politik identitas dalam hubungan internasional: bias

20
145 Politik Identitas dalam Hubungan Internasional: Bias Konstruksi Barat terhadap Ancaman Uji Coba Rudal Korea Utara dan India Mohamad Rosyidin 6 Abstract North Korea missile launch test had triggered widely international response particularly from the West. They sharply condemned North Korea that it destabilizes international security. Soon after that, India successfully launched ICBM which can load nuclear warhead. Contrast to North Korea, Western powers were silence over what had been done by India. This anomaly cannot be explained by realist that emphasize merely on material power. For realist, threat emerges from material capabilities. If realist were true, then Western power should have condemned both North Korean and India concerning missile launch test. Yet, the fact was not in accord with realist premise. This research seeks to explain the anomaly based on constructivist approach in International Relations. According to constructivist, threat derives from ideational structure rather than material capabilities. The central thesis of this research is that the contrast of Western powers response toward North Korea and India missile test is due to identity of both states perceived by the US. While North Korea is perceived as an ‘enemy’ because of its evil ideology, India is perceived as a ‘friend’ because of it shared democracy. Different conception of the identity lead to different conception of state interest and in turn lead to different act or policy. Keywords: nuclear, proliferation, identity, ideology, democracy Pendahuluan Pada tanggal 13 April 2012 lalu Korea Utara (Korut) gagal menguji coba peluru kendali yang diberi nama Unha-3 (Galaksi-3) tiga menit setelah meluncur. Oleh pengamat Barat, peluru kendali itu diklaim mampu membopong hulu ledak nuklir. Padahal, pihak Korut menyatakan bahwa itu bukan peluru kendali melainkan roket yang membawa satelit. Tindakan Korut itu memicu kecaman keras dari negara-negara di dunia bahwa uji coba itu mengganggu stabilitas keamanan internasional. Amerika Serikat (AS) mengatakan, “Meskipun upaya peluncuran rudal itu tidak berhasil, tindakan provokatif Korut itu mengancam keamanan regional, melanggar hukum internasional, dan bertentangan dengan komitmen mereka saat ini” (BBC, 2012). Sebagai respon, AS segera Penulis adalah Staf Pengajar pada Program Studi Hubungan Internasional Universitas Diponegoro

Upload: others

Post on 22-Oct-2021

14 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: Politik Identitas dalam Hubungan Internasional: Bias

145

Politik Identitas dalam Hubungan Internasional:

Bias Konstruksi Barat terhadap Ancaman Uji Coba Rudal Korea

Utara dan India

Mohamad Rosyidin6

Abstract

North Korea missile launch test had triggered widely international response

particularly from the West. They sharply condemned North Korea that it destabilizes

international security. Soon after that, India successfully launched ICBM which can load

nuclear warhead. Contrast to North Korea, Western powers were silence over what had

been done by India. This anomaly cannot be explained by realist that emphasize merely

on material power. For realist, threat emerges from material capabilities. If realist were

true, then Western power should have condemned both North Korean and India

concerning missile launch test. Yet, the fact was not in accord with realist premise. This

research seeks to explain the anomaly based on constructivist approach in International

Relations. According to constructivist, threat derives from ideational structure rather

than material capabilities. The central thesis of this research is that the contrast of

Western powers response toward North Korea and India missile test is due to identity of

both states perceived by the US. While North Korea is perceived as an ‘enemy’ because

of its evil ideology, India is perceived as a ‘friend’ because of it shared democracy.

Different conception of the identity lead to different conception of state interest and in

turn lead to different act or policy.

Keywords: nuclear, proliferation, identity, ideology, democracy

Pendahuluan

Pada tanggal 13 April 2012 lalu Korea Utara (Korut) gagal menguji coba

peluru kendali yang diberi nama Unha-3 (Galaksi-3) tiga menit setelah meluncur.

Oleh pengamat Barat, peluru kendali itu diklaim mampu membopong hulu ledak

nuklir. Padahal, pihak Korut menyatakan bahwa itu bukan peluru kendali

melainkan roket yang membawa satelit. Tindakan Korut itu memicu kecaman

keras dari negara-negara di dunia bahwa uji coba itu mengganggu stabilitas

keamanan internasional. Amerika Serikat (AS) mengatakan, “Meskipun upaya

peluncuran rudal itu tidak berhasil, tindakan provokatif Korut itu mengancam

keamanan regional, melanggar hukum internasional, dan bertentangan dengan

komitmen mereka saat ini” (BBC, 2012). Sebagai respon, AS segera

Penulis adalah Staf Pengajar pada Program Studi Hubungan Internasional Universitas

Diponegoro

Page 2: Politik Identitas dalam Hubungan Internasional: Bias

146

menghentikan bantuan pangan ke Korut dan DK PBB mengancam menjatuhkan

sanksi. Negara-negara lain seperti Inggris, Jepang, dan Rusia juga mengecam

tindakan Korut itu yang dianggap melanggar resolusi DK PBB. Alhasil, Korut

benar-benar terpojok oleh kecaman dunia internasional.

Lima hari kemudian, India sukses menguji coba peluru kendali antar

benua (ICBM) Agni-V yang mampu memboyong hulu ledak nuklir seberat satu

ton. Peluru kendali berdaya jangkau 5000 kilometer itu diklaim mampu mencapai

sasaran strategis China atau Eropa. Perdana Menteri India Manmohan Singh

menyatakan, “Keberhasilan uji peluncuran Agni V adalah tonggak sejarah baru

dalam perjuangan kita menambah kredibilitas keamanan dan kesiagaan kita, dan

untuk terus menjelajahi batas terdepan ilmu pengetahuan” (Kompas, 2012).

Reaksi dunia internasional sangat kontras dengan Korut. Sekretaris jenderal

NATO Anders Fogh Rasmussen menyatakan bahwa NATO tidak menganggap

India sebagai ancaman bagi keamanan dunia (Vivanews, 2012). Sikap AS juga

relatif ‘ramah’ terhadap India dengan alasan India merupakan negara yang

memiliki rekam jejak non-proliferasi yang solid dan terlibat aktif di komunitas

internasional dalam membahas non-proliferasi. Keberhasilan uji coba itu

membuat India menempati posisi eksklusif negara-negara pemilik senjata nuklir

di dunia.

Bagaimana menjelaskan kontras sikap dunia internasional, terutama

Barat terhadap uji coba peluru kendali yang dilakukan dua negara Asia tersebut?

Belum ada satu pun analisis yang menjawab anomali itu. Jika mengikuti

pandangan realisme dalam tradisi teoritis Ilmu Hubungan Internasional, anomali

kasus Korut dan India itu akan menggugurkan proposisi bahwa kapabilitas

material menentukan tindakan negara (Waltz, 1979; Mearsheimer, 1995). Para

penganut realis percaya bahwa, “...perilaku negara terutama dibentuk oleh struktur

material dari sistem internasional. Distribusi kapabilitas material antar negara

merupakan faktor kunci untuk memahami politik dunia” (Mearsheimer, 1995: 91).

Logika kaum realis ini tidak dapat dipakai untuk menjelaskan kenyataan di atas.

Jika tesis realis benar, seharusnya reaksi negara-negara sama baik terhadap Korut

maupun India karena kedua negara secara obyektif melakukan uji coba

peluncuran peluru kendali. Logika ancaman seharusnya juga muncul dari realitas

Page 3: Politik Identitas dalam Hubungan Internasional: Bias

147

obyektif itu. Namun kenyataannya, Barat sangat khawatir terhadap uji coba yang

dilakukan Korut meskipun uji coba itu gagal sedangkan Barat tidak merasa was-

was sama sekali terhadap uji coba yang dilakukan India meskipun uji coba itu

sukses. Kontras sikap Barat dalam menanggapi uji coba peluru kendali Korut dan

India adalah deviant case yang tidak sejalan dengan premis realis.

Artikel ini akan menjelaskan anomali tersebut menggunakan konsep

identitas dalam konstruktivisme. Menurut konstruktivis, perilaku negara didorong

intersubyektivitas atau penafsiran satu sama lain aktor satu terhadap aktor lainnya.

Penafsiran itu melahirkan identitas yang membentuk persepsi mereka. Bagaimana

negara mempersepsi negara lain dan dirinya sendiri memunculkan gambaran

realitas hubungan internasional yang tidak seragam, melainkan bervariasi. Tesis

dasar tulisan ini adalah perbedaan sikap Barat terhadap uji coba peluru kendali

antara Korut dan India disebabkan oleh intersubyektivitas antara Barat dan kedua

negara yang melahirkan identitas yang berbeda. Barat memandang Korut sebagai

‘musuh’ sedangkan India dipersepsi sebagai ‘teman’. Perbedaan identitas ini

membentuk pemaknaan yang berbeda terhadap uji coba nuklir yang dilakukan

oleh kedua negara. Alhasil, uji coba peluru kendali yang dilakukan oleh Korut

dipersepsi sebagai ancaman, sedangkan apa yang dilakukan India tidak dipersepsi

sebagai ancaman.

Artikel ini akan mengikuti sistematika sebagai berikut. Bagian pertama

akan mendiskusikan konsep identitas dalam hubungan internasional. Identitas

merupakan salah satu konsep kunci konstruktivis untuk menjelaskan politik dunia.

Identitas negara bermacam-macam tergantung konteksnya. Bagian kedua akan

membahas bagaimana identitas menjelaskan kasus uji coba peluru kendali Korut

dan India. Bagian ini akan menunjukkan bagaimana identitas berperan penting

dalam memberi pemaknaan terhadap uji coba tersebut. Identitas muncul dari

proses interaksi timbal-balik antar aktor internasional. Bagian ketiga adalah

kesimpulan, keterbatasan hasil penelitian, dan saran penelitian lebih lanjut.

Identitas dalam Hubungan Internasional

Konstruktivisme adalah cara pandang yang memusatkan perhatian pada

kesadaran manusia serta peranannya dalam hubungan internasional (Ruggie,

Page 4: Politik Identitas dalam Hubungan Internasional: Bias

148

1998: 856). Asumsi dasar konstruktivisme adalah bahwa dimensi gagasan lebih

penting ketimbang dimensi material, dan bahwa identitas dan kepentingan

ditentukan oleh gagasan tersebut ketimbang seperti apa adanya (Wendt, 1999: 1).

Alasan kenapa dimensi gagasan yang tidak tampak ini sangat penting karena

“[S]umberdaya material hanya bermakna bagi tindakan manusia sejauh melalui

struktur pemahaman bersama dimana mereka berada” (Wendt, 1995: 73). Dengan

demikian, logika berpikir konstruktivis sangat berbeda dengan realis. Jika realis

menekankan pada dimensi material berupa distribusi kapabilitas antar negara,

konstruktivis menekankan pada dimensi tidak tampak berupa distribusi

pengetahuan atau intersubyektivitas (shared understanding) antar negara.

Salah satu konsep kunci konstruktivis untuk memahami fenomena

hubungan internasional adalah identitas. Konsep identitas sebenarnya dipinjam

dari sosiologi dan psikologi sosial. Berdasarkan kedua disiplin itu, identitas bisa

dipahami melalui dua pemaknaan. Pertama, identitas sebagai kategori ‘sosial’

yaitu atribut atau karakteristik yang membedakannya dengan yang lain. Konsepsi

ini mengimplikasikan identitas sebagai sesuatu yang terkonstruk dalam proses

interaksi dengan pihak lain (significant other). Jadi dibutuhkan intersubyektivitas

untuk memberi makna siapa ‘aku/kami’ dan siapa ‘kamu/mereka’. Bagaimana

kelompok atau individu-individu di luar aktor berpengaruh terhadap bagaimana

cara aktor memandang dirinya dan di luar dirinya tidak bisa dimengerti tanpa

memahami konteks sosial yang lebih luas dimana aktor yang bersangkutan berada

(Ellemers, 2002: 164-165). Identitas kategori ini relatif plastis atau mudah

berubah tergantung proses pemaknaan dalam sebuah proses interaksi. Contohnya

identitas sebagai negara ‘demokratis’, ‘pembela HAM’, ‘stabilisator’, dan lain-

lain. Untuk mendefinsikan diri sebagai negara ‘pembela HAM’, Amerika

memerlukan eksistensi negara ‘pelanggar HAM’.

Kedua, identitas sebagai kategori ‘personal’ yaitu atribut atau

karakteristik yang melekat dalam diri aktor yang keberadaannya muncul tanpa

perlu proses pembedaan dengan yang lain. Definisi kedua ini mengandaikan

identitas sebagai sesuatu yang disadari sendiri (self-awareness) oleh aktor

bersangkutan tanpa perlu intersubyektivitas. Identitas personal memandang aktor

sebagai pribadi yang unik yang membedakannya dengan pribadi lain. Aktor

Page 5: Politik Identitas dalam Hubungan Internasional: Bias

149

melakukan tindakan atas dasar kehendak dan tujuannya sendiri tanpa melihat

posisi atau kedudukannya dalam konteks sosial (Stets & Burke, 2000: 228).

Identitas kategori ini relatif stabil karena atribut yang dimiliki melekat sejak awal.

Contohnya adalah identitas etnis, agama, budaya, dan sebagainya. Untuk

mendefinisikan dirinya sebagai ‘negara muslim’ Indonesia tidak perlu

membedakan dirinya dengan negara yang ‘bukan muslim’ karena secara intrinsik

Indonesia memang penduduknya mayoritas beragama Islam. Meskipun berbeda

secara konseptual, kedua konsep pada intinya sama bahwa identitas adalah atribut

atau karakteristik yang melekat pada diri aktor yang berfungsi untuk membedakan

atau mengidentifikasi diri dengan pihak lain (Mead, 1934: 173-178; Layder, 2004;

Fearon, 1999).

Bagi konstruktivis, identitas didefinisikan sebagai, “[A]tribut aktor

internasional yang bertujuan yang memberikan motivasi dan mendorong

tindakannya” (Wendt, 1999: 224). Bagaimana aktor internasional memandang

dirinya vis a vis persepsi aktor lain akan menjadi determinan utama tindakan aktor

tersebut. Dengan kata lain, negara mempersepsi negara lain berdasarkan identitas

yang mereka sematkan padanya, sementara pada saat yang sama mereproduksi

identitasnya sendiri (Hopf, 1998: 175). Misalnya, AS lebih waspada kepada Kuba

daripada kepada Kanada. Padahal Kanada secara geografis lebih besar dan secara

ekonomi lebih kuat daripada Kuba. Kewaspadaan AS itu lebih didasari oleh

perbedaan identitas karena AS adalah ‘negara demokrasi’ sama seperti Kanada,

sementara Kuba adalah ‘negara sosialis’. Perbedaan pemahaman diri ini

mengakibatkan perbedaan pemaknaan dalam konteks interaksi; Kuba dipersepsi

sebagai ‘musuh’ sedangkan Kanada sebagai ‘teman’. Identitas ini menjadi dasar

dari kepentingan negara bersangkutan. Dengan kata lain, pemaknaan tentang

‘siapa kami’ dan ‘siapa mereka’ akan menentukan konsepsi tentang apa tujuan

yang hendak dicapai. Kepentingan ini pada gilirannya akan menentukan tindakan

apa yang akan diambil negara tersebut. Dengan demikian, identitas diperlakukan

sebagai variabel independen yang menjelaskan perilaku negara.

Konstruktivis juga menganggap identitas adalah entitas yang dapat

berubah. Praktik berupa tindakan negara tidak hanya dibentuk oleh identitas,

tetapi juga membentuk identitas itu sendiri. Sifat hubungan antara identitas dan

Page 6: Politik Identitas dalam Hubungan Internasional: Bias

150

identitas

kepentingantindakan

praktik adalah saling membentuk (mutually constituted). Dalam salah satu

referensi penting konstruktivisme, Peter Berger dan Thomas Luckmann (1966:

192) mengatakan bahwa:

Identitas merupakan elemen realitas subyektif, dan seperti halnya

semua realitas subyektif ia berada dalam hubungan dialektis dengan

masyarakat. Identitas terbentuk melalui proses sosial. Begitu terbentuk,

identitas dipertahankan, dimodifikasi, atau bahkan diubah melalui

hubungan sosial. Proses sosial yang membentuk dan mempertahakan

identitas ditentukan oleh struktur sosial. Sebaliknya, identitas yang

terbentuk oleh gabungan antara individu, kesadaran, dan struktur sosial

merespon struktur sosial itu, mempertahankannya, memodifikasinya, atau

bahkan merubahnya.

Ambil contoh misalnya AS yang berperang di Libya karena ia memahami

dirinya sebagai ‘negara pejuang HAM’ sementara memandang Libya sebagai

‘negara pelanggar HAM’. Identitas AS itu lantas melandasi kepentingan untuk

‘menyelamatkan nyawa warga sipil Libya’. Kebijakan atau tindakan AS kemudian

adalah ‘menginvasi Libya’. Dengan cara menginvasi itulah AS mempertahankan

identitasnya.

Gambar 1. Logika berpikir konstruktivisme

Sama seperti individu yang memiliki bermacam-macam identitas, negara

juga memiliki beragam identitas tergantung konteks sosialnya. Alexander Wendt

(1999: 224-231) membagi identitas menjadi empat jenis yaitu identitas personal

(corporate identity), identitas golongan (type identity), identitas peran (role

identity), dan identitas kolektif (collective identity). Identitas personal terdiri dari

Page 7: Politik Identitas dalam Hubungan Internasional: Bias

151

komponen yang menyusun sebuah entitas (negara) seperti wilayah, konsep

kedaulatan, pengakuan, dan tujuan nasional. Identitas golongan merupakan

kategorisasi yang membuat negara satu dengan negara lain memiliki karakteristik

yang sama atau minimal serupa misalnya dalam hal nilai yang dianut (ideologi

dan sistem politik), budaya, sikap dan perilaku, persepsi, pengalaman sejarah, dan

sebagainya (Wendt, 1999: 225). Identitas peran merujuk pada posisi aktor negara

dalam lingkungan internasional dan kaitannya dengan negara lain. Jadi identitas

jenis ini tercipta karena keberadaan significant other yang bisa jadi menduduki

peran berbeda atau berlawanan (counter identities). Identitas kolektif adalah

identifikasi positif bahwa antar negara tidak ada permusuhan kecuali persahabatan

(logika pertemanan). Jadi dalam identitas kolektif pola interaksi antar negara tidak

lagi dimotivasi oleh logika menolong diri sendiri atau egoisme (self help) tetapi

logika demi kepentingan bersama atau altruisme (one for all, all for one).

Dalam konteks uji coba peluru kendali Korut dan India, konsep sentral

identitas bisa diaplikasikan untuk memahami sikap negara-negara Barat terhadap

kedua negara itu. Tipologi identitas Alexander Wendt yang sesuai untuk

menjelaskan hal itu adalah identitas golongan (type identity). Persepsi ancaman

yang muncul sebenarnya bukan bersumber semata-mata dari realitas obyektif

berupa peristiwa uji coba peluncuran peluru kendali an sich. Kenapa uji coba

Korut dipersepsi sebagai ancaman lebih dikarenakan Barat memandang identitas

Korut berbeda dari Barat; Korut diperintah oleh rezim komunis otoriter sedangkan

Barat adalah rezim demokratis. Sementara Barat mengidentifikasi India sebagai

negara demokratis yang berbagi kesamaan identitas dengan Barat. Alhasil, karena

perbedaan identitas itu Korut dipersepsi Barat sebagai ‘musuh’ sementara India

sebagai ‘teman’. Identifikasi inilah yang menjadi dasar yang menentukan kontras

sikap Barat terhadap kedua negara.

Berdasarkan kerangka pemikiran di atas, penelitian ini mengajukan

jawaban sementara bahwa faktor yang menyebabkan perbedaan sikap Barat

terhadap Korut dan India adalah konsepsi identitas antara Barat dan Korut serta

antara Barat dan India. Karena identitas Korut sebagai negara otoriter berhaluan

komunis yang berbeda dengan Barat yang demokratis, maka Korut dipandang

sebagai musuh. Karena identitas India sebagai negara demokrasi yang sehaluan

Page 8: Politik Identitas dalam Hubungan Internasional: Bias

152

dengan Barat, maka India dipandang sebagai teman. Jadi semakin serupa identitas

antar negara, semakin tidak bermusuhan negara itu. Sebaliknya semakin berbeda

identitas antar negara, semakin besar kecenderungan untuk bermusuhan.

Identitas dan Konsep Ancaman

Bagian ini menelaah konstruksi identitas antara Barat (dalam hal ini adalah

AS) dan kedua negara (Korut dan India). Fokus pembahasan adalah bagaimana

persepsi AS terhadap kedua negara dan sebaliknya. Derajat persepsi suatu negara

dapat dilihat dari pandangan atau opini elit pemerintah yang mewakili negara atau

bisa juga persepsi warga masyarakat terhadap pemerintah negara tertentu. Bagian

ini menunjukkan bagaimana sebuah identitas terkonstruk secara sosial. Bagi

konstruktivis, identitas bukan sesuatu yang bersifat given dan statis. Identitas

adalah atribut sosial yang sengaja diciptakan dalam proses interaksi dan bisa

berubah ketika persepsi berubah. Proses saling mempersepsi antara AS-Korut-

India mencerminkan proses saling melabeli (labelling) yang mendefinisikan

‘siapa kami’ dan ‘siapa mereka’. Proses pendefinisian ini pada gilirannya

menentukan struktur hubungan apakah ‘konfliktual’ (enmity) atau ‘persahabatan’

(amity).

Konstruksi Identitas antara Amerika Serikat-Korea Utara

Sejak Perang Dingin, hubungan antara AS dan Korut dikategorikan

sebagai hubungan permusuhan. Hal ini dilatarbelakangi oleh pecahnya Korea

menjadi dua pasca berakhirnya Perang Dunia II menjadi Korea Selatan (Korsel)

yang berhaluan liberal-kapitalis bersekutu dengan AS dan Korut yang berhaluan

komunis-sosialis bersekutu dengan Uni Soviet. Konflik ideologis antara AS dan

Uni Soviet selama Perang Dingin merembet sampai ke kawasan-kawasan lain di

dunia yang menciptakan ‘proxy war’, tak terkecuali di Semenanjung Korea.

Perang Korea tahun 1950 sebenarnya adalah perang antara AS dan Uni Soviet.

Setelah perang itu, pemerintah AS dan kalangan militer mulai mengidentifikasi

Korut sebagai ‘musuh’ (Chung, 2005).

Meskipun Perang Dingin telah berakhir, bukan berarti permusuhan turut

berakhir. Korut tetap dipandang AS sebagai musuh yang berbahaya bagi

Page 9: Politik Identitas dalam Hubungan Internasional: Bias

153

keamanan nasionalnya dan juga bagi keamanan internasional. Pada tahun 2002,

Presiden AS George Bush memasukkan Korut ke dalam daftar negara ‘poros

setan’ (axis of evil) bersama dengan Iran dan Irak. Merujuk pada ketiga negara itu,

Bush (2002) menyatakan:

Negara-negara semacam ini, dan sekutu-sekutu teroris mereka,

membentuk poros setan, mempersenjatai diri untuk mengancam

perdamaian dunia. Dengan memiliki senjata pemusnah massal, rezim-

rezim ini memperlihatkan ancaman yang mengerikan. Mereka bisa

menyediakan senjata-senjata ini untuk para teroris, sebagai sarana

untuk melampiaskan permusuhannya. Mereka bisa menyerang sekutu-

sekutu kita atau berupaya memaksa kita. Dalam hal ini, membiarkan

itu terjadi adalah sangat berbahaya.

Nuansa permusuhan dengan Korut juga tercermin dari pernyataan

Condoleezza Rice (2000: 60) yang menyamakan rezim Kim Jong II dengan rezim

komunis Jerman Timur sebagai rezim setan yang tidak bisa diketahui secara pasti

motivasinya dan berada di luar sistem internasional. Permusuhan antara AS dan

Korut kian meruncing ketika Korut secara sepihak menyatakan keluar dari Traktat

Non Proliferasi Nuklir (NPT) pada tahun 2003. Semenjak keluar dari kerangka

legal itu, Korut semakin leluasa melakukan uji coba nuklir sehingga sering

menuai kecaman keras dari komunitas internasional. AS pun kerap menjatuhkan

sanksi ekonomi untuk menekan Korut namun tanpa hasil.

Ketika Barack Obama menjadi presiden AS, persepsi AS terhadap Korut

tak mengalami perubahan. Sama seperti Bush, Iran dan Korut adalah dua negara

yang dipandang Obama berbahaya. Ketika kampanye untuk pemilihan presiden

2008, Obama (2007: 9) mengatakan,

Akhirnya, kita harus membangun koalisi internasional yang

kokoh untuk mencegah Iran memperoleh senjata nuklir dan

mengeliminasi program nuklir Korea Utara. Iran dan Korea

Utara bisa memicu perlombaan senjata di kawasan, menyalakan

sumbu nuklir di kawasan Timur Tengah dan Asia Timur.

Perubahan hanya tampak pada pendekatan yang dipakai Obama untuk

mengajak Korut kembali ke meja perundingan. Forum multilateral Six Party Talk

dihidupkan kembali meskipun jarang mencapai kata sepakat. AS memberikan

Page 10: Politik Identitas dalam Hubungan Internasional: Bias

154

bantuan pangan kepada Korut agar negara itu mau menghentikan tindakan

provokatif yang mengancam stabilitas keamanan internasional. Akan tetapi dalam

politik luar negeri AS, Korut tetap belum digeser posisinya dari negara ‘musuh’

ke negara ‘sekutu’ dan agaknya nyaris mustahil melakukannya. Ketika

berkunjung ke China dalam rangka memperkuat hubungan diplomatik antara AS-

China, Menteri Pertahanan AS Robert Gates menyatakan, “dengan diteruskannya

pengembangan senjata nuklir dan misil antar benua, Korea Utara merupakan

ancaman langsung terhadap Amerika Serikat” (The Guardian, 2011). Pengganti

Gates, Leon Panetta juga berpendapat sama dengan mengatakan, “Korea Utara

terus bertindak provokatif yang mengancam keamanan negara kita dan, tentu saja

Korea Selatan dan kawasan” (Departemen Pertahanan AS, 2012). Dalam benak

petinggi AS, Korut tetap menjadi negara di Asia Timur yang patut diwaspadai.

Persepsi elit pemerintah AS diperkuat oleh persepsi masyarakatnya.

Dalam sebuah jajak pendapat yang dilakukan oleh Gallup, ditemukan bahwa

Korut merupakan negara yang diidentifikasi sebagai musuh nomor dua setelah

Iran. Sedangkan negara yang diidentifikasi sebagai sekutu nomor satu adalah

Kanada. Jajak pendapat itu menunjukkan bahwa Israel hanya menempati urutan

ke delapan. Hasil jajak pendapat itu mencerminkan pandangan publik AS

terhadap Korut yang masih dianggap sebagai ancaman. Masyarakat AS menilai

Korut merupakan negara yang tidak populis, sangat tidak bisa dipercaya, dan

ancaman nyata bagi keamanan nasional AS. Hasil jajak pendapat itu menunjukkan

delapan dari sepuluh warga AS menilai Korut sebagai ‘ancaman utama’

(Washington Post, 2012).

Page 11: Politik Identitas dalam Hubungan Internasional: Bias

155

Gambar 2. Daftar negara ‘kawan’ dan negara ‘musuh’ menurut opini publik

Amerika

Sumber: Gallup, 2012

Subyektivitas AS yang memandang Korut sebagai ‘musuh’ ditanggapi

oleh Korut dengan cara yang sama. Persepsi negatif Korut terhadap AS perlu

ditempatkan dalam konteks sejarah. Penempatan tentara AS di Korsel sejak era

Perang Dingin dipandang sebagai agresivitas AS yang mengancam eksistensi

Korut. Identitas nasional ‘Juche’ (secara harfiah berarti berdiri di atas kaki

sendiri) mengimplikasikan penolakan terhadap segala tuntutan dari negara lain.

Untuk menopang kedaulatannya, Korut merasa perlu memiliki senjata nuklir yang

bisa dipakai untuk strategi penangkalan. Ketika AS semakin erat dengan Korsel,

Korut semakin memperkeras upayanya untuk memiliki senjata nuklir. Kim Jong II

memelihara balance of terror dengan mengadopsi Sôn’gunjôngch’aek (military

first policy) untuk mengirim isyarat kepada AS bahwa Korut tidak bisa didikte

(Suh, 2005).

Page 12: Politik Identitas dalam Hubungan Internasional: Bias

156

Pasca kematian Kim Jong II, persepsi negatif Korut terhadap AS

ditunjukkan dengan pernyataan resmi pemerintahan rezim Kim Jong Un (anak

dari Kim Jong II) yang menegaskan bahwa sikap permusuhan AS terhadap

program nuklir Korut telah membuat solusi damai jauh dari harapan. Pernyataan

resmi Korut itu juga menggarisbawahi poin penting bahwa, “sejak awal AS telah

mendefinisikan Korut sebagai musuh dan enggan mengakui kedaulatannya”

(Snyder, 2012). Pihak Korut sendiri sebenarnya berkeinginan untuk memperbaiki

hubungan diplomatik dengan AS asalkan AS mau melakukan perubahan

fundamental terkait kebijakannya terhadap Korut. Dengan kata lain, Korut akan

terbuka untuk semua negara yang menunjukkan sikap persahabatan kepada Korut.

Tentu saja, negara lain harus menghormati kebijakan Korut mengenai program

nuklirnya.

Konstruksi identitas antara AS-Korut merupakan produk interaksi kedua

negara dalam hubungan internasional baik melalui pernyataan resmi pemerintah

maupun persepsi publik. AS menilai Korut adalah dipimpin oleh rezim yang

‘buruk’ dengan kebijakan-kebijakan yang ‘tidak waras’ (Smith, 2000). Rezim

Korut juga dinilai rapuh yang jika terjadi krisis politik bisa berbahaya karena bisa

memicu provokasi militer (Green, 1997). Dicap buruk karena dianggap keluar dari

komunitas internasional sehingga dijuluki pemerintah ‘setan’. Secara internal

Korut melakukan kebijakan yang melenceng dari norma internasional seperti

melakukan pelanggaran HAM. Secara eksternal Korut bertindak agresif terhadap

negara-negara tetangganya dan terus memperkuat militernya. Dicap tidak waras

karena Korut tak pernah mau mematuhi norma internasional. Irasionalitas Korut

membuat perundingan damai selalu menemui jalan buntu karena perilakunya

tidak dapat diprediksi. Pada saat yang sama, Korut menilai AS sebagai negara

yang selalu ingin menang sendiri dan tidak mau menghormati kedaulatan negara

lain. Bagi Korut, permusuhannya dengan AS bukan kemauannya sendiri

melainkan sebagai respon sikap AS yang memang enggan bersahabat dengan

negara seperti dirinya.

Pola hubungan konfliktual antara AS dan Korut mendorong kepentingan

AS untuk membendung ancaman Korut. Bagi AS dan negara-negara Barat

sekutunya, Korut adalah ‘major destabilizing factor’ di kawasan Asia Timur yang

Page 13: Politik Identitas dalam Hubungan Internasional: Bias

157

dapat mengacaukan struktur perimbangan kekuatan di kawasan itu. Kepentingan

AS terkait Korut sangat jelas yakni menanggulangi ancaman dari rezim-rezim

jahat dan kekuatan-kekuatan berbahaya, yang ditimbulkan oleh pengembangan

senjata pemusnah massal (Rice, 2000: 47). Meskipun tidak secara eksplisit

menyebut Korut, pernyataan tersebut diarahkan kepada negara-negara pemilik

senjata nuklir yang tidak sejalan dengan kepentingan AS, salah satunya tentu saja

adalah Korut. Bahkan Barack Obama (2007: 8) menegaskan komitmennya untuk

melawan negara bersenjata nuklir yang berpotensi mengancam sebagai bagian

dari upaya memperbarui kepemimpinan global AS. Motivasi AS membendung

ancaman Korut merupakan kepentingan strategis AS tidak hanya di kawasan Asia

Timur, melainkan Asia Pasifik secara keseluruhan. Kepentingan strategis itu

adalah menjaga perdamaian dan keamanan Asia Pasifik karena hal itu akan

menunjang kepentingan-kepentingan AS dan sekutu-sekutunya di kawasan

(Campbell, 2011). Dengan logika hubungan seperti itu, sangat masuk akal apabila

AS menerapkan kebijakan konfrontasional terhadap Korut menyangkut uji coba

senjata nuklirnya. Kecaman dan sanksi ekonomi mencerminkan tindakan AS

untuk menjamin kepentingannya di kawasan dari ancaman Korut.

Konstruksi Identitas antara Amerika Serikat-India

Kontras dengan Korut, India dipersepsi AS sebagai ‘sekutu alami’

(Twinning & Fontaine, 2011). Ketika bertemu dengan Perdana Menteri India

Manmohan Singh, Barack Obama mengatakan bahwa hubungan AS-India

merupakan kemitraan penting pada abad 21. Pandangan itu sama seperti

pandangan Bush yang menyatakan bahwa sebagai salah satu negara demokrasi

terbesar di dunia, India merupakan pemain kunci di Asia. Duta Besar India untuk

AS Nirupama Rao juga mengafirmasi hubungan strategis India-AS sebagai

kemitraan yang berlandaskan kesamaan nilai dan kepentingan. “Hubungan antara

India dan Amerika Serikat tercipta oleh kesamaan nilai dan kepentingan yang

diperlukan untuk memajukan dan menyejahterakan rakyat kita” (India Today,

2012). Kesamaan nilai dan kepentingan antara India dan AS itu mendasari

hubungan bilateral yang relatif bersahabat (amity).

Page 14: Politik Identitas dalam Hubungan Internasional: Bias

158

Identifikasi positif AS terhadap India membuat keduanya berada dalam

satu barisan dalam menghadapi tantangan global. Henry Kissinger (dalam

Blackwill, 2004) pernah mengatakan bahwa, “Hubungan kooperatif antara India-

Amerika Serikat sangat penting karena tujuan geopolitis India yang mereka

perjuangkan secara sungguh-sungguh sejalan dengan tujuan kita.” Dalam isu

terorisme misalnya, India pernah mengalami ancaman dari kaum militan di

Mumbai. Dalam kasus sengketa Kashmir, India juga menjadi target kelompok

jihad Islam. Pengalaman itu membuat India bersama-sama AS dalam kampanye

perang melawan terorisme global. Dalam hal energi nuklir, AS dan India telah

menyepakati kerjasama nuklir untuk tujuan damai berdasarkan Undang-Undang

Energi Nuklir AS (Hussain, 2011). Dalam menyikapi kebangkitan China, India

adalah salah satu negara yang cukup waspada terhadap modernisasi militer China,

suatu ancaman yang juga dirasakan oleh AS. Di samping isu keamanan, India

merupakan salah satu mitra dagang terbesar AS. Pada tahun 2004, nilai ekspor AS

ke India mencapai 25%. India adalah lokasi investasi asing terbesar bagi AS.

Lebih dari separuh perusahaan AS yang kebanyakan adalah perusahaan teknologi

informasi bertempat di India. Dengan berbagi kepentingan tersebut, sangat masuk

akal apabila India dan AS terlibat dalam hubungan yang sangat strategis.

Identitas paling penting yang menjadikan AS dan India menjalin

kemitraan strategis adalah demokrasi. India dan AS sama-sama negara yang

menjunjung tinggi prinsip-prinsip penegakan HAM dan kebebasan dalam wadah

demokrasi. Barack Obama menegaskan keduanya mengakui, “Demokrasi,

pluralisme, toleransi, keterbukaan, dan penghormatan terhadap hak asasi

manusia” (Kantor Kepresidenan AS, 2009). Kedua negara sepakat untuk

mengeliminasi setiap ancaman terhadap kebebasan dan demokrasi. Dalam

pidatonya di Universitas Yale, Nirupama Rao (Kedutaan Besar India, 2011)

mengatakan:

Perluasan kerjasama antara India dan Amerika Serikat sangat kuat

berakar dari kesamaan kita terhadap demokrasi, kebebasan individu

dan penegakan hukum, interaksi antar manusia serta jaringan bisnis

dalam berbagai bidang, serta kemampuan kita bekerjasama dalam

memerangi terorisme untuk menjamin stabilitas ekonomi global.

Page 15: Politik Identitas dalam Hubungan Internasional: Bias

159

Menteri Luar Negeri AS Hillary Clinton (2012) juga menyebut bahwa

demokrasi merupakan salah satu pilar penting yang menyangga hubungan antara

AS dan India. Dalam pidato dalam rangka US-India Strategic Dialog, ia

menyatakan bahwa pondasi utama hubungan India dan AS adalah kesamaan

dalam menjunjung nilai-nilai demokrasi, kepentingan ekonomi, dan tujuan

diplomatik yang semuanya itu mendorong rasa saling pengertian dan percaya satu

sama lain.

Kesimpulannya adalah, India dan AS adalah mitra alami karena kesamaan

nilai dan kepentingan yang mereka bawa. Demokrasi, kebebasan individu,

penegakan hukum, kebebasan berekspresi dan beragama, masyarakat yang plural,

perlindungan terhadap minoritas, dan lain-lain merupakan nilai yang mereka anut.

Dari sekian banyak nilai itu, demokrasi adalah tali pengikat yang paling kuat.

Demokrasi lah yang membuat India menjadi teman AS sebagaimana dikatakan

Bush, “Bangsa yang mengikuti jalan demokrasi dan berperilaku secara

bertanggung jawab akan berteman dengan Amerika Serikat” (Kantor

Kepresidenan AS, 2008). Menurut pengamat dari India, kesamaan identitas

dipadu dengan kesamaan kepentingan antara kedua negara menciptakan hubungan

internasional yang penuh dengan rasa saling pengertian dan kepercayaan yang

berlangsung lama (Shrivastav, 2010).

Pola interaksi antara AS dan India yang sangat bersahabat melahirkan

kepentingan bersama yang relatif kooperatif dibandingkan dengan negara lain di

kawasan. Sebagai negara yang sama-sama menganut sistem demokrasi dan

menghormati HAM, AS dan India berkomitmen terhadap dunia yang demokratis,

aman, dan terbuka (Rice, 2008: 5-6). India adalah mitra strategis yang sangat

penting bagi kepentingan AS dalam membantu mewujudkan agenda-agenda

politik internasionalnya. Oleh sebab itu, dukungan AS kepada India dipandang

sebagai elemen vital untuk menunjang peran India sebagai pemimpin regional

yang bertugas mempertahankan stabilitas di kawasan (Departemen Luar Negeri

AS, 2012). Kepentingan strategis AS tidak hanya menyangkut masalah keamanan

saja. Persahabatan dengan India konsisten dengan kepentingan AS untuk

mempertahankan keseimbangan kekuatan di Asia; memperkuat sistem

perdagangan global yang terbuka; melindungi akses global melalui laut, udara,

Page 16: Politik Identitas dalam Hubungan Internasional: Bias

160

darat, dan dunia maya; memerangi terorisme dan ekstrimisme; menjamin akses

terhadap energi; memperkuat rezim non-proliferasi nuklir; menyebarluaskan

demokrasi dan HAM; dan menjaga stabilitas keamanan dan kemakmuran di

kawasan Asia Selatan (Armitage, Burns, & Fontaine, 2010: 4). Konsekuensi dari

hubungan persahabatan antara AS dan India membuahkan kepentingan yang

sejalan dengan kepentingan nasional AS. Oleh sebab itu, AS tidak mengecam uji

coba rudal nuklir yang dilakukan India. Respon diam atau tidak mengecam

dimaknai sebagai sikap permisif AS dan negara-negara Barat kepada India karena

apa yang dilakukan oleh India masih selaras dengan kepentingan mereka. Jadi ada

korelasi positif antara kepentingan strategis AS terhadap India dan tindakan

membiarkan India melakukan uji coba senjata itu.

Kesimpulan

Perbedaan sikap AS yang sangat menyolok dalam merespon uji coba

peluru kendali Korut dan India mengindikasikan perbedaan identitas antara AS

dan kedua negara. AS memandang Korut sebagai negara otoriter yang tidak mau

mematuhi norma internasional dan sering mengganggu stabilitas keamanan

internasional. Oleh karena itu Korut dipersepsi AS sebagai ‘musuh’. Sebaliknya,

AS dan India merupakan negara demokratis terbesar di dunia yang menjunjung

tinggi nilai-nilai bersama dan kepentingan yang sama. Oleh sebab itu, India

dipersepsi AS sebagai ‘teman’. Perbedaan identitas ini pada gilirannya melahirkan

perbedaan kepentingan; kepentingan AS terhadap Korut adalah jangan sampai ia

memiliki senjata nuklir sedangkan kepentingan AS terhadap India adalah senjata

nuklir dianggap penting untuk menjaga keseimbangan kekuatan di kawasan.

Perbedaan kepentingan ini selanjutnya melahirkan perbedaan sikap atau tindakan;

AS menghentikan bantuan pangan kepada Korut sedangkan pada saat yang sama

tidak melakukan apa-apa kepada India. Dengan demikian, ancaman tidak muncul

dari senjata nuklir itu sendiri melainkan dari perbedaan konsepsi tentang identitas.

Kelemahan utama penelitian ini adalah sulitnya menemukan

intersubyektivitas antara AS dan Korut semenjak Korut adalah negara yang sangat

tertutup dalam hal informasi. Data dan informasi yang diperoleh kebanyakan

berasal dari ahli Korea di Barat sehingga rentan terjadi bias informasi. Penelitian

Page 17: Politik Identitas dalam Hubungan Internasional: Bias

161

lebih lanjut mengenai topik yang sama hendaknya hirau dengan masalah ini. Di

samping itu, penelitian lebih lanjut bisa mengkritisi apakah demokrasi menjadi

satu-satunya ‘lem perekat’ identitas kolektif antar negara? Apakah dua negara

yang berbeda budaya seperti AS (WASP: White, Anglo Saxon, Protestant) dan

India (Hindu) atau Arab Saudi (Islam) berpengaruh terhadap konstruksi identitas

tersebut? Bagaimana relevansi faktor budaya ini terhadap tesis ‘benturan antar

peradaban’? Semenjak konstruktivis menaruh perhatian pada konsep gagasan,

faktor budaya dalam banyak kasus justru kontradiktif dengan kesamaan ideologi

politik.

DAFTAR PUSTAKA

Buku

Armitage, Richard, Nicholas Burns, and Richard Fontaine. 2010. “Natural Allies: A

Blueprint for the Future of U.S.-India Relations,” Center for A New American

Security (October), pp. 3-12.

Berger, Peter and Thomas Luckmann, 1966. The Social Construction of Reality: A

Treatise in The Sociology of Knowledge. London: Penguin.

Layder, Derek. 2004. Social and Personal Identity: Understanding Yourself. London:

SAGE Publication.

Mead, George. 1934. Mind, Self, and Society: From The Standpoint of A Social

Behaviorist. Chicago: University of Chicago Press.

Waltz, Kenneth. 1979. Theory of International Politics. Reading, MA: Addison-Wesley.

Wendt, Alexander. 1999. Social Theory of International Politics. Cambridge: Cambridge

Universiy Press.

Jurnal

Ellemers, Naomi, Russell Spears, and Bertjan Doosje. 2002. “Self and Social Identity,”

Annual Review of Psychology, Vol. 53, pp. 161-186.

Green, Michael. 1997. “North Korean Regime Crisis: US Perspectives and Responses,”

The Korean Journal of Defense Analysis, Vol. 9, No. 2, pp. 7-25.

Hopf, Ted. 1998. “The Promise of Constructivism in International Relations Theory,”

International Security, Vol. 23, No. 1 (Summer), pp. 171-200.

pp. 82-93.

Mearsheimer, John. 1995. “A Realist Reply,” International Security, Vol. 20, No. 1

(Summer 1995),

Page 18: Politik Identitas dalam Hubungan Internasional: Bias

162

Mearsheimer, John. 1995. “The False Promise of International Institutions,” International

Security, Vol. 19, No. 3 (Winter), pp. 5-49.

Obama, Barack. 2007. “Renewing American Leadership,” Foreign Affairs, Vol. 86, No. 4

(Jul. - Aug.,), pp. 2-16.

Rice, Condoleezza. 2000. “Promoting the National Interest,” Foreign Affairs, Vol. 79,

No. 1 (Jan. - Feb.,), pp. 45-62.

Rice, Condoleezza. 2008. Rethinking the National Interest: American Realism for a New

World, Foreign Affairs, Vol. 87, No. 4 (Jul. - Aug.,), pp. 2-14.

Ruggie, John. 1998. “What Makes the World Hang Together? Neo-utilitarianism and the

Social Constructivist Challenge”, International Organization, Vol. 52, No. 4

(Autumn), pp. 855-885.

Smith, Hazel. 2000. “Bad, Mad, Sad or Rational Actor? Why the 'Securitization'

Paradigm Makes for Poor Policy Analysis of North Korea,” International Affairs,

Vol. 76, No. 3 (Jul.,), pp. 593-617.

Stets, Jan and Peter Burke. 2000. “Identity Theory and Social Identity Theory,” Social

Psychology Quarterly, Vol. 63, No. 3, pp. 224-237.

Twining, Daniel and Richard Fontaine. 2011. “The Ties that Bind? U.S.-Indian Values-

based Cooperation,” The Washington Quarterly , Vol. 34, No. 2 (Spring), pp. 193-

205.

Wendt, Alexander. 1994. “Collective Identity Formation and The International State,”

American Political Science Review, Vol. 88, No. 2 (June), pp. 384-396. Wendt,

Alexander. 1995. “Constructing International Politics”, International Security, Vol.

20, No. 1 (Summer), pp. 71-81.

Website

BBC. 2012. North Korea rocket launch fails, http://www.bbc.co.uk/news/world-asia-

17698438 diakses tanggal 8 Mei 2013.

Blackwill, Robert. 2004. Why is India America's Natural Ally?,

<http://nationalinterest.org/article/why-is-india-americas-natural-ally-2764>

diakses tanggal 3 Januari 2013.

Bush, George. 2002. The President's State of the Union Address, <http://georgewbush-

whitehouse.archives.gov/news/releases/2002/01/20020129-11.html> diakses

tanggal 7 Mei 2013.

Campbell, Kurt. 2011. U.S. Policy Toward North Korea,

<http://www.uspolicy.be/headline/assistant-secretary-campbell-us-policy-toward-

north-korea> diakses tanggal 2 Januari 2013.

Chung, Young Wook. 2005. The Emergence of ‘North Korea’ in a Cold War United

States, <http://www.einaudi.cornell.edu/node/7913> diakses tanggal 2 Januari

2013.

Clinton, Hillary. 2012. Remarks at the U.S.-India Strategic Dialogue,

<http://www.state.gov/secretary/rm/2012/06/192242.htm> diakses tanggal 3

Januari 2013.

Departemen Luar Negeri AS. 2012. U.S. Relations With India,

<http://www.state.gov/r/pa/ei/bgn/3454.htm> diakses tanggal 3 Januari 2013.

Page 19: Politik Identitas dalam Hubungan Internasional: Bias

163

Departemen Pertahanan AS. 2012. Defense Leaders: North Korea Remains Threat to

Peace, <http://www.defense.gov/News/NewsArticle.aspx?ID=118325> diakses

tanggal 2 Januari 2013.

Fearon, James. 1999. What is Identity (as We Now The Word?),

<www.stanford.edu/~jfearon/papers/iden1v2.pdf>, diakses tanggal 16 Januari

2013.

Hussain, Mohammad Samir. 2011. The U.S. Nuclear Policy Shift towards India,

<http://www.foreignpolicyjournal.com/2011/10/26/the-u-s-nuclear-policy-shift-

towards-india/> diakses tanggal 3 Januari 2013.

India Today. 2012. “India, US on same side on freedom, development: Nirupama Rao,”

<http://indiatoday.intoday.in/story/india-us-freedom-development-indian-

ambassador-nirupama-rao/1/170313.html> diakses tanggal 3 Januari 2013.

Kantor Kepresidenan AS. 2008. The United States-India Nuclear Cooperation Approval

and Nonproliferation Enhancement Act, < http://georgewbush-

whitehouse.archives.gov/news/releases/2008/10/20081008-4.html> diakses tanggal

8 Mei 2013.

Kantor Kepresidenan AS. 2009. Joint Statement between Prime Minister Dr. Singh and

President Obama, <http://www.whitehouse.gov/the-pressoffice/joint-statement-

between-prime-minister-dr-singh-and-president-obama> diakses tanggal 3 Januari

2013.

Kedutaan Besar India. 2011. Ambassador’s Address at the Yale University on "Future

Direction in India-US relations",

<http://www.indianembassy.org/includes/page.php?id=1799>, diakses tanggal 3

Januari 2013.

Kompas. 2012. Uji Coba Agni V Ambisi Global India,

<http://internasional.kompas.com/read/2012/04/20/02123840/Uji.Coba.Agni.V.Am

bisi.Global.India> diakses tanggal 3 Januari 2013.

Saad, Lydia. 2012. Americans Give Record-High Ratings to Several U.S. Allies,

<http://www.gallup.com/poll/152735/Americans-Give-Record-High-Ratings-

Several-Allies.aspx#2> diakses tanggal 2 Januari 2013.

Shrivastav, Sanjeev Kumar. 2010. Inherent values and substance bind India and the

United States,

<http://www.idsa.in/idsacomments/InherentvaluesandsubstancebindIndiaandtheUn

itedStates_skshrivastava_240810> diakses tanggal 3 Januari 2013.

Snyder, Scott. 2012. Redefining 'Friendly': What North Korea Wants From the U.S.

<http://www.theatlantic.com/international/archive/2012/09/redefining-friendly-

what-north-korea-wants-from-the-us/262113/> diakses tanggal 3 Januari 2013.

Suh, Jae-Jung. 2005. ’North Korea’ in A Post Cold War United States,

<http://www.einaudi.cornell.edu/node/7916> diakses tanggal 3 Januari 2013.

The Guardian. 2011. North Korea is direct threat to US, says defence secretary Robert

Gates, <http://www.guardian.co.uk/world/2011/jan/11/north-korea-america-robert-

gates> diakses tanggal 2 Januari 2013.

The Washington Post. 2012. North Korea widely disliked and distrusted in U.S.

<http://www.washingtonpost.com/blogs/behind-the-numbers/post/north-korea-

widely-disliked-and-distrusted-in-us/2012/02/01/gIQAdqLziR_blog.html> diakses

tanggal 2 Januari 2013.

Page 20: Politik Identitas dalam Hubungan Internasional: Bias

164

Viva News. 2012. India Uji Coba Rudal Balistik Antar Benua,

<http://dunia.news.viva.co.id/news/read/305724-india-uji-coba-rudal-balistik-

antar-benua> diakses tanggal 2 Januari 2013.