politik hukum pidana dalam penegakan hukum di...
TRANSCRIPT
1
POLITIK HUKUM PIDANA DALAM PENEGAKAN HUKUM
DI BIDANG KEHUTANAN
(Dipublikasikan dalam Jurnal”Negara dan Keadilan”, Program Pascasarjana Unisma
Malang, ISSN: 2302-7010, Vol. 3 No. 4, Agustus 2014, h. 18-30)
Abdul Rokhim1
Abstrak
Penanggulangan kejahatan dengan menggunakan hukum pidana (kebijakan
kriminalisasi) merupakan cara yang paling tua, setua peradaban manusia itu sendiri.
Dalam menegakkan hukum ada tiga unsur tujuan hukum yang selalu harus diperhatikan,
yakni; kepastian hukum, kemanfaatan dan keadilan. Orientasi kebijakan dalam
penegakan hukum di bidang kehutanan adalah pemberian sanksi pidana diharapkan akan
dapat menimbulkan efek jera (deterent effect) bagi pelanggarnya.
Kata Kunci: Politik Hukum Pidana; Penegakan Hukum; Kehutanan
1. Pendahuluan
Istilah “politik” dalam bahasa Belanda “politiek” dan bahasa Inggris “policy”
artinya siasat atau kebijakan. Hans Kelsen membagi konsep politik menjadi dua, yaitu (1)
politik sebagai etik artinya memilih dan menentukan tujuan kehidupan bermasyarakat
yang harus diperjuangkan, (2) politik sebagai teknik, artinya memilih dan menentukan
cara dan sarana untuk mencapai tujuan yang telah dipilih dan ditentukan oleh politik
sebagai etik tersebut. Kemudian, pengertian “hukum” adalah seperangkat ketentuan
tentang tingkah laku manusia dalam masyarakat.2
Politik dan hukum itu merupakan pasangan. Hukum pasti didasari oleh politik,
karena hukum itu dibentuk oleh negara sebagai lembaga politik yang tertinggi.
Sebaliknya, politik baru mempunyai wujud bilamana sudah dirumuskan dalam bentuk
hukum. Hubungan antara keduanya adalah timbal balik, bilamana politik itu adalah
lambang kekuasaan (macht) dan rumusan norma-norma itu dilambangkan dengan hukum
(recht), maka hubungan antara keduanya itu adalah seperti yang dilukiskan dalam
ungkapan “politiklah yang membentuk hukum dan hukumlah yang memberikan bentuk
pada politik” (machtbildende wirkung des recht, das rechtbildende wirkung des macht).3
Berdasarkan pendapat tersebut, maka dapat dipahami bahwa antara politik dan
hukum merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan, dua bagian yang saling
berkaitan dan saling mendukung. Politik hukum merupakan bagian dari ilmu hukum yang
meneliti perubahan hukum yang berlaku yang harus dilakukan untuk memenuhi tuntutan
1 Dr. H. Abdul Rokhim, S.H., M.H., dosen Program Magister Ilmu Hukum Program Pascasarjana
Universitas Islam Malang. 2 Sukardi, Illegal Loging dalam Perspektif Politik Hukum Pidana (Kasus Papua), Penerbitan
Universitas Atma Jaya, Yogyakarta, 2005, h. 28. 3 Ibid.
2
baru dalam kehidupan masyarakat. Dengan demikian dapatlah dikatakan bahwa politik
hukum membahas perubahan hukum yang berlaku untuk memenuhi perubahan kehidupan
dalam masyarakat.
Pendapat tersebut menggambarkan bahwa politik hukum merupakan suatu upaya
penyesuaian aturan hukum terhadap perkembangan kehidupan masyarakat melalui
perubahan-perubahan terhadap hukum. Aturan hukum yang ada tidak dapat lagi
mengakomodasi perkembangan kehidupan masyarakat, sehingga membutuhkan suatu
aturan hukum baru yang sesuai, oleh karena itu perlu dilakukan perubahan-perubahan
terhadap hukum yang ada.
Dalam kaitannya dengan politik kriminal (criminal policy), politik hukum bertugas
meneliti perubahan mana yang perlu diadakan terhadap hukum yang ada agar memenuhi
kebutuhan baru dalam kehidupan masyarakat. Politik hukum tersebut meneruskan arah
perkembangan tertib hukum dari ius constitutum (hukum positif) menuju ius
constituendum (hukum yang dicita-citakan). Politik hukum tidaklah berhenti setelah
dikeluarkannya undang-undang, tetapi justru di sinilah mulai timbul persoalan, baik yang
sudah diperkirakan sejak semula atau masalah-masalah lain yang timbul dengan tidak
diduga-duga. Tiap undang-undang memberikan jangka waktu yang lama untuk dapat
memberikan kesimpulan seberapa jauh tujuan politik hukum undang-undang tersebut telah
dicapai. Jika hasilnya sulit untuk dicapai, apakah perlu diadakan perubahan atau
penyesuaian seperlunya. Kemudian dengan pertimbangan bahwa apalah artinya
terbentuknya suatu undang-undang tanpa adanya aplikasi dan review. Dengan adanya
aplikasi dan review tujuan dari pembuatan undang-undang itu akan dapat dicapai, karena
politik hukum adalah suatu proses pencapaian tujuan masyarakat melalui undang-undang.
Berdasarkan pendapat di atas maka dapat disimpulkan bahwa dalam politik hukum
terdapat unsur-unsur, yaitu:
(1) ada aturan hukum yang berlaku (ius constitutum);
(2) ada perkembangan masyarakat yang tidak dapat diakomodir oleh ketentuan hukum
yang ada; dan
(3) ada hukum yang diharapkan atau yang dicita-citakan (ius constituendum), yaitu
perubahan hukum yang diperlakukan untuk memenuhi kebutuhan perkembangan
masyarakat tersebut.
Persoalannya adalah penggunaan sarana hukum pidana (kebijakan kriminalisasi)
dalam peraturan perundang-undangan di bidang kehutanan, khususnya kebijakan
kriminalisasi atau politik hukum pidana dalam penegakan hukum terhadap praktik
penebangan kayu secara liar (illegal logging) dan kegiatan pertambangan tanpa izin
(illegal mining) yang dilakukan di kawasan hutan?
2. Konsep Politik Hukum Pidana
Politik hukum pidana atau yang juga lazim disebut dengan istilah “kebijakan
hukum pidana” (penal policy; criminal policy) adalah suatu ilmu sekaligus seni yang pada
akhirnya mempunyai tujuan praktis untuk memungkinkan peraturan hukum positif
dirumuskan secara lebih baik dan untuk memberi pedoman tidak hanya kepada pembuat
3
undang-undang, tetapi juga kepada pengadilan yang menerapkan undang-undang dan
kepada para penyelenggara atau pelaksana putusan pengadilan.4
Penal Policy, menurut Marc Ancel, merupakan salah satu komponen dari modern
criminal science di samping komponen lain seperti criminology dan criminal law.
Selanjutnya, Marc Ancel mengatakan:
Di antara studi mengenai faktor-faktor kriminologis di satu pihak dan studi
mengenai teknik perundang-undangan di lain pihak, ada tempat bagi suatu ilmu
pengetahuan yang mengamati dan menyelidiki fenomena legislatif dan bagi suatu
seni yang rasional, dimana para sarjana dan praktisi, para ahli kriminologi dan
sarjana hukum dapat bekerja sama tidak sebagai pihak yang saling berlawanan atau
saling berselisih, tetapi sebagai kawan sekerja yang terikat dalam tugas bersama,
yaitu terutama untuk menghasilkan suatu kebijakan pidana yang realistik, humanis,
dan berpikiran maju (progresif) lagi sehat.5
Berdasarkan pendapat tersebut di atas, Barda Nawawi Arief mengatakan bahwa
pada hakikatnya masalah politik atau kebijakan hukum pidana bukanlah semata-mata
pekerjaan teknik perundang-undangan yang dapat dilakukan secara yuridis normatif dan
sistematik dokmatik. Di samping pendekatan yuridis normatif, kebijakan hukum pidana
juga memerlukan pendekatan yuridis faktual yang dapat berupa pendekatan sosiologis,
historis dan komparatif, bahkan memerlukan pula pendekatan komprehensif dari berbagai
disiplin sosial lainnya serta pendekatan integral dengan kebijakan sosial dan pembangunan
nasional pada umumnya.6
Selanjutnya, menurut Sudarto, politik hukum adalah kebijakan dari negara melalui
badan-badan yang berwenang untuk menetapkan peraturan-peraturan yang dikehendaki
yang diperkirakan bisa digunakan untuk mengekspresikan apa yang terkandung dalam
masyarakat dan untuk mencapai apa yang dicita-citakan.7 Bertolak dari pendapat ini,
politik hukum pidana, menurut Barda Nawawi Arief, berarti “mengadakan pemilihan
untuk mencapai hasil perundang-undangan pidana yang paling baik dalam arti memenuhi
syarat keadilan dan daya guna”.8 Dengan demikian, melaksanakan politik hukum pidana
berarti usaha mewujudkan peraturan perundang-undangan pidana yang sesuai dengan
keadaan dan situasi pada suatu waktu dan untuk masa-masa yang akan datang.
Selanjutnya, menurut A. Mulder, pengertian politik hukum pidana (strafrechts-
politiek) ialah garis kebijakan untuk menentukan: pertama, seberapa jauh ketentuan-
ketentuan pidana yang berlaku perlu diubah atau diperbaharui; kedua, apa yang dapat
diperbuat untuk mencegah terjadinya tindak pidana; dan ketiga, bagaimana cara
penyidikan, penuntutan, peradilan dan pelaksanaan pidana harus dilaksanakan.9
Usaha dan kebijakan untuk membuat peraturan hukum pidana yang baik, menurut
Barda Nawawi Arief, pada hakikatnya tidak dapat dilepaskan dari tujuan penanggulangan
4 Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, Citra Aditya Bakti, Bandung,
Bandung, 1996, h. 23 5 Ibid., h. 23-24
6 Ibid., h. 24
7 Sudarto, Hukum dan Perkembangan Masyarakat, Sinar Baru, Bandung, 1983, h. 20
8 Barda Nawawi Arief, op. cit., h. 27-28
9 Dwidja Priyatno, Kebijakan Legislasi tentang Sistem Pertanggungjawaban Pidana Korporasi di
Indonesia, CV Utomo, Bandung, 2004, h. 150
4
kejahatan. Jadi, kebijakan atau politik hukum pidana juga merupakan bagian dari politik
kriminal. Dengan perkataan lain, dilihat dari sudut politik kriminal maka politik hukum
pidana identik dengan pengertian “kebijakan penanggulangan kejahatan dengan hukum
pidana”. Usaha penanggulangan kejahatan dengan hukum pidana pada hakikatnya juga
merupakan bagian dari penegakan hukum pidana. Oleh karena itu, sering pula dikatakan
bahwa politik atau kebijakan hukum pidana merupakan bagian pula dari kebijakan
penegakan hukum (law enforcement policy).10
Persoalan hukum yang tidak kalah pentingnya dalam membicarakan kebijakan
kriminal dengan menggunakan sarana hukum pidana adalah penentuan sanksi apa yang
sebaiknya digunakan atau dikenakan kepada korporasi. Sebagai contoh, adanya kelemahan
dalam kebijakan legislasi terhadap sanksi pidana korporasi, yaitu tidak adanya ketentuan
khusus mengenai sanksi pidana bagi korporasi untuk delik yang hanya diancamkan
dengan pidana penjara, dan tidak adanya aturan tentang pidana pengganti apabila denda
tidak dibayar oleh korporasi. Kelemahan-kelemahan tersebut dalam rangka pembaharuan
hukum pidana harus diperbaharui. Karena berbicara tentang sistem pertanggungjawaban
pidana korporasi dalam perspektif kebijakan hukum pidana berarti mengadakan pemilihan
untuk mencapai hasil peraturan perundang-undangan pidana yang paling baik, dalam arti
memenuhi syarat keadilan dan dayaguna, sesuai dengan keadaan pada suatu waktu dan
untuk masa-masa yang akan datang.11
3. Beberapa Pendekatan dalam Penggunaan Hukum Pidana
Mengenai masalah arah kebijakan pembangunan di bidang hukum, dalam Garis-
garis Besar Haluan Negara (GBHN) berdasarkan Ketetapan Majelis Permusyawaratan
Rakyat Republik Indonesia Nomor IV/MPR/1999, antara lain ditegaskan bahwa:
(1) Mengembangkan budaya hukum di semua lapisan masyarakat untuk terciptanya
kesadaran dan kepatuhan hukum dalam kerangka supremasi hukum dan tegaknya
negara hukum;
(2) Menata sistem hukum nasional yang menyeluruh dan terpadu dengan mengakui dan
menghormati hukum agama dan hukum adat serta memperbaharui perundang-
undangan warisan kolonial dan hukum nasional yang diskriminatif, termasuk
ketidakadilan gender dan ketidaksesuaiannya dengan tuntutan reformasi melalui
program legislasi;
(3) Menegakkan hukum secara konsisten untuk lebih menjamin kepastian hukum,
keadilan dan kebenaran, supremasi hukum, serta menghargai hak asasi manusia.
Ada dua masalah sentral (central issues) dalam kebijakan kriminal dengan
menggunakan sarana penal (hukum pidana), yakni masalah: (1) perbuatan apa yang
seharusnya dijadikan tindak pidana; dan (2) sanksi apa yang sebaiknya digunakan atau
dikenakan kepada si pelanggar.12
Analisis terhadap dua masalah sentral ini tidak dapat dilepaskan dari konsepsi
integral antara kebijakan kriminal dengan kebijakan sosial atau kebijakan pembangunan
nasional. Ini berarti pemecahan masalah-masalah di atas harus pula diarahkan untuk
10
Barda Nawawi Arief, op. cit., h. 29 11
Dwidja Priyatno, op. cit., h. 153 12
Muladi dan Barda Nawawi Arief, Teori-teori dan Kebijakan Pidana, Alumni, Bandung, 1992, h.
160
5
mencapai tujuan-tujuan tertentu dari kebijakan sosial politik yang telah ditetapkan.
Dengan demikian, kebijakan hukum pidana, termasuk pula kebijakan dalam menangani
masalah sentral di atas, harus pula dilakukan dengan pendekatan yang berorientasi pada
kebijakan (policy oriented approach). Sudah barang tentu kebijakan yang integral ini tidak
hanya dalam bidang hukum pidana, tetapi juga pada pembangunan hukum pada
umumnya.
Berdasarkan pendekatan kebijakan tersebut, Sudarto berpendapat bahwa dalam
rangka menghadapi masalah sentral yang pertama di atas, yang sering disebut masalah
“kriminalisasi” harus memperhatikan hal-hal yang pada intinya sebagai berikut:13
a. Penggunaan hukum pidana harus memperhatikan tujuan pembangunan nasional, yang
mewujudkan masyarakat adil dan makmur yang merata material spiritual berdasarkan
Pancasila;
b. Perbuatan yang diusahakan untuk dicegah atau ditanggulangi dengan hukum pidana
harus merupakan perbuatan yang tidak dikehendaki, yaitu perbuatan yang
mendatangkan kerugian (material dan spiritual) atas warga masyarakat;
c. Penggunaan hukum pidana harus pula memperhatikan prinsip biaya dan hasil (cost and
benefit principle);
d. Penggunaan hukum pidana harus pula memperhatikan kapasitas atau kemampuan daya
kerja dari badan-badan penegak hukum yaitu jangan sampai ada kelampauan beban
tugas (overbelasting).
Pendekatan yang berorientasi pada kebijakan sosial terlihat pula dalam Simposium
Pembaharuan Hukum Pidana Nasioanl pada tanggal 28-30 Agustus 1980 di Semarang,
dalam laporannya poin 2.2 dikatakan: “Masalah kriminalisasi dan dekriminalisasi atas
suatu perbuatan haruslah sesuai dengan politik kriminal yang dianut oleh bangsa
Indonesia, yaitu sejauh mana perbuatan tersebut bertentangan atau tidak bertentangan
dengan nilai-nilai fundamental yang dianggap patut atau tidak patut dihukum dalam
rangka penyelenggaraan masyarakat”.
Untuk menetapkan suatu perbuatan itu sebagai tindakan kriminal, perlu
memperhatikan kriteria umum sebagai berikut:14
1. Apakah perbuatan itu tidak disukai atau dibenci oleh masyarakat karena merugikan,
atau dapat merugikan, mendatangkan korban atau dapat mendatangkan korban?
2. Apakah biaya mengkriminalisasikan seimbang dengan hasilnya yang akan dicapai,
artinya cost pembuatan undang-undang, pengawasan dan penegakan hukum, serta
beban yang dipikul oleh korban pelaku dan pelaku kejahatan itu sendiri harus seimbang
dengan situasi tertib hukum yang akan dicapai?
3. Apakah akan makin menambah beban aparat penegak hukum yang tidak seimbang atau
nyata-nyata tidak dapat diemban oleh kemampuan yang dimilikinya?
4. Apakah perbuatan-perbuatan itu menghambat itu menghambat atau menghalangi cita-
cita bangsa, sehingga merupakan bahaya bagi keseluruhan masyarakat?
Mengingat sulitnya menentukan sesuatu perbuatan sebagai delik (tindak pidana)
atau bukan delik sebagai akibat perubahan sosial dan pandangan yang berbeda-beda di
13
Sudarto, Hukum dan Hukum Pidana, Alumni, Bandung, 1981, h. 44 14
Dwidja Priyatno, op. cit., h. 155-156
6
antara golongan atau suku bangsa Indonesia, maka untuk menyatakan kriminalisasi atau
dekriminalisasi suatu perbuatan perlu diidentifikasi dan dinventarisasi bentuk-bentuk
perbuatan yang dianggap delik atau bukan delik. Dalam hal ini perlu diperhatikan
kecenderungan mengkriminalisasikan dan mendekriminalisasikan suatu perbuatan sebagai
akibat kemajuan teknologi dan perubahan sosial.15
Menurut Bassiouni, keputusan untuk melakukan kriminalisasi atau dekriminalisasi
harus didasarkan pada faktor-faktor kebijakan tertentu yang mempertimbangkan berbagai
faktor, termasuk:16
1. The proportionality of the means used in relationship to the outcome obtained
(keseimbangan sarana-sarana yang digunakan dalam hubungannya dengan hasil yang
dicari atau yang ingin dicapai);
2. The cost analysis of the outcome in relationship to the objectives sought (analisis biaya
terhadap hasil-hasil yang diperoleh dalam hubungannya dengan tujuan-tujuan yang
dicari);
3. The appraisal of the objectives sought in relationship to other priorities in the
allocation of resources of human power (penilaian terhadap tujuan-tujuan yang dicari
dalam kaitannya dengan prioritas-prioritas lainnya dalam pengalokasian sumber-
sumber tenaga manusia);
4. The social impact of criminalization and decriminalization in term of its secondary
effects (pengaruh sosial dari kriminalisasi dan dekriminalisasi yang berkenaan dengan
pengaruh-pengaruh sekunder).
Proses kriminalisasi yang berlangsung terus tanpa suatu evaluasi mengenai
pengaruhnya terhadap keseluruhan sistem hukum pidana mengakibatkan timbulnya: (1)
krisis kelebihan kriminalisasi (the crisis of over-criminalization); dan (2) krisis
kelampauan batas dari hukum pidana (the crisis of overreach of the criminal law). Krisis
pertama mengenai banyaknya atau melimpahnya jumlah kejahatan dan perbuatan-
perbuatan yang dikriminalisasikan, dan krisis kedua mengenai pengendalian perbuatan
dengan tidak menggunakan sanksi yang efektif.17
Pendekatan kebijakan seperti yang dikemukakan di atas merupakan pendekatan
yang rasional, karena karakteristik dari suatu politik kriminal yang rasional tidak lain
daripada penerapan metode-metode rasional. Menurut G.P. Hoefnagels, suatu politik
kriminal harus rasional, kalau tidak demikian tidak sesuai dengan definisinya sebagai “a
rational total of the responses to crime”. Di samping itu, konsepsi mengenai kejahatan
dan kekuasaan atau proses untuk melakukan kriminalisasi sering ditetapkan secara
emosional.18
Pendekatan yang rasional memang merupakan pendekatan yang seharusnya
melekat pada setiap langkah kebijakan. Hal ini merupakan konsekuensi logis, karena
dalam melaksanakan politik (kebijakan) orang mengadakan penilaian dan melakukan
pemilihan dari sekian banyak alternatif yang dihadapi. Ini berarti suatu politik kriminal
15
Ibid. 16
M. Cherif Bassiouni, Substantive Criminal Law, Charles C. Thomas Publisher, Illionis, USA,
1978, h. 82 17
Barda Nawawi Arief, op. cit., h. 36-37 18
Dwidja Priyatno, op. cit., h. 158
7
dengan menggunakan kebijakan hukum pidana harus merupakan suatu usaha atau
langkah-langkah yang dibuat dengan sengaja dan sadar. Ini berarti untuk memilih dan
menetapkan hukum pidana sebagai sarana untuk menanggulangi kejahatan harus benar-
benar telah memperhitungkan semua faktor yang dapat mendukung berfungsinya atau
bekerjanya hukum pidana itu dalam kenyataannya. Jadi, diperlukan pula pendekatan yang
fungsional, dan inipun merupakan pendekatan yang melekat (inherent) pada setiap
kebijakan yang rasional.
Hukum pidana hendaknya dipertahankan sebagai salah satu sarana untuk
perlindungan masyarakat (social defence). Pemilihan pada konsepsi perlindungan
masyarakat inipun membawa konsekuensi pada pendekatan yang rasional, sebagaimana
dikemukakan oleh Johannes Andenaes sebagai berikut:
Apabila orang mendasarkan hukum pidana pada konsepsi perlindungan masyarakat
(social defence), maka tugas selanjutnya adalah mengembangkan serasional
mungkin. Hasil-hasil maksimum harus dicapai dengan biaya yang minimum bagi
masyarakat dan minimum penderiataan bagi individu. Dalam tugas yang demikian,
orang harus mengandalkan pada hasil-hasil penelitian ilmiah mengenai sebab-
sebab kejahatan dan efektivitas dari bermacam-macam sanksi.19
Mengacu pada pernyataan J. Andenaes tersebut di atas, jelaslah bahwa pendekatan
kebijakan yang rasional erat pula hubungannya dengan pendekatan ekonomi. Dengan
pendekatan ekonomi di sini tidak hanya dimaksudkan untuk mempertimbangkan antara
biaya atau beban yang ditanggung masyarakat (dengan digunakannya hukum pidana)
dengan hasil yang ingin dicapai, tetapi juga dalam arti mempertimbangkan efektivitas dari
sanksi pidana itu sendiri. Sehubungan dengan itu, Ted Honderich berpendapat bahwa
suatu pidana dapat disebut sebagai alat pencegah yang ekonomis (economical detterents)
apabila dipenuhi syarat-syarat sebagai berikut:20
a. Pidana itu sungguh-sungguh mencegah;
b. Pidana itu tidak menyebabkan timbulnya keadaan yang lebih berbahaya atau merugikan
dari pada yang akan terjadi apabila pidana itu tidak dikenakan;
c. Tidak ada pidana lain yang dapat mencegah secara efektif dengan bahaya atau kerugian
yang lebih kecil.
Selanjutnya, menurut Bassiouni, dalam melakukan kebijakan hukum pidana
diperlukan pendekatan yang berorientasi pada kebijakan (policy oriented approach) yang
lebih bersifat pragmatis dan rasional, dan juga pendekatan yang berorientasi pada nilai
(value judgement approach). Antara pendekatan kebijakan dan pendekatan yang
berorientasi pada nilai jangan terlalu dilihat sebagai suatu “dichotomy”, karena dalam
pendekatan kebijakan sudah seharusnya juga dipertimbangkan faktor-faktor nilai.
Kebijakan kriminal tidak dapat sama sekali dilepaskan dari masalah nilai, karena seperti
dikatakan oleh Christiansen: “the conception of problem crime and punishment is an
essential part of the culture of any society”.21
Terlebih bagi bangsa Indonesia yang
berdasarkan Pancasila dan garis kebijakan pembangunan nasionalnya bertujuan
19
Barda Nawawi Arief, op. cit., h. 38 20
Ibid., h. 39 21
Ibid., h. 41-42
8
membentuk manusia Indonesia seutuhnya. Apabila pidana akan dipergunakan sebagai
sarana untuk mencapai tujuan tersebut, maka pendekatan humanistik harus pula
diperhatikan. Hal ini mengingat pada hakikatnya kejahatan itu merupakan masalah
pelanggaran terhadap kemanusiaan, tetapi juga karena pada hakikatnya pidana itu sendiri
mengandung unsur penderitaan yang dapat menyerang kepentingan atau nilai yang paling
berharga bagi kehidupan manusia.
Pendekatan humanistik dalam penggunaan sanksi pidana tidak hanya berarti
bahwa pidana yang dikenakan kepada si pelanggar harus sesuai dengan nilai-nilai
kemanusiaan yang beradab, tetapi juga harus dapat membangkitkan kesadaran si
pelanggar akan nilai-nilai kemanusiaan dan pergaulan hidup bermasyarakat.
4. Kebijakan Kriminalisasi dalam Penegakan Hukum di Bidang Kehutanan
Penanggulangan kejahatan dengan menggunakan hukum pidana (kebijakan
kriminalisasi) merupakan cara yang paling tua, setua peradaban manusia itu sendiri.22
Pidana merupakan istilah yang lebih khusus dari “hukuman” yang menurut Sudarto ialah
penderitaan yang sengaja dibebankan kepada orang yang melakukan perbuatan yang
memenuhi syarat-syarat tertentu.23
Hukum merupakan sarana perlindungan, agar
kelestarian kemampuan yang dimiliki oleh hutan dapat tetap terjaga maka hukum harus
dilaksanakan atau ditegakkan.
Menurut Sudikno Mertokusumo, pelaksanaan hukum dapat berarti menjalankan
hukum tanpa ada sengketa atau pelanggaran. Ini meliputi pelaksanaan hukum oleh setiap
warga negara setiap hari yang tidak disadarinya dan juga oleh aparat negara, seperti
misalnya polisi yang berdiri di perempatan jalan mengatur lalu lintas. Di samping itu,
pelaksanaan hukum dapat terjadi kalau ada sengketa, yaitu yang dilaksanakan oleh hakim.
Ini sekaligus merupakan penegakan hukum (law enforcement).24
Lebih lanjut, Sudikno Mertokusumo mengatakan bahwa dalam menegakkan
hukum ada tiga unsur tujuan hukum yang selalu harus diperhatikan, yaitu; kepastian
hukum (rechtsicherkeit), kemanfaatan (zweckmassigkeit) dan keadilan (gerechtigkeit).
Kepastian hukum merupakan perlindungan bagi pencari keadilan (yustisiabel) terhadap
tindakan sewenang-wenang, yang berarti bahwa seseorang akan dapat memperoleh
sesuatu yang diharapkan dalam keadaan tertentu. Penegakan hukum harus dilaksanakan,
“meskipun dunia ini akan runtuh” (fiat justitia et pareat mundus). Sebaliknya, masyarakat
mengharapkan manfaat dari pelaksanaan atau penegakan hukum. Demikian juga keadilan
adalah hal yang harus diperhatikan dalam penegakan hukum yang harus dapat
memberikan keadilan bagi masyarakat. 25
Ada tiga aliran atau teori dalam ilmu pengetahuan pidana yang memberikan dasar
bagi penjatuhan pidana oleh penguasa atau wewenang penguasa untuk menjatuhkan
pidana, yaitu:26
22
Muladi dan Barda Nawawi Arif, Teori-teori dan Kebijakan Pidana, Alumni, Bandung, 1998, h.
149. 23
Ibid., h. 2. 24
Sudikno Mertokusumo, Penemuan Hukum: Sebuah Pengantar, Liberty, Yogyakarta, 1996, h. 36. 25
Sudikno Mertokusumo (1999), Op. Cit., h. 145-146. 26
Hermien Hadiati Koeswadji, Perkembangan Macam-macam Pidana dalam Rangka
Pembangunan Hukum Pidana, Citra Aditya Bhakti, Bandung, 1995, h. 7-12; Lihat juga Muladi dan Barda
Nawawi Arif (1998), Op. Cit., h. 10-24.
9
a. Teori absolut atau “vergeldings theorie” yang mempunyai ajaran bahwa yang
dianggap sebagai dasar pemidanaan adalah sifat “pembalasan” (vergelding atau
vergeltung). Di antara penganut teori ini adalah Immanuel Kant yang memandang
pidana sebagai “kategorische imperatief” yakni seseorang harus dipidana oleh hakim
karena ia telah melakukan kejahatan, dan Hegel berpendapat bahwa pidana merupakan
keharusan logis sebagai konsekuensi dari adanya kejahatan.
Menurut Andenaes, tujuan utama (primair) dari pidana menurut teori absolut ini
adalah untuk memuaskan tuntutan keadilan (to satisfy the claims of justice), sedangkan
pengaruh-pengaruhnya yang menguntungkan adalah sekunder.27
Aliran ini
berpendapat bahwa pidana adalah pembalasan, pemberian pidana dapat dibenarkan,
karena telah terjadi suatu kejahatan yang telah menggoncangkan masyarakat.
Kejahatan adalah perbuatan yang menimbulkan penderitaan anggota masyarakat
lainnya, sehingga untuk mengembalikan keadaan seperti semula, maka penderitaan itu
harus dibalas dengan penderitaan pula yaitu terdiri dari pidana (nestapa) terhadap
pelakunya.
b. Teori relatif atau teori tujuan (doel theorie). Menurut teori ini, pidana dijatuhkan
bukan “karena orang membuat kejahatan” (quia peccatum est), melainkan “supaya
orang jangan melakukan kejahatan” (ne peccetur). Salah seorang penganut teori ini
adalah Seneca yang terkenal dengan ucapannya “nemo prudens punit quia peccatum
est, sed ne peccetur”, atau “no reasonable man punishes because there has been a
wrong doing, but in order that there should be no wrong-doing” (tidak seorang
normal-pun dipidana karena telah melakukan suatu perbuatan jahat, tetapi ia dipidana
agar tidak ada perbuatan jahat). Johanes Andenaes menyebut teori ini sebagai teori
pelindung masyarakat.28
Aliran ini menafsirkan tujuan pokok dari pemidanaan, yaitu:29
1) Untuk mempertahankan ketertiban masyarakat (de handhaving van de
maatschappelijke orde);
2) Untuk memperbaiki kerugian yang diderita oleh masyarakat sebagai akibat dari
terjadinya kejahatan (het herstel van het door de misdaad onstane
maatschappelijke nadeel);
3) Untuk memperbaiki si penjahat (verbetering van de dader);
4) Untuk membinasakan si penjahat (onschadelijk maken van de misdadiger);
5) Untuk mencegah kejahatan (ter voorkoming van de misdaad).
c. Teori gabungan antara teori absolut dan teori relatif. Teori ini menggunakan kedua
teori tersebut di atas sebagai dasar pemidanaan, dengan pertimbangan bahwa kedua
teori tersebut memiliki kelemahan-kelemahan, yaitu:30
1) Kelemahan teori absolut adalah menimbulkan ketidakadilan karena dalam
penjatuhan hukuman perlu mempertimbangkan bukti-bukti yang ada dan
pembalasan yang dimaksud tidak harus negara yang melaksanakannya.
27
Muladi dan Barda Nawawi Arif (1998), Op. Cit., h. 11. 28
Ibid., h. 16. 29
Hermien Hadiati Koeswadji, Op. Cit., h. 12. 30
Ibid., h. 11-12.
10
2) Kelemahan teori relatif yaitu dapat menimbulkan ketidakadilan karena pelaku
tindak pidana ringan dapat dijatuhi hukuman berat; kepuasan masyarakat; dan
mencegah kejahatan dengan menakut-nakuti sulit dilaksanakan.
Dalam konteks tindak pidana kehutanan, urgensi perlindungan hutan dalam
perundang-undangan pidana terhadap kejahatan di bidang kehutanan, termasuk kejahatan
penebangan liar (illegal logging) dan pertambangan di kawasan hutan tanpa izin (illegal
mining), adalah perlindungan terhadap fungsi pokok dari hutan itu sendiri. Baik fungsi
ekologi, ekonomi maupun sosial-budaya yang dampaknya tidak hanya dirasakan oleh
masyarakat yang tinggal di dalam dan di sekitar hutan dan masyarakat secara nasional.
Nampaknya teori gabungan sebagaimana tersebut di atas relevan sebagai dasar
pelaksanaan pidana terhadap pelaku tindak pidana di bidang kehutanan, mengingat
pertimbangan-pertimbangan kelemahan dari kedua teori lainnya.
Orientasi kebijakan pidana dalam Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang
Kehutanan sebagaimana ditegaskan dalam paragrap 18 Penjelasan Umumnya adalah
bahwa pemberian sanksi pidana dan administrasi yang berat diharapkan akan dapat
menimbulkan efek jera (deterent effect) bagi pelanggar hukum di bidang kehutanan. Hal
ini berarti bahwa Undang-undang Kehutanan pada dasarnya menganut tujuan pemidanaan
berdasarkan teori relatif, yaitu:
a) algemene atau generale preventie, yaitu pencegahan yang ditujukan secara umum
kepada masyarakat, sehingga dengan demikian sifat pencegahannya bersifat umum;
dan
b) bijzondere atau speciale preventie yaitu pencegahan yang ditujukan kepada si penjahat
itu sendiri (pencegahan khusus)”.31
Menurut pandangan ini, tujuan pemidanaan adalah untuk menakut-nakuti orang
banyak dan si penjahat sendiri dengan memberikan sanksi yang berat, sehingga dengan
penerapan sanksi yang berat itu baik pelaku maupun orang lain akan jera melakukan
perbuatan yang dimaksud.
Penegakan hukum terhadap kejahatan di bidang kehutanan ini tidak lepas dari
konsep penegakan hukum terhadap lingkungan hidup. Hal ini merupakan konsekuensi
logis bahwa hutan merupakan salah satu unsur lingkungan hidup. Penegakan hukum
lingkungan di Indonesia, menurut Silalahi, mencakup penaatan dan penindakan
(compliance and enforcement) yang meliputi bidang hukum administrasi negara, bidang
hukum perdata dan bidang hukum pidana.32
Selanjutnya, menurut Jaro Mayda, sanksi
pidana dalam proteksi lingkungan hidup dipergunakan sebagai ultimatum remedium
(sebagai senjata terakhir), akhir dari suatu mata rantai dengan maksud untuk
menghapuskan akibat-akibat yang merugikan terhadap lingkungan hidup.33
Artinya,
bahwa sanksi pidana dalam bidang lingkungan, termasuk kehutanan, hanya merupakan
penunjang saja bagi sanksi lainnya, seperti sanksi administrasi dan sanksi perdata.
31
Ibid., h. 9. 32
Daud Silalahi, Hukum Lingkungan dalam Sistem Penegakan Hukum Lingkungan Indonesia,
Alumni, Bandung, 2001, h. 215. 33
Abdurrahman, Pengantar Hukum Lingkungan Indonesia, Citra Aditya Bhakti, Bandung, 1990, h.
109.
11
Fungsi sanksi pidana dalam hukum lingkungan termasuk kehutanan, menurut
Rangkuti telah berubah dari ultimatum remedium menjadi instrumen penegakan hukum
yang bersifat premium remedium.34
Lebih lanjut dikatakan bahwa ketentuan tentang
sanksi pidana dalam undang-undang lingkungan hidup tentang tugas pemerintah
menggariskan kebijakan dan melakukan tindakan yang mendorong ditingkatkannya upaya
pelestarian lingkungan hidup yang serasi dan seimbang. Artinya, ada keseimbangan antara
pemanfaatan maupun perlindungan terhadap hutan yang terintegrasi dalam satu konsep
pembangunan. Dengan demikian, perusak hutan perlu diberi penyuluhan, bimbingan serta
insentif dan disinsentif, sehingga benar-benar menyadari kewajibannya dan bagi yang
sengaja dan alpa mentaati ketentuan itu, dikenakan sanksi sebagai tindak lanjut.
Terkait dengan perkembangan hukum pidana lingkungan, yang menurut
Koeswadji telah ditandai dengan lahirnya aliran modern pada abad ke-19 yang hakikatnya
mendasarkan ajarannya pada:35
(1) Tujuan utama hukum pidana adalah perjuangan melawan kejahatan, karena
kejahatan dianggap sebagai gejala masyarakat;
(2) Ilmu pengetahuan hukum pidana dan perundang-undangan hukum pidana
harus memperhitungkan hasil studi yang diadakan oleh antropologi,
sosiologi dan ekonomi;
(3) Hukum pidana hanya merupakan salah satu penyelesaian yang ditentukan
oleh negara dalam memerangi kejahatan. Pidana bukan merupakan satu-
satunya sarana untuk memberantasnya, oleh karena itu pidana harus
dijatuhkan dalam kombinasinya dengan peraturan-peraturan
kemasyarakatan sosial lainnya (maatregel, treatment), terutama yang
bersifat preventif.”
Selanjutnya, menurut Koesnadi Hardjasumantri, penyidikan serta pelaksanaan
sanksi administrasi atau sanksi pidana merupakan bagian akhir (sluitstuk) dari penegakan
hukum. Yang perlu ada terlebih dahulu adalah penegakan preventif, yaitu pengawasan dan
pelaksanaan peraturan. Pengawasan preventif ini ditujukan kepada pemberian pelarangan
dan saran serta upaya meyakinkan seseorang dengan bijaksana agar beralih dari suasana
pelanggaran ke tahap pemenuhan ketentuan peraturan. Hal ini sesuai dengan teori relatif
tentang tujuan pemidanaan yaitu ada upaya perbaikan bagi pelaku, dan yang terutama
adalah bagaimana mengembalikan kerusakan hutan ke dalam kondisi semula.36
Mengacu pada pendapat tersebut di atas maka dapatlah diketahui pentingnya
kedudukan hukum pidana dalam fungsinya sebagai “penegak” atau “penguat” sanksi di
antara beberapa sanksi yang dapat dijatuhkan dalam konteks perlindungan terhadap hutan.
Penegakan hukum pidana sebagai ultimatum remedium adalah upaya untuk menjaga
kelestarian fungsi hutan. Pengoptimalan penggunaan pidana dalam bidang lingkungan
34
Siti Sundari Rangkuti, Hukum Lingkungan dan Kebijaksanaan Lingkungan Nasional, Airlangga
University Press, Surabaya, 2000, h. 323-324. 35
Hermien Hadiati Koeswadji, Hukum Pidana Lingkungan, Citra Aditya Bhakti, Bandung, 1993, h.
85. 36
Koesnadi Hardjasumantri, Hukum Tata Lingkungan, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta,
2002, h. 376.
12
hidup pada umumnya dan kehutanan khususnya sejalan dengan perkembangan yang
terjadi dalam hukum pidana.
Mengingat penggunaan sanksi pidana dalam penegakan hukum lingkungan,
termasuk bidang kehutanan, bersifat istimewa, dalam arti sifat hukum kehutanan yang
sangat istimewa karena menyangkut aspek perlindungan hutan untuk pendayagunaan
sumber daya alam menuju pembangunan berkelanjutan (sustainable development), untuk
pelestarian dan pengembangan kemampuan lingkungan hidup, adanya hubungan timbal
balik antara manusia dan lingkungan, sehingga perusakan hutan yang berarti perusakan
terhadap lingkungan dapat berakibat pada terganggunya daya dukung lingkungan yang
memerlukan beban atau biaya sosial yang tinggi untuk pemulihannya. Oleh karena itu,
sanksi pidana sangat diperlukan sebagai “senjata terakhir” (ultimum remedium) dalam
penegakan hukum kehutanan.
Implikasi dari perkembangan tindak pidana di bidang kehutanan, seperti halnya
praktik penebangan liar (illegal logging) dan kegiatan pertambangan di kawasan hutan
yang dilakukan tanpa izin (illegal mining), bukan hanya penegakan hukum dalam upaya
preventif saja yang tidak dapat berjalan dengan baik, akan tetapi upaya represif dalam
bentuk penegakan hukum pidana juga tidak lagi efektif. Ketentuan pidana kehutanan
sebagai lex specialis (hukum kekhususan) atau pengecualian dari peraturan perundang-
undangan yang berkaitan dengan tindak pidana di bidang kehutanan, yaitu Undang-
undang Nomor 5 Tahun 1990 dan Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 1985 maupun
peraturan perundang-undangan lain sebagai lex generali (ketentuan umum) seperti Kitab
Undang-undang Pidana (KUHP), Undang-undang Nomor 32 tentang Perlindungan dan
Pengelolan Lingkungan Hidup, Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP)
maupun ketentuan hukum pidana lainnya yang terkait tidak dapat mengakomodasi
perkembangan tindak pidana di bidang kehutanan, sehingga diperlukan politik hukum
pidana untuk memenuhi kebutuhan perkembangan kejahatan tersebut.
Peraturan pidana yang dibuat pada suatu masa tentu dimaksudkan agar sesuai
dengan kebutuhan akan penegakannya pada masa itu, akan tetapi ketika kejahatan itu
sendiri telah berkembang, maka peraturan pidana itu tidak lagi sesuai dengan kebutuhan
penegakannya seiring dengan perkembangan masa dan perkembangan kejahatan itu
sendiri. Oleh karena itu diperlukan perubahan dan penyesuaian dengan kondisi pada masa
sekarang. Ketika praktik-praktik penebangan liar (illegal logging) dan pertambangan di
kawasan hutan tanpa izin (illegal mining) berkembang sedemikian rupa, sementara
peraturan pidana yang dapat diterapkan untuk kejahatan itu tidak lagi dapat memenuhi
rasa keadilan masyarakat atau tidak efektif lagi, maka di sinilah dibutuhkan suatu politik
hukum pidana agar kejahatan illegal logging dan illegal mining dapat ditanggulangi
dengan peraturan pidana yang telah diubah atau disesuaikan dengan kebutuhan dalam
rangka penegakan hukum pidana tersebut.
Kejahatan sebagai “a human and social problem” menurut Ancel, tidak begitu saja
mudah dipaksakan untuk dimasukkan ke dalam suatu perumusan suatu peraturan undang-
undang.37
Ini tidak berarti bahwa hakim pidana tidak memutus berdasar undang-undang
dan harus menolak pidana. Digunakannya hukum pidana sebagai sarana untuk
menanggulangi kejahatan merupakan bagian dari kebijakan atau politik hukum di
37
Muladi dan Barda Nawawi Arif (1998), Op. Cit., h. 155.
13
Indonesia tidak lagi dipersoalkan. Yang menjadi masalah adalah garis-garis kebijakan atau
pendekatan bagaimanakah yang sebaiknya ditempuh dalam menggunakan hukum pidana
itu? Dalam hubungan ini, Muladi dan Arief mengatakan:
Tujuan akhir dari kebijakan kriminal ialah “perlindungan masyarakat” untuk
mencapai tujuan utama yang sering disebut dengan berbagai istilah misalnya
“kebahagiaan warga masyarakat/penduduk” (happiness of the citizens);
“kehidupan kultural yang sehat dan menyegarkan” (a wholesome and
cultural living), “kesejahteraan masyarakat” (social welfare) atau untuk
mencapai “keseimbangan” (equality).38
Kejahatan penebangan liar (illegal logging) dan pertambangan liar (illegal mining)
di kawasan hutan yang semakin berkembang dan semakin rumit untuk diberantas saat ini
dapat juga dikaji dari aspek aturan pidana yang ada terutama dalam pasal 50 dan 75
Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan sebagai lex specialis dari
kejahatan di bidang kehutanan. Pemerintah sampai saat ini bahkan dinilai tidak mampu
untuk memberantas tindak pidana di bidang kehutanan tersebut. Pemerintah sejauh ini
hanya melontarkan gagasan untuk memberantas penebangan liar (illegal logging) maupun
perdagangan kayu liar (illegal trading), tetapi tidak mempunyai konsep apalagi strategi
konkrit untuk memberantas penebangan liar.39
Terlepas dari aspek moralitas dalam sistem
penegakan hukum maka perlu dikaji peraturan perundang-undangan, khususnya aspek
pidana terhadap kejahatan illegal logging dan illegal mining di kawasan hutan. Terkait
dengan hal tersebut maka dipandang perlu adanya suatu perubahan-perubahan terhadap
konsep pidana dalam rangka memenuhi atau mengakomodasi perkembangan unsur-unsur
kejahatan illegal logging dan illegal mining sesuai dengan kebutuhan dalam rangka
penanggulangan kejahatan tersebut.
5. Kesimpulan
Berdasarkan uraian tersebut di atas maka dapat disimpulkan bahwa penegakan
hukum terhadap kejahatan di bidang kehutanan, baik illegal logging maupun illegal
mining, tidak lepas dari konsep penegakan hukum terhadap lingkungan hidup. Hal ini
mengingat hutan merupakan salah satu unsur lingkungan hidup. Sanksi pidana dalam
perlindungan lingkungan hidup dipergunakan sebagai ultimatum remedium (senjata
pamungkas), artinya bahwa sanksi pidana dalam bidang lingkungan, termasuk kehutanan,
hanya merupakan penunjang saja bagi sanksi lainnya seperti sanksi administrasi dan
sanksi perdata.
Berdasarkan prinsip tersebut di atas, maka penyelesaian terhadap suatu kasus yang
diduga melanggar ketentuan pidana dalam peraturan perundang-undangan di bidang
kehutanan, misalnya kasus izin pertambangan batubara di kawasan kehutanan, terlebih
dahulu harus diselesaikan secara administratif dengan cara mengajukan gugatan terhadap
keabsahan terhadap izin tersebut di pengadilan tata usaha negara. Dengan perkataan lain,
seorang atau badan hukum perdata yang melaksanakan kegiatan usaha berdasarkan izin
tidak bisa begitu saja dipidanakan oleh penegak hukum (polisi, jaksa, dan hakim) dengan
dalih izinnya melanggar peraturan perundang-undangan, tanpa terlebih dahulu
38
Ibid., h. 158. 39
Kompas, 31-1-2004.
14
mengajukan gugatan pembatalan kepada pengadilan tata usaha negara. Penegakan hukum
yang dilakukan dengan cara melanggar hukum termasuk dalam kategori melakukan
tindakan sewenang-wenang atau menyalahgunakan wewenang (kekuasaan).
6. Rekomendasi
Mengingat izin merupakan keputusan dari organ atau pejabat tata usaha negara
yang (semestinya) dibuat berdasarkan peraturan perundang-undangan, maka keabsahan
dari sebuah izin antara lain ditentukan oleh kewenangan dari organ atau pejabat yang
menerbitkannya. Apabila ada pihak ketiga yang merasa dirugikan terkait izin tersebut atau
instansi penegak hukum yang mendalihkan bahwa izin tersebut melanggar peraturan
perundang-undangan, maka hendaknya mereka mengajukan keberatan terlebih dahulu
kepada organ atau pejabat yang menerbitkannya atau mengajukan gugatan pembatalan
terhadap keabsahan izin tersebut kepada pengadilan tata usaha negara. Khusus bagi
penegak hukum, hendaknya tidak melakukan upaya kriminalisasi terhadap seseorang atau
badan hukum yang melakukan aktivitas usaha berdasarkan izin yang diberikan oleh
pejabat yang berwenang, sebelum ada pencabutan izin oleh pejabat yang berwenang
berdasarkan keberatan pihak ketiga yang merasa dirugikan atau sebelum ada putusan
Pengadilan Tata Usaha Negara yang menyatakan bahwa izin tersebut tidak sah atau batal
karena melanggar Undang-undang Kehutanan misalnya.
15
DAFTAR PUSTAKA
Abdurrahman, Pengantar Hukum Lingkungan Indonesia, Citra Aditya Bhakti, Bandung,
1990
Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, Citra Aditya Bakti,
Bandung, Bandung, 1996
Cherif Bassiouni, M., Substantive Criminal Law, Charles C. Thomas Publisher, Illionis,
USA, 1978
Daud Silalahi, Hukum Lingkungan dalam Sistem Penegakan Hukum Lingkungan
Indonesia, Alumni, Bandung, 2001
Dwidja Priyatno, Kebijakan Legislasi tentang Sistem Pertanggungjawaban Pidana
Korporasi di Indonesia, CV Utomo, Bandung, 2004
Hermien Hadiati Koeswadji, Hukum Pidana Lingkungan, Citra Aditya Bhakti, Bandung,
1993
---------, Perkembangan Macam-macam Pidana dalam Rangka Pembangunan Hukum
Pidana, Citra Aditya Bhakti, Bandung, 1995
Koesnadi Hardjasumantri, Hukum Tata Lingkungan, Gadjah Mada University Press,
Yogyakarta, 2002
Muladi dan Barda Nawawi Arief, Teori-teori dan Kebijakan Pidana, Alumni, Bandung,
1998
Siti Sundari Rangkuti, Hukum Lingkungan dan Kebijaksanaan Lingkungan Nasional,
Airlangga University Press, Surabaya, 2000
Sudarto, Hukum dan Hukum Pidana, Alumni, Bandung, 1981
---------, Hukum dan Perkembangan Masyarakat, Sinar Baru, Bandung, 1983
Sudikno Mertokusumo, Penemuan Hukum: Sebuah Pengantar, Liberty, Yogyakarta, 1996
Sukardi, Illegal Loging dalam Perspektif Politik Hukum Pidana (Kasus Papua),
Penerbitan Universitas Atma Jaya, Yogyakarta, 2005
Kompas, 31-1-2004.