persalinan dengan parut uterus

82
LAPORAN KASUS PERSALINAN DENGAN PARUT UTERUS OLEH : Gipsy Ayu Baby Larasati (0602005165) Oktovia Berlian K. (0602005182) PEMBIMBING: dr. Made Agus Supriatmaja, Sp.OG PENGUJI: dr. Iswara Somadina Duarsa, Sp.OG 1

Upload: gipsy-larasati

Post on 30-Jun-2015

4.248 views

Category:

Documents


21 download

DESCRIPTION

Done 24.02.2011 :)♥

TRANSCRIPT

LAPORAN KASUS

PERSALINAN DENGAN PARUT UTERUS

OLEH :

Gipsy Ayu Baby Larasati (0602005165)

Oktovia Berlian K. (0602005182)

PEMBIMBING:

dr. Made Agus Supriatmaja, Sp.OG

PENGUJI:

dr. Iswara Somadina Duarsa, Sp.OG

DALAM RANGKA MENJALANI KEPANITERAAN KLINIK MADYA

SMF/BAGIAN OBSTETRI DAN GINEKOLOGI

FK UNIVERSITAS UDAYANA/RSU NEGARA

FEBRUARI 2011

1

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, karena atas karunia-

Nya sehingga akhirnya laporan kasus ini dapat diselesaikan tepat pada waktunya.

Laporan kasus ini membahas “Persalinan dengan Parut Uterus” yang

disusun untuk memenuhi salah satu persyaratan dalam rangka mengikuti

Kepaniteraan Klinik Madya (KKM) di Bagian Obstetri dan Ginekologi Fakultas

Kedokteran Universitas Udayana, Rumah Sakit Umum Negara.

Dalam penyusunan tugas ini, penulis banyak memperoleh bimbingan dan

petunjuk-petunjuk, serta bantuan dan dukungan dari berbagai pihak. Melalui

kesempatan ini, penulis mengucapkan terima kasih yang kepada yang terhormat :

1. Dr. Made Agus Supriatmaja, SpOG selaku Kepala Bagian/SMF Obstetri dan

Ginekologi RSU Negara dan sebagai pembimbing dalam penyusunan laporan

kasus ini.

2. Dr. Iswara Somadina Duarsa, SpOG selaku penguji laporan kasus ini.

3. Para residen bagian obstetrik dan ginekologi, bidan, dan staf medis RSU

Negara serta pihak-pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu.

Penulis menyadari bahwa Laporan Kasus ini masih jauh dari kesempurnaan,

untuk itu saran dan kritiknya sangat kami harapkan demi penyempurnaan karya ini.

Semoga makalah ini bisa memberikan sumbangan ilmiah bagi dunia kedokteran

terutama bidang Obstetri dan Ginekologi serta bermanfaat bagi masyarakat Indonesia.

Negara, Februari 2011

Penulis

2

DAFTAR ISI

Halaman

KATA PENGANTAR...................................................................................... i

DAFTAR ISI.................................................................................................... ii

BAB I. PENDAHULUAN............................................................................. 1

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA.................................................................... 2

2.1 Definisi.............................................................................................. 2

2.2 Prevalensi........................................................................................... 2

2.3 Faktor-Faktor Penyebab Mulainya Persalinan................................... 2

2.4 Indikasi dan Kontraindikasi............................................................... 3

2.5 Tahapan Persalinan............................................................................ 5

2.6 Mekanisme Persalinan Normal.......................................................... 7

2.7 Pemantauan Persalinan dengan Partograf WHO............................... 10

2.8 Pimpinan Persalinan………………………………………………... 18

2.9 Komplikasi…………………………………………………………. 26

BAB III. LAPORAN KASUS.......................................................................... 31

BAB IV. PEMBAHASAN............................................................................... 42

BAB V. RINGKASAN.................................................................................... 46

DAFTAR PUSTAKA....................................................................................... 49

3

BAB I

PENDAHULUAN

Seksio sesarea meningkat cepat di tahun tujuh puluhan dan awal delapan

puluhan. Wanita melahirkan dengan seksio sesarea dilaporkan meningkat empat kali

dibanding 30 tahun sebelumnya. Sebabnya multifaktorial, termasuk di antaranya

meningkatnya indikasi seksio sesarea ulang pada kehamilan dengan parut uterus.

Sampai saat ini belum ada hasil penelitian berdasarkan Randomised Controlled Trial

(RCT) untuk menilai keuntungan atau kerugian antara persalinan dan seksio sesarea

ulang pada kasus kehamilan dengan parut uterus. Terdapat 4 indikasi utama untuk

melakukan seksio saesarea, yaitu (1) distosia, (2) gawat janin, (3) kelainan letak, dan

(4) parut uterus. Kehamilan dan persalinan setelah wanita melahirkan dengan seksio

sesarea akan mendapat resiko tinggi terjadinya morbiditas dan mortalitas yang

meningkat berkenaan dengan parut uterus.1

Indikasi parut uterus berkisar 25 - 30% dari angka kenaikan seksio sesarea di

Amerika Serikat. Dilihat dari angka kejadian seksio sesarea, dilaporkan bahwa di

Amerika Serikat prevalensi seksio sesarea dengan indikasi parut uterus sebesar 35%,

Australia 35%, Skotlandia 43%, dan Perancis 28%. Di tahun sembilan puluhan,

angka seksio sesarea atas indikasi parut uterus menurun dengan dikembangkannya

persalinan pada parut uterus, Vaginal Birth After Cesarean (VBAC) atau dikenal pula

sebagai Trial of Labor After Cesarean (TOLAC). Di Amerika Serikat pada tahun dua

ribuan, dari 10 wanita yang melahirkan pervaginam terdapat satu wanita dengan parut

uterus. Di Bandung (RS Hassan Sadikin) prevalensi seksio sesarea dengan parut

uterus adalah 10%, tetapi indikasi awal tidak selalu karena parut uterus. Angka

kejadian seksio sesarea primer dan VBAC di Amerika Serikat 1989 - 1998 dilaporkan

sebagai berikut : seksio sesarea 20,7 - 22,8% dari seluruh persalinan hidup, seksio

sesarea primer 14,6 – 16,1% pada wanita yang belum pernah mendapat seksio sesarea

dan 18,9 – 28,3% wanita melahirkan pervaginam dengan parut uterus (VBAC) 1.

4

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi

Persalinan adalah suatu proses pengeluaran hasil konsepsi yang dapat hidup

dari dalam uterus melalui vagina ke dunia luar.1 Kehamilan dengan jaringan parut

uterus adalah kehamilan yang disertai riwayat seksio sesaria sebanyak satu kali atau

lebih atau pasca miomektomi atau kornuektomi pada kehamilan sebelumnya.2 Hal-hal

yang perlu diketahui sebelum memutuskan persalinan perabdominan atau pervaginam

pada kehamilan dengan jaringan parut uterus adalah indikasi seksio sesarea

sebelumnya, berapa kali persalinan dengan seksio sesarea, jenis sayatan, komplikasi

operasi, dan riwayat persalinan.3

2.2 Prevalensi

Di Amerika Serikat, persalinan setelah seksio sesarea meningkat dari 3% pada

tahun 1980, 20% pada tahun 1990, dan 28% pada tahun 1996. Hal ini disebabkan

oleh mulai diperkenalkannya Vaginal Birth After Cesarean (VBAC) dan Trial of

Labor After Cesarean (TOLAC). Namun, angka ini menurun sebanyak 7,6 – 8,5%

pada tahun 2006. Makin sedikit ibu hamil yang melakukan TOLAC. Hal ini berkaitan

dengan rekomendasi yang dikeluarkan oleh American College of Obstetricians and

Gynecologists yang menyatakan keperluan personil dan fasilitas yang spesifik untuk

melakukan TOLAC ataupun VBAC. Pasien juga makin banyak yang mengetahui

tentang resiko kegagalan VBAC. Padahal angka keberhasilan VBAC adalah 60 –

80%.3

2.3 Faktor-faktor Penyebab Mulainya Persalinan

Suatu persalinan ditandai dengan peningkatan aktivitas miometrium dari

aktivitas jangka panjang dan frekuensi rendah, menjadi aktivitas tinggi dengan

frekuensi yang lebih tinggi. Kondisi ini menghasilkan suatu keadaan menipis dan

membukanya serviks uterus. Pada persalinan normal terdapat juga hubungan antara

5

waktu dengan perubahan biokimiawi jaringan ikat serviks yang menyebabkan

kontraksi uterus dan pembukaan serviks. Semua peristiwa tersebut terjadi sebelum

pecahnya selaput ketuban.4

Sebab terjadinya partus sampai kini masih merupakan teori-teori yang

kompleks. Faktor-faktor humoral, pengaruh prostaglandin, struktur dan sirkulasi

darah uterus, pengaruh saraf, dan nutrisi disebut sebagai faktor-faktor yang

mengakibatkan partus dimulai. Perkembangan ilmu biokimia dan biofisika telah

banyak mengungkapkan proses dimulai dan berlangsungnya partus, antara lain

penurunan kadar hormon estrogen dan progesteron. Seperti diketahui progesteron

merupakan penenang bagi otot-otot uterus. Penurunan kadar kedua hormon ini terjadi

kira-kira 1-2 minggu sebelum partus dimulai. Kadar prostaglandin dalam kehamilan

dari minggu ke 15 hingga aterm meningkat terlebih sewaktu partus.1,5

Pengaruh hormon hanya sebagian dari banyak faktor-faktor kompleks yang

dapat membangkitkan his. Selanjutnya dengan berbagai tindakan, persalinan dapat

juga dimulai (induction of labor) misalnya : 1) merangsang pleksus Frankenhauser

dengan memasukkan gagang laminaria dalam kanalis servikalis, 2) pemecahan

ketuban, 3) penyuntikan oksitosin (sebaiknya dengan jalan intravena), 4) pemakaian

prostaglandin, dan sebagainya. Dalam menginduksi persalinan perlu diperhatikan

bahwa serviks sudah matang (serviks sudah pendek dan lembek), dan kanalis

servikalis terbuka minimal satu jari.1,5

2.4 Indikasi dan Kontraindikasi

Indikasi VBAC :

Rekomendasi American College of Obstetricians and Gynecologists (1999)

untuk pemilihan kandidat persalinan setelah saesar (VBAC)1 :

Riwayat satu atau dua seksio sesarea dengan insisi transversal rendah.

Panggul lapang secara klinis.

Tidak ada jaringan parut uterus lain atau riwayat ruptur.

Tersedia dokter selama persalinan aktif yang mampu memantau persalinan

dan melakukan seksio sesarea darurat.

6

Ketersediaan anestesi dan petugasnya untuk seksio sesarea darurat.

Kontraindikasi VBAC1 :

1. Kontraindikasi dilakukan persalinan secara umum

2. Luka parut uterus jenis klasik

3. Jenis luka T terbalik atau jenis parut yang tidak diketahui

4. Luka parut pada otot rahim di luar Segmen Bawah Rahim (SBR)

5. Bekas uterus ruptur

6. Kontraindikasi relatif, misalnya panggul relatif sempit

7. Dua atau lebih luka parut transversal di Segmen Bawah Rahim (SBR)

8. Kehamilan ganda

9. Kehamilan serotinus

Menurut ALARM International hal dasar yang perlu diperhatikan1 :

Identifikasi pasien apakah memenuhi syarat untuk dilakukan pertolongan

persalinan.

Jelaskan dengan cermat mengenai rencana pertolongan persalinan dengan

diakhiri penandatanganan persetujuan pasien/keluarga (informed consent).

Persiapan pemantauan ibu dan janin dalam persalinan secara terus menerus

termasuk pencatatan denyut jantung setiap 30 menit.

Persiapkan sarana operasi segera untuk menghadapi kegagalan VABC.

Pemilihan pasien1 :

Kenali jenis operasi terdahulu.

Bila mungkin mengenal kondisi operasi terdahulu dari laporan operasinya

(adakah kesulitan atau komplikasi).

Dianjurkan VBAC hanya pada uterus dengan luka parut sayatan transversal

SBR.

Hal yang perlu diperhatikan untuk melakukan prognosis persalinan dengan

parut uterus adalah sebagai berikut1 :

Jenis sayatan uterus yang telah dilakukan pada operasi terdahulu

Indikasi operasi seksio saesarea terdahulu

Apakah jenis operasi terdahulu adalah seksio sesarea aktif atau emergensi

7

Apa komplikasi operasi terdahulu

Angka keberhasilan untuk percobaan persalinan sedikit banyak bergantung

pada indikasi sesar sebelumnya. Secara umum, sekitar 60 – 80 % percobaan

persalinan setelah sesar menghasilkan pelahiran pervaginam. Angka keberhasilan

sedikit meningkat jika sesar sebelumnya dilakukan atas indikasi presentasi bokong

atau distres janin dibandingkan jika indikasinya adalah distosia. Faktor prognostik

yang paling mendukung adalah riwayat melahirkan pervaginam.3

Persalinan spontan lebih diharapkan pada wanita dengan riwayat SC. Namun,

penelitian yang telah dilakukan selama ini menyatakan bahwa induksi persalinan

aman selama terdapat indikasi pada ibu dan janin serta pasien merupakan kandidat

yang memenuhi syarat untuk VBAC. Obat yang dapat digunakan untuk pematangan

serviks pada bekas SC adalah Prostaglandin E2 gel, yang pemberiannya bisa

langsung pada forniks posterior vagina atau dioleskan pada kanal serviks. Kedua

metode ini tampaknya cukup aman dan efektif pada pasien yang akan menjalani

VBAC. Misoprostol yang saat ini sangat banyak digunakan untuk pematangan

serviks pada wanita tanpa riwayat SC ternyata tidak boleh digunakan untuk tujuan

yang sama pada bekas SC karena tingginya kejadian robeknya parut.3

Infus Oksitosin merupakan metode yang dominan untuk menginduksi ataupun

augmentasi persalinan. Dari hasil metaanalisis, kejadian ruptur uterus pada bekas SC

dibandingkan tanpa riwayat SC yang mendapat infus Oksitosin adalah seimbang,

kira-kira 0,5 –0 1 % pada kedua kelompok.3

Mengenai apakah terdapat perbedaan dosis Oksitosin pada wanita tanpa dan

dengan riwayat SC dihubungkan dengan terjadinya ruptur uterus masih merupakan

pertanyaan. Goetzl, dkk melakukan suatu penelitian case control tentang hal ini dan

menemukan tidak ada perbedaan yang signifikan dalam hal penggunaan oksitosin

antara yang belum pernah SC dengan yang pernah, baik dalam hal dosis awal,

interval titrasi dosis, dosis maksimum, waktu saat dosis maksimum.3

2.5 Tahapan Persalinan

8

Partus dibagi menjadi 4 kala. Pada kala I serviks membuka sampai terjadi

pembukaan 10 cm, kala ini dinamakan kala pembukaan. Kala II disebut kala

pengeluaran karena berkat kekuatan his dan kekuatan mengedan ibu, janin didorong

keluar sampai lahir. Dalam kala III atau kala uri, plasenta terlepas dari dinding uterus

dan dilahirkan. Kala IV dimulai dari lahirnya plasenta dan lamanya sekitar 1 jam.

Dalam kala ini diamati apakah terjadi perdarahan postpartum pada ibu atau tidak1,7.

2.5.1 Kala I

Secara klinis dinyatakan partus dimulai apabila timbul his dan wanita tersebut

mengeluarkan lendir yang bercampur darah (bloody show). Lendir ini berasal dari

lendir kanalis servikalis yang mulai membuka atau mendatar. Sedangkan darah

berasal dari pembuluh-pembuluh kapiler yang berada disekitar kanalis servikalis yang

pecah karena pergeseran-pergeseran ketika serviks membuka. Proses membukanya

serviks sebagai akibat his dibagi dalam 2 fase.

Fase laten. Berlangsung selama 8 jam. Pembukaan terjadi sangat lambat

sampai mencapai ukuran diameter 3 cm. Selama fase ini, orientasi dari kontraksi

uterus adalah perlunakan serviks serta penipisan (efficement). Kriteria minimal

Friedman untuk memasuki fase aktif adalah pembukaan dengan laju 1,2 cm/jam

untuk nullipara, serta 1,5 cm/jam untuk multipara.5

Fase aktif. Dibagi dalam 3 fase, yakni:

a. Fase akselerasi. Dalam waktu 2 jam pembukaan 3 cm menjadi 4 cm.

b. Fase dilatasi maksimal. Dalam waktu 2 jam pembukaan berlangsung sangat

cepat, dari 4 cm menjadi 9 cm.

c. Fase deselerasi. Pembukaan menjadi lambat kembali. Dalam waktu 2 jam

pembukaan dari 9 cm menjadi lengkap.

Mekanisme membukanya serviks berbeda antara primigravida dengan

multigravida. Pada yang pertama ostium uteri internum akan membuka terlebih

dahulu sehingga serviks akan mendatar dan menipis, kemudian ostium uteri

eksternum membuka. Pada multigravida ostium uteri internum sudah sedikit terbuka,

sehingga pembukaan ostium uteri internum dan eksternum serta penipisan dan

pendataran serviks terjadi dalam saat yang bersamaan.1

9

Ketuban akan pecah sendiri ketika pembukaan hampir atau telah lengkap.

Tidak jarang ketuban harus di pecahkan ketika pembukaan hampir lengkap atau telah

lengkap. Kala I selesai apabila pembukaan serviks uteri telah lengkap.1

2.5.2 Kala II

Pada kala II his menjadi lebih kuat dan lebih cepat, kira-kira satu kali setiap 2

sampai 3 menit. Karena biasanya kepala janin sudah masuk di ruang panggul, secara

reflektoris timbul rasa ingin mengedan. Tekanan pada rektum juga menimbulkan

perasaan hendak buang air besar sehingga perineum mulai menonjol dan menjadi

lebar dengan anus membuka. Labia mulai membuka dan tidak lama kemudian kepala

janin tampak dalam vulva pada waktu his. Bila dasar panggul sudah lebih berelaksasi,

kepala janin tidak akan masuk lagi di luar his. Kemudian dengan his dan kekuatan

mengedan maksimal, kepala janin dilahirkan dengan suboksiput di bawah simfisis

dan secara berurutan lahir dahi, muka, dan dagu melewati perineum. Setelah istirahat

sebentar, his mulai lagi untuk mengeluarkan badan dan ekstremitas bayi. Pada

primigravida kala II berlangsung rata-rata 1,5 jam dan pada multipara rata-rata 30

menit.1,4,5

2.5.3 Kala III

Setelah bayi lahir, uterus teraba keras dengan fundus uteri agak di atas pusat.

Beberapa menit kemudian uterus berkontraksi lagi untuk melepaskan plasenta dari

dindingnya. Biasanya plasenta lepas dalam 6 sampai 15 menit setelah bayi lahir dan

keluar spontan atau dengan tekanan pada fundus uteri. Pengeluaran plasenta disertai

dengan pengeluaran darah.1,5

2.5.4 Kala IV

Kala IV adalah kala dimana ibu pasca melahirkan dipantau selama 1-2 jam

untuk melihat apakah terjadi perdarahan postpartum atau tidak. Pada saat ini juga

dilakukan pemantauan tanda vital untuk mengetahui keadaan umum ibu. 1,5

2.6 Mekanisme Persalinan Normal

10

Hampir 96% janin berada dalam uterus dengan presentasi kepala dan pada

presentasi kepala ini ditemukan ± 58% ubun-ubun kecil terletak di kiri depan, ± 23%

di kanan depan, ± 11% di kanan belakang, dan ± 8% di kiri belakang. Keadaan ini

mungkin disebabkan terisinya ruangan di sebelah kiri belakang oleh kolon sigmoid

dan rektum.1,5

Menjadi pertanyaan mengapa janin dengan persentasi tinggi berada dalam

uterus dengan presentasi kepala. Keadaan ini mungkin disebabkan karena kepala

relatif lebih besar dan lebih berat. Mungkin pula karena bentuk uterus sedemikian

rupa sehingga volume bokong dan ekstremitas yang lebih besar berada di atas, yaitu

di ruangan yang lebih luas sedangkan kepala berada di bawah, di ruangan yang lebih

sempit. Hal ini dikenal sebagai teori akomodasi.1,5

Tiga faktor penting yang memegang peranan pada persalinan adalah

kekuatan-kekuatan yang ada pada ibu seperti kekuatan his dan kekuatan mengedan,

keadaan jalan lahir, dan janin tersebut.1

His adalah salah satu kekuatan pada ibu yang menyebabkan serviks membuka

dan mendorong janin ke bawah. Pada presentasi kepala, bila his sudah cukup kuat,

kepala akan turun dan mulai masuk ke dalam rongga panggul. His yang sempurna

akan membuat dinding korpus uteri yang terdiri atas otot-otot menjadi lebih tebal

dan lebih pendek, sedangkan bagian bawah uterus dan serviks yang hanya

mengandung sedikit jaringan kolagen akan mudah tertarik hingga menjadi tipis dan

membuka. Kontraksi yang sempurna adalah kontraksi yang simetris dengan dominasi

di fundus uteri, dan mempunyai amplitudo 40-60 mmHg yang berlangsung selama

60-90 detik dengan jangka waktu kontraksi 2-4 menit, dan pada relaksasi tonus uterus

kurang dari 12 mmHg.1,5

Masuknya kepala melintasi pintu atas panggul dapat dalam keadaan

sinklitismus, yaitu bila sumbu kepala janin tegak lurus dengan bidang pintu atas

panggul. Dapat pula kepala masuk dalam keadaan asinklitismus, yaitu arah sumbu

kepala janin miring dengan bidang pintu atas panggul. Asinklitismus anterior

menurut Naegele ialah apabila arah sumbu kepala membuat sudut lancip ke depan

dengan pintu atas panggul. Dapat pula asinklitismus posterior menurut Litzman yaitu

11

keadaan sebaliknya dari asinklitismus anterior. Keadaan asinklitismus anterior lebih

menguntungkan daripada mekanisme turunnya kepala dengan asinklitismus posterior

karena ruangan pelvis di daerah posterior lebih luas dibandingkan dengan ruangan

pelvis di daerah anterior. Hal asinklitismus penting apabila daya akomodasi panggul

agak terbatas.1,5

Akibat sumbu kepala janin yang eksentrik atau tidak simetris, dengan sumbu

lebih mendekati suboksiput, dan tahanan oleh jaringan dibawah terhadap kepala yang

akan menurun, maka kepala akan mengadakan fleksi di dalam rongga panggul

menurut hokum Koppel. Dengan fleksi kepala janin memasuki ruang panggul dengan

ukuran yang paling kecil, yakni dengan diameter suboksipitobregmatikus (9,5cm) dan

dengan sirkumferensia suboksipitobregmatikus (32 cm). Sampai di dasar panggul

kepala janin berada dalam keadaan fleksi maksimal. Kepala yang sedang turun

menemui diafragma pelvis yang berjalan dari belakang atas ke bawah depan. Akibat

kombinasi elastisitas diafragma pelvis dan tekanan intrauterin disebabkan oleh his

yang berulang-ulang, kepala mengadakan rotasi yang disebut juga putaran paksi

dalam. Pada saat melakukan rotasi, ubun-ubun kecil berada di bawah simfisis.

Sesudah kepala janin sampai di dasar panggul dan ubun-ubun kecil di bawah simfisis,

maka dengan suboksiput sebagai hipomoklion, kepala mengadakan gerakan defleksi

untuk dapat dilahirkan. Pada tiap his, vulva lebih membuka dan kepala janin makin

tampak. Perineum menjadi lebih lebar dan tipis, anus membuka dinding rektum.

Dengan kekuatan his bersama dengan kekuatan mengedan, berturut-turut tampak

bregma, dahi, muka, dan akhirnya dagu. Sesudah kepala lahir, kepala segera

mengadakan rotasi yang disebut putaran paksi luar. Putaran paksi luar ini ialah

gerakan kembali sebelum putaran paksi dalam terjadi, untuk menyesuaikan

kedudukan kepala dengan punggung anak.1,4,5

Bahu melintasi pintu atas panggul dalam keadaan miring. Di dalam rongga

panggul, bahu akan menyesuaikan diri dengan bentuk panggul yang dilaluinya,

sehingga di dasar panggul, apabila kepala telah dilahirkan, bahu akan berada dalam

posisi depan belakang. Selanjutnya dilahirkan bahu depan terlebih dahulu, kemudian

12

bahu belakang. Demikian pula dilahirkan trokanter depan terlebih dahulu, kemudian

trokanter belakang. Kemudian bayi lahir seluruhnya.1,5

Bila mekanisme partus yang fisiologis ini dipahami dengan sungguh-sungguh,

maka pada hal-hal yang menyimpang dapat segera dilakukan koreksi secara manual

jika mungkin, sehingga tindakan-tindakan operatif tidak perlu dikerjakan. Apabila

bayi telah lahir, segera jalan nafas dibersihkan. Tali pusat dijepit diantara 2 cunam

pada jarak 5 cm dan 10 cm. Kemudian di gunting diantara kedua cunam tersebut, lalu

diikat. Jepit tali pusat diberi antiseptik. Umumnya bila telah lahir lengkap, bayi akan

segera menarik napas dan menangis. Resusitasi dengan jalan membersihkan dan

mengisap lendir pada jalan napas harus segera dikerjakan.1,5

Bila bayi telah lahir, uterus akan mengecil. Partus berada dalam kala III atau

kala uri. Kala ini tidak kalah pentingnya dengan kala I dan II, sebab kematian ibu

karena perdarahan pada kala uri tidak jarang terjadi sebab pimpinan kala II kurang

cermat diterapkan. Seperti telah dikemukakan, segera setelah bayi lahir, his

mempunyai amplitudo yang kira-kira sama tingginya, hanya frekuensinya yang

berkurang. Akibat his ini uterus akan mengecil, sehingga perlekatan plasenta dengan

dinding uterus akan terlepas. Lepasnya plasenta dari dinding uterus ini dapat dimulai

dari tengah (sentral) menurut Schultze, pinggir (marginal) menurut Mathews-Duncan,

atau kombinasi keduanya. Yang terbanyak adalah pelepasan menurut Schultze.

Umumnya pada kala II berlangsung selama 6 sampai 15 menit. Tinggi fundus uteri

setelah kala III kira-kira 2 jari di bawah pusat.1,5

2.7 Pemantauan Persalinan dengan Partograf WHO

Partograf WHO adalah alat bantu untuk memantau kemajuan kala satu

persalinan dan informasi untuk membuat keputusan klinik.

Tujuan utama dari penggunaan partograf adalah untuk :

Mencatat hasil observasi dan kemajuan persalinan dengan menilai pembukaan

serviks melalui periksa dalam.

13

Mendeteksi apakah proses persalinan berjalan secara normal. Dengan

demikian juga dapat mendeteksi secara dini kemungkinan terjadinya partus

lama.

Data pelengkap yang terkait dengan pemantauan kondisi ibu, kondisi bayi,

grafik kemajuan proses persalinan, bahan dan medikamentosa yang diberikan,

pemeriksaan laboratorium, membuat keputusan klinik dan asuhan atau

tindakan yang diberikan dimana semua itu dicatatkan secara rinci pada status

atau rekam medik ibu bersalin dan bayi baru lahir.7

Jika digunakan dengan tepat dan konsisten, partograf akan membantu

penolong persalinan untuk :

Mencatat kemajuan persalinan

Mencatat kondisi ibu dan janinnya

Mencatat asuhan yang diberikan selama persalinan dan kelahiran

Menggunakan informasi yang tercatat untuk identifikasi dini penyulit

persalinan

Menggunakan informasi yang tersedia untuk membuat keputusan klinik yang

sesuai dan tepat waktu

Partograf harus digunakan :

Untuk semua ibu dalam fase aktif kala satu persalinan dan merupakan elemen

penting dari asuhan persalinan. Partograf harus digunakan untuk semua

persalinan, baik normal maupun patologis. Partograf sangat membantu

penolong persalinan dalam memantau, mengevaluasi dan membuat keputusan

klinik, baik persalinan dengan penyulit maupun yang tidak disertai dengan

penyulit.

Selama persalinan dan kelahiran bayi di semua tempat (rumah, puskesmas,

klinik bidan swasta, rumah sakit, dan lain-lain).

Secara rutin oleh semua penolong persalinan yang memberikan asuhan

persalinan kepada ibu dan proses kelahiran bayinya (Spesialis Obstetri dan

Ginekologi, Bidan, Dokter Umum, Residen dan Mahasiswa Kedokteran).

14

Penggunaan partograf secara rutin dapat memastikan bahwa ibu dan bayinya

mendapatkan asuhan yang aman, adekuat dan tepat waktu serta membantu mencegah

terjadinya penyulit yang dapat mengancam keselamatan jiwa mereka.

2.7.1. Pencatatan selama Fase Laten Kala Satu Persalinan

Kala satu persalinan terdiri dari dua fase, yaitu fase laten dan fase aktif yang

diacu pada pembukaan serviks:

fase laten: pembukaan serviks kurang dari 4 cm

fase aktif: pembukaan serviks dari 4 sampai 10 cm

Kondisi ibu dan bayi harus dinilai dan dicatat dengan seksama, yaitu:

denyut jantung janin: setiap ½ jam

frekuensi dan lamanya kontraksi uterus: setiap ½ jam

nadi: setiap ½ jam

pembukaan serviks: setiap 4 jam

penurunan bagian terbawah janin: setiap 4 jam

tekanan darah dan temperatur tubuh: setiap 4 jam

produksi urin, aseton dan protein: setiap 2 sampai 4 jam

2.7.2. Pencatatan Selama Fase Aktif Persalinan pada Partograf

Halaman depan partograf (lihat Gambar 2-4) menginstruksikan observasi

dimulai pada fase aktif persalinan dan menyediakan lajur dan kolom untuk mencatat

hasil-hasil pemeriksaan selama fase aktif persalinan, yaitu:

Informasi tentang ibu:

1. nama, umur;

2. gravida, para, abortus (keguguran);

3. nomor catatan medik/nomor puskesmas;

4. tanggal dan waktu mulai dirawat (atau jika di rumah, tanggal dan waktu

penolong persalinan mulai merawat ibu);

5. waktu pecahnya selaput ketuban.

Kondisi janin:

1. DJJ;

2. warna dan adanya air ketuban;

15

3. penyusupan (molase) kepala janin.

Kemajuan persalinan:

1. pembukaan serviks;

2. penurunan bagian terbawah atau presentasi janin;

3. garis waspada dan garis bertindak.

Jam dan waktu:

1. waktu mulainya fase aktif persalinan;

2. waktu aktual saat pemeriksaan atau penilaian.

Kontraksi uterus:

1. frekuensi kontraksi dalam waktu 10 menit

2. lama kontraksi (dalam detik).

Obat-obatan dan cairan yang diberikan:

1. oksitosin;

2. obat-obatan lainnya dan cairan IV yang diberikan.

Kondisi ibu:

1. nadi, tekanan darah dan temperatur tubuh;

2. urin (volume, aseton atau protein).

Asuhan, pengamatan dan keputusan klinik lainnya (dicatat dalam kolom

yang tersedia di sisi partograf atau di catatan kemajuan persalinan).

2.7.3. Mencatat Temuan pada Partograf

A. Informasi Tentang Ibu

Lengkapi bagian awal (atas) partograf secara teliti pada saat memulai asuhan

persalinan. Waktu kedatangan (tertulis sebagai: ‘jam atau pukul’ pada partograf) dan

perhatikan kemungkinan ibu datang dalam fase laten. Catat waktu pecahnya selaput

ketuban.

B. Kondisi Janin

Bagan atas grafik pada partograf adalah untuk pencatatan denyut jantung janin

(DJJ), air ketuban dan penyusupan (kepala janin).

1. Denyut jantung janin

16

- Nilai dan catat denyut jantung janin (DJJ) setiap 30 menit (lebih sering jika

ada tanda-tanda gawat janin).

- Setiap kotak di bagian atas partograf menunjukkan waktu 30 menit.

- Skala angka di sebelah kolom paling kiri menunjukkan DJJ

- Catat DJJ dengan memberi tanda titik pada garis yang sesuai dengan angka

yang menunjukkan DJJ.

- Hubungkan yang satu dengan titik lainnya dengan garis tegas dan bersambung

- Penolong harus waspada bila DJJ mengarah hingga dibawah 120 atau diatas

160.

2. Warna dan adanya air ketuban

- Nilai air kondisi ketuban setiap kali melakukan periksa dalam dan nilai warna

air ketuban jika selaput ketuban pecah.

- Catat temuan-temuan dalam kotak yang sesuai di bawah lajur DJJ.

- Gunakan lambang-lambang berikut ini:

U

U : selaput ketuban masih utuh (belum pecah)

J

J : selaput ketuban sudah pecah dan air ketuban

jernih

M

M : selaput ketuban sudah pecah dan air ketuban

bercampur mekonium

D

D : selaput ketuban sudah pecah dan air ketuban

bercampur darah

K

K : selaput ketuban sudah pecah tapi air ketuban

tidak mengalir lagi (“kering”)

- Penyusupan (Molase) Tulang Kepala Janin

- Penyusupan adalah indikator penting tentang seberapa jauh kepala bayi dapat

menyesuaikan diri terhadap bagian keras (tulang) panggul ibu.

- Semakin besar derajat penyusupan atau tumpang-tindih antar tulang kepala

semakin menunjukkan risiko disproporsi kepala-panggul (CPD).

- Gunakan lambang-lambang berikut ini:

17

0 : tulang-tulang kepala janin terpisah, sutura dengan mudah dapat dipalpasi

1 : tulang-tulang kepala janin hanya saling bersentuhan

2 : tulang-tulang kepala janin saling tumpang tindih tetapi masih dapat

dipisahkan

3 : tulang-tulang kepala janin saling tumpang tindih dan tidak dapat

dipisahkan

C. Kemajuan persalinan

1. Pembukaan serviks

Nilai dan catat pembukaan serviks setiap 4 jam (lebih sering dilakukan jika

ada tanda-tanda penyulit). Saat ibu berada dalam fase aktif persalinan, catat pada

partograf setiap temuan dari setiap pemeriksaan. Tanda ‘’ harus dicantumkan di

garis waktu yang sesuai dengan lajur besarnya pembukaan serviks. Hubungkan tanda

‘’ dari setiap pemeriksaan dengan garis utuh (tidak terputus).

2. Penurunan bagian terbawah janin

Setiap kali melakukan periksa dalam (setiap 4 jam), atau lebih sering (jika

ditemukan tanda-tanda penyulit). Cantumkan hasil pemeriksaan penurunan kepala

(perlimaan) yang menunjukkan seberapa jauh bagian terbawah janin telah memasuki

rongga panggul. Pada persalinan normal, kemajuan pembukaan serviks selalu diikuti

dengan turunnya bagian terbawah janin. Tapi ada kalanya, penurunan bagian

terbawah janin baru terjadi setelah pembukaan serviks mencapai 7 cm. Tulisan

“Turunnya kepala” dan garis tidak terputus dari 0-5, tertera di sisi yang sama dengan

angka pembukaan serviks. Berikan tanda ‘O’ yang ditulis pada garis waktu yang

sesuai. Sebagai contoh, jika hasil pemeriksaan palpasi kepala di atas simfisi pubis

adalah 4/5 maka tuliskan tanda “O” di garis angka 4. Hubungkan tanda ‘O’ dari

setiap pemeriksaan dengan garis tidak terputus.

3. Garis waspada dan garis bertindak

Garis waspada dimulai pada pembukaan serviks 4 cm dan berakhir pada titik

dimana pembukaan lengkap diharapkan terjadi jika laju pembukaan adalah 1 cm per

jam. Pencatatan selama fase aktif persalinan harus dimulai di garis waspada. Jika

pembukaan serviks mengarah ke sebelah kanan garis waspada (pembukaan kurang

18

dari 1 cm per jam), maka harus dipertimbangkan adanya penyulit (misalnya : fase

aktif yang memanjang, serviks kaku, atau inersia uteri hipotonik, dan lain-lain). Garis

bertindak tertera sejajar dan di sebelah kanan (berjarak 4 jam) garis waspada. Jika

pembukaan serviks telah melampaui dan berada di sebelah kanan garis bertindak

maka hal ini menunjukkan perlu dilakukan tindakan untuk menyelesaikan persalinan.

D. Kontraksi uterus

1. Periksa frekuensi dan lama kontraksi uterus setiap jam selama fase laten

dan setiap 30 menit selama fase aktif.

2. Nilai frekuensi dan lama kontraksi yang terjadi dalam 10 menit observasi.

3. Catat lamanya kontraksi menggunakan lambang yang sesuai:

20 detik 20–40 detik 40 detik

4. Catat temuan-temuan di kotak yang sesuai dengan waktu penilaian.

E. Obat-obatan dan cairan yang diberikan

Dibawah lajur kotak observasi kontraksi uterus tertera lajur kotak untuk

mencatat oksitosin, obat-obat lainnya dan cairan IV.

1. Oksitosin

Jika tetesan (drip) oksitosin sudah dimulai, dokumentasikan setiap 30 menit

jumlah unit oksitosin yang diberikan per volume cairan IV dan dalam satuan

tetesan per menit.

2. Obat-obatan lain dan cairan IV

Catat semua pemberian obat-obatan tambahan dan/atau cairan IV dalam kotak yang

sesuai dengan kolom waktunya.

F. Kondisi Ibu

Bagian terbawah lajur dan kolom pada halaman depan partograf, terdapat

kotak atau ruang untuk mencatat kondisi kesehatan dan kenyamanan ibu selama

persalinan.

1. Nadi, tekanan darah dan suhu tubuh

19

Angka di sebelah kiri bagian partograf ini berkaitan dengan nadi dan tekanan

darah ibu.

- Nilai dan catat nadi ibu setiap 30 menit selama fase aktif persalinan (lebih

sering jika diduga adanya penyulit). Beri tanda titik () pada kolom waktu

yang sesuai.

- Nilai dan catat tekanan darah ibu setiap 4 jam selama fase aktif persalinan

(lebih sering jika diduga adanya penyulit. Beri tanda panah pada partograf

pada kolom waktu yang sesuai:

- Nilai dan catat temperatur tubuh ibu (lebih sering jika terjadi peningkatan

mendadak atau diduga adanya infeksi) setiap 2 jam dan catat temperatur tubuh

pada kotak yang sesuai.

2. Volume urin, protein dan aseton

Ukur dan catat jumlah produksi urin ibu sedikitnya setiap 2 jam (setiap kali

ibu berkemih). Jika memungkinkan, setiap kali ibu berkemih, lakukan pemeriksaan

aseton dan protein dalam urin.

2.7.4. Pencatatan pada lembar belakang Partograf

Catatan persalinan adalah terdiri dari unsur-unsur berikut:

Data atau Informasi Umum Data dasar terdiri dari tanggal, nama bidan,

tempat persalinan, alamat tempat persalinan, catatan dan alasan merujuk,

tempat rujukan dan pendamping pada saat merujuk.

Kala I terdiri dari pertanyaan-pertanyaan tentang Partograf saat melewati garis

waspada, masalah-masalah lain yang timbul, penatalaksanaannya, dan hasil

penatalaksanaan tersebut.

Kala II terdiri dari episiotomi, pendamping persalinan, gawat janin, distosia

bahu, masalah lain, penatalaksanaan masalah dan hasilnya.

Kala III terdiri dari lamanya kala III, pemberian oksitosin, penegangan tali

pusat terkendali, rangsangan pada fundus, kelengkapan plasenta saat

dilahirkan, retensio plasenta yang > 30 menit, laserasi, atonia uteri, jumlah

perdarahan, masalah lain, penatalaksanaan dan hasilnya.

20

Bayi baru lahir Informasi yang perlu diperoleh dari bagian bayi baru lahir

adalah berat dan panjang badan, jenis kelamin, penilaian bayi baru lahir,

pemberian ASI, masalah lain dan hasilnya.

Kala IV berisi data tentang tekanan darah, nadi, temperatur, tinggi fundus,

kontraksi uterus, kandung kemih dan perdarahan. Pemantauan pada Kala IV

ini sangat penting, terutama untuk menilai deteksi dini risiko atau kesiapan

penolong mengantisipasi komplikasi perdarahan pascapersalinan. Pemantauan

kala IV dilakukan setiap 15 menit dalam 1 jam pertama setelah melahirkan,

dan setiap 30 menit pada satu jam berikutnya.

2.8 Pimpinan Persalinan

Pimpinan persalinan yang normal juga terbagi dalam 4 kala sesuai dengan

mekanisme persalinan normal: 1,5,6,7

2.8.1 Kala I

Dalam kala I, pekerjaan dokter, bidan, atau penolong persalinan adalah

mengawasi wanita inpartu sebaik-baiknya dan melihat apakah semua persiapan untuk

persalinan sudah dilakukan. Pemberian obat atau tindakan hanya apabila ada indikasi

untuk ibu maupun anak. Pada seorang primigravida aterm umumnya kepala janin

sudah masuk pintu atas panggul pada kehamilan 36 minggu, sedangkan pada

multigravida baru pada kehamilan 38 minggu. Pada kala I, apabila kepala janin telah

masuk sebagian ke dalam pintu atas panggul serta ketuban belum pecah, wanita

tersebut dapat dipersilahkan duduk atau berjalan-jalan di sekitar kamar bersalin. Akan

tetapi, pada umumnya wanita lebih suka berbaring karena sakit yang dirasakan ketika

muncul his. Berbaring sebaiknya ke sisi, tempat punggung janin berada. Cara ini

mempermudah turunnya kepala dan putaran paksi dalam. Apabila kepala janin belum

turun ke dalam pintu atas panggul, sebaiknya wanita tersebut berbaring terlentang,

karena bila ketuban pecah, mungkin terjadi komplikasi-komplikasi, seperti prolaps

tali pusat, prolaps tangan, dan sebagainya. Apabila his sudah sering dan ketuban

sudah pecah, wanita tersebut harus berbaring.

21

Pemeriksaan luar untuk menentukan letak janin dan turunnya kepala

hendaknya dilakukan untuk memeriksa kemajuan partus, disamping dapat dilakukan

pula pemeriksaan rektal atau pervaginam. Hasil pemeriksaan pervaginam juga disebut

pemeriksaan dalam harus menyokong dan lebih merinci apa yang dihasilkan oleh

pemeriksaan luar. Harus disadari bahwa tiap pemeriksaan dalam pada waktu

persalinan selalu menimbulkan bahaya infeksi dan rasa nyeri pada penderita. Akan

tetapi hal-hal tersebut jangan sampai menghalangi untuk menjalankan pemeriksaan

dalam yang diperlukan untuk menilai vagina (terutama dindingnya, menyempit atau

tidak), keadaan dan pembukaan serviks, kapasitas panggul, ada tidaknya penghalang

jalan lahir, sifat fluor albus, dan adanya penyakit (bartholinitis, urethritis, sistitis, dan

sebagainya), ketuban, presentasi kepala janin, turunnya kepala dalam ruang panggul,

penilaian besar kepala terhadap panggul, dan menilai kelangsungan partus.

Pemeriksaan per rektum baik untuk menilai turunnya kepala, tetapi kurang

baik untuk menilai ketuban, keadaan serviks, serta posisi dan presentasi kepala.

Pemeriksaan per rektum dapat mengurangi infeksi eksogen (dari luar), tetapi dapat

menimbulkan infeksi endogen (dari dalam) bila pemeriksaan kurang memperhatikan

asepsis dan antisepsis dan menggosok-gosok dengan jari dinding vagina bagian

belakang yang pada umumnya mengandung kuman-kuman ke dalam pembukaan

serviks. Pada pemeriksaan per vaginam kemungkinan infeksi eksogen dapat

diperkecil bila pemeriksa memperhatikan asepsis dan antisepsis dengan memakai

sarung tangan steril dan dapat menggunakan krem dettol atau sejenis. Mengingat

adanya kemungkinan menimbulkan infeksi, maka pemeriksaan dalam hendaknya

hanya dilakukan bila ada indikasi ibu maupun janin atau bila akan diadakan tindakan

di samping perlu untuk mengetahui kemajuan partus.

Dalam kala I wanita dalam keadaan inpartu dilarang mengedan. Sebaiknya

sebelumnya dilakukan dahulu lavement. Lazimnya dimasukkan 20 sampai 40 ml

gliserin ke dalam rektum dengan penyemprot klisma atau diberi suppositoria. Jika

tidak diberi klisma, skibala di rektum akan membuat wanita tersebut mengedan

sebelum waktunya. Skibala di rektum juga akan menghalangi rotasi kepala yang baik

pada kala I.

22

2.8.2 Kala II

Kala II dimulai jika pembukaan serviks telah lengkap. Umumnya pada akhir

kala I atau permulaan kala II dengan kepala janin sudah masuk dalam ruang panggul,

ketuban akan pecah sendiri. Bila ketuban belum pecah, ketuban harus dipecahkan.

Kadang-kadang pada permulaan kala II ini, wanita tersebut mau muntah disertai

timbulnya rasa mengedan yang kuat. Di samping his, wanita tersebut harus dipimpin

untuk mengedan pada waktu ada his. Selain itu, denyut jantung janin juga harus

sering diawasi.

Ada dua cara mengedan yang baik, yaitu 8:

1. Wanita tersebut dalam letak terbaring merangkul kedua pahanya sampai batas

siku. Kepala sedikit diangkat, sehingga dagunya mendekati dadanya dan ia

dapat melihat perutnya.

2. Sikap seperti diatas, tetapi badan dalam posisi miring ke kiri atau ke kanan,

tergantung pada letak punggung anak. Hanya satu kaki dirangkul, yakni kaki

berada di atas. Posisi ini baik dilakukan bila putaran paksi dalam belum

sempurna. Dokter atau penolong persalinan berdiri pada sisi kanan wanita

tersebut.

Bila kepala janin telah sampai di dasar panggul, vulva mulai membuka.

Rambut dan kepala janin mulai tampak. Perineum dan anus tampak mulai meregang.

Perineum mulai lebih tinggi, sedangkan anus mulai membuka. Anus pada awalnya

berbentuk bulat, kemudian berbentuk seperti huruf D. Yang tampak dalam anus

adalah dinding depan rektum. Perineum harus ditahan dan bila tidak, dapat

menyebabkan ruptura perineum, terutama pada primigravida. Perineum ditahan

dengan tangan kanan dan sebaiknya dilapisi dengan kain steril.

Episiotomi dianjurkan untuk dilakukan pada primigravida atau pada wanita

dengan perineum yang kaku. Episiotomi ini dilakukan bila perineum telah menipis

dan kepala janin tidak masuk kembali ke dalam vagina. Ketika kepala janin akan

mengadakan defleksi dengan suboksiput di bawah simfisis sebagai hipomoklion,

sebaiknya tangan kiri menahan bagian belakang kepala dengan maksud agar gerakan

defleksi tidak terlalu cepat. Dengan demikian, ruptura perineum dapat dihindarkan.

23

Untuk mengawasi perineum ini, posisi miring (Sims position) lebih menguntungkan

dibandingkan dengan posisi biasa. Akan tetapi, bila perineum jelas telah tipis dan

menunjukkan akan timbul ruptura perineum, maka sebaiknya dilakukan episiotomi.

Ada beberapa teknik untuk melakukan episiotomi, antara lain episiotomi mediana,

dikerjakan pada garis tengah, episiotomi mediolateral, dikerjakan pada garis tengah

yang dekat muskulus sfingter ani yang diperluas ke sisi, episiotomi lateral dimana

sering menimbulkan perdarahan.

Keuntungan episiotomi mediana ialah tidak menimbulkan perdarahan banyak

dan penjahitan kembali lebih mudah, sehingga sembuh per primam dan hampir tidak

berbekas. Bahaya yang dapat terjadi ialah dapat menimbulkan ruptura perinei totalis.

Dalam hal ini muskulus sfingter ani eksternus dan rektum ikut robek pula. Perawatan

ruptura perinei totalis harus dikerjakan serapi-rapinya, agar jangan sampai gagal dan

timbul inkontinensia alvi. Untuk menghindarkan robekan perineum kadang-kadang

dilakukan perasat menurut Rintgen, yaitu bila perineum meregang dan menipis, tahan

kiri menahan dan menekan bagian belakang kepala janin ke arah anus. Tangan kanan

pada perineum. Dengan ujung jari-jari tangan kanan tersebut melalui kulit perineum

dicoba menggait dagu janin dan ditekan ke arah simfisis dengan hati-hati. Dengan

demikian, kepala janin dilahirkan perlahan-lahan keluar. Setelah kepala lahir

diselidiki apakah tali pusat mengadakan lilitan pada leher janin. Bila terdapat lilitan

dilonggarkan, bila sukar dapat dilepaskan dengan cara menjepit tali pusat dengan 2

cunam Kocher, kemudian diantaranya dipotong dengan gunting yang tumpul

ujungnya. Setelah kepala lahir, kepala akan mengadakan putar paksi luar ke arah

letak punggung janin. Usaha selanjutnya ialah melahirkan bahu janin. Mula-mula

dilahirkan bahu depan, dengan kedua telapak tangan pada samping kiri dan kanan

kepala janin. Kepala janin ditarik perlahan-lahan ke arah anus sehingga bahu depan

lahir. Tidak dibenarkan penarikan yang terlalu keras dan kasar oleh karena dapat

menimbulkan robekan pada muskulus sternokleidomastoideus. Kemudian, kepala

janin diangkat kearah simfisis untuk melahirkan bahu belakang. Setelah kedua bahu

janin dapat dilahirkan, maka usaha selanutnya ialah melahirkan badan janin, trokanter

anterior disusul oleh trokanter posterior. Usaha ini tidak sesukar usaha melahirkan

24

kepala dan bahu janin oleh karena ukuran-ukurannya lebih kecil. Dengan kedua

tangan dibawah ketiak janin dan sebagian di punggung atas, berturut-turut dilahirkan

badan, trokanter anterior, dan trokanter posterior. Setelah janin lahir, bayi sehat dan

normal umumnya segera menarik napas dan menangis keras. Kemudian bayi

diletakkan dengan kepala ke bawah kira-kira membentuk sudut 30 derajat dengan

bidang datar. Lendir pada jalan napas segera dibersihkan atau diisap dengan pengisap

lendir. Tali pusat digunting 5 sampai 10 cm dari umbilikus. Dengan cara, tali pusat

dijepit 2 cunam Kocher pada jarak 5 dan 10 cm dari umbilikus. Bial ada

kemungkinan akan diadakan transfusi pertukaran pada bayi maka pemotongan tali

pusat diperpanjang sampai antara 10-15 cm . Di antara kedua cunam tersebut tali

pusat digunting dengan yang berujung tumpul. Ujung tali pusat bagian bayi

didesinfeksi dan diikat dengan kuat. Hal ini harus diperhatikan karena ikatan kurang

kuat dapat terlepas dan perdarahan dari tali pusat masih dapat terjadi yang dapat

membahayakan bayi tersebut. Kemudian diperhatikan kandung kencing, bila penuh

dilakukan pengosongan kandung kencing, jika bisa wanita tersebut kencing sendiri.

Kandung kencing yang penuh dapat menimbulkan atonia uteri dan mengganggu

pelepasan plasenta, yang berarti dapat menimbulkan perdarahan postpartum.

2.8.3 Kala III

Partus kala II disebut juga kala uri. Kala III ini, seperti telah dijelaskan, tidak

kalah pentingnya dengan kala I dan kala II. Ketidakhati-hatian dalam memimpin kala

II dapat mengakibatkan kematian karena perdarahan. Kala uri dimulai sejak bayi lahir

lengkap sampai plasenta lahir lengkap.

Terdapat dua tingkat kelahiran plasenta, yang pertama ialah melepasnya

plasenta dari implantasinya pada dinding uterus dan dilanjutkan dengan pengeluaran

plasenta dari kavum uteri. Seperti telah disebut diatas, setelah janin lahir uterus masih

mengadakan kontraksi yang mengakibatkan pengecilan permukaan kavum uteri

tempat implantasi plasenta. Hal ini mengakibatkan plasenta akan lepas dari tempat

implantasinya. Pelepasan ini dapat dimulai dari tengah menurut Schultze atau dari

pinggir menurut Mathews-Duncan atau serempak dari tengah dan pinggir plasenta.

Cara yang pertama ditandai oleh makin panjang keluarnya tali pusat dari vagina,

25

tanda ini dikemukakan oleh Ahlfield, tanpa adanya perdarahan pervaginam,

sedangkan cara yang kedua ditandai oleh adanya perdarahan dari vagina apabila

plasenta mulai terlepas. Umumnya perdarahan tidak melebihi 400 ml. Bila lebih,

maka hal ini patologik. Apabila plasenta lahir, umumnya otot-otot uterus segera

berkontraksi menjepit pembuluh-pembuluh darah dan menyebabkan perdarahan

segera berhenti.5

Pada keadaan normal menurut Caldeyro-Barcia, plasenta akan lahir spontan

dalam waktu ± 6 menit setelah anak lahir lengkap.6 Untuk mengetahui apakah

plasenta telah lepas dari tempat implantasinya, dipakai beberapa perasat antara lain:

1. Perasat Kustner. Tangan kanan meregangkan atau menarik sedikit tali pusat,

tangan kiri menekan daerah di atas simfisis. Bila tali pusat ini masuk kembali

dalam vagina, berarti plasenta belum lepas dari dinding uterus. Perasat ini

hendaknya dilakukan secara hati-hati. Apabila hanya sebagian plasenta

terlepas, perdarahan banyak akan dapat terjadi.

2. Perasat Strassmann. Tangan kanan meregangkan atau menarik sedikit tali

pusat, tangan kiri mengetok-ngetok fundus uteri. Bila terasa ada getaran pada

tali pusat yang diregangkan ini, berarti plasenta belum lepas dari dinding

uterus. Bila tidak terasa getaran, berarti plasenta telah lepas dari dinding

uterus.

3. Perasat Klein. Wanita tersebut disuruh mengedan dan tali pusat tampak turun

ke bawah. Bila pengedanannyan dihentikan dan tali pusat masuk kembali ke

dalam vagina, berarti plasenta belum lepas dari dinding uterus.

Kombinasi dari tiga perasat ini baik dijalankan secara hati-hati setelah

mengawasi wanita yang baru melahirkan bayi selama 6 sampai 15 menit. Bila

plasenta telah lepas spontan, maka dapat dilihat bahwa uterus berkontraksi baik dan

terdorong keatas kanan oleh vagina yang berisi plasenta. Dengan tekanan ringan pada

fundus uteri plasenta mudah dapat dilahirkan, tanpa menyuruh wanita bersangkutan

mengedan yaitu dengan menggunakan perasat Crede. Dengan cara memijat uterus

seperti memeras jeruk agar plasenta lepas dari dinding uterus hanya dapat digunakan

bila terpaksa misalnya perdarahan. Perasat ini dapat mengakibatkan kecelakaan

26

perdarahan postpartum. Pada orang yang gemuk, perasat Crede sukar atau tidak dapat

dikerjakan.

Setelah plasenta lahir, harus diteliti apakah kotiledon-kotiledon lengkap atau

masih ada sebagian yang tertinggal dalam kavum uteri. Begitu pula apakah pada

pinggir plasenta masih didapat hubungan dengan plasenta lain, seperti adanya

plasenta suksenturiata. Selanjutnya harus pula diperhatikan apakah korpus uteri

berkontraksi baik. Harus dilakukan masase ringan pada korpus uteri untuk

memperbaiki kontraksi uterus. Apabila diperlukan karena kontaksi uterus kurang

baik, dapat diberikan uterotonika seperti pitosin, metergin, ermetrin, dan sebagainya,

terutama pada partus lama, grande multipara, gemelli, hidroamnion, dan sebagainya.

Bila semuanya telah berjalan dengan lancar dan baik, maka luka episiotomi harus

diteliti, dijahit, dan diperbaiki.

Segera bayi lahir, tinggi fundus uteri dan konsistensinya hendaknya

dipastikan. Selama uterus kencang dan tidak ada perdarahan yang luar biasa,

menunggu dengan waspada sampai plasenta terlepas biasa dilakukan. Jangan

dilakukan masase; tangan hanya diletakkan diatas fundus, untuk memastikan bahwa

organ tersebut tidak menjadi atonik dan berisi darah dibelakang plasenta yang telah

terlepas. Tanda-tanda pelepasan plasenta:

1. Uterus menjadi globular, dan biasanya terlihat lebih kencang. Ini merupakan

tanda awal.

2. Sering ada pancaran darah mendadak.

3. Uterus naik di abdomen karena plasenta yang telah terlepas, berjalan turun

masuk ke segmen bawah uterus dan vagina, serta massanya mendorong uterus

keatas.

4. Tali pusat keluar lebih panjang dari vagina yang menandakan bahwa plasenta

telah turun.

Tanda ini kadang-kadang terlihat dalam waktu 1 menit setelah bayi lahir dan

biasanya dalam waktu lima menit. Kalau plasenta sudah lepas, penolong harus

memastikan bahwa uterus telah berkontraksi kuat. Ibu boleh diminta untuk mengejan

27

dan tekanan intraabdominal yang ditimbulkan mungkin cukup untuk mendorong

plasenta.

Manajemen aktif kala III.8

Penatalaksanaan aktif pada kala III (pengeluaran aktif plasenta) membantu

menghindarkan terjadinya perdarahan pasca persalinan. Penatalaksanaan aktif kala III

meliputi:

Penatalaksanaan oksitosin dengan segera

Pengendalian tarikan pada tali pusat

Pemijatan uterus segera setelah plasenta lahir

Penanganan tersebut dilakukan dalam tahap sebagai berikut:8

Memberikan oksitosin untuk merangsang uterus berkontraksi yang juga

mempercepat pelepasan plasenta.

Lakukan Peregangan Tali Pusat Terkendali atau PTT dengan cara:

1. Satu tangan diletakkan pada korpus uteri tepat di atas simfisis pubis.

Selama kontraksi tangan mendorong korpus uteri dengan gerkan dorso

kranial ke arah belakang dan ke arah kepala ibu

2. Tangan yang satu memegang tali pusat dengan klem 5 cm di depan

vulva

3. Jaga tahanan ringan pada tali pusat dan tunggu adanya kontraksi kuat

(2-3 menit)

4. Selama kontraksi lakukan tarikan terkendali pada tali pusat yang terus

menerus, dalam tegangan yang sama dengan tangan ke uterus.

5. PTT dilakukan hanya selama uterus berkontraksi. Tangan pada uterus

merasakan kontraksi, ibu dapat juga member tahu petugas ketika ia

merasakan kontraksi. Ketika uterus tidak berkontraksi, tangan petugas

dapat tetap berada pada uterus, tetapi bukan melakukan PTT. Ulangi

langkah-langkah PTT pada setiap kontraksi sampai plasenta terlepas.

28

6. Begitu plasenta terasa lepas, keluarkan dengan menggerakkan tangan

atau klem tali pusat mendekati plasenta, keluarkan plasenta dengan

gerakan ke bawah dan ke atas sesuai dengan jalan lahir. Kedua tangan

dapat memegang plasenta dan perlahan memutar plasenta searah jarum

jam untuk mengeluarkan selaput ketuban.

7. Segera setelah plasenta dan selaputnya dikeluarkan, masase fundus

agar menimbulkan kontraksi. Hal ini dapat mengurangi pengeluaran

darah dan mencegah perdarahan pascapersalinan.

8. Periksa wanita tersebut secara seksama dan jahit semua robekan pada

serviks atau vagina atau perbaiki episiotomi.

2.8.4 Kala IV

Dua jam pertama setelah persalinan merupakan waktu yang kritis bagi ibu dan

bayi. Kala ini perlu untuk mengamat-amati apakah ada perdarahan postpartum. Rata-

rata dalam batas normal, jumlah pada umumnya adalah 100-300 cc. Bila perdarahan

lebih dari 500 cc ini sudah dianggap abnormal, harus dicari penyebabnya. Tujuh

pokok penting yang harus diperhatikan sebelum meninggalkan ibu yang baru

melahirkan adalah:

1. Kontraksi rahim. Dapat diketahui denga palpasi fundus uteri. Bila perlu

dilakukan masase dan berikan uterotonika (methergin, ermetrin, pitogin).

2. Perdarahan. Apakah ada atau tidak serta jumlahnya.

3. Kandung kencing. Diharuskan kosong, jika penuh ibu diminta kencing sendiri

atau menggunakan kateter.

4. Luka-luka. Dilihat jahitan terdapat perdarahan atau tidak.

5. Uri dan selaput ketuban harus telah lahir lengkap.

6. Keadaan umum ibu. Tekanan darah, nadi, dan pernapasan.

7. Bayi dalam keadaan baik

2.9 Komplikasi

Dilaporkan angka kejadian ruptura uteri pada parut uterus cukup tinggi,

terutama di negara sedang berkembang. Angka kejadian di negara maju hanya 0 –

29

2%, sedangkan di negara sedang berkembang dilaporkan sampai 4 – 7%. Hal ini

berkaitan dengan kurangnya akses wanita hamil untuk melahirkan di rumah sakit.

Ruptura uteri merupakan komplikasi langsung yang dapat terjadi pada

persalinan dengan parut uterus, meskipun kejadiannya kecil, tapi dapat menyebabkan

morbiditas dan mortalitas bagi ibu dan janin. Untuk menghindari terjadinya

komplikasi ini, kita harus dapat mengenali faktor risiko yang terdapat pada pasien

sebelum dilakukannya persalinan dengan parut uterus. Adapun faktor risiko itu

adalah3 :

Riwayat Persalinan

a. Jenis parut

Insisi transversal rendah risikonya, kira-kira 1 % sedangkan insisi klasik 12%.

Kepustakaan lain menyatakan bahwa risiko terjadinya ruptur uterus pada bekas SC

dengan insisi klasik adalah 4-9 %, T-shaped 4-8%, low vertikal 1-7% dan transversal

0,2-1,5%.

b. Jumlah SC sebelumnya

Berapa jumlah SC yang masih dianggap aman untuk persalinan dengan parut

uterus sampai saat ini masih belum jelas, karena terdapatnya hasil yang berbeda dari

berbagai penelitian. Phelan dkk. tidak menemukan satu kasus ruptur uteri pun pada

501 pasien dengan riwayat SC 2 kali dan menjalani persalinan dengan parut uterus

pada persalinan ketiganya. Sedangkan Miller dkk. menemukan resiko ruptur uterus 

tiga kali lebih tinggi pada jumalah parut yang lebih dari satu.

c. Riwayat persalinan

Suatu penelitian yang sangat besar menunjukkan efek protektif yang

signifikan dari riwayat persalinan pada bekas SC satu kali, dan mungkin merupakan

faktor protektif juga pada bekas SC dua kali. Penelitian kohort yang besar oleh Zelop

dkk. menemukan bahwa riwayat persalinan pada bekas SC menurunkan resiko

terjadinya ruptur uterus. Ruptur 1,1% terjadi pada wanita tanpa riwayat persalinan

dan hanya 0,2% pada wanita yang pernah mengalami persalinan setelah SC.

d. Interval persalinan

30

Shipp dkk. menyatakan bahwa waktu yang pendek antara SC dan percobaan

persalinan berikutnya dapat meningkatkan resiko terjadinya ruptur uterus karena

tidak tersedia waktu yang adekuat untuk penyembuhan luka. Wanita dengan interval

persalinan kurang dari 18 bulan, mempunyai resiko 2,3% dibandingkan dengan yang

intervalnya lebih dari 18 bulan yaitu 1%.

e. Demam post partum setelah SC

Deman post partum SC merupakan suatu predisposisi penyembuhan luka

yang jelek dan pada beberapa tempat hal ini merupakan kontraindikasi untuk

dilakukannya persalinan dengan parut uterus.

Faktor Ibu

a. Umur

Suatu studi oleh Shipp dkk menyatakan bahwa usia diatas 30 tahun mungkin

berhubungan dengan kejadian ruptur yang lebih tinggi.

b. Anomali uterus

Terdapat kejadian ruptur yang lebih tinggi pada wanita dengan anomali

uterus.

Karakteristik Kehamilan Saat Ini

a. Makrosomia

Risiko ruptura uteri akan meningkat dengan meningkatnya berat badan janin

karena terjadinya distensi uterus.

b. Kehamilan ganda

Hanya satu penelitian mengenai hal ini dan ternyata dari 92 wanita, tidak

terjadi ruptura uteri.

c. Ketebalan segmen bawah rahim (SBU)

Risiko terjadinya ruptur 0% bila ketebalan SBU > 4,5 mm, 0,6% bila 2,6-3,5

mm dan 9,8% bila tebalnya < 2,5 mm

d. Malpresentasi

Flamm dkk. melaporkan tidak terjadi ruptur pada 56 pasien yang dilakukan

versi luar pada presentasi bokong saat hamil aterm, namun karena tidak ada data yang

definitif, prosedur ini mungkin bisa berhubungan dengan terjadinya ruptur uterus.

31

Resiko ruptur uterus meningkat seiring dengan jumlah insisi sebelumnya.

Secara spesifik, terjadi peningkatan sekitar tiga kali lipat resiko ruptur uterus pada

wanita yang mencoba melahirkan pervaginam dengan riwayat dua kali sesar

dibandingkan dengan riwayat satu kali sesar. Ruptur uterus harus dibedakan dari

dehisens. Ruptur uterus mengacu kepada pemisahan insisi uterus lama disertai ruptur

membran janin sehingga rongga uterus dan rongga peritoneum berhubungan. Seluruh

atau sebagian janin atau plasenta menonjol ke dalam rongga peritoneum. Pada

dehisens uterus, membran janin utuh dan janin atau plasenta, atau keduanya, tidak

keluar ke dalam rongga peritoneum ibu. Pemisahan jaringan parut semacam ini sering

disebut sebagai “jendela”.

Ruptur uterus umumnya bermanifestasi sebagai deselerasi denyut jantung

janin. Kurang dari 10% wanita yang mengalami ruptur uterus mengalami nyeri dan

perdarahan sebagai temuan utama. Temuan klinis lain yang berkaitan dengan ruptur

uterus adalah iritasi diafragma akibat hemoperitoneum dan tidak diketahuinya tinggi

janin yang terdeteksi sewaktu pemeriksaan dalam. Beberapa wanita mengalami

penghentian kontraksi setelah ruptur. Sedangkan, tanda-tanda ruptur uteri menurut

ALARM adalah sebagai berikut:

Fetal bradikardia

Menghilangnya perabaan janin

Kontraksi yang menghilang/ berhenti

Meningginya presentasi bagian janin

Nyeri di daerah parut

Diagnosis pasti ruptur uteri adalah dengan laparotomi. Namun, dari gejala

klinis dapat didiagnosis

Penatalaksanaan ruptur uterus antara lain adalah sesar darurat atas indikasi

gawat janin, terapi pendarahan ibu, dan perbaikan defek uterus atau histerektomi jika

perbaikan dianggap tidak mungkin.

Hal yang perlu diperhatikan dalam antisipasi terjadinya komplikasi kehamilan

maupun persalinan ini adalah sebagai berikut:

32

Selama kehamilan perlu konseling mengenai bahaya persalinan pada parut

uterus.

Tidak diperkenankan ibu bersalin di rumah atau Puskesmas pada kasus parut

uterus. Perlu diberitahukan bahwa resiko persalinan untuk terjadinya dehisens

dan ruptur uteri adalah tinggi, sehingga perlu dilakukan rujukan segera.

Di rumah sakit perlu fasilitas yang memadai untuk menangani kasus seksio

sesarea emergensi dan dilakukan seleksi ketat untuk melakukan persalinan

dengan parut uterus.

33

BAB III

LAPORAN KASUS

A. Identitas Penderita

Nama : NPT

Jenis Kelamin : Perempuan

Umur : 32 tahun

Agama : Hindu

Pendidikan : Tamat SMP

Pekerjaan : Ibu rumah tangga

Alamat : Lingkungan Baler Bale Agung

Bangsa : Indonesia

Suku : Bali

Tanggal MRS : 23 Februari 2011 pukul 10.00 WITA

B. Keluhan Utama

Sakit perut hilang timbul

Anamnesis

1. Riwayat Penyakit Sekarang

Pasien datang dengan keluhan sakit perut hilang timbul seperti mau

melahirkan sejak pukul 06.00 WITA (23 Februari 2011), yang bertambah

sering dan lama serta tidak hilang dengan istirahat. Keluar air dari kemaluan

(-). Keluar lendir bercampur darah dari kemaluan (+). Gerak anak dirasakan

baik kira-kira sejak bulan September 2010 sampai saat pasien MRS.

34

2. Riwayat Menstruasi

Menarche umur ± 13 tahun, siklus teratur 28 hari, lamanya 5-7 hari

tiap kali menstruasi. Nyeri saat menstruasi hampir tidak pernah

dirasakan oleh penderita.

Hari pertama haid terakhir : 5 Mei 2010

Taksiran Persalinan : 12 Februari 2011

3. Riwayat Persalinan :

1. Perempuan, aterm, BBL 2800 gram, lahir spontan, di bidan, sekarang

berumur 13 tahum.

2. Laki-laki, aterm, BBL 2900 gram, lahir dengan operasi SC di RSU

karena Placenta Previa Totalis, sekarang berumur 8 tahun.

3. Ini

4. Riwayat Ante Natal Care (ANC)

Pasien kontrol kehamilan di bidan sebanyak tujuh kali. Pasien telah

melakukan USG sebanyak satu kali pada saat umur kehamilan 35-36 minggu.

Dari hasil pemeriksaan USG (7 Januari 2011), didapatkan janin dengan letak

kepala. Adapun pencatatan perkembangan kehamilan di bidan dapat

ditunjukkan pada tabel berikut:

Tanggal Keluhan TD

(mmHg)

BB

(Kg)

UK

(Minggu)

TFU Tindakan

25/07/11 Tidak

mens sejak

2

bulan,mual

, Muntah

110/70 51 10-11 Ttb PTT (+),

Asam folat +

vitamin B6,

Kontrol 1

bulan lagi

30/09/10 Taa 120/70 55 21-22 1 jari

bawah

pusat

Sulfas

Ferosus,

Kontrol 1

bulan lagi

01/11/10 Taa 110/70 57 25-26 2 jari atas Sulfas

35

pusat Ferosus,

kontrol 1

bulan lagi

29/12/10 Taa 110/80 59 34 4 jari

bawah

xiphoid

Sulfas

Ferosus, TT2,

kontrol 1

bulan lagi

24/01/11 Taa 120/70 60 37-38 3 jari

bawah

xiphoid

Sulfas

Ferosus,

kontrol 2

minggu lagi

12/02/11 Taa 110/70 60 40 3 jari

bawah

xiphoid

Sulfas

Ferosus,

kontrol 1

minggu lagi

21/01/11 Taa 110/70 60 41-42 3 jari

bawah

xiphoid

Sulfas

Ferosus,

kontrol 1

minggu lagi

5. Riwayat Pernikahan

Penderita menikah satu kali dengan suami sekarang selama 14 tahun.

6. Riwayat KB (+), KB suntik 3 bulan setelah kelahiran anak kedua dan 1 tahun

yang lalu tidak dilanjutkan karena ingin hamil lagi.

7. Riwayat Penyakit Terdahulu

Penyakit asma, jantung, diabetes melitus, dan hipertensi disangkal oleh

pasien.

8. Riwayat Penyakit Keluarga

Tidak ada keluarga pasien yang memiliki penyakit asma, jantung, diabetes

melitus, dan hipertensi.

36

C. Pemeriksaan Fisik

1. Status Present

Keadaan umum : baik Kesadaran : CM

Tekanan darah : 100/80 mmHg Nadi : 78 x/menit

Respirasi : 18 x/menit Suhu tubuh : 36,4 ºC

Tinggi badan : 151 cm Berat badan : 58 kg

2. Status Generalis

Kepala : Mata : anemia -/-, ikterus -/-

THT : Kesan tenang

Toraks :

Inspeksi : Mammae : Hiperpigmentasi areola mammae (+)

Penonjolan glandula Montgomery (+)

Auskultasi : Jantung : S1S2 tunggal, regular, murmur (–)

Pulmo : vesikuler +/+, ronkhi -/-, wheezing -/-

Abdomen : ~ status obstetri

Ekstremitas : (superior/inferior) edema --/--, hangat ++/++

3. Status Obstetri

Pada mammae : hiperpigmentasi areola mammae (+),

penonjolan glandula Montgomery (+)

Pemeriksaan Luar (Abdomen)

Inspeksi

Tampak perut membesar ke depan dengan striae gravidarum

Tampak luka bekas operasi membujur dari bawah umbilikus sampai

mendekati batas atas simfisis

Palpasi

Pemeriksaan Leopold

I. Teraba bagian bulat dan lunak, kesan bokong.

II. Teraba tahanan keras di kiri (kesan punggung), dan teraba

bagian kecil janin di kanan

37

III. Teraba bagian bulat, keras, dan susah digerakkan (kesan

kepala)

IV. Teraba divergen, kesan bagian terbawah janin sudah masuk

pintu atas panggul.

Tinggi fundus uteri 3 jari bawah prosesus xiphoideus (35 cm)

His (+) 2-3x setiap 10 menit selama 25-30 detik tiap kontraksi

Gerak janin (+)

Auskultasi

Denyut jantung janin terdengar paling keras di kiri bawah umbilikus

dengan frekuensi 12 12 12 (144 x/menit) reguler.

Pemeriksaan D alam (Vagina)

Vaginal Toucher dilakukan pada pukul 10.00 WITA (23 Februari 2011),

didapatkan hasil:

Pembukaan Ø 2 cm, effacement 25%, lunak, ketuban (+)

Teraba kepala, sutura sagitalis melintang, penurunan Hodge I

Tidak teraba bagian kecil atau tali pusat.

D. Pemeriksaan Laboratorium

Hematologi Rutin

WBC : 8,15 K/µL

RBC : 3,59 M/µL

HGB : 11,4 g/dL

HCT : 33,5 %

PLT : 211 K/µL

BT : 1’ 03”

CT : 10’ 03”

E. Diagnosis Kerja

38

G3P2002 41-42 minggu Tunggal/Hidup, LMR (bekas SC 1x), persalinan kala

I fase laten

Perkiraan berat bayi 3565 gram

F. Rencana Kerja

Tx : Ekspektatif pervaginam

IVFD RL 28 tetes/menit

Mx : Keluhan, Vital Signs, His, DJJ

KIE : penderita dan keluarga tentang rencana tindakan

G. Perjalanan Penyakit

Pukul 14.00 WITA

S: nyeri perut hilang timbul (+), gerak anak (+), keluar air (-), keluar darah

lendir (+)

O: Evaluasi 4 jam :

Abdomen : His (+) 3-4x/10 menit ~ 30-35 detik

DJJ (+) 12.12.12 (144x/menit)

VT : Pembukaan Ø 3 cm, effacement 50%, ketuban

(+)

Teraba kepala, ubun-ubun kecil kiri melintang,

penurunan H I

Tidak teraba bagian-bagian kecil atau tali pusat

A: G3P2002 41-42 minggu Tunggal/Hidup, LMR (bekas SC 1x), persalinan

kala I fase laten

Perkiraan berat bayi 3565 gram

P: Dx = (-)

Tx = Ekspektasi pervaginam

Mx = kelola dengan partograf WHO

KIE

39

Pukul 18.00 WITA

S: nyeri perut hilang timbul (+), gerak anak (+), keluar air (-), keluar darah

lendir (+)

O: Evaluasi 4 jam :

Abdomen : His (+) 3-4x/10 menit ~ 40-45 detik

DJJ (+) 12.13.12 (148x/menit)

VT : Pembukaan Ø 4 cm, effacement 50%, ketuban

(+)

Teraba kepala, ubun-ubun kecil kiri melintang,

penurunan H I

Tidak teraba bagian-bagian kecil atau tali pusat

A: G3P2002 41-42 minggu Tunggal/Hidup, LMR (bekas SC 1x), persalinan

kala I fase aktif

Perkiraan berat bayi 3565 gram

P: Dx = (-)

Tx = Ekspektasi pervaginam

Mx = kelola dengan partograf WHO

KIE

H. Perjalanan Persalinan

Pukul 21.20 WITA

S : Penderita ingin mengedan dan terasa seperti mau buang air besar

O : Abdomen : His (+) 4-5x/ 10 menit dengan durasi 45-50 detik

DJJ (+) 12.11.12 (140 x / menit)

Vaginal Toucher : Pembukaan Ø lengkap

Ketuban (-)

Teraba kepala, Ubun ubun kecil anterior

Penurunan Hodge III (+)

Tidak teraba bagian-bagian kecil atau tali pusat

A : G3 P2002 41-42 minggu, tunggal/hidup, partus kala II

40

Perkiraan berat bayi 3565 gram

P : Dx = (-)

Tx = Pimpin persalinan

Mx = Observasi denyut jantung janin, His, vital sign dan keluhan

KIE = Cara meneran yang benar

Laporan Partus

Pukul 21.20 WITA

Pasien dalam posisi setengah duduk, berbaring merangkul kedua

pahanya sampai batas siku. Kepala sedikit di angkat, sehingga dagunya

mendekati dadanya dan ia dapat melihat perutnya. Pada saat puncak His,

pasien dipimpin meneran. Saat kepala crowning dilakukan episiotomi dengan

indikasi perineum yang kaku. Dilakukan perasat rintgen dengan tangan kanan

menahan perineum dan tangan kiri mengatur defleksi kepala, dengan

suboksiput di bawah simfisis sebagai hipomukleon, berturut-turut UUK,

UUB, dahi, mata, hidung, mulut, dagu, hingga seluruh bagian kepala

dilahirkan. Usap muka bayi dengan gaas steril.

Jalan nafas dibersihkan dengan delee dari mulut ke hidung. Tunggu

putar paksi luar sambil memeriksa belitan tali pusat. Setelah dipastikan tidak

ada belitan tali pusat, dengan posisi tangan biparietal, lakukan tarikan curam

ke bawah untuk melahirkan bahu depan dan curam ke atas untuk melahirkan

bahu belakang. Lakukan sanggah susur, tangan kanan menyangga leher dan

tangan kiri menyusuri punggung sehingga melahirkan badan dan bagian kecil

bayi. Kemudian lakukan penjepitan tali pusat menggunakan klem setelah

disuntikkan oksitosin 10 IU secara intramuskular. Lanjutkan dengan

pemotongan tali pusat. Setelah itu, letakkan bayi di perut ibu untuk

melakukan inisiasi menyusui dini. Kulit bayi harus bersentuhan dengan kulit

ibu. Dekatkan mulut bayi dengan puting ibu. Bayi akan secara reflek

menghisap puting susu ibu.

Pukul 21.30 WITA

41

Lahir bayi, laki-laki, berat bayi lahir 3800 gram, panjang badan 48 cm,

APGAR score 8-9, anus (+), kelainan (-).

Manajemen Aktif kala III

1. Injeksi oksitosin 1 Amp (IM), 10 IU (sudah dilakukan di atas).

2. Lakukan peregangan tali pusat terkendali.

3. Massase fundus uteri.

Pukul 21.35 WITA

Lahir plasenta, kesan lengkap, kalsifikasi (-), hematom (-)

Evaluasi : - kontraksi uterus (+) baik

- Robekan jalan lahir grade II (dilakukan hecting)

- Perdarahan aktif (-)

Partus selesai

A : P3003 Partus spontan belakang kepala postpartum hari ke-0

P : Dx = (-)

Tx = - Amoxycillin 3 x 500 mg

- Methylergometrin 3 x 0,125 mg

- SF 2x1 tablet

- Ketoprofen supp 1 x 2

Mx = observasi 2 jam pasca persalinan

KIE = Mobilisasi dini

ASI eksklusif

Higienitas diri

KB post partum

Evaluasi 2 jam post partum :

Wakt

u

TD N R

R

t.A

x

Kontraks

i uterus

Perdaraha

n

aktif

Kandung

kemih

Tinggi

f. uteri

21.50 1

20/70

88 18 36,

7

+ - kosong 2 jr bpst

22.05 110/ 84 18 - + - kosong 2 jr bpst

42

70

22.20 1

20/70

84 20 - + - kosong 2 jr bpst

22.35 110/7

0

80 18 - + - kosong 2 jr bpst

22.50 120/7

0

88 20 - + - kosong 2 jr bpst

23.05 120/7

0

80 20 - + - kosong 2 jr bpst

Follow up di Ruang Bakung

Follow Up (24/2/2011 pukul 06.00)

S : Nyeri luka jahitan (+), mobilisasi (+), ASI (+), BAK (+), BAB (-),

makan/minum (+)/(+) baik

O :

Status Present

Tekanan Darah : 120/80 mmHg

Nadi : 84 x/menit

RR : 18 x/menit

Temperatur Axilla : 36,60 C

Status General

Mata : anemis -/-, ikterus -/-, reflek pupil +/+ isokor

THT : kesan tenang

Thorax :

Cor : S1S2, tunggal, regular, murmur (-)

Po : vesikuler +/+, ronchi -/-, wheezing -/-

Abdomen : ~ status obstetri

Ekstremitas : Akral hangat, edema (−)

43

Status Obstetri

Abdomen : Tinggi Fundus Uteri 2 jari di bawah pusat

Kontraksi uterus (+) baik, Distensi (-), BU (+) N

Vagina : Lochia (+), perdarahan aktif (-)

A : P3003 Partus spontan belakang kepala Postpartum Hari I

P :

Dx : (-)

Tx : Amoxycillin 3x500 mg

Methylergometrin 3x0,125 mg

Sulfas ferosus 2x400 mg

Mx : Keluhan, Vital Signs, Kontraksi Uterus

44

BAB IV

PEMBAHASAN

Kasus yang dibahas pada laporan kasus ini adalah persalinan pervaginam

dengan parut uterus. Pasien didiagnosis dengan G3P2002 + LMR berdasarkan

anamnesis. Pasien mengaku ini merupakan kehamilan ketiga, tanpa riwayat abortus,

kedua anak sebelumnya lahir normal dan sekarang masih hidup, dan mempunyai

riwayat melahirkan dengan seksio sesarea satu kali, yaitu pada kehamilan kedua. Dari

tanggal perkiraan persalinan, yaitu 12 Februari 2011, didapatkan umur kehamilan

sekarang adalah 41-42 minggu. Dari anamnesis gerakan janin dirasakan baik dan

pemeriksaan fisik didapatkan DJJ (+). Dari pemeriksaan fisik pasien juga didapatkan

bekas luka operasi seksio sesarea dengan sayatan kulit jenis midline. Selama ANC

yang dilakukan di bidan sebanyak tujuh kali, kondisi janin dikatakan baik.

Penderita datang dengan keluhan sakit perut hilang timbul dan keluar lendir

bercampur darah (blood slym) yang merupakan tanda-tanda inpartu. Hal ini didukung

dengan pemeriksaan dalam. Vaginal Toucher pada pukul 10.00 WITA didapatkan

adanya pembukaan serviks sebesar 2 cm, dengan effacement 25%. Tidak ada riwayat

keluar air dari kemaluan dan hasil pemeriksaan dalam (VT) menunjukkan selaput

ketuban masih utuh. Pada pemeriksaan dalam teraba kepala dengan penurunan Hodge

I, dan tidak teraba bagian kecil atau tali pusat. Pada pasien ini, dilakukan Trial of

Labor After Cesarean (TOLAC) karena beberapa indikator, yaitu indikasi operasi

seksio sesarea sebelumnya adalah placenta previa totalis, pasien hanya satu kali

pernah menjalani SC, jenis sayatan uterus adalah transversal, tidak ditemukan

komplikasi pada SC sebelumnya, dan pasien mempunyai riwayat melahirkan

pervaginam pada kehamilan pertama. Oleh karena itu, pengelolaan setelah memasuki

partus kala I fase aktif pada pasien ini adalah sesuai dengan partograf WHO. Selama

observasi inpartu, diperhatikan pula tanda-tanda ruptur uteri, yaitu bradikardia janin,

lingkaran Bandl pada ibu, perdarahan yang banyak dan mendadak, ibu merintih

kesakitan, dan keadaan umum ibu memburuk.

45

Evaluasi pada empat jam kemudian, yaitu pada pukul 14.00 WITA,

didapatkan his makin meningkat baik frekuensi maupun durasinya. DJJ (+) dengan

frekuensi 12 12 12 teratur (144 kali per menit). Dari pemeriksaan dalam didapatkan

pembukaan serviks sebesar 3 cm dengan effacement 50%. Selaput ketuban masih

utuh. Bagian terbawah janin teraba kepala dengan denominator ubun-ubun kecil kiri

melintang. Penurunan kepala didapatkan pada Hodge I. Tidak teraba bagian-bagian

kecil atau tali pusat.

Evaluasi empat jam selanjutnya, yaitu pada pukul 18.00 WITA, didapatkan

his yang makin meningkat durasinya. DJJ (+) dengan frekuensi 12 13 12 teratur (148

kali per menit). Dari pemeriksaan dalam didapatkan pembukaan serviks sebesar 4 cm

dengan effacement 50%. Pasien tidak mengeluhkan keluarnya air ketuban. Dari

pemeriksaan juga didapatkan selaput ketuban masih utuh. Bagian terbawah janin

teraba kepala dengan denominator ubun-ubun kecil kiri melintang. Penurunan kepala

masih di Hodge I. Tidak teraba bagian-bagian kecil maupun tali pusat.

Kira-kira tiga jam kemudian (pukul 21.20 WITA), his semakin meningkat

baik frekuensi maupun durasinya. Lalu, pasien mengeluh ingin meneran seperti

buang air besar dan ketuban pecah spontan, dengan air ketuban jernih. Saat dilakukan

pemeriksaan dalam, pembukaan serviks didapatkan telah lengkap (10 cm). Salah satu

tanda masuknya persalinan kala II adalah keinginan ibu untuk meneran. Pemeriksaan

dalam juga menunjukkan pembukaan serviks yang sudah lengkap. Ini menunjukkan

bahwa kala I telah berakhir dan partus memasuki kala II.

Kemudian, diambil sikap untuk memulai memimpin persalinan. Penderita

harus dipimpin meneran pada saat ada his dengan diselingi bernapas. Posisi pasien

setengah duduk sambil merangkul kedua pahanya sampai batas siku. Kepala sedikit

diangkat, sehingga dagunya mendekati dada dan pasien dapat melihat perutnya.

Karena pada posisi ini, sumbu panggul akan lebih horisontal dan memudahkan

penurunan kepala janin. Saat kepala janin telah sampai di dasar panggul, vulva mulai

membuka. Rambut di kepala janin mulai tampak. Perineum dan anus tampak mulai

meregang. Perineum mulai berada pada posisi yang lebih tinggi, sedangkan anus

mulai membuka. Tahan perineum dengan tangan kanan (dengan kain kasa steril) agar

46

tidak robek (perasat Rintgen). Pada penderita ini dilakukan episiotomi dengan

indikasi perineum yang kaku. Setelah kepala lahir, bersihkan mulut dan hidung

dengan kasa steril dan hisap lendir di mulut lalu di hidung bayi dengan penghisap

lendir. Kemudian, kepala janin akan mengadakan putaran paksi luar untuk

menyesuaikan dengan letak punggung janin. Lalu, selusuri leher bayi dengan tangan

dan identifikasi apakah ada belitan tali pusat pada leher. Setelah dipastikan tidak ada

belitan tali pusat, selanjutnya lahirkan kedua bahu janin, badan, trokanter anterior,

dan trokanter posterior. Kemudian, lahir bayi laki-laki dengan berat badan 3800

gram, segera menangis, dan APGAR score 8-9. Jalan napas dibersihkan, tali pusat di

klem lalu digunting dan bayi diserahkan ke perinatologi. Pasien disuntik oksitosin 10

IU secara intramuskular di paha bagian lateral untuk memberikan kontraksi ritmik

uterus agar dapat membantu mengeluarkan plasenta dan mengurangi perdarahan. Ini

merupakan bagian dari manajemen aktif kala III.

Kala III dimulai sejak bayi lahir lengkap sampai plasenta lahir lengkap.

Selanjutnya, dilakukan manajemen aktif kala III selain pemberian oksitosin 10 IU

(IM), yaitu peregangan tali pusat terkendali dan masase fundus uteri. Peregangan tali

pusat terkendali dilakukan dengan perasat Kustner untuk mengetahui lepasnya

plasenta dari tempat perlekatannya. Setelah plasenta lahir, kemudian diteliti apakah

kotiledon-kotiledon lengkap atau ada sebagian yang tertinggal dalam kavum uteri

karena sisa plasenta bisa menimbulkan perdarahan post partum. Masase ringan pada

fundus uteri dilakukan untuk memperbaiki kontraksi uterus. Pada penderita ini

kontraksi uterus baik. Kemudian, dilakukan penjahitan luka episiotomi secara jelujur

pada mukosa vagina dan perineum, dilanjutkan dengan jahitan subkutis ke arah

himen. Evaluasi jalan lahir untuk mengetahui adanya robekan dan laserasi jalan lahir.

Sampai akhir kala III tidak ditemukan komplikasi persalinan pervaginam dengan

parut uterus, seperti ruptur uteri, distres janin, atau kematian janin dalam rahim.

Setelah melewati kala III, penderita diobservasi selama 2 jam atau pasien

memasuki kala IV, yaitu dua jam setelah plasenta lahir lengkap. Pada obsevasi 2 jam

postpartum, diperhatikan apakah kontraksi uterus sudah baik, apakah ada perdarahan

aktif dari vagina atau perdarahan-perdarahan laserasi alat genitalia lainnya; plasenta

47

dan selaput ketuban harus lahir lengkap; kandung kencing kosong; bayi dalam

keadaan baik; ibu dalam keadaan baik. Nadi dan tekanan darah normal, tidak ada

keluhan sakit kepala atau mual. Ini sesuai dengan observasi pada kala IV partus

normal. Pasien kemudian dipindahkan ke ruangan dan diamati vital sign dan

keluhan, serta di KIE untuk mobilisasi dini, pemberian ASI eksklusif kepada bayinya,

cara menjaga kebersihan diri dan pemakaian KB post partum.

Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa kasus ini adalah

persalinan normal pada jaringan parut uterus yang sesuai dengan definisi partus

normal pada jaringan parut uterus, yaitu persalinan dimana lahirnya janin dengan

presentasi belakang kepala tanpa memakai alat-alat atau pertolongan istimewa serta

tidak melukai ibu dan bayi, dan umumnya berlangsung dalam waktu kurang dari 24

jam pada ibu dengan riwayat operasi seksio sesarea atau miomektomi atau

kurneoktomi pada kehamilan sebelumnya.

48

BAB V

RINGKASAN

Kehamilan dengan jaringan parut uterus adalah kehamilan dengan riwayat seksio

sesarea satu kali atau lebih, miomektomi, atau kurneoktomi pada kehamilan

sebelumnya. Sedangkan Vaginal Birth After Cesarean (VBAC) adalah persalinan

pervaginam setelah sebelumnya pernah menjalani seksio sesarea. VBAC juga dikenal

sebagai Trial of Labor After Cesarean (TOLAC). Terdapat tiga hal yang perlu

diperhatikan sebelum diputuskan pasien dapat melakukan VBAC, yaitu dari segi

riwayat persalinan, faktor ibu, dan karakteristik kehamilan saat ini.

Riwayat persalinan mencakup jenis sayatan pada uterus, jumlah SC yang

dilakukan, riwayat persalinan pervaginam, jarak antara SC dan persalinan sekarang,

dan demam post SC. Ada berbagai macam jenis sayatan uterus saat SC, antara lain

insisi klasik (korporea), T-shaped, low vertical, dan transversal. Sayatan transversal

memiliki resiko ruptur uteri paling rendah. Mengenai jumlah SC sebelumnya, masih

belum ada kepastian berapa peningkatan resiko ruptur uteri. Namun, sebuah

penelitian oleh Miller, dkk menyebutkan bahwa SC dua kali atau lebih meningkatkan

resiko ruptur uteri sampai tiga kali lipat. Jika pasien mempunyai riwayat persalinan

pervaginam sebelumnya, maka resiko ruptur uteri dapat diminimalisir. Ruptur uteri

terjadi pada 0,2% wanita yang melakukan persalinan pervaginam setelah SC. Jika

pasien dengan kehamilan parut uterus berencana melakukan persalinan pervaginam,

sebaiknya diberikan jarak lebih dari 18 bulan dari waktu operasi agar proses

penyembuhan dapat berjalan baik. Hal ini mengurangi resiko ruptur uteri sebesar

1,3% dibandingkan dengan jarak di bawah 18 bulan. Terakhir, demam post SC juga

menjadi pertimbangan dilakukannya VBAC. Demam setelah operasi

mengindikasikan buruknya proses penyembuhan luka operasi. Jika ada demam post

SC, pertimbangkan untuk SC ulang.

Dari faktor ibu, terdapat dua hal yang jadi pertimbangan, yaitu umur dan ada

atau tidaknya anomali uterus. Sebuah penelitian menunjukkan bahwa umur ibu di atas

49

30 tahun meningkatkan kejadian ruptur uteri. Sedangkan, ibu dengan anomali uterus

mempunyai resiko ruptur uteri yang lebih tinggi.

Hal yang perlu diperhatikan dari segi kehamilan yang sekarang adalah adanya

makrosomia (perkiraan berat bayi 4000 gram atau lebih), kehamilan ganda, ketebalan

segmen bawah rahim, dan kelainan letak janin. Peningkatan resiko ruptur uteri

sebanding dengan besarnya perkiraan berat bayi. Kehamilan ganda walaupun dapat

menurunkan keelastisan rahim karena rongga rahim yang lebih regang, namun angka

kejadian ruptur uteri tidak terlalu tinggi. Namun, pada beberapa rumah sakit, seperti

Sanglah, pasien dengan kehamilan ganda dan parut uterus akan direncanakan SC

ulang untuk memperkecil komplikasi kehamilan dengan parut uterus. Makin tebal

segmen bawah rahim (>4,5 mm), makin kecil resiko ruptur uteri. Ruptur uteri pada

kehamilan dengan kelainan letak janin dikaitkan dengan manipulasi yang dilakukan,

seperti dilakukannya versi luar pada letak sungsang.

Persalinan sendiri adalah suatu proses pengeluaran hasil konsepsi yang dapat

hidup dari dalam uterus melalui vagina ke dunia luar. Partus biasa atau partus normal

atau partus spontan adalah bila bayi lahir dengan presentasi belakang kepala tanpa

memakai alat-alat atau alat bantu serta tidak melukai ibu dan bayi, dan umumnya

berlangsung dalam waktu kurang dari 24 jam.

Pada dan selama persalinan ada tiga faktor penting yang berperan, yaitu

kekuatan kontraksi ibu (his) dan kekuatan mengedan, kondisi jalan lahir, dan janin itu

sendiri. Pada ibu dengan parut uterus, his yang kuat dan janin yang besar dapat

meningkatkan resiko kejadian ruptur uteri yang mengarah pada kematian janin atau

ibu.

Partus dibagi menjadi 4 kala. Pada kala I serviks membuka sampai terjadi

pembukaan 10 cm, kala ini dinamakan pula kala pembukaan. Kala II disebut pula

kala pengeluaran oleh karena berkat kekuatan his dan kekuatan mengedan janin

didorong keluar sampai lahir. Dalam kala III atau kala uri, plasenta terlepas dari

dinding uterus dan dilahirkan. Kala IV dimulai dari lahirnya plasenta dan lamanya 2

jam, dalam kala ini diamati apakah terjadi perdarahan postpartum pada ibu atau tidak.

50

Pada laporan ini dibahas seorang wanita 32 tahun, suku Bali, agama Hindu,

tidak bekerja, asal Lingkungan Baler Bale Agung, Negara dengan diagnosis G3P2002

41-42 minggu, tunggal/hidup, LMR (bekas SC 1x), PK I fase laten, taksiran berat

janin 3565 gram. Penderita mengalami persalinan pervaginam dengan parut uterus

sesuai dengan langkah-langkah pada partus normal. Ibu dan anak setelah proses

persalinan ini dalam keadaan baik dan dipulangkan dua hari kemudian dengan KIE

ASI eksklusif, cara menjaga kebersihan diri dan pemakaian KB post partum, serta

anjuran untuk kontrol kembali 1 minggu ke poliklinik setelah pulang dari rumah

sakit.

51

DAFTAR PUSTAKA

1. Wiknjosastro G.H, Saifuddin A.B., Rachimhadhi T. (2010). Ilmu Kebidanan,

ed.7. Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo. Jakarta

2. Prosedur Tetap Obstetri dan Ginekologi. (2008). Bagian/Staf Medik

Fungsional Obstetri dan Ginekologi Fakultas Kedokteran Universitas

Udayana. Denpasar

3. Valentina C. (2010). Persalinan Per Vaginam Pada Bekas SC. Exomed

Indonesia. Jakarta

4. Gabbe S.G., Niebyl J.R., Simpson, J.L. (2002). Obstetrics Normal and

Problem Pregnancies, ed.4. Churchill Livingstone, New Year.

5. Cunningham G.E., Gant N.F., Leveno K.J., Gilstrap L.C., Hauth J.C. (2001).

Williams Obstetrics, ed.21. Mc Graw Hill. New York.

6. Adenia I, Piliang S, Roeshadi R.H., Tala M.R.Z. (1999). Kehamilan dan

Persalinan Normal. Bagian Obstetri dan Ginekologi FK USU/RSUD dr.

Pirngadi RSUP dr. Adam Malik. Medan

7. Madjid O.A, Soekir S, Wiknjosastro G.H, dkk. (2007). Asuhan Persalinan

Normal, ed.3. Jaringan Nasional Pelatihan Klinik. Jakarta.

8. Buku Panduan Praktis Pelayanan Kesehatan Maternal dan Neonatal. (2002).

Jakarta

52