perubahan struktur agraria dan harmoni semu … · perubahan struktur agraria dan harmoni semu...
TRANSCRIPT
PERUBAHAN STRUKTUR AGRARIA DAN HARMONI SEMU
(Studi Kasus Reklaiming Hutan Lindung pada Komunitas Petani Kopi Rakyat di Kabupaten Jember Jawa Timur)
MUSTAPIT
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR 2011
i
PERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis tentang Perubahan Struktur Agraria dan Harmoni Semu (Studi Kasus Reklaiming Hutan Lindung pada Komunitas Petani Kopi Rakyat di Kabupaten Jember Jawa Timur) adalah karya sendiri dan belum pernah diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.
Bogor, Pebruari 2011
Mustapit NRP. I353070111
ii
ABSTRACT
Mustapit. Changes in Agrarian Structure and False Harmony (Case Study in Reclaiming of Protected Forest by Coffee Farmer Community in Jember, East Java). Supervised by Endriatmo Soetarto and Andang Soebaharianto.
As people living around the forest area (forest villages), the villagers of Sidomulyo, Silo, Jember, very much depending on the forest. As coffee farmer, they had no problem with the land. Over time, land is fragmented, especially through inheritance, so that is reducing availability and carrying capacity. Even some residents eventually have no land at all that could be working on. This situation contrasts with the surrounding area that is a vast forest. The open of the political structure at the macro level spread to Sidomulyo and encourage citizens to demand justice for natural resource (forest) management to shared prosperity which is increasingly rare due to the closure of their access to protected forest. Their social movement become reclaiming of protected forest areas that had been under the management of Perhutani. Forests that reclaimed then made by them as coffee plantation.
This study aims to examine the background and meaning of protected forest reclaiming by the coffee farmer community in Sidomulyo and the resulting flow of benefits. It also analyzes the mechanism by those parties in acquiring, controlling and maintaining the flow of benefits and power relations between them.
Reclaiming of protected forest by coffee farmer community in Sidomulyo have an ideological purposes that is related to the reasons of morality, justice, normative and historical. It also has a practical purposes that is related to economic and ecological value of protected forest. The main actors in conflict of struggle for agrarian resource (protected forest) are coffee farmer community and Perhutani. In addition there are also other actors that are indirectly related that is private parties (traders, investors and exporters) and government (village and district). Each actor has interests over protected forest as a contested resource. Interests of a coffee farmer community are to get livelihoods and their reclaiming is a social movement on agrarian crisis in their region. Momentum of the reform period is considered to be very precise, given the wide-open national political structure and proved successful. Interest of Perhutani is "access control": the ability to mediate others’ access to the resources they control (protected forest).
Mechanism of reclaiming by the parties in acquiring, controlling and maintaining the flow of benefits from protected forests and their distribution is influenced by ability to access the technology, capital, markets, knowledge, authority, social identity, and social relations. Contestation is a dynamic process from the parties / actors (coffee farmer community, Perhutani, private, and government) that interact and negotiate their interests in the struggle for natural resources (protected forest). Their interaction manifested in two forms of agrarian power relations, namely: technical relations between the main actors (coffee farmer community people and Perhutani) with the object of agrarian (protected forest) and social relations are relations between the parties related either directly or indirectly
iii
with reclaiming. Interest negotiations of the parties are in two spaces, ie space of meaning conflict and space of right and access conflict.
Contestation between the two main actors of reclaiming in achieving their interests is at the stage of stalemate, in which each can not accept defeat or retreat. This condition was caused by: the cost of continuing conflict, lack of support on each side, and the failed tactics of each side. At this stage of conflict will decline and lead to the reduction stage (de-escalation) and going to process of negotiation in order to reach a consensus which is marked by changes in social organization, interaction of the parties, the role of third parties, educational institutions and the media.
Reclaiming as a form of access to protected forest by the coffee farmer community who are citizens of Sidomulyo and its surrounding has provided benefits derived from the coffee plantations in protected forest that they reclaimed. They give "cukai" to Perhutani officers that then accommodated by Perhutani as institution and recognized as "sharing" through Cooperation Agreement Letter (Surat Perjanjian Kerjasama: SPK), which was signed together with LMDH on delivering of a third harvest. Reclaiming also create employment opportunities and opportunities for application of technological innovations, opportunities for traders to take profits, and encourage the village government to improve its services and implement development programs to support the activities of its citizens. The more conducive socio-economic conditions are attracted investors to invest either to merchants or to the coffee farmers. They also hope to enjoy the benefits that come from farmer coffee plantation of the reclaiming protected forest.
Contestation of the parties in reclaiming protected forest with their interests will lead to a new agrarian structure which is essentially social change because of changing patterns of behavior, social relations, institutions and social structures in coffee farmer community and the village Sidomulyo. The changes in agrarian structure elements above and the harmony conditions still leaves many unanswered issues, so the changes that occur of reclaiming are not all positive for the Sidomulyo citizens. Keywords: Agrarian Structure, Social Change, Reclaiming of Protected Forest.
iv
RINGKASAN
Mustapit. Perubahan Struktur Agraria dan Harmoni Semu (Studi Kasus Reklaiming Hutan Lindung pada Komunitas Petani Kopi Rakyat di Kabupaten Jember Jawa Timur). Dibimbing oleh Endriatmo Soetarto dan Andang Soebaharianto.
Sebagai masyarakat yang tinggal di tepi kawasan hutan (desa hutan), penduduk Desa Sidomulyo Kecamatan Silo Kabupaten Jember sangat tergantung dengan hutan. Sebagai petani kebun kopi rakyat, mereka dulunya tidak ada masalah dengan lahan. Seiring berjalannya waktu, lahan-lahan itu terfragmentasi khususnya melalui warisan, sehingga berkurang ketersedian dan daya dukungnya. Bahkan beberapa warga akhirnya tidak mempunyai lahan sama sekali yang bisa digarapnya. Kondisi ini sangat kontras dengan kawasan di sekitarnya yang berupa hutan luas. Terbukanya struktur politik di tingkat makro pada masa reformasi menjalar sampai ke Sidomulyo dan menggerakkan warganya untuk menuntut keadilan pengelolaan sumberdaya alam (hutan) untuk kemakmuran bersama yang selama ini semakin langka akibat ditutupnya akses mereka terhadap hutan dengan adanya status hutan lindung. Gerakan sosial mereka berwujud menjadi reklaiming terhadap kawasan hutan lindung yang selama ini di bawah pengelolaan Perhutani. Kawasan hutan yang direklaiming kemudian dijadikan kebun kopi rakyat.
Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji latar belakang dan makna reklaiming hutan lindung oleh masyarakat desa hutan yang kemudian dijadikan kebun kopi rakyat sebagai realitas sosial semu yang perlu diungkap kebenarannya. Selanjutnya juga mengkaji implikasinya pada struktur agraria yang terbentuk pasca reklaiming. Sikap dan respon para pihak atas proses reklaiming serta praktik-praktik yang dilakukan mereka akan dapat menunjukkan posisi mereka dalam kerangka konflik kepentingan. Kondisi “harmonis” yang tercipta akibat strategi yang dilakukan para pihak untuk menghindari konflik terbuka perlu diungkap dan diperkirakan keberlanjutannya.
Reklaiming hutan lindung oleh komunitas petani kopi rakyat di Sidomulyo mempunyai tujuan yang bersifat ideologis yaitu terkait dengan alasan moralitas, keadilan, normatif dan sejarah. Selain itu juga mempunyai tujuan praktis yaitu terkait nilai ekonomi dan ekologi dari hutan lindung. Aktor utama yang berkonflik dalam perebutan hutan lindung sebagai sumberdaya agraria adalah komunitas petani kopi rakyat dan Perhutani. Di samping itu ada juga aktor lain yang terkait secara tidak langsung yaitu swasta (pedagang, pemilik modal dan eksportir) dan pemerintah (desa dan daerah). Aktor-aktor yang berkonflik di atas mempunyai kepentingan masing-masing terkait hutan lindung sebagai sumberdaya yang diperebutkan. Kepentingan komunitas petani kopi rakyat adalah mendapatkan sumber penghidupan dan reklaiming yang mereka lakukan merupakan gerakan sosial atas keadaan krisis agraria yang ada di wilayah mereka. Masa reformasi merupakan momentum yang dinilai sangat tepat, mengingat struktur politik nasional terbuka lebar dan terbukti berhasil. Kepentingan Perhutani adalah “kontrol akses” yaitu kemampuan untuk memediasi akses pihak-pihak lain terhadap sumberdaya yang dikontrolnya (hutan lindung).
v
Mekanisme para pihak yang terlibat reklaiming dalam memperoleh, mengontrol dan memelihara aliran keuntungan dari hutan lindung dan distribusinya merupakan suatu kemampuan akses yang dipengaruhi teknologi, modal, pasar, pengetahuan, wewenang, identitas sosial, dan relasi sosial. Kontestasi merupakan proses yang bersifat dinamis dari para pihak / para aktor (komunitas petani kopi rakyat, Perhutani, pedagang, dan pemerintah) yang berinteraksi dan menegosiasikan apa yang menjadi kepentingannya dalam konteks perebutan sumberdaya alam (hutan lindung). Interaksi mereka terwujud dalam dua bentuk relasi kuasa agraria, yaitu: relasi teknis yaitu antara aktor utama (komunitas petani kopi rakyat dan Perhutani) dengan objek agraria (hutan lindung); dan relasi sosial yaitu relasi di antara para pihak baik yang terkait langsung maupun tidak langsung dengan reklaiming. Negosiasi kepentingan para pihak berada dalam dua ruang, yaitu ruang konflik pemaknaan dan ruang konflik hak dan akses.
Kontestasi antara dua aktor utama dalam reklaiming (komunitas petani kopi rakyat dan Perhutani) dalam mencapai kepentingannya masing-masing berada pada tahap kemacetan (stalemate), di mana masing-masing tidak bisa memenangkan kepentingannya atau mundur menerima kekalahan. Kondisi ini terjadi karena adanya beberapa hal, yaitu: besarnya biaya melanjutkan konflik, tidak adanya dukungan pada masing-masing pihak, dan gagalnya taktik masing-masing pihak. Pada tahap ini konflik akan menurun dan menuju pada tahap pengurangan (de-escalation) dan mengalami proses negosiasi dalam rangka mencapai konsensus yang ditandai dengan perubahan organisasi sosial, interaksi para pihak yang berkonflik, peranan pihak ketiga, lembaga pendidikan dan media.
Reklaiming sebagai bentuk akses terhadap hutan lindung yang dilakukan oleh komunitas petani kopi rakyat yang merupakan warga Desa Sidomulyo dan sekitarnya telah memberikan manfaat/keuntungan yang berasal dari pembukaan kebun kopi di dalam hutan lindung yang mereka reklaim. Mereka memberikan “cukai” kepada para petugas Perhutani yang kemudian diakomodasi oleh Perhutani secara lembaga dan diakui sebagai “sharing” melalui Surat Perjanjian Kerjasanma (SPK) yang ditandatangani bersama LMDH dengan mematok besaran 1/3 hasil panen. Reklaiming juga menciptakan kesempatan kerja dan peluang penerapan inovasi-inovasi teknologi, peluang bagi para pedagang untuk mengambil keuntungan, dan memacu pemerintah desa untuk meningkatkan pelayanannya dan melaksanakan program-program pembangunan untuk mendukung aktivitas warganya. Kondisi sosial ekonomi yang semakin kondusif menarik para pemilik modal untuk berinvestasi baik kepada pedagang maupun kepada petani kopi.
Kontestasi para pihak dalam reklaiming hutan lindung dengan segala kepentingannya akan bermuara pada suatu struktur agraria baru yang pada dasarnya adalah perubahan sosial karena terjadi perubahan pola perilaku, hubungan sosial, lembaga dan struktur sosial pada komunitas petani kopi rakyat yang melakukan reklaiming pada khususnya dan wilayah Desa Sidomulyo pada umumnya. Perubahan-perubahan dalam unsur-unsur struktur agraria di atas dan kondisi harmoni yang tercipta ternyata masih menyisakan banyak persoalan yang belum terjawab, sehingga perubahan-perubahan yang terjadi sebagai hasil dari reklaiming tidak semuanya bermakna positif bagi warga Sidomulyo.
vi
© Hak Cipta milik IPB Tahun 2011 Hak cipta dilindungi Undang-undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini dalam bentuk apapun tanpa ijin IPB.
vii
PERUBAHAN STRUKTUR AGRARIA DAN HARMONI SEMU (Studi Kasus Reklaiming Hutan Lindung pada Komunitas Petani Kopi Rakyat di
Kabupaten Jember Jawa Timur)
Oleh: Mustapit NRP. I353070111
Tesis Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada
Program Studi Sosiologi Pedesaan, Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR 2011
Penguji Luar Komisi:
Dr. Satyawan Sunito
viii
Judul Tesis : Perubahan Struktur Agraria dan Harmoni Semu (Studi Kasus Reklaiming Hutan Lindung pada Komunitas Petani Kopi Rakyat di Kabupaten Jember Jawa Timur)
Nama : Mustapit NRP. : I353070111
Disetujui
Komisi Pembimbing
Prof. Dr. Endriatmo Soetarto, MA. Drs. Andang Subaharianto, M.Hum. Ketua Anggota
Diketahui
Koordinator Mayor Dekan Sekolah Pascasarjana IPB Sosiologi Pedesaan, Dr. Ir. Arya Hadi Dharmawan, MSc. Prof.Dr.Ir. Khairil A. Notodiputro, MS. Tanggal ujian: 17 Januari 2011 Tanggal lulus:
ix
PRAKATA
Puji syukur saya panjatkan ke hadirat Allah SWT atas limpahan rahmat dan
hidayah-Nya sehingga tesis ini dapat saya selesaikan dengan baik meskipun masih
banyak kekurangan.
Penelitian Perubahan Struktur Agraria dan Harmoni Semu merupakan studi
kasus reklaiming hutan lindung pada komunitas petani kopi rakyat di Kabupaten
Jember Jawa Timur. Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif untuk
mengkaji latar belakang dan makna reklaiming hutan lindung oleh komunitas petani
kopi rakyat di Sidomulyo dan aliran keuntungan yang ditimbulkannya. Selain itu
juga menganalisis mekanisme yang dilakukan para pihak pihak dalam memperoleh,
mengontrol dan memelihara aliran keuntungan dari kebun kopi hasil reklaiming
hutan lindung serta hubungan kuasa di antara mereka.
Keberhasilan penelitian ini tidak terlepas dari peran yang besar dari komisi
pembimbing. Oleh karena itu, penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-
besarnya kepada Prof. Dr. Endriatmo Soetarto, MA. selaku ketua komisi
pembimbing dan kepada Drs. Andang Subaharianto, M.Hum. selaku anggota komisi
pembimbing yang dengan penuh kesabaran membimbing saya mulai dari penulisan
proposal, penelitian, dan penulisan hasil penelitian sehingga tesis ini dapat terwujud.
Penghargaan dan terima kasih saya ucapkan kepada: Dekan Sekolah Pasca
Sarjana Institut Pertanian Bogor, Dekan dan Wakil Dekan Fakultas Ekologi Manusia,
Ketua Departemen Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat, Koordinator Mayor
Sosiologi Pedesaan dan seluruh staf pengajar yang telah memberikan ilmu
pengetahuan dan bimbingan serta pengalaman yang sangat berharga.
Penghargaan dan terima kasih saya ucapkan kepada Rektor Universitas
Jember, Dekan Fakultas Pertanian dan Ketua Jurusan Sosial Ekonomi Pertanian yang
telah memberikan ijin kepada saya untuk menempuh pendidikan magister.
Terima kasih saya ucapkan kepada Direktorat Jendral Pendidikan Tinggi
Kementerian Pendidikan Nasional yang telah memberikan beasiswa melalui Proyek
I-MHERE Universitas Jember.
x
Terima kasih saya sampaikan kepada Kepala Desa Sidomulyo, Mantri
Perhutani Garahan, Perhutani Jember, dan warga Sidomulyo yang telah mengijinkan
dan memberikan kesempatan kepada saya untuk melakukan penelitian. Khusus
kepada Pak Kusni dan keluarga serta Mas Sunari, terima kasih banyak atas
bantuannya selama penelitian berlangsung.
Terima kasih saya ucapkan kepada teman-teman SPD angkatan 2007: Aulia
Farida (Jambi), Eko Harri Yulianto (Samarinda), Febrina Desrianti (Padang), Gusti
Muhammad Fadli (Sintang), Husnul Khitam (Jakarta), Idris Sardi (Jambi), Nuraini
Budi Astuti (Padang), Rizal Razak (Bogor), dan Widiyanto (Surakarta) yang telah
memberikan kebersamaan yang tak terlupakan. Terima kasih sebesar-besarnya juga
atas kebersamaan yang menyenangkan kepada teman-teman kost di Babakan Tengah
(Anton, Winata, Rully, Kang Jamal dan Darko) dan teman-teman kost di Laladon
(Mas Yuli, Mas Bambang, Mas Deddy, Mas Fuad, Pak Bagus, dan Andrew).
Penghargaan dan terima kasih saya sampaikan kepada keluarga: Bapak (H.
Abd. Tamam) dan Emak (Alm. Muyasaroh), Bapak Mertua (Samik Udin) dan Ibu
(Suntihati) yang selalu membimbing dan mendo’akan saya. Kepada istri (Nur Aisah
Indraswati) dan mutiara-mutiara kami (Megan Madeeha dan Nevan Naqoofa)
kesabaran dan dukungannya tidak bisa saya nilai dengan apapun.
Kepada semua pihak yang telah banyak membantu terselesaikannya tesis ini
dan belum sempat disebut di atas, saya ucapkan terima kasih sebesar-besarnya.
Akhirnya saya minta maaf yang sebesar-besarnya atas segala keterbatasan dan
kekurangan dalam tesis ini.
Bogor, Pebruari 2011
Mustapit NRP. I353070111
xi
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Pati pada tanggal 16 Agustus 1977 dan merupakan anak ke-6
dari 7 bersaudara dari pasangan H. Abd. Tamam dan Muyasaroh (alm.). Penulis
memperoleh gelar sarjana dari Fakultas Pertanian Universitas Jember, Jember Jawa
Timur pada tahun 2002. Kemudian pada tahun 2007 melanjutkan pendidikan
magister di Program Studi Sosiologi Pedesaan Sekolah Pasca Sarjana Institut
Pertanian Bogor (IPB) di Bogor dengan besasiswa dari Proyek I-MHERE
Universitas Jember. Penulis bekerja sebagai staf pengajar pada Fakultas Pertanian
Universitas Jember sejak tahun 2005 sampai sekarang. Penulis menikah dengan Nur
Aisah Indraswati pada tanggal 26 Januari 2005 dan telah dikaruniai dua orang anak
yaitu: Megan Madeeha (lahir 12 Pebruari 2006) dan Nevan Naqoofa (lahir 13
Desember 2008).
xii
DAFTAR ISI
Halaman Pernyataan ....................................................................................................... i
Abstract .......................................................................................................................... ii
Ringkasan ..................................................................................................................... iv
Halaman Hak Cipta ...................................................................................................... vi
Halaman Judul ............................................................................................................. vii
Halaman Pengesahan .................................................................................................. viii
Prakata .......................................................................................................................... ix
Riwayat Hidup .............................................................................................................. xi
Daftar Isi ...................................................................................................................... xii
Daftar Tabel ................................................................................................................ xiv
Daftar Gambar ............................................................................................................. xv
Daftar Lampiran ......................................................................................................... xvi
PENDAHULUAN ......................................................................................................... 1
Latar Belakang ................................................................................................... 1
Masalah Penelitian ............................................................................................. 7
Tujuan Penelitian ............................................................................................... 8
TINJAUAN PUSTAKA ................................................................................................ 9
Lahan dan Struktur Agraria ............................................................................... 9
Hutan Lindung dan Permasalahan Tenurial .................................................... 11
Reklaiming dan Teori Akses ........................................................................... 14
Perubahan Sosial dan Konflik ......................................................................... 17
Kerangka Teoritis ............................................................................................ 22
METODOLOGI PENELITIAN .................................................................................. 27
Metode Penelitian ............................................................................................ 27
Metode Pengumpulan dan Analisis Data ........................................................ 28
Lokasi dan Waktu Penelitian ........................................................................... 32
Organisasi Penulisan ....................................................................................... 32
xiii
PANORAMA LERENG SELATAN GUNUNG RAUNG ......................................... 35
Desa Hutan: Sidomulyo dan Sejarahnya ......................................................... 36
Kondisi Umum dan Prasarana Desa Sidomulyo .............................................. 41
Kondisi Agraria Desa Sidomulyo ................................................................... 42
Struktur Mata Pencaharian Warga Desa Sidomulyo ....................................... 43
Kelembagaan Lokal Desa Sidomulyo .............................................................. 45
Intervensi Program di Desa Sidomulyo ........................................................... 53
Organisasi dan Hubungan Produksi di Desa Sidomulyo ................................. 56
HUTAN LINDUNG: ARENA PEREBUTAN SUMBERDAYA ............................... 59
Hutan Lindung: Sumberdaya Sarat Nilai ......................................................... 59
Aktor-aktor yang Berkonflik ........................................................................... 66
Kepentingan Para Pihak ................................................................................... 71
Mekanisme Akses (Reklaiming) Hutan Lindung ............................................ 73
KONTESTASI PARA PIHAK DAN KONFLIK ATAS HUTAN LINDUNG .......... 81
Relasi Kuasa Agraria Para Pihak ..................................................................... 81
Ruang Konflik Pemaknaan tentang Sumberdaya Agraria ............................... 83
Ruang Konflik Hak dan Akses terhadap Sumberdaya Agraria ....................... 87
Derajat Konflik Kontestasi .............................................................................. 90
Membangun Konsensus: Membangun Harmoni ............................................. 91
PERUBAHAN STRUKTUR AGRARIA DAN HARMONI SEMU .......................... 93
Distribusi Manfaat Reklaiming ........................................................................ 93
Kepemilikan Tanah .......................................................................................... 94
Konsentrasi Tanah dan Pendapatan ................................................................. 95
Diferensiasi Sosial............................................................................................ 96
Persaingan Usaha ............................................................................................. 98
Rasio Tanah dan Tenaga Kerja serta Implikasinya ........................................ 100
Harmoni Semu ............................................................................................... 102
PENUTUP ................................................................................................................. 105
Simpulan ........................................................................................................ 105
Saran .............................................................................................................. 108
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................................ 109
xiv
DAFTAR TABEL
Tabel 1. Matriks Metode Penelitian ............................................................................ 31
Tabel 2. Luas Wilayah Desa Sidomulyo Menurut Penggunaan .................................. 43
Tabel 3. Wilayah Kerja Perum Perhutani .................................................................... 68
Tabel 4. Wilayah Kerja Perum Perhutani KPH Jember .............................................. 69
Tabel 5. Rata-rata Pendapatan Petani Kopi di Lahan Hasil Reklaiming ..................... 96
xv
DAFTAR GAMBAR
Gambar 1. Kerangka Pemikiran Penelitian .................................................................. 25
Gambar 2. Peta Desa Sidomulyo ................................................................................. 37
Gambar 3. Posisi dan Relasi Para Pihak Terkait Reklaiming Hutan Lindung ............ 81
xvi
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1. Luas Penguasaan Kebun Kopi oleh Informan Sebelum dan
Sesudah Reklaiming........................................................................... 113
Lampiran 2. Analisa Usahatani Kopi Warga Sidomulyo di
Lahan Hasil Reklaming Hutan Lindung ............................................ 114
Lampiran 3. Peta Kawasan Hutan Perum Perhutani Jawa dan Madura ................. 115
Lampiran 4. Peta Kawasan Hutan Perum Perhutani Unit II (Jawa Timur) ............ 116
Lampiran 5. Gambar Lokasi Penelitian .................................................................. 117
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Ada dua hal penting yang dapat dicatat dari sejarah pengelolaan hutan di
Jawa. Pertama, seolah-olah hutan di Jawa adalah kawasan warisan penguasa dari
waktu ke waktu tanpa mempertimbangkan keberadaan dan perkembangan
masyarakat, terutama desa-desa tepi hutan dan dalam hutan. Kedua, respon
perubahan kebijakan tidak langsung menyentuh akar masalah. Mulai dari penguasaan
raja-raja lokal di Jawa, pindah ke VOC, terus ke pemerintahan kolonial Belanda,
masa jeda saat penguasaan Jepang yang singkat, pindah ke masa pemerintahan Orde
Lama dan sampai pada tahun 1961, Perhutani dibentuk untuk menjalankan
penguasaan negara atas hutan.
Sebagian besar kebijakan kehutanan di Jawa dilatarbelakangi oleh fungsi
yang melekat pada hutan sebagai sebuah tegakan kayu saja dengan pengabaian baik
secara langsung maupun secara tidak langsung terhadap dinamika masyarakat yang
tinggal di sekitarnya. Misalnya, perubahan kebijakan di masa pemerintahan kolonial
Belanda, lebih didasari pertimbangan kerusakan hutan, terutama kerusakan hutan-
hutan jati di Jawa akibat eksploitasi di masa VOC. Demikian juga jika dirunut ke
pemerintahan kerajaan, pernah muncul konsep hutan ”susuhunan” yang menjalankan
fungsi sebagai pemasok kayu untuk kapal-kapal milik ”susuhunan” dan tempat
perburuan raja.
Sekarang, semua kawasan hutan yang tidak mempunyai kepemilikan individu
berada di bawah penguasaan negara berdasarkan UUD 1945 (pasal 33 ayat 3). Lebih
lanjut, posisi negara sebagai organisasi dengan kekuasaan penuh mendapat pijakan
UUPA No.5/1960 (pasal 2 ayat 1) dan adanya UU yang mengakui adanya “hutan
negara’ sebagaimana terdapat dalam UU Pokok Kehutanan No. 5/1967 yang
diperbarui dengan UU Kehutanan No. 41/1999. Model hutan negara ini dalam
sejarahnya diterapkan selama masa penjajahan Belanda di bawah Gubernur Jenderal
Deandels (1808-1811) yang mengadakan program untuk merestorasi hutan jati
(Tectona grandis) di Jawa. Dengan kewenangannya, Deandels tidak hanya
2
merestorasi hutan jati, melainkan juga memonopoli pengelolaan dan eksploitasi kayu
jati dengan memberi hak kepada Dienst van het Boschwezen, suatu institusi
kehutanan, untuk mengontrol tanah, pohon, dan buruh kerja. Inilah yang menjadi
titik awal prinsip penguasaan negara atas kawasan yang disebut sebagai “hutan”
(hutan negara) yang dikuatkan oleh pemberlakuan “Domeinverklaaring” yang tertera
dalam UU Kehutanan 1865 dan kemudian UU Agraria (Agrarisch Wet) 1870
(Peluso, 1990; Peluso dan Vandergeest, 2001; dalam Bacriadi dan Sardjono, 2005).
Lahirnya Undang-undang Agraria (Agrarisch Wet) 1870 menurut Lynch dan
Talbott (2001) bisa jadi untuk melindungi kepentingan dagang kaum kolonial
Belanda. Karena menjelang tahun 1860, terjadi peningkatan penduduk lokal di Jawa
yang belum pernah terjadi sebelumnya. Hal ini mengakibatkan konflik yang berlarut-
larut antara pertanian bergilir dan kepentingan perdagangan kopi yang terus meluas
dan menggiurkan. Undang-undang yang disusun untuk menggantikan sistem Tanam
Paksa ini memungkinkan kapitalis swasta menyewa lahan dari pemerintah kolonial
sampai 75 tahun dan menghalangi pribumi Indonesia untuk menjual tanahnya pada
orang non-Indonesia. Dengan menetapkan bahwa hak-hak adat akan diakui hanya
terhadap lahan yang secara terus-menerus digarap, Undang-undang Agraria
(Agrarisch Wet) 1870 ini melemahkan perjanjian-perjanjian yang dibuat sebelumnya
antara kaum kolonial dengan masyarakat asli mengenai pengelolaan hutan di Pulau
Jawa dan Madura. Pengguna hutan yang mempunyai kewenangan atau pengakuan
resmi dari pemerintah harus diutamakan dari pada semua praktik-praktik
pemanfaatan hutan tradisional. Dengan begitu pemerintahan kolonial Belanda dapat
melakukan apa saja yang diinginkan terhadap tanah-tanah yang yang berada di
bawah kekuasaan hukumnya.
Kawasan hutan di Jawa sekarang dikelola oleh empat lembaga: Perum
Perhutani, Dinas Kehutanan, Direktorat Jenderal Perlindungan Hutan dan Pelestarian
Alam (PHPA), dan wilayah pengelolaan Baduy tradisional. Orang Baduy mengelola
hutan mereka secara otonom di bawah hukum adat Baduy (terletak di wilayah
Banten dan memperoleh status khusus sejak masa kolonial Belanda). Kebanyakan
hutan di Jawa dikelola Perum Perhutani untuk keperluan produksi secara sepenuhnya
maupun terbatas (Peluso, 2006).
3
Perum Perhutani adalah perusahaan negara otonom yang diberi mandat
memperoleh penghasilan guna menghidupi dirinya sendiri dan memberikan 55
persen keuntungannya kepada Anggaran Pembangunan Nasional. Riwayat
keorganisasiannya adalah sebagai berikut: pada tahun 1969 didirikan oleh
Kementerian Pertanian1 Orde Baru, yang antara lain membawahi Direktorat Jenderal
Kehutanan. Kemudian tahun 1972 Perhutani Jawa Tengah dan Jawa Timur secara
hukum digabung sebagai unit-unit produksi tersendiri yang menginduk ke Perum
Perhutani. Bentuk usaha negara yang berupa perum (perusahaan negara) ini bekerja
sebagai perusahaan nonstock pemerintah, dengan anggarannya sendiri dan dengan
persetujuan kementerian. Hingga 1983, Perum Perhutani bertanggung jawab kepada
Menteri Pertanian; dan pada tahun tersebut kehutanan menjadi kementerian sendiri.
Dinas Kehutanan Jawa Barat dijadikan bagian dari Perum Perhutani pada 1978.
Hutan di Daerah Istimewa Yogyakarta bukanlah bagian dari Perum Perhutani, tetapi
tetap berstatus Dinas Kehutanan.
Karena kuasa dan kendalinya atas tanah hutan terkodifikasi dan terlegitimasi
dalam perundangan2, Perum Perhutani menguasai semua kegiatan di tanah hutan.
Penambangan, pengumpulan batu, kapur atau kayu bakar, juga pelaksanaan segala
macam penelitian memerlukan izin resmi Perum Perhutani. Kegiatan polisi
keamanan di dalam hutan atau keamanan hutan, menurut Peraturan Pemerintah No.
28 tahun 1985 dimaksudkan untuk mengamankan dan menjaga hak-hak negara atas
tanah hutan dan hasil hutan (Djokonomo dalam Peluso, 2006).
Seperempat wilayah Jawa yang digolongkan sebagai lahan hutan hampir
sama persis dengan lahan yang dikuasai oleh Boschwezen Belanda sebelum
pendudukan Jepang di Jawa. “Hutan” atau “tanah hutan” di Indonesia, seperti di
banyak negeri lain, adalah definisi politis bukan biologis. Lahan hutan didefinisikan
sebagai bagian dari Undang-undang Kehutanan Belanda Tahun 1927 dan 1932 yang
diterjemah dan dimasukkan dalam Undang-undang Pokok Kehutanan No. 5/1967.
Seperti di tempat lain, dimana terdapat birokrasi pengelolaan hutan, kehutanan
1 Dengan Instruksi Presiden No. 75/1969. 2 Undang-undang Pokok Agraria tahun 1960 dan Undang-undang Pokok Kehutanan No. 5/1967.
4
ilmiah tradisional3 mendapat legitimasi dalam undang-undang kehutanan dan
dibenarkan oleh dua gagasan universal dalam pengelolaan sumberdaya: (1)
pengelolaan untuk kemaslahatan sebesar-besarnya; dan (2) keunggulan sains (Barat)
atas bentuk-bentuk lain pengelolaan sumberdaya. Untuk mewujudkan ideologi ini,
ada tiga tipe penguasaan hutan yang tetap bertahan sejak penguasaan hutan oleh
Belanda: penguasaan lahan hutan, spesies hutan, dan pekerjaan/buruh hutan.
Bentuk pelibatan masyarakat dalam pengelolaan hutan di Jawa pasca kolonial
bermula dengan diserahkannya wewenang pengelolaan hutan Jawa kepada Perum
Perhutani pada tahun 1974 yang kemudian mengembangkan pendekatan
kesejahteraan dengan program Ma-Lu (Mantri-Lurah). Setelah diadakan Konggres
Kehutanan Dunia VIII di Jakarta pada tahun 1978 dengan tema Forest for People,
Perhutani menggulirkan program barunya yaitu Social Forestry, tetapi masih belum
jelas bentuk operasionalnya. Kemudian pada tahun 1982, kembali Perhutani
menyempurnakan pendekatan kesejahteraannya dalam pengelolaan hutan dengan
Proyek Pembangunan Masyarakat Desa Hutan (PMDH) yang bertujuan
meningkatkan kesejahteraan masyarakat desa hutan dan meningkatkan fungsi-fungsi
hutan secara optimal. Pada tahun 1985 dibentuk tim penelitian untuk mencari sistem
pengelolaan hutan yang mampu memecahkan permasalahan sosial ekonomi
masyarakat di sekitar hutan yang akhirnya berhasil merumuskan program Perhutanan
Sosial (PS). Pada periode ini mulai dikenal konsep agro forestry. Dikembangkan
pula bentuk alternatif PS seperti proyek Management Regime di KPH Madiun yang
mempertimbangkan faktor-faktor yang berpengaruh pada intensitas tekanan
penduduk terhadap kawasan hutan.
Pasca reformasi politik 1998, Departemen Kehutanan berusaha merubah
paradigma pengelolaan hutan dari state based oriented menjadi lebih community
based oriented melalui program pengenalan Hutan Kemasyarakatan (HKm)4.
Perkembangan ini juga mendorong Perhutani untuk mengembangkan konsep baru
bernama “Penanaman Hutan Berbasis Masyarakat” (PHBM) dengan Keputusan
3 Kehutanan ilmiah muncul dalam perencanaan pengelolaan kayu dan hasil-hasil “tradisional” hutan lain seperti getah pinus. Hasil-hasil ini diproduksi dalam gaya pabrik di perkebunan pohon industri. 4Dituangkan dalam SK Menteri No. 677/1998 tentang Pengelolaan HKm yang kemudian diganti dengan SK Menteri No. 31/2001 tentang Penyelenggaraan Pengelolaan HKm dan dalam Permen No. 1/2004 tentang Social Forestry.
5
Direksi Perum Perhutani No. 268/KPTS/DIR/2007). PHBM memakai prinsip
kebersamaan dalam pengelolaan hutan dan bertujuan meningkatkan peran dan
tanggung jawab Perhutani, masyarakat desa hutan dan pihak-pihak lainnya yang
berkepentingan terhadap keberlanjutan fungsi dan manfaat hutan. Melalui skema
PHBM inilah KPH Jember mengelola kawasan hutan lindung di lereng selatan
Gunung Raung yang direklaim oleh warga Sidomulyo dengan membentuk Lembaga
Masyarakat Desa Hutan (LMDH).
Hermosilla dan Fay (2005) mengemukakan beberapa tesis tentang
manajemen hutan di Indonesia sebagai berikut: pertama, dari sekitar 120 juta ha.
kawasan hutan yang diklaim oleh Departemen Kehutanan ternyata sekitar 33 juta
hektar tidak mempunyai tutupan hutan sehingga penguasaannya seharusnya tidak di
bawah Departemen Kehutanan tetapi pada BPN; kedua, bahwa sentralisasi
penguasaan kawasan hutan oleh Departemen Kehutanan selama ini tidak mempunyai
dasar hukum, karena baru 10 persen kawasan hutan yang sudah ditentukan tata
batasnya. Sehingga 90 persen dari yang diklaim sebagai kawasan hutan oleh
Departemen Kehutanan sebenarnya hanya dapat diberi status ‘non-state forest zones’
dan seharusnya berada di bawah penguasaan BPN; ketiga, langsung berhubungan
dengan di atas bahwa, kewenangan Departemen Kehutanan adalah terbatas pada
pengelolaan hutan, sedangkan yang berkaitan dengan tanah merupakan wewenang
BPN. Dengan demikian sudah saatnya pemerintah meninjau kembali klaim
Departemen Kehutanan terhadap apa yang disebut sebagai kawasan hutan negara
yang meliputi sekitar 62 persen dari daratan Indonesia. Sebagai dampak
implementasi dari pendefinisian sepihak masalah kehutanan oleh pemerintah, maka
masyarakat adat dan masyarakat desa hutan pada umumnya kehilangan sebagian
besar sumberdaya alam mereka.
Sebagai masyarakat yang tinggal di tepi kawasan hutan (desa hutan),
penduduk Desa Sidomulyo Kecamatan Silo Kabupaten Jember sangat tergantung
dengan hutan. Sebagai petani kebun kopi rakyat, mereka dulunya tidak ada masalah
dengan lahan. Lahan mereka masih luas dan mampu mendukung kehidupannya
dalam memenuhi kebutuhan sehari-sehari. Seiring berjalannya waktu, lahan-lahan itu
terfragmentasi khususnya melalui warisan, sehingga berkurang ketersedian dan daya
dukungnya. Bahkan beberapa warga akhirnya tidak mempunyai lahan sama sekali
6
yang bisa digarapnya. Kondisi ini sangat kontras dengan kawasan di sekitarnya yang
berupa hutan luas. Terbukanya struktur politik di tingkat makro pada masa
reformasi menjalar sampai ke Sidomulyo dan menggerakkan warganya untuk
menuntut keadilan pengelolaan sumberdaya alam (hutan) untuk kemakmuran
bersama yang selama ini semakin langka akibat ditutupnya akses mereka terhadap
hutan dengan adanya status hutan lindung. Gerakan sosial mereka berwujud menjadi
reklaiming terhadap kawasan hutan lindung yang selama ini di bawah pengelolaan
Perhutani. Kawasan hutan yang direklaiming kemudian dijadikan kebun kopi rakyat.
Gejala sosial yang terjadi di Sidomulyo tersebut berbeda dengan kasus-kasus
perkara, sengketa, maupun konflik agraria di kawasan hutan yang ada di tempat lain.
Status kawasan hutan lindung yang menjadi obyek reklaiming merupakan salah satu
pembeda dengan kajian-kajian lain yang sebagian besar merupakan konflik di hutan
produksi, hutan HTI dan hutan konservasi. Selain itu munculnya fenomena ini
termasuk kontemporer, yaitu ketika terjadinya era reformasi sehingga mempunyai
latar belakang yang lebih baru dan beragam walaupun tentu saja tidak bisa terlepas
dengan sejarah panjang sebelumnya dalam hal hubungan masyarakat dengan hutan.
Perubahan sosial (khususnya struktur agraria) akibat reklaiming juga merupakan
faktor baru dalam kajian dinamika struktur agraria. Keterlibatan banyak pihak luar
dalam fenomena sosial di suatu desa hutan juga menunjukkan bahwa desa bukan lagi
wilayah yang homogen dan tertutup. Para pihak yang terlibat melakukan praktik-
praktik tertentu dalam rangka mencapai kepentingannya.
Paradigma konservasi yang diusung oleh Perhutani sebagai representasi
negara dan paradigma akses terhadap sumberdaya hutan yang diusung oleh warga
berada pada ruang yang sama yaitu hutan lindung. Perhutani berpegang pada konsep
hak yang diperolehnya dari negara, sedangkan warga menuntut hak akses yaitu untuk
mengambil manfaat dari hutan lindung. Bentuk tumpang tindih paradigma ini
kemudian menjadi konflik dalam bentuk reklaiming yang dilakukan oleh warga.
Fenomena ini menunjukkan paradigma yang diyakini oleh warga mampu
meruntuhkan dominasi hegemoni paradigma konservasi Perhutani di hutan lindung.
7
Masalah Penelitian
Model pengelolaan hutan negara yang diterapkan selama masa penjajahan
Belanda sekarang diteruskan oleh Perum Perhutani yang mendapat legitimasi dari
negara untuk mengelolanya. Pengelolaan yang tidak mengiktusertakan masyarakat
sekitar hutan, yang sejak dari dulu menggantungkan hidupnya dari hutan,
membangkitkan pertanyaan adanya ketidakadilan sistem distribusi sumberdaya oleh
negara. Terbukanya struktur politik pada masa reformasi mendorong warga
melakukan reklaiming atas sumberdaya hutan untuk kesejahteraan mereka.
Reklaiming sebagai bentuk pemanfaatan sumberdaya hutan, kemampuan
pemanfaatannya dipengaruhi berbagai mekanisme, proses, dan relasi sosial yang
melekat pada masyarakat. Kekuatan-kekuatan ini merupakan jalinan material,
budaya dan ekonomi politik dalam ikatan dan jaring kekuasaan yang mengatur
“akses sumberdaya”. Orang-orang dan institusi yang berbeda menguasai dan
mendukung “ikatan kekuasaan” yang berbeda yang berada dan terdapat dalam
“jaringan kekuasaan” yang terbuat dari jalinan-jalinan tersebut. Jalinan ini terus
bergeser dan berubah dari waktu ke waktu, merubah sifat kekuasaan dan bentuk
akses pada sumberdaya (Ribot dan Peluso, 2003).
Akses hutan lindung yang dilakukan komunitas petani kopi rakyat di
Sidomulyo menjadikan kepemilikan (property) sebagai salah satu faktor dalam
susunan yang lebih besar dari kelembagaan, relasi sosial dan ekonomi politik, dan
strategi-strategi yang membentuk aliran keuntungan. Beberapa hal dari susunan
tersebut tidak diakui sebagai sesuatu yang sah oleh semua atau sebagian masyarakat,
beberapa lainnya adalah sisa dari wacana dan kelembagaan yang sah. Sehingga harus
memperhatikan kepemilikan sebagai tindakan bawah tanah, hubungan-hubungan
produksi, hubungan-hubungan penguasaan, dan sejarah dari semuanya itu.
8
Bertolak dari gambaran ini, maka pertanyaan-pertanyaan yang akan dijawab
melalui penelitian adalah:
1. Mengapa terjadi reklaiming hutan lindung oleh komunitas petani kopi rakyat di
Sidomulyo dan bagaimana aliran keuntungan yang timbul dari reklaiming
tersebut?
2. Bagaimana mekanisme para pihak yang terlibat reklaiming dalam memperoleh,
mengontrol dan memelihara aliran keuntungan dari hutan lindung dan
distribusinya?
3. Bagaimana hubungan kuasa para pihak yang mendasari mekanisme akses dalam
memperoleh keuntungan?
Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji latar belakang dan makna reklaiming
hutan lindung oleh komunitas petani kopi rakyat di Sidomulyo dan aliran keuntungan
yang ditimbulkannya. Selain itu juga menganalisis mekanisme yang dilakukan para
pihak pihak dalam memperoleh, mengontrol dan memelihara aliran keuntungan serta
hubungan kuasa di antara mereka.
TINJAUAN PUSTAKA
Lahan dan Struktur Agraria
Dalam kegiatan pertanian, termasuk perkebunan, lahan (tanah) merupakan
faktor produksi penting, karena di atas lahan kegiatan produksi suatu komoditas
penghasil ”surplus” dimulai. Bagi petani, sebagaimana menurut Sajogyo (1985),
lahan merupakan modal sumber nafkah yang menentukan posisi petani dalam
pelapisan masyarakat. Modal lahan akan menentukan kemampuan jangkauan petani
ke pangan, perumahan, pendidikan, dan unsur kesejahteraan lainnya.
Lebih lanjut Wiradi (1984) menunjuk kata ”penguasaan” tanah kepada
penguasaan efektif. Misalnya, jika sebidang tanah disewakan kepada orang lain maka
orang lain itulah yang secara efektif menguasainya. Jika seseorang menggarap tanah
miliknya sendiri, misalnya 2 ha, lalu menggarap juga 3 ha tanah yang disewa dari
orang lain, maka ia menguasai 5 ha. Sementara itu, konsep ”pemilikan” menunjuk
pada penguasaan formal. Melalui konsep pemilikan perorangan, seseorang dapat
menguasai sebidang tanah secara mutlak sehingga orang tersebut dapat mengaturnya
secara bebas, misalnya menyerahkan kepada ahli warisnya, menjual, serta meminta
pihak lain untuk mengusahakan lahan miliknya baik melalui sistem sewa, sakap, atau
gadai.
Terkait dengan keberadaan lahan yang menjadi ”objek” penting kegiatan
usahatani, maka muncul berbagai pola hubungan, yaitu: (1) hubungan manusia
dengan tanah; (2) hubungan manusia dan tanaman; (3) hubungan antara manusia dan
benda-benda lain di atas dan di bawah tanah; (4) hubungan antara manusia dan
manusia (Wiradi, 1986). Karena rumitnya hubungan itu, maka masalah penguasaan
tanah sebaiknya dipahami secara lintas disiplin mencakup aspek-aspek ekonomi,
sosial-budaya, politik dan ekologi. Pola-pola hubungan tersebut selanjutnya akan
membentuk struktur agraria baik berupa struktur penguasaan, struktur pengusahaan,
dan kemudian akan diikuti oleh struktur distribusi hasil pengelolaan sumber-sumber
agraria. Secara spesifik, dinamika struktur agraria merujuk pada gejala penajaman
10
diferensiasi sosial berdasar akses atau penguasaan terhadap tanah, baik yang
kemudian membentuk struktur agraria yang terstratifikasi maupun yang terpolarisasi.
Struktur agraria menurut Wiradi (2009) adalah tata hubungan antar manusia
yang menyangkut pemilikan, penguasaan, dan peruntukan tanah yang melalui suatu
proses perkembangan tertentu lalu menjadi mapan. Hakikat dari struktur agraria oleh
karenanya menyangkut masalah susunan pembagian tanah, penyebaran atau
distribusinya, yang pada gilirannya menyangkut hubungan kerja dalam proses
produksi. Sedangkan Kuhnen (1995) berpendapat bahwa istilah struktur agraria
menunjuk pada semua hasil yang sudah ada dan bertahan dan kondisi kehidupan
yang ditemukan dalam suatu wilayah pedesaan. Struktur agraria terdiri atas unsur-
unsur sosial, teknologi dan ekonomi yang menentukan produktivitas yang dicapai,
penghasilan dan distribusinya, dan situasi sosial penduduk pedesaan. Oleh karenanya
struktur agraria meliputi sistem land tenure (struktur agraria sosial) dan sistem land
management (struktur agraria teknis dan ekonomis). Sistem land tenure mengatur
hak-hak legal atau tradisional individu atau kelompok dalam memiliki tanah dan
menghasilkan hubungan-hubungan sosial di antara penduduk pedesaan. Komponen
dari land tenure adalah sistem kepemilikan tanah dan sistem organisasi kerja. Oleh
karenanya berbagai sistem land tenure berkembang di seluruh dunia, di mana kondisi
alam (iklim, tanah, topografi) dan juga faktor sosial (sosial budaya, ideologi politik,
tingkat teknologi, penduduk, perubahan-perubahan hubungan biaya dan harga, dan
sebagainya) memainkan peranan.
Tata hubungan yang mapan dalam struktur agraria di atas menurut Wiradi
(2009) harus dipahami dalam arti relatif dan bukannya permanen sepanjang waktu.
Tatanan ini bisa berubah akibat bekerjanya berbagai faktor yang dapat
mempengaruhinya, antara lain: (1) perubahan struktur politik; (2) perubahan
orientasi politik; (3) perubahan kebijakan ekonomi; (4) perubahan teknologi; dan (5)
faktor-faktor lain sebagai turunan dari keempat faktor tersebut. Demikian juga
Kuhnen (1995) berpendapat yang sama bahwa sistem land tenure bukanlah sesuatu
yang abadi/kekal, sebaliknya tergantung pada proses perubahan yang terus-menerus.
Perubahan kondisi alam dan faktor ekonomi, inovasi teknologi, jumlah penduduk,
pengaruh struktur kekuasaan politik membawa perubahan dalam sistem land tenure.
Sebagai hasil dari proses yang terus-menerus dalam faktor-faktor yang mengatur dan
11
membentuk sistem land tenure tersebut, maka suatu sistem land tenure yang ideal
tidak dapat terjadi. Pada suatu saat, sistem land tenure khusus adalah kerangka
kelembagaan yang mana produksi agraria dan cara hidup diselesaikan di bawah
kondisi yang ada. Hal ini saling berkaitan dengan kondisi alam, ekonomi, sosial dan
politik. Ketika semuanya berubah, sistem land tenure secara terus-menerus
beradaptasi terhadap situasi yang berubah.
Terdapat beberapa unsur (sektor) yang dapat digunakan untuk menganalisa
suatu kasus agraria sebagaimana dinyatakan oleh Tuma (dalam Sitorus, 2002), yaitu:
(a) kepemilikan tanah (land ownership); (b) konsentrasi tanah dan pendapatan (land
and income concentration); (c) diferensiasi sosial (class differentiation); (d) usaha
skala besar vs kecil (large vs small scale operation); (e) rasio tanah dan tenaga kerja
(land/labor ratio); (f) pengangguran (underemployment); dan (g) kelebihan tenaga
kerja (surplus tenaga kerja). Unsur-unsur tersebut dapat menggambarkan struktur
agraria dan apabila dilihat dalam jangka waktu yang berbeda (diperbandingkan)
maka akan dapat menggambarkan perubahannya.
Hutan Lindung dan Permasalahan Tenurial
Hutan lindung sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 UU No. 41 Tahun 1999
tentang Kehutanan adalah “kawasan hutan yang mempunyai fungsi pokok sebagai
perlindungan sistem penyangga kehidupan untuk mengatur tata air, mencegah
banjir, mengendalikan erosi, mencegah intrusi air laut, dan memelihara kesuburan
tanah.” Pengertian ini mengandung arti tersirat bahwa hutan lindung dapat
ditetapkan di wilayah hulu sungai (termasuk pegunungan di sekitarnya) sebagai
wilayah tangkapan hujan (catchment area), di sepanjang aliran sungai bilamana
dianggap perlu, di tepi-tepi pantai (misalnya pada hutan bakau), dan tempat-tempat
lain sesuai fungsi yang diharapkan. Sedangkan kawasan hutan dalam pengertian di
atas adalah: ”...wilayah tertentu yang ditunjuk dan atau ditetapkan oleh Pemerintah
untuk dipertahankan keberadaannya sebagai hutan tetap.”
Pemanfaatan hutan lindung (dalam Pasal 26 dan 27) dapat berupa
pemanfaatan kawasan, pemanfaatan jasa lingkungan, dan pemungutan hasil hutan
bukan kayu. Pemanfaatannya dilaksanakan melalui pemberian izin usaha yang
semuanya dapat diberikan kepada perorangan dan koperasi kecuali izin pemanfaatan
12
jasa lingkungan dapat diberikan pula kepada badan usaha milik swasta Indonesia dan
badan usaha milik negara atau badan usaha milik daerah. Selain itu, untuk menjamin
asas keadilan, pemerataan, dan lestari, maka izin usaha pemanfaatan hutan dibatasi
dengan mempertimbangkan aspek kelestarian hutan dan aspek kepastian usaha dan
diatur dengan peraturan pemerintah (Pasal 31). Dari peraturan-peraturan ini jelas
adanya dominasi kuasa negara atas sumberdaya hutan. Tidak tersirat sedikit pun
adanya keterlibatan apalagi kedaulatan rakyat dalam penentuan pengelolaan hutan.
Konflik mengenai sumber daya hutan biasanya terjadi sebagai akibat dari
tidak jelasnya hak-hak atau hukum yang berhubungan dengan sistem tenurial.
Tuntutan-tuntutan ini dapat terjadi antar/antara individu, masyarakat, badan instansi
pemerintah atau sektor swasta. Dalam konteks konflik tenurial (penguasaan atas
lahan dan sumberdaya alam) di dalam kawasan hutan, rentang jarak yang jauh antara
aspek de jure dan de facto patut mendapatkan pencermatan yang mendalam oleh
berbagai pihak.
Di satu sisi sistem penguasaan yang diatur oleh hukum negara sangat lemah
dalam operasionalnya, sementara sistem yang diatur secara tradisional tidak
terdokumentasi dan seringkali kurang mendapat dukungan secara hukum, sehingga
keamanan sebagai pemegang hak kurang memadai. Permasalahan tenurial kawasan
hutan di Indonesia menurut Santoso (1996) berpusat pada: (a) dualisme pertanahan;
(b) tumpang tindih hukum sektoral; (c) hak masyarakat adat; (d) kebutuhan
masyarakat non-adat; (e) implementasi kebijakan; dan (f) mekanisme resolusi
konflik.
Kontroversi sistem tenurial sumberdaya hutan berkisar seputar perdebatan
mengenai Hak Menguasai Negara (HMN) dan Hak Masyarakat Adat (HMA) atas
tanah dan sumberdaya alam Indonesia yang telah lama berlangsung, utamanya sejak
munculnya UUPA tahun 1960 dan UUPK tahun 1967. Berdasarkan doktrin HMN
tersebut, ditafsirkan bahwa negara adalah pemegang otoritas tertinggi berkenaan
dengan sumberdaya alam. HMN menempatkan negara tidak sebagai pemilik
melainkan sebagai organisasi tertinggi dari bangsa Indonesia (beberapa ahli
mengistilahkan sebagai ”hak ulayat negara”) memberi kekuasaan atau kewenangan,
misalnya dalam UUPK, untuk: (a) menetapkan dan mengatur perencanaan,
peruntukan, penyediaan dan penggunaan hutan sesuai dengan fungsinya dalam
13
memberikan manfaat kepada rakyat dan negara, (b) mengatur pengurusan hutan
dalam arti luas, (c) menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara
orang atau badan hukum dengan hutan dan mengatur perbuatan-perbuatan hukum
mengenai hutan. Dalam pelaksanaan HMN, negara dapat menguasakan kewenangan
tersebut kepada daerah-daerah swatantra (pemerintah daerah) dan masyarakat hukum
adat sepanjang secara nyata masih ada dan tidak bertentangan kepentingan nasional
dan perundang-undangan yang berlaku.
Studi-studi tentang konflik sumberdaya hutan, sebagian besar mengenai
konflik HPH dan hutan adat yang sebagian besar berada di hutan di luar pulau Jawa.
Sedangkan di Jawa, studi-studi yang ada berlokasi di hutan jati yang memang
dominan di Pulau Jawa. Salah satunya adalah Santoso5 (2004) yang studinya di
suatu distrik kehutanan (Kesatuan Pemangkuan Hutan: KPH) di bawah Perhutani
Unit I Jawa Tengah mengambil fokus pada kasus-kasus pencurian kayu, bibrikan
lahan, sabotase tanaman, aksi-aksi balas dendam, dan gosip-gosip yang secara
khusus ditujukan kepada para petugas kehutanan. Menurutnya, kasus-kasus tersebut
tidak berdiri sendiri tetapi juga memiliki pertautan yang sangat erat dengan sejarah
panjang dinamika perubahan dan tarik-menarik kekuasaan atas sumber daya hutan
yang melibatkan suprastruktur dan substruktur. Sehingga masalah-masalah yang
lebih besar seperti dominasi ideologi atau hegemoni, perlawanan sosial, dan sosok
kehutanan akademis6 serta kritik-kritiknya perlu mendapat perhatian besar.
Sebelumnya, Peluso (1992) dalam bukunya7 yang terkenal tentang
penguasaan sumberdaya hutan dan perlawanan di Jawa secara komprehensif
menguraikan sejarah kebijakan kehutanan negara yang dirancang untuk
mengendalikan dan mengawasi penggunaan kawasan hutan, jenis pohon tertentu,
tenaga kerja, dan ideologi di Jawa serta tanggapan penduduk desa hutan terhadap
pengendalian yang diterapkan. Secara khusus juga menampilkan suatu kasus tentang
konflik di kebanyakan hutan non-jati. Menurutnya konflik terbesar di hutan non-jati
5 Hery Santoso, Perlawanan di Simpang Jalan: Kontes Harian di Desa-desa Sekitar Hutan di Jawa, (Jogjakarta: DAMAR, 2004). 6 Serupa dengan “kehutanan ilmiah”, dimana perencanaan pengelolaan kayu dan hasil-hasil “tradisional” hutan lain seperti getah pinus diproduksi dalam gaya pabrik di perkebunan pohon industri. 7 Nancy L. Peluso, Hutan Kaya, Rakyat Melarat: Penguasaan dan Perlawanan di Jawa, Terjemahan Landung Simatupang, (Jakarta: KONPHALINDO, 2006).
14
tersebut adalah mengenai tanah hutan dan bukannya pohon-pohonnya sebagaimana
di hutan jati. Kasus tersebut menggambarkan bagaimana petani mampu
melaksanakan kuasa melalui perlawanan yang berbasis tanah dan melestarikan
pelaksanaan pertanian di kawasan hutan negara, demi manfaat mereka bersama.
Meskipun tampaknya “daya tembak” mereka secara teknis rendah, kenyataannya
mereka unggul dalam perjuangan penguasaan tanah hutan.
Akses lahan hutan dan manfaat yang timbul dari akses itu dimediasi oleh
stratifikasi masyarakat. Mereka yang bermodal dapat memperoleh akses ke lahan
yang lebih baik dan mampu berinvestasi pada bentuk bercocok tanam yang lebih
menguntungkan. Keputusan Perhutani pada waktu alokasi akses lahan sangat
menentukan sosok ekonomi politik setempat. Dengan demikian petugas lapang
Perhutani menjadi fokus dari banyak ketegangan di tanah hutan negara saat ini.
Perhutani sering membantu petani kaya karena dipandang paling mampu
menyelesaikan pekerjaan (reforestasi). Namun, justru petani kaya inilah yang
memanfaatkan afiliasi Perhutani dengan lembaga eksternal yang bersaing hendak
menguasai hutan; petani kaya membelokkan ketidakpuasan dan amarah petani
miskin ke arah pihak-pihak luar itu.
Reklaiming dan Teori Akses
Reklaiming adalah salah satu bentuk gerakan sosial. Sebagai gerakan sosial,
reklaiming sangat terkait dengan dinamika politik makro. Reklaiming berkaitan langsung
dengan terbuka atau tertutupnya struktur politik nasional. Perubahan struktur politik
nasional, ditandai dengan jatuhnya kekuasaan presiden Suharto, Mei 1998, menciptakan
kondisi obyektif baru di tengah-tengah masyarakat, yaitu terciptanya ruang politik yang
memungkinkan keleluasaan ekspresi politik rakyat. Keleluasaan ini mendorong
munculnya berbagai ekspresi korban represi negara. Keberadaan gerakan reklaiming
dilatarbelakangi oleh munculnya berbagai kelompok yang mendominasi, baik secara
ekonomi maupun politis, berusaha mengklaim terhadap hak atas sumberdaya alam.
Kelahiran gerakan reklaiming, dapat dikatakan sebagai conditio sine qua non yang
dipicu oleh kejadian yang sama sebelumnya yaitu, perampasan paksa hak atas
kepemilikan sumberdaya alam rakyat.
15
Istilah reklaiming walaupun belum memiliki definisi yang baku, tetapi sudah
populer dan jamak digunakan dalam hal kasus-kasus agraria. Kata ini merupakan
kata serapan dari bahasa Inggris “reclaiming” yang berarti “memperoleh kembali”.
Sedangkan menurut pengertian yang didefinisikan oleh YLBHI, gerakan reklaiming
adalah8:
“Sebuah tindakan perlawanan, yang dilakukan oleh rakyat tertindas untuk
memperoleh kembali hak-haknya seperti tanah, air, dan sumber daya alam
lainnya, serta alat-alat produksi lainnya secara adil, demi terciptanya
kemakmuran rakyat semesta9.”
Sebagai proses “untuk memperoleh kembali hak-hak itu”, maka reklaiming yang
dilakukan oleh petani pada dasarnya selalu dilakukan sebagai sebuah respon dari
perlakuan-perlakuan yang dilakukan oleh pihak lain kepada meraka.
Selama ini terdapat beberapa hal yang dijadikan sebagai alasan dari tindakan
reklaiming (Ardana, 2008), yaitu : pertama, alasan moralitas yaitu adanya penindasan
sistemik yang dilakukan oleh penguasa di mana apabila rakyat berhasil mendapatkan
kembali hak-haknya atas tanah dan sumber daya alam lainnya bukan mustahil akan
terjadi perbaikan kondisi dan posisi rakyat. Kedua, alasan ketidakadilan dan struktur
yang menindas yang merupakan konsekuensi logis dari kebijakan ekonomi politik
negara. Ketiga, alasan normatif (yuridis konstitusional) di mana negara dinilai telah
gagal dalam mengembang amanat rakyat yang tertuang dalam pasal 33 ayat (3) UUD
1945 sekaligus kegagalan MPR/DPR dalam menjembatani kepentingan rakyat. Keempat,
alasan hubungan sejarah dan nilai-nilai lokal yang melekat pada objek reklaiming (tanah
dan sumber daya alam lainnya) yang seringkali dinafikan demi kepentingan penguasa,
dan kelima, alasan kewajiban negara dalam pemenuhan kebutuhan dasar rakyat.
Reklaiming hutan lindung oleh warga Sidomulyo merupakan fenomena
konflik agraria karena adanya perbedaan kepentingan antara mereka dengan
Perhutani. Kepentingan warga adalah akses mereka memanfaatkan sumberdaya
hutan sebagaimana dilakukan oleh para leluhur mereka. Sedangkan kepentingan
Perhutani adalah menjalankan mandat dari negara untuk menjaga hutan lindung agar
8 Boedhi Wijardjo dan Herlambang Perdana, Reklaiming dan Kedaulatan Rakyat,(Jakarta: YLBHI dan RACA Institute, 2001). 9 yang dimaksud dengan rakyat semesta adalah seluruh rakyat Indonesia, bukan hanya sebagian saja. Lihat, Boedhi Wijardjo dan Herlambang Perdana, Ibid.
16
berfungsi sebagaimana tujuannya yaitu menjaga fungsi lingkungan. Persaingan
kepentingan tersebut menyebabkan konflik dalam pengelolaan dan pemanfaatan
sumberdaya hutan.
Terkait dengan akses yang merupakan tuntutan warga yang berwujud
reklaiming dapat dijelaskan dengan teori akses dari Ribot dan Peluso (2003) yang
mendefinisikan akses sebagai: “ kemampuan untuk mengambil keuntungan dari
sesuatu seperti obyek material, seseorang, lembaga dan simbol”. Penekanan pada
“kemampuan” dibandingkan dengan hak akan membawa perhatian yang lebih luas
pada hubungan-hubungan sosial yang membatasi atau memperbolehkan masyarakat
memanfaatkan sumberdaya tanpa memperhatikan hubungan kepemilikan (property
rights) saja. Teori akses ini berguna untuk mengidentifikasi konstelasi cara,
hubungan, dan proses yang memperbolehkan berbagai aktor (para pihak) mengambil
keuntungan dari suatu sumberdaya.
Konsep akses memfasilitasi analisis siapa yang sebenarnya mendapatkan
keuntungan dari sesuatu dan melalui proses apa mereka dapat melakukannya.
Sehingga secara empiris akses berfokus pada isu “siapa yang menggunakan apa dan
siapa yang bukan, dalam cara-cara apa, dan kapan (dalam kondisi apa)”. Dan
berfokus pada sumberdaya alam sebagai sesuatu yang dipermasalahkan, Ribot dan
Peluso (2003) mengeksplorasi jajaran kekuasaan (range of powers) yang
mempengaruhi kemampuan orang-orang untuk mengambil keuntungan dari
sumberdaya. Kekuasaan yang dimaksud adalah material, budaya dan ekonomi politik
dalam “ikatan (bundles)” dan “jaring-jaring (webs)” kekuasaan yang mengatur akses
sumberdaya. Ada orang-orang dan lembaga yang “mengontrol” akses sumberdaya
sementara yang lain “memelihara” akses mereka melalui mereka yang mempunyai
kontrol. Pembedaan dalam hubungan akses ini adalah salah satu cara akses dapat
dilihat sebagai suatu analisis yang dinamis, sehingga dapat membantu memahami
mengapa ada orang-orang atau lembaga yang mengambil keuntungan dari
sumberdaya, baik memiliki hak atau tidak atas sumberdaya tersebut.
Analisis terhadap akses sumberdaya mensyaratkan identifikasi obyek yang
diteliti, terutama keuntungan yang berasal dari sumberdaya tertentu. Setelah itu dapat
dilanjutkan dengan analisis berbagai mekanisme di mana individu, kelompok atau
institusi memperoleh, mengontrol atau memelihara akses dalam kondisi politik dan
17
budaya tertentu. Mekanisme yang membentuk proses dan hubungan akses dapat
dikategorikan dalam akses berdasarkan hak (rights based access) dan akses yang
merupakan sejumlah faktor tambahan yang merupakan mekanisme akses yang
bersifat struktural dan relasional (structural and relational mechanisms). Faktor-
faktor tersebut adalah: teknologi, modal, tenaga kerja, pengetahuan, wewenang,
identitas dan relasi-relasi sosial (Ribot dan Peluso, 2003).
Perubahan Sosial dan Konflik
Sebagian besar pakar memandang penting perubahan struktural dalam
hubungan, organisasi, dan ikatan antar unsur masyarakat. Sehingga Farley (1990),
dalam Sztompka (1993:5), memberikan definisi perubahan sosial sebagai perubahan
pola perilaku, hubungan sosial, lembaga dan struktur sosial pada waktu tertentu.
Alasan di balik lebih seringnya penekanan ditujukan pada perubahan struktural dari
pada tipe lain adalah karena perubahan struktural itu lebih mengarah kepada
perubahan sistem sebagai keseluruhan dari pada perubahan di dalam sistem sosial
saja. Struktur sosial merupakan sejenis kerangka pembentukan masyarakat dan
operasinya. Jika strukturnya berubah, maka semua unsur lain cenderung berubah
pula.
Sebelumnya, Mac Iver dan Page (1954) mengartikan perubahan sosial
sebagai perubahan-perubahan dalam hubungan-hubungan sosial (social relationship)
atau sebagai perubahan terhadap keseimbangan (equilibrium) hubungan sosial
tersebut. Lebih jauh Soemardjan (1981) menjelaskan bahwa konsep perubahan sosial
dimaksudkan untuk mencakup bermacam perubahan di dalam lembaga-lembaga
masyarakat yang mempengaruhi sistem sosialnya, termasuk nilai-nilai, sikap dan
pola tingkah laku antar kelompok di dalam masyarakat. Perubahan sosial dan
perubahan budaya (kultural) mempunyai satu segi persamaan yaitu kedua-duanya
menyangkut suatu adaptasi atau perbaikan dalam cara masyarakat memenuhi
kebutuhan-kebutuhannya.
Perubahan sosial merupakan suatu gejala yang akan selalu ada dalam
masyarakat, karena masyarakat selalu berubah dalam aspek terkecil sekalipun.
Perubahan sosial mengacu pada perubahan struktur sosial dan hubungan sosial di
masyarakat. Perubahan pada hubungan sosial akan menimbulkan pula perubahan
18
pada aspek nilai dan norma. Perubahan sosial dapat terjadi karena sebab internal
maupun eksternal. Faktor internal berkaitan dengan permasalahan yang timbul dalam
diri masyarakat, sedangkan faktor eksternal mengacu pada sumber perubahan yang
berasal dari luar masyarakat. Yang termasuk faktor internal yaitu yang berasal dari
masyarakat itu sendiri, seperti: perubahan komposisi penduduk, konflik dan
penemuan baru. Sedangkan faktor eksternal yaitu yang berasal dari luar masyarakat,
seperti: bencana alam, peperangan, intervensi dan budaya asing. Selain itu, terdapat
pula faktor penghambat dan pendorong perubahan. Faktor penghambat yaitu:
perkembangan i1mu pengetahuan yang berjalan lambat, sikap tradisional, solidaritas
kelompok tinggi, kepentingan, prasangka buruk pada pihak luar dan takut akibat dari
perubahan. Faktor pendorong perubahan adalah pendidikan yang maju, sikap
menghargai karya orang lain, toleransi dan sistem masyarakat terbuka.
Pemikiran perspektif konflik dalam perubahan sosial menekankan pada
adanya perbedaan pada diri individu/kelompok dalam mendukung suatu sistem
sosial. Menurut perspektif konflik masyarakat terdiri dari individu yang masing-
masing memiliki berbagai kebutuhan (interests) yang sifatnya langka. Keberhasilan
individu/kelompok mendapatkan kebutuhan dasar tersebut berbeda-beda, hal ini
dikarenakan kemampuan individu/kelompok untuk mendapatkannya pun berbeda-
beda. Persaingan untuk mendapatkan kebutuhan itulah yang akan memicu
munculnya konflik sosial (Susan, 2009).
Sosiologi konflik kontemporer semakin kompleks dan kadang pragmatis.
Proses ini bisa disebut sebagai sosiologi konflik ekletik, yang mengkaji konflik
melalui beberapa pendekatan yang bisa disatukan secara pragmatis seperti
pendekatan konflik kritis dan humanis. Pendekatan ini menghasilkan analisis
sosiologi konflik yang berfokus pada dominasi wacana dan kekuasaan. Persoalan
wacana adalah kepentingan apa dan siapa yang mendominasi di dalamnya. Berger
dan Luckman (dalam Susan, 2009:77) menyebut negara sebagai lembaga terbesar
yang paling kuat dalam menanam kepentingan di wilayah publik. Melalui aparatnya
seperti birokrasi dan militer, negara mempunyai kekuasaan untuk memaksa sehingga
dapat membentuk atau menentukan realitas sosial dalam koridor kepentingan
mereka. Dengan demikian negara merupakan lembaga kekuasaan yang paling besar
dalam menentukan wacana-wacana individu.
19
Para aktor/pihak yang terkait dengan reklaiming berinteraksi bersama untuk
membentuk suatu tipifikasi (representasi mental) sepanjang waktu dari masing-
masing tindakan para aktor. Oleh karena itu, tipifikasi ini seringkali menjadi
dibiasakan (habitualized) dalam berbagai peranan timbal-balik yang dimainkan para
aktor dalam interaksinya satu sama lain. Ketika peranan-peranan ini menjadi rutin,
interaksi timbal balik yang tertipifikasi itu disebut terinstitusionalisasi/melembaga
(institutionalized). Dalam prosesnya, makna (meaning) melekat dan melembaga
dalam pengetahuan dan konsepsi individu dan masyarakat. Oleh karenanya
kenyataan sosial dikonstruksi secara sosial (teori konstruksi sosial kenyataan Berger
& Luckman). Dalam hal ini analisis proses sosial yang berlangsung atau dalam
istiliah lain analisis historis menjadi sangat penting untuk memahami terjadinya
proses reklaiming ini.
Hutan tidak lagi sekedar arena biofisik (teritorial) melainkan juga sebagai
arena sosial di mana kedua belah pihak (masyarakat dan Perhutani) menciptakan
manuver, strategi, dan perjuangan demi sumberdaya yang diinginkan. Masyarakat
dan Perhutani dengan modal yang dipunyainya berusaha mengukuhkan posisinya
dalam kawasan hutan yang diperebutkan penguasaannya.
Pemecahan masalah-masalah agraria bila ditinjau dari sudut pandang
sosiologi menurut Tjondronegoro (1999) berarti menganalisa hubungan antar
golongan-golongan beserta usaha-usaha merubah hubungan antar lapisan-lapisan
masyarakat yang menguasai aset tanah. Artinya ada lapisan yang penguasaannya
kuat, ada pula yang lemah atau sama sekali tidak punya kuasa apapun dan menjadi
sangat tergantung. Dasar kekuasaan tersebut biasanya terdiri atas suatu kombinasi
faktor-faktor politik, ekonomi, dan sosial. Ketiga faktor tersebut sukar dipisahkan
secara sempurna. Sebagaimana dijelaskan oleh M. Tauchid (1952), arah politik
agraria dapat dilihat dari aneka produk hukum yang dilahirkannya. Ciri terpenting
dari politik agraria kolonial adalah pengalokasian sumber-sumber agraria khususnya
tanah dan tenaga kerja demi akumulasi modal oleh perusahaan. Untuk melegalkan
usaha ini, Agrarische Wet 1870 diundangkan di Hindia Belanda. Agrarische Wet
(AW.1870) telah membuka peluang luas bagi investasi perkebunan dan pertanian di
lapangan agraria Indonesia. Serangkaian hak atas sumber-sumber agraria diimbuhkan
secara lengkap kepada kaum pengusaha yang ingin menguasai tanah-tanah di
20
Indonesia. Sementara, kaum bumiputera hidup dalam ketiadaan perlindungan atas
sumber-sumber agrariaya melalui azas domeinverklaring. Sementara di sisi lainnya,
hak-hak adat masyarakat atas tanah dilekatkan sedemikian rupa kepada kelompok-
kelompok feodal. Jadilah rakyat hidup dalam dua kewajiban yang menghisap dirinya.
Secara ekonomi politik, M. Tauhid menggambarkan bahwa dualisme hukum agraria
yang diterapkan oleh Agrarische Wet 1870 sebagai sebuah usaha memuluskan
penetrasi dan akumulasi kapitalisme agraria di satu sisi, serta proses menyiapkan
secara sistematis suplai buruh dari masyarakat pedesaan yang berwatak borjuasi kecil
sekaligus juga dari masyarakat pedesaan yang masih hidup dalam corak feodalisme
secara bersamaan ke dalam industri perkebunan yang masuk ke Hindia Belanda.
Sitorus (2004) menjelaskan bahwa konflik agraria merupakan gejala
struktural, berpangkal pada ketidakserasian atau benturan kepentingan antar subjek
dalam hubungan agraria. Dalam hal ini, apabila dua atau lebih pihak subjek memiliki
klaim hak pengusaan atas suatu unit sumber agraria yang sama, maka terjadilah
sengketa agraria. Eskalasi konflik sosio-agraria disebabkan oleh sejumlah faktor,
antara lain (1) Pemilikan atau penguasaan tanah tidak seimbang dan merata, (2)
Ketidakselarasan penggunaan tanah untuk sektor pertanian dan non-pertanian, (3)
Tidak berpihaknya politik kebijakan agraria kepada masyarakat ekonomi lemah
(wong cilik), (4) Tidak adanya pengakuan terhadap hukum adat (hak ulayat), dan (5)
Lemahnya posisi tawar masyarakat pemegang hak atas tanah dalam proses
pembebasan tanah. Semua faktor di atas merupakan penyebab terjadinya konflik
sosio-agraria masa kekinian.
Menurut Wiradi (2000), konflik agraria sebagai suatu gejala sosial
merupakan proses interaksi antar dua orang/kelompok atau lebih yang masing-
masing memperjuangkan kepentingan antar objek yang sama seperti tanah, air,
tanaman, tambang, udara yang berada di atas tanah yang bersangkutan. Pada tahap
”berlomba” untuk mendahului objek itu, sifatnya masih dalam ”persaingan”. Tetapi
pada saat mereka saling berhadapan untuk memblokir jalan lawan, terjadilah ”situasi
konflik”. Jadi, konflik adalah bentuk ekstrim dan keras dari persaingan. Kepentingan
aktor merupakan hal penting dalam konflik sosio-agraria. Persoalan konflik
seringkali juga dipicu oleh perbedaan kepentingan aktor yang berhubungan dengan
tanah (Sitorus, 2004).
21
Perdebatan agraria di Indonesia terkait perubahan sosial di pedesaan Jawa
(Wiradi, 2009:130-138) berawal dari tulisan-tulisan William Collier tahun 1973 dan
1974 yang pada intinya mengandung sejumlah proposisi: (a) pengaruh gabungan
antara tekanan jumlah penduduk dan teknologi yang dibawa revolusi hijau (RH)
telah menyebabkan terjadinya perubahan-perubahan dalam pranata-pranata
tradisional di pedesaan Jawa seperti tata cara panen; (b) perubahan tata cara panen
merupakan indikasi melemahnya gejala “involusi” (gambaran Gertz mengenai
shared poverty) atau salah jalan untuk menangkalnya; (c) teknologi RH
menyebabkan terjadinya kesenjangan baik dalam hal penguasaan aset, khususnya
tanah maupun pendapatan. Kesimpulan yang kemudian memperoleh “cap” sebagai
colletal/populist paradigm ini mendapat reaksi dari Hayami & Kikuchi (1981) yang
berpandangan: (a) tekanan penduduk merupakan faktor utama bagi terjadinya
perubahan hubungan-hubungan agraris di pedesaan; (b) teknologi justru dapat
mengatasi proses pemiskinan dan dapat menangkal proses kesenjangan; (c) institusi
tradisional yang ternyata dapat berfungsi sebagai pranata kesejahteraan tidak harus
berubah dan sebaiknya tidak diubah, melainkan di-“modernisir” (inovasi) sehingga
dapat menjadi penangkal proses diferensiasi sosial.
Hasil kajian Hayami & Kikuchi di atas yang kemudian dikenal sebagai
Adapted Neoclassical Paradigm:ANP atau Induced Institutional Innovation Theory:
IIIT mendapat reaksi keras dari berbagai peneliti. Salah satunya adalah Gillian Hart
(1986) yang juga memberikan kritik terhadap pandangan Collier. Menurut Hart: (a)
kedua pandangan tersebut di atas dianggap tidak mampu menjelaskan “timing” dan
“laju” perubahan; (b) perubahan hubungan agraris di pedesaan Indonesia bukan
semata-mata disebabkan oleh perubahan teknologi atau meningkatnya jumlah
penduduk atau komersialisasi melainkan perubahan kondisi politik serta keresahan
atau ketegangan dan kontradiksi-kontradiksi yang dilahirkannya; (c) peran negara
perlu dimasukkan dalam analisis, yang kemudian muncul teori Exclusionary Labor
Arragements:ELA yang merupakan suatu mekanisme dimana negara dan pemilik
tanah bukan saja “mengatur tenaga kerja” namun juga “menerapkan kontrol sosial”,
sehingga persoalan mobilisasi dukungan politik dan pelaksanaan “hukum dan
ketertiban” menjadi kunci untuk menjelaskan agrarian labor arragement.
22
Ketiga posisi pandangan tersebut di atas ditanggapi oleh seoarang pakar dari
FAO, Jonanthan Pincus (1996) yang mengajukan dua tesis utama dalam bukunya
yang berjudul Class, Power and Agrarian Change yaitu: (1) faktor-faktor spesifik
lokal (sejarah terbentuknya desa, kondisi agroekologis, dan perimbangan kekuatan
antara aktor sosial) merupakan pemegang peran utama dalam membentuk pola-pola
perubahan sosial pada tingkat desa; (2) faktor-faktor lokal tersebut mempengaruhi
arah proses perubahan agraris melalui pengaruhnya atas pembentukan dan
perkembangan hubungan antar rumah tangga di tingkat desa. Wiradi dan Manning
(1984), White dan Wiradi (1989),dan Wiradi dan Makali (1995) menambahkan
aspek lain pada perdebatan di atas mengenai kecenderungan perubahan penguasaan
tanah yang menggambarkan terjadinya proses “diferensiasi sosial” di pedesaan Jawa
yang ditandai: (a) proses pemusatan penguasaan tanah; (b) tingkat ketunakismaan
bertambah tinggi; (c) walaupun proporsi pendapatan dari sektor non-pertanian lebih
besar, namun luas pemilikan tanah berjalan sejajar dengan tingkat kecukupan; (d)
pada strata pemilikan tanah yang sempit dan tunakisma terdapat proporsi keluarga
miskin yang lebih besar, sehingga pemilikan tanah tetap merupakan faktor yang turut
menentukan tingkat hidup di pedesaan.
Kerangka Teoritis
Lahan (tanah) merupakan faktor produksi penting dalam pertanian dan
merupakan modal sumber nafkah yang menentukan posisi petani dalam pelapisan
masyarakat (Sajogyo, 1985). Keberadaan lahan yang menjadi ”objek” penting
kegiatan usahatani memunculkan berbagai pola hubungan yang rumit yang
selanjutnya akan membentuk struktur agraria baik berupa struktur penguasaan,
struktur pengusahaan, dan kemudian akan diikuti oleh struktur distribusi hasil
pengelolaan sumber-sumber agraria (Wiradi, 1986). Tata hubungan dalam struktur
agraria harus dipahami dalam arti relatif dan bukannya permanen sepanjang waktu
yang bisa berubah akibat bekerjanya berbagai faktor, antara lain: perubahan struktur
politik, perubahan orientasi politik, perubahan kebijakan ekonomi, perubahan
teknologi, jumlah penduduk dan faktor-faktor lain sebagai turunan dari faktor-faktor
tersebut (Wiradi, 2009, Kuhnen, 1995). Lahan kebun kopi rakyat warga Sidomulyo
merupakan faktor penting dalam membentuk kondisi ekonomi dan sosial mereka.
23
Struktur agraria pada warga Sidomulyo terutama dalam kebun kopi mengalami
perubahan ketika terjadi reklaiming hutan lindung yang kemudian juga dijadikan
kebun kopi.
Penguasaan hutan lindung yang diatur oleh hukum negara mengandung
permasalahan tenurial yang berpusat pada: dualisme pertanahan, tumpang tindih
hukum sektoral, hak masyarakat adat, kebutuhan masyarakat non-adat, implementasi
kebijakan, dan mekanisme resolusi konflik (Santoso, 1996). Demikian juga dengan
hutan lindung di Sidomulyo yang dikelola oleh Perhutani, dengan adanya reklaiming
yang dilakukan oleh warga menjadi arena tarik-menarik kekuasaan atas sumber daya
hutan yang melibatkan suprastruktur dan substruktur. Sehingga masalah-masalah
yang lebih besar seperti dominasi ideologi atau hegemoni, perlawanan sosial, dan
sosok kehutanan akademis serta kritik-kritiknya perlu mendapat perhatian besar
(Santoso, 2004). Kasus ini juga dapat menggambarkan bagaimana petani mampu
melaksanakan kuasa melalui perlawanan yang berbasis tanah dan melestarikan
pelaksanaan pertanian di kawasan hutan negara, demi manfaat mereka bersama.
Meskipun tampaknya “daya tembak” mereka secara teknis rendah, kenyataannya
mereka unggul dalam perjuangan penguasaan tanah hutan (Peluso, 2006).
Sebagai proses “untuk memperoleh kembali hak-hak pemanfaatan hutan secara
adil, demi terciptanya kemakmuran rakyat”, maka reklaiming yang dilakukan oleh
warga Sidomulyo pada dasarnya dilakukan sebagai respon dari perlakuan-perlakuan
yang dilakukan oleh negara (Perhutani) dalam pengelolaan sumberdaya hutan. Adapun
alasan yang mendasarinya antara lain: moralitas, ketidakadilan dan struktur yang
menindas, normatif (yuridis konstitusional), hubungan sejarah dan nilai-nilai lokal, dan
kewajiban negara dalam pemenuhan kebutuhan dasar rakyat (Ardana, 2008). Tuntutan
warga yang berwujud reklaiming hutan lindung sebenarnya lebih pada tuntutan
akses, yaitu: “kemampuan untuk mengambil keuntungan dari hutan lindung”. Di
mana akan membawa perhatian yang lebih luas pada hubungan-hubungan sosial
yang membatasi atau memperbolehkan masyarakat memanfaatkan sumberdaya tanpa
memperhatikan hubungan kepemilikan (property rights) saja (Ribot dan Peluso,
2003).
Reklaiming hutan lindung di atas mengarah pada perubahan struktural dalam
hubungan, organisasi, dan ikatan antar unsur masyarakat di Sidomulyo atau
24
menghasilkan perubahan sosial karena mengubah pola perilaku, hubungan sosial,
lembaga dan struktur sosial, dan keseimbangan (equilibrium) sosial (Farley, dalam
Sztompka, 1993, Mac Iver dan Page, 1954), nilai-nilai, sikap dan pola tingkah laku
antar kelompok di dalam masyarakat (Soemardjan, 1981). Perbedaan kepentingan
antara warga dan Perhutani pada hutan lindung memunculkan persaingan yang akan
memicu munculnya konflik sosial (Susan, 2009). Secara pragmatis (pendekatan
konflik kritis dan humanis), reklaiming ini dapat difokuskan pada dominasi wacana
dan kekuasaan (kepentingan apa dan siapa yang mendominasi di dalamnya) (Berger
dan Luckman, dalam Susan, 2009:77). Para aktor/pihak yang terkait dengan
reklaiming berinteraksi bersama untuk membentuk suatu tipifikasi (representasi
mental) yang dibiasakan (habitualized) dalam berbagai peranan timbal balik yang
kemudian terinstitusionalisasi/melembaga (institutionalized) di mana prosesnya
makna (meaning) melekat dan melembaga dalam pengetahuan dan konsepsi individu
dan masyarakat. Oleh karenanya kenyataan sosial dikonstruksi secara sosial (teori
konstruksi sosial kenyataan Berger & Luckman).
Permasalahan reklaiming berarti menganalisa hubungan antar golongan-
golongan beserta usaha-usaha merubah hubungan antar lapisan-lapisan masyarakat
yang menguasai hutan lindung. Dasar kekuasaan tersebut terdiri atas suatu kombinasi
faktor-faktor politik, ekonomi, dan sosial (Tjondronegoro, 1999). Hasilnya dapat
menunjukkan arah politik agraria dengan melihat aneka produk hukum yang
dilahirkannya (M. Tauchid, 1952). Sedangkan sebagai konflik agraria, reklaiming
merupakan gejala struktural, berpangkal pada ketidakserasian atau benturan
kepentingan antar subjek (para pihak) dalam hubungan agraria dengan sumberdaya
hutan. Faktornya antara lain: pemilikan atau penguasaan tanah tidak seimbang dan
merata, ketidakselarasan penggunaan tanah untuk sektor pertanian dan non-
pertanian, tidak berpihaknya politik kebijakan agraria kepada masyarakat ekonomi
lemah (wong cilik), tidak adanya pengakuan terhadap hukum adat (hak ulayat), dan
lemahnya posisi tawar masyarakat (Sitorus, 2004). Reklaiming juga merupakan
proses interaksi antara warga dan Perhutani serta para pihak lainnya yang masing-
masing memperjuangkan kepentingan atas hutan lindung. Pada tahap ”berlomba”
atau kontestasi untuk memanfaatkan hutan, sifatnya masih dalam ”persaingan”.
Tetapi pada saat mereka saling berhadapan untuk memblokir jalan lawan, terjadilah
25
”situasi konflik” yang merupakan bentuk ekstrim dan keras dari persaingan (Wiradi,
2000, dalam Sitorus, 2004).
Perubahan sosial yang terjadi di Desa Sidomulyo akibat reklaiming
dipengarui oleh faktor-faktor spesifik lokal (sejarah terbentuknya desa, kondisi
agroekologis, dan perimbangan kekuatan antara aktor sosial) yang mempengaruhi
arah proses perubahan agraris melalui pengaruhnya atas pembentukan dan
perkembangan hubungan antar rumah tangga di tingkat desa (Pincus, 1996). Selain
itu juga terdapat kecenderungan perubahan penguasaan tanah yang menggambarkan
terjadinya proses “diferensiasi sosial” yang ditandai: proses pemusatan penguasaan
tanah; tingkat ketunakismaan bertambah tinggi; luas pemilikan tanah berjalan sejajar
dengan tingkat kecukupan; dan proporsi keluarga miskin yang lebih besar. Sehingga
pemilikan tanah tetap merupakan faktor yang turut menentukan tingkat hidup di
pedesaan (Wiradi dan Manning, 1984, White dan Wiradi, 1989, dan Wiradi dan
Makali, 1995).
Secara skema, kerangka penelitian tentang perubahan struktur agraria dan
harmoni semu yang merupakan studi kasus reklaiming hutan lindung pada komunitas
petani kopi rakyat di Desa Sidomulyo dapat dilihat pada Gambar 1.
Gambar 1. Kerangka Pemikiran Penelitian
Pemeliharaan Akses
Akses
Kontrol
Perum Perhutani
Reklaiming
Lahan ↓
Struktur Agraria
Hutan Lindung
Komunitas Petani Kopi Rakyat
Struktur Agraria
P e r u b a h a n
S o s i a l
26
METODOLOGI PENELITIAN
Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif, dimana strategi studi kasus
dipilih dan bersifat multi metode. Strategi studi kasus ini dianggap memadai dengan
tiga dasar pertimbangan: (1) pertanyaan penelitian “bagaimana” dan “mengapa”; (2)
peluang peneliti untuk mengontrol gejala atau peristiwa sosial yang diteliti sangat
kecil; (3) pumpunan penelitian adalah peristiwa atau gejala sosial kontemporer (masa
kini) dalam konteks kehidupan nyata (Yin, 1996). Pemilihan pendekatan ini adalah
untuk menyingkap kondisi “harmonis” kontestasi hutan lindung oleh para pihak
terutama warga Sidomulyo (petani kopi rakyat) dan Perhutani. Peneliti berinterakasi
dengan warga melalui wawancara dan terlibat langsung dalam berbagai kegiatan
seperti pertemuan warga, berkebun, dan kegiatan rutin sehari-hari (makan bersama,
sholat berjama’ah di masjid, dan bercengkerama bersama keluarga). Interaksi peneliti
dengan pihak Perhutani dilakukan melalui wawancara dan diskusi terkait peran dan
tanggung jawab mereka atas pengelolaan hutan lindung dan terjadinya fenomena
reklaiming. Sedangkan interaksi peneliti dengan para pihak lainnya (pemerintah
desa, pemerintah kabupaten, pengurus kelompok tani, paguyuban dan LMDH,
pedagang dan pemilik modal) dilakukan melalui wawancara untuk mengetahui sikap
mereka atas reklaiming yang dilakukan warga Sidomulyo. Peneliti mempunyai
keyakinan bahwa para pihak yang terkait dengan reklaiming baik langsung (warga
dan Perhutani) maupun tidak langsung belum menyadari bahwa kondisi “harmonis”
reklaiming hutan lindung merupakan realitas semu, sehingga diperlukan dialog untuk
merubah ketidaktahuan dan salah pengertian di antara peneliti dan tineliti menjadi
kesadaran atau sebagai bentuk transformasi intelektual.
Metode Penelitian
Penelitian ini menggunakan strategi studi kasus dengan tujuan untuk
memahami dan mengidentifikasi gejala sosiologis yang berkenaan dengan
reklaiming hutan lindung dan perubahan struktur agraria serta kondisi “harmonis”
kontestasi para pihak. Studi kasus memungkinkan peneliti mendapat informasi
28
sebanyak mungkin dan mendalam. Unit tineliti bervariasi tingkatannya mulai dari
individu, rumah tangga, dan komunitas. Sejalan dengan pendapat Newman (1997)
dan Yin (2002), studi kasus menjadi pilihan strategi agar dapat memahami realitas
sosial yang kompleks melalui pengumpulan data dan informasi yang lebih rinci,
lebih bervariasi, lebih luas dan lebih mendalam.
Peneliti menggunakan metode sejarah sosiologis untuk melihat dinamika dari
warga Sidomulyo dan Perum Perhutani dari waktu ke waktu. Pemilihan metode
kasus sejarah/historis ini karena reklaiming hutan lindung bukan suatu kejadian
sosial pada waktu tertentu saja melainkan merupakan proses sosial dalam rentang
waktu tertentu. Selain itu proses sosial yang dikaji dibatasi dalam cakupan
kontemporer yang sebagian pelakunya masih hidup.
Metode Pengumpulan dan Analisis Data
Peneliti mengumpulkan data melalui wawancara mendalam dengan para
informan. Informan tersebut terdiri dari para tokoh masyarakat, warga pekebun kopi
rakyat, petugas perhutani, dan pemerintah desa serta petugas dinas kehutanan dan
perkebunan kabupaten yang dipilih secara sengaja (purposive) dan menggunakan
teknik bola salju (snow ball).
Selain wawancara mendalam, peneliti juga melakukan wawancara bebas,
mengamati secara langsung fenomena sosial, dan ikut serta dalam berbagai kegiatan
masyarakat seperti pengajian, pertemuan kelompok tani maupun kegiatan informan
sehari-hari seperti berkebun. Wawancara bebas dilakukan untuk memperkaya
informasi yang sudah didapatkan baik di luar pertanyaan penelitian maupun subyek
penelitian.
Peneliti juga melakukan wawancara terstruktur untuk mendapatkan data
tentang struktur agraria dan perubahan yang terjadi akibat adanya reklaiming yang
menurut Wiradi (2009) disebut sebagai “profil desa”. Data profil desa tersebut
meliputi: peta desa dan kawasan hutan Perhutani, kondisi umum dan prasarana,
kondisi agraria, struktur mata pencaharian, kelembagaan lokal, intervensi program,
dan organisasi dan hubungan produksi.
Peneliti juga melakukan survei terhadap 30 rumah tangga pertaninan yang
bertujuan untuk melihat secara lebih rinci atas dinamika struktur agraria akibat
29
reklaiming. Survei menggunakan kuesioner untuk melihat penguasaan, kepemilikan
dan pemanfaatan lahan, kondisi sosial ekonomi, pendapatan dan kepemilikan aset
rumah tangga sebelum dan sesudah reklaiming.
Pengamatan langsung dilakukan untuk melihat perubahan yang terjadi, di
samping untuk melakukan cross-chek atas informasi yang diperoleh. Keikutsertaan
dalam berbagai kegiatan masyarakat bertujuan untuk melihat pola relasi dan interaksi
sosial masyarakat terkait dengan struktur agraria yang ada.
Peneliti menganalisis data yang terkumpul dengan analisis kualitatif dan
kuantitatif. Analisis kualitatif dilakukan terhadap sikap dan respon para pihak
terhadap reklaiming. Sebagaimana dikemukakan Lewis (1988), analisis kualitatif
dapat digunakan dalam mendeskripsikan pola-pola hubungan sosial, baik dimensi
struktur (posisi dan peranan aktor), dimensi pengaturan (prosedur, penetapan insentif
atau sanksi), serta sistem-sistem makna yang melandasi dan memberi pedoman
terhadap pola-pola hubungan tersebut. Sedangkan analisis kuantitatif dilakukan
terhadap data yang umumnya diperoleh melalui wawancara terstruktur yaitu hasil
survei terhadap 30 rumah tangga petani yang melakukan reklaiming. Analisis
kuantitatif ini untuk melibat perubahan penguasaan, kepemilikan dan pemanfaatan
lahan, kondisi sosial ekonomi, pendapatan dan kepemilikan aset rumah tangga
sebelum dan sesudah reklaiming.
Data dan informasi kualitatif hasil wawancara mendalam dan bebas yang
telah ditransfer dalam bentuk catatan harian ditambah dengan sari dokumen
dianalisis dengan menggunakan matriks analisis yang membandingkan ragam
kategori data. Penjelasan dilakukan dalam dua tingkatan, yaitu: (1) penjelasan
tentang sejarah reklaiming yang dilakukan komunitas perkebunan kopi rakyat; dan
(2) penjelasan tentang pandangan subjektif para pihak mengenai sikap dan respon
mereka dalam mengembangkan suatu realitas sosial melalui praktik-praktik yang
mereka lakukan.
Untuk mengurangi kemungkinan salah interpretasi, peneliti menggunakan
beragam prosedur yang disebut triangulasi (triangulation). Menurut Stake (dalam
Denzin dan Lincoln, 2009) triangulasi merupakan proses penggunaan banyak
persepsi (multiperception) dalam mengklarifikasi arti (meaning) dan dalam
memverifikasi pengulangan pelaksanaan observasi dan interpretasi. Dalam penelitian
30
ini, triangulasi dilakukan dengan mengklarifikasi atau membandingkan data dan
informasi yang berasal dari sumber dan cara pengumpulan data yang berbeda.
31
Tabel 1. Matriks Metode Penelitian
Pertanyaan Penelitian Strategi Metode Sumber Data Lain Data Yang Dihasilkan 1. a. Mengapa terjadi reklaiming
hutan lindung oleh komunitas petani kopi rakyat?
Fenomenologi Mencatat/rekam “perbincangan”; menulis anekdot-anekdot dari pengalaman pribadi
Literatur fenomenologi; refleksi-refleksi
Latar belakang dan makna reklaiming hutan lindung oleh masyarakat desa hutan
1. b…bagaimana implikasinya pada struktur agraria?
Wawancara terstruktur (survei rumah tangga)
Proportioned random sampling pada responden yang terstrata berdasarkan penguasaan tanah
Perubahan struktur agraria yang meliputi: penguasaan tanah, konsentrasi pendapatan, penyerapan tenaga kerja dan rasio tanah dan tenaga kerja.
2. Mengapa terbangun sikap dan respon para pihak yang terkait atas gejala tersebut sehingga terjadi kontestasi yang “harmonis”?
Etnografi Wawancara tak terstruktur
Observasi; catatan lapangan
Perasaan dan pengetahuan informan terhadap hutan, berkebun kopi, reklaiming, dan para pihak.
3. Praktik-praktik apa saja yang dilakukan oleh para pihak yang terkait dalam kerangka konflik perebutan sumberdaya hutan dan bagaimana posisi mereka dalam kaitannya dengan reklaiming tersebut?
Analisis wacana
Wawancara mendalam Observasi berpartisipasi; penulisan memo (memoing); buku harian (diary)
Posisi dan relasi pragmatis serta strategi-strategi para pihak dalam kerangka konflik kepentingan, definisi situasi bersama dan prosesnya (tindakan komunikatif), dan komunikasi intersubjektif.
(Modifikasi dari Morse, dalam Denzin dan Lincoln, 2009)
32
Lokasi dan Waktu Penelitian
Penelitian dilaksanakan di Desa Sidomulyo, Kecamatan Silo, Kabupaten
Jember Propinsi Jawa Timur pada bulan Juli-September 2009. Desa Sidomulyo
dipilih karena merupakan daerah dengan kasus reklaiming kawasan hutan lindung
dan sudah berlangsung cukup lama (sejak masa reformasi). Relasi para pihak,
khususnya masyarakat dan Perhutani dalam mencapai tujuan masing-masing
menunjukkan adanya kontestasi “harmonis” yang berbeda dengan tempat lain dalam
hal perebutan sumberdaya alam (hutan).
Organisasi Penulisan
Bagian Pendahuluan menyajikan latar belakang permasalahan tentang
sejarah penguasaan hutan oleh negara, bentuk pelibatan masyarakat dalam
pengelolaan hutan, manajemen pengelolaan hutan, kondisi masyarakat desa hutan
dan munculnya fenomena sosial terkait sumberdaya hutan (reklaiming).
Permasalahan yang diangkat adalah mengapa terjadi reklaiming hutan lindung oleh
komunitas petani kopi rakyat yang diteliti dan implikasinya pada struktur agraria;
mengapa terbangun sikap dan respon para pihak yang terkait atas gejala tersebut
sehingga terjadi kontestasi yang “harmonis”; dan praktik-praktik apa saja yang
dilakukan oleh para pihak yang terkait dalam kerangka konflik perebutan
sumberdaya hutan serta bagaimana posisi mereka dalam kaitannya dengan
reklaiming tersebut. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menunjukkan adanya
realitas mikro secara kritis terkait kontestasi dalam pengelolaan sumberdaya agraria
(hutan) terkait kebijakan baik di tingkat meso maupun makro.
Bagian selanjutnya adalah Tinjauan Pustaka, bagian ini menampilkan peran
lahan dalam kegiatan pertanian dan kaitannya dengan struktur agraria dan debat
agraria yang terkait dengan perubahan sosial di pedesaan Jawa. Selanjutnya juga
ditampilkan tentang hutan lindung dan permasalahan tenurial, reklaiming dan teori
akses, perubahan sosial dan konflik, dan kerangka teoritis penelitian. Penelitian ini
menggunakan pendekatan kualitatif, dimana strategi studi kasus dipilih dan bersifat
multi metode.
Bagian Metodologi Penelitian memaparkan pendekatan penelitian, yaitu
pendekatan kualitatif. Metode penelitian yang digunakan adalah strategi studi kasus
33
dengan tujuan untuk memahami dan mengidentifikasi gejala sosiologis yang
berkenaan dengan proses reklaiming lahan dan perubahan struktur agraria dengan
menggali informasi sebanyak mungkin. Metode pengumpulan data yang digunakan
adalah wawancara mendalam, wawancara bebas, pengamatan berpartisipasi dan
survei. Survei digunakan untuk melihat secara rinci struktur agraria dan
perubahannya melalui wawancara terstruktur (kuesioner). Analisis data yang
dilakukan adalah analisis kualitatif dan kuantitatif. Analisis kualitatif dilakukan
terhadap data dan informasi tentang proses perubahan atau tentang motivasi yang
melandasi tindakan sosial. Sedangkan analisis kuantitatif dilakukan terhadap data
yang umumnya diperoleh melalui wawancara terstruktur.
Bagian Panorama Lereng Selatan Gunung Raung menampilkan panorama
masyarakat desa hutan Sidomulyo dan sejarahnya serta aspek demografi juga
kepemimpinannya. Selanjutnya juga dipaparkan kondisi umum dan prasarana,
kondisi agraria, struktur mata pencaharian, kelembagaan/organisasi, intervensi
program dan organisasi dan hubungan produksi.
Bagian Hutan Lindung: Arena Perebutan Sumberdaya menampilkan hutan
lindung sebagai sumberdaya sarat nilai. Aktor-aktor yang berkonflik dalam
perebutan hutan lindung juga dianalisis satu per satu. Kepentingan para pihak baik
yang terlibat langsung atau tidak langsung dipaparkan di bagian ini. Mekanisme
akses para pihak dalam memperoleh, mengontrol dan memelihara aliran keuntungan
dari hutan lindung dan distribusinya dijabarkan melalui suatu kemampuan aksesnya
pada teknologi, modal, pasar, pengetahuan, wewenang, identitas sosial, dan relasi
sosial.
Bagian Kontestasi Para Pihak Dan Definisi Situasi Bersama Atas Reklaiming
Hutan Lindung memaparkan relasi kuasa agraria para pihak. Bab ini juga
memaparkan ruang konflik pemaknaan tentang sumberdaya agraria dan ruang
konflik hak dan akses terhadap sumberdaya agraria Selanjutnya juga dibahas derajat
konflik kontestasi juga membangun konsensus sebagai membangun harmoni.
Bagian Perubahan Struktur Agraria dan Harmoni Semu menjelaskan
distribusi manfaat reklaiming dan kondisi yang terjadi pada komunitas petani kopi
rakyat di lokasi penelitian sesudah reklaiming hutan lindung dengan menganalisa
unsur-unsur struktur agraria yang meliputi: (a) kepemilikan tanah; (b) konsentrasi
34
tanah dan pendapatan; (c) diferensiasi sosial; (d) persaingan usaha; dan (e) rasio
tanah dan tenaga kerja serta implikasinya. Selain itu juga dipaparkan persoalan-
persoalan yang belum terjawab tuntas pada perubahan unsur-unsur struktur agraria di
atas yang meliputi proses dan hasil reklaiming yang menciptakan harmoni semu.
Bagian Penutup menampilkan kesimpulan-kesimpulan dari penelitian dan
implikasi baik secara teoritis maupun praktis.
PANORAMA LERENG SELATAN GUNUNG RAUNG
Gunung Raung merupakan bagian dari kelompok pegunungan Ijen yang
terdiri dari beberapa gunung, diantaranya Gn.Suket (2.950mdpl), Gn.Raung
(3.332mdpl), Gn.Pendil (2.338), Gn.Rante (2.664), Gn.Merapi (2.800), Gn.Remuk
(2.092), dan Kawah Ijen.Gunung Raung adalah sebuah gunung besar yang unik dan
berbeda dengan gunung lainnya di Pulau Jawa. Keunikan dari Puncak Gunung
Raung adalah kalderanya yang berbentuk elips dengan kedalaman sekitar 500 meter
dalamnya, yang selalu berasap dan sering menyemburkan api dan terdapat kerucut
setinggi kurang lebih 100m. Gunung Raung termasuk gunung tua dengan kaldera di
puncaknya dan dikitari oleh banyak puncak kecil, menjadikan pemandangannya
benar-benar menakjubkan.
Cerita mistis tentang Gunung Raung masih kuat melekat di benak masyarakat
setempat. Konon, di perbukitan yang mengelilingi kaldera itulah kerajaan Macan
Putih berdiri. Sebuah kerajaan yang berdiri saat gunung ini meletus Tahun 1638 M.
Pusatnya terletak di puncak Gunung Raung. Kerajaan tersebut dipimpin oleh
Pangeran Tawangulun. Beliau adalah salah-satu anak raja Kerajaan Majapahit yang
hilang saat bertapa di gunung. Keberadaan kerajaan itu sedikit banyak masih
memiliki hubungan yang erat dengan penduduk setempat. Misalnya bila terjadi
upacara pernikahan di kerajaan, maka hewan-hewan di perkampungan banyak yang
mati. Hewan-hewan itu dijadikan upeti bagi penguasa kerajaan.
Konon, menurut masyarakat setempat, seluruh isi dan penghuni kerajaan
Macan Putih lenyap masuk ke alam gaib atau dikenal dengan istilah mukso. Dan
hanya pada saat tertentu, tepatnya setiap malam jum’at kliwon, kerajaan itu kembali
ke alam nyata. Pangeran Tawangulun dipercaya merupakan salah satu suami dari
Nyai Roro Kidul. Setiap malam jum’at itulah penguasa laut selatan mengunjungi
suaminya. Biasanya, akan terdengar suara derap kaki kuda di tempat yang sakral.
Suara tersebut berasal dari kereta kencana Sang Ratu yang sedang mengunjungi sang
suami Pangeran Tawangulun. Bila mendengar suara tersebut lebih baik pura-pura
tidak mendengar. Jika dipertegas, suara akan bertambah keras dan mungkin akan
36
menampakkan wujudnya. Bila demikian, kemungkinan akan terbawa masuk ke alam
gaib dan kemudian dijadikan abdi dalem kerajaan Macan Putih.
Lereng selatan Gunung Raung merupakan hutan belantara yang berakhir pada
hutan-hutan produksi yang dikelola Perum Perhutani dan desa-desa yang masuk
wilayah Kabupaten Jember. Hutan belantara tersebut merupakan hutan lindung yang
juga menjadi tanggung jawab Perhutani. Sejak era reformasi, hutan lindung tersebut
dibuka oleh warga desa sekitar hutan untuk dijadikan kebun kopi. Salah satu desa
yang warganya ikut membuka dan mempunyai keterlibatan dengan proses tersebut
hingga sekarang adalah Desa Sidomulyo.
Desa Hutan: Sidomulyo dan Sejarahnya
Sidomulyo merupakan salah satu desa yang terletak di Kecamatan Silo
Kabupaten Jember Propinsi Jawa Timur. Desa ini berada di pinggiran hutan yang
merupakan kaki Gunung Raung sebelah timur. Secara administratif, desa ini
berbatasan dengan Desa Sumberjati di sebelah utara, Desa Garahan di sebelah barat,
Desa Pace di sebelah selatan, dan Desa Curah Leduk di sebelah timur. Desa yang
terakhir ini masuk wilayah Kecamatan Kalibaru Kabupaten Banyuwangi. Dengan
demikian Sidomulyo merupakan desa paling timur dari Kabupaten Jember yang
berbatasan langsung dengan Kabupaten Banyuwangi. Sidomulyo mempunyai 5
dusun, 3 diantaranya ada di wilayah desa, dan 2 dusun sisanya di wilayah
perkebunan negara maupun swasta (lihat Gambar 2). Dusun yang ada di dalam
wilayah desa adalah: Krajan (Sidomulyo), Curah Damar, dan Curah Manis.
Sedangkan dusun yang ada di wilayah perkebunan adalah: Gunung Gumitir dan
Tanah Manis (seringkali disebut Gugutama) yang ada di wilayahnya PTPN XII, dan
Garahan Kidul yang ada di wilayahnya PT. Perusahaan Perkebunan Indonesia, salah
satu anak perusahaan PT. Ledokombo (LDO Group) Jember. Pada saat penelitian
terdapat sebuah dusun persiapan yang merupakan bagian dari Dusun Curahdamar,
yaitu Dusun Sidodadi. Perkampungan ini berada di wilayah yang dikelola oleh
Perhutani. Warga yang tinggal sebagian besar adalah para pesanggem atau anak
cucunya, karena memang sejarahnya mereka yang pertama bertempat tinggal di
wilayah ini dulunya didatangkan oleh Perhutani sebagai pekerja di hutan produksi
yang dikelola oleh Perhutani.
37
Gambar 2. Peta Desa Sidomulyo
Untuk sampai ke pusat kecamatannya yang bernama Silo, warga Sidomulyo
harus menempuh jarak ± 13 km. Sedangkan apabila ingin ke ibukota Kabupaten
Jember, mereka harus menempuh jalan beraspal yang menghubungkan Jember dan
Banyuwangi sepanjang ± 40 km. Jalan ini termasuk jalan propinsi yang merupakan
jalur selatan Jawa yang menuju ke ujung selatan Jawa untuk menyeberang ke Bali.
Sehingga apabila jalur utara Jawa menuju ke Bali mengalami hambatan, jalur ini
merupakan jalur alternatif yang bisa ditempuh lewat Situbondo dan Bondowoso
maupun Lumajang sebelum masuk ke Jember. Sedangkan untuk sampai ke Surabaya
yang merupakan ibukota propinsinya (Jawa Timur) warga Sidomulyo harus
menempuh jarak ± 267 km. Sarana dan prasarana transportasi yang menghubungkan
Sidomulyo dengan wilayah lainnya secara umum cukup beragam.
Secara geografis Sidomulyo berada di lereng sebelah selatan Gunung Raung,
sehingga mempunyai topografi daerah perbukitan. Ketinggiannya ± 560 m di atas
permukaan laut dengan curah hujan rata-rata ± 2000 mm/tahun, dan suhu rata-rata ±
21°C. Dengan kondisi alam seperti ini, maka tidak mengherankan apabila
lingkungannya cukup asri dan sejuk. Bahkan di pinggir jalan propinsi yang melintasi
desa ini banyak menjadi tempat istirahat para pelintas, khususnya pengendara sepeda
38
motor yang sekedar melepas penat sambil menghirup udara segar serta menikmati
pemandangan alam. Pada suatu pertemuan kelompok tani yang peneliti ikuti,
dikemukakan oleh seorang penyuluh perkebunan bahwa ke depan Desa Sidomulyo
akan dijadikan desa wisata. Pemilihannya berdasarkan pertimbangan banyaknya
potensi yang dapat dipasarkan dan merupakan pintu gerbang sebelah timur masuk
Kabupaten Jember. Sehingga mereka yang masuk ke Jember dari sebelah timur akan
disambut oleh desa wisata yang menawarkan berbagai potensi yang bisa dinikmati.
Riwayat jadi dan tumbuhnya Desa Sidomulyo kiranya tidak berbeda dengan
desa-desa yang lain. Alasan-alasan pokok untuk membentuk masyarakat yang
kemudian menjadi kesatuan hukum yang bernama desa tidak berbeda dengan yang
diungkapkan oleh Kartohadikoesoemo (1953), yaitu: pertama, untuk hidup yaitu
mencari makan, pakaian dan perumahan; kedua, untuk mempertahankan hidupnya
terhadap ancaman dari luar; dan ketiga, untuk mencapai kemajuan dalam hidupnya.
Sebagai desa pertanian, pertama-tama dibentuk oleh sekumpulan manusia sebuah
masyarakat pertanian. Mereka bersama-sama membuka hutan belukar dan masing-
masing atau bersama-sama mengolah tanah yang kosong untuk ditanami tumbuh-
tumbuhan yang dapat menghasilkan bahan makanan. Semakin baik keadaan tanah
yang dibuka, semakin banyak orang yang menggabungkan diri untuk turut bertempat
tinggal menetap di tempat tersebut. Dan semakin ringan pula orang dapat
menjalankan kewajibannya untuk mempertahankan diri dari terhadap bahaya alam
yang menimpa atau serangan binatang buas dari hutan belukar. Demikianlah dapat
dimengerti, bahwa di daerah-daerah yang subur tanahnya kemudian terdapat
masyarakat yang besar dan tergabung dalam ikatan desa yang kuat dan banyak
penduduknya.
Menurut sejarahnya, Sidomulyo dulunya masuk dalam wilayah Desa Garahan
yang ada di sebelah baratnya. Penduduk Dusun Curah Manis dan Curah Damar
(dusun-dusun pertama) merupakan pendatang dari Pulau Madura yang dahulu
menjadi buruh perkebunan Belanda pada akhir abad 19. Sehingga tidak
mengherankan apabila sampai sekarang mayoritas penduduk dari kedua dusun
tersebut merupakan etnis Madura. Sedangkan penduduk Dusun Krajan merupakan
pendatang dari Banyuwangi, sehingga sekarang lebih dikenal sebagai Kampung
Jawa. Mereka ini dahulunya adalah para pesanggem yang kemudian membeli tanah-
39
tanah yang ada di desa. Sedangkan untuk dusun-dusun yang ada di wilayah
perkebunan didiami oleh para buruh perkebunan yang tinggal di emplasemen. Tanah-
tanah yang mereka tempati statusnya berada di bawah hak perkebunan (HGU).
Selain mendapat upah dari perusahaan dengan sistem borongan, mereka juga
mendapat hak pengelolaan atau pemanfaatan lahan di sela-sela tanaman utama untuk
ditanami palawija, sayur-sayuran atau rumput-rumputan.
Tanah di Sidomulyo yang sekarang dikuasai dan dimiliki para warga
dahulunya merupakan padang ilalang tempat penggembalaan kuda. Para buruh
perkebunan tersebut mulai mencoba menanami padang tersebut dengan tanaman
singkong. Awalnya memang sulit karena tanahnya berpasir, tetapi lambat laun
mereka berhasil. Adanya kotoran kuda yang digembalakan di tanah tersebut kiranya
mampu memperbaiki struktur tanah, sehingga menjadi subur dan dapat ditanami.
Kesuburan tanah ini mendorong mereka berpindah dari tmpat tinggal di perkebunan
menuju ke padang ini yang lambat laun menjadi pemukiman. Penguasaan tanah ini
pada waktu itu tidak menjadi permasalahan karena menurut warga selain berupa
tanah kritis yang tidak bermanfaat juga tidak masuk dalam wilayah perkebunan atau
hutan yang sudah ditetapkan Belanda sebagai kawasan terlarang.
Perkembangan penduduk menjadikan padang ilalang tersebut menjadi
pemukiman sebagaimana layaknya desa. Ketika wilayah tersebut sudah habis terbagi
dan dikuasai, maka yang terjadi adalah fragmentasi tanah menjadi luasan yang lebih
kecil melalui jual beli atau warisan. Kondisinya sekarang dari 4.984,3 hektar wilayah
Desa Sidomulyo yang dikuasai oleh 2070 kepala keluarga adalah berupa pemukiman
(16 ha), persawahan (131,6 ha), ladang/tegalan (24,3 ha), dan perkebunan rakyat
(309,9 ha) yang totalnya hanyalah 481,8 ha atau kurang dari 10%. Selebihnya adalah
perkebunan swasta dan negara, kawasan hutan (lindung, produksi dan cagar alam)
dan fasilitas umum. Sehingga dapat dibayangkan betapa kecilnya penguasaan
masing-masing kepala keluarga terhadap tanah untuk menopang kehidupannya.
Kondisi ini sangat ironis dengan adanya perkebunan dan hutan dengan berbagai
statusnya yang masih luas di sekitar mereka.
40
Sidomulyo resmi menjadi desa pada tahun 1988 dengan Pjs. Pak Hs10
(pegawai kecamatan) sampai tahun 1998. Pada tahun 1999 diadakan pemilihan
kepala desa (pilkades) dengan dua calon, yaitu Pak Sd (Dusun K) dan Pak SB
(Sekdes sekarang, Dusun CD). Hasilnya selisih tipis, yaitu 83 suara dimenangkan
Pak Sd. Tetapi ada beberapa permasalahan sehingga baru bisa dilantik 1,5 tahun
kemudian. Selama masa itu, kepala desa dijabat Pak Kn (pegawai kecamatan). Pada
Tahun 2008, saat masa jabatan kades habis diadakan pilkades dengan calon mantan
kades sebelumnya (Pak Sd) melawan Pak Mj (Dusun K) . Hasilnya dimenangkan Pak
Mj dengan selisih yang cukup banyak (1000 suara lebih dari 3000an pemilih).
Terpilihnya Pak Mj menyimpan cerita yang tidak kalah menarik. Awalnya
tidak ada rencana atau persiapan dari Pak Mj untuk maju dalam pilkades. Bahkan
orang tuanya (Pak K, Dsn K) yang menjadi ketua kelompok tani Sidomulyo I sempat
melarang anaknya dicalonkan. Setelah mendapat jaminan dari para tokoh masyarakat
untuk didukung, terutama setelah Pak Kyai M (Dsn CD) yang mempunyai pesantren
juga datang sendiri ke rumahnya untuk meminta anaknya (Pak Mj) untuk maju,
barulah Pak Kusni memberi ijin dan merestui Pak Mj ikut dalam pilkades. Pemilihan
Pak Mj sebagai kandidat pun melewati proses yang cukup alot. Tidak adanya
kandidat yang maju selain Kades incumbent, membuat warga cukup kesal. Apalagi
selama itu mereka merasa bahwa Kades mereka sudah banyak melakukan
penyimpangan dan tidak layak lagi memimpin desa. Beberapa tokoh desa, terutama
yang tergabung dalam kelompok tani sering membahas hal tersebut dalam
pertemuan-pertemuannya. Pak Mj sendiri mengaku akan mau maju apabila sudah
tidak ada lagi kandidat yang maju untuk menandingi Kades incumbent. Akhirnya
menjelang pilkades barulah disepakati untuk mengusung Pak Mj sebagai calon
Kades dan akhirnya memang berhasil dengan selisih suara yang menunjukkan bahwa
memang warga Sidomulyo sudah tidak mau lagi dipimpin Kades yang lama.
Kelompok Tani Sidomulyo I, terutama para tokohnya memegang peran yang
sangat penting dalam mengantarkan Pak Mj sebagai Kades terpilih. Kelompok ini
awalnya adalah pecahan dari Kelompok Tani Suluh Tani I yang diketuai oleh Pak
Mt. Sejak berkurangnya kepercayaan anggota pada ketuanya, beberapa anggota
10 Nama orang dan dusun di Desa Sidomulyo hanya dituliskan dengan huruf inisial untuk alasan etis.
41
kemudian keluar dan membentuk kelompok sendiri yang kemudian bernama
Sidomulyo I. Para tokohnya adalah mereka yang kemudian menjadi pengurus,
diantaranya Pak K (ayah dari Pak Mj), Pak Ms, dan Pak HS. Ketiga orang ini adalah
yang dituakan dan kemudian menjadi ketua, sekretaris dan bendahara. Selain ketiga
pengurus harian tersebut terdapat seksi-seksi yang diisi oleh orang-orang muda yang
sebenarnya mereka inilah yang menggerakkan roda organisasi kelompok. Terdapat
seksi gotong-royong yang dipercayakan kepada Pak Sm, seksi penghubung yang
dipercayakan kepada Pak Sn, Dusun K, seksi simpan pinjam yang dipercayakan
kepada Pak Bs dan seksi pemasaran yang dipercayakan kepada Pak Sw.
Kondisi Umum dan Prasarana Desa Sidomulyo
Jumlah penduduk Desa Sidomulyo keseluruhan pada tahun 200711 adalah
9.999 jiwa, yang terdiri dari 4.469 jiwa penduduk laki-laki dan 5.530 jiwa penduduk
perempuan yang terhimpun dalam 2070 kepala keluarga (KK). Berdasarkan usia
kerja (16-55 tahun), penduduk Sidomulyo yang termasuk dalam golongan ini
mencapai jumlah 6.367 jiwa (63,77%). Sisanya sebesar 2.625 jiwa (26,29%) berada
pada usia 0-15 tahun, dan 992 jiwa (9,93%) berada pada usia 56 tahun ke atas.
Dengan demikian, penduduk Sidomulyo termasuk golongan penduduk berusia muda
yang berada pada umur produktif (usia kerja).
Tingkat pendidikan penduduk Sidomulyo kebanyakan tamat SD/sederajat,
jumlahnya sebanyak 1.996 jiwa (33,60%). Meskipun demikian banyak juga yang
tidak tamat SD/sederajat, jumlahnya mencapai 1.497 jiwa (25,20%). Sedangkan yang
tamat SLTP/sederajat sebanyak 1.198 jiwa (20,16%), tamat SLTA/sederajat
sebanyak 998 jiwa (16,8%), tamat D1 sebanyak 78 jiwa (1,31%), tamat D2 sebanyak
71 jiwa (1,19%), tamat D3 sebanyak 60 jiwa (1%), dan tamat S1 sebanyak 43 jiwa
(0,72%). Sarana pendidikan formal yang ada di Sidomulyo sudah sampai pada
tingkat SLTA. Hanya saja untuk tingkat SLTP dan SLTA masih berupa sekolah
swasta yaitu madrasah tsanawiyah dan madrasah aliyah yang ada di lingkungan suatu
pondok pesantren. Terdapat 6 buah SD Negeri dan 1 MI Swasta yang juga dimiliki
oleh pondok pesantren. Di samping itu terdapat juga madrasah diniyah (setingkat
11 Monografi Desa Sidomulyo Tahun 2007.
42
SD), tetapi hanya mengajarkan mata pelajaran agama Islam serta sarana pendidikan
pra sekolah (Taman Kanak-kanak:TK dan Pendidikan Anak Usia Dini: PAUD).
Migrasi penduduk Sidomulyo tergolong rendah, dan sebagian besar adalah
migrasi ke luar karena pekerjaan. Mereka ini adalah para pemuda yang bekerja di
kota-kota seperti Jember, Banyuwangi, Bali dan Surabaya. Ada juga yang menjadi
TKI di luar negeri (Timur Tengah dan Korea) dan semuanya para wanita (TKW).
Migrasi masuk biasanya terjadi karena perkawinan. Dari keterangan para perangkat
desa dan masyarakat jumlah mereka yang pindah ke luar atau masuk tidak lebih dari
hitungan jari. Mereka yang pindah ke luar biasanya adalah mereka yang sebelumnya
menempuh pendidikan di luar Sidomulyo. Selain itu tidak banyak cerita sukses dari
mereka yang bermigrasi ke luar daerah menyebabkan minat warga untuk ke luar
daerah rendah. Mereka mengganggap bahwa di desa sendiri banyak peluang yang
bisa dikerjakan.
Kondisi Agraria Desa Sidomulyo
Desa Sidomulyo memiliki luas wilayah sebesar 4.984,3 hektar dengan
penggunaan sebagian besarnya untuk areal perkebunan dan hutan, sedangkan
selebihnya terdiri dari pemukiman umum, pertanian sawah, ladang/tegalan,
bangunan, sarana rekreasi dan olahraga serta kuburan. Secara rinci tata guna tanah di
Sidomulyo dapat dilihat pada Tabel 2. Dari Tabel 2 terlihat bahwa Sidomulyo
merupakan desa hutan dengan pertanian yang didominasi sistem perkebunan.
Adapun komoditi perkebunannya adalah kopi, dan merupakan salah satu desa yang
masuk dalam kecamatan penghasil kopi terbesar di Jember yaitu Kecamatan Silo
(BPS Jember, 2008).
Hutan lindung yang tercatat 1.849,9 ha sejak masa reformasi dimasuki para
warga baik yang berasal dari Sidomulyo maupun luar desa. Mereka menebang
pohon-pohon yang ada sebagimana yang dilakukan para nenek moyangnya. Lahan
hutan yang pohonnya sudah jarang kemudian ditanami kopi. Sekarang hampir
semuanya sudah berubah menjadi kebun kopi. Dari kejauhan masih tampak sebagai
hutan karena memang kelihatan hijau, padahal hijau tersebut adalah daun-daun
tanaman kopi yang diselingi beberapa pohon besar dan tanaman sela yang berupa
tanaman buah-buahan seperti alpukat, durian, pete, dan sebagainya (Lampiran 5).
43
Tabel 2. Luas Wilayah Desa Sidomulyo Menurut Penggunaan
No Penggunaan Luas (Ha) % 1 Pemukiman Umum 16 0.32%2 Pertanian Sawah a. Sawah Irigasi 55 1.10% b. Sawah Setengah Teknis 20 0.40% c. Sawah Tadah Hujan 56.6 1.14%3 Ladang/Tegalan 24.3 0.49%4 Perkebunan a. Rakyat 309.9 6.22% b.Negara 1192.5 23.93% c. Swasta 542.6 10.89%5 Hutan a. Hutan Lindung 1849.9 37.11% b. Hutan Produksi 772.7 15.50% c. Hutan Cagar Alam 135 2.71%6 Bangunan a. Perkantoran 0.5 0.01% b. Sekolah 2.5 0.05% c. Pasar 0.5 0.01% d. Jalan 1.8 0.04%8 Rekreasi dan Olahraga a. Lapangan Sepak Bola 1.5 0.03% b. Lapangan Voli dan Basket 0.5 0.01%9 Lain-lain (kuburan) 2.5 0.05% Jumlah 4984.3 100%Sumber : Monografi Desa Sidomulyo, 2007 (Diolah, 2009).
Struktur Mata Pencaharian Desa Sidomulyo
Struktur mata pencaharian penduduk Sidomulyo terdiri dari: 5.126 jiwa
(88,08%) bekerja sebagai petani, 671 jiwa (11,45%) bekerja di sektor
jasa/perdagangan, dan 27 jiwa (0,46%) bekerja di sektor industri. Petani yang
dimaksud di sini adalah mereka yang pekerjaan/sumber mata pencaharian utamanya
berasal dari kegiatan pertanian yang terdiri dari petani pemilik penggarap,
penggarap, dan buruh tani serta peternak. Sedangkan sektor jasa/perdagangan yang
dimaksud adalah mereka yang kegiatan ekonomi utamanya berasal dari perdagangan
seperti pedagang hasil-hasil pertanian atau membuka toko. Sektor industri yang
dimaksud adalah mereka yang bekerja sebagai buruh pada beberapa pabrik yang
berada di sekitar Desa Sidomulyo, seperti pabrik gondorukem milik Perhutani,
pabrik pemecah batu milik swasta, dan juga pabrik pengolah kopi milik PTPN.
Meskipun demikian pada kenyataannya mata pencaharian masyarakat Sidomulyo
44
menganut pola mata pencaharian ganda. Ada beberapa petani yang juga berprofesi
sebagai pedagang atau sebaliknya. Ada pedagang yang kadang-kadang juga bekerja
di pabrik atau sebaliknya, dan ada juga mereka yang bekerja di pabrik tetapi
mempunyai lahan yang kadang digarapkan atau dikerjakan sendiri.
Hasil survei terhadap 30 rumah tangga petani di semua dusun yang ada di
Desa Sidomulyo menunjukkan, bahwa hampir semua rumah tangga melakukan
diversifikasi mata pencaharian. Tidak ada satupun yang menggantungkan sumber
penghidupannya pada satu pekerjaan. Kalaupun ada yang bekerja hanya sebagai
petani, mereka melakukan diversifikasi tanaman. Tujuannya adalah agar mereka
dapat memperoleh penghasilan tidak hanya pada saat panen tanaman utama,
melainkan juga dari tanaman-tanaman penunjang. Meskipun demikian terdapat
karakteristik diantara dusun-dusun yang ada, yaitu antara dusun yang ada di wilayah
desa dengan dusun yang ada di wilayah perkebunan.
Mereka yang bertempat tinggal di dusun yang ada di wilayah desa (Dusun
Krajan, Curahdamar dan Curahmanis) sebagian besar mempunyai mata pencaharian
utama sebagai petani, baik tanaman pangan, hortikultura maupun perkebunan.
Adapun pekerjaan sampingannya adalah sebagai pedagang atau buruh tani.
Sedangkan mereka yang tinggal di dusun yang ada di wilayah perkebunan (Dusun
Gunung Gumitir, Tanah Manis dan Sidodadi) mempunyai pekerjaan utama sebagai
buruh perkebunan, dan sejak adanya pembukaan hutan lindung mereka juga ikut
mempunyai kebun-kebun kopi di sana dan menjadikannya sebagai pekerjaan
sampingan. Bahkan dalam perkembangannya sekarang justru pekerjaan di kebun
kopinya yang diutamakan. Warga yang tinggal di Dusun Sidodadi merupakan para
“pesanggem”, yaitu mereka yang mempunyai kontrak pekerjaan dengan Perhutani
untuk melakukan pekerjaan-pekerjaan di kebun-kebun yang dikelola Perhutani,
seperti memelihara tanaman pinus yang belum produktif, mengambil getah pinus
yang sudah produktif, dan sebagainya. Sebagai pesanggem mereka mendapat lahan
yang ada di areal Perhutani untuk didirikan tempat tinggal, hak mengusahakan petak
yang belum produktif (tanaman belum menghasilkan) dengan tanaman-tanaman
musiman, dan upah proporsional (Rp. 1.750,-/kg) dari hasil getah pinus yang berhasil
dipanennya. Sama dengan mereka yang tinggal di dua dusun yang ada di wilayah
perkebunan, sejak adanya pembukaan hutan oleh warga untuk kebun kopi mereka ini
45
juga tidak mau ketinggalan. Sehingga walaupun pada masa-masa akhir dan setelah
petak yang ada di hutan lindung hampir habis, akhirnya mereka pun ikut membuka
hutan lindung untuk dijadikan kebun kopi.
Sebelum adanya reklaiming hutan lindung yang kemudian dijadikan kebun
kopi oleh warga Sidomulyo, rata-rata kepemilikan kebun kopi dari rumah tangga
yang disurvei adalah 1 hektar (Lampiran 1). Bahkan banyak diantara mereka yang
tidak punya kebun sama sekali, terutama mereka yang tinggal di dusun yang ada di
wilayah perkebunan. Rata-rata kebun kopi hasil reklaiming dari rumah tangga yang
disurvei adalah 1,5 hektar. Kebun seluas ini tentu saja sangat berarti bagi mereka
dalam sebagai sumber mata pencaharian. Dari satu hektar kebun kopi yang sudah
produktif (umur 4 tahun lebih), rata-rata dapat menghasilkan 1 ton kopi beras.
Seandainya harga per kg kopi adalah Rp. 14.000,00 seperti pada musim panen tahun
2009, maka tidak kurang dari 14 juta rupiah yang dapat mereka hasilkan dari kebun
kopi tersebut. Tentu saja angka sebesar ini masih kotor dan harus dikurangi dengan
biaya-biaya yang telah dikeluarkannya (rata-rata sekitar 4 juta/hektar) yang biasanya
berasal dari hutang.. Sehingga rata-rata pendapatan bersih dari 1 hektar kebun kopi
pada tahun 2009 akan mencapai 10 juta rupiah.
Kelembagaan Lokal Desa Sidomulyo
Kelembagaan dalam perspektif sosiologi dapat dipahami sebagai tata
abstraksi yang lebih tinggi dari pada grup, organisasi dan sistem sosial lainnya
(Bertrand, 1974 dalam Dharmawan, et al, 2004). Perspektif ini memandang
kelembagaan sebagai kompleks peraturan dan peranan sosial secara abstrak dan
memandang asosiasi sebagai bentuk-bentuk organisasi yang kongkrit. Sedangkan
pengembangan kelembagaan dapat diartikan sebagai proses pelembagaan yakni suatu
proses strukturisasi antar hubungan melalui enkulturasi norma-norma dan nilai-nilai
baru mengenai kebutuhan pokok manusia.
Kelembagaan yang masih sangat kuat dipegang oleh warga desa Sidomulyo
adalah gotong royong. Gotong-royong sebagai kompleks peraturan dan peranan
sosial terwujud dalam beberapa bidang kehidupan. Bentuknya tidak terbatas hanya
pada tenaga, melainkan juga berbentuk material dan bahkan uang. Untuk kedua
bentuk terakhir, mereka melakukan pencatatan dan mengembalikan dengan jumlah
46
yang sama ketika orang yang menyumbang sedang melakukan kegiatan serupa. Jadi
lebih mirip dengan hutang-piutang. Kegiatan yang paling banyak menuntut gotong-
royong ini adalah upacara-upacara baik sosial maupun keagamaan. Sifat
kebersamaan untuk meringankan beban sesama ini bahkan terwujud dalam
pemenuhan kebutuhan pokok yaitu papan atau rumah. Menurut cerita dari salah satu
informan (Pak K, Dusun K), ketika ada warga yang akan membangun rumah akan
banyak warga yang datang untuk bertanya kira-kira apa saja yang masih kurang.
Segera kekurangan yang masih ada terutama material akan segera berdatangan. Bagi
pemilik rumah hal ini tentu saja sangat membantu dan akan mencatat segala bantuan
tersebut sebagai hutang yang harus dibayarnya ketika yang memberi bantuan
membutuhkan. Sedangkan bagi mereka yang menyumbang, hal tersebut merupakan
kesempatan untuk menabung selain tentu saja membantu tetangganya agar dapat
memenuhi kebutuhannya.
Hal demikian juga berlaku pada warga yang akan mengadakan kegiatan-
kegiatan upacara baik sosial maupun keagamaan. Ketika ada warga yang akan
mempunyai hajat seperti menikahkan putra/putrinya, mengkhitankan anaknya dan
sebagainya, maka dia akan mengabarkan hal tersebut ke tetangga dari rumah ke
rumah sambil mengungkapkan kebutuhan-kebutuhan apa saja yang masih kurang.
Bila tetangga ada yang berminat untuk membantu maka akan dipersilahkan dan
dicatatnya bantuan tersebut sebagai hutang. Kadang kala ada yang mendengar dan
sudah mengenal baik orang yang akan mempunyai hajat tersebut, maka akan datang
ke rumah dan menawarkan bantuan menurut kemampuannya. Pada suatu pengajian
tahlilan yang peneliti ikuti di rumah salah seorang warga. Terdapat juga gotong-
royong untuk menanggung biaya konsumsi.
Semangat gotong-royong tersebut mencerminkan adanya tingkat kepercayaan
yang tinggi sesama warga. Kepercayaan ini muncul karena adanya interaksi yang
tinggi, sehingga saling mengenal karakter masing-masing. Interaksi sosial yang
dilakukan hampir pada segala aspek kehidupan sehari-hari menjadikan mereka akrab
dan terlibat dalam berbagai urusan yang saling terkait dan kompleks. Keakraban ini
kemudian menumbuhkan perasaan senasib sepenanggungan dan melembagakan
mekanisme gotong royong dengan segala bentuknya dalam pemenuhan kebutuhan
kehidupan sehari-hari.
47
Sebagaimana desa-desa pertanian lainnya, organisasi kelompok tani
merupakan bentuk kelembagaan yang menonjol perkembangannya. Selain itu
terdapat pula Lembaga Masyarakat Desa Hutan (LMDH) dan Paguyuban Petani
Kopi Hutan. Masing-masing bentuk kelembagaan tersebut mempunyai sejarah dan
peranan yang berbeda sebagai wadah warga Sidomulyo untuk menyalurkan aspirasi
dan kepentingannya.
Kelompok Tani
Terdapat beberapa jenis kelompok tani yang ada di Sidomulyo, yaitu:
kelompok tani ternak, palawija, dan kopi. Dari ketiga jenis kelompok tani tersebut
kelompok tani kopi memegang peranan yang sangat strategis, karena selain
anggotanya yang cukup banyak juga karena kopi merupakan komoditi yang relatif
berprospek secara ekonomis. Kelompok tani kopi yang berkembang pertama kali
adalah kelompok tani Suluh Tani I.
Kelompok Suluh Tani I dipelopori oleh Pak Mt (Dusun CM), bekas pekerja
Perhutani yang juga mempelopori pengembangan kopi rakyat. Menurutnya, dahulu
kopi hanya ditanam asal-asalan, tanaman utamanya adalah ketela pohon yang
diselingi ketela rambat. Sehingga makanan kebanyakan penduduk sini dulunya
adalah gaplek. Mulai tahun 1981 ketika masih bekerja di Perhutani Pak Mt mulai
membina petani untuk mengelola kopi dengan baik sebagaimana yang dilakukan
oleh perkebunan (PTPN). Tanaman kopi yang ada di pekarangan diberi pupuk
kandang yang memang tersedia berlimpah ruah di daerah ini, karena daerah ini
merupakan daerah peternakan dulunya. Pupuk kandang yang dulu menjadi
permasalahan karena tertimbun dan bingung mau dibuang ke mana serta selalu
ditutupi ketika ada pemeriksaan kesehatan lingkungan menjadi termanfaatkan.
Orang-orang merasa berterima kasih karena kotoran ternaknya dapat dibersihkan dan
tidak mau ketika diberi ganti dengan uang. Pak Mt membelikan gula kepada mereka
sebagai balas jasa atas usaha mengumpulkan kotoran. Dengan adanya penyuluhan
dari Dinas Perkebunan Kabupaten akhirnya warga Sidomulyo mengikuti usaha Pak
Mt mengembangkan tanaman kopi di pekarangannya.
Pengembangan kopi oleh warga semakin pesat dengan adanya Proyek
Peremajaan, Rehabilitasi dan Pengembangan Tanaman Ekspor (PRPTE). Proyek ini
48
bertujuan untuk meningkatkan produktivitas tanaman ekspor seperti kopi pada awal
tahun 1980an. Dalam proyek ini petani peserta mendapatkan berbagai fasilitas seperti
saprodi dan kredit serta kemudahan-kemudahan lain. Salah satu kemudahan tersebut
adalah keringanan biaya administrasi pengurusan sertifikat tanah. Sebagaimana
dalam Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor SK.13/DJA/198212 bahwa
Pemberian Hak Milik atas tanah Negara atau Penegasan/Pengakuan Hak Milik Adat
kepada petani peserta Proyek Pengembangan Perkebunan dibebaskan dari kewajiban
membayar uang pemasukan kepada Negara dan kepada penerima hak hanya
dikenakan kewajiban membayar biaya administrasi. Sehingga melalui proyek ini dan
koordinasi Kelompok Tani Suluh Tani I yang diketuai oleh Pak Mt banyak tanah
warga yang akhirnya bersertifikat. Tetapi kelihatannya warga Sidomulyo tidak
menganggap penting keberadaan sertifikat ini, terbukti dengan masih banyaknya
sertifikat yang belum diambil dari ketuanya karena harus mengganti biaya
administrasi. Mereka lebih tertarik dengan hal-hal yang bersifat nyata dan langsung
seperti bantuan bibit, pupuk dan permodalan. Sehingga cukup banyak uangnya Pak
Mt yang belum terganti karena membayar dahulu biaya administrasi pengurusan
sertifikat tanah para anggotanya. Sikap warga Sidomulyo tentang keberadaan status
tanah yang mereka kuasai untuk dibudidayakan tanaman kopi rakyat terus
berlangsung hingga sekarang yaitu pada tanah hutan lindung yang sejak masa
reformasi mulai mereka kembangkan untuk perkebunan kopi.
Perkembangan Kelompok Tani Suluh Tani I ternyata tidak berjalan mulus.
Beberapa pengurus mulai tidak percaya dengan kepemimimpinan Pak Mt yang
dinilai terlalu memonopoli program dan bantuan yang datang pada kelompok tani ini.
Banyak program pelatihan yang selalu diikuti ketua tanpa pernah memberi
kesempatan kepada pengurus atau anggota lainnya. Demikian juga bantuan-bantuan
yang ada selalu dikelola sendiri oleh ketua tanpa melibatkan pengurus yang lain.
Sehingga pada tahun 2000, para pengurus dan anggota yang tidak puas ini
membentuk Kelompok Tani Sidomulyo I. Kelompok tani ini berkembang pesat,
berkebalikan dengan Kelompok Tani Suluh Tani I yang semakin terpuruk. 12 Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor SK.13/DJA/1982 Tentang Penetapan Besarnya Biaya Administrasi Pemberian Atau Penegasan/Pengakuan Hak Milik Kepada Petani Peserta Proyek Pengembangan Perkebunan (PIR, PIR Khusus PIR Lokal, P.R.P.T.E., Pengembangan Karet Rakyat, Pengembangan Kelapa Rakyat)
49
Sidomulyo I termasuk kelompok tani yang maju karena sudah mempunyai
kelengkapan organisasi seperti AD/ART dan struktur organisasi yang berfungsi
dengan baik. Kelompok tani Sidomulyo I cukup aktif dalam menjalin berbagai
kerjasama dengan pihak luar seperti Pusat Penelitian Kopi dan Kakao Kementerian
Pertanian RI (Puslit Koka), Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Jember
(Dishutbun), PT. Indokom (eksportir kopi), Universitas Jember, Dinas Koperasi dan
UKM, dan PTPN XII.
Kerjasama dengan Puslit Koka berkisar pada teknis budidaya dan
pengolahan pasca panen, demikian juga dengan Dishutbun Kab. Jember melalui
pembinaan dan penyuluhan. Potensi hasil kopi yang melimpah menarik minat
eksportir (PT. Indokom) untuk bekerjasama dengan kelompok tani Sidomulyo I
untuk mengirim kopi ose/beras dengan syarat hasil olah basah. Persyaratan ini bisa
dipenuhi oleh kelompok tani ini dengan bimbingan dari Puslit Koka. Sehingga pada
tahun 2004 kerjasama ini terwujud. Keberlanjutannya terkendala oleh terbatasnya
infrastruktur yang dipunyai oleh kelompok terutama instalasi pasokan air.
Sebagaimana diketahui, bahwa olah basah kopi membutuhkan air yang cukup banyak
dalam pengupasan kulit kopi glondong.
Kendala ini kemudian ditangkap oleh Universitas Jember, sebuah perguruan
tinggi negeri di Kabupaten Jember Jawa Timur, dengan program social
responsibility-nya yaitu Indonesia Managing Higher Education for Relevancy and
Efficiency (I-MHERE). Program ini bertujuan untuk meningkatkan komoditi kopi
sebagai produk unggulan dengan meningkatkan kualitas melalui pengolahan basah
sebagaimana pernah diperkenalkan oleh Puslit Koka. Selain melanjutkan penerapan
olah basah dengan membangun infrastrukturnya, program I-MHERE Universitas
Jember melalui kegiatan Community Development-nya mengembangkan berbagai
aspek pendukungnya seperti sumberdaya manusia, penguatan kelompok dan
penciptaan peluang-peluang agribisnis yang terkait dengan kopi seperti koperasi,
kios saprodi, dan pengolahan bubuk kopi. Pendirian koperasi oleh kelompok tani
Sidomulyo I menarik perhatian Dinas Koperasi dan UKM Kabupaten Jember dan
mengusulkannya menjadi koperasi model yang mendapat bantuan modal dari
Kementerian Pertanian RI juga PTPN XII.
50
Selain bertujuan untuk meningkatkan usahatani kopi dan menciptakan
demokrasi (menampung aspirasi anggota), kelompok tani Sidomulyo I pada
perkembangannya mendominasi politik desa dengan terpilihnya salah satu
anggotanya sebagai kepala desa. Sehingga dalam rapat-rapat desa banyak dari
pengurus dan anggota kelompok tani yang diikutsertakan untuk menghadiri dan
mengambil bagian dalam pembuatan keputusan.
Secara formal lahan yang dipunyai oleh para anggota kelompok tani
Sidomulyo I adalah kebun-kebun kopi yang ada di wilayah desa. Meskipun demikian
sebagian besar para anggota tersebut menguasai kebun-kebun kopi hasil reklaiming
yang ada di hutan lindung. Bahkan beberapa pengurusnya merupakan pedagang kopi
yang juga memasarkan kopi-kopi hasil panen warga Sidomulyo baik yang berasal
dari kebun yang ada di desa maupun di hutan. Dengan adanya kebun kopi di hutan
lindung produksi kopi dari warga Sidomulyo menjadi berlipat ganda, bahkan
Kecamatan Silo tercatat menjadi penghasil kopi terbesar di Kabupaten Jember.
Produksi yang besar ini menarik banyak pihak sebagaimana disebutkan di atas untuk
melakukan kerjasama dalam berbagai bidang. Keberadaan kelompok tani sangat
strategis karena dari sisi formal dapat menjadi media untuk berhubungan dengan
pihak luar dan di sisi lain dapat menjadi media komunikasi untuk kepentingan-
kepentingan kebun kopi yang ada di hutan lindung. Kepentingan tersebut meliputi
kebutuhan pupuk yang sangat besar. Pengajuan kebutuhan pupuk bersubsidi harus
melalui kelompok tani dengan luas lahan yang tercatat. Tetapi dengan adanya
kelompok tani, mereka tidak hanya mengajukan pupuk tetapi juga bertindak sebagai
penyalur, sehingga dapat mengusahakan pupuk untuk kebun kopi yang ada di hutan
lindung. Selain itu dengan adanya kelompok tani mereka dapat memasarkan hasil
kopi dengan leluasa bahkan berani mengadakan kontrak untuk memenuhi kebutuhan
industri yang mencapai ratusan ton.
Lembaga Masyarakat Desa Hutan (LMDH)
Kelembagaan lokal lainnya adalah Lembaga Masyarakat Desa Hutan
(LMDH). LMDH merupakan organisasi yang dibentuk oleh Perhutani untuk
menjalankan program Penanaman Hutan Berbasis Masyarakat (PHBM) Plus. Kata
Plus ini ditambahkan untuk membedakan dengan PHBM semula yang dirasakan
51
lamban serta kurang fleksibel. Pelaksanaan Program PHBM Plus ini lebih
disesuaikan dengan karakteristik masing-masing wilayah dan mengutamakan
peningkatan taraf hidup, tingkat pendidikan dan tingkat kesehatan masyarakat sekitar
hutan serta membangun sinergitas dengan para pihak, khususnya dengan pemerintah
provinsi, kabupaten, kecamatan dan desa/kelurahan. Salah satu jiwa PHBM Plus
adalah berbagi/sharing. Sharing adalah bagi hasil produksi kayu dan non kayu yang
diberikan kepada LMDH berdasarkan kontribusi dari masyarakat didalam proses
produksi (Perum Perhutani, 2009).
Berdasarkan definisi di atas, kontribusi yang dimaksud berarti proses
produksi yang ada di hutan produksi bukan di hutan lindung seperti yang ada di
Sidomulyo. LMDH yang ada di Sidomulyo terbentuk pada tahun 2006, yang
pengurusnya sebagian besar bukan seorang pesanggem sebagaimana seharusnya.
Bahkan LMDH menjadi menyimpang fungsinya dengan menarik sharing dari hasil
panen kopi petani dari hutan lindung. Penyimpangan fungsi ini ternyata untuk
mengakomodasi untuk tidak mengatakan legitimasi atas setoran “cukai” yang selama
ini diberikan oleh para warga yang melakukan reklaiming hutan lindung kepada
petugas Perhutani. Salah seorang pengurus LMDH (Pak S, Dsn CD) mengatakan
bahwa anggota LMDH yang tercatat sekarang mencapai 350 orang dan sharing13
yang ditargetkan pada tahun 2009 dapat dipenuhi.
Menurut informasi pihak Perhutani nilai sharing yang ada dalam Surat
Perjanjian Kerjasama (SPK) antara Perhutani dengan LMDH sebagai wakil dari
warga yang “menggarap” lahan di hutan lindung disepakati sebesar 1/3 dari hasil
panen sebagai bagian yang harus disetor kepada Perhutani. Pada tahun 2009
Perhutani menargetkan setoran sharing sebesar 15 ton kopi ose14. Hasil konfirmasi
terakhir atas target tersebut melalui pengurus LMDH menunjukkan adanya
pencapaian target tersebut. Sehingga dengan harga rata-rata per kg kopi ose pada
tahun 2009 sebesar Rp. 14.000,- maka Perhutani akan mengantongi hasil sharing
sekitar Rp. 210 juta dari hutan lindung yang beralih fungsi menjadi kebun kopi.
13 Menurut keterangan pihak Perhutani (Pak H, pegawai di bagian PHBM KPH Jember), sharing yang sudah disepakati antara Perhutani dengan para anggota LMDH adalah 1/3 dari hasil panen menjadi bagian Perhutani. 14 Hasil wawancara mendalam dengan Pak HS, Dsn CD, pengurus LMDH sekaligus koordinator ketua paguyuban petani hutan.
52
Dari rangkaian informasi di atas, menunjukkan adanya ketidakmungkinan
apabila LMDH hanya menarik sharing dari para anggota yang tercatat (350 orang)
untuk memenuhi target. Walaupun tidak mengakui secara langsung tetapi dari
keterangan dari semua informan dapat diketahui bahwa Pak HS adalah koordinator
dari para ketua paguyuban petani kopi hutan yang selama ini menyetor cukai kepada
para petugas Perhutani. Selain itu Pak HS juga termasuk orang yang paling luas
penguasaannya atas kebun kopi yang ada di hutan.
Paguyuban Petani Kopi Hutan
Paguyuban petani kopi di hutan lindung awalnya merupakan wadah
komunikasi di antara warga yang menguasai kebun kopi di hutan lindung dalam satu
petak register tertentu. Sehingga anggotanya bisa berasal dari dusun yang berbeda
atau bahkan dari luar Desa Sidomulyo. Apalagi setelah kebun kopi di hutan banyak
yang berpindah tangan, maka persebaran anggotanya juga semakin meluas.
Terbentuknya paguyuban ini pada awalnya sebagai wadah untuk membahas dan
memutuskan segala hal yang terkait dengan kebun-kebun mereka. Menurut
keterangan salah seorang mandor Perhutani (Pak L, Dsn CM) terdapat 9 paguyuban
di Sidomulyo dengan anggota masing-masing sekitar 40 orang.
Paguyuban yang kelihatannya sederhana tersebut, ternyata mempunyai
kompleksitas dalam berbagai hal. Di antaranya adanya administrasi identitas warga
yang menguasai petak-petak lahan. Para anggota kelompok harus menyerahkan
fotokopi KTP dan menyebutkan petak di register mana mereka membuka kebun kopi
di hutan lindung dan tidak lupa berapa jumlah pohon kopinya beserta umur
tanamnya. Sehingga ketua paguyuban mempunyai data yang lengkap terhadap para
anggotanya dan petak-petak kebun kopinya. Dari data tersebut ada ketua kelompok
yang kemudian membuatkan semacam kartu setoran untuk tiap musim panen sampai
beberapa tahun ke depan. Tetapi ada juga yang hanya sekedar membuatkan secarik
kertas yang bertuliskan nama anggota dan besaran yang harus dibayarkan pada
musim panen tertentu. Demikian juga, ketika terjadi pengalihan penguasaan petak
kepada orang lain, maka harus dilaporkan kepada ketua paguyuban. Praktik ini
sebenarnya adalah inisiatif para elit untuk menguatkan posisi mereka yang didorong
oleh para mandor. Para mandor sendiri mempunyai kepentingan untuk memastikan
53
jumlah setoran juga untuk laporan pertanggung jawaban mereka ketika ditanya oleh
atasannya warga siapa saja yang telah membuka hutan untuk kebun kopi dan di petak
mana saja.
Masing-masing paguyuban mempunyai mekanisme tersendiri dalam
menentukan peraturannya. Ada yang melalui pertemuan dengan melakukan
musyawarah mufakat untuk kesepakatan bersama yang terkait dengan kepentingan
kebun kopi yang mereka kuasai di hutan. Tetapi ada pula yang para anggotanya
menyerahkan pada ketuanya karena mereka yakin bahwa ketuanya akan mengambil
kebijakan yang terbaik untuk paguyuban. Pada perkembangannya paguyuban ini
perannya lebih pada pengumpulan “cukai” yang merupakan setoran hasil panen
kepada petugas Perhutani. Setoran “cukai” ini merupakan salah bentuk kesepakatan
paguyuban agar para petugas Perhutani yang melakukan patroli di hutan lindung
tidak merusak tanaman kopi mereka. Besaran dari “cukai” ini berbeda antar
paguyuban yang satu dengan yang lain.
“Cukai” yang disetor oleh para warga yang menguasai kebun kopi di hutan
lindung inilah yang memainkan peran penting dalam kontestasi perebutan
sumberdaya hutan. Walaupun awalnya merupakan bentuk pemberian di bawah
tangan oleh para petani kopi kepada petugas Perhutani, tetapi kemudian menjadi
penarikan legal oleh Perhutani dengan nama “sharing” yang dilembagakan pada
LMDH. Kalau sebelumnya besarannya ditetapkan di tingkat paguyuban, setelah
menjadi “sharing” besarannya ditetapkan sama yaitu 1/3 dari hasil panen dan
dikatakan Perhutani sebagai kesepakatan bersama.
Intervensi Program di Desa Sidomulyo
Penetapan Kawasan Hutan
Nenek moyang warga Sidomulyo (warga Dusun Curah Manis dan Curah
Damar) merupakan pendatang dari Pulau Madura. Mereka didatangkan untuk
menjadi buruh perkebunan yang dikembangkan oleh Belanda. Menurut salah seorang
informan (Bu S, Dusun CD), yang berumur 45 tahun dan mengaku buyutnya adalah
orang yang pertama kali datang ke daerah ini dari Pulau Madura, menuturkan bahwa
dahulu buyutnya membuka daerah Sidomulyo yang masih berupa hutan rimba dan
padang alang-alang. Tanpa bisa menyebut tahun berapa, beliau mengatakan bahwa
54
dia merupakan keturunan keempat. Dengan taksiran jarak antar generasi 40 tahun,
maka dikali 3 generasi (menjadi 120 tahun yang lalu) maka dapat diperkirakan
bahwa kedatangan nenek moyang Bu S (Dsn CM) dari Madura ke lereng Gunung
Raung sekitar akhir abad 19. Pada masa itu, sejarah Nusantara berada pada era
Belanda yang mendapat pengalihan hak milik dari VOC yang dibubarkan 1 Januari
1800. Dengan demikian, daerah Sidomulyo dibuka oleh para pendatang dari Madura
pada saat Belanda sudah lebih dahulu menetapkan penguasaan hutan oleh negara
dengan pemberlakuan “Domeinverklaaring” yang tertera dalam UU Kehutanan 1865
dan kemudian UU Agraria (Agrarisch Wet) 1870 (Peluso, 1990; Peluso dan
Vandergeest, 2001; dalam Bacriadi dan Sardjono, 2005).
Hanya saja karena pada saat itu penetapan status hutan negara masih belum
diketahui secara luas, maka keberadaannya masih dianggap sebagai sumberdaya
umum yang bisa dimanfaatkan siapa saja. Selain itu pembukaan hutan masih
dibiarkan saja karena memang hutan yang ada di Sidomulyo tidak mempunyai nilai
yang strategis bagi Belanda. Hutan yang ada di lereng SELATAN GUNUNG
RAUNG merupakan hutan rimba dengan topografi yang cukup curam. Tanaman
yang ada di dalamnya sangat beragam dan tidak terlalu bagus kualitasnya (seperti
jati). Struktur tanahnya tidak begitu bagus dan cenderung berpasir. Bahkan ada
beberapa kawasan yang merupakan padang ilalang, sehingga pernah digunakan
Belanda sebagai tempat penggembalaan kuda. Pemanfaatan hutan hasil bukaan
awalnya hanya digunakan para buruh perkebunan untuk menanam tanaman pangan
(ketela pohon), tetapi kemudian mereka juga mendirikan tempat tinggal dan
membentuk pemukiman.
Proyek Peremajaan Rehabilitasi dan Perluasan Tanaman Eksport (PRPTE)
Sebagaimana disebutkan sebelumnya dalam sejarah terbentuknya kelompok
tani Suluh Tani I di Sidomulyo, adanya Proyek Peremajaan, Rehabilitasi dan
Pengembangan Tanaman Ekspor (PRPTE) yang diluncurkan hampir bersamaan
dengan awal berkembangnya kopi di Sidomulyo semakin mendorong pesatnya
perkembangan budidaya kopi rakyat. Berbagai fasilitas seperti sarana produksi (bibit,
pupuk, dan alat), kredit usaha tani serta kemudahan-kemudahan lain seperti
keringanan biaya sertifikasi tanah semakin meningkatkan minat warga Sidomulyo
55
untuk mengembangkan kopi. Budidaya kopi ini memberikan pengaruh yang besar
pada sistem pertanian masyarakat setempat.
Sidomulyo yang awalnya merupakan padang ilalang dan hanya bisa ditanami
tanaman pangan yang hanya bisa tumbuh di lahan kritis seperti singkong, kemudian
menjadi kawasan sentra produksi tanaman ekspor (kopi). Perubahan komoditi ini
merubah sifat pertanian yang subsisten (hasil produksi dikonsumsi sendiri) menjadi
komersial (hasil produksi untuk dipasarkan). Perubahan sifat ini mempengaruhi pada
penggunaan saprodi yang pada pertanian subsisten hanya menggunakan bibit dan
pupuk yang tersedia di wilayah tersebut (lokal) kemudian menjadi saprodi dari luar
dengan varitas dan jenis yang secara teknologi dianggap berkualitas tinggi.
Orientasi usahatani warga pada pasar mengubah perilaku mereka.
Sebelumnya mereka tidak memperhitungkan saprodi yang mereka keluarkan untuk
usahataninya, yang penting dapat menghasilkan panen untuk dikonsumsi. Setelah
beralih ke budidaya kopi yang merupakan tanaman ekspor, warga Sidomulyo mulai
memperhitungkan jumlah dan jenis saprodi yang mereka keluarkan agar nantinya
tidak merugi. Artinya biaya yang keluarkan jangan sampai melampaui taksiran hasil
panen yang akan mereka peroleh. Walaupun secara manajemen hal ini dinilai baik,
tetapi dari segi kelembagaan berdampak tidak baik. Hal ini karena mengikis
kelembagaan gotong royong dengan memberikan upah pada tenaga kerja yang turut
membantu pekerjaan di kebun kopi.
Proyek Pengembangan Komoditas Kopi
Berkembangnya perkebunan kopi rakyat semakin lama semakin
menunjukkan dominasinya dengan jumlah 95 % dari produsen kopi nasional
(Retnandari dan Moeliarto, 1993). Demikian juga di Sidomulyo, yang awal
perkembangannya dimulai oleh Belanda kemudian diteruskan oleh negara melalui
PTPN sekarang banyak dibudidayakan oleh warga. Sebagaimana digambarkan
sebelumnya pada sub bab Kelompok Tani, komoditi kopi di Sidomulyo baru
dibudidayakan oleh warga pada awal tahu 1980an oleh Pak Mt, seorang pensiunan
Perhutani. Permulaan ini sangat jauh jaraknya dengan awal berkembangnya kopi di
Jawa yaitu pada pertemgahan abad ke-19. Meskipun demikian perkembangannya
56
sangat pesat sekali bahkan wilayah ini sekararang menjadi daerah sentra penghasil
kopi.
Proyek PRPTE yang diungkapkan sebelumnya merupakan proyek awal yang
sangat berpengaruh terhadap perkembangan kopi di Sidomulyo. Setelah itu silih
berganti berdatangan proyek pengembangan kopi, khususnya dari Pusat Penelitian
Kopi dan Kakao (Puslit Koka) Kementerian Pertanian RI yang kebetulan bertempat
di Jember Jawa Timur. Berbagai hal yang terkait dengan kopi dikembangkan oleh
Puslit Koka dan beberapa di antaranya diterapkan di Sidomulyo. Ada penemuan
varitas unggul yang tahan jamur atau virus, ada teknik pengolahan pasca panen,
bahkan model pemasaran.
Ketika penelitian ini sedang dilakukan, di Sidomulyo baru dikembangkan
teknik pengolahan basah pada biji kopi. Proyek ini pernah diterapkan oleh Puslit
Koka pada tahun 2004 tetapi menghadapi kendala terutama infrastruktur untuk
penyediaan air yang memang dibutuhkan dalam jumlah besar. Pada tahun 2007,
Universitas Jember (Unej) berupaya meneruskan proyek ini dengan program
community development-nya. Selain mengatasi kendala utama (ketersediaan air)
dengan memasang instalasi air dari sumber air di hutan sampai ke desa, Unej juga
menyiapkan beberapa hal terkait mulai dari pemberdayaan kelompok tani,
pembentukan koperasi, dan memperluas kerjasama dengan eksportir dan industri
kopi.
Organisasi dan Hubungan Produksi di Desa Sidomulyo
Organisasi produksi pertanian di Sidomulyo secara umum berbentuk rumah
tangga petani (RTP). Dalam satu rumah tangga ada yang terdiri dari satu keluarga
dan ada juga yang lebih, yang biasanya terdiri dari keluarga yang mempunyai anak
yang sudah berkeluarga tetapi belum mempunyai rumah sehingga berkumpul dengan
orang tua atau mertuanya. Dalam RTP inilah usahatani termasuk kebun kopi yang
ada di hutan lindung dikelola. Semua orang yang ada dalam RTP dan sudah bisa
bekerja secara otomatis menjadi tenaga kerja dalam usahatani menurut
kemampuannya, terutama RTP yang terbatas modal kerjanya. Untuk RTP yang kaya,
hampir semua tenaga kerjanya adalah upahan. Anggota RTP hanya membantu
mengawasi pelaksanaan pekerjaan, bahkan ada yang hanya kepala RTP-nya saja.
57
Hasil penelusuran hubungan produksi pertanian menunjukkan adanya sistem
pengupahan harian untuk pekerjaan-pekerjaan di lahan. Sudah tidak ada lagi
kelembagaan hubungan kerja seperti bagi hasil, bawon, dan lainnya. Pola ini tidak
hanya terjadi pada tanaman kopi yang merupakan tanaman komersiil, melainkan juga
pada tanaman pangan seperti padi, jagung dan juga sayur-sayuran. Hanya pada panen
pohon kelapa yang masih menerapkan bagi hasil, yaitu setiap 5 butir kelapa yang
berhasil dipetik maka pekerjanya berhak membawa pulang satu butir. Besarnya upah
yang diberikan hampir tidak terdapat perbedaan yaitu Rp. 15.000 per hari untuk
bekerja selama setengah hari mulai jam 7 pagi sampai 12 siang. Meskipun demikian
ada yang memberi makan dan rokok, tetapi ada yang tidak. Yang terakhir merupakan
kebiasaan umum warga Sidomulyo. Mereka yang memberi biasanya mereka yang
lahannya luas dan memang mempunyai ketergantungan tinggi akan adanya para
pekerja upahan. Selain luas lahannya mereka ini biasanya memang tidak mampu atau
tidak mempunyai waktu untuk mengerjakan sendiri lahannya karena kesibukan lain
seperti berdagang, menjadi perangkat desa atau pekerjaan lainnya.
Selain memberikan tambahan selain upah harian, ada beberapa RTP kaya
yang mempunyai pekerja-pekerja yang selalu membantunya tidak hanya pada
pekerjaan-pekerjaan di lahan tetapi juga pekerjaan domestik lain seperti mengolah
hasil panen, merawat ternak, memperbaiki rumah dan sebagainya. Pola yang tejadi
adalah semacam hubungan patron-klien. Para pekerja selain mendapat upah harian,
makan dan rokok juga kerap kali mendapat bantuan dari RTP kaya tempat mereka
bekerja ketika mempunyai kebutuhan besar seperti anaknya masuk sekolah,
menikahkan anaknya, dan sebagainya. Di Sidomulyo, mereka yang termasuk RTP
kaya tidak banyak dan bertindak sebagai patron terhadap para pekerjanya (tidak lebih
dari hitungan jari).
Salah satunya adalah Pak HS (Dusun CD) yang merupakan koordinator dari
kelompok-kelompok yang mengumpulkan cukai dari mereka yang mempunyai
kebun kopi di hutan lindung. Jabatan resminya terkait dengan LMDH (Lembaga
Masyarakat Desa Hutan) adalah bendahara. Ironisnya, beliau tidak punya andil secuil
pun di hutan produksi Perhutani yang merupakan syarat keanggotaan LMDH.
Posisinya sebagai bendahara di LMDH lebih bersifat politis untuk memudahkannya
bernegosiasi dengan Perhutani terkait kebun-kebun kopinya yang ada di kawasan
58
hutan lindung. Menurut para warga, Pak HS merupakan orang yang paling banyak
kebun kopinnya di kawasan hutan lindung dan juga seorang pedagang kopi. Dengan
kesibukan sebanyak itu, tidak mengherankan apabila kebutuhannya akan tenaga kerja
sangat besar dan cukup rutin. Untuk mengamankan hal tersebut, Pak HS mempunyai
beberapa pekerja tetap yang membantunya mengerjakan pekerjaan-pekerjaan di
kebun kopi dan di rumah seperti pengolahan buah kopi dan sebagainya. Selain
mendapat upah harian, para pekerjanya juga mendapat makan, rokok dan juga
bantuan bahkan pinjaman ketika mereka membutuhkan uang dalam jumlah besar.
Ada juga beberapa pedagang yang juga mempunyai pekerja-pekerja tetap
seperti Pak St (Dusun CD), Pak Sw (Dusun K), dan Pak Sm (Dusun K). Ketiga orang
ini dahulunya merupakan kongsi yang mendirikan UD. Trimulyo yang berdagang
kopi dan buah-buahan. Sekarang mereka berdiri sendiri-sendiri walaupun terkadang
masih sering berhubungan dalam bisnis. Pak St selain terkenal sebagai pedagang
kopi yang besar juga menjabat sebagai wakil ketua LMDH. Sama ironisnya dengan
Pak HS, beliau juga tidak mempunyai andil sedikit pun di hutan produksi Perhutani.
Tampaknya para pengurus LMDH dipilih karena posisi sosial mereka yang dapat
menjamin program-program yang ditetapkan oleh Perhutani dapat terlaksana dengan
baik. Pak Sw dan Pak Sm, selain pedagang keduanya merupakan pengurus kelompok
tani Sidomulyo I yang merupakan pecahan dari kelompok tani Suluh Tani I yang
diketuai Pak Mt. Mereka berdua ini juga mempunyai pekerja-pekerja tetap untuk
membantu pekerjaan-pekerjaannya baik di kebun kopi maupun di rumahnya.
HUTAN LINDUNG: ARENA PEREBUTAN SUMBERDAYA
Hutan Lindung: Sumberdaya Sarat Nilai
Hutan lindung sebagaimana diulas dalam bab tinjauan pustaka (hal. 11-12)
mempunyai fungsi pokok sebagai perlindungan sistem penyangga kehidupan
(mengatur tata air, mencegah banjir, mengendalikan erosi, mencegah intrusi air laut,
dan memelihara kesuburan tanah). Pemanfaatannya dapat berupa pemanfaatan
kawasan, pemanfaatan jasa lingkungan, dan pemungutan hasil hutan bukan kayu.
Fungsi dan pemanfaatannya ini merupakan ketetapan negara yang bersumber dari
UU No. 41 Tahun 1999 yang merupakan Undang-undang terakhir yang terkait
dengan hutan negara. Kebijakan ini mempunyai latar belakang sejarah yang panjang
mulai dari pendudukan Belanda di nusantara.
Sampai akhir abad ke-18 kondisi hutan di Jawa mengalami degradasi serius.
Sehingga ketika mengangkat Herman Willem Deandels sebagai Gubernur Jenderal di
Hindia Belanda (14 Januari 1808), pemerintah kolonial Belanda membebaninya
dengan tugas merehabilitasi kawasan hutan. Deandels kemudian membentuk Jawatan
Kehutanan (Dienst van het Boschwezen) yang merencanakan reforestasi dan
mengeluarkan peraturan kehutanan yang membatasi pemberian ijin penebangan kayu
jati dan memberi sanksi pidana bagi penebang tanpa ijin. Bahkan Dendels
mengeluarkan Peraturan Pemangkuan Hutan pada tanggal 26 Mei 1808 yang salah
satu prinsip pentingnya adalah bahwa: “Pemangkuan hutan sebagai domein negara
dan semata-mata dilakukan untuk kepentingan negara”. Kebijakan Dendels ini
merupakan kebijakan awal pengelolaan hutan yang menggunakan teknik dan
kelembagaan modern (Novrian, et.al, 2009).
Peraturan hukum pengelolaan hutan di Jawa dan Madura pertama kali
dikeluarkan tahun 1865 yang bernama Boschordonantie voor Java en Madoera 1865
(Undang-undang Kehutanan untuk Jawa dan Madura), kemudian disusul dengan
peraturan agraria Domeinverklaring 1870 yang mengklaim bahwa tanah hutan yang
tidak dibebani hak menjadi domain negara (Peluso, 1990). Namun, upaya Deandels
melakukan reforetasi dan membatasi penebangan kayu jati di atas tidak mencapai
60
hasil yang optimal. Bahkan Gubernur Jenderal setelahnya (Van de Bosch)
memberlakukan tanam paksa (Cultuur-stelsel) pada tahun 1830-1870 yang
menimbulkan perubahan drastis terhadap kondisi hutan di Jawa. Selanjutnya pada
tanggal 14 April 1874 diundangkan Reglemen Pemangkuan dan Eksploitasi Hutan di
Jawa dan Madura yang diperbarui dengan Boschreglement 1897 dan diteruskan
dengan Dienstreglement 1897 (Reglemen Dinas). Setelah berlaku 16 tahun kemudian
diganti dengan Reglemen 1913 yang mulai berlaku 1 Januari 1914. Pada tahun 1927
dikeluarkan Reglement voor het Beheer der bossen vun den Lande op Java en
Madoera 1927 yang kemudian diperbarui dengan Boschvererdening tahun 1935 dan
tahun 1937. Inilah undang-undang terakhir kehutanan yang dikeluarkan Belanda.
Setelah kemerdekaan undang-undang yang dirujuk dalam pengelolaan hutan
adalah Undang-undang Pokok Agraria (UUPA) 1960 yang sangat berbeda dengan
Undang-undang pada masa kolonial, di mana teori domain (yang menjadi dasar
hukum negara menguasai tanah) dihilangkan, dan sistem kepemilikan adat menjadi
dasar hukum. Hasilnya, wilayah adat diakui sebagai tanah-tanah milik. Tetapi
sayangnya, konsep undang-undang kehutanan Belanda masih melekat dalam benak
rimbawan yang menyiapkan Undang-undang Kehutanan 1967. Dalam undang-
undang ini hutan-hutan adat diklaim sebagai tanah negara, tanah adat dan
kepemilikan sumberdaya tidak diakui sebagai sistem tenurial formal, praktik-praktik
adat atas pengelolaan hutan tidak muncul sebagai pengelolaan hutan yang sah.
Sampai direvisi menjadi UU Kehutanan No. 41 Tahun 1999, hanya sedikit
perbaikan dalam hal hak-hak tenurial. Sementara itu, hutan-hutan adat mendapat
klasifikasi baru yang masih dalam konteks kawasan hutan negara yang dikontrol
oleh Kementerian Kehutanan (Fay, et. al. 2005).
Pengelolaan hutan di Jawa dan Madura oleh negara berada di bawah Perum
Perhutani yang merupakan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) pada tahun 1972
berdasarkan Peraturan Pemerintah (PP) nomor 15 tahun 1972 dengan wilayah kerja
pada awalnya kawasan hutan negara di Jawa Tengah dan Jawa Timur. Berdasarkan
PP nomor 2 tahun 1978, kawasan wilayah kerjanya diperluas sampai kawasan hutan
negara di provinsi Jawa Barat. Pada tahun 1986, Perum Perhutani mengalami
penyesuaian sebagaimana diamanatkan PP nomor 36 tahun 1986 tentang Perusahaan
Umum Kehutanan Negara (Perum Perhutani) dan disempurnakan kembali melalui
61
penetapan PP nomor 53 tahun 1999 tentang Perusahaan Umum Kehutanan Negara
(Perum Perhutani).
Rangkaian sejarah di atas menunjukkan betapa hutan menjadi sumberdaya
strategis bagi penguasa dan penduduk (masyarakat adat). Penguasa melihat hutan
sebagai pemasok bahan utama untuk menggalang kekuatan (kayu jati untuk kapal
dan bangunan), sehingga perlu dipelihara keberlanjutannya. Sedangkan bagi
masyarakat adat, hutan mempunyai nilai-nilai religious dan sosial di samping nilai
material sebagai sumber penghidupan mereka. Demikian juga dengan hutan lindung
yang menjadi obyek reklaiming oleh komunitas petani kopi rakyat di Sidomulyo.
Walaupun bukan sebagai hutan adat, dan sudah dikuasai oleh penguasa sejak
nenek moyang mereka datang ke daerah ini, hutan tetap menjadi sumberdaya
strategis bagi warga di sekitarnya seperti warga Sidomulyo. Status hutan lindung
yang ditetapkan dengan fungsi pokok untuk perlindungan sistem penyangga
kehidupan tidak menyurutkan langkah warga untuk tetap memanfaatkannya sebagai
basis material mereka. Isu kesejahteraan (mengambil keuntungan: akses) lebih
menonjol dibandingkan isu hak atas pemanfaatan sumberdaya hutan (property
rights). Mereka lebih melihat apa yang dapat dihasilkan dari hutan. Kembalinya
masyarakat terhadap hutan dipicu oleh penyelenggaraan kehutanan yang tidak
menghasilkan keseimbangan neraca pertukaran dan tidak mampu menyediakan
basis-basis material bagi kehidupan ekonomi masyarakat lokal sekitar hutan.
Gambaran kondisi yang ada selama ini dapat dilihat dari gambaran “Pesanggem”
(buruh kontrak Perhutani yang juga mendapat hak mengusahakan petak yang belum
produktif / tanaman belum menghasilkan dengan tanaman-tanaman musiman) di
bawah.
Pesanggem lahir dari pola tumpangsari yang diperkenalkan oleh Buurman
van Vreeden pada tahun 1873 dengan wilyah percobaan di daerah Tegal dan
Pekalongan. Pada program tumpang sari ini, petani sekitar hutan diijinkan untuk
menanam tananaman palawija di antara pohon-pohon jati. Uang kontrak diberikan
sekedar untuk menyatakan bahwa Pesanggem terikat dalam perjanjian kerja untuk
masa kontrak dua tahun, kemudian diharuskan meninggalkan lahan garapannya
(0,25-0,50 Ha). Sistem tumpang sari tidak mengalami perkembangan sejak
dikeluarkan petunjuk teknisnya pada tahun 1935 sampai saat ini.
62
Kehidupan sebagai Pesanggem menampilkan realitas sehari-hari masyarakat
yang hidup di sekitar hutan. Mereka hanya mengerjakan lahan tumpang sari, artinya
tanaman yang mereka budidayakan hanya menumpang pada tanaman utama yaitu jati
atau kayu rimba lainnya yang dimiliki oleh pengelola (Perhutani) atas nama negara.
Lahan garapan yang sangat kecil (di bawah 0,5 ha) menempatkan mereka sebagai
petani gurem. Selain itu kontrak yang mengikat mereka menjadikannya sebagai
buruh yang tidak akan bisa menikmati surplus produksi. Gambaran kehidupan
Pesanggem inilah kurang lebih tepatnya untuk menggambarkan kehidupan sehari-
hari warga Sidomulyo. Mereka hidup dalam dunia yang penuh eksploitasi untuk
tidak dikatakan hidup dalam penindasan; dalam dunia Pesanggem.
Potret nyata dari warga Sidomulyo sebagai Pesanggem dapat diperoleh dari
gambaran kehidupan seorang informan (Pak Sn, Dusun S). Lelaki yang lahir tahun
1959 dan tidak lulus SD ini hidup sebagai Pesanggem sebagaimana orang tuanya.
Rumah yang ditempati bersama istrinya, 3 orang anak (1 laki-laki dan 2 perempuan),
seorang menantu dan seorang cucu berada di atas tanah yang masuk dalam wilayah
penguasaan Perhutani. Tanah ini merupakan emplasemen yang sejak dulu memang
diperuntukkan untuk para Pesanggem. Lahan tumpangsari yang menjadi tanggung
jawabnya merupakan hutan produksi dengan tanaman pinus yang dimanfaatkan
getahnya oleh Perhutani. Tanaman pinus yang ada sudah berproduksi sehingga Pak
Sn tidak bisa lagi mengusahakan tanaman sela. Pekerjaannya pada lahan tersebut
beralih dari petani menjadi buruh deres getah yang biasa dilakukanya dini hari. Pak
Sn tidak tahu berapa luas 2 petak lahan yang menjadi tanggung jawabnya, yang jelas
menurutnya jumlah pohon pinus yang harus dideresnya adalah 700 pohon di satu
petak dan 400 pohon di petak lainnya.
Upah yang diterima Pak Sn dari Perhutani berdasarkan berapa banyak getah
yang berhasil dideresnya. Setiap kilogram getah yang disetorkan ke pabrik milik
Perhutani, Pak Sn mendapat upah Rp. 1.750,-. Dari petak yang berisi 700 pohon
pinus setiap 10 hari dapat menghasilkan 40-60 kg getah, sedangkan dari petak
satunya yang berisi 400 pohon pinus diperoleh 20-45 kg getah. Pekerjaan ini tidak
dilakukan Pak Sn sendiri melainkan dibantu anak laki-lakinya yang sudah
berkeluarga dan masih tinggal bersamanya. Penghasilan yang didapatkan Pak Sn dari
pekerjaan ini tidak dapat dipastikan karena hasil getah yang dideres fluktuatif
63
tergantung umur tanaman dan cuaca, menurutnya berkisar Rp. 400.000,- per bulan.
Dengan penghasilan inilah selama ini Pak Sn mencukupi kebutuhan keluarganya
sehari-hari yang berjumlah 7 orang. Sehingga dapat dibayangkan betapa
sederhananya kehidupan Pak Sn dan keluarganya. Untuk mencukupi kebutuhan
lainnya Pak Sn dan keluarganya memelihara 2 ekor sapi milik orang dengan sistem
bagi hasil dan membuka warung kecil di rumahnya. Kondisi perekonomian Pak Sn
membuatnya tidak mampu memberikan pendidikan yang baik bagi anak-anaknya.
Anak laki-laki pertamanya hanya bisa menamatkan SLTP dan akhirnya mengikuti
jejaknya membantu pekerjaannya sebagai Pesanggem. Sedangkan dua anak
perempuannya masih duduk di sekolah dasar yang menurut Pak Sn kiranya tidak
akan berbeda jauh dengan kakaknya karena keterbatasan ekonomi. Yang terpenting
bagi Pak Sn anak-anaknya sudah bisa membaca dan menulis, itu sudah cukup.
Kehidupan sehari-hari Pak Sn menunjukkan betapa timpangnya aliran
keuntungan dari pengelolaan sumberdaya hutan (produksi). Kondisi keterbatasan
ekonomi yang dialami keluarganya ternyata dimaknai lain oleh Pak Sn dengan
jawabannya ketika saya tanya: Apakah Bapak merasa cukup dengan kondisi yang
sekarang dialaminya?
“…saya merasa bersyukur dapat tinggal di emplasemen ini dan mendapat andil15 yang lumayan walaupun kadangkala tidak mencukupi untuk kebutuhan sehari-hari. Banyak orang yang mau membayar untuk dapat mendapatkan andil. Bahkan andil pun bisa dijual”.
Jawaban di atas menyiratkan bahwa untuk sampai pada kondisi tersebut Pak Sn
mencapainya dengan persaingan yang ketat walaupun sebenarnya apa yang
dilakukannya hanyalah meneruskan apa yang telah dikerjakan orang tuanya.
Ketimpangan di hutan produksi yang berada di bawah pengelolaan Perhutani
tersebut mendorong warga untuk mengambil manfaat dari sumberdaya hutan dengan
status lain (hutan lindung) yang juga berada di sekitar mereka. Gerakan sosial ini
mereka lakukan pada saat struktur politik nasional terbuka lebar yaitu masa reformasi
tahun 1998, setelah mundurnya Presiden Suharto. Gerakan ini mempunyai banyak
15 Andil merupakan bagian tanaman perkebunan yang menjadi tanggung jawab seorang pesanggem mulai dari merawat sampai memanen. Untuk mendapatkan andil seseorang harus mendaftar kepada Perhutani melalui para mandor. Tidak jarang mereka juga harus membayar untuk mendapatkannya. Andil ini bisa dipindah-tangankan dengan penggantian sejumlah uang tertentu yang cukup mahal.
64
tujuan baik yang bersifat ideologis maupun praktis untuk mencapai nilai-nilai yang
menjadi kepentingan warga Sidomulyo yang melakukan reklaiming. Tujuan
ideologis dari reklaiming terkait dengan alasan moralitas, keadilan, normatif dan
sejarah (Ardana, 2008). Sedangkan tujuan praktis dari reklaiming adalah nilai
ekonomi dan ekologi dari hutan lindung.
Alasan moral warga Sidomulyo adalah adanya eksploitasi yang dilakukan
Perhutani pada mereka yang menjadi pesanggem. Gambaran Pak Sn sebagai
pesanggem di atas yang serba terbatas baru mereka sadari setelah euforia reformasi
bergema di selutuh pelosok nusantara. Dominasi negara beserta aparatnya dalam
berbagai bidang kehidupan yang selama ini tidak disadari oleh masyarakat menjadi
terbongkar dengan tuntutan-tuntutan reformasi yang disuarakan melalui berbagai
media massa. Pengelolaan hutan oleh Perhutani baik di hutan produksi maupun hutan
lindung tidak memberikan manfaat bahkan membatasi kesempatan bagi warga di
sekitarnya untuk dapat menarik keuntungan dari sumberdaya hutan. Reklaiming
terhadap hutan lindung secara moral menurut warga dapat mengembalikan hubungan
masyarakat dengan hutan sebagaimana nenek moyang mereka sebelumnya.
Hubungan mereka dengan hutan banyak mngandung nilai-nilai moral seperti
bagaimana menjaga hutan agar dapat berfungsi menjaga keseimbangan lingkungan.
Perebutan kembali nilai-nilai moral ini mereka yakini akan dapat memperbaiki
kondisi dan posisi kehidupan masyarakat Sidomulyo.
Kebijakan pengelolaan hutan lindung oleh negara yang diserahkan kepada
Perhutani menciptakan ketidakadilan di masyarakat. Struktur agraria di Sidomulyo
yang menunjukkan adanya krisis berdampingan dengan sumberdaya hutan yang
melimpah tetapi terlarang dengan adanya status yang melekat kepadanya sebagai
hutan lindung. Kondisi ini tidak hanya menciptakan ketimpangan struktur agraria di
Sidomulyo, tetapi juga menciptakan ketidakadilan aliran keuntungan dari hutan
produksi yang dikelola Perhutani dan dikerjakan oleh para pesanggem. Gambaran
kondisi sehari-hari Pak Sn di atas menunjukkan betapa tidak adilnya upah yang
diterima oleh seorang pesanggem. Melalui reklaiming hutan lindung, warga
Sidomulyo menganggap akan dapat menikmati keadilan atas pengelolaan
sumberdaya hutan.
65
Amanat rakyat yang tertuang dalam pasal 33 ayat (3) UUD 1945 yang berbunyi:
”Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara
dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat” merupakan alasan normatif
(yuridis konstitusional) untuk reklaiming. Warga Sidomulyo menilai bahwa negara telah
gagal mengemban amanat tersebut bahkan secara jelas hanya meneruskan atau mewarisi
pengelolaan hutan sebagaimana dipraktekkan oleh kolonial Belanda. Padahal sudah jelas
sekali kalau praktek-praktek tersebut tidak berpihak pada rakyat.
Sejarah pengelolaan sumberdaya hutan tidak pernah berpihak pada rakyat.
Nilai-nilai kearifan lokal selalu diabaikan demi kepentingan penguasa. Reklaiming
hutan lindung yang dilakukan bertujuan menempatkan kembali nilai-nilai ini dalam
pengelolaan hutan. Warga berkeyakinan bahwa pengelolaan hutan oleh masyarakat
akan lebih baik karena rasa kepemilikan yang tinggi pada sumberdaya yang selalu
memberi mereka berbagai manfaat juga kadangkala dapat menimbulkan bencana
apabila tidak dijaga. Cermin sejarah buram ini menunjukkan betapa nilai-nilai
kearifan lokal masyarakat sekitar hutan tidak pernah dianggap oleh penguasa negeri
ini. Nilai-nilai moralitas, keadilan, normatif dan sejarah dari reklaiming hutan
lindung menjadi nilai-nilai ideologis yang melekat pada hutan lindung yang
kemudian menjadi tujuan ideologis reklaiming yang dilakukan komunitas petani kopi
rakyat di Sidomulyo.
Selain tujuan-tujuan ideologis tersebut, reklaiming juga bertujuan praktis
untuk memperoleh nilai-nilai ekonomi dan ekologi. Nilai ekonomi yang dimaksud
adalah hasil-hasil materi yang dihasilkan dari obyek reklaiming seperti biji-bijian,
buah-buahan, atau bahkan nilai sewa, gadai atau ganti rugi dari obyek reklaiming.
Nilai ekonomi hutan lindung yang direklaim oleh komunitas petani kopi rakyat dapat
dilihat dari nilai kebun kopi yang sekarang dikuasai. Nilai sepetak kebun kopi
tergantung pada jumlah dan umur tanaman kopinya. Jumlah tanaman berbanding
lurus dengan luas kebun walupun masih ada faktor pembatas lain seperti topografi,
dan kerapatan tanaman utama (pohon-pohon besar). Umur tanaman kopi
berpengaruh pada produktivitas. Umur produktif tanaman kopi dimulai dari umur 4
tahun sampai 10 tahun. Setelah itu perlu regenerasi dengan penyambungan batang
atas. Nilai ekonomi kebun kopi di hutan lindung dapat diwakili jawaban Pak Bs, Dsn
K, yang menguasai sepetak kebun kopi di hutan lindung yang berisi 1500 pohon
66
(kurang lebih 1 hektar). Menurutnya kebun yang dipunyainya akan banyak sekali
orang yang mau “mengganti rugi” apabila ia tawarkan 50 juta rupiah.
Nilai ekologis dari hutan lindung sudah tersurat dengan jelas dalam undang-
undang yang menyebut fungsi pokok-nya sebagai perlindungan sistem penyangga
kehidupan (mengatur tata air, mencegah banjir, mengendalikan erosi, mencegah
intrusi air laut, dan memelihara kesuburan tanah). Meskipun demikian fungsi
tersebut tidak serta merta hilang dengan dibukanya menjadi kebun kopi akibat
reklaiming. Karena kebun kopi di hutan merupakan sistem agroforestry yang
merupakan gabungan pertanaman pertanian-perhutanan (Notohadiprawiro, 2006).
Sistem ini mempunyai peran dalam pelestarian lahan, terutama: pengendalian erosi,
gerakan massa, dan timbunan secara langsung, pengawetan dan peningkatan
kesuburan tanah, pengawetan dan pengambangan sumber air, produktivitas sistem
produksi, pengantaran ke sistem pertanian yang lebih maju. Fungsi pokok hutan
lindung merupakan kriteria luas pengaruh dari agroforestry, sedangkan peran dalam
pelestarian lahan merupakan kriteria setempat. Kriteria setempat (kawasan
agroforestry) biasanya lebih ringan dan berjangka lebih pendek, sedang kriteria luas
pengaruh (kawasan yang berasosiasi dengan kawasan agroforestry) berisi
persyaratan lebih berat dan berjangka panjang. Kebun kopi hasil reklaiming hutan
lindung yang dikuasai komunitas petani kopi rakyat Sidomulyo memenuhi kriteria-
kriteria tersebut bahkan lebih baik dibandingkan masih menjadi hutan lindung saja
yang dikelola oleh Perhutani.
Aktor-aktor yang Berkonflik
Komunitas Petani Kopi Rakyat
Komunitas, mengacu pada Koentjaranigrat (1985) merupakan kesatuan sosial
yang disebut kesatuan hidup setempat yaitu kesatuan yang pertama-tama ada karena
ikatan tempat kehidupan. Demikian juga adanya petani kopi rakyat yang merupakan
aktor utama dalam reklaiming hutan lindung, mereka merupakan kesatuan sosial
yang sama-sama bertempat di desa atau kawasan yang sama (Desa Sidomulyo)
sehingga dapat dikatakan sebagai komunitas.
Sebagai suatu kesatuan manusia, suatu komunitas mempunyai juga perasaan
kesatuan, serupa dengan semua kesatuan manusia yang lain, tetapi perasaan kesatuan
67
dalam komunitas itu biasanya amat keras sehingga rasa kesatuan itu menjadi
sentimen persatuan. Suatu sentimen persatuan kalau dikupas mengandung unsur-
unsur rasa kepribadian kelompok, artinya perasaan bahwa kelompok sendiri itu
mempunyai ciri-ciri (biasanya ciri-ciri kebudayaan atau cara-cara hidup) yang
berbeda dengan kelompok lain; perasaan bangga akan ciri-ciri dari kelompok sendiri
itu; dan seringkali juga perasaan negatif (merendahkan atau paling sedikit
menganehkan ciri-ciri dalam kehidupan komunitas).
Selain ciri-ciri umum komunitas (wilayah, cinta wilayah dan kepribadian
kelompok) yang telah tersebut di atas, komunitas petani kopi rakyat di Sidomulyo
dapat disebut sebagai “komunitas kecil” karena merupakan kelompok-kelompok di
mana warga-warganya semuanya masih bisa saling kenal-mengenal dan saling
bergaul dengan frekuensi kurang atau lebih besar; antara bagian-bagian dan
kelompok-kelompok khusus di dalamnya tidak ada aneka warna yang besar; dan
dapat menghayati sebagian besar dari lapangan-lapangan kehidupannya secara bulat.
Komunitas petani kopi rakyat ini merupakan warga Desa Sidomulyo, baik
dari dusun yang ada di wilayah desa maupun dusun yang ada di wilayah perkebunan.
Bahkan ada juga warga dari desa lain, tetapi jumlahnya tidak banyak dan masih
dikenali oleh warga Sidomulyo karena biasanya berasal desa-desa tetangga.
Komunitas ini kemudian diwadahi dalam paguyuban sebagaimana diulas sebelumnya
dalam sub bab kelembagaan lokal (halaman 52).
Perhutani
Sebagaimana diketahui bahwa Perhutani merupakan pewaris pengelolaan
hutan (timber management) di Jawa dan Madura yang dimulai sejak jaman
pemerintahan Belanda. Perum Perhutani menjadi Badan Usaha Milik Negara
(BUMN) pada tahun 1972 berdasarkan Peraturan Pemerintah (PP) nomor 15 tahun
1972 dengan wilayah kerja pada awalnya kawasan hutan negara di Jawa Tengah dan
Jawa Timur. Berdasarkan PP nomor 2 tahun 1978, kawasan wilayah kerjanya
diperluas sampai kawasan hutan negara di provinsi Jawa Barat. Pada tahun 1986,
Perum Perhutani mengalami penyesuaian sebagaimana diamanatkan PP nomor 36
tahun 1986 tentang Perusahaan Umum Kehutanan Negara (Perum Perhutani) dan
68
disempurnakan kembali melalui penetapan PP nomor 53 tahun 1999 tentang
Perusahaan Umum Kehutanan Negara (Perum Perhutani).
Dalam masa pemerintahan Kabinet Reformasi, sesuai PP nomor 14 tahun
2001, Pemerintah menetapkan Perhutani sebagai BUMN dengan bentuk Perseroan
Terbatas (PT). Dengan berbagai pertimbangan dari segala aspek, keberadaan
Perhutani sebagai perseroan dikembalikan menjadi Perum berdasarkan PP nomor 30
tahun 2003. Dalam operasionalnya Perum Perhutani di bawah koordinasi
Kementerian Negara BUMN dengan bimbingan teknis dari Departemen Kehutanan.
Dalam menjalankan tugasnya Perum Perhutani dipimpin oleh Direksi yang
bertanggung jawab atas kepengurusan perusahaan dan Dewan Pengawas yang
bertugas melakukan pengawasan dan memberikan nasihat kepada Direksi.
Wilayah kerja Perum Perhutani meliputi kawasan hutan negara yang terdapat
di wilayah Provinsi Jawa Tengah, Provinsi Jawa Timur dan Provinsi Jawa Barat dan
Banten seluas 2.426.206 hektar (Tabel 3). Peta kawasan hutan Perum Perhutani dapat
dilihat pada Lampiran 3, sedangkan untuk Unit II (Jawa Timur) dapat dilihat pada
Lampiran 4.
Tabel 3. Wilayah Kerja Perum Perhutani
Unit Kerja Provinsi Hutan Produksi (Ha)
Hutan Lindung (Ha)
Total Luas (Ha)
Unit I Jawa Tengah 546.290 84.430 630.720Unit II Jawa Timur 809.959 326.520 1.136.479Unit III Jawa Barat
Banten 349.649
61.406230.708
17.244580.357
78.650 Jumlah 1.767.304 658.902 2.426.206
Sumber: Perum Perhutani, 2009.
Perhutani yang dimaksud sebagai aktor utama dalam reklaiming hutan
lindung dalam penelitian ini adalah Kesatuan Pemangkuan Hutan (KPH) Jember.
KPH ini berada di bawah wilayah kerja Unit II (Jawa Timur). Wilayah kerja KPH
Jember dapat dilihat dalam Tabel 4.
69
Tabel 4. Wilayah Kerja Perum Perhutani KPH Jember
Jenis Luas (Hektar) Persentase (%) Hutan Produksi 31.135,93 40,96Hutan Lindung 43.948,80 57,82Hutan Suaka Alam / Hutan Wisata 20,00 0,03Tidak Baik untuk Pertanian / Lapangan Dengan Tujuan Istimewa
905,84 1,19
Sumber: Perhutani KPH Jember, 2007.
Wilayah kerja tersebut terbagi atas tiga bagian hutan, yang masing-masing
dikepalai oleh seorang asisten administratur, yaitu:
1. Bagian Hutan Lereng Yang Selatan meliputi BKPH Lereng Yang Barat dan
Lereng Yang Timur, merupakan Potensi utama Kayu Rimba Mahoni.
2. Bagian Hutan Sempolan meliputi BKPH Sumberjambe dan Sempolan,
merupakan potensi utama Kayu Rimba Pinus.
3. Bagian Hutan Jember Selatan meliputi BKPH Mayang, Ambulu dan Wuluhan
merupakan potensi utama penghasil Kayu Jati.
Adapun hutan lindung yang direklaim oleh komunitas petani kopi rakyat di
Sidomulyo berada di wilayah kerja BKPH Mayang yang dikepalai oleh seorang
mantri Perhutani (Pak R) dan membawahi 11 orang mandor.
Swasta (Pedagang, Pemilik Modal dan Eksportir)
Pihak swasta yang terdiri dari pedagang kopi dan pemilik modal memang
bukan aktor utama dalam reklaiming hutan lindung. Tetapi merupakan aktor penting,
karena berhubungan langsung dengan kedua aktor utama di atas. Khususnya para
pedagang kopi, mereka membeli hasil panen kopi dari para petani maupun dari
Perhutani yang merupakan hasil setoran “sharing”. Hasil panen yang dibeli
kebanyakan sudah berupa kopi ose (beras), yaitu buah kopi yang sudah lepas
kulitnya dan sudah dikeringkan dengan kadar air sekitar 12%. Tetapi ada juga
pedagang yang membeli dari petani dengan sistem tebasan.
Ada dua jenis pedagang kopi di Sidomulyo, yaitu pedagang kecil dan
pedagang besar. Pedagang kecil adalah mereka yang membeli kopi dari petani dalam
jumlah yang tidak besar (berkisar 1 kwintal) dan tidak melayani tebasan, sedangkan
70
pedagang besar adalah mereka yang membeli kopi dari petani dalam jumlah besar
dan melayani tebasan. Pedagang kecil akan menjual kopi yang dibelinya kepada
pedagang besar atau kepada konsumen. Mereka ini biasanya tidak melakukan proses
sortasi. Sementara pedagang besar menjual kopinya setelah melakukan sortasi
kepada pedagang besar lainnya di luar daerah, industri pengolahan kopi dan
eksportir. Terlebih lagi ketika mereka membeli dari tebasan, maka mereka tidak
hanya melakukan sortasi tetapi harus melakukan pengolahan terlebih dahulu untuk
menjadikan kopi glondong yang dipanennya dari kebun kopi menjadi kopi beras
(ose).
Pedagang kecil yang ada di Sidomulyo cukup banyak jumlahnya, tetapi untuk
pedagang besar jumlahnya hanya sedikit. Pedagang kopi kecil tidak begitu menonjol
keberadaannya karena jumlahnya yang banyak tersebut. Sementara para pedagang
besar terlihat sangat menonjol dan menjadi elit di wilayahnya (dusun) masing-
masing. Beberapa pedagang besar ini menjadi informan dalam survei penelitian ini
(Lampiran 1). Selain pedagang mereka juga memiliki kebun kopi di hutan lindung
yang didapatkannya dari “mengganti rugi” (membeli). Beberapa pedagang besar ini
menduduki posisi-posisi strategis di desa dengan menjadi pengurus kelompok tani
(Pak Sw dan Pak Sm), paguyuban petani kopi (Pak St dan Pak HS). Para pedagang
besar bersama dengan kelompok tani ini menjalin kerjasama dengan eksportir.
Selain para pedagang, swasta lain yang terkait dengan reklaiming adalah
pemilik modal. Mereka ini berhubungan dengan petani dan pedagang. Hubungan
dengan petani terkait dengan kebutuhan para petani akan biaya usahatani dan biaya
hidup sehari-hari. Para pemilik modal akan meminjami mereka dengan perjanjian-
perjanjian tertentu. Di antara perjanjian itu adalah menjual hasil panen kopi kepada
mereka atau mengembalikan dalam bentuk uang ditambah dengan bunga tertentu.
Sedangkan hubungan pemilik modal dengan para pedagang adalah untuk memenuhi
kebutuhan modal pedagang agar dapat melakukan pembelian hasil panen para petani
kopi. Para pemilik modal yang berhubungan dengan para petani biasanya adalah para
pedagang kopi setempat. Sedangkan pemilik modal yang berhubungan dengan para
pedagang kopi biasanya para pedagang besar atau orang-orang kaya dari luar Desa
Sidomulyo.
71
Pemerintah (Desa dan Daerah)
Pemerintah baik desa maupun daerah (Kabupaten Jember) tidak terkait
langsung dengan reklaiming hutan lindung. Hal ini dikarenakan hutan lindung
walaupun ada di wilayah mereka, tetapi tanggung jawab pengelolaan ada di bawah
Perhutani. Keterkaitan mereka lebih pada petani kopi yang melakukan reklaiming
karena merupakan warga mereka. Sebagai penanggung wilayah administratif,
pemerintah selalu terkait dengan segala yang dilakukan warganya termasuk
reklaiming hutan lindung.
Sikap pemerintah tercermin dari jawaban Pak Mj, selaku kepala desa
Sidomulyo. Menurutnya ia tidak dalam posisi mendukung atau melarang warganya
melakukan reklaiming hutan lindung. Alasannya kalau mendukung, berarti ia
melanggar undang-undang kehutanan terutama mengenai hutan lindung. Sedangkan
kalau melarang, pemerintah desa tidak punya kekuatan dan memberikan solusi atas
sumber penghidupan warganya. Selama ini yang dapat dilakukan oleh pemerintah
desa adalah mendampingi warganya dan melakukan mediasi agar diperoleh solusi-
solusi yang menguntungkan kedua belah pihak terkait hutan lindung.
Sikap pemerintah desa di atas seirama dengan pemerintah di atasnya yaitu
pemerintah kabupaten. Dalam suatu pertemuan antara Bupati dengan warga untuk
menyerap aspirasi rakyat dan merupakan kampanye dari Bupati agar terpilih kali
kedua pada pemilihan kepala daerah yang akan segera digelar waktu itu, tidak
diperoleh jawaban yang jelas ketika ada warga yang mempertanyakan keberpihakan
Bupati pada reklaiming hutan lindung yang dilakukan warganya. Demikian juga
dengan petugas penyuluh perkebunan dari Dinas, menurutnya ia tidak berwenang
menanggapi status kebun kopi yang ada di hutan lindung. Tugasnya adalah membina
petani kopi yang mempunyai kebun di desa dan tidak mau terlibat dengan
keberadaan kebun-kebun kopi yang ada di hutan lindung.
Kepentingan Para Pihak
Aktor-aktor yang berkonflik di atas mempunyai kepentingan masing-masing
terkait hutan lindung sebagai sumberdaya yang diperebutkan. Konsep akses dari
Ribot dan Peluso (2003) dapat memberikan analisis siapa sebenarnya yang
memanfaatkan sumberdaya dan melalui proses-proses apa mereka mampu
72
melakukannya. Sehingga akses berfokus pada isu siapa yang dapat atau tidak
menikmati keuntungan atau aliran keuntungan sumberdaya, dengan cara apa dan
kapan.
Kepentingan komunitas petani kopi rakyat adalah mendapatkan sumber
penghidupan dalam hal ini kebun kopi. Reklaiming hutan lindung merupakan proses
yang mereka lakukan sebagai gerakan sosial atas keadaan krisis agraria yang ada di
wilayah mereka. Masa reformasi merupakan momentum yang dinilai sangat tepat,
mengingat struktur politik nasional terbuka lebar dan terbukti berhasil. Sejak awal
mereka sudah menyadari akan adanya benturan kepentingan dengan Perhutani yang
selama ini mempunyai kontrol atas hutan lindung. Sehingga mereka melakukan
berbagai strategi agar kepentingannya mengambil keuntungan dari hutan lindung
melalui pembukaan hutan kopi dapat berlanjut. Hal ini dalam konsep akses tindakan
petani kopi rakyat ini dapat dikategorikan sebagai “memelihara akses”. Mereka
bersedia “berkorban” agar akses terhadap sumberdaya (hutan lindung) tetap terbuka.
Kepentingan Perhutani sejak awal adalah sebagaimana mandat yang
diterimanya dari negara dan menjadi visinya yaitu: “Menjadi pengelola hutan lestari
untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.” Kegiatan pengelolaan hutan tersebut
meliputi: (1) perencanaan hutan, (2) reboisasi dan rehabilitasi hutan; (3)
pemeliharaan hutan; (4) perlindungan hutan, (5) pemungutan hasil hutan, (6) industri
hasil hutan, dan (7) pemasaran (Perhutani, 2010). Dari serangkaian kegiatan tersebut,
terkait dengan hutan lindung maka idealnya kegiatan Perhutani hanya pada nomer 1
sampai 4. Dalam konsep akses, kepentingan Perhutani adalah “kontrol akses” yaitu
kemampuan untuk memediasi akses pihak-pihak lain terhadap sumberdaya yang
dikontrolnya (hutan lindung). Kontrol berarti mengacu pada memeriksa dan
mengarahkan tindakan.
Kepentingan swasta dalam reklaiming adalah serupa dengan prinsip ekonomi
yaitu mencari keuntungan sebesar-besarnya dengan biaya sekecil-kecilnya dengan
resiko seminimal mungkin. Resiko seminimal mungkin dapat dilihat dari keterlibatan
mereka baru pada saat kondisi reklaiming sudah menunjukkan adanya aliran
keuntungan yang stabil. Kebun-kebun kopi di hutan lindung sudah menghasilkan
panen yang lebih baik dibandingkan kebun-kebun di desa. Selain itu, kemungkinan
operasi Perhutani untuk membabat pohon-pohon kopi warga dan mengembalikan
73
hutan lindung tertutup sangat kecil karena akan mendapat perlawanan yang keras
dari warga atau dengan kata lain biaya sosialnya sangat tinggi.
Kepentingan pemerintah desa adalah melindungi warganya agar dapat hidup
sebagaimana layaknya. Sikap aparat desa yang tidak mendukung atau melarang
terhadap gerakan warganya melakukan reklaiming merupakan bentuk kebijakan agar
kehidupan desa terus berjalan ke arah yang lebih baik. Krisis agraria yang dihadapi
warga desa belum bisa ditemukan jalan pemecahannya, sehingga reklaiming sebagai
gerakan sosial diharapkan dapat menjadi alternatif. Kepentingan pemerintah desa ini
lebih jelas keberpihakannya dengan mendampingi warganya dan melakukan mediasi-
mediasi dengan Perhutani. Sedangkan pemerintah daerah masih belum jelas
keberpihakannya, bahkan cenderung masa bodoh dengan reklaiming ini karena
terkesan tidak mau berurusan dengan pemerintah yang di atasnya (pusat) yang tentu
saja berpihak dengan Perhutani.
Mekanisme Akses (Reklaiming) Hutan Lindung
Mekanisme para pihak yang terlibat reklaiming dalam memperoleh,
mengontrol dan memelihara aliran keuntungan dari hutan lindung dan distribusinya
merupakan suatu kemampuan. Kemampuan akses tersebut dipengaruhi adanya
pembatas-pembatas yang muncul dari kondisi ekonomi politik dan budaya setempat.
Hal ini memainkan peranan yang disebut “mekanisme akses relasional dan
struktural”. Sebagaimana disebutkan Blaikie (1985) dalam Ribot dan Peluso (2003)
bahwa modal dan identitas sosial mempengaruhi mereka yang mempunyai prioritas
akses. Sehingga dapat dijelaskan bagaimana teknologi, modal, pasar, pengetahuan,
wewenang, identitas sosial, dan relasi sosial membentuk atau mempengaruhi akses.
Akses pada Teknologi
Pengaruh teknologi dalam akses sumberdaya hutan lindung di Sidomulyo
adalah dalam hal pengolahan kopi. Teknologi pengolahan kopi yang terus
berkembang (seperti hasil-hasil penelitian Puslit Koka) memerlukan uji coba dan
penerapan. Uji coba pengolahan semi basah (semi wet process) pada kopi pernah
dilakukan pada tahun 2004 di Sidomulyo oleh Puslit Koka. Teknologi ini bertujuan
untuk meningkatkan mutu kopi beras, hasilnya lebih seragam baik dalam penampilan
74
fisiknya maupun kadar airnya. Salah satu syarat pengolahan semi basah adalah buah
kopi yang dipanen dari pohon harus dalam kondisi matang maksimum (berwarna
merah). Hal ini berarti panennya menunggu kondisi kopi matang maksimum
tercapai yang selisih waktu dengan kondisi belum matang maksimum sekitar 9-10
hari. Selain itu waktu pengolahan semi basah juga lebih lama dibanding pengolahan
kopi asalan sekitar 5-10 hari. Tetapi harga kopi lebih terjamin dan selisih
perkilogramnya dengan kopi asalan sekitar Rp. 2000 – Rp. 2500,-.16
Untuk memenuhi syarat penerapan teknologi di atas dan tercapai tujuannya
diperlukan bahan baku kopi dalam jumlah yang besar. Hasil panen kopi dari kebun
kopi di desa jauh dari mencukupi untuk diterapkannya teknologi ini. Karena selain
luasnya yang kecil (309,9 hektar), produktivitasnya juga menurun dari waktu ke
waktu. Hasil pengolahan kopi semi basah ini untuk memasok pasar ekspor, dimana
eksportir mensyaratkan jumlah minimal untuk pengiriman yaitu 200 ton. Salah satu
caranya adalah ekstensifikasi kebun kopi di kawasan hutan lindung yang telah
mereka reklaim pada masa reformasi. Peningkatan nilai tambah dari penerapan
teknologi pengolahan semi basah kopi semakin meningkatkan akses pada
sumberdaya hutan lindung yang mereka reklaim. Kebun kopi di sana semakin
dirawat agar menghasilkan kopi yang lebih banyak sehingga semakin ekonomis
untuk diolah dengan teknologi tersebut.
Akses pada Modal
Akses pada modal dapat berupa jasa ekstraksi, produksi, konversi, mobilisasi
tenaga kerja, dan proses-proses lain yang berhubungan dengan pengambilan
keuntungan dari sesuatu atau seseorang. Akses pada modal dapat digunakan untuk
kontrol akses sumberdaya melalui pembelian hak, atau digunakan untuk memelihara
akses sumberdaya melalui sewa, fee, atau membeli pengaruh dari mereka yang
mempunyai kontrol sumberdaya. Hal ini juga dapat dilihat sebagai cara berdasarkan
hak untuk memperoleh akses sumberdaya secara legal, persetujuan atau proses
informal (Ribot dan Peluso, 2003).
16 Hasil wawancara dengan Pak Sm, informan yang mempunyai kebun kopi di desa dan hutan lindung, seorang pedagang dan pengurus kelompok tani.
75
Reklaiming hutan lindung pada komunitas petani kopi rakyat di Sidomulyo
membutuhkan modal yang cukup banyak baik pada saat awal (pembukaan) maupun
seterusnya (pembukaan dan pemeliharaan) kebun kopi. Pembukaan kebun kopi
membutuhkan banyak tenaga kerja yang harus diupah atau setidaknya waktu dan
bekal buat diri sendiri dan keluarga. Hal ini membutuhkan modal yang tidak sedikit.
Selain itu bibit tanaman kopi juga harus diperoleh dengan membeli agar bisa segera
ditanam, karena kalau menyemai sendiri membutuhkan waktu yang lebih lama dan
peluang jadinya lebih kecil. Modal yang dikeluarkan merupakan salah satu penentu
nilai dari kebun kopi itu sendiri, sehingga ketika akan dialihkan akan diperhitungkan
di samping tentu saja kondisi nyata dari kebun kopi itu sendiri.
Pengakuan adanya peningkatan nilai dari sumberdaya hutan dapat digunakan
untuk memperoleh pengakuan sosial. Demikian halnya dengan investasi, dapat
digunakan meneguhkan klaim atau memfasilitasi kondisi akses sumberdaya. Bahkan
penanaman pohon dapat menjadi klaim hak kepemilikan tanah. Kekayaaan atau
modal dapat mempengaruhi tipe akses yang lain ketika kekayaaan, identitas sosial
dan kekuasaan saling menguatkan. Dengan kata lain, karena status dan kekuasaan
yang dihasilkan kekayaan, mereka yang mempunyai kekayaan juga mempunyai
keistimewaan akses pada produksi dan pertukaran, kesempatan, bentuk pengetahuan,
dunia kewenangan dan sebagainya.
Akses pada Pasar
Secara umum akses pasar adalah kemampuan seseorang untuk memperoleh,
mengontrol, atau memelihara tempat masuk relasi-relasi pertukaran. Pasar juga
membentuk akses untuk memanfaatkan sumberdaya pada skala yang berbeda dengan
lebih cerdik dan secara tidak langsung. Nilai dari sumberdaya bervariasi ketika
sumberdaya dikomoditaskan atau ketika pasar nasional atau internasional mulai
mengekstraksi sumberdaya, yang pada gilirannya akan mempengaruhi hak-hak
kepemilikan.
Pasar kopi mempunyai jangkauan yang luas, sampai ke tingkat internasional.
Sehingga tidak mengherankan kalau tingkat harganya juga mengikuti harga pasar
internasional. Demikian juga dengan harga kopi di Sidomulyo, meskipun berada di
wilayah yang terpencil di pinggiran hutan, tetapi juga berpatokan pada harga kopi
76
internasional dalam pemasarannya. Berkembangnya teknologi informasi sangat
mendukung proses penentuan harga ini. Para pedagang di Sidomulyo secara
langsung (melalui internet) maupun melalui lembaga-lembaga yang mempunyai
akses dengan informasi harga internasional (pedagang besar, Puslit Koka dan Dinas
Perkebunan) selalu memantau perkembangan harga internasional.
Akses pasar dikontrol melalui banyak struktur dan proses. Struktur yang
dimaksud adalah struktur modal dan pasar. Semakin banyak modal yang dipunyai
oleh seorang pedagang semakin besar aksesnya pada pasar. Struktur pasar kopi di
Sidomulyo bersifat pasar persaingan sempurna di mana jumlah produsen (petani)
sangat banyak sekali dengan memproduksi produk yang sejenis dan mirip dengan
jumlah konsumen yang banyak. Sifat-sifat dari pasar persaingan sempurna adalah
jumlah penjual dan pembeli banyak dengan barang yang dijual sejenis, serupa dan
mirip satu sama lain. Petani sebagai penjual kopi bersifat sebagai pengambil harga
(price taker) yang besarnya ditentukan mekanisme pasar permintaan dan penawaran
(demand and supply). Posisi pembeli (pedagang) kuat, sehingga petani sulit
memperoleh keuntungan di atas rata-rata. Pasar persaingan sempurna ini sensitif
terhadap perubahan harga dan pelakunya (penjual dan pembeli) mudah untuk masuk
dan keluar dari pasar.
Proses dalam akses pasar, selain bertemunya permintaan dan penawaran juga
adanya proses intervensi. Intervensi pada permintaan berasal dari para pelaku pasar
(pedagang) yang kadangkala berkolusi untuk mendapatkan keuntungan yang lebih
besar. Intervensi pada penawaran kopi di Sidomulyo dilakukan dengan melakukan
kerjasama pemasaran antara petani, kelompok tani dan eksportir. Kerjasama ini
mensyaratkan beberapa hal terutama mutu yang standar dan volume kopi yang
kontinyu. Yang pernah dilakukan adalah kerjasama kelompok tani Sidomulyo I
dengan PT. Indokom pada tahun 2004.
Akses pada Tenaga Kerja
Mereka yang mengontrol akses pada tenaga kerja akan dapat mengambil
manfaat dari sumberdaya pada saat tenaga kerja dibutuhkan sepanjang kehidupan
sumberdaya atau sepanjang lintasan komoditi dihasilkan darinya. Reklaiming hutan
lindung membutuhkan tenaga kerja yang banyak untuk membuka hutan dan
77
menjadikannya kebun kopi. Sehingga pada awalnya dulu mereka yang dapat
mengorganisir tenaga kerja baik dengan membentuk kelompok atau dengan
mengupah tenaga kerja akan dapat membuka lebih luas. Mereka yang membentuk
kelompok akan membagi petak kebun yang dibukanya diantara sesama anggota
dengan kesepakatan masing-masing. Sedangkan mereka yang megupah tenaga kerja
akan menguasai semua petak kebun tetapi harus membayar para pekerja tersebut.
Sehingga setelah kebun-kebun kopi menghasilkan maka mereka yang
menguasai semakin banyak maka semakin mempunyai kontrol pada kesempatan
tenaga kerja (pekerjaan). Mereka yang mengontrol kerja dapat memberikannya pada
yang disenanginya sebagai bagian dari hubungan patronase. Mereka ini juga dapat
menggunakan kontrol tersebut untuk menurunkan upah ketika kesempatan kerja
langka. Kelangkaan tenaga kerja dan surplus dapat mempengaruhi bagian relatif dari
manfaat sumberdaya yang dinikmati oleh mereka yang mengontrol tenaga kerja,
mereka yang mengontrol kesempatan kerja, dan mereka yang ingin memelihara
aksesnya pada kesempatan-kesempatan ini.
Akses pada kesempatan kerja termasuk kemampuan dari pekerja sendiri atau
untuk memelihara akses untuk bekerja dengan orang lain. Meskipun seseorang tidak
mempunyai akses pada sumberdaya melalui hak kepemilikan, atau mungkin juga
tidak mempunyai modal untuk membali teknologi atau terlibat dalam transaksi
komersial yang memberinya hak pada sumberdaya, tetapi dia mungkin mendapat
akses sumberdaya dengan masuk dalam hubungan kerja dengan mereka yang
mempunyai kontrol pada sumberdaya, pemilik ijin, atau mekanisme akses berdasar
pasar. Pekerja mungkin sudah berinvestasi dalam hubungan sosial dengan mereka
yang menguasai sumberdaya dengan tujuan memelihara akses pada kesempatan kerja
dan sumberdaya. Beberapa tenaga kerja di Sidomulyo melakukan hal-hal ini pada
mereka yang menguasai kebun-kebun kopi yang luas di hutan lindung.
Akses pada Pengetahuan
Akses pada pengetahuan mempunyai arti penting dalam menentukan siapa
yang memanfaatkan sumberdaya. Kepercayaan, kontrol-kontrol ideologis, praktik-
praktik terpisah, juga sistem pemaknaan yang dinegosiasikan membentuk semua
bentuk akses. Untuk beberapa sumberdaya, akses mungkin tidak hanya didorong
78
oleh motif ekonomi atau klaim moral untuk hak-hak subsistensi, melainkan juga oleh
sosial, politik, dan tujuan-tujuan ritual yang merepresentasikan kekerabatan,
hubungan kekuasaan, atau harmoni ritual.
Reklaiming hutan lindung oleh komunitas petani kopi rakyat sekilas memang
dilandasi faktor ekonomi dan moral, tetapi hasil wawancara dengan para informan
menunjukkan adanya faktor sosial yang mendorongnya. Menurut Pak HS, Dusun
CM, reklaiming terbukti mengurangi kesenjangan sosial yang dahulu sangat tajam di
Sidomulyo: “dahulu warga Sidomulyo yang mempunyai sepeda motor sangat jarang
sekali, sekarang hampir semua rumah sudah mempunyainya bahkan ada beberapa
yang mempunyai mobil”. Faktor politik reklaiming adalah pengetahuan adanya
reformasi yang membuat struktur politik terbuka menjadikan mereka berani
melakukan reklaiming walaupun harus berkontestasi dengan Perhutani yang
menguasai hutan lindung. Pertemuan-pertemuan kelompok tani dan pengajian juga
menjadi motif pendorong dari reklaiming, karena acara ini membutuhkan biaya yang
tidak sedikit seperti untuk iuran, jamuan dan arisan.
Kontrol atas pengetahuan dan informasi juga mempunyai manfaat-manfaat
langsung. Pedagang dapat berbohong pada petani tentang harga komoditi di kota atau
internasional untuk menurunkan harga. Tetapi dengan perkembangan teknologi
informasi, hal ini semakin sulit dilakukan oleh para pedagang karena petani juga
dapat melakukan pengecekan. Informasi tentang teknologi mungkin juga
disembunyikan untuk mencegah petani menjadi independen. Khusus untuk teknologi
(seperti pengolahan kopi glondong menjadi kopi beras), karena membutuhkan biaya
yang tidak sedikit untuk mengadopsinya maka hanya mereka yang mempunyai
modal lebih atau kelompok saja yang dapat menerapkannya. Petani dapat
mengaksesnya dengan membayar sewa.
Akses pada Kekuasaan
Akses pada kekuasaan membentuk kemampuan individu untuk
memanfaatkan sumberdaya. Akses istimewa pada individu atau institusi dengan
kekuasaan membuat hukum berpengaruh kuat pada siapa yang memanfaatkan
sumberdaya. Mobilisasi jenis akses ini dapat dilakukan melalui saluran-saluran legal,
seperti mengajukan ijin atau lobi melalui saluran-saluran resmi. Kekuasaan yang
79
dipegang Perhutani atas hutan lindung di lereng selatan Gunung Raung setelah
direklaim tidak serta merta hilang. Warga yang melakukan reklaiming melalui para
wakilnya melakukan negosiasi-negosiasi agar Perhutani tidak menegakkan kembali
kuasanya di hutan lindung yang berarti akan menghilangkan kebun-kebun kopi
mereka.
Para wakil petani kopi tersebut dipilih berdasarkan kemampuannya secara
ekonomi dan sosial. Secara ekonomi mereka mampu membayar biaya-biaya
negosiasi seperti biaya komunikasi dan akomodasi dengan pihak Perhutani.
Sedangkan secara sosial, mereka sudah diakui oleh warga sebagai orang dapat
dipercaya dan mau serta mampu membela kepentingan mereka yang diwakilinya.
Tumpang tindih klaim di hutan lindung membuat individu dapat mengambil
manfaat dari identitas sosial yang berbeda untuk memperoleh atau mengakumulasi
sumberdaya menggunakan ide yang berbeda dari akses sah atau berwenang (forum
shopping17). Sehingga warga akan memberikan jawaban yang berbeda terkait
reklaiming hutan yang lindung berdasarkan siapa yang memberikan pertanyaan.
Akses melalui Identitas Sosial
Akses melalui identitas sosial sangat mempengaruhi distribusi keuntungan
dari sesuatu. Warga yang mempunyai posisi sosial lebih tinggi akan dianggap lebih
berjasa dalam melakukan reklaiming, sehingga akan mendapat bagian yang lebih
luas ketika kebun kopi dibagikan kepada para anggotanya. Hal ini berdasarkan
kesadaran bahwa mereka yang semakin tinggi status sosialnya semakin besar pula
konsekuensi atau resiko yang akan diterimanya.
Keanggotaaan dalam suatu komunitas atau kelompok akan mempengaruhi
akses terhadap sumberdaya. Warga Sidomulyo yang tergabung dalam paguyuban
atau kelompok tani atau LMDH akan semakin kuat aksesnya terhadap hutan lindung
karena selain mendapat dukungan dari kelompoknya juga selalu mendapat informasi
lebih cepat melalui pertemuan-pertemuan yang diadakan kelompok-kelompok
tersebut. 17 Forum shopping: kemampuan seorang aktor untuk memilih arena hukum, adat atau konvensi yang mendukung tujuan-tujuannya. Kekuatan ekonomi politik dan budaya menjadi lebih penting dalam menentukan siapa yang menggunakan hukum, adat, atau konvensi, kapan dan untuk tujuan apa (Ribot dan Peluso, 2003).
80
Akses Melalui Negosiasi Relasi-relasi Sosial
Pemeliharaan akses hutan lindung yang direklaiming dilakukan oleh
komunitas petani kopi rakyat melalui negosiasi dengan Perhutani baik sebagai
lembaga maupun personal. Para petugas Perhutani, terutama para mandor dan mantri
kebanyakan bertempat tinggal di wilayah kerjanya. Kondisi ini memudahkan
negosiasi secara personal. Bahkan pada awal-awal reklaiming, ada beberapa petugas
Perhutani yang minta mintah bahkan mengundurkan diri karena merasa serba salah
dengan posisinya sebagai petugas Perhutani yang harus menindak warga yang
melakukan reklaim dan posisinya sebagai sesama warga atau yang setiap hari
berinteraksi. Relasi sosial yang terjalin antara petugas Perhutani dengan warga
menjadikan akses warga pada hutan lindung semakin kuat.
Para warga juga melakukan investasi dalam relasi sosial yang bertujuan untuk
memperoleh akses pada sumberdaya. Hal ini mereka lakukan ketika menyadari
bahwa kesuksesan negosiasi menjadi salah satu penentu dalam kelangsungan akses
mereka pada hutan lindung. Dalam hal ini menjadi penting mengembangkan ikatan-
ikatan berbasis ekonomi sebagai tambahan ikatan berbasis identitas lainnya sebagai
cara masuk atau keluar dari suatu jenis manfaat. Berkembangnya kelompok tani
Sidomulyo I dan pembentukan koperasi serta unit pengolahan kopi merupakan
bentuk penguatan negosiasi dari relasi sosial yang dibangun komunitas petani kopi
rakyat di Sidomulyo.
Perubahan dalam ekonomi politik yang lebih luas dapat membuat beberapa
jenis akses menjadi kuno dengan menciptakan jenis baru relasi sosial yang butuh
dikembangkan untuk memperoleh, memelihara, atau mengontrol akses pada
sumberdaya. Hal ini juga disadari sepenuhnya oleh warga Sidomulyo dengan
mengembangkan kerjasama dengan berbagai pihak untuk meneguhkan eksistensinya
dan harapan adanya dukungan dalam berbagai hal di masa mendatang. Sehingga
sekarang mereka semakin terbuka untuk menerima ide, program, proyek, dan
sebagainya yang mendukung pemeliharaan aksesnya atas kebun kopi di hutan
lindung yang mereka reklaim.
KONTESTASI PARA PIHAK DAN KONFLIK ATAS
HUTAN LINDUNG
Kontestasi di sini diartikan sebagai sebuah proses yang bersifat dinamis dari
para pihak / para aktor (komunitas petani kopi rakyat, Perhutani, pedagang, dan
pemerintah) yang berinteraksi dan menegosiasikan apa yang menjadi kepentingannya
dalam konteks perebutan sumberdaya alam (hutan lindung). Interaksi mereka
terwujud dalam dua bentuk relasi kuasa agraria. Pertama, relasi teknis yaitu antara
aktor utama (komunitas petani kopi rakyat dan Perhutani) dengan objek agraria
(hutan lindung). Kedua, relasi sosial yaitu relasi di antara para pihak baik yang
terkait langsung maupun tidak langsung dengan reklaiming. Negosiasi kepentingan
para pihak berada dalam dua ruang, yaitu ruang konflik pemaknaan dan ruang
konflik hak dan akses.
Relasi Kuasa Agraria Para Pihak
Posisi dan relasi kuasa para pihak terkait reklaiming hutan lindung secara
sederhana dapat dilihat pada Gambar 3. Meskipun demikian perlu disadari bahwa
penyederhanaan ini bukan bermaksud mereduksi kompleksitas relasi diantara mereka
melainkan untuk menunjukkan relasi dominan berdasarkan hasil wawancara dan
observasi.
Gambar 3. Posisi dan Relasi Para Pihak Terkait Reklaiming Hutan Lindung
Pemerintah Desa
Hutan Lindung
Petani Kopi
Perhutani Pedagang
LMDH Pemilik Modal
Kelompok Tani
Dinas Kehutanan dan Perkebunan
Eksportir
Paguyuban
82
Petani kopi merupakan pihak sentral terkait reklaiming hutan lindung ini.
Tindakan mereka menduduki hutan lindung dan menjadikannya kebun kopi
membuatnya berhadap-hadapan dengan Perhutani yang secara legal formal mendapat
mandat dari negara untuk mengelolanya. Di wilayah hutan mereka berhadap-hadapan
secara langsung dengan para mandor maupun polisi hutan yang melaksanakan tugas.
Tetapi di wilayah desa mereka berhubungan melalui lembaga-lembaga yang mereka
bentuk sendiri-sendiri untuk memperjuangkan kepentingan masing-masing. Petani
membentuk paguyuban sedangkan Perhutani membentuk LMDH. Selain itu ada
pemerintah desa yang kadangkala menjadi mediator dalam hubungan mereka.
Relasi petani dengan pihak swasta (pedagang dan pemilik modal) maupun
dengan eksportir melalui kelompok tani merupakan hubungan ekonomi. Petani
menjual hasil kebun kopinya kepada para pedagang. Mereka juga berhubungan
dengan para pemilik modal untuk membiayai pengusahaan kebunnya dan kehidupan
sehari-harinya dengan berhutang. Hutang kepada pemilik modal dikembalikan
setelah mereka mendapatkan panen dengan perjanjian tertentu. Petani juga menjalin
kerjasama dengan eksportir melalui kelompok tani. Hal ini juga terkait dengan
pemasaran hasil kopinya dengan harapan mendapatkan hasil yang lebih tinggi.
Hubungan petani kopi dengan pemerintah kabupaten (Dinas dan Kehutanan
dan Perkebunan) melalui kelompok tani lebih bersifat teknis karena hanya berkisar
permasalahan teknis budidaya dan peningkatan kualitas hasil kopi. Hubungan ini
tidak membahas keberadaan kebun kopi yang berasal dari reklaiming bahkan
cenderung menghindarinya atau menutup mata. Demikian juga pihak pemerintah
yang lain seperti bupati juga tidak memberikan tanggapan ketika ditanya oleh petani
terkait sikap pemerintah kabupaten dengan keberadaaan kebun kopi di hutan lindung.
Menurutnya hutan lindung merupakan wewenang pemerintah pusat, pemerintah
daerah tidak berkompeten untuk ikut campur. Dalam hal ini terlihat bahwa
pemerintah daerah tidak melihat kepentingan warganya tetapi cenderung membela
pemerintahan yang ada di atasnya.
Dalam UU 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah yang merupakan
UU terbaru yang mengatur desa menyebutkan urusan pemerintahan yang menjadi
kewenangan desa adalah: (a) urusan pemerintahan yang sudah ada berdasarkan hak
asal-usul desa; (b) urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan kabupaten/kota
83
yang diserahkan pengaturannya kepada desa; (c) tugas pembantuan dari Pemerintah,
pemerintah provinsi, dan/atau pemerintah kabupaten/kota; (d) urusan pemerintahan
lainnya yang oleh peraturan perundangan diserahkan kepada desa. Pemerintah desa
Sidomulyo yang terdiri atas kepala desa dan perangkat desa sebagaimana dalam
Pasal 202 UU 32 Tahun 2004 ternyata tidak tahu-menahu dengan keberadaan dan
pengelolaan sumberdaya hutan yang ada di wilayahnya. Yang jelas menurut mereka
bahwa hutan milik negara dan dikelola oleh Perhutani sebagai perusahaan negara.
Ruang Konflik Pemaknaan tentang Sumberdaya Alam
Makna Reklaiming Menurut Warga
Sebagai masyarakat desa hutan yang tinggal di sekitar hutan, maka tidaklah
mengherankan apabila warga Desa Sidomulyo mempunyai ketergantungan yang
tinggi pada hutan. Ketergantungan mereka pada hutan tidak hanya pada aspek
ekologi, melainkan juga pada aspek ekonomi dan sosial bahkan budaya. Penetapan
status hutan lindung oleh Pemerintah yang berarti hanya untuk menjamin fungsi
ekologis tidak menghentikan warga untuk tetap mengambil manfaat dari hutan
lindung dari aspek ekonomi, sosial dan budaya.
Sudah dari nenek moyang mereka memperoleh pengetahuan bahwa hutan
merupakan sumber penghidupan. Dari hutan mereka mendapatkan kayu, baik untuk
membangun rumah maupun sekedar untuk bahan bakar. Dari hutan juga mereka
mendapatkan umbi-umbian, sayur-sayuran, dan rempah-rempah untuk bahan
makanan dan obat-obatan. Bahkan sebelum ditetapkannya hutan sebagai milik
negara sejak zaman Belanda, nenek moyang warga Sidomulyo bebas membuka hutan
untuk pemukiman dan lahan-lahan pertanian. Dari rangkaian sejarah cerita lisan yang
ada pada warga, mereka memahami bahwa hutan mempunyai fungsi ekonomi yang
terus menyusut dan membatasi mereka untuk mengambil manfaatnya.
Dari sudut sosial, hutan merupakan ruang untuk beraktivitas sehari-hari
masyarakat Sidomulyo. Di hutan mereka berinteraksi dengan warga lainnya dalam
rangka mencari sesuatu yang bisa dimanfaatkan seperti rumput untuk pakan ternak,
kayu bakar, sayur-sayuran dan sebagainya dan terutama menghabiskan waktu di
siang hari. Dalam interaksi tersebut muncul perbincangan-perbincangan diantara
mereka dalam memahami keterkaitan hutan dengan kehidupannya. Mereka selalu
84
membandingkan kondisi hutan dari waktu ke waktu dengan segala status dan
kebijakan pengelolaannya. Mereka merasa sebagai bahwa hutan adalah sesuatu yang
tidak bisa lepas dari kehidupan sehari-harinya. Cerita nenek-moyang, berita atau
pengumuman dari perangkat desa dan petugas perhutani, penyuluhan dari petugas
dinas, dan sebagainya yang terus berakumulasi mereka rangkai menjadi pengetahuan.
Pengetahuan inilah yang akhirnya membentuk sikap mereka secara dinamis terhadap
hutan yang ada di sekitar mereka.
Bagi masyarakat Sidomulyo, hutan mempunyai makna tersendiri untuk
kehidupan mereka. Nenek moyang mereka dahulu masih leluasa untuk membukanya,
walaupun menurut undang-undang Belanda hal itu tidak diperbolehkan. Penguasaan
hutan oleh Belanda menurut mereka adalah penjajahan, hutan adalah sumberdaya
umum yang bisa dimanfaatkan oleh siapa saja yang mampu. Membuka hutan sendiri
menurut mereka adalah suatu perjuangan yang membutuhkan keberanian dan daya
tahan yang luar biasa. Jadi, penguasaan oleh mereka yang membukanya adalah suatu
keniscayaan terlepas dari hukum apapun yang menaunginya. Terlebih lagi hukum
yang diundangkan oleh Belanda, menurut mereka jelas tidak sah karena mereka tidak
mengakui keberadaan Belanda sebagai penguasa. Sebagaimana umumnya di
berbagai wilayah, hutan merupakan tempat mereka yang ingin menghindari
kekuasaan atau orang-orang yang kalah atau tidak sepakat dengan kekuasaan yang
ada.
Sejak awal dibukanya daerah yang sekarang menjadi Desa Sidomulyo dan
mungkin di daerah pinggiran hutan lainnya di Indonesia, kental dengan perebutan
penguasaan hutan. Klaim dari mereka yang berkepentingan muncul silih berganti
dengan segala argumentasi yang beraneka ragam. Pergantian waktu tidak
menghilangkan klaim-klaim tersebut, argumentasinya menyesuaikan juga dengan
perubahan waktu. Bahkan warga Sidomulyo dengan perubahan waktu semakin
mampu menyusun argumentasi dengan pengetahuan yang semakin banyak
terakumulasi melalui cerita para orangtua, pendidikan, media massa, dan sebagainya.
Beberapa informan seperti Pak B (Dusun K) menyatakan: “Kalau dahulu
nenek moyangnya dapat memanfaatkan hutan untuk sumber penghidupan mengapa
sekarang tidak? Bukankah kekayaan sumberdaya harus dimanfaatkan untuk sebesar-
besarnya kemakmuran rakyat? Pengelolaan negara melalui Perhutani hanya
85
menyerap sedikit tenaga kerja dan hasilnya sebagian besar dinikmati orang atas”.
Upah yang diterimanya ketika menjadi mandor tanaman tidak pernah bisa
mencukupi kebutuhan sehari-hari keluarganya. Tanggung jawab yang besar dan juga
resiko konflik dengan tetangganya membuatnya mengundurkan diri dan ikut arus
kebanyakan masyarakat Sidomulyo untuk menduduki hutan lindung dan
menjadikannya kebun kopi. Terlebih lagi menurutnya hasil dari kebun kopi hasil
bukaan tersebut sangat menggiurkan apalagi jika kebun dan tanamannya dirawat
dengan baik. Hal yang terakhir ini cukup dominan sebagai daya tarik utama tindakan
untuk reklaiming. Basis materialisme ini mudah dipahami mengingat kopi sebagai
tanaman ekspor mempunyai nilai ekonomi yang menonjol dibandingkann tanaman
pangan walaupun ujung-ujungnya nanti juga untuk memenuhi kebutuhan subsistensi
mereka.
Warga Sidomulyo membentuk paguyuban petani kopi hutan untuk
memelihara makna dan nilai yang terkandung dalam reklaiming. Tidak semua
paguyuban yang terbentuk dapat dipercaya oleh anggotanya karena tidak semua
pengurus di tiap-tiap paguyuban memahami peranannya. Sehingga pergantian
pengurus sering terjadi dan menimbulkan dinamika dalam paguyuban itu sendiri.
Pemaknaan reklaiming tercermin dalam jawaban salah seorang informan (Pak
Bs, Dusun K), yang juga pernah menjadi ketua salah satu paguyuban, ketika saya
bertanya: Mengapa Bapak membuka hutan lindung dan menjadikannya kebun kopi?
“…kalau saya tidak ikut membuka hutan, maka tidak akan mendapat apa-apa. Kondisi mata pencaharian di sini sulit bahkan saya pernah pergi ke Bali untuk mencari pekerjaan selama dua tahun. Akhirnya saya kembali ke Sidomulyo setelah mendengar adanya kesempatan untuk membuka hutan.”
Jawaban Pak B tersebut tentunya sudah mengalami internalisasi, yaitu proses yang
dialami manusia untuk ’mengambil alih’ dunia yang sedang dihuni sesamanya.
Dalam internalisasi tersebut melibatkan sosialisasi baik primer maupun sekunder.
Internalisasi adalah proses penerimaan definisi situasi yang disampaikan orang lain
tentang dunia institusional. Dengan diterimanya definisi-definisi tersebut, individu
pun bahkan tidak hanya mampu mamahami definisi orang lain, tetapi lebih dari itu,
turut mengkonstruksi definisi bersama. Dalam proses mengkonstruksi inilah,
86
individu berperan aktif sebagai pembentuk, pemelihara, sekaligus perubah
masyarakat.
Pak Bs melihat bahwa dunia kehidupan di mana menjadi tempatnya
bersosialisasi sudah melakukan definisi bersama bahwa reklaiming hutan lindung
sudah dipahami dan mendapat legitimasi bersama. Keikutsertaannya dalam
reklaiming merupakan bentuk ungkapan untuk memperoleh keadilan bersama di
samping juga sebagai bentuk perlawanan atas kondisi yang selama ini membatasinya
untuk bisa mengakses sumberdaya hutan.
Makna Reklaiming Menurut Perhutani
Keistimewaan Perhutani dalam mengelola hutan selama ini melahirkan
sekian banyak peraturan dan tertib sosial masyarakat sekitar hutan yang tidak jauh
beda dengan yang pernah diterapkan oleh penjajah Belanda. Kondisi ini sangat
merugikan mereka yang tinggal di sekitar hutan yang sejak nenek moyangnya sudah
mempunyai keterikatan dan ketergantungan dengan hutan. Pengelolaan hutan oleh
Perhutani mengandung makna tersendiri yang tercermin dari visi misi terkahir yang
sekarang menjadi pegangan dalam menjalankan mandatnya.
Bagi Perhutani, makna hutan dapat dilihat dari perumusan misi-misi yang
dijabarkan dari visinya18: “Menjadi pengelola hutan lestari untuk sebesar-besarnya
kemakmuran rakyat”. Misi pertamanya yaitu: “Mengelola sumberdaya hutan dengan
prinsip Pengelolaan Hutan Lestari berdasarkan karakteristik wilayah dan Daya
Dukung Daerah Aliran Sungai (DAS) serta meningkatkan manfaat hasil hutan kayu
dan bukan kayu, ekowisata, jasa lingkungan, agroforestri serta potensi usaha
berbasis kehutanan lainnya guna menghasilkan keuntungan untuk menjamin
pertumbuhan perusahaan secara berkelanjutan”, menunjukkan bahwa hutan
bermakna ekonomi bagi Perhutani.
Misi kedua Perhutani: “Membangun dan mengembangkan perusahaan,
organisasi serta sumberdaya manusia perusahaan yang modern, profesional dan
handal serta memberdayakan masyarakat desa hutan melalui pengembangan
lembaga perekonomian koperasi masyarakat desa hutan atau koperasi petani hutan”
18 SK Nomor : 17/Kpts/Dir/2009 tanggal 9 Januari 2009.
87
masih menunjukkan makna ekonomi karena terkait manajemen internal.
Pemberdayaan masyarakat yang disebutkannya bukan berarti bermakna sosial, tetapi
lebih sebagai bentuk tanggung jawab sosial perusahaan (corporate social
responsibility: CSR).
Misi ketiga Perhutani: “Mendukung dan turut berperan serta dalam
pembangunan wilayah secara regional dan nasional, serta memberikan kontribusi
secara aktif dalam penyelesaian masalah lingkungan regional, nasional dan
internasional” menunjukkan adanya makna sosial ekonomi (pembangunan wilayah)
dan makna lingkungan (penyelesaian masalah lingkungan).
Dari ketiga misi Perhutani di atas menunjukkan adanya makna ekonomi yang
sangat dominan. Hal ini sebenarnya tidak sesuai dengan bentuk keorganisasian
Perhutani yaitu Perum yang menurut Undang-undang No. 9 Tahun 1969 makna
usaha dan tujuan perusahaannya adalah pelayanan umum (public service) dan profit
yang seimbang/kondisional. Artinya antara makna sosial dan ekonomi harus
seimbang. Kondisi ini juga merupakan buntut dari permasalahan yang belum tuntas
jawabannya yaitu makna usaha BUMN (termasuk Perhutani), apakah berfungsi
sebagai sarana pencari uang bagi negara atau berfungsi sosial dalam pelayanan
publik? Penemuan jawaban atas pertanyaan ini akan memberikan kejelasan arah
perjalanan suatu BUMN termasuk Perhutani di dalamnya.
Ruang Konflik Hak dan Akses terhadap Sumberdaya Agraria
Hak (kepemilikan) dan akses menyangkut hubungan-hubungan di antara
orang-orang berkenaan keuntungan-keuntungan dan nilai-nilai (Ribot dan Peluso,
2003). Keuntungan adalah sesuatu yang penting, karena orang, lembaga, dan
masyarakat hidup atas dan untuk keuntungan, berselisih dan bekerjasama juga demi
keuntungan. Kunci pembeda antara hak dan akses bersandar pada perbedaan antara
“hak” dan ‘kemampuan”. Hak secara umum menimbulkan sejenis klaim yang diakui
dan didukung secara sosial baik oleh hukum, adat atau konvensi. Sedangkan
“kemampuan” yang merupakan inti dari akses lebih mirip dengan “kuasa” yang
dapat digambarkan dalam dua hal. Pertama, sebagai kemampuan beberapa aktor
untuk mempengaruhi praktek dan ide orang lain. Kedua, sebagai kekuasaan yang
timbul (walaupun tidak selalu berkaitan) dari masyarakat.
88
Ruang konflik hak terhadap sumberdaya agraria hutan lindung antara
komunitas petani kopi rakyat di Sidomulyo dengan Perhutani KPH Jember berkisar
pada klaim dari masing-masing pihak. Klaim Perhutani bersandar pada hukum
formal mulai dari Peraturan Pemerintah (PP) nomor 15 tahun 197219, PP nomor 2
tahun 197820, PP nomor 36 tahun 198621, dan PP nomor 53 tahun 199922. Sementara
itu, klaim warga bersandar pada alasan-alasan nilai moralitas, keadilan, normatif dan
sejarah (sebagaimana dijelaskan pada sub bab Hutan Lindung: Sumberdaya Sarat
Nilai, khususnya hal. 64-65). Nilai-nilai tersebut walaupun tidak mempunyai dasar
hukum, tetapi mendapat dukungan secara luas dari masyarakat. Selain itu klaim
warga juga berdasarkan pada kemampuannya meningkatkan manfaat (ekonomis dan
ekologis) dari pengelolaan hutan lindung. Peningkatan manfaat hutan lindung
menghasilkan nilai pada hutan lindung yang bersumber dari masyarakat. Nilai yang
dimaksud adalah “kuasa” mengambil manfaat dari petak yang ada di hutan lindung
yang berupa kebun kopi. “Kuasa” ini walaupun tidak mempunyai bukti kepemilikan,
tetapi diakui oleh masyarakat dan dapat dipindahtangankan dengan sejumlah “ganti
rugi”.
“Kuasa” tersebut merupakan akses yang oleh Ribot dan Peluso (2003)
didefinisikan sebagai: “ kemampuan untuk mengambil keuntungan dari sesuatu
seperti obyek material, seseorang, lembaga dan simbol”. Penekanan pada
“kemampuan” dibandingkan dengan hak akan membawa perhatian yang lebih luas
pada relasi-relasi sosial yang membatasi atau memperbolehkan masyarakat
memanfaatkan sumberdaya tanpa memperhatikan hubungan kepemilikan (property
rights) saja. Demikian juga halnya dengan warga Sidomulyo, akses terhadap hutan
lindung menghasilkan relasi kuasa agraria di antara para pihak baik yang terkait
langsung atau tidak langsung dengan reklaiming.
Secara empiris akses hutan lindung digunakan oleh warga dengan cara
melakukan reklaiming dan membuat kebun kopi di dalamnya. Sedangkan Perhutani
hanya mempunyai kontrol yang berarti hak memanfaatkan tetapi tidak bisa
19 Tentang Pengelolaan hutan di Jawa dan Madura oleh negara berada di bawah Perum Perhutani yang merupakan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) 20 Tentang perluasan wilayah kerja Perhutani sampai kawasan hutan negara di provinsi Jawa Barat 21 Tentang Perusahaan Umum Kehutanan Negara (Perum Perhutani) 22 Tentang Perusahaan Umum Kehutanan Negara (Perum Perhutani).
89
menggunakannya. Dalam hal ini, terdapat jajaran kekuasaan (range of powers) yang
mempengaruhi kemampuan warga Sidomulyo untuk mengambil keuntungan dari
hutan lindung. Kekuasaan yang dimaksud adalah material, budaya dan ekonomi
politik dalam “ikatan (bundles)” dan “jaring-jaring (webs)” kekuasaan yang
mengatur akses. Akses ini dibentuk dan dipengaruhi oleh teknologi, modal, pasar,
pengetahuan, wewenang, identitas sosial, dan relasi sosial sebagaimana dijelaskan
dalam sub bab Mekanisme Akses (Reklaiming) Hutan Lindung (hal. 73-80).
Konflik akses berkisar pada persaingan para pihak dalam mengambil
keuntungan dari sumberdaya (hutan lindung). Hal ini berdasar pada adanya orang-
orang dan lembaga yang “mengontrol” akses sumberdaya sementara yang lain
“memelihara” akses mereka melalui mereka yang mempunyai kontrol. Pembedaan
dalam hubungan akses ini dapat membantu memahami mengapa ada orang-orang
atau lembaga yang mengambil keuntungan dari sumberdaya, baik memiliki hak atau
tidak atas sumberdaya tersebut. Warga mengambil keuntungan dari hutan lindung
dengan membuka kebun kopi. Untuk memelihara akses ini mereka memberikan
“cukai” kepada para petugas Perhutani. Pemeliharaan akses merupakan strategi di
bawah tanah agar para petugas Perhutani tidak merusak kebun-kebun kopi yang ada
di hutan lindung yang berada di bawah kontrolnya. Semakin besarnya keuntungan
yang diperoleh dari kebun-kebun kopi tersebut membuat Perhutani sebagai lembaga
tertarik untuk turut menikmati keuntungan tersebut. Siasat yang diterapkannya
adalah dengan membentuk LMDH (hal. 51) untuk mengakomodasi setoran “cukai”
yang selama ini masuk ke petugas menjadi “sharing”, sehingga bisa menjadi setoran
legal sebagaimana diterimanya dari hutan-hutan produksi yang dikelolanya.
Besaran distribusi keuntungan (sharing) menjadi konflik di antara warga
dengan para pengurus paguyuban yang menetapkannya tanpa kesepakatan bersama.
Para pengurus paguyuban sendiri berusaha memenuhi target yang dibebankan
kepadanya, sementara itu para warga merasa besaran yang ditetapkan tidak adil
karena tidak mempertimbangkan kondisi kebun dan hasil panen. Perbedaan
kepentingan ini masih belum mengarah pada konflik terbuka, karena para anggota
masih belum menemukan kesempatan untuk menunjukkan sikapnya baik kepada
pengurus atau Perhutani.
90
Derajat Konflik Kontestasi
Kontestasi antara dua aktor utama dalam reklaiming (komunitas petani kopi
rakyat dan Perhutani) dalam mencapai kepentingannya masing-masing pada saat
penelitian dilakukan berada pada tahap kemacetan (stalemate) (Bram, 2003).
Masing-masing tidak bisa memenangkan kepentingannya atau mundur menerima
kekalahan. Kondisi ini terjadi karena adanya beberapa hal, yaitu: besarnya biaya
melanjutkan konflik, tidak adanya dukungan pada masing-masing pihak, dan
gagalnya taktik masing-masing pihak.
Masing-masing pihak baik warga maupun Perhutani menyadari bahwa akan
membutuhkan biaya dan pengorbanan yang besar apabila konflik terus diperluas atau
ditingkatkan. Warga akan kehilangan kebun kopi yang sudah mulai menghasilkan
dan sudah menghabiskan banyak biaya. Sementara itu, Perhutani akan menghadapi
perlawanan dari warga yang menguasai hutan lindung yang tidak sedikit jumlahnya.
Biaya sosial yang harus ditanggung oleh Perhutani akan sangat tinggi sekali.
Pengalaman melakukan pendekatan keamanan dengan mendatangkan polisi dan
tentara seperti pada saat konflik terbuka (masa awal reklaiming) terbukti tidak
membuahkan hasil.
Tidak adanya dukungan pada masing-masing pihak menjadikan konflik
perebutan sumberdaya hutan lindung berada pada tahap kemacetan. Warga tidak bisa
melanjutkan reklaiming ini ke arah klaim hak, karena tidak ada dukungan politik di
belakangnya. Demikian juga Perhutani tidak mempunyai dukungan yang kuat untuk
mengembalikan hutan lindung yang direklaiming seperti semula. Para pihak yang
lain justru mendukung kondisi ini, di mana mereka bisa mengambil keuntungan
tanpa takut mendapat resiko akibat konflik terbuka, atau adanya kesepakatan yang
dicapai oleh kedua belah pihak yang berkonflik yang justru merugikan mereka.
Kondisi ini juga tercipta akibat gagalnya taktik-taktik dari masing-masing
pihak. Inisiatif “cukai” dari warga ternyata disambut dengan pola “sharing” dari
Perhutani. Demikian juga pendekatan keamanan yang dilakukan Perhutani ternyata
tidak efektif justru menghabiskan energi yang besar dan biaya sosial yang tinggi.
Sehingga masing-masing pihak sebenarnya pada kondisi menunggu sambil tetap
berusaha mengambil keuntungan dari sumberdaya yang mereka perebutkan (hutan
lindung).
91
Membangun Konsensus: Membangun Harmoni
Tahapan kontestasi yang berada pada tahap kemacetan, apabila dilihat dari
seluruh tahapan konflik berarti pada tahap puncak. Pada tahap ini konflik akan
menurun dan menuju pada tahap pengurangan (de-escalation) dan mengalami proses
negosiasi dalam rangka mencapai konsensus. Tahap pengurangan konflik ini
mengacu pada menurunnya cara-cara kekerasan yang digunakan oleh para pihak
yang terlibat dalam reklaiming. Tahap ini juga berarti hilangnya kebencian dan
meningkatnya kerjasama (Maiese, 2004).
Terdapat beberapa proses yang menyumbang pada pengurangan konflik
akibat reklaiming hutan lindung. Beberapa proses tersebut antara lain: perubahan
organisasi sosial, interaksi para pihak yang berkonflik, peranan pihak ketiga,
lembaga pendidikan dan media.
Munculnya paguyuban petani kopi hutan sebagai wadah memperjuangkan
kepentingan mereka terutama keberadaan kebun kopinya menunjukkan adanya
keinginan dari warga untuk bekerja sama menyelesaikan konflik dengan Perhutani.
Pembentukan LMDH oleh Perhutani juga merupakan bentuk akomodasi dari
Perhutani untuk turut mengambil keuntungan dari akses terhadap hutan lindung.
Munculnya organisasi-organisasi ini menunjukkan bahwa para pihak yang berkonflik
sudah mengarah pada negosiasi untuk konsensus bersama.
Interaksi sehari-hari para petugas Perhutani yang juga bertempat tinggal
dalam desa yang sama dengan warga yang melakukan reklaiming hutan lindung
menimbulkan penghormatan akan hak-hak hidup bersama. Kebersamaan mereka
menghilangkan perasaan-perasaan bermusuhan yang akhirnya dapat mengurangi
meluasnya konflik. Melalui berbagai proses yang manusiawi, masing-masing pihak
dapat bertemu dengan penerimaan yang saling menguntungkan.
Sebagaimana telah disebutkan sebelumnya, bahwa banyak pihak yang terkait
walaupun secara tidak langsung dalam reklaiming hutan lindung ini. Meskipun para
pihak tersebut tidak mendapat keuntungan secara langsung dari akses hutan lindung,
tetapi mereka mempunyai peranan penting dalam mengatasi meluasnya konflik.
Pihak pemerintah desa misalnya, selalu memediasi antara warga dan Perhutani dapat
membangun komunikasi dan konsensus terkait reklaiming. Secara hukum pemerintah
desa mengakui bahwa mereka tidak mempunyai kewenangan dengan pengelolaan
92
hutan. Meskipun demikian mereka merasa bertanggung jawab dengan keberadaan
warganya dan tindakan mereka membuka hutan lindung dan menjadikannya kebun
kopi. Upaya mediasi dan dialog yang dilakukan ternyata mengarah pada beberapa
kesepakatan yang sementara dirasa menguntungkan berbagai pihak. Sudah ada Surat
Perjanjian Kerjasama pengelolaan hutan lindung antara Perhutani dan warga yang
menguasai kebun kopi dan diketahui pihak desa. Dengan adanya kesepakatan ini,
maka pihak desa mempunyai dasar ketika terjadi permasalahan atau pertikaian yang
terkait dengan keberadaan kebun kopi yang ada di hutan lindung tersebut. Demikian
juga pedagang, walaupun mempunyai motif ekonomi (mendapat barang dagangan
kopi), mereka juga berusaha agar kondisi yang kondusif tetap terjaga demi
kelancaran usahanya juga.
Lembaga-lembaga pendidikan dan media turut berperan dalam mengurangi
eskalasi konflik akibat reklaiming hutan lindung. Lembaga pendidikan seperti
sekolah dan pondok pesantren berperan dalam mempromosikan kerjasama dan
perilaku sosial yang baik. Demikian juga media dapat mempromosikan pemahaman
di antara para pihak yang berkonflik dan mengklarifikasi isu-isu yang dapat
memperluas konflik.
PERUBAHAN STRUKTUR AGRARIA DAN HARMONI SEMU
Distribusi Manfaat Reklaiming
Reklaiming sebagai bentuk akses terhadap hutan lindung yang dilakukan oleh
komunitas petani kopi rakyat yang merupakan warga Desa Sidomulyo dan sekitarnya
telah memberikan manfaat/keuntungan. Keuntungan tersebut berasal dari pembukaan
kebun kopi di dalam hutan lindung yang mereka reklaim. Untuk memelihara akses
ini, awalnya mereka memberikan “cukai” kepada para petugas Perhutani. “Cukai” ini
kemudian oleh diakomodasi oleh Perhutani secara lembaga diakui sebagai “sharing”
sebagaimana diterimanya dari para pesanggem di hutan-hutan produksi yang
dikelolanya. Bahkan Perhutani melalui Surat Perjanjian Kerjasanma (SPK) yang
ditandatangani bersama LMDH mematok besaran 1/3 hasil panen sebagai “sharing”
tersebut.
Manfaat dari reklaiming sebenarnya tidak hanya dinikmati oleh dua aktor
utama di atas. Selama budidaya kopi, baik dalam pemeliharaan kebun maupun panen
kopi, menciptakan banyak kesempatan kerja. Sehingga para buruh tani dapat dengan
mudah mendapatkan pekerjaan yang berarti juga pendapatan. Setelah itu, pengolahan
hasil panen kopi yaitu menjadikan buah kopi (kopi glondong) menjadi kopi beras
(ose) juga menciptakan kesempatan kerja dan peluang penerapan inovasi-inovasi
teknologi. Proses pengolahan ini juga membuka kesempatan kerja. Setelah itu
pemasaran kopi menciptakan peluang bagi para pedagang untuk mengambil
keuntungan. Bergeraknya perekonomian di wilayah desa menjadikan pemerintah
desa terpacu untuk meningkatkan pelayanannya dan melaksanakan program-program
pembangunan untuk mendukung aktivitas warganya.
Peningkatan perekonomian warga Desa Sidomulyo berpengaruh pada kondisi
kehidupan sosial mereka. Interaksi sosial semakin intensif, relasi sosial juga semakin
berkembang dan kompleks. Kondisi sosial ekonomi yang semakin kondusif menarik
para pemilik modal untuk berinvestasi baik kepada pedagang maupun kepada petani
kopi. Mereka juga berharap dapat menikmati keuntungan yang bersumber dari
kebun-kebun kopi hasil reklaiming hutan lindung.
94
Kontestasi para pihak dalam reklaiming hutan lindung dengan segala
kepentingannya akan bermuara pada suatu struktur agraria baru. Perubahan struktur
agraria ini pada dasarnya adalah perubahan sosial karena terjadi perubahan pola
perilaku, hubungan sosial, lembaga dan struktur sosial pada komunitas petani kopi
rakyat yang melakukan reklaiming pada khususnya dan wilayah Desa Sidomulyo
pada umumnya. Hal ini dapat dilihat dari perubahan unsur-unsur pembentuk struktur
agraria sebagaimana disebutkan oleh Tuma (dalam Sitorus, 2002), yang meliputi:
kepemilikan tanah, konsentrasi tanah dan pendapatan, diferensiasi sosial, persaingan
usaha, dan rasio tanah/tenaga kerja. Hasil survei dan observasi terhadap 30 rumah
tangga petani yang dipilih (Lampiran 1) akan menjelaskan perubahan tersebut.
Kepemilikan Tanah
Kepemilikan tanah responden yang disurvei tidak menunjukkan pertambahan
secara langsung karena memang lahan kebun kopi di hutan yang mereka kuasai tidak
bisa dimiliki. Tetapi dari hasil kebun kopi tersebut beberapa responden mengaku
dapat membeli tanah yang ada di desa baik pekarangan, sawah atau tegalan.
Penguasaan tanah efektif23 sebagaimana disebut Wiradi (1984) yang sebelum adanya
reklaiming berkisar pada rata-rata 1 hektar berubah menjadi 2 hektar lebih. Angka
rata-rata ini tidak bisa mencerminkan keadaan sebenarnya tetapi hanya menunjukkan
besarnya perubahan rata-rata penguasaan tanah yang mencapai 100% bahkan lebih.
Kenyataannya dari 30 responden tersebut 10 orang di antaranya sebelumnya tidak
mempunyai kebun kopi sama sekali (lihat Lampiran 2).
Penguasaan kebun kopi di atas tidak semuanya berasal dari usaha warga
membuka sendiri di hutan lindung. Bahkan hasil survei menunjukkan bahwa paling
banyak responden (14 orang atau 47%) menguasai kebun kopi tersebut dengan
membeli atau istilah mereka mengganti rugi. Responden yang menguasai kebun kopi
dengan membuka sendiri sebanyak 13 orang (43%) dan sisanya (3 orang atau 10%)
menguasai kebun kopinya dengan membuka sendiri dan membeli. Pola penguasaan
kebun kopi ini menunjukkan adanya komodifikasi lahan sebagai faktor produksi.
23 Misalnya, jika sebidang tanah disewakan kepada orang lain maka orang lain itulah yang secara efektif menguasainya. Jika seseorang menggarap tanah miliknya sendiri, misalnya 2 ha, lalu menggarap juga 3 ha tanah yang disewa dari orang lain, maka ia menguasai 5 ha.
95
Lahan di hutan lindung yang sudah berubah menjadi kebun kopi rakyat menjadi
sesuatu yang bernilai dan dapat dipindah-tangankan walaupun tanpa bukti
kepemilikan.
Nilai dari kebun kopi yang ada di hutan lindung ketika akan dipindah-
tangankan tidak berdasarkan pada luas arealnya, melainkan pada jumlah pohon kopi
dan kondisinya. Karena jarak tanam yang dipakai warga relatif sama yaitu 2x1 meter,
maka setiap hektar rata-rata berisi 1600 pohon. Hanya saja karena topografi tanahnya
yang miring, maka dalam satu hektar tidak bisa persis berisi 1600 pohon, biasanya di
bawah jumlah tersebut. Kondisi kebun dapat dilihat dari umur tanaman dan
perawatannya. Kebun yang tanamannya memasuki umur produktif (di atas 5 tahun)
dan bagus perawatannya maka akan dihargai mahal. Seperti kebun yang dikuasai
salah seorang informan (Pak Bs, Dsn K), dengan tanaman kopi sebanyak 1500 pohon
beliau menyatakan seandainya ditawarkan 50 juta maka akan banyak orang yang
mau.
Konsentrasi Tanah dan Pendapatan
Semakin tingginya peralihan lahan bukaan di hutan lindung kepada mereka
yang mampu membeli mengarah pada konsentrasi tanah pada para pemilik modal.
Konsentrasi tanah ini pada gilirannya mengarah pada konsentrasi pendapatan.
Mereka yang menguasai tanah kebun kopi lebih banyak semakin banyak pula
pendapatan yang mereka peroleh. Ada beberapa orang yang akhirnya menguasai
kebun kopi di hutan lindung dalam jumlah yang luas hingga ratusan hektar. Luasan
tersebut tidak pernah diakuinya, tetapi banyak warga yang menegaskan bahwa
mereka itu menguasai kebun kopi yang luas di kebun kopi karena seringkali membeli
dari para warga yang menjual. Di samping itu mereka juga mempunyai banyak
pekerja yang menangani pekerjaan-pekerjaan di kebun kopi yang ada di hutan
lindung mulai dari perawatan sampai pemanenan.
Rata-rata pendapatan yang diperoleh warga dari kebun kopi yang ada di hutan
per tahunnya sebanding dengan penguasaan lahannya (Tabel 5). Semakin luas lahan
yang dikuasai semakin besar pula pendapatan yang diperolehnya. Meskipun
demikian ada beberapa faktor yang mempengaruhi besaran tersebut antara lain:
96
jumlah pohon kopi yang ditanam, umur tanaman, hasil panen, besaran cukai/sharing,
harga kopi, dan biaya usahatani.
Tabel 5. Rata-rata Pendapatan Petani Kopi di Lahan Hasil Reklaiming
No. Luas Kebun Kopi (Ha) Rata-rata Pendapatan/Tahun (Rp) 1 ≤ 0,5 3.667.000 2 0,5-1 8.583.444 3 1-2 12.648.722 4 ≥2 29.401.500
Sumber: Lampiran 3
Jumlah pohon yang ditanam oleh para warga tidak sama per luasannya karena
mempertimbangkan topografi yang tidak semuanya datar. Semakin curam topografi
lahan yang dikuasainya, biasanya semakin sedikit jumlah pohon yang ditanam. Umur
tanaman akan mempengaruhi produktivitasnya. Tanaman kopi mulai berbuah setelah
berumur 4 tahun dan mencapai produktivitas tertinggi pada umur 6-7 tahun dan
setelahnya harus disambung untuk mempertahankan produktivitasnya. Jumlah pohon
dan umur tanaman inilah yang mempengaruhi hasil panen. Selanjutnya besaran
“cukai” yang disebut oleh warga dan “sharing” yang disebut oleh Perhutani akan
mengurangi hasil yang bisa dijual oleh warga. Harga kopi per kg relatif sama,
walaupun ada sedikit perbedaan karena kualitas olahannya menjadi kopi beras atau
perbedaan pedagang yang membelinya. Biaya usahatani yang dikeluarkan tergantung
luas lahan yang dikuasai warga, semakin luas tentu saja semakin besar biayanya. Hal
ini dikarenakan selain semakin banyak input produksi yang harus dibeli juga semakin
banyak tenaga kerja yang diperlukan yang tentu saja tidak bisa dikerjakan tenaga
kerja dalam keluarga. Artinya mereka yang luas lahannya akan semakin banyak
membutuhkan tenaga kerja luar keluarga/upahan. Besaran dari faktor-faktor yang
mempengaruhi pendapatan warga dari hasil kebun kopi di hutan lindung secara rinci
dapat dilihat pada Lampiran 3.
Diferensiasi Sosial
Diferensiasi sosial warga desa Sidomulyo mengalami dinamika sejak
terjadinya reklaiming hutan lindung. Warga-warga yang menguasai kebun kopi di
97
hutan lindung menciptakan kelompok sosial baru dengan kesamaan kondisi sosial
ekonomi dan kepentingan yang sama. Peningkatan pendapatan yang mereka peroleh
dari hasil kebun kopi di hutan lindung mengubah kondisi kehidupan ekonominya.
Dengan kondisi ekonomi yang baru, kehidupan sosial mereka juga mulai berubah.
Dahulu, ketika belum mempunyai kebun kopi mereka tidak dapat berpartisipasi
dalam kegiatan-kegiatan sosial karena sibuk dalam pemenuhan kebutuhan dasarnya
dan tidak mampu memenuhi kewajiban-kewajiban dari kegiatan-kegitan tersebut
seperti iuran dan penyediaan konsumsi. Setelah mereka mengalami peningkatan
kondisi ekonomi mereka menjadi aktif dalam kegiatan-kegiatan sosial seperti
pengajian, kelompok tani dan koperasi. Keikutsertaan mereka didorong oleh adanya
kebutuhan untuk saling tukar informasi sesama warga terutama yang sama-sama
menguasai kebun kopi di hutan lindung. Informasi tersebut berkisar tentang
perkembangan keberadaan kebun kopi mereka, ketersediaan pupuk, harga kopi dan
tenaga kerja.
Hasil pengamatan peneliti menunjukkan adanya interaksi sosial yang lebih
intensif di antara sesama warga yang menguasai kebun kopi di hutan dibandingkan
dengan warga lainnya. Dalam sebuah pengajian, mereka juga mengelompok untuk
sekedar memperbincangkan hal-hal yang terkait dengan kebun kopi di hutan lindung.
Terlebih dalam kelompok tani, anggota yang mempunyai kebun kopi di hutan
lindung lebih aktif karena kebutuhannya akan fasilitas yang bisa diperoleh dari
kelompok tani lebih besar. Melalui kelompok tani mereka dapat mengakses proyek-
proyek baik dari pemerintah maupun swasta. Meskipun sejatinya proyek-proyek
tersebut ditujukan untuk pengembangan kopi yang arealnya ada di wilayah desa,
tetapi mereka juga menggunakannya untuk kebun kopinya yang ada di hutan
lindung. Dalam kelompok tani sendiri, terdapat stratifikasi sosial berdasarkan
penguasaan lahan yang kemudian menjadi pertimbangan posisinya dalam
kepengurusan. Mereka yang mempunyai lahan luas relatif menduduki jabatan yang
lebih strategis dibandingkan mereka yang mempunyai lahan lebih sempit.
Para petani kopi rakyat yang mempunyai kebun kopi hasil reklaiming
menjadi kelompok sosial baru menengah dengan pengusaaan kebun rata-rata 2
hektar. Kelompok sosial ini menjadi kelompok sosial baru atau setidaknya
memperlebar kelompok ini dari sebelumnya. Kondisi yang ada sebelumnya
98
kelompok sosial penguasaan tanah terpolarisasi pada tuan-tuan tanah dengan
pengusaan yang luas (> 10 hektar) dan petani-petani gurem dengan penguasaan yang
sangat sempit (< 0,5 hektar).
Persaingan Usaha
Pengusahaan kopi di hutan lindung tidak terlepas dari adanya persaingan
dalam beberapa hal. Yang paling dominan adalah kebutuhan pupuk. Selain itu
kebutuhan akan tenaga kerja pada pekerjaan-pekerjaan tertentu di kebun kopi yang
membutuhkan banyak orang seperti panen juga memunculkan persaingan. Dan yang
tidak kalah sengitnya adalah persaingan dalam pemasaran hasil panen.
Walaupun tanah di hutan lindung relatif masih subur, tetapi kebiasaan petani
menggunakan pupuk dan keinginan agar tanamannya tumbuh dengan lebih baik
mendorong mereka menggunakan pupuk kimia secara berlebihan. Padahal
sebagaimana diketahui bahwa penjualan pupuk dibatasi oleh pemerintah karena
terkait dengan subsidi. Pembatasan tersebut berdasarkan perkiraan luas areal
pertanian tanaman pangan yang ada di wilayah tertentu. Sehingga sebenarnya tidak
ada alokasi pupuk untuk tanaman kopi apalagi yang arealnya tidak terdaftar karena
ada di hutan lindung. Tetapi dengan kelompok tani dan koperasi yang mereka miliki,
kebutuhan pupuk dapat mereka peroleh dari distributor pupuk resmi. Tentu saja
dengan berbagai alasan mereka dapat meyakinkan distributor bahwa memang
kebutuhan pupuk di wilayah tersebut sangat besar sehingga perlu penambahan dari
alokasi yang ditetapkan.
Persaingan untuk memperoleh pupuk di antara sesama anggota khususnya
antara yang mempunyai lahan luas dan sempit kerapkali menimbulkan ketegangan-
ketegangan di antara mereka. Masing-masing ingin mendapatkan pupuk sejumlah
pupuk sebanyak yang ia perlukan, padahal alokasi yang ada terbatas jumlah dan
jenisnya serta datangnya bertahap. Mereka yang berlahan luas ingin diprioritaskan
karena kebutuhannya sangat besar dan merasa bahwa permintaannya yang besar
itulah yang menjamin kepercayaan distributor untuk memberikan alokasi pupuk di
wilayah tersebut. Sedangkan mereka yang berlahan sempit menuntut adanya
pemerataan dan keadilan. Semua berhak mendapatkan jatah secara merata,
selebihnya baru boleh dijual kepada yang memerlukan. Kebijakan yang diambil oleh
99
pengurus koperasi memang berpihak pada mereka yang berlahan sempit, yaitu semua
mendapat jatah yang sama. Meskipun demikian pada praktiknya karena mereka yang
berlahan luas banyak yang duduk sebagai pengurus dan merupakan tokoh-tokoh
masyarakat, maka dengan berbagai cara dapat memperoleh pupuk melebihi jatah
yang seharusnya.
Banyaknya kegiatan di kebun kopi menuntut adanya tenaga kerja yang juga
banyak untuk menyelesaikannya. Kebiasaan rumah tangga petani di Sidomulyo
menggunakan tenaga kerja luar keluarga untuk pekerjaan-pekerjaan yang harus
diselesaikan secepatnya seperti pemupukan, jombret (membersihkan kebun) dan
panen. Khususnya pada saat panen, kebutuhan akan tenaga kerja sangat tinggi.
Bahkan tenaga kerja dari dalam desa belum mencukupi, sehingga banyak
mendatangkan dari luar desa. Persaingan mendapatkan tenaga kerja cenderung
dimenangkan pemilik lahan luas. Hal ini karena para tenaga kerja lebih memilih
bekerja pada pemilik lahan luas karena lebih menjamin keberlangsungan lama
pekerjaan yang artinya mendapatkan upah yang lebih banyak. Meskipun pada
kenyataannya pemilik lahan sempit justru lebih perhatian terhadap tenaga kerja
dengan memberikan konsumsi dan upah yang lebih tinggi. Tetapi karena memang
lahan yang sempit hanya membutuhkan waktu yang tidak lama untuk diselesaikan
pekerjaannya maka menjadi tidak menarik bagi para tenaga kerja.
Persaingan dalam pemasaran kopi hasil panen tidak terjadi di antara petani,
melainkan pada pedagang. Pedagang yang dimaksud adalah mereka yang
berhubungan langsung dengan petani yaitu: penebas, pedangang pengumpul untuk
pasar lokal dan pedagang pengumpul untuk pasar ekspor. Setiap petani kopi rakyat di
Desa Sidomulyo memiliki alasan tersendiri untuk memilih kepada siapa mereka akan
menjual hasil panennya. Beberapa alasan yang sering mereka ungkapkan terkait
pemilihan tersebut adalah: adanya faktor kebutuhan ekonomi yang mendesak, faktor
keterikatan anggota dalam kelompok tani maupun faktor keterikatan utang piutang.
Mereka yang terdesak kebutuhan ekonomi akan menjual hasil panennya kepada
penebas. Penebas akan menaksir jumlah kopi yang ada di kebun, dan apabila
disepakati harganya maka kebun berada dalam penguasaan penebas sampai selesai
panen. Hal ini dikarenakan selain lebih cepat mendapatkan uang, mereka juga tidak
perlu mengeluarkan biaya untuk panen. Sedangkan mereka yang mampu melakukan
100
panen sendiri menjual kopinya dalam bentuk beras kepada pedagang pengumpul.
Mereka yang berlahan sempit menjualnya kepada pedagang pengumpul untuk pasar
lokal yang tidak mensyaratkan kualitas tertentu. Sedangkan mereka yang berlahan
luas menjualnya kepada pedagang pengumpul untuk pasar ekspor. Para pedagang ini
hanya menerima dalam jumlah besar karena akan melakukan proses sortasi kualitas
sebelum memasarkannya ke eksportir.
Rasio Tanah dan Tenaga Kerja serta Implikasinya
Desa Sidomulyo memiliki luas wilayah sebesar 4.984,3 hektar dengan
penggunaan sebagian besarnya untuk areal perkebunan dan hutan, sedangkan
selebihnya terdiri dari pemukiman umum, pertanian sawah, ladang/tegalan,
bangunan, sarana rekreasi dan olahraga serta kuburan. Dari luasan tersebut yang
dimiliki petani sebagai sawah, tegalan dan kebun hanyalah 465.8 hektar. Sedangkan
penduduk yang tercatat sebagai petani sebesar 5.126 jiwa. Sehingga apabila dirata-
rata seorang petani hanya bisa mengerjakan 908,7 m2 saja atau kurang dari 0,1
hektar. Hal ini juga dapat diartikan satu hektar tanah di Desa Sidomulyo harus
mampu menyerap lebih dari 10 tenaga kerja petani. Angka rata-rata ini juga memiliki
bias yang tinggi karena konsentrasi pemilikan yang timpang.
Kondisi rasio tanah dan tenaga kerja di desa yang kecil ini dahulunya
mendorong beberapa warga ke luar daerah untuk mencari pekerjaan. Peristiwa
reklaiming hutan lindung yang mencapai ribuan hektar24 ternyata memberi solusi
terhadap kecilnya rasio tanah dan tenaga kerja. Warga petani khususnya buruh tani,
yang dahulu bingung mencari pekerjaan karena terbatasnya lahan sekarang justru
bingung mencari tenaga kerja untuk membantu menyelesaikan pekerjaan di
lahannya. Bahkan beberapa warga yang bekerja di luar daerah ada yang kembali ke
desa setelah mendengar adanya kesempatan menguasai kebun kopi di hutan lindung.
Kondisinya sekarang hampir semua rumah tangga di Desa Sidomulyo memiliki
kebun kopi di hutan lindung walaupun hanya 0,25 hektar atau sekitar 400 pohon kopi
seperti yang dikuasai oleh Bu N, Dsn CD. Informan ini sebelumnya tidak
mempunyai kebun sama sekali. Sebagai seorang janda sekaligus kepala keluarga
24Berdasarkan monografi Desa Sidomulyo 2007 hutan lindung yang masuk wilayah Desa Sidomulyo sebesar 1849.9 hektar dan semuanya sudah menjadi obyek reklaiming dan menjadi kebun kopi semua.
101
sebelumnya hanya bekerja sebagai buruh perkebunan dengan upah yang tidak
menentu. Ketika banyak orang membuka hutan lindung untuk kebun kopi, Bu N pun
tidak mau ketinggalan. Dengan segala keterbatasannya akhirnya mampu membuka
kebun dengan tanaman 400 pohon kopi atau sekitar ¼ ha. Dari kebun tersebut
terakhir beliau dapat panen sebanyak 200 kg kopi beras. Setelah membayar “cukai”
sebanyak 20 kg, setidaknya beliau dapat hasil dari penjualan sebesar Rp. 2.520.000,-
(180 kg x Rp. 14.000,-). Walaupun hanya setahun sekali, pendapatan sebesar itu
tentunya sangat berharga baginya.
Perubahan struktur agraria di atas secara langsung dapat mengatasi
pengangguran pedesaan yang diakibatkan terbatasnya lahan garapan. Jumlah
penduduk yang masuk angkatan kerja di Desa Sidomulyo (usia 16-55 tahun)
mencapai jumlah 6.367 jiwa. Dengan lahan garapan yang ada di desa hanya 465.8
hektar, maka dapat dibayangkan besarnya pengangguran yang ada. Adanya lahan
reklaiming di hutan lindung yang mencapai ribuan hektar ternyata dapat
memecahkan permasalahan ini. Walaupun hanya sebagai tenaga kerja upahan,
setidaknya mereka tidak kebingungan mencari pekerjaan. Seperti yang dialami oleh
seorang informan di dusun yang ada di wilayah perkebunan (P.K, Dsn SD). Lelaki
berumur 55 tahun ini bekerja sebagai pesanggem dengan andil 700 pohon pinus. Dari
andil sebesar ini beliau tiap minggu dapat menyetorkan 80 kg getah pinus yang
upahnya Rp.1.700,-/kg. Sehingga dalam seminggu hanya dapat mengantongi Rp.
136.000,- yang digunakan untuk menghidupi 6 orang anggota keluarganya. Artinya
dalam sehari belanja keluarganya tidak boleh lebih dari Rp. 20.000,-.
Sebelum reklaiming kebun kopi yang dikelola di pekarangannya yang
merupakan tanah emplasemen perkebunan kurang dari 0,5 ha dengan jumlah
tanaman sebanyak 300 pohon kopi. Dari kebun ini tiap tahunnya dapat dipanen tidak
lebih dari 2 kwintal kopi. Dengan harga Rp. 14.000,-/kg maka dapat diperoleh hasil
kotor sebesar 2,8 juta rupiah. Setelah dikurangi rata-rata biaya sebesar 30% maka
beliau dapat mengantogi Rp. 1.960.000,-. Setelah reklaiming, P.K berhasil
menguasai dua petak kebun kopi dengan masing-masing tanamannya berjumlah 600
dan 800 pohon kopi atau lebih dari satu hektar. Dari dua petak kebun yang terakhir
ini, panen terakhir beliau mendapatkan 1, 2 ton. Dengan harga Rp. 14.000,-/kg
setidaknya beliau mendapatkan penghasilan kotor Rp.16.800,000,-. Sehingga dapat
102
dibayangkan peningkatan pendapatannya setelah menguasai kebun kopi hasil
reklaiming.
Luasnya kebun kopi hasil reklaiming yang mencapai ribuan hektar terbukti
secara langsung meningkatkan rasio tanah dan tenaga kerja, meningkatkan
pendapatan dan penyerapan tenaga kerja sebagaimana dijelaskan di atas. Bahkan
yang terjadi adalah kekurangan tenaga kerja dari dalam desa. Sehingga banyak
menarik kembali warga yang sudah ke luar daerah untuk kembali ke Desa Sidomulyo
dan tenaga kerja upahan dari luar desa.
Harmoni Semu
Perubahan-perubahan dalam unsur-unsur struktur agraria di atas dan kondisi
harmoni yang tercipta ternyata masih menyisakan banyak persoalan yang belum
terjawab tuntas. Persoalan-persoalan tersebut dapat diketahui dari dinamika yang
terjadi atas proses reklaiming dan hasil-hasil yang tercipta.
Dinamika reklaiming hutan lindung oleh warga Sidomulyo yang bermula dari
euforia reformasi tidak menunjukkan prasyarat harmoni yaitu tidak adanya
keterpaksaan. Perhutani terpaksa membiarkan warga membuka hutan lindung karena
tidak punya kekuatan untuk mencegah. Demikian juga warga memaksa membuka
hutan karena merasa punya hak sebagaimana yang diperoleh oleh nenek moyang
mereka. Kalau kemudian masing-masing pihak dapat bertemu dan berkomunikasi,
hal ini hanyalah pada strategi mereka untuk mencapai tujuan masing-masing.
Perubahan “cukai” menjadi “sharing” yang mengikuti perjalanan fenomena
reklaiming ini juga menunjukkan adanya kompromi di antara mereka. “Cukai” yang
merupakan inisiatif dari warga sebagai bentuk pemberian bawah tangan kepada
petugas Perhutani dalam perjalanannya diakomodasi oleh Perhutani secara institusi
menjadi setoran bagi hasil atau “sharing” yang resmi.
Perubahan-perubahan yang terjadi sebagai hasil dari reklaiming tidak
semuanya bermakna positif bagi warga Sidomulyo. Pertambahan penguasaan lahan
garapan kebun kopi di hutan masih belum mendapat pengakuan secara legal yang
artinya sangat rentan untuk ditarik kembali oleh penguasa (negara). Penguasaan yang
mengarah pada komodifikasi lahan semakin menguatkan kapitalisasi pedesaan.
Tanah hanya berfungsi sebagai faktor produksi yang hanya dinilai dengan
103
produktivitas. Konsentrasi lahan kebun kopi di hutan lindung kepada para pemilik
modal mengikis semangat awal reklaiming yaitu tuntutan keadilan sosial. Lahan
kebun kopi hasil reklaiming seharusnya menjadi sumber mata pencaharian bukan
sebagai komoditi faktor produksi yang dengan mudah dapat berpindah tangan
dengan ganti rugi sejumlah uang. Konsentrasi lahan yang mengarah pada polarisasi
akan semakin mengaburkan harmoni karena akan menjadikan warga kembali
menjadi buruh tani bukan lagi sebagai penggarap.
Diferensiasi sosial yang terbentuk pasca reklaiming akan menjadi indikator
bahwa harmoni benar-benar terjadi, karena dalam diferensiasi sosial keterpaksaan
dapat diminimalkan. Demikian juga persaingan usaha, akan menjaga harmoni
apabila berlangsung dalam kondisi yang sehat. Peningkatan rasio tanah dan tenaga
kerja di Sidomulyo yang secara nyata mengurangi pengangguran dan menciptakan
lapangan kerja juga akan turut mendorong harmoni menjadi murni tidak lagi semu.
104
PENUTUP
Simpulan
Reklaiming hutan lindung oleh komunitas petani kopi rakyat di Sidomulyo
mempunyai tujuan yang bersifat ideologis yaitu terkait dengan alasan moralitas,
keadilan, normatif dan sejarah. Selain itu juga mempunyai tujuan praktis yaitu
terkait nilai ekonomi dan ekologi dari hutan lindung. Aktor utama yang berkonflik
dalam perebutan hutan lindung sebagai sumberdaya agraria adalah komunitas petani
kopi rakyat dan Perhutani. Di samping itu ada juga aktor lain yang terkait secara
tidak langsung yaitu swasta (pedagang, pemilik modal dan eksportir) dan pemerintah
(desa dan daerah).
Aktor-aktor yang berkonflik di atas mempunyai kepentingan masing-masing
terkait hutan lindung sebagai sumberdaya yang diperebutkan. Kepentingan
komunitas petani kopi rakyat adalah mendapatkan sumber penghidupan dan
reklaiming yang mereka lakukan merupakan gerakan sosial atas keadaan krisis
agraria yang ada di wilayah mereka. Masa reformasi merupakan momentum yang
dinilai sangat tepat, mengingat struktur politik nasional terbuka lebar dan terbukti
berhasil. Kepentingan Perhutani adalah “kontrol akses” yaitu kemampuan untuk
memediasi akses pihak-pihak lain terhadap sumberdaya yang dikontrolnya (hutan
lindung). Kepentingan swasta dalam reklaiming adalah serupa dengan prinsip
ekonomi yaitu mencari keuntungan sebesar-besarnya dengan biaya sekecil-kecilnya
dengan resiko seminimal mungkin. Kepentingan pemerintah desa adalah melindungi
warganya agar dapat hidup sebagaimana layaknya. Sedangkan pemerintah daerah
masih belum jelas keberpihakannya, bahkan cenderung masa bodoh dengan
reklaiming ini.
Mekanisme para pihak yang terlibat reklaiming dalam memperoleh,
mengontrol dan memelihara aliran keuntungan dari hutan lindung dan distribusinya
merupakan suatu kemampuan akses yang dipengaruhi teknologi, modal, pasar,
pengetahuan, wewenang, identitas sosial, dan relasi sosial. Pengaruh teknologi dalam
akses sumberdaya hutan lindung di Sidomulyo adalah dalam hal pengolahan kopi.
Modal yang cukup banyak dibutuhkan pada saat awal (pembukaan) maupun
106
seterusnya (pembukaan dan pemeliharaan) kebun kopi. Akses pasar dikontrol
melalui struktur modal dan pasar. Semakin banyak modal yang dipunyai oleh
seorang pedagang semakin besar aksesnya pada pasar. Struktur pasar kopi di
Sidomulyo bersifat pasar persaingan sempurna sehingga sensitif terhadap perubahan
harga dan pelakunya (penjual dan pembeli) mudah untuk masuk dan keluar dari
pasar. Akses pada tenaga kerja akan dapat mengambil manfaat dari sumberdaya pada
saat tenaga kerja dibutuhkan sepanjang kehidupan sumberdaya atau sepanjang
lintasan komoditi dihasilkan darinya. Akses pada pengetahuan mempunyai arti
penting dalam menentukan siapa yang memanfaatkan sumberdaya. Akses pada
kekuasaan membentuk kemampuan individu untuk memanfaatkan sumberdaya.
Akses melalui identitas sosial sangat mempengaruhi distribusi keuntungan dari
sesuatu. Warga yang mempunyai posisi sosial lebih tinggi akan dianggap lebih
berjasa dalam melakukan reklaiming, sehingga akan mendapat bagian yang lebih
luas ketika kebun kopi dibagikan kepada para anggotanya. Pemeliharaan akses hutan
lindung yang direklaiming dilakukan oleh komunitas petani kopi rakyat melalui
negosiasi dengan Perhutani baik sebagai lembaga maupun personal.
Kontestasi merupakan proses yang bersifat dinamis dari para pihak / para
aktor (komunitas petani kopi rakyat, Perhutani, pedagang, dan pemerintah) yang
berinteraksi dan menegosiasikan apa yang menjadi kepentingannya dalam konteks
perebutan sumberdaya alam (hutan lindung). Interaksi mereka terwujud dalam dua
bentuk relasi kuasa agraria, yaitu: relasi teknis yaitu antara aktor utama (komunitas
petani kopi rakyat dan Perhutani) dengan objek agraria (hutan lindung); dan relasi
sosial yaitu relasi di antara para pihak baik yang terkait langsung maupun tidak
langsung dengan reklaiming. Negosiasi kepentingan para pihak berada dalam dua
ruang, yaitu ruang konflik pemaknaan dan ruang konflik hak dan akses.
Kontestasi antara dua aktor utama dalam reklaiming (komunitas petani kopi
rakyat dan Perhutani) dalam mencapai kepentingannya masing-masing berada pada
tahap kemacetan (stalemate), di mana masing-masing tidak bisa memenangkan
kepentingannya atau mundur menerima kekalahan. Kondisi ini terjadi karena adanya
beberapa hal, yaitu: besarnya biaya melanjutkan konflik, tidak adanya dukungan
pada masing-masing pihak, dan gagalnya taktik masing-masing pihak. Pada tahap ini
konflik akan menurun dan menuju pada tahap pengurangan (de-escalation) dan
107
mengalami proses negosiasi dalam rangka mencapai konsensus yang ditandai dengan
perubahan organisasi sosial, interaksi para pihak yang berkonflik, peranan pihak
ketiga, lembaga pendidikan dan media.
Reklaiming sebagai bentuk akses terhadap hutan lindung yang dilakukan oleh
komunitas petani kopi rakyat yang merupakan warga Desa Sidomulyo dan sekitarnya
telah memberikan manfaat/keuntungan yang berasal dari pembukaan kebun kopi di
dalam hutan lindung yang mereka reklaim. Mereka memberikan “cukai” kepada para
petugas Perhutani yang kemudian diakomodasi oleh Perhutani secara lembaga dan
diakui sebagai “sharing” melalui Surat Perjanjian Kerjasanma (SPK) yang
ditandatangani bersama LMDH dengan mematok besaran 1/3 hasil panen.
Reklaiming juga menciptakan kesempatan kerja dan peluang penerapan inovasi-
inovasi teknologi, peluang bagi para pedagang untuk mengambil keuntungan, dan
memacu pemerintah desa untuk meningkatkan pelayanannya dan melaksanakan
program-program pembangunan untuk mendukung aktivitas warganya. Kondisi
sosial ekonomi yang semakin kondusif menarik para pemilik modal untuk
berinvestasi baik kepada pedagang maupun kepada petani kopi. Mereka juga
berharap dapat menikmati keuntungan yang bersumber dari kebun-kebun kopi hasil
reklaiming hutan lindung.
Kontestasi para pihak dalam reklaiming hutan lindung dengan segala
kepentingannya akan bermuara pada suatu struktur agraria baru yang pada dasarnya
adalah perubahan sosial karena terjadi perubahan pola perilaku, hubungan sosial,
lembaga dan struktur sosial pada komunitas petani kopi rakyat yang melakukan
reklaiming pada khususnya dan wilayah Desa Sidomulyo pada umumnya.
Perubahan-perubahan dalam unsur-unsur struktur agraria di atas dan kondisi harmoni
yang tercipta ternyata masih menyisakan banyak persoalan yang belum terjawab
tuntas mengenai proses reklaiming dan hasil-hasil yang tercipta. Sehingga
perubahan-perubahan yang terjadi sebagai hasil dari reklaiming tidak semuanya
bermakna positif bagi warga Sidomulyo.
108
Saran
Dari hasil simpulan di atas, penulis memberikan dapat memberikan beberapa
implikasi baik secara teoritis maupun praksis sebagai berikut di bawah.
Implikasi Teoritis:
1. Perubahan sosial yang terjadi pada komunitas petani kopi rakyat di
Sidomulyo masih belum pada tahap yang fundamental atau masih belum
mengerucut pada tahap “final”. Hal ini dikarenakan relasi yang menyertainya
masih dinamis dan masih pada tataran permukaan.
2. Perubahan struktur agraria yang terjadi masih belum pada kondisi yang
mapan, karena masih menyisakan beberapa persoalan yang belum terjawab
tuntas yaitu: konflik pemaknaan dan konflik hak dan akses atas sumberdaya
agraria
Implikasi Praksis:
1. Fenomena reklaiming hutan lindung tidak harus dilihat sebagai konflik hak
kepemilikan (property). Perlu diperhatikan adanya “kemampuan” pada
hubungan-hubungan sosial yang membatasi atau memperbolehkan
masyarakat memanfaatkan sumberdaya (access).
2. Perlu peningkatan proses yang menyumbang pada pengurangan konflik
akibat reklaiming hutan lindung, antara lain: perubahan organisasi sosial,
interaksi para pihak yang berkonflik, peranan pihak ketiga, lembaga
pendidikan dan media.
3. Perlu peninjauan distribusi manfaat reklaiming terutama pada Perhutani
(sharing 1/3 dari hasil panen) sehingga aliran manfaat menjadi adil dan
transparan.
109
DAFTAR PUSTAKA Buku Bachriadi, D. dan Mustofa Agung Sardjono. 2005. Conversion Or Occupation? : The
Possibility Of Returning Local Communties’ Control Over Forest Lands In Indononesia. Makalah pada International Exchange in Environmental Governance, Community Resource Management and Conflict Resolution (Green Governance/Green Peace Program) kerjasama antara the Institute of International Studies, University of California Berkeley, and the KARSA Foundation (Indonesia) pada September-Desember 2005.
Bertens. 1983. Filsafat barat Abad XX, Inggris-Jerman. Gramedia. Jakarta.
Boedhi Wijardjo dan Herlambang Perdana. 2001. Reklaiming dan Kedaulatan Rakyat. YLBHI dan RACA Institute. Jakarta.
Denzin, N.K. dan Lincoln, Y.S. 2009. Handbook of Qualitative Reseach.
Terjemahan: Dariyatno, Badrus Samsul Fatah, Abi, John Rinaldi. Penerbit Pustaka Pelajar. Yogyakarta
Fay,C. Sirait,M. dan A. Kusworo. 2005. Getting the Boundaries Right Indonesia’s
Urgent Need to Redefine its Forest Estate. Southeast Asia Policy Research Working Paper, No. 25. ICRAF Southeast Asia.
Gillin dan Gillin, 1954. Cultural Sociology. The Mac Millan Company. New York
dalam Soekanto,S. 1990. Sosiologi Suatu Pengantar. Edisi Baru Keempat. CV. Rajawali Pers. Jakarta.
Hadiwijono, Harun. 1980. Sari Sejarah Filsafat Barat. Kanisius.Yogyakarta.
Hanneman Samuel.1993. Perspektif Sosiologis Peter Berger, Pusat Antar Universitas Bidang Ilmu-ilmu Sosial Universitas Indonesia.
Hermosilla, A.C. dan Fay, C. 2005. Strengthening Forest Management In Indonesia
Through Land Tenure Reform: Issues and Framework of Action. Diterbitkan oleh kerjasama Forest Trends dan World Agroforestry Centre
Laksmi A. Savitri, M. Shohibuddin dan Surya Saluang, ed. 2009. Memahami dan
Menemukan Jalan Keluar dari Problem Agraria & Krisis Sosial Ekologi. Yogyakarta: Sekolah Tinggi Pertanahan Nasional dan Sajogyo Institute Bogor.
Lynch, O.J. dan Talbott,K. 2001. Keseimbangan Tindakan: Sistem Pengelolaan
Hutan Kerakyatan dan Hukum Negara di Asia Pasifik. Lembaga Advokasi Masyarakat (ELSAM). Jakarta.
110
Mac Iver, R.M and Page, C. H. 1954. Society:An Introduction Analysis. Rinehart
and Company. New York. Maloeng, L.J. 1998. Metode Penelitian Kualitatif. Penerbit Remaja Rosda. Bandung. Marvati, A.B. 2004. Qualitative Research in Sociology: An Introduction. Sage
Publication. Thousands Oak. Nawiyanto, S. 2003. Agricultural Development in A Frontier Region of Java: Besuki,
1870-Early 1990s. Galang Press. Yogyakarta. Notohadiprawiro, T. 1981. Pemapanan Agroforestry Selaku Bentuk Pemanfaatan
Lahan Menurut Kriteria Pengawetan Tanah dan Air. Ilmu Tanah Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta.
Novrian, D. Siswanto, Z. dan D. Firmansyah. 2009. Perbandingan Model-model
Tata Kuasa, Tata Kelola dan Tata Produksi Kehutanan Berikut Kesejahteraan yang Dihasilkannya: Studi Kasus di Gunung Tonjong, Tasikmalaya. dalam Memahami & menemukan Jalan Keluar dari Problem Agraria & Krisis Sosial Ekologi. Sajogyo Institute Bogor dan Sekolah Tinggi Pertanahan Nasional Yogyakarta.
Peluso, N.L. 2006. Hutan Kaya, Rakyat Melarat: Penguasaan Sumberdaya dan
Perlawanan di Jawa.Konphalindo. Jakarta. Polanyi, K. 2003. Transformasi Besar: Asal-usul Politik dan Ekonomi Zaman
Sekarang. Pustaka Pelajar. Yogyakarta. Retnndari, N.D. dan Moeliarto TY.1993. Kopi: Kajian Sosial Ekonomi. ADITYA
MEDIA dan P3PK UGM. Yogyakarta. Ribot, J.C. dan Peluso, N.L. 2003. A Theory of Access. Rural Sociology. Volume 68,
Number 2, pp 153-181. Sajogyo. 1985. Penduduk dan Pola Penggunaan Tanah. Dalam S.M.P.
Tjondronegoro, S.Rusli dan S. Tuanaya (Penyunting). Ilmu Kependudukan: Suatu Kumpulan Bacaan. Erlangga. Jakarta.
Santoso. 2004. Perlawanan di Simpang Jalan: Kontes Harian di Desa-desa Sekitar
Hutan di Jawa. Yayasan Akatiga. Bandung. Schmidt, A. 1987. Property, Power, and Inquiry into Law and Economy. Praeger.
New York.
111
Setiawan, B., Erpan Faryadi dan D. Bachriadi. 1997. Reformasi Agraria: Perubahan Politik, Sengketa, dan Agenda Pembaruan Agraria di Indonesia. Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi UI. Jakarta.
Sitorus, M.T.F. 1998. Penelitian Kualitatif: Suatu Perkenalan. Kelompok
Dokumentasi Ilmu-ilmu Sosial. Jurusan Ilmu-ilmu Sosial dan Ekonomi Pertanian. IPB. Bogor.
_____________.1999. Pembentukan Golongan Pengusaha Lokal di indonesia:
Pengusaha Tenun dalam Masyarakat Batak Toba. Desertasi IPB Bogor. _____________. 2002. Lingkup Agraria. Dalam Endang Suhendar dkk. Menuju
Keadilan Agraria: 70 Tahun Gunawan Wiradi. Akatiga. Bandung. Soemardjan, S dan Breazeale, K. 1981. Cultural Change in Rural Indonesia; Impact
of Village Development. UNS-YISS-East West Center. Honolulu. Susan, N. 2003. Konflik dalam Perspektif sosiologi Pengetahuan: Konflik Agama
Masyarakat Ambon Maluku sebagai Konstruksi Sosial, Program Studi Sosiologi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.
____________. 2009. Sosiologi Konflik & Isu-isu Konflik Kontemporer. Kencana
Prenada Media Group. Jakarta. Tauchid, M. 1952. Masalah Agraria. Penerbit Tjakrawala. Djakarta. Tjondronegoro, S.M.P. 1999. Sosiologi Agraria: Kumpulan Tulisan Terpilih.
Yayasan Akatiga. Bandung. Wiradi, G. 1984. Pola Penguasaan Tanah dan Reforma Agraria. Dalam
Tjondronegoro (editor). Dua Abad Penguasaan Tanah. PT. Gramedia. Jakarta.
______________. 2009. Metodologi Studi Agraria: karya terplilih Gunawan Wiradi.
Sajogyo Institute, Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat Fakultas Ekologi Manusia IPB, dan Pusat Kajian Agraria (PKA) IPB. Bogor.
White, Benjamin N.F. 1990. Agroindustri, Industrialisasi Pedesaan, dan
Transformasi Pedesaan. Bunga rampai: Industrialisasi Pedesaan, Editor: Sayogyo dan Mangara Tambunan. PT. Sekindo Jaya. Jakarta.
112
Undang-undang UUD 1945 UU No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah Sumber Internet Andiko. 2006. Menempa Rasa Ingin; Menjaga Percikan Api: Tantangan Gerakan
Petani Hutan di Jawa. HuMa-Jakarta. Sumber: http://images.andiko2002.multiply.multiplycontent.com/attachment/0/SEyRBQoKCjsAAFQIh6Q1/Tantangan%20Petani%20Hutan%20Jawa.pdf?nmid=100144393
Ardana, R. 2008. Seputar Hutan Jawa. Sumber: www.arupa.or.id Bram, E. 2003. Stalmate. http://www.beyondintractability.org/essay/stalemate Kuhnen, F. 1995. Aspects of Agrarian Structures. Unpublished Manuscript. Sumber:
www.fritjof-kuhnen.de. Maiese, M. 2004. Limiting Escalation / De-escalation.
http://www.beyondintractability.org/essay/limiting_escalation/
113
LAMPIRAN Lampiran 1. Luas Penguasaan Kebun Kopi oleh Informan Sebelum dan
Sesudah Reklaiming
No. Nama Umur (th) Alamat Dusun
Luas lahan (ha) Perolehan Lahan
Reklaiming Sebelum Reklaiming Reklaiming Sesudah
Reklaiming
1. Suyanto 44 Krajan 1.5 2 3.5 Membuka sendiri
2. Meseri 55 Krajan 0.5 1 1.5 Membeli
3. Agung Supeno 35 Krajan 0.25 1 1.25 Membuka sendiri
4. Sukro 46 Krajan 1 2 3 Membuka sendiri dan membeli
5. Sukiman 53 Krajan 0.25 0.5 0.75 Membeli
6. Purwadi 26 Krajan 0.5 1 1.5 Membuka sendiri
7. Zaenal Abidin 47 Sidodadi 1.5 2 3.5 Membuka sendiri
8. Abdullah 54 Sidodadi 0.75 2.5 3.25 Membuka sendiri dan membeli
9. Kalidin 55 Sidodadi 0.5 1.5 2 Membuka sendiri
10. Sunari 50 Sidodadi 0.5 0.5 Membuka sendiri
11. Bukhori 44 Sidodadi 0.5 0.5 Membuka sendiri
12. Subaeri 46 Curah Manis 0.5 0.5 Membuka sendiri
13. Mustofa 32 Curah Manis 0.5 0.5 1 Membeli
14. Moh. Siraj 47 Curah Manis 1 1 2 Membeli
15. Suyadi 45 Krajan 1 1 2 Membeli
16. Tumaji 52 Krajan 1 1 Membeli
17. Sukardi 45 Krajan 1 1 Membuka sendiri
18. Basuni 46 Krajan 0.5 1 1.5 Membuka sendiri
19. H. Saeful 44 Curah Manis 0.5 1 1.5 Membeli
20. Burawi 45 Curah Damar 1.5 1.5 Membuka sendiri dan membeli
21. Mulyadi 46 Curah Damar 1.5 1.5 Membeli
22. Misrawi 40 Curah Damar 1.5 1.5 Membuka sendiri
23. Bu Nomar 50 Curah Damar 0.25 0.25 Membuka sendiri
24. Bahrowi 37 Curah Damar 1 0.5 1.5 Membeli
25. Misdi 45 Curah Damar 1 2 3 Membeli
26. Bunaris 30 Curah Damar 3 3 Membeli
27. Suwarno 45 Krajan 2 6 8 Membeli
28. Samuji 45 Krajan 3 5 8 Membeli
29. Sri Purwati 38 Krajan 2 0.25 2.25 Membeli
30. Sopingi 40 Krajan 1 2 3 Membuka sendiri
Keterangan: yang ditulis tebal adalah pedagang kopi besar.
114
Lampiran 2. Analisa Usahatani Kopi Warga Sidomulyo di Lahan Hasil Reklaiming Hutan Lindung
No. Nama Alamat Dusun
Luas Lahan Reklaiming
(Ha)
Jumlah Pohon Kopi
Umur Kopi (Th)
Hasil Panen (Kg)
Cukai (Kg)
Hasil Panen Bersih (Kg)
Harga Kopi (Rp)
Pendapatan (Rp)
Biaya Usahatani
(Rp)
Pendapatan
Bersih (Rp)
1. Bu Nomar Curah Damar 0.25 400 8 200 20 180 14.000 2.520.000 500.000 2.020.000 2. Sri Purwati Krajan 0.25 400 4 500 20 480 14.000 6.720.000 2.000.000 4.720.000 3. Sukiman Krajan 0.50 600 7 800 20 780 14.000 10.920.000 3.500.000 7.420.000 4. Sunari Sidodadi 0.50 500 6 100 5 95 14.000 1.330.000 400.000 930.000 5. Bukhori Sidodadi 0.50 700 6 125 5 120 14.000 1.680.000 500.000 1.180.000 6. Subaeri Curah Manis 0.50 700 6 310 5 305 14.000 4.270.000 1.250.000 3.020.000 7. Mustofa Curah Manis 0.50 700 6 700 11 689 14.000 9.646.000 2.900.000 6.746.000 8. Bahrowi Curah Damar 0.50 700 5 500 50 450 14.000 6.300.000 3.000.000 3.300.000
Rata-rata Cukai/Sharing 17 Rata-rata Pendapatan Bersih/Tahun 3.667.000 1. Meseri Krajan 1.00 1.200 6 900 32 868 14.000 12.152.000 3.650.000 8.502.000 2. Agung Supeno Krajan 1.00 1.000 5 500 16 484 14.000 6.776.000 2.000.000 4.776.000 3. Purwadi Krajan 1.00 1.200 10 850 17 833 14.000 11.662.000 3.500.000 8.162.000 4. Moh. Siraj Curah Manis 1.00 1.300 6 910 10 900 14.500 13.050.000 4.000.000 9.050.000 5. Suyadi Krajan 1.00 1.200 6 1.200 25 1.175 14.500 17.037.500 5.100.000 11.937.500 6. Tumaji Krajan 1.00 1.100 6 800 34 766 14.250 10.915.500 3.250.000 7.665.500 7. Sukardi Krajan 1.00 1.100 6 565 33 532 14.000 7.448.000 2.250.000 5.198.000 8. Basuni Krajan 1.00 1.400 6 1.100 28 1.072 14.000 15.008.000 4.500.000 10.508.000 9. H. Saeful Curah Manis 1.00 850 4 1.200 32 1.168 14.000 16.352.000 4.900.000 11.452.000
Rata-rata Cukai/Sharing 25 Rata-rata Pendapatan Bersih/Tahun 8.583.444 1. Kalidin Sidodadi 1.50 1.400 6 1.500 28 1.472 14.000 20.608.000 6.200.000 14.408.000 2. Burawi Curah Damar 1.50 1.160 7 1.462 50 1.412 14.500 20.474.000 7.000.000 13.474.000 3. Mulyadi Curah Damar 1.50 2.100 6 950 85 865 14.500 12.542.500 5.000.000 7.542.500 4. Misrawi Curah Damar 1.50 1.850 8 1.500 82 1.418 14.000 19.852.000 6.000.000 13.852.000 5. Suyanto Krajan 2.00 1.800 3 1.000 35 965 14.000 13.510.000 4.050.000 9.460.000 6. Sukro Krajan 2.00 2.400 5 2.900 40 2.860 14.000 40.040.000 12.000.000 28.040.000 7. Zaenal Abidin Sidodadi 2.00 2.000 4 1.000 10 990 14.000 13.860.000 4.158.000 9.702.000 8. Misdi Curah Damar 2.00 2.000 6 1.500 50 1.450 13.000 18.850.000 12.700.000 6.150.000 9. Sopingi Krajan 2.00 2.000 6 1.200 60 1.140 14.000 15.960.000 4.750.000 11.210.000
Rata-rata Cukai/Sharing 49 Rata-rata Pendapatan Bersih/Tahun 12.648.722 1. Abdullah Sidodadi 2.50 2.600 6 600 25 575 14.000 8.050.000 2.500.000 5.550.000 2. Bunaris Curah Damar 3.00 4.000 6 2.500 6 2.494 14.000 34.916.000 10.500.000 24.416.000 3. Samuji Krajan 5.00 3.000 4 8.000 300 7.700 14.000 107.800.000 32.500.000 75.300.000 4. Suwarno Krajan 6.00 4.000 4 1.300 40 1.260 14.000 17.640.000 5.300.000 12.340.000
Rata-rata Cukai/Sharing 93 Rata-rata Pendapatan Bersih/Tahun 29.401.500
115
Lampiran 3. Peta Kawasan Hutan Perum Perhutani Pulau Jawa dan Madura
116
Lampiran 4. Peta Kawasan Hutan Perum Perhutani Unit II (Jawa Timur)
Obyek Reklaiming
117
Lampiran 5. Gambar Lokasi Penelitian
Gerbang Desa Sidomulyo yang Berlokasi di Pinggir Jalan Propinsi Jember-Banyuwangi
Hutan Lindung yang Menjadi Obyek Reklaiming Tampak dari Jauh
118
Hutan Lindung yang Menjadi Obyek Reklaiming Tampak dari Dekat,
Penuh dengan Tanaman Kopi
Tanaman Bunga di Sela Tanaman Kopi Merupakan Batas Antar Lahan yang Dikuasai Warga