Pustaka, 2006). h.82.
47
informasi yang diberkan oleh dokter atau tenaga kesehatan.9
Seringkali yang menjadi dasar gugatan saat pasien membawa
permasalahan ke jalur pengadilan adalah, pasien tidak puas atas hasil
pengobatan atau tindakan medis, bisa karena tidak sembuh atau terjadi
efek samping sehingga pasien berobat atau pindah ke sarana fasilitas
kesehatan lainnya untuk mengobati efek sampingnya tersebut.
Jadi, apabila dilihat dari ranah hukum perdata, dokter telah
melakukan wanprestasi terhadap apa yang diperjanjikan. Adapun
pasal – pasal yang mengatur hal tersebut adalah:
a. Pasal 1234 KUHPer
“Perikatan ditujukan untuk memberikan sesuatu, untuk berbuat
sesuatu atau untuk tidak berbuat sesuatu”
Pada transaksi terapeutik, prestasi yang dipakai adalah jasa
keilmuan yaitu berbuat sesuatu atau untuk tidak berbuat sesuatu.
Pada saat dokter melakukan sesuatu (melakukan informed
consent dengan benar), maka dia harus melakukannya sebagai
suatu kewajiban.10
b. Pasal 1239 KUHPer
“Tiap perikatan untuk berbuat sesuatu atau tidak berbuat sesuatu
wajib diselesaikan dengan memberikan penggantian biaya,
kerugian dan bunga, bila debitur tidak memenuhi kewajibannya”
9 Desriza Ratman, Aspek Hukum Informed Consent dan Rekam Medis dalam Transaksi
Terapeutik, h. 101.
10 Desriza Ratman, Aspek Hukum Informed Consent dan Rekam Medis dalam Transaksi
Terapeutik, h. 103.
48
Pada saat dokter tidak melakukan kewajibannya, maka
pasien menderita kerugian, maka kerugian yang diderita pasien
akibat kelalaian dokter dapat diajukan gugatan. Selain
dikarenakan wanprestasi, pertanggungjawaban kepada
dokter/rumah sakit dapat didasari oleh perbuatan melawan
hukum. Dalam Kitab Undang – Undang Hukum Perdata
(KUHPer) Pasal 1366 menerangkan bahwa:
“setiap orang bertanggung jawab, bukan hanya atas kerugian
yang disebabkan perbuatan – perbuatan, melainkan juga atas
kerugian yang disebabkan kelalaian atau kesembronoannya”
Hal inilah yang menjadi dasar dari orang tua dari Falya
mengajukan gugatan ke Pengadilan. Kitab Undang – Undang
Hukum Perdata yang mengatur mengenai hubungan privat
melindungi secara hukum pasien ataupun keluarga pasien yang
dirugikan atas suatu tindakan yang diberikan oleh Tenaga
Kesehatan.
3. Perlindungan Hukum berdasarkan Undang - undang
Perlindungan Konsumen
Berdasarkan kasus dengan nomor putusan
462/Pdt/2016/PT.Bdg, menurut analisa peneliti terdapat hak - hak
Penggugat sebagai Pasien yang sudah dilanggar. Pasien selain
diartikan sebagai penerima layanan kesehatan, Pasien berdasarkan
Undang - undang Perlindungan Konsumen dikategorikan sebagai
49
konsumen seharusnya mendapatkan perlindungan hukum atas
kerugian yang dideritanya sebagai konsumen penerima jasa layanan
kesehatan. Undang - undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang
Perlindungan Konsumen (yang selanjutnya disebut UU Perlindungan
Konsumen) yang tentunya bertujuan untuk melindungi kepentingan
konsumen juga menjadi wadah sebagai bentuk perlindungan secara
hukum bagi konsumen, tak terkecuali bagi Pasien selaku konsumen
pula.
Dalam UU Perlindungan Konsumen, perlindungan untuk
kerugian yang diderita oleh konsumen diatur dalam Pasal 19 ayat (1)
yaitu: “Pelaku usaha bertanggung jawab memberikan ganti rugi atas
kerusakan, pencemaran, dan/atau kerugian konsumen akibat
mengkonsumsi barang dan/atau jasa yang dihasilkan atau
diperdagangkan”
Dalam kasus dengan nomor putusan 462/Pdt/2016/PT.Bdg,
maka Terbanding semula Penggugat berhak mendapatkan ganti rugi
materiil dapat berupa uang ataupun pemberian santunan.
Selain pelaku usaha dibebankan untuk memberikan ganti rugi,
perlindungan yang diberikan selanjutnya adalah hak konsumen untuk
menggugat pelaku usaha yang menolak memberikan ganti rugi
sebagaimana diatur dalam Pasal 19 ayat (1), hal tersebut diatur dalam
UU Perlindungan Konsumen Pasal 23 yaitu:
“Pelaku usaha yang menolak dan/atau tidak memberi tanggapan
dan/atau tidak memenuhi ganti rugi atas tuntutan konsumen
50
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (1), ayat (2), ayat (3),
dan ayat (4), dapat digugat melalui badan penyelesaian sengketa
konsumen atau mengajukan ke badan peradilan di tempat
kedudukan konsumen”
Di dalam UU Perlindungan Konsumen Pasal 45 menerangkan
juga mengenai penyelesaian sengketa yang dapat ditempuh oleh
konsumen yang mengalami kerugian, dalam Pasal 45 ayat (1)
menerangkan bahwa:
“Setiap konsumen yang dirugikan dapat menggugat pelaku usaha
melalui lembaga yang bertugas menyelesaikan sengketa antara
konsumen dan pelaku usaha atau melalui peradilan yang berada di
lingkungan peradilan umum”
Maka berdasarkan penjabaran diatas, dapat disimpulkan bahwa
dalam UU Perlindungan Konsumen, perlindungan secara hukum yang
diberikan kepada konsumen yang hak - haknya tercederai antara lain,
mendapatkan ganti rugi berdasarkan kerugian yang diderita oleh
konsumen, lalu apabila pelaku usaha tidak melakukan kewajibannya
untuk bertanggungjawab atas kerugian yang diderita oleh konsumen,
maka konsumen dapat melayangkan gugatan atas hal tersebut ke
Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK), atau dapat melalui
Peradilan Umum.
Dalam kasus dengan nomor putusan 462/Pdt/2016/PT.Bdg,
Terbanding semula Penggugat sudah mendapatkan hak-nya untuk
melayangkan gugatan kepada Pembanding I dan Pembanding II
semula Tergugat I dan Tergugat II untuk meminta kerugian atas
pelanggaran yang sudah dilakukan oleh Pembanding I dan
51
Pembanding II semula Tergugat I dan Tergugat II ke Pengadilan
Negeri Bekasi, wilayah hukum dari Pembanding I dan Pembanding II
semula Tergugat I dan Tergugat II .
4. Perlindungan Hukum berdasarkan Undang - undang Kesehatan
Pasien, yang dalam Undang - undang Perlindungan Konsumen
dikategorikan sebagai Konsumen, merupakan penerima jasa layanan
kesehatan menurut Undang - undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang
Kesehatan (yang selanjutnya disebut UU Kesehatan). Pasien sebagai
penerima layanan kesehatan seharusnya mendapatkan pelayanan
kesehatan yang baik berdasarkan UU Kesehatan Pasal 5 yang
menyatakan bahwa “Setiap orang mempunyai hak dalam memperoleh
pelayanan kesehatan yang aman, bermutu, dan terjangkau”.
Hak pasien untuk memperoleh pelayanan yang aman, bermutu
dan baik tampaknya tidak terlaksana dalam kasus dengan nomor
putusan 462/Pdt/2016/PT.Bdg. Tindakan kedokteran yang dilakukan
oleh Perawat yang seharusnya menjadi ujung tombak dari
keberhasilannya suatu perawatan malah mengakibatkan melayangnya
satu nyawa. Nyawa Falya harus hilang akibat kelalaian pemberian anti
biotik yang dilakukan oleh Tenaga Kesehatan.
Kejadian seperti di atas tentu bukan hal yang diharapkan.
Namun apabila hal tersebut sudah terjadi, bukan berarti Pasien
ataupun keluarga Pasien hanya harus menerima saja. Pembuat Undang
- undang Kesehatan Nomor 36 Tahun 2009 sebelum disahkan, tentu
52
dalam perancangannya atau dalam naskah akademik sudah
memikirkan perlindungan apa yang bisa diberikan oleh UU Kesehatan
apabila terjadi hal seperti diatas. Perlindungan yang dicantumkan
dalam Undang – undang karena pada dasarnya nantinya akan
mengikat secara umum semua pihak.
Dalam UU Kesehatan Pasal 58 yang membahas mengenai
Perlindungan Pasien diterangkan mengenai perlindungan secara
hukum yang dapat dilakukan oleh Pasien yang menerima kerugian
atau hak - nya tercederai. Pasal 58 ayat (1) diterangkan bahwa “setiap
orang berhak menuntut ganti rugi terhadap seseorang, tenaga
kesehatan, dan/ atau penyelenggara kesehatan yang menimbulkan
kerugian akibat kesalahan atau kelalaian dalam pelayanan kesehatan
yang diterimanya”.
Dalam kasus dengan nomor putusan 462/Pdt/2016/PT.Bdg,
Terbanding semula Penggugat saat sang anak meninggal yang
diakibatkan oleh pemberian anti biotik tentu menderita kerugian baik
materiil ataupun materiil. Kelalaian atau kesalahan yang dilakukan
oleh Tenaga Kesehatan tentunya dapat dimintai kerugiannya.
Kerugian dapat dimintakan kepada tenaga kesehatan yang
bertanggungjawab atas kelalaian atau kesalahan tersebut ataupun
penyelenggara kesehatan yang dalam hal ini adalah pihak Rumah
Sakit.
53
Pemberian anti biotik yang kemudian menyebabkan Pasien
meninggal pada dasarnya memang harus diminta
pertanggungjawabannya, karena dalam UU Kesehatan pasal 63 ayat
(3), “Pengendalian, pengobatan dan/atau perawatan dapat dilakukan
berdasarkan ilmu kedokteran dan ilmu keperawatan atau cara lain
yang dapat dipertanggungjawabakan kemanfaatan dan keamanannya”.
Peneliti melihat dalam kasus dengan nomor putusan
462/Pdt/2016/PT.Bdg, pihak pemberi layanan kesehatan yang dalam
hal ini telah menjadi Pembanding I dan Pembanding II semula
Tergugat I dan Tergugat II telah melakukan suatu tindakan kedokteran
yang tidak melihat sisi manfaat dan keamanannya. Kelalaiannya
tersebut kemudian mengakibatkan Falya sebagai Pasien harus
meninggal. Maka dari itu sudah sewajarnya pihak Terbanding semula
Pengugat melayangkan gugatan ke Pengadilan Negeri Bekasi terhadap
Pembanding I dan Pembanding II semula Tergugat I dan Tergugat II.
Namun, berdasarkan UU Kesehatan Pasal 29 menyatakan
bahwa, “dalam hal tenaga kesehatan diduga melakukan kelalaian
dalam menjalankan profesinya, kelalaian tersebut harus diselesaikan
terlebih dahulu melalui mediasi” Maka menurut peneliti, perlindungan
secara hukum yang diberikan oleh UU Kesehatan memberikan hak
kepada Pasien ataupun pihak yang merasa dirugikan atas kelalaian
pelayanan kesehatan untuk melayangkan tuntutan ganti rugi.
54
Dalam pelaksanaannya tuntutan ganti rugi pada langkah awal
dapat dilakukan melalui proses mediasi baik di luar ataupun di dalam
pengadilan. Setelah proses mediasi dilakukan namun belum bisa
mendapatkan kata sepakat, maka para pihak dapat melanjutkan ke
pengadilan. Di pengadilan, hukum beraksi melalui para penegak
hukum.
5. Perlindungan Hukum berdasarkan Undang - undang Tenaga
Kesehatan
Undang - undang Nomor 36 Tahun 2014 tentang Tenaga
Kesehatan (yang selanjutnya disebut UU Tenaga Kesehatan)
merupakan undang - undang mengenai kesehatan yang dapat
dikatakan terbaru. Dalam Undang - undang Tenaga Kesehatan tentu
diatur pula mengenai hal - hal yang berkaitan dengan pekerjaan, hak
dan kewajiban Tenaga Kesehatan, dan lain – lain. Penyelesaian
perselisihan yang diatur dalam Bab XI tentang Penyelesaian
Perselisihan Pasal 77, 78 dan 79.
Dalam Pasal 77, 78 dan 79 UU Tenaga Kesehatan, perselisihan
atau sengketa yang terjadi antara pasien sebagai penerima layanan
kesehatan dan dokter atau tenaga kesehatan lainnya sebagai pemberi
layanan kesehatan dapat dimintai pertanggungjawaban berupa ganti
rugi yang disepakati oleh kedua belah pihak. Dalam pelaksanaan
penyelesaian persilihan atau sengketa dapat dilaksanakan di luar
pengadilan atau non - ajudikasi terlebih dahulu kemudian apabila
55
belum mendapatkan kata sepakat dapat diajukan ke pengadilan melalu
proses ajudikasi.
Apabila melihat dalam kasus dengan nomor putusan
462/Pdt/2016/PT.Bdg, Pembanding I dan Pembanding II semula
Tergugat I dan Tergugat II telah melanggar salah satu kewajibannya
yang dijelaskan dalam Pasal 58 ayat (1) butir b yaitu, “Tenaga
Kesehatan dalam menjalankan praktik wajib: memperoleh
persetujuan dari Penerima Pelayanan Kesehatan atau keluarganya atas
tindakan yang akan diberikan”. Dalam kasus tersebut berdasarkan
fakta di persidangan terungkap bahwa sebelum perawat sebagai
Tenaga Kesehatan hendak memberikan anti biotik kepada ananda
Falya, perawat tersebut tidak memberikan keterangan atau informasi
yang menjadi hak dari keluarga Pasien untuk mengetahui tindakan
yang akan diberikan kepada Falya.
Hal tersebut tentu melanggar kewajiban Tenaga Kesehatan serta
melanggar hak pasien. Dalam Undang - undang Tenaga Kesehatan
Pasal 82 ayat (1) menyatakan bahwa: “Setiap Tenaga Kesehatan yang
tidak melaksanakan ketentuan Pasal 47, Pasal 52 ayat (1), Pasal 54
ayat (1), Pasal 58 ayat (1), Pasal 59 ayat (1), Pasal 62 ayat (1), Pasal
66 ayat (1), Pasal 68 ayat (1), Pasal 70 ayat (1), Pasal 70 ayat (2),
Pasal 70 ayat (3) dan Pasal 73 ayat ( 1) dikenai sanksi administratif.”
Berdasarkan Pasal 82 maka tindakan tenaga kesehatan yang
tidak memberikan informasi serta menerima persetujuan dari
56
Terbanding semula Penggugat dapat dikenakan sanksi administratif
yang diberikan oleh Pemerintah, Pemerintah Daerah Provinsi,
Kota/Kabupaten berupa, teguran lisan, peringatan tertulis, denda
administratif dan/atau, pencabutan Izin.
Hal serupa diatur juga dalam Pasal 19 ayat (2) Peraturan Menteri
Kesehatan Nomor 290/MENKES/PER/III/2008 tentang Persetujuan
Tindakan Kedokteran yaitu:
“Tindakan administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dapat berupa teguran lisan, teguran tertulis sampai dengan
pencabutan surat izin praktik”
Perlindungan hukum lainnya yang didapat oleh Pasien atau
Keluarga pasien berdasarkan Undang - undang Tenaga Kesehatan
lainnya diatur dalam Pasal 84 yaitu:
“1) Setiap Tenaga Kesehatan Penerima Pelayanan Kesehatan
Iuka berat dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga)
tahun.
(2) Jika kelalaian berat sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
mengakibatkan kematian, setiap Tenaga Kesehatan dipidana
dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun”
Berdasarkan Pasal 84, Tenaga kesehatan yang melakukan
kelalaian berat yang mengakibatkan luka berat atau kematian dapat
diselesaikan melalui ranah pidana yaitu mengajukan pelaporan kepada
pihak yang kepolisian yang mengikuti aturan dalam Kitab Undang –
Undang Hukum Pidana yang dipaparkan sebelumnya.
57
BAB IV
PERTIMBANGAN HAKIM PADA PUTUSAN NOMOR
462/Pdt/2016/PT.BDG
A. Pertimbangan Hakim dalam Memutus Perkara Nomor
462/Pdt/2016/PT.BDG
1. Alasan Keberatan Pembanding
Para Pembanding semula Para Tergugat menolak putusan
Pengadilan Negeri Bekasi Nomor 630/Pdt.G/2015/PN.Bks dengan
alasan - alasan sebagai berikut:
a. Hakim Judex Factie salah dan keliru dalam menilai dan
memberi pertimbangan hukum dan amar putusan a quo
karena Hakim tingkat pertama telah salah dan bertentangan
dengan peraturan perundang - undangan yang berlaku;
b. Pembanding keberatan dengan pertimbangan hukum
mengenai status Rumah Sakit AB yang dianggap sebagai
Badan Hukum dan dapat dimintai pertanggungjawaban,
karena Rumah Sakit AB didirikan oleh Perseoran Terbatas
FGAB;
c. Putusan Judex Factie Pengadilan Negeri Bekasi Nomor
630/Pdt.G/2015/PN.Bks tidak mempertimbangkan bukti -
bukti serta fakta - fakta yang terungkap selama persidangan.
2. Putusan Pengadilan Tinggi Jawa Barat
58
Majelis Hakim Tinggi Pengadilan Tinggi Jawa Barat yang
memeriksa perkara a quo memberikan putusan sebagai berikut:
Menimbang, bahwa gugatan Terbanding semula Penggugat
menurut majelis Hakim tingkat Banding terlalu cepat diajukan ke
Pengadilan Negeri atau dengan kata lain masih bersifat Premature,
yang pada akhirnya jelas putusan Pengadilan Negeri Bekasi tanggal
27 Juni 2016 dengan Nomor 630/Pdt.G/2015/Pn.Bks tidak bisa
dipertahankan lagi dan harus dibatalkan, karenanya majelis hakim
Pengadilan Tinggi Jawa Barat akan mengadili sendiri dengan gugatan
Terbanding semula Penggugat dinyatakan tidak dapat diterima ( Niet
Ontvankelijk Verklaard );
Menimbang, bahwa oleh karena Terbanding semula Penggugat
berada di pihak yang kalah maka biaya perkara baik ditingkat banding
maupun tingkat pertama dibebankan kepada pihak Terbanding semula
Penggugat.
Mengadili, Menerima permohonan banding Para Pembanding
semula Para Tergugat tersebut dan membatalkan putusan Pengadilan
Negeri Bekasi tanggal 27 Juni 2016 dengan nomor
630/Pdt.G/2015/Pn.Bks yang dimohonkan banding oleh Para
Pembanding semula Para Tergugat.
Mengadili Sendiri dalam Eksepsi, menolak eksepsi dari Para
Tergugat. Dalam Pokok Perkara; Menyatakan gugatan Terbanding
semula Penggugat tidak dapat diterima ( Niet Ontvankelijk Verklaard
59
dan menghukum Terbanding semula Penggugat untuk membayar
biaya perkara di tingkat banding sebesar Rp. 150,000 (seratus lima
puluh ribu);
Demikian diputuskan oleh Majelis Hakim Pengadilan Tinggi
Jawa Barat yaitu Amril, S.H, M.Hum,. sebagai Hakim Ketua,
dengan Karel Tuppu, S.H., dan A. Fadoil Tamam, S.H., M.Hum.,
sebagai Hakim Anggota dalam sidang musyawarah di Bandung,
Jawa Barat pada tanggal 30 November 2016, yang dimana Majelis
Hakim ditunjuk berdasarkan surat penetapan Ketua Pengadilan
Tinggi Jawa Barat Nomor: 462/PEN/PDT/2016/PT.BDG., tanggal
10 Oktober 2016.
Putusan tersebut dibacakan pada tanggal 2 Desember 2016
dalam persidangan terbuka untuk umum dipimpin oleh Hakim
Ketua dengan dihadiri oleh Para Hakim Anggota dan Hj. Nenden
Khaerani, S.H., sebagai Panitera Pengganti. Putusan dibacakan
tanpa dihadiri kedua belah pihak.
2. Pertimbangan Hakim Pengadilan Tinggi Jawa Barat
Majelis Hakim Pengadilan Tinggi Jawa Barat menimbang,
bahwa perselisihan hukum antara Para Pembanding semula Tergugat I
dan Tergugat II dengan Terbanding semula Penggugat adalah masalah
ilmu pengetahuan tentang kedokteran (Medical Science) sehingga
untuk mendapat kepastian hukum yang berkeadilan perlu diperkuat
60
dengan keterangan oleh saksi ahli dari Majelis Kehormatan Disiplin
Kedokteran Indonesia (MKDKI);
Selanjutnya, Majelis Hakim Pengadilan Tinggi Jawa Barat
menimbang, bahwa menurut pasal 1 ayat (14) dari Undang- undang
Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran bahwa Majelis
Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia adalah lembaga yang
berwenang untuk menentukan ada tidaknya kesalahan yang dilakukan
dokter dan dokter gigi dalam penerapan disiplin ilmu kedokteran dan
kedokteran gigi dan menetapkan sanksi;
Kemudian, Majelis Hakim Pengadilan Tinggi Jawa Barat
menimbang, bahwa menurut pasal 55 ayat (2) dan (3) dari Undang -
undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran, MKDKI
merupakan lembaga otonom dari Konsil Kedokteran Indonesia dalam
menjalankan tugasnya bersifat independen;
Kemudian Majelis Hakim Pengadilan Tinggi Jawa Barat
menimbang, bahwa berdasarkan uraian tersebut diatas, Pembanding II
semula Tergugat II yang berprofesi sebagai dokter spesialis anak di
Pembanding I semula Tergugat I telah memberikan anti biotik kepada
Falya harus diperiksa terlebih dahulu oleh MKDKI apakah benar
penyebab kematian Falya akibat anti biotik yang dimasukkan
Pembanding II semula Tergugat II ke dalam tubuh Falya tersebut
sehingga putusan yang akan diambil oleh majelis hakim akan bersifat
objektif, dan;
61
Akhirnya, Majelis Hakim Pengadilan Tinggi Jawa Barat
menimbang, bahwa gugatan Terbanding semula Penggugat menurut
majelis Hakim tingkat Banding terlalu cepat diajukan ke Pengadilan
Negeri atau dengan kata lain masih bersifat Premature, yang pada
akhirnya jelas putusan Pengadilan Negeri Bekasi tanggal 27 Juni 2016
dengan Nomor 630/Pdt.G/2015/Pn.Bks tidak bisa dipertahankan lagi
dan harus dibatalkan, karenanya majelis hakim Pengadilan Tinggi
Jawa Barat akan mengadili sendiri dengan gugatan Terbading semula
Penggugat dinyatakan tidak dapat diterima ( Niet Ontvankelijk
Verklaard ).
B. Metode Pertimbangan Hakim dalam Perkara Nomor
462/Pdt/2016/PT.Bdg
Berdasarkan beberapa pertimbangan hukum yang dilakukan oleh
Majelis Hakim dalam putusan nomor 462/Pdt/2016/PT.Bdg pertimbangan
utama Majelis Hakim dapat disimpulkan adalah sebagai berikut:
Majelis Hakim menimbang bahwa dalam kasus perkara nomor
462/Pdt/2016/PT.Bdg yang merupakan masalah ilmu pengetahuan tentang
kedokteran atau medical science. Dalam memutus perkara yang merupakan
disiplin ilmu kedokteran maka harus mendapatkan kesaksian dari Majelis
Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia (MKDKI), yang berdasarkan
Undang - undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran Pasal 1
Ayat (1), bahwa Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia
(MKDKI) adalah Lembaga yang berwenang untuk menentukan ada tidaknya
62
kesalahan yang dilakukan dokter dan dokter gigi dalam penerapan disiplin
ilmu kedokteran dan kedokteran gigi dan menetapkan sanksi.
Berdasarkan pertimbangan tersebut, hakim tingkat banding dalam
mempertimbangkan bahwa sebelum membawa sengketa perdata kedokteran
ke pengadilan mengharuskan adanya putusan atau sidang dari Majelis
Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia (MKDKI). Maka, gugatan yang
diajukan oleh Terbanding semula Penggugat terlalu cepat diajukan atau
masih bersifat Premature. Pengadilan Tinggi Jawa Barat akhirnya
menyatakan gugatan Terbanding semula Penggugat dinyatakan tidak dapat
diterima (Niet Ontvankelijk Verklaard).
Majelis Hakim dalam perkara nomor 462/Pdt/2016/PT.Bdg yang
termasuk kedalam kasus perdata pada dasarnya mempunyai kebebasan yang
relatif besar dalam penemuan hukum1. Namun dalam memecah suatu
perkara, hakim dalam melakukan penemuan hukum menggunakan beberapa
teori atau metode yang digunakan. Beberapa ahli mengemukakan metode
penemuan hukum yang berlaku, yang pada intinya mengemukakan tiga
metode penemuan hukum yang dapat dilakukan oleh hakim dalam praktik
1 Sudikno Mertokusomo sebagaimana dikutip Ahmad Rifai dalam Buku Penemuan Hukum
oleh Hakim Dalam Perspektif Hukum Progresif mendefinisikan penemuan hukum adalah proses pembentukan hukum oleh hakim yang diberi tugas melaksanakan hukum terhadap peristiwa – peristiwa hukum konkret, atau merupakan konkretisasi dan individualisasi peraturan hukum (das sollen) yang bersifat umum dengan peristwa konkret (das sein). (Ahmad Rifai. Penemuan Hukum oleh Hakim Dalam Perspektif Hukum Progresif (Jakarta: Sinar Grafika, 2010). h.10.)
63
pperadilan yaitu, metode interpretasi atau penafsiran2, metode argumentasi
3
dan melalui metode konstruksi4.
Metode penemuan hukum yang digunakan Majelis hakim dalam
perkara nomor 462/Pdt/2016/Pt.Bdg adalah interpretasi. Metode interpretasi
terbagi menjadi beberapa jenis yaitu, Interpretasi gramatikal, historis,
sistematis, sosiologis, komparatif, futuristic, restriktif, ekstensif, autentik,
interdisipliner dan multidisipliner. Dalam perkara nomor
462/Pdt/2016/Pt.Bdg interpretasi yang digunakan adalah interpretasi
gramatikal. Interpretasi gramatikal diartikan sebagai menafsirkan kata – kata
dalam undang – undang sesuai kaidah bahasan dan kaidah hukum tata
bahasa5
Interpretasi gramatikal terlihat dalam pertimbangan Majelis Hakim
atas perkara nomor 462/Pdt/2016/PT.Bdg yang menafsirkan pengertian
Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia (MKDKI) berdasarkan
Undang – undang Nomor 24 Tahun 2009 tentang Praktik Kedokteran.
2 Menurut Sudikno Mertokusomo, interpretasi atau penafsiran adalah metode penemuan
hukum yang memberikan penjelasa gamblang tentang teks undang – undang, agar ruang lingkup kaidah dalam undang – undang dapat diterapkan pada peristiwa hukum tertentu. Tujuan akhir penafsiran tersebut untuk merealisasikan fungsi agar hukum positif itu berlaku. (Ahmad Rifai. Penemuan Hukum oleh Hakim Dalam Perspektif Hukum Progresif. h. 61.)
3 Metode argumentasi adalah metode penalaran hukum, redenering atau reasoning.
Metode ini dipergunakan apabila undang – undang tidak lengkap. (Bambang Sutiyoso. Metode Penemuan Hukum. (Yogyakarta: UII Press, 2006). h. 105)
4 Metode konstruksi hukum, metode untuk menjelaskan kata – kata atau membentuk
pengertian hukum . Konstruksi hukum digunakan hakim saat terjadi kekosongan hukum atau kekosongan undang – undang. (Bambang Sutiyoso. Metode Penemuan Hukum. (Yogyakarta: UII Press, 2006). h. 116)
5 Ahmad Rifai. Penemuan Hukum oleh Hakim Dalam Perspektif Hukum Progresif. h. 63.
64
Majelis Hakim menafisrkan bahwa masalah ilmu pengetahuan tentang
kedokteran (medical science) harus diperiksa terlebih dahulu oleh MKDKI
untuk mendapat kepastian hukum yang berkeadilan. Majelis Hakim dalam
menggunakan interpretasi gramatikal untuk menafsirkan mengenai MKDKI
hanya sebatas kata – kata dalam UU Praktik Kedokteran. Dalam
menggunakan interpretasi gramatikal yang utama adalah mencari arti,
maksud dan tujuan dari kata – kata atau istilah yang digunakan dalam suatu
kaidah hukum. Selan itu, dalam interpretasi gramatikal yang digunakan oleh
Hakim harus bersamaan dengan interpretas logis, yaitu memaknai berbagai
aturan hukum yang ada melalui penalaran hukum untuk diterapkan terhadap
teks yang kabur atau kurang jelas6.
Majelis Hakim hanya menafsirkan MKDKI sebagai lembaga untuk
menentukan kesalahan yang dilakukan oleh Dokter/Dokter Gigi. Dalam
pengertian MKDKI sendiri terdapat isitlah “penerapan disiplin ilmu
kedokteran dan kedokteran gigi”. Penerapan disiplin ilmu kedokteran
dijelaskan dalam penjelasan Pasal 55 ayat (1) UU Praktik Kedokteran, yaitu
aturan-aturan dan/atau ketentuan penerapan keilmuan dalam pelaksanaan
pelayanan yang harus diikuti oleh dokter dan dokter gigi.
Majelis Hakim menafsirkan bahwa MKDKI, lembaga yang
berwenang untuk menentukan kelalaian yang dilakukan oleh Para
Pembanding semula Para Tergugat. Majelis Hakim mengabaikan tugas
MKDKI itu sendiri yang diatur di Pasal 64 UU Praktik Kedokteran
6 Ahmad Rifai. Penemuan Hukum oleh Hakim Dalam Perspektif Hukum Progresif. h. 63.
65
mengenai tugas dari MKDKI yaitu: (1) Menerima pengaduan, memeriksa,
dan memutuskan kasus pelanggaran disiplin dokter dan dokter gigi yang
diajukan; dan (2) Menyusun pedoman dan tata cara penanganan kasus
pelanggaran disiplin dokter atau dokter gigi.
Dalam Pasal 64 Ayat (1) disebutkan “pelanggaran disiplin”. Maka,
harus ditelusuri apa saja yang termasuk ke dalam Pelangaran disiplin dokter
dan dokter gigi. Berdasarkan Peraturan Konsil Kedokteran Indonesia Nomor
4 Tahun 2011 tentang Disiplin Profesional Dokter dan Dokter Gigi Pasal 3
ayat (2) yang termasuk pelanggaran disiplin profesional dokter atau dokter
gigi yaitu diantaranya:
1. Melakukan praktik kedokteran dengan tidak kompeten;
2. Tidak merujuk pasien kepada dokter atau dokter gigi lain yang
memiliki kompetensi yang sesuai;
3. Mendelegasikan pekerjaan kepada tenaga kesehatan tertentu
yang tidak memiliki kompetensi untuk melaksanakan pekerjaan
tersebut;
4. Menjalankan praktik kedokteran dalam kondisi tingkat
kesehatan fisik atau mental sedemikian rupa sehingga tidak
kompeten dan dapat membahayakan pasien;
5. Tidak melakukan tindakan atau asuhan medis yang memadai
pada situasi tertentu yang dapat membahayakan pasien;
6. Melakukan pemeriksaan atau pengobatan berlebihan yang tidak
sesuai dengan kebutuhan pasien;
7. Tidak memberikan penjelasan yang jujur, etis, dan memadai
(adequate information) kepada pasien atau keluarganya dalam
melakukan praktik kedokteran;
8. Melakukan tindakan atau asuhan medis tanpa memperoleh
persetujuan dari pasien atau keluarga dekat, wali, atau
pengampunya;
9. Tidak membuat atau tidak menyimpan rekam medis dengan
sengaja;
10. Melakukan perbuatan yang bertujuan untuk menghentikan
kehamilan yang tidak sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan yang berlaku;
11. Melakukan perbuatan yang dapat mengakhiri kehidupan pasien
atas permintaan sendiri atau keluarganya;
66
12. Menjalankan praktik kedokteran dengan menerapkan
pengetahuan, keterampilan, atau teknologi yang belum diterima
atau di luar tata cara praktis kedokteran yang layak;
13. Melakukan penelitian dalam praktik kedokteran dengan
menggunakan manusia sebagai subjek penelitian tanpa
memperoleh persetujuan etik (ethical clerance) dari lembaga
yang diakui pemerintah;
14. Tidak melakukan pertolongan darurat atas dasar
perikemanusiaan, padahal tidak membahayakan dirinya, kecuali
bila ia yakin ada orang lain yang bertugas dan mampu
melakukannya;
15. Menolak atau menghentikan tindakan atau asuhan medis atau
tindakan pengobatan terhadap pasien tanpa alasan yang layak
dan sah sesuai dengan ketentuan etika profesi atau peraturan
perundang-undangan yang berlaku.
Maka wewenang dari Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran
Indonesia (MKDKI) adalah menangani sengketa pelanggaran atas displin
profesi yang dilakukan oleh dokter atau dokter gigi, bukan pelanggaran
norma hukum. Maka analisa peneliti, berdasarkan pelanggaran disiplin
profesional dokter dan dokter gigi, sengketa dengan nomor putusan
462/Pdt/2016/PT.Bdg termasuk kedalam pelanggaran disiplin yang
dimaksudkan oleh peraturan perundang – undangan, yaitu melakukan
tindakan atau asuhan medis tanpa memperoleh persetujuan dari pasien atau
keluarga dekat, wali, atau pengampunya. Namun, dalam kasus ini tidak
hanya pelanggaran disiplin saja namun terdapat pelanggaran norma hukum,
yaitu menghilangkan hak Terbanding semula Penggugat sebagai Pasien
serta menghilangkan nyawa pasien akibat kelalaian yang dilakukan oleh
Para Pembanding semula Para Tergugat atau Perbuatan Melawan Hukum.
Metode penemuan hukum interpretasi gramatikal yang digunakan
Majelis Hakim akhirnya mengabaikan peraturan lainnya yang terkait dengan
67
sengketa 462/Pdt/2016/PT.Bdg. Dalam metode penemuan hukum
interpretasi lainnya dikenal juga metode interpretasi sistematis, yaitu metode
yang menafsirkan undang – undang sebagai bagian dari keseluruhan sistem
perundang – undangan, artinya tidak satu pun dari peraturan perundang
undangan tersebut ditafsirkan seakan – akan berdiri sendiri, tetapi harus
selalu dipahami dalam kaitannya dengan jenis peraturan yang lainnya.7
Majelis hakim mengabaikan peraturan perundang – undangan lainnya
yang terkait dengan perkara 462/dt/2016/PT.Bdg yaitu Putusan Mahkamah
Konstitusi Nomor 14/PUU-XII/2014 yang mengadili perkara konstitusi
mengenai permohonan pengujian Undang - undang Nomor 29 Tahun 2004
tentang Praktik Kedokteran terhadap Undang - undang Dasar Republik
Indonesia. UU Praktik Kedoktean dijadikan bahan acuan oleh Majelis
Hakim dalam memutus perkara. Dalam kasus nomor 14/PUU-XII/2014,
pemohon yang terdiri dari lima orang yang berprofesi sebagai dokter
memohon pengujian pasal 66 ayat (3) UU Praktik Kedokteran. Pasal 66 ayat
(3) menerangkan mengenai hak setiap orang untuk melaporkan adanya
dugaan tindak pidana kepada pihak yang berwenang dan/atau menggugat
kerugian perdata ke pengadilan atas tindakan dokter atau dokter gigi dalam
menjalankan praktik kedokteran.
Para pemohon memohon pengujian Pasal 66 ayat (3) karena dalam
Pasal 66 ayat (1) dan ayat (2) menerangkan mengenai hak setiap orang yang
dirugikan atas tindakan dokter atau dokter gigi dalam menjalankan praktik
7 Ahmad Rifai. Penemuan Hukum oleh Hakim Dalam Perspektif Hukum Progresif. h. 67.
68
kedokteran untuk melaporkan ke Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran
Indonesia (MKDKI). Dalam amar putusan dinyatakan bahwa permohonan
pengujian Pasal 66 ayat (3) Undang - Undang Nomor 29 Tahun 2004
tentang Praktik Kedokteran dinyatakan ditolak. Dalam pertimbangan
hukum dari sembilan Hakim Konstitusi menimbang bahwa, dalam kasus
sengketa medis tidak bisa hanya berpangku kepada Majelis Kehormatan
Disiplin Kedokteran Indonesia (MKDKI). Suatu sengketa kedokteran yang
terjadi harus dipahami terlebih dahulu mengenai pelanggaran apa yang telah
dilakukan oleh tenaga kesehatan itu sendiri, apakah pelanggaran kode etik,
disiplin profesi atau norma hukum.
Aturan mengenai sanksi atas pelanggaran etika, disiplin profesi dan
norma hukum diatur dalam peraturan perundang-undangan kedokteran,
namun tidak dapat diartikan bahwa pelanggaran etika dan disiplin profesi
memiliki kekuatan mengikat dan sanksi yang sama dengan pelanggaran
norma hukum. Etika/kode etik, disiplin profesi maupun norma hukum pada
dasarnya merupakan aturan yang mengarahkan agar sebagai individu
bersikap baik dengan sesama manusia dan lingkungan sekitarnya.
Perbedaan antara etika dan norma hukum adalah pada kekuatan
mengikat dan sanksinya. Dalam etika, kekuatan mengikat serta sanksi relatif
lemah, karena hanya mengandalkan kebaikan atau sukarela, dan dalam
penerapan sanksi relatif lebih sulit dieksekusi, karena tidak ada mekanisme
untuk memaksakan sanksi bagi pelanggarnya. Lalu, dalam norma hukum
kekuatan mengikat lebih kuat serta penerapan sanksi yang dapat dipaksakan,
69
karena adanya mekansime untuk memaksakan sanksi dengan menggunakan
kekuatan negara. Sedangkan dalam disiplin profesi adalah etika yang
diberlakukan untuk kelompok profesi tertentu yang kekuatan mengikat lebih
kuat dibandingkan dengan etika namun lebih lunak dibandingkan dengan
norma hukum.
Dalam pelanggaran norma hukum, pelaku akan dikenakan sanksi
pidana atau sanksi perdata, sedangkan dalam pelanggaran terhadap etika dan
disiplin profesi hanya dapat dikenakan sanksi secara etika pula atau secara
administratif. Maka perbedaan kekuatan mengikat serta sanksi yang dapat
diberikan, harus ada perbedaan wewenang mengadili dari setiap
pelanggaran yang dilakukan oleh dokter atau dokter gigi. Dalam UU Praktik
Kedokteran pelanggaran yang dilakukan oleh dokter atau dokter gigi
terhadap etika profesi, disiplin profesi dan norma hukum diklasifikasikan
alur pengaduan sebagai berikut:
1. Pelanggaran oleh dokter atau dokter gigi dapat berupa:
a. Pelanggaran etika;
b. Pelanggaran disiplin profesi, dan/atau;
c. Pelanggaran hukum.
2. Pengaduan terhadap pelanggaran disiplin profesi diperiksa dan diputus
oleh MKDKI (Pasal 64 dan 67);
3. Pengaduan terhadap pelanggaran kode etik profesi diteruskan oleh
MKDKI kepada organisasi profesi (Pasal 68);
4. Pelanggaran terhadap norma hukum pidana dapat dilaporkan kepada
kepolisian atau kejaksaan (Pasal 68 ayat (3)), dan;
5. Pelanggaran terhadap norma hukum perdata dapat digugat ke
pengadilan (Pasal 66 ayat (3).
70
Maka dalam kasus perdata nomor 462/Pdt/2016/PT.BDG bahwa
Terbanding semula Penguggat mengalami kerugian akibat pelanggaran
norma hukum yang dilakukan oleh Para Pembanding semula Para Tergugat,
maka sudah seharusnya Terbanding semula Penguggat melayangkan
gugatan ke Pengadilan Bekasi atas kasus tersebut tanpa harus mendapatkan
putusan atau diadili terlebih dahulu dalam sidang Majelis Kehormatan
Disiplin Kedokteran Indonesia (MKDKI) sesuai dengan putusan Mahkamah
Konstitusi Nomor 14/PUU-XII/2014.
Pada dasarnya Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 14/PUU-
XII/2014 bersifat final and binding. Hal ini dijelaskan dalam Pasal 10 ayat
(1) Undang – undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi
sebagaimana telah diubah dengan Undang – undang Nomor 8 Tahun 2011
tentang Perubahan atas Undang – undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang
Mahkamah Konstitusi yang menyatakan bahwa “Mahkamah Konstitusi
berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya
bersifat final”. Dalam penjelasan Pasal 10 ayat (1) dijelaskan bahwa sifat
final dalam putusan Mahkamah Konstitusi mencakup pula kekuatan hukum
mengikat (binding).
Makna final and binding dalam putusan Mahkamah Konstitusi berarti
telah tertutup segala kemungkinan untuk menempuh upaya hukum. Tatkala
putusan tersebut diucapkan , maka ketika itu lahir kekuatan mengikat
71
(verbindende kracht8). Putusan Mahkamah Konstitusi yang memiliki
kekuatan mengikat diartikan juga mengikat secara umum dan mengikat
obyek yang disengketakan.
Maka, dalam putusan Mahkamah Konstitusi nomor 14/PUU-XII/2014
selain mengikat para pemohon, mengikat secara umum. Pertimbangan
Hakim Pengadilan Tinggi dalam putusan Pengadilan Tinggi Jawa Barat
nomor 462/Pdt/2016/PT.Bdg yang mengharuskan adanya sidang dari
Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia (MKDKI) dalam
memutus perkara mengenai permasalahan ilmu kedokteran yang kemudian
menyatakan bahwa gugatan Terbanding semula Penggugat prematur sudah
mengabaikan dan bertentangan dengan Putusan Mahkamah Konstitusi
Nomor 14/PUU-XII/2014.
8 Malik, “Telaah Makna Hukum Putusan Mahkamah Konstitusi yang Final dan Mengikat”,
Jurnal Konstitusi, Volume 6, Nomor.1 (April 2009): h.82. Jurnal diakses pada 10 Mei 2017 dari http://www.mahkamahkonstitusi.go.id/public/content/infoumum/ejurnal/pdf/ejurnal_Jk%20edis%201-%20April.pdf
72
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan yang sudah dipaparkan
peneliti di bab sebelumnya, maka peneliti akan menyimpulkan beberapa hal
yang juga berkaitan dengan rumusan masalah yang sudah dibuat
sebelumnya, yaitu:
1. Permasalahan yang muncul antara dokter dan pasien berkembang
menjadi sengketa yang bahkan banyak diajukan di muka pengadilan.
Tak banyak diakibatkan ketidakpuasan pasien atas tindakan dokter
dalam upaya penyembuhan. Pasien dianggap sebagai pihak lemah
yang kerap hak – hak-nya terlanggar. Hukum sebagai alat penyelesain
permasalahan menjawab permasalahan yang dialami oleh pasien
dengan memberikan proteksi atau perlindungan secara hukum kepada
pasien yang diduga terlanggar hak-hak-nya oleh pemberi layanan
kesehatan. Pasien sudah dilindungi secara hukum dalam Peraturan
Perundang-undangan dengan cukup baik. Pasien dapat mengajukan
gugatan ke Pengadilan apabila adanya kelalaian yang dilakukan oleh
pihak pemberi layanan kesehatan, atau melaporkan ke Majelis
Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia (MKDKI) apabila diduga
adanya pelanggaran kode etik yang dilakukan oleh dokter yang
merugikan pasien, bahkan Pasien dapat melaporkan secara pidana
73
kepada pihak kepolisian apabila diduga adanya pelanggaran secara
pidana.
2. Pertimbangan majelis hakim pada studi kasus nomor
462/Pdt/2016/PT.Bdg tidak tepat. Majelis hakim berpendapat bahwa
sengketa harus diadili dan diputus terlebih dahulu di Majelis
Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia (MKDKI). Dalam putusan
Mahkamah Konstitusi nomor 14/PUU-XII/2014 dinyatakan bahwa
pasien memiliki hak untuk mengajukan gugatan kepada Dokter atau
Rumah Sakit yang diduga melanggar hak-nya tanpa perlu menunggu
sidang atau putusan dari Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran
Indonesia (MKDKI).
B. Saran
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan yang sudah dipaparkan
peneliti di bab sebelumnya serta kesimpulan sebagaimana diatas, maka
peneliti akan memberikan saran – saran sebagai berikut:
1. Kepada Tenaga Kesehatan, dalam memberikan pelayanan kesehatan
diharuskan mengikuti standar profesi, standar pelayanan profesi dan
standar prosedur operasional. Melakukan kewajibannya sebagai
tenaga kesehatan yang seharusnya dan tidak mengabaikan hak – hak
pasien.
2. Kepada Pemerintah dan Legislatif, dapat lebih concern pada kasus
pelanggaran hak pasien dan dibuat undang – undang yang lebih
74
merinci mengenai aturan mengenai pelanggaran hak pasien dan
kelalaian dalam tindakan medis yang kerap terjadi. Diharapkan
kedepannya angka sengketa medis bisa menurun.
3. Kepada Hakim, dalam memutus suatu perkara dapat lebih teliti dan
tidak berpihak. Hakim sebagai wakil Tuhan di dunia diharapkan bisa
mengemban amanah yang besar dengan baik dan bijaksana. Dalam
memutus suatu perkara diharapkan mengedepankan asas kemanfaatan,
keadilan dan kepastian hukum.
4. Kepada masyarakat atau pasien, dapat lebih berani dan kritis dalam
menyikapi suatu permasalahan di ranah medis. Bekali pengetahuan
mengenai hak – hak sebagai pasien apabila berhubungan dengan
Tenaga Kesehatan. Jangan membiarkan hak – hak sebagai pasien
tercederai.
5. Kepada peneliti selanjutnya, diharapkan dapat lebih mengkaji
mengenai praktek Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia
(MKDKI) dalam kasus perbuatan melawan hukum yang dilakukan
tenaga kesehatan.
75
DAFTAR PUSTAKA
Buku Bacaan:
Arikunto, Suharsimi. Manajemen Penelitian. Jakarta: Rinneka Cipta. 2000
Guwandi, J. Rahasia Medis. Jakarta : Fakultas Kedokteran UI. 2005
Hanafiah, M. Jusuf dan Amri. Etika Kedokteran dan Hukum Kesehatan. Jakarta:
EGC. 1999
Hernoko, Agus Yudha. Hukum Perjanjian (Asas Proporsionalitas dalam Kontrak
Komersial). Cet.IV. Edisi.I, Jakarta : Kencana Prenadamedia Group. 2010
H.S, Salim. Hukum Kontrak Teori & Teknik Penyusunan Kontrak. Cet.IX.
Jakarta : Sinar Grafika. 2013
H.S, Salim dan Erlies. Perkembangan Hukum Kontrak Innominat di Indonesia.
Jakarta: Sinar Grafika. 2014
Ibrahim, Johnny. Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif. Surabaya :
Bayumedia Publishing. 2005
Isfandyarie, Anny. Tanggung Jawab Hukum dan Sanksi bagi Dokter Buku I.
Malang: Prestasi Pustaka. 2006
Marzuki, Peter Mahmud. Penelitian Hukum (Edisi Revisi). Jakarta: Prenamedia
Group. 2014
Miru, Ahmadi dan Sutarman. Hukum Perlindungan Konsumen. Jakarta : PT. Raja
Grafindo. 2000
Muhammad,Abdulkadir. Hukum Perusahaan Indonesia. Bandung : PT Citra
Aditya Bakti. 2010
Nasution, Az. Hukum Perlindungan Konsumen Suatu Pengantar. Jakarta : Diadit
Media. 2007
Ratman, Desriza. Aspek Hukum Informed Consent dan Rekam Medis dalam
Transaksi Terapeutik. Jakarta: Keni Media. 2013
Rifai, Ahmad. Penemuan Hukum oleh Hakim Dalam Perspektif Hukum Progresif.
Jakarta: Sinar Grafika. 2010
76
Saliman, Abdul Rasyid. Hukum Bisnis untuk Perusahaan : Teori dan Contoh
Kasus, Cet.VI. Jakarta : Kencana Preneda Media Group. 2011
Sinamo, Nomensen. Metode Penelitian Hukum. Jakarta: PT. Bumi Inititama
Sejahtera. 2009
Soekanto, Soerjono dan Sri. Penelitian Hukum Normatif. Cet.XIII, Edisi I. Jakarta
: PT. RajaGrafindo Persada. 2011
Soekanto, Soerjono dan Purnadi. Aneka Cara Pembedaan Hukum. Bandung: PT
Citra Aditya Bakti. 1994
Subekti. Pokok – Pokok Hukum Perdata. Cet.XXXIV. Jakarta: Intermasa. 2003
Susanto, Happy. Hak – Hak Kosumen Jika Dirugikan. Jakarta : Visimedia. 2008
Sutiyoso, Bambang. Metode Penemua. Hukum. Yogyakarta: UII Press. 2006
Triwibowo,Cecep. Etika dan Hukum Kesehatan. Yogyakarta: Nuha Medika. 2014
Waluyo, Bambang. Penelitian Hukum dalam Praktek. Cet.IV, Edisi I. Jakarta :
Sinar Grafika. 2008
Zulham. Hukum Perlindungan Konsumen. Jakarta : Kencana. 2013
Peraturan Perundang – Undangan:
Undang – undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945
Undang – undang Nomor 36 Tahun 2014 tentang Tenaga Kesehatan
Undang – undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan
Undang – undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran
Undang – undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan
Undang - undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen
Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor
290/MENKES/PER/III/2008 tentang Persetujuan Tindakan Kedokteran
Peraturan Konsil Kedokteran Indonesia Nomor 4 Tahun 2011 tentang Disiplin
Profesional Dokter dan Dokter Gigi
77
Kitab Undang – Undang Hukum Pidana (KUHP)
Kitab Undang – Undang Hukum Perdata (KUHPer)
Jurnal:
Malik, “Telaah Makna Hukum Putusan Mahkamah Konstitusi yang Final dan
Mengikat”, Jurnal Konstitusi Volume 6. No.1 (April 2009).
Internet:
Badan Hukum Pembinaan Nasional, Jaringan Dokumentasi dan Informasi Hukum
Nasional, data diakses pada 20 November 2016 dari
http://jdihn.bphn.go.id/
Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa, “Kamus Besar Bahasa Indonesia”,
kamus diakses pada 7 April 2017 dari
https://kbbi.kemdikbud.go.id/entri/konsumen
Hasrul Buamona, Perlindungan Konsumen dalam Hubungan Medis Pasien dan
Dokter, artikel diakses pada 15 Februari 2017 dari
http://www.lbhyogyakarta.org/2013/08/kedudukan-uu-no-8-tahun-1999-
tentang-perlindungan-konsumen-dalam-hubungan-medis-pasien-dan-
dokter/
Mahkamah Konstitusi, Jurnal Konstitusi Volume 6 Nomor 1, jurnal diakses pada
10 Mei 2017 dari
http://www.mahkamahkonstitusi.go.id/public/content/infoumum/ejurnal/p
df/ejurnal_Jk%20edis%201-%20April.pdf
Online Business Dictionary yang diakses pada 3 Februari 2017 dari
http://businessdictionary.com//
Kamus:
University of Oxford. Oxford Learner’s Pocket Dictionary. Oxford : Oxford
University Press. 2008
Wawancara:
78
Wawancara Pribaadi dengan Drg. Nanang Abimanyu, Sp.KG, M.Kes, M.H.Kes,
S.H,. Jakarta, pada tanggal 16 April 2016.
Skripsi:
Satria, Andi. “Analisis Hukum Terhadap Klausula Baku Pada Kartu Studio Pass
di Trans Studi Makassar,” Skripsi S1 Fakultas Hukum, Universitas
Hassanudin, 2015
Simamora, Melva Theresia. “Aspek Hukum Pelaksanaan Perjanjian Baku oleh
Developer Properties (Studi pada PT. Multi Cipta Property),” Skripsi S1
Fakultas Hukum, Universitas Sumatera Utara, 2015.
Halaman 1 dari 34 halaman putusan perkara Perdata Nomor 462/PDT/2016/PT.BDG.
P U T U S A N
Nomor 462/Pdt/2016/PT.BDG
DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA.
Pengadilan Tinggi Jawa Barat yang memeriksa dan mengadili perkara-
perkara perdata dalam tingkat banding telah menjatuhkan putusan sebagai
berikut dalam perkara antara:
1. Rumah Sakit Awal Bros Bekasi, berkedudukan di Jalan KH.
Nur Ali Kav. 17-18, Kalimalang, Bekasi 17144;
2. Dr. Yenny Wiarni Abbas, Spa, bertempat tinggal di Kemang
Pratama 3 Jalan Aralia A1 No. 2 Bekasi Selatan Kota
Bekasi;
Dalam hal ini diwakili oleh kuasanya: Arif Hidayat, S.H.,
Harry F.M. Sitorus, S.H., Sahatma Anton Siregar, S.H.,
Riki Sidabutar, S.H., Hutami Simatupang, S.H. dan
Bintang W.J.R. ButarButar, S.H., Para Advokat dan
Penasehat Hukum, pada kantor hukum Arif Hutami &
Partners, beralamat di Jl. Kebun Jeruk Raya No. 126
Jakarta Barat. Berdasarkan surat kuasa khusus
tertanggal 29 Juni 2016. Untuk selanjutnya disebut
sebagai Para PEMBANDING semula Para
TERGUGAT;
M e l a w a n
Ibrahim Blegur, bertempat tinggal di Jalan Tahir, gang Genang
RT/RW 04/11 No. 79, Kranji, Bekasi Barat, Kodya Bekasi,
Jawa Barat. Dalam hal ini diwakili oleh kuasanya:
M. Ihsan, S.H., M.H., M.Si., Nur Hakim, S.H., dan
Henry Agustua Sihombing, S.H., Para Advokat pada
Kantor Hukum Ihsan-Hakim & Partners, yang beralamat
di d’Green Pramuka Recidence Cluster Albere Tower
Bougenville Lt 6 No. FL, Jalan Jendral Ahmad Yani, Kav
49, Cempaka Putih, Jakarta Pusat, Indonesia, 10510.
Berdasarkan surat kuasa khusus tertanggal 8 Agustus
2016 Nomor: 01/SK/VIII/2016. Untuk selanjutnya disebut
sebagai TERBANDING semula PENGGUGAT;
Halaman 2 dari 34 halaman putusan perkara Perdata Nomor 462/PDT/2016/PT.BDG.
Pengadilan Tinggi tersebut;
Setelah membaca berkas perkara dan surat-surat lain yang berkaitan
dengan perkara ini sebagaimana terlampir dalam berkas perkara;
Tentang Duduknya Perkara Memperhatikan, mengutip dan menerima keadaan-keadaan mengenai
duduknya perkara ini, seperti tertera dan termuat di dalam putusan Pengadilan
Negeri Bekasi, tanggal 27 Juni 2016 dengan Nomor 630/Pdt.G/2015/PN. Bks.;
Menimbang, bahwa Para Tergugat digugat oleh Penggugat berdasarkan
surat gugatan tertanggal 15 Desember 2015, didaftarkan di Kepaniteraan
Pengadilan Negeri Bekasi pada tanggal 15 Desember 2015 dibawah register
perkara Nomor 630/Pdt.G/2015/PN.Bks. yang telah mengemukakan sebagai
berikut:
I. KEDUDUKAN DAN KEPENTINGAN HUKUM PENGGUGAT:
1. Bahwa Almarhummah Falya Raafani Blegur (1,2 tahun) adalah anak ke
dua yang lahir dari hasil perkawinan PENGGUGAT yang meninggal
pada tanggal 1 November 2015 di Rumah Sakit Awal Bros Kota Bekasi;
2. Bahwa berdasarkan hal diatas, PENGGUGAT memiliki hak untuk
mengajukan gugatan perbuatan melawan hukum atas kelalaian dan
gagalnya TERGUGAT I memenuhi tanggungjawabnya untuk menjamin
keamanan, kenyamanan dan keselamatan pasien;.
II. FAKTA HUKUM:
1. Bahwa Almarhummah Falya Raafani Blegur adalah pasien Rumah Sakit
Awal Bros Bekasi di Ruang Rawat Inap dari tanggal 28 Oktober 2015
sampai Almarhummah Falya meninggal tanggal 01 November 2015;
2. Bahwa PENGGUGAT pada hari Rabu tanggal 28 Oktober 2015 pagi,
membawa Ananda Falya Raafani Blegur ke Rumah Sakit Awal Bros
Bekasi untuk berobat karena mempunyai keluhan sering muntah dan
buang air (diare);
3. Bahwa PENGGUGAT mendaftarkan Ananda Falya Raafani Blegur
sebagai Pasien Umum/Pribadi, dan di periksa oleh Dokter Spesialis
Anak yang pada saat itu praktek bernama dr. Yenny Wiarni Abbas, SpA
yaitu TERGUGAT I;
4. Bahwa setelah dilakukan pemeriksaan oleh TERGUGAT II, Ananda
Halaman 3 dari 34 halaman putusan perkara Perdata Nomor 462/PDT/2016/PT.BDG.
Falya Raafani Blegur didiagnosa dehidrasi ringan dan diare, yang
mengharuskan Ananda Falya Raafani Blegur untuk di rawat inap agar
mendapatkan obat atau pengganti cairan yang telah keluar atau hilang
dengan melalui infusan;
5. Bahwa PENGGUGAT langsung mengurus administrasi untuk
Almarhummah Falya Raafani Blegur Rawat Inap kelas 2 dengan
menitipkan Uang Muka biaya Pengobatan dan Rawat Inap sebesar
Rp. 1.500.000 (Satu Juta Lima Ratus Ribu Rupiah), dan Ananda Falya
Raafani Blegur pada kira-kira pukul 13.00 masuk kamar rawat inap;
6. Bahwa setelah dan hari itu juga di lakukan pemeriksaan terhadap
Ananda Falya Raafani Blegur dengan diambil darah;
7. Bahwa pada kamis 29 Oktober 2015 kondisi Ananda Falya Raafani
Blegur setelah satu malam di rawat dengan pengobatan infusnya,
keadaan sudah lebih baik dari keadaannya sebelum rawat inap atau
kondisi sebelum masuk rumah sakit, dengan adanya perubahan sikap
dan perilaku Ananda Falya Raafani Blegur dengan saat awal masuk
rumah sakit yang terlihat lemas dan tidak mau makan apapun;
8. Bahwa perkembangan lebih baik lagi di lihat oleh PENGGUGAT dan
istrinya setelah Ananda Falya Raafani Blegur mau makan dan
mempunyai nafsu makan yang baik dan sudah bisa tertawa, bercanda,
dan bermain bersama kakaknya Vanya (3 tahun) yang saat itu
menemanimnya, serta perubahan feses (cairan diarenya) Ananda Falya
Raafani Blegur yang tadinya cairan berubah menjadi ampas;
9. Bahwa pada kira-kira pukul 12.00 TERGUGAT II datang memeriksa
Ananda Falya Raafani Blegur, dan bersamaan pada saat itu
PENGGUGAT bersama istrinya sedang makan, dan istri PENGGUGAT
sambil menyuapi Ananda Falya Raafani Blegur sambil bermain dan
bercanda;
10. Bahwa saat memeriksa Ananda Falya Raafani Blegur
dengan menempelkan stetoskop ke dada Ananda Falya Raafani Blegur,
TERGUGAT II langsung pergi tanpa memberikan informasi apapun
tentang perkembangan status penyakit/kondisi pasca pengobatan rawat
inap setelah satu malam, hanya mengatakan kepada PENGGUGAT:
“kalo ada yang mau di tanyakan ke klinik saja”;
Halaman 4 dari 34 halaman putusan perkara Perdata Nomor 462/PDT/2016/PT.BDG.
11. Bahwa melihat kondisi Ananda Falya Raafani Blegur, PENGGUGAT
dan istrinya beranggapan kemungkinan Ananda Falya Raafani Blegur
bisa pulang kerumah sore harinya atau keesokan harinya;
12. Bahwa pada kira-kira pukul 12.30 PENGGUGAT pergi meninggalkan
Rumah Sakit karena ada urusan pekerjaan;
13. Bahwa pada kira-kira pukul 13.00 datang perawat mengganti botol infus
dengan botol anti biotik kepada Ananda Falya Raafani Blegur yang saat
itu di tunngui oleh istri PENGGUGAT;
14. Bahwa setelah beberapa waktu istri PENGGUGAT melihat popok
Pampers Ananda Falya Raafani Blegur seperti penuh, dan langsung
saja istri PENGGUGAT menggantinya, dan Istri PENGGUGAT kaget
setelah melihat perut Ananda Falya Raafani Blegur
membuncit/melembung/ gendut membesar dan mata Ananda Falya
Raafani Blegur terlihat bengkak walaupun sedang tidur, dan melihat
kondisi demikian Istri PENGGUGAT menangis melihat kondisi Ananda
Falya Raafani Blegur saat itu;
15. Bahwa kira-kira pukul 15.30, PENGGUGAT kembali ke ruang rawat
inap, dan melihat Istri PENGGUGAT menangis, dan PENGGUGAT
langsung bertanya “Kenapa bunda menangis”, dan istri PENGGUGAT
menjawab dengan menjelaskan kondisi Ananda Falya Raafani Blegur
dan mengatakan tadi jam 13.00 dikasih anti biotik;
16. Bahwa PENGGUGAT setelah mendengar penjelasan Istri
PENGGUGAT langsung melihat kondisi Ananda Falya Raafani Blegur
bibir membiru, badan sekujur tubuh Ananda Falya Raafani Blegur
dingin, nafas cepat dan tersenggal-senggal, perut buncit/kembung dan
sekitar mata bengkak, langsung memencet alat pemanggil perawat
sebanyak 2x, tapi tak satupun perawat yang datang;
17. Bahwa setelah memanggil perawat dengan alat bantu tidak ada yang
datang, PENGGUGAT langsung keluar ruangan menuju pos
jaga perawat dan kebetulan ada dokter jaga disana, dan PENGGUGAT
bertanya: “Dokter Yenny ada ga?” Perawat Menjawab: “dokter Yenny
sudah pulang”, PENGGUGAT mengajukan pertanyaan kembali kepada
suster, “sus anak saya kenapa? Kok pada membiru dan bengkak?
Setelah PENGGUGAT masuk disusul oleh dokter jaga langsung menuju
Halaman 5 dari 34 halaman putusan perkara Perdata Nomor 462/PDT/2016/PT.BDG.
Ananda Falya Raafani Blegur dan memeriksanya dengan menempelkan
stetoskop di dada Ananda Falya Raafani Blegur, dan setelah itu
langsung pergi tanpa menjelaskan apapun;
18. Bahwa setelah dokter jaga memeriksa yang langsung pergi tanpa
memberikan pernyataan apapun, PENGGUGAT berfikir bahwa dokter
jaga tersebut sedang melakukan koordinasi atau mengambil sesuatu
untuk melakukan tindakan “lebih” yang urgensi;
19. Bahwa setelah di tunggu kira-kira 30 menit dokter jaga tidak kembali ke
ruang rawat inap Ananda Falya Raafani Blegur, datang kakak
PENGGUGAT dan bertanya kenapa Falya pada bengkak begitu.
PENGGUGAT keluar kamar perawatan Ananda Falya Raafani Blegur
menuju ruang jaga perawat sambil menahan emosi dan cemas,
menyaksikan dokter yang tadi memeriksa sedang “ngobrol” dengan
para suster, PENGGUGAT menggebrak meja ruang jaga perawat
sambil berkata: “saya minta telpon dokter Yenny sekarang, tolong dilihat
dong anak saya kenapa”;
20. Bahwa kira-kira pukul 17.00 setelah PENGGUGAT mendatangi ruang
jaga perawat dengan emosi, beberapa perawat dan dokter mendatangi
Ananda Falya Raafani Blegur dengan melakukan pemeriksaan suhu
badan dan pemeriksaan detak jantung dengan memegang pergelangan
tangan Ananda Falya Raafani Blegur. Sadar bahwa Ananda Falya
Raafani Blegur dalam keadaan kritis, mereka baru menunjukkan
kepanikannya dan mempersiapkan alat bantu oksigen. Di sela
kepanikan tersebut, datang perawat lain yang sudah siap memberikan
‘SanMol” kepada Ananda Falya Raafani Blegur, melihat aksi perawat
tersebut PENGGUGAT menghentikannya dengan meminta perawat
tersebut menjauh karena Ananda Falya Raafani Blegur tidak
membutuhkan SanMol sebab tadi baru saja di ukur suhunya hanya
menunjukkan 35 derajat celcius;
21. Bahwa kira-kira pukul 18.00 TERGUGAT II datang memeriksa dan
meminta PENGGUGAT memindahkan Ananda Falya Raafani Blegur di
pindahkan di ruang NICU, dan kira-kira pukul 19.00 Ananda Falya
Raafani Blegur di bawa ke ruang NICU;
22. Bahwa pada hari Jumat 30 Oktober 2015 kira-kira pukul 10.00 istri
Halaman 6 dari 34 halaman putusan perkara Perdata Nomor 462/PDT/2016/PT.BDG.
PENGGUGAT menanyakan kondisi Ananda Falya Raafani Blegur
kepada dokter TERGUGAT II, SpA, dokter tersebut menjelaskan bahwa
Ananda Falya Raafani Blegur bukan karena anti biotik dan TERGUGAT
II menjelaskan “ibu tenang aja, saya pernah menangani kasus yang
lebih berat dari ini jadi, jangan khawatir”;
23. Bahwa kira-kira pukul 21.30 datang TRGUGAT II dengan seorang
dokter Rina dari Rumah Sakit Hermina, mereka memanggil
PENGGUGAT dan menjelaskan kondisi Falya saat ini dan mengatakan
dalam bahasa medis. PENGGUGAT “bukan kondisi saat ini yang sudah
1 hari 1 malam di NICU, tapi kenapa setelah diberikan ANTI BIOTIK,
anak saya membiru, timbul bercak-bercak merah di seluruh badan,
perut membesar, keluar busa dari mulut”. Lalu PENGGUGAT melihat
dokter Rina memalingkan badan kepada TERGUGAT II dan sekilas
berkata kenapa TERGUGAT II tidak menceritakan kepada dokter Rina
dengan suara pelan;
24. Bahwa pada hari Minggu, tanggal 01 November 2015 kira-kira pukul
01.00 PENGGUGAT menyaksikan dilakukan operasi disekitar paha
bagian dalam dan dokter atau pihak Rumah Sakit tidak menjelaskan
kepada PENGGUGAT. Hanya dokter bedah yang mengatakan kepada
PENGGUGAT bahwa kita hanya berusaha mudah-mudahan berhasil;
25. Bahwa Ananda Falya Raafani Blegur di rawat di ruang NICU sampai
meninggal hari Minggu 1 November 2015, kira-kira pukul 06.30 pagi;
26. Bahwa TERGUGAT II lalai dan tidak melakukan kewajibannya seperti
melakukan SKIN TEST sebelum memberikan anti biotik terhadap anak
PENGGUGAT, lambat merespon dan mengatasi permasalahan yang
ditimbulkan akibat pemberian anti biotik sehingga anak PENGGUGAT
meninggal dunia dan hak PENGGUGAT selaku pasien tidak diberikan;
27. Bahwa TERGUGAT II adalah dokter yang bekerja di tempat
TERGUGAT I, maka tanggungjawab dan pengawasan terhadap seluruh
kegiatan dan tindakan oleh petugas yang ada di tempat TERGUGAT I
adalah menjadi tanggungjawab TERGUGAT I;
28. Bahwa perbuatan TERGUGAT I dan TERGUGAT II yang telah
mengakibatkan Ananda Falya Raafani Blegur meninggal dunia adalah
PERBUATAN MELAWAN HUKUM;
Halaman 7 dari 34 halaman putusan perkara Perdata Nomor 462/PDT/2016/PT.BDG.
29. Bahwa sebagai akibat adanya perbuatan melawan hukum yang telah
dilakukan Para TERGUGAT tersebut, PENGGUGAT telah mengalami
kerugian berupa:
a. Kerugian Materiel:
Bahwa selama anak PENGGUGAT dirawat di RS Awal Bros Bekasi,
Jl. KH. Nur Ali Kav. 17-18, kalimalang, Bekasi 17144, biaya yang
telah dikeluarkan secara nyata sebesar:
- Untuk biaya jaminan rawat inap Rp. 1,500.000; (Satu Juta Lima
Ratus Ribu Rupiah);
- Untuk biaya penyelenggaraan pemakaman Rp. 4.000.000 (Empat
Juta Rupiah);
- Untuk biaya penyelenggaraan upacara keagamaan
Rp. 10.000.000,- (Sepuluh Juta Rupiah);
Maka kerugian secara Materiel sebesar Rp 15.500.000., (Lima
Belas Juta Lima Ratus Ribu Rupiah);
b. Kerugian Immateriel:
- Bahwa sejak Ananda Falya Raafani Blegur di rawat di rumah
sakit sampai saat ini PENGGUGAT tidak bisa melakukan
pekerjaan sehingga tidak mendapatkan penghasilan yang
menjadi sumber utama pembiayaan keluarga sebagai pemilik
usaha ekspedisi dan usaha jasa yang selama ini di lakukan;
- Bahwa sejak PENGGUGAT tidak bisa menjalankan kegiatan
pekerjaan sampai saat ini semua peluang untuk mendapatkan
proyek dan pekerjaan hilang karena tidak bisa masuk kantor;
- Bahwa sejak meninggalnya Ananda Falya Raafani Blegur
PENGGUGAT mengalami kesulitan berkomunikasi dan
bersosialisasi sehingga mengganggu kemampuan PENGGUGAT
dalam mendapatkan potensi-potensi pekerjaan yang akan di
dapatkan;
- Bahwa sejak meninggalnya Ananda Falya Raafani Blegur,
PENGGUGAT selalu teringat dengan Ananda Falya Raafani
Blegur, sehingga menjadi sedih, depresi dan sulit untuk
konsentrasi yang mengakibatkan sedih berkepanjangan;
Halaman 8 dari 34 halaman putusan perkara Perdata Nomor 462/PDT/2016/PT.BDG.
- Bahwa istri PENGGUGAT sejak Ananda Falya Raafani Blegur
meninggal dunia, selalu bersedih yang mengakibatkan
kesehatannya menurun sehingga mengganggu aktifitasnya
sehari-hari;
- Bahwa sejak Ananda Falya Raafani Blegur meninggal dunia,
kakak Ananda Falya Raafani Blegur yang masih berusia 4
(empat) tahun, sesuai dengan perkembangannya membutuhkan
perhatian dan kasih sayang dari kedua orang tuannya, tetapi itu
tidak di dapatkan sepenuhnya sejak Ananda Falya Raafani
Blegur meninggal dunia;
- Bahwa dengan meninggalnya Ananda Falya Raafani Blegur
peluang untuk tumbuh dewasa dan memiliki pekerjaan yang baik
serta memiki suami dan keluarga yang dapat memberikan
kebahagian bagi kedua orang tuannya dan keluargannya tidak
dapat tercapai karena meninggalnya Ananda Falya Raafani
Blegur;
Maka kirannya wajar dan pantas PENGGUGAT menilai kerugian
Immateril tersebut sebesar Rp. 15.000.000.000, (Lima Belas Milyar
Rupiah);
Dengan demikian kerugian Material dan Immateriel yang di derita
PENGGUGAT adalah sebesar Rp. 15,500.000;+15.000.000.000 =
Rp. 15.015.500.000; (Lima Belas Milyar Lima Belas Juta Lima
Ratus Ribu Rupiah);
30. Bahwa untuk menjamin agar Gugatan PENGGUGAT tidak sia-sia serta
adanya kekhawatiran TERGUGAT I dan TERGUGAT II akan
mengalihkan, mengasingkan dan memindah tangankan harta
kekayaannya, mohon Pengadilan terlebih dahulu meletakkan sita
jaminan atas:
- Sebidang Tanah dan Bangunan yang berdiri diatasnya setempat di
kenal dengan nama Rumah Sakit Awal Bros Bekasi milik
TERGUGAT I terletak di Jl. KH. Nur Ali Kav. 17-18, kalimalang,
Bekasi 17144;
- Sebidang Tanah dan Bangunan Rumah Tinggal yang berdiri diatas
milik TERGUGAT II yang terletak di Kemang Pratama 3 Jl. Aralia A1
Halaman 9 dari 34 halaman putusan perkara Perdata Nomor 462/PDT/2016/PT.BDG.
No. 2 Bekasi Selatan Kota Bekasi;
31. Bahwa dikhawatirkan Para TERGUGAT lalai dalam melaksanakan isi
putusan ini, maka berdasarkan hukum Para TERGUGAT mohon
dikenakan uang paksa (dwangsom) sebesar Rp. 10.000.000,- (sepuluh
juta rupiah) untuk setiap hari keterlambatannya memenuhi isi putusan
ini terhitung sejak putusan ini diucapkan;
32. Bahwa oleh karena gugatan ini didasarkan pada bukti-bukti otentik yang
sulit dibantah kebenarannya maka sangat beralasan kiranya putusan
perkara ini dinyatakan dapat dilaksanakan terlebih dahulu meskipun ada
upaya Verzet, Banding maupun Kasasi dan upaya hukum lainnya;
Berdasarkan hal-hal yang telah di uraikan diatas, mohon agar Pengadilan
Negeri Kota Bekasi yang memeriksa, mengadili dan memutuskan perkara
ini berkenan memberi Putusan sebagai berikut:
1. Menerima dan mengabulkan gugatan PENGGUGAT untuk seluruhnya;
2. Menyatakan sah dan berharga sita jaminan yang telah di laksanakan
terlebih dahulu atas:
- Sebidang Tanah dan Bangunan yang berdiri diatasnya setempat di
kenal dengan nama Rumah Sakit Awal Bros Bekasi milik
TERGUGAT I terletak di Jl. KH. Nur Ali Kav. 17-18, kalimalang,
Bekasi 17144;
- Sebidang Tanah dan Bangunan Rumah Tinggal yang berdiri diatas
milik TERGUGAT II yang terletak di Kemang Pratama 3 Jl. Aralia A1
No. 2 Bekasi Selatan Kota Bekasi;
3. Menyatakan TERGUGAT I, dan TERGUGAT II telah melakukan
PERBUATAN MELAWAN HUKUM;
4. Menghukum TERGUGAT I, dan TERGUGAT II secara tanggung
renteng untuk membayar ganti kerugian materil dan Immateriel
kepada PENGGUGAT sebesar Rp. 15,500.000;+15.000.000.000 =
Rp. 15.015.500.000,- (Lima Belas Milyar Lima Belas Juta Lima Ratus
Ribu Rupiah);
5. Menghukum TERGUGAT I, dan TERGUGAT II secara tanggung
renteng untuk membayar uang paksa (dwangsom) sebesar
Rp. 10.000.000,- (sepuluh juta rupiah) untuk setiap hari
Halaman 10 dari 34 halaman putusan perkara Perdata Nomor 462/PDT/2016/PT.BDG.
keterlambatannya memenuhi isi putusan ini terhitung sejak putusan ini
diucapkan;
6. Menyatakan putusan perkara ini dinyatakan dapat dilaksanakan terlebih
dahulu (uit voorbaar bij voorraad) meskipun ada upaya Verzet, Banding
maupun Kasasi dan upaya hukum lainnya;
7. Menghukum TERGUGAT I dan TERGUGAT II membayar biaya
perkara;
Atau:
Apabila Majelis Hakim di Pengadilan Negeri Kota Bekasi berpendapat
lain, maka kami mohon putusan yang seadil-adilnya (Ex Aequo Et
Bono);
Menimbang, bahwa atas gugatan Terbanding semula Penggugat tersebut
diatas, Pembanding I semula Tergugat I dan Pembanding II semula Tergugat II
telah mengajukan jawaban sebagai berikut:
Bahwa sebelum Tergugat I, Tergugat II menjawab Pokok Perkara Gugatan
PENGGUGAT, maka terlebih dahulu Tergugat I dan Tergugat II menyampaikan
keberatan-keberatan dan/atau tangkisan-tangkisan (Eksepsi) terhadap Gugatan
PENGGUGAT dengan alasan-alasan hukum sebagai berikut:
I. DALAM EKSEPSI:
A. PENGGUGAT TELAH KELIRU MENEMPATKAN TERGUGAT I
SEBAGAI PIHAK DALAM PERKARA A QUO:
1. Bahwa Penggugat telah Keliru dengan memasukkan Rumah Sakit
Awal Bros Bekasi sebagai Tergugat I padahal diketahui bahwa
Rumah sakit Awal Bros bukan merupakan Badan hukum, melainkan
Badan Usaha milik PT. FAMON GLOBAL AWAL BROS;
2. Bahwa berdasarkan Yurisprudensi Mahkamah Agung RI
No.268.K/Sip/1980 menyebutkan:
“Dalam gugatan mengenai kewajiban hukum yang menjadi
tanggung jawab Perseroan Terbatas harus disebutkan Pengurusnya
yang sekarang, sebab tanggung jawab suatu Badan Hukum melekat
pada Badan Hukum itu sendiri”;
3. Bahwa oleh karena Rumah Sakit Awal Bros Bekasi bukan
Halaman 11 dari 34 halaman putusan perkara Perdata Nomor 462/PDT/2016/PT.BDG.
merupakan Subyek Hukum (Recht Persoon) yang mempunyai Hak
dan Kewajiban menurut Hukum sesuai dengan Poin kedua diatas,
maka Rumah Sakit Awal Bros Bekasi tidak dapat dimintakan
pertanggungjawaban hukum termasuk dengan memasukkan
sebagai Pihak dalam perkara a quo;
4. Bahwa oleh karena Rumah Sakit Awal Bros Bekasi bukan
merupakan badan hukum, maka adalah keliru Jika Penggugat
memasukkan/ mendudukkan Rumah Sakit Bekasi sebagai Tergugat
I dalam perkara A quo, maka dengan demikian sudah sepatutnya
Majelis Hakim Pemeriksa Perkara a quo menyatakan Gugatan
Penggugat tidak dapat diterima;
B. GUGATAN PENGGUGAT PREMATUR (DILOTORIA EXCEPTIO):
1. Bahwa setelah membaca dan mempelajari Gugatan PENGGUGAT,
Khususnya terhadap dalil gugatanya pada hal. 5 poin 28, yang
menyebutkan : “Bahwa perbuatan TERGUGAT I dan TERGUGAT II
yang telah mengakibatkan Ananda Falya Rafaani Blegur meninggal
dunia adalah Perbuatan Melawan Hukum” adalah dalil yang keliru
dan Prematur, sebab adanya Gugatan Perbuatan Melawan Hukum
yang didalilkan Penggugat tidak didahului dengan adanya suatu
Putusan Pidana yang menyatakan bahwa meninggalnya Ananda
Falya Rafaani Blegur disebabkan karena adanya kelalaian dari
TERGUGAT I dan TERGUGAT II;
2. Bahwa ada tidaknya perbuatan Perbuatan Melawan Hukum yang
dilakukan TERGUGAT I dan TERGUGAT II seharusnya dibuktikan
terlebih dahulu dalam Pengadilan Pidana;
3. Bahwa oleh karena tidak adanya suatu Putusan dalam Pengadilan
Pidana yang menyatakan bahwa meninggalnya Ananda Falya
Rafaani Blegur disebabkan karena adanya kelalaian dari
TERGUGAT I dan TERGUGAT II, maka jelas Gugatan Penggugat
adalah Gugatan yang prematur, oleh karenanya sudah sepatutnya
Yang Mulia Majelis Hakim Pemeriksa perkara a quo menyatakan
Gugatan Penggugat tidak dapat diterima;
Halaman 12 dari 34 halaman putusan perkara Perdata Nomor 462/PDT/2016/PT.BDG.
I. DALAM POKOK PERKARA:
1. Bahwa TERGUGAT I dan TERGUGAT II menolak dengan tegas seluruh
dalil-dalil Gugatan Penggugat kecuali yang diakui secara tegas
kebenarannya oleh TERGUGAT I dan TERGUGAT II;
2. Bahwa hal-hal yang telah dikemukakan dalam bagian Eksepsi secara
mutatis mutandis merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan
dengan jawaban dalam pokok perkara ini;
3. Bahwa Perlu Para Tergugat Sampaikan Jika Alm. Falya Raafani Blegur
dibawa Ke rumah Sakit Awal Bros Bekasi dalam keadaan kesehatan
buruk (Sakit) dan kurang gizi yang turut menyebabkan lemahnya kondisi
fisik Alm. Falya Raafani Blegur, dimana kemudian Alm. Falya Raafani
Blegur ditangani oleh Tergugat II;
4. Bahwa Tergugat II adalah seorang dokter yang menjalankan profesinya
dengan berpedoman pada kesungguhan untuk berbuat demi kebaikan
pasien (doing good) dan tidak ada niat untuk menyakiti, menciderai dan
merugikan pasien (primum non nocere);
5. Bahwa Tergugat II sebagai seorang dokter dalam setiap mengambil
tindakan medik selalu didasarkan pada kaidah ilmu kedokteran dan
standard Profesi yang tinggi (Standard Operation Prosedure), termasuk
dalam menangani pasien yang bernama Falya Raafani Blegur;
6. Bahwa selain dari pada itu, seluruh tindakan medik TERGUGAT II telah
mendapat persetujuan dari PENGGUGAT, oleh karena pada saat
TERGUGAT II memberikan penjelasan atas diagnosa kepada
PENGGUGAT, PENGGUGAT tidak menolak dan menerima serta
memahami penjelasan – penjelasan dari TERGUGAT II;
7. Bahwa dengan demikian sangat tidak tepat dalil Penggugat dan oleh
karenanya Para Tergugat membantah dengan tegas seluruh dalil
Penggugat Khusunya dalil Gugatannya pada halaman 5 (lima) point 26
sampai dengan point 28 yang menyebutkan:
“Bahwa Tergugat II lalai dan tidak melakukan kewajibannya seperti
melakukan SKIN TEST sebelum memberikan anti biotik terhadap anak
PENGGUGAT, lambat merespon dan mengatasi permasalahan yang
ditimbulkan akibat pemberian anti biotik sehingga anak PENGGUGAT
Halaman 13 dari 34 halaman putusan perkara Perdata Nomor 462/PDT/2016/PT.BDG.
meninggal dunia dan hak PENGGUGAT selaku pasien tidak diberikan”;
“Bahwa tergugat II adalah dokter yang bekerja di tempat tergugat I,
maka tanggung jawab dan pengawasan terhadap seluruh kegiatan dan
tindakan oleh petugas yang ada di tempat tergugat I adalah menjadi
tanggung jawab I”;
“Bahwa Perbuatan TERGUGAT I dan TERGUGAT II yang telah
mengakibatkan Ananda Falya Raafani Blegur meninggal dunia adalah
Perbuatan Melawan Hukum”
8. Bahwa perlu TERGUGAT II sampaikan, jika TEST SKIN dilakukan
hanya apabila antibiotik yang digunakan termasuk kedalam Golong
Penisilin, sedangkan antibiotik yang digunakan terhadap Alm. Falya
Raafani Blegur bukan termasuk kedalam Golongan Penisilin, sehingga
tindakan Tergugat II yang tidak melakukan SKIN TEST telah sesuai
sebagaimana Surat Rekomendasi Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI)
No: 005/Rek/PP IDAI/VI/2013 tanggal 30 Juni 2013 tentang Tes Kulit
Pada Pemberian Injeksi Antibiotik pada point 1 (satu) menyebutkan:
“Tes kulit (skin test) HANYA direkomendasikan untuk antibiotik
golongan penisilin, harus menggunakan Penisilin dan metabolitnya yang
telah terbukti menimbulkan reaksi alergi”;
Sehingga jelas tindakan TERGUGAT II terbutkti telah sesuai dengan
kaidah ilmu kedokteran dan standard Profesi yang tinggi (Standard
Operation Prosedure);
9. Bahwa apabila Tergugat II melakukan penanganan pasien tidak
berdasarkan pada kaidah ilmu kedokteran, standard dan etika Profesi,
maka seharusnya dibuktikan dengan adanya Surat yang dikeluarkan
oleh suatu Badan atau Lembaga yang menunjukkan kesalahan
Tergugat II, bukan dengan memberikan asumsi-asumsi yang tidak
berdasar;
10. Bahwa oleh karena tidak adanya Pernyataan dan/atau Surat yang
dikeluarkan oleh suatu Badan atau Lembaga yang menyatakan bahwa
Tergugat II dalam mejalankan praktek kedokteran tidak sesuai dengan
kaidah ilmu kedokteran, standard dan etika Profesi, maka jelas tidak
ada Perbuatan Melawan Hukum yang dilakukan oleh Tergugat II dan
Tergugat I;
Halaman 14 dari 34 halaman putusan perkara Perdata Nomor 462/PDT/2016/PT.BDG.
11. Bahwa demikian halnya dengan Permohonan Sita Jaminan yang
dimohonkan PENGGUGAT adalah sangat tidak berdasar hukum, oleh
karena adapun Sita Jaminan atau Conservatoir Beslag didasarkan pada
pasal Pasal 227 ayat (1) HIR, yang menyebutkan:
“Jika ada dugaan yang beralasan, bahwa seorang debitur, sebelum
keputusan hakim yang mengalahkannya dijatuhkan atau boleh
dijalankan, mencari akal untuk menggelapkan atau melarikan
barangnya, baik yang tak bergerak maupun yang bergerak; dengan
maksud untuk menjauhkan barang itu dari kreditur atas surat
permintaan orang yang berkepentingan, ketua pengadilan boleh
memberi perintah, supaya disita barang itu untuk menjaga hak orang
yang memerlukan permintaan itu; kepada si peminta harus
diberitahukan bahwa ia harus menghadap persidangan pengadilan
negeri berikutnya untuk mengajukan dan menguatkan gugatannya”;
12. Bahwa kemudian M. Yahya Harahap, S.H., dalam bukunya yang
berjudul Hukum Acara Perdata Tentang Gugatan, Persidangan,
Penyitaan, Pembuktian, dan Putusan Pengadilan, pada Hal. 339,
menyebutkan:
“...berdasarkan Pasal 227 ayat (1) HIR, sita jaminan hanya dapat
diterapkan dalam perkara utang-piutang”;
13. Bahwa selain dari pada itu, permohonan sita Jaminan terhadap
Sebidang Tanah dan Bangunan yang berdiri diatasnya setempat
dikenal dengan nama Rumah Sakit Awal Bros Bekasi milik
TERGUGAT I terletak di Jl. KH. Nur Ali Kav. 17-18, Kalimalang, Bekasi
17144 adalah sangat mengada – ada sebab sebidang tanah dan
bangunan sebagaimana di uraikan tersebut bukan merupakan harta
kekayaan TERGUGAT I melainkan harta kekayaan milik PT. FAMON
GLOBAL AWAL BROS, oleh karenanya adalah keliru dengan
memohonkan Sita Jaminan terhadap harta kekayaan orang atau
Badan yang bukan merupakan Pihak dalam perkara A quo;
14. Bahwa dengan demikian Permohonan Sita Jaminan yang dimohonkan
PENGGUGAT adalah sangat mengada-ada, dan oleh karenanya
sudah sepatutnya Majelis Hakim Yang Mulia Pemeriksa Perkara
aquo Menolak Permohonan Sita Jaminan yang dimohonkan oleh
Halaman 15 dari 34 halaman putusan perkara Perdata Nomor 462/PDT/2016/PT.BDG.
PENGGUGAT;
Berdasarkan Argumentasi-argumentasi hukum tersebut diatas, maka telah
cukup kiranya TERGUGAT I dan TERGUGAT II mohon kepada Majelis Hakim
Pemeriksa Perkara ini agar berkenan memberikan putusan dengan amar
sebagai berikut:
DALAM EKSEPSI:
1. Menerima Eksepsi Tergugat I dan Tergugat II;
2. Menyatakan Gugatan Penggugat tidak dapat diterima (Niet Onvankelijk
Verklaard);
DALAM POKOK PERKARA:
1. Menolak Gugatan PENGGUGAT untuk seluruhnya;
2. Menghukum PENGGUGAT untuk membayar biaya perkara yang timbul
akibat perkara ini; Atau, ex aequo et bono;
Menimbang, bahwa atas gugatan Terbanding semula Penggugat
tersebut, Pengadilan Negeri Bekasi telah menjatuhkan putusan tanggal 27 Juni
2016 Nomor 630/Pdt.G/2015/PN.Bks. yang amarnya sebagai berikut:
Dalam Eksepsi:
- Menolak eksepsi dari Tergugat I dan Tergugat II untuk seluruhnya;
Dalam Pokok Perkara:
1. Mengabulkan gugatan Penggugat sebagian;
2. Menyatakan Tergugat I dan Tergugat II telah melakukan perbuatan melawan
hukum;
3. Menghukum Tergugat I dan Tergugat II untuk membayar ganti-rugi materil
secara tanggung renteng kepada Penggugat sebesar Rp.205.500.000,-
(dua ratus lima juta lima ratus ribu rupiah);
4. Menghukum Tergugat I dan Tergugat II membayar biaya perkara secara
tanggung rentang sejumlah Rp.406.000,-(empat ratus enam ribu rupiah);
5. Menolak gugatan Penggugat untuk lain dan selebihnya;
Menimbang, bahwa berdasarkan Risalah Pernyataan Permohonan
Banding Nomor 630/PDT.G/2015/PN.BKS. Jo. Nomor 60/Bdg/2016/PN.Bks.
yang dibuat dihadapan Bebet Ubaedilah Affandi, S.H., M.H. Panitera
Halaman 16 dari 34 halaman putusan perkara Perdata Nomor 462/PDT/2016/PT.BDG.
Pengadilan Negeri Bekasi yang menerangkan bahwa pada tanggal 1 Juli 2016
Kuasa Hukum Para Tergugat menyatakan memohon banding terhadap Putusan
Pengadilan Negeri Bekasi tanggal 27 Juni 2016 dengan Nomor
630/Pdt.G/2015/PN.Bks., pernyataan banding tersebut telah diberitahukan
kepada Kuasa Hukum Terbanding semula Penggugat pada tanggal 22 Juli
2016;
Menimbang bahwa Kuasa Hukum Para Pembanding semula Para
Tergugat telah mengajukan Memori Banding tertanggal 5 Agustus 2016, yang
pada pokoknya telah menguraikan sebagai berikut:
A. Hakim Judex Factie salah dan keliru dalam menilai dan memberi
pertimbangan hukum mengenai eksepsi:
1. Bahwa Para Pembanding berkeberatan dan menolak pertimbangan-
pertimbangan hukum dan amar putusan aquo karena Hakim tingkat
pertama telah salah dan bertentangan dengan peraturan perundang-
undangan yang berlaku;
2. Bahwa Para Pembanding keberatan dengan pertimbangan hukum
dalam Eksepsi halaman 25 - 26 yang salah dan keliru karena:
1. Bahwa pengertian rumah sakit berdasarkan Undang-Undang No. 44
Tahun 2009 tentang “Rumah Sakit” adalah Institusi pelayanan
kesehatan seseorang secara paripurna yang menyediakan
pelayanan rawat inap, rawat jalan dan gawat darurat yang didirikan
oleh swasta harus berbentuk badan hukum dan dapat berbentuk
perseroan terbatas atau yayasan sebagaimana diatur dalam pasal
18 Undang-Undang No. 40 tahun 2007 tentang “Perseroan
Terbatas”;
2. Bahwa Rumah Sakit Awal Bros Bekasi didirikan oleh Perseroan
Terbatas Famon Global Awal Bros berbentuk badan hukum yang
didirikan menurut hukum Indonesia dan kegiatan usahanya sesuai
dengan Anggaran dasar perumahsakitan;
3. Bahwa doktrin Ultra-Vires adalah “suatu hak mengatur tentang
kewenangan Perseroan yang diwakili oleh Organ Perseroan dengan
berlandaskan pada kedudukan masing-masing Direksi dalam
susunan organ perseroan” sedangkan Rumah Sakit tidak termasuk
dalam organ perseroan dan juga bukan sebagai pemegang
saham, melainkan institusi perawatan kesehatan yang menyediakan
Halaman 17 dari 34 halaman putusan perkara Perdata Nomor 462/PDT/2016/PT.BDG.
pelayanan kesehatan;
4. Bahwa Teori Corporate Piercing Veil adalah “suatu proses untuk
membebani tanggung jawab ke pundak orang atau perusahaan lain
atas perbuatan hukum yang dilakukan oleh suatu perusahaan
pelaku (badan hukum)”;
5. Bahwa dalam kondisi tertentu/khusus Teori Corporate Piercing Veil
dapat diterapkan apabila:
- Terjadinya penipuan;
- Didapatkan suatu ketidakadilan;
- Terjadinya suatu penindasan (Oppression);
- Tidak memenuhi unsur hukum (illegality);
- Dominasi pemegang saham yang berlebihan;
- Perusahaan merupakan alter ego dari pemegang saham
mayoritas;
6. Teori Organ dari Otto Von Gierke dan ajaran kenyaataan yuridis dari
Meyers menjelaskan bahwa “Badan hukum dalam tata hukum
dianggap sebagai subjek hukum yang terpisah dengan anggotanya;
7. Bahwa yang dapat dimintai peertanggungjawaban secara hukum
yaitu badan hukum (Vight Persoon), ic. PT. Famon Global Awal
Bros sedangkan Rumah Sakit bukan merupakan Badan Hukum
sehingga tidak dimintai pertanggungjawaban secara hukum (Vide
Bukti T.1, T.II-1);
3. Dipertegas oleh Yurisprudensi Mahkamah Agung RI No. 268.K/Sip/1980
yang menyebutkan:
“Dalam gugatan mengenai kewajiban hukum yang menjadi tanggung
jawab Perseroan Terbatas harus disebutkan pengurusnya yang
sekarang, sebab tanggung jawab suatu Badan Hukum melekat pada
Badan Hukum itu sendiri”;
4. Dengan demikian Hakim tingkat pertama dalam memberikan
pertimbangan hukum dalam eksepsi telah salah dan keliru dan
merupakan alas an hukum yang dibenarkan Undang-Undang guna
dipertimbangkan oleh Pengadilan Tiinggi Bandung;
B. Mengenai Asas Lex Specialis Derogat Legi Generalis sehingga
menimbulkan Inkonsistensi asas Pertanggungjawaban Perdata;
Halaman 18 dari 34 halaman putusan perkara Perdata Nomor 462/PDT/2016/PT.BDG.
Bahwa Para Pembanding keberatan terhadap pertimbangan hukum
Putusan Pengadilan Negeri Bekasi pada halaman 28 paraf ke-3 karena:
1. Pengertian Asas Lex Specialis derogate Legi Generali adalah
penafsiran hukum yang menyatakan hukum khusus
mengenyampingkan hukum yang umum;
2. Bahwa seharusnya hakim tingkat pertama menilai apakah telah terjadi
kelalaian dan kesalahan dokter rumah sakit Pembanding I yang secara
medis merupakan suatu Perbuatan Melawan Hukum?;
3. Bahwa berdasarkan Undang-Undang No. 36 Tahun 2014 tentang
tenaga kesehatan pasal 49 mengatur tentang tenaga kesehatan dalam
penyelenggaraan praktek, konsil masing-masing tenaga medis setelah
menerima pengaduan, melakukan pemeriksaan kemudian memutuskan
serta menentukan ada tidaknya kesalahan atau kelalaian tersebut;
4. Bahwa karena belum ada hasil pemeriksaan dari konsil mengenai ada
tidaknya kesalahan dan/ataukelalaian oleh dokter rumah sakit Awal
Bros karenanya gugatan yang demikian terbukti Premature;
Hakim Judex Factie Telah Salah dan Keliru Mengenai
Pertanggungjawaban;
5. Bahwa kekeliruan Judex Factie dalam memformulasikan kaedah hukum
pertanggungjawaban hukum dalam pasal 46 Undang-Undang No. 44
Tahun 2009 Tentang Rumah Sakit (Lex Specialis) dengan Pertanggung
jawaban Hukum dalam pasal 1365 KUHPerdata (Lex Generali)
mengakibatkan timbulnya inkonsistensi asas pertanggungjawaban
perdata sehingga tidak jelas pasal dan Undang-Undang mana yang
digunakan sebagai dasar pertimbangan hukum majelis Hakim dalam
memutus perkara a quo;
6. Pertimbangan hukum tingkat pertama tentang pasal 46 Undang-Undang
No. 44 Tahun 2009 Tentang Rumah Sakit disebutkan “Rumah Sakit
bertanggung jawab secara hukum terhadap semua kerugian yang
ditimbulkan atas kelalaian yang dilakukan oleh tenaga kesehatan di
rumah sakit” Unsur kelalaian harus dibuktikan terlebih dahulu
untuk dapat membebankan pertanggung jawaban kepada Pembanding I
sesuai dengan asas Libility base on fault;
Halaman 19 dari 34 halaman putusan perkara Perdata Nomor 462/PDT/2016/PT.BDG.
7. Bahwa tidak tepat pertimbangan tingkat pertama pada halaman 25
paragraf 5 tentang pertanggungjawaban Rumah Sakit secara hukum
berkaitan penyembuhan pasien dan pemulihan keadaan cacat badan
dan jiwa padahal Para Pembanding telah berusaha keras dan
memberikan pelayanan kesehatan serta melayani secara baik dan
benar;
8. Bahwa Perikatan yang timbul akibat terjadinya hubungan terapeutik
dimana Rumah Sakit hanya dibebani kewajiban oleh hukum untuk
memberikan upaya keras dan benar supaya pengobatan berhasil bukan
hasil;
9. Bahwa berdasarkan doktrin Contraktual liability yang menjelaskan
bahwa dalam hubungan terapeutik, kewajiban atau prestasi tidak dinilai
dari hasil tetapi upaya maka pertanggungjawaban hukum Rumah Sakit
terjadi apabila dokter melakukan kesalahan (dokter) oleh karena
Malpraktek berarti pelaksanaan yang dilakukan secara sengaja,
kecerobohan atau kelalaian, karenanya adalah keliru apabila
Pembanding I dianggap ikut bertanggungjawab secara hukum sebab
tindakan medik yang dilakukan oleh Pembanding II merupakan upaya
penyembuhan;
10. Bahwa tidak beralasan dan keliru tingkat pertama yang
mengenyampingkan dalil Para Pembanding/Para Tergugat dengan
alasan kepastian hukum padahal pertibangan Pengadilan Negeri Bekasi
justru mencerminkan ketidak pastian hukum dalam penerapan asas-
asas hukum dan peraturan perundang-undangan;
Penilaian Judex Factie Terhadap Alat Bukti Bersifat Subjektif. Karena
Tidak Didasarkan Pada Fakta-Fakta Dan Bukti-bukti Yang Sebenarnya
Terungkap Di Persidangan;
11. Pertimbangan Hukum tingkat pertama pada halaman 28 alinea ke-5
adalah pertimbangan keliru karena seolah-olah keterangan saksi Aliyah
adalah keterangan seorang ahli padahal kesaksian saksi Aliyah adalah
fakta mengenai berat badan Ananda Falya Raafani Blegur yang terus
menerus turun dengan berat terakhir 8,2 Kg yang tidak sesuai dengan
berat badan anak seusianya, yaitu 10 Kg;
Halaman 20 dari 34 halaman putusan perkara Perdata Nomor 462/PDT/2016/PT.BDG.
12. Bahwa bukan merupakan kapasitas dari saksi Aliyah untuk menyatakan
apakah seseorang mengalami gizi buruk atau tidak dan terbukti dari
pertimbangan hukum tingkat pertama halaman 18 aliniea ke-5;
13. Bahwa kekeliruan Majelis Hakim Pengadilan Negeri Bekasi juga terlihat
dalam pertimbangan hukumnya pada hal. 29 aliniea ke 4 dan 5 dan dari
pertimbangan hukum tsb terbukti bahwa Hakim Judex Factie
mendasarkan pada pertanyaan dari Dr. Kuncoro Sp.An, dimana
Pembanding II menyatakan rekomendasi IDAI pemberian injeksi
antibiotic tidak diperlukan skin test, namun disisi lain Majelis Hakim
menimbang bahwa dalam pemberian antibiotic terhadap Ananda Falya
Raafani Blegur merupakan suatu kelalaian;
14. Bahwa Hakim tidak membaca dan memeriksa secara lengkap Hasil
Audit Komite Medik RS Awal Bros (Vide bukti TI, TII-6) sebagai
pertimbangan hukum karena setiap bagian Hasil Audit Komite Medik RS
Awal Bros adalah merupakan satu kesatuan yang tidak dapat
dipisahkan dan menyatakan bahwa Pembanding II/Tergugat II dalam
menangani Ananda Falya telah sesuai dengan Standard Operasional
Prosedure dan tidak ditemukan pelanggaran dan/atau kesalahan dalam
pemberian Antibiotik sehingga Pertimbangan Hukum Judex Factie tidak
didasarkan pada bukti-bukti dan fakta-fakta yang terungkap di
persidangan;
Produk Yang Digunakan Terhadap Pasien adalah Tricefin 1 G/10 ML
Dengan Bets 4608501, Produksi Maret 2015, Ed Maret 2018 sebanyak
1 Vial Sesuai Berita Acara Verifikasi Badan POM RI tanggal 02
November 2015;
15. Bahwa Majelis Hakim keliru dan atau tidak cermat dalam memberikan
pertimbangan hukum pada hal. 31 aliniea pertama dan sesuai dengan
Surat Bukti T I, T II 3b yaitu surat hasil verifikasi oleh Badan POM RI
tanggal 02 November 2015 adalah produk Tricevin 1 g/10 mL dengan
bets 460851, Produksi Maret 2015, ED Maret 2018 sebanyak 1 Vial dan
berdasarkan verifikasi oleh Badan POM RI tanggal 02 November 2015
angka II point b: produk yang digunakan untuk pasien Alm Falya
Raafani Blegur dapat ditelusuri yaitu adalah produk Tricefin 1 g/10 mL
dengan bets 4608501, Produksi Maret 2015, ED (Expired Date) Maret
2018 sebanyak 1 Vial;
Halaman 21 dari 34 halaman putusan perkara Perdata Nomor 462/PDT/2016/PT.BDG.
16. Bahwa Majelis Hakim keliru memahami pengertian pada angka II (dua)
poin c dalam bukti T I, T II-3b Surat verifikasi oleh Badan POM RI
tanggal 02 November 2015 disebut kartu “Stok” tidak tertelusur no bets
dan ED produk karena seharusnya Majelis Hakim membedakan antara
produk yang sudah dipakai dan atau sudah digunakan terhadap pasien
Alm. Falya Raafani Blegur dengan STOK yang artinya produk yang
belum digunakan (persediaan) karena produk yang digunakan terhadap
pasien Alm. Falya Raafani Blegur sudah diverifikasi oleh Badan POM RI
yaitu produk Tricefin 1 g/10 mL dengan bets (kode produksi) 460851,
Produksi Maret 2015, ED (Expired Date) Maret 2018 sebanyak 1 vial,
No Registrasi DKM 9505015644C1, Produksi PT. Dexa Medica, Jl
Letjen Bambang Utoyo 138, Palembang, Distributor PT. Anugerah
Argon Medica (AAM);
17. Bahwa produk Tricefin Injeksi 1 g/10 mL berupa persediaan barang
(Stok) dan atau yang belum digunakan maka untuk melihat No. Batch
dan ED (Expired Date) Produk melekat pada tiap-tiap produk
sedangkan yang dimaksud dengan kartu stok adalah pencatatan
persediaan pada kartu secara keseluruhanterhadap stok atau
persediaan yang belum digunakan dan terhadap produk yang
digunakan selalu tercatat sehingga dapat ditelusuri oleh Badan POM RI;
18. Bahwa di dalam pertimbangan disebutkan “apakah ada indikasi yang
digunakan untuk Pasien a.n Falya Raafani Blegur pada jam 13.00 dst..”
padahal Bukti Surat T I, T II-3b poin b menerangkan bahwa “Tricefin
yang digunakan untuk pasien a.n Falya Raafani Blegur pada tanggal 29
Oktober 2015 adalah Tricefin 1g/10 mL adalah bets 4608501, Produksi
Maret 2015, ED Maret 2018 sebanyak 1 vial”, sehingga pertimbangan
Judex Factie keliru tanpa mencermati Bukti Surat T I, T II-3b berupa
surat hasil verifikasi oleh Badan POM RI tanggal 02 Nopember 2015
secara keseluruhan dan atau hanya didasarkan pada persangkaan-
persangkaan yang tidak berdasar;
19. Bahwa berdasarkan hasil telaah oleh Komite Medik RS Awal Bros
sesuai dengan bukti T I, T II-6, tidak ada satu poin pun yang
menyatakan bahwa atas dasar tindakan Pembanding II sehingga
mengakibatkan Alm. Falya Raafani meninggal dunia;
20. Bahwa saat masuk perawatan di tempat Pembanding I, Alm. Falya
Halaman 22 dari 34 halaman putusan perkara Perdata Nomor 462/PDT/2016/PT.BDG.
Raafani Blegur didiagnosa “Diare akut dehidrasi ringan sedang, intake
sulit dan gizi kurang”. Dari hasil perawatan tsb menunjukkan dehidrasi
Alm. Falya Raafani Blegur telah teratasi akan tetapi kondisi Alm. Falya
Raafani BLegur tetap mengalami perburukan karena proses infeksi
hebat yang masih berjalan sehingga pasien mengalami Syok Septik,
suhu tubuh yang cendrung hipotermi, Encefalopati metabolic (gula
darah dan electrolit turun berulang yang sulit diatasi), Pneumonia dan
berakhir dengan Multi Organ Failure dan kematian;
21. Bahwa penyebab perburukan tsb bukanlah disebabkan oleh rekasi
alergi (anafilatik) dari pemberian antibiotic yang diberikan Para
Pembanding, oleh karena tidak ditemukannya gejala-gejala klinis yang
mendukung tejadinya syok anafilatik dan pasen bertahan sampai 3 hari.
Pemberian antibiotika tsb telah diinformasikan dan mendapat
persetujuan dari orang tua Alm. Falya Raafani Blegur (ibu Pasien) (Vide
bukti T.I.T.II-6);
22. Bahwa karena Para Pembanding Tidak Terbukti melakukan kelalaian,
kekeliruan dan perbuatan melawan hukum maka tidak dapat
dibebankan ganti kerugian, terlebih Biaya Sirih Pinang senilai
Rp. 150.000.000,- yang dikemukakan dalam proses mediasi yang
diketengahi oleh Dinas Kesehatan Kota Bekasi tidak dapat
dipertimbangkan ke ranah Pengadilan;
23. Hal tsb sesuai dengan Perma No. 1 Tahun 2016 tentang Prosedur
Mediasi di Pengadilan, pasal 35 ayat 3 : “Jika Para Pihak tidak berhasil
mencapai kesepakatan, pernyataan dan pengakuan Para Pihak dalam
proses Mediasi tidak dapat digunakan sebagai alat bukti dalam proses
persidangan perkara”;
24. Bahwa berdasarkan uraian di atas, maka tidak beralasan dan kekeliruan
Hakim tingkat pertama yang demikian merupakan alasan hukum yang
dibenarkan oleh Undang-Undang guna diperiksa kembali fakta-fakta
dan bukti-bukti yang terungkap di persidangan dan dipertimbangkan
kembali oleh Pengadilan Tinggi Bandung;
Bahwa berdasarkan dalil-dalil dan alasan-alasan yang kami kemukakan di atas
Para Pembanding Mohon kepada Majelis Hakim Tingkat Banding pada
Pengadilan Tinggi Bandung berkenan memeriksa Perkara ini untuk selanjutnya
Halaman 23 dari 34 halaman putusan perkara Perdata Nomor 462/PDT/2016/PT.BDG.
memberikan putusan dengan amar sebagai berikut:
1. Menerima Permohonan Banding dari Para Pembanding/Para Tergugat
untuk seluruhnya;
2. Membatalkan Putusan Pengadilan Negeri Bekasi No. 630/Pdt.G/2015/ PN.
Bks. Tanggal 27 Juni 2016;
MENGADILI SENDIRI
- Menolak gugatan Terbanding/Penggugat seluruhnya;
- Menghukum Terbanding/Penggugat untuk membayar biaya perkara ini:
Memori Banding Para Pembanding semula Para Tergugat tersebut di
atas telah diterima di Kepaniteraan Pengadilan Negeri Bekasi pada tanggal 5
Agustus 2016, dan salinannya telah diberitahukan dan diserahkan kepada
Terbanding semula Penggugat atau Kuasanya pada tanggal 23 Agustus 2016;
Menimbang bahwa atas Memori Banding tersebut Kuasa Hukum
Terbanding semula Penggugat telah pula mengajukan Kontra Memori Banding
pada tanggal 6 September 2016 dan telah diterima di Kepaniteraan Pengadilan
Negeri Bekasi pada tanggal 6 September 2016 yang pada pokoknya telah
menguraikan sebagai berikut:
A. TENTANG PERTIMBANGAN HUKUM HAKIM JUDEX FACTIE MENGENAI
EKSEPSI;
1. Bahwa keberatan Pembanding Huruf A No. 1 dan 2 yang menilai keliru
Hakim Judex Factie mengenai tanggung jawab Perseroan adalah
penilaian atas ketidaktahuan para Pembanding karena:
1.1. Bahwa Undang-Undang No. 44 tahun 2009 Tentang Rumah Sakit
Pasal 46 bagian Ketujuh tentang Tanggung Jawab Hukum Rumah
Sakit terhadap semua kerugian akibat kelalaian oleh tenaga
kesehatan di Rumah Sakit;
1.2. Bahwa berdasarkan Jurisprudensi MARI No. 957 K/Pdt/2006 pada
pokoknya Rumah Sakit Cinere adalah PIHAK;
1.3. Bahwa Para Pembanding banyak menyampaikan teori terkait
dengan Pertanggungjawaban hukum adalah merupakan Hak
Para Pembanding, namun dari Pembelaan Pembanding yang ingin
Halaman 24 dari 34 halaman putusan perkara Perdata Nomor 462/PDT/2016/PT.BDG.
mengaburkan Tanggungjawab Hukum Rumah Sakit seolah-olah
pemilik Rumah Sakit adalah PT. Famon Global Awal Bros adalah
mencederai Tujuan dibentuknya Hukum itu sendiri;
1.4. Bahwa UU No. 44 Tahun 2009 dibentuk dengan Pertimbangan-
Pertimbangan sebagai berikut:
a. Bahwa pelayanan kesehatan merupakan hak setiap orang
yang dijamin dalam UUD Negara RI Tahun 1945 yang harus
diwujudkan dengan upaya peningkatan derajat kesehatan
masyarakat yang setinggi-tingginya;
b. Bahwa Rumah Sakit adalah institusi pelayanan kesehatan bagi
masyarakat dengan karakteristik tersendiri yang dipengaruhi
oleh perkembangan ilmu pengetahuan kesehatan, kemajuan
tehnology, dan kehidupan social ekonomi masyarakat yang
harus tetap mampu meningkatkan pelayanan yang lebih
bermutu dan terjangkau oleh masyarakat agar terwujud derajat
kesehatan yang setinggi-tinginya;
c. Bahwa dalam rangka peningkatan mutu dan jangkauan
pelayanan Rumah Sakit serta pengaturan hak dan kewajiban
masyarakat dalam memperoleh pelayanan kesehatan, perlu
mengatur Rumah Sakit dengan Undang-Undang;
d. Bahwa pengaturan rumah sakit belum cukup memadai untuk
dijadikan landasan hokum dalam penyelengaraan rumah sakit
sebagai institusi pelayanan kesehatan bagi masyarakat;
e. Bahwa berdasarkan pertimbangan dalam huruf a, b c, dan d
serta untuk memberikan kepastian hokum bagi masyarakat
dan Rumah Sakit, perlu membentuk Undang-Undang Rumah
Sakit;
1.5. Bahwa pembentukan UU No. 44 Tahun 2009 juga mengingat
Pasal 5 ayat (1), Pasal 20, Pasal 28H ayat (1), dan Pasal 34 ayat
(3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945;
1.6. Bahwa pertimbangan Hukum diundangkannya UU No. 44 Tahun
2009 huruf e adalah keinginan Negara memberikan Kepastian
Hukum Kepada Rakyatnya;
Halaman 25 dari 34 halaman putusan perkara Perdata Nomor 462/PDT/2016/PT.BDG.
1.7. Bahwa Perbuatan Melawan Hukum Para Pembanding
mengakibatkan meninggalnya Ananda Falya Raafani Blegur
Ananda dari Ibrahim Blegur (Terbanding);
2. Dengan demikian Hakim JudexFactie tingkat pertama sudah benar
memberikan pertimbangan hukum dalam eksepsinya;
Dan yang demikian sudah sepatutnya dibenarkan oleh Undang-Undang
dan mohon diperkuat oleh yang mulia Majelis hakim Pengadilan Tinggi
Bandung;
B. MENGENAI ASAS LEX SPECIALIS DEROGAT LEGI GENERALI:
1. Bahwa Pembanding dalam memori Bandingnya angka 5.1 s.d 5.4 yang
mempertanyakan penilaian dan pertimbangan Hakim Judex Factie
tingkat pertamayang mengesampingkan permohonan Pembanding
I/Tergugat I dan Pembanding II/Tergugat II berupa prematurnya
Gugatan Penggugat/Terbanding;
2. Bahwa Pembanding dalam memori Bandingnya Undang-Undang No. 36
Tahun 2014 Tentang Tenaga Kesehatan adalah Undang-Undang yang
berlaku khusus, dan kesalahan harus dibuktikan terlebih dahulu melalui
konsilmasing-masing tenaga kesehatan adalah upaya Pembanding
untuk mengaburkan permasalahan yang sebenarnya;
3. Bahwa sesungguhnya dan sebenar-benarnya Terbanding/Penggugat
telah memahamidan mengetahuimaksud pasal 49 Undang-Undang No.
36 tahun 2014 tentang tenaga Kesehatan yang menyebutkan bahwa
konsil masing-masing Tenaga Kesehatan menerima pengaduan,
memeriksa dan memutus kasus-kasus PELANGGARAN DISIPLIN
Tenaga Kesehatan;
4. Bahwa Terbanding menyadari kewenangan konsil untuk memeriksa
PELANGGARAN DISIPLIN sehingga Terbnding mengadukan ke Majelis
Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonersia pada tanggal 11 Nopember
2015 dengan Nomor Register Pengaduan : 34/P/MKDKI/XI/2015,
namun sampai dengan putusan Pengadilan Negeri dibacakan dan
sampai Kontra Memori Banding ini dibuat belum ada tanggapan apapun
dari Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia;
5. Bahwa Konsil masing-masing tenaga kesehatan mempunyai wewenang
sebagaimana diatur di dalam pasal 37 dan pasal 38 Undang-Undang
No. 36 Tahun 2014 Tentang Kesehatan;
Halaman 26 dari 34 halaman putusan perkara Perdata Nomor 462/PDT/2016/PT.BDG.
6. Bahwa pasal 37 dan pasal 38 Undang-Undang No. 36 Tahun 2014
adalah merupakan kewenangan yang diberikan oleh Undang-Undang
terhadap konsil masing-masing tenaga kesehatan yang bersifat internal
dan administrative dan tidak memberikan kewenangan kepada Konsil
menyidangkan suatu Perbuatan Melawan Hukum sebagaimana yang
dirumuskan di dalam Pasal 1365 KUHPerdata;
Dengan demikian Pertimbangan Yang mulia Majelis Hakim Pengadilan
Negeri halaman 28 paragraf ke-3 merupakan pertimbangan hokum yang
seharusnya, dan mohon diperkuat oleh Yang Mulia Majelis hakim
Pengadilan Tinggi Bandung;
C. MENGENAI PERTANGGUNGJAWABAN:
1. Bahwa PembandingI dan II dalam Memori Bandingnya angka 6 s.d 11
yang mempertanyakan penilaian dan pertimbangan Hakim tingkat
pertama tentang Pertanggungjawaban Hukum menurut KUHPerdata
pasal 1365;
2. Bahwa Perbuatan Melawan Hukum harus dibuktikan terlebih dahulu
kelalaiannya, namun Para Pembanding tidak pernah membantah fakta
yang diajukan Terbanding dalam gugatan diantaranya lalai dalam
prosedur memberikan antibiotic, lambat merespon keluhan Penggugat,
tidak memenuhi hak-hak Pasien dan menjalankan kewajiban sebagai
Dokter seperti yang diatur dalam Undang-Undang Rumah Sakit Pasal
32 huruf (J) yang berbunyi bahwa Pasien berhak mendapatkan
informasi yang meliputi diagnosis dan taatacara tindakan medis, tujuan
tindakan medis, alternative tindakan, Resiko dan komplikasi tindakan
yang dilakukan serta memperkirakannya biaya Pengobatan”,Jo Undang-
Undang Nomor 36 tahun 2014 Tentang Tenaga Kesehatan Pasal 59
ayat (1) dan Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik
Kedokteran, Pasal 52 huruf a menyebutkan : “Pasien, dalam menerima
pelayanan pada praktik kedokteran mempunyai hak:
a. Mendapatkan penjelasan secara lengkap tentang tindakan medis
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 45 ayat (3)” yaitu:
a. Diagnosis dan tata cara tindakan medis;
b. Tujuan tindakan medis yang dilakukan;
c. Alternative tindakan lain dan resikonya
d. Risiko dan komplikasi yang mungkin terjadi dan;
Halaman 27 dari 34 halaman putusan perkara Perdata Nomor 462/PDT/2016/PT.BDG.
e. Prognosis terhadap tindakan yang dilakukan;
3. Bahwa suatu perbuatan, adalah Perbuatan Melawan Hukum yang
memenuhi pasal 1365 KUHPerdata jika di dalam perbuatan tersebut
memenuhi unsur:
a. Perbuatan;
b. Kesalahan;
c. Kerugian;
d. Hubungan sebab akibat antara kesalahan dengan kerugian yang
ditimbulkan;
4. Karena Perbuatan Melawan Hukum adalah suatu tindakan yang diatur
di dalam KUHPerdata, maka benar kiranya bahwa Peradilan Perdata
dapat memutus suatu perbuatan yang Melawan Hukum yang
mengakibatkan meninggalnya Ananda Falya Raafani Blegur;
Dan yang demikian sudah sepatutnya dibenarkan oleh Undang-Undang
dan mohon diperkuat oleh Yang Mulia Majelis Hakim Pengadilan Tiinggi
Bandung;
D. TENTANG ALAT BUKTI:
1. Bahwa Pembanding I dan II dalam Memori Bandingnya angka 12 s.d.16
yang mempertanyakan pertimbangan Hakim Tingkat pertama terhadap
alat bukti yang menurut Pembanding I dan II bersifat subjektif karena
tidak didasarkan pada fakta-fakta dan bukti-bukti yang sebenarnya
terungkap di persidangan;
2. Bahwa Pembanding I dan II saat persidangan berlangsung tidak datang
langsung untuk memberikan kesaksian sesuai keahlian mereka
khususnya Pembanding II yang berprofesi sebagai Dokter anak dan
pelaku kesehatan yang menangani Ananda Falya Rafani yang dengan
kedatangannya diharapkan jelas dan benar;
3. Bahwa atas Kesaksian Wawan Irawan S (dibawah sumpah) yang
merupakan tetangga orang tua Almarhumah Ananda mempunyai gejala
sakit yang sama yaitu buang-buang air dan anak saksi dibawa ke RS
Mitra Keluarga Bekasi kurang lebih satu minggu, saat anak saksi akan
diberikan suntikan Anti Biotik, Rumah Sakit melakukan Skin Test
terlebih dahulu ke anak saksi dan saksi diberikan informasi yang
lengkap tentang tindakan yang akan diambil oleh Rumah Sakit yang
Halaman 28 dari 34 halaman putusan perkara Perdata Nomor 462/PDT/2016/PT.BDG.
bertujuan untuk mengetahui anaknya Alergi atau tidak dengan obat
yang akan diberikan;
4. Fakta yang dialami oleh orang tua Almarhumah Ananda Falya tidak
mendapatkan perlakuan yang sama yaitu tidak mendapatkan
penjelasan dari Para Pembanding tentang tata cara tindakan medis,
Tujuan tindakan medis serta Risiko Tindakan medis yang akan
diberikan sesuai peraturan Perundang-undangan sebagaimana tersebut
di atas, yang bertujuan untuk mengetahui anaknya alergi atau tidak
dengan obat yang akan diberikan;
Dengan demikian sudah sepatutnya Penilaian Judex Factie pada
Pengadilan Negeri Bekasi dibenarkan dan mohon diperkuat oleh yang
mulia Majelis hakim Pengadilan Tinggi Bandung;
E. TENTANG PRODUK ANTI BIOTIK DENGAN HASIL VERIFIKASI BADAN
POM RI TANGGAL 2 NOVEMBER 2015 YANG DITEMUKAN KARTU
STOK TIDAK TERTELUSURI NOMOR BETS DAN ED PRODUK YANG
DIGUNAKAN UNTUK PASIEN A.N ALMARHUMAH FALYA RAAFANI
BLEGUR;
1. Bahwa Pembanding I dan II dalam Memori Bandingnya angka 17 s.d 20
yang memepertanyakan penilaian dan pertimbangan Hakim tingkat
pertama terhadap Produk Anti Biotik Dengan Hasil Verifikasi Badan
POM RI tanggal 2 November 2015 yang ditemukan Kartu Stok Tidak
Terlesuri Nomor Bets Dan ED Produk Yang digunakan Untuk Pasien
A.N Almarhumah Falya Raafani Blegur;
2. Bahwa Pembanding I dan II saat menyerahkan bukti surat yang dalam
list ada beberapa kali koreksi pada bukti 3b, yang menurut
Terbanding/Penggugat sebagai bukti bahwa Pembanding/Tergugat I
dan II berusaha mencari bukti pendukung yang dapat menemukan Kartu
Stok, Nomor Bets dan ED Produk tertelusuri untuk produk anti biotik
yang diberikan ke Almarhumah Ananda Faalya, namun sampai dengan
waktu penyerahan Bukti Tertulis Nomor 3b, Pembanding I dan II tidak
dapat menemukannya, dan kesimpulan yang didapat Majelis Hakim
Pengadilan Negeri Bekasi bahwa Anti Biotik yang tidak ada Kartu Stok,
Nomor Bets dan ED Produk tersebut dipergunakan untuk pasien a.n.
Falya Raafani Blegur pada jam 13.00 WIB tanggal 29 Oktober 2015
oleh Perawat dan setelah memakai obat yang tidak tertelusuri Kartu
Halaman 29 dari 34 halaman putusan perkara Perdata Nomor 462/PDT/2016/PT.BDG.
Stok, Nomor Bets dan ED Produk tersebut meninggal pada pukul 06,00
WIB Tanggal 01 November 2015 karena tidak adanya ketelitian dan
kehati-hatian yang menyebabkan meninggalnya Almarhumah Ananda
Falya Raafani Blegur;
F. Bahwa dengan demikian jelas dan terang secara hukum putusan Majelis
Hakim Pengadilan Negeri Bekasi di dalam pertimbangan hukumnya telah
sesuai dengan duduk Perkara (Feitelijk Groenden) dan begitu juga
pertimbangan Tentang Hukumnya (Recht Gronden) sesuai dengan analisa
hukum dalam perkara ini;
Berdasarkan alasan-alasan hukum Kontra Memori Banding sebagaimana
tersebut di atas, maka dengan ini Terbanding/Penggugat mohon kehadapan
Majelis Hakim Pengadilan Tinggi Bandung berkenan mengambil Putusan
hukum dalam perkara ini dengan dictumnya sebagai berikut:
1. Menolak Permohonan Banding dari Pembanding I dan Pembanding II
untuk seluruhnya;
2. Menguatkan Putusan Pengadilan Negeri Bekasi Nomor:
630/Pdt.G/2015/PN.Bks tertanggal 27 Juni 2016, dan menambah
Hukuman Pembanding I dan Pembanding II sesuai Kerugian Material dan
Immaterial Terbanding;
3. Menghukum Pembanding I dan II untuk membayar segala biaya yang
timbul dalam perkara ini serta perkara Banding;
Atau:
Apabila Majelis Hakim di Pengadilan Tinggi Bandung berpendapat lain,
maka kami mohon putusan yang seadil-adilnya (Ex Aequo Et Bono);
Selanjutnya Kontra Memori Banding tersebut salinannya telah pula
diberitahukan dan diserahkan kepada Kuasa Para Pembanding semula Para
Tergugat pada tanggal 20 September 2016;
Menimbang bahwa sebelum berkas perkara dikirim ke Pengadilan Tinggi
Jawa Barat guna pemeriksaan dalam tingkat banding, kepada para pihak
berperkara telah diberikan kesempatan untuk memeriksa dan mempelajari
berkas perkaranya di Kepaniteraan Pengadilan Negeri Bekasi, berdasarkan
relaas pemberitahuan mempelajari berkas perkara (inzage) dengan Nomor
630/Pdt.G/2015/PN.Bks Jo. No. 60/Bdg/2016/PN.Bks telah diberitahukan
kepada Kuasa Para Pembanding semula Para Tergugat pada tanggal 9 Agustus
Halaman 30 dari 34 halaman putusan perkara Perdata Nomor 462/PDT/2016/PT.BDG.
2016, kepada Terbanding semula Penggugat pada tanggal 22 Juli 2016, untuk
diberi kesempatan mempelajari berkas perkara dalam tenggang waktu 14 hari
dihitung sejak hari berikut dari tanggal pemberitahuan;
Tentang Pertimbangan Hukum
Menimbang, bahwa putusan Pengadilan Negeri Bekasi dengan No.
630/Pdt.G/2015/PN Bks tersebut telah dijatuhkan pada tanggal 27 Juni 2016
dengan dihadiri oleh Penggugat dan Kuasa Hukum Penggugat serta Kuasa
Hukum Tergugat I dan II, selanjutnya terhadap putusan tersebut Kuasa Para
Tergugat mengajukan permohonan banding pada tanggal 1 Juli 2016, dengan
demikian permohonan banding dari Para Pembanding semula Para Tergugat
tsb telah diajukan dalam tenggang waktu dan menurut tata cara serta memenuhi
persyaratan yang ditentukan oleh Undang-Undang, oleh karena itu secara
formal maka permohonan banding dari Para Pembanding semula Para Tergugat
tersebut dapat diterima;
Menimbang, bahwa setelah membaca dan mempelajari putusan
Pengadilan Negeri Bekasi tanggal 27 Juni 2016 dengan nomor
630/Pdt.G/2015/PN.Bks , dan berkas yang dimohonkan banding a quo Memori
Banding dari Para Pembanding semula Para Tergugat dan Kontra Memori
Banding dari Terbanding semula Penggugat yang diajukan di dalam perkara ini
maka Majelis Pengadilan Tinggi Jawa Barat akan mempertimbangkannya
sebagai berikut;
DALAM EKSEPSI:
Menimbang, bahwa Para Pembanding semula Tergugat I dan II di dalam
jawabannya telah mengajukan eksepsi yang pada pokoknya sebagaimana
tersebut di atas;
Menimbang, bahwa setelah majelis Hakim Pengadilan Tinggi Jawa Barat
mempelajari pertimbangan-pertimbangan hukum majelis Hakim Pengadilan
Negeri Bekasi terhadap Eksepsi-Eksepsi Para Pembanding semula Tergugat I
dan II, maka menurut majelis hakim tinggi Pengadilan Tinggi Jawa Barat, semua
pertimbangan majelis hakim Pengadilan Negeri Bekasi tentang eksepsi-eksepsi
tsb sudah tepat dan benar sehingga majelis Hakim Pengadilan Tinggi Jawa
Barat sependapat dengan seluruh pertimbangan tersebut dan mengambil alih
seluruh pertimbangan majelis hakim Pengadilan Negeri Bekasi tersebut;
DALAM POKOK PERKARA:
Halaman 31 dari 34 halaman putusan perkara Perdata Nomor 462/PDT/2016/PT.BDG.
Menimbang bahwa alasan-alasan yang dikemukakan Para Pembanding
semula Tergugat I dan II dalam memori bandingnya sebagaimana tersebut di
atas, yang pada pokoknya Para Pembanding semula Tergugat I dan II mohon
agar putusan Pengadilan Negeri Bekasi tersebut di atas dibatalkan dan
selanjutnya mengadili sendiri dengan menolak gugatan Terbanding semula
Penggugat dan menghukum Terbanding semulaPenggugat untuk membayar
biaya perkara;
Menimbang, bahwa demikian pula halnya dengan kontra memori banding
yang diajukan oleh Terbanding semula Penggugat sebagaimana tersebut di
atas yaitu:
1. Menolak Permohonan Banding dari Pembanding I dan Pembanding II untuk
seluruhnya;
2. Menguatkan Putusan Pengadilan Negeri Bekasi Nomor:
630/Pdt.G/2015/PN.Bks Tertanggal 27 Juni 2016, dan menambah Hukuman
Pembanding I dan Pembanding II sesuai kerugian Material dan Immaterial
Terbanding;
3. Menghukum Pembanding I dan II untuk membayar segala biaya yang timbul
dalam perkara ini serta perkara Banding;
Atau:
Apabila Majelis Hakim di Pengadilan Tinggi Bandung berpendapat lain, maka
kami mohon putusn yang seadil-adilnya (Ex Aequo Et Bono);
Maka berdasarkan hal tersebut diatas, sudah sepatutnyalah majelis
hakim tinggi Pengadilan Tinggi yang memeriksa perkara aquo memberikan
putusan sebagai berikut:
Menimbang, bahwa perselisihan hukum antara Para Pembanding
semula Tergugat I dan Tergugat II dengan Terbanding semula Penggugat pada
pokoknya sebagaimana terurai di dalam pertimbangan hukum majelis
Pengadilan Negeri Bekasi pada halaman 27 dari 35 halaman Putusan Nomor
630/Pdt.G/2015/PN.Bks yaitu suatu perikatan medis-terapeutik yang biasanya
disebut inspannings verbintenis atau perjanjian berusaha atau upaya karena
berdasarkan atas kewajiban berusaha yang prestasinya tidak mutlak sembuh
akan tetapi upaya keras supaya pengobatan berhasil;
Menimbang, bahwa majelis hakim tingkat pertama di dalam
pertimbangan hukumnya berdasarkan alat bukti yang diajukan baik saksi
maupun surat dan akhirnya telah menyimpulkan bahwa akibat kelalaian
Halaman 32 dari 34 halaman putusan perkara Perdata Nomor 462/PDT/2016/PT.BDG.
Tergugat I, Tergugat II dalam memberikan antibiotic terhadap Ananda Falya RB
telah menyebabkan Ananda Falya meninggal dunia;
Menimbang, bahwa berdasarkan hal tersebut bahwa penyebab kematian
Ananda Falya RB menurut majelis hakim tingkat pertama adalah akibat
kelalaian Pembanding II semula Tergugat II memberikan antibiotic kepada
Anada Falya RB sehingga Para Pembanding semula Tergugat I dan II harus
bertanggung jawab atas kelalaian tersebut (azas causaliteit);
Menimbang, bahwa kesimpulan majelis hakim tingkat pertama tersebut
selain surat-surat juga telah didukung pula oleh keterangan saksi I Aliyah dari
Ketua Posyandu Mawar Merah V di Kelurahan Kranji Bekasi Barat dan saksi II
Yusuf Blegur kakak dari Penggugat (ayah pasien) sebagaimana tertera di dalam
berita acara persidangan;
Menimbang, bahwa berdasarkan uraian tersebut di atas dapat ditarik
benang merahnya bahwa perselisihan hukum antara Para Pembanding semula
Tergugat I dan II dengan Terbanding semula Penggugat adalah masalah ilmu
pengetahuan tentang kedokteran (Medical Science) sehingga untuk mendapat
kepastian hukum yang berkeadilan perlu diperkuat dengan keterangan oleh
saksi ahli dari Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia (MKDKI);
Menimbang, bahwa menurut pasal 1 ayat (14) dari Undang-Undang RI
Nomor 29 Tahun 2004 Tentang Praktek Kedokteran bahwa Majelis Kehormatan
Disiplin Kedokteran Indonesia adalah Lembaga yang berwenang untuk
menentukan ada tidaknya kesalahan yang dilakukan dokter dan dokter gigi
dalam penerapan disiplin ilmu kedokteran dan kedokteran gigi dan menetapkan
sanksi;
Menimbang, bahwa menurut pasal 55 ayat (2) dan (3) MKDKI merupakan
lembaga otonom dari Konsil Kedokteran Indonesia dan dalam menjalankan
tugasnya bersifat Independen;
Menimbang, bahwa berdasarkan uraian tersebut di atas, Pembanding II
semula Tergugat II yang berprofesi sebagai Dokter Spesialis Anak di
Pembanding I semula Tergugat I telah memberikan antibiotic kepada Ananda
Falya RB harus diperiksa terlebih dahulu oleh MKDKI (Majelis Kehormatan
Disiplin Kedokteran Indonesia) apakah benar penyebab kematian Ananda Falya
RB akibat antibiotic yang dimasukkan oleh Pembanding II semula Tergugat II ke
dalam tubuh Ananda Falya RB tersebut sehingga putusan yang akan diambil
oleh majelis hakim akan bersifat objektif terhadap para pihak;
Halaman 33 dari 34 halaman putusan perkara Perdata Nomor 462/PDT/2016/PT.BDG.
Menimbang bahwa berdasarkan pertimbangan-pertimbangan tersebut di
atas, gugatan Terbanding semula Penggugat menurut majelis Hakim Tingkat
Banding terlalu cepat diajukan ke Pengadilan Negeri atau dengan kata lain
masih bersifat Premature, yang pada akhirnya jelas putusan Pengadilan Negeri
Bekasi tanggal 27 Juni 2016 dengan Nomor 630/Pdt./G/2015/PN.Bks. tidak bisa
dipertahankan lagi dan harus dibatalkan, karenanya majelis hakim Pengadilan
Tinggi Jawa Barat akan mengadili sendiri dengan gugatan Terbanding semula
Penggugat dinyatakan tidak dapat diterima ( Niet Ontvankelijk Verklaard);
Menimbang, bahwa mengenai alasan keberatan-keberatan dalam
Memori Banding dari Para Pembanding semula Tergugat I dan II, yang lain dan
selebihnya maupun atas adanya Kontra Memori Banding dari Terbanding
semula Penggugat, sudah tercakup dan terwakili di dalam pertimbangan
Majelis Hakim Tingkat Banding;
Menimbang bahwa oleh karena Terbanding semula Penggugat berada di
pihak yang kalah maka biaya perkara baik ditingkat banding maupun di tingkat
pertama dibebankan kepada pihak Terbanding semula Penggugat;
Memperhatikan ketentuan-ketentuan Undang-Undang Nomor 20 Tahun
1947, HIR, Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 serta peraturan perUndang-
Undangan lain yang bersangkutan dengan perkara ini;
Mengadili
- Menerima permohonan banding Para Pembanding semula Para
Tergugat, tersebut
- Membatalkan putusan Pengadilan Negeri Bekasi tanggal 27 Juni
2016 dengan Nomor 630/Pdt./G/2015/PN.Bks yang dimohonkan
banding oleh Para Pembanding semula Para Tergugat ;
Mengadili Sendiri
Dalam Eksepsi:
- Menolak eksepsi dari Para Tergugat;
Dalam Pokok Perkara:
- Menyatakan gugatan Terbanding semula Penggugat tidak dapat
diterima (Niet Ontvankelijk Verklaard);
- Menghukum Terbanding semula Penggugat untuk membayar biaya
perkara di tingkat banding sebesar Rp. 150.000,- (seratus lima puluh
ribu rupiah);
Halaman 34 dari 34 halaman putusan perkara Perdata Nomor 462/PDT/2016/PT.BDG.
Demikianlah diputuskan dalam sidang musyawaratan Majelis Hakim
Pengadilan Tinggi Jawa Barat di Bandung pada hari: Rabu, tanggal 30
Nopember 2016, oleh kami: Amril, S.H., M.Hum., sebagai Hakim Ketua,
dengan Karel Tuppu, S.H., M.H.,dan A. Fadlol Tamam, S.H., M.Hum.,
masing-masing sebagai Hakim Anggota, yang ditunjuk berdasarkan
surat penetapan Ketua Pengadilan Tinggi Jawa Barat Nomor
:462/PEN/PDT/2016/PT.BDG., tanggal 10 Oktober 2016, putusan tersebut
pada hari: Jum’at, tanggal 2 Desember 2016 diucapkan dalam
persidangan terbuka untuk umum oleh Hakim Ketua dengan dihadiri oleh Para
Hakim Anggota tersebut, Hj. Nenden Khaerani, S.H., Panitera Pengganti
tanpa dihadiri Kedua Belah Pihak.
Hakim Anggota, Hakim Ketua,
Ttd. Ttd.
Karel Tuppu, S.H., M.H. Amril, S.H., M.Hum. Ttd.
A. Fadlol Tamam, S.H., M.Hum.
Panitera Pengganti,
Ttd.
Hj. Nenden Khaerani, S.H.
Perincian Biaya:
- Materai.................Rp. 6.000,00
- Redaksi................Rp. 5.000,00
- Pemberkasan......Rp. 139.000,00
Jumlah..................Rp. 150.000,00 (seratus limapuluh ribu rupiah).