perubahan sosial ekonomi masyarakat colomadu …... · perubahan sosial ekonomi masyarakat ......
TRANSCRIPT
PERUBAHAN SOSIAL EKONOMI MASYARAKAT
COLOMADU AKIBAT PENIDURAN PABRIK GULA
COLOMADU TAHUN 1998 - 2007
SKRIPSI
Diajukan Untuk Melengkapi Persyaratan Guna Mencapai Gelar Sarjana Ilmu Sejarah
Fakultas Sastra dan Seni Rupa Universitas Sebelas Maret
Surakarta
Disusun oleh :
Eddy Riyanto C 0504020
FAKULTAS SASTRA DAN SENI RUPA
UNIVERSITAS SEBELAS MARET
SURAKARTA
2010
ABSTRAK
2010. Skripsi: Jurusan Ilmu Sejarah Fakultas Sastra dan Seni Rupa Universitas Sebelas Maret Surakarta 2010. Masalah yang akan dibahas dalam penelitian ini, yaitu: (1) Bagaimana sejarah singkat pabrik gula Colomadu. (2) Bagaimana reaksi para pekerja dalam menghadapi peniduran pabrik gula Colomadu. (3) Bagaimana perubahan sosial ekonomi masyarakat Colomadu dan pekerja pabrik gula Colomadu akibat peniduran pabrik gula Colomadu. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui: (1) Sejarah singkat pabrik gula Colomadu, (2) Untuk mengetahui reaksi pekerja dalam menghadapi peniduran pabrik gula Colomadu, dan (3) untuk mengetahui akibat peniduran pabrik gula Colomadu terhadap kondisi sosial ekonomi masyarakat Colomadu dan pekerja pabrik gula Colomadu. Sejalan dengan tujuan penelitian tersebut, maka penelitian ini menggunakan metode sejarah yang meliputi empat tahap, pertama adalah heuristik yang merupakan langkah awal dalam mencari sumber data baik lisan maupun tulisan, kedua adalah kritik sumber yang bertujuan untuk mencari keaslian data, ketiga adalah interpretasi merupakan penafsiran fakta-fakta yang dimunculkan dari data yang diseleksi, keempat adalah historiografi yang merupakan penulisan dari kumpulan data tersebut. Data ini diperoleh dari studi dokumen diperpustakaan pabrik gula Colomadu yang dibantu dengan studi pustaka di beberapa perpustakan di Surakarata. Untuk mendukung penelitian ini penulis melakukan wawancara dengan beberapa pekerja pabrik gula Colomadu dan masyarakat Colomadu. Hasil penelitian menunjukkan bahwa peniduran pabrik gula Colomadu pada tahun 1998 telah mengubah kondisi sosial ekonomi Kecamatan Colomadu. Peniduran pabrik gula Colomadu dikarenakan kekurangan bahan baku untuk pabrik gula Colomadu sehingga dalam perjalanannya tidak mungkin beropersi lagi. Perkembangan bisnis perumahan di wilayah Colomadu semakin membuat pabrik gula Colomadu kehilangan lahan-lahan tebu, yang disebabkan adanya alih fungsi lahan tanaman tebu yang dimanfaatkan untuk pemukiman penduduk. Kesimpulan yang dapat ditarik bahwa adanya peniduran Pabrik Gula Colomadu telah mempengaruhi kehidupan sosial ekonomi masyarakat Colomadu. Masyarakat Colomadu yang terkena dampaknya adalah para pekeja pabrik gula Colomadu dan masyarakat yang menggantungkan hidupnya kepada pabrik gula Colomadu. Peniduran pabrik gula Colomadu membuat pendapatan mereka berkurang. Setelah peniduran tahun 1998 pabrik gula Colomadu kegiatan utamanya hanya menanam tebu di luar wilayah Colomadu.
ABSTRACT 2010. Thesis: Jurusan Ilmu Sejarah Fakultas Sastra dan Seni Rupa Universitas Sebelas Maret Surakarta 2010. Issues to be discussed in this study, namely: (1) How is a brief history of sugar factory. (2) What was the reaction of the workers in facing “peniduran” Colomadu sugar factory. (3) How do socio-economic changes in society Colomadu and sugar factory workers Colomadu due “peniduran” Colomadu sugar factory. The purpose of this study is to determine: (1) A brief history of the sugar factory Colomadu, (2) To determine the reaction of workers in the face “peniduran” Colomadu sugar factory, and (3) to assess the effect of “peniduran” Colomadu sugar factory towards socio-economic conditions of Colomadu society and factory workers of Colomadu sugar factory. In line with these research objectives, the research uses historical method includes four stages, first one is the heuristic is the first step in searching data sources both oral and written, the second is a source of criticism that aims to find the authenticity of data, the third is the interpretation of the facts which are appeared from the selected data, the fourth is the writing of historiography, which is a collection of such data. This data was obtained from the study of the sugar factory Colomadu in library documents that assisted with the study of literature in several libraries in Surakarata. To support this research the author conducted interviews with some of the sugar mill workers and the public Colomadu. The results showed that “peniduran” Colomadu sugar mill in 1998 has changed the socio-economic conditions Colomadu District. “Peniduran” Colomadu sugar mill due to shortage of raw materials Colomadu sugar mills so that the journey is not possible processing again. Housing in the area of business development Colomadu increasingly making sugar mills sugarcane land loss, caused by land conversion of sugarcane to be used for human habitation. Conclusion that the existence “peniduran” Colomadu Sugar Factory has affected the socio-economic life of society Colomadu. Colomadu communities affected are the workers Colomadu sugar factory and the people who rely to a sugar factory Colomadu. Peniduran Colomadu sugar factory made their incomes reduced. After 1998 the sugar factory “peniduran” Colomadu main activities is just plant the sugarcane outside of Colomadu.
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Perkembangan industri gula di Indonesia di mulai pada abad 18 ketika VOC
mengusahakan kira-kira seratus perkebunan gula di sekitar Batavia, tetapi dengan
kebangkrutan VOC pada akhir abad 18 membuat semua hal yang berkaitan dengan
industri gula dikuasai oleh pemerintah Hindia Belanda. Pada masa Culturstelsel atau
Tanam Paksa di Hindia Belanda berkembang industri gula. Dengan sistem ini para petani
dipaksa dan diharuskan menanam tanaman tebu di atas tanah mereka. Hasil panen
diserahkan kepada pemerintah sebagai pembayaran pajak bumi.1
Pemerintah memiliki dan menguasai pabrik gula, dan dapat pula memperintahkan
kerja paksa kepada penduduk untuk menjalankan pabrik gula. Setelah adanya Agrarische
Wet tahun 1870, secara berangsur-angsur pemerintah menarik dari usaha ini, yang berarti
dibukanya kesempatan para usahawan asing dalam menjalankan usahanya di Hindia
Belanda.2 Usaha yang diminati oleh para usahawan asing adalah industri perkebunan
terutama gula, hal ini di dorong oleh faktor keuntungan yang diperoleh.3 Akibatnya para
pengusaha bumiputra tertarik terutama pihak Praja Mangkunegaran.4 Dengan alasan ini
membuat Praja Mangkunegara mendirikan usaha industri gula.
1 Mubyarto, 1991 dkk, Tanah dan Tenaga Kerja Perkebunan di Indonesia, Kajian Sosial Ekonomi,
Yogyakarta: Aditya Media, hal. 17.
2 Ibid. 3 Mubyarto, 1984, Masalah Industri Gula di Indonesia, Yogyakarta: BPFE, hal. 3-4. 4 Wasino, 2008. Kapitalisme Bumi Putra, Perubahan Masyarakat Mangkunegaran, Yogyakarta:
Lkis, hal. 47.
Munculnya industri gula Mangkunegaran tidak lepas dari peranan
Mangkunegoro IV (1853-1881). Pembangunan industri gula Mangkunegaran bercirikan
kapitalisme priyayi. Kapitalisme ini ditandai dengan ciri utama, yaitu keuntungan yang
diperoleh dari hasil reproduksi modal untuk pengembangan modal dan untuk memenuhi
semua kebutuhan trah dan rakyatnya.5 Pembangunan industri gula Mangkunegaran
dilakukan di dua tempat yang berbeda. Pertama di wilayah MalangJiwan, sebelah barat
ibukota Mangkunegaran yang bernama pabrik gula Colomadu, sedangkan yang
selanjutnyan di wilayah Karanganyar yang bernama pabrik gula Tasikmadu.
Berkembangnya industri gula di Mangkunegaran memberikan pengaruh positif
bagi perkembangan perdagangan, dan juga mempunyai terhadap perubahan sosial dan
suasana politik ditingkat lokal. Dalam fase perkembangannya industri gula
Mangkunegaran mengalami banyak perkembangan. Hal ini terbukti dengan kemampuan
dari industri ini dalam menghasilkan pendapatan bagi Praja Mangkunegaran dalam upaya
membayar hutang-hutang untuk membangun pabrik gula.6
Manajemen industri gula mengalami perubahan total, ketika Jepang masuk di
wilayah Surakarta. Banyak orang Belanda yang meninggalkan pekerjaannya di
lingkungan pabrik gula. Pergantian sistem manajemen ini dapat dilihat dari pergantian
Superintenden yang semula dijabat oleh orang Belanda diganti oleh orang bumiputra.7
Industri gula Mangkunegaran yang semula diusahakan oleh Mangkunegoro IV (1853-
1881), untuk kepentingan keluarga dan rakyat Mangkunegaran harus lepas ke tangan
5 Ibid., hal. 48. 6 Wasino. “Nationalisasi Pabrik Gula Mangkunegaran”, Makalah disampaikan dalam Workshop on
the Economic Side of Decolonization, Jointly Organizied by LIPI, NIOD, PPSAT-UGM dan Program Studi Sejarah Pasca Sarjana UGM, Yogyakarta Akhir Agustus 2004. hal. 3.
7 Ibid., hal. 4.
Pemerintahan Republik Indonesia setelah terjadinya krisis sosial politik di Surakarta
tahun 1946. Berakhirnya status pemerintahan Mangkunegaran membuat kedua industri
gula Mangkunegaran diambil alih oleh Pemerintah Republik Indonesia atau
dinasionalisasikan. Untuk mempermudah dalam pengelolaan perusahaan milik
Mangkunegaran maka pemerintah RI, mendirikan Perkebunan Republik Indonesia
(PPRI).8
Adanya alasan ini maka industri gula Mangkunegaran dikuasai dan dikelola
oleh Pemerintah RI. Oleh karena itu kedua industri gula Mangkunegaran menjadi milik
pemerintah RI dan menjadi Perusahaan Negara Republik Indonesia. Perkembangan kedua
industri gula Mangkunegaran dalam perjalanannya mengalami pertumbuhan yang
berbeda.9 Hal ini disebabkan oleh perubahan proses yang terjadi di dalam masyarakat di
masing-masing pabrik gula. Perubahan ini mendorong salah satu PG tidak dapat
beroperasi. Pabrik gula yang tidak dapat bertahan dalam menghadapi perubahan zaman
adalah PG Colomadu.
Pabrik Gula Colomadu ditutup oleh PTPN IX pada pertengahan tahun 1998
tepatnya tanggal 1 mei. Keputusan ini tentu sangat pahit, bagi sebanyak 365 orang
karyawan tetap perusahaan, dan ribuan buruh seperti, buruh angkut, buruh tebang, dan
buruh bongkar muat.10 Sebanyak 126 karyawan tetap yang sudah bekerja di atas 20 tahun
dipercepat pensiunnya dan mereka diberi pesangon tergantung pada tingkat pangkatnya.
Sebagian yang lain dipindahkan ke pabrik gula Tasikmadu Karanganyar, termasuk
8 Ibid.
9 Ibid., hal. 18. 10 Solopos, 18 Juli 1998.
mesin-mesinnya. Kini di PG Colomadu tinggal beberapa karyawan yang bertugas
mengurusi usaha tanam tebu. Mereka mengelola lahan seluas 382.349 hektare. Hasilnya
dikirim ke pabrik gula Tasikmadu Karanganyar.11
Tidak adanya hubungan yang saling menguntungkan di antara PG Colomadu
dan masyarakat membuat pabrik gula Colomadu tidak bisa memberikan hasil yang
memuaskan dalam setiap musim panen dan giling. Hal ini dapat terjadi karena setiap
musim giling tiba pabrik gula Colomadu kesulitan dalam memperoleh bahan baku.
Kesulitan bahan baku ini dapat terjadi karena dalam masyarakat di sekitar pabrik gula
Colomadu mengalami perubahan dalam hal pemanfaatan lahan.12
Pandangan masyarakat Colomadu yang telah berubah dapat dilihat dari
penggunaan lahan pertanian bukan untuk menanam tebu tetapi menanam tanaman padi.
Selain itu juga dengan semakin berkembangnya ekonomi di sekitar pabrik gula
Colomadu membuat masyarakat semakin berfikir materialistik. Hal ini dapat dilihat dari
semakin banyak lahan pertanian tebu yang dijual oleh pemilik lahan untuk pembangunan
pemukiman penduduk Hal ini memperparah kondisi pabrik gula Colomadu dalam
memperoleh bahan baku.13 Scope temporal dimulai tahun 1998 sampai 2007 dengan
pertimbangan pada tahun 1998 terjadi peniduran pabrik gula Colomadu yang dilakukan
oleh PT PERKEBUNAN NUSANTARA IX, sedangkan batasan akhir penelitian sampai
tahun 2007 karena dengan adanya peniduran pabrik gula Colomadu telah mempengaruhi
tatanan kehidupan masyarakat Colomadu yang berupa peralihan fungsi lahan di
11 Ibid. 12 SuaraMerdeka, 9 desember 2008. 13 Ibid.
Colomadu dalam kurun waktu kurang lebih 10 tahun telah mengubah kondisi sosial
ekonomi masyarakat Colomadu.
B. Rumusan Masalah
Dari uraian latar belakang yang telah dijelaskan di atas, maka rumusan dari
penelitian ini adalah sebagai berikut.
1. Bagaimana sejarah singkat pabrik gula Colomadu?
2. Bagaimana reaksi para pekerja dalam menghadapi peniduran pabrik gula
Colomadu?
3. Bagaimana perubahan sosial ekonomi masyarakat Colomadu dan pekerja pabrik
gula Colomadu akibat peniduran pabrik gula Colomadu?
C. Tujuan Penelitian
Suatu penelitian mempuyai arah dan tujuan yang telah ditetapkan agar dapat
bermanfaat dalam penyelesaian. Adapun tujuan yang hendak dicapai dalam penelitian ini
adalah sebagai berikut:
1. Untuk mengetahui sejarah singkat pabrik gula Colomadu.
2. Untuk mengetahui reaksi pekerja dalam menghadapi peniduran pabrik gula
Colomadu.
3. Untuk mengetahui perubahan sosial ekonomi masyarakat Colomadu dan pekerja
pabrik gula Colomadu akibat peniduran pabrik gula Colomadu.
D. Manfaat Penelitian
Dari kajian tentang perubahan sosial ekonomi masyarakat Colomadu akibat
peniduran pabrik gula Colomadu tahun 1998-2007, maka penelitian ini diharapkan
mampu memberikan manfaat sebagai berikut:
1. Secara teoritis, memberikan sumbangan dan pengetahuan dalam penelitian
sejarah, khususnya mengenai pabrik gula Colomadu.
2. Sebagai bahan tambahan dan masukan bagi dunia pendidikan pada umumnya dan
sejarah pergulaan di Indonesia pada khususnya.
E. Tinjauan Pustaka
Untuk mendukung penelitian mengenai Perubahan Sosial Ekonomi Masyarakat
Colomadu Akibat Peniduran Pabrik Gula Colomadu Tahun 1998-2007, menggunakan
literatur dan referensi yang relevan dan menunjang dengan tema yang diangkat. Literatur
dan referensi tersebut antara lain: James Scott dalam bukunya Moral Ekonomi Petani:
Pergolakan dan Subsistensi di Asia Tenggara (1983) mengemukakan bahwa petani
subsisten memiliki etika “dahulukan selamat’ namun ketika subsistennya terancam akan
melakukan protes dan gelombang protes itu muncul sebanding dengan daya paksa negara
yang tumbuh semakin kuat. Kondisi tertekan karena subsistensi terancam akibat
kerawanan ekologis, sistem harga dan monokultur, pertumbuhan negara dianggap sebagai
ancaman terhadap subsistensi mereka, dan pada saat itu mereka mersa memiliki otoritas
moral untuk melakukan perlawanan. Hal ini yang terjadi di pabrik gula Colomadu terlihat
dari usaha para petani yang mulai tidak mau menanam tebu. Ketidakmauan petani dalam
menanam tebu merupakan salah satu bentuk perlawanan petani.
Mubyarto dalam buku Masalah Industri Gula di Indonesia (1984) buku ini
membahas tentang masalah yang ditimbulkan dari sistem TRI. Sistem ini mendorong
para petani tebu agar dapat meningkatkan produksi gula menuju swasembada. Hal ini
mendorong adanya hubungan timbal balik antara petani tebu dengan pabrik gula. Buku
ini dapat dijadikan bahan untuk memperjelas permasalahan yang ada dalam pergulaan di
pabrik gula Colomadu, terutama masalah kebijakan TRI yang berdampak pada makin
menurunya hasil panen tebu dari tahun ke tahun. Penurunan itu disebabkan karena resiko
dan ketidakpastian dalam sistem TRI. Ketidakpastian diantaranya adalah pendapatan
petani yang naik-turun, untung-rugi. Hal itu berdampak pada peniduran pabrik gula
Colomadu pada tahun 1998.
Wasino dalam buku Kapitalisme Bumi Putra; Perubahan Masyarakat
Mangkunegaran (2008) buku ini memaparkan mengenai kekayaan-kekayaan yang
dimiliki oleh Praja Mangkunegaran yang berupa tanah, perusahaan, pabrik dan
perkebunan sehingga Praja Mangkunegaran mencapai kesuksesan dalam bidang
perekonomian. Buku ini lebih menitik beratkan mengenai perkebunan tebu atau pabrik
gula sebagai salah satu bagian dari kesuksesan perekonomian Praja Mangkunegaran.
Selain itu juga membicarakan mengenai penguasahaan tanaman tebu dan kepemilikan
tanah dalam penanaman tebu sehingga buku ini dapat dipakai sebagai acuan dalam
penulisan skripsi terutama penulisan tentang penguasahaan tanaman tenu dan
kepemilikan tanah dalam penanaman tebu pada masa Mangkunegaran.
Setiap manusia dalam hidupnya akan mengalami perubahan-perubahan.
Menurut Soleman B. Taneko, dalam bukunya Struktur dan Proses Sosial Suatu
Pengantar Sosiologi Pembangunan (1984) buku ini menyebutkan bahwa perubahan yang
terus menerus, artinya menelah keadaan suatu masyarakat pada waktu tertentu dan
kemudian membandingkan dengan keadaan masyarakat itu pada masa lalu. Karya ini
digunakan sebagai acuan atau sebagai bahan pembandingan dalam penulisan skripsi ini
karena, yang sedikit banyak akan membahas tentang perubahan masyarakat Colomadu
yang di akibatkan dari perubahan di daerah ini tentang cara pandang tentang pemanfaatan
lahan. Perubahan cara pandang akibat dari perubahan masyarakat yang terjadi terus-
menerus sehingga memandingkan keadaannya sekarang dengan masa lalu.
Perkembangan Kecamatan Colomadu yang lebih dinamis akibat dari perubahan
Kota Solo yang semakin berkembang berdampak pada tingkat interaksi yang semakin
intens. Menurut Bintarto R, (1983), Interksi Desa Kota dan Permasalahannya itu
merupakan masalah perkembangan kota yang mempuyai aspek yang menyangkut
perubahan–perubahan yang dikehendaki dan dialami oleh warga kota. Perubahan yang
dikehendaki adalah pemenuhan kebutuhan prasarana dan fasilitas hidup di kota. Akibat
dari itu membuat Colomadu berkembang menjadi daerah pinggiran kota. Hal ini
mendorong lahan di Colomadu menjadi sasaran dari pemenuhan kebutuhan masyarakat
kota. Pemenuhan ini dapat dilihat dari semakin berkembangnya daerah Colomadu
menjadi daerah investasi baru yang semakin berubah sesuai dengan perkembangan Kota
Solo yang dinamis.
F. Metode Penelitian
Penelitian ini menggunakan metode sejarah. Metode sejarah adalah sekumpulan
prinsip-prinsip dan aturan yang sistematis yang dimaksudkan untuk memberi bantuan
penelitian sejarah, menilai secara kritis dan kemudian metode sejarah terbagi ke dalam
empat tahap kegiatan yaitu heuristik, kritik sumber, interpretasi dan historigrafi.14
Tahap pertama adalah heuristik yaitu suatu proses pengumpulan bahan atau
sumber-sumber sejarah. Tahap kedua yaitu kritik sumber yang bertujuan mencari
keaslian data-data yang diperoleh melalui kritik intern dan kritik ekstern. Kritik intern
14 Louis Gottschalk,1993, Mengerti Sejarah, Jakarta: UI Press, hal. 18.
untuk membuktikan bahwa isi dari suatu sumber dapat dipercaya, sedangkan kritik
ekstern adalah untuk mencari keaslian sumber tertulis.
Tahap ketiga adalah interpretasi yaitu menafsirkan keterangan yang saling
berhubungan dengan fakta-fakta yang diperoleh dan merangkaikannya atau penafsiran
terhadap data-data yang diperoleh di lapangan dan hasil-hasil yang telah dilakukan
sebelumnya. Tahap terakhir adalah melakukan penulisan atau historigrafi berdasarkan
data-data yang telah dianalisa. Kemudian tahap selanjutnya semua data yang diperoleh,
terkumpul dan terpercaya di sajikan dalam bentuk sebuah cerita sejarah.
1. Lokasi Penelitian
Berdasarkan topik di atas, penelitian dilaksanakan di daerah Desa MalangJiwan,
Kecamatan Colomadu, Kabupaten Karanganyar, Jawa Tengah. Alasan mengambil lokasi
ini karena di desa ini terdapat salah satu peninggalan kejayaan Mangkunegaran pada abad
ke-19, berupa pabrik gula yang bernama Pabrik Gula Colomadu. Pabrik ini didirikan oleh
Mangkunagara IV (1853-1881), dan merupakan saksi bisu zaman keemasan agroindustri
di masa kolonial. Pabrik gula ini ditutup pada tahun 1998, sehingga memberikan suatu
perubahan sosial ekonomi bagi masyarakat di daerah ini
2. Teknik Pengumpulan Data
a. Studi Dokumen
Dalam studi ini karena fokus penelitian adalah peristiwa yang sudah lampau,
maka salah satu sumber yang digunakan adalah sumber dokumen. Dokumen dibedakan
menjadi dua macam yaitu dokumen dalam arti sempit dan dokumen dalam arti luas.
Menurut Sartono Kartodirdjo, “dokumen dalam arti sempit adalah kumpulan data verbal
dalam bentuk tulisan seperti surat kabar, catatan harian, laporan dan lain-lain.15 Di satu
sisi dokumen dalam arti luas meliputi artefak, foto-foto, dan sebagainya. Penggunaan
dokumen dalam penelitian ini adalah dokumen dalam arti sempit. Studi dokumen
mempunyai arti metodologis yang sangat penting, sebab selain bahan dokumen
menyimpan sejumlah besar fakta dan data sejarah, bahan ini juga dapat digunakan untuk
menjawab pertanyaan, apa, kapan dan mengapa.16 Studi tentang dokumen bertujuan
untuk menguji dan memberi gambaran tentang teori sehingga memberi fakta dalam
mendapat pengertian historis tentang fenomena yang unik. Dokumen yang berhasil
kumpulkan untuk penelitian ini antara lain: arsip tentang data statistik tanam pabrik gula
Colomadu tahun 1986-1990, Rkap MG. 1993-1997, daftar nama para pekerja yang
dipercepat pensiunnya, surat keputusan PTPN IX tentang amalgamasi, dan kumpulan
inpres, perpu dan undang-undang yang berkaitan dengan penelitian ini.
b. Studi Pustaka
Selain menggunakan studi dokumen peneliti juga menggunakan studi pustaka
dalam mengumpulkan data. Sumber-sumber pustaka digunakan untuk melengkapi data-
data yang peneliti kumpulkan di lapangan sebagai pendukung penelitian. Studi pustaka
dilakukan dengan cara mencari data-data dari buku-buku referensi, majalah, surat kabar,
artikel, dan laporan penelitian yang relevan dengan permasalahan yang akan diuraikan,
yang dapat digolongkan sebagai bahan kepustakaan dan dapat mendukung terwujudnya
penelitian ini. Sumber-sumber studi pustaka diperoleh di perpustakaan Unversitas
15 Sartono Kartodirdjo, 1992, Pendekatan Ilmu Sosial dalam Metode Sejarah, Jakarta: PT.
Gramedia, hal. 98 16 Sartono Kartodirdjo, 1982, Pemikiran dan Perkembangan Historiografi Indonesia, Suatu
Alternati, Jakarta: PT. Gramedia, hal 97-122
Sebelas Maret, perpustakaan Fakultas Sastra dan Seni Rupa, perpustakaan Daerah
Karanganyar, perpustakaan PTPN IX, perpustakaan pabrik gula Colomadu dan,
perpustakaan Monumen Pers.
c. Wawancara
Teknik wawancara yang dilakukan adalah wawancara mendalam terutama
dalam studi ini bertujuan untuk memperoleh gambaran tentang masalah yang dikaji
terutama mengenai peniduran pabrik gula Colomadu dan dampak sosial ekonomi bagi
masyarakat Colomadu dan pekerjanya. Pada wawancara mendalam sebelumnya
ditetapkan terlebih dahulu informannya. Informan yang diwawancara adalah orang- orang
yang mengetahui masalah yang dikaji, antara lain, Marwanto sebagai Koordinator
Administrasi dan Keuangan pabrik gula Colomadu, Irsad sebagai Teknisi Intalasi pabrik
gula Colomadu Suyamto III, Sumadi petani dideerah Paulan Colomadu.
e. Analisa Data
Teknik yang digunakan untuk menganalisis data dalam penelitian ini adalah
analisis historis kritis dengan maksud akan berusaha menguraikan kejadian dan
mendiskripsikan dalam jalinan kausalitas atau sebab akibat peristiwa tersebut secara
kronologis. Pada tahap berikutnya akan dilakukan eksplanasi atau menerangkan setiap
kejadian secara lebih mendalam berdasarkan analisis yang ada.
Data yang tersedia akan menjadi hidup dan menjadi tajam apabila analisis
penelitian terhadap sumber yang ada kritis. Sumber yang hidup dan tajam tersebut akan
menentukan seberapa bermutunya tulisan yang disajikan.
G. Sistematika Penulisan
Skripsi ini terdiri dari lima bab yang terdiri atas:
Bab I yang berisi pendahuluan yang terdiri dari latar belakang masalah,
perumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, metode penelitian, teknik
pengumpulan data, dan sistematika skripsi.
Bab II berisi mengenai gambaran umum perusahaan pabrik gula Colomadu
yang meliputi sejarah singkat pabrik gula Colomadu, pengusahaan tananam tebu, yang
meliputi kondisi alam Colomadu, kependudukan Colomadu, setelah itu kepemilikan
tanah dalam penanaman tebu, dan sistem sewa yang berlaku di PG Colomadu.
Bab III berisi mengenai reaksi pekerja dalam menghadapi peniduran pabrik gula
Colomadu yang meliputi latar belakang peniduran PG Colomadu, yang membahas,
kebijakan pemerintah tentang tanaman tebu, perkembangan ekonomi yang mendorong
peralihan fungsi lahan, dan reaksi pekerja dalam menghadapi peniduran PG Colomadu.
Bab IV berisi mengenai perubahan sosial ekonomi masyarakat Colomadu akibat
peniduran pabrik gula Colomadu yang meliputi pengalihan penanaman tebu ke padi,
perkembangan pemukiman penduduk, hilangnya tradisi cembengan, dan perubahan
struktur kepegawaian pekerja PG Colomadu.
Bab V merupakan bab terakhir yang berisi kesimpulan dari penulisan skripsi.
BAB II
GAMBARAN UMUM PERUSAHAAN PABRIK GULA COLOMADU
A. Sejarah Singkat Pabrik Gula Colomadu
Pabrik gula Colomadu di dirikan pada tanggal 8 desember 1861, oleh KGPAA
Mangkunegoro IV (1853-1881). Pada tahun 1861 Mngkunegara IV mengajukan rencana
mengenai berdirinya sebuah pabrik gula pada Residen Nieuwenhuysen. Sejak beberapa
waktu sebelumnya beliau telah memilih tempat yang tepat di desa Malangjiwan, suatu
tempat yang baik, karena adanya tanah-tanah yang baik, air mengalir dan hutan-hutan.
Tempat tersebut dianggap beliau paling cocok untuk perkebunan tebu. Peletakan batu
pertama untuk pabrik gula Colomadu pada tanggal 8 Desember 1861, bangunan dan
pelaksanaan industri di bawah pimpinan seorang ahli dari Eropa, yang bernama R. Kamp.
Pertama kali pabrik bekerja dengan menggunakan mesin uap. Mesin-mesin tersebut
dipesan dari Eropa. Mangkunegara IV mendapatkan pinjaman dari pemerintah Hindia
Belanda dan dibantu Be Biau Coan, mayor untuk kaum Cina di Semarang untuk
mendirikan pabrik gula Colomadu.17
Perusahaan gula tersebut ternyata dapat memenuhi semua persyaratan yang
diajukan untuk pengelolaan sebuah pabrik gula yang baik pada masa itu. Pada tahun
1863, tahun panen yang pertama, 95 ha lahan perkebunan tebu menghasilkan 3700
kuintal gula, yang jatuhnya pada produksi 39 kuintal per hektar, untuk masa itu dapat
dikatakan sangat memuaskan, walaupun cuaca tidak begitu menguntungkan. Seluruh
panen dijual dengan perantara firma Cores de Vries dengan harga sekitar f 32 per kuintal.
17 Soetono H.R, Timbulnya Kepentingan Tanam Perkebunan di Daerah Mangkunegaran,
(Surakarta: Reksa Pustaka, 2000), hal., 19.
Keberadaan industri gula sangat membantu penghasilan Praja Mangkunegaran
untuk melengkapi sumber pendapatan tradisional dari pajak tanah. Keuntungan yang
diperoleh dari pabrik gula sebagian digunakan raja untuk membayar gaji para bangsawan,
dan pepanci bagi para kerabat dekatnya, serta sebagian lagi digunakan untuk menebus
tanah lungguh yang belum selesai ditarik kembali. Setelah beberapa tahun MN IV wafat,
usahanya untuk membentuk dasar-dasar ekonomi kerajaan mengalami guncangan yang
hebat. Guncangan ini terutama melanda industri gula Mangkunegaran. Guncangan ini
disebabkan oleh faktor luar dan faktor dalam. Faktor luar adalah terjadinya krisis
ekonomi dunia dan hama penyakit tebu. Faktor dalam adalah kesalahan manajemen
keuangan dari MN V.18
Kedua faktor itu telah memukul ekonomi terhadap industri gula Mangkunegaran
yang terlihat dari penurunan pendapatan sebesar f100.000 ( sertus ribu gulden setiap
tahun. Faktor salah langkah dalam manajemen juga turut mengakibatkan makin
terpuruknya industri gula Mangkunegaran. Untuk mengatasi krisis yang terjadi di
perusahaan Mangkunegaran, maka Mangkunegaran mencari pinjaman kepada pihak
swasta di Semarang. Melalui penggadaian harta miliknya yang memiliki nilai verponding
sebesar f519.000. Selain itu Mangkunegaran V mendapat pinjaman sebanyak f200.000
dari Faktorij dengan cara menggadaikan 290 saham Javache Bank dan 100 saham
Nederlandsche Handelmaatschappinj (NHM), warisan ayahnya. Kenyataannya pinjaman
yang dilakukan oleh MN V telah mempersulit pemenuhan defisit keuangan
Mangkunegaran. Untuk mengatasi kerumitan keuangan Praja Mangkunegaran itu,
18 Wasino, 2008. Kapitalisme Bumi Putra, Perubahan Masyarakat Mangkunegaran, Yogyakarta:
Lkis, hal. 51-54.
Pemerintah Kolonial mengambil alih segala urusan keuangan Mangkunegaran, termasuk
pengelolaan perusahaan-perusahaan.19
Setelah pergantian pimpinan Mangkunegaran V diganti oleh Mangkunegaran VI
kinerja pabrik gula berangsur-angsur membaik. Membaiknya kinerja pabrik gula tidak
lepas dari usaha yang dilakukan oleh MN VI dalam penghematan pengeluaran keuangan
Praja Mangkunegaran. Akibatnya pada tahun 1899 atas permintaan MN VI pabrik gula
Mankunegaran dikembalikan pengelolaannya kepada pihak Mangkunegaran. Dampak
dari pengembalian pabrik gula membuat komando pengelolaan dibawah Praja
Mankunegaran. Meskipun dalam pengelolaan perusahaan-perusahaan Mangkunegaran
pihak Praja Mangkunegaran masih diwajibkan untuk menggunakan seorang ahli
berkebangsaan Belanda sebagai Superintenden.20
Pada saat pendirian sampai tahun 1942, pabrik gula Colomadu tidak pernah
mengalami kesulitan dalam pengadaan tanah, tenaga kerja, dan pemasaran produksinya.
Pada masa ini pula pabrik gula Colomadu mengalami jaman keemasan, hal ini terlihat
dari hasil produksi yang diperoleh pada masa itu21. Pada masa pendudukan Jepang pabrik
gula Colomadu mengalami penurunan dalam produksi karena kesulitan dalam
mendapatkan tenaga kerja, maupun areal untuk ditanami tebu. Kesulitan tersebut
disebabkan pada masa pendudukan Jepang banyak pabrik gula beralih fungsi.22
19 Ibid, hal., 55-59. 20 Ibid, hal., 75-76.
21 Waktu itu 1862 hasil PG di Jawa rata-rata 40 pikul tiap bau, yaitu PG yang dipimpin oleh orang
Eropa, sedangkan yang dipimpin oleh orang Cina hanya 17 sampai 25 pikul tiap bau. Mansfeld, 1939, Geschledenis der Eigendommen ran Het Mangkoenegoroscherijk: diterjemahkan M. Husodo Pringgokusumo, 1989, Sejarah milik Praja Mangkunegaran. Ska: koleksi perpus Reksopustoko Mangkunegaran, hal. 35.
22 Aiko Kurasawa, 1993, Mobilisasi dan Kontrol, Jakarta: Grasindo, hal. 44-49.
Pengalihan fungsi dilakukan Pemerintah Jepang untuk memfokuskan tanaman
pangan dari pada tanaman tebu. Banyak lahan pertanian yang dijadikan areal tanaman
pangan, karena pada masa Jepang komuditas pangan yang penting adalah beras. Selain
itu pabrik gula banyak yang dipakai sebagai pabrik semen, amunisi, dan butanol sehingga
berdampak kepada penurunan produksi gula.23 Pada tahun 1946 pemerintahan Swapraja
Mangkunegaran dihapus. Berakhirnya status pemerintahan Mangkunegaran membuat
pabrik gula Colomadu diambil-alih pengelolaannya oleh pemerintahan RI atau
dinasionalisasi. Hal ini diperkuat dengan dikeluarkan Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun
1947 yang memuat tentang Peraturan Perkebunan Republik Indonesia. Adanya peraturan
ini membuat pengelolaan pabrik gula Colomadu dikelola oleh Perusahaan Perkebunan
Republik Indonesia (PPRI).24 Sejak berlakunya Peraturan itu segala kegiatan di pabrik
gula Colomadu diatur oleh PPRI.25
Pertengahan tahun 1950 pabrik gula Colomadu mengalami kesulitan dalam
pengadaan tenaga kerja dan pengadaan tanah. Kesulitan ini disebabkan organisasi buruh
dan Barisan Tani Indonesia menuntut peningkatan uang sewa tanah yang lebih besar.
Para petani beranggapan bahwa peraturan sewa yang dijalankan oleh pabrik gula selama
ini tidak jelas, sehingga petani menginginkan adanya perbedaan tentang sistem sewa yang
dipakai. Untuk meredam konflik pemerintah menetapkan secara jelas harga sewa tanah
23 Ibid.
24 Lampiran 2. 25 Ibid,.
untuk tiap lahan tebu yang dibedakan antara lahan tebu biasa, tebu tunas dan tebu bibit.
Dengan adanya aturan ini aksi boikot para petani di pabrik gula Colomadu berhenti.26
Untuk memaksimalkan produksi pabrik gula pada tahun 1963 pemerintah
mengeluarkan Peraturan Pemerintah No. 1 tahun 1963 tentang pembentukan Badan
Pimpinan Umum Perusahaan Negara Perkebunan Gula ( BPU-PPNG ). Tujuan badan ini
untuk meningkatkan produksi gula. Usaha yang dilakukan oleh BPU-PPNG dalam
meningkatan produksi gula ditempuh dengan sistem bagi hasil. Sistem ini para petani
menerima 25 persen dari hasil menyewakan tanahnya kepada pabrik gula atau 60 persen
bagi petani jika petani mengusahakan dan memelihara tebu di tanah mereka sendiri
sehingga PG hanya menggiling saja.27
Kenyataannya sistem ini tidak memberikan keuntungan yang diharapkan oleh
para petani.28 Hal ini terjadi karena sistem bagi hasil muncul akibat adanya inflasi pada
masa itu, sehingga kenaikan harga pada waktu itu menyebabkan besarnya uang sewa
tanah yang ditetapkan pada awal tahun selalu ketinggalan dengan laju kenaikan harga
tersebut. Dengan demikian nilai riil uang sewa yang diterima petani sangat merosot.29
Perkembangan selanjutnya sistem bagi hasil tidak berjalan dengan baik, sehingga pada
tahun 1967 sistem ini dihentikan. Ketidakberhasilan sistem bagi hasil ini mendorong
dikeluarkannya SK Gubernur Jawa Tengah No.Produk G8/1968: 2/3/6, tertanggal 11
26 Wasino. “Nationalisasi Pabrik Gula Mangkunegaran”, Makalah disampaikan dalam Workshop
on the Economic Side of Decolonization, Jointly Organizied by LIPI, NIOD, PPSAT-UGM dan Program Studi Sejarah Pasca Sarjana UGM, Yogyakarta Akhir Agustus 2004. hal 10-11
27 Abdurachman S, 1975, Pemikiran-Pemikiran Untuk Mengatasi Kebutuhan Tanah Untuk
Tanamn Tebu, Surabaya: Majalah Gula Indonesia, hal. 13. 28 Sapuan, 1985, Ekonomi Pergulaan di Indonesia, Jakarta: Badan Urusan Logistik, hal. 12. 29 Ibid.
Maret 1968 Tentang Pembekuan Pelaksanaan Sistem Bagi Hasil di Pabrik Gula Mojo
Sragen dan Pabrik Gula Colomadu. Dengan adanya SK ini membuat sistem sewa tanah
berlaku kembali di kedua pabrik gula tersebut.30
Pada tahun 1968 pemerintah mengeluarkan Peraturan Pemerintah No. 13 tentang
pembubaran Badan Pimpinan Umum Perusahaan Perkebunan Negara Gula ( BPU-PPNG
). Pembubaran badan ini karena pola manajemen, PG hanya menekankan pelaksana
teknis produksi gula saja. Hal ini berdampak pada penurunan produksi gula. Selain itu
sentralisasi manajemen membuat keputusan tidak tepat sasaran dan tidak tepat waktu.
Akibatnya ke tidak lengkapan informasi yang diperoleh BPU-PPNG dalam pengambilan
keputusan berpengaruh buruk terhadap efisiensi industri gula.31
Keadaan ini mendorong pemerintah mengubah kebijakan pergulaan secara
fundamental. Dahulu kebijakan pergulaan yang diarahkan untuk mendorong ekspor,
maka sejak tahun 1967 kebijakan pergulaan lebih banyak di arahkan untuk stabilisasi
harga dalam negeri dan untuk mengurangi volume impor. Agar tujuan dari pemerintah
dapat tercapai, maka pemerintah menunjuk Bulog sebagai agen tunggal pemasaran gula.32
Bersama pembubaran Badan Pimpinan Umum Perusahaan Perkebunan Negara
Gula (BPU-PPNG) pemerintah membentuk 8 Perusahaan Negara Perkebunan Gula
(PPNG) yang masing-masing mengelola 4 – 7 PG. Sesuai dengan pembentukan 8
Perusahaan Negara Perkebunan Gula, maka PG Colomadu masuk ke dalam wilayah PNP
XVI yang berpusat di Surakarta. Untuk mengadakan reorganisasi perusahaan, maka
30 Selo Soemardjan, dkk, Petani Tebu (Laporan Penelitian tentang Masalah-masalah dalam
Pelaksanaan TRI di Jawa Timur, Jawa Tengah dan Jawa Barat). Yayasan Ilmu-ilmu Sosial dan Dewan Gula Indonesia, tanpa tahun, hal. 52.
31 Mubyarto, 1984, Masalah Industri Gula di Indonesia, Yogyakarta: BPFE, hal. 49. 32 Ibid., hal. 50.
pemerintah mengeluarkan Peraturan Pemerintah No. 11 Tahun 1981 tentang pembubaran
PNP XVI dan penggabungan kedalam Perusahaan Persero (Persero) digabung menjadi
satu dengan PNP XV dengan nama PT Perkebunan XV-XVI ( Persero ) yang
berkedudukan di Surakarta.33 PG Colomadu termasuk wilayah PTP XV-XVI ( Persero
).34 Setiap kegiatannya PG Colomadu bertanggung jawab kepada Direksi PTP XV-XVI (
Persero ).
Perkembangnya PT Perkebunan XV-XVI ( Persero ) mengalami peleburan
dengan PT Perkebunan XVIII ( Persero ) berdasarkan Peraturan Pemerintah No.14
Tahun 1996 menjadi PT Perkebunan Nusantara IX ( Persero ) hal ini dilakukan
pemerintah pada tanggal 14 Februari 1996.35 PT Perkebunan Nusantara IX ( Persero )
terbagi ke dalam dua divisi, yaitu pertama divisi tanaman tahunan yang meliputi tanaman
kopi, kakoa, karet dan teh sedangkan divisi kedua adalah tanaman semusim yaitu,
tanaman tebu. Alasan itu PG Colomadu masuk ke dalam divisi kedua. PG Colomadu
diakhir tahun 1997 mengalami kesulitan bahan baku. Hal ini membuat PT Perkebunan
Nusantara IX ( Persero ) melakukan penutupan.36
B. Pengusahaan Tanaman Tebu
Pengusahaan tebu yang merupakan tanamam pokok pembuatan gula sudah
diusahakan dan dikenal di Indonesia sejak jaman dahulu, dan pernah menjadi salah satu
komoditi ekspor yang sangat menguntungkan pada masa pemerintahan kolonial Belanda.
33 Sumber ini dapat dilihat di bagian SDM pabrik gula Colomadu tentang Perpu No 11 Tahun
1981. 34 Wawancara dengan Marwanto, 15 Juli 2009. 35 Sumber ini dapat dilihat di bagian SDM pabrik gula Colomadu tentang Perpu No 14 Tahun
1996.
36 Wawancara dengan Marwanto, 15 Juli 2009.
Pengusahaan tanaman ini tidak lepas dari peranan para penguasa. Tanaman tebu
diusahankan dengan cara paksa menggunkan alat – alat pemerintah maupun dengan
sistem sewa sampai dengan sistem tebu rakyat. Salah satu yang istimewa dari tanaman
tebu adalah penyedian lahan selalu menjadi perhatian besar dari pemerintah.37
Tanaman tebu yang memiliki nama latin Sacharum officinarum L merupakan
jenis tanaman yang secara ekologis merupakan tanaman tahunan yang pengusahaannya
mencapai waktu 16-18 bulan. Hidup dan berkembangnnya sangat tergantung pada
ekosistem. Ekosistem adalah hubungan saling mempengaruhi antara makhluk hidup
dengan lingkungannya membentuk suatu sistem.38 Keadaan iklim dan tanah besar sekali
pengaruhnya terhadap pertumbuhan dan perkembangan tebu.39
Tanaman tebu merupakan jenis tanaman tropis yang membutuhkan iklim musim
hujan dan musim kemarau. Pertumbuhan tebu membutuhkan air setiap 3-5 mm atau jika
dikaitkan dengan curah hujan maka kebutuhan akan hujan bulanan minimal 100 mm.
Suhu optimal yang diperlukan tanaman tebu berkisar antara 24 derajat 6 derajat Celcius.40
Tebu adalah tanaman tropis sehingga dalam pertumbuhannya membutuhkan sinar
matahari yang cukup, terutama saat pembentukan tunas, pemanjangan tunas dan saat
proses fotosintesis untuk membentuk gula. 41
37 Mubyarto dkk, 1992, Tanah dan Tenaga Kerja Perkebunan, Yogyakarta: Aditya Media, hal. 20-
22. 38 Clifford Geertz, 1983, Involusi Pertanian, Jakarta: Yayasan Obor, hal. 3. 39 Soepardiman, 1983, Bercocok Tanaman Tebu, Yogyakarta: LPP, hal. 35. 40 Notojoewono, 1960, Berkebun Tebu, Surabaya: BU-PPN Gula Inspeksi VI, hal. 45. 41 Soepardiman, Op. Cit., hal. 39.
Proses perkembangannya kecepatan angin berpengaruh terhadap tanaman tebu.
Kecepatan angin yang melebihi sepuluh kilometer per jam akan menyebabkan kerusakan
pada tanaman tebu. Selain itu, faktor tanah juga mempengaruhi pertumbuhan tanaman
tebu, khususnya terhadap kadar gula dalam batang tebu.42 Tanah yang baik dalam
penanaman tanaman tebu adalah lapis atas yang tebal dan di bawahnya lempung liat. 43
Faktor selain yang disebutkan di atas, manusia sebagai bagian ekosistem juga berperan
penting dalam penyediaan tebu sampai proses pembutan gula.
Manusia mempuyai peranan penting sebagai tenaga kerja, tenaga ahli, pemimpin
perusahaan dan usahawan yang sangat diperlukan untuk menciptakan kegiatan
ekonomi.44 Pembuatan gula banyak tenaga kerja yang diperlukan, karena itu pada masa
kolonial, khususnya pada sistem tanam paksa banyak penduduk yang dikerahkan secara
paksa sebagai tenaga kerja di perkebunan tebu maupun pabrik gula.
a. Kondisi Alam Colomadu
Sebagian yang dibicarakan di awal, tanaman tebu sebagai tanaman tropis,
pengusahaan membutuhkan syarat-syarat tertentu. Daerah Colomadu, yang secara
geografis memiliki batas-batas wilayah sebelah barat dan utara berbatasan dengan
Kabupaten Boyolali, timur berbatasan dengan Kota Surakarta sedangkan sebelah selatan
42 Adisewojo, 1983, Bercocok Tanaman Tebu, Bandung: Sumur, hal. 18. 43 Ibid., hal. 20-22. 44 Sadono Sukirno, 1985 Ekonomi Pembangunan Proses Masalah dan Dasar Kebijakan, Jakarta:
Bima Grafiti, hal. 174.
berbatasan Kabupaten Sukoharjo, memiliki kondisi yang mendukung untuk ditanami
tebu.
Kecamatan Colomadu Karanganyar merupakan bagian dari daerah agraris
dengan iklim tropis. Curah hujan rata-rata 150 mm per bulan dengan, keadaan suhu rata-
rata berkisar antara 27-28 derajat Celcius dan tidak ada perbedaan suhu yang ekstrem
dalam peralihan musim penghujan ke musim kemarau. Penyinaran matahari rata-rata 61
persen per tahun, sedangkan untuk kelembaban udara rata-rata per bulan sebesar 62,46
persen. 45
Daerah Colomadu yang memiliki luas wilayah15,64 kilimeter persegi dapat
dibagi mejadi 11 Desa. Desa yang terluas adalah Desa Malangjiwan, yaitu 2,06 kilometer
persegi, kemudian Desa Gedongan 1,79 kilometer persegi, sedangkan yang terkecil
adalah Desa Gajahan, yaitu 0,73 kilometer persegi dan Desa Paulan 0,98 kilometer
persegi. Sebagian besar tanah pertanian di Colomadu merupakan tanah persawahan yakni
seluas 532,4 Ha dan sisanya seluas 1.032,0 Ha merupakan tanah kering.46
b. Kependudukan Colomadu
Daerah Colomadu menyediakan tenaga kerja yang besar karena selama tahun
1998-2007 laju pertumbuhan penduduknya rata-rata 2,095 persen. Pada tahun 1998
jumalah penduduknya 46.583 jiwa dan terus bertambah sampai 57.084 pada tahun 2007.
Perkembangan yang pesat di daerah ini membuat mata pencaharian penduduk semakin
45 Colomadu dalam Angka Tahun 1998-2007, BPS Karanganyar. 46 Ibid.
beraneka ragam, hal ini terlihat dari tabel jenis mata pecaharian penduduk Colomadu
sebagai berikut.
Tabel. 1 Jenis Mata Pecaharian Penduduk Colomadu 1998-2007
Jenis Mata Pecaharian Penduduk Colomadu 1998-2007
Tahun Petani Buruh Tani Karyawan Pedagang PNS/Polri/TNI
1998 1.736 1.764 4.271 1.258 2.530
1999 1.705 1.725 4.346 1.280 2.574
2000 1.670 1.682 4.420 1.305 2.615
2001 1.652 1.666 4.433 1.361 2.815
2002 1.616 1..569 4.387 1.413 2.822
2003 1.602 1.488 4.627 1.433 2.833
2004 1.620 1.341 4.562 1.518 2.853
2005 1.588 1.321 4.930 1.633 2.945
2006 1.475 1.244 7.045 1.695 2.960
2007 1.438 1.183 7.167 1.770 2.953
Sumber: BPS, Colomadu dalam Angka Tahun 1998-2007
Dari tabel di atas terlihat bahwa dengan berkembangnya daerah Colomadu
sebagai Kota pinggiran dari Kota Solo membuat posisi mata pencaharian di wilayah ini
mengalami perubahan. Hal ini terlihat dari semakin berkurangnya mata pencaharian
petani dan buruh tani dari tahun ke tahun. Berkurangnya petani dan buruh tani di
Colomadu disebabkan generasi muda di daerah ini lebih memilih jenis mata pencaharian
sebagai karyawan dan PNS/Polri/TNI. Hal ini bisa terjadi karena profesi sebagai petani
dan buruh tani dianggap kurang membanggakan. Oleh karena itu pekerjaan karyawan dan
PNS/Polri/TNI dari tahun ke tahun terus meningkat.47
c. Sistem Penanaman Tebu
Tanaman tebu sudah mulai ditanam di areal yang luas oleh penduduk Colomadu
sebelum Mangkunegoro IV (1853-1881) membangun pabrik gula. Dalam sistem
penanaman tebu di daerah ini pada awal berdirinya pabrik gula Colomadu mengambil
tanah-tanah Lungguh yang ditarik dari kalangan keluarga kerajaan dan diganti dengan
sistem tunjangan yang berupa uang. Pengawasan sistem sewa tanah Mangkunegoro IV
(1853-1881), dibantu oleh para bekel. Hal ini dilakukan karena pada masa ini rakyat
belum memiliki wewenang dalalm pengusahaan atas tanahnya.48
Wewenang pengusahaan tanah adalah ditangan bekel. Sebab itu bekel
berkewajiban membayar pajak kepada raja. Tanah yang menjadi wewenang bekel disebut
tanah sesanggeman. Tetapi bila ada rakyat yang ingin menggarap tanah maka harus ada
persetujuan dari bekel terlebih dahulu. Jika bekel mengijinkan rakyat yang mengerjakan
tanah sesanggeman para bekel disebut narakaraya.49
Perekrutan tenaga kerja untuk menanam tebu di pabrik gula Colomadu
menggunakan struktur feodal. Petani penggarap di sekitar pabrik dikenakan kerja wajib
tanam tidak dibayar sehingga kelangsungan produksi pabrik gula Colomadu dapat
berjalan.50 Perjalanan sistem penanaman tebu di pabrik gula Colomadu mengalami
47 Ibid. 48 Wasino, 2008, Kapitalisme Bumi Putera: Perubahan Masyarakat Mangkunegaran, Yogyakarta:
Lkis, hal. 38.
49 Ibid.
50 Ibid., hal. 52.
berbagai macam sistem penanaman sesudah kemerdekaan. Sistem penanaman pada awal
kemerdekaan menganut sistem pada massa kolonial atau sesuai dengan uandang- undang
tanah yang dikeluarkan pemerintah kolonial pada tahu 1918 ( Grondhuur Ordonantie).
Perubahan ini dilakukan pemerintah karena pada masa itu kepemilikan pabrik
gula Colomadu sudah berubah. Disamping itu pemerintah belum memiliki peraturan
tentang sistem penanaman yang sesuai antara petani dengan pabrik gula. Pola penanaman
yang digunakan adalah sistem sewa tanah. Sistem ini di mana pabrik gula Colomadu
menyewa tanah dari para petani di sekitar pabrik gula Colomadu. Dalam sistem sewa ini
ada perjajian yang dilakukan antara petani dengan pabrik gula Colomadu.51 Penanaman
ini dikembangkan satu kompleks tanah di sebuah desa yang di sewa oleh pabrik gula.
Pabrik gula menanami sepertiga sawah dengan tebu selama 16 bulan atau 18 bulan.
Setelah kontrak selesai, maka sawah dikembalikan kepada pemilik lahan, dan sepertiga
sawah Desa yang lain ditanami tebu, demikian seterusnya sepanjang siklus atau sistem ini
juga disebut sistem glebagan.52
Selain itu sistem sewa tanah penanaman tebu di pabrik gula Colomadu juga
memakai sistem tebu rakyat di mana sistem ini memberikan kepercayaan dari pemerintah
kepada petani untuk mengolah tanaman tebu pada lahan yang telah disewakan. Petani
kemudian mendapatkan bayaran berupa setengah bagian atau separo harga tebu yang
dihasilkan.53 Tebu rakyat terus berkembang dan semakin luas areal penanaman, ketika
memperoleh dukungan pemerintah melalui dinas pertanian rakyat. Berbagai upaya
51 Ibid.
52 Werner Roll, 1983, Struktur Pemilikan Tanah di Indonesia, Jakarta: CV Rajawali, hal. 17. 53 Mubyarto dkk, Op. Cit., hal. 77-83.
dilakukan untuk semakin memacu berkembangnya tebu rakyat , antara lain dengan
berdirinya Yayasan Tebu Rakyat (YATRA) pada tahun 1953. Banyak petani di
Colomadu yang sebelumnya tidak menanam tanaman ini kemudian mengusahakan
tanaman tebu setelah pemerintah memberikan penyuluhan untuk menanam tebu guna
menambah hasil produksi gula sebagai barang ekspor.54
Tugas yatra adalah mendorong tumbuhnya tebu rakyat dengan cara memberi
bantuan teknis dan memberikan kredit untuk mengusahakan tanaman tebu, sedangkan
tanggung jawab penanaman tebu tetap di tangan petani.55 Perkembangannya YATRA
tidak memberikan hasil yang memuaskan bagi pemerintah, kemudian pada tahun 1964
YATRA dibubarkan.
Pembubaran YATRA membuat penanaman tebu di PG Colomadu mengikuti
sistem baru, yaitu bagi hasil. Sistem bagi hasil di PG Colomadu didasarkan pada SK
Mentri Pertanian No. 3/SK/Ka/1963. Pelaksanaan bagi hasil mengalami banyak kesulitan
karena pada masa ini para partai politik menggunakan momentum ini sebagai ajang
perjuangan untuk kepentingan mereka. Untuk menyelesaikan masalah ini pemerintah
mengeluarkan SK Mentri Pertanian No. 104/MPRI/1967, SK Mentri Perkebunan No.
15/Kpts/OP/3/1967, dan SK Mentri Perkebunan No. 17/Kpts/OP/3/1967. Ketiga SK ini
mengharuskan PG kembali ke sistem sewa.56
Penggunaan sistem sewa tidak bertahan lama karena pada tahun 1975
pemerintah menetapkan sistem TRI dengan Inper No. 9 Tahun 1975 yang
54 Selo Soemardjan, Op. Cit., hal. 51. 55 Mubyarto dan Daryati, 1991, Gula: Kajian Sosial-Ekonomi, Yogyakarta: Aditya Media, hal. 14. 56 Selo Soemardjan, dkk, Op. Cit., hal. 51-52.
pelaksanaannya diatur dengan SK Mentri Pertanian No. 22 Tahun 1975.57 Dengan adanya
aturan yang baru membuat PG Colomadu melaksanakan Inpers ini sehingga para petani
di sekitar PG Colomadu melaksanakan TRI. Sejalan dengan makin berkembangnya
daerah Colomadu membuat masyarakat Colomadu mulai enggan menanam tebu,
sehingga daerah Colomadu lahannya kebanyakan di tanami padi atau dijual untuk di
jadikan perumahan.
C. Kepemilikan Tanah dalam Penanaman Tebu
Kepemilikan tanah dalam penanaman tebu di pabrik gula Colomadu tidak lepas
dari berbagai kebijakan dan aturan yang dikeluarkan oleh pemilik atau pengelola pabrik
gula Colomadu. Kepemilikan tanah ini dapat dibedakan menjadi dua yaitu pada masa
kepemilikan Mangkunegaran dan Pemerintah Republik Indonesia.
Pada saat Praja Mangkunegaran memiliki kekuasaan atas rakyat di wilayah
Colomadu atau Desa Malangjiwan dalam memperoleh aset tanah dan tenaga kerja untuk
keperluan industri gula tidak mengalami kesulitan. Hal ini dapat terjadi karena pada masa
ini pengusahaan tanah dibagi menjadi 2 tipe, yaitu tanah di bawah kekuasaan penyewa,
dan tanah raja yang hak pajaknya berada di tangan para pangeran dan bangsawan. Pada
tipe model tanah pertama ada tiga model pemanfaatanya, yaitu: (!) glebagan, (2)
bengkok, (3) glidig. Pada tanah tipe kedua terdapat dua jenis model pengelolaannya,
yaitu: sistem pajeg dan maron. Dalam hal ini pabrik gula memakai sistem glebagan
dalam penanaman tebu. Untuk memperoleh tanah dalam penggarapan tanaman tebu
pabrik gula dilakukan oleh bekel.58
57 Mubyarto, 1983, Politik Pertanian dan Pembangunan Pedesaan, Jakarta: SinarHarapan, hal. 79. 58 Wasino, 2008. Op. Cit., hal. 154.
Peranan bekel dalam penanaman tebu di Colomadu sangat penting karena bekel
merupakan orang yang mengelola tanah agar mendapatkan keuntungan bagi kerajaan.
Tanggung jawab bekel juga membayar pajak bagi negara karena itu dalam melaksanakan
tugasnya bekel dibantu oleh para petani dalam menggarap tanah yang disewanya.
Pencarian petani para bekel bersaing dengan bekel lain dalam memberi kemudahan dan
kemakmuran kepada para petani. Hal ini dilakukan para bekel karena para petani dapat
pindah kerja bila bekel yang bersangkutan tidak memberikan keuntungan baginya.59
Penggarap tanah para bekel disebut juga kuli, atau kepala keluarga laki-laki yang telah
berkeluarga. Penggarapan tanah kuli terbagi menjadi beberapa diantaranya, kuli kenceng,
kuli kendo. Di dareah Colomadu peranan kuli kenceng lebih memdominasi dari pada kuli
kendo. kuli kenceng adalah petani penggarap dengan penguasaan tanah minimal 0,5 ha
sedangkan kuli kendo yaitu petani bukan penggarap, tetapi memiliki pekarangan dan
tegalan. Antara kuli kenceng dan kuli kendo terdapat kesamaan diantara mereka seperti
mereka tidak memiliki hak atas tanah mereka tetapi hanya sekedar menguasai saja.
Sebagai konsekuensinya, mereka tidak dapat menjual-belikan tanah tetapi dapat
mewariskan kepada keturunannya.60
Keberadaan tanah di wilayah perkebunan tebu Mangkunegaran dipengaruhi oleh
kekuatan-kekuatan di luar perkebunan tebu. Salah satu pengaruh yang paling dominana
adalah kebijakan pertanahan dari pemerintahan Mangkunegaran dan pemerintahan
Kolonial Belanda. Hal ini dapat di lihat dari terbentuknya tanah komunal desa, tanah ini
terbentuk karena adanya reorganisasi tanah 1912-1926. Akibat reorganisasi tanah, hak
59 Ibid, hal. 148. 60 Ibid, hal. 151.
milik tanah yang semula berada di tangan raja dialihkan kepada desa menjadi hak
komunal desa. Status petani berubah tidak lagi sekedar penggarap, tetapi mempuyai hak
pakai atas tanah yang diperolehnya dari desa.61
Tanah-tanah yang digunakan untuk perkebunan berkurang karena diperuntukan
untuk gaji para perangkat desa. Sementara itu, penggunaan tanah oleh pabrik gula
Mangkunegaran di luar tanah milik perkebunan bisa dilakukan dengan cara menyewa
tanah kepada desa atau penduduk secara langsung. Setelah adanya perubahan sosial–
politik pasckemerdekaan Indonesia pabrik gula Colomadu lepas kepemilikan dari tangan
keluarga Mangkunegaran ke pemerintahan Indonesia. Pada tahun 1946 Pemerintah
Indonesia mengambil alih kepemilikan pabrik gula Colomadu dengan alasan
Pemerintahan Praja Mangkunegaran telah berakhir bersamaan dengan berdirinya Negara
Kesatuan Republik Indonesia. Dengan demikian pengelolaan di bawah pemerintah
Indonesia, melalui PPRI.62
Iklim kemerdekaan membawa dampak pada sikap rakyat terhadap hak kemilikan
tanah dan penguasaan tanah. Tanah di wilayah Mangkunegaran yang sejak tahun 1918
diserahkan kepada desa menjadi hak komunal desa dan diberikan penguasaannya kepada
penduduk desa dari kalangan kuli kenceng. Sejak itu penduduk di wilayah ini merasa
memiliki dan menguasai tanah garapan. Hal ini berdampak pada tanah-tanah yang semula
di sewa oleh perusahaan perkebunana atau pabrik gula mulai diabaikan statusnya oleh
61 Ibid, hal. 157. 62 Ibid, hal. 4-6.
rakyat. Disamping itu petani mulai berani menetepkan harga sewa atas tanahnya kepada
pabrik gula.63
Untuk mempermudah hubungan petani dengan pabrik gula maka pemerintah
mengeluarkan Instruksi Kemetrian Dalam Negeri Jogyakarta kepada semua Residen dan
Gubernur tentang penetepan minimum uang sewa tanah buat perusahaan pertanian
tertanggal 16 Januari 1950.64 Instruksi ini diatur persewaan antara pabrik dengan rakyat
bersifat sukrela dan hanya berlaku dalam satu tahun tanam. Luas lahan bagi setiap desa
yang boleh di sewa tidak boleh melebihi dari 1/3 luas lahan pertanian di desa itu. Untuk
memperoleh lahan tanah, pihak pabrik harus berhubungan dengan perangkat desa
setempat terlebih dahulu, karena mereka yang berkewajiban dalam mempertemukan
antara pihak pabrik dan organisasi petani dalam hal penentuan sewa tanah. 65
Kondisi kepemilikan tanah di Colomadu tetap mengikuti setiap peraturan yang
dikeluarkan oleh pemerintah Indonesia sampai sekarang. Tanah – tanah di Colomadu
tidak beda dengan awal Indonesia merdeka tetapi sekarang para petani lebih bisa memilih
dalam menanam tananaman yang diusahakan.66
D. Sistem Sewa Tanah
Sistem sewa di pabrik Colomadu mengikuti periodesasi setiap kebijakan
pemerintah yang memerintah. Walaupun dalam perjalanannya setiap sistem yang di
jalankan tidak berjalan dengan lama, hal ini dapat terjadi karena adanya berbagai
rintangan. Beberapa sistem itu dapat dijelaskan, seperti di bawah ini yaitu sistem tebu
63 Ibid, hal. 10. 64 Wasino, 2004. Op. Cit., hal. 11. 65 Ibid., hal. 12. 66 Wawancara dengan Darso, 25 Agustus 2009.
sewa, sistem tebu rakyat dan sistem tebu rakyat Intensifikasi (TRI), dan sistem tebu
sewa.67
1. Sistem Tebu Sewa.
Sistem tebu sewa adalah sistem hubungan tanah untuk tanaman tebu oleh pabrik
gula, yang mana pemilik tanah menerima sejumlah uang sewa tertentu untuk selama
jangka waktu penanaman tebu. Sebagai imbalannya petani pemilik tanah menyerahkan
tanahanya kepada pihak pabrik gula.68 Besarnya uang tergantung pada tingkat kesuburan
tanah, pengairannya serta jauh tidaknya letak tanah itu dari rail-baan pabrik gula.
Kelemahan dalam sistem ini menunjukkan bahwa besarnya uang sewa yang
diterima oleh petani dirasakan kurang memadai. Biasanya petani mebandingkan antara
uang sewa dengan hasil tanahnya apabila diusahkan sendiri dengan tanaman pangan.
Selain itu dihubungkan dengan jangka waktu yang dianggapnya terlalu lama, karena
tanaman tebu biasanaya membutuhkan waktu antara 16 sampai 18 bulan.69 Di lain pihak
pabrik gula dalam menentukan besarnya uang di dasarkan pada harga gula yang
ditentukan oleh pemerintah. Akibatnya dari semua itu, maka sikap petani terhadap sistem
sewa kurang bergairah.
Pada awal berdirinya pabrik gula Colomadu dalam usaha memperoleh tanah
untuk tanaman tebu belum menggunakan sistem sewa seperti yang dikemukaan diatas.
Sistem ini dipakai pada masa pengalihan kepemilikan dari Praja Magkunegaran ke
67 Wawancara dengan Widodo, 15 Juli 2009. 68 Mudjijo Prodjosuhardjo dan Ahmad Sutarmadi, Sistem Penggunaan Tanah Untuk Tanaman
Tebu dan Kerja Sama Patani Tebu Rakyat, Seminar Tebu Rakyat tanggal 28-30 Agustus 1975, Yogyakarta, 1975, hal. 76-77.
69 Wawancara dengan Widodo, 15 Juli 2009.
Pemerintahan Republik Indonesia. Dalam sistem sewa ini pabrik gula Colomadu
menggunakan tanah rakyat yang terbagai ke 3 Kabupaten, seperti Boyolali, Sukoharjo,
dan Karanganyar.70
Sebagai landasan hukum bagi pabrik gula Colomadu dalam menggunakan tanah
rakyat adalah PERPU No. 38/1960, yang antara lain berbunyai : pabrik-pabrik gula
mendapatkan perlindungan untuk menggunakaan tanah rakyat. Sebaliknya desa harus
menyediakan sejumlah minimum luas tanah untuk menanam tebu. Walaupun pemerintah
telah mengeluarkan PERPU NO. 38/1960, namun pada kenyataannya pemasukan areal
sering tersendat-sendat hingga pihak berwajib terpaksa turun tangan. Hal itu disebabakan
karena uang sewa tanah yang ditetapkan pemerintah tidak sesuai lagi dengan pendapatan
dari usaha tani padi.
Upaya yang dilakukan pemerintah selain setiap tahun menaikkan besarnya uang
sewa, juga memberi berbagi tambahan premi seperti premi serah tanah,71 premi
dongkelan,72 dan premi produksi.73 Penambahan premi-premi itu bertujuan agar pada
akhirnya para petani menerima uang sewa yang memadai. Akan tetapi upaya ini belum
dapat menyelesaiakan masalah, karena petani merasa hasil yang diperoleh belum
memberikan keuntungan bagi mereka.
70 Ibid. 71 Premi serah tanah adalah uang tambah yang diberikan kepada petani yang menyerahkan
tanahnya dalam bulan Maret, April, dan Mei. 72 Premi dongkelan adalah uang yang diberikan oleh PG kepada petani, sebagai bantuan biaya
membersihkan tanh yang bersangkutan setelah tebunya ditebang.
73 Premi produksi adalah uang tambah yang diberikan kepada petani untuk tiap kuital hasil tebu di atas jumlah penghasilan tebu yang ditanam, yang biasanya ditentukan tiap hektarnya
Akibatnya sistem sewa tanah yang ditetapkan tiap tahun semakin sulit untuk
dilaksanakan. Perkembangan jumlah penduduk mengakibatkan kebutuhan tanah semakin
mendesak, yang berarti meningkatnya jumlah beras dan makanan. Dengan ini petani
mulai tidak rela menyewakan tanahnya untuk tanaman tebu. Mereka lebih suka menanam
padi yang dianggap lebih menguntungkan untuk mereka.
2. Sistem Tebu Rakyat
Berbeda dengan sistem tebu sewa, dimana seluruh pekerjaan kebun dan
peguasaan tanah selama jangka waktu tertentu berada dalam pihak pabrik gula, maka
dalam sistem tebu rakyat ini tanggung jawab pekerjaan sepenuhnya berada di tangan
petani atau pemilik lahan sendiri. Petani tebu rakyat dengan bakat, kemampuan dan
ketrampilan sendiri, mengusahakan tanaman tebu di atas tanah miliknya sendiri atau sewa
dari petani lain.74
Pada sistem ini petani bebas menjual dan menggilingkan tebunya kepada
siapapun. Besar kecilnya penghasilan tergantung kepada kemampuan mereka dalam
mengusahakan tanah dan tanamanya. Dengan demikian mutu dan kualitas tinggi
rendahnya rendeman tebu terlepas dari pengawasan serta tanggung jawab pabrik gula.
Dalam perkembangnya sistem tebu rakyat tidak terlalu berkembang di pabrik gula
Colomadu, karena sistem tebu ini hanya dikembangkan oleh para petani yang memiliki
modal yang cukup besar, sehingga untuk perawatan dan pengawasan sistem tebu ini juga
memperlukan tenaga kerja yang lebih banyak75
74 Mubyarto, 1968, Usaha Tani Tebu Dan Industri Gula Di Jawa, (Survey Agro Ekonomi
Indonesia,), hal. 57. 75 Ibid.
Sistem di atas merupakan sistem bagi hasil “ Tebu Rakyat”, sistem ini diatur
dalam PMPA No. 8 Tahun 1963 yang mengatur pelaksanaanya sebagai berikut:
4. Para petani pemilik/penanam tebu rakyat yang berada di dalam wilayah
kerja pabrik-pabrik gula tertentu, wajib menyerahkan tebunya kepada PG
tersebut untuk digiling menjadi gula kristal.
5. Perusahaan PG wajib menerima tebu rakyat yang diserahkan para petani
penanam tebu rakyat.
6. Setiap kuital tebu yang diserahkan petani kepada PG mendapat imbalan
langsung berupa gula kristal sebanyak 3 kg untuk penyerahan April dan
Mei. Setelah penyerahan sesudah Mei petani mendapatkan imbalan gula
kristal sebanyak 4kg.
Pada tingkat selanjutnya sebenarnya sistem tebu rakyat merupakan awal dari
adanya sistem TRI. Letak perbedaanya hanya pada penyediaan bimbingan secara intensif
kepada petani penanam tebu. Selain itu dalam sistem TRI pihak petani memperoleh
kredit atau bantuan dari pemerintah.
3. Sistem TRI
Perubahan sistem tebu pabrik (sistem sewa) ke sistem Tebu Rakyat Intensifikasi
tidak lepas dari dua hal, yaitu pertama mengenai keadaan produksi gula di Indonesia pada
masa lampau dan kedua mengenai sistem penggunaan tanah bagi sebagian besar pabrik
gula dalam mengusahakan tanaman tebunya.76 Pada tahun 1930 Indonesia merupakan
salah satu negara produsen gula yang menduduki tempat terkemuka. Pada waktu itu
produksi gula yang dihasilkan rata-rata 16,5 ton setiap hektar, dengan produksi secara
76 A. Rifa’i Husein, 1998, Peranan Program Tebu Rakyat Intensifikasi dalam Sistem Bimbingan
Massal, Jakarta: Badan Pengendali Bimas, hal. 23-24.
keseluruhan dapat mencapai 2.970.836 ton, sehingga dengan hasil produksi sekian
besarnya, maka Indonesia dapat dikatakan sebagai negara pengekspor gula.77
Perang dunia II dan Revolusi Fisik menyebabkan terjadinya penurunan produksi.
Pada tahun 1974 keadaan produksi gula belum mencapai hasil seperti pada waktu
sebelum perang.78 Kemudian pada tanggal 19 pebruari 1975 pemerintah mengadakan
sidang dewan stabilisasi Ekonomi. Sidang memutuskan semua perusahaan perkebunan
negara menyelenggarakan proyek perintis Tebu Rakyat Intensifikasi dengan sistem
Bimas.79
Sebagai kelanjutan keputusan sidang maka pada tanggal 22 April 1975
dikeluarkan Inpres Presiden No. 9 Tahun 1975 yang menetapkan penghapusan sistem
sewa rakyat. Adanya Inpres ini telah membawa perubahan dalam sistem pengusahaan
tanaman tebu. Pengusahaan tanaman tebu kini di serahkan kepada petani, sedangkan
pabrik gula hanya menjadi buruh giling.80 Inpres tersebuat membawa optimisme kepada
keyakinan pemerintah akan kenaikan produksi gula Nasional. Inpres ini mempuyai tiga
tujuan pokok, yaitu: meningkatkan produksi gula dalam negeri, Meningkatkan
pendapatan petani, dan Menghemat devisa untuk impor gula.
Kebijakan ini, membuat kegiatan produksi gula menjadi bagian dari program
pemerintah yang operasionalisasinya dilaksanakan dalam kerangka Bimas seperti
produksi padi yang sudah dimulai lebih dulu. Untuk menjamin agar tujuannya dapat
77 Dirjen Perkebunan, Beberapa Permasalahan Produksi dan Recana Tebu Rakyat Intensifikasi,
Seminar tebu rakyat tanggal 28-30 agustus 1975, Yogyakarta: tanpa penerbit, hal. 3. 78 Alec Gordon, 1982, ldeologi Ekonomi dan Perkebunan: Runtuhnya sistem Gula Kolonial dan
Merosotnya ekonomi, Jakarta: LP3ES, hal. 32.
79 Selo Soemardjan, dkk, Op. Cit., hal. 19-25.
80 Ibid. hal. 53-55.
dicapai, pelaksanaan program TRI dilengkapi beberapa kebijakan pendukung, yaitu:
penyediaan kredit lunak, bimbingan teknis untuk petani, penetapan harga provenue,
rehabilitasi pabrik gula - pabrik gula di Jawa, serta penetapan target areal dan produksi,
serta mekanisme operasional yang diatur berdasarkan Surat Keputusan Menteri
Pertanian/Ketua Badan Pengendali Bimas Pusat.
Pelaksanaan Inpres ini di pabrik gula Colomadu dilaksanakan secara bertahap.
Sesuai dengan program yang telah ditentukan dan sejalan dengan program pengalihan
dari tanaman sewa ke tanaman TRI. Proses peralihan sistem TRI yang dilaksanakan di
pabrik Colomadu secara penuh berlangsung mulai tahun 1983 untuk tanaman yang di
tanam di Kabupaten Boyolali dan, Kabupaten Sukoharjo, sedangkan di Kabupaten
Karanganyar mulai secara penuh dilaksanakan pada tahun 1981. Pelaksanaan areal TRI di
pabrik gula Colomadu pada awal tahun 1980-an dapat dikatakan selalu menunjukan hasil
yang memuaskan.81
Prosedur pemanfaatan areal sebelum dan sesudah Inpres No. 9 Tahun 1975 pada
dasarnya hampir sama. Mula-mula petugas pabrik gula membicarakan dengan kepala
desa mengenai kemungkinan luas areal yang dapat dimasuki. Dari hasil pembicaraan
dibuat suatu rencana areal yang selanjutnya rencana areal itu disampaikan ke Kabupaten
sebagai bahan untuk membuat Surat Keputusan Bupati mengenai areal tanah yang akan
di tanami tebu.82
Setelah adanya SKA Bupati, maka petugas menetapkan luas lahan yang definitif
agar dapat dibuat daftar nomatif petani pemilik tanah. Daftar nomatif pada sistem tebu
81 Wawancara dengan Irsad, 20 Juli 2009. 82 Wawancara dengan irsad, 20 Juli 2009.
sewa digunakan sebagai dasar pembayaran uang sewa, sedangkan pada sistem TRI
digunakan sebagai dasar pengajuan kredit. Pada dekade tahun 1990-an di pabrik gula
Colomadu sudah mulai kekurangan bahan baku dalam proses pembuatan gula. Hal ini
terjadi karena petani di daerah ini sudah enggan menanam tebu.83 Keenggan para petani
di daerah pabrik gula Colomadu disebabkan karena mulai berkembangnya daerah
Colomadu kearah lingkungan perkotaan, sehingga tanah atau lahan disekitar pabrik gula
Colomadu banyak yang beralih fungsi. Pengalihan fungsi lahan membuat para petani
enggan tanahnya ditanami tebu.84 Hal ini bisa terjadi karena Program TRI sudah tidak
bisa mengikat petani.
Menurut mereka program TRI membuat terjadi disintegrasi dalam penguasaan
proses produksi gula. Proses produksi tebu dilakukan oleh petani sedangkan proses
pengolahan dilakukan oleh PG. Sementara penyediaan sarana produksi pertanian
dilakukan oleh KUD, dan pembiayaan kegiatan produksi tebu disediakan pemerintah
melalui paket kredit bersubsidi. Konsekuensi dari pemisahan tersebut adalah terjadinya
berbagai hambatan manajemen produksi dan penurunan standar penerapan budidaya tebu
dan teknologi prosesing, sehingga berakibat pada rendahnya hasil panen tebu.85
Petani mulai berfikir untuk menanam tanama padi dari pada tebu. Keinginan dari
para petani semakin meluap-luap dengan dikeluarkannya Inpres No 5 Tahun 1998. Inpres
ini tentang penghapusan Program Pengembangan Tebu Rakyat.86 Dampak dari kebijakan
ini membuat sistem sewa yang selama ini telah dibekukan oleh pemerintah muncul
83 Wawancara dengan Widodo, 15 Juli 2009. 84 Wawancara dengan Widodo, 15 Juli 2009. 85 Mubyarto, Op. Cit., hal. 124-126. 86 Sumber ini dapat dilihat di bagian SDM pabrik gula Colomadu tentang Inpres No 5 Tahun 1998.
kembali. Sehingga pada tahun ini pabrik gula Colomadu memakai sistem sewa tanah
kepada petani. Sistem sewa tanah pabrik gula Colomadu sudah tidak menyewa di daerah
sekitar pabrik gula Colomadu karena harga tanah di sekitar pabrik gula Colomadu mahal.
Untuk melanjutkan sistem sewa yang ada di pabrik gula Colomadu, maka pihak PG
menyewa tanah di daearah Boyolali, tepatnya di Sambi dan Simo.
BAB III
REAKSI PEKERJA COLOMADU DALAM MENGHADAPI
PENIDURAN PABRIK GULA COLOMADU
A. Latar Belakang Peniduran Pabrik Gula Colomadu
Peniduran pabrik gula Colomadu tidak lepas dari dua faktor. Pertama kebijakan
pemerintah yang menyangkut tentang tanaman tebu dan upaya peningkatan produktivitas
gula. Kedua, perkembangan ekonomi yang mendorong pengalihan fungsi lahan pertanian
di sekitar pabrik gula Colomadu, faktor yang disebutkan di atas dapat dijelaskan, seperti
di bawah ini.87
1. Kebijakan Pemerintah Tentang Tanaman Tebu
Pemerintah dalam upaya untuk mendorong petani agar mau menanam tanaman tebu
melakukan berbagai cara seperti, program tebu rakyat intensifikasi (TRI). Ini merupakan
sebuah produk kebijakan pemerintah Orde Baru dalam agraria. Dalam pembuatan produk
kebijakan agraria pemerintah selalu menekankan dua segi. Pertama, kebijakan agraria
lebih memfokuskan kepada peningkatan produksi dari pada penataan struktur agraria. Hal
ini dilakukan karena pemerintah Orde Baru lebih mementingkan pertumbuhan ekonomi
yang lebih tinggi sebagai strategi pembangunan pemerintah orde baru. Kedua, penekanan
stabilitas politik dalam pencapaian tujuan pembangunan ekonomi dipandang sebagai
persyaratan bagi terlaksananya program kebijakan pemerintah.88
87 SuaraMerdeka, Senin 9 Maret 1998. 88 Endang Suhendar dan Yohana Budi Winarni, 1998, Petani dan Konflik Agraria, Bandung:
Yayasan Akatiga, hal. 99.
Kebijakan ekonomi, termasuk kebijakan agraria yang dipilih adalah kebijakan yang
membuka peluang seluas-luasnaya bagi pemodal besar dalam upaya mengejar
pertumbuhan ekonomi yang tinggi. Kebijakan ini mendorong pihak swasta agar berperan
lebih besar dalam upaya pengembangan ekonomi dengan menggunakan teknologi yang
maju dan efisien. Salah satu cara yang ditempuh adalah penggunaan lahan yang beralih
dari penanaman sumber pangan untuk kelangsungan hidup petani menjadi sumber
penumpukan kapital untuk mengejar pertumbuhan ekonomi tinggi.89 Hal ini terlihat dari
sikap pemerintah yang memberikan dukungan kepada pemilik modal dalam membangun
perkebunan-perkebunan besar dengan tanah-tanah yang luas akibatnya jumlah petani
yang tidak bertanah semakin besar. Selain itu secara tidak sadar kebijakan yang dipilih ini
telah meminggirkan petani.
Akibat dari konteks seperti itu, Inpres No 9 Tahun 1975 tentang TRI muncul. TRI
dipandang sebagai solusi bagi pemerintah untuk meningkatkan kapasitas produksi gula
secara cepat. Ide ini timbul karena pada dekade tahun 1960-an terjadi pergeseran dalam
konsumsi gula nasional yang terus meningkat sedangkan produksi gula mengalami
penurunan. Hal ini terlihat dari tabel berikut:
89 Gunawan Wiradi, 2000, Reforma Agraria Perjalanan yang Belum Berakhir, Yogyakrta: INSIST,
KPA dan Pustaka Pelajar, hal. 160-162.
Table. 2. Produksi Gula, Konsumsi, Impor dan Ekspor Indonesia 1960-2007
Tahun Produksi
(ribuan ton)
Konsumsi
(ribuan ton)
Impor
(ribuan ton)
Ekspor (ribuan
ton)
*1960 675,406 715,150 59 34,703
1961 626,680 590,903 16 0
1962 588,788 584,641 - 61,048
1963 652,000 386,000 0 162,000
1964 650,000 550,000 0 103,572
1965 740,000 578,000 0 150,000
1966 606,611 574,900 37,563 54,597
1967 658,528 724,809 37,524 -
1972 889,300 960,676 736 -
1977 1,104,852 1,452,600 544,653 -
1982 1,585,000 1850,000 833,625 -
**1987 2,111,000 2.284,000 141,000 -
1993 2,470,300 2.692 ,000 239,000 -
1998 1,491,520 3,300,000 1,181,000 -
2003 1,631,919 3,350,000 1,600,000 -
2007 2,600,000 3,750,000 1,175,000 -
Sumber: *Budjono Wiroatmojo, Pergulaan di Indonesia dan Prospeknya di Masa Depan:
BP3GI, Pasuruan.
** Kliping Agribisnis MMA-IPB
Dari table di atasa terlihat bahwa produksi gula Nasional mengalami penurunan
secara naik turun setiap tahunnya sedangkan konsumsi gula mengalami peningkatan
terus-menerus. Puncak dari peningkatan konsumsi gula nasional terjadi pada tahun 1967.
Hal ini terlihat dari produksi gula yang lebih kecil dibandingkan dengan konsumsi gula
karena itu pemerintah melakukan impor gula untuk pertama kalinya dengan kapasitas
yang besar bila dibandingkan dengan tahun 1960. Sejak itu impor gula terus meningkat
dan berakhirlah posisi gula sebagai komoditas ekspor.90 Setelah itu kebijakan pergulaan
berubah secara fundamental yang dahulu kebijakan diarahkan pada ekspor, maka sejak
tahun 1967 kebijakan pergulaan lebih diarahkan untuk stabilisasi harga dalam negeri dan
untuk mengurangi volume impor.91
Awal program TRI tahun 1975, luas areal lahan tanaman tebu sekitar 104.777 ha
dan mengalami peningkatan yang luas biasa pada 10 tahun kemudian mencapai 277.615
ha.92 Peningkatan luas lahan tidak lepas dari faktor pemberian kredit yang berupa uang
tunai kepada petani. Bagi petani kecil, uang tunai merupakan “benda” yang langka
sehingga menarik minat petani untuk menjadi peserta TRI sedangkan bagi petani kaya,
tanaman tebu merupakan komuditas yang menjajikan apalagi secara teknis hasil
produksinya dipastikan laku dipasaran karena PG akan membelinya.93
90 Disbun Jatim, ” Dinamika Kebijakan Pergulaan Nasional ”, http: www.Disbunjatim.co.cc. 91 Ibid. 92 M. Zainal dan Uji Saptono,” Kebijakan Gula Habis Manis Sepah Dibuang ”, Agrimedia Volume 5
No 2, Juli 1999, hal 48. 93 Sarimin yang sejak awal mengikuti program TRI mengatakan dengan lus lahan yang hanya 0,2 Ha
dirinya mendapat kredit yang besarnya ratusan ribu rupiah. Uang yang diterima digunakan untuk mencukupi kebutuhannya.
Selain itu, petani kaya merupakan pihak pertama yang diberitahu pemerintah
setempat dalam upaya mengembangkan sistem TRI. Faktor lain yang mendukung
perluasan lahan TRI adalah keseganan atau ketakutan petani terhadap pamong desa atau
tokoh-tokoh masyarakat. Hal ini bisa terjadi karena pola patronase yang kuat pada
masyarakat desa menyebabkan petani mengikuti apa yang dilakukan elite desa, termasuk
mengikuti program TRI. Sistem politik pada masa ini otoriter sehingga mengharuskan
pegawai pemerintah di tingkat bawah mau tidak mau melaksanakan program pemerintah.
Perjalanan dari sistem TRI pada kenyataannya adalah paksaan kepada petani untuk
ikut serta dalam program dengan jalan menanam tebu di tanah mereka. Paksaan ini
bertujuan untuk pencapaian target yang ditetapkan setiap tahunnya, baik dalam luas lahan
areal maupun jumlah produksinya. Selain itu paksaan ini mendorong pemimpin daerah
agar mampu mencapai target yang telah ditentukan agar posisinya terasa “ aman “.94
Untuk mengamankan target capaian produksi seringkali cara-cara yang bersifat
memaksa digunakan agar petani terlibat dalam penanaman tebu. Cara tersebut biasanya
berupa pemangilan kepada petani yang lahannya tidak mau atau menolak ditanami tebu
untuk bertemu Kepala Desa atau Pamong Desa yang di sertai pegawai Kecamatan. Cara
ini efektif karena petani merasa enggan atau takut berurusan dengan aparat Desa.95
Awal pelaksanaan TRI di Colomadu dapat berjalan dengan baik karena hubungan
patronase yang kuat diantara petani dan elit desa. Hubungan ini dapat berjalan dengan
baik karena elite desa yang ditunjuk oleh pemerintah selalu memberikan tauladan kepada
94 Disetiap level program TRI mendapat capaian, bila luas lahan maupun hasil produksi. Apabila
target capaian gagal, kedudukannya akan terancam. Seorang mantan Kepala Desa MalangJiwan menceritakan bahwa ketika dirinya menjabat Kades memiliki tugas menyiapkan lahan di desanya dalam luas tertentu sebagaimana yang ditugaskan oleh Camat. Setiap tahun, dirinya mendapat target beberapa hektar dan harus dapat terpenuhi. Wawancara, Sabtu 14 November 2009.
95 Wawancara dengan Suyamto, Rabu 15 Juli 2009.
petani. Tauladan yang diberikan kepada petani adalah pemberikan penyuluhan-
penyuluhan tentang menanam tebu yang baik dan benar. Usaha yang dilakukan oleh elite
desa ini telah mendorong petani memperluas lahan penanaman tebu di Colomadu.96 Hal
ini terlihat dari tabel luas areal TRI sebagai berikut:
Table 3. Luas Areal Tebu Rakyat Intensifikasi PG Colomadu ( Ha )
Luas Areal ( Ha )
Tahun Boyolali Sukoharjo Karanganyar Jumlah
*1981 548.510 1.145.810 205.100 1.939.110
1982 927.620 1.185.500 219.150 2.256.330
1983 1.108.970 1.259.310 234.810 2.603.790
1984 1.021.250 1.120.970 224.570 2.366.790
1985 874.510 1.034.470 200.570 2.109.550
1986 969,391 1.074,025 228,718 2.272,134
1987 932,911 1.010,917 204,477 2.148,305
1988 981,590 898,928 381,927 2.262,445
1989 703,777 812,032 462,191 1.978,000
1990 608.333 739,234 387,677 1.735,244
** 1993 588,765 688,453 308,564 1.585,782
1994 512,342 598,867 398,958 1.510.167
1995 498,765 502,675 302,785 1.304,225
1996 450,675 500,871
297,543
1.249,089
1997 409,765 498,132 278,987 1.186,884
Sumber: * Data Statistik Tanaman PG Colomadu Tahun 1981-1990
96 Wawancara dengan Suyamto, Rabu 15 Juli 2009.
** Data Rkap MG. 1993-1997
Dari tabel di atas dapat diketahui bahwa pada tahun 1981 program TRI di PG
Colomadu baru berjalan di Kabupaten Karanganyar sehingga peningkatan luas areal TRI
tidak besar. Setelah memasuki tahun 1983 areal TRI di PG Colomadu mengalami
peningkatan karena ketiga kabupaten telah melaksanakan program TRI yang meliputi
Kabupaten Sukoharjo, Boyolali, dan Karanganyar. Program TRI di PG Colomadu
mengalami penurunan setelah tahun 1990-an, hal ini terjadi karena adanya bentuk
perlawanan petani. Menurut Scott, sebagai everday form of peasent resistance atau
bentuk perlawanan sehari-hari dari kaum tani merupakan hal yang harus menjadi
perhatian.97
Bentuk perlawanan petani tebu itu lebih tepat disebut sebagai pembangkangan,
antara lain adalah petani tidak bersedia terlibat atau ikut dalam proses produksi tebu
mulai dari pratanam sampai pascapanen sehingga petani menyerahkan tanggung jawab
proses produksi kepada ketua kelompok sebagai sikap ketidakpedulian. Kondisi itu
merupakan kesempatan bagi petani untuk menyiasati wajib tanam tebu dengan
memindahkan ke petak yang kurang subur. Selain itu petani juga bisa membiarkan tebu
terbakar atau membakarnya sendiri.
Pembakaran ini terjadi di daerah Singopuran, Malangjiwan, Paulan dan Gajahan.
Walaupun dalam skala kecil atau tidak luas, namun terbakarnya areal tebu selalu di
jumpai tiap tahun. Menurut salah satu petani, pembakaran itu disebabkan karena adanya
keterlambatan dalam penebangan. Pembakaran tebu itu paling sering terjadi pada lahan
97 James C. Scott, 1993, Perlawanan Kaum Tani, Jakarta: Yayasan Obor.
yang diusahakan oleh petani tebu kaya atau para cukong. Bagi petani gurem yang
lahannya terpaksa disewakan, keterlambatan penebangan berarti perpanjangan masa sewa
tanpa pendapatan.98
Bentuk lain dari perlawanan petani adalah pencurian terhadap batang-batang tebu
yang ditanam pabrik dan lahan yang dikuasi petani kaya. Pencurian tebu dilakukan secara
sporadis, dan dalam jumlah yang tidak banyak. Kebiasaan pencurian ini merupakan salah
satu bentuk rasa kecewa yang muncul karena kehidupan subsisten petani mulai terancam.
Sebagai bentuk perlawanan, pembangkangan petani tebu bukanlah suatu bentuk
pemberontakan, karena tidak diikat oleh kesadaran kelas tetapi dipersatukan oleh
kesadaran pengalaman yang disebabkan proses marginalisasi dalam sistem produksi
TRI.99
Setiap tindakan perlawanan dari petani selalu dilakukan secara diam-diam dan
sembuyi-sembuyi. Dengan tujuan agar aturan-aturan tradisional yang menjamin
keamanan ekonomi petani segera dikembalikan karena secara moral hak tersebut
menjamin kebutuhan-kebutuhan fisik manusia atas kelangsungan hidupnya. TRI
dipandang sebagai ancaman atas kelangsungan hidup petani, karena kebutuhan
subsistennya digusur oleh tanaman komoditas. Sikap petani menolak menanam tebu dan
lebih memilih tanaman pangan. Menurut Popkin, dipandang sebagai suatu sikap
rasionalitas dari petani. Selain itu dikatakan, petani homo oekonomicos yang akan terus
berusaha memaksimalkan sumber daya dan kemakmuran bagi dirinya sendiri.100
98 Wawancara dengan Sumadi, Hadi Suwarto, dan Mujito, Sabtu 25 Juli 2009 . 99 Wawancara dengan Irsad, Rabu 20 Juli 2009 100 Samuel L Popkin, 1986, Petani Rasional, Jakarta: Yayasan Padamu Negeri.
Besarnya biaya yang harus dikeluarkan untuk menanam tebu dibandingkan dengan
hasil setoran ke PG membuat sebagian besar petani menolak TRI. Keberatan petani untuk
terlibat secara aktif dalam program TRI terutama didasarkan pada tingkat keuntungan
yang diperoleh dari tanaman tebu yang lebih kecil dari pada dari jenis tanaman lain.
Secara psikologis petani benar-benar merasa kehilangan kebebasan untuk mengolah
lahan pertanian sendiri. Petani lebih memilih menanam padi dari pada menanam tebu,
karena akan lebih banyak memberi penghasilan bagi para petani. "Kalau kami boleh
memilih, tentu akan lebih memilih menanam padi," ungkap rata-rata petani TRI di
Colomadu.101 Keegganan petani menanam tebu karena sebelum masa panen tiba petani
sudah punya utang kepada PG. Utang itu meliputi, penjagaan lahan pertanian, pupuk,
bibit, dan obat-obatan yang harus dibayar setelah panen. Sementara ongkos giling dan
ongkos angkutan masih juga dibebankan kepada petani. Alasan yang dikemukakan di atas
membuat perjalanan sistem TRI di PG Colomadu tidak berhasil.
Ketidakberhasilan ini terlihat dari PG Colomadu dalam mendapatkan bahan baku
merasa kesulitan. Kesulitan dalam mendapatkan bahan baku terjadi karena pada tahun
1998 pemerintah mencabut Inpres No. 9 Tahun 1975 tentang TRI.102 Penghentian inpres
ini membuat penanaman tanaman tebu semakin berkurang dan mendorong petani tebu
kurang bergairah menanam tebu dan beralih menanam tanaman alternatif ( padi dan
palawija) sehingga pada tanggal 1 Mei 1998 PTPN IX secara resmi menidurkan PG
Colomadu. Peniduran PG Colomadu pada tahun ini membuat kegiatan produksi berhenti
101 Wawancara dengan Beberapa Petani TRI di Colomadu. 102 Khudori, 2004, Neoliberalisme Menumpas Petani, Yogyakarta: ResistBook, hal 241
dan kegiatan utama yang dilakukan oleh PG Colomadu pada tahun ini hanya
menaman.103
Penanaman yang dilakukan PG Colomadu setelah peniduran tidak dilaksanakan di
sekitar PG Colomadu. Hal ini terjadi karena harga sewa tanah di daerah ini mahal dan
kebanyakan petani di sekitar daerah ini telah beralih menaman padi. Selain itu lahan di
sekitar pabrik juga telah beralih fungsi sebagai tempat pemukiman penduduk.
2. Perkembangan Ekonomi Yang Mendorong Pengalihan Fungsi Lahan
Kecamatan Colomadu Kabupaten Karanganyar pada sepuluh tahun terakhir ini telah
mengalami perkembangan. Perkembangan ini akibat dari interaksi antara desa dan kota.
Hubungan ini timbul karena adanya kemajuan-kemajuan di bidang perhubungan dan lalu
lintas di daerah ini. Akibatnya penduduk di desa telah banyak mendapat pengaruh kota,
sehingga persentase penduduk desa yang bertani mulai berkurang dan menceburkan diri
dengan pekerjaan yang nonagraris.104 Dampak dari hal itu membuat pembangunan semakin
berkembang dan tuntutan kebutuhan masyarakat akan pemukiman dan fasilitas kehidupan
meningkat.
Hal ini menyebabkan terjadinya perubahan penggunaan lahan di Kecamatan
Colomadu. Lahan pertanian di sekitar PG Colomadu yang luas secara drastis menjelma
menjadi rumah-rumah.105 Perubahan ini terjadi karena sawah makin jarang memberi
kepastian hidup dalam kalkulasi pendapatan, dan kebutuhan. Akibatnya generasi muda
memandang profesi sebagai petani dianggap pekerjaan yang kotor, sengsara, dan kurang
bergengsi. Perubahan cara pandang tersebut, membuat citra petani dibenak mereka semakin
103 Wawancara dengan Marwanto, Kamis 15 Juli 2009. 104 Bintarto R, 1983, Interksi Desa Kota dan Permasalahannya, Jakarta : Ghalia Indonesia, hal. 61.
105 Wawancara dengan Pegawai Kecamatan Colomadu.
menurun. Dengan demikian lahan pertanian bukan lagi merupakan aset sosial semata, tetapi
lebih diandalkan sebagai aset ekonomi atau modal kerja bila mereka beralih profesi di luar
bidang pertanian.106
Mereka tidak akan keberatan melepaskan lahan pertaniannya untuk di alih-fungsikan
pada penggunaan non pertanian. Keadaan tersebut semakin diperburuk dengan kondisi
ekonomi di sekitar pabrik gula Colomadu yang sedang mengubah lahan pertanian menuju
lingkungan kota yang dinamis.107 Hal ini terlihat dari penurunan lahan pertanian di daerah
Colomadu sebagai berikut:
Tabel 4. Macam Penggunaan Lahan dan Luas Perubahannya di Daerah Colomadu
Tahun 1999-2007
Luas Lahan Menurut Peggunaannya (Ha) Tahun
Sawah Bagunan/Perkampungan Tegal Lain-lain
Jumlah
1999 819,3 621,3 70.3 54,9 1565,8
2001 751,6 670,1 65,6 69,4 1556,7
2003 698,4 688,7 62,6 72,8 1522,1
2005 681,8 741,9 60,6 77,4 1561,7
2007 588,6 778,6 58,7 80,2 1506,1
Sumber: Monografi Kecamatan Colomadu Tahun 1999-2007
Dari tabel di atas terlihat bahwa setelah peniduran PG Colomadu penurunan lahan
pertanian dari tahun ke tahun terus menurun sedangkan pembangunan perkampungan
atau pemukiman baru terus meningkat setiap tahun. Perubahan ini menyebabkan semakin
bertambahnya bangunan atau perkampungan di Kecamatan Colomadu karena pada tahun
106 Raldi Hendro Koestoer, 1997, Perspektif Lingkungan Desa-Kota, Jakarta: UI-PRESS, hal. 26-35.
107 Wawancara dengan Sunarto, Rabu 5 Agustus 2009
1999 jumlah bangunan/perkampungan hanya sebesar 621,3 ha, tetapi pada Tahun 2007
bertambah menjadi 778,6 ha.
Penurunan pengalihan fungsi lahan di Kecamatan Colomadu tidak lepas dari
perkembangan Kota Solo yang semakin luas. Hal ini berdampak pada masuknya
penduduk Solo ke daerah Colomadu terutama di daerah tepian yang berbatasan dengan
Kota Solo. Banyak daerah yang dulu untuk tanaman tebu telah berubah menjadi
pemukiman penduduk.108 Perubahan ini terjadi karena petani diarahkan ke model
pertanian yang mengejar produktivitas dari pada mencukupi kebutuhan subsintensinya.
Akibatnya moral petani seperti gotong-royong telah digantikan dengan pola hubungan
pasar yang mendorong terjadinya proses industrialisasi dan modernisasi.109
Perubahan lingkungan di pabrik gula Colomadu membuat persepsi masyarakat
tentang tanah dianggap sebagai sumber kekayaan yang dapat mengubah hidup mereka.
Colomadu adalah Daerah pinggiran dari Kota Solo, karena itu dengan semakin
berkembangnya Kota Solo membuat pelebaran kota pinggiran tidak terelakan lagi.
Perubahan makna ini adalah tanda seru dari arus masyarakat modern yang menganggap
sawah tidak untuk menanam padi, jagung, atau tebu tetapi untuk menanam modal. Selain
itu sawah memiliki arti uang, bukan untuk mendapatkan hasil panen dari tanaman.110
Selanjutnya pabrik gula Colomadu mengalami kesulitan dalam pemenuhan bahan baku
dalam proses produksi. Suara-suara mesin-mesin pabrik dan troli tebu yang sepuluh tahun
yang lalu masih terdengar sekarang sudah tidak terdengar.
108 Solopos, 9 Mei 2009. 109 Robert Redfiled, 1985, Masyarakat Petan dan Kebudayaani, Jakarta: Rajawali, hal 95.
110 Raharjo, 1999, Pengantar SosiologiPedesaan dan Pertanian, Yogyakarta: UGM Press, hal 192.
Hamparan sawah dengan tanaman tebu sudah tidak terlihat lagi. Sekarang bila
melewati sekitar pabrik gula Colomadu hanya akan terlihat perumahan-perumahan
penduduk dan tanaman padi. Kenyataan ini terlihat dari anggapan masyarakat sekitar
pabrik gula Colomadu bahwa menjadi petani tebu, dan menggarap sawah adalah suatu
jenis pekerjaan yang dianggap tidak memberikan keuntungan yang besar dalam
memenuhi kebutuhan hidup. Keadaan ini menjadikan citra Colomadu sebagai penghasil
gula sudah terlupakan oleh masyarakatnya.
B. Reaksi Pekerja Dalam Menghadapi Peniduran Pabrik Gula Colomadu
Peniduran pabrik gula Colomadu tidak lepas dari peranan masyarakat di sekitar
pabrik gula Colomadu. Salah satu yang menjadi alasan peniduran PG Colomadu adalah
kekurangan bahan baku untuk mengiling. Kekurangan bahan baku ini disebabakan oleh
pengalihan fungsi lahan pertanian di sekitar pabrik gula Colomadu. Lahan-lahan
pertanian yang dulu digunakan untuk tanaman tebu telah berubah menjadi hamparan
perumahan penduduk. Pengalihan fungsi lahan secara besar-besaran membuat
kelangsungan produksi pabrik gula Colomadu tidak bisa dipertahanakan lagi.111
Pada tahun 1997 Direksi PTPN IX mengeluarkan kebijakan tentang amalganasi
lima pabrik gula di Jawa Tengah, yaitu Pabrik Gula Colomadu, PG Ceper Baru, PG
Kalibagor, PG Banjeratma dan PG Cepiring. Dari kebijakan itu PG Colomadu secara
resmi ditutup tanggal 1 mei 1998.112 Awal peniduran pabrik gula Colomadu menghadapi
tentangan dari para pekerja pabrik gula baik tenaga tetap, musiman,dan boronga.
Berbagai elemen karyawan pabrik gula Colomadu dibuat resah dengan kebijakan yang
111 Wawancara dengan Widodo, Rabu 15 Juli 2009. 112 Lampiran 3.
dibuat oleh Direksi PTPN IX. Keresahan para karyawan PG timbul karena sebagian dari
karyawan PG akan dipercepat pensiunnya dan sisanya dipindahkan ke PG Tasikmadu
sehingga mendorong pekerja pabrik gula Colomadu mengadakan protes kepada pihak
Direksi PTPN IX.113
Protes dilakukan oleh para tenaga kerja PG Colomadu yang telah bekerja di atas 20
tahun. Menurut para pekerja percepatan pensiun dini dianggap tidak adil karena untuk
memperoleh pekerjaan baru akan terasa sulit serta dalam proses pensiun dini pihak
Direksi PTPN IX dianggap tebang pilih. Keluhan para pekerja PG Colomadu yang
disampaikan kepada Direksi PTPN IX tidak didengar. Terbukti Direksi Mengeluarkan
daftar nama-nama pegawai pabrik gula Colomadu yang di percepat pensiunnya.
Kebanyakan pegawai yang dipercepat pensiunnya adalah bagian Intalasi. Hal ini
dilakukan Direksi PTPN IX karena setelah PG tidak beroperasi tenaga yang tidak
diperlukan adalah bagian Intalasi. Fungsi bagian Instalasi adalah memperbaiki dan
merawat mesin-mesin pabrik gula. Dengan alasan ini pensiun dini bagi karyawan yang
berasal dari bagaian Instalasi tidak bisa dihindarkan.114
Untuk menyelesaikan masalah hak-hak karyawan dan tali asih, maka Direksi PTPN
IX mengeluarkan daftar tunjangan yang diterima oleh karyawan sesuai masa kerja dan
jabatan. Posisi yang tidak menguntungkan juga harus dihadapi oleh para buruh PG
Colomadu baik buruh harian atau borongan. Para buruh sebelum peniduran PG
Colomadu mendapatkan hasil dari pekerjaan untuk membuka tanah, menanam, dan
akhirnya menebang tebu. Buruh–buruh ini didatangkan dari lingkungan pabrik gula
113 Wawancara dengan Jumadi, Senin 10 Agustus 2009. 114 Wawancara dengan Jumadi, Senin 10 Agustus 2009.
Colomadu sedangkan buruh borongan didatangkan dari daerah lain. Kenyataan yang
pahit harus dihadapi oleh para buruh PG Colomadu karena ladang kehidupan yang biasa
mereka kerjakan sudah tidak beroperasi lagi sehingga penghasilan mereka berkurang
dengan demikian angka penggaguran di Colomadu meningkat.115
BAB IV
DAMPAK PENIDURAN PABRIK GULA COLOMADU TERHADAP KEADAAN
SOSIAL EKONOMI MASYARAKAT COLOMADU DAN PEKERJA PABRIK
GULA COLOMADU
Peniduran pabrik gula Colomadu sudah berlangsung selama 10 tahun. Dalam
perjalanananya peniduran ini mempunyai dampak positif maupun negatif bagi pabrik
gula Colomadu dan kehidupan sosial ekonomi masyarakat Colomadu dan para pekerja
PG Colomadu. Dampak positif bagi masyarakat Colomadu, yakni pengalihan tanaman
tebu ke padi, perkembangan pemukiman penduduk sedangkan dampak negatif hilangnya
tradisi cembengan. Untuk pabrik gula Colomadu dampak negatif yakni peralihan
tanaman tebu ke padi dan perkembangan pemukiman penduduk sedangkan bagi pekerja
PG Colomadu dampak negatif perubahan struktur kepegawaian dan percepatan pensiun
dini. Perubahan sosial ekonomi yang terjadi akibat peniduran PG Colomadu baik positif
dan negatif akan diuraikan sebagai berikut:
A.Pengalihan Penanaman Tebu ke Padi
115 Wawancara dengan Sardi, Kamis 23 Juli 2009.
Peniduran pabrik gula Colomadu tidak lepas dari perubahan proses yang terjadi
di dalam masyarakat. Perubahan proses merupakan perubahan yang bukan mendasar
melainkan perubahan modifikasi dari perubahan yang mendasar yang pernah terjadi.116
Perubahan proses yang terjadi di Colomadu adalah perubahan jenis penanaman. Jenis
penanaman yang dilakukan petani berupa tebu menjadi padi. Pergantian penaman ini
didorong oleh resiko dan ketidakpastian hasil tebu untuk mencukupi kebutuhan hidup
bagi petani.117 Petani memandang menanam tebu memperlukan waktu antara 16-18 bulan
sampai panen. Waktu yang lama ini membuat pendapatan petani naik-turun bahkan bisa
untung dan rugi, hal ini berbeda dengan menanam padi. Menurut petani di Colomadu
menanam padi lebih banyak menghasilkan keuntungan dari pada tebu. Hal ini bisa terjadi
karena lingkungan di sekitar PG Colomadu merupakan daerah yang subur dan didukung
dengan aliran irigrasi yang baik sehingga hasil panen padi dapat dirasakan setiap tahun
dua kali. Adanya alasan seperti itu membuat wilayah Colomadu terjadi proses
pengalihan tanaman tebu ke padi yang mulai marak pada tahun 1990-an.118
Desa-desa yang berubah dalam penanaman tebu ke padi meliputi Gajahan,
Blulukan, Bolon, Paulan dan Malangjiwan.119 Akibatnya pabrik gula Colomadu
mengalami kesulitan dalam memperoleh pasokan bahan baku. Pasokan bahan baku di PG
Colomadu mulai semakin berkurang dengan dikeluarkannya UU No. 12 Tahun 1992
tentang Sistem Budidaya Tanaman. UU ini pada intinya memberikan kebebasan kepada
116 Soleman B. Taneko, 1984, Struktur dan Proses Sosial Suatu Pengantar Sosiologi Pembangunan,
Jakarta: CV. Rajawali, hal. 155.
117 Mubyarto,1983, Masalah Industri Gula di Indonesiia, Yogyakarta: BPFE Yogyakarta, hal 122-123.
118 Wawancara Mulyadi, Selasa 17 November 2009. 119 Ibid.
petani dalam mengusahakan lahannya untuk ditanami tanaman yang paling
menguntungkan di daerahnya. Proses perkembangannya UU ini terjadi penafsiran yang
berbeda antara petani dan PG Colomadu sehingga menanam tebu tidak lagi kewajiban
tetapi merupakan pilihan bebas petani berdasarkan rasional ekonomi.120
Dampak dari undang-undang ini bagi PG Colomadu adalah penurunan luas
areal TRI. Hal ini telihat dari luas lahan TRI yang dulu luas lahan TRI tahun 1990 sekitar
1.735,244 ha menjadi 1585,782 ha pada tahun 1993. Proses penurunan areal tanaman
tebu di PG Colomadu terus mengalami penurunan sampai tahun 1997.121 Untuk
mengatasi penurunan areal tebu, maka pada tahun 1997 pemerintah mengeluarkan Inpres
No. 5 Tahun 1997 tentang Program Pengembangan Tebu Rakyat, yang bertujuan untuk
mengoptimalkan sinergi dan peran tebu rakyat, perusahaan perkebunan, dan koperasi
dalam pengembangan industri tebu. Inpres di atas belum berjalan sesuai dengan harapan
pemerintah, pada tahun 1998 pemerintah mencabut inpres tersebut karena inpres itu tidak
mendapatkan respon dari para petani dan diganti dengan Inpres No. 5 Tahun 1998, yang
bertujuan membebaskan petani menanam komoditas yang paling menguntungkan sesuai
dengan UU No. 12 Tahun 1992.122
Dikeluarkan inpres itu membuat kondisi penanaman tebu di Colomadu semakin
parah. Hal ini terjadi karena para petani merasa mendapatkan dukungan dalam
pengalihan tanaman yang dianggap paling menguntungkan. Anggapan petani tanaman
120 Sumber ini dapat dilihat di bagian SDM pabrik gula Colomadu tentang UU No 12 Tahun 1992 . 121 Data statistik tanam PG tahun 1986-1990 dan data Rkap MG Tahun 1993-1997. 122 Sumber ini dapat dilihat di bagian SDM pabrik gula Colomadu tentang Inpres No 5 Tahun 1998.
yang menguntungkan adalah padi sehingga pada tahun ini hampir sebagian besar
tanaman yang ditanam di Colomadu adalah padi.123 Hal ini terlihat dari tabel berikut:
Table 5. Luas Tanaman Tebu dan Padi di Colomadu 1998-2007
Luas Tanam ( Ha )
Tahun Tebu Padi
1998 115,373 1.289
1999 181,18 908
2000 89,72 1.245
2001 97,850 1.096
2002 107,299 972
2003 58,214 903
2004 31,873 972
2005 77,500 884
2006 51,74 887
2007 67,104 890
Sumber: BPS, Karanganyar Dalam Angka 1998-2007.
Dari tabel di atas dapat diketahui bahwa setelah peniduran PG Colomadu Tahun
1998 pengalihan luas tanam dari tebu ke padi di Colomadu mengalami peningkatan yang
paling besar. Dari tahun ke tahun luas tanam tebu terus mengalami penurunan sedangkan
luas tanam padi mengalami peningkatan. Hal ini membuat dominasi tanaman padi tidak
tertahan lagi sehingga tanaman tebu hanya ditanam di tanah-tanah kas desa.
123 Wawancara dengan Widodo, Rabu 15 Juli 2009.
B. Perkembangan Pemukiman Penduduk
Pemukiman adalah bagian dari lingkungan hidup di luar kawasan lindung baik
dalam lingkup ruang perkotaan maupun pedesaan dan memiliki fungsi sebagai
lingkungan tempat hunian serta tempat kegiatan yang mendukung perikehidupan dan
penghidupan.124 Dari pengertian itu maka daerah Colomadu yang pada awalnya
merupakan daerah pertanian berkembang menjadi sasaran pendirian pemukiman
penduduk akibat semakin tingginya tingkat pertumbuhan penduduk dan kepadatan
penduduk di Kota Surakarta.
Perubahan ini terjadi karena berkembangnya daerah tepian kota yang
mendorong pertumbuhan perekonomian yang menuntut pembangunan infrastruktur baik
berupa jalan, bangunan industri dan pemukiman. Dengan kondisi demikian permintaan
terhadap lahan untuk penggunaan hal tersebut semakin meningkat. Akibatnya banyak
lahan sawah terutama yang berada di sekitar daerah pinggiran perkotaan mengalami alih
fungsi ke penggunaan tersebut.125.
Menurut Hadi Sabari Yunus perubahan penggunaan lahan dipengaruhi oleh
daya tarik tempat, antara lain: (1) Masih luasnya tanah yang tersedia di daerah
pemekaran, (2) Masih rendahnya harga tanah di daerah pemekaran, sehingga mendorong
penduduk untuk tinggal di daerah tersebut, (3) Suasana yang lebih menyenangkan
124 Raldi H. Koestoer, 1997, Perspektif Lingkungan Desa-Kota Teori Dan Kasus, Jakarta: UI, hal. 9.
125 Bintarto R, 1984, Urbanisasi dan Permasalahannya, Yogyakarta: Ghalia Indonesia, hal. 34-36.
terutama di daerah pemekaran yang masih mempunyai kondisi lingkungan yang bebas
dari polusi, (4) Adanya pendidikan yang mengambil lokasi luar kota, (5) Mendekati
tempat kerja.126
Faktor yang disebutkan di atas merupakan alasan perubahan Kecamatan
Colomadu tentang peralihan fungsi lahan. Colomadu yang terletak di pinggiran Kota Solo
dari waktu ke waktu telah mengalami perkembangan yang pesat. Perkembangan ini
terbukti dari bergesernya areal penanaman padi ke pemukiman penduduk. Perubahan ini
disebabkan makin tingginya jumlah penduduk dan kepadatan penduduk. Kepadatan
penduduk adalah perbandingan antara jumlah orang dengan tanah yang didiami, dalam
satuan luas (per km, per ha, per m, per mil) menurut kebutuhan.127 Jumlah penduduk
secara langsung akan berpengaruh terhadap perubahan penggunaan lahan yang ada di
Kecamatan Colomadu. Berikut ini adalah tabel perkembangan jumlah penduduk dan
kepadatan penduduk di Colomadu:
Tabel. 6 Perkembangan Jumlah Penduduk Colomadu 1998-2007.
Tahun Jumlah Penduduk Kepadatan Penduduk (Km)
1998 46.583 29,1
1999 47.149 30,2
2000 49.972 31,4
2001 50.279 32,1
2002 51.629 33,0
2003 52.402 33,5
126 Hadi Sabari Yunus, 1984, Teori dan Model Struktur Keruangan Kota, Yogyakarta: Fakultas
Geografi UGM, hal. 40. 127 Ibid.
2004 53.797 34,3
2005 57.898 37,0
2006 57.952 39,1
2007 58.084 41,2
Sumber: BPS, Karanganyar Dalam Angka 1998-2007.
Kalau memperhatikan tabel di atas dapat diketahui bahwa perkembangan
jumlah penduduk di Colomadu terus mengalami peningkatan setiap tahunnya. Selain itu
kepadatan peduduk juga mengalami peningkatan setiap tahun. Hal ini mendorong
terjadinya pembangunan perumahan baik perumahan yang berbentuk permanen, semi
permanen dan non permanen. Pembagunan ini terlihat dari tabel jenis pemukiman
penduduk sebagai berikut:
Tabel. 7 Pembangunan Pemukiman Menurut Jenis
Jenis Rumah
Tahun Permanen Semi Permanen Non Permanen Jumlah
1998 10.306 257 361 10.924
1999 10.387 259 344 10.990
2000 10.768 234 329 11.331
2001 11.069 154 457 11.680
2002 11.515 160 485 12.160
2003 11.650 166 491 12.307
2004 11.955 170 499 12.624
2005 12.477 170 501 13.148
2006 13.599 170 501 14.270
2007 14.200 389 400 14.989
Sumber: BPS, Karanganyar Dalam Angka 1998-2007
Dari tabel yang dipaparkan di atas terlihat bahwa perkembangan pemukiman
penduduk setelah adanya peniduran PG Colomadu terus mengalami peningkatan. Hal ini
terlihat dari awal peniduran PG Colomadu sampai kurang lebih 10 tahun kemudian
perkembangan pemukiman penduduk terus meningkat terutama pemukiman jenis
permanen. Hal ini berdampak kepada penjualan tanah-tanah di Colomadu yang semakin
besar.
C. Hilangnya Tradisi Cembengan
Perkembangan peduduk yang semakin pesat membuat kebutuhan perumahan
bagi penduduk meningkat. Akibatnya lahan di sekitar PG Colomadu dijadikan sasaran
bagi pendirian pemukinan penduduk yang baru. Selain itu hiruk pikuk rentetan keramain
orang-orang yang sedang melihat proses giling tebu sudah tidak terlihat lagi. Apalagi
kegiatan Cembengan yang dahulu sering di adakan di PG Colomadu sudah tidak ada lagi.
Kegiatan Cembengan adalah tradisi yang dilakukan oleh pabrik gula sebelum proses
giling tebu.128
Untuk mengadakan upacara ini harus ada perhitungan selamatan giling
berdasarkan wangsit dari “Dukun Cembengan” yaitu orang yang ahli dalam hal upacara
dan selamatan giling/Cembengan. Upacara tradisional Cembengan harus dilakukan
karena bila ditinggalkan taruhannya adalah “keselamatan”, bagi para pekerja yang terlibat
dalam proses penggilingan tebu menjadi gula. Ritual Cembengan di PG Colomadu
didahului ziarah ke makam pendiri Praja Mangkunegaran. Setelah itu diawali dengan
penebangan dua batang tebu temanten (pengantin) yang akan dijadikan tebu pertama
pada saat giling perdana esok harinya. Petangnya dilanjutkan dengan ritual untuk
meletakkan sesaji di lokasi mesin-mesin produksi yang dianggap vital.129
Sesaji itu diletakkan di dalam jodang-jodang yang dihias dengan kertas. Isinya
jenang, gecok bakar, telur asin, kinangan, tumpeng, ketupat. Ritual ini terdapat, sembilan
ekor kerbau dipotong dan kepalanya ditaruh di bagian-bagian mesin yang dianggap vital.
Upacara yang disertai doa memohon keselamatan biasanya dipimpin langsung
Administratur PG. Rangkaian upacara ritual itu dilakukan dengan khidmat, serta
melibatkan kalangan santri yang membawakan doa keselamatan. Esok harinya,
mengawali giling perdana, dilakukan prosesi bagi tebu temanten berikut tebu pengiring.
Ada perlakuan khusus bagi tebu-tebu tersebut. Selain batang tebunya dipilih
yang paling baik dan memiliki rendemen tinggi, tebu temanten didandani layaknya
pengantin dan mengenakan topeng Dewi Sri dan Dewa Sadana yang melambangkan
128 Wawancara dengan Irsad, Rabu 20 Juli 2009 129 Kompas, Jumat 2 Juni 2000.
kepercayaan masyarakat agraris tebu.130 Selain itu keunikan dari upacara ini adalah
adanya kegiatan pasar dadakan atau pasar malam yang diadakan oleh masyarakat di
sekitar PG Colomadu berlangsung antara satu hingga dua pekan. Pasar malem ini
merupakan satu bentuk dari perkembangan usaha yang dilakukan oleh warga sekitar PG
Colomadu dalam upaya meningkatkan pendapatan disaat musim giling akan dimulai.
Keramaian itu mengundang para pedagang dari luar wilayah Colomadu untuk
menggelar dagangannya, baik di sekitar pabrik hingga ke halaman pabrik. Berbagai jajan
tradisional seperti es dawet, brondong jagung, arum manis, komedi putar, sampai pentas
dangdut membuat Cembengan selalu menimbulkan kemeriahan yang luar biasa.
Perputaran uang di pasar malam diperkirakan juta-an setiap malam. Hal ini dapat telihat
dari tiket masuk untuk nonton dangdut Rp 3.000 per kepala, dan stan berkapasitas tempat
duduk 100 kursi. Dalam semalam, stan dangdut tersebut dapat mengelar beberapa kali
pertunjukan atau tergantung dari keramain penonton. Denyut ritme kehidupan rakyat
jelata dan nadi perekonomian rakyat terasa di sini.131 Pada hari-hari seperti ini, citra
pabrik yang biasanya angker untuk sementara tersingkir. Antara karyawan dan
masyarakat sesaat membaur menjadi satu menikmati suasana musim giling.
Namun, kegiatan yang mendorong pendapatan masayarakat sekitar, tak dapat
dijumpai lagi oleh masyarakat Colomadu. Hal ini terjadi karena setelah peniduran PG
Colomadu pada tahun 1998. Upacara Cembengan tidak dilakukan lagi di pabrik gula
Colomadu, sehingga suasana cerminan singkat perekonomian rakyat pedesaan secara riil
130 Wawancara dengan Irsad, Rabu 20 Juli 2009. 131 Wawancara dengan Sukiman, Sabtu 25 Juli 2009
sudah tidak terlihat.132 Kenyataan pahit harus diterima oleh masyarakat Colomadu bahwa
mata rantai perekonomian yang tergantung kepada musim giling terputus karena PG
Colomadu sudah tidak berproduksi lagi sejak tahun 1998. Sekarang yang tertinggal hanya
PG Colomadu yang tidak produksi lagi.
Upaya yang dilakukan oleh masyarakat sekitar PG Colomadu dalam memenuhi
kebutuhan hidup setelah PG tidak lagi beroperasi adalah mencari kerja di luar atau
migrasi di wilayah Kota Surakarta. Hal ini dilakukan karena desakan kebutuhan hidup
yang semakin kompleks setelah peniduran PG Colomadu. Perekonomian yang serba sulit
dan memperlukan uang yang semakin banyak untuk mencukupi kehidupan mendorong
masyarakat Colomadu untuk berfikir lebih maju. Kebanyakan yang melakukan migrasin
kerja ke kota adalah para petani kecil yang dulu tanahnya sering disewakan kepada PG
dan petani kaya. Migrasi yang dilakukan oleh para petani ini biasanaya disebut nglaju
atau migrasi harian. Usaha dilakukan karena mereka memilih tinggal di desa, namun
dalam hal mencari nafkah mereka pergi ke kota menjadi buruh pabrik atau pekerjaan di
sektor informal.133
D. Perubahan Struktur Pekerja Pabrik Gula Colomadu
PG Colomadu membawahi sekitar 1200 ratus pekerja dari jumlah tersebut 400-
500 adalah karyawan lapangan. Selain itu di PG Colomadu memiliki dua jenis karyawan,
yaitu: karyawan tetap dan musiman. Ketika PG masih menggiling dua karyawan ini
saling mendukung dalam mencapai taget satu musim giling. Karyawan tetap adalah
karyawan yang bekerja di PG setiap bulan dan mereka mendapatkan gaji. Selain itu
132 Wawancara dengan Sukiman, Sabtu 25 Juli 2009. 133 Wawancara dengan Mujito pada tanggal 15 September 2009 di Colomadu.
mereka berstatus pegawai negeri sedangkan karyawan musiman adalah karyawan yang
bekerja disaat musim giling tiba sehingga masa kerjanya sangat pendek hanya 1-2 bulan
saja.134
Perubahan yang terjadi di PG Colomadu setelah peniduran terlihat dari Struktur
Kepegawaian. Ini terjadi karena PG sekarang sudah tidak beroperasi lagi sehingga
kebutuhan akan tenaga kerja berkurang karena itu PT Perkebunan Nusantara IX
mengeluarkan Surat Keputusan No PTPN IX. 0/SK/050/1997 SL Tentang Pembentukan
Tim Penataan dan Penyelesaian Amalgamasi di Pabrik Gula Colomadu. SK ini diambil
karena PTPN IX menginginkan saat transisi peniduran PG Colomadu agar tidak terjadi
gejolak sosial akibat penghentian operasi PG Colomadu. Disamping itu agar para
karyawan yang terkena dampak dari SK ini tidak khawatir tentang pensiun dini yang
akan dikenakan kepada karyawan yang masa kerja di atas 20 tahun.135
Adanya amalgamasi ini membuat posisi PG Colomadu menjadi bagian dari PG
Tasikmadu sehingga struktur kepegawaian juga berubah. Sebelum adanya amalgamasi
struktur kepegawaiana PG Colomadu seperti pada bagan dibawah ini.
Bagan.1. Struktur Pekerja PG Colomadu Tahun1997
134 Arsip tenaga kerja PG Colomadu. 135 Wawancara dengan Marwanto, Kamis 15 Juli 2009.
ADMINISTRATUR
KEPALA A.K.U
KEPALA TANAMAN
KEPALA INSTALASI
KEPALA PENGOLAHA
Sumber : Arsip Tenaga Kerja PG Colomadu
Keterangan :
A.K.U : Administrasi Keuangan dan Umum
SKK : Sinder Kebun Kepala ( Mengelola Rayon )
SKW : Sinder Kebun Wilayah ( Mengelola Wilayah )
HAK, SDM: Hubungan Antar Kerja, Sumber Daya Manusia
PKTW : Perjanjian Kerja Waktu Tertentu
Adapun tugas pokok dari masing-masing bagian adalah sebagai berikut:
1. Administratur
Adalah pemimpin tertinggi dalam struktur pekerja pabrik gula yang
bertanggung jawab memimpin dan mengelola semua kegiatan usaha yang meliputi
perencanaan dan pelaksanaan seluruh operasional produksi, finansial dan administrasi
dengan efektif dan efesien.
2. Kepala Tanaman
Litbang SKK Ka Sub Teb/ Angk
4 sub Bagian yaitu : 1. Keuangan 2. Pembukuan 3. HAK dan Umum / SDM 4. Gudang
Masinis Instalasi Chemike
rr
KARYAWAN PELAKSANA TETAP
PEKERJA PKTW
SKW
Bagian kepala tanaman bertanggung jawab dalam mengelola tanaman/ kebun
tebu mulai dari persiapan lahan dan bibit sampai dengan penyedian tebu sebagai
bahan baku di pabrik gula. Adapun tugas dari kepala tanaman yaitu merumuskan
kebijakan dalam areal, bibit maupun tebu giling, pengolahan tanah/ lahan, penanaman
, pemeliharaan, penebangan, pengakutan, dan memberikan bimbingan teknis dalam
penanaman tebu kepada petani tebu rakyat.
Dalam pelaksanaan tugasnya bagian kepala tanaman bertanggung jawab kepada
Administratur dan secara langsung memimpin atau mengkoordinasi:
a. Sinder Kebun Kepala
Adapun tugas dari sinder kepala kebun bertanggung jawab atas rayon tertentu
dan melakukan pengawasan untuk meningkatkan ketertiban, efektivitas dan
efisiensi dalam rayonnya yang meliputi pembibitan, penanaman,
pemeliharaan, tebang dan angkut tebu, mengkoordinir dan melakukan
pembagian tugas kepada bawahnnya untuk mencapai peningkatan
produktivitas, melakukan pembinaan kepada petani tebu rakyat dalam rangka
penyediaan bahan baku tebu yang diperlukan untuk mencapai target produksi,
dan menyelenggarakan administrasi, arsip, dolumentasi dan statistik atas
seluruh hasil kegiatannya dalam rayonnya.
b. Sinder kebun wilayah
Adapun tugas dari sinder wilayah yaitu: mengatur pelaksanaan aktivitas kebun
untuk menghasilkan produksi baik dalam kuantitas maupun kualitas yang
meliputi: mencari areal untuk menaman dan memelihara bibit tebu
c. Sinder Kebun Percobaan (Litbang)
Adapun tugas dari sinder wilayah yaitu: bekerjasama dengan SKW, dalam
mengawasi penyelenggaraan kebun-kebun percobaan, pemeliharaan sampai
penebangan, pencegahan terhadap terjadinya serangan hama, penyakit dan
membuat rencana susunan varietas dalam pengembangan alat-alat mekanisasi
pertanian serta analisa lori yang baik dalam rangka menjamin kualitas tebang
dan menilai mutu yang baik.
d. Kepala Tebang dan Angkut
Adapun tugas dari kepala tebang dan angkut yaitu: bertanggung jawab atas
terselenggaranya efektivitas dan efesiensi pelaksanaan teknis operasional
tebang dan angkut tebu, merencanakan, menggunakan , memelihara,
mengawasi keamanan dan mengusulkan penambahan atau pengurangan alat-
alat kerja, perlengkapan, saranan dan prasarana tebang angkut tebu, serta
menyelengarakan rapat tebang setiap hari dalam musim giling untuk
menentukan petak-petak tebang yang telah masak.
3. Kepala Instalasi
Bagian kepala intalasi bertanggung jawab dalam mengelola seluruh peralatan
dan intalasi yang terdiri dari stasiun giling, stasiun listrik, stasiun ketel, stasiun
besalin, stasiun pemurnian, stasiun bagunan, stasiun penguapan, garasi/ kendaraan,
stasiun puteran, pompa kebun/ pemadam kebakaran, stasiun masakan. Selain itu
bagian ini bertanggung jawab atas kelancaran fungsi stasiun-stasiun secra optimal,
serta bertanggungjawab atas terpeliharanya barang invetaris pabrik dan memperbaiki
mesin-mesin pabrik yang rusak.
Dalam pelaksanaanya kepala bagian intalasi dibantu oleh masinis. Adapun tugas
dari masinis membantu kepala intalasi dalam perencanaan investasi, rehabilitasi dan
ekspoitasi beserta perhitungan ekonomi teknisnya dan menjaga kondisi mesin dan
intalasi tetap berfungsi dengan baik.
4. Kepala Pengolahan
Bagian kepala pengolahan bertanggung jawab terhadap seluruh proses
pengolahan tebu menjadi gula. kemudian merumuskan kebijakan dan memberikan
bimbingan teknis dalam bidang pabrikasi. Bagian ini bekerja sama dengan bagian
intalasi dalam merencanakan investasi dan rehabilitasi dalam pengawasan terhadap
seleruh proses produksi. Untuk mempermudah tugasnya bagian ini dibantu oleh
Chemiker, adapun tugas dan tanggung jawab chemiker adalah membantu kepala
pengolahan menyusun daftar perlengkapan, bahan, sarana-sarana yang dibutuhkan
bagian pengolahan dalam upaya untuk menjabarkan uraian tugas operasional bagi
karyawan dalam musim giling maupun tidak.
5. Kepala Tata Usaha Keuangan
Bagian kepala TUK tugas dan tanggung jawab bagian A.K.U memberikan
pelayanan kepada semua bagian yang ada di pabrik gula. mengkoordinasi dalam masalah
keuangan dan ketenagakerjaan pada semua bagian. Dipimpin oleh seorang kepala
administrasi, keuangan dan umum ( kepala A.K.U) dan dalam pelaksanaan tugasnya
membawahi 4 (empat) Sub bagian yang dipimpin oleh seorang staf yaitu:
a. Sub Bagian Keuangan
Tugasnya membukukan bukti taransasksi kas/bank, dan bukti memorial ke
dalam buku besar
b. Sub Bagian Pembukuan
Tugasnya membuat laporan yang berupa neraca bulanan, rekening koran,
laporan magang, dan hutang piutang petani tebu.
c. Sub Bagian Hubungan Antar Kerja (HAK) dan Umum/SDM dan Umum
Bertanggung jawab atas urusan administrasi karyawan dan urusan-urusan
umum. Hal ini berkaitan dengan data-data kepegawaian karyawan yang mencakup
masalah golongan, masa kerja, hak-hak karyawanan, perhitungan masa bebas tugas,
penetapan pensiun dan perhitungan hari tua.
d. Sub Bagaian Gudang
Gudang dalam hal ini gudang yang berfungsi untuk menyimpan barang-
barang, bahan-bahan dan perlengkapan yang dibutuhkan pabrik gula untuk keperluan
produksi selama musim giling maupun kebutuhan rutun lainnya. Ada pun tugas dan
tanggung jawab Sub Bagian Gudang Yaitu membukukan penerimaan dan pengeluaran
barang yang bersangkutan ke dalam kartu gudang, menyimpan sesuai dengan klasifikasi
barang.136 Setelah adanya amalgamasi struktur kepegawaian berubah. Berikut ini adalah
bagannya
Bagan. 2. Struktur Kepegawaian PG Colomadu Tahun 1998
136 Arsip tenaga kerja PG Colomadu.
Sumber: Arsip Tenaga Kerja PG Colomadu
Keterangan :
A.K.U : Administrasi Keuangan dan Umum
SKK : Sinder Kebun Kepala ( Mengelola Rayon )
SKW : Sinder Kebun Wilayah ( Mengelola Wilayah )
HAK, SDM: Hubungan Antar Kerja, Sumber Daya Manusia
Adapun tugas pokok dari masing-masing bagian adalah sebagai berikut:
1. Koordinator Afdeling PG Colomadu (sinder kebun kepala) bertanggung jawab
kepada Administratur PG Tasikmadu tugasnya adalah mengkoordinir seluruh
karyawan di pabrik gula Colomadu dan dalam pelaksanaan tugasnya
Koordinator Administratur PG Colomadu dibantu oleh :
2. Sinder kebun wilayah: Adapun tugas dari sinder wilayah yaitu: mengatur
pelaksanaan aktivitas kebun untuk menghasilkan produksi baik dalam kuantitas
Koordinator Afdeling Colomadu
( SKK )
Kepala Instalasi
4 Sub Bagian yaitu : 1. Keuangan 2. Pembukuan 3. HAK dan Umum / SDM 4. Gudang
Kepala AKU
Litbang Ka Sub Teb/ Angk
SKW
maupun kualitas yang meliputi: mencari areal untuk menaman dan memelihara
bibit tebu. Dalam pelaksanaannya SKW dibantu oleh:
a. Sinder Kebun Percobaan (Litbang): Adapun tugas dari sinder wilayah
yaitu: bekerjasama dengan SKW, dalam mengawasi penyelenggaraan
kebun-kebun percobaan, pemeliharaan sampai penebangan, pencegahan
terhadap terjadinya serangan hama, penyakit dan membuat rencana
susunan varietas dalam pengembangan alat-alat mekanisasi pertanian
serta analisa lori yang baik dalam rangka menjamin kualitas tebang dan
menilai mutu yang baik.
b. Kepala Tebang dan Angkut: Adapun tugas dari kepala tebang dan
angkut yaitu: bertanggung jawab atas terselenggaranya efektivitas dan
efesiensi pelaksanaan teknis operasional tebang dan angkut tebu,
merencanakan, menggunakan , memelihara, mengawasi keamanan dan
mengusulkan penambahan atau pengurangan alat-alat kerja,
perlengkapan, saranan dan prasarana tebang angkut tebu, serta
menyelengarakan rapat tebang setiap hari dalam musim giling untuk
menentukan petak-petak tebang yang telah masak.
3. Kepala A.K.U tugas dan tanggung jawab bagian A.K.U memberikan pelayanan
kepada semua bagian yang ada di pabrik gula. mengkoordinasi dalam masalah
keuangan dan ketenagakerjaan pada semua bagian. Dipimpin oleh seorang
kepala administrasi, keuangan dan umum ( kepala A.K.U) dan dalam
pelaksanaan tugasnya membawahi 4 (empat) Sub bagian yang dipimpin oleh
seorang staf yaitu:
a. Sub Bagian Keuangan: tugasnya membukukan bukti taransasksi
kas/bank, dan bukti memorial ke dalam buku besar
b. Sub Bagian Pembukuan: tugasnya membuat laporan yang berupa neraca
bulanan, rekening koran, laporan magang, dan hutang piutang petani
tebu.
c. Sub Bagian Hubungan Antar Kerja (HAK) dan Umum/SDM dan
Umum: bertanggung jawab atas urusan adminitrasi karyawan dan
urusan-urusan umum. Hal ini berkaitan dengan data-data kepegawaian
karyawanan yang mencakup masalah golongan, masa kerja, hak-hak
karyawanan, perhitungan masa bebas tugas, penetapan pensiun dan
perhitungan hari tua.
d. Sub Bagian Gudang: Gudang dalam hal ini gudang yang berfungsi untuk
menyimpan barang-barang, bahan-bahan dan perlengkapan yang
dibutuhkan pabrik gula untuk keperluan menanam tebu.
4. Kepala Instalasi
Dari struktur kepegawaian tersebut yang berubah dalam hal pekerjaan adalah
bagian Intalasi karena setelah PG Colomadu tidak berproduksi lagi bagian ini tidak
melakukan pekerjaan sesuai keahlian yang dimiliki. Perubahan ini membawa kepada
status pekerjaan yang dulu mengurusi, merawat dan memperbaiki mesin-mesin PG
Coloamadu. Sekarang bagian ini hanya mengerjakan perbaikan–perbaikan rumah dinas
dan pembersihan lingkungan di sekitar PG Colomadu.
Disamping itu kebanyakan bagian intalasi dipindahkan ke bagian tanaman
karena setelah PG Colomadu tidak berproduksi bagian tanaman membutuhkan tenaga
lebih banyak bila dibandingkan dengan bagian intalasi. Akibatnya kebanyakan dari
tenaga-tenaga pindahan ini belum bisa bekerja dengan baik. Selain itu para karyawan eks
bagian intalasi juga dijadikan sebagai satpam. Banyak tenaga kerja pindahan dari bagian
instalasi mengeluh karena peralihan pekerjaan ini membuat pendapatan mereka
berkurang. Selain itu pekerjaan yang sekarang dianggap lebih berat dibandingkan dengan
pekerjaan yang dahulu.
Seperti yang diungkapkan oleh salah satu bagian instalasi bawah sekarang
lingkungan kerja berbeda dengan dahulu, perbedaan ini membuat mereka tidak bisa
bekerja dengan optimal. Selain itu banyak diantara pekerja dari bagian Intalasi merasa
cemburu kepada para pekerja dari bagian lain karena anggapan mereka porsi kerja bagian
Intalasi lebih berat dan melelahkan bila dibandingkan dengan bagian lain. Kecemburuan
ini membawa mereka tidak profesional terhadap pekerjaan yang sedang dikerjakan
sehingga berdampak kepada keterlambatan penyelesaian setiap pekerjaan.
Ketidakpuasan para pekerja dibagian intalasi semakin memuncak dengan tidak
adanya uang lembur bagi para pekerja bila menyelesaikan pekerjaan lebih cepat dari
target. Akibatnya pendapatan para pekerja di bagian ini semakin sedikit hal ini berbeda
disaat PG masih berproduksi. Posisi PG Colomadu yang kegiatannya hanya menanam
tebu membuat bagian yang paling diuntungkan adalah bagian tanaman karena dibagian
ini porsi kerja tidak berbeda disaat PG Colomadu masih menggiling gula dan dibagian ini
tidak ada pensiun dini. Hal ini bisa terjadi karena kegiatan utama dari PG Colomadu
sekarang adalah menanam tebu, perbedaannya hanya mencangkup luas lahan yang harus
mereka tanam.
Setelah adanya peniduran PG Colomadu membuat kondisi perekonomian di
sekitar PG Colomadu terlihat sepi dan sunyi. Keramaian karyawan yang sedang
melakukan kerja lebur sudah tidak terlihat lagi. Sekarang hanya terlihat para PKL yang
berjualan di depan PG Colomadu, kebanyakan PKL yang berjualan adalah orang–orang
yang merantau ke dareah sekitar untuk mengadu nasib sebagai penjual makanan lesehan
seperti bebek goreng dan pecel lele. Para PKL ini berjualan dimulai dari jam 5 sore
samapai jam 11 malem tetapi bila pembelinya masih banyak mereka bisa tutup jam 1
pagi.
Kondisi yang seperti itu membuat PG terlupakan oleh generasi-generasi muda
yang ada di sekitar PG Colomadu sehingga para orang tua hanya menceritakan
keperkasaan PG Colomadu saat masih menggiling tebu lewat cerita. Penuturan ini
terucap oleh bapak Jumadi yang dulu bekerja dibagian instalasi menurut beliau sebelum
peniduran PG Colomadu para karyawan sudah mulai cemas karena PG Colomadu yang
dianggap sebagai tumpuan hidup bisa ditutup, sehingga mereka merasa bingung dalam
melangkah setelah tidak bekerja di PG Colomadu. Menurut pak Jumadi dan Darso setelah
peniduran PG Colomadu kebanyakan karyawan yang dipensiunkan beralih pekerjaan
menjadi wiraswasta, antara lain: membuka warung makan, bengkel motor, dan toko
kelontong.
BAB V
KESIMPULAN
Pabrik gula Colomadu di dirikan pada tanggal 8 desember 1861, oleh KGPAA
Mangkunegoro IV (1853-1881). Pada tahun 1861 Mngkunegara IV mengajukan rencana
mengenai berdirinya sebuah pabrik gula pada Residen Nieuwenhuysen. Sejak beberapa
waktu sebelumnya beliau telah memilih tempat yang tepat di desa Malangjiwan, suatu
tempat yang baik, karena adanya tanah-tanah yang baik, air mengalir dan hutan-hutan.
Tempat tersebut dianggap beliau paling cocok untuk perkebunan tebu. Peletakan batu
pertama untuk pabrik gula Colomadu pada tanggal 8 Desember 1861, bangunan dan
pelaksanaan industri di bawah pimpinan seorang ahli dari Eropa, yang bernama R. Kamp.
Pertama kali pabrik bekerja dengan menggunakan mesin uap.
Reaksi pekerja dalam menghadapi penutupan pabrik gula Colomadu diawali
dengan dikeluarkannya surat amalgamasi oleh Direksi PT Perkebunan Nusanatara IX
(Persero) yang berisi tentang pelaksanaan amalgamasi 5 (lima) pabrik gula dilingkungan
PT Perkebunana Nusanatara IX (persero). Kelima pabrik itu adalah PG Banjaratma, PG
Cempiring, PG Colomadu, PG Ceper Baru, PG Kalibagor. Keputusan itu membuat
pekerja di PG Colomadu resah dan bingung. Hal ini dapat dimengerti karena PG
Colomadu merupakan tumpuan hidup bagi sekitar 1200 karyawan. Dari semua karyawan
pihak Direksi PTNP IX akan memperhentikan dengan hormat karyawan yang menjabat
dibagian Intalasi dan bagian pabrikasi yang sudah bekerja di atas 20 tahun.
Efek dari rencana ini membuat para karyawan PG Colomadu melaksanakan
demo. Menurut para pekerja rencana penutupan PG Colomadu dirasa janggal karena
pihak Direksi PTPN IX hanya mempercepat pensiun dini kepada bagian intalasi dan
pabrikasi sedangkan bagaian lain tidak terkena dampaknya. Hal ini memicu kedua bagian
ini untuk berdemo lebih keras dibandingkan dengan bagian lain. Dalam perkembangnya
percepatan pensiun dini yang dikenakan kepada dua bagian ini tidak terelakan lagi. Hal
ini terbukti dengan dikeluarkan daftar karyawan bulanan tetap yang mempuyai masa
kerja sampai 20 tahun ke atas per 31 maret 1998. Dengan dikeluarkan daftar nomatif
membuat pentupan PG dilaksanakan pada tanggal 1 mei 1998 oleh Direksi PT
Perkebunan Nusanatara IX (Persero). Adanya penutupan ini membuat pihak Direksi PT
Perkebunan Nusanatara IX (Persero) memberikan hak-hak karyawan secara normatif
maupun talih kasih sesuai dengan jabatannya.
Dampak penutupan pabrik gula Colomadu terhadap keadaan sosial ekonomi
masyarakat Colomadu dapat dilihat dari peralihan penanaman tebu ke padi oleh petani di
Colomadu. Akibat dari perubahan proses masyarakat Colomadu yang semakin
berkembang membuat masyarakat Colomadu tidak mau menanam tebu karena tebu hanya
memberikan kerugian saja. Awal dari konteks yang seperti itu membuat sebagian
masyarakat Colomadu untuk mencapai kehidupan yang diinginkan melakuakan usaha
penjualan tanah garapan untuk dijadikan pemukiman penduduk. Hal ini didorong oleh
anggapan dari masyarakat Colomadu terutama generasi muda bahwa menjadi petani tidak
memberikan kehidupan yang lebih baik. Perubahan yang demikian mendorong tanaman
tebu sekarang hanya ditanam di tanah-tanah kas desa. Dengan semakin banyaknya
perubahan pengalihan fungsi tanam dan perkembangan bisnis perumahan membuat
pabrik gula Colomadu tidak bisa bangkit untuk memproduksi gula.
Akibatnya tradisi Cembengan menghilang dari daerah Colomadu. Cembengan
merupakan tradisi sebagai penanda musim giling akan dimulai. Selain itu Cembengan
merupakan tanda dari roda perputaran uang dikalangan masayarakat desa. Roda
perputaran uang terwujudkan dari adanya pasar malem. Keramaian pasar malem
berlangsung sampai 2-3 pekan. Hal ini mengundang para pedagang di sekitar PG
Colomadu untuk mengelar dagangannya untuk dijajakan kepada pengunjung. Proses ini
berdampak pada peningkatan pendapatan masyarakat Colomadu yang bergantung kepada
musim giling. Kondisi yang pahit harus diterima oleh sebagian masyarakat yang
tergantung pada musim giling. Terutama buruh angkut, tebang, dan para buruh tani yang
kehilangan mata pencaharian karena PG Colomadu ditutup pada tahun 1998. Keadaan
seperti itu juga harus diterima oleh para pekerja pabrik gula Colomadu. Tidak
beroperasinya PG Colomadu membuat perubahan struktur kepegawaian PG Colomadu.
Dampak yang paling dirasakan adalah bagian instalasi karena dibagian ini
terjadi pensiun dini yang paling banyak. Selain itu dibagian ini terjadi peralihan jenis
pekerjaan yang dahulu bekeja sebagai mekanik mesin-mesin PG sekarang hanya
memperbaiki rumah-rumah dinas dan membersikan lingkungan PG Colomadu. Peralihan
jenis pekerjaan ini sering dikeluhkan oleh bagian instalasi. menurut bagian ini
pekerjaannya dirasa berat hal ini berbeda disaat PG masih beroperasi. Selain itu sumber
pendapatan bagian instalasi juga berkurang karena tidak ada uang lembur. Kenyataan
yang tidak menyenagkan juga harus dihadapi oleh pensiunan pekerja PG Colomadu
karena setelah pensiun dari PG Colomadu pendapatan mereka hanya tergantung pada
hasil uang pensiun. Hal ini membuat kesejahteran keluarga menjadi berkurang. Untuk
mencukupi kebutuhan hidup pensiunan ini banyak yang membuka usaha misalnaya bekel
motor, warung kelontong, dan warung makan.
DAFTAR PUSTAKA
1. Dokumen
Perpu No 9 tahun 1947 Mengenai Pengalihan kepemilikan Perusahaan Mangkunegaran ke Pemerintah Republik Indonesia, Koleksi Pabrik Gula Colomadu di Bagian SDM.
Surat Keputusan PTPN IX Mengenai Amalgamasi di pabrik Gula Colomadu, Koleksi
Pabrik Gula Colomadu di Bagian SDM.
2. Buku – Buku. Abdurachman S. 1975. Pemekiran-Pemikiran Untuk Mengatasi Kebutuhan Tanah
Tanaman Tebu. Surabaya: majalah Gula Indonesia. Adisewojo. 1983. Bercocok Tanaman Tebu. Bandung: Sumur. Bintarto R. 1983. Interaksi Desa-Kota dan Permasalahannya. Jakarta: Ghalia Indonesia. Booth, Anne. 1988. Sejarah Ekonomi Indonesia. Jakarta : LP3ES IKAPI. Burger D.H. 1983. Perubahan-Perubahan Struktur dalam Masyarakat Jawa. Jakarta:
Bhratara. Dirjen Perkebunan. 1975. Beberapa Permasalahan Produksi dan Rencana Tebu Rakyat
Intensifikasi. Yogyakarta: Tanpa Penerbit. Endang Suhendar dan Yohana Budi Winarni. 1998. Petani dan Konflik Agraria.
Bandung: Yayasan Akatiga. Geertz, Clifford.1983. Involusi Pertanian. Jakarta: Yayasan Obor. Gordon Alex.1982. Ideologi Ekonomi dan Perkebunan: Runtuhnya Sistem Gula Kolonial
dan Merosotnya Ekonomi. Jakarta: LP3ES. Gottschalk, Louis. 1985. Mengerti Sejarah ( Penerjemah: Nugroho Notosusanto). Jakarta:
Universitas Indonesia (UI-Press). Gunawan Wiradi & Sediono Tjondronegoro. 1984. Dua Abad Penguasaan Tanah: Pola
Penguasaan Tanah Pertanian di Jawa dari Masa ke Masa. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
Gunawan Wiradi. 2000. Reforma Agraria Perjalanan yang Belum Berakhir. Yogyakrta:
INSIST KPA dan Pustaka Pelajar.
Hadi Sabari Yunus. 1984. Teori dan Model Struktur Keruangan Kota. Yogyakarta. Fakultas Geografi UGM.
Kurasawa, Aiko. 1993. Mobilisasi dan Kontrol. Jakarta: Garindo Khudori. 2004. Neoliberalisme Menumpas Petani. Yogyakarata: Resist Book.
Koentjaraningrat. 1981. Metode-metode Penelitian Masyarakat. Jakarta: PT Gramedia. Kuntowijoyo. 2003. Metodologi Sejarah. Yogyakarta: Tiara Wacana Yogyakarta.
Mubyarto. 1968. Usaha Tani Tebu dan Industri Gula di Jawa. Jakarta: Survey Agro Ekonomi Indonesia..
. 1983. Politik Pertanian dan Pembangunan Pedesaan. Jakarta : Sinar Harapan. . 1984. Masalah Industri Gula di Indonesia. Yogyakarta: BPFE. Mubyarto dan Daryati. 1991. Gula: Kajian Sisial-Ekonomi. Yogyakarta: Aditya Media . Mubyarto. dkk. 1992. Tanah dan Tenaga Kerja Perkebunan: Kajian Sejarah Ekonomi.
Yogyakarta : Aditya Media. Mudjijo Prodjosuhardjo dan Ahmad Sutarmadi, “Sistem Penggunaan Tanah Untuk
Tanaman Tebu dan Kerja Sama Patani Tebu Rakyat”. Seminar Tebu Rakyat tanggal 28-30 Agustus 1975. Yogyakarta
Nagazumi. 1986. Indonesia dalam Kajian Sarjana Jepang. Jakarta: Yayasan Obor
Indonesia. Notojoewono.1960. Berkebun Tebu. Surabaya: BPU-PPN Gula Inspeksi VI. Noer Fauzi. 2003. Bersaksi Untuk Pembaruan Agraria. Yogyakarta: Insist Press.
Raldi Hendro Koestoer. 1997. Perspektif Lingkungan Desa-Kota, Jakarta: UI-PRESS Redfiled, Robert. 1985. Masyarakat Petani dan Kebudayaani. Jakarta: Rajawali Rifa’i. A 1998. Peranan Program Tebu Rakyat Intesifikasi dalam sistem Bimbingan
Massal. Jakarta: Badan Pengendalai Bimas. Sadono Sukirno. 1985. Ekonomi Pembangunan Proses Masalah dan Dasar Kebijakan.
Jakarta: Bima Grafiti. Sapuan. 1985. Ekonomi Pergulaan di Indonesia. Jakarta: BadanUrusan Logistik.
Samuel L Popkin. 1986. Petani Rasional. Jakarta: Yayasan Padamu Negeri. Sartono Kartodirdjo. 1982. Pemikiran dan Perkembangan Historiografi Indonesia, Suatu
Alternati. Jakarta: PT. Gramedia. . 1983. “ Metode Penggunaan Bahan Dokumen “Koentjoroningrat, Metode-
Metode Penelitian Masyarakat. Jakarta: PT. Gramedia. . 1992. Pendekatan Ilmu-Ilmu Sosial dalam Metodologi Sejarah. Jakarta:
Gramedia. Sartono Kartodirdjo & Djoko Suryo. 1991. Sejarah Perkebunan Di Indonesia: Kajian
Sosial Ekonomi. Yogyakarta : Aditya Media. Scott, James C. 1993. Perlawanan Kaum Tani. Jakarta: Yayasan Obor. Selo Soemardjan. dkk. Petani Tebu ( Laporan Penelitian Tentang Masalah-Masalah
dalam Pelaksanaan TRI di Jawa Timur, Jawa Tengah,dan Jawa Barat. Yayasan Ilnu-ilmu Sosial dan Dewan Gula indonesia. Tanpa Tahun.
Soepardiman. 1983. Bercocok tanaman Tebu. Yogyakarta:LPP. Suhartono. 1991. Apanage dan Bekel: Perubahan Sosial di Pedesaan Surakarta 1830-
1920. Yogyakarta: PT Tiara Wacana Yogya. Werner Roll.1983. Struktur Pemilikan Tanah Di Indonesia. Jakarta: CV Rajawali. Wahju Muljana. 2001. Bercocok Tanam Tebu Dengan Segala Masalahnya. Semarang:
CV Aneka Ilmu. Wasino. 2008. Kapitalisme Bumi Putra: Perubahan Masyarakat Mangkunegaran.
Yogyakarta: LKiS Pelangi Aksara. Surat Kabar dan Majalah SuaraMerdeka, 9 Maret 1998
SuaraMerdeka, 9 Desember 2008
Solopos, 18 Juli 1998
Solopos, 9 Mei 2009
Kompas, Jumat 2 Juni 2000
M. Zainal dan Uji Saptono,” Kebijakan Gula Habis Manis Sepah Dibuang ”, dalam Agrimedia. 2 Juli 1999. Volume 5 No 2 Juli 1999, hal 48. Makalah Wasino. “Nationalisasi Pabrik Gula Mangkunegaran”, Makalah disampaikan dalam Workshop on the Economic Side of Decolonization, Jointly Organizied by LIPI, NIOD, PPSAT-UGM dan Program Studi Sejarah Pasca Sarjana UGM, Yogyakarta Akhir Agustus 2004 Internet http://disbunjatim.co.cc.kompasiana.com, Dinamika Pergulaan Nasional, diambil pada tanggal 1 Desember 2009, pukul 08.30 Wib.