perluasan kerajaan majapahit
TRANSCRIPT
Perluasan Kerajaan
Majapahit
A. Pembagian Wilayah
Dalam pembentukannya, kerajaan Majapahit merupakan
kelanjutan Singasari terdiri atas beberapa kawasan
tertentu di bagian timur dan bagian tengah Jawa.
Daerah ini diperintah oleh uparaja yang disebutPaduka
Bhattara yang bergelar Bhre atau “Bhatara i". Gelar ini
adalah gelar tertinggi bangsawan kerajaan. Biasanya
posisi ini hanyalah untuk kerabat dekat raja.
Tugas mereka adalah untuk mengelola
kerajaan mereka, memungut pajak, dan
mengirimkan upeti ke pusat, dan mengelola
pertahanan di perbatasan daerah yang
mereka pimpin.
Selama masa pemerintahan Hayam
Wuruk (1350 s.d. 1389) ada 12 wilayah di
Majapahit, yang dikelola oleh kerabat dekat
raja. Hierarki dalam pengklasifikasian wilayah
di kerajaan Majapahit dikenal sebagai berikut:
1. Bhumi: kerajaan, diperintah oleh Raja,
2. Nagara: diperintah oleh rajya (gubernur),
atau natha (tuan), atau bhre (pangeran
atau bangsawan),
3. Watek: dikelola oleh wiyasa,
4. Kuwu: dikelola oleh lurah,
5. Wanua: dikelola oleh thani,
6. Kabuyutan: dusun kecil atau tempat
sakral.
Saat Majapahit memasuki era Kemaharajaan
Thalasokrasi saat pemerintahan Gajah Mada,
beberapa negara bagian di luar negeri juga
termasuk dalam lingkaran pengaruh
Majapahit, sebagai hasilnya, konsep
teritorial yang lebih besar pun terbentuk:
1. Negara agung atau negara utama atau inti
kerajaan. Area awal Majapahit atau Majapahit
Lama selama masa pembentukannya sebelum
memasuki era kemaharajaan. Yang termasuk
area ini adalah ibukota kerajaan dan wilayah
sekitarnya dimana raja secara efektif
menjalankan pemerintahannya. Area ini
meliputi setengah bagian timur Jawa, dengan
semua provinsinya yang dikelola oleh para
Bhre (bangsawan), yang merupakan kerabat
dekat raja.
2. Mancanagara, area yang
melingkupi Negara Agung. Menurut kitab
Pujasatra Nāgarakṛtāgama pupuh XIII
dan XIV, berikut adalah daerah-
daerah nusa pranusa pramuka “pulau
demi pulau sebagai negara” bawahan
Majapahit disebut sebagai mañcanagara.
Negara-negara taklukan di Jawa tidak disebut
karena masih dianggap sebagai bagian dari
“mandala” kerajaan.
Hal yang menarik adalah tidak disebutkan sama
sekali mengenai Kerajaan Sunda dan Madura. Perlu
pula disadari bahwa nama-nama di kerajaan-
kerajaan ini adalah berdasarkan klaim Majapahit
dan belum pernah ditemukan bukti mengenai
pengakuan suatu daerah atas kekuasaan negara itu.
Buku ini membagi wilayah kekuasaan Majapahit dalam empat
kelompok wilayah:
1. Wilayah-wilayah Sumatera. Sumatra disebut
di Nāgarakṛtāgama sebagai “Melayu”
2. Wilayah-wilayah di Tanjung Negara (Kalimantan) dan
Tringgano (Trengganu). Kalimantan disebut
di Nāgarakṛtāgama sebagai “Nusa Tanjungnegara” dan/atau
“Pulau Tanjungpura”.
3. Semenanjung Malaya. Wilayah yang sekarang dikenal sebagai
Malaysia Barat ini disebut di Nāgarakṛtāgama sebagai
“Hujung Medini”.
4. Wilayah-wilayah di sebelah timur Pulau Jawa (Bali, Nusa
Tenggara, Sulawesi, Maluku sampai Irian).
Dengan demikian, orang akan melihat bahwa
luas wilayah Majapahit kurang lebih sama
dengan wilayah Hindia Belanda dikurangi
dengan Jawa Barat karena dalam daftar tak
disebutkan nama Pasundan.
Bahkan juga terungkap dalam catatan sejarah
bahwa pengaruh dalam kaitan sebagai negara-
negara Mitreka Satata.
3. Nusantara adalah area yang tidak
mencerminkan kebudayaan Jawa, tetapi
termasuk ke dalam koloni dan mereka harus
membayar upeti tahunan. Mereka menikmati
otonomi yang cukup luas dan kebebasan
internal, dan Majapahit tidak merasa penting
untuk menempatkan birokratnya atau tentara
militernya di sini akan tetapi, tantangan apa
pun yang terlihat mengancam ketuanan
Majapahit atas wilayah itu akan menuai reaksi
keras.
Termasuk dalam area ini adalah
kerajaan kecil dan koloni di Maluku,
Kepulauan Nusa Tenggara, Sulawesi,
Kalimantan dan Semenanjung
Malaya.
4. Mitreka Satata yang secara harafiah berarti
"mitra dengan tatanan (aturan) yang sama". Hal
itu menunjukkan negara independen luar negeri
yang dianggap setara oleh Majapahit, bukan
sebagai bawahan dalam kekuatan Majapahit.
Menurut Negarakertagama Pupuh 15, bangsa
asing adalah Syangkayodhyapura (Ayutthaya di
Thailand), Dharmmanagari (Kerajaan Nakhot di
Tammarat), Marutma, Rajapura dan Sinhanagari
(Kerajaan di Myanmar), Kerajaan Champa,
Kamboja, dan Yawana (Anam)
Mitreka Satata dapat dianggap sebagai
aliansi Majapahit, karena kerajaan asing
di luar negeri seperti China dan India
tidak termasuk dalam kategori ini
meskipun Majapahit telah melakukan
hubungan luar negeri dengan kedua
bangsa ini.
Dharmmanagari
Pola kesatuan politik khas sejarah Asia Tenggara purba
seperti ini kemudian diidentifikasi oleh sejarahwan
modern sebagai “mandala", yaitu kesatuan yang politik
ditentukan oleh pusat atau inti kekuasaannya daripada
perbatasannya, dan dapat tersusun atas beberapa unit
politik bawahan tanpa integrasi administratif lebih
lanjut. Daerah-daerah bawahan yang termasuk dalam
lingkup mandala Majapahit, yaitu wilayah Mancanegara
dan Nusantara, umumnya memiliki pemimpin asli
penguasa daerah tersebut yang menikmati kebebasan
internal cukup luas.
Wilayah-wilayah bawahan ini meskipun sedikit-
banyak dipengaruhi Majapahit, tetap
menjalankan sistem pemerintahannya sendiri
tanpa terintegrasi lebih lanjut oleh kekuasaan
pusat di ibu kota Majapahit. Pola kekuasaan
mandala ini juga ditemukan dalam kerajaan-
kerajaan sebelumnya, seperti
Sriwijaya dan Angkor, serta mandala-mandala
tetangga Majapahit yang sezaman,
Ayutthaya dan Champa.
B. Perwujudan Cakrawala Mandala Nusantara
Majapahit dalam abad 14 merupakan kekuasaan besar di
Asia Tenggara, menggantikan Mataram dan Sriwijaya, dua
buah Negara yang berbeda dasarnya, yang pertama
merupakan Negara pertanian, yang kedua adalah Negara
maritim, kedua ciri itu dimiliki oleh Majapahit.
Visi dan keinginan kuat untuk membangun kerajaan yang
mengedepankan kekuatanmaritim dan agraria telah
menjadi tekad Raden Wijaya, anak menantu Kertanegara.
Visi itu diwujudkan dengan memilih lokasi ibukota
Kerajaan Majapahit di daerah Trik/Tarik di hilir sungai
Brantas dengan maksud memudahkan pengawasan
perdagangan pesisir dan sekaligus dapat
mengendalikan produksi pertanian di pedalaman,
selain itu perluasan cakrawala mandala ke luar
Pulau Jawa, yang meliputi daerah seluruh dwipantara.
Puncak kejayaan bahari tercapai pada abad ke-14 ketika
Majapahit menguasai seluruh Nusantara bahkan
pengaruhnya meluas sampai ke negara-negara asing
tetangganya. Kerajaan Majapahit di bawah Raden
Wijaya, Hayam Wuruk, dan Gajah Mada, dan yang
berada di ujung terdepan armada laut Kerajaan
Majapahit adalah Kapal Perang Kerajaan yang dipimpin
oleh Senapati Sarwajala (Laksamana Laut) Mpu Nala
telah berkembang pesat menjadi kerajaan besar yang
mampu memberikan jaminan bagi keamanan
perdagangan di wilayah Nusantara.
Penyatuan Nusantara oleh Majapahit
melalui ekspedisi-ekspedisi bahari
dimulai tak lama setelah Mahapatih
Gajah Mada mengucapkan Sumpah
Tan Ayun Amuktia Palapa yang
terkenal itu pada tahun 1334.
Keberhasilan Kerajaan Majapahit mewujudkan visi Sumpah
Palapa, selain dibakar semangat kebangsaan patriotik di
bawah komando Mahapatih Gajah Mada, juga banyak
disumbang oleh keberhasilan Majapahit dalam
mengembangkan teknologi bahari berupa kapal bercadik
yang menjadi tumpuan utama kekuatan armada lautnya.
Gambaran model konstruksi kapal bercadik sejak zaman
Sriwijaya, Singasari, dan Majapahit telah terpahat rapih
pada relief Candi Borobudur.
Armada laut Majapahit ini didukung oleh
persenjataan andalan berupa meriam
hasil rampasan dari bala tentara Kubilai
Khan ketika menyerang Kediri (atas
tipudaya Raden Wijaya) yang ditiru
Majapahit dari peralatan perang Kubilai
Khan itu.
Perluasan Kerajaan
Buleleng
I Gusti Ngurah Panji menguasai wilayah Den
Bukit dan menjadikannya Kerajaan Buleleng,
yang kekuasaannya pernah meluas sampai
ke ujung timur pulau Jawa (Blambangan).
Setelah I GustiNgurah Panji Sakti wafat pada
tahun 1704, Kerajaan Buleleng mulai goyah
karena putra-putranya punya pikiran yang
saling berbeda.
Kerajaan Buleleng tahun 1732 dikuasai
Kerajaan Mengwi namun kembali
merdeka pada tahun 1752.Selanjutnya
jatuh ke dalam kekuasaan raja
Karangasem. Raja Karangasem, I Gusti
Gede Karang membangun istana dengan
nama Puri Singaraja. Raja berikutnya
adalah putranya bernama I Gusti Pahang
Canang yang berkuasa sampai 1821.