perubahan sistem ketatanegaraan pasca …

46

Upload: others

Post on 21-Oct-2021

22 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: PERUBAHAN SISTEM KETATANEGARAAN PASCA …
Page 2: PERUBAHAN SISTEM KETATANEGARAAN PASCA …
Page 3: PERUBAHAN SISTEM KETATANEGARAAN PASCA …

Penulis : Dr. Ahmad Tholabi Kharlie, S.H., M.H., M.A.Editor : Muhammad HafizDesain Cover : Rizal RabasLayout Isi : Rizal RabasCetakan : Pertama, Februari 2020Ukuran : 13,5 x 20,5 cm; vi + 196 halaman

Diterbitkan oleh:Gaung PersadaCiputat Mega Mall Blok C/11Jl. Ir. H. Juanda No. 34 Ciputat Tangerang SelatanTelp. 021 747 075 60, Hp. 0878 86200 900Email: [email protected]

Bekerjasama dengan:Lembaga Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (LP2M) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Hak Cipta Dilindungi oleh Undang-UndangDilarang menggandakan isi buku ini dalam bentuk apapun tanpa izin tertulis dari penulis dan penerbit

ISBN : 978-602-5707-42-1

PERUBAHAN SISTEM KETATANEGARAAN PASCA AMANDEMEN DAN IMPLIKASINYA PADA KONVENSI KETATANEGARAAN TENTANG LAPORAN KINERJA LEMBAGA-LEMBAGA NEGARA

Page 4: PERUBAHAN SISTEM KETATANEGARAAN PASCA …

iii

KATA PENGANTAR

الرحيــم الرحمن الله بســم

Syukur alhamdulillah, atas karunia dan pertolongan-Nya karya tulis bersahaja ini akhirnya dapat di-rampungkan. Salawat dan salam semoga senantiasa dilimpahkan kepada Rasulullah, Muhammad Saw., beserta keluarga, dan para Sahabat yang selalu setia dalam suka dan duka.

Keseluruhan proses penelitian hingga lahirnya karya tulis ini tak mungkin berjalan dengan lancar tanpa peran serta dan bantuan dari pelbagai pihak. Untuk itu Penulis bermaksud mempersembahkan ungkapan terima kasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya kepada para pihak tersebut.

Ungkapan hormat dan terima kasih yang pertama, Penulis persembahkan teruntuk kedua orang tua tercinta,

Page 5: PERUBAHAN SISTEM KETATANEGARAAN PASCA …

iv

KATA PENGANTAR

Abah Haji Ustadz Khaeruddin Ralie dan Ema Hajjah Masrubiyah Afifi. Semoga Allah Swt. memberikan balasan yang terbaik buat keduanya.

Secara khusus Penulis menyampaikan terima kasih dan penghargaan yang tinggi untuk Bapak Dr. Sodikin, S.H., M.H., M.Si selaku mentor Penulis yang telah menyisakan waktu untuk berdiskusi seputar isu-isu ketatanegaraan di indonesia. Juga untuk segenap dosen Pascasarjana UMJ yang pernah terlibat interaksi akademik bersama penulis, terkhusus untuk Bapak Dr. Rantawan Djanim, S.H., M.H. yang juga banyak memberikan masukan terhadap studi ini.

Penulis juga menyampaikan ungkapan terima kasih dan penghargaan yang tulus buat istriku tersayang, Hj. Yeni Solihah Ahmad, S.Ag, M.Pd. meski sangat disibukkan dengan urusan ‘domestik’ (keluarga dan anak-anak), namun dengan penuh kesabaran dan kesetiaan selalu mendampingi dan menyemangati Penulis baik dalam suka maupun duka.

Penulis menyadari, karya tulis ini sarat dengan kekurangan dan kekeliruan di pelbagai sudut. Untuk itu, permakluman yang disertai kritik membangun sungguh sangat dinanti. Semoga karya ini menjadi awal yang baik untuk menapak pada tahapan selanjutnya. Amin

Jakarta, 10 April 2020

Ahmad Tholabi Kharlie

Page 6: PERUBAHAN SISTEM KETATANEGARAAN PASCA …

v

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ........................................................................ iiiDAFTAR ISI ............................................................................................v

BAB I PENDAHULUAN ............................................................... 1 A. Latar Belakang .................................................................. 2 B. Sejumlah Teori Terkait .................................................15

1. Konvensi ketatanegaraan dalam Tinjauan Teoritis ......................................................................... 15

2. Pembagian Kekuasaan dan Check and Balance Lembaga Negara ............................................................ 22

3. Teori Kewenangan ................................................ 22C. Kerangka Konseptual ................................................. 35

BAB II KONVENSI KETATANEGARAAN DAN PRAKTIKNYA DI INDONESIA ................................... 39A. Pengertian dan Praktik Konvensi

Ketatanegaraan .............................................................40B. Review Praktik Konvensi Ketatanegaraan di

Indonesia ............................................................................51C. Kedudukan dan Landasan Hukum Konvensi

Ketatanegaraan di Indonesia .................................... 58

Page 7: PERUBAHAN SISTEM KETATANEGARAAN PASCA …

vi

DAFTAR ISI

BAB III SEJARAH DAN SISTEM KETATANEGARAAN DI INDONESIA .......................................................................63A. Pembentukan Dasar-dasar Ketatanegaraan di

Indonesia ..........................................................................64B. Perkembangan Kekuasaan Negara dan

Pemerintahan di Indonesia (Kemerdekaan-Amandemen UUD) ........................................................71

C. Implikasi Amandemen UUD terhadap Sistem Ketatanegaraan di Indonesia ...................................80

BAB IV KEDUDUKAN LEMBAGA TINGGI NEGARA DAN KONVENSI KETATANEGARAAN DALAM PIDATO LAPORAN KINERJA TAHUNAN ................................91A. Pembagian Kekuasaan: Antara Lembaga

Parlemen dan Lembaga Pemerintahan .....................92B. Hubungan, Kedudukan, dan Pertanggungjawaban

Lembaga-lembaga Negara .............................................. 112C. Implikasi Amandemen UUD terhadap Konvensi

Pidato Tahunan Lembaga Negara .............................. 119

BAB V PENUTUP .........................................................................147A. Simpulan ........................................................................... 148B. Rekomendasi .................................................................... 150

DAFTAR PUSTAKA ..........................................................................153BIODATA PENULIS .........................................................................161LAMPIRAN .........................................................................................167

Page 8: PERUBAHAN SISTEM KETATANEGARAAN PASCA …

1

BAB IPENDAHULUAN

Page 9: PERUBAHAN SISTEM KETATANEGARAAN PASCA …

BAB I: PENDAHULUAN

2

A. LATAR BELAKANG

indonesia merupakan negara yang memiliki aturan ketatanegaraan sangat kompleks. Aturan-aturan ketatanegaraan tersebut tidak semuanya diatur berdasarkan UUD NRi 1945, karena UUD NRi 1945 sangat terbatas sebagai norma dasar ketatanegaraan. Dengan demikian, menurut Moh. Kusnardi dan Harmaily ibrahim bahwa: “Dalam Hukum Tata Negara dikenal pula apa yang disebut dengan kebiasaan ketatanegaraan (convention). Kebiasaan ketatanegaraan ini mempunyai kekuatan yang sama dengan undang-undang, karena diterima dan dijalankan”.1 Konvensi ketatanegaraan sebagai konstitusi yang tidak tertulis mempunyai peranan yang sangat penting dalam penyelenggaraan pemerintahan, baik konvensi yang bersifat kebiasaan ketatanegaraan (costum) maupun konvensi yang bersifat kesepakatan (agreement).

Konvensi ketatanegaraan memiliki kedudukan yang sangat kuat dalam sistem hukum indonesia. Konvensi ketatanegaraan merupakan bagian dari norma hukum konstitusi tidak tertulis yang berfungsi melengkapi, menyempurnakan, atau bahkan mengubah dan me-nyatakan tidak berlaku subtansi konstitusi tertulis (UUD NRi 1945) sebagai norma hukum tertinggi dalam

1 Moh. Kusnardi dan Harmaily ibrahim, Pengantar Hukum Tata Negara Indonesia, (Jakarta: Pusat Studi HTN Ui, 1983), hlm. 50.

Page 10: PERUBAHAN SISTEM KETATANEGARAAN PASCA …

BAB I: PENDAHULUAN

3

Negara Kesatuan Republik indonesia (NKRi).

Dalam sejarah politik dan ketatanegaraan indonesia, peristiwa politik yang terjadi pada tahun 1998 tidak hanya mengubah situasi politik dan menandai pergeseran rezim dari Orde Baru menuju reformasi, namun fase ini juga mengakhiri masa-masa otoritarianisme yang berlangsung cukup lama dan akhirnya mengarah pada sistem demokrasi yang lebih terbuka dan bebas. Situasi ini memungkin kan perubahan hampir pada seluruh seluk-beluk kehidupan bernegara di indonesia, termasuk di dalamnya ke-beradaan partai-partai yang lebih independen dan bebas dibandingkan masa sebelumnya, proses politik yang semakin partisipatif di level akar rumput, dan munculnya elit-elit baru yang mewakili partai-partai politik.

Salah satu perubahan signifikan di indonesia saat itu adalah amandemen UUD 1945 hingga beberapa kali dan berimplikasi pada perubahan sistem pemerintahan dan tata negara. Menurut Jimly Asshiddiqie, perlunya amandemen UUD 1945 berangkat dari kelemahan-kelemahan yang ada di dalam UUD 1945 tersebut dan menyebabkan tidak demokratisnya indonesia, yang berimplikasi pada perubahan-perubahan men-dasar pada, antara lain: penataan sistem hukum, penataan kelembagaan hukum, pembentukan dan pembaruan hukum, penegakan hukum dan HAM,

Page 11: PERUBAHAN SISTEM KETATANEGARAAN PASCA …

BAB I: PENDAHULUAN

4

dan pembangunan infrastruktur kode etika positif.2

Dalam wilayah tata pemerintahan dan tata negara, perubahan signifikan yang sangat tampak adalah perubahan struktur lembaga tertinggi dan lembaga tinggi negara. Merujuk pada Pasal 1 Ayat (2) UUD 1945 sebelum amandemen menyatakan bahwa: “kekuasaan tertinggi negara masih terletak pada Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR), yang memegang kekuasaan penuh atas kedaulatan rakyat.” Kewenangan tertinggi MPR ini juga terlihat dari Pasal 6 Ayat (2) UUD 1945 sebelum amandemen yang menegaskan bahwa “Presiden dan Wakil Presiden dipilih oleh MPR dengan suara terbanyak.” Dari klausul Pasal 6 di atas, sangat jelas bahwa kekuasaan Presiden berada di bawah kekuasaan MPR, karena MPR-lah yang memiliki kewenangan untuk memilih Presiden dan Wakil Presiden.

Hal ini menjadi sangat kontras ketika disandingkan dengan Pasal 6 Ayat (2) UUD NRi 1945 pasca amandemen yang memberikan kewenangan kepada MPR hanya melantik Presiden dan Wakil Presiden. Kewenangan melantik tersebut berkait erat dengan Pasal 6A Ayat (1) UUD NRi 1945, yang menegaskan bahwa: “Presiden dan Wakil Presiden dipilih dalam

2 Jimly Asshiddiqie, Implikasi Perubahan UUD 1945 terhadap Pembangunan Hukum Nasional, (Jakarta: Mahkamah Konstitusi Ri, 2005), hlm. 21.

Page 12: PERUBAHAN SISTEM KETATANEGARAAN PASCA …

BAB I: PENDAHULUAN

5

satu pasangan secara langsung oleh rakyat”. Perubahan Pasal ini berimplikasi pada perubahan mandat yang dimiliki oleh Presiden dan Wakil Presiden, yang awalnya berada di bawah MPR, berubah menjadi langsung kepada rakyat yang memilihnya. Untuk itu, sebagaimana lembaga yang dipilih secara langsung oleh rakyat, menurut Pasal 19 dan 22 C UUD NRi 1945 dinyatakan: “Presiden memiliki kedudukan yang sama dengan lembaga tertinggi negara yang lain, yaitu Dewan Perwakilan Rakyat (DPR Ri) dan MPR Ri. implikasinya pula, Presiden yang dipilih oleh rakyat secara langsung ini kemudian tidak bertanggung jawab kepada DPR.”3

Proses amandemen UUD 1945 telah melahirkan suatu pemikiran baru, yaitu tentang pelaksanaan kedaulatan rakyat. Pemikiran tersebut berupa perubahan ketentuan dalam Pasal 1 ayat (2) UUD 1945, yang pada awalnya Pasal 1 ayat (2) UUD 1945 berbunyi, “Kedaulatan adalah di tangan rakyat dan dilakukan sepenuhnya oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat”, kemudian diubah menjadi, “Kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar”. Perubahan tersebut telah menggeser MPR yang pada awalnya dipahami sebagai pemegang mandat sepenuhnya dari rakyat, berubah menjadikan

3 Kosariza, “Analisa Pertanggungjawaban Presiden dalam Sistem Ketatanegaraan indonesia”, dalam Jurnal Ilmu Hukum, vol. 3, No. 1, September 2012, hlm. 16

Page 13: PERUBAHAN SISTEM KETATANEGARAAN PASCA …

39

BAB IIKONVENSI

KETATANEGARAAN DAN PRAKTIKNYA DI INDONESIA

Page 14: PERUBAHAN SISTEM KETATANEGARAAN PASCA …

40

BAB II: KONVENSI KETATANEGARAAN DAN PRAKTIKNYA DI INDONESIA

A. PENGERTIAN DAN PRAKTIK KONVENSI KETATANEGARAAN

Konvensi atau kebiasaan ketatanegaraan ber-kembang dalam praktik kenegaraan dan politik berangkat dari kebutuhan yang ada, terutama ketika Undang-Undang Dasar (UUD) tertulis tidak cukup mampu untuk mencantumkan segala kebiasaan sebagai normatif hukum positif. Selain dapat terjadi melalui kesepakatan dalam bentuk tertulis, konvensi ketatanegaraan juga dapat terbentuk melalui praktik yang berulang-ulang, yang tumbuh menjadi kewajiban, sehingga karenanya konvensi tersebut harus ditaati oleh para penyelenggara negara. Konvensi ditaati dalam rangka memelihara dan mewujudkan kedaulatan rakyat, sebagai salah satu upaya mewujudkan dan memelihara demokrasi. Untuk itu, konvensi ditaati karena hasrat atau keinginan untuk memelihara tradisi pemerintahan konstitusional (constitutional government), agar roda pemerintahan negara yang kompleks tetap dapat berjalan secara tertib.

Menurut J.H.P. Bellefroid dalam bukunya, Inleiding tot de rechtswetenschap, yang dikutip oleh Abu Daud dan Abu Bakar Busro, bahwa “hukum kebiasaan atau konvensi adalah meliputi semua peraturan-peraturan yang walaupun tidak ditetapkan oleh pemerintah, tetapi ditaati oleh seluruh rakyat, karena mereka yakin bahwa peraturan itu berlaku

Page 15: PERUBAHAN SISTEM KETATANEGARAAN PASCA …

41

BAB II: KONVENSI KETATANEGARAAN DAN PRAKTIKNYA DI INDONESIA

sebagai hukum”.1 Pengertian ini tampaknya bersifat umum pada kebiasaan sebagai sebuah hukum, tidak spesifik menunjuk pada kebiasaan atau konvensi di bidang tata negara. Dalam bagian selanjutnya, penulis akan mengelaborasi lebih lanjut tentang perbedaan ini, karena sejumlah ahli tata negara membedakan antara hukum kebiasaan dan konvensi.

inti dasar dari pengertian kebiasaan ini berangkat dari suatu pengertian bahwa: “kebiasaan telah dilakukan secara ber ulang-ulang dan diterima oleh masyarakat, sehingga tindakan yang berlawanan dengan kebiasaan tersebut dirasakan sebagai pelanggaran perasaan hukum. Dengan demikian, timbullan suatu kebiasan hukum yang oleh pergaulan hidup dipandang sebagai hukum”.2

Dalam pemaparannya tentang sumber-sumber hukum tata negara, Jimly Asshiddiqie menjelaskan bahwa “konvensi tidak identik dengan kebiasaan, sehingga konvensi ketatanegaraan sendiri tidak identik dengan konvensi ketatanegaraan”.3 Hal ini berangkat dari pengertian dasar dari kebiasaan sebagai hukum yang diakui karena aspek keberulangannya, sementara

1 Abu Daud Busroh dan Abu Bakar Busro, Asas-asas Hukum tata negara, (Jakarta: Ghalia indonesia, 1983), hlm. 572 C.S.T Kansil dan Christine S.T. Kansil, Hukum Tata Negara Republik Indonesia, (Jakarta: Penerbit Rineka Cipta, 2008), edisi revisi, hlm. 333 Jimly Asshiddiqie, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara I, (Jakarta: Konstitusi Press, 2006), hlm. 237.

Page 16: PERUBAHAN SISTEM KETATANEGARAAN PASCA …

42

BAB II: KONVENSI KETATANEGARAAN DAN PRAKTIKNYA DI INDONESIA

konvensi tidak mesti harus didasarkan atas dasar keberulangan. Dari sini, Jimly menegaskan tentang perbedaan antara kebiasaan dan konvensi, yang pada dasarnya konvensi dapat pula menjadi sebuah kebiasaan.

Dengan demikian, “kebiasaan ketatanegaraan adalah per buatan dalam kehidupan ketatanegaraan yang dilakukan ber ulang kali, sehingga ia diterima dan ditaati dalam praktik ketatanegaraan, walaupun ia bukan hukum. Kebiasaan ketata negaraan walaupun bagaimana pentingnya ia tetap merupakan kebiasaan saja”.4

Dalam konteks sejarah hukum, keberadaan hukum tidak tertulis ini telah diperkenalkan oleh Albert venn Dicey dalam tulisannya yang berjudul Introduction to the Study of Law of the Constitution yang membedakan Konstitusi menjadi dua bentuk, yaitu: The Law of Constitution (yaitu hukum konstitusi yang tertulis) dan The Convention of the Constitution (hukum konstitusi yang berupa konvensi).5 Dicey mengenalkan konstitusi konvensi ini pada abad ke-19 di bawah sistem hukum inggris. Konvensi pada masa itu diketahui sebagai perangkat kunci sistem parlemen dan perdana menteri. Menurut Keith E. Whittington, “dalam jangka waktu

4 Mohlm. Kusnardi dan Harmaily ibrahim, Pengantar Hukum tata Negara Indonesia, (Jakarta: FHUi, 1980), hlm. 51.5 Albert venn Dicey, Introduction to the Study of the Law of the Constitution, (indianapolis: Liberty Fund, 1982), hlm. 12

Page 17: PERUBAHAN SISTEM KETATANEGARAAN PASCA …

43

BAB II: KONVENSI KETATANEGARAAN DAN PRAKTIKNYA DI INDONESIA

yang lama, tradisi konstitusi tidak tertulis yang ada di inggris tersebut dan sejumlah negara lain telah berfungsi membangun dan mengelola batas-batas pemerintahan dan pembentukan kebijakan politik yang baik. Secara praktik, konvensi telah mengisi kekosongan pengaturan yang terdapat di dalam konstitusi tertulis.”6

Dicey melakukan studi dengan pendekatan komparatif terhadap konstutusi inggris, yang me-nekankan pada kondisi yang kontras antara konstitusi tertulis dalam tradisi Amerika dan konstitusi tidak tertulis yang ada di inggris. Dalam konteks inggris, konvensi didefinisikan sebagai kewajiban (duty atau obligation), bahkan sangat terkait bersifat moralis dan politis. Konstitusi konvensi ini sangat beragam, akan tetapi kesamaan yang dimilikinya terletak pada “pengaturan untuk menentukan model kekuasaan diskresi Ratu atau Menteri sebagai pelayan Ratu”. 7

Pengertian konstitusi demikian tidak luput dari komponen-komponen hukum konstitusi, yang meliputi: 3) Statutes atau undang-undang, yakni norma-norma

yang berasal dari adat kebiasaan, tradisi, atau prinsip

6 Keith E. Whittington, “The Status of Unwritten Constitutional Convention in the United States”, dalam University of Illinois Law Review, vol. 2013, No. 5, hlm. 104. 7 Ibid.

Page 18: PERUBAHAN SISTEM KETATANEGARAAN PASCA …

63

BAB IIISEJARAH DAN SISTEM

KETATANEGARAAN DI INDONESIA

Page 19: PERUBAHAN SISTEM KETATANEGARAAN PASCA …

64

BAB III: SEJARAH DAN SISTEM KETATANEGARAAN DI INDONESIA

A. PEMBENTUKAN DASAR-DASAR KETATANEGARAAN DI INDONESIA

Proklamasi Kemerdekaan indonesia menandai kemerdekaan indonesia sebagai sebuah negara yang berdaulat dan terbebaskan dari kolonialisasi Negara lain. Meskipun masih terdapat rangkaian perjuangan kemerdekaan yang ditempuh, seperti serangan balik dari Belanda di beberapa daerah hingga 1949,1 dan mendorong Negara-negara lain mengakui keberadaan indonesia sebagai negara yang merdeka, masa-masa awal kemerdekaan ini telah menjadi titik tongkat pembentukan sistem ketatanegaraan dan pemerintahan di indonesia. Kekalahan Jepang terhadap Sekutu, secara langsung ataupun tidak, telah menghantarkan indonesia pada kemerdekaan. Secara lebih rinci, Proklamasi Kemerdekaan ini berarti: 1) Lahirnya Negara Kesatuan Republik indonesia; 2) Puncak perjuangan pergerakan kemerdekaan, setelah berjuang berpuluh tahun sejak 20 Mei 1908; 3) Titik tolak dari pelaksanaan Amanat Penderitaan Rakyat dan titik awal mulainya sejarah Pemerintahan dan sistem ketatanegaraan di indonesia.2

Sejarah awal terlahirnya pemerintahan di indonesia tidak dapat dipisahkan dari perjuangan pra kemerdekaan

1 George McT. Kahin, “Sukarno’s Proclamation of indonesia independence”, dalam Indonesia, No. 69, (April 2000), hlm. 1. 2 C.S.T Kansil, Pengantar Ilmu Hukum, (Jakarta: Balai Pustaka, 1983), hlm. 182.

Page 20: PERUBAHAN SISTEM KETATANEGARAAN PASCA …

65

BAB III: SEJARAH DAN SISTEM KETATANEGARAAN DI INDONESIA

yang dilakukan oleh para pendiri bangsa ini, yang dimulai dari pembentukan Penyelidik Persiapan Kemerdekaan Kemerdekaan (BPPK) oleh Pemerintah Jepang pada tanggal 29 April 1945. Dengan diketuai oleh Dr. Radjiman Wedyodiningrat, badan ini terdiri atas 62 orang para pemimpin pergerakan indonesia. Siasat berkolaborasi dengan penjajah ini digunakan oleh para pemimpin bangsa ini untuk menyiasati kemerdekaan, termasuk pula tindakan-tindakan yang sebetulnya bertentangan dengan arah kebijakan dan keinginan Jepang. Tidak hanya membicarakan dan menyelidiki tentang segala sesuatu yang berkaitan dengan kemerdekaan, badan ini juga langsung membahas tentang dasar-dasar negara indonesia merdeka dan Undang-undang Dasar indonesia.3 Dilihat dari fakta sejarah kemudian, badan ini tampak berhasil untuk mempersiapkan sendi-sendi kemerdekaan indonesia, sehingga ketika proklamasi pada 17 Agustus 1945 dideklarasikan, dasar-dasar pemerintahan dan konstitusi seakan telah siap, meskipun masih membutuhkan penyempurnaan dan penyesuaian.4

3 Ibid., hlm. 183.4 George Mct. Kahin, “Government in indonesia”, dalam Far Eastern Survey, vol. 16, No. 4, (February 26, 1947), hlm. 37; Lihat pula, A.B. Kusuma dan R.E. Elson, “A Note on the Source for the 1945 Constitutional Debate in indonesia”, dalam Bijdragen tot de Taal-, Land- en Volkenkunde, vol. 167, No. 2/3, (2011), hlm. 196-209.

Page 21: PERUBAHAN SISTEM KETATANEGARAAN PASCA …

66

BAB III: SEJARAH DAN SISTEM KETATANEGARAAN DI INDONESIA

BPPK yang berjumlah 62 orang ini kemudian membentuk tim kecil yang terdiri atas sembilan orang untuk menjadi Tim Perumus, yang diisi oleh: ir. Soekarno, Drs. Mohammad Hatta, Mrs. A.A. Maramis, Abikusno Tjokrosujoso, Abulkahar Muzakir, Haji Agus Salim, Mr. Achmad Subardjo, KHA Wahid Hasjim, dan Mr. Muhammad Yamin. Pada 22 Juni 1945, Panitia ini telah berhasil menyusun Rancangan Pembukaan Undang-undang Dasar 1945. Pada 16 Juli 1945, Panitia kecil ini telah berhasil menyusun Rancangan Undang-undang Dasar indonesia, hingga akhirnya badan ini dibubarkan. Pada 9 Agustus 1945, badan baru dibentuk menggantikan BPPK yang disebut Dokuritsu Junbi iinkai atau Panitia Persiapan Kemerdekaan indonesia (PPKi), yang diketuai oleh ir. Soekarno dan Drs. Mohammad Hatta sebagai wakil ketua, dengan keseluruhan anggota 27 orang, yang terdiri atas para pemimpin pergerakan dari pelbagai daerah.

Ketika Proklamasi indonesia dideklarasikan pada tanggal 17 Agustus 1945 dan disaksikan oleh PPKi, keesokan harinya PPKi melakukan sidang dan menetapkan: a. Pembukaan Undang-undang Dasar 1945; b. Undang-undang Dasar 1945;c. Memilih ir. Soekarno sebagai Presiden dan

Mohammad Hatta sebagai wakil Presiden Republik indonesia;

Page 22: PERUBAHAN SISTEM KETATANEGARAAN PASCA …

67

BAB III: SEJARAH DAN SISTEM KETATANEGARAAN DI INDONESIA

d. Pekerjaan Presiden untuk sementara waktu dibantu oleh sebuah Komite Nasional.

Selanjutnya, Sidang PPKi pada 19 Agustus 1945 kemudian menetapkan pula: a. Pembentukan 12 Departemen Pemerintahan;b. Pembagian wilayah indonesia dalam 8 Provinsi

dan tiap provinsi dibagi ke dalam karesidenan-karesidenan.

Proses-proses tersebut, terutama ketika terpilih Presiden dan Wakil Presiden, menandakan sempurna-nya indonesia sebagai Negara Kesatuan, dengan keberadaan rakyat, kedaulatan, pemerintahan dan tujuan negara, termasuk pula di dalamnya adalah Konstitusi atau UUD 1945. Dari sini, muncul pe-ngakuan kemerdekaan indonesia dari Negara-negara lain, yang pertama kali dinyatakan oleh inggris pada tahun 31 Maret 1947. Dalam bahasa George McT. Kahin, ada tiga lembaga pemerintahan utama yang ada di indonesia pada masa-masa kemerdekaan ini, yaitu: 1) Keberadaan Konvensi Nasional, yang bertemu pada saat-saat tertentu dan bekerja berdasarkan pada kelompok-kelompok kerja kecil yang berbentuk Komite Kerja, bertanggung jawab pada Konvensi Nasional; 2) Presiden dan Wakil Presiden, yang dalam situasi tertentu masih memerankan fungsi legislatif dan eksekutif; 3) Kabinet yang banyak bertanggung jawab pada hubungan luar negeri dan bertanggung jawab

Page 23: PERUBAHAN SISTEM KETATANEGARAAN PASCA …

91

BAB IVKEDUDUKAN LEMBAGA

NEGARA DAN KONVENSI KETATANEGARAAN DALAM PIDATO LAPORAN KINERJA

TAHUNAN

Page 24: PERUBAHAN SISTEM KETATANEGARAAN PASCA …

92

BAB IV: KEDUDUKAN LEMBAGA NEGARA DAN KONVENSI

A. PEMBAGIAN KEKUASAAN: ANTARA LEMBAGA PARLEMEN DAN LEMBAGA PEMERINTAHAN

Sebagaimana telah disebutkan dalam bagian sebelumnya penelitian ini, situasi politik sebuah negara menentukan sistem negara dan pemerintahan yang diterapkan. Di indonesia sendiri, pengaturan tentang lembaga-lembaga negara dapat dilihat dalam kerangka historis, di mana telah terjadi sejumlah perubahan seiring dengan perubahan Konstitusi sebagai dasar Negara.

Dalam kerangka hukum tata negara yang lebih universal, pembentukan lembaga-lembaga negara ini terkait dengan konsep perimbangan kekuasaan yang telah lama dianut oleh hampir seluruh negara di dunia atau yang sering dikenal dengan pembagian kekuasaan atau trias politica. Adalah Montesquieu (1689 – 1755) yang mencetuskan teori dasar bernegara ini dengan membagi tiga bentuk kekuasaan yang saling terpisah.

Pertama, kekuasaan membuat atau membentuk undang-undang, yang disebut dengan kekuasaan legislatif. Maksud dari kekuasaan ini adalah agar supaya kekuasaan ini dimiliki dan dijalankan oleh satu badan tersendiri, terlepas dari kekuasaan-kekuasaan lain yang menjalankan atau menilai penerapan suatu norma. Kedua adalah kekuasaan melaksanakan undang-undang atau dikenal dengan kekuasaan eksekutif, yang menurut Montesquieu dapat berada di tangan raja.

Page 25: PERUBAHAN SISTEM KETATANEGARAAN PASCA …

93

BAB IV: KEDUDUKAN LEMBAGA NEGARA DAN KONVENSI

Ketiga, kekuasaan pengadilan atau yudikatif yang bertindak apabila terjadi pelanggaran terhadap undang-undang yang telah dibuat. Ajaran pembagian kekuasaan menurut Montesquieu ini dapat dikatakan masih berlaku hampir di seluruh negara di dunia saat ini, dengan sejumlah modifikasi dan penyesuaian di masing-masing negara, termasuk pula kritik terhadapnya.1

Dalam konteks indonesia, teori pembagian kekuasaan ini dapat dikatakan juga masih diberlakukan. Hal ini dapat dilihat dari struktur negara dan kekuasaan yang diatur di dalam Undang-undang Dasar, baik di dalam UUD 1945 ataupun setelah terjadinya amandemen. Dalam hal demikian, bagian ini akan menjelaskan lebih lanjut tentang kedudukan dan perkembangan lembaga-lembaga negara di indonesia mulai dari Negara Republik indonesia dibentuk hingga sekarang setelah terjadinya amandemen.

Berbicara tentang pembagian kekuasaan ini tidak dapat dipisahkan dari kedaulatan yang melekat pada setiap negara, karena kedaulatan adalah ciri atau atribut hukum dari negara-negara tersebut. Sebagai atribut negara, dia telah lama ada, bahkan ada yang berpendapat bahwa kedaulatan sendiri mungkin lebih tua dibandingkan

1 J.C.T Simongkir dan Woerjono Sastripranoto, Peladjaran Hukum Indonesia, (Jakarta: Penerbit Gunung Agung, 1957), hlm. 36; Jimly Asshiddiqie, Pengantar Hukum Tata Negara Jilid II, (Jakarta: Konstitusi, 2006), hlm. 15.

Page 26: PERUBAHAN SISTEM KETATANEGARAAN PASCA …

94

BAB IV: KEDUDUKAN LEMBAGA NEGARA DAN KONVENSI

dengan negara itu sendiri. Dalam praktiknya, kedaulatan ini mewujud pada sejumlah konsep atau teori kedaulatan yang berbeda-beda, seperti misalnya: a. kedaulatan Tuhan, yang tertinggi dalam negara

adalah Tuhan; b. kedaulatan negara, yang tetringgi dalam negara

adalah negara itu sendiri;c. kedaulatan hukum, yang tertinggi dalam negara itu

adalah hukum; d. kedaulatan rakyat, yang tertinggi dalam negara

adalah rakyat.

Teori-teori Negara demikianlah yang kemudian mem bedakan bentuk dan lembaga negara di dunia dewasa ini, yang sekaligus pula memberikan perbedaan tentang relasi kekuasaan antarlembaga negara di dalamnya. Lebih dalam lagi, teori kedaulatan di atas merujuk pada beberapa teori besar tentang negara, yaitu teori teokrasi, teori perjanjian, dan teori pembatasan kekuasaan.2 Teori-teori tersebut berasal dari suatu pertanyaan mendasar, yaitu: dari mana asal dan sumber yang ada di dalam negara dan kemudian memberikan legitimasi bagi suatu pemerintahan.3

2 M. Hutauruk, Azas-azas Ilmu Negara, (Jakarta: Erlangga, 1983), hlm. 20; S.T. Kansil dan Christine S.T. Kansil, Hukum Tata Negara Republik Indonesia, (Jakarta: Rineka Cipta, 2008), hlm. 72. 3 Soehino, Ilmu Negara, (Yogyakarta: Liberty, 1986), hlm. 149.

Page 27: PERUBAHAN SISTEM KETATANEGARAAN PASCA …

95

BAB IV: KEDUDUKAN LEMBAGA NEGARA DAN KONVENSI

Teori teokrasi merujuk pada sistem kekuasaan yang didasarkan pada aspek-aspek non-fisik, yaitu kekuasaan Tuhan atau dewa-dewi. Hal ini berangkat dari suatu keyakinan bahwa Tuhan dan dewa-dewilah yang telah menciptakan alam dan seisinya, sehingga negara dan kekuasaanpun harus mengikuti, tunduk, dan bersumber pada ajaran-Nya. Kekuasaan negara harus diserahkan kepada para ahli agama yang mampu menerjemahkan hukum dan perintah Tuhan yang terdapat di dalam kitab suci, sebagai pertanggungjawaban di dunia dan akhirat. Untuk itu pula, menurut teori ini, tidak semua manusia dapat berkuasa dan mereka yang telah ditetapkan untuk menjadi penguasa secara otomatis memiliki kekuasaan tertinggi dan hak-hak luar biasa yang tidak boleh dibantah dan tidak dilawan.4

Teori ini dapat dikatakan teori paling tua dari sejarah manusia yang hendak menjawab pertanyaan asal-muasal legitimasi sebuah kekuasaan. Teori ini berkembang pada jaman abad pertengahan, yaitu antara abad ke-5 hingga abad ke-15 Masehi. Dalam sejarahnya, teori ini sangat terkait dengan perkembangan gerakan keagamaan di dunia yang muncul pada masa-masa tersebut dan kemudian menegaskan relasi yang kuat antara agama dan kekuasaan negara. Pada masa-masa tersebut, setidaknya dalam praktik yang terjadi dalam

4 M. Hutauruk, Azas-azas Ilmu Negara, (Jakarta: Erlanga, 1983), hlm. 20.

Page 28: PERUBAHAN SISTEM KETATANEGARAAN PASCA …

147

BAB VPENUTUP

Page 29: PERUBAHAN SISTEM KETATANEGARAAN PASCA …

148

BAB V: PENUTUP

A. SIMPULAN

Dari studi yang telah dilakukan oleh penulis dalam bagian-bagian sebelumnya, ada sejumlah kesimpulan yang dapat dikemukakan. Pertama, bahwa praktik baru yang diperkenalkan oleh Presiden Republik indonesia merupakan konvensi yang sesuai dengan norma dan asas dalam Sidang Tahunan MPR. Ketiadaan aturan yang terperinci tentang bagaimana praktik konvensi itu diterapkan pada dasarnya membuka peluang pembuatan konvensi-konvensi baru yang dipandang baik bagi keberlangsungan sistem kenegaraan dan pemerintahan di indonesia. Namun demikian, sebagaimana praktik konvensi di masa orde baru, apa yang disampai-kan oleh Presiden ini tidak harus dilihat sebagai pelanggaran terhadap Konstitusi dan Presiden sendiri tidak seharusnya merasa bahwa pidato ini sebagai pertanggungjawan kepada MPR yang memberikan mandat.

Meskipun praktik ini mirip dengan apa yang ber-langsung di masa orde baru, setidaknya ada perbedaan besar di antara keduanya, yaitu pada komposisi MPR itu sendiri. Di masa orde baru, diketahui bahwa MPR tidak hanya terdiri atas DPR atau perwakilan daerah, tetapi juga terdapat utusan golongan, yang menyebabkan MPR sulit untuk bersikap independen. Sementara di masa saat ini, MPR sendiri terdiri atas wakil-wakil rakyat yang dipilih secara langsung oleh rakyat dalam

Page 30: PERUBAHAN SISTEM KETATANEGARAAN PASCA …

149

BAB V: PENUTUP

pemilihan umum, sehingga mandat yang diterima oleh MPR saat ini lebih besar dibandingkan mandat yang diterima oleh MPR pada orde baru. Maka dari itu, secara praktik pada dasarnya konvensi ketatanegaraan yang dilakukan oleh Presiden Republik indonesia pada 14 Agustus 2015 ini telah sesuai dengan norma konvensi ketatanegaraan dalam Sidang Tahunan MPR yang telah berlangsung sejak lama.

Kedua, penelitian ini menyimpulkan bahwa dari perspektif substantif bahwa konvensi ketatanegaraan merupakan hukum tidak tertulis yang bertujuan untuk memperkuat pelaksanaan UUD, maka pidato yang dilakukan oleh Presiden pada Agustus 2015 yang lalu merupakan praktik yang tidak sesuai dengan prinsip-prinsip perimbangan kekuasaan yang telah berubah di indonesia pasca amandemen. Lebih dari, praktik tersebut justru tidak menguatkan apa yang tertera di dalam UUD setelah amandemen, karena seharusnya konvensi yang dibentuk seharusnya dapat menyesuaikan dengan perubahan-perubahan yang telah dilakukan.

Secara substansi seharusnya masing-masing lembaga negara yang mendapatkan kewenangan langsung dari rakyat (atribusi) dapat menyampaikan pidato kinerjanya masing-masing kepada publik secara langsung dan tidak harus dilimpahkan kepada Presiden. Secara konstitusi, presiden tidak mempunyai kewenangan untuk menilai lembaga negara lain yang setingkat

Page 31: PERUBAHAN SISTEM KETATANEGARAAN PASCA …

150

BAB V: PENUTUP

dengannya dan sebaliknya, karena masing-masing lembaga mendapatkan kewenangannya secara langsung dari rakyat sebagaimana ditegaskan di dalam UUD.

Selain itu, penelitian ini juga menyimpulkan bahwa Pidato Laporan Kinerja Tahunan yang disampaikan oleh Presiden dan memasukkan laporan kinerja lembaga-lembaga lain harus dimaknai sebagai pelimpahan kewenangan yang bersifat mandatori dari lembaga-lembaga tersebut. Hal ini berarti bahwa Presiden hanya sebatas menyampaikan apa yang telah dilakukan oleh lembaga-lembaga negara ini dan sama sekali tidak terjadi pelimpahan tanggung jawab atas apa yang telah dilakukan oleh lembaga-lembaga tersebut.

B. REKOMENDASI

1. Hendaknya praktik konvensi yang dilakukan oleh lembaga tinggi negara tetap mengindahkan aturan-aturan yang ada di dalam UUD 1945, karena keberadaan konvensi merupakan tambahan bagi konstitusi yang tertulis.

2. Bagi ahli Hukum Tata Negara hendaknya mem-berikan pengarahan secara lebih rinci dan ber-tanggung jawab bagaimana seharusnya konvensi diterapkan dikaitkan dengan keberadaan UUD 1945, sehingga praktik yang mengarah pada penyimpangan normatif tidak serta merta dimaknai

Page 32: PERUBAHAN SISTEM KETATANEGARAAN PASCA …

151

BAB V: PENUTUP

sebagai pembangkangan terhadap UUD. Salah satu penjelasan teoritis yang dapat diarahkan adalah bahwa pidato tersebut tidak harus dimaknai sebagai suatu pelimpahan tanggung jawab, namun hanya pelimpahan kewengan sebagai mandat kepada Presiden dari lembaga-lembaga negara yang lain.

3. Kepada lembaga tinggi negara, hendaknya mem-berikan penjelasan lebih rinci tentang bagaimana sebuah konvensi dibuat, terutama ketika konvensi itu bertentangan dengan praktik yang ada sebelumnya dan “seakan” bertentangan dengan UUD. Penjelasan ini diharapkan akan menimbulkan suatu pemahaman kepada masyarakat dan menghindari adanya pendapat yang simpang siur terkait dengan sistem ketatanegaraan di indonesia.

4. Kepada para akademisi hukum tata negara secara umum hendaknya dapat meningkatkan pengkajian konvensi ketatanegaraan di indonesia dan bagaimana sebaiknya konvensi tersebut dihadap-hadapkan dengan UUD yang tertulis, serta menyelesaikan permasalahan-permasalahan yang seakan meletakkan keduanya secara bertentangan.

5. Merujuk pada perubahan dan konsep konvensi sebagai sumber hukum (konstitusi) tidak tertulis, hemat penulis bahwa seharusnya perubahan konvensi secara ideal dan praktik ketatanegaraan harus dilakukan secara sempit dan terbatas. Hal

Page 33: PERUBAHAN SISTEM KETATANEGARAAN PASCA …

153

DAFTAR PUSTAKA

Buku & Berkala IlmiahAgiwinata, Weldy, “Konvensi Ketatanegaraan sebagai

Batu Uji dalam Pengujian Undang-undang di Mahkamah Konstitusi”, dalam Yuridika, volume 29, No. 2, Mei – Agustus 2014.

Anwar, C., Teori dan Hukum Konstitusi, Jakarta, Malang, in-Trans Publishing, 2008.

Asshiddiqie, Jimly, dan Bagir Manan, Amandemen UUD 1945 dan Pemilihan Presiden Secara Langsung. Jakarta: Konstitusi Press, 2006.

_______, Gagasan Kedaulatan Rakyat Dalam Konstitusi dan Pelaksanaannya di Indonesia, Jakarta, PT. ichtiar Baru van Hoeve, 1994.

Page 34: PERUBAHAN SISTEM KETATANEGARAAN PASCA …

154

DAFTAR PUSTAKA

_______, Hukum Tata Negara dan Pilar-pilar Demokrasi: Serpihan Pemikiran Hukum, Media dan HAM. Jakarta: Konstitusi Press, 2005.

_______, Implikasi Perubahan UUD 1945 terhadap Pembangunan Hukum Nasional. Jakarta: Mahkamah Konstitusi Ri, 2005.

_______, Konstitusi dan Konstitusionalisme. Jakarta: Mahkamah Konstitusi, 2006.

_______, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara. Jakarta: Konstitusi Press, 2006.

_______, Perkembangan dan Konsolidasi Lembaga Negara Pasca Reformasi, Jakarta: Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan MKRi, 2006.

Busroh, Abu Daud dan Abu Bakar Busro, Asas-asas Hukum tata negara. Jakarta: Ghalia indonesia, 1983

Dicey, Albert venn, Introduction to the Study of the Law of the Constitution. indianapolis: Liberty Fund, 1982.

Dicey, Albert venn, Introduction to the Study of the Law of the Constitution. indianapolis: Liberty Fund, 1982.

Drooglever, P.J., “The Genesis of the indonesian Constitution of 1949”, dalam Bijdragen tot de Taal-, Land- en Volkenkunde, vol. 153, No. 1 (1997).

Ekatjahjana, Widodo, Sumber Hukum Tata Negara

Page 35: PERUBAHAN SISTEM KETATANEGARAAN PASCA …

155

DAFTAR PUSTAKA

Formil di Indonesia, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 2001.

F.R.B. and v.G, “The New Constitution of indonesia”, dalam Civilization, vol. 1, No. 1, (January, 1951).

Fadjar, A. Mukhtie, et.al., Konstituionalisme Demokrasi, Malang, in-Trans Publishing, 2010.

Gaffar, Janedjri M., “Konsolidasi Lembaga Negara Pasca Perubahan UUD 1945”, Disampaikan pada acara Diklat Kepemimpinan Tk. ii Angkatan XXii Lembaga Administrasi Negara Republik indonesia. Jakarta, 22 April 2008.

Huda, Miftakhul, “Konvensi Ketatanegaraan”, dalam Majalah Konstitusi, No. 34, Ediri November 2009.

Huda, Ni’matul, Hukum Tata Negara Indonesia, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2005.

Hutauruk, M., Azas-azas Ilmu Negara. Jakarta: Erlangga, 1983.

ismatullah, Dedi, Hukum Tata Negara, Pustka Setia, Bandung, 2009.

Kahin, George McT., “Sukarno’s Proclamation of indonesia independence”, dalam Indonesia, No. 69, (April 2000).

Kansil, C.S.T., Sistem Pemerintahan Indonesia, Aksara Baru, Jakarta, 1985.

_______, dan Christine S. T. Kansil, Hukum Tata Negara Republik Indonesia. Jakarta: Rineka Cipta, 2008.

Page 36: PERUBAHAN SISTEM KETATANEGARAAN PASCA …

156

DAFTAR PUSTAKA

Ketetapan MPR Nomor vi/MPR/1988Kosariza, “Analisa Pertanggungjawaban Presiden dalam

Sistem Ketatanegaraan indonesia”, dalam Jurnal Ilmu Hukum, vol. 3, No. 1, September 2012.

Kusnardi, Moh. dan ibrahim, Harmaily, Pengantar Hukum tata Negara Indonesia, (Jakarta: FHUi, 1980).

Kusuma, A.B. dan R.E. Elson, “A Note on the Source for the 1945 Constitutional Debate in indonesia”, dalam Bijdragen tot de Taal-, Land- en Volkenkunde, vol. 167, No. 2/3, (2011), h. 196-209.

MD, Mahfud, Demokrasi dan Konstitusi di Indonesia, PT. Bhineka Cipta, Jakarta, 2000.

_______, Konstitusi dan Hukum, PT RajaGrafindo Persada, Jakarta 2010.

_______, Membangun Politik Hukum, Menegakkan Konstitusi, Jakarta, Rajawali Press, 2010.

Michener, Roger, “Foreword”, dalam Albert venn Dicey, Introduction to the Study of the Law of the Constitution. indianapolis: Liberty Fund, 1982.

Munir, Ernawati, dkk., Laporan Akhir Pengkajian Hukum tentang Hubungan Lembaga Negara pasca Amandemen UUD 1945. Jakarta: Kementerian Hukum dan HAM, 2008.

Nazriyah, Riri, “Pemberhentian Jaksa Agung dan Hak Prerogatif Presiden”, dalam Jurnal Konstitusi, volume 7, No. 5, Oktober 2010.

Page 37: PERUBAHAN SISTEM KETATANEGARAAN PASCA …

157

DAFTAR PUSTAKA

Prodjodikoro, Wirjono, Azas-Azas Hukum Tata Negara di Indonesia, Jakarta, Dian Rakyat, 1980.

Purnomo, Chrisdianto Eko, “Pengaruh Pembatasan Kekuasaan Presiden terhadap Praktik Ketatanegaraan indonesia”, dalam Jurnal Konstitusi, vol. 7, No. 2, April 2010.

Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional, 2008.

Ragawino, Bewa, Hukum Tata Negara. Bandung: Fakultas ilmu Sosial dan Politik, Unpad, 2007.

Simongkir, J.C.T dan Woerjono Sastripranoto, Peladjaran Hukum Indonesia. Jakarta: Penerbit Gunung Agung, 1957.

Soekanto, Soerjono, Pengantar Penelitian Hukum Normatif. Jakarta: Ui Press, 2007.

Soehino, Ilmu Negara, Yogyakarta: Liberty, 1986.Suny, ismail, Pergeseran kekuasaan eksekutif, Aksara

Baru, Jakarta, 1986.Thaib, Dahlan, Implementasi Sistem Ketatanegaraan

Menurut UUD 1945. Yogyakarta: Liberty, 1998, cet. ii.

_______, Teori dan Hukum Konstitusi, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta 2012.

_______, Kedaulatan Rakyat Negara Hukum dan Konstitusi. Yogyakarta: Liberty, November 2000, cet. ii

Page 38: PERUBAHAN SISTEM KETATANEGARAAN PASCA …

158

DAFTAR PUSTAKA

Whittington, Keith E., “The Status of Unwritten Constitutional Convention in the United States”, dalam University of Illinois Law Review, vol. 2013, No. 5.

Sumber Online “Ahmad Basarah: Sidang Tahunan Miliki Dasar Hukum

Kuat”, Majelis Permusyawaratan Rakyat, 9 Juli 2015, diakses dari http://www. mpr.go.id/posts/ahmad-basarah-sidang-tahunan-miliki-dasar-hukum-kuat

“Format Sidang MPR Jadikan Jokowi Seperti Mandataris MPR”, Tribun Nasional, 14 Agustus 2015, diakses dari http://www.tribunnews. com/nasional/2015/08/14/format-sidang-mpr-jadikan-jokowi-seperti-mandataris-mpr

“MPR dinilai keliru membuat Konvensi Pidato Presiden di depannya”, Detik News, Jumat, 14 Agustus 2015, diakses dari http://news.detik.com/ berita/2991839/mpr-dinilai-keliru-membuat-konvensi-pidato-presiden-di-depannya

“Pidato 16 Agustus, Konvensi Ketatanegaraan Warisan Orba: Ketua MK mencatat hanya tersisa dua konvensi ketatanegaraan di indonesia”, Hukum Online, Jumat, 16 Agustus 2013, diakses dari http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt520e344521b57/pidato-16-agustus--konvensi-ketatanegaraan-warisan-orba

Page 39: PERUBAHAN SISTEM KETATANEGARAAN PASCA …

159

DAFTAR PUSTAKA

“Pidato 16 Agustus, Konvensi Ketatanegaraan Warisan Orba”, dalam Hukum Online, 16 Agustus 2013, diakses dari http://www.hukumonline. com/berita/baca/lt520e344521b57/pidato-16-agustus--konvensi-ketatanegaraan-warisan-orba

“Pidato 16 Agustus: Konvensi Ketatanegaraan Warisan Orba”, Hukum Online, diakses dari http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt520e34 4521b57/pidato-16-agustus--konvensi-ketatanegaraan-warisan-orba

“Pidato 16 Agustus: Konvensi Ketatanegaraan Warisan Orba”, Hukum Online, diakses dari http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt520e34 4521b57/pidato-16-agustus--konvensi-ketatanegaraan-warisan-orba

“Pidato Kenegaraan: Agenda SBY di Rapat Paripurna DPR Hari ini”, Info Bisnis, 15 Agustus 2014, diakses dari http://info.bisnis.com/read/ 20140815/248/250130/pidato-kenegaraan-agenda-sby-di-rapat-paripurna-dpr-hari-ini-1582014

“Pidato Presiden Republik indonesia di Depan Sidang Tahunan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik indonesia Tahun 2015”, Jakarta, 15 Agustus 2015, naskah pidato diakses dari http://news.detik.com/berita/2991753/ini-pidato-lengkap-presiden-jokowi-di-sidang-tahunan-mpr

Page 40: PERUBAHAN SISTEM KETATANEGARAAN PASCA …

160

DAFTAR PUSTAKA

“Sejarah dan Perkembangan Konstitusi di indonesia”, dalam Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Kamis, 13 Agustus 2015, diakses dari http://www.mahkamahkonstitusi.go.id/index.php?page=web.Berita&id=11776#.vspiaMdYmRs

Page 41: PERUBAHAN SISTEM KETATANEGARAAN PASCA …

161

Ahmad Tholabi Kharlie adalah dosen tetap pada Fakultas Syariah dan Hukum Universitas islam Negeri (UiN) Syarif Hidayatullah, Jakarta. Karier akademiknya dirintis sejak tahun 2000, tidak lama setelah

merampungkan pendidikan tingkat sarjana (S-1). Dia diminta almamaternya untuk mengabdi sebagai asisten dosen selama lebih kurang dua setengah tahun. Dan pada 2003 diangkat sebagai dosen tetap di fakultas yang sama dalam bidang Hukum Keluarga islam.

Pendidikan formalnya dimulai di Sekolah Dasar di kampung halamannya, Kelelet, Warnasari, Citangkil,

TENTANG PENULIS

Page 42: PERUBAHAN SISTEM KETATANEGARAAN PASCA …

162

TENTANG PENULIS

Cilegon, Banten, selesai pada 1989. Kemudian melanjutkan ke jenjang Madrasah Tsanawiyah (MTs) hingga 1992. Tamat dari MTs/SMP Al-Khairiyah Citangkil dan MTs Negeri Anyar dia memutuskan untuk merantau ke ujung timur Jawa Barat, yakni kota Ciamis. Selama tiga tahun (1992-1995) dia ditempa di Pesantren Darussalam yang menyelenggarakan pendidikan Madrasah Aliyah Program Khusus (MAPK). Dan, mulai 1995 melanjutkan studi di iAiN (sekarang UiN) Syarif Hidayatullah Jakarta dengan mengambil program studi Ahwal Syakhshiyyah, lulus tahun 2000.

Dengan tekad kuat, pemilik suara emas (Nagham al-Qur’an) dan tulisan indah (khath/calligraphy) ini, melalui beasiswa Kementerian Agama Ri, melanjutkan studi pada jenjang Magister di Program Pascasarjana UiN Jakarta, dengan tetap mempertahan kan spesifikasinya di bidang hukum keluarga, selesai 2003, dan men dapatkan prediket Magister Terbaik dengan yudisium Cumlaude. Pada pertengahan 2009, atas beasiswa dari The Habibie Center (THC)/ Yayasan Sumber Daya Manusia iPTEK (SDM-iPTEK) dan Kementerian Agama Ri, ia berhasil merampungkan program Doktor dalam bidang Hukum Keluarga islam juga dengan yudisium Cumlaude.

intelektual muda yang dilahirkan di kota Cilegon, Banten, pada 7 Agustus 1976 ini, dikenal cukup produktif menyosialisasikan gagasan lewat media tulisan.

Page 43: PERUBAHAN SISTEM KETATANEGARAAN PASCA …

163

TENTANG PENULIS

Ratusan karyanya banyak menghiasi lembar-lembar media massa nasional maupun daerah, seperti Media indonesia, Republika, Seputar indonesia, Pelita, Radar Banten, Duta Masyarakat, Fajar Banten, Baraya Post, Analisa, dan aneka Jurnal ilmiah Terakreditasi Dikti dan Jurnal internasional Bereputasi terindeks Scopus/Thomson, seperti: Studia islamika, Mimbar Hukum Badilag Mahkamah Agung Ri, Mimbar Agama dan Budaya, Cita Hukum, Refleksi, Al-Qalam, Al-Turats, Tajdid, Ahkam, Al-Risalah, Miqot, dan sebagainya.

Beberapa judul buku ilmiah dan modul pembelajaran telah pula dipublikasikan, antara lain: Legislasi Hukum Keluarga di Dunia Islam Modern, 2020, (Penerbit Prenada, proses cetak); Status Anak di Indonesia, (Jakarta: Gaung Persada, 2020); Hukum Keluarga Indonesia, cetakan ketiga, (Jakarta: Sinar Grafika, 2013); Hukum Keluarga Islam di Indonesia: Suatu Pendekatan Sejarah Sosial dan Politik Hukum, (Jakarta: Lemlit dan UiN Press, 2008); Kesadaran Hukum Masyarakat Terhadap Hukum Perkawinan, (Jakarta: Lemlit dan UiN Press, 2008); Membawa Bangsa Menuju Demokrasi (Jakarta: Komisi Pemilihan Umum [KPU], 2000. [Kontributor Tulisan]); Syariat Islam Yes, Syariat Islam No! (Jakarta: Paramadina, 2001. [Kontributor Tulisan]); Praktikum Peradilan, (Jakarta: UiN Jakarta Press, 2006 sebagai Tim Penulis); Manusia dan Budaya: Ikhtiar Membangun Masyarakat Banten Paripurna [editor], (Bandung:

Page 44: PERUBAHAN SISTEM KETATANEGARAAN PASCA …

164

TENTANG PENULIS

Fajar Media, 2012); Hukum Tata Negara dan Hukum Administrasi Negara dalam Perspektif Fikih Siyasah [editor], (Jakarta: Sinar Grafika, 2012); Tiga Kategori Hukum: Syariah, Fikih, dan Kanun [editor], (Jakarta: Sinar Grafika, 2012); Piagam Madinah dan Undang-Undang Dasar NRI 1945 [editor], (Jakarta: Sinar Grafika, 2012); Perspektif Alquran tentang Demokrasi dan Ekonomi (editor), (Bandung: Fajar Media, 2013); Nanjung Umur, Nanjung Darajat, Nanjung Rejeki, (Jakarta: Pustaka Dunia, 2012); Nilai-nilai Ekonomi dan Ekonomi dalam Alquran (editor), (Bandung: Fajar Media, 2013); Status Hukum Anak Luar Nikah di Indonesia Berdasarkan Putusan MK No. 46/PUU-VIII/2010, (Bandung: Fajar Media, 2013); dan lain-lain. Di samping itu, Penulis telah menyunting ratusan karya ilmiah dosen dan pemikir Muslim kenamaan dalam kajian hukum islam (Syariah), terkait kompetensinya sebagai editor berkala ilmiah terakreditasi Dikti, yakni “Jurnal Ahkam” FSH UiN Jakarta.

Selain aktif di dunia akademik, Abie—demikian panggilan akrab nya—juga aktif dalam kegiatan-kegiatan sosial-kemasyarakatan, antara lain: tercatat sebagai salah seorang anggota Komisi Fatwa MUi Pusat, Dewan Pakar Pengurus Pusat Alumni Penerima Beasiswa Supersemar, Dewan Pakar iCMi Kota Tangsel, Pengurus Nasional Himpunan ilmuwan dan Sarjana Syariah se indonesia (HiSSi), Pengurus Pusat ikatan Persaudaraan Qari-Qariah

Page 45: PERUBAHAN SISTEM KETATANEGARAAN PASCA …

165

TENTANG PENULIS

(iPQAH), Pengurus Pusat Jam’iyyatul Qurra wal Huffazh (JQH), Pengurus bidang Pengkajian MUi Provinsi Banten, Pengurus LPTQ Provinsi Banten, Pengurus Pusat Asosiasi Dosen indonesia (ADi), Dewan Hakim MTQ Tingkat Nasional (Umum dan Perguruan Tinggi), dan lain-lain.[]

Page 46: PERUBAHAN SISTEM KETATANEGARAAN PASCA …