politik kriminal penanggulangan tindak …fh.unsoed.ac.id/sites/default/files/bibliofile/brian...
TRANSCRIPT
POLITIK KRIMINAL PENANGGULANGAN TINDAK PIDANA
KORUPSI DI INDONESIA PADA ERA REFORMASI
SKRIPSI
Diajukan untuk memenuhi salah satu persyaratan memperoleh gelar Sarjana Hukum
pada Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman
Disusun oleh:
Dwiki Oktobrian
NIM. E1A009106
KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN
UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN
FAKULTAS HUKUM
2013
ii
SKRIPSI
POLITIK KRIMINAL PENANGGULANGAN TINDAK PIDANA KORUPSI DI
INDONESIA PADA ERA REFORMASI
Oleh
Dwiki Oktobrian
E1A009106
Disusun untuk meraih gelar Sarjana Hukum
Pada Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman
Diterima dan disahkan
Pada tanggal 21 Februari 2013
Para Penguji / Pembimbing
Penguji I / Pembimbing I
Dr. H. Kut Puji Prayitno, S.H., M.Hum.
NIP. 19650829 199002 1002
Penguji II / Pembimbing II
Dr. Noor Aziz Said, S.H., M.S.
NIP. 19540426 198003 1004
Penguji III
Dr. Setya Wahyudi, S.H., M.H.
NIP. 19610527 198702 1001
Mengetahui,
Dekan Fakultas Hukum
Universitas Jenderal Soedirman
Dr. Angkasa, S.H., M.Hum.
NIP. 19640923 198901 1 001
iii
SURAT PERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi yang berjudul:
POLITIK KRIMINAL PENANGGULANGAN TINDAK PIDANA KORUPSI DI
INDONESIA PADA ERA REFORMASI
Adalah benar merupakan hasil karya saya sendiri dan semua sumber data serta informasi
yang digunakan telah dinyatakan secara jelas dan dapat diperiksa kebenarannya.
Bila pernyataan ini tidak benar, maka saya bersedia menerima sanksi termasuk pencabutan
gelar kesarjanaan yang telah saya peroleh.
Purwokerto, 21 Februari 2013
Dwiki OktobrianE1A009106
iv
ABSTRAK
Kejahatan merupakan permasalahan sosial, terlebih apabila kejahatan tersebut adalah korupsi yang merupakan kejahatan luar biasa. Tindak pidana korupsi oleh karenanya perlu ditanggulangi agar statistik kriminalnya menurun. Upaya penanggulangan tersebut dinamakan dengan politik kriminal. Politik kriminal penanggulangan tindak pidana korupsi di Indonesia mendapatkan perhatian khusus sejak era reformasi pada tahun 1998. Berbagai peraturan perundang-undangan dibentuk sebagai wujud penyerapan aspirasi masyarakat terhadap tuntutan pemberantasan korupsi, peraturan perundang-undangan tersebut merumuskan upaya penal dan upaya non penal dalam menanggulangi tindak pidana korupsi. Meningkatnya kriminalitas korupsi menunjukan bahwa sebenarnya terdapat permasalahan dalam politik kriminalnya. Penelitian terhadap perumusan upaya penal dan upaya non penal dalam perundang-undangan di bidang korupsi dilakukan dalam rangka menemukan jawaban atas dugaan tersebut. Melalui penelitian yuridis normatif dengan pendekatan perundang-undangan, penelitian ini bertujuan untuk mengetahui politik kriminal penanggulangan tindak pidana korupsi di Indonesia pada era reformasi. Berdasarkan penelitian diketahui bahwa politik kriminal penanggulangan tindak pidana korupsi di Indonesia pada era reformasi dilakukan melalui berbagai pembentukan peraturan perundang-undangan. Politik kriminal tersebut masih terfokus kepada upaya penal sehingga mengesampingkan upaya non penal yang sesungguhnya merupakan upaya paling strategis dalam menanggulangi kejahatan.
Kata kunci: politiki kriminal dan korupsi.
v
ABSTRACT
Crime is a social problem , especially if the crime is corruption crime which is an extraordinary crime. Corruption therefore need to be addressed in order to decrease crime statistics. Countermeasures efforts is called a criminal policy. Criminal policy corruption crime in Indonesia special attention since the reform era in 1998. Various laws and regulations established as a form of absorption aspirations towards the eradication of corruption charges, the legislation is an attempt to formulate penal and non- penal efforts in tackling corruption. Increased corruption crime shows that there are actually problems in the criminal policy. Research on formulation efforts penal and non- penal efforts in legislation in the field of corruption conducted in order to find answers to these allegations. Through research normative regulatory approach, this study aims to determine the response of criminal policy corruption crime in Indonesia during the reform era. Based on the research note that criminal policy establishment through various legislations. Criminal policy corruption crime are still focused on the efforts that penal non penal override effort which is really a most strategic efforts in countermeasures crime.
Keywords : criminal policy and corruption.
vi
KATA PENGANTAR
Segala puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas rahmat, karunia-
Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan SKRIPSI yang berjudul “POLITIK KRIMINAL
PENANGGULANGAN TINDAK PIDANA KORUPSI DI INDONESIA PADA ERA
REFORMASI”. Penulis menyadari sepenuhnya, bahwa penulisan skripsi masih jauh dari
sempurna, mengingat keterbatasan pengetahuan, waktu dan terbatasnya literatur. Oleh karena
itu, semua kritik dan saran akan diterima dengan ketulusan dan keikhlasan hati.
Dalam proses penulisan ini, penulis banyak menerima bantuan dari berbagai pihak
secara langsung ataupun tidak langsung. Oleh karena itu, selain dalam kesempatan ini penulis
akan menyampaikan ucapan terima kasih dan penghargaan yang sedalam-dalamnya kepada:
1. Bapak Dr. Angkasa, S.H., M.Hum. selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Jenderal
Soedirman Purwokerto.
2. Bapak Dr. H. Kuat Puji Prayitno, S.H., M.Hum. selaku Dosen Pembimbing I yang telah
memberikan arahan dan bimbingan penuh kesabaran sehingga penulis dapat
menyelesaikan skripsi ini.
3. Bapak Dr. Noor Aziz Said, S.H., M.S. selaku Dosen Pembimbing II yang telah
memberikan arahan dan bimbingan penuh kesabaran sehingga penulis dapat
menyelesaikan skripsi ini.
4. Bapak Dr. Setya Wahyudi, S.H., M.H. selaku Dosen Penguji pada seminar artikel ilmiah
dan pendadaran.
5. Bapak Trusto Subekti, S.H., M.Hum. selaku Pembimbing Akademik yang telah berkenan
memberikan bimbingan sejak awal perkuliahan.
6. Seluruh Dosen Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman.
7. Seluruh staf akademik Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman.
vii
8. Semua aktivis Unit Kegiatan Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Jenderal
Soedirman.
9. Semua mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman khususnya angkatan
2009.
Purwokerto, 21 Februari 2013
Penulis
viii
HALAMAN MOTTO
∑ Proses dan hasil bukanlah sesuatu yang parsial, proses dan hasil ibarat upaya penal
dan upaya non penal dalam politik kriminal yang dilaksanakan dengan pendekatan
integral berdasarkan asas keseimbangan.
∑ Orang yang pesimis memandang permasalahan sebagai rintangan, sedangkan
orang yang optimis memandang permasalahan sebagai suatu tantangan yang
didalamnya pasti atau setidak-tidaknya terdapat kemungkinan keberhasilan.
ix
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL……………………………………………………………………. i
HALAMAN PENGESAHAN………………………………………………………….. ii
SURAT PERNYATAAN……………………………………………………………….. iii
ABSTRAK…………………………………………………………………………….…. iv
ABSTRACT……………………………………………………..……………………….. v
KATA PENGANTAR………………………………………………….……………….. vi
HALAMAN MOTTO…………………………………………………………………… viii
DAFTAR ISI…………………………………………………………………………….. ix
BAB I: PENDAHULUAN
A. Latar Belakang…………………………………………………………...……….. 1
B. Perumusan Masalah………………………………………………………………. 6
C. Tujuan Penelitian………………………………………………………………..... 6
D. Kegunaan Penelitian……………………………………………………………… 6
BAB II: TINJAUAN PUSTAKA
A. Poltik Kriminal
1. Pengertian dan Ruang Lingkup……………………………………………… 8
2. Pendekatan………………………………………………………………….... 13
B. Tindak pidana korupsi
1. Tindak Pidana………………………………………………………………… 21
2. Korupsi……………………………………………………………………….. 28
BAB III: METODE PENELITIAN
A. Tipe Penelitian…………………………………………………………………… 33
B. Pendekatan Penelitian…………………………………………………………... 33
C. Bahan Hukum…………………………………………………..………………… 33
x
D. Metode Pengumpulan Bahan Hukum…………………………………………. 34
E. Metode Analisis Bahan Hukum………………………………………………... 35
BAB IV: HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Peraturan Perundang-Undangan Yang Digunakan Untuk Menanggulangi Tindak Pidana Korupsi Pada Era Reformasi
1. Tap MPR TAP MPR No. XI/MPR/1998 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme………………………………………………………………… 36
2. Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme………………………………………………………………… 38
3. Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi…………………………………………………………………… 44
4. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi..………………………………………………………………………...... 59
5. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2006 tentang Pengesahan United Nation Convention Against Corruption, 2003 (Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa Anti Korupsi, 2003)……..………………………………………………… 64
6. Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Korupsi..………………..………………………. 68
7. Undang-Undang Nomor 46 Tahun 2009 tentang Pengadilan Tindak Pidana Korupsi…………………………………………………………………… 74
B. Upaya-Upaya Yang Dilakukan Untuk Menanggulangi Tindak Pidana Korupsi Pada Era Reformasi
1. Upaya Penal………………………………………………………………. 79
2. Upaya Non Penal…………………………………………………………. 84
BAB V: PENUTUP
1. Kesimpulan……………………………………………………………….. 93
2. Saran……………………………………………………………………… 94
DAFTAR PUSTAKA…………………………………………………………….……... 95
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Korupsi merupakan salah satu dari sekian istilah yang kini telah akrab
di telinga masyarakat Indonesia, hampir setiap hari media massa
memberitakan berbagai kasus korupsi yang dilakukan oleh aparatur negara
baik pegawai negeri ataupun pejabat negara. Dalam kepustakaan kriminologi,
korupsi merupakan salah satu kejahatan jenis “white collar crime” atau
kejahatan kerah putih. Akrabnya istilah korupsi di kalangan masyarakat telah
menunjukkan tumbuh suburnya perhatian masyarakat terhadap korupsi,
“white collar crime” mampu menarik perhatian masyarakat karena para
pelakunya adalah orang-orang yang dipersepsikan oleh masyarakat sebagai
orang-orang terkenal atau cukup terpandang namun merekalah yang membuat
kemelaratan dalam masyarakat.1
Timbulnya kejahatan jenis seperti ini menunjukan bahwa sudah tidak
hanya kemiskinan saja yang menjadi penyebab timbuknya kejahatan,
melainkan faktor kemakmuran dan kemewahan merupakan faktor pendorong
orang-orang melakukan kejahatan.2 Edwin Sutherland mengemukakan bahwa
kejahatan-kejahatan yang dilakukan oleh kalangan atas (upper class)
1Teguh Sulista dan Aria Zurnetti, Hukum Pidana: Horizon Baru Pasca Reformasi, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2011, ha l 63.
2 J. E. Sahetapy, Kapita Selekta Kriminologi, Alumni, Bandung, 1979, hal 68 -69.
2
merupakan kejahatan yang tidak kalah merugikannya dari kejahatan yang
dilakukan oleh kalangan bawah (lower class).3
Beberapa pernyataan tersebut ini nampak mulai terbukti di Indonesia,
hingga 16 Mei 2012, Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) menemukan bahwa
ada indikasi perampokan uang rakyat yang merata di semua instansi
pemerintahan lewat perjalanan dinas, ditemukan penyelewengan sebesar 30 –
40 % dari biaya perjalanan dinas 18 triliun selama setahun. Di Arisp
Nasional RI ditemukan bukti pertanggungjawaban perjalanan dinas sebesar
139 juta rupiah tidak sah dan 275 juta rupiah tidak dapat diyakini
kebenarannya.
Selain itu, di Badan Nasional Penanggulangan Bencana ditemukan
realisasi biaya perjalanan dinas 565 juta rupiah diragukan kebenarannya dan
terdapat kelebihan pembayaran perjalanan dinas sebesar 236 juta. Di
Kementerian Komunikasi dan Informatika, laporan perjalanan dinas yang
terdapat selisih sebesar 99,6 juta rupiah, perjalanan dinas fiktif sebesar 610
juta rupiah. Di Kementerian Sosial ditemukan pengelolaan penerimaan negara
bukan pajak belum tertib dan terdapat pungutan 712 juta rupiah, biaya belanja
perjalanan dinas 10 Milyar yang tidak didukung dengan bukti yang sah,
kemudian pengadaan barang dan jasa tahun 2010 yang tidak hemat sebesar
469 juta rupiah dan yang tidak tepat sasaran 224 juta rupiah, selain itu
3 Edwin H. Sutherland, White Collar Crime, Rinehart and Winston, New York, 1961, hal 405 – 417.
3
ditemukan pula aset tanah senilai 66 Milyar yang belum bersertifikat dan
senilai 532 juta rupiah masih bersengketa dengan pihak lain.4
Tumbuh suburnya korupsi di Indonesia tentu perlu dilakukan upaya
penanggulangan yang sangat serius melalui politi kriminal baik melalui upaya
penal yang bersifat menanggulangi setelah terjadinya kejahatan (represif),
upaya non penal yang bersifat mencegah terjadinya kejahatan (preventif),
ataupun gabungan keduanya.5 Sangat perlu diingat bahwa kini korupsi sudah
bukan sekedar kejahatan luar biasa atau “extra ordinary crime”, melainkan
korupsi kini telah menjadi kejahatan kemanusiaan atau “crime against
humanity”.6
Dalam konteks sejarah, perhatian masyarakat Indonesia terhadap
upaya pemberantasan tindak pidana korupsi mengalami episode khusus pada
tahun 1998 yang bertepatan dengan reformasi politik di Indonesia. Pada masa
itu masyarakat dari berbagai elemen serentak turun ke jalan untuk menuntut
perbaikan nasib perekonomian negara karena masyarakat berkeyakinan
bahwa penguasa melakukan korupsi, kolusi, dan nepotisme7 sehingga krisis
moneter yang terjadi tidak bisa diselesaikan dan berdampak melonjaknya
harga-harga barang. Hal tersebut nampak dalam enam tuntutan rakyat dalam
reformasi yakni:
1. Penegakan supremasi hukum;
4Dalam Harian Kompas tanggal 16 Mei 2012, Mental Korupsi Sudah Merata.5Barda Nawawi Arief, Masalah Penegakan Hukum dan Kebijakan Hukum Pidana dalam
Penanggulangan Kejahatan, Kencana, Jakarta, 2008, hal 77 – 78.6Moh Hatta, Kebijakan Politik Kriminal: Penegakan Hukum dalam rangka
Penanggulangan Kejahatan, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2010, hal 61.7 Disampaikan oleh Effendy Choiry, Anggota Komsiis I DPR RI , Sabtu 19 mei 2012
dalam Kompas.com, Agenda Reformasi Dikhianati, diunduh tanggal 21 Mei 2012.
4
2. Pemberantasan korupsi, kolusi, dan nepotisme;
3. Pengadilan mantan presiden Soeharto dan kroninya;
4. Amandemen konstitusi;
5. Pencabutan dwifungsi ABRI;
6. Pemberian otonomi daerah seluas-luasnya.8
Menarik untuk diteliti mengenai politik kriminal penanggulangan
tindak pidana korupsi di Indonesia pada era reformasi, hal ini dikarenakan
bahwa selama tiga belas tahun agenda reformasi dijalankan namun tuntutan
pemberantasan korupsi tidak mengalami keberhasilan yang signifikan bahkan
pelaku-pelaku korupsi saat ini melibatkan para penggerak reformasi pada saat
itu.9 Selain daripada itu, setelah sekian instrumen hukum telah diterbitkan
pertama kali berupa Peraturan Penguasa Militer tahun 1957 sampai saat ini
tercatat berjumlah sekitar dua puluh undang-undang, peraturan pemerintah /
penguasa militer dan penindakan oleh aparat penegak hukum terus dilakukan
terhadap para koruptor, namun praktik-praktik Korupsi dalam era reformasi
ini tetap marak, masif, dan tidak kalah ganasnya dengan masa tiga puluh
tahun Orde Baru memerintah.10
Dari hal tersebut, nampak terdapat permasalahan dalam perundang-
undangan pemberantasan korupsi. Permasalahan tersebut dapat berupa
permasalahan dalam rumusan perundang-undangnya atau permasalahan
pelaksanaan perundang-undangnya yang belum optimal. Penelitian ini akan
8Situs Vivapemuda43a, 6 Tuntutan Reformasi, d iunduh tanggal 23 April 2012.9 Effendy Choiry, Anggota Komsiis I DPR RI , sabtu 19 mei 2012 dalam Kompas.com,
Agenda Reformasi Dikhianati, diunduh tanggal 21 Mei 2012.10Moh. Hatta, Op. Cit, hal 198.
5
lebih mengkaji aspek perundang-undangan pemberantasan tindak pidana
korupsi, karena perumusan undang-undang pemberantasan tindak pidana
korupsi nampak belum mampu untuk mencegah terjadinya tindak pidana
korupsi. Nampak bahwa prinsip cost benefit principle dalam kriminalisasi
tindak pidana korupsi melalui formulasi perundang-undangan belum begitu
berhasil. Menurut Ryaas Rasyid, Biaya yang dihabiskan dalam pembuatan
satu undang-undang di DPR bisa mencapai Rp 1-2 miliar.11 Sedangkan
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menyebutkan, dalam kurun waktu
tujuh tahun atau terhitung 2004-2011, negara harus menanggung kerugian Rp
39,3 triliun akibat tindak pidana korupsi. Angka tersebut cukup signifikan
jika dikonversi untuk peningkatan kesejahteraan masyarakat. Wakil Ketua
KPK Busyro Muqoddas mengatakan total kerugian negara akibat korupsi itu
setidaknya dapat digunakan untuk membangun 393 unit rumah atau
membangun 311 unit ruang sekolah dasar. Bahkan dapat memberikan 68 juta
anak SD sekolah gratis.12
Moh. Hatta mengungkapkan bahwa ada sekitar dua puluhan undang-
undang pemberantasan tindak pidana korupsi, terlihat bahwa politik kriminal
penanggulangan tindak pidana korupsi nampak lebih mengedepankan sarana
penal padahal dalam politik kriminal atau kebijakan kriminal, pada prinsipnya
terdapat dua sarana dalam menanggulangi kejahatan yakni sarana penal dan
sarana non penal. dan keduanya harus diintegralkan atau dilaksanakan
11 Jejaringnews.com, Pembuatan Undang-Undang Sering Abaikan Spirit Penghematan, diunduh tanggal 9 nopember 2011.
12 merdeka.com, Negara Rugi Rp 39 Triliun Akibat Korupsi, diunduh tanggal 4 Desember 2012.
6
dengan keterpaduan. Sudarto mengemukakan bahwa tidak adanya
keterpaduan dalam politik kriminal akan mengakibatkan politik kriminal itu
sendiri akan menimbulkan faktor kriminogen (menyebabkan timbulnya
kejahatan) dan faktor victimogen (menimbulkan korban kejahatan).13
B. Perumusan Masalah
Berdasarkan hal-hal yang telah diuraikan dalam pendahuluan maka
disusunlah permasalahan: “Bagaimana politik kriminal penanggulangan
tindak pidana korupsi di Indonesia pasca reformasi?”
Mengingat permasalahan tersebut disusun dengan rumusan yang luas,
maka perlu adanya perincian yang bersifat membatasi sebagai berikut:
1. Peraturan perundangan apa saja yang digunakan untuk menanggulangi
tindak pidana korupsi pada era reformasi?
2. Upaya apa saja yang digunakan untuk menanggulangi tindak pidana
korupsi pada era reformasi?
C. Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui politik kriminal
Penanggulangan Tindak Pidana Korupsi Di Indonesia pada era reformasi.
D. Kegunaan Penelitian
Penelitian ini memiliki kegunaan yang meliputi kegunaan teoritis dan
kegunaan praktis sebagai berikut:
13 Soedarto, 1986, Kapita Selekta Hukum Pidana, Alumni, Bandung, hal 96.
7
1. Keguanaan Teoritis
Memberikan kontribusi dalam perkembangan ilmu hukum pidana khusus
dalam bidang tindak pidana korupsi.
2. Kegunaan Praktis
a. Sebagai masukan bagi lembaga penegak hukum dalam sistem
peradilan pidana dalam menyusun politik kriminal pemberantasan
tindak pidana korupsi.
b. Sebagai salah satu acuan kepustakaan hukum pidana khusus yang
terkait dengan politik kriminal pemberantasan tindak pidana korupsi
di Indonesia.
c. Sebagai salah satu acuan bagi penelitian yang serupa.
8
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Politik Kriminal
1. Pengertian dan Ruang Lingkup Politik Kriminal
Apabila melihat berbagai kepustakaan ilmu hukum pidana dan
turunan ilmunya, politik kriminal diistilahlainkan dengan kebijakan
kriminal. Politik kriminal mempunyai keterikatan dengan politik sosial,
yakni usaha dari masyarakat atau negara untuk meningkatkan
kesejahteraan warganya.14 Beberapa pakar hukum pidana baik di tingkat
nasional maupun internasional telah mencoba memberikan pengertian
tentang apa yang dimaksud dengan politik kriminal.
Menurut Marc Ancel15, criminal policy is the rational
organization of the control of crime by society. Apabila diterjemahkan ke
dalam bahasa Indonesia pengertian tersebut menjadi politik kriminal
adalah organisasi rational untuk mengontrol kejahatan dalam masyarakat.
IS. Heru Permana mengatakan bahwa kebijakan kriminal adalah usaha
rasional dan terorganisasi dari suatu masyarakat untuk menanggulangi
kejahatan.16
14 Dalam IS. Heru Permana, 2011, Politik Kriminal, Universitas Atma Jaya, Yogyakarta, , hal 1.
15 Barda Nawawi Arief, 1996, Bunga Rampai Kebikjakan Hukum Pidana, Cit ra Aditya Bakti, Bandung, hal 2.
16 IS Heru Permana, Op. Cit, hal 9.
9
Pandangan lain disampaikan oleh Hoefnagels17, bahkan ia
memberikan lebih dari satu pengertian daripada politik kriminal.
Berbagai pengertian tersebut adalah:
a. Criminal policy is the rational organization of the social reaction to
crime (politik kriminal adalah organsasi rasional dari reaksi sosial
terhadap kejahatan) ;
b. Criminal policy is the science of crime prevention (politik kriminal
adalah ilmu pengetahuan mengenai pencegahan kejahatan);
c. Criminal policy is a policy of designating behavior as a crime
(politik krimjnal adalah kebijakan dalam rangga menandai perilaku
sebagai suatu kejahatan);
d. Criminal policy is a rational total of response to crime (politik
kriminal adalah total rasional dari respon terhadap kejahatan).
Mulder mengemukakan bahwa kebijakan hukum pidana ialah
garis kebijakan yang mentukan:
a. Seberapa jauh ketentuan-ketentuan pidana yang berlaku perlu diubah
atau diperbaharui;
b. Apa yang dapat diperbuat untuk mencegah terjadinya tindak pidana;
c. Cara bagaimana penyidikan, penuntutan, peradilan, dan pelaksanaan
pidana harus dilakukan18.
Sudarto membagi pengertian politik kriminal dalam tiga
pengertian. Pertama, dalam pengertian sempit, politik kriminal adalah
17 Dalam Widiada Gunakaya dan Petrus Irianto, 2012, Kebijakan Kriminal Penanggulangan Tindak Pidana Pendidikan, Alfabeta, Bandung, hal. 10.,
18Barda Nawawi Arief, Op. Cit, hal 28 – 29.
10
keseluruhan asas dan metode yang menjadi dasar dari reaksi terhadap
pelanggaran hukum yang berupa pidana. Kedua, dalam pengertian lebih
luas, politik kriminal adalah keseluruhan fungsi dari aparatur penegak
hukum, termasuk cara kerja pengadilan dan polisi. Ketiga, dalam
pengertian paling luas, politik kriminal adalah keseluruhan kebijakan
yang dilakukan melalui peraturan perundang-undangan dan badan resmi
yang bertujuan untuk menegakkan norma-norma sentral dari masyarakat.
Selain itu, Sudarto memberikan pengertian secara praktis, menurutnya
politik kriminal adalah segala usaha yang rasional dari masyarakat untuk
menanggulangi kejahatan.19 Menurutnya usaha rasional merupakan
konsekuensi logis karena didalam melaksanakan politik, orang
mengadakan penilaian dan melakukan pemilihan dari sekian banyak
alternatif yang dihadapi.20
Politik kriminal pada hakikatnya merupakan bagian integral dari
upaya perlindungan masyarakat (Social Defence) dan upaya mencapai
kesejahteraan masyarakat (Social Welfare) dan oleh karena itu dapat
dikatakan bahwa tujuan akhir atau tujuan utama dari dari politik kriminal
adalah perlindungan masyarakat untuk mencapai kesejahteraan
masyarakat. Hubungan yang demikian diilustrasikan oleh Barda Nawawi
Arief dengan skema demikian21:
19 IS. Heru Permana. Op. Cit,, hal 5.20 Sudarto, 1986, Hukum dan Hukum Pidana, Alumni, Bandung, hal 153.21 Dalam IS Heru Permana, Op. Cit, hal 7
11
Gambar 1.1Skema Politik Kriminal menurut Barda Nawawi Arief
Dalam skema tersebut, Barda Nawawi Arief menjelaskan bahwa
perlu adanya pendekatan integral atau integrated approach. Integral
merupakan istilah resapan dari bahasa Inggris yang berarti melengkapi.22
Dari skema tersebut, pendekatan integral dapat dilakukan dengan dua
cara. Pertama, keterpaduan antara politik kriminal dengan politik sosial,
dan kedua, keterpaduan antara sarana penal dan sarana non penal. Dalam
keterpaduan pertama, Sudarto mengemukakan bahwa tidak adanya
keterpaduan antara politik kriminal dan politik sosial maka akan
mengakibatkan politik kriminal itu sendiri akan menimbulkan faktor
kriminogen (menyebabkan timbulnya kejahatan) dan faktor victimogen
(menimbulkan korban kejahatan).23 Keterpaduan kedua diperlukan untuk
menekan atau mengurangi faktor- faktor potensial untuk tumbuh suburnya
kejahatan, keterpaduan ini diharapkan social defence planning benar-
benar dapat berhasil.24
22 John M. Echols dan Hassa Shadily, 1995, Kamus Inggris Indonesia, Gramed ia, Jakarta, hal 326.
23 Soedarto, 1986, Kapita Selekta Hukum Pidana, Alumni, Bandung, hal 96.24 Muladi dan Barda Nawawi Arief, Op. Cit, hal 160.
Social Welfare Policy
Social Defence Policy
Criminal Policy
Penal
TUJUAN
Social Policy
Non Penal
12
Selanjutnya G. Peter Hoefnagel mengemukakan bahwa:
“Criminal policy as science of policy is part of larger policy: the law
enforcement policy. The legislative and enforcement policy is in turn part
of social policy”.25 Pendapatnya tersebut secara skematis digambarkan
sebagai berikut26 :
Gambar 1.2Skema Politik Kriminal menurut G.P. Hoefnagels
25 G. Peter Hofnagel da lam Widiada Gunakaya, Op. Cit, hal 1826 G. Peter Hoefnagels dalam Barda Nawawi A rief, 2008, Bunga Rampai, Kebijakan
Hukum Pidana, Perkembangan Penyusunan Konsep KUHP Baru , hal 39 & 40.
Influencing view of
society on crime and
punishment (mass media)
Criminal law application (practical criminology)
∑ Administration of criminal justice in narrow sense:ß Criminal
legislation;ß Criminal
jurisprudence;ß Criminal, proses in
wide sense;ß sentencing
∑ Forensic psychiatry and psychology;
∑ Forensic social work;∑ Crime, sentence
execution and policy statistic
Prevention without punishment
∑ Social policy;∑ Community
planning mental helath;
∑ Mental health social, work, child welfare;
∑ Admin istrative and civil law
Social Policy
Law Enforcement Policy
Criminal Policy
13
Dari skema tersebut, usaha untuk menanggulangi kejahatan dalam
politik kriminal dapat dijabarkan melalui:
a. Penerapan hukum pidana (criminal law application);
b. Pencegahan tanpa pidana (prevention without punishment); dan
c. Mempengaruhi pandangan masyarakat mengenai kejahatan dan
pemidanaan lewat media massa (influencing view of society on crime
and punishment).
2. Pendekatan dalam Politik Kriminal
Bekerjanya politik kriminal dalam menanggulangi suatu
kejahatan dapat dilakukan dengan beberapa strategi atau beberapa
pendekatan. Dengam melihat skema yang dirancang oleh Barda Nawawi
Arief dan Hoefnagels pada bahasan sebelumnya dapat disimpulkan
bahwa secara garis besar upaya penanggulangan dapat dilakukan dengan
dua cara yakni pendekatan penal dan pendekatan non penal. Kesimpulan
tersebut didasarkan pada pandangan bahwa pembagian Hoefnagels
mengenai pencegahan tanpa pidana dan media massa menurut Barda
Nawawi Arief dapat dimasukan dalam kelompok non penal.27
a. Pendekatan Penal
Pendekatan penal merupakan cara yang dipergunakan dengan
memanfaatkan sarana pidana atau sanksi pidana, pendekatan ini
merupakan pendekatan yang paling tua dalam pidana. Dikatakan
paling tua karena pendekatan ini menurut Gene Kassebaum umurnya
27 Ibid.
14
setua peradaban manusia itu sendiri, sehingga ia mengatakan bahwa
sarana penal merupakan “older philosophy of crime control”.28
Penggunaan sarana pidana berarti mengggunakan upaya paksa yang
dimiliki hukum pidana melalui sistem peradilan pidana. Menurut
Mardjono Reksodiputro, sistem peradilan pidana adalah sistem
pengendalian kejahatan yang terdiri dari lembaga kepolisian,
kejaksaan, pengadilan, dan pemasyarakatan.29 Barda Nawawi Arief
berpandangan bahwa sistem peradilan pidana pada hakikatnya
identik dengan sistem penegakan hukum pidana ataupun sistem
kekuasaan kehakiman di bidang hukum pidana, terpadu
diimplementasikan dalam 4 (empat) sub-sistem kekuasaan, yaitu
kekuasaan penyidikan, kekuasaan penuntutan, kekuasaan mengadili /
menjatuhkan pidana, dan kekuasaan eksekusi / pelaksanaan pidana.30
Langkah- langkah operasionalisasi politik kriminal dengan
menggunakan sarana penal yang baik, dilakukan melalui:
1) Penetapan kebijakan perundang-undangan (dapat juga disebut
kebijakan legislasi) yang didalamnya berisikan penetapan
kebijkan mengenai:
a) Perbuatan apa yang seharusnya dijadikan tindak pidana
(kebijakan kriminalisasi);
28 Dalam Muladi dan Barda Nawawi Arief, 1984, Teori-Teori dan Kebijakan Pidana, Alumni, Bandung, hal 149.
29 Mardjono Reksodiputro, 1993, Sistem Peradilan Indonesia (Melihat Kepada Kejahatan Dan Penegakan Hukum Dalam Batas-Batas Toleransi), Pidato Pengukuhan Guru Besar Ilmu Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Jakarta, hal 1.
30 Barda Nawawi Arief, 2007, Kapita Selekta Hukum Pidana, Universitas Diponegoro, Semarang, hal 9.
15
b) Sanksi apa yang sebaiknya digunakan atau dikenakan kepada
si pelanggar (kebijakan penalisasi / kebijakan pemidanaan).
2) Penerapan pidana oleh badan pengadilan (disebut juga kebijakan
yudikasi).
3) Pelaksanaan pidana oleh aparat pelaksana pidana (disebut juga
kebijakan eksekusi).31
Dalam pendekatan ini, Muladi32 berpandangan bahwa
terdapat dua masalah sentral yakni masalah penentuan:
1) Perbuatan apa yang seharusnya dijadikan tindak pidana, dan
2) Sanksi apa yang sebaiknya digunakan atau dikenakan kepada si
pelanggar.
Permasalahan yang pertama adalah masalah yang berkaitan
dengan kriminalisasi, menurut Sudarto33 kiranya diperhatikan hal-hal
yang pada intinya sebagai berikut:
1) Penggunaan hukum pidana harus memperhatikan tujuan
pembangunan nasional yaitu mewujudkan masyarakat adil
makmur yang merata materiil dan spirituil berdasarkan
Pancasila; sehubungan dengan ini maka (penggunaan) hukum
pidana bertujuan untuk menanggulangi kejahatan dan
mengadakan pengugeran terhadap tindakan penanggulangan itu
sendiri, demi kesejahteraan dan pengayoman masyarakat;
31 Widiada Gunakaya, Op. Cit, hal 14.32 Muladi dan Barda Nawawi Arief, Op. Cit, hal 160.33 Sudarto, 1977, Hukum dan Hukum Pidana, Yayasan Sudarto, Semarang, hal 44-48.
16
2) Perbuatan yang diusahakan untuk dicegah atau ditanggulangi
dengan hukum pidana harus merupakan “perbuatan yang tidak
dikehendaki” yaitu perbuatan yang mendatangkan kerugian
(materiil dan atau spirituil) atas warga masyarakat;
3) Penggunaan hukum pidana harus pula memperhitungkan prinsip
“biaya dan hasil”. (cost – benefit principle);
4) Penggunaan hukum pidana harus pula memperhatikan kapasitas
atau kemampuan daya kerja dari badan-badan penegak hukum,
yaitu jangan sampai ada kelampauan beban tugas (overblsating).
Bassiouni34 berpendapat bahwa keputusan untuk melakukan
kriminalisasi dan dekriminalisasi harus didasarkan pada faktor-faktor
kebijakan tertentu yang mempertimbangkan berbacam faktor,
termasuk:
1) Keseimbangan sarana-sarana yang digunakan dalam
hubungannya dengan hasil yang dicari atau yang ingin dicapai;
2) Analisa biaya terhadap hasil-hasil yang diperoleh dalam
hubungannya dengan tujuan-tujuan yang dicari;
3) Penilaian atau penaksiran tujuan-tujuan yang dicari itu dalam
kaitannya dengan prioritas-prioritas lainnya dalam
pengalokasian sumber-sumber tenaga manusia;
34 M. Cherif Bassioni, 1973, Substantive Criminal Law, Charles C. Thomas Publiser, USA, hal 82.
17
4) Pengaruh sosial dari kriminalisasi dan dekriminalisasi yang
berkenaan dengan (dipandang dari segi) pengaruh-pengaruhnya
yang sekunder.
Permasalahan yang kedua merupakan permasalahan yang
berkenaan dengan pemidanaan atau yang dalam bahasa Belanda
disebut “wordt gestraft”. Istilah pemidanaan merupakan istilah yang
berasal dari pidana, istilah pidana sendiri dalam bahasa Belanda
disebut “straf”35. Beberapa sarjana mengemukakan pengertian
pidana seperti Sudarto yang menyatakan bahwa pidana adalah
penderitaan yang sengaja dibebankan kepada orang yang melakukan
perbuatan yang memenuhi syarat-syarat tertentu. Sedangkan Roeslan
Saleh menyatakan bahwa apa yang dimaksud dengan pidana adalah
reaksi atas delik, dan ini berwujud suatu nestapa yang dengan
sengaja ditimpakan pada negara pada pembuat delik itu36.
Muladi berpandangan bahwa unsur-unsur pidana adalah:
1) Pidana itu pada hakikatnya merupakan suatu pengenaan
penderitaan atau nestapa atau akibat-akibat lain yang tidak
menyenangkan;
2) Pidana itu diberikan dengan sengaja oleh orang atau badan yang
mempunyai kekuasaan (oleh yang berwenang);
3) Pidana itu dikenakan kepada seseorang yang telah melakukan
tindak pidana menurut undang-undang;
35 Muladi dan Barda Nawawi Arief, Op. Cit, hal 1.36 Ibid, hal 2.
18
Masih terkait dengan sanksi apa yang sebaiknya dikenakan,
perlu sangat diperhatikan bahwa tidak terkendalinya perkembangan
kriminalitas yang semakin meningkat, justru dapat disebabkan oleh
tidak tepatnya jenis sanksi yang dipilih dan ditetapkan. Setidak-
tidaknya perumusan pidana di dalam undang-undang yang kurang
tepat dapat menjadi faktor timbul dan berkembangnya kriminalitas37.
b. Pendekatan Non Penal
Dalam politik kriminal, upaya untuk menanggulangi
kejahatan tidak hanya diperlukan dengan sarana penal namun juga
dapat dilakukan dengan sarana non penal. Sarana non penal ini
berkaitan dengan pencegahan sebelum terjadinya kejahatan, berbeda
dengan sarana penal yang dilakukan setelah terjadinya kejahatan.
Barda Nawawi Arief menyampaikan bahwa pendekatan ini memiliki
tujuan utama untuk memperbaiki kondisi-kondisi sosial tertentu,
namun secara tidak langsung mempunyai pengaruh preventif
terhadap kejahatan. Dengan demikian menuurut Barda Nawawi
Arief, pendekatan non penal dalam politik kriminal memiliki posisi
yang sangat startegis dan memegang posisi kunci yang harus
diintensifkan dan diefektifkan, apabila pendekatan ini mengalami
kegagalan dalam penggarapannya justru akan berakibat fatal bagi
usaha menanggulangi kejahatan.38
37 Ibid, hal 98.38 Ibid, hal 159.
19
Upaya preventif kejahatan menurut kongres PBB mengenai
“the prevention of crime and the treatment of offenders” dilakukan
dengan dasar penghapusan sebab-sebab kondisi-kondisi yang
menyebabkan timbulnya kejahatan, upaya penghapusan sebab-sebab
dan kondisi-kondisi yang dimikian harus merupakan strategi pokok /
mendasar dalam upaya pencegahan kejahatan (the basic crime
prevention strategy).39
Selain daripada itu, perlu dipahami bahwa sarana penal
memiliki keterbatasan yang telah banyak diungkapkan oleh para
sarjana antara lain:
1) Rubin, menyatakan bahwa pemidanaan (apapun hakikatnya
apakah dimaksudkan untuk menghukum atau memperbaiki)
sedikit atau tidak mempunyai pengaruh terhadap masalah
kejahatan;
2) Karl O. Christiansen, menyatakan bahwa kita mengetahui
pengaruh pidana penjara terhadap si pelanggar, tetapi pengaruh-
pengaruhnya terhadap masyarakat secara keseluruhan (general
prevention) merupakan “terra incognita”, suatu wilayah yang
tidak diketahui (unknown territory).
3) S. R. Brody, menyatakan bahwa dari Sembilan penelitian
mengenai pemidanaan, lima diantaranya menyatakan bahwa
39 A. Widiada, Op. Cit, hal. 36.
20
lamanya waktu yang dijalani d dalam penjara tampaknya tidak
berpengaruh pada adanya penghukuman kembali (reconviction)
4) Bassiouni pernah menegaskan bahwa kita tidak tahu atau tidak
pernah tahu secara pasti metode-metode tindakan (treatment)
apa yang paling efektif untuk mencegah dan memperbaiki atau
kita pun tidak mengetahui seberapa jauh efektivitas setiap
tindakan itu untuk dapat menjawab masalah-masalah secara
pasti, kita harus mengetahui sebab-sebab kejahatan dan untuk
mengetahui hal ini kita memerlukan pengetahuan yang lengkap
mengenai etiologi tingkah laku manusia.40
Berbagai ungkapan tersebut meninjau keterbatasan
kemampuan hukum pidana dari sudut hakikat berfungsinya atau
bekerjanya hukum (sanksi) pidana itu sendiri. Dilihat dari kejahatan
sebagai masalah sosial, banyak faktor yang menyebabkan terjadinya
kejahatan. Faktor penyebab terjadinya kejahatan tersebut sangat
kompleks dan berada di luar jangkauan hukum pidana. Wajarlah
hukum pidana mempunyai keterbatasan kemampuan untuk
menanggulangi karena seperti pernah dikemukakan Sudarto bahwa
penggunaan hukum pidana merupakan penanggulangan sesuatu
gejala (Kuren am Symton) dan bukan suatu penyelesaian dengan
menghilangkan sebab-sebabnya41.
40 Widiada Gunakaya, Op. Cit, hal 19 – 22.41 IS. Heru Permana, Op. Cit, hal 47.
21
Pencegahan kejahatan pada dasarnya merupakan tujuan
utama politik kriminal. Sekalipun demikian, harus diakui bahwa
konsep dan definisinya masih terlalu lemah sehingga orang
cenderung untuk membicarakan pencegahan kejahatan dalam
kerangka pendekatan dan model. Secara tradisional, tujuan sistem
peradilan pidana bersifat represif dan berkaitan erat dengan
pencegahan kejahatan setelah suatu kejahatan terjadi (after on
offfence has already occurred). Konsep pencegahan kejahatan
sendiri memfokuskan diri pada campur tangan sosial, ekonomi, dan
pelbagai area kebijakan publik, dengan maksud mencegah kejahatan
sebelum kejahatan dilakukan (to prevent crime before an offence has
been committed).42
B. Tindak Pidana Korupsi
1. Tindak Pidana
a. Pengertian
Tindak pidana pada hakikatnya merupakan istilah yang
berasal dari terjemahan kata strafbaarfeit dalam bahasa Belanda.
Kata strafbaarfeit kemudian diterjemahkan dalam berbagai
terjemahan dalam bahasa Indonesia. Beberapa kata yang
dipergunakan untuk menterjemahkan strafbaarfeit oleh sarjana-
42 Ibid, hal 89.
22
sarjana di Indonesia antara lain: tindak pidana43, delict44, perbuatan
pidana45.
Menurut P.A.F. Lamintang, pembentuk undang-undang tidak
memberikan suatu penjelasan mengenai apa yang sebenarnya yang
dimaksud dengan “stafbaaar feit”, maka timbulah di dalam doktrin
berbagai pendapat tentang apa yang sebenarnya yang dimaksud
dengan “strafbaar feit” tersebut.46 Dari sekian banyak pandangan
mengenai istilah apa yang paling tepat untuk “strafbaar feit”,
pembentuk undang-undang akhirnya menyatakan bahwa istilah yang
cocok untuk“strafbaar feit” tersebut adalah tindak pidana. Alasan
yang mendasari hal tersebut adalah aspek socio-yuridis, dimana
hampir semua perundang-undangan pidana memakai istilah tindak
pidana.47
Berkaitan dengan pengertian tindak piidana, dikenal dua
pandangan, yaitu pandangan monistis dan pandangan dualistis48.
Pandangan monistis menjelaskan bahwa didalam pengertian
perbuatan pidana / tindak pidana sudah tercakup didalamnya
perbuatan yang dilarang (criminal act) dan pertanggungjawaban
pidana / kesalahan (criminal responsibility). Sedangkan dalam
43 Sudarto, Hukum Pidana Jilid I A-B, FH Undip, Semarang, 1975, hal 31.44 Satochid Kartanegara, Hukum Pidana Kumpulan Kuliah, Balai Lektur Mahasiswa,
tanpa tahun, hal 74.45 Sudarto, Op. Cit, hal 30.46 P.A.F. Lamintang, 1997, Dasar-dasar Hukum Pidana Indonesia, Cetakan Ketiga, Citra
Aditya Bakti, Bandung, hal 181.47 Tim Penerjemah Badan Pembinaan Hukum Nasional, 1983, Kitab Undang-Undang
Hukum Pidana Terjemahan Resmi, Sinar Harapan, Jakarta, hal. 10. Dalam Widiada Gunakaya, Op. Cit, hal 44.
48 Ibid, hal 31 -32.
23
pandangan dualistis, memberikan pandangan bahwa dalam tindak
pidana hanya terdapat perbuatan yang dilarang (criminal act), dan
pertanggungjawaban pidana / kesalahan (criminal responsibility)
tidak menjadi unsur tindak pidana.49
Sarjana yang menganut paham monisme adalah Simons,
menurutnya yang dimaksud dengan tindak pidana adalah tindakan
melanggar hukum yang telah dilakukan dengan sengaja ataupun
tidak dengan sengaja oleh seseorang yang dapat
dipertanggungjawabkan atas tindakannya dan yang oleh undang-
undang telah dinyatakan sebagai suatu tindakan yang dapat dihukum.
Dengan mendasarkan pada pengertian tersebut, unsur-unsur yang
harus dipenuhi untuk adanya suatu tindak pidana adalah:
1) Perbuatan manusia, baik dalam arti perbuatan positif (berbuat)
maupun perbuatan negatif (tidak berbuat);
2) Diancam dengan pidana;
3) Melawan hukum;
4) Dilakukan dengan kesalahan;
5) Oleh orang yang mampu bertanggungjawab.50
Lain dengan Simons, J. Baumann51 mengatakan bahwa tindak
pidana adalah perbuatan yang memenuhi rumusan delik, bersifat
melawan hukum, dan dilakukan dengan kesalahan. Sedangkan
49 Tongat, Op. Cit, hal 105 -106.50 P. A. F. Lamintang, Op. Cit, hal 185.51 Sudarto, Op. Cit, hal 31-32.
24
Wiryono Prodjodikoro52 berpandangan tindak pidana adalah suatu
perbuatan yang pelakunya dapat dipidana.
Sarjana yang menganut paham dualisme adalah Moeljatno,
menurutnya yang dimaksud dengan perbuatan pidana adalah
perbuatan yang diancam dengan pidana, barangsiapa melangggar
larangan tersebut. Dengan mendasarkan pada pengertian tersebut,
unsur-unsur yang harus dipenuhi untuk adanya suatu tindak pidana
adalah:
1) Adanya perbuatan (manusia);
2) Yang memenuhi rumusan dalam undang-undang (hal ini
merupakan syarat formil, terkait dengan berlakunya Pasal 1 ayat
(1) KUHP;
3) Bersifat melawan hukum (hal ini merupakan syarat materiil,
terkait dengan diikutinya ajaran sifat melawan hukum materiil
dalam fungsinya yang negatif).53
Selain Moeljatno, sarjana lain yang tergolong menganut
pandangan dualism adalah Pompe. Menurut Pompe, dalam hukum
positif stafbaarfeit tidak lain feit (tindakan) yang diancam pidana
dalam ketentuan undang-undang. Menurutnya, dalam hukum positif
sifat melawan hukum dan kesalahan bukanlah syarat mutlak untuk
adanya tindak pidana54.
52 Dalam Tongat, Op. Cit, hal. 106.53 Ibid, hal 107.54Ibid.
25
Jika dicermati secara seksama, terdapat persamaan dalam
pandangan monisme dan dualisme. Baik pandangan monisme dan
dualisme, keduanya mengharuskan bahwa untuk adanya pidana
harus terdapat tindak pidana (criminal act) dan pertanggungjawaban
pidana (criminal responsibility). Adapun perbedaannya telah
dijelaskan pada penjelasan sebelumnya.
b. Sifat Melawan Hukum
Sifat melawan hukum merupakan unsur yang mendapat
perhatian khusus dalam tindak pidana, keberadaan unsur sifat
melawan hukum dalam pengertian tindak pidana bahkan tidak
terpengaruh terhadap apakah pengertian tersebut dihasilkan oleh
sarjana yang menganut aliran monisme ataupun dualisme
sebagaimana dapat dilihat dalam bahasan tindak pidana sebelumnya.
Urgensi sifat melawan hukum bertolak dari kenyataan bahwa yang
menjadi perhatian hukum pidana adalah perbuatan-perbuatan yang
bersifat melawan hukum saja, perbuatan-perbuatan tersebutlah yang
kemudian dalam hukum pidana dilarang dan diancam dengan
pidana.55 Terdapat dua ajaran mengenai sifat melawan hukum yakni
ajaran sifat melawan hukum secara formil dan ajaran sifat melawan
hukum secara meteriil.
55 Moeljatno, 1992, Asas-Asas Hukum Pidana, Bumi A ksara, Jakarta, ha l. 130.
26
1) Ajaran Sifat Melawan Hukum Secara Formil
Dalam ajaran sifat melawan hukum secara formil
dikatakan bahwa bersifat melawan hukum apabila perbuatan itu
diancam pidana dan dirumuskan sebagai delik (tindak pidana)
dalam undang-undang.56 Mencermati hal tersebut, terkandung
makna bahwa suatu perbuatan dikatakan melawan hukum
apabila perbuatan tersebut telah mencocoki larangan undang-
undang.57
Ajaran ini dalam hukum pidana Indonesia tercermin
dalam Pasal 1 ayat (1) KUHP atau yang lebih dikenal dengan
asas legalitas. Ajaran ini memiliki dua pemahaman:
a) Perbuatan dikatakan bersifat melawan hukum apabila
perbuatan tersebut sudah dirumuskan dalam undang-undang
sebagai perbuatan yang diancam pidana.
b) Hal yang dapat menghapus sifat melawan hukumnya
perbuatan hanyalah dapat dilakukan melalui pencabutan
oleh undang-undang (dekriminalisasi secara formil).58
2) Ajaran Sifat Melawan Hukum Secara Materiil
Dalam ajaran sifat melawan hukum secara materiil
dikatakan bahwa sifat melawan hukumnya suatu perbuatan tidak
hanya didasarkan pada undang-undang saja tapi juga didasarkan
pada nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat atau hukum tidak
56 Sudarto,Op. Cit, hal 62.57 Moeljatno, Loc. Cit.58 Tongat, Op. Cit, hal 196
27
tertulis.59 Moeljatno lebih lanjut mengatakan bahwa dalam
ajaran yang materiil, belum tentu suatu perbuatan yang telah
mencocoki rumusan delik itu adalah bersifat melawan hukum,
sebab perbuatan itu selain mencocoki perumusan delik juga
perbuatan harus betul-betul dirasakan oleh masyarakat sebagai
perbuatan yang tak boleh atau tak patut dilakukan.60 Ajaran sifat
melawan hukum secara materiil terbagi menjadi dua ajaran lagi,
ajaran sifat melawan hukum secara meteriil dalam fungsinya
yang negatif dan ajaran sifat melawan hukum secara materiil
dalam fungsinya secara positif.
Pada fungsi yang negatif, nilai-nilai yang hidup dalam
masyarakat hanya diakui sebagai hal yang dapat menghapus
sifat melawan hukumnya perbuatan. Sedangkan pada fungsi
yang positif, nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat diakui
sebagai sumber hukum positif. Artinya, sekalipun suatu
perbuatan tidak diformulasikan secara positif (dalam peraturan
perundang-undangan) sebagai suatu tindak pidana, tetapi apabila
perbuatan itu bertentangan dengan nilai-nilai yang hidup dalam
masyarakat, maka perbuatan itu berdasarkan nilai-nilai yang
hidup dalam masyarakat dapat dipositifkan menjadi suatu tindak
pidana61. Ajaran sifat melawan hukum secara materiil
59 Ibid.60 Moeljatno dalam W idiada Gunakaya, Op. Cit, hal. 47.61 Tongat, Op. Cit, 202-203.
28
merupakan ajaran yang kini dianut para sarjana di Indonesia62
dan ajaran sifat melawan hukum materiil yang dianut adalah
ajaran sifat melawan hukum secara materiil dan fungsi negatif. 63
2. Korupsi
a. Pengertian
Ditinjau dalam sudut pandang etimologi, korupsi merupakan
istilah asing yang diserap dalam bahasa Indonesia, Dalam Webster
Studen Dictionary, Korupsi merupakan istilah yang berasal dari
bahasa latin corruptio atau corruptus. Selanjutnya disebutkan bahwa
corruptio itu berasal pula dari kata asal corrumpere, suatu kata
dalam bahasa latin yang lebih tua. Dari bahasa latin itulah turun ke
banyak bahasa Eropa seperti Inggris, yaitu corruption, corrupt;
Perancis, yaitu corruption; dan Belanda, yaitu corruptie (korruptie),
dapat atau patut diduga istilah korupsi berasal dari bahasa Belanda
dan menjadi bahasa Indonesia, yaitu “korupsi”64.
Di dalam Black’s Law Dictionary, korupsi adalah suatu
perbuatan yang dilakukan dengan maksud untuk memberikan suatu
keuntungan yang tidak sesuai dengan kewajiban resmi dan hak-hak
dari pihak lain, secara salah menggunakan jabatannya atau
karakternya untuk mendapatkan suatu keuntungan untuk dirinya
62 Sudarto, Op. Cit, hal 66. 63 Ibid.64Ermansjah Djaja, 2009, Memberantas Korupsi bersama KPK, Sinar Grafika, Jakarta,
hal 6.
29
sendiri atau untuk orang lain, bersamaan dengan kewajibannya dan
hak-hak dari pihak lain.65
Pengertian korupsi secara harafiah menurut John M. Echols
dan Hassan Shadaly66, berarti jahat atau busuk, sedangkan menurut
A. I. N. Kramer SR67 mengartikan kata korupsi sebagai: busuk, rusak
atau dapat disuap. Arti korupsi yang telah diterima dalam
perbendaharaan kata bahasa Indonesia, disimpulkan oleh
Poerwadarminta bahwa korupsi adalah perbuatan yang buruk seperti
penggelapan uang, penerimaan uang sogok dan sebagainya68.
Beberapa pengertian dalam sudut pandang etimologi tersebut
pada akhirnya nampak bahwa korupsi memiliki pengertian yang
sangat luas. Sependapat dengan ini adalah pengertian dari
Encyclopedia Americana, dimana korupsi adalah suatu hal yang
sangat buruk dengan bermacam ragam artinya, bervariasi menurut
waktu, tempat, dan bangsa.69
Beberapa sarjana mencoba mendefinisakan korupsi,
Baharudin Lopa mengutip pendapat dari David M. Chalmer,
menguraikan arti istilah korupsi dari berbagai bidang, yakni yang
menyangkut masalah penyuapan, yang berhubungan dengan
65 Henry Campbell Black, 1990, Blac’k Law Dictionary, 6th Edition, West Publishing, St. Paul Minesota dalam Marwan Effendy, 2012, SIstem Peradilan Pidana: Tinjauan terhadap Beberapa Perkembangan Hukum Pidana, Referensi, Jakarta, hal. 80.
66 Wijowasito, 1999, Kamus Umum Belanda Indonesia, Ikhtiar Baru, Jakarta, hal 128.67John M. Echols dan Hassan Shadaly, 1997, Kamus Inggris Indonesia, Gramedia
Pustaka Utama, Jakarta, hal 149. 68 W. J. S. Poerwadarminta, 1976, Kamus Umum Bahasa Indonesia, Balai Pustaka,
Jakarta, hal. 524.69 Dalam Andi Hamzah, 2005, Pemberantasan Korupsi melalui Hukum Pidana Nasional
dan Internasional, Rajagrafindo Persada, Jakarta, hal. 6.
30
manipulasi di bidang ekonomi, dan yang menyangut bidang
kepentingan umum.70 Sudarto menjelaskan pengertian korupsi dari
unsur-unsurnya sebagai berikut:
1) Melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri, orang lain atau
suatu badan.
2) Perbuatan itu bersifat melawan hukum.
3) Perbuatan itu secara langsung atau tidak langsung merugikan
keuangan negara dan / atau perekonomian negara, atau
perbuatan itu diketahui atau patut disangka oleh si pembuat
bahwa merugikan keuangan negara atau perekonomian negara.71
Selain itu, perlu diperhatikan mengenai pernyataan dari
World Bank berdasarkan hasil penelitiannya yang menjelaskan
bahwa korupsi adalah “An Abuse Of Public Power For Private
Gains” atau penyalahgunaan kewenangan atau kekuasaan untuk
kepentingan pribadi.72 Dalam sudut pandang normatif, pengertian
korupsi dapat dilihat dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999
Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Dalam Pasal 2 ayat
(1) dan Pasal 3 dijelaskan pengertian korupsi melalui unsur-unsur
dari tindak pidana korupsi. unsur-unsur tindak pidana korupsi dalam
Pasal 2 ayat (1) adalah:
1) Melawan hukum,
70 Dalam Evi Hartanti, 2007, Tindak Pidana Korupsi, Ediisi Kedua, Sinar Grafika, Jakarta, hal. 9.
71 Dalam Ibid, hal. 18.72 World Bank, 1997, World Development Report – The State in Changing World,
Washington DC dalam Marwan Effendy, Op. Cit, hal. 81.
31
2) Memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi,
3) Dapat merugikan keuangan negara atau perekomian negara.
Sedangkan unsur-unsur tindak pidana korupsi dalam Pasal 3
adalah:
1) Menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi,
2) Menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada
padanya karena jabatan atau kedudukan,
3) Dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara.
b. Sebab-Sebab Tindak Pidana Korupsi
Korupsi merupakan suatu perbuatan, oleh karenanya terdapat
alasan-alasan atau sebab-sebab mengapa orang melakukan perbuatan
korupsi. Andi Hamzah membuat hipotesis mengenai sebab-sebab
korupsi sebagai berikut:
1) Kurangnya gaji atau pendapatan pegawai negeri dibandingkan
dengan kebutuhan yang makin hari makin meningkat;
2) Latar belakang kebudayaan atau kultur Indonesia;
3) Manajemen yang kurang baik dan control yang kurang efektif dan
efisien;
4) Modernisasi73
Marwan Effendy turut mengambil bagian dalam menemukan
jawaban dari sebab-sebab korupsi, dengan berangkat dari pengertian
korupsi yang disampaikan oleh Sheldon S. Steinberg dan David T.
73 Andi Hamzah, Op.Cit, hal. 13 – 23.
32
Ausytern yang menyatakan bahwa korupsi adalah perbuatan tidak
etis yang merusak sendi-sendi pemerintahan yang baik maka dapat
disimpulan bahwa sebab-sebab korupsi adalah:
1) Minimnya integritas,
2) Sistem karier dan penggajian yang tidak berbasis kinerja serta
standar pelayanan minimal,
3) Perilaku masyarakat yang serba instan dalam setiap urusan.74
Patrick Glynn, Stephen J. Korbin, dan Moise Naim
berpandangan bahwa korupsi disebabkan sebagai akibat dari
perubahan politik secara sistematis, sehingga memperlemah atau
mengahancurkan tidak saja lembaga sosial dan politik, tetapi juga
hukum.75 Pendapat mereka tersebut nampak terbukti, sebelum
reformasi atau ketika orde baru, korupsi menjadi sistemik dan
hierarkis. Kemudian dengan jatuhnya orde baru yang kemudian
munculnya pengenalan sistem pemilihan umum yang baru di tahun
1999 dan implementasi desentralisasi di tahun 2001 membuat pola
korupsi era orde baru menyusut, tetapi dalam perkembangannya
justru korupsi dalam skala kecil semakin meningkat karena pemain
lama yakni para pejabat kakap sudah absen. Meningkatnya korupsi
dalam skala kecil ini melah ternyata telah membuat suatu budaya
yang dapat memaklumi keikutsertaan dalam korupsi.76
74 Marwan Effendy, Op. Cit, hal 83-84.75 Kimberly Ann Elliot, 1999, Corruption and The Global Economy, Edisi Pertama,
terjemahan Yayasan Obor Indonesia, Jakarta, hal 11 dalam Marwan Effendy, Loc. Cit.76 Ibid.
33
BAB III
METODE PENELITIAN
A. Tipe Penelitian
Tipe penelitian dalam penelitian ini adalah normatif, dimana
penelitian normatif adalah penelitian hukum yang dilakukan dengan cara
meneliti bahan pustaka atau data sekunder.77 Metedo pendekatan normatif
juga dikenal dengan nama penelitian hukum atau legal research.78
B. Pendekatan Penelitian
Pendekatan penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah
pendekatan perundang-undangan, pendekatan perundang-undangan (statute
approach) dilakukan dengan menelaah semua undang-undang dan regulasi
yang bersangkut paut dengan isu hukum yang ditangai79, isu hukum yang
ditangani dalam penelitian ini adalah tindak pidana korupsi.
C. Bahan Hukum
Bahan hukum yang digunakan dalam penelitian ini adalah:80
1. Bahan hukum primer
Bahan hukum primer adalah bahan-bahan hukum yang mengikat,
dan terdiri dari:
77 Soerjono Soekanto dan Sri Pamuji, Penelitian Hukum Normatif, Raja Grafindo Persada, Jakarta, Cetakan ket iga, 2011, hal 14.
78 Ronny Hanit ijo Soemitro, Metodologi Penelitian, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1982, hal 10.
79 Peter Mahmud Marzuki, 2010, Penelitian Hukum, Kencana, Jakarta, hal 93.80 Ibid, hlm.113 -114.
34
a. Norma atau kaidah dasar, yaitu Pembukaan Undang-Undang Dasar
1945;
b. Peraturan dasar, yaitu batang tubuh UUD 1945;
c. Peraturan Perundang-undangan:
d. Bahan hukum yang tidak dikodifikasikan, misalnya hukum adat;
e. Yurisprudensi;
f. Traktat;
g. Bahan hukum dari zaman penjajahan yang hingga kini masih
berlaku, seperti KUHP (Wetboek van Strafrecht).
2. Bahan hukum sekunder
Bahan hukum sekunder adalah bahan hukum yang memberikan
penjelasan mengenai bahan hukum primer, seperti Rancangan Undang-
Undang (RUU), Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP), hasil penelitian
hukum, hasil karya ilmiah, dan sebagainya.
3. Bahan hukum tersier
Bahan hukum tersier adalah bahan-bahan yang memberi petunjuk
maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum
sekunder, seperti kamus.
D. Metode Pengumpulan Bahan Hukum
Metode pengumpulan bahan hukum yang digunakan dalam penelitian
ini adalah studi pustaka atau kepustakaan, yakni kegiatan mengumpulkan dan
memeriksa atau menelusuri dokumen-dokumen atau kepustakaan yang dapat
memberikan informasi atau keterangan yang dibutuhkan oleh peneliti.
35
Penggunaan metode pengumpulan ini merupakan konsekuensi logis dari
penggunaan bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder.81
E. Metode Analisis Bahan Hukum
Metode analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode
analisis kualitatif yakni analisis yang menekankan pada proses penyimpulan
deduktif dan induktif serta pada dinamika hubungan antar fenomena yang
diamati dengan menggunakan logika ilmiah.82 Penyimpulan dalam penelitian
ini menggunakan logika deduktif yankni logika yang berangkat dari hal yang
bersifat umum ke hal yang bersifat khusus. Penggunaan metode analisis data
kualitatif ini merupakan konsekuensi logis dari pengaplikasian penelitian
dengan tipe normatif.83
81 M. Syamsyudin, Operasionalisasi Penelitian Hukum, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2007hal 101-102.
82 Ibid, hal 133.83 Bambang Waluyo, Op. Cit, hal 78.
36
BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Peraturan perundangan yang digunakan untuk menanggulangi tindak
pidana korupsi pada era reformasi
Semenjak era reformasi berjalan di Indonesia pada tahun 1998, ada
banyak peraturan perundang-undangan yang dirumuskan dalam rangka
menanggulangi tindak pidana korupsi. Perumusan peraturan perundang-
undangan ini merupakan manifestasi aspirasi masyarakat dalam tuntutan
reformasi, salah satu tuntutan reformasi tersebut adalah pemberantasan
korupsi. Hingga tahun 2013, terhitung sudah empat belas tahun masyarakat
Indonesia merasakan reformasi dan dari empat belas tahun tersebut sudah
pula negara ini merumuskan berbagai peraturan perundang-undangan untuk
memenuhi harapan masyarakat Indonesia yang gerah akan predikat negara
korup.
1. TAP MPR No. XI/MPR/1998 tentang Penyelenggara Negara yang
Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme
TAP MPR No. XI/MPR/1998 tentang Penyelenggara Negara
yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme yang
ditetapkan pada tanggal 13 Nopember 1998 merupakan tindak lanjut atas
ketidaksesuaian lagi Undang-Undang Nomor 3 tahun 1971 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dengan perkembangan dan
kebutuhan hukum mengenai tindak pidana korupsi. Dikatakan tidak
sesuai lagi karena setelah diberlakukan selama 28 (dua puluh delapan)
37
tahun berlaku ternyata telah terjadi perkembangan tindak pidana korupsi,
kolusi, dan nepotisme yang melibatkan para penyelenggara negara
dengan para pengusaha.84 Sebuah Aide Memorie Bank Dunia yang
diterbitkan pada Oktober 1998 menyatakan bahwa benar terjadi korupsi
pada proyek-proyek di Indonesia yang didanai Bank Dunia dan dana
bantuan dari lembaga- lembaga internasional lainnya sehingga
disimpulkan bahwa korupsi di Indonesia sudah melembaga.85
Dalam konsideransnya ada dua pertimbangan pokok lahirnya
TAP MPR ini:
a) Bahwa dalam penyelenggaraan negara telah terjadi praktik-praktik
usaha yang lebih menguntungkan sekelompok tertentu yang
menyuburkan korupsi, kolusi, dan nepotisme yang melibatkan para
pejabat negara dengan para pengusaha sehingga merusak sendi-sendi
penyelenggara negara dalam berbagai aspek kehidupan nasional;
b) Bahwa dalam rangka rehabilitasi seluruh aspek kehidupan nasional
yang berkeadilan, dibutuhkan penyelenggara negara yang dapat
dipercaya melalui usaha pemeriksaan harta kekayaan para pejabat
negara dan mantan pejabat negara serta keluarganya yang diduga
berasal dari praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme, dan mampu
membebaskan diri dari praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme.
84 Ermasyarah Djaja, 2009, Memberantas Korupsi bersama KPK, Cetakan Kedua, Sinar Grafika, Jakarta, hal. 9.
85 Dalam Artidjo Alkostar, 2008, Korupsi Politik di Negara Modern , FH UII Press, Yogyakarta, hal. 85.
38
TAP MPR ini bertujuan untuk memfungsikan secara proporsional
dan benar lembaga- lembaga negara yang ada, sehingga penyelenggaraan
negara dapat berlangsung sesuai dengan UUD 1945. Penyelenggara
negara pada lembaga- lembaga eksekutif, legislatif, dan yudikatif harus
melaksanakan fungsinya dengan baik dan bertanggungjawab kepada
masyarakat, bangsa, dan negara dengan sikap jujur, adil, terbuka, dan
terpercaya serta mampu membebaskan diri dari praktik korupsi, kolusi,
dan nepotisme.86 Dari TAP MPR ini, lahirlah Undang-Undang Nomor 28
Tahun 1999 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas dari
Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme yang ditetapkan pada tanggal 19 Mei
1999.
2. Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggara
Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme.
Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggara
Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme
disahkan pada tanggal 19 Mei 1999, sebagaimana dijelaskan sebelumnya
bahwa undang-undang ini dirumuskan karena undang-undang ini
diamanatkan secara langsung oleh TAP MPR No. XI/MPR/1998 tentang
Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi, dan
Nepotisme. Dalam undang-undang ini sangat rinci merumusakan fokus
upaya tata kelola negara yang bebas dari KKN antara lain melalui
definisi penyelenggara negara, penyelenggaraan negara yang bersih,
86 Ermansyah Djaja, Op. Cit, hal 16 – 17.
39
korupsi, kolusi, dan nepotisme dalam Pasal 1 secara berututan87. Adapun
bunyi Pasal 1 tersebut adalah berikut:
Pasal 1Dalam Undang-undang ini yang dimaksud dengan:1. Penyelenggara Negara adalah Pejabat Negara yang menjalankan
fungsi eksekutif, legislatif, atau yudikatif, dan pejabat lain yang funsi dan tugas pokoknya berkaitan dengan penyelenggaraan negara sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
2. Penyelenggara Negara yang bersih adalah Penyelenggara Negara yang menaati asas-asas umum penyelenggaraan negara dan bebas dari praktek korupsi, kolusi, dan nepotisme, serta perbuatan tercela lainnya.
3. Korupsi adalah tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang tindak pidana korupsi.
4. Kolusi adalah permufakatan atau kerjasama secara melawan hukum antar-Penyelenggara Negara atau antara Penyelenggara Negara dan pihak lain yang merugikan orang lain, masyarakat dan atau negara.
5. Nepotisme adalah setiap perbuatan Penyelenggara Negara secara melawan hukum yang menguntungkan kepentingan keluarganya dan atau kroninya di atas kepentingan masyarakat, bangsa, dan negara.
Selain itu, undang-undang ini dalam Pasal 2 nya secara tegas
merumuskan siapa-siapa saja yang terkategori sebagai penyelenggara
negara, adapun bunyi pasal 2 tersebut adalah sebagai berikut:
Pasal 2Penyelenggara Negara meliputi:1. Pejabat Negara pada Lembaga Tertinggi Negara;2. Pejabat Negara pada Lembaga Tinggi Negara3. Menteri;4. Gubernur;5. Hakim;6. Pejabat negara lain yang sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan yang berlaku; dan
87 Servas Pandur, 2011, Testimoni Antasari Azhar Untuk Hukum dan keadilan , Laras indra Semesta, Jakarta, hal. 365.
40
7. Pejabat lain yang memilki fungsi strategis dalam kaitannya dengan penyelenggaraan negara sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Undang-undang ini mewajibkan kepada penyelenggara untuk
melakukan pemeriksaan kekayaan dalam rangka pencegahan praktek
KKN bagi penyelenggara negara. Kewajiban pemeriksaan kekayaan
tersebut dapat dilihat dalam Pasal 5.
Pasal 5Setiap Penyelenggara Negara berkewajiban untuk:1. mengucapkan sumpah atau janji sesuai dengan agamanya sebelum
memangku jabatannya;2. bersedia diperiksa kekayaannya sebelum, selama, dan setelah
menjabat;3. melaporkan dan mengumumkan kekayaan sebelum dan setelah
menjabat;
Selanjutnya pelaksanaan kewajiban pemeriksaan kekayaan bagi
penyelenggara negara dilaksanakan melalui Peraturan Pemerintah Nomor
65 Tahun 1999 tentang Tata Cara Pemeriksaan Kekayaan Penyelenggara
Negara. Undang-undang ini memungkinkan untuk adanya peluang peran
serta masyarakat dalam mewujudkan penyelenggara negara yang bebas
dari KKN. Peluang tersebut diberikan undang-undang ini dalam Pasal 8,
kemudian dalam Pasal 9 ayat (1) peran serta masyarakat diwujudkan
dalam beberapa bentuk sebagaimana bunyi pasal tersebut sebagai
berikut:
Pasal 9(1)Peran serta masyarakat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8
diwujudkan dalam bentuk:a. Hak mencari, memperoleh, dan memberikan informasi tentang
penyelenggaraan negara;
41
b. Hak untuk memperoleh pelayanan yang sama dan adil dari Penyelenggara Negara;
c. Hak menyampaikan suatu saran dan pendapat secara bartanggungjawab terhadap kebijakan Penyelenggara Negara; dan
d. Hak untuk memperoleh pelrindungan hukum dalam hal:1) Melaksanakan haknya sebagaimana dimaksud dalam bentuk a,
b, dan c;2) Diminta hadir dalam proses penyelidikan, penyidikan, dan di
sidang pengadilan sebagai saksi pelapor, saksi, dan saksi ahli, sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Pelaksanaan peran serta masyarakat tersebut dilaksanakan melalui
Peraturan Pemerintah Nomor 68 Tahun 1999 tentang Tata Cara
Pelaksanaan Peran Serta Masyarakat Dalam Penyelenggaraan Negara.
Pasal 10 Peraturan Pemerintah ini memberikan perlindungan hukum bagi
masyarakat dalam melaksanakan bentuk-bentuk peran serta masyarakat
tersebut dengan ketentuan melakukan pemberitahuan baik secara tertulis
maupun lisan kepada Kepolisian Negara Republik Indonesia atau instansi
yang berwenang. Agar undang-undang ini dapat dijalankan sebagai
mestinya, undang-undang ini mengamanatkan kepada Presiden untuk
membentuk Komisi Pemeriksa.
Komisi Pemeriksa yang dimaksud adalah Komisi Pemeriksa
Kekayaan Penyelenggara Negara (KPKPN) KPKPN merupakan lembaga
independen yang didirikan oleh Presiden sehingga oleh karenanya
KPKPN bertanggungjawab secara langsung kepada Presiden. Fungsi
KPKPN diatur dalam Pasal 12 ayat (1) Undang-Undang Nomor 28
Tahun 1999, dalam pasal tersebut dinyatakan bahwa KPKPN berfungsi
42
untuk mencegah praktek korupsi, kolusi, dan nepotisme dalam
penyelenggaraaan negara. kedudukan KPKPN sendiri berada di ibukota
negara.
Terkait dengan stuktur organisasinya, KPKPN terdiri dari terdiri
dari seorang ketua merangkap anggota dan sekurang-kurangnya 20 (dua
puluh) orang Anggota yang terbagi dalam 4 (empat) Sub Komisi yang
terdiri dari:
a) Sub Komisi Eksekutif;
b) Sub Komiis Legislatif;
c) Sub Komisi Yudikatif; dan
d) Sub Komisi Badan Usaha Milik Negara / Badan Usaha Milik
Daerah.
Tugas dan wewenang KPKPN diatur dalam Pasal 17 UU No. 28
Tahun 1999, dalam pasal tersebut dinyatakan bahwa KPKPN mempunyai
tugas dan wewenang untuk melakukan pemeriksaan terhadap kekayaan
penyelenggara negara. pemeriksaan tersebut dilakukan sebelum, selama,
dan sesudah penyelenggara negara menjabat. Bentuk tugas dan
wewenang yang dimiliki KPKPN adalah sebagai berikut:
a) Melakukan pemantauan dan klarifikasi atas harta kekayaan
Penyelenggara Negara;
b) Meneliti laporan atau pengaduan masyarakat, lembaga swadaya
masyarakat, atau instansi pemerintah tentang dugaan adanya korupsi,
kolusi, dan nepotisme dari para Penyelenggara Negara;
43
c) Melakukan Penyelidikan atas inisiatif sendiri mengenai harta
kekayaan Penyelenggara Negara berdasarkan petunjuk adanya
korupsi, kolusi, dan nepotisme terhadap Penyelenggara Negara yang
bersangkutan;
d) Mencari dan memperoleh bukti-bukti, menghadirkan saksi-saksi
untuk Penyelidikan Penyelenggara Negara yang diduga melakukan
korupsi, kolusi, dan nepotisme atau meminta dokumen-dokumen dari
pihak-pihak yang terkait dengan penyelidikan harta kekayaan
Penyelenggara Negara yang bersangkutan;
e) Jika dianggap perlu, selain meminta bukti kepemilikan sebagian atau
Seluruh harta kekayaan Penyelenggara Negara yang diduga
diperoleh dari Korupsi, kolusi, atau nepotisme selama menjabat
sebagai Penyelenggara Negara, juga meminta pejabat yang
berwenang membuktikan dugaan tersebut sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Dari undang-undang ini, kemudian lahirlah empat peraturan
pemerintah yakni: Peraturan Pemerintah Nomor 65 Tahun 1999 tentang
Tata Cara Pemeriksaan Kekayaan Penyelenggara Negara, Peraturan
Pemerintah Nomor 66 Tahun 1999 tentang Persyaratan Dan Tata Cara
Pengangkatan Serta Pemberhentian Anggota Komisi Pemeriksa,
Peraturan Pemerintah Nomor 67 Tahun 1999 tentang Tata Cara
Pemantauan Dan Evaluasi Pelaksanaan Tugas Dan Wewenang Komisi
Pemeriksa, dan Peraturan Pemerintah Nomor 68 Tahun 1999 tentang
44
Tata Cara Pelaksanaan Peran Serta Masyarakat Dalam Penyelenggaraan
Negara.
3. Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi
Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi merupakan undang-undang yang menggantikan
Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1971 tentang Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi, dalam considerans Undang-Undang Nomor 31 Tahun
1999 dinayatakan bahwa Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1971 sudah
tidak sesuai lagi dengan perkembangan kebutuhan hukum dalam
masyarakat sehingga perlu diganti dengan Undang-Undang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang baru sehingga diharapkan
lebih efektif dalam mencegah dan memberantas tindak pidana korupsi.
Sisi penting Undang-Undang ini adalah mengakui bahwa tindak
pidana korupsi sangat merugikan keuangan negara atau perekonomian
negara dan menghambat pembangunan nasional sehingga harus
diberantas dalam rangka mewujudkan masyarakat adil dan makmur
berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945. Sedangkan
risiko korupsi yang terjadi selama in di Negara RI adalah:
a) merugikan keuangan negara atau perekonomian negara;
b) menghambat pertumbuhan dan kelangsungan negara pembangunan
nasional yang menuntut efisiensi tinggi.88
88 Ibid , hal 366.
45
Dalam undang-undang ini terdapat beberapa perubahan yang
bersifat fundamental, diantaranya adalah sebagai berikut:
a) Perumusan Tindak Pidana Korupsi
Tindak pidana korupsi dalam undang-undang ini dirumuskan
dalam dua kelompok yakni:
1) Kelompok tindak pidana dalam Bab II yang berjudul Tindak
Pidana Korupsi yang dimulai dari Pasal 2 hingga Pasal 20; dan
2) Kelompok tindak pidana dalam Bab II yang berjudul Tindak
Pidana Lain Yang Berkaitan Dengan Tindak Pidana Korupsi yang
dimulai dari Pasal 21 hingga Pasal 24.
Tindak pidana korupsi dirumuskan dalam berbagai macam
bentuk, dalam undang-undang ini hanya dibahas dua bentuk yakni
kerugian keuangan negara dan gratifikasi atau pemberian hadiah
karena bentuk lainnya seperti penyuapan, penggelapan, dan
sebagainya sudah diubah dengan berlakunya Undang-Undang Nomor
20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31
tahyun 1999 tentang Pemberantasn Tindak Pidana Korupsi.
Tindak pidana korupsi dalam bentuk kerugian keuangan
negara dirumuskan dalam Pasal 2 ayat (1) sebagai berikut:
“Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara,…”
Dari pasal tersebut dapat dilihat bahwa terdapat tiga unsur
dalam tindak pidana korupsi yakni:
46
1) Melawan hukum;
2) Memperkaya diri sendiri, orang lain atau suatu korporasi;
3) Dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara.
Berkaitan dengan unsur melawan hukum, penjelasan Pasal 2
ayat (1) menyatakan secara tegas bahwa melawan hukum dalam
undang-undang ini adalah melawan hukum secara formil dan materiil.
Adapun bunyi penjelasan Pasal 2 ayat (1) tersebut adalah berikut:
“Yang dimaksud dengan “secara melawan hukum” dalam Pasal ini mencakup perbuatan melawan hukum dalam arti formil maupun dalam arti materiil, yakni meskipun perbuatan tersebut tidak diatur dalam peraturan perudang-undangan, namun apabila perbuatan tersebut dianggap tercela karena tidak sesuai dengan rasa keadilan atau norma-norma kehidupan sosial dalam masyarakat, maka perbuatan tersebut dapat dipidana.”
Ketentuan perumusan ini merupakan ketentuan yang
menguntungkan bagi Penuntut Umum karena mempermudah dalam
menjerat terdakwa karena tidak perlu membuktian bahwa perbuatan
yang didakwakan telah melanggar ketentuan pasal yang mana. Dalam
perkembangannya, ketentuan sifat melawan hukum materiil berhenti
diterapkan sejak tahun 2006 karena ketentuan ini dinyatakan
bertentangan dengan UUD 1945 oleh Mahkamah Konsitusi karena
digugat oleh Ir. Dawud Djatmiko dalam Putusan Mahkamah
Konstitusi Nomor 003/PUU-IV/2006.
Peristiwa digugatnya perumusan tersebut nampaknya
merupakan suatu kewajaran karena ajaran sifat melawan hukum
materiil yang dianut di Indonesia adalah ajaran sifat melawan hukum
47
secara materiil dalam fungsi negatif.89 Sedangkan perumusan
penjelasan Pasal 2 ayat (1) tersebut menganut ajaran sifat melawan
hukum materil dalam fungsi yang positif.
Berkaitan dengan unsur memperkaya diri sendiri, orang lain
atau suatu korporasi, nampak bahwa unsur ini merupakan tujuan dari
korupsi. Istilah “memperkaya” sebagai suatu unsur (bestanddeel)
merupakan istilah yang baru dalam hukum pidana di Indonesia
mengingat bahwa dalam KUHP tidaklah dikenal istilah demikian.90
Secara harafiah, istilah “memperkaya” mengandung makna
mempunyai banyak harta (uang dan sebagainya), pengertian istilah
“memperkaya” dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah
menjadikan orang yang belum kaya menjadi kaya, atau orang yang
sudah kaya menjadi bertambah kaya.91
Berkaitan dengan unsur terakhir yakni dapat merugikan
keuangan negara atau perekonomian negara, undang-undang ini
memberikan makna dalam penjelasan dalam Pasal 2 ayat (1) sebagai
berikut:
Dalam ketentuan ini, kata “dapat” sebelum frasa “merugikan keuangan atau perekonomian negara” menunjukkan bahwa tindak pidana korupsi merupakan delik formil, yaitu adanya tindak pidana korupsi cukup dengan dipenuhinya unsur-unsur perbuatan yang sudah dirumuskan bukan dengan timbulnya akibat.
89 Sudarto, Loc. Cit.90 Andi Hamzah, 2005, Pemberantasan Korupsi melalui Hukum Pidana Nasional dan
Internasional, Rajawali Press, Jakarta, hal 174.91 Ibid, hal 174 – 175..
48
Tindak pidana formil adalah tindak pidana yang perumusannya
dititikberatkan pada perbuatan yang dilarang, dengan kata lain dapat
dikatakan bahwa tindak pidana formil adalah tindak pidana yang telah
dianggap terjadi atau selesai dengan telah dilakukannya perbuatan
yang dilarang dalam undang-undang.92 Konsekuensi logis dari
klasifikasi tindak pidana korupsi menjadi tindak pidana formil dapat
dilihat dalam Pasal 4 yang menyatakan bahwa:
“Pengembalian kerugian keuangan negara atau perekonomian negara tidak menghapuskan dipidananya pelaku tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 dan Pasal 3.”
Pengertian korupsi dalam bentuk kerugian keuangan negara
juga dirumuskan dalam Pasal 3.
Pasal 3“Setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara”
Dari rumusan pasal tersebut, diketahui beberapa unsur dalam
pengertian tindak pidana korupsi sebagaimana dirumuskan dalam
Pasal 3, adapun unsur-unsur dalam Pasal 3 tersebut adalah sebagai
berikut:
1) Menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi,
2) Menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada
padanya karena jabatan atau kedudukan,
92 Tongat, Op. Cit, hal 118 – 119.
49
3) Dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara.
Perumusan dalam ketentuan Pasal 3 ini memiliki perbedaan
dengan perumusan dalam ketentuan dalam Pasal 2 ayat (1). Perbedaan
pertama dalam Pasal 3 ini adalah tidak mencantumkan unsur sifat
melawan hukum secara eksplisit, unsur sifat melawan hukum dalam
pasal ini lebih bersifat implisit dimana apabila semua unsur dalam
pasal ini dapat dipenuhi maka hal tersebut secara otomatis telah
membuktikan adanya sifat melawan hukum. Logika yang demikian
pada hakikatnya mudah dipahami oleh karena setiap tindak pidana
pada hakikatnya selalu dianggap bersifat melawan hukum, dimana
justru karena perbuatan itu dianggap bersifat melawan hukum maka
perbuatan itu dirumuskan sebagi perbuatan pidana.93
Perbedaan kedua dalam perumusan Pasal 3 ini adalah
pencantuman unsur “menguntungkan”, berbeda dengan perumusan
dalam Pasal 2 ayat (1) yang mencantumkan unsur “memperkaya”.
Kedua perbedaan ini menunjukan peluang kemudahan bagi Penuntut
Umum karena kedua unsur tersebut relatif lebih mudah dibuktikan,
dimana unsur pertama tidak perlu membuktikan sifat melawan
hukumnya perbuatan dan unsur kedua tidak perlu membuktikan
apakah ada peningkatan harta kekayaan.
Dalam prakteknya, perumusan tindak pidana korupsi dalam
Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999
93 Ibid, hal 214.
50
merupakan perumusan yang paling banyak diterapkan dalam
formulasi surat dakwaan oleh penuntut umum dimana “semestinya”
Pasal 2 ayat (1) dikualifikasikan sebagai dakwaan primair dan pasal 3
dikulifikasikan sebagai dakwaan subsiadair.94
Pengertian korupsi dalam bentuk pemberian hadiah atau
gratifikasi dirumuskan dalam Pasal 13.
Pasal 13Setiap orang yang memberi hadiah atau janji kepada pegawai negeri dengan mengingat kekuasaan atau wewenang yang melekat pada jabatan atau kedudukannya, atau oleh pemberi hadiah atau janji dianggap melekat pada jabatan atau kedudukan tersebut, dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan atau denda paling banyak 150.000.000,00 (seratus lima puluh juta rupiah).
Dari rumusan tersebut nampak bahwa unsur-unsur korupsi
dalam bentuk pemberian hadiah atau gratifikasi adalah:
1) Setiap orang;
2) Memberi hadiah atau janji;
3) Kepada pegawai negeri;
4) Dengan mengingan kekuasaan atau wewenang yang melekat pada
jabatan atau kedudukan pegawai negeri yang bersangkutan; atau
oleh pemberi hadiah atau janji melekat pada jabatan atau
kedudukan pegawai negeri tersebut.95
b) Ancaman Pidana
94 Andi Hamzah, Op. Cit, hal 191.95 Surachmin dan Suhandi Cahaya, 2011, Strategi Dan Teknik Korupsi: Mengetahui
Untuk Mencegah, Cetakan Kedua, Sinar Grafika, Jakarta, hal 30.
51
Dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 dirumuskan
beberapa perubahan dalam ancaman pidana bagi pelaku tindak pidana
korupsi. Dalam undang-undang ini dikenal ancaman pidana mati
sebagaimana tercantum dalam Pasal 2 ayat (2) yang bunyinya sebagai
berikut:
Pasal 2(2) Dalam hal tindak pidana korupsi sebagaimana dimaksud dalam
ayat (1) dilakukan dalam keadaan tertentu, pidana mati dapat dijatuhkan.
Istilah “keadaaan tertentu” tersebut diberikan makna dalam
penjelasan Pasal 2 ayat (1) sebagai berikut:
Yang dimaksud dengan “keadaan tertentu” dalam ketentuan ini dimaksudkan sebagai pemberatan bagi pelaku tindak pidana korupsi apabila tindak pidana tersebut dilakukan pada waktu negara dalam keadaan bahaya sesuai dengan undang-undang yang berlaku, pada waktu terjadi bencana alam nasional, sebagai pengulangan tindak pidana korupsi, atau pada waktu negara dalam keadaan krisis ekonomi dan moneter.
Dengan adanya ancaman pidana mati ini, Undang-Undang
Nomor 31 Tahun 1999 merupakan undang-undang yang paling keras
dan berat di ASEAN.96 Dalam perkembangannya, penjelasan ini
dinyatakan tidak berlaku karena Undang-Undang Nomor 20 tahun
2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999
tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi telah merumuskan
baru penjelasan pasal tersebut.
Perubahan ancaman pidana selain ancaman pidana mati adalah
ancaman pidana minimum baik untuk pidana penjada ataupun denda,
96Ibid, hal 73.
52
konsep ancaman pidana minimum ini merupakan konsep baru yang
tidak dikenal dalam KUHP. Menurut Barda Nawawi Arief, rumusan
ancaman pidana minimum ini terdapat kekurangan yakni tidak
merumuskan pedoman pemidanaan untuk menerapkan ancaman
pidana minimum ini. Seharusnya undang-undang khusus di laur
KUHP membuat aturan tersendiri untuk penerapannya, karena ini
merupakan konsekuensi logis dari Pasal 103 KUHP.97
Tanpa adanya pedoman pemidanaan pidana minimal ini maka
tidak dapat ditentukan apakah pidana minimal dapat diperingan atau
dapat diperberat. Kejanggalan lain nampak dalam pola pidana
minimalnya, ada delik yang diancam dengan pidana maksimalnya 20
tahun penjara dan pidana minimalnya pidana 4 tahun penjara seperti
dalam Pasal 2 dan Pasal 12. Sedangkan ada delik yang diancam
dengan pidana maksimalnya 20 tahun penjara namun ancaman pidana
minimalnya 1 tahun penjara seperti dalam Pasal 3. Padahal untuk
delik lainnya, pidana minimal 1 tahun diancam dengan pidana
maksimal 5 tahun penjara seperti dalam Pasal 9 dan Pasal 11.98
Barda Nawawi Arief juga mengkritik konsep sistem
perumusan kumulatif dan sistem perumusan kumulatif alternatif
dalam ancaman pidana undang-undang ini. Menurutnya konsep yang
dipergunakan tidaklah jelas karena konsep tersebut menimbulkan
pertanyaan sederhana yang paling mendasar yakni mengapa delik
97 Barda Nawawi Arief, 2008, Masalah Penegakan Hukum Dan Kebijakan Hukum Pidana Dalam Penanggulangan Kejahatan , Kencana, Jakarta, hal. 149.
98 Ibid, hal 150
53
korupsi berupa memperkaya diri dalam Pasal 2 diancam dengan
pidana secara kumulatif sedangkan menyalahgunakan kewenangan
dalam Pasal 3 diancamn dengan pidana secara kumulatif alternatif.
Padahal kedua delik ini ancaman pidana maksimumnya sama dan
bobot / kualitas deliknya juga sama.99
Menurutnya secara teoritis, delik yang diancam dengan pidana
kumulatif lebih berat daripada yang diancam dengan kumulatif
alternatif. Ini berarti pembentuk undang-undang menganggap delik
memperkaya diri dipandang lebih berat daripada delik
menyalahgunakan kewenangan. Padahal dilihat dari sudut pandang
masyarakat dan sudut pandang hakikat korupsi sebagai delik jabatan,
perbuatan menyalahgunakan kewenangan dirasakan lebih berat atau
lebih jahat daripada memperkaya diri atau setidak-tidaknya kedua
delik tersebut sama berat atau sama jahatnya. Patut perlu dicatat pula
menurutnya, bahwa konsep kumulatif mengandung kelemahan karena
bersifat imperatif dan kaku apabila dilihat dari sudut pandang
kebijakana operasionalisasi pidana.100
Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa pembentuk
undang-undang masih belum tepat merumuskan sanksi pidana dalam
tindak pidana korupsi sehingga wajar apabila pada era reformasi ini
tindak pidana korupsi masih merajalela. Sebagaimana dikatakan oleh
Muladi dan Barda Nawawi Arief bahwa tidak terkendalinya
99 Ibid.100 Ibid, 150 – 151.
54
perkembangan kriminalitas yang semakin meningkat, justru dapat
disebabkan oleh tidak tepatnya jenis sanksi yang dipilih dan
ditetapkan. Setidak-tidaknya perumusan pidana di dalam undang-
undang yang kurang tepat dapat menjadi faktor timbul dan
berkembangnya kriminalitas.101
c) Korporasi Menjadi Subjek
Undang-undang pemberantasan tindak pidana ini
memungkinkan dilakukannya pemidanaan tidak hanya untuk orang
(naturlijk person) saja, melainkan juga korporasi. Korporasi yang
dirumuskan dalam undang-undang ini pun tidak dibatasi bagi
korporasi yang berbadan hukum (recht person) saja melainkan pula
korporasi yang tidak berbadan hukum sebagaimana undang-undang
ini merumuskan pengertian korporasi dalam Pasa 1 angka 1:
“Korporasi adalah kumpulan orang dan atau kekayaan yang terorganisasi baik merupakan badan hukum maupun bukan badan hukum.”
Adapun ketentuan dalam undang-undang ini yang
memungkinkan dilakukannya pemidanaan terhadap suatu korporasi
terdapat dalam Pasal 20 ayat (1):
Pasal 20(1) Dalam hal tindak pidana korupsi dilakukan oleh atau atas nama
suatu korporasi, maka tuntutan dan penjatuhan pidana dapat dilakukan terhadap korporasi dan atau pengurusnya.
101 Muladi dan Barda Nawawi Arief, Loc. Cit..
55
Kemudian apabila korporasi ini dituntut pidana maka yang
menurut Pasal 20 ayat (3), yang mewakili korporasi tersebut adalah
pengurusnya.
Pasal 20(3) Dalam hal tuntutan pidana dilakukan terhadap suatu korporasi,
maka korporasi tersebut diwakili oleh pengurus.
Terkait dengan pidana apa yang dijatuhkan bagi korporasi
yang melakukan tindak pidana, korporasi tersebut dikenai pidana
berupa denda yang besarnya sesuai dengan ketentuan maksimum
pidana ditambah sepertiga sebagaimana hal tersebut diatur dalam
Pasal 20 ayat (7).
Pasal 20(7) Pidana pokok yang dapat dijatuhkan terhadap korporasi hanya
pidana denda, dengan ketentuan maksimum pidana ditambah 1/3 (satu pertiga).
Mengenai pemidaan terhadap korporasi, Muladi
menyampaikan bahwa pemidanaan terhadap korporasi hendaknya
memperhatikan korporasi untuk mengendalikan perusahaan, melalui
kebijakan pengurus atau para pengurus (corporate executing officers)
yang memiliki kekuasaan untuk memutus (power of decision) dan
keputusan tersebut telah diterima oleh korporasi tersebut. Penerapan
sanksi pidana terhadap korporasi tidak menghapuskan kesalahan
perorangan.102
102 Muladi, Prinsip-Prinsip Dasar Hukum Pidana Lingkungan Dalam Kaitannya Dengan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997, dalam Jurnal Hukum Pidana dan Kriminolog, Volume 1/No.1/1998, hal 9, dalam Marwan Effendy, 2012, Sistem Peradilan Pidana (Tinjauan Terhadap Beberapa Perkembangan Hukum Pidana) , Referensi, Jakarta, hal. 87.
56
d) Peran Serta Masyarakat
Peran serta masyarakat yang diatur dalam undang-undang ini
diatur secara khusus dalam BAB V yang terdiri dari Pasal 41 dan
Pasal 42. Masyarakat diberikan peluang oleh undang-undang ini untuk
berperan serta, adapun bentuk peran serta tersebut diatur dalam Pasal
41 ayat (2). Urgensi diakomodirnya peran serta masyarakat dalam
penanggulangan tindak pidana korupsi dapat dilihat dalam Deklarasi
Manila yang dihasilkan oleh “The Asian Regional Ministerial Meeting
of Transnational Crime” pada 23 – 25 Maret 1998, urgensi peran serta
masyarakat dalam deklarasi tersebut adalah untuk melibatkan peran
masyarakat secara aktif dalam memberantas korupsi, khususnya dalam
mengembangkan tindakan pencegahan dan pengawasan yang
memajukan “a culture of accountability and transparency” atau
budaya pertanggungjawaban dan keterbukaan.103
Adapun bentuk peran serta masyarakat dalam udang-undang
ini merupakan bentuk peran serta yang mirip diatur dalam Pasal 9
ayat (1) Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang
Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas dari KKN.
Pasal 41 ayat (2)Peran serta masyarakat sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diwujudkan dalam bentuk :a. hak mencari, memperoleh, dan memberikan informasi adanya
dugaan telah terjadi tindak pidana korupsi;b. hak untuk memperoleh pelayanan dalam mencari, memperoleh
dan memberikan informasi adanya dugaan telah terjadi tindak
103 Dalam Barda Nawawi Arief, Loc. Cit.
57
pidana korupsi kepada penegak hukum yang menangani perkara tindak pidana korupsi;
c. hak menyampaikan saran dan pendapat secara bertanggung jawab kepada penegak hukum yang menangani perkara tindak pidana korupsi;
d. hak untuk memperoleh jawaban atas pertanyaan tentang laporannya yang diberikan kepada penegak hukum dalam waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari;
e. hak untuk memperoleh perlindungan hukum dalam hal :1) melaksanakan haknya sebagaimana dimaksud dalam huruf a,
b, dan c;2) diminta hadir dalam proses penyelidikan, penyidikan, dan di
sidang pengadilan sebagai saksi pelapor, saksi, atau saksi ahli, sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Berbeda dengan ketentuan peran serta masyarakat dalam
Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999, peran serta masyarakat
dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 memberikan amanat
bagi pemerintah untuk memberikan penghargaan kepada masyarakat
yang berjasa membantu upaya menanggulangi tindak pidana korupsi
dimana ketentuan tersebut dapat dilihat dalam pasal 42 ayat (1):
Pemerintah memberikan penghargaan kepada anggota masyarakat yang telah berjasa membantu upaya pencegahan, pemberantasan, atau pengungkapan tindak pidana korupsi.
Peran serta serta pemberian penghargaan tersebut selanjutnya
diatur kemudian melalui Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 2010
tentang Tata Cara Pelaksanaan Peran Serta Masyarakat Dan
Pemberian Penghargaan Dalam Pencegahan dan Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi.
58
e) Pembentukan Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
Agar undang-undang ini dapat dilaksankan sebagaimana
mestinya, pembentuk Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999
mengamanatkan agar dibentuk lembaga baru yang dinamakan dengan
Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. amanat ini termaktub
dalam Pasal 43, dimana dalam Pasal 43 ayat (2) dinyatakan bahwa
Komisi tersebut mempunyai tugas dan wewenang melakukan
koordinasi dan supervisi, termasuk melakukan penyelidikan,
penyidikan, dan penuntutan.
Pasal 43(1) Dalam waktu paling lambat 2 (dua) tahun sejak Undang-undang
ini mulai berlaku, dibentuk Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
(2) Komisi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) mempunyai tugas dan wewenang melakukan koordinasi dan supervisi, termasuk melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 disahkan pada tanggal
16 Agustus 1999. Melihat ketentuan dalam Pasal 43 ayat (2) tersebut
nampak bahwa dengan hadirnya Komisi yang dimaksud akan merubah
sistem peradilan pidana, karena selama ini penyidikan dan penuntutan
dilakukan oleh polisi sedangkan penuntutan dilakukan oleh jaksa.
Dengan kata lain, hadirnya Komisi tersebut akan menghadirkan pula
sistem peradilan pidana khusus tindak pidana korupsi.
59
4. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas
Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 disahkan pada tanggal 21
Nopember 2001, undang-undang ini merubah beberapa ketentuan dalam
Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999, dalam considerans menimbang
huruf b dinayatkan bahwa perubahan undang-undang dilakukan untuk
lebih menjamin kepastian hukum, menghindari keragaman penafsiran
hukum dan memberikan perlindungan terhadap hak-hak sosial dan
ekonomi masyarakat, serta perlakuan secara adil dalam memberantas
tindak pidana korupsi.
Beberapa perubahan secara mendasar dalam memberantas tindak
pidana korupsi dilakukan dalam undang-undang ini. Perubahan pertama
adalah pengkualifikasian tindak pidana korupsi sebagai tindak pidana
luar biasa (extra ordinary crime) karena tindak pidana korupsi dipandang
tidak hanya merugikan keuangan negara, tetapi juga telah merupakan
pelanggaran hak-hak sosial dan ekonomi masyarakat secara luas yang
dilakukan secara sistematis.104 Kualifikasi korupsi sebagai tindak pidana
luar biasa berimplikasi bahwa penanggulangan tindak pidana korupsi
harus dilakukan dengan cara luar biasa pula, sebagaimana dinyatakan
dalam considerans menimbang huruf a yang menyatakan:
“bahwa tindak pidana korupsi yang selama ini terjadi secara meluas, tidak hanya merugikan keuangan negara, tetapi juga telah
104 Marwan Effendy, Op.Cit, hal 89.
60
merupakan pelanggaran terhadap hak-hak sosial dan ekonomi masyarakat secara luas, sehingga tindak pidana korupsi perlu digolongkan sebagai kejahatan yang pemberantasannya harus dilakukan secara luar biasa.”
Perubahan kedua dalam undang-undang ini adalah perumusan
bentuk-bentuk tindak pidana korupsi. Dalam Undang-Undang Nomor 31
Tahun 1999, bentuk korupsi hanya disebutkan kerugian keuangan negara,
sedangkan dalam undang-undang ini bentuk-bentuk korupsi selain
kerugian keuangan negara adalah sebagai berikut105:
a) Tindak pidana korupsi penyuapan, diatur dalam Pasal 5 ayat (1) dan
ayat (2) dan Pasal 6 ayat (1) dan ayat (2);
b) Tindak pidana korupsi yang berkaitan dengan pembangunan,
leveransir, dan rekanan. Diatur dalam Pasal 7 ayat (1) dan ayat (2);
c) Tindak pdiana korupsi penggelapan, diatur dalam Pasal 8, Pasal 9,
Pasal 10, Pasal 11, Pasal 12 huruf a, huruf b, huruf c, dan huruf d;
d) Tindak pidana korupsi kerakusan (knevelarij), daitur dalam Pasal 12
huruf e, huruf f, huruf g, dan huruf I;
e) Tindak pidana korupsi tentang Gratifikasi, diatur dalam Pasal 12 B.
Perubahan ketiga adalah dimungkinkannya penerapan pembuktian
terbalik, dalam Penjelasan Umum Paragraf kedua Undang-Undang
Nomor 20 Tahun 2001 dinyatakan bahwa permbuktian terbalik adalah
pembuktian yang dibebankan kepada terdakwa. Andi Hamzah
berpandangan bahwa undang-undang ini merumuskan dua jenis
ketentuan pembuktian terbalik. Pembuktian terbalik jenis pertama
105 Dalam Surach min dan Suhandi Cahaya, Op. Cit, hal 18 – 30.
61
menyangkut pemberian gratifikasi yang nilainya diatas Rp. 10.000.000,-
(sepuluh juta rupiah).106 Jenis pembutkian terbalik ini dapat dilihat Pasal
12 B ayat (1).
Pasal 12 B(1) Setiap gratifikasi kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara
dianggap pemberian suap, apabila berhubungan dengan jabatannya dan yang berlawanan dengan kewajiban atau tugasnya, dengan ketentuan sebagai berikut:a. yang nilainya Rp 10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah) atau
lebih, pembuktian bahwa gratifikasi tersebut bukan merupakan suap dilakukan oleh penerima gratifikasi;
b. yang nilainya kurang dari Rp 10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah), pembuktian bahwa gratifikasi tersebut suap dilakukan oleh penuntut umum.
Pembuktian terbalik jenis kedua menyangkut perampasan harta
benda terdakwa yang diperoleh setelah melakukan perbuatan korupsi
yang didakwakan, sehingga harta yang diperoleh sesudah melakukan
perbuatan korupsi yang dibuktikan dengan pembuktian biasa, dianggap
diperoleh juga dari perbuatan korupsi sampai dibuktikan sebaliknya.107
Jenis kedua pembutkian terbalik ini dapat dilihat Pasal 37 A.
Pasal 37 A(1) Terdakwa wajib memberikan keterangan tentang seluruh harta
bendanya dan harta benda istri atau suami, anak, dan harta benda setiap orang atau korporasi yang diduga mempunyai hubungan dengan perkara yang didakwakan.
(2) Dalam hal terdakwa tidak dapat membuktikan tentang kekayaan yang tidak seimbang dengan penghasilannya atau sumber penambahan kekayaannya, maka keterangan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) digunakan untuk memperkuat alat bukti yang sudah ada bahwa terdakwa telah melakukan tindak pidana korupsi.
106 Andi Hamzah, Loc. Cit.107 Ibid, hal 74 -75.
62
Dalam Penjelasan Umum Paragraf Ketujuh Undang-Undang
Nomor 20 Tahun 2001 dijelaskan bahwa pembuktian terbalik ini perlu
dirumuskan sebagai ketentuan yang bersifat premium remedium dan
prevensi khasus. Premium remidium merupakan kebalikan dari ultimum
remidium, dimana apabila ultimum remedium memandang pidana
sebagai obat yang baru akan digunakan manakala obat diluar hukum
pidana sudah tidak efektif lagi digunakan108, sehingga dengan kata lain
dapat disimpulkan bahwa premium remidium memandang pidana sebagai
obat pertama dalam menghadapi tindak pidana. Sedangkan prevensi
khusus mengandung makan bahwa pidana bertujuan agar si terpidana
berubah menjadi orang yang lebih baik dan berguna bagi masyarakat.109
Perubahan keempat dalam undang-undang ini adalah perubahan
penjelasan keadaan tertentu yang mengakibatkan terdakwa dapat dijatuhi
pidana mati. Perubahan tersebut tercantum dalam Penjelasan Pasal 2 ayat
(2).
Yang dimaksud dengan "keadaan tertentu" dalam ketentuan ini adalah keadaan yang dapat dijadikan alasan pemberatan pidana bagi pelaku tindak pidana korupsi yaitu apabila tindak pidana tersebut dilakukan terhadap dana-dana yang diperuntukkan bagi penanggulangan keadaan bahaya, bencana alam nasional, penanggulangan akibat kerusuhan sosial yang meluas, penanggulangan krisis ekonomi dan moneter, dan pengulangan tindak pidana korupsi.
Perubahan kelima dalam undang-undang ini berkaitan dengan alat
bukti yang terkait dengan petunjuk, petunjuk merupakan salah satu jenis
alat bukti yang sah yang dianut dalam Pasal 184 (1) KUHAP. Pengertian
108 Tongat, Op. Cit, hal 26.109 Muladi dan Barda Nawawi Arief, Op. Cit, hal 18.
63
petunuuk sebagaimana dirumuskan dalam Pasal 188 ayat (1) adalah
perbuatan, kejadian atau keadaan, yang karena persesuaiannya, baik
antara yang satu dengan yang lain, maupun dengan tindak pidana itu
sendiri, menandakan bahwa telah terjadi suatu tindak pidana dan siapa
pelakunya. Dalam Pasal 188 (2) KUHAP pun diatur bahwa alat bukti
petunjuk dapat diperoleh dari keterangan ahli, surat, dan keterangan
terdakwa.
Pasal 26 A Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 merubah
ketentuan ini, dengan adanya ketentuan ini mengakibatkan perubahan
ketentuan darimana saja alat bukti petunjuk diperoleh khusus untuk
perkara tindak pidana korupsi.
Pasal 26 AAlat bukti yang sah dalam bentuk petunjuk sebagaimana dimaksud dalam Pasal 188 ayat (2) Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana, khusus untuk tindak pidana korupsi juga dapat diperoleh dari :a. alat bukti lain yang berupa informasi yang diucapkan, dikirim,
diterima, atau disimpan secara elektronik dengan alat optik atau yang serupa dengan itu; dan
b. dokumen, yakni setiap rekaman data atau informasi yang dapat dilihat, dibaca, dan atau didengar yang dapat dikeluarkan dengan atau tanpa bantuan suatu sarana, baik yang tertuang di atas kertas, benda fisik apapun selain kertas, maupun yang terekam secara elektronik, yang berupa tulisan, suara, gambar, peta, rancangan, foto, huruf, tanda, angka, atau perforasi yang memiliki makna.
Perubahan keenam dalam undang-undang ini adalah
dimungkinkannya bagi negara untuk mengajukan gugatan perdata,
gugatan perdata ini dilakukan ketika masih ada harta benda milik
terpidana yang berasal dari tindak pidana korupsi yang belum dikenai
64
perampasan. Perampasan merupakan salah satu jenis pidana tambahan
dalam perkara tindak pidana korupsi. Ketentuan ini diatur dalam Pasal 38
C.
Pasal 38 CApabila setelah putusan pengadilan telah memperoleh kekuatan hukum tetap, diketahui masih terdapat harta benda milik terpidana yang diduga atau patut diduga juga berasal dari tindak pidana korupsi yang belum dikenakan perampasan untuk negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38 B ayat (2), maka negara dapat melakukan gugatan perdata terhadap terpidana dan atau ahli warisnya.
Perubahan ketujuh dalam undang-undang ini adalah
dihapuskannya ketentuan ancaman minimum pidana baik pidana penjara
ataupun pidana denda, penghapusan ketentuan ini hanya dibatasai pada
tindak pidana korupsi yang nilainya kurang dari Rp. 5.000.000,- (lima
juta rupiah). Dalam Penjelasan Umjum Paragraf Kedelapan dijelaskan
bahwa tujuan dari dirumuskannya ketentuan ini adalah untuk
menghilangkan rasa kekurangadilan bagi pelaku tindak pidana korupsi,
dalam hal nilai yang dikorup relatif kecil.
5. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2006 tentang Pengesahan United
Nation Convention Against Corruption, 2003 (Konvensi
Perserikatan Bangsa-Bangsa Anti Korupsi, 2003)
Pada tanggal 18 Desember 2003 di Markas Besar Perserikatan
Bangsa-Bangsa, Pemerintah Republik Indonesia telah ikut
menandatangani Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Anti
Korupsi yang diadopsi oleh Sidang ke-58 Majelis Umum melalui
Resolusi Nomor 58/4 pada tanggal 31 Oktober 2003. Tiga tahun
65
setelahnya, pada tanggal 18 April 2006 konvensi ini diratifikasi melalui
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2006.
Ratifikasi konvensi ini dipandang perlu karena selama ini
pelaksanaan pencegahan dan pemberantasan tindak pidana korupsi di
Indonesia melalui peraturan perundangundangan sejak tahun 1957 tetap
saja belum efektif dan dipandang belum memadai karena belum adanya
kerja sama internasional dalam masalah pengembalian hasil tindak
pidana korupsi. Sebagaimana diungkapkan oleh Andi Hamzah bahwa
kekurangan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 juncto Undang-
Undang Nomor 20 Tahun 2001 adalah belum diaturnya ketentuan
masalah kerjasama internasional dalam penanggulangan tindak pidana
korupsi, kerja sama tersebut termasuk pula pendidikan dan pelatihan para
penegak hukum yang disponsori oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa
(PBB).110
Dengan diratifikasinya konvensi ini, maka terbukalah jembatan
antara sistem hukum yang berbeda-beda dari masing-masing negara
terkait dengan tindak pidana korupsi yang pelakunya melarikan diri ke
luar negeri dan hasil korupsinya diinvestasikan ke luar negeri pula.
Draft Konvensi ini dirancang oleh Ad Hoc Committee (Komite
Ad Hoc) yang dibentuk oleh Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa
dalam jangka waktu dua tahun. Konvensi tersebut miliki beberapa tujuan,
antara lain:
110 Andi Hamzah, Op. Cit, hal 219.
66
a) Meningkatkan dan memperkuat upaya-upaya untuk mencegah dan
memberantas korupsi secara lebih efisien dan efektif;
b) Meningkatkan, memfasilitasi, dan mendukung kerja sama
internasional dan bantuan teknis dalam pencegahan dan
pemberantasan korupsi, termasuk dalam pengembalian aset;
c) Meningkatkan integritas, akuntabilitas, dan pengelolaan yang baik
urusan-urusan publik dan kekayaan publik.
Arti penting ratifikasi konvensi ini dijelaskan dalam penjelasan
umum Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2006, arti penting tersebut
adalah bukti dari komitmen nasional untuk meningkatkan citra bangsa
Indonesia dalam percaturan politik internasional. Arti penting lainnya
dari ratifikasi Konvensi tersebut adalah:
a) Untuk meningkatkan kerja sama internasional khususnya dalam
melacak, membekukan, menyita, dan mengembalikan aset-aset basil
tindak pidana korupsi yang ditempatkan di luar negeri;
b) Meningkatkan kerja sama internasional dalam mewujudkan tata
pemerintahan yang baik;
c) Meningkatkan kerja sama internasional dalam pelaksanaan
perjanjian ekstradisi, bantuan hukum timbal balik, penyerahan
narapidana, pengalihan proses pidana, dan kerja sama penegakan
hukum;
d) Mendorong terjalinnya kerja sama teknik dan pertukaran informasi
dalam pencegahan dan pemberantasan tindak pidana korupsi di
67
bawah payung kerja sama pembangunan ekonomi dan bantuan teknis
pada lingkup bilateral, regional, dan multilateral; dan
e) Harmonisasi peraturan perundang-undangan nasional dalam
pencegahan dan pemberantasan tindak pidana korupsi sesuai dengan
konvensi ini.
Konvensi ini diratifikasi oleh Pemerintah Republik Indonesia
melalui Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2006 dengan syarat
(reservation) terhadap Pasal 66 ayat (2) yang berkaitan dengan
penyelesaian sengketa. Dalam persyaratan tersebut dinyatakan bahwa
Pemerintah Republik Indonesia menyatakan tidak terikat ketentuan Pasal
66 ayat (2) Konvensi dan berpendirian bahwa apabila terjadi perselisihan
akibat perbedaan penafsiran atau penerapan isi Konvensi, yang tidak
terselesaikan melalui jalur sebagaimana diatur dalam ayat (2) pasal
tersebut, dapat menunjuk Mahkamah Internasional hanya berdasarkan
kesepakatan para Pihak yang berselisih.
Adapun isi dari Pasal 66 ayat (2) konvensi tersebut adalah
sebagai berikut:
Article 66Settlement of disputes
2. Any dispute between two or more States Parties concerning the interpretation or application of this Convention that cannot be settled through negotiation within a reasonable time shall, at the request of one of those States Parties, be submitted to arbitration. If, six months after the date of the request for arbitration, those States Parties are unable to agree on the organization of the arbitration, any one of those States Parties may refer the dispute to the International Court of Justice by request in accordance with the Statute of the Court.
68
Pasal 66111
Penyelesaian sengketa2. Sengketa antara dua atau lebih Negara Pihak mengenai penafsiran
atau penerapan Konvensi ini yang tidak dapat diselesaikan melaluiperundingan dalam waktu yang wajar wajib, atas permintaan salah satu Negara Pihak, diajukan ke arbitrase. Jika dalam waktu enam bulan setelah permintaan pengajuan ke arbitrase, Negara-Negara Pihak itu tidak dapat bersepakat mengenai struktur arbitrase, salah satu Negara Pihak dapat mengajukan sengketa itu kepada Mahkamah Internasional dengan permintaan sesuai dengan Statuta Mahkamah Internasional.
6. Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Korupsi
Undang-undang ini merupakan undang-undang yang dimanatkan
langsung oleh Pasal 43 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Komisi Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi (KPK) diamanatkan oleh Pasal 43 ayat (1) untuk
didirikan dalam waktu paling lambat dua tahun setelah Undang-Undang
Nomor 31 Tahun 1999 resmi disahkan. Pada prakteknya, komisi ini baru
bisa berdiri tiga tahun kemudian dengan disahkannya Undang-Undang
Nomor 32 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi pada tanggal 27 Desember 2002.
Penting untuk dipahami bahwa alasan terpenting mengapa KPK
berdiri sebagaimana dalam considerans menimbang huruf b, bahwa
dalam considerans menimbang huruf b tersebut dinyatakan bahwa
lembaga pemerintah yang menangani perkara tindak pidana korupsi
belum berfungsi secara efektif dan efisien dalam memberantas tindak
111 Terjemahan diambil dari Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, 2006, Kumpulan Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Edisi Pertama, hal 83. Diunduh dari kpk.go.id
69
pidana korupsi. Adapun lembaga pemerintah yang dimaksud adalah
POLRI dan Kejaksaan.
Tugas KPK dirumuskan dalam Pasal 6 UU No. 30 Tahun 2002,
adapun bunyi pasal tersebut adalah sebagai berikut:
Pasal 6Komisi Pemberantasan Korupsi mempunyai tugas:a. koordinasi dengan instansi yang berwenang melakukan
pemberantasan tindak pidana korupsi;b. supervisi terhadap instansi yang berwenang melakukan
pemberantasan tindak pidana korupsi;c. melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan terhadap
tindak pidana korupsi;d. melakukan tindakan-tindakan pencegahan tindak pidana korupsi;
dane. melakukan monitor terhadap penyelenggaraan pemerintahan
negara.
Agar dapat melaksanakan kelima tugas tersebut, KPK diberikan
beberapa wewenang, untuk dapat melaksanakan tugas pertama yakni
koordinasi dengan instansi yang berwenang melakukan pemberantasan
tindak pidana korupsi, KPK diberikan wewenang yang diatur dalam
Pasal 7 UU No. 32 Tahun 2002.
Pasal 7Dalam melaksanakan tugas koordinasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 huruf a, Komisi Pemberantasan Korupsi berwenang a. Mengkoordinasikan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan tindak
pidana korupsi;b. Menetapkan sistem pelaporan dalam kegiatan pemberantasan tindak
pidana korupsi;c. Meminta informasi tentang kegiatan pemberantasan tindak pidana
korupsi kepada instansi yang terkait;d. Melaksanakan dengar pendapat atau pertemuan dengan instansi yang
berwenang melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi; dane. Meminta laporan instansi terkait mengenai pencegahan tindak pidana
korupsi.
70
Untuk dapat melaksanakan tugas kedua yakni supervisi terhadap
instansi yang berwenang melakukan pemberantasan tindak pidana
korupsi, KPK diberikan dua wewenang:
a) Melakukan pengawasan, penelitian, atau penelaahan terhadap
instansi yang menjalankan tugas dan wewenangnya yang berkaitan
dengan pemberantasan tindak pidana korupsi, dan instansi yang
dalam melaksanakan pelayanan publik. Wewenang ini diatur dalam
Pasal 8 ayat (1) UU No. 30 Tahun 2002;
b) Mengambil alih penyidikan atau penuntutan terhadap pelaku tindak
pidana korupsi yang sedang dilakukan oleh kepolisian atau
kejaksaan. Wewenang ini diatur dalam Pasal 8 ayat (2) UU No. 30
Tahun 2002.
Terkait dengan wewenang kedua, KPK dapat menjalankannya
dengan beberapa alasan yang diatur dalam Pasal 9 UU No. 30 Tahun
2002.
Pasal 9Pengambilalihan penyidikan dan penuntutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8, dilakukan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi dengan alasan:a. Laporan masyarakat mengenai tindak pidana korupsi tidak
ditindaklanjuti;b. Proses penanganan tindak pidana korupsi secara berlarut-larut atau
tertunda-tunda tanpa alasan yang dapat dipertanggungjawabkan;c. Penanganan tindak pidana korupsi ditujukan untuk melindungi pelaku
tindak pidana korupsi yang sesungguhnya;d. Penanganan tindak pidana korupsi mengandung unsur korupsi;e. Hambatan penanganan tindak pidana korupsi karena campur tangan
dari eksekutif, yudikatif, atau legislatif; atauf. Keadaan lain yang menurut pertimbangan kepolisian atau kejaksaan,
penanganan tindak pidana korupsi sulit dilaksanakan secara baik dan dapat dipertanggungjawabkan.
71
Untuk dapat melaksanakan tugas ketiga yakni melakukan
penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan terhadap tindak pidana
korupsi, KPK diberikan wewenang untuk melakukan penyelidikan,
penuntutan, dan penuntutan tindak pidana korupsi yang:
a) Melibatkan aparat penegak hukum, penyelenggara negara, dan orang
lain yang ada kaitannya dengan tindak pidana korupsi yang
dilakukan oleh aparat penegak hukum atau penyelenggara negara;
b) Mendapat perhatian yang meresahkan masyarakat; dan/atau
c) Menyangkut kerugian negara paling sedikit rp. 1.000.000.000,00
(satu milyar rupiah).
Tiga wewenang tersebut diatur dalam Pasal 11 UU No. 30 Tahun
2002, dengan demikian penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan yang
tidak memenuhi keadaan yang dimaksud Pasal 11 tersebut dilakukan oleh
Kepolisian dan Kejaksaan. Kemudian, pembentuk undang-undang juga
memberikan 10 (sepuluh) wewenang tambahan agar KPK dapat
melaksanakan tugas ketiganya. Wewenang tambahan tersebut diatur
dalam Pasal 12 UU No. 30 Tahun 2002.
Pasal 12Dalam melaksanakan tugas penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 huruf c, Komisi Pemberantasan Korupsi berwenang :a. melakukan penyadapan dan merekam pembicaraan;b. memerintahkan kepada instansi yang terkait untuk melarang
seseorang bepergian ke luar negeri;c. meminta keterangan kepada bank atau lembaga keuangan lainnya
tentang keadaan keuangan tersangka atau terdakwa yang sedang diperiksa;
72
d. memerintahkan kepada bank atau lembaga keuangan lainnya untuk memblokir rekening yang diduga hasil dari korupsi milik tersangka, terdakwa, atau pihak lain yang terkait;
e. memerintahkan kepada pimpinan atau atasan tersangka untuk memberhentikan sementara tersangka dari jabatannya;
f. meminta data kekayaan dan data perpajakan tersangka atau terdakwa kepada instansi yang terkait;
g. menghentikan sementara suatu transaksi keuangan, transaksi perdagangan, dan perjanjian lainnya atau pencabutan sementara perizinan, lisensi serta konsesi yang
h. dilakukan atau dimiliki oleh tersangka atau terdakwa yang diduga berdasarkan bukti awal yang cukup ada hubungannya dengan tindak pidana korupsi yang sedang diperiksa;
i. meminta bantuan Interpol Indonesia atau instansi penegak hukum negara lain untuk melakukan pencarian, penangkapan, dan penyitaan barang bukti di luar negeri;
j. meminta bantuan kepolisian atau instansi lain yang terkait untuk melakukan penangkapan, penahanan, penggeledahan, dan penyitaan dalam perkara tindak pidana korupsi yang sedang ditangani.
Untuk dapat melaksanakan tugas keempat yakni melakukan
tindakan-tindakan pencegahan tindak pidana korupsi, KPK diberikan
wewenang sebagaimana diatur dalam Pasal 13 UU No. 30 Tahun 2002.
Wewenang tersebut adalah sebagai berikut:
a) melakukan pendaftaran dan pemeriksaan terhadap laporan harta
kekayaan penyelenggara negara;
b) menerima laporan dan menetapkan status gratifikasi;
c) menyelenggarakan program pendidikan antikorupsi pada setiap
jenjang pendidikan;
d) merancang dan mendorong terlaksananya program sosialisasi
pemberantasan tindak pidana korupsi;
e) melakukan kampanye antikorupsi kepada masyarakat umum;
73
f) melakukan kerja sama bilateral atau multilateral dalam
pemberantasan tindak pidana korupsi.
Dan untuk dapat melaksanakan tugas kelima, yakni melakukan
monitoring terhadap penyelenggaraan pemerintahan negara, KPK
diberikan beberapa wewenang sebagimana diatur dalam Pasal 14 UU No.
30 Tahun 2002. Adapun beberapa wewenang tersebut adalah:
a) Melakukan pengkajian terhadap sistem pengelolaan administrasi di
semua lembaga negara dan pemerintah;
b) Memberi saran kepada pimpinan lembaga negara dan pemerintah
untuk melakukan perubahan jika berdasarkan hasil pengkajian,
sistem pengelolaan administrasi tersebut berpotensi korupsi;
c) Melaporkan kepada presiden republik indonesia, dewan perwakilan
rakyat republik indonesia, dan badan pemeriksa keuangan, jika saran
komisi pemberantasan korupsi mengenai usulan perubahan tersebut
tidak diindahkan.
Masih berbicara kewenangan, pembentuk undang-undang
ternyata tidak hanya memberikan wewenang, melainkan juga tidak
memberikan wewenang kepada KPK. Wewenang yang tidak diberikan
KPK adalah wewenang mengelurkan surat perintah penghentian
penyidikan dan penuntutan atau yang lebih akrab dikenal dengan istilah
SP3. Ketentuan ini nampak dalam pasal 40 UU No. 30 Tahun 2002.
Dilihat dalam sudut pandang hukum acara pidana, ketidakwenangan ini
merupakan suatu penyimpangan dari Pasal 109 ayat (2) KUHAP yang
74
mengatur penghentian penyidikan dan Pasal 140 ayat (2) KUHAP yang
mengatur penghentian penuntutan.
7. Undang-Undang Nomor 46 Tahun 2009 tentang Pengadilan Tindak
Pidana Korupsi
Pengadilan tindak pidana korupsi (tipikor) merupakan pengadilan
baru dalam kekuasaan kehakiman atau yudikatif. Pada mulanya,
pengadilan ini muncul berdasarkan Pasal 53 Undang-Undang Nomor 30
Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
sebelum Pasal 53 tersebut dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi
berdasarkan Putusan Nomor 012-016-019/PUU-IV/2006 tanggal 19
Desember 2006 dinyatakan bertentangan dengan Undang-Undang Dasar
1945 khususnya Bab Kekuasaan Kehakiman karena pengadilan khusus
pada hakikatnya hanya dapat dibentuk dalam salah satu lingkungan
peradilan umum yang dibentuk dengan undang-undang tersendiri.
Karena landasan hukum yang tidak kuat tersebut, pembentuk
undang-undang akhirnya merumuskan dan mengesahkan landasan
hukum pengadilan tipikor, landasan hukum tersebut adalah Undang-
Undang Nomor 46 tahun 20009 tentang Pengadilan Tindak Pidana
Korupsi. Dengan lahirnya undang-undang ini, semakin melengkapi
jajaran penegak hukum dalam sistem peradilan pidana dalam perkara
tindak pidana korupsi.
Pengadilan tipikor merupakan satu-satunya pengadilan yang
berwenang memeriksa, mengadili, dan memutus perkara tindak pidana
75
korupsi termasuk yang dilakukan oleh Warga Negara Indonesia di luar
wilayah negara Republik Indonesia. Kewenangan terhadap tindak pidan
korupsi yang dilakukan oleh WNI di luar wilayah negara RI merupakan
penerapan dari asas nsaional aktif dalam hukum pidana Indonesia, asas
nasional aktif mengandung prinsip bahwa peraturan pidana Indonesia
berlaku bagi setiap WNI yang melakukan tindak pidana di luar (wilayah)
Indonesia.112
Selain tindak pidana korupsi, ada dua perkara lain yang termasuk
dalam wewenag pengadilan tipikor yakni tindak pidana pencucian uang
yang tindak pidana asalnya adalah tindak pidana korupsi dan tindak
pidana yang secara tegas dalam undang-undang lain ditentukan sebagai
tindak pidana korupsi. Berkaitan dengan kedudukannya, pengadilan
tipikor berkedudukan di setiap ibukota kabupaten/kota namun dengan
pembentukan pertama kalinya di setiap ibukota provinsi.
Terkait dengan hukum acaranya, pengadilan tipikor pada
prinsipnya menggunakan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang
Hukum Acara Pidana kecuali ditentukan lain dalam undang-undang
pengadilan tipikor. Beberapa pengecualian tersebut akan diuraikan
sebagai berikut. Pertama, komposisi majelis hakim dalam pengadilan
tipikor terdiri dari hakim karier dan hakim ad hoc. Adapaun kedua hakim
tersebut diberikan definisi secara tegas dalam Pasal 1 undnag-undang
tipikor.
112 Tongat, Op. Cit, hal 81.
76
Pasal 1Hakim Karier adalah hakim pada pengadilan negeri, pengadilan tinggi, dan Mahkamah Agung yang ditetapkan sebagai hakim tindak pidana korupsi.Hakim ad hoc adalah seseorang yang diangkat berdasarkan persyaratan yang ditentukan dalam undang-undang ini sebagai hakim tindak pidana korupsi.
Urgensi dari hakim ad hoc termuat dalam Penjelasan Umum
Undang-Undang Pengadilan Tipikor, dinyatakan bahwa hakim ad hoc
diperlukan karena keahliannya sejalan dengan kompleksitas perkara
tindak pidana korupsi, baik yang menyangkut modus operandi,
pembuktian, maupun luasnya cakupan tindak pidana korupsi antara lain
di bidang keuangan dan perbankan, perpajakan, pasar modal, pengadaan
barang dan jasa pemerintah.
Kedua, terdapat jangka waktu penyelesaian pemeriksaan perkara
tindak pidana korupsi pada setiap pemeriksaan. Di dalam KUHAP,
jangka waktu suatu perkara tindak pidana pada masing-masing tingkat
pengadilan untuk diperiksa, diadili, dan diputus tidak ditentukan. Jangka
waktu penyelesaian pemeriksaan untuk masing-masing tingkat
pemeriksaan diatur dalam Pasal 29 hingga Pasal 32 Undang-Undang
Pengadilan Tipikor.
Jangka waktu untuk tingkat pertama adalah paling lama 120
(seratus dua puluh) hari terhitung sejak perkara dilimpahkan ke
pengadilan tipikor sebagaimana diatur dalam Pasal 29. Jangka waktu
untuk tingkat banding adalah paling lama 60 (enam puluh) hari terhitung
sejak tanggal perkara diterima ke pengadilan tinggi sebagaimana diatur
77
dalam Pasal 30. Jangka waktu untuk tingkat kasasi adalah paling lama
120 (seratus dua puluh) hari terhitung sejak tanggal perkara diterima ke
Mahkamah Agung sebagaimana diatur dalam Pasal 31. Sedangkan
jangka waktu untuk permintaan oeninjauan kembali adalah paling lama
60 (enam puluh) hari terhitung sejak tanggal perkara diterima ke
pengadilan tinggi sebagaimana diatur dalam Pasal 32.
Seperti diuraikan sebelumnya bahwa adanya pengadilan tipikor
membuat semakin melengkapi jajaran penegak hukum dalam sistem
peradilan pidana dalam perkara tindak pidana korupsi. Dengan kata lain,
hadirnya pengadilan tipikor membuat hanya tinggal satu sub kekuasaan
lagi sehingga terciptalah sistem peradilan pidana tindak pidana korupsi
yang utuh, sub sistem tersebut adalah sub sistem pemasyarakatan. Hingga
saat ini, lembaga pemasyarakatan khusus bagi narapidana tindak pidana
korupsi yang dasarnya adalah undang-undang belum didirikan.
Sekalipun demikian, hal ini tidak perlu dikhawatirkan karena
berdasarkan Pasal 12 ayat (1) Undang-Undang Nomor 12 Tahuyn 1985
tentang Pemasyarakatan dinyatakan bahwa pembinaan terhadap
narapidana di Lembaga Pemasyarakatan dilakukan penggolongan atas
dasar umur, jenis kelamin, lama pidana yang dijatuhkan, jenis kejahatan,
dan kriteria lain sesuai dengan kebutuhan atau perkembangan
pembinaan. Dengan demikian, narapidana perkara tindak pidana korupsi
akan ditempatkan dengan sesamanya di dalam lembaga pemasyarakatan.
78
B. Upaya-upaya yang digunakan untuk menanggulangi tindak pidana
korupsi pada e ra reformasi
Politik kriminal adalah segala usaha yang rasional dari masyarakat
untuk menanggulangi kejahatan113 yang secara garis besar upaya
penanggulangannya dapat dilakukan dengan dua cara yakni pendekatan penal
dan pendekatan non penal. Politik kriminal “criminal policy” tidak terlepas
dari kebijakan yang lebih luas yakni kebijakan sosial “social policy” yang
terdiri dari kebijakan kesejahteraan sosial “social welfare policy”dan
kebijakan perlindungan masyarakat “social defence policy”. 114
Politik kriminal yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari
politik sosial menimbulkan dua konsekuensi logis terhadap pelaksanaan
upaya penal dan upaya non penal, konsekuensi logis tersebut terkait dengan
integralitas pelaksanaan politik kriminal terhadap politik sosial. Menurut
Barda Nawawi Arief, dua konsekuensi logis adalah sebagai berikut:
1. Penggunaan sarana penal dan sarana non penal harus menunjang goal
yakni kesejahteraan sosial dan perlindungan sosial;
2. Penggunaan sarana penal dan sarana non penal harus dilakukan dengan
pendekatan integral yang menunjukan keseimbangan.115
Akan dibahas lebih lanjut dalam penelitian ini terkait dengan masing-
masing upaya tersebut yang meliputi upaya penal dan upaya non penal
sekaligus pelaksanaan penggunaannya.
113Lihat pengertian politik criminal secara praktis dalam IS. Heru Permana. Op. Cit, hal 5.
114 Dalam IS Heru Permana, Loc. Cit.115 Barda Nawawi A rief, 2008, Masalah Penegakan Hukum dan Kebijakan Hukum Pidana
dalam Penanggulangan Kejahatan, Cetakan Kedua, Kencana, Jakarta, hal 77 – 78.
79
1. Upaya Penal
Upaya penal merupakan upaya penanggulangan terhadap
kejahatan yang mempergunakan sarana pidana, agar dapat
dioperasionalkan dengan baik maka upaya tersebut dilakukan melalui
tahapan berikut116:
a) Penetapan kebijakan perundang-undangan (dapat juga disebut
kebijakan legislasi) yang didalamnya berisikan penetapan kebijkan
mengenai:
1) Perbuatan apa yang seharusnya dijadikan tindak pidana
(kebijakan kriminalisasi);
2) Sanksi apa yang sebaiknya digunakan atau dikenakan kepada si
pelanggar (kebijakan penalisasi / kebijakan pemidanaan).
Penerapan tahapan-tahapan tersebut adalah sebagai berikut:
1) Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999:
i. Kolusi yang dilakukan oleh penyelenggara negara atau
anggota komisi pemeriksa dalam Pasal 21 dipidana dengan
pidana penjara paling singkat 2 (dua) tahun dan paling lama
12 (dua belas) tahun dan denda paling sedikit Rp.
200.000.000,- (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp.
1.000.000.000,- (satu milyar rupiah);
ii. Nepotisme yang dilakukan oleh penyelenggara negara atau
anggota komisi pemeriksa dalam Pasal 22 dipidana dengan
116 Widiada Gunakaya, Loc. Cit.
80
pidana penjara paling singkat 2 (dua) tahun dan paling lama
12 (dua belas) tahun dan denda paling sedikit Rp.
200.000.000,- (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp.
1.000.000.000,- (satu milyar rupiah).
2) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 juncto Undang-Undang
Nomor 20 Tahun 2001
I. Korupsi jenis kerugian keuangan negara karena memperkaya
diri dalam Pasal 2 dipidana dengan pidana penjara minimal 4
(empat) tahun dan maksimal 20 (dua puluh) tahun dan denda
minimal Rp. 200.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan denda
maksimal Rp. 1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah), dalam
hal tertentu, dipidana dengan pidana mati. Kemudian korupsi
jenis kerugian keuangan negara karena menyalahgunakan
kewenangan dalam Pasal 3 dipidana dengan pidana penjara
seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 1 (satu)
tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan atau denda
paling sedikit Rp. 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dan
paling banyak Rp. 1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah);
II. Korupsi jenis suap kepada pegawai negeri atau
penyelenggaran negara dalam Pasal 5 dipidana dengan pidana
penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 5 (lima)
tahun dan atau pidana denda paling sedikit Rp 50.000.000,00
(lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp
81
250.000.000,00 (dua ratus lima puluh juta rupiah). kemudian
korupsi jenis suap kepada hakim atau advocat dalam Pasal 6
dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun
dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan pidana denda
paling sedikit Rp 150.000.000,00 (seratus lima puluh juta
rupiah) dan paling banyak Rp 750.000.000,00 (tujuh ratus
lima puluh juta rupiah);
III. Korupsi jenis tindak pidana korupsi yang berkaitan dengan
pembangunan, leveransir, dan rekanan atau perbutaan curang
dalam Pasal 7 dipidana dengan pidana penjara paling singkat
2 (dua) tahun dan paling lama 7 (tujuh) tahun dan atau pidana
denda paling sedikit Rp 100.000.000,00 (seratus juta rupiah)
dan paling banyak Rp 350.000.000,00 (tiga ratus lima puluh
juta rupiah);
IV. Korupsi jenis penggelapan dalam Pasal 8 dipidana dengan
pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama
15 (lima belas) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp
150.000.000,00 (seratus lima puluh juta rupiah) dan paling
banyak Rp 750.000.000,00 (tujuh ratus lima puluh juta
rupiah);
V. Korupsi jenis kerakusan dalam Pasal 12 huruf e, f, g, h, dan i
dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana
penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20
82
(dua puluh) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp
200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp
1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah);
VI. Korupsi jenis gratifikasi dalam Pasal 12 B dipidana dengan
pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling
singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun
dan pidana denda paling sedikit Rp 200.000.000,00 (dua
ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp 1.000.000.000,00
(satu miliar rupiah).
Sangat disayangkan bahwa terdapat kekurangan dalam
perumusan kebijakan penalisasi / kebijakan pemidanaannya
yakni tidak merumuskan pedoman pemidanaan untuk
menerapkan ancaman pidana minimum. Seharusnya undang-
undang khusus di laur KUHP membuat aturan tersendiri untuk
penerapannya, karena ini merupakan konsekuensi logis dari
Pasal 103 KUHP.117 Tanpa adanya pedoman pemidanaan pidana
minimal ini maka tidak dapat ditentukan apakah pidana minimal
dapat diperingan atau dapat diperberat.
Kejanggalan lain nampak dalam pola pidana
minimalnya, ada delik yang diancam dengan pidana
maksimalnya 20 tahun penjara dan pidana minimalnya pidana 4
tahun penjara seperti dalam Pasal 2 dan Pasal 12. Sedangkan ada
117 Barda Nawawi Arief, 2008, Masalah Penegakan Hukum Dan Kebijakan Hukum Pidana Dalam Penanggulangan Kejahatan , Kencana, Jakarta, hal. 159.
83
delik yang diancam dengan pidana maksimalnya 20 tahun
penjara namun ancaman pidana minimalnya 1 tahun penjara
seperti dalam Pasal 3. Padahal untuk delik lainnya, pidana
minimal 1 tahun diancam dengan pidana maksimal 5 tahun
penjara seperti dalam Pasal 9 dan Pasal 11118. Kesalahan
demikian menurut Muladi dan Barda Nawawi Arief
mengakibatkan tidak terkendalinya perkembangan kriminalitas
yang semakin meningkat karena kesalahan inilah yang menjadi
faktor timbul dan berkembangnya kriminalitas.119
b) Penerapan pidana oleh badan pengadilan (disebut juga kebijakan
yudikasi). Penerapan kebijakan ini dilakukan melalui Undang-
Undang Nomor 46 tahun 20009 tentang Pengadilan Tindak Pidana
Korupsi yang merupakan satu-satunya pengadilan yang berwenang
memeriksa, mengadili, dan memutus perkara tindak pidana korupsi
termasuk yang dilakukan oleh Warga Negara Indonesia di luar
wilayah negara Republik Indonesia.
c) Pelaksanaan pidana oleh aparat pelaksana pidana (disebut juga
kebijakan eksekusi). Penerapannya dilakukan oleh Lembaga
Pemasyarakatan dan Balai Pemasyarakatan dengan didasarkan pada
Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan.
Kebijakan ini juga dilaksanakan oleh Penuntut Umum berdasarkan
Pasal 54 ayat (1) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang
118 Ibid, hal 150.119 Ibid, hal 98.
84
Kekuasaan Kehakiman juncto Pasal 30 ayat (1) Undang-Undang
Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejakasaan.
2. Upaya non penal
Upaya non penal merupakan upaya dalam menanggulangi
kejahatan tanpa mempergunakan sarana pidana, cakupan sarana ini
adalah pencegahan kejahatan. Pencegahan kejahatan adalah segala
tindakan yang memilki tujuan khusus untuk membatasi meluasnya
kekerasan dan kejahatan, baik melalui pengurangan potensial maupun
melalui masyarakat umum.120
Inventarisasi upaya non penal dalam perundang-undangan yang
berkaitan dengan tindak pidana korupsi yang dirumuskan pada era
reformasi nampak sebagai berikut:
a. Program Anti Korupsi
Program anti korupsi nampak dalam Pasal 13 Undang-
Undang Nomor 30 Tahun 2002 KPK berwenang untuk:
1) Menyelenggarakan program pendidikan antikorupsi pada setiap
jenjang pendidikan;
2) Merancang dan mendorong terlaksananya program sosialisasi
pemberantasan tindak pidana korupsi;
3) Melakukan kampanye antikorupsi kepada masyarakat umum.
b. Kewajiban pemeriksaan dan publikasi kekayaan bagi penyelenggara
negara
120 IS. Heru Permana, Loc. CIt.
85
Pemberian kewajiban ini nampak dalam Pasal 5 Undang-
Undang Nomor 28 Tahun 1999 yang memberikan kewajiban bagi
penyelenggara negara untuk:
1) Mengucapkan sumpah atau janji sesuai dengan agamanya
sebelum memangku jabatannya;
2) Bersedia diperiksa kekayaannya sebelum, selama, dan setelah
menjabat;
3) Melaporkan dan mengumumkan kekayaan sebelum dan setelah
menjabat;
Pemberian kewajiban tersebut awalnya dilakukan oleh
Komisi Pemeriksa Kekayaan Penyelenggara Negara (KPKPN)
berdasarkan Pasal 17 ayat (1) Undang-Undang Nomor 28 Tahun
1999.
Pasal 17(1) Komisi Pemeriksa mempunyai tugas dan wewenang untuk
melakukan pemeriksaan terhadap kekayaan Penyelenggara Negara.
Lahirnya Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) berimplikasi
terhadap keberadaan KPKNP. Berdasarkan Pasal 69 ayat (1)
dinyatakan bahwa dengan terbentuknya KPK maka KPKPN menjadi
bagian bidang pencegahan pada KPK. Meleburnya KPKPN kepada
KPK berimplikasi juga bahwa kewenangan pemeriksaan kekayaan
penyelenggara negara yang dimiliki KPKPN harus pula dimiliki oleh
lembaga KPK. Mencermati ketentuan Pasal 13 Undang-Undang
86
Nomor 30 tahun 2002, nampak bahw KPK memilkki kewenangan
untuk melakukan pendaftaran dan pemeriksaan terhadap laporan
harta kekayaan penyelenggara negara.
c. Peran Serta Masyarakat
Peran serta masyarakat dalam upaya pencegajan tindak
pidana korupsi memilki urgensi sebagaimana tercantum dalam
Deklarasi Manila yang dihasilkan oleh “The Asian Regional
Ministerial Meeting of Transnational Crime” pada 23 – 25 Maret
1998. Urgensi peran serta masyarakat dalam deklarasi tersebut
adalah untuk melibatkan peran masyarakat secara aktif dalam
memberantas korupsi, khususnya dalam mengembangkan tindakan
pencegahan dan pengawasan yang memajukan “a culture of
accountability and transparency” atau budaya pertanggungjawaban
dan keterbukaan.121 Penerapan peran serta masyarakat dalam
penanggulangan tindak pidana korupsi pada era reformasi ini terlihat
dalam Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 dan Undang-Undang
Nomor 31 Tahun 1999.
Pasal 9 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999(1)Peran serta masyarakat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8
diwujudkan dalam bentuk:a. Hak mencari, memperoleh, dan memberikan informasi tentang
penyelenggaraan negara;b. Hak untuk memperoleh pelayanan yang sama dan adil dari
Penyelenggara Negara;c. Hak menyampaikan suatu saran dan pendapat secara
bartanggungjawab terhadap kebijakan Penyelenggara Negara; dan
121 Dalam Barda Nawawi Arief, Loc. Cit.
87
d. Hak untuk memperoleh pelrindungan hukum dalam hal:1) Melaksanakan haknya sebagaimana dimaksud dalam
bentuk a, b, dan c;2) Diminta hadir dalam proses penyelidikan, penyidikan, dan
di sidang pengadilan sebagai saksi pelapor, saksi, dan saksi ahli, sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Pelaksanaan peran serta masyarakat tersebut dilaksanakan
melalui Peraturan Pemerintah Nomor 68 Tahun 1999 tentang Tata
Cara Pelaksanaan Peran Serta Masyarakat Dalam Penyelenggaraan
Negara. Pasal 10 Peraturan Pemerintah ini memberikan perlindungan
hukum bagi masyarakat dalam melaksanakan bentuk-bentuk peran
serta masyarakat tersebut dengan ketentuan melakukan
pemberitahuan baik secara tertulis maupun lisan kepada Kepolisian
Negara Republik Indonesia atau instansi yang berwenang.
Adapun bentuk peran serta masyarakat dalam udang-undang
Nomor 31 Tahun 1999 ini merupakan bentuk peran serta yang mirip
diatur dalam Pasal 9 ayat (1) Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999
tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas dari KKN.
Pasal 41 ayat (2) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999(2)Peran serta masyarakat sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
diwujudkan dalam bentuk :a. hak mencari, memperoleh, dan memberikan informasi adanya
dugaan telah terjadi tindak pidana korupsi;b. hak untuk memperoleh pelayanan dalam mencari, memperoleh
dan memberikan informasi adanya dugaan telah terjadi tindak pidana korupsi kepada penegak hukum yang menangani perkara tindak pidana korupsi;
c. hak menyampaikan saran dan pendapat secara bertanggung jawab kepada penegak hukum yang menangani perkara tindak pidana korupsi;
88
d. hak untuk memperoleh jawaban atas pertanyaan tentang laporannya yang diberikan kepada penegak hukum dalam waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari;
e. hak untuk memperoleh perlindungan hukum dalam hal :1) melaksanakan haknya sebagaimana dimaksud dalam huruf
a, b, dan c;2) diminta hadir dalam proses penyelidikan, penyidikan, dan
di sidang pengadilan sebagai saksi pelapor, saksi, atau saksi ahli, sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Sekalipun demikian, peran serta masyarakat dalam Undang-
Undang Nomor 31 Tahun 1999 memilki perbedaan dengan peran serta
masyarakat dalam Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999. Peran
serta masyarakat dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999
memberikan amanat bagi pemerintah untuk memberikan penghargaan
kepada masyarakat yang berjasa membantu upaya menanggulangi
tindak pidana korupsi sebagaimana tercantum dalam pasal 42 ayat (1):
Pasal 42(1)Pemerintah memberikan penghargaan kepada anggota masyarakat
yang telah berjasa membantu upaya pencegahan, pemberantasan, atau pengungkapan tindak pidana korupsi.
Peran serta serta pemberian penghargaan tersebut selanjutnya
diatur kemudian melalui Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 2000
tentang Tata Cara Pelaksanaan Peran Serta Masyarakat Dan
Pemberian Penghargaan Dalam Pencegahan dan Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi. Dalam Pasal 7 ayat (2)Peraturan Pemerintah
tersebut, penghargaan yang diberikan pemerintah dapat berupa piagam
atau premi. Adapun besar premi yang diberikan sebesar 2^ (dua
89
permil) dari nilai kerugian keuangan negara yang dikembalikan
sebagaimana diatur dalam Pasal 9.
Menurut Kongres PBB mengenai “the prevention of crime and
the treatment of offenders”, pencegahan kejahatan dilakukan dengan
dasar penghapusan sebab-sebab kondisi-kondisi yang menyebabkan
timbulnya kejahatan, upaya penghapusan sebab-sebab dan kondisi-
kondisi yang dimikian harus merupakan strategi pokok / mendasar dalam
upaya pencegahan kejahatan (the basic crime prevention strategy).122
Marwan Effendy menyimpulan bahwa sebab-sebab korupsi adalah:
a) Minimnya integritas,
b) Sistem karier dan penggajian yang tidak berbasis kinerja serta
standar pelayanan minimal,
c) Perilaku masyarakat yang serba instan dalam setiap urusan.123
Terkait dengan sebab korupsi pertama yakni minimnya integritas,
upaya non penal yang dipergunakan untuk menghapus sebab ini dapat
dilihat dalam Pasal 5 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999. yang
memberikan kewajiban bagi penyelenggara negara untuk:
a) Mengucapkan sumpah atau janji sesuai dengan agamanya sebelum
memangku jabatannya.
b) Bersedia diperiksa kekayaannya sebelum, selama, dan setelah
menjabat.
122 A. Widiada, Loc. Cit.123 Marwan Effendy, Loc. Cit.
90
c) Melaporkan dan mengumumkan kekayaan sebelum dan setelah
menjabat;
Pemberian kewajiban pertama membuat penyelenggara negara
akan lebih mawas diri dengan selalu menjaga tingkah lakunya karena
sumpah atau janji yang ia ucapkan merupakan sumpah atau janji
langsung kepada Tuhan yang sudah tentu selalu melihat dan tahu
perbuatan yang dilakukan oleh penyelenggara negara. Pemberian
kewajiban kedua dan ketiga membuat penyelenggara negara semakin
kehilangan kesempatan untuk melakukan korupsi karena secara berkala
penyelenggara negara akan diperiksa harta kekayaannya secara berkala.
Dengan demikian ketiga kewajiban tersebut dapat menjaga integritas
daripada penyelenggara negara.
Terkait dengan sebab kedua yakni sistem karier dan penggajian
yang tidak berbasis kinerja serta standar pelayanan minimal, kita akan
menemui kebuntuan mencari penanggulangannya dalam perundang-
undangan tindak pidana korupsi karena dalam perundang-undangan
tersebut tidak diatur mengenai sistem karier dan penggajian. Untuk
mengetahuinya kita dapat meninjau Undang-Undang Nomor 43 Tahun
1999 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1974
tentang Pokok-Pokok Kepegawaian. Terkait dengan sistem karier, Dalam
Pasal 17 ayat (2) dinyatakan bahwa Pengangkatan Pegawai Negeri Sipil
dalam suatu jabatan dilaksanakan berdasarkan prinsip profesionalisme
sesuai dengan kompetensi, prestasi kerja, dan jenjang pangkat yang
91
ditetapkan untuk jabatan itu serta syarat obyektif lainnya tanpa
membedakan jenis kelamin, suku, agama, ras, atau golongan. Terakit
dengan penggajian, dalam Pasal 7 ayat (1) dinyatkan bahwa Setiap
Pegawai Negeri berhak memperoleh gaji yang adil dan layak sesuai
dengan beban pekerjaan dan tanggung jawabnya, kemudian dalam ayat
(2) dinyatakan bahwa gaji yang diterima oleh Pegawai Negei harus
mampu memacu produktivitas dan menjamin kesejahteraannya. Dengan
demikian, upaya non penal yang terdapat dalam Undang-Undang Nomor
43 Tahun 1999 sudah mampu meniadakan sebab dalam undang-undang
tersebut menjelaskan bahwa sistem karier dan penggajian dilaksanakan
dengan berbasis kinerja dan berstandar pelayanan minimal.
Terkait dengan sebab korupsi yang ketiga yakni perilaku
masyarakat yang serba instan dalam setiap urusan, upaya non penal yang
dipergunakan adalah kewenangan KPK dalam Pasal 13 Undang-Undang
Nomor 30 Tahun 2002. Dalam pasal tersebut dinyatakan bahwa KPK
berwenang untuk melakukan program anti korupsi pada setiap jenjang
pendidikan dan masyarakat umum. Melalui kewenangan ini, masyarakat
dapat diarahkan dan dibimbing agar perilaku masyarakat tidak menjadi
serba instan dalam setiap urusan. Perilaku demikian sebenarnya
merupakan perilaku korup, sehingga masyarakat tergerak untuk
menghindari perilaku serba instan tersebut.
Mencermati semua upaya non penal tersebut, sebenarnya dapat
dilihat suatu kekurangan atau kelemahan. Kekurangan atau kelemahan
92
nampak bahwa pelaksana upaya non penal tersebut adalah KPK.
Kewenangan untuk menyelenggarakan program anti korupsi dan
pemeriksaan kekayaan penyelenggara negara hanya dimiliki oleh KPK.
Lebih dari itu, tugas koordinasi dan supervisi yang dimilkiki KPK
hanyalah terbatas pada upaya pemberantasan yang jelas tentu masuk
ranah upaya penal bukan upaya non penal.
KPK sebagai suatu lembaga negara, tentu memilki keterbatasan
sumber daya manusia. Hingga saat ini KPK belum mendirikan
perwakilan di daerah sekalipun dalam Pasal 19 ayat (2) Undang-Undang
Nomor 30 Tahun 2002 dinyatakan bahwa KPK dapat membentuk
perwakilan di daerah provinsi. Dengan demikian, sebetulnya kita dapat
melihat bahwa upaya non penal dalam penanggulangan tindak pidana
korupsi belum menjadi fokus utama bagi pembentuk undang-undang.
Pembentuk undang-undang nampak masih fokus berfikir bagaimana
menjerat koruptor dengan kriminalisasi berbagai perbuatan yang
dianggap korupsi ataupun dengan penalisasi berbagai ancaman pidana
baru. Sangat disayangkan hal demikian terjadi, padahal upaya non penal
merupakan upaya yang sangat strategis dalam menanggulangi
kejahatan.124 Kegagalan dalam penggarapannya justru akan berakibat
fatal bagi usaha menanggulangi kejahatan125, terlebih pencegahan
kejahatan pada dasarnya merupakan tujuan utama dari politik kriminal.126
BAB IV
124 Muladi dan Barda Nawawi Arief, Op. Cit, hal 159.125 Ibid.126 IS. Heru Permana, Loc. Cit.
93
PENUTUP
A. Kesimpulan
Politik kriminal penanggulangan tindak pidana korupsi di Indonesia
pada era reformasi dilakukan melalui:
1. Pembentukan peraturan perundangan-undangan yakni: Tap MPR Nomor
XI/MPR/1998 tentang Penyelenggara Negara Yang Bersih Dan Bebas
Korupsi, Kolusi, Dan Nepotisme, Undang-Undang Nomor 28 Tahun
1999 tentang Penyelenggaraan Negara Yang Bersih Dan Bebas Dari
Korupsi, Kolusi, Dan Nepotisme, Undang-Undang Nomor 31 Tahun
1999 juncto Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Undang-Undang Nomor 30
Tahun 2002 tentang Komisi Pembetrantasan Tindak Pidana Korupsi,
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2006 tentang Pengesahan United
Nations Convention Against Corruption, 2003, Undang-Undang Nomor
46 Tahun 2009 tentang Pengadilan Tindak Pidana Korupsi.
2. Upaya-upaya penanggulangan yang diantaranya:
1) Upaya penal melalui:
a) Kebijakan formulasi melalui kriminalisasi terhadap kolusi dan
nepotisme bagi penyelenggara negara dan penggolongan tindak
pidana korupsi menjadi kerugian keuangan negara, penyuapan,
kecurangan, penggelapan, kerakusan, dan gratifikasi. Kebijakan
ini dilakukan juga melalui perumusan ancaman pidana berupa
pidana mati dan pidana minimal. Namun disayangkan perumusan
94
ancaman pidananya tidak merumuskannya ketentuan pelaksanaan
pidana minimal dan pola pemidanaan antara pidana minimal dan
pidana maksimalnya tidak proporsional.
b) Kebijakan aplikasi melalui pengadilan tindak pidana korupsi.
c) Kebijakan eksekusi melalui lembaga pemasyarakatan, balai
pemasyaraktan, dan penuntut umum.
2) Upaya non penal yang meliputi program anti korupsi, pemberian
kewajiban pemeriksaan dan publikasi kekayaan bagi penyelenggara
negara, dan peran serta masyarakat dalam penyelenggaraan negara
serta peran serta masyarakat dalam penanggulangan tindak pidana
korupsi.
B. Saran
a. Ancaman pidana dalam Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 dan
Undang-Undang Nopmor 31 Tahun 1999 juncto Undang-Undang Nomor
20 Tahun 2001 perlu direvisi dengan merumuskan ketentuan pelaksanaan
pidana minimal dan perumusan pola pemidanaan antara pidana minimal
dengan pidana maksimal yang lebih proporsional.
b. Komisi Pemberantasan Korupsi sebagai lembaga yang memiliki
kewenangan dalam pencegahan tindak pidana korupsi melakukan
kerjasama dengan instansi di daerah atau dengan organisasi masyarakat
untuk mengoptimalkan upaya pencegahan mengingat hingga saat ini
Komisi Pemberantasan Korupsi belum memilki perwakilan di daerah.
95
DAFTAR PUSTAKA
Literatur:
Campbell Black, Henry, et.al., 1979, Blak’ Law Dictionary, fith edition, St.
Paulminn West Publicing C. O.
Djaja, Ermansjah, 2009, Memberantas Korupsi bersama KPK, Jakarta: Sinar
Grafika.
Hanitijo Soemitro, Ronny, Metodologi Penelitian, Jakarta: Ghalia Indonesia.
Hatta, Moh, 2010, Kebijakan Politik Kriminal: Penegakan Hukum dalam rangka
Penanggulangan Kejahatan, Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Heru Permana, IS, 2011, Politik Kriminal, Yogyakarta: Universitas Atma Jaya.
Kartanegara, Satochid, Hukum Pidana Kumpulan Kuliah, Balai Lektur
Mahasiswa.
Lamintang, P. A. F., 1997, Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia, , Bandung:
Citra Aditya Bakti.
M. Echols, John dan Shadaly, Hassan, 1977, Kamus Inggris Indonesia, Jakarta:
Gramedia Pustaka Utama.
Mahmud Marzuki, Peter, 2011, Penelitian Hukum, Jakarta: Kencana.
Muladi dan Nawawi Arief, Barda, 1992, Teori-Teori dan Kebijakan Hukum
Pidana, Bandung: Alumni.
Nawawi Arief, Barda, 2008, Masalah Penegakan Hukum dan Kebijakan Hukum
Pidana dalam Penanggulangan Kejahatan, Jakarta: Kencana.
Nawawi Arief, Barda, 1966, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, Bandung:
Citra Aditya Bakti.
96
Poerwadarminta, 1979, Kamus Umum Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka.
Sahetapy, 1979, Kapita Selekta Kriminologi, Bandung; Alumni.
Soekanto, Soerjono dan Pamuji, Sri, 2011, Penelitian Hukum Normatif, Jakarta:
Raja Grafindo Persada.
Sudarto, 1983, Hukum Pidana dan Perkembangan Masyarakat, Sinar Baru.
Sudarto, 1977, Hukum dan Hukum Pidana, Bandung: Alumni.
Sudarto, 1975, Hukum Pidana Jilid I A-B, Semarang: FH Undip.
Sunggono, Bambang, 1997, Metode Penelitian Hukum, Jakarta: Raja Grafindo
Persada.
Sulista, Teguh dan Zurnetti, Aria, 2001, Hukum Pidana: Horizon Baru Pasca
Reformasi, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada
Surachimn dan Cahaya, Suhandi, 2011, Stategi dan Teknik Korupsi: Mengetahui
untuk Mencegah, Jakarta: Sinar Grafika.
Sutherland, Edwin H, 1961, White Collar Crime, New York: Rinehart and
Winston.
Syamsyudin, M., 2007, Operasionalisasi Penelitian Hukum, Jakarta: Raja
Grafindo Persada.
Tongat, 2009, Dasar-Dasar Hukum Pidana dalam Perspektif Pembaharuan.,
Malang: UMM Press.
Waluyo, Bambang, 2002, Penelitian Hukum Dalam Praktek , Jakarta: Sinar
Grafika.
Wijowasito, 1999, Kamus Umum Belanda Indonesia, Jakarta: Ikhtiar Baru.
97
Wisnubroto, Aloysius, 1999, Kebijakan Hukum Pidana dalam Penanggulangan
Penyalahgunaan Komputer, Yogyakarta: Universitas Atma Jaya.
Peraturan Perundang-Undangan:
Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Nomor XI/MPR/1998 tentang
Penyelenggara Negara Yang Bersih Dan Bebas Korupsi, Kolusi, Dan
Nepotisme.
Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1971 tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi.
Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1985 tentang Pemasyarakatan.
Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggara Negara Yang
Bersih Dan Bebas Dari Korupsi, Kolusi, Dan Nepotisme.
Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi.
Undang-Undang Nomor 43 Tahun 1999 tentang Perubahan Atas Undang-Undang
Nomor 8 Tahun 1974 Tentang Pokok-Pokok Kepegawaian
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang
Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik
Indonesia.
Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi.
Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia.
98
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2006 tentang Pengesahan United Nations
Convention Against Corruption, 2003 (Konvensi Perserikatan Bangsa-
Bangsa Anti Korupsi, 2003).
Undang-Undang Nomor 46 Tahun 2009 tentang Pengadilan Tindak Pidana
Korupsi.
Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman.
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 003/PUU-IV/2006
Peraturan Pemerintah Nomor 65 Tahun 1999 tentang Tata Cara Pemeriksaan
Kekayaan Penyelenggara Negara.
Peraturan Pemerintah Nomor 68 Tahun 1999 Tentang Tata Cara Pelaksanaan
Peran Serta Masyarakat Dalam Penyelenggaraan Negara.
Peraturan Pemerintah Nomor 71 Tahun 2010 tentang Tata Cara Pelaksanaan
Peran Serta Masyarakat Dan Pemberian Penghargaan Dalam Pencegahan
Dan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Lain-lain
Harian Kompas tanggal 16 Mei 2012, Mental Korupsi Sudah Merata.
http://vivapemuda43a.wordpress.com/2012/04/23/6-tuntutan-reformasi-tahun-
1998/, diunduh tanggal 23 April 2012.
Kompas.com, Agenda Reformasi Dikhianati, diunduh tanggal 21 Mei 2012.
Jejaringnews.com, Pembuatan Undang-Undang Sering Abaikan Spirit
Penghematan, diunduh tanggal 9 nopember 2011.
merdeka.com, Negara Rugi Rp 39 Triliun Akibat Korupsi, diunduh tanggal 4
Desember 2012.