polimorfisme gen pfmdr1 plasmodium falciparum dan …

138
POLIMORFISME GEN PFMDR1 PLASMODIUM FALCIPARUM DAN FAKTOR RISIKO KEJADIAN MALARIA DI DISTRIK PRAFI KABUPATEN MANOKWARI PROVINSI PAPUA BARAT THE POLYMORPHISMS GENE PFMDR1 PLASMODIUM FALCIPARUM AND FACTORS RISK MALARIA IN DISTRIC PRAFI MANOKWARI WEST PAPUA PROVINCE BUDI LAMAKA P0201313007 SEKOLAH PASCASARJANA UNIVERSITAS HASANUDDIN MAKASSAR 2017

Upload: others

Post on 13-Mar-2022

9 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

POLIMORFISME GEN PFMDR1 PLASMODIUM FALCIPARUM DAN FAKTOR RISIKO KEJADIAN MALARIA DI DISTRIK PRAFI KABUPATEN MANOKWARI PROVINSI

PAPUA BARAT

THE POLYMORPHISMS GENE PFMDR1 PLASMODIUM FALCIPARUM AND FACTORS RISK MALARIA IN DISTRIC

PRAFI MANOKWARI WEST PAPUA PROVINCE

BUDI LAMAKA

P0201313007

SEKOLAH PASCASARJANA UNIVERSITAS HASANUDDIN

MAKASSAR 2017

PERNYATAAN KEASLIAN DISERTASI

Yang bertanda tangan dibawah ini :

Nama : BudI Lamaka

Nomor Pokok : P0201313007

Program Studi : Ilmu Kedokteran S3 Universitas Hasanuddin

Menyatakan dengan sesungguhnya bahwa disertasi yang saya tulis

ini benar-benar merupakan hasil karya saya sendiri, bukan merupakan

pengambilalihan tulisan atau pemikiran orang lain. Apabila dikemudian

hari terbukti atau dapat dibuktikan bahwa sebagian atau keseluruhan

disertasi ini hasil karya orang lain, maka saya bersedia menerima sanksi

atas perbuatan tersebut.

Makassar, September 2017

Yang menyatakan,

Budi Lamaka

PRAKATA

Alhamdulillah segala puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat

Allah SWT, serta salam dan salawat tercurah kepada junjungan

Nabiullah Muhammad SWA, atas berkat rahmat dan hidayah-Nya

sehingga penulis dapat menyelesaikan penyusunan dan penulisan

disertasi ini dengan judul “Polimorfisme Gen Pfmdr1 Plasmodium

Falciparum Dan Faktor Risiko Kejadian Malaria Di Distrik Prafi

Kabupaten Manokwari Provinsi Papua Barat”.

Selesainya penulisan disertasi ini tidak terlepas dari keterlibatan

berbagai pihak yang telah memberikan masukan yang sangat berarti bagi

penulis. Oleh karena itu penulis mengucapkan terima kasih dan

penghargaan yang setinggi-tingginya yang tulus kepada yang terhormat

Bapak Prof. Dr. drg. Andi Arsunan Arsin, M.Kes., selaku Promotor,

Prof. Dr. Gemini Alam, dan Hasanuddin Ishak, Ph.D. sebagai Co-

Promotor, yang telah meluangkan waktu dengan penuh kesabaran untuk

membimbing dan mengarahkan penulis sejak pengembangan konsep

permasalahan yang akan dikaji, pelaksanaan penelitian sampai

penyelesaian disertasi ini.

Ucapan terima kasih dan penghargaan yang tulus kepada kedua

orang tua saya tercinta, Ibunda Asjia A.Hi. Rasjid, BA (Alm) dan

Ayahanda Drs. Arief Lamaka (Alm) yang telah melahirkan, membesarkan

dan mendidik saya sejak kecil dengan penuh kasih sayang hingga saya

mampu mencapai keadaan seperti ini. Ucapan terima kasih yang tulus

juga kepada mertua saya Husen Al Hadar dan Seha Al Idrus yang telah

senantiasa memberikan semangat, motivasi dan doa dalam

melaksanakan tugas sehari-hari dan penyelesaian studi saya.

Rasa bangga dan terima kasih yang tak terhingga kepada mereka

yang amat saya cintai dan sayangi, Istri saya tercinta Laila Al Hadar dan

anakku tersayang Balqis B Lamaka, atas segala pengertian, kesabaran,

dukungan doa dan cinta kasih yang tak ternilai. Kepada saudaraku Fitria

Lamaka, Lely Lamaka, SKM, drg. Arni A Lamaka dan Ramli Lamaka,

S.Kom. Serta saudara iparku Mun Al Hadar, SE, Halid Al Hadar, Warda

Al Hadar, S.Hi, Ibrahim Al Hadar, S.Sos, Zen Al Hadar, ST dan Zainal

Abidin Al Hadar, SE yang selalu memberikan doa dan dukungan moril

dalam menjalani pendidikan.

Dalam kesempatan ini pula penulis menyampaikan terima kasih

dan penghargaan yang setinggi-tingginya kepada yang terhormat :

1. Prof. Dr. Dwia Aries Tina Pulubuhu, M.A., selaku Rektor Unhas,

yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk mengikuti

pendidikan di Universitas Hasanuddin.

2. Prof. Dr. Muhammad Ali, SE., MS., selaku Dekan Sekolah

Pascasarjana Unhas yang telah memberikan kesempatan kepada

penulis melanjutkan studi pada Sekolah Pascasarjana Universitas

Hasanuddin Makassar.

3. Prof. Dr. dr. H. Andi Asadul lslam, Sp.BS., selaku Dekan Fakultas

Kedokteran Unhas yang telah memberikan kesempatan kepada

penulis melanjutkan studi program Pascasarjana di Fakultas

Kedokteran Universitas Hasanuddin.

4. Prof. Dr. drg. Andi Zulkifli, M.Kes., selaku Dekan Fakultas

Kesehatan Masyarakat Unhas yang telah memberikan kesempatan

kepada penulis mengikuti pendidikan program Pascasarjana di

Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Hasanuddin.

5. Prof. dr. H. Mochammad Hatta, Ph.D, Sp.MK (K)., selaku Ketua

Program Studi S3 llmu Kedokteran Universitas Hasanuddin dan

sebagai tim penguji yang telah mengarahkan pada awal pemilihan

topik penelitian dan memberikan saran demi kesempurnaan disertasi

ini.

6. Prof. dr. H. Veni Hadju, M.Sc. Ph.D., selaku Ketua Program Studi S3

Ilmu Kesehatan Masyarakat Universitas Hasanuddin dan sebagai tim

penguji yang telah memberikan saran demi kesempurnaan disertasi

ini.

7. Dewan Penguji Prof. Dr. H. Guntur Yusuf, M.Si. (Penguji Eksternal),

Prof. Dr. Ridwan Amiruddin, SKM., M.Sc.PH., Prof. Dr. Natsir Jide

dan Dr. H. Stang, M.Kes., yang telah memberikan saran dan

masukan demi kesempurnaan disertasi ini.

8. Seluruh Staf dan Pengajar S3 llmu Kedokteran dan S3 llmu

Kesehatan Masyarakat Universitas Hasanuddin Makassar yang telah

memberikan bekal ilmu yang sangat bermanfaat bagi penulis.

9. Gubernur Sulawesi Tengah Bapak Drs.H. Longki Djanggola, M.Si

yang telah memberikan kesempatan Tugas Belajar untuk melanjutkan

studi S3 di Universitas Hasanuddin Makassar

10. Bapak Suhari, SKM, selaku Kepala Puskesmas Prafi yang telah

memberikan izin selama penelitian di Wilayah kerja Puskesmas Prafi.

11. Ibu Ivon dan ibu Roestinah selaku tenaga Laboratorim di Puskesmas

Prafi yang telah membantu kami selama penelitian di distrik Prafi.

12. Zubair B huja beserta keluarga, Asmat, Arfan, Billy, nene, Popy,

Miaty dan Bayu sekeluarga atas bantuannya selama berada di

Manokwari,.

13. Keluarga H. Muh. Taslim, SKM. M.Kes atas kebersamaannya selama

mengikuti pendidikan di Makassar

14. Rekan-rekan mahasiswa Pascasarjana S3 ilmu kedokteran

angkatan 2013, atas segala kerjasama dan partisipasi yang diberikan

serta memberikan dorongan moril, kritik, dan saran yang bermanfaat

bagi penulis terkhusus teman pondokan U1 bapak Dr. Budy Utomo,

SKM. M.Si. MPH.

15. Semua pihak yang telah ikut membantu dalam kelancaran penulisan

ini.

Akhir kata semoga Allah SWT selalu melimpahkan karunia-Nya

kepada kita semua dan semoga disertasi ini bermanfaat bagi semua pihak

dan perkembangan ilmu pengetahuan.

Makassar, September 2017

Penulis

ABSTRAK

BUDI LAMAKA. Polimorfisme Gen Pfmdrl Plasmodium Falciparum dan FaktorRisiko Kejadian Malaria di Disfik Praft Kabupaten Manokwari Provinsi PapuaEarat (dibimbing oleh A. Arsunan Arsin, GeminiAlam, dan Hasanuddin).

Penelitian ini bertujuan menganalisis faktor risiko yang berhubungandengan polimorfemis gen Pfmdrl di codon 86 pada parasit plasmodiumfalciparum dan faktor risiko kejadian malaria di Distrik Prafi KabupatenManokwari, Provinsi Papua Barat.

Penelitian ini menggunakan metode penelitian epidemiologi yangberbentuk observasiona! dengan pendekatan potong lintang (cross sectionalstudy). Pengambilan sampel dilakukan secara purposif (sampel yang diambilmemiliki kriteria positif malaria tropika). Sampel sebanyak 43 responden yangmemenuhi kriteria inklusi dan eksklusi. Data dianalisis menggunakan rumusstatistik ujichisquare (o= 0,05).

Hasil penelitian menunjukkan bahwa swamedikasi berhubungan denganpolimorfisme gen Pfmdrl N86Y pada parasil plasmodium falciparum, baik padainfeksi tunggal maupun infeksi campuran @lasmodium falciparum dan vivax'1(p= 0,046). Kepatuhan minum obat tidak berhubungan dengan polimorfismegen Pflndr1 N86Y. Faktor risiko yang berhubungan dengan kajadian malaria diwilayah Distrik Prafi ada empat variabel yaitu: aktivitas di Iuar rumah padamalam hari (p= 0,019), pemakaian plapon dalam rumah (p= 0,045), pemakaiankasa pada ventilasi (p= 0,006) dan jenis dinding rumah (p= 0,008). Untukpemakaian obat anti nyamuk, pemakaian kelambu, dan lingkungan sekitarrumah bukan merupakan faktor risiko kejadian malaria.

Kata kunci: Gen Pfmdrl, swamedikasi, kepatuhan minum obat, Distrik Praf.

ABSTRACT

BUDI LAMAKA. Polymorphism Gen Pfmdrl Plasmodium Falciparum and theRisk Factor of Malaria Case in Prafi Sub-District, Manokwari Regency, WestPapua Province (superuised by A. Arsunan Arsin, Gemini Alam, andHasanuddin Ishak

This research aimed to analyze the risk factors related to polymorphismgen Pfmdrl in codon 86 in the parasite of Plasmodium Falciparum and the riskfactors of malaria cases in Prafi Sub-District, Manokwari Regency, West PauaProvince.

The research method used was the epidemiological research in the form ofobservation with the cross sectional study approach. The samples were chosenusing the Purposive sampling technique The samples chosen were those whohad the positive criteria of malaria tropika) and the total samples was 43respondents who met the inclusive and exclusive criteria. The data wereanalyzed using the statistical formula of Chi square test (o=0.05)

The research results indicated that the self-medication had a correlationwith Polymorphism of Pfmdrl gen N86Yin Plasmodium Falciparum parasite,either in single or in mixture infections ( Plasmodium Falciparum and vivax)(p=0.046). The obedience to take medicine had no correlatin with olymorphism ofgen Pfmdrl N86Y. The risk factor related to malaria incident in the area of PrafiSub-District had 4 variables, namely the outdoor activity at night (p=0.0t9), theuse of home ceiling (p=0.045), the use of ventilation gause (p=0.006) and thetype of house walls (p=0.008). The use of anti-mosquito medicine, the usemosquito nets, and the environment around the houses were not the risk factorsof malaria cases. Extension activities should be done for the society about themalaria impact on the health and about the self-medication without the re-examination by the doctor. ln order to undertand the eficasy of DHP medicine ofprimaquin, the in-vivo test should be done as the follow up action of thisresearch, because the mutation in the Pfmdrl gen codon 86 had been found.

Keywords: Pfmdrl gen, self-medication, obedience in taking medicine, PrafiSub-District

DAFTAR ISI

Halaman

HALAMAN JUDUL……………………………………………………………………. i

HALAMAN PENGESAHAN HASIL PENELITIAN ............................................. ii

DAFTAR TIM PENGUJI...................................................................................... iii

PERNYATAAN KEASLIAN DISERTASI............................................................ iv

PRAKATA........................................................................................................... v

ABSTRAK........................................................................................................... ix

DAFTAR ISI........................................................................................................ x

DAFTAR GAMBAR ........................................................................................... xiv

DAFTAR TABEL ............................................................................................... xv

DAFTAR SINGKATAN ...................................................................................... xvi

DAFTAR LAMPIRAN ......................................................................................... xvii

BAB I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang .................................................................................. 1

B. Rumusan Masalah ............................................................................ 8

C. Tujuan Penelitian .............................................................................. 9

D. Manfaat Penelitian ............................................................................ 10

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA

A. Tinjauan Umum Penyakit Malaria ...................................................... 12

1. Epidemiologi Malaria ................................................................... 12

2. Vektor Malaria ............................................................................. 14

3. Faktor Agent ............................................................................... 17

4. Faktor Host ................................................................................ 19

5. Faktor Environment ................................................................... 20

6. Diagnosa Penyakit Malaria ........................................................ 24

7. Pengobatan Malaria ................................................................... 27

8. Pencegahan Malaria .................................................................. 29

B. Tinjauan Umum Nyamuk Anopheles ................................................ 31

1. Perilaku Hidup dan Berkembang Biak ........................................ 31

2. Perilaku Mencari Darah .............................................................. 32

3. Perilaku Istirahat ......................................................................... 32

C. Tinjauan Umum Plasmodium Falciparum.......................................... 33

1. Penyebab Malaria Tropika .......................................................... 33

2. Karakteristik Genom Plasmodium Falciparum ............................ 34

3. Siklus Hidup Plasmodium Falciparum ........................................ 34

4. Diagnosis Plasmodium Falciparum ............................................ 38

5. Pengobatan Malaria Tropika ..................................................... 39

D. Tinjauan Tentang Faktor Risiko Kejadian Malaria ........................... 42

1. Aktifitas Berada di Luar Rumah pada Malam hari ....................... 42

2. Pemakaian Kelambu .................................................................. 43

3. Pemakaian Obat Anti Nyamuk ................................................... 44

4. Pemakaian Plapon dalam Rumah .............................................. 47

5. Pemakaian Kasa pada Ventilasi .................................................. 48

6. Jenis Dinding Rumah .................................................................. 48

7. Lingkungan Sekitar Rumah ....................................................... 50

E. Tinjauan Tentang Gen Pfmdr1 ........................................................ 51

F. Tinjauan Tentang Resistensi Obat anti malaria ................................ 53

G. Tinjauan Tentang Faktor Risiko Mutasi Gen ..................................... 56

1. Swamedikasi.................................................................................. 56

2. Kepatuhan Minum Obat................................................................ 57

H. Kerangka Teori Penelitian .............................................................. 60

I. Kerangka Konsep Penelitian ........................................................... 61

J. Hipotesis Penelitian ......................................................................... 62

K. Definisi Operasional Dan Kriteria Objektif ...................................... 63

BAB III. METODE PENELITIAN

A. Rancangan Penelitian .................................................................... 68

B. Tempat dan Waktu Penelitian …………………………………………. 68

C. Populasi dan Sampel ………………………………………………….. 68

D. Besar Sampel ………………………………………………………….. 69

E. Kriteria Inklusi dan Eksklusi ………………………………………….. 71

F. Cara Kerja Pemeriksaan Sampel Darah …………………………….. 71

G. Pengolahan dan Penyajian Data ……………………………………… 75

H. Analisa Data …………………………………………………………….. 75

I. Alur Penelitian ……………………………….…………………………. 77

J. Etika Penelitian ………………………………………………………….. 78

BAB IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Gambaran Umum Lokasi Penelitian …………………………………… 80

1. Gambaran Umum Kabupaten Manokwari ………………………. 80

2. Gambaran Umum Distrik Prafi …………………………………….. 83

B. Hasil Penelitian ………………………………………………………….. 87

1. Pemeriksaan Nested PCR …………………………………………. 88

2. Analisis Univariat …………………………………………………… 91

3. Analisis Bivariat ……………………………………………………… 113

C. Pembahasan …………………………………………………………….. 123

D. Keterbatasan Penelitian ……………………………………………….. 142

BAB V. KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan ………………………………………………………………. 143

B. Saran …………………………………………………………………….. 144

DAFTAR PUSTAKA …………………………………………………………………. 145

LAMPIRAN

DAFTAR SINGKATAN

ACT :Artemisin Combination Therapy

AN : Anopheles

BP : Base Pair

BPS : Badan Pusat Statistik

Depkes RI : Departemen Kesehatan Republik Indonesia

DHP : Dihydroartemisinin Piperakuin

DKK : Dan Kawan-kawan

DNA : Deoksiribo Nucleic Acid

Kemenkes RI : Kementerian Kesehatan Republik Indonesia

MB : Mega Basa

MDGs : Millenium Development Goals

MDR : Multi Drug Resisten

OR : Odds Ratio

PCR : Polymerase Chain Reaction

PFMDR1 : Plasmodium Falciparum Multi Drug Resisten 1

PGH1 : P- glikoprotein homolog -1

RDT : Rapid Diagnostic Test

RFLP : Restriction Fragment Length Polymorphism

Riskesdas : Riset Kesehatan Dasar

SD : Sediaan darah

SNP : Single Nucleotida Polimorphisme

WHO : World Health Organization

DAFTAR TIM PENGUJI

Prommotor : Prof. DR. drg. A. Arsunan Arsin, M.Kes.

Co-Prommotor : Prof. DR. Gemini Alam, M.Sc, Apt.

Dr. Hasanuddin Ishak, M.Sc. Ph.D.

Penguji : Prof. DR. H. Guntur Yusuf, M.S.i

Prof. dr. H. Mochammad Hatta, Ph.D, Sp.MK (K).

Prof. DR. Ridwan Amiruddin, SKM, M.Sc, PH.

Prof. DR. H. M. Natsir Djide, M.Si, A.pt.

DR. H. Stang, M.Kes.

DAFTAR GAMBAR

Halaman

Gambar 1. Peta endemisitas malaria di Kabupaten dan kota di Indonesia……....…..12

Gambar 2. Sebaran geografis nyamuk anopheles di Asia Tenggara ………….……..13

Gambar 3. Sebaran vektor nyamuk anopheles di Indonesia ……….…………..……..14

Gambar 4. Siklus hidup Parasit Plasmodium ……….…………………..………………36

Gambar 5. Stadium Parasit Plasmodium Falciparum …………….………...………….37

Gambar 6. Malaria resisten obat anti malaria di kawasan Asia .………………………54

Gambar 7. Kerangka Teori Penelitian…….….……………………...…………………..59

Gambar 8. Kerangka Konsep Penelitian ………………………………….……..………60

Gambar 9. Alur Penelitian ……………………..…………………..………………………76

Gambar 10. Peta Kabupaten Manokwari ………………………………………………….79

Gambar 11. Peta Distrik Prafi ………………………………………………………………83

Gambar 12. Peta Kampung di Distrik Prafi ……………………………………………….84

Gambar 13. Distribusi penderita malaria Falciparum di Wilayah Distrik Prafi ………..87

Gambar 14. Visualisasi hasil amplifikasi PCR sampel 1 -16……………………………88

Gambar 15. Visualisasi hasil amplifikasi PCR sampel 17 -32 ….………………………89

Gambar 16. Visualisasi hasil amplifikasi PCR sampel 33 -43…………………...………90

DAFTAR TABEL

Halaman

Tabel 1. Pengobatan lini pertama - 1 malaria falciparum dengan

Artesunat - amodiakuin + primakuin berdasarkan umur…..……… 39

Tabel 2. Pengobatan lini pertama - 2 malaria falciparum dengan

DHP (Dihydroartemisinin Piperakuin + Primakuin) berdasarkan

umur……………………………………………………………………… 40

Tabel 3. Luas Wilayah Kabupaten Manokwari Menurut Distrik (Kecamatan)

Jumlah Kampung dan Kelurahan……………………………………… 81

Tabel 4. Jumlah Penduduk Menurut Kampung Di Distrik Prafi Tahun 2015…. 85

Tabel 5. Distribusi Responden Berdasarkan Karakteristik Tempat (Desa)

di Distrik Prafi Kabupaten Manokwari Tahun 2016…………………… 91

Tabel 6. Distribusi Responden Berdasarkan Karakteristik Golongan Umur

di Wilayah Distrik Prafi Kabupaten Manokwari Tahun 2016 ………… 92

Tabel 7. Distribusi Responden Berdasarkan Karakteristik Jenis Kelamin

di Wilayah Distrik Prafi Kabupaten Manokwari Tahun 2016………….. 93

Tabel 8. Distribusi Responden Berdasarkan Karakteristik Pendidikan

di Wilayah Distrik Prafi Kabupaten Manokwari Tahun 2016 ………… 94

Tabel 9. Distribusi Responden Berdasarkan Karakteristik Pekerjaan

di Wilayah Distrik Prafi Kabupaten Manokwari Tahun 2016…………. 95

Tabel 10. Distribusi Responden Berdasarkan Karakteristik Suku

di Wilayah Distrik Prafi Kabupaten Manokwari Tahun 2016……….. 96

Tabel 11. Distribusi Responden Berdasarkan Jenis Infeksi Malaria

Falciparum (Infeksi Tunggal dan Infeksi Campuran)

di Distrik Prafi Kabupaten Manokwari Tahun 2016 …………………. 97

Tabel 12. Distribusi Responden Berdasarkan Variabel aktivitas berada

di luar rumah pada malam hari di Wilayah Distrik Prafi tahun 2016.. 98

Tabel 13. Distribusi Responden Berdasarkan Variabel Pemakaian

Kelambu di Wilayah Distrik Prafi tahun 2016…………………………. 99

Tabel 14. Distribusi Responden Berdasarkan Variabel Pemakaian Obat Anti

Nyamuk di Wilayah Distrik Prafi tahun 2016………………………….. 100

Tabel 15. Distribusi Responden Berdasarkan Variabel Pemakaian Plafon

di Wilayah Distrik Prafi tahun 2016……………………………………. 101

Tabel 16. Distribusi Responden Berdasarkan Variabel Pemakaian Kasa

di Wilayah Distrik Prafi tahun 2016…………………………………….. 102

Tabel 17. Distribusi Responden Berdasarkan Variabel Jenis Dinding

Rumah di Wilayah Distrik Prafi tahun 2016……………………………. 103

Tabel 18. Distribusi Responden Berdasarkan Variabel Lingkungan

Sekitar Rumah di Wilayah Distrik Prafi tahun 2016………………….. 104

Tabel 19. Distribusi Responden Berdasarkan Variabel Swamedikasi di Wilayah

Distrik Prafi tahun 2016…………………………………………………. 105

Tabel 20. Distribusi Responden Berdasarkan Variabel Kepatuhan Minum

Obat di Wilayah Distrik Prafi tahun 2016 ……………………………. 106

Tabel 21. Distribusi Polimorfime Gen Pfmdr1 N86Y pada Penderita

Malaria di di Wilayah Distrik Prafi tahun 2016 ……………………… 107

Tabel 22. Distribusi Karakteristik 8 sampel penderita malaria yang

mengalami Mutasi Gen Pfmdr1 di Wilayah Distrik Prafi tahun 2016… 108

Tabel 23 Hubungan Aktivitas berada diluar rumah pada malam hari dengan

kejadian malaria di Wilayah Distrik Prafi Tahun 2016………………… 110

Tabel 24. Hubungan Pemakaian Kelambu dengan kejadian malaria di

Wilayah Distrik Prafi tahun 2016 ……………………………………… 111

Tabel 25. Hubungan Pemakaian Obat anti Nyamuk dengan kejadian

malaria di Wilayah Distrik Prafi tahun 2016 …………………………. 112

Tabel 26. Hubungan Pemakaian Plapon Rumah dengan kejadian malaria

di Wilayah Distrik Prafi tahun 2016 ………………………………….. 113

Tabel 27. Hubungan Pemakaian Kasa pada ventilasi dengan kejadian

malaria di Wilayah Distrik Prafi tahun 2016 ………………………… 115

Tabel 28. Hubungan Jenis Dinding Rumah dengan kejadian malaria

di Wilayah Distrik Prafi Tahun 2016……………………………………. 116

Tabel 29. Hubungan Lingkungan sekitar Rumah dengan kejadian malaria

di Wilayah Distrik Prafi Tahun 2016…………………………………….. 117

Tabel 30. Hubungan Swamedikasi dengan Polimorfisme Gen Pfmdr1 N86Y

di Wilayah Distrik Prafi Tahun 2016……………………………………. 119

Tabel 31. Hubungan Kepatuhan Minum Obat dengan Polimorfisme

Gen Pfmdr1 N86Y di Wilayah Distrik Prafi Tahun 2016. ……………. 120

Tabel 32. Hubungan Kepatuhan Minum Obat dengan Polimorfisme

Gen Pfmdr1 N86Y di Wilayah Distrik Prafi Tahun 2016…………….. 122

DAFTAR LAMPIRAN

1. Surat Rekomendasi Persetujuan Etik dari Komisi Etik Penelitian Kesehatan

Fakultas Kedokteran Unhas

2. Surat Permohonan Izin Penelitian

3. Kuesioner Penelitian

4. Output SPSS hasil uji statistic ( Univariat dan Bivariat )

5. Dokumentasi

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Sekitar 3,2 miliar orang hampir setengah dari populasi dunia berisiko

malaria. Pada tahun 2015, diperkirakan ada 214 juta kasus baru malaria dan

438.000 kematian, terutama di sub-Sahara Afrika. Jutaan orang belum dapat

mengakses pelayanan kesehatan yang mereka butuhkan untuk mencegah

dan mengobati malaria. Beban terberat adalah di daerah afrika, dimana

sekitar 90 % kematian terjadi karena penyakit malaria dan pada anak-anak

yang berusia di bawah 5 tahun (78 %) dari semua kematian (WHO, 2016).

Para pemimpin dunia telah menetapkan dalam MDGs (Millenium

Development Goals) bahwa malaria menjadi salah satu penyakit yang

diprioritaskan. Tahun 2015 diharapkan penyakit malaria berkurang paling

tidak 50 %. Malaria juga bertanggung jawab secara ekonomis terhadap

kehilangan 12 % pendapatan nasional, negara-negara yang memiliki malaria.

Di daerah Asia Tenggara 70% dari jumlah penduduknya atau sekitar

1216 juta jiwa, bertempat tinggal di daerah endemis malaria. Sekitar 96% dari

penduduk yang berisiko tertular malaria di daerah Asia Tenggara tinggall di

Bangladesh, India, Indonesia, Myanmar dan Thailand. dan menyebabkan

95% kasus-kasus malaria (baik yang sakit maupun yang meninggal dunia) di

daerah tersebut (Soedarto, 2011).

2

Di Indonesia malaria sampai saat ini masih merupakan masalah

kesehatan masyarakat. Angka kesakitan malaria masih cukup tinggi terutama

di luar Pulau Jawa dan Bali. Hal ini terbukti dengan dimasukannya upaya

pengendalian penyakit malaria sebagi isu penting dalam mencapai tujuan

Millenium Development Goals (MDGs) atau pembangunan Millenium pada

tahun 2015.

Insiden Malaria pada penduduk Indonesia tahun 2013 adalah 1,9

persen menurun dibanding tahun 2007 (2,9%), tetapi di Papua Barat

mengalami peningkatan tajam jumlah penderita malaria. Prevalensi malaria

tahun 2013 adalah 6,0 persen. Lima provinsi dengan insiden dan prevalensi

tertinggi adalah Papua (9,8% dan 28,6%), Nusa Tenggara Timur (6,8% dan

23,3%), Sulawesi Tengah (6,7% dan 19,4%), Papua Barat (5,1% dan 12,5%),

dan Maluku (3,8% dan 10,7%) . Dari 33 provinsi di Indonesia, 15 provinsi

mempunyai prevalensi malaria di atas angka nasional, sebagian besar

berada di Indonesia Timur. Laporan Riskesdas tahun 2013 Propinsi Papua

Barat masuk pada urutan ke empat propinsi di Indonesia yang memiliki

insiden dan prevalensi malaria tertinggi (5,1% dan 12,5%) dan penduduknya

yang mengobati sendiri penyakit malaria (Swamedikasi) yang dideritanya

(2,8%) (Kemenkes, 2014).

Saat ini secara administratif wilayah Papua Barat terbagi atas 12

Kabupaten dan 1 Kota dan salah satunya adalah Kabupaten Manokwari.

Meningkatnya kasus malaria disebabkan oleh berbagai faktor di antaranya

3

adalah kasus malaria yang sudah resisten terhadap obat anti malaria (BPS

Manokwari, 2016).

Resistensi parasit malaria terhadap klorokuin pertama kali di Thailand

pada tahun 1961 dan di Amerika Serikat pada tahun 1962. P.falciparum yang

sudah resisten terhadap klorokuin telah di laporkan dari semua daerah

endemis malaria, kecuali Korea sehingga hampir 400 juta orang hidup di

daerah berisiko tertular malaria yang resisten klorokuin. Selain itu resisten

terhadap sulfadoksin-pirimetamin juga dilaporkan dari dari daerah endemis

malaria (kecuali Sri Lanka dan Korea) dengan jumlah penduduk 140 juta jiwa

yang berisiko tertular malaria resisten kombinasi obat ini.

Terapi kombinasi berbasis artemisinin sekarang direkomendasikan

oleh Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) sebagai pengobatan lini pertama

malaria falciparum tanpa komplikasi di semua wilayah endemik malaria

(Dondorp et al., 2009). Terapi kombinasi berbasis Artemisinin (ACT) adalah

obat anti malaria terbaik yang ada saat ini (Mutabingwa, 2005). Sejak tahun

2006, kebanyakan negara endemik P.falciparum telah meningkatkan

kebijakan pengobatan mereka dari gagalnya klorokuin dan sulfadoksin-

pirimetamin ke terapi kombinasi berbasis artemisinin (WHO, 2015).

Namun akhir-akhir ini kegagalan pengobatan malaria dengan ACT

(Artemisinin basedcombination therapy) telah dilaporkan di beberapa

beberapa negara. Salah satu mekanisme resistensi pengobatan diduga

berkaitan dengan polimorfisme pada gen Pfmdr1 yang menyebabkan

4

terjadinya mutasi pada gen tersebut dan berdampak menyebabkan

terjadinya resistensi obat antimalarial. (Wongsrichanalai, Pickard, Wernsdorfer, & Meshnick, 2002)

P.falciparum resistensi terhadap artemisinin telah terdeteksi di lima

negara di sub regional Greater Mekong. Di Kamboja, tingkat kegagalan yang

tinggi setelah pengobatan dengan ACT (WHO, 2016b). Polimorfisme

di pfmdr1 juga dapat dikaitkan dengan resistensi terhadap klorokuin,

meflokuin, kina, dan artemisinin (Wongsrichanalai et al., 2002).

Terjadinya resistensi obat malaria karena adanya strain parasit yang

mampu bertahan hidup atau bertambah banyak walaupun sudah diberikan

obat antimalaria dengan dosis sama atau lebih tinggi yang masih dapat

ditoleransi manusia (Bloland & WHO, 2001). Gen pfmdr1 mengkode homolog

P-gliko-protein (Pgh1), Pgh1 adalah pompa yang bergantung ATP dan

terdapat di membran vakuola makanan pada Plasmodium. Mutasi pada gen

ini dapat menyebabkan perubahan Pgh1 sehingga menyebabkan resistensi

pada beberapa obat antimalaria: kuinin, meflo-kuin, dan halofantrin.

P.falciparum mengekspresi Pgh-1 yang terdapat pada vakuola makanan,

perubahan struktur dan gangguan fungsi dari Pgh-1 dapat menyebabkan

penurunan akumulasi dari klorokuin pada vakuola makanan. (Saleh, Handayani, & Anwar, 2014)

Polimorfisme pada pfcrt 76-Thr dan pfmdr1 86Y ditemukan pada

semua isolat. Temuan ini menjelaskan terjadinya kegagalan pengobatan

dengan klorokuin dalam beberapa tahun terakhir di Sumatera Selatan (Saleh

et al., 2014). Hasil penelitian lain tentang gen Pfmdr1 yaitu pada analisis

5

DNA urutan gen pfmdr1 yang bergabung pada galur alel intragenik resisten

terhadap meflokuin. Ekspresi mRNA pfmdr1 yang berlebihan menyebabkan

mekanisme resisten mefloquin menjadi 7,2 kali lebih tinggi (Kim et al., 2001).

Beberapa faktor yang dapat menyebabkan terjadinya resistensi obat

antara lain ketidak patuhan minum obat.. Kondisi demikian akan

menyebabkan kadar obat di dalam darah tidak sesuai lagi, dan tidak mampu

membunuh Plasmodium. Kadar obat dalam darah yang tidak sesuai ini akan

mengakibatkan Plasmodium mampu melakukan adaptasi, sehingga akhirnya

akan timbul kasus resisten (Wuryanto, 2005). (Lario, Bidjuni, & Onibala, 2016)

Selain ketidak patuhan minum obat, Minum obat bebas (Swamedikasi)

tanpa mendapat resep dari dokter juga merupaka salah satu faktor yang

dapat menyebabkan terjdainya resistensi obat. Penggunaan obat yang

berlebihan dan tidak tepat pada pengobatan malaria klinis memudahkan

terjadinya resistensi obat. Minum obat yang tidak benar antara lain kepatuhan

yang kurang baik atau dosis obat yang tidak tepat menambah peluang

berkembangnya parasit resistensi obat (Tjitra, 2005).

Dari laporan Riskesdas tahun 2013 menyebutkan bahwa penduduk

Indonesia yang yang mengobati sendiri penyakit malaria yang dideritanya

adalah 0,6 %. Lima provinsi tertinggi yang penduduknya mengobati sendiri

penyakit malaria adalah Papua Barat (5,1%), Papua (4,1%), Papua Barat

(2,8%), Nusa Tenggara Timur (2,7%) dan Maluku Utara (2,3%).

7

pemakaian obat anti nyamuk dengan kejadian malaria. Dalam uji tersebut

diperoleh Odds Ratio (OR) 2,3 dengan kata lain responden tidur pada malam

hari tidak memakai obat anti nyamuk mempunyai risiko 2,3 kali untuk terkena

malaria dibandingkan dengan responden yang menggunakan obat anti

nyamuk.

Faktor Lingkungan sekitar rumah juga merupakan salah faktor risiko

penyebab terjadinya malaria. Hasil penelitian Ahmadi (2008) bahwa

Kelompok kasus yang disekitarnya terdapat genangan air lebih banyak

(68,6%) dibandingkan dengan kelompok kontrol (22,9%). Analisis bivariate

yang telah dilakukan diperoleh hasil terdapat hubungan bermakna antara

keberadaan genangan air terhadap kejadian malaria (nilai p=0,000).

Pengobatan malaria dengan klorokuin mengalami banyak kegagalan

dengan penyebab tersering adalah resistensi, oleh sebab itu

penatalaksanaan malaria telah menggunakan terapi kombinasi. Tujuan dari

terapi kombinasi adalah untuk meningkatkan efikasi antimalaria maupun

aktivitas sinergik antimalaria, dan memperlambat progresifitas resistensi

parasit terhadap obat-obat yang baru. ACT atau Artemisinin-based

Combination Therapy adalah terapi kombinasi yang direkomendasikan WHO

untuk mengobati malaria tanpa komplikasi sebagai lini pertama karena

berefikasi tinggi pada pengobatan malaria. Artemisinin dipilih sebagai basis

terapi kombinasi malaria yang penting saat ini dikarenakan kemampuan

8

untuk menurunkan parasitmia lebih cepat dari pada obat antimalaria lainnya

(Ogbonna & Uneke, 2008).

Sampai saat ini penelitian tentang MDR (Multi Drug Resisten)

p.falciparum di Propinsi Papua Barat khususnya di wilayah Distrik Prafi

Kabupaten Manokwari belum pernah di lakukan. Masih tingginya angka

kejadian malaria tropika di wilayah Distrik Prafi yang berulang setiap

tahunnya sehingga peneliti ingin melakukan penelitian malaria di wilayah

tersebut, apakah sudah terjadi Polimorfisme pada gen parasit P.falciparum

yang timbul akibat adanya gejala resisten obat sehingga kejadian malaria

tetap ada dan berulang setiap tahunnya dengan melihat pula kondisi

lingkungan dan perilaku penduduk setempat yang dapat menjadi faktor risiko

terjadinya malaria.

B. Rumusan Masalah

Pada tahun 2015 jumlah total keseluruhan penderita malaria tropika di

kabupaten Manokwari berdasarkan hasil pemeriksaan Laboratorium yaitu

1.672 kasus dimana konstribusi kasus terbanyak berada di wilayah kerja

Puskesmas Prafi (960 kasus). Hampir setiap tahun angka kasus malaria

tropika di wilayah Puskesmas Distrik Prafi cukup tinggi di banding wilayah

puskesmas lainnya. Berdasarkan laporan bulanan dari Dinas kesehatan

Manokwari untuk tahun 2016, jumlah penderita malaria tropika pada bulan

Januari sebanyak 81 penderita, bulan Februari sebanyak 102 penderita dan

9

bulan Maret sebanyak 146 penderita. Pengobatan yang di lakukan terhadap

penderita malaria falciparum tanpa komplikasi menggunakan terapi

pengobatan lini pertama yaitu DHP Primakuin.

Berdasarkan latar belakang masalah tersebut maka dibuat rumusan

masalah penelitian yaitu

1. Apakah kasus malaria di wilayah Distrik Prafi berhubungan dengan

adanya Polimorfisme gen Pfmdr1 di codon 86 pada penderita positif

malaria falciparum dengan melihat factor risiko swamedikasi dan

kepatuhan minum obat

2. Apakah aktivitas berada di luar rumah pada malam hari, pemakaian

kelambu, pemakaian obat anti nyamuk, pemakaian plapon, pemakaian

kasa pada ventilasi, jenis dinding rumah dan lingkungan sekitar rumah

adalah factor risiko kejadian malaria.

C. Tujuan Penelitian

1. Tujuan Umum

Menganalisis faktor risiko yang berhubungan dengan polimorfisme

gen Pfmdr1 di codon 86 pada parasit P.falciparum dan faktor risiko kejadian

malaria di Distrik Prafi kabupaten Manokwari Propinsi Papua Barat.

2. Tujuan Khusus

a. Melihat besarnya variasi polimorfisme gen Pfmdr1 di codon 86 pada

43 sampel penderita malaria Tropika.

10

b. Menganalisis hubungan Swamedikasi (Pengobatan Sendiri) dengan

Polimorfisme gen Pfmdr1 di codon 86

c. Menganalisis hubungan Kepatuhan minum Obat dengan Polimorfisme

gen Pfmdr1 di codon 86

d. Menganalis faktor risiko ( aktivitas di luar rumah pada malam hari,

pemakaian kelambu, Pemakaian Obat anti nyamuk, Pemakaian Plafon

di dalam rumah, , Pemakaian kasa pada ventilasi / jendela, Jenis

dinding rumah dan lingkungan sekitar rumah) sebagai faktor risiko

kejadian malaria di Distrik Prafi Kabupaten Manokwari Propinsi Papua

Barat.

D. Manfaat Penelitian

1. Manfaat Ilmiah

Informasi yang dihasilkan dari penelitian ini dapat dijadikan strategi

dalam upaya tindakan pencegahan dan pemberantasan penyakit malaria

terutama pada bidang klinis.

2. Manfaat Institusi

Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi sumber informasi bagi

Pemerintah Daerah Papua Barat khususnya Kabupaten Manokwari dalam

rangka penentuan arah kebijakan program pemberantasan malaria.

11

3. Manfaat bagi Peneliti

Diharapkan dapat menambah wawasan dan pengetahuan peneliti

tentang keberadaan malaria di Kabupaten Manokwari

12

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Tinjauan Umum Penyakit Malaria

1. Epidemiologi Malaria

Pada tahun 2015 terdapat 95 negara yang wilayahnya masih memiliki

transmisi malaria. Sekitar 3,2 miliar orang - hampir setengah dari populasi

dunia beresiko malaria. Sebagian besar kasus malaria dan kematian terjadi di

sub-Sahara Afrika. Namun Asia, Amerika Latin, dan, pada tingkat lebih

rendah, Timur Tengah juga berisiko (WHO, 2016c)

Menurut data terbaru WHO (2015) memperkirakan ada 214 juta kasus

malaria pada tahun 2015 denngan 438.000 kematian. Di daerah dengan

transmisi malaria yang tinggi, anak-anak di bawah 5 sangat rentan terhadap

infeksi, penyakit dan kematian; lebih dari dua pertiga (70%) dari semua

kematian malaria terjadi pada kelompok usia ini. Antara tahun 2000 dan

2015, di bawah-5 angka kematian malaria turun 65% secara global,

menerjemahkan ke dalam sekitar 5,9 juta jiwa anak diselamatkan antara

tahun 2001 sampai 2015.

Indonesia merupakan salah satu negara yang masih terjadi transmisi

malaria (Berisiko Malaria/Risk-Malaria), dimana pada tahun 2011 terdapat

422.477 kasus dan pada tahun 2012 terjadi penurunan kasus malaria positif

menjadi 417.819 kasus. Penyakit malaria salah satu penyakit menular yang

13

hingga kini masih menjadi masalah kesehatan masyarakat di dunia termasuk

Indonesia. Berikut ini dapat di lihat Gambaran peta endemisitas malaria di

kabupaten dan kota di Indonesia.

Sumber : Kemenkes RI, 2016

Gambar 1 : peta endemisitas malaria di kabupaten dan kota di Indonesia

Terlihat penurunan jumlah yang sangat tajam daerah endemis tinggi

dari 17,4% pada tahun 2011 menjadi 8,8% pada tahun 2015. Dan daerah

endemis sedang juga menurun dari 18,6% tahun 2011 menjadi 17% pada

tahun 2015, serta daerah endemis rendah juga mengalami menurun yang

tajam dari 42,8% pada tahun 2011 menjadi 28,8% pada tahun 2015.

Sebaliknya daerah bebas malaria mengalami peningkatan dari 21,5% pada

tahun 2011 menjadi 45,4% pada tahun 2015. Pada RPJM 2015-2019

indikator yang pakai adalah jumlah kumulatif kabupaten/kota mencapai status

eliminasi. Saat ini terdapat 232 kabupaten/kota yang telah mencapai status

eliminasi dari 225 kabupaten / kota yang ditargetkan (Kemenkes RI, 2016).

14

2. Vektor Malaria

Nyamuk Anopheles gambiae complex adalah vektor utama malaria

Afrika sedangkan vektor utama malaria di Amerika Utara adalah A. freeborni.

Sekitar 45 spesies nyamuk Anopheles ditemukan di India dan spesies yang

berperan dalam penularan malaria di kawasan tersebut adalah A.culifacies,

A.fluviatilis, A.minimus, A. philOpinensis, A.stephensi, A.sundaicus, dan

A.leucopus. Daerah sebaran nyamuk-nyamuk tersebut berbeda-beda:

A.fluviatilis dan A.minimus ditemukan di daerah perbukitan (foot-hill region),

A.stephensi dan A.sundaicus di daerah pantai, sedangkan A. philippinensis

dan A.culifacies banyak ditemukan di dataran rendah (plains area) dan

A.stephensi adalah nyamuk Anopheles yang amat potensial menularkan

malaria di India. (Soedarto, 2011).

Sumber : WHO-SEARO, 2007 dalam Soedarto, 201.

Gambar 2. Sebaran geografis nyamuk anopheles di Asia Tenggara

15

Terdapat sekitar 20 spesies Anopheles yang ditemukan di Indonesia

merupakan nyamuk vektor yang dapat menularkan malaria antara lain adalah

A. aconitus, A. sundaicus, A. subpictus, A. balabacensis., A. hyrcanus group,

A. maculatus, A. letifer, , A. umbrosus, A. ludlowe, A. flavirostris, A. minimus,

A. nigerimus, A. farauti, A. holiensis, A. punctulatus. Empat spesies yang

banyak ditemukan dan tersebar di berbagai pulau baik di Jawa, Bali maupun

pulau-pulau lainnya adalah A.aconitus, A.sundaicus, A.maculatus, dan

A.barbirostris (Soedarto, 2011)

Gambar 3. Sebaran vektor nyamuk anopheles di Indonesia

Berdasarkan tempat berkembang biak, vektor malaria dapat

dikelompokkan dalam tiga tipe, yaitu berkembang biak di persawahan,

perbukitan/hutan dan pantai/aliran sungai. Vektor malaria yang berkembang

biak di daerah persawahan adalah An. aconitus, An. annullaris, An.

16

barbirostris, An. kochi, An. karwari, An. nigerrimus, An. sinensis, An.

tesellatus, An. vagus, An. letifer. Vektor malaria yang berkembang biak di

perbukitan / hutan adalah An. balabacensis, An. bancrofti, An. punculatus,

An. umbrosus. Sedangkan untuk daerah pantai/aliran sungai jenis vekor

malaria adalah An. flavirostris, An. koliensis, An. ludlowi, An. minimus, An.

punctulatus, An. parangensis, An. sundaicus, An. Subpictus (Arsin, 2012).

Waktu aktivitas menggigit vektor malaria yang sudah diketahui yaitu

jam 17.00-18.00, sebelum jam 24.00 (20.00-23.00), setelah jam 24.00 (00.00-

04.00). Vektor malaria yang aktivitas menggigitnya jam 17.00-18.00 adalah

An. tesselatus, sebelum jam 24.00 adalah An. aconitus, An. annullaris, An.

barbirostris, An. kochi, An. sinensis, An. vagus, sedangkan yang menggigit

setelah jam 24 adalah An. farauti, An. koliensis, An. leucosphyrosis, dan An.

Unctullatus (Arsin, 2012).

Nyamuk anopheles betina menggigit antara waktu senja dan subuh,

untuk kebiasaan makan nyamuk anopheles dapat dikelompokan yaitu

Endofagik (suka menggigit di dalam rumah), Eksofagik (suka menggigit di

luar rumah), Antropofilik (Suka menggigit manusia) dan Zoofilik (suka

menggigit binatang). Untuk kebiasaan istirahat nyamuk Anopheles dapat

dikelompokkan yaitu Endofilik (suka tinggal dalam rumah) dan Eksofilik (suka

tinggal di luar rumah) (Arsin, 2012).

17

3. Faktor Agent

Penyebab Malaria adalah parasit plasmodium yang ditularkan melalui

gigitan nyamuk anopheles betina. Dikenal 5 (lima) macam spesies yaitu:

P.falciparum, P.vivax, P.ovale, P. malariae dan P.knowlesi. Parasit yang

terakhir disebutkan ini belum banyak dilaporkan di Indonesia.

Parasit plasmodium, termasuk dalam famili plasmodiae. Parasit ini

menyerang eritrosit dan ditandai dengan ditemukannya bentuk aseksual di

dalam darah. Pembiakan seksual plasmodium terjadi dalam tubuh nyamuk,

yaitu anopheles betina. Selain menginfeksi manusia, plasmodium juga

menginfeksi binatang seperti golongan burung, reptil dan mamalia. Pada

manusia, plasmodium menginfeksi sel darah merah dan mengalami

pembiakan aseksual di jaringan hati dan eritrosit. (Depkes RI, 2008).

Agent penyebab penyakit malaria termasuk agent hidup biologis yaitu

protozoa / plasmodium. Spesies parasit malaria yang menginfeksi manusia

yaitu P.falcifarum (Welch, 1897), P.vivax (Grassi and Feletti, 1890),

P. malariae (Laveran, 1881) dan P. ovale (Stephens,1922) (Bruce-chawaat,

1993) (Harijanto, 2000).

a. Plasmodium Falcifarum

Suatu serangan bisa diawali dengan menggigil. Suhu tubuh naik

secara bertahap kemudian tiba-tiba turun. Serangan bisa berlangsung

selama 20 – 36 jam. Penderita tampak lebih sakit dibandingkan dengan

malaria vivax dan sakit kepalanya hebat. Diantara serangan (dengan selang

18

waktu 36-72 jam), penderita biasanya merasa tidak enak badan dan

mengalami demam ringan.

b. Plasmodium Vivax

Menyebabkan malaria tertiana benigna atau sering disebut malaria

vivax. Suatu serangan bisa dimulai secara samar-samar dengan menggigil, di

ikuti berkeringat dan demam yang hilang – timbul. Dalam 1 minggu, akan

terbentuk pola yang khas dari serangan yang hilang timbul. Suatu periode

sakita kepala atau rasa tidak enak badan akan di ikuti oleh menggigil.

Demam berlangsung selama 1- 8 jam. Setelah demam reda, penderita

merasakan sehat sampai terjadi menggigil berikutnya. Pada malaria vivax,

serangan berikutnya cenderung terjadi setiap 48 jam.

c. Plasmodium Ovale

Spesies yang paling jarang dijumpai juga menyebabkan malaria

tertiana benigna atau sering disebut dengan malaria Ovale. serangan bisa

dimulai secara samar-samar dengan menggigil, di ikuti berkeringat dan

demam yang hilang – timbul. Dalam 1 minggu, akan terbentuk pola yang

khas dari serangan yang hilang timbul. Suatu periode sakita kepala atau rasa

tidak enak badan akan diikuti oleh menggigil. Demam berlangsung selama 1-

8 jam. Setelah demam reda, penderita merasakan sehat sampai terjadi

menggigil berikutnya.

19

d. Plasmodium Malariae

Spesies ini menyebabkan malaria quartana. Suatu serangan seringkali

di mulai secara samar-samar. Serangannya menyerupai malaria vivax

dengan selang waktu antara dua serangan adalah 72 jam.

4. Faktor Host

a. Umur

Diperkirakan ada sekitar 216 juta kasus malaria pada tahun 2010,

dimana sekitar 81% atau 174 juta kasus, berada di Wilayah Afrika. Di

perkirakan 655.000 kematian akibat malaria pada tahun 2010, dimana 91% di

Afrika. Sekitar 86% kematian akibat malaria secara global adalah anak-anak

di bawah usia 5 tahun (WHO, 2011). Malaria merupakan salah satu masalah

kesehatan masyarakat karena dapat menyebabkan kematian terutama pada

kelompok risiko tinggi yaitu bayi, balita, dan ibu hamil (Kementerian

Kesehatan, 2011).

Malaria adalah penyakit infeksi yang disebabkan oleh parasit

plasmodium yang hidup dan berkembang biak dalam sel darah merah

manusia, ditularkan oleh nyamuk malaria (Anopheles) betina, dapat

menyerang semua orang baik laki-laki ataupun perempuan pada semua

golongan umur dari bayi, anak-anak dan orang dewasa. Berdasarkan hasil

penelitian Petronela (2004) di kecamatan Abepura didapatkan hasil bahwa

20

kejadian malaria cenderung selalu tinggi pada kelompok umur < 1 tahun, 1-4

tahun dan 15-44 tahun dibandingkan kelompoknumur 5-14 dan > 45 tahun.

b. Jenis Kelamin

Salah satu faktor yang dapat mempengaruhi terjadinya malaria adalah

faktor genetika dengan pencegahan invasi parasit ke dalam sel, mengubah

respons imunologik atau mengurangi keterpaparan terhadap vektor

(Harijanto P, 2000). Beberapa faktor genetik bersifat protektif terhadap

malaria yaitu : (Zhao, Chen, Feng, Li, & Zhou, 2014)

a. Golongan darah Duffy negatif

b. Hemaglobin S yang menyebabkan sickle cell anemia

c. Thalasemia (alfa dan beta)

d. Hemoglobinopati lainnya (HbF dan HbE)

e. Defisiensi G-6-PD (glucose-6-phosphate dehydrogenase)

f. Ovalositosis (di Papua New Guinea dan mungkin juga di Irian Jaya)

5. Faktor Environment

Unsur lingkungan memegang peranan yang cukup penting dalam

menentukan terjadinya suatu penyakit malaria. Beberapa faktor lingkungan

yang mendukung terjadinya transmisi malaria yaitu :

21

a. Lingkungan Fisik

1) Suhu

Suhu mempengaruhi perkembangan parasit dalam nyamuk. Suhu

yang optimum berkisar antara 20 dan 300C. Makin tinggi suhu maka makin

pendek masa inkubasi ekstrinsik (Sporogoni) dan sebaliknya makin rendah

suhu makin panjang masa inkubasi ekstrinsik. Hasil penelitian yang di

lakukan oleh Zhao et al. (2014) di hasilkan bahwa suhu antara 24-25° C atau

21-23° C terdeteksi sebagai suhu optimal untuk transmisi malaria.

2). Kelembaban Udara

Kelembaban udara yang rendah akan memperpendek umur nyamuk,

meskipun berpengaruh pada parasit. Tingkat kelembaban 60% merupakan

batas paling rendah untuk memungkinkan hidupnya nyamuk. Pada

kelembaban yang lebih tinggi, nyamuk menjadi lebih aktif dan lebih sering

menggigit.

3). Curah Hujan

Pada umumnya hujan akan mempermudah perkembangan nyamuk

dan terjadinya epidemic malaria. Besar kecilnya pengaruh tergantung pada

jenis dan curah hujan, jenis vektor dan jenis perindukan. Hujan yang diselingi

panas matahari akan memperbesar kemungkinan berkembang biaknya

nyamuk anopheles.

22

4). Ketinggian

Secara umum malaria berkurang pada ketinggian yang semakin

bertambah. Hal ini berkaitan dengan menurunnya suhu rata-rata. Pada

ketinggian diatas 2000 M jarang ada transmisi malaria.

5). Angin

Kecepatan dan arah angin dapat mempengaruhi jarak terbang nyamuk

yang dengan sendirinya akan mempengaruhi jumlah kontak antara nyamuk

dengan manusia.

6). Sinar Matahari

Pengaruh sinar matahari terhadap pertumbuhan larva nyamuk

berbeda –beda. An.sundaicus lebih menyukai tempat yang teduh,

an.hyrcanus sp dan an.pinculatus sp lebih menyukai tempat terbuka dan

an.barbirostis dapat hidup baik ditempat teduh maupun yang terang.

7). Arus Air

An.barbirostis lebih menyukai perindukan yang airnya statis atau

mengalir lambat sedangkan an.minimus lebih menyukai aliran yang deras

dan an.letifer lebih menyukai aliran yang tergenang.

b. Lingkungan kimiawi

Lingkungan ini yang baru diketahui pengaruhnya adalah kadar garam

dari tempat perindukan. Sebagai contoh an. sundaicus tumbuh optimal pada

air payau yang kadar garamnya 12 -18 % dan tidak berkembang pada kadar

23

garam 40% ke atas. Namun di Sumatera Utara ditemukan pula perindukan

an. sundaicus dalam air tawar. Sedangkan An. Letifer dapat hidup di tempat

yang asam / pH rendah. An.sundaicus tumbuh optimal pada air payau yang

kadar garamnya 12 – 18 % dan tidak berkembang pada kadar garam 40%

keatas. Namun di Sumatra Utara ditemukan pula perindukan An.sundaicus

dalam air tawar (Harijanto, P.N, 2000).

c. Lingkungan Biologik

Segala unsur flora dan fauna yang berada di sekitar manusia termasuk

lingkungan biologi, antara lain meliputi berbagai mikroorganisme patogen dan

tidak patogen, berbagai binatang dan tumbuhan yang mempengaruhi

kehidupan manusia, fauna sekitar manusia yang berfungsi sebagai vektor

penyebab penyakit menular (Noor, 2004).

Tumbuhan bakau, lumut, ganggang dan berbagai tumbuhan lainnya

dapat mempengaruhi kehidupan larva nyamuk karena dapat melindungi dari

serangan makhluk hidup lainnya. Adanya berbagai jenis ikan pemakan larva

seperti ikan kepala timah, (panchax sp), gambusia, nila, mujair dan lain-lain

akan mempengaruhi populasi nyamuk disuatu daerah. Adanya ternak seperti

sapi, kerbau dan babi dapat mengurangi jumlah gigitan nyamuk pada

manusia (Cattle Barier), apabila ternak tersebut dikandangkan dekat rumah

(Depkes, 2003).

24

d. Lingkungan sosial budaya

Lingkungan sosial budaya merupakan bentuk kehidupan sosial,

budaya, ekonomi, politik, sistem organisasi serta peraturan yang berlaku bagi

setiap individu yang membentuk masyarakat tersebut, serta kebiasaan hidup

sehat pada masyarakat setempat, kepadatan penduduk, kepadatan rumah

tangga, dan berbagai sistem kehidupan sosial lainnya (Noor, 2004).

Lingkungan sosial budaya lainnya adalah tingkat kesadaran masyarakat akan

bahaya malaria. Tingkat kesadaran ini akan mempengaruhi kesediaan

masyarakat untuk memberantas malaria, antara lain dengan menyehatkan

lingkungan, menggunakan kelambu, memasang kawat kasa pada rumah dan

menggunakan obat nyamuk. Berbagai kegiatan manusia seperti pembuatan

bendungan, pembuatan jalan, pertambangan dan pembangunan pemukiman

baru / transmigrasi sering mengakibatkan perubahan lingkungan yang

menguntungkan penularan malaria (man - made malaria).

6. Diagnosa Penyakit Malaria

Diagnosa penyakit malaria terdiri atas diagnosa klinis dan diagnosa

berdasarkan hasil pemeriksaan laboratorium :

a. Diagnosa Klinis

Gambaran khas dari penyakit malaria adalah adanya demam yang

periodik, pembesaran limpa dan anemia (turunnya kadar haemoglobin dalam

darah ).

25

1. Demam

Biasanya sebelum timbul demam, penderita malaria akan mengeluh lesu,

sakit kepala, nyeri pada tulang dan otot, kurang nafsu makan, rasa tidak enak

pada perut, diare ringan dan kadang-kadang merasa dingin dipunggung.

Umumnya keluhan seperti ini timbul pada malaria yang disebabkan oleh

P.vivax dan P.ovale, sedangkan pada malaria yang disebabkan oleh

P.falciparum dan P.malariae, keluhan-keluhan tersebut tidak jelas. Serangan

demam yang khas pada malaria terdiri dari 3 stadium. Berikut dipaparkan

stadium demam yang khas pada malaria :

1.a. Stadium Menggigil

Dimulai dengan perasaan kedinginan hingga menggigil. Penderita sering

membungkus badannya dengan selimut atau sarung. Pada saat menggigil,

seluruh tubuhnya bergetar, denyut nadinya cepat tetapi lemah, bibir dan jari-

jari tangannya biru serta kulitnya pucat. Pada anak-anak sering disertai

dengan kejang - kejang. Stadium ini berlangsung 15 menit sampai 1 jam

yang diikuti dengan meningkatnya suhu badan.

1.b. Stadium Puncak Demam

Penderita yang sebelumnya merasa kedinginan berubah menjadi panas

sekali. Wajah penderita merah, kulit kering dan terasa panas seperti terbakar,

frekuensi pernapasan meningkat, nadi penuh dan berdenyut keras, sakit

kepala semakin hebat, muntah- muntah, kesadaran menurun sampai timbul

26

kejang ( pada anak-anak ). Suhu badan bisa mencapai 410C. Stadium ini

berlangsung selama 2 jam atau lebih yang diikuti dengan keadaan

berkeringat.

1.c. Stadium Berkeringat

Penderita berkeringat banyak diseluruh tubuhnya hingga tempat tidurnya

basah. Suhu badan turun dengan cepat, penderita merasa sangat lelah dan

sering tertidur. Setelah bangun dari tidurnya, penderita akan merasa sehat

dan dapat melakukan pekerjaan seperti biasa padahal sebenarnya penyakit

ini masih bersarang dalam tubuh penderita. Stadium ini berlangsung 2

sampai 4 jam.

2. Pembesaran Limpa

Pembesaran limpa merupakan gejala khas pada malaria kronis atau

menahun. Limpa menjadi bengkak dan terasa nyeri. Limpa membengkak

akibat penyumbatan oleh sel-sel darah merah yang mengandung parasit

malaria. Lama-lama, konsistensi limpa menjadi keras karena jaringan ikat

pada limpa semakin bertambah. Dengan pengobatan yang baik, limpa

berangsur normal kembali.

3. Anemia

Pada penyakit malaria, anemia atau penurunan kadar hemoglobin darah

sampai dibawah nilai normal disebabkan penghancuran sel darah merah

27

yang berlebihan oleh parasit malaria. Selain itu, anemia timbul akibat

gangguan pembentukan sel darah merah di sum - sum tulang. Gejala

anemia berupa badan yang terasa lemas, pusing, pucat, penglihatan kabur,

jantung berdebar-debar dan kurang nafsu makan. Diagnosis anemia

ditentukan dengan pemeriksaan kadar hemoglobin dalam darah. Anemia

yang paling berat adalah anemia yang disebabkan oleh P.falciparum.

b. Diagnosa Laboratorium

Untuk dapat melihat adanya parasit di dalam darah penderita, perlu

dibuat sediaan darah malaria (SD). Selanjutnya diwarnai dengan pewarnaan

giemsa. SD ditetesi minyak imersi dan diperiksa di bawah mikroskop

menggunakan lensa objektif 100x. Jika ditemukan parasit pada pemeriksaan,

penderita dinyatakan positif malaria. Manifestasi klinis malaria dapat berupa

malaria tanpa komplikasi dan malaria berat. Diagnosis malaria ditegakkan

berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang

laboratorium. Sedangkan untuk malaria berat diagnosis ditegakkan

berdasarkan kriteria WHO. Diagnosis pasti malaria harus ditegakkan dengan

pemeriksaan sediaan darah secara mikroskopis atau uji diagnostik cepat

(Rapid Diagnostic Test /RDT) (Kemenkes RI, 2011).

7. Pengobatan Malaria

ACT direkomendasikan sebagai pengobatan lini pertama untuk

malaria disebabkan oleh P. falciparum adalah parasit plamodium yang paling

28

berbahaya menginfeksi manusia. Pada tahun 2011, 79 negara dan wilayah

telah mengadopsi ACT sebagai pengobatan lini pertama untuk P. falciparum

malaria (WHO, 2012).

Salah satu tantangan terbesar dalam upaya pengobatan malaria di

Indonesia adalah terjadinya penurunan efikasi pada penggunaan beberapa

obat anti malaria, bahkan terdapat resistensi terhadap klorokuin. Hal ini dapat

disebabkan antara lain oleh karena penggunaan obat anti malaria yang tidak

rasional. Sejak tahun 2004 obat pilihan utama untuk malaria falciparum

adalah obat kombinasi derivat Artemisinin yang dikenal dengan

Artemisininbased Combination Therapy (ACT). Kombinasi artemisinin dipilih

untuk meningkatkan mutu pengobatan malaria yang sudah resisten terhadap

klorokuin dimana artemisinin ini mempunyai efek terapeutik yang lebih baik.

(Kemenkes RI, 2012).

Diagnosis dan pengobatan malaria dini dapat mengurangi angka

kesakitan dan mencegah kematian. Hal ini juga memberikan kontribusi untuk

mengurangi penularan malaria.Tersedia pengobatan yang terbaik, terutama

untuk P. falciparum malaria berbasis artemisinin terapi kombinasi (ACT).

WHO merekomendasikan bahwa semua kasus yang dicurigai malaria harus

melalui konfirmasi tes diagnostik baik mikroskop atau tes diagnostik cepat

sebelum memberikan pengobatan (WHO, 2016).

Pengobatan malaria harus dilakukan secara efektif. Pemberian jenis

obat harus benar dan cara meminumnya harus tepat waktu yang sesuai

29

dengan acuan program pengendalian malaria. Pengobatan efektif adalah

pemberian ACT (Artemicin-based Combination Therapy) pada 24 jam

pertama pasien panas dan obat harus diminum habis dalam tiga hari. Hasil

Riskesdas 2013 menyatakan bahwa proporsi pengobatan efektif Indonesia

sebesar 45,5%. Lima provinsi tertinggi dalam mengobati malaria secara

efektif yaitu Kep. Bangka Belitung (59,2%), Sumatera Utara (55,7%),

Bengkulu (53,6%), Kalimantan Tengah (50,5%), dan Papua (50,0%)

(Kemenkes RI, 2013).

8. Pencegahan Malaria

Berbagai kegiatan yang dapat dijalankan untuk mengurangi malaria

yaitu:

a. Menghindari gigitan nyamuk malaria

Di daerah pedesaan atau pinggiran kota yang banyak sawah, rawa-rawa atau

tambak ikan, disarankan untuk memakai baju lengan panjang dan celana

panjang saat keluar rumah terutama pada malam hari, juga pada mereka

yang tinggal didaerah endemis malaria agar memasang kawat kasa dijendela

dan ventilasi rumah, serta menggunakan kelambu saat tidur. Masyarakat

dapat juga memakai obat anti nyamuk saat tidur dimalam hari untuk

mencegah gigitan nyamuk malaria.

30

b. Membunuh jentik dan nyamuk malaria dewasa

Untuk membunuh jentik dan nyamuk malaria dewasa dapat dilakukan

beberapa tindakan berikut ini :

b.1. Penyemprotan rumah

Sebaiknya penyemprotan rumah-rumah didaerah endemis malaria dengan

insektisida dilaksanakan 2 kali dalam setahun dengan interval waktu 6 bulan.

b.2. Larvaciding

Larvaciding merupakan kegiatan penyemprotan rawa-rawa yang potensial

sebagai tempat perindukan nyamuk malaria.

b.3. Biological control

Biological control adalah kegiatan penebaran ikan kepala timah dan ikan

guppy digenangan – genangan air yang mengalir dan persawahan. Ikan-ikan

tersebut berfungsi sebagai pemangsa jentik-jentik nyamuk malaria.

c. Mengurangi tempat perindukan nyamuk malaria

Tempat perindukan nyamuk malaria bermacam-macam, tergantung spesies

nyamuknya. Didaerah endemis malaria, masyarakatnya perlu menjaga

kebersihan lingkungan. Tambak ikan yang kurang terpelihara harus

dibersihkan, parit-parit disepanjang pantai bekas galian yang terisi air payau

harus ditutup, bekas roda yang tergenang air atau bekas kaki hewan pada

31

tanah berlumpur yang berair harus segera ditutup untuk mengurangi tempat

perkembangbiakan larva nyamuk malaria.

d. Pemberian obat pencegahan malaria

Pemberian obat pencegahan (profilaksis) malaria bertujuan untuk mencegah

terjadinya infeksi, serta timbulnya gejala-gejala penyakit malaria. Orang yang

akan berpergian ke daerah-daerah endemis malaria harus minum obat anti

malaria sekurang-kurangnya seminggu sebelum keberangkatannya sampai 4

minggu setelah orang tersebut meninggalkan daerah endemis malaria.

B. Tinjauan Umum Nyamuk Anopheles

1. Perilaku Hidup dan Berkembang biak

Nyamuk anopheles betina mempunyai kemampuan untuk memilih

tempat perindukan (Breeding Place) atau tempat berkembang biak sesuai

dengan kesenangannya. An.sundaicus lebih menyukai tempat yang teduh,

An.hyrcanus sp dan An.pinculatus sp lebih menyukai tempat terbuka dan

An.barbirostis dapat hidup baik ditempat teduh maupun yang terang.

An.barbirostis lebih menyukai perindukan yang airnya statis atau mengalir

lambat sedangkan An.minimus lebih menyukai aliran yang deras dan

an.letifer lebih menyukai aliran yang tergenang.

32

2. Perilaku Mencari Darah

Di dalam mencari darah nyamuk anopheles mempunyai beberapa

sifat yaitu :

a. Dikaitkan dengan waktu

Nyamuk anopheles pada umumnya aktif mencari darah pada waktu

malam hari. Perilaku nyamuk ini ada yang mulai mengigit senja hingga

tengah malam dan ada pula yang mulai menggigit mulai tengah malam

hinga menjelang pagi.

b. Dikaitkan dengan tempat

Kebiasaan menggigit dari nyamuk anopheles betina dewasa terbagi 2

yaitu ada yang menggigit mangsa diluar rumah (eksofagik) dan ada

yang menggigit mangsa didalam rumah (endofagik).

c. Dikaitkan dengan sumber darah

Kebiasaan menggigit nyamuk ada yang sifatnya suka mencari darah

manusia (antrofilik) dan ada yang sifatnya suka mencari darah hewan

(zoofilik).

3. Perilaku Istirahat

Pada umumnya nyamuk beristirahat pada tempat teduh, lembab dan

aman. Setiap spesies nyamuk mempunyai perilaku istirahat yang berbeda-

beda. An.aconitus hanya beristirahat hinggap ditempat dekat tanah,

33

sedangkan An.sundaicus di tempat-tempat yang lebih tinggi. Pada waktu

malam ada nyamuk masuk kedalam rumah hanya untuk menghisap darah

lalu keluar dan ada pula sebelum maupun sesudah menghisap darah

hinggap didinding untuk beristirahat terlebih dahulu (Depkes RI,2000).

Nyamuk mempunyai 2 cara beristirahat yaitu :

a. Istirahat yang sebenarnya yaitu selama waktu menunggu proses

perkembangan telur

b. Istirahat sementara Yaitu pada waktu sebelum dan sesudah mencari

darah.

C. Tinjauan Umum Plasmodium Falciparum

P. falciparum adalah protozoa parasit, salah satu spesies plasmodium

yang menyebabkan penyakit malaria pada manusia. Protozoa ini masuk pada

tubuh manusia melalui nyamuk Anopheles betina. P.falciparum

menyebabkan infeksi paling berbahaya dan memiliki tingkat komplikasi dan

mortalitas malaria tertinggi.

1. Plasmodium falciparum Penyebab Malaria Tropika

Masing-masing spesies plasmodium menyebabkan infeksi malaria

yang berbeda. P. vivax menyebabkan malaria vivax / tertiana, P.falciparum

menyebabkan malaria falciparum / tropika, Plasmodium malariae

menyebabkan malaria malariae / quartana, dan P. ovale menyebabkan

malaria ovale (Prabowo. A, 2004).

34

2. Karakteristik genom Plasmodium falciparum.

P.falciparum memiliki genom yang berukuran 22,8 Mega basa (Mb)

yang tersebar pada 14 kromosom yang masing-masing berukuran sekitar

0,643-3,29 Mb. Jumlah gen yang terdapat dalam kromosom P.falciparum

adalah sebanyak 5.300 gen yang mengkode berbagai protein (Wahyuniati,

2016). Gen Pfmdr1 terletak pada kromosom 5 parasit P. falciparum dimana

pada kromosom 5 ini terdapat 329 gen salah satunya adalah gen Pfmdr1.

Pada kromososm 5 ini juga terdapat 311 protein salah satunya adalah protein

Pgh1 dimana protein ini di sandi oleh gen Pfmdr1.

3. Siklus Hidup Plasmodium falciparum

Menurut Good (2007) dalam Roihatul (2012) bahwa plasmodium

mempunyai siklus hidup yang lebih kompleks, karena selain terjadi

pergantian generasi seksual dan aseksual juga mengalami pergantian

hospes. Terdiri dari siklus seksual (sporogoni) yang berlangsung pada

nyamuk Anopheles betina, dan siklus aseksual yang berlangsung pada

manusia. Siklus hidup pada manusia terdiri dari fase exo-erithrocytic di dalam

parenkim sel hepar dan fase erithrocytic schizogoni.

a. Siklus Seksual di dalam Tubuh Nyamuk

Fase Seksual terjadi pada lambung nyamuk. Segera setelah nyamuk

anopheles betina menghisap darah penderita malaria, gametosit jantan akan

mengeluarkan 4-8 flagel. Dengan flagel, gametosit jantan bergerak menuju

35

ke gametosit betina dan membuahinya. Hasil fertilisasi bergerak menembus

dinding lambung dan membentuk kista sepanjang dinding lambung nyamuk.

Bila kista pecah akan keluar sporozoit yang akan masuk ke kelenjar liur

nyamuk dan siap menginfeksi manusia. Rentang waktu antara masuknya

gametosit sampai terbentuknya sporozoit adalah 1-2 minggu, tergantung

spesies dan suhu sekitarnya (Kemenkes RI, 2011).

b. Siklus Aseksual di dalam Tubuh Manusia

1. Fase Hati

Bila nyamuk anopheles betina yang infektif menggigit manusia, maka

parasit malaria akan ditularkan ke orang tersebut. Parasit mengikuti sirkulasi

darah dan masuk ke dalam sel hati. Dalam waktu 7-21 hari parasit akan

tumbuh dan berkembang biak, sehingga memenuhi seluruh sel hati.

Selanjutnya sel hati pecah dan parasit masuk ke aliran darah, menginfeksi

sel darah merah. Hal ini berlaku untuk infeksi P. falciparum dan P. malariae.

Pada infeksi P. vivax dan P. ovale, sejumlah parasit tetap berada dalam hati

dan tidak berkembang biak (dorman).

Parasit yang dorman ini dapat menyebabkan kekambuhan pada

pasien dengan infeksi P. Vivax dan P. Ovale.

2. Fase Sel Darah Merah

Fase ini merupakan fase aseksual. Pada saat merozoit dalam sel hati

pecah, maka akan membebaskan tropozoit yang selanjutnya menginfeksi sel

36

darah merah. Tropozoit akan terus mengalami perkembangan menjadi

skizon. Skizon akan berkembang menjadi merozoit dan pecah membebaskan

tropozoit. Siklus ini akan berlanjut sampai 3 kali.

Kemudian sebagian Merozoit akan berkembang menjadi bentuk

gametosit dan bila terhisap oleh nyamuk Anopheles sp betina siap

melakukan perkembangbiakan seksual di dalam tubuh nyamuk (Kemenkes

RI, 2011). Berikut ini dapat di lihat gambar siklus hidup parasit P.falciparum

yang terdiri dari fase seksual dan fase aseksual

37

Sumber : Soedarto, 2011

Gambar 4 : Siklus hidup Parasit Plasmodium

38

4. Diagnosis Plasmodium Falciparum

Untuk menetapkan tindakan dan pengobatan malaria tropika maka

diagnosis malaria harus dipastikan lebih dahulu, baik secara klinis maupun

secara laboratoris. Di dalam sel darah merah penderita malaria, P.falciparum

dapat ditemukan dalam bentuk cincin, trofozoit, skizon dan bentuk

gametosit yang memiliki cri-ciri khas tertentu.

Gambar 5 : Stadium Parasit P.falciparum (Sumber

Sumber : Kemenkes RI, 2011

Gambar 5 : Stadium Parasit Plasmodium Falciparum

39

5. Pengobatan Malaria Plasmodium Falciparum

a. Pengobatan Lini Pertama

Pengobatan Lini Pertama - 1

Saat ini pada program malaria untuk pengobatan lini pertama - 1

malaria falciparum digunakan obat Artemisinin Combination Therapy (ACT)

yaitu: Artesunat - Amodiakuin + Primakuin atau Dihydroartemisinin -

Piperakuin + Primakuin. Obat program yang tersedia saat ini adalah sediaan

artesunate – amodiaquin dan dihydroartemisinin – piperaquin. Setiap

kemasan artesunate – amodiaquin terdiri dari 2 blister, yaitu blister

amodiakuin 200 mg ( setara amodiakuin basa 153 mg) 12 tabelt dan blister

artesunat 50 mg 12 tablet. Obat diberikan selama 3 hari dengan dosis

tunggal harian amodiakuin basa 10 mg/kg BB dan artesunat 4 mg/kg BB,

primakuin 0,75 mg/kg BB.

Sebaiknya obat di berikan sesuai dengan berat badan agar lebih tepat

sehingga tidak timbul efek samping berupa mual, muntah dan sakit kepala.

Dosis pemberian berdasar berat badan yaitu Amodiakuin base 10 mg/kg BB,

Artesunat 4 mg/kg BB dan Primakuin 0,75 mg/kg BB. Jika tidak

memungkinkan di berikan berdasarkan berat badan, obat dapat diberikan

berdasarkan golongan umur sesuai dengan tabel berikut ini

40

Tabel 1 . Pengobatan lini pertama - 1 malaria falciparum dengan

Artesunat - amodiakuin + primakuin berdasarkan umur.

Hari Jenis Obat

Jumlah tabelt per hari menurut kelompok umur

0-1 bulan 2-11 bulan 1-4 tahun 5-9 tahun 10-14 tahun >15 tahun

1 Artesunat ¼ ½ 1 2 3 4

Amodiakuin ¼ ½ 1 2 3 4

Primaquin - - ¾ 1 ½ 2 2-3

2 Artesunat ¼ ½ 1 2 3 4

Amodiakuin ¼ ½ 1 2 3 4

3 Artesunat ¼ ½ 1 2 3 4

Amodiakuin ¼ ½ 1 2 3 4

Pengobatan Lini Pertama - 2

Dosis pemberian berdasar berat badan yaitu DHA : 2 – 4 mg / kg BB.

Piperakuin : 16 – 32 mg / kg BB dan Primakuin : 0,75 mg / kg BB. Jika tidak

memungkinkan di berikan berdasarkan berat badan, obat dapat diberikan

berdasarkan golongan umur sesuai dengan tabel berikut ini :

41

Tabel 2 . Pengobatan lini pertama - 2 malaria falciparum dengan

DHP (Dihydroartemisinin Piperakuin + Primakuin) berdasarkan umur.

Hari Jenis Obat

Jumlah tabelt per hari menurut kelompok umur

0-1

bulan

2-11

bulan

1-4

tahun

5-9

tahun

10-14

tahun

>15

tahun

1 DHP ¼ ½ 1 1 ½ 3 3 – 4

Primaquin ¼ ½ ¾ 1 ½ 2 2-3

2-3 DHP ¼ ½ 1 1 ½ 2 3-4

b. Pengobatan Lini Kedua

Pengobatan lini kedua di berikan jika pengobatan lini pertama tidak

efektif (parasit seksual tidak berkurang atau terjadi rekrudesensi). Pemberian

obat lini kedua terdiri dari obat Kina + Doksisiklin atau tetrasiklin + Primakuin.

1. Kina

Di Indonesia setiap tablet kina mengandung 200 mg kina fosfat atau

sulfat. Kina diberikan per oral 3x sehari dengan dosis 10 mg/kgBB/kali selama

7 hari. Dosis maksimal pemberian kina pada penderita dewasa adalah 9 tablet

/ hari.

2. Doksisiklin

Doksisiklin tersedia dalam bentuk tablet atau kapsul yang

mengandung 50 mg dan 100 mg Doksisiklin HC1. Doksisiklin diberikan 2 x

sehari selama 7 hari dengan dosis dewasa 4 mg/kgBB/ hari, sedangkan dosis

42

anak umur 8-14 tahun adalah 2 mg/kgBB/har.i Bila Doksisiklin tidak ada dapat

diganti dengan Tetrasiklin. Doksisiklin tidak boleh diberikan pada ibu hamil atau

anak berumur di bawah 8 tahun.

3. Tetrasiklin

Obat ini dikemas sebagai kapsul yang mengandung 250 mg atau 500

mg Tetrasiklin HC1. Obat diberikan 4x sehari selama 7 hari dengan dosis 4-5

mg/kgBB/kali. Tetrasiklin tidak boleh diberikan pada ibu hamil dan anak

berumur di bawah 8 tahun.

4. Primakuin

Obat ini diberikan seperti pemberian pada lini pertama. Pemberian obat

sebaiknya berdasar berat badan, namun jika tidak memungkinkan obat dapat

diberikan berdasar golongan umur. Dosis pemberian Primakuin pada orang

dewasa adalah 3 tablet.

D. Tinjauan Tentang Faktor Risiko Kejadian Malaria

1. Aktifitas Berada di Luar Rumah Pada Malam Hari

Pada umumnya nyamuk anopheles lebih senang menggigit pada

malam hari. Perilaku nyamuk anopheles dalam mencari darah (feeding

places) terbagi berdasarkan spesies yaitu ada nyamuk yang aktif menggigit

mulai senja hari hingga menjelang tengah malam dan ada nyamuk yang aktif

43

menggigit mulai tengah malam sampai pagi hari. Aktifitas menggigit nyamuk

anopheles berlangsung sepanjang malam sejak matahari terbenam yaitu

pukul 18.30 – 22.00 ( Pranoto,dkk, 1980 dalam Lario et al. (2016) ).

Penelitian yang di lakukan di Tentena poso menunjukan bahwa

perilaku masyarakat yaitu kebiasaan beraktifitas diluar saat malam hari

adalah salah satu Faktor Risiko terkena penyakit malaria sebesar 6,891 kali

dibandingkan dengan tidak keluar pada malam hari (Lario et al., 2016).

Harijanto (2000) bahwa ada hubungan yang bermakna antara jenis pekerjaan

(berkebun, nelayan dan buruh yang bekerja pada malam hari) dengan

kejadian malaria. Adanya Kebiasan berada di luar rumah pada malam hari

merupakan faktor risiko untuk tergigit nyamuk anopheles penyebab malaria

terutama dari nyamuk golongan eksofili golongan nyamuk yang senang

tinggal diluar rumah dan golongan eksofagi yaitu golongan nyamuk yang

suka menggigit diluar rumah.

2. Pemakaian Kelambu

Kelambu merupakan alat yang telah digunakan sejak dahulu kala.

Sesuai persyaratan Depkes (1983) kelambu yang baik yaitu memiliki jumlah

lubang per cm antara 6 - 8 dengan diameter 1,2 - 1,5 mm. Ada dua jenis

kelambu yang sering digunakan masyarakat yaitu kelambu yang tidak

menggunakan insektisida dan kelambu yang dicelup dengan insektisida.

44

WHO (World Health Organization) telah menganjurkan pengembangan

metode alternatif pemberantasan vektor malaria yang lebih efisien dari

penyemprotan yaitu dengan penggunaan kelambu berinsektisida permetrin.

Menurut Shreck dan Self, permetrin adalah insektisida sintetik yang bekerja

secara kontak langsung atau lewat saluran pencernaan. Pemakaian dosis

rendah yang diresapkan pada kelambu sangat baik untuk membunuh

nyamuk dan tidak berbahaya bagi manusia. Hasil penelitian yang dilakukan

oleh Ahmas (2009) di Kepulauan Riau di dapatkan bahwa responden yang

tidak menggunakan kelambu pada waktu tidur malam beresiko menderita

malaria sebesar 2,3 kali dibanding yang menggunakan kelambu.(A Arsunan, Nasir, & Nawi, 2013)

Hasil penelitian lainnya di dapatkan bahwa frekuensi penggunaan

kelambu adalah variabel yang memiliki korelasi kuat dengan kejadian malaria

di Kabupaten Halmahera Timur.(A Arsunan et al., 2013)

3. Pemakaian Obat Anti Nyamuk

Berbagai usaha yang dapat dilakukan untuk mengurangi kejadian

malaria diantaranya yaitu dengan menggunakan obat anti nyamuk. Jenis dari

obat anti nyamuk yang banyak beredar di masyarakat yaitu obat nyamuk

bakar (Fumigan), obat nyamuk semprot (Aerosol), obat nyamuk listrik

(Electrik) dan zat penolak nyamuk (Repellent).

45

3.a. Obat nyamuk bakar (Fumigan)

Salah satu jenis obat anti nyamuk yang paling banyak digunakan di

masyarakat yaitu obat nyamuk bakar. Obat nyamuk bakar ini terbuat dari

bahan tumbuhan atau bahan kimia sebagai bahan tunggal atau campuran.

Ada yang hanya menggunakan bahan d – allethrin 0,18% atau hanya

bioallethrin 0,20%, tetapi ada pula yang menggunakan campuran dua bahan

yang berbeda misalnya d- allethrin 0,24% dan propoxur 0,12% atau

campuran bioallethrin 0,06% dan diklorovinyl dimetil-fosfat 1,1%. Febrikasi

obat nyamuk ada yang berupa mosquito coil yang dibakar atau ada yang

berujud tikar yang di uapkan (vaporizing mats). Fumigan dari obat nyamuk

bakar ini dapat bersifat membunuh nyamuk yang sedang terbang atau

hinggap didinding dalam rumah atau mengusirnya pergi untuk tidak mengigit

(Sugeng J.M, 1997, Arsin , 2012 dalam (Lario et al., 2016)

3.b. Obat nyamuk semprot ( Aerosol )

Obat nyamuk semprot (Aeorosol) umumnya digunakan oleh

masyarakat perkotaan untuk mengurangi gigitan nyamuk dan mengendalikan

serangga rumah tangga seperti lalat, kecoa dan semut. Aerosol tersebut

banyak di jual di toko, pasar maupun swalayan. Macam kemasan dan berat

bersih yang dipasarkan juga sangat bervariasi dari 150 – 500 gram.

Kandungan bahan aktif pada umumnya dari kelompok sintetik pyrethroid (d -

allethrin, prolethrin, d - fenothrin, bioallethrin, esbiothrin dan transfluthrin).

46

Tetapi ada juga bahan aktif diklorvos dan diklorovinyl dimethilfosfat dari

kelompok organofosfat ( WHO, 1978 ) dan propoksur dari kelompok karbamat

( Vandekar,1975).

3.c. Obat nyamuk listrik ( Elektrik)

Elektrik adalah suatu jenis obat anti nyamuk telah dikembangkan

dengan menggunakan bantuan listrik. Jenis ini mulai banyak di pasarkan di

masyarakat terutama di supermaket. Elektrik ini berukuran 3 x 2 cm yang

terbuat dari lembar lapik (Mat) yang mengandung insektisida yang mudah di

uapkan misalnya bioallethrin, dan d – allethrin ( WHO, 1995). Bahan aktif dan

pewanginya akan dikeluarkan secara bertahap melalui proses penguapan.

Jumlah insektisida yang di keluarakan cukup untuk mencegah masuknya

nyamuk selama beberapa jam kedalam kamar. Berubahnya warna biru

menjadi putih menunjukkan bahwa bahan aktif yang dikandungnya telah

habis ( Depkes, 1983 ).

3.d. Zat penolak nyamuk ( Repellant)

Tujuan utama dari pemakaian repellent adalah untuk menolak atau

mencegah diri dari gigitan nyamuk pada senja dan malam hari menjelang

tidur dan dini hari sebelum fajar, sewaktu orang tidak lagi berlindung dalam

kelambu ( WHO Malaria Study Group, 1995 ). Bahan repellent yang biasa

digunakan oleh orang, ada yang sifatnya tradisional dari bahan tumbuhan

seperti minyak sereh dan minyak kayu putih meskipun daya tolaknya hanya

47

berkisar antara 15 – 20 menit dan ada pula berasal dari bahan kimia sintetik

seperti dietiloluamid 15% dan dimetilftalat. Repellent yang beredar sekarang

dipasaran dibuat dalam berbagai merk seperti Autan dan dalam kemasan

pemakaian yang berbeda seperti bentuk cairan oles atau krim, namun

semuanya mempunyai fungsi yang sama yaitu sebagai zat penolak dari

gigitan nyamuk anopheles penyebab penyakit malaria. (Santoso, Pribadi, Roekmono, Soesanto, & Zalbawi, 1992)

4. Pemakaian Plapon dalam rumah

Salah satu cara untuk menghindari masuknya nyamuk kedalam rumah

atau ruangan tertentu adalah dengan pemakain langit-langit rumah atau

Plapon. Penelitian yang di lakukan oleh Kermelita (2011) dimana hasil

penelitian menunjukkan bahwa langit-langit rumah / plafon berpengaruh

sebagai faktor risiko terhadap kejadian malaria dengan OR=3,315 dan nilai

p=0,002.

Berbeda dengan hasil penelitian yang di lakukan oleh Thaharuddin,

Soeyoko, and Sutomo (2015) di Kota Sabang menunjukkan bahwa plafon

bukan merupakan variabel yang dapat mempengaruhi kejadian rnalaria (p =

0,080). Penelitian yang lain di lakukan di Lombok Utara dimana Pemakaian

plafon tidak berpengaruh signifikan terhadap kejadian malaria oleh (Getas &

Zaetun, 2012a).

48

5. Pemakaian kasa pada Ventilasi

Pemakain kasa nyamuk pada ventilasi adalah salah satu cara

pencegahan agar nyamuk tidak dapat masuk kedalam rumah atau ruangan

tertentu. Kain kasa nyamuk terdiri dari beberapa jenis, yang semuanya

berfungsi untuk menghalangi masuknya serangga atau nyamuk kedalam

rumah.

Penelitian yang di lakukan oleh Babba (2007) di wilayah kerja

puskesmas hamadi kota jayapura dimana didapatkan hasil bahwa bahwa

kawat kasa yang tidak terpasang pada semua ventilasi merupakan faktor

risiko terjadinya malaria (0,04) dengan risiko terkena malaria 2,14 kali

daripada orang yang rumahnya memasang kawat kasa pada semua ventilasi

(OR : 2,14 ; 95% CI : 1,02 – 4,47). Hasil penelitian lainnya yang dilakukan

oleh Rizal, 2001 dalam Babba (2007) bahwa masyarakat yang rumahnya

tidak terlindung dari nyamuk mempunyai risiko 2,41 kali untuk tertular malaria

dibandingkan dengan rumah yang terlindung dari nyamuk. (Thaharuddin et al., 2015)

6. Jenis Dinding Rumah

Jenis dinding rumah yang rapat atau tidak berlubang, dapat

mengurangi faktor risiko dari gigitan nyamuk anopheles betina. Rumah yang

memiliki dinding terbuat dari papan kayu dan memiliki lubang memudahkan

nyamuk untuk masuk ke dalam rumah di malam hari baik untuk beristirahat

maupun untuk mencari darah. Hal ini menyebabkan penghuni rumah berisiko

49

untuk tergigit oleh nyamuk dan menderita malaria. Rumah yang dinding dan

lantainya terbuat dari kayu sehingga banyak lubang-lubang yang tidak dapat

di tutup menyebabkan kemungkinan nyamuk masuk kedalam rumah lebih

besar (Santoso et al., 1992).

Penelitian yang di lakukan oleh Suwadera (2003) bahwa ada

hubungan antara keadaan dinding / lantai rumah dengan kejadian malaria

(p=0,000), dimana rumah dengan dinding/lantai berlubang berpeluang

menderita malaria 2,74 kali dibandingkan dengan rumah yang keadaan

dinding/lantai rapat. Penelitian yang dilakukan oleh Yoga (1999) di Jepara

menyatakan bahwa penduduk dengan rumah yang dindingnya banyak

berlubang berisiko sakit malaria 18 kali di banding dengan rumah penduduk

yang mempunyai dinding rapat. (Muslimin, Arsin, & Nawi, 2011)

Hasil penelitian lainnya menunjukkan bahwa variabel kondisi fisik

rumah merupakan faktor yang paling berpengaruh terhadap kejadian malaria

dengan nilai wald 4,546 dan berpengaruh 8,490 kali terhadap kejadian

malaria (Muslimin et al., 2011). Kondisi dinding rumah merupakan faktor

risiko terjadinya malaria artinya responden yang kondisi rumahnya tidak rapat

mempunyai risiko terkena malaria lebih besar dibandingkan dengan

responden yang dinding rumahnya rapat dengan OR = 2,464 (Getas &

Zaetun, 2012a).

50

7. Lingkungan Sekitar Rumah

Didalam ilmu Epidemiologi ada 3 faktor utama yang dapat

menyebabkan terjadinya malaria yaitu faktor host ( manusia ), faktor agent

( plasmodium ) dan faktor environment ( lingkungan ). Bila ke 3 faktor ini

terjadi ketidak seimbangan antara faktor satu dengan faktor lainnya, maka

keadaan inilah yang dapat menyebabkan timbulnya kejadian malaria.

Berbagai kegiatan manusia seperti pembuatan bendungan,

pembuatan jalan, pertambangan dan pembangunan pemukiman baru /

transmigrasi sering mengakibatkan perubahan lingkungan yang

menguntungkan penularan malaria (man - made malaria).

Beberapa hasil penelitian yang telah di lakukan sehubungan dengan

pengaruh lingkungan rumah atau tempat tinggal terhadap kejadian malaria

yaitu Hasil penelitian di Thailand menunjukkan bahwa rumah yang dekat

dengan tempat perkembangbiakan nyamuk menyebabkan meningkatnya

risiko penularan 2,37 kali, sedangkan di daerah hutan dimana terjadi

penularan aktif meningkat 7,19 kali. (Honrado ER, Fungladda W, 2003, Kholis

ernawati,2011).

Selain itu penelitian tentang keberadaan semak-semak di sekitar

rumah juga mempengaruhi kejadian malaria. Hasil penelitan Ahmad Saikhu

(2007) menunjukan bahwa seseorang dengan tempat tinggal yang di

sekitarnya terdapat semak-semak memiliki risiko untuk terkena malaria

sebesar 5,1 kali. (OR=5,1).

51

Penelitian Sarumpaet dan Tarigan pada tahun 2007 di Kabupaten

Karo, menunjukkan bahwa seseorang yang memiliki jarak rumah dengan

tempat perindukan nyamuk < 2 km memiliki risiko terkena malaria sebesar

3,7 kali. Adanya ternak seperti sapi, kerbau dan babi dapat mengurangi

jumlah gigitan nyamuk pada manusia (Cattle Barier), apabila ternak tersebut

dikandangkan dekat rumah (Depkes. R.I., 2003).

E. Tinjauan Tentang Gen Pfmdr1

Gen Pfmdr1 adalah salah satu gen dari 5300 gen yang terdapat pada

parasit p.falciparum . Gen ini terletak pada chromosome 5 dari 14

chromosom yang ada pada p.falciparum. Gen Pfmdr1 menyandi protein Pgh1

pada P.falciparum dimana fungsi dari protein Pgh1 adalah sebagai pengatur

masuk keluarnya obat anti malaria pada vakuola makanan parasit falciparum.

Parasit P.falciparum dapat mengembangkan mekanisme resistensi

terhadap obat anti-malaria melalui mutasi gen yang terjadi pada parasit

tersebut, termasuk gen P.falciparum multi-drug resistance protein 1 (Pfmdr1).

Mutasi pada gen Pfmdr1 dapat terjadi pada beberapa posisi codon (Yusuf,

2015). Ada 4 codon yang menjadi titik mutasi yaitu kodon 86 (asparagin

menjadi tirosin), kodon 1034 (serin menjadi sistein), kodon 1042 (asparagin

menjadi asam aspartat), dan kodon 1246 (asam aspartat menjadi tirosin)

(Mehlotra et al., 2008). (Ruetz, Delling, Brault, Schurr, & Gros, 1996)

52

Pfmdr1 adalah resistensi Parasit P.falciparum terhadap lebih dari satu

jenis obat anti malaria (Simamora, 2013). Sejak Foote berhasil

mengidentifikasi gen Pfmdr 1, banyak penelitian yang dilakukan untuk

membuktikan hubungan mutasi gen tersebut dengan resistensi P. falciparum.

Adanya resistensi P.falciparum pada klorokuin menyebabkan

menurunnya akumulasi klorokuin dalam vakuola digesti Plasmodium

sehingga menyebabkan meningkatnya pengeluaran klorokuin dari vakuola

digesti itu. Adanya Pengeluaran klorokuin dari vakuola digesti terjadi akibat

ekspresi P-glikoprotein pada membran parasit. P-glikoprotein ini berperan

dalam memompa molekul antimalaria keluar dari vakuola digesti sehingga

tidak terjadi akumulasi. Gen yang mengkode P-glikoprotein pada P.

falciparum telah berhasil diisolasi, dikarakterisasi dan dinamakan gen pfmdr

yang merupakan sub famili dari gen ABC (ATP-binding Cassette) (Ruetz et

al., 1996).

Penelitian (Price et al., 1999) yang dilakukan di perbatasan barat

Thailand dimana P.falciparum telah menjadi resisten terhadap hampir semua

parasit. Di dapatkan bahwa terjadi mutasi pada kodon 86 yang

mengakibatkan perubahan Asn untuk Tyr dan sensitif terhadap mefloquine.

Hasil penelitian yang sama di lakukan oleh Jalousian et al. (2008) di

Iran Tenggara dimana telah terjadi mutasi gen pfmdr1 pada kodon N86Y dan

dianggap sebagai penanda resistensi obat kloroquin (CQ). Hasil Penelitian

yang di lakukan di Kenya Barat ditemukan bahwa Delapan puluh dua persen

53

parasit yang resisten terhadap kuinin membawa alel mutan pada kodon

Pfmdr1 86Y (Cheruiyot et al., 2014).

Di Wang Pha, 18 dari 40 pasien (45%) memiliki isolat yang

mengandung banyak salinan Pfmdr1 tidak ditemukan adanya mutasi

gen Pfmdr1 pada posisi N86Y, S1034C, N1042D, dan D1246Y, namun kodon

mutan Y184F ditemukan pada isolat dari 32 dari 40 pasien (80%) di Pailin

dan 12 dari 40 pasien ( 30%) (Dondorp et al., 2009).

.(Talisuna, Bloland, & d’A lessandro, 2004)F. F. Tinjauan Tentang Resistensi Obat Anti Malaria

Resistensi terhadap obat antimalaria di definisikan sebagai kemampuan

dari parasit untuk terus hidup dalam tubuh manusia, berkembang biak dan

menimbulkan gejala penyakit meskipun telah diberikan pengobatan secara

teratur baik dengan dosis standart maupun dengan dosis yang lebih tinggi yang

masih bisa ditolerir oleh pemakai obat (Talisuna et al., 2004).

Resistensi Parasit P.falciparum yang resistensi pada obat Chloroquine

(CQR) pertama kali terdeteksi pada akhir 1950-an di Asia Tenggara

(perbatasan Thailand-Kamboja) dan Amerika Selatan (Venezuela dan

Kolombia) (Mehlotra et al., 2008). Parasit yang telah resisten ini diduga

menyebar ke seluruh Asia dan Amerika Selatan, tiba di Afrika Timur (Kenya

dan Tanzania) pada akhir 1970-an dan menyebar ke seluruh benua Afrika

dalam satu dekade (Wernsdorfer & Payne, 1991).

54

Sejak tahun 1973 ditemukan pertama kali kasus resisten P. falsiparum

terhadap klorokuin di Kalimantan Timur. Sejak itu resisten terhadap klorokuin

semakin meluas bahkan pada tahun 1990 dilaporkan telah terjadi resistensi

parasit Plasmodium falsiparum terhadap klorokuin di seluruh propinsi di

Indonesia. Selain itu dilaporkan juga adanya kasus resistensi Plasmodium

falsiparum terhadap Sulfadoksin-Pirimethamin (SP) di beberapa tempat di

Indonesia. Keadaan seperti ini dapat meningkatkan morbiditas dan

mortalitas akibat penyakit malaria. Upaya untuk menanggulangi masalah

resistensi tersebut (multiple drug resistence), maka pemerintah telah

merekomendasikan obat pilihan pengganti klorokuin dan SP terhadap

Plasmodium falsiparum dengan terapi kombinasi artemisinin (artemisinin

combination therapy). Hal ini sejalan dengan rekomendasi WHO (Depkes,

2008b).

Resistensi artemisinin muncul di perbatasan antara Thailand dan

Myanmar pada tahun 2001, tetapi baru teriidentifikasi pada tahun 2008

(WHO, 2016a). Upaya untuk menanggulangi masalah resistensi tersebut

(multiple drug resistence), maka pemerintah telah merekomendasikan obat

pilihan pengganti klorokuin dan SP terhadap Plasmodium falsiparum dengan

terapi kombinasi artemisinin (artemisinin combination therapy). Hal ini

sejalan dengan rekomendasi WHO (Depkes, 2008a).

55

Gambar 6. Malaria resisten obat anti malaria di kawasan Asia Selatan

dan Asia Tenggara (Sumber: WHO-SEARO,2007)

Pada tahun 2005 Organisasi Kesehatan Dunia (WHO)

merekomendasikan bahwa terapi kombinasi berbasis artemisinin digunakan

sebagai pengobatan lini pertama untuk malaria falciparum di semua negara

di mana malaria adalah endemic (Ashley et al., 2014). Pada bulan Juli 2016,

telah terjadi resistensi terhadap pengobatan lini pertama untuk P. falciparum

(terapi kombinasi berbasis artemisinin, juga dikenal sebagai ACT) pada 5

negara di kawasan Mekong (Kamboja, Republik Demokratik Rakyat Laos,

56

Myanmar , Thailand dan Viet Nam). Di kebanyakan tempat, pasien dengan

infeksi akan pulih sepenuhnya setelah pengobatan dengan ACT, namun di

sepanjang perbatasan Kamboja-Thailand, P. falciparum telah menjadi

resisten terhadap obat-obatan antimalaria (WHO, 2016d).(Lario et al., 2016; Simamora, 2013)

G. Tinjauan Tentang Faktor Risiko Mutasi Gen

1. Swamedikasi

Menurut World Health Organization (WHO) swamedikasi diartikan

sebagai pemilihan dan penggunaan obat, termasuk pengobatan herbal dan

tradisional, oleh individu untuk merawat diri sendiri dari penyakit atau gejala

penyakit (WHO, 1998). Menurut Sukasediati (1992), pengobatan sendiri

merupakan upaya yang dilakukan oleh orang awam untuk mengatasi

penyakit atau gejalanya yang dialami sendiri atau oleh orang sekitarnya,

dengan pengetahuan dan persepsinya sendiri, tanpa bantuan atau suruhan

seseorang yang ahli dalam bidang medic atau obat. Upaya pengobatan

sendiri ini dapat berupa pengobatan dengan obat modern atau obat

tradisional.

Apabila swamedikasi tidak dilakukan dengan benar maka dapat

berisiko munculnya keluhan lain karena penggunaan obat yang tidak tepat.

Swamedikasi yang tidak tepat diantaranya ditimbulkan oleh salah mengenali

gejala yang muncul, salah memilih obat, salah cara penggunaan, salah dosis,

dan keterlambatan dalam mencari nasihat/saran tenaga kesehatan bila

57

keluhan berlanjut. Selain itu, juga ada potensi risiko melakukan swamedikasi

misal efek samping yang jarang muncul namun parah, interaksi obat yang

berbahaya, dosis tidak tepat, dan pilihan terapi yang salah (BPOM RI,2014).

Penggunaan obat yang berlebihan dan tidak tepat pada pengobatan

malaria klinis memudahkan terjadinya resistensi obat (Tjitra, 2005). Penelitian

yang di lakukan di Gabon di temukan bahwa pengobatan sendiri dianggap

sebagai faktor kunci terjadinya resistensi obat antimalarial (Mawili-Mboumba

et al., 2014)

Menurunnya sensitifitas dapat timbul akibat pengobatan yang terus

menerus dan tidak adekuat, sehingga terjadi mutasi parasit, di samping itu

juga diduga dibawa dari daerah yang resisten (Emil A, 2004 dalam Santoso

SS, 1992). Tekanan obat yang terus menerus menyebabkan parasit akan

memasuki jalur metabolisme yang lain dan menyebabkan terjadinya mutasi.

Dengan demikian parasit terhindar dari pengaruh obat. Hal inilah yang

menyebabkan resistensi parasit terhadap obat antimalaria terjadi secara

perlahan-lahan (Simamora, 2013).

2. Kepatuhan Minum Obat

Kepatuhan (adherence) adalah suatu bentuk perilaku yang timbul

akibat adanya interaksi antara petugas kesehatan dan pasien sehingga

pasien mengerti rencana dengan segala konsekwensinya dan menyetujui

rencana tersebut serta melaksanakannya (Kemenkes R.I.,2011).

103

Tabel. 16

Distribusi Responden Berdasarkan Variabel Pemakaian Kasa di Wilayah

Distrik Prafi tahun 2016.

No Pemakaian Kasa N %

1 Tidak 30 69,8

2 Ya 13 30,2

Jumlah 43 100

Sumber : Data Primer

Dari tabel 16 menjelaskan bahwa distribusi responden paling banyak

pada responden yang tidak memakai kasa dengan presentase sebesar 69,8

% dan persentase responden yang paling sedikit pada responden yang

memakai kasa sebesar 30,2 %.

m. Distribusi Responden Berdasarkan Variabel jenis Dinding Rumah

Jenis dinding rumah merupakan salah satu faktor risiko dimana dapat

memudahkan nyamuk untuk masuk sehingga memungkinkan kontak antara

penghuni rumah dengan nyamuk. Distribusi responden berdasarkan Jenis

dinding rumah di wilyah Distrik Prafi dapat di lihat sebagai berikut :

104

Tabel. 17

Distribusi Responden Berdasarkan Variabel Jenis Dinding Rumah

di Wilayah Distrik Prafi tahun 2016.

No Jenis Dinding Rumah n %

1 Berisiko 29 67,4

2 Tidak Berisiko 14 32,6

Jumlah 43 100

Sumber : Data Primer

Dari tabel 17 menjelaskan bahwa distribusi responden paling banyak

pada jenis dinding rumah yang berisiko dengan persentase sebesar 67,4 %

dan persentase paling sedikit pada responden dengan jenis dinding rumah

yang tidak berisiko sebesar 32,6 %.

n. Distribusi Responden Berdasarkan Variabel Lingkungan Sekitar

Rumah

Kejadian penyakit bukanlah disebabkan oleh satu faktor saja

melainkan karena adanya beberapa faktor (Multi Causa). Ketiga komponen

tersebut saling mendukung di dalam kejadian penyakit malaria. Pada daerah

endemis malaria, faktor host dan lingkungan sangat besar pengaruhnya

didalam kejadian malaria. Berikut tabel Distribusi Responden berdasarkan

variabel Lingkungan sekitar rumah di wilayah Distrik Prafi tahun 2016 :

105

Tabel. 18

Distribusi Responden Berdasarkan Variabel

Lingkungan Sekitar Rumah di Wilayah Distrik Prafi tahun 2016

No Lingkungan Sekitar Rumah n %

1 Berisiko 20 46,5

2 Tidak Berisiko 23 53,5

Jumlah 43 100

Sumber : Data Primer

Dari tabel 18 menjelaskan bahwa distribusi responden paling banyak

pada responden yang lingkungan sekitar rumahnya tidak berisiko dengan

presentase sebesar 53,5 % dan responden yang paling sedikit pada

lingkungan sekitar rumahnya berisiko dengan presentase sebesar 46,5 %.

o. Distribusi Responden berdasarkan Swamedikasi

Menurut World Health Organization (WHO) swamedikasi diartikan

sebagai pemilihan dan penggunaan obat, termasuk pengobatan herbal dan

tradisional, oleh individu untuk merawat diri sendiri dari penyakit atau gejala

penyakit (WHO, 1998). Berikut tabel Distribusi Responden berdasarkan

variabel Swamedikasi di wilayah Distrik Prafi tahun 2016 :

106

Tabel. 19

Distribusi Responden Berdasarkan Variabel

Swamedikasi di Wilayah Distrik Prafi tahun 2016

No Swamedikasi n %

1 Ya 22 51,2

2 Tidak 21 48,8

Jumlah 43 100

Sumber : Data Primer

Dari tabel 19 menjelaskan bahwa distribusi responden paling banyak

pada responden yang melakukan Swamedikasi presentase sebesar 51,2 %

dibanding responden yang tidak melakukan swamedikasi dengan presentase

sebesar 48,8 %.

p. Distribusi Responden berdasarkan Kepatuhan Minum Obat

Kepatuhan (adherence) adalah suatu bentuk perilaku yang timbul

akibat adanya interaksi antara petugas kesehatan dan pasien sehingga

pasien mengerti rencana dengan segala konsekwensinya dan menyetujui

rencana tersebut serta melaksanakannya (Kemenkes RI, 2011). Berikut tabel

Distribusi Responden berdasarkan variabel Kepatuhan Minum Obat di

wilayah Distrik Prafi tahun 2016 :

107

Tabel. 20

Distribusi Responden Berdasarkan Variabel

Kepatuhan Minum Obat di Wilayah Distrik Prafi tahun 2016

No Kepatuhan Minum Obat n %

1 Tidak 27 62,8

2 Ya 16 37,2

Jumlah 43 100

Sumber : Data Primer

Dari tabel 20 menjelaskan bahwa distribusi responden paling banyak

pada responden yang tidak patuh minum obat dengan presentase sebesar

62,8 % dibanding responden yang patuh minum obat dengan presentase

sebesar 37,2 %.

q. Distribusi Polimorfime Gen Pfmdr1 N86Y pada Penderita Malaria

di Wilayah Distrik Prafi tahun 2016

Gen Pfmdr1 adalah terjadinya mutasi pada Parasit P.falciparum dan

berdampak terjadinya resistensi terhadap lebih dari satu jenis obat anti

malaria. Berikut tabel Distribusi Polimorfime Gen Pfmdr1 N86Y pada

Penderita malaria di Wilayah Distrik Prafi tahun 2016:

108

Tabel. 21

Distribusi Polimorfime Gen Pfmdr1 N86Y pada Penderita Malaria di di

Wilayah Distrik Prafi tahun 2016

No Polimorfisme Gen Pfmdr1 n %

1 N86 35 81,4

2 86Y 8 18,6

Jumlah 43 100

Sumber : Data Primer

Dari tabel 19 menjelaskan bahwa dari 43 responden yang menderita

malaria, dengan pemeriksaan PCR di dapatkan bahwa telah terjadi

polimorfisme gen Pfmdr1 dan terbanyak pada N86 (Wild Type) dengan

persentase sebesar 81,4 % dan 86Y (Mutan Type) dengan persentase

sebesar 18,6 %.

r. Distribusi Karateristik Penderita Malaria yang mengalami mutasi

gen Pfmdr1 di Wilayah Distrik Prafi tahun 2016.

Dari 43 sampel penderita malaria P.falciparum didapatkan ada 8

sampel yang mengalami mutasi pada gen Pfmdr1. Pemeriksaan sampel

dilakukan dengan menggunakan tehnik pemeriksaan PCR –RFLP. Berikut

distribusi karakteristik 8 sampel penderita malaria yang mengalami mutasi

gen Pfmdr1 :

109

Tabel. 22

Distribusi Karakteristik 8 sampel penderita malaria yang mengalami

Mutasi Gen Pfmdr1 di Wilayah Distrik Prafi tahun 2016

Karateristik Responden Total

6 9 11 14 18 23 31 33

Umur 0 – 5 tahun 6 – 12 tahun 13 – 18 tahun > 18 tahun

1

1

1

1

1

1

1

1

1 2 5

Jenis Kelamin Laki-laki Perempuan

1

1

1

1

1

1

1

1

4 4

Pendidikan Belum Sekolah SD SMP SMA PT

1

1

1

1

1

1

1

1

1 1 5 1

Pekerjaan Petani Pekebun Pedagang PNS Pelajar Tidak ada

1

1

1

1

1

1

1

1

3 1

1 3

Suku

Papua Non Papua

1

1

1

1

1

1

1

1

4 4

Infeksi Malaria Mixed Tunggal

1

1

1

1

1

1

1

1

1 7

Dari tabel 22 menjelaskan bahwa dari 8 penderita yang mengalami

mutasi gen Pfmdr1, distribusi berdasarkan karakteristik umur lebih banyak

110

terjadi pada golongan umur > 18 tahun ( 5 orang ) dan paling sedikit pada

golongan umur 6 – 12 tahun ( 1 orang ). Distribusi berdasarkan karakteristik

jenis kelamin antara jenis kelamin laki-laki dan perempuan memiliki peluang

yang sama untuk terjadi mutasi gen Pfmdr1 ( 4 orang ). Distribusi

berdasarkan karakteristik pendidikan lebih banyak terjadi pada penderita

yang ber pendidikan SMA ( 5 orang ). Distribusi berdasarkan karakteristik

pekerjaan lebih banyak terjadi pada penderita yang memiliki pekerjaan

sebagai petani ( 3 orang ) dan sebagai pelajar ( 3 orang ). Distribusi

berdasarkan karakteristik suku antara suku asli papua dan non papua

memiliki peluang yang sama terkena mutasi gen Pfmdr1 ( 4 orang ). Distribusi

berdasarkan infeksi parasit malaria lebih banyak mutasi terjadi pada infeksi

tunggal ( 7 orang ) dari pada infeksi mix ( 1 orang ).

s. Distribusi 8 responden yang mengalami mutasi gen Pfmdr1

berdasarkan Variabel penelitian di Wilayah Distrik Prafi tahun

2016.

Ada 8 responden yang mengalami mutasi pada gen Pfmdr1 dari 43

sampel yang diperiksa dengan menggunakan tehnik pemeriksaan PCR –

RFLP. Berikut distribusi 8 responden penderita malaria yang mengalami

mutasi gen Pfmdr1 berdasarkan variabel penelitian:

111

Tabel. 23

Distribusi 8 responden yang mengalami mutasi gen Pfmdr1 berdasarkan

Variabel penelitian di Wilayah Distrik Prafi tahun 2016.

Karateristik Responden Total

6 9 11 14 18 23 31 33

Aktifitas di luar Rumah pada Malam Hari Ya Tidak

1

1

1

1

1

1

1

1

6 2

Pemakaian Kelambu Tidak Ya

1

1

1

1

1

1

1

1

2 6

Pemakaian OAN Tidak Ya

1

1

1

1

1

1

1

1

6 2

Pemakaian Plapon Tidak Ya

1

1

1

1

1

1

1

1

6 2

Pemakaian Kasa Tidak Ya

1

1

1

1

1

1

1

1

6 2

Jenis Dinding Rumah Berisiko Tidak Berisiko

1

1

1

1

1

1

1

1

5 3

Lingkungan rumah Berisiko Tidak Berisiko

1

1

1

1

1

1

1

1

3 5

Swamedikasi Ya Tidak

1

1

1

1

1

1

1

1

7 1

Kepatuhan Minum Obat

Tidak Ya

1

1

1

1

1

1

1

1

6 2

112

Dari tabel 23 menjelaskan bahwa dari 8 penderita yang mengalami

mutasi gen Pfmdr1, lebih banyak terjadi pada responden yang beraktifitas di

luar rumah pada malam hari ( 6 orang ). Untuk variabel pemakaian kelambu,

mutasi gen Pfmdr1 lebih banyak terjadi pada responden yang memakai

kelambu ( 6 orang ). Untuk variabel pemakaian obat anti nyamuk, mutasi gen

Pfmdr1 lebih banyak terjadi pada responden yang tidak memakai obat anti

nyamuk ( 6 orang ). Untuk variabel pemakaian plapon rumah, mutasi gen

Pfmdr1 lebih banyak terjadi pada responden yang tidak memakai plapon

dalam rumah ( 6 orang ). Untuk variabel pemakaian kasa pada ventilasi,

mutasi gen Pfmdr1 lebih banyak terjadi pada responden yang tidak memakai

kasa pada ventilasi ( 6 orang ). Untuk variabel jenis dinding rumah, mutasi

gen Pfmdr1 lebih banyak terjadi pada responden yang jenis dinding

rumahnya berisiko ( 5 orang ). Untuk variabel lingkungan sekitar rumah,

mutasi gen Pfmdr1 lebih banyak terjadi pada responden yang lingkungan

sekitar rumahnya tidak berisiko ( 5 orang ). Untuk variabel swamedikasi,

mutasi gen Pfmdr1 lebih banyak terjadi pada responden yang melakukan

swamedikasi ( 7 orang ). Untuk variabel kepatuhan minum obat, mutasi gen

Pfmdr1 lebih banyak terjadi pada responden yang tidak patuh minum obat

( 6 orang ).

113

2. Analisis Bivariat

Analisis bivariat bertujuan untuk melihat hubungan antara masing-

masing variabel. untuk melihat besarnya independen dengan dependen

penelitian (kejadian malaria). Analisis dilakukan dengan menggunakan chi

Square Test untuk melihat besarnya nilai X2 hitung dari masing-masing

variabel independen bila dihubungkan dengan variabel dependen. Hasil

analisis tersebut adalah sebagai berikut :

a. Hubungan Aktifitas diluar rumah pada malam hari dengan

kejadian malaria.

Kebiasaan berada diluar rumah pada malam hari merupakan salah

satu faktor risiko untuk terkena penyakit malaria. Hal ini disebabkan karena

beberapa sifat dari nyamuk anopheles yaitu menggigit pada malam hari dan

bersifat eksofagik yaitu menggigit diluar rumah. Hubungan aktivitas diluar

rumah pada malam hari dengan kejadian malaria dapat di lihat pada tabel

berikut :

114

Tabel 24.

Hubungan Aktivitas berada diluar rumah pada malam hari dengan

kejadian malaria di Wilayah Distrik Prafi Tahun 2016

Aktivitas

Kejadian Malaria Tropika

n

%

Nilai

p

Infeksi

Mixed

Infeksi

Tunggal

N % N %

0,019

Ya 0 0 26 60,5 26 60,5

Tidak 4 9,3 13 30,2 17 39,5

j u m l a h 4 9,3 39 90,7 43 100

Sumber : Data Primer

Hasil analisis menunjukkan bahwa dari 43 responden, jumlah

penderita malaria tropica lebih banyak terjadi pada responden yang

mempunyai aktivitas di luar rumah pada malam hari yaitu sebesar 60,5 % dari

pada penderita yang tidak mempunyai aktivitas di luar rumah pada malam

hari. Hasil uji statistic dengan menggunakan uji Fishers Exact test di peroleh

nilai p = 0,019 ( p < 0,05 ) yang artinya ada hubungan aktivitas di luar rumah

pada malam hari dengan kejadian malaria Tropica.

b. Hubungan Pemakaian Kelambu dengan kejadian malaria.

Tidak memakai kelambu pada saat tidur malam merupakan salah satu

faktor risiko untuk terkena penyakit malaria. Hal ini disebabkan karena selain

115

bersifat eksofagik (menggigit diluar rumah) nyamuk anopheles juga bersifat

endofagik yaitu menggigit didalam rumah.

Hubungan Penggunaan kelambu dengan kejadian malaria dapat di

lihat pada tabel berikut :

Tabel 25.

Hubungan Pemakaian Kelambu dengan kejadian malaria di Wilayah

Distrik Prafi tahun 2016

Pemakaian

Kelambu

Kejadian Malaria Tropika

n

%

Nilai

p

Infeksi

Mixed

Infeksi

Tunggal

N % N %

0,558

Tidak 0 0 10 23,3 10 23,3

Ya 4 9,3 29 67,4 33 76,7

j u m l a h 4 9,3 39 90,7 43 100

Sumber : Data Primer

Hasil analisis menunjukkan bahwa dari 43 responden, jumlah

penderita malaria tropica lebih banyak terjadi pada responden yang memakai

kelambu yaitu sebesar 76,7 % dari pada penderita yang memakai kelambu.

Hasil uji statistic dengan menggunakan uji Fishers Exact test di peroleh nilai p

= 0,558 ( p > 0,05 ) yang artinya tidak ada hubungan Pemakaian kelambu

dengan kejadian malaria Tropica.

116

c. Hubungan Penggunaan Obat Anti Nyamuk dengan kejadian

malaria.

Tidak menggunakan obat anti nyamuk pada saat tidur malam

merupakan salah satu faktor risiko untuk terkena penyakit malaria. Hal ini

disebabkan karena selain bersifat eksofagik (menggigit diluar rumah) nyamuk

anopheles juga bersifat endofagik yaitu menggigit didalam rumah. Hubungan

Penggunaan obat anti nyamuk dengan kejadian malaria dapat di lihat pada

tabel berikut :

Tabel 26.

Hubungan Pemakaian Obat anti Nyamuk dengan kejadian malaria di

Wilayah Distrik Prafi tahun 2016

Pemakaian Obat

Anti Nyamuk

Kejadian Malaria Tropika

n

%

Nilai

p

Infeksi

Mixed

Infeksi

Tunggal

N % N %

0,558

Tidak 4 9,3 29 67,4 33 76,7

Ya 0 0,0 10 23,3 10 23,3

j u m l a h 4 9,3 39 90,7 43 100

Sumber : Data Primer

Hasil analisis menunjukkan bahwa dari 43 responden, jumlah

penderita malaria tropica lebih banyak terjadi pada responden yang tidak

memakai obat anti nyamuk yaitu sebesar 76,7 % dari pada penderita yang

memakai Obat Anti Nyamuk. Hasil uji statistic dengan menggunakan uji

117

Fishers Exact test di peroleh nilai p = 0,558 ( p > 0,05 ) yang artinya tidak ada

hubungan Pemakaian obat anti nyamuk dengan kejadian malaria Tropica.

d. Hubungan Pemakaian Plapon dengan kejadian malaria.

Salah satu cara untuk menghindari masuknya nyamuk kedalam rumah

atau ruangan tertentu adalah dengan pemakain langit-langit rumah atau

Plapon. Hubungan pemakaian Plapon dalam rumah dengan kejadian malaria

dapat di lihat pada tabel berikut :

Tabel 27.

Hubungan Pemakaian Plapon dengan kejadian malaria di Wilayah

Distrik Prafi tahun 2016

Pemakaian

Plapon

Kejadian Malaria Tropika

n

%

Nilai

p

Infeksi

Mixed

Infeksi

Tunggal

N % N %

0,045

Berisiko 1 2,3 31 72,1 32 74,4

Tidak Berisiko 3 7,0 8 18,6 11 25,6

j u m l a h 4 9,3 39 90,7 43 100

Sumber : Data Primer

Hasil analisis menunjukkan bahwa dari 43 responden, jumlah

penderita malaria tropica lebih banyak terjadi pada responden yang tidak

memakai Plapon dalam rumah yaitu sebesar 74,4 % dari pada penderita

yang memakai Plapon. Hasil uji statistic dengan menggunakan uji Fishers

118

Exact test di peroleh nilai p = 0,045 ( p < 0,05 ) yang artinya ada hubungan

Pemakaian Plapon dalam rumah dengan kejadian malaria Tropica.

e. Hubungan Pemakaian Kasa pada Ventilasi dengan kejadian

malaria.

Salah satu cara untuk menghindari masuknya nyamuk kedalam rumah

atau ruangan tertentu adalah dengan pemakaian kasa pada ventilasi udara.

Hubungan pemakaian kasa pada ventilasi dengan kejadian malaria dapat di

lihat pada tabel berikut :

Tabel 28.

Hubungan Pemakaian Kasa pada ventilasi dengan kejadian malaria di

Wilayah Distrik Prafi tahun 2016

Pemakaian Kasa

Pada Ventilasi

Kejadian Malaria Tropika

n

%

Nilai p

Infeksi

Mixed

Infeksi

Tunggal

N % N %

0,006

Berisiko 0 0,0 30 69,8 30 69,8

Tidak Berisiko 4 9,3 9 20,9 13 30,2

j u m l a h 4 9,3 39 90,7 43 100

Sumber : Data Primer

Hasil analisis menunjukkan bahwa dari 43 responden, jumlah

penderita malaria tropica lebih banyak terjadi pada responden yang tidak

memakai kasa pada ventilasi yaitu sebesar 69,8 % dari pada penderita yang

119

memakai kasa. Hasil uji statistic dengan menggunakan uji Fishers Exact test

di peroleh nilai p = 0,006 ( p < 0,05 ) yang artinya ada hubungan Pemakaian

Kasa dengan kejadian malaria Tropica.

f. Hubungan Jenis Dinding Rumah dengan kejadian malaria.

Kondisi rumah yang sifatnya terbuka merupakan salah satu faktor

risiko untuk terkena penyakit malaria. Adanya sifat dari nyamuk anopheles

yaitu bersifat endofagik (menggigit di dalam rumah) sehingga dengan kondisi

rumah yang terbuka tentunya akan memudahkan nyamuk anopheles masuk

kedalam rumah. Hubungan Kondisi rumah dengan kejadian malaria dapat di

lihat pada tabel berikut :

Tabel 29.

Hubungan Jenis Dinding Rumah dengan kejadian malaria

di Wilayah Distrik Prafi Tahun 2016.

Jenis Dinding

Rumah

Kejadian Malaria Tropika

n

%

Nilai

p

Infeksi

Mixed

Infeksi

Tunggal

N % N %

0,008

Berisiko 0 0 29 67,4 29 67,4

Tidak Berisiko 4 9,3 10 23,3 14 32,6

j u m l a h 4 9,3 39 90,7 43 100

Sumber : Data Primer

Hasil analisis menunjukkan bahwa dari 43 responden, jumlah

penderita malaria tropica lebih banyak terjadi pada responden yang memiliki

120

jenis dinding rumah berisiko yaitu sebesar 67,4 % dari pada responden yang

memiliki jenis dinding rumah tidak berisiko. Hasil uji statistic dengan

menggunakan uji Fishers Exact test di peroleh nilai p = 0,008 ( p < 0,05 )

yang artinya ada hubungan jenis dinding rumah dengan kejadian malaria

Tropica.

g. Hubungan Lingkungan sekitar rumah dengan kejadian malaria.

Adanya Breeding Place di sekitar rumah merupakan salah satu faktor

risiko untuk terjadinya malaria seperti daerah sawah, rawa, kolam, kebun

dan semak-semak.

Tabel 30.

Hubungan Lingkungan sekitar Rumah dengan kejadian malaria

di Wilayah Distrik Prafi Tahun 2016.

Lingkungan

Sekitar Rumah

Kejadian Malaria Tropika

n

%

Nilai

p

Infeksi

Mixed

Infeksi

Tunggal

N % N %

0,323

Berisiko 3 7,0 17 39,5 20 46,5

Tidak Berisiko 1 2,3 22 51,2 23 53,5

j u m l a h 4 9,3 39 90,7 43 100

Sumber : Data Primer

Hasil analisis menunjukkan bahwa dari 43 responden, jumlah

penderita malaria tropica lebih banyak terjadi pada responden yang

Lingkungan sekitar rumahnya tidak berisiko yaitu sebesar 53,5 % dari pada

121

responden yang lingkungan sekitar rumahnya berisiko . Hasil uji statistic

dengan menggunakan uji Fishers Exact test di peroleh nilai p = 0,323

( p > 0,05 ) yang artinya tidak ada hubungan Lingkungan sekitar rumah

dengan rumah dengan kejadian malaria Tropica.

h. Hubungan Swamedikasi dengan Polimorfisme Gen Pfmdr1 N86Y

Menurunnya sensitifitas dapat timbul akibat pengobatan yang terus

menerus dan tidak adekuat, sehingga terjadi mutasi parasit, di samping itu

juga diduga dibawa dari daerah yang resisten (Emil A, 2004 dalam Santoso

SS, 1992).

Tabel 31.

Hubungan Swamedikasi dengan Polimorfisme Gen Pfmdr1 N86Y

di Wilayah Distrik Prafi Tahun 2016.

Swamedikasi

Polimorfisme Gen Pfmdr1

n

%

Nilai p 86Y N86

N % N %

0,046

Ya 7 16,3 15 34,9 22 51,2

Tidak 1 2,3 20 46,5 21 48,8

j u m l a h 8 18,6 35 81,4 43 100

Sumber : Data Primer

Hasil analisis menunjukkan bahwa dari 43 responden, Polimorfisme

gen Pfmdr1 N86Y lebih banyak terjadi pada penderita malaria yang

melakukan swamedikasi (51,2 %) di banding penderita malaria yang tidak

122

melakukan swamedikasi (48,8 %). Hasil uji statistic dengan menggunakan uji

Fishers Exact test di peroleh nilai p = 0,046 ( p < 0,05 ) yang artinya ada

hubungan antara Swamedikasi dengan Polimorfisme Gen Pfmdr1.

i. Hubungan Kepatuhan minum Obat dengan Polimorfisme Gen

Pfmdr1 N86Y

Ada tiga faktor yang mempengaruhi kecepatan terjadinya resistensi.

Faktor tersebut adalah pertama faktor operasional misalnya dosis subterapik,

kepatuhan inang yang kurang, kedua faktor farmakologik dan ketiga adalah

faktor transmisi malaria, termasuk intensitas, drug pressure dan respon imun

inang (Simamora, 2013).

Tabel 32.

Hubungan Kepatuhan Minum Obat dengan Polimorfisme Gen Pfmdr1

N86Y di Wilayah Distrik Prafi Tahun 2016.

Kepatuhan

Minum Obat

Polimorfisme Gen Pfmdr1

n

%

Nilai p N86 86Y

N % N %

0,688

Tidak 21 48,8 6 14,0 27 62,8

Ya 14 32,6 2 4,6 16 37,2

j u m l a h 35 81,4 8 18,6 43 100

Sumber : Data Primer

Hasil analisis menunjukkan bahwa dari 43 responden, Polimorfisme

gen Pfmdr1 N86Y lebih banyak terjadi pada penderita yang tidak patuh

123

minum obat (62,8 %) di banding penderita malaria yang patuh minum obat

(37,2 %). Namun Hasil uji statistic dengan menggunakan uji Fishers Exact

test di peroleh nilai p = 0,688 ( p > 0,05 ) yang artinya tidak ada hubungan

antara kepatuhan minum obat dengan Polimorfisme Gen Pfmdr1.

C. Pembahasan

Distrik Prafi merupakan salah satu distrik di Kabupaten Manokwari

yang memiliki daerah geografis berupa daerah pegunungan dengan lahan

kelapa sawit dan daerah persawahan yang dekat dengan tempat pemukiman

masyarakat. Kondisi lingkungan berupa lahan kebun sawit merupakan faktor

terhadap keberadaan resting (tempat istirahat) nyamuk, karena sinar

matahari terhalang masuk ke permukaan tanah, hal ini menyebabkan kondisi

lingkungan yang gelap, suhu rendah dan lembab suatu kondisi yang

membuat nyamuk bertahan, nyaman dan akhirnya berkembang menjadi

vektor malaria (Depkes, 2007). (AP, Ishak, & Birawida, 2013)

Hasil pengumpulan sampel dan data yang di lakukan pada bulan April

2016 sampai bulan Mei 2016 di wilayah kerja Puskesmas Prafi, di peroleh

jumlah sampel yang positif malaria Tropika sebanyak 43 sampel yang terdiri

dari dua jenis infeksi yaitu infeksi tunggal dan infeksi campuran (Mixed). Pada

penelitian ini di dapatkan bahwa lebih banyak penderita berasal dari desa

Udapi Hilir sebanyak 12 penderita. Kelompok umur yang paling banyak

menderita adalah kelompok umur > 18 tahun dan paling banyak terjadi pada

124

jenis kelamin laki-laki. Jenis pekerjaan penderita yang paling banyak terjadi

pada pekerjaan sebagai petani.

Penderita malaria Tropica yang terdiri dari 43 orang, semuanya sudah

pernah terkena malaria sebelumya. Tidak ada yang menjadi sampel

penderita baru.

1. Hubungan Kebiasaan berada di luar rumah pada malam hari

dengan Kejadian Malaria

Perilaku nyamuk anopheles dalam mencari darah (Feeding Places)

terbagi berdasarkan spesies yaitu ada nyamuk yang aktif menggigit mulai

senja hari hingga menjelang tengah malam dan ada nyamuk yang aktif

menggigit mulai tengah malam sampai pagi hari. Aktifitas menggigit nyamuk

anopheles berlangsung sepanjang malam sejak matahari terbenam yaitu

pukul 18.30 – 22.00. (Pranoto 1980 dalam Lario et al. (2016)).

Aktifitas menggigit nyamuk anopheles berlangsung sepanjang malam

sejak matahari terbenam yaitu pukul 18.30 – 22.00. Perilaku nyamuk

anopheles lainnya yang merupakan faktor risiko bagi masyarakat yang

mempunyai kebiasaan berada di luar rumah pada malam hari yaitu adanya

golongan eksofili yaitu golongan nyamuk yang senang tinggal diluar rumah

dan golongan eksofagi yaitu golongan nyamuk yang suka menggigit diluar

rumah. Penelitian lain yang di lakukan oleh adyana menunjukkan bahwa

perilaku menggigit cenderung eksofagik ditemukan pada An. Kochi, An.

Aconitus dan An.barbirostris dengan puncak kerapatan gigitan di An.

125

Aconitus (0,6 orang / jam) dengan puncak menggigit pada pukul 20:00

sampai 21:00. Perilaku eksofilik cenderung pecah di An. Kochi, An. Aconitus,

An. Tesselatus, An Barbirostris, An. Vagus, An.flavirostris, An. Maculatus dan

An. Indefinitus dengan kepadatan tertinggi di An.aconitus (0,9 orang / jam)

pada pukul 1:00 pagi sampai 2:00 pagi (Adyana, 2011). (Adyana, 2011; Sanaky, Arsunan, & Anwar, 2014)

Hasil penelitian yang di lakukan di Distrik Prafi di peroleh jumlah

responden penderita malaria yang mempunyai kebiasaan berada di luar

rumah pada malam hari sebanyak 26 orang ( 60,5 % ). Hasil uji statistik di

dapatkan nilai p-value=0,019, menyimpulkan bahwa ada hubungan yang

signifikan antara kebiasaan berada di luar rumah pada malam hari dengan

kejadian malaria. Untuk Odds Ratio (OR) = 1,308. menginterpretasikan

bahwa seseorang yang mempunyai kebiasaan berada di luar rumah pada

malam hari mempunyai risiko terkena malaria 1,3 kali lebih besar

dibandingkan dengan orang yang tidak mempunyai kebiasan berada di luar

rumah pada malam hari. Adanya perilaku masyarakat papua ketika malam

yaitu senang duduk-duduk di luar rumah sampai larut malam dengan

kegiatan kumpul dengan teman sambil minum minuman dan makan pinang

terutama pada jenis kelamin laki-laki sehingga memberikan waktu kontak

nyamuk menjadi lebih panjang dan memungkinkan terjadi penularan. Selain

itu adanya beberapa kelompok masyarakat yang biasa melakukan pekerjaan

di kebun pada malam hari dengan alasan pada malam hari tidak panas dan

adakalanya mereka tidak lagi pulang kerumah sehingga menginap di kebun.

126

Begitu pula pada sebagian kelompok masyarakat yang bekerja sebagai

petani dimana mereka sampai sore masih berada di sawah. Tidak adanya

usaha untuk melindungi diri dari gigitan nyamuk seperti dengan

menggunakan obat nyamuk oles ( Reppelent ) atau memakai lengan panjang

ketika keluar rumah pada malam hari menyebabkan mempermudah gigitan

nyamuk anopheles yang mempunyai sifat eksofili dan eksofagi.

Hasil ini sesuai dengan hasil penelitian yang dilakukan di kelurahan

Pekaabata kabupaten Polewali Mandar di mana hasil analisis menunjukkan

bahwa ada hubungan antara kebiasaan keluar malam (p=0,000) dengan

kejadian malaria (AP et al., 2013).

Hasil penelitian ini juga didukung oleh penelitian yang dilakukan oleh

Ikrayama .B di Puskesmas Hamadi Jayapura, bahwa kebiasaan keluar rumah

pada malam hari berpeluang terkena malaria 5,54 kali dibandingkan orang

yang tidak keluar rumah pada malam hari (Babba, 2007).

Penelitian yang tidak sejalan dengan penelitian ini adalah penelitian yang

di lakukan di Kabupaten Bangka Belitung oleh Sujari (2008) dimana di

dapatkan bahwa kebiasaan keluar rumah pada malam hari menunjukkan

hubungan yang tidak bermakna. Hal yang sama pula pada penelitian yang di

lakukan di kota Ambon di mana hasil uji statistic di dapatkan nilai p = 0,619

yang menunjukan tidak ada hubungan kejadian malaria dengan kebiasaan

keluar rumah malam hari (Sanaky et al., 2014).

127

2. Hubungan Penggunaan Kelambu dengan Kejadian Malaria

Kelambu merupakan alat yang telah digunakan sejak dahulu kala.

Pemakaian kelambu merupakan salah satu tindakan protektif yang bertujuan

untuk mengurangi kontak manusia dengan nyamuk. Berdasarkan hasil

penelitian yang dilakukan di Distrik Prafi pada 43 responden, di peroleh

bahwa jumlah penderita malaria lebih banyak terjadi pada responden yang

memakai kelambu pada saat tidur malam hari yaitu sebesar 76,7 % dari pada

penderita malaria yang tidak memakai kelambu pada saat tidur malam hari

(23,3%). Hasil uji statistik di dapatkan nilai p-value = 0,558, menyimpulkan

bahwa tidak ada hubungan yang signifikan antara penggunaan kelambu

dengan kejadian malaria.

Secara teori orang yang memakai kelambu akan terhindar dari gigitan

nyamuk anopheles sehingga dapat terhindar dari sakit malaria. Untuk lebih

mengetahui faktor risiko lain penyebab tingginya penderita malaria pada

responden yang memakai kelambu maka dilakukan crosstabs pada variabel

lainnya yaitu aktivitas diluar rumah pada malam hari, pemakaian plapon,

pemakaian kasa pada ventilasi dan jenis dinding rumah.

Hasil Crosstabs pada empat variabel di dapatkan bahwa dari 33

responden yang memakai kelambu dan menderita malaria ternyata ada 17

responden mempunyai aktivitas diluar rumah pada malam hari. Keadaan ini

tentunya merupakan factor risiko mempermudah nyamuk menggigit karena

128

adanya sifat dari nyamuk anopheles yaitu menggigit di luar rumah

( eksofagik ).

Hasil crosstabs pada variabel pemakaian plapon di dapatkan ada 25

responden yang tidak memakai atap plapon dalam rumahnya sehingga

keadaan ini dapat menyebabkan masuknya nyamuk anopheles yang memiliki

sifat endofilik yaitu nyamuk yang tempat istirahatnya di dalam rumah dan sifat

endofagik yaitu nyamuk senang menggigit di dalam rumah. Keadaan ini

tentunya dapat menyebabkan terjadinya kontak antara nyamuk dengan

manusia di dalam rumah yang tidak memiliki plapon.

Hasil crosstabs pada variabel pemakaian kasa pada ventilasi di

dapatkan ada 24 responden yang tidak memakai kasa sehingga nyamuk

dapat masuk ke dalam rumah dan dapat menyebabkan terjadinya kontak

dengan manusia. Hasil crosstabs pada variabel jenis dinding rumah di

dapatkan ada 24 responden yang rumahnya berisiko dalam hal ini dinding

rumah terbuat dari papan / kayu dan memiliki lubang. Hal ini juga

menyebabkan nyamuk dapat masuk kedalam rumah dan dapat

menyebabkan terjadinya kontak dengan manusia.

Dari hasil crosstabs dapat di ketahui bahwa faktor risiko lain pada

responden yang memakai kelambu yaitu beberapa responden mempunyai

aktivitas di luar rumah pada malam hari, rumah yang tidak memiliki plapon ,

tidak memakai kasa pada ventilasi dan jenis dinding rumah yang berisiko.

129

Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian di kecamatan Tanjung

Kabupaten Lombok Utara dimana hasil uji statistic di dapatkan nilai

p = 0,168 > 0,005 yang menunjukkan tidak ada hubungan antara pemakaian

kelambu dengan kejadian malaria (Getas & Zaetun, 2012b). Hasil penelitian

yang sama yang di lakukan oleh Sunarsih, Nurjazuli, and Sulistiyani (2009) di

Pangkalbalam pangkalpinang di dapatkan hasil uji statistik dengan nilai

p = 0,827 > 0,005 yang menunjukkan tidak ada hubungan antara pemakaian

kelambu dengan kejadian malaria.

Hasil penelitian ini tidak sejalan dengan penelitian yang dilakukan di

pulau Kapoposang Kabupaten Pangkep oleh Muslimin et al. (2011) dimana

hasil penelitian menunjukkan bahwa faktor penggunaan kelambu (p=0,046)

berhubungan dengan kejadian malaria. Penelitian lain yang hasilnya tidak

sejalan dengan penelitian ini yaitu penelitian yang di lakukan di Kecamatan

Kampar kiri tengah Kabupaten kampar, dimana hasil penelitian menunjukkan

bahwa faktor penggunaan kelambu (p=0,017) berhubungan dengan kejadian

malaria (Erdinal & Wulandari, 2006).

Hal yang sama pada penelitian yang di lakukan di Kabupaten Poso di

dapatkan bahwa pemakaian kelambu saat tidur malam hari berhubungan

dengan kejadian malaria (p=0,000). (Lario et al., 2016).

130

3. Hubungan Penggunaan Obat Anti Nyamuk dengan Kejadian

Malaria

Berbagai usaha yang dapat dilakukan untuk mengurangi kejadian

malaria diantaranya yaitu dengan menggunakan obat anti nyamuk. Jenis dari

obat anti nyamuk yang banyak beredar dimasyarakat yaitu obat nyamuk

bakar (Fumigan), obat nyamuk semprot (Aerosol), obat nyamuk listrik

(Electrik) dan zat penolak nyamuk (Repellent).

Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan di Distrik Prafi pada 43

responden di peroleh jumlah responden yang tidak memakai obat anti

nyamuk pada saat tidur malam sebanyak 33 responden (76,7 %) dan

semuanya menderita malaria. Namun hasil uji statistik di dapatkan nilai p-

value = 0,558 menyimpulkan bahwa tidak ada hubungan antara pemakaian

obat anti nyamuk dengan kejadian malaria.

Secara uji statistik tidak ada hubungan pemakaian obat anti nyamuk

dengan kejadian malaria namun hasil penelitian di lapangan lebih banyak

penderita malaria di sebabkan karena tidak memakai obat anti nyamuk. Hal

ini disebabkan karena ada 10 orang responden yang memakai obat anti

nyamuk dan semuanya menderita malaria sehingga hal inilah yang

menyebabkan sehingga secara uji statistic tidak bermakna.

Penelitian ini sejalan dengan penelitian yang di lakukan oleh

Kurniawan di Kabupaten Asmat dimana dengan Analisis bivariat di dapatkan

hasil bahwa tidak ada hubungan antara pemakaian obat anti nyamuk dengan

131

kejadian malaria dengan nilai p sebesar 1,000 atau p ≥ 0,05 (Kurniawan,

2008). (Nurlette, Ishak, & Manyullei, 2008)Penelitian lain yang sejalan dengan penelitian ini yaitu penelitian

yang di lakukan di Pulau Kapoposang Kabupaten Pangkep di mana di

dapatkan hasil statistic dengan nilai P = 1,000 menunjukan tidak ada

hubungan pemakaian obat nyamuk dengan kejadian malaria (Muslimin et al.,

2011).

Namun lain hal dengan penelitian yang dilakukan oleh Erdinal and

Wulandari (2006) dimana hasil di dapatkan bahwa terdapat hubungan antara

penggunaan obat anti nyamuk dengan kejadian malaria berdasarkan tabulasi

silang (uji chi square) diperoleh nilai p = 0,026, ini berarti secara statistik

terdapat hubungan yang bermakna antara pemakaian obat anti nyamuk

dengan kejadian malaria. Dalam uji tersebut diperoleh Odds Ratio (OR) 2,3

dengan confidence interval (CI) 95 % = 1,158 – 4,564, dengan kata lain

responden tidur pada malam hari tidak memakai obat anti nyamuk

mempunyai risiko 2,3 kali untuk terkena malaria dibandingkan dengan

responden yang menggunakan obat anti nyamuk.

Penelitian lain yang tidak sejalan dengan penelitian ini adalah

penelitian di Wilayah Kerja Puskesmas Rijali Kecamatan Sirimau Kota Ambon

dimana hasil analisis menunjukkan ada hubungan antara penggunaan obat

anti nyamuk (p = 0,000) dengan kejadian malaria (Nurlette et al., 2008).

132

4. Hubungan Pemakaian Plapon dengan Kejadian Malaria

Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan di Distrik Prafi pada 43

responden diperoeh jumlah responden penderita malaria lebih banyak pada

rumah yang tidak memakai Plapon / langit-langit rumah sebanyak 32 orang

( 74,4%) di banding responden yang rumahnya memakai plapon. Hasil uji

statistik menyimpulkan bahwa ada hubungan yang signifikan antara

pemakaian Plapon / langit – langit rumah dengan kejadian malaria dengan

nilai p-value = 0,045. (Thaharuddin, Soeyoko, & Sutomo, 2004)

Masyarakat di Distrik Prafi terdiri dari dua suku yaitu suku papua dan

non papua yang merupakan pendatang dari jawa melalui program

transmigrasi. Dari hasil penelitian di dapatkan bahwa hampir semua sampel

dari suku papua rumahnya tidak memiliki plapon yaitu sebanyak 13 orang

(86,7%) dari 15 orang penderita malaria tropika. Hai inilah salah satu faktor

yang menyebabkan nyamuk dapat masuk di rumah di tambah lagi sebagian

besar rumah penderita dekat dengan lahan kebun sawit yang merupakan

tempat istirahat / Reesting place nyamuk anopheles.

Penelitian ini sejalan dengan Hasil penelitian Getas and Zaetun

(2012b) di sekitar laguna Kecamatan Tanjung Kabupaten Lombok utara

didadapatkan bahwa rumah yang tidak terdapat langit-langit (kondisi rumah

yang tidak terlindungi) merupakan faktor risiko terhadap kejadian malaria

pada penghuninya dengan nilai p = 0,013 dan OR = 2,618. Penelitian lain

133

yang sejalan dengan penelitian ini adalah penelitian yang dilakukan di kota

Sabang dimana didapatkan hasil p = 0,003 bahwa terdapat hubungan

pemakaian plapon dengan kejadian malaria (Thaharuddin et al., 2004).

Berbeda dengan penelitian yang di lakukan Sari (2016) di Kecamatan

Putri Hijau Kabupaten Bengkulu Utara di mana di dapatkan hasil bahwa tidak

ada hubungan pemakaian plapon dengan kejadian malaria dengan

nilai p = 0,221. Penelitian lain yang juga tidak sejalan dengan penelitian ini

yaitu penelitian yang di lakukan penelitian di Desa Tunggulo Kecamatan

Limboto Barat Kab. Gorontalo di mana Hasil analisis data diperoleh nilai

p value = 0,630 > 0,005, hal ini berarti tidak ada hubungan antara

keberadaan plafon dengan kejadian malaria. (Ma'ruf, 2014).

5. Hubungan Pemakaian Kasa dengan Kejadian Malaria

Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan di Distrik Prafi pada 43

responden di peroleh jumlah responden yang tidak memakai kasa pada

ventilasi dan menderita malaria sebanyak 30 orang (69,8%) di banding

responden yang memakai kasa. Hasil uji statistik menyimpulkan bahwa ada

hubungan yang signifikan antara pemakaian kasa dengan kejadian malaria

dengan nilai p-value = 0,006.

Masyarakat Distrik Prafi khususnya pada 43 sampel penderita malaria

tropika, ada 29 orang (67,4%) memiliki rumah yang dindingnya terbuat dari

papan kayu sehinga hal inilah yang menyebabkan tidak adanya kasa pada

135

merupakan wilayah endemis malaria sehingga faktor gigitan nyamuk banyak

yang menganggap sebagai fenomena alam yang biasa dan tidak merupakan

masalah serius.

6. Hubungan Jenis Dinding Rumah dengan Kejadian Malaria

Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan di wilayah kerja

Puskesmas Prafi pada 43 responden, di peroleh hasil bahwa jumlah

responden yang lebih banyak menderita malaria pada responden yang

memiliki rumah dengan jenis dinding rumah berisiko yaitu terbuat dari papan

kayu sebanyak 29 orang (67,4 %). Hasil uji statistik menyimpulkan bahwa

ada hubungan yang signifikan antara jenis dinding rumah dengan kejadian

malaria dengan p-value = 0,008 ( p < 0,05 ).

Rumah yang terbuat dari papan kayu tentunya berbeda kerapatan

dindingnya nya dengan rumah yang terbuat dari dinding batu / beton. Belum

lagi di tambah dengan adanya lobang pada kayu tersebut. Hal ini tentunya

dapat menyebabkan masuknya nyamuk kedalam rumah yang memiliki sifat

endophagic yaitu nyamuk yang suka menggigit di dalam rumah.

Penelitian ini sejalan dengan penelitian yang di lakukan oleh Rizal

ahmad ( 2000 ) di wilayah kerja Puskesmas Tanjung Uban yang menemukan

bahwa kondisi rumah yang terbuka merupakan faktor risiko terhadap kejadian

malaria dengan besar OR = 2,41. Hasil penelitian Harmendo (2008) di

wilayah Puskesmas Kenanga Kabupaten Bangka didadapatkan bahwa

136

dinding rumah yang tidak rapat, merupakan faktor risiko terhadap kejadian

malaria pada penghuninya.

Berbeda dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Elvi Sunarsih,

dkk (2007) dimana hasil uji statistik didapatkan tidak ada hubungan antara

jenis dinding rumah dengan kejadian malaria. Penelitian yang di lakukan olen

Yulianis ( 2006 ) di kabupaten Buru juga menyebutkan bahwa tidak ada

hubungan antara kondisi rumah dengan kejadian malaria dengan uji statistik

p = 0,553.

7. Hubungan Lingkungan sekitar rumah dengan Kejadian Malaria

Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan di wilayah kerja

Puskesmas Prafi pada 43 responden, di peroleh hasil bahwa jumlah

responden yang lebih banyak menderita malaria pada responden yang

lingkungan sekitar rumahnya tidak berisiko yaitu jauh dari sawah, kebun sawit

atau sungai sebanyak 23 responden. Hasil uji statistik menyimpulkan bahwa

tidak ada hubungan yang signifikan antara lingkungan sekitar rumah dengan

kejadian malaria dengan p-value = 0,323 ( p > 0,05 ).

Pada penelitian ini ada 23 orang responden yang memiliki lingkungan

sekitar rumah yang tidak berisiko tetapi menderita malaria. Untuk lebih

mengetahui faktor risiko lainnya penyebab terjadinya malaria maka

dilakukan crosstabs antara Lingkungan sekitar rumah dengan faktor risiko

yang berhubungan dengan malaria berdasarkan hasil uji bivariat yaitu

137

aktivitas diluar rumah pada malam hari, Pemakaian Plapon, pemakaian kasa

pada ventilasi dan jenis dinding rumah. Hasil Crosstabs pada ke empat

variabel faktor risiko di dapatkan bahwa dari 23 responden yang memiliki

lingkungan sekitar rumah yang tidak berisiko tetapi menderita malaria di

dapatkan hasil bahwa ada 12 orang yang mempunyai aktivitas di luar rumah

pada malam hari, 15 orang yang rumahnya tidak memakai plapon, 15 orang

yang tidak memakai kasa pada ventilasi dan ada 15 orang yang jenis dinding

rumahnya berisiko yaitu terbuat dari papan / kayu.

Dari hasil crosstabs dapat di ketahui bahwa faktor penyebab mengapa

responden yang lingkungan sekitar rumahnya tidak berisiko tetapi masih

terkena malaria karena adanya faktor risiko lainnya yang memungkinkan

terjadinya kontak dengan nyamuk anopheles. Adanya kebiasaan beraktivitas

di luar rumah pada malam hari yang tentunya akan mempermudah terjadinya

gigitan nyamuk anopheles yang bersifat Nocturnal yaitu aktif di malam hari

ditambah lagi dengan sifat Eksofagi (nyamuk yang suka menggigit di luar

rumah).

Begitu pula pada responden yang memiliki rumah yang berisiko yaitu

rumah yang berdinding kayu , tidak memiliki palpon dan kasa pada ventilasi

tentunya akan mempermudah masuknya nyamuk yang memiliki sifat ensofilik

(suka istirahat di dalam rumah) dan endofagik (Suka menggigit di dalam

rumah).

138

Berbeda dengan Hasil penelitian Hanani dkk (2005) di Kabupaten

Purworejo bahwa responden yang jarak rumahnya dengan breeding places

lebih dari 2 km lebih kecil risiko untuk terjadinya malaria 0.263 kali daripada

responden yang rumahnya terletak kurang dari 2 km dari breeding places.

8. Hubungan Swamedikasi dengan mutasi Gen Pfmdr1

Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan di Distrik Prafi di peroleh

hasil bahwa dari 43 sampel yang di periksa ada 8 sampel yang mengalami

mutasi gen Pfmdr1. Hasil uji statistik menyimpulkan bahwa ada hubungan

antara Swamedikasi dengan terjadinya mutasi gen Pfmdr1 dengan p-value =

0,046 ( p < 0,05 ).

Penelitian ini sejalan dengan hasil penelitian yang dilakukan di Gabon

dimana didapatkan hasil bahwa peningkatan frekuensi P. falciparum alel wild

type pfcrt 76K dan pfmdr1 86N diamati dalam waktu singkat setelah

penarikan klorokuin. Proporsi genotipe mutan masih tinggi, terutama di

kalangan pasien yang menggunakan pengobatan sendiri dengan obat

antimalarial (Mawili-Mboumba et al., 2014).

Pengobatan malaria harus dilakukan secara efektif. Pemberian jenis

obat harus benar, dan cara meminumnya harus tepat waktu yang sesuai

dengan acuan program pengendalian malaria. Pengobatan efektif adalah

pemberian ACT pada 24 jam pertama pasien panas dan obat harus diminum

habis dalam 3 hari.

139

Hasil Riskesdas 2013 di temukan lima provinsi tertinggi yang

penduduknya mengobati sendiri penyakit malaria adalah Papua Barat (5,1%),

Papua (4,1%), Sulawesi Tengah (2,8%), Nusa Tenggara Timur (2,7%) dan

Maluku Utara (2,3%) (Kemenkes, 2014). Di Indonesia mendiagnosis,

mengobati, dan merawat sendiri bila sakit malaria merupakan hal yang

biasa, masyarakat telah terbiasa mengkonsumsi obat-obatan yang dapat

dibeli di warung tanpa resep dokter (Hasan, 2006) dalam (Depkes, 2008a).

Menderita malaria bagi masyarakat di distrik prafi bukan merupakan

hal yang baru lagi karena mereka sering terkena malaria. Keadaan inilah

yang menyebabkan pada saat terkena malaria, masyarakat lebih memilih

untuk mengobati sendiri penyakitnya dengan cara membeli obat di apotik.

Obat yang di konsumsi tentunya tidak sesuai dengan dosis yang tepat karena

tidak di ketahui apakah memang menderita malaria atau jika menderita

malaria tidak di ketahui jenis parasit penyebab malaria ditambah lagi obat

yang di minum tanpa memperhatikan golongan umur dan berat badan.

Hal ini tentunya akan menyebabkan obat yang di minum tidak adekuat

untuk mematikan parasit dan berdampak terhadap munculnya strain parasit

yang resisten. Di tambah lagi dengan masih adanya obat chlorokuin yang di

jual di apotik dimana untuk daerah papua pemakaian chloroquin sudah

resistensi.

Masyarakat baru akan ke pelayanan kesehatan apabila gejala sakit

yang mereka rasakan belum hilang, sehingga kadang pada saat

140

pemeriksaan mikroskopis, sulit untuk mendapatkan parasit disebabkan

karena sebelumnya penderita sudah mengkonsumsi obat duluan.

Adakalanya apabila hasil pemeriksaan mikroskopis negatif ada masyarakat

yang merasa tidak puas karena kefahaman yang kurang mereka merasa jika

sudah ke Puskesmas harus mendapatkan obat malaria sehingga tidak

kurang mereka pergi ke klinik swasta untuk memeriksakan kembali darahnya

dengan harapan agar mendapat obat. Menurunnya sensitifitas dapat timbul

akibat pengobatan yang terus menerus dan tidak adekuat, sehingga terjadi

mutasi parasit, di samping itu juga diduga dibawa dari daerah yang resisten

(Azlin, 2016).

9. Hubungan Kepatuhan Minum Obat dengan mutasi Gen Pfmdr1

Hasil penelitian yang dilakukan di Distrik Prafi dari 43 sampel darah

penderita yang di ambil selanjutnya di lanjutkan dengan ekstrak DNA sampel

dan di lanjutkan dengan pemeriksaan biomolekuler dengan menggunakan

metode nested PCR- RFLP, di peroleh hasil bahwa dari 43 sampel yang di

periksa ada 8 sampel yang mengalami mutasi gen Pfmdr1.

Hasil uji statistik menyimpulkan bahwa tidak ada hubungan yang

signifikan antara kepatuhan minum obat dengan terjadinya mutasi gen

Pfmdr1 dengan p-value = 0,688 ( p > 0,05 ). Dari 8 sampel yang mengalami

mutasi pada gen Pfmdr1 ada 6 orang yang tidak patuh dalam minum obat

dan 2 orang yang patuh dalam minum obat. Hal inilah yang menyebabkan

141

sehingga hasil uji statistic didapatkan tidak ada hubungan kepatuhan minum

obat dengan mutasi gen Pfmdr1 karena patuh atau tidak patuh tetap terjadi

mutasi gen.

Salah satu faktor penyebab ketidak patuhan minum obat masyarakat

di Distrik Prafi adalah mereka tidak melanjutkan minum obat sesuai petunjuk

yang di anjurkan yaitu selama 3 hari di karenakan alasan mereka sudah

sehat dan tidak merasakan gejala lagi. Selain itu sakit malaria bagi

masyarakat di Distrik prafi sudah menjadi hal yang biasa bagi mereka

sehingga ketika minum obat dan gejalanya sudah hilang mereka tidak akan

melanjutkan untuk minum obat.

Penggunaan obat yang berlebihan dan tidak tepat pada pengobatan

malaria memudahkan terjadinya resistensi obat. Minum obat yang tidak benar

antara lain kepatuhan yang kurang baik atau dosis obat yang tidak tepat

menambah peluang berkembangnya parasit yang resistensi obat (Tjitra,

2005). Penelitian yang di lakukan di Banjarnegara bahwa faktor yang

mempengaruhi kepatuhan minum obat dari penderita adalah faktor

pengetahuan dan kepercayaan terhadap pengobatan (Wuryanto, 2005).

Penelitian lainnya yang berhubungan dengan kepatuhan minum obat

dengan kejadian malaria yang di lakukan di Kecamatan Biak Timur Papua

dimana hasil analisis antara variabel kepatuhan minum obat dengan

kejadian malaria diperoleh nilai p=0,013 dan OR sebesar 5,182 menunjukkan

bahwa orang yang tidak patuh minum obat mempunyai risiko terkena

142

penyakit malaria sebesar 5,182 kali lebih besar dari pada orang yang patuh

minum obat (Yawan, 2006).

D. Keterbatasan Penelitian

Pada penelitian ini tidak dilakukan uji in Vivo sehingga tidak dapat di

ketahui efikasi obat DHP primakuin bagi penderita malaria apakah sudah

resisten atau belum.

143

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

Sesuai dengan hasil penelitian yang mengacu pada rumusan masalah

dan hipotesis penelitian maka dapat di simpulkan :

1. Adanya Polimorfisme gen Pfmdr1 pada codon 86 yaitu sebagai mutan type /

86Y sebanyak 8 sampel (18,6 %) dan sebagai wild type / N86 sebanyak 35

sampel (81,4 %).

2. Swamedikasi berhubungan dengan Polimorfisme gen Pfmdr1 86Y

pada parasit P.falciparum ( p = 0,046 ).

3. Kepatuhan minum obat tidak berhubungan dengan Polimorfisme gen

Pfmdr1 pada parasit P.falciparum

4. Faktor risiko yang berhubungan dengan kejadian malaria di wilayah

Distrik Prafi ada 4 variabel yaitu aktivitas di luar rumah pada malam

hari ( p = 0,019 ), Pemakaian Plapon dalam rumah ( p = 0,045 ),

pemakaian kasa pada Ventilasi ( p = 0,006 ) dan jenis dinding rumah

( p = 0,008 )

5. Faktor risiko yang tidak berhubungan degan kejadian malaria di

wilayah Distrik Prafi ada 3 variabel yaitu pemakaian obat anti nyamuk,

pemakaian kelambu dan lingkungan sekitar rumah.

144

B. Saran

Dari hasil penelitian, pembahasan dan kesimpulan maka saran yang

dapat disampaikan adalah :

1. Adanya Polimorfisme gen Pfmdr1 pada codon 86 dan mengalami mutasi di 86Y

sehingga perlu segera di lakukan uji in vivo untuk mengetahui apakah

efikasi dari obat anti malaria yaitu DHP + Primaquin masih efektif atau

sudah resisten

2. Adanya hasil yang bermakna antara swamedikasi dengan mutasi gen

Pfmdr1 sehingga perlu dilakukan sosialisasi atau penyuluhan kepada

masyarakat tentang dampak dari mengkonsumsi obat tanpa ada

pemeriksaan sebelumnya dari dokter.

3. Adanya faktor risiko yang berhubungan dengan kejadian malaria di

wilayah Distrik Prafi maka perlu di lakukan penyuluhan pada masyarakat

seperti tentang pentingnya pemakaian kasa dan plapon rumah dalam

rangka menghindari masuknya nyamuk ke dalam rumah

4. Perlu di lakukan penelitian lanjutan untuk melihat ada tidaknya mutasi

gen Pfmdr1 selain pada codon 86 yaitu codon 184, 1034, 1042 dan1246.

145

DAFTAR PUSTAKA

A Arsunan, A., Nasir, M., & Nawi, R. (2013). Hubungan Penggunaan Kelambu Berinsektisida dengan Kejadian Malaria di Kabupaten Halmahera Timur.

Adyana, N. W. D. (2011). Beberapa Aspek Bionomik Anopheles sp di Kabupaten Sumba Tengah, Provinsi Nusa Tenggara Timur. Media Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, 21(2 Jun).

Ahmadi, S. (2008). Faktor Risiko Kejadian Malaria Di Desa Lubuk Nipis Kecamatan Tanjung Agung Kabupaten Muara Enim. Program Pasca Sarjana Universitas Diponegoro.

146

AP, A. E., Ishak, H., & Birawida, A. B. (2013). HUBUNGAN ANTARA PERILAKU MASYARAKAT DALAM PENGELOLAAN LINGKUNGAN DENGAN KEJADIAN MALARIA DI KELURAHAN PEKKABATA KEC. POLEWALI KAB. POLEWALI MANDAR.

Arsin, A. A. (2012). malaria di indonesiab Tinjauan Aspek Epidemiologi. Ashley, E. A., Dhorda, M., Fairhurst, R. M., Amaratunga, C., Lim, P., Suon, S., . . . Sam, B.

(2014). Spread of artemisinin resistance in Plasmodium falciparum malaria. New England Journal of Medicine, 371(5), 411-423.

Azlin, E. (2016). Obat anti malaria. Sari Pediatri, 5(4), 150-154. Babba, I. (2007). Faktor-faktor Risiko yang Mempengaruhi Kejadian Malaria (Studi Kasus di

Wilayah Kerja Puskesmas Hamadi Kota Jayapura). program Pascasarjana Universitas Diponegoro.

Bloland, P. B., & WHO. (2001). Drug resistance in malaria. Cheruiyot, J., Ingasia, L. A., Omondi, A. A., Juma, D. W., Opot, B. H., Ndegwa, J. M., . . .

Okudo, C. (2014). Polymorphisms in Pfmdr1, Pfcrt, and Pfnhe1 genes are associated with reduced in vitro activities of quinine in Plasmodium falciparum isolates from western Kenya. Antimicrobial agents and chemotherapy, 58(7), 3737-3743.

Corrêa, J. D., Madeira, M. F. M., Resende, R. G., Correia-Silva, J. d. F., Gomez, R. S., Souza, D. d. G. d., . . . Silva, T. A. d. (2012). Association between polymorphisms in interleukin-17A and-17F genes and chronic periodontal disease. Mediators of inflammation, 2012.

Depkes, R. (2003). Pedoman tatalaksana kasus malaria. Direktorat Pemberantasan Penyakit Bersumber Binatang, Direktorat Jenderal PPM&PLP, Departemen Kesehatan RI.

Depkes, R. (2007). Vektor malaria di Indonesia. Jakarta: Ditjen PPM dan PL. Depkes, R. (2008a). Pelayanan Kefarmasian untuk Penyakit Malaria. Direktorat Jenderal Bina

Kefarmasian, dan Alat Kesehatan, Departemen Kesehatan RI. Depkes, R. (2008b). Pelayanan Kefarmasian untuk Penyakit Malaria. Direktorat Bina Farmasi

Komunitas Dan Klinik. Dondorp, A. M., Nosten, F., Yi, P., Das, D., Phyo, A. P., Tarning, J., . . . Lee, S. J. (2009).

Artemisinin resistance in Plasmodium falciparum malaria. New England Journal of Medicine, 361(5), 455-467.

Erdinal, S. D., & Wulandari, R. A. (2006). Faktor–faktor yang berhubungan dengan kejadian malaria di Kecamatan Kampar Kiri Tengah Kabupaten Kampar, 2005/2006. Makara Kesehatan, 10, 64-70.

Getas, I. W., & Zaetun, S. (2012a). FAKTOR RISIKO PENULARAN PENYAKIT MALARIA DI SEKITAR LAGUNA KECAMATAN TANJUNG KABUPATEN LOMBOK UTARA: Online), Mataram: Poltekes Kemenkes Mataram.(http://Ipsdmataram. c om) diakses.

Getas, I. W., & Zaetun, S. (2012b). Faktor Risiko penularan penyakit malaria di sekitar Laguna Kecamatan Tanjung Kabupaten Lombok Utara. Media Bina Ilmiah, 1, 6.

Harijanto, P. (2000). Malaria (Epidemiologi, Patogenesis, Manifestasi Klinis, dan Penanganan. Jakarta: EGC, 211.

Harmendo. (2008). FAKTOR RISIKO KEJADIAN MALARIA DI WILAYAH KERJA PUSKESMAS KENANGA KECAMATAN SUNGAILIAT KABUPATEN BANGKA. Program Pascasarjana Universitas Diponegoro.

147

Hatta, M., & Smits, H. L. (2007). Detection of Salmonella typhi by nested polymerase chain reaction in blood, urine, and stool samples. The American journal of tropical medicine and hygiene, 76(1), 139-143.

Hidayat, A. (2009). Hubungan Aktifitas Keluar Rumah pada Malam Hari dan Penggunaan Kelambu dengan Kejadian Malaria di Kecamatan Nongsa dan Galang Kota Batam Propinsi Kepulauan Riau Tahun 2009. Thesis). Program Pascasarjana FKM Universitas Indonesia Program Studi Ilmu Kesehatan Masyarakat. Depok.

Jalousian, F., Dalimi, A., Samiee, S. M., Ghaffarifar, F., Soleymanloo, F., & Naghizadeh, R. (2008). Mutation in pfmdr1 gene in chloroquine-resistant Plasmodium falciparum isolates, Southeast Iran. International Journal of Infectious Diseases, 12(6), 630-634.

Kemenkes, R. (2014). Riskesdas 2013. Jakarta: Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Kemenkes RI.

Kementerian Kesehatan, R. (2011). Pedoman Teknis Pemeriksaan Parasit Malaria. Dirjen Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan, Depkes RI, Jakarta.

Kermelita, D. (2011). KONDISI LINGKUNGAN RUMAH DAN PERILAKU INDIVIDU SEBAGAI FAKTOR RISIKO KEJADIAN MALARIA DI KECAMATAN MUARA BANGKAHULU KOTA BENGKULU. Universitas Gadjah Mada.

Kim, H.-S., Okuda, Y., Begum, K., Nagai, Y., Wataya, Y., Kimura, M., & Huruta, T. (2001). Analysis of Pfmdr 1 gene in mefloquine-resistant Plasmodium falciparum. Paper presented at the Nucleic acids symposium series.

Kurniawan, J. (2008). Analisis Faktor Risiko Lingkungan dan Perilaku Penduduk Terhadap Kejadian Malaria Di Kabupaten Asmat Tahun 2008. Program Pascasarjana Universitas Diponegoro.

Lario, J. S. C., Bidjuni, H., & Onibala, F. (2016). Hubungan Karakteristik dan Perilaku Masyarakat Dengan Kejadian Malaria Di Rumah Sakit Sinar Kasih Tentena Kabupaten Poso Provinsi Sulawesi Tengah. JURNAL KEPERAWATAN, 4(1).

Ma'ruf, A. (2014). Gambaran Perilaku Masyarakat tentang Penyakit Malaria di Desa Tunggulo Kecamatan Limboto Barat Kabupaten Gorontalo. Universitas Negeri Gorontalo.

Mawili-Mboumba, D., Ndong Ngomo, J., Maboko, F., Guiyedi, V., Mourou Mbina, J., Kombila, M., & Bouyou Akotet, M. (2014). Pfcrt 76T and pfmdr1 86Y allele frequency in Plasmodium falciparum isolates and use of self-medication in a rural area of Gabon. Transactions of the Royal Society of Tropical Medicine and Hygiene, 108(11), 729-734.

Mehlotra, R. K., Mattera, G., Bockarie, M. J., Maguire, J. D., Baird, J. K., Sharma, Y. D., . . . Fryauff, D. J. (2008). Discordant patterns of genetic variation at two chloroquine resistance loci in worldwide populations of the malaria parasit Plasmodium falciparum. Antimicrobial agents and chemotherapy, 52(6), 2212-2222.

Muslimin, I., Arsin, A., & Nawi, R. (2011). POLA SPASIAL DAN ANALISIS KEJADIAN MALARIA DI PULAU KAPOPOSANG KAB. PANGKEP TAHUN 2011.

Mutabingwa, T. K. (2005). Artemisinin-based combination therapies (ACTs): best hope for malaria treatment but inaccessible to the needy! Acta tropica, 95(3), 305-315.

148

Nurlette, F. R., Ishak, H., & Manyullei, S. (2008). Hubungan Upaya Masyarakat Menghindari Keterpaparan Nyamuk Dengan Kejadian Malaria Di Wilayah Kerja Puskesmas Rijali Kecamatan Sirimau Kota Ambon Tahun 2012.

Ogbonna, A., & Uneke, C. J. (2008). Artemisinin-based combination therapy for uncomplicated malaria in sub-Saharan Africa: the efficacy, safety, resistance and policy implementation since Abuja 2000. Transactions of the Royal Society of Tropical Medicine and Hygiene, 102(7), 621-627.

Petronela, A. (2004). EPIDEMIOLOGI DESKRIPTIF MALARIA DI KECAMATAN ABEPURA PROPINSI PAPUA TAHUN-2000-2003. Diponegoro University.

Price, R., Cassar, C., Brockman, A., Duraisingh, M., Van Vugt, M., White, N., . . . Krishna, S. (1999). The pfmdr1 gene is associated with a multidrug-resistant phenotype in Plasmodium falciparumfrom the western border of Thailand. Antimicrobial agents and chemotherapy, 43(12), 2943-2949.

Ruetz, S., Delling, U., Brault, M., Schurr, E., & Gros, P. (1996). The pfmdr1 gene of Plasmodium falciparum confers cellular resistance to antimalarial drugs in yeast cells. Proceedings of the National Academy of Sciences, 93(18), 9942-9947.

Saleh, I., Handayani, D., & Anwar, C. (2014). Polymorphisms in the pfcrt and pfmdr1 genes in Plasmodium falciparum isolates from South Sumatera, Indonesia. Medical Journal of Indonesia, 23(1), 3.

Sanaky, M. J., Arsunan, A., & Anwar, D. (2014). HUBUNGAN DAN PETA SEBARAN MALARIA DI KOTA AMBON TAHUN 2014 THE RELATTIONSHIP ANDASSOCIATED AND DISTRIBUTION MAP OF MALARIA IN AMBON CITY IN 2014.

Santoso, S. S., Pribadi, W., Roekmono, B., Soesanto, S. S., & Zalbawi, S. (1992). Partisipasi masyarakat dalam penanggulangan penyakit malaria lima setengah tahun setelah berakhirnya penelitian di Desa Berakit, Riau Kepulauan. Buletin Penelitian Kesehatan, 20(4 Des).

Sari, F. (2016). HUBUNGAN FAKTOR INTERNAL DAN EKSTERNAL LINGKUNGAN RUMAH DENGAN KEJADIAN MALARIA DI KECAMATAN PUTRI HIJAU KABUPATEN BENGKULU UTARA. Jurnal Kesehatan STIKes Prima Nusantara Bukittinggi, 7(2).

Simamora. (2013). Resistensi Obat Malaria: Mekanisme dan Peran Obat Kombinasi Obat Antimalaria Untuk Mencegah. Jurnal Kedokteran Brawijaya, 23(2), 82-91.

Sujari, S. (2008). Risk Factors relating to the incidence of Malaria at a Tin Mining Region in Central Bangka Regency of Bangka Belitung Province. Master in Environmental Health.

Sunarsih, E., Nurjazuli, N., & Sulistiyani, S. (2009). Faktor Risiko Lingkungan dan Perilaku Yang Berkaitan Dengan Kejadian Malaria di Pangkalbalam Pangkalpinang. Jurnal Kesehatan Lingkungan Indonesia, 8(1), 1-9.

Suwadera, I. (2003). Beberapa Faktor Risiko Lingkungan Rumah Tangga yang Berhubungan dengan Kejadian Malaria pada Balita (Studi Kasus Kontrol di Puskesmas Kambaniru Kabupaten Sumba Timur Tahun 2002). FKM-UI.

Talisuna, A. O., Bloland, P., & d’Alessandro, U. (2004). History, dynamics, and public health importance of malaria parasit resistance. Clinical microbiology reviews, 17(1), 235-254.

149

Thaharuddin, T., Soeyoko, S., & Sutomo, A. H. (2004). LINGKUNGAN PERUMAHAN, KONDISI FISIK, TINGKAT PENGETAHUAN, PERILAKU MASYARAKAT DAN ANGKA KEJADIAN MALARIA DI KOTA SABANG (Housing Environment, Physical House Condition, Knowledge, Behaviour and Number of Malaria Occurrence in Sabang). Jurnal Manusia dan Lingkungan, 11(3), 126-133.

Thaharuddin, T., Soeyoko, S., & Sutomo, A. H. (2015). LINGKUNGAN PERUMAHAN, KONDISI FISIK, TINGKAT PENGETAHUAN, PERILAKU MASYARAKAT DAN ANGKA KEJADIAN MALARIA DI KOTA SABANG (Housing Environment, Physical House Condition, Knowledge, Behaviour and Number of Malaria Occurrence in Sabang). Jurnal Manusia dan Lingkungan, 11(3), 126-133.

Tjitra, E. (2005). Pengobatan malaria dengan kombinasi artemisinin. Buletin Penelitian Kesehatan, 33(2 Jun).

Wahyuniati. (2016). PERAN INTERLEUKIN-10 PADA INFEKSI MALARIA. Jurnal Kedokteran Syiah Kuala, 15(2), 96-103.

Wernsdorfer, W. H., & Payne, D. (1991). The dynamics of drug resistance in Plasmodium falciparum. Pharmacology & therapeutics, 50(1), 95-121.

WHO. (1998). The role of the pharmacist in self-care and self-medication. Report of the 4th WHO Consultive Group on the role of the pharmacist. Geneva: World Health Organization.

WHO. (2011). World malaria report 2011. Geneva: WHO; 2011. See www. who. int/malaria/world_malaria_report_2011/en.

WHO. (2012). World malaria report: World Health Organization Geneva, Switzerland. WHO. (2015). Guidelines for the treatment of malaria: World Health Organization. WHO. (2016a). Artemisinin and Artemisinin-Based Combination Therapy Resistance. WHO. (2016b). Artemisinin and artemisinin-based combination therapy resistance: status

report. WHO. (2016c). World malaria report 2015: World Health Organization. WHO. (2016d). World malaria report 2016. Geneva: WHO. Embargoed until, 13. Wongsrichanalai, C., Pickard, A. L., Wernsdorfer, W. H., & Meshnick, S. R. (2002).

Epidemiology of drug-resistant malaria. The Lancet infectious diseases, 2(4), 209-218.

Wuryanto, M. A. (2005). Beberapa Faktor Risiko Kepatuhan Berobat Penderita Malaria Vivax (Studi Kasus di Kab. Banjarnegara). PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS DIPONEGORO.

Yawan, S. F. (2006). Analisis Faktor Risiko Kejadian Malaria di Wilayah Kerja Puskesmas Bosnik Kecamatan Biak Timur Kabupaten Biak–Numfor Papua. program Pascasarjana Universitas Diponegoro.

Yoga, G. (1999). Studi Beberapa Faktor yang Berpengaruh Terhadap Kejadian Malaria di Puskesmas Mayong I Dati II Jepara: Laporan Penelitian Studi Analitik S2 FETP UGM, Yogakarta.

Yusuf, Y. (2015). Analisis Mutasi Gen Pfmdr1 1246 pada Penderita Malaria di Mamuju Sulawesi Barat. SAINSMAT, 2(2), 185-190.

Zhao, X., Chen, F., Feng, Z., Li, X., & Zhou, X.-H. (2014). Characterizing the effect of temperature fluctuation on the incidence of malaria: an epidemiological study in

150

south-west China using the varying coefficient distributed lag non-linear model. Malaria journal, 13(1), 192.

DAFTAR PUSTAKA

Adyana, N. W. D. (2011). Beberapa Aspek Bionomik Anopheles sp di Kabupaten Sumba Tengah, Provinsi Nusa Tenggara Timur. Media Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, 21(2 Jun).

Ahmadi, S. (2008). Faktor Risiko Kejadian Malaria Di Desa Lubuk Nipis

Kecamatan Tanjung Agung Kabupaten Muara Enim. Program Pasca Sarjana Universitas Diponegoro.

AP, A. E., Ishak, H., & Birawida, A. B. (2013). Hubungan antara perilaku

masyarakat dalam pengelolaan lingkungan dengan kejadian malaria di kelurahan pekkabata kec. Polewali kab. Polewali mandar.

Arsin, A. A. (2012). malaria di indonesia Tinjauan Aspek Epidemiologi. Arsin, A.A, Nasir, M., & Nawi, R. (2013). Hubungan Penggunaan Kelambu

Berinsektisida dengan Kejadian Malaria di Kabupaten Halmahera Timur.

Ashley, E. A., Dhorda, M., Fairhurst, R. M., Amaratunga, C., Lim, P., Suon,

S., Sam, B. (2014). Spread of artemisinin resistance in Plasmodium falciparum malaria. New England Journal of Medicine, 371(5), 411-423.

Azlin, E. (2016). Obat anti malaria. Sari Pediatri, 5(4), 150-154. Babba, I. (2007). Faktor-faktor Risiko yang Mempengaruhi Kejadian Malaria

(Studi Kasus di Wilayah Kerja Puskesmas Hamadi Kota Jayapura). program Pascasarjana Universitas Diponegoro.

Bloland, P. B., & WHO. (2001). Drug resistance in malaria. BPS Manokwari. (2016). Statistik Daerah Distrik Prafi Tahun 2016. Badan

Pusat Statistik Kabupaten Manokwari. Cheruiyot, J., Ingasia, L. A., Omondi, A. A., Juma, D. W., Opot, B. H.,

Ndegwa, J. M., . . . Okudo, C. (2014). Polymorphisms in Pfmdr1, Pfcrt, and Pfnhe1 genes are associated with reduced in vitro activities of quinine in Plasmodium falciparum isolates from western Kenya. Antimicrobial agents and chemotherapy, 58(7), 3737-3743.

Corrêa, J. D., Madeira, M. F. M., Resende, R. G., Correia-Silva, J. d. F., Gomez, R. S., Souza, D. d. G. d., . . . Silva, T. A. d. (2012). Association between polymorphisms in interleukin-17A and-17F genes and chronic periodontal disease. Mediators of inflammation, 2012.

Depkes, RI. (2003). Pedoman tatalaksana kasus malaria. Direktorat

Pemberantasan Penyakit Bersumber Binatang, Direktorat Jenderal PPM&PLP, Departemen Kesehatan RI.

Depkes, RI. (2007). Vektor malaria di Indonesia. Jakarta: Ditjen PPM dan PL. Depkes, RI. (2008a). Pelayanan Kefarmasian untuk Penyakit Malaria.

Direktorat Jenderal Bina Kefarmasian, dan Alat Kesehatan, Departemen Kesehatan RI.

Depkes, RI. (2008b). Pelayanan Kefarmasian untuk Penyakit Malaria.

Direktorat Bina Farmasi Komunitas Dan Klinik. Dondorp, A. M., Nosten, F., Yi, P., Das, D., Phyo, A. P., Tarning, J., . . . Lee,

S. J. (2009). Artemisinin resistance in Plasmodium falciparum malaria. New England Journal of Medicine, 361(5), 455-467.

Erdinal, S. D., & Wulandari, R. A. (2006). Faktor–faktor yang berhubungan

dengan kejadian malaria di Kecamatan Kampar Kiri Tengah Kabupaten Kampar, 2005/2006. Makara Kesehatan, 10, 64-70.

Getas, I. W., & Zaetun, S. (2012a). Faktor Resiko Penularan Penyakit Malaria

Di Sekitar Laguna Kecamatan Tanjung Kabupaten Lombok Utara: Online), Mataram: Poltekes Kemenkes Mataram.

Getas, I. W., & Zaetun, S. (2012b). Faktor resiko penularan penyakit malaria

di sekitar Laguna Kecamatan Tanjung Kabupaten Lombok Utara. Media Bina Ilmiah, 1, 6.

Harijanto, P. (2000). Malaria (Epidemiologi, Patogenesis, Manifestasi Klinis,

dan Penanganan. Jakarta: EGC, 211. Harmendo. (2008). Faktor Risiko Kejadian Malaria Di Wilayah Kerja

Puskesmas Kenanga Kecamatan Sungailiat Kabupaten Bangka. Program Pascasarjana Universitas Diponegoro.

Hatta, M., & Smits, H. L. (2007). Detection of Salmonella typhi by nested polymerase chain reaction in blood, urine, and stool samples. The American journal of tropical medicine and hygiene, 76(1), 139-143.

Hidayat, A. (2009). Hubungan Aktifitas Keluar Rumah pada Malam Hari dan

Penggunaan Kelambu dengan Kejadian Malaria di Kecamatan Nongsa dan Galang Kota Batam Propinsi Kepulauan Riau Tahun 2009. Thesis). Program Pascasarjana FKM Universitas Indonesia Program Studi Ilmu Kesehatan Masyarakat. Depok.

Jalousian, F., Dalimi, A., Samiee, S. M., Ghaffarifar, F., Soleymanloo, F., &

Naghizadeh, R. (2008). Mutation in pfmdr1 gene in chloroquine-resistant Plasmodium falciparum isolates, Southeast Iran. International Journal of Infectious Diseases, 12(6), 630-634.

Kemenkes, RI. (2014). Riskesdas 2013. Jakarta: Badan Penelitian dan

Pengembangan Kesehatan Kemenkes RI. Kemenkes RI. (2011). Pedoman Teknis Pemeriksaan Parasit Malaria. Dirjen

Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan, Depkes RI, Jakarta.

Kermelita, D. (2011). Kondisi Lingkungan Rumah Dan Perilaku Individu

Sebagai Faktor Risiko Kejadian Malaria Di Kecamatan Muara Bangkahulu Kota Bengkulu. Universitas Gadjah Mada.

Kim, H.-S., Okuda, Y., Begum, K., Nagai, Y., Wataya, Y., Kimura, M., &

Huruta, T. (2001). Analysis of Pfmdr 1 gene in mefloquine-resistant Plasmodium falciparum. Paper presented at the Nucleic acids symposium series.

Kurniawan, J. (2008). Analisis Faktor Risiko Lingkungan dan Perilaku

Penduduk Terhadap Kejadian Malaria Di Kabupaten Asmat Tahun 2008. Program Pascasarjana Universitas Diponegoro.

Lamaka, B. (2010). Analisis Faktor Yang Berhubungan Dengan Kejadian

Malaria Di Wilayah Kerja Puskesmas Bunobogu Kabupaten Buol Propinsi Sulawesi Tengah Tahun 2009. Program Pascasarjana, Universitas Hasanuddin, Makassar.

Lario, J. S. C., Bidjuni, H., & Onibala, F. (2016). Hubungan Karakteristik dan Perilaku Masyarakat Dengan Kejadian Malaria Di Rumah Sakit Sinar Kasih Tentena Kabupaten Poso Provinsi Sulawesi Tengah. Jurnal Keperawatan, 4(1).

Ma'ruf, A. (2014). Gambaran Perilaku Masyarakat tentang Penyakit Malaria di

Desa Tunggulo Kecamatan Limboto Barat Kabupaten Gorontalo. Universitas Negeri Gorontalo.

Mawili-Mboumba, D., Ndong Ngomo, J., Maboko, F., Guiyedi, V., Mourou

Mbina, J., Kombila, M., & Bouyou Akotet, M. (2014). Pfcrt 76T and pfmdr1 86Y allele frequency in Plasmodium falciparum isolates and use of self-medication in a rural area of Gabon. Transactions of the Royal Society of Tropical Medicine and Hygiene, 108(11), 729-734.

Mehlotra, R. K., Mattera, G., Bockarie, M. J., Maguire, J. D., Baird, J. K.,

Sharma, Y. D., . . . Fryauff, D. J. (2008). Discordant patterns of genetic variation at two chloroquine resistance loci in worldwide populations of the malaria parasite Plasmodium falciparum. Antimicrobial agents and chemotherapy, 52(6), 2212-2222.

Muslimin, I., Arsin, A., & Nawi, R. (2011). pola spasial dan analisis kejadian

malaria di pulau kapoposang kab. pangkep tahun 2011. Mutabingwa, T. K. (2005). Artemisinin-based combination therapies (ACTs):

best hope for malaria treatment but inaccessible to the needy! Acta tropica, 95(3), 305-315.

Nurlette, F. R., Ishak, H., & Manyullei, S. (2008). Hubungan Upaya

Masyarakat Menghindari Keterpaparan Nyamuk Dengan Kejadian Malaria Di Wilayah Kerja Puskesmas Rijali Kecamatan Sirimau Kota Ambon Tahun 2012.

Ogbonna, A., & Uneke, C. J. (2008). Artemisinin-based combination therapy

for uncomplicated malaria in sub-Saharan Africa: the efficacy, safety, resistance and policy implementation since Abuja 2000. Transactions of the Royal Society of Tropical Medicine and Hygiene, 102(7), 621-627.

Petronela, A. (2004). Epidemiologi Deskriptif Malaria Di Kecamatan Abepura

Propinsi Papua Tahun-2000-2003. Diponegoro University.

Price, R., Cassar, C., Brockman, A., Duraisingh, M., Van Vugt, M., White, N., . . . Krishna, S. (1999). The pfmdr1 gene is associated with a multidrug-resistant phenotype in Plasmodium falciparumfrom the western border of Thailand. Antimicrobial agents and chemotherapy, 43(12), 2943-2949.

Ruetz, S., Delling, U., Brault, M., Schurr, E., & Gros, P. (1996). The pfmdr1

gene of Plasmodium falciparum confers cellular resistance to antimalarial drugs in yeast cells. Proceedings of the National Academy of Sciences, 93(18), 9942-9947.

Saleh, I., Handayani, D., & Anwar, C. (2014). Polymorphisms in the pfcrt and

pfmdr1 genes in Plasmodium falciparum isolates from South Sumatera, Indonesia. Medical Journal of Indonesia, 23(1), 3.

Sanaky, M. J., Arsunan, A., & Anwar, D. (2014). hubungan dan peta sebaran

malaria di kota ambon tahun 2014 the relattionship andassociated and distribution map of malaria in ambon city in 2014.

Santoso, S. S., Pribadi, W., Roekmono, B., Soesanto, S. S., & Zalbawi, S.

(1992). Partisipasi masyarakat dalam penanggulangan penyakit malaria lima setengah tahun setelah berakhirnya penelitian di Desa Berakit, Riau Kepulauan. Buletin Penelitian Kesehatan, 20(4 Des).

Sari, F. (2016). Hubungan faktor internal dan eksternal lingkungan rumah

dengan kejadian malaria di kecamatan putri hijau kabupaten bengkulu utara. Jurnal Kesehatan STIKes Prima Nusantara Bukittinggi, 7(2).

Simamora. (2013). Resistensi Obat Malaria: Mekanisme dan Peran Obat

Kombinasi Obat Antimalaria Untuk Mencegah. Jurnal Kedokteran Brawijaya, 23(2), 82-91.

Soedarto. Malaria. Jakarta: CV. SagungSeto; 2011. Sujari, S. (2008). Risk Factors relating to the incidence of Malaria at a Tin

Mining Region in Central Bangka Regency of Bangka Belitung Province. Master in Environmental Health.

Sunarsih, E., Nurjazuli, N., & Sulistiyani, S. (2009). Faktor Risiko Lingkungan

dan Perilaku Yang Berkaitan Dengan Kejadian Malaria di Pangkalbalam Pangkalpinang. Jurnal Kesehatan Lingkungan Indonesia, 8(1), 1-9.

Suwadera, I. (2003). Beberapa Faktor Risiko Lingkungan Rumah Tangga yang Berhubungan dengan Kejadian Malaria pada Balita (Studi Kasus Kontrol di Puskesmas Kambaniru Kabupaten Sumba Timur Tahun 2002). FKM-UI.

Talisuna, A. O., Bloland, P., & d’Alessandro, U. (2004). History, dynamics,

and public health importance of malaria parasite resistance. Clinical microbiology reviews, 17(1), 235-254.

Thaharuddin, T., Soeyoko, S., & Sutomo, A. H. (2004). Lingkungan

Perumahan, Kondisi Fisik, Tingkat Pengetahuan, Perilaku Masyarakat Dan Angka Kejadian Malaria Di Kota Sabang (Housing Environment, Physical House Condition, Knowledge, Behaviour and Number of Malaria Occurrence in Sabang). Jurnal Manusia dan Lingkungan, 11(3), 126-133.

Thaharuddin, T., Soeyoko, S., & Sutomo, A. H. (2015). Lingkungan

Perumahan, Kondisi Fisik, Tingkat Pengetahuan, Perilaku Masyarakat Dan Angka Kejadian Malaria Di Kota Sabang (Housing Environment, Physical House Condition, Knowledge, Behaviour and Number of Malaria Occurrence in Sabang). Jurnal Manusia dan Lingkungan, 11(3), 126-133.

Tjitra, E. (2005). Pengobatan malaria dengan kombinasi artemisinin. Buletin

Penelitian Kesehatan, 33(2 Jun). Wahyuniati. (2016). Peran interleukin-10 pada infeksi malaria. Jurnal

Kedokteran Syiah Kuala, 15(2), 96-103. Wernsdorfer, W. H., & Payne, D. (1991). The dynamics of drug resistance in

Plasmodium falciparum. Pharmacology & therapeutics, 50(1), 95-121. WHO. (1998). The role of the pharmacist in self-care and self-medication.

Report of the 4th WHO Consultive Group on the role of the pharmacist. Geneva: World Health Organization.

WHO. (2011). World malaria report 2011. Geneva: WHO; 2011. See www.

who. int/malaria/world_malaria_report_2011/en. WHO. (2012). World malaria report: World Health Organization Geneva,

Switzerland.

WHO. (2015). Guidelines for the treatment of malaria: World Health Organization.

WHO. (2016a). Artemisinin and Artemisinin-Based Combination Therapy

Resistance. WHO. (2016b). Artemisinin and artemisinin-based combination therapy

resistance: status report. WHO. (2016c). World malaria report 2015: World Health Organization. WHO. (2016d). World malaria report 2016. Geneva: WHO. Embargoed until,

13. WHO. (2016e). World Malaria Day 2016: End malaria for good. From

http://www.who.int/campaigns/malaria-day/2016/event/en/. Diakses 20 juni 2017

Wongsrichanalai, C., Pickard, A. L., Wernsdorfer, W. H., & Meshnick, S. R.

(2002). Epidemiology of drug-resistant malaria. The Lancet infectious diseases, 2(4), 209-218.

Wuryanto, M. A. (2005). Beberapa Faktor Risiko Kepatuhan Berobat

Penderita Malaria Vivax (Studi Kasus di Kab. Banjarnegara). Program pascasarjana universitas diponegoro.

Yawan, S. F. (2006). Analisis Faktor Risiko Kejadian Malaria di Wilayah Kerja

Puskesmas Bosnik Kecamatan Biak Timur Kabupaten Biak–Numfor Papua. program Pascasarjana Universitas Diponegoro.

Yoga, G. (1999). Studi Beberapa Faktor yang Berpengaruh Terhadap

Kejadian Malaria di Puskesmas Mayong I Dati II Jepara: Laporan Penelitian Studi Analitik S2 FETP UGM, Yogakarta.

Yusuf, Y. (2015). Analisis Mutasi Gen Pfmdr1 1246 pada Penderita Malaria di

Mamuju Sulawesi Barat. SAINSMAT, 2(2), 185-190. Zhao, X., Chen, F., Feng, Z., Li, X., & Zhou, X.-H. (2014). Characterizing the

effect of temperature fluctuation on the incidence of malaria: an epidemiological study in south-west China using the varying coefficient distributed lag non-linear model. Malaria journal, 13(1), 192.

LAMPIRAN 1

PEMERIKSAAN MIKROSKOPIS PENDERITA MALARIA

LAMPIRAN 2

KUNJUNGAN KERUMAH PENDERITA MALARIA

LAMPIRAN 3

EKSTRAK DNA DI LABORATORIUM KEDOKTERAN UNHAS

LAMPIRAN 4

AMPLIFIKASI DNA DENGAN TEHNIK NESTED PCR – RFLP

LAMPIRAN 5

SUPERVISI CO PROMOTOR KE LOKASI PENELITIAN