pernikahan beda agama

24
Pernikahan Beda Agama; Tinjauan Hukum Islam & Hukum Negara Masyarakat Indonesia merupakan masyarakat yang majemuk, khususnya bila dilihat dari segi etnis / suku bangsa dan agama. Konsekuensinya, dalam menjalani kehidupannya masyarakat Indonesia dihadapkan kepada perbedaan – perbedaan dalam berbagai hal, mulai dari kebudayaan, cara pandang hidup dan interaksi antar individunya. Yang menjadi perhatian dari pemerintah dan komponen bangsa lainnya adalah masalah hubungan antar umat beragama. Salah satu persoalan dalam hubungan antar umat beragama ini adalah masalah Pernikahan Muslim dengan non-Muslim yang selanjutnya kita sebut sebagai “pernikahan beda agama’ Pernikahan merupakan bagian dari kemanusiaan seseorang, seorang muslim yang hidup di negara yang majemuk seperti ini hampir dipastikan sulit untuk menghindari dari persentuhan dan pergaulan dengan orang yang beda agama. Pada posisi seperti ini ketertarikan pria atau wanita Muslim dengan orang yang beda agama dengannya atau sebaliknya, yang berujung pada pernikahan hampir pasti tidak terelakkan. Dengan kata lain, persoalan pernikahan antar agama hampir pasti terjadi pada setiap masyarakat yang majemuk. Keadaan masyarakat Indonesia yang majemuk menjadikan pergaulan di masyarakat semakin luas dan beragam, hal ini telah mengakibatkan pergeseran nilai agama yang lebih dinamis daripada yang terjadi pada masa lampau, seorang muslimin dan muslimat

Upload: audra1415

Post on 16-Dec-2015

15 views

Category:

Documents


0 download

DESCRIPTION

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT, karena atas limpahan rahmat serta karunia-Nya, maka penulisan makalah ini yang bertema “ANTI BIOTIK” dapat terselesaikan dengan baik. Terimakasih kepada semua pihak yang turut membantu dalam menyelesaikan makalah ini. Selain itu, kami berharap makalah ini dapat berguna bagi saya dan teman-teman pada umumnya, dalam perkuliahan kita nantinya. Kami menyadari bahwa makalah yang kami buat ini belum dapat di katakan baik, masih banyak kesalahan yang terdapat di dalam makalah yang kami buat ini. Untuk itu, kami sangat mengharapkan kritik dan saran dari rekan-rekan sekalian demi perbaikan makalah-makalah kami selanjutnya. Terima kasih.

TRANSCRIPT

Pernikahan Beda Agama; Tinjauan Hukum Islam & HukumNegaraMasyarakat Indonesia merupakan masyarakat yang majemuk, khususnya bila dilihat dari segi etnis / suku bangsa dan agama. Konsekuensinya, dalam menjalani kehidupannya masyarakat Indonesia dihadapkan kepada perbedaan perbedaan dalam berbagai hal, mulai dari kebudayaan, cara pandang hidup dan interaksi antar individunya. Yang menjadi perhatian dari pemerintah dan komponen bangsa lainnya adalah masalah hubungan antar umat beragama. Salah satu persoalan dalam hubungan antar umat beragama ini adalah masalah Pernikahan Muslim dengan non-Muslim yang selanjutnya kita sebut sebagai pernikahan beda agamaPernikahan merupakan bagian dari kemanusiaan seseorang, seorang muslim yang hidup di negara yang majemuk seperti ini hampir dipastikan sulit untuk menghindari dari persentuhan dan pergaulan dengan orang yang beda agama. Pada posisi seperti ini ketertarikan pria atau wanita Muslim dengan orang yang beda agama dengannya atau sebaliknya, yang berujung pada pernikahan hampir pasti tidak terelakkan. Dengan kata lain, persoalan pernikahan antar agama hampir pasti terjadi pada setiap masyarakat yang majemuk.Keadaan masyarakat Indonesia yang majemuk menjadikan pergaulan di masyarakat semakin luas dan beragam, hal ini telah mengakibatkan pergeseran nilai agama yang lebih dinamis daripada yang terjadi pada masa lampau, seorang muslimin dan muslimat sekarang ini lebih berani untuk memilih pendamping hidup non-muslim. Hal ini tentu saja dianggap oleh masyarakat kita yang mayoritas beragama Islam sebagai penyalahan atau pergeseran nilai-nilai Islam yang ada. Tak jarang hal ini sering menimbulkan gejolak dan reaksi keras di kalangan masyarakat kita. Masalah ini menimbulkan perbedaan pendapat dari dua pihak pro dan kontra, masing-masing pihak memiliki argumen rasional maupun argumen logikal yang berasal dari penafsiran mereka masing-masing terhadap dalil-dalil Islam tentang pernikahan beda agama.Pernikahan beda Agama dalam hukum Islam Masalah pernikahan berbeda keyakinan ini sebenarnya terbagi dalam 2 kasus keadaan, antara lain:Kasus 1: Pernikahan antara laki-laki non-muslim dengan wanita muslimKasus 2: Pernikahan antara laki-laki muslim dengan wanita non-muslimPada kasus 1 kedua pihak ulama sepakat untuk mengharamkan pernikahan yang terjadi pada keadaan seperti itu, seorang wanita muslim haram hukumnya dan pernikahannya tidak sah bila menikah dengan laki-laki non-muslim Al-Quran menjelaskan Dalam surat Al-Baqarah 221 Dan janganlah kamu nikahi wanita-wanita musyrik, sebelum mereka beriman. Sesungguhnya wanita budak yang mukmin lebih baik dari wanita musyrik, walaupun dia menarik hatimu. Dan janganlah kamu menikahkan orang-orang musyrik (dengan wanita-wanita mukmin) sebelum mereka beriman. Sesungguhnya budak yang mukmin lebih baik dari orang musyrik walaupun dia menarik hatimu. Mereka mengajak ke neraka, sedang Allah mengajak ke surga dan ampunan dengan izin-Nya. Dan Allah menerangkan ayat-ayat-Nya (perintah-perintah-Nya) kepada manusia supaya mereka mengambil pelajaran. (Surat Al-Baqarah Ayat 221)Sedang pada kasus ke-2. Seorang laki-laki muslim dilarang menikah dengan wanita non-muslim kecuali wanita ahli kitab, seperti yang disebutkan dalam surat Al-Maidah ayat 5 Pada hari ini dihalalkan bagimu yang baik-baik. Makanan (sembelihan) orang-orang yang diberi Al Kitab itu halal bagimu, dan makanan kamu halal pula bagi mereka. (Dan dihalalkan mengawini) wanita-wanita yang menjaga kehormatan di antara wanita-wanita yang beriman dan wanita-wanita yang menjaga kehormatan di antara orang-orang yang diberi Al Kitab sebelum kamu, bila kamu telah membayar maskawin mereka dengan maksud menikahinya, tidak dengan maksud berzina dan tidak (pula) menjadikannya gundik-gundik. Barang siapa yang kafir sesudah beriman (tidak menerima hukum-hukum Islam) maka hapuslah amalannya dan ia di hari akhirat termasuk orang-orang merugi.(Al-Maaidah Ayat 5)Pada surat Al-Baqarah ayat 221 terang di jelaskan bahwa :Baik laki-laki ataupun perempuan memiliki larangan untuk menikahi atau dinikahkan oleh seorang musyrik.. dan dalam surat Al-Maidah di jelaskan kembali bagi seorang laki-laki ,boleh menikahi AHLI KITAB. Namun terdapat beberapa pendapat bahwa ahli kitab di sini bukanlah penganut injil,ataupun taurat yang ada pada saat ini.Ahli kitab yang dimaksudkan disini ialah mereka yang bersyahadat Mengakui adanya ALLAH akan tetapi tidak mengakui adanya Muhamad.Perkawinan beda Agama menurut hukum Negara:Perkawinan di Indonesia diatur oleh UU No 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Berdasarkan UU tersebut perkawinan di definisikan sebagai ikatan lahir batin antara seorang pria dan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga atau rumah tangga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Oleh karenanya dalam UU yang sama diatur bahwa perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaannya itu serta telah dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.Pendapat tentang Perkawinan beda Agama:Seorang guru besar Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Prof. Dr. Muhammad Daud Ali (alm.) menjelaskan dalam bukunya yang bejudul Perkawinan Antar Pemeluk Agama Yang Berbeda.Perkawinan antara orang-orang yang berbeda agama adalah penyimpangan dari pola umum perkawinan yang benar menurut hukum agama dan Undang-undang Perkawinan yang berlaku di tanah air kita. Untuk penyimpangan ini, kendatipun merupakan kenyataan dalam masyarakat, tidak perlu dibuat peraturan tersendiri, tidak perlu dilindungi oleh negara. Memberi perlindungan hukum pada warga negara yang melakukan perbuatan yang bertentangan dengan Pancasila sebagai cita hukum bangsa dan kaidah fundamental negara serta hukum agama yang berlaku di Indonesia, pada pendapat saya selain tidak konstitusional, juga tidak legal.Prof. HM Rasjidi, menteri agama pertama RI, dalam artikelnya di Harian Abadi edisi 20 Agustus 1973, menyorot secara tajam RUU Perkawinan yang dalam pasal 10 ayat (2) disebutkan: Perbedaan karena kebangsaan, suku, bangsa, negara asal, tempat asal, agama, kepercayaan dan keturunan, tidak merupakan penghalang perkawinan.Pasal dalam RUU tersebut jelas ingin mengadopsi Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia pasal 16 yang menyatakan: Lelaki dan wanita yang sudah dewasa, tanpa sesuatu pembatasan karena suku, kebangsaan dan agama, mempunyai hak untuk kawin dan membentuk satu keluarga. Mereka mempunyai hak yang sama dengan hubungan dengan perkawinan, selama dalam perkawinan dan dalam soal perceraian.khusus tentang pasal 16 tersebut, Hamka menulis kesimpulan yang sangat tajam: Oleh sebab itu dianggap kafir, fasiq, dan zalim, orang-orang Islam yang meninggalkan hukum syariat Islam yang jelas nyata itu. lalu pindah bergantung kepada Hak-hak Asasi Manusia yang disahkan di Muktamar San Francisco, oleh sebagian anggota yang membuat Hak-hak Asasi sendiri karena jaminan itu tidak ada dalam agama yang mereka peluk. Pernikahan Beda Agama yang ada pada saat ini:Meskipun sudah dilarang, perkawinan beda agama masih terus dilakukan. Berbagai cara ditempuh, demi mendapatkan pengakuan dari Negara. ada beberapa cara yang populer ditempuh pasangan beda agama agar pernikahannya dapat dilangsungkan. 1. Pagi menikah sesuai agama laki-laki, siangnya menikah sesuai dengan agama perempuan.2. Salah satu dari calon pengantin baik laki-laki ataupun perempuannya mengalah mengikuti agama pasangannya.lalu setelah menikah dia kembali kepada agamanya.3. Menikah diluar negriUntuk perkawinan beda agama yang ada pada saat ini, mantan Menteri Agama Quraish Shihab berpendapat agar dikembalikan kepada agama masing-masing. Yang jelas dalam jalinan pernikahan antara suami dan istri, pertama harus didasari atas persamaan agama dan keyakinan hidup. Namun pada kasus pernikahan beda agama, harus ada jaminan dari agama yang dipeluk masing-masing suami dan istri agar tetap menghormati agama pasangannya. Jadi jangan ada sikap saling menghalangi untuk menjalankan ibadah sesuai agamanyaPendapat berbeda disampaikan pengajar hukum Islam di UI Farida Prihatini. Farida menegaskan bahwa MUI melarang perkawinan beda agama. Pada prinsipnya, bukan hanya agama Islam. Semua agama tidak memperbolehkan kawin beda agama. Umatnya saja yang mencari peluang-peluang. Perkawinannya dianggap tidak sah, dianggap tidak ada perkwianan, tidak ada waris, anaknya juga ikut hubungan hukum dengan ibunya. Farida jg menilai Pemerintah tidak tegas. Meskipun UU tidak memperbolehkan kawin beda agama, tetapi Kantor Catatan Sipil bisa menerima pencatatan perkawinan beda agama yang dilakukan di luar negeri. Padahal,Kantor Catatan Sipil merupakan produk negara. Dengan demikian, seharusnya yang dicatat KCS adalah sesuai dengan hukum Indonesia. Secara hukum tidak sah. Kalau kita melakukan perbuatan hukum di luar negeri, baru sah sesuai dengan hukum kita dan sesuai dengan hukum di negara tempat kita berada. Harusnya kantor catatan sipil tidak boleh melakukan pencatatan,Kesimpulan Larangan perkawinan antar pemeluk agama yang berbeda itu agaknya dilatarbelakangi oleh harapan akan lahirnya sakinah dalam keluarga. Bagaimana mendidik anak-anak mereka.karena pada dasarnya seorang anak akan kebingungan untuk mengikuti ayahnya atau ibunya.Perkawinan baru akan langgeng dan tenteram jika terdapat kesesuaian pandangan hidup antar suami dan istri, karena jangankan perbedaan agama, perbedaan budaya, atau bahkan perbedaan tingkat pendidikan antara suami dan istri pun tidak jarang mengakibatkan kegagalan perkawinan.

Perkawinan Antara Orang yang Berlainan Agama Menurut Hukum Positif di IndonesiaSebelum UU No. 1/1974 tentang perkawinan berlaku secara efektif pada tanggal 1 Oktober 975, di Indonesia berlaku berbagai hukum perkawinan bagi berbagai golongan warga Negara dan berbagai daerah, diantaranya sebagai berikut :

1) Bagi orang-orang Indonesia asli yang beragama Islam berlaku hukum islam yang telah diresipir dalam hukum adat (ingat teori resepsi Snouck Hurgronje yang dikecam oleh Hazairin sebagai teori iblis2) Bagi orang Indonesia asli lainnya berlaku hukum adat3) Bagi orang Indonesia asli yang beragama Kristen berlaku Huwelijks Ordonantie Christen Indonesia 4) Bagi orang-orang Timura asing Cina dan warga Negara Indonesia keturunan Cina berlaku ketentuan-ketentuan Kitab Undang-undang Hukum Perdata dengan sedikit perubahan5) Bagi orang-orang timur asing lainnya dan warga Negara Indonesia keturunan Timur asing lainnya tersebut berlaku hukum adat mereka6) Bagi orang-orang Eropa dan warga Indonesia keturunan Eropa dan yang disamakan dengan mereka berlaku Kitab Undang-undang Hukum Perdata (KUHP)Berdasarkan pasal 66 UU No.1/1974, maka semua peraturan yang mengatur tentang perkawinan sejauh telah diatur dalam Undang-undang No.1 Tahun 1974 ini, dinyatakan tidak berlaku, termasuk perkawinan campuranPasal 1 Peraturan Perkawinan Campuran merumuskan, bahwa perkawinan campuran ialah perkawinan antara orang-orang yang di Indonesia tunduk pada hukum yang berlainan.Perumusan pasal ini kurang jelas. Apakah yang dimaksud dengan tunduk pada hukum yang berlainan itu? apakah berbeda hukum karena berbeda golongan penduduknya, atau karena berbeda agamanya, asal daerahnya, ataukah berbeda lainnya?Akibat kurang jelas perumusan pasal 1 ini, maka timbulah beberapa penafsiran dikalangan ahli hukum. Ada yang berpendapat bahwa perkawinan campuran hanya terjadi antara orang-orang yang tunduk pada hukum yang berlainan karena berbeda golongan penduduknya. Ada pula yang berpendapat, bahwa perkawinan antara orang-orang yang berlainan agamanya dan juga antara orang-orang yang berlainan asal daerahnya itu juga termasuk perkawinan campuran.Pasal 1 Peraturan Perkawinan Campuran berbeda dengan pasal 57 UU No. 1/1974, yang merumuskan dengan jelas, bahwa perkawinan campuran itu ialah perkawinan antara dua orang yang di Indonesia tunduk pada hokum yang berlainan, karena perbedaan kewarganegaraan dan salah satu pihak berkewarganegaraan Indonesia.Jelaslah, bahwa berdasar atas Pasal 57 Undang-undang Perkawinan, maka perkawinan antara orang-orang yang berlainan agama di Indonesia bukanlah perkawinan campuran. Karena itu apabila UU Perkawinan dilaksanakan secara murni dan konsekuen, seharusnya setiap pengajuan permohonan perkawinan antar orang-orang yang berlainan agama, yang sebelumnya telah ditolak, baik oleh KUA (Kantor Urusan Agama) bagi mereka yang mau melaksanakan perkawinannya menurut agama islam maupun oleh kantor Catatan Sipil (bagi mereka yang mau melaksanakan perkawinannya menurut agama selain islam), maka seharusnya pengadilan negeri secara yuridis bias menolak permohonan izin kawin tersebut. Sebab berdasarkan pasal 2 ayat 1 jo pasal 8 f UU No. 1/1974 yang menegaskan bahwa perkawinan sah, apabila dilakukan menurut hokum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu; dan bahwa perkawinan dilarang antara dua orang yang mempunyai hubungan yang oleh agamanya atau peraturan lain yang berlaku, dilarang kawin. Ketentuan pasal tersebut berarti bahwa perkawinan harus dilakukan menurut hokum agamanya masing-masing, dan bahwa hal-hal yang dilarang oleh agama, berarti dilarang pula oleh UU PerkawinanNamun, kenyataan sekarang menunjukan bahwa pengadilan Negeri masih memberikan izin perkawinan antar orang yang berlainan agama dan memandangnya sebagai perkawinan campuran yang diatur dalam pasal 60-62 UU Perkawinan. Padahal menurut pasal 57 UU perkawinan, jelas bahwa perkawinan campuran hanya diberlakukan untuk perkawinan antar orang yang berbeda kewarganegaraannya bukan berbeda agamanya dan salahsatu pihak berkewarganegaraan Indonesia. 2. Perkawinan antar orang yang berlainan AgamaYang dimaksud dengan perkawinan antar orang yang berlainan agama ialah perkawinan orang islam (pria/wanita) dengan orang bukan islam(pria/wanita),mengenai masalah ini, islam membedakannya sbb:1. Perkawinan antar seorang muslim dengan wanita musyrik2. Perkawinan antar seorang muslim dengan seorang Ahlul Kitab3. Perkawinan antar seorang wanita muslimah dengan dengan pria non Muslim1) Perkawinan antar seorang muslim dengan wanita musyrikIslam melarang perkawinan antar seorang pria muslim dengan wanita musyrik, berdasarkan firman Alloh dalam Surat Al-Baqoroh ayat 221

Artinya :dan janganlah kamu menikahi wanita-wanita musyrik, sebelum mereka beriman. Sesungguhnya wanita budak yang mukmin lebih baik dari wanita musyrik, walaupun Dia menarik hatimu.

Hanya dalam kalangan para ulama timbul beberapa pendapat tentang siapa musyrikah (wanita musyrik) yang haram dikawini itu?Ibnu Jarir al-Thabrani, seorang Ahli Tafsir, bahwa musyrikah yang dilarang untuk dikawini itu ialah Musyrikah dari bangsa Arab saja, karena bangsa Arab pada waktu turunnya Al-Quran memang tidak mengenal kitab suci dan mereka menyembah berhala. Maka menurut pendapat ini, seorang muslim boleh kawin dengan wanita musyrik dari bangsa non-Arab. Seperti wanita China, India, dan Jepang, yang diduga dahulu mempunyai kitab suci atau serupa kitab suci, seperti pemeluk agama Budha, Hindu Konghucu, yang percaya pada Tuhan Yang Maha Esa, percaya adanya hidup setelah mati, dan sebagainya. Tetapi, kebanyakan para ulama berpendapat, bahwa semua musyrikah baik bangsa Arab ataupun non-Arab, selain Ahlul Kitab, yakni yahudi(yahudisme) dan Kristen tidak boleh dikawini.2) Perkawinan antar seorang muslim dengan seorang Ahlul KitabKebanyakan para ulama berpendapat, bahwa seorang pria muslim boleh kawin dengan wanita Ahlul Kitab berdasarkan firman Alloh dalam surat Al-maidah ayat 5 : Artinya :dan Dihalalkan mangawini) wanita yang menjaga kehormatan[402] diantara wanita-wanita yang beriman dan wanita-wanita yang menjaga kehormatan di antara orang-orang yang diberi Al kitab sebelum kamu, bila kamu telah membayar mas kawin mereka dengan maksud menikahinya, tidak dengan maksud berzina dan tidak (pula) menjadikannya gundik-gundik.

Selain berdasarkan Al-Quran Surat Almaidah ayat 5 diatas, juga berdasarkan sunnah Nabi pernah Kawin dengan wanita Ahlul Kitab, Yakni Mariah Al-Qibtiah(Kristen). Demikian pula dengan sahabat Nabi yang termasuk senior yang bernama Hudzaifah bin Al-Yaman pernah kawin dengan seorang wanita Yahudi, sedang para sahabat tidak ada yang menentangnya.Namun demikian, ada sebagian ulama yang melarangnya, karena pada hakikatnya doktrin dan praktek ibadah Kristen dan yahudi itu mengandung unsure syirik yang cukup jelas, misalnya ajaran trinitas dan mengkultuskan Nabi Isa dan Ibunya Mariyam(Maria) bagi umat Kristen, dan kepercayaan Uzair putra Alloh Dan mengkultuskan Haikal Nabi Sulaiman bagi Ummat Yahudi3) Perkawinan antar seorang wanita muslimah dengan dengan pria non MuslimUlama telah sepakat, bahwa islam melarang perkawinan antara seorang wanita Muslimah dengan pris non-Muslim, baik calon suaminya itu termasuk pemeluk agama yang mempunyai kitab suci, seperti Kristen dan Yahudi (revealed religion), ataupun pemeluk agama yang mempunyai kitab serupa kitab suci, seperti, Budha, Hidu, maupun pemeluk agama atau kepercayaan yang tidak punya kitab suci dan juga kitab yang serupa kitab suci.Adapun dalil yang menjadi dasar hokum untuk larangan kawin antara wanita Muslimah dengan pria non-Muslim, ialah :a. Surat Al-Baqoroh ayat 221 Artinya :dan janganlah kamu menikahkan orang-orang musyrik (dengan wanita-wanita mukmin) sebelum mereka beriman. Sesungguhnya budak yang mukmin lebih baik dari orang musyrik, walaupun Dia menarik hatimu

b. Ijma para ulama

Ada beberapa hikmah dari pelarangan perkawinan diatas, diantaranya Dilarang perkawinan antara orang islam (pria/wanita) dengan orang yang bukan islam (pria/wanita), selain Ahlul Kitab ialah bahwa antara orang islam dengan orang kafir selain Kristen dan yahudi itu way of laife dan filsafat hidup yang sangat berbeda. Dilarangnya perkawinan antar seorang wanita islam dengan seorang pria Kristen/yahudi, karena dikhawatirkan wanita itu kehilangan kebebasan beragama dan menjalankan ajaran-ajaran agamanya, kemudian tersesat pada agama suaminya. Sebagaimana firman Alloh dalam Surat Al-Baqoroh ayat 120 : (2:120)

Artinya: orang-orang Yahudi dan Nasrani tidak akan senang kepada kamu hingga kamu mengikuti agama mereka. Katakanlah: "Sesungguhnya petunjuk Allah Itulah petunjuk (yang benar)". dan Sesungguhnya jika kamu mengikuti kemauan mereka setelah pengetahuan datang kepadamu, Maka Allah tidak lagi menjadi pelindung dan penolong bagimu.

Dan juga Firman Alloh dalam Surat An-Nisa ayat 141 : (4:141)

Artinya :dan Allah sekali-kali tidak akan memberi jalan kepada orang-orang kafir untuk memusnahkan orang-orang yang beriman.

Firman tersebut mengingatkan kepada Ummat islam, hendaknya selalu berhati-hati dan waspada terhadap tipu muslihat orang-orang kafir termasuk Yahudi dan Kristen, yang sellau berusaha melenyapkan islam dan Ummat islam dengan berbagai cara. Dan hendaknya ummat islam tidak member jalan/ kesempatan kepada mereka untuk mencapai maksudnya. Mislnya dengan jalan perkawinan tersebut diatas.

KESIMPULANMenurut hemat Penulis ,larangan perkawinan tersebut, ialah :1. , artinya tindakan preventif untuk mencegah terjadinya kemurtadan dan kehancuran Rumah Tangga akibat perkawinan antara orang Islam dan Non Islam2. Kaidah Fiqh artinya mencegah/menghindari mafsadah/madharat atau juga bias diartikan resiko, dalam hal ini berupa kemurtadan dan broken home itu harus didahulukan / diutamakan daripada upaya mencari/menariknya kedalam islam.3. Pada prinsipnya agama Islam melarangnya (haram) perkawinan beda agama, sedangkan izin diperbolehkannya berdasarkan surat Al-Maidah ayat 6 itu hanyalah dispensasi bersyarat, yakni kualitas Iman dan Islam Pria Muslim tersebut haruslah sudah kuat.

Perkawinan Beda Agama Menurut Hukum Positif IndonesiaDasar hukum perkawinan di Indonesia yang berlaku sekarang ada beberapa peraturan, diantaranya adalah :1. Buku I Kitab Undang-undang Hukum Perdata2. UU No. 1/1974 tentang Perkawinan3. UU No. 7/1989 tentang Peradilan Agama4. PP No. 9/1975 tentang Peraturan Pelaksana UU No. 1/19745. Intruksi Presiden No. 1/1991 tentang Kompilasi Hukum Islam di IndonesiaDalam Kompilasi Hukum Islam mengkategorikan perkawinan antar pemeluk agama dalam bab larangan perkawinan. Pada pasal 40 point c dinyatakan bahwa dilarang melangsungkan perkawinan antara seorang pria dengan seorang wanita yang tidak beragama Islam. Kemudian dalam pasal 44 dinyatakan bahwa seorang wanita Islam dilarang melangsungkan perkawinan dengan seorang pria yang tidak beragama Islam.KHI tersebut selaras dengan pendapat Prof. Dr. Hazairin S.H., yang menafsirkan pasal 2 ayat 1 beserta penjelasanya bahwa bagi orang Islam tidak ada kemungkinan untuk menikah dengan melanggar hukum agamanya.Dalam KHI telah dinyatakan dengan jelas bahwa perkawinan beda agama jelas tidak dapat dilaksanakan selain kedua calon suami isteri beragama Islam. Sehingga tidak ada peluang bagi orang-orang yang memeluk agama Islam untuk melaksanakan perkawinan antar agama.Kenyataan yang terjadi dalam sistem hukum Indonesia, perkawinan antar agama dapat terjadi. Hal ini disebabkan peraturan perundang-undangan tentang perkawinan memberikan peluang tersebut terjadi, karena dalam peraturan tersebut dapat memberikan beberapa penafsiran bila terjadi perkawinan antar agama. Berdasarkan UU No. 1/1974 pasal 66, maka semua peraturan yang mengatur tentang perkawinan sejauh telah diatur dalam UU No. 1/1974, dinyatakan tidak berlaku lagi yaitu perkawinan yang diatur dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata / BW, Ordonansi Perkawinan Indonesia Kristen dan peraturan perkawinan campuran. Secara a contrario, dapat diartikan bahwa beberapa ketentuan tersebut masih berlaku sepanjang tidak diatur dalam UU No. 1/1974. Mengenai perkawinan beda agama yang dilakukan oleh pasangan calon suami isteri dapat dilihat dalam UU No.1/1974 tentang perkawinan pada pasal 2 ayat 1, bahwa Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya. Pada pasal 10 PP No.9/1975 dinyatakan bahwa, perkawinan baru sah jika dilakukan dihadapan pegawai pencatat dan dihadiri dua orang saksi. Dan tata cara perkawinan dilakukan menurut hukum masing-masing Agamanya dan kepercayaannya.Dalam memahami perkawinan beda agama menurut undang-undang Perkawinan ada tiga penafsiaran yang berbeda. Pertama, penafsiran yang berpendapat bahwa perkawinan beda agama merupakan pelanggaran terhadap UU No. 1/1974 pasal 2 ayat 1 jo pasal 8 f. Pendapat kedua, bahwa perkawinan antar agama adalah sah dan dapat dilangsungkan, karena telah tercakup dalam perkawinan campuran, dengan argumentasi pada pasal 57 tentang perkawinan campuran yang menitikberatkan pada dua orang yang di Indonesia tunduk pada hukum yang berlainan, yang berarti pasal ini mengatur perkawinan antara dua orang yang berbeda kewarganegaraan juga mengatur dua orang yang berbeda agama. Pendapat ketiga bahwa perkawinan antar agama sama sekali tidak diatur dalam UU No. 1/1974, oleh karena itu berdasarkan pasal 66 UU No. 1/1974 maka persoalan perkawinan beda agama dapat merujuk pada peraturan perkawinan campuran, karena belum diatur dalam undang-undang perkawinan.B. Perbedaan Pandangan Tentang Perkawinan Beda AgamaPendapat yang menyatakan perkawinan beda agama merupakan pelanggaran terhadap UU No. 1/1974 pasal 2 ayat 1 jo pasal 8 f, maka instansi baik KUA dan Kantor Catatan Sipil dapat menolak permohonan perkawinan beda agama berdasarkan pada pasal 2 ayat 1 jo pasal 8 f UU No. 1/1974 yang menyatakan bahwa perkawinan adalah sah, jika dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu. Dalam penjelasan UU ditegaskan bahwa dengan perumusan pasal 2 ayat 1, maka tidak ada perkawinan di luar hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu. Ketentuan pasal tersebut berarti bahwa perkawinan harus dilakukan menurut hukum agamanya, dan ketentuan yang dilarang oleh agama berarti dilarang juga oleh undang-undang perkawinan. Selaras dengan itu, Prof. Dr. Hazairin S.H., menafsirkan pasal 2 ayat 1 beserta penjelasanya bahwa bagi orang Islam tidak ada kemungkinan untuk menikah dengan melanggar hukum agamanya., demikian juga bagi mereka yang beragama Kristen, Hindu, Budha.Pendapat yang menyatakan bahwa perkawinan antar agama adalah sah dan dapat dilangsungkan, karena telah tercakup dalam perkawinan campuran, dengan argumentasi pada pasal 57 tentang perkawinan campuran yang menitikberatkan pada dua orang yang di Indonesia tunduk pada hukum yang berlainan, yang berarti pasal ini mengatur perkawinan antara dua orang yang berbeda kewarganegaraan juga mengatur dua orang yang berbeda agama.Pada pasal 1 Peraturan Perkawinan campuran menyatakan bahwa perkawinan campuran adalah perkawinan antara orang-orang yang di Indonesia tunduk pada hukum yang berlainan. Akibat kurang jelasnya perumusan pasal tersebut, yaitu tunduk pada hukum yang berlainan, ada beberapa penafsiran dikalangan ahli hukum. Pendapat pertama menyatakan bahwa perkawinan campuran hanya terjadi antara orang-orang yang tunduk pada hukum yang berlainan karena berbeda golongan penduduknya. Pendapat kedua menyatakan bahwa perkawinan campuran adalah perkawinan antara orang-orang yang berlainan agamanya. Pendapat ketiga bahwa perkawinan campuran adalah perkawinan antara orang-orang yang berlainan asal daerahnya.Pendapat yang menyatakan bahwa perkawinan antar agama sama sekali tidak diatur dalam UU No. 1/1974, oleh karena itu berdasarkan pasal 66 UU No. 1/1974 maka persoalan perkawinan beda agama dapat merujuk pada peraturan perkawinan campuran, karena belum diatur dalam undang-undang perkawinan. Berdasarkan pasal 66 UU No. 1/1974, maka semua peraturan yang mengatur tentang perkawinan sepanjang telah diatur dalam UU No. 1/1974, dinyatakan tidak berlaku lagi yaitu perkawinan yang diatur dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata / BW, Ordonansi Perkawinan Indonesia Kristen dan peraturan perkawinan campuran. Artinya beberapa ketentuan tersebut masih berlaku sepanjang tidak diatur dalam UU No. 1/1974.

C. Pendapat Hukum Terhadap Perkawinan Beda AgamaMerujuk pada Undang-undang No. 1/1974 pada pasal 57 yang menyatakan bahwa perkawinan campuran adalah perkawinan antara dua orang yang di Indonesia tunduk pada hukum yang berlainan, karena perbedaan kewarganegaraan dan salah satu pihak berkewarganegaraan Indonesia.Berdasarkan pada pasal 57 UU No. 1/1974, maka perkawinan beda agama di Indonesia bukanlah merupakan perkawinan campuran. Sehingga semestinya pengajuan permohonan perkawinan beda agama baik di KUA dan Kantor Catatan Sipil dapat ditolak.Menurut Purwoto S. Gandasubrata bahwa perkawinan campuran atau perkawinan beda agama belum diatur dalam undang-undang secara tuntas dan tegas. Oleh karenanya, ada Kantor Catatan Sipil yang tidak mau mencatatkan perkawinan beda agama dengan alasan perkawinan tersebut bertentangan dengan pasal 2 UU No.1/1974. Dan ada pula Kantor Catatan Sipil yang mau mencatatkan berdasarkan GHR, bahwa perkawinan dilakukan menurut hukum suami, sehingga isteri mengikuti status hukum suami.Ketidakjelasan dan ketidaktegasan Undang-undang Perkawinan tentang perkawinan antar agama dalam pasal 2 adalah pernyataan menurut hukum masing-masing agama atau kepercayaannya. Artinya jika perkawinan kedua calon suami-isteri adalah sama, tidak ada kesulitan. Tapi jika hukum agama atau kepercayaannya berbeda, maka dalam hal adanya perbedaan kedua hukum agama atau kepercayaan itu harus dipenuhi semua, berarti satu kali menurut hukum agama atau kepercayaan calon dan satu kali lagi menurut hukum agama atau kepercayaan dari calon yang lainnya.Dalam praktek perkawinan antar agama dapat dilaksanakan dengan menganut salah satu cara baik dari hukum agama atau kepercayaan si suami atau si calon isteri. Artinya salah calon yang lain mengikuti atau menundukkan diri kepada salah satu hukum agama atau kepercayaan pasangannya.Dalam mengisi kekosongan hukum karena dalam UU No. 1/1974 tidak secara tegas mengatur tentang perkawinan antar agama. Mahkamah Agung sudah pernah memberikan putusan tentang perkawinan antar agama pada tanggal 20 Januari 1989 Nomor: 1400 K/Pdt/1986.Dalam pertimbangan MA adalah dalam UU No. 1/1974 tidak memuat suatu ketentuan tentang perbedaan agama antara calon suami dan calon isteri merupakan larangan perkawinan. Dan hal ini sejalan dengan UUD 1945 pasal 27 yang menyatakan bahwa segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum, tercakup di dalamnya kesamaan hak asasi untuk kawin dengan sesama warga negara sekalipun berlainan agama dan selama oleh undang-undang tidak ditentukan bahwa perbedaan agama merupakan larangan untuk perkawinan, maka asas itu adalah sejalan dengan jiwa pasal 29 UUD 1945 tentang dijaminnya oleh negara kemerdekaan bagi setiap warga negara untuk memeluk agama masing-masing.Dengan tidak diaturnya perkawinan antar agama di UU No. 1/1974 dan dalam GHR dan HOCI tidak dapat dipakai karena terdapat perbedaan prinsip maupun falsafah yang sangat lebar antara UU No. 1/1974 dengan kedua ordonansi tersebut. Sehingga dalam perkawinan antar agama terjadi kekosongan hukum.Di samping kekosongan hukum juga dalam kenyataan hidup di Indonesia yang masyarakatnya bersifat pluralistik, sehingga tidak sedikit terjadi perkawinan antar agama. Maka MA berpendat bahwa tidak dapat dibenarkan terjadinya kekosongan hukum tersebut, sehingga perkawinan antar agama jika dibiarkan dan tidak diberiakan solusi secara hukum, akan menimbulkan dampak negatif dari segi kehidupan bermasyarakat maupun beragama berupa penyelundupan-penyelundupan nilai-nilai sosial maupun agama serta hukum positif, maka MA harus dapat menentukan status hukumnya.Mahkamah Agung dalam memberikan solusi hukum bagi perkawinan antar agama adalah bahwa perkawinan antar agama dapat diterima permohonannya di Kantor Catatan Sipil sebagai satu-satunya instansi yang berwenang untuk melangsungkan permohonan yang kedua calon suami isteri tidak beragama Islam untuk wajib menerima permohonan perkawinan antar agama.Dari putusan MA tentang perkawinan antar agama sangat kontroversi, namun putusan tersebut merupakan pemecahan hukum untuk mengisi kekosongan hukum karena tidak secara tegas dinyatakan dalam UU No. 1/1974.Putusan Mahkamah Agung Reg. No. 1400 K/Pdt/1986 (terlampir) dapat dijadikan sebagai yurisprudensi, sehingga dalam menyelesaikan perkara perkawinan antar agama dapat menggunakan putusan tersebut sebagai salah satu dari sumber-sumber hukum yang berlaku di Indonesia.Dalam proses perkawinan antar agama maka permohonan untuk melangsungkan perkawinan antar agama dapat diajukan kepada Kantor Catatan Sipil. Dan bagi orang Islam ditafsirkan atas dirinya sebagai salah satu pasangan tersebut berkehendak untuk melangsungkan perkawinan tidak secara Islam. Dan dengan demikian pula ditafsirkan bahwa dengan mengajukan permohonan tersebut pemohon sudah tidak lagi menghiraukan status agamanya. Sehingga pasal 8 point f UU No. 1/1974 tidak lagi merupakan halangan untuk dilangsungkan perkawinan, dengan anggapan bahwa kedua calon suami isteri tidak lagi beragama Islam. Dengan demikian Kantor Catatan Sipil berkewajiban untuk menerima permohonan tersebut bukan karena kedua calon pasangan dalam kapasitas sebagai mereka yang berbeda agama, tetapi dalam status hukum agama atau kepercayaan salah satu calon pasangannya.Bentuk lain untuk melakukan perkawinan antar agama dapat dilakukan dengan cara melakukan perkawinan bagi pasangan yang berbeda agama tersebut di luar negeri. Berdasarkan pada pasal 56 UU No. 1/1974 yang mengatur perkawinan di luar negeri, dapat dilakukan oleh sesama warga negara Indonesia, dan perkawinan antar pasangan yang berbeda agama tersebut adalah sah bila dilakukan menurut hukum yang berlaku di negara di mana perkawinan itu berlangsung. Setelah suami isteri itu kembali di wilayah Indonesia, paling tidak dalam jangka waktu satu tahun surat bukti perkawinan dapat didaftarkan di kantor pencatatan perkawinan tempat tinggal mereka. Artinya perkawinan antar agama yang dilakukan oleh pasangan suami isteri yang berbeda agama tersebut adalah sah karena dapat diberikan akta perkawinan