politik aliran dalam pemilu 2009 (studi atas...
TRANSCRIPT
POLITIK ALIRAN DALAM PEMILU 2009 (Studi Atas Perubahan Platform Partai Keadilan Sejahtera
pada Pemilu 2009)
Skripsi diajukan untuk Persyaratan dalam menyelesaikan Program Strata 1
Pada Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
Oleh :
Muhammad Alatas NIM : 104033201135
PROGRAM STUDI ILMU POLITIK FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITK
UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 2010
KATA PENGANTAR
Assamu’alaikum Wr. Wb.
Alhamdulillah, segala puji dan syukur hanya Penulis panjatkan kehadirat
Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat serta karunia-Nya, sehingga Penulis
dapat menyelesaikan skripsi ini sebagai tugas akhir akademis pada jurusan
Pemikiran Politik Islam, Fakultas Ilmu Sosial Ilmu Politik, Universitas Islam
Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
Shalawat teriring salam selalu tercurah kepada baginda Rasulullah SAW
yang telah memberikan cahaya kebenaran dan petunjuk kepada umat manusia
dengan akhlak dan budi pekertinya menuju peradaban yang lebih baik, serta para
keluarga dan sahabatnya.
Pada akhirnya Penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul Politik
Aliran Dalam Pemilu 2009 (Studi atas Perubahan Platform Partai Keadilan
Sejahtera Pada Pemilu 2009) pada saat yang tepat. Hal ini tidak lepas dari
bantuan semua pihak yang telah membantu selesainya skripsi ini. Sudilah kiranya
Penulis memberikan ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada orang tua
tercinta yaitu Al-Walid Al-Habib Umar bin Al-Habib Muhammad Al-Athas (Aba)
dan Assyarifah Zahra binti Al-Habib Mukhsin Al-Athas (Umi) yang dalam proses
penyusunan Skripsi ini Aba dan Umi telah dipanggil oleh Allah SWT Ke
Rahmatullah. Semoga rahmat dan kasih sayang Allah selalu menyertai mereka
berdua. Amin. Tidak lupa pula penulis ucapkan terima kasih kepada kakak-kakak,
Hamid Al-Athas, Lc., Ustadzah Hikmah Al-Athas, S. Pd., Al-Habib Hasan bin
i
Umar Al-Athas, Nur Jehan Al-Athas, S. Ag., Intan Al-Athas, Anisah Alatas, S.
Pd., Gamar Al-Athas, Al-Habib Shaleh bin Umar Al-Athas, Salim bin Umar Al-
Athas, S. Sos., M. Si., dr. Sofia Al-Athas dan seluruh kakak ipar tercinta, semoga
Allah menganugerahi kasih dan sayang-Nya kepada kakak-kakak sekalian.
Selanjutnya Penulis meminta maaf dan mengucapkan terima kasih,
permintaan maaf Penulis sampaikan karena skripsi ini jauh dari kesempurnaan
dan ucapan terima kasih Penulis sampaikan kepada semua pihak yang telah
membantu dan mendukung skripsi ini, antara lain:
1. Prof. Dr. Bahtiar Effendy, MA., selaku Dekan Fakultas Ilmu Sosial &
Ilmu Politik, Dr. Hendro Prasetyo, MA., selaku Wakil Dekan Fakultas
Ilmu Sosial Ilmu Politik, Drs. Idris Thaha, M. Si., Dra. Hj. Wiwi Siti
Sajaroh, M. Ag., selaku Ketua Program Studi Ilmu Politik Fakultas Ilmu
Sosial & Ilmu Politik, M. Zaki Mubarok, M. Si., selaku Sekretaris
Program Studi Ilmu Politik Fakultas Ilmu Sosial & Ilmu Politik. Penulis
haturkan rasa hormat dan terima kasih serta do’a Penulis agar Allah SWT
kiranya menganugerahi kasih dan sayang-Nya kepada Bapak dan Ibu.
2. Dra. Haniah Hanafie, M. Si., selaku dosen pembimbing yang telah
membimbing dan memberikan motivasi, sehingga skripsi ini menjadi lebih
baik. Penulis haturkan rasa hormat dan terima kasih serta do’a Penulis agar
Allah SWT kiranya menganugerahi kasih dan sayang-Nya kepada Ibu dan
keluarga.
3. Seluruh Guru dan Dosen-dosen UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang
telah mengajar dan mendidik Penulis. Penulis haturkan rasa hormat dan
ii
terima kasih serta do’a Penulis agar Allah SWT kiranya menganugerahi
kasih dan sayang-Nya kepada Bapak dan Ibu.
4. Perpustakaan Umum UIN Syarif Hidayatullah, Perpustakaan Fakultas
Ushuluddin dan Filsafat dan Pusat Informasi PT. Kompas Gramedia.
Terima kasih atas pinjaman buku dan referensinya.
5. Teman-teman Program Studi Pemikiran Politik Islam Angkatan 2003,
Angkatan 2004, Angkatan 2005.
6. Teman-teman Fakultas Hukum Universitas Tama Jagakarsa Jakarta.
7. Sahabat-sahabatku, Ustadz H. Muhammad Arfan & MT. Asshofa,
Muhammad Syarif, Galeh Subroto & Teman-teman Paskibra-24 Jakarta.
8. Special tahnks for Kakak tercinta Hasan Al-Athas beserta istri (Fatimah
binti Zein Al-kaff) yang telah memberikan support dan perhatiannya
selama proses penulisan skripsi ini.
9. Special tahnks for Kakak tercinta Salim Al-Athas, S. Sos., M. Si., yang
telah memberikan support dan perhatiannya selama proses penulisan
skripsi ini.
Penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada seluruh
pihak yang terkait, lembaga maupun perorangan, yang tidak dapat Penulis
sebutkan satu persatu yang secara langsung atau tidak langsung telah memberikan
semangat dan membantu Penulis dalam kuliah dan penyelesaian skripsi ini.
Semoga Allah SWT membalasnya. Amin.
iii
Penulis Sangat menyadari bahwa masih banyak terdapat kekurangan yang
perlu disempurnakan, untuk itu dengan segala kerendahan hati Penulis
mengharapakan kritik dan saran yang bersifat membangun dari pembaca.
Wassalamu’alaikum Wr. Wb.
Ciputat, April 2010
Penulis
iv
DAFTAR ISI
Kata Pengantar …………………………………………………….. i
Daftar Isi …………………………………………………………... v
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar belakang masasalah ………..………......... 1
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah ................. 9
C. Metodologi Penelitian ......................................... 10
D. Tujuan Penelitian ................................................. 10
E. Sistematika Penulisan ......................................... 11
BAB II LANDASAN TEORI
A. Politik Aliran ....................................................... 13
B. Islam Tradisionalis .............................................. 20
C. Islam Modernis .................................................... 23
BAB III BIOGRAFI PARTAI KEADILAN SEJAHTERA
A. Sejarah Perkembangan Partai Keadilan Sejahtera .. 27
B. Tokoh-tokoh PKS ................................................... 35
C. Paradigma dan Ideologi PKS ................................. 37
v
vi
BAB IV PERUBAHAN DAN IMPLIKASI PLATFORM PARTAI KEADILAN SEJAHTERA
A. Politik Aliran dalam Pemilu 2009 ………………. 48
B. Perubahan Platform Partai Keadilan Sejahtera ..... 53
C. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Terjadinya Perubahan Platform Partai Keadilan Sejahtera … 61 D. Implikasi Perubahan Platform PKS pada Pemilu 2009 64
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan ……………………………………….. 69
B. Saran ....................................................................... 68
Daftar Pustaka ………………………………………………………... 72
Lampiran ............................................................................................... 75
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Partai Keadilan Sejahtera (PK-Sejahtera) merupakan pelanjut perjuangan
Partai Keadilan (PK) yang dalam pemilu 1999 lalu meraih 1,4 juta suara (7 kursi
DPR, 26 kursi DPRD Propinsi dan 163 kursi DPRD Kota/Kabupaten)1. Pada 20 Juli
1998 PKS berdiri dengan nama awal Partai Keadilan (disingkat PK) dalam sebuah
konferensi pers di Aula Masjid Al-Azhar, Kebayoran Baru, Jakarta. Presiden (ketua)
partai ini adalah Nurmahmudi Isma'il.
Pada 20 Oktober 1999 PK menerima tawaran kursi kementerian Kehutanan
dan Perkebunan (Hutbun) dalam kabinet pemerintahan KH Abdurrahman Wahid, dan
menunjuk Nurmahmudi Isma'il (saat itu presiden partai) sebagai calon menteri.
Nurmahmudi kemudian mengundurkan diri sebagai presiden partai dan digantikan
oleh Hidayat Nur Wahid yang terpilih pada 21 Mei 2000. Pada 3 Agustus 2000
Delapan partai Islam (PPP, PBB, PK, Masyumi, PKU, PNU, PUI, PSII 1905)
menggelar acara sarasehan dan silaturahmi partai-partai Islam di Masjid Al Azhar dan
meminta Piagam Jakarta masuk dalam Amandemen UUD 1945.
Akibat UU Pemilu Nomor 3 Tahun 1999 tentang syarat berlakunya batas
minimum keikut sertaan parpol pada pemilu selanjutnya (electoral threshold) dua
1 Navis, ”Sejarah PK Sejahtera,” artikel diakses tanggal 21 Januari 2010, dari http://www.pk-
sejahtera.org/v2/index.php?op=rub&idrub=1105&sel=0,
1
persen, maka PK harus merubah namanya untuk dapat ikut kembali di Pemilu
berikutnya. Pada 2 Juli 2003, Partai Keadilan Sejahtera (PKS) menyelesaikan seluruh
proses verifikasi Departemen Kehakiman dan HAM (Depkehham) di tingkat Dewan
Pimpinan Wilayah (setingkat Propinsi) dan Dewan Pimpinan Daerah (setingkat
Kabupaten/Kota). Sehari kemudian, PK bergabung dengan PKS dan dengan
penggabungan ini, seluruh hak milik PK menjadi milik PKS, termasuk anggota
dewan dan para kadernya. Dengan penggabungan ini maka PK (Partai Keadilan)
resmi berubah nama menjadi PKS (Partai Keadilan Sejahtera).
Setelah Pemilu 2004, Hidayat Nur Wahid (Presiden PKS yang sedang
menjabat) kemudian terpilih sebagai ketua MPR masa bakti 2004-2009 dan
mengundurkan diri dari jabatannya sebagai Presiden PK Sejahtera. Pada Sidang
Majelis Syuro I PKS pada 26 - 29 Mei 2005 di Jakarta, Tifatul Sembiring terpilih
menjadi Presiden PK Sejahtera periode 2005-2010.
R. William Liddle, seorang guru besar di Departemen Ilmu Politik Ohio State
University, dalam bukunya Revolusi dari Luar; Demokatisasi di Indonesia (2005),
menyatakan bahwa pada pemilu 1999 dan 2004, telah terjadi pertarungan ideologi
yang kemudian menjelma dengan kekuatan politik. PKS adalah salah satu partai yang
muncul dari ideologi Islam modernis yang dianut oleh para elit-elit partai, dan
menjadikan ideologi ini sebagai ikon untuk mobilisasi dan maksimalisasi suara..
Inilah kemudian yang membuat sebagian orang menyebut PKS juga partai-partai lain
yang mengandalkan religio-ideological cleavages sebagai ikon untuk mobilisasi dan
maksimalisasi suara dengan sebutan “politik aliran”.
2
Konsep aliran pertama kali diciptakan oleh antropolog Clifford Geertz dalam
tulisan The Javanese Village (1959), untuk menggambarkan struktur sosial dan
politik desa di daerah Jawa pada awal zaman kemerdekaan. Dua tahun (1952-1954)
Geertz tinggal di Pare Jawa Timur, sebelum dia akhirnya mengenalkan konsep ini
kepada dunia ilmiah2.
Pola pembentukan aliran dalam politik Indonesia merupakan ekses dari
pengaruh politik etis kolonial Belanda3. Penelitian Geertz4 bahkan mengamati bahwa
kebijakan agraria pemerintah Belanda, khusunya apa yang dinamakan Cultuur Stelsel,
sistem pertanian tanam paksa, berusaha melindungi atau melestarikan struktur sosial
dan politik tradisional orang Jawa. Penjajah Belanda juga berusaha untuk mengisolasi
masyarakat Jawa dari dunia luar, atau dalam bahasa Geertz “hasil pertanian Jawa,
tetapi bukan rakyatnya, mau dimasukkkan ke dunia modern”.
Yang dimaksud dengan politik aliran adalah kelompok sosio-budaya yang
menjelma sebagai organisasi politik. Pada tahun 1950-an, Clifford Geertz
menemukan empat aliran besar dalam masyarakat Jawa yaitu : PNI yang mewakili
golongan priyayi, PKI yang mewakili golongan abangan, Masyumi sebagai wakil dari
santri modernis, serta NU yang merupakan wakil santri tradisionalis. Dengan
demikian pembentukan partai politik pada awal kemerdekaan mengikuti garis-garis
2 R. William Liddle. Revolusi dari Luar: Demokratisasi di indonesia (Jakarta: Nalar, 2005), h.
105. 3 Daniel S. Lev. Partai-partai Politik di Indonesia pada Masa Demokrasi Parlementer (1950-
1957) Dan Demokrasi Terpimpin (1957-1965). Dalam Ichlasul Amal. Teori-teori Mutakhir partai Politik (Tiara Wacvana Yogya, 1996), h. 131.
4 R. William Liddle. Revolusi dari Luar: Demokratisasi di Indonesia, h. 106.
3
pengelompokkan yang sudah ada, baik menurut kelompok-kelompok suku bangsa,
etnik ataupun agama dan kepercayaan5.
Dari berbagai aliran pemikiran itu, nampaknya partai politik Islam
memainkan peranan yang cukup penting pada masa kemerdekaan dan masa
demokrasi parlementer. Pada masa kemerdekaan, Masyumi, misalnya, pandai dalam
melihat suasa politik. Ia tak segan-segan berkoalisi dengan partai sekuler dalam suatu
kabinet. Atau, ketika koalisi tidak terjadi, beberapa orang masyumi tetap menjadi
anggota kabinet meski mengatasnamakan pribadi. Ini seperti yang terjadi pada
kabinet Syahrir I, II dan III beberapa orang Masyumi masih dipercaya untuk menjadi
menteri6.
Pada masa orde baru pola aliran tercermin dalam politik elektoral saat
Soeharto memaksakan semua partai santri bergabung kedalam Partai Persatuan
Pembangunan (PPP), dan semua partai priyayi, abangan, dan non-Islam berdifusi
menjadi Partai Demokrasi Indonesia (PDI). Pasca orde baru realitas politik yang
didasarkan pada aliran bukan berangsur hilang, melainkan sebaliknya kian menonjol.
R. William Liddle, guru besar di Departemen Ilmu Politik Ohio State University,
dalam bukunya Revolusi dari Luar; Demokatisasi di Indonesia (2005) menyatakan
bahwa pola aliran masih berlaku, dan dalam pemilu 1999 semua partai yang meraih
5 Daniel S. Lev Partai-partai Politik di Indonesia pada Masa Demokrasi Parlementer (1950-
1957) Dan Demokrasi Terpimpin (1957-1965). Dalam Ichlasul Amal. Teori-teori Mutakhir partai Politik, h. 132.
6 Ulfi Fauzi. “Konflik Politik Islam; Studi Kasus hubungan Masyumi dan NU pada Masa Sebelum dan Sesudah Demokrasi Terpimpin (1950-1956),” (Skripsi S1 Jurusan Pemikiran Politik Islam Fakultas Ushuludin dan Filsafat Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 2005), h. 2.
4
suara terbanyak, kecuali Golkar merupakan perwujudan baru dari sistem aliran yang
dilukiskan oleh Geertz.
PDI-P merupakan kelanjutan secara organisatoris dan ideologis dengan PNI
yang diciptakan Soekarno. Begitu juga dengan PKB, yang merupakan kelanjutan dari
partai politik NU. Kita juga bisa mengaitkan, secara lebih longgar, antara PAN
melalui Muhamadiyah (sebagai santri modernis) dengan Masyumi. PPP juga tidak
bisa dilepaskan dari masa lalunya dengan NU ketika pada 1971 bersama partai-partai
santri, berdifusi menjadi PPP.
Sejarah terulang kembali dalam pemilu 2004. Ketika politik aliran mulai
menemukan bentuknya lewat kemenangan partai-partai yang mengikuti pola aliran
yang dirumuskan Geertz pada 1950-an, dengan beberapa pengecualian, yaitu
suksesnya Partai Demokrat meraih sekitar 7,5 % suara meski afiliasi alirannya samar-
samar.
Dalam konteks demikian penulis melihat bahwa politik aliran tengah bekerja
di dalam kehidupan politik kita dewasa ini. Ia berperan sebagai instrumen untuk
mobilisasi dan maksimalisasi dukungan7.
Berbeda dengan pemilu-pemilu sebelumnya ketika setiap partai mlekatkan
dirinya pada ideologi ataupun aliran. Pada pemilu 2009 kita dapat mengamati bahwa
partai-partai politik telah mencanangkan keterbukaan partai mereka. Dalam artian
7 Bahtiar Effendy. Repolitisasi Islam: Pernahkah Islam Berhenti Berpolitik?. (Bandung: Mizan,
2000), h. 202.
5
mereka mencari dukungan dari semua warga negara Indonesia, tanpa memandang
agama, ideologi, ataupun etnis.
Begitu pula dengan Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) yang
selama ini dicitrakan sebagai partai ideologis yang berafiliasi kepada golongan
abangan yang mulai merapat kepada kelompok-kelompok muslim. Salah satunya
dengan membentuk Baitul Muslimin Indonesia yang merupakan organisasi sayap
PDI-P yang didirikan untuk mendulang suara dari kelompok muslim. Disamping itu,
Hidayat Nur Wahid, seorang yang memiliki basis massa muslim yang kuat, menjadi
kandidat calon wakil presiden mendampingi Megawati dan menurut polling Pusat
Kebijakan dan Pembangunan Strategies (Desember 2008) pasangan Mega-Hidayat
menembus angka 40,21 %.
Kedekatan PDI-P dengan kelompok muslim ini sungguh diluar dugaan,
mengingat pada tahun 1999 sempat terjadi ketegangan antara parpol-parpol Islam
dengan PDI-P, ditambah lagi dengan seruan Majelis Ulama Indonesia (MUI) dan
ormas-ormas Islam untuk tidak memilih PDI-P yang menampilkan banyak caleg non-
muslim. Oleh banyak kalangan ketegangan antara parpol dan ormas Islam disatu sisi
dengan PDI-P pada sisi lainnya seringkali digambarkan sebagai ketegangan antara
kelompok santri dan abangan.
Demikian halnya dengan partai-partai lain yang mulai menyadari bahwa
dalam konteks masyarakat majemuk seperti Indonesia, tampak ganjil jika hanya
mengandalkan religio-ideological cleavages sebagai ikon untuk mobilisasi dan
maksimalisasi suara. Karena dengan membuka diri, setiap partai dapat meraih
6
dukungan sebanyak mungkin dari beragam entitas, ras, agama dan golongan agar bisa
memerintah negeri ini.
Partai Keadilan Sejahtera adalah salah satu partai yang dilahirkan oleh rahim
reformasi 1998. Awalnya, partai ini menjadikan Islam sebagai platform dan
menjadikan penegakan syariat Islam sebagai tujuan partai dan bersama-sama partai
Islam lain berjuang untuk mengembalikan tujuh kata dalam piagam Jakarta.8 Dengan
mengikuti pola aliran Geertz, Partai Keadilan Sejahtera (PKS) berfiliasi kepada
santri modernis9.
Dalam rangka pencapaian target 20 % suara dalam pemilu 2009 mulai
mengubah citra sebagai partai terbuka bagi semua kalangan, termasuk menerima
pencalonan anggota legislatif dari kalangan non-muslim. Cara lain yang dilakukan
PKS untuk merubah citra sebagai muslim eksklusif, dengan melakukan political
marketing untuk merekayasa citra sebagai partai terbuka. Salah satunya iklan politik
yang ditayangkan di stasiun televisi swasta nasional 9-11 November 2008, yang
menampilkan delapan tokoh nasional dengan afiliasi aliran serta ideologi yang
berbeda; KH. Hasyim Asy’ari, KH. Ahmad Dahlan, Jenderal Soedirman, Bung
Tomo, Sukarno, Muhammad Natsir, dan Soeharto.
Anis Matta, Sekjen PKS10, mengatakan bahwa era politik aliran di Indonesia
dinilai sudah berakhir. Konstituen dalam Pemilu 2009 diprediksi akan lebih
8 Saiful Mujani. Muslim Demokrat: Islam, Budaya Demokrasi, dan partisipasi Politik di Indonesia
Pasca –Ordebaru (Jakarta : Gramedia, 2007), h. 71-72. 9 R. William Liddle. Revolusi dari Luar: Demokratisasi diIndonesia, h. 106. 10 Anis Matta, “Era Politik Aliran Sudah Berakhir,” artikel diakses tanggal 26 Januari 2010, dari
http://www.pk-sejahtera.org/v2/index.php?op=isi&id=6757.
7
terpengaruh pada kinerja kader dan kredibilitas partai, ketimbang karena sentimen
agama atau kelompok tertentu. Uniknya pernyataan ini disampaikan Sekretaris dalam
acara temu muka Tim Delapan PKS dengan sejumlah tokoh nonmuslim Makassar di
Hotel Clarion, Makassar. Oleh karena itu, menurut Anis, PKS berhasrat merangkul
semua suku maupun agama yang ada di Indonesia untuk memenuhi target perolehan
suara 20 persen dalam Pemilu 2009. Saat ini sudah waktunya bagi PKS untuk
membuka diri, mengusung isu kemanusiaan tanpa dominasi agama. Selain itu, agenda
PKS untuk mengusung isu kemanusiaan tanpa sekat apapun dalam persatuan bangsa
adalah dengan menghapuskan anggapan awam bahwa partai selalu berorientasi
tempat, tokoh, dan warna.
Meski pada awalnya PKS ingin mencoba bermanuver dengan strategi lintas
ideologi, tetapi dukungan terhadap PKS masih cenderung didominasi oleh kader-
kader militannya. PKS tidak mampu menembus lintas batas ideologis politik aliran,
dan kurang berhasil menyedot swing voters dan pemilih rasional. Ini terbukti dengan
suara PKS yang relative stabil (stagnan) pada pemilu 2009 lalu11.
Skripsi ini membahas pola aliran yang terjadi pada pemilu 2009 dengan
menjadikan Partai Keadilan Sejahtera sebagai sampel. Pemilihan Partai Keadilan
sejahtera didasarkan atas konsistensinya memmperjuangkan syariat Islam dan
aktifitas dakwah yang dilakukan melalui partai politik. Tulisan ini juga relevan untuk
melihat ketegangan-ketegangan yang terjadi antara (meminjam istilah Geertz) santri
11 Moch. Nurhasim, ”Hasil Pemilu 2009 dan Perubahan Peta Politik,” artikel diakses tanggal 26
Januari 2010, dari http://www.politik.lipi.go.id/index.php/in/kolom/42-hasil-pemilu-2009-dan-perubahan-peta-politik.
8
modernis dan tradisional. Dengan melihat pola-pola aliran yang terjadi pada partai-
partai Islam, kita juga akan melihat peta-peta politik umat Islam pada pemilu 2009.
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah
Tulisan ini secara spesifik ingin mendeskripsikan tentang dinamika politik
Islam Indonesia yang terjadi pada pemilihan umum (pemilu) 2009. Mengingat,
bahwa Sejak digulirkannya reformasi 1998 seolah membuka kembali lembaran
sejarah tentang pola aliran yang terbentuk pada awal-awal kemerdekaan. Berbeda
dengan dua pemilu sebelumnya, dimana nuansa aliran sangat kental terasa, pada
pemilu 2009 mulai timbulnya kesadaran setiap partai politik bahwa dalam konteks
masyarakat majemuk seperti Indonesia, tampak ganjil jika hanya mengandalkan
religio-ideological cleavages sebagai ikon untuk mobilisasi dan maksimalisasi suara.
Karena dengan membuka diri, setiap partai dapat meraih dukungan sebanyak
mungkin dari beragam entitas, ras, agama dan golongan agar bisa memerintah negeri
ini. Dan tulisan ini bertujuan untuk memberi gambaran yang lebih komprehensif dari
pertanyaan-pertanyaan yang dirumuskan sebagai berikut :
Mengapa terjadi Perubahan pada platform Partai Keadilan Sejahtera dalam Pemilu
2009?
9
C. Metodologi Penelitian
Dalam menyusun skripsi ini, penulis menggunakan metode penelitian
kualitatif dengan melakukan penelusuran literatur yang berbentuk buku, makalah,
surat kabar, artikel-artikel yang terkait dengan tulisan yang dibahas pada skripsi ini.
Untuk melengkapi bahan tulisan ini secara komprehensif, penulis melakukan
wawancara mendalam (depth interview), dengan tehnik yang dipergunakan adalah
Purposive Sampling12 yaitu sampel dipilih dengan pertimbangan-pertimbangan
tertentu, sedangkan pertimbangan yang diambil itu berdasarkan tujuan penelitian.
Dan sebagai narasumbernya ialah anggota Majelis Pertimbangan Partai (MPP) dan
Majelis Syuro Partai Keadilan Sejahtera dan juga salah satu pendiri Partai Keadilan
Sejahtera.
Semua data-data, baik literatur ataupun hasil wawancara, kemudian
dianalisis secara deskriptif.
Sebagai referensi pedoman penulisan ini, penulis menggunakan buku
terbitan Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta “Pedoman Penulisan
Skripsi, Tesis dan Disertasi” dan buku pedoman akademik tahun 2003/2004 Fakultas
Ushuludin dan Filsafat UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
D. Tujuan dan Manfaat Penelitian
1. Tujuan
12 Masri Singarimbun dan Sofyan Effendy, Metode Penelitian Survey (Jakarta: LP3iS, 1983 Cet.
Ke-3. h. 122
10
Secara umum penelitian ini bertujuan melihat pola politik aliran yang
terjadi pada pemilu 2009; studi atas perubahan Platform Partai Keadilan
Sejahtera pada Pemilu 2009.
2. Manfaat
Untuk memperluas khazanah keilmuan ilmu politik khususnya bagi Penulis
dan Mahasiswa Ilmu Politik pada umunya.
E. Sisematika Penulisan
Guna memudahkan pembahasan dan penulisan serta lebih sisematis, maka
penulis menyususun skripsi ini menjadi lima bab, yaitu :
Bab I : Pendahuluan, merupakan gambaran umum tentang latar belakang
masalah
Bab II : Menjelaskan definisi operasional “politik aliran”. Dalam bab ini juga
diuraikan perkembangan partai politik Islam, serta pola pemikiran
Islam tradisionalis dan dan modernis, dua tipologi pemikiran Islam
ini merupakan entry point terbentuknya diskursus politik Islam
Idonesia
Bab III : Biografi Partai Keadilan Sejahtera
Bab IV : Menggambarkan Politik Aliran dalam Pemilu 2009, mendeskripsikan
perubahan yang terjadi pada platform Partai Keadilan Sejahtera pada
Pemilu 2009, serta faktor-faktor yang mempengaruhi terjadinya
11
12
perubahan-perubahan tersebut serta implikasi perubahan tersebut
pada perolehan suara Partai Keadilan Sejahtera dalam Pemilu 2009
Bab V : PENUTUP yang berisi kesimpulan dan saran-saran
BAB II
LANDASAN TEORI
A. Politik Aliran
Konsep aliran pertama kali diciptakan oleh antropolog Clifford Geertz
untuk menggambarkan struktur sosial dan politik desa di daerah Jawa pada awal
zaman kemerdekaan.Geertz tinggal di pare, Jawa Timur selama dua tahun 1952-
1954. Istilah aliran diperkenalkan kepada dunia ilmiah pada 1959 dalam The
Javanese Village, yang diterbitkan dalam sebuah buku, Local ethnic, and National
Loyalties in Village Indonesia1.
Dalam penelitiannya itu, Geertz mencoba menghubungkan bagaimana
hubungan antara struktur-struktur sosial yang ada dalam suatu masyarakat dengan
pengorganisasian dan perwujudan simbol-simbol, dan bagaimana para anggota
masyarakat mewujudkan integrasi disintegrasi dengan cara mengorganisasi dan
mewujudkan simbol-simbol tertentu. Sehingga, perbedaan-perbedaan yang
nampak antara struktur sosial yang ada dalam masyarakat tersebut hanyalah
bersifat komplementer2.
Penemuan utama Geertz adalah bahwa masyarakat Jawa sudah lama
kehilangan kemampuan untuk menyusun kehidupan bersama. Dia
membandingkan citra desa yang romantik-komunal, organis, tata tentrem dengan
kenyataan yang diamatinya : “ketidakmampuan untuk bekerja sama atau untuk
mengorganisasikan segala hal; suatu keengganan yang bermula pada
1 R. William Liddle. Revolusi dari Luar: Demokratisasi di indonesia, h. 105. 2 Abudin Nata. Metodologi studi Islam. (Jakarta : Rajawali Pers, 2000), h. 347
13
ketidakpastian tentang apa yang seharusnya dilakukan untuk menjalani berbagai
usaha yang kompleks dan berjangka panjang, dan suatu kemandekan”.3
Masyarakat Jawa oleh Geertz dilihat sebagai suatu sistem sosial, dengan
kebudayaan Jawanya yang akulturatif dan agama yang sinkretik, yang terdiri atas
sub kebudayaan Jawa yang masing-masing merupakan struktur sosial yang
berlawanan. Struktur-struktur sosial yang dimaksud adalah Abangan (yang intinya
berpusat di pedesaan), Santri (yang intinya berpusat di pedesaan), dan Priyayi
(yang intinya berpusat di kantor pemerintahan, di kota)4.
Pembentukan aliran pada zaman kemerdekaan, menurut R. William
Liddle5, terjadi dalam konteks Cultuur Stelsel, sistem pertanian tanam paksa.
Ketika sejak awal abad ke-19 Belanda memaksa para petani di Jawa menanam
tebu, tembakau dan kopi yang akan di ekspor ke luar Hindia Belanda. Namun,
penjajah itu berusaha sekaligus melindungi atau melestarikan struktur dan politik
tradisional orang Jawa, atau dalam bahasa Geertz “Hasil pertanian Jawa, tetapi
bukan rakyatnya, mau dimasukkan ke dunia modern”.
Clifford Geertz membagi masyarakat Jawa, yang ditarik dari
mikrokosmosnya di Mojokuto, kedalam tiga varian sosiokultural : abangan, santri
dan priyayi. Ketika memaparkan perbedaan-perbedaan umum antara ketiga varian
tersebut dalam bukunya Religion of Java, ia menulis :
“Abangan mewakili suatu penekanan kepada aspek-aspek animistis dari seluruh sinkretisme Jawa dan secara luas berkaitan dengan unsur petani di kalangan penduduk; santri mewakili suatu penekanan kepada aspek-aspek Islam dari sinkretisme diatas dan pada umumnya berkaitan dengan unsur dagang (juga unsur-unsur tertentu dalam kelompok
3 R. William Liddle. Revolusi dari Luar: Demokratisasi di indonesia, h. 105. 4 Abudin Nata. Metodologi studi Islam, h. 347-348 5 R. William Liddle. Revolusi dari Luar: Demokratisasi di Indonesia, h. 106.
14
petani); dan priyayi menekankan pada aspek-aspek Hinduistis dan berkaitan dengan unsur birokrasi).”6
Dengan demikian penyebab terjadi tipologi yang berbeda tersebut salah
satunya berkaitan dengan lingkungan yang berbeda (yaitu pedesaan, pasar dan
kantor pemerintahan) dibarengi dengan latar belakang sejarah kebudayaan yang
berbeda (yang berkaitan dengan masuknya agama serta peradaban Hindu dan
Islam di Jawa) telah mewujudkan adanya ketiga varian sosial keagamaan tersebut.
Disamping itu menurut Daniel S. Lev7, pengelompokkan tersebut makin diperkuat
oleh perbedaan-perbedaan ekonomis. Kelompok santri lebih cenderung pada
aktivitas perdagangan daripada kelompok abangan yang tipikal ideal sebagai
petani, dan kelompok priyayi urban sebagai birokrat.
Hasil penelitian Geertz ini bukan tanpa kekurangan, telah banyak kritik
dikemukakan ahli dan pengamat khususnya Harsja W. Bahtiar dan
Koentjaraningrat, terhadap tipologi atau varian “keagamaan” masyarakat Jawa.8
Harsja W. Bachtiar9, misalkan, mengatakan bahwa yang disebut kaum abangan
tidaklah harus mengacu kepada tradisi rakyat yang pokok yang terdiri dari tradisi
kebudayaan rakyat biasa, wong cilik (orang kecil). Dengan kata lain kelirulah
untuk menganggap tradisi kebudayaan kaum tani sebagai tradisi abangan.
Demikian pula, mengenai varian kaum santri bisa saja berasal dari golongan
rendahan dan karena banyak priyayi telah diasuh oleh pelayan-pelayan dari
6 Bahtiar Effendi. Islam dan Negara; Transformasi Pemikiran dan Praktik Politik Islam di
Indonesia (Jakarta: Paramadina, 1998), h. 37 7 Daniel S. Lev. Partai-partai Politik di Indonesia pada Masa Demokrasi Parlementer (1950-
1957) Dan Demokrasi Terpimpin (1957-1965). Dalam Ichlasul Amal. Teori-teori Mutakhir partai Politik, h. 134.
8 Azyumardi Azra. Reposisi Hubungan Agama dan Negara: Merajut Kerukunan Antar Umat (Jakarta: Penerbit Buku Kompas, 2002), h. 185
9 Abudin Nata. Metodologi studi Islam, h. 348
15
golongan rendahan yang berada dalam kedudukan uuntuk mempengaruhi mereka,
maka apa yang disini disebut “kepercayaan rakyat” atau kepercayaan animistik,
merupakan suatu yang lazim di kalangan orang-orang yang oleh Geertz disebut
sebagai santri dan priyayi, meskipun wajarlah apabila mereka tidak mengakuinya
Dengan kata lain Bachtiar ingin mengatakan, bahwa penggunaan istilah
abangan, santri dan priyayi untuk mengklasifikasikan masyarakat Jawa dalam
golongan-golongan agama tidaklah tepat, karena ketiga golongan yang disebutkan
tadi tidak bersumber dari satu sistem klasifikasi yang sama.
Beberapa ahli berpendapat bahwa istilah santri-abangan sudah ada jauh
sebelum Geertz mengemukakan hasil penelitiannya. Bahkan Azyumardi Azra10
menyatakan bahwa pada dasarnya Geertz hanyalah merumuskan dan
menteorisasikan kategori yang telah ada; bukan menciptakan. Yang diciptakan
Geertz adalah kerumitan tambahan, dengan memasukkan kategori “priyayi”
sehingga menciptakan “trikotomi” santri-abangan-priyayi. Padahal jelas, priyayi
adalah kategori sosiologis, bukan kategori keagamaan. Karena itu kategorisasi
“santri-abangan” sebenarnya tidak kedap air (watertight) dan, karena itu terdapat
banyak persilangan dan tumpang tindih.
Terlepas dari semua ini, yang jelas “trikotomi” Geertz, atau lebih tepat lagi
“dikhotomi” santri-abangan terlanjur populer, bukan hanya dalam dunia keilmuan,
khususnya antropologi, tetapi juga digunakan untuk menjelaskan pemilahan
politik dalam masyarakat Jawa khususnya. Demikian, pertarungan dan pergulatan
politik Indonesia, khususnya tahun-tahun 1950-an (menjelang dan pasca-pemilu
10 Azyumardi Azra. Reposisi Hubungan Agama dan Negara: Merajut Kerukunan Antar Umat,
h. 185
16
1955) di antara Masyumi, PNI dan PKI dijelaskan banyak pihak dalam kerangka
Geertz, yang populer sebagai “politik aliran”, persisnya pertarungan antara santri
pada satu pihak dan abangan pada pihak lain.
Dengan demikian dalam kasus ini, Geertz menjelaskan, “proses manuver
politik yang digerakkan oleh sistem aliran ini segera membuat persekutuan
orientasi abangan dan priyayi dalam satu kesatuan yang berhadapan dengan
orientasi santri. Proses persekutuan politik antara kedua varian ini, untuk satu hal,
didorong oleh “terlembagakannya politik massa dan hak politik universal yang
mendekatkan kelompok priyayi dengan abangan”. Hal itu juga disebabkan oleh
kenyataan yang kuat diterima bahwa kedua kelompok tersebut “tidak menyukai
eksklusivisme kelompok santri”11
Yang dimaksud dengan politik aliran adalah kelompok sosio-budaya yang
menjelma sebagai organisasi politik12. Menurut Bahtiar Effendi13, Geertz
memaparkan aliran sebagai “suatu partai politik yang dikelilingi oleh satuan
organisasi-organisasi sukarela yang formal maupun tidak formal berkaitan
dengannya….[aliran] adalah pengelompokan organisasi secara nasional….yang
menganut arah dan posisi ideologis yang sama.” Terlepas dari penekannya pada
partai politik sebagai unsur pokok dalam konsep ini, penting dicatat bahwa “suatu
aliran lebih dari sekedar partai politik, jelas juga lebih dari sekedar ideologi; ia
adalah suatu pola integrasi sosial yang komprehensif,” dan ia diidentifikasi
kurang-lebih oleh “oposisi suatu kelompok kepada yang lain”
11 Bahtiar Effendi. Islam dan Negara; Transformasi Pemikiran dan Praktik Politik Islam di
Indonesia, h. 39 12 R. William Liddle. Revolusi dari Luar: Demokratisasi di indonesia, h. 108. 13 Bahtiar Effendi. Islam dan Negara; Transformasi Pemikiran dan Praktik Politik Islam di
Indonesia, h. 36
17
Setidaknya ada dua unsur utama yang inheren dalam konsep aliran.
Pertama, pentingnya pembilahan religio-kultural dalam tradisi masyarakat Jawa.
Kedua, cara dimana pembilahan semacam itu mentransformasikan diri secara
agak mudah kedalam pola pengelompokan-pengelompokan sosial-politik14.
Politik aliran terbentuk, untuk pertama kalinya pada pemilu 1955. Ketika
masyarakat Jawa untuk kali pertamanya selama satu setengah abad diberi
kebebasan untuk membuat organisasi-organisasi sosial dan politik baru. Yang
mereka ciptakan kemudian adalah aliran, yaitu partai-partai politik nasional, yang
diimpor dari Jakarta, lengkap dengan ideologi masing-masing dan organisasi-
organisasi sosial untuk petani, buruh, wanita, pemuda dan lain-lain15.
Pada pemilu tahun 1950-an pola pembentukan partai politik dipengaruhi
oleh konsep aliran. Kelompok santri cenderung mengarahkan orientasi politik
mereka ke partai-partai politik Islam, misalnya Masyumi dan Nahdlatul Ulama
(NU), dua partai Islam terbesar pada 1950-an. Pada sisi lainnya, kelompok
abangan dan priyayi lebih suka mengekspresikan kedekatan politis mereka dengan
partai “nasionalis” (PNI atau PKI).
Tumbangnya pemerintahan orde lama setelah gagalnya pemberontakan
PKI pada 1965 tidak serta merta menghapuskan trikhotomi abangan, santri dan
priyayi. Bahkan perkembangan politik Indonesia umumnya pada masa orde baru
tetap masih bisa dijelaskan banyak pengamat dalam kerangka Geertzian. Bahkan
banyak pemimpin militer Indonesia yang sebagian besar berasal dari etnis Jawa,
dan karena itu abangan menentang Islam dan kaum santri. Militer abangan yang
14 Bahtiar Effendi. Islam dan Negara; Transformasi Pemikiran dan Praktik Politik Islam di Indonesia, h. 38
15 R. William Liddle. Revolusi dari Luar: Demokratisasi di indonesia, h. 108
18
hostile terhadap Islam dan golongan santri inilah yang kemudian mendukung dan
memenangkan Golkar sejak pemilu 1977, 1982 dan 1987, yang juga didominasi
oleh kaum abangan dan non-muslim. Singkatnya, polarisasi antara santri dan
abangan terus berlanjut dalam masa orde baru16.
Pada masa orde baru pola aliran tercermin dalam politik elektoral saat
Soeharto memaksakan semua partai santri bergabung kedalam Partai Persatuan
Pembangunan (PPP), dan semua partai priyayi, abangan, dan non-Islam berdifusi
menjadi Partai Demokrasi Indonesia (PDI). Pasca orde baru realitas politik yang
didasarkan pada aliran bukan berangsur hilang, melainkan sebaliknya kian
menonjol.
PDI-P merupakan kelanjutan secara organisatoris dan ideologis dengan
PNI yang diciptakan Soekarno. Begitu juga dengan PKB, yang merupakan
kelanjutan dari partai politik NU. Kita juga bisa mengaitkan, secara lebih longgar,
antara PAN melalui Muhamadiyah (sebagai santri modernis) dengan Masyumi.
PPP juga tidak bisa dilepaskan dari masa lalunya dengan NU ketika pada 1971
bersama partai-partai santri, berdifusi menjadi PPP.
Pada Pemilu tahun 2004 ternyata tidak ada lompatan ideologis (ideological
leapfrogging) yang ekstrim, namun dua partai Islam, PPP dan PBB, bergerak
lebih jauh ke kanan, sementara PKS lebih mendekat ke tengah. Partai-partai
sekuler, meski tetap dalam posisi semula, menjalankan strategi yang berbeda guna
16 Azyumardi Azra. Reposisi Hubungan Agama dan Negara: Merajut Kerukunan Antar Umat,
h. 186
19
memperluas jangkauan pada segmen-segmen komunitas Islam tanpa mengubah
sikap dasar ideologinya.17
Arti penting teori aliran Geertz adalah bahwa teori ini mencoba
menunjukkan salah satu sumber paling esensial dari pengelompokan-
pengelompokan sosial-politik yang berkembang dalam realitas politik di
Indonesia.
B. Islam Tradisionalis
Sebenarnya apa yang sering disebut sebagai tradisionalis-modernis dalam
gerakan Islam Indonesia merupakan suatu istilah yang bisa diperdebatkan dan
dipertukarkan dengan istilah-istilah lain. Pemakaian istilah modernis, misalkan,
dalam banyak literatur gerakan Islam Indonesia teramat sering bertukar dengan
istilah “reformis”. R. William Liddle18 bahkan menggunakan istilah “Skripturalis-
Substansialis” untuk menggantikan istilah “tradisionalis-modernis”, Deliar Noer19
menggunakan istilah “kaum tua” kelompok tradisional dan “kaum muda” untuk
kelompok modernis. Meskipun demikian pada tulisan ini akan tetap digunakan
istilah “tradisionalis-modernis” yang dalam banyak hal maknanya paralalel
dengan “skripturalis-substansialis” dan “kaum tua-kaum muda”.
Sarjana Indonesia yang paling bertanggung jawab dalam menyebarluaskan
distingsi – yang selanjutnya menjadi dikotomi – antara “Islam tradisionalis” dan
17 Kuskridho Ambardi. Mengungkap Politik Kartel; Studi tentang Sistem Kepartaian di
Indoensia Era reformasi (Jakarta; Kepustakaan Populer Gramedia, 2009), h. 239 18 R. William Liddle. Skripturalisme Media Dakwah: sebuah Bentuk Pemikian dan Aksi
Politik Islam Indonesia pada Masa Orde Baru. Dalam Idy Subandi Ibrahim (editor). Media dan Citra Muslim: Dari Spiritualitas untuk berperang menuju Spiritualitas untuk Berdialog. (Yogyakarta: Jalasutra, 2005), h. 406
19 Fathurin zen. NU Politik: Analisis wacana Media. (Yogyakarta : LKiS, 2004).
20
“Islam modernis” dalam kajian tentang Islam di Indonesia adalah Deliar Noer
dalam karyanya yang kini sudah menjadi klasik. Dalam karyanya ini, Deliar Noer
secara tegas membuat semacam watertight distinction antara Islam tradionalis dan
Islam modernis20.
Pembedaan awal dari kedua golongan ini pada mulanya hanya
menyangkut gerakan sosial dan keagamaan, akan tetapi selanjutnya meluas ke
bidang lainnya termasuk politik. Golongan tradisional adalah mereka yang
berpegang teguh pada pemikiran tradisional, sedangkan golongan modern adalah
mereka yang menghendaki perubahan.
Dalam konteks studi sosial-politik Islam Indonesia, islam “muslim
tradisionalis” memiliki dua arti: yang satu bersifat pejorative sementara yang lain
bersifat netral. Pertama, istilah tradisionalis berkonotasi pejorative jika dipakai
dengan merujuk kepada muslim model lama yang berasal dari kampung yang
tradisional dalam agama, kolot secara intelektual, oportunistik secara politik dan
sinkretik secara kultural. Kedua, pemahaman yang lebih umum mengenai muslim
tradisionalis menunjukkan bahwa mereka merupakan orang yang percaya bahwa
umat Muslim yang tidak memiliki keahlian memadai untuk berijtihad harus
mengikuti salah satu dari empat mazhab hukum yang ada dan memakai
pendekatan bertahap dan toleran dalam berdakwah ketika mereka berhadapan
dengan tradisi lokal. Kenyataan bahwa praktik-praktik Islam adakalanya
20 Azyumardi Azra. Reposisi Hubungan Agama dan Negara: Merajut Kerukunan Antar Umat,
h. 145
21
tercampur aduk dengan tradisi lokal tidak berarti bahwa mereka menganggap
tradisi lokal bersifat islami; sebaliknya, ini hanya soal pendekatan saja21.
Golongan Islam tradisional diwadahi oleh organisasi keagamaan Nahdlatul
Ulama (NU). Sedangkan kendaraan politik yang mereka pergunakan pada awal
kemerdekaan adalah Masyumi hingga NU menyatakan keluar dan membentuk
partai sendiri, tahun 1952. Selanjutnya pada pemilu 1955 dan 1971 NU tampil
sebagai partai politik yang mewadahi golongan tradisional. Namun sebagaimana
golongan Islam lainnya, sejak tahun 1973 NU memperoleh perlakuan yang tidak
manusiawi dari pemerintah dan dipaksa berfusi ke PPP. Kondisi perpolitikan yang
tidak kondusif ini baru berakhir ketika rezim otoriter Orde Baru tumbang dan
beralih ke era reformasi, dimana setiap kelompok dan juga individu memiliki
kebebasan dan berpolitik.
Akhirnya pada forum Munas Alim Ulama NU pada 1983 di Situbondo,
NU memproklamirkan kembali ke “khittah 1926”. Digulirkannya gagasan
”kembali ke khitah 1926” ini merupakan upaya pemulihan untuk mengatasi
persoalan aliran atau eksklusivisme politik yang ada pada the body of politics
organisasi sosial keagamaan ini. Dengan pernyatan ini, NU melakukan reposisi
ulang: mengembalikan jati dirinya sebagai organisasi sosial keagamaan seperti
ketika lahir dulu (1926). Dan itu berarti NU tak lagi berfungsi sebagai organisasi
sosial-politik22.
21 Suadi Asyari. Nalar Politik NU dan Muhammadiyah. (Yogyakarta: LKiS, 2009), h. 76-77 22 Bahtiar Effedi. Repolitisasi Islam: Pernahkah islam Berhenti Berpolitik? (Bandung : Mizan,
2000), h. 179
22
C. Islam Modernis
Pemikiran Islam di Indonesia berkembang dengan tumbuhnya gerakan
modernisme. Gerakan modernisme ialah gerakan kembali kepada al-Qur’an dan
Sunnah. Ajaran ini bersifat prinsip, garis besar, dan dipercayai berlaku untuk
segala tempat dan zaman, sehingga ia senantiasa modern. Ia perlu ditimbulkan
lagi karena tertutup oleh tradisi, adat kebiasaan yang tidak sesuai dengan ajaran
pokok (bagi gerakan modernis adat kebiasaan yang tidak bertentangan dengan
ajaran pokok dapat diterima), dengan faham kebekuan (jumud) dan sifat
ketertutupan23.
Awalnya modernisasi Islam di Indonesia merupakan reaksi terhadap
berbaurnya praktik-praktik Islam dengan tradisi lokal. Gerakan modernisasi dalam
Islam seringkali dirujuk kepada gerakan Islam puritan, yaitu kelompok Muslim
yang cenderung mengklaim bahwa kelompok merekalah yang paling benar atau
menganut Islam murni dan karenanya merasa bertanggung jawab untuk
memurnikan Muslim lainnya yang tidak berpegang pada paham teologi Islam dan
cara ibadah yang sama seperti mereka24.
Berdasarkan catatan sejarah, golongan modernis Islam di Indonesia pada
umumnya masuk kedalam organisasi keagamaan seperti Muhammadiyah, Al-
Irsyad, Persatuan Islam (Persis) dan organisasi keagamaan lain yang senapas
dengan organisasi-organisasi tersebut. Sejauh menyangkut Muhammadiyah,
paling tidak sudah menjadi hal yang bisa diperdebatkan jika organisasi ini hanya
23 Deliar Noer. Memposisikan Harun Nasution dalam pemikiran Islam di Indonesia. Dalam
Abdul Halim (editor). Teologi Islam Rasional: Apresiasi Terhadap Wacana dan Praksis Harun Nasution (Jakarta : Ciputat Pres, 2001), h. 142
24 Suadi Asyari. Nalar Politik NU dan Muhammadiyah, h. 35
23
dilabeli sebagai gerakan modernis, lantaran teologinya mengandung unsur-unsur
puritan, yakni teologi yang didasarkan atas ideologi pemurnian akidah Muslim,
yang pada mulanya di propagandakan oleh gerakan Wahabi.
Sementara itu terkait dengan isu-isu penting dalam gerakan politik
‘tradisional-modernis” menurut Deliar Noer25 berkaitan dengan ini pertama, soal
khilafiyah. Gerakan modern Islam di negeri kita, seperti juga di negera Islam
lainnya, bermula dengan soal-soal ubudiyah. Dalam rangka ini, paham gerakan
tersebut berusaha mengubah paham-paham tradisional. Kedalamnya termasuk apa
yang disebut takhayul, khurafat, ada pula yang disebut masalah khilafiyah dalam
kalangan Islam. Kedua, sifat fragmentasi kepartaian. Sifat ini dimasa 1920-1942,
sangat menonjol baik pada kalangan Islam maupun pada kalangan kebangsaan.
Ketiga, Kepemimpinan yang bersifat pribadi. Dizaman merdeka kecenderungan
seperti itu terjadi, yaitu pemimpin, dengan alasan-alasannya sendiri, membawa
pengikutnya keluar organisasi semula membangun partai baru ataupun mengubah
sifat organisasinya menjadi partai politik. Keempat, perbedaan dan pertentangan
paham yang berhubungan dengan pemerintah.
Sementara kelompok modernis secara kelembagaan diwadahi oleh
organisasi-organisasi seperti Muhammadiyah, Persis, Dewan Dakwah Islam
Indonesia (DDII) dan Ikatan Cendikiawan Muslim Indonesia (ICMI) dengan
gerakan politik yang dominan diberikan kepada Partai Amanat Nasional.
Uniknya pilihan ideologis PKB dan PAN mungkin akan memunculkan
masalah dalam merumuskan strategi elektoral yang bisa mengakomodasi berbagai
25 Abudin Nata. Metodologi studi Isla), h. 347-348
24
kepentingan konstituen tradisional dan konstituen baru yang ingin dirangkul.
Meskipun berasal dari basis massa organisasi Muslim terbesar, PKB dan PAN
tidak serta merta mengidentifikasikan dirinya dengan politik Islam. PAN dan PKB
hanya menyebut diri mereka sebagai partai berbasis massa Muslim. Tetapi
menolak disebut sebagai partai Islam. Sementara pada sisi lainnya, PPP sebagai
partai Islam dengan basis massa tradisional yang sama dengan PKB, mengingat
secara genealogi PPP dilahirkan dari rahim partai-partai Islam pada tahun 1971.
Sedangkan PBB dan PKS adalah representasi, pada sisi lainnya, sebagai santri
modernis yang secara genealogis dan ideologis sangat berkaitan dengan
Muhammadiah dan organisasi-organisasi modernis lainnya.
Adapun acuan keagamaan PKS adalah Ikhwanul Muslimin, dikarenakan
diantara para pendiri PKS yang menuntut ilmu di Timur Tengah, dan Ikhwanul
Muslimin adalah sebuah organisasi yang lahir dan tumbuh di Timur Tengah. PKS
tidak memiliki persambungan keagamaan dengan jaringan ulama dan kiai
pesantren serta lembaga-lembaga pendidikan Islam dan lembaga-lembaga dakwah
yang bernaung di bawahnya yang telah mengakar di masyarakat dan tumbuh
bersama tradisi yang ada. Oleh karena itu, pemahaman keagamaan yang
berkembang di PKS seakan berjarak dengan pemahaman keagamaan yang dianut
masyarakat negeri ini sehingga tidaklah heran jika pada awal-awal tumbuhnya
LDK dan Tarbiyah, para aktivisnya menarik diri (uzlah) dari aktivitas keagamaan
25
26
masyarakat umum. Bahkan tidak jarang sebagian mereka menganggap masyarakat
telah menyimpang dari Islam yang benar.26
26 M. Imdadun Rahmat. Ideologi Politik PKS; Dari Masjid Kampus ke Gedung Parlemen.
(Yogyakarta: LKiS, 2008), h. 150
BAB III
BIOGRAFI PARTAI KEADILAN SEJAHTERA
A. Sejarah Perkembangan Partai Keadilan Sejahtera
Partai Keadilan Sejahtera (PKS) merupakan partai yang diprakarsai oleh para
aktivis dakwah kampus. Para aktivis yang sebagian besar berusia muda tersebut
bergerak dari dalam kampus (pada umumnya kampus-kampus umum) dan dalam
skala terbatas di sekolah-sekolah. Di kampus mereka mendirikan dan mengelola
pengajian yang di wadahi dalam bentuk Lembaga Dakwah Kampus (LDK). Lembaga
inilah yang menyelenggarakan berbagai aktivitas keagamaan, baik berupa pengajian-
pengajian untuk mahasiswa, maupun pengajaran Islam bagi para anggotanya. Di
sekolah-sekolah, para aktivis ini berkiprah melalui lembaga kesiswaan yang sering
disebut Rohani Islam (ROHIS). Kegiatan yang dilakukan di ROHIS sama dengan
LDK, yakni memberikan pemahaman dasar-dasar keislaman dengan penekanan pdaa
penanaman semangat (ghirah) keislaman1.
Pada masa-masa awal (era pertengahan 1970-an hingga 1980-an), kegiatan
para aktivis tersebut dilakukan secara sembunyi-sembunyi; dalam arti, berbagai
kegiatan lebih sering dilakukan dengan diam-diam dan jika menyelenggarakan
pengajian untuk banyak orang, mereka berkamuflase dengan mengatasnamakan
kegiatan mahasiswa atau siswa. Kegiatan diam-diam ini dikenal sebagai kegiatan
“usroh”. Para aktivisnya disebut “anak usroh”. Usroh berarti keluarga. Maksudnya,
1 M. Imdadun Rahmat. Ideologi Politik PKS; Dari Masjid Kampus ke Gedung Parlemen, h. 23
27
para anggota pengajian ini dibagi ke dalam satuan-satuan kecil (6-10 orang) dengan
seorang mentor (murabbi) dalam sistem stelsel.
Metode pengajian yang cenderung rahasia ini tidak terlepas dari kebijakan
politik pemerintahan Orde Baru yang sangat represif terhadap gerakan keagamaan.
Situasi sedikit berubah ketika memasuki era 1990-an di mana mulai muncul
pergeseran politik ketika Soeharto mulai menempatkan para aktivis Islam sebagai
sekutu. Meskipun demikian, para aktivis LDK belum menempuh strategi gerakan
yang terbuka. Dalam kondisi yang agak kondusif, para aktivis LDK lebih leluasa
melakukan dakwahnya dan mendapatkan sambutan lebih luas. Pada era ini, mereka
tidak lagi menggunakan sebutan Usroh, tetapi mengubahnya menjadi Ikhwan dan
menamai aktivitas mereka dengan sebutan tarbiyah (pendidikan)2
Seiring waktu, kelompok ini semakin lama semakin besar. Kedisiplinan
mereka dalam mengamalkan ajaran Islam yang mereka tahu dan kajian buku tentang
keilmuan dari para tokoh Al-Ikhwan Al-Muslimun, terutama dalam konsep tarbiyah,
membuat mereka secara sadar sering menyebut bahwa konsep tarbiyah merupakan
landasan bagi sebuah pembinaan. Dengan kata lain, semua marhalah tarbiyah seperti
tabligh, ta’lim, takwin dan tanfidz harus dilalui dalam sebuah pembinaan. Lama
kelamaan penggunaan istilah tarbiyah ini menjadi “latah” digunakan semua orang,
2 M. Imdadun Rahmat. Ideologi Politik PKS; Dari Masjid Kampus ke Gedung Parlemen, h. 24
28
karena itu yang melakukan pengajian-pengajian dalam kelompok kecil kemudian
menyebutnya sebagai kelompok tarbiyah3.
Perkembangan kelompok tarbiyah ini bisa dikatakan sangat cepat, tak sampai
10 tahun jaringannya sudah ada hampir di semua universitas maupun kantor-kantor
pemerintahan. Mereka menggunakan sistem Multi Level Marketing (MLM). Seorang
kader, membina paling tidak 5 orang kader baru dalam pengajian. Dan itu terjadi di
hampir semua universitas, untuk menopang kader-kader baru di daerah4.
Gerakan Tarbiyah terdiri atas lima elemen penting, yaitu5 :
1. Dewan Dakwah Islam Indonesia dengan tokoh utama M. Natsir. DDII
berperan menjadi inisiator awal berdakwah melalui kampus dan sekaligus
peletak dasar-dasar strategi dakwah kampus serta menyiapkan jaringan
para pendamping LDK yang terdiri dari tokoh-tokoh senior seangkatan M.
Natsir sendiri hingga para penerusnya, seperti Abu Ridho, Husein Umar
dan Masyhadi.
2. Elemen Jaringan LDK sebagai tulang punggung tarbiyah dan sekolah
(ROHIS). LDK merupakan pelaku utama dakwah kampus dan
menyediakan wahana dan mekanisme rekruitmen kader di kampus dan
sekolah. LDK sendiri bermula dari berbagai kegiatan yang
diselenggarakan oleh Masjid Salman ITB di bawah mentoring Imaduddin
3 Aay Muhammad Furkon. Partai Keadilan sejahtera; Ideologi dan Praksis Politik Kaum Muda
Muslim Indonesia Kontemporer. (Jakarta: Teraju, 2004), h. 124 4 Aay Muhammad Furkon. Partai Keadilan sejahtera;, h. 132 5 M. Imdadun Rahmat. Ideologi Politik PKS; Dari Masjid Kampus ke Gedung Parlemen, h. 24
29
Abdurrahim. Berbagai kegiatan ini, selain diikuti oleh para mahasiswa di
sekitar Bandung, juga diikuti oleh mahasiswa dari kota-kota lain seperti
UI, UGM dan IPB. Mereka inilah yang kemudian menjadi dai-dai di
kampus masing-masing dan juga kampus-kampus lain.
3. Elemen para alumnus perguruan tinggi luar negeri, khusunya Timur
Tengah. Mereka berperan sebagai tenaga-tenaga murabbi (pendidik) yang
mengisi ceramah-ceramah dalam pertemuan-pertemuan tersebut. Para
alumni Timur Tengah yang memiliki kelebihan dalam pendalaman
keislaman serta penguasaan akan pikiran-pikiran Ikhwanul Muslimin
menjadi ideolog-ideolog yang handal. Mereka dihadirkan dalam
pengajian-pengajian dan menjadi tempat untuk bertanya dan berkonsultasi
dalam berbagai masalah. Selain itu, mereka juga berperan dalam
menyebarkan pemikiran-pemikiran Ikhwanul Muslimin di kalangan publik
yang lebih luas. Mereka menjadi penceramah di radio, televisi, menulis
buku, mengelola penerbitan dan menjadi narasumber di seminar-seminar
yang diikuti oleh kalangan luas.
4. Para aktivis ormas Islam maupun kepemudaan Islam. Dikalangan aktivis
Tarbiyah juga terdapat tokoh-tokoh yang selain aktif di Tarbiyah, juga
aktif di ormas-ormas kepemudaan Islam, seperti PII, GPI, IMM, HMI dan
PMII. Para kader yang memiliki kemampuan kepemimpinan dan
pengorganisasian ini juga turut berperan dalam mengisi kepemimpinan
dan menggerakkan roda organisasi di Tarbiyah.
30
5. Para da’i lulusan pesantren. Mereka menjadi pengajar materi keislaman
dan menjadi mentor pengamalan ajaran Islam sekaligus menyumbangkan
pengalaman berdakwah dimasyarakat.
Kombinasi yang kompak dari lima elemen utama tarbiyah yang sebagian
besar didukung oleh orang-orang berkultur modernis (Masyumi) dan mahasiswa
perguruan tinggi umum ini menghasilkan pertumbuhan jaringan dakwah yang makin
lama makin banyak anggotanya. Dilihat dari pertumbuhan jaringan dakwah kampus,
perkembangan anggota dan persebarannya, menunjukkan tingkat akselerasi yang
mengagumkan.
Pada 1998 jaringan ini telah menyebar ke enam puluh empat perguruan tinggi
di seluruh Indonesia. Di sebagian besar perguruan tinggi tersebut, para aktivis
dakwah Tarbiyah ini bahkan menjadi kekuatan yang dominan dalam dunia
kemahasiswaan dan memgang posisi penting dalam organisasi intra kampus.
Pada 1998, mereka ikut merespon perkembangan politik Indonesia dengan
membentuk organisasi formal bernama Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia
(KAMMI). Kesatuan mahasiswa yang didukung para kader Tarbiyah ini menjadi
salah satu kekuatan mahasiswa yang cukup diperhitungkan saat gerakan mahasiswa
menggulingkan rezim Soeharto. Selain jumlah mereka yang besar, para pemimpin
kesatuan ini juga merupakan kader kampus yang menonjol sehingga mampu
memerankan komunikasi publik yang efektif. Pola aksi mahasiswa yang simpatik
31
juga menambah daya tarik dan daya gebrak KAMMI guna meraih dukungan
masyarakat untuk bersama-sama menggulingkan rezim Orde Baru6.
Pada bulan Agustus 1998, para kader Tarbiyah membentuk partai politik
bernama Partai Keadilan (PK). Kelahiran PK didahului dengan pro dan kontra di
kalangan internal mereka. Persoalan mendirikan partai ini menjadi agenda penting
dibicarakan: sebagian mengatakan perlu mendirikan partai politik, sementara
sebagian yang lain menyatakan tidak perlu. Persoalan ini kemudian menjadi
pembahasan yang cukup panjang. Sebagian berpendapat bahwa era reformasi yang
membuka keran kebebasan utuk berekspresi merupakan peluang yang baik untuk
meningkatkan tahap perjuangan pada mihwar siyasi. Akan tetapi, sebagian
menyatakan bahwa capaian yang diraih belum cukup untuk mewujudkan partai
politik7.
Kemudian diadakanlah musyawarah untuk menampung aspirasi dari kedua
pihak yang berbeda tersebut. Musyawarah untuk membentuk partai pada jamaah
Tarbiyah terjadi setelah Dewan Dakwah ‘gagal’ membuat satu partai politik yang
berazaskan Islam. Lahirnya Partai Bulan Bintang dengan azas Pancasila membuat
sebagian anggota Dewan Dakwah yang terlibat merumuskan partai Islam merasa
kecewa. Pada saat itu, menurut Abu Ridho, jamaah yang kini menjadi Partai Keadilan
sesungguhnya sedang menunggu dan meperhatikan Dewan Dakwah yang akan
6 M. Imdadun Rahmat. Ideologi Politik PKS; Dari Masjid Kampus ke Gedung Parlemen, h. 34 7 M. Imdadun Rahmat. Ideologi Politik PKS;, h. 34
32
membidani lahirnya partai politik Islam. Namun, ketika lahir tidak dengan azas Islam,
maka mereka kemudian mengadakan musyawarah tersendiri8.
Dengan demikian, bukan kebetulan jika kedua partai ini mendeklarasikan diri
di tempat yang sama, masjid Al-Azhar. Tempat ini umum dikenal sebagai benteng
aktivis Muslim modernis. PBB dideklarasikan lebih awal pada 26 Juli 1998. Embrio
partai ini dapat dilacak dalam pembentukan BKUI (Barisan Kebangkitan Ulama
Indonesia) pada 12 Mei 1998, dimana tokoh kunci DDII terlibat aktif dalam proses
pembentukan organisasi tersebut, sementara PK dideklarasikan lebih belakangan di
hadapan ribuan pendukungnya pada 9 Agustus 19989.
Dalam deklarasi Partai Keadilan 9 Agustus 1998 Hidayat Nur Wahid sebagai
Ketua Dewan Pendiri membacakan pernyataan, yang dikenal dengan Piagam
Deklarasi bahwa :
“Partai Keadilan didirikan bukan atas inisiatif seorang atau beberapa orang aktivisnya, namun merupakan perwujudan dari kesepakatan yang diambil musyawarah yang aspiratif dan demokratis. Sebuah survei yang melingkupi cakupan luas dari para aktivis dakwah, terutama yang tersebar dimasjid-masjid kampus di Indonesia dilakukan beberapa bulan sebelumnya untuk melihat respon umum dari kondisi politik yang berkembang di Indonesia. Survei ini menujukkan bahwa sebagian besar mereka menyatakan bahwasanya inilah waktu yang tepat untuk meneguhkan aktivitas dakwah dalam bentuk kepartaian dalam konteks formalitas politik yang ada sekarang. Survei ini mecerminkan tumbuhnya kesamaan sikap dikalangan sebagian besar aktivis dakwah yang dapat menjadi sebuah pola dinamis bagi pengendalian partai di kemudian hari. Terbukti setelah tekad mendirikan sebuah partai diputuskan maka kesatuan sikap secara menyeluruh”.10
8 Aay Muhammad Furkon. Partai Keadilan sejahtera;, h. 150 9 Kuskridho Ambardi. Mengungkap Politik Kartel; Studi tentang Sistem Kepartaian di Indoensia
Era reformasi, h. 140 10 Aay Muhammad Furkon. Partai Keadilan sejahtera;, h. 154
33
Jika diperhatikan Piagam Deklarasi diatas mempunyai makna bahwa Partai
Keadilan tidak didirikan oleh orang-orang tapi didirikan secara bersama-sama.
Piagam deklarasi juga merupakan indikasi dari “amal jama’i” di mana seluruh
komponen yang terlibat dalam pendirian mempunyai tanggung jawab dan visi yang
sama tentang urgensi partai sebagai kendaraan untuk dakwah. Hal ini berimplikasi
pada sikap mental bahwa kegagalan mengurus partai bisa berarti kegagalan dalam
mengelola dakwah. Dengan demikian, profesionalitas dan keberhasilan
mengaplikasikan nilai-nilai dakwah menjadi sesuatu yang dipertaruhkan.
Sementara itu, Partai Keadilan Sejahtera (PKS) resmi berdiri pada 20 April
2002, sebagai langkah strategis dalam menjawab hambatan menyangkut elektoral
treshol. Dengan demikian maka visi dan misi partai tidak bergeser dari khittah PK
dan kalaupun ada perbedaan hanya dalam bentuk redaksional dan teknis semata. Atas
dasar kesamaan visi dan misi tersebut, musyawarah Majelis Syura Partai Keadilan
XIII yang berlangsung di Wisma Haji, Bekasi, Jawa Barat, pada 17 April 2003,
memutuskan Partai Keadilan menggabungkan diri dengan Partai Keadilan Sejahtera.
Pada saat deklarasi, Partai Keadilan Sejahtera memiliki pengurus di 30 DPW, 312
DPD, dan 2155 DPC di seluruh Indonesia. Selain itu, PKS juga memiliki 13
perwakilan di luar negeri dengan Pusat Informasi Partai Keadilan Sejahtera
(PIPKS)11.
Dengan demikian, kita dapat meliihat bahwa perubahan PK ke PKS hanyalah
semata-mata perubahan nama untuk menyiasati agar bisa mengikuti Pemilu 2004.
11 M. Imdadun Rahmat. Ideologi Politik PKS; Dari Masjid Kampus ke Gedung Parlemen, h. 38
34
Oleh karena itu, suprastruktur (ideologi, pemikiran dan konsep-konsep partai),
maupun infrastruktur PKS (baik berupa jaringan kader, kepengurusan hingga aset-
aset partai) adalah pelimpahan dari PK.
Belajar dari “kegagalan” pada Pemilu 1999, PKS menempuh upaya
perekrutan kader dan simpatisan dengan ekstra keras. Selain itu, PKS juga mengubah
strategi dengan menampilkan citra yang lebih inklusif dengan mengangkat isu-isu
yang relevan bagi seluruh elemen masyarakat. Ini ditempuh dengan harapan PKS
mampu menjaring pemilih seluas-luasnya, tidak terbatas hanya pada kalangan kader
Tarbiyah.
B. Tokoh-tokoh PKS
Dalam piagam deklarasi12 yang di bacakan pada musyawarah Majelis Syura
Partai Keadilan XIII yang berlangsung di Wisma Haji, Bekasi, jawa Barat, pada 17
April 2003, tercantumlah beberapa nama tokoh-tokoh pendiri Partai Keadilan
Sejahtera, sebagian dari mereka kemudian menduduki posisi penting pada jajaran
MPP ataupun DPP, sebagian lagi menjadi anggota legislatif di DPR RI.
Para tokoh-tokoh yang tercantum dalam piagam deklarasi tersebut berasal ari
beberapa elemen penting yang turut berkontribusi dalam jaringan tarbiyah hingga
akhirnya membentuk sebuah kekuatan politik, elemen-elemen yang dimaksud adalah
Dewan Dakwah Islam Indonesia, elemen jaringan Lembaga Dakwah Kampus (LDK),
12 Lihat http://www.pk-sejahtera.org/v2/index.php?op=isi&id=109, artikel diakses tanggal 20
Maret 2010.
35
elemen alumnus Timur tengah, para aktivis ormas maupun kepemudaan Islam, serta
para dai-dai lulusan pesantren.
Para tokoh pendiri PKS yang tercantum dalam piagam deklarasi adalah :
1. Abdullah Baharmus, Lc., MA. 2. Achyar Eldine, SE 3. Ahmad Yani, Drs. 4. Ahmadi Sukarno, Lc., MAg 5. Ahzami Samiun Jazuli, MA, DR 6. Ali Akhmadi, MA 7. Arlin Salim, Ir 8. Bali Pranowo, Drs 9. Budi Setiadi, SKH 10. Bukhori Yusuf , MA 11. Eddy Zanur, Ir, MSAE 12. Eman Sukirman, SE 13. Ferry Noor, SSi 14. H. Abdul Jabbar Madjid MA 15. H.M Ridwan 16. H.M. Nasir Zein, MA 17. Harjani Hefni, Lc 18. Haryo Setyoko, Drs 19. Herawati Noor, Dra 20. Herlini Amran, MA 21. Imron Zabidi, Mphil 22. Kaliman Iman Sasmitha 23. M. Iskan Qolba Lubis, MA 24. M. Martri Agoeng 25. Muttaqin 26. Mahfudz Abdurrahman 27. Martarizal, DR 28. Mohammad Idris Abdus Somad, MA, DR 29. Muhammad Aniq S, Lc 30. Muhammad Budi Setiawan, Drs 31. Muslim Abdullah, MA 32. Musoli, MSc, Drs 33. Musyafa Ahmad Rahim, Lc 34. Nizamuddin Hasan, Lc 35. P. Edy Kuncoro, SE. Ak 36. Ruly Tisnayuliansyah, Ir 37. Rusdi Muchtar
36
38. Sarah Handayani, SKM 39. Susanti 40. Suswono, Ir 41. Syamsu Hilal, Ir 42. Umar Salim Basalamah, SIP 43. Usman Effendi, Drs 44. Wahidah R Bulan, Dra 45. Wirianingsih, Dra 46. Yusuf Dardiri, Ir 47. Zaenal Arifin 48. Zufar Bawazier, Lc 49. Zulkieflimansyah, DR.
Sebagaimana dibahas dalam bab sebelumnya, para tokoh-tokoh pendiri PKS
yang tercantum dalam piagam deklarasi berasal dari elemen-elemen kelompok
tarbiyah. Elemen-elemen gerakan tersebut adalah13 :
1. Dewan Dakwah Islam Indonesia dengan tokoh utama M. Natsir. Mereka
yang masuk dari Dewan Dakwah Islam Indonesia adalah Abu Ridho,
Husein Umar dan Masyhadi.
2. Elemen Jaringan LDK sebagai tulang punggung tarbiyah dan sekolah
(ROHIS). Mereka yang termasuk dalam kelompok ini adalah : Achyar
Eldine, SE; Ir. Arlin Salim; Ir. Eddy Zanur, MSAE; Eman Sukirman, SE;
Ir. Ruly Tisnayuliansyah; Drs. Musoli, MSc; Ir. Suswono; Ir. Yusuf
Dardiri; Sarah Handayani, SKM; Ir. Syamsu Hilal; Ferry Noor, SSi; Drs.
Bali Pranowo; Drs. Haryo Setyoko, Dra. Herawati Noor; Imron Zabidi,
13 M. Imdadun Rahmat. Ideologi Politik PKS; Dari Masjid Kampus ke Gedung Parlemen.
(Yogyakarta: LkiS), h. 24
37
Mphil; Drs. Muhammad Budi Setiawan; P. Edy Kuncoro, SE. Ak; Ir.
Syamsu Hilal; Umar Salim Basalamah, SIP; Dr. Zulkieflimansyah.
3. Elemen para alumnus perguruan tinggi luar negeri, khusunya Timur
Tengah. Diantaranya adalah : Abdullah Baharmus, MA; Ahmadi Sukarno,
Lc., MAg; Dr. Ahzami Samiun Jazuli, MA; Ali Akhmadi, MA; Bukhori
Yusuf , MA; H. Abdul Jabbar Madjid MA; H.M. Nasir Zein, MA; Harjani
Hefni, Lc; M. Iskan Qolba Lubis, MA; Mohammad Idris Abdus Somad,
MA, DR; Muhammad Aniq S, Lc; Muslim Abdullah, MA; Musyafa
Ahmad Rahim, Lc; Nizamuddin Hasan, Lc; Zufar Bawazier, Lc
4. Para dai lulusan pesantren. Diantara mereka adalah : H.M Ridwan;
Kaliman Iman Sasmitha; M. Martri Agoeng; Muttaqin; Mahfudz
Abdurrahman; Rusdi Muchtar; Zaenal Arifin.
C. Paradigma dan Ideologi PKS
Sebagai partai politik, PKS memiliki tujuan yang hampir sama dengan partai
lain, yakni mewujudkan demokratisasi, memperjuangkan kejayaan negara, membela
kepentingan rakyat, menegakkan keadilan, meningkatkan kesejahteraan, memperbaiki
birokrasi dan yang penting mewujudkan agenda-agenda reformasi. Akan tetapi,
berbeda dengan partai lain, PKS adalah partai dakwah, dengan demikian memiliki
agenda-agenda Islami yang berbeda dengan agenda partai lain, lebih-lebih partai yang
berideologi kebangsaan.
38
Sebagaimana tercantum dalam visi dan misi Partai Keadilan Sejahtera14,
disebutkan bahwa visi umum PKS adalah “Sebagai partai dakwah penegak keadilan
dan kesejahteraan dalam bingkai persatuan ummat dan bangsa”. Lebih jauh visi ini
akan mengarahkan Partai Keadilan Sejahtera sebagai :
1. Partai dakwah yang memperjuangkan Islam sebagai solusi dalam kehidupan
berbangsa dan bernegara.
2. Kekuatan transformatif dari nilai dan ajaran Islam di dalam proses
pembangunan kembali umat dan bangsa di berbagai bidang.
3. Kekuatan yang mempelopori dan menggalang kerjasama dengan berbagai
kekuatan yang secita-cita dalam menegakkan nilai dan sistem Islam yang
rahmatan lil ‘alamin.
4. Akselerator bagi perwujudan masyarakat madani di Indonesia.
Sementara itu misi Partai Keadilan Sejahtera adalah :
1. Menyebarluaskan da'wah Islam dan mencetak kader-kadernya sebagai anashir
taghyir.
2. Mengembangkan institusi-institusi kemasyarakatan yang Islami di berbagai
bidang sebagai markaz taghyir dan pusat solusi.
3. Membangun opini umum yang Islami dan iklim yang mendukung bagi
penerapan ajaran Islam yang solutif dan membawa rahmat.
14 Untuk visi dan misi PKS Lihat http://www.pk-sejahtera.org/v2/index.php?op=isi&id=110,
artikel diakses tanggal 20 Maret 2010.
39
4. Membangun kesadaran politik masyarakat, melakukan pembelaan, pelayanan
dan pemberdayaan hak-hak kewarganegaraannya.
5. Menegakkan amar ma'ruf nahi munkar terhadap kekuasaan secara konsisten
dan terus-menerus dalam bingkai hukum dan etika Islam.
6. Secara aktif melakukan komunikasi, silaturahmi, kerjasama dan ishlah dengan
berbagai unsur atau kalangan umat Islam untuk terwujudnya ukhuwah
Islamiyah dan wihdatul-ummah, dan dengan berbagai komponen bangsa
lainnya untuk memperkokoh kebersamaan dalam merealisir agenda reformasi.
7. Ikut memberikan kontribusi positif dalam menegakkan keadilan dan menolak
kezaliman khususnya terhadap negeri-negeri muslim yang tertindas.
Dengan berdasar pada visi-misi tersebut dapat kita simpulkan bahwa : PKS
adalah murni partai dakwah yang berjuang melalui parlemen untuk menegakkan
nilai-nilai Islam yang berdasar pada al-Qur’an dan Sunnah. Meskipun, dalam
berbagai dokumen resmi yang dikeluarkan oleh partai menyatakan bahwa PKS
berasaskan pancasila, namun secara praktis-implementatif baik di tingkat eksekutif
maupun legislatif, PKS selalu mengedepankan nilai-nilai Islam dalam konteks
bernegara.
Kemudian, dengan mendasarkan pada visi-misi, tujuan utama berdirinya PKS
adalah menegakkan nilai dan sistem Islam sebagai rahmatan lil ‘alamiin. Poin ini
akan menjadi kontrakdiktif jika kita melihat realitas bahwa PKS hidup dan
dibesarkan dalam sistem demokrasi. Kontradiksi ini hanya dapat dipahami apabila
kita mengaitkan PKS sebagai bagian tidak terpisahkan dari demorasi. Karena pada
40
akhirnya PKS harus menegakkan nilai-nilai demorasi yang mengharuskan adanya
keterbukaan, pluralisme dan inklusivisme. Bertolak belakang dengan hal ini, PKS
harus pula menegakkan nilai-nilai Islam yang seringkali bersifat ekskluif dibanding
inklusif.
Berkaitan dengan politik luar negeri PKS – sebagaimana tercantum dalam
visi-misi – dikatakan bahwa “ikut memberikan kontribusi positif dalam menegakkan
keadilan dan menolak kedhaliman khususnya terhadap negeri-negeri muslim yang
tertindas”. Secara praktis misi ini merupakan perwujudan dari solidaritas sesama
muslim atau lebih jauh lagi dapat dikatakan bahwa ini adalah merupakan perwujudan
dari “pan islamisme”, persatuan Islam yang dahulu pernah digagas oleh Jamaluddin
al-Afghani pada abad ke-19. Dapat dikatakan bahwa PKS adalah satu-satunya partai
yang secara tegas menyatakan perhatian mereka terhadap politik luar negeri, meski
hanya spesifik kepada Negara Islam. Ini dibuktikan oleh PKS dengan pembelaan
mereka terhadap situasi konflik Israel-Palestina, dalam bebrapa pernyataan resmi
mereka mendesak pemerintah Indonesia untuk secara aktif terlibat dalam konflik ini,
tekanan ini juga di tujukan kepada PBB melalui parlemen untuk berdiri di tengah
dalam konflik ini. Disamping itu, mereka juga kerap kali melakukan demonstrasi
dengan mengerahkan ratusan ribu kader mereka untuk turun kejalan menyuarakan
aspirasi, tujuannya agar suara umat Islam Indonesia dapat terdengar oleh dunia
Internasional terkait dengan konflik antara Israel-Palestina yang kian tak berujung.
Demi menjabarkan visi dan misi tersebut maka disusunlah strategi, sebagai
mana dicantumkan dalam buku Platform Kebijakan Pembangunan Partai Keadilan
41
Sejahtera yang diterbitkan oleh Majelis Pertimbangan Pusat Partai Keadilan
Sejahtera (2007) bahwa Strategi PKS sebagai partai dakwah (khuthuth ‘aridhah)
dalam transformasi berbangsa, adalah gerakan kultural (strategi mobilisasi
horizontal/tabi’ah al-afaqiyah) dan gerakan struktural (strategi mobilitas
vertikal/tabi’ah al-amudiyah). Mobilitas vertikal adalah penyebaran kader dakwah ke
berbagai lembaga yang menjadi mashadirul qarar (pusat-pusat kebijakan), agar
mereka dapat menterjemahkan konsep dan nilai-nilai Islam ke dalam kebijakan-
kebijakan publik. Sedangkan mobilisasi horizontal adalah penyebaran kader dakwah
ke berbagai kalangan dan lapisan masyarakat untuk menyiapkan masyarakat agar
mereka menerima manhaj Islam serta produk kebijakan yang Islami. 15
Paradigma Partai Dakwah yang melekat pada PKS ini kemudian memberikan
pengaruh terhadap sikap mereka di parlemen. Menurut M. Imdadun Rahmat,
masuknya kader PKS dalam jajaran legislatif di pusat maupun di daerah
memunculkan suatu warna baru. Para anggota legislatif yang merupakan santri
jebolan pengajian tarbiyah ini menyuarakan gerakan moral di DPR. Mereka
mempraktikkan gaya hidup shaleh dengan ketaatan beribadah, kesantunan akhlak
serta menjauhi kemaksiatan yang melekat dengan dunia glamour kepartaian. Salah
satu bentuk gerakan moral ini adalah gebrakan politik parlementer melawan
korupsi16.
15 Majelis Pertimbangan Pusat partai Kedilan Sejahtera. Platform Kebijakan Pembangunan Partai
Keadilan Sejahtera. (Jakarta: MPP Partai Keadilan Sejahtera, 2007), h. 17 16 M. Imdadun Rahmat. Ideologi Politik PKS; Dari Masjid Kampus ke Gedung Parlemen., h. 46
42
Pada sisi lainnya, PKS adalah partai kader. Sebagaimana keyakinan PKS17
bahwa jawaban untuk melahirkan Indonesia yang lebih baik di masa depan adalah
dengan mempersiapkan kader-kader yang berkualitas baik secara moral, intelektual,
dan profesional. Sebagai partai kader PKS memiliki sistem kaderisasi kepartaian yang
sistematis dan metodik. Kaderisasi ini memiliki fungsi rekrutmen calon anggota dan
fungsi pembinaan untuk seluruh anggota, kader dan fungsionaris partai. Fungsi-
fungsi ini dijalankan secara terbuka melalui infrastruktur kelembagaan partai yang
tersebar dari tingkat pusat sampai tingkat ranting. Fungsionalisasi berjalan sepanjang
waktu selaras dengan tujuan dan sasaran umum partai, khususnya dalam bidang
penyiapan sumber daya manusia partai18.
Dalam konteks pengkaderan, PKS mempunyai dasar pemikiran bahwa untuk
mendapatkan kader yang tangguh maka diperlukan suatu pembinaan yang secara
khusus dengan cara bertahap. Adapun pentahapan tersebut yakni dengan membangun
kekuatan pribadi yang baik dapat melahirkan keluarga yang baik. Keluarga yang baik
dapat pula melahirkan masyarakat yang baik. Keluarga dan masyarakat yang baik
akan menciptakan lingkungan yang baik juga. Mengingat pembangunan sebuah
negara memerlukan pribadi dan masyarakat yang shaleh, yang layak memikul
amanah yang dibebankan kepadanya, maka pembangunan pribadi juga sesuatu yang
niscaya. Sebab, setiap individu bertanggung jawab karena ia adalah alat masyarakat
17 http://www.pk-sejahtera.org/v2/index.php?op=isi&id=110, artikel diakses tanggal 20 Maret
2010. 18 Aay Muhammad Furkon. Partai Keadilan sejahtera; Ideologi dan Praksis Politik Kaum Muda
Muslim Indonesia Kontemporer, h. 204
43
dan negara yang terpenting dalam melaksanakan tugas sosial dan politik demi
kepentingan dan tujuan bersama19.
tetapi menurut Aay Muhamad Furqon20, PKS bukan murni partai kader
melainkan kombinasi antara partai kader dan partai massa. Asumsi dari pernyataan
ini menurut Furqon, diakui pula oleh Sekjen PKS, bahwa Partai Keadilan Sejahtera
adalah gabungan antara apa yang kita sebut dengan Nukhbawiyah Jamahiriyyah, jadi
gerakan elit dan massa. Pijakan yang melandasi Nukhbawiyah Jamahiriyyah adalah
proses kebangkitan umat Islam kembali memerlukan kualifikasi kepemimpinan
kolektif dalam umat itu.
Kelompok kecil inilah yang mempunyai fungsi sebagai tulang punggung yang
memikul sebagian besar beban-beban umat itu. Dalam pengertian yang disebut
Rasulullah SAW. Annasu kal ibili miah, manusia itu seperti seratus ekor unta
latakaadu minhum rihlah, hampir-hampir kamu tidak menemukan seekor pun
diantaranya yang dapat memikul beban berat. Jadi masyarakat juga seperti itu, yang
memimpin mereka itu sedikit, karena itu kalau suatu partai politik tidak menyiapkan
kader-kader yang akan memimpin negeri dimana partai itu berpartisipasi, maka kelak
partai itu akan jadi bencana bagi negerinya.
Menurut M. Imdadun Rahmat21, paradigma PKS sebagai partai dakwah
terpengaruh oleh gerakan Ikwanul Muslimin, yang didirikan oleh Syaikh Hasan Al-
Bana di Mesir pada bulan April 1928. Organisasi ini menyeru untuk kembali kepada
19 Aay Muhammad Furkon. Partai Keadilan sejahtera;, h. 208 20 Aay Muhammad Furkon. Partai Keadilan sejahtera;, h. 204 21 M. Imdadun Rahmat. Ideologi Politik PKS;, h. 98
44
Islam sebagaimana yang terdapat dalam Al-Qur’an dan as-Sunnah, mengajak untuk
menerapkan syari’at Islam dalam realitas kehidupan, mengembalikan kejayaan Islam
dan berdiri menentang arus sekularisasi di kawasan Arab dan dunia Islam.
Dalam anggaran dasar Ikhwanul Muslimin disebutkan bahwa tujuan
organisasi ini adalah melakukan dakwah Islam yang benar, menyatukan umat Islam,
menjaga kekayaan negara untuk mensejahterakan rakyat, meningkatkan keadilan
sosial dan meningkatkan taraf kehidupan masyarakat. Tujuan Ikhwanul Muslimin
yang lain adalah membebaskan seluruh negeri Arab dan Islam dari kekuasaan asing,
mendorong Liga Arab dan Pan Islamisme (Khilafah Islamiyyah), membentuk negara
yang melaksanakan semua hukum dan ajaran Islam seutuhnya dan mendukung
kerjasama internasional untuk melindungi hak dan kebebasan serta berpartisipasi
dalam menciptakan perdamaian dan mengembangkan peradaban kemanusiaan yang
baru.
Sedangkan gerakan yang dilakukan Ikhwanul Muslimin meliputi gerakan
dakwah melalui media massa, mempersiapkan delegasi dan utusan ke dalam dan luar
negeri, mendidik anggota sesuai dengan sistem dan prinsip Ikhwanul Muslimin
(metode Usroh/Tarbiyah), mengupayakan terwujudnya aturan-aturan publik yang
lebih Islami, mendirikan lembaga-lembaga sosial, ekonomi, keagamaan, kesehatan,
pendidikan dan lembaga-lembaga amar ma’ruf nahi munkar22.
PKS merupakan partai yang menjadikan Ikhwanul Muslimin sebagai acuan
utama dalam gerakan politiknya. Partai ini banyak mengadopsi pemikiran Ikhwnaul
22 M. Imdadun Rahmat. Ideologi Politik PKS; Dari Masjid Kampus ke Gedung Parlemen, h. 100
45
Muslimin, baik dalam ideologi politik, manhaj dakwah, maupun pemahaman
keislamannya. Oleh karena itu banyak kader PKS yang menyebut partainya sebagai
“anak ideologis” Ikhwnaul Muslimin. Para aktivis PKS dengan penuh kesadaran
menyebut diri mereka sebagai kader Ikhwanul Muslimin. Di kalangan kader
Tarbiyah, PKS diakui sebagai IM-nya Indonesia. Bahkan PKS ditengarai pernah
merencakan menjadikan Indoesia sebagai sentrum perjuangan Ikhwanul Muslimin
Internasional23.
Itulah sebabnya PKS memiliki hubungan yang dekat dengan berbagai
kelompok di Timur tengah, baik ormas maupun partai politik yang menjadikan
Ikhwanul Muslimin sebagai acuan ideologinya. Kedekatan yang paling menonjol
adalah dengan faksi Hamas Palestina. Hamas adalah partai politik dan sekaligus faksi
mujahidin kemerdekaan Palestina yang berideologi Ikhwanul Muslimin24. Dukungan
nyata PKS terhadap Hamas adalah sumbangan dana “one man one dollar” sejumlah
enam miliar rupiah. Pengumpulan donasi bagi Hamas ini terus berlanjut dan menjadi
kegiatan rutin kader-kader PKS. Dukungan lain adalah sikap-sikap PKS yang tegas
terhadap Amerika Serikat dan Israel serta komunikasi intensif antara para anggota
parlemen hamas dengan anggota legislatif PKS. Dalam konflk internasional antara
Hamas dengan Fatah, PKS terlihat mendukung Hamas25.
23 M. Imdadun Rahmat. Ideologi Politik PKS;, h. 97 24 Berbeda dengan Hamas yang ekstrim dan radikal dan seringkali menggunakan cara kekerasan
dalam setiap gerakannya. PKS meskipun sama-sama berideologi Ikhwanul Muslimin meninggalkan cara-cara kekerasan dan menjadi demokrasi sebagai alat perjuangan untuk mencapai tujuannya.
25 M. Imdadun Rahmat. Ideologi Politik PKS;, h. 98
46
47
Produk-produk tertulis resmi Ikhwanul Muslimin, baik Anggaran Dasar,
Anggaran Rumah Tangga, produ-produk Munas Ikhwanul Muslimin, maupun risalah-
risalah Syaikh hasan al-Banna serta pemikiran para tokoh-tokoh Ikhwanul Muslimin
yang lain banyak dpelajari oleh kader PKS, dan sangat berpengaruh pada
pembentukan pandangan-pandangan politik maupun keagamaan mereka. Banyak
unsur-unsur dasar pemikiran Ikhwanul Muslimin yang diadopsi menjadi bangunan
pemikiran yang membentuk jati diri PKS. Ini tidak mengherankan karena pengaruh
Ikhwanul Muslimin terhadap kader PKS terjadi sejak awal terbinanya gerakan
dakwah kampus era 1970-an sebagai embrio PKS.
Disamping itu, bentuk-bentuk keorganisasian Ikhwanul Muslimin juga
mengilhami bentuk-bentuk organisasi yang dipakai PKS. Pemikiran Ikhwanul
Muslimin juga sangat mempengaruhi keputusan-keputusan resmi partai ini,
disamping itu juga sangat mewarnai materi model, serta pola-pola pendidikan dan
pengkaderan di PKS. Hasilnya, pemikiran-pemikiran Ikhwanul Muslimin menjadi
acuan utama, baik secara resmi oleh partai maupun para kadernya.
BAB IV
PERUBAHAN DAN IMPLIKASI PLATFORM
PARTAI KEADILAN SEJAHTERA
A. Politik Aliran dalam Pemilu 2009
Sebagaimana telah dijelaskan pada bab sebelumnya, yang dimaksud dengan
politik aliran adalah kelompok sosio-budaya yang menjelma sebagai organisasi
politik. Clifford Geertz menemukan empat aliran besar dalam masyarakat Jawa yaitu
PNI yang mewakili golongan priyayi, PKI yang mewakili golongan abangan,
Masyumi sebagai wakil dari santri modernis, serta NU yang merupakan wakil santri
tradisionalis. Dengan demikian pembentukan partai politik pada awal kemerdekaan
mengikuti garis-garis pengelompokkan yang sudah ada, baik menurut kelompok-
kelompok suku bangsa, etnik ataupun agama dan kepercayaan1.
Pada masa orde baru pola aliran tercermin dalam politik elektoral saat
Soeharto memaksakan semua partai santri bergabung kedalam Partai Persatuan
Pembangunan (PPP), dan semua partai priyayi, abangan, dan non-Islam berdifusi
menjadi Partai Demokrasi Indonesia (PDI). Pasca orde baru realitas politik yang
didasarkan pada aliran bukan berangsur hilang, melainkan sebaliknya kian menonjol.
R. William Liddle, guru besar di Departemen Ilmu Politik Ohio State University,
dalam bukunya Revolusi dari Luar; Demokatisasi di Indonesia (2005) menyatakan
1 Daniel S. Lev Partai-partai Politik di Indonesia pada Masa Demokrasi Parlementer (1950-1957) Dan Demokrasi Terpimpin (1957-1965). Dalam Ichlasul Amal. Teori-teori Mutakhir partai Politik, h. 132.
48
bahwa pola aliran masih berlaku, dan dalam pemilu 1999 semua partai yang meraih
suara terbanyak, kecuali Golkar merupakan perwujudan baru dari sistem aliran yang
dilukiskan oleh Geertz.
PDI-P merupakan kelanjutan secara organisatoris dan ideologis dengan PNI
yang diciptakan Soekarno. Begitu juga dengan PKB, yang merupakan kelanjutan dari
partai politik NU. Kita juga bisa mengaitkan, secara lebih longgar, antara PAN
melalui Muhamadiyah (sebagai santri modernis) dengan Masyumi. PPP juga tidak
bisa dilepaskan dari masa lalunya dengan NU ketika pada 1971 bersama partai-partai
santri, berdifusi menjadi PPP.
Sejarah terulang kembali dalam pemilu 2004. Ketika politik aliran mulai
menemukan bentuknya lewat kemenangan partai-partai yang mengikuti pola aliran
yang dirumuskan Geertz pada 1950-an, dengan beberapa pengecualian, yaitu
suksesnya Partai Demokrat meraih sekitar 7,5 % suara meski afiliasi alirannya samar-
samar.
Dalam konteks demikian kita melihat bahwa politik aliran tengah bekerja di
dalam kehidupan politik kita dewasa ini. Ia berperan sebagai instrumen untuk
mobilisasi dan maksimalisasi dukungan2.
Lalu apa yang terjadi pada pemilu 2009, apakah pola-pola aliran masih
berulang seperti dua pemilu sebelumnya sejak awal reformasi?
Pemilihan Umum (Pemilu 2009) diikuti oleh 38 parpol, sebanyak 18 parpol
peserta adalah parpol baru. Sementara itu, dua parpol baru Hati Nurani Rakyat
2 Bahtiar Effendy. Repolitisasi Islam: Pernahkah islam Berhenti Berpolitik?, h. 202.
49
(Hanura) yang dipimpin oleh Mantan Menhankam/Pangab pada masa Orde Baru,
Wiranto, dan Gerakan Indonesia Raya (Gerindra) yang dipimpin oleh mantan Danjen
Kopassus Prabowo Subianto, lolos parlementary threshold dan meraih kursi DPR.3
Fenomena yang paling menarik dalam Pemilu 2009 ini adalah munculnya
partai Demokrat sebagai pemenang. Pada Pemilu 2004, partai ini mencatat sejarah
sebagai parpol baru yang langsung menggebrak peta perpolitikan nasional dengan
keberhasilannya meraup 8,46 juta suara (7,5 persen) dan berhasil mendudukkan
kadernya di Senayan. Fenomena kemenangan partai Demokrat dalam Pemilu 2009 ini
telah mendudukkannya sebagai Partai “papan atas” dengan menggeser kedudukan
PDI-P dan Golkar, yang telah mendominasi sejak Pemilu 1999.
Fenomena Demokrat ini sangat menarik perhatian mengingat Partai Demokrat
adalah salah satu Partai yang Pola alirannya sama-samar4. Keberhasilan Partai
Demokrat dalam dua Pemilu tak terpisahkan dari popularitas tokoh Susilo bambang
Yudhoyono. Begitu juga dengan PAN (Amien Rais) dan PKB (Abdurrahman Wahid).
Munculnya Gerindra dan Hanura pada Pemilu 2009 juga sangat berkaitan dengan
popularitas Prabowo Subianto dan Wiranto5 Fenomena ini bisa dijadkan sebuah titik
awal untuk melakukan penelitian lebih lanjut mengenai beralihnya “politik aliran” ke
“politik ketokohan”.
R. William Liddle dalam sebuah wawancara di harian Kompas (07 Juli 2009)
menyatakan bahwa berbeda dengan pemilu-pemilu sebelumnya, khususnya pada
3 Kompas, 01 Juli 2009 4 R. William Liddle. Revolusi dari Luar: Demokratisasi di indonesia, h. 106 5 R. William Liddle. Kompas, 07 Juli 2009
50
pemilu Orde Baru, Pemilu 2009 ini tidak lagi dimeriahkan oleh pertarungan ideologi
atau aliran. Pertarungan dalam pemilu lebih banyak diwarnai pencitraan dan jualan
pesona para tokoh popular6.
Menurut Arya Fernandes7, trend politik kini bergerak meninggalkan ruang-
ruang ideologis, hal yang selama ini dianggap tabu. Itu pun sudah terbantahkan.
Rivalitas Islamisme dan nasionalisme tidak lagi berada dalam wilayah ideologis.
Simbol-simbol agama juga tak lagi menjadi pemikat untuk menarik simpati pemilih.
Pembentukan Baitul Muslim Indonesia (BMI) oleh Partai Demokrasi Indonesia
Perjuangan (PDIP) dan deklarasi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) menjadi partai
yang terbuka semakin memperkuat sinyalemen runtuhnya aliranisasi politik.
Imam Prihadiyoko8 secara lebih ekstrim mengatakan bahwa politik Indonesia
kini kian memperlihatkan politik yang tak ideologis. Bahkan menurutnya, tidak ada
lagi perdebatan ideologi yang melelahkan. Polarisasi ideologi seperti masa lalu sangat
sulit ditemukan, apalagi jika yang berhadapan Islam dan Nasionalis. Pergeseran ini,
menurut Prihadiyoko, makin memperlihatkan adanya ketidakjelasan dalam berpolitik.
Pasalnya, gaya politik yang muncul seperti si buta yang diserang lebah. Langkah dan
tindakannya seperti tidak beraturan, yang dinginkan hanyalah hasil akhir.
Eep Saefulloh Fatah9, mengemukakan bahwa gejala penting yang terlihat di
balik pengajuan calon anggota legislatif pada Pemilu 2009 mereka lebih cenderung
6 R. William Liddle. Kompas, 07 Juli 2009 7 Arya Fernandes. Suara Karya, 25 Maret 2008 8 Imam Prhadiyoko, Kompas. 02 Desember 2008 9 Eep Saefulloh Fatah, ”Ideologisasi Versus Idolisasi,” Kompas, 16 September 2008
51
mengambil “idolisasi” sebagai jalan pintas ketimbang “ideologisasi”. Dalam Pemilu
2009, menurut Eep, alih-alih melakukan kaderisasi dan regenerasi kepemimpinan
dengan tekun, partai lebih senang melakukan cara instan mencari figur publik,
khusunya kalangan pesohor yang sudah populer. Suara digalang tak melalui proses
pembentukan hubungan pertukaran, tetapi melalui ikatan keterpesonaan dan kultus
pemilih terhadap idola mereka.
Berekembangnya idolisasi sekaligus menggarisbawahi bahwa umumnya
partai politik tak menguat dan mendewasa setelah tumbuh selama satu dekade. Partai
tumbuh hampir tanpa pembeda, nyaris tanpa karakter dan semua partai sama adanya.
Kecenderungan idolisasi merata pada semua partai10. Apa yang dimaksud Eep
sebagai Idolisasi sesungguhnya adalah representasi dari politik ketokohan.
Kuskridho Ambardi11 bahkan telah mensinyalir bahwa ideologi partai-partai
di Indonesia telah lama pudar. Dengan mengamati perilaku partai-artai pada Pemilu
1999 dan 2004, Ambardi berkesimpulan bahwa partai-partai politik telah
mengembangkan suatu pola kerja sama yang serupa sistem kepartaian yang
terkartelisasi12. Faktor penyebab kartelisasi ini adalah kepentingan kolektif partai-
partai dalam menjaga sumber-sumber rente di lembaga eksekutif dan legislatif demi
kelangsungan hidup mereka sebagai suatu kelompok.
10 Eep Saefulloh Fatah, ”Ideologisasi Versus Idolisasi,” Kompas, 16 September 2008 11 Kuskridho Ambardi. Mengungkap Politik Kartel; Studi tentang Sistem Kepartaian di Indoensia
Era reformasi, h. 347 12 Kartelisasi disini didefinisikan sebagai situasi di mana partai-partai politik secara kolektif
mengabaikan komitmen ideologis atau programatis mereka demi kelangsungan hidup mereka sebagai satu kelompok. Lihat Kuskridho Ambardi. Mengungkap Politik Kartel. h. 347
52
Disamping itu penelitian Ambardi13 juga menemukan bahwa partai-partai
bertindak secara kolektif sebagai satu kelompok, dan secara kolektif pula
meninggalkan komitmen program mereka sebagaimaa ditunjukkan oleh fenomena
migrasi ideologis dalam kasus subsidi Negara. Dalam kasus ini mereka bergeser dari
komitmen yang bersifat populis ke kemitmen yang pro-pasar. Rentang jarak antara
komitmen ideologis dan program elektoral mereka dengan kompromi yang dilakukan
di lapangan melampaui batas yang lazim diterima sebagai batas minimal ciri
persaingan antar partai.
Dengan melihat fenomena yang terjadi pada Pemilu 2009 kita dapat
mengambil sebuah kesimpulan bahwa politik aliran sudah mulai memudar dan
beralih menjadi politik ketokohan. Pernyataan R. William Liddle14, membenarkan
argumentasi pudarnya politik aliran ini, dia menyatakan bahwa saat ini Indonesia
sedang menciptakan sebuah sistem politik yang memberikan peran besar kepada
politisi dan sebagai individu. Hal ini, menurut Liddle, berbeda sekali Orde Lama
ketika partai dan pemimpin partai memainkan peran yang jauh lebih besar.
Pudarnya politik aliran pada Pemilu 2009 ini juga ditandai dengan
memudarnya ideologi partai-partai yang menjadi basis perjuangan mereka. Arya
Fernandes15 misalkan menyatakan bahwa Islamisme sebagai ideologi politik juga
sudah tidak lagi mendapatkan tempat yang signifikan di hati para pemilih. Jadi, tidak
seperti Pemilu 1955, ketika aliranisasi politik masih menguat dan rivalitas ideologis
13 Kuskridho Ambardi. Mengungkap Politik Kartel; h. 234 14 R. William Liddle. Kompas, 07 Juli 2009 15 Arya Fernandes. Suara Karya, 25 Maret 2008
53
antara partai Islam dan sekuler menjadi sangat kentara. Kini, politik aliran telah
kehilangan makna, apalagi setelah perubahan citra PKS menjadi partai pluralis dan
terbuka. Menjadi sulit kemudian membedakan antara partai Islam dan partai sekuler.
Sepertinya, sudah tidak ada lagi perbedaan yang kentara antara partai Islam dan
sekuler, baik pada ranah ideologi maupun program. Apa yang selama ini dianggap
tabu bagi partai sekuler, kini sudah terbantahkan. Partai sekuler seperti PDIP berhasil
mewadahi kepentingan kelompok Islam melalui pembentukan BMI, sesuatu yang
sangat tabu pada dekade 1950-an.
Tifatul Sembiring, Presiden PKS menyatakan bahwa PKS membuka diri
untuk berkoalisi dengan partai manapun, termasuk PDI-P, yang tidak memiliki
komitmen keislaman yang jelas. Bahkan menurutnya, dari sejumlah riset, koalisi PKS
dengan Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) adalah yang dianggap bias
mendatangkan pemilih dalam jumlah paling besar. Menurut Sembiring, sangat
mungkin PKS menggandeng Megawati Soekarnoputri, ketua umum sekaligus calon
Presiden PDI-P, pada pemilihan Presiden 2009.16
Pernyataan tifatul ini bisa dijadikan sebuah argumentasi, bagaimana pola-pola
aliran tidak lagi menjadi instrumen utama dalam politik. Dan sepertinya mereka
beranggapan bahwa tampak ganjil jika hanya mengandalkan religio-ideological
cleavages sebagai ikon untuk mobilisasi dan maksimalisasi suara. Karena dengan
membuka diri, setiap partai dapat meraih dukungan sebanyak mungkin dari beragam
entitas, ras, agama dan golongan agar bisa memerintah negeri ini.
16 Kompas, 15 September 2008
54
Seolah menguatkan pernyataan Tifatul Sembiring, Anis Matta, Sekjen PKS17,
mengatakan bahwa era politik aliran di Indonesia dinilai sudah berakhir. Oleh karena
itu, menurut Anis, PKS berhasrat merangkul semua suku maupun agama yang ada di
Indonesia untuk memenuhi target perolehan suara 20 persen dalam Pemilu 2009. Saat
ini sudah waktunya bagi PKS untuk membuka diri, mengusung isu kemanusiaan
tanpa dominasi agama. Selain itu, lanjut Anis, agenda PKS untuk mengusung isu
kemanusiaan tanpa sekat apapun dalam persatuan bangsa adalah dengan
menghapuskan anggapan awam bahwa partai selalu berorientasi tempat, tokoh, dan
warna.
B. Perubahan Platform Partai Keadilan Sejahtera.
Platform kebijakan pembangunan PK Sejahtera, merupakan dokumen yang
merefleksikan visi, misi, program dan sikap partai terhadap berbagai persoalan
Indonesia. Platform menjadi penggerak utama kegiatan partai, dan akan menjadikan
segenap aset partai disemua sektor kehidupan, yaitu sektor ketiga, sektor publik dan
sektor swasta bekerja secara terintegrasi, kontinyu, fokus dan terarah sehingga
sumber daya partai yang terbatas bisa dikelola secara baik untuk mendapatkan hasil
sesuai dengan yang diharapkan dan secara langsung bisa dirasakan oleh para
simpatisan, konstituen dan masyarakat pada umumnya18.
17 http://www.pk-sejahtera.org/v2/index.php?op=isi&id=6757, diakses tgl. 30 Maret 2010. 18 Majelis Pertimbangan Pusat partai Kedilan Sejahtera. Platform Kebijakan Pembangunan Partai
Keadilan Sejahtera. (Jakarta: MPP Partai Keadilan Sejahtera, 2007), h. xxv
55
Menurut Ketua Majelis Pertimbangan Pusat PKS, Suharna Surapranata19,
Platform Kebijakan Pembangunan PKS dalam berbagai bidang kehidupan yang
strategis dipandang penting untuk dua sasaran. Pertama, sebagai instrumen
komunikasi kepada massa konstituen sekaligus sebagai alat untuk meresonansikan
perpsepsi tentang kehidupan bersama yang diperjuangkan. Sebab platform ini
mencerminkan jati diri, isi hati dan kepala PKS, sekaligus sebagai navigasi dalam
mengelola Negara dan komitmen yang akan dikerjakan. Dalam bingkai politik, maka
platform adalah proposal yang ditawarkan partai kepada konstituen dan masyarakat
pemilih untuk mendulang suara secara objektif dan bertanggung jawab.
Kedua, sasaran yang bersifat internal ke dalam tubuh PKS sebagai institusi
dakwah, platform adalah cara pandang institusi dakwah terhadap Negara, pengelolaan
Negara dan kehidupan bersama dalam wilayah NKRI. Platform adalah derivasi
sekaligus wahana (vehicle) dari ideologi partai. Ini merupakan subyektivitas dakwah,
cara pandang dakwah terhadap dunia di sekelilingnya. Platform secara internal
merupakan kristalisasi pemahaman akan arah bagaimana negara dan pengelolaan
Negara ke depan seharusnya dilakukan. Dengan demikian, platform tidak lain adalah
sekumpulan nilai, harapan dan capaian konseptual dari hasil interaksi dan
internalisasi intitusi dakwah terhadap sejarah panjang dan pengalaman dirinya dalam
kehidupan berbangsa dan bernegara, yang dengan itu menumbuhkan pemahaman
konseptual dalam tubuh institusi dakwah itu sendiri. Dengan platform masing-masing
19 Suharna Surapranata. Kata Pengantar. Majelis Pertimbangan Pusat partai Kedilan Sejahtera.
Platform Kebijakan Pembangunan Partai Keadilan Sejahtera. (Jakarta: MPP Partai Keadilan Sejahtera, 2007), h. xxvii
56
kader sebagai da’i dapat memahami bagaimana gerak langkah, sikap dan arah
institusi dakwah bergulir menembus waktu di dalam ruang publik secara obyektif.
Platform politik ini juga ingin menegaskan kembali karakteristik PKS sebagai
Partai Dakwah, yang bukan sekedar bekerja struggle for power secara struktural
politik setiap 5 tahunan dalam bingkai pemilu, tetapi juga sebagai sebuah partai yang
menggulirkan kerja-kerja kultural dalam pembangunan umat dan peradaban. Dalam
konteks inilah dapat diungkapkan tekad PKS sebagai sebuah intitusi dakwah yang
mengusung prinsip dan komitmen bersih, peduli dan professional20.
Platform Kebijakan Pembangunan PKS terdiri dari platform bidang politik,
ekonomi dan sosial budaya. Namun untuk kepentingan skripsi ini, platform tersebut
dibatasi hanya pada pembahasan platform poltik. Secara ringkas platform politik
dapat diuraikan sebagai berikut :
Tabel 1 Ringkasan Platform Partai Keadilan Sejahtera
No Bidang Politik Ringkasan platform
1 Politik Nasional Mempelopori reformasi sistem politik, birokrasi, peradilan, dan militer untuk berkomitmen terhadap penguatan demokrasi
2 Kepemimpinan Nasional
Menumbuhkan kepemimpinan yang kuat yang mempunyai kemampuan membangun solidaritas masyarakat untuk berpartisipasi dalam seluruh dinamika kehidupan berbangsa dan bernegara, yang memiliki keunggulan moral, kepribadian, dan intelektualitas (Bersih, Peduli dan Profesional)
3 Ketatanegaraan Mendorong penyelanggaraan sisitem ketatanegaraan sesuai dengan fungsi dan wewenang setiap lembaga agar terjadi
20 Suharna Surapranata. Kata Pengantar. Majelis Pertimbangan Pusat partai Kedilan Sejahtera.
Platform Kebijakan Pembangunan Partai Keadilan Sejahtera, h. xxvii
57
proses saling mengawasi, demi perubahan hubungan ketatanegaraan yang lebih stabil
4 Reformasi Birokrasi
Memperbaiki sitem rekrutmen dan pemberian sanksi-penghargaan, serta pebnataan jumlah pegawai negeri dan memfokuskannya pada posisi fungsional untuk membangun birokrasi yang bersih, kredibel dan efisien
5
Penegakkan hokum dan Perlidungan HAM
Strategi penegakkan hukum diawali dengan membersihkan aparat penegaknya dari perilaku bermasalah dan kruptif, serta penguatan kapasitas kelembagaan
6 Pertahanan
Menjadikan kekuatan rakyat sebagai modal dasar kekuatan Negara dalam menghadapi ancaman domestik dana asing, dengan mingkatkan kesadaran bela Negara masyarkat melalui penumbuhan rasa saling percaya dan semangat kebangsaan baru
7 Keamanan
Menjadikan kekuatan rakyat sebagai modal dasar kemanan domestik danketertiban social dengan menempatkan polisi selaku aparat pemelihara kamtibmas, peegak hokum, pengayom dan pelindung dan pelayan masyarakat
8 Kewilayahan
Mengmbangkan otonomi daerah yang terkendali serta berorientasi pada semagat keadilan dan proporsionalitas melalui musyawarah dalam lembaga-lembaga kenegaraan di tinkgat pusat, provinsi dan daerah
9 Politik Luar Negeri
Mendorong prinsip bebas dan aktif, menggalang solidaritas dunia demi mendukung bangsa-bangsa yang tertindas dalam merebut kemerdekaannya
10 Komunikasi dan Informasi
Menggenapi prinsip kebebasan informasi dengan kejujuran dalam berkomunikasi disertai penegakkan etika profesi dan pemberian sanksi hokum bagi pelanggaran informasi. Menjaga semangat kebebasan berekspresi agar tidak dikekang oleh kepentingan ekonomi dan politik.
Sumber : Majelis Pertimbangan Pusat partai Kedilan Sejahtera. Platform Kebijakan Pembangunan Partai Keadilan Sejahtera. Jakarta: MPP Partai Keadilan Sejahtera, 2007.
Berkaitan dengan bentuk Negara, PKS mencita-citakan pembangunan menuju
Indonesia yang maju, kuat, aman, adil, sejahtera dan bermartabat sesuai dengan cita-
cita universal, yakni Negara kesatuan Republik Indonesia yang adil dan makmur di
bawah lindungan Allah SWT.Berkaitan dengan model demokrasi. PKS menjadikan
58
demokrasi sebagai model politik yang representativ dalam konteks masyarakat
majemuk seperti Indonesia21.
Dengan mengamati keseluruhan platfrom di bidang politik yang tercantum
dalam “Platform Kebijakan Pembangunan Partai Keadilan Sejahtera”, sesungguhnya
dapat disimpulkan bahwa tidak terjadi perubahan yang signifikan yang dapat
menggolongkan PKS sebagai partai terbuka.
Mengenai komitmen PKS terhadap NKRI dan demokrasi yang ditekankan
pada Platform Kebijakan Pembangunan, sejak awal berdirinya PKS tidak pernah
menunjukkan niat mendirikan Negara Islam di Indonesia. Berdasarkan dokumen-
dokumen politik yang disusun partai ini sama sekali tidak menyinggung untuk
mendirikan Negara Islam ataupun adanya agenda untuk memberlakukan Piagam
Jakarta22.
Berkaitan dengan komitmen terhadap NKRI dan Demokrasi, dinyatakan oleh
salah seorang pendiri PKS, Abdullah Baharmus, Lc., MA., beliau menyatakan bahwa
PKS adalah salah satu Partai Politik di Indonesia yang mempunyai prinsip bahwa
NKRI adalah sudah final, jadi kita tidak ada ingin mendirikan Negara Islam, tapi
bagaimanapun juga akhlak dan ajaran Islam harus menjadi jiwa kita dan kehidupan
kita sehari-hari. Maka dari itu kita dalam berpolitik harus menggunakan akhlak Islam
dan prinsip-prinsip Islam seperti keadilan, kejujuran, profesional.23 Seperti juga
21 Majelis Pertimbangan Pusat partai Kedilan Sejahtera. Platform Kebijakan Pembangunan Partai
Keadilan Sejahtera. (Jakarta: MPP Partai Keadilan Sejahtera, 2007), h. vi 22 Kuskridho Ambardi. Mengungkap Politik Kartel; h. 150 23 Wawancara Pribadi dengan Abdullah Baharmus, Lc., MA., Jakarta, 7 April 2010.
59
dikatakan oleh Salah Satu Anggota Majelis Syuro PKS, Ika Fithriyadi, bahwa NKRI
sudah final seperti terdapat di dalam buku Platform PKS yang dikeluarkan Majelis
Pertimbangan Partai (MPP), tentang Anggaran Dasar terdapat dalam Pasal 5 yaitu,
dinyatakan bahwa ada dua tujuan didirikannya PKS, pertama adalah mewujudkan
cita-cita Nasional bangsa Indonesia yang termaktub dalam UUD 1945, kedua adalah
mewujudkan Masyarakat madani yang adil dan sejahtera dalam ridho Allah SWT di
dalam NKRI24.
Dengan demikian sesungguhnya kita tidak melihat hal-hal yang benar-benar
baru dari Platform Kebijakan Pembangunan PKS dalam menghadapi Pemilu 2009.
Kalaupun pada Pemilu 2009 yang lalu seolah terjadi perubahan-perubahan yang
ditunjukkan dengan iklan-iklan yang tujuannya ingin mencitrakan PKS sebagai partai
terbuka dan menghilangkan eksklusifitas yang selama ini melekat pada dirinya.
Seperti misalkan iklan politik berdurasi 30 detik yang menyajikan delapan
tokoh nasional: KH. Ahmad Dahlan, KH. Hasyim Asyari, Jendral Sudirman, Bung
Tomo, Soekarno, Muhammad Hatta, Mohammad Natsir dan Soeharto. Iklan berbiaya
Rp1 milyar itu diputar di lima stasiun televisi nasional selama tiga hari berturut-turut,
9-11 November 2009. Jumlah delapan tokoh disesuaikan dengan nomor urut partai ini
dalam Pemilu25.
Dengan melihat iklan tersebut, banyak pihak kemudian meyatakan bahwa
PKS yang selama ini dicitrakan sebagai Partai Islam yang cenderung eksklusif telah
24 Wawancara Pribadi dengan Ika Fithriyadi, Jakarta, 30 Maret 2010 25Iklan Pahlawan Partai Dakwah, Tempo, 23 November 2008
60
mencoba membuka diri. Karena, delapan tokoh yang ditampilkan dalam iklan
tersebut merepresentasikan ideologi dan golongan yang ada di Indonesia. KH. Ahmad
Dahlan dan M. Natsir representasi dari Islam modernis; KH. Hasyim Asy’ari
representasi dari Islam tradisionalis; Soekarno dan Hatta representasi dari golongan
nasionalis; Sudirman dan Soeharto representasi dari kelompok militer. Soeharto juga
merupakan representasi dari kelompok-kelompok yang masih setia dengan Orde
Baru.
Berbeda dengan iklan politik partai-partai lain, iklan tersebut seolah tidak
biasa. Ia mendulang kontroversi lumayan panjang, terutama lantaran sosok Soeharto.
Sebagian kalangan menolak penahbisan Soeharto sebagai pahlawan dan guru bangsa
bahkan menurut Eep Saefulloh fatah, iklan ini menjadi salah satu pertaruhan penting
PKS dalam mengulang sukses Pemilu 200426.
Muttamimul ‘Ula menyatakan bahwa maksud pembuatan itu adalah
memberikan sentimen positif kepada masyarakat dan diharapkan akan memperluas
basis dukungan27. Menurut Ika Fithriyadi28, tujuan PKS dengan melakukan political
marketing seperti ini didasarkan perkembangan partai Islam yang dinamis, dan
realitas yang menunjukkan bahwa dukungan masyarakat terhadap partai Islam
cenderung turun. Belajar dari pengalaman itu semua PKS ingin diterima semua
kalangan tidak hanya dari umat Islam. Perlu diketahui bahwa PKS adalah partai
26 Eep Saefulloh Fatah. ”Soeharto dalam Pemasaran Politik PKS,”. Tempo, 14 Desember 2008. H.
98-99 27 Kompas. “Tampilkan pahlawan, PKS Ingin Perluas pasar”. 12 Nopember 2008 28 Wawancara Pribadi dengan Ika Fithriyadi, Jakarta, 30 Maret 2010
61
politik yang harus mengakomodir kepentingan semua pihak. Alasan lain, menurut
Sekjen DPP PKS, Anis Matta29, PKS mulai menyadari bahwa untuk menjadi partai
besar PKS harus membuka diri, meskipun dilematis karena PKS adalah partai Islam
yang harus selalu menjaga eksklusifitasnya.
Dengan demikian, perubahan yang sesungguhya terjadi pada PKS bukan pada
perubahan yang menyentuh substansi; ideologi dan paradigma, namun perubahan
lebih berkaitan dengan pencitraan. PKS ingin dicitrakan sebagai partai terbuka dan
inklusif. Dengan demikian harapan dari keterbukaan ini diharapkan PKS tidak lagi
sekadar bermusik nasyid, musik kelompok Ungu, The Rock bahkan Slank pun sudah
bisa diterima. Tidak lagi sekadar berbaju koko, tetapi sudah rapi berjas dan berdasi.
Dan PKS mengharapkan memudarnya citra bahwa PKS adalah partai orang-orang
berjenggot.
Namun demikian, Ika Fithriyadi menambahkan bahwa sejak awal berdirinya
PKS sangat yakin dengan Azas Islam yang kita anut, seperti kita ketahui tidak banyak
Partai yang berazaskan Islam. Kita meyakini bahwa Islam adalah rahmat bagi sesama,
dan PKS ingin membuktikan bahwa ketika Islam diwujudkan secara nyata dalam
kehidupan dengan konotasi yang sesuai dengan Al-qur’an dan Sunnah maka Rahmat
akan timbul bagi bangsa ini. Masyarakat mengenal bahwa Politik itu identik dengan
kekerasan, politik uang, perebutan kekuasaan, dll, PKS ingn hadir dengan sebuah
contoh bahwa politik adalah sebuah Ibadah bagi kita.30
29 Kompas, “Dapatkah PKS Bertahan Sebagai partai Dakwah?”. 20 September 2010 30 Wawancara Pribadi dengan Ika Fithriyadi, Jakarta, 30 Maret 2010
62
C. Faktor-faktor yang Mempengaruhi terjadinya Perubahan Platform.
Perubahan PKS banyak berkaitan faktor-faktor internal dan eksternal.
Menurut Ika Fithriyadi, salah satu faktor yang mendorong PKS untuk melakukan
perubahan-perubahan citra ini karena PKS seringkali dituduh sebagai partai ideologis
yang terkait dengan kelompok-kelompok Islam garis keras, seperti Wahabiah dan
Ikhwanul Muslimin. Menurut Fithriyadi memang dalam banyak hal dikaitkan,
sebenarnya tidak ada hubungan sama sekali antara PKS, Wahabiah dan Ikhwanul
Muslimin, dan isu ini pun muncul dari luar PKS, sesungguhnya kalau disebut sebagai
upaya untuk melaksanakan Islam secara kaffah dan itu muncul dari sebuah gerakan
kita sependapat. Namun, PKS adalah sebuah partai politik di Indonesia yang tidak
boleh mempunyai hubungan dengan luar negeri. Memang banyak dari pendiri dan
kader-kader PKS yang mempunyai hubungan dengan Timur Tengah yaitu menuntut
ilmu dan itu hanya proses pendawasaan seseorang31.
Sekjen DPP PKS, Anis Matta, menambahkan bahwa sejak Pemilu 2004,
semakin disadari bahwa PKS harus membuka diri kalau ingin menjadi partai besar.
Inilah yang menjadi tarikan di internal PKS. Di satu sisi ada keinginan menjadi partai
besar dengan membuka diri, disisi lain tidak ingin kehilangan identitas
keislamannya32. Begitu pula yang dikatakan oleh Baharmus bahwa Artinya sistem
penerapan politik yang diterapkan oleh PKS dalam meraih simpati masyarakat
dirubah caranya. Kalau dulu PKS sangat terkenal dengan Islamnya, namun sekarang
31 Wawancara Pribadi dengan Ika Fithriyadi, Jakarta, 30 Maret 2010 32 Kompas, “Dapatkah PKS BErtahan Sebagai partai Dakwah?”. 20 September 2010
63
kita merangkul semua kalangan, karena Indonesia adalah negara majemuk. Kita
berusaha menghargai semua pihak dan pada prakteknya ada dan tidak adanya urusan
politik, kader PKS membantu semua pihak-pihak yang terkena musibah bencana
alam, contohnya di Bali, kader PKS turun langsung ke tempat musibah untuk
membantu para korban bencana yang kebanyakan beragama Hindu.33
Sementara itu menurut Ika Fithriyadi, faktor lain, bahwa PKS adalah partai
baru yang didirikan oleh orang-orang yang bukan dari pemerintahan sebelumnya atau
tidak pernah berhubungan dengan politik sebelum era reformasi. Sebagai partai baru
yang telah mengikuti 2 kali pemilihan umum PKS terus belajar dari pengalaman
untuk mampu mewujudkan harapan kita dan pemilu merupakan tolak ukur
masyarakat untuk mengakui keberadaan PKS. Tahun 1999 PK mendapatkan 1,7%
suara, tahun 2004 PKS mendapatkan 7,7% suara (meningkat 3 kali lipat) dan
melebihi (electoral threshold) pemilu 2004 yang sebanyak 3 % suara, hanya dalam
waktu 10 tahun sudah mendapatkan yang luar biasa dari Allah SWT.
Maka kemudian, menurut Fithriyadi, Majelis Syuro membuat strategi untuk
menghadapi Pemilu 2009 dengan target perolehan suara 20% atau 24 juta suara
dan/atau urutan tiga besar. Jadi untuk mencapai target tersebut perlu adanya
mobilisasi potensi yang kita miliki agar mampu meraih angka yang kita targetkan.
Kita membuat strategi bagi kader untuk mampu melakukan dua peran yaitu
mobilisasi secara vertikal dan horizontal. Yang dimaksud dengan mobilasi vertikal
adalah agar kader mampu secara masiv berperan pada lembaga-lembaga yang ada di
33 Wawancara Pribadi dengan Abdullah Baharmus, Lc., MA., Jakarta, 7 April 2010.
64
Negara ini, sedangakan mobilisasi horizontal adalah agar kader mampu berkoordinasi
dan berdialog pada masyarakat. Dua hal ini yang kemudian kita tandas sebagai cara
kita untuk mampu menjalankan potensi kita demi meraih suara masyarakat. Kita tahu
bahwa masyarakat indonesia begitu heterogen yang sudah tentu membuat isu akan
timbul pro dan kontra, itu pasti. PKS tidak ingin pro hanya kepada satu komunitas
saja, maka dari itu munculah ide besar untuk kemudian menarik dukungan dari semua
pihak, seperti Soeharto dan pendukungnya, Soekarno dan pendukungnya, Ahmad
Dahlan dan pendukungnya. Cara inilah yang dapat kita lakukan untuk meraih suara,
terlepas dari kontroversi yang ada dan pengamat marketing pun mengakui bahwa
PKS mengambil jalan yang cukup baik dan cerdas. Walaupun pada pemilu 2009 PKS
tidak mencapai target tapi kita harus mengambil hikmah dari semua peristiwa yang
terjadi.
Perubahan pencitraan ini juga merupakan agenda besar yang dihasilkan oleh
Mukernas di Bali, Februari 2008. Agenda tersebut adalah pertama, agenda
kebangsaan. Dalam agenda ini disebutkan, PKS meyakini keberagaman unsur bangsa
Indonesia merupakan suatu keniscayaan dan harus dikelola sebagai sumber energi
bangsa untuk maju. Kedua, agenda kepartaian. Agenda ini menyebutkan keinginan
PKS untuk menjadikan dirinya sebagai organisasi politik nasional yang eksistensinya
mengikat dan terikat dengan keseluruhan wilayah NKRI. Ketiga, agenda Pemilu
65
2009. Dalam agenda ini disebutkan bahwa PKS menargetkan bisa meraih 20 persen
dukungan suara rakyat dalam Pemilu 2009 untuk tingkat DPR34.
D. Implikasi Perubahan Platform PKS pada Pemilu 2009
Ketika Partai Keadilan Sejahtera mendeklarasikan perubahan pada dirinya,
banyak reaksi yang timbul baik dari internal maupun eksternal partai. Reaksi pertama
menurut Ika Fithriyadi35 datang dari para kader-kadernya. Menurutnya PKS tidak
menafikkan bahwa ide perubahan tersebut menimbulkan banyak pertanyaan dari
banyak pihak. Perlu diketahui semua yang sudah dilakukan pasti tidak akan
memuaskan semua pihak. Semua pengalaman yang kita lakukan di pemilu 2009 akan
kita jadikan pelajaran untuk yang kebih baik menuju pemilu 2014.
Dalam laporan di mahalah Tempo berjudul “Manuver Politik Faksi
Sejahtera” (Tempo, 30 November 2008) ditulis bahwa ada banyak reaksi didalam
tubuh PKS atas citra perubahan yang digulirkan oleh partai. Anis Matta, Ketua Tim
Pemenangan Pemilu Nasional, yang menggodok iklan itu, ramai dihujani kritik di
Dewan Pimpinan Pusat Partai. Salah satu pengkritik yang cukup keras adalah
Presiden PKS, Tifatul Sembiring.
Bekas Wakil Ketua Partai Keadilan, Syamsul balda, mengungkapkan bahwa
citra perubahan yang diusung oleh PKS telah membuat terjadinya dua faksi besar di
partai itu: “kubu keadilan” dan “kubu sejahtera”. Kubu keadilan memilih konservatif
34 Imam Prihadiyoko. “Wajah Baru PKS, Pluralitaskah.....?”. Kompas. 12 Februari 2008 35 Wawancara Pribadi dengan Ika Fithriyadi, Jakarta, 30 Maret 2010
66
dalam berpolitik, yang diwakili Mustafa Kamal, Untung wahono dan Muttamimul
Ula. Sementara kubu sejahtera progresif dan oportunistik. Di barisan ini ada Anis
Matta, Fachri Hamzah dan Abu Bakar Alhabsyi36.
Sementara itu, reaksi dari luar sangat beragam khusunya dari para pengamat
yang menilai apa yang dilakukan oleh PKS adalah suatu yang kontoversi. Fachry
Ali37 menilai bahwa di satu sisi PKS telah “berjudi” sebab, bisa saja, akibat
pemasangan gambar tersebut para pemilih fanatiknya “lari”. Sementara itu Anhar
Gonggong38 mencurigai bahwa manuver “perubahan” ini sangat politis: untuk
menjaring suara, khususnya para pengikut Soeharto. Apalagi PKS Menargetkan
dalam Pemilu Legislatif 2010 nanti bisa meraup 20 persen suara. Maka dengan target
yang cukup berat, PKS perlu terobosan dengan menarik pemilih, tidak hanya yang
Islam fanatik.
Kemudian keterkaitan antara perubahan partai dengan perolehan suara pada
2009 menurut Ika Fithriyadi tahun 2004 PKS meraih 7,8% suara, kalau target 20%
jadi kami gagal. Tetapi kalau secara umum kita lihat pada pemilu tahun 2009 ada
Tsunami Demokrat/Tsunami SBY yang menghantam semua partai, hanya PKS yang
bertahan. PKS pada pemilu 2009 berada di posisi ke-4 yaitu Partai Islam Modernis
yang meraih suara terbanyak, kalau dari sini kita lihat PKS ada peningkatan
dibandingkan dengan pemilu 2004 yang berada di bawah Partai Islam Tradisionalis.
Jumlah anggota DPR pun meningkat menjadi 57 kursi, Menteri yang duduk di
36 Tempo. “Manuver Politik Faksi Sejahtera”, 30 November 2008 37 Kompas. “Tampilkan Pahlawan, PKS Ingin Memperluas pasar”, 12 November 2008 38 Tempo. “Manuver Politik Faksi Sejahtera”, 30 November 2008
67
68
kabinet meningkat menjadi 4 Menteri. Maka dari itu untuk mempersiapkan pemilu
2014 PKS harus berani memunculkan iklan-iklan yang lain.
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan
1. Secara umum Pemilu 2009 tidak lagi dimeriahkan oleh pertarungan ideologi
atau aliran. Pertarungan dalam pemilu lebih banyak diwarnai pencitraan dan
jualan pesona para tokoh. Trend politik kini bergerak meninggalkan ruang-
ruang ideologis, hal yang selama ini dianggap tabu. Itu pun sudah
terbantahkan. Rivalitas Islamisme dan nasionalisme tidak lagi berada dalam
wilayah ideologis. Simbol-simbol agama juga tak lagi menjadi pemikat untuk
menarik simpati pemilih. Pembentukan Baitul Muslim Indonesia (BMI) oleh
Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) dan deklarasi Partai Keadilan
Sejahtera (PKS) menjadi partai yang terbuka semakin memperkuat
sinyalemen runtuhnya aliranisasi politik.
2. Pudarnya politik aliran pada Pemilu 2009 ini juga ditandai dengan
memudarnya ideologi partai-partai yang menjadi basis perjuangan mereka.
Islamisme sebagai ideologi politik juga sudah tidak lagi mendapatkan tempat
yang signifikan di hati para pemilih. Jadi, tidak seperti Pemilu 1955, ketika
aliranisasi politik masih menguat dan rivalitas ideologis antara partai Islam
dan sekuler menjadi sangat kentara. Kini, politik aliran telah kehilangan
makna, apalagi setelah perubahan citra PKS menjadi partai pluralis dan
69
terbuka. Menjadi sulit kemudian membedakan antara partai Islam dan partai
sekuler. Sepertinya, sudah tidak ada lagi perbedaan yang kentara antara partai
Islam dan sekuler, baik pada ranah ideologi maupun program. Apa yang
selama ini dianggap tabu bagi partai sekuler, kini sudah terbantahkan. Partai
sekuler seperti PDIP berhasil mewadahi kepentingan kelompok Islam melalui
pembentukan BMI, sesuatu yang sangat tabu pada dekade 1950-an.
3. Platform kebijakan pembangunan PK Sejahtera, merupakan dokumen yang
merefleksikan visi, misi, program dan sikap partai terhadap berbagai
persoalan Indonesia.
4. Dengan mengamati keseluruhan platfrom di bidang politik yang tercantum
dalam “Platform Kebijakan Pembangunan Partai Keadilan Sejahtera”,
sesungguhnya dapat disimpulkan bahwa tidak terjadi perubahan yang
signifikan yang dapat menggolongkan PK Sejahtera sebagai partai terbuka.
B. Saran-saran
Perubahan citra yang kini telah dilakukan oleh PKS telah menimbulkan
banyak reaksi baik dari internal maupun eksternal partai. Hal ini harusnya menjadi
pertimbangan elit partai untuk meninjau kebijakan tersebut. Disamping itu, kebijakan
ini merupakan suatu hal yang dilematis, pada satu sisi PKS adalah partai Islam
sementara perubahan citra ini mengharuskan PKS menjadi partai terbuka dan
menerima pluralitas, ini yang harus dicermati oleh PKS yang sejak awal
70
71
mendeklarasikan diri sebagai “partai dakwah” yang sarat dengan ideologi yang
melekat pada dirinya.
Hal ini harus dipikirkan secara cermat, jangan sampai PKS yang memiliki
kader-kader militan akan “lari” kepartai lain yang bisa menampung militansi mereka.
Jangan dilupakan, PKS besar oleh kader-kader militan ini. Sebagaimana dikatakan
oleh Fachry Ali, apa yang dilakukan PKS dengan citra perubahan ini layaknya orang
yang “berjudi”, dengan demikian kebijakan ini dapat membawa dampak yang negatif
jika tidak didasarkan pada pemikiran yang cermat. Kemudian, PKS sebagai partai
dakwah harus lebih memperkuat ideologi mereka dan juga memperkuat basis kader
mereka, karena pada dasarnya PKS adalah partai kader yang besar oleh dan untuk
kader.
DAFTAR PUSTAKA
Buku
Amal, Ichlasul (Editor). Teori-teori Politik Mutakhir. Yogyakarta: Tiara Wacana
Yogya, 1996
Ambardi, Kuskridho. Mengungkap Politik Kartel; Studi Tentang Sistem Kepartaian
di Indonesia Era Reformasi. Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia, 2009.
Asyari, Suadi. Nalar Politik NU dan Muhammadiyah. Yogyakarta: LKiS, 2009.
Azra, Azyumardi. Menggapai Solidaritas; Tensi antara Demokrasi,
Fundamentalisme dan Humanisme. Jakarta: Pustaka Panjimas, 2002
-------------. Reposisi Hubungan Agama dan Negara: Merajut Kerukunan Antar
Umat. Jakarta: Penerbit Buku Kompas, 2002
Effendy, Bahtiar. Repolitisasi Islam: Pernahkah islam Berhenti Berpolitik?.
Bandung: Mizan, 2000.
----------------. Islam dan Negara; Transformasi Pemikiran dan Praktik Politik Islam di
Indonesia, Jakarta: Paramadina, 1998.
Fanani, Ahmad Fuad. Islam Mazhab Kritis; Menganggagas Keberagaman Liberatif.
Jakarta: Penerbit Buku Kompas, 2004.
Fauzi, Ulfi. Konflik Politik Islam; Studi Kasus hubungan Masyumi dan NU pada
Masa Sebelum dan Sesudah Demokrasi Terpimpin (1950-1956). Skripsi S1
Jurusan Pemikiran Politik Islam Fakultas Ushuludin dan Filsafat Universitas
Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 2005.
Furkon, Aay Muhammad. Partai Keadilan sejahtera; Ideologi dan Praksis Politik
Kaum Muda Muslim Indonesia Kontemporer. Jakarta: Teraju, 2004.
Karim, M. Rusli. Perjalanan Partai Politik di Indonesi; sebuah Potret Pasang Surut.
Jakarta: Rajawali Pres, 2002.
72
Lev, Daniel S. Partai-partai Politik di Indonesia pada Masa Demokrasi Parlementer
(1950-1957) Dan Demokrasi Terpimpin (1957-1965). Dalam Ichlasul Amal.
Teori-teori Mutakhir partai Politik. Yogya: Tiara Wacvana Yogya, 1996.
Liddle, R. William. Revolusi dari Luar: Demokratisasi di indonesia. Jakarta: Nalar,
2005.
Mahendra, Yusril Ihza. Islam dan Masalah Kenegaraan. Dalam Abdul Halim
(editor). Teologi Islam Rasional; Apresiasi terhadap Wacana dan Praksis
Harun Nasution. Jakarta: Ciputat Pres, 2001.
Majelis Pertimbangan Pusat partai Kedilan Sejahtera. Platform Kebijakan
Pembangunan Partai Keadilan Sejahtera. Jakarta: MPP Partai Keadilan
Sejahtera, 2007.
Mallarangeng, Rizal. Dari Langit: Kumpulan Esai tentang Manusia, Masyarakat dan
Kekuasaan. Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia, 2008
Mujani, Saiful. Muslim Demokrat: Islam, Budaya Demokrasi, dan partisipasi Politik
di Indonesia Pasca –Ordebaru. Jakarta: Gramedia, 2007.
Nata, Abudin. Metodologi Studi Islam. Jakarta: Rajawali Pers, 2000.
Noer, Deliar. Memposisikan Harun Nasution dalam pemikiran Islam di Indonesia.
Dalam Abdul Halim (editor). Teologi Islam Rasional: Apresiasi Terhadap
Wacana dan Praksis Harun Nasution. Jakarta: Ciputat Pres, 2001.
Ricklefs, M.C. Sejarah Indonesia Modern 1200-2008. Jakarta: Serambi, 2008.
Rahmat, M. Imdadun. Ideologi Politik PKS; Dari Masjid Kampus ke Gedung
Parlemen. Yogyakarta: LkiS, 2008.
Singarimbun, Masri dan Sofyan Effendy, Metiode Penelitian Survey, Jakarta: LP3ES,
1983.
Yasmadi. Modernisasi Pesantren; Kriktik Nurcholis Madjid Terhadap Pendidikan
Islam. Jakarta: Ciputat Pers, 2002.
Zen, Fathurin. NU Politik: Analisis wacana Media. Yogyakarta: LKiS, 2004.
73
74
Artikel Koran dan Majalah
Prihadiyoko, Imam. “Wajah Baru PKS, Pluralitaskah.....?”. Kompas. 12 Februari
2008
Fernandes, Arya. “Runtuhnya Politik Aliran”. Suara Karya, 25 Maret 2008
Fatah, Eep Saefulloh, Ideologisasi Versus Idolisasi. Kompas. 16 September 2008
---------. “Tampilkan Pahlawan, PKS Ingin Memperluas pasar”, 12 November 2008
---------. “Tampilkan pahlawan, PKS Ingin Perluas Pasar”. 12 November 2008
Tempo, Iklan Pahlawan Partai Dakwah. 23 November 2008
--------, “Manuver Politik Faksi Sejahtera”, 30 November 2008
Prihadiyoko, Imam. “Jelasnya Kekuasaan dalam Ketidakjelasan Politik”. Kompas.
02 Desember 2008
Fatah, Eep Saefulloh. Soeharto dalam Pemasaran Politik PKS. Tempo, 14 Desember
2008.
Suwardiman. “Parpol Baru, yang Bertahan dan yang Tersingkir”. Kompas, 01 Juli
2009
Liddle, R. William, ”Saat ini Merupakan Era Politik Ketokohan”. Kompas, 07 Juli
2009
Kompas, “Dapatkah PKS BErtahan Sebagai partai Dakwah?”. 20 September 2010
---------, “Dapatkah PKS BErtahan Sebagai partai Dakwah?”. 20 September 2010
Website
http://id.wikipedia.org/wiki/Partai_Keadilan_Sejahtera, artikel diakses tanggal 21
Januari 2010.
http://www.pk-sejahtera.org/, artikel diakses tanggal 21 Januari 2010.