pernikahan di bawah umur dalam perspektif hukum …
TRANSCRIPT
19 Fadhlullah & Novi Andriani
PERNIKAHAN DI BAWAH UMUR DALAM PERSPEKTIF
HUKUM PERKAWINAN
Fadhlullah1
Novi Andriani2
1Lecturer of Faculty of Law, University of Muhammadiyah Aceh
2Faculty of law student, University of Muhammadiyah Aceh
Corresponding author: [email protected].
Abstract
Underage marriages are marriages that are not in accordance with Law Number 1
of 1974 on Marriage. Article 7 paragraph (1) states "that marriage is only
permitted if the male has reached the age of 19 and the woman has reached the age
of 16". Underage marriages in Gunung Meriah Subdistrict, Aceh Singkil District
are caused by several factors including low levels of education, a narrow mindset
in understanding and understanding the nature and purpose of marriage, fear of
parents that their children will become spinsters, and the result of free promiscuity
they traveled, so the occurrence of pregnancy out of wedlock. Impact on underage
marriages is affecting psychological conditions, social conditions in society,
divorce, and impacting the law.
Key words: Marriage, Underage, Age
I. PENDAHULUAN
Pernikahan memiliki peran yang sangat strategis dalam kehidupan
bermasyarakat. Pernikahan merupakan gerbang awal untuk membentuk sebuah
keluarga yang merupakan unit terkecil dari sebuah masyarakat. Keluarga yang
merupakan unit terkecil dari masyarakat terdiri dari suami istri, atau suami istri dan
anaknya, atau ayah dengan anaknya, atau ibu dengan anaknya.
Perkawinan adalah sebuah komitmen yang serius antar pasangan dan pesta
pernikahan merupakan sebuah pertanda peresmian hubungan mereka sebagai suami
istri yang secara sosial diakui oleh masyarakat. Duvall & Miller dalam Sarwono
dan Meinarno menjelaskan bahwa pernikahan adalah hubungan pria dan wanita
yang diakui secara sosial yang ditujukan untuk melegalkan hubungan seksual,
Vol. 5 No. 2 ISSN 2087-4758
Jurnal Hukum dan Keadilan
MEDIASI
20 Fadhlullah & Novi Andriani
melegitimasi membesarkan anak, dan membangun pembagian peran di antara
sesama pasangan.1
Tujuan pernikahan tidak terbatas pada hubungan biologis semata. Pernikahan
memiliki tujuan yang lebih jauh dari itu, yaitu mencakup tuntunan hidup yang
penuh kasih sayang sehingga manusia bisa hidup tenang dalam keluarga dan
masyarakat. Untuk mencapai tujuan mulia dari perkawinan tentunya calon
mempelai harus telah masak jiwa raganya sebelum melangsungkan perkawinan.
Kematangan ini diharapkan dapat mewujudkan tujuan perkawinan secara baik
tanpa berfikir pada perceraian dan mendapatkan keturunan yang baik dan sehat.2
Pasal 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, sebagai
hukum positif perkawinan di Indonesia mendefinisikan perkawinan sebagai ikatan
lahir batin antara seorang pria dan wanita sebagai suami-istri dengan tujuan
membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan
Ketuhanan Yang Maha Esa.
Sebelum lahirnya undang-undang perkawinan mengenai tata cara perkawinan
bagi orang indonesia pada umumnya diatur menurut hukum agama dan hukum adat
masing-masing. Dan setelah berlakunya hukum negara yang mengatur mengenai
masalah perkawinan adalah Undang-undang No. 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan. Namun untuk membentuk suatu perkawinan di dalam undang-undang
hukum perkawinan telah di tetapkan syarat-syaratnya seperti mengenai batas usia
untuk dapat melakukan perkawinan (syarat materiil) salah satunya ketentuan
mengenai batas umur minimal tersebut terdapat di dalam Pasal 7 ayat (1) Undang-
1 Marmiati Mawardi, 2012, “Problematika Perkawinan di Bawah Umur”, Jurnal Analisa, Vol.
19 No. 2, Semarang, hlm. 202. 2 Ahmad Rofiq, 2003, Hukum Islam di Indonesia, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, hlm.57.
21 Fadhlullah & Novi Andriani
Undang No. 1 Tahun 1974 yang mengatakan bahwa “perkawinan hanya diizinkan
jika pihak pria sudah mencapai usia 19 tahun dan pihak wanita sudah mencapai
usia 16 tahun”. Di Kecamatan Gunung Meriah Kabupaten Aceh Singkil ini banyak
yang menikah di bawah umur dengan rata-rata usia bagi pria dari 15-17 tahun dan
rata-rata usia bagi wanita 14-15 tahun.
Batasan ini untuk menjaga kesehatan suami istri dan keturunan. Dari adanya
batasan usia ini dapat ditafsirkan bahwa Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974
tidak menghendaki pelaksanaan perkawinan di bawah umur yang telah ditentukan
oleh Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974. Perkawinan di bawah umur bukanlah
suatu yang baru di Indonesia. Praktek ini sudah lama terjadi dengan begitu banyak
pelaku, tidak di kota besar maupun di pedalaman. Sebabnya bervariasi karena
masalah ekonomi, rendahnya pendidikan, pemahaman budaya dan nilai-nilai
agama tertentu, dan lain-lain.3
Pernikahan di bawah umur yang terjadi di masyarakat Kecamatan Gunung
Meriah Kabupaten Aceh Singkil kebanyakan terjadi karena pergaulan bebas dan
berbagai macam masalah antara lain masalah keagamaan, ekonomi dan sosial.
Masalah keagamaan terkait dengan pengalaman keagamaan seseorang, pada
kalangan yang taat beragama menikah di bawah umur sebagai pilihan untuk
menghindari dosa, takut berbuat zina, mengikuti sunah rasul, mengaharapkan
barokah dan sebagainya. Motivasi ekonomi dengan perkawinan mengharap
terangkat derajatnya, ekonomi keluarga meningkat, meringankan beban orang tua
3 Zulfiani, “Kajian Hukum Terhadap Perkawinan Anak di Bawah Umur Menurut Undang-
undang Nomor 1 Tahun 1974”, Jurnal Hukum, Vol. 12 No. 2, hlm 212.
Vol. 5 No. 2 ISSN 2087-4758
Jurnal Hukum dan Keadilan
MEDIASI
22 Fadhlullah & Novi Andriani
dan sebagainya. Masalah sosial misalnya bangga laki-laki bisa mengawini gadis
belia, memiliki kepuasan batin dan sebagainya.
Penyebab terjadinya pernikahan di bawah umur di Kecamatan Gunung Meriah
Kabupaten Aceh Singkil ada beberapa faktor. Diantaranya adalah rendahnya
tingkat pendidikan di masyarakat tersebut. Mereka banyak terpengaruh dengan
pola pikir yang sempit dalam memahami dan mengerti hakikat dan tujuan
pernikahan. Orang tua yang memiliki rasa ingin bebas merawat anak perawannya.
Bahwasanya pendidikan saat ini menurut mereka sangatlah mahal, apalagi anak
mereka tersebut ingin sekolah setinggi-tingginya dan dengan fasilitas yang
memadai, para orang tua merasa terbebani dengan biaya hidup anak perawannya.
Untuk itu mereka mengambil keputusan untuk menikahkan anak perawannya
sesegera mungkin supaya anaknya yang sudah menikah dapat membantu
meringankan beban perekonomian orang tuanya yang sedang kesusahan.
Di dalam pernikahan di bawah umur tersebut belum tentu dapat menjaga
amanah dan tangung jawab sebagai suami istri, bahwa sesungguhnya pasangan
suami istri mesti menyadari dan merasakan bagaimana cara mereka memikul
amanah karena amanah merupakan sebuah tanggung jawab terhadap yang
dipimpinnya.4
Berdasarkan uraian latarbelakang permasalahan di atas, maka dapat
dirumuskan permasalahan dalam penelitian ini, yaitu faktor yang melatar belakangi
terjadinya pernikahan di bawah umur, dan dampak yang terjadi di dalam
pernikahan di bawah umur.
4 Syaikh Mushthafa Masyhur, 2000, Fiqih Dakwah, Jilid 1, Jakarta: Al-I’tishom Cahaya Umat,
hlm.119.
23 Fadhlullah & Novi Andriani
II. METODE PENELITIAN
1. Ruang Lingkup Penelitian
Sesuai dengan judul yang dipilih “Pernikahan Di Bawah Umur Dalam
Perspektif Hukum Perkawinan, maka ruang lingkup penelitian termasuk dalam
Hukum Perdata, Penelitian di lakukan di Wilayah Hukum Aceh Singkil.
2. Definsi Operasional Variabel
a) Pernikahan di bawah umur adalah pernikahan yang tidak sesuai
dengan undang-undang perkawinan Bab II pasal 7 ayat 1 yang
menyatakan bahwa perkawinan hanya dapat diizinkan jika pihak pria
sudah mecapai usia 19 tahun dan pihak pihak wanita sudah mencapai
usia 16 tahun.
b) Pasal 1 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan,
mengatakan bahwa “perkawinan ialah ikatan lahir batin antara
seorang pria dengan wanita sebagai suami istri dengan tujuan
membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal
berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”.
2. Lokasi dan Populasi Penelitian
a. Lokasi Penelitian
Adapun yang menjadi lokasi penelitian adalah di Kecamatan Gunung
Meriah Kabupaten Aceh Singkil.
b. Populasi Penelitian
Populasi dalam penelitian terdiri dari Panitera Mahkamah Syar’iyah
Singkil, Kepala Kantor Urusan Agama (KUA) Aceh Singkil, Imam
Gampong Kecamatan Gunung Meriah Kabupaten Aceh Singkil,
Vol. 5 No. 2 ISSN 2087-4758
Jurnal Hukum dan Keadilan
MEDIASI
24 Fadhlullah & Novi Andriani
Keuchik Gampong Kec. Gunung Meriah Kab. Aceh Singkil,
Masyarakat, Pelaku Pernikahan di Bawah Umur di Kecamatan
Gunung Meriah Kabupaten Aceh Singkil.
3. Cara Pengambilan Sampel
Teknik pengambilan sampel yang dilakukan menggunakan total
sampling yaitu teknik pengambilan sampel dimana jumlah sampel sama
dengan populasi.. Sehingga dengan menganalisa data yang diberikan dari
beberapa orang yang terlibat secara langsung terhadap permasalahan dan
dianggap dapat menjawab pertanyaan mewakili populasi penelitian
sebagaimana telah ditetapkan dalam populasi di atas5.
4. Cara Pengumpulan Data
a. Studi kepustakaan yaitu dengan mempelajari materi-materi bacaan
berupa buku-buku karangan ilmiah, dan peraturan perundang-
undangan yang berlaku.
b. Penelitian lapangan yaitu teknik pengumpulan data dengan cara
mendapatkan informasi mengenai hal yang ditelitindari instansi
terkait serta pengumpulan data-data yang berkaitan dengan masalah
yang dibahas guna menunjang pembahasan masalah. Pencarian data
tersebut melalui narasumber atau responden, yaitu orang yang kita
jadikan objek penelitian atau orang yang kita jadikan sebagai sarana
mendapatkan informasi atau data.6
5 Suharsimi Arikonto, 2005, Manajemen Penelitian, Rineka Cipta, Jakarta, hlm. 97.
6 Umi Narimawati, 2008, Metodologi Penelitian Kualitatif dan Kuantitatif Teori dan Aplikasi,
Agung Media, Bandung, hlm.34.
25 Fadhlullah & Novi Andriani
5. Cara Menganalisa Data
Data dari hasil penelitian kepustakaan (library reseach) maupun dari
penelitian lapangan (field reseach) yang telah terkumpul, diolah dan dianalisa
dengan menggunakan pendekatan kualitatif, yaitu cara penelitian yang
menghasilakan data deskriptif analisi yaitu yang dinyatakan oleh responden
secara tertulis atau lisan serta tingkah laku yang nyata, yang dipelajari dan
diteliti sebagai suatu yang utuh.
III. HASIL PENELITIAN DAN ANALISIS
A. Pengertian Pernikahan di Bawah Umur
Perkawinan adalah suatu hal yang penting dalam realita kehidupan
umat manusia.7 Perkawinan juga merupakan kebutuhan hidup seluruh umat
manusia sejak zaman dahulu hingga sekarang. Dari perkawinan akan timbul
hubungan hukum antara suami istri dan kemudian dengan lahirnya anak, maka
menimbulkan hubungan hukum antara orangtua dan anak-anak mereka.8
Menurut Pasal 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan, yang selanjutnya disebut Undang-undang Perkawinan,
mengatakan bahwa “ perkawinan ialah ikatan lahir antara seorang pria dengan
seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah
tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”.
7 Abdul Manan, 2008, Aneka Masalah Hukum Perdata Islam di Indonesia, Jakarta: Kencana
Prenada Media Groub, hlm. 1. 8 Mohd. Idris Ramulyo, 2004, Hukum Perkawinan Islam (Suatu Analisis dari Undang-undang
No. 1 Tahun 1974 dan Kompilasi Hukum Islam), Jakarta: Bumi Aksara, hlm. 2.
Vol. 5 No. 2 ISSN 2087-4758
Jurnal Hukum dan Keadilan
MEDIASI
26 Fadhlullah & Novi Andriani
Menurut Dlori mengemukakan bahwa pernikahan di bawah umur
merupakan sebuah perkawinan yang target persiapannya belum dikatakan
maksimal persiapan fisik, persiapan mental, juga persiapan materi. Karena
demikian inilah maka pernikahan di bawah umur bisa dikatakan sebagai
pernikahan terburu-buru, sebab segalanya belum dipersiapkan secara matang.9
Ada beberapa pengertian pernikahan di bawah umur dalam perspektif
hukum perkawinan, adalah sebagai berikut:
a. Pernikahan di bawah umur menurut konsep Undang-undang No. 1 Tahun
1974 tentang Perkawinan
Berdasarkan Undang-undang Republik Indonesia yang berlaku
hingga sekarang, pengertian dewasa dan belum dewasa belum ada
pengertiannya. Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan,
hanya mengatur tentang, izin orang tua bagi orang yang akan
melangsungkan perkawinan apabila belum mencapai umur 21 tahun (pasal
6 ayat 2) artinya pria maupun wanita yang ingin menikah harus
mendapatkan izin orang tua apabila belum genap 21 tahun, umur minimal
untuk diiznkan melangsungkan perkawinan, yaitu pria 19 tahun dan
wanita 16 tahun (pasal 7 ayat 2), anak yang belum mencapai umur 18
tahun atau belum pernah kawin, berada dalam kekuasaan orang tua (Pasal
57 ayat (2)), anak yang belum mencapai umur 18 tahun atau belum pernah
kawin, berada dibawah kekuasaan orang tuanya, berada di bawah
kekuasaan wali (Pasal 50 ayat 1).
9 Muhammad M. Dlori, 2005, Jeritan Nikah Dini, wabah, Pergaulan, Yogyakarta: Binar Press,
hlm. 5.
27 Fadhlullah & Novi Andriani
Ketentuan mengenai batas umur dalam pasal 7 ayat (1) Undang-
Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yang mengatakan
bahwa, “perkawinan hanya diizinkan jika pihak pria sudah mencapai usia
19 tahun dan pihak wanita sudah mencapai usia 16 tahun”. Dari hal
tersebut dapat dikatakan bahwa UU No. 1 tahun 1974 tidak menghendaki
pelaksanaan perkawinan di bawah umur.
b. Perkawinan di bawah umur menurut konsep Hukum Adat
Soekanto mengatakan bahwa perkawinan itu bukan hanya satu
peristiwa yang mengenai mereka yang bersangkutan (perempuan dan laki-
laki menikah) saja, akan tetapi juga bagi orang tuannya, saudara-
saudaranya dan keluarganya.10
Menurut Hilman Hadikusuma, asas-asas perkawinan menurut
Hukum Adat adalah sebagai berikut :
1. Perkawinan bertujuan untuk membentuk keluarga, rumah tangga dan
hubungan kerabat yang rukun, damai, bahagia dan kekal.
2. Perkawinan tidak saja harus sah dilaksanakan menurut agama atau
kepercayaan, tetapi juga harus mendapat persetujuan dari para anggota
kerabat.
3. Perkawinan harus didasarkan pada persetujuan orang tua dan anggota
kerabat, masyarakat adat dapat menolak kedudukan sitri atau suami
yang tidak diakui oleh masyarakat adat setempat.
c. Perkawinan di bawah umur menurut konsep Kompilasi Hukum Islam
Allah SWT mensyariatkan perkawinan kepada umat manusia dan
menetapkan seperangkat ketentuan (syuruth dan arkan) untuk
mengokohkan institusinya. Di samping itu dia juga memperindahnya
10
Tolib Setiady, 2008, Intisari Hukum Adat Indonesia dalam Kajian Kepustakaan, Bandung:
Alfabeta, hlm. 221.
Vol. 5 No. 2 ISSN 2087-4758
Jurnal Hukum dan Keadilan
MEDIASI
28 Fadhlullah & Novi Andriani
dengan etik dan tuntunan-tuntunan moral (adab dan fadha’il). Allah SWT
telah menjadikan utusan-Nya, Muhammad SAW sebagai uswah hasanah
yang sepatutnya diteladani, dimana dia terekam dalam lembaran-lembaran
sejarah menikahi gadis perawan (nikr) dan janda (thayyib), dan juga
pernah mengawini wanita muda (saghirah) dan tua (kabirah).
Keseluruhan istrinya itu terpilih atas pertimbangan ilahiyah yang jauh dari
kalkulasi-kalkulasi fisik dan materi.11
Secara umum dalam menjawab hukum perkawinan di bawah umur,
pendapat para fuqaha dikategorikan menjadi 3 kelompok. Pertama,
pandangan jumhur fuqaha yang membolehkan perkawinan di bawah umur.
Walaupun demikian, kebolehan ini serta merta membolehkan adanya
hubungan badan. Kedua, pandangan yang dikemukakan oleh Ibnu
Syubrumah dan Abu Bakar al-Alsham, menyatakan bahwa perkawinan di
bawah umur hukumnya terlarang secara mutlak. Ketiga, pandangan yang
dikemukakan oleh Ibnu Hazm. Beliau memilah antara perkawinan anak
lelaki kecil dan anak perempuan kecil. Jika perkawinan anak perempuan
kecil oleh bapaknya diperbolehkan, sedangkan perkawinan anak lelaki
kecil dilarang. Argumen yang dijadikan landasan adalah zhahir hadist
perkawinan Aisyah RA dengan Nabi Muhammada SAW.12
11
Yusuf Hanafi, 2011, Kontoversi Perkawinan di Bawah Umur, Malang: Mandar Maju, hlm. 37.
12 Asroun Ni’am, 2009, Pernikahan Usia Dini dalam Perspektif Fikih Munakahah, dalam Ijma
Ulama, Majelis Ulama Indonesia, hlm. 214-218.
29 Fadhlullah & Novi Andriani
B. Faktor-faktor Penyebab Terjadinya Pernikahan di Bawah Umur di
Wilayah Kecamatan Gunung Meriah Kabupaten Aceh Singkil
a. Faktor ekonomi
Orang tua menikahkan anaknya yang masih di bawah umur karena
factor ekonomi yaitu untuk memenuhi kebutuhan atau kekurangan biaya
hidup oaring tuanya. Selain itu orang tua menganggap bahwa dengan
menikahkan anaknya yang masih di bawah umur akan mengurangi beban
ekonomi keluarga. Sebab dengan menyelenggarakan perkawinan yang
masih di bawah umur akan menerima sumbangan-sumbangan berupa bahan
pokok seperti beras ataupun sejumlah uang dari handai taulannya yang
selanjutnya dapar dipergunakan untuk menutup biaya kebutuhan sehari-hari
dalam beberapa waktu lamanya. Masyarakat Kecamatan Gunung Meriah
tidak semua dapat mencukupi ataupun memenuhi kebutuhan keluarga
karena keadaan ekonomi anatara keluarga yang satu dengna keluarga
lainnya berbeda. Masyrakat di Kecamatan Gunung Meriah mempunyai
beranekaragam mata pencaharian. Mata pencaharian tersebut antara lain
nelayan, petani, wiraswasta, dan PNS.
Menurut Ibu SL (orang tua). Ibu SL keluarga yang kerja sebagai
buruh di PT. Perkebunan Sawit, keadaan keluarga Ibu SL dapat dikatakan
kurang mampu, bagi mereka untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari tidak
mudah dengan pekerjaan sebagai buruh perkebunan. Ibu SL mempunyai
seorang anak dan sudah memiliki pedamping (pacar) dan sudah lulus
sekolah menengah pertama, Ibu SL menyarankan untuk menikahkan
anaknya dengan pacarnya tersebut. Dengan anaknya segera menikah Ibu SL
Vol. 5 No. 2 ISSN 2087-4758
Jurnal Hukum dan Keadilan
MEDIASI
30 Fadhlullah & Novi Andriani
berharap suami dari anaknya itu dapat membantu pekerjaan dan kebutuhan
keluarganya terutama kebutuhan anaknya. Selain itu jika anak gadisnya
menikah maka ia dapat memikirkan lagi anak laki-lakinya yaitu adik dari
anak gadisnya itu. Adiknya itu sudah kelas 6 (enam) SD dan akan segera
tamat, maka Ibu SL memerlukan biaya untuk kebutuhan masuk sekolah
menengah pertama anak laki-lakinya.13
b. Faktor rendahnya kesadaran terhadap pentingnya pendidikan
Orang tua menikahkan anak yang masih usia belia tidak hanya
karena keadaan ekonomi yang kurang mampu, tetapi rendahnya kesadaran
orang tua terhadap pentingnya pendidikan anak pun menjadi salah satu
pemicu berlangsungnya sebuah perkawinan. Dengan pendidikan orang tua
yang hanya lulus sekolah dasar bahkan ada juga yang tidak sekolah sama
sekali (buta huruf) dengan mudahnya untuk segera melangsungkan sebuah
perkawinan kepada anak-anaknya. Karena orang tua yang kurang mengerti
ataupun memahami sebuah perkawinan yang ideal, orang tua yang hanya
lulus sekolah dasar atau tidak sekolah sama sekali (buta huruf) ia hanya
melihat anak yang sudah besar sehingga ia berfikir sudah waktunya untuk
menikah. Dengan Bapak LM dan Ibu ML (orang tua). Keluarga Bapak LM
dapat dikatakan sudah mampu dalam hal memenuhi kebutuhan keluarga, ia
termasuk keluarga yang mampu (kaya) tetapi Bapak LM dan Ibu ML
kurang begitu memperhatikan pendidikan anak-anaknya, dilihat dari
keluarga yang mampu (kaya) tidak sulit lagi untuk membiayai sekolah
13
Saliah (Ibu dari Hidayani), Pelaku Pernikahan di Bawah Umur Kecamatan Gunung Meriah,
Kabupaten Aceh Singkil, Wawancara, tanggal 06 Maret 2018, Aceh Singkil.
31 Fadhlullah & Novi Andriani
anaknya. Tetapi itu tidak dilakukan oleh keluarga Bapak LM dan Ibu ML
karena dengan alasan tidak ada biaya, anak perempuannya jadi tidak perlu
sekolah tinggi dan lain sebagainya. Padahal melanjutkan sekolah adalah
harapan NL semasa masih duduk di sekolah menengah pertama, ia berharap
dapat melanjutkan sekolah tetapi orang tua tidak mengijinkannya akhirnya
ia memilih untuk menikah sebagaimana kemauan dengan pilihan orang
tuanya14
.
c. Faktor kekhawatiran orang tua
Keluaga yang mempunyai seorang anak gadi sudah besar tapi belum
mempunyai pendamping (pacar) maka orang tua merasa tidak tenang, orang
tua merasa gelisah, dan cemas. Jika anak gadisnya belum mempunyai
pendamping (pacar) maka orang tua segera mecarikan jodoh untuk anknya
itu belum tentu anaknya menyetujuinya. Tetapi orang tua selalu berusaha
keras mencarikan pendamping (pacar) untuk anaknya. Orang tuamerasa
takut anaknya menjadi perawan tua, orang tua merasa malu dengan
tetangga, masyarakat sekitar akan dikatakan tidak laku dan lain sebagainya.
Ketika anak gadisnya sudah mempunyai pendamping (pacar) tetapi belum
menikah juga orang tua merasa cemas, dan takut, takut mengalami hal-hal
yang tidak diinginkan yang dapat mencemari nama baik keluarga. Maka
dari itu orang tua segera merencanakan untuk kejenjang selanjunya yaitu
perkawinan, perkawinan adalah jalan satu-satunya yang diharapkan oleh
14
Lomos dan Marlaini (Orang tua dari Nurleili), Pelaku Pernikahan di Bawah Umur Kecamatan
Gunung Meriah, Kabupaten Aceh Singkil, Wawancara, tanggal 06 Maret 2018, Aceh Singkil.
Vol. 5 No. 2 ISSN 2087-4758
Jurnal Hukum dan Keadilan
MEDIASI
32 Fadhlullah & Novi Andriani
orang tua agar supaya anaknya mendapatkan kebahagiaan, ketika anaknya
sudah menikah maka orang tua merasa tenang dan bahagia.
Maka orang tua segera mencarikan pendamping (pacar) untuk
anaknya, ketika anaknya belum mempunyai pendamping (pacar), orang tua
merasa cemas, gelisah, merasa malu sama tetangga, dan sama masyarakat
sekitar. Setelah menemukan laki-laki yang dianggap cocok dengan
anaknya, maka tidak sabar untuk segera menikahkannya (naik pelaminan).
Mungkin awalnya anak kurang menyetujui dengan pilihan orang tua tetapi
ketika orang tua memaksa maka anak pun tidak dapat menolaknya selain itu
melihat sudah lulus sekolah dasar.15
d. Faktor lingkungan
Orang tua menikahkan anaknya bukan hanya karena keadaan
ekonomi, rendahnya kesadaran orang tua terhadap pendidikan, dan
kekhawatiran orang tua akan tetapi lingkungan tempat mereka tinggal pun
sangat mempengaruhi pola piker mereka (orang tau maupun anak).
Keluarga yang mempnyai anak perempuan maupun laki-laki, lebih-lebih
anak perempuan belum memiliki pendamping (pacar) melihat anak yang
seusia anaknya sudah memiliki pendamping (pacar) apalagisudah menikah
maka orang tua merasa cemas, dan gelisah, ia bersaha mencarikan
pendamping (pacar) untuk anaknya. Lingkungan sekitar, tetangga, saudara
pun selalu menanyakan “kapan menikah lihat teman-teman sebaya mu
15
Ardianto dan Patini (Orang tua dari Eka Syahfitri), Pelaku Pernikahan di Bawah Umur
Kecamatan Gunung Meriah, Kabupaten Aceh Singkil, Wawancara, tanggal 07 Maret 2018, Aceh
Singkil.
33 Fadhlullah & Novi Andriani
sudah pada menikah apakah tidak malu tinggal kamu sendiri yang belum
menikah”. Dari itu SS berkeinginan untuk segera naik pelaminan, ia
menikah dengan pilihan orang tua maupun pilihannya sendiri tidak masalah
bagi SS. Sejak itu pula ia mencoba mencari pendamping (pacar) untuk
dijadikan istri, tidak lama ia menemukan calon istri yaitu AS yang sekarang
menjadi istrinya.16
Menurut Bapak Thaharuddin, SH, beliau mengatakan ada beberapa
faktor yang melatar belakangi terjadinya pernikahan di bawah umur:
1. Belum adanya pemahaman atau kurangnya pengetahuan masyarakat
mengenai pernikahan usia muda serta bagaimana dampaknya
terhadap anak-anak mereka.
2. Masih adanya pemikiran bahwa anak perempuan tidak perlu sekolah
jauh-jauh apalagi sampai kuliah, yang penting anak itu bisa baca dan
menulis itu sudah cukup bagi mereka dan setelah itu anak
perempuan itu sudah bisa menikah, orang tua tidak pernah
mempertimbangkan umur anak perempuan mereka terpenting anak
perempuan mereka bisa memasak dan mengurus suami. Karena
meskipun pendidikan anak perempuan mereka tinggi pada akhirnya
akan kembali ke dapur juga.
3. Adanya anggapan dalam masyarakat bahwa anak perempuan yang
telah berusia remaja dan belum menikah maka akan dianggap
perawan tua dan tidak laku. Hal ini juga yang menyebabkan orang
tua segera menikahkan anaknya.
4. Tidak sekolah atau putus sekolah. Karena putus sekolah para remaja
biasanya lebih memilih untuk menikah dibandingkan untuk
melanjutkan sekolahnya. Karena dapat menaikkan taraf
perekonomian hidupnya.
5. Pergaulan bebas, yang mengakibatkan terjadinya hamil di luar
nikah. Dan solusi yang terbaik adalah menikahkan mereka agar tidak
membuat malu keluarga.
16
Syahputra Sutarmin dan Ayu Sarah (Suami Istri), Pelaku Pernikahan di Bawah Umur
Kecamatan Gunung Meriah, Kabupaten Aceh Singkil, Wawancara, tanggal 08 Maret 2018, Aceh
Singkil.
Vol. 5 No. 2 ISSN 2087-4758
Jurnal Hukum dan Keadilan
MEDIASI
34 Fadhlullah & Novi Andriani
6. Faktor kemauan sendiri, atas dasar suka sama suka dan saling cinta
sehingga menyebabkan terjadinya pernikahan di bawah umur. Dan
banyak faktor-faktor lain yang berasal dari diri mereka sendiri.17
C. Dampak Terhadap Suatu Pernikahan di Bawah Umur di Wilayah
Kecamatan Gunung Meriah Kabupaten Aceh Singkil
Pernikahan di bawah umur mempunyai dampak negatif yang membuat
para remaja menjadi tergesa-gesa untuk menikah pada usia muda. Karena
menikah adalah suatu hal yang dilakukan seumur hidup sekali dan harus siap
secara mental dan fisik agar tidak terjadi kegagalan dalam berumah tangga.
Banyak orang dewasa yang gagal dalam berumah tangga, hal itu di karenakan
ketidak serasian serta lemahnya pendirian, dan akhirnya perceraian menjadi
pilihan mereka, apalagi menikah pada usia di bawah umur tentunya banyak
sekali rintangan yang harus dihadapi untuk menjaga utuhnya rumah.
Berdasarkan hasil wawancara dengan Syamsuwir, ada beberapa
dampak yang dapat terjadi dari pernikahan di bawah umur:
1. Dampak biologis
Anak secara biologis alat-alat reproduksinya masih dalam proses menuju
kematangan sehingga belum siap untuk melakukan hubungan seks dengan
lawan jenisnya, apalagi jika sampai hamil kemudian melahirkan. Jika
dipaksakan justru akan terjadi perobekan yang luas dan infeksi yang akan
membahayakan organ reproduksinya sampai membahayakan jiwa anak.
Patut dipertanyakan apakah hubungan seks yang demikian atas dasar
17
Thaharuddin, Panitera Mahkamah Syar’iah Singkil, Kabupaten Aceh Singkil, Wawancara,
tanggal 02 Maret 2018 di Aceh Singkil.
35 Fadhlullah & Novi Andriani
kesetaraan dalam hak reproduksi antara istri dan suami atau adanya
kekerasan seksual dan pemaksaan (penggagahan) terhadap seorang anak.
2. Dampak psikologis
Menurut para psikolog, ditinjau dari sisi sosial, pernikahan di usia dini
dapat mengurangi harmonisasi dalam keluarga. Hal ini disebabkan oleh
emosi kedua pasangan yang masih labil, gejolak darah muda dan cara
berpikir yang belum matang.Secara psikis anak juga belum siap dan
mengerti tentang hubungan seks, sehingga akan menimbulkan trauma
psikis berkepanjangan dalam jiwa anak yang sulit disembuhkan. Anak
akan murung dan menyesali hidupnya yang berakhir pada perkawinan
yang dia sendiri tidak mengerti atas putusan hidupnya. Selain itu, ikatan
perkawinan akan menghilangkan hak anak untuk memperoleh pendidikan
(wajar 9 tahun), hak bermain dan menikmati waktu luangnya serta hak-
hak lainnya yang melekat dalam diri anak.
3. Dampak sosial
Dari dampak sosial dapat dirasakan bahwa adanya rasa dikucilkan oleh
beberapa masyarakat setempat tempat mereka tinggal.
4. Dampak terhadap hukum
Adanya pelanggaran terhadap UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan,
dan UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.
5. Dampak perilaku seksual menyimpang
Adanya perilaku seksual yang menyimpang yaitu prilaku yang gemar
berhubungan seks dengan anak-anak yang dikenal dengan istilah
Vol. 5 No. 2 ISSN 2087-4758
Jurnal Hukum dan Keadilan
MEDIASI
36 Fadhlullah & Novi Andriani
pedofilia.18
Perbuatan ini jelas merupakan tindakan ilegal (menggunakan
seks anak), namun dikemas dengan perkawinan seakan-akan menjadi
legal. Hal ini bertentangan dengan UU No. 23 Tahun 2002 tentang
Perlindungan Anak khususnya Pasal 81, ancaman pidana penjara
maksimum 15 tahun, minimum 3 tahun dan pidana denda maksimum 300
juta dan minimum 60 juta rupiah. Apabila tidak diambil tindakan hukum
terhadap orang yang menggunakan seksualitas anak secara ilegal akan
menyebabkan tidak ada efek jera dari pelaku bahkan akan menjadi contoh
bagi yang lain.
IV. KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan
Pernikahan di bawah umur adalah pernikahan yang tidak sesuai dengan
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Pasal 7 ayat (1)
menyatakan “bahwa perkawinan hanya diizinkan jika pihak pria sudah
mencapai usia 19 tahun dan pihak waita sudah mencapai usia 16 tahun”.
Pernikahan di bawah umur di Kecamatan Gunung Meriah Kabupaten Aceh
Singkil disebabkan oleh beberapa faktor diantaranya adalah rendahnya tingkat
pendidikan, pola pikir yang sempit dalam memahami dan mengerti hakikat dan
tujuan pernikahan, rasa takut orang tua bahwa anaknya akan menjadi perawan
tua, dan akibat pergaulan bebas yang mereka tempuh, sehingga terjadinya
hamil diluar nikah. Dampak terhadap Pernikahan di bawah umur yaitu
18
Syamsuwir, Kepala Kantor Urusan Agama (KUA) Kecamatan Gunung Meriah, Kabupaten
Aceh Singkil, Wawancara, tanggal 05 Maret 2018, Aceh Singkil.
37 Fadhlullah & Novi Andriani
berdampak pada keadaan psikologis, keadaan sosial dalam masyarakat,
perceraian, serta berdampak pada hukum.
B. Saran
Diharapkan kepada orang tua dan masyarakat supaya dalam
perkawinan anak-anaknya yang dibawah umur harus semaksimal mungkin
dihindari demi masa depan anak-anaknya dalam rangka memperoleh
pendidikan dan kesempatan yang layak untuk memimilih pasangannya
masing-masing. Disamping itu jga sangat diharapkan peran pemerintah untuk
mencegah terjadinya pernikahan dibawah umur di Kecamatan Gunung Meriah
Kabupaten Aceh Singkil.
DAFTAR PUSTAKA
A. BUKU
Abdul Manan, 2008, Aneka Masalah Hukum Perdata Islam di Indonesia, Kencana
Prenada Media Groub, Jakarta.
Ahmad Rofiq, 2003, Hukum Islam di Indonesia, PT Raja Grafindo Persada,
Jakarta.
Asroun Ni’am, 2009, Pernikahan Usia Dini dalam Perspektif Fikih Munakahah,
dalam Ijma Ulama, Majelis Ulama Indonesia.
Muhammad M. Dlori, 2005, Jeritan Nikah Dini, wabah, Pergaulan, Yogyakarta:
Binar Press.
Mohd. Idris Ramulyo, 2004, Hukum Perkawinan Islam (Suatu Analisis dari
Undang-undang No. 1 Tahun 1974 dan Kompilasi Hukum Islam), Jakarta:
Bumi Aksara.
Syaikh Mushthafa Masyhur, 2000, Fiqih Dakwah, Jilid 1, Al-I’tishom Cahaya
Umat, Jakarta.
Suharsimi Arikonto, 2005, Manajemen Penelitian, Rineka Cipta, Jakarta.
Vol. 5 No. 2 ISSN 2087-4758
Jurnal Hukum dan Keadilan
MEDIASI
38 Fadhlullah & Novi Andriani
Tolib Setiady, 2008, Intisari Hukum Adat Indonesia dalam Kajian Kepustakaan,
Alfabeta, Bandung.
Ukasyah Athibi, 1998, Wanita Mengapa Merosot Akhlaknya, Gema Insani,
Jakarta.
Umi Narimawati, 2008, Metodologi Penelitian Kualitatif dan Kuantitatif Teori dan
Aplikasi, Agung Media, Bandung.
Yusuf Hanafi, 2011, Kontoversi Perkawinan di Bawah Umur, Mandar Maju,
Malang.
B. JURNAL
Marniati Mawardi, 2018, “Problematika Perkawinan di Bawah Umur”, Jurnal
Analisa, Vol. 19 No. 2.
Zulfiani, “Kajian Hukum Terhadap Perkawinan Anak di Bawah Umur Menurut
Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974”, Jurnal Hukum, Vol. 12 No. 2.
C. PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, Lembaran Negara
Nomor 1 Tahun 1974.
Undang-undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 tentang Pendidikan
Nasional.
Undang-undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang PTPPO.
Undang-undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak.
Peraturan Pemerintah Nomor 61 Tahun 2014 tentang Kesehatan Reproduksi.