postmodernisme dalam pendidikan islam …e-repository.perpus.iainsalatiga.ac.id/1747/1/pdf.pdf ·...
TRANSCRIPT
i
ii
POSTMODERNISME DALAM PENDIDIKAN ISLAM
PERSPEKTIF NURCHOLIS MADJID
SKRIPSI
Diajukan untuk Memperoleh Gelar
Sarjana Pendidikan (S.Pd.)
Oleh:
Annilta Manzilah ‘Adlimah
NIM. 11113004
JURUSAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
FAKULTAS TARBIYAH DAN ILMU KEGURUAN
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN)
SALATIGA
2017
vi
MOTTO
The Best Plan is No Plan.
vii
PERSEMBAHAN
Alhamdulillah dengan izin Allah Swt. skripsi ini dapat terselesaikan
dengan baik. Skripsi ini saya persembahkan kepada orang-orang yang telah
membantu mewujudkan mimpiku:
1. Ayahanda Sumardi dan Ibunda Kismatun yang telah memberikan mahkota
kasih sayangnya kepadaku sejak diriku kecil tak mengerti apa-apa hingga kini
aku mengerti makna hidup.
2. Adik-adikku tercinta Sofi Adha Mubaroka dan Azzada Ahmadul ‘Ibaad yang
selalu mendukung dan memberikan semangat.
3. Guru-guruku yang telah membagikan ilmunya kepadaku sehingga aku menjadi
manusia yang mengerti banyak hal.
4. Sahabat-sahabat PP. Salafiyah Pulutan yang senantiasa menemaniku selama di
bangku perkuliahan, semoga Allah Swt. menjadikan kalian sebagai generasi
penerus Bangsa yang sholeh-sholehah.
5. Sahabat-sahabat PAI angkatan 2013. Semoga dimanapun kalian berada, selalu
mengamalkan ilmunya dengan tulus dan ikhlas.
6. Sahabat-sabahat PMII Kota Salatiga, UKM JQH, DEMA FTIK, DEMA
Institut, Gusdurian Salatiga, dsb. yang telah mengajari dan memberikan banyak
pengalamannya dalam berorganisasi sehingga aku tidak menjadi mahasiswa
yang hanya aktif di bidang akademik namun juga dapat aktif di organisasi.
7. Orang yang senantiasa menemani, memberikan semangat, dan senyuman di
setiap hari-hariku.
ix
KATA PENGANTAR
بسم هللا الرحمن الرحيم
Alhamdulillahirabbil’alamin penulis ucapkan sebagai rasa syukur
kehadirat Allah Swt. atas segala nikmat yang tak terhitung dan rahmat-Nya yang
tiada henti, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.
Sholawat serta salam semoga senantiasa tercurahkan junjungan kita Nabi
Muhammad Saw., beliaulah suri tauladan bagi seluruh umat manusia,
penyempurna akhlak yang mulia, dan pemimpin yang bijaksana bagi seluruh alam
semesta.
Penulisan skripsi ini tidak mungkin dapat terselesaikan dengan baik tanpa
ada bantuan, dorongan, serta bimbingan dari pihak-pihak tertentu yang terkait,
yang telah meluangkan waktunya untuk memberikan informasi-informasi yang
dibutuhkan.
Terima kasih yang sebesar-besarnya juga harus penulis sampaikan kepada:
1. Bapak Dr. Rahmat Hariyadi, M.Pd., selaku Rektor IAIN Salatiga
2. Bapak Suwardi, M.Pd., selaku Dekan Fakultas Tarbiyah dan Ilmu Keguruan
IAIN Salatiga
3. Ibu Siti Rukhayati, M.Ag., selaku Ketua Jurusan Pendidikan Agama Islam
Fakultas Tarbiyah dan Ilmu Keguruan
4. Bapak Dr. Miftahuddin, M.Ag., selaku dosen pembimbing skripsi yang
senantiasa memberikan arahan, bimbingan dan motivasi selama
menyelesaikan skripsi.
ix
5. Bapak Prof. Dr. Budihardjo, M.Ag., selaku pembimbing akademik yang telah
memberikan nasehatnya selama penulis menjadi mahasiswanya.
6. Bapak-bapak dan ibu-ibu dosen IAIN Salatiga yang tidak bisa saya sebutkan
satu-satu yang telah memberikan ilmunya kepada penulis selama menjadi
mahasiswanya.
7. Keluarga tercinta yang telah membesarkan penulis dengan penuh kasih
sayang dan memberikan bantuan moril dan materil maupun spiritual.
8. Semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan, semoga segala bantuan yang
diberikan mendapat balasan dan Ridho Allah Swt. serta tercatat dalam bentuk
amalan ibadah. amin.
Semoga jasa baik yang diberikan pada penulis akan mendapatkan balasan
yang lebih berarti dari Allah Swt. penulis menyadari masih terdapat banyak
kekurangan dalam penyusunan skripsi ini, karenanya kritik dan saran yang
membangun sangat diharapkan. Semoga skripsi ini bermanfaat bagi semua
kalangan terutama bagi penulis sendiri. Aamiin Yaa Robbal ‘Alamiin.
Salatiga, 14 Maret 2017
Penulis
Annilta Manzilah ‘Adlimah
NIM. 111-13-004
x
ABSTRAK
Adlimah, Annilta Manzilah. 2017. 11113004. Postmodernisme dalam Pendidikan
Islam Perspektif Nurcholish madjid. Skripsi. Jurusan Pendidikan
Agama Islam Fakultas Tarbiyah dan Ilmu Keguruan Institut Agama
Islam Negeri Salatiga. Pembimbing: Dr. Miftahuddin, M.Ag.
Kata kunci: Postmodernisme, Konsep Pendidikan Islam, dan Nurcholish Madjid.
Penulisan skripsi ini merupakan sebuah upaya untuk mengupas lebih
dalam tentang sosok pemikir Muslim modernis, atau lebih tepatnya,
postmodernisme, yakni Nurcholish Madjid. Tujuan penelitian dalam skripsi ini
ada dua hal, yaitu: (1) Mengetahui konsep pemikiran postmodernisme pendidikan
Islam menurut Nurcholish Madjid; (2) Mengetahui relevansi postmodernisme
terhadap pendidikan Islam menurut Nurcholish Madjid.
Data penelitian untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut penulis
peroleh dari membaca artikel, jurnal, buku-buku karya Nurcholish Madjid, dan
buku-buku penunjang lainnya. Sehingga dapat dipastikan bahwa penelitian ini
termasuk penelitian library research.
Hasil dari penelitian dalam skripsi ini dapat diketahui bahwa Nurcholish
Madjid atau yang biasa dikenal sebagai Cak Nur adalah seseorang yang terkenal
dengan gerakan pembaharuan Islamnya di Indonesia. Adapun ide pokok
pemikirannya, antara lain: (1) Sekularisasi; (2) Desakralisasi; (3) Inklusifisme;
dan (4) Islam dan Ideologi. Sedangkan konsep postmodernisme pendidikan
Islamnya, yaitu: (1) Ketuhanan; (2) Kemanusiaan; dan (3) Keadilan. Relevansi
postmodernisme terhadap pendidikan Islam menurut Nurcholish Madjid bahwa
pendidikan Islam tersebut mengarahkan dalam pembentukan kepribadian yang
mencerminkan ajaran Islam. Kemudian secara logis kemampuan pribadi anak
didik yang telah tertanam dalam dirinya nilai-nilai ajaran agama akan melahirkan
konsekuensi yang mewujud dalam kehidupan sosial kemasyarakatan, sehingga
kemudian akan mewujudkan tatanan hidup masyarakat yang bernuansakan
ketuhanan yang penuh dengan kedamaian dan sikap kebersamaan terhadap
sesama.
xii
DAFTAR ISI
HALAMAN BERLOGO .............................................................................. i
HALAMAN JUDUL ..................................................................................... ii
HALAMAN PERSETUJUAN ..................................................................... iii
HALAMAN PENGESAHAN ....................................................................... iv
HALAMAN PERNYATAAN KEASLIAN TULISAN .............................. v
HALAMAN MOTTO ................................................................................... vi
KATA PERSEMBAHAN ............................................................................. vii
KATA PENGANTAR ................................................................................... viii
ABSTRAK ..................................................................................................... x
DAFTAR ISI .................................................................................................. xi
BAB. I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang ............................................................................ 1
B. Rumusan Masalah ....................................................................... 4
C. Tujuan Penelitian ........................................................................ 4
D. Manfaat Penelitian ...................................................................... 5
E. Telaah Pustaka ............................................................................ 6
F. Landasan Teori ............................................................................ 11
G. Metode Penelitian ....................................................................... 14
H. Sistematika Pembahasan ............................................................. 16
BAB. II. BIOGRAFI NURCHOLISH MADJID
A. Sejarah Kehidupan Nurcholish Madjid ....................................... 18
B. Pendidikan Nurcholish Madjid ................................................... 22
xii
C. Karya-Karya ................................................................................ 41
BAB. III. PENEGASAN ISTILAH
A. Definisi Postmodernisme ............................................................ 45
B. Sejarah Postmodernisme ............................................................. 55
C. Definisi Pendidikan Islam ........................................................... 59
BAB. IV. PEMBAHASAN
A. Ide Pokok Pemikiran Nurcholish Madjid ................................... 73
B. Konsep Pendidikan Islam Menurut Nurcholish Madjid ............. 77
C. Analisis Relevansi Postmodernisme terhadap Pendidikan
Islam Menurut Nurcholish Madjid .............................................. 80
BAB. V. PENUTUP
A. Kesimpulan ................................................................................. 83
B. Saran-Saran ................................................................................. 84
DAFTAR PUSTAKA
DAFTAR LAMPIRAN
Daftar Riwayat Hidup Penulis
Nota Pembimbing Skripsi
Lembar Konsultasi
SKK
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pendidikan merupakan suatu hal yang sangat penting dalam kehidupan ini.
Allah Swt. telah menciptakan manusia sebagai khalifah-Nya di dunia ini juga
tidak bisa lepas dari pendidikan. Karena pendidikanlah yang menjadi tolak ukur
dari keberhasilan atau tidaknya peran manusia dalam menjadi khalifah di dunia
ini. Allah telah menganugerahkan manusia berupa akal dan pikiran inilah yang
menjadikan pendidikan sebagai satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan dari
diri manusia. Karena adanya pendidikan juga dikarenakan adanya daya pikir oleh
akal manusia.
Pendidikan Islam merupakan wahana bagi para peserta didik yang
mengenyam pendidikan di bawah naungan pondok pesantren atau yang biasa
disebut sebagai santri untuk mengembangkan dan mengaktualisasikan dirinya
dalam kehidupan bermasyarakat. Hal tersebut merupakan proses transformasi
untuk mempersiapkan generasi muda yang mempunyai bekal ilmu pengetahuan.
Bekal ilmu pengetahuan tersebut berguna sebagai implementasi dalam menjalani
kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Dengan demikian, peran dan
fungsi pendidikan Islam adalah sebagai pencetak manusia menjadi makhluk yang
humanisme yaitu manusia yang dapat memanusiakan manusia lain.
Hal tersebut perlu ditelaah kembali mengingat proses pendidikan yang
cepat atau lambat dituntut untuk mengikuti perkembangan zaman. Karena
2
kehidupan yang ada akan terus berputar secara kontinu. Kemudian agar
pendidikan Islam dapat bersaing di tengah berkembangan zaman, tentu saja
pendidikan Islam harus sanggup menghadapi tantangan modernisasi ini saat ini.
Namun, kesadaran akan hal itu belum ada dalam benak pendidikan Islam.
Pembaharuan pemikiran pendidikan Islam yang selaras dan sesuai denga kondisi
zaman perlu ditelaah. Sehingga muncullah metode baru terhadap pendidikan
Islam dalam angka untuk mempertahankan dan memperjuangkan nilai-nilai ajaran
Islam di era modernis ini.
Pendidikan Islam mempunyai peran, fungsi, dan tujuan membentuk
manusia yang berkembang menjadi manusia yang sempurna, yaitu manusia yang
mampu menyeimbangkan kemampuan intelektual, emosional, dan spiritual.
Dalam konteks inilah, kiranya umat Islam harus selalu berupaya menggali dasar-
dasar dalam doktrin Islam (Al-Qur‟an dan Sunnah) sebagai landasan memecahkan
setiap dilema historis-empiris yang terjadi. Dengan cara pembaharuan, atau lebih
konkritnya upaya interpretasi teks-teks kitab suci, akan menjadikan Islam selalu
sesuai selera zaman dan tidak usang tertutupi perkembangannya.
Memperbincangkan gerakan pembaharuan Islam di Indonesia tidak bisa
dilepaskan dari sosok Nurcholish Madjid (Cak Nur) karena ia adalah tokoh
sekaligus pemain utamanya. Dalam pandangan Cak Nur, yang akan penulis bahas
lebih jauh dalam penelitian ini, bahwa pembaharuan harus dimulai dari dua hal
yang saling erat hubungannya, yaitu melepaskan diri dari nilai-nilai tradisional,
dan mencari nilai-nilai yang berorientasi ke masa depan. Dorongan melakukan
pembaruan inilah menurut Cak Nur, bahwa kaum muslim Indonesia sekarang ini
3
telah mengalami kejumudan kembali dalam pemikiran dan pengembangan ajaran-
ajaran Islam, dan kehilangan kekuatan psikologis perjuangannya.
Nurcholish Madjid adalah sosok pemikir Islam yang mempunyai pengaruh
kuat dan luas dalam sejarah intelektualisme di Indonesia. Pemikirannya membawa
dampak yang amat luas dalam kehidupan keagamaan umat Islam. Dalam
pendidikan Islam ada sebuah wacana untuk mencari formulasi ideal seiring
perkembangan IPTEK, metodologi dan permasalahan sosial-budaya yang perlu
mendapat pencerahan dari dunia pendidikan Islam khususnya. Konsep ini tentu
akan menjumpai hambatan-hambatan karena peristilahan pendidikan Islam yang
masih umum. Adanya tarik menarik antara aspek filsafat dan teologi yang sulit
dilepaskan dari Pendidikan Islam. Dimensi filsafat mungkin koheren dengan nilai-
nilai Islam, sedangkan teologi lebih bersifat ekslusif, hanya menjustifikasikan hal-
hal yang tekstual bersumber dari Al-Qur‟an dan Hadits (Widodo, 2007: 25).
Secara umum dasar filsafat membawa konsekuensi bahwa rumusan pendidikan
Islam harus beranjak dari ontologi, epistemologi, dan aksiologi yang digali dari
pemikiran manusia muslim dan sepenuhnya tidak bertentangan dengan nilai-nilai
asasi ajaran Islam (Nizar, 2002: 58).
Tak sulit disepakati bahwa Nurcholish Madjid adalah seorang pemikir-
Muslim modernis atau lebih tepatnya, postmodernisme, menggunakan
peristilahannya yang sering ia sendiri lontarkan. Maka, melanjutkan para
perambah modernisme (klasik) di masa-masa lampau, Nurcholish Madjid
berpendapat bahwa Islam harus dilibatkan dalam pergulatan-pergulatan
modernistik. Namun, berbeda dengan para pendahulunya, kesemuanya itu tetap
4
harus didasarkan atas kekayaan khazanah pemikiran keislaman tradisional yang
telah mapan.
Dengan latar belakang yang telah dipaparkan di atas, maka penulis
berkonsentrasi dalam penelitian ini dengan judul “Postmodernisme dalam
Pendidikan Islam Perspektif Nurcholish Madjid”.
B. Rumusan Masalah
Dalam penelitian ini, penulis fokus pada beberapa pokok pembahasan, di
antaranya:
1. Apa ide pokok pemikiran Nurcholish Madjid?
2. Bagaimana konsep pemikiran postmodernisme pendidikan Islam menurut
Nurcholish Madjid?
3. Bagaimana relevansi postmodernisme terhadap pendidikan Islam menurut
Nurcholish Madjid?
C. Tujuan Penelitian
Berdasarkan dari rumusan masalah di atas, maka penulis dalam penulisan
penelitian ini mempunyai beberapa tujuan, di antaranya:
1. Untuk mengetahui apa ide pokok pemikiran Nurcholish Madjid.
2. Untuk mengetahui bagaimana konsep pemikiran pendidikan Islam
menurut Nurcholish Madjid.
3. Untuk mengetahui Bagaimana relevansi postmodernisme dengan
pendidikan Islam menurut Nurcholish Madjid.
5
D. Manfaat Penelitian
Selanjutnya penelitian ini diharapkan mempunyai manfaat yang bersifat
teoritis maupun praktis, manfaat penelitian ini adalah:
1. Manfaat Teoritis
a. Penelitian ini merupakan sumbangsih khasanah keilmuan pendidikan
Indonesia secara umum dan pendidikan Islam.
b. Sebagai referensi yang dapat dimanfaatkan oleh peneliti lain yang tertarik
meneliti suatu konsep pendidikan Islam.
c. Bagi Fakultas Tarbiyah dan Ilmu Keguruan secara umum, penelitian ini
diharapkan dapat memberikan tambahan informasi dan tambahan koleksi
kepustakaan.
2. Manfaat Praktis
Segala perbuatan yang dilakukan diharapkan mengandung menafaat
baik bagi dirinya maupun bagi orang lain. Oleh sebab itu, berdasarkan tujuan
penelitian yang dilakukan penulis, maka penelitian ini diharapkan mempunyai
manfaat, sebagai berikut:
a. Manfaat bagi Institut Agama Islam Negeri Salatiga. Sebagai bahan
dokumentasi bagi pengembangan konsep pendidikan Islam, dan menjadi
masukan untuk lembaga agar mempunyai pandangan yang luas terhadap
ilmu pengetahuan.
b. Manfaat bagi pengembangan ilmu pengetahuan
Sebagai sarana yang bisa dibaca dan bisa menjadi sumber rujukan untuk
memperoleh informasi yang terkait dengan konsep pendidikan Islam
6
tokoh pembaharuan Islam. Sehingga dapat mengembangkan ilmu
pengetahuan yang sudah ada sebelumnya.
c. Manfaat bagi peneliti
Menambah wawasan keilmuan tentang konsep pendidikan Islam tokoh
pembaharuan Islam, sehingga mampu menerapkan dalam kehidupan
sehari-hari.
E. Telaah Pustaka
Kajian tentang postmodernisme pendidikan Islam memang bukan yang
pertama kali dilakukan oleh para penulis, terutama penelitian jurnal maupun
skripsi. Sejauh penelusuran yang dilakukan, penulis menjumpai hasil penelitian
yang memiliki titik singgung dengan judul yang diangkat dalam penelitian skripsi
ini, berikut beberapa literatur yang menjadi acuan pustaka sebagai komparasi akan
keontetikan penelitian ini:
Penelitian yang berkaitan dengan postmodernisme pendidikan Islam,
penulis merujuk penelitian jurnal yang ditulis oleh Mukalam pada Intertextual
Studies for Civilization (ISC) Yogyakarta pada tahun 2013 yang berjudul
“Postmodernisme dan Filsafat Pendidikan Islam”. Pada penelitian ini dikupas
mengenai perspektif menarik dari logika postmodernisme bila ditarik ke dalam
logika filsafat pendidikan Islam. Dengan logika postmodernisme, filsafat
pendidikan Islam akan menjadi ruang untuk mendiskusikan kembali konsep-
konsep lama seperti pengetahuan, manusia, dan sejarah di dalam sinaran konsep
relasi pengetahuan dan kekuasaan, multi-identitas dan instabilitas subyek,
7
lokalotas pengetahuan dan sebagainya. Ide-ide postmodernisme mungkin terasa
mencemaskan, terkesan menihilkan segala sesuatu, meragukan semua konsep dan
merelatifkan semua pandangan. Namun satu hal perlu dicatat, gal tersebut bukan
satu alasan untuk cepat-cepat menolak dan meninggalkannya (Mukalam, 2013:
288). Skripsi penulis memiliki persamaan dengan penelitian yang dilakukan oleh
saudara Mukalam yakni sama-sama membahas tentang postmodernisme dengan
pendidikan Islam. Namun ada pula yang membedakannya yakni terletak pada
subjek penelitian penulis adalah perspektif Nurkholish Madjid, sedangkan pada
jurnal saudara Mukalam tidak terdapat fokus subjeknya.
Kajian yang kedua penulis merujuk pada skripsi Khusnul Itsariyati,
Mahasiswi jurusan Kependidikan Islam Fakultas Tarbiyah dan Keguruan UIN
Sunan Kalijaga Yogyakarta pada tahun 2010 yang berjudul “Konsep
Pembaharuan Pendidikan Islam Nurcholis Madjid (Tinjauan Filosofis dan
Metodologis)”. Hasil dari penelitian ini dapat disimpulkan bahwa pembaharuan
pendidikan Islam menurut Nurcholis Madjid yaitu pendidikan yang menuju pada
progressivisme dan dinamika, dengan pemahaman agama menjadi dasar
pemikiran Nurcholis Madjid yaitu dengan rasionalisasi yang diikuti dengan
pandangan sikap terbuka dan berpikir kritis terhadap segala hal, maka
pembaharuan pendidikan Islam Nurcholis Madjid perlu dimulai dengan
dihapusnya garis pemisah antara pendidikan umum dan pendidikan agama,
sehingga tidak ada dikotomi, dari keterpaduan itu diharapkan dapat menjadi pintu
gerbang pendidikan Islam pada masa yang akan datang. Sehingga pendidikan
Islam akan dapat mengikuti perkembangan zaman (Itsariyati, 2010). Skripsi
8
penulis memiliki persamaan dengan penelitian yang dilakukan oleh saudari
Khusnul Itsariyati yakni sama-sama membahas tentang pendidikan Islam menurut
Nurcholis Madjid. Metode yang digunakan juga sama yakni dengan menggunakan
metode literatur. Namun yang membedakannya terletak pada konsep pendidikan
Nurcholis Madjid yang menuju progessivisme dan dinamika. Sedangkan pada
penelitian penulis, konsep pendidikan Nurcholis Madjid dalam postmodernisme.
Kajian ketiga, penulis merujuk pada skripsi saudara Ahmad Nadhif,
Mahasiswa Jurusan Kependidikan Islam Fakultas Tarbiyah dan Keguruan UIN
Sunan Kalijaga pada tahun 2012 yang berjudul “Prinsip-Prinsip Postmodern dan
Relevansinya dengan Pendidikan Islam”. Hasil dari penelitian ini dapat
disimpulkan bahwa konseptual pendidikan Islam dapat diinkorporasikan dengan
prinsip-prinsip postmodern.
1. Konseptual pendidikan islam yang terkesan normatif dan etis harus
didekonstruksi dengan pengkajian kritis dan inklusif, karena jika pendidikan
Islam masih menggunakan konseptual serupa maka pendidikan akan
menjadi penjara yang bertopeng keagamaan.
2. Ragam epistemologi yang terdapat dalam keilmuan pendidikan Islam dapat
dipadukan dengan konsep integrasi-interkoneksi, karena disadari bahwa
masing epistemologis mempunyai bahasa tersendiri.
3. Konseptual pendidikan Islam yang normatif-etis, bisa jadi atas dasar
romantisme sejarah yang pernah dimiliki oleh Islam. Oleh karena itu,
sejarah harus dikaji secara kritis dan reflektif (Nadhif, 2012).
9
Skripsi penulis memiliki persamaan dengan penelitian yang dilakukan oleh
saudara Ahmad Nadhif yakni sama-sama membahasa tentang hubungannya
postmodernisme dengan pendidikan Islam. Namun yang membedakan adalah
penelitian dari saudara Ahmad Nadhif lebih membicarakan prinsip-prinsip
postmodernisme, sedangkan penelitian penulis yakni tentang pandangan
Nurcholis Madjid tentang postmodernisme pendidikan Islam.
Kajian keempat, penulis merujuk pada jurnal Achmad Reyadi AR,
mahasiswa pascasarjana IAIN Sunan Ampel pada tahun 2011 yang berjudul
“Postmodernisme; Perspektif Ajaran Islam dan Implikasinya Terhadap
Pendidikan Islam”. Pada penelitian ini akan dikupas mengenai eksistensi
postmodernisme sebagai sebuah aliran pemikiran yang mengkritisi terhadap
modernisme. Munculnya postmodernisme membawa harapan baru sekaligus
menjadi tantangan bagi pendidikan Islam. Harapan bagi pendidikan Islam adalah
bahwa di era postmodern akan terjadi kesemarakan kehidupan keagamaan. Akibat
pengaruh kehidupan masa kini yang penuh dengan suasana kesibukan dengan
memunculkan situasi kompetitif, pengejaran prestasi secara progresif
menyebabkan manusia menjadi letih (Reyadi AR, 2011: 82). Jurnal penulis
memiliki persamaan dengan penelitian yang dilakukan oleh saudara Achmad
Reyadi AR yakni sama-sama membahas tentang postmodernisme dengan
pendidikan Islam. Namun ada pula yang membedakannya yakni relevansi
postmodernisme dengan pendidikan Islam, sedangkan jurnal milik saudara
Achmad Reyadi AR lebih terfokus pada implikasi postmodernisme terhadap
pendidikan Islam.
10
Kajian kelima, penulis merujuk pada skripsi Moh. Zainal Muhtar,
mahasiswa jurusan Kependidikan Islam Fakultas Tarbiyah dan Keguruan UIN
Sunan Kalijaga Yogyakarta pada tahun 2015 yang berjudul “Aktualisasi
Pendidikan Agama Islam di Era Postmodernisme dan Relevansinya dengan
Tujuan Pendidikan Islam (Telaah Buku Pendidikan Agama Islam dan Budi
Pekerti SMA Kelas X Kurikulum 2013)”. Hasil dari penelitian ini dapat
disimpulkan bahwa:
1. Postmodernisme muncul memberikan koreksi-koreksi sistematis terhadap
era modern. Postmodern menawarkan alternatif lain yang selama ini sering
diabaikan oleh manusia, yakni nilai-nilai sosial, adat istiadat, dan nilai-nilai
keagamaan.
2. Sebagai sebuah pemikiran, postmodern memberikan kritik dan menolak atas
segala bentuk ketunggalan, fondasional, linier, otoriter, dan universalisme
yang menjadi postulat kebenaran modenisme.
3. Aktualisasi Pendidikan Agama Islam di sekolah menjadi suatu hal mutlak
dilakukan sebagai salah satu upaya penyegaran dan pembaharuan nilai-nilai
Islam dan kehidupan peserta didik dewasa ini dengan berbagai macam
tantangan kehidupan, baik sosial, ekonomi, budaya, politik, dan sebagainya.
4. Pendidikan Agama Islam dalam kurikulum 2013 saat ini, menunjukkan
bahwa tidak lagi menekankan pada aspek kognitif (pengetahuan) semata,
melainkan juga telah menekankan pada aspek afektif (pembentukan sikap)
dan psikomotorik (tingkah laku) pada peserta didik, sehingga pada ranah
konkritnya, peserta didik tidak hanya dituntut untuk sekedar mengetahui
11
tentang ajaran Islam, melainkan juga meyakini dan menghayati serta
mempraktikkan ajaran Islam tesebut dalam kehidupan sehari-hari (Muhtar,
2015: 160-161).
Skripsi penulis memiliki persamaan dengan penelitian yang dilakukan oleh
saudara postmodernisme dengan pendidikan. Namun yang membedakan adalah
penelitian dari saudara Moh. Zainal Muhtar lebih membicarakan relevansi
postmodernisme dengan tujuan pendidikan Islam bagi peserta didik, sedangkan
penulis lebih fokus dalam relevansi postmodernisme dengan pendidikan Islam itu
sendiri.
F. Landasan Teori
Untuk mendapatkan pemahaman yang jelas dalam skripsi ini, perlu penulis
batasi ruang ligkup istilah yang berkaitan dengan skripsi ini. Terutama yang
berkaitan dengan istilah konsep, relevansi, postmodernisme, pendidikan Islam,
dan Nurcholish Madjid.
1. Konsep
Konsep adalah rancangan atau ide yang diabstrakkan dari peristiwa
konkrit, gambaran, mental dari objek, proses ataupun yang dari luar bahasa
yang digunakan akal budi untuk memahami hal-hal lain (KBBI, 2005: 588).
Dalam bahasa Inggris, konsep ditulis concept, yang berarti pokok pertama yang
mendasari keseluruhan pemikiran atau concept is a general nation or idea od
something formed by mentally combining all characteristic or particulars,
artinya konsep adalah suatu paham atau ide umum, yaitu pemikiran tentang
12
sesuatu yang terbentuk secara mental yang menggabungkan seluruh
karakteristik dan kekhususan.
2. Relevansi
Relevansi adalah hubungan, keterkaitan, kesesuaian (KBBI, 1989:
377). Sesuatu adalah relevan dengan tugas jika kemungkinan dapat
meningkatkan dan mencapai tujuan. Sebuah hal yang mungkin relevan,
dokumen atau sepotong informasi mungkin relevan. Pemahaman dasar
relevansi tidak tergantung pada apakah kita berbicara tentang sesuatu atau
informasi (www.wikipedia.org). jadi menurut pemahaman ini, relevansi
mempunyai keterkaitan atau kesesuaian antara dua premis yang berbeda.
3. Postmodernisme
Menurut Bambang Sugiharto (Sugiharto, 2016: 30), terdapat tiga
konsepsi tentang postmodern yang dapat digolongkan sebagai berikut. Pertama,
pemikiran yang hendak merevisi kemodernan dan cenderung kembali ke pra-
modern. Corak pemikiran yang mistiko-mitis dan semboyan khas pemikiran ini
adalah holisme. Kedua, pemikiran yang erat pada dunia sastra dan banyak pada
persoalan linguistik. Kata kunci yang populer adalah dekonstruksi, yaitu
kecenderungan untuk mengatasi gambaran-gambaran dunia modern melalui
gagasan anti gambaran dunia sama sekali. Semangat membongkar segala
unsuur yang penting dalam sebuah gambaran dunia, seperti diri, tuhan, tujuan,
dunia nyata dan lain-lain. Tokoh yang berperan dalam teori-teori tersebut
adalah J.F. Lyotard, M. Foucauld, Jean Baudrillard, Jacques Derrida. Ketiga,
pemikiran yang hendak merevisi modernisme, tidak dengan menolak
13
modernisme secara total, namun dengan memperbaharuinya premis-premis
modern di sana-sini saja. Singkat kata, kritik terhadap imanen terhadap
modernisme dalam rangka mengatasi berbagai konsekuensi negatifnya.
A.Toynbee menjelaskan bahwa sejarah baru telah dimulai sejak
berakhirnya dominasi barat, yaitu pada tahun 1875, yang ditandai surutnya
individualisme, kapitalisme, dan kristianitas, serta bangkitnya kekuatan non-
Barat (Sugiharto, 2016: 21). Kecenderungan ini juga ditandai oleh zaman yang
terkomputasi dan ambiguitasnya semua klaim kebenaran yang dihasilkan oleh
rasional-empirik memunculkan beragam gerakan untuk mencari alternatif baru
dalam peradaban.
4. Pendidikan Islam
Pendidikan Islam adalah pendidikan yang sarat dengan nilai-nilai
ajaran agama Islam. Pendidikan Islam secara bahasa berasal dari kosa kata
Arab, yaitu Rabba-Yurobbi, yang mempunyai arti mendidik, merawat,
melindungi, mengajari, dan lain sebagainya. Namun, dalam perkembangannya,
kosa kata tersebut mempunyai tiga makna yang berbeda, yaitu tarbiyah, ta‟lim,
dan ta‟dzib, dan mempunyai konsepsi yang berbeda pula. Oelh karena itu,
pemaknaan ketiga kosa kata tersebut dapat dijadikan acuan prinsip dalam
pendidikan islam, emskipun dalam tataran teoritis maupun praktis masih
sebagai pendidikan yang bersifat normatif dan teologis.
5. Nurcholish Madjid
urcholish Madjid dilahirkan di sudut kampung kecil di Desa
Mojoanyar, Jombang, Jawa Timur. Ia lahir pada tanggal 17 Maret 1939, dari
14
kalangan keluarga pesantren. Ayahnya bernama H. Abdul Madjid, seorang
alim jebolan Pesantren Tebuireng, dan murid kesayangan Hadratus Syekh K.H.
Hasyim Asy‟ari, Ra‟is Akbar dan pendiri NU.
Aktif dalam gerakan kemahasiswaan. Ketua Umum PB HMI, 1966-1969
dan 1969-1971; Presiden (pertama) PEMIAT (Persatuan Mahasiswa Islam Asia
Tenggara), 1967-1969; Wakil Sekjen IIFO (International Islamic Federation of
Students Organizations), 1969-1971 (Barton, 1999: 75).
G. Metode Penelitian
Dalam penulisan skripsi ini, penulis menggunakan beberapa metode, di
antaranya:
1. Sumber Data
Sumber data yang diperoleh dari buku-buku yang berhubungan langsung
dengan topik pembahasan. Sumber data di bagi menjadi dua, yaitu:
a. Sumber data primer, yaitu data yang diambil dari sumber utamanya. Di
sini penulis cantumkan beberapa sumber primernya, antara lain:
1) Madjid, Nurcholish. 1987. Islam Kemodernan dan Keindonesiaan.
Bandung: Mizan.
2) Madjid, Nurcholish. 1992. Islam, Doktrin, dan Peradaban; Sebuah
Telaah Kritis tentang Masalah Keimanan, Kemanusiaan, dan
Kemodernan. Jakarta: Yayasan Wakaf Paramadina.
3) Madjid, Nurcholish. 1997. Bilik-Bilik Pesantren. Jakarta: Paramadina.
15
4) Madjid, Nurcholish. 2007. Khazanah Intelektual Islam. Jakarta: PT.
Bulan Bintang.
b. Sumber data sekunder, yaitu sumber data yang diambil dari sumber data
kedua. Yang berfungsi untuk penguat dari sumber data yang utama.
Antara lain:
1) Aziz, Ahmad Amir. 1999. Neo-Modernisme Islam di Indonesia;
Gagasan Sentral Nurcholish Madjid dan Abdurrahman Wahid.
Jakarta: PT. Rineka Cipta.
2) Soyomukti, Nurani. 2016. Teori-Teori Pendidikan dari Tradisional,
(Neo) Liberal, Marxis-Sosiolis, Hingga Postmodern. Yogyakarta: Ar-
Ruz Media.
3) Vattimo, Gianni. 2016. Akhir Modernitas; Nihilisme dan
Hermeneutika dalam Budaya Postmodern. Yogyakarta: Nusantara
Press.
4) Yasmadi. 2002. Modernisasi Pesantren, Kritik Nurcholish Madjid
terhadap Pendidikan Islam Tradisional. Jakarta: Ciputat Press.
5) Dll.
2. Pengumpulan Data
Dalam penulisan skripsi ini penulis mengumpulkan data dengan
membaca buku-buku, karya ilmiah, jurnal, dan artikel yang berkaitan
dengan pembahasan Nurcholish Madjid, kemudian hasil membaca tersebut
diolah menjadi pembahasan yang mudah dipahami.
16
3. Analisis Data
Penulisan skripsi ini termasuk penelitian library research. Yaitu
penelitian yang objek utamanya adalah buku-buku dan literatur lainnya.
Teknik penelitian yang menekankan sumber informasi pada bahan
kepustakaan, baik berupa buku, jurnal, majalah, surat kabar, dan lain
sebagainya, yang sesuai dengan obyek pembahasan penelitian (Sugiyono,
2006: 3).
H. Sistematika Pembahasan
Guna memperoleh gambaran yang jelas, dan mudah dalam memahami isi
pembahasan dari skripsi ini, maka penulis menyusun sistematika penulisan
sebagai berikut:
BAB I Pendahuluan; latar belakang masalah, rumusan masalah,
tujuan penelitian, manfaat penelitian, telaah pustaka,
kerangka teori, metode penelitian, dan sistematika
pembahasan.
BAB II Berisi tentang biografi Nurcholish Madjid.
BAB III Berisi pembahasan tentang definisi dan peristilahan
postmodernisme, gambaran atau sejarah kemunculan
postmodernisme, dan definisi pendidikan Islam.
BAB IV Berisi ide pokok pemikiran Nurcholish Madjid, konsep
postmodernisme dalam pendidikan Islam menurut Nurcholish
17
Madjid, dan analisis relevansi postmodernisme terhadap
pendidikan Islam menurut Nurcholish Madjid.
BAB V Berisi kesimpulan dan saran.
18
BAB II
BIOGRAFI
A. Sejarah Kehidupan Nurcholish Madjid
Nama pertama yang diberikan pasangan H. Abdul Madjid dan Hj.
Fathonah kepada putra sulungnya adalah Abdul Malik, yang berarti “hamba
Allah” (Malik merupakan nama sebutan untuk Allah dalam deretan ketiga Asmaul
Husna, nama-nama Allah yang Indah) (Gaus AF, 2010: 1). Abdul malik lahir di
Mojoanyar Jombang pada tanggal 17 Maret 1939 yaitu bertepatan dengan tanggal
26 Muharram 1358. Ayah Abdul Malik adalah seorang ayah yang rajin dan ulet
dalam mendidik putranya dia adalah seorang figur ayah yang alim. Dia
merupakan Kiai alim alumni pesantren Tebuireng dan termasuk dalam keluarga
besar Nahdlatul Ulama (NU), yang secara personal memiliki hubungan khusus
dengan K.H Hasyim Asy‟ari, salah seorang founding father Nahdlatul Ulama. H.
Abdul Madjid inilah yang menanamkan nilai-nilai keagamaan kepada Abdul
Malik semenjak dirinya masih berusia 6 tahun (Barton, 1999: 74).
Perubahan nama menjadi Nurcholish Madjid terjadi pada usia 6 tahun
karena Abdul Malik kecil sering sakit-sakitan. Dalam tradisi Jawa, anak yang
sering menderita sakit dianggap “kabotan jeneng” (keberatan nama), dan karena
itu perlu ganti nama. Alasan lain perubahan nama itu adalah keinginan dari Abdul
Malik sendiri. Sewaktu mulai diajari mengaji oleh ibunya, dan membaca surat al-
Fatihah, ia selalu minta agar kata „maliki‟ (yawmiddin) dalam surat itu diloncati
saja: “Mak, nggak atik maliki-maliki mak!” (Mak, tidak usah pakai „maliki-
19
maliki‟ Mak). Pemberian nama Nurcholish sendiri tidak terlalu jelas asal-
muasalnya, kecuali bahwa nama itu dari kata Arab, nur berarti “cahaya” dan
cholish berarti “murni” atau “bersih”. Sementara itu nama belakangnya, Madjid,
diambil dari nama belakang sang ayah. Nurcholish Madjid populer dipanggil
dengan sebutan Cak Nur (Cahyo, 2014: 210).
Nurcholish lahir di lingkungan keluarga pesantren. Ayahnya, H. Abdul
Madjid, adalah santri dari tokoh pendiri NU (Nahdlatul Ulama), Hadratusy Syaikh
Hasyim Asy‟ari di Pesantren Tebu Ireng, Jombang. Lebih dari sekadar santri,
Abdul Madjid adalah santri yang sangat dipercaya oleh Kiai Hasyim lantaran
prestasi belajarnya, terutama di bidang tata bahasa Arab (nahwu-sharaf) dan ilmu
hisab atau ilmu hitung. Ketika menjadi santri Tebu Ireng, Kiai Hasyim
memberinya nama Muhammad Thahir. Nama Abdul Madjid digunakan setelah
pulang menunaikan ibadah haji pada 1927. Hubungan keduanya memang seperti
anak dan bapak. Abdul Madjid, misalnya, kerap diminta oleh Kiai Hasyim untuk
mengambilkan uang dari kantung jas di kamar sang Kiai. Ini hal yang tidak biasa,
terutama bagi orang Jawa, dan hanya bisa terjadi karena kedekatan pribadi. Di lain
waktu, Abdul Madjid juga sering terlihat sedang memijat tubuh sang Kiai.
Karena kedekatan itu pula, Kiai Hasyim menjodohkan Abdul Madjid
dengan cucunya sendiri, Halimah. Ikatan perkawinan itu berlangsung selama dua
belas tahun, namun tidak dikaruniai anak. Akhirnya mereka berpisah. Kiai
Hasyim lalu menjodohkan Abdul Madjid dengan Fathonanh, putri Kiai Abdullah
Sajad, pendiri Pesantren Gringging, Kediri, Jawa Timur. Fathonah adalah adik
20
dari Imam Bahri, santri Kiai Hasyim di Pesantren Tebu Ireng. Melalui Imam
Bahri inilah Kiai Hasyim mengatur perjodohan Abdul Madjid dan Fathonah.
Menginjak tahun kedua pernikahan Abdul Madjid dan Fathonah, lahirlah
Nurcholish. Belum genap berusia dua tahun Nurcholish memiliki adik perempuan
yang bernama Radliyah atau Mukhlishah. Setelah itu menyusul adik
perempuannya yang lain yang bernama Qoni‟ah (meninggal pada usia 15 tahun
akibat penyakit malaria tropika), kemudian berturut-turut lahir Saifullah Madjid
dan Muhammad Adnan. Seperti halnya Nurcholish, kedua adik laki-lakinya ini
juga disekolahkan di pesantren Gontor. Hanya saja, berbeda dengan Nurcholish
yang menapaki jalur keilmuwan, atau Mukhlishah yang menjadi guru, Saifullah
Madjid dan Muhammad Adnan memilih jalur bisnis setelah lulus kuliah (Gaus
AF, 2010: 2-3).
Meski terdidik secara santri, keluarga H.Abdul Madjid tidak tinggal di
lingkungan pesantren. Ketika Nurcholish lahir di Mojoanyar, Kecamatan Bareng,
Kabupaten Jombang, kawasan ini masih didominasi kaum abangan (kaum muslim
yang tidak menjalankan syariat Islam). Pada 1946, H. Abdul Madjid mendirikan
Madrasah Diniyah al-Wathaniyah sekolah Islam pertama di desa ini. al-
Wathaniyah secara harfiah berarti “patriotisme”, karena didirikan pada masa
revolusi. Madrasah inilah yang mengawali terbentuknya tradisi pendidikan Islam
di Kecamatan Bareng.
Di daerah-daerah lain di Jombang, tradisi pendidikan Islam saat itu telah
tumbuh subur dengan adanya empat pesantren besar: Pesantren Bahrul Ulum di
Tambak Beras, Kecamatan Jombang (didirikan pada 1838), Pesantren Darul Ulum
21
di Rejoso, Kecamatan Peterongan (didirikan pada 1885), Pesantren Tebu Ireng,
Kecamatan Diwek (didirikan pada 1899), Pesantren Mambaul Maarif di
Denanyar, Kecamatan Jombang (didirikan pada 1917). Keterlambatan wilayah
Bareng dalam mengadopsi sistem pendidikan Islam disebabkan oleh kenyataan
bahwa kultur keislaman di wilayah ini dan tidak terlalu dominan. Kendatipun
Islam dipeluk oleh mayoritas penduduk Bareng, namun sebagian besar mereka
adalah abangan. Selain itu, agama-agama Kristen, Hindu, Buddha, dan secara
lebih luas, Jombang, dengan latar belakang sejarah yang panjang, yaitu
kolonialisme (Kristen), kerajaan Majapahit (Hindu-Buddha), dan gelombang
kedatangan orang-orang dari daratan China pada abad ke-16 (Konghucu) (Gaus
AF, 2010: 7).
Nurcholish kecil adalah pribadi pendiam. Jika tidak sedang berhasrat
untuk bermain, ia duduk di bawah pohon dan mengeluarkan secarik kertas
berisikan catatan pelajaran. Ketika teman-temannya satu persatu
mengerubunginya, ia menciptakan suasana belajar dengan menanyakan kepada
mereka satu orang satu pertanyaan, dan membetulkannya jika ada yang salah.
Setelah itu mereka berlarian ke tepi sungai untuk menabur dedak di sekitar wuwu
(alat penjaring ikan yang terbuat dari bambu). Esok harinya, sehabis subuh,
mereka kembali ke tepi sungai untuk mengangkut ikan yang tersangkut pada
wuwu (Gaus AF, 2010: 9).
22
B. Pendidikan Nurcholish Madjid
1. Madrasah Al-Wathoniyah dan Sekolah Rakyat (SR) Mojoanyar
Jombang
Pendidikan awal Nurcholish Madjid dimulai tahun 1952 yaitu pada
madrasah diniyah milik keluarga. Nurcholish Madjid masuk juga pada sekolah
rakyat (SR) di kampungnya. Dalam mempersepsikan tatanan pendidikan yang
diberikan oleh ayahnya, Nurcholish Madjid mencatat:
Meskipun pendidikan resmi Abdul Madjid hanya tamatan Sekolah
Rakyat (SR), tetapi ia memiliki pengetahuan yang luas. Fasih dalam bahasa
Arab dan mengakar dalam tradisi pesantren. Abdul Madjid sering dipanggil
“kiai haji”, sebagai penghormatan atas ketinggian ilmu keislaman yang
dimilikinya, walaupun ia sendiri secara pribadi tidak pernah menyebut diri
sebagai kiai dan tidak pernah secara resmi bergabung dengan kalangan ulama.
Dan meskipun ia tetap menyebut diri sebagai orang biasa, namun hal itu
tidaklah membendung keinginannya untuk mendirikan sebuah madrasah.
Bahkan ia menjadi pengelola utama pada pembangunan madrasah yang ia
kelola sendiri dan juga yang paling berperan dalam membesarkan madrasah
al-Wathoniyah di Mojoanyar Jombang.
Penanaman nilai-nilai keagamaan yang ditanamkan oleh H. Abdul
Madjid kepada Nurcholish Madjid, bukan saja melalui penanaman aqidah,
moral, etika, atau pun dengan pembelajaran membaca al-Qur‟an saja, akan
tetapi juga dengan arah pendidikan formal bagi Nurcholish Madjid.
Pendidikan dasar yang ditempuhnya pada dua sekolah tingkat dasar, yaitu di
23
Madrasah al-Wathoniyah dikelola oleh ayahnya sendiri dan di Sekolah Rakyat
(SR) di Mojoanyar, Jombang (Barton, 1999: 72).
Madrasah al-Wathaniyah didirikan oleh H. Abdul Madjid untuk
mengimbangi pendidikan sekuler (Sekolah Rakyat/SR). Ketiadaan lembaga
pendidikan agama menjadi alasan anak-anak muda di sini mewarisi kebiasaan
mabuk dan berjudi. H. Abdul Madjid mengambil tanggung jawab pendidikan
anak-anak Islam ke pundaknya. Mula-mula, pendidikan agama dilakukan
secara semiformal di dalam mushola yang masih berupa papan dan anyaman
bambu. Baru pada 1947 ia mendirikan bangunan al-Wathaniyah di atas lahan
kosong miliknya, di bawah naungan Yayasan Wakaf Umat Sejahtera yang
juga ia didirikan bersama Kiai Abdul Mukti.
Madrasah al-Wathaniyah pada awalnya merupakan sekolah pelengkap
untuk membekali anak-anak dengan pendidikan agama yang memadai, yang
tidak didapat di SR. untuk tujuan itu, Nurcholish Madjid mengenyam
pendidikan rangkap. Pagi hari ia sekolah di SR, dan sore harinya belajar di
Madrasah al-Wathaniyah. Guru-guru di SR semuanya beragama Kristen.
Karena itu salah seorang pamannya pernah melarang Nurcholish belajar di SR.
tetapi itu tidak memberikan solusi. Arus pendidikan sekular berusaha
diimbangi dengan mendirikan al-Wathaniyah, tanpa berusaha untuk
menyainginya (Gaus AF, 2010: 7).
Atas pertimbangan itu, H. Abdul Madjid tetap membiarkan Nurcholish
belajar di SR. bagaimanapun, ia menganggap pengetahuan umum tetap
penting. Ia juga tidak melihat anaknya kesulitan menerima pelajaran pagi dan
24
sore hari. Ini terlihat dari nilai-nilainya yang rata-rata baik, terutama ilmu
hitung dari nilai-nilainya yang rata-rata baik, terutama ilmu hitung atau aljabar
yang selalu mendapat nilai tinggi. Pada saat yang sama, Nurcholish juga
mampu dengan mudah menguasai pelajaran di madrasah seperti tata bahasa
Arab (nahwu-sharaf). Di SR Nurcholish diajari ilmu bumi, dan ia mampu
menggambar peta Jawa Timur lengkap dengan letak kota-kotanya tanpa
melihat atlas. Dan pada saat yang sama, ia juga tidak kesulitan menghapal
beberapa kitab berbahasa Arab seperti „Aqidah al-„Awwam dan „Imriti (Gaus
AF, 2010: 8).
Pemikiran Nurcholish Madjid yang sedemikian rupa tentu tidak lepas
dari pengaruh lingkungan rumah dan eksistensi keluarga serta pengaruh
terbesarnya terletak pada asuhan yang diberikan oleh sang ayah. Jadi, sejak
tingkat dasar, Nurcholish Madjid telah mengenal dua model pendidikan.
Pertama, pendidikan dengan pola madrasah, yang sarat dengan penggunaan
kitab kuning sebagai bahan rujukannya. Kedua, Nurcholish Madjid juga
memperoleh pendidikan umum secara memadai, sekaligus berkenalan dengan
metode pengajaran modern. Pada masa pendidikan dasar ini, khususnya di
Madrasah Wathoniyah, Nurcolish Madjid sudah menampakkan kecerdasannya
dengan berkali-kali menerima penghargaan atas prestasinya (Nadroh, 1999:
21).
2. Pondok Pesantren Darul „Ulum Rejoso Jombang
Selepas menamatkan pendidikan dasarnya di Sekolah Rakyat (SR) dan
Madrasah Ibtidaiyah (MI), Nurcholish Madjid melanjutkan pendidikannya
25
pada jenjang yang lebih tinggi. Pesantren Darul „Ulum Jombang menjadi
pilihan ayahnya dan dipatuhi oleh Nurcholish Madjid. Pesantren Darul „Ulum
yang lebih dikenal dengan nama Pesantren Rejoso, karena terletak di Desa
Rejoso, Kecamatan Peterongan. Ia tidak dikirim ke Pesantren Tebu Ireng,
almamater ayahnya dulu, karena pengasuh pesantren tersebut, KH. Hasyim
Asy‟ari, telah wafat.
Ketika masuk ke Pesantren Rejoso atau Darul „Ulum, Nurcholish
diterima di kelas enam tingkat Ibtidaiyah. Ia melompati kelas lima karena
semua mata pelajarannya telahia kuasai semenjak duduk di bangku madrasah
milik ayahnya, al-Wathaniyah. Pelajaran di eklas enam pun pada dasarnya
hanya mengulang pelajaran di al-Wathaniyah, sehingga ia dengan mudah
menamatkan belajarnya, dan kemudian melanjutkan ke tingkat Tsanawiyah
pada 1954, di pesantren yang sama. Hal yang baru bagi Nurcholish ialah
bahwa ia menetap di asrama dan menghirup tradisi pesantren secara penuh
(Gaus AF, 2010: 12).
Pada tahun pertama, Nurcholish sangat menikmati kegiatan belajar.
Sebagian besar karena ia telah dibekali pengetahuan dasar di Madrasah al-
Wathaniyah dengan kitab-kitab standar seperti Jurumiyah, Imrithi, Tuhfatul
Athfal, dan Aqidatu Awwam. Karena itu, ia relatif tidak mendapat kesulitan
ketika harus berhadapan dengan kitab-kitab lanjutan seperti Alfiyah, Bad‟ul
Mal, Jauharatut Tauhid, dan lain-lain. Nurcholish juga aktif dalam kegiatan-
kegiatan ekstrakurikuler, bahkan pernah menjadi juara satu lomba pidato
bahasa Indonesia saat duduk di bangku kelas satu Tsanawiyah. Pergaulan
26
dengan teman-teman baru pada umumnya tidak ada masalah. Yang sangat
mengganggunya ialah kondidi kamar. Ia tidak cukup kerasan untuk tidur di
kamar pondokan yang kecil, yang satu kamarnya diisi sampai lima belas orang
santri. Maka, hampir setiap malam ia membawa bantal dan selimut ke masjid
untuk tidur karena di kamar tidak kebagian tempat (Gaus AF, 2010: 13).
Mendekati pelaksanaan pemilu, pertentangan politik antara NU dan
Masyumi kian memanas di kalangan masyarakat bawah. Retorika kampanye
muncul dalam bentuk sindiran dan ejekan. Forum-forum keagamaan
dimanfaatkan oleh aktivis-aktivis NU untuk menyerang Masyumi. Begitu juga
sebaliknya. Sindiran terhadap Nurcholish pun makin sering dilakukan oleh
anak-anak NU di Pesantren Rejoso, sehingga ia mulai merasa tidak betah.
Suatu ketika ia pulang kampung, dan menceritakan semua kejadian itu kepada
ayahnya (Gaus AF, 2010: 14).
H. Abdul Madjid menganngapi apa yang dialami Nurcholish sebagai
sesuatu yang serius, sehingga ia memutuskan untuk menarik anaknya dari
Pesantren Rejoso. Ketika keputusan itu disetujui oleh istrinya, ia lalu
memindahkan Nurcholish ke Pesantren Gontor, Ponorogo, Jawa Timur.
Keputusan H. Abdul Madjid itu membuat heran banyak orang di kampungnya,
sebab di mata mereka (dan di mata kaum Nahdliyin Jombang pada umumnya)
saat itu Pesantren Gontor memiliki citra “setengah kafir”. Setidaknya, ia
dianggap bukan pesantren NU, melainkan pesantren Masyumi. Belakangan,
setelah belajar dan tinggal di Gontor, Nurcholish tahu bahwa pesantren ini
bukan pesantren Masyumi. Para guru dan siswanya datang dari berbagai latar
27
belakang kultur keagamaan. Bahkan para pendirinya pun (KH. Ahmad Sahal,
KH. Imam Zarkasyi, dan KH. Zainuddin Fanani) bukan orang-orang Masyumi
(Gaus AF, 2010: 15).
3. Pondok Pesantren Darussalam Gontor Ponorogo
Karena ayah Nurcholish tetap di Masyumi meskipun NU menyatakan
keluar, maka ia pun memindahkan Nurcholis Madjid dari basis tradisional ke
pesantren modern terkenal Darussalam Gontor Ponorogo, KMI (Kulliyat
Mu‟alimien al Islamiah) pada tahun 1955. Hal ini disebabkan penderitaan
yang dialami Nurcholish Madjid karena ejekan yang datang dari teman-
temannya, terkait dengan pendirian politik ayahnya yang terlibat di Masyumi
(Barton, 1999: 75). Menurut Nurcholis Madjid sendiri, di sinilah masa paling
menentukan pembentukan sikap keagamaannya (Aziz, 1999: 22).
Pesantren Gontor (didirikan pada 1926) adalah pesantren bercorak
modern. Salah satu indikasinya ialah penggunaan bahasa asing selain bahasa
Arab yang diwajibkan, yakni bahasa Inggris. Bahkan di masa kolonial, bahasa
Belanda dan Jepang juga menjadi mata pelajaran wajib. Kiai Zarkasyi sendiri,
salah seorang pendiri Pesantren Gonor, pernah belajar di Pesantren Tegalsari,
Ponorogo, yang melahirkan pujangga kenamaan Ronggowarsito. Namun,
pandangan-pandangan Kiai Zarkasyi lebih banyak dibentuk ketika ia belajar
kepada Mahmud Yunus di Sekolah Noormal Islam, Padang Panjang, Sumatera
Barat (Gaus AF, 2010: 16).
Di Gontor, Nurcholish Madjid selalu menunjukkan prestasi yang baik,
sehingga dari kelas 1 ia langsung bisa loncat ke kelas 3. Di pesantren ini, ia
28
banyak mempelajari bahasa asing terutama Bahasa Arab. Santri yang masuk di
pesantren Gontor selama enam bulan wajib bercakap-cakap menggunakan
Bahasa Arab atau bahasa asing lainnya. Baru ketika duduk di kelas dua,
seorang santri mulai diperbolehkan untuk belajar nahwu dan Sarraf. Demikian
juga di kelas tiga, empat, lima dan enam. Sehubungan dengan kemampuan
berbahasa Arab ini, terdapat suatu cerita menarik dari Nurcholish Madjid
(untuk selanjutnya ditulis dengan nama akrabnya, Cak Nur):
Kurikulum yang diberikan Gontor menghadirkan perpaduan yang
liberal, yakni tradisi belajar klasik dengan gaya modern Barat. Para santri
diwajibkan menggunakan Bahasa Arab dan Bahasa Inggris secara aktif dalam
berkomunikasi antar santri di lingkungan pesantren. Pelajaran agama yang
diajarkan dengan menggunakan bahasa Arab sebagai bahasa pengantarnya di
semua kelas kecuali kelas tahun pertama. Tujuan Penekanan pada santri-santri
dalam menggunakan kedua bahasa tersebut sebagai bahasa pengantar sehari-
hari, yakni mengantarkan para santrinya ke dalam cakrawala pengetahuan
yang lebih luas.
Semboyan Gontor yang berbunyi “berbudi tinggi, berbadan sehat,
berpengetahuan luas dan berfikiran bebas” memberikan penekanan
keseimbangan antara kesehatan jasmani dan rohani, menciptakan iklim yang
kondusif bagi santrinya untuk pemikiran kritis dan maju secara intelektual. Di
pesantren inilah Nurcholish Madjid masuk ke KMI (Kulliyatul Mu‟alimien al-
Islamiah) selama enam tahun. Pada tahun 1960 Nurcholish Madjid
menyelesaikan studi di Gontor dan untuk beberapa tahun ia mengajar di bekas
29
almamaternya. Kurikulum Gontor ditempuh untuk jangka waktu 6 tahun
dengan tiga tahun yang terakhir mempelajari metode-metode pengajaran.
Maka sangat lazim bahwa alumni Gontor masih menetap di pesantren paling
tidak untuk satu tahun lagi mengajar. Adapun kelangsungan ekonomi para
guru di pesantren ini sepenuhnya bergantung kepada pesantren, bahwa guru-
guru mendapat jatah makan dan rumah pondokan, tidak lebih. Pondok
pesantren Gontor dan orang tuanyalah yang merupakan unsur yang cukup
berpengaruh dalam perkembangan intelektual Nurcholish Madjid (Barton,
1999: 36).
4. IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Perkembangan intelektual Nurcholish Madjid di Gontor berjalan
seiring dengan besarnya perhatian orang tuanya H. Abdul Madjid dalam
mendidik. Untuk itulah akselerasi belajar yang diperolehnya tersebut
menghantarkannya sebagai santri berprestasi. Prestasi belajar Nurcholish
yang fenomenal itu, diperhatikan oleh KH. Zarkasyi, salah satu pengasuh
pesantren Gontor, dan ketika tamat pada tahun 1960, sang guru bermaksud
mengirimkannya ke Universitas al-Azhar, Kairo Mesir. Karena waktu itu di
Mesir terjadi krisis politik akibat problem Terusan Suez, keberangkatan
Nurcholish ke Mesir tertunda, dan untuk sementara waktu Nurcholish
mengajar di almamaternya. Ketika terbetik kabar bahwa di Mesir sulit
memperoleh visa, sang guru tahu bahwa Nurcholish sangat kecewa dan untuk
menghiburnya, KH. Zarkasyi mengirim surat ke IAIN Jakarta meminta agar
murid kesayangannya itu dapat diterima, dan dengan bantuan alumni Gontor
30
di IAIN tersebut, Nurcholish bisa diterima, meski tanpa ijazah negeri. Ijazah
Gontor waktu itu secara resmi tidak diakui oleh pemerintah Indonesia
(Barton, 1999: 77).
Atas petunjuk gurunya KH. Zarkasyi inilah Nurcholish Madjid
meneguhkan pilihannya untuk melanjutkan studi di IAIN Syarif Hidayatullah
Jakarta. Pada awal tahun 1961, Nurcholish masuk ke Fakultas Adab (Sastra
Arab), karena minatnya sangat besar di bidang ini. selain karena soal minat,
pilihan ke fakultas ini juga karena pertimbangan bahwa di situ ada dosen
alumnus Gontor, Abdurrahman Partosentono, yang memudahkan jalan
Nurcholish masuk IAIN (Gaus AF, 2010: 26).
Pilihannya terhadap IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta berkaitan erat
dengan minatnya yang besar terhadap pemikiran keislaman. Pemikirannya
yang kritis dan keberanian pengembaraan intelektualitasnya ditunjukkan
ketika ia menulis skripsi yang berjudul Al-Qur‟an „Arabiyun Lughatan Wa
„Alamiyun Ma‟nan (Al-Qur‟an secara Bahasa adalah Bahasa Arab, secara
Makna adalah Universal). Tema skripsi yang diangkat oleh Nurcholish
Madjid tersebut setidaknya telah menyiratkan kekritisan dan corak berfikir
keislaman yang inklusif. Kuliahnya diselesaikan pada tahun 1968 dengan
prediket cumlaude. Kemampuan berbahasa Asing Nurcholish, bukan hanya
berbahasa Arab, tetapi ia juga fasih dalam berbahasa Inggris, Perancis dan
fasih pula dalam berbahasa Persia. Untuk kursus Bahasa Perancis, Nurcholish
kursus di Alliance Francaise yang selesai pada tahun 1962.
31
Ketika di Jakarta, sembari kuliah di IAIN Syarif Hidayatullah,
Nurcholish Madjid tinggal di Masjid Agung al-Azhar, Kebayoran Baru dan
sedemikian Akrab dengan Buya Hamka dan ia sedemikian kagum terhadap
dakwah Buya yang mampu mempertemukan pandangan kesufian, wawasan
budaya dan semangat al-Qur‟an sehingga paham keislaman yang ditawarkan
Buya sangat menyentuh dan efektif untuk masyarakat Islam kota (Hidayat,
1995: vii).
Minat Nurcholis Madjid terhadap kajian keislaman semakin
mengkristal dengan keterlibatannya di Himpunan Mahasiswa Islam (HMI).
Dia terpilih menjadi Ketua Umum Pengurus Besar HMI selama dua periode
berturut-turut dari tahun 1966-1969 hingga 1969-1971. Pada saat Nurcholish
Madjid masih aktif dalam Himpunan Mahasiswa Islam Indonesia (HMI), satu
periode di mana Republik Indonesia sedang bergejolak dan merupakan masa
transisi dari rezim lama ke rezim baru yang membawa paradigma baru,
termasuk paradigma dalam membangun Indonesia ke depan saat itu yang
kemudian menjadi “latar belakang” yang sedikit banyak menjadi variabel
signifikan bagi lahirnya gagasan dan pemikiran keislaman Nurcholish Madjid
yang relatif “asing” bagi umat Islam saat itu (Sofyan dan Madjid, 2003: 73).
Nurcholish sebagai Ketua Umum HMI Cabang Ciputat ternyata
menyampaikan pandangan yang keras menentang kebijakan PB HMI.
Alasannya, tidak perlu menjilat penguasa, katanya. Tentu saja para koleganya
di HMI Ciputat tersentak. Fatwa yang lebih senior di HMI langsung menegur
Nurcholish. Bagaimanapun, itu adalah beleid PB yang harus dihargai, setelah
32
kasus itu tetap baik. Fatwa menghormati Nurcholish karena
intelektualitasnya; sementara Nurcholish menghargai Fatwa karena
ketokohannya yang cemerlang di organisasi PII dan HMI (Gaus AF, 2010:
31).
Ia pun menjadi presiden Persatuan Mahasiswa Islam Asia Tenggara
(PERMIAT) periode 1967-1969 (Barton, 1999: 78). Organisasi ini
merupakan gabungan dari HMI, PKPIM (Persatuan Kebangsaan Pelajar-
Pelajar Islam Malaysia), dan USMS (University ot the Singapore Moslem
Society). Permiat dibentuk di Umiversiti Malaya, Petaling Jaya, dan
menunjuk Nurcholish menjadi Ketua Umumnya yang pertama dengan Wakil
Ketuanya Islami Daud, Ketua Umum PKPIM. Sedangkan dari USMS
diwakili oleh Muhammad bin Abdullah yang duduk di jajaran kepengurusan.
Kegiatan Permiat yang paling penting adalah menyelenggarakan training-
training perkaderan, yang dalam praktiknya lebih sering diadakan di
Indonesia. Training-training itu diselenggarakan secara aksidental, tidak
periodik, di mana para pemberi materinya kebanyakan adalah para aktivis
Indonesia, termasuk Nurcholish sendiri. Salah seorang peserta yang kemudian
menjadi tokoh di Malaysia dalam training-training itu adalah Anwar Ibrahim,
yang pernah mengikuti training di Pekalongan, Jawa tengah (Gaus AF, 2010:
42).
Kesadaran politik Nurcholish terpicu oleh kegiatan orang tuanya yang
sangat aktif dalam urusan pemilu. Pengalamannya bertambah saat ia menjadi
salah satu calon Ketua Umum Pengurus Besar HMI. Meskipun memimpin
33
organisasi mahasiswa ekstrakurikuler yang disegani pada awal zaman Orde
Baru, Nurcholish Madjid tidak menonjol di lapangan yang tajam, ia menilai
ada yang kurang dalam sistem pengkaderan di HMI, yaitu segi materi
keislaman. Masa itu yang menarik adalah gagasan Islam dan sosialisme,
namun argumen pembahasannya banyak yang dilakukan dengan gaya
apologetis. Berangkat dari situlah Nurcholish Madjid merasa tepanggil
merumuskan dasar-dasar sebagai pijakan pengkaderan HMI (Aziz, 1999: 22).
Ketika Nurcholish terpilih sebagai Ketua Umum PB HMI pada tahun
1966, para pemimpin Masyumi menaruh harapan baru kepada HMI,
walaupun Nurcholish terpilih antara lain dengan mengalahkan calon yang
mereka jagokan, yang bernama Farid Wajni. Harapan mereka pertama-tama
didasarkan pada kenyataan bahwa Nurcholish berasal dari sebuah keluarga
anggota Masyumi yang sangat taat kepada agama. Dan yang mungkin lebih
penting lagi, ia adalah calon sarjana dari sebuah lembaga pendidikan agama,
yakni IAIN Jakarta. Harapan mereka itu memang tidak sama sekali meleset.
Nurcholish sangat condong kepada para pemimpin Masyumi, dan berusaha
untuk memasukkan sebanyak mungkin gagasan dan aspirasi mereka ke dalam
tubuh HMI. Tidak heran bahwa pada mulanya Nurcholish pun mendukung
upaya mereka untuk menghidupkan kembali partai Masyumi (Gaus AF, 2010:
49).
Kepemimpinan Nurcholish Madjid pada organisasi mahasiswa tingkat
nasional tersebut merupakan hal amat penting dalam jalur intelektualisme
kehidupannya. Pada sisi lain, keterlibatannya pada kegiatan internasional
34
yakni kunjungannya ke Timur Tengah. Di Timur Tengah, tepatnya di Irak,
Nurcholish bertemu dengan Abdurrahman Wahid (Gus Dur), yang waktu itu
kuliah di Baghdad University, setelah mrotol dari al-Azhar yang dinilai oleh
Gus Dur sangat tradisional dan konservatif, dan sejak itu keduanya
sedemikian akrab dan sama-sama memiliki tendensi pemikiran yang liberal
neo-modernis.
Nurcholish Madjid juga melakukan kunjungan ke Amerika Serikat.
Lawatan ke Amerika Serikat Nurcholish Madjid terjadi karena diundang
USIS (United State of Islamic Student). Di AS, Nurcholish belajar lebih
banyak tentang gagasan-gagasan Barat seperti Liberalisme, Sekularisme dan
Demokrasi, sehingga sejak itu Nurcholish mengalami perubahan dan
perkembangan pemikiran. Kunjungan tersebut semakin mematangkan
petualangan intelektualitasnya. Pada saat-saat itulah, Nurcholish Madjid
melontarkan gagasan kontroversial, yang sangat menyengat kalangan
Masyumi yang waktu itu sedemikian getol memperjuangkan visi Islam
Politik, yakni jargon Islam Yes, Partai Islam No. Yang dimaksud dengan
Islam Politik adalah upaya penyaluran nilai-nilai Islam melalui pendekatan,
aspirasi dan representasi partai politik Islam, yang waktu itu sedemikian
kental untuk konteks Indonesia disuarakan oleh eks tokoh-tokoh Masyumi
semisal M. Natsir. Visi ini acapkali diidentifikasi sebagai Islam struktural
yang dalam perspektif para ahli dikontraskan dengan pendekatan kultural.
Untuk kasus Indonesia, gerakan struktural diwakili oleh Masyumi, Parmusi
(pada masa Orde lama dan awal Orde Baru), gerakan Islam kontemporer
35
semisal Front Pembela Islam, Laskar Islam Ahlussunnah wal Jama‟ah dan
partai-partai politik Islam (pada zaman Reformasi). Sedangkan gerakan
kultural acapkali diidentifikasi sebagai gerakan yang ditempuh oleh NU
dengan tokoh kentalnya KH. Abdurrahman Wahid dan pemikiran Nurcholish
Madjid.
Kunjungan Nurcholish ke Amerika disponsori oleh Council on
Leaders and Specialists (CLS) yang berpusat di Washington. Waktu
kunjungan yang hanya sekitar satu setengah bulan itu dimanfaatkan dengan
baik oleh Nurcholish untuk menemui tokoh-tokoh penting, berdiskusi dengan
kalangan kampus dan mendatangi komunitas-komunitas religius. Hampir
seluruh penjuru negeri itu ia kunjungi. Kendati demikian pikirannya tetap saja
ke Timur Tengah. Karena itu, selama di Amerika, ia menjalin hubungan cepat
dengan orang-orang dari Timur Tengah dan mengatakan kepada mereka
bahwa ia akan menemui mereka di sana dalam waktu dekat.
Banyak reaksi keras yang dialamatkan kepadanya, namun dia tak
bergeming, bahkan semakin aktif dengan gagasan-gagasannya, dengan
mendirikan Yayasan Samanhudi dan ia menjadi direkturnya selama tahun
1974-1976 (Nadroh, 1999: 36-37). Di Yayasan inilah Cak Nur terlibat
intensif berdiskusi dengan Djohan Effendi, M. Dawam Rahardjo, Syu‟bah
Asa dan Abdurrahman Wahid. Ketika itu pula, bersama-sama kawan-
kawannya tersebut Nurcholish menerbitkan majalah Islam yang sedemikian
provokatif dalam menyebarkan gagasan pembaruan yakni Mimbar Jakarta.
Tulisan-tulisannya di majalah ini menjadikannya dikritisi oleh orang-orang
36
yang tidak sepaham dengannya. Atas dasar itu, dalam perspektif Majalah
Tempo hingga batas tertentu pemikiran Nurcholish Madjid telah
menyebabkan ormas-ormas Islam yang telah menerima asas tunggal
(Pancasila) merasa lebih damai karena telah menemukan kebenaran (Barton,
1999: 83-84).
Kelincahan Nurcholish Madjid di dunia organisasi selama menjadi
mahasiswa tidak terlepas dari pengaruh sosiologis dan ideologis KMI Gontor,
tempat ia mengenyam pendidikan keagamaan. KMI Gontor bukan saja
berbentuk pesantren yang semata-mata menyuguhi para santrinya materi
keagamaan klasik an sich, tidak hanya menyuguhi para santrinya untuk
menguasai materi pelajaran di kelas, tetapi lebih dari itu semua, Gontor
merupakan pesantren modern yang mengajarkan mereka bagaimana cara
berorganisasi dengan baik. Hal itulah yang dirasakan oleh Nurcholish Madjid.
Selama di KMI Gontor, Nurcholish Madjid sudah terbiasa dengan
dinamika keilmuan, aktivitas keorganisasian, yang karenanya, ia begitu
berwujud sebagai mediator kepemimpinan tatkala terjun di HMI (Himpunan
Mahasiswa Islam) selama berkiprah di dunia kampus. Dalam menjalankan
roda organisasi Nurcholish Madjid banyak menerapkan komitmen ke-
KMIannya yang memang diajarkan oleh para pengasuhnya. Seperti sikap
disiplin, kejujuran, keuletan, kreatif dan persiapan (Al- I‟dal Wal Isti‟dad),
ketegasan dalam bertindak (Barton, 1999: 65).
Dasawarsa 1960-an merupakan periode penting dan menentukan bagi
perjalanan karier Nurcholish sebagai intelektual dan aktivis. Pada tahun 1965
37
ia meraih gelar sarjana muda (BA) bidang Sastra Arab di Institut Agama Islam
Negeri (IAIN), Jakarta. Tiga tahun kemudian (1968), ia menuntaskan studi
strata satu (S1)-nya dengan menyandang gelar doktorandus di bidang Sastra
Arab di lembaga yang sama (Gaus AF, 2010: 79).
Masa kepemimpinan Nurcholish di PB HMI akan berakhir pada bulan
Mei 1969. Setelah nanti tidak lagi menjadi Ketua Umum HMI, pikirnya, ia
akan menunaikan tugas hidupnya yang lain: menikah. Saat itu Nurcholish
genap 30 tahun-usia yang cukup untuk membina hidup berumah tangga. yiga
tahun sebelumnya, pada 1966, ia pernah meminta kepada gurunya di Gontor,
Abdullah Mahmud, untuk dicarikan teman hidup. Abdullah Mahmud saat itu
tinggal di rumah seorang aktivis pergerakan Syarikat Islam dan pengusaha
bioskop di Madiun. Namanya H. Kasim. Dia juga menjadi donatur PII, karena
itu sebagai aktivis PII Nurcholish sudah sangat akrab dengan nama H. Kasim.
Dan memang, pesan Nurcholish itu segera ia sampaikan kepada H. Kasim
yang ditindak-lanjuti dengan mengirimkan pasfoto seorang putrinya bernama
Qomarijah kepada Nurcholish (Gaus AF, 2010: 55).
Tahun itu juga Nurcholish berkunjung ke Madiun untuk melihat orang
yang ada di foto itu. Namun, di mata Nurcholish, anak perempuan itu terlalu
muda (17 tahun), sehingga ia mengatakan kepada H. Kasim untuk menunda
lamaran, dan ia akan berjuang dulu, H. Kasim menyetujuinya. Dua tahun
kemudian. Pada akhir tahun 1968, Nurcholish kembali menghubungi ustadz
Gontornya, Abdullah Mahmud, melalui surat untuk melanjutkan proses
lamaran yang dulu tertunda. Isi surat itu pendek saja, bahwa ia ingin melamar
38
Qomarijah. Pada saat itu Qomarijah sedang berada di Solo, karena ia sudah
kuliah Fakultas Kedokteran Universitas Islam Indonesia (sekarang Universitas
Sebelas Maret). Akhirnya Qomarijah pun menerima lamaran Nurcholish. Ada
dua alasan mengapa Qomarijah menerima lamaran orang yang belum ia kenal
itu. Pertama, untuk menyenangkan orang tua sebagai balas budi kepada
mereka yang telah melahirkan dan mendidiknya. Kedua, ia teringat kejadian
seminggu yang lalu, yang ia yakini sebagai petunjuk Tuhan, yaitu setelah
sembahyang istikharah ia bermimpi melihat bintang-bintang turun di atas
kepalanya, dan ada satu bintang yang meluncur dengan cepatnya ke arah Barat
(Gaus AF, 2010: 56).
Setelah memperoleh kepastian tentang kesediaan anaknya, H. Kasim
kemudian menjawab positif lamaran Nurcholish. Ia juga memberitahu
keberadaan putrinya di Solo. Maka Nurcholish segera menuju ke Solo. Tetapi
ia lupa dengan wajah Qomarijah, sehingga meminta bantuan temannya yang
saat itu menjadi Ketua Umum HMI Cabang Solo, Miftah Faridl. Kemudian
mereka bertemu di sebuah apotek dan mengajak Qomarijah untuk jalan-jalan.
Di tengah perjalanan, Miftah pamit pulang karena masih ada keperluan.
Sehingga tinggal berdua, Nurcholish dan Qomarijah. Nurcholish menyebut
semua proses yang dilaluinya dari awal hingga bertemu Qomarijah di Solo
dengan istilah “santri connection” (Gaus AF, 2010: 57).
PB HMI menggelar kongresnya yang ke-9 di kota Malang pada
tanggal 3019 Mei 1969. Sebagai Ketua Umum PB HMI, Nurcholish
menyampaikan pidato pertanggungjawaban. Setelah itu, ia akan merasa lega
39
dan berkonsentrasi mengurus rencana pernikahannya dengan Qomarijah.
Namun, tanggung jawab tampaknya belum akan berakhir. Kongres memberi
mandat kepadanya untuk menyempurnakan naskah Nilai-Nilai Dasar
Perjuangan (NDP) yang ua rumuskan. Bukan hanya itu, Kongres ternyata
memilih kembali Nurcholish Madjid sebagai Ketua Umum PB HMI untuk
periode 1969-1971 (Gaus AF, 2010: 58).
Setelah Kongres Malang itu Nucholish ke Madiun menemui
Qomarijah. Kendatipun kesibukan sebagai Ketua Umum PB HMI kembali
menyita waktu, Nurcholish rupanya tidak ingin menunda lagi rencananya
menikahi Qomarijah. Pada 30 Agustus 1969, mereka menuju pelaminan
diiringi suatu pesta di gedung bioskop milik H. Kasim. Setelah itu, Nurcholish
pergi ke Jakarta sendirian. Ia baru memboyong Qomarijah ke Jakarta ketika
istrinya itu hamil lima bulan (Gaus AF, 2010: 59).
5. Universitas Chicago Amerika Serikat
Pada tahun 1984, ia berhasil menyandang gelar philosophy Doctoral
(Ph.D) di Universitas Chicago dengan nilai cumlaude. Adapun disertasinya ia
mengangkat pemikiran Ibnu Taymiah dengan judul Ibn Taymiyah dalam ilmu
kalam dan filsafat: masalah akal dan wahyu dalam Islam (Ibn Taymiyah in
Kalam and Falsafah: a Problem of Reason and Revelation in Islam). Disertasi
doktoral yang dilakukan ini menunjukkan atas kekaguman dirinya terhadap
tokoh tersebut. Kekaguman ini pun menjadi pengakuan yang
disampaikannya.
40
Pada saat Nurcholish Madjid melaksanakan pendidikan di Chicago,
Amerika Serikat, beliau menjadi murid seorang ilmuan muslim ternama neo-
modernisme dari Pakistan yaitu Fazlur Rahman. Di perguruan inilah Fazlur
Rahman mengotak-atik pemikiran Nurcholish Madjid untuk dibawa ke
bidang kajian keislaman. Pengaruh Fazlur Rahman terhadap gerakan
intelektual Nurcholish Madjid bukan untuk mengubah pola pemikiran
Nurcholish Madjid. Hanya saja, bukan mengatakan sama sekali, Fazlur
Rahman telah begitu berpengaruh dalam mengantarkan pemikiran Nurcholish
Madjid untuk kembali kepada warisan klasik kesarjanaan Islam.
Nurcolish Madjid bukan hanya memiliki prestasi akademik yang
menakjubkan, tapi sebagai seorang aktivis-pun ia dipercaya untuk menempati
posisi penting pada berbagai organisasi kepemudaan. Ini menyiratkan
dedikasinya dalam me-manage waktu antara aktivitas akademik dengan
aktivitas organisasinya, hal mana sulit dilakukan oleh rekan-rekan aktivis
lainnya. Pada saat yang bersamaan Nurcholish Madjid telah mampu
membuktikan integritasnya sebagai intelektual yang produktif.
Dunia formal yang ia jalani selama kurun waktu 36 tahun sejak tahun
1984, penuh dengan segudang pengalaman dan prestasi akademik yang
sanggat memuaskan. Hal tersebut dibuktikan oleh Nurcholish Madjid dengan
prediket cumlaude yang setidaknya dapat dijadikan tolak ukur dari kapasitas
intelektualnya. Karir Nurcholish Madjid semakin sempurna tatkala ia
dinobatkan sebagai Guru besar IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta sebagai rasa
penghargaan pihak kampus baginya yang begitu lama menggeluti dunia
41
keilmuan pada tangggl 10 Agustus 1998. Adapun pidato pengukuhannya
sebagai guru besar berjudul “Kalam Kekhalifahan Manusia Reformasi: Suatu
Percobaan Pendekatan Sistematis Terhadap Konsep Antropologis Islam”
(Barton, 1999: 66-67)
C. Karya-Karya
Nurcholish Madjid dapat dikelompokkan pada penulis yang produktif.
Sekembalinya dari studi, bersama kawan dan koleganya pada tahun 1986
mendirikan Yayasan Wakaf Paramadina. Nama Paramadina menurut Nurcholish,
berasal dari Parama (Paramount) artinya Unggul atau ekselen, sedangkan Dina
maksudnya adalah din al-Islam, sehingga makna filosofi nama yayasan tersebut
adalah bahwa Islam merupakan agama yang unggul dan keunggulannya harus bisa
dirasakan oleh bangsa Indonesia sebagai pembawa rahmat (Cahyo, 2014: 224).
Beberapa karyanya antara lain adalah sebagai berikut:
1. Khazanah Intelektual Islam (Madjid, 1984). Karya ini menurut penulisnya
dimaksudkan untuk memperkenalkan salah satu aspek kekayaan Islam
dalam bidang pemikiran, khususnya yang berkaitan dengan filsafat dan
teologi. Dalam buku ini dibahas pemikiran al-Kindi, al-Farabi, Ibn Sina, al-
Ghazali, Ibn Rusyd, Ibn Taimiyah, Ibn Khaldun, Jamal al-Din al-Afghani,
dan Muhammad Abduh.
2. Islam Kemodernan dan Keindonesiaan (Madjid, 1987). Dalam buku ini,
yang merupakan kumpulan tulisan selama dua dasawarsa melontarkan
gagasan Nurcholish Madjid tentang korelasi kemodernan, keislaman, dan
42
keindonesiaan, sebagai respon terhadap persoalan dan isu-isu yang
berkembanga di saat itu.
3. Islam Doktrin dan Peradaban: Sebuah Telaah Kritis tentang Masalah
Keimanan, Kemanusiaan, dan Kemodernan (Madjid, 1992). Buku ini
merupakan karya monumentalnya pasca studi di Chicago. Dalam buku ini,
Nurcholish berusaha mengungkapkan ajaran Islam yang menekankan sikap
adil, inklusif, dan kosmopolit.
4. Islam Kerakyatan dan Keindonesiaan: Pikiran-Pikiran Nurcholish Madjid
“Muda” (Madjid, 1994).
5. Pintu-Pintu Menuju Tuhan (Madjid, 1994). Buku ini merupakan kumpulan
sebagian besar tulisan Nurcholish di harian Pelita dan Tempo. Menurut
penulisnya, buku ini merupakan penjelasan lebih sederhana dan “ringan”
(populer) dari gagasan Islam inklusif dan Universal yang menjadi tema
besar buku Islam Doktrin dan Peradaban.
6. Islam Agama Peradaban: Membangun Makna dan Relevansi Doktrin Islam
dan Sejarah (Madjid, 1995). Dalam buku ini pemikian Nurcholish lebih
terarah pada makna dan implikasi penghayatan Iman terhadap perilaku
sosial yang senantiasa mendatangkan dampak positif bagi kemajuan
peradaban kemanusiaan.
7. Islam Agama Kemanusiaan: Membangun Tradisi dan Visi Baru Islam
Indonesia (Madjid, 1995). Buku ini sama dengan karya monumentalnya,
hanya saja, Nurcholish menyajikannya dengan wawasan yang lebih
43
kosmopolit dan universal sekaligus mempertimbangkan aspek parsial dan
kultural paham-paham keagamaan yang berkembang.
8. Masyarakat Religius (Madjid, 1997). Buku ini mengetengahkan konsep
Islam tentang kemasyarakatan, antara komitmen pribadi dan komitmen
sosial serta konsep tentang eskatologi dan kekuatan adialami.
9. Tradisi Islam: Peran dan Fungsinya dalam Pembangunan di Indonesia
(Madjid, 1997). Dalam buku ini Nurcholish mengetengahkan tentang peran
dan fungsi Pancasila, organisasi politik, demokratisasi, demokrasi, dan
konsep oposisi loyal.
10. Kaki Langit Peradaban Islam (Madjid, 1997), mengetengahkan tentang
wawasan peradaban Islam, kontribusi tokoh intelektual Islam semisal al-
Shafi‟I dalam bidang hukum, al-Ghazali dalam bidang tasawuf, Ibn Rusyd
dalam filsafat, Ibn Khaldun dalam filsafat sejarah dan sosiologi.
11. Bilik-Bilik Pesantren: Sebuah Potret Perjalanan (Madjid, 1997), yang
membahas tentang dinamika pesantren serta kontribusinya dalam peradaban
Islam di Indonesia.
12. Dialog Keterbukaan: Artikulasi Nilai Islam dalam Wacana Sosial Politik
Kontemporer (Madjid, 1997). Buku yang merupakan transkip wawancara
yang pernah dilakukan oleh Nurcholish memiliki mainstream bagaimana
nilai-nilai universal dan kosmopolit Islam diaktualisasikan dalam praktik
politik kontemporer.
13. Cendekiawan dan Religiusitas Masyarakat: Kolom-Kolom di Tabloid
“Tekad” (Madjid, 1999). Dalam buku ini Nurcholish Madjid berusaha
44
menjelaskan pemikiran-pemikirannya tentang keterkaitan antara dimensi
keislaman dengan dimensi keindonesiaan dan kemodernan sekaligus. Buku
ini merupakan kumpulan tulisan Nurcholish di Tabloid Tekad yang
merupakan suplemen dalam harian Republika, sebuah koran harian yang
diterbitkan oleh ICMI (Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia).
14. Cita-Cita Politik Islam di Era Reformasi (Madjid, 1999). Buku ini
merupakan perjalanan panjang politik Nurcholish Madjid dalam wacana
perpolitikan di Indonesia. Dalam buku ini prototype negara Madinah yang
telah didirikan Nabi Muhammad sedemikian ditekankan oleh Nurcholish
sebagai sesuatu yang sangat cocok untuk diterapkan kini, mengingat nilai-
nilainya sedemikian modern bahkan terlalu modern untuk masanya
sehingga tidak bertahan lama.
15. Indonesia Kita (Madjid, 2003). Dalam buku yang merupakan karya tulis
terakhirnya, Nurcholish Madjid berusaha memahami secara lebih luas dan
mendalam tentang hakikat dan persoalan bangsa dan negara Republik
Indonesia sejak dari masa lampau sampai sekarang yang menantang.
Dalam buku ini dimuat pokok pemikiran Nurcholish Madjid ketika
mencalonkan diri sebagai Presiden RI yang meskipun kandas melalui
konvensi Partai Golkar yang terkenal dengan Sepuluh Platform
Membangun Kembali Indonesia.
45
BAB III
PENEGASAN ISTILAH
A. Definisi Postmodernisme
Postmodernisme adalah gerakan pemikiran dan filsafat baru yang
pengaruhnya dalam teori dan praktik pendidikan cukup besar.
Postmodernisme (postmodernism) berasal dari dua kata “post” dan
”modernism”. Istilah “post” bisa diartikan “pasca” atau “setelah”, bisa juga
diartikan “tidak”. Sementara modernisme merujuk pada filsafat dan gaya berpikir
modern yang bercirikan rasionalisme dan logisme atau oleh kaum postmodernis
dicurigai bergaya pikir “positivisme”. Jika “post” diartikan “setelah” (pasca),
maka postmodernisme merupakan gaya berpikir yang lahir sebagai reaksi
terhadap pikiran modernisme yang dianggap mengalami banyak kekurangan dan
menyebabkan berbagai masalah kemanusiaan.
Sementara, jika kata “post” diartikan tidak, maka postmodern mengandung
arti yang lebih luas. Jika mengingat tahapan masyarakat linear seperti tradisional,
modern, postmodern, maka yang tidak postmodern bisa saja tradisional maupun
modern. Jadi, postmodernisme bukanlah tradisionalisme maupun modernisme.
Meskipun demikian, tampaknya benar jika ada yang mencurigai bahwa
postmodernisme adalah kebangkitan lagi tradisionalisme, yakni membangkitkan
lagi cara-cara tradisional untuk mereaksi modernisme (Soyomukti, 2015: 321-
322).
46
Awalan “post” pada istilah ini banyak menimbulkan perbedaan arti.
Lyotard mengartikan “post” berarti pemutusan hubungan pemikiran total dari
segala pola kemodernan. David Griffin, mengartikannya sekadar koreksi atas
aspek-aspek tertentu saja dari kemodernan. Anthony Giddens, mengartikannya
sebagai wajah arif kemodernan yang telah sadar diri. Sementara Habermas, satu
tahap dari proyek modernisme yang memang belum selesai. Menurut Tony Cliff,
psotmodernisme berarti suatu teori yang menolak teori. Akhiran “isme” berarti
gambaran dunia, epistemologi, dan ideologi modern (Maksum, 2016: 262).
Yang mengakibatkan kekaburan makna istilah “postmodern” itu kiranya
terutama adalah akhiran “isme” dan awalan “post”-nya. Sehubungan dengan
akhiran „isme‟ itu, postmodernisme biasanya dibedakan dari postmodernitas.
Yang pertama menunjuk pada kritik-kritik filosofis atas gambaran dunia (world
view), epistemologi dan idologi-ideologi modern. Yang kedua menunjuk pada
situasi dan tata sosial produk teknologi informasi, globalisasi, fragmentasi gaya
hidup, konsumerisme yang berlebihan, deregulasi pasar uang dan sarana publik,
usangnya negara bangsa dan penggalian kembali inspirasi-inspirasi tradisi. Dalam
banyak pembicaraan tentang gejala postmodernisme dan postmodernitas sering
bercampur baur. Tentu saja sebenarnya antara kedua hal itu terdapat saling
keterkaitan erat, namun justru keterkaitan itulah yang mengakibatkan pembicaraan
tentangnya kadang menjadi kabur. Betapa pun juga dimensi teoritis memiliki
sosok yang lebih jelas ketimbang tatanan praksis sosial yang serba ambigu.
Catatan lain, akhiran “isme” itu juga memberi kesan seolah ia adalah sistem
pemikiran tunggal tertentu, sementara nyatanya istilah yang bertebaran di segala
47
bidang itu merupakan label untuk bermacam-macam pemikiran yang kadang
saling bertabrakan (Sugiharto, 2016: 24).
Postmodernisme adalah “pemberontakan” terhadap –isme sebelumnya.
Apabila modernisme menekankan kesadaran subjek sebagai referensi makna
realitas, maka postmodernisme menekankan bahwa makna tidak hanya ditentukan
oleh kesadaran dan subjek, tetapi oleh ketidaksadaran dan intersubjektivitas.
Makna berada di luar kehendak subjektif pada individu atau sebuah kelompok
yang berkuasa. Dengan kata lain, makna berada di luar dominasi sebuah sistem
rasional. Dengan kata lain, rasionalitas postmodernisme bersifat plural, bukan
tunggal, maka menjadikan kesadaran subjek dalam arti Kantian ditolak
(Poespowardojo & Alexander, 2016: 214).
Jika kita mencari istilah postmodernisme melalui internet, maka akan
ditemukan berbagai bidang ilmu pengetahuan yang menggunakan istilah
postmodern itu seperti: postmodern art, postmodern anthropology, postmodern
architecture, postmodern archeology, postmodern dance, postmodern film,
postmodern philosophy, postmodern political science, postmodern school, dan
lain-lain. Berbagai istilah yang digunakan dalam bidang ilmiah ini membuktikan
bahwa penggunaan postmodern bukan hanya menjadi pembahasan di bidang ilmu
pengetahuan (terutama ilmu sosial-budaya) (Lubis, 2016: 2).
Munculnya pasca-modernisme tidak dapat dilepaskan dari modernisme itu
sendiri. Kata modernisme mengandung makna serbamaju, gemerlap, dan
progresif. Pengertian ini tidak berlebihan, karena modernisme berkaitan dengan
bentuk-bentuk kebudayaan yang ditandai dengan rasionalisme, positivisme,
48
empirisme, industri dan kecanggihan teknologi. Dengan ciri-cirinya tersebut,
modernisme menyuguhkan suatu keadaan yang selalu berubah dan tidak pasti.
Modernisme selalu menjanjikan pada kita untuk membawa perubahan ke dunia
yang lebih mapan di mana urusan materi atau kebutuhan jasmani akan terpenuhi,
tidak akan ada lagi kelaparan atau kekurangan material, itulah janjinya. Teknologi
akan membawa kita ke kehidupan yang serbamudah, cepat, dan lebih baik.
Teknologi berikrar akan membuat kehidupan menjadi lebih baik, membuat kita
lebih pintar, meningkatkan kinerja kita, dan membuat kita bahagia (Maksum,
2016: 265).
Namun demikian, modernisme mempunyai sisi gelap yang menyebabkan
kehidupan manusia kehilangan disorientasi. Para pemikir, seperti Max
Horkheimer, Adorno, dan Herbert Marcuse yang tergabung dalam Madzhab
Frankfurt, mengkritik bahwa pencerahan bukannya melahirkan kemajuan, tetapi
justru memunculkan penindasan dan dominasi. Akal mengarah bukan pada
pemenuhan kebutuhan material atau pencerahan filosofis, melainkan pada kontrol
dan perusakan. Teori kritis ingin membebaskan manusia dari pemanipulasian para
teknokrat modern (Maksum, 2016: 266).
Modernisme dan postmodernisme, tidak sekedar sebagai aliran filsafat dan
teori sosial yang hanya berorientasi pada konsep, sistem, dan metode saja. Bukan
juga sekedar strukturalisme dan postrukturalisme dalam pengertian Strauss dan
Foucault. Lebih dari itu, menurut Habermas, modernisme atau modernitas telah
mulai dikembangkan oleh Hegel (1770-1831) karenanya ia menganjurkan kita
kembali kepada Hegel jika ingin memahami lebih jauh hubungan internal antara
49
modernitas dan rasionalitas. Para pemikir modernisme kontemporer seperti Karl
Popper, Houston Smith, dan Habermas, tidak menganggap penting soal timbulnya
gerakan postmodernisme. Mereka tetap yakin akan kehidupan kontemporer
sampai jangka waktu yang tidak bisa ditentukan. Lebih dari itu, modernisme
mempunyai akar filosofis yang lebih jelas (Maksum, 2016: 297).
Dalam filsafat Barat modernisme diacukan pada pemikiran yang
berkembang setelah Renaisans dan Pencerahan (Rene Descartes dan Immanuel
Kant). Modernisme adalah peningkatan kesadaran tentang aspirasi kemajuan, dan
rasionalitas yang dipahami dalam konteks modern itu adalah sebagai salah satu
wujud penerapan rasionalitas tersebut. Descartes dijuluki sebagai Bapak Filsafat
Modern karena posisinya yang penting dengan pandangan dunianya yang mekanis
serta menempatkan “rasio” atau “subjek” sebagai dasar bagi ilmu pengetahuan
dan kebenaran. Kant adalah tokoh penting era Pencerahan dan filsuf terkemuka di
era Modern yang membahas masalah: etika, metafisika, epistemologi, yang
pemikirannya memengaruhi berbagai bidang ilmu pengetahuan modern.
Meskipun Kant disebut sebagai pemikir besar era Modern, beberapa gagasannya
cukup mewanai pemikiran postmodern seperti ia dianggap orang pertama yang
membicarakan masalah persaudaraan global umat manusia yang sekarang menjadi
pembicaraan dalam ilmu pengetahuan dengan munculnya era Informasi dan
globalisasi yang mnenyertainya. Sementara itu, tokoh eksistensialis dan
fenomologi seperti Husserl memperkuat dukungannya pada peran rasio (aspek
rasionalitas) manusia dan cenderung mengabaikan yang lain. Pemikir modern
sepertinya sangat yakin bahwa teori (ilmu pengetahuan) yang ditemukan
50
merupakan gambaran objektif-universal dari objek yang diteliti. Dalam perspektif
ini, teori dianggap sebagai copy realitas atau penggambaran esensi realitas
(esensialisme). Rasionalitas dan subjek (kesadaran) dalam pemikiran modern
dilihat sebagai substansi transendental-ahistoris sehingga dianggap sama di mana
saja.
Pemikir postmodernis (seperti Derrida) justru mengkritik pemikiran
modern itu sebagai satu bentuk nostalgia. Bagi para pemikir postmodernis tidak
ada rasio murni, tidak ada subjek universal dan transendental, karena rasio dan
subjek sendiri dikonstruksi oleh faktor sosial-budaya. Karena itu, tidak
mengherankan, jika Derrida menyatakan bahwa pemikir modern menerima
logosentrisme dan metafisika kehadiran dan Derrida tidak memercayainya dan
mendekonstruksi cara berpikir logosentris itu. Atau dengan menggunakan istilah
Francois Lyotard, filsuf dan ilmuwan modern itu memercayai metanarasi untuk
menjelaskan berbagai permasalahan tanpa membedakan perbedaan ruang dan
waktu (Lubis, 2014: 16).
Postmodernisme tidak mempunyai pandangan fundasionalisme keilmiahan
(seperti paradigma positivisme) yang dominan pada era Modern. Paradigma
positivisme menuntut adanya kesatuan metode ilmu pengetahuan, kesatuan bahasa
ilmiah serta kepercayaan bahwa teori merupakan penggambaran realitas (mirror
of nature) secara objektif. Masyarakat postmodern tidak lagi percaya pada model
penjelasan dan pemahaman totalitas dan universal seperti itu, yang dalam bahasa
Lyotard itu disebut cerita agung (grand-narrative). Masyarakat postmodern lebih
51
memercayai penjelasan narasi-narasi kecil, penjelasan yang konteks lokal,
sehingga bersifat plural dan kontekstual (Lubis, 2016: 19).
Sementara itu pada postmodernisme, seperti yang diungkapkan Jean
Baudrillard, terjadinya perubahan besar dari model mekanis dan produksi
metalurgi ke suatu industri informasi dan dari produksi ke konsumsi sebagai fokus
utama ekonomi. Era postmodernisme adalah era dimana berbagai perspektif
media baru cenderung mengaburkan perbedaan tajam antara realitas dan fantasi
(simulacra) sehingga meruntuhkan suatu keyakinan pada suatu realitas objektif.
Dikotomi modern tentang realitas objektif versus citra (images) atau citra-citra
subjektif misalnya, di era postmodernisme digantikan dengan suatu hiperialitas
(“self-referential signs”/tanda-tanda referensi diri). Di sini tampak bahwa pemikir
postmodern menggantikan konsepsi tentang adanya suatu realitas independen dari
pengamat (observer) dengan gagasan keterkaitan subjek dengan dunia (subjek
dengan objek) (Lubis, 2016: 20).
Lalu bahasa. Pada postmodernisme bahasa dilihat bukan sekadar bersifat
denotatif, bahasa tidak hanya penting dengan fungsi logis/epistemologisnya saja.
Postmodern menempatkan persoalan bahasa pada titik pusat (linguistic turn)
seperti pada pergeseran pemikiran Wittgenstein dari “picture theory” ke filsafat
bahasa sehari-hari (language games) atau teori “speech-act” dan pendekatan
pragmatis pada Austin, Grice, dan Searle, dan dekonstruksi pada Derrida.
Pembahasan bahasa ini berkaitan dengan pertanyaan: apakah bahasa hanya
pernyataan tentang/realitas? Apakah bahasa merupakan sistem dan struktur tanda
dan makna yang statis (strukturalisme)? Ataukah bahasa merupakan struktur tanda
52
yang dinamis (post-strukturalisme)? Apakah bahasa memiliki keanekaragaman
sesuai dengan berbagai tujuan dan penggunaannya dalam kehidupan sehari-hari?
Pembahasan tentang bahasa juga berkaitan dengan bagaimana hubungan antara
penalaran, makna, kebenaran, dan bahasa. Adapun Derrida dan Roland Barthes
sebagai tokoh postmodernisme dan post-strukturalisme melihat bahasa sebagai
sistem tanda yang sangat dinamis, sementara Richard Rorty, yang juga tokoh
postmodernisme, melihat peran bahasa yang sifatnya kontingen. Bahasa dan
strukturnya adalah hasil konstuksi sosial, karenanya tidak ada kesamaan antara
bahasa, pikiran, dan realitas (Lubis, 2016: 20).
Jika dilihat, postmodernisme menunjuk pada paham berupa kritik-kritik
filosofis atas gambaran dunia, epistemologi dan ideologi modern.
Postmodernisme sebagai suatu ekspresi kultural mencakup karya seni instalasi
(collage) dan pastiche karya pop art, gaya arsitektur Las Vegas, pengaburan batas
realitas dengan citraan (images) lewat media. Collage, parody, dan pastiche
adalah istilah yang akrab dalam seni postmodern. Collage adalah membuat satu
karya dengan menggabungkan potongan-potongan bagian-bagian dari berbagai
karya, mode (klasik, modern, postmodern) menjadi satu karya baru. Parodi adalah
sebuah komposisi sei atau sastra yang mempermainkan dan memplesetkan gaya,
gagasan atau ungkapan khas seorang tokoh/seniman sehingga tampaknya menjadi
absurd. Sedangkan pastiche adalah parodi yang kosong, netral, dan tanpa norma,
seperti berbicara tanpa bahasa, sejarah tanpa periode historis. Tidak ada lagi
realitas yang representatif (parodi yang ditiru); dalam pastiche yang ditiru adalah
imajinasi kita sendiri. Kebudayaan postmodern meninggalkan rasionlitas,
53
universalitas, kepastian dan keangkuhan kebudayaan modern. Unsur-unsur lain
yang ditolak adalah menolak ilmu pengetahuan sebagai filsafat utama dan
pengetahuan sebagai keseluruhan dari apa yang kita ketahui. Tidak ada paradigma
mutlak sebab ia akan berubah dan berganti. Postmodern juga merupakan reaksi
atas filsafat “subjektivitas” atau „kesadaran ahistoris” dan transendental model
Cartesian dan Husserlian. Dalam pandangan kaum postmodernis “subjek” dan
“rasio” tidak terbebas dari pengaruh lingkungan sosial-budaya dan historis.
Karena subjek dan rasionalitas itu terkait dengan faktor sosial budaya, maka
postmodernis mengakui bahwa subjek dan rasionalitas itu tidak satu/seragam.
Subjek dan rasionalitas dalam pandangan modern merupakan kostruksi manusia
yang mengandaikan kehadiran objek dan dunia lingkungannya, tidak ada subjek
tanpa objek dan demikian pula sebaliknya. Jadi, ada keterkaitan antara
perkembangan sosial-budaya dengan cara berpikir manusia (Lubis, 2016: 21).
Jadi, kesimpulan pengertian postmodernisme bahwa postmodern (isme)
adalah perubahan budaya (mulai dari gaya hidup hingga paradigma berpikir) yang
terjadi akibat perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi informasi.
Konsekuensi perubahan yang luar biasa itu adalah (salah satu) paradigma modern
tidak cukup relevan atau memadai lagi untuk memahami dan menjelaskan
kebudayaan yang tengah tumbuh (postmodern). Karena itu, berbagai kritik
terhadap aspek-aspek kebudayaan dan paradigma modern bermunculan dan itu
menggunakan pemikiran baru yang disebut dengan postmodernisme.
Postmodernisme, lewat para tokoh dan pemikirannya misalnya, menurut
perubahan dalam aktivitas keilmuan, dengan mempertimbangkan aspek
54
subjektivitas, objektivitas, aspek sosial-historis (budaya), aspek bahasa,
paradigma dan kerangka konseptual (yang semuanya berperan dalam
mengembangkan ilmu pengetahuan). Postmodernisme juga mengkritik contohnya
pendekatan strukturalisme yang mendambakan makna objektif teks dalam analisis
teks. Untuk ini, postmodernisme meninggalkan pendekatan strukturalisme
tersebut dan menggantinya dengan pendekatan post-strukturalisme dan
hermeneutika yang lebih memberikan kebebasan penafsiran.
Salah satu ciri yang terpenting dari postmodernisme adalah penolakan
terhadap fundasionalisme. Pandangan fundasionalisme ini tampak salah satunya
misalnya dari pandangan kaum positivisme logis dengan unifierd science-nya.
Postmodernisme juga menolak ilmu pengetahuan yang dianggap bebas nilai, ilmu
pengetahuan yang tidak mengakui keterlibatan subjek dalam penemuan dan
pengembangannya, dan anggapan bahwa bahasa adalah cermin realitas.
Postmodernisme sebaliknya mengakui keterlibatan objek dan subjek dalam
penemuan dan pengembangan ilmu pengetahuan (partisipasi/diakletis), mengakui
pengaruh faktor sosial-historis pada subjek, mengakui “kekayaan kosakata”
seseorang dalam memahami dan menafsirkan berbagai fenomena kehidupan
manusia dan sosial-budaya (teks) dan menerima keanekaragaman (pluralitas)
paradigma ilmiah. Dan ketika postmodernisme menerima keanekaragaman
paradigma (perspektif dalam mengobservasi realitas), maka kebenaran ilmu
pengetahuan pun tidak lagi tunggal, tidak tetap, akan tetapi plural dan berubah,
serta berkembang sejalan dengan perkembangan budaya manusia. Dan ini juga
55
berarti bahwa dalam postmodernisme, berbagai paradigma dan perspektif dapat
tampil dengan ciri-ciri atau “aturan permainan” mereka masing-masing.
B. Sejarah Postmodernisme
Awal mula tumbangnya modernisme dan munculnya postmodernisme
sebenarnya dapat dilacak pada filsafatnya Soren Kierkegaard (1813-1855), yang
menentang rekontruksi-rekontruksi rasional dan masuk akal yang menentukan
keabsahan kebenaran ilmu. Kriteria kebenaran yang berlaku bagi dunia modern
adalah yang rasional dan objektif. Kierkegaard justru berpendapat sebaliknya,
bahwa kebenaran itu bersifat subjektif, “truth is subjectivity”. Pendapat tentang
“kebenaran subjektif‟ ini menekankan pentingnya pengalaman dan relativitas,
yang dialami oleh individu-individu (Maksum, 2016: 269).
Istilah postmodernisme kali pertama digunakan oleh Frederico de Onis
pada 1930-an untuk menyebut gerakan kritik di bidang sastra, khususnya sastra
Pranscis dan Amerika Latin. Onis menyebut tahap modernisme awal antara tahun
1896-1905 dan tahap postmodernisme antara tahun 1905-1914 yang ia sebut
“periode intermezzo” atau pertengahan, dan modernitas yang lebih tinggi
kualitasnya dalam tahap ultramodern antara tahun 1914-1932. Kemudian pada
1947, sejarawan Arnold Toynbee memakai kata postmodern dalam buku A Study
of History. Bagi Toynbee, pengertian postmodern adalah masa yang ditandai
perang, gejolak sosial, evolusi yang menimbulkan anarki, runtuhnya rasionalisme
dan pencerahan. Pada tahun yang sama, Rudolf Panwitz menggunakan istilah
postmodern dalam bukunya Die Krisis de Europaischen Kultur. Dalam buku ini
56
Panwitz menyebut “manusia postmodern” sebagai manusia sehat, kuat, nasionalis,
dan religius yang muncul dari nihilisme Eropa. Dan postmodernisme adalah
puncak modernisme (Maksum, 2016: 262).
Pada 1957, Peter Dricker menulis subjudul Laporan tentang Dunia
Pascamodern dalam bukunya The Landmarks of Tomorrow. Drucker
memperkenalkan istilah postmodern untuk menyebut perkembangan baru dalam
bidang ekonomi yang sudah memasuki zaman pasca industri/pascakapitalis, dan
revolusi gelombang ketiga.
Tahun 1960-an, Irving Hole menulis Mass Society and Postmodern
Fiction. Hole menyebut sastra kontemporer/postmodern berbeda dengan sastra
modern. Menurutnya, sastra postmodern menunjukkan kemerosotan disebabkan
lemahnya para pembaru dan kekuatan penerobosnya. Baginya, sastra postmodern
harus meninggalkan model modern-klasik, dan orang bebas menangkap dan
mengapresiasikan kualitas-kualitas khas dari sastra baru. Kemudian sastra
postmodernisme baru menunjukkan prestasinya yang penting yaitu saat berhasil
menjembatani perbedaan antara kebudayaan elite (high culture) dengan
kebudayaan massa (pop culture) (Maksum, 2016: 263).
Tahun 1970-an, di bidang filsafat dan ilmu pengetahuan, postmodernisme
diperkenalkan oleh Jean Francois Lyotard dalam bukunya The Postmodern
Condition: A Report on Knowledge (1979). Lyotard mengartikan
“postmodernisme” sebagai “ketidakpercayaan terhadap segala bentuk narasi
besar; penolakan filsafat metafisis, filsafat sejarah, dan segala bentuk pemikiran
yang mentotalisasi seperti Hegelianisme, Liberalisme, Marxisme, dan isme-isme
57
lainnya. Postmodernisme, sambil menolak pemikiran yang totaliter, juga
“menghaluskan kepekaan terhadap perbedaan dan memperkuat kemampuan
toleransi terhadap kenyataan yang tak terukur. Prinsipnya lalu bukanlah homologi
para ahli, melainkan paralogi para pencipta.
Pemikiran Lyotard berkisar tentang posisi pengetahuan di abad ilmiah kita,
khususnya tentang cara ilmu dilegitimasikan melalui yang disebutnya “narasi
besar” seperti kebebasan, kemajuan, emansipasi, kaum proletar, dan sebagainya.
Metanarasi itu, menurut Lyotard, telah mengalami nasib yang sama dengan
narasi-narasi besar sebelumnya seperti religi, negara-kebangsaan, keunggulan
Barat, dan sebagainya, yang sulit dipercaya. Dengan katalain, dalam abad ilmiah
ini narasi-narasi besar menjadi tidak mungkin, khususnya narasi tentang peranan
dan kesalihan ilmu itu sendiri. Maka nihilisme, anarkisme, dan pluralisme
“permainan bahasa” pun merajalela. Yang perlu ditunjukkan sekarang adalah
kepekaan baru terhadap perbedaan-perbedaan dan keberanian melawan segala
bentuk totaliterisme (Maksum, 2016: 264).
Dengan pandangan macam itulah, Lyotard membawa istilah
“postmodernisme‟ ke dalam medan diskusi filsafat lebih luas. Sejak saat itu segala
kritik atas pengetahuan universal, atas tradisi metafisik, fondasionalisme maupun
atas modernisme, diidentikkan dengan “postmodern”. Oleh sebab itu, istilah
“postmodernisme” di bidang filsafat dan ilmu pengetahuan memang ambigu; ia
menjadi sekadar istilah yang memayungi hampir segala bentuk kritik atas
modernisme, meskipun satu sama lain berbeda. Dengan demikian, istilah
58
postmodernisme dipahami sebagai “segala bentuk refleksi kritis atas paradigma-
paradigma modern dan atas metafisika pada umumnya” (Maksum, 2016: 265).
Bila kita bicara dari sudut filsafat, maka karakter yang khas dalam
modernisme adalah, bahwa ia selalu berusaha mencari dasar segala pengetahuan
tentang “apa”nya realitas, dengan cara kembali ke subjek yang mengetahui itu
sendiri (dipahami secara psikologis maupun transendental). Di sana diharap
ditemukan kepastian mendasar bagi pengetahuan kita tentang realitas itu, realitas
yang biasanya dibayangkan sebagai “realitas luar”. Kepastian itu persisnya
terdapat dalam hukum logika (Sugiharto, 2016: 33).
Demikian maka klaim-klaim dari kaum postmodernisme tentang
“berakhirnya Modernisme “biasanya dimaksudkan untuk menunjukkan
berakhirnya anggapan modern tentang “subjek” dan “dunia objektif” tadi, dunia
yang seolah sepenuhnya mandiri menanti subjek yang akan membuat representasi
mental tentangnya saja. Lalu postmodernisme dimengerti sebagai upaya-upaya
untuk mengungkapkan segala konsekuensi dari berakhirnya modernisme itu
beserta metafisika tentang fondasionalisme dan representasionalismenya
(Sugiharto, 2016: 33).
Tentang kapan persisnya awal dari tumbangnya modernisme di bidang
filsafat itu ada banyak versi cerita. Dari sudut poststrukturalis, misalnya,
modernisme sudah berakhir sejak serangan-serangan awal atas fenomenologi
(yang dianggap semacam titik kulminasi dari Humanisme). Sedangkan di dunia
yang berbahasa Inggris, modernisme baru tumbang bersama dengan munculnya
„filsafat Post-analitik”. Tapi di wilayah Eropa kontinental modernisme berakhir
59
lebih awal, yaitu konon sudah sejak Nietzsche mengadakan kritik dekonstruktif
atas tradisi metafisik-platonik. Namun gagasan-gagasannya itu memang kurang
membawa efek pada zamannya, sehingga kalau pun ia dianggap sebagai salah
seorang perintis postmodernisme tentu bukanlah dalam artian kronologis,
melainkan dalam „sejarah efektif”nya (bila meminjam istilah Gadamer), yaitu
dalam inspirasi-inspirasi yang dicetuskannya bagi pemikiran-pemikiran abad
keduapuluh ini. Dan sebetulnya pengaruh Nietzsche ini pun baru tampil kuat
lewat penafsiran Heidegger atas Nietzsche, yang problematis itu, lalu juga
diperkuat oleh kultus terhadapnya di kalangan kaum Nietzschean Perancis.
Sedangkan versi lain seperti dianggap awal tumbangnya modernisme. Sayang
awalan ini tak membawa gema panjang (Sugiharto, 2016: 34).
C. Definisi Pendidikan Islam
Istilah pendidikan berasal dari kata “didik” dengan memberinya awalan
“pe‟ dan akhiran “an” yang mengandung arti “perbuatan” (hal, cara, dan
sebagainya). Istilah pendidikan semula berasal dari bahasa Yunani, yaitu
“paedagogie” yang berarti bimbingan yang diberikan kepada anak. Istilah ini
kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris dengan “education” yang
berarti pengembangan atau bimbingan. Dalam bahasa Arab, istilah ini sering
diterjemahkan dengan “tarbiyah” yang berarti pendidikan (Ramayulis, 2015:
111).
Ahmad D. Marimba dalam bukunya Filsafat Pendidikan Islam yang sering
dikutip dalam berbagai pembahasan pendidikan Islam menyatakan bahwa
60
“Pendidikan Islam adalah bimbingan jasmani-rohani berdasarkan hukum-hukum
agama Islam menuju kepada terbentuknya kepribadian utama menurut ukuran
Islam. Dari definisi ini jelas pendidikan Islam diartikan bimbingan jasmani-rohani
menurut hukum agaman Islam menuju terbentuknya kepribadian yang utama
menurut Islam, yang berarti menitikberatkan kepada bimbingan jasmani-rohani
berdasarkan ajaran Islam dalam membentuk akhlak mulia. Dalam definisi ini
tercermin unsur bimbingan jasmani-rohani, berdasarkan hukum-hukum agama
Islam, dan terbentuknya kepribadian utama menurut ukuran Islam (Abdullah,
2001: 34).
Zakiah Daradjat dalam bukunya Ilmu Pendidikan Islam mengemukakan
secara umum dapat dinyatakan bahwa pendidikan Islam itu adalah pembentukan
kepribadian muslim. Selanjutnya digambarkan pengertian pendidikan Islam
dengan pernyataan syariat Islam tidak akan dihayati dan diamalkan orang kalau
hanya diajarkan saja, tetapi harus dididik melalui proses pendidikan. Nabi telah
mengajak kaumnya untuk beriman dan beramal serta berakhlak sesuai dengan
ajaran Islam dengan berbagai metode dan pendekatan. Dari satu segi, pendidikan
Islam lebih banyak ditujukan kepada perbaikan sikap mental yang terwujud dalam
amal perbuatan bagi diri sendiri maupun orang lain. Di segi lain pendidikan Islam
tidak hanya bersifat teoritis tetapi juga praktis. Ajaran Islam tidak memisahkan
iman dan amal saleh, karenanya pendidikan Islam adalah pendidikan iman dan
amal sekaligus. Ajaran Islam berisi ajaran sikap dan tingkah laku pribadi
masyarakat, maka pendidikan Islam adalah pendidikan individu dan masyarakat
(Abdullah, 2001: 38).
61
Dari berbagai definisi pendidikan Islam yang dikemukakan nampak sekali
persoalan usaha membimbing ke arah pembentukan kepribadian, dalam arti
akhlak menjadi perhatian utama, di samping ke arah perkembangan diri dan
berbagai definisi yang ditawarkan, dan hampir sebagian besar terutama pada
bagian awal umumnya lebih bersifat normatif dalam memberikan pengertian,
sehingga sangat terkesan kurang problematis, kurang strategis dan antisipatif
terhadap berbagai masalah pokok yang dihadapi dalam perkembangan kehidupan
manusia dalam rangka menunaikan tugas hidupnya dan sekaligus menjadikannya
mampu menjawab berbagai tantangan dalam kehidupan serta mampu
membuktikan dirinya sebagai insan yang berkualitas dari hasil proses pendidikan
yang dijalaninya (Abdullah, 2001: 40).
Dalam perkembangannya istilah pendidikan berarti bimbingan atau
pertolongan yang diberikan dengan sengaja terhadap anak didik oleh orang
dewasa agar ia menjadi dewasa. Dalam perkembangan selanjutnya, pendidikan
berarti usaha yang dijalankan oleh seseorang atau sekelompok orang untuk
memengaruhi seseorang atau sekelompok orang agar menjadi dewasa atau
mencapai tingkat hidup dan penghidupan yang lebih tinggi (mental). Dengan
demikian pendidikan berarti segala usaha orang dewasa dalam pergaulan dengan
anak-anak untuk memimpin perkembangan jasmani dan rohaninya ke arah
kedewasaan. Dalam konteks ini, orang dewasa yang dimaksud bukan berarti pada
kedewasaan fisik belaka, akan tetapi bisa pula dipahami kepada kedewasaan
psikis (Ramayulis, 2015: 111). Di dalam sistem pendidikan Nasional dijelaskan
bahwa pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana
62
belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan
potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri,
kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan
dirinya, masyarakat, bangsa dan negara (Ramayulis, 2006: 13).
Istilah pendidikan dalam konteks Islam pada umumnya mengacu
kepada term al-Tarbiyah, al-Ta‟dib, al-Ta‟lim (Ramayulis, 2016: 112). Yang
masing-masing memiliki karakteristik makna di samping mempunyai
kesesuaian dalam pengertian pendidikan. Meskipun sesungguhnya terdapat
beberapa istilah lain yang memiliki makna serupa seperti kata tabyin, tadris,
dan riyadhah, akan tetapi ketiga istilah di atas dianggap cukup representatif dan
memang sangat sering digunakan dalam rangka mempelajari makna dasar
pendidikan Islam (Abdullah, 2001: 21).
1. Dalam Al-Qur‟an tidak ditemukan kata al-Tarbiyah, namun terdapat istilah
seakar dengannya, yaitu al-Rabb, rabbayani, murabbiy, yurbiy, dan rabbaniy.
Sedangkan dalam hadist hanya ditemukan kata rabbaniy. Menurut Abdul Mujib
masing-masing tersebut sebenarnya memiliki kesamaan makna, walaupun
dalam konteks tertentu memiliki perbedaan (Ramayulis, 2006: 14).
Menurut Mu‟jam (kamus) kebahasaan, kata al-Tarbiyah memiliki tiga
akar kebahasaan, yaitu:
ربا : يربيو : تربية : .1
Yang memiliki arti tambah (zad) dan berkembang (nama).
Pengertian ini didasarkan atas QS. Ar-Rum: 39.
63
: تربية .2 ربي : يربيو :
Yang memiliki arti tumbuh (nasya‟) dan menjadi besar (tara‟ra‟a).
: تربية .3 :رب يرب :
Yang memiliki arti memperbaiki (ashlaha), menguasai urusan,
memelihara, merawat, menunaikan.
Menurut Abul A‟la al-Maududi kata rabbun (رب) terdiri dari dua huruf
“ra” dan “ba” tasydid yang merupakan pecahan dari kata tarbiyah yang berarti
“pendidikan, pengasuhan, dan sebagainya. Selain itu kata ini mencakup banyak
arti seperti “kekuasaan, perlengkapan pertanggungjawaban, perbaikan,
penyempurnaan, dan lain-lain. Kata ini juga merupakan predikat bagi suatu
kebesaran, keagungan, kekuasaan, dan kepemimpinan (Ramayulis, 2006: 14).
Menurut Khalid al-„Amir menyatakan bahwa menurut ilmu bahasa,
Tarbiyah berasal dari tiga pengertian kata yaitu masing-masing “Rabbaba-
Rabba-Yurabbi” yang artinya “memperbaiki sesuatu dan meluruskan”. Kata
“Rabba” berasal dari suku kata “Ghatha-Yughathi” dan “Halla-Yuhalli” dan
yang artinya “menutupi”. Dari fi‟il “Rabba-Yurabbi” kata “Ar-rabbu-
Tarbiyatan” ditujukan kepada Allah Swt. yang artinya Tuhan segala sesuatu,
raja, dan pemiliknya. Ar-Rabb “Tuhan yang ditaati”, Tuhan yang
memperbaiki”. Juga ditegaskan Ar-Rabbu merupakan masdar yang bermakna
tarbiyah yaitu menyampaikan sesuatu sampai menuju titik kesempurnaan
sedikit demi sedikit (Abdullah, 2001: 23).
MenurutM. Quraish Shihab kata Rabbika disebut dalam Al-Qur‟an
sebanyak 224 kali. Kata tersebut bisa diterjemahkan dengan Tuhanmu. Kata
64
Rabb berasal dari kata Tarbiyah yang berarti Pendidikan. Kata yang bersumber
dari akar kata ini memiliki arti yang berbeda-beda, namun pada akhirnya arti-
arti itu mengacu kepada arti pengembangan, peningkatan, ketinggian,
kelebihan serta perbaikan.
Menurut Zakiah Darajad, kata kerja Rabb yang berarti mendidik sudah
dipergunakan sejak zaman Nabi Muhammad Saw. seperti di dalam Al-Qur‟an
dan hadist. Dalam bentuk kata benda “Rabba” ini digunakan juga untuk
„Tuhan” mungkin karena juga bersifat mendidik, mengasuh, memlihara, dan
mencipta
Dengan demikian kata Tarbiyah itu mempunyai arti yang sangat luas
dan bermacam-macam dalam penggunaannya, dan dapat diartikan menjadi
makna “pendidikan, pemeliharaan, perbaikan, peningkatan, pengembangan,
penciptaan, dan keagungan yang kesemuanya ini menuju dalam rangka
kesempurnaan sesuatu sesuai dengan kedudukannya” (Abdullah, 2001: 25).
Penggunaan term al-Tarbiyah untuk menunjuk makna pendidikan Islam
dapat dipahami dengan merujuk firman Allah Swt.:
Artinya: “Dan rendahkanlah dirimu terhadap mereka berdua dengan penuh
kesayangan dan ucapkanlah: "Wahai Tuhanku, kasihilah mereka keduanya,
65
sebagaimana mereka berdua telah mendidik aku waktu kecil".” (QS. Al-
Isra‟:24)
Dengan demikian, term al-Tarbiyah mengandung arti
pemeliharaan/penjagaan atau pengaturan terhadap segala sesuatu secara luas.
Hal ini menunjukkan bahwa term al-Tarbiyah tersebut mengandung makna
yang melebihi tuntutan dari kata pendidikan tersebut (Ramayulis, 2016: 115).
2. Istilah lain pendidikan adalah Ta‟lim, merupakan masdar dari kata „allama
yang berarti pengajaran yang bersifat pemberian atau penyampaian pengertian,
pengetahuan, dan ketrampilan (Ramayulis, 2006: 14). Jadi, makna ta‟lim dapat
diartikan “pengajaran” seperti dalam bahasa Arab dinyatakan Tarbiyah wa
Ta‟lim berarti “Pendidikan dan Pengajaran”, sedangkan Pendidikan Islam
dalam bahasa Arabnya “at-Tarbiyah al-Islamiyah”. Kata ta‟lim dengan kata
kerja “allama” juga sudah digunakan pada zaman Nabi baik di dalam Al-
Qur‟an maupun hadist serta pemakaian sehari-hari pada masa dulu lebih sering
digunakan daripada Tarbiyah. Kata “allama” memberi pengertian sekadar
memberi tahu atau memberi pengetahuan, tidak mengandung arti pembinaan
kepribadian, karena sedikit sekali kemungkinan ke arah pembentukan
kepribadian yang disebabkan pemberian pengetahuan (Abdullah, 2001: 27).
Penunjukan kata ta‟lim pada pengertian pendidikan, sesuai dengan
firman Allah Swt.:
66
Artinya: “Dan Dia mengajarkan kepada Adam Nama-nama (benda-benda)
seluruhnya, kemudian mengemukakannya kepada Para Malaikat lalu
berfirman: "Sebutkanlah kepada-Ku nama benda-benda itu jika kamu mamang
benar orang-orang yang benar!". (QS. Al-Baqarah: 31)
Berdasarkan pengertian yang ditawarkan dari kata ta‟lim dan ayat di
atas, terlihat pengertian pendidikan yang dimaksudkan mengandung makna
yang terlalu sempit. Pengertian ta‟lim hanya sebatas proses pentransferan
seperangkat nilai antar manusia. Ia hanya dituntut untuk menguasai nilai yang
ditransfer secara kognitif dan psikomotorik, akan tetapi tidak dituntut pada
domain afektif. Ia hanya sekedar memberi tahu atau memberi pengetahuan,
tidak mengandung arti pembinaan kepribadian, karena sedikit sekali
kemungkinan ke arah pembentukan kepribadian yang disebabkan pemberian
pengetahuan (Ramayulis, 2006: 15).
Seperti halnya istilah al-Tarbiyah, term ta‟lim-pun memiliki cakupan
makna yang luas seperti yang tertera di berbagai tempat dalam Al-Qur‟an. Di
antaranya ada yang bermakna informasi pengetahuan yang belum diketahui
manusia sebagai sebuah keutamaan baik melalui lisan maupun tulisan, seperti
yang terdapat dalam QS. Al-Kahfi: 65-66:
67
Artinya: “Lalu mereka bertemu dengan seorang hamba di antara hamba-
hamba Kami, yang telah Kami berikan kepadanya rahmat dari sisi Kami, dan
yang telah Kami ajarkan kepadanya ilmu dari sisi Kami (65). Musa berkata
kepada Khidhr: "Bolehkah aku mengikutimu supaya kamu mengajarkan
kepadaku ilmu yang benar di antara ilmu-ilmu yang telah diajarkan
kepadamu?" (66).” (QS. Al-Kahfi:65-66)
Pada ayat di atas, potongan ayat “‟allama” dengan arti
memberitahukan informasi yang belum diketahui sebelumnya.
Menurut Al-Qur‟an, ta‟lim dengan arti pengajaran telah dimulai
sejak manusia keluar dari perut ibunya masing-masing (sejak kelahiran). Pada
saat manusia muncul pertama kali di alam dunia, mereka tidak tahu apa-apa,
lalu Allah anugerahi mereka dengan berbagai fasilitas kehidupan dan sarana
untuk memperoleh pengetahuan seperti pendengaran, mata, hati, dan lain-
lainnya. Hal ini secara tegas Allah nyatakan dalam Al-Qur‟an (Ramayulis,
2016: 116).
Term “ta‟lim” yang berasal dari akar kata “allama yu‟allimu-ta‟lim”
sebagaimana halnya istilah tarbiyah adalah sama, bersifat transitif (mut‟addiy),
menunjukkan perbuatan secara sengaja dan dilakukan secara berulang-ulang.
Sedangkan kata benda aktifnya (isim fa‟il) adalah “mu‟allim” dengan arti guru.
Dengan demikian, term al-Ta‟lim dengan arti pengajaran merupakan transmisi
pengetahuan. Menurut pandangan Ibrahim „Abdullah al-Thakhis dibatasi oleh
waktu, umur, dan tempat. Sedangkan tarbiyah dimulai sejak kelahiran dan
68
berakhir dengan kematian. Oleh karena itulah, term tarbiyah lebih luas
jangkauannya dibanding dengan term ta‟lim.
Di samping itu, apabila diamati potongan ayat dengan term al-Ta‟lim
dengan berbagai bentuknya, berasal dari kata “alima” dengan arti mengetahui
atau punya ilmu, menunjukkan bahwa, seseorang yang berkiprah dalam
pengajaran itu haruslah menguasai ilmu dalam bidang keahliannya secara
mendalam dan mempunyai wawasan dan ilmu yang luas, dalam bidang ilmu
lainnya.
Berdasarkan analisis kebahasaan dari kata “alima” sebagai asal kata
“al-Ta‟lim” menunjukkan/mengandung konsekuensi bahwa seorang mu‟allim
(guru) dalam pendidikan Islam adalah ilmuan merupakan refleksi dari orang-
orang yang punya kompetensi keahlian (punya skill) dalam bidang ilmu yang
diajarkannya, dan mempunyai wawasan yang luas dalam bidang ilmu lainnya,
terutama yang berkaitan dengan keahliannya (Ramayulis, 2016: 118).
Kata ta‟lim menurut bahasa mempunyai asal kata dan dasar makna
sebagai berikut:
1. Berasal dari kata dasar “allama-ya lamu” yang berarti mengecap atau
memberi tanda.
2. Berasal dari kata dasar “alima-ya lamu” yang berarti mengerti atau
memberi tanda.
Dari kedua makna di atas, Tadjab menyimpulkan makna istilah Ta‟lim
mempunyai pengertian “usaha untuk menjadikan seseorang (anak) mengenal
tanda-tanda yang membedakan sesuatu dari lainnya, dan mempunyai
69
pengetahuan dan pemahaman yang benar tentang sesuatu”. Kata ta‟lim
mempunyai konotasi khusus dan merujuk kepada “ilmu”, sehingga konsep
ta‟lim itu mempunyai pengertian sebagai “pengajaran ilmu” menjadi seseorang
berilmu.
3. Kemudian salah satu konsep kunci utama lain yang merujuk kepada hakikat
dari inti makna pendidikan adalah istilah ta‟dib yang berasal dari kata adab.
Istilah adab dianggap mewakili makna utama pendidikan Islam. Istilah ini
menurut Naquib al-Attas sangat penting dalam rangka memberi arti pendidikan
Islam. Adab adalah disiplin tubuh, jiwa dan ruh; disiplin yang menegaskan
pengenalan dan pengakuan tempat yang tepat hubungannya dengan
kemampuan dan potensi jasmaniah, intelektual dan ruhaniah; pengenalan dan
pengakuan akan kenyataan bahwa ilmu dan wujud ditata secara hierarkis sesuai
dengan tingkat (maratib) dan derajatnya (darajat). Dalam adab akan tercermin
keadilan (adil), kearifan (hikmah). Adab meliputi kehidupan material dan
spiritual. Adab juga bermakna undangan kepada perjamuan yang bisa
membawa kenikmatan ruhaniah, adab melibatkan disiplin pikiran dan jiwa,
tindakan yang betul dan aspek kehormatan. Penekanan adab mencakup amal
dan ilmu sehingga mengkombinasikan ilmu dan amal serta adab secara
harmonis, ketiganya sebagai pendidikan. Pendidikan dalam kenyataannya
adalah ta‟dib karena adab sebagaimana didefinisikan mencakup ilmu dan amal
sekaligus (Abdullah, 2001: 30).
Adapun kata ta‟dib secara bahasa merupakan bentuk masdar dari kata
“addaba” yang berarti memberi adab, mendidik. Adab dalam kehidupan sering
70
diartikan sopan santun yang mencerminkan kepribadian. Istilah ini dalam
kaitan dengan arti pendidikan Islam telah dikemukakan oleh Syed Muhammad
Naquib al-Attas yang menyatakan bahwa istilah ta‟dib merupakan istilah yang
dianggap tepat untuk menunjuk arti Pendidikan Islam. Pengertian ini
didasarkan bahwa arti pendidikan adalah meresapkan dan menanamkan adab
pada manusia, di samping alasan makna kebahasaan lainnya.
Dikemukakan oleh al-Attas bahwa pendidikan dalam kenyataannya
adalah ta‟dib karena adab sebagaimana didefinisikan di sini sudah mencakup
ilmu dan amal. Dalam hadist berbunyi:
(بي مسعودأرواه المسعان عه ) ي ب ي د أ ت ه س ح أ ف ي ن ب د أ
Artinya: Tuhan telah mendidikku, maka Ia sempurnakan pendidikanku (HR.
Ibnu Mas‟an dari Abi Mas‟ud).
Menurut al-Attas, istilah yang paling tepat untuk menunjukkan
pendidikan Islam adalah al-Ta‟dib. Konsep ini didasarkan pada hadis Nabi
seperti di atas.
Kata addaba dalam hadist di atas dimaknai al-Attas sebagai
“mendidik”. Selanjutnya ia mengemukakan, bahwa hadist tersebut bisa
dimaknai kepada “Tuhanku telah membuatku mengenali dan mengakui dengan
adab yang dilakukan secara berangsur-angsur ditanamkan-Nya dalam diriku,
tempat-tempat yang tepat bagi segala sesuatu di dalam penciptaan, sehingga
hal itu membimbingku ke arah pengenalan dan pengakuan tempat-Nya yang
71
tepat di dalam tatanan wujud dan kepribadian, serta sebagai akibatnya Ia telah
membuat pendidikanku yang paling baik.
Berdasarkan batasan tersebut, maka al-Ta‟dib berarti pengenalan dan
pengakuan yang secara berangsur-angsur ditanamkan ke dalam diri manusia
(peserta didik) tentang tempat-tempat yang tepat dari segala sesuatu di dalam
tatanan penciptaan. Dengan pendekatan ini, pendidikan akan berfungsi sebagai
pembimbing ke arah pengenalan dan pengakuan tempat Tuhan yang tepat
dalam tatanan wujud dan kepribadiannya (Ramayulis, 2016: 119).
Istilah al-Ta‟dib, menurut kamus Bahasa Arab “Al-Mu‟jam al-Wasith”
bisa diterjemahkan dengan “pelatihan atau pembiasaan” mempunyai kata dan
makna dasar sebagai berikut:
1) Ta‟dib berasal dari kata dasar “adaba-yu‟adubu” yang berarti melatih,
untuk berperilaku yang baik dan sopan santun.
2) Ta‟dib berasal dari kata “adaba ya‟dibu” yang berarti mengadakan pesta
atau perjamuan yang berarti berbuat dan berperilaku sopan.
3) Kata “addaba” sebagai bentuk kata kerja ta‟dib mengandung pengertian
mendidik, melatih, memperbaiki, mendisiplin, dan memberi tindakan.
Kata addaba ( د ب أ ) yang berarti mendidik menurut Ibnu Manzhur
merupakan padanan kata “allama” (علم) dan oleh Az-Zajjaz dikatakan sebagai
cara Tuhan mengajar Nabi-Nya. Masdar addaba yakni ta‟dib yang telah
diterjemahkan sebagai pendidikan yang mempunyai arti sama, dan kita dapat
rekanan konseptualnya di dalam istilah ta‟lim (Ramayulis, 2006: 15).
72
Istilah al-Ta‟dib sama halnya dengan istilah-istilah sebelumnya tidak
ditemukan di dalam Al-Qur‟an secara eksplisit, namun ada sejumlah hadist
yang memakai term “ta‟dib” dengan bentuk kata kerja (addaba) yang berasal
dari akar kata tsulatsiy mujarrad (addaba) dengan arti „allamhu al-adab
mengajarinya sopan santun atau kebudayaan. Sedangkan istilah “taaddabi”
berarti belajar sopan santun.
Penggunaan istilah al-Tarbiyah terlalu luas untuk mengungkap hakikat
dan operasionalisasi pendidikan Islam. Sebab kata al-Tarbiyah yang memiliki
arti pengasuhan, pemeliharaan, dan kasih sayang tidak hanya digunakan untuk
manusia, akan tetapi uga digunakan untuk melatih dan memelihara binatang
dan makhluk Allah lainnya. Oleh karenanya, penggunaan istilah al-Tarbiyah
tidak memiliki akar yang kuat dalam Khazanah bahasa Arab. Timbulnya istilah
ini dalam dunia Islam merupakan terjemahan dari bahasa Latin “educatio” atau
bahasa Inggris „education”. Kedua kata tersebut dalam batasan pendidikan
Barat lebih banyak menekankan pada aspek fisik dan material. Sementara
pendidikan Islam, penekanannya tidak hanya aspek tersebut, akan tetapi juga
pada aspek psikis dan immaterial. Dengan demikian, istilah al-Ta‟dib
merupakan term yang paling tepat dalam khazanah bahasa Arab karena
mengandung arti ilmu, kearifan, keadilan, kebijaksanaan, pengajaran, dan
pengasuhan yang baik sehingga makna al-Tarbiyah dan al-Ta‟lim sudah
tercakup dalam term al-Ta‟dib (Ramayulis, 2016: 120).
73
BAB IV
PEMBAHASAN
A. Ide Pokok Pemikiran Nurcholish Madjid
Pemikiran Nurcholish Madjid yang sempat menggegerkan kalangan umat
Islam adalah menganjurkan suatu keharusan sekularisme dalam Islam.
Menurutnya, sekularisme berarti pembebasan manusia dari kungkungan cultural,
pemikiran keagamaan yang membelenggu dan mengahalangi manusia untuk
berpikir kritis dalam memahami realitas (Taufik, 2005: 155).
1. Sekularisasi
Nurcholish Madjid pertama kali melontarkan ide yang disebut
sekularisasi. Ide ini dicetuskannya pada waktu memberikan ceramah tahun 70-
an. Menurut Nurcholish Madjid, dengan sekularisasi tidaklah dimaksudkan
penerapan sekularisme dan mengubah kaum muslimin menjadi kaum sekularis,
tetapi dimaksudkan untuk menduniakan nilai-nilai yang sudah semestinya
bersifat duniawi dan melepaskan umat Islam dari kecenderungan untuk
mengukhrowikannya (Saefuddin, 2003: 225).
Menurut Nurcholish, penerapan sekularisme dengan konsekuensi
penghapusan kepercayaan kepada adanya tuhan, jelas dilarang. Agama Islam,
bila diteliti benar-benar, dimulai dengan proses sekularisasi lebih dahulu.
Agama Islam, bila diteliti benar-benar, dimulai dengan proses sekularisasi
lebih dahulu. Justru ajaran Tauhid itu merupakan pangkal tolak proses
sekularisasi secara besar-besaran (Nafis, 2005: 184).
74
Sekularisasi mempunyai hubungan erat dengan sekularisme, karena
berarti pengetrapan sekularisme. Nurcholish Madjid melukiskan seolah-olah
Islam memerintahkan sekularisasi dalam arti tauhid. Kalua soalnya seperti
yang dituturkan Nurcholish, segala sesuatu menjadi arbitrair atau semau gue.
Secara ekstrim boleh saja kata sekularisasi tersebut diganti dengan pisang
goreng, atau kopi jahe atau es jahe dan sebagainya dengan tidak ada
konsekuensi apa-apa. Apabila dikatakan, yang dimaksud dengan pisang goreng
adalah manusia yang mengesakan Tuhan dan menganggap benda-benda lain
yang tidak layak dipuja, maka tak seorangpun yang berhak melarang seseorang
berbuat demikian. Mereka hanya tertawa dalam hati mereka, karena keanehan
istilah tersebut.
Sebenarnya, substansi pemikiran Nurcholish Madjid adalah ia ingin
menempatkan hal-hal yang sifatnya dunia yang profan pada tempatnya dan
sifatnya keakhiratan atau kaitannya dengan masalah teologis juga pada
tempatnya. Namun, tampaknya ia kesulitan dalam menemukan istilah yang
tepat sehingga menimbulkan reaksi yang bertubi-tubi (Saefuddin, 2003: 225).
Gagasan sekularisasi Nurcholish Madjid yang merupakan respon terhadap
fenomena sosial politik yang berkembang ketika itu (pada awal rezim orde
baru) merupakan implementasi gagasan dan pemikiran Nurcholish Madjid
terhadap Islam sebagai agama terbuka dan menganjurkan idea of progrees.
Pada saat yang sama merupakan jawaban Nurcholish Madjid terhadap ajakan
untuk senantiasa berani melakukan ijtihad, termasuk dalam menghadapi dan
merespon persoalan-persoalan Indonesia kontemporer (Azra, 1986: 26).
75
2. Desakralisasi
Desakralisasi, dilihat dari segi bahasa, berasal dari kata Inggris “sacral”,
yang berarti suci, keramat atau angker (Poerwadarminto, 1980: 29). Kata ini
sepadan dengan istilah “demitologisasi”, artinya proses pembuangan nilai-nilai
mitologis. Jadi bila demikian kata „desakralisasi” yang dimaksud adalah suatu
proses pembebasan masyarakat dari belenggu takhayul dari beberapa aspek
kehidupannya, hal ini tidak dimaksudkan penghapusan orientasi keagamaan
dalam norma-norma dan nilai-nilai kemasyarakatan (Madjid, 1992: xxv).
Dengan desakralisasi, Nurcholish Madjid menyerukan kaum Muslim
untuk berhenti menyucikan sesuatu yang memnag tidak suci. Pada masa lalu,
wilayah suci itu relatif terbatas pada objek-objek fisikal yang dikenal
masyarakat awam, sekarang wilayah suci itu berkembang lebih luas dalam
wujud organisasi dan partai. Menurutnya, kalau umat Islam konsekuen dengan
konsep tauhid yang dianutnya, seharusnya terjadi desakralisasi pandangan
terhadap semua yang selain Tuhan, karena tauhid merupakan pemutlakan
transenden semata-mata kepada Tuhan. Sakralisasi kepada semua objek selain
Tuhan, ujarnya, tidak lain adalah bentuk kemusyrikan, lawan dari tauhid (Gaus
AF, 2010: 92).
3. Inklusifisme
Inklusifisme merupakan pemikiran yang memberikan formulasi bahwa
Islam merupakan agama terbuka. Sebagai agama terbuka, Islam menolak
eksklusifisme dan absolutisme dan memberikan apresiasi tinggi terhadap
pluralisme. Di dalam kerangka ini, umat islam harus menjadi golongan
76
terbuka, yang bisa tampil dengan rasa percaya diri dan bersikap ngemong
terhadap golongan lain. Sedangkan penolakan terhadap absolutisme
mengandung makna bahwa Islam memberikan tempat yang tinggi terhadap ide
pertumbuhan dan perkembangan, yakni tentang etos gerak yang dinamis dalam
ajaran Islam (Sofyan & Roychan Madjid: 106).
Apa yang hendak disampaikan oleh Nurcholish Madjid dengan teologi
inklusif ini adalah bahwa Islam merupakan satu sistem yang memberikan
kepedulian terhadap semua orang; termasuk bagi mereka yang bukan muslim.
Di sinilah sebenarnya titik temu antara teologi inklusif dengan pluralisme.
Dengan berpijak pada pemikiran (teologi) Islam inklusif, maka seseorang akan
merasa nyaman dengan pluralisme (Sofyan & Roychan Madjid: 107).
4. Islam dan Ideologi
Menurut Nurcholish Madjid, Islam tidak identik dengan ideology.
Ideology Islam yang berlangsung selama ini dalam masyarakat telah
merelatifasikan Islam sebagai ajaran yang universal. Ideologi, kata Nurcholish
Madjid sangat terikat oelh ruang dan waktu (Saefuddin, 2003: 228).
Nurcholish Madjid berargumentasi bahwa Islam tidak identik dengan
ideologi. Ideologisasi Islam yang berlangsung selama ini dalam masyarakat
telah merelatifkan Islam sebagai ajaran yang universal. Dari pemikiran itu
terlontarlah suatu ungkapan yang amat terkenal yaitu “Islam, yes! Partai Islam,
no!” dari ungkapan itu tampaknya ia berpesan bahwa tidak perlu bahkan tidak
wajib setiap orang masuk partai Islam. Yang paling penting adalah
menjalankan ajaran Islam itu sendiri. Sampai kini pandangan Islam jangan
77
dijadikan asas partai masih dipegang kuat oleh Nurcholish Madjid (Saefuddin,
2003: 230).
B. Konsep Pendidikan Islam Menurut Nurcholish Madjid
Perubahan orientasi pendidikan Islam sudah menjadi keniscayaan dan
tuntutan zaman, terlebih di era globalisasi dewasa ini. namun, sayangnya lembaga
pendidikan Islam kita tertalu lambat menyadari ketertinggalan ini dan tokoh
pendidikan kita terlalu berfikir konservatif dan terjebak pada dikotomi antara
pendidikan agama dan pendidikan umum.
Perubahan pendidikan dari segala aspek pendidikan mejadi koreksi awal
untuk perbaikan aspek nilai yang akan dicapai pada setiap tujuan pendidikan.
Sehingga, dalam implementasinya membutuhkan ketepatan dan kedewasaan
sebagai sistem yang akan dijalankan. Berpangkal pada teologi inklusif, bahwa
Islam adalah agama terbuka, menolak eksklusifisme, absolutisme, serta
memberikan apresiasi yang tinggi terhadap pluralisme
(Fathurkamal.staff.umy.ac.id).
Menempatkan prinsip keagamaan sebagai prinsip kehidupan yaitu
menegaskan nilai-nilai ketuhanan, kemanusiaan, dan keadilan di dalamnya.
Nurcholish Madjid mengasumsikan ketiganya sebagai nilai-nilai dasar perjuangan
keagamaan dan kehidupan untuk memahami Islam secara komprehensif. Ketiga
asaa tersebut dapat digeneralkan sebagai berikut:
78
1. Ketuhanan
Ketuhanan sebagai bentuk kepercayaan manusia terhadap suatu zat.
Kepercayaan itu melahirkan tata nilai guna menopang hidup budayanya.
Ketuhanan merupakan manifestasi suasana batin dan kondisi spiritual
seseorang dalam mencapai kesadaran dan kebenaran hakiki tentang adanya
tuhan. Namun, kecendurang eksklusif tentang kepercayaan, akhlak, ritual, dan
hubungan sosial dipahami dari perspektif hukum syariah masih teramat kaku,
beku, dan mati (Mulkhan, 2002: 3).
Bentuk morfologi dalam segi kepercayaan dan implementasi terhadap
nilai-nilai ketuhanan dan diramu dalam sifat-sifat kemanusiaan, maka sifat-
sifat tersebut merupakan cerminan ketuhanan dan eksistensi ketuhanan Yang
Maha Esa. Suatu ajaran agama (Al-Qur‟an dan Hadits sebagai landasan
beragama) akan memainkan peran masa depan jika bersedia memberi peluang
partisipasi seluruh manusia dalam penafsiran ajaran agama sesuai kapasitas
intelektual yang terus tumbuh dan berkembang dalam wadah sejarah dan
budaya (Mulkhan, 1995: 83).
2. Kemanusiaan
Manusia memiliki potensi sebagai khalifah fil „ardl untuk memelihara
dan memanfaatkan dunia dan seisinya untuk kemakmurannya dan manusia
memiliki suatu fitrah yang tidak dimiliki oleh makhluk lain, yaitu berkeinginan
suci dan secara kodrati cenderung kepada kebenaran (hanif). Bekerja dengan
ikhlas yang memancar dalam hati nurani yang suci untuk memperoleh
kebahagiaan.
79
Dalam masyarakat manusia cenderung ingin mendapat kemerdekaan
pribadi, namun terkadang kemerdekaan pribadi menimbulkan perbedaan
dengan pribadi lain, meskipun itu untuk kebaikannya. Peningkatan
kemanusiaan dapat terjadi jika ada keleluasan untuk mengembangkan
kecakapannya melalui aktifitas dan kerja yang sesuai dengan kecenderungan
dan bakatnya (Mulkhan, 1995: 84). Bahwa inti dari kemanusiaan yang suci
adalah iman dan kerja kemanusiaan atau amal saleh.
Ilmu pengetahuan adalah alat manusia untuk mencari dan menemukan
kebenaran dengan intelegensi dan bimbingan hati nuraninyanya. Meskipun
kebenaran itu relatif tetapi merupakan perjalanan untuk menuju kebenaran
mutlak. Jadi, ilmu pengetahuan adalah persyaratan dari amal saleh. Hanya
mereka yang dibimbing ilmu pengetahuan dapat berjalan di atas kebenaran dan
menyampaikannya dengan kepatuhan kepada Tuhan Yang Maha Esa. Dengan
iman dan keluasan ilmu pengetahuanlah manusia dapat mencapai puncak yang
tertinggi (Mulkhan, 1995: 85).
3. Keadilan
Nurcholish Madjid memandang adanya bentuk keadilan yang menjadi
bentuk sirkulasi mendasar antara kemanusiaan dan berketuhanan. Merupakan
sifat dasar dan keniscayaan manusia dalam hal kekhalifahannya untuk menjadi
manusia yang mulia. Ada beberapa indikator dalam mewujudkan keadilan yang
merata (www.UliParulianSihombing.com):
a. Adanya distribusi yanga dil atas sumber daya ekonomi, sosial, hukum,
dan sebagainya.
80
b. Adanya tindakan afirmatif (diskriminatif positif) untuk masyarakat
marjinal/miskin demi mewujudkan keadilan sosial.
c. Keadilan sosial menekankan kepada kebutuhan masyarakat
marjinal/miskin.
d. Keadilan sosial diimplementasikan atas dasar non diskriminasi dan
persamaan.
e. Keadilan sosial adalah hak konstitusional dan hak azasi.
Menurut Subahar, manusia diberikan unsur „aql dan qalb yang
mempunyai fungsi secara spesifik. Manusia diberikan kebebasan untuk
mengembangkan sekaligus menggunakannya menurut dirinya sendiri di dalam
konteks pendidikan.
C. Analisis Relevansi Postmodernisme Terhadap Pendidikan Islam
Menurut Nurcholish Madjid
Problem paling mendasar pada pendidikan Islam adalah kurangnya
penghayatan terhadap pandangan-pandangan filosofis bagi penyelenggaraan
pendidikan Islam. Sehingga berorientasikan kepada yang tidak idealis atau
pragmatis, ketidakmampuan peserta didik menghadapi tantangan hidupnya, serta
membentuk paradigma yang salah bahwa pendidikan Islam sebagai pecetak
pekerja. Dalam hal ini, Nurcholish madjid menekankan pada proses perenungan
secara mendalam yang tentunya dengan mengarahkan pendidikan Islam tersebut
dalam pembentukan kepribadian muslim, yaitu kepribadian yang seluruh aspek-
aspek merealisasikan atau mencerminkan ajaran Islam. Realisasi ajaran-ajaran
81
Islam yang pada dasarnya bukan hanya dalam segi ubudiyah saja pendidikan
Islam itu berjalan, melainkan juga dalam segi asasi. Kemudian secara logis
kemampuan pribadi anak didik yang telah tertanam dalam dirinya nilai-nilai
ajaran agama secara ubudiyah dan asasi, akan melahirkan konsekuensi yang
mewujud dalam kehidupan sosial kemasyarakatan, sehingga kemudian akan
mewujudkan tatanan hidup masyarakat yang bernuansakan ketuhanan yang penuh
dengan kedamaian dan sikap kebersamaan terhadap sesama yang berujung pada
sikap-sikap pasrah kepada Allah sebagai wujudal-Islam, sikap penuh dengan
kedamaian dan kerelaan yang merupakan wujud dan sikap salam dan sikap
perubahan diri ke arah perbaikan dalam kehidupan masyarakat dengan wujud
Islam di dalamnya.
Dengan ketiga asas dasar nilai-nilai kehidupan dan keagamaan yaitu
ketuhanan, kemanusiaan, dan keadilan, Nurcholish Madjid berharap ada
perubahan ke depan pada pendidikan Islam. Karena dari pendidikanlah umat
Islam ini akan berubah. Mengesampingkan sesuatu yang kecil ataupun besar dan
menghilangkan sikap diskriminatif pada pribadi tertentu, akan membuat
kebenaran dan keyakinan menuju pada kebahagiaan. Penulis memandang sikap-
sikap pribadi yang ekstrem dan fundamental seiring perkembangan zaman
semestinya mereka sadari dan diubah. Bahwa pemahaman agama tidaklah statis
namun haruslah dinamis, agar landasan agama selalu berguna dan sesuai dengan
zamannya. Bukan berarti meragukan keontetikan firman-firman Tuhan, tetapi
perlu adanya pendekatan kritis-progresif terhadap wacana-wacana permasalahan
82
umat kontemporer. Dan itu bisa dilakukan jika umat Islam bisa berfikir modernis,
sekularis, dan inklusif dengan landasan ketuhanan, kemanusiaan, dan keadilan.
83
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan pembahasan dan analisis relevansi postmodernisme terhadap
pendidikan Islam menurut Nurcholish Madjid, maka dapat disimpulkan sebagai
berikut:
1. Ide pokok pemikiran Nurcholish Madjid, yaitu:
a. Sekularisasi
Dengan sekularisasi tidaklah dimaksudkan penerapan sekularisme
dan mengubah kaum muslimin menjadi kaum sekularis, tetapi dimaksudkan
untuk menduniakan nilai-nilai yang sudah semestinya bersifat duniawi dan
melepaskan umat Islam dari kecenderungan untuk mengukhrowikannya.
b. Desakralisasi
Suatu proses pembebasan masyarakat dari belenggu tahayul dari
beberapa aspek kehidupannya, hal ini tidak dimaksudkan penghapusan
orientasi keagamaan dalam norma-norma dan nilai-nilai kemasyarakatan.
c. Inklusifisme
Umat Islam harus menjadi golongan yang terbuka, yang bisa tampil
dengan rasa percaya diri dan bersikap ngemong terhadap golongan lain.
d. Islam dan Ideologi
Bahwa Islam tidak identik dengan ideologi. Ideologisasi Islam yang
berlangsung selama ini dalam masyarakat telah merelatifkan Islam sebagai
ajaran yang universal.
84
2. Konsep pemikiran postmodernisme dalam pendidikan Islam menurut
Nurcholish Madjid adalah sebagai berikut:
a. Ketuhanan
Bentuk morfologi dalam segi kepercayaan dan implementasi terhadap
nilai-nilai ketuhanan dan diramu dalam sifat-sifat kemusiaan, maka sifat-sifat
tersebut merupakan cerminan ketuhanan dan eksistensi ketuhanan Yang Maha
Esa.
b. Kemanusiaan
Inti dari kemanusiaan yang suci adalah iman dan kerja kemanusiaan
atau amal saleh.
c. Keadilan
Merupakan bentuk sirkulasi mendasar antara kemanusiaan dan
berketuhanan. Manusia diberikan unsur „aql dan qalb sehingga diberi
kebebasan untuk mengembangkan sekaligus menggunakannya.
3. Relevansi postmodernisme terhadap pendidikan Islam menurut Nurcholish
Madjid yaitu bahwa pendidikan Islam tersebut mengarahkan dalam pembentukan
kepribadian yang mencerminkan ajaran Islam. Kemudian secara logis kemampuan
pribadi anak didik yang telah tertanam dalam dirinya nilai-nilai ajaran agama akan
melahirkan konsekuensi yang mewujud dalam kehidupan sosial kemasyarakatan,
sehingga kemudian akan mewujudkan tatanan hidup masyarakat yang
bernuansakan ketuhanan yang penuh dengan kedamaian dan sikap kebersamaan
terhadap sesama.
85
B. Saran-Saran
1. Jika ide-ide pokok mengenai postmodernisme dan hendak diaplikasikan
dalam kehidupan masyarakat, maka perlu upaya pencerahan intelektual dan
moral keagamaan yang memadai bagi pengembangan pendidikan Islam
khususnya dan masyarakat luas secara umum, berkenaan dengan pendekatan
baru dalam keilmuan tersebut. Hal ini dimaksudkan agar di satu sisi peserta
didik kian menyadari kebebasan dan haknya untuk berpartisipasi aktif dalam
kehidupan masyarakat.
2. Studi ini hanya terbatas pada persoalan relevansi postmodernisme terhadap
pendidikan Islam, masih perlu dilakukan studi lebih lanjut dan lebih
mendalam mengenai konsep postmodernisme. Oleh karena itu, penulis
mengharap pengembangan budaya produktifitas, kreatifitas karya dan kritis
pada generasi selanjutnya untuk peka terhadap persoalan mendasar dalam
pemikiran kontemporer.
86
DAFTAR PUSTAKA
Achmadi. 2010. Ideologi Pendidikan Islam; Paradigma Humanisme
Teosentris.Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
AF, Ahmad Gaus. 2010. API ISLAM Nurcholish Madjid. Jakarta: PT. Kompas
Media Nusantara: Media Nusantara.
AR, Achmad Reyadi. 2011. Postmodernisme; Perspektif Ajaran Islam dan
Implikasinya Terhadap Pendidikan Islam. Jurnal Tadris, Vol. 6 No. 1,
Juni.
Aziz, Ahmad Amir. 1999. Neo-Modernisme Islam di Indonesia; Gagasan Sentral
Nurcholish Madjid dan Abdurrahman Wahid. Jakarta: PT. Rineka
Cipta.
Barton, Greg. 1999. Gagasan Islam Liberal di Indonesia, Pemikiran Neo-
Modernisme Nurcholish Madjid, Djohan Effendi, Ahmad Wahid, dan
Abdurrahman Wahid, terj., Nanang Tahqiq. Jakarta: Paramadina.
Daradjat, Zakiah. 1996. Ilmu Pendidikan Islam. Jakarta: Bumi Aksara.
Fajar, A. Malik. 1999. Reorientasi Pendidikan Islam. Jakarta: Fajar Dunia.
Hidayat, Komaruddin. 1995. “Kata Pengantar”, dalam Nurcholish Madjid, Islam
Agama Kemanusiaan; Membangun Makna dan Relevansi Islam dalam
Sejarah. Jakarta: Paramadina.
http://Fathurkamal.staff.umy.ac.id. diakses tanggal 29 Maret 2017.
87
http://muhamadqbl.blogspot.com/2010/04.definisi-pendidikan-perbandingan.html
diakses tanggal 29 Maret 2017.
http://UliParulianSihombing.blogspot.com diakses pada tanggal 29 Maret 2017.
Itsariyati, Khusnul. 2010. Konsep Pembaharuan Pendidikan Islam Nurcholish
Madjid; Tinjauan Filosofis dan Metodologis, Skripsi Jurusan
Kependidikan Islam Fakultas Tarbiyah dan Keguruan UIN Sunan
Kalijaga.
Lubis, Akhyar Yusuf. 2015. Pemikiran Kritis Kontemporer; Dari Teori Kritis,
Culture Studies, Feminisme, Postkolonial hingga Multikulturalisme.
Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.
Madjid, Nurcholish. 1987. Islam Kemodernan dan Keindonesiaan. Bandung:
Mizan.
Madjid, Nurcholish. 1992. Islam, Doktrin, dan Peradaban; Sebuah Telaah Kritis
tentang Masalah Keimanan, Kemanusiaan, dan Kemodernan. Jakarta:
Yayasan Wakaf Paramadina.
Madjid, Nurcholish. 1997. Bilik-Bilik Pesantren. Jakarta: Paramadina.
Madjid, Nurcholish. 2007. Khazanah Intelektual Islam. Jakarta: PT. Bulan
Bintang.
Madjid, Nurcholish. 2016. 32 Khotbah Jum‟at Cak Nur; Menghayati Akhlak
Allah dan Khutbah-Khutbah Pilihan Lainnya. Jakarta Selatan: PT.
Mizan Publika.
88
Maksum, Ali. 2016. Pengantar Filsafat dari Masa Klasik Hingga
Postmodernisme. Yogyakarta: Ar-Ruz Media.
Muhtar, Moh. Zainal. 2015. Aktualisasi Pendidikan Agama Islam di Era
Postmodernisme dan Relevansinya dengan Tujuan Pendidikan Islam.
Skripsi. Jurusan Kependidikan Islam Fakultas Tarbiyah dan Keguruan
Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga.
Mukalam. 2013. Postmodernisme dan Filsafat Pendidikan Islam, Jurnal
Pendidikan Islam. Vol. 2 No. 2.
Mulkhan, Abdul Munir. 1995. Teologi Kebudayaan dan Demokrasi Modernitas.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Mulkhan, Abdul Munir. 2002. Nalar Spiritual Pendidikan; Solusi Problem
Filosofis Pendidikan. Yogyakarta: Tiara Wacana.
Nadhif, Ahmad. 2012. Prinsip-Prinsip Postmodern dan Relevansinya dengan
Pendidikan Islam, Skripsi Jurusan Kependidikan islam Fakultas
Tarbiyah dan Keguruan UIN Sunan Kalijaga.
Nadroh, Siti. 1999. Wacana Keagamaan dan Politik Nurcholish Madjid. Jakarta:
Raja Grafindo Persada.
Nafis, Muhammad Wahyuni. 2005. Kesaksian Intelektual. Jakarta Selatan:
Paramadina.
Nata, Abuddin. 2005. Tokoh-Tokoh Pembaharuan Pendidikan Islam di Indonesia.
Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.
89
Nizar, Samsul. 2002. Filsafat Pendidikan Islam Pendekatan Historis, Teoritis,
dan Praktis. Jakarta: Ciputat Press.
Poespowardojo, Soerjanto & Alexander Seran. 2016. Diskursus Teori-Teori
Kritis; Kritik atas Kapitalisme, Modern, dan Kontemporer. Jakarta:
PT. Kompas Media Nusantara.
Qomar, Mujamil. 2005. Pesantren; dari Transformasi Metodologi Menuju
Demokratisasi Institusi. Jakarta: Erlangga.
Ramayulis. 2015. Filsafat Pendidikan Islam; Analisis Filosofis Sistem Pendidikan
Islam. Jakarta: Kalam Mulia.
Ratna, Nyoman Khuta. 2010. Metode Penelitian Sastra. Yogyakarta: Pustaka
Pelajar.
Saefuddin, Didin. 2003. Pemikiran Modern dan Postmodern Islam. Jakarta: PT.
Grasindo.
Siswanto. 2013. Pendidikan Islam Kontekstual. Surabaya: Pena Salsabila.
Sofyan, Ahmad dan Roychan Madjid. 2003. Gagasan Cak Nur tentang Negara
dan Islam. Yogyakarta: Titian Ilahi Press.
Soyomukti, Nurani. 2016. Teori-Teori Pendidikan dari Tradisional, (Neo)
Liberal, Marxis-Sosiolis, Hingga Postmodern. Yogyakarta: Ar-Ruz
Media.
90
Sugiharto, I. Bambang. 2016. Postmodernisme; Tantangan Bagi
Filsafat.Yogyakarta: PT. KANISIUS.
Sugiyono. Metode Penelitian Pendidikan (Pendekatan Kualitatif, Kuantitatif, R &
D). Bandung: Alfabeta.
Taufik, Akhmad. 2005. Sejarah Pemikiran dan Tokoh Modernisasi Islam. Jakarta:
PT. Raja Grafindo Persada.
Tim Penyusun Kamus Besar Bahasa Indonesia. 2005. Kamus Besar Bahasa
Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka.
Vattimo, Gianni. 2016. Akhir Modernitas; Nihilisme dan Hermeneutika dalam
Budaya Postmodern. Yogyakarta: Nusantara Press.
Widodo, Sembodo Ardi. 2007. Problematika Pendidikan Islam (Suatu Tinjauan
dari Aspek Epistemologi) dalam buku Pendidikan Islam di Indonesia
oleh Dr. Abdur Rahman Assegaf, MA., dkk. Yogyakarta: SUKA
Press.
www.wikipedia.org diakses pada tanggal 29 Maret 2017.
Yasmadi. 2002. Modernisasi Pesantren, Kritik Nurcholish Madjid terhadap
Pendidikan Islam Tradisional. Jakarta: Ciputat Press.
DAFTAR RIWAYAT HIDUP
A. Identitas Diri
1. Nama : Annilta Manzilah ‘Adlimah
2. NIM : 111-13-004
3. Fakultas/Jurusan : FTIK/PAI
4. Tempat/Tanggal Lahir : Batang/22 Juli 1995
5. Alamat : Gowok RT. 02 RW. 05, Kel. Pungangan,
Kec. Limpung, Kab. Batang
6. Nama Ayah : Sumardi, S.Pd
7. Nama Ibu : Dra. Kismatun
8. Agama : Islam
B. Pendidikan
1. TK Al-Masyitoh lulus tahun 2001
2. SD N 1 Pungangan lulus tahun 2007
3. SMP N 1 Limpung lulus tahun 2010
4. MAPK MAN 1 Surakarta lulus tahun 2013
Demikian daftar riwayat hidup ini penulis buat dengan sebenar-benarnya.
Batang, 14 Maret 2017
Penulis,
Annilta Manzilah ‘Adlimah