perubahan struktur agraria dan harmoni semu … · perubahan struktur agraria dan harmoni semu...

138
PERUBAHAN STRUKTUR AGRARIA DAN HARMONI SEMU (Studi Kasus Reklaiming Hutan Lindung pada Komunitas Petani Kopi Rakyat di Kabupaten Jember Jawa Timur) MUSTAPIT SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2011

Upload: hoanghanh

Post on 13-Mar-2019

253 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: PERUBAHAN STRUKTUR AGRARIA DAN HARMONI SEMU … · PERUBAHAN STRUKTUR AGRARIA DAN HARMONI SEMU (Studi Kasus Reklaiming Hutan Lindung pada Komunitas Petani Kopi Rakyat di Kabupaten

PERUBAHAN STRUKTUR AGRARIA DAN HARMONI SEMU

(Studi Kasus Reklaiming Hutan Lindung pada Komunitas Petani Kopi Rakyat di Kabupaten Jember Jawa Timur)

MUSTAPIT

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR 2011

Page 2: PERUBAHAN STRUKTUR AGRARIA DAN HARMONI SEMU … · PERUBAHAN STRUKTUR AGRARIA DAN HARMONI SEMU (Studi Kasus Reklaiming Hutan Lindung pada Komunitas Petani Kopi Rakyat di Kabupaten
Page 3: PERUBAHAN STRUKTUR AGRARIA DAN HARMONI SEMU … · PERUBAHAN STRUKTUR AGRARIA DAN HARMONI SEMU (Studi Kasus Reklaiming Hutan Lindung pada Komunitas Petani Kopi Rakyat di Kabupaten

i

PERNYATAAN

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis tentang Perubahan Struktur Agraria dan Harmoni Semu (Studi Kasus Reklaiming Hutan Lindung pada Komunitas Petani Kopi Rakyat di Kabupaten Jember Jawa Timur) adalah karya sendiri dan belum pernah diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Bogor, Pebruari 2011

Mustapit NRP. I353070111

Page 4: PERUBAHAN STRUKTUR AGRARIA DAN HARMONI SEMU … · PERUBAHAN STRUKTUR AGRARIA DAN HARMONI SEMU (Studi Kasus Reklaiming Hutan Lindung pada Komunitas Petani Kopi Rakyat di Kabupaten

ii

ABSTRACT

Mustapit. Changes in Agrarian Structure and False Harmony (Case Study in Reclaiming of Protected Forest by Coffee Farmer Community in Jember, East Java). Supervised by Endriatmo Soetarto and Andang Soebaharianto.

As people living around the forest area (forest villages), the villagers of Sidomulyo, Silo, Jember, very much depending on the forest. As coffee farmer, they had no problem with the land. Over time, land is fragmented, especially through inheritance, so that is reducing availability and carrying capacity. Even some residents eventually have no land at all that could be working on. This situation contrasts with the surrounding area that is a vast forest. The open of the political structure at the macro level spread to Sidomulyo and encourage citizens to demand justice for natural resource (forest) management to shared prosperity which is increasingly rare due to the closure of their access to protected forest. Their social movement become reclaiming of protected forest areas that had been under the management of Perhutani. Forests that reclaimed then made by them as coffee plantation.

This study aims to examine the background and meaning of protected forest reclaiming by the coffee farmer community in Sidomulyo and the resulting flow of benefits. It also analyzes the mechanism by those parties in acquiring, controlling and maintaining the flow of benefits and power relations between them.

Reclaiming of protected forest by coffee farmer community in Sidomulyo have an ideological purposes that is related to the reasons of morality, justice, normative and historical. It also has a practical purposes that is related to economic and ecological value of protected forest. The main actors in conflict of struggle for agrarian resource (protected forest) are coffee farmer community and Perhutani. In addition there are also other actors that are indirectly related that is private parties (traders, investors and exporters) and government (village and district). Each actor has interests over protected forest as a contested resource. Interests of a coffee farmer community are to get livelihoods and their reclaiming is a social movement on agrarian crisis in their region. Momentum of the reform period is considered to be very precise, given the wide-open national political structure and proved successful. Interest of Perhutani is "access control": the ability to mediate others’ access to the resources they control (protected forest).

Mechanism of reclaiming by the parties in acquiring, controlling and maintaining the flow of benefits from protected forests and their distribution is influenced by ability to access the technology, capital, markets, knowledge, authority, social identity, and social relations. Contestation is a dynamic process from the parties / actors (coffee farmer community, Perhutani, private, and government) that interact and negotiate their interests in the struggle for natural resources (protected forest). Their interaction manifested in two forms of agrarian power relations, namely: technical relations between the main actors (coffee farmer community people and Perhutani) with the object of agrarian (protected forest) and social relations are relations between the parties related either directly or indirectly

Page 5: PERUBAHAN STRUKTUR AGRARIA DAN HARMONI SEMU … · PERUBAHAN STRUKTUR AGRARIA DAN HARMONI SEMU (Studi Kasus Reklaiming Hutan Lindung pada Komunitas Petani Kopi Rakyat di Kabupaten

iii

with reclaiming. Interest negotiations of the parties are in two spaces, ie space of meaning conflict and space of right and access conflict.

Contestation between the two main actors of reclaiming in achieving their interests is at the stage of stalemate, in which each can not accept defeat or retreat. This condition was caused by: the cost of continuing conflict, lack of support on each side, and the failed tactics of each side. At this stage of conflict will decline and lead to the reduction stage (de-escalation) and going to process of negotiation in order to reach a consensus which is marked by changes in social organization, interaction of the parties, the role of third parties, educational institutions and the media.

Reclaiming as a form of access to protected forest by the coffee farmer community who are citizens of Sidomulyo and its surrounding has provided benefits derived from the coffee plantations in protected forest that they reclaimed. They give "cukai" to Perhutani officers that then accommodated by Perhutani as institution and recognized as "sharing" through Cooperation Agreement Letter (Surat Perjanjian Kerjasama: SPK), which was signed together with LMDH on delivering of a third harvest. Reclaiming also create employment opportunities and opportunities for application of technological innovations, opportunities for traders to take profits, and encourage the village government to improve its services and implement development programs to support the activities of its citizens. The more conducive socio-economic conditions are attracted investors to invest either to merchants or to the coffee farmers. They also hope to enjoy the benefits that come from farmer coffee plantation of the reclaiming protected forest.

Contestation of the parties in reclaiming protected forest with their interests will lead to a new agrarian structure which is essentially social change because of changing patterns of behavior, social relations, institutions and social structures in coffee farmer community and the village Sidomulyo. The changes in agrarian structure elements above and the harmony conditions still leaves many unanswered issues, so the changes that occur of reclaiming are not all positive for the Sidomulyo citizens. Keywords: Agrarian Structure, Social Change, Reclaiming of Protected Forest.

Page 6: PERUBAHAN STRUKTUR AGRARIA DAN HARMONI SEMU … · PERUBAHAN STRUKTUR AGRARIA DAN HARMONI SEMU (Studi Kasus Reklaiming Hutan Lindung pada Komunitas Petani Kopi Rakyat di Kabupaten

iv

RINGKASAN

Mustapit. Perubahan Struktur Agraria dan Harmoni Semu (Studi Kasus Reklaiming Hutan Lindung pada Komunitas Petani Kopi Rakyat di Kabupaten Jember Jawa Timur). Dibimbing oleh Endriatmo Soetarto dan Andang Soebaharianto.

Sebagai masyarakat yang tinggal di tepi kawasan hutan (desa hutan), penduduk Desa Sidomulyo Kecamatan Silo Kabupaten Jember sangat tergantung dengan hutan. Sebagai petani kebun kopi rakyat, mereka dulunya tidak ada masalah dengan lahan. Seiring berjalannya waktu, lahan-lahan itu terfragmentasi khususnya melalui warisan, sehingga berkurang ketersedian dan daya dukungnya. Bahkan beberapa warga akhirnya tidak mempunyai lahan sama sekali yang bisa digarapnya. Kondisi ini sangat kontras dengan kawasan di sekitarnya yang berupa hutan luas. Terbukanya struktur politik di tingkat makro pada masa reformasi menjalar sampai ke Sidomulyo dan menggerakkan warganya untuk menuntut keadilan pengelolaan sumberdaya alam (hutan) untuk kemakmuran bersama yang selama ini semakin langka akibat ditutupnya akses mereka terhadap hutan dengan adanya status hutan lindung. Gerakan sosial mereka berwujud menjadi reklaiming terhadap kawasan hutan lindung yang selama ini di bawah pengelolaan Perhutani. Kawasan hutan yang direklaiming kemudian dijadikan kebun kopi rakyat.

Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji latar belakang dan makna reklaiming hutan lindung oleh masyarakat desa hutan yang kemudian dijadikan kebun kopi rakyat sebagai realitas sosial semu yang perlu diungkap kebenarannya. Selanjutnya juga mengkaji implikasinya pada struktur agraria yang terbentuk pasca reklaiming. Sikap dan respon para pihak atas proses reklaiming serta praktik-praktik yang dilakukan mereka akan dapat menunjukkan posisi mereka dalam kerangka konflik kepentingan. Kondisi “harmonis” yang tercipta akibat strategi yang dilakukan para pihak untuk menghindari konflik terbuka perlu diungkap dan diperkirakan keberlanjutannya.

Reklaiming hutan lindung oleh komunitas petani kopi rakyat di Sidomulyo mempunyai tujuan yang bersifat ideologis yaitu terkait dengan alasan moralitas, keadilan, normatif dan sejarah. Selain itu juga mempunyai tujuan praktis yaitu terkait nilai ekonomi dan ekologi dari hutan lindung. Aktor utama yang berkonflik dalam perebutan hutan lindung sebagai sumberdaya agraria adalah komunitas petani kopi rakyat dan Perhutani. Di samping itu ada juga aktor lain yang terkait secara tidak langsung yaitu swasta (pedagang, pemilik modal dan eksportir) dan pemerintah (desa dan daerah). Aktor-aktor yang berkonflik di atas mempunyai kepentingan masing-masing terkait hutan lindung sebagai sumberdaya yang diperebutkan. Kepentingan komunitas petani kopi rakyat adalah mendapatkan sumber penghidupan dan reklaiming yang mereka lakukan merupakan gerakan sosial atas keadaan krisis agraria yang ada di wilayah mereka. Masa reformasi merupakan momentum yang dinilai sangat tepat, mengingat struktur politik nasional terbuka lebar dan terbukti berhasil. Kepentingan Perhutani adalah “kontrol akses” yaitu kemampuan untuk memediasi akses pihak-pihak lain terhadap sumberdaya yang dikontrolnya (hutan lindung).

Page 7: PERUBAHAN STRUKTUR AGRARIA DAN HARMONI SEMU … · PERUBAHAN STRUKTUR AGRARIA DAN HARMONI SEMU (Studi Kasus Reklaiming Hutan Lindung pada Komunitas Petani Kopi Rakyat di Kabupaten

v

Mekanisme para pihak yang terlibat reklaiming dalam memperoleh, mengontrol dan memelihara aliran keuntungan dari hutan lindung dan distribusinya merupakan suatu kemampuan akses yang dipengaruhi teknologi, modal, pasar, pengetahuan, wewenang, identitas sosial, dan relasi sosial. Kontestasi merupakan proses yang bersifat dinamis dari para pihak / para aktor (komunitas petani kopi rakyat, Perhutani, pedagang, dan pemerintah) yang berinteraksi dan menegosiasikan apa yang menjadi kepentingannya dalam konteks perebutan sumberdaya alam (hutan lindung). Interaksi mereka terwujud dalam dua bentuk relasi kuasa agraria, yaitu: relasi teknis yaitu antara aktor utama (komunitas petani kopi rakyat dan Perhutani) dengan objek agraria (hutan lindung); dan relasi sosial yaitu relasi di antara para pihak baik yang terkait langsung maupun tidak langsung dengan reklaiming. Negosiasi kepentingan para pihak berada dalam dua ruang, yaitu ruang konflik pemaknaan dan ruang konflik hak dan akses.

Kontestasi antara dua aktor utama dalam reklaiming (komunitas petani kopi rakyat dan Perhutani) dalam mencapai kepentingannya masing-masing berada pada tahap kemacetan (stalemate), di mana masing-masing tidak bisa memenangkan kepentingannya atau mundur menerima kekalahan. Kondisi ini terjadi karena adanya beberapa hal, yaitu: besarnya biaya melanjutkan konflik, tidak adanya dukungan pada masing-masing pihak, dan gagalnya taktik masing-masing pihak. Pada tahap ini konflik akan menurun dan menuju pada tahap pengurangan (de-escalation) dan mengalami proses negosiasi dalam rangka mencapai konsensus yang ditandai dengan perubahan organisasi sosial, interaksi para pihak yang berkonflik, peranan pihak ketiga, lembaga pendidikan dan media.

Reklaiming sebagai bentuk akses terhadap hutan lindung yang dilakukan oleh komunitas petani kopi rakyat yang merupakan warga Desa Sidomulyo dan sekitarnya telah memberikan manfaat/keuntungan yang berasal dari pembukaan kebun kopi di dalam hutan lindung yang mereka reklaim. Mereka memberikan “cukai” kepada para petugas Perhutani yang kemudian diakomodasi oleh Perhutani secara lembaga dan diakui sebagai “sharing” melalui Surat Perjanjian Kerjasanma (SPK) yang ditandatangani bersama LMDH dengan mematok besaran 1/3 hasil panen. Reklaiming juga menciptakan kesempatan kerja dan peluang penerapan inovasi-inovasi teknologi, peluang bagi para pedagang untuk mengambil keuntungan, dan memacu pemerintah desa untuk meningkatkan pelayanannya dan melaksanakan program-program pembangunan untuk mendukung aktivitas warganya. Kondisi sosial ekonomi yang semakin kondusif menarik para pemilik modal untuk berinvestasi baik kepada pedagang maupun kepada petani kopi.

Kontestasi para pihak dalam reklaiming hutan lindung dengan segala kepentingannya akan bermuara pada suatu struktur agraria baru yang pada dasarnya adalah perubahan sosial karena terjadi perubahan pola perilaku, hubungan sosial, lembaga dan struktur sosial pada komunitas petani kopi rakyat yang melakukan reklaiming pada khususnya dan wilayah Desa Sidomulyo pada umumnya. Perubahan-perubahan dalam unsur-unsur struktur agraria di atas dan kondisi harmoni yang tercipta ternyata masih menyisakan banyak persoalan yang belum terjawab, sehingga perubahan-perubahan yang terjadi sebagai hasil dari reklaiming tidak semuanya bermakna positif bagi warga Sidomulyo.

Page 8: PERUBAHAN STRUKTUR AGRARIA DAN HARMONI SEMU … · PERUBAHAN STRUKTUR AGRARIA DAN HARMONI SEMU (Studi Kasus Reklaiming Hutan Lindung pada Komunitas Petani Kopi Rakyat di Kabupaten

vi

© Hak Cipta milik IPB Tahun 2011 Hak cipta dilindungi Undang-undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini dalam bentuk apapun tanpa ijin IPB.

Page 9: PERUBAHAN STRUKTUR AGRARIA DAN HARMONI SEMU … · PERUBAHAN STRUKTUR AGRARIA DAN HARMONI SEMU (Studi Kasus Reklaiming Hutan Lindung pada Komunitas Petani Kopi Rakyat di Kabupaten

vii

PERUBAHAN STRUKTUR AGRARIA DAN HARMONI SEMU (Studi Kasus Reklaiming Hutan Lindung pada Komunitas Petani Kopi Rakyat di

Kabupaten Jember Jawa Timur)

Oleh: Mustapit NRP. I353070111

Tesis Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada

Program Studi Sosiologi Pedesaan, Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR 2011

Page 10: PERUBAHAN STRUKTUR AGRARIA DAN HARMONI SEMU … · PERUBAHAN STRUKTUR AGRARIA DAN HARMONI SEMU (Studi Kasus Reklaiming Hutan Lindung pada Komunitas Petani Kopi Rakyat di Kabupaten
Page 11: PERUBAHAN STRUKTUR AGRARIA DAN HARMONI SEMU … · PERUBAHAN STRUKTUR AGRARIA DAN HARMONI SEMU (Studi Kasus Reklaiming Hutan Lindung pada Komunitas Petani Kopi Rakyat di Kabupaten

Penguji Luar Komisi:

Dr. Satyawan Sunito

Page 12: PERUBAHAN STRUKTUR AGRARIA DAN HARMONI SEMU … · PERUBAHAN STRUKTUR AGRARIA DAN HARMONI SEMU (Studi Kasus Reklaiming Hutan Lindung pada Komunitas Petani Kopi Rakyat di Kabupaten

viii

Judul Tesis : Perubahan Struktur Agraria dan Harmoni Semu (Studi Kasus Reklaiming Hutan Lindung pada Komunitas Petani Kopi Rakyat di Kabupaten Jember Jawa Timur)

Nama : Mustapit NRP. : I353070111

Disetujui

Komisi Pembimbing

Prof. Dr. Endriatmo Soetarto, MA. Drs. Andang Subaharianto, M.Hum. Ketua Anggota

Diketahui

Koordinator Mayor Dekan Sekolah Pascasarjana IPB Sosiologi Pedesaan, Dr. Ir. Arya Hadi Dharmawan, MSc. Prof.Dr.Ir. Khairil A. Notodiputro, MS. Tanggal ujian: 17 Januari 2011 Tanggal lulus:

Page 13: PERUBAHAN STRUKTUR AGRARIA DAN HARMONI SEMU … · PERUBAHAN STRUKTUR AGRARIA DAN HARMONI SEMU (Studi Kasus Reklaiming Hutan Lindung pada Komunitas Petani Kopi Rakyat di Kabupaten

ix

PRAKATA

Puji syukur saya panjatkan ke hadirat Allah SWT atas limpahan rahmat dan

hidayah-Nya sehingga tesis ini dapat saya selesaikan dengan baik meskipun masih

banyak kekurangan.

Penelitian Perubahan Struktur Agraria dan Harmoni Semu merupakan studi

kasus reklaiming hutan lindung pada komunitas petani kopi rakyat di Kabupaten

Jember Jawa Timur. Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif untuk

mengkaji latar belakang dan makna reklaiming hutan lindung oleh komunitas petani

kopi rakyat di Sidomulyo dan aliran keuntungan yang ditimbulkannya. Selain itu

juga menganalisis mekanisme yang dilakukan para pihak pihak dalam memperoleh,

mengontrol dan memelihara aliran keuntungan dari kebun kopi hasil reklaiming

hutan lindung serta hubungan kuasa di antara mereka.

Keberhasilan penelitian ini tidak terlepas dari peran yang besar dari komisi

pembimbing. Oleh karena itu, penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-

besarnya kepada Prof. Dr. Endriatmo Soetarto, MA. selaku ketua komisi

pembimbing dan kepada Drs. Andang Subaharianto, M.Hum. selaku anggota komisi

pembimbing yang dengan penuh kesabaran membimbing saya mulai dari penulisan

proposal, penelitian, dan penulisan hasil penelitian sehingga tesis ini dapat terwujud.

Penghargaan dan terima kasih saya ucapkan kepada: Dekan Sekolah Pasca

Sarjana Institut Pertanian Bogor, Dekan dan Wakil Dekan Fakultas Ekologi Manusia,

Ketua Departemen Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat, Koordinator Mayor

Sosiologi Pedesaan dan seluruh staf pengajar yang telah memberikan ilmu

pengetahuan dan bimbingan serta pengalaman yang sangat berharga.

Penghargaan dan terima kasih saya ucapkan kepada Rektor Universitas

Jember, Dekan Fakultas Pertanian dan Ketua Jurusan Sosial Ekonomi Pertanian yang

telah memberikan ijin kepada saya untuk menempuh pendidikan magister.

Terima kasih saya ucapkan kepada Direktorat Jendral Pendidikan Tinggi

Kementerian Pendidikan Nasional yang telah memberikan beasiswa melalui Proyek

I-MHERE Universitas Jember.

Page 14: PERUBAHAN STRUKTUR AGRARIA DAN HARMONI SEMU … · PERUBAHAN STRUKTUR AGRARIA DAN HARMONI SEMU (Studi Kasus Reklaiming Hutan Lindung pada Komunitas Petani Kopi Rakyat di Kabupaten

x

Terima kasih saya sampaikan kepada Kepala Desa Sidomulyo, Mantri

Perhutani Garahan, Perhutani Jember, dan warga Sidomulyo yang telah mengijinkan

dan memberikan kesempatan kepada saya untuk melakukan penelitian. Khusus

kepada Pak Kusni dan keluarga serta Mas Sunari, terima kasih banyak atas

bantuannya selama penelitian berlangsung.

Terima kasih saya ucapkan kepada teman-teman SPD angkatan 2007: Aulia

Farida (Jambi), Eko Harri Yulianto (Samarinda), Febrina Desrianti (Padang), Gusti

Muhammad Fadli (Sintang), Husnul Khitam (Jakarta), Idris Sardi (Jambi), Nuraini

Budi Astuti (Padang), Rizal Razak (Bogor), dan Widiyanto (Surakarta) yang telah

memberikan kebersamaan yang tak terlupakan. Terima kasih sebesar-besarnya juga

atas kebersamaan yang menyenangkan kepada teman-teman kost di Babakan Tengah

(Anton, Winata, Rully, Kang Jamal dan Darko) dan teman-teman kost di Laladon

(Mas Yuli, Mas Bambang, Mas Deddy, Mas Fuad, Pak Bagus, dan Andrew).

Penghargaan dan terima kasih saya sampaikan kepada keluarga: Bapak (H.

Abd. Tamam) dan Emak (Alm. Muyasaroh), Bapak Mertua (Samik Udin) dan Ibu

(Suntihati) yang selalu membimbing dan mendo’akan saya. Kepada istri (Nur Aisah

Indraswati) dan mutiara-mutiara kami (Megan Madeeha dan Nevan Naqoofa)

kesabaran dan dukungannya tidak bisa saya nilai dengan apapun.

Kepada semua pihak yang telah banyak membantu terselesaikannya tesis ini

dan belum sempat disebut di atas, saya ucapkan terima kasih sebesar-besarnya.

Akhirnya saya minta maaf yang sebesar-besarnya atas segala keterbatasan dan

kekurangan dalam tesis ini.

Bogor, Pebruari 2011

Mustapit NRP. I353070111

Page 15: PERUBAHAN STRUKTUR AGRARIA DAN HARMONI SEMU … · PERUBAHAN STRUKTUR AGRARIA DAN HARMONI SEMU (Studi Kasus Reklaiming Hutan Lindung pada Komunitas Petani Kopi Rakyat di Kabupaten

xi

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Pati pada tanggal 16 Agustus 1977 dan merupakan anak ke-6

dari 7 bersaudara dari pasangan H. Abd. Tamam dan Muyasaroh (alm.). Penulis

memperoleh gelar sarjana dari Fakultas Pertanian Universitas Jember, Jember Jawa

Timur pada tahun 2002. Kemudian pada tahun 2007 melanjutkan pendidikan

magister di Program Studi Sosiologi Pedesaan Sekolah Pasca Sarjana Institut

Pertanian Bogor (IPB) di Bogor dengan besasiswa dari Proyek I-MHERE

Universitas Jember. Penulis bekerja sebagai staf pengajar pada Fakultas Pertanian

Universitas Jember sejak tahun 2005 sampai sekarang. Penulis menikah dengan Nur

Aisah Indraswati pada tanggal 26 Januari 2005 dan telah dikaruniai dua orang anak

yaitu: Megan Madeeha (lahir 12 Pebruari 2006) dan Nevan Naqoofa (lahir 13

Desember 2008).

Page 16: PERUBAHAN STRUKTUR AGRARIA DAN HARMONI SEMU … · PERUBAHAN STRUKTUR AGRARIA DAN HARMONI SEMU (Studi Kasus Reklaiming Hutan Lindung pada Komunitas Petani Kopi Rakyat di Kabupaten

xii

DAFTAR ISI

Halaman Pernyataan ....................................................................................................... i

Abstract .......................................................................................................................... ii

Ringkasan ..................................................................................................................... iv

Halaman Hak Cipta ...................................................................................................... vi

Halaman Judul ............................................................................................................. vii

Halaman Pengesahan .................................................................................................. viii

Prakata .......................................................................................................................... ix

Riwayat Hidup .............................................................................................................. xi

Daftar Isi ...................................................................................................................... xii

Daftar Tabel ................................................................................................................ xiv

Daftar Gambar ............................................................................................................. xv

Daftar Lampiran ......................................................................................................... xvi

PENDAHULUAN ......................................................................................................... 1

Latar Belakang ................................................................................................... 1

Masalah Penelitian ............................................................................................. 7

Tujuan Penelitian ............................................................................................... 8

TINJAUAN PUSTAKA ................................................................................................ 9

Lahan dan Struktur Agraria ............................................................................... 9

Hutan Lindung dan Permasalahan Tenurial .................................................... 11

Reklaiming dan Teori Akses ........................................................................... 14

Perubahan Sosial dan Konflik ......................................................................... 17

Kerangka Teoritis ............................................................................................ 22

METODOLOGI PENELITIAN .................................................................................. 27

Metode Penelitian ............................................................................................ 27

Metode Pengumpulan dan Analisis Data ........................................................ 28

Lokasi dan Waktu Penelitian ........................................................................... 32

Organisasi Penulisan ....................................................................................... 32

Page 17: PERUBAHAN STRUKTUR AGRARIA DAN HARMONI SEMU … · PERUBAHAN STRUKTUR AGRARIA DAN HARMONI SEMU (Studi Kasus Reklaiming Hutan Lindung pada Komunitas Petani Kopi Rakyat di Kabupaten

xiii

PANORAMA LERENG SELATAN GUNUNG RAUNG ......................................... 35

Desa Hutan: Sidomulyo dan Sejarahnya ......................................................... 36

Kondisi Umum dan Prasarana Desa Sidomulyo .............................................. 41

Kondisi Agraria Desa Sidomulyo ................................................................... 42

Struktur Mata Pencaharian Warga Desa Sidomulyo ....................................... 43

Kelembagaan Lokal Desa Sidomulyo .............................................................. 45

Intervensi Program di Desa Sidomulyo ........................................................... 53

Organisasi dan Hubungan Produksi di Desa Sidomulyo ................................. 56

HUTAN LINDUNG: ARENA PEREBUTAN SUMBERDAYA ............................... 59

Hutan Lindung: Sumberdaya Sarat Nilai ......................................................... 59

Aktor-aktor yang Berkonflik ........................................................................... 66

Kepentingan Para Pihak ................................................................................... 71

Mekanisme Akses (Reklaiming) Hutan Lindung ............................................ 73

KONTESTASI PARA PIHAK DAN KONFLIK ATAS HUTAN LINDUNG .......... 81

Relasi Kuasa Agraria Para Pihak ..................................................................... 81

Ruang Konflik Pemaknaan tentang Sumberdaya Agraria ............................... 83

Ruang Konflik Hak dan Akses terhadap Sumberdaya Agraria ....................... 87

Derajat Konflik Kontestasi .............................................................................. 90

Membangun Konsensus: Membangun Harmoni ............................................. 91

PERUBAHAN STRUKTUR AGRARIA DAN HARMONI SEMU .......................... 93

Distribusi Manfaat Reklaiming ........................................................................ 93

Kepemilikan Tanah .......................................................................................... 94

Konsentrasi Tanah dan Pendapatan ................................................................. 95

Diferensiasi Sosial............................................................................................ 96

Persaingan Usaha ............................................................................................. 98

Rasio Tanah dan Tenaga Kerja serta Implikasinya ........................................ 100

Harmoni Semu ............................................................................................... 102

PENUTUP ................................................................................................................. 105

Simpulan ........................................................................................................ 105

Saran .............................................................................................................. 108

DAFTAR PUSTAKA ................................................................................................ 109

Page 18: PERUBAHAN STRUKTUR AGRARIA DAN HARMONI SEMU … · PERUBAHAN STRUKTUR AGRARIA DAN HARMONI SEMU (Studi Kasus Reklaiming Hutan Lindung pada Komunitas Petani Kopi Rakyat di Kabupaten

xiv

DAFTAR TABEL

Tabel 1. Matriks Metode Penelitian ............................................................................ 31

Tabel 2. Luas Wilayah Desa Sidomulyo Menurut Penggunaan .................................. 43

Tabel 3. Wilayah Kerja Perum Perhutani .................................................................... 68

Tabel 4. Wilayah Kerja Perum Perhutani KPH Jember .............................................. 69

Tabel 5. Rata-rata Pendapatan Petani Kopi di Lahan Hasil Reklaiming ..................... 96

Page 19: PERUBAHAN STRUKTUR AGRARIA DAN HARMONI SEMU … · PERUBAHAN STRUKTUR AGRARIA DAN HARMONI SEMU (Studi Kasus Reklaiming Hutan Lindung pada Komunitas Petani Kopi Rakyat di Kabupaten

xv

DAFTAR GAMBAR

Gambar 1. Kerangka Pemikiran Penelitian .................................................................. 25

Gambar 2. Peta Desa Sidomulyo ................................................................................. 37

Gambar 3. Posisi dan Relasi Para Pihak Terkait Reklaiming Hutan Lindung ............ 81

Page 20: PERUBAHAN STRUKTUR AGRARIA DAN HARMONI SEMU … · PERUBAHAN STRUKTUR AGRARIA DAN HARMONI SEMU (Studi Kasus Reklaiming Hutan Lindung pada Komunitas Petani Kopi Rakyat di Kabupaten

xvi

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1. Luas Penguasaan Kebun Kopi oleh Informan Sebelum dan

Sesudah Reklaiming........................................................................... 113

Lampiran 2. Analisa Usahatani Kopi Warga Sidomulyo di

Lahan Hasil Reklaming Hutan Lindung ............................................ 114

Lampiran 3. Peta Kawasan Hutan Perum Perhutani Jawa dan Madura ................. 115

Lampiran 4. Peta Kawasan Hutan Perum Perhutani Unit II (Jawa Timur) ............ 116

Lampiran 5. Gambar Lokasi Penelitian .................................................................. 117

Page 21: PERUBAHAN STRUKTUR AGRARIA DAN HARMONI SEMU … · PERUBAHAN STRUKTUR AGRARIA DAN HARMONI SEMU (Studi Kasus Reklaiming Hutan Lindung pada Komunitas Petani Kopi Rakyat di Kabupaten

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Ada dua hal penting yang dapat dicatat dari sejarah pengelolaan hutan di

Jawa. Pertama, seolah-olah hutan di Jawa adalah kawasan warisan penguasa dari

waktu ke waktu tanpa mempertimbangkan keberadaan dan perkembangan

masyarakat, terutama desa-desa tepi hutan dan dalam hutan. Kedua, respon

perubahan kebijakan tidak langsung menyentuh akar masalah. Mulai dari penguasaan

raja-raja lokal di Jawa, pindah ke VOC, terus ke pemerintahan kolonial Belanda,

masa jeda saat penguasaan Jepang yang singkat, pindah ke masa pemerintahan Orde

Lama dan sampai pada tahun 1961, Perhutani dibentuk untuk menjalankan

penguasaan negara atas hutan.

Sebagian besar kebijakan kehutanan di Jawa dilatarbelakangi oleh fungsi

yang melekat pada hutan sebagai sebuah tegakan kayu saja dengan pengabaian baik

secara langsung maupun secara tidak langsung terhadap dinamika masyarakat yang

tinggal di sekitarnya. Misalnya, perubahan kebijakan di masa pemerintahan kolonial

Belanda, lebih didasari pertimbangan kerusakan hutan, terutama kerusakan hutan-

hutan jati di Jawa akibat eksploitasi di masa VOC. Demikian juga jika dirunut ke

pemerintahan kerajaan, pernah muncul konsep hutan ”susuhunan” yang menjalankan

fungsi sebagai pemasok kayu untuk kapal-kapal milik ”susuhunan” dan tempat

perburuan raja.

Sekarang, semua kawasan hutan yang tidak mempunyai kepemilikan individu

berada di bawah penguasaan negara berdasarkan UUD 1945 (pasal 33 ayat 3). Lebih

lanjut, posisi negara sebagai organisasi dengan kekuasaan penuh mendapat pijakan

UUPA No.5/1960 (pasal 2 ayat 1) dan adanya UU yang mengakui adanya “hutan

negara’ sebagaimana terdapat dalam UU Pokok Kehutanan No. 5/1967 yang

diperbarui dengan UU Kehutanan No. 41/1999. Model hutan negara ini dalam

sejarahnya diterapkan selama masa penjajahan Belanda di bawah Gubernur Jenderal

Deandels (1808-1811) yang mengadakan program untuk merestorasi hutan jati

(Tectona grandis) di Jawa. Dengan kewenangannya, Deandels tidak hanya

Page 22: PERUBAHAN STRUKTUR AGRARIA DAN HARMONI SEMU … · PERUBAHAN STRUKTUR AGRARIA DAN HARMONI SEMU (Studi Kasus Reklaiming Hutan Lindung pada Komunitas Petani Kopi Rakyat di Kabupaten

2

merestorasi hutan jati, melainkan juga memonopoli pengelolaan dan eksploitasi kayu

jati dengan memberi hak kepada Dienst van het Boschwezen, suatu institusi

kehutanan, untuk mengontrol tanah, pohon, dan buruh kerja. Inilah yang menjadi

titik awal prinsip penguasaan negara atas kawasan yang disebut sebagai “hutan”

(hutan negara) yang dikuatkan oleh pemberlakuan “Domeinverklaaring” yang tertera

dalam UU Kehutanan 1865 dan kemudian UU Agraria (Agrarisch Wet) 1870

(Peluso, 1990; Peluso dan Vandergeest, 2001; dalam Bacriadi dan Sardjono, 2005).

Lahirnya Undang-undang Agraria (Agrarisch Wet) 1870 menurut Lynch dan

Talbott (2001) bisa jadi untuk melindungi kepentingan dagang kaum kolonial

Belanda. Karena menjelang tahun 1860, terjadi peningkatan penduduk lokal di Jawa

yang belum pernah terjadi sebelumnya. Hal ini mengakibatkan konflik yang berlarut-

larut antara pertanian bergilir dan kepentingan perdagangan kopi yang terus meluas

dan menggiurkan. Undang-undang yang disusun untuk menggantikan sistem Tanam

Paksa ini memungkinkan kapitalis swasta menyewa lahan dari pemerintah kolonial

sampai 75 tahun dan menghalangi pribumi Indonesia untuk menjual tanahnya pada

orang non-Indonesia. Dengan menetapkan bahwa hak-hak adat akan diakui hanya

terhadap lahan yang secara terus-menerus digarap, Undang-undang Agraria

(Agrarisch Wet) 1870 ini melemahkan perjanjian-perjanjian yang dibuat sebelumnya

antara kaum kolonial dengan masyarakat asli mengenai pengelolaan hutan di Pulau

Jawa dan Madura. Pengguna hutan yang mempunyai kewenangan atau pengakuan

resmi dari pemerintah harus diutamakan dari pada semua praktik-praktik

pemanfaatan hutan tradisional. Dengan begitu pemerintahan kolonial Belanda dapat

melakukan apa saja yang diinginkan terhadap tanah-tanah yang yang berada di

bawah kekuasaan hukumnya.

Kawasan hutan di Jawa sekarang dikelola oleh empat lembaga: Perum

Perhutani, Dinas Kehutanan, Direktorat Jenderal Perlindungan Hutan dan Pelestarian

Alam (PHPA), dan wilayah pengelolaan Baduy tradisional. Orang Baduy mengelola

hutan mereka secara otonom di bawah hukum adat Baduy (terletak di wilayah

Banten dan memperoleh status khusus sejak masa kolonial Belanda). Kebanyakan

hutan di Jawa dikelola Perum Perhutani untuk keperluan produksi secara sepenuhnya

maupun terbatas (Peluso, 2006).

Page 23: PERUBAHAN STRUKTUR AGRARIA DAN HARMONI SEMU … · PERUBAHAN STRUKTUR AGRARIA DAN HARMONI SEMU (Studi Kasus Reklaiming Hutan Lindung pada Komunitas Petani Kopi Rakyat di Kabupaten

3

Perum Perhutani adalah perusahaan negara otonom yang diberi mandat

memperoleh penghasilan guna menghidupi dirinya sendiri dan memberikan 55

persen keuntungannya kepada Anggaran Pembangunan Nasional. Riwayat

keorganisasiannya adalah sebagai berikut: pada tahun 1969 didirikan oleh

Kementerian Pertanian1 Orde Baru, yang antara lain membawahi Direktorat Jenderal

Kehutanan. Kemudian tahun 1972 Perhutani Jawa Tengah dan Jawa Timur secara

hukum digabung sebagai unit-unit produksi tersendiri yang menginduk ke Perum

Perhutani. Bentuk usaha negara yang berupa perum (perusahaan negara) ini bekerja

sebagai perusahaan nonstock pemerintah, dengan anggarannya sendiri dan dengan

persetujuan kementerian. Hingga 1983, Perum Perhutani bertanggung jawab kepada

Menteri Pertanian; dan pada tahun tersebut kehutanan menjadi kementerian sendiri.

Dinas Kehutanan Jawa Barat dijadikan bagian dari Perum Perhutani pada 1978.

Hutan di Daerah Istimewa Yogyakarta bukanlah bagian dari Perum Perhutani, tetapi

tetap berstatus Dinas Kehutanan.

Karena kuasa dan kendalinya atas tanah hutan terkodifikasi dan terlegitimasi

dalam perundangan2, Perum Perhutani menguasai semua kegiatan di tanah hutan.

Penambangan, pengumpulan batu, kapur atau kayu bakar, juga pelaksanaan segala

macam penelitian memerlukan izin resmi Perum Perhutani. Kegiatan polisi

keamanan di dalam hutan atau keamanan hutan, menurut Peraturan Pemerintah No.

28 tahun 1985 dimaksudkan untuk mengamankan dan menjaga hak-hak negara atas

tanah hutan dan hasil hutan (Djokonomo dalam Peluso, 2006).

Seperempat wilayah Jawa yang digolongkan sebagai lahan hutan hampir

sama persis dengan lahan yang dikuasai oleh Boschwezen Belanda sebelum

pendudukan Jepang di Jawa. “Hutan” atau “tanah hutan” di Indonesia, seperti di

banyak negeri lain, adalah definisi politis bukan biologis. Lahan hutan didefinisikan

sebagai bagian dari Undang-undang Kehutanan Belanda Tahun 1927 dan 1932 yang

diterjemah dan dimasukkan dalam Undang-undang Pokok Kehutanan No. 5/1967.

Seperti di tempat lain, dimana terdapat birokrasi pengelolaan hutan, kehutanan

1 Dengan Instruksi Presiden No. 75/1969. 2 Undang-undang Pokok Agraria tahun 1960 dan Undang-undang Pokok Kehutanan No. 5/1967.

Page 24: PERUBAHAN STRUKTUR AGRARIA DAN HARMONI SEMU … · PERUBAHAN STRUKTUR AGRARIA DAN HARMONI SEMU (Studi Kasus Reklaiming Hutan Lindung pada Komunitas Petani Kopi Rakyat di Kabupaten

4

ilmiah tradisional3 mendapat legitimasi dalam undang-undang kehutanan dan

dibenarkan oleh dua gagasan universal dalam pengelolaan sumberdaya: (1)

pengelolaan untuk kemaslahatan sebesar-besarnya; dan (2) keunggulan sains (Barat)

atas bentuk-bentuk lain pengelolaan sumberdaya. Untuk mewujudkan ideologi ini,

ada tiga tipe penguasaan hutan yang tetap bertahan sejak penguasaan hutan oleh

Belanda: penguasaan lahan hutan, spesies hutan, dan pekerjaan/buruh hutan.

Bentuk pelibatan masyarakat dalam pengelolaan hutan di Jawa pasca kolonial

bermula dengan diserahkannya wewenang pengelolaan hutan Jawa kepada Perum

Perhutani pada tahun 1974 yang kemudian mengembangkan pendekatan

kesejahteraan dengan program Ma-Lu (Mantri-Lurah). Setelah diadakan Konggres

Kehutanan Dunia VIII di Jakarta pada tahun 1978 dengan tema Forest for People,

Perhutani menggulirkan program barunya yaitu Social Forestry, tetapi masih belum

jelas bentuk operasionalnya. Kemudian pada tahun 1982, kembali Perhutani

menyempurnakan pendekatan kesejahteraannya dalam pengelolaan hutan dengan

Proyek Pembangunan Masyarakat Desa Hutan (PMDH) yang bertujuan

meningkatkan kesejahteraan masyarakat desa hutan dan meningkatkan fungsi-fungsi

hutan secara optimal. Pada tahun 1985 dibentuk tim penelitian untuk mencari sistem

pengelolaan hutan yang mampu memecahkan permasalahan sosial ekonomi

masyarakat di sekitar hutan yang akhirnya berhasil merumuskan program Perhutanan

Sosial (PS). Pada periode ini mulai dikenal konsep agro forestry. Dikembangkan

pula bentuk alternatif PS seperti proyek Management Regime di KPH Madiun yang

mempertimbangkan faktor-faktor yang berpengaruh pada intensitas tekanan

penduduk terhadap kawasan hutan.

Pasca reformasi politik 1998, Departemen Kehutanan berusaha merubah

paradigma pengelolaan hutan dari state based oriented menjadi lebih community

based oriented melalui program pengenalan Hutan Kemasyarakatan (HKm)4.

Perkembangan ini juga mendorong Perhutani untuk mengembangkan konsep baru

bernama “Penanaman Hutan Berbasis Masyarakat” (PHBM) dengan Keputusan

3 Kehutanan ilmiah muncul dalam perencanaan pengelolaan kayu dan hasil-hasil “tradisional” hutan lain seperti getah pinus. Hasil-hasil ini diproduksi dalam gaya pabrik di perkebunan pohon industri. 4Dituangkan dalam SK Menteri No. 677/1998 tentang Pengelolaan HKm yang kemudian diganti dengan SK Menteri No. 31/2001 tentang Penyelenggaraan Pengelolaan HKm dan dalam Permen No. 1/2004 tentang Social Forestry.

Page 25: PERUBAHAN STRUKTUR AGRARIA DAN HARMONI SEMU … · PERUBAHAN STRUKTUR AGRARIA DAN HARMONI SEMU (Studi Kasus Reklaiming Hutan Lindung pada Komunitas Petani Kopi Rakyat di Kabupaten

5

Direksi Perum Perhutani No. 268/KPTS/DIR/2007). PHBM memakai prinsip

kebersamaan dalam pengelolaan hutan dan bertujuan meningkatkan peran dan

tanggung jawab Perhutani, masyarakat desa hutan dan pihak-pihak lainnya yang

berkepentingan terhadap keberlanjutan fungsi dan manfaat hutan. Melalui skema

PHBM inilah KPH Jember mengelola kawasan hutan lindung di lereng selatan

Gunung Raung yang direklaim oleh warga Sidomulyo dengan membentuk Lembaga

Masyarakat Desa Hutan (LMDH).

Hermosilla dan Fay (2005) mengemukakan beberapa tesis tentang

manajemen hutan di Indonesia sebagai berikut: pertama, dari sekitar 120 juta ha.

kawasan hutan yang diklaim oleh Departemen Kehutanan ternyata sekitar 33 juta

hektar tidak mempunyai tutupan hutan sehingga penguasaannya seharusnya tidak di

bawah Departemen Kehutanan tetapi pada BPN; kedua, bahwa sentralisasi

penguasaan kawasan hutan oleh Departemen Kehutanan selama ini tidak mempunyai

dasar hukum, karena baru 10 persen kawasan hutan yang sudah ditentukan tata

batasnya. Sehingga 90 persen dari yang diklaim sebagai kawasan hutan oleh

Departemen Kehutanan sebenarnya hanya dapat diberi status ‘non-state forest zones’

dan seharusnya berada di bawah penguasaan BPN; ketiga, langsung berhubungan

dengan di atas bahwa, kewenangan Departemen Kehutanan adalah terbatas pada

pengelolaan hutan, sedangkan yang berkaitan dengan tanah merupakan wewenang

BPN. Dengan demikian sudah saatnya pemerintah meninjau kembali klaim

Departemen Kehutanan terhadap apa yang disebut sebagai kawasan hutan negara

yang meliputi sekitar 62 persen dari daratan Indonesia. Sebagai dampak

implementasi dari pendefinisian sepihak masalah kehutanan oleh pemerintah, maka

masyarakat adat dan masyarakat desa hutan pada umumnya kehilangan sebagian

besar sumberdaya alam mereka.

Sebagai masyarakat yang tinggal di tepi kawasan hutan (desa hutan),

penduduk Desa Sidomulyo Kecamatan Silo Kabupaten Jember sangat tergantung

dengan hutan. Sebagai petani kebun kopi rakyat, mereka dulunya tidak ada masalah

dengan lahan. Lahan mereka masih luas dan mampu mendukung kehidupannya

dalam memenuhi kebutuhan sehari-sehari. Seiring berjalannya waktu, lahan-lahan itu

terfragmentasi khususnya melalui warisan, sehingga berkurang ketersedian dan daya

dukungnya. Bahkan beberapa warga akhirnya tidak mempunyai lahan sama sekali

Page 26: PERUBAHAN STRUKTUR AGRARIA DAN HARMONI SEMU … · PERUBAHAN STRUKTUR AGRARIA DAN HARMONI SEMU (Studi Kasus Reklaiming Hutan Lindung pada Komunitas Petani Kopi Rakyat di Kabupaten

6

yang bisa digarapnya. Kondisi ini sangat kontras dengan kawasan di sekitarnya yang

berupa hutan luas. Terbukanya struktur politik di tingkat makro pada masa

reformasi menjalar sampai ke Sidomulyo dan menggerakkan warganya untuk

menuntut keadilan pengelolaan sumberdaya alam (hutan) untuk kemakmuran

bersama yang selama ini semakin langka akibat ditutupnya akses mereka terhadap

hutan dengan adanya status hutan lindung. Gerakan sosial mereka berwujud menjadi

reklaiming terhadap kawasan hutan lindung yang selama ini di bawah pengelolaan

Perhutani. Kawasan hutan yang direklaiming kemudian dijadikan kebun kopi rakyat.

Gejala sosial yang terjadi di Sidomulyo tersebut berbeda dengan kasus-kasus

perkara, sengketa, maupun konflik agraria di kawasan hutan yang ada di tempat lain.

Status kawasan hutan lindung yang menjadi obyek reklaiming merupakan salah satu

pembeda dengan kajian-kajian lain yang sebagian besar merupakan konflik di hutan

produksi, hutan HTI dan hutan konservasi. Selain itu munculnya fenomena ini

termasuk kontemporer, yaitu ketika terjadinya era reformasi sehingga mempunyai

latar belakang yang lebih baru dan beragam walaupun tentu saja tidak bisa terlepas

dengan sejarah panjang sebelumnya dalam hal hubungan masyarakat dengan hutan.

Perubahan sosial (khususnya struktur agraria) akibat reklaiming juga merupakan

faktor baru dalam kajian dinamika struktur agraria. Keterlibatan banyak pihak luar

dalam fenomena sosial di suatu desa hutan juga menunjukkan bahwa desa bukan lagi

wilayah yang homogen dan tertutup. Para pihak yang terlibat melakukan praktik-

praktik tertentu dalam rangka mencapai kepentingannya.

Paradigma konservasi yang diusung oleh Perhutani sebagai representasi

negara dan paradigma akses terhadap sumberdaya hutan yang diusung oleh warga

berada pada ruang yang sama yaitu hutan lindung. Perhutani berpegang pada konsep

hak yang diperolehnya dari negara, sedangkan warga menuntut hak akses yaitu untuk

mengambil manfaat dari hutan lindung. Bentuk tumpang tindih paradigma ini

kemudian menjadi konflik dalam bentuk reklaiming yang dilakukan oleh warga.

Fenomena ini menunjukkan paradigma yang diyakini oleh warga mampu

meruntuhkan dominasi hegemoni paradigma konservasi Perhutani di hutan lindung.

Page 27: PERUBAHAN STRUKTUR AGRARIA DAN HARMONI SEMU … · PERUBAHAN STRUKTUR AGRARIA DAN HARMONI SEMU (Studi Kasus Reklaiming Hutan Lindung pada Komunitas Petani Kopi Rakyat di Kabupaten

7

Masalah Penelitian

Model pengelolaan hutan negara yang diterapkan selama masa penjajahan

Belanda sekarang diteruskan oleh Perum Perhutani yang mendapat legitimasi dari

negara untuk mengelolanya. Pengelolaan yang tidak mengiktusertakan masyarakat

sekitar hutan, yang sejak dari dulu menggantungkan hidupnya dari hutan,

membangkitkan pertanyaan adanya ketidakadilan sistem distribusi sumberdaya oleh

negara. Terbukanya struktur politik pada masa reformasi mendorong warga

melakukan reklaiming atas sumberdaya hutan untuk kesejahteraan mereka.

Reklaiming sebagai bentuk pemanfaatan sumberdaya hutan, kemampuan

pemanfaatannya dipengaruhi berbagai mekanisme, proses, dan relasi sosial yang

melekat pada masyarakat. Kekuatan-kekuatan ini merupakan jalinan material,

budaya dan ekonomi politik dalam ikatan dan jaring kekuasaan yang mengatur

“akses sumberdaya”. Orang-orang dan institusi yang berbeda menguasai dan

mendukung “ikatan kekuasaan” yang berbeda yang berada dan terdapat dalam

“jaringan kekuasaan” yang terbuat dari jalinan-jalinan tersebut. Jalinan ini terus

bergeser dan berubah dari waktu ke waktu, merubah sifat kekuasaan dan bentuk

akses pada sumberdaya (Ribot dan Peluso, 2003).

Akses hutan lindung yang dilakukan komunitas petani kopi rakyat di

Sidomulyo menjadikan kepemilikan (property) sebagai salah satu faktor dalam

susunan yang lebih besar dari kelembagaan, relasi sosial dan ekonomi politik, dan

strategi-strategi yang membentuk aliran keuntungan. Beberapa hal dari susunan

tersebut tidak diakui sebagai sesuatu yang sah oleh semua atau sebagian masyarakat,

beberapa lainnya adalah sisa dari wacana dan kelembagaan yang sah. Sehingga harus

memperhatikan kepemilikan sebagai tindakan bawah tanah, hubungan-hubungan

produksi, hubungan-hubungan penguasaan, dan sejarah dari semuanya itu.

Page 28: PERUBAHAN STRUKTUR AGRARIA DAN HARMONI SEMU … · PERUBAHAN STRUKTUR AGRARIA DAN HARMONI SEMU (Studi Kasus Reklaiming Hutan Lindung pada Komunitas Petani Kopi Rakyat di Kabupaten

8

Bertolak dari gambaran ini, maka pertanyaan-pertanyaan yang akan dijawab

melalui penelitian adalah:

1. Mengapa terjadi reklaiming hutan lindung oleh komunitas petani kopi rakyat di

Sidomulyo dan bagaimana aliran keuntungan yang timbul dari reklaiming

tersebut?

2. Bagaimana mekanisme para pihak yang terlibat reklaiming dalam memperoleh,

mengontrol dan memelihara aliran keuntungan dari hutan lindung dan

distribusinya?

3. Bagaimana hubungan kuasa para pihak yang mendasari mekanisme akses dalam

memperoleh keuntungan?

Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji latar belakang dan makna reklaiming

hutan lindung oleh komunitas petani kopi rakyat di Sidomulyo dan aliran keuntungan

yang ditimbulkannya. Selain itu juga menganalisis mekanisme yang dilakukan para

pihak pihak dalam memperoleh, mengontrol dan memelihara aliran keuntungan serta

hubungan kuasa di antara mereka.

Page 29: PERUBAHAN STRUKTUR AGRARIA DAN HARMONI SEMU … · PERUBAHAN STRUKTUR AGRARIA DAN HARMONI SEMU (Studi Kasus Reklaiming Hutan Lindung pada Komunitas Petani Kopi Rakyat di Kabupaten

TINJAUAN PUSTAKA

Lahan dan Struktur Agraria

Dalam kegiatan pertanian, termasuk perkebunan, lahan (tanah) merupakan

faktor produksi penting, karena di atas lahan kegiatan produksi suatu komoditas

penghasil ”surplus” dimulai. Bagi petani, sebagaimana menurut Sajogyo (1985),

lahan merupakan modal sumber nafkah yang menentukan posisi petani dalam

pelapisan masyarakat. Modal lahan akan menentukan kemampuan jangkauan petani

ke pangan, perumahan, pendidikan, dan unsur kesejahteraan lainnya.

Lebih lanjut Wiradi (1984) menunjuk kata ”penguasaan” tanah kepada

penguasaan efektif. Misalnya, jika sebidang tanah disewakan kepada orang lain maka

orang lain itulah yang secara efektif menguasainya. Jika seseorang menggarap tanah

miliknya sendiri, misalnya 2 ha, lalu menggarap juga 3 ha tanah yang disewa dari

orang lain, maka ia menguasai 5 ha. Sementara itu, konsep ”pemilikan” menunjuk

pada penguasaan formal. Melalui konsep pemilikan perorangan, seseorang dapat

menguasai sebidang tanah secara mutlak sehingga orang tersebut dapat mengaturnya

secara bebas, misalnya menyerahkan kepada ahli warisnya, menjual, serta meminta

pihak lain untuk mengusahakan lahan miliknya baik melalui sistem sewa, sakap, atau

gadai.

Terkait dengan keberadaan lahan yang menjadi ”objek” penting kegiatan

usahatani, maka muncul berbagai pola hubungan, yaitu: (1) hubungan manusia

dengan tanah; (2) hubungan manusia dan tanaman; (3) hubungan antara manusia dan

benda-benda lain di atas dan di bawah tanah; (4) hubungan antara manusia dan

manusia (Wiradi, 1986). Karena rumitnya hubungan itu, maka masalah penguasaan

tanah sebaiknya dipahami secara lintas disiplin mencakup aspek-aspek ekonomi,

sosial-budaya, politik dan ekologi. Pola-pola hubungan tersebut selanjutnya akan

membentuk struktur agraria baik berupa struktur penguasaan, struktur pengusahaan,

dan kemudian akan diikuti oleh struktur distribusi hasil pengelolaan sumber-sumber

agraria. Secara spesifik, dinamika struktur agraria merujuk pada gejala penajaman

Page 30: PERUBAHAN STRUKTUR AGRARIA DAN HARMONI SEMU … · PERUBAHAN STRUKTUR AGRARIA DAN HARMONI SEMU (Studi Kasus Reklaiming Hutan Lindung pada Komunitas Petani Kopi Rakyat di Kabupaten

10

diferensiasi sosial berdasar akses atau penguasaan terhadap tanah, baik yang

kemudian membentuk struktur agraria yang terstratifikasi maupun yang terpolarisasi.

Struktur agraria menurut Wiradi (2009) adalah tata hubungan antar manusia

yang menyangkut pemilikan, penguasaan, dan peruntukan tanah yang melalui suatu

proses perkembangan tertentu lalu menjadi mapan. Hakikat dari struktur agraria oleh

karenanya menyangkut masalah susunan pembagian tanah, penyebaran atau

distribusinya, yang pada gilirannya menyangkut hubungan kerja dalam proses

produksi. Sedangkan Kuhnen (1995) berpendapat bahwa istilah struktur agraria

menunjuk pada semua hasil yang sudah ada dan bertahan dan kondisi kehidupan

yang ditemukan dalam suatu wilayah pedesaan. Struktur agraria terdiri atas unsur-

unsur sosial, teknologi dan ekonomi yang menentukan produktivitas yang dicapai,

penghasilan dan distribusinya, dan situasi sosial penduduk pedesaan. Oleh karenanya

struktur agraria meliputi sistem land tenure (struktur agraria sosial) dan sistem land

management (struktur agraria teknis dan ekonomis). Sistem land tenure mengatur

hak-hak legal atau tradisional individu atau kelompok dalam memiliki tanah dan

menghasilkan hubungan-hubungan sosial di antara penduduk pedesaan. Komponen

dari land tenure adalah sistem kepemilikan tanah dan sistem organisasi kerja. Oleh

karenanya berbagai sistem land tenure berkembang di seluruh dunia, di mana kondisi

alam (iklim, tanah, topografi) dan juga faktor sosial (sosial budaya, ideologi politik,

tingkat teknologi, penduduk, perubahan-perubahan hubungan biaya dan harga, dan

sebagainya) memainkan peranan.

Tata hubungan yang mapan dalam struktur agraria di atas menurut Wiradi

(2009) harus dipahami dalam arti relatif dan bukannya permanen sepanjang waktu.

Tatanan ini bisa berubah akibat bekerjanya berbagai faktor yang dapat

mempengaruhinya, antara lain: (1) perubahan struktur politik; (2) perubahan

orientasi politik; (3) perubahan kebijakan ekonomi; (4) perubahan teknologi; dan (5)

faktor-faktor lain sebagai turunan dari keempat faktor tersebut. Demikian juga

Kuhnen (1995) berpendapat yang sama bahwa sistem land tenure bukanlah sesuatu

yang abadi/kekal, sebaliknya tergantung pada proses perubahan yang terus-menerus.

Perubahan kondisi alam dan faktor ekonomi, inovasi teknologi, jumlah penduduk,

pengaruh struktur kekuasaan politik membawa perubahan dalam sistem land tenure.

Sebagai hasil dari proses yang terus-menerus dalam faktor-faktor yang mengatur dan

Page 31: PERUBAHAN STRUKTUR AGRARIA DAN HARMONI SEMU … · PERUBAHAN STRUKTUR AGRARIA DAN HARMONI SEMU (Studi Kasus Reklaiming Hutan Lindung pada Komunitas Petani Kopi Rakyat di Kabupaten

11

membentuk sistem land tenure tersebut, maka suatu sistem land tenure yang ideal

tidak dapat terjadi. Pada suatu saat, sistem land tenure khusus adalah kerangka

kelembagaan yang mana produksi agraria dan cara hidup diselesaikan di bawah

kondisi yang ada. Hal ini saling berkaitan dengan kondisi alam, ekonomi, sosial dan

politik. Ketika semuanya berubah, sistem land tenure secara terus-menerus

beradaptasi terhadap situasi yang berubah.

Terdapat beberapa unsur (sektor) yang dapat digunakan untuk menganalisa

suatu kasus agraria sebagaimana dinyatakan oleh Tuma (dalam Sitorus, 2002), yaitu:

(a) kepemilikan tanah (land ownership); (b) konsentrasi tanah dan pendapatan (land

and income concentration); (c) diferensiasi sosial (class differentiation); (d) usaha

skala besar vs kecil (large vs small scale operation); (e) rasio tanah dan tenaga kerja

(land/labor ratio); (f) pengangguran (underemployment); dan (g) kelebihan tenaga

kerja (surplus tenaga kerja). Unsur-unsur tersebut dapat menggambarkan struktur

agraria dan apabila dilihat dalam jangka waktu yang berbeda (diperbandingkan)

maka akan dapat menggambarkan perubahannya.

Hutan Lindung dan Permasalahan Tenurial

Hutan lindung sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 UU No. 41 Tahun 1999

tentang Kehutanan adalah “kawasan hutan yang mempunyai fungsi pokok sebagai

perlindungan sistem penyangga kehidupan untuk mengatur tata air, mencegah

banjir, mengendalikan erosi, mencegah intrusi air laut, dan memelihara kesuburan

tanah.” Pengertian ini mengandung arti tersirat bahwa hutan lindung dapat

ditetapkan di wilayah hulu sungai (termasuk pegunungan di sekitarnya) sebagai

wilayah tangkapan hujan (catchment area), di sepanjang aliran sungai bilamana

dianggap perlu, di tepi-tepi pantai (misalnya pada hutan bakau), dan tempat-tempat

lain sesuai fungsi yang diharapkan. Sedangkan kawasan hutan dalam pengertian di

atas adalah: ”...wilayah tertentu yang ditunjuk dan atau ditetapkan oleh Pemerintah

untuk dipertahankan keberadaannya sebagai hutan tetap.”

Pemanfaatan hutan lindung (dalam Pasal 26 dan 27) dapat berupa

pemanfaatan kawasan, pemanfaatan jasa lingkungan, dan pemungutan hasil hutan

bukan kayu. Pemanfaatannya dilaksanakan melalui pemberian izin usaha yang

semuanya dapat diberikan kepada perorangan dan koperasi kecuali izin pemanfaatan

Page 32: PERUBAHAN STRUKTUR AGRARIA DAN HARMONI SEMU … · PERUBAHAN STRUKTUR AGRARIA DAN HARMONI SEMU (Studi Kasus Reklaiming Hutan Lindung pada Komunitas Petani Kopi Rakyat di Kabupaten

12

jasa lingkungan dapat diberikan pula kepada badan usaha milik swasta Indonesia dan

badan usaha milik negara atau badan usaha milik daerah. Selain itu, untuk menjamin

asas keadilan, pemerataan, dan lestari, maka izin usaha pemanfaatan hutan dibatasi

dengan mempertimbangkan aspek kelestarian hutan dan aspek kepastian usaha dan

diatur dengan peraturan pemerintah (Pasal 31). Dari peraturan-peraturan ini jelas

adanya dominasi kuasa negara atas sumberdaya hutan. Tidak tersirat sedikit pun

adanya keterlibatan apalagi kedaulatan rakyat dalam penentuan pengelolaan hutan.

Konflik mengenai sumber daya hutan biasanya terjadi sebagai akibat dari

tidak jelasnya hak-hak atau hukum yang berhubungan dengan sistem tenurial.

Tuntutan-tuntutan ini dapat terjadi antar/antara individu, masyarakat, badan instansi

pemerintah atau sektor swasta. Dalam konteks konflik tenurial (penguasaan atas

lahan dan sumberdaya alam) di dalam kawasan hutan, rentang jarak yang jauh antara

aspek de jure dan de facto patut mendapatkan pencermatan yang mendalam oleh

berbagai pihak.

Di satu sisi sistem penguasaan yang diatur oleh hukum negara sangat lemah

dalam operasionalnya, sementara sistem yang diatur secara tradisional tidak

terdokumentasi dan seringkali kurang mendapat dukungan secara hukum, sehingga

keamanan sebagai pemegang hak kurang memadai. Permasalahan tenurial kawasan

hutan di Indonesia menurut Santoso (1996) berpusat pada: (a) dualisme pertanahan;

(b) tumpang tindih hukum sektoral; (c) hak masyarakat adat; (d) kebutuhan

masyarakat non-adat; (e) implementasi kebijakan; dan (f) mekanisme resolusi

konflik.

Kontroversi sistem tenurial sumberdaya hutan berkisar seputar perdebatan

mengenai Hak Menguasai Negara (HMN) dan Hak Masyarakat Adat (HMA) atas

tanah dan sumberdaya alam Indonesia yang telah lama berlangsung, utamanya sejak

munculnya UUPA tahun 1960 dan UUPK tahun 1967. Berdasarkan doktrin HMN

tersebut, ditafsirkan bahwa negara adalah pemegang otoritas tertinggi berkenaan

dengan sumberdaya alam. HMN menempatkan negara tidak sebagai pemilik

melainkan sebagai organisasi tertinggi dari bangsa Indonesia (beberapa ahli

mengistilahkan sebagai ”hak ulayat negara”) memberi kekuasaan atau kewenangan,

misalnya dalam UUPK, untuk: (a) menetapkan dan mengatur perencanaan,

peruntukan, penyediaan dan penggunaan hutan sesuai dengan fungsinya dalam

Page 33: PERUBAHAN STRUKTUR AGRARIA DAN HARMONI SEMU … · PERUBAHAN STRUKTUR AGRARIA DAN HARMONI SEMU (Studi Kasus Reklaiming Hutan Lindung pada Komunitas Petani Kopi Rakyat di Kabupaten

13

memberikan manfaat kepada rakyat dan negara, (b) mengatur pengurusan hutan

dalam arti luas, (c) menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara

orang atau badan hukum dengan hutan dan mengatur perbuatan-perbuatan hukum

mengenai hutan. Dalam pelaksanaan HMN, negara dapat menguasakan kewenangan

tersebut kepada daerah-daerah swatantra (pemerintah daerah) dan masyarakat hukum

adat sepanjang secara nyata masih ada dan tidak bertentangan kepentingan nasional

dan perundang-undangan yang berlaku.

Studi-studi tentang konflik sumberdaya hutan, sebagian besar mengenai

konflik HPH dan hutan adat yang sebagian besar berada di hutan di luar pulau Jawa.

Sedangkan di Jawa, studi-studi yang ada berlokasi di hutan jati yang memang

dominan di Pulau Jawa. Salah satunya adalah Santoso5 (2004) yang studinya di

suatu distrik kehutanan (Kesatuan Pemangkuan Hutan: KPH) di bawah Perhutani

Unit I Jawa Tengah mengambil fokus pada kasus-kasus pencurian kayu, bibrikan

lahan, sabotase tanaman, aksi-aksi balas dendam, dan gosip-gosip yang secara

khusus ditujukan kepada para petugas kehutanan. Menurutnya, kasus-kasus tersebut

tidak berdiri sendiri tetapi juga memiliki pertautan yang sangat erat dengan sejarah

panjang dinamika perubahan dan tarik-menarik kekuasaan atas sumber daya hutan

yang melibatkan suprastruktur dan substruktur. Sehingga masalah-masalah yang

lebih besar seperti dominasi ideologi atau hegemoni, perlawanan sosial, dan sosok

kehutanan akademis6 serta kritik-kritiknya perlu mendapat perhatian besar.

Sebelumnya, Peluso (1992) dalam bukunya7 yang terkenal tentang

penguasaan sumberdaya hutan dan perlawanan di Jawa secara komprehensif

menguraikan sejarah kebijakan kehutanan negara yang dirancang untuk

mengendalikan dan mengawasi penggunaan kawasan hutan, jenis pohon tertentu,

tenaga kerja, dan ideologi di Jawa serta tanggapan penduduk desa hutan terhadap

pengendalian yang diterapkan. Secara khusus juga menampilkan suatu kasus tentang

konflik di kebanyakan hutan non-jati. Menurutnya konflik terbesar di hutan non-jati

5 Hery Santoso, Perlawanan di Simpang Jalan: Kontes Harian di Desa-desa Sekitar Hutan di Jawa, (Jogjakarta: DAMAR, 2004). 6 Serupa dengan “kehutanan ilmiah”, dimana perencanaan pengelolaan kayu dan hasil-hasil “tradisional” hutan lain seperti getah pinus diproduksi dalam gaya pabrik di perkebunan pohon industri. 7 Nancy L. Peluso, Hutan Kaya, Rakyat Melarat: Penguasaan dan Perlawanan di Jawa, Terjemahan Landung Simatupang, (Jakarta: KONPHALINDO, 2006).

Page 34: PERUBAHAN STRUKTUR AGRARIA DAN HARMONI SEMU … · PERUBAHAN STRUKTUR AGRARIA DAN HARMONI SEMU (Studi Kasus Reklaiming Hutan Lindung pada Komunitas Petani Kopi Rakyat di Kabupaten

14

tersebut adalah mengenai tanah hutan dan bukannya pohon-pohonnya sebagaimana

di hutan jati. Kasus tersebut menggambarkan bagaimana petani mampu

melaksanakan kuasa melalui perlawanan yang berbasis tanah dan melestarikan

pelaksanaan pertanian di kawasan hutan negara, demi manfaat mereka bersama.

Meskipun tampaknya “daya tembak” mereka secara teknis rendah, kenyataannya

mereka unggul dalam perjuangan penguasaan tanah hutan.

Akses lahan hutan dan manfaat yang timbul dari akses itu dimediasi oleh

stratifikasi masyarakat. Mereka yang bermodal dapat memperoleh akses ke lahan

yang lebih baik dan mampu berinvestasi pada bentuk bercocok tanam yang lebih

menguntungkan. Keputusan Perhutani pada waktu alokasi akses lahan sangat

menentukan sosok ekonomi politik setempat. Dengan demikian petugas lapang

Perhutani menjadi fokus dari banyak ketegangan di tanah hutan negara saat ini.

Perhutani sering membantu petani kaya karena dipandang paling mampu

menyelesaikan pekerjaan (reforestasi). Namun, justru petani kaya inilah yang

memanfaatkan afiliasi Perhutani dengan lembaga eksternal yang bersaing hendak

menguasai hutan; petani kaya membelokkan ketidakpuasan dan amarah petani

miskin ke arah pihak-pihak luar itu.

Reklaiming dan Teori Akses

Reklaiming adalah salah satu bentuk gerakan sosial. Sebagai gerakan sosial,

reklaiming sangat terkait dengan dinamika politik makro. Reklaiming berkaitan langsung

dengan terbuka atau tertutupnya struktur politik nasional. Perubahan struktur politik

nasional, ditandai dengan jatuhnya kekuasaan presiden Suharto, Mei 1998, menciptakan

kondisi obyektif baru di tengah-tengah masyarakat, yaitu terciptanya ruang politik yang

memungkinkan keleluasaan ekspresi politik rakyat. Keleluasaan ini mendorong

munculnya berbagai ekspresi korban represi negara. Keberadaan gerakan reklaiming

dilatarbelakangi oleh munculnya berbagai kelompok yang mendominasi, baik secara

ekonomi maupun politis, berusaha mengklaim terhadap hak atas sumberdaya alam.

Kelahiran gerakan reklaiming, dapat dikatakan sebagai conditio sine qua non yang

dipicu oleh kejadian yang sama sebelumnya yaitu, perampasan paksa hak atas

kepemilikan sumberdaya alam rakyat.

Page 35: PERUBAHAN STRUKTUR AGRARIA DAN HARMONI SEMU … · PERUBAHAN STRUKTUR AGRARIA DAN HARMONI SEMU (Studi Kasus Reklaiming Hutan Lindung pada Komunitas Petani Kopi Rakyat di Kabupaten

15

Istilah reklaiming walaupun belum memiliki definisi yang baku, tetapi sudah

populer dan jamak digunakan dalam hal kasus-kasus agraria. Kata ini merupakan

kata serapan dari bahasa Inggris “reclaiming” yang berarti “memperoleh kembali”.

Sedangkan menurut pengertian yang didefinisikan oleh YLBHI, gerakan reklaiming

adalah8:

“Sebuah tindakan perlawanan, yang dilakukan oleh rakyat tertindas untuk

memperoleh kembali hak-haknya seperti tanah, air, dan sumber daya alam

lainnya, serta alat-alat produksi lainnya secara adil, demi terciptanya

kemakmuran rakyat semesta9.”

Sebagai proses “untuk memperoleh kembali hak-hak itu”, maka reklaiming yang

dilakukan oleh petani pada dasarnya selalu dilakukan sebagai sebuah respon dari

perlakuan-perlakuan yang dilakukan oleh pihak lain kepada meraka.

Selama ini terdapat beberapa hal yang dijadikan sebagai alasan dari tindakan

reklaiming (Ardana, 2008), yaitu : pertama, alasan moralitas yaitu adanya penindasan

sistemik yang dilakukan oleh penguasa di mana apabila rakyat berhasil mendapatkan

kembali hak-haknya atas tanah dan sumber daya alam lainnya bukan mustahil akan

terjadi perbaikan kondisi dan posisi rakyat. Kedua, alasan ketidakadilan dan struktur

yang menindas yang merupakan konsekuensi logis dari kebijakan ekonomi politik

negara. Ketiga, alasan normatif (yuridis konstitusional) di mana negara dinilai telah

gagal dalam mengembang amanat rakyat yang tertuang dalam pasal 33 ayat (3) UUD

1945 sekaligus kegagalan MPR/DPR dalam menjembatani kepentingan rakyat. Keempat,

alasan hubungan sejarah dan nilai-nilai lokal yang melekat pada objek reklaiming (tanah

dan sumber daya alam lainnya) yang seringkali dinafikan demi kepentingan penguasa,

dan kelima, alasan kewajiban negara dalam pemenuhan kebutuhan dasar rakyat.

Reklaiming hutan lindung oleh warga Sidomulyo merupakan fenomena

konflik agraria karena adanya perbedaan kepentingan antara mereka dengan

Perhutani. Kepentingan warga adalah akses mereka memanfaatkan sumberdaya

hutan sebagaimana dilakukan oleh para leluhur mereka. Sedangkan kepentingan

Perhutani adalah menjalankan mandat dari negara untuk menjaga hutan lindung agar

8 Boedhi Wijardjo dan Herlambang Perdana, Reklaiming dan Kedaulatan Rakyat,(Jakarta: YLBHI dan RACA Institute, 2001). 9 yang dimaksud dengan rakyat semesta adalah seluruh rakyat Indonesia, bukan hanya sebagian saja. Lihat, Boedhi Wijardjo dan Herlambang Perdana, Ibid.

Page 36: PERUBAHAN STRUKTUR AGRARIA DAN HARMONI SEMU … · PERUBAHAN STRUKTUR AGRARIA DAN HARMONI SEMU (Studi Kasus Reklaiming Hutan Lindung pada Komunitas Petani Kopi Rakyat di Kabupaten

16

berfungsi sebagaimana tujuannya yaitu menjaga fungsi lingkungan. Persaingan

kepentingan tersebut menyebabkan konflik dalam pengelolaan dan pemanfaatan

sumberdaya hutan.

Terkait dengan akses yang merupakan tuntutan warga yang berwujud

reklaiming dapat dijelaskan dengan teori akses dari Ribot dan Peluso (2003) yang

mendefinisikan akses sebagai: “ kemampuan untuk mengambil keuntungan dari

sesuatu seperti obyek material, seseorang, lembaga dan simbol”. Penekanan pada

“kemampuan” dibandingkan dengan hak akan membawa perhatian yang lebih luas

pada hubungan-hubungan sosial yang membatasi atau memperbolehkan masyarakat

memanfaatkan sumberdaya tanpa memperhatikan hubungan kepemilikan (property

rights) saja. Teori akses ini berguna untuk mengidentifikasi konstelasi cara,

hubungan, dan proses yang memperbolehkan berbagai aktor (para pihak) mengambil

keuntungan dari suatu sumberdaya.

Konsep akses memfasilitasi analisis siapa yang sebenarnya mendapatkan

keuntungan dari sesuatu dan melalui proses apa mereka dapat melakukannya.

Sehingga secara empiris akses berfokus pada isu “siapa yang menggunakan apa dan

siapa yang bukan, dalam cara-cara apa, dan kapan (dalam kondisi apa)”. Dan

berfokus pada sumberdaya alam sebagai sesuatu yang dipermasalahkan, Ribot dan

Peluso (2003) mengeksplorasi jajaran kekuasaan (range of powers) yang

mempengaruhi kemampuan orang-orang untuk mengambil keuntungan dari

sumberdaya. Kekuasaan yang dimaksud adalah material, budaya dan ekonomi politik

dalam “ikatan (bundles)” dan “jaring-jaring (webs)” kekuasaan yang mengatur akses

sumberdaya. Ada orang-orang dan lembaga yang “mengontrol” akses sumberdaya

sementara yang lain “memelihara” akses mereka melalui mereka yang mempunyai

kontrol. Pembedaan dalam hubungan akses ini adalah salah satu cara akses dapat

dilihat sebagai suatu analisis yang dinamis, sehingga dapat membantu memahami

mengapa ada orang-orang atau lembaga yang mengambil keuntungan dari

sumberdaya, baik memiliki hak atau tidak atas sumberdaya tersebut.

Analisis terhadap akses sumberdaya mensyaratkan identifikasi obyek yang

diteliti, terutama keuntungan yang berasal dari sumberdaya tertentu. Setelah itu dapat

dilanjutkan dengan analisis berbagai mekanisme di mana individu, kelompok atau

institusi memperoleh, mengontrol atau memelihara akses dalam kondisi politik dan

Page 37: PERUBAHAN STRUKTUR AGRARIA DAN HARMONI SEMU … · PERUBAHAN STRUKTUR AGRARIA DAN HARMONI SEMU (Studi Kasus Reklaiming Hutan Lindung pada Komunitas Petani Kopi Rakyat di Kabupaten

17

budaya tertentu. Mekanisme yang membentuk proses dan hubungan akses dapat

dikategorikan dalam akses berdasarkan hak (rights based access) dan akses yang

merupakan sejumlah faktor tambahan yang merupakan mekanisme akses yang

bersifat struktural dan relasional (structural and relational mechanisms). Faktor-

faktor tersebut adalah: teknologi, modal, tenaga kerja, pengetahuan, wewenang,

identitas dan relasi-relasi sosial (Ribot dan Peluso, 2003).

Perubahan Sosial dan Konflik

Sebagian besar pakar memandang penting perubahan struktural dalam

hubungan, organisasi, dan ikatan antar unsur masyarakat. Sehingga Farley (1990),

dalam Sztompka (1993:5), memberikan definisi perubahan sosial sebagai perubahan

pola perilaku, hubungan sosial, lembaga dan struktur sosial pada waktu tertentu.

Alasan di balik lebih seringnya penekanan ditujukan pada perubahan struktural dari

pada tipe lain adalah karena perubahan struktural itu lebih mengarah kepada

perubahan sistem sebagai keseluruhan dari pada perubahan di dalam sistem sosial

saja. Struktur sosial merupakan sejenis kerangka pembentukan masyarakat dan

operasinya. Jika strukturnya berubah, maka semua unsur lain cenderung berubah

pula.

Sebelumnya, Mac Iver dan Page (1954) mengartikan perubahan sosial

sebagai perubahan-perubahan dalam hubungan-hubungan sosial (social relationship)

atau sebagai perubahan terhadap keseimbangan (equilibrium) hubungan sosial

tersebut. Lebih jauh Soemardjan (1981) menjelaskan bahwa konsep perubahan sosial

dimaksudkan untuk mencakup bermacam perubahan di dalam lembaga-lembaga

masyarakat yang mempengaruhi sistem sosialnya, termasuk nilai-nilai, sikap dan

pola tingkah laku antar kelompok di dalam masyarakat. Perubahan sosial dan

perubahan budaya (kultural) mempunyai satu segi persamaan yaitu kedua-duanya

menyangkut suatu adaptasi atau perbaikan dalam cara masyarakat memenuhi

kebutuhan-kebutuhannya.

Perubahan sosial merupakan suatu gejala yang akan selalu ada dalam

masyarakat, karena masyarakat selalu berubah dalam aspek terkecil sekalipun.

Perubahan sosial mengacu pada perubahan struktur sosial dan hubungan sosial di

masyarakat. Perubahan pada hubungan sosial akan menimbulkan pula perubahan

Page 38: PERUBAHAN STRUKTUR AGRARIA DAN HARMONI SEMU … · PERUBAHAN STRUKTUR AGRARIA DAN HARMONI SEMU (Studi Kasus Reklaiming Hutan Lindung pada Komunitas Petani Kopi Rakyat di Kabupaten

18

pada aspek nilai dan norma. Perubahan sosial dapat terjadi karena sebab internal

maupun eksternal. Faktor internal berkaitan dengan permasalahan yang timbul dalam

diri masyarakat, sedangkan faktor eksternal mengacu pada sumber perubahan yang

berasal dari luar masyarakat. Yang termasuk faktor internal yaitu yang berasal dari

masyarakat itu sendiri, seperti: perubahan komposisi penduduk, konflik dan

penemuan baru. Sedangkan faktor eksternal yaitu yang berasal dari luar masyarakat,

seperti: bencana alam, peperangan, intervensi dan budaya asing. Selain itu, terdapat

pula faktor penghambat dan pendorong perubahan. Faktor penghambat yaitu:

perkembangan i1mu pengetahuan yang berjalan lambat, sikap tradisional, solidaritas

kelompok tinggi, kepentingan, prasangka buruk pada pihak luar dan takut akibat dari

perubahan. Faktor pendorong perubahan adalah pendidikan yang maju, sikap

menghargai karya orang lain, toleransi dan sistem masyarakat terbuka.

Pemikiran perspektif konflik dalam perubahan sosial menekankan pada

adanya perbedaan pada diri individu/kelompok dalam mendukung suatu sistem

sosial. Menurut perspektif konflik masyarakat terdiri dari individu yang masing-

masing memiliki berbagai kebutuhan (interests) yang sifatnya langka. Keberhasilan

individu/kelompok mendapatkan kebutuhan dasar tersebut berbeda-beda, hal ini

dikarenakan kemampuan individu/kelompok untuk mendapatkannya pun berbeda-

beda. Persaingan untuk mendapatkan kebutuhan itulah yang akan memicu

munculnya konflik sosial (Susan, 2009).

Sosiologi konflik kontemporer semakin kompleks dan kadang pragmatis.

Proses ini bisa disebut sebagai sosiologi konflik ekletik, yang mengkaji konflik

melalui beberapa pendekatan yang bisa disatukan secara pragmatis seperti

pendekatan konflik kritis dan humanis. Pendekatan ini menghasilkan analisis

sosiologi konflik yang berfokus pada dominasi wacana dan kekuasaan. Persoalan

wacana adalah kepentingan apa dan siapa yang mendominasi di dalamnya. Berger

dan Luckman (dalam Susan, 2009:77) menyebut negara sebagai lembaga terbesar

yang paling kuat dalam menanam kepentingan di wilayah publik. Melalui aparatnya

seperti birokrasi dan militer, negara mempunyai kekuasaan untuk memaksa sehingga

dapat membentuk atau menentukan realitas sosial dalam koridor kepentingan

mereka. Dengan demikian negara merupakan lembaga kekuasaan yang paling besar

dalam menentukan wacana-wacana individu.

Page 39: PERUBAHAN STRUKTUR AGRARIA DAN HARMONI SEMU … · PERUBAHAN STRUKTUR AGRARIA DAN HARMONI SEMU (Studi Kasus Reklaiming Hutan Lindung pada Komunitas Petani Kopi Rakyat di Kabupaten

19

Para aktor/pihak yang terkait dengan reklaiming berinteraksi bersama untuk

membentuk suatu tipifikasi (representasi mental) sepanjang waktu dari masing-

masing tindakan para aktor. Oleh karena itu, tipifikasi ini seringkali menjadi

dibiasakan (habitualized) dalam berbagai peranan timbal-balik yang dimainkan para

aktor dalam interaksinya satu sama lain. Ketika peranan-peranan ini menjadi rutin,

interaksi timbal balik yang tertipifikasi itu disebut terinstitusionalisasi/melembaga

(institutionalized). Dalam prosesnya, makna (meaning) melekat dan melembaga

dalam pengetahuan dan konsepsi individu dan masyarakat. Oleh karenanya

kenyataan sosial dikonstruksi secara sosial (teori konstruksi sosial kenyataan Berger

& Luckman). Dalam hal ini analisis proses sosial yang berlangsung atau dalam

istiliah lain analisis historis menjadi sangat penting untuk memahami terjadinya

proses reklaiming ini.

Hutan tidak lagi sekedar arena biofisik (teritorial) melainkan juga sebagai

arena sosial di mana kedua belah pihak (masyarakat dan Perhutani) menciptakan

manuver, strategi, dan perjuangan demi sumberdaya yang diinginkan. Masyarakat

dan Perhutani dengan modal yang dipunyainya berusaha mengukuhkan posisinya

dalam kawasan hutan yang diperebutkan penguasaannya.

Pemecahan masalah-masalah agraria bila ditinjau dari sudut pandang

sosiologi menurut Tjondronegoro (1999) berarti menganalisa hubungan antar

golongan-golongan beserta usaha-usaha merubah hubungan antar lapisan-lapisan

masyarakat yang menguasai aset tanah. Artinya ada lapisan yang penguasaannya

kuat, ada pula yang lemah atau sama sekali tidak punya kuasa apapun dan menjadi

sangat tergantung. Dasar kekuasaan tersebut biasanya terdiri atas suatu kombinasi

faktor-faktor politik, ekonomi, dan sosial. Ketiga faktor tersebut sukar dipisahkan

secara sempurna. Sebagaimana dijelaskan oleh M. Tauchid (1952), arah politik

agraria dapat dilihat dari aneka produk hukum yang dilahirkannya. Ciri terpenting

dari politik agraria kolonial adalah pengalokasian sumber-sumber agraria khususnya

tanah dan tenaga kerja demi akumulasi modal oleh perusahaan. Untuk melegalkan

usaha ini, Agrarische Wet 1870 diundangkan di Hindia Belanda. Agrarische Wet

(AW.1870) telah membuka peluang luas bagi investasi perkebunan dan pertanian di

lapangan agraria Indonesia. Serangkaian hak atas sumber-sumber agraria diimbuhkan

secara lengkap kepada kaum pengusaha yang ingin menguasai tanah-tanah di

Page 40: PERUBAHAN STRUKTUR AGRARIA DAN HARMONI SEMU … · PERUBAHAN STRUKTUR AGRARIA DAN HARMONI SEMU (Studi Kasus Reklaiming Hutan Lindung pada Komunitas Petani Kopi Rakyat di Kabupaten

20

Indonesia. Sementara, kaum bumiputera hidup dalam ketiadaan perlindungan atas

sumber-sumber agrariaya melalui azas domeinverklaring. Sementara di sisi lainnya,

hak-hak adat masyarakat atas tanah dilekatkan sedemikian rupa kepada kelompok-

kelompok feodal. Jadilah rakyat hidup dalam dua kewajiban yang menghisap dirinya.

Secara ekonomi politik, M. Tauhid menggambarkan bahwa dualisme hukum agraria

yang diterapkan oleh Agrarische Wet 1870 sebagai sebuah usaha memuluskan

penetrasi dan akumulasi kapitalisme agraria di satu sisi, serta proses menyiapkan

secara sistematis suplai buruh dari masyarakat pedesaan yang berwatak borjuasi kecil

sekaligus juga dari masyarakat pedesaan yang masih hidup dalam corak feodalisme

secara bersamaan ke dalam industri perkebunan yang masuk ke Hindia Belanda.

Sitorus (2004) menjelaskan bahwa konflik agraria merupakan gejala

struktural, berpangkal pada ketidakserasian atau benturan kepentingan antar subjek

dalam hubungan agraria. Dalam hal ini, apabila dua atau lebih pihak subjek memiliki

klaim hak pengusaan atas suatu unit sumber agraria yang sama, maka terjadilah

sengketa agraria. Eskalasi konflik sosio-agraria disebabkan oleh sejumlah faktor,

antara lain (1) Pemilikan atau penguasaan tanah tidak seimbang dan merata, (2)

Ketidakselarasan penggunaan tanah untuk sektor pertanian dan non-pertanian, (3)

Tidak berpihaknya politik kebijakan agraria kepada masyarakat ekonomi lemah

(wong cilik), (4) Tidak adanya pengakuan terhadap hukum adat (hak ulayat), dan (5)

Lemahnya posisi tawar masyarakat pemegang hak atas tanah dalam proses

pembebasan tanah. Semua faktor di atas merupakan penyebab terjadinya konflik

sosio-agraria masa kekinian.

Menurut Wiradi (2000), konflik agraria sebagai suatu gejala sosial

merupakan proses interaksi antar dua orang/kelompok atau lebih yang masing-

masing memperjuangkan kepentingan antar objek yang sama seperti tanah, air,

tanaman, tambang, udara yang berada di atas tanah yang bersangkutan. Pada tahap

”berlomba” untuk mendahului objek itu, sifatnya masih dalam ”persaingan”. Tetapi

pada saat mereka saling berhadapan untuk memblokir jalan lawan, terjadilah ”situasi

konflik”. Jadi, konflik adalah bentuk ekstrim dan keras dari persaingan. Kepentingan

aktor merupakan hal penting dalam konflik sosio-agraria. Persoalan konflik

seringkali juga dipicu oleh perbedaan kepentingan aktor yang berhubungan dengan

tanah (Sitorus, 2004).

Page 41: PERUBAHAN STRUKTUR AGRARIA DAN HARMONI SEMU … · PERUBAHAN STRUKTUR AGRARIA DAN HARMONI SEMU (Studi Kasus Reklaiming Hutan Lindung pada Komunitas Petani Kopi Rakyat di Kabupaten

21

Perdebatan agraria di Indonesia terkait perubahan sosial di pedesaan Jawa

(Wiradi, 2009:130-138) berawal dari tulisan-tulisan William Collier tahun 1973 dan

1974 yang pada intinya mengandung sejumlah proposisi: (a) pengaruh gabungan

antara tekanan jumlah penduduk dan teknologi yang dibawa revolusi hijau (RH)

telah menyebabkan terjadinya perubahan-perubahan dalam pranata-pranata

tradisional di pedesaan Jawa seperti tata cara panen; (b) perubahan tata cara panen

merupakan indikasi melemahnya gejala “involusi” (gambaran Gertz mengenai

shared poverty) atau salah jalan untuk menangkalnya; (c) teknologi RH

menyebabkan terjadinya kesenjangan baik dalam hal penguasaan aset, khususnya

tanah maupun pendapatan. Kesimpulan yang kemudian memperoleh “cap” sebagai

colletal/populist paradigm ini mendapat reaksi dari Hayami & Kikuchi (1981) yang

berpandangan: (a) tekanan penduduk merupakan faktor utama bagi terjadinya

perubahan hubungan-hubungan agraris di pedesaan; (b) teknologi justru dapat

mengatasi proses pemiskinan dan dapat menangkal proses kesenjangan; (c) institusi

tradisional yang ternyata dapat berfungsi sebagai pranata kesejahteraan tidak harus

berubah dan sebaiknya tidak diubah, melainkan di-“modernisir” (inovasi) sehingga

dapat menjadi penangkal proses diferensiasi sosial.

Hasil kajian Hayami & Kikuchi di atas yang kemudian dikenal sebagai

Adapted Neoclassical Paradigm:ANP atau Induced Institutional Innovation Theory:

IIIT mendapat reaksi keras dari berbagai peneliti. Salah satunya adalah Gillian Hart

(1986) yang juga memberikan kritik terhadap pandangan Collier. Menurut Hart: (a)

kedua pandangan tersebut di atas dianggap tidak mampu menjelaskan “timing” dan

“laju” perubahan; (b) perubahan hubungan agraris di pedesaan Indonesia bukan

semata-mata disebabkan oleh perubahan teknologi atau meningkatnya jumlah

penduduk atau komersialisasi melainkan perubahan kondisi politik serta keresahan

atau ketegangan dan kontradiksi-kontradiksi yang dilahirkannya; (c) peran negara

perlu dimasukkan dalam analisis, yang kemudian muncul teori Exclusionary Labor

Arragements:ELA yang merupakan suatu mekanisme dimana negara dan pemilik

tanah bukan saja “mengatur tenaga kerja” namun juga “menerapkan kontrol sosial”,

sehingga persoalan mobilisasi dukungan politik dan pelaksanaan “hukum dan

ketertiban” menjadi kunci untuk menjelaskan agrarian labor arragement.

Page 42: PERUBAHAN STRUKTUR AGRARIA DAN HARMONI SEMU … · PERUBAHAN STRUKTUR AGRARIA DAN HARMONI SEMU (Studi Kasus Reklaiming Hutan Lindung pada Komunitas Petani Kopi Rakyat di Kabupaten

22

Ketiga posisi pandangan tersebut di atas ditanggapi oleh seoarang pakar dari

FAO, Jonanthan Pincus (1996) yang mengajukan dua tesis utama dalam bukunya

yang berjudul Class, Power and Agrarian Change yaitu: (1) faktor-faktor spesifik

lokal (sejarah terbentuknya desa, kondisi agroekologis, dan perimbangan kekuatan

antara aktor sosial) merupakan pemegang peran utama dalam membentuk pola-pola

perubahan sosial pada tingkat desa; (2) faktor-faktor lokal tersebut mempengaruhi

arah proses perubahan agraris melalui pengaruhnya atas pembentukan dan

perkembangan hubungan antar rumah tangga di tingkat desa. Wiradi dan Manning

(1984), White dan Wiradi (1989),dan Wiradi dan Makali (1995) menambahkan

aspek lain pada perdebatan di atas mengenai kecenderungan perubahan penguasaan

tanah yang menggambarkan terjadinya proses “diferensiasi sosial” di pedesaan Jawa

yang ditandai: (a) proses pemusatan penguasaan tanah; (b) tingkat ketunakismaan

bertambah tinggi; (c) walaupun proporsi pendapatan dari sektor non-pertanian lebih

besar, namun luas pemilikan tanah berjalan sejajar dengan tingkat kecukupan; (d)

pada strata pemilikan tanah yang sempit dan tunakisma terdapat proporsi keluarga

miskin yang lebih besar, sehingga pemilikan tanah tetap merupakan faktor yang turut

menentukan tingkat hidup di pedesaan.

Kerangka Teoritis

Lahan (tanah) merupakan faktor produksi penting dalam pertanian dan

merupakan modal sumber nafkah yang menentukan posisi petani dalam pelapisan

masyarakat (Sajogyo, 1985). Keberadaan lahan yang menjadi ”objek” penting

kegiatan usahatani memunculkan berbagai pola hubungan yang rumit yang

selanjutnya akan membentuk struktur agraria baik berupa struktur penguasaan,

struktur pengusahaan, dan kemudian akan diikuti oleh struktur distribusi hasil

pengelolaan sumber-sumber agraria (Wiradi, 1986). Tata hubungan dalam struktur

agraria harus dipahami dalam arti relatif dan bukannya permanen sepanjang waktu

yang bisa berubah akibat bekerjanya berbagai faktor, antara lain: perubahan struktur

politik, perubahan orientasi politik, perubahan kebijakan ekonomi, perubahan

teknologi, jumlah penduduk dan faktor-faktor lain sebagai turunan dari faktor-faktor

tersebut (Wiradi, 2009, Kuhnen, 1995). Lahan kebun kopi rakyat warga Sidomulyo

merupakan faktor penting dalam membentuk kondisi ekonomi dan sosial mereka.

Page 43: PERUBAHAN STRUKTUR AGRARIA DAN HARMONI SEMU … · PERUBAHAN STRUKTUR AGRARIA DAN HARMONI SEMU (Studi Kasus Reklaiming Hutan Lindung pada Komunitas Petani Kopi Rakyat di Kabupaten

23

Struktur agraria pada warga Sidomulyo terutama dalam kebun kopi mengalami

perubahan ketika terjadi reklaiming hutan lindung yang kemudian juga dijadikan

kebun kopi.

Penguasaan hutan lindung yang diatur oleh hukum negara mengandung

permasalahan tenurial yang berpusat pada: dualisme pertanahan, tumpang tindih

hukum sektoral, hak masyarakat adat, kebutuhan masyarakat non-adat, implementasi

kebijakan, dan mekanisme resolusi konflik (Santoso, 1996). Demikian juga dengan

hutan lindung di Sidomulyo yang dikelola oleh Perhutani, dengan adanya reklaiming

yang dilakukan oleh warga menjadi arena tarik-menarik kekuasaan atas sumber daya

hutan yang melibatkan suprastruktur dan substruktur. Sehingga masalah-masalah

yang lebih besar seperti dominasi ideologi atau hegemoni, perlawanan sosial, dan

sosok kehutanan akademis serta kritik-kritiknya perlu mendapat perhatian besar

(Santoso, 2004). Kasus ini juga dapat menggambarkan bagaimana petani mampu

melaksanakan kuasa melalui perlawanan yang berbasis tanah dan melestarikan

pelaksanaan pertanian di kawasan hutan negara, demi manfaat mereka bersama.

Meskipun tampaknya “daya tembak” mereka secara teknis rendah, kenyataannya

mereka unggul dalam perjuangan penguasaan tanah hutan (Peluso, 2006).

Sebagai proses “untuk memperoleh kembali hak-hak pemanfaatan hutan secara

adil, demi terciptanya kemakmuran rakyat”, maka reklaiming yang dilakukan oleh

warga Sidomulyo pada dasarnya dilakukan sebagai respon dari perlakuan-perlakuan

yang dilakukan oleh negara (Perhutani) dalam pengelolaan sumberdaya hutan. Adapun

alasan yang mendasarinya antara lain: moralitas, ketidakadilan dan struktur yang

menindas, normatif (yuridis konstitusional), hubungan sejarah dan nilai-nilai lokal, dan

kewajiban negara dalam pemenuhan kebutuhan dasar rakyat (Ardana, 2008). Tuntutan

warga yang berwujud reklaiming hutan lindung sebenarnya lebih pada tuntutan

akses, yaitu: “kemampuan untuk mengambil keuntungan dari hutan lindung”. Di

mana akan membawa perhatian yang lebih luas pada hubungan-hubungan sosial

yang membatasi atau memperbolehkan masyarakat memanfaatkan sumberdaya tanpa

memperhatikan hubungan kepemilikan (property rights) saja (Ribot dan Peluso,

2003).

Reklaiming hutan lindung di atas mengarah pada perubahan struktural dalam

hubungan, organisasi, dan ikatan antar unsur masyarakat di Sidomulyo atau

Page 44: PERUBAHAN STRUKTUR AGRARIA DAN HARMONI SEMU … · PERUBAHAN STRUKTUR AGRARIA DAN HARMONI SEMU (Studi Kasus Reklaiming Hutan Lindung pada Komunitas Petani Kopi Rakyat di Kabupaten

24

menghasilkan perubahan sosial karena mengubah pola perilaku, hubungan sosial,

lembaga dan struktur sosial, dan keseimbangan (equilibrium) sosial (Farley, dalam

Sztompka, 1993, Mac Iver dan Page, 1954), nilai-nilai, sikap dan pola tingkah laku

antar kelompok di dalam masyarakat (Soemardjan, 1981). Perbedaan kepentingan

antara warga dan Perhutani pada hutan lindung memunculkan persaingan yang akan

memicu munculnya konflik sosial (Susan, 2009). Secara pragmatis (pendekatan

konflik kritis dan humanis), reklaiming ini dapat difokuskan pada dominasi wacana

dan kekuasaan (kepentingan apa dan siapa yang mendominasi di dalamnya) (Berger

dan Luckman, dalam Susan, 2009:77). Para aktor/pihak yang terkait dengan

reklaiming berinteraksi bersama untuk membentuk suatu tipifikasi (representasi

mental) yang dibiasakan (habitualized) dalam berbagai peranan timbal balik yang

kemudian terinstitusionalisasi/melembaga (institutionalized) di mana prosesnya

makna (meaning) melekat dan melembaga dalam pengetahuan dan konsepsi individu

dan masyarakat. Oleh karenanya kenyataan sosial dikonstruksi secara sosial (teori

konstruksi sosial kenyataan Berger & Luckman).

Permasalahan reklaiming berarti menganalisa hubungan antar golongan-

golongan beserta usaha-usaha merubah hubungan antar lapisan-lapisan masyarakat

yang menguasai hutan lindung. Dasar kekuasaan tersebut terdiri atas suatu kombinasi

faktor-faktor politik, ekonomi, dan sosial (Tjondronegoro, 1999). Hasilnya dapat

menunjukkan arah politik agraria dengan melihat aneka produk hukum yang

dilahirkannya (M. Tauchid, 1952). Sedangkan sebagai konflik agraria, reklaiming

merupakan gejala struktural, berpangkal pada ketidakserasian atau benturan

kepentingan antar subjek (para pihak) dalam hubungan agraria dengan sumberdaya

hutan. Faktornya antara lain: pemilikan atau penguasaan tanah tidak seimbang dan

merata, ketidakselarasan penggunaan tanah untuk sektor pertanian dan non-

pertanian, tidak berpihaknya politik kebijakan agraria kepada masyarakat ekonomi

lemah (wong cilik), tidak adanya pengakuan terhadap hukum adat (hak ulayat), dan

lemahnya posisi tawar masyarakat (Sitorus, 2004). Reklaiming juga merupakan

proses interaksi antara warga dan Perhutani serta para pihak lainnya yang masing-

masing memperjuangkan kepentingan atas hutan lindung. Pada tahap ”berlomba”

atau kontestasi untuk memanfaatkan hutan, sifatnya masih dalam ”persaingan”.

Tetapi pada saat mereka saling berhadapan untuk memblokir jalan lawan, terjadilah

Page 45: PERUBAHAN STRUKTUR AGRARIA DAN HARMONI SEMU … · PERUBAHAN STRUKTUR AGRARIA DAN HARMONI SEMU (Studi Kasus Reklaiming Hutan Lindung pada Komunitas Petani Kopi Rakyat di Kabupaten

25

”situasi konflik” yang merupakan bentuk ekstrim dan keras dari persaingan (Wiradi,

2000, dalam Sitorus, 2004).

Perubahan sosial yang terjadi di Desa Sidomulyo akibat reklaiming

dipengarui oleh faktor-faktor spesifik lokal (sejarah terbentuknya desa, kondisi

agroekologis, dan perimbangan kekuatan antara aktor sosial) yang mempengaruhi

arah proses perubahan agraris melalui pengaruhnya atas pembentukan dan

perkembangan hubungan antar rumah tangga di tingkat desa (Pincus, 1996). Selain

itu juga terdapat kecenderungan perubahan penguasaan tanah yang menggambarkan

terjadinya proses “diferensiasi sosial” yang ditandai: proses pemusatan penguasaan

tanah; tingkat ketunakismaan bertambah tinggi; luas pemilikan tanah berjalan sejajar

dengan tingkat kecukupan; dan proporsi keluarga miskin yang lebih besar. Sehingga

pemilikan tanah tetap merupakan faktor yang turut menentukan tingkat hidup di

pedesaan (Wiradi dan Manning, 1984, White dan Wiradi, 1989, dan Wiradi dan

Makali, 1995).

Secara skema, kerangka penelitian tentang perubahan struktur agraria dan

harmoni semu yang merupakan studi kasus reklaiming hutan lindung pada komunitas

petani kopi rakyat di Desa Sidomulyo dapat dilihat pada Gambar 1.

Gambar 1. Kerangka Pemikiran Penelitian

Pemeliharaan Akses

Akses

Kontrol

Perum Perhutani

Reklaiming

Lahan ↓

Struktur Agraria

Hutan Lindung

Komunitas Petani Kopi Rakyat

Struktur Agraria

P e r u b a h a n

S o s i a l

Page 46: PERUBAHAN STRUKTUR AGRARIA DAN HARMONI SEMU … · PERUBAHAN STRUKTUR AGRARIA DAN HARMONI SEMU (Studi Kasus Reklaiming Hutan Lindung pada Komunitas Petani Kopi Rakyat di Kabupaten

26

Page 47: PERUBAHAN STRUKTUR AGRARIA DAN HARMONI SEMU … · PERUBAHAN STRUKTUR AGRARIA DAN HARMONI SEMU (Studi Kasus Reklaiming Hutan Lindung pada Komunitas Petani Kopi Rakyat di Kabupaten

METODOLOGI PENELITIAN

Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif, dimana strategi studi kasus

dipilih dan bersifat multi metode. Strategi studi kasus ini dianggap memadai dengan

tiga dasar pertimbangan: (1) pertanyaan penelitian “bagaimana” dan “mengapa”; (2)

peluang peneliti untuk mengontrol gejala atau peristiwa sosial yang diteliti sangat

kecil; (3) pumpunan penelitian adalah peristiwa atau gejala sosial kontemporer (masa

kini) dalam konteks kehidupan nyata (Yin, 1996). Pemilihan pendekatan ini adalah

untuk menyingkap kondisi “harmonis” kontestasi hutan lindung oleh para pihak

terutama warga Sidomulyo (petani kopi rakyat) dan Perhutani. Peneliti berinterakasi

dengan warga melalui wawancara dan terlibat langsung dalam berbagai kegiatan

seperti pertemuan warga, berkebun, dan kegiatan rutin sehari-hari (makan bersama,

sholat berjama’ah di masjid, dan bercengkerama bersama keluarga). Interaksi peneliti

dengan pihak Perhutani dilakukan melalui wawancara dan diskusi terkait peran dan

tanggung jawab mereka atas pengelolaan hutan lindung dan terjadinya fenomena

reklaiming. Sedangkan interaksi peneliti dengan para pihak lainnya (pemerintah

desa, pemerintah kabupaten, pengurus kelompok tani, paguyuban dan LMDH,

pedagang dan pemilik modal) dilakukan melalui wawancara untuk mengetahui sikap

mereka atas reklaiming yang dilakukan warga Sidomulyo. Peneliti mempunyai

keyakinan bahwa para pihak yang terkait dengan reklaiming baik langsung (warga

dan Perhutani) maupun tidak langsung belum menyadari bahwa kondisi “harmonis”

reklaiming hutan lindung merupakan realitas semu, sehingga diperlukan dialog untuk

merubah ketidaktahuan dan salah pengertian di antara peneliti dan tineliti menjadi

kesadaran atau sebagai bentuk transformasi intelektual.

Metode Penelitian

Penelitian ini menggunakan strategi studi kasus dengan tujuan untuk

memahami dan mengidentifikasi gejala sosiologis yang berkenaan dengan

reklaiming hutan lindung dan perubahan struktur agraria serta kondisi “harmonis”

kontestasi para pihak. Studi kasus memungkinkan peneliti mendapat informasi

Page 48: PERUBAHAN STRUKTUR AGRARIA DAN HARMONI SEMU … · PERUBAHAN STRUKTUR AGRARIA DAN HARMONI SEMU (Studi Kasus Reklaiming Hutan Lindung pada Komunitas Petani Kopi Rakyat di Kabupaten

28

sebanyak mungkin dan mendalam. Unit tineliti bervariasi tingkatannya mulai dari

individu, rumah tangga, dan komunitas. Sejalan dengan pendapat Newman (1997)

dan Yin (2002), studi kasus menjadi pilihan strategi agar dapat memahami realitas

sosial yang kompleks melalui pengumpulan data dan informasi yang lebih rinci,

lebih bervariasi, lebih luas dan lebih mendalam.

Peneliti menggunakan metode sejarah sosiologis untuk melihat dinamika dari

warga Sidomulyo dan Perum Perhutani dari waktu ke waktu. Pemilihan metode

kasus sejarah/historis ini karena reklaiming hutan lindung bukan suatu kejadian

sosial pada waktu tertentu saja melainkan merupakan proses sosial dalam rentang

waktu tertentu. Selain itu proses sosial yang dikaji dibatasi dalam cakupan

kontemporer yang sebagian pelakunya masih hidup.

Metode Pengumpulan dan Analisis Data

Peneliti mengumpulkan data melalui wawancara mendalam dengan para

informan. Informan tersebut terdiri dari para tokoh masyarakat, warga pekebun kopi

rakyat, petugas perhutani, dan pemerintah desa serta petugas dinas kehutanan dan

perkebunan kabupaten yang dipilih secara sengaja (purposive) dan menggunakan

teknik bola salju (snow ball).

Selain wawancara mendalam, peneliti juga melakukan wawancara bebas,

mengamati secara langsung fenomena sosial, dan ikut serta dalam berbagai kegiatan

masyarakat seperti pengajian, pertemuan kelompok tani maupun kegiatan informan

sehari-hari seperti berkebun. Wawancara bebas dilakukan untuk memperkaya

informasi yang sudah didapatkan baik di luar pertanyaan penelitian maupun subyek

penelitian.

Peneliti juga melakukan wawancara terstruktur untuk mendapatkan data

tentang struktur agraria dan perubahan yang terjadi akibat adanya reklaiming yang

menurut Wiradi (2009) disebut sebagai “profil desa”. Data profil desa tersebut

meliputi: peta desa dan kawasan hutan Perhutani, kondisi umum dan prasarana,

kondisi agraria, struktur mata pencaharian, kelembagaan lokal, intervensi program,

dan organisasi dan hubungan produksi.

Peneliti juga melakukan survei terhadap 30 rumah tangga pertaninan yang

bertujuan untuk melihat secara lebih rinci atas dinamika struktur agraria akibat

Page 49: PERUBAHAN STRUKTUR AGRARIA DAN HARMONI SEMU … · PERUBAHAN STRUKTUR AGRARIA DAN HARMONI SEMU (Studi Kasus Reklaiming Hutan Lindung pada Komunitas Petani Kopi Rakyat di Kabupaten

29

reklaiming. Survei menggunakan kuesioner untuk melihat penguasaan, kepemilikan

dan pemanfaatan lahan, kondisi sosial ekonomi, pendapatan dan kepemilikan aset

rumah tangga sebelum dan sesudah reklaiming.

Pengamatan langsung dilakukan untuk melihat perubahan yang terjadi, di

samping untuk melakukan cross-chek atas informasi yang diperoleh. Keikutsertaan

dalam berbagai kegiatan masyarakat bertujuan untuk melihat pola relasi dan interaksi

sosial masyarakat terkait dengan struktur agraria yang ada.

Peneliti menganalisis data yang terkumpul dengan analisis kualitatif dan

kuantitatif. Analisis kualitatif dilakukan terhadap sikap dan respon para pihak

terhadap reklaiming. Sebagaimana dikemukakan Lewis (1988), analisis kualitatif

dapat digunakan dalam mendeskripsikan pola-pola hubungan sosial, baik dimensi

struktur (posisi dan peranan aktor), dimensi pengaturan (prosedur, penetapan insentif

atau sanksi), serta sistem-sistem makna yang melandasi dan memberi pedoman

terhadap pola-pola hubungan tersebut. Sedangkan analisis kuantitatif dilakukan

terhadap data yang umumnya diperoleh melalui wawancara terstruktur yaitu hasil

survei terhadap 30 rumah tangga petani yang melakukan reklaiming. Analisis

kuantitatif ini untuk melibat perubahan penguasaan, kepemilikan dan pemanfaatan

lahan, kondisi sosial ekonomi, pendapatan dan kepemilikan aset rumah tangga

sebelum dan sesudah reklaiming.

Data dan informasi kualitatif hasil wawancara mendalam dan bebas yang

telah ditransfer dalam bentuk catatan harian ditambah dengan sari dokumen

dianalisis dengan menggunakan matriks analisis yang membandingkan ragam

kategori data. Penjelasan dilakukan dalam dua tingkatan, yaitu: (1) penjelasan

tentang sejarah reklaiming yang dilakukan komunitas perkebunan kopi rakyat; dan

(2) penjelasan tentang pandangan subjektif para pihak mengenai sikap dan respon

mereka dalam mengembangkan suatu realitas sosial melalui praktik-praktik yang

mereka lakukan.

Untuk mengurangi kemungkinan salah interpretasi, peneliti menggunakan

beragam prosedur yang disebut triangulasi (triangulation). Menurut Stake (dalam

Denzin dan Lincoln, 2009) triangulasi merupakan proses penggunaan banyak

persepsi (multiperception) dalam mengklarifikasi arti (meaning) dan dalam

memverifikasi pengulangan pelaksanaan observasi dan interpretasi. Dalam penelitian

Page 50: PERUBAHAN STRUKTUR AGRARIA DAN HARMONI SEMU … · PERUBAHAN STRUKTUR AGRARIA DAN HARMONI SEMU (Studi Kasus Reklaiming Hutan Lindung pada Komunitas Petani Kopi Rakyat di Kabupaten

30

ini, triangulasi dilakukan dengan mengklarifikasi atau membandingkan data dan

informasi yang berasal dari sumber dan cara pengumpulan data yang berbeda.

Page 51: PERUBAHAN STRUKTUR AGRARIA DAN HARMONI SEMU … · PERUBAHAN STRUKTUR AGRARIA DAN HARMONI SEMU (Studi Kasus Reklaiming Hutan Lindung pada Komunitas Petani Kopi Rakyat di Kabupaten

31

Tabel 1. Matriks Metode Penelitian

Pertanyaan Penelitian Strategi Metode Sumber Data Lain Data Yang Dihasilkan 1. a. Mengapa terjadi reklaiming

hutan lindung oleh komunitas petani kopi rakyat?

Fenomenologi Mencatat/rekam “perbincangan”; menulis anekdot-anekdot dari pengalaman pribadi

Literatur fenomenologi; refleksi-refleksi

Latar belakang dan makna reklaiming hutan lindung oleh masyarakat desa hutan

1. b…bagaimana implikasinya pada struktur agraria?

Wawancara terstruktur (survei rumah tangga)

Proportioned random sampling pada responden yang terstrata berdasarkan penguasaan tanah

Perubahan struktur agraria yang meliputi: penguasaan tanah, konsentrasi pendapatan, penyerapan tenaga kerja dan rasio tanah dan tenaga kerja.

2. Mengapa terbangun sikap dan respon para pihak yang terkait atas gejala tersebut sehingga terjadi kontestasi yang “harmonis”?

Etnografi Wawancara tak terstruktur

Observasi; catatan lapangan

Perasaan dan pengetahuan informan terhadap hutan, berkebun kopi, reklaiming, dan para pihak.

3. Praktik-praktik apa saja yang dilakukan oleh para pihak yang terkait dalam kerangka konflik perebutan sumberdaya hutan dan bagaimana posisi mereka dalam kaitannya dengan reklaiming tersebut?

Analisis wacana

Wawancara mendalam Observasi berpartisipasi; penulisan memo (memoing); buku harian (diary)

Posisi dan relasi pragmatis serta strategi-strategi para pihak dalam kerangka konflik kepentingan, definisi situasi bersama dan prosesnya (tindakan komunikatif), dan komunikasi intersubjektif.

(Modifikasi dari Morse, dalam Denzin dan Lincoln, 2009)

Page 52: PERUBAHAN STRUKTUR AGRARIA DAN HARMONI SEMU … · PERUBAHAN STRUKTUR AGRARIA DAN HARMONI SEMU (Studi Kasus Reklaiming Hutan Lindung pada Komunitas Petani Kopi Rakyat di Kabupaten

32

Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian dilaksanakan di Desa Sidomulyo, Kecamatan Silo, Kabupaten

Jember Propinsi Jawa Timur pada bulan Juli-September 2009. Desa Sidomulyo

dipilih karena merupakan daerah dengan kasus reklaiming kawasan hutan lindung

dan sudah berlangsung cukup lama (sejak masa reformasi). Relasi para pihak,

khususnya masyarakat dan Perhutani dalam mencapai tujuan masing-masing

menunjukkan adanya kontestasi “harmonis” yang berbeda dengan tempat lain dalam

hal perebutan sumberdaya alam (hutan).

Organisasi Penulisan

Bagian Pendahuluan menyajikan latar belakang permasalahan tentang

sejarah penguasaan hutan oleh negara, bentuk pelibatan masyarakat dalam

pengelolaan hutan, manajemen pengelolaan hutan, kondisi masyarakat desa hutan

dan munculnya fenomena sosial terkait sumberdaya hutan (reklaiming).

Permasalahan yang diangkat adalah mengapa terjadi reklaiming hutan lindung oleh

komunitas petani kopi rakyat yang diteliti dan implikasinya pada struktur agraria;

mengapa terbangun sikap dan respon para pihak yang terkait atas gejala tersebut

sehingga terjadi kontestasi yang “harmonis”; dan praktik-praktik apa saja yang

dilakukan oleh para pihak yang terkait dalam kerangka konflik perebutan

sumberdaya hutan serta bagaimana posisi mereka dalam kaitannya dengan

reklaiming tersebut. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menunjukkan adanya

realitas mikro secara kritis terkait kontestasi dalam pengelolaan sumberdaya agraria

(hutan) terkait kebijakan baik di tingkat meso maupun makro.

Bagian selanjutnya adalah Tinjauan Pustaka, bagian ini menampilkan peran

lahan dalam kegiatan pertanian dan kaitannya dengan struktur agraria dan debat

agraria yang terkait dengan perubahan sosial di pedesaan Jawa. Selanjutnya juga

ditampilkan tentang hutan lindung dan permasalahan tenurial, reklaiming dan teori

akses, perubahan sosial dan konflik, dan kerangka teoritis penelitian. Penelitian ini

menggunakan pendekatan kualitatif, dimana strategi studi kasus dipilih dan bersifat

multi metode.

Bagian Metodologi Penelitian memaparkan pendekatan penelitian, yaitu

pendekatan kualitatif. Metode penelitian yang digunakan adalah strategi studi kasus

Page 53: PERUBAHAN STRUKTUR AGRARIA DAN HARMONI SEMU … · PERUBAHAN STRUKTUR AGRARIA DAN HARMONI SEMU (Studi Kasus Reklaiming Hutan Lindung pada Komunitas Petani Kopi Rakyat di Kabupaten

33

dengan tujuan untuk memahami dan mengidentifikasi gejala sosiologis yang

berkenaan dengan proses reklaiming lahan dan perubahan struktur agraria dengan

menggali informasi sebanyak mungkin. Metode pengumpulan data yang digunakan

adalah wawancara mendalam, wawancara bebas, pengamatan berpartisipasi dan

survei. Survei digunakan untuk melihat secara rinci struktur agraria dan

perubahannya melalui wawancara terstruktur (kuesioner). Analisis data yang

dilakukan adalah analisis kualitatif dan kuantitatif. Analisis kualitatif dilakukan

terhadap data dan informasi tentang proses perubahan atau tentang motivasi yang

melandasi tindakan sosial. Sedangkan analisis kuantitatif dilakukan terhadap data

yang umumnya diperoleh melalui wawancara terstruktur.

Bagian Panorama Lereng Selatan Gunung Raung menampilkan panorama

masyarakat desa hutan Sidomulyo dan sejarahnya serta aspek demografi juga

kepemimpinannya. Selanjutnya juga dipaparkan kondisi umum dan prasarana,

kondisi agraria, struktur mata pencaharian, kelembagaan/organisasi, intervensi

program dan organisasi dan hubungan produksi.

Bagian Hutan Lindung: Arena Perebutan Sumberdaya menampilkan hutan

lindung sebagai sumberdaya sarat nilai. Aktor-aktor yang berkonflik dalam

perebutan hutan lindung juga dianalisis satu per satu. Kepentingan para pihak baik

yang terlibat langsung atau tidak langsung dipaparkan di bagian ini. Mekanisme

akses para pihak dalam memperoleh, mengontrol dan memelihara aliran keuntungan

dari hutan lindung dan distribusinya dijabarkan melalui suatu kemampuan aksesnya

pada teknologi, modal, pasar, pengetahuan, wewenang, identitas sosial, dan relasi

sosial.

Bagian Kontestasi Para Pihak Dan Definisi Situasi Bersama Atas Reklaiming

Hutan Lindung memaparkan relasi kuasa agraria para pihak. Bab ini juga

memaparkan ruang konflik pemaknaan tentang sumberdaya agraria dan ruang

konflik hak dan akses terhadap sumberdaya agraria Selanjutnya juga dibahas derajat

konflik kontestasi juga membangun konsensus sebagai membangun harmoni.

Bagian Perubahan Struktur Agraria dan Harmoni Semu menjelaskan

distribusi manfaat reklaiming dan kondisi yang terjadi pada komunitas petani kopi

rakyat di lokasi penelitian sesudah reklaiming hutan lindung dengan menganalisa

unsur-unsur struktur agraria yang meliputi: (a) kepemilikan tanah; (b) konsentrasi

Page 54: PERUBAHAN STRUKTUR AGRARIA DAN HARMONI SEMU … · PERUBAHAN STRUKTUR AGRARIA DAN HARMONI SEMU (Studi Kasus Reklaiming Hutan Lindung pada Komunitas Petani Kopi Rakyat di Kabupaten

34

tanah dan pendapatan; (c) diferensiasi sosial; (d) persaingan usaha; dan (e) rasio

tanah dan tenaga kerja serta implikasinya. Selain itu juga dipaparkan persoalan-

persoalan yang belum terjawab tuntas pada perubahan unsur-unsur struktur agraria di

atas yang meliputi proses dan hasil reklaiming yang menciptakan harmoni semu.

Bagian Penutup menampilkan kesimpulan-kesimpulan dari penelitian dan

implikasi baik secara teoritis maupun praktis.

Page 55: PERUBAHAN STRUKTUR AGRARIA DAN HARMONI SEMU … · PERUBAHAN STRUKTUR AGRARIA DAN HARMONI SEMU (Studi Kasus Reklaiming Hutan Lindung pada Komunitas Petani Kopi Rakyat di Kabupaten

PANORAMA LERENG SELATAN GUNUNG RAUNG

Gunung Raung merupakan bagian dari kelompok pegunungan Ijen yang

terdiri dari beberapa gunung, diantaranya Gn.Suket (2.950mdpl), Gn.Raung

(3.332mdpl), Gn.Pendil (2.338), Gn.Rante (2.664), Gn.Merapi (2.800), Gn.Remuk

(2.092), dan Kawah Ijen.Gunung Raung adalah sebuah gunung besar yang unik dan

berbeda dengan gunung lainnya di Pulau Jawa. Keunikan dari Puncak Gunung

Raung adalah kalderanya yang berbentuk elips dengan kedalaman sekitar 500 meter

dalamnya, yang selalu berasap dan sering menyemburkan api dan terdapat kerucut

setinggi kurang lebih 100m. Gunung Raung termasuk gunung tua dengan kaldera di

puncaknya dan dikitari oleh banyak puncak kecil, menjadikan pemandangannya

benar-benar menakjubkan.

Cerita mistis tentang Gunung Raung masih kuat melekat di benak masyarakat

setempat. Konon, di perbukitan yang mengelilingi kaldera itulah kerajaan Macan

Putih berdiri. Sebuah kerajaan yang berdiri saat gunung ini meletus Tahun 1638 M.

Pusatnya terletak di puncak Gunung Raung. Kerajaan tersebut dipimpin oleh

Pangeran Tawangulun. Beliau adalah salah-satu anak raja Kerajaan Majapahit yang

hilang saat bertapa di gunung. Keberadaan kerajaan itu sedikit banyak masih

memiliki hubungan yang erat dengan penduduk setempat. Misalnya bila terjadi

upacara pernikahan di kerajaan, maka hewan-hewan di perkampungan banyak yang

mati. Hewan-hewan itu dijadikan upeti bagi penguasa kerajaan.

Konon, menurut masyarakat setempat, seluruh isi dan penghuni kerajaan

Macan Putih lenyap masuk ke alam gaib atau dikenal dengan istilah mukso. Dan

hanya pada saat tertentu, tepatnya setiap malam jum’at kliwon, kerajaan itu kembali

ke alam nyata. Pangeran Tawangulun dipercaya merupakan salah satu suami dari

Nyai Roro Kidul. Setiap malam jum’at itulah penguasa laut selatan mengunjungi

suaminya. Biasanya, akan terdengar suara derap kaki kuda di tempat yang sakral.

Suara tersebut berasal dari kereta kencana Sang Ratu yang sedang mengunjungi sang

suami Pangeran Tawangulun. Bila mendengar suara tersebut lebih baik pura-pura

tidak mendengar. Jika dipertegas, suara akan bertambah keras dan mungkin akan

Page 56: PERUBAHAN STRUKTUR AGRARIA DAN HARMONI SEMU … · PERUBAHAN STRUKTUR AGRARIA DAN HARMONI SEMU (Studi Kasus Reklaiming Hutan Lindung pada Komunitas Petani Kopi Rakyat di Kabupaten

36

menampakkan wujudnya. Bila demikian, kemungkinan akan terbawa masuk ke alam

gaib dan kemudian dijadikan abdi dalem kerajaan Macan Putih.

Lereng selatan Gunung Raung merupakan hutan belantara yang berakhir pada

hutan-hutan produksi yang dikelola Perum Perhutani dan desa-desa yang masuk

wilayah Kabupaten Jember. Hutan belantara tersebut merupakan hutan lindung yang

juga menjadi tanggung jawab Perhutani. Sejak era reformasi, hutan lindung tersebut

dibuka oleh warga desa sekitar hutan untuk dijadikan kebun kopi. Salah satu desa

yang warganya ikut membuka dan mempunyai keterlibatan dengan proses tersebut

hingga sekarang adalah Desa Sidomulyo.

Desa Hutan: Sidomulyo dan Sejarahnya

Sidomulyo merupakan salah satu desa yang terletak di Kecamatan Silo

Kabupaten Jember Propinsi Jawa Timur. Desa ini berada di pinggiran hutan yang

merupakan kaki Gunung Raung sebelah timur. Secara administratif, desa ini

berbatasan dengan Desa Sumberjati di sebelah utara, Desa Garahan di sebelah barat,

Desa Pace di sebelah selatan, dan Desa Curah Leduk di sebelah timur. Desa yang

terakhir ini masuk wilayah Kecamatan Kalibaru Kabupaten Banyuwangi. Dengan

demikian Sidomulyo merupakan desa paling timur dari Kabupaten Jember yang

berbatasan langsung dengan Kabupaten Banyuwangi. Sidomulyo mempunyai 5

dusun, 3 diantaranya ada di wilayah desa, dan 2 dusun sisanya di wilayah

perkebunan negara maupun swasta (lihat Gambar 2). Dusun yang ada di dalam

wilayah desa adalah: Krajan (Sidomulyo), Curah Damar, dan Curah Manis.

Sedangkan dusun yang ada di wilayah perkebunan adalah: Gunung Gumitir dan

Tanah Manis (seringkali disebut Gugutama) yang ada di wilayahnya PTPN XII, dan

Garahan Kidul yang ada di wilayahnya PT. Perusahaan Perkebunan Indonesia, salah

satu anak perusahaan PT. Ledokombo (LDO Group) Jember. Pada saat penelitian

terdapat sebuah dusun persiapan yang merupakan bagian dari Dusun Curahdamar,

yaitu Dusun Sidodadi. Perkampungan ini berada di wilayah yang dikelola oleh

Perhutani. Warga yang tinggal sebagian besar adalah para pesanggem atau anak

cucunya, karena memang sejarahnya mereka yang pertama bertempat tinggal di

wilayah ini dulunya didatangkan oleh Perhutani sebagai pekerja di hutan produksi

yang dikelola oleh Perhutani.

Page 57: PERUBAHAN STRUKTUR AGRARIA DAN HARMONI SEMU … · PERUBAHAN STRUKTUR AGRARIA DAN HARMONI SEMU (Studi Kasus Reklaiming Hutan Lindung pada Komunitas Petani Kopi Rakyat di Kabupaten

37

Gambar 2. Peta Desa Sidomulyo

Untuk sampai ke pusat kecamatannya yang bernama Silo, warga Sidomulyo

harus menempuh jarak ± 13 km. Sedangkan apabila ingin ke ibukota Kabupaten

Jember, mereka harus menempuh jalan beraspal yang menghubungkan Jember dan

Banyuwangi sepanjang ± 40 km. Jalan ini termasuk jalan propinsi yang merupakan

jalur selatan Jawa yang menuju ke ujung selatan Jawa untuk menyeberang ke Bali.

Sehingga apabila jalur utara Jawa menuju ke Bali mengalami hambatan, jalur ini

merupakan jalur alternatif yang bisa ditempuh lewat Situbondo dan Bondowoso

maupun Lumajang sebelum masuk ke Jember. Sedangkan untuk sampai ke Surabaya

yang merupakan ibukota propinsinya (Jawa Timur) warga Sidomulyo harus

menempuh jarak ± 267 km. Sarana dan prasarana transportasi yang menghubungkan

Sidomulyo dengan wilayah lainnya secara umum cukup beragam.

Secara geografis Sidomulyo berada di lereng sebelah selatan Gunung Raung,

sehingga mempunyai topografi daerah perbukitan. Ketinggiannya ± 560 m di atas

permukaan laut dengan curah hujan rata-rata ± 2000 mm/tahun, dan suhu rata-rata ±

21°C. Dengan kondisi alam seperti ini, maka tidak mengherankan apabila

lingkungannya cukup asri dan sejuk. Bahkan di pinggir jalan propinsi yang melintasi

desa ini banyak menjadi tempat istirahat para pelintas, khususnya pengendara sepeda

Page 58: PERUBAHAN STRUKTUR AGRARIA DAN HARMONI SEMU … · PERUBAHAN STRUKTUR AGRARIA DAN HARMONI SEMU (Studi Kasus Reklaiming Hutan Lindung pada Komunitas Petani Kopi Rakyat di Kabupaten

38

motor yang sekedar melepas penat sambil menghirup udara segar serta menikmati

pemandangan alam. Pada suatu pertemuan kelompok tani yang peneliti ikuti,

dikemukakan oleh seorang penyuluh perkebunan bahwa ke depan Desa Sidomulyo

akan dijadikan desa wisata. Pemilihannya berdasarkan pertimbangan banyaknya

potensi yang dapat dipasarkan dan merupakan pintu gerbang sebelah timur masuk

Kabupaten Jember. Sehingga mereka yang masuk ke Jember dari sebelah timur akan

disambut oleh desa wisata yang menawarkan berbagai potensi yang bisa dinikmati.

Riwayat jadi dan tumbuhnya Desa Sidomulyo kiranya tidak berbeda dengan

desa-desa yang lain. Alasan-alasan pokok untuk membentuk masyarakat yang

kemudian menjadi kesatuan hukum yang bernama desa tidak berbeda dengan yang

diungkapkan oleh Kartohadikoesoemo (1953), yaitu: pertama, untuk hidup yaitu

mencari makan, pakaian dan perumahan; kedua, untuk mempertahankan hidupnya

terhadap ancaman dari luar; dan ketiga, untuk mencapai kemajuan dalam hidupnya.

Sebagai desa pertanian, pertama-tama dibentuk oleh sekumpulan manusia sebuah

masyarakat pertanian. Mereka bersama-sama membuka hutan belukar dan masing-

masing atau bersama-sama mengolah tanah yang kosong untuk ditanami tumbuh-

tumbuhan yang dapat menghasilkan bahan makanan. Semakin baik keadaan tanah

yang dibuka, semakin banyak orang yang menggabungkan diri untuk turut bertempat

tinggal menetap di tempat tersebut. Dan semakin ringan pula orang dapat

menjalankan kewajibannya untuk mempertahankan diri dari terhadap bahaya alam

yang menimpa atau serangan binatang buas dari hutan belukar. Demikianlah dapat

dimengerti, bahwa di daerah-daerah yang subur tanahnya kemudian terdapat

masyarakat yang besar dan tergabung dalam ikatan desa yang kuat dan banyak

penduduknya.

Menurut sejarahnya, Sidomulyo dulunya masuk dalam wilayah Desa Garahan

yang ada di sebelah baratnya. Penduduk Dusun Curah Manis dan Curah Damar

(dusun-dusun pertama) merupakan pendatang dari Pulau Madura yang dahulu

menjadi buruh perkebunan Belanda pada akhir abad 19. Sehingga tidak

mengherankan apabila sampai sekarang mayoritas penduduk dari kedua dusun

tersebut merupakan etnis Madura. Sedangkan penduduk Dusun Krajan merupakan

pendatang dari Banyuwangi, sehingga sekarang lebih dikenal sebagai Kampung

Jawa. Mereka ini dahulunya adalah para pesanggem yang kemudian membeli tanah-

Page 59: PERUBAHAN STRUKTUR AGRARIA DAN HARMONI SEMU … · PERUBAHAN STRUKTUR AGRARIA DAN HARMONI SEMU (Studi Kasus Reklaiming Hutan Lindung pada Komunitas Petani Kopi Rakyat di Kabupaten

39

tanah yang ada di desa. Sedangkan untuk dusun-dusun yang ada di wilayah

perkebunan didiami oleh para buruh perkebunan yang tinggal di emplasemen. Tanah-

tanah yang mereka tempati statusnya berada di bawah hak perkebunan (HGU).

Selain mendapat upah dari perusahaan dengan sistem borongan, mereka juga

mendapat hak pengelolaan atau pemanfaatan lahan di sela-sela tanaman utama untuk

ditanami palawija, sayur-sayuran atau rumput-rumputan.

Tanah di Sidomulyo yang sekarang dikuasai dan dimiliki para warga

dahulunya merupakan padang ilalang tempat penggembalaan kuda. Para buruh

perkebunan tersebut mulai mencoba menanami padang tersebut dengan tanaman

singkong. Awalnya memang sulit karena tanahnya berpasir, tetapi lambat laun

mereka berhasil. Adanya kotoran kuda yang digembalakan di tanah tersebut kiranya

mampu memperbaiki struktur tanah, sehingga menjadi subur dan dapat ditanami.

Kesuburan tanah ini mendorong mereka berpindah dari tmpat tinggal di perkebunan

menuju ke padang ini yang lambat laun menjadi pemukiman. Penguasaan tanah ini

pada waktu itu tidak menjadi permasalahan karena menurut warga selain berupa

tanah kritis yang tidak bermanfaat juga tidak masuk dalam wilayah perkebunan atau

hutan yang sudah ditetapkan Belanda sebagai kawasan terlarang.

Perkembangan penduduk menjadikan padang ilalang tersebut menjadi

pemukiman sebagaimana layaknya desa. Ketika wilayah tersebut sudah habis terbagi

dan dikuasai, maka yang terjadi adalah fragmentasi tanah menjadi luasan yang lebih

kecil melalui jual beli atau warisan. Kondisinya sekarang dari 4.984,3 hektar wilayah

Desa Sidomulyo yang dikuasai oleh 2070 kepala keluarga adalah berupa pemukiman

(16 ha), persawahan (131,6 ha), ladang/tegalan (24,3 ha), dan perkebunan rakyat

(309,9 ha) yang totalnya hanyalah 481,8 ha atau kurang dari 10%. Selebihnya adalah

perkebunan swasta dan negara, kawasan hutan (lindung, produksi dan cagar alam)

dan fasilitas umum. Sehingga dapat dibayangkan betapa kecilnya penguasaan

masing-masing kepala keluarga terhadap tanah untuk menopang kehidupannya.

Kondisi ini sangat ironis dengan adanya perkebunan dan hutan dengan berbagai

statusnya yang masih luas di sekitar mereka.

Page 60: PERUBAHAN STRUKTUR AGRARIA DAN HARMONI SEMU … · PERUBAHAN STRUKTUR AGRARIA DAN HARMONI SEMU (Studi Kasus Reklaiming Hutan Lindung pada Komunitas Petani Kopi Rakyat di Kabupaten

40

Sidomulyo resmi menjadi desa pada tahun 1988 dengan Pjs. Pak Hs10

(pegawai kecamatan) sampai tahun 1998. Pada tahun 1999 diadakan pemilihan

kepala desa (pilkades) dengan dua calon, yaitu Pak Sd (Dusun K) dan Pak SB

(Sekdes sekarang, Dusun CD). Hasilnya selisih tipis, yaitu 83 suara dimenangkan

Pak Sd. Tetapi ada beberapa permasalahan sehingga baru bisa dilantik 1,5 tahun

kemudian. Selama masa itu, kepala desa dijabat Pak Kn (pegawai kecamatan). Pada

Tahun 2008, saat masa jabatan kades habis diadakan pilkades dengan calon mantan

kades sebelumnya (Pak Sd) melawan Pak Mj (Dusun K) . Hasilnya dimenangkan Pak

Mj dengan selisih yang cukup banyak (1000 suara lebih dari 3000an pemilih).

Terpilihnya Pak Mj menyimpan cerita yang tidak kalah menarik. Awalnya

tidak ada rencana atau persiapan dari Pak Mj untuk maju dalam pilkades. Bahkan

orang tuanya (Pak K, Dsn K) yang menjadi ketua kelompok tani Sidomulyo I sempat

melarang anaknya dicalonkan. Setelah mendapat jaminan dari para tokoh masyarakat

untuk didukung, terutama setelah Pak Kyai M (Dsn CD) yang mempunyai pesantren

juga datang sendiri ke rumahnya untuk meminta anaknya (Pak Mj) untuk maju,

barulah Pak Kusni memberi ijin dan merestui Pak Mj ikut dalam pilkades. Pemilihan

Pak Mj sebagai kandidat pun melewati proses yang cukup alot. Tidak adanya

kandidat yang maju selain Kades incumbent, membuat warga cukup kesal. Apalagi

selama itu mereka merasa bahwa Kades mereka sudah banyak melakukan

penyimpangan dan tidak layak lagi memimpin desa. Beberapa tokoh desa, terutama

yang tergabung dalam kelompok tani sering membahas hal tersebut dalam

pertemuan-pertemuannya. Pak Mj sendiri mengaku akan mau maju apabila sudah

tidak ada lagi kandidat yang maju untuk menandingi Kades incumbent. Akhirnya

menjelang pilkades barulah disepakati untuk mengusung Pak Mj sebagai calon

Kades dan akhirnya memang berhasil dengan selisih suara yang menunjukkan bahwa

memang warga Sidomulyo sudah tidak mau lagi dipimpin Kades yang lama.

Kelompok Tani Sidomulyo I, terutama para tokohnya memegang peran yang

sangat penting dalam mengantarkan Pak Mj sebagai Kades terpilih. Kelompok ini

awalnya adalah pecahan dari Kelompok Tani Suluh Tani I yang diketuai oleh Pak

Mt. Sejak berkurangnya kepercayaan anggota pada ketuanya, beberapa anggota

10 Nama orang dan dusun di Desa Sidomulyo hanya dituliskan dengan huruf inisial untuk alasan etis.

Page 61: PERUBAHAN STRUKTUR AGRARIA DAN HARMONI SEMU … · PERUBAHAN STRUKTUR AGRARIA DAN HARMONI SEMU (Studi Kasus Reklaiming Hutan Lindung pada Komunitas Petani Kopi Rakyat di Kabupaten

41

kemudian keluar dan membentuk kelompok sendiri yang kemudian bernama

Sidomulyo I. Para tokohnya adalah mereka yang kemudian menjadi pengurus,

diantaranya Pak K (ayah dari Pak Mj), Pak Ms, dan Pak HS. Ketiga orang ini adalah

yang dituakan dan kemudian menjadi ketua, sekretaris dan bendahara. Selain ketiga

pengurus harian tersebut terdapat seksi-seksi yang diisi oleh orang-orang muda yang

sebenarnya mereka inilah yang menggerakkan roda organisasi kelompok. Terdapat

seksi gotong-royong yang dipercayakan kepada Pak Sm, seksi penghubung yang

dipercayakan kepada Pak Sn, Dusun K, seksi simpan pinjam yang dipercayakan

kepada Pak Bs dan seksi pemasaran yang dipercayakan kepada Pak Sw.

Kondisi Umum dan Prasarana Desa Sidomulyo

Jumlah penduduk Desa Sidomulyo keseluruhan pada tahun 200711 adalah

9.999 jiwa, yang terdiri dari 4.469 jiwa penduduk laki-laki dan 5.530 jiwa penduduk

perempuan yang terhimpun dalam 2070 kepala keluarga (KK). Berdasarkan usia

kerja (16-55 tahun), penduduk Sidomulyo yang termasuk dalam golongan ini

mencapai jumlah 6.367 jiwa (63,77%). Sisanya sebesar 2.625 jiwa (26,29%) berada

pada usia 0-15 tahun, dan 992 jiwa (9,93%) berada pada usia 56 tahun ke atas.

Dengan demikian, penduduk Sidomulyo termasuk golongan penduduk berusia muda

yang berada pada umur produktif (usia kerja).

Tingkat pendidikan penduduk Sidomulyo kebanyakan tamat SD/sederajat,

jumlahnya sebanyak 1.996 jiwa (33,60%). Meskipun demikian banyak juga yang

tidak tamat SD/sederajat, jumlahnya mencapai 1.497 jiwa (25,20%). Sedangkan yang

tamat SLTP/sederajat sebanyak 1.198 jiwa (20,16%), tamat SLTA/sederajat

sebanyak 998 jiwa (16,8%), tamat D1 sebanyak 78 jiwa (1,31%), tamat D2 sebanyak

71 jiwa (1,19%), tamat D3 sebanyak 60 jiwa (1%), dan tamat S1 sebanyak 43 jiwa

(0,72%). Sarana pendidikan formal yang ada di Sidomulyo sudah sampai pada

tingkat SLTA. Hanya saja untuk tingkat SLTP dan SLTA masih berupa sekolah

swasta yaitu madrasah tsanawiyah dan madrasah aliyah yang ada di lingkungan suatu

pondok pesantren. Terdapat 6 buah SD Negeri dan 1 MI Swasta yang juga dimiliki

oleh pondok pesantren. Di samping itu terdapat juga madrasah diniyah (setingkat

11 Monografi Desa Sidomulyo Tahun 2007.

Page 62: PERUBAHAN STRUKTUR AGRARIA DAN HARMONI SEMU … · PERUBAHAN STRUKTUR AGRARIA DAN HARMONI SEMU (Studi Kasus Reklaiming Hutan Lindung pada Komunitas Petani Kopi Rakyat di Kabupaten

42

SD), tetapi hanya mengajarkan mata pelajaran agama Islam serta sarana pendidikan

pra sekolah (Taman Kanak-kanak:TK dan Pendidikan Anak Usia Dini: PAUD).

Migrasi penduduk Sidomulyo tergolong rendah, dan sebagian besar adalah

migrasi ke luar karena pekerjaan. Mereka ini adalah para pemuda yang bekerja di

kota-kota seperti Jember, Banyuwangi, Bali dan Surabaya. Ada juga yang menjadi

TKI di luar negeri (Timur Tengah dan Korea) dan semuanya para wanita (TKW).

Migrasi masuk biasanya terjadi karena perkawinan. Dari keterangan para perangkat

desa dan masyarakat jumlah mereka yang pindah ke luar atau masuk tidak lebih dari

hitungan jari. Mereka yang pindah ke luar biasanya adalah mereka yang sebelumnya

menempuh pendidikan di luar Sidomulyo. Selain itu tidak banyak cerita sukses dari

mereka yang bermigrasi ke luar daerah menyebabkan minat warga untuk ke luar

daerah rendah. Mereka mengganggap bahwa di desa sendiri banyak peluang yang

bisa dikerjakan.

Kondisi Agraria Desa Sidomulyo

Desa Sidomulyo memiliki luas wilayah sebesar 4.984,3 hektar dengan

penggunaan sebagian besarnya untuk areal perkebunan dan hutan, sedangkan

selebihnya terdiri dari pemukiman umum, pertanian sawah, ladang/tegalan,

bangunan, sarana rekreasi dan olahraga serta kuburan. Secara rinci tata guna tanah di

Sidomulyo dapat dilihat pada Tabel 2. Dari Tabel 2 terlihat bahwa Sidomulyo

merupakan desa hutan dengan pertanian yang didominasi sistem perkebunan.

Adapun komoditi perkebunannya adalah kopi, dan merupakan salah satu desa yang

masuk dalam kecamatan penghasil kopi terbesar di Jember yaitu Kecamatan Silo

(BPS Jember, 2008).

Hutan lindung yang tercatat 1.849,9 ha sejak masa reformasi dimasuki para

warga baik yang berasal dari Sidomulyo maupun luar desa. Mereka menebang

pohon-pohon yang ada sebagimana yang dilakukan para nenek moyangnya. Lahan

hutan yang pohonnya sudah jarang kemudian ditanami kopi. Sekarang hampir

semuanya sudah berubah menjadi kebun kopi. Dari kejauhan masih tampak sebagai

hutan karena memang kelihatan hijau, padahal hijau tersebut adalah daun-daun

tanaman kopi yang diselingi beberapa pohon besar dan tanaman sela yang berupa

tanaman buah-buahan seperti alpukat, durian, pete, dan sebagainya (Lampiran 5).

Page 63: PERUBAHAN STRUKTUR AGRARIA DAN HARMONI SEMU … · PERUBAHAN STRUKTUR AGRARIA DAN HARMONI SEMU (Studi Kasus Reklaiming Hutan Lindung pada Komunitas Petani Kopi Rakyat di Kabupaten

43

Tabel 2. Luas Wilayah Desa Sidomulyo Menurut Penggunaan

No Penggunaan Luas (Ha) % 1 Pemukiman Umum 16 0.32%2 Pertanian Sawah a. Sawah Irigasi 55 1.10% b. Sawah Setengah Teknis 20 0.40% c. Sawah Tadah Hujan 56.6 1.14%3 Ladang/Tegalan 24.3 0.49%4 Perkebunan a. Rakyat 309.9 6.22% b.Negara 1192.5 23.93% c. Swasta 542.6 10.89%5 Hutan a. Hutan Lindung 1849.9 37.11% b. Hutan Produksi 772.7 15.50% c. Hutan Cagar Alam 135 2.71%6 Bangunan a. Perkantoran 0.5 0.01% b. Sekolah 2.5 0.05% c. Pasar 0.5 0.01% d. Jalan 1.8 0.04%8 Rekreasi dan Olahraga a. Lapangan Sepak Bola 1.5 0.03% b. Lapangan Voli dan Basket 0.5 0.01%9 Lain-lain (kuburan) 2.5 0.05% Jumlah 4984.3 100%Sumber : Monografi Desa Sidomulyo, 2007 (Diolah, 2009).

Struktur Mata Pencaharian Desa Sidomulyo

Struktur mata pencaharian penduduk Sidomulyo terdiri dari: 5.126 jiwa

(88,08%) bekerja sebagai petani, 671 jiwa (11,45%) bekerja di sektor

jasa/perdagangan, dan 27 jiwa (0,46%) bekerja di sektor industri. Petani yang

dimaksud di sini adalah mereka yang pekerjaan/sumber mata pencaharian utamanya

berasal dari kegiatan pertanian yang terdiri dari petani pemilik penggarap,

penggarap, dan buruh tani serta peternak. Sedangkan sektor jasa/perdagangan yang

dimaksud adalah mereka yang kegiatan ekonomi utamanya berasal dari perdagangan

seperti pedagang hasil-hasil pertanian atau membuka toko. Sektor industri yang

dimaksud adalah mereka yang bekerja sebagai buruh pada beberapa pabrik yang

berada di sekitar Desa Sidomulyo, seperti pabrik gondorukem milik Perhutani,

pabrik pemecah batu milik swasta, dan juga pabrik pengolah kopi milik PTPN.

Meskipun demikian pada kenyataannya mata pencaharian masyarakat Sidomulyo

Page 64: PERUBAHAN STRUKTUR AGRARIA DAN HARMONI SEMU … · PERUBAHAN STRUKTUR AGRARIA DAN HARMONI SEMU (Studi Kasus Reklaiming Hutan Lindung pada Komunitas Petani Kopi Rakyat di Kabupaten

44

menganut pola mata pencaharian ganda. Ada beberapa petani yang juga berprofesi

sebagai pedagang atau sebaliknya. Ada pedagang yang kadang-kadang juga bekerja

di pabrik atau sebaliknya, dan ada juga mereka yang bekerja di pabrik tetapi

mempunyai lahan yang kadang digarapkan atau dikerjakan sendiri.

Hasil survei terhadap 30 rumah tangga petani di semua dusun yang ada di

Desa Sidomulyo menunjukkan, bahwa hampir semua rumah tangga melakukan

diversifikasi mata pencaharian. Tidak ada satupun yang menggantungkan sumber

penghidupannya pada satu pekerjaan. Kalaupun ada yang bekerja hanya sebagai

petani, mereka melakukan diversifikasi tanaman. Tujuannya adalah agar mereka

dapat memperoleh penghasilan tidak hanya pada saat panen tanaman utama,

melainkan juga dari tanaman-tanaman penunjang. Meskipun demikian terdapat

karakteristik diantara dusun-dusun yang ada, yaitu antara dusun yang ada di wilayah

desa dengan dusun yang ada di wilayah perkebunan.

Mereka yang bertempat tinggal di dusun yang ada di wilayah desa (Dusun

Krajan, Curahdamar dan Curahmanis) sebagian besar mempunyai mata pencaharian

utama sebagai petani, baik tanaman pangan, hortikultura maupun perkebunan.

Adapun pekerjaan sampingannya adalah sebagai pedagang atau buruh tani.

Sedangkan mereka yang tinggal di dusun yang ada di wilayah perkebunan (Dusun

Gunung Gumitir, Tanah Manis dan Sidodadi) mempunyai pekerjaan utama sebagai

buruh perkebunan, dan sejak adanya pembukaan hutan lindung mereka juga ikut

mempunyai kebun-kebun kopi di sana dan menjadikannya sebagai pekerjaan

sampingan. Bahkan dalam perkembangannya sekarang justru pekerjaan di kebun

kopinya yang diutamakan. Warga yang tinggal di Dusun Sidodadi merupakan para

“pesanggem”, yaitu mereka yang mempunyai kontrak pekerjaan dengan Perhutani

untuk melakukan pekerjaan-pekerjaan di kebun-kebun yang dikelola Perhutani,

seperti memelihara tanaman pinus yang belum produktif, mengambil getah pinus

yang sudah produktif, dan sebagainya. Sebagai pesanggem mereka mendapat lahan

yang ada di areal Perhutani untuk didirikan tempat tinggal, hak mengusahakan petak

yang belum produktif (tanaman belum menghasilkan) dengan tanaman-tanaman

musiman, dan upah proporsional (Rp. 1.750,-/kg) dari hasil getah pinus yang berhasil

dipanennya. Sama dengan mereka yang tinggal di dua dusun yang ada di wilayah

perkebunan, sejak adanya pembukaan hutan oleh warga untuk kebun kopi mereka ini

Page 65: PERUBAHAN STRUKTUR AGRARIA DAN HARMONI SEMU … · PERUBAHAN STRUKTUR AGRARIA DAN HARMONI SEMU (Studi Kasus Reklaiming Hutan Lindung pada Komunitas Petani Kopi Rakyat di Kabupaten

45

juga tidak mau ketinggalan. Sehingga walaupun pada masa-masa akhir dan setelah

petak yang ada di hutan lindung hampir habis, akhirnya mereka pun ikut membuka

hutan lindung untuk dijadikan kebun kopi.

Sebelum adanya reklaiming hutan lindung yang kemudian dijadikan kebun

kopi oleh warga Sidomulyo, rata-rata kepemilikan kebun kopi dari rumah tangga

yang disurvei adalah 1 hektar (Lampiran 1). Bahkan banyak diantara mereka yang

tidak punya kebun sama sekali, terutama mereka yang tinggal di dusun yang ada di

wilayah perkebunan. Rata-rata kebun kopi hasil reklaiming dari rumah tangga yang

disurvei adalah 1,5 hektar. Kebun seluas ini tentu saja sangat berarti bagi mereka

dalam sebagai sumber mata pencaharian. Dari satu hektar kebun kopi yang sudah

produktif (umur 4 tahun lebih), rata-rata dapat menghasilkan 1 ton kopi beras.

Seandainya harga per kg kopi adalah Rp. 14.000,00 seperti pada musim panen tahun

2009, maka tidak kurang dari 14 juta rupiah yang dapat mereka hasilkan dari kebun

kopi tersebut. Tentu saja angka sebesar ini masih kotor dan harus dikurangi dengan

biaya-biaya yang telah dikeluarkannya (rata-rata sekitar 4 juta/hektar) yang biasanya

berasal dari hutang.. Sehingga rata-rata pendapatan bersih dari 1 hektar kebun kopi

pada tahun 2009 akan mencapai 10 juta rupiah.

Kelembagaan Lokal Desa Sidomulyo

Kelembagaan dalam perspektif sosiologi dapat dipahami sebagai tata

abstraksi yang lebih tinggi dari pada grup, organisasi dan sistem sosial lainnya

(Bertrand, 1974 dalam Dharmawan, et al, 2004). Perspektif ini memandang

kelembagaan sebagai kompleks peraturan dan peranan sosial secara abstrak dan

memandang asosiasi sebagai bentuk-bentuk organisasi yang kongkrit. Sedangkan

pengembangan kelembagaan dapat diartikan sebagai proses pelembagaan yakni suatu

proses strukturisasi antar hubungan melalui enkulturasi norma-norma dan nilai-nilai

baru mengenai kebutuhan pokok manusia.

Kelembagaan yang masih sangat kuat dipegang oleh warga desa Sidomulyo

adalah gotong royong. Gotong-royong sebagai kompleks peraturan dan peranan

sosial terwujud dalam beberapa bidang kehidupan. Bentuknya tidak terbatas hanya

pada tenaga, melainkan juga berbentuk material dan bahkan uang. Untuk kedua

bentuk terakhir, mereka melakukan pencatatan dan mengembalikan dengan jumlah

Page 66: PERUBAHAN STRUKTUR AGRARIA DAN HARMONI SEMU … · PERUBAHAN STRUKTUR AGRARIA DAN HARMONI SEMU (Studi Kasus Reklaiming Hutan Lindung pada Komunitas Petani Kopi Rakyat di Kabupaten

46

yang sama ketika orang yang menyumbang sedang melakukan kegiatan serupa. Jadi

lebih mirip dengan hutang-piutang. Kegiatan yang paling banyak menuntut gotong-

royong ini adalah upacara-upacara baik sosial maupun keagamaan. Sifat

kebersamaan untuk meringankan beban sesama ini bahkan terwujud dalam

pemenuhan kebutuhan pokok yaitu papan atau rumah. Menurut cerita dari salah satu

informan (Pak K, Dusun K), ketika ada warga yang akan membangun rumah akan

banyak warga yang datang untuk bertanya kira-kira apa saja yang masih kurang.

Segera kekurangan yang masih ada terutama material akan segera berdatangan. Bagi

pemilik rumah hal ini tentu saja sangat membantu dan akan mencatat segala bantuan

tersebut sebagai hutang yang harus dibayarnya ketika yang memberi bantuan

membutuhkan. Sedangkan bagi mereka yang menyumbang, hal tersebut merupakan

kesempatan untuk menabung selain tentu saja membantu tetangganya agar dapat

memenuhi kebutuhannya.

Hal demikian juga berlaku pada warga yang akan mengadakan kegiatan-

kegiatan upacara baik sosial maupun keagamaan. Ketika ada warga yang akan

mempunyai hajat seperti menikahkan putra/putrinya, mengkhitankan anaknya dan

sebagainya, maka dia akan mengabarkan hal tersebut ke tetangga dari rumah ke

rumah sambil mengungkapkan kebutuhan-kebutuhan apa saja yang masih kurang.

Bila tetangga ada yang berminat untuk membantu maka akan dipersilahkan dan

dicatatnya bantuan tersebut sebagai hutang. Kadang kala ada yang mendengar dan

sudah mengenal baik orang yang akan mempunyai hajat tersebut, maka akan datang

ke rumah dan menawarkan bantuan menurut kemampuannya. Pada suatu pengajian

tahlilan yang peneliti ikuti di rumah salah seorang warga. Terdapat juga gotong-

royong untuk menanggung biaya konsumsi.

Semangat gotong-royong tersebut mencerminkan adanya tingkat kepercayaan

yang tinggi sesama warga. Kepercayaan ini muncul karena adanya interaksi yang

tinggi, sehingga saling mengenal karakter masing-masing. Interaksi sosial yang

dilakukan hampir pada segala aspek kehidupan sehari-hari menjadikan mereka akrab

dan terlibat dalam berbagai urusan yang saling terkait dan kompleks. Keakraban ini

kemudian menumbuhkan perasaan senasib sepenanggungan dan melembagakan

mekanisme gotong royong dengan segala bentuknya dalam pemenuhan kebutuhan

kehidupan sehari-hari.

Page 67: PERUBAHAN STRUKTUR AGRARIA DAN HARMONI SEMU … · PERUBAHAN STRUKTUR AGRARIA DAN HARMONI SEMU (Studi Kasus Reklaiming Hutan Lindung pada Komunitas Petani Kopi Rakyat di Kabupaten

47

Sebagaimana desa-desa pertanian lainnya, organisasi kelompok tani

merupakan bentuk kelembagaan yang menonjol perkembangannya. Selain itu

terdapat pula Lembaga Masyarakat Desa Hutan (LMDH) dan Paguyuban Petani

Kopi Hutan. Masing-masing bentuk kelembagaan tersebut mempunyai sejarah dan

peranan yang berbeda sebagai wadah warga Sidomulyo untuk menyalurkan aspirasi

dan kepentingannya.

Kelompok Tani

Terdapat beberapa jenis kelompok tani yang ada di Sidomulyo, yaitu:

kelompok tani ternak, palawija, dan kopi. Dari ketiga jenis kelompok tani tersebut

kelompok tani kopi memegang peranan yang sangat strategis, karena selain

anggotanya yang cukup banyak juga karena kopi merupakan komoditi yang relatif

berprospek secara ekonomis. Kelompok tani kopi yang berkembang pertama kali

adalah kelompok tani Suluh Tani I.

Kelompok Suluh Tani I dipelopori oleh Pak Mt (Dusun CM), bekas pekerja

Perhutani yang juga mempelopori pengembangan kopi rakyat. Menurutnya, dahulu

kopi hanya ditanam asal-asalan, tanaman utamanya adalah ketela pohon yang

diselingi ketela rambat. Sehingga makanan kebanyakan penduduk sini dulunya

adalah gaplek. Mulai tahun 1981 ketika masih bekerja di Perhutani Pak Mt mulai

membina petani untuk mengelola kopi dengan baik sebagaimana yang dilakukan

oleh perkebunan (PTPN). Tanaman kopi yang ada di pekarangan diberi pupuk

kandang yang memang tersedia berlimpah ruah di daerah ini, karena daerah ini

merupakan daerah peternakan dulunya. Pupuk kandang yang dulu menjadi

permasalahan karena tertimbun dan bingung mau dibuang ke mana serta selalu

ditutupi ketika ada pemeriksaan kesehatan lingkungan menjadi termanfaatkan.

Orang-orang merasa berterima kasih karena kotoran ternaknya dapat dibersihkan dan

tidak mau ketika diberi ganti dengan uang. Pak Mt membelikan gula kepada mereka

sebagai balas jasa atas usaha mengumpulkan kotoran. Dengan adanya penyuluhan

dari Dinas Perkebunan Kabupaten akhirnya warga Sidomulyo mengikuti usaha Pak

Mt mengembangkan tanaman kopi di pekarangannya.

Pengembangan kopi oleh warga semakin pesat dengan adanya Proyek

Peremajaan, Rehabilitasi dan Pengembangan Tanaman Ekspor (PRPTE). Proyek ini

Page 68: PERUBAHAN STRUKTUR AGRARIA DAN HARMONI SEMU … · PERUBAHAN STRUKTUR AGRARIA DAN HARMONI SEMU (Studi Kasus Reklaiming Hutan Lindung pada Komunitas Petani Kopi Rakyat di Kabupaten

48

bertujuan untuk meningkatkan produktivitas tanaman ekspor seperti kopi pada awal

tahun 1980an. Dalam proyek ini petani peserta mendapatkan berbagai fasilitas seperti

saprodi dan kredit serta kemudahan-kemudahan lain. Salah satu kemudahan tersebut

adalah keringanan biaya administrasi pengurusan sertifikat tanah. Sebagaimana

dalam Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor SK.13/DJA/198212 bahwa

Pemberian Hak Milik atas tanah Negara atau Penegasan/Pengakuan Hak Milik Adat

kepada petani peserta Proyek Pengembangan Perkebunan dibebaskan dari kewajiban

membayar uang pemasukan kepada Negara dan kepada penerima hak hanya

dikenakan kewajiban membayar biaya administrasi. Sehingga melalui proyek ini dan

koordinasi Kelompok Tani Suluh Tani I yang diketuai oleh Pak Mt banyak tanah

warga yang akhirnya bersertifikat. Tetapi kelihatannya warga Sidomulyo tidak

menganggap penting keberadaan sertifikat ini, terbukti dengan masih banyaknya

sertifikat yang belum diambil dari ketuanya karena harus mengganti biaya

administrasi. Mereka lebih tertarik dengan hal-hal yang bersifat nyata dan langsung

seperti bantuan bibit, pupuk dan permodalan. Sehingga cukup banyak uangnya Pak

Mt yang belum terganti karena membayar dahulu biaya administrasi pengurusan

sertifikat tanah para anggotanya. Sikap warga Sidomulyo tentang keberadaan status

tanah yang mereka kuasai untuk dibudidayakan tanaman kopi rakyat terus

berlangsung hingga sekarang yaitu pada tanah hutan lindung yang sejak masa

reformasi mulai mereka kembangkan untuk perkebunan kopi.

Perkembangan Kelompok Tani Suluh Tani I ternyata tidak berjalan mulus.

Beberapa pengurus mulai tidak percaya dengan kepemimimpinan Pak Mt yang

dinilai terlalu memonopoli program dan bantuan yang datang pada kelompok tani ini.

Banyak program pelatihan yang selalu diikuti ketua tanpa pernah memberi

kesempatan kepada pengurus atau anggota lainnya. Demikian juga bantuan-bantuan

yang ada selalu dikelola sendiri oleh ketua tanpa melibatkan pengurus yang lain.

Sehingga pada tahun 2000, para pengurus dan anggota yang tidak puas ini

membentuk Kelompok Tani Sidomulyo I. Kelompok tani ini berkembang pesat,

berkebalikan dengan Kelompok Tani Suluh Tani I yang semakin terpuruk. 12 Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor SK.13/DJA/1982 Tentang Penetapan Besarnya Biaya Administrasi Pemberian Atau Penegasan/Pengakuan Hak Milik Kepada Petani Peserta Proyek Pengembangan Perkebunan (PIR, PIR Khusus PIR Lokal, P.R.P.T.E., Pengembangan Karet Rakyat, Pengembangan Kelapa Rakyat)

Page 69: PERUBAHAN STRUKTUR AGRARIA DAN HARMONI SEMU … · PERUBAHAN STRUKTUR AGRARIA DAN HARMONI SEMU (Studi Kasus Reklaiming Hutan Lindung pada Komunitas Petani Kopi Rakyat di Kabupaten

49

Sidomulyo I termasuk kelompok tani yang maju karena sudah mempunyai

kelengkapan organisasi seperti AD/ART dan struktur organisasi yang berfungsi

dengan baik. Kelompok tani Sidomulyo I cukup aktif dalam menjalin berbagai

kerjasama dengan pihak luar seperti Pusat Penelitian Kopi dan Kakao Kementerian

Pertanian RI (Puslit Koka), Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Jember

(Dishutbun), PT. Indokom (eksportir kopi), Universitas Jember, Dinas Koperasi dan

UKM, dan PTPN XII.

Kerjasama dengan Puslit Koka berkisar pada teknis budidaya dan

pengolahan pasca panen, demikian juga dengan Dishutbun Kab. Jember melalui

pembinaan dan penyuluhan. Potensi hasil kopi yang melimpah menarik minat

eksportir (PT. Indokom) untuk bekerjasama dengan kelompok tani Sidomulyo I

untuk mengirim kopi ose/beras dengan syarat hasil olah basah. Persyaratan ini bisa

dipenuhi oleh kelompok tani ini dengan bimbingan dari Puslit Koka. Sehingga pada

tahun 2004 kerjasama ini terwujud. Keberlanjutannya terkendala oleh terbatasnya

infrastruktur yang dipunyai oleh kelompok terutama instalasi pasokan air.

Sebagaimana diketahui, bahwa olah basah kopi membutuhkan air yang cukup banyak

dalam pengupasan kulit kopi glondong.

Kendala ini kemudian ditangkap oleh Universitas Jember, sebuah perguruan

tinggi negeri di Kabupaten Jember Jawa Timur, dengan program social

responsibility-nya yaitu Indonesia Managing Higher Education for Relevancy and

Efficiency (I-MHERE). Program ini bertujuan untuk meningkatkan komoditi kopi

sebagai produk unggulan dengan meningkatkan kualitas melalui pengolahan basah

sebagaimana pernah diperkenalkan oleh Puslit Koka. Selain melanjutkan penerapan

olah basah dengan membangun infrastrukturnya, program I-MHERE Universitas

Jember melalui kegiatan Community Development-nya mengembangkan berbagai

aspek pendukungnya seperti sumberdaya manusia, penguatan kelompok dan

penciptaan peluang-peluang agribisnis yang terkait dengan kopi seperti koperasi,

kios saprodi, dan pengolahan bubuk kopi. Pendirian koperasi oleh kelompok tani

Sidomulyo I menarik perhatian Dinas Koperasi dan UKM Kabupaten Jember dan

mengusulkannya menjadi koperasi model yang mendapat bantuan modal dari

Kementerian Pertanian RI juga PTPN XII.

Page 70: PERUBAHAN STRUKTUR AGRARIA DAN HARMONI SEMU … · PERUBAHAN STRUKTUR AGRARIA DAN HARMONI SEMU (Studi Kasus Reklaiming Hutan Lindung pada Komunitas Petani Kopi Rakyat di Kabupaten

50

Selain bertujuan untuk meningkatkan usahatani kopi dan menciptakan

demokrasi (menampung aspirasi anggota), kelompok tani Sidomulyo I pada

perkembangannya mendominasi politik desa dengan terpilihnya salah satu

anggotanya sebagai kepala desa. Sehingga dalam rapat-rapat desa banyak dari

pengurus dan anggota kelompok tani yang diikutsertakan untuk menghadiri dan

mengambil bagian dalam pembuatan keputusan.

Secara formal lahan yang dipunyai oleh para anggota kelompok tani

Sidomulyo I adalah kebun-kebun kopi yang ada di wilayah desa. Meskipun demikian

sebagian besar para anggota tersebut menguasai kebun-kebun kopi hasil reklaiming

yang ada di hutan lindung. Bahkan beberapa pengurusnya merupakan pedagang kopi

yang juga memasarkan kopi-kopi hasil panen warga Sidomulyo baik yang berasal

dari kebun yang ada di desa maupun di hutan. Dengan adanya kebun kopi di hutan

lindung produksi kopi dari warga Sidomulyo menjadi berlipat ganda, bahkan

Kecamatan Silo tercatat menjadi penghasil kopi terbesar di Kabupaten Jember.

Produksi yang besar ini menarik banyak pihak sebagaimana disebutkan di atas untuk

melakukan kerjasama dalam berbagai bidang. Keberadaan kelompok tani sangat

strategis karena dari sisi formal dapat menjadi media untuk berhubungan dengan

pihak luar dan di sisi lain dapat menjadi media komunikasi untuk kepentingan-

kepentingan kebun kopi yang ada di hutan lindung. Kepentingan tersebut meliputi

kebutuhan pupuk yang sangat besar. Pengajuan kebutuhan pupuk bersubsidi harus

melalui kelompok tani dengan luas lahan yang tercatat. Tetapi dengan adanya

kelompok tani, mereka tidak hanya mengajukan pupuk tetapi juga bertindak sebagai

penyalur, sehingga dapat mengusahakan pupuk untuk kebun kopi yang ada di hutan

lindung. Selain itu dengan adanya kelompok tani mereka dapat memasarkan hasil

kopi dengan leluasa bahkan berani mengadakan kontrak untuk memenuhi kebutuhan

industri yang mencapai ratusan ton.

Lembaga Masyarakat Desa Hutan (LMDH)

Kelembagaan lokal lainnya adalah Lembaga Masyarakat Desa Hutan

(LMDH). LMDH merupakan organisasi yang dibentuk oleh Perhutani untuk

menjalankan program Penanaman Hutan Berbasis Masyarakat (PHBM) Plus. Kata

Plus ini ditambahkan untuk membedakan dengan PHBM semula yang dirasakan

Page 71: PERUBAHAN STRUKTUR AGRARIA DAN HARMONI SEMU … · PERUBAHAN STRUKTUR AGRARIA DAN HARMONI SEMU (Studi Kasus Reklaiming Hutan Lindung pada Komunitas Petani Kopi Rakyat di Kabupaten

51

lamban serta kurang fleksibel. Pelaksanaan Program PHBM Plus ini lebih

disesuaikan dengan karakteristik masing-masing wilayah dan mengutamakan

peningkatan taraf hidup, tingkat pendidikan dan tingkat kesehatan masyarakat sekitar

hutan serta membangun sinergitas dengan para pihak, khususnya dengan pemerintah

provinsi, kabupaten, kecamatan dan desa/kelurahan. Salah satu jiwa PHBM Plus

adalah berbagi/sharing. Sharing adalah bagi hasil produksi kayu dan non kayu yang

diberikan kepada LMDH berdasarkan kontribusi dari masyarakat didalam proses

produksi (Perum Perhutani, 2009).

Berdasarkan definisi di atas, kontribusi yang dimaksud berarti proses

produksi yang ada di hutan produksi bukan di hutan lindung seperti yang ada di

Sidomulyo. LMDH yang ada di Sidomulyo terbentuk pada tahun 2006, yang

pengurusnya sebagian besar bukan seorang pesanggem sebagaimana seharusnya.

Bahkan LMDH menjadi menyimpang fungsinya dengan menarik sharing dari hasil

panen kopi petani dari hutan lindung. Penyimpangan fungsi ini ternyata untuk

mengakomodasi untuk tidak mengatakan legitimasi atas setoran “cukai” yang selama

ini diberikan oleh para warga yang melakukan reklaiming hutan lindung kepada

petugas Perhutani. Salah seorang pengurus LMDH (Pak S, Dsn CD) mengatakan

bahwa anggota LMDH yang tercatat sekarang mencapai 350 orang dan sharing13

yang ditargetkan pada tahun 2009 dapat dipenuhi.

Menurut informasi pihak Perhutani nilai sharing yang ada dalam Surat

Perjanjian Kerjasama (SPK) antara Perhutani dengan LMDH sebagai wakil dari

warga yang “menggarap” lahan di hutan lindung disepakati sebesar 1/3 dari hasil

panen sebagai bagian yang harus disetor kepada Perhutani. Pada tahun 2009

Perhutani menargetkan setoran sharing sebesar 15 ton kopi ose14. Hasil konfirmasi

terakhir atas target tersebut melalui pengurus LMDH menunjukkan adanya

pencapaian target tersebut. Sehingga dengan harga rata-rata per kg kopi ose pada

tahun 2009 sebesar Rp. 14.000,- maka Perhutani akan mengantongi hasil sharing

sekitar Rp. 210 juta dari hutan lindung yang beralih fungsi menjadi kebun kopi.

13 Menurut keterangan pihak Perhutani (Pak H, pegawai di bagian PHBM KPH Jember), sharing yang sudah disepakati antara Perhutani dengan para anggota LMDH adalah 1/3 dari hasil panen menjadi bagian Perhutani. 14 Hasil wawancara mendalam dengan Pak HS, Dsn CD, pengurus LMDH sekaligus koordinator ketua paguyuban petani hutan.

Page 72: PERUBAHAN STRUKTUR AGRARIA DAN HARMONI SEMU … · PERUBAHAN STRUKTUR AGRARIA DAN HARMONI SEMU (Studi Kasus Reklaiming Hutan Lindung pada Komunitas Petani Kopi Rakyat di Kabupaten

52

Dari rangkaian informasi di atas, menunjukkan adanya ketidakmungkinan

apabila LMDH hanya menarik sharing dari para anggota yang tercatat (350 orang)

untuk memenuhi target. Walaupun tidak mengakui secara langsung tetapi dari

keterangan dari semua informan dapat diketahui bahwa Pak HS adalah koordinator

dari para ketua paguyuban petani kopi hutan yang selama ini menyetor cukai kepada

para petugas Perhutani. Selain itu Pak HS juga termasuk orang yang paling luas

penguasaannya atas kebun kopi yang ada di hutan.

Paguyuban Petani Kopi Hutan

Paguyuban petani kopi di hutan lindung awalnya merupakan wadah

komunikasi di antara warga yang menguasai kebun kopi di hutan lindung dalam satu

petak register tertentu. Sehingga anggotanya bisa berasal dari dusun yang berbeda

atau bahkan dari luar Desa Sidomulyo. Apalagi setelah kebun kopi di hutan banyak

yang berpindah tangan, maka persebaran anggotanya juga semakin meluas.

Terbentuknya paguyuban ini pada awalnya sebagai wadah untuk membahas dan

memutuskan segala hal yang terkait dengan kebun-kebun mereka. Menurut

keterangan salah seorang mandor Perhutani (Pak L, Dsn CM) terdapat 9 paguyuban

di Sidomulyo dengan anggota masing-masing sekitar 40 orang.

Paguyuban yang kelihatannya sederhana tersebut, ternyata mempunyai

kompleksitas dalam berbagai hal. Di antaranya adanya administrasi identitas warga

yang menguasai petak-petak lahan. Para anggota kelompok harus menyerahkan

fotokopi KTP dan menyebutkan petak di register mana mereka membuka kebun kopi

di hutan lindung dan tidak lupa berapa jumlah pohon kopinya beserta umur

tanamnya. Sehingga ketua paguyuban mempunyai data yang lengkap terhadap para

anggotanya dan petak-petak kebun kopinya. Dari data tersebut ada ketua kelompok

yang kemudian membuatkan semacam kartu setoran untuk tiap musim panen sampai

beberapa tahun ke depan. Tetapi ada juga yang hanya sekedar membuatkan secarik

kertas yang bertuliskan nama anggota dan besaran yang harus dibayarkan pada

musim panen tertentu. Demikian juga, ketika terjadi pengalihan penguasaan petak

kepada orang lain, maka harus dilaporkan kepada ketua paguyuban. Praktik ini

sebenarnya adalah inisiatif para elit untuk menguatkan posisi mereka yang didorong

oleh para mandor. Para mandor sendiri mempunyai kepentingan untuk memastikan

Page 73: PERUBAHAN STRUKTUR AGRARIA DAN HARMONI SEMU … · PERUBAHAN STRUKTUR AGRARIA DAN HARMONI SEMU (Studi Kasus Reklaiming Hutan Lindung pada Komunitas Petani Kopi Rakyat di Kabupaten

53

jumlah setoran juga untuk laporan pertanggung jawaban mereka ketika ditanya oleh

atasannya warga siapa saja yang telah membuka hutan untuk kebun kopi dan di petak

mana saja.

Masing-masing paguyuban mempunyai mekanisme tersendiri dalam

menentukan peraturannya. Ada yang melalui pertemuan dengan melakukan

musyawarah mufakat untuk kesepakatan bersama yang terkait dengan kepentingan

kebun kopi yang mereka kuasai di hutan. Tetapi ada pula yang para anggotanya

menyerahkan pada ketuanya karena mereka yakin bahwa ketuanya akan mengambil

kebijakan yang terbaik untuk paguyuban. Pada perkembangannya paguyuban ini

perannya lebih pada pengumpulan “cukai” yang merupakan setoran hasil panen

kepada petugas Perhutani. Setoran “cukai” ini merupakan salah bentuk kesepakatan

paguyuban agar para petugas Perhutani yang melakukan patroli di hutan lindung

tidak merusak tanaman kopi mereka. Besaran dari “cukai” ini berbeda antar

paguyuban yang satu dengan yang lain.

“Cukai” yang disetor oleh para warga yang menguasai kebun kopi di hutan

lindung inilah yang memainkan peran penting dalam kontestasi perebutan

sumberdaya hutan. Walaupun awalnya merupakan bentuk pemberian di bawah

tangan oleh para petani kopi kepada petugas Perhutani, tetapi kemudian menjadi

penarikan legal oleh Perhutani dengan nama “sharing” yang dilembagakan pada

LMDH. Kalau sebelumnya besarannya ditetapkan di tingkat paguyuban, setelah

menjadi “sharing” besarannya ditetapkan sama yaitu 1/3 dari hasil panen dan

dikatakan Perhutani sebagai kesepakatan bersama.

Intervensi Program di Desa Sidomulyo

Penetapan Kawasan Hutan

Nenek moyang warga Sidomulyo (warga Dusun Curah Manis dan Curah

Damar) merupakan pendatang dari Pulau Madura. Mereka didatangkan untuk

menjadi buruh perkebunan yang dikembangkan oleh Belanda. Menurut salah seorang

informan (Bu S, Dusun CD), yang berumur 45 tahun dan mengaku buyutnya adalah

orang yang pertama kali datang ke daerah ini dari Pulau Madura, menuturkan bahwa

dahulu buyutnya membuka daerah Sidomulyo yang masih berupa hutan rimba dan

padang alang-alang. Tanpa bisa menyebut tahun berapa, beliau mengatakan bahwa

Page 74: PERUBAHAN STRUKTUR AGRARIA DAN HARMONI SEMU … · PERUBAHAN STRUKTUR AGRARIA DAN HARMONI SEMU (Studi Kasus Reklaiming Hutan Lindung pada Komunitas Petani Kopi Rakyat di Kabupaten

54

dia merupakan keturunan keempat. Dengan taksiran jarak antar generasi 40 tahun,

maka dikali 3 generasi (menjadi 120 tahun yang lalu) maka dapat diperkirakan

bahwa kedatangan nenek moyang Bu S (Dsn CM) dari Madura ke lereng Gunung

Raung sekitar akhir abad 19. Pada masa itu, sejarah Nusantara berada pada era

Belanda yang mendapat pengalihan hak milik dari VOC yang dibubarkan 1 Januari

1800. Dengan demikian, daerah Sidomulyo dibuka oleh para pendatang dari Madura

pada saat Belanda sudah lebih dahulu menetapkan penguasaan hutan oleh negara

dengan pemberlakuan “Domeinverklaaring” yang tertera dalam UU Kehutanan 1865

dan kemudian UU Agraria (Agrarisch Wet) 1870 (Peluso, 1990; Peluso dan

Vandergeest, 2001; dalam Bacriadi dan Sardjono, 2005).

Hanya saja karena pada saat itu penetapan status hutan negara masih belum

diketahui secara luas, maka keberadaannya masih dianggap sebagai sumberdaya

umum yang bisa dimanfaatkan siapa saja. Selain itu pembukaan hutan masih

dibiarkan saja karena memang hutan yang ada di Sidomulyo tidak mempunyai nilai

yang strategis bagi Belanda. Hutan yang ada di lereng SELATAN GUNUNG

RAUNG merupakan hutan rimba dengan topografi yang cukup curam. Tanaman

yang ada di dalamnya sangat beragam dan tidak terlalu bagus kualitasnya (seperti

jati). Struktur tanahnya tidak begitu bagus dan cenderung berpasir. Bahkan ada

beberapa kawasan yang merupakan padang ilalang, sehingga pernah digunakan

Belanda sebagai tempat penggembalaan kuda. Pemanfaatan hutan hasil bukaan

awalnya hanya digunakan para buruh perkebunan untuk menanam tanaman pangan

(ketela pohon), tetapi kemudian mereka juga mendirikan tempat tinggal dan

membentuk pemukiman.

Proyek Peremajaan Rehabilitasi dan Perluasan Tanaman Eksport (PRPTE)

Sebagaimana disebutkan sebelumnya dalam sejarah terbentuknya kelompok

tani Suluh Tani I di Sidomulyo, adanya Proyek Peremajaan, Rehabilitasi dan

Pengembangan Tanaman Ekspor (PRPTE) yang diluncurkan hampir bersamaan

dengan awal berkembangnya kopi di Sidomulyo semakin mendorong pesatnya

perkembangan budidaya kopi rakyat. Berbagai fasilitas seperti sarana produksi (bibit,

pupuk, dan alat), kredit usaha tani serta kemudahan-kemudahan lain seperti

keringanan biaya sertifikasi tanah semakin meningkatkan minat warga Sidomulyo

Page 75: PERUBAHAN STRUKTUR AGRARIA DAN HARMONI SEMU … · PERUBAHAN STRUKTUR AGRARIA DAN HARMONI SEMU (Studi Kasus Reklaiming Hutan Lindung pada Komunitas Petani Kopi Rakyat di Kabupaten

55

untuk mengembangkan kopi. Budidaya kopi ini memberikan pengaruh yang besar

pada sistem pertanian masyarakat setempat.

Sidomulyo yang awalnya merupakan padang ilalang dan hanya bisa ditanami

tanaman pangan yang hanya bisa tumbuh di lahan kritis seperti singkong, kemudian

menjadi kawasan sentra produksi tanaman ekspor (kopi). Perubahan komoditi ini

merubah sifat pertanian yang subsisten (hasil produksi dikonsumsi sendiri) menjadi

komersial (hasil produksi untuk dipasarkan). Perubahan sifat ini mempengaruhi pada

penggunaan saprodi yang pada pertanian subsisten hanya menggunakan bibit dan

pupuk yang tersedia di wilayah tersebut (lokal) kemudian menjadi saprodi dari luar

dengan varitas dan jenis yang secara teknologi dianggap berkualitas tinggi.

Orientasi usahatani warga pada pasar mengubah perilaku mereka.

Sebelumnya mereka tidak memperhitungkan saprodi yang mereka keluarkan untuk

usahataninya, yang penting dapat menghasilkan panen untuk dikonsumsi. Setelah

beralih ke budidaya kopi yang merupakan tanaman ekspor, warga Sidomulyo mulai

memperhitungkan jumlah dan jenis saprodi yang mereka keluarkan agar nantinya

tidak merugi. Artinya biaya yang keluarkan jangan sampai melampaui taksiran hasil

panen yang akan mereka peroleh. Walaupun secara manajemen hal ini dinilai baik,

tetapi dari segi kelembagaan berdampak tidak baik. Hal ini karena mengikis

kelembagaan gotong royong dengan memberikan upah pada tenaga kerja yang turut

membantu pekerjaan di kebun kopi.

Proyek Pengembangan Komoditas Kopi

Berkembangnya perkebunan kopi rakyat semakin lama semakin

menunjukkan dominasinya dengan jumlah 95 % dari produsen kopi nasional

(Retnandari dan Moeliarto, 1993). Demikian juga di Sidomulyo, yang awal

perkembangannya dimulai oleh Belanda kemudian diteruskan oleh negara melalui

PTPN sekarang banyak dibudidayakan oleh warga. Sebagaimana digambarkan

sebelumnya pada sub bab Kelompok Tani, komoditi kopi di Sidomulyo baru

dibudidayakan oleh warga pada awal tahu 1980an oleh Pak Mt, seorang pensiunan

Perhutani. Permulaan ini sangat jauh jaraknya dengan awal berkembangnya kopi di

Jawa yaitu pada pertemgahan abad ke-19. Meskipun demikian perkembangannya

Page 76: PERUBAHAN STRUKTUR AGRARIA DAN HARMONI SEMU … · PERUBAHAN STRUKTUR AGRARIA DAN HARMONI SEMU (Studi Kasus Reklaiming Hutan Lindung pada Komunitas Petani Kopi Rakyat di Kabupaten

56

sangat pesat sekali bahkan wilayah ini sekararang menjadi daerah sentra penghasil

kopi.

Proyek PRPTE yang diungkapkan sebelumnya merupakan proyek awal yang

sangat berpengaruh terhadap perkembangan kopi di Sidomulyo. Setelah itu silih

berganti berdatangan proyek pengembangan kopi, khususnya dari Pusat Penelitian

Kopi dan Kakao (Puslit Koka) Kementerian Pertanian RI yang kebetulan bertempat

di Jember Jawa Timur. Berbagai hal yang terkait dengan kopi dikembangkan oleh

Puslit Koka dan beberapa di antaranya diterapkan di Sidomulyo. Ada penemuan

varitas unggul yang tahan jamur atau virus, ada teknik pengolahan pasca panen,

bahkan model pemasaran.

Ketika penelitian ini sedang dilakukan, di Sidomulyo baru dikembangkan

teknik pengolahan basah pada biji kopi. Proyek ini pernah diterapkan oleh Puslit

Koka pada tahun 2004 tetapi menghadapi kendala terutama infrastruktur untuk

penyediaan air yang memang dibutuhkan dalam jumlah besar. Pada tahun 2007,

Universitas Jember (Unej) berupaya meneruskan proyek ini dengan program

community development-nya. Selain mengatasi kendala utama (ketersediaan air)

dengan memasang instalasi air dari sumber air di hutan sampai ke desa, Unej juga

menyiapkan beberapa hal terkait mulai dari pemberdayaan kelompok tani,

pembentukan koperasi, dan memperluas kerjasama dengan eksportir dan industri

kopi.

Organisasi dan Hubungan Produksi di Desa Sidomulyo

Organisasi produksi pertanian di Sidomulyo secara umum berbentuk rumah

tangga petani (RTP). Dalam satu rumah tangga ada yang terdiri dari satu keluarga

dan ada juga yang lebih, yang biasanya terdiri dari keluarga yang mempunyai anak

yang sudah berkeluarga tetapi belum mempunyai rumah sehingga berkumpul dengan

orang tua atau mertuanya. Dalam RTP inilah usahatani termasuk kebun kopi yang

ada di hutan lindung dikelola. Semua orang yang ada dalam RTP dan sudah bisa

bekerja secara otomatis menjadi tenaga kerja dalam usahatani menurut

kemampuannya, terutama RTP yang terbatas modal kerjanya. Untuk RTP yang kaya,

hampir semua tenaga kerjanya adalah upahan. Anggota RTP hanya membantu

mengawasi pelaksanaan pekerjaan, bahkan ada yang hanya kepala RTP-nya saja.

Page 77: PERUBAHAN STRUKTUR AGRARIA DAN HARMONI SEMU … · PERUBAHAN STRUKTUR AGRARIA DAN HARMONI SEMU (Studi Kasus Reklaiming Hutan Lindung pada Komunitas Petani Kopi Rakyat di Kabupaten

57

Hasil penelusuran hubungan produksi pertanian menunjukkan adanya sistem

pengupahan harian untuk pekerjaan-pekerjaan di lahan. Sudah tidak ada lagi

kelembagaan hubungan kerja seperti bagi hasil, bawon, dan lainnya. Pola ini tidak

hanya terjadi pada tanaman kopi yang merupakan tanaman komersiil, melainkan juga

pada tanaman pangan seperti padi, jagung dan juga sayur-sayuran. Hanya pada panen

pohon kelapa yang masih menerapkan bagi hasil, yaitu setiap 5 butir kelapa yang

berhasil dipetik maka pekerjanya berhak membawa pulang satu butir. Besarnya upah

yang diberikan hampir tidak terdapat perbedaan yaitu Rp. 15.000 per hari untuk

bekerja selama setengah hari mulai jam 7 pagi sampai 12 siang. Meskipun demikian

ada yang memberi makan dan rokok, tetapi ada yang tidak. Yang terakhir merupakan

kebiasaan umum warga Sidomulyo. Mereka yang memberi biasanya mereka yang

lahannya luas dan memang mempunyai ketergantungan tinggi akan adanya para

pekerja upahan. Selain luas lahannya mereka ini biasanya memang tidak mampu atau

tidak mempunyai waktu untuk mengerjakan sendiri lahannya karena kesibukan lain

seperti berdagang, menjadi perangkat desa atau pekerjaan lainnya.

Selain memberikan tambahan selain upah harian, ada beberapa RTP kaya

yang mempunyai pekerja-pekerja yang selalu membantunya tidak hanya pada

pekerjaan-pekerjaan di lahan tetapi juga pekerjaan domestik lain seperti mengolah

hasil panen, merawat ternak, memperbaiki rumah dan sebagainya. Pola yang tejadi

adalah semacam hubungan patron-klien. Para pekerja selain mendapat upah harian,

makan dan rokok juga kerap kali mendapat bantuan dari RTP kaya tempat mereka

bekerja ketika mempunyai kebutuhan besar seperti anaknya masuk sekolah,

menikahkan anaknya, dan sebagainya. Di Sidomulyo, mereka yang termasuk RTP

kaya tidak banyak dan bertindak sebagai patron terhadap para pekerjanya (tidak lebih

dari hitungan jari).

Salah satunya adalah Pak HS (Dusun CD) yang merupakan koordinator dari

kelompok-kelompok yang mengumpulkan cukai dari mereka yang mempunyai

kebun kopi di hutan lindung. Jabatan resminya terkait dengan LMDH (Lembaga

Masyarakat Desa Hutan) adalah bendahara. Ironisnya, beliau tidak punya andil secuil

pun di hutan produksi Perhutani yang merupakan syarat keanggotaan LMDH.

Posisinya sebagai bendahara di LMDH lebih bersifat politis untuk memudahkannya

bernegosiasi dengan Perhutani terkait kebun-kebun kopinya yang ada di kawasan

Page 78: PERUBAHAN STRUKTUR AGRARIA DAN HARMONI SEMU … · PERUBAHAN STRUKTUR AGRARIA DAN HARMONI SEMU (Studi Kasus Reklaiming Hutan Lindung pada Komunitas Petani Kopi Rakyat di Kabupaten

58

hutan lindung. Menurut para warga, Pak HS merupakan orang yang paling banyak

kebun kopinnya di kawasan hutan lindung dan juga seorang pedagang kopi. Dengan

kesibukan sebanyak itu, tidak mengherankan apabila kebutuhannya akan tenaga kerja

sangat besar dan cukup rutin. Untuk mengamankan hal tersebut, Pak HS mempunyai

beberapa pekerja tetap yang membantunya mengerjakan pekerjaan-pekerjaan di

kebun kopi dan di rumah seperti pengolahan buah kopi dan sebagainya. Selain

mendapat upah harian, para pekerjanya juga mendapat makan, rokok dan juga

bantuan bahkan pinjaman ketika mereka membutuhkan uang dalam jumlah besar.

Ada juga beberapa pedagang yang juga mempunyai pekerja-pekerja tetap

seperti Pak St (Dusun CD), Pak Sw (Dusun K), dan Pak Sm (Dusun K). Ketiga orang

ini dahulunya merupakan kongsi yang mendirikan UD. Trimulyo yang berdagang

kopi dan buah-buahan. Sekarang mereka berdiri sendiri-sendiri walaupun terkadang

masih sering berhubungan dalam bisnis. Pak St selain terkenal sebagai pedagang

kopi yang besar juga menjabat sebagai wakil ketua LMDH. Sama ironisnya dengan

Pak HS, beliau juga tidak mempunyai andil sedikit pun di hutan produksi Perhutani.

Tampaknya para pengurus LMDH dipilih karena posisi sosial mereka yang dapat

menjamin program-program yang ditetapkan oleh Perhutani dapat terlaksana dengan

baik. Pak Sw dan Pak Sm, selain pedagang keduanya merupakan pengurus kelompok

tani Sidomulyo I yang merupakan pecahan dari kelompok tani Suluh Tani I yang

diketuai Pak Mt. Mereka berdua ini juga mempunyai pekerja-pekerja tetap untuk

membantu pekerjaan-pekerjaannya baik di kebun kopi maupun di rumahnya.

Page 79: PERUBAHAN STRUKTUR AGRARIA DAN HARMONI SEMU … · PERUBAHAN STRUKTUR AGRARIA DAN HARMONI SEMU (Studi Kasus Reklaiming Hutan Lindung pada Komunitas Petani Kopi Rakyat di Kabupaten

HUTAN LINDUNG: ARENA PEREBUTAN SUMBERDAYA

Hutan Lindung: Sumberdaya Sarat Nilai

Hutan lindung sebagaimana diulas dalam bab tinjauan pustaka (hal. 11-12)

mempunyai fungsi pokok sebagai perlindungan sistem penyangga kehidupan

(mengatur tata air, mencegah banjir, mengendalikan erosi, mencegah intrusi air laut,

dan memelihara kesuburan tanah). Pemanfaatannya dapat berupa pemanfaatan

kawasan, pemanfaatan jasa lingkungan, dan pemungutan hasil hutan bukan kayu.

Fungsi dan pemanfaatannya ini merupakan ketetapan negara yang bersumber dari

UU No. 41 Tahun 1999 yang merupakan Undang-undang terakhir yang terkait

dengan hutan negara. Kebijakan ini mempunyai latar belakang sejarah yang panjang

mulai dari pendudukan Belanda di nusantara.

Sampai akhir abad ke-18 kondisi hutan di Jawa mengalami degradasi serius.

Sehingga ketika mengangkat Herman Willem Deandels sebagai Gubernur Jenderal di

Hindia Belanda (14 Januari 1808), pemerintah kolonial Belanda membebaninya

dengan tugas merehabilitasi kawasan hutan. Deandels kemudian membentuk Jawatan

Kehutanan (Dienst van het Boschwezen) yang merencanakan reforestasi dan

mengeluarkan peraturan kehutanan yang membatasi pemberian ijin penebangan kayu

jati dan memberi sanksi pidana bagi penebang tanpa ijin. Bahkan Dendels

mengeluarkan Peraturan Pemangkuan Hutan pada tanggal 26 Mei 1808 yang salah

satu prinsip pentingnya adalah bahwa: “Pemangkuan hutan sebagai domein negara

dan semata-mata dilakukan untuk kepentingan negara”. Kebijakan Dendels ini

merupakan kebijakan awal pengelolaan hutan yang menggunakan teknik dan

kelembagaan modern (Novrian, et.al, 2009).

Peraturan hukum pengelolaan hutan di Jawa dan Madura pertama kali

dikeluarkan tahun 1865 yang bernama Boschordonantie voor Java en Madoera 1865

(Undang-undang Kehutanan untuk Jawa dan Madura), kemudian disusul dengan

peraturan agraria Domeinverklaring 1870 yang mengklaim bahwa tanah hutan yang

tidak dibebani hak menjadi domain negara (Peluso, 1990). Namun, upaya Deandels

melakukan reforetasi dan membatasi penebangan kayu jati di atas tidak mencapai

Page 80: PERUBAHAN STRUKTUR AGRARIA DAN HARMONI SEMU … · PERUBAHAN STRUKTUR AGRARIA DAN HARMONI SEMU (Studi Kasus Reklaiming Hutan Lindung pada Komunitas Petani Kopi Rakyat di Kabupaten

60

hasil yang optimal. Bahkan Gubernur Jenderal setelahnya (Van de Bosch)

memberlakukan tanam paksa (Cultuur-stelsel) pada tahun 1830-1870 yang

menimbulkan perubahan drastis terhadap kondisi hutan di Jawa. Selanjutnya pada

tanggal 14 April 1874 diundangkan Reglemen Pemangkuan dan Eksploitasi Hutan di

Jawa dan Madura yang diperbarui dengan Boschreglement 1897 dan diteruskan

dengan Dienstreglement 1897 (Reglemen Dinas). Setelah berlaku 16 tahun kemudian

diganti dengan Reglemen 1913 yang mulai berlaku 1 Januari 1914. Pada tahun 1927

dikeluarkan Reglement voor het Beheer der bossen vun den Lande op Java en

Madoera 1927 yang kemudian diperbarui dengan Boschvererdening tahun 1935 dan

tahun 1937. Inilah undang-undang terakhir kehutanan yang dikeluarkan Belanda.

Setelah kemerdekaan undang-undang yang dirujuk dalam pengelolaan hutan

adalah Undang-undang Pokok Agraria (UUPA) 1960 yang sangat berbeda dengan

Undang-undang pada masa kolonial, di mana teori domain (yang menjadi dasar

hukum negara menguasai tanah) dihilangkan, dan sistem kepemilikan adat menjadi

dasar hukum. Hasilnya, wilayah adat diakui sebagai tanah-tanah milik. Tetapi

sayangnya, konsep undang-undang kehutanan Belanda masih melekat dalam benak

rimbawan yang menyiapkan Undang-undang Kehutanan 1967. Dalam undang-

undang ini hutan-hutan adat diklaim sebagai tanah negara, tanah adat dan

kepemilikan sumberdaya tidak diakui sebagai sistem tenurial formal, praktik-praktik

adat atas pengelolaan hutan tidak muncul sebagai pengelolaan hutan yang sah.

Sampai direvisi menjadi UU Kehutanan No. 41 Tahun 1999, hanya sedikit

perbaikan dalam hal hak-hak tenurial. Sementara itu, hutan-hutan adat mendapat

klasifikasi baru yang masih dalam konteks kawasan hutan negara yang dikontrol

oleh Kementerian Kehutanan (Fay, et. al. 2005).

Pengelolaan hutan di Jawa dan Madura oleh negara berada di bawah Perum

Perhutani yang merupakan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) pada tahun 1972

berdasarkan Peraturan Pemerintah (PP) nomor 15 tahun 1972 dengan wilayah kerja

pada awalnya kawasan hutan negara di Jawa Tengah dan Jawa Timur. Berdasarkan

PP nomor 2 tahun 1978, kawasan wilayah kerjanya diperluas sampai kawasan hutan

negara di provinsi Jawa Barat. Pada tahun 1986, Perum Perhutani mengalami

penyesuaian sebagaimana diamanatkan PP nomor 36 tahun 1986 tentang Perusahaan

Umum Kehutanan Negara (Perum Perhutani) dan disempurnakan kembali melalui

Page 81: PERUBAHAN STRUKTUR AGRARIA DAN HARMONI SEMU … · PERUBAHAN STRUKTUR AGRARIA DAN HARMONI SEMU (Studi Kasus Reklaiming Hutan Lindung pada Komunitas Petani Kopi Rakyat di Kabupaten

61

penetapan PP nomor 53 tahun 1999 tentang Perusahaan Umum Kehutanan Negara

(Perum Perhutani).

Rangkaian sejarah di atas menunjukkan betapa hutan menjadi sumberdaya

strategis bagi penguasa dan penduduk (masyarakat adat). Penguasa melihat hutan

sebagai pemasok bahan utama untuk menggalang kekuatan (kayu jati untuk kapal

dan bangunan), sehingga perlu dipelihara keberlanjutannya. Sedangkan bagi

masyarakat adat, hutan mempunyai nilai-nilai religious dan sosial di samping nilai

material sebagai sumber penghidupan mereka. Demikian juga dengan hutan lindung

yang menjadi obyek reklaiming oleh komunitas petani kopi rakyat di Sidomulyo.

Walaupun bukan sebagai hutan adat, dan sudah dikuasai oleh penguasa sejak

nenek moyang mereka datang ke daerah ini, hutan tetap menjadi sumberdaya

strategis bagi warga di sekitarnya seperti warga Sidomulyo. Status hutan lindung

yang ditetapkan dengan fungsi pokok untuk perlindungan sistem penyangga

kehidupan tidak menyurutkan langkah warga untuk tetap memanfaatkannya sebagai

basis material mereka. Isu kesejahteraan (mengambil keuntungan: akses) lebih

menonjol dibandingkan isu hak atas pemanfaatan sumberdaya hutan (property

rights). Mereka lebih melihat apa yang dapat dihasilkan dari hutan. Kembalinya

masyarakat terhadap hutan dipicu oleh penyelenggaraan kehutanan yang tidak

menghasilkan keseimbangan neraca pertukaran dan tidak mampu menyediakan

basis-basis material bagi kehidupan ekonomi masyarakat lokal sekitar hutan.

Gambaran kondisi yang ada selama ini dapat dilihat dari gambaran “Pesanggem”

(buruh kontrak Perhutani yang juga mendapat hak mengusahakan petak yang belum

produktif / tanaman belum menghasilkan dengan tanaman-tanaman musiman) di

bawah.

Pesanggem lahir dari pola tumpangsari yang diperkenalkan oleh Buurman

van Vreeden pada tahun 1873 dengan wilyah percobaan di daerah Tegal dan

Pekalongan. Pada program tumpang sari ini, petani sekitar hutan diijinkan untuk

menanam tananaman palawija di antara pohon-pohon jati. Uang kontrak diberikan

sekedar untuk menyatakan bahwa Pesanggem terikat dalam perjanjian kerja untuk

masa kontrak dua tahun, kemudian diharuskan meninggalkan lahan garapannya

(0,25-0,50 Ha). Sistem tumpang sari tidak mengalami perkembangan sejak

dikeluarkan petunjuk teknisnya pada tahun 1935 sampai saat ini.

Page 82: PERUBAHAN STRUKTUR AGRARIA DAN HARMONI SEMU … · PERUBAHAN STRUKTUR AGRARIA DAN HARMONI SEMU (Studi Kasus Reklaiming Hutan Lindung pada Komunitas Petani Kopi Rakyat di Kabupaten

62

Kehidupan sebagai Pesanggem menampilkan realitas sehari-hari masyarakat

yang hidup di sekitar hutan. Mereka hanya mengerjakan lahan tumpang sari, artinya

tanaman yang mereka budidayakan hanya menumpang pada tanaman utama yaitu jati

atau kayu rimba lainnya yang dimiliki oleh pengelola (Perhutani) atas nama negara.

Lahan garapan yang sangat kecil (di bawah 0,5 ha) menempatkan mereka sebagai

petani gurem. Selain itu kontrak yang mengikat mereka menjadikannya sebagai

buruh yang tidak akan bisa menikmati surplus produksi. Gambaran kehidupan

Pesanggem inilah kurang lebih tepatnya untuk menggambarkan kehidupan sehari-

hari warga Sidomulyo. Mereka hidup dalam dunia yang penuh eksploitasi untuk

tidak dikatakan hidup dalam penindasan; dalam dunia Pesanggem.

Potret nyata dari warga Sidomulyo sebagai Pesanggem dapat diperoleh dari

gambaran kehidupan seorang informan (Pak Sn, Dusun S). Lelaki yang lahir tahun

1959 dan tidak lulus SD ini hidup sebagai Pesanggem sebagaimana orang tuanya.

Rumah yang ditempati bersama istrinya, 3 orang anak (1 laki-laki dan 2 perempuan),

seorang menantu dan seorang cucu berada di atas tanah yang masuk dalam wilayah

penguasaan Perhutani. Tanah ini merupakan emplasemen yang sejak dulu memang

diperuntukkan untuk para Pesanggem. Lahan tumpangsari yang menjadi tanggung

jawabnya merupakan hutan produksi dengan tanaman pinus yang dimanfaatkan

getahnya oleh Perhutani. Tanaman pinus yang ada sudah berproduksi sehingga Pak

Sn tidak bisa lagi mengusahakan tanaman sela. Pekerjaannya pada lahan tersebut

beralih dari petani menjadi buruh deres getah yang biasa dilakukanya dini hari. Pak

Sn tidak tahu berapa luas 2 petak lahan yang menjadi tanggung jawabnya, yang jelas

menurutnya jumlah pohon pinus yang harus dideresnya adalah 700 pohon di satu

petak dan 400 pohon di petak lainnya.

Upah yang diterima Pak Sn dari Perhutani berdasarkan berapa banyak getah

yang berhasil dideresnya. Setiap kilogram getah yang disetorkan ke pabrik milik

Perhutani, Pak Sn mendapat upah Rp. 1.750,-. Dari petak yang berisi 700 pohon

pinus setiap 10 hari dapat menghasilkan 40-60 kg getah, sedangkan dari petak

satunya yang berisi 400 pohon pinus diperoleh 20-45 kg getah. Pekerjaan ini tidak

dilakukan Pak Sn sendiri melainkan dibantu anak laki-lakinya yang sudah

berkeluarga dan masih tinggal bersamanya. Penghasilan yang didapatkan Pak Sn dari

pekerjaan ini tidak dapat dipastikan karena hasil getah yang dideres fluktuatif

Page 83: PERUBAHAN STRUKTUR AGRARIA DAN HARMONI SEMU … · PERUBAHAN STRUKTUR AGRARIA DAN HARMONI SEMU (Studi Kasus Reklaiming Hutan Lindung pada Komunitas Petani Kopi Rakyat di Kabupaten

63

tergantung umur tanaman dan cuaca, menurutnya berkisar Rp. 400.000,- per bulan.

Dengan penghasilan inilah selama ini Pak Sn mencukupi kebutuhan keluarganya

sehari-hari yang berjumlah 7 orang. Sehingga dapat dibayangkan betapa

sederhananya kehidupan Pak Sn dan keluarganya. Untuk mencukupi kebutuhan

lainnya Pak Sn dan keluarganya memelihara 2 ekor sapi milik orang dengan sistem

bagi hasil dan membuka warung kecil di rumahnya. Kondisi perekonomian Pak Sn

membuatnya tidak mampu memberikan pendidikan yang baik bagi anak-anaknya.

Anak laki-laki pertamanya hanya bisa menamatkan SLTP dan akhirnya mengikuti

jejaknya membantu pekerjaannya sebagai Pesanggem. Sedangkan dua anak

perempuannya masih duduk di sekolah dasar yang menurut Pak Sn kiranya tidak

akan berbeda jauh dengan kakaknya karena keterbatasan ekonomi. Yang terpenting

bagi Pak Sn anak-anaknya sudah bisa membaca dan menulis, itu sudah cukup.

Kehidupan sehari-hari Pak Sn menunjukkan betapa timpangnya aliran

keuntungan dari pengelolaan sumberdaya hutan (produksi). Kondisi keterbatasan

ekonomi yang dialami keluarganya ternyata dimaknai lain oleh Pak Sn dengan

jawabannya ketika saya tanya: Apakah Bapak merasa cukup dengan kondisi yang

sekarang dialaminya?

“…saya merasa bersyukur dapat tinggal di emplasemen ini dan mendapat andil15 yang lumayan walaupun kadangkala tidak mencukupi untuk kebutuhan sehari-hari. Banyak orang yang mau membayar untuk dapat mendapatkan andil. Bahkan andil pun bisa dijual”.

Jawaban di atas menyiratkan bahwa untuk sampai pada kondisi tersebut Pak Sn

mencapainya dengan persaingan yang ketat walaupun sebenarnya apa yang

dilakukannya hanyalah meneruskan apa yang telah dikerjakan orang tuanya.

Ketimpangan di hutan produksi yang berada di bawah pengelolaan Perhutani

tersebut mendorong warga untuk mengambil manfaat dari sumberdaya hutan dengan

status lain (hutan lindung) yang juga berada di sekitar mereka. Gerakan sosial ini

mereka lakukan pada saat struktur politik nasional terbuka lebar yaitu masa reformasi

tahun 1998, setelah mundurnya Presiden Suharto. Gerakan ini mempunyai banyak

15 Andil merupakan bagian tanaman perkebunan yang menjadi tanggung jawab seorang pesanggem mulai dari merawat sampai memanen. Untuk mendapatkan andil seseorang harus mendaftar kepada Perhutani melalui para mandor. Tidak jarang mereka juga harus membayar untuk mendapatkannya. Andil ini bisa dipindah-tangankan dengan penggantian sejumlah uang tertentu yang cukup mahal.

Page 84: PERUBAHAN STRUKTUR AGRARIA DAN HARMONI SEMU … · PERUBAHAN STRUKTUR AGRARIA DAN HARMONI SEMU (Studi Kasus Reklaiming Hutan Lindung pada Komunitas Petani Kopi Rakyat di Kabupaten

64

tujuan baik yang bersifat ideologis maupun praktis untuk mencapai nilai-nilai yang

menjadi kepentingan warga Sidomulyo yang melakukan reklaiming. Tujuan

ideologis dari reklaiming terkait dengan alasan moralitas, keadilan, normatif dan

sejarah (Ardana, 2008). Sedangkan tujuan praktis dari reklaiming adalah nilai

ekonomi dan ekologi dari hutan lindung.

Alasan moral warga Sidomulyo adalah adanya eksploitasi yang dilakukan

Perhutani pada mereka yang menjadi pesanggem. Gambaran Pak Sn sebagai

pesanggem di atas yang serba terbatas baru mereka sadari setelah euforia reformasi

bergema di selutuh pelosok nusantara. Dominasi negara beserta aparatnya dalam

berbagai bidang kehidupan yang selama ini tidak disadari oleh masyarakat menjadi

terbongkar dengan tuntutan-tuntutan reformasi yang disuarakan melalui berbagai

media massa. Pengelolaan hutan oleh Perhutani baik di hutan produksi maupun hutan

lindung tidak memberikan manfaat bahkan membatasi kesempatan bagi warga di

sekitarnya untuk dapat menarik keuntungan dari sumberdaya hutan. Reklaiming

terhadap hutan lindung secara moral menurut warga dapat mengembalikan hubungan

masyarakat dengan hutan sebagaimana nenek moyang mereka sebelumnya.

Hubungan mereka dengan hutan banyak mngandung nilai-nilai moral seperti

bagaimana menjaga hutan agar dapat berfungsi menjaga keseimbangan lingkungan.

Perebutan kembali nilai-nilai moral ini mereka yakini akan dapat memperbaiki

kondisi dan posisi kehidupan masyarakat Sidomulyo.

Kebijakan pengelolaan hutan lindung oleh negara yang diserahkan kepada

Perhutani menciptakan ketidakadilan di masyarakat. Struktur agraria di Sidomulyo

yang menunjukkan adanya krisis berdampingan dengan sumberdaya hutan yang

melimpah tetapi terlarang dengan adanya status yang melekat kepadanya sebagai

hutan lindung. Kondisi ini tidak hanya menciptakan ketimpangan struktur agraria di

Sidomulyo, tetapi juga menciptakan ketidakadilan aliran keuntungan dari hutan

produksi yang dikelola Perhutani dan dikerjakan oleh para pesanggem. Gambaran

kondisi sehari-hari Pak Sn di atas menunjukkan betapa tidak adilnya upah yang

diterima oleh seorang pesanggem. Melalui reklaiming hutan lindung, warga

Sidomulyo menganggap akan dapat menikmati keadilan atas pengelolaan

sumberdaya hutan.

Page 85: PERUBAHAN STRUKTUR AGRARIA DAN HARMONI SEMU … · PERUBAHAN STRUKTUR AGRARIA DAN HARMONI SEMU (Studi Kasus Reklaiming Hutan Lindung pada Komunitas Petani Kopi Rakyat di Kabupaten

65

Amanat rakyat yang tertuang dalam pasal 33 ayat (3) UUD 1945 yang berbunyi:

”Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara

dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat” merupakan alasan normatif

(yuridis konstitusional) untuk reklaiming. Warga Sidomulyo menilai bahwa negara telah

gagal mengemban amanat tersebut bahkan secara jelas hanya meneruskan atau mewarisi

pengelolaan hutan sebagaimana dipraktekkan oleh kolonial Belanda. Padahal sudah jelas

sekali kalau praktek-praktek tersebut tidak berpihak pada rakyat.

Sejarah pengelolaan sumberdaya hutan tidak pernah berpihak pada rakyat.

Nilai-nilai kearifan lokal selalu diabaikan demi kepentingan penguasa. Reklaiming

hutan lindung yang dilakukan bertujuan menempatkan kembali nilai-nilai ini dalam

pengelolaan hutan. Warga berkeyakinan bahwa pengelolaan hutan oleh masyarakat

akan lebih baik karena rasa kepemilikan yang tinggi pada sumberdaya yang selalu

memberi mereka berbagai manfaat juga kadangkala dapat menimbulkan bencana

apabila tidak dijaga. Cermin sejarah buram ini menunjukkan betapa nilai-nilai

kearifan lokal masyarakat sekitar hutan tidak pernah dianggap oleh penguasa negeri

ini. Nilai-nilai moralitas, keadilan, normatif dan sejarah dari reklaiming hutan

lindung menjadi nilai-nilai ideologis yang melekat pada hutan lindung yang

kemudian menjadi tujuan ideologis reklaiming yang dilakukan komunitas petani kopi

rakyat di Sidomulyo.

Selain tujuan-tujuan ideologis tersebut, reklaiming juga bertujuan praktis

untuk memperoleh nilai-nilai ekonomi dan ekologi. Nilai ekonomi yang dimaksud

adalah hasil-hasil materi yang dihasilkan dari obyek reklaiming seperti biji-bijian,

buah-buahan, atau bahkan nilai sewa, gadai atau ganti rugi dari obyek reklaiming.

Nilai ekonomi hutan lindung yang direklaim oleh komunitas petani kopi rakyat dapat

dilihat dari nilai kebun kopi yang sekarang dikuasai. Nilai sepetak kebun kopi

tergantung pada jumlah dan umur tanaman kopinya. Jumlah tanaman berbanding

lurus dengan luas kebun walupun masih ada faktor pembatas lain seperti topografi,

dan kerapatan tanaman utama (pohon-pohon besar). Umur tanaman kopi

berpengaruh pada produktivitas. Umur produktif tanaman kopi dimulai dari umur 4

tahun sampai 10 tahun. Setelah itu perlu regenerasi dengan penyambungan batang

atas. Nilai ekonomi kebun kopi di hutan lindung dapat diwakili jawaban Pak Bs, Dsn

K, yang menguasai sepetak kebun kopi di hutan lindung yang berisi 1500 pohon

Page 86: PERUBAHAN STRUKTUR AGRARIA DAN HARMONI SEMU … · PERUBAHAN STRUKTUR AGRARIA DAN HARMONI SEMU (Studi Kasus Reklaiming Hutan Lindung pada Komunitas Petani Kopi Rakyat di Kabupaten

66

(kurang lebih 1 hektar). Menurutnya kebun yang dipunyainya akan banyak sekali

orang yang mau “mengganti rugi” apabila ia tawarkan 50 juta rupiah.

Nilai ekologis dari hutan lindung sudah tersurat dengan jelas dalam undang-

undang yang menyebut fungsi pokok-nya sebagai perlindungan sistem penyangga

kehidupan (mengatur tata air, mencegah banjir, mengendalikan erosi, mencegah

intrusi air laut, dan memelihara kesuburan tanah). Meskipun demikian fungsi

tersebut tidak serta merta hilang dengan dibukanya menjadi kebun kopi akibat

reklaiming. Karena kebun kopi di hutan merupakan sistem agroforestry yang

merupakan gabungan pertanaman pertanian-perhutanan (Notohadiprawiro, 2006).

Sistem ini mempunyai peran dalam pelestarian lahan, terutama: pengendalian erosi,

gerakan massa, dan timbunan secara langsung, pengawetan dan peningkatan

kesuburan tanah, pengawetan dan pengambangan sumber air, produktivitas sistem

produksi, pengantaran ke sistem pertanian yang lebih maju. Fungsi pokok hutan

lindung merupakan kriteria luas pengaruh dari agroforestry, sedangkan peran dalam

pelestarian lahan merupakan kriteria setempat. Kriteria setempat (kawasan

agroforestry) biasanya lebih ringan dan berjangka lebih pendek, sedang kriteria luas

pengaruh (kawasan yang berasosiasi dengan kawasan agroforestry) berisi

persyaratan lebih berat dan berjangka panjang. Kebun kopi hasil reklaiming hutan

lindung yang dikuasai komunitas petani kopi rakyat Sidomulyo memenuhi kriteria-

kriteria tersebut bahkan lebih baik dibandingkan masih menjadi hutan lindung saja

yang dikelola oleh Perhutani.

Aktor-aktor yang Berkonflik

Komunitas Petani Kopi Rakyat

Komunitas, mengacu pada Koentjaranigrat (1985) merupakan kesatuan sosial

yang disebut kesatuan hidup setempat yaitu kesatuan yang pertama-tama ada karena

ikatan tempat kehidupan. Demikian juga adanya petani kopi rakyat yang merupakan

aktor utama dalam reklaiming hutan lindung, mereka merupakan kesatuan sosial

yang sama-sama bertempat di desa atau kawasan yang sama (Desa Sidomulyo)

sehingga dapat dikatakan sebagai komunitas.

Sebagai suatu kesatuan manusia, suatu komunitas mempunyai juga perasaan

kesatuan, serupa dengan semua kesatuan manusia yang lain, tetapi perasaan kesatuan

Page 87: PERUBAHAN STRUKTUR AGRARIA DAN HARMONI SEMU … · PERUBAHAN STRUKTUR AGRARIA DAN HARMONI SEMU (Studi Kasus Reklaiming Hutan Lindung pada Komunitas Petani Kopi Rakyat di Kabupaten

67

dalam komunitas itu biasanya amat keras sehingga rasa kesatuan itu menjadi

sentimen persatuan. Suatu sentimen persatuan kalau dikupas mengandung unsur-

unsur rasa kepribadian kelompok, artinya perasaan bahwa kelompok sendiri itu

mempunyai ciri-ciri (biasanya ciri-ciri kebudayaan atau cara-cara hidup) yang

berbeda dengan kelompok lain; perasaan bangga akan ciri-ciri dari kelompok sendiri

itu; dan seringkali juga perasaan negatif (merendahkan atau paling sedikit

menganehkan ciri-ciri dalam kehidupan komunitas).

Selain ciri-ciri umum komunitas (wilayah, cinta wilayah dan kepribadian

kelompok) yang telah tersebut di atas, komunitas petani kopi rakyat di Sidomulyo

dapat disebut sebagai “komunitas kecil” karena merupakan kelompok-kelompok di

mana warga-warganya semuanya masih bisa saling kenal-mengenal dan saling

bergaul dengan frekuensi kurang atau lebih besar; antara bagian-bagian dan

kelompok-kelompok khusus di dalamnya tidak ada aneka warna yang besar; dan

dapat menghayati sebagian besar dari lapangan-lapangan kehidupannya secara bulat.

Komunitas petani kopi rakyat ini merupakan warga Desa Sidomulyo, baik

dari dusun yang ada di wilayah desa maupun dusun yang ada di wilayah perkebunan.

Bahkan ada juga warga dari desa lain, tetapi jumlahnya tidak banyak dan masih

dikenali oleh warga Sidomulyo karena biasanya berasal desa-desa tetangga.

Komunitas ini kemudian diwadahi dalam paguyuban sebagaimana diulas sebelumnya

dalam sub bab kelembagaan lokal (halaman 52).

Perhutani

Sebagaimana diketahui bahwa Perhutani merupakan pewaris pengelolaan

hutan (timber management) di Jawa dan Madura yang dimulai sejak jaman

pemerintahan Belanda. Perum Perhutani menjadi Badan Usaha Milik Negara

(BUMN) pada tahun 1972 berdasarkan Peraturan Pemerintah (PP) nomor 15 tahun

1972 dengan wilayah kerja pada awalnya kawasan hutan negara di Jawa Tengah dan

Jawa Timur. Berdasarkan PP nomor 2 tahun 1978, kawasan wilayah kerjanya

diperluas sampai kawasan hutan negara di provinsi Jawa Barat. Pada tahun 1986,

Perum Perhutani mengalami penyesuaian sebagaimana diamanatkan PP nomor 36

tahun 1986 tentang Perusahaan Umum Kehutanan Negara (Perum Perhutani) dan

Page 88: PERUBAHAN STRUKTUR AGRARIA DAN HARMONI SEMU … · PERUBAHAN STRUKTUR AGRARIA DAN HARMONI SEMU (Studi Kasus Reklaiming Hutan Lindung pada Komunitas Petani Kopi Rakyat di Kabupaten

68

disempurnakan kembali melalui penetapan PP nomor 53 tahun 1999 tentang

Perusahaan Umum Kehutanan Negara (Perum Perhutani).

Dalam masa pemerintahan Kabinet Reformasi, sesuai PP nomor 14 tahun

2001, Pemerintah menetapkan Perhutani sebagai BUMN dengan bentuk Perseroan

Terbatas (PT). Dengan berbagai pertimbangan dari segala aspek, keberadaan

Perhutani sebagai perseroan dikembalikan menjadi Perum berdasarkan PP nomor 30

tahun 2003. Dalam operasionalnya Perum Perhutani di bawah koordinasi

Kementerian Negara BUMN dengan bimbingan teknis dari Departemen Kehutanan.

Dalam menjalankan tugasnya Perum Perhutani dipimpin oleh Direksi yang

bertanggung jawab atas kepengurusan perusahaan dan Dewan Pengawas yang

bertugas melakukan pengawasan dan memberikan nasihat kepada Direksi.

Wilayah kerja Perum Perhutani meliputi kawasan hutan negara yang terdapat

di wilayah Provinsi Jawa Tengah, Provinsi Jawa Timur dan Provinsi Jawa Barat dan

Banten seluas 2.426.206 hektar (Tabel 3). Peta kawasan hutan Perum Perhutani dapat

dilihat pada Lampiran 3, sedangkan untuk Unit II (Jawa Timur) dapat dilihat pada

Lampiran 4.

Tabel 3. Wilayah Kerja Perum Perhutani

Unit Kerja Provinsi Hutan Produksi (Ha)

Hutan Lindung (Ha)

Total Luas (Ha)

Unit I Jawa Tengah 546.290 84.430 630.720Unit II Jawa Timur 809.959 326.520 1.136.479Unit III Jawa Barat

Banten 349.649

61.406230.708

17.244580.357

78.650 Jumlah 1.767.304 658.902 2.426.206

Sumber: Perum Perhutani, 2009.

Perhutani yang dimaksud sebagai aktor utama dalam reklaiming hutan

lindung dalam penelitian ini adalah Kesatuan Pemangkuan Hutan (KPH) Jember.

KPH ini berada di bawah wilayah kerja Unit II (Jawa Timur). Wilayah kerja KPH

Jember dapat dilihat dalam Tabel 4.

Page 89: PERUBAHAN STRUKTUR AGRARIA DAN HARMONI SEMU … · PERUBAHAN STRUKTUR AGRARIA DAN HARMONI SEMU (Studi Kasus Reklaiming Hutan Lindung pada Komunitas Petani Kopi Rakyat di Kabupaten

69

Tabel 4. Wilayah Kerja Perum Perhutani KPH Jember

Jenis Luas (Hektar) Persentase (%) Hutan Produksi 31.135,93 40,96Hutan Lindung 43.948,80 57,82Hutan Suaka Alam / Hutan Wisata 20,00 0,03Tidak Baik untuk Pertanian / Lapangan Dengan Tujuan Istimewa

905,84 1,19

Sumber: Perhutani KPH Jember, 2007.

Wilayah kerja tersebut terbagi atas tiga bagian hutan, yang masing-masing

dikepalai oleh seorang asisten administratur, yaitu:

1. Bagian Hutan Lereng Yang Selatan meliputi BKPH Lereng Yang Barat dan

Lereng Yang Timur, merupakan Potensi utama Kayu Rimba Mahoni.

2. Bagian Hutan Sempolan meliputi BKPH Sumberjambe dan Sempolan,

merupakan potensi utama Kayu Rimba Pinus.

3. Bagian Hutan Jember Selatan meliputi BKPH Mayang, Ambulu dan Wuluhan

merupakan potensi utama penghasil Kayu Jati.

Adapun hutan lindung yang direklaim oleh komunitas petani kopi rakyat di

Sidomulyo berada di wilayah kerja BKPH Mayang yang dikepalai oleh seorang

mantri Perhutani (Pak R) dan membawahi 11 orang mandor.

Swasta (Pedagang, Pemilik Modal dan Eksportir)

Pihak swasta yang terdiri dari pedagang kopi dan pemilik modal memang

bukan aktor utama dalam reklaiming hutan lindung. Tetapi merupakan aktor penting,

karena berhubungan langsung dengan kedua aktor utama di atas. Khususnya para

pedagang kopi, mereka membeli hasil panen kopi dari para petani maupun dari

Perhutani yang merupakan hasil setoran “sharing”. Hasil panen yang dibeli

kebanyakan sudah berupa kopi ose (beras), yaitu buah kopi yang sudah lepas

kulitnya dan sudah dikeringkan dengan kadar air sekitar 12%. Tetapi ada juga

pedagang yang membeli dari petani dengan sistem tebasan.

Ada dua jenis pedagang kopi di Sidomulyo, yaitu pedagang kecil dan

pedagang besar. Pedagang kecil adalah mereka yang membeli kopi dari petani dalam

jumlah yang tidak besar (berkisar 1 kwintal) dan tidak melayani tebasan, sedangkan

Page 90: PERUBAHAN STRUKTUR AGRARIA DAN HARMONI SEMU … · PERUBAHAN STRUKTUR AGRARIA DAN HARMONI SEMU (Studi Kasus Reklaiming Hutan Lindung pada Komunitas Petani Kopi Rakyat di Kabupaten

70

pedagang besar adalah mereka yang membeli kopi dari petani dalam jumlah besar

dan melayani tebasan. Pedagang kecil akan menjual kopi yang dibelinya kepada

pedagang besar atau kepada konsumen. Mereka ini biasanya tidak melakukan proses

sortasi. Sementara pedagang besar menjual kopinya setelah melakukan sortasi

kepada pedagang besar lainnya di luar daerah, industri pengolahan kopi dan

eksportir. Terlebih lagi ketika mereka membeli dari tebasan, maka mereka tidak

hanya melakukan sortasi tetapi harus melakukan pengolahan terlebih dahulu untuk

menjadikan kopi glondong yang dipanennya dari kebun kopi menjadi kopi beras

(ose).

Pedagang kecil yang ada di Sidomulyo cukup banyak jumlahnya, tetapi untuk

pedagang besar jumlahnya hanya sedikit. Pedagang kopi kecil tidak begitu menonjol

keberadaannya karena jumlahnya yang banyak tersebut. Sementara para pedagang

besar terlihat sangat menonjol dan menjadi elit di wilayahnya (dusun) masing-

masing. Beberapa pedagang besar ini menjadi informan dalam survei penelitian ini

(Lampiran 1). Selain pedagang mereka juga memiliki kebun kopi di hutan lindung

yang didapatkannya dari “mengganti rugi” (membeli). Beberapa pedagang besar ini

menduduki posisi-posisi strategis di desa dengan menjadi pengurus kelompok tani

(Pak Sw dan Pak Sm), paguyuban petani kopi (Pak St dan Pak HS). Para pedagang

besar bersama dengan kelompok tani ini menjalin kerjasama dengan eksportir.

Selain para pedagang, swasta lain yang terkait dengan reklaiming adalah

pemilik modal. Mereka ini berhubungan dengan petani dan pedagang. Hubungan

dengan petani terkait dengan kebutuhan para petani akan biaya usahatani dan biaya

hidup sehari-hari. Para pemilik modal akan meminjami mereka dengan perjanjian-

perjanjian tertentu. Di antara perjanjian itu adalah menjual hasil panen kopi kepada

mereka atau mengembalikan dalam bentuk uang ditambah dengan bunga tertentu.

Sedangkan hubungan pemilik modal dengan para pedagang adalah untuk memenuhi

kebutuhan modal pedagang agar dapat melakukan pembelian hasil panen para petani

kopi. Para pemilik modal yang berhubungan dengan para petani biasanya adalah para

pedagang kopi setempat. Sedangkan pemilik modal yang berhubungan dengan para

pedagang kopi biasanya para pedagang besar atau orang-orang kaya dari luar Desa

Sidomulyo.

Page 91: PERUBAHAN STRUKTUR AGRARIA DAN HARMONI SEMU … · PERUBAHAN STRUKTUR AGRARIA DAN HARMONI SEMU (Studi Kasus Reklaiming Hutan Lindung pada Komunitas Petani Kopi Rakyat di Kabupaten

71

Pemerintah (Desa dan Daerah)

Pemerintah baik desa maupun daerah (Kabupaten Jember) tidak terkait

langsung dengan reklaiming hutan lindung. Hal ini dikarenakan hutan lindung

walaupun ada di wilayah mereka, tetapi tanggung jawab pengelolaan ada di bawah

Perhutani. Keterkaitan mereka lebih pada petani kopi yang melakukan reklaiming

karena merupakan warga mereka. Sebagai penanggung wilayah administratif,

pemerintah selalu terkait dengan segala yang dilakukan warganya termasuk

reklaiming hutan lindung.

Sikap pemerintah tercermin dari jawaban Pak Mj, selaku kepala desa

Sidomulyo. Menurutnya ia tidak dalam posisi mendukung atau melarang warganya

melakukan reklaiming hutan lindung. Alasannya kalau mendukung, berarti ia

melanggar undang-undang kehutanan terutama mengenai hutan lindung. Sedangkan

kalau melarang, pemerintah desa tidak punya kekuatan dan memberikan solusi atas

sumber penghidupan warganya. Selama ini yang dapat dilakukan oleh pemerintah

desa adalah mendampingi warganya dan melakukan mediasi agar diperoleh solusi-

solusi yang menguntungkan kedua belah pihak terkait hutan lindung.

Sikap pemerintah desa di atas seirama dengan pemerintah di atasnya yaitu

pemerintah kabupaten. Dalam suatu pertemuan antara Bupati dengan warga untuk

menyerap aspirasi rakyat dan merupakan kampanye dari Bupati agar terpilih kali

kedua pada pemilihan kepala daerah yang akan segera digelar waktu itu, tidak

diperoleh jawaban yang jelas ketika ada warga yang mempertanyakan keberpihakan

Bupati pada reklaiming hutan lindung yang dilakukan warganya. Demikian juga

dengan petugas penyuluh perkebunan dari Dinas, menurutnya ia tidak berwenang

menanggapi status kebun kopi yang ada di hutan lindung. Tugasnya adalah membina

petani kopi yang mempunyai kebun di desa dan tidak mau terlibat dengan

keberadaan kebun-kebun kopi yang ada di hutan lindung.

Kepentingan Para Pihak

Aktor-aktor yang berkonflik di atas mempunyai kepentingan masing-masing

terkait hutan lindung sebagai sumberdaya yang diperebutkan. Konsep akses dari

Ribot dan Peluso (2003) dapat memberikan analisis siapa sebenarnya yang

memanfaatkan sumberdaya dan melalui proses-proses apa mereka mampu

Page 92: PERUBAHAN STRUKTUR AGRARIA DAN HARMONI SEMU … · PERUBAHAN STRUKTUR AGRARIA DAN HARMONI SEMU (Studi Kasus Reklaiming Hutan Lindung pada Komunitas Petani Kopi Rakyat di Kabupaten

72

melakukannya. Sehingga akses berfokus pada isu siapa yang dapat atau tidak

menikmati keuntungan atau aliran keuntungan sumberdaya, dengan cara apa dan

kapan.

Kepentingan komunitas petani kopi rakyat adalah mendapatkan sumber

penghidupan dalam hal ini kebun kopi. Reklaiming hutan lindung merupakan proses

yang mereka lakukan sebagai gerakan sosial atas keadaan krisis agraria yang ada di

wilayah mereka. Masa reformasi merupakan momentum yang dinilai sangat tepat,

mengingat struktur politik nasional terbuka lebar dan terbukti berhasil. Sejak awal

mereka sudah menyadari akan adanya benturan kepentingan dengan Perhutani yang

selama ini mempunyai kontrol atas hutan lindung. Sehingga mereka melakukan

berbagai strategi agar kepentingannya mengambil keuntungan dari hutan lindung

melalui pembukaan hutan kopi dapat berlanjut. Hal ini dalam konsep akses tindakan

petani kopi rakyat ini dapat dikategorikan sebagai “memelihara akses”. Mereka

bersedia “berkorban” agar akses terhadap sumberdaya (hutan lindung) tetap terbuka.

Kepentingan Perhutani sejak awal adalah sebagaimana mandat yang

diterimanya dari negara dan menjadi visinya yaitu: “Menjadi pengelola hutan lestari

untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.” Kegiatan pengelolaan hutan tersebut

meliputi: (1) perencanaan hutan, (2) reboisasi dan rehabilitasi hutan; (3)

pemeliharaan hutan; (4) perlindungan hutan, (5) pemungutan hasil hutan, (6) industri

hasil hutan, dan (7) pemasaran (Perhutani, 2010). Dari serangkaian kegiatan tersebut,

terkait dengan hutan lindung maka idealnya kegiatan Perhutani hanya pada nomer 1

sampai 4. Dalam konsep akses, kepentingan Perhutani adalah “kontrol akses” yaitu

kemampuan untuk memediasi akses pihak-pihak lain terhadap sumberdaya yang

dikontrolnya (hutan lindung). Kontrol berarti mengacu pada memeriksa dan

mengarahkan tindakan.

Kepentingan swasta dalam reklaiming adalah serupa dengan prinsip ekonomi

yaitu mencari keuntungan sebesar-besarnya dengan biaya sekecil-kecilnya dengan

resiko seminimal mungkin. Resiko seminimal mungkin dapat dilihat dari keterlibatan

mereka baru pada saat kondisi reklaiming sudah menunjukkan adanya aliran

keuntungan yang stabil. Kebun-kebun kopi di hutan lindung sudah menghasilkan

panen yang lebih baik dibandingkan kebun-kebun di desa. Selain itu, kemungkinan

operasi Perhutani untuk membabat pohon-pohon kopi warga dan mengembalikan

Page 93: PERUBAHAN STRUKTUR AGRARIA DAN HARMONI SEMU … · PERUBAHAN STRUKTUR AGRARIA DAN HARMONI SEMU (Studi Kasus Reklaiming Hutan Lindung pada Komunitas Petani Kopi Rakyat di Kabupaten

73

hutan lindung tertutup sangat kecil karena akan mendapat perlawanan yang keras

dari warga atau dengan kata lain biaya sosialnya sangat tinggi.

Kepentingan pemerintah desa adalah melindungi warganya agar dapat hidup

sebagaimana layaknya. Sikap aparat desa yang tidak mendukung atau melarang

terhadap gerakan warganya melakukan reklaiming merupakan bentuk kebijakan agar

kehidupan desa terus berjalan ke arah yang lebih baik. Krisis agraria yang dihadapi

warga desa belum bisa ditemukan jalan pemecahannya, sehingga reklaiming sebagai

gerakan sosial diharapkan dapat menjadi alternatif. Kepentingan pemerintah desa ini

lebih jelas keberpihakannya dengan mendampingi warganya dan melakukan mediasi-

mediasi dengan Perhutani. Sedangkan pemerintah daerah masih belum jelas

keberpihakannya, bahkan cenderung masa bodoh dengan reklaiming ini karena

terkesan tidak mau berurusan dengan pemerintah yang di atasnya (pusat) yang tentu

saja berpihak dengan Perhutani.

Mekanisme Akses (Reklaiming) Hutan Lindung

Mekanisme para pihak yang terlibat reklaiming dalam memperoleh,

mengontrol dan memelihara aliran keuntungan dari hutan lindung dan distribusinya

merupakan suatu kemampuan. Kemampuan akses tersebut dipengaruhi adanya

pembatas-pembatas yang muncul dari kondisi ekonomi politik dan budaya setempat.

Hal ini memainkan peranan yang disebut “mekanisme akses relasional dan

struktural”. Sebagaimana disebutkan Blaikie (1985) dalam Ribot dan Peluso (2003)

bahwa modal dan identitas sosial mempengaruhi mereka yang mempunyai prioritas

akses. Sehingga dapat dijelaskan bagaimana teknologi, modal, pasar, pengetahuan,

wewenang, identitas sosial, dan relasi sosial membentuk atau mempengaruhi akses.

Akses pada Teknologi

Pengaruh teknologi dalam akses sumberdaya hutan lindung di Sidomulyo

adalah dalam hal pengolahan kopi. Teknologi pengolahan kopi yang terus

berkembang (seperti hasil-hasil penelitian Puslit Koka) memerlukan uji coba dan

penerapan. Uji coba pengolahan semi basah (semi wet process) pada kopi pernah

dilakukan pada tahun 2004 di Sidomulyo oleh Puslit Koka. Teknologi ini bertujuan

untuk meningkatkan mutu kopi beras, hasilnya lebih seragam baik dalam penampilan

Page 94: PERUBAHAN STRUKTUR AGRARIA DAN HARMONI SEMU … · PERUBAHAN STRUKTUR AGRARIA DAN HARMONI SEMU (Studi Kasus Reklaiming Hutan Lindung pada Komunitas Petani Kopi Rakyat di Kabupaten

74

fisiknya maupun kadar airnya. Salah satu syarat pengolahan semi basah adalah buah

kopi yang dipanen dari pohon harus dalam kondisi matang maksimum (berwarna

merah). Hal ini berarti panennya menunggu kondisi kopi matang maksimum

tercapai yang selisih waktu dengan kondisi belum matang maksimum sekitar 9-10

hari. Selain itu waktu pengolahan semi basah juga lebih lama dibanding pengolahan

kopi asalan sekitar 5-10 hari. Tetapi harga kopi lebih terjamin dan selisih

perkilogramnya dengan kopi asalan sekitar Rp. 2000 – Rp. 2500,-.16

Untuk memenuhi syarat penerapan teknologi di atas dan tercapai tujuannya

diperlukan bahan baku kopi dalam jumlah yang besar. Hasil panen kopi dari kebun

kopi di desa jauh dari mencukupi untuk diterapkannya teknologi ini. Karena selain

luasnya yang kecil (309,9 hektar), produktivitasnya juga menurun dari waktu ke

waktu. Hasil pengolahan kopi semi basah ini untuk memasok pasar ekspor, dimana

eksportir mensyaratkan jumlah minimal untuk pengiriman yaitu 200 ton. Salah satu

caranya adalah ekstensifikasi kebun kopi di kawasan hutan lindung yang telah

mereka reklaim pada masa reformasi. Peningkatan nilai tambah dari penerapan

teknologi pengolahan semi basah kopi semakin meningkatkan akses pada

sumberdaya hutan lindung yang mereka reklaim. Kebun kopi di sana semakin

dirawat agar menghasilkan kopi yang lebih banyak sehingga semakin ekonomis

untuk diolah dengan teknologi tersebut.

Akses pada Modal

Akses pada modal dapat berupa jasa ekstraksi, produksi, konversi, mobilisasi

tenaga kerja, dan proses-proses lain yang berhubungan dengan pengambilan

keuntungan dari sesuatu atau seseorang. Akses pada modal dapat digunakan untuk

kontrol akses sumberdaya melalui pembelian hak, atau digunakan untuk memelihara

akses sumberdaya melalui sewa, fee, atau membeli pengaruh dari mereka yang

mempunyai kontrol sumberdaya. Hal ini juga dapat dilihat sebagai cara berdasarkan

hak untuk memperoleh akses sumberdaya secara legal, persetujuan atau proses

informal (Ribot dan Peluso, 2003).

16 Hasil wawancara dengan Pak Sm, informan yang mempunyai kebun kopi di desa dan hutan lindung, seorang pedagang dan pengurus kelompok tani.

Page 95: PERUBAHAN STRUKTUR AGRARIA DAN HARMONI SEMU … · PERUBAHAN STRUKTUR AGRARIA DAN HARMONI SEMU (Studi Kasus Reklaiming Hutan Lindung pada Komunitas Petani Kopi Rakyat di Kabupaten

75

Reklaiming hutan lindung pada komunitas petani kopi rakyat di Sidomulyo

membutuhkan modal yang cukup banyak baik pada saat awal (pembukaan) maupun

seterusnya (pembukaan dan pemeliharaan) kebun kopi. Pembukaan kebun kopi

membutuhkan banyak tenaga kerja yang harus diupah atau setidaknya waktu dan

bekal buat diri sendiri dan keluarga. Hal ini membutuhkan modal yang tidak sedikit.

Selain itu bibit tanaman kopi juga harus diperoleh dengan membeli agar bisa segera

ditanam, karena kalau menyemai sendiri membutuhkan waktu yang lebih lama dan

peluang jadinya lebih kecil. Modal yang dikeluarkan merupakan salah satu penentu

nilai dari kebun kopi itu sendiri, sehingga ketika akan dialihkan akan diperhitungkan

di samping tentu saja kondisi nyata dari kebun kopi itu sendiri.

Pengakuan adanya peningkatan nilai dari sumberdaya hutan dapat digunakan

untuk memperoleh pengakuan sosial. Demikian halnya dengan investasi, dapat

digunakan meneguhkan klaim atau memfasilitasi kondisi akses sumberdaya. Bahkan

penanaman pohon dapat menjadi klaim hak kepemilikan tanah. Kekayaaan atau

modal dapat mempengaruhi tipe akses yang lain ketika kekayaaan, identitas sosial

dan kekuasaan saling menguatkan. Dengan kata lain, karena status dan kekuasaan

yang dihasilkan kekayaan, mereka yang mempunyai kekayaan juga mempunyai

keistimewaan akses pada produksi dan pertukaran, kesempatan, bentuk pengetahuan,

dunia kewenangan dan sebagainya.

Akses pada Pasar

Secara umum akses pasar adalah kemampuan seseorang untuk memperoleh,

mengontrol, atau memelihara tempat masuk relasi-relasi pertukaran. Pasar juga

membentuk akses untuk memanfaatkan sumberdaya pada skala yang berbeda dengan

lebih cerdik dan secara tidak langsung. Nilai dari sumberdaya bervariasi ketika

sumberdaya dikomoditaskan atau ketika pasar nasional atau internasional mulai

mengekstraksi sumberdaya, yang pada gilirannya akan mempengaruhi hak-hak

kepemilikan.

Pasar kopi mempunyai jangkauan yang luas, sampai ke tingkat internasional.

Sehingga tidak mengherankan kalau tingkat harganya juga mengikuti harga pasar

internasional. Demikian juga dengan harga kopi di Sidomulyo, meskipun berada di

wilayah yang terpencil di pinggiran hutan, tetapi juga berpatokan pada harga kopi

Page 96: PERUBAHAN STRUKTUR AGRARIA DAN HARMONI SEMU … · PERUBAHAN STRUKTUR AGRARIA DAN HARMONI SEMU (Studi Kasus Reklaiming Hutan Lindung pada Komunitas Petani Kopi Rakyat di Kabupaten

76

internasional dalam pemasarannya. Berkembangnya teknologi informasi sangat

mendukung proses penentuan harga ini. Para pedagang di Sidomulyo secara

langsung (melalui internet) maupun melalui lembaga-lembaga yang mempunyai

akses dengan informasi harga internasional (pedagang besar, Puslit Koka dan Dinas

Perkebunan) selalu memantau perkembangan harga internasional.

Akses pasar dikontrol melalui banyak struktur dan proses. Struktur yang

dimaksud adalah struktur modal dan pasar. Semakin banyak modal yang dipunyai

oleh seorang pedagang semakin besar aksesnya pada pasar. Struktur pasar kopi di

Sidomulyo bersifat pasar persaingan sempurna di mana jumlah produsen (petani)

sangat banyak sekali dengan memproduksi produk yang sejenis dan mirip dengan

jumlah konsumen yang banyak. Sifat-sifat dari pasar persaingan sempurna adalah

jumlah penjual dan pembeli banyak dengan barang yang dijual sejenis, serupa dan

mirip satu sama lain. Petani sebagai penjual kopi bersifat sebagai pengambil harga

(price taker) yang besarnya ditentukan mekanisme pasar permintaan dan penawaran

(demand and supply). Posisi pembeli (pedagang) kuat, sehingga petani sulit

memperoleh keuntungan di atas rata-rata. Pasar persaingan sempurna ini sensitif

terhadap perubahan harga dan pelakunya (penjual dan pembeli) mudah untuk masuk

dan keluar dari pasar.

Proses dalam akses pasar, selain bertemunya permintaan dan penawaran juga

adanya proses intervensi. Intervensi pada permintaan berasal dari para pelaku pasar

(pedagang) yang kadangkala berkolusi untuk mendapatkan keuntungan yang lebih

besar. Intervensi pada penawaran kopi di Sidomulyo dilakukan dengan melakukan

kerjasama pemasaran antara petani, kelompok tani dan eksportir. Kerjasama ini

mensyaratkan beberapa hal terutama mutu yang standar dan volume kopi yang

kontinyu. Yang pernah dilakukan adalah kerjasama kelompok tani Sidomulyo I

dengan PT. Indokom pada tahun 2004.

Akses pada Tenaga Kerja

Mereka yang mengontrol akses pada tenaga kerja akan dapat mengambil

manfaat dari sumberdaya pada saat tenaga kerja dibutuhkan sepanjang kehidupan

sumberdaya atau sepanjang lintasan komoditi dihasilkan darinya. Reklaiming hutan

lindung membutuhkan tenaga kerja yang banyak untuk membuka hutan dan

Page 97: PERUBAHAN STRUKTUR AGRARIA DAN HARMONI SEMU … · PERUBAHAN STRUKTUR AGRARIA DAN HARMONI SEMU (Studi Kasus Reklaiming Hutan Lindung pada Komunitas Petani Kopi Rakyat di Kabupaten

77

menjadikannya kebun kopi. Sehingga pada awalnya dulu mereka yang dapat

mengorganisir tenaga kerja baik dengan membentuk kelompok atau dengan

mengupah tenaga kerja akan dapat membuka lebih luas. Mereka yang membentuk

kelompok akan membagi petak kebun yang dibukanya diantara sesama anggota

dengan kesepakatan masing-masing. Sedangkan mereka yang megupah tenaga kerja

akan menguasai semua petak kebun tetapi harus membayar para pekerja tersebut.

Sehingga setelah kebun-kebun kopi menghasilkan maka mereka yang

menguasai semakin banyak maka semakin mempunyai kontrol pada kesempatan

tenaga kerja (pekerjaan). Mereka yang mengontrol kerja dapat memberikannya pada

yang disenanginya sebagai bagian dari hubungan patronase. Mereka ini juga dapat

menggunakan kontrol tersebut untuk menurunkan upah ketika kesempatan kerja

langka. Kelangkaan tenaga kerja dan surplus dapat mempengaruhi bagian relatif dari

manfaat sumberdaya yang dinikmati oleh mereka yang mengontrol tenaga kerja,

mereka yang mengontrol kesempatan kerja, dan mereka yang ingin memelihara

aksesnya pada kesempatan-kesempatan ini.

Akses pada kesempatan kerja termasuk kemampuan dari pekerja sendiri atau

untuk memelihara akses untuk bekerja dengan orang lain. Meskipun seseorang tidak

mempunyai akses pada sumberdaya melalui hak kepemilikan, atau mungkin juga

tidak mempunyai modal untuk membali teknologi atau terlibat dalam transaksi

komersial yang memberinya hak pada sumberdaya, tetapi dia mungkin mendapat

akses sumberdaya dengan masuk dalam hubungan kerja dengan mereka yang

mempunyai kontrol pada sumberdaya, pemilik ijin, atau mekanisme akses berdasar

pasar. Pekerja mungkin sudah berinvestasi dalam hubungan sosial dengan mereka

yang menguasai sumberdaya dengan tujuan memelihara akses pada kesempatan kerja

dan sumberdaya. Beberapa tenaga kerja di Sidomulyo melakukan hal-hal ini pada

mereka yang menguasai kebun-kebun kopi yang luas di hutan lindung.

Akses pada Pengetahuan

Akses pada pengetahuan mempunyai arti penting dalam menentukan siapa

yang memanfaatkan sumberdaya. Kepercayaan, kontrol-kontrol ideologis, praktik-

praktik terpisah, juga sistem pemaknaan yang dinegosiasikan membentuk semua

bentuk akses. Untuk beberapa sumberdaya, akses mungkin tidak hanya didorong

Page 98: PERUBAHAN STRUKTUR AGRARIA DAN HARMONI SEMU … · PERUBAHAN STRUKTUR AGRARIA DAN HARMONI SEMU (Studi Kasus Reklaiming Hutan Lindung pada Komunitas Petani Kopi Rakyat di Kabupaten

78

oleh motif ekonomi atau klaim moral untuk hak-hak subsistensi, melainkan juga oleh

sosial, politik, dan tujuan-tujuan ritual yang merepresentasikan kekerabatan,

hubungan kekuasaan, atau harmoni ritual.

Reklaiming hutan lindung oleh komunitas petani kopi rakyat sekilas memang

dilandasi faktor ekonomi dan moral, tetapi hasil wawancara dengan para informan

menunjukkan adanya faktor sosial yang mendorongnya. Menurut Pak HS, Dusun

CM, reklaiming terbukti mengurangi kesenjangan sosial yang dahulu sangat tajam di

Sidomulyo: “dahulu warga Sidomulyo yang mempunyai sepeda motor sangat jarang

sekali, sekarang hampir semua rumah sudah mempunyainya bahkan ada beberapa

yang mempunyai mobil”. Faktor politik reklaiming adalah pengetahuan adanya

reformasi yang membuat struktur politik terbuka menjadikan mereka berani

melakukan reklaiming walaupun harus berkontestasi dengan Perhutani yang

menguasai hutan lindung. Pertemuan-pertemuan kelompok tani dan pengajian juga

menjadi motif pendorong dari reklaiming, karena acara ini membutuhkan biaya yang

tidak sedikit seperti untuk iuran, jamuan dan arisan.

Kontrol atas pengetahuan dan informasi juga mempunyai manfaat-manfaat

langsung. Pedagang dapat berbohong pada petani tentang harga komoditi di kota atau

internasional untuk menurunkan harga. Tetapi dengan perkembangan teknologi

informasi, hal ini semakin sulit dilakukan oleh para pedagang karena petani juga

dapat melakukan pengecekan. Informasi tentang teknologi mungkin juga

disembunyikan untuk mencegah petani menjadi independen. Khusus untuk teknologi

(seperti pengolahan kopi glondong menjadi kopi beras), karena membutuhkan biaya

yang tidak sedikit untuk mengadopsinya maka hanya mereka yang mempunyai

modal lebih atau kelompok saja yang dapat menerapkannya. Petani dapat

mengaksesnya dengan membayar sewa.

Akses pada Kekuasaan

Akses pada kekuasaan membentuk kemampuan individu untuk

memanfaatkan sumberdaya. Akses istimewa pada individu atau institusi dengan

kekuasaan membuat hukum berpengaruh kuat pada siapa yang memanfaatkan

sumberdaya. Mobilisasi jenis akses ini dapat dilakukan melalui saluran-saluran legal,

seperti mengajukan ijin atau lobi melalui saluran-saluran resmi. Kekuasaan yang

Page 99: PERUBAHAN STRUKTUR AGRARIA DAN HARMONI SEMU … · PERUBAHAN STRUKTUR AGRARIA DAN HARMONI SEMU (Studi Kasus Reklaiming Hutan Lindung pada Komunitas Petani Kopi Rakyat di Kabupaten

79

dipegang Perhutani atas hutan lindung di lereng selatan Gunung Raung setelah

direklaim tidak serta merta hilang. Warga yang melakukan reklaiming melalui para

wakilnya melakukan negosiasi-negosiasi agar Perhutani tidak menegakkan kembali

kuasanya di hutan lindung yang berarti akan menghilangkan kebun-kebun kopi

mereka.

Para wakil petani kopi tersebut dipilih berdasarkan kemampuannya secara

ekonomi dan sosial. Secara ekonomi mereka mampu membayar biaya-biaya

negosiasi seperti biaya komunikasi dan akomodasi dengan pihak Perhutani.

Sedangkan secara sosial, mereka sudah diakui oleh warga sebagai orang dapat

dipercaya dan mau serta mampu membela kepentingan mereka yang diwakilinya.

Tumpang tindih klaim di hutan lindung membuat individu dapat mengambil

manfaat dari identitas sosial yang berbeda untuk memperoleh atau mengakumulasi

sumberdaya menggunakan ide yang berbeda dari akses sah atau berwenang (forum

shopping17). Sehingga warga akan memberikan jawaban yang berbeda terkait

reklaiming hutan yang lindung berdasarkan siapa yang memberikan pertanyaan.

Akses melalui Identitas Sosial

Akses melalui identitas sosial sangat mempengaruhi distribusi keuntungan

dari sesuatu. Warga yang mempunyai posisi sosial lebih tinggi akan dianggap lebih

berjasa dalam melakukan reklaiming, sehingga akan mendapat bagian yang lebih

luas ketika kebun kopi dibagikan kepada para anggotanya. Hal ini berdasarkan

kesadaran bahwa mereka yang semakin tinggi status sosialnya semakin besar pula

konsekuensi atau resiko yang akan diterimanya.

Keanggotaaan dalam suatu komunitas atau kelompok akan mempengaruhi

akses terhadap sumberdaya. Warga Sidomulyo yang tergabung dalam paguyuban

atau kelompok tani atau LMDH akan semakin kuat aksesnya terhadap hutan lindung

karena selain mendapat dukungan dari kelompoknya juga selalu mendapat informasi

lebih cepat melalui pertemuan-pertemuan yang diadakan kelompok-kelompok

tersebut. 17 Forum shopping: kemampuan seorang aktor untuk memilih arena hukum, adat atau konvensi yang mendukung tujuan-tujuannya. Kekuatan ekonomi politik dan budaya menjadi lebih penting dalam menentukan siapa yang menggunakan hukum, adat, atau konvensi, kapan dan untuk tujuan apa (Ribot dan Peluso, 2003).

Page 100: PERUBAHAN STRUKTUR AGRARIA DAN HARMONI SEMU … · PERUBAHAN STRUKTUR AGRARIA DAN HARMONI SEMU (Studi Kasus Reklaiming Hutan Lindung pada Komunitas Petani Kopi Rakyat di Kabupaten

80

Akses Melalui Negosiasi Relasi-relasi Sosial

Pemeliharaan akses hutan lindung yang direklaiming dilakukan oleh

komunitas petani kopi rakyat melalui negosiasi dengan Perhutani baik sebagai

lembaga maupun personal. Para petugas Perhutani, terutama para mandor dan mantri

kebanyakan bertempat tinggal di wilayah kerjanya. Kondisi ini memudahkan

negosiasi secara personal. Bahkan pada awal-awal reklaiming, ada beberapa petugas

Perhutani yang minta mintah bahkan mengundurkan diri karena merasa serba salah

dengan posisinya sebagai petugas Perhutani yang harus menindak warga yang

melakukan reklaim dan posisinya sebagai sesama warga atau yang setiap hari

berinteraksi. Relasi sosial yang terjalin antara petugas Perhutani dengan warga

menjadikan akses warga pada hutan lindung semakin kuat.

Para warga juga melakukan investasi dalam relasi sosial yang bertujuan untuk

memperoleh akses pada sumberdaya. Hal ini mereka lakukan ketika menyadari

bahwa kesuksesan negosiasi menjadi salah satu penentu dalam kelangsungan akses

mereka pada hutan lindung. Dalam hal ini menjadi penting mengembangkan ikatan-

ikatan berbasis ekonomi sebagai tambahan ikatan berbasis identitas lainnya sebagai

cara masuk atau keluar dari suatu jenis manfaat. Berkembangnya kelompok tani

Sidomulyo I dan pembentukan koperasi serta unit pengolahan kopi merupakan

bentuk penguatan negosiasi dari relasi sosial yang dibangun komunitas petani kopi

rakyat di Sidomulyo.

Perubahan dalam ekonomi politik yang lebih luas dapat membuat beberapa

jenis akses menjadi kuno dengan menciptakan jenis baru relasi sosial yang butuh

dikembangkan untuk memperoleh, memelihara, atau mengontrol akses pada

sumberdaya. Hal ini juga disadari sepenuhnya oleh warga Sidomulyo dengan

mengembangkan kerjasama dengan berbagai pihak untuk meneguhkan eksistensinya

dan harapan adanya dukungan dalam berbagai hal di masa mendatang. Sehingga

sekarang mereka semakin terbuka untuk menerima ide, program, proyek, dan

sebagainya yang mendukung pemeliharaan aksesnya atas kebun kopi di hutan

lindung yang mereka reklaim.

Page 101: PERUBAHAN STRUKTUR AGRARIA DAN HARMONI SEMU … · PERUBAHAN STRUKTUR AGRARIA DAN HARMONI SEMU (Studi Kasus Reklaiming Hutan Lindung pada Komunitas Petani Kopi Rakyat di Kabupaten

KONTESTASI PARA PIHAK DAN KONFLIK ATAS

HUTAN LINDUNG

Kontestasi di sini diartikan sebagai sebuah proses yang bersifat dinamis dari

para pihak / para aktor (komunitas petani kopi rakyat, Perhutani, pedagang, dan

pemerintah) yang berinteraksi dan menegosiasikan apa yang menjadi kepentingannya

dalam konteks perebutan sumberdaya alam (hutan lindung). Interaksi mereka

terwujud dalam dua bentuk relasi kuasa agraria. Pertama, relasi teknis yaitu antara

aktor utama (komunitas petani kopi rakyat dan Perhutani) dengan objek agraria

(hutan lindung). Kedua, relasi sosial yaitu relasi di antara para pihak baik yang

terkait langsung maupun tidak langsung dengan reklaiming. Negosiasi kepentingan

para pihak berada dalam dua ruang, yaitu ruang konflik pemaknaan dan ruang

konflik hak dan akses.

Relasi Kuasa Agraria Para Pihak

Posisi dan relasi kuasa para pihak terkait reklaiming hutan lindung secara

sederhana dapat dilihat pada Gambar 3. Meskipun demikian perlu disadari bahwa

penyederhanaan ini bukan bermaksud mereduksi kompleksitas relasi diantara mereka

melainkan untuk menunjukkan relasi dominan berdasarkan hasil wawancara dan

observasi.

Gambar 3. Posisi dan Relasi Para Pihak Terkait Reklaiming Hutan Lindung

Pemerintah Desa

Hutan Lindung

Petani Kopi

Perhutani Pedagang

LMDH Pemilik Modal

Kelompok Tani

Dinas Kehutanan dan Perkebunan

Eksportir

Paguyuban

Page 102: PERUBAHAN STRUKTUR AGRARIA DAN HARMONI SEMU … · PERUBAHAN STRUKTUR AGRARIA DAN HARMONI SEMU (Studi Kasus Reklaiming Hutan Lindung pada Komunitas Petani Kopi Rakyat di Kabupaten

82

Petani kopi merupakan pihak sentral terkait reklaiming hutan lindung ini.

Tindakan mereka menduduki hutan lindung dan menjadikannya kebun kopi

membuatnya berhadap-hadapan dengan Perhutani yang secara legal formal mendapat

mandat dari negara untuk mengelolanya. Di wilayah hutan mereka berhadap-hadapan

secara langsung dengan para mandor maupun polisi hutan yang melaksanakan tugas.

Tetapi di wilayah desa mereka berhubungan melalui lembaga-lembaga yang mereka

bentuk sendiri-sendiri untuk memperjuangkan kepentingan masing-masing. Petani

membentuk paguyuban sedangkan Perhutani membentuk LMDH. Selain itu ada

pemerintah desa yang kadangkala menjadi mediator dalam hubungan mereka.

Relasi petani dengan pihak swasta (pedagang dan pemilik modal) maupun

dengan eksportir melalui kelompok tani merupakan hubungan ekonomi. Petani

menjual hasil kebun kopinya kepada para pedagang. Mereka juga berhubungan

dengan para pemilik modal untuk membiayai pengusahaan kebunnya dan kehidupan

sehari-harinya dengan berhutang. Hutang kepada pemilik modal dikembalikan

setelah mereka mendapatkan panen dengan perjanjian tertentu. Petani juga menjalin

kerjasama dengan eksportir melalui kelompok tani. Hal ini juga terkait dengan

pemasaran hasil kopinya dengan harapan mendapatkan hasil yang lebih tinggi.

Hubungan petani kopi dengan pemerintah kabupaten (Dinas dan Kehutanan

dan Perkebunan) melalui kelompok tani lebih bersifat teknis karena hanya berkisar

permasalahan teknis budidaya dan peningkatan kualitas hasil kopi. Hubungan ini

tidak membahas keberadaan kebun kopi yang berasal dari reklaiming bahkan

cenderung menghindarinya atau menutup mata. Demikian juga pihak pemerintah

yang lain seperti bupati juga tidak memberikan tanggapan ketika ditanya oleh petani

terkait sikap pemerintah kabupaten dengan keberadaaan kebun kopi di hutan lindung.

Menurutnya hutan lindung merupakan wewenang pemerintah pusat, pemerintah

daerah tidak berkompeten untuk ikut campur. Dalam hal ini terlihat bahwa

pemerintah daerah tidak melihat kepentingan warganya tetapi cenderung membela

pemerintahan yang ada di atasnya.

Dalam UU 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah yang merupakan

UU terbaru yang mengatur desa menyebutkan urusan pemerintahan yang menjadi

kewenangan desa adalah: (a) urusan pemerintahan yang sudah ada berdasarkan hak

asal-usul desa; (b) urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan kabupaten/kota

Page 103: PERUBAHAN STRUKTUR AGRARIA DAN HARMONI SEMU … · PERUBAHAN STRUKTUR AGRARIA DAN HARMONI SEMU (Studi Kasus Reklaiming Hutan Lindung pada Komunitas Petani Kopi Rakyat di Kabupaten

83

yang diserahkan pengaturannya kepada desa; (c) tugas pembantuan dari Pemerintah,

pemerintah provinsi, dan/atau pemerintah kabupaten/kota; (d) urusan pemerintahan

lainnya yang oleh peraturan perundangan diserahkan kepada desa. Pemerintah desa

Sidomulyo yang terdiri atas kepala desa dan perangkat desa sebagaimana dalam

Pasal 202 UU 32 Tahun 2004 ternyata tidak tahu-menahu dengan keberadaan dan

pengelolaan sumberdaya hutan yang ada di wilayahnya. Yang jelas menurut mereka

bahwa hutan milik negara dan dikelola oleh Perhutani sebagai perusahaan negara.

Ruang Konflik Pemaknaan tentang Sumberdaya Alam

Makna Reklaiming Menurut Warga

Sebagai masyarakat desa hutan yang tinggal di sekitar hutan, maka tidaklah

mengherankan apabila warga Desa Sidomulyo mempunyai ketergantungan yang

tinggi pada hutan. Ketergantungan mereka pada hutan tidak hanya pada aspek

ekologi, melainkan juga pada aspek ekonomi dan sosial bahkan budaya. Penetapan

status hutan lindung oleh Pemerintah yang berarti hanya untuk menjamin fungsi

ekologis tidak menghentikan warga untuk tetap mengambil manfaat dari hutan

lindung dari aspek ekonomi, sosial dan budaya.

Sudah dari nenek moyang mereka memperoleh pengetahuan bahwa hutan

merupakan sumber penghidupan. Dari hutan mereka mendapatkan kayu, baik untuk

membangun rumah maupun sekedar untuk bahan bakar. Dari hutan juga mereka

mendapatkan umbi-umbian, sayur-sayuran, dan rempah-rempah untuk bahan

makanan dan obat-obatan. Bahkan sebelum ditetapkannya hutan sebagai milik

negara sejak zaman Belanda, nenek moyang warga Sidomulyo bebas membuka hutan

untuk pemukiman dan lahan-lahan pertanian. Dari rangkaian sejarah cerita lisan yang

ada pada warga, mereka memahami bahwa hutan mempunyai fungsi ekonomi yang

terus menyusut dan membatasi mereka untuk mengambil manfaatnya.

Dari sudut sosial, hutan merupakan ruang untuk beraktivitas sehari-hari

masyarakat Sidomulyo. Di hutan mereka berinteraksi dengan warga lainnya dalam

rangka mencari sesuatu yang bisa dimanfaatkan seperti rumput untuk pakan ternak,

kayu bakar, sayur-sayuran dan sebagainya dan terutama menghabiskan waktu di

siang hari. Dalam interaksi tersebut muncul perbincangan-perbincangan diantara

mereka dalam memahami keterkaitan hutan dengan kehidupannya. Mereka selalu

Page 104: PERUBAHAN STRUKTUR AGRARIA DAN HARMONI SEMU … · PERUBAHAN STRUKTUR AGRARIA DAN HARMONI SEMU (Studi Kasus Reklaiming Hutan Lindung pada Komunitas Petani Kopi Rakyat di Kabupaten

84

membandingkan kondisi hutan dari waktu ke waktu dengan segala status dan

kebijakan pengelolaannya. Mereka merasa sebagai bahwa hutan adalah sesuatu yang

tidak bisa lepas dari kehidupan sehari-harinya. Cerita nenek-moyang, berita atau

pengumuman dari perangkat desa dan petugas perhutani, penyuluhan dari petugas

dinas, dan sebagainya yang terus berakumulasi mereka rangkai menjadi pengetahuan.

Pengetahuan inilah yang akhirnya membentuk sikap mereka secara dinamis terhadap

hutan yang ada di sekitar mereka.

Bagi masyarakat Sidomulyo, hutan mempunyai makna tersendiri untuk

kehidupan mereka. Nenek moyang mereka dahulu masih leluasa untuk membukanya,

walaupun menurut undang-undang Belanda hal itu tidak diperbolehkan. Penguasaan

hutan oleh Belanda menurut mereka adalah penjajahan, hutan adalah sumberdaya

umum yang bisa dimanfaatkan oleh siapa saja yang mampu. Membuka hutan sendiri

menurut mereka adalah suatu perjuangan yang membutuhkan keberanian dan daya

tahan yang luar biasa. Jadi, penguasaan oleh mereka yang membukanya adalah suatu

keniscayaan terlepas dari hukum apapun yang menaunginya. Terlebih lagi hukum

yang diundangkan oleh Belanda, menurut mereka jelas tidak sah karena mereka tidak

mengakui keberadaan Belanda sebagai penguasa. Sebagaimana umumnya di

berbagai wilayah, hutan merupakan tempat mereka yang ingin menghindari

kekuasaan atau orang-orang yang kalah atau tidak sepakat dengan kekuasaan yang

ada.

Sejak awal dibukanya daerah yang sekarang menjadi Desa Sidomulyo dan

mungkin di daerah pinggiran hutan lainnya di Indonesia, kental dengan perebutan

penguasaan hutan. Klaim dari mereka yang berkepentingan muncul silih berganti

dengan segala argumentasi yang beraneka ragam. Pergantian waktu tidak

menghilangkan klaim-klaim tersebut, argumentasinya menyesuaikan juga dengan

perubahan waktu. Bahkan warga Sidomulyo dengan perubahan waktu semakin

mampu menyusun argumentasi dengan pengetahuan yang semakin banyak

terakumulasi melalui cerita para orangtua, pendidikan, media massa, dan sebagainya.

Beberapa informan seperti Pak B (Dusun K) menyatakan: “Kalau dahulu

nenek moyangnya dapat memanfaatkan hutan untuk sumber penghidupan mengapa

sekarang tidak? Bukankah kekayaan sumberdaya harus dimanfaatkan untuk sebesar-

besarnya kemakmuran rakyat? Pengelolaan negara melalui Perhutani hanya

Page 105: PERUBAHAN STRUKTUR AGRARIA DAN HARMONI SEMU … · PERUBAHAN STRUKTUR AGRARIA DAN HARMONI SEMU (Studi Kasus Reklaiming Hutan Lindung pada Komunitas Petani Kopi Rakyat di Kabupaten

85

menyerap sedikit tenaga kerja dan hasilnya sebagian besar dinikmati orang atas”.

Upah yang diterimanya ketika menjadi mandor tanaman tidak pernah bisa

mencukupi kebutuhan sehari-hari keluarganya. Tanggung jawab yang besar dan juga

resiko konflik dengan tetangganya membuatnya mengundurkan diri dan ikut arus

kebanyakan masyarakat Sidomulyo untuk menduduki hutan lindung dan

menjadikannya kebun kopi. Terlebih lagi menurutnya hasil dari kebun kopi hasil

bukaan tersebut sangat menggiurkan apalagi jika kebun dan tanamannya dirawat

dengan baik. Hal yang terakhir ini cukup dominan sebagai daya tarik utama tindakan

untuk reklaiming. Basis materialisme ini mudah dipahami mengingat kopi sebagai

tanaman ekspor mempunyai nilai ekonomi yang menonjol dibandingkann tanaman

pangan walaupun ujung-ujungnya nanti juga untuk memenuhi kebutuhan subsistensi

mereka.

Warga Sidomulyo membentuk paguyuban petani kopi hutan untuk

memelihara makna dan nilai yang terkandung dalam reklaiming. Tidak semua

paguyuban yang terbentuk dapat dipercaya oleh anggotanya karena tidak semua

pengurus di tiap-tiap paguyuban memahami peranannya. Sehingga pergantian

pengurus sering terjadi dan menimbulkan dinamika dalam paguyuban itu sendiri.

Pemaknaan reklaiming tercermin dalam jawaban salah seorang informan (Pak

Bs, Dusun K), yang juga pernah menjadi ketua salah satu paguyuban, ketika saya

bertanya: Mengapa Bapak membuka hutan lindung dan menjadikannya kebun kopi?

“…kalau saya tidak ikut membuka hutan, maka tidak akan mendapat apa-apa. Kondisi mata pencaharian di sini sulit bahkan saya pernah pergi ke Bali untuk mencari pekerjaan selama dua tahun. Akhirnya saya kembali ke Sidomulyo setelah mendengar adanya kesempatan untuk membuka hutan.”

Jawaban Pak B tersebut tentunya sudah mengalami internalisasi, yaitu proses yang

dialami manusia untuk ’mengambil alih’ dunia yang sedang dihuni sesamanya.

Dalam internalisasi tersebut melibatkan sosialisasi baik primer maupun sekunder.

Internalisasi adalah proses penerimaan definisi situasi yang disampaikan orang lain

tentang dunia institusional. Dengan diterimanya definisi-definisi tersebut, individu

pun bahkan tidak hanya mampu mamahami definisi orang lain, tetapi lebih dari itu,

turut mengkonstruksi definisi bersama. Dalam proses mengkonstruksi inilah,

Page 106: PERUBAHAN STRUKTUR AGRARIA DAN HARMONI SEMU … · PERUBAHAN STRUKTUR AGRARIA DAN HARMONI SEMU (Studi Kasus Reklaiming Hutan Lindung pada Komunitas Petani Kopi Rakyat di Kabupaten

86

individu berperan aktif sebagai pembentuk, pemelihara, sekaligus perubah

masyarakat.

Pak Bs melihat bahwa dunia kehidupan di mana menjadi tempatnya

bersosialisasi sudah melakukan definisi bersama bahwa reklaiming hutan lindung

sudah dipahami dan mendapat legitimasi bersama. Keikutsertaannya dalam

reklaiming merupakan bentuk ungkapan untuk memperoleh keadilan bersama di

samping juga sebagai bentuk perlawanan atas kondisi yang selama ini membatasinya

untuk bisa mengakses sumberdaya hutan.

Makna Reklaiming Menurut Perhutani

Keistimewaan Perhutani dalam mengelola hutan selama ini melahirkan

sekian banyak peraturan dan tertib sosial masyarakat sekitar hutan yang tidak jauh

beda dengan yang pernah diterapkan oleh penjajah Belanda. Kondisi ini sangat

merugikan mereka yang tinggal di sekitar hutan yang sejak nenek moyangnya sudah

mempunyai keterikatan dan ketergantungan dengan hutan. Pengelolaan hutan oleh

Perhutani mengandung makna tersendiri yang tercermin dari visi misi terkahir yang

sekarang menjadi pegangan dalam menjalankan mandatnya.

Bagi Perhutani, makna hutan dapat dilihat dari perumusan misi-misi yang

dijabarkan dari visinya18: “Menjadi pengelola hutan lestari untuk sebesar-besarnya

kemakmuran rakyat”. Misi pertamanya yaitu: “Mengelola sumberdaya hutan dengan

prinsip Pengelolaan Hutan Lestari berdasarkan karakteristik wilayah dan Daya

Dukung Daerah Aliran Sungai (DAS) serta meningkatkan manfaat hasil hutan kayu

dan bukan kayu, ekowisata, jasa lingkungan, agroforestri serta potensi usaha

berbasis kehutanan lainnya guna menghasilkan keuntungan untuk menjamin

pertumbuhan perusahaan secara berkelanjutan”, menunjukkan bahwa hutan

bermakna ekonomi bagi Perhutani.

Misi kedua Perhutani: “Membangun dan mengembangkan perusahaan,

organisasi serta sumberdaya manusia perusahaan yang modern, profesional dan

handal serta memberdayakan masyarakat desa hutan melalui pengembangan

lembaga perekonomian koperasi masyarakat desa hutan atau koperasi petani hutan”

18 SK Nomor : 17/Kpts/Dir/2009 tanggal 9 Januari 2009.

Page 107: PERUBAHAN STRUKTUR AGRARIA DAN HARMONI SEMU … · PERUBAHAN STRUKTUR AGRARIA DAN HARMONI SEMU (Studi Kasus Reklaiming Hutan Lindung pada Komunitas Petani Kopi Rakyat di Kabupaten

87

masih menunjukkan makna ekonomi karena terkait manajemen internal.

Pemberdayaan masyarakat yang disebutkannya bukan berarti bermakna sosial, tetapi

lebih sebagai bentuk tanggung jawab sosial perusahaan (corporate social

responsibility: CSR).

Misi ketiga Perhutani: “Mendukung dan turut berperan serta dalam

pembangunan wilayah secara regional dan nasional, serta memberikan kontribusi

secara aktif dalam penyelesaian masalah lingkungan regional, nasional dan

internasional” menunjukkan adanya makna sosial ekonomi (pembangunan wilayah)

dan makna lingkungan (penyelesaian masalah lingkungan).

Dari ketiga misi Perhutani di atas menunjukkan adanya makna ekonomi yang

sangat dominan. Hal ini sebenarnya tidak sesuai dengan bentuk keorganisasian

Perhutani yaitu Perum yang menurut Undang-undang No. 9 Tahun 1969 makna

usaha dan tujuan perusahaannya adalah pelayanan umum (public service) dan profit

yang seimbang/kondisional. Artinya antara makna sosial dan ekonomi harus

seimbang. Kondisi ini juga merupakan buntut dari permasalahan yang belum tuntas

jawabannya yaitu makna usaha BUMN (termasuk Perhutani), apakah berfungsi

sebagai sarana pencari uang bagi negara atau berfungsi sosial dalam pelayanan

publik? Penemuan jawaban atas pertanyaan ini akan memberikan kejelasan arah

perjalanan suatu BUMN termasuk Perhutani di dalamnya.

Ruang Konflik Hak dan Akses terhadap Sumberdaya Agraria

Hak (kepemilikan) dan akses menyangkut hubungan-hubungan di antara

orang-orang berkenaan keuntungan-keuntungan dan nilai-nilai (Ribot dan Peluso,

2003). Keuntungan adalah sesuatu yang penting, karena orang, lembaga, dan

masyarakat hidup atas dan untuk keuntungan, berselisih dan bekerjasama juga demi

keuntungan. Kunci pembeda antara hak dan akses bersandar pada perbedaan antara

“hak” dan ‘kemampuan”. Hak secara umum menimbulkan sejenis klaim yang diakui

dan didukung secara sosial baik oleh hukum, adat atau konvensi. Sedangkan

“kemampuan” yang merupakan inti dari akses lebih mirip dengan “kuasa” yang

dapat digambarkan dalam dua hal. Pertama, sebagai kemampuan beberapa aktor

untuk mempengaruhi praktek dan ide orang lain. Kedua, sebagai kekuasaan yang

timbul (walaupun tidak selalu berkaitan) dari masyarakat.

Page 108: PERUBAHAN STRUKTUR AGRARIA DAN HARMONI SEMU … · PERUBAHAN STRUKTUR AGRARIA DAN HARMONI SEMU (Studi Kasus Reklaiming Hutan Lindung pada Komunitas Petani Kopi Rakyat di Kabupaten

88

Ruang konflik hak terhadap sumberdaya agraria hutan lindung antara

komunitas petani kopi rakyat di Sidomulyo dengan Perhutani KPH Jember berkisar

pada klaim dari masing-masing pihak. Klaim Perhutani bersandar pada hukum

formal mulai dari Peraturan Pemerintah (PP) nomor 15 tahun 197219, PP nomor 2

tahun 197820, PP nomor 36 tahun 198621, dan PP nomor 53 tahun 199922. Sementara

itu, klaim warga bersandar pada alasan-alasan nilai moralitas, keadilan, normatif dan

sejarah (sebagaimana dijelaskan pada sub bab Hutan Lindung: Sumberdaya Sarat

Nilai, khususnya hal. 64-65). Nilai-nilai tersebut walaupun tidak mempunyai dasar

hukum, tetapi mendapat dukungan secara luas dari masyarakat. Selain itu klaim

warga juga berdasarkan pada kemampuannya meningkatkan manfaat (ekonomis dan

ekologis) dari pengelolaan hutan lindung. Peningkatan manfaat hutan lindung

menghasilkan nilai pada hutan lindung yang bersumber dari masyarakat. Nilai yang

dimaksud adalah “kuasa” mengambil manfaat dari petak yang ada di hutan lindung

yang berupa kebun kopi. “Kuasa” ini walaupun tidak mempunyai bukti kepemilikan,

tetapi diakui oleh masyarakat dan dapat dipindahtangankan dengan sejumlah “ganti

rugi”.

“Kuasa” tersebut merupakan akses yang oleh Ribot dan Peluso (2003)

didefinisikan sebagai: “ kemampuan untuk mengambil keuntungan dari sesuatu

seperti obyek material, seseorang, lembaga dan simbol”. Penekanan pada

“kemampuan” dibandingkan dengan hak akan membawa perhatian yang lebih luas

pada relasi-relasi sosial yang membatasi atau memperbolehkan masyarakat

memanfaatkan sumberdaya tanpa memperhatikan hubungan kepemilikan (property

rights) saja. Demikian juga halnya dengan warga Sidomulyo, akses terhadap hutan

lindung menghasilkan relasi kuasa agraria di antara para pihak baik yang terkait

langsung atau tidak langsung dengan reklaiming.

Secara empiris akses hutan lindung digunakan oleh warga dengan cara

melakukan reklaiming dan membuat kebun kopi di dalamnya. Sedangkan Perhutani

hanya mempunyai kontrol yang berarti hak memanfaatkan tetapi tidak bisa

19 Tentang Pengelolaan hutan di Jawa dan Madura oleh negara berada di bawah Perum Perhutani yang merupakan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) 20 Tentang perluasan wilayah kerja Perhutani sampai kawasan hutan negara di provinsi Jawa Barat 21 Tentang Perusahaan Umum Kehutanan Negara (Perum Perhutani) 22 Tentang Perusahaan Umum Kehutanan Negara (Perum Perhutani).

Page 109: PERUBAHAN STRUKTUR AGRARIA DAN HARMONI SEMU … · PERUBAHAN STRUKTUR AGRARIA DAN HARMONI SEMU (Studi Kasus Reklaiming Hutan Lindung pada Komunitas Petani Kopi Rakyat di Kabupaten

89

menggunakannya. Dalam hal ini, terdapat jajaran kekuasaan (range of powers) yang

mempengaruhi kemampuan warga Sidomulyo untuk mengambil keuntungan dari

hutan lindung. Kekuasaan yang dimaksud adalah material, budaya dan ekonomi

politik dalam “ikatan (bundles)” dan “jaring-jaring (webs)” kekuasaan yang

mengatur akses. Akses ini dibentuk dan dipengaruhi oleh teknologi, modal, pasar,

pengetahuan, wewenang, identitas sosial, dan relasi sosial sebagaimana dijelaskan

dalam sub bab Mekanisme Akses (Reklaiming) Hutan Lindung (hal. 73-80).

Konflik akses berkisar pada persaingan para pihak dalam mengambil

keuntungan dari sumberdaya (hutan lindung). Hal ini berdasar pada adanya orang-

orang dan lembaga yang “mengontrol” akses sumberdaya sementara yang lain

“memelihara” akses mereka melalui mereka yang mempunyai kontrol. Pembedaan

dalam hubungan akses ini dapat membantu memahami mengapa ada orang-orang

atau lembaga yang mengambil keuntungan dari sumberdaya, baik memiliki hak atau

tidak atas sumberdaya tersebut. Warga mengambil keuntungan dari hutan lindung

dengan membuka kebun kopi. Untuk memelihara akses ini mereka memberikan

“cukai” kepada para petugas Perhutani. Pemeliharaan akses merupakan strategi di

bawah tanah agar para petugas Perhutani tidak merusak kebun-kebun kopi yang ada

di hutan lindung yang berada di bawah kontrolnya. Semakin besarnya keuntungan

yang diperoleh dari kebun-kebun kopi tersebut membuat Perhutani sebagai lembaga

tertarik untuk turut menikmati keuntungan tersebut. Siasat yang diterapkannya

adalah dengan membentuk LMDH (hal. 51) untuk mengakomodasi setoran “cukai”

yang selama ini masuk ke petugas menjadi “sharing”, sehingga bisa menjadi setoran

legal sebagaimana diterimanya dari hutan-hutan produksi yang dikelolanya.

Besaran distribusi keuntungan (sharing) menjadi konflik di antara warga

dengan para pengurus paguyuban yang menetapkannya tanpa kesepakatan bersama.

Para pengurus paguyuban sendiri berusaha memenuhi target yang dibebankan

kepadanya, sementara itu para warga merasa besaran yang ditetapkan tidak adil

karena tidak mempertimbangkan kondisi kebun dan hasil panen. Perbedaan

kepentingan ini masih belum mengarah pada konflik terbuka, karena para anggota

masih belum menemukan kesempatan untuk menunjukkan sikapnya baik kepada

pengurus atau Perhutani.

Page 110: PERUBAHAN STRUKTUR AGRARIA DAN HARMONI SEMU … · PERUBAHAN STRUKTUR AGRARIA DAN HARMONI SEMU (Studi Kasus Reklaiming Hutan Lindung pada Komunitas Petani Kopi Rakyat di Kabupaten

90

Derajat Konflik Kontestasi

Kontestasi antara dua aktor utama dalam reklaiming (komunitas petani kopi

rakyat dan Perhutani) dalam mencapai kepentingannya masing-masing pada saat

penelitian dilakukan berada pada tahap kemacetan (stalemate) (Bram, 2003).

Masing-masing tidak bisa memenangkan kepentingannya atau mundur menerima

kekalahan. Kondisi ini terjadi karena adanya beberapa hal, yaitu: besarnya biaya

melanjutkan konflik, tidak adanya dukungan pada masing-masing pihak, dan

gagalnya taktik masing-masing pihak.

Masing-masing pihak baik warga maupun Perhutani menyadari bahwa akan

membutuhkan biaya dan pengorbanan yang besar apabila konflik terus diperluas atau

ditingkatkan. Warga akan kehilangan kebun kopi yang sudah mulai menghasilkan

dan sudah menghabiskan banyak biaya. Sementara itu, Perhutani akan menghadapi

perlawanan dari warga yang menguasai hutan lindung yang tidak sedikit jumlahnya.

Biaya sosial yang harus ditanggung oleh Perhutani akan sangat tinggi sekali.

Pengalaman melakukan pendekatan keamanan dengan mendatangkan polisi dan

tentara seperti pada saat konflik terbuka (masa awal reklaiming) terbukti tidak

membuahkan hasil.

Tidak adanya dukungan pada masing-masing pihak menjadikan konflik

perebutan sumberdaya hutan lindung berada pada tahap kemacetan. Warga tidak bisa

melanjutkan reklaiming ini ke arah klaim hak, karena tidak ada dukungan politik di

belakangnya. Demikian juga Perhutani tidak mempunyai dukungan yang kuat untuk

mengembalikan hutan lindung yang direklaiming seperti semula. Para pihak yang

lain justru mendukung kondisi ini, di mana mereka bisa mengambil keuntungan

tanpa takut mendapat resiko akibat konflik terbuka, atau adanya kesepakatan yang

dicapai oleh kedua belah pihak yang berkonflik yang justru merugikan mereka.

Kondisi ini juga tercipta akibat gagalnya taktik-taktik dari masing-masing

pihak. Inisiatif “cukai” dari warga ternyata disambut dengan pola “sharing” dari

Perhutani. Demikian juga pendekatan keamanan yang dilakukan Perhutani ternyata

tidak efektif justru menghabiskan energi yang besar dan biaya sosial yang tinggi.

Sehingga masing-masing pihak sebenarnya pada kondisi menunggu sambil tetap

berusaha mengambil keuntungan dari sumberdaya yang mereka perebutkan (hutan

lindung).

Page 111: PERUBAHAN STRUKTUR AGRARIA DAN HARMONI SEMU … · PERUBAHAN STRUKTUR AGRARIA DAN HARMONI SEMU (Studi Kasus Reklaiming Hutan Lindung pada Komunitas Petani Kopi Rakyat di Kabupaten

91

Membangun Konsensus: Membangun Harmoni

Tahapan kontestasi yang berada pada tahap kemacetan, apabila dilihat dari

seluruh tahapan konflik berarti pada tahap puncak. Pada tahap ini konflik akan

menurun dan menuju pada tahap pengurangan (de-escalation) dan mengalami proses

negosiasi dalam rangka mencapai konsensus. Tahap pengurangan konflik ini

mengacu pada menurunnya cara-cara kekerasan yang digunakan oleh para pihak

yang terlibat dalam reklaiming. Tahap ini juga berarti hilangnya kebencian dan

meningkatnya kerjasama (Maiese, 2004).

Terdapat beberapa proses yang menyumbang pada pengurangan konflik

akibat reklaiming hutan lindung. Beberapa proses tersebut antara lain: perubahan

organisasi sosial, interaksi para pihak yang berkonflik, peranan pihak ketiga,

lembaga pendidikan dan media.

Munculnya paguyuban petani kopi hutan sebagai wadah memperjuangkan

kepentingan mereka terutama keberadaan kebun kopinya menunjukkan adanya

keinginan dari warga untuk bekerja sama menyelesaikan konflik dengan Perhutani.

Pembentukan LMDH oleh Perhutani juga merupakan bentuk akomodasi dari

Perhutani untuk turut mengambil keuntungan dari akses terhadap hutan lindung.

Munculnya organisasi-organisasi ini menunjukkan bahwa para pihak yang berkonflik

sudah mengarah pada negosiasi untuk konsensus bersama.

Interaksi sehari-hari para petugas Perhutani yang juga bertempat tinggal

dalam desa yang sama dengan warga yang melakukan reklaiming hutan lindung

menimbulkan penghormatan akan hak-hak hidup bersama. Kebersamaan mereka

menghilangkan perasaan-perasaan bermusuhan yang akhirnya dapat mengurangi

meluasnya konflik. Melalui berbagai proses yang manusiawi, masing-masing pihak

dapat bertemu dengan penerimaan yang saling menguntungkan.

Sebagaimana telah disebutkan sebelumnya, bahwa banyak pihak yang terkait

walaupun secara tidak langsung dalam reklaiming hutan lindung ini. Meskipun para

pihak tersebut tidak mendapat keuntungan secara langsung dari akses hutan lindung,

tetapi mereka mempunyai peranan penting dalam mengatasi meluasnya konflik.

Pihak pemerintah desa misalnya, selalu memediasi antara warga dan Perhutani dapat

membangun komunikasi dan konsensus terkait reklaiming. Secara hukum pemerintah

desa mengakui bahwa mereka tidak mempunyai kewenangan dengan pengelolaan

Page 112: PERUBAHAN STRUKTUR AGRARIA DAN HARMONI SEMU … · PERUBAHAN STRUKTUR AGRARIA DAN HARMONI SEMU (Studi Kasus Reklaiming Hutan Lindung pada Komunitas Petani Kopi Rakyat di Kabupaten

92

hutan. Meskipun demikian mereka merasa bertanggung jawab dengan keberadaan

warganya dan tindakan mereka membuka hutan lindung dan menjadikannya kebun

kopi. Upaya mediasi dan dialog yang dilakukan ternyata mengarah pada beberapa

kesepakatan yang sementara dirasa menguntungkan berbagai pihak. Sudah ada Surat

Perjanjian Kerjasama pengelolaan hutan lindung antara Perhutani dan warga yang

menguasai kebun kopi dan diketahui pihak desa. Dengan adanya kesepakatan ini,

maka pihak desa mempunyai dasar ketika terjadi permasalahan atau pertikaian yang

terkait dengan keberadaan kebun kopi yang ada di hutan lindung tersebut. Demikian

juga pedagang, walaupun mempunyai motif ekonomi (mendapat barang dagangan

kopi), mereka juga berusaha agar kondisi yang kondusif tetap terjaga demi

kelancaran usahanya juga.

Lembaga-lembaga pendidikan dan media turut berperan dalam mengurangi

eskalasi konflik akibat reklaiming hutan lindung. Lembaga pendidikan seperti

sekolah dan pondok pesantren berperan dalam mempromosikan kerjasama dan

perilaku sosial yang baik. Demikian juga media dapat mempromosikan pemahaman

di antara para pihak yang berkonflik dan mengklarifikasi isu-isu yang dapat

memperluas konflik.

Page 113: PERUBAHAN STRUKTUR AGRARIA DAN HARMONI SEMU … · PERUBAHAN STRUKTUR AGRARIA DAN HARMONI SEMU (Studi Kasus Reklaiming Hutan Lindung pada Komunitas Petani Kopi Rakyat di Kabupaten

PERUBAHAN STRUKTUR AGRARIA DAN HARMONI SEMU

Distribusi Manfaat Reklaiming

Reklaiming sebagai bentuk akses terhadap hutan lindung yang dilakukan oleh

komunitas petani kopi rakyat yang merupakan warga Desa Sidomulyo dan sekitarnya

telah memberikan manfaat/keuntungan. Keuntungan tersebut berasal dari pembukaan

kebun kopi di dalam hutan lindung yang mereka reklaim. Untuk memelihara akses

ini, awalnya mereka memberikan “cukai” kepada para petugas Perhutani. “Cukai” ini

kemudian oleh diakomodasi oleh Perhutani secara lembaga diakui sebagai “sharing”

sebagaimana diterimanya dari para pesanggem di hutan-hutan produksi yang

dikelolanya. Bahkan Perhutani melalui Surat Perjanjian Kerjasanma (SPK) yang

ditandatangani bersama LMDH mematok besaran 1/3 hasil panen sebagai “sharing”

tersebut.

Manfaat dari reklaiming sebenarnya tidak hanya dinikmati oleh dua aktor

utama di atas. Selama budidaya kopi, baik dalam pemeliharaan kebun maupun panen

kopi, menciptakan banyak kesempatan kerja. Sehingga para buruh tani dapat dengan

mudah mendapatkan pekerjaan yang berarti juga pendapatan. Setelah itu, pengolahan

hasil panen kopi yaitu menjadikan buah kopi (kopi glondong) menjadi kopi beras

(ose) juga menciptakan kesempatan kerja dan peluang penerapan inovasi-inovasi

teknologi. Proses pengolahan ini juga membuka kesempatan kerja. Setelah itu

pemasaran kopi menciptakan peluang bagi para pedagang untuk mengambil

keuntungan. Bergeraknya perekonomian di wilayah desa menjadikan pemerintah

desa terpacu untuk meningkatkan pelayanannya dan melaksanakan program-program

pembangunan untuk mendukung aktivitas warganya.

Peningkatan perekonomian warga Desa Sidomulyo berpengaruh pada kondisi

kehidupan sosial mereka. Interaksi sosial semakin intensif, relasi sosial juga semakin

berkembang dan kompleks. Kondisi sosial ekonomi yang semakin kondusif menarik

para pemilik modal untuk berinvestasi baik kepada pedagang maupun kepada petani

kopi. Mereka juga berharap dapat menikmati keuntungan yang bersumber dari

kebun-kebun kopi hasil reklaiming hutan lindung.

Page 114: PERUBAHAN STRUKTUR AGRARIA DAN HARMONI SEMU … · PERUBAHAN STRUKTUR AGRARIA DAN HARMONI SEMU (Studi Kasus Reklaiming Hutan Lindung pada Komunitas Petani Kopi Rakyat di Kabupaten

94

Kontestasi para pihak dalam reklaiming hutan lindung dengan segala

kepentingannya akan bermuara pada suatu struktur agraria baru. Perubahan struktur

agraria ini pada dasarnya adalah perubahan sosial karena terjadi perubahan pola

perilaku, hubungan sosial, lembaga dan struktur sosial pada komunitas petani kopi

rakyat yang melakukan reklaiming pada khususnya dan wilayah Desa Sidomulyo

pada umumnya. Hal ini dapat dilihat dari perubahan unsur-unsur pembentuk struktur

agraria sebagaimana disebutkan oleh Tuma (dalam Sitorus, 2002), yang meliputi:

kepemilikan tanah, konsentrasi tanah dan pendapatan, diferensiasi sosial, persaingan

usaha, dan rasio tanah/tenaga kerja. Hasil survei dan observasi terhadap 30 rumah

tangga petani yang dipilih (Lampiran 1) akan menjelaskan perubahan tersebut.

Kepemilikan Tanah

Kepemilikan tanah responden yang disurvei tidak menunjukkan pertambahan

secara langsung karena memang lahan kebun kopi di hutan yang mereka kuasai tidak

bisa dimiliki. Tetapi dari hasil kebun kopi tersebut beberapa responden mengaku

dapat membeli tanah yang ada di desa baik pekarangan, sawah atau tegalan.

Penguasaan tanah efektif23 sebagaimana disebut Wiradi (1984) yang sebelum adanya

reklaiming berkisar pada rata-rata 1 hektar berubah menjadi 2 hektar lebih. Angka

rata-rata ini tidak bisa mencerminkan keadaan sebenarnya tetapi hanya menunjukkan

besarnya perubahan rata-rata penguasaan tanah yang mencapai 100% bahkan lebih.

Kenyataannya dari 30 responden tersebut 10 orang di antaranya sebelumnya tidak

mempunyai kebun kopi sama sekali (lihat Lampiran 2).

Penguasaan kebun kopi di atas tidak semuanya berasal dari usaha warga

membuka sendiri di hutan lindung. Bahkan hasil survei menunjukkan bahwa paling

banyak responden (14 orang atau 47%) menguasai kebun kopi tersebut dengan

membeli atau istilah mereka mengganti rugi. Responden yang menguasai kebun kopi

dengan membuka sendiri sebanyak 13 orang (43%) dan sisanya (3 orang atau 10%)

menguasai kebun kopinya dengan membuka sendiri dan membeli. Pola penguasaan

kebun kopi ini menunjukkan adanya komodifikasi lahan sebagai faktor produksi.

23 Misalnya, jika sebidang tanah disewakan kepada orang lain maka orang lain itulah yang secara efektif menguasainya. Jika seseorang menggarap tanah miliknya sendiri, misalnya 2 ha, lalu menggarap juga 3 ha tanah yang disewa dari orang lain, maka ia menguasai 5 ha.

Page 115: PERUBAHAN STRUKTUR AGRARIA DAN HARMONI SEMU … · PERUBAHAN STRUKTUR AGRARIA DAN HARMONI SEMU (Studi Kasus Reklaiming Hutan Lindung pada Komunitas Petani Kopi Rakyat di Kabupaten

95

Lahan di hutan lindung yang sudah berubah menjadi kebun kopi rakyat menjadi

sesuatu yang bernilai dan dapat dipindah-tangankan walaupun tanpa bukti

kepemilikan.

Nilai dari kebun kopi yang ada di hutan lindung ketika akan dipindah-

tangankan tidak berdasarkan pada luas arealnya, melainkan pada jumlah pohon kopi

dan kondisinya. Karena jarak tanam yang dipakai warga relatif sama yaitu 2x1 meter,

maka setiap hektar rata-rata berisi 1600 pohon. Hanya saja karena topografi tanahnya

yang miring, maka dalam satu hektar tidak bisa persis berisi 1600 pohon, biasanya di

bawah jumlah tersebut. Kondisi kebun dapat dilihat dari umur tanaman dan

perawatannya. Kebun yang tanamannya memasuki umur produktif (di atas 5 tahun)

dan bagus perawatannya maka akan dihargai mahal. Seperti kebun yang dikuasai

salah seorang informan (Pak Bs, Dsn K), dengan tanaman kopi sebanyak 1500 pohon

beliau menyatakan seandainya ditawarkan 50 juta maka akan banyak orang yang

mau.

Konsentrasi Tanah dan Pendapatan

Semakin tingginya peralihan lahan bukaan di hutan lindung kepada mereka

yang mampu membeli mengarah pada konsentrasi tanah pada para pemilik modal.

Konsentrasi tanah ini pada gilirannya mengarah pada konsentrasi pendapatan.

Mereka yang menguasai tanah kebun kopi lebih banyak semakin banyak pula

pendapatan yang mereka peroleh. Ada beberapa orang yang akhirnya menguasai

kebun kopi di hutan lindung dalam jumlah yang luas hingga ratusan hektar. Luasan

tersebut tidak pernah diakuinya, tetapi banyak warga yang menegaskan bahwa

mereka itu menguasai kebun kopi yang luas di kebun kopi karena seringkali membeli

dari para warga yang menjual. Di samping itu mereka juga mempunyai banyak

pekerja yang menangani pekerjaan-pekerjaan di kebun kopi yang ada di hutan

lindung mulai dari perawatan sampai pemanenan.

Rata-rata pendapatan yang diperoleh warga dari kebun kopi yang ada di hutan

per tahunnya sebanding dengan penguasaan lahannya (Tabel 5). Semakin luas lahan

yang dikuasai semakin besar pula pendapatan yang diperolehnya. Meskipun

demikian ada beberapa faktor yang mempengaruhi besaran tersebut antara lain:

Page 116: PERUBAHAN STRUKTUR AGRARIA DAN HARMONI SEMU … · PERUBAHAN STRUKTUR AGRARIA DAN HARMONI SEMU (Studi Kasus Reklaiming Hutan Lindung pada Komunitas Petani Kopi Rakyat di Kabupaten

96

jumlah pohon kopi yang ditanam, umur tanaman, hasil panen, besaran cukai/sharing,

harga kopi, dan biaya usahatani.

Tabel 5. Rata-rata Pendapatan Petani Kopi di Lahan Hasil Reklaiming

No. Luas Kebun Kopi (Ha) Rata-rata Pendapatan/Tahun (Rp) 1 ≤ 0,5 3.667.000 2 0,5-1 8.583.444 3 1-2 12.648.722 4 ≥2 29.401.500

Sumber: Lampiran 3

Jumlah pohon yang ditanam oleh para warga tidak sama per luasannya karena

mempertimbangkan topografi yang tidak semuanya datar. Semakin curam topografi

lahan yang dikuasainya, biasanya semakin sedikit jumlah pohon yang ditanam. Umur

tanaman akan mempengaruhi produktivitasnya. Tanaman kopi mulai berbuah setelah

berumur 4 tahun dan mencapai produktivitas tertinggi pada umur 6-7 tahun dan

setelahnya harus disambung untuk mempertahankan produktivitasnya. Jumlah pohon

dan umur tanaman inilah yang mempengaruhi hasil panen. Selanjutnya besaran

“cukai” yang disebut oleh warga dan “sharing” yang disebut oleh Perhutani akan

mengurangi hasil yang bisa dijual oleh warga. Harga kopi per kg relatif sama,

walaupun ada sedikit perbedaan karena kualitas olahannya menjadi kopi beras atau

perbedaan pedagang yang membelinya. Biaya usahatani yang dikeluarkan tergantung

luas lahan yang dikuasai warga, semakin luas tentu saja semakin besar biayanya. Hal

ini dikarenakan selain semakin banyak input produksi yang harus dibeli juga semakin

banyak tenaga kerja yang diperlukan yang tentu saja tidak bisa dikerjakan tenaga

kerja dalam keluarga. Artinya mereka yang luas lahannya akan semakin banyak

membutuhkan tenaga kerja luar keluarga/upahan. Besaran dari faktor-faktor yang

mempengaruhi pendapatan warga dari hasil kebun kopi di hutan lindung secara rinci

dapat dilihat pada Lampiran 3.

Diferensiasi Sosial

Diferensiasi sosial warga desa Sidomulyo mengalami dinamika sejak

terjadinya reklaiming hutan lindung. Warga-warga yang menguasai kebun kopi di

Page 117: PERUBAHAN STRUKTUR AGRARIA DAN HARMONI SEMU … · PERUBAHAN STRUKTUR AGRARIA DAN HARMONI SEMU (Studi Kasus Reklaiming Hutan Lindung pada Komunitas Petani Kopi Rakyat di Kabupaten

97

hutan lindung menciptakan kelompok sosial baru dengan kesamaan kondisi sosial

ekonomi dan kepentingan yang sama. Peningkatan pendapatan yang mereka peroleh

dari hasil kebun kopi di hutan lindung mengubah kondisi kehidupan ekonominya.

Dengan kondisi ekonomi yang baru, kehidupan sosial mereka juga mulai berubah.

Dahulu, ketika belum mempunyai kebun kopi mereka tidak dapat berpartisipasi

dalam kegiatan-kegiatan sosial karena sibuk dalam pemenuhan kebutuhan dasarnya

dan tidak mampu memenuhi kewajiban-kewajiban dari kegiatan-kegitan tersebut

seperti iuran dan penyediaan konsumsi. Setelah mereka mengalami peningkatan

kondisi ekonomi mereka menjadi aktif dalam kegiatan-kegiatan sosial seperti

pengajian, kelompok tani dan koperasi. Keikutsertaan mereka didorong oleh adanya

kebutuhan untuk saling tukar informasi sesama warga terutama yang sama-sama

menguasai kebun kopi di hutan lindung. Informasi tersebut berkisar tentang

perkembangan keberadaan kebun kopi mereka, ketersediaan pupuk, harga kopi dan

tenaga kerja.

Hasil pengamatan peneliti menunjukkan adanya interaksi sosial yang lebih

intensif di antara sesama warga yang menguasai kebun kopi di hutan dibandingkan

dengan warga lainnya. Dalam sebuah pengajian, mereka juga mengelompok untuk

sekedar memperbincangkan hal-hal yang terkait dengan kebun kopi di hutan lindung.

Terlebih dalam kelompok tani, anggota yang mempunyai kebun kopi di hutan

lindung lebih aktif karena kebutuhannya akan fasilitas yang bisa diperoleh dari

kelompok tani lebih besar. Melalui kelompok tani mereka dapat mengakses proyek-

proyek baik dari pemerintah maupun swasta. Meskipun sejatinya proyek-proyek

tersebut ditujukan untuk pengembangan kopi yang arealnya ada di wilayah desa,

tetapi mereka juga menggunakannya untuk kebun kopinya yang ada di hutan

lindung. Dalam kelompok tani sendiri, terdapat stratifikasi sosial berdasarkan

penguasaan lahan yang kemudian menjadi pertimbangan posisinya dalam

kepengurusan. Mereka yang mempunyai lahan luas relatif menduduki jabatan yang

lebih strategis dibandingkan mereka yang mempunyai lahan lebih sempit.

Para petani kopi rakyat yang mempunyai kebun kopi hasil reklaiming

menjadi kelompok sosial baru menengah dengan pengusaaan kebun rata-rata 2

hektar. Kelompok sosial ini menjadi kelompok sosial baru atau setidaknya

memperlebar kelompok ini dari sebelumnya. Kondisi yang ada sebelumnya

Page 118: PERUBAHAN STRUKTUR AGRARIA DAN HARMONI SEMU … · PERUBAHAN STRUKTUR AGRARIA DAN HARMONI SEMU (Studi Kasus Reklaiming Hutan Lindung pada Komunitas Petani Kopi Rakyat di Kabupaten

98

kelompok sosial penguasaan tanah terpolarisasi pada tuan-tuan tanah dengan

pengusaan yang luas (> 10 hektar) dan petani-petani gurem dengan penguasaan yang

sangat sempit (< 0,5 hektar).

Persaingan Usaha

Pengusahaan kopi di hutan lindung tidak terlepas dari adanya persaingan

dalam beberapa hal. Yang paling dominan adalah kebutuhan pupuk. Selain itu

kebutuhan akan tenaga kerja pada pekerjaan-pekerjaan tertentu di kebun kopi yang

membutuhkan banyak orang seperti panen juga memunculkan persaingan. Dan yang

tidak kalah sengitnya adalah persaingan dalam pemasaran hasil panen.

Walaupun tanah di hutan lindung relatif masih subur, tetapi kebiasaan petani

menggunakan pupuk dan keinginan agar tanamannya tumbuh dengan lebih baik

mendorong mereka menggunakan pupuk kimia secara berlebihan. Padahal

sebagaimana diketahui bahwa penjualan pupuk dibatasi oleh pemerintah karena

terkait dengan subsidi. Pembatasan tersebut berdasarkan perkiraan luas areal

pertanian tanaman pangan yang ada di wilayah tertentu. Sehingga sebenarnya tidak

ada alokasi pupuk untuk tanaman kopi apalagi yang arealnya tidak terdaftar karena

ada di hutan lindung. Tetapi dengan kelompok tani dan koperasi yang mereka miliki,

kebutuhan pupuk dapat mereka peroleh dari distributor pupuk resmi. Tentu saja

dengan berbagai alasan mereka dapat meyakinkan distributor bahwa memang

kebutuhan pupuk di wilayah tersebut sangat besar sehingga perlu penambahan dari

alokasi yang ditetapkan.

Persaingan untuk memperoleh pupuk di antara sesama anggota khususnya

antara yang mempunyai lahan luas dan sempit kerapkali menimbulkan ketegangan-

ketegangan di antara mereka. Masing-masing ingin mendapatkan pupuk sejumlah

pupuk sebanyak yang ia perlukan, padahal alokasi yang ada terbatas jumlah dan

jenisnya serta datangnya bertahap. Mereka yang berlahan luas ingin diprioritaskan

karena kebutuhannya sangat besar dan merasa bahwa permintaannya yang besar

itulah yang menjamin kepercayaan distributor untuk memberikan alokasi pupuk di

wilayah tersebut. Sedangkan mereka yang berlahan sempit menuntut adanya

pemerataan dan keadilan. Semua berhak mendapatkan jatah secara merata,

selebihnya baru boleh dijual kepada yang memerlukan. Kebijakan yang diambil oleh

Page 119: PERUBAHAN STRUKTUR AGRARIA DAN HARMONI SEMU … · PERUBAHAN STRUKTUR AGRARIA DAN HARMONI SEMU (Studi Kasus Reklaiming Hutan Lindung pada Komunitas Petani Kopi Rakyat di Kabupaten

99

pengurus koperasi memang berpihak pada mereka yang berlahan sempit, yaitu semua

mendapat jatah yang sama. Meskipun demikian pada praktiknya karena mereka yang

berlahan luas banyak yang duduk sebagai pengurus dan merupakan tokoh-tokoh

masyarakat, maka dengan berbagai cara dapat memperoleh pupuk melebihi jatah

yang seharusnya.

Banyaknya kegiatan di kebun kopi menuntut adanya tenaga kerja yang juga

banyak untuk menyelesaikannya. Kebiasaan rumah tangga petani di Sidomulyo

menggunakan tenaga kerja luar keluarga untuk pekerjaan-pekerjaan yang harus

diselesaikan secepatnya seperti pemupukan, jombret (membersihkan kebun) dan

panen. Khususnya pada saat panen, kebutuhan akan tenaga kerja sangat tinggi.

Bahkan tenaga kerja dari dalam desa belum mencukupi, sehingga banyak

mendatangkan dari luar desa. Persaingan mendapatkan tenaga kerja cenderung

dimenangkan pemilik lahan luas. Hal ini karena para tenaga kerja lebih memilih

bekerja pada pemilik lahan luas karena lebih menjamin keberlangsungan lama

pekerjaan yang artinya mendapatkan upah yang lebih banyak. Meskipun pada

kenyataannya pemilik lahan sempit justru lebih perhatian terhadap tenaga kerja

dengan memberikan konsumsi dan upah yang lebih tinggi. Tetapi karena memang

lahan yang sempit hanya membutuhkan waktu yang tidak lama untuk diselesaikan

pekerjaannya maka menjadi tidak menarik bagi para tenaga kerja.

Persaingan dalam pemasaran kopi hasil panen tidak terjadi di antara petani,

melainkan pada pedagang. Pedagang yang dimaksud adalah mereka yang

berhubungan langsung dengan petani yaitu: penebas, pedangang pengumpul untuk

pasar lokal dan pedagang pengumpul untuk pasar ekspor. Setiap petani kopi rakyat di

Desa Sidomulyo memiliki alasan tersendiri untuk memilih kepada siapa mereka akan

menjual hasil panennya. Beberapa alasan yang sering mereka ungkapkan terkait

pemilihan tersebut adalah: adanya faktor kebutuhan ekonomi yang mendesak, faktor

keterikatan anggota dalam kelompok tani maupun faktor keterikatan utang piutang.

Mereka yang terdesak kebutuhan ekonomi akan menjual hasil panennya kepada

penebas. Penebas akan menaksir jumlah kopi yang ada di kebun, dan apabila

disepakati harganya maka kebun berada dalam penguasaan penebas sampai selesai

panen. Hal ini dikarenakan selain lebih cepat mendapatkan uang, mereka juga tidak

perlu mengeluarkan biaya untuk panen. Sedangkan mereka yang mampu melakukan

Page 120: PERUBAHAN STRUKTUR AGRARIA DAN HARMONI SEMU … · PERUBAHAN STRUKTUR AGRARIA DAN HARMONI SEMU (Studi Kasus Reklaiming Hutan Lindung pada Komunitas Petani Kopi Rakyat di Kabupaten

100

panen sendiri menjual kopinya dalam bentuk beras kepada pedagang pengumpul.

Mereka yang berlahan sempit menjualnya kepada pedagang pengumpul untuk pasar

lokal yang tidak mensyaratkan kualitas tertentu. Sedangkan mereka yang berlahan

luas menjualnya kepada pedagang pengumpul untuk pasar ekspor. Para pedagang ini

hanya menerima dalam jumlah besar karena akan melakukan proses sortasi kualitas

sebelum memasarkannya ke eksportir.

Rasio Tanah dan Tenaga Kerja serta Implikasinya

Desa Sidomulyo memiliki luas wilayah sebesar 4.984,3 hektar dengan

penggunaan sebagian besarnya untuk areal perkebunan dan hutan, sedangkan

selebihnya terdiri dari pemukiman umum, pertanian sawah, ladang/tegalan,

bangunan, sarana rekreasi dan olahraga serta kuburan. Dari luasan tersebut yang

dimiliki petani sebagai sawah, tegalan dan kebun hanyalah 465.8 hektar. Sedangkan

penduduk yang tercatat sebagai petani sebesar 5.126 jiwa. Sehingga apabila dirata-

rata seorang petani hanya bisa mengerjakan 908,7 m2 saja atau kurang dari 0,1

hektar. Hal ini juga dapat diartikan satu hektar tanah di Desa Sidomulyo harus

mampu menyerap lebih dari 10 tenaga kerja petani. Angka rata-rata ini juga memiliki

bias yang tinggi karena konsentrasi pemilikan yang timpang.

Kondisi rasio tanah dan tenaga kerja di desa yang kecil ini dahulunya

mendorong beberapa warga ke luar daerah untuk mencari pekerjaan. Peristiwa

reklaiming hutan lindung yang mencapai ribuan hektar24 ternyata memberi solusi

terhadap kecilnya rasio tanah dan tenaga kerja. Warga petani khususnya buruh tani,

yang dahulu bingung mencari pekerjaan karena terbatasnya lahan sekarang justru

bingung mencari tenaga kerja untuk membantu menyelesaikan pekerjaan di

lahannya. Bahkan beberapa warga yang bekerja di luar daerah ada yang kembali ke

desa setelah mendengar adanya kesempatan menguasai kebun kopi di hutan lindung.

Kondisinya sekarang hampir semua rumah tangga di Desa Sidomulyo memiliki

kebun kopi di hutan lindung walaupun hanya 0,25 hektar atau sekitar 400 pohon kopi

seperti yang dikuasai oleh Bu N, Dsn CD. Informan ini sebelumnya tidak

mempunyai kebun sama sekali. Sebagai seorang janda sekaligus kepala keluarga

24Berdasarkan monografi Desa Sidomulyo 2007 hutan lindung yang masuk wilayah Desa Sidomulyo sebesar 1849.9 hektar dan semuanya sudah menjadi obyek reklaiming dan menjadi kebun kopi semua.

Page 121: PERUBAHAN STRUKTUR AGRARIA DAN HARMONI SEMU … · PERUBAHAN STRUKTUR AGRARIA DAN HARMONI SEMU (Studi Kasus Reklaiming Hutan Lindung pada Komunitas Petani Kopi Rakyat di Kabupaten

101

sebelumnya hanya bekerja sebagai buruh perkebunan dengan upah yang tidak

menentu. Ketika banyak orang membuka hutan lindung untuk kebun kopi, Bu N pun

tidak mau ketinggalan. Dengan segala keterbatasannya akhirnya mampu membuka

kebun dengan tanaman 400 pohon kopi atau sekitar ¼ ha. Dari kebun tersebut

terakhir beliau dapat panen sebanyak 200 kg kopi beras. Setelah membayar “cukai”

sebanyak 20 kg, setidaknya beliau dapat hasil dari penjualan sebesar Rp. 2.520.000,-

(180 kg x Rp. 14.000,-). Walaupun hanya setahun sekali, pendapatan sebesar itu

tentunya sangat berharga baginya.

Perubahan struktur agraria di atas secara langsung dapat mengatasi

pengangguran pedesaan yang diakibatkan terbatasnya lahan garapan. Jumlah

penduduk yang masuk angkatan kerja di Desa Sidomulyo (usia 16-55 tahun)

mencapai jumlah 6.367 jiwa. Dengan lahan garapan yang ada di desa hanya 465.8

hektar, maka dapat dibayangkan besarnya pengangguran yang ada. Adanya lahan

reklaiming di hutan lindung yang mencapai ribuan hektar ternyata dapat

memecahkan permasalahan ini. Walaupun hanya sebagai tenaga kerja upahan,

setidaknya mereka tidak kebingungan mencari pekerjaan. Seperti yang dialami oleh

seorang informan di dusun yang ada di wilayah perkebunan (P.K, Dsn SD). Lelaki

berumur 55 tahun ini bekerja sebagai pesanggem dengan andil 700 pohon pinus. Dari

andil sebesar ini beliau tiap minggu dapat menyetorkan 80 kg getah pinus yang

upahnya Rp.1.700,-/kg. Sehingga dalam seminggu hanya dapat mengantongi Rp.

136.000,- yang digunakan untuk menghidupi 6 orang anggota keluarganya. Artinya

dalam sehari belanja keluarganya tidak boleh lebih dari Rp. 20.000,-.

Sebelum reklaiming kebun kopi yang dikelola di pekarangannya yang

merupakan tanah emplasemen perkebunan kurang dari 0,5 ha dengan jumlah

tanaman sebanyak 300 pohon kopi. Dari kebun ini tiap tahunnya dapat dipanen tidak

lebih dari 2 kwintal kopi. Dengan harga Rp. 14.000,-/kg maka dapat diperoleh hasil

kotor sebesar 2,8 juta rupiah. Setelah dikurangi rata-rata biaya sebesar 30% maka

beliau dapat mengantogi Rp. 1.960.000,-. Setelah reklaiming, P.K berhasil

menguasai dua petak kebun kopi dengan masing-masing tanamannya berjumlah 600

dan 800 pohon kopi atau lebih dari satu hektar. Dari dua petak kebun yang terakhir

ini, panen terakhir beliau mendapatkan 1, 2 ton. Dengan harga Rp. 14.000,-/kg

setidaknya beliau mendapatkan penghasilan kotor Rp.16.800,000,-. Sehingga dapat

Page 122: PERUBAHAN STRUKTUR AGRARIA DAN HARMONI SEMU … · PERUBAHAN STRUKTUR AGRARIA DAN HARMONI SEMU (Studi Kasus Reklaiming Hutan Lindung pada Komunitas Petani Kopi Rakyat di Kabupaten

102

dibayangkan peningkatan pendapatannya setelah menguasai kebun kopi hasil

reklaiming.

Luasnya kebun kopi hasil reklaiming yang mencapai ribuan hektar terbukti

secara langsung meningkatkan rasio tanah dan tenaga kerja, meningkatkan

pendapatan dan penyerapan tenaga kerja sebagaimana dijelaskan di atas. Bahkan

yang terjadi adalah kekurangan tenaga kerja dari dalam desa. Sehingga banyak

menarik kembali warga yang sudah ke luar daerah untuk kembali ke Desa Sidomulyo

dan tenaga kerja upahan dari luar desa.

Harmoni Semu

Perubahan-perubahan dalam unsur-unsur struktur agraria di atas dan kondisi

harmoni yang tercipta ternyata masih menyisakan banyak persoalan yang belum

terjawab tuntas. Persoalan-persoalan tersebut dapat diketahui dari dinamika yang

terjadi atas proses reklaiming dan hasil-hasil yang tercipta.

Dinamika reklaiming hutan lindung oleh warga Sidomulyo yang bermula dari

euforia reformasi tidak menunjukkan prasyarat harmoni yaitu tidak adanya

keterpaksaan. Perhutani terpaksa membiarkan warga membuka hutan lindung karena

tidak punya kekuatan untuk mencegah. Demikian juga warga memaksa membuka

hutan karena merasa punya hak sebagaimana yang diperoleh oleh nenek moyang

mereka. Kalau kemudian masing-masing pihak dapat bertemu dan berkomunikasi,

hal ini hanyalah pada strategi mereka untuk mencapai tujuan masing-masing.

Perubahan “cukai” menjadi “sharing” yang mengikuti perjalanan fenomena

reklaiming ini juga menunjukkan adanya kompromi di antara mereka. “Cukai” yang

merupakan inisiatif dari warga sebagai bentuk pemberian bawah tangan kepada

petugas Perhutani dalam perjalanannya diakomodasi oleh Perhutani secara institusi

menjadi setoran bagi hasil atau “sharing” yang resmi.

Perubahan-perubahan yang terjadi sebagai hasil dari reklaiming tidak

semuanya bermakna positif bagi warga Sidomulyo. Pertambahan penguasaan lahan

garapan kebun kopi di hutan masih belum mendapat pengakuan secara legal yang

artinya sangat rentan untuk ditarik kembali oleh penguasa (negara). Penguasaan yang

mengarah pada komodifikasi lahan semakin menguatkan kapitalisasi pedesaan.

Tanah hanya berfungsi sebagai faktor produksi yang hanya dinilai dengan

Page 123: PERUBAHAN STRUKTUR AGRARIA DAN HARMONI SEMU … · PERUBAHAN STRUKTUR AGRARIA DAN HARMONI SEMU (Studi Kasus Reklaiming Hutan Lindung pada Komunitas Petani Kopi Rakyat di Kabupaten

103

produktivitas. Konsentrasi lahan kebun kopi di hutan lindung kepada para pemilik

modal mengikis semangat awal reklaiming yaitu tuntutan keadilan sosial. Lahan

kebun kopi hasil reklaiming seharusnya menjadi sumber mata pencaharian bukan

sebagai komoditi faktor produksi yang dengan mudah dapat berpindah tangan

dengan ganti rugi sejumlah uang. Konsentrasi lahan yang mengarah pada polarisasi

akan semakin mengaburkan harmoni karena akan menjadikan warga kembali

menjadi buruh tani bukan lagi sebagai penggarap.

Diferensiasi sosial yang terbentuk pasca reklaiming akan menjadi indikator

bahwa harmoni benar-benar terjadi, karena dalam diferensiasi sosial keterpaksaan

dapat diminimalkan. Demikian juga persaingan usaha, akan menjaga harmoni

apabila berlangsung dalam kondisi yang sehat. Peningkatan rasio tanah dan tenaga

kerja di Sidomulyo yang secara nyata mengurangi pengangguran dan menciptakan

lapangan kerja juga akan turut mendorong harmoni menjadi murni tidak lagi semu.

Page 124: PERUBAHAN STRUKTUR AGRARIA DAN HARMONI SEMU … · PERUBAHAN STRUKTUR AGRARIA DAN HARMONI SEMU (Studi Kasus Reklaiming Hutan Lindung pada Komunitas Petani Kopi Rakyat di Kabupaten

104

Page 125: PERUBAHAN STRUKTUR AGRARIA DAN HARMONI SEMU … · PERUBAHAN STRUKTUR AGRARIA DAN HARMONI SEMU (Studi Kasus Reklaiming Hutan Lindung pada Komunitas Petani Kopi Rakyat di Kabupaten

PENUTUP

Simpulan

Reklaiming hutan lindung oleh komunitas petani kopi rakyat di Sidomulyo

mempunyai tujuan yang bersifat ideologis yaitu terkait dengan alasan moralitas,

keadilan, normatif dan sejarah. Selain itu juga mempunyai tujuan praktis yaitu

terkait nilai ekonomi dan ekologi dari hutan lindung. Aktor utama yang berkonflik

dalam perebutan hutan lindung sebagai sumberdaya agraria adalah komunitas petani

kopi rakyat dan Perhutani. Di samping itu ada juga aktor lain yang terkait secara

tidak langsung yaitu swasta (pedagang, pemilik modal dan eksportir) dan pemerintah

(desa dan daerah).

Aktor-aktor yang berkonflik di atas mempunyai kepentingan masing-masing

terkait hutan lindung sebagai sumberdaya yang diperebutkan. Kepentingan

komunitas petani kopi rakyat adalah mendapatkan sumber penghidupan dan

reklaiming yang mereka lakukan merupakan gerakan sosial atas keadaan krisis

agraria yang ada di wilayah mereka. Masa reformasi merupakan momentum yang

dinilai sangat tepat, mengingat struktur politik nasional terbuka lebar dan terbukti

berhasil. Kepentingan Perhutani adalah “kontrol akses” yaitu kemampuan untuk

memediasi akses pihak-pihak lain terhadap sumberdaya yang dikontrolnya (hutan

lindung). Kepentingan swasta dalam reklaiming adalah serupa dengan prinsip

ekonomi yaitu mencari keuntungan sebesar-besarnya dengan biaya sekecil-kecilnya

dengan resiko seminimal mungkin. Kepentingan pemerintah desa adalah melindungi

warganya agar dapat hidup sebagaimana layaknya. Sedangkan pemerintah daerah

masih belum jelas keberpihakannya, bahkan cenderung masa bodoh dengan

reklaiming ini.

Mekanisme para pihak yang terlibat reklaiming dalam memperoleh,

mengontrol dan memelihara aliran keuntungan dari hutan lindung dan distribusinya

merupakan suatu kemampuan akses yang dipengaruhi teknologi, modal, pasar,

pengetahuan, wewenang, identitas sosial, dan relasi sosial. Pengaruh teknologi dalam

akses sumberdaya hutan lindung di Sidomulyo adalah dalam hal pengolahan kopi.

Modal yang cukup banyak dibutuhkan pada saat awal (pembukaan) maupun

Page 126: PERUBAHAN STRUKTUR AGRARIA DAN HARMONI SEMU … · PERUBAHAN STRUKTUR AGRARIA DAN HARMONI SEMU (Studi Kasus Reklaiming Hutan Lindung pada Komunitas Petani Kopi Rakyat di Kabupaten

106

seterusnya (pembukaan dan pemeliharaan) kebun kopi. Akses pasar dikontrol

melalui struktur modal dan pasar. Semakin banyak modal yang dipunyai oleh

seorang pedagang semakin besar aksesnya pada pasar. Struktur pasar kopi di

Sidomulyo bersifat pasar persaingan sempurna sehingga sensitif terhadap perubahan

harga dan pelakunya (penjual dan pembeli) mudah untuk masuk dan keluar dari

pasar. Akses pada tenaga kerja akan dapat mengambil manfaat dari sumberdaya pada

saat tenaga kerja dibutuhkan sepanjang kehidupan sumberdaya atau sepanjang

lintasan komoditi dihasilkan darinya. Akses pada pengetahuan mempunyai arti

penting dalam menentukan siapa yang memanfaatkan sumberdaya. Akses pada

kekuasaan membentuk kemampuan individu untuk memanfaatkan sumberdaya.

Akses melalui identitas sosial sangat mempengaruhi distribusi keuntungan dari

sesuatu. Warga yang mempunyai posisi sosial lebih tinggi akan dianggap lebih

berjasa dalam melakukan reklaiming, sehingga akan mendapat bagian yang lebih

luas ketika kebun kopi dibagikan kepada para anggotanya. Pemeliharaan akses hutan

lindung yang direklaiming dilakukan oleh komunitas petani kopi rakyat melalui

negosiasi dengan Perhutani baik sebagai lembaga maupun personal.

Kontestasi merupakan proses yang bersifat dinamis dari para pihak / para

aktor (komunitas petani kopi rakyat, Perhutani, pedagang, dan pemerintah) yang

berinteraksi dan menegosiasikan apa yang menjadi kepentingannya dalam konteks

perebutan sumberdaya alam (hutan lindung). Interaksi mereka terwujud dalam dua

bentuk relasi kuasa agraria, yaitu: relasi teknis yaitu antara aktor utama (komunitas

petani kopi rakyat dan Perhutani) dengan objek agraria (hutan lindung); dan relasi

sosial yaitu relasi di antara para pihak baik yang terkait langsung maupun tidak

langsung dengan reklaiming. Negosiasi kepentingan para pihak berada dalam dua

ruang, yaitu ruang konflik pemaknaan dan ruang konflik hak dan akses.

Kontestasi antara dua aktor utama dalam reklaiming (komunitas petani kopi

rakyat dan Perhutani) dalam mencapai kepentingannya masing-masing berada pada

tahap kemacetan (stalemate), di mana masing-masing tidak bisa memenangkan

kepentingannya atau mundur menerima kekalahan. Kondisi ini terjadi karena adanya

beberapa hal, yaitu: besarnya biaya melanjutkan konflik, tidak adanya dukungan

pada masing-masing pihak, dan gagalnya taktik masing-masing pihak. Pada tahap ini

konflik akan menurun dan menuju pada tahap pengurangan (de-escalation) dan

Page 127: PERUBAHAN STRUKTUR AGRARIA DAN HARMONI SEMU … · PERUBAHAN STRUKTUR AGRARIA DAN HARMONI SEMU (Studi Kasus Reklaiming Hutan Lindung pada Komunitas Petani Kopi Rakyat di Kabupaten

107

mengalami proses negosiasi dalam rangka mencapai konsensus yang ditandai dengan

perubahan organisasi sosial, interaksi para pihak yang berkonflik, peranan pihak

ketiga, lembaga pendidikan dan media.

Reklaiming sebagai bentuk akses terhadap hutan lindung yang dilakukan oleh

komunitas petani kopi rakyat yang merupakan warga Desa Sidomulyo dan sekitarnya

telah memberikan manfaat/keuntungan yang berasal dari pembukaan kebun kopi di

dalam hutan lindung yang mereka reklaim. Mereka memberikan “cukai” kepada para

petugas Perhutani yang kemudian diakomodasi oleh Perhutani secara lembaga dan

diakui sebagai “sharing” melalui Surat Perjanjian Kerjasanma (SPK) yang

ditandatangani bersama LMDH dengan mematok besaran 1/3 hasil panen.

Reklaiming juga menciptakan kesempatan kerja dan peluang penerapan inovasi-

inovasi teknologi, peluang bagi para pedagang untuk mengambil keuntungan, dan

memacu pemerintah desa untuk meningkatkan pelayanannya dan melaksanakan

program-program pembangunan untuk mendukung aktivitas warganya. Kondisi

sosial ekonomi yang semakin kondusif menarik para pemilik modal untuk

berinvestasi baik kepada pedagang maupun kepada petani kopi. Mereka juga

berharap dapat menikmati keuntungan yang bersumber dari kebun-kebun kopi hasil

reklaiming hutan lindung.

Kontestasi para pihak dalam reklaiming hutan lindung dengan segala

kepentingannya akan bermuara pada suatu struktur agraria baru yang pada dasarnya

adalah perubahan sosial karena terjadi perubahan pola perilaku, hubungan sosial,

lembaga dan struktur sosial pada komunitas petani kopi rakyat yang melakukan

reklaiming pada khususnya dan wilayah Desa Sidomulyo pada umumnya.

Perubahan-perubahan dalam unsur-unsur struktur agraria di atas dan kondisi harmoni

yang tercipta ternyata masih menyisakan banyak persoalan yang belum terjawab

tuntas mengenai proses reklaiming dan hasil-hasil yang tercipta. Sehingga

perubahan-perubahan yang terjadi sebagai hasil dari reklaiming tidak semuanya

bermakna positif bagi warga Sidomulyo.

Page 128: PERUBAHAN STRUKTUR AGRARIA DAN HARMONI SEMU … · PERUBAHAN STRUKTUR AGRARIA DAN HARMONI SEMU (Studi Kasus Reklaiming Hutan Lindung pada Komunitas Petani Kopi Rakyat di Kabupaten

108

Saran

Dari hasil simpulan di atas, penulis memberikan dapat memberikan beberapa

implikasi baik secara teoritis maupun praksis sebagai berikut di bawah.

Implikasi Teoritis:

1. Perubahan sosial yang terjadi pada komunitas petani kopi rakyat di

Sidomulyo masih belum pada tahap yang fundamental atau masih belum

mengerucut pada tahap “final”. Hal ini dikarenakan relasi yang menyertainya

masih dinamis dan masih pada tataran permukaan.

2. Perubahan struktur agraria yang terjadi masih belum pada kondisi yang

mapan, karena masih menyisakan beberapa persoalan yang belum terjawab

tuntas yaitu: konflik pemaknaan dan konflik hak dan akses atas sumberdaya

agraria

Implikasi Praksis:

1. Fenomena reklaiming hutan lindung tidak harus dilihat sebagai konflik hak

kepemilikan (property). Perlu diperhatikan adanya “kemampuan” pada

hubungan-hubungan sosial yang membatasi atau memperbolehkan

masyarakat memanfaatkan sumberdaya (access).

2. Perlu peningkatan proses yang menyumbang pada pengurangan konflik

akibat reklaiming hutan lindung, antara lain: perubahan organisasi sosial,

interaksi para pihak yang berkonflik, peranan pihak ketiga, lembaga

pendidikan dan media.

3. Perlu peninjauan distribusi manfaat reklaiming terutama pada Perhutani

(sharing 1/3 dari hasil panen) sehingga aliran manfaat menjadi adil dan

transparan.

Page 129: PERUBAHAN STRUKTUR AGRARIA DAN HARMONI SEMU … · PERUBAHAN STRUKTUR AGRARIA DAN HARMONI SEMU (Studi Kasus Reklaiming Hutan Lindung pada Komunitas Petani Kopi Rakyat di Kabupaten

109

DAFTAR PUSTAKA Buku Bachriadi, D. dan Mustofa Agung Sardjono. 2005. Conversion Or Occupation? : The

Possibility Of Returning Local Communties’ Control Over Forest Lands In Indononesia. Makalah pada International Exchange in Environmental Governance, Community Resource Management and Conflict Resolution (Green Governance/Green Peace Program) kerjasama antara the Institute of International Studies, University of California Berkeley, and the KARSA Foundation (Indonesia) pada September-Desember 2005.

Bertens. 1983. Filsafat barat Abad XX, Inggris-Jerman. Gramedia. Jakarta.

Boedhi Wijardjo dan Herlambang Perdana. 2001. Reklaiming dan Kedaulatan Rakyat. YLBHI dan RACA Institute. Jakarta.

Denzin, N.K. dan Lincoln, Y.S. 2009. Handbook of Qualitative Reseach.

Terjemahan: Dariyatno, Badrus Samsul Fatah, Abi, John Rinaldi. Penerbit Pustaka Pelajar. Yogyakarta

Fay,C. Sirait,M. dan A. Kusworo. 2005. Getting the Boundaries Right Indonesia’s

Urgent Need to Redefine its Forest Estate. Southeast Asia Policy Research Working Paper, No. 25. ICRAF Southeast Asia.

Gillin dan Gillin, 1954. Cultural Sociology. The Mac Millan Company. New York

dalam Soekanto,S. 1990. Sosiologi Suatu Pengantar. Edisi Baru Keempat. CV. Rajawali Pers. Jakarta.

Hadiwijono, Harun. 1980. Sari Sejarah Filsafat Barat. Kanisius.Yogyakarta.

Hanneman Samuel.1993. Perspektif Sosiologis Peter Berger, Pusat Antar Universitas Bidang Ilmu-ilmu Sosial Universitas Indonesia.

Hermosilla, A.C. dan Fay, C. 2005. Strengthening Forest Management In Indonesia

Through Land Tenure Reform: Issues and Framework of Action. Diterbitkan oleh kerjasama Forest Trends dan World Agroforestry Centre

Laksmi A. Savitri, M. Shohibuddin dan Surya Saluang, ed. 2009. Memahami dan

Menemukan Jalan Keluar dari Problem Agraria & Krisis Sosial Ekologi. Yogyakarta: Sekolah Tinggi Pertanahan Nasional dan Sajogyo Institute Bogor.

Lynch, O.J. dan Talbott,K. 2001. Keseimbangan Tindakan: Sistem Pengelolaan

Hutan Kerakyatan dan Hukum Negara di Asia Pasifik. Lembaga Advokasi Masyarakat (ELSAM). Jakarta.

Page 130: PERUBAHAN STRUKTUR AGRARIA DAN HARMONI SEMU … · PERUBAHAN STRUKTUR AGRARIA DAN HARMONI SEMU (Studi Kasus Reklaiming Hutan Lindung pada Komunitas Petani Kopi Rakyat di Kabupaten

110

Mac Iver, R.M and Page, C. H. 1954. Society:An Introduction Analysis. Rinehart

and Company. New York. Maloeng, L.J. 1998. Metode Penelitian Kualitatif. Penerbit Remaja Rosda. Bandung. Marvati, A.B. 2004. Qualitative Research in Sociology: An Introduction. Sage

Publication. Thousands Oak. Nawiyanto, S. 2003. Agricultural Development in A Frontier Region of Java: Besuki,

1870-Early 1990s. Galang Press. Yogyakarta. Notohadiprawiro, T. 1981. Pemapanan Agroforestry Selaku Bentuk Pemanfaatan

Lahan Menurut Kriteria Pengawetan Tanah dan Air. Ilmu Tanah Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta.

Novrian, D. Siswanto, Z. dan D. Firmansyah. 2009. Perbandingan Model-model

Tata Kuasa, Tata Kelola dan Tata Produksi Kehutanan Berikut Kesejahteraan yang Dihasilkannya: Studi Kasus di Gunung Tonjong, Tasikmalaya. dalam Memahami & menemukan Jalan Keluar dari Problem Agraria & Krisis Sosial Ekologi. Sajogyo Institute Bogor dan Sekolah Tinggi Pertanahan Nasional Yogyakarta.

Peluso, N.L. 2006. Hutan Kaya, Rakyat Melarat: Penguasaan Sumberdaya dan

Perlawanan di Jawa.Konphalindo. Jakarta. Polanyi, K. 2003. Transformasi Besar: Asal-usul Politik dan Ekonomi Zaman

Sekarang. Pustaka Pelajar. Yogyakarta. Retnndari, N.D. dan Moeliarto TY.1993. Kopi: Kajian Sosial Ekonomi. ADITYA

MEDIA dan P3PK UGM. Yogyakarta. Ribot, J.C. dan Peluso, N.L. 2003. A Theory of Access. Rural Sociology. Volume 68,

Number 2, pp 153-181. Sajogyo. 1985. Penduduk dan Pola Penggunaan Tanah. Dalam S.M.P.

Tjondronegoro, S.Rusli dan S. Tuanaya (Penyunting). Ilmu Kependudukan: Suatu Kumpulan Bacaan. Erlangga. Jakarta.

Santoso. 2004. Perlawanan di Simpang Jalan: Kontes Harian di Desa-desa Sekitar

Hutan di Jawa. Yayasan Akatiga. Bandung. Schmidt, A. 1987. Property, Power, and Inquiry into Law and Economy. Praeger.

New York.

Page 131: PERUBAHAN STRUKTUR AGRARIA DAN HARMONI SEMU … · PERUBAHAN STRUKTUR AGRARIA DAN HARMONI SEMU (Studi Kasus Reklaiming Hutan Lindung pada Komunitas Petani Kopi Rakyat di Kabupaten

111

Setiawan, B., Erpan Faryadi dan D. Bachriadi. 1997. Reformasi Agraria: Perubahan Politik, Sengketa, dan Agenda Pembaruan Agraria di Indonesia. Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi UI. Jakarta.

Sitorus, M.T.F. 1998. Penelitian Kualitatif: Suatu Perkenalan. Kelompok

Dokumentasi Ilmu-ilmu Sosial. Jurusan Ilmu-ilmu Sosial dan Ekonomi Pertanian. IPB. Bogor.

_____________.1999. Pembentukan Golongan Pengusaha Lokal di indonesia:

Pengusaha Tenun dalam Masyarakat Batak Toba. Desertasi IPB Bogor. _____________. 2002. Lingkup Agraria. Dalam Endang Suhendar dkk. Menuju

Keadilan Agraria: 70 Tahun Gunawan Wiradi. Akatiga. Bandung. Soemardjan, S dan Breazeale, K. 1981. Cultural Change in Rural Indonesia; Impact

of Village Development. UNS-YISS-East West Center. Honolulu. Susan, N. 2003. Konflik dalam Perspektif sosiologi Pengetahuan: Konflik Agama

Masyarakat Ambon Maluku sebagai Konstruksi Sosial, Program Studi Sosiologi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.

____________. 2009. Sosiologi Konflik & Isu-isu Konflik Kontemporer. Kencana

Prenada Media Group. Jakarta. Tauchid, M. 1952. Masalah Agraria. Penerbit Tjakrawala. Djakarta. Tjondronegoro, S.M.P. 1999. Sosiologi Agraria: Kumpulan Tulisan Terpilih.

Yayasan Akatiga. Bandung. Wiradi, G. 1984. Pola Penguasaan Tanah dan Reforma Agraria. Dalam

Tjondronegoro (editor). Dua Abad Penguasaan Tanah. PT. Gramedia. Jakarta.

______________. 2009. Metodologi Studi Agraria: karya terplilih Gunawan Wiradi.

Sajogyo Institute, Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat Fakultas Ekologi Manusia IPB, dan Pusat Kajian Agraria (PKA) IPB. Bogor.

White, Benjamin N.F. 1990. Agroindustri, Industrialisasi Pedesaan, dan

Transformasi Pedesaan. Bunga rampai: Industrialisasi Pedesaan, Editor: Sayogyo dan Mangara Tambunan. PT. Sekindo Jaya. Jakarta.

Page 132: PERUBAHAN STRUKTUR AGRARIA DAN HARMONI SEMU … · PERUBAHAN STRUKTUR AGRARIA DAN HARMONI SEMU (Studi Kasus Reklaiming Hutan Lindung pada Komunitas Petani Kopi Rakyat di Kabupaten

112

Undang-undang UUD 1945 UU No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah Sumber Internet Andiko. 2006. Menempa Rasa Ingin; Menjaga Percikan Api: Tantangan Gerakan

Petani Hutan di Jawa. HuMa-Jakarta. Sumber: http://images.andiko2002.multiply.multiplycontent.com/attachment/0/SEyRBQoKCjsAAFQIh6Q1/Tantangan%20Petani%20Hutan%20Jawa.pdf?nmid=100144393

Ardana, R. 2008. Seputar Hutan Jawa. Sumber: www.arupa.or.id Bram, E. 2003. Stalmate. http://www.beyondintractability.org/essay/stalemate Kuhnen, F. 1995. Aspects of Agrarian Structures. Unpublished Manuscript. Sumber:

www.fritjof-kuhnen.de. Maiese, M. 2004. Limiting Escalation / De-escalation.

http://www.beyondintractability.org/essay/limiting_escalation/

Page 133: PERUBAHAN STRUKTUR AGRARIA DAN HARMONI SEMU … · PERUBAHAN STRUKTUR AGRARIA DAN HARMONI SEMU (Studi Kasus Reklaiming Hutan Lindung pada Komunitas Petani Kopi Rakyat di Kabupaten

113

LAMPIRAN Lampiran 1. Luas Penguasaan Kebun Kopi oleh Informan Sebelum dan

Sesudah Reklaiming

No. Nama Umur (th) Alamat Dusun

Luas lahan (ha) Perolehan Lahan

Reklaiming Sebelum Reklaiming Reklaiming Sesudah

Reklaiming

1. Suyanto 44 Krajan 1.5 2 3.5 Membuka sendiri

2. Meseri 55 Krajan 0.5 1 1.5 Membeli

3. Agung Supeno 35 Krajan 0.25 1 1.25 Membuka sendiri

4. Sukro 46 Krajan 1 2 3 Membuka sendiri dan membeli

5. Sukiman 53 Krajan 0.25 0.5 0.75 Membeli

6. Purwadi 26 Krajan 0.5 1 1.5 Membuka sendiri

7. Zaenal Abidin 47 Sidodadi 1.5 2 3.5 Membuka sendiri

8. Abdullah 54 Sidodadi 0.75 2.5 3.25 Membuka sendiri dan membeli

9. Kalidin 55 Sidodadi 0.5 1.5 2 Membuka sendiri

10. Sunari 50 Sidodadi 0.5 0.5 Membuka sendiri

11. Bukhori 44 Sidodadi 0.5 0.5 Membuka sendiri

12. Subaeri 46 Curah Manis 0.5 0.5 Membuka sendiri

13. Mustofa 32 Curah Manis 0.5 0.5 1 Membeli

14. Moh. Siraj 47 Curah Manis 1 1 2 Membeli

15. Suyadi 45 Krajan 1 1 2 Membeli

16. Tumaji 52 Krajan 1 1 Membeli

17. Sukardi 45 Krajan 1 1 Membuka sendiri

18. Basuni 46 Krajan 0.5 1 1.5 Membuka sendiri

19. H. Saeful 44 Curah Manis 0.5 1 1.5 Membeli

20. Burawi 45 Curah Damar 1.5 1.5 Membuka sendiri dan membeli

21. Mulyadi 46 Curah Damar 1.5 1.5 Membeli

22. Misrawi 40 Curah Damar 1.5 1.5 Membuka sendiri

23. Bu Nomar 50 Curah Damar 0.25 0.25 Membuka sendiri

24. Bahrowi 37 Curah Damar 1 0.5 1.5 Membeli

25. Misdi 45 Curah Damar 1 2 3 Membeli

26. Bunaris 30 Curah Damar 3 3 Membeli

27. Suwarno 45 Krajan 2 6 8 Membeli

28. Samuji 45 Krajan 3 5 8 Membeli

29. Sri Purwati 38 Krajan 2 0.25 2.25 Membeli

30. Sopingi 40 Krajan 1 2 3 Membuka sendiri

Keterangan: yang ditulis tebal adalah pedagang kopi besar.

Page 134: PERUBAHAN STRUKTUR AGRARIA DAN HARMONI SEMU … · PERUBAHAN STRUKTUR AGRARIA DAN HARMONI SEMU (Studi Kasus Reklaiming Hutan Lindung pada Komunitas Petani Kopi Rakyat di Kabupaten

114

Lampiran 2. Analisa Usahatani Kopi Warga Sidomulyo di Lahan Hasil Reklaiming Hutan Lindung

No. Nama Alamat Dusun

Luas Lahan Reklaiming

(Ha)

Jumlah Pohon Kopi

Umur Kopi (Th)

Hasil Panen (Kg)

Cukai (Kg)

Hasil Panen Bersih (Kg)

Harga Kopi (Rp)

Pendapatan (Rp)

Biaya Usahatani

(Rp)

Pendapatan

Bersih (Rp)

1. Bu Nomar Curah Damar 0.25 400 8 200 20 180 14.000 2.520.000 500.000 2.020.000 2. Sri Purwati Krajan 0.25 400 4 500 20 480 14.000 6.720.000 2.000.000 4.720.000 3. Sukiman Krajan 0.50 600 7 800 20 780 14.000 10.920.000 3.500.000 7.420.000 4. Sunari Sidodadi 0.50 500 6 100 5 95 14.000 1.330.000 400.000 930.000 5. Bukhori Sidodadi 0.50 700 6 125 5 120 14.000 1.680.000 500.000 1.180.000 6. Subaeri Curah Manis 0.50 700 6 310 5 305 14.000 4.270.000 1.250.000 3.020.000 7. Mustofa Curah Manis 0.50 700 6 700 11 689 14.000 9.646.000 2.900.000 6.746.000 8. Bahrowi Curah Damar 0.50 700 5 500 50 450 14.000 6.300.000 3.000.000 3.300.000

Rata-rata Cukai/Sharing 17 Rata-rata Pendapatan Bersih/Tahun 3.667.000 1. Meseri Krajan 1.00 1.200 6 900 32 868 14.000 12.152.000 3.650.000 8.502.000 2. Agung Supeno Krajan 1.00 1.000 5 500 16 484 14.000 6.776.000 2.000.000 4.776.000 3. Purwadi Krajan 1.00 1.200 10 850 17 833 14.000 11.662.000 3.500.000 8.162.000 4. Moh. Siraj Curah Manis 1.00 1.300 6 910 10 900 14.500 13.050.000 4.000.000 9.050.000 5. Suyadi Krajan 1.00 1.200 6 1.200 25 1.175 14.500 17.037.500 5.100.000 11.937.500 6. Tumaji Krajan 1.00 1.100 6 800 34 766 14.250 10.915.500 3.250.000 7.665.500 7. Sukardi Krajan 1.00 1.100 6 565 33 532 14.000 7.448.000 2.250.000 5.198.000 8. Basuni Krajan 1.00 1.400 6 1.100 28 1.072 14.000 15.008.000 4.500.000 10.508.000 9. H. Saeful Curah Manis 1.00 850 4 1.200 32 1.168 14.000 16.352.000 4.900.000 11.452.000

Rata-rata Cukai/Sharing 25 Rata-rata Pendapatan Bersih/Tahun 8.583.444 1. Kalidin Sidodadi 1.50 1.400 6 1.500 28 1.472 14.000 20.608.000 6.200.000 14.408.000 2. Burawi Curah Damar 1.50 1.160 7 1.462 50 1.412 14.500 20.474.000 7.000.000 13.474.000 3. Mulyadi Curah Damar 1.50 2.100 6 950 85 865 14.500 12.542.500 5.000.000 7.542.500 4. Misrawi Curah Damar 1.50 1.850 8 1.500 82 1.418 14.000 19.852.000 6.000.000 13.852.000 5. Suyanto Krajan 2.00 1.800 3 1.000 35 965 14.000 13.510.000 4.050.000 9.460.000 6. Sukro Krajan 2.00 2.400 5 2.900 40 2.860 14.000 40.040.000 12.000.000 28.040.000 7. Zaenal Abidin Sidodadi 2.00 2.000 4 1.000 10 990 14.000 13.860.000 4.158.000 9.702.000 8. Misdi Curah Damar 2.00 2.000 6 1.500 50 1.450 13.000 18.850.000 12.700.000 6.150.000 9. Sopingi Krajan 2.00 2.000 6 1.200 60 1.140 14.000 15.960.000 4.750.000 11.210.000

Rata-rata Cukai/Sharing 49 Rata-rata Pendapatan Bersih/Tahun 12.648.722 1. Abdullah Sidodadi 2.50 2.600 6 600 25 575 14.000 8.050.000 2.500.000 5.550.000 2. Bunaris Curah Damar 3.00 4.000 6 2.500 6 2.494 14.000 34.916.000 10.500.000 24.416.000 3. Samuji Krajan 5.00 3.000 4 8.000 300 7.700 14.000 107.800.000 32.500.000 75.300.000 4. Suwarno Krajan 6.00 4.000 4 1.300 40 1.260 14.000 17.640.000 5.300.000 12.340.000

Rata-rata Cukai/Sharing 93 Rata-rata Pendapatan Bersih/Tahun 29.401.500

Page 135: PERUBAHAN STRUKTUR AGRARIA DAN HARMONI SEMU … · PERUBAHAN STRUKTUR AGRARIA DAN HARMONI SEMU (Studi Kasus Reklaiming Hutan Lindung pada Komunitas Petani Kopi Rakyat di Kabupaten

115

Lampiran 3. Peta Kawasan Hutan Perum Perhutani Pulau Jawa dan Madura

Page 136: PERUBAHAN STRUKTUR AGRARIA DAN HARMONI SEMU … · PERUBAHAN STRUKTUR AGRARIA DAN HARMONI SEMU (Studi Kasus Reklaiming Hutan Lindung pada Komunitas Petani Kopi Rakyat di Kabupaten

116

Lampiran 4. Peta Kawasan Hutan Perum Perhutani Unit II (Jawa Timur)

Obyek Reklaiming

Page 137: PERUBAHAN STRUKTUR AGRARIA DAN HARMONI SEMU … · PERUBAHAN STRUKTUR AGRARIA DAN HARMONI SEMU (Studi Kasus Reklaiming Hutan Lindung pada Komunitas Petani Kopi Rakyat di Kabupaten

117

Lampiran 5. Gambar Lokasi Penelitian

Gerbang Desa Sidomulyo yang Berlokasi di Pinggir Jalan Propinsi Jember-Banyuwangi

Hutan Lindung yang Menjadi Obyek Reklaiming Tampak dari Jauh

Page 138: PERUBAHAN STRUKTUR AGRARIA DAN HARMONI SEMU … · PERUBAHAN STRUKTUR AGRARIA DAN HARMONI SEMU (Studi Kasus Reklaiming Hutan Lindung pada Komunitas Petani Kopi Rakyat di Kabupaten

118

Hutan Lindung yang Menjadi Obyek Reklaiming Tampak dari Dekat,

Penuh dengan Tanaman Kopi

Tanaman Bunga di Sela Tanaman Kopi Merupakan Batas Antar Lahan yang Dikuasai Warga