perspektif, 10 (2) (2021): 450-466, doi: perspektif

17
450 PERSPEKTIF, 10 (2) (2021): 450-466, DOI: 10.31289/perspektif.v10i2.4612 PERSPEKTIF Available online http://ojs.uma.ac.id/index.php/perspektif Investasi dalam Bingkai Politik Luar Negeri Pemerintahan Jokowi Jilid Satu dan Dampaknya bagi Masyarakat Indonesia Investment in The Foreign Political Framework of The Jokowi Government, Volume One and Its Impact for The Society of Indonesia Adi Saputro 1) * & Taufiequrrohman 2) 1) Pasca Sarjana, Fakultas Ilmu Politik, Universitas Nasional, Indonesia 2) Departemen Ilmu Komunikasi, Fakultas Ilmu Sosial dan Politik, Universitas Indonesia Diterima: 17 Desember 2020; Direview: 17 Desember 2020; Dipublish: 10 Mei 2021 Abstrak Dalam kerangka Politik Internasional dimensi ekonomi memiliki peran sentral dalam hubungan antar negara. Dimensi ekonomi, khususnya investasi menjadi salah satu faktor determinan dan kerap menjadi ukuran global dalam pencapaian pembangunan nasional. Hal ini juga yang kemudian menjadi ambisi besar Presiden Jokowi semenjak memegang tampuk kekuasaan di Indonesia. Berbagai investasi didatangkan dalam rangka pembangunan nasional dan implementasi dari cita-cita Nawa Cita. Kebijakan politik luar negeri yang sangat condong dalam menarik investor terus dilakukan. Deregulasi kebijakan dalam negeri juga dijalankan dalam rangka menyambut investasi. Namun, nyatanya investasi yang didatangkan dan dijalankan oleh Jokowi, nyatanya tidak juga merubah kehidupan masyarakat Indonesia. Pertumbuhan ekonomi yang diramalkan meroket nyatanya mengalami stagnasi dalam 5 tahun Pemerintahannya. Daya serap tenaga kerja juga justru semakin menurun. Belum lagi persoalan lainnya yang disebabkan oleh Investasi yang dilakukan. Kata Kunci: Investasi; Politik Luar Negeri; Pertumbuhan Ekonomi Abstract In the framework of international politics, the economic dimension has a central role in relations between countries. The economic dimension, particularly investment, is a determinant factor and often becomes a global measure in achieving national development. This has also become President Jokowi's big ambition since he came to power in Indonesia. Various investments were brought in in the framework of national development and the implementation of the Nawa Cita ideals. The foreign policy which is very inclined to attract investors continues. Deregulation of domestic policies was also carried out in order to welcome investment. However, in fact, the investment that Jokowi brought and carried out did not change the lives of Indonesian people. Economic growth predicted to skyrocket has actually stagnated in the 5 years of his reign. The absorption of labor has also decreased. Not to mention other problems caused by the investment made. Keywords: Investment; Foreign Policy; Economic Growth How to Cite: Saputro, A., & Taufiequrrohman, (2021). Investasi dalam Bingkai Politik Luar Negeri Pemerintahan Jokowi Jilid Satu dan Dampaknya bagi Masyarakat Indonesia. PERSPEKTIF, 10 (2): 450- 466 *Corresponding author: E-mail: [email protected] ISSN 2085-0328 (Print) ISSN2684-9305 (Online)

Upload: others

Post on 16-Oct-2021

22 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: PERSPEKTIF, 10 (2) (2021): 450-466, DOI: PERSPEKTIF

450

PERSPEKTIF, 10 (2) (2021): 450-466, DOI: 10.31289/perspektif.v10i2.4612

PERSPEKTIF

Available online http://ojs.uma.ac.id/index.php/perspektif

Investasi dalam Bingkai Politik Luar Negeri Pemerintahan Jokowi Jilid Satu dan Dampaknya bagi Masyarakat

Indonesia

Investment in The Foreign Political Framework of The Jokowi Government, Volume One and Its Impact for The

Society of Indonesia

Adi Saputro1)* & Taufiequrrohman2)

1) Pasca Sarjana, Fakultas Ilmu Politik, Universitas Nasional, Indonesia 2) Departemen Ilmu Komunikasi, Fakultas Ilmu Sosial dan Politik, Universitas Indonesia

Diterima: 17 Desember 2020; Direview: 17 Desember 2020; Dipublish: 10 Mei 2021

Abstrak Dalam kerangka Politik Internasional dimensi ekonomi memiliki peran sentral dalam hubungan antar negara. Dimensi ekonomi, khususnya investasi menjadi salah satu faktor determinan dan kerap menjadi ukuran global dalam pencapaian pembangunan nasional. Hal ini juga yang kemudian menjadi ambisi besar Presiden Jokowi semenjak memegang tampuk kekuasaan di Indonesia. Berbagai investasi didatangkan dalam rangka pembangunan nasional dan implementasi dari cita-cita Nawa Cita. Kebijakan politik luar negeri yang sangat condong dalam menarik investor terus dilakukan. Deregulasi kebijakan dalam negeri juga dijalankan dalam rangka menyambut investasi. Namun, nyatanya investasi yang didatangkan dan dijalankan oleh Jokowi, nyatanya tidak juga merubah kehidupan masyarakat Indonesia. Pertumbuhan ekonomi yang diramalkan meroket nyatanya mengalami stagnasi dalam 5 tahun Pemerintahannya. Daya serap tenaga kerja juga justru semakin menurun. Belum lagi persoalan lainnya yang disebabkan oleh Investasi yang dilakukan. Kata Kunci: Investasi; Politik Luar Negeri; Pertumbuhan Ekonomi

Abstract In the framework of international politics, the economic dimension has a central role in relations between countries. The economic dimension, particularly investment, is a determinant factor and often becomes a global measure in achieving national development. This has also become President Jokowi's big ambition since he came to power in Indonesia. Various investments were brought in in the framework of national development and the implementation of the Nawa Cita ideals. The foreign policy which is very inclined to attract investors continues. Deregulation of domestic policies was also carried out in order to welcome investment. However, in fact, the investment that Jokowi brought and carried out did not change the lives of Indonesian people. Economic growth predicted to skyrocket has actually stagnated in the 5 years of his reign. The absorption of labor has also decreased. Not to mention other problems caused by the investment made. Keywords: Investment; Foreign Policy; Economic Growth

How to Cite: Saputro, A., & Taufiequrrohman, (2021). Investasi dalam Bingkai Politik Luar Negeri Pemerintahan Jokowi Jilid Satu dan Dampaknya bagi Masyarakat Indonesia. PERSPEKTIF, 10 (2): 450-466 *Corresponding author:

E-mail: [email protected]

ISSN 2085-0328 (Print)

ISSN2684-9305 (Online)

Page 2: PERSPEKTIF, 10 (2) (2021): 450-466, DOI: PERSPEKTIF

PERSPEKTIF, 10(2) (2021): 450-466

451

PENDAHULUAN Joko Widodo (Jokowi) merupakan

presiden Indonesia yang kembali terpilih dalam Pemilihan Presiden (Pilpres) 2019 lalu. Pada Periode pertama, dalam berbagai kesempatan Presiden Jokowi menegaskan bahwa salah satu prioritas kebijakan luar negerinya adalah meningkatkan diplomasi ekonomi Indonesia demi kepentingan nasional. Prioritas kebijakan ini selanjutnya dijabarkan oleh Menteri Luar Negeri Retno P. Marsudi yaitu dengan mewajibkan seluruh jajaran misi diplomatik Indonesia di luar negeri untuk mengimplementasikan prioritas kebijakan tersebut demi menunjang pencapaian kepentingan nasional dalam bidang ekonomi.

Diplomasi ekonomi berkaitan dengan pengelolaan hubungan luar negeri dalam bidang ekonomi yang mencakup, namun tidak terbatas pada kegiatan ekspor dan impor, pinjaman dan bantuan luar negeri, perdagangan intemasional dan investasi. Pemerintahan Presiden Jokowi tampaknya mulai menyadari bahwa selama ini diplomasi Indonesia– terlalu tcrpaku pada urusan politik dan keamanan, sehingga dimensi ekonomi agak terabaikan(Pengkajian, 2015). Dimensi ekonomi yang kemudian menguat pada saat Jokowi meraih tampuk kekuasaan di Indonesia pada periode pertama.

America Chamber of Commerce Indonesia (AMCHAM Indonesia) dalam dokumen yang berjudul Indonesia’s Journey (AmCham Indonesia and the U.S. Chamber of Commerce, 2018) menegaskan bahwa pada April 2015, Jokowi mengatakan bahwa "Please come and invest in Indonesia. Because where we see challenges, I see opportunity,". Ucapan ini dilontarkan oleh Jokowi Ketika hadir dalam pertemuan ekonomi dunia di Jakarta. Jokowi juga menjanjikan apabila para investor mengalami problem mereka tinggal menghubungi langsung Jokowi. Hal ini terungkap dalam isi pidatonya “And if you have any problems,” he added, “call me."

Politik luar negeri pemerintahan Jokowi pada periode pertama memakai slogan “Semua negara adalah sahabat sampai kedaulatan negara direndahkan dan kepentingan nasional dirugikan.” Perwujudan tafsir baru atas kebijakan politik luar negeri ini tampak dalam gerak dan diplomasi Jokowi saat mengikuti Konferensi Tingkat Tinggi APEC, ASEAN, dan G-20 (Widodo, 2014). Geliat investasi harus

dipelihara untuk menghadapi tantangan ekonomi global. Pada KTT APEC 2014 lalu, negara-negara anggota APEC telah menyapakati peta jalan perdagangan bebas Asia Pasifik. Selain itu, Indonesia juga harus menghadapi Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) yang mulai berlaku akhir 2015. Selain Invetasi, juga diperlukan penegakan hukum untuk memberikan kepastian Investasi. Persoalan utama di Indonesia adalah kemiskinan dan pengangguran. Jokowi menggunakan resep mengatasi masalah itu, dengan cara sangat diperlukan masuknya Investasi yang sangat besar sehingga bisa menciptakan lapangan pekerjaan.

Untuk menjamin para investor asing berinvestasi di Indonesia maka diperlukan suatu kebijakan dari pemerintah negara Indonesia. Dalam hal ini pemerintahan Jokowi menggunakan politik luar negeri yang berangkat dari prinsip bebas aktif sebagai Diplomasi untuk menarik Para Investor Asing untuk berinvestasi di Indonesia dengan tujuan agar Perekonomian negara Indonesia bisa meningkat serta pembangunan disektor Infrastruktur di seluruh wilayah Indonesia bisa merata. Hal itu dapat dicapai dengan kebijakan dari pemerintahan Presiden Jokowi-Jusuf Kalla kepada para investor asing (Ahmad & Azarkasi, 2019)

Presiden Indonesia Joko Widodo dilantik pada 20 Oktober 2014 dan menetapkan lima arah politik luar negeri, yakni: (1) penanganan perbatasan; (2) pemantapan peran Indonesia di ASEAN; (3) penguatan Diplomasi Ekonomi; (4) peningkatan kualitas perlindungan hak dan keselamatan warga negara/bahan hukum Indonesia (WNI/BHI) di luar negeri khususnya perlindungan terhadap tenaga kerja Indonesia (TKI); dan (5) peran Indonesia dalam kerja sama global (K. L. N. R. Indonesia, 2015). Politik luar negeri ini, dengan lima arah kebijakan tersebut, ditetapkan sebagai implementasi dari visi Nawacita dan pemikiran politik presiden dalam politik luar negeri. Dengan arah kebijakan ini, Presiden Joko Widodo melangsungkan politik luar negeri yang berbeda dari pemerintahan sebelumnya, yakni politik luar negeri yang meskipun asertif dalam politik internasional tetapi lebih menekankan pada keperluan-keperluan domestik.

Arah kebijakan politik luar negeri ini pertama kali dimuat dalam dokumen quick wins

Page 3: PERSPEKTIF, 10 (2) (2021): 450-466, DOI: PERSPEKTIF

Adi Saputro & Taufiqqurrohman, Investasi Dalam Bingkai Politik Luar Negeri Pemerintahan Jokowi

452

yang dibahas presiden dan anggota kabinetnya pada sidang Kabinet Kerja yang pertama pada Oktober 2014. Poin-poin yang menunjukkan arah kebijakan politik luar negeri terdapat pada bidang atau kelompok kerja (pokja) hubungan luar negeri, dalam rumusan “Program Quick Wins pada Hubungan Luar Negeri” yakni: (1) launching doktrin Poros Maritim Dunia pada KTT East Asia Summit (EAS); (2) Deklarasi Penyelenggaraan Djuanda Summit (13 Desember) untuk Kerjasama Maritim Negara-Negara Archipelago; (3) Perumusan Cetakbiru Peran Indonesia di G20; (4) penyusunan Roadmap East Asia Summit; (5) Evaluasi dan konsolidasi perwakilan Indonesia di luar negeri; (6) Penyusunan Buku Biru Diplomasi (Diplomatic Bluebook); dan (7) penyediaan beasiswa untuk bidang hukum laut dan perdagangan. Program-program quick wins ini ditempatkan dalam integrasi dan interelasi dengan program lain melalui tiga kata kunci, yakni: perdagangan, maritim dan investasi (Bappenas. 2014).

Investasi yang menjadi denyut dari pemerintah Jokowi kemudian di impelementasikan dalam skema paket kebijakan ekonomi. Setidaknya dalam periode pertama pemerintahan Jokowi telah mengeluarkan 16 paket kebijakan ekonomi. Paket kebijakan tersebut ditujukan untuk menyederhanakan perizinan investasi di Indonesia, yang selama ini menjadi salah satu bottleneck dari investasi (CNBC Indonesia Research). Sebanyak delapan paket kebijakan ekonomi dirilis pada tahun 2015, dan delapan kebijakan ekonomi lainnya pada tahun 2016 dan 2017.

Paket ekonomi Jilid 1-16 adalah resep yang dilakukan oleh pemerintahan Jokowi pada Jilid satu untuk dapat mengeluarkan negara ini dari kemiskinan dan pengangguran yang menjadi problem masyarakat. Inti utama dari paket kebijakan ekonomi ialah Deregulasi atau pemangkasan seluruh kebijakan dan aturan negara yang menghambat iklim investasi. Kedua, Liberalisasi atas seluruh aspek ekonomi, keuangan, dan perdagangan. Ketiga, Privatisasi (swastanisasi) sektor-sektor publik. Untuk itu ada dua pertanyaan kunci dalam penelitian yaitu: bagaimana skema Investasi dalam bingkai politik luar negeri pemerintah Jokowi jilid satu?, Lalu,Apa dampaknya bagi masyarakat Indonesia?

Penelitian ini membatasi analisanya pada masa pemerintahan Jokowi Jilid 1, hal ini dikarenakan pada periode ini Jokowi mulai memegang tampuk kekuasaan tertinggi di Indonesia. Kerangka teori yang digunakan dalam penelitian ini adalah mengenai investasi dan politik luar negeri, kedua teori ini dimaksudkan untuk dapat menjelaskan bagaimana efektifitas kebijakan luar negeri yang dijalankan untuk kepentingan nasional dan apa dampaknya bagi masyarakat Indonesia.

Menurut (Todaro, 2000), investasi memainkan peran penting dalam menggerakkan kehidupan ekonomi bangsa, karena pembentukan modal memperbesar kapasitas produksi, menaikkan pendapatan nasional maupun menciptakan lapangan kerja baru, dalam hal ini akan semakin memperluas kesempatan kerja. Selanjutnya, (Mankiw, 2003) menyatakan, bahwa inovasi teknologi merupakan salah satu faktor yang mampu meningkatkan permintaan investasi. Menurut (Sadono, 2008), investasi dapat juga diartikan sebagai pengeluaran atau perbelanjaan penanam-penanam modal atau perusahaan untuk membeli barang-barang modal dan perlengkapan-perlengkapan untuk menambah kemampuan memproduksi barang-barang dan jasa-jasa yang tersedia dalam perekonomian.

Harrod-Domar dalam (Arsyad, 1997)mengembangkan teori Keynes dengan memberi peranan kunci pada investasi di dalam proses pertumbuhan ekonomi, khususnya mengenai sifat ganda yang dimiliki investasi, yaknipertama, investasi menciptakan pendapatan (merupakan dampak dari permintaan investasi), dan kedua, investasi memperbesar kapasitas produksi perekonomian dengan cara meningkatkan stok kapital (merupakan dampak dari penawaran investasi). Solow dan Swan dalam(Arsyad, 1997), kemudian mengoreksi teori Harrod-Domar dengan menunjukkan bahwa pertumbuhan ekonomi tergantung pada ketersediaan faktor-faktor produksi (penduduk, tenaga kerja, dan akumulasi modal) dan tingkat kemajuan teknologi. Asumsi yang digunakan adalah skala pengembalian yang konstan (constan return to scale), substitusi antara modal (K) dan tenaga kerja (L) bersifat sempurna, dan adanya produktivitas marjinal yang semakin menurun (diminishing marginal productivity) dari tiap inputnya.

Page 4: PERSPEKTIF, 10 (2) (2021): 450-466, DOI: PERSPEKTIF

PERSPEKTIF, 10(2) (2021): 450-466

453

Dalam aspek perdagangan internasional ada tiga tujuan dari politik luar negeri yakni: pertama, memanfaatkan secara bijaksana faktor kebutuhan dan ketergantungan dan menawarkan bonus ekonomi atau pengancaman dengan atau memberlakukan tekanan ekonomi; kedua, meningkatkan kesanggupan suatu negara tertentu atau menghambat suatu negara yang potensial mencapai kemampuan ekonomisnya; dan ketiga, menciptakan “satelit” ekonomi (pasar dan sumber-sumber logistik yang terjamin) atau dengan membantu mempertahankan suatu kepatuhan politis di negara-negara “satelit” atau melalui “lingkaran-lingkaran pengaruh” dengan menciptakan suatu keterkaitan yang bersifat ketergantungan ekonomi (Holsti & Sudarsono, 1987)

Kebijakan luar negeri tidak hanya sebatas kesepakatan antar dua negara, namun juga melibatkan negara-negara yang menyepakati peraturan internasional. Kelembagaan internasional secara khusus yang menghimpun lebih banyak negara adalah Persatuan Bangsa-Bangsa (United Nation). Di lembaga tersebut terdapat departemen-departemen yang menaungi isu-isu tematik seperti keamanan, pangan dan pertanian, kesehatan, pendidikan dan sebagainya.(Holsti & Sudarsono, 1987) Secara khusus untuk masalah ekonomi dan sosial, terdapat United Nations Economic and Social Council. Lembaga ini dalam bekerja dibantu oleh lembaga-lembaga yang ada dalam PBB dan juga lembaga perekonomian dan moneter internasional seperti World Bank, IMF serta WTO.

Ketiganya adalah lembaga yang dikenal dengan penerapan Breton WoodSystem itu, tampil sebagai pengendali perekenomian di banyak negara, terutama negara-negara berkembang. Kritik yang tidak pernah putus adalah kegagalan lembaga-lembaga tersebut membuat negara-negara berkembang yang kaya dengan sumberdaya alam berubah menjadi negara maju.(Khor et al., 2002)

Sedangkan, ketika melihat dalam hubungan antar negara menjadi luas maknanya ketika melibatkan aktor-aktor dan juga lembaga-lembaga non negara. Perluasaan keterlibatan dalam hubungan itu, dalam konteks kerjasama disebut juga dengan hubungan internasional. Menjadi perhatian bagi politik luar negeri, ketika hubungan internasional yang terjadi mempengaruhi,

apakah itu menyalahi tujuan resmi pemerintah atau digunakan oleh pemerintah sebagai instrumen perangsang (instrument of inducement) untuk mencapai tujuan-tujuan politik atau militer. Namun minat terbesar dari hubungan tersebut adalah perdagangan internasional.(Khor et al., 2002)

Di dalam mencapai tujuan pembangunan nasional, salah satu faktor yang determinan dan kerap menjadi ukuran global adalah ekonomi. Ketika perspektif ekonomi cenderung mengarah pada satu dimensi semata, yakni kapitalisme, maka yang akan terjadi adalah segala upaya dilakukan untuk akumulasi kapital.Dengan segala dinamikanya, akumulasi kapital yang merupakan tujuan dari kapitalisme, alih-alih membawa kesejahteraan di negara-negara berkembang, yang terjadi justru penyusutan. Dengan keterbatasan pengetahuan dan teknologi, serta ketergantungan politik-ekonomi yang tinggi pada negara-negara maju, negara-negara berkembang hanya menyediakan kekayaan alam yang dimilikinya untuk dieksploitasi.

METODE PENELITIAN

Penulisan dalam penelitian ini dirancang dengan pendekatan kualitatif dengan jenis penelitian menggunakan metode studi pustaka (library research). Jenis penelitian ini dimaksudkan untuk memberikan gambaran mengenaimasalah yang diteliti yaitumenjelaskanseperti apa Investasi Dalam Bingkai Politik Luar Negeri Pemerintahan Jokowi Jilid Satu dan Dampaknya Bagi Masyarakat Indonesia.

Teknik pengumpulan data dilakukan dengan mengadakan studi penelaahan terhadap buku-buku, literatur-literatur, catatan-catatan, dan laporan-laporan yang ada hubungannya dengan masalah yang ingin dipecahkan (M. Nazir, 2003). Metode pengumpulan data adalah penelitian kepustakaan yang didukung oleh media cetak seperti buku, majalah, koran, jurnal, dan juga media elektronik, terutama internet yang mana data merupakan sumber sekunder. Data-data ini akan dianalisis dalam kerangka teori yang telah ditentukan untuk membuktikan bahwa hipotesis itu akurat dan akhirnya dapat menjawab pertanyaan penelitian. Untuk mensistematisasikan data yang dikumpulkan, analisis ini dilakukan melalui beberapa tahapan, yaitu: reduksi

Page 5: PERSPEKTIF, 10 (2) (2021): 450-466, DOI: PERSPEKTIF

Adi Saputro & Taufiqqurrohman, Investasi Dalam Bingkai Politik Luar Negeri Pemerintahan Jokowi

454

data, pemaparan data, deskripsi dan verifikasi serta menarik kesimpulan.

HASIL DAN PEMBAHASAN Perkembangan Investasi Asing di Indonesia

Kebijakan mengenai investasi asing pertama kali di Indonesia diawali pada masa Orde Lama. Kebijakan tersebut melalui Rencana Urgensi Perekonomian (RUP) pada tahun 1949, yang kemudian menghasilkan produk Undang-Undang (UU) Nomor 78 Tahun 1958 tentang Penanaman Modal Asing; sebagai kebijakan investasi pertama di Indonesia. Kondisi politik ekonomi Indonesia pasca kemerdekaan hingga 1949, masih belum cukup stabil dan banyak menyisakan aset investasi asing kolonial Belanda. Kesadaran akan pentingnya aliran investasi asing sebagai pendorong pembangunan dan pertumbuhan ekonomi nasional, mulai digagas melalui RUP yang dimaksudkan sebagai salah satu perwujudan dari kebijakan umum di bidang ekonomi, serta memberikan arahan kegiatan pemerintah dalam pengaturan penanaman modal yang bercorak nasionalistik (Budhivaja, 2012).

Undang-Undang Penanaman Modal Asing (UU PMA) Nomor 78 tahun 1958 itu membatasi modal asing dalam sektor-sektor produksi tertentu yang dianggap vital. Hingga kemudian pada 1965, UU PMA Nomor 78 Tahun 1958 mengalami pencabutan oleh rezim Orde Lama melalui UU Nomor 16 Tahun 1965. Pencabutan UU PMA tersebut menampakan watak pemerintah Orde Lama yang cenderung anti Investasi Asing.

Dengan pencabutan UU PMA tersebut, dianggap bahwa segala kegiatan penanaman modal asing di Indonesia tidak lagi diberadakan, dan mengakhiri kegiatan investasi asing yang masih atau sedang berjalan. Pada rezim Soekarno, kegiatan penanaman modal asing disaratkan sebagai kegiatan bersifat neokolonialisme dan “penghisapan” atas rakyat Indonesia. Selain itu, Dasar pertimbangan diterbitkannya Undang-Undang Nomor 16 Tahun 1965, bahwa penanaman modal asing di Indonesia, yang bagaimanapun juga adalah bersifat menarik keuntungan sebanyak-banyaknya dan dengan demikian menjalankan terus menerus penghisapan atas rakyat Indonesia, serta menghambat jalannya Revolusi Indonesia dalam menyelesaikan tahap nasional

demokratis untuk mewujudkan Sosialisme Indonesia berdasarkan Pancasila dan untuk melaksanakan prinsip berdiri di atas kaki sendiri di bidang ekonomi dan prinsip Deklarasi Ekonomi (Dekon) untuk membangun ekonomi nasional yang bersih dari sisa-sisa imperialisme dan feodalisme, harus dikikis habis penanaman/operasi modal asing di Indonesia, sehingga dapat memperbesar produksi nasional guna mempertinggi tingkat penghidupan Rakyat Indonesia.

Sebelum dibuatnya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing, landasan kebijaksanaan ekonomi Indonesia yang berkaitan dengan penanaman modal, sebagaimana yang disebutkan oleh C.F.G Sunarjati Hartono, adalah berdasarkan Ketetapan MPRS No. XXIII/MPRS/1966 tentang Pembaharuan Kebijakasanaan Landasan Ekonomi Keuangan dan Pembangunan, dalam Pasal 9, yang isinya menjelaskan bahwa: “Pembangunan ekonomi terutama berarti mengolah kekuatan ekonomi potensi menjadi kekuatan ekonomi riil melalui penanaman modal, penggunaan tehnologi, penambahan pengetahuan peningkatan ketrampilan, penambahan kemampuan berorganisasi dan manajemen.”(Hartono, 1972)

Jauh sebelum itu, pada Januari 1966 sejumlah ekonom mendiskusikan pemecahan masalah ekonomi dan keuangan di Universitas Indonesia. Pada Mei, diskusi serupa kembali digelar. Saran-saran yang muncul dari seminar-seminar itu jadi kebijakan ekonomi Kabinet Dwikora yang Disempurnakan dan mempengaruhi rumusan-rumusan ketetapan MPRS tahun 1966 yang menjadi tonggak Orde Baru (M.F. Mukti, tt).

Komitmen Orde Baru pada pemecahan masalah ekonomi itu diperkuat ketika Angkatan Darat (AD) menghelat Seminar AD II di Bandung pada 25 Agustus 1966. Widjojo dkk, ditempatkan di Subkomite Masalah Ekonomi, bertugas menyusun naskah mengenai jalan keluar untuk menstabilkan dan merehabilitasi perekonomian. Rekomendasi para ekonom itu diterima tanpa diskusi berkepanjangan. “Seminar ini memberi pimpinan Angkatan Darat –yang merupakan unsur penting Orde Baru– ‘buku masak’ berisi ‘resep-resep’ untuk menangani masalah-masalah ekonomi Indonesia yang serius,” ujar Mohammad Sadli.

Tak lama sesudah seminar itu, 12 September 1966, mereka diangkat sebagai Staf

Page 6: PERSPEKTIF, 10 (2) (2021): 450-466, DOI: PERSPEKTIF

PERSPEKTIF, 10(2) (2021): 450-466

455

Pribadi Ketua Presidium Kabinet. Ketika Soeharto resmi menjabat presiden, mereka menjadi Tim Ahli Ekonomi Presiden, dengan penambahan Menteri Perdagangan Sumitro Djojohadikusumo, Menteri Perhubungan Frans Seda, dan Gubernur Bank Indonesia Radius Prawiro.

“Tugas dari Tim ini ialah mengikuti perkembangan keadaan ekonomi, membahas masalah-masalah ekonomi dan mengajukan pertimbangan-pertimbangan masalah ekonomi kepada Presiden, baik diminta maupun tidak diminta,” ujar Subroto dalam “Begawan Ekonomi,” Kesan Para Sahabat tentang Widjojo Nitisastro.

Merekalah yang merancang kebijakan ekonomi Orde Baru. David Ransom, wartawan Amerika, menyebut mereka sebagai “Mafia Barkeley,” merujuk pada almamater mereka. Dalam tulisan “Mafia Berkeley dan Pembunuhan Massal di Indonesia,” dimuat majalah Ramparts, Ransom menyebut keterlibatan Amerika dalam kebijakan ekonomi Orde Baru. Ketika Widjojo kebingungan dalam menyusun rencana stabilisasi ekonomi, David Cole, seorang ekonom dari Harvard, membantu Widjojo. Begitu pula ketika Sadli hendak membuat UU Penanaman Modal Asing; dia mendapat bimbingan dari Kedutaan Besar Amerika Serikat. Dengan kebijakan pintu terbuka, investasi asing menjadi prioritas utama untuk mendapatkan dana, selain hutang luar negeri. Di bawah arahan para teknokrat, sebutan lain untuk penasehat ekonomi Soeharto, upaya liberalisasi ekonomi diwujudkan. Orde Baru mengeluarkan UU No. 1 Tahun 1967, setelah melalui perdebatan sengit di parlemen, untuk menarik investor asing dan menjamin kemanan investasinya di Indonesia. Pemerintah lalu membentuk Tim Teknis Penanaman Modal Asing dengan ketua Mohammad Sadli. Mereka mendapat tugas mengumpulkan informasi mengenai para investor asing potensial dan rencana investasi mereka. Informasi ini diserahkan kepada kabinet, dan kabinet memutuskan apakah menyetujui investasi yang direncanakan itu atau tidak.

Setahun berselang tepatnya pada tahun 1968, keluar UU No. 6 Tahun 1968 yang dalam Pasal 3 ayat (1) menyatakan, bahwa penambahan kepemilikan asing hingga 49% pada perusahaan nasional. Peran sktif negara dalam investasi asing pada masa Orde Baru

juga ditunjukkan dengan dibentuknya Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) yang berperan besar dalam mempercepat dan mempermudah proses investasi asing. Diantaranya dengan mempersingkat investasi dan kewajiban konsultasi. Pemerintah pada masa itu menyediakan perlindungan hukum bagi investor lewat Investment Guarantee Agreement (IGA)(Nurridzki, 2015) yang ditandatangani oleh negara-negara ASEAN. Kesepakatannya meliputi: pertama, prinsip-prinsip perlakuan non-diskrimasi; kedua, prinsip-prinsip terhadap perlakuan standar minimum di bawah hokum internasional; ketiga, perlindungan terhadap pengambil-alihan illegal; keempat, kompensasi atas kerugian yang timbul dari perang, konflik bersenjata dan perselisihan sipil; kelima, kebebasan untuk transfer modal; dan keenam, akses kepada arbitrase internasional untuk sengketa investasi.

Menjelang berakhirnya rezim Orde Baru, pemerintah menerbitkan Peraturan Pemerintah (PP) No. 20 Tahun 1994, yang menyatakan dengan jelas bahwa investor asing berhak memiliki saham hingga 95%. Liberalisasi Investasi asing diberlanjutkan hingga masa reformasi melalui pembebasan pemilikan saham asing hingga 99% disektor perbankan (Lihat, http://sprilampung.blogspot.com/2015/05/dominasi-investasi-asing-di-indonesia.html,diakses pada 25 Juli 2020.) Namun baru pada tahun 2004, sesaat setelah naiknya Susilo Bambang Yudhoyono sebagai presiden, liberalisasi ekonomi dilakukan secara programatis. Pemerintah kala itu menerbitkan kebijakan reformasi inisiatif investasi, yang bertujuan untuk memberikan dorongan dan fasilitas terhadap pihak swasta untuk melakukan investasi. Reformasi ini juga menuntut perlakuan setara antara perusahaan nasional dan luar negeri.

Liberalisasi investasi paling radikal semasa kepemimpinan Susilo Bambang Yudhoyono terjadi pada tahun 2007 dan 2009. Hal mana pada tahun 2007, pemerintah menerbitkan Undang-Undang No.25 Tahun 2007 tentang Undang-Undang Penanaman Modal menggantikan Undang-Undang Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN) tahun 1968 dan Undang-Undang Penanaman Modal Asing Tahun 1967. Undang-undang ini pada intinya hendak merevisi undang-undang

Page 7: PERSPEKTIF, 10 (2) (2021): 450-466, DOI: PERSPEKTIF

Adi Saputro & Taufiqqurrohman, Investasi Dalam Bingkai Politik Luar Negeri Pemerintahan Jokowi

456

sebelumnya yang dinilai tidak memiliki kepastian hukum dan birokratis. Regulasi ini melindungi investasi asing dari nasionalisasi dan pengambilalihan, serta memberikan anjuran bagi investor untuk memeja-hijaukan pemerintah atau perusahaan nasional jika melanggar ketentuan ini ke Pengadilan Arbitrase Internasional.

Peraturan ini terutama menuntut perlakuan setara antara perusahaan berplat merah dengan swasta. Liberalisasi semakin sporadis dijalankan pada tahun 2009 berkat Peraturan PemerintahNomor 24 Tahun 2012 tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2010 mengenai Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara; yang menghapuskan pembatasan kepemilikan asing dalam sektor tambang. Sejak tahun 2009, jumlah perusahaan milik negara semakin menyusut dari tahun ke tahun. Di tahun yang sama, pemerintah menerbitkan undang-undang tentang pembentukan Kawasan Ekonomi Khusus (KEK). Zonasi ini intinya bertujuan untuk memberikan kerangka hukum bagi investor asing untuk memilih paket investasi berdasarkan zonasi kawasan. Cetak biru Master Plan Percepatan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI) 2011-2025 yang dirancang pemerintah Susilo Bambang Yudhoyono merupakan perwujudan liberalisasi ekonomi dalam bentuknya yang paling radikal di Indonesia. Skema Investasi Dalam Bingkai Politik Luar Negeri Pemerintah Jokowi Jilid Satu

Pada dasarnya dinamika politik internasional yang diwarisi oleh Presiden Joko Widodo tidak berbeda dari masa pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Ini menjadi argumentasi kedua mengapa Jokowi akan cenderung mengutamakan penguatan nasional. Kekuatan-kekuatan internasional masih akan tetap berada di tangan Amerika Serikat, Uni Eropa, bersama dengan organisasi-organisasi internasional seperti PBB, UE/NATO , IMF/WB, WTO, dan sebagainya.Lembaga-lembaga semacam ini tetap tidak terpisahkan dari AS dan UE karena menjadi instrumen penting bagi legitimasi maupun penguatan dan perluasan peran negara-negara besar tersebut. Perkembangan kekuatan Cina dan kemunduran relatif kekuatan Jepang serta geliat kekuatan yang kembali ditampilkan oleh Rusia telah menjadi bagian dari dinamika politik

internasional dalam satu dasawarsa terakhir.Ketegangan dan persaingan di antara mereka mempertegas multipolarisme kekuatan-kekuatan dunia. Hal itu disemarakkan pula oleh kekuatan-kekuatan middle-power lainnya seperti India dan Brasil. Kekuatan-kekuatan revisionis dengan arsenal nuklir dan ideologi ekstrimnya (left-wing atau rightwing) seperti Korea Utara dan Iran kerap pula meningkatkan ketegangan global dan memaksa pergeseran isu dan agenda internasional. Kemunculan gerakan-gerakan kritis-ekstrim-radikal berupa terorisme internasional juga menambah ketegangan tertentu yang tidak saja mengganggu ketertiban dunia, tetapi juga mengancam struktur global yang dibangun di atas negara (state-system) dan didominasi oleh negara-negara besar.

Selain isu politik keamanan, agenda utama global tetaplah pada perekonomian. Sekalipun ketegangan-ketegangan politik diatas mempengaruhi kinerja ekonomi internasional, forum-forum internasional masih tetap didominasi oleh persoalan ekonomi, seperti dalam rangka meningkatkan kerjasama untuk memproduksi lebih banyak keuntungan dan kebaikan bersama, maupun dalam rangka mengatasi kemunduran yang mungkin terjadi, termasuk menyelesaikan sengketa-sengkata ekonomi, investasi, dan perdagangan seperti halnya Eurocrisis. Pernyataan pers tahunan Menteri Luar Negeri Marty Natalegawa pada awal tahun 2014, menggambarkan terjadinya “trust deficit” sekalipun kerjasama ekonomi dan saling ketergantungan terus berlanjut (Tabloid Diplomasi No.72 Tahun VII).

Berdasarkan Nawa Cita Presiden Joko Widodo dan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (BPPN), Kementerian Luar Negeri RI di bawah kepemimpinan Menteri Luar Negeri Retno Marsudi merumuskan Rencana Strategis (Renstra) Kementerian Luar Negeri Tahun 2015-2019. Renstra tersebut memiliki slogan “Diplomasi untuk rakyat” dan visi “Terwujudnya wibawa diplomasi guna memperkuat jati diri bangsa sebagai negara maritim untuk kepentingan rakyat.” Secara singkat, Renstra Kemlu 2015-2019 menjabarkan tiga misi, tiga tujuan, dan delapan sasaran strategis. Tiga misi Kemlu tersebut

Page 8: PERSPEKTIF, 10 (2) (2021): 450-466, DOI: PERSPEKTIF

PERSPEKTIF, 10(2) (2021): 450-466

457

adalah: Pertama, Memperkuat kepemimpinan Indonesia sebagai negara maritim dalam panggung internasional. Kedua, Perwakilan RI yang berkualitas. Ketiga, Memantapkan Kemlu sebagai pelaksana hubungan luar negeri.

Sementara itu, tiga tujuan Kemlu yang dinyatakan dalam Renstra adalah: Pertama, Kepemimpinan Indonesia dalam kerja sama internasional. Kedua, Nilai manfaat ekonomi yang optimal. Ketiga, Menguatnya kapasitas SDM Kemlu yang berkualitas. Sedangkan, delapan sasaran strategis Kemlu meliputi: Pertama, Diplomasi maritim dan perbatasan yang kuat;Kedua, Kepemimpinan Indonesia di ASEAN yang meningkat;Ketiga, Peran Indonesia di dunia internasional yang meningkat;Keempat, Diplomasi ekonomi yang kuat; Kelima, Pelayanan dan perlindungan Warga Negara Indonesia (WNI) dan Badan Hukum Indonesia (BHI) dan diaspora yang prima; Ketujuh, Kebijakan luar negeri yang berkualitas; Ketujuh, Dukungan dan komitmen yang tinggi atas kebijakan luar negeri Indonesia; danKedelapan, Meningkatkan kapasitas organisasi dengan kompetensi Sumber Daya Manusia (SDM) Kemlu berbasis teknologi.

Mendirikan sistem ekonomi yang kuat adalah salah satu dari Nawa Cita Presiden Joko Widodo dan Kemlu di sektor ini juga memiliki peran yang sangat penting dalam mendorong pertumbuhan ekonomi nasional melalui fasilitasi peningkatan perdagangan serta investasi internasional. Fokus pada Kemlu adalah mendorong diplomasi ekonomi dalam sektor perdagangan, pariwisata, investasi, dan kerja sama ekonomi.

Pada dasarnya, kendala dalam melakukan diplomasi ekonomi, khususnya dalam hal promosi perdagangan, pariwisata dan investasi, adalah sinergi dengan kementerian atau lembagaterkait kebijakan ekonomi dalam negeri.(K. P. R. Indonesia, 2016) Selain itu, masalah regulasi perizinan dan ketenagakerjaan membuat Indonesia kurang dapat bersaing, terutama di antara negara-negara di kawasan ASEAN. Jika menyangkut masalah ekonomi, perlu diakui bahwa sinergi antara kementerian atau lembaga terkait dengan Kemlu sangat penting karena cakupan dari sektor ekonomi sangat luas. Kemlu dalam konteks ini hanya menjalankan fungsi hubungan luar negeri sesuai dengan UU No. 37 tahun 1999 tentang Hubungan Luar Negeri.

Namun masalah ini dapat diatasi karena Kemlu sudah membentuk Pokja Diplomasi Ekonomi yang melibatkan seluruh pemangku kepentingan di bidang ekonomi, termasuk kementerian, lembaga serta perwakilan Indonesia di luar negeri demi peningkatan kerja sama di bidang perdagangan, investasi dan pariwisata dengan negara-negara sahabat.

Selama tahun 2015, diplomasi ekonomi Indonesia berhasil mencapai nilai realisasi sebesar 98,32% dari target sebesar 79%. Pada tahun ini, Indonesia juga berhasil menuntaskan naskah kesepakatan di bidang ekonomi, keuangan, dan pembangunan yakni di level bilateral, regional, maupun internasional sebanyak 66 naskah kesepakatan, melampaui target yang ditentukan yaitu sebesar 48 naskah kesepakatan.(K. P. R. Indonesia, 2016) Beberapa sorotan dari tahun 2015 tersebut, yaitu perjanjian dagang dengan Jepang yaitu MoU antara BKPM Indonesia dengan Japan External Trade Organization (JETRO). Selain pertemuan antarpemerintah (government to government), kesepakatan bisnis antara pengusaha swasta juga menunjukkan jumlah yang cukup besar. Sebagai contoh, perusahaan Indonesia Lion Air menandatangani MoU dengan perusahaan Inggris Rolls Royce senilai USD 140 Juta untuk Lion Air membeli mesin pesawat terbang Trent 700.

Selain itu, perlu diingat juga bahwa Indonesia juga berperan aktif dalam berbagai forum ekonomi dan pembangunan di level intra-kawasan, antar-kawasan, dan multilateral, antara lain dalam perkumpulan dua puluh perekonomian terbesar dunia (G20), Asia-Pacific Economic Cooperation (APEC) dan The Asia-Europe Meeting (ASEM). Forum-forum ekonomi internasional sangat penting bagi Indonesia untuk memajukan agenda nasional melalui rekomendasi dalam isu tertentu. Data pada tahun 2015 menunjukkan sebanyak 59 rekomendasi Indonesia di bidang ekonomi dan pembangunan yang diterima dari jumlah yang sama yang ditawarkan, dengan kata lain terdapat 100 persen realisasi yang tercapai.(K. P. R. Indonesia, 2016) Ini menunjukkan bahwa Indonesia telah sukses menyuarakan kepentingan nasional dalam forum-forum ekonomi dunia.

Dari tingkat promosi Trade, Tourism, Investment, and Services (TTIS), menunjukkan paling tidak ada 37 pertemuan dan perundingan untuk meningkatkan investasi,

Page 9: PERSPEKTIF, 10 (2) (2021): 450-466, DOI: PERSPEKTIF

Adi Saputro & Taufiqqurrohman, Investasi Dalam Bingkai Politik Luar Negeri Pemerintahan Jokowi

458

ekspor, dan promosi pariwisata, antara lain membahas tentang Indonesia-Japan Economic Partnership Agreement (IJEPA), ASEAN-Japan Comprehensive Economic Partnership (AJCEP), ASEAN-HongKong Free Trade Agreement (AHKFTA), ASEAN-Korea Free Trade Agreement (AKFTA), dan Regional Comprehensive Economic Partnership (RCEP). Untuk meningkatkan pariwisata, Kemlu telah memberikan fasilitas berupa fasilitas bebas visa kunjungan singkat untuk 75 negara. Jumlah promosi TTIS sepanjang 2015 mencapai 69 kali, yang melebihi target yang ditetapkan sebanyak 65 kali. (K. P. R. Indonesia, 2016)Beberapa partisipasi Kemlu dalam promosi pariwisata adalah dalam Pameran Gateway Show dan Sales Mission di Afrika Selatan dan China-ASEAN Expo (CAEXPO) di Nanning, Tiongkok.

Selama 2016, sebanyak 194 perjanjian ekonomi bilateral dan multilateral yang didorong oleh diplomat RI telah disepakati, mereka juga memfasilitasi partisipasi 125 negara dalam trade expo Indonesia yang membukukan transaksi sebesar USD 974,76 Juta pada tahun itu. Selain itu, Kemlu juga berhasil memfasilitasi penandatanganan 31 kontrak dagang senilai sebesar USD 200 Juta. (Negeri, 2017)Pencapaian diplomasi Indonesia telah berhasil mendorong produk karya anak bangsa seperti PT. Inka berhasil untuk mengekspor 150 gerbong kereta senilai USD 72,3 Juta, membantu PT DI mengekspor pesawat CN 235 ke Senegal dan Thailand, serta membangun pabrik mie instan Indonesia di Serbia senilai €11 juta untuk memenuhi permintaan pasar Eropa.

Pada tahun 2017, indeks diplomasi ekonomi Indonesia secara keseluruhan mampu mencapai realisasi sebesar 141,75% yang merupakan peningkatan dari tahun sebelumnya(Negeri, 2017). Spesifik di bidang kesepakatan ekonomi menunjukkan perkembangan yang sangat baik, dari target Kemlu di tahun 2017 yang adalah 46 kesepakatan, realisasinya mencapai 113 kesepakatan (atau 245,65% dari target) yang mencakup, antara lain, kontribusi pendanaan untuk pembangunan, kerja sama ekonomi dan teknik (dengan Arab Saudi), kerja sama ekonomi dan teknik (dengan Turki dan Angola), pertanian (dengan Filipina), serta pembebasan visa, ekonomi sirkuler, manajemen limbah dan air (dengan Denmark). Meskipun terdapat

pencapaian yang cukup baik, masih terdapat kendala, antara lain mengenai komitmen dan koordinasi antar pemangku kepentingan di Indonesia yang kurang responsif dalam penanganan isu terkait bidang ekonomi, sosial dan budaya sehingga membuat sulitnya koordinasi kegiatan dan tindak lanjut dokumen kesepakatan. Selain itu, dinamika politik, ekonomi dan sosial negara mitra juga menjadi alasan terhambatnya penyelesaian dokumen perjanjian kerja sama.

Mengenai rekomendasi Indonesia di bidang ekonomi yang diterima di forum internasional, performa Kemlu di tahun 2017 mencapai realisasi sebesar 95,88% (yakni dari 364 rekomendasi yang diberikan, 349 rekomendasi diterima) yang melebihi target 89%.(Negeri, 2017) Tahun 2017 tersebut juga beberapa prakarsa/rekomendasi yang diberikan Indonesia diterima dalam pertemuan tingkat tinggi. Misalnya, Pertemuan G20 di Hamburg, Jerman, mengapresiasi aplikasi keanggotaan Indonesia pada Financial Task Force (FATF) dan pertemuan APEC Economic Leaders Week di Vietnam, menerima rekomendasi Indonesia mengenai Free Trade Area of the Asia-Pacific (FTAAP), pembangunan konektivitas daerah terpencil, pemberdayaan petani dan nelayan, internasionalisasi Upah Minimum Kota (UMK), serta pembangunan sumber daya manusia di era digital.

Mengenai promosi perdagangan, pariwisata dan investasi yang dilakukan Kemlu pada tahun 2017 tercatat terdapat 99 kali promosi yang jumlahnya 111,24% lebih besar dari target 89 kali. Promosi perdagangan, pariwisata dan investasi dilakukan di negara mitra untuk mendorong peningkatan perdagangan, investasi dan wisatawan asing, juga di Indonesia untuk mempromosikan akses dan peluang pasar di negara mitra, misalnya dengan pameran pariwisata di Zagreb, Kroasia dan sosialisasi buku “Panduan Berbisnis dengan Pihak Iran” di Jakarta. Menlu dan delegasi Indonesia ke beberapa negara untuk melakukan promosi, antara lain ke Nigeria, Ethiopia, dan Rusia. Selain itu Indonesia juga melakukan diplomasi perdagangan dengan negara-negara Timur Tengah dengan mengadakan Indonesia-Middle East Annual Gathering on Economy di Bandung.

Pada tahun 2018, berbagai terobosan dilakukan untuk menembus pasar non-tradisional khususnya di Afrika.

Page 10: PERSPEKTIF, 10 (2) (2021): 450-466, DOI: PERSPEKTIF

PERSPEKTIF, 10(2) (2021): 450-466

459

Penyelenggaraan Indonesia-Afrika Forum (IAF) pada 2018, meraih transaksi sebesar US$ 586,56 juta dan Business Announcement sebesar USD 1,3 milyar. Sebagai tindak lanjut Indonesia-Africa Forum, dan untuk menggenjot pelibatan Perusahaan dan BUMN Indonesia dalam membangun infrastruktur di Afrika. Di tahun 2019 direncanakan diselenggarakan Indonesia-Africa Infrastructure Dialogue. Realisasi negara-negara di kawasan Asia Pasifik dan Afrika yang mengalami peningkatan nilai perdagangan dengan Indonesia melebihi target yang telah direncanakan yaitu 68 negara dari target sebanyak 39 negara (Kementerian Luar Negeri, Laporan Kinerja Kementerian Luar Negeri, Tahun 2016).

Pada tahun 2018, realisasi Indeks Kerja Utama (IKU) “Jumlah negara akreditasi yang mencapai target peningkatan nilai investasi asing ke Indonesia“sebesar 38 negara dengan capaian 97,43% dari target sebanyak 39 negara, atau mengalami penurunan sebesar 71.32% dibandingkan tahun sebelumnya (2017) yang mana jumlah negara akreditasi yang mencapai target peningkatan nilai investasi dengan Indonesia capaian kinerjanya sebesar 168,75%. Realisasi negara-negara di kawasan Asia Pasifik dan Afrika yang mengalami peningkatan nilai investasi dengan Indonesia melebihi target yang telah direncanakan yaitu 22 negara dari target sebanyak 19 negara. Kebijakan Untuk Menarik Investor Asing

Kepemimpinan Jokowi menandai berakhirnya pendekatan kebijakan luar negeri “thousand friends, zero enemies” di masa Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Sebagai gantinya, Jokowi berpendapat mengenai pendekatan transaksional yang jauh lebih meguntungkan Indonesia. Hal ini juga dipandang sebagai sinyal kebijakan luar negeri yang lebih mandiri bagi Indonesia. Latar belakang Jokowi yang berasal dari masyarakat biasa membuatnya tidak memiliki banyak pengalaman di dunia internasional. Sebagai seorang presiden, Jokowi lebih berfokus pada pengembangan infrastruktur, memperkenalkan dan melanjutkan proyek pembangunan yang mangkrak berupa jalan tol, kereta cepat, bandara, dan fasilitas lain untuk membangun konektivitas di Indonesia. Dalam pemerintahannya, Jokowi menerapkan prinsip politik luar negeri bebas-aktif dengan

menitikberatkan pada interpretasi yang lebih luas mengenai kebijakan luar negeri. Termasuk interpretasi mengenai poin apa yang seharusnya menjadi poros kebijakan luar negeri. Pemerintahan Jokowi menitikberatkan pada “protecting Indonesia‟s sovereignty.” Hal ini dipengaruhi oleh visi-misi Jokowi dalam Nawa Cita (1 Sembilan Agenda Pembangunan Prioritas yang dibawa oleh Jokowi sebagai visi-misi memimpin Indonesia. Nawa Cita kemudian dituangkan dalam RPJMN, dalam UNDP INDONESIA COUNTRY OFFICE, 2015) Dalam poin-poin Nawa Cita, Jokowi cenderung mengutamakan kepentingan masyarakat(people-centred). Sehingga jelas sekali bahwa agenda kebijakan luar negeri Jokowi adalah mengamankan kepentingan domestik.

Kemenangan Jokowi sebagai Presiden menimbulkan optimisme publik, karena Jokowi dipersepsikan sebagai seorang pemimpin yang reformis dan menjalankan program kerja yang konkrit menyelesaikan masalah di lapangan, seperti yang terlihat dari pengalamannya menjadi walikota Solo dan gubernur DKI Jakarta. Jokowi lebih merupakan tipe pemimpin yang taktis yang menekankan langkah/kerja konkrit dan cepat di lapangan, ketimbang tipe pemimpin strategis yang berfokus kepada visi/gambaran besar. Pemerintahan baru Jokowi, yang dijalankan oleh Kabinet Kerja, sangat diharapkan oleh publik untuk dapat melaksanakan beberapa agenda kebijakan reformasi ekonomi, terutama pada percepatan proyek infrastruktur, pengembangan sektor maritim, dan program jaminan sosial.

Jokowi menghadapi sejumlah tantangan eksternal maupun internal dalam mengusahakan pertumbuhan ekonomi yang tinggi. Pertumbuhan ekonomi Indonesia terus melambat dalam empat tahun terakhir, dari 6,8% pada tahun 2010 menjadi 5,0%, yang menandakan daya beli masyarakat yang melemah. Selain itu, kondisi eksternal juga kurang kondusif bagi pertumbuhan ekonomi Indonesia, yang ditandai dengan perlambatan ekonomi global (terutama resesi di Eropa dan Jepang dan perlambatan pertumbuhan Tiongkok dan India), likuiditas global yang mengering, serta jatuhnya harga komoditas ekspor. Dalam situasi demikian, pendekatan Jokowi untuk merangsang pertumbuhan ekonomi adalah melalui reformasi ekonomi domestik yang terutama lebih berfokus pada

Page 11: PERSPEKTIF, 10 (2) (2021): 450-466, DOI: PERSPEKTIF

Adi Saputro & Taufiqqurrohman, Investasi Dalam Bingkai Politik Luar Negeri Pemerintahan Jokowi

460

sisi penawaran (supply-side reforms), antara lain melalui pengembangan infrastruktur dan perbaikan iklim investasi.

Salah satu reformasi radikal yang dilakukan Jokowi (Aswicahyono & Christian, 2017) terjadi kurang dari sebulan setelah pelantikan, yaitu pemotongan signifikan dari subsidi Bahan Bakar Minyak (BBM) sebagai usaha untuk mengurangi beban fiskal. Pada tanggal 18 November 2014, pemerintah menaikkan harga BBM bersubsidi (Premium) menjadi Rp 8.500 per liter, dan harga solar bersubsidi menjadi Rp 7.500 per liter. Bahkan, mengambil momentum dari jatuhnya harga minyak dunia, Jokowi melakukan reformasi lebih jauh, dengan menghapus subsidi BBM Premium, memberikan subsidi tetap Rp 1.000 per liter untuk solar, dan mengikuti mekanisme pasar dalam penentuan harga. Langkah reformasi yang berani ini berhasil menciptakan ruang fiskal yang sangat dibutuhkan untuk membiayai sejumlah agenda pembangunan lainnya, terutama pembangunan infrastruktur.

Meskipun langkah tersebut sempat menumbuhkan kepercayaan publik akan komitmen pemerintah untuk melakukan reformasi ekonomi yang serius, namun hal ini tidak berlangsung lama. Pertumbuhan ekonomi pada tahun 2015 terus melambat, hingga mencapai titik terendah 4,7% pada triwulan II. Banyak hal yang mengakibatkan hal tersebut, tetapi setidaknya dua tren utama yang dapat diamati pada setahun pertama pemerintahan Jokowi adalah: pertama, belum terdapat perbaikan iklim investasi yang signifikan hingga pertengahan 2015. Pembangunan infrastruktur pun berjalan cukup lambat. Nampaknya terdapat ketidaksinambungan antara pernyataan reformis di tingkat Presiden dan Menteri dengan kenyataan pada tingkat pemerintahan yang lebih rendah serta pemerintah daerah. Hal-hal umum seperti perizinan yang berbelit, memakan waktu dan biaya yang tinggi masih terlihat jelas di berbagai sektor.

Kedua, rezim perdagangan yang menjadi semakin restriktif, terutama melalui penggunaan hambatan non-tarif dalam berbagai bentuk regulasi, yakni pada sisi impor maupun ekspor. Sebenarnya, tren proteksionis semacam ini mulai terlihat sejak periode kedua pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono sejak 2009 dan terus berlanjut setidaknya hingga pertengahan 2015. Marks (2015),

misalnya, menemukan bahwa pada sisi impor, jumlah hambatan non-tarif naik dari 6.537 pada tahun 2009 menjadi 12.863 pada 2015. Patunru dan Rahardja (2015) menemukan bahwa proteksionisme ini diciptakan melalui kebijakan seperti hambatan non-tarif (kebanyakan berasal dari peraturan Menteri Perdagangan) dalam berbagai bentuk, mulai dari persyaratan perizinan, inspeksi, kebijakan labeling, serta pengetatan regulasi yang sudah ada, serta melalui kebijakan seperti persyaratan konten lokal dan larangan ekspor (salah satu yang terbesar adalah larangan ekspor mineral). Tren ini baru mengalami titik balik setelah dua perubahan besar pada semester kedua 2015, yaitu ketika Thomas Lembong sebagai Menteri Perdagangan pada Agustus 2015 serta ketika Presiden Jokowi menyatakan ketertarikan untuk bergabung dengan Trans-Pacific Partnership (TPP) pada Oktober 2015.

Sebagai respons dari kondisi demikian, Presiden Jokowi memutuskan untuk kembali melakukan langkah reformasi ekonomi melalui peluncuran Paket Kebijakan Ekonomi pada September 2015. Teracatat Semenjak paket kebijakan ekonomi pertama hingga 16 sudah dikeluarkan oleh Jokowi.

Poin-poin dalam Kebijakan Paket Kebijakan Ekonomi Jokowi Jilid 1 (1).

Paket Kebijakan Jilid I, memiliki tiga fokus, pertama mendorong daya saing industri nasional melalui deregulasi, debirokratisasi, serta penegakan hukum dan kepastian usaha. Kedua, mempercepat proyek strategis nasional dengan menghilangkan berbagai hambatan, sumbatan dalam pelaksanaan dan penyelesaian proyek strategis nasional, dan yang ketiga meningkatkan investasi di sektor properti. (2).

Paket Kebijakan Jilid II, yakni berupa deregulasi dan debirokratisasi peraturan untuk mempermudah investasi, seperti Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN) maupun Penanaman Modal Asing (PMA). Seperti kemudahan lahayan investasi 3 jam, tax allowance dan tax holiday lebih cepat, pembebasan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) untuk alat transportasi, insentif fasilitas di kawasan pusat logistik berikat, insentif pengurangan pajak bunga deposito, perampingan izin sektor kehutanan. (3). Paket Kebijakan Jilid III, isinya melengkapi paket kebijakan I dan II. Namun paket ini mencakup

Page 12: PERSPEKTIF, 10 (2) (2021): 450-466, DOI: PERSPEKTIF

PERSPEKTIF, 10(2) (2021): 450-466

461

penurunan tarif listrik dan harga BBM serta gas. Kedua, perluasan penerima Kredit Usaha Rakyat (KUR). Ketiga, penyederhanaan izin pertanahan untuk kegiatan penanaman modal. (4). Paket Kebijakan Jilid IV, mengatur mengenai penetapan formulasi penetapan Upah Minimum Provinsi (UMP) yang bertujuan untuk membuka lapangan kerja seluas-luasnya dan meningkatkan kesejahteraan pekerja. (5). Paket Kebijakan Jilid V, berisi mengenai revaluasi aset untuk perusahaan BUMN serta individu. Selain itu juga menghilangkan pajak berganda untuk Real Estate Investment Trust (REIT). (6). Paket Kebijakan Jilid VI, memuat soal insentif untuk Kawasan Ekonomi Khusus (KEK), pengelolaan sumber daya air dan penyederhanaan izin impor bahan baku obat dan makanan oleh Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM). (7). Paket Kebijakan Jilid VII, mengatur soal kemudahan mendapatkan izin investasi, keringanan pajak untuk pegawai industri padat karya, dan kemudahan mendapatkan sertifikat tanah. (8). Paket Kebijakan Jilid VIII, mencakup tiga paket, yang pertama, one map policy, kedua, mempercepat pembangunan kilang minyak untuk meningkatkan produksi kilang nasional, dan yang ketiga adalah pemberian insentif bagi jasa pemeliharaan pesawat. (9). Paket Kebijakan Jilid IX, mengatur soal percepatan pembangunan infrastruktur tenaga listrik, stabilisasi harga daging, dan peningkatan sektor logistik desa-kota. (10). Paket Kebijakan Jilid X, terdapat 10 poin penting yang diharapkan mampu memperbaiki peringkat kemudahan berbisnis Indonesia (Ease Of Doing Business/ EoDB). Pertama, kemudahan dalam memulai usaha, kedua, kemudahan pendirian bangunan, ketiga, pendaftaran properti, keempat, pembayaran pajak, kelima, akses perkreditan, keenam, penegakan kontrak dengan mengatur penyelesaian gugatan sederhana, ketujuh, penyambungan listrik, kedelapan, perdagangan lintas negara, kesembilan, penyelesaian permasalahan kepailitan, dan kesepuluh, perlindungan terhadap investor minoritas. (11). Paket Kebijakan Jilid XI, mengatur soal KUR yang diorientasikan ekspor dan dana investasi real estate, prosedur waktu sandar dan inap barang di pelabuhan (dwelling time) dan pengembangan industri farmasi serta alat kesehatan. (12). Paket Kebijakan Jilid XII, mengatur soal mendorong pertumbuhan Usaha

Kecil dan Menengah (UKM) dengan memberikan kemudahan memulai usaha. (13). Paket Kebijakan Jilid XIII, menitikberatkan pada mempercepat penyediaan rumah untuk masyarakat berpenghasilan rendah dengan harga yang terjangkau. Caranya dengan menyederhanakan sekaligus mengurangi regulasi dan biaya pengembangan untuk membangun rumah. (14). Paket Kebijakan XIV, mengenai peta jalan (roadmap) mengenai perdagangan berbasis elektronik (e-commerce). Roadmap ini diterbitkan guna mencapai tujuan sebagai negara digital ekonomi terbesar di Asia Tenggara di 2020. Ada delapan aspek pengaturan mengenai roadmap e-commerce meliputi pendanaan, perpajakan, perlindungan konsumen, pendidikan dan SDM, logistik, infrastruktur komunikasi, kemanan siber dan pembentukan manajemen pelaksana. (15). Paket Kebijakan XV, berisi pemberian kesempatan meningkatkan peran dan skala usaha, dengan kebijakan yang memberikan peluang bisnis untuk angkutan dan asuransi nasional dalam mengangkut barang ekspor impor, serta meningkatkan usaha galangan kapal/pemeliharaan kapal di dalam negeri. Dilakukan dengan cara, memberi kemudahan berusaha dan pengurangan beban biaya bagi usaha penyedia jasa logistik nasional, dengan kebijakan antara lain mengurangi biaya operasional jasa transportasi, menghilangkan persyaratan perizinan angkutan barang, meringankan biaya investasi usaha kepelabuhanan, standarisasi dokumen arus barang dalam negeri, mengembangkan pusat distribusi regional, kemudahan pengadaan kapal tertentu dan mekanisme pengembalian biaya jaminan peti kemas; dan (16). Paket Kebijakan Ekonomi XVI, ada tiga poin dalam paket terbaru ini, yakni memperluas fasilitas pengurangan pajak penghasilan badan (tax holiday), relaksasi daftar negatif investasi, dan memperkuat pengendalian devisa dengan pemberian insentif perpajakan.

Selain itu, Presiden Jokowi juga memfokuskan aliran dana investasi diarahkan untuk pembangunan Infrastruktur.Salah satu komponen penting pada pembangunan infrastruktur negara yang baikdidukung oleh pendanaan yang layak dalam tahap perencanaan (planning), proses pembangunan (construction), hingga tahap operasi dan pemeliharaan infrastruktur(operational and maintenance).Data Kementerian Keuangan RI

Page 13: PERSPEKTIF, 10 (2) (2021): 450-466, DOI: PERSPEKTIF

Adi Saputro & Taufiqqurrohman, Investasi Dalam Bingkai Politik Luar Negeri Pemerintahan Jokowi

462

menunjukkan bahwa kemampuan PemerintahIndonesia untuk mendanai pembangunan infrastruktur dengan menggunakan danapublik yang berasal dari negara sangat terbatas. Permasalahan kelangkaan dana pembiayaan terhadap infrastruktur ditunjukkan dengan alokasi dana yangdirumuskan pemerintah belum optimal. Tidak hanya alokasi dana untuk pembangunan yang masih minim, namun alokasi dana untuk pemeliharaan terhadap infrastruktur yang sudah ada juga masih terbatas. Kurangnya alokasidana ini ditunjukkan dengan rendahnya alokasi anggaran pemerintah yang hanya sebesar 3% terhadap Pendapatan Domestik Bruto (PDB) Indonesia (Saleh et al., 2014).

Bappenas memperkirakan untuk mencapai target pembangunan infrastruktur dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) tahun 2015-2019 dana yang diperlukan mencapai Rp 5.452 triliun. Dari keseluruhan dana yang dibutuhkan tersebut, pemerintah pusat dan daerahhanya mampu menyediakan dana sebesar Rp 1.131 triliun. Hal ini berarti bahwa terdapat selisih pendanaan (financing gap) sebesar 4.321 triliun yangpemenuhannya dapat dicapai melalui pendanaan alternatif seperti Kerjasama Pemerintah Swasta (public private partnership) dan dengan sumber pendanaan alternatif lain berupa dana perbankan, pasar modal dan lain-lain (Putri, dan Wisudanto, 2016).

Kemudian menurut prediksi Mc Kinse & Company, Indonesia membutuhkansuntikan investasi setidaknya US$600 miliar dalam 10 tahun mendatang. Faktanya, dalam sastu dekade terakhir, investasi infrastruktur menurun cukuptajam, berkisar 3-4 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB). Akibatnya, Indonesia setidaknya kehilangan 1 (satu) persen dari laju pertumbuhan ekonomi setiap tahunnya, seperti dipaparkan oleh Bank Dunia. Kemampuan pemerintah untuk memenuhi kebutuhan investasi infrastruktur terbatasi oleh antara lain hambatan fiskal dikarenakan besarnya komitmen anggaran untuk subsidi bahan bakar. Hambatan lainnya adalah rumitnya proses pembebasan lahan. Alhasil, hanya 13 dari 34 proyek infrastruktur yang direncanakan tahun ini akan dapat dilaksanakan (Lin, 2018)

Pemerintah mengakui pembangunan infrastruktur tetap terkendala karena keterbatasan dana. Oleh karena itu, terutama

untuk mempercepat pembangunan infrastruktur, maka harus melibatkan pihak swasta, terutama untuk proyek public private partnership (PPP). Skema Kerjasama Pemerintah Swasta (KPD) sebagai implementasi paradigma “not business as usual” dalam pembangunan infrastruktur menjadikan infrastruktur bukan hanya sebagai prasyarat investasi, tetapi juga merupakan lahan investasi bagi pihak swasta. Guna mengisi gap pembiayaan tersebut, pemerintah Indonesia memperkenalkan skema kerjasama pembangunan infrastruktur dengan melibatkan partisipasi dari pihak swasta yang kemudian dikenal dengan skema KPS (Kerjasama Pemerintah dan Swasta) atau juga dikenal dengan PPP (Public PrivatePartnership) guna mengatur pelaksanaan pembangunan proyek dengan KPS ini, pemerintah telah menerbitkan beberapa regulasi antara lain Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 67 Tahun 2005 jo. Perpres Nomor 13 Tahun 2010 jo. Perpres Nomor 56 Tahun 2011 jo. Perpres Nomor 66 Tahun 2013 yang mengatur pola, bentuk dan ketentuan pelaksanaan proyek KPS di Indonesia (Surachman, 2021) Pembangunan infrastruktur dengan skema KPS, pada prinsipnya merupakan usaha penyediaan sarana infrastruktur yang meliputi pekerjaan konstruksi untuk membangun atau meningkatkan kemampuan sarana infrastruktur yang dilakukan berdasarkan prinsip project financing, hal mana sektor swasta selaku sponsor proyek berkewajiban membangun dan/atau mengoperasikan serta melakukan perawatan sarana infrastruktur dengan dana pembangunan infrastruktur sebagian kecil berasal dari modal sponsor proyek dan sebagian besarnya berasal dari bank dan/atau lembaga pembiayaan lainnya sebagai sebagai lenders atau pemberi pinjaman proyek. Sedangkan pemerintah selaku owner dari proyek infrastruktur memberikan kompensasi berupa hak konsesi pengelolaan komersial sarana infrastruktur kepada sektor privat/swasta tersebut selama jangka waktu tertentu sesuai dengan perjanjian kerjasama. Setelah masa konsesi ini selesai, infrastruktur diserahkan kembali kepada pemerintah. (Model pembiayaan infrastruktur: Indonesia dan Negara lain, Biro Riset BUMN, Lembaga Management Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, Jakarta: LM-FEB UI, 2016.)

Page 14: PERSPEKTIF, 10 (2) (2021): 450-466, DOI: PERSPEKTIF

PERSPEKTIF, 10(2) (2021): 450-466

463

Posisi Indionesia ini naik pada masa kepemimpinan Jokowi. Dalam bidang Infrastruktur, berdasarkan Global Competitiveness Report 2015-2016, kualitas infrastruktur Indonesia secara keseluruhan menempati peringkat 81 dari 140 negara. Sementara itu, berdasarkan laporan UNDP, Indeks Pembangunan Manusia pada tahun 2015 menempati peringkat 110 dari 187 negara. Berdasarkan data dari Kementerian Perindustrian, investasi sektor industri manufaktur sepanjang kuartal I tahun 2018 mencapai 62,7 triliun. Realisasi ini terdiri dari PMDN senilai Rp 21,4 triliun dan PMA sebesar USD 3,1 miliar. Sektor industri logam, mesin dan elektronik menjadi penyumbang terbesar dengan nilai investasi mencapai Rp22,7 triliun. Rata-rata pertumbuhan investasi di sektor industri pada periode tahun 2011-2017, untuk PMA tumbuh hingga 19,2 persen, sementara PMDN tumbuh sebesar 17,1 persen (Liputan 6, diakses pada 25 Juli 2020). Dampaknya bagi Masyarakat Indonesia

Masa awal pemerintahan Jokowi Jilid I ditandai dengan optimisme tinggi atas prospek ekonomi. Target pertumbuhan ditetapkan di kisaran angka 7%. Namun, kondisi faktor eksternal yang kurang kondusif dan butuhnya koordinasi yang lebih baik antar Kementerian/Lembaga dalam mendorong investasi menyebabkan target tersebut belum tercapai.

Investasi pada masa Jokowi melalui PMA selama periode pertama pemerintahannya tidak begitu bagus. Tren pertumbuhan PMA bisa dikatakan stagnan. Rata-rata pertumbuhan nilai PMA di era Jokowi hanya naik 1 persen per tahun. Pembentukan PDB dari sektor investasi relatif bertumbuh lambat sehingga perlu didorong tingkat konsumsi masyarakat untuk menjamin bergeraknya pertumbuhan ekonomi. Jokowi pada tahun pertamanya sebagai presiden mencatatkan angka realisasi PMA sebesar 29,27 miliar dolar AS pada 2015. Kemudian pada 2018, realisasi PMA mencapai 29,30 miliar dolar AS atau naik tipis sebesar 0,1 persen (Gumiwang, Mengapa Investasi Asing Tak Menambah Lapangan Kerja Indonesia, dalam https://tirto.id/mengapa-investasi-asing-tak-menambah-lapangan-kerja-indonesia-eerq, diakses pada tanggal 25 Juli 2020).

Laporan Bank Dunia pada September 2019 menunjukkan salah satu kelemahan yang harus diperbaiki Indonesia ialah kemampuan memperbaiki posisi current account deficit (CAD) dengan meningkatkan Foreign Direct Investment (FDI) dan bukan mengandalkan portfolio investment (Pranoto, 2020). Peningkatan FDI memerlukan perbaikan radikal pada sisi kemampuan meyakinkan investor bahwa kebijakan yang diambil bersifat kredibel yang mana Indonesia terbuka untuk bisnis, adanya kepastian hukum (certainty), tidak diskriminatif, dan adanya disiplin terhadap implementasi kebijakan ekonomi yang telah ditetapkan. Contoh negara dengan pertumbuhan ekonomi lebih baik, adalah pertumbuhan ekonomi Vietnam yang mencapai rata-rata 7% dalam tiga tahun terakhir merupakan buah dari reformasi ekonomi radikal yang memperkuat aspek kelembagaan dan penciptaan iklim bisnis yang kompetitif.

Tak hanya investasi yang loyo, jumlah tenaga kerja yang diserap dari investasi asing itu juga semakin menurun setiap tahunnya. Rata-rata penurunan tenaga kerja yang diserap dari PMA itu sebesar 15 persen per tahun.Pada 2015, nilai PMA sebesar 29,27 miliar dolar AS berhasil membuka sebanyak 930.905 tenaga kerja di Indonesia. Namun pada 2018, nilai PMA sebesar 29,30 miliar dolar AS hanya menyerap 490.368 tenaga kerja, anjlok 47 persen.Bisa dikatakan, dampak investasi asing terhadap penyerapan lapangan kerja di era Jokowi ini kian tipis. Pada 2015, untuk setiap 1 juta dolar AS yang masuk, lapangan pekerjaan yang terbuka mencapai 32 orang. Pada tahun-tahun berikutnya, tenaga kerja yang diserap dari setiap PMA senilai 1 juta dolar AS yang masuk ke Indonesia naik turun dengan tren menurun, yakni 33 orang pada 2016, 24 orang pada 2017 dan 17 orang pada 2018. Dampak investasi terhadap pertumbuhan ekonomi hal mana berdasarkan hasil penelitian Firdaus Jufrida,dkk (2016) bahwa penanaman modal asing (FDI) berpengaruh positif tetapi tidak signifikan terhadap PDB di Indonesia, namun Investasi Domestik (DI) atau penanaman modal dalam negeri berpengaruh positif dan signifikan terhadap PDB di Indonesia, sertaInvestasi asing maupun dalam negeri terbukti secara empiris mampu mendorong peningkatan terhadap pertumbuhan ekonomi melalui peningkatan pendapatan nasional.

Page 15: PERSPEKTIF, 10 (2) (2021): 450-466, DOI: PERSPEKTIF

Adi Saputro & Taufiqqurrohman, Investasi Dalam Bingkai Politik Luar Negeri Pemerintahan Jokowi

464

Selain itu, dalam lima tahun pemerintahan Presiden Jokowi-Jusuf Kalla, pertumbuhan ekonomi Indonesia berada pada level 5 persen. Tahun 2014 pertumbuhan ekonomi tercatat 5,01 persen, tahun 2015 turun menjadi 4,87 persen, tahun 2016 sebesar 5,03 persen. Pada tahun 2017 ekonomi hanya tumbuh sebesar 5,07 persen dan menguat pada 2018 sebesar 5,17 persen. Sementara pada tahun 2019, hingga semester I atau 6 bulan menjelang berakhirnya pemerintahan Jokowi Periode I, pertumbuhan ekonomi tercatat 5,06 persen (Friska Yolanda, Lima Tahun Jokowi-JK, Pencapaian dan Tantangan Tim Ekonomi, dalamhttps://republika.co.id/berita/pzmiaw370/lima-tahun-jokowijk-pencapaian-dan-tantangan-tim-ekonomi, diakses pada tanggal 25 Juli 2020). Angka pertumbuhan ini juga meleset, karena target pertumbuhan ekonomi selama 2014-2019 ialah dipatok 7% tetapi hanya mampu berada di kisaran 5%. (https://www.cnbcindonesia.com/news/20191007112402-8-104892/evaluasi-kinerja-jokowi-periode-i-ini-penilaian-ekonom, diakses pada 25 Juli 2020)

Angka penurunan sasaran kemiskinan juga meleset dari target RPJMN yaitu 7,5-8,5%, meski telah direvisi menjadi 8,5-9,5%. Data Badan Pusat Statistik (BPS) pada Maret 2018 kemiskinan hanya ditekan hingga ke 9,8%. Dalam pengerjaan infrastruktur yang menjadi “jualan” Jokowi, Kementerian Perhubungan telah melempar handuk, tak mampu mengejar target. Salah satunya terlihat pada proyek pembangunan rel kereta api yang dipangkas dari 3.258 kilometer (km) menjadi hanya 1.349 km pada 2019. Bahkan sepanjang 2015 hingga 2018, Kementerian Perhubungan hanya mampu membangun jalur ganda dan mereaktivasi rel sepanjang 735,1 km. Realisasi pembangunan bandara baru cukup baik, hanya berjarak lima bandara lagi dari target RPJMN yakni 252 bandara. Selisih lebih besar ada pada realisasi dan target pengembangan pelabuhan. Dalam periode 2015-2018 Kementerian Perhubungan hanya mengembangkan 104 pelabuhan, sedangkan target RPJMN pada tahun 2019 harus ada 172 pelabuhan baru yang dibangun (Ameidyo Daud Nasution, Menakar Rapor Kinerja Empat Tahun Pemerintahan Jokowi-JK, dalam https://katadata.co.id/safrezifitra/indepth/5e9a55ba8edc1/catatan-rapor-biru-dan-merah-

4-tahun-pemerintahan-jokowi-jk, diakses pada 25 Juli 2020).

Untuk kemudahan bisnis di Indonesia, berdasarkan Laporan Doing Business tahun 2019 menyatakan bahwa Indonesia ada di peringkat ke-73 dunia, dengan skor 67,96 dalam skala 100 (Jalal, Pesan Kepada Jokowi Soal Invenstasi, dalam https://www.mongabay.co.id/2019/05/15/pesan-kepada-jokowi-soal-investasi/, diakses pada 25 Juli 2020). Peringkat itu sudah membaik sebetulnya, tetapi dibandingkan dengan Malaysia, yang tahun ini ada di peringkat 15, kita jelas kalah menarik. Dan, sangat penting untuk diingat, bahwa peringkat kemudahan bisnis itu sebetulnya tak betul-betul menggambarkan Indonesia, lantaran hanya mencakup Jakarta dan Surabaya.

Kalau dibedah lebih lanjut, dalam urusan memulai bisnis— yang mana perizinan menjadi komponen sangat penting—peringkat Indonesia merosot jauh. Ada di angka 134 dari 190 negara yang dinilai. Skornya sendiri tidaklah buruk, yaitu 81,22. Namun, selain itu hanya mewakili perizinan di tingkat nasional dan di ibukota Provinsi Jawa Timur, jelas ada 133 negara yang lebih baik daripada Indonesia dalam memudahkan memulai bisnis. Buat Indonesia, peringkat itu adalah yang nomor dua paling buruk dari 10 kategori. Yang lebih buruk adalah urusan penegakan kontrak, termasuk penyelesaian hukum apabila ada perselisihan. Indonesia berada pada peringkat 146, dengan skor yang benar-benar rendah, 47,23. Jadi, Presiden Jokowi benar adanya. Walaupun pemerintahannya telah memangkas 201 jenis izin—yaitu dari 259 menjadi ‘hanya’ 58 saja—dibandingkan dengan negara-negara lain, kita memang masih jauh lebih tertinggal. Kalau kita hendak menarik investasi, maka peringkat kemudahan menjalankan bisnis itu harus terus diperbaiki. Buat banyak pengusaha nusantara, apalagi mancanegara, jumlah izin yang masih harus diurus itu sungguh memberatkan. SIMPULAN

Pembentukan PDB dari sektor investasi relatif bertumbuh lambat sehingga perlu didorong tingkat konsumsi masyarakat untuk menjamin bergeraknya pertumbuhan ekonomi. Jokowi pada tahun pertamanya sebagai presiden mencatatkan angka realisasi PMA sebesar 29,27 miliar dolar AS pada 2015. Kemudian pada 2018, realisasi PMA mencapai

Page 16: PERSPEKTIF, 10 (2) (2021): 450-466, DOI: PERSPEKTIF

PERSPEKTIF, 10(2) (2021): 450-466

465

29,30 miliar dolar AS atau naik tipis sebesar 0,1 persen. Namun, Dalam bidang Infrastruktur, berdasarkan Global Competitiveness Report tahun 2015-2016, kualitas infrastruktur Indonesia secara keseluruhan menempati peringkat 81 dari 140 negara. Sementara itu, berdasarkan laporan UNDP, Indeks Pembangunan Manusia pada tahun 2015 menempati peringkat 110 dari 187 negara.

Berdasarkan data dari Kementerian Perindustrian, investasi sektor industri manufaktur sepanjang kuartal I tahun 2018 mencapai 62,7 triliun. Realisasi ini terdiri dari Penanaman Modal PMDN senilai Rp 21,4 triliun dan PMA sebesar USD 3,1 miliar. Sektor industri logam, mesin dan elektronik menjadi penyumbang terbesar dengan nilai investasi mencapai Rp 22,7 triliun. Rata-rata pertumbuhan investasi di sektor industri pada periode tahun 2011-2017, untuk PMA tumbuh hingga 19,2 persen, sementara PMDN tumbuh sebesar 17,1 persen.

Sedangkan, jika kita mengacu terhadap rata-rata penurunan tenaga kerja yang diserap dari PMA itu sebesar 15 persen per tahun. Pada 2015, nilai PMA sebesar 29,27 miliar dolar AS berhasil membuka sebanyak 930.905 tenaga kerja di Indonesia. Namun pada 2018, nilai PMA sebesar 29,30 miliar dolar AS hanya menyerap 490.368 tenaga kerja, anjlok 47 persen. Bisa dikatakan, dampak investasi asing terhadap penyerapan lapangan kerja di era Jokowi ini kian tipis. Pada 2015, untuk setiap 1 juta dolar AS yang masuk, lapangan pekerjaan yang terbuka mencapai 32 orang. Pada tahun-tahun berikutnya, tenaga kerja yang diserap dari setiap PMA senilai 1 juta dolar AS yang masuk ke Indonesia naik turun dengan tren menurun, yakni 33 orang pada 2016, 24 orang pada 2017 dan 17 orang pada 2018.

Berdasarkan uraian di atas, bahwa untuk saran yang diajukan adalah agar Pemerintahan Jokowi kedepannya diharapkan dapat sukses dalam memasarkan politik luar negeri untuk menarik Investor Asing, hal mana hendaknya prosedur dalam perizinan investasi di Indonesia dipermudahkan lagi dan dipercepat, agar investasi dapat sejalan dengan kemudahan dalam berbisnis. DAFTAR PUSTAKA AmCham Indonesia and the U.S. Chamber of

Commerce, 2018, Indonesia’s Journey

Arsyad, L., (2010). Ekonomi Pembangunan. Yogyakarta: UPP STIM YKPN.

Aswicahyono, H., dan Christian, D, (2017), Perjalanan Reformasi EKonomi Indonesia 1997-2016, CSIS.

Badan Pengkajian dan Pengembangan Kebijakan Kementerian Luar Negeri Republik Indonesia, (2015), Kinerja Diplomasi Ekonomi: Evaluasi atas Perjanjian Perdagangan dan lnvestasi

Baidawi, A, (2019), Pemasaran Politik Luar Negeri Sebagai Diplomasi Presiden Jokowi Untuk Menarik Investor Asing, Kemudi: Jurnal Ilmu Pemerintahan Volume 04.

Bappenas., (2014), Program Quick Wins dan Arah Program Lanjutan Pemerintahan Jokowi-JK, Dokumen Sidang Kabinet Kerja Yang Pertama.

Biro Riset BUMN, Lembaga Management Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, (2016), Model pembiayaan infrastruktur: Indonesia dan Negara lain.

Budhivaja, (2012), Bahan Perkuliahaan “Hukum Investasi dan Pasar Modal”, Chapter IV, Universitas Narotama.

CNBC Indonesia Research, (2018), Tahun-tahun Menentukan Tinjaun Tematik Kinerja Ekonomi Jokowi-JK.

Gumiwang, R., (tt), Mengapa Investasi Asing Tak Menambah Lapangan Kerja Indonesia, dalam https://tirto.id/mengapa-investasi-asing-tak-menambah-lapangan-kerja-indonesia-eerq, diakses pada tanggal 25 Juli 2020

Harjanti, R., (2018), Daftar Lengkap Paket Kebijakan Ekonomi Jilid I hingga XVI, Cek di Sini, dalamhttps://economy.okezone.com/read/2018/11/16/20/1978661/daftar-lengkap-paket-kebijakan-ekonomi-jilid-i-hingga-xvi-cek-di-sini?page=2, di akses pada 25 Juli 2020

Hartono, S.C.F.G., (1972), Beberapa Masalah Transnasional Dalam Penanaman Modal Asing di Indonesia, Binatjipta, Bandung.

Holsti, K.J., (1987), Politik Internasional. Kerangka Analisa, Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya.

http:// journal.unpar.ac.id/index.php/JurnalIlmiahHubunganInternasional/article/ view/1442/1387

http://sprilampung.blogspot.com/2015/05/dominasi-investasi-asing-di-indonesia.html,diakses pada 25 Juli 2020

https://ojs.umrah.ac.id/ index.php/kemudi/article/view/1307/718

https://www.cnbcindonesia.com/news/20191007112402-8-104892/evaluasi-kinerja-jokowi-periode-i-ini-penilaian-ekonom, diakses pada 25 Juli 2020

Page 17: PERSPEKTIF, 10 (2) (2021): 450-466, DOI: PERSPEKTIF

Adi Saputro & Taufiqqurrohman, Investasi Dalam Bingkai Politik Luar Negeri Pemerintahan Jokowi

466

Jalal, (2019), Pesan Kepada Jokowi Soal Invenstasi, dalam https://www.mongabay.co.id/2019/05/15/pesan-kepada-jokowi-soal-investasi/, diakses pada 25 Juli 2020

Jufrida, F., Syechalad, M.N., dan Nasir, M., (2016), Analisis Pengaruh Investasi Asing Langsung (FDI)Dan Investasi Dalam Negeri Terhadap Pertumbuhan Ekonomi Indonesia, Jurnal Perspektif Ekonomi Darussalam, 2(1). 67-75, dalam http://jurnal.unsyiah.ac.id/JPED/article/view/6652

Kementerian Luar Negeri, (2015), Renstra Kemenlu 2015-2019.

Kementerian Luar Negeri, Laporan Kinerja Kementerian Luar Negeri, Tahun 2015

Kementerian Luar Negeri, Laporan Kinerja Kementerian Luar Negeri, Tahun 2016.

Kementerian Luar Negeri, Laporan Kinerja Kementerian Luar Negeri, Tahun 2017.

Kementerian Luar Negeri, Laporan Kinerja Kementerian Luar Negeri, Tahun 2018.

Khor, M, (2002), Globalisasi Perangkap Negara-negara Selatan, Yogyakarta: Cindelaras Pustaka Rakyat Cerdas

Laksono Ari Widodo, Harapan Dipundak Diplomasi, dalam https://nasional.kompas.com/read/2014/11/17/20080381/Harapan.di.Pundak,diakses pada tanggal 24 Juli 2020.

Lin, D.L, (McKinsey&Company), (2018), “Menjawab Kebutuhan Infrastruktur Melalui Kemitraan Pemerintah Swasta. Tabloid Diplomasi,No.72, Tahun VII.

Liputan 6, diakses pada 25 Juli 2020 Mankiw, N.G., (2003), Teori Makro Ekonomi,

Jakarta: Erlangga. Mukti, M.F., (tt), Riwayat Masuknya Modal Asing Ke

Indonesia, dalamhttps://historia.id/politik/articles/riwayat-masuknya-modal-asing-ke-indonesia-DWVy1, di akses pada 25 Juli 2020.

Nasution, A.D., (tt), Menakar Rapor Kinerja Empat Tahun Pemerintahan Jokowi-JK, dalam

https://katadata.co.id/safrezifitra/indepth/5e9a55ba8edc1/catatan-rapor-biru-dan-merah-4-tahun-pemerintahan-jokowi-jk, diakses pada 25 Juli 2020

Nurridki, N. (2015), “Learning from the ASEAN+1 Model and the ACIA”

Nurridki, N., (2015), “Learning from the ASEAN+1 Model and the ACIA”

Pranoto, T., (tt), Optimisme Ekonomi di Periode II Pemerintahan Jokowi, dalam https://mediaindonesia.com/read/detail/266641-optimisme-ekonomi-di-periode-ii-pemerintahan-jokowi, diakses pada 25 Juli 2020.

Putri, E.S, dan Wisudanto, (2016), Symposium I Jaringan Perguruan Tinggi Untuk Pembangunan Infrastruktur Indonesia, 2016,Struktur Pembiayaan Pembangunan Infrastruktur di Indonesia Penunjang Pertumbuhan Ekonomi.

Saleh, D.Z., (2014), Mozaik Permasalahan Infrastruktur Indonesia, Depok.

Sembilan Agenda Pembangunan Prioritas Yang Dibawa Oleh Jokowi Sebagai Visi-Misi Memimpin Indonesia, Nawa Cita, Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJMN), UNDP Indonesia Country Office, 2015.

Sukirno, S., (2008), Mikro Ekonomi: Teori Pengantar, Jakarta: Raja GrafindoPersada.

Surachman, E.N., (tt), Dana Dukungan Tunai Infrastruktur (Viability Gap Fund): Harapan Baru Pembangunan Infrastruktur di Indonesia, dalam https://www.kemenkeu.go.id/media/4483/dana-dukungan-tunai-infrastruktur-vgf-harapan-baru-pembangunan-infrastruktur-di-indonesia, diakses pada 25 Juli 202

Todaro, P.M., (2000), Pembangunan Ekonomi di Dunia Ketiga. Jakarta: Penerbit Erlangga.

Yolanda, F, (tt), Lima Tahun Jokowi-JK, Pencapaian dan Tantangan Tim Ekonomi, dalamhttps://republika.co.id/berita/pzmiaw370/lima-tahun-jokowijk-pencapaian-dan-tantangan-tim-ekonomi, diakses pada tanggal 25 Juli 2020