perubahan kultur bantengan
DESCRIPTION
antropologi seniTRANSCRIPT
Matakuliah Antropologi Seni
CULTURAL CHANGE : PERUBAHAN DAN PERKEMBANGAN KESENIAN BANTENGAN DENGAN KONSEP PARIWISATA
KOTA BATU
Dosen Pengampu :Prof. Dr. Y. Sumandiyo Hadi
PUNGKY FEBI ARIFIANTO
142 0862 412
PROGRAM PASCASARJANA
PENCIPTAAN DAN PENGKAJIAN SENI
INSTITUT SENI INDONESIA YOGYAKARTA
2014
DAFTAR ISI
BAB I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah.................................................................................2
B. Rumusan Masalah..........................................................................................6
C. Tujuan Penelitian............................................................................................6
BAB II PEMBAHASAN
A. Latar Belakang Kota Pembentuk Kesenian....................................................7
B. Konsep Totemisme Sebagai Simbol Tarian Mimetik....................................10
C. Knsep Akulturasi dan Inkulturasi...................................................................12
D. Konsep Bantengan sebagai Sistem Akulturasi & Perubahan Kebudayaan....14
E. Konsep Perubahan Kebudayaan Bantengan dan Pariwisata..........................20
BAB III KESIMPULAN.............................................................................................................................23
1
BAB I
LATAR BELAKANG
A. Latar Belakang
Tidak dapat dipungkiri bahwa manusia memang makhluk yang mempunyai
paham mimetik, dimana ia akan menagkap sesuatu yang hadir dalam
kehidupannya melalui panca indera yang ada disekitarnya. Alam menjadi bagian
penting dalam proses dinamika mimetik tersebut. Alam memberikan kontribusi
keindahan dan estetika yang mendasar bagi manusia. Bentuk dari alam yang
menimbulkan sifat yang menenangkan hati dan merubah pandangan manusia
dengan berkesenian. Tidak dapat dipungkiri bahwa manusia mengambil esensi
dari tiap elemen alam untuk dijadikan sebuah sumber referensi. Dalam bukunya
yang berjudul Manusia dan Seni, Dick Hartoko menyatakan bahwa elemen alam
mempengaruhi semua panca indera bersama, sehingga menimbulkan perasaan
estetik (Hartoko, 1984:19) . Elemen tersebut akan dijadikan sebuah bahan
penghasil tanda yang nantinya akan menjadi sebuah kesepakatan antar kelompok
sebagai sebuah bahasa yang sifatnya universal. Tanda-tanda tersebut tanpa kita
sadari ada disekitar kita yang disebut dengan “Kebudayaan”.
Menurut ilmu antropologi, “kebudayaan” adalah keseluruhan sistem gagasan,
tindakan, dan hasil karya manusia dalam kehidupan masyarakat yang dijadikan
milik diri manusia dengan belajar (Koentjaraningrat, 2009 : 144). Seni merupakan
salah satu wujud kebudayaan yang bersifat artifact, yakni bendabenda hasil karya
manusia disamping dua wujud kebudayaan yang lain yaitu ideas, dan activities.
Dr. Van Peursen dalam bukunya Strategi Kebudayaan juga menyinggung konsep
Kebudayaan bukan hanya sebagai sebuah manivestasi dari kehidupan manusia
yang berbudi luhur dan yang bersifat rohani saja. Akan tetapi kebudayaan sudah
mendarah-daging masuk kedalam seluruh aspek kehidupan manusia . Manusia
tidak dapat hidup begitu saja di tengah alam. Oleh karena itu, untuk dapat hidup,
manusia harus mengubah segala sesuatu yang telah disediakan oleh alam.al
tersebut yang membedakan kelompok manusia dengan kelompok makhluk hidup
yang ada dibumi. Manusia mengubah cara hidupnya melalui kebudayaan.
Bagaimana memahami segala sesuatu yang ada di alam untuk bermanfaat bagi
2
kehidupan kelompoknnya. Misalnya, bagaimana cara mereka menghayati
kematian, atau kelahiran dengan ritual-ritual yang sering dianggap sebagai sesuatu
yang berbau magis/mistis. Terwujudnya suatu kebudayaan dipengaruhi oleh
sejumlah faktor, yaitu hal-hal yang menggerakkan manusia untuk menghasilkan
kebudayaan sehingga dalam hal ini kebudayaan merupakan produk kekuatan jiwa
manusia sebagai makhluk Tuhan yang tertinggi.
Kebudayaan menjadi sebuah ketegangan antara imanensi dan trancendensi yang
dipandang sebabgai ciri khas dari kehidupan manusia yang sesuangguhnya. Hidup
manusia sesungguhnya berlangsung di tengah-tengah arus proses-proses
kehidupan (imanensi), tetapi juga muncul dari arus alam raya untuk menilai
alamnya sendiri dan mengubahnya(transcendensi)
Manusia juga tidak bertopang dagu dengan atau membiarkan dirinya hanyut
dengan proses-proses alam, bisa jadi manusia melawan arus dalam artian tidak
hanya mengikuti arus alam, tetapi juga mengikuti kata hati. Salah satu tindakan
mengikuti kata hati adalah dengan menilai serta mengevaluasi alam sekitarnya
serta alam manusia sendiri. Dalam mengevaluasi alam bukan hanya terbatas pada
sesuatu yang sifatnya rohani, misalnya ilmu pengetahuan, kesadaran moril,
keyakinan, religius, kesadaran sosial dan ilmu kemasyarakatan. Lebih dari pada
itu manusia juga mengevaluasi norma-norma serta perubahan baik jasmaniah
maupun alamiah.
Kebudayaan dipandang sebagai manifestasi kehidupan setiap orang atau
kelompok orang-orang yang selalu mengubah alam. Kebudayaan merupakan
semacam sekolah di mana manusia dapat belajar, manusia tidak hanya bertanya
tetapi juga bagaimana harus menyikapi segala sesuatu yang ada dan terjadi di
alam. Sebuah batu menjadi tantangan bagi pemahat, banjir menjadikan manusia
harus berpikir bagaimana mengantisipasi, udara dingin mendorong manusia
membuat baju dari bahan-bahan yang dapat melindungi tubuh dari kedinginan.
Studi kebudayaan selalu menjadi topik yang menarik, karena keberadaan
kebudayaan menjadi wujud kecerdasan manusia dibandingkan dengan makhluk
hidup lainnya. Kebudayaan di bidang seni layak dikaji dengan perspektif
3
kebudayaan atau antropologi menjadi sebuah sesuatu hal yang layak untuk di
teliti, dimana kebudayaan selalu berkembang, selalu bergeser, sesuai dengan
sifatnya yang super-organik. Perubahan-perubahan tersebut, yang telah lalu dan
yang sekarang,tahap yang telah lalu dan tahap yang sekarang, semuanya terekam
dalam sebuah wujud karya seni. Rekam jejak pergeseran-pergeseran atau
perubahan nilai budaya dalam kurun waktu tertentu tersebut dapat dilihat dari
perwujudan karya seni dalam kurun waktu itu sendiri, bahkan untuk melihat
sejauh mana tingkat peradaban sebuah bangsa, maka karya seni menjadi indikator
peradaban tersebut.
Sebuah ragam kesenian nuswantara yang berada didaerah kelahiran penulis yakni
batu, terdapat suatu kebudayaan yang dilestarikan sampai sekarang yang
dinamakan Kesenian Bantengan,. Kesenian ini kemudian semakin berkembang
dan menjadi sebuah ikon kebudayaan lokal yang berada dijawa timur kususnya
kota batu di kabupaten malang. Untuk menjaga kelestarian tersebut pemerintah
kota batu menggelara acara Pagelaran Kesenian Bantengan Nuswantara yang
diagendakan rutin tahunan di Kota Batu, diharapkan sebagai jembatan
membangun kembali Kesenian tersebut untuk mampu menjadi bargening
possesionkarakteristik masyarakat diantara himpitan kebudayaan
asing.Perkembangan kesenian Bantengan yang terjadi di masyarakat Jawa Timur
kususnya, berkembang dimasyarakat pedesaan dan kelompok Pencak silat, sesuai
dengan kepentingan dan fungsinya masing-masing. Sifat- sifat ini yang disebut
dengan fungsi Eksternal dan Internal kebudayaan Bantengan.
Diposisikan sebagai bentuk seni pertunjukan, Bantengan merupakan sebuah
manifestasi kebudayaan masa depan yang masih memiliki sifat mistis, religi, dan
kearifan lokal mengenai falsafat yang ada dalam dirinya. Kesenian bantengan ini
sebenarnya merupakan kesenian yang sangat lama sejak hadirnya empu sindok di
Batu dengan ditemukannya bangunan candi songgoriti. Hal ini menimbulkan
suatu perubahan yang menjadikan kesenian ini layak untuk di teliti dengan
penjabaran mengenai banteng secara falsafah jawa. Adanya konsep kebudayaan
yang bersifat akulturasi, inkuluturasi, difusi, subtitusi dan konsep yang lain.
4
Karena batu merupakan daerah pariwisata yang strategis yang dahulu
menghubungkan kerajaan-kerajaan di Jawa Timur. Sehingga bisa dilihat
bagaimana perubahan dan perkembangan kesenian bantengan ini dengan dasar
antropologi sehingga menjadi rangkaian historikal yang menarik untuk dijadikan
bahan penelitian.
5
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah dijabarkan dapat dideskripsikan
permasalahan yang ada, yaitu Selanjutnya, yang menjadi pertanyaan, adalah,
pertama Apa saja yang mendasari konsep perubahan kesenian bantengan yang ada
di wilayah kota batu? Kedua Bagaimana sistem dan pola perubahan kesenian
bantengan dengan lingkungan peradaban kota batu sebagai kota dengan konsep
tata kelola pariwisatanya?
C. Tujuan
Tujuan dari dibuatnya kajian ilmiah ini ialah mengetahui sejauh mana tahap
perubahan serta perkembangan kesenian bantengan dengan perubahan alam serta
iklim yang ada di Kota Batu sebagai kota tujuan pariwisata. Hal ini akan
memberikan gambaran perkembangan kebudayaan yang memusat pada sebuah
konsepsi nilai agung sebuah masyarakat pembentuk kebudayaan sebagai sebuah
sistem tanda dan simbol yang menjadi sebuah manivestasi kesenian dengan
perubahan kultur yang ada di masyarakat pembentuk kesenian “Kota Batu”.
6
BAB II
PEMBAHASAN
A. Latar Belakang Kota Pembentuk Kesenian.
Kota Batu adalah sebuah kota di Provinsi Jawa Timur, Indonesia. Kota ini terletak
15 km sebelah barat Kota Malang, berada di jalur Malang-Kediri dan Malang-
Jombang. Pada tanggal 6 Maret 1993, kota administrasi Batu dibentuk dan
diresmikan Batu dibentuk dan diresmikan, karena sebelumnya adalah bagian dari
wilayah kabupaten Malang. Tanggal 10 April 1995, dikirim permohonan surat
persetujuan DPRD kabupaten Malang dan Bupati Malang tentang peningkatan
status kotif Batu menjadi Kotamadya Batu. Pada tanggal 11 April 1995,
pengiriman surat persetujuan kepada pembantu Gubernur di Malang tentang
peningkatan status kotif Batu menjadi Kotamadya Batu. Pada tanggal 6 Juni 1996,
dengan persetujuan DPR kota Malang, surat persetujuan Bupati dan Pembantu
Gubernur di Malang, dikirimkan ke Gubernur Jawa Timur. Dan melalui proses
yang sangat panjang tanggal 28 Pebruari 2001 diturunkan surat keputusan
MENDAGRI dan Otonomi Daerah. Tanggal 21 Juni 2001 Batu disahkan menjadi
kota admistratif berdasarkan UU No. 11 tahun 2001. Dan tanggal 17 Oktober
2001 Batu telah diresmikan menjadi daerah otonom yang berpisah dengan
wilayah Kabupaten Malang, yang terdiri dari tiga kecamatan dan 19 desa serta
kelurahan.
Secara astronomi, Kota Batu terlihat berada pada posisi 7° 55̍ 20̎- 7° 57̍ 20̎ Bujur
Timur, 115° 17 ̍ 0̎- 118° 19 ̍ 0 ̎ Lintang Selatan. Sedangkan batas wilayah kota
Batu, meliputi:
a. Sebelah utara berbatasan dengan Kabupaten Mojokerto dan Kabupaten
Pasuruan.
b. Sebelah selatan berbatasan dengan Kecamatan Dau, Kabupaten Malang.
c. Sebelah barat berbatasan dengan Kecamatan Pujon, Kabupaten Malang.
d. Sebelah timur berbatasan dengan Kecamatan Karang Ploso, Kabupaten
Malang.
7
Kota Batu terdiri dari 3 kecamatan yaitu Kecamatan Batu, Kecamatan Junrejo dan
Kecamatan Bumiaji. Kecamatan Bumiaji merupakan kecamatan yang paling luas
wilayahnya yaitu 12.797,89 ha sedangkan Kecamatan Batu dan Kecamatan
Junrejo masingmasing luas wilayahnya 4.545,81 ha dan 2.565,02 ha. Dilihat dari
keadaan geografinya, Kota Batu dapat dibagi menjadi 4 jenis tanah. Pertama jenis
tanah Andosol, berupa lahan tanah yang paling subur meliputi Kecamatan Batu
seluas 1.831,04 ha, Kecamatan Junrejo seluas 1.526,19 ha dan Kecamatan
Bumiaji seluas 2.873,89 ha. Kedua jenis Kambisol, berupa jenis tanah yang cukup
subur meliputi Kecamatan Batu seluas 889,31 ha, Kecamatan Junrejo 741,25 ha
dan Kecamatan Bumiaji 1395,81 ha. Ketiga tanah alluvial, berupa tanah yang
kurang subur dan mengandung kapur meliputi Kecamatan Batu seluas 239,86 ha,
Kecamatan Junrejo 199,93 ha dan Kecamatan Bumiaji 376,48 ha. Dan yang
terakhir jenis tanah Latosol meliputi Batu seluas 260,34 ha, Kecamatan Junrejo
217,00 ha dan Kecamatan Bumiaji 408,61 ha. Kota Batu terletak di kaki gunung
Paderman yang letaknya 700-1100 m di atas permukaan laut. Daerah dengan suhu
dingin, ketika musim dingin suhunya 15°-19° C, ketika musim panas suhunya 28°
C. Dan ketika pagi dan sore hari kota ini seringkali diselimuti kabut.
Dengan keadaan geografis yang telah dipaparkan seperti itulah dipercaya bahwa
sejak abad ke-10, wilayah Batu dan sekitarnya telah dikenal sebagai tempat
peristirahatan bagi kalangan keluarga kerajaan, karena wilayah adalah daerah
pegunungan dengan kesejukan udara yang nyaman, juga didukung oleh keindahan
pemandangan alam sebagai ciri khas daerah pegunungan.
Pada waktu pemerintahan Raja Sindok, seorang petinggi Kerajaan bernama Mpu
Supo diperintah Raja Sendok untuk membangun tempat peristirahatan keluarga
kerajaan di pegunungan yang didekatnya terdapat mata air. Dengan upaya yang
keras, akhirnya Mpu Supo menemukan suatu kawasan yang sekarang lebih
dikenal sebagai kawasan Wisata Songgoriti.
Atas persetujuan Raja, Mpu Supo yang konon kabarnya juga sakti mandraguna
itu mulai membangun kawasan Songgoriti sebagai tempat peristirahatan keluarga
kerajaan serta dibangunnya sebuah candi yang diberi nama Candi Supo.
8
Ditempat peristirahatan tersebut terdapat sumber mata air yang mengalir dingin
dan sejuk seperti semua mata air di wilayah pegunungan. Mata air dingin tersebut
sering digunakan mencuci keris-keris yang bertuah sebagai benda pusaka dari
kerajaan Sendok. Oleh karena sumber mata air yang sering digunakan untuk
mencuci benda-benda kerajaan yang bertuah dan mempunyai kekuatan
supranatural yang maha dasyat, akhirnya sumber mata air yang semula terasa
dingin dan sejuk akhirnya berubah menjadi sumber air panas. Dan sumberair
panas itupun sampai saat ini menjadi sumber abadi di kawasan Wisata Songgoriti.
Wilayah Kota Batu yang terletak di dataran tinggi di kaki Gunung Panderman
dengan ketinggian 700 sampai 1100 meter di atas permukaan laut, berdasarkan
kisah-kisah orang tua maupun dokumen yang ada maupun yang dilacak
keberadaannya, sampai saat ini belum diketahui kepastiannya tentang kapan nama
"Batu" mulai disebut untuk menamai kawasan peristirahatan tersebut.
Dari beberapa pemuka masyarakat setempat memang pernah mengisahkan bahwa
sebutan Batu berasal dari nama seorang ulama pengikut Pangeran Diponegoro
yang bernama Abu Ghonaim atau disebut sebagai Kyai Gubug Angin yang
selanjutnya masyarakat setempat akrab menyebutnya dengan panggilan Mbah
Wastu. Dari kebiasaan kultur Jawa yang sering memperpendek dan
mempersingkat mengenai sebutan nama seseorang yang dirasa terlalu panjang,
juga agar lebih singkat penyebutannya serta lebih cepat bila memanggil seseorang,
akhirnya lambat laun sebutan Mbah Wastu dipanggil Mbah Tu menjadi Mbatu
atau batu sebagai sebutan yang digunakan untuk Kota Dingin di Jawa Timur.
Sedikit menengok ke belakang tentang sejarah keberadaan Abu Ghonaim sebagai
cikal bakal serta orang yang dikenal sebagai pemuka masyarakat yang memulai
babat alas dan dipakai sebagai inspirasi dari sebutan wilayah Batu, sebenarnya
Abu Ghonaim sendiri adalah berasal dari JawaTengah. Abu Ghonaim sebagai
pengikut Pangeran Diponegoro yang setia, dengan sengaja meninggalkan daerah
asalnya Jawa Tengah dan hijrah dikaki Gunung Panderman untuk menghindari
pengejaran dan penangkapan dari serdadu Belanda (Kompeni)
9
Abu Ghonaim atau Mbah Wastu yang memulai kehidupan barunya bersama
dengan masyarakat yang ada sebelumnya serta ikut berbagi rasa, pengetahuan dan
ajaran yang diperolehnya semasa menjadi pengikut Pangeran Diponegoro.
Akhirnya banyak penduduk dan sekitarnya dan masyarakat yang lain berdatangan
dan menetap untuk berguru, menuntut ilmu serta belajar agama kepada Mbah
Wastu.
Bermula mereka hidup dalam kelompok (komunitas) di daerah Bumiaji, Sisir dan
Temas akhirnya lambat laun komunitasnya semakin besar dan banyak serta
menjadi suatu masyarakat yang ramai.
B. Konsep Totemisme Sebagai Simbol Tarian Mimetik
Pelembagaan kesenian di pedesaan (tradisional) sering disebut seni kerakyatan
atau kesenian rakyat atau folk arts. Dalam literatur sejarah seni tari, munculnya
pelembagaan itu (tari rakyat) sering merefleksikan dikotomi dengan jenis tarian
yang esensinya lebih pada aktivitas estetis. Kesenian (tari) yang semata-mata
sebagai aktivitas estetis sama sekali tidak terbebani berbagai macam fungsi dan
dikenal sebagai art dance. Sementara itu, kesenian (tari) rakyat folk dance
cenderung melayani berbagai macam fungsi (Hadi, 2005:54). Namun, perbedaan
tersebut akan hilang dengan sendirinya ketika manusia menganggap seni sebagai
aspek tindakan manusia.Kesenian pedesaan sebagian besar hidup dalam pola
pelembagaan ritual. Pola pelembagaan kesenian ritual itu sesungguhnya masih
mewarisi budaya primitif yang bersifat mistis maupun magis. Seperti tari yang
menirukan binatang atau animal mime atau animal dance pada masyarakat
primitif sampai sekarang masih dapat ditelusuri peninggalannya. Kesenian
Bantengan bisa digolongkan sebagai salah satu contoh animal dance sisa
kepercayaan totemisme berdasarkan ciri-ciri fisik yang ada pada gerakan tari-
tariannya. Animal dance menekankan pada kemampuan para penarinya dalam
menirukan binatang totemnya. Hal ini juga berlaku pada gerakan solah dalam
kesenian Bantengan yang menekankan para pemainnya untuk menirukan gerak-
gerik binatang banteng, macan, dan monyet sesuai aslinya. Solah adalah istilah
untuk menyebut gerakan tari-tarian dalam kesenian Bantengan. Gerakan solah ini
banyak bersumber dari pola langkah (jangkah) pencak silat (Herwanto, 2012:16)
10
yang dikombinasikan dengan peniruan gerakan binatang. Atraksi solah semakin
terlihat atraktif ketika dikombinasikan dengan lecutan pecut yang secara simbolis
berfungsi untuk membuka jalan, mengundang roh-roh leluhur, serta
membersihkan kotoran-kotoran dan hawa-hawa jahat di tempat pementasan.
Lecutan pecut ini dilakukan secara bersahut-sahutan oleh para pendekar
pengendali permainan yang berada di arena pementasan. Adanya simbol macan
dan monyet juga sebagai simbol yang selalu membuat masalah sehingga banteng
berusaha mengusirnya.
Atraksi solah ini mencapat adegan kilmaks ketika para pemain bantengan
memasuki tahap trans. Trans bisa diartikan sebagai perubahan kesadaran yang
ditandai dengan pergantian identitas pribadi menjadi identitas baru akibat
pengaruh suatu roh, dewa, atau kekuatan lain (Zulkhair, 2008:22). Trans yang
diakibatkan oleh intervensi roh, dewa, atau kekuatan lain ini sesuai dengan
penjelasan bahwa timbulnya keadaan trans merupakan pertanda bahwa makhluk
halus atau dewa yang ditunggu-tunggu itu benar-benar sudah datang.
Istilah populer dalam kesenian Bantengan untuk penyebutan kata “trans” adalah
ndadi. Trans ini tidak hanya dialami oleh para pemain yang sedang beratraksi di
tempat pementasan saja, akan tetapi juga dialami oleh para pemain yang tidak
mendapatkan peran apa-apa dan hanya berada di sekitar tempat pementasan
terkadang macan serta monyet juga memngalami ndandi secara berurutan, dengan
hal ini dinamakan kesetrum . layaknya orang ketika memegang listri maka ketika
orang lain memegangnya maka yang lain juga terkena imbasnya.
Menurut penjelasan para pemain kesenian Bantengan, kondisi yang dialami pada
saat mengalami trans dibagi menjadi tiga macam. Kondisi pertama adalah sadar.
Pada kondisi ini, para pemain berada dalam kondisi sadar, tetapi tidak bisa
mengendalikan tubuhnya dan merasa ada kekuatan lain yang menyetir dirinya.
Kondisi kedua adalah gelap total. Pada kondisi ini, para pemain tidak dapat
mengingat apa-apa seperti halnya orang yang sedang tertidur dan bermimpi.
Kondisi ketiga adalah setengah sadar. Pada kondisi ini, para pemain merasakan
11
keadaan di antara sadar dan tidak sadar. Para pemain terkadang bisa mengingat
apa yang terjadi, dan terkadang juga tidak bisa mengingat apa-apa
Tingkah laku para pemain yang mengalami trans sangat aneh. Para pemain
tersebut biasanya mencari sesepuh atau pendekar untuk menjalin komunikasi.
Komunikasi yang dijalin antara pihak ketiga dengan sesepuh atau pendekar
biasanya berupa permintaan sesaji dan pemberian petuah. Sesaji yang menjadi
favorit pihak ketiga adalah dupa, kemenyan, dan minyak wangi. Ketiga jenis
sesaji ini sangat disukai oleh pihak ketiga karena baunya yang harum. Dupa
biasanya dimakan langsung oleh pihak ketiga melalui perantara pemain,
kemenyan dihirup asapnya, sedangkan minyak wangi dioleskan ke tanduk di
kostum banteng.
Hal ini menjadikan bantengan merupakan suatu kebudayaan yang berbau mimesis
(menirukan), kehidupan hewan sebagai bentuk pertunjukan. aristoteles
berpendapat bahwa seni itu merupakan sebuah imitasi atau tiruan
(sunaryadi,2013:97). Bagi manusia kegiatan meniru merupakan sebuah
kegembiraan dan keindahan. Kendati demikian aristoteles berpendapat bahwa
imitasi bukan saja sebagai sebuah reproduksi realitas, tetapi seorang seniman
memang meniru realitas tetapi ia menyimpang dari dunia pengalaman .
masyarakat lebi memilih sejumblah realitas yang mempunyai makna dan arti
dalam bentuk karya yang mereka buat. Sehingga dapat di jabarkan bahwa
kesenian itu bersifat meniru yang memiliki arti dan sesuatu yang bermakna dan
arti , sehingga manusia melihat gejala tersebut sebagai sebuah tanda yang akan
menjadi stem kebudayaan yang berkembang dalam kelompok masyarakat.
C. Konsep Akulturasi dan Inkulturasi
Dalam antropologi kebudayaan terdapat dua istilah tehnis yang berakar kata sama,
yaitu ‘akulturasi’ dan ‘enkulturasi’. ‘Akulturasi’ sinonim dengan ‘kontak-budaya’,
yaitu pertemuan antara dua budaya berbeda dan perubahan yang ditimbulkannya.
Sedangkan ‘enkulturasi’ menunjuk pada proses inisiasi seorang individu ke dalam
budayanya.
12
Dilihat dari pengertian diatas maka penulis mengambil kesimpulan bahwa
inkulturasi sendiri merupakan proses terjadinya pertemuan (kontak budaya) antara
dua budaya atau lebih (kebudayaan asli/lokal dengan kebudayaan asing), dimana
kedua kebudayaan tersebut menyatu dan melebur menjadi, dan membentuk
budaya baru.Oleh Ary Roest Crollius (1984), inkulturasi diterjemahkan
sebagai proses panjang yang terdiri atas tiga tahapan. Tahap pertama adalah
akulturasi, suatu pertemuan budaya di mana budaya dari luar diperkenalkan oleh
agen inkulturasi asing. Koentjaraningrat (1990) menggaris bawahi hal penting
berkaitan dengan akulturasi, yaitu bertahannya kedua unsur kebudayaan yang
bertemu tanpa salah satu mendominasi yang lainnya sehingga
menenggelamkan, bahkan menghilangkan, kebudayaan yang lebih
lemah. Tahapan kedua dalam proses inkulturasi adalah asimilasi, di mana
dua kebudayaan yang bertemu mulai berpadu. Tahapan terakhir
adalah transformasi, di mana kedua kebudayaan direinterpretasikan terus-menerus
ke arah bentuk kebudayaan baru dengan tidak kehilangan identitas dari masing-
masing kebudayaan asal. Tiga unsur yang merupakan tiang penyangga dari
kebudayaan suatu komunitas adalah ide, aktivitas, dan artefak. Arsitektur
mengambil peranan cukup penting di dalamnya, khususnya dalam peran
sebagai artefak yang mewadahi aktivitas sekaligus menyuarakan ide-ide tertentu.
Inkulturasi adalah sesuatu yang alamiah sejauh tidak bertentangan dengan prinsip
keagamaan, atau mengganggu umat lain. Islam yang mulai masuk Indonesia pada
abad XII, tumbuh menjadi kerajaan besar Samudra Pasai pada abad XIII yang
berpusat di wilayah Aceh Utara. Ketika itu di Jawa, kerajaan Singosari masih di
dominasi agama Syiwa Buddha. Baru pada jaman Majapahit agama Hindu,
Buddha serta agama Syiwa Buddha dapat hidup berdampingan dengan damai.
Ketika itulah sebenarnya Islam mulai masuk ke Jawa, terutama melalui hubungan
kerajaan-kerajaan Jawa dengan Samudra Pasai. Lalu tersebutlah, pasukan
Majapahit yang menyerang Samudra Pasai. Setelah Samudra Pasai takluk
pulanglah Majapahit dengan membawa “upeti” sebagai tanda taklukan, termasuk
beberapa puteri-puteri Pasai, yang sudah pasti memeluk Islam. Puteri jarahan,
pada jaman itu diperlakukan dengan sangat terhormat. Mereka boleh membawa
13
juru masak mereka sendiri, penerjemah, juru rias, dan lain-lain, berikut para
keluarganya yang semuanya juga muslim.
Di Majapahit, mereka diberi kebebasan menjalankan ibadah, sesuai dengan
Syariat Islam. Untuk itu mereka diberi hak untuk membangun pemukiman di
sekitar Gresik dan Tuban. Ketika perdagangan makin maju, banyak etnis Cina
muslim, Gujarat, Parsi dan juga Arab berdatangan ke Jawa, lalu menginap di
pemukiman Komunitas muslim Pasai. Sejak itulah Islam mulai tumbuh di Jepara,
Rembang, Lasem, Tuban, dan Gresik.
Karena yang membawa masuk Islam ke tanah Jawa begitu beragam, Sunan
Kalijaga, yang paling muda dari sembilan wali penyebar Islam di tanah Jawa,
yang juga ber-etnis Cina, merasa kesulitan dalam “meng-Islamkan” orang-orang
Jawa. Maka ia meminta beberapa muridnya untuk menaruh gamelan di halaman
Masjid dan menabuhnya. Orang-orang pun mulai berdatangan demi
mendengarkan alunan gamelan yang dimainkan itu. Lewat gamelan dan Wayang
(Hindu) itulah Sunan Kalijaga menyapa dan mengajak mereka memeluk Islam.
Wayang kulit, seperti yang dapat kita nikmati sekarang ini, juga merupakan buah
inkulturasi, sebuah karya berupa kompromi. Dalam Islam, manusia tidak boleh
dipatungkan atau disimbolkan seperti berupa gambar. Sedang tradisi Hindu dan
Buddha adalah mematungkan dewa dan Sang Buddha. Kisah Mahabharata dan
Ramayana juga dilukiskan di atas kulit atau kain. Wayang kulit yang ditonton
dibalik layar tentu bukan patung, dan juga bukanlah lukisan.
Begitu juga inkulturasi juga merambah kesenian bantengan. Dimana kesenian
bantengan merupakan ritual yang biasanya ditayangkan pada hari tertentu dalam
penanggalan saka umat hindu, sampai sekarang pementasan tersebut masih
menggunakan penanggalan umat hindu, walaupun terkadang dalam acara karnaval
biasanya dilakukan pada saat upacara kenegaraan seperti Upacara HUT Indonesia.
14
D. Konsep Bantengan sebagai Sistem Akulturasi dan Perubahan
Kebudayaan.
Perubahan dan perkembangan kesenian bantengan sesuangguhnya sudah terjadi
lama sekali jika dilihat dari manuskrip Jaman Jenggala, Kahuripan, Gajahyana,
bahkan abad-abad sebelumnya. Jika kita menimbang beberapa tulisan skrip para
pujangga baik itu yang tertulis di prasasti maupun skrip layang- lontar, maka kita
dapat berpedoman sebagaimana acuan kita berkesenian bantengan ini khususnya.
Yang diantaranya :
Layang
I. DANUR WEDA ( TATA KENEGARAAN )
“Ngangekso Sigunggung Amekso Dwi Jati Tranata Tracecep Puridho Ngekso
Rono Ageng Sigunggung Hamung Agungeng Sriwanandara Sarang Karang
Anggana Sinara Arana Wegya Joro Angulih Rekso Hangaksaneng Mudya Warek
Anom Ngareh Runo Ing Hambekso”
Yang mempunyai arti :“Jika kita mau memperhatikan (mempelajari) sifat
sejatinya banteng Jangan hanya engkau mengagumi sifat yang dimiliki binatang
tersebut Banteng sebenarnya punya watak keagungan yang berwibawa bagi
kehidupan Keagungan banteng difungsikan sebagai simbolis manusia dengan
alam sekitar Oleh karenanya sumber kemakmuran tidak luput dari siapa yang
memimpin Jika sang pemimpin mampu memiliki sifat ini, bisa dibayangkan
negeri ini”
Layang atau tulisan ini tertulis di lontar pada Jaman Kahuripan – Kurawan –
Kediri Abad II – III M
II.BABAT PURWA KERTI ( TATA KEHIDUPAN )
“Loh Pamudyaneng Sigunggung Anggondo Turisha Sigunggung Ngelang Puritha
Sari Ing Yanadwipa Lamon Anyariro Ngareh Tembe Anyalarira Rekmo Hameng-
Hameng Si Gula-Geli Jaya Mahenthaka Sura-Suraneng Martakha Wono Jali Ing
Payam Bana Suntakane Awak Nggaya Suridha Mahenthaka”
Yang Mempunyai Arti : “Pada jaman Purwa Jawi (turisha) kejayaan banteng
sebagai tunggangan punggawa Banteng merupakan simbolik kejayaan suatu
Negara/ Kerajaan Pada waktu tertentu banteng ini digunakan untuk arak-arakan
raja kepada rakyatnya Raja hanya mau mengendarai banteng yang paling kuat
15
yang mempunyai sebutan(Mahenthaka) Perayaan ini diteruskan dengan acara
kesuburan atau titah kesuburan raja Setelah banteng diarak keliling negri
kemudian disembelih sebagai sesaji upacara” Layang atau tulisan ini tertulis di
lontar pada jaman Singosari – Majapahit abad V – IX M
III.LUNGKONANTA ( SERAT PERTANIAN )
“Jayeng Rana Hameng Guna Sayeng Taka Ruweng Taka Mayang Angmaya
Tantuka Angmaya Siamang Runa Umang Angruna Sigunggung Tala Jayeng Rana
Ewang Ewung Sang Maya Maya Dwipa”
Yang Mempunyai Arti :“Dalam tata kehidupan semesta alam yang harus
dimengerti adalah tata sarana Tidak ada satupun permintaan yang tanpa
menggunakan sarana untuk mencapainya Sarana itu harus kita resapi baik dari
yang hidup maupun yang khususnya tidak hidup Jika kita mampu mengertinya,
maka tidak hanya permintaan dan keinginan tercapai Banteng pun akan menari
untuk kita demi keagungan alam semesta Untuk itu patutlah kita mengembalikan
semua itu pada keagungan sang penari (Banteng menari)”
Layang atau tulisan ini tertulis di prasasti Candi Mangku Bumi pada jaman
Samadwipa – Gajahyana Abad I M
IV.SULUK PLENCONG ( SERAT PERDAYANGAN )
“Angreksa Rekasahane Hamudya Tuwuh Jawi Rumeksa Ing Satigil Ruwana
Dwipa Mangertinya Samya Aji Sigunggung Jaya Rana Wos Kang Dadi Sarto
Wedhi Werah Huwono Si Mahestaka Tantaka Handoka Hyang Jaya Giring Wesi
Hamengku Ana Ing Tanah Jawi Jawa Pamudya Utama Utamane Ameng Guna
Kalawan Sekti Murih Hayu Karahoyonane Prahurusa”
Yang Mempunyai Arti :“Pada setiap tempat keagungan pasti ada Sang Kuasa
Agung yang menjadi tuntunan Yang bernaung di tanah utama
Jawi ( Nuswantara ) itu berasal dari asal mula keagungan Keagungan itu menjadi
dasar tutunan utama bagi semua sang hidup atau hidup itu sendiri Semua itu sudah
menjadi tatanan kehidupan yang harus dipatuhi oleh semua mahluk hidup yang
bernaung didaerah itu Sang Maha Banteng yang mengendalikan semua itu mulai
dari banteng ( Handoko) Sejak jaman Hyang Jaya Giring Wesi ( Raja yang masih
menggunakan ilmu Manunggaling Semesta Alam) Raja itu mengatur tanah Jawi
dengan kekuasaan semesta alam ( Sabdha Panditha Ratu ) Titah raja adalah titah
16
semesta alam ( bisa dikatakan raja adalah tangan Tuhan di dunia) Semua itu hanya
untuk menjaga keseimbangan alam dalam tata kehidupan dari awal sampai akhir”
Layang atau tulisan ini tertulis di lontar pada jaman Babat Purwajawi –
Jawadwipa
V. ASNA WEDA ( MANUSIA DAN BINATANG )
“Mangkara Singkarak Anampyak Jala Sanbambang Iwa Guna Manuswitha
Ngurah Reh Ing Hamyana Jati Hang Wasya Ima Guna Yekti Amya Hayu Sarana
Terpa Mirata Hayekti Samara Lana Siwang Siwang Gumululena Anyela
Hamudyane Hamestaka Guna Sayekti”
Yang mempunyai arti : “Dalam jalur tata kehidupan untuk mencapai tata
kehidupan didunia Pola kehidupan itu tidak luput dari pola kehidupan yang saling
menyatu Dalam tata kehidupan yang sejati sebenarnya sama tak ada beda
Perbedaan itu hanya tergantung pada Sang Pemimpin ( Banteng Simbolik pada
Sang Pemimpin ) Semua itu hanya alat dan kelengkapan tata kehidupan yang ada,
antara manusia dengan alam semesta Segala macam dan bentuk itu semua
hanyalah kesempurnaan alam semesta Maka seyogyanya harus saling
memperhatikan untuk mencapai kesempurnaan”
Layang atau tulisan ini tertulis di lontar pada jaman Singhasari Abad VI – VII M
VI. JATI PANULUH ( CAKRA MANGGILINGAN HIDUP DAN KEHIDUPAN
)
“Kakawitane Tata Dwipa Lupa Sunyo Ruri Wadya Mengku Semo Kumo Leksa
Santaka Hanyura Sarpa Krecha Kancana Handagha Murak Ngeksa
Amemedyaneng Anala Lastha Liwang Lawang Luwung Suwung Buwono Hadya
Siwah Sawanggana Angganda Sari Srihuthama Mudya Hamemithui
Siwangkalane Anyari Mudya Medareng Wahana Suwug Jagad Dumadi”
“Cikal bakal tata kehidupan yang diawali dari sebelum adanya kehidupan di alam
semesta
17
Gambar 1 : Kesenian bantengan dan seni bela diri jawa timursumber : http://blog.djarumbeasiswaplus.org/aswinyoga
Diawali dengan tetes air kehidupan yang penuh cahaya kehidupan abadi Air itu
ditempatkan di cupu Sarpa Kreca Kencana Handagha Kemudian tetesan air itu
diambil sepercihan sinar untuk kehidupan Percihan itu sebenarnya tata hidup
kosong dan keabadian Dintara persilangan itu ada inti sari kehidupan yang terus
berkembang Percihan itu menjadi sari yang kemudian menjadi penjaga air tetes
kehidupan yang berwujud seekor sapi keling ( Banteng ) Dari air susu sapi keling
itu menjadi wujud kehidupan yang beraneka ragam”
Layang atau tulisan ini tertulis di lontar pada jaman Jawa dwipa- Aswadwipa
Dari beberapa manuskrip diatas bisa diberikan kronologi kkejadian pengubah
kesenian bantengan dan perkembangan nya tidak muncul pada Jaman sekarang
ini, melainkan sudah muncul sejak jaman dulu, bahkan sebelum adanya sistem
kepemerintahan di Bumi Jawa (Nuswantara). Hai ini bisa diurutkan sebagaimana
data berikut :
Jika pada jaman Purwa Jawi, arak-arakan banteng dilakukan sebagai simbolik
kekuatan seorang pemuda yang memuncak pada pemilihan Kepala Suku.
Dimana pemuda itu akan lari masuk hutan untuk menangkap seekor banteng.
Setelah berhasil pemuda itu akan diarak keliling desa sebagai simbol
kejantanan dan kekuasaan pemuda itu terhadap desa. ( SM )
Pada jaman Mayadwipa, Babat Jawi (Kerajaan Jenggala, Kahuripan,
Gajahyana). Simbolik arak-arakan Banteng dilakukan oleh Punggawa Raja
untuk meninjau daerah kekuasaannya, juga sebagai simbolik kepedulian Raja
kepada kawulanya. Karena setelah arak-arakan akan dipilih salah satu banteng
yang paling gemuk untuk selamatan. Bahkan banteng ini juga simbolik
kekuatan dan kesuburan negeri, sampai pada prasasti prasasti biasanya sang
18
raja menunggangi banteng. Hal ini bisa kita temukan pada relief Candi Jago,
Tumpang, Malang. (SM sampai Abad ke 7 M )
Kesenian Bantengan sebagai fungsi seni budaya simbolik menyatunya tatanan
penguasa/ raja dengan rakyatnya. Pada Jaman Majapahit sampai Singasari.
Gelaran bantengan, sebenarnya tidak dilakukan seperti sekarang ini. Yaitu
dengan menggunakan bantuan modifikasi kerajinan benda seni budaya. Akan
tetapi dengan menggunakan Banteng asli yang ditangkap dari hutan.
Kemudian Banteng itu diarak keliling kampung sampai pada lahan pertanian
masyarakat. Setelah Banteng itu diarak, binatang itu disembeleh untuk
dijadikan korban kesuburan tanah. Upacara ini biasanya diteruskan dengan
acara larungan ke laut, atau tolak balak saat desa mengalami Pagebluk
(Penyakit Massal), dengan kepalanya tidak dilarung ke tengah laut, melainkan
ditanam ditengah-tengah pusat kepemerintahan. Proses ini bisa kita lihat
kesamaannya dengan Kyai Slamet di keraton Jogjakarta.( Abad ke 6 – 14 M )
Kesenian Bantengan sebagai fungsi seni budaya untuk membentuk Kanuragan
dan Kesaktian pemuda-pemuda Jawa. Ini bisa kita temukan bagi masyarakat
Jawa yang mencampur kesenian Bantengan dengan Pencak silat
( Abad ke 13 – 15 M )
Kesenian Bantengan sebagai fungsi seni budaya menyampaikan falsafah
petuah-petuah sesepuh pada generasi muda, baik yang sifatnya spiritual
maupun intelektual. Ini bisa kita temukan pada acara hari-hari tertentu ( U
manis / jumat legi )
( Abad ke 15 – 17 M )
Kesenian Bantengan sebagai fungsi seni budaya propaganda pemersatu
masyarakat, yang biasanya dilakukan dengan arak-arakan keliling desa.
Sebagaimana beberapa seni pertunjukkan yang dimiliki masyarakat dari
berbagai daerah di nusantara, bantengan juga dirancang untuk
mempropagandakan semangat perjuangan rakyat yang ketika itu sedang
ditindas oleh pihak kolonial. Bantengan dipertunjukkan dengan maksud agar
masyarakat paham bahwa kesengsaraan yang mereka alami merupakan
dampak dari bercokolnya penjajah di tanah air mereka. Propaganda
perlawanan tampak pada cerita yang ditampilkan. Dalam seni Bantengan
19
terdapat satu tarian yang berkisah tentang pertarungan antara banteng
melawan harimau. Harimau merupakan simbolisasi dari kaum penjajah yang
menebar ketakutan dan keangkara murkaan. Sementara Banteng adalah
perlambang masyarakat pribumi. Ada pula satu hewan lain yang menjadi
lakon cerita dari seni Bantengan, yakni kera. Kera menjadi gambaran dari
kalangan masyarakat pribumi yang memilih untuk menjadi antek penjajah
atau komprador.
Pertunjukkan berusaha menggambarkan bagaimana pertarungan antara
banteng dengan harimau yang didukung kera itu berakhir dengan kemenangan
banteng. Itulah simbolisasi dari kemenangan rakyat atas penjajah Belanda.
Begitulah simbolisasi perlawanan rakyat terhadap kolonialisme dalam seni
Bantengan.
( Abad ke 17 – 19 M )
Kesenian Bantengan sebagai fungsi seni budaya spiritual hiorostik Mistik
Kejawen, yang fungsinya sebagai perayaan di tempat-tempat tertentu ( tempat
sakral dan pertanian )
( Abad ke 17 – 19 M )
Kesenian Bantengan yang terjadi sekarang, sebagai fungsi hiburan dan
tontonan masyarakat secara umum dan khusus pada acara tertentu. Baik itu
pada acara hari besar, perayaan, panghargaan, pencak silat, dsb. Hal ini tidak
lepas dari konsep pariwisata yang dijadikan pemerintah sebagai usulan untuk
ekonomi kreatif. Konsep pariwisata ini mendorong spemerintah untuk
melestarikan tarian bantengan menjadi salah satu yang bisa dijadikan sebuah
acuan dalam mengapresiasi seniman yang banyak memberikan kontribusi
pada kebudayaan lokal Kota Batu.
( Abad ke 19 – ….)
E. Konsep Perubahan Kebudayaan Bantengan dan Pariwisata
20
Peranan pariwisata dalam hal perubahan nilai-nilai pribadi maupun kelompok
tidak dapat dipisahkan dari pokok pikiran tentang nilai “komoditasi”, yang
menunjukkan bahwa apa yang dulunya merupakan pertunjukkan atau atraksi
kebudayaan dalam hal ini kesenian bantengan menjadi sebuah sistem dari sebuah
“produk/hasil kebudayaan” unntuk memenuhi kebutuhan komersil pariwisata
dengan kata lain kebudayaan telah menjadi sebuah komoditas (Hall,1999).
Kejadian semacam ini menjadikan sebuah keuntungan bagi devisa atau
pendapatan suatu daerah yang diperoleh, akan tetapi nilai-nilai budayanya
menjadi menurun karena yang ditonjolkan bentuk atraktifnya saja, sedangkan
“jiwa” dan apresiasinya tidak ada lagi terutama yang dirasakan oleh pelaku.
Konsep keuntungan untuk semuah nilai komoditas yang bukan berasal dari
kekayaan alam menjadi sebuah penting dewasa ini. Bukan saja sebagai
penyumbang ekonomi secara komoditas melainkan secara sumber daya manusia
juga menjadi komponen pendukung dalam gejala seperti ini. Bisa dibayangkan
Gambar 2: Pagelaran Kesenian Bantengan Nuswantara di stadion brantas Kota BatuSumber : kompasiana.com
bagaimana kebudayaan sekarang ini yang sudah menguap karena moderinatas dan
kapitalis yang merajai komoditas dengan tender-tender pembangunan yang
semakin menjamur. Kesenian sebagai sebuah tombak pemersatu dan hasil
kebudayaan kelompok masyarakat menjadi sebuah pengikat diantara individu-
individu masyarakat perkotaan. Konsep pemersatu tersebut juga bisa dikatakan
21
sebagai sebuah simbiosis mutualisme dimana kaitan antara pariwisata ddengan
pemersatu yang menjadi satu. Dimana pariwisata menumbuhkan profit kepada
masyarakat dan meningkatkan penghasilan juga berusaha memelihara kebudayaan
tersebut menjadi sebuah komoditas yang bisa dilestariukan. Namun sesuatu yang
hilang juga muncul dalam keadaan seperti ini. Konsep kapitalis banyak
menghilangkan nilai religi dan ritual pendukungnya, seperti ritual bersih desa dan
ritual pamit ke pundhen yang mewupakan wujud kepercayaan terhadap eksistensi
roh yang dimuliakan. Hal ini sebenarnya merupakan sebuah perjalanan akulturasi
yang membaur dengan perjalanan kesenian.
22
BAB III
KESIMPULAN
Berdasarkan tujuan penulisan ilmiah dan rumusam masalah yang telah diperoleh
dalam mengamati perkembangan seni bantengan sebagai sebuah nilai budaya
yang berestetika lewat mimetik dan akulturasi panjang sehingga menjadi kesenian
banteng yang populer saat ini dikota batu sebagai kota pariwisata seperti sudah
dijelaskan diatas, maka penulis memiliki beberapa kesimpulan sebagai berikut :
Menjawab pertanyaan pertama bahwa konsep apa yang mendasari perubahan
kesenian bantengan kita bisa melihat konsep teori tiga tahap kebudayaan yang
diajukan oleh van Peursen, yakni tahap mitis, tahap ontologis, dan tahap
fungsional. Dimana pada jaman Jika pada jaman Purwa Jawi, arak-arakan
banteng dilakukan sebagai simbolik kekuatan seorang pemuda yang
memuncak pada pemilihan Kepala Suku. Dimana pemuda itu akan lari masuk
hutan untuk menangkap seekor banteng. Setelah berhasil pemuda itu akan
diarak keliling desa sebagai simbol kejantanan dan kekuasaan pemuda itu
terhadap desa. Dalam tahap tersebut kesenian bantengan masih memberikan
tahap mistis dimana masyarakat percaya bahwa bantek merupakan simbol
kekuatan. Sedangkan dalam tahapan ontologis kesenian bantengan sebagai
fungsi seni budaya menyampaikan falsafah petuah-petuah sesepuh pada
generasi muda, baik yang sifatnya spiritual maupun intelektual. Ini bisa kita
temukan pada acara hari-hari tertentu. Dan pada tahap fungsionil Kesenian
Bantenganmempunyai fungsi sebagai seni budaya propaganda pemersatu
masyarakat, yang biasanya dilakukan dengan arak-arakan keliling desa.
Sebagaimana beberapa seni pertunjukkan yang dimiliki masyarakat dari
berbagai daerah di nusantara, bantengan juga dirancang untuk
mempropagandakan semangat perjuangan rakyat yang ketika itu sedang
ditindas oleh pihak kolonial. Bantengan dipertunjukkan dengan maksud agar
masyarakat paham bahwa kesengsaraan yang mereka alami merupakan
dampak dari bercokolnya penjajah di tanah air mereka. Propaganda
23
perlawanan tampak pada cerita yang ditampilkan. Dalam seni Bantengan
terdapat satu tarian yang berkisah tentang pertarungan antara banteng
melawan harimau. Harimau merupakan simbolisasi dari kaum penjajah yang
menebar ketakutan dan keangkara murkaan. Sementara Banteng adalah
perlambang masyarakat pribumi. Ada pula satu hewan lain yang menjadi
lakon cerita dari seni Bantengan, yakni kera. Kera menjadi gambaran dari
kalangan masyarakat pribumi yang memilih untuk menjadi antek penjajah
atau komprador.
Hal tersebut sampai juga pada tahap akulturasi yang belum bisa penulis
jabarkan, karena kurangnya data dalam penelitian ini. Akan tetapi bisa penulis
jabarkan bahwa kesenian ini sudah lama muncul di Kota Batu sebelum batu
kemasukan hindu dan budha, dalam artian animisme yang masih mempunyai
paham terhadap mistis. Totemisme yang dipakai untuk menggambarkan
hewan yang menjadi filosofis kebudayaan jawa. Kemudian berbaur dengan
keagamaan hindu dan buda menjadi sebuah ritual keagaamaan dan sampai
pada masukknya islam menjadi sebuah kesenian yang mencoba membujuk
masyarakat dengan arak-arakan sebagai bahan untuk menyiarkan agama islam
dengan berbaurnya pencak silat di dalam kesenian bantengan ini. Tahap
akulturasi budaya tersebut masih terlihat dengan adanya nilai kesatuan
bantengan yang masih mempertahankan tradisi bersih desa pada malam
tertentu, dan pamit pundhen yang notabene merupakan ritual agama hindu.
Konsepsi islam dan hindu yang membaur menjadikan kebudayaan kesenian
bantengan ini menjadi nilai adi luhur yang patut untuk dilestarikan dengan
kacamata baru yakni kacamata pariwisata
Perkembangan modernitas dengan segala sesuatu yang bersifat profit
memberikan sentuhan perubaan juga teradap nilai dan kandungan kesenian
bantengan. Bagaimana kesenian ini bukan lagi sebagai acara ritual yang dipuja
untuk melakukan sesembahan melainkan seni “kitch” yang mencoba
menyenangkan para shareholder dalam hal ini masyarakat penonton sebagai
bagian dari unsur pariwisata di kota batu. Namun segi positif dalam
perkembangan dengan konsep wisata tersebut memunculkan perkembangan
24
kesenian bantengan yang tidak lagi monoton tetapi lebih dengan unsur estetis
dengan penggunakan costum dan body painting. Kelembagaan dengan konten
Gambar 3: Makeup dan body painting yang berkembang dalam Seni Bantengan
Sumber:kompasiana.com/ 1.698 Seniman Bantengan Padati Kota Batu
pariwisata tersebut juga turut bisa menjadi andil besar dalam melestarikan
kebudayaan tersebut. Para seniman dan shareolder dituntut untuk
mengembangkan dan menjaga warisan budaya dengan ditampilkannya
kesenian ini dalam pesta rakyat maupun karnaval yang diselenggarakan oleh
pemerintah kota batu sebagai salah sstu destinasi pariwisata tersohor dijawa
timur.
25
DAFTAR PUSTAKA
Literatur Buku
Danandjaja, J. 2002. Folklor Indonesia. Jakarta: Pustaka Utama Grafiti
Hadi, Y.S. 2005. Sosiologi Tari: Sebuah Pengenalan Awal. Yogyakarta: Pustaka.
Hadi, Y. Sumandiyo. 2006. Seni dalam Ritual Agama. Yogyakarta : Penerbit Buku Pustaka
Hartoko,Dick.1984. Manusia dan Seni. Yogyakarta:Penerbit Kanisius
Herwanto, A.P. 2012. Bantengan: Kedigdayaan Seni Tradisi. Malang: APH Malang.
Koentjananingrat. 2009. Pengantar Ilmu Antropologi. Cetakan IX. Jakarta : Penerbit Rineka Cipta
Koentjaraningrat. 1984. Kebudayaan Jawa. Jakarta: Balai Pustaka.
Peursen, van. 1988. Strategi Kebudayaan. Edisi Kedua. Yogyakarta : PenerbitKanisius
Literatur Digital/PDF
Wido, Soerjo Minarto.2007. Jaran kepang dalam tinjauan interaksi sosial padaUpacara ritual bersih desa. Jurusan Seni dan Desain Fak. Sastra Universitas Negeri Malang
Suwito. 2007. Slametan dalam Kosmologi Jawa: Proses Akulturasi Islam dengan
Budaya Jawa. Jurnal Studi Islam dan Budaya IBDA, (Online), 5 (1): 1-11,
Siswanto. 2007. Pariwisata dan Pelestarian Warisan Budaya. Balai Arkeolog
Yogyakarta
http://id.wikipedia.org/wiki/Kota_Batu diakses 17 oktober 2014
http//www.batukota.bps.go.id diakses pada 18 oktober 2014
26
http://sosbud.kompasiana.com/2014/10/24/megahnya-budaya-di-balik-pegunungan-kesenian-bantengan-697886.html diakses pada tanggal 18 oktober 2014
http://bantengannuswantara.wordpress.com diakses pada 18 september 2014
http://djerugangsiji.blogspot.sg/ diakses pada 18 september 2014
http://bantengannuswantara.wordpress.com/ diakses pada 20 september 2014
27