persetujuan dewan perwakilan rakyat dalam pengangkatan...
TRANSCRIPT
Persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat Dalam Pengangkatan
Kepala Kepolisian Republik Indonesia Menurut Undang-Undang
Nomor 2 Tahun 2002 Tentang Kepolisian
SKRIPSI
Diajukan Kepada Fakultas Syariah & Hukum
Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh
Gelar Sarjana Hukum (S.H)
Disusun Oleh
Rizky Ramandhika
1111048000074
K O N S E N T R A S I H U K U M K E L E M B A G A A N N E G A R A
P R O G R A M S T U D I I L M U H U K U M
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1436 H / 2015 M
iii
LEMBAR PERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan bahwa:
1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli yang diajukan untuk memenuhi salah satu
syarat memperoleh gelar strata 1 (S1) di Universitas Islam Negeri Syarif
Hidayatullah Jakarta.
2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan
sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Universitas Islam Negeri Syarif
Hidayatullah Jakarta.
3. Jika dikemudian hari terbukti hasil karya ini bukan hasil karya asli saya atau
merupakan hasil jiplakan orang lain, maka saya bersedia menerima saksi yang
berlaku di Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
Jakarta, 15 Oktober 2015
Rizky Ramandhika
iv
ABSTRAK
RIZKY RAMANDHIKA 1111048000074 PERSETUJUAN DEWAN PERWAKILAN
RAKYAT DALAM PENGANGKATAN KEPALA KEPOLISIAN REPUBLIK INDONESIA
MENURUT UNDANG-UNDANG NO 2 TAHUN 2002 TENTANG KEPOLISIAN. Program
Studi Ilmu Hukum, Konsentrasi Hukum Kelembagaan negara, Fakultas Syariah dan Hukum,
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 1436 H/ 2015 M. xi + 79 halaman. Penelitian ini menganalisa
bagaimana persetujuan dewan perwakilan rakyat terhadap pengangkatan Kepala Kepolisian
Republik Indonesia dalam konteks ketatanegaraan Indonesia. Penelitian ini diharapkan dapat
memberikan manfaat baik secara ilmiah yaitu dalam studi ilmu hukum, dan secara praktis
maupun akademis yaitu sebagai masukan bagi penulis maupun pihak-pihak yang memiliki
keinginan untuk menganalisa lebih jauh tentang peran Dewan Perwakilan Rakyat terhadap
pengangkatan pejabat publik. Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah
metode penelitian pustaka yang bersifat yuridis normatif, yaitu penelitian yang mengacu pada
norma-norma hukum yang ada dalam perundang-undangan, kepustakaan, pendapat ahli, dan
jurnal. Penulis menganalisa landasan filosofis,sosiologis dan yuridis terbentuknya undang-
undang no 2 tahun 2002 tentang kepolisian kemudian bagaimana persetujan Dewan Perwakilan
Rakyat terhadap Pengangkatan Kepala Kepolisian Republik Indonesia dan apa dampaknya
persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat terhadap Ketatanegaraan Indonesia. Penulis menganalisa
dengan cara mencari sumber-sumber terkait yang berhubungan dengan sistem ketatanegaraan di
Indonesia dengan melihat dari Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 Tentang Kepolisian,
pendapat ahli maupun sumber yang lain. Sistem ketatanegaraan Indonesia menggunakan sistem
presidensil sehingga tidak sesuai apabila DPR ikut menyetujui pengangkatan Kepala Kepolisian
Republik Indonesia. Hasil Penelitian menunjukan bahwa penulis tidak setuju dengan adanya
frasa “atas persetujuan DPR” karena Negara Indonesia menganut sistem presidensil dan juga
Kapolri berada dibawah Presiden dan bertanggung jawab kepada presiden atas nama rakyat.
penulis lebih setuju dengan “atas Pertimbangan” Dewan Perwakilan Rakyat dapat memberikan
catatan-catatan khusus kepada presiden sebagai bentuk pengawasan, dampak dari peran DPR
adalah Pergeseran kekuasaan presiden sebagai kepala Negara dan kepala pemerintahan dalam
sistem presidensil, Presiden bukanlah pemegang otoritas tunggal dalam memilih Kepala
Kepolisian Republik Indonesia, Sistem Presidensil tidak berjalan secara konsisten.
Kata Kunci : Persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat, Pengangkatan
Kepala Kepolisian , Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002
Pembimbing : Dr, Sodikin SH, MH, MSi
Nur Rohim Yunus, LL.M
Daftar Pustaka : Tahun 1957 Sampai Tahun 2015
v
KATA PENGANTAR
Segala puji dan syukur penulis panjatkan kepada kehadirat Allah swt yang
maha kasih serta maha penyayang, atas berkat dan rahmat-Nya penulis dapat
menyelesaikan skripsi dengan judul “PERSETUJUAN DEWAN PERWAKILAN
RAKYAT DALAM PENGANGKATAN KEPALA KEPOLISIAN REPUBLIK
INDONESIA MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 2 TAHUN 2002
TENTANG KEPOLISIAN”
Shalawat serta salam penulis panjatkan kepada seluruh nabi yang telah berjasa
mengajarankan umat manusia tentang sifat Welas Asih, Kesabaran, Kejujuran,
Keberanian, Kepasrahan, Kewaspadaan, Kehati-hatian dan semua tentang sifat
kebaikan yang menghantarkan manusia dari zaman kegelapan ke zaman penuh
dengan kedamaian dan suka cita
Penulisan skripsi ini dilakukan guna memperoleh gelar Sarjana Hukum pada
Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Skripsi ini tidak
mungkin diselesaikan dengan baik dan tepat oleh penulis tanpa bantuan dan
dukungan dari berbagai pihak selama penyusunan skripsi ini. Oleh karena itu, penulis
ingin mengucapkan terima kasih kepada yang terhormat:
1. Dr. Asep Syarifuddin Jahar, MA selaku Dekan Fakultas Syariah dan Hukum UIN
Syarif Hidayatullah Jakarta.
vi
2. Drs. H. Asep Syarifuddin Hidayat, S.H, M.H. dan Abu Thamrin, SH, M.H. Ketua
dan Sekretaris Program Studi Ilmu Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
3. Dr, Sodikin S.H, M.H, MSi dan Nur Rohim Yunus LL.M selaku Dosen
Pembimbing yang telah bersedia meluangkan waktu, pikiran, dan tenaga untuk
memberikan bimbingan dalam menyusun skripsi ini. Semoga ilmu yang telah
diajarkan dapat bermanfaat bagi penulis dan mendapat balasan yang berlimpah
dari Allah swt.
4. Ismail Hasani, S.H, M.H, selaku Dosen Pembimbing Akademik yang selalu
membantu penulis dari semester I hingga semester VIII, semoga bapak selalu
mendapat keberkahan.
5. Seluruh dosen Fakultas Syariah dan Hukum khususnya dosen-dosen Ilmu Hukum
yang telah memberikan ilmu-ilmunya selama penulis menjadi mahasiswa Ilmu
Hukum. Semoga ilmu yang telah diajarkan dapat bermanfaat bagi penulis dan
mendapat balasan yang berlimpah dari Allah SWT.
6. Kedua orang tua tercinta Bapak Fifin Arifin dan Ibu Neneng Supriyatin yang
selalu mencurahkan kasih sayangnya, memberi dukungan baik materil maupun
moril, dan tiada henti mendoakan penulis hingga penulis selesai menyelesaikan
skripsi ini.
7. Kepada Keluarga Besar RELIGI (Rela Tak Di Gaji) Kanjeng, Aki Balong, Bu
Blor, Pak Sana, Bu Raksa, Ki Santang, Loreina, Sulaiman, Papahnonok, Wulan,
Kalinyamat, Muria, Sawo, Nyimas, Ghyby, yang selalu mensupport penulis
dengan berbagai macam petunjuk yang sangat berharga sehingga skripsi ini dapat
terselesaikan
vii
8. Kepada Yunita Chairani Damanik kekasih tercinta yang selalu membantu penulis
dan memberikan masukan yang bermanfaat bagi penulis sehingga penulis dapat
menyelesaikannya dengan cukup baik walaupun sampai harus terlunta-lunta tetapi
penulis tetap semangat, I Love you full…….
9. Teman-teman Ilmu Hukum: Sandi, Kiki, Isam, Tomi, Aryo, Gari, Ridwan,
Nando, Anto, Haidar, Jemi, Tege, Marwan, Ade, Adri, Uyung, Ian, Daboy,
Gilang, Waldan, Masda, Ulama, Riyan, Engkoh, yang tidak bisa disebutkan satu
persatu namanya terima kasih atas kebersamaanya, semangatnya, serta
wawasannya sehingga penulis bisa mencapai tahap ini semoga kita semua bisa
menjadi orang yang berguna bagi nusa, bangsa, dan agama. Akhir kata penulis
mengucapkan terima kasih dan maaf yang sebesar-sebesarnya apabila terdapat
kata-kata di dalam penulisan yang kurang berkenan bagi pihak-pihak tertentu.
Semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi pengembangan ilmu pengetahuan di
Indonesia khususnya bagi penulis.
Jakarta, 5 Oktober 2015
Rizky Ramandhika
viii
DAFTAR ISI
PERSETUJUAN PEMBIMBING …….....................................................................i
LEMBAR PENGESAHAN PANITIA UJIAN SKRIPSI…………………...…….ii
LEMBAR PERNYATAAN………………………………………………………...iii
ABSTRAK ………………………….…………………………………………..…. .iv
KATA PENGANTAR …………………………………………………………..….v
DAFTAR ISI ……………………………………………………………................vii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah ……………………………………..1
B. Batasan Dan Rumusan Masalah ……….………….................6
C. Tujuan Dan Manfaat Penelitian …………………............... ..7
D. Tinjauan Kajian Terdahulu ………………………………......9
E. Kerangka Konseptual ………………………………............ 10
F. Metode Penelitian …………………………………………..13
G. Sistematika Penulisan …………………………………........16
ix
BAB II NEGARA HUKUM INDONESIA
A. Teori Negara Hukum…………………………... …….…… 17
B. Sistem Check and Balance…………. …………………….. 21
C. Hak Prerogatif Presden Sebagai Kepala Negara…….............22
D. Lembaga Perwakilan Rakyat …………………….………....26
E. Uji Kepatutan dan Kelayakan…………. ……………….......30
BAB III LEMBAGA KEPOLISIAN DAN DEWAN PERWAKILAN
RAKYAT DALAM SISTEM KETATANEGARAN INDONESIA
A. Lembaga Kepolisian Negara Republik Indonesia………... ...34
1. Sejarah Lembaga Kepolisian Republik Indonesia……....34
2. Kedudukan Lembaga Kepolisian Republik Indonesia…..37
3. Tugas dan Kewenangan Lembaga Kepolisian…………..40
B. Dewan Perwakilan Rakyat.....................................................45
1. Kedudukan Dewan Perwakilan Rakyat…………………44
2. Susunan Dewan Perwakilan Rakyat……………………45
3. Tugas dan Kewenangan Dewan Perwakilan Rakyat……46
C. Mekanisme Pengangkatan Kepala Kepolisian Republik
Indonesia dalam Peraturan Perundang-undangan ........…… 47
x
BAB IV PERAN DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DALAM
PENGANGKATAN KEPALA KEPOLISIAN REPUBLIK
INDONESIA
A. Landasan Filosofis Sosioligis dan Yuridis Terbentuknya
Undang Undang No 2 Tahun 2002…………….................. 51
1. Landasan Filosofis……………………………………….51
2. Landasan Sosiologis……………………………………..52
3. Landasan Yuridis…………………………………….......57
B. Peran Dewan Perwakilan Rakyat Dalam Pengangkatan
Kepala Kepolisian Republik Indonesia………..................... 58
C. Dampak Adanya Peran Dewan Perwakilan Rakyat dalam
Hal Pengangkatan Kepala Kepolisian Republik
Indonesia…..………………………………………………..70
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan …………………….……………………….. …74
B. Saran ………………………….…………………………….75
DAFTAR PUSTAKA……………………………………………………………...76
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Negara Indonesia adalah negara yang memiliki berbagai macam suku
bangsa ras dan budaya yang tersebar di berbagai pulau yang ada di Indonesia.
Kedaulatan yang dianut dalam Undang-Undang Dasar tahun 1945 adalah
kedaulatan rakyat sekaligus kedaulatan hukum.1 Dimana pun suatu negara yang
berkedaulatan hukum salah satu tujuan pokoknya adalah melindungi Hak Asasi
Manusia dan menciptakan kehidupan yang sejahtera bagi warga negara.
Keberadaan suatu negara hukum menjadi prasyarat bagi terselenggaranya Hak
Asasi Manusia dan kehidupan demokratis. Dasar filosofi perlunya perlindungan
hukum terhadap hak asasi manusia adalah hak-hak yang dimiliki manusia semata-
mata karena ia manusia. Umat manusia memiliki hak asasi bukan karena
diberikan kepadanya oleh masyarakat atau berdasarkan hukum positif melainkan
semata-mata berdasarkan martabatnya sebagai manusia.2
Hak asasi manusia adalah hak dasar kodrati setiap orang yang
keberadaannya sejak berada dalam kandungan, dan ada sebagai pemberian.
1 Janedri M Gaffar, Demokrasi konstitusional praktik ketatanegaraan Indonesia setelah
perubahan UUD 1945, (Jakarta: Konstitusi Press, 2012), h.7.
2 Rhona K.M smith, at.al.---, Hukum Hak Asasi Manusia, (Yogyakarta:PUSHAM UII,
2008), h,11
2
Tuhan dan karenanya, negara wajib melindunginya. Perlindungan Hak Asasi
Manusia di Indonesia secara yuridis didasarkan pada Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia 1945. Pemberian jaminan hak asasi yang biasa disebut
juga sebagai hak konstitusional. Suatu negara hukum yang lahir dari
konstitusionalisme harus bercirikan :
1) adanya perlindungan terhadap Hak Asasi Manusia,
2) adanya peradilan yang bebas dan mandiri
3) serta adanya asas legalitas.
Oleh karena itu, hak konstitusional warga negara harus dijamin dalam
konstitusi sebagai bentuk pengakuan Hak Asasi Manusia serta adanya peradilan
yang independen tidak terpengaruh oleh penguasa dan segala tindakan
pemerintahan harus didasarkan atas hukum. Selain itu yang dimaksud dengan
negara hukum ialah negara yang berdiri di atas hukum yang menjamin keadilan
kepada warga negaranya. Keadilan merupakan syarat bagi terciptanya
kebahagiaan hidup untuk warga negaranya, dan sebagai dasar dari pada keadilan
itu perlu diajarkan rasa susila kepada setiap manusia agar ia menjadi warga negara
yang baik. Demikian pula peraturan hukum yang sebenarnya hanya ada jika
peraturan hukum itu mencerminkan keadilan bagi pergaulan hidup antar warga
negaranya.3
Menurut Aristoteles yang memerintah dalam negara bukanlah manusia
sebenarnya, melainkan pikiran yang adil, sedangkan penguasa sebenarnya hanya
pemegang hukum dan keseimbangan saja. Kesusilaan yang akan menentukan baik
3 Moh. Kusnardi dan Harmaily Ibrahim, Pengantar Hukum Tata Negara Indonesia,
(Jakarta:Sinar Bakti,1988) h., 153.
3
tidaknya suatu peraturan undang-undang dan membuat undang-undang adalah
sebagian dari kecakapan menjalankan pemerintahan negara. Oleh karena itu yang
terpenting adalah mendidik manusia menjadi warga negara yang baik, karena dari
sikap yang adil akan terjamin kebahagiaan hidup warga negaranya.4
Negara Republik Indonesia mengenal adanya lembaga-lembaga eksekutif,
legislatif, dan yudikatif dalam Undang-Undang Dasar 1945 dengan melaksanakan
pembagian kekuasaan (distribution of power) antara lembaga-lembaga negara.
Kekuasaan lembaga-lembaga negara tidaklah diadakan pemisahan yang kaku dan
tajam, tetapi ada koordinasi yang satu dengan yang lainnya. Sebagai negara
demokrasi, pemerintahan Indonesia menerapkan teori trias politika. Trias politika
adalah pembagian kekuasaan pemerintahan menjadi tiga bidang yang memiliki
kedudukan sejajar. Ketiga bidang tersebut yaitu :
1. Legislatif yaitu bertugas membuat undang undang. Bidang legislatif adalah
Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).
2. Eksekutif yaitu bertugas menerapkan atau melaksanakan undang-undang.
Bidang eksekutif adalah presiden dan wakil presiden beserta menteri-
menteri yang membantunya.
3. Yudikatif yaitu bertugas mempertahankan pelaksanaan undang-undang.
Adapun unsur yudikatif terdiri atas Mahkamah Agung (MA) dan Mahkamah
Konstitusi (MK).
Kekuasaan Legislatif sebagai pembuat undang-undang dalam hal
menjalankan praktik ketatanegaraan, sebagai pembuat hukum di suatu Negara.
4 Ibid., h. 154.
4
Dalam hal ini Dewan Perwakilan Rakyat adalah suatu struktur legislatif yang
punya kewenangan membentuk undang-undang. Dewan Perwakilan Rakyat terdiri
atas anggota partai politik peserta pemilihan umum yang dipilih melalui pemilihan
umum. Dalam membentuk undang-undang tersebut Dewan Perwakilan Rakyat
harus melakukan pembahasan serta persetujuan bersama Presiden.
Negara Indonesia selain menggunakan konsep trias politica juga mengenal
dengan adanya teori sistem pemerintahan yaitu sistem pemerintahan presidensil
yang termaktub dalam pasal 4 Undang-Undang Dasar 1945 yang berbunyi
“Presiden memegang kekuasaan pemerintah berdasarkan undang-undang”
bahwa sesungguhnya presiden pemegang kekuasaan tertinggi atas roda
pemerintahan suatu Negara oleh karena itu presiden berhak atas hak
prerogratifnya mengangkat jajaran pemerintahanya tanpa terperngaruh oleh
lembaga lain, dalam hal ini pengangkatan calon Kepala Kepolisian Republik
Indonesia (KAPOLRI). Lembaga kepolisian merupakan lembaga independen
dibawah ranah eksekutif yang bertugas mengawal negara Indonesia dalam
menjaga kestabilan dari segi internal.
Fenomena yang terjadi di masyarakat yaitu dewan perwakilan rakyat ikut
serta dalam menentukan Kepala Kepolisian Republik Indonesia bersama presiden
padahal sistem pemerintahan kita menganut sistem presidensil kewenangan
pengangkatan Kepala Kepolisian Republik Indonesia harusnya utuh berada
ditangan presiden karena presiden memiliki hak prerogratif dalam pengangkatan
Kepala Kepolisian Republik Indonesia. Penulis berkeinginan untuk meniliti lebih
dalam tentang permasalahan ini dengan judul “Persetujuan Dewan Perwakilan
5
Rakyat Dalam Pengangkatan Kepala Kepolisian Republik Indonesia
Menurut Undang-Undang No 2 Tahun 2002 Tentang Kepolisian ”
B. Pembatasan dan Rumusan Masalah
1. Pembatasan Masalah
Mengingat begitu luasnya cakupan pada pembahasan ini, maka penulis
membatasi pembahasan yaitu sebatas peranan dan hubungan lembaga Legislatif
dengan lembaga Eksekutif, sejarah singkat lembaga kepolisian di indonesia,
mekanisme pengangkatan Kepala Kepolisian Republik Indonesia serta teori yang
berhubungan dengan Negara hukum.
2. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah dan pembatasan masalah yang telah
diuraikan di atas, permasalahan yang akan dibahas pada penelitian ini adalah:
a. Apa landasan filosofis,sosiologis dan yuridis terbentuknya Undang-Undang
Nomor 2 Tahun 2002?
b. Bagaimana peran Dewan Perwakilan Rakyat dalam pengangkatan Kepala
Kepolisian Republik Indonesia?
c. Bagaimana dampak intervensi dewan perwakilan rakyat dalam pengangkatan
kepala kepolisian republik Indonesia?
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian
1. Tujuan Penelitian
Sesuai dengan rumusan permasalahan yang telah dijelaskan, maka tujuan
penulisan penelitian adalah sebagai berikut:
6
a. Untuk mengetahui apa landasan filosofis, sosiologis dan yuridis
terbentuknya Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian
b. Untuk mengetahui bagaimana peran dewan perwakilan rakyat dalam
pengangkatan kepala kepolisian republik Indonesia
c. Untuk mengetahui dampak intervensi dewan perwakilan rakyat dalam
pengangkatan kepala kepolisian republik indonesia
2. Manfaat Penelitian
Secara garis besar manfaat penelitian ini dapat dibedakan menjadi dua, yaitu:
a. Manfaat Teoritis
Hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah pengetahuan mengenai
fungsi kekuasaan legislatif serta dapat mengetahui sejauh mana hubungan
lembaga legislatif dengan lembaga eksekutif dalam pengangkatan Kepala
Kepolisian Republik Indonesia dalam suatu praktek ketatanegaraan dan
memperkaya khazanah penelitian ilmiah hukum tata negara yang bermanfaat
bagi setiap bangsa.
b. Manfaat Praktis
Adapun manfaat praktis dalam penelitian ini, yaitu:
1) Bagi Akademis
Hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah referensi ilmu hukum
khususnya di bidang kelembagaan negara yang berkaitan dengan Peran
lembaga legislatif dalam menjalankan tugasnya yang nantinya diharapkan
dapat dipergunakan untuk bahan kajian mahasiswa.
2) Bagi Masyarakat Umum
7
Hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah tambahan informasi kepada
masyarakat dan diharapkan bisa menjadi bahan acuan bagi peneliti lain yang
ingin melakukan penelitian lebih lanjut dalam hal kewenangan dewan
perwakilan rakyat dalam pengangkatan Kepala Kepolisian Republik
Indonesia.
3) Bagi Pemerintah
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan kepada Dewan
Perwakilan Rakyat dalam peranya mengangkat Kepala Kepolisian Republik
Indonesia bersama presiden dalam hal ini agar Dewan Perwakilan Rakyat
mempertimbangkan sistem pemerintahan presidensil di Indonesia
D. Tinjauan (Review) Kajian Terdahulu
Sebagai bahan pertimbangan dalam penelitian ini, penulis akan menyertakan
beberapa hasil penelitian terdahulu sebagai perbandingan tinjauan kajian materi
yang akan dibahas sebagai berikut:
Penelitian skripsi yang dilakukan oleh Alam Saputra yang berjudul
“Pergeseran Kewenangan Dewan Perwakilan Rakyat Dalam Pengangkatan Duta
Besar Republik Indonesia Sebelum dan Sesudah Perubahan Undang-Undang
Dasar Tahun 1945” dalam skripsinya beliau membahas tentang pergeseran
kewenangan pangangkatan Duta dan Konsul Republik Indonesia sebelum dan
sesudah perubahan Undang-Undang Dasar 1945, terlihat pada posisi Presiden
dan Dewan Perwakilan Rakyat dalam Undang-Undang Dasar 1945 menjadi hak
penuh dari Presiden untuk mengangkat Duta dan Konsul. Namun setelah
perubahan Undang-Undang Dasar 1945, sebelum Duta dan Konsul diangkat oleh
8
presiden, maka harus mendapatkan pertimbangan terlebih dahulu dari Dewan
Perwakilan Rakyat.
Penelitian Skripsi yang dilakukan oleh Lana Rachmalia Octavani pada tahun
2013 yang berjudul “ Pergeseran Kewenangan Lembaga Negara Setelah
Amandemen Undang-Undang Dasar 1945 (Studi Terhadap Majelis
Permusyawaratan Rakyat)” dalam skripsinya beliau membahas tentang pergeseran
kewenangan lembaga tinggi Negara yakni Majelis Permusyawaratan Rakyat
setelah amandemen Undang-Undang Dasar 1945
Skripsi yang saya lakukan ada perbedaan dengan dua penulis skripsi diatas
karena berbeda obyek penelitian, penulis pertama obyek penelitianya adalah Duta
Konsul sedangkan skripsi penulis obyek penelitianya adalah Kepala Kepolisian
Republik Indonesia, untuk penulis kedua berbeda dengan skripsi penulis karena
beliau berbicara tentang pergeseran kewenangan lembaga Majelis
Permusyawaratan Rakyat sedangkan skripsi penulis berbicara tentang Dewan
Perwakilan Rakyat yang ikut campur dalam hal pengangkatan Kepala Kepolisian
Republik Indonesia.
E. Kerangka Konseptual
Suatu kerangka konseptual merupakan kerangka yang menggambarkan
hubungan anatara konsep-konsep khusus yang ingin diteliti. Suatu konsep bukan
merupakan gejala yang akan diteliti tetapi merupakan abstraksi dari gejala
tersebut. Gejala biasanya dinamakan fakta, sedangkan konsep merupakan uraian
9
mengenai hubungan-hubungan dalam fakta tersebut5. Penulisan skripsi ini
menggunakan definisi operasional sebagai berikut:
1. Negara Hukum
Negara hukum adalah negara yang penyelenggaraan kekuasaannya
didasarkan atas hukum. Menurut Arif Sidharta, ciri negara hukum ada lima
yakni: (1) perlindungan terhadap hak asasi manusia, (2) perlakunya asas
kepastian hukum, (3) adanya persamaan didepan hukum (equality before the
law), (4) penerapan asa demokrasi, (5) pemerintah dan pejabat yang amanah
dalam mengemban amanat sebagai pelayan masyarakat6
2. Trias Politica
Trias Politica, yaitu bahwa kekuasaan negara terdiri dari tiga macam
kekuasaan: kekuasaan legislatif (membuat undang-undang), kekuasaan
eksekutif (melaksanakan undang-undang), kekuasaan yudikatif (kekuasaan
mengadili). Trias politica memiliki prinsip normatif bahwa kekuasaan-
kekuasaan ini sebaiknya tidak diserahkan kepada orang yang sama untuk
mencegah penyalahgunaan kekuasaan oleh pihak yang berkuasa. Doktrin ini
pertama kali dikenalkan oleh John Locke (1632-1704) dan Montesquie
(1689-1755) dan ditafsirkan sebagai pemisahan kekuasaan. Ada perbedaan
antara mereka berdua. John Locke memasukkan kekuasaan yudikatif
kedalam kekuasaan eksekutif, sedangkan Montesquuie memandang
kekuasaan pengadilan sebagai kekuasaan yang berdiri sendiri.
5 Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, (Jakarta: UI Press, 1986), h, 132.
6 B. Arief Sidharta, “Kajian Kefilsafatan tentang Negara Hukum”, dalam Jentera (Jurnal
Hukum), “Rule of Law”, Pusat Studi Hukum dan Kebijakan (PSHK), Jakarta, edisi 3 Tahun II,
(November 2004), hal, 124.
10
Dalam perkembangannya, meskipun ketiga kekuasaan ini sudah
dipisah satu dengan lainnya ada kalanya diperlukan check and balance
(pengawasan dan keseimbangan) diantara mereka, dimana setiap cabang
kekuasaan dapat mengawasi dan mengimbangi cabang kekuasan lainnya
sehingga dalam praktik ketatanegaraan dapat mengurangi masalah-masalah
antar lembaga dan agar setiap lembaga tidak melakukan kesewenang-
wenangan dalam hal menjalankan tugasnya.
3. Sistem Pemerintahan Presidental, parlementer dan referendum
Moh. Mahfud mengemukakan bahwa dalam studi ilmu negara dan
ilmu politik dikenal adanya tiga sistem pemerintahan negara, yaitu
Presidental, Parlementer, dan Referendum.7 :
a. Didalam sistem Presidental dapat dicatat adanya prinsip-prinsip
sebagai berikut : Kepala negara menjadi kepala pemerintahan dan
pemerintah tidak bertanggung jawab kepada parlemen (DPR),
kedudukan pemerintah dan parlemen adalah sejajar. Kemudian
Menteri-menteri diangkat dan bertanggung jawab kepada Presiden,
Eksekutif dan Legislatif sama-sama kuat.
b. Sistem Parlementer, menganut ciri-ciri sebagai berikut : Kepala Negara
tidak berkedudukan sebagai kepala pemerintahan karena ia lebih
bersifat simbol nasional (pemersatu bangsa), pemerintah dilakukan
oleh sebuah kabinet yang dipimpin oleh seorang perdana menteri.
Kabinet bertanggung jawab kepada dan dapat dijatuhkan oleh
7 Moh.Mahfud MD, Dasar dan Struktur Ketatanegaraan Indonesia, Cet -II (Jakarta,
Rineka Cipta, 2001), h. 90
11
parlemen melalui mosi, (karena itu) kedudukan eksekutif (kabinet)
lebih rendah dari (dan tergatung pada ) parlemen. Sebagai imbangan
dari lebih lemahnya kabinet ini, maka kabinet dapat meminta kepala
negara untuk membubarkan parlemen (DPR) dengan alasan-alasan
yang sangat kuat karena parlemen dinilai tidak representatif. Tapi jika
demikian yang terjadi maka dalam waktu yang relatif pendek kabinet
harus menyelenggarakan pemilu untuk membentuk parlemen baru.
c. Sistem Referendum. Dalam sistem ini, lembaga eksekutif merupakan
bagian dari lembaga legislatif, jadi Lembaga Eksekutif adalah badan
pekerja dari lembaga legislatif yang dibentuk oleh lembaga legislatif
sebagai pelaksana tugas pemerintah. Kontrol terhadap lembaga
legislatif dalam sistem ini dilakukan langsung oleh rakyat melalui
lembaga referendum. Pembuatan undang-undang di dalam sistem
referendum ini diputuskan langsung oleh seluruh rakyat melalui dua
macam mekanisme, yaitu Referendum ogligator, yaitu referendum
untuk menentukan disetujui atau tidaknya oleh rakyat berlakunya suatu
peraturan atau perundang-undangan baru. Referendum ini disebut
referendum wajib. Referendum fakultatif, yaitu referendum untuk
menentukan apakah suatu peraturan atau undang-undang yang sudah
ada dapat terus diberlakukan ataukah harus dicabut. Referendum ini
merupakan referendum tidak wajib.
12
F. Metode Penelitian
Penelitian hukum adalah suatu proses untuk menemukan aturan hukum,
prinsip-prinsip hukum, maupun doktrin-doktrin hukum guna menjawab isu hukum
yang sedang dihadapi.8 Dari penelitian tersebut dapat dijadikan dasar pemikiran
bahwa suatu penelitian diselesaikan untuk dapat menjawab isu-isu penting dan
terhangat yang terjadi di dalam suatu masyarakat khususnya di bidang hukum
dengan menganalisis isu-isu tersebut. Setelah dianalisa maka dilakukan
pemeriksaan secara mendalam terhadap fakta-fakta hukum yang relevan untuk
menjawab permasalahan yang ada.9 Selain itu menurut Soerjono Soekanto
penelitian hukum merupakan suatu kegiatan ilmiah yang berkaitan dengan analisa
dan konstruksi di bidang hukum yang dilakukan secara metodologis, sistematis,
dan konsisten, yang bertujuan untuk memperlajari suatu gejala hukum tertentu
dengan cara menganalisanya.10
1. Jenis Penelitian
Jenis metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah
metode penelitian kepustakaan (library research), yang bersifat yuridis
normatif, yaitu penelitian yang mengacu pada sejauh mana peran Dewan
Perwakilan Rakyat dalam hal pengangkatan Kepala Kepolsian Republik
Indonesia dan hubungan Dewan Persetujuan Rakyat dengan Presiden dalam
8 Peter mahmud marzuki, Penelitian Hukum, (Jakarta:kencana,2009) h.35.
9 Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum , (Jakarta: UI Press, 1982) h.43.
10
Topo Santoso,”Penulisan Proposal Penelitian Hukum Normatif”:Pelatihan Penelitian
Hukum Fakultas Hukum Universitas Indonesia” 25 April 2005 Depok.
13
hal Pengangkatan Kepala Kepolisian Republik Indonesia dan mekanisme
pengangkatan Kepala Kepolisian Republik Indonesia
2. Pendekatan Masalah
Pendekatan yang digunakan dalam penelitian hukum normatif ini
menggunakan pendekatan perundang-undangan (statute approach),
pendekatan sejarah (historical approach), pendekatan analisis dan
konseptual hukum (conceptual approach).11
Pendekatan perundang-
undangan dilakukan dengan meneliti berbagai peraturan hukum yang
menjadi fokus dalam penelitian. Dalam hal ini pendekatan perundang-
undangan beranjak pada peraturan yang berkaitan dengan peran Dewan
Perwakilan Rakyat, hubungan dewan perwakilan rakyat dengan presiden
dalam hal pengangkatan Kepala Kepolisian Republik Indonesia serta
mekanisme pengangkatannya.
Pendekatan sejarah dilakukan untuk mengetahui asal ataupun sebab
lahirnya Lembaga Legislatif dan Lembaga Kepolisian Pendekatan analisis
dan konseptual hukum dilakukan dengan cara menelaah pandangan para ahli
hukum tata negara yang berkaitan dengan Lembaga Legislatif, Lembaga
Eksekutif dan Lembaga Kepolisian dan menghubungkan dengan pendekatan
undang-undang dan pendekatan sejarah.
3. Bahan Hukum
Bahan hukum yang digunakan dalam penelitian ini ada tiga jenis, yaitu:
a. Bahan Hukum Primer
11
Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, cet.VI(Surabaya: Kencana, 2010), h.126
14
Badan Hukum Primer yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai
berikut:
1) Undang-Undang Dasar 1945
2) Undang-undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian
b.Bahan Hukum Sekunder
Bahan Hukum yang digunakan dalam penelitian ini adalah terdiri
dari buku-buku yang berhubungan dengan trias politika, Negara hukum,
lembaga eksekutif, lembaga legislatif, Lembaga kepolisian dan buku-buku
Hukum Tata Negara, skripsi, tesis dan disertasi tentang hukum tata negara
yang berkaitan dengan peran lembaga legislatif, hubungan lembaga
legislatif dengan lembaga eksekutif dalam hal pengangkatan Kepala
Kepolisian Republik Indonesia
c. Bahan Non Hukum
Adalah bahan yang menunjang petunjuk maupun penjelasan
bermakna terhadap bahan hukum primer dan sekunder, seperti kamus
hukum, Ensiklopedia dan Kamus Besar Bahasa Indonesia dan lain
sebagainya.
4. Pengolahan dan Analisis Bahan Hukum
Adapun bahan hukum, baik bahan hukum primer, bahan hukum
sekunder maupun bahan hukum non-hukum diuraikan dan dihubungkan
sedemikian rupa, sehingga ditampilkan dalam penulisan yang lebih
sistematis untuk menjawab permasalahan yang telah dirumuskan. Cara
mengolahnya dengan mengumpulkan data-data yang diperoleh dari
15
pendekatan yang dilakukan oleh penulis yakni pendekatan perundang-
undangan dan sejarah, kemudian dihubungkan dengan pendapat para ahli
hukum.
G. Sistematika Penulisan
Skripsi ini disusun sesuai dengan buku Pedoman Penulisan Skripsi Fakultas
Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta Terbitan
Tahun 2012, yang terbagi dalam lima Bab. Pada setiap bab terdiri dari sub bab
yang digunakan untuk memperjelas ruang lingkup dan inti permasalahan yang
diteliti.
Adapun urutan dan tata letak masing-masing bab serta inti permasalahan
adalah sebagai berikut:
BAB I :Merupakan pendahulu yang bermuatkan: Latar Belakang Masalah,
Batasan dan Rumusan Masalah, Tujuan dan Manfaat Penelitian, Tinjauan
Review/ Kajian Terdahulu, Kerangka Konseptual, Metode Penelitian dan
Sistematika Penulisan.
BAB II :Merupakan bab pembahasan tentang landasan teori seperti teori Negara
hukum, sistem check and balance, hak prerogratif dan presiden sebagai
kepala Negara dan teori perwakilan rakyat
BAB III :Merupakan bab pembahasan tentang mekanisme pengangkatan Kepala
Kepolisian Republik Indonesia, sejarah lembaga kepolisian, kedudukan
lembaga kepolisian dalam praktek ketatanegaraan, mekanisme
pengangkatan Kepala Kepolisian Republik Indonesia dalam perundang-
undangan
16
BAB IV :Merupakan bab yang akan membahas tentang landasan filosofis,
sosiologis dan yuridis Undang-Undang Nomor 2 tahun 2002 tentang
Kepolisian, peran dewan perwakilan rakyat dalam hal pengangkatan
Kepala Kepolisian Republik Indonesia, dampak adanya peran dewan
perwakilan rakyat dalam hal pengangkatan calon Kepala Kepolisian
Republik Indonesia
BAB V :Merupakan Bab Penutup, dalam bab ini akan menjelaskan Tentang
kesimpulan dan saran. Pada kesimpulan akan diuraikan secara ringkas
menganai jawaban dari permasalahan inti yang sebagaimana telah
diuraikan pada bab pendahuluan. Saran berisi masukan-masukan dari
penulis terkait dengan pembahasan.
20
83
83
85
85
Perpres No 17 Tahun 2011 pasal 16 ayat 1
Unsur Filosofis, berisi landasan kewenangan suatu instansi/ lembaga dalam
menyusun peraturan (masalah sosial yang ingin diselesaikan dengan peraturan);
Unsur Sosiologis, berisi fakta yang ingin diatur (penyebab utama masalah sosial);
Unsur Yuridis, memuat pernyataan tentang pentingnya pengaturan (solusi atas
permasalahan).
17
BAB II
NEGARA HUKUM INDONESIA
A. Teori Negara Hukum
Konsep negara hukum merupakan salah satu objek studi yang selalu aktual
untuk dapat dikaji lebih dalam. Pengertian negara hukum terus berkembang
mengikuti sejarah perkembangan umat manusia. Oleh karena itu, dalam rangka
memahami secara tepat dan benar konsep negara hukum, perlu diketahui terlebih
dahulu gambaran sejarah perkembangan pemikiran politik dan hukum yang
mendorong lahir dan berkembangnya konsepsi negara hukum.1
Awal mula gagasan hukum sudah berkembang sejak 1800 SM.2 Akar terjauh
mengenai perkembangan awal pemikiran negara hukum adalah pada masa Yunani
Kuno yang dikemukakan oleh Plato, ketika memperkenalkan konsep nomoi.3
Menurut Plato penyelenggaraan negara yang baik harus didasarkan pada hukum
yang baik, yaitu negara yang berkonstitusi dan berkedaulatan hukum.4 Terdapat
tiga unsur pemerintahan yang berkonstitusi, yaitu suatu pemerintahan yang
dilaksanakan:
1 Jazim Hamidi, dkk. Teori Hukum Tata Negara, (Jakarta: Salemba Humanika, 2012), h
143
2 J.J. Von Schmid, Pemikiran Tentang Negara dan Hukum, (Jakarta: Pembangunan,
1988), h.7
3 Ridwan H.R., Hukum Administrasi Negara, (Jakarta: PT Raja Gravindo, 2007), h.3
4 Jazim Hamidi, Teori Hukum Tata Negara, h.143
18
1) Untuk kepentingan umum
2) Menurut hukum berdasarkan ketentuan-ketentuan umum, bukan hukum
yang dibuat secara sewenang-wenang yang mengesampingkan konvensi dan
konstitusi.
3) Atas kehendak raykat, bukan karena paksaan atau tekanan yang
dilaksanakan oleh pemerintahan despotik.
Pada perkembangannya, Immanuel Kant memberikan gambaran tentang
negara hukum Liberal, yaitu negara hukum dalam arti sempit yang menempatkan
fungsi recht pada staat, sehingga negara berfungsi sebagai penjaga malam.
Artinya, tugas-tugas negara hanya menjaga hak-hak rakyat, jangan diganggu atau
dilanggar, mengenai kemakmuran rakyat tidak boleh ada campur tangan
pemerintah yang sewenang-wenang.
Dalam konsep negara hukum selanjutnya muncul istilah rechtsstaat yang
banyak dianut di negara-negara Eropa Kontinental yang bertumpu pada sistem
civil law. Konsep rechtsstaat ini dikemukakan oleh Frederick Julius Stahl5 yang
menyatakan bahwa dalam negara hukum terdapat beberapa unsur utama secara
formal, yaitu sebagai berikut:
1) Pengakuan dan perlindungan Hak Asasi Manusia
2) Penyelenggara negara harus berdasarkan teori Trias Politika
3) Pemerintah menjalankan tugasnya berdasarkan Undang-Undang
4) Adanya pengadilan administrasi jika pemerintah melanggar Hak Asasi
Manusia dalam menjalankan tugasnya.
5 Moh. Mahmud.M.D, Pergulatan Politik dan Hukum di Indonesia, (Yogyakarta: Gama
Media, 1999), h.127 h
19
Berbeda dengan Eropa Kontinental, negara-negara Anglo-Saxon
menyebutnya sebagai the rule of law yang dipelopori oleh A. V. Dicey. Menurut
Dicey konsep the rule of law menekankan pada tiga tolak ukur yang meliputi6
supremasi hukum ( supremacy of law), persamaan di hadapan hukum (equality
before the law), dan konstitusi yang didasarkan atas hak-hak perorangan (the
constitution based on individual rights). Rechtsstaat banyak dianut negara-negara
Eropa Kontinental yang bertumpu pada sistem civil law, sedangkan the rule of law
banyak dikembangkan di negara-negara dengan tradisi Anglo-Saxon yang
bertumpu pada sistem common law. perbedaan dua konsep tersebut adalah pada
konsep civil law lebih menitikberatkan pada administrasi, sedangkan pada konsep
common law menitikberatkan pada yudisial.
Istilah negara hukum dalam berbagai literatur tidak bermakna tunggal, tetapi
dimaknai berbeda dalam waktu dan tempat yang berbeda sangat tergantung pada
ideologi dan sistem politik suatu negara. Setiap tindakan penguasa ataupun
raykatnya harus berdasarkan pada hukum dan sekaligus dicantumkan tujuan
negara hukum, yaitu menjamin hak-hak asasi rakyat. Menurut Tahir Azhari7
dalam penelitiannya sampai kesimpulan bahwa istilah negara hukum adalah suatu
genus begrip yang terdiri atas lima konsep, sebagai berikut:
1) Konsep negara hukum menurut AL Quran dan sunah yang diistilahkannya
dengan nomokrasi Islam
6 Titik Triwulan Tutik, Eksistensi, Kedudukan dan Wewenang Komisi Yudisial Sebagai
Lembaga Negara dalam Sistem Ketatanegaraan Republik Indonesia Pasca Amandemen UUD
1945,(Jakarta: Prestasi Pustaka, 2007), h.30
7 M. Tahir Azhary, Negara Hukum: Suatu Studi Tentang Prinsip-Prinsipnya Dilihat dari
Segi Hukum Islam, Implementasinya pada Periode Negara Madinah dan Masa Kini, cet.III
(Jakarta: Kencana Prenada Media Grup, 2007), h.83-84
20
2) Konsep rechtstaat
3) Konsep rule of law
4) Konsep socialist legality
5) Konsep negara hukum Pancasila
Konsep rule of law merupakan pengembangan semata dari konsep
rechtsstaat. Sementara itu, antara konsep rule of law dengan socialist legality
mengalami pengembangan sejarah dan ideologi yang berbeda di mana rechtsstaat
dan rule of law berkembang negara Inggris, Eropa Kontinental, dan Amerika
Serikat, sedangkan socialist legality berkembang di negara-negara komunis dan
sosialis seperti Rusia, Korea utara, China. Namun sebenarnya, ketiga konsep
tersebut lahir dari akar yang sama yaitu manusia sebagai titik fokus yang
menempatkan rasionalisme, humanisme, dan sekularisme sebagai nilai dasar yang
menjadi sumber nilai.
Pada sisi yang lain konsep nomokrasi Islam dan konsep negara hukum
Pancasila menempatkan nilai-nilai yang sudah terumuskan sebagai nilai standar
atau ukuran nilai.8 Konsep nomokrasi Islam mendasarkan pada nilai-nilai yang
terkandung pada Al Quran dan sunah, sedangkan konsep negara hukum Pancasila
menjadikan nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila sebagai standar atau
ukuran nilai, sehingga kedua konsep ini memiliki kesamaan yang berpadu pada
perlakuan adanya nilai standar yang sudah terumuskan dalam naskah tertulis.
Selain itu, kedua konsep ini menempatkan Tuhan, manusia, agama dan negara
dalam hubungan yang tidak dapat dipisahkan.
8 Jazim Hamidi, dkk. Teori hukum tata Negara. h.145
21
B. Sistem Check and Balance
Sistem check and balance pertama kali dimunculkan oleh Montesquieu pada
abad pertengahan atau yang sering dikenal dengan abad pencerahan. Gagasan ini
lahir sebagai hasil dari ajaran klasik tentang pemisahan kekuasaan dan pertama
kali diadopsi kedalam konstitusi oleh negara Amerika Serikat. Negara yang
menganut demokrasi terkenal dengan ajaran trias politika yaitu pembagian
kekuasaan didasarkan pada tiga cabang kekuasaan yaitu eksekutif, legislatif, dan
yudikatif. Sebagai akibat pembagian kekuasaan kenegaraan ini munculah
lembaga-lembaga kenegaraan yang masing-masing diserahi dalam melakukan
bidang kekuasannya.9 Masing-masing lembaga tersebut harus mempunyai
kekuasaan yang terpisah dan mampu berjalan sendiri tanpa saling mempengaruhi
dan terpengaruh, serta tidak saling mencampuri satu sama lain, baik mengenai
tugas maupun mengenai perlengkapan yang melakukannya.
Selanjutnya, bahwa di dalam ajaran trias politica itu terdapat suasana “check
and balances” dimana didalam hubungan antar lembaga negara tersebut saling
menguji karena masing-masing lembaga tidak boleh melampaui batas kekuasaan
yang sudah ditentukan atau masing lembaga tidak mau dicampuri kekuasaannya
sehingga antar lembaga-lembaga itu terdapat suatu perimbangan kekuasaan.10
Ketiga lembaga negara tersebut harus berjalan sesuai mekanisme check and
balances, saling mengontrol/mengawasi dan menyeimbangkan.
9 Mr. Kuntjoro Purbopranoto, Sedikit Tentang Sistem Pemerintahan Demokrasi, cet.III
(Jakarta-bandung: PT Eresco ,1960) , h. 29.
10
Moh. Kusnardi dan Bintan R Saragih, Susunan Pembagian Kekuasaan Menurut
Undang-Undang Dasar 1945,(Jakarta:PT Gramedia,1989) h.31
22
Dalam konstitusi Indonesia, fungsi kontrol Legislatif terhadap Eksekutif
meliputi persetujuan terhadap kekuasaan Presiden untuk menyatakan perang,
membuat perdamaian dan perjanjian dengan negara lain; review terhadap
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (perpu) yang dibuat oleh
Presiden, pembahasan Rancangan Anggaran dan Pendapatan Belanja Negara
(RAPBN) bersama Presiden. Selain fungsi kontrol tersebut, DPR juga dapat
mengajukan usul kepada Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) untuk
memberhentikan Presiden karena melakukan pengkhianatan terhadap negara,
korupsi penyuapan, tindak pidana berat lainnya, perbuatan tercela atapun bila
terbukti tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden.
C. Hak Prerogratif Presiden Sebagai Kepala Negara
Prerogatif (bahasa Latin: praerogatio, -onis (femininum); bahasa Inggris:
prerogative; bahasa Jerman: das Vorrecht; "hak istimewa") dalam bidang hukum
adalah hak khusus atau istimewa yang diberikan kepada pemerintah atau penguasa
suatu negara dan diberikan kepada seorang atau sekelompok orang, yang terpisah
dari hak-hak masyarakat menurut hukum yang berlaku. Hal ini merupakan aspek
umum dari hukum feodal atau kerajaan. Kata "prerogatif" dalam bahasa Latin
diartikan hak lebih tinggi (diberi preferensi) dalam makna hukumnya.11
Hak prerogatif Presiden yaitu hak istimewa yang dimiliki oleh Presiden
untuk melakukan sesuatu tanpa meminta persetujuan lembaga lain.12
Hal ini
11
Prerogratif dari Wikipedia eniklopedia bebas diakses pada tanggal 16-06-2015 pukul
13.05 WIB https://id.wikipedia.org/wiki/Prerogatif
12
Moh. Mahfud MD, Hukum dan Pilar-Pilar Demokrasi, (Yogyakarta:PT Gama Media,
1999), h,256
23
bertujuan agar fungsi dan peran pemerintahan direntang sedemikian luas sehingga
dapat melakukan tindakan-tindakan yang dapat membangun kesejahteraan
masyarakat.
Bentuk kekuasaan Presiden berdasarkan Undang-Undang Dasar 1945, dapat
dikelompokkan sebagai berikut :
a) Kekuasaan Kepala Negara
Kekuasaan Presiden sebagai kepala negara hanyalah kekuasaan
administratif, simbolis dan terbatas yang merupakan suatu kekuasaan
disamping kekuasaan utamanya sebagai kepala pemerintahan. Kekuasaan
Presiden sebagai kepala negara diatur dalam Undang Undang Dasar 1945
Pasal 10 sampai 15. Kekuasaan Presiden sebagai kepala negara di masa
mendatang selayaknya diartikan sebagai kekuasaan yang tidak lepas dari
kontrol lembaga lain13
.Kekuasaan Kepala Pemerintahan.
b) Kekuasaan Presiden sebagai kepala pemerintahan di Indonesia diatur dalam
Undang Undang Dasar 1945 Pasal 4 ayat (1). Kekuasaan pemerintahan sama
dengan kekuasaan eksekutif dalam konsep pemisahan kekuasaan yang
membatasi kekuasaan pemerintahan secara sempit, pada pelaksanaan
peraturan hukum yang ditetapkan lembaga legislatif. Kekuasaan eksekutif
diartikan sebagai kekuasaan pelaksanaan pemerintahan sehari-hari
berdasarkan pada konstitusi dan peraturan perundang-undangan.
Pelaksanaannya, kekuasaan ini tetap besar dan mendapat pengawasan dari
13
Titik triwulan tutik, Konstruksi Hukum Tata Negara Indonesia Pasca Amandemen
UUD 1945, (Jakarta:PT Kencana, 2011). h, 206
24
badan legislatif atau badan lain yang ditunjuk oleh konstitusi untuk
menjalankan fungsi pengawasan. Pada Undang Undang Dasar 1945, fungsi
pengawasan pemerintahan sehari-hari dilaksanakan oleh Dewan Perwakilan
Rakyat.
c) Kekuasaan Legislatif
Undang Undang Dasar 1945 menetapkan fungsi legislatif dijalankan oleh
Presiden bersama dengan Dewan Perwakilan Rakyat. Presiden adalah
“partner” Dewan Perwakilan Rakyat dalam menjalankan fungsi legislatif.
Oleh karena itu sistem check and balance mendesak untuk diterapkan
dengan mekanisme yang jelas. Bila ada pertentangan antara Presiden dan
Dewan Perwakilan Rakyat dalam hal persetujuan suatu undang-undang,
maka Presiden harus menyatakan secara terbuka dan menggunakan hak
vetonya. Dengan demikian, di akhir masa jabatannya masing-masing
lembaga dapat diminta pertanggung jawabannya baik di sidang umum
maupun dalam pemilihan umum.14
Kekuasaan Presiden Republik Indonesia dinyatakan secara eksplisit
sebanyak 24 bentuk dalam Undang-Undang Dasar 1945 dan peraturan perundang-
undangan Indonesia. Berdasarkan mekanisme pelaksanaannya, bentuk kekuasaan
tersebut dikategorikan sebagai berikut :
a. Kekuasaan Presiden Yang Mandiri, Kekuasaan yang tidak diatur mekanisme
pelaksanaannya secara jelas, tertutup atau yang memberikan kekuasaan yang
sangat besar kepada Presiden. Yang termasuk kekuasaan ini adalah :
14
Ibid. h.205
25
1) Kekuasaan tertinggi atas Angkatan Darat, Angkatan Laut, Angkatan
Udara dan (Kepolisian Negara Republik Indonesia )
2) Kekuasaan menyatakan keadaan bahaya
3) Kekuasaan mengangkat duta dan konsul
4) Kekuasaan pemerintahan menurut Undang-Undang Dasar 1945.
5) Kekuasaan mengangkat dan memberhentikan menteri-menteri.
6) Kekuasaan mengesahkan atau tidak mengesahkan Rancangan Undang-
Undang inisiatif Dewan Perwakilan Rakyat.
7) Kekuasaan mengangkat dan memberhentikan Jaksa Agung Republik
Indonesia.
8) Kekuasaan mengangkat Panglima Angkatan Bersenjata Republik
Indonesia (Panglima Tentara Nasional Indonesia dan Kepala Kepolisian
Republik Indonesia)
9) Kekuasaan mengangkat Lembaga Pemerintah Non Kementrian (LPNK)
b. Kekuasaan Presiden Dengan Persetujuan DPR yang termasuk dalam
kekuasaan ini adalah :
1) Kekuasaan menyatakan perang dan membuat perdamaian
2) Kekuasaan membuat perjanjian dengan negara lain
3) Kekuasaan membentuk undang-undang
4) Kekuasaan menetapkan Peraturan Pengganti Undang-undang
5) Kekuasaan menetapkan APBN Sebelum melaksanakan kekuasaan
tersebut, Presiden memerlukan persetujuan DPR terlebih dahulu.
Sebagai contoh, jika DPR menganggap penting suatu perjanjian, maka
26
harus mendapat persetujuan DPR. Jika perjanjian dianggap kurang
penting oleh DPR dan secara teknis tidak efisien bila harus mendapat
persetujuannya terlebih dahulu, dapat dilakukan dengan persetujuan
Presiden. Hal ini dilakukan untuk menghindari terulangnya tersisihnya
peran wakil rakyat dalam peranannya menentukan arah kebijakan politik
negara.
D. Lembaga Perwakilan Rakyat
Teori Perwakilan
Pada dasarnya, teori perwakilan amat erat hubungannya dengan prinsip
kedaulatan rakyat dan demokrasi. Dalam zaman modern kekuasaan rakyat tidak
lagi dilaksanakan secara langsung, tetapi disalurkan melalui lembaga perwakilan
sebagai realisasi sistem demokrasi tidak langsung. Ada tiga hal yang perlu
diperhatikan ketika pengkajian difokuskan pada masalah perwakilan ini, pertama
menyangkut pengertian pihak yang diwakili, kedua berkenaan dengan pihak yang
mewakili, dan ketiga berkaitan dengan bagaimana hubungan serta
kedudukannya.15
Heinz Eulau dan John Whalke mengadakan klasifikasi
perwakilan ini ke dalam tiga pusat perhatian, dijadikan sebagai sudut kajian yang
mengharuskan adanya “wakil”, yaitu:
1) adanya partai,
2) adanya kelompok, dan
3) adanya daerah yang diwakili.
15
Eddy Purnama, Lembaga Perwakilan Rakyat, (medan: Syiah Kuala University Press
2008), h. 41
27
Klasifikasi yang demikian, maka akan melahirkan tiga jenis perwakilan,
yaitu perwakilan politik (political representative), perwakilan fungsional
(functional representative) dan perwakilan daerah (regional representative).16
Menurut Leon Duguit, dasar adanya jalinan hubungan antara pemilih (rakyat)
dengan wakilnya adalah keinginan untuk berkelompok, yang disebut solidaritas
social, sebagai dasar lahirnya hukum obyektif untuk membentuk lembaga
perwakilan.17
Menyangkut dengan hakikat hubungan wakil dengan yang diwakili
ada dua teori yang amat terkenal di samping teori-teori lain, yaitu Teori Mandat
dan Teori Kebebasan.
Kedua teori tersebut merupakan hasil perkembangan pemikiran yang
bersifat saling melengkapi terhadap teori sebelumnya. Menurut Teori Mandat
memandang bahwa para wakil menempati kursi di lembaga perwakilan atas dasar
mandat dari rakyat, yang dinamakan mandataris. Teori yang berkembang oleh J.J.
Rousseau dan Pation ini lahir pada waktu saat revolusi dan dalam perjalananya
terpecah menjadi 3 (tiga) macam.18
: yaitu
a. Teori Mandat Imperatif
Teori ini mengatakan bahwa hubungan antara wakil dengan orang yang
diwakili itu terbatas pada instruksi yang disampaikan oleh orang-orang yang
mewakilinya. Wakil tidak diperbolehkan bertindak melampui mandat yang
telah diberikan dengan konsekuensi bahwa jika hal itu dilakukan oleh wakil,
16
ibid, h 41
17
Bintan r saragih, Lembaga perwakilan dan pemilihan umum di Indonesia, (Jakarta:gaya
media pratama, 1988), h, 84-85
18
Eddy purnama, lembaga perwakilan rakyat. h. 44
28
maka hal demikian tidak berada pada hubungan yang benar antara wakil dan
orang yang memberikan perwakilannya. Untuk adanya suatu jaminan yuridis
bagi rakyat agar para wakil tidak bertindak menyimpang dari keinginannya,
maka lembaga recall merupakan benteng dipergunakan untuk menjaga pola
hubungan imperatif ini. Lembaga recall ini dimaksudkan untuk dapat
menarik kembali si wakil bila terbukti aktivitasnya tidak sesuai dengan
keinginan rakyat yang diwakilinya. Konsep ini sepertinya tidak efisien dan
dapat menghambat peranan lembaga perwakilan, karena para wakil setiap
saat jika ingin bertindak harus terlebih dahulu menunggu intruksi dari pihak
yang diwakilinya.
b. Teori Mandat Bebas
Teori ini mengatakan bahwa para wakil yang duduk di dalam lembaga
perwakilan tidak terikat dengan para pemilih, karena setiap wakil yang
dipilih dan duduk disana adalah orang-orang yang telah dipercaya dan
memiliki kesadaran hukum masyarakat yang diwakilinya. Oleh karena itu,
para wakil tidak terikat dengan instruksi-instruksi dari para pemilihnya dan
tidak dapat ditarik kembali oleh mereka. Dalam konsepsi seperti ini terlihat
bahwa antara si wakil dengan yang diwakili tidak terdapat hubungan secara
hukum, dalam hal ini si wakil hanya dibebani tanggung jawab politik semata
yang memberi konsekuensi bila aktivitas si wakil tidak dapat memuaskan
pihak yang diwakili, maka para wakil tersebut tidak mempunyai peluang
untuk dipilih kembali, Ajaran Mandat Bebas ini selanjutnya berkembang
lagi dalam bentuknya lain yaitu
29
c. Teori Mandat Representatif
Teori ini mengatakan bahwa para wakil dianggap bergabung dalam lembaga
perwakilan, dimana yang diwakili memilih dan memberikan mandat pada
lembaga perwakilan. Sehingga sang wakil sebagai individu tidak ada
hubungan dengan pemilihnya apalagi untuk minta pertanggungjawabannya,
yang bertanggung jawab justru adalah lembaga perwakilan kepada rakyat
pemilihnya.
Perkembangan teori mandat yang demikian melahirkan rasa yang kurang
puas bagi para pemikir lainnya, karena dianggap teori tersebut belum memiliki
landasan yang kuat tentang kebebasan hukum dari lembaga perwakilan rakyat,
ketiga teori diatas merupakan penjelasan awal bagaimana teori perwakilan rakyat
terbentuk dan telah banyak disempurnakan oleh ilmuwan lain yang kemudian
lahir kembali teori baru yang dinamakan dengan teori organ yang dipelopori oleh
Von Gierke kebangsaan jerman.
d. Teori Organ
Ajaran ini melihat bahwa Negara merupakan suatu organisasi yang memiliki
alat-alat perlengkapan dengan fungsi sendiri-sendiri dan saling
ketergantungan.
Lembaga perwakilan rakyat sebagai salah satu alat perlengkapan dimaksud
bebas berfungsi sesuai dengan kewenangan yang diatur dalam konstitusi atau
Undang-Undang Dasar, karena itu setelah rakyat memilih wakil-wakilnya untuk
menempati lembaga perwakilan, mereka tidak perlu lagi mencampuri kewenangan
30
lembaga perwakilan tersebut. Menurut pandangan Gilbert Abcarian19
ada empat
macam karakter hubungan antara wakil dengan yang diwakili. Apabila si wakil
bertindak bebas menurut pertimbangan sendiri tanpa instruksi dari yang diwakili
maka si wakil berada dalam karakter “trustee” (wali). Tetapi jika si wakil
melaksanakan tugas melalui intruksi dari yang diwakili, maka karakternya di sini
adalah sebagai “Delegate” (utusan). Si wakil menurut karakter “politico” bila dia
mengemban kedua karakter di atas (kadang sebagai wali kadang sebagai utusan).
Namun bila si wakil bertindak sesuai dengan program induk organisasinya maka
dalam hal ini dia dianggap sebagai “partisan”.
Dewan Perwakilan Rakyat di Indonesia sebagai lembaga yang mewakili
masyarakat menganut teori organ karena setiap kewenangangya diatur oleh
undang-undang karena itu masyarakat dianggap tidak perlu mencampuri urusan
dewan perwakilan rakyat oleh sebab itu media cetak, media televisi sebagai salah
satu bentuk pengawasan masyarakat terhadap kinerja anggota Dewan Perwakilan
Rakyat.
E. Uji Kepatutan dan Kelayakan ( fit and proper test )
Lembaga Perwakilan Rakyat mempunyai peranan yang sangat penting
menentukan dalam penyelenggaraan negara untuk mencapai cita-cita perjuangan
bangsa mewujudkan masyarakat yang adil dan makmur sebagaimana tercantum
dalam Undang-Undang Dasar 1945. Seiring dengan perkembangan zaman,
Hukum Tata Negara di Indonesia mulai perlahan lahan menguatkan basis aparatur
di pemerintahan, dalam hal penguatan apratur Negara yang merupakan semangat
19
Ibid h. 46-47
31
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 28 Tahun 1999 Tentang
Penyelenggaraan Negara Yang Bersih Dan Bebas Dari Korupsi, Kolusi, Dan
Nepotisme. Didalamnya terdapat asas-asas umum pemerintahan yang baik yaitu
harus memiliki:20
a. Asas kepastian hukum yaitu asas dalam negara hukum yang mengutamakan
landasan peraturan perundang-undangan, kepatuhan, dan keadilan dalam
setiap kebijakan penyelenggaraan negara.
b. Asas tertib penyelenggara Negara yaitu menjadi landasan keteraturan,
keserasian, keseimbangan dalam pengabdian penyelenggaraan negara.
c. Asas kepentingan umum yaitu asas yang mendahulukan kesejahteraan
umum dengan cara yang aspiratif, akomodatif, dan kolektif.
d. Asas keterbukaan yaitu asas yang membuka diri terhadap hak masyarakat
untuk memperolah informasi yang benar, jujur, dan tidak diskriminatif
tentang penyelenggaraan negara dengan tetap memperhatikan perlindungan
atas hak asasi pribadi, golongan, dan rahasia negara.
e. Asas proposionalitas yaitu asas yang mengutamakan keseimbangan antara
hak dan kewajiban Penyelenggara Negara.
f. Asas profesionalitas yaitu asas yang mengutamakan keahlian yang
berlandaskan kode etik dan ketentuan peraturan perundang-undangan yang
berlaku.
g. Asas akuntabilitas yaitu asas yang menentukan bahwa setiap kegiatan dan
hasil akhir dari kegiatan penyelenggaraan negera harus dapat
20
Undang- Undang no 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan
Bebas dari Kolusi,Korupsi dan Nepotisme
32
dipertanggungjawabkan kepada masyarakat atau rakyat sebagai pemegang
kedaulatan tertinggi negara sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan yang berlaku.
h. Indonesia mengenal mekanisme uji kepatutan dan kelayakan yang dilakukan
oleh suatu lembaga dalam rangka menyeleksi calon pimpinan suatu lembaga
tersebut, dalam fungsi pengawasan Dewan Perwakilan Rakyat selaku
lembaga legislatif adalah melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan
Undang-Undang Dasar 1945, Undang-undang dan peraturan pelaksanaannya
yang kemudian berkaitan dengan proses seleksi pejabat publik yang di kenal
dengan istilah Fit and Proper Test, Secara substantif, Pada fungsi
pengawasan, DPR-RI melakukan fit and proper test melalui rapat kerja,
rapat dengar pendapat dan rapat dengar pendapat umum. Banyak
permasalahan yang berkembang dalam pelaksanaan fungsi pengawasan.21
Fit and Proper Test di pemerintahan sudah digunakan sejak pemerintahan
orde baru namun hanya pembaharuan istilah dan baru di atur dalam Keputusan
Dewan Pewakilan Rakyat Republik Indonesia No. 08/DPR RI/I/2005 2006
tentang Tata Tertib Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia pasal 154 yang
berbunyi :
1. Apabila suatu peraturan perundang-undangan menentukan agar Dewan
Pewakilan Rakyat melakukan/menganjurkan atau memberikan persetujuan
atas calon untuk mengisi suatu jabatan, rapat paripurna menugaskan kepada
21
Kep. DPR RI No. 08/DPR RI/I/2005 2006 Tentang Tata Tertib DPR RI
33
Badan Musyawarah untuk menjadwalkan dan menugaskan pembahasan
kepada komisi terkait.
2. Tata cara pembahasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan oleh
komisi yang bersangkutan meliputi :
a. Penelitian administrasi
b. Penyampaian visi dan misi
c. Uji kelayakan (Fit and Proper Test)
d. Penentuan urutan calon
Tuntutan Undang-undang untuk memberikan predikat good governance
kepada Negara dengan amanat Undang-undang No. 28 tahun 1999 tentang
Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas dari Kolusi Korupsi Nepotisme
yang dibebankan kepada Dewan Perwakilan Rakyat yang diatur dalam Undang-
undang no. 22 tahun 2003 tentang Susunan dan Kedudukan, maka untuk
memaksimalkan sebuah cita-cita tersebut, dibutuhkan para pejabat publik yang
memiliki tingkat profesionalitas yang tinggi yang mana seorang pejabat publik
harus diuji sebelum menjalankan tugasnya yaitu dengan Fit and Proper Test yang
sesuai dengan penjelasan UU No. 28 Tahun 1999 pasal 4 yang berbunyi “ Untuk
mewujudkan penyelenggaraan negara yang bersih dan bebas dari korupsi, kolusi
dan nepotisme, dalam undang-undang ini ditetapkan asas-asas umum, asas
keterbukaan, asas proporsional, asas profesionalitas, dan asas akuntabilitas.”22
22
Pasal 4 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang penyelenggaraan Negara yang
bersih dan bebas dari Kolusi,Korupsi dan Nepotisme
34
BAB III
LEMBAGA KEPOLISIAN DAN DEWAN PERWAKILAN RAKYAT
DALAM SISTEM KETATANEGARAAN INDONESIA
A. Lembaga Kepolisian Negara Republik Indonesia
(1) Sejarah Lembaga Kepolisian Republik Indonesia
Pada zaman Kerajaan Majapahit patih Gajah Mada membentuk pasukan
pengamanan yang disebut dengan Bhayangkara yang bertugas melindungi raja
dan kerajaan.1 Pada masa kolonial Belanda awalnya kepolisian hanya terdiri dari
orang kulit putih saja. Sehingga pada masa pemerintahan Deandels, kepolisian
pada waktu itu terbagi menjadi dua yaitu kepolisian bersenjata yang diisi oleh
orang-orang Belanda dan kepolisian pamong praja yang diisi oleh orang pribumi
dan tidak diperbolehkan memegang senjata. Selain kedua bentuk tersebut,
dibentuk pula satuan bernama gewarpende politie yang kemudian berubah
menjadi veld politie merupakan bagian dari unit pemadam pemberontakan pada
waktu itu.
Sejarah pembentukan pasukan keamanan diawali oleh pembentukan
pasukan-pasukan jaga yang diambil dari orang-orang pribumi untuk menjaga aset
dan kekayaan orang-orang Eropa di Hindia Belanda pada waktu itu. Pada tahun
1867 sejumlah warga Eropa di kota Semarang, merekrut 78 orang pribumi untuk
1 Markus gunawan dkk, Buku pintar calon anggota dan anggota Polri. (Jakarta:visimedia
2009) h. 5.
35
menjaga keamanan mereka.2 Wewenang operasional kepolisian ada pada residen
yang dibantu asisten residen. Rechts politie dipertanggungjawabkan pada
procureur generaal (jaksa agung). Pada masa Hindia Belanda terdapat bermacam-
macam bentuk kepolisian, seperti veld politie (polisi lapangan), stands politie
(polisi kota), cultur politie (polisi pertanian), bestuurs politie (polisi pamong
praja), dan lain-lain.
Sejalan dengan administrasi negara waktu itu, pada kepolisian juga
diterapkan pembedaan jabatan bagi bangsa Belanda dan pribumi. Pada dasarnya
pribumi tidak diperkenankan menjabat hood agent (bintara), inspekteur van
politie, dan commisaris van politie. Untuk pribumi selama menjadi agen polisi
diciptakan jabatan seperti mantri polisi, asisten wedana, dan wedana polisi, orang
pribumi tidak diberikan jabatan yang tinggi dikarenakan pada waktu itu belanda
waspada rakyat indonesia melakukan perlawanan balik untuk mengusir belanda.
Kepolisian modern Hindia Belanda yang dibentuk antara tahun 1897-1920 adalah
merupakan cikal bakal dari terbentuknya Kepolisian Negara Republik Indonesia
saat ini.3 Pada waktu sebelum kemerdekaan Indonesia pada waktu Soekarno dan
Mohammad Hatta memproklamasikan kemerdekaan Indonesia pada tanggal 17
Agustus 1945. Secara resmi kepolisian menjadi kepolisian Indonesia yang
merdeka. Lahir tumbuh dan berkembangnya kepolisian indonesia tidak lepas dari
sejarah perjuangan kemerdekaan republik indonesia sejak proklamasi..
2 Marieke blombergen, Polisi Zaman Hindia Belanda dari kepedulian dan ketakutan.
(Jakarta:kompas 2011) h. 27
3 ibid. h.65
36
Sejarah perjalanan Kepolisian Republik Indonesia khususnya yang
berkenaan dengan kedudukan struktural organisasi kepolisian, beberapa kali
mengalami perubahan.4 Setelah proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia,
Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) pada tanggal 19 agustus 1945
menetapkan bahwa polisi dimasukan kedalam lingkungan Departemen Dalam
Negeri. Pada tanggal 22 agustus 1945, dideklarasikan kelahiran Polisi Nasional
Indonesia. Pada tanggal 1 oktober 1945, pemerintah mengeluarkan maklumat
pemerintah yang ditandatangani oleh Menteri Dalam Negeri, Menteri Kehakiman
dan Jaksa Agung, yang menyatakan bahwa semua kantor Kejaksaan masuk ke
dalam lingkungan Departemen Kehakiman, sedangkan semua kantor badan
Kepolisian masuk ke dalam lingkungan Departemen Dalam Negeri.5
Dalam rangka melakukan pembenahan organisasi kepolisian, dua bulan
kemudian Presiden Soekarno menunjuk Raden Said Soekanto sebagai kepala
polisi pertama. Setelah beberapa waktu berjalan kedudukan kepolisian yang
berada dibawah Departemen Dalam Negeri dirasakan menyulitkan peran
Kepolisian. Maka diterbitkanlah PP nomor 11/SD tahun 1946 pada tanggal 1 juli
1946, yang mengeluarkan djawatan Kepolisian Negara dari Departemen Dalam
Negeri dan menjadikannya sebagai institusi yang mandiri, berdiri sendiri langsung
4 Bibit S.rianto, Reformasi Polri Suatu Pemikiran ke Arah Kemandirian Dalam Rangka
Menegakkan Supremasi Hukum, (Jakarta:ghalia,1999),h.29.
5 Mabes Polri, Derap Langkah Polri di Tengah Dinamika Bangsa,(jakarta:Mabes
Polri,2008), h.81.
37
dibawah perdana menteri.6 Pada tanggal ini pula ditetapkanya hari kelahiran Polri
(Hari Bhayangkara).
Perkembangan selanjutnya Kepolisian kemudian disatukan dengan Tentara
Nasional Indonesia (TNI) melalui Undang-Undang No 13 tahun 1961 yang berisi
“Polri berada dibawah Departemen Pertahanan dan Keamanan. Kepolisian yang
sebelumnya berada di bawah Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI)
maka melalui Inpres Nomor 2 tahun 1999 kemudian lahir pula Tap MPR nomor
VI dan VII tahun 2002 tentang peran Tentara Nasional Indonesia dan Kepolisian
Republik Indonesia ditetapkanlah pemisahan Kepolisian Republik Indonesia
(POLRI) dari tubuh Tentara Nasional Indonsia (TNI). Pemisahan tersebut
dipertegas dengan diubahnya undang-undang nomor 27 tahun 1997 menjadi
undang-undang nomor 2 tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik
Indonesia. Pada masa kabinet presidensial, pada tanggal 4 Februari 1948
dikeluarkan Tap Pemerintah No. 1/1948 yang menetapkan bahwa Kepolisian
Republik indonesia dipimpin langsung oleh presiden/wakil presiden dalam
kedudukan sebagai perdana menteri/wakil perdana menteri.
(2) Kedudukan Lembaga Kepolisian Republik Indonesia
Berpijak pada teori pembagian kekuasaan dan sistem pemerintahan
presidensil, fungsi pemerintahan diselenggarakan oleh lembaga eksekutif yang
dipimpin oleh Presiden, sehingga Presiden bertanggungjawab atas
penyelenggaraan pemerintahan. Oleh karena itu mengkaji tentang kedudukan
6 Ibid. h.83.
38
kepolisian yang didasarkan pada fungsi utamanya, tidak dapat dipisahkan dengan
fungsi utama pemerintah yang dipimpin oleh Presiden.
Setiap lembaga Negara harus menjalankan wewenangnya berdasarkan
undang-undang dalam arti materiil, hal tersebut sebagai konsekuensi logis dari
negara hukum, supremasi hukum dan pemerintahan yang menganut sistem
presidensial yang harus menempatkan semua lembaga kenegaraan berada di
bawah Undang-Undang Dasar 1945, seperti dikemukakan oleh Soewoto
Mulyosudarmo, bahwa konsekuensi dari sistem presidensil, yaitu sebagai sistem
yang menempatkan semua lembaga kenegaraan berada di bawah Undang-Undang
Dasar 1945.7 Selain itu dalam sistem pemerintahan presidensial, Presiden
bertanggungjawab atas penyelenggaraan keamanan, ketenteraman dan ketertiban
umum.
Pada teori ketatanegaraan, bagi negara yang menganut sistem pemerintahan
presidensial negara dipimpin oleh seorang Presiden dalam jabatannya selaku
kepala negara dan kepala pemerintahan dikaitkan dengan makna kepolisian
sebagai “alat negara” sebagaimana disebutkan dalam pasal 30 ayat (4) Undang-
Undang Dasar 1945, berarti kepolisian dalam menjalankan wewenangnya berada
di bawah Presiden selaku Kepala Negara. Disisi lain fungsi kepolisian yang
mengemban salah satu “fungsi pemerintahan” mengandung makna bahwa
pemerintahan yang diselenggarakan oleh Presiden selaku pemegang kekuasaan
pemerintahan (eksekutif) mendelegasikan sebagian kekuasaannya kepada lembaga
7 Soewoto Mutyosudarmo, “Pembaharuan Ketatanegaraan Melalui Perubahan Konstitusi”
:Prosiding workshop:Assosiasi Pengajar HTN dan HAN Jawa Timur dan In-Trans,
(Malang,2004), h. 7
39
kepolisian, terutama tugas dan wewenang di bidang keamanan dan ketertiban.
Sebagaimana dikatakan oleh Bagir Manan, bahwa “Presiden adalah pimpinan
tertinggi penyelenggaraan administrasi Negara”. Penyelenggaraan administrasi
negara meliputi lingkup tugas dan wewenang yang sangat luas, yaitu setiap bentuk
perbuatan atau kegiatan administrasi yang dikelompokkan ke dalam:
1) Tugas dan wewenang administrasi di bidang keamanan dan ketertiban
umum.
2) Tugas dan wewenang menyelenggarakan tata usaha pemerintahan mulai dari
surat menyurat sampai kepada dokumentasi dan lain lain.
3) Tugas dan wewenang administrasi negara di bidang pelayanan.
4) Tugas dan wewenang administrasi negara di bidang penyelenggaraan
kesejahteraan umum.8
Kedudukan lembaga kepolisian tidak diatur secara jelas dan tegas dalam
Undang-Undang Dasar 1945, lain halnya dengan Angkatan Darat, Angkatan Laut
dan Angkatan Udara yang diatur secara tegas dalam pasal 10 Undang-Undang-
Dasar 1945, yakni “Presiden memegang kekuasaan yang tertinggi atas Angkatan
Darat, Angkatan Laut, dan Angkatan Udara” . Akan tetapi ketentuan dalam pasal
30 ayat (5) Undang-Undang Dasar 1945 mensyaratkan adanya tindak lanjut
pembentukan undang-undang yang mengatur tentang susunan dan kedudukan,
hubungan kewenangan Polri dalam menjalankan tugasnya. Sehingga konsekuensi
logis dari ketentuan pasal 30 ayat (5) Undang-Undang Dasar 1945 terbentuklah
8 Bagir Manan, Lembaga Kepresidenan, (Yogyakarta:GamaMedia-Pusat Studi Hukum
Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia,1999), h, 122-123
40
Undang-undang No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian, dimana didalam Undang-
undang dimaksud lembaga kepolisian diposisikan dibawah Presiden dan
bertanggungjawab kepada Presiden. Disamping itu adanya beberapa instrumen
hukum yang sebelum lahirnya Undang undang No. 2 Tahun 2002 telah mengatur
tentang kedudukan lembaga kepolisian di bawah Presiden, seperti Peraturan
Presiden No. 89 Tahun 2000 dan Ketetapan MPR RI No. VII/MPR/2000 tentang
Peran TNI dan Polri.
B. Tugas dan Kewenangan Lembaga Kepolisian
Tugas pokok kepolisian dimaknai sebagai fungsi utama lembaga kepolisian
yang merupakan salah satu fungsi pemerintahan. Istilah pemerintah disini
mengandung arti sebagai organ/badan/alat perlengkapan negara yang diserahi
pemerintahan, yang salah satu tugas dan wewenangnya adalah memelihara
keamanan dan ketertiban masyarakat serta menyelenggarakan kepentingan umum
(public servent), sehingga fungsi pemerintahan adalah fungsi dari lembaga
pemerintah yang dijalankan untuk mendukung tujuan negara, karena pemerintah
dalam arti sempit merupakan salah satu unsur dari sistem ketatanegaraan.
Dijalankan tertuju pada terwujudnya keamanan dan ketertiban masyarakat.
Tugas kepolisian dapat dibagi dalam dua golongan, yaitu tugas represif dan
tugas preventif (Pencegahan). Tugas represif ini adalah mirip dengan tugas
kekuasaan executive, yaitu menjalankan peraturan atau perintah dari yang
berkuasa apabila telah terjadi peristiwa pelanggaran hukum. Sedangkan tugas
preventif dari kepolisian ialah menjaga dan mengawasi agar peraturan hukum
tidak dilanggar oleh siapapun. Tugas utama dari kepolisian adalah memelihara
41
keamanan di dalam negeri. Dengan ini nampak perbedaan dari tugas Tentara
Nasional Indonesia yang terutama menjaga pertahanan Negara yang pada
hakikatnya menunjuk pada kemungkinan ada serangan dari luar negeri. Sementara
itu, dalam Undang-Undang Kepolisian Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2002
pasal 13 dijelaskan bahwasannya tugas pokok kepolisian adalah:
a. memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat;
b. menegakkan hukum; dan
c. memberikan perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat
Selanjutnya pada pasal 14 dijelaskan bahwasanya dalam melaksanakan
tugas pokok sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13, Kepolisian Negara Republik
Indonesia bertugas :9
a. melaksanakan pengaturan, penjagaan, pengawalan, dan patroli terhadap
kegiatan masyarakat dan pemerintah sesuai kebutuhan;
b. menyelenggarakan segala kegiatan dalam menjamin keamanan, ketertiban,
dan kelancaran lalu lintas di jalan;
c. membina masyarakat untuk meningkatkan partisipasi masyarakat, kesadaran
hukum masyarakat serta ketaatan warga masyarakat terhadap hukum dan
peraturan perundang-undangan;
d. turut serta dalam pembinaan hukum nasional;
e. memelihara ketertiban dan menjamin keamanan umum;
f. melakukan koordinasi, pengawasan, dan pembinaan teknis terhadap
kepolisian khusus, penyidik pegawai negeri sipil, dan bentuk-bentuk
pengamanan swakarsa;
g. melakukan penyelidikan dan penyidikan terhadap semua tindak pidana
sesuai dengan hukum acara pidana dan peraturan perundang-undangan
lainnya. Mengenai ketentuan-ketentuan penyelidikan dan penyidikan ini,
lebih jelasnya telah diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara
Pidana (KUHP) yang diantaranya menguraikan pengertian penyidikan,
penyelidikan, penyidik dan penyelidik serta tugas dan wewenangnya.
h. menyelenggarakan identifikasi kepolisian, kedokteran kepolisian,
laboratorium forensik dan psikologi kepolisian untuk kepentingan tugas
kepolisian;
9 Undang-Undang No 2 Tahun 2002 Tentang Kepolisian
42
i. melindungi keselamatan jiwa raga, harta benda, masyarakat, dan lingkungan
hidup dari gangguan ketertiban dan/atau bencana termasuk memberikan
bantuan dan pertolongan dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia;
j. melayani kepentingan warga masyarakat untuk sementara sebelum ditangani
oleh instansi dan/atau pihak yang berwenang;
k. memberikan pelayanan kepada masyarakat sesuai dengan kepentingannya
dalam lingkup tugas kepolisian; serta melaksanakan tugas lain sesuai dengan
peraturan perundang-undangan.
l. melaksanakan tugas lain sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Apabila dikaji dari cara memperoleh wewenang, kewenangan kepolisian
diperoleh secara atributif, artinya wewenang tersebut bersumber pada undang-
undang, yakni Undang-Undang Dasar 1945, Undang-undang No. 2 Tahun 2002
dan Peraturan Perundang-undangan lainnya. Philipus M.Hadjon membagi cara
memperoleh kewenangan atas dua cara yaitu:10
1. Atribusi
2. Delegasi
Atribusi merupakan wewenang untuk membuat keputusan (besluit) yang
langsung bersumber kepada undang-undang dalam arti materiil. Atribusi juga
dikatakan sebagai suatu cara normal untuk memperoleh wewenang pemerintahan.
Delegasi diartikan sebagai penyerahan wewenang untuk membuat besluit oleh
pejabat pemerintahan (pejabat Tata Usaha Negara) kepada pihak lain tersebut.
Dengan kata penyerahan, ini berarti adanya perpindahan tanggung jawab dan yang
memberi delegasi (delegans) kepada yang menerima delegasi (delegetaris). Pasal
15 Undang-Undang Kepolisian Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2002
menyatakan bahwasannya Dalam rangka menyelenggarakan tugas sebagaimana
10
Philipus M. Hadjon, “Tentang Wewenang Pemerintahan (Bestuurbevoegdheid), Pro
Justitia Tahun XVI Nomor I (Januari 1998) , h.90.
43
dimaksud dalam Pasal 13 dan 14 Kepolisian Negara Republik Indonesia secara
umum berwenang:11
a) menerima laporan dan/atau pengaduan;
b) membantu menyelesaikan perselisihan warga masyarakat yang dapat
mengganggu ketertiban umum;
c) mencegah dan menanggulangi tumbuhnya penyakit masyarakat;
d) mengawasi aliran yang dapat menimbulkan perpecahan atau mengancam
persatuan dan kesatuan bangsa;
e) mengeluarkan peraturan kepolisian dalam lingkup kewenangan administratif
kepolisian;
f) melaksanakan pemeriksaan khusus sebagai bagian dari tindakan kepolisian
dalam rangka pencegahan;
g) melakukan tindakan pertama di tempat kejadian;
h) mengambil sidik jari dan identitas lainnya serta memotret seseorang;
i) mencari keterangan dan barang bukti;
j) menyelenggarakan Pusat Informasi Kriminal Nasional;
k) mengeluarkan surat izin dan/atau surat keterangan yang diperlukan dalam
rangka pelayanan masyarakat;
l) memberikan bantuan pengamanan dalam sidang dan pelaksanaan putusan
pengadilan, kegiatan instansi lain, serta kegiatan masyarakat;
m) menerima dan menyimpan barang temuan untuk sementara waktu.
Kepolisian Negara Republik Indonesia sesuai dengan peraturan perundang-
undangan lainnya berwenang :
a) memberikan izin dan mengawasi kegiatan keramaian umum dan kegiatan
masyarakat lainnya;
b) menyelenggarakan registrasi dan identifikasi kendaraan bermotor;
c) memberikan surat izin mengemudi kendaraan bermotor;
d) menerima pemberitahuan tentang kegiatan politik;
e) memberikan izin dan melakukan pengawasan senjata api, bahan peledak,
dan senjata tajam;
f) memberikan izin operasional dan melakukan pengawasan terhadap badan
usaha di bidang jasa pengamanan;
g) memberikan petunjuk, mendidik, dan melatih aparat kepolisian khusus dan
petugas pengamanan swakarsa dalam bidang teknis kepolisian;
h) melakukan kerja sama dengan kepolisian negara lain dalam menyidik dan
memberantas kejahatan internasional;
i) melakukan pengawasan fungsional kepolisian terhadap orang asing yang
berada di wilayah Indonesia dengan koordinasi instansi terkait;
j) mewakili pemerintah Republik Indonesia dalam organisasi kepolisian
internasional;
11 Undang-Undang No 2 Tahun 2002 Tentang Kepolisian
44
k) melaksanakan kewenangan lain yang termasuk dalam lingkup tugas
kepolisian.
Beberapa peraturan perundang-undangan, yakni pasal 30 ayat (4) Undang-
Undang Dasar 1945, pasal 6 ayat (1) Ketetapan MPR RI No.VII/MPR/2000, dan
pasal 5 ayat (1) UU No. 2 Tahun 2002, bahwa Kepolisian Negara Republik
Indonesia sebagai alat negara yang menjalankan salah satu fungsi pemerintahan
terutama dibidang pemeliharaan keamanan dan ketertiban masyarakat melalui
pemberian perlindungan, pengayoman dan pelayanan kepada masyarakat serta
penegakan hukum. Konsekuensi dari menjalankan salah satu fungsi pemerintahan
tersebut.
C. Dewan Perwakilan Rakyat
1. Kedudukan Dewan Perwakilan Rakyat
Bunyi pasal 68 Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009 tentang Majelis
Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah
dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah menyatakan bahwa “Dewan Perwakilan
Rakyat merupakan lembaga perwakilan rakyat yang berkedudukan sebagai
lembaga Negara”12
. Lembaga negara terkadang disebut dengan istilah lembaga
pemerintahan, lembaga pemerintahan nondepartemen. Ada yang dibentuk
berdasarkan atau karena diberi kekuasaan oleh Undang-Undang Dasar, ada pula
yang dibentuk dan mendapatkan kekuasaannya dari Undang-Undang, bahkan ada
pula yang hanya dibentuk berdasarkan Keputusan presiden. Hierarki atau
12
Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat,
Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah
45
kedudukannya tentu saja bergantung pada derajat pengaturannya menurut
peraturan perundang-undangan yang berlaku.13
Sedangkan Dewan Perwakilan
Rakyat sendiri merupakan lembaga yang kewenangannya diberikan oleh Undang-
Undang Dasar.
2. Susunan Dewan Perwakilan Rakyat
Pada pasal 67 Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009 tentang Majelis
Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah,
dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah mengatakan bahwa “DPR terdiri atas
anggota partai politik peserta pemilihan umum yang dipilih melalui pemilihan
umum”. Untuk menjalankan fungsi dan tugasnya, DPR memiliki beberapa unit
kerja yang biasa disebut dengan “alat kelengkapan”. Alat-alat kelengkapan DPR
tersebut ada yang bersifat tetap dan sementara. Yang dimaksud dengan alat
kelengkapan tetap adalah unit kerja yang terus menerus ada selama masa kerja
DPR berlangsung, yakni selama lima tahun. Keanggotaannya juga tidak berubah
dari awal sampai akhir, kecuali ada pemberhentian.
Sedangkan alat kelengkapan yang bersifat sementara hanya dibentuk untuk
kebutuhan dan tujuan tertentu dalam jangka waktu tertentu pula. Begitu juga
dengan keanggotaannya, yang dapat digantikan tanpa ada pengaturan mengenai
masa keanggotaannya. Salah satu alat kelengkapan DPR yang bersifat tetap
adalah Badan Legislasi yang tertuang dalam Pasal 99, Pasal 100, Pasal 101, dan
Pasal 102 UU No. 27 Tahun 2009. Adapun alat kelengkapan DPR yang bersifat
tetap, salah satunya, ialah panitia khusus, yang juga diatur dalam Undang-Undang
13
Jimly Asshiddiqie, Perkembangan dan Konsolidasi Lembaga Negara Pasca Reformasi,
(Jakarta:Sinar Grafika,2010) h. 37
46
No. 27 Tahun 2009, pada Pasal 136, Pasal 137, Pasal 138, Pasal 139, dan Pasal
140
3. Tugas dan Kewenangan Dewan Perwakilan Rakyat
Ketentuan yang terkait dengan tugas dan wewenang Dewan Pewakilan
Rakyat menurut Undang-Undang Dasar 1945, yaitu sebagai berikut:
Pasal 20
(1) Dewan Perwakilan Rakyat memegang kekuasaan membentuk undang-
undang.
(2) Setiap rancangan undang-undang dibahas oleh Dewan Perwakilan dan
Presiden untuk mendapat persetujuan bersama.
(3) Jika rancangan undang-undang itu tidak mendapat persetujuan bersama,
rancangan undang-undang itu tidak boleh diajukan lagi dalam
persidangan Dewan Perwakilan Rakyat masa itu.
(4) Presiden mengesahkan rancangan undang-undang yang telah disetujui
bersama untuk menjadi undang-undang.
(5) Dalam hal rancangan undang-undang yang telah disetujui bersama
tersebut tidak disahkan oleh Presiden dalam waktu tiga puluh hari
semenjak rancangan undang-undang tersebut-disetujui, rancangan
undang-undang tersebut sah menjadi undang-undang dan wajib
diundangkan.
Pasal 20A
(1) Dewan Perwakilan Rakyat memiliki fungsi legislasi, fungsi anggaran,
dan fungsi pengawasan.
(2) Dalam melaksanakan fungsinya, selain hak yang diatur dalam pasal-
pasal lain Undang-Undang Dasar ini, Dewan Perwakilan Rakyat
mempunyai hak interplasi14
, hak angket15
, dan hak menyatakan
pendapat.16
14
Hak interpelasi adalah hak DPR untuk meminta keterangan kepada Pemerintah
mengenai kebijakan Pemerintah yang penting dan strategis serta berdampak luas pada kehidupan
bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. 15
Hak angket adalah hak DPR untuk melakukan penyelidikan terhadap pelaksanaan suatu
undang-undang dan/atau kebijakan Pemerintah yang berkaitan dengan hal penting, strategis, dan
berdampak luas pada kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara yang diduga
bertentangan dengan peraturan perundang-undangan. 16
Hak menyatakan pendapat adalah hak DPR untuk menyatakan pendapat atas:
Kebijakan Pemerintah atau mengenai kejadian luar biasa yang terjadi di tanah air atau di dunia
internasional; Tindak lanjut pelaksanaan hak interpelasi dan hak angket; Dugaan bahwa Presiden
dan/atau Wakil Presiden melakukan pelanggaran hukum baik berupa pengkhianatan terhadap
negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, maupun perbuatan tercela, dan/atau
47
(3) Selain hak yang diatur dalam pasal-pasal lain Undang-Undang Dasar ini,
setiap anggota Dewan Perwakilan Rakyat mempunyai hak mengajukan
pertanyaan,17
menyampaikan usul dan pendapat18
, serta hak imunitas.19
(4) Ketentuan lebih lanjut tentang hak Dewan Perwakilan Rakyat dan hak
anggota Dewan Perwakilan Rakyat diatur dalam undang-undang.
Pasal 21
(1) Anggota Dewan Perwakilan Rakyat berhak mengajukan usul rancangan
undang-undang.
Pasal 22
(1) Dalam hal ihwal kegentingan yang memaksa, Presiden berhak
menetapkan peraturan pemerintah sebagai pengganti undang-undang.
(2) Peraturan pemerintah itu harus mendapat persetujuan Dewan Perwakilan
Rakyat dalam persidangan yang berikut.
(3) Jika tidak mendapat persetujuan, maka peraturan pemerintah itu harus
dicabut.
D. Mekanisme Pengangkatan Kepala Kepolisian Republik Indonesia dalam
Peraturan Perundang-undangan
Sampai saat ini belum ada satupun keputusan presiden yang mengatur
mengenai tata cara pengangkatan kepala kepolisian republik indonesia , yang
adanya hanyalah peraturan presiden no. 52 tahun 2010 yang hanya mencantumkan
pengangkatan dan pemberhentian kapolri dilakukan oleh Presiden, sebenarnya
Presiden dan/atau Wakil Presiden tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil
Presiden. 17
Hak mengajukan pertanyaan adalah hak anggota DPR untuk menyampaikan pertanyaan
baik secara lisan maupun tertulis kepada pemerintah bertalian dengan tugas dan wewenang DPR. 18
Hak menyampaikan usul dan pendapat adalah hak anggota DPR untuk menyampaikan
usul dan pendapat secara leluasa baik kepada pemerintah maupun kepada DPR sendiri sehingga
ada jaminan kemandirian sesuai dengan panggilan hati nurani serta kredibilitasnya. Oleh karena
itu, setiap anggota DPR tidak dapat diarahkan oleh siapapun di dalam proses pengambilan
keputusan. Namun, tata cara penyampaian usul dan pendapat dimaksud tetap memperhatikan tata
karma, etika, moral, sopan santun, dan kepatutan sebagai wakil rakyat. 19
Hak imunitas adalah kekebalan hukum dimana setiap anggota DPR tidak dapat dituntut
di hadapan dan di luar pengadilan karena pernyataan, pertanyaan/pendapat yang dikemukakan
secara lisan ataupun tertulis dalam rapat-rapat DPR, sepanjang tidak bertentangan dengan
Peraturan Tata Tertib dan kode etik.
48
pengangkatan Kepala Kepolisian Republik Indonesia disingkat (KAPOLRI)
terdapat didalam undang-undang no 2 tahun 2002 yang terdapat didalam pasal 11
yang berisi20
:
(1) Kapolri diangkat dan diberhentikan oleh Presiden dengan persetujuan
Dewan Perwakilan Rakyat.
(2) Usul pengangkatan dan pemberhentian Kapolri diajukan oleh Presiden
kepada Dewan Perwakilan Rakyat disertai dengan alasannya.
(3) Persetujuan atau penolakan Dewan Perwakilan Rakyat terhadap usul
Presiden sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) harus diberikan dalam
jangka waktu paling lambat 20 (dua puluh) hari terhitung sejak tanggal
surat Presiden diterima oleh Dewan Perwakilan Rakyat.
(4) Dalam hal Dewan Perwakilan Rakyat tidak memberikan jawaban dalam
waktu sebagaimana dimaksud dalam ayat (3), calon yang diajukan oleh
Presiden dianggap disetujui oleh Dewan Perwakilan Rakyat.
(5) Dalam keadaan mendesak, Presiden dapat memberhentikan sementara
Kapolri dan mengangkat pelaksana tugas Kapolri dan selanjutnya
dimintakan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat.
(6) Calon Kapolri adalah Perwira Tinggi Kepolisian Negara Republik
Indonesia yang masih aktif dengan memperhatikan jenjang kepangkatan
dan karier.
(7) Tata cara pengusulan atas pengangkatan dan pemberhentian Kapolri
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), (2), dan (6) diatur lebih lanjut
dengan Keputusan Presiden.
(8) Ketentuan mengenai pengangkatan dan pemberhentian dalam jabatan
selain yang dimaksud dalam ayat (1) diatur lebih lanjut dengan
Keputusan Kapolri.
Keterlibatan Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas) dalam pengusulan
calon Kepala kepolisian republik indonesia oleh Presiden memang secara tegas
diatur dalam pasal 38 ayat 1 huruf (b) UU No.2 Tahun 2002 tentang kepolisian
yang mana Kompolnas bertugas memberikan pertimbangan kepada presiden
dalam pengangkatan dan pemberhentian Kepala kepolisian republik indonesia.
Lembaga Kompolnas dibentuk berdasarkan Peraturan Presiden No.17 Tahun 2011
tentang Kompolnas. Susunan keanggotan Kompolnas dari unsur pemerintah tiga
20
Undang-undang no 2 tahun 2002 Tentang Kepolisian
49
orang, pakar kepolisian tiga orang dan tokoh masyarakat tiga orang. Berdasarkan
pasal 16 ayat 1 Peraturan Presiden No.17 Tahun 2011, Ketua dan Wakil Ketua
Kompolnas dipilih dan ditetapkan presiden.21
Kompolnas merupakan lembaga
struktural dan bertanggung jawab kepada Presiden. Kompolnas dapat memberikan
evaluasi terhadap kinerja Kapolri dalam rangka pemberhentian. Tentunya
Kompolnas merupakan penasehat presiden terhadap kinerja seorang Kapolri
apakah mau diusulkan atau diberhentikan.
Komjen (purn) Oegroseno pernah menjelaskan, mekanisme pencalonan
kepala kepolisian republik indonesia seharusnya melalui sidang Dewan Kebijakan
Pangkat dan Karier Tertinggi Polri. Dalam sidang tersebut, seorang Kepala
kepolisian republik Indonesia yang masih menjabat bisa ikut mengusulkan nama-
nama calon yang dianggap memenuhi syarat sebagai Kepala kepolisian. Syarat
kelayakan untuk menjadi Kepala kepolisian republik Indonesia juga sangat
dipertimbangkan. Setelah Dewan memutuskan, sebut nama calon kepala
kepolisian akan diserahkan kepada Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas),
untuk mendapat pertimbangan. Setelah itu, Kompolnas akan menyerahkan nama
tersebut kepada Presiden.22
Seorang calon Kepala kepolisian republik indonesia tidak dapat berasal dari
eksternal lembaga kepolisian dan dari kader partai politik tertentu. Karena
berdasarkan pasal 11 ayat 6 Undang-undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang
21
Perpres no 17 tahun 2011 Tentang Komisi Kepolisian Nasional 22
Ogroseno:Sejarah Pengangkatan Kapolri diubah diakses pada tanggal rabu 29-07-2015
pada pukul 14:43 WIB dari
http://nasional.kompas.com/read/2015/02/03/17014131/Oegroseno.Sejarah.Pengangkatan.Kapolri.
Diubah
50
kepolisian bahwa “calon Kepala kepolisian republik indonesia adalah perwira
tinggi kepolisian aktif dengan memerhatikan jenjang pangkat dan karir”23
. Sebab
itu, jabatan seorang Kepala kepolisian bebas dari unsur pihak ekternal kepolisian.
23
Undang-undang nomor 2 tahun 2002 Tentang Kepolisian
51
BAB IV
PERAN DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DALAM PENGANGKATAN
KEPALA KEPOLISIAN REPUBLIK INDONESIA
A. Landasan Filosofis Sosiologis dan Yuridis Terbentuknya Undang Undang No
2 Tahun 2002 Tentang Kepolisian
1. Landasan Filosofis
Kepolisian Negara Republik Indonesia sebagai salah satu lembaga
penyelenggaraan tugas dan fungsi pemerintahan dalam melaksanakan tugas dan
fungsi nya juga harus berdasarkan legitimasi hukum yang berlaku. Dimana fungsi
utama dari polisi adalah menegakkan hukum dan melayani kepentingan
masyarakat umum. Sehingga dapat dikatakan bahwa tugas polisi adalah
melakukan pencegahan terhadap kejahatan dan memberikan perlindungan kepada
masyarakat.1
Sebagaimana kebanyakan negara-negara di dunia, Negara Indonesia juga
tidak luput dari terpaan krisis moneter dan ekonomi yang bersifat global dan yang
kemudian berkembang menjadi krisis politik, sosial-budaya, dan hukum. Dalam
rangka mengatasi krisis dimaksud, Indonesia melaksanakan reformasi
paradigmatik secara total menuju masyarakat madani yang menjunjung tinggi,
antara lain, berlangsungnya proses demokratisasi dengan baik dan benar,2 yaitu
dengan lahirnya Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002
1 Mahmud Mulyadi, Kepolisian dalam sistem peradilan pidana, (Medan:USU press,
2009,h 40
2 Tim Pokja, Reformasi Menuju Polri yang Profesional, (Jakarta:polri,1999)
52
Keseluruhan kebijakan yang tertuang didalam Undang-Undang Nomor 2
Tahun 2002 telah berjalan selama tiga belas tahun yang secara yuridis formil telah
membawa pengaruh yang besar terhadap eksistensi polisi terhadap sistem
ketatanegaraan di Indonesia, dan menjadi kenyataan landasan filosofis
dibentuknya undang-undang no 2 tahun 2002 Tentang Kepolisian atas dasar
bahwa keamanan dalam negeri merupakan syarat utama pendukung terwujudnya
masyarakat madani yang adil, makmur, dan beradab berdasarkan Pancasila dan
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
2. Landasan Sosiologis
Kepolisian adalah suatu institusi yang memiliki ciri universal yang dapat
ditelusuri dari sejarah lahirnya polisi, baik secara fungsi atau organ. Pada
dasarnya polisi lahir bersama rakyat untuk menjaga sistem kepatuhan
(konformitas) anggota masyarakat terhadap kesepakatan antar warga masyarakat
itu sendiri terhadap kemungkinan adanya tabrakan kepentingan, penyimpangan
perilaku dan perilaku kriminal dari warga masyarakat. Ketika masyarakat sepakat
untuk hidup didalam suatu negara, pada saat itulah polisi dibentuk sebagai
lembaga formal yang disepakati untuk bertindak sebagai pelindung dan penjaga
ketertiban dan keamanan masyarakat atau yang disebut sebagai fungsi
“sicherheitspolitizei”.3
Kehadiran polisi sebagai organisasi sipil yang dipersenjatai oleh pemerintah
agar dapat memberikan efek pematuhan (enforcing effect) kepada masyarakat.
Seperti yang dikemukakan oleh Satjipto Rahardjo bahwa “perilaku polisi adalah
3 Bibit Samad Rianto, Pemikiran Menuju POLRI yang Professional, Mandiri, Berwibawa,
dan dicintai Rakyat , (Jakarta :PTIK Press dan Restu AGUNG,2006) ,h 36
53
wajah hukum sehari-hari”. Disadari bahwa polisi merupakan ujung tembok
penegakan hukum, yang berarti polisilah yang secara langsung berhadapan
dengan masyarakat, dan khususnya, pelanggar hukum dalam usaha menegakan
hukum. Polisi sipil memiliki 3 kriteria yaitu cepat tanggap, keterbukaan dan
akuntabilitas. Kriteria tersebut menuntut sikap dan perilaku yang berlandasakan
nilai-nilai inti tertentu yang dirumuskan sebagai integritas pribadi (integrity),
kewajaran/adil (fairness), rasa hormat (respect), kejujuran (honesty), keberanian/
keteguhan hati (courage) dan welas asih (compassion).4
Dengan demikian, bagaimana perilaku polisi dengan cara-cara kotor dan
korup, maka secara otomatis masyarakatpun memandang hukum sebagai sesuatu
yang kotor dan korup, juga andaikan pemolisian dikerjakan dengan baik, maka
wajah hukum akan dipandang baik. Karena itu, pandangan masyarakat tentang
polisi akan membawa implikasi pada pandangan mereka terhadap hukum.5
Berbeda dengan Tentara Nasional Indonesia dengan Tugas militernya yaitu
untuk mengamankan negara dari ancaman musuh. Dalam pelaksanaan tugasnya
militer dapat menghancurkan dan membunuh musuh dengan kekerasan, dan demi
komando dapat melanggar Hak Asasi Manusia (HAM), sebaliknya aparat
kepolisian bertugas mengamankan masyarakat agar tercipta ketertiban dan rasa
aman serta menjunjung tinggi Hak Asasi Manusia.6 Tugas pokok kepolisian
4 Chairuddin Ismail, Polisi Sipil dan Paradigma Polri, Cet I ,(Jakarta:P.T. Merlyn
Press,2009), h. 33
5 Satjipto Rahardjo, Polisi Sipil Dalam Perubahan Sosial di Indonesia, (jakarta:Kompas,
2002)
6 Awlloedin Djamin, Sejarah Perkembangan Kepolisian Di Indonesia di Zaman Kuno
Sampai Sekarang, (Jakarta:yayasan Brata Bhakti Polri,2007) h.470.
54
merupakan tugas-tugas yang harus dikerjakan atau dijalankan oleh lembaga
kepolisian, dengan demikian tugas lembaga yang dijalankan oleh anggota
kepolisian dapat dimaknai sebagai bentuk atau jenis dari pekerjaan khusus. Jenis
pekerjaan tersebut menjadi tugas dan wewenang kepolisian yang harus dijalankan
dengan pengetahuan intelektual, keahlian atau kemahiran yang diperoleh melalui
pendidikan atau training, dijalankan secara bertanggung jawab dengan keahlianya,
dan berlandaskan moral dan etika.7
Setiap masyarakat selalu mendambakan kehidupan yang damai dan tentram
oleh karenanya masyarakat pun harus taat dan patuh terhadap polisi karena polisi
merupakan salah satu pilar yang penting dalam suatu negara. Polisi adalah hukum
yang hidup. Melalui polisi ini janji janji dan tujuan tujuan untuk mengamankan
dan melindungi masyarakat menjadi kenyataan.8 Keinginan masyarakat untuk
hidup dengan aman dan tentram sudah menjadi suatu tugas pemerintah untuk
mewujudkan melalui lembaga kepolisian. Secara sosiologis terbentuknya Undang-
Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian didasarkan bahwa pemeliharaan
keamanan dalam negeri melalui upaya penyelenggaraan fungsi kepolisian yang
meliputi:9
1) Pemeliharaan keamanan dan ketertiban masyarakat
Keamanan serta ketertiban masyarakat merupakan fondasi awal dalam
roda pemerintahan yang berdaulat, karena dengan tertib serta amannya suatu
masyarakat maka pemerintah pun dapat menjalankan roda pemerintahanya
7 Sadjijono, Etika profesi hukum, Cet I , (Jakarta:Laksbang Mediatama,2008), h.35
8 DPM. Sitompul, Hukum kepolisian Indonesia, (Bandung:Tarsito,1985) h 133
9 Undang-Undang nomor 2 tahun 2002 Tentang Kepolisian
55
dengan baik. Sebagai contoh apabila masyarakat ataupun mahasiswa ingin
berdemonstrasi maka lembaga kepolisian pun menurunkan personilnya
untuk dapat menjaga keamanan dalam hal yang tidak diinginkan seperti
kerusuhan,kerusakan fasilitas umum dan lain-lain. Selain itu polisi juga
bertugas menjaga ketertiban lalu lintas untuk para pengendara mobil dan
motor,
2) Penegakan hukum
Keadilan dalam hal penegakan hokum merupakan syarat pendukung
keamanan dan ketertiban masyarakat, karena apabila penegakan hukum
berjalan dengan baik maka keamanan serta ketertiban pun dapat terjaga.
Dalam masyarakat luas banyak kejahatan kriminal seperti pembunuhan,
pencopetan, penculikan dan lain-lain. Oleh karenanya lembaga Kepolisian
sebagai salah satu lembaga yang bertugas dalam hal penegakan hukum harus
dapat menjalankan tugasnya dengan sebaik-baiknya. Berkaitan dengan
penegak hukum guna menunjang penegakan hukum yang berkeadilan, B. M.
Taverne, seorang pakar hukum negeri Belanda, yang terkenal dengan kata-
katanya yang berbunyi, “geef me goede rechter, goede rechter
commissarissen, goede officieren van justitieen, goede politie ambtenaren,
en ik zal met een slecht wetboek van strafprosesrecht het goede beruken”
artinya “berikan aku hakim, jaksa, polisi dan advokat yang baik, maka aku
akan berantas kejahatan meskipun tanpa secarik undang-undang pun”.
Dengan perkataan lain, “berikan padaku hakim,polisi dan jaksa yang baik,
maka dengan hukum yang buruk sekalipun saya bisa mendatangkan
56
keadilan.10
Sebagai contoh lembaga Kepolisian tidak boleh tebang pilih atas
setiap kasus kriminal yang terjadi dimasyarakat, Polisi harus bertindak tegas
dan adil serta harus profesional dalam menjalankan tugasnya. Artinya,
bagaimana pun lengkapnya suatu rumusan undang-undang, tanpa didukung
oleh aparatur penegak hukum yang baik, memiliki moralitas dan integritas
yang tinggi, maka hasilnya akan buruk.11
3) Perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat dilakukan
oleh Kepolisian Negara Republik Indonesia
Suatu pemerintahan yang baik lembaga kepolisiannya yang bertugas
dalam hal perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat.
Polisi harus memiliki etika yang baik, etika adalah tidak bertingkah laku
semata-mata menuruti nafsu semata tetapi melakukan perbuatan dengan
bertujuan dan bercita – cita yang mulia.12
Agar masyarakat mendapatkan
kemudahan dalam setiap menjalankan aktivitasnya, dengan menjunjung
tinggi nilai Hak Asasi Manusia maka kepolisian dalam hal memberikan
perlindungan, pengayoman serta pelayanan tidak boleh melanggar hukum
dan etika di masyarakat. Sebagai contoh lembaga Kepolisian tidak boleh
menerima suap dalam hal pembuatan Surat Ijin Mengemudi (SIM) ataupun
pembuatan Surat Tanda Nomor Kendaraan (STNK),
10
Satjipto Rahardjo, Membedah Hukum Progresif, (Jakarta:Kompas 2007) hlm. 6
11
Satjipto Rahardjo, Biarkan Hukum Mengalir: Catatan Kritis tentang Pergulatan
Manusia dan Hukum, (Jakarta:Kompas,2007) hlm. 103
12
Wik Djatmika, Etika Kepolisian ( dalam komunitas spesifik Polri ) , Jurnal Studi
Kepolisian, STIK-PTIK, Edisi 075, hal. 18
57
3. Landasan Yuridis
Politik hukum yang membuat terbentuknya Undang-Undang Nomor 2
Tahun 2002 tentang Kepolisian sebagai usaha untuk mengembangkan dan
menyempurnakan institusi kepolisian, telah dimulai dari adanya pergerakan pada
masa reformasi yang sifatnya sangat fundamental dalam kehidupan berdemokrasi.
Hal ini mempunyai pengaruh yang besar dalam seluruh aspek kehidupan
berbangsa dan bernegara serta memiliki tujuan untuk kehidupan yang lebih baik.
Pengaruh yang besar terhadap eksistensi kepolisian terlihat dengan adanya
Instruksi Presiden Nomor 2 tahun 1999 tentang Langkah-Langkah Kebijakan
Pemisahan antara Kepolisian dengan Angkatan Bersenjata Republik Indonesia
(ABRI) sekarang telah berganti nama menjadi Tentara Nasional Indonesia (TNI)
kemudian diikuti dengan berbagai macam produk hukum yaitu Keppres nomor 89
tahun 2000 tentang kedudukan Kepolisian Republik Indonesia (POLRI) yang
menyatakan bahwa kepolisian berkedudukan langsung dibawah presiden,
berikutnya ditegaskan dengan produk politik berupa Tap MPR Nomor
VI/MPR/2000 tentang pemisahan tentara nasional Indonesia dengan kepolisian
republik Indonesia dan Tap MPR Nomor VII/MPR/2000 tentang peran Tentara
Nasional Indonesia dan peran Kepolisian Republik Indonesia.
Secara yuridis pemisahan antara POLRI dengan ABRI, bahwa telah terjadi
perubahan paradigma dalam sistem ketatanegaraan yang menegaskan pemisahan
kelembagaan Tentara Nasional Indonesia dan Kepolisian Negara Republik
Indonesia sesuai dengan peran dan fungsi masing-masing, dengan diubahnya
Undang-Undang Nomor 28 tahun 1997 menjadi undang-undang Nomor 2 tahun
58
2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia. Undang-Undang Nomor 28
Tahun 1997 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia dianggap sudah tidak
relevan dengan perkembangan zaman, dan perlu diganti untuk disesuaikan dengan
pertumbuhan dan perkembangan hukum serta ketatanegaraan Republik Indonesia.
Begitu banyaknya tugas serta fungsi lembaga Kepolisian maka secara garis
besar tugas lembaga Kepolisian adalah pelayanan kepada masyarakat, karena
tugasnya yang begitu besar maka lembaga Kepolisian pun harus menjadi institusi
yang mandiri, tidak boleh berada dibawah kementerian ataupun lembaga lainya
agar terhindar dari intervensi. Oleh karena itu, penulis tidak setuju apabila ada
wacana bahwa lembaga Kepolisian ingin diubah kedudukanya semula dibawah
presiden lalu diubah menjadi dibawah kementeria
B. Peran Dewan Perwakilan Rakyat Dalam Pengangkatan Kepala Kepolisian
Republik Indonesia
Peran dewan perwakilan rakyat dalam hal pengangkatan kepala kepolisian
republik Indonesia termaktub didalam undang undang no 2 tahun 2002 tentang
kepolisian pada pasal 11 yang berbunyi “Kapolri diangkat dan diberhentikan oleh
presiden dengan persetujuan dewan perwakilan rakyat”.
Didalam isi ayat tersebut berisi frasa atas persetujuan dewan perwakilan
rakyat, penulis tidak setuju adanya frasa tersebut karena sejauh pengetahuan
penulis bahwa Negara indonesia menganut sistem presidensial yang seharusnya
pengangkatan calon kepala kepolisian republik Indonesia menjadi hak prerogratif
Presiden tanpa pengaruh dewan perwakilan rakyat. Lembaga kepolisian
59
merupakan lembaga yang berada langsung dibawah presiden dan bertanggung
jawab kepada presiden.
Seperti yang dikemukan oleh Moh. Kusnardi dan Harmaily Ibrahim bahwa
dalam sistem pemerintahan presidensial, kedudukan eksekutif tidak bergantung
pada badan perwakilan rakyat. Adapun dasar hukum dari kekuasaan eksekutif
dikembalikan kepada pemilihan rakyat.13
Artinya dalam sistem pemerintahan
presidensial kedudukan Presiden tidak dipengaruhi oleh dukungan parlemen atau
badan perwakilan. Sehingga aturan mengenai pengangkatan kepala kepolisian
republik Indonesia cukup presiden saja tanpa melalui persetujuan dewan
perwakilan rakyat.
Aturan mengenai pengangkatan dan pemberhentian Kapolri dan Panglima
TNI telah diujikan ke Mahkamah Konstitusi Dalam sidang Mahkamah Konstitusi
Perkara dengan Nomor 22/PUU-XIII/2015 diajukan oleh denny indrayana dkk,
Heru Widodo selaku kuasa hukum dari pemohon berpendapat,
“Bahwa seharusnya Yang Mulia, konsisten dengan sistem presidensial itu,
Presiden diberikan hak prerogratif untuk mengangkat dan memberhentikan
personil pemerintahannya, tanpa harus mendapatkan persetujuan dari
cabang kekuasaan lainnya, atau dalam uji meteriil ini adalah persetujuan
DPR,” papar Heru, yang menjadi juru bicara kuasa hukum Pemohon. Lebih
lanjut Heru menyatakan bahwa adanya pembatasan terhadap hak
prerogratif Presiden bertentangan dengan sistem presidensial. Jika
terdapat pembatasan, maka harus diatur di dalam UUD 1945. Maka
pembatasan itu hanya dapat dilakukan jika secara tegas diatur di dalam
Undang-Undang Dasar 1945,”14
13
Kusnardi, Moh, Harmaily Ibrahim, Pengantar Hukum Tata Negara Indonesia, hlm 176
14
“Keterlibatan DPR Dalam Pengangkatan dan Pemberhentian Kapolri dan Panglima
TNI Dianggap Membatasi Hak Prerogratif Presiden. Artikel diakses pada tanggal 17-05-2015
pukul 14:00 WIB
http://www.mahkamahkonstitusi.go.id/index.php?page=web.Berita&id=10585#.VhGdTMiqpHw
60
Penulis setuju bahwa dalam menjalankan sistem suatu pemerintahan harus
konsisten, karena sistem pemerintahan di Indonesia menganut sistem presidensial
yang tertuang didalam Undang-Undang Dasar 1945 pasal 4 ayat 1 yang berisi15
“Presiden Republik Indonesia memegang kekuasaan pemerintahan menurut
Undang-Undang Dasar” oleh karena itu Presiden selaku pemegang kekuasaan
berhak memilih dan mengangkat jajaran pemerintahanya yaitu menteri, duta
konsul, panglima Tentara Nasional Indonesia, Kepala Kepolsian Republik
Indonesia, tanpa persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat.
Sehingga seharusnya, istilah “mendapatkan persetujuan DPR” dalam proses
pengisian Kepala Kepolisian Republik Indonesia tidaklah tepat karena Negara
Indonesia menganut sistem presidensiil Berikut tabel perbandingan perekrutan
pejabat negara yang melibatkan DPR:
Perbandingan Wewenang DPR dalam Proses Pengisian Suatu Jabatan
Negara
Jabatan
Wewenang
DPR
Dasar Yuridis
Undang-
Undang
Dasar 1945
Undang-Undang
Hakim
Agung
Memberikan
persetujuan
atau
pemilihan
Pasal 24A
ayat (3)
Pasal 8 ayat (2), (3), dan (4) UU No.
3 Tahun 2009 tentang Perubahan
Kedua Atas UU No. 14 Tahun 1985
tentang Mahkamah Agung,
Pasal 17 huruf p UU No. 27 Tahun
2009 tentang MPR, DPR, DPD, dan
15
Undang-Undang Dasar 1945
61
DPRD.
Pasal 13 huruf a UU No. 18 Tahun
2011 tentang Perubahan Atas UU
No. 22 Tahun 2004 tentang Komisi
Yudisial
Hakim
Konstitus
i
Melakukan
pemilihan
Pasal 24C
ayat (3)
Pasal 71 huruf q UU No. 27 Tahun
2009 tentang MPR, DPR, DPD, dan
DPRD.
Pasal 18 UU No. 8 Tahun 2011
tentang Perubahan Atas UU No. 24
Tahun 2003 tentang Mahkamah
Konstitusi
Anggota
BPK
Melakukan
pemilihan
Pasal 23F
ayat (1)
Pasal 4 UU No. 15 Tahun 2006
tentang Badan Pemeriksa Keuangan
Pasal 71 huruf m UU No. 27 Tahun
2009 tentang MPR, DPR, DPD, dan
DPRD.
Komisi
Yudisial
Memberikan
persetujuan
Pasal 24B
ayat (3)
Pasal 71 huruf o UU No. 27 Tahun
2009 tentang MPR, DPR, DPD, dan
DPRD.
Duta
Besar
Memberikan
pertimbangan
Pasal 13 ayat
(2)
Pasal 71 huruf l UU No. 27 Tahun
2009 tentang MPR, DPR, DPD, dan
DPRD.
Kapolri
Memberikan
persetujuan
Tidak diatur
Pasal 11 ayat (1) UU No. 2 Tahun
2002 tentang Kepolisian Negara
Republik Indonesia
Panglima
TNI
Memberikan
persetujuan
Tidak diatur
Pasal 13 ayat (2) UU No. 34 Tahun
2004 tentang Tentara Nasional
Indonesia
Pasal 41 ayat (1) UU No. 3 Tahun
62
Gubernur
BI
Memberikan
persetujuan
Tidak diatur 2004 tentang Perubahan Atas UU
No. 23 Tahun 2009 tentang Bank
Indonesia
Anggota
KPU
Melakukan
pemilihan
Tidak diatur
Pasal 15 UU No. 15 Tahun 2011
tentang Penyelenggaraan pemilihan
umum
Pimpinan
KPK
Melakukan
pemilihan
Tidak diatur
Pasal 30 ayat (1) UU No. 30 Tahun
2002 tentang Komisi
Pemberantasan Korupsi
Anggota
Komnas
Ham
Melakukan
pemilihan
Tidak diatur
Pasal 83 UU No. 39 Tahun 1999
tentang Hak Asasi Manusia
Dari tabel diatas, dapat disimpulkan bahwa ada tiga jenis metode pengisian
jabatan negara oleh DPR berdasarkan wewenang atribusi, yakni yang diberikan
oleh peraturan perundang-undangan. Ketiganya ialah memberikan persetujuan,
melakukan pemilihan, dan memberikan pertimbangan. DPR memberikan
persetujuan untuk pengisian jabatan Anggota Komisi Yudisial, Kapolri, Panglima
TNI, dan Gubernur BI. Sementara itu, pemilihan dilakukan oleh DPR dalam
proses pengisian jabatan Hakim Konstitusi, Anggota BPK, Anggota KPU,
Pimpinan KPK, dan Anggota Komnas HAM. Adapun dalam pengangkatan Duta
Besar, DPR hanya memberikan pertimbangan kepada Presiden.16
Kalaupun membutuhkan peran Dewan Perwakilan Rakyat dalam proses
pengangkatan Kepala Kepolisian Republik Indonesia itu sebaiknya hanya sebatas
16
Muhammad ridwan saleh, “Tinjauan Yuridis Persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat
Dalam Proses Pengisian Jabatan Hakim Agung Berdasarkan Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945”. (Skripsi S1 Fakultas Hukum,Universitas Hasanuddin Makassar
2014) h.86-88
63
memberikan pertimbangan saja, karena dalam suatu pemerintahan yang baik
dikenal dengan sistem check and balance. Indonesia menganut sistem presidensial
juga mengenal adanya sistem check and balance karena seyogyanya keterlibatan
lembaga lain dalam bentuk mengawasi itu diperlukan untuk menciptakan roda
pemerintahan yang bersinergi dan dapat menjalankan tugas serta fungsinya lebik
baik. Disisi lain Harjono berpendapat sebagai ahli tata negara yang dihadirkan
Denny Indrayana dkk dalam sidang Mahkamah konstitusi. Menyampaikan
pendapatnya. Menurutnya,17
“Pengangkatan Kapolri dan Panglima TNI merupakan kewenangan
Presiden sebagai pemegang kekuasaan pemerintahan dan kepala negara.
Lebih lanjut Harjono mengatakan bahwa tidak tepat ketika menganggap
keterlibatan DPR dalam pengangkatan Kapolri dan Panglima TNI sebagai
checks and balances. Hal ini dikarenakan checks and balances antara
lembaga negara tempatnya di konstitusi dan menjadi kewenangan MPR,
bukan merupakan kewenangan pembentuk undang-undang”.
Untuk itu, Harjono berpendapat bahwa penunjukan Kapolri dan Panglima
TNI adalah kewenangan tunggal Presiden,
“Sehingga apabila pembentuk undang-undang ingin mengatur keterlibatan
DPR dalam pemilihan Kapolri dan Panglima TNI, maka hak yang dapat
diberikan oleh undang-undang adalah hak untuk memberikan
pertimbangan, Apabila ketentuan undang-undang akan mengatur
keterlibatan DPR dalam pemilihan Kapolri, hak yang dapat diberikan oleh
undang-undang maksimal adalah hak untuk memberikan pertimbangan
saja dan bukan persetujuan,”18
Khususnya dalam bingkai demokrasi yang dijalani bangsa saat ini, sangat
sulit untuk dapat menjalankan sistem presidensial secara murni karena terkait
17
Ahli: DPR Cukup Memberi Pertimbangan Calon Kapolri dan Panglima TNI, artikel
diakses pada tanggal 27-04-2015 pukul 04:56 WIB dari
http://www.mahkamahkonstitusi.go.id/index.php?page=web.Berita&id=10763#.VhGgG8iqpHw
18
ibid
64
mental bangsa Indonesia serta pola pikir masyarakat yang begitu majemuk. Disisi
lain pemerintah harus dapat diawasi dalam setiap keputusanya. Saldi Isra selaku
pakar hukum tata negara Universitas Andalas berpendapat dalam keteranganya
sebagai saksi ahli yang dihadirkan oleh Denny Indrayana dkk dalam sidang
Mahkamah Konstitusi,
“…hampir semua proses pengangkatan jabatan publik melibatkan DPR,
seperti proses pengangkatan hakim agung, hakim konstitusi, komisioner
KY-KPK, BPK. Karena itu, dia mengusulkan agar peran DPR cukup
memberikan “pertimbangan” dalam proses pengangkatan Kapolri dan
Panglima yang diusulkan presiden”
Lanjut, beliau berpendapat lagi bahwa
“posisi Kapolri dan Panglima agak berbeda dengan menteri, sehingga
proses pengangkatan Kapolri dan Panglima TNI tetap dibutuhkan
keterlibatan DPR untuk mengecek otoritas presiden. Kalaupun nantinya
persetujuan DPR dihapus sama sekali dikhawatirkan presiden mengajukan
calon Kapolri atau Panglima TNI yang bermasalah dan potensial kedua
lembaga saling menyandera.19
Keterlibatan Dewan Perwakilan Rakyat untuk mengecek otoritas presiden
memang diperlukan, karena negara indonesia menganut sistem check and balance
yaitu saling mengawasi antar lembaga negara. Dalam hal pengangkatan calon
Kepala Kepolisian Republik Indonesia. Senada dengan pendapat dari Saldi Isra
bahwa Dewan Perwakilan Rakyat cukup memberi pertimbangan saja tidak perlu
atas persetujuan, karena didalam pertimbangan tersebut Dewan Perwakilan
Rakyat dapat memberikan catatan-catatan khusus tentang calon yang diusulkan
presiden sehingga menjadi bahan pertimbangan. Apabila anggota Dewan
19
Ahli: Keterlibatan DPR Dibutuhkan Dalam Pengangkatan Kapolri Tetapi, hanya
memberikan pertimbangan, bukan persetujuan., diakses pada tanggal 10-08-2015 pukul 09:00 dari
http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt552e73bee0622/ahli--keterlibatan-dpr-dibutuhkan-
dalam-pengangkatan-kapolri
65
Perwakilan Rakyat melihat ada catatan buruk terhadap calon kepala kepolisian
tersebut maka presiden pun dapat mencari calon lain yang kriteria serta track
record nya lebih baik. Saldi Isra berpendapat lagi bahwa:
“…kalaupun ada catatan-catatan keberatan dari DPR seharusnya dimaknai
ada penolakan. Lalu, presiden bisa mencari dan mengusulkan calon lain
demi mengatasi pola hubungan presiden dan DPR agar lebih baik. “Kalau
‘persetujuan’ kata putusnya ada pada DPR yang sering ‘dibumbui’
kepentingan politik, tetapi kalau ‘pertimbangan’ ini kan ada modal relasi
positif menjaga hubungan kedua lembaga,”20
Harjono berpendapat “:…Terlebih, dalam praktiknya “persetujuan” DPR
dalam proses pengangkatan Kapolri dan Panglima TNI ini rentan
dipolitisasi. Meski begitu, apabila persetujuan diubah menjadi
pertimbangan DPR pun dia sepakat. Sebab, persoalan politik presiden dan
DPR mengenai proses pengangkatan Kapolri dan Panglima TNI belum ada
norma ketatanegaran yang mengaturnya secara jelas”
.
Penulis tidak menampik memang kepentingan politik itu ada, akibatnya
Kekuasaan itu tidak bekerja karena tidak mampu melaksanakan apa yang
dikatakan, merealisasikan apa yang dijanjikan atau mencapai apa yang telah
direncanakan, yang terjadi hanyalah krisis kekuasaan dan dapat terjadi krisis
kepercayaan masyarakat terhadap kinerja pemerintah. Krisis kekuasaan dapat
terjadi karena kekuasaan yang ada tak mampu menunjukan legitimasinya yaitu
kapasitas dalam menjalankan fungsinya sesuai harapan rakyat. Presiden Jokowi
sebagai pemegang kekuasaaan tertinggi negara sejauh pengamatan penulis belum
mampu menunjukan kapasitasnya sebagai kepala negara dalam hal ini
pengangkatan calon kepala kepolisian yang berjalan alot dan sarat akan
kepentingan.
Presiden Jokowi masih mudah terpengaruh oleh tekanan politik, ibarat
“Kekuasaan tanpa kuasa” tentu sebuah ironi. Bagaikan sebuah kata tapi tidak
20
ibid
66
bermakna atau konsep tanpa realitas. Namun justru “ironi kekuasaan” itu yang
kini dialami yaitu ketika rezim kekuasaan tak mampu menunjukan kekuatanya
dalam memecahkan persoalan yang ada hanya ketidakberdayaanya dalam
menghadapi berbagai macam tekanan: Sosial, politik, ekonomi dan hukum, salah
satu penyebab ironi kekuasaan karena kentalnya pertarungan kepentingan didalam
tubuh pemerintahan itu sendiri dan kemudian terabaikanya lah kepentingan
bangsa yang lebih besar.21
Kekuasaan tidak bekerja ketika ia tidak mampu mengarahkan elemen bangsa
menuju perbaikan atau perubahan. Kekuasaan adalah kemampuan untuk
mendapatkan apa yang diinginkan untuk mencapai sebuah tujuan secara
singkatnya yaitu kemampuan melakukan perubahan. Kekuasaan juga kemampuan
untuk mengawasi, mengecek, mengendalikan, menciptakan kepatuhan, membuat
ketegasan, serta menciptakan kepatuhan. Nyatanya semua kemampuan tersebut
belum mampu ditunjukan secara maksimal oleh Presiden Jokowi sebagai Kepala
Negara, ”revolusi mental” merupakan sebuah konsep yang dicanangkan oleh
Presiden Jokowi untuk perubahan mental bangsa, sampai saat ini belum mampu
terealisasikan secara nyata untuk perubahan bangsa yang lebih baik, jokowi juga
pernah berjanji bahwa beliau sangat mendukung penegakan Hak Asasi Manusia
dan pemberantasan korupsi.
Beberapa waktu lalu terjadi polemik dalam hal pengangkatan Kepala
Kepolisian Republik Indonesia yaitu pada pencalonan Komjen Budi Gunawan
yang menuai berbagai macam kontroversi, berawal pada tanggal 10 Januari 2015
21
Yasraf amir pilliang, 2015 “kekuasaan tanpa kuasa”. Kompas, 7 september 2015
67
dari Sembilan nama yang diajukan, Presiden Joko Widodo memilih Budi
Gunawan sebagai kandidat tunggal Kapolri menggantikan Sutarman. Keputusan
Jokowi mengundang kritik karena keterkaitan Budi dengan kasus rekening gendut
pejabat Polri serta pengaruh Megawati Sukarnoputri, karena Budi Gunawan
pernah menjadi ajudan Megawati saat ia menjadi presiden, terlihat keputusan
jokowi tidak lepas dari pengaruh Megawati selaku ketua umum dari partai
pengusungnya, tanggal 13 Januari 2015 Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)
mengumumkan Budi Gunawan sebagai tersangka korupsi saat ia menjabat Kepala
Biro Pembinaan Karier Deputi Sumber Daya Manusia Polri periode 2003-2006
dan jabatan lainnya di kepolisian.
Pada tanggal 14 dan 15 Januari 2015 Budi Gunawan dinyatakan lulus uji
kelayakan dan kepatutan oleh Komisi III DPR, Rapat paripurna Dewan
Perwakilan Rakyat (DPR) menetapkan Komisaris Jenderal Komjen Budi
Gunawan sebagai calon kapolri menggantikan Jenderal Sutarman, Keputusan
sidang paripurna itu didukung oleh delapan fraksi yaitu PDI-P, Golkar, Gerindra,
PKS, PKB, Nasdem, Hanura, dan PPP. Sementara Fraksi Demokrat dan PAN
meminta DPR menunda persetujuan dengan sejumlah pertimbangan, antara lain
adanya penetapan tersangka Budi Gunawan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi
(KPK), tanggal 19 Januari 2015 Budi Gunawan mendaftarkan gugatan pra
peradilan terkait penetapan tersangka atas dirinya oleh KPK ke Pengadilan Negeri
Jakarta Selatan. Pada hari yang sama, Presiden Joko Widodo menyatakan
sikapnya terkait konflik ini. Namun pernyataan Jokowi disambut kekecewaan oleh
sebagian publik karena dianggap tidak menyelesaikan masalah.
68
Penulis sangat menyayangkan atas sikap Presiden Jokowi yang seharusnya
bertindak secara tegas, pada tanggal 25 januari 2015 presiden membentuk tim
sembilan untuk dapat meredakan ketegangan antara KPK dan POLRI, tanggal 28
januari 2015 Tim sembilan mengusulkan kepada Presiden Jokowi untuk mencabut
pencalonan Komisaris Jenderal Budi Gunawan sebagai Kapolri karena Budi sudah
ditetapkan KPK sebagai tersangka dalam kasus dugaan korupsi.
Melantik pejabat negara yang berstatus tersangka merupakan pelanggaran,
jika dibiarkan terjadi, maka yang ada akan terjadi chaos di masyarakat. Walaupun
presiden memiliki hak prerogatif, tetapi hal tersebut memiliki batasan-batasan.
Apabila terjadi Pengangkatan Komjen Budi Gunawan sebagai Kapolri, Presiden
Jokowi akan mencoreng sejarah Indonesia karena pertama kalinya presiden
Indonesia mengangkat seorang tersangka sebagai Kapolri, jika presiden tetap
memaksakan mengangkat Kapolri dengan status tersangka maka diyakini tidak
akan mendapatkan kepercayaan rakyat apalagi Polri juga dituntut untuk secara
aktif menegakan hukum termasuk pemberantasan korupsi,
Selanjutnya menurut ketua tim sembilan, Jimly Asshidiqie kepada nuraki
aziz dari BBC indonesia "Kita harapkan tidak dilantik dan kemudian diajukan
calon baru. Alasannya karena dia telah berstatus tersangka sehingga bukan
hanya rule of law tetapi juga rule of ethics yang harus dijadikan pegangan, "22
Rule of ethics memang sangat diperlukan disamping rule of law karena penilaian
publik itu sangat menentukan, apabila seseorang dinilai sudah buruk oleh
masyarakat maka sebaiknya untuk tidak dipaksakan pelantikanya karena satu dan
22
Wawancara dengan jimly asshidiqie oleh nuraki aziz dari BBC indonesia diakses pada
tanggal 10-08-2015 dari
http://www.bbc.com/indonesia/berita_indonesia/2015/02/150216_kronologi_bg_kpk
69
lain hal, jika tetap dipaksakan maka yang ada nantinya masyarakat akan krisis
kepercayaan terhadap pemerintah.
Tim bentukan presiden tersebut memberikan usulannya untuk mendesak
Presiden Jokowi agar segera bertindak agar keadaan negara tidak terombang-
ambing. Terlihat contoh kasus diatas pada situasi tersebut terjadilah kekosongan
pada pucuk pimpinan lembaga Kepolisian padahal seharusnya sebagai lembaga
tinggi Negara dalam tugasnya yang vital jangan sampai ada kekosongan, oleh
sebab itu penulis mengutarakan bahwa pengangkatan calon Kepala Kepolisian
Republik Indonesia “atas persetujuan” Dewan Perwakilan Rakyat dinilai tidak
tepat, lebih baik diganti dengan “atas pertimbangan” agar sistem check and
balance pada fungsinya. Karena sesuai dengan Surah Al-Quran :
Surat an- Nisa ayat 58
يأمركم أن تؤدوا المانات إلى أهلها وإذا حكمتم بين الناس أن تحكموا ب ا إن للا م ن إن للا ال
كان سميا بصيرا ظكم به إن للا ي
“Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang
berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di
antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil. Sesungguhnya
Allah memberi pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya
Allah adalah Maha mendengar lagi Maha melihat”
Didalam surah annisa ayat 58 pun telah dijelaskan bahwa apabila
menetapkan hukum diantara manusia, harus menetapkannya secara adil. Maka
dari itu DPR selaku pembuat undang-undang harus menetapkan aturan secara adil,
disisi lain presiden pun harus bertindak secara adil dengan memperhatikan
manfaat bagi masyarakat serta kemaslahatan khalayak ramai, dalam memutuskan
sesuatu. Lembaga tinggi Negara dalam hal ini lembaga legislatif yaitu DPR dan
lembaga eksekutif yaitu Presiden harus menjalankan amanat rakyat dengan
70
sebaik-baiknya, Allah berfirman bahwa janganlah menghkianati amanat yang
telah dipercayakan kepadamu (wakil rakyat).
C. Dampak Adanya Peran Dewan Perwakilan Rakyat dalam Hal Pengangkatan
Kepala Kepolisian Republik Indonesia
Peran Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dalam pengangkatan Kepala
Kepolisian Republik Indonesia sebagai lembaga yang mewakili suara rakyat
menurut penulis memiliki dampak negatif apabila Negara ini tetap berpedoman
pada pasal 11 Undang-Undang nomor 2 tahun 2002 tentang kepolisian yang
menyatakan bahwa “Kapolri diangkat dan diberhentikan oleh Presiden dengan
persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat”
Apabila masih berpedoman pada pasal diatas yaitu pengangkatan Kepala
Kepolisian Republik Indonesia (KAPOLRI) “dengan persetujuan” Dewan
Perwakilan Rakyat maka yang terjadi adalah :
1. Pergeseran kekuasaan presiden sebagai kepala Negara dan kepala
pemerintahan dalam sistem presidensil
Presiden adalah penyelenggara pemerintahan yang bertanggung jawab,
selain berbagai wewenang konstitusional yang bersifat prerogatif dan
biasanya melekat pada jabatan kepala negara (head of state).23
Dalam sistem
presidensil dikenal dengan adanya hak prerogratif presiden yaitu hak yang
dimiliki presiden dalam hal mengangkat jajaran pemerintahanya tanpa
intervensi dari lembaga lain, dalam hal pengangkatan Kepala Kepolisian
Republik Indonesia. Ada pergeseran kekuasaan presiden dalam
menggunakan hak prerogratifnya karena dibatasi oleh Dewan Perwakilan
Rakyat. Presiden Selaku Kepala Negara sulit untuk memutuskan pilihan
23
Bagir Manan, Lembaga Kepresidenan, h. 48-49
71
karena harus melewati Dewan Perwakilan Rakyat dulu yang banyak
diwarnai kepentingan politik.
Dilihat dari kasus Komjen Budi Gunawan bahwa presiden merasa
kesulitan untuk segera menentukan pilihanya antara mengangkat komjen
budi gunawan atau tidak, secara undang-undang memang harusnya presiden
segera mengangkat komjen budi gunawan karena telah disetujui oleh Dewan
Perwakilan Rakyat, tetapi secara moril presiden akan ditanyakan
integritasnya oleh masyarakat luas karena mengangkat calon kapolri yang
bermasalah dan dapat menjadi masalah yang lebih serius lagi apabila
presiden mengangkat komjen budi gunawan, karena baru dalam sejarah
indonesia presiden mengangkat tersangka korupsi menjadi Kepala
Kepolisian Republik Indonesia, dan ini sangat berdampak bagi roda
pemerintahan presiden Jokowi
2. Presiden bukanlah pemegang otoritas tunggal dalam memilih Kepala
Kepolisian Republik Indonesia
Secara tidak langsung Pembatasan yang dilakukan oleh Dewan
Pewakilan Rakyat dengan ikut memilih Kepala Kepolisian Republik
Indonesia telah mereduksi hak prerogratif Presiden, dengan begitu jelas
bahwa Dewan Perwakilan Rakyat telah melampaui kewenanganya. Karena
presiden berhak memilih dan mengangkat jajaran pemerintahanya berlaku
atas sistem presidensil
3. Sistem Presidensil tidak berjalan secara konsisten
Dipilihnya Presiden dan Wakil Presiden secara langsung oleh rakyat
serta kedudukan Presiden yang tidak dapat dijatuhkan oleh Majelis
Permusyawaratan Rakyat kecuali seperti diatur dalam pasal 7A Undang-
Undang Dasar 1945, menghilangkan segi-segi parlementer dalam sistem
pemerintahan Indonesia. Seperti yang dikatakan oleh Bagir Manan bahwa:
“….sistem (pemerintahan) Indonesia secara hakiki adalah sistem
presidensiil bukan dimaksudkan sebagai suatu bentuk campuran. Karena
72
di masa depan Presiden di satu pihak dipilih langsung, dan di pihak lain
tidak bertanggung jawab kepada MPR, maka sistem presidensil menjadi
lebih murni (tidak ada lagi unsur campuran)”
Sistem pemerintahan presidensial dapat dikatakan sebagai subsistem
pemerintahan republik, karena hanya dijalankan dalam negara yang
berbentuk republik salah satu Negara itu adalah Negara Indonesia.24
Ciri-ciri
model sistem presidensial Amerika Serikat yang disebut sebagai
pencerminan sistem pemerintahan presidensial murni, menurut Bagir Manan
bahwa “ Presiden adalah pemegang kekuasaan eksekutif tunggal”.25
Karena
lembaga Kepolisian merupakan bagian dari eksekutif maka presiden selaku
pemegang eksekutif tunggal berhak memilih dan mengangkat Kepala
Kepolisian Republik Indonesia tanpa melalui persetujuan Dewan Perwakilan
Rakyat.
Negara Indonesia sistem pemerintahanya menganut sistem presidensil tetapi
tidak dijalankan secara konsisten. karena hak prerogratif presiden terbatasi oleh
Dewan Perwakilan Rakyat. Menurut penulis Negara Indonesia menganut sistem
yang disebut dengan presidensil tidak murni karena Dewan Perwakilan Rakyat
hampir setiap proses pengangkatan jabatan publik melibatkan peran Dewan
Perwakilan Rakyat. Dewan Perwakilan Rakyat dalam ketatanegaraan menjalankan
fungsi pengawasan terhadap presiden yang terdapat pada pasal 11 uu no 2 tahun
2002 dengan cara ikut menyetujui pengangkatan kapolri, menurut penulis
kewenangan Dewan Perwakilan Rakyat dalam hal pengangkatan Kepala
Kepolisian Republik Indonesia memang telah membatasi hak prerogratif presiden.
24
Ibid h.14-16.
25
Ibid h. 48-49
73
pembatasan itu ada baiknya dilakukan oleh Dewan Perwakilan Rakyat untuk
mengawasi presiden sebagai bentuk relasi positif menjalankan sistem check and
balance tetapi cukup dengan memberi pertimbangan saja.
74
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Setelah uraian yang telah dijelaskan pada Bab 1 sampai Bab 4 dapat ditarik
kesimpulan sebagai berikut:
1. Landasan filosofis terbentuknya uu no 2 tahun 2002 atas dasar bahwa
keamanan dalam negeri merupakan syarat utama pendukung terwujudnya
masyarakat madani yang adil, makmur, dan beradab berdasarkan Pancasila
dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945,
Landasan sosiologisnya adalah bahwa pemeliharaan keamanan dalam negeri
melalui upaya penyelenggaraan fungsi kepolisian yang meliputi:
pemeliharaan keamanan dan ketertiban masyarakat penegakan hukum,
perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat dilakukan
oleh Kepolisian Negara Republik Indonesia selaku alat negara yang dibantu
oleh masyarakat dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia, landasan
yuridis bahwa Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1997 tentang Kepolisian
Negara Republik Indonesia sudah tidak memadai dan perlu diganti untuk
disesuaikan dengan pertumbuhan dan perkembangan hukum serta
ketatanegaraan Republik Indonesia.
2. Peran Dewan Perwakilan Rakyat dalam hal pengangkatan Kepala
Kepolisian Republik Indonesia terdapat didalam uu no 2 tahun 2002 tentang
75
kepolisian yaitu pasal 11 yang berisi bahwa “Kapolri diangkat dan
diberhentikan oleh Presiden dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat”.
3. Dampak adanya peran Dewan Perwakilan Rakyat dalam hal pengangkatan
Kepala Kepolisian Republik Indonesia yaitu :
a. Pergeseran kekuasaan presiden sebagai kepala Negara dan kepala
pemerintahan dalam sistem presidensil
b. Presiden bukanlah pemegang otoritas tunggal dalam memilih Kepala
Kepolisian Republik Indonesia
c. Sistem Presidensil tidak berjalan secara konsisten
B. Saran
1. Pelaksanaan sistem presidensial secara konsisten dalam hak prerogratif
presiden itu dapat dilakukan dengan cara merubah isi kewenangan Dewan
Perwakilan Rakyat yang terdapat didalam undang-undang no 2 tahun 2002
tentang kepolisian pasal 11 oleh Mahkamah Konstitusi, yang berisi
kewenangan Dewan Perwakilan Rakyat dari memberikan persetujuan diubah
menjadi memberikan pertimbangan.
2. Presiden selaku kepala Negara harus dapat bertindak tegas agar tidak terjadi
lagi kekosongan pada pucuk pimpinan polri, karena lembaga polri merupakan
salah satu lembaga yang vital peranya dimasyarakat.
3. Presiden harus bertindak cepat dengan memperhatikan suara rakyat agar roda
pemerintahan dapat berjalan sesuai dengan program-program serta janji
pemerintah untuk dapat mensejahterakan masyarakat.
76
DAFTAR PUSTAKA
BUKU
Blombergen Marieke. Polisi Zaman Hindia Belanda. Dari kepedulian dan
ketakutan. Jakarta: Kompas, 2011.
Djamin Awlloedin. Sejarah Perkembangan Kepolisian Di Indonesia di Zaman
Kuno Sampai Sekarang. Jakarta: Yayasan Brata Bhakti Polri, 2007.
Gunawan Markus, dkk. Buku pintar calon anggota dan anggota Polri.
Jakarta:Visimedia, 2009.
Hamidi Jazim, dkk. Teori Hukum Tata Negara. Jakarta: Salemba Humanika,
2012.
H.R. Ridwan. Hukum Administrasi Negara. Jakarta: PT Raja Gravindo, 2007.
Ismail Chairuddin, Polisi Sipil dan Paradigma Polri, Jakarta, P.T. Merlyn Press,
Cet.Pertama, 2009.
Kusnardi Moh, dkk. Hukum Tata Negara Indonesia. Jakarta: Sinar Bakti, 1988.
---------------------------. Susunan Pembagian Kekuasaan Menurut Undang-
Undang Dasar 1945. Jakarta:PT Gramedia, 1989.
Mahmud Marzuki Peter. Penelitian Hukum. Surabaya: Kencana, 2010.
Mahfud moh MD. Dasar dan Struktur Ketatanegaraan Indonesia, Cetakan
Kedua, Edisi Revisi, Jakarta: Rineka cipta, 2001.
__________. Hukum dan Pilar-Pilar Demokrasi. Yogjakarta:PT Gama Media,
1999.
__________, Pergulatan Politik dan Hukum di Indonesia. Yogjakarta: PT Gama
Media, 1999.
Manan Bagir. Lembaga Kepresidenan. Yogyakarta: GamaMedia-Pusat Studi
Hukum Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia, 1999.
Mr. R. Tresna. Praperadilan di Indonesia dari abad ke abad. Jakarta: W.
Versluys N.V, 1957.
Poerwadarminta WJS. Kamus Umum Bahasa Indonesia. Universitas Michigan:
Balai Pustaka, 1961.
77
Purbopranoto Kuntjoro. Sedikit Tentang Sistem Pemerintahan Demokrasi.
Jakarta-Bandung.PT Eresco, 1978.
Rahardjo Satjipto, Membedah Hukum Progresif, Jakarta: Penerbit Buku Kompas,
2007.
__________, Biarkan Hukum Mengalir: Catatan Kritis tentang Pergulatan
Manusia dan Hukum, Jakarta, Penerbit Buku Kompas, 2007.
R Bintan Saragih. Lembaga perwakilan dan pemilihan umum di Indonesia.
Jakarta:Gaya Media Pratama, 1988.
Rhona K.M Smith, at.al.---, Hukum Hak Asasi Manusia, Yogyakarta:PUSHAM
UII, 2008
Sadjijono, Etika profesi hukum, cet I Jakarta: Laksbang Mediatama, 2008.
Sidharta B Arief. Kajian Kefilsafatan Tentang Negera Hukum. Jurnal Hukum.
Jakarta: Pusat Studi Hukum dan Hak Asasi Manusia, 2008.
Sitompul DPM, Hukum kepolisian Indonesia, Bandung:Tarsito, 1985.
Soekanto Soerjono. Pengantar Penelitian Hukum Indonesia. Jakarta: UI Press,
1986
S Bibit Rianto. Reformasi Polri Suatu Pemikiran ke Arah Kemandirian Dalam
Rangka Menegakkan Supremasi Hukum. Jakarta: Ghalia, 1999.
Tahir M Azhary. Negara Hukum: Suatu Studi Tentang Prinsip-Prinsipnya
Dilihat dari Segi Hukum Islam, Implementasinya pada Periode Negara
Madinah dan Masa Kini. Jakarta: Kencana Prenada Media Grup, 2007.
Tutik Triwulan Titik, Eksistensi, Kedudukan dan Wewenang Komisi Yudisial
Sebagai Lembaga Negara dalam Sistem Ketatanegaraan Republik
Indonesia Pasca Amandemen UUD 1945. Jakarta: Prestasi Pustaka, 2007.
__________. kontruksi hukum tata negara indonesia pasca amandemen UUD
1945. Jakarta:PT Kencana, 2011
Von Schmid S.J. Pemikiran Tentang Negara dan Hukum. Jakarta: Pembangunan,
2004.
Wik Djatmika, Etika Kepolisian ( dalam komunitas spesifik Polri ) , Jurnal Studi
Kepolisian, STIK-PTIK, Edisi 075
78
JURNAL
Fadlil Ahmad Sumaidi, dkk. Independesi Mahkamah Konstitusi. Jakarta:
Konstitusi Press, 2011.
Gaffar Janedri M. Demokrasi Konstitusional Praktik Ketatanegaraan Indonesia
Setelah Perubahan UUD 1945. Jakarta: Konstitusi Press, 2012.
Mabes Polri. Derap Langkah Polri di Tengah Dinamika Bangsa. Jakarta: Mabes
Polri, 2008.
M. Philipus Hadjon. Tentang Wewenang Pemerintahan (Bestuurbevoegdheid).
Pro Justitia Tahun XVI Nomor I, 1998
Mutyosudarmo Soewoto. Pembaharuan Ketatanegaraan Melalui Perubahan
Konstitusi,Assosiasi Pengajar HTN dan HAN Jawa Timur dan In-Trans,
Malang, 2004.
Purnama Eddy . Lembaga Perwakilan Rakyat. Aceh: Syiah Kuala University
Press, 2008.
Santoso Topo. Makalah Penulisan Proposal Penelitian Hukum Normatif. Depok:
Universitas Indonesia, 2005
Yasraf amir pilliang, “kekuasaan tanpa kuasa”. Kompas, edisi 7 september 2015
SKRIPSI
Ridwan muhammad saleh, “Tinjauan Yuridis Persetujuan Dewan Perwakilan
Rakyat Dalam Proses Pengisian Jabatan Hakim Agung Berdasarkan Undang-
Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945”. Skripsi S1 Fakultas
Hukum,Universitas Hasanuddin Makassar, 2013.
WEBSITE
http://www.mahkamahkonstitusi.go.id/index.php?page=web.Berita&id=10585#.
e6sshGqpHw diunduh pada tanggal 17-05-2015 pukul 14:00 WIB
http://www.tni.mil.id/pages-10-sejarah-tni.html. Diunduh pada hari sabtu tanggal
30 mei 2015 pada pukul 09:50
https://id.wikipedia.org/wiki/Prerogatif dilihat pada selasa 16 juni 2015, pkl 13.05
WIB
79
http://nasional.kompas.com/read/2015/02/03/17014131/Oegroseno.Sejarah.Penga
ngkatan.Kapolri.Diubah diakses pada tanggal rabu 29-07-2015 pada pukul 14:43
WIB
http://www.polri.go.id/tentang-sejarah.php diakses pada hari selasa 04-08-2015
pukul 14:27 WIB
http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt552e73bee0622/ahli--keterlibatan-dpr-
dibutuhkan-dalam-pengangkatan-kapolri diakses pada tanggal 10-08-2015 pukul
09:00
http://www.bbc.com/indonesia/berita_indonesia/2015/02/150216_kronologi_bg_k
pk diakses pada tanggal 10-08-2015 pukul 08:20 WIB
http://www.voaindonesia.com/content/sidang-paripurna-dpr-loloskan-budi-
gunawan-sebagai-kapolri/2599217.html diakses pada tanggal 10-08-2015 pukul
08:15 WIB
http://www.bbc.com/indonesia/berita_indonesia/2015/02/150216_kronologi_bg_k
pk diakses pada tanggal 10-08-2015 pukul 08:20 WIB
PERUNDANG-UNDANGAN
Undang Undang Dasar 1945
Kep. DPR RI No. 08/DPR RI/I/2005 2006 Tentang Tata Tertib DPR RI
Keppres No 70 Tahun 2002 Tentang Organisasi dan Tata Kerja Kepolisian
Negara Republik Indonesia
Undang Undang No 2 Tahun 2002 Tentang Kepolisian
Perpres No 17 Tahun 2011 Tentang Komisi Kepolisian Nasional