pph

111
PUSAT PENDIDIKAN DAN PELATIHAN PAJAK BADAN PENDIDIKAN DAN PELATIHAN KEUANGAN MODUL PAJAK PENGHASILAN@DTS DASAR PAJAK II HALAMAN i KATA PENGANTAR Tujuan yang ingin dicapai dari Diklat Teknis Substantif Dasar Pajak II, adalah untuk menyiapkan karyawan baru dilingkungan Direktorat Jenderal Pajak yang berasal dari penerimaan Sarjana Baru oleh Departemen Keuangan tahun 2008 yang lalu, menguasai tugas bidang perpajakan. Salah satu kompetensinya adalah memahami dan menguasai secara teknis dan administratif ketentuan formal dan material yang berkaitan dengan Pajak Penghasilan. Guna menunjang sasaran tersebut dipandang perlu untuk memberikan pemahaman dan pengertian Pajak Penghasilan, dalam bentuk modul kepada peserta Diklat dimaksud. Modul ini disusun sesuai dengan perkembangan terakhir dari Pajak Penghasilan, berupa Perubahan dan penyempurnaan Undang-Undang Pajak Penghasilan, melalui perubahan keempat yakni Undang-undang No. 36 Tahun 2008, dari UU No. 7 Tahun 1983. Agar peserta mengetahui anatomi dari UU PPh. yang terkhir ini, penyajian modul ini dimulai dari sejarah keberadaan Pajak Penghasilan di Indonesia, sampai dilakukannya Reformasi dibidang perpajakan diawal tahun 1980-an, terakhir penyempurnaan seperti di singgung diatas, agar didapatkan gambaran yang utuh tentang Pajak Penghasilan. Kami menyadari mungkin penyusunan modul Pajak Penghasilan ini, masih perlu disempurnakan salah satunya. Sampai saat penyusunan modul ini, Peraturan Pemerintah, Peraturan Menteri Keuangan, Peraturan Direktorat Jederal Pajak yang berkaitan dengan pelaksanaan UU No. 36 Tahun 2008, belum lengkap diterbitkan. Akhirnya kepada pembaca kami ucapkan terima kasih atas perhatiannya. Jakarta, 5 Januari 2009. Penyusun, Drs. Fauzi Malik Hak cipta : Seluruh tulisan pada modul ini merupakan milik dari Pusdiklat Pajak BPPK, hasil tulisan dari Widyaiswara Pusdiklat Pajak, Fauzi Malik. Modul ini dapat digunakan dalam rangka proses pembelajaran, dengan tetap mencantumkan penulis dan pemilik sah dokumen ini. Dilarang mengunakan sebagian atau seluruh isi dari modul ini untuk kepentingan komersial.

Upload: rizky-aime-devy

Post on 30-Jun-2015

8.414 views

Category:

Documents


9 download

TRANSCRIPT

Page 1: PPh

PUSAT PENDIDIKAN DAN PELATIHAN PAJAK BADAN PENDIDIKAN DAN PELATIHAN KEUANGAN

MODUL PAJAK PENGHASILAN@DTS DASAR PAJAK II HALAMAN i

KATA PENGANTAR

Tujuan yang ingin dicapai

dari Diklat Teknis Substantif Dasar

Pajak II, adalah untuk menyiapkan

karyawan baru dilingkungan

Direktorat Jenderal Pajak yang

berasal dari penerimaan Sarjana Baru

oleh Departemen Keuangan tahun

2008 yang lalu, menguasai tugas

bidang perpajakan.

Salah satu kompetensinya

adalah memahami dan menguasai

secara teknis dan administratif ketentuan formal dan material yang berkaitan dengan

Pajak Penghasilan.

Guna menunjang sasaran tersebut dipandang perlu untuk memberikan

pemahaman dan pengertian Pajak Penghasilan, dalam bentuk modul kepada peserta

Diklat dimaksud. Modul ini disusun sesuai dengan perkembangan terakhir dari Pajak

Penghasilan, berupa Perubahan dan penyempurnaan Undang-Undang Pajak

Penghasilan, melalui perubahan keempat yakni Undang-undang No. 36 Tahun 2008,

dari UU No. 7 Tahun 1983. Agar peserta mengetahui anatomi dari UU PPh. yang

terkhir ini, penyajian modul ini dimulai dari sejarah keberadaan Pajak Penghasilan di

Indonesia, sampai dilakukannya Reformasi dibidang perpajakan diawal tahun 1980-an,

terakhir penyempurnaan seperti di singgung diatas, agar didapatkan gambaran yang

utuh tentang Pajak Penghasilan.

Kami menyadari mungkin penyusunan modul Pajak Penghasilan ini, masih perlu

disempurnakan salah satunya. Sampai saat penyusunan modul ini, Peraturan

Pemerintah, Peraturan Menteri Keuangan, Peraturan Direktorat Jederal Pajak yang

berkaitan dengan pelaksanaan UU No. 36 Tahun 2008, belum lengkap diterbitkan.

Akhirnya kepada pembaca kami ucapkan terima kasih atas perhatiannya.

Jakarta, 5 Januari 2009. Penyusun, Drs. Fauzi Malik

Hak cipta : �Seluruh tulisan pada modul ini merupakan milik dari Pusdiklat Pajak � BPPK, hasil tulisan dari Widyaiswara Pusdiklat Pajak, Fauzi Malik.� �Modul ini dapat digunakan dalam rangka proses pembelajaran, dengan tetap mencantumkan penulis dan pemilik sah dokumen ini. Dilarang mengunakan sebagian atau seluruh isi dari modul ini untuk kepentingan komersial. �

id34929546 pdfMachine by Broadgun Software - a great PDF writer! - a great PDF creator! - http://www.pdfmachine.com http://www.broadgun.com

Page 2: PPh

PUSAT PENDIDIKAN DAN PELATIHAN PAJAK BADAN PENDIDIKAN DAN PELATIHAN KEUANGAN

MODUL PAJAK PENGHASILAN@DTS DASAR PAJAK II HALAMAN ii

DAFTAR ISI

Halaman Kata Pengantar Daftar isi i Riwayat Singkat dari PPh. di Indonesia, Subjek Pajak dan Bukan Subjek Pajak. 1. Pendahuluan 1 1.1. Deskripsi singkat. 1 1.2. Tujuan Instruksional Umum 1 1.3. Tujuan Instruksional Khusus 1 2. Kegiatan Belajar 1, Riwayat singkat PPh di Indonesia 2.1. Uraian, Contoh. 3 2.1.1. Ordonansi PPd. 1944. 3 2.1.2. Ordonansi Pajak Perseroan 1925 3 2.1.3. Undang-Undang PBDR 1970 3 2.1.4. MPS-MPO, UU No.8 Tahun 1970 4 2.1.5. Tax Reform (Reformasi Perpajakan) 1980-an 4 2.2. Latihan 5 2.3. Rangkuman 6 3. Kegiatan Belajar 2 6 Subjek Pajak dan Non Subjek Pajak. 3.1. Uraian, Contoh 7 3.1.1. Pengertian 7 3.1.2. Subjek Pajak (Dalam dan Luar Negeri) 9 3.1.3. Saat Mulai dan Berakhirnya Kewajiban Pajak Subjektif 12 3.1.4. Tidak termasuk subjek pajak 15 3.2. Latihan 16 3.3. Rangkuman 16 4. Kegiatan Belajar 3 Objek dan Non Objek Pajak pada PPh. 18 4.1. Uraian, dan Contoh 18 4.1.1. Pengertian Penghasilan 18 4.1.2. Penghasilan yang tidak termasuk objek pajak 24 4.2. Latihan 30 4.3. Rangkuman 30

5. Kegiatan Belajar 4 Jenis-jenis Penghasilan yang dikenakan Pajak 33

bersifat Final junto Psl 4 ayat (2) 33 5.1. Uraian, dan penjelasan 36 5.2. Latihan 36 5.3. Rangkuman 36

Page 3: PPh

PUSAT PENDIDIKAN DAN PELATIHAN PAJAK BADAN PENDIDIKAN DAN PELATIHAN KEUANGAN

MODUL PAJAK PENGHASILAN@DTS DASAR PAJAK II HALAMAN iii

6. Kegiatan belajar 5 6.1. Objek Pajak Bentuk Usaha Tetap (BUT) 37 6.2. Latihan 39 6.3. Rangkuman 39

7. Test Formatif 7.1. Pilih salah satu jawaban yang paling tepat 41 7.2. Pilihan B (BETUL), atau S (Salah) 43

8. Kunci jawaban Test Formatif

8.1. Jawaban pilihan yang paling tepat 44 8.2. Jawaban Pilihan B (Betul), atau S (Salah) 44

9. Umpan Balik 44 10. Kegiatan Belajar 6 Biaya yang boleh dan tidak boleh dikurangkan dari Penghasilan Bruto 10.1. Uraian, dan Contoh 45 10.1.1. Pengeluaran (biaya) yang boleh dikurangkan 45 10.1.2. Penghasilan Wanita Kawin 52 10.1.3. Pengeluaran biaya yang Tidak boleh 54 10.1.4. Penilain harta 61 10.1.5. Penyusutan dan Amortisasi 64 10.2. Latihan 71 10.3. Rangkuman 71 10.4. Test Formatif 73 10.5. Pertanyaan, B (Betul), atau S (Salah) 75 10.6. Kunci jawaban Test Formatif 77 10.6.1. Jawaban yang paling tepat 77 10.6.2. Jawaban B(Betul), atau S (Salah) 77 10.7. Umpan Balik. 77

11. Kegiatan Belajar 7

Norma Perhitungan, Cara Menghitung Pajak, dan Tarif. 78 11.1. Norma Penghitungan Penghasilan Neto 78

11. 2. Norma Penghitungan Khusus 80 11. 3. Cara Menghitung Pajak 81 11. 4. Tarif ( Pasal 17) 83 11. 5. Latihan 86 11. 6. Rangkuman 86 11. 7. Test Formatif 88 11. 7. 1. Pilih Jawaban yang paling benar 88 11. 7. 2. Pilihan B (Betul), atau S (Salah) 89 11. 8. Jawaban Test Formatif 90 11. 8. 1. Jawaban pilihan paling benar 90 11. 8. 2. Jawaban B (Betul), atau S (Salah) 90 11. 9. Umpan Balik. 90 12. Kegiatan Belajar 8 91 Pelunasan pajak dalam tahun berjalan, Angsuran Pasal 25, Perhitungan pajak pada akhir tahun pajak, dan Ketentuan lainnya 91 12. 1. Pelunasan pajak tahun berjalan 91 12. 2. Angsuran PPh. Pasal 25 92

Page 4: PPh

PUSAT PENDIDIKAN DAN PELATIHAN PAJAK BADAN PENDIDIKAN DAN PELATIHAN KEUANGAN

MODUL PAJAK PENGHASILAN@DTS DASAR PAJAK II HALAMAN iv

12. 3. Perhitungan pajak pada akhir tahun 96 12. 3. 1. Perhitungan akhir tahun 96 12. 3. 2. Pajak yang lebih bayar (Pasal 28 A) 97 12. 3. 3. Pajak yang kekurangan bayar (Pasal 29) 97 12. 4. Ketentuan lain 98 12. 4. 1. Fasilitas Perpajakan ( Pasal 31 A) 98 12. 4. 2. Pembagian penerimaan Pajak Penghasilan 99 12. 4. 3. Keringanan tarif (Pasal 31 E) 99 12. 5. Latihan 100 12. 6. Rangkuman 101 12. 7. Test Formatif 102 12. 7. 1. Pilihlah jawaban yang paling benar 102 12. 7. 2. Pilihan B (Betul) atau S (Salah 104 12. 8. Kunci Jawaban Test Formatif 105 12. 8. 1. Jawaban Pilihan paling benar 105 12. 8. 2. Jawaban B (Betul) atau S (Salah) 105 12. 9. Umpan Balik 105 DAFTAR KEPUSTAKAAN 106

Page 5: PPh

PUSAT PENDIDIKAN DAN PELATIHAN PAJAK BADAN PENDIDIKAN DAN PELATIHAN KEUANGAN

MODUL PAJAK PENGHASILAN@DTS DASAR PAJAK II HALAMAN v

Page 6: PPh

PUSAT PENDIDIKAN DAN PELATIHAN PAJAK BADAN PENDIDIKAN DAN PELATIHAN KEUANGAN

MODUL PAJAK PENGHASILAN@DTS DASAR PAJAK II HALAMAN 1

RIWAYAT SINGKAT DARI PAJAK PENGHASILAN DI INDONESIA SUBJEK PAJAK DAN BUKAN SUBJEK PAJAK

1. PENDAHULUAN. 1.1. Deskripsi singkat.

Di era tahun 1980-an, sebelum dilakukannya Tax Reform dibidang perpajakan

melalui Undang No. 6 Tahun 1983- KUP, Undang-Undang No. 7 Tahun 1983- Pajak Penghasilan, dan Undang-Undang No.8 Tahun 1984- PPN dan PPn. BM. Untuk orang pribadi dikenakan Pajak Pendapatan melalui Ordonansi PPd. 1944, untuk Badan-Badan dikenakan Pajak Perseroan melalui Ordonansi PPs. 1925, sedangkan untuk jenis-jenis penghasilan berupa Deviden, Bunga dan Royalty dikenakan Pajak atas Bunga, Devidend, dan Royalty (PBDR), melalui UU PBDR 1970. yang sekarang ini menjadi PPh. Pasal 23, sebagaimana diatur dalam Psl 23 UU No. 7 Tahun 1983, sebagaimana telah beberapa kali dirubah terakhir melalui UU No. 36 Tahun 2008 Pajak Penghasilan.. Di tahun 1967, diintrodusir suatu sistem pemungutan pajak yang mengarah kepada sistem Self-Assessment, tetapi masih tahap semi self-assessment yang disebut system MPS-MPO (Menghitung, Menyetor, dan Melapor Pajak Sendiri-MPS, serta Menghitung, Memungut, Menyetor dan Melaporkan Pajak Orang - MPO), melalui UU No. 8 Tahun 1967 juncto Peraturan Pemerintah No. 11 Tahun 1967. Sistem MPS-MPO diterapkan untuk pelaksanaan pemugutan Pajak Pendapatan (PPd ), Pajak Perseroan (PPs), serta Pajak atas Bunga, Devidendan Royalty (PBDR), dan diharapkan sistem ini menuju sistem Self-Assessment, tapi karena beberapa hal antara lain kondisi masyarakat WP, kesiapan aparatur pajak, kondisi administrasi yang belum mendukung pelaksanaannya, maka sistem MPS-MPO ini tidak berjalan sebagaimana diharapkan. Keadaan ini berjalan sampai dengan awal tahun 1980, dan mulai awal tahun 1980 inilah, Pemerintah secara serius dan berketetapan hati melaksanakan pemungutan pajak melalui sistem Self-Assessment dengan melakukan Tax-Reform sebagaimana dijelaskan diatas.

Perjalanan Tax-Reform sampai saat ini selalu mengalami penyempurnaan dan penyesuain dalam rangka kemandirian bangsa Indonesia memenuhi tuntutan APBN yang dari tahun ke tahun selalu meningkat, dimana penerimaan pajak memegang peranan 70 s/d 75 % dari target yang dicantumkan dalam APBN itu sendiri. 1.2. Tujuan Instruksi Umum. Setelah mempelajari modul ini peserta Diklat diharapkan : a. Dapat memahami riwayat singkat dari Pajak Penghasilan b. Dapat mengetahui dan membandingkan serta membedakan Pajak Penghasilan antara

sebelum Tax-Reform dengan setelah Tax-Reform. c. Latar belakang lahir nya sistem Self-Assessment. d. Dapat menjelaskan Subjek Pajak dan non Subjek Pajak e. Dapat memahami objek pajak dan bukan objek pajak. f. Dapat memahami objek pajak yang dikenakan bersifat final. 1.3. Tujuan Instruksi Khusus. Setelah mempelajari modul ini peserta Diklat diharapkan : a. Dapat menjelaskan riwayat pengenaan Pajak Penghasilan, yang dahulunya terdiri dari

PPd, PPs, dan PBDR. b. Dapat menjelaskan latar belakang dilakukannya Tax-Reform. c. Dapat menjelaskan latar belakang lahirnya sistem self-assessment. d. Dapat menjelaskan subjek dan bukan subjek Pajak Penghasilan.

Page 7: PPh

PUSAT PENDIDIKAN DAN PELATIHAN PAJAK BADAN PENDIDIKAN DAN PELATIHAN KEUANGAN

MODUL PAJAK PENGHASILAN@DTS DASAR PAJAK II HALAMAN 2

e. Dapat menjelaskan pembagian subjek pajak berdasarkan domisili. f. Dapat menjelaskan perbedaan perlakuan perpajakan subjek pajak berdasarkan

pembagian domisili dimaksud. g. Dapat menjelaskan mulai dan berakhirnya kewajiban subjek pajak. h. Dapat menjelaskan yang menjadi objek dan tidak objek pajak. i. Dapat menjelaskan pengenaan PPh yang bersifat final.

Page 8: PPh

PUSAT PENDIDIKAN DAN PELATIHAN PAJAK BADAN PENDIDIKAN DAN PELATIHAN KEUANGAN

MODUL PAJAK PENGHASILAN@DTS DASAR PAJAK II HALAMAN 3

2. KEGIATAN BELAJAR 1. RIWAYAT SINGKAT PENGENAAN PAJAK PENGHASILAN DI INDONESIA. 2.1. Uraian, contoh. 2.1.1. UU Pajak Pendapatan 1944 (Ordonansi PPd 1944).

Pajak Pendapatan yang diberlakukan melalui Ordonansi tersebut diatas, berlaku sampai dengan 31 Desember 1983, adalah produk buatan Belanda yang dibuat di Australia.

Tugasnya menetapkan besarnya pajak terutang yang merupakan kontribusi masyarakat kepada negara dalam mengisi kas APBN, berada ditangan fiskus (petugas pajak), yang mencerminkan kurangnya partisipasi serta peran aktif masyarakat wp dalam menentukan besarnya beban pajak yang harus mereka pikul. Besarnya pajak terutang yang harus dibayar ditetapkan melalui suatu lembaga yang dinamakan Surat Ketetapan Pajak (SKP), yang untuk tahun berjalan disebut SKP Sementara, yang kemudian pada akhir tahun diterbitkan lagi SKP Rampung, dengan mengurangkan pajak terutangnya dari SKP Sementara. Subjek Pajaknya dibagi 2 (dua) yaitu : - Subjek Pajak dalam negeri ; dan - Subjek Pajak luar negeri

Yang dalam pelaksanaan hak dan kewajiban perpajakannya terdapat perlakuan yang berbeda, antara lain bagi Subjek dalam negeri berlaku azas domisili, sedangkan bagi Subjek Pajak luar negeri berlaku azas sumber. Objek (sasaran) pajak pada Pajak Pendapatan 1944, menganut pengertian sempit, dimana yang dikenakan pajak hanya pendapatan-pendapatan yang berasal dari 4 sumber pendapatan yaitu : - Hasil dari usaha dan tenaga. - Hasil dari harta bergerak. - Hasil dari harta tak gerak, - Hak atas bayaran berkala.

Pengertian pendapatan selain berbentuk uang, juga bukan uang seperti natura dan atau kenikmatan yang diterima atau diperoleh seseorang.

Tarif pajak yang berlaku ada 2 macam, yaitu : - Tarif umum, ada 19 lapisan tarif progresif, tarif marginal mulai dari 5%

sampai dengan 50%. - Tarif khusus, yang berlaku bagi pendapatan tertentu sebesar 10%

Pendapatan yang dikenakan pajak adalah Pendapatan Bersih, yaitu Pendapatan yang telah diurangi dengan Batas Pendapatan Bebas Pajak (BPBP). Besarnya BPBP setiap tahun ditentukan menurut Keputusan Menteri Keuangan.

2.1.2. Pajak Perseroan (PPs).

Pajak Perseroan yang diatur melalui ordonansi PPs. 1925, juga merupakan

produk hukum buatan Belanda jauh sebelum kemerdekaan berakhir dilaksanakan 31 Desember 1983. Guna mengikuti perkembangan zaman dan situasi, terhadap ordonansi PPs. ini sering dilakukan perubahan dan penyempurnaan disana sini, dimana perubahan terakhir dan mendasar adalah melalui UU No.8 Tahun 1970, Tentang Perubahan & Penyempurnaan Ordonansi PPs. 1925, yang antara lain berisi ketentuan-ketentuan mengenai

Page 9: PPh

PUSAT PENDIDIKAN DAN PELATIHAN PAJAK BADAN PENDIDIKAN DAN PELATIHAN KEUANGAN

MODUL PAJAK PENGHASILAN@DTS DASAR PAJAK II HALAMAN 4

perangsang penanaman dan berbagai bentuk fasilitas perpajakan dalam rangka menampung kegiatan Penanaman Modal Asing (UU No. 1 Tahun 1967, serta Penanaman Modal Dalam Negeri �UU No. 6 Tahun 1968.

Yang menjadi Subjek Pajak pada PPs. adalah Badan-Badan, baik yang modalnya terbagi atas saham atau tidak terbagi atas saham.

Subjek Pajak juga dibedakan dan dibagi atas : - Subjek Pajak dalam negeri ; - Subjek Pajak luar negeri. Pengertian laba yang menjadi objek (sasaran) pengenaan PPs, adalah paham laba material, yaitu berdasarkan kenyataan atau keadaan sebenarnya dari suatu penerimaan/pengeluaran, dan tidak tergantung kepada nama yang diberikan dari suatu penerimaa/pengeluaran.

Demikian pula tidak terikat/dipengaruhi oleh sistem pembukuan, pandangan, pendapat serta pikiran dari si wajib pajak. Kemudian dalam rangka untuk menciptakan iklim yang kondusif dari perkembangan ekonomi, beban pajak diintrodusir bermacam tarif khusus berdasarkan Keputusan Menteri Keuangan. Dengan demikian tarif yang berlaku ada 2 macam yaitu : - Tarif Umum, dan - Tarif Khusus.

Sistem pengenaan pajak juga dilakukan dengan sistem official Assessment dengan menerbitkan Surat Ketetapan Pajak (SKP) Sementara diawal tahun, serta SKP Rampung pada akhir tahun.

2.1.3. Pajak atas Bunga, Deviden, dan Royalty (PBDR)-UU PBDR 1970.

Latar belakang yang melahirkan PBDR, adalah bahwa berdasarkan Ordonansi PPd. 1944, dan Ordonansi PPs. 1925, tidak semua orang dan badan yang bertempat tinggal di luar Indonesia dapat dikenakan pajak walaupun mereka memperoleh/menerima pendapatan dari sumber-sumber yang berasal atau datang dari Indonesia, maka untuk menggali potensi pajak dari sumber-sumber tersebut, lahirlah Perpu No.12 Tahun 1959, yang mengatur pengenaan pajak atas deviden yang dibayarkan ke luar negeri dengan sistem �withholding tax �, yang kemudian lebih terkenal dengan nama

Undang-Undang Pajak Deviden 1959. Dengan terbukanya perekonomian Indonesia terhadap pihak luar, maka

banyak investor dari luar negeri yang melakukan kegiatan baik langsung maupun tidak langsung, membuka kegiatan/usaha/partispasi ke Indonesia sehingga pendapatan bukan hanya dalam bentuk Deviden tapi telah berkembang dalam bentuk lain seperti bunga, dan royalty. Oleh karena itu UU Pajak Deviden diperluas objeknya, dan diganti dengan Undang-Undang Pajak atas Bunga, Deviden, dan Royalti (UU No. 10 Tahun 1970).

Bagi WP dalam negeri, pembayaran PBDR yang dilakukan melalui pemotongan tersebut, merupakan pembayaran pajak dimuka (cicilan) dari Pajak yang terutang pada akhir tahun melalui perhitungan SKP Rampung. Bagi WP luar negeri pemotongan PBDR merupakan pembayaran pajak bersifat final.

2.1.4. Menghitung Pajak Sendiri (MPS), dan Menghitung Pajak Orang lain

(MPO)

Sistem ini diintrodusir melalui UU No. 8 Tahun 1967, juncto PP No. 11 Thn 1967. MPS-MPO merupakan tatacara (sistem) dari pelaksanaan pemenuhan

Page 10: PPh

PUSAT PENDIDIKAN DAN PELATIHAN PAJAK BADAN PENDIDIKAN DAN PELATIHAN KEUANGAN

MODUL PAJAK PENGHASILAN@DTS DASAR PAJAK II HALAMAN 5

Pajak Pendapatan, Pajak Perseroan, termasuk juga Pajak Kekayaan, dan bukan jenis pajak baru.

Dengan sistem ini WP diberi kepercayaan untuk Menghitung, Menyetor, serta Melaporkan kewajiban pajaknya sendiri, selama tahun berjalan, walaupun pada akhir tahun besarnya pajak terutang kembali ditetapkan oleh Fiskus secara jabatan melalui penerbitan Surat Ketetapan Pajak Rampung, sehingga dapat disebut sistem semi self-assessment. Di lain pihak sistem MPO, adalah Menghitung, Memungut, Menyetor, dan Melaporkan Pajak Orang lain, apabila berhubungan dengan pihak yang ditunjuk oleh Kantor Pajak sebagai pemungut. Kepada yang kena pungut oleh pemungut diberikan bukti pungutan yang dapat digunakan oleh yang bersangkutan sebagai pengurang pajak terutang pada akhir tahun. Sistem MPS-MPO berjalan secara paralel selama tahun berjalan, dan sistem inilah yang menjadi cikal bakal lahirnya sistem Self-Assessment pada saat sekarang. Kedua tatacara pembayaran dan pemotongan akan menjadi kredit pajak (pembayaran dimuka) pada akhir tahun pajak.

Ekses yang terjadi dari pelaksanaan sistem MPS-MPO dalam praktek, menjelmanya MPO menjadi jenis pajak tersendiri, ini terlihat dari laporan penerimaan pajak yang dipublikasikan Direktorat Jenderal Pajak diera tersebut, dengan mencantumkan besarnya penerimaan MPO setiap tahun, di samping penerimaan Pajak Pendapatan, PPs, dan Pajak Kekayaan, suatu hal menyimpang dari tujuan MPO sebagai salah satu sistem mengangsur pajak terutang selama tahun berjalan.

2.1.5. Pembaharuan Pajak (Tax-Reform) awal Tahun 1980-an.

Bercermin pada kegagalan pelaksanaan MPS-MPO, disamping

adanya tuntutan yang mendesak, perlunya diadakan pembaharuan secara menyeluruh dari system perpajakan, dalam rangka memenuhi tuntutan APBN yang makin tahun semakin meningkat, pemerintah melaksanakan Tax- Reform secara menyeluruh dibidang perpajakan, dengan mendapat bantuan serta pandangan secara teknis dari expert luar negeri, dengan tetap memperhatikan landasan berpikir undang-undang perpajakan yang telah ada seperti PPd, PPs, Pajak Kekayaan, PBDR, IPEDA (pada waktu itu), serta sistem MPS-MPO yang masih bersifat semi Self-Assessment.

Arah dan tujuan yang hendak dicapai dari Tax �Reform, sesuai dengan mukaddimah yang tercantum yang melatar belakangi pembaruan perpajakan adalah :

a. Keikut sertaan serta partisipasi anggota masyarakat untuk bersama-sama secara gotong royong memikul beban pembiayaan dan pembangunan, dalam bentuk kontribusi membayar pajak, dalam rangka kemandirian bangsa.

b. Lebih memberikan kepastian hukum dan keadilan bagi masyarakat sebagai pembayar pajak

c. Menunjang kebijakan pemerintah dalam rangka meningkatkan pertumbuhan pemerataan, pembangunan, dan investasi diseluruh wilayah RI.

d. Menunjang usaha peningkatan ekspor, terutama ekspor non migas, barang hasil olahan dan jasa-jasa dalam rangka meningkatkan perolehan devisa.

e. Menunjang usaha pengembangan usaha kecil, untuk mengoptimalkan pengembangan potensinya, dalam rangka pengentasan kemiskinan.

f. Menunjang pengembangan sumber daya manusia, ilmu pengetahuan, dan teknologi, pelestarian ekosistem, sumbar daya alam dan lingkungan hidup.

Page 11: PPh

PUSAT PENDIDIKAN DAN PELATIHAN PAJAK BADAN PENDIDIKAN DAN PELATIHAN KEUANGAN

MODUL PAJAK PENGHASILAN@DTS DASAR PAJAK II HALAMAN 6

g. Menunjang usaha terciptanya aparat perpajakan yang makin mampu dan makin bersih, peningkatan pelayanan kepada wajib pajak, termasuk penyederhanaan, dan kemudahaan prosedur dalam pemenuhan kewajiban perpajakan, peningkatan pengawasan atas pelaksanaan pemenuhan kewajiban perpajakan tersebut, termasuk peningkatan penegakan pelaksanaan ketentuan hukum yang berlaku.

h. Mencegah timbulnya pengenaan pajak yang berganda, dan mencegah terjadi penghindaran dari kewajiban membayar pajak.

i. Penyederhanaan sistem tarip pajak, serta mencegah terjadi penyeludupan pajak yang merugikan pendapatan negara.

Dengan dilandasi serta latar belakang yang disebut diatas maka lahirlah :

1. Undang-Undang No. 6 Tahun 1983, Tentang Ketentuan Umum dan Tatacara Perpajakan atau disingkat KUP.

2. Undang-Undang No. 7 Tahun 1983, Tentang Pajak Penghasilan (PPh). 3. Undang-Undang No. 8 Tahun 1984, Tentang Pajak Pertambahan Nilai

Barang dan Jasa, serta Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPN-PPn.BM).

Tiga UU ini kemudian disusul dengan 2 UU lagi yaitu ;

1. Undang-Undang No.12 Thn 1985, Tentang Pajak Bumi dan Bangunan (PBB).

2. Undang �Undang No. 13 Tahun 1985, Tentang Bea Meterai (BM). Seluruh UU yang disebut diatas, kecuali UU Bea Meterai (UU No.13), telah

mengalami beberapa kali perubahan dan penyempurnaan, yang selanjutnya akan dibahas pada bab-bab berikutnya.

2.2. Latihan 1.

a. Jelaskan jenis pajak apa yang diatur dengan Ordonansi PPd. 1944. dan bagaimana pengaturannya setelah dilakukannya tax-reform

b. Ordonansi PPs. 1925 mengatur jenis pajak apa ?, dan apa perbedaan objek pajaknya dengan objek pajak menurut Undang-Undang Pajak Penghasilan.

c. Terangkan apa yang saudara ketahui dengan PBDR, dan dimana ketentuan yang sama pengaturannya dalam Pajak Penghasilan.

d. Apa kaitannya antara sistem MPS-MPO dengan PPd, PPs, dan apa pula sebabnya sistem MPS-MPO ini tidak berjalan sebagaimana diharapkan.

e. Jelaskan yang melatar belakangi dilakukannya Tax-Reform, dan jenis pajak apa yang mengalami pembaruan, dan bagaimana kondisi dari UU Pajak yang diperbaharui tersebut saat ini.

2.3. Rangkuman.

a. Sebelum Reformasi perpajakan, pengenaan pajak atas orang pribadi

menggunakan Ordonansi, PPd. 1944, sedangkan untuk badan menerapkan Ordonansi PPs. 1925,

b. Atas pendapatan berbentuk bunga, deviden, dan royalty, dikenakan Pajak atas Bunga, Deviden, dan Royalty (PBDR- UU No. 10 Tahun 1970), yang sebelumnya hanya dikenakan Pajak Deviden, melalui UU Pajak Deviden 1959.

c. Baik PPd. maupun PPs. membagi klassifikasi WP, atas wp dalam negeri dan wp luar negeri.

d. Untuk kelancaran pelaksanaan pengenaan PPd, maupun PPs, diintrodusir suatu sistem (tatacara) yang disebut MPS-MPO, melalui UU No. 8 Tahun 1967 juncto PP No. 11 11 Tahun 1967.

Page 12: PPh

PUSAT PENDIDIKAN DAN PELATIHAN PAJAK BADAN PENDIDIKAN DAN PELATIHAN KEUANGAN

MODUL PAJAK PENGHASILAN@DTS DASAR PAJAK II HALAMAN 7

e. Seiring dengan perkembangan zaman, serta meningkatnya tuntutan APBN dari tahun ketahun, pemerintah melakukan reformasi menyeluruh bidang perpajakan, maka lahirlah 3 UU Perpajakan baru (KUP, PPh, serta PPN-PPn. BM), diera tahun 1980-an awal, yang kemudian direntang waktu sekitar 2 tahun, dicetuskan lagi 2 UU baru (PBB, dan Bea Meterai.).

f. Sampai dengan saat modul ini dibuat, kecuali UU Bea Meterai, 4 UU Perpajakan telah mengalami beberapa kali perubahan dan penyempurnaan.

g. UU Perpajakan yang lahir melalui reformasi perpajakan, menerapkan sistem Self- Assessment dalam pelaksanaannya, yang sebelumnya telah dirintis melalui tatacara MPS-MPO.

h. Perkembangan teknologi dunia usaha, termasuk perkembangan teknologi dan informasi, mengilhami perlunya melakukan perubahan dalam tata kelola penerimaan pajak.

3. KEGIATAN BELAJAR 2. SUBJEK DAN NON SUBJEK PAJAK. 3.1. Uraian, dan contoh. 3.1.1. Pengertian :

Menurut Pasal 1 UU No. 7 Tahun 1983, sebagaimana telah dirubah dan disempurnakan terakhir dengan UU No. 36 Tahun 2008- Pajak Penghasilan, �Pajak Penghasilan dikenakan terhadap Subjek Pajak atas Penghasilan yang

diterima atau diperoleh dalam tahun pajak�. Selanjutnya dalam Pasal 2 ayat (1) nya dijelaskan, bahwa yang menjadi subjek pajak dalam Pajak Penghasilan adalah : a. Orang Pribadi (Perseorangan) ; b. Warisan yang belum terbagi, sebagai satu kesatuan. c. Badan ; d. Bentuk Usaha Tetap (BUT). Penjelasan selanjutnya Pasal 2 ayat (1) adalah, Orang Pribadi sebagai Subjek Pajak dapat bertempat tinggal di Indonesia, atau pun tidak bertempat tinggal di Indonesia. Warisan sebagai Subjek Pajak, merupakan subjek pajak pengganti, menggantikan mereka yang berhak dikemudian hari, ini menjadi dasar agar pengenaan pajak dari warisan tersebut tetap terjamin, berhubung misalnya yang punya harta (warisan) semasa hidup tidak menetapkan siapa yang bertanggung jawab dikemudian hari apabila yang bersangkutan meninggal dunia. Contoh : Ahmad semasa hidup memiliki usaha bengkel mobil yang selalu tetap memenuhi kewajiban pajaknya setiap tahun. Suatu saat Ahmad meninggal, harta (warisan berupa bengkel mobil) belum dibagikan kepada ahli waris, maka selama belum dibagikan harta (bengkel mobil) tersebut, berstatus sebagai subjek pajak. Apabila harta (bengkel mobil) dimaksud, telah dibagikan (ditetapkan) pemilik barunya, maka warisan (harta) tersebut berakhir kedudukannya sebagai subjek pajak. Berdasarkan Keputusan Direktur Jenderal Pajak No. KEP-161/PJ./2001, Tgl 21 Pebruari 2001, Tentang Jangka Waktu Pendaftaran, Pelaporan Kegiatan Usaha, dan Tatacara Penghapusan NPWP, serta Pengukuhan Dan Pencabutan PKP, pada pasal 10 menyebutkan, bahwa dalam hal wajib pajak yang telah memiliki NPWP meninggal dunia, dan meninggalkan warisan yang belum terbagi, maka warisan yang belum terbagi tadi kedudukannya sebagai subjek pajak, menggunakan NPWP dari wajib pajak yang meninggal dunia, dan ahli warisnya wajib mengisi formulir yang ditentukan, dan dalam menghitung Penghasilan Kena Pajak (PKP)nya, tidak diberikan pengurangan berupa

Page 13: PPh

PUSAT PENDIDIKAN DAN PELATIHAN PAJAK BADAN PENDIDIKAN DAN PELATIHAN KEUANGAN

MODUL PAJAK PENGHASILAN@DTS DASAR PAJAK II HALAMAN 8

Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP), sebagaimana ditegaskan dalam Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak No. SE-10/PJ.41/1996, Tgl 12 Pebruari 1996.

Pengertian Badan sebagai subjek pajak, adalah sekumpulan orang dan atau modal yang merupakan satu kesatuan, baik yang melakukan usaha maupun tidak melakukan usaha, yang meliputi Perseroan Terbatas, Perseroan Komanditer (CV), Perseroan lainnya, Badan Usaha Milik Negara/Daerah dengan nama dan dalam bentuk apapun, Firma, Kongsi, Koperasi, Dana Pensiun, Persekutuan, Perkumpulan, Yayasan, Organisasi masa, Orgaisasi sosial politik, atau organisasi yang sejenis, Lembaga, Bentuk Usaha Tetap, dan bentuk badan lainnya, termasuk Reksa dana. Dalam UU ini, Bentuk Usaha Tetap ditentukan sebagai subjek pajak tersendiri sebagai Subjek Pajak Luar Negeri, sekalipun tatacara pengenaannya serta ketentuan administrasi perpajakannya sama dengan wajib pajak dalam negeri.Badan Usaha Milik Negara dan Badan Usaha Milik Daerah, merupakan Subjek Pajak, tanpa memperhatikan nama dan bentuknya, sehingga setiap unit dari badan pemerintah, misalnya lembaga, badan, dan sebagainya yang dimiliki oleh pemerintah pusat, maupun pemerintah daerah, yang menjalankan usaha atau melakukan kegiatan untuk memperoleh penghasilan merupakan subjek pajak. Sebagai subjek pajak perusahaan Reksadana, baik yang berbentuk perseroan terbatas, maupun bentuk lainnya, termasuk dalam pengertian badan. Sedangkan pengertian perkumpulan termasuk pula assosiasi, persatuan, perhimpunan, atau ikatan dari pihak-pihak yang mempunyai kepentingan yang sama.

Selanjutnya dalam Pasal 2 ayat (5), UU No. 36 Tahun 2008-PPh, dijelaskan bahwa yang dimaksud dengan Bentuk Usaha Tetap, adalah bentuk usaha yang dipergunakan oleh orang pribadi yang tidak bertempat tinggal di Indonesia, atau yang berada di Indonesia tidak lebih dari 183 hari dalam jangka waktu 12 bulan, atau badan yang tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia untuk menjalankan usaha atau kegiatan di Indonesia, yang dapat berupa: a. Tempat kedudukan manajemen ; b. Cabang Perusahaan ; c. Kantor Perwakilan ; d. Gedung Kantor ; e. Pabrik ; f. Bengkel ; g. Gudang ; h. Ruang untuk promosi dan penjualan. i. Pertambangan dan penggalian sumber alam ; j Wilayah kerja pertambangan minyak dan gas bumi ; k. Proyek konstruksi, instalasi, atau proyek perakitan ; m. Pemberian jasa dalam bentuk apapun oleh pegawai atau orang lain,

sepanjang dilakukan lebih dari 60 (enam puluh) hari dalam jangka waktu 12(dua belas) bln;

n. Orang atau badan yang bertindak selaku agen yang kedudukannya tidak bebas ;

o. Agen atau pegawai perusahaan asuransi yang tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia yang dapat menerima premi asuransi atau menanggung resiko di Indonesia ; dan

p. Komputer, agen elektronik, atau peralatan otomatis yang dimiliki, disewa, atau digunakan oleh penyelenggara transaksi elektronik untuk menjalankan usaha melalui internet.

Page 14: PPh

PUSAT PENDIDIKAN DAN PELATIHAN PAJAK BADAN PENDIDIKAN DAN PELATIHAN KEUANGAN

MODUL PAJAK PENGHASILAN@DTS DASAR PAJAK II HALAMAN 9

Seterusnya menurut penjelasan pasal 2 ayat (5) UU No. 36 Tahun 2008, menyatakan bahwa suatu bentuk usaha tetap mengandung pengertian adanya suatu tempat usaha (�place of bussiness�), yaitu fasilitas yang dapat

berupa tanah dan gedung termasuk juga mesin-mesin, peralatan, gudang dan komputer atau agen elektronik atau peralatan otomatis (automated equipment), yang dimiliki, disewa, atau digunakan oleh penyelenggara transaksi elektronik untuk menjalankan aktivitas usaha melalui internet. Tempat usaha tersebut bersifat permanen dan digunakan untuk menjalankan usaha atau melakukan kegiatan dari orang pribadi yang tidak bertempat tinggal atau badan yang tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia.

Pengertian bentuk usaha tetap mencakup pula orang pribadi atau badan selaku agen yang kedudukannya tidak bebas yang bertindak untuk dan atas nama orang pribadi atau badan yang tidak bertempat tinggal atau tidak bertempat kedudukan di Indonesia.

Orang pribadi yang tidak bertempat tinggal atau badan yang tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia, tidak dapat dianggap mempunyai bentuk usaha tetap di Indonesia, apabila orang pribadi atau badan dalam menjalankan usaha, atau melakukan kegiatan di Indonesia, menggunakan, broker atau perantara yang mempunyai kedudukan bebas, asalkan agen atau perantara tersebut dalam kenyataannya bertindak sepenuhnya dalam rangka menjalankan perusahaannya sendiri.

Perusahaan asuransi yang didirikan dan bertempat tinggal diluar Indonesia, dianggap mempunyai bentuk usaha tetap di Indonesia, apabila perusahaan asuransi tersebut menerima pembayaran premi asuransi di Indonesia, atau menanggung resiko di Indonesia melalui pegawai atau perwakilan atau agennya di Indonesia. Menanggung resiko di Indonesia tidak berarti bahwa peristiwa yang mengakibatkan resiko tersebut terjadi di Indonesia. Yang perlu diperhatikan adalah bahwa pihak tertanggung bertempat tinggal, atau berada atau bertempat kedudukan di Indonesia.

Selanjutnya dalam penjelasan pasal 2 ayat (1) huruf b, UU No. 36 Tahun 2008, unit usaha tertentu dari badan pemerintah yang memenuhi kriteria berikut, tidak termasuk sebagai subjek pajak yaitu : a. Dibentuk berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku. b. Dibiayai dengan dana yang bersumber dari APBN atau APBD. c. Penerimaan lembaga tersebut dimasukan dalam anggaran pemerintah

pusat atau pemerintah daerah. d. Pembukuannya diperiksa oleh aparat pengawasan funfsional negara. Apabila suatu badan/lembaga memenuhi syarat�syarat tersebut diatas, maka ia tidak termasuk subjek pajak penghasilan. Sebalikya apabila syarat-syarat tersebut tidak dipenuhi, maka badan/lembaga tersebut adalah subjek pajak pada pajak penghasilan.

3.1.2. Subjek Pajak dalam negeri dan Subjek Pajak luar negeri.

Pasal 2 ayat (2) Undang-Undang No. 36 Tahun 2008, menjelaskan bahwa subjek pajak terdiri dari subjek pajak dalam negeri dan subjek pajak luar negeri. Selanjutnya dalam pasal tersebut dijelaskan subjek pajak menjadi wajib pajak, apabila telah menerima atau memperoleh penghasilan, sedangkan subjek pajak luar negeri menjadi wajib pajak sehubungan dengan penghasilan yang diterima

Page 15: PPh

PUSAT PENDIDIKAN DAN PELATIHAN PAJAK BADAN PENDIDIKAN DAN PELATIHAN KEUANGAN

MODUL PAJAK PENGHASILAN@DTS DASAR PAJAK II HALAMAN 10

atau diperoleh dari sumber di Indonesia. Dengan perkataan lain wajib pajak adalah orang pribadi atau badan, yang telah memenuhi kewajiban subjektif dan objektif. Terdapat perbedaan perlakuan antara subjek pajak dalam negeri dengan subjek pajak luar negeri, antara lain seperti tertera pada tabel dibawah :

No. Uraian Subjek Pajak(WP) DN Subjek Pajak LN.

1. Ruang lingkup Penghasilan

Meliputi Penghasilan Seluruh dunia. Hanya Penghasilan dari Indonesia.

2.. Kewajiban memiliki NPWP

Wajib memiliki NPWP. Tidak Wajib memiliki NPWP.

3. Kewajiban menyampaikan SPT

Terdapat kewajiban menyampaikan baik SPT Masa maupun SPT Tahunan.

Tidak ada kewajiban SPT.

4. Penghasilan yg dikenakan Pajak

a. Penghasilan Neto bagi WP Badan b. Penghasilan Kena Pajak bagi WP . Orang Pribadi.

Penghasilan Bruto.

5. Tarif.

a. Dikenakan Tarif Pasal 17, yaitu : - Tarif tunggal 28% - WP Badan. - 5%, 15%, 25%, dan 35% WP OP b. Dikenakan Tarif PPh. Final (Psl 4 ayat 2.

Dikenakan Tarif Khusus Psl 26, Atau seseuai dengan Tarif menurut P3B (Tax-Treaty).

6. Pembayaran Pajak Tahun Berjalan.

Merupakan angsuran dari PPh yang terutang pada akhir tahun, kecuali yang Final

Merupakan pembayaran yang Final kecuali yang berubah status.

7. Subjek Pajak Orang Pribadi

Dapat pengurangan beban PTKP Tidak dapat pengurang PTKP.

8. Keberatan dan Banding Mempunyai Hak dimaksud. Tidak mempunyai hak dimaksud

9. Pembukuan dan Pencatatan

Diwajibkan menyelenggarakan. Tidak terdapat kewajiban tsb.

Khusus WP Luar Negeri Bentuk Usaha Tetap (BUT), perlakuan perpajakannya, dan ketentuan yang diterapkan dipersamakan dengan WP Dalam Negeri, seakan-akan terdapatnya pengertian yang tidak konsisten terhadap subjek pajak luar negeri. Rumusan dari subjek pajak dalam negeri terdapat dalam Psl 2 ayat (3) UU No. 36 Tahun 2008, yaitu : a. Orang Pribadi yang bertempat tinggal di Indonesia atau orang pribadi yang berada di

Indonesia lebih dari 183 (seratus delapan puluh tiga) hari dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan, atau orang pribadi yang dalam satu tahun pajak berada di Indonesia dan mempunyai niat bertempat tinggal di Indonesia.

b. Badan yang didirikan atau bertempat kedudukan di Indonesia. c. Warisan yang belum terbagi sebagai satu kesatuan, menggantikan yang berhak. Pengertian 183 hari dalam 12 bulan tidak harus berturut- turut, tapi bisa juga diselang seling yang penting jumlah harinya mencapai 183 hari, begitu pula bagi yang mempunyai niat, tidak harus menunggu mencapai 183 hari, tapi niat dimaksud dibuktikan dengan mengurus legalisasi kependudukan, semisal keterangan izin menetap, kartu penduduk dan lain sebagainya.

Selanjutnya pengertian Badan, bukan hanya yang menerbitkan/mengeluarkan saham, tetapi juga yang tidak menerbitkan saham, termasuk kegiatan yang dikelola lebih dari satu orang, demikian juga organisasi-organisasi yang nirlaba semisal partai politik, perkumpulan sosial, kemasyarakatan (LSM).

Warisan yang belum terbagi, sebagai satu kesatuan menggantikan mereka berhak, untuk menjamin penerimaan negara dari pajak, seandainya yang punya waris tidak meninggalkan wasiat/pesan/amanah, siapa yang harus bertanggung jawab, atau kepada

Page 16: PPh

PUSAT PENDIDIKAN DAN PELATIHAN PAJAK BADAN PENDIDIKAN DAN PELATIHAN KEUANGAN

MODUL PAJAK PENGHASILAN@DTS DASAR PAJAK II HALAMAN 11

siapa harta tersebut diberikan apabila yang punya harta ini meninggal dikemudian hari, apalagi kalau pembagian waris berlarut-berlarut sementara kewajiban perpajakannya tidak ada yang mau bertanggung jawab. Oleh karena keberadaan Warisan yang belum dibagi sebagai subjek pajak, hanya sampai warisan selesai dibagi, artinya tidak bersifat permanen, maka dalam memenuhi kewajiban perpajakannya, cukup menggunakan NPWP yang meninggal. Terhadap warisan yang belum terbagi yang ditinggalkan oleh subjek pajak luar negeri yang tidak menjalankan usaha atau kegiatan di Indonesia melalui Bentuk Usaha Tetap (BUT), dengan meninggalnya yang bersangkutan gugur statusnya sebagai subjek pajak, hal ini dikarenakan subjek pajak orang pribadi melekat pada orangnya, tidak ada istilah subjek pengganti.

Selanjutnya Pasal 2 ayat (4), UU No. 36 Tahun 2008, menjelaskan pengertian subjek pajak luar negeri yakni : a. Orang Pribadi yang tidak bertempat tinggal di Indonesia atau berada di Indonesia tidak

lebih dari 183 (seratus delapan puluh tiga) hari dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan, dan badan yang tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia, yang menjalankan usaha atau melakukan kegiatan melalui bentuk usaha tetap di Indonesia ;

b. Orang pribadi yang tidak bertempat tinggal di Indonesia atau berada di Indonesia tidak lebih dari 183 (seratus delapan puluh tiga) hari, dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan, dan badan yang tidak didirikan dan bertempat kedudukan di Indonesia, dan tidak menerima atau memperoleh penghasilan dari Indonesia bukan dari menjalankan usaha atau melakukan kegiatan melalui bentuk usaha tetap di Indonesia.

Pasal ini menjelaskan, bahwa subjek pajak luar negeri adalah orang pribadi atau

badan yang bertempat tinggal atau bertempat kedudukan di luar Indonesia, yang dapat menerima atau memperoleh penghasilan dari Indonesia, baik tidak melalui ataupun melalui bentuk usaha tetap. Orang pribadi yang tidak bertempat tinggal di Indonesia, tetapi berada di Indonesia kurang dari 183 hari dalam jangka waktu 12 bulan, maka orang pribadi tersebut adalah subjek pajak luar negeri. Apabila penghasilan yang diterima atau diperoleh melalui bentuk usaha tetap, maka terhadap orang pribadi atau badan tersebut dikenakan pajak melalui bentuk usaha tetap, dan orang pribadi atau badan tersebut statusnya tetap sebagai subjek pajak luar negeri. Dengan demikian bentuk usaha tetap menggantikan orang pribadi atau badan sebagai subjek pajak luar negeri dalam memenuhi kewajiban perpajakannya di Indonesia. Dalam hal penghasilan tersebut diterima atau diperoleh tanpa melalui bentuk usaha tetap, maka pengenaan pajaknya dikenakan langsung kepada subjek pajak luar negeri tersebut. Berkenaan dengan pengenaan pajaknya (orang pribadi dan badan), maka perlu ditetapkan tempat tinggal orang pribadi atau tempat kedudukan badan. Berdasarkan ketentuan Pasal 2 ayat (6), UU No. 36 Tahun 2008, hal tersebut ditentukan oleh Direktur Jenderal Pajak menurut keadaan yang sebenarnya.

Penjelasan pasal dan ayat tersebut menerangkan bahwa penentuan tempat tinggal orang pribadi atau tempat kedudukan badan penting untuk menetapkan Kantor Pelayanan Pajak mana yang mempunyai yurisdiksi pemajakan atas penghasilan yang diterima atau diperoleh orang pribadi atau badan tersebut, termasuk Kantor Pelayanan Pajak mana yang menerbitkan NPWP nya. Pada dasarnya tempat tinggal orang pribadi atau tempat kedudukan badan, ditentukan menurut keadaan yang sebenarnya. Dengan demikian penentuan tempat tinggal atau tempat kedudukan tidak hanya didasarkan pada pertimbangan yang bersifat formal, tetapi lebih didasarkan pada kenyataan.

Beberapa hal yang perlu dipertimbangkan oleh Direktur Jenderal Pajak dalam menentukan tempat tinggal seseorang atau tempat kedudukan badan tersebut antara lain domisili, alamat tempat tinggal keluarga, tempat menjalankan usaha pokok, atau hal-hal lain yang perlu dipertimbangkan untuk memudahkan pelaksanaan pemenuhan kewajiban pajak.

Page 17: PPh

PUSAT PENDIDIKAN DAN PELATIHAN PAJAK BADAN PENDIDIKAN DAN PELATIHAN KEUANGAN

MODUL PAJAK PENGHASILAN@DTS DASAR PAJAK II HALAMAN 12

Keputusan tentang tempat tinggal orang pribadi dan tempat kedudukan badan dimaksud, ditetapkan dalam keputusan Direktur Jenderal Pajak No. Kep 701/PJ.2001, Tgl 16 Nopember 2001, yang isinya antara lain : 1. Tempat tinggal orang pribadi menurut keadaan yang sebenarnya :

a. Rumah tetap orang pribadi berada, yaitu rumah tempat orang pribadi tinggal beserta keluarganya bertempat tinggal sebagaimana tercantum dalam Kartu Tanda Penduduk (KTP)

b. Rumah tetap orang pribadi tempat pusat kepentingan pribadi dan ekonominya dilakukan, dalam hal orang pribadi mempunyai rumah tetap sebagaimana dimaksud huruf (a), didua tempat atau lebih wilayah kerja Kantor Pelayanan Pajak.

c. Tempat orang pribadi lebih lama tinggal, dalam hal rumah tetap tempat tinggal pusat kepentingan pribadi dan ekonomi dilakukan sebagaimana dimaksud dalam huruf (b) tidak dapat ditentukan.

d. Dalam hal tempat tinggal orang pribadi berada dalam dua atau lebih wilayah kerja Kantor Pelayanan Pajak, tetapi dalam satu wilayah kerja Kantor wilayah Direktorat Jenderal Pajak, penentuan tempat tinggal dilaksanakan oleh Kepala Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak atas nama Direktur Jenderal Pajak.

e. Dalam hal tempat tinggal orang pribadi berada dalam dua atau lebih wilayah kerja Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak, penentuan tempat tinggal dilaksanakan oleh Direktur Pajak Penghasilan atas nama Direktur Jenderal Pajak.

2. Tempat kedudukan badan menurut keadaan yang sebenarnya.

a. Tempat kantor pimpinan perusahaan dan pusat administrasi dan keuangan berada sebagaimana tercantum dala Akte Notaris Pendirian Perusahaan yang bersangkutan.

b. Tempat kantor pimpinan perusahaan berada dalam hal tempat kantor pimpinan perusahaan terpisah dari tempat pusat administrasi dan keuangan perusahaan.

c. Tempat kedudukan badan menurut keadaan sebenarnya yang ditentukan oleh Direktur Jenderal Pajak, dalam hal keadaan sebagaimana dimaksud dalam huruf (b) berada dibeberapa tempat.

d. Dalam hal tempat kedudukan badan berada dalam dua atau lebih wilayah kerja Kantor Pelayanan Pajak, tetapi dalam satu wilayah kerja Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak

e. Penentuan tempat tinggal dilaksanakan oleh Kepala Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak atas nama Direktur Jenderal Pajak.

f. Dalam hal tempat kedudukan badan berada dalam dua atau lebih wilayah kerja Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak, penentuan tempat tinggal dilaksanakan oleh Direktur Pajak Penghasilan atas nama Direktur Jenderal Pajak.

Penentuan tempat tinggal orang pribadi atau tempat kedudukan badan penting untuk menetapkan Kantor Pelayanan Pajak mana yang mempunyai yurisdiksi pemajakan atas penghasilan yang diterima atau diperoleh orang pribadi dan badan tersebut, termasuk keperluan untuk penerbitan NPWP nya.

3.1.3. Saat Mulai dan Berakhirnya Kewajiban Pajak Subjektif.

Penentuan saat mulai dan berkhirnya kewajiban pajak subjektif diatur dalam Psl 2A UU No. 36 Tahun 2008. Penjelasan pasal ini menerangkan bahwa Pajak Penghasilan merupakan jenis pajak subjektif, yang kewajiban pajaknya melekat pada subjek pajak yang bersangkutan, artinya kewajiban pajak tersebut dimaksudkan untuk tidak dilimpahkan kepada subjek pajak lainnya. Oleh karena itu dalam rangka memberikan kepastian hukum, penentuan saat mulai dan berakhirnya kewajiban pajak subjektig menjadi penting.

Page 18: PPh

PUSAT PENDIDIKAN DAN PELATIHAN PAJAK BADAN PENDIDIKAN DAN PELATIHAN KEUANGAN

MODUL PAJAK PENGHASILAN@DTS DASAR PAJAK II HALAMAN 13

Pasal 2A ayat (1) mengemukakan bahwa kewajiban pajak subjektif orang pribadi sebagaimana dimaksud dalam pasal 2 ayat (3) huruf (a), yaitu orang pribadi yang bertempat tinggal di Indonesia, atau orang pribadi yang berada di Indonesia lebih dari 183 hari dalam jangka waktu 12 bulan, kewajiban pajak subjektifnya dimulai sejak hari pertama ia berada di Indonesia, dan mempunyai niat untuk bertempat tinggal di Indonesia, dimulai pada saat orang pribadi itu dilahirkan, berada, atau berniat, untuk bertempat tinggal di Indonesia, dan berakhir pada saat meninggal atau meninggalkan Indonesia untuk selama-lamanya. Untuk lebih jelasnya hal tersebut, dapat dilihat pada tabel dibawah ini:

Subjek Pajak Dalam Negeri Orang Pribadi - Bertempat tinggal di Indonesia - Berada di Indonesia lebih dari 183 hari dlm 12 bulan atau berada dan punya niat untuk bertempat tinggal di Indonesia. Warisan yang belum terbagi Badan.

Mulai -Pada saat dilahirkan Di Indonesia. -Sejak hari pertama berada di Indonesia. Pada saat meninggal- nya pewaris. Pada saat badan terse- but didirikan, atau bertempat kedudukan di Indonesia.

Berakhirnya. Pada saat meninggal dunia, atau meninggalkan Indone- sia buat selama-lamanya. Pada saat warisan tersebut selesai dibagi. Pada saat badan tersebut di bubarkan dan dilikuidasi, atau tidak lagi bertempat ke dudukan di Indonesia.

Subjek Pajak Luar negeri. Orang Pribadi yg tidak bertempat tinggal atau berada di Indonesia tidak lebih 183 hari, dan badan yg tidak didirikan dan tdk bertempat kedudukan di Indonesia. -Yang menjalankan usaha, atau melakukan kegiatan melalui BUT. -Tidak menjalankan usaha/kegiatan melalui BUT.

Pada saat BUT tersebut berada di Indonesia. Pada saat adanya hubungan ekono- mis dengan Indo- nesia.

Pada saat ditiadakannya BUT. Pada saat putusnya hubu ngan ekonomis dengan Indonesia.

Pengertian meninggalkan Indonesia untuk selama-lamanya harus dikaitkan dengan hal-hal yang nyata, pada saat orang pribadi tersebut meninggalkan Indonesia. Apabila pada saat ia meninggalkan Indonesia terdapat bukti � bukti yang nyata mengenai niatnya untuk meninggalkan Indonesia untuk selama-lamanya, maka pada saat itu ia tidak lagi menjadi Subjek Pajak dalam negeri.

Kewajiban pajak subjektif badan yang didirikan atau bertempat kedudukan di Indonesia (Psl 2 ayat (3) huruf b), diatur dalam Psl 2A ayat (2), yang mengemukakan, bahwa kewajiban pajak subjektif dimulai pada saat badan tersebut didirikan atau

Page 19: PPh

PUSAT PENDIDIKAN DAN PELATIHAN PAJAK BADAN PENDIDIKAN DAN PELATIHAN KEUANGAN

MODUL PAJAK PENGHASILAN@DTS DASAR PAJAK II HALAMAN 14

bertempat kedudukan di Indonesia dan berakhir pada saat dibubarkan, atau tidak lagi bertempat kedudukan di Indonesia.

Pasal 2A ayat (3) mengatur bahwa kewajiban pajak subjektif orang pribadi atau

badan sebagaimana dimaksud dalam Psl 2 ayat (4) huruf a (yaitu orang pribadi yang tidak bertempat tinggal di Indonesia, atau berada di Indonesia tidak lebih dari 183 hari dalam jangka waktu 12 bulan, dan yang tidak didirikan atau bertempat kedudukan di Indonesia, yang menjalankan usaha atau melakukan kegiatan melalui BUT di Indonesia), dimulai pada saat orang pribadi atau badan tersebut menjalankan usahaatau melakukan kegiatan sebagaimana diatur dalam Psl 2 ayat (5), dan berakhir pada saat tidak lagi menjalankan usaha atau melakukan kegiatan melalui BUT.

Penjelasan ayat ini menerangkan bahwa bagi orang pribadi yangtidak bertempat

tinggal dan berada di Indonesia tidak lebih 183 hari, dan badan yang tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia, yang menjalankan usaha atau melakukan kegiatan di Indonesia, melalui suatu BUT, kewajiban pajak subjektifnya dimulai pada saat BUT tersebut berada di Indonesia dan berakhir pada saat BUT tersebut tidak lagi berada di Indonesia.

Psl 2A ayat (4) mengatur tentang kewajiban pajak subjektif orang pribadi Atau badan sebagaimana dimaksud dalam Psl 2 ayat (4) huruf b, (yaitu subjek pajak luar negeri yang bukan menjalankan usaha atau melakukan kegiatan kegiatan melalui BUTdi Indonesia), dimulai pada saat orang pribadi atau badan tersebut menerima atau memperoleh penghasilan. Penjelasan Psl 2A ayat (4) ini menyatakan bahwa orang pribadi yang tidak bertempat tinggal atau berada di Indonesia, tidak lebih dari 183 hari, dan badan yang didirikan dan tidak berkedudukan di Indonesia, dan tidak menjalankan usaha melalui BUT di Indonesia, adalah subjek pajak luar negeri sepanjang orang pribadi atau badan tersebut mempunyai hubungan ekonomis dengan Indonesia. Hubungan ekonomis dengan Indonesia dianggap ada, apabila orang pribadi dan badan tersebut menerima atau memperoleh penghasilan dari Indonesia.

Kewajiban pajak subjektif orang atau badan tersebut dimulai pada saat orang pribadi atau badan tadi mempunyai hubungan ekonomis dengan Indonesia, yaitu menerima atau memperoleh penghasilan dari sumber-sumber dari Indonesia, dan berakir pada saat orang pribadi atau badan tersebut tidak lagi mempunyai hubungan ekonomis dengan Indonesia.

Psl 2A ayat (5) mengatur tentang kewajiban pajak subjektif warisan yang belum terbagi, dimulai saat timbulnya warisan yang belum terbagi, dan berakir pada saat warisan tersebut selesai dibagi. Penjelasan ayat ini menerangkan bahwa kewajiban pajak subjektif warisan yang belum terbagi, dimulai pada saat timbulnya warisan yang belum terbagi, yaitu pada saat meninggalnya yang punya waris, dan saat itu pemenuhan kewajiban perpajakannya melekat pada warisan tersebut. Kewajiban pajak subjektif warisan berakhir pada saat warisan tersebut dibagi kepada ahli waris. Selanjutnya Psl 2A ayat (6) menyatakan bahwa apabila kewajiban pajaksubjektif orang pribadi yang bertempat tinggal atau berada di Indonesia hanya meliputi sebagian dari tahun pajak, maka bagian tahun pajak tersebut menggantikan tahun pajak. Dalam penjelasan ayat ini, dikemukakan bahwa dapat terjadi orang pribadi menjadi subjek pajak tidak untuk jangka waktu satu tahun pajak penuh misalnya menjadi subjek pajak pada pertengahan tahun pajak, atau meninggalkan Indonesia buat selama-lamanya pada pertengahan tahun pajak, maka jangka waktu yang kurang dari satu tahun pajak tersebut disebut bagian tahun pajak yang menggantikan tahun pajak.

Page 20: PPh

PUSAT PENDIDIKAN DAN PELATIHAN PAJAK BADAN PENDIDIKAN DAN PELATIHAN KEUANGAN

MODUL PAJAK PENGHASILAN@DTS DASAR PAJAK II HALAMAN 15

3.1.4. Tidak termasuk sebagai Subjek Pajak. Pengecualian sebagai subjek pajak diatur dalam Psl 3 UU No. 36 Thn 2008, dimana dalam pasal tersebut dikemukakan bahwa yang tidak termasuk sebagai Subjek Pajak adalah : a. Kantor Perwakilan Negara Asing ; b. Pejabat-pejabat perwakilan diplomatik dan konsulat atau pejabat-pejabat lain dari

negara asing, dan orang-orang yang diperbantukan kepada mereka, yang bekerja pada dan bertempat tinggal bersama mereka, dengan syarat : - Bukan Warga Negara Indonesia; - Tidak menerima penghasilan lain diluar tugas dan jabatannya; - Negara yang bersangkutan memberikan perlakuan yang sama (azas timbal

balik). c. Organisasi-organisasi Internasional yang ditetapkan dengan Keputusan Menteri

Keuangan (terakhir dengan Kep. MK 601/KMK.03/2005, dengan syarat : 1. Indonesia menjadi anggota organisasi tersebut; dan 2. Tidak menjalankan usaha atau kegiatan lain untuk memperoleh penghasilan dari

Indonesia, selain dari pemberian pinjaman kepada pemerintah yang dananya berasal dari iuran para anggota.

d. Pejabat-pejabat perwakilan organisasi Internasional yang ditetapkan dengan Keputusan Menteri Keuangan (sebagaimana dimaksud huruf c), dengan syarat bukan WNI, dan di Indonesia tidak melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan untuk memperoleh penghasilan dari Indonesia.

Penjelasan Psl 3 huruf (a) dan (b) tersebut diatas, menerangkan bahwa sesuai dengan kelaziman yang berlaku secara Internasional, bahwa badan perwakilan negara asing beserta pejabat-pejabatnya, serta orang yang diperbantukan, serta tinggal bersama mereka dengan syarat bukan WNI, tidak melakukan ke giatan lain, serta negara asing tersebut memberikan perlakauan yang sama (azas timbal balik), dikecualikan sebagai subjek pajak. Pengecualian tersebut tidak berlaku, apabila mereka memperoleh penghasilan lain di Indonesia, diluar jabatannya atau mereka adalah WNI. Dengan demikian apabila pejabat perwakilan suatu negara asing, memperoleh penghasilan lain diluar jabatannya, maka ia termasuk subjek pajak yang dapat dikenakan pajak atas penghasilan tesebut. Namun apabila negara asal pejabat tersebut memberikan pembebasan pajak kepada perwakilan Indonesia, atas penghasilan lain diluar tugas dan jabatannya, maka kembali lagi berlaku azas timbal balik. Ketentuan lebih lanjut mengenai Psl 3 huruf (c) dan (d), diatur lebih lanjut dalam KMK seperti disebut diatas. Yang dimaksud dengan organisasi Internasional adalah organisasi/badan/lembaga/asosiasi /perhimpunan/forum antar pemerintah atau non pemerintah ygbertujuan untuk meningkatkan kerjasama Internasional dan dibentuk dengan aturan tertentu atau kesepakatan bersama, sedangkan yang dimaksud dengan pejabat perwakilan organisasi Internasional adalah pejabat yang diangkat langsung oleh induk organisasi Internasional yang bersangkutan untuk menjalankan tugas atau jabatan dalam organisasi tersebut di Indonsia. Selanjutnya dikemukakan bahwa organisasi Internasional bukan merupakan subjek pajak penghasilan apabila memenuhi syarat sebagai berikut ; a. Indonesia menjadi anggota organisasi didalamnya dan; b. Tidak menjalankan usaha atau kegiatan lain untuk memperoleh penghasilan dari

Indonesia selain pemberian pinjaman kepada Pemerintah yang dananya berasal dari iuran anggota.

Organisasi Internasional yang berbentuk kerjasama tehnik dan atau kebudayaan bukan merupakan subjek pajak, Pajak Penghasilan apabila memenuhi syarat sebagai berikut :

Page 21: PPh

PUSAT PENDIDIKAN DAN PELATIHAN PAJAK BADAN PENDIDIKAN DAN PELATIHAN KEUANGAN

MODUL PAJAK PENGHASILAN@DTS DASAR PAJAK II HALAMAN 16

a. Kerjasama tehnik tsb memberi manfaat pada negara/Pemerintah Indonesia; b. Tidak menjalankan usaha atau kegiatan lain untuk memperoleh penghasilan dari

Indonesia. Pejabat perwakilan dari organisasi Internasional tersebut diatas, bukan merupakan subjek pajak penghasilan, apabila memenuhi syarat sebagai berikut : a. Bukan Warga Negara Indonesia ; dan b. Tidak menjalankan usaha atau kegiatan atau pekerjaan lain untuk memperoleh

penghasilan dari Indonesia.

Organisasi Internasional dan pejabat perwakilan organisasi Internasional yang tidak memenuhi syarat tersebut diatas, dikenakan Pajak Penghasilan, sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Misalnya seorang pejabat perwakilan organisasi Internasional diluar tugas pokoknya contoh menjadi pengajar bahasa asing di lembaga kursus swasta, atau pembicara pada suatu seminar, kemudian mendapat honor, maka honor tersebut dikenakan pemotongan PPh Psl 21, atau Psl 26, oleh penyelenggaranya. Mengenai Organisasi Internasional yang dikecualikan sebagai subjek pajak, seperti dimaksud diatas, tidak diperinci dalam modul ini, karena terlalu banyak dan kurang efisien, tetapi secara garis besar dapat disebut disini yaitu : I. Badan-Badan Internasional dari PBB (terdapat 15 organisasi) II. Colombo Plan ( ada 8 organisasi) III. Kerjasama Tehnik (terdapat 18 kerjasama tehnik) IV. Kerjasama Kebudayaan (ada 4 kerjasama kebudyaan) V. Organisasi �Organisasi Internasional lainnya (terdapat 54 badan) VI. Organisasi Swasta Internasional ( terdapat 18 organisasi). Apabila ada organisasi internasional, tapi tidak termasuk dalam daftar dimaksud, maka organisasi internasional tersebut menjadi subjek pajak. 3.2. Latihan 2

1. Siapakah subjek pajak pada PPh, dan jelaskan perbedaan perlakuan perpajakan

antara subjek pajak DN dengan subjek pajak LN. 2. Mengapa warisan yang belum terbagi ditunjuk sebagai subjek pajak ? 3. Jelaskan kriteria antara subjek pajak dalam negeri subjek luar negeri. 4. Pengertian 183 hari dalam jangka waktu 12 bulan sebagai subjek pajak dalam

negeri itu bagaimana, jelaskan dengan hitungan waktunya. 5. Apa pula pengertian BUT, apa beda BUT dengan subjek pajak LN lainnya. 6. Pajak Penghasilan apakah termasuk pajak subjektif, atau pajak objektif ? 7. Kapan mulai dan berakhirnya kewajiban pajak subjektif orang pribadi sebagai

WP dalam negeri. 8. Jelaskan pula mulai dan berakhitnya kewajiban pajak subjektif bagi BUT. 9. Siapa saja yang dikecualikan sebagai subjek pajak. 10. Dasar hukum apa untuk menentukan suatu organisasi internasional menjadi

subjek pajak atau tidak menjadi Subjek Pajak, 3.3. Rangkuman

Berdasarkan uraian �uraian terdahulu, maka yang menjadi Subjek Pajak, dan bukan Subjek Pajak, pada Pajak Penghasilan adalah : 3.3.1. Subjek Pajak Dalam Negeri :

a. Orang pribadi yang lahir dan atau, bertempat tinggal lebih dari 183 hari dalam 12 bulan, atau berada di Indonesia dan berniat untuk bertempat tinggal di Indonesia.

Page 22: PPh

PUSAT PENDIDIKAN DAN PELATIHAN PAJAK BADAN PENDIDIKAN DAN PELATIHAN KEUANGAN

MODUL PAJAK PENGHASILAN@DTS DASAR PAJAK II HALAMAN 17

Warisan yang belum terbagi, sebagai satu kesatuan menggantikan mereka yang berhak.

b. Badan (PT, Firma, Kongsi dst nya ) 3.3.2. Subjek Pajak Luar Negeri

a. Orang pribadi yang berada kurang dari 183 hari dalam 12 bulan, atau berada di luar negeri tapi menerima atau memperoleh penghasilan dari Indonesia,

b. Orang pribadi yang kurang dari 183 hari berada di Indonesia, atau orang pribadi atau badan yang berada di luar negeri yang melakukan usaha baik melalui bentuk usaha tetap di Indonesia, atau bukan melalui bentuk usaha tetap.

3.3.3. Terdapat perbedaan perlakuan perpajakan antara subjek dalam negeri dengan

subjek pajak luar negeri, 3.3.4. Warisan yang belum terbagi menjadi subjek pajak menggantikan kedudukan

yang akan menerima warisan tersebut dikemudian hari. 3.3.5. Untuk menentukan mulai dan berakhirnya kewajiban pajak maka dibedakan

mulai dan berakhirnya kewajiban pajak bagi subjek pajak dalam negeri dengan mulai dan berakhirnya kewajiban pajak subjek pajak luar negeri secara jelas.

3.3.6. Sesuai dengan kelaziman yang berlaku secara internasional maka Badan

Perwakilan negara asing disuatu negara, beserta pejabat-pejabatnya dengan syarat-syarat tertentu, dan Organisasi Internasional yang ditentukan melalui Keputusan dan Peraturan Menteri Keuangan dikecualikan sebagai subjek pajak.

Page 23: PPh

PUSAT PENDIDIKAN DAN PELATIHAN PAJAK BADAN PENDIDIKAN DAN PELATIHAN KEUANGAN

MODUL PAJAK PENGHASILAN@DTS DASAR PAJAK II HALAMAN 18

4. KEGIATAN BELAJAR 3. OBJEK DAN NON OBJEK PADA PAJAK PENGHASILAN. 4.1. Uraian, contoh dan non contoh. 4.1.1. Pengertian Penghasilan.

Rumusan penghasilan yang termasuk objek pajak dalam Psl 4 ayat (1) UU No. 36 Tahun 2008. yang berbunyi : � Penghasilan adalah setiap tambahan kemampuan ekonomis yang diterima atau

diperoleh wajib pajak, yang dapat dipakai untuk konsumsi atau untuk menambah kekayaan wajib pajak yang bersangkutan, baik yang berasal dari Indonesia, maupun dari luar Indonesia, dengan nama dan dalam bentuk apapun. termasuk : a. Penggantian atau imbalan berkenaan dengan pekerjaan atau jasa, yang diterima atau

diperoleh termasuk gaji, upah, tunjangan honororarium, komisi, bonus, gratifikasi, uang pensiun, atau imbalan dalam bentuk lainnya, kecuali ditentukan dalam UU ini :

b. Hadiah dari undian, atau pekerjaan atau kegiatan, dan penghargaan ; c. Laba usaha ; d. Keuntungan karena penjualan atau pengalihan harta termasuk :

1) keuntungan karena pengalihan harta kepada perseroan, persekutuan, dan badan lainnya sebagai pengganti saham atau penyertaan modal ;

2) keuntungan karena pengalihan harta kepada pemegang saham, sekutu, dan atau anggota yang diperoleh peseroan, persekutuan, dan badan lainnya ;

3) keuntungan karena likuidasi, penggabungan, peleburan, pemekaran, pemecahan, pengambil alihan usaha, atau reorganisasi dengan nama dan dalam bantuk apapun ;

4) keuntungan karena pengalihan harta berupa hibah, bantuan atau sumbangan, kecuali yang diberikan kepada keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus satu derajat dan badan keagamaan, badan pendidikan, badan sosial, termasuk yayasan, koperasi, atau orang pribadi yang menjalankan usaha mikro dan kecil, yang ketentuannya diatur lebih lanjut dengan Peraturan Menteri Keuangan, sepanjang tidak ada hubungan dengan usaha, pekerjaan, kepemilikan, atau penguasaan diantara pihak-pihak yang bersangkutan; dan

5) keuntungan karena penjualan atau pengalihan sebagian atau seluruh hak penambangan, tanda turut serta dalam pembiayaan, atau permodalan dalam perusahaan pertambangan ;

e. Penerimaan kembali pembayaran pajak yang telah dibebankan sebagai biaya.dan

pembayaran tambahan pengembalian pajak. f. Bunga termasuk premium, diskonto, dan imbalan dan jaminan pengembalian utang ; g. Deviden, dengan nama dan dalam bentuk apapun, termasuk deviden dari perusahaan

asuransi kepada pemegang polis, dan pembagian sisa hasil usaha koperasi ; h Royalti ; i. Sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta; j. Penerimaan dan perolehan pembayaran berkala; k. Keuntungan karena pemebebasan utang, kecuali sampai jumlah tertentu yang

ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah ; l. Keuntungan karena selisih kurs mata uang asing ; m. Selisih lebih karena penilaian kembali aktiva ; n. Premi asuransi ; o. Iuran yang diterima atau diperoleh perkumpulan dari anggotanya yang terdiri dari wajib

pajak yang menjalankan usaha atau pekerjaan bebas. p. Tambahan kekayaan neto yang berasal dari penghasilan yang belum dikenakan pajak

Page 24: PPh

PUSAT PENDIDIKAN DAN PELATIHAN PAJAK BADAN PENDIDIKAN DAN PELATIHAN KEUANGAN

MODUL PAJAK PENGHASILAN@DTS DASAR PAJAK II HALAMAN 19

q. penghasilan dari usaha yang berbasis syariah ; r. imbalan bunga sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang yang mengatur

mengenai ketentuan umum dan tata cara perpajakan, dan : s. surplus Bank Indonesia. Penjelasan Psl 4 ayat (1) UU No. 36 Tahun 2008, lengkapnya adalah : Huruf a Semua pembayaran atau imbalan sehubungan dengan pekerjaan, seperti upah, gaji, premi asuransi jiwa, asuransi kesehatan yang dibayar oleh pemberi kerja atau imbalan dalam bentuk lainnya adalah objek pajak. Pengertian imbalan dalam bentuk lainnya termasuk imbalan dalam bentuk natura yang pada hakekatnya merupakan penghasilan. Huruf b Dalam pengertian hadiah, termasuk hadiah dari undian, pekerjaan, dan kegiatan seperti hadiah undian tabungan, hadiah dari pertandingan olah raga dll sebagainya. Yang dimaksud dengan penghargaan adalah imbalan yang diberikan sehubungandengan kegiatan tertentu, misalnya imbalan yang diterima sehubungan dengan penemuan benda-benda purbakala. Mengenai perlakuan PPh terhadap hadiah dan penghargaan, agar tidak terdapat keraguan dalam pelaksanaannya, telah dikeluarkan surat edaran/keputusan Direktur Jenderal Pajak dan terakhir Surat Keputusan Direktur Jnderal Pajak No. KEP.395/PJ.2001, Tgl 13 Juni 2001, tentang Pengenaan Pajak Penghasilan atas Hadiah dan Penghargaan, yang mengatur hal-hal sebagai berikut :

(1) Pengertian : a. Hadiah undian adalah hadiah dengan nama dan dalam bentuk apapun yang

diberikan melaui undian ; b. Hadiah atau penghargaan perlombaan adalah hadiah atau penghargaan yang

diberikan melalui suatu perlombaan atau adu ketangkasan. c. Hadiah sehubungan dengan pekerjaan, jasa dan kegiatan lainnya, adalah

hadiah dengan nama dan dalam bentuk apapun yang diberikan sehubungan dengan pekerjaan, jasa, dan kegiatan yang dilakukan oleh penerima hadiah.

d. Penghargaan adalah imbalan yang diberikan sehubungan dengan prestasi dalam kegiatan tertentu.

(2) Tarif dan dasar pengenaan : a. Hadiah undian dikenakan PPh sebesar 25% dari jumlah penghasilan bruto, dan

bersifat final. b. Hadiah atau penghargaan perlombaan, dan hadiah sehubungan dengan

pekerjaan, jasa, dan kegiatan lainnya dikenakan PPh dengan ketentuan sbb : Dalam hal penerima penghasilan adalah orang pribadi wajib pajak dalam

negeri, dikenakan PPh Psl 21 sebesar tarif Psl 17 UU PPh. Dalam hal penerima penghasilan adalah wp luar negeri, selain BUT,

dkenakan PPh Psl 26 sebesar 20% dari jumlah bruto, atau sesuai dengan tarip P3B.

Dalam hal penerima penghasilan adalah wp badan, termasuk BUT, dikenakan PPh berdasarkan Psl 23 ayat (1) huruf a.4 UU PPh, yaitu sebesar 15% dari jumlah penghasilan bruto.

(3) Tidak termasuk pengertian hadiah dan penghargaan yang dikenakan PPh, adalah hadiah langsung dalam penjualan barang atau jasa sepanjang diberikan kepada

Page 25: PPh

PUSAT PENDIDIKAN DAN PELATIHAN PAJAK BADAN PENDIDIKAN DAN PELATIHAN KEUANGAN

MODUL PAJAK PENGHASILAN@DTS DASAR PAJAK II HALAMAN 20

semua pembeli atau konsumen akhir tanpa diundi dan hadiah tersebut diterima langsung oleh konsumen akhir pada saat pembelian barang atau jasa.

Huruf d.

Apabila wp menjual harta dengan harga yang lebih tinggi dari nilai sisa bukunya, atau lebih tinggi dari nilai perolehan, maka selisih harga tersebut merupakan keuntungan yang dikenakan pajak, tapi cara perhitungannya adalah seluruh nilai jual atau penggantian harta tersebut, dimasukan sebagai penghasilan, kemudian sisa bukunya dibebankan sebagai pengurangan penghasilan pada akhir tahun pajak. Dalam hal penjualan harta tersebut terjadi antara badan usaha dengan pemegang sahamnya, maka nilai jual/penggantian yang digunakan, adalah harga pasar. Misalnya PT Q, memiliki sebuah mobil dengan nilai sisa buku Rp 50.000.000.-. mobil tersebut dijual dengan harga Rp 65.000.000.- maka selisih sebesar Rp 15.000.000. merupakan penghasilan bagi badan usaha tersebut, dan apabila mobil dimaksud dbeli salah seorang pemegang sahamnya dengan harga Rp 55.000.000.- maka selisih sebesar Rp15.000.000. tetap merupakan penghasilan badan usaha tersebut, sedangkan pemegang saham dengan selisih harga pasar Rp 10.000.000,- merupakan objek pajak bagi pemegang saham dimaksud.

Apabila suatu badan dilikuidasi, keuntungan dari penjualan harta/aktiva badan tersebut, yaitu harga jual dengan nilai sisa bukunya juga merupakan objek pajak. Dalam hal terjadi pengalihan harta sebagai pengganti saham, atau penyertaan modal, maka keuntungan berupa selisih antara harga pasar harta tersebut, dengan nilai bukunya merupakan objek pajak.

Keuntungan berupa selisih antara harga pasar dengan nilai perolehan atau nilai sisa buku atas pengalihan harta berupa hibah, bantuan atau sumbangan, dianggap sebagai penghasilan bagi pihak yang mengalihkan, kecuali harta tersebut dialihkan kepada keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus satu derajat, serta badan keagamaan, atau badan pendidikan, atau sosial, termasuk yayasan dan pengusaha kecil dan koperasi yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan, sepanjang tidak ada hubungan usaha, kegiatan, kepemilikan atau penguasaan antara pihak-pihak yang bersangkutan.

Selanjutnya dalam Keputusan Menteri Keuangan No. 604/KMK.04/ 1994, Tgl 21 Desember 1994, Tentang Badan-Badan dan Pengusaha Kecil yang Menerima Harta hibahan dan Yang tidak Termasuk Objek Pajak Penghasilan disebut bahwa : - Badan keagamaan adalah badan termasuk yayasan yang kegiatannya semata- mata

mengurus tempat ibadah, dan/atau menyelenggarakan kegiatan dibidang keagamaan, yang tidak mencari keuntungan ;

- Badan pendidikan adalah badan termasuk yayasan yang kegiatannya semata-mata menyelenggarakan pendidikan formal tingkat taman kanak-kanak dan/atau tingkat dasar, dan/atau tingkat menengah perguruan tinggi, yang tidak mencari keuntungan;

- Badan sosial adalah badan termasuk yayasan yang kegiatannya semata-mata menyelenggarakan : (1) pemeliharaan kesehatan dan/atau (2) pemeliharaan orang lanjut usia (panti jompo), dan/atau ; (3) pemeliharaan anak yatim piatu, anak atau orang terlantar, dan/atau anak serta

orang cacat, dan/atau ; (4) santunan dan/atau pertolongan kepada korban bencana alam, kecelakaan, dan

sejenisnya, dan/atau ; (5) pemberian bea siswa dan/atau ; (6) pelestarian lingkungan hidup, dan/atau (7) kegiatan sosial lainnya;

Page 26: PPh

PUSAT PENDIDIKAN DAN PELATIHAN PAJAK BADAN PENDIDIKAN DAN PELATIHAN KEUANGAN

MODUL PAJAK PENGHASILAN@DTS DASAR PAJAK II HALAMAN 21

sepanjang badan sosial tersebut tidak mencari keuantungan. - Pengusaha kecil termasuk koperasi adalah pengusaha yang pada saat menerima

hibah jumlah nilai aktivanya tidak termasuk tanah dan/atau bangunan tidak melebihi Rp 600.000.000.-(enam ratus juta rupiah).

- Harta hibahan yang diterima oleh badan-badan dan pengusah kecil termasuk koperasi, tidak termasuk sebagai objek pajak penghasilan, sepanjang antara pemberi hibah dengan penerima hibah tidak ada hubungan kegiatan, usaha, pekerjaan, dan kepemilikan atau penguasaan.

- Pengalihan harta hibahan dibukukan sesuai dengan nilai sisa buku harta tsb. Huruf e Pengembalian pajak yang telah dibebankan sebagai biaya, pada saat menghitung Penghasilan Kena Pajak, merupakan objek pajak. sebagai contoh PBB yang sudah dibayar dan dibebankan sebagai biaya, yang karena suatu sebab dikembalikan, maka jumlah sebesar pengembalian tersebut merupakan penghasilan. Huruf f Dalam pengertian bunga termasuk pula premium, diskonto, dan imbalan sehubungan dengan jaminan pengembalian utang. premium terjadi apabila misalnya surat obligasi dijual diatas nilai nominalnya, sedangkan diskonto terjadi apabila surat obligasi dibeli dibawah nilai nominal. Premium tsb merupakan penghasilan bagi yang menerbitkan obligasi, dan diskonto merupakan penghasilan bagi yang membeli obligasi. Huruf g Deviden merupakan bagian laba yang diperoleh pemegang saham dan pemegang Polis asuransi, atau pembagian SHU koperasi yang diperoleh anggota koperasi. Termasuk dalam pengertian deviden adalah : (1) pembagian laba baik secara langsung ataupun tidak langsung, dengan nama dan

dalam bentuk apapun. (2) pembayaran kembali karena likuidasi yang melebihi jumlah penyetoran. (3) pemberian saham bonus, yang dilakukan tanpa penyetoran, termasuk saham bonus

yang berasal dari kapitalisasi agio saham. (4) pencatatan tambahn modal yang dilakukan tanpa penyetoran. (5) jumlah yang melebihi setoran sahamnya yang diterima atau diperoleh pemegang

saham karena pembelian kembali saham-saham oleh perseroan ybs. (6) pembayaran kembali seluruhnya atau sebagian dari modal yang disetor, jika dalam

tahun-tahun yang lalu diperoleh keuntungan, kecuali jika pembayaran kembali itu, adalah akibat dari pengecilan modal dasar (statuter) yang dilakukan secara sah

(7) pembayaran sehubungan dengan tanda-tanda laba, termasuk yang diterima sebagai penebusan tanda-tanda laba tersebut.

(8) bagian laba sehubungan dengan kepemilikan obligasi. (9) bagian laba yang diterima oleh pemegang polis. (10) pembagian sisa hasil usaha koperasi. (11) pengeluaran perusahaan untuk keperluan pribadi pemegang saham yang

dibebankan sebagai biaya perusahaan.

Dalam praktek sering dijumpai pembagian atau pembayaran deviden secara terselubung, misalnya dalam hal pemegang saham yang telah menyetor penuh modalnya, dan memberikan pinjaman kepada perseroan dengan imbalan bunga yang melebihi kewajaran, Apabila hal ini, maka selisih antara bunga yang dibayarkan dengan tingkat

Page 27: PPh

PUSAT PENDIDIKAN DAN PELATIHAN PAJAK BADAN PENDIDIKAN DAN PELATIHAN KEUANGAN

MODUL PAJAK PENGHASILAN@DTS DASAR PAJAK II HALAMAN 22

bunga yang berlaku wajar dipasaran, dianggap sebagai deviden. Bagian bunga yang dianggap sebagai deviden tersebut tidak boleh dibebankan sebagai biaya oleh perseroan yang bersangkutan. Huruf h Royalty adalah suatu jumlah yang dibayarkan atau terutang dengan cara atau perhitungan apapun, baik dilakukan secara berkala, maupun tidak, sebagai imbalan atas : (1) penggunaan atau menggunakan hak cipta dibidang kesusasteraan, kesenian, atau

karya ilmiah, paten, desain, atau model, rencana, formula atau proses rahasia, merek dagang, atau bentuk hak kekayaan intelektual/industrial atau hak serupa lainnya ;

(2) penggunaan atau hak menggunakan peralatan/perlengkapan industrial, komersial, atau ilmiah ;

(3) pemberian pengetahuan atau informasi di bidang ilmiah, teknikal, industrial, atau komersial

(4) pemberian bantuan tambahan atau pelengkap sehubungan dengan penggunaan atau hak mengunakan hak-hak tersebut pada angka 1, penggunaan atau hak menggunakan peralatan/perlengkapan tersebut pada angka 2, atau pemberian pengetahuan atau informasi tersebut pada angka 3, berupa : a. penerimaan atau hak menerima rekaman gambar atau rekaman suara atau

keduanya,yangdisalurkan kepada masyarakat melalui satelit, kabel, serta optik, atau teknologi yang serupa;

b. penggunaan atau hak menggunakan rekaman gambar atau rekaman suara atau keduanya, untuk siaran televisi atau radio, yang disiarkan/dipancarkan melalui satelit, kabel, serat optik, atau teknologi yang serupa;

c. penggunaan atau hak menggunakan sebagian atau seluruh spektrum radio komunikasi;

(5). penggunaan atau hak menggunakan film gambar hidup (motion picture films), film

atau pita Video, atau siaran televisi, atau pita suara untuk siaran radio; dan (6). pelepasan seluruhnya atau sebagian hak yang berkenaan dengan

penggunaan atau pemberian hak kekayaan intelektual/industrial atau hak-hak lainnya sebagaimana tersebut diatas.

Huruf i Dalam pengertian sewa termasuk imbalan yang diterima atau diperoleh dengan nama dan dalam bentuk apapun sehubungan dengan penggunaan harta gerak, atau harta tak gerak, misalnya sewa mobil, sewa kantor, sewa rumah, atau sewa gudang, dan penghasilan sewa disini adalah sewa bruto. Huruf j Penerimaan berupa pembayaran berkala, misalnya uang �alimentasi� atau tunjangan yang

dibayarkan seumur hidup kepada mantan isteri berdasarkan keputusan hukum oleh suami selama mantan isteri masih hidup. Huruf k Pembebasan utang oleh pihak yang berpiutang, dianggap sebagai penghasilan bagi pihak yang semula berutang, sedangkan bagi pihak yang berpiutang dapat dibeban kan sebagai

Page 28: PPh

PUSAT PENDIDIKAN DAN PELATIHAN PAJAK BADAN PENDIDIKAN DAN PELATIHAN KEUANGAN

MODUL PAJAK PENGHASILAN@DTS DASAR PAJAK II HALAMAN 23

biaya. Namun, dengan Peraturan Pemerintah dapat ditetapkan bahwa pembebasan utang debitur kecil misalnya Kredit Usaha Keluarga Prasejatera (Kukesra), Kredit Usaha Tani (KUT), Kredit Usaha Rakyat (KUR), kredit untuk perumahan sangat sederhana, serta kredit kecil lainnya sampai dengan jumlah tertentu dikecualikan sebagai objek pajak. Huruf l Keuntungan yang diperoleh karena fluktuasi kurs mata uang asing diakui berdasarkan sistim pembukuan yang dianut dan dilakukan secara taat azas, sesuai dengan Standar Akuntansi Keuangan yang berlaku di Indonesia. Huruf m Selisih lebih karena penilain aktiva sebagaimana dimaksud Psl 19 UU- PPh, merupakan penghasilan. Penilaian kembali aktiva tetap terakhir diatur dengan Peraturan Menteri Keuangan No. 79/KMK.03/2008, Tgl 23 Mei 2008. Huruf n Dalam pengertian premi asuransi termasuk premi reasuransi. Huruf o Iuran yang dibayar oleh anggota perkumpulan yang dihitung berdasarkan volume kegiatan usaha atau pekerjaan bebas dari anggota tersebut, misalkan iuran yang besarnya menurut jumlah (volume) ekspor. Atau satuan produksi, atau omzet penjualan barang, dan inlah yang menjadi objek pajak pada perkumpulan. Huruf p Tambahan kekayaan neto pada hakikatnya merupakan akumulasi dari penghasilan, baik yang telah dikenakan pajak maupun yang belum dikenakan pajak. Apabila diketahui adanya penambahan kekayaan neto yang melebihi akumulasi penghasilan yang telah dikenakan pajak, tetapi penghasilan itu belum dikenakan pajak, maka tambahan kekayaan neto tersebut merupakan penghasilan yang jadi objek pajak. Huruf q. Kegiatan usaha berbasis syariah memiliki landasan filosofi yang berbeda dengan kegiatan usaha yang bersifat konvensional. Namun penghasilan yang diterima atau diperoleh dari kegiatan usaha berbassis syariah tersebut tetap merupakan objek pajak menurut Undang-Undang ini.

Undang-undang PPh. menganut perinsip pemajakan yang sangat luas, yaitu bahwa pajak dikenakan atas setiap penambahan kemampuan ekonomis yang diterima atau diperoleh wp dari manapun asalnya, yang dapat dipergunakan untuk konsumsi atau menambah kekayaan wajib pajak dimaksud.

Pengertian penghasilan dalam UU ini tidak memperhatikan adanya penghasilan

dari sumber tertentu, tetapi pada adanya tambahan kemampuan ekonomis. Tambahan kemampuan ekonomis yang diterima atau diperoleh wp, merupakan ukuran terbaik mengenai kemampuan wp tersebut untuk ikut andil bersama-sama memikul biaya yang diperlukan pemerintah untuk kegiatan rutin dan pembangunan.

Page 29: PPh

PUSAT PENDIDIKAN DAN PELATIHAN PAJAK BADAN PENDIDIKAN DAN PELATIHAN KEUANGAN

MODUL PAJAK PENGHASILAN@DTS DASAR PAJAK II HALAMAN 24

Dilihat dari mengalirnya tambahan kemampuan ekonomis kepada wp, penghasilan dapat dikelompokan menjadi : 1. penghasilan dari pekerjaan dalam hubungan kerja dan pekerjaan bebas, seperti gaji,

honororarium, penghasilan dari praktek dokter, notaris, aktuaris, akumtan, pengacara, dan sebagainya.

2. penghasilan dari kegiatan usaha baik orang pribadi maupun badan. 3. penghasilan dari modal, berupa harta gerak maupun harta tak bergerak seperti

deviden, bunga, royalti, sewa, keuntungan penjualan harta atau yang tidak digunakan dalam usaha, dll sebagainya.

4. penghasilan lain-lain, seperti hak atas bayaran berkala, pembebasan utang, dll. Dilihat dari penggunaannya, penghasilan dapat dipakai untuk konsumsi dan dapat pula ditabung untuk menambah kekayaan wp. Karena UU ini menganut pengertian penghasilan yang sangat luas, maka semua jenis penghasilan yang diterima atau diperoleh dalam suatu tahun pajak, digabungkan untuk mendapatkan dasar pengenaan pajak. Dengan demikian apabila dalam suatu tahun pajak suatu usaha atau kegiatan menderita kerugian, maka kerugian tersebut dikompensasikan dengan penghasilan lainnya (kompensasi horizontal), kecuali kerugian yang diderita diluar negeri. Namun demikian apabila suatu jenis penghasilan dikenakan pajak, dengan tarif yang bersifat final, atau dikecualikan dari objek pajak, maka penghasilan tersebut tidak boleh digabungkan dengan penghasilan lain yang dikenakan dengan tarif umum. Contoh-contoh penghasilan yang disebut dalam ketentuan ini, dimaksudkan untuk memperjelas pengertian tentang penghasilan yang luas tidak terbatas pada contoh contoh yang disebut diatas saja. 4.1.2. Penghasilan yang tidak termasuk sebagai objek pajak. Penghasilan yang tidak termasuk sebagai objek pajak dan tidak dikenakan Pajak penghasilan, diatur dalam Psl 4 ayat (3) UU No. 36 Tahun 2008, yaitu : a.1. bantuan atau sumbangan, termasuk zakat yang diterima oleh badan amil zakat atau

lembaga amil zakat yang dibentuk atau disahkan oleh pemerintah dan yang diterima oleh penerima zakat yang berhak atau sumbangan keagamaan yang sifatnya wajib bagi pemeluk agama yang diakui di Indonesia, yang diterima lembaga keagamaan yang dibentuk atau disahkan oleh pemerintah dan yang diterima oleh penerima sumbangan yang berhak, yang ketentuannya diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Pemerintah; dan

2. harta hibahan yang diterima oleh keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus satu

derajat, badan keagamaan, atau badan pendidikan, atau badan sosial termasuk yayasan, koperasi, atau orang pribadi yang menjalankan usaha mikro dan kecil, yang ketentuannya diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan;

Sepanjang tidak ada hubungan dengan usaha, pekerjaan, kepemilikan, atau penguasaan antara pihak-pihak yang bersangkutan. Dalam penjelasan Psl yang bersangkutan adalah sebagai berikut : Huruf a Bantuan atau sumbangan bagi pihak yang menerima bukan merupakan ojek pajak, sepanjang diterima tidak dalam rangka hubungan kerja, hubungan usaha, hubungan

Page 30: PPh

PUSAT PENDIDIKAN DAN PELATIHAN PAJAK BADAN PENDIDIKAN DAN PELATIHAN KEUANGAN

MODUL PAJAK PENGHASILAN@DTS DASAR PAJAK II HALAMAN 25

kepemilikan atau hubungan penguasaan antara pihak-pihak yang bersangkutan. Zakat yang diterima oleh badan amil zakat, atau lembaga amil zakat, yang dibentuk atau disahkan oleh pemerintah dan para penerima zakat yang berhak serta sumbangan keagamaan yang sifatnya wajib bagi pemeluk agama lainnya yang diakui di Indonesia yang diterima oleh lembaga keagamaan yang dibentuk atau disahkan oleh pemerintah yang diterima oleh penerima sumbangan yang berhak sama seperti bantuan atau sumbangan. Yang dimaksud dengan zakat adalah zakat sebagaimana dimaksud Undang-Undang yang mengatur mengenai zakat. Hubungan usaha antara pihak yang memberi dengan pihak yang menerima dapat terjadi, misalnya PT A sebagai produsen suatu jenis barang yang bahan utamanya diproduksi oleh PT B. Apabila PT B, memberikan sumbangan bahan baku kepada PT , maka sumbangan bahan baku yang diterima oleh PT A, merupakan objek pajak. Harta hibahan bagi pihak yang menerima bukan merupakan objek pajak, apabila diterima oleh keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus satu derajat. dan badan keagamaan, atau badan pendidikan atau badan sosial termasuk yayasan atau pengusaha kecil termasuk koperasi yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan , sepanjang diterima tidak dalam rangka hubungan kerja, hubungan usaha, hubungan kepemilikan, atau hubungan penguasaan antara pihak-pihak yang bersangkutan.. Ditambahkan disini, mengenai hal tersebut diatas, Menteri Keuangan telah menerbitkan peraturan pelaksanaannya, yaitu Keputusan Menteri Keuangan No. 604/KMK.04/1994, Tgl 24 Desember 1994, antara lain menyatakan bahwa yang dimaksud dengan : - Badan keagamaan adalah badan termasuk yayasan yang kegiatannya semata-mata

mengurus tempat ibadah dan/atau menyelenggarakan kegiatan dibidang keagamaan, yang tidak mencari keuntungan ;

- Badan pendidikan adalah badan termasuk yayasan yang kegiatannya semata-mata menyelenggarakan : a. Pemeliharaan kesehatan dan /atau; b. Pemeliharaan orang lanjut usia (panti jompo), dan/atau c. Pemeliharaan anak yatim piatu, anak atau orang terlantar, anak dan/atau orang

cacat, dan/atau ; d. santunan dan/atau pertolongan kepada korban bencana alam, kecelakaan, dan

sejenisnya, dan/atau e. pemberian bea siswa ; f. kegiatan sosialnya. Sepanjang badan sosial tersebut tidak mencari keuntungan.

- Pengusaha kecil termasuk koperasi adalah pengusaha yang pada saat akan menerima hibah, jumlah nilai aktivanya tidak termasuk tanah dan/atau bangunan tidak lebih Rp 600.000.000.-(enam ratus juta rupiah).

Dikemukakan lebih lanjut bahwa harta hibahan yang diterima badan-badan tsb

diatas, dan pengusaha kecil termasuk koperasi, tidak termasuk sebagai objek pajak, sepanjang antara pemberi hibah dengan penerima hibah tersebut, tidak ada hubungan usaha, pekerjaan, kepemilikan, atau penguasaan. Harta hibahan dimaksud dibukukan, oleh penerima hibah sesuai dengan nilai sisa buku harta hibahan. Selanjutnya dalam keputusan Direktur Jenderal Pajak No. 11/PJ/1995, Tgl 1 Pebruari 1995, Penetapan Dasar Nilai Bagi yang Menerima Pengalihan Harta yang diperoleh dari Bantuan, Sumbangan, Hibahan, dan Warisan, yang memenuhi syarat bukan sebagai objek pajak, dari WP tidak menyelenggarakan pembukuan, dikemukakan bahwa :

- Apabila nilai atau perolehan harta, bagi yang mengalihkan harta tersebut, diketahui, maka nilai perolehan bagi yang menerima pengalihan tersebut, adalah sama dengan nilai atau harga perolehan harta tsb, bagi yg mengalihkan.

Page 31: PPh

PUSAT PENDIDIKAN DAN PELATIHAN PAJAK BADAN PENDIDIKAN DAN PELATIHAN KEUANGAN

MODUL PAJAK PENGHASILAN@DTS DASAR PAJAK II HALAMAN 26

- Apabila tidak diketahui, namun tahun perolehannya diketahui, maka nilai perolehan bagi yang menerima pengalihan harta tersebut adalah ;

a. apabila tanah dan/atau bangunan tersebut diperoleh yang mengalihkan dalam tahun 1986, atau sebelumnya, sama dengan besarnya NJOP, yang tercantum dalam SPPT PBB tahun pajak 1986, atau ;

b. apabila diperoleh sesudah tahun 1986, sama besarnya dengan NJOP yang tercantum dalam SPPT PBB tahun pajak diperolehnya harta tersebut, bagi yang mengalihkan, atau ;

c. jika SPPT PBB tidak ada, berdasarkan surat keterangan dari Kepala KPPBB

- Apabila nilai atau harga perolehan dan tahun perolehan bagi yg mengalihkan, harta berupa tanah dan/atau bangunan tidakdiketahui, maka nilai perolehan bagi yang menerima harta tersebut adalah sama besarnya, dengan NJOP yang tercantum dalam SPPT PBB tahun pajak yang paling awal yang tertulis atas nama yang mengalihkan harta tersebut, atau jika SPPT PBB tidak ada, berdasarkan surat keterangan dari kepala KPPBB.

- Untuk harta selain tanah dan/atau bangunan, apabila nilai atau harga perolehan

tidak diketahui, maka nilai perolehan bagi yang menerima pengalihan harta tersebut, adalah sama besarnya dengan 60% dari harga wajar harta tersebut pada saat terjadinya pengalihan.

b. Warisan ; c. harta termasuk setoran tunai yang diterima oleh badan, sebagaimana dimaksud

dalam Psl 2 ayat (1) huruf b sebagai pengganti saham atau sebagai pengganti penyertaan modal.;

d. penggantian atau imbalan sehubungan dengan pekerjaan atau jasa yang diterima dalam bentuk natura dan/atau kenikmatan dari wajib pajak atau Pemerintah, kecuali diberikan oleh bukan wajib pajak, wajib pajak yang dikenakan pajak secara final atau wajib pajak yang menggunakan norma penghitungan khusus (deemed profit) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15;

e. pembayaran dari perusahaan asuransi kepada orang pribadi sehubungan dengan asuransi kesehatan, asuransi kecelakaan, asuransi jiwa, asuransi dwiguna, dan asuransi bea siswa.

Dalam penjelasan Psl yang bersangkutan adalah sebagai berikut : Huruf c Pada prinsipnya harta, termasuk setoran tunai, yang diterima oleh badan merupakan tambahan kemampuan ekonomis bagi badan tersebut. Namun karena harta tersebut, diterima sebagai pengganti saham atau tanda penyertaan modal, maka berdasarkan ketentuan ini, harta yg diterima tsb bukan merupakan objek pajak. Huruf d Penggantian atau imbalan dalam bentuk natura atau kenikmatan, berkenaan dengan pekerjaan atau jasa merupakan tambahan kemampuan ekonomis yang diterima atau diperoleh bukan dalam bentuk uang. Penggantian atau imbalan dalam bentuk natura seperti beras, gula, dan sebagainya, dan imbalan dalam bentuk kenikmatan, seperti penggunaan mobil, rumah, fasilitas pengobatan, dan lain sebagainya, bukan merupakan objek pajak. Apabila yang memberi imbalan berupa natura atau kenikmatan tersebut, bukan wp, atau wp yang dikenakan PPh Final, dan wp yang dikenakan berdasarkan norma

Page 32: PPh

PUSAT PENDIDIKAN DAN PELATIHAN PAJAK BADAN PENDIDIKAN DAN PELATIHAN KEUANGAN

MODUL PAJAK PENGHASILAN@DTS DASAR PAJAK II HALAMAN 27

perhitungan/khusus/deemed profit, maka imbalan dalam bentuk natura/kenikmatan, tersebut merupakan penghasilan bagi yang menerima atau yang memperolehnya. Misalnya seorang penduduk Indonesia menjadi pegawai pada suatu perwakilan diplomatic asing di Jakarta. Pegawai tersebut memperoleh kenikmatan menempati rumah yang disewa oleh perwakilan diplomatic tersebut, atau kenikmatan lainnya, kenikmatan � kenikmatan tersebut merupakan penghasilan bagi pegawai tersebut, sebab perwakilan diplomatic yang bersangkutan bukan merupakan wajib pajak. Huruf e Penggantian santunan atau santunan yang diterima oleh orang pribadi dari perusahaan asuransi sehubungan dengan polis asuransi kesehatan, asuransi kecelakaan, asuransi jiwa, asuransi dwiguna, dan asuransi bea siswa, bukan merupakan objek pajak . Hal ini selaras dengan ketentuan dalam Psl 9 ayat (1) huruf d, yaitu bahwa premi asuransi yang dibayar oleh wajib pajak orang pribadi untuk kepentingan dirinya tidak boleh dikurangkan dalam perhitungan penghasilan kena pajak. f. deviden atau bagian laba yang diterima atau diperoleh perseroan terbatas, sebagai

wajib pajak dalam negeri, koperasi, BUMN dan BUMD, dari penyertaan modal pada badan usaha yang didirikan dan bertempat kedudukan di Indonesia dengan syarat : 1) deviden berasal dari cadangan laba yang ditahain ; dan 2) bagi perseroan terbatas, BUMN dan BUMD, yang menerima deviden

kepemilikan saham pada badan yang memberikan deviden paling rendah 25% (dua puluh lima persen), dari jumlah modal yang disetor.

g. iuran yang diterima atau diperoleh dana pensiun yang pendiriannya telah disahkan oleh Menteri Keuangan, baik yang dibayar oleh pemberi kerja, maupun pegawai.

h. penghasilan dari modal yang ditanamkan oleh dana pensiun sebagaimana dimaksud pada huruf g, dalam bidang-bidang tertentu yang ditetapkan dengan Keputusan Menkeu.;

i. bagian laba yang diterima atau diperoleh anggota dari perseroan komanditer, yang modalnya tidak terbagi atas saham-saham, persekutuan, perkumpulan, firma, dan kongsi, termasuk pemegang unit penyertaan kontrak investasi kolektif ;

j. dihapus; k. penghasilan yang diterima atau diperoleh perusahaan modal ventura, berupa bagian

laba dari badan pasangan usaha yg didirikan dan menjalankan usaha atau kegiatan di Indonesia, dengan syarat badan pasangan usaha tersebut : 1) merupakan perusahaan mikro, kecil, menengah, atau yang menjalankan

kegiatan dalam sektor-sektor usaha yang diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan ; dan

2) sahamnya tidak diperdagangkan di bursa efek di Indonesia. Penjelasan dari huruh f sampai dengan huruf k adalah sbb : Huruf f Berdasarkan ketentuan ini, deviden yang dananya berasal dari laba setelah dikurangi pajak dan diterima atau diperoleh perseroan terbatas sebagai wp dalam negeri, koperasi, dan BUMN/BUMD, dari penyertaannya pada badan usaha lainnya, yang didirikan dan bertempat kedudukan di Indonesia, dengan penyertaan sekurang-kurangnya 25% (dua puluh lima persen), dan penerima deviden tersebut memperoleh penghasilan dari usahan riil di luar penghasilan yang berasal dari penyertaan tersebut, tidak termasuk objek pajak. Yang dimaksud dengan BUMN/ dan BUMD dalam ayat ini, antara lain adalah perseroan (Persero), bank pemerintah bank pembangunan daerah.

Page 33: PPh

PUSAT PENDIDIKAN DAN PELATIHAN PAJAK BADAN PENDIDIKAN DAN PELATIHAN KEUANGAN

MODUL PAJAK PENGHASILAN@DTS DASAR PAJAK II HALAMAN 28

Perlu ditegaskan bahwa dalam hal penerima deviden atau bagian laba adalah wajib pajak selain badan-badan tersebut diatas, seperti orang pribadi baik dalam negeri, maupun luar negeri, firma, perseroan komanditer, yayasan dan orgnisasi sejenis, dan sebagainya, maka penghasilan berupa deviden atau bagian laba tersebut tetap merupakan objek pajak. Huruf g Pengecualian sebagai objek pajak berdasarkan ketentuan ini, hanya berlaku bagi dana pensiun yang pendiriannya telah mendapat pengesahan dari Menteri Keuangan. Yang dikecualikan dari objek pajak adalah iuran yang diterima dari peserta pensiun, baik atas beban sendiri maupun yang ditanggung pemberi kerja. Pada dasarnya iuran yang diterima oleh dana pensiun tersebut merupakan dana milik dari peserta dana pensiun, yang akan dibayarkan kembali kepada mereka pada waktunya. Pengenaan pajak atas iuran tersebut berarti mengurangi hak para peserta pensiun, dan oleh karena itu iuran tsb dikecualikan sebagai objek pajak. Huruf h Sebagaimana tersebut dalam huruf g, pengecualian sebagai objek pajak berdasarkan ketentuan ini hanya berlaku bagi dana pensiun yang pendiriannya telah mendapat pengesahan Menteri Keuangan. Yang dikecualikan dari objek pajak dalam hal ini adalah penghasilan dari modal yang ditanamkan di bidang-bidang tertentu berdasar kan Keputusan Menteri Keuangan. Berdasarkan Keputusan Menteri Keuangan No. 651/KMK.04/1994, Tgl 29 Desember 1994, Tentang Bidang Penanaman Modal tertentu yang memberikan penghasilan kepada dana pensiun yang tidak termasuk sebagai objek PPh adalah sebagai berikut ; bunga dan diskonto dari deposito, sertifikat, dan tabungan, pada bank di Indonesia,

serta sertifikat Bank Indonesia. bunga dan obligasi yang diperdagangkan di pasar modal Indonesia; deviden dari saham pada perseroan terbatas yang tercatat di bursa efek di Indonesia. Selanjutnya dalam SE- Direktur Jenderal Pajak No. SE- 16/PJ.4/1995, Tgl 23 Maret 1995, dinyatakan sebagai berikut : Penghasilan dana pensiun yang pendiriannya telah disahkan oleh Menteri Keuangan yang bukan merupakan objek pajak PPh adalah : iuran yang diterima atau diperoleh dana pensiun yang dibayar oleh pemberi kerja

maupun oleh pegawai. penghasilan dana pensiun dari modal yang ditanamkan dalam bidang-bidang tertentu

yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan. Penghasilan dana pensiun yang pendiriannya telah disahkan oleh Menteri Keuangan dari penanaman modal yang tidak termasuk objek pajak sebagaimana dimaksud Keputusan Menkeu seperti disebut diatas, dananya harus bersumber dari dana yang terkumpul dari iuran pensiun yang diterima atau diperoleh dana pensiun, atau yang dibayar pemberi kerja termasuk pengembangannya. Apabila ada yang berasal dari pihak ketiga, atau uang pribadi pengurus dana pensiun, maka penghasilan yang diterima atau diperoleh dana pensiun menjadi objek pajak. Jika dana pensiun yang dimaksud, menerima atau memperoleh bunga atau diskonto, yang berasal dari deposito, dan tabungan, atau SBI, bunga dan/atau deviden dari obligasi dan/atau saham yang diperdagangkan di bursa efek di Indonesia, maka penghasilan tersebut, merupakan objek pajak dan harus dipotong PPh Psl 23 UU Pajak penghasilan oleh pemberi hasil.

Page 34: PPh

PUSAT PENDIDIKAN DAN PELATIHAN PAJAK BADAN PENDIDIKAN DAN PELATIHAN KEUANGAN

MODUL PAJAK PENGHASILAN@DTS DASAR PAJAK II HALAMAN 29

Dengan demikian penghasilan yang diterima atau diperoleh dana pensiun dimaksud dapat dikelompokan menjadi : Penghasilan yang tidak termasuk objek pajak ; Penghasilan lainnya yang merupakan objek pajak Dana pensiun yang memperoleh penghasilan seperti itu, wajib membuat pencatatan yang terpisah dalam pembukuannya, antara penghasilan yang bukan objek pajak dengan penghasilan yang menjadi objek pajak. Kalau tidak demikian halnya, maka perhitungan biaya yang boleh dikurangkan/dibebankan dari penghasilan bruto, akan ditetapkan secara perbandingan. Huruf i Untuk kepentingan pengenaan pajak, badan-badan sebagaimana disebut dalam ketentuan ini, yang merupakan himpunan para anggotanya dikenakan pajak sebagai satu kesatuan, yaitu pada tingkat badan tersebut. Oleh karena itu bagian laba yang diterima oleh para anggota badan tersebut bukan lagi menjadi objek pajak. Huruf k Perusahaan modal ventura (ventura capital), adalah suatu perusahaan yang kegiatan usahanya membiayai badan usaha (sebagai pasangan usaha ) dalam bentuk penyertaan modal untuk jangka waktu tertentu. Berdasarkan ketentuan ini, bagian laba yang diterima atau diperoleh dari perusahaan pasangan usaha, tidak termasuk objek pajak, dengan syarat perusahaan pasangan usaha tersebut merupakan perusahaan kecil, menengah, atau yang menjalankan usaha atau melakukan kegiatan dalam sektor-sektor tertentu yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan, dan sahamnya tidak diperdagangkan di bursa efek Indonesia. Apabila pasangan usaha perusahaan modal ventura memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf f, deviden yang diterima atau diperoleh perusahaan modal ventura bukan merupakan objek pajak. Agar kegiatan perusahaan modal ventura dapat diarahkan kepada sektor-sektor kegiatan ekonomi yang memperoleh prioritas untuk dikembangkan, misalnya untuk meningkatkan ekspor non migas, usaha atau kegiatan perusahaan pasangan usaha tersebut diatur oleh Menteri Keuangan. Mengingat perusahaan modal ventura merupakan alternatif pembiayaan dalam bentuk penyertaan modal, maka penyertaan modal tersebut diarahkan pada perusahaan-perusahaan yang belum mempunyai akses ke bursa efek. Sehubungan dengan perusahaan kecil dan menengah pasangan usaha dari perusahaan modal ventura, Menteri Keuangan, telah menerbitkan Keputusan Menteri Keuangan No. 250/KMK.04/1995, Tgl 2 Juni 1995, Tentang perusahaan kecil dan menengah pasangan usaha dari perusahaan modal ventura dan perlakuan perpajakan atas penyertaan modal perusahaan modal ventura, yg berisikan antara lain: 1. Perusahaan kecil dan menengah pasangan usaha perusahaan modal ventura,

adalah perusahaan yang penjualan bersihnya setahun tidak melebihi Rp 5.000.000.000. (lima miryar rupiah).

2. Penyertaaan modal perusahaan modal ventura pada setiap perusahaan pasangan usaha, dilakukan selama perusahaan pasangan usaha tersebut belum menjual saham di bursa efek dan/atau untuk jangka waktu tidak melebihi 10 tahun.

3. Penghasilan berupa bagian laba yang diterima atau diperoleh, perusahaan modal ventura dari penyertaan modal pada perusahaan pasangan usaha, yang memenuhi persyaratan tersebut diatas, bukan merupakan objek Pajak Penghasilan.

4. Apabila perusahaan pasangan usaha menjual sahamnya di bursa efek, perusahaan modal ventura harus menjual sahamnya pada perusahaan pasangan usaha

Page 35: PPh

PUSAT PENDIDIKAN DAN PELATIHAN PAJAK BADAN PENDIDIKAN DAN PELATIHAN KEUANGAN

MODUL PAJAK PENGHASILAN@DTS DASAR PAJAK II HALAMAN 30

selambat-lambatnya 36 (tiga puluh enam) bulan, sejak perusahaan pasangan usaha tsb diizinkan oleh BAPEPAM menjual sahamnya di bursa efek.

5. Penghasilan berupa bagian laba yang diterima atau diperoleh perusahaan modal ventura pada perusahaan pasangan usaha, setelah lewat jangka waktu sebagaimana dimaksud pada angka (2) atau angka (4), merupakan objek pajak, kecuali apabila bagian laba tersebut memenuhi ketentuan Psl 4 ayat (3) huruf f UU- PPh.

6. Perusahaan modal ventura wajib membukukan secara terpisah penghasilan yang merupakan objek pajak, dan penghasilan yang bukan merupakan objek pajak.

Huruf l Bahwa dalam rangka mendukung usaha peningkatan kualitas sumber daya manusia melaluipendidikan dan/atau penelitian dan pengembangan diperlukan sarana dan prasarana yang memadai. Untuk itu dipandang perlu memberikan fasilitas perpajakan berupa pengecualian pengenaan pajak atas sisa lebih yang diterima atau diperoleh, sepanjang sisa lebih tersebut ditanamkan kembali dalam bentuk pembangunan gedung dan pengadaan sarana dan prasarana kegiatan dimaksud. Penanaman kembali sisa lebih dimaksud harus direalisasikan paling lama dalam jangka waktu 4 (empat) tahun sejak sisa lebih tersebut diterima atau diperoleh. Untuk menjamin tercapainya tujuan pemberian fasilitas ini, maka lembaga atau badan yang menyelenggarakan pendidikan harus bersifat nirlaba. Pendidikan serta penelitian dan pengembangan yang diselenggarakan bersifat terbuka kepada siapa saja dan telah mendapat pengesahan dari instansi yang membidanginya. Huruf m Bantuan atau santunan yang diberikan oleh Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) kepada wajib pajak tertentu adalah bantuan sosial yang diberikan khusus kepada wajib pajak atau anggots masyarakat yang tidak mampu atau sedang mendapat bencana alam atau tertimpa musibah. 4.2. Latihan 3 Jawablah pertanyaan berikut ini secara singkat tetapi jelas. Jawaban didiskusikan dengan sesama peserta Diklat. Jelaskan yang menjadi objek pajak pada Pajak Penghasilan. Hibah, dan bantuan bukan merupakan objek pajak, terangkan syarat-syarat yang

harus dipenuhi tidak menjadi objek pajak dimaksud. Terangkan jenis pajak apa yang pengembaliannya merupakan objek pajak mengapa

demikian halnya. apakah yang dimaksud tambah kekayaan neto, dan apa syaratnya untuk dikenakan

pajak. dalam hal apakah natura dan kenikmatan dianggap sebagai objek pajak, dan dalam

hal apa pula, natura dan kenikmatan tidak dianggap objek pajak. 4.3. Rangkuman 1. Pengertian �penghasilan�adalah setiap tambahan kemampuan ekonomis, yang

diterima atau diperoleh wajib pajak, baik yang berasal dari Indonesia, maupun dari luar Indonesia, yang dapat dipakai untuk konsumsi atau menambah kekayaan wajib pajak dimaksud, dengan nama dan dalam bentuk apapun.

Page 36: PPh

PUSAT PENDIDIKAN DAN PELATIHAN PAJAK BADAN PENDIDIKAN DAN PELATIHAN KEUANGAN

MODUL PAJAK PENGHASILAN@DTS DASAR PAJAK II HALAMAN 31

2. Sesungguhnya pengertian penghasilan yang dianut dalam UU No. 36 Tahun 2008,

Pajak Penghasilan menganut pengertian penghasilan yang sangat luas. 3. Dilihat dari mengalirnya tambahan kemampuan ekonomis kepada wajib pajak, maka

penghasilan dapat dikelompokan menjadi :

a. Penghasilan dari pekerjaan dalam hubungan kerja dan pekerjaan bebas, seperti gaji, honororarium, penghasilan dari praktek dokter, notaris, akturis, akuntan, pengacara, dan sebagainya.

b. Penghasilan dari usaha dan kegiatan ; c. Penghasilan dari modal, yang berupa harta gerak ataupun harta tak gerak,

seperti bunga, deviden, sewa, royalti, keuntungan dari penjualan atau pengalihan harta, yang tidak digunakan dalam usaha, dan lain sebagainya.

d. Penghasilan lain-lain, seperti pembebasan utang, hadiah, hak atas bayaran kala dan lain sebagainya.

4. Deviden merupakan bagian laba yang diperoleh pemegang saham dan pemegang

polis asuransi atau pembagian SHU koperasi yg diperoleh anggota koperasi , terdapat 12 jenis penghasilan yg termasuk dalam pengertian deviden.

5. Pada dasarnya imbalan berupa royalti terdiri dari 3 kelompok , yaitu imbalan

sehubungan dengan penggunaan hak atas harta tak berwujud, hak atas harta berwujud, dan informasi yang belum diungkapkan secara umum, walaupun mungkin belum dipatenkan.

6. Dalam pengertian sewa, termasuk imbalan yang diterima atau diperoleh dengan

nama dan dalam bentuk apapun, sehubungan dengan penggunaan harta gerak, maupun harta tak gerak, misalnya sewa alat, sewa mobil, sewa kantor dll nya.

7. Penerimaan berupa pembayaran berkala, misalnya uang alimentasi atau tunjangan

seumur hidup yang dibayar secara berulang-ulang dalam waktu tertentu. 8. Pembebasan utang oleh pihak yang berpiutang dianggap sebagai penghasilan, bagi

pihak yang semula berutang, sedangkan bagi pihak yang berpiutang, dapat dibebankan sebagai biaya.

9. Tambah kekayaan neto pada hakekatnya merupakan akumulasi penghasilan baik

yang telah dikenakan pajak maupun yang belum dikenakan pajak. Apabila diketahui adanya penambahan kekayaan neto yang melebihi akumulasi penghasilan yang telah dikenakan pajak, tetapi belum dikenakan PPh, maka tambahan tersebut akan menjadi objek pajak.

10. Penghasilan yang tidak termasuk objek pajak seperti yang diatur dalam Psl 4 ayat

(3) UU NO. 36 Tahun 2008,- antara lain bantuan, sumbangan, termasuk zakat, yang diterima oleh badan amil zakat, atau lembaga amil zakat yang dibentuk dan disahkan pemerintah, dan para penerima zakat yang berhak, serta harta hibahan yang diterima keluarga sedarah dalam garis keturunan satu derajat, dan oleh badan keagamaan, badan sosial, atau badan pendidikan, atau pengusaha kecil, termasuk koperasi dan yayasan yang ditetapkan oleh pemerintah, sepanjang tidak hubungan usaha, kegiatan dan kepemilikan, atau penguasaan antara pihak-pihak yang bersangkutan.

Page 37: PPh

PUSAT PENDIDIKAN DAN PELATIHAN PAJAK BADAN PENDIDIKAN DAN PELATIHAN KEUANGAN

MODUL PAJAK PENGHASILAN@DTS DASAR PAJAK II HALAMAN 32

Perincian dari penghasilan-penghasilan yang tidak termasuk objek pajak, dapat dipelajari dan dibaca serta dipahami, beserta penjelasannya dapat dilihat pada uraian dan penjelasan dari penghasilan-penghasilan yang tidak termasuk objek pajak, beserta dengan contoh-contoh yang diberikan.

Page 38: PPh

PUSAT PENDIDIKAN DAN PELATIHAN PAJAK BADAN PENDIDIKAN DAN PELATIHAN KEUANGAN

MODUL PAJAK PENGHASILAN@DTS DASAR PAJAK II HALAMAN 33

Kegiatan belajar 4. JENIS-JENIS PENGHASILAN YANG PENGENAAN PAJAKNYA BERSIFAT FINAL SEPERTI DIATUR DALAM Psl 4 ayat (2). 5.1. Uraian, dan penjelasan. Berdasarkan Psl 4 ayat (2), UU �PPh, dikemukan : Bahwa atas penghasilan berupa bunga deposito, dan tabungan-tabungan lainnya, penghasilan dari transaksi saham dan sekuritas lainnya di bursa efek, penghasilan dari pengalihan harta berupa tanah dan/atau bangunan serta penghasilan tertentu lainnya, pengenaan pajaknya diatur dengan Peraturan Pemerintah. Dalam penjelasan ayat tersebut dikemukakan, bahwa sesauai dengan ketentuan ayat (1), penghasilan berupa bunga deposito, dan tabungan lainnya, penghasilan dari transaksi saham dan sekuritas lainnya, di bursa efek, penghasilan dari pengalihan harta berupa tanah dan/atau bangunan, serta penghasilan tertentu lainnya, merupakan objek pajak. Tabungan masyarakat yang disalurkan melalui perbankan dan bursa efek merupakan sumber dana bagi pelaksanaan pembangunan, sehingga pengenaan pajak yang berasal dari tabungan masyarakat tersebut, perlu diperlakukan tersendiri dalam pengenaan pajaknya. Pertimbangan- per tersebut juga mendasari, diberikannya perlakuan tersendiri terhadap pengenaan pajak atas penghasilan dari pengalihan harta berupa tanah dan/atau bangunan, serta jenis-jenis penghasilan tertentu lainnya. Oleh karena itu pengenaan pajak penghasilan, termasuk sifat, besarnya, dan tatacara pelaksanaan pembayaran, pemotongan atau pemungutan, atau pemungutan atas jenis-jenis penghasilan tersebut diatur tersendiri Peraturan Pemerintah. Dengan mempertimbangkan kemudahan dalam pelaksanaan pengenaan serta agar tidak menambah beban administrasi baik bagi wajib pajak maupun Direktorat Jenderal Pajak, maka pengenaan Pajak Penghasilan dalam ketentuan ini dapat bersifat final. Sehubungan dengan ketentuan Psl 4 ayat (2) ini, telah diterbitkan Peraturan Pemerintah sebagai berikut : 1. PP No. 41 Tahun 1994, juncto PP No. 14 Tahun 1997, Tgl 23 -12-1997, tentang

PPh. atas penghasilan dari transaksi penjualan saham di BE. 2. PP No. 132 Tahun 2000, Tgl 15-12-2000, PPh. Atas hadiah Undian. 3. PP No. 27 Tahun 1996, juncto PP No. 79 Tahun 1999, tentang Perubahan Peraturan

Tentang Pembayaran PPh. Atas Penghasilan dari penjualan dan Pengalihan hak atas Tanah dan/atau Bangunan.

4. PP No. 131 Tahun 2000, Tgl 15 Desember 2000, Tentang PPh. Atas Bunga Deposito, dan Tabungan serta Diskonto SBI.

5. PP No. 4 Tahun 1995, Tgl 8 Pebruari 1995, tentang PPh. Perusahaan Modal Ventura dari Transaksi Penjualan Saham atau Pengalihan Penyertaan Modal pada Perusahaan Pasangan Usahanya.

6. PP No. 29 Tahun 1996, juncto PP No. 5 Tahun 2002, Tgl 18 April 2002, Tentang Pembayaran PPh. Penghasilan dari Persewaan Tanah dan/atau Bangunan.

7. PP No. 139 Tahun 2000, juncto PP No. 6 Tahun 2002, Tgl 21-12-2002, Tentang PPh. Atas Penghasilan atas Bunga dari Obligasi yang diperdagangkan/diperjual belikan di Pasar Modal.

8. PP No. 140 Tahun 2000, Tgl 21 Desember 2000, Tentang PPh. Usaha Jasa Konstruksi dan Jasa Konsultan.

Page 39: PPh

PUSAT PENDIDIKAN DAN PELATIHAN PAJAK BADAN PENDIDIKAN DAN PELATIHAN KEUANGAN

MODUL PAJAK PENGHASILAN@DTS DASAR PAJAK II HALAMAN 34

Secara terperinci, jenis-jenis penghasilan (objek) pajak yang dikenakan Pajak Penghasilan yang bersifat Final dapat dilihat ditabel dibawah ini : No. Jenis Penghasilan. Tarif Keterangan Dasar Hukum 1. Bunga Deposito/

Tabungan dan Dis- konto SBI.

20%, 20%,

atau ta rip P3B.

Jumlah bruto bagi WP Dalam Negeri. dari jumlah bruto, bagi WP Luar Negeri .

Psl 4 ayat (2) PP 131/2000. Kep 51/KMK 04/2001, yo Kep-217/PJ/ 2001- DJP.

2. Hadiah Undian 25% Jumlah bruto hadiah (barang atau uang).

Psl 4 ayat (2), PP-132/2000.

3. Bunga simpanan anggota Koperasi

15% Seluruh bunga diatas Rp 240.000./sebulan.

Psl 23 ayat (4) g, Kep. 522/ KMK.04/98.

SE-43/PJ./1998

4. Bunga Obligasi & Diskonto SBI.

20 % Jumlah bruto bunga. Psl 4 ayat (2). PP No.6/2002.

5. Penjualan saham pendiri.

0,5% Jumlah bruto transaksi penjualan saham

PP 14Tahun 1997.

6. Penjualan bukan saham pendiri

0,1% Tambahan bagi pemilik saham pendiri.

PP No.4/1995. Kep.81/KMK/

04/1995. 7. Penyalur/Dealer/

Agen Produk Per tamina, Premix

0, 25%

0. 30% 0,30%

Premium, Solar, Premix-SPBU Pertamina SPBU milik Swasta. Minyak tanah, gas Lpg dan pelumas.

Psl 22, yoncto Kep 254/kmk. 03./2001. Kep 392/KMK.03/

2001. 8. Penyalur/Agen/Dis

tributor rokok 0,15% Harga banderol, dari

penjualan rokok DN. Sda. No.7Kep 529/PJ./2001.

9. Penjualan / Penga- lihan hak atas Ta- nah /Bangunan.

5% Jumlah bruto penjualan/ pengalihan, Bagi WP badan, selain Yayasan dan sejenisnya tidak bersifat Final.

PP 27 /1996. Kep 392/kmk 04/1996. PP No.79/1999. KMK-566/99.

10. Penghasilan dari Persewaan tanah

dan atau bangunan

10% Jumlah bruto yang di- terima/diperoleh WP OP dan WP Badan.

Psl 4 ayat (2) PP No.5/2002, Kep.227/2002.

11. Usaha jasa konst- ruksi .

2% 4% 3% 4%

Atas jasa pelaksana yang dilakukan oleh penyedia jasa dengan kualifikasi usaha kecil Pelaksana Konstruksi oleh Penyedia jasa Konstruksi yang tidak memiliki kualifikasi. Untuk pelaksana konstruksi selain penyedia Kontruksi yang disebut diatas. Untuk perencana Konstruk si atau pengawasan yang dilakukan oleh yang memiliki kualifikasi Usaha; Untuk perencana Konstruksi atau pengawasan Konstruksi

Peraturan Peme- Tah No. 51

Tahun 2008, Yo

Peraturan Menteri

Keuangan No.

187/PMK.03/2008 Tanggal

20 Nopember 2008.

Page 40: PPh

PUSAT PENDIDIKAN DAN PELATIHAN PAJAK BADAN PENDIDIKAN DAN PELATIHAN KEUANGAN

MODUL PAJAK PENGHASILAN@DTS DASAR PAJAK II HALAMAN 35

6% yang tidak memiliki kualifikasi usaha.

12. Uang Pesangon, Uang pensiun seka

ligus, THT, JHT. dibayarkan sekaligus

5% 10% 15% 25%

Diatas 25 jt s/d 50 jt. diatas 50 jt s/d 100 jt. diatas 100 jt s/d 200 jt diatas 200 juta.

Psl 4 ayat (2) PP 149/2000. Kep.545/PJ/

2000. 13. Penghasilan WP

yang bergerak di bidang usaha pela- yaran Dlm Negeri

1,2% Penghasilan bruto. Psl 15 UU. Yo Kep 416/ KMK.04/

1996. 14. Penghasilan WP

yang bergerak usa ha pelayaran/pe-

nerbangan LN

2,64% Penghasilan bruto. Psl 15 UU, yo Kep. 417/ KMK.04/ 1996.-

15. Perwakilan Dagang Asing yang mem- punyai kantor di

Indonesia.

0.44% Nilai Ekspor Bruto Psl 15 UU, yo Kep 634/ KMK.04/

1996.Kep 667 /PJ./2001.

16. Honororarium ke Pada PNS Gol.lll A

Keatas, POLRI Ajun Inspektu ke- Atas, TNI Peltu ke Atas dari APBN/

APBD.

15% Penghasilan Bruto. Psl 21 ayt (1) PP 45 Tahun

1994.

PMK 15 Ta- hun 2005.

17. Nilai bangunan

yang diserahkan selesai perjanjian

bangun,guna,serah

5% Nilai pasar atau NJOP mana yang tertinggi.

Psl 15 UU, Kep 248/

KMK.04/95 SE-38/PJ.4/95

18. Penjualan saham milik perusahaan

mdal ventura

0,1% Jumlah bruto transak si penjualan saham. atau pengalihan saham

Psl 4 ayat (2) PP 4/1995.

Kep 250/1995 SE-33/PJ.4/95

19. Selisih penilaian kembali aktiva te- tap perusahaan

10%

15%

Dari selisih penilaian kembali. Tambahan kalau diju- al/dialihkan sebelum waktunya.

Psl 19 UU, yo KMK 486/02, PMK N0. 79/ PMK.03/2008 23 Mei 2008.

20. Diskonto atas Surat Perbendaharaan

Negara (SPN), SUN ORI,

20% (WP DN), dan 20% atau Sesuai dg tarip P3B bagi WP Luar Ne-

geri.

Dari imbalan bunga. Peraturan Pemerintah

No. 11 Tahun 2006. Tgl 15 April 2006.

PMK No. 63/ PMK.03/2008 Tgl 28-4-2008

21. Deviden yang dibagi kan kepada WP OP Dalam Negeri

10%

Deviden Bruto

UU PPh No. 36 Tahun 2008, Psl 17 ayat (2c).

Terhadap penghasilan yang dikenakan PPh. Final, penghasilannya tidak digabungkan dengan penghasilan yang pengenaan PPh nya tidak Final, akan tetapi tetap dilaporkan wajib pajak pada SPT Orang Pribadi, atau SPT Wajib Pajak Badan.

Page 41: PPh

PUSAT PENDIDIKAN DAN PELATIHAN PAJAK BADAN PENDIDIKAN DAN PELATIHAN KEUANGAN

MODUL PAJAK PENGHASILAN@DTS DASAR PAJAK II HALAMAN 36

5.2. Latihan 4. 1. Jelaskan dimana ketentuan PPh. Final diatur. 2. Apa yang dimaksud dengan PPh. Final. 3. Sebutkan beberapa jenis objek pajak yang termasuk PPh. Final 4. Jelaskan pengertian Bangun, Guna dan Serah (BOT). 5. Bagaimana pertanggungan jawab PPh. Final sehubungan dengan pengisian SPT

Tahunan, baik bagi WP Orang Pribadi, maupun Wajib Pajak Badan. 5.3. Rangkuman Terhadap transaksi-transaksi atau objek pajak tertentu, untuk memudahkan pemenuhan kewajiban pajaknya dalam bentuk pemotongan, pemunugtan, atau dilunaskan sendiri oleh wajib pajak, maka diatur tatacara pelunasannya baik dari segi perhitungan, tarip dan dasar pengenaan pajaknya, yang tidak menyulitkan wajib pajak dalam melaksanakannya. Tatacara pembayaran pajak dimaksud, disebut PPh. Final, yang diatur dalam Psl 4 ayat (2), Undang-Undang Pajak Penghasilan. Untuk merealisir PPh. Final, disamping menggunakan Psl seperti disebut diatas, diterbitkan peraturan pelaksanaannya mulai dari PP, Keputusan/Peraturan Menteri Keuangan, sampai dengan Keputusan/Peraturan Direktur Jenderal Pajak. Jenis-jenis Pajak Penghasilan yang bersifat Final, sampai dengan saat modul ini dibuat, terdapat 21 (dua puluh satu) jenis, yang umumnya menggunakan tarif tunggal. Sekalipun sifatnya final, namun wajib pajak tetap melaporkannya didalam SPT Tahunan, baik SPT Tahunan wajib pajak orang pribadi, maupun wajib pajak badan, pada lampiran-lampiran yang telah disediakan. Objek pajak yang dikenakan Final tidak digabungkan dengan penghasilan wajib pajak yang PPh nya tidak bersifat final

Page 42: PPh

PUSAT PENDIDIKAN DAN PELATIHAN PAJAK BADAN PENDIDIKAN DAN PELATIHAN KEUANGAN

MODUL PAJAK PENGHASILAN@DTS DASAR PAJAK II HALAMAN 37

5. Kegiatan Belajar 5. 6.1. OBJEK PAJAK BENTUK USAHA TETAP (BUT). Didalam Psl 5 ayat (1) Undang-Undang No. 36 Tahun 2000,- PPh, diatur Objek Pajak bentuk usaha tetap (BUT), yang menyebutkan sebagai berikut : Yang menjadi objek pajak bentuk usaha tetap adalah : a) penghasilan dari usaha atau kegiatan bentuk usaha tetap tersebut, dari harta yang

dimiliki atau dikuasai ; b) penghasila kantor pusat, dari usaha atau kegiatan, penjualan barang, atau

pemberian jasa di Indonesia yang sejenis dengan yang dijalankan atau dilakukan oleh bentuk usaha tetap di Indonesia ;

c) penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Psl 26 yang diterima atau diperoleh kantor pusat, sepanjang terdapat hubungan efektif antara bentuk usaha tetap dengan harta atau kegiatan yang memberikan penghasilan dimaksud.

Penghasilan sebagaimana dimaksud Psl 26 yang diterima atau diperoleh kantor pusat dimaksud dapat berupa; Deviden Bunga, termasuk premium, diskonto, premi swap dan imbalan sehubungan

dengan jamainan pengembalian utang. Royalty, sewa, dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta Imbalan sehubungan dengan jasa, pekerjaan, atau kegiatan. Hadiah dan penghargaan.

Penjelasan Psl 5 Orang Pribadi yang tidak bertempat tinggal atau badan yang tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia, yang menjalankan usaha atau melakukan kegiatan melalui suatu bentuk usaha tetap di Indonesia, dikenakan pajak di Indonesia melalui Bentuk Usaha Tetap tersebut. Ayat (1). Huruf a Bentuk usaha tetap dikenakan pajak atas penghasilan yang berasal dari usaha atau kegiatan, dan dari harta yang dimiliki atau dikuasainya. Dengan demikian semua penghasilan tersebut dikenakan pajak di Indonesia. Huruf b Berdasarkan ketentuan ini penghasilan kantor pusat yang berasal dari usaha atau kegiatan, penjualan barang dan pemberian jasa yang sejenis dengan apa yang dilakukan oleh bentuk usaha tetap, dianggap sebagai penghasilan bentuk usaha tetap, karena pada hakekatnya usaha atau kegiatan tersebut, termasuk dalam ruang lingkup usaha atau kegiatan yang dapat dilakukan bentuk usaha tetap. Usaha atau kegiatan yang sejenis dangan usaha atau kegiatan bentuk usaha tetap misalnya, terjadi apabilansebuah bank diluar Indonesia yang mempunyai bentuk usaha tetap di Indonesia memberikan pinjaman secara langsung tanpa melalui bentuk usaha tetapnya di Indonesia. Penjualan barang yang sejenis, dengan yang dijual oleh bentuk usaha tetap, misalnya kantor pusat di luar negeri yang mempunyai bentuk usaha tetap di Indonesia, menjual produk yang sama dengan produk yang dijual oleh bentuk usaha tetap tersebut, secara angsung tanpa melalui bentuk usaha tetap nya di Indonesia. Pemberian jasa oleh kantor pusat yang sejenis dengan jasa yang diberikan oleh bentuk usaha tetap, misalnya kantor pusat perusahaan konsultan di Indonesia, memberikan

Page 43: PPh

PUSAT PENDIDIKAN DAN PELATIHAN PAJAK BADAN PENDIDIKAN DAN PELATIHAN KEUANGAN

MODUL PAJAK PENGHASILAN@DTS DASAR PAJAK II HALAMAN 38

konsultasi yang sama dengan jenis jasa yang dilakukan oleh bentuk usaha tetap tersebut secara langsung, tanpa melalui bentuk usaha tetapnya kepada klien di Indonesia. Huruf c Penghasilan seperti dimaksud dalam Pasal 26 yang diterima atau diperoleh kantor pusat, dianggap sebagai penghasilan bentuk usaha tetap di Indonesia, apabila terdapat hubungan efektif antara harta atau kegiatan yang memberikan penghasilan dengan bentuk usaha tetap tersebut. Misalnya X Inc. menutup perjanjian lisensi dengan PT Y untuk menggunakan merek dagang X Inc. maka atas penggunaan hak tersebut X Inc. menerima imbalan berupa royalti dari PT Y Indonesia. Sehubungan dengan perjanjian tersebut X Inc. juga memberikan jasa manajemen kepada PT Y, melalui suatu bentuk usaha tetap di Indonesia, dalam pemasaran produk PT Y yang mempergunakan merek dagang tersebut. Dalam hal demikian, penggunaan merek dagang oleh PT Y mempunyai hubungan efektif dengan bentuk usaha tetap di Indonesia, dan oleh karena itu penghasilan X Inc. yang berupa royalti tersebut diperlakukan sebagai penghasilan bentuk usaha tetap. Dalam Psl 5 ayat (2) diatur tentang biaya-biaya yang diperkenankan, terutama yang berkenaan dengan objek pajak seperti dimaksud huruf b dan c, tersebut diatas ; Biaya-biaya yang berkenaan dengan penghasilan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), huruf b, dan c, boleh dikurangkan dari bentuk usaha tetap. Pada ayat (3) nya, dijelaskan bahwa dalam menentukan besarnya laba (penghasilan) suatu bentuk usaha tetap : a. biaya administrasi kantor pusat yang diperbolehkan untuk dibebankan adalah biaya

yang berkaitan dengan usaha atau kegiatan bentuk usaha tetap, yang besarnya ditetapkan oleh Direktur Jenderal Pajak ;

b. pembayaran kepada kantor pusat yang tidakdiperbolehkan dibebankan sebagai biaya adalah: 1) royalti atau imbalan lainnya sehubungan dengan penggunaan harta, paten,

atau hak-hak lainnya. 2) imbalan sehubungan dengan jasa manajemen dan jasa lainnya. 3) bunga, kecuali yang berkenaan dengan usaha perbankan ;

Pembayaran sebagaimana dimaksud pada huruf b, yang diterima atau diperoleh dari kantor pusat, tidak dianggap sebagai objek pajak, kecuali bunga yang berkenaan dengan usaha perbankan.

Penjelasan huruf (a), adalah : Biaya-biaya administrasi yang dikeluarkan oleh kantor pusat sepanjang digukan untuk menunjang usaha atau kegiatan bentuk usaha tetap di Indonesia, boleh dikurangkn dari penghasilan bentuk usaha tetap tersebut. Jenis serta biaya yang boleh dikurangkan tersebut ditentukan oleh Dirjend Pajak. Sehubungan dengan ini Direktur Jenderal Pajak telah menerbitkan Keputusan Direktur Jenderal Pajak No. KEP-62/PJ./1995, tentang Jenis dan Besarnya biaya Administrasi Kantor Pusat yang Dibebankan Sebagai Biaya suatu Bentuk Usaha Tetap. Isi keputusan tersebut antara lain sebagai berikut : 1) biaya administrasi kantor pusat yang diperbolehkan untuk dikurangkan dari

penghasilan bruto yang diterima atau diperoleh suatu bentuk usaha tetap di Indonesia, adalah biaya administrasi yang dikeluarkan oleh kantor pusat yang berkaitan dan dalam rangka untuk menunjang usaha dan kegiatan BUT yang bersangkutan untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan.

Page 44: PPh

PUSAT PENDIDIKAN DAN PELATIHAN PAJAK BADAN PENDIDIKAN DAN PELATIHAN KEUANGAN

MODUL PAJAK PENGHASILAN@DTS DASAR PAJAK II HALAMAN 39

2) besarnya biaya administrasi kantor pusat yang diperbolehkan untuk dikurangkan dari penghasilan bruto, setinggi-tingginya adalah sebanding dengan besarnya peredaran usaha, atau kegiatan BUT terhadap seluruh peredaran usaha atau kegiatan seluruh dunia.

3) oleh sebab itu, BUT wajib menyampaikan laporan keuangan konsolidasi atau kombinasi dari kantor pusat yang meliputi seluruh usaha/kegiatan perusahaan diseluruh dunia, untuk tahun pajak yang bersangkutan sebagai lampiran SPT Tahunan PPh.

4) laporan keuangan konsolidasi atau kombinasi, harus sudah diaudit oleh akuntan publik dan mengungkapkan rincian peredaran usaha atau kegiatan perusahaan, serta jenis dan besarnya biaya administrasi yang dibebankan kepada masing-masing BUT dinegara tempat perusahaan yang bersangkutan melakukan usaha atau kegiatan.

Huruf b dan huruf c Pada dasarnya bentuk usaha tetap merupakan satu kesatuan dengan kantor pusatnya, sehingga pembayaran oleh bentuk usaha tetap kepada kantor pusat nya, seperti royalti atas penggunaan harta kantor pusat, merupakan perputaran dana dalam satu perusahaan. Oleh karena itu berdasarkan ketentuan ini pembayaran bentuk usaha tetap kepada kantor pusatnya berupa royalti, imbalan jasa, dan bunga tidak boleh dikurangkan dari penghasilan bentuk usaha tetap. Namun apabila kantor pusat dan bentuk usaha tetapnya bergerak dalam bidang usaha perbankan, maka pembayaran bunga pinjaman dapat dibebankan sebagai biaya. Sebagai konsekuensi dari perlakuan tersebut, pembayaran-pembayaran sejenis yang diterima oleh bentuk usaha tetap dari kantor pusatnya, tidak dianggap sebagai objek pajak, kecuali bunga yang diterima bentuk usaha tetap dari kantor pusatnya berkenaan dengan usaha perbankan. 6.2. Latihan 5 1. Jelaskan pengertian Sdr. mengenai bentuk usaha tetap. 2. Uraikan yang menjadi objek pajak pada BUT tersebut. 3. Biaya-biaya apa saja yang boleh dikurangkan dan tidak boleh dikurangkan dari

penghasilan BUT. 4. Apa kaitannya penghasilan yang semula menjadi objek pajak PPh. Psl 26, akan

tetapi kemudian menjadi objek pengenaan pajak BUT. 5. Jelaskan kriteria penentuan besarnya biaya kantor pusat yang dapat dibebankan

sebagai beban biaya bentuk usaha tetap. 6. apakah ukuran yang dipakai dalam penentuan biaya seperti pertanyaan pada nomor

5 diatas. 7. Jelaskan Keputusan Direktur Jjenderal Pajak yang mengaturnya. 8. Pembayaran apa yang diterima kantor pusat dari BUT yang tidak merupakan objek

pajak. 9. Bagaimana kaitannya biaya dimaksud kalau dibidang usaha perbankan. 10. Kapan neraca kombinasi atau konsolidasi harus dilampirkan oleh BUT. 6.3. Rangkuman 1. Bentuk Uaha Tetap (BUT) adalah WP luar negeri yang tata cara pengenaan

pajaknya sama dengan WP dalam negeri. 2. Objek pajak BUT diatur dalam Psl 5 UU No. 36 Tahun 2000.- PPh yaitu ;

Penghasilan dari usaha atau kegiatan bentuk usaha tetap tersebut dan dari harta yang dimiliki atau dikuasai ;

Page 45: PPh

PUSAT PENDIDIKAN DAN PELATIHAN PAJAK BADAN PENDIDIKAN DAN PELATIHAN KEUANGAN

MODUL PAJAK PENGHASILAN@DTS DASAR PAJAK II HALAMAN 40

Penghasilan kantor pusat dari usaha atau kegiatan, penjualan barang, atau pemberian jasa di Indonesia yang sejenis dengan yang dijalankan atau yang dilakukan bentuk usaha tetap di Indonesia.

Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Psl 26, yang diterima atau diperoleh kantor pusat, sepanjang terdapat hubungan efektif antara bentuk usaha tetap dengan harta atau kegiatan yang memberikan penghasilan tersebut.

3. Bentuk usaha tetap dikenakan pajak atas penghasilan yang berasal dari usaha atau kegiatan dan dari harta yang dimiliki atau dikuasainya. Dengan demikian semua penghasilan tersebut dikenakan pajak di Indonesia.

4. Pada dasarnya BUT merupakan satu kesatuan dengan kantor pusatnya, sehingga, pembayaran oleh BUT kepada kantor pusatnya, seperti royalti atas penggunaan harta kantor pusat, merupakan perputaran dana dalam satu perusahaan. Oleh karena itu berdasarkan ketentuan ini pembayaran BUT kepada kantor pusatnya berupa royalti, imbalan jasa, dan bunga tidak boleh dikurangkan dari penghasilan bentuk usaha tetap. Namun apabila kantor pusat dan BUT bergerak dalam usaha perbankan, maka pembayaran berupa bunga pinjaman dapat dibebankan sebagai biaya.

5. Besarnya biaya yang dapat diperkenankan sebagai biaya bentuk usaha tetap, untuk kepentingan kantor pusat dari BUT, setinggi-tingginya sesuai dengan perbandingan penghasilan BUT dengan omzet atau peredaran usaha induk beserta BUT-BUT nya diseluruh dunia.

6. BUT, harus melampirkan neraca kombinasi/konsolidasi untuk hal dimaksud.

Page 46: PPh

PUSAT PENDIDIKAN DAN PELATIHAN PAJAK BADAN PENDIDIKAN DAN PELATIHAN KEUANGAN

MODUL PAJAK PENGHASILAN@DTS DASAR PAJAK II HALAMAN 41

7.Test Formatif. 7.1. Pilih salah satu jawaban yang Sdr. anggap paling tepat. 1. Menurut Ordonansi PPs. 1925, (Pajak Perseroan) dan Ordonansi PPd. 1944, (Pajak

Pendapatan), penentuan besarnya pajak terutang dilakukan dan ditetapkan oleh : a. Wajib Pajak sendiri b. Wajib Pajak dengan bantuan Konsultan Pajak ; c. Kepala Inspeksi Pajak.

2. Menurut kedua Ordonansi tsb diatas, untuk menentukan pajak terutang, Wajib pajak mempunyai kewajiban : a. memasukan SPT dan lampirannya ke Kantor Inspeksi Pajak. b. memasukan Neraca dan perhitungan R/L untuk tahun pajak ybs. c. memasukan surat pernyataan mengenai kegiatan usahanya.

3. Pengertian laba menurut Ordonansi PPs. 1925 :

a. menganut paham laba material, yaitu berdasarkan kenyataan yang sebenarnya dari penerimaan atau pengeluaran.

b. menganut paham laba yang terbatas seperti halnya atas pendapatan orang pribadi.

c. berdasarkan perhitungan menurut pembukuan wajib pajak. 4. Struktur tarif Pajak Perseroan :

a. ada dua macam tarif, tarif umum dan tarif khusus. b. hanya ada satu macam tarif, yaitu tarif umum.

c. tarif rata-rata yang dikenakan atas laba kena pajak. 5. Pengenaan pajak dengan sistim withholding :

a. satu-satunya untuk mengamankan penerimaan pajak. b. salah satu cara untuk mengefektifkan pembayaran pajak. c. merupakan hambatan kesadaran membayar pajak,

6. Penentuan besarnya pajak yang terutang menurut Ordonansi PPs. 1925 dan

Ordonansi PPd. 1944, pada akhir tahun : a. ditentukan oleh wajib pajak sendiri ; b. melalui lembaga Surat Ketetapan Pajak ; c. ditentukan menurut laba komersial dari usaha wajib pajak.

7. Sistim MPS-MPO, yang diintodusir melalui UU No.8 Tahun 1967 :

a. merupakan jenis pajak baru disamping PPs. dan PPd. b. suatu tatacara pembayaran pajak selama tahun berjalan. c. suatu sistim yang menggantikan lembaga Ketetapan Pajak.

8. Dengan berlakunya sistim MPS-MPO, maka tugas pemungutan pajak ;

a. mulai diberikan kepercayaan kepada WP untuk melunaskan kewajiban pajaknya melalui semi self-assessment.

b. memberikan kepercayaan sepenuhnya kepada WP, melunasi pajaknya. c. menambah beban petugas Direktorat Jenderal Pajak.

9. Tax Reform ditahun 1980-an dimaksudkan ;

a. merubah pola kerja fiskus dalam menetapkan pajak terutang ; b. memperbaharui sitim pemungutan pajak dari official-asssessment, menjadi self-

assessment. c. untuk meningkatkan penerimaan pajak.

Page 47: PPh

PUSAT PENDIDIKAN DAN PELATIHAN PAJAK BADAN PENDIDIKAN DAN PELATIHAN KEUANGAN

MODUL PAJAK PENGHASILAN@DTS DASAR PAJAK II HALAMAN 42

10. Tax Reform menyangkut perubahan atas ; a. Pajak Perseroan, Pajak Pendapatan, dan Pajak Kekayaan. b. Ketentuan Formal Pemungutan Pajak (KUP), PPs. dan PPd. c. Yang tercantum pada b, ditambah PPN-PPn.BM, dan PBB.

11. Orang Pribadi sebagai wp dalam negeri apabila : a. lahir dan bertempat tinggal di Indonesia lebih dari 183 hari. b. bertempat tinggal di Indonesia untuk jangka waktu tertentu. c. mempunyai hubungan darah dengan penduduk Indonesia.

12. Adapun kewajiban pajak subjektif orang pribadi sebagai WP LN ; a. dimulai saat melakukan usaha di Indonesia setelah lebih 183 hari. b. pada saat melewati batas 183 hari dalam jangka waktu 12 bulan ; c. pada waktu berada di Indonesia dan melakukan kegiatan/usaha.

13. Tidak termasuk sebagai subjek pajak dalam negeri ; a. dilahirkan di Indonesia kemudian pergi meninggalkan Indonesia, buat selama-

lamanya. b. berada di Indonesia selama 4 (empat) bulan dan menjadi karyawan. c. melakukan kunjungan wisata ke Indonesia atas undangan pemerintah.

14. Badan Usaha dianggap subjek pajak luar negeri apabila : a. berstatus Bentuk Usaha Tetap (BUT). b. mendirikan perusahaan di Indonesia yg pemilik/pemegang sahamnya bukan

penduduk Indonesia. c. mendirikan badan usaha diluar negeri tetapi pemilik dan pengurusnya penduduk

Indonesia.

15. Dalam hal penjualan harta antara badan usaha dengan pemegang sahamnya, dalam rangka pengenaan PPh. sesuai ketentuan UU, maka harga jual yang dipakai sebagai dasar untuk perhitungan adalah : a. harga perolehan ; b. harga pasar ; c. nilai sisa buku ;

16. Tidak termasuk pengertian deviden adalah : a. pengeluaran perusahaan untuk keperluan pribadi pemegang saham yang dibebankan sebagai biaya perusahaan. b. pembayaran kembali karena likuidasi yang tidak melebihi jumlah modal yang disetor. c. pemberian saham bonus yang berasal dari revaluasi aktiva tetap.

17. Penghasilan berupa gaji, komisi, upah dan sebagainya adalah penghasilan yang berasal dari: a. hubungan kerja , pekerjaan, dan atau kegiatan. b. hubungan usaha (mitra usaha). c. hubungan keluarga atau kekeluargaan dalam usaha.

18. Termasuk pengertian bunga dalam objek pajak adalah : a. jaminan harta yang digunakan untuk mendapatkan pinjaman; b. piutang yang dikonversikan menjadi modal saham ; c. jaminan pengembalian utang.

19. Tidak termasuk objek pajak dan tidak dikenakan PPh. adalah : a. pembagian sisa laba yang ditahan. b. terbebas dari kewajiban membayar hutang. c. bagian laba yang diterima badan usaha berbentuk Firma, Kongsi.

Page 48: PPh

PUSAT PENDIDIKAN DAN PELATIHAN PAJAK BADAN PENDIDIKAN DAN PELATIHAN KEUANGAN

MODUL PAJAK PENGHASILAN@DTS DASAR PAJAK II HALAMAN 43

20. Penghasilan (objek pajak) dibawah ini dikenakan PPh. Final : a. devidend yang diterima wajib pajak orang pribadi. b. penghasilan dari penjualan/pengalihan berupa hak atas tanah dan/ atau bangunan, yang dilakukan wp orang pribadi dalam negeri. c. royalti dari penggunaan hak paten yang diterima WP Badan DN. 7.2. Tulis B , atau S dalam tanda kurung ( ), bila pernyataan dibawah ini Benar (B),

atau Salah (S).

1. Warisan yang belum dalam rangka pengenaan pajaknya, mendapat pengurangan PTKP, sesuai dengan PTKP ahli warisnya. (.....).

2. Orang Pribadi atau Badan di luar negeri, tidak dapat dianggap mempunyai bentuk usaha tetap (BUT), di Indonesia, apabila dalam menjalankan usahanya di Indonesia menggunakan agen yang kedudukannya bebas. (.....).

3. Kewajiban pajak subjektif warisan yang belum terbagi, dimulai pada saat meninggalnya pewaris, dan berakhir pada saat warisan dibagi.(...).

4. Kewajiban subjektif pajak WP Badan, mulai saat Badan didirikan, sampai saat Badan tersebut dibubarkan dan dilikuidasi. (.....).

5. Semua penduduk yang bertempat tinggal di Indonesia, adalah subjek pajak tanpa kecuali (.....).

6. Yayasan terdaftar sebagai wajib pajak dan diberikan NPWP, apabila telah memenuhi kewajiban pajak subjektif dan objektif. (�.).

7. Yang menjadi objek pajak adalah setiap tambahan kekayaan yg dimiliki, wajib pajak dalam bentuk apapun. (��).

8. Uang Alimentasi yang diterima oleh seorang mantan isteri dari mantan suaminya setiap 6 (enam) bulan adalah objek pajak. (....)

9. Tidak termasuk Objek Pajak adalah, harta termasuk setoran tunai yang diterima oleh badan sebagai pengganti saham atau penyertaan. (.....)

10. Bagian laba yang diterima atau diperoleh anggota Firma, Kongsi, Persekutuan, Perkumpulan serta, CV Tidak atas saham, adalah objek pajak. (....).

11. Perusahaan Reksadana yang membagikan keuntungan berupa bunga obligasi kepada pemilik modal, bagi pemilik modal bukan objek pajak. (...).

12. Yang menjadi objek pajak pada bentuk usaha tetap adalah penghasilan yang semata-mata dari penjualan barang atau jasa yang diproduksi Induk perusahaan tersebut di luar negeri, ke Indonesia. (....).

13. Apabila Bentuk Usaha Tetap membayarkan imbalan berupa bunga, kepada induknya di luar negeri yang berkaitan dengan usaha dibidang perbankan, maka pembayaran bunga dimaksud, dapat dijadikan biaya bagi BUT pada waktu menghitung penghasilan kena pajaknya. (....)

14. Penghasilan berupa sewa angkutan darat, dikenakan PPh. yang bersifat Final. (.....).

15. Deviden yang diterima PT A, atas penyertaan sahamnya pada PT B, sebesar 24,8%, tidak merupakan objek pajak bagi PT A, dan karenya PT B, tidak perlu melakukan pemotongan pajaknya. (.....).

Page 49: PPh

PUSAT PENDIDIKAN DAN PELATIHAN PAJAK BADAN PENDIDIKAN DAN PELATIHAN KEUANGAN

MODUL PAJAK PENGHASILAN@DTS DASAR PAJAK II HALAMAN 44

8. Kunci jawaban (test) Formatif.

8.1. Memilih jawaban (pernyataan yang benar).

1. (C) Kepala Inspeksi Pajak. 2. (B) Memasukan Neraca dan perhitungan R/L. 3. (A) Menganut paham laba material. 4. (A) Tarif umum dan tarif khusus. 5. (A) Mengamankan penerimaan negara. 6. (B) Lembaga Surat Ketetapan Pajak. 7. (B) Tatacara pembayaran pajak selama tahun berjalan. 8. (A) Semi Self- Assessment. 9. (B) Merubah dari sistim Official Assessment ke sistim Self-Assessment. 10. (C) Menyangkut yg tercantum pada b ditambah PPN-PPn.BM,dan PBB. 11. (A) Lahir dan bertempat tinggal di Indonesia lebih dari 183 hari. 12. (C) Pada saat berada di Indonesia dan melakukan usaha/kegiatan. 13. (B) Berada di Indonesia selama 4 (empat) bulan. 14. (A) Bentuk Usaha Tetap. 15. (B) Harga pasar. 16. (B) Pembayaran kembali yang tidak melebihi jumlah modal yang disetor. 17. (A) Hubungan kerja, pekerjaan dan kegiatan. 18. (C) Jaminan pengembalian utang. 19. (C) Bagian laba yang diterima dari Firma, Kongsi, Persekutuan, Perkumpulan,

serta CV, tidak atas saham. 20. (B) Penjualan atau pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan dari wajib pajak

orang pribadi dalam negeri. 8.2. Pilihan Benar (B), atau Salah (S). 1) jawabannya Salah (S). 8) jawabannya Benar (B). 2) jawabannya Benar (B). 9) jawabannya Benar (B). 3) jawabannya Benar (B). 10) jawabannya Salah (S). 4) jawabannya Salah (S). 11) jawabannya Salah (S). 5) jawabannya Salah (S) 12) jawabannya Salah (S). 6) jawabannya Benar (B). 13) jawabannya Benar (B). 7) jawabannya Salah (S). 14) jawabannya Salah (S). 15) jawabannya Salah (S). 9. Umpan Balik.

Cocokanlah jawaban Sdr. dengan kunci jawaban test Formatif, dan hitunglah jawaban Sdr. yang benar, kemudian gunakan rumus dibawah ini untuk mengetahui tingkat penguasaan materi kegiatan belajar.

Rumus :

Tingkat penguasaan = jumlah jawaban Sdr. yang benar dibagi dengan jumlah soal, hasilnya dikalikan dengan 100%, artinya tingkat penguasaan yg dicapai :

90% - 100% = Baik sekali.

80% - 89% = Baik 70% - 79% = Cukup 69% atau kurang = Kurang.

Bila Sdr. mencapai tingkat penguasaan 80% atau lebih, Sdr. dapat meneruskan dengan modul berikutnya. Tetapi bila tingkat penguasaan kurang dari 80%, Sdr. harus mempelajari kembali kegiatan belajar tersebut.

Page 50: PPh

PUSAT PENDIDIKAN DAN PELATIHAN PAJAK BADAN PENDIDIKAN DAN PELATIHAN KEUANGAN

MODUL PAJAK PENGHASILAN@DTS DASAR PAJAK II HALAMAN 45

10. Kegiatan belajar 6 BIAYA YANG BOLEH DAN TIDAK BOLEH DIKURANGKAN DARI PENGHASILAN BRUTO. 10.1. Uraian dan Contoh 10.1.1. Pengeluaran (biaya) yang boleh dikurangkan. Bagi wajib pajak dalam negeri dan bentuk usaha tetap, biaya yang boleh dikurangkan diatur dalam Psl 6 ayat (1) UU Pajak Penghasilan. Biaya yang dapat dikurangkan ini dibagi kepada 2 (dua) golongan, yaitu biaya (beban) yang mempunyai masa manfaat tidak lebih dari 1 (satu) tahun, dan biaya (beban) yang mempunyai masa manfaat lebih dari satu tahun. Terhadap biaya yang masa manfaatnya tidak lebih dari satu tahun, dapat sekaligus dibebankan pada tahun pajak yang bersangkutan, akan tetapi terhadap biaya yang masa manfaatnya lebih dari satu tahun, pembebannya harus dilakukan melalui penyusutan (untuk harta yang berwujud), atau amortisasi (untuk harta tak berwujud termasuk hak). Sesuai dengan Psl 6 ayat (1) tersebut diatas, biaya-biaya yang boleh dikurangkan dimaksud adalah : a. biaya yang secara langsung atau tidak langsung berkaitan dengan kegiatan usaha

antara lain 1. biaya pembelian bahan ;

2. biaya berkenaan dengan pekerjaan atau jasa termasuk upah, gaji, honororarium, bonus,gratifikasi, dan tunjangan,yang diberikan dalam bentuk uang. 3. bunga, sewa, dan royalty ; 4. biaya perjalanan ; 5. biaya pengolahan limbah ; 6. premi asuransi ; 7. biaya promosi dan penjualan yang diatur dengan atau berdasarkan Peraturan

Menteri Keuangan ; 8. biaya administrasi ; dan 9. pajak kecuali Pajak Penghasilan. b. penyusutan atas pengeluaran untuk memperoleh harta berwujud dan amortisasi atas pengeluaran untuk memperoleh hak dan atas biaya lain yang mempunyai masa manf lebih dari 1 (satu) tahun sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 dan Pasal 11A.; c. iuran kepada dana pensiun yang pendiriannya telah disahkan oleh Menteri Keuangan

; d. kerugian karena penjualan atau pengalihan harta yang dimiliki dan digunakan da perusahaan atau yang dimiliki untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara

penghasilan; e. kerugian selisih kurs mata uang asing ; f. biaya penelitian dan pengembangan perusahaan yang dilakukan di Indonesia ; g. biaya bea siswa dan pelatihan ; h. piutang yang nyata-nyata tidak dapat ditagih dengan syarat :

1. telah dibebankan sebagai biaya dalam laporan rugi komersial ; 2. Wajib Pajak harus menyerahkan daftar piutang yang tidak dapat ditagih kepada

Direktorat Jenderal Pajak , dan ;

Page 51: PPh

PUSAT PENDIDIKAN DAN PELATIHAN PAJAK BADAN PENDIDIKAN DAN PELATIHAN KEUANGAN

MODUL PAJAK PENGHASILAN@DTS DASAR PAJAK II HALAMAN 46

3. telah diserahkan perkara penagihannya, kepada Pengadilan Negeri atau instansi yang menangani piutang negara ; atau adanya perjanjian tertulis mengenai penghapusan/pembebasan utang antara kreditur dan debitur yang bersangkutan ; atau telah dipublikasikan dalam penerbitan umum dan khusus; atau adanya pengakuan dari debitur, bahwa utangnya telah dihapuskan untuk jumlah utang tertentu ;

4. syarat sebagaimana dimaksud pada angka 3 tidak berlaku untuk penghapusan piutang tak tertagih debitur kecil sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) huruf k, yang pelaksanaannya diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan ;

i. sumbangan dalam rangka penanggulangan bencana nasional, yang ketentuannya diatur dengan Peraturan Pemerintah ;

j. sumbangan dalam rangka penelitian dan pengembangan yang dilakukan di Indonesia yang ketentuannya diatur dengan Peraturan Pemerintah ;

k . biaya pembangunan infrastruktur sosial yang ketentuannya diatur dengan Peraturan Pemerintah ; l. sumbangan fasilitas pendidikan yang ketentuannya diatur dengan Peraturan

Pemerintah ; m. sumbangan dalam rangka pembinaan olahraga yamg ketentuannya diatur dengan

Peraturan Pemerintah.

(2) Apabila penghasilan bruto setelah pengurangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) didapat kerugian, maka kerugian tersebut tersebut dikompensasikan dengan penghasilan mulai tahun pajak berikutnya berturut-turut sampai dengan 5 (lima) tahun.

(3) Kepada orang pribadi sebagai Wajib Pajak dalam negeri diberikan pengurangan berupa Penghasilan Tidak Kena Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7.

Penjelasan Pasal 6 Ayat (1)

Beban-beban yang dapat dikurangkan dari penghasilan bruto dapat dibagi dalam 2(dua) golongan, yaitu beban atau biaya yang mempunyai masa manfaat tidak lebih dari 1 (satu) tahun dan mempunyai masa manfaat lebih dari 1 (satu) tahun. Beban yang mempunyai masa manfaat tidak lebih dari 1(satu) tahun merupakan biaya pada tahun yang bersangkutan, misalnya gaji, biaya administrasi dan bunga, biaya rutin pengolahan limbah, dan sebagainya, sedangkan pengeluaran yang mempunyai masa manfaat lebih dari 1(satu) tahun, pembebanannya dilakukan melalui penyusutan atau melalui amortisasi. Disamping itu apabila dalam suatu tahun pajak didapat kerugian karena penjualan harta atau karena selisih kurs, maka kerugian-kerugian tersebut dapat dikurangkan dari penghasilan bruto.

Huruf a

Biaya-biaya dimaksud dalam ayat ini lazim disebut biaya sehari-hari yang boleh dibebankan pada tahun pengeluaran. Untuk dapat dibebankan sebagai biaya, pengeluaran-pengeluaran tersebut harus mempunyai hubungan langsung dengan usaha atau kegiatan untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan yang merupakan objek pajak.

Dengan demikian pengeluaran-pengeluaran untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan yang bukan merupakan objek pajak tidak boleh sebagai biaya .

Page 52: PPh

PUSAT PENDIDIKAN DAN PELATIHAN PAJAK BADAN PENDIDIKAN DAN PELATIHAN KEUANGAN

MODUL PAJAK PENGHASILAN@DTS DASAR PAJAK II HALAMAN 47

Contoh : Dana Pensiun A yang pendiriannya telah mendapat pengesahan dari Menteri

Keuangan untuk memperoleh penghasilan bruto yang terdiri dari : a. penghasilan yang bukan merupakan objek pajak sesuai dengan Pasal 4

ayat (3) huruf h ........................................................................................Rp 100.000.000. b. penghasilan bruto lainnya......................................................... Rp 300.000.000. . c. Jumlah penghasilan bruto........................................................ Rp 400.000.000.

Apabila seluruh biaya adalah sebesar Rp 200.000.000., maka biaya yang boleh dikurangkan untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan adalah sebesar 3/4 x Rp 200.000.000. = Rp 150.000.000.

Demikian pula bunga atas pinjaman yang dipergunakan untuk membeli saham tidak dapat dibebankan sebagai biaya, sepanjang deviden yang diterimanya tidak merupakan objek pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (3) huruf f. Bunga pinjaman yang tidak boleh dibiayakan tersebut dapat dikapitalisasi sebagai penambah harga perolehan saham.

Huruf b Pengeluaran-pengeluaran untuk memperoleh harta berwujud dan harta tak

berwujud serta pengeluaran lain yang mempunyai masa manfaat lebih dari 1(satu) tahun, pembebanannya dilakukan melalui penyusutan atau amortisasi.

Selanjutnya lihat ketentuan Pasal 9 ayat (2), Pasal 11, dan Pasal 11A beserta penjelasannya.

Pengeluaran yang menurut sifatnya merupakan pembayaran dimuka, misalnya sewa untuk beberapa tahun yang dibayar sekaligus pembebannya dapat dilakukan melalui alokasi

Huruf c. Iuran pensiun kepada dana pensiun, yang pendiriannya telah disetujui oleh

Menteri Keuangan, baik yang dipotong dari penghasilan pegawai/karyawan, maupun yang

ditanggung sipemberi kerja, boleh dibebankan sebagai biaya, sedangkan kepada dana pensiun yang pembentukannya belum disahkan oleh Menteri Keuangan, tidak boleh menjadi biaya. Jamsostek yang masih berkaitan dengan iuran pensiun, perlakuan Pajak Penghasilannya adalah sebagai berikut :

PT. Jamsostek, menyelenggarakan 4 jenis program, yaitu :

1. Jaminan kecelakaan kerja. 2.. Jaminan eKmatian. 3. Jaminan Hari Tua ; 4. Jaminan Pemeliharaan Kesehatan.

Angka (1), (2), dan (4), dalam pelaksanaannya, adalah sejenis dengan asuransi kecelakaan, asuransi jiwa, dan asuransi kesehatan, sedangkan angka (3), dalam penyelenggaraannya, disamakan dengan perlakuan terhadap Dana Pensiun yang telah memperoleh persetujuan Menteri Keuangan.

Huruf d

Kerugian Penjualan atau Pengalihan harta.

Kerugian karena penjualan atau pengalihan harta, yang menurut tujuannya semula

Page 53: PPh

PUSAT PENDIDIKAN DAN PELATIHAN PAJAK BADAN PENDIDIKAN DAN PELATIHAN KEUANGAN

MODUL PAJAK PENGHASILAN@DTS DASAR PAJAK II HALAMAN 48

tidak dimaksudkan untuk dijual atau dialhkan, yang dimiliki dan dipergunakan dalam

perusahaan atau yang dimiliki untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan, dapat di kurangkan dari penghasilan bruto. Huruf e

Kerugian karena fluktuasi kurs mata uang asing diakui berdasarkan sistem pembukuan yang dianut dan dilakukan secara taat azas sesuai dengan Standar Akuntansi Keuangan yang berlaku di Indonesia.

Huruf f Biaya penelitian dan pengembangan perusahaan yang dilakukan di Indonesia,

dalam jumlah yang wajar untuk menemukan teknologi atau sistem baru bagi pengembangan perusahaan boleh dibebankan sebagai biaya.

Huruf g Biaya yang dikeluarkan untuk keperluan bea siswa, magang, dan pelatihan

dalam rangka peningkatan kualitas sumber daya manusia dapat dibebankan sebagai biaya perusahaan dengan memperhatikan kewajaran, termasuk beasiswa yang dapat dibebankan sebagai biaya adalah beasiswa yang diberikan kepada pelajar, mahasiswa, dan pihak lain.

Huruf h Piutang yang nyata-nyata tidak dapat ditagih dapat dibebankan sebagai biaya

sepanjang Wajib Pajak telah mengakuinya sebagai biaya dalam laporan laba rugi komersial dan telah melakukan upaya � upaya penagihan yang maksimal atau terakhir

Yang dimaksud dengan penerbitan, tidak hanya berarti penerbitan berskala nasional, melainkan juga penerbitan internal asosiasi dan sejenisnya.

Tatacara pelaksanaan persyaratan yang ditentukan dalam ayat (1) huruf h ini, diatur lebih lanjut dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan. Dengan demikian Piutang yang nyata-nyata tidak dapat ditagih, harus memenuhi syarat : 1. Telah dibebankan sebagai biaya dlm laporan keuangan komersial. 2. Telah diserahkan perkara penagihannya kepada Pengadilan Negeri, atau

Badan Urusan Piutang dan Lelang Negara (BUPLN), atau adanya perjanjian tertulis mengenai penghapusan piutang/pembebasan utang antara kreditur dan debitur yg bersangkutan.

3. Telah dipublikasikan dalam penerbitan/mass media umum/khusus, 4. Wajib pajak membuat daftar nominatifnya, dan menyampaikannya kepada

Direktur Jenderal Pajak; yang pelaksanaannya diatur lebih lanjut dengan Keputusan Direktur Jenderal Pajak.

Peraturan Pelaksanaan yang telah dikeluarkan berkaitan dengan ketentuan

Psl 6 ayat (1), huruh h, UU Pajak Penghasilan, dimaksud adalah Keputusan Direktur Jenderal Pajak No. 238/PJ./2001, Tgl 28 Maret 2001, tentang Penghapusan Piutang yang nyata-nyata tidak dapat ditagih, antara lain berisi penegasan :

Page 54: PPh

PUSAT PENDIDIKAN DAN PELATIHAN PAJAK BADAN PENDIDIKAN DAN PELATIHAN KEUANGAN

MODUL PAJAK PENGHASILAN@DTS DASAR PAJAK II HALAMAN 49

a. yang dimaksud dengan penerbitan umum atau khusus, adalah penerbitan koran/majalah atau media massa cetak yg lazim lainnya, yang berskala nasional atau penerbitan khusus, Himpunan Bank bank Milik Negara, atau penerbitan

khusus Bank Indonesia. b .Daftar Piutang yang nyata-nyata tidak dapat ditagih dimaksud, memuat

data dan informasi mengenai debitur, yaitu : nama, alamat, NPWP, serta jumlah piutang yang nyata-nyata tak dapat ditagih.

Ayat (2) Kompensasi Kerugian. Jika pengeluaran-pengeluran yang diperkenankan berdasarkan ketentuan pada

ayat (1) setelah dikurangkan dari penghasilan bruto didapat kerugian, kerugian tersebut dikompesasikan dengan penghasilan neto atau laba fiskal selama 5(lima) tahun berturut berturut dimulai sedjak tahun berikutnya sesudah tahun didapatnya kerugian tersebut.

Contoh : PT A. Dalam tahun 2009 menderita kerugian fiskal sebesar Rp 1.200.000.000.

Dalam 5 (lima) tahun berikutnya laba rugi fiskal PT A sebagai berikut : 2010 : laba fiskal Rp 200.000.000. 2011 : rugi fiskal (Rp 300.000.000.) 2012 : laba fiskal Rp N I H I L. 2013 : laba fiskal Rp 100.000.000. 2014 : laba fiskal Rp 800.000.000. Kompensasi kerugian dilakukan sebagai berikut : Rugi fiskal tahun 2009 ( Rp 1.200.000.000) Laba fiskal tahun 2010 Rp 200.000.000 Sisa rugi fiskal tahun 2009 (Rp 1.000.000.000) Rugi fiskal tahun 2011 ( Rp 300.000.000) Sisa rugi fiskal tahun 2009 ( Rp 1.000.000.000) laba fiskal tahun 2012 Rp N I H I L Sisa rugi fiskal 2009 (Rp 1.000.000.000) Laba fiskal tahun 2013 Rp 100.000.000 Sisa rugi fiskal tahun 2009 (Rp 900.000.000) Laba fiskal 2014 Rp 800.000.000 Sisa rugi fiskal tahun 2009 Rp 100.000.000 Rugi fiskal tahun 2009 sebesar Rp 100.000.000. yang masih tersisa pada akhir

tahun 2014, tidak boleh dikompensasikan lagi dengan laba fiskal tahun 2015, sedangkan rugi fiskal tahun 2011 sebesar Rp 300.000.000. hanya boleh dikompensasikan dengan laba fiskal tahun 2015 dan tahun 2016, karena jangka waktu lima tahun sejak dimulainya tahun 2012 berakhir pada akhir tahun 2016.

Penjelasannya : Pada dasarnya ada 2 (dua) bentuk kompensasi kerugian yaitu kompensasi

kerugian Vertikal dan kompensasi kerugian Horizontal. Kompensasi kerugian Horizontal adalah kompensasi kerugian diantara sumber-sumber penghasian, sedangkan kompensasi kerugian Vertikal adalah kerugian pada sesuatu tahun yang akan diperhitungkan ketahun-tahun berikutnya.

Page 55: PPh

PUSAT PENDIDIKAN DAN PELATIHAN PAJAK BADAN PENDIDIKAN DAN PELATIHAN KEUANGAN

MODUL PAJAK PENGHASILAN@DTS DASAR PAJAK II HALAMAN 50

Ayat (3)

Dalam menghitung Penghasilan Kena Pajak Wajib Pajak orang pribadi dalam negeri, kepadanya diberikan pengurangan berupa Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP), berdasarkan ketentuan dimaksud dalam Pasal 7.

PENGHASILAN TIDAK KENA PAJAK ( Pasal 7). (1) Penghasilan Tidak Kena Pajak per tahun diberikan paling sedkit sebesar : a. Rp 15.840.000. (lima belas juta delapan ratur empat pulu ribu rupiah) untuk Wajib

Pajak orang pribadi ; b. Rp 1.320.000. (satu juta tiga ratus dua puluh ribu rupiah), tambahan untuk WP

kawin ; c. Rp 15.840.000.(lima belas juta delapan ratus empat puluh ribu rupiah), tambahan

untuk seorang isteri yang penghasilannya digabung dengan penghasilan suami sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1); dan

d. Rp 1.320.000. (satu juta tiga ratus dua puluh ribu rupiah), tambahan untuk setiap anggota keluarga sedarah dan keluarga semenda dalam garis keturunan lurus serta anak angkat, yang menjadi tanggungan sepenuhnya, paling banyak 3(tiga) orang untuk setiap keluarga.

(2) Penerapan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditentukan oleh

keadaan pada awal tahun pajak atau awal bagian tahun pajak. (3) Penyesuaian besarnya Penghasilan Tidak Kena Pajak sebagaimana dimaksud

pada ayat (1) ditetapkan dengan Peraturan Menteri Keuangan setelah berkonsultasi dengan Dewan Perwakilan Rakyat.

Penjelasan Pasal 7 Ayat (1) Untuk menghitung besarnya Penghasilan Kena Pajak dari Wajib Pajak orang

pribadi dalam negeri, penghasilan netonya dikurangi dengan jumlah Penghasilan Tidak Kena Pajak. Disamping untuk dirinya, kepada wajib pajak yang sudah kawin diberikan tambahan Penghasilan Tidak Kena Pajak.

Bagi Wajib Pajak yang isterinya menerima atau memperoleh penghasilan yang digabung dengan penghasilannya, Wajib Pajak tersebut mendapat tambahan Penghasilan Tidak Kena Pajak untuk seorang isteri paling sedikit sebesar Rp 15.840.000. (lima belas juta delapan ratus empat puluh rupiah),

Wajib Pajak yang mempunyai anggota keluarga sedarah dan semenda dalam garis

keturunan lurus yang menjadi tanggungan sepenuhnya, misalnya orang tua, anak kandung, mertua, atau anak angkat, diberikan tambahan Penghasilan Tidak Kena Pajak untuk paling banyak 3(tiga) orang. Yang dimaksud dengan �anggota

keluarga yang menjadi tanggungan sepenuhnya�, adalah anggota keluarga yang

tidak mempunyai penghasilan dan seluruh biaya hidupnya ditanggung oleh Wajib Pajak.

Contoh : Wajib Pajak A mempunyai seorang isteri dengan tangungan 4 (empat) orang anak.

Apabila isterinya memperoleh penghasilan dari satu pemberi kerja yang sudah dipotong Pajak Penghasilan Pasal 21 dan pekerjaan tersebut tidak ada

Page 56: PPh

PUSAT PENDIDIKAN DAN PELATIHAN PAJAK BADAN PENDIDIKAN DAN PELATIHAN KEUANGAN

MODUL PAJAK PENGHASILAN@DTS DASAR PAJAK II HALAMAN 51

hubungannya dengan usaha suami atau anggota keluarga lainnya, besarnya Penghasilan Tidak Kena Pajak yang diberikan kepada Wajib Pajak A, adalah sebesar Rp 21.120.000. yaitu (Rp 15.840.000. + Rp 1.320.000. + (3x Rp 1.320.000.) , sedangkan untuk isterinya, pada saat pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 21 oleh pemberi kerja diberikan Penghasilan Tidak Kena Pajak sebesar Rp 15.840.000. Apabila penghasilan isteri harus digabung dengan penghasilan suami, besarnya Penghasilan Tidak Kena Pajak yang diberikan kepada Wajib Pajak A adalah sebesar Rp 36.960.000. (Rp 21.120.000. + Rp 15.840.000.).

Pengertian anak angkat ; Berdasarkan surat Direktur Jenderal Pajak kepada Yayasan Taruma Negara, No.

S-11/PJ.41/1995, Tgl 29 Agustus 1995, ditegaskan sebagai berikut : Bukan pengertian anak angkat sebagaimana dalam masyarakat sehari-hari

yaitu seorang anak yang diaku dan dan diangkat sebagai anak. Dan juga bukanlah pengertian anak angkat sebagaimana dimaksud dalam

hukum perdata, yang harus terlebih dahulu ada pengesahan dari Hakim Pengadilan Negeri.

Tetapi pengertian anak angkat dalam perundang-undangan pajak dengan kriteria sebagai berikut :

a. Seseorang yang belum dewasa ; b. Yang tidak tergolong keluarga sedarah atau semenda dalam garis

keturunan lurus dari Wajib Pajak; c. Dan menjadi tanggungan sepenuhnya dari Wajib Pajak. Pengertian dewasa, sudah berumur 18 tahun, atau belum lagi 18 tahun tapi sudah menikah. Pengertian menjadi tanggungan sepenuhnya menurut Undang-undang PPh berdasarkan keadaan yang terlihat dari keadaan nyata, yaitu :

a. Tinggal bersama-sama dengan Wajib Pajak ; b. Nampak secara nyata tidak mempunyai penghasilan ; c. Tidak pula turut dibantu oleh lain-lain anggota keluarga atau orang tuanya

sendiri Sedangkan kalau Wajib Pajak sekedar menyumbang, membantu, bertanggung jawab, dan sebagainya, tidak termasuk dalam menjadi tanggungan sepenuhnya.

Ayat (2) Penghitungan besarnya Penghasilan Tidak Kena Pajak sebagaimana dimaksud

pada ayat (1) ditentukan menurut keadaan Wajib Pajak pada awal tahun pajak atau pada saat awal bagian dari tahun pajak.

Misalnya pada tanggal 1 Januari 2009 Wajib Pajak B berstatus kawin dengan tanggungan 1 (satu) orang anak. Apabila anak yang kedua lahir setelah tanggal 1 Januari 2009, besarnya Penghasilan Tidak Kena Pajak yang diberikan kepada Wajib Pajak B untuk tahun 2009, tetap dihitung berdasarkan status kawin dengan tanggungan 1(satu) anak.

Ayat (3) Berdasarkan ketentuan ini Menteri Keuangan diberikan wewenang untuk

mengubah besarnya Penghasilan Tidak Kena Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) setelah berkonsultasi dengan Dewan Perwakilan Rakyat. Republik Indonesia, dengan mempertimbangkan perkembangan ekonomi dan moneter serta perkembangan harga kebutuhan pokok setiap tahunnya.

Page 57: PPh

PUSAT PENDIDIKAN DAN PELATIHAN PAJAK BADAN PENDIDIKAN DAN PELATIHAN KEUANGAN

MODUL PAJAK PENGHASILAN@DTS DASAR PAJAK II HALAMAN 52

10.1.2. PENGHASILAN WANITA KAWIN. Ketentuan mengenai wanita kawin diatur dalam Pasal 8 UU PPh sbb :

(1) Seluruh penghasilan atau kerugian bagi wanita yang telah kawin pada awal

tahun pajak atau pada awal bagian tahun pajak, begitu pula kerugiannya yang berasal dari tahun-tahun sebelumnya, yang belum dikompensasikan sebagaiman dimaksud dalam Pasal 6 ayat (2), dianggap sebagai penghasilan atau kerugian suaminya, kecuali penghasilan tersebut semata-mata diterima atau diperoleh dari 1(satu) pemberi kerja yang telah dipotong pajak berdasarkan ketentuan Pasal 21 dan pekerjaan tersebut tidak ada hubungannya dengan usaha atau pekerjaan bebas suami atau anggota keluarga lainnya.

(2) Penghasilan suami-isteri dikenai pajak secara terpisah apabila :

a. suami � isteri telah hidup berpisah berdasarkan putusan hakim ; b. dikehendaki secara tertulis oleh suami-isteri berdasarkan perjanjian

pemisahan harta dan penghasilan ; atau c. dikehendaki oleh isteri yang memilih untuk menjalankan hak dan kewajiban

perpajakannya sendiri. (3) Penghasilan neto suami-isteri sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b dan

huruf c, dikenai pajak berdasarkan penggabungan penghasilan neto suami-isteri dan besarnya pajak yang harus dilunasi oleh masing-masing suami-isteri dihitung sesuai dengan perbandingan penghasilan neto mereka.

(4) Penghasilan anak yang belum dewasa digabung dengan penghasilan orang

tuanya.

Penjelasan Pasal 8 Sistem pengenaan pajak berdasarkan Undang-Undang ini menempatkan keluarga sebagai satu kesatuan ekonomis, artinya penghasilan atau kerugian dari seluruh anggota keluarga digabungkan sebagai satu kesatuan yang dikenai pajak dan pemenuhan kewajiban pajaknya dilakukan oleh kepala keluarga. Namun dalam hal-hal tertentu pemenuhan kewajiban pajak tersebut dilakukan secara terpisah.

Ayat (1) Penghasilan atau kerugian bagi wanita yang telah kawin pada awal tahun pajak, atau

awal bagian tahun pajak dianggap sebagai penghasilan atau kerugian suaminya, dan dikenai pajak sebagai satu kesatuan. Penggabungan tersebut tidak dilakukan dalam hal penghasilan isteri diperoleh dari pekerjaan sebagai pegawai yang telah dipotong pajak oleh pemberi kerja, dengan ketentuan :

a. penghasilan isteri tersebut semata-mata diperoleh dari satu pemberi kerja , dan b. penghasilan isteri tersebut berasal dari pekerjaan yang tidak ada huungannya

dengan usaha atau pekerjaan bebas suami atau anggota keluarga lainnya. Contoh : Wajib Pajak A yang memperoleh penghasilan neto dari usaha sebesar Rp

100.000.000. mempunyai seorang isteri yang menjadi pegawai dengan penghasilan neto Rp 70.000.000.

Apabila penghasilan isteri tersebut diperoleh dari satu pemberi kerja dan telah dipotong pajak oleh pemberi kerja dan pekerjaan tersebut tidak ada hubungannya

Page 58: PPh

PUSAT PENDIDIKAN DAN PELATIHAN PAJAK BADAN PENDIDIKAN DAN PELATIHAN KEUANGAN

MODUL PAJAK PENGHASILAN@DTS DASAR PAJAK II HALAMAN 53

dengan usaha suami, atau anggota keluarga lainnya, penghasilan neto sebesar Rp 70.000.000. tidak digabung dengan penghasilan A, dan pengenaan pajak atas penghasilan isteri tersebut bersifat final.

Apabila selain menjadi pegawai, isteri A juga menjalankan usaha, misalnya salon

kecantikan dengan penghasilan neto sebesar Rp 80.000.000, maka seluruh penghasilan isteri sebesar Rp 150.000.000. (Rp 70.000.000. + Rp 80.000.000.) digabungkan dengan penghasilan A. Dengan penggabungan tersebut, A dikenai pajak atas penghasilan sebesar Rp 250.000.000. ( Rp 100.000.000. + Rp 70.000.000. + Rp 80.000.000.). Potongan pajak atas penghasilan isteri tidak bersifat final, artinya dapat dkreditkan terhadap pajak yang terutang atas penghasilan sebesar Rp 250.000.000. tersebut yang dilaporkan dalam Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan.

Ayat (2) dan Ayat (3). Dalam hal suami-isteri telah hidup berpisah berdasarkan keputusan hakim,

penghitungan Penghasilan Kena Pajak dan pengenaan pajaknya dilakukan sendiri-sendiri. Apabila suami-isteri mengadakan perjanjian pemisahan harta dan penghasilan secara tertulis atau jika isteri menghendaki untuk menjalankan hak dan kewajiban perpajakannya sendiri, perhitungan pajaknya dilakukan berdasarkan penjumlahan penghasilan neto suami-isteri dan masing-masing memikul beban pajak sebanding dengan besarnya penghasilan neto.

Contoh : Perhitungan pajak bagi suami-isteri yang mengadakan perjanjian pemisahan

penghasilan secara tertulis atau isteri menghendaki untuk menjalankan hak dan kewajiban perpajakannya sendiri, adalah sebagai berikut :

Dari contoh pada ayat (1), apabila isteri menjalankan usaha salon kecantikan,

pengenaan pajaknya dihitung berdasarkan jumlah penghasilan sebesar Rp 250.000.000.

Misalnya pajak terutang atas jumlah penghasilan tersebut adalah sebesar Rp 27.550.000. maka untuk masing-masing suami dan isteri pengenaan pajaknya dihitung sebagai berikut:

- suami : 100.000.000. x Rp 27.550.000. = Rp 11.020.000. 250.000.000. - isteri : 150.000.000. x Rp 27.550.000. = Rp 16.530.000. 250.000.000. Ayat (4) Penghasilan anak yang belum dewasa dari manapun sumber penghasilannya dan

apapun sifat pekerjaannya digabung dengan penghasilan orang tuanya dalam tahun pajak yang sama.

Yang dimaksud dengan �anak yang belum dewasa � adalah anak yang belum

berumur 18 (delapan belas) tahun dan belum pernah menikah. Apabila seorang anak belum dewasa, yang orang tuanya belum berpisah, menerima

atau memperoleh penghasilan, pengenaan pajaknya digabungkan dengan penghasilan ayah atau ibunya berdasarkan keadaan yang sebenarnya.

Page 59: PPh

PUSAT PENDIDIKAN DAN PELATIHAN PAJAK BADAN PENDIDIKAN DAN PELATIHAN KEUANGAN

MODUL PAJAK PENGHASILAN@DTS DASAR PAJAK II HALAMAN 54

10.1.3. Pengeluaran/biaya yang tidak boleh dikurangkan.

(1) Untuk menentukan besarnya Penghasilan Kena Pajak bagi Wajib Pajak dalam negeri dan bentuk usaha tetap tidak boleh dikuangkan :

a. pembagian laba dengan nama dan dalam bentuk apapun seperti deviden

termasuk deviden yang dibayarkan oleh perusahaan asuransi kepada pemegang polis, dan pembagian sisa hasil usaha koperasi ;

b. biaya yang dibebankan atau dikeluarkan untuk kepentingan pribadi

pemegang saham, sekutu, atau anggota ; c. pembentukan atau pemupukan dana cadangan, kecuali :

1. Cadangan piutang tak tertagih untuk usaha bank dan badan usaha lain yang menyalurkan kredit, sewa guna usaha dengan hak opsi, perusahaan pembiayaan konsumen, dan perusahaan anjak piutang ;

2. Cadangan untuk usaha asuransi termasuk cadangan bantuan sosial yang dibentuk Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS).

3. Cadangan penjaminan untuk Lembaga Penjamin Simpanan. 4. Cadangan biaya reklamasi untuk usaha pertambangan ; 5. Cadangan biaya penanaman kembali untuk usaha kehutanan; dan 6. Cadangan biaya penutupan dan pemeliharaan tempat pembuangan limbah

industri untuk pengolahan limbah industri. Yang ketentuan dan syarat-syaratnya diatur dengan atau berdasarkan

Peraturan Menteri Keuangan.

Besarnya cadangan dari masing-masing jenis usaha tersebut berdasarkan Surat Keputusan Menteri Keuangan No. 80/KMK.04/1995, SKMK No. 235/01/1998, SKMK No. 68/KMK.04/1999, terakhir perubahan ketiga melalui KMK No. 204/KMK.04/2000, adalah sebagai berikut ;

No. Jenis Usaha Cadangan yg

diperkenankan Besarnya Cadangan.

1. Bank Umum Cadangan Piutang tak tertagih

Lihat tabel dibawah.

2. Sewa Guna Usaha de ngan Hak Opsi.

Cadangan Piutang tak tertagih.

Maksimum 2,5% dari rata-rata Saldo awal dan akhir Piutang.

3. Asuransi kerugian Cadangan Premi Cadangan Klaim

40% dari Premi tanggungan sendiri sama dg jumlah klaim yang sudah disepakati tetapi belum dibayar ditambah dg klaim yg sedang dalam proses.

4. Asuransi Jiwa. Cadangan Premi. Sesuai dengan perhitungan aktuaria yg disahkan oleh Ditjen Lembaga Keuangan.

5. Pertambangan Cadangan Reklamasi Dihitung dg menggunakan MSP atas dasar taksiran biaya reklamasi.

Page 60: PPh

PUSAT PENDIDIKAN DAN PELATIHAN PAJAK BADAN PENDIDIKAN DAN PELATIHAN KEUANGAN

MODUL PAJAK PENGHASILAN@DTS DASAR PAJAK II HALAMAN 55

Pembentukan Dana Cadangan Piutang Tak Tertagih Jenis Usaha Bank.

Penggolongan Kredit. Periode laporan Lancar, tidak termasuk

SBI dan Surat utang Pemerintah.

Dalam Perhatian Khusus.

Kurang Lancar Setelah dikurangi Nilai Agunan.

31-12-1998 s.d.31-05-1999. 30-06-1999 s.d.30-11-1999. 31-12-1999 s.d.31-05-2000. 30-06-2000 s.d 30-11-2000. 31-12-2000 s.d 31-05-2001. 30-06-2001 dan seterusnya.

0,25% 0.50% 0.625% 0,75% 0,875% 1,00%

1,25% 1.875% 2,50% 3,00% 4,00% 5,00%

3.75% 5.50%. 7,50% 10,00% 12,50% 15,00%.

Untuk jenis usaha Bank Umum, besarnya dana cadangan untuk kredit yg

digolongkan macet ditentukan sebagai berikut : o 50% dari kredit yang digolongkan diragukan setelah dikurangi nilai agunan ;

dan o 100% dari kredit yg digolongkan macet setelah dikurangi nilai agunan.

Berdasarkan Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak No. SE-21/PJ.42/2000, juncto KMK No. 204/KMK.04/2000, Bank Perkreditan Rakyat dapat membentuk dana cadangan piutang tak tertagih. Besarnya dana cadangan piutang tak tertagih dimaksud ditentukan sbb: o 0,5% dari kredit yang digolongkan lancar. o 3% dari kredit yang digolongkan kurang lancar setelah dikurangi nilai agunan

yang dikuasai. o 50% dari kredit yang digolongkan diragukan setelah dikurangi nilai agunan

yang dikuasai. o 100% dari kredit yang digolongkan macet yang masih tercatat dalam

pembukuan bank setelah dikurangi agunan yang dikuasai. d) Premi asuransi kesehatan, asuransi kecelakaan, asuransi jiwa, asuransi dwiguna,

dan asuransi bea siswa, yang dibayar oleh wajib pajak orang pribadi, kecuali yang dibayar oleh pemberi kerja dan premi tersebut dihitung sebagai penghasilan bagi wajib pajak yang bersangkutan.

e) penggantian atau imbalan sehubungan dengan pekerjaan atau jasa yang diberikan dalam bentuk natura dan kenikmtan, kecuali penyediaan makanan dan minuman bagi seluruh pegawai, serta penggantian atau imbalan dalam bentuk natura dan kenikmatan didaerah tertentu dan yang berkaitan dengan pelaksanaan pekerjaan yang diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan; Keputusan Menteri Keuangan dimaksud No. 466/KMK.04/2000, Tgl 3 Nopember 2000, Tentang Penyediaan makanan dan minuman bagi seluruh pegawai dan penggantian atau imbalan sehubungan dengan pekerjaan atau jasa yg diberikan dalam bentuk natura / kenikmatan di daerah tertentu, serta yg berkaitan dengan pelaksanaan pekerjaan, yang dapat dikurangkan dari penghasilan bruto pemberi kerja :

1. Penyediaan makanan dan minuman bagi seluruh pegawai, tanpa memandang

jabatan dan posisi karyawan yang bersangkutan, yang disediakan sipemberi kerja (perusahaan), ditempat kerja, atau penggantian yang sepadan dengan

Page 61: PPh

PUSAT PENDIDIKAN DAN PELATIHAN PAJAK BADAN PENDIDIKAN DAN PELATIHAN KEUANGAN

MODUL PAJAK PENGHASILAN@DTS DASAR PAJAK II HALAMAN 56

nilai pemberian makanan tersebut, apabila pegawai/karyawan ybs, ditugas luarkan.

2. Daerah tertentu adalah daerah terpencil, yaitu daerah yang secara ekonomis

mempunyai potensi yang layak dikembangkan, tetapi keadaan sarana dan prasarana ekonomi pada umumnya kurang memadai dan sulit dijangkau oleh transportasi umum, sehingga untuk mengubah potensi ekonomi yang tersedia menjadi kekuatan ekonomi yang nyata, penanam modal menanggung resiko yang tinggi, dan masa pengembalian yang relatif panjang, termasuk daerah perairan laut yang mempunyai kedalaman lebih dari 50 meter, yang dasar lautnya memiliki cadangan mineral.

3. Pengeluaran untuk penyediaan makanan dan minuman bagi seluruh pegawai

dapat dikurangkan dari penghasilan bruto pemberi kerja, atau perusahaan. 4. Penggantian atau imbalan sehubungan dengan pekerjaan atau jasa yg

diberikan dalam bentuk natura, dan atau kenikmatan didaerah tertentu yang dapat dikurangkan dari penghasilan bruto, adalah sarana dan fasilitas di lokasi bekerja untuk : tempat tinggal, termasuk perumahan pegawai dan keluarganya. pelayanan kesehatan, pendidikan, bagi pegawai dan keluarganya. pengangkutan bagi pegawai dan keluarganya ; olah raga bagi pegawai dan keluarganya tidak termasuk golf, boating, dan

pacuan kuda. sepanjang fasilitas dan sarana tersebut tidak tersedia, sehingga pemberi kerja harus menyediakan sendiri. Pengeluaran untuk pembangunan sarana tersebut yang mempunyai masa manfaat lebih dari 1(satu) tahun, pembebannya dilakukan melalui penyusutan.

5. Pemberian kepada pegawai dalam bentuk natura dan kenikmatan, yang

merupakan keharusan dalam rangka pelaksanaan pekerjaan, keamanan dan keselamatan kerja atau yang berkaitan dengan situasi lingkungan kerja, dapat dikurangkan dari penghasilan bruto pemberi ker kerja.

f) Jumlah yang melebihi kewajaran yang dibayarkan kepada pemegang ham, atau

pihak yang mempunyai hubungan istimewa sebagai imbalan sehubungan dengan pekerjaan yang dilakukan.

g) harta yang dihibahkan, bantuan atau sumbangan, dan warisan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (3) huruf a dan huruf b, kecuali sumbangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) huruf i sampai dengan huruf m, serta zakat yang diterima oleh badan

amil zakat atau lembaga amil zakat yang dibentuk atau disahkan oleh pemerintah. Atau sumbangan keagamaan yang sifatnya wajib bagi pemeluk agama yang diakui di Indonesia, yang diterima, yang diterima oleh lembaga keagamaan yang dibentuk dan disahkan oleh pemerintah, yang ketentuannya diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Pemerintah;

h) Pajak Penghasilan ; i) Biaya yang dibebankan atau yang dikeluarkan untuk kepentingan pribadi wajib pajak

atau orang yang menjadi tanggungannya ; j) Gaji yg dibayarkan kepada anggota persekutuan, frma, atau perseroan komanditer

yang modalnya tidak terbagi atas saham; k) Sanksi administrasi berupa bunga, denda, dan kenaikan serta sanksi pidana berupa

denda yang berkenaan dengan pelaksanaan perundang-undangan dibidang perpajakan.

Page 62: PPh

PUSAT PENDIDIKAN DAN PELATIHAN PAJAK BADAN PENDIDIKAN DAN PELATIHAN KEUANGAN

MODUL PAJAK PENGHASILAN@DTS DASAR PAJAK II HALAMAN 57

Dalam Peraturan Pemerintah No. 138 Thn 2000, Tgl 21 Desember 2000, Tentang Penghitungan Penghasilan Kena Pajak dan Pelunasan Pajak Penghasilan dalam tahun berjalan, mengatur juga pengeluaran dan biaya yang boleh/ tidak boleh dikurangkan dalam menghitung besarnya Penghasilan Kena Pajak bagi WP dalam negeri dan bentuk usaha tetap.

Pasal 3 PP 138 Tahun 2000, sebagai berikut : a. Pajak Masukan yang tidak dapat dikreditkan berdasarkan ketentuan Psl 9 ayat (8)

UU PPN, dapat dikurangkan dari penghasilan bruto, kecuali : Pajak Masukan sebagaimana dimaksud dalam Psl 9 ayat (8) huruf f dan g, UU

PPN, sepanjang tidak dapat dibuktikan bahwa Pajak Masukan tersebut benar-benar telah dibayar.

Pajak Masukan yang berkenan dengan pengeluaran yang tidak dapat dikurangkan dalam menentukan besarnya Penghasilan Kena Pajak sebagaimana dimaksud dalam Psl 9 ayat (1) UU PPh.

Catatan : Bunyi Psl 9 ayat (8) huruf f dan g UU PPN dimaksud adalah sbb : - Psl 9 ayat (8) huruf f UU PPN-PPn.BM.

Pajak Masukan tidak dapat dikreditkan dengan Pajak Keluaran untuk masa pajak yang sama bagi pengeluaran untuk (f) perolehan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak yg faktur pajaknya tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Psl 13 ayat (5);

- Psl 9 ayat (8) huruf g, UU PPN ; Pajak Masukan tidak dapat dikreditkan dengan Pajak Keluaran untuk Masa Pajak yang sama bagi pengeluaran untuk (g) pemanfaatan Jasa Kena Pajak dari luar daerah pabean yg faktur pajaknya tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Psl 13 ayat (6).

- Lengkapnya bunyi Psl 13 ayat (5) dan ayat (6) adalah sbb :

Pasal 13 ayat (5) UU PPN ;

Dalam Faktur Pajak harus dicantumkan keterangan tentang penyerahan Barang Kena Pajak, atau penyerahan Jasa Kena Pajak yang paling sedikit memuat : a. Nama, alamat, NPWP, yang menyerahkan BKP atau JKP ; b. Nama, alamat, dan NPWP, pembeli BKP atau JKP ; c. Jenis barang atau jasa, jumlah Harga Jual atau Penggantian, dan potongan harga ; d. Pajak Pertambahan Nilai yang dipungut ; e. PPn. BM yang dipungut ; f. Kode, nomor seri dan tgl pembuatan Faktur Pajak ; dan g. Nama Jabatan, dan tanda tangan yang berhak menandatangani Faktur Pajak.

Pasal 13 ayat (6) UU PPN ; Direktur Jenderal Pajak dapat menetapkan dokumen tertentu sebagai Faktur Pajak. Dokumen tertentu yang diperlakukan sebagai Faktur Pajak Standar dimaksud berdasarkan Keputusan Direktur Jenderal Pajak No- 312/PJ/2001, yang merupakan penyempurnaan dari KEP-522/PJ./2000, adalah sebagai berikut : a. Pemberitahuan Impor Barang Untuk Dipakai (PIUD) dan Surat Setoran Pajak

(SSP) untuk Impor Barang Kena Pajak.

Page 63: PPh

PUSAT PENDIDIKAN DAN PELATIHAN PAJAK BADAN PENDIDIKAN DAN PELATIHAN KEUANGAN

MODUL PAJAK PENGHASILAN@DTS DASAR PAJAK II HALAMAN 58

b. Pemberitahuan Ekspor Barang (PEB) yang telah difiat muat oleh pejabat yang berwenang dari Direktorat Jenderal Bea dan Cukai dan dilampiri invoice ;

c. Surat Perintah Pengiriman Barang (SPPB) dari Bulog/Dolog untuk penyaluran gula pasir dan tepung terigu ;

d. Paktur Nota Bon Penyerahan (PNBP) yang dibuat/dikeluarkan oleh Pertamina untuk penyerahan BBM dan/atau non BBM ;

e. Tanda Pembayaran atau kwitansi atas penyerahan jasa Telkom. f. Ticket dan surat muatan udara (airway bill), delivery order, bill yang dibuat/

dikeluarkan untuk penyerahan jasa angkutan udara dalam negeri ; g. Surat Setoran Pajak untuk pembayaran PPN atas pemanfaatan BKP tidak

berwujud dan/atau JKP dari Luar Daerah Pabean ; h. Nota Penjualan Jasa yang dibuat/dikeluarkan untuk penyerahan Jasa

Kepelabuhan. i. Tanda pembayaran atau kwitansi listrik. j. Pajak Masukan yang boleh dikurangkan dari penghasilan bruto, sehubungan

dengan pengeluaran untuk memperoleh harta berwujud dan atau harta tak berwujud, serta biaya lainnya yang mempunyai masa manfaat lebih dari satu tahun sebagaimana dimaksud dalam Psl 11 dan Psl 11 A, UU Pajak Penghasilan, terlebih dulu harus dikapitalisasi dengan pengeluaran/biaya tersebut dan dibebankan melalui penyusutan atau amortisasi.

Psl 4 Peraturan Pemerintah 138 Tahun 2000. a. biaya untuk mendapatkan, menagih dan memelihara penghasilan bukan

merupakan objek pajak. b. biaya untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan pengenaan

pajaknya bersifat final. c. biaya untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan yang dikenakan

pajak berdasarkan norma perhitungan, sebagaimana dimaksud dalam Psl 14 UU Pajak Penghasilan.

d. Pajak Penghasilan yang ditanggung oleh pemberi penghasilan, kecuali pajak atas penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Psl 26 ayat (1), UU Pajak Penghasilan, tetapi tidak termasuk deviden sepanjang PPh. tersebut ditambahkan dalam perhitungan dasar untuk pemotongan pajak, dan ; Kerugian dari harta atau utang yang dimiliki dan tidak dipergunakan dalam usaha atau kegiatan untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan yang merupakan objek pajak.

(2) Pengeluaran untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan yang

mempunyai masa manfaat lebih dari 1 (satu) tahun tidak dibolehkan untuk dibebankan sekaligus, melainkan dibebankan melalui penyusutan atau amortisasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 atau Pasal 11A.

Penjelasan Pasal 9 Ayat (1) Peneluaran-pengeluaran yang dilakukan Wajib Pajak dapat dibedakan antara

pengeluaran yang boleh dan yang tidak boleh dibebankan sebagai biaya. Pada prinsipnya biaya yang boleh dikurangkan dari penghasilan bruto adalah biaya

yang mempunyai hubungan langsung dan tidak langsung dengan usaha atau kegiatan untuk mendapatkan, menagih, atau memelihara penghasilan yang merupakan objek pajak yang pembebanannya dapat dilakukan dalam tahun pengeluaran atau selama masa manfaat dari pengeluaran tersebut. Pengeluaran

Page 64: PPh

PUSAT PENDIDIKAN DAN PELATIHAN PAJAK BADAN PENDIDIKAN DAN PELATIHAN KEUANGAN

MODUL PAJAK PENGHASILAN@DTS DASAR PAJAK II HALAMAN 59

yang tidak boleh dikurangkan dari penghasilan bruto meliputi pengeluaran yang sifatnya adalah pemakaian penghasilan, atau yang jumlahnya melebihi kewajaran.

Huruf a.

Pembagian laba dengan nama dan dalam bentuk apapun, termasuk pembayaran deviden kepada pemilik modal, pembagian sisa hasil usaha koperasi kepada anggotanya, dan pembayaran deviden oleh perusahaan asuransi kepada pemegang polis, tidak boleh dikurangkan dari penghasilan badan yang membagikannya karena pembagian laba tersebut merupakan bagian dari penghasilan badan tersebut yang akan dikenakan pajak berdasarkan Undang-undang ini.

Huruf b.

Tidak dapat dikurangkan dari penghasilan bruto perusahaan adalah biaya-biaya yang dikeluarkan atau dibebankan oleh perusahaan untuk kepentingan pribadi pemegang saham, sekutu atau anggota, seperti perbaikan rumah pribadi, biaya perjalanan, biaya premi asuransi, yang dibayar oleh perusahaan untuk kepentingan pribadi para pemegang saham atau keluarganya.

Lihat uraian diatas pada dana cadangan.

Huruf d

Premi asuransi kesehatan, asuransi kecelakaan, asuransi jiwa, asuransi dwiguna, dan asuransi bea siswa yang dibayar sendiri oleh Wajib Pajak orang pribadi tidak boleh dikurangkan dari penghasilan bruto, dan pada saat orang pribadi dimaksud menerima penggantian atau santunan asuransi, penerimaan tersebut bukan merupakan objek pajak.

Apabila premi asuransi tersebut dibayar atau ditanggung oleh pemberi kerja, maka bagi pemberi kerja pembayaran tersebut boleh dibebankan sebagai biaya bagi pegawai yang bersangkutan merupakan penghasilan yang merupakan objek pajak.

Huruf e

Sebagaimana telah diuraikan dalam penjelasan Pasal 4 ayat (3) huruf d, penggantian atau imbalan dalam bentuk natura dan kenikmatan dianggap bukan merupakan Objek Pajak. Selaras dengan hal tersebut maka dalam ketentuan ini, penggantian atau imbalan dimaksud dianggap bukan merupakan pengeluaran yang dapat dibebankan sebagai biaya bagi pemberi kerja . Namun, dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan, pemberian natura dan kenikmatan berikut ini, dapat dikurangkan dari penghasilan bruto pemberi kerja, dan bukan merupakan penghasilan bagi pegawai ybs:

1. penggantian atau imbalan dalam bentuk natura atau kenikmatan yang

diberikan berkenaan dengan pelaksanaan pekerjaan didaerah tesebut dalam rangka menunjang kebijakan pemerintah untuk mendorong pembangunan didaerah terpencil;

2. pemberian natura dan kenikmatan yang merupakan keharusan dalam

pelaksanaan pekerjaan sebagai sarana keselamatan kerja atau karena sifat pekerjaan tersebut mengharuskan, seperti pakaian dan peralatan untuk keselamatan kerja, pakaian seragam petugas keamanan (satpam), antar jemput karyawan, serta penginapan untuk awak kapal dan sejenisnya; dan

Page 65: PPh

PUSAT PENDIDIKAN DAN PELATIHAN PAJAK BADAN PENDIDIKAN DAN PELATIHAN KEUANGAN

MODUL PAJAK PENGHASILAN@DTS DASAR PAJAK II HALAMAN 60

3. pemberian atau penyediaan makanan dan atau minuman bagi seluruh pegawai yang berkaitan dengan pelaksanaan pekerjaan.

Huruf f Dalam hubungan pekerjaan, kemungkinan dapat terjadi pembayaran imbalan

yang diberikan kepada pegawai yang juga pemegang saham. Karena pada dasarnya pengeluaran untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan yang boleh dikurangkan dari penghasilan bruto adalah pengeluaran yang jumlahnya wajar sesuai dengan kelaziman usaha, berdasarkan ketentuan ini, jumlah yang melebihi kewajaran tersebut tidak boleh dibebankan sebagai biaya. Misalnya seorang tenaga ahli yang adalah juga pemegang saham dari suatu badan, memberikan jasa kepada badan tersebut dengan memperoleh imbalan sebesar Rp 50.000.000. Apabila untuk jasa yang sama yang diberikan oleh tenaga ahli lain yang setara hanya dibayar sebesar Rp 20.000.000. (dua puluh juta rupiah), maka jumlah sebesar Rp 30.000.000.tidak boleh dibebankan sebagai biaya. Bagi tenaga ahli yang jiga sebagai pemegang saham tersebut jumlah sebesar Rp 30.000.000. dimaksud dianggap sebagai deviden.

Huruf h Yang dimaksud dengan Pajak Penghasilan dalam ketentuan ini adalah Pajak

Penghasilan yang terutang oleh Wajib Pajak yang bersangkutan. Huruf i Biaya untuk keperluan pribadi Wajib Pajak atau orang yang menjadi

tanggungannya, pada hakekatnya merupakan penggunaan penghasilan oleh Wajib Pajak yang bersangkutan. Oleh karena itu biaya tersebut tidak boleh dikurangkan dari penghasilan bruto usaha/perusahaan.

Huruf j Anggota firma, persekutuan, dan perseroan komanditer yang modalnya tidak

terbagi atas saham diperlakukan sebagai satu kesatuan, sehingga tidak ada imbalan sebagai gaji. Dengan demikian gaji yang diterima oleh anggota persekutuan, firma, atau perseroan komanditer yang modalnya tidak terbagi atas saham, bukan merupakan pembayaran yang boleh dikurangkan dari penghasilan bruto badan tersebut.

Ayat (2) Sesuai dengan kelaziman usaha, pengeluaran yang mempunyai peranan terhadap

penghasilan untuk beberapa tahun, pembebanannya dilakukan sesuai dengan jumlah tahun lamanya pengeluaran tersebut berperan terhadap penghasilan. Sejalan dengan prinsip penyelarasan antara pengeluaran dengan penghasilan, dalam ketentuan ini pengeluaran untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan yang mempunyai masa manfaat lebih dari 1(satu) tahun tidak dapat dikurangkan sekaligus pada tahun pengeluaran, melainkan dibebankan melalui penyusutan dan amortisasi, selama masa manfaatnya sebagaimana diatur dalam Pasal 11 dan Pasal 11A.

Page 66: PPh

PUSAT PENDIDIKAN DAN PELATIHAN PAJAK BADAN PENDIDIKAN DAN PELATIHAN KEUANGAN

MODUL PAJAK PENGHASILAN@DTS DASAR PAJAK II HALAMAN 61

PENILAIAN HARTA.

Ketentuan tentang tata cara penilaian harta diatur dalam Pasal 10 Undang-undang PPh.: (1) Harga perolehan atau harga penjualan dalam hal terjadi jual beli harta yang

tidak dipengaruhi hubungan istimewa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (4) adalah jumlah yang sesungguhnya dikeluarkan atau diterima, sedangkan apabila terdapat hubungan istimewa adalah jumlah yang seharusnya dikeluarkan atau diterima.

(2) Nilai perolehan atau nilai penjualan dalam hal terjadi tukar-menukar harta

adalah jumlah yang seharusnya dikeluarkan atau diterima berdasarkan harga pasar.

(3) Nilai perolehan atau pengalihan harta yang dialihkan dalam rangka likuidasi,

penggabungan, peleburan, pemekaran, pemecahan, atau pengambil alihan usaha adalah jumlah yang seharusnya dikeluarkan atau diterima berdasarkan harga pasar, kecuali ditetapkan lain oleh Menteri Keuangan.

(4) Apabila terjadi pengalihan harta : a. yang memenuhi syarat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (3) huruf

a dan huruf b, maka dasar penliaian bagi yang menerima pengalihan sama dengan nilai sisa buku dari pihak yang melakukan pengalihan atau nilai yang ditetapkan oleh Direktur Jenderal Pajak ;

b. yang tidak memenuhi syarat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (3)

huruf c, maka dasar penilaian bagi yang menerima pengalihan sama dengan nilai pasar dari harta tersebut.

(5) Apabila terjadi pengalihan harta sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (3) huruf c, maka dasar penilaian harta bagi badan yang menerima pengalihan sama dengan nilai pasar dari harta tersebut.

(6) Persediaan dan pemakaian persediaan untuk penghitungan harga pokok dinilai berdasarkan harga perolehan yang dilakukan secara rata-rata atau dengan

cara mendahulukan persediaan yang diperoleh pertama. Penjelasan Pasal 10

Ketentuan ini mengatur tentang cara penilaian harta, termasuk persediaan,

dalam rangka mengnghitung penghasilan sehubungan dengan penggunaan harta dalam perusahaan, menghitung keuntungan atau kerugian apabila terjadi penjualan atau pengalihan harta, dan penghitungan penghasilan dari penjualan barang dagangan.

Ayat (1)

Pada umumnya dalam jual beli harta, harga perolehan harta bagi pihak pembeli adalah harga yang sesungguhnya dibayar dan harga penjualan bagi pihak penjual adalah harga yang sesungguhnya diterima. Termasuk dalam harga perolehan adalah beli dan biaya yang dikeluarkan dalam rangka memperoleh harta tersebut, seperti bea masuk, biaya pengangkutan, dan biaya pemasangan.

Dalam hal jual beli yang dipengaruhi hubungan istimewa, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (4), maka bagi pihak pembeli nilai perolehannya adalah jumlah yang seharusnya dibayar dan bagi pihak penjual nilai

Page 67: PPh

PUSAT PENDIDIKAN DAN PELATIHAN PAJAK BADAN PENDIDIKAN DAN PELATIHAN KEUANGAN

MODUL PAJAK PENGHASILAN@DTS DASAR PAJAK II HALAMAN 62

perolehannya adalah jumlah yang seharusnya diterima. Adanya hubungan istimewa antara pembeli dan penjual dapat menyebabkan harga perolehan bisa menjadi lebih besar atau lebih kecil dibandingkan dengan jika jual beli tersebut tidak dipengaruhi oleh hubungan istimewa. Oleh karena itu dalam ketentuan ini diatur bahwa nilai perolehan atau nilai penjualan bagi pihak-pihak yang bersangkutanadalah jumlah yang seharusnya dikeluarkan atau seharusnya diterima.

Ayat (2) Harta yang diperoleh berdasarkan transaksi tukar-menukar dengan harta lain,

nilai perolehan atau nilai penjualannya adalah jumlah yang seharusnya dikeluarkan atau diterima berdasarkan harga pasar.

Contoh : PT A PT B (Harta X) (Harta Y) Nilai sisa buku Rp 10.000.000. Rp 12.000.000. Harga Pasar Rp 20.000.000. Rp 20.000.000. Antara PT A dan PT B terjadi pertukaran harta. Walaupun tidak terdapat

realisasi pembayaran antara pihak-pihak yang bersangkutan, namun karena harga pasar harta yang dipertukarkan adalah Rp 20.000.000. maka jumlah sebesar Rp 20.000.000. merupakan nilai perolehan yang seharusnya dikeluarkan atau nilai penjualan yang seharusnya diterima.

Selisih antara harga pasar dengan nilai sisa buku harta yang dipertukarkan merupakan keuntungan yang dikenakan pajak. PT A memperoleh penghasilan sebesar Rp 10.000.000. (Rp 20.000.000. � Rp 10.000.000.) dan PT B memperoleh keuntungan sebesar Rp 8.000.000. (Rp 20.000.000. � Rp 12.000.000.).

Ayat (3) Pada prinsipnya apabila terjadi pengalihan harta, penilaian harta yang dialihkan,

dilakukan berdasarkan harga pasar. Pengalihan harta tersebut dapat dilakukan dalam rangka pengembangan usaha berupa penggabungan, peleburan, pemekaran, pemecahan, dan pengambilalihan usaha. Selain itu pengalihan tersebut dapat dilakukan pula dalam rangka likuidasi usaha atau sebab lainnya.

Selisih antara harga pasar dengan nilai sisa buku harta yang dialihkan merupakan penghasilan yang dikenakan pajak.

Contoh : PT A dan PT B melakukan peleburan dan membentuk badan baru, yaitu PT C, Nilai sisa buku dan harga pasar harta dari kedua badan tersebut adalah sebagai

berikut: : PT A PT B Nilai sisa buku Rp 200.000.000. Rp 300.000.000.

Harga pasar Rp 300.000.000. Rp 450.000.000. Pada dasarnya, penilaian harta yang diserahkan oleh PT A dan PT B dalam

rangka peleburan menjadi PT C. adalah harga pasar dari harta. Dengan demikian, PT A mendapat keuntungan sebesar Rp 100.000.000. (Rp 300.000.000. � Rp 200.000.000.), dan PT B mendapat keuntungan sebesar Rp 150.000.000. (Rp 450.000.000. � Rp 300.000.000.). sedangkan PT C, membukukan semua harta tersebut dengan jumlah Rp 750.000.000. (Rp 300.000.000. + Rp 450.000.000.).

Page 68: PPh

PUSAT PENDIDIKAN DAN PELATIHAN PAJAK BADAN PENDIDIKAN DAN PELATIHAN KEUANGAN

MODUL PAJAK PENGHASILAN@DTS DASAR PAJAK II HALAMAN 63

Namun dalam rangka menyelaraskan dengan kebijakan dibidang sosial, ekonomi, investasi, moneter dan kebijakan lainnya, Menteri Keuangan diberi wewenang untuk menetapkan nilai lain, selain harga pasar, yaitu atas dasar nilai sisa buku (�pooling of interest�). Dalam hal demikian PT C membukukan penerimaan harta

dari PT A dan PT B tersebut sebesar Rp 500.000.000. (Rp 300.000.000. + Rp 200.000.000.).

Ayat (4) Dalam hal terjadi penyerahan harta karena hibah, bantuan, sumbangan yang

memenuhi syarat dalam Pasal 4 ayat (3) huruf a atau warisan, maka nilai perolehan bagi pihak yang menerima harta adalah nilai sisa buku harta dari pihak yang melakukan penyerahan. Apabila Wajib Pajak tidak menyelenggarakan pembukuan sehingga nilai sisa buku tidak diketahui, maka nilai perolehan atas harta ditetapkan oleh Direktur Jenderal Pajak.

Dalam hal terjadi penyerahan harta karena hibah, bantuan, sumbangan yang tidak

memenuhi syarat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (3) huruf a, maka nilai perolehan bagi pihak yang menerima harta adalah harga pasar.

Ayat (5) Penyertaan Wajib Pajak dalam permodalan suatu badan dapat dipenuhi dengan

setoran tunai atau pengalihan harta. Ketentuan ini mengatur tentang penilaian harta yang diserahkan sebagai pengganti

saham atau penyertaan modaldimaksud, yaitu dinilai berdasarkan nilai pasar dari harta yang dialihkan tersebut.

Contoh : Wajib Pajak X menyerahkan 20 unit mesin bubut yang nilai bukunya adalah Rp

25.000.000. kepada PT Y sebagai pengganti penyertaan sahamnya dengan nilai nominal Rp 20.000.000. Harga pasar mesin-mesin bubut tersebut adalah Rp 40.000.000. Dalam hal ini PT Y akan mencatat mesin bubut tersebut sebagai aktiva dengan nilai Rp 40.000.000. dan sebesar nilai tersebut bukan merupakan penghasilan bagi PT Y. Selisih antara nilai nominal saham dengan nilai pasar harta, yaitu sebesar Rp 20.000.000. (Rp 40.000.000. � Rp 20.000.000.) dibukukan sebagai agio. Bagi Wajib Pajak X selisih sebesar Rp 15.000.000. (Rp 40.000.000. � Rp 25.000.000. ) merupakan objek Pajak.

Ayat (6) Pada umumnya terdapat 3(tiga) golongan persediaan barang, yaitu barang jadi

atau barang dagangan, barang dalam proses produksi, bahan baku dan bahan pembantu.

Ketentuan pada ayat ini mengatur bahwa penilaian persediaan barang hanya boleh menggunakan harga perolehan. Penilaian pemakaian persediaan untuk penghitungan harga pokok hanya boleh dilakukan dengan cara rata-rata atau dengan cara mendahulukan persediaan yang didapat pertama (�first �in first �out� atau disingkat FIFO). Sesuai dengan kelaziman, cara penilaian tersebut jiga diberlakukan tehadap sekuritas.

Contoh ; 1. Persediaan 100 satuan @ Rp 9.00. 2. Pembelian 100 satuan @ Rp 12,00. 3. Pembelian 100 satuan @ Rp 11,25.

Page 69: PPh

PUSAT PENDIDIKAN DAN PELATIHAN PAJAK BADAN PENDIDIKAN DAN PELATIHAN KEUANGAN

MODUL PAJAK PENGHASILAN@DTS DASAR PAJAK II HALAMAN 64

4. Penjualan/dipakai 100 satuan 5. Penjualan/dipakai 100 satuan. Penggunaan harga pokok penjualan dan nilai persediaan dengan menggunakan

cara rata � rata misalnya sebagai berikut :

No. 1. 2. 3. 4. 5.

Didapat ---- 100 st @ Rp 12.= Rp 1.200. 100 st @ Rp 11,25=Rp 1,125. ----- -----

Dipakai ---- ---- ----- 100 st @ Rp 10,75 = Rp 1.075.- 100 st @ Rp 10,75 = Rp 1.075.-

Sisa/persediaan. 100 st @ Rp 9,00 =Rp 900.- 200 st@ Rp10,50 =Rp2.100 300st@ Rp10,75= Rp 3.225. 200 st@Rp 10,75=Rp 2.150. 100 st @ Rp10,75=Rp1.075.

Penghitungan harga pokok penjualan dan nilai persediaan dengan menggunakan

cara FIFO, misalnya sebagai berikut :

No. 1. 2. 3. 4. 5.

Didapat --- 100 st@ Rp 12,00=Rp1.200.- 100 st@ Rp 11,25=Rp1.125.- ---- ----

Dipakai ---- ----- ----- 100 st @ Rp 9.00 = Rp 900.- 100 st @ Rp12,00 = Rp 1.200.-

Sisa/persediaan. 100 st @ Rp 9,00 =Rp 900.- 100 st @ Rp 9.= Rp 900.- 100 st @ Rp12.=Rp1.200. 100 st @ Rp 9.=Rp 900.- 100 st @ Rp12=Rp1.200.- 100 st @ Rp11,25=Rp1.125. 100 st @ Rp 12. =Rp 1.200. 100 st @ Rp11,25=Rp1,125. 100 st @ Rp11,25=Rp1.125.

Sekali Wajib Pajak memilih salah satu cara penilaian pemakaian persediaan untuk

penghitungan harga pokok tersebut, maka untuk tahun-tahun selanjutnya harus digunakan cara yang sama.

10.1.5. Penyusutan dan Amortisasi. (Pasal 11 dan Pasal 11 A)

Pengeluaran-pengeluaran untuk memperoleh harta berwujud dan harta tak berwujud, serta pengeluaran lain yang mempunyai masa manfaat lebih dari1 tahun, pembebannya dilakukan melalui penyusutan dan amortisasi, sebagaimana dimaksud dalam Psl 11 an 11 A Undang-Undang PPh. adalah sebagai berikut :

Penyusutan. (1) Penyusutan atas pengeluaran untuk pembelian, pendirian, penambahan,

perbaikan, atau perubahan, harta berwujud, kecuali tanah yang berstatus hak milik, hak guna bangunan, hak guna usaha, dan hak pakai, yang

Page 70: PPh

PUSAT PENDIDIKAN DAN PELATIHAN PAJAK BADAN PENDIDIKAN DAN PELATIHAN KEUANGAN

MODUL PAJAK PENGHASILAN@DTS DASAR PAJAK II HALAMAN 65

dimiliki dan digunakan untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara, penghasilan, yang mempunyai masa manfaat lebih dari 1(satu) tahun, dilakukan dalam bagian yang sama besar selama masa manfaat yang telah ditentukan bagi harta tersebut, bagi harta tersebut.

(2) Penyusutan atas pengeluaran harta tak berwujud sebagaimana tersebut diatas, selain bangunan, dapat juga dilakukan dalam bagian-bagian yang menurun selama masa manfaat, yang dihitung dengan cara menerapkan tarif penyusutan atas nilai sisa buku, dan pada akhir masa manfaat, nilai sisa buku disusutkan sekaligus, dengan syarat dilakukan taat azas.

(3) Penyusutan dimulai pada bulan dilakukannya pengeluaran, kecuali untuk

harta yang masih dalam proses pengerjaan, penyusutannya dimulai pada bulan selesainya pengerjaan harta tersebut.

(4) Dengan persetujuan Direktur Jenderal Pajak, Wajib Pajak diperkenankan

melakukan penyusutan mulai pada bulan harta tersebut digunakan untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan atau pada bulan harta yang bersangkutan mulai menghasilkan.

(5) Apabila wajib pajak melakukan penilaian kembali aktiva, berdasarkan

ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Psl 19 UU PPh. maka dasar penyusutan atas harta adalah nilai setelah dilakukan penilaian kembali.

(6) Untuk menghitung penyusutan, masa manfaat dan tarif penyusutan harta

berwujud ditetapkan sebagai berikut

Kelompok Harta Berwujud

Masa Manfaat Tarif Penyusutan.

Garis Lurus Saldo Menurun

I. Bukan Bangunan Kelompok 1 Kelompok 2 Kelompok 3 Kelompok 3 II. Bangunan Permanen Tidak Permanen.

4 tahun 8 tahun 16 tahun 20 tahun 20 tahun 10 tahun

25 % 12,5% 6,25% 5 % 5 % 10 %

50 % 25 % 12,5 % 10 % --- ---

(7) Ketentuan lebih lanjut mengenai penyusutan atas harta berwujud yang dimiliki dan digunakan dalam bidang usaha tertentu diatur dengan Peraturan Menteri Keuangan.

(8) Apabila terjadi pengalihan atau penarikan harta sebagaimana dimaksud

dalam Psl 4 ayat (1) d UU PPh. atau penarikan harta karena sebab lainnya, maka jumlah nilai sisa buku harta tersebut dibebankan sebagai kerugian, dan jumlah harga jual atau penggantian, termasuk penggantian asuransi (kalau diasuransikan), yang diterima atau diperoleh dibukukan sebagai penghasilan pada tahun terjadinya penarikan harta tersebut.

(9) Apabila hasil penggantian asuransi yang akan diterima, jumlahnya baru dapat diketahui dengan pasti dimasa kemudian, maka dengan persetujan Direktur Jenderal Pajak jumlah sebesar kerugian, dibukukan sebagai beban masa kemudian tersebut.

Page 71: PPh

PUSAT PENDIDIKAN DAN PELATIHAN PAJAK BADAN PENDIDIKAN DAN PELATIHAN KEUANGAN

MODUL PAJAK PENGHASILAN@DTS DASAR PAJAK II HALAMAN 66

(10) Apabila terjadi pengalihan harta yang memenuhi syarat sebagaimana dimaksud dalam Psl 4 ayat (3) huruf a, dan huruf b, UU PPh, berupa harta berwujud, maka jumlah nilai sisa buku harta tersebut, tidak boleh dibebankan sebagai kerugian bagi pihak yang mengalihkan.

(11) Ketentuan lebih lanjut mengenai kelompok harta berwujud sesuai dengan

masa manfaat sebagaimana dimaksud pada ayat (6) diatur dengan Peraturan Menteri Keuangan.

(12) Jenis-jenis harta termasuk dalam kelompok harta berwujud, bukan

bangunan untuk keperluan penyusutan, diatur dalam Keputusan Menteri Keuangan No. 520/KMK.04/2000, Tgl 14 Desember 2000, dan sebagaimana telah diubah dengan Keputusan Menteri Keuangan No. 138/KMK.03/2002 Tgl 8 April 2002.

Penjelasan ayat (1), dan (2), adalah sebagai berikut : Pengeluaran untuk memperoleh harta berwujud yang mempunyai masa manfaat lebih dari 1 (satu), tahun harus dibebankan sebagai biaya untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan, dengan cara mengalokasikan pengeluaran tersebut selama masa manfaat harta tersebut, melalui penyusutan. Pengeluaran-pengeluaran untuk memperoleh tanah hak milik, termasuk tanah yang berstatus hak guna bangunan, hak guna usaha, dan hak pakai yang pertamakali tidak boleh disusutkan, kecuali apabila tanah tersebut dipergunakan dalam perusahaan atau dimiliki untuk memperoleh penghasilan, dengan syarat nilai tanah tersebut berkurang karena penggunaannya untuk memperoleh penghasilan, misalnya tanah dipergunakan untuk perusahaan genteng, perusahan keramik, atau perusahaan batu bata. Yang dimaksud dengan pengeluaran untuk memperoleh tanah hak guna bangunan, hak guna usaha, dan hak pakai yang pertama kali adalah biaya perolehan hak tanah tersebut dari pihak ketiga, dana pengurusan hak-hak ter but dari instansi yang berwenang, untuk pertama kalinya. Sedangkan biaya perpanjangan hak guna bangunan, hak guna usaha, dan hak pakai, diamortisasikan selama jangka waktu hak-hak tersebut.

Metode penyusutan yang dibolehkan berdasarkan ketentuan ini adalah ; a. dalam bagian-bagian yang sama besar selama masa manfaat yang

ditetapkan bagi harta tersebut (metode garis lurus atau straight line method) ; atau

b. dalam bagian-bagian yang menurun dengan cara menerapkan tarif penyusutan atas nilai sisa buku (metode saldo menurun atau declining balance method).

Penggunaan metode penyusutan atas harta harus dilakukan secara taat azas. untuk harta berwujud berupa bangunan, hanya dapat disusutkan dengan metode garis lurus, sedangkan harta berwujud selain bangunan dapat disusutkan dengan metode garis lurus, atau metode saldo menurun. Dalam hal wajib pajak memilih menggunakan metode saldo menurun, nilai sisa buku pada akhir masa manfaat harus disusutkan sekaligus. Sesuai dengan pembukuan wajib pajak, alat-alat kecil (small tolols), yang sama atau sejenis, dapat disusutkan dalam satu golongan.

Page 72: PPh

PUSAT PENDIDIKAN DAN PELATIHAN PAJAK BADAN PENDIDIKAN DAN PELATIHAN KEUANGAN

MODUL PAJAK PENGHASILAN@DTS DASAR PAJAK II HALAMAN 67

Contoh penggunaan metode garis lurus : Sebuah gedung yang harga perolehannya Rp 1.000.000.000. dan masa manfaatnya 20 (dua puluh) tahun, bangunan permanen, tarif penyusutannya 5% setiap tahun, maka besarnya penyusutan Gedung tersebut 5% x Rp 1.000.000.000.= Rp 50.000.000. Contoh penggunaan metode Saldo Menurun : Sebuah mesin kantor yang dibeli dan ditempatkan pada bulan Januari 2009 dengan harga perolehan sebesar Rp 150.000.000. dan masa manfaat dari mesin adalah 4 (empat) tahun, Mesin kantor tersebut termasuk dalam kelompok 1, yang tarif nyusutannya 50% (lima puluh persen) saldo menurun, maka perhitungannya sbb ;

Tahun Tarif Penyusutan Nilai Sisa Buku

Harga perolehan 150.000.000.- 2009 50% 75.000.000. 75.000.000. 2010 50% 37.500.000. 37.500.000. 2011 50% 18.750.000. 18.750.000. 2012 Disusutkan

sekaligus 18.750.000. 0.-

Penjelasan ayat (3) dan ayat (4) sebagai berikut : Penyusutan dimulai pada bulan dilakukannya pengeluaran, atau pada bulan selesainya pengerjaan suatu harta sehingga penyusutan pada tahun pertama dihitung secara pro-rata. Namun berdasarkan persetujuan Direktur Jenderal Pajak, saat mulainya penyutan dapat dilakukan pada bulan harta tersebut digunakan untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan, atau pada bulan harta tersebut mulai menghasilkan. Yang dimaksud dengan mulai menghasilkan dalam ketentuan ini dikaitkan dengan saat mulai berproduksi dan tidak dikaitkan dengan saat diterima atau diperolehnya penghasilan.

Contoh l.

Pengeluaran untuk pembangunan sebuah gedung sebesar Rp 1.000.000.000.- pembangunan dimulai pada bulan Oktober 2009, dan selesai untuk digunakan pada bulan Maret 2010. maka penyusutan atas Gedung dimulai pada bulan Maret tahun pajak 2010. Contoh 2.

Sebuah mesin kantor yang dibeli dan ditempatkan pada bulan Juli 2009, dengan harga perolehan sebesar Rp 100.000.000.- Mesin kantor tersebut berdasarkan Keputusan Menteri Keuangan termasuk kelompok l, yang berarti masa manfaat mesin ybs 4 (empat) tahun. Metode penyusutan yang digunakan Saldo Menurun, dengan tarif penyusutan 50% (lima puluh persen) setahun, maka perhitungan penyusutannya adalah sebagai berikut :

Page 73: PPh

PUSAT PENDIDIKAN DAN PELATIHAN PAJAK BADAN PENDIDIKAN DAN PELATIHAN KEUANGAN

MODUL PAJAK PENGHASILAN@DTS DASAR PAJAK II HALAMAN 68

Tahun Tarif Penyusutan Nilai Sisa Buku. Harga perolehan 100.000.000.- 2009 ½ x 50% 25.000.000.- 75.000.000.- 2010 50% 37.500.000.- 37.500.000.- 2011 50% 18.750.000.- 18.750.000.- 2012 50% 9.375.000.- 9.375.000.- 2008 Disusutkan

sekaligus 9.375.000.- 0.-

Ayat (4) Berdasarkan persetujuan Direktur Jenderal Pajak, saat mulainya penyusutan

dapat dilakukan pada bulan harta tersebut digunakan untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan atau pada bulan harta tersebut mulai menghasilkan. Saat mulai menghasilkan dalam ketentuan ini dikaitkan dengan saat mulai berproduksi dan tidak dikaitkan dengan saat diterima atau diperolehnya penghasilan.

Contoh : PT X yang bergerak dibidang perkebunan membeli traktor pada tahun 2009,

Perkebunana tersebut mulai menghasilkan (panen) pada tahun 2010. Dengan persetujuan Direktur Jenderal Pajak, penyusutan traktor tersebut dapat dilakukan mulai pada tahun 2010.

Amortisasi (1) Atas pengeluaran untuk memperoleh harta tak berwujud, dan pengeluaran lainnya,

termasuk biaya perpanjangan hak guna bangunan, hak guna usaha, dan hak pakai, yang mempunyai masa manfaat lebih dari 1(satu) tahun, yang dipergunakan untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan, dilakukan dalam bagian yang sama besar, atau dalam bagian-bagian yang menurun selama masa manfaat, yang dihitung dengan cara menerapkan tarif Amortisasi atas pengeluaran tersebut, atau atas nilai sisa buku, dan pada akhir masa manfaat, diamortisasi sekaligus, dg syarat dilakukan secara taat azas.

(1a)Amortisasi dimulai pada bulan dilakukannya pengeluaran, kecuali untuk bidang

usaha tertentu yang diatur lebih lanjut dengan Peraturan Menteri Keuangan.

(2) Masa manfaat dan tarif amortisasi.

Kelompok harta Tak berwujud.

Masa manfaat

Tarif Amortisasi

Garis lurus Saldo menurun Kelompok 1 Kelompok 2 Kelompok 3 Kelompok 4

4 tahun 8 tahun 16 tahun 20 tahun

25% 50% 12,5% 25% 6,25% 12,5% 5% 10%

(3) Pengeluaran untuk biaya pendirian dan biaya perluasan modal suatu perusahaan

dibebankan pada tahun terjadinya pengeluaran, atau amortisasi, sesuai dengan ketentuan yang berlaku.

Page 74: PPh

PUSAT PENDIDIKAN DAN PELATIHAN PAJAK BADAN PENDIDIKAN DAN PELATIHAN KEUANGAN

MODUL PAJAK PENGHASILAN@DTS DASAR PAJAK II HALAMAN 69

(4) Amortisasi atas pengeluaran untuk memperoleh hak dan pengeluaran lain, yang mempunyai masa manfaat lebih dari 1 (satu) tahun, dibidang penambangan minyak dan gas bumi (migas), dilakukan dengan menggunakan metode satuan produksi.

(5) Amortisasi atas pengeluaran untuk memperoleh hak pengusahaan hutan, dan hak pengusahaan sumber alam, serta hasil alam lainnya, yang mempunyai masa manfaat lebih dari 1(satu) tahun, dilakukan dengan menggunakan metode satuan produksi, paling tinggi 20% (dua puluh persen), setahun.

(6) Pengeluaran yang dilakukan sebelum operasi komersial, yang mempunyai masa

manfaat lebih dari 1(satu) tahun, dikapitalisasi, dan kemudian diamortisasi sesuai dengan ketentuan yang berlaku.

(7) Apabila terjadi pengalihan harta tak berwujud atau hak-hak yang dapat diamortisasi, maka nilai sisa buku harta atau hak-hak tersebut dibebankan sebagai kerugian dan jumlah yang diterima sebagai penggantian merupakan penghasilan pada tahun terjadinya pengalihan tersebut.

(8) Apabila terjadi pengalihan harta yang memenuhi syarat sebagaimana dimaksud dalam Psl 4 ayat (3) huruf a dan huruf b UU PPh. berupa harta tak berwujud, maka jumlah nilai sisa buku harta tersebut tidak boleh dibebankan sebagai kerugian bagi pihak yang mengalihkan.

Penjelasan ayat (1) Harga perolehan harta tak berwujud dan pengeluaran lainnya, termasuk perpanjangan hak-hak atas tanah (seperti hak guna usaha, hak guna bangunan, dan hak pakai ), yang mempunyai masa manfaat lebih dari satu tahun, diamortisasi dengan metode : a. dalam bagian-bagian yang sama setiap tahun selama masa manfaat, atau : b. dalam bagian-bagian yang menurun setiap tahun dengan cara menerapkan

tarif amortisasi atas nilai sisa buku.

Khusus untuk amortisasi harta tak berwujud yang menggunakan metode saldo menurun, pada akhir masa manfaat nilai sisa buku harta tak berwujud atau hak-hak tersebut diamortisasi sekaligus. Penjelasan ayat (1a) Amortisasi dimulai pada bulan dilakukannya pengeluaran sehingga amortisasi pada tahun pertama dihitung secara pro-rata. Dalam rangka menyesuaikan dengan karakteristik bidang-bidang usaha tertentu perlu diberikan pengaturan tersendiri untuk amortisasi yang ketentuannya diatur lebih lanjut dengan Peraturan Menteri Keuangan. Penjelasan ayat (2) Penentuan masa manfaat dan tarif amortisasi atas pengeluaran harta tak berwujud dimaksudkan untuk memberikan keseragaman bagi wajib pajak dalam melakukan amortisasi. Wajib Pajak dapat melakukan amortisasi sesuai dengan metode yang dipilihnya, sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) berdasarkan masa yang sebenarnya, dari tiap harta tak berwujud. Tarif amortisasi yang diterapkan didasarkan pada kelompok masa manfaat, sebagaimana yang diatur dalam ketentuan ini. Untuk harta tidak berwujud yg masa manfaatnya tidak tercantum pada kelompok masa manfaat yang ada, maka wajib pajak menggunakan masa manfaat yang terdekat, misalnya harta tak

Page 75: PPh

PUSAT PENDIDIKAN DAN PELATIHAN PAJAK BADAN PENDIDIKAN DAN PELATIHAN KEUANGAN

MODUL PAJAK PENGHASILAN@DTS DASAR PAJAK II HALAMAN 70

berwujud dengan masa manfaat yang sebenarnya 6 (enam) tahun, dapat menggunakan kelompok masa manfaat 4 (empat) tahun atau 8(delapan) tahun. Dalam hal masa manfaat yang sebenarnya 5(lima) tahun, maka harta tak berwujud tersebut diamortisasi dengan menggunakan kelompok masa manfaat 4 (empat) tahun.

Penjelasan ayat (4) Metode satuan produksi dilakukan dengan menerapkan persentase amortisasi yang besarnya setiap tahun sama dengan persentase perbandingan antara realisasi penambangan minyak dan gas bumi, pada tahun yang bersangkutan dg taksiran jumlah seluruh kandungan minyak dan gas bumi di lokasi tersebut yang dapat diproduksi. Apabila ternyata jumlah produksi yang sebenarnya lebih kecil dari yang diperkirakan, sehingga masih terdapat sisa pengeluaran untuk memperoleh hak atau pengeluaran lain, maka atas sisa pengeluaran tersebut boleh dibebankan sekaligus, dalam tahun pajak yang bersangkutan. Penjelasan ayat (5). Pengeluaran untuk memperoleh hak penambangan selain minyak dan gas bumi, hak pengusahaan hutan, atau hasil alam lainnya, seperti hak pengusahaan hasil laut, diamortisasi berdasarkan metode satuan produksi (MSP), dengan jumlah paling tinggi 20% (dua puluh persen) setahun. Contoh : Pengeluaran untuk memperoleh hak pengusahaan hutan, yang mempunyai potensi 10.000.000. ton kayu, besarnya Rp 1.500.000.000. yang akan diamortisasi sesuai dengan persentase metode satuan produksi yang direalisasikan dalam tahun yang bersangkutan. Jika dalam satu tahun pajak, ternyata jumlah produksi mencapai 3.000.000. ton, yang berarti 30% (tiga puluh persen), dari jumlah potensi yang tersedia, maka amortisasi yang diperkenankan, untuk dikurangkan dari penghasilan bruto, pada tahun pajak tersebut adalah 20%, atau 20% x Rp 1.500.000.000. = Rp 300.000.000.- Penjelasan ayat (6) Dalam pengertian pengeluaran yang dilakukan sebelum operasi komersial, adalah biaya-biaya yang dikeluarkan sebelum operasi komersial, misalnya biaya studi kelayakan dan biaya produksi percobaan tetapi tidak termasuk biaya-biaya operasional yang sifatnya rutin, seperti gaji pegawai, biaya rekening listrik, dan telepon, dan biaya kantor lainnya. Untuk pengeluaran operasional yang rutin ini, tidak boleh dikapitalisasi tetapi dibebankan sekaligus pada tahun pengeluaran. Ayat (7) Contoh : PT X. mengeluarkan biaya untuk memperoleh hak penambangan minyak dan gas bumi di suatu lokasi sebesar Rp 500.000.000.- Taksiran jumlah kandungan minyak dan gas bumi tersebut sebanyak 200.000.000. barrel. Setelah diproduksi minyak dan gas bumi mencapai 100.000.000. barrel, PT X, menjual hak penambangan tersebut ke PT Y, dengan harga Rp 300.000.000. Perhitungan penghasilan dan kerugian dari penjualan hak penambangan sbb :

Page 76: PPh

PUSAT PENDIDIKAN DAN PELATIHAN PAJAK BADAN PENDIDIKAN DAN PELATIHAN KEUANGAN

MODUL PAJAK PENGHASILAN@DTS DASAR PAJAK II HALAMAN 71

Hak perolehan Rp 500.000.000.- Amortisasi yg telah dilakukan 100.000.000./200.000.000.(50%)Rp 250.000.000.- Nilai sisa buku harta Rp.250.000.000.- Harga jual Rp 300.000.000.-

Nilai sisa buku sebesar Rp 250.000.000. dibebankan sebagai kerugian, dan jumlah sebesar Rp 300.000.000. dibukukan sebagai penghasilan.

10.2. Latihan.

1. Jelaskan dimana diatur biaya-biaya yg dapat dikurangkan dari penghasilan bruto. 2. Terangkan pengertian �Adat pedagang yang baik�, dalam menentukan biaya 3 M. 3. Apa syarat-syarat piutang tak dapat ditagih sehingga bisa dianggap biaya. 4. Terangkan perbedaan antara penyusutan dan amortisasi. 5. Jelaskan pula beberapa biaya yg tidak boleh dikurangkan dari penghasilan bruto. 6. Bagaimana pengelompokan harta guna kepentingan penyusutan. 7. Biaya pengembagan usaha yang bagaimana dapat dijadikan sebagai biaya. 8. Jelaskan pengertian Metode Satuan Produksi, dan untuk jenis usaha apa saja. 9. Kepada wajib pajak mana dapat diberlakukan PTKP, dan dimana diatur PTKP

Tersebut, dan jelaskan batasan-batasan PTKP terakhir yang diberlakukan. 10. Anggota keluarga yg mana saja yang diperbolehkan menjadi tanggungan wp.

10.3. Rangkuman.

Untuk mendapatkan penghasilan neto (bagi wajib pajak Badan), atau penghasilan kena pajak (bagi wajib pajak Orang Pribadi), maka terhadap penghasilan brutonya dapat dikurangkan ; a. Biaya-biaya yang diatur dalam Psl 6 ayat (1) yang terdiri dari :

a.1. biaya mendapatkan, menagih dan memelihara penghasilan (biaya 3 M). yang pencatatannya diserahkan kepada wp sesuai dengan adat pedagang baik, seperti gaji, upah, pembelian bahan dstnya.

a.2. penyusutan dan amortisasi ; a.3. iuran kepada dana pensiun yang pendiriaannya telah disahkan Menkeu. a.4. kerugian karena penjualan harta; a.5. kerugian selisih kurs. a.6. biaya penelitian dan pengembangan usaha di Indonesia. a.7. biaya bea siswa, magang, dan pelatihan. a.8. penghapusan piutang dengan syarat-syarat tertentu.

b. Kompensasi kerugian seperti diatur dalam Psl 6 ayat (2), dengan batasan 5

(lima) tahun, sesuai dengan urutan masa kompensasinya. c. Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP), bagi wajib pajak orang pribadi DN. besarnya penghasilan tidak kena pajak dimaksud diatas adalah :

Rp 15.840.000. setahun bagi wp sendiri. Rp 1.320.000. setahun bagi wp kawin (isteri) Rp 15.840.000. setahun isteri yang punya penghasilan sendiri. Rp 1.320.000. setahun bagi setiap anggota keluarga yang diperkenankan,

maksimal 3 (tiga) orang. d. Penentuan besarnya PTKP ditetapkan pada awal tahun pajak, e. Besarnya PTKP dapat ditinjau berdasarkan Keputusan Menteri Keuangan.

f. Disamping biaya yang boleh dikurangkan terdapat biaya yang tidak boleh

dikurangkan dari penghasilan bruto yakni seperti diatur dalam ;

Page 77: PPh

PUSAT PENDIDIKAN DAN PELATIHAN PAJAK BADAN PENDIDIKAN DAN PELATIHAN KEUANGAN

MODUL PAJAK PENGHASILAN@DTS DASAR PAJAK II HALAMAN 72

a. Psl 9 ayat (1) UU Pajak Penghasilan yaitu : Pembagian laba dengan nama dan dalam bentuk apapun. Biaya yang dibebankan untuk kepentingan pribadi wajib pajak. Pembentukan dana cadangan dengan persyaratan tertentu. Premi asuransi-asuransi yang bersifat pribadi wajib pajak. Penggantian atau imbalan dalam bentuk natura dan kenikmatan lainnya. Jumlah yang melebihi kewajaran, yg dibayarkan ke pemegang saham. Harta yang dihibahkan, sumbangan, dan bantuan. Pajak penghasilan. Biaya kepentingan pribadi pemegang saham. Gaji yang dibayarkan kepada anggota firma, persekutuan dan sejenisnya. Sanksi-sanksi perpajakan.

b.Pasal 9 ayat (2), biaya yang mempunyai masa manfaat lebih dari 1(satu) tahun,

dibebankan melalui penyusutan dan amortisasi, jadi bukan tidak boleh, tetapi tidak boleh sekaligus.

g. Penyusutan dan Amortisasi (Psl 11 dan Psl 11 A).

2. Penyusutan digunakan untuk harta berwujud, kecuali tanah.

Dalam melakukan penyusutan berlaku ketentuan-ketentuan sebagai berikut :

Harta yang boleh disusutkan, adalah harta yang terpakai dalam kegiatan mendapatkan, menagih dan memelihara penghasilan yg menjadi objek pajak.

Harta dibagi atas Bukan Bangunan, dan Bangunan. Terhadap bukan bangunan dibagi lagi atas 4 (empat) kelompok, dengan

sistim penyusutan yang dapat dipilih antara straight line method (sistim garis lurus), atau double declining balance ( sistim saldo menurun), serta dilaksanakan dengan taat azas.

Jika terjadi pengalihan harta, misalnya dijual maka nilai sisa buku menjadi kerugian, sedangkan hasil penjualannya masuk sebagai objek pajak

Jika harta diasuransikan mengalami musibah, penggantian asuransi tidak terjadi pada tahun terjadinya musibah, maka dengan seizin Direktur Jendral Pajak penghasilannya dibukukan dimasa kemudian.

Kalau terjadi penarikan harta sebagai bantuan, sumbangan, atau dihibahkan maka nilai bukunya tidak boleh menjadi kerugian bagi pihak yang mengalihkan.

Penyusutan dimulai pada bulan perolehan dari harta tersebut, kecuali harta yang masih dalam proses pengerjaan (misalnya bangunan), maka disusutkan setelah selesainya proses pengerjaan bangunan tersebut.

Dengan persetujuan Direktur Jenderal Pajak, penyusutan harta dapat digeser ke tahun mendatangkan penghasilan (untuk usaha khusus misalnya perkebunan).

Jenis-jenis harta untuk kepentingan penyusutan daftar pengelompokannya diatur dengan Keputusan Menteri Keuangan No. 520/KMK.04/2000,-yang telah diubah dengan KepMenkeu No. 138/KMK.03/2002, Tgl 8 April 2002.

3. Amortisasi.

Terhadap harta tak berwujud, seperti hak-hak, misalnya hak guna usaha, hak milik, hak pakai, hak pengusahaan dibidang pertambangan, kehutanan, atau biaya serta pengeluaran yang mempunyai masa manfaat

Page 78: PPh

PUSAT PENDIDIKAN DAN PELATIHAN PAJAK BADAN PENDIDIKAN DAN PELATIHAN KEUANGAN

MODUL PAJAK PENGHASILAN@DTS DASAR PAJAK II HALAMAN 73

lebih dari 1 (satu), pembebanannya dilakukan melalui amortisasi. Ketentuan-ketentuan yang berlaku pada amortisasi, hampir sama dengan ketentuan yang terdapat pada penyusutan yaitu :

Atas harta tak berwujud dibagi 4 (empat) kelompok, dengan sistim

penyusutan yang dapat dipilih antara sistim garis lurus, atau saldo menurun.

Persentase amortisasi dengan menggunakan sistim garis lurus dengan masa manfaat 4 tahun (25%), 8 tahun (12,5%), 16 tahun (6,25%), dan 20 tahun (5%), sedangkan kalau menggunakan sistim saldo menurun masa manfaat dan persentasenya, 4 tahun (50%), 8 tahun (25%), 16 tahun (12,5%), dan 20 tahun (10%).

Atas biaya pendirian, biaya perluasan modal, jika masa manfaat diatas 1(satu) tahun, sama dengan titik point (2) diatas.

Hak penambangan, hak pengusahaan hutan, hak pengusahaan sumber alam lainnya, menggunakan Metode Satuan Produksi (MSP), setinggi-tingginya 20% (dua puluh persen).

Hak penambangan dibidang Minyak dan Gas bumi (Migas), menggunakan metode satuan produksi tanpa batas.

Pengeluaran lainnya yg mempunyai masa manfaat lebih dari satu tahun, diamortisasi sesuai dengan pengelompokan poin titik (2) diatas.

Apabila terjadi pengalihan atas harta tak berwujud, atau hak-hak tersebut diatas, maka nilai sisa bukunya, dibebankan sebagai kerugian, sedangkan jumlah yang diterima atau diperoleh sebagai penggantiannya, merupakan penghasilan pada tahun terjadinya pengalihan.

Namun apabila terjadi pengalihan harta tak berwujud, karena diberikan sebagai bantuan atau sumbangan, dihibahkan, atau diwariskan sesuai dengan Psl 4 ayat (3) huruf (a) dan huruf (b), maka jumlah nilai sisa bukunya, tidak boleh dibebankan sebagai kerugian bagi pihak yang mengalihkan.

10.4. Test Formatif.

Pilihlah salah satu jawaban yang Saudara anggap paling tepat :

1. Pajak Penghasilan dikenakan atas penghasilan ; a. Penghasilan Bruto b. Penghasilan Neto (WP Badan), PKP (Wajib Pajak Orang Pribadi). c. penghasilan komersial menurut laporan wajib pajak.

2. Biaya yang boleh dikurangkan dari penghasilan wajib pajak dalam negeri dan

bentuk usaha tetap (BUT) : a. biaya yang menyangkut 3 M, dan penghasilannya menjadi objek pajak b. biaya berdasarkan laporan komersial wajib pajak. c. biaya menurut perhitungan laporan Akuntan Publik.

3. Pajak Penghasilan yang dibayar wp baik melalui pemotongan atau pemungutan

serta yang dibayar sendiri wp : a. dapat dijadikan pengurangan penghasilan (biaya). b. dikapitalisasi dan dibebankan melalui penyusutan ; c. tidak dapat dijadikan biaya yang mengurangi penghasilan bruto.

Page 79: PPh

PUSAT PENDIDIKAN DAN PELATIHAN PAJAK BADAN PENDIDIKAN DAN PELATIHAN KEUANGAN

MODUL PAJAK PENGHASILAN@DTS DASAR PAJAK II HALAMAN 74

4. Penyusutan atas harta berwujud hanya dapat dilakukan : a. atas semua harta wajib pajak, termasuk hak-hak. b. hanya terhadap harta yang digunakan umtuk mendapatkan, menagih, dan

memelihara penghasilan yang menjadi objek pajak. c. atas semua harta baik yang masih mempunyai masa manfaat, maupun yang

masa manfaat (umurnya) sudah habis.

5. Kerugian selisih kurs dapat menjadi biaya yang dapat dikurangkan jika ; a. selisih kurs tersebut dari perdagangan valuta asing; b. selisih kurs berdasarkan kebijakan pemerintah dibidang moneter. c. selisih kurs tersebut tidak dalam kegiatan usaha wajib pajak.

6. Piutang yang tak dapat ditagih dapat menjadi kerugian apabila :

a. piutang tersebut adalah piutang pribadi pemilik usaha ; b. piutang macet akibat yang punya piutang failit (bangkrut) ; c. jawaban (a) dan (b) diatas tidak ada tepat.

7. Kompensasi kerugian sebagai pengurangan penghasilan (biaya) : a. perhitungannya hanya diperkenankan selama 5 (lima) tahun, b. perhitungannya tanpa batas waktu ; c. perhitungannya boleh dilakukan setiap bulan.

8. Jika terdapat kerugian berturut-turut, maka perhitungannya adalah :

a. dapat dilakukan sekaligus untuk mengurangi penghasilan ; b. diambil kerugian yang paling besar ; c. mendahulukan kerugian tahun sebelumnya, jika waktunya masih ada.

9. Kerugian bagi wajib pajak yang menggunakan Norma Perhitungan : a. dapat mengurangi penghasilan netonya. b. tidak dapat mempengaruhi penghasilan netonya. c. jawaban diatas tidak ada yang benar

10. Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP) diberlakukan kepada : a. wajib pajak orang pribadi dalam negeri. b. semua wajib pajak, baik wp dalam negeri, maupun wp luar negeri ;

c. huruf (a), dan huruf (b) diatas, ditambah wajib pajak badan dan BUT.

11. Besarnya PTKP seperti dimaksud angka (10) diatas mulai tahun 2009 : a. Rp 15.840.000, setahun untuk seorang wp yang belum kawin. b. Rp 14.400.000. setahun bagi wp yang kawin dengan 3 (tiga) tanggungan. c. Rp 18.000.000. setahun bagi wajib pajak kawin dengan status K/1.

12. Penentuan besarnya PTKP ditentukan ; a. pada akhir tahun pajak sewaktu wp mengisi SPT Tahunan. b. awal tahun pajak. c. pada saat bertambah atau berkurangnya anggota keluarga wajib pajak.

13. Dalam melakukan penyusutan maka aktiva/harta wajib pajak :

a. tidak dilakukan pengelompokan harta ; b. pengelompokan diserahkan sepenuhnya kepada wajib pajak ; c. diklasifikasi kepada, bukan bangunan (yang terdiri dari 4 kelompok), dan

bangunan (2 kelompok yaitu permanen, dan bukan permanen).

Page 80: PPh

PUSAT PENDIDIKAN DAN PELATIHAN PAJAK BADAN PENDIDIKAN DAN PELATIHAN KEUANGAN

MODUL PAJAK PENGHASILAN@DTS DASAR PAJAK II HALAMAN 75

14. Sistim penyusutan atas harta dapat diterapkan : a. sistim garis lurus atas semua harta ; b. memilih sistim garis lurus, atau saldo menurun bagi bukan bangunan, sistim garis lurus bagi bangunan ; atau c. sistim saldo menurun bagi seluruh harta.

15. Apabila terjadi penarikan harta berwujud dari pemakaian maka ;

a. nilai sisa bukunya menjadi kerugian, sedangkan hasil penggantiannya dimasukan sebagai penghasilan pada tahun terjadinya penarikan.

b. penarikan harta tersebut tidak mempengaruhi penghasilan wajib pajak. c. wajib pajak mengajukan permohonan agar dihapuskan dari pembukuan.

16. Amortisasi sebagai pengurangan penghasilan diterapkan terhadap ;

a. harta tak berwujud yang dimiliki diluar perusahaan/usaha ; b. harta tak berwujud, termasuk hak-hak, serta biaya lainnya yang mempunyai

masa manfaatnya lebih dari satu tahun. c. pengeluaran sebelum produksi komersial.

17. Metode Satuan Produksi (MSP), diterapkan terhadap :

a. amotisasi atas biaya memperoleh hak milik, hak guna usaha, hak pakai. b. pengeluaran untuk perolehan harta tak berwujud ; c. hak penambangan migas bumi, hak pengusahaan hutan, hak pengusahaan

sumber alam lainnya.

18. Pemberian natura dan kenikmatan kepada pegawai : a. boleh dijadikan biaya sepanjang penghasilan wp memakai norma khusus. b. tidak boleh menjadi biaya, kecuali dalam hal-hal tertentu ; c. dapat jadi biaya sepanjang wajib pajak menyelenggarakan pembukuan.

19. Natura dan Kenikmatan didaerah terpencil dapat dibiayakan : a. sudah ada keputusan dari Dirjend Pajak tentang status daerah terpencil

bagi wajib pajak yang bersangkutan ; b. apabila wajib pajak sudah melaporkannya ke Ditjend Pajak. c. jika wp sudah mendapat keterangan dari Pemda setempat.

20. Gaji yang dibayarkan oleh badan usaha berbentuk firma kepada anggota ;

a. dapat mengurangi penghasilan firma yang bersangkutan, b. tidak dapat dikurangkan dari penghasilan bruto firma tersebut; c. menjadi objek pajak bagi anggota firma yang bersangkutan.

10.5. Tulis B pada tanda dalam kurung ( ), bila benar, atau S, jika salah.

1. biaya yang boleh dikurangkan dari penghasilan bruto wajib pajak, apabila biaya tersebut termasuk biaya 3 M, dan penghasilannya objek pajak (....).

2. pembukuan biaya-biaya yang boleh dikurangkan sebagai biaya yang akan

mengurangi penghasilan bruto wajib pajak, didasarkan biaya komersial (...). 3. penyusutan dan amortisasi didasarkan perhitungan menurut ketentuan UU, dan

peraturan perpajakan (....).

Page 81: PPh

PUSAT PENDIDIKAN DAN PELATIHAN PAJAK BADAN PENDIDIKAN DAN PELATIHAN KEUANGAN

MODUL PAJAK PENGHASILAN@DTS DASAR PAJAK II HALAMAN 76

4. iuran pensiun yang boleh dikurangkan dari penghasilan wajib pajak apabila dibayarkan kepada lembaga pensiun yang dibentuk wajib pajak (...).

5. biaya penelitian dan pengembangan usaha yang dilakukan di Indonesia, dapat

dikurangkan dari penghasilan bruto wajib pajak (....). 6. kompensasi kerugian hanya diperuntukan bagi wajib pajak badan (.....). 7. masa kompensasi kerugian hanya dibatasi jangka waktu perhitungannya 5(lima)

tahun, sejak terjadinya kerugian (.....) 8. penghasilan tidak kena pajak bagi wajib pajak orang pribadi luar negeri apabila

setelah melewati batas 183 hari dalam 12 bulan, diperkenankan (....). 9. wanita kawin, yang suaminya tidak mempunyai penghasilan dapat memasukan

PTKP suami, sebagai pengurangan penghasilan neto, jika ybs berbekerja sebagai karyawati, dengan surat keterangan dari Camat. (....).

10. didalam perhitungan PTKP, wajib pajak diperkenankan memasukan orang tua

walaupun orang tua tersebut sudah pensiun dari pekerjaannya. (.....) 11. pemberian uang perbaikan rumah pemegang saham, dapat dikurangkan dari

penghasilan perusahaan, sebelum penghasilan badan tersebut dikenakan pajak (.....).

12. sewa kantor untuk jangka waktu 3 tahun, tidak boleh dibebankan sekaligus, tapi

harus diamortisasi sesuai dengan masa manfaatnya. (......). 13. dalam melakukan penyusutan, maka pengelompokan harta diserahkan kepada

wajib pajak sesuai dengan fungsinya didalam perusahaan (.....). 14. terhadap aktiva/harta yang diasuransikan, apabila penggantian asuransi tidak

bersamaan tahunnya dengan terjadinya musibah, maka seizin DirJend Pajak penghasilannya dapat dibukukan dimasa kemudian (.....).

15. sanksi-sanksi perpajakan seperti bunga, denda, kenaikan pajak, dapat

dijadikan biaya yang mengurangi penghasilan neto wajib pajak (......). 16. imbalan bunga yang diberikan kepada pemegang saham sehubungan dengan

pinjaman yang diberikannya, dapat dikurangkan sebagai biaya, walaupun pemegang saham tersebut belum menyetor penuh modalnya. (.....).

17. Metode Satuan Produksi (MSP), dengan batasan paling tinggi 20% (dua puluh

persen), hanya berlaku bagi usaha pengusahaan hutan, dan hak penambangan diluar migas bumi (.....).

18. tarif penyusutan untuk harta kelompok tiga dengan sistim saldo menurun

besarnya adalah 25% (dua luluh lima persen). (.......). 19. apabila terjadi penarikan harta tak berwujud dari pemakaian sesuai dengan

ketentuan Psl 4 ayat (3), huruf a, dan huruf b, maka nilai bukunya tidak boleh menjadi kerugian bagi pihak yang mengalihkan (.......). 20. dalam melakukan penyusutan dan amortisasi, wajib pajak dapat berganti-ganti

sistim setiap tahun sesuai dengan keadaan usahanya. (.....).

Page 82: PPh

PUSAT PENDIDIKAN DAN PELATIHAN PAJAK BADAN PENDIDIKAN DAN PELATIHAN KEUANGAN

MODUL PAJAK PENGHASILAN@DTS DASAR PAJAK II HALAMAN 77

10.6. Kunci test Formatif. 10.6.1. Memilih jawaban yang paling tepat ;

1. b 11. a 2. a 12. b 3. a 13. c 4. c 14. b 5. b 15. a 6. b 16. b 7. c 17. c 8. a 18. b 9. c 19. b 10. a 20. b

10.6.2. Memilih Benar (B), atau Salah (S).

1. Benar (B) 11. Salah (S) 2. Salah (S) 12. Benar (B) 3. Benar (B) 13. Salah (S) 4. Salah (S) 14. Benar (B) 5. Benar (B) 15. Salah (S) 6. Salah (S) 16. Salah (S) 7. Benar (S) 17. Benar (B) 8. Benar (B) 18. Salah (S) 9. Benar (B) 19. Benar (B) 10. Salah (S) 20. Salah (S)

10.7. Umpan Balik.

Cocokkanlah jawaban Saudara dengan kunci jawaban dengan Test Formatif, (pilih salah satu jawaban yang tepat, dan pilih betul atau salah), dan hitunglah jumlah jawaban Saudara yang benar atau yang betul. Kemudian gunakan rumus dibawah ini untuk mengetahui tingkat penguasaan materi kegiatan belajar Saudara.

Rumus : Tingkat penguasaan = jumlah jawaban Saudara yang benar dibagi dengan jumlah soal, hasilnya dikalikan dengan 100%.

Arti tingkat penguasaan yang dicapai : 90 % - 100 % = Baik sekali. 80 % - 89 % = Baik 70 % - 79 % = Cukup 69 % atau kurang = kurang. Bila Saudara mencapai tingkat penguasaan 80% atau lebih, Saudara dapat meneruskan dengan modul berikutnya, tetapi bila tingkat penguasaan Sdr. kurang dari 80% , Saudara harus mempelajari kembali kegiatan belajar tsb.

Page 83: PPh

PUSAT PENDIDIKAN DAN PELATIHAN PAJAK BADAN PENDIDIKAN DAN PELATIHAN KEUANGAN

MODUL PAJAK PENGHASILAN@DTS DASAR PAJAK II HALAMAN 78

11. KEGIATAN BELAJAR 7 NORMA PERHITUNGAN, CARA MENGHITUNG PAJAK, DAN TARIF. 11.1. Norma Perhitungan.

Seperti dimaklumi kondisi Wajib Pajak bermacam-macam, ada Wajib Pajak yang mampu menyelenggarakan pembukuan, disamping itu terdapat pula Wajib Pajak yang tidak mampu menyelenggarakan pembukuan, terutama Wajib Pajak Orang Pribadi pengusaha kecil. Bagi Wajib Pajak Orang Pribadi dalam negeri termasuk kategori tidak mampu Menyelenggarakan pembukuan atau Wajib Pajak kecil dimaksud, disediakan angka yang berbentuk prosentase yang akan digunakan untuk menetapkan besarnya Penghsilan Neto dan Pajak Penghasilan terutang.

Ketentuan ini diatur dalam Pasal 14 Undang-Undang Pajak Penghasilan yaitu ; (1) Norma Penghitungan Penghasilan Neto untuk menentukan

penghasilan neto, dibuat dan disempurnakan terus-menerus serta diterbitkan oleh Direktorat Jendaral Pajak .

(2) Wajib Pajak orang pribadi yang melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan bebas, yang peredaran brutonya dalam 1(satu) tahun kurang dari Rp 4.800.000.000. (empat milyar delapan ratus juta rupiah), boleh menghitung penghasilan neto dengan menggunakan Norma Penghitungan Penghasilan Neto sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dengan syarat memberitahukan kepada Direktur Jenderal Pajak dalam jangka waktu 3(tiga) bulan pertama dari tahun pajak yang bersangkutan.

(3) Wajib Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (2) yang menghitung penghasilan Netonya dengan menggunakan Norma Penghitungan Penghasilan Neto, wajib menyelenggarakan pencatatan sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang yang mengatur mengenai ketentuan umum dan tatacara perpajakan.

(4) Wajib Pajak sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) yang tidak

memberitahukan kepada Direktur Jenderal Pajak untuk menghitung penghasilan neto dengan menggunakan Norma Penghitungan Penghasilan Neto, dianggap memilih menyelenggarakan pembukuan.

(5) Wajib Pajak yang wajib menyelenggarakan pembukuan atau pencatatan, termasuk wajib pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dan ayat (4), yang ternyata tidak atau tidak sepenuhnya menyelenggarakan pencatatan atau pembukuan atau tidak memperlihatkan pencatatan atau bukti-bukti pendukungnya, maka penghasilan netonya dihitung berdasarkan Norma Penghitungan Penghasilan Neto dan peredaran brutonya dihitung dengan cara lain yang diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan.

(6) Dihapus.

(7) Besarnya peredaran bruto sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat diubah dengan Peraturan Menteri Keuangan.

Penjelasan Pasal 14 Informasi yang benar dan lengkap tentang penghasilan Wajib Pajak

sangat penting untuk dapat mengenakan pajak yang adil dan wajar sesuai

Page 84: PPh

PUSAT PENDIDIKAN DAN PELATIHAN PAJAK BADAN PENDIDIKAN DAN PELATIHAN KEUANGAN

MODUL PAJAK PENGHASILAN@DTS DASAR PAJAK II HALAMAN 79

dengan kemampuan ekonomis Wajib Pajak. Untuk dapat menyajikan informasi dimaksud, Wajib Pajak harus menyelenggarakan pembukuan. Namun bahwa tidak semua Wajib Pajak mampu menyelenggarakan pembukuan. Semua Wajib Pajak badan dan bentuk usaha tetap diwajibkan menyelenggarakan pembukuan. Wajib Pajak orang pribadi yang menjalankan usaha atau melakukan pekerjaan bebas dengan jumlah peredaran tertentu, tidak diwajibkan menyelenggarakan pembukuan.

Untuk memberikan kemudahan dalam menghitung besarnya penghasilan neto bagi Wajib Pajak orang pribadi yang menjalankan usaha atau pekerjaan bebas dengan peredaran bruto tertentu, Direktur Jenderal Pajak menerbitkan norma penghitungan.

Ayat (1)

Norma Penghitungan adalah pedoman untuk menentukan besarnya penghasilan neto yang diterbitkan oleh Direktur Jenderal Pajak dan disempurnakan terus-menerus. Penggunaan Norma Penghitungan tersebut pada dasarnya dilakukan dalam hal-hal :

(a) terdapat dasar penghitungan yang lebih baik, yaitu pembukuan yang tidak lengkap; atau (b) pembukuan atau catatan peredaran bruto Wajib Pajak ternyata diselenggarakan secara tidak benar.

Norma penghitungan disusun sedemikian rupa berdasarkan hasil penelitian atau data lain, dan dengan memperhatikan kewajaran.

Norma penghitungan akan sangat membantu Wajib Pajak yang belum mampu menyelenggarakan pembukuan untuk menghitung penghasilan neto.

Ayat (2). Norma Penghitungan Penghasilan Neto hanya boleh digunakan oleh

Wajib Pajak orang pribadi yang melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan bebas, yang peredaran brutonya kurang dari jumlah Rp 4.800.000.000. (empat milyar delapan ratus juta rupiah). Untuk dapat menggunakan Norma Penghitungan Penghasilan Neto tersebut, Wajib Pajak orang pribadi harus memberitahukan kepada Direktur Jenderal Pajak dalam jangka waktu 3(tiga) bulan pertama dari tahun pajak yang bersangkutan.

Ayat (3) Wajib Pajak orang pribadi yang menggunakan Norma Penghitungan

Penghasilan Neto tersebut wajib menyelenggarakan pencatatan tentang peredaran brutonya sebagaimana diatur dalam Undang-Undang yang mengatur mengenai ketentuan umum dan tatacara perpajakan. Penentuan tersebut dimaksudkan untuk memudahkan penerapan norma dalam menghitung penghasilan neto.

Ayat (4) Apabila Wajib Pajak orang pribadi yang berhak, bermaksud untuk

menggunakan Norma Penghitungan Penghasilan Neto, tetapi tidak

Page 85: PPh

PUSAT PENDIDIKAN DAN PELATIHAN PAJAK BADAN PENDIDIKAN DAN PELATIHAN KEUANGAN

MODUL PAJAK PENGHASILAN@DTS DASAR PAJAK II HALAMAN 80

memberitahukannya kepada Direktur Jenderal Pajak dalam jangka waktu yang ditentukan, Wajib Pajak tersebut dianggap memilih menyelenggarakan pembukuan.

Ayat (5) Wajib Pajak yang wajib menyelenggarakan pembukuan, atau wajib

menyelenggarakan pencatatan dan atau dianggap memilih menyelenggarakan pembukuan, tetapi :

a. tidak atau tidak sepenuhnya menyelenggarakan kewajiban

pencatatan atau pembukuannya; atau b. tidak bersedia memperlihatkan pembukuan atau pencatatan atau

bukti pendukungnya pada waktu dilakukan pemeriksaan. Sehingga mengakibatkan peredaran bruto dan penghasilan neto yang

sebenarnya tidak diketahui maka peredaran bruto Wajib Pajak yang bersangkutan dihitung dengan cara lain yang diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan dan penghasilan netonya dihitung dengan menggunakan Norma Penghitungan Penghasilan Neto.

Ayat (7) Menteri Keuangan dapat menyesuaikan besarnya batas peredaran

bruot sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dengan memperhatikan perkembangan ekonomi dan kemampuan masyarakat Wajib Pajak untuk menyelenggarakan pembukuan.

11.2. NORMA PENGHITUNGAN KHUSUS. Bagi Wajib Pajak tertentu terutama Wajib Pajak Badan, adakalanya diberlakukan

Norma Penghitungan Khusus yang ketetuannya daitur dalam Pasal 15, yang berbunyi :

Norma Penghitungan Khusus untuk menghitung penghasilan neto dari Wajib Pajak

tertentu yang tidak dapat dihitung berdasarkan ketentuan Pasal 6 ayat (1) atau ayat (3) ditetapkan Menteri Keuangan.

Penjelasan Pasal 15 Ketentuan ini mengatur tentang Norma Penghitungan Khusus untuk golongan

Wajib Pajak tertentu antara lain perusahaan pelayaran atau penerbangan internasional, perusahaan asuransi luar negeri, perusahaan pengeboran minyak, gas, dan panas bumi, perusahaan dagang asing, perusahaan yang melakukan investasi dalam bentuk bangun-guna-serah (�build, operate, and transfer�).

Beberapa contoh penerapan Norma Penghitungan Khusus : 11. 2.1. Penghasilan Wajib Pajak yang bergerak dibidang usaha pelayaran dalam

negeri (Keputusan Menteri Keuangan No. 416/KMK.04/1996.) dikenakan Pajak Penghasilan 1, 2% x Peredaran Bruto.

Page 86: PPh

PUSAT PENDIDIKAN DAN PELATIHAN PAJAK BADAN PENDIDIKAN DAN PELATIHAN KEUANGAN

MODUL PAJAK PENGHASILAN@DTS DASAR PAJAK II HALAMAN 81

11.2.2. Penghasilan Wajib Pajak yang bergerak dibidang usaha pelayaran dan penerbangan luar negeri ( Keputusan Menteri Keuangan No. 417/KMK.04/1996 dikenakan Pajak Penghasilan dengan tarif 2,64% x Peredaran Bruto.

11.2.3. Penghasilan Wajib Pajak luar negeri yang mempunyai kantor perwakilan

dagang di Indonesia, Pasal 15 jo Keputusan Menteri Keuangan No. 634/KMK.04/1994, dikenakan Pajak Penghasilan sebesar 0,44% x Nilai ekspor Bruto.

11.2.4. Nilai bangunan yang diterima dalam rangka Bangun, Guna, Serah (BOT),

berdasarkan Keputusan Menteri Keuangan No. 248/KMK.04/1995, jo SE-38/PJ.4/1995, dikenakan Pajak Penghasilan sebesar 5% x harga pasar atau NJOP, (mana yang lebih tinggi.)

Untuk menghindari kesukaran dalam menghitung besarnya penghasilan kena

pajak (PKP) bagi golongan Wajib Pajak tertentu tersebut, berdasarkan pertimbangan praktis atau sesuai dengan kelaziman pengenaan pajak dalam bidang-bidang usaha tersebut, Menteri Keuangan diberi wewenang untuk menetapkan Norma Penghitungan Khusus guna menghitung besarnya penghasilan neto dari Wajib Pajak tertentu tersebut.

11.3. CARA MENGHITUNG PAJAK. Menghitung pajak terutang, diperoleh dari penerapan tarif menurut Pasal 17

dikalikan Penghasilan Neto atau Penghasilan Kena Pajak. Cara menghitung pajak diatur dalam Pasal 16, dengan berbagai cara seperti berikut :

(1) Penghasilan Kena Pajak sebagai dasar penerapan tarip bagi Wajib Pajak orang

pribadi dan badan dalam negeri dalam suatu tahun pajak dihitung dengan cara mengurangkan dari penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) dengan pengurangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 7 ayat (1), serta Pasal 9 ayat (1) huruf c, huruf d, huruf e, dan huruf g.

(2) Penghasilan Kena Pajak bagi Wajib Pajak orang pribadi dan badan sebagaimana

dimaksud dalam Pasal 14, dihitung dengan menggunakan norma penghitungan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 dan untuk Wajib Pajak orang pribadi dikurangi dengan Penghasilan Tidak Kena Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1).

(3) Penghasilan Kena Pajak bagi Wajib Pajak luar negeri yang menjalankan usaha atau melakukan kegiatan melalui bentuk usaha tetap di Indonesia dalam suatu tahun pajak dihitung dengan cara mengurangkan dari penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5mayat (1) dengan memperhatikan ketentuan dalam Pasal 4 ayat (1) dengan pengurangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (2) dan ayat (3), Pasal 6 ayat (1), dan ayat (2), serta Pasal 9 ayat (1) huruf c, huruf d, huruf e, dan huruf g.

(4) Penghasilan Kena Pajak bagi Wajib Pajak orang pribadi dalam negeri yang

terutang pajak dalam suatu bagian tahun pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2A ayat (6) dihitung berdasarkan penghasilan neto yang diterima atau diperoleh dalam bagian tahun pajak yang disetahunkan.

Page 87: PPh

PUSAT PENDIDIKAN DAN PELATIHAN PAJAK BADAN PENDIDIKAN DAN PELATIHAN KEUANGAN

MODUL PAJAK PENGHASILAN@DTS DASAR PAJAK II HALAMAN 82

Penjelasan Pasal 16 Penghasilan Kena Pajak merupakan dasar penghitungan untuk menentukan

besarnya Pajak Penghasilan yang terutang. Dalam Undang-undang ini dikenal dua golongan Wajib Pajak, yaitu Wajib Pajak dalam negeri dan Wajib Pajak luar negeri.

Bagi Wajib Pajak dalam negeri pada dasarnya terdapat dua cara untuk

menentukan besarnya Penghasilan Kena Pajak, yaitu penghitungan dengan cara biasa, dan penghitungan dengan menggunakan Norma Penghitungan.

Disamping itu terdapat cara penghitungan dengan menggunakan Norma Penghitungan Khusus, yang diperuntukan bagi Wajib Pajak tertentu yang diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan.

Bagi Wajib Pajak luar negeri penentuan besarnya Penghasilan Kena Pajak

dibedakan antara : 1. Wajib Pajak luar negeri yang menjalankan usaha atau melakukan kegiatan

melalui bentuk usaha tetap di Indonesia,.dan 2. Wajib Pajak luar negeri lainnya. Ayat (1) Bagi Wajib Pajak dalam negeri yang menyelenggarakan pembukuan Penghasilan

Kena Pajaknya dihitung dengan mengggunakan cara penghitungan biasa dengan contoh sebagai berikut :

- Peredaran bruto Rp 6.000.000.000 - Biaya untuk mendapatkan, menagiah dan memelihara penghasilan Rp 5.400.000.000 - Laba usaha (penghasilan neto usaha ) Rp 600.000.000 - Penghasilan lainnya Rp 50.000.000 - Biaya untuk mendapatkan, menagih dan memelihara penghasilan tsb Rp 30.000.000 - Penghasilan neto dari usaha lainnya Rp 20.000.000 - Jumlah seluruh penghasilan neto (usaha pokok + usaha lainnya) Rp 620.000.000 - Kompensasi kerugian Rp 10.000.000 - Penghasilan Kena Pajak (bagi Wajib Pajak badan ) Rp 610.000.000 - Pengurangan Penghasilan Tidak Kena Pajak (bagi Wajib Pajak Orang Pribadi dengan status K/2 (isteri + 2 anak) Rp 19.800.000 - Penghasilan Kena Pajak (bagi Wajib Pajak orang pribadi) Rp 590.200.000 Ayat (2) Bagi Wajib Pajak orang pribadi yang berhak untuk tidak menyelenggarakan

pembukuan, Penghasilan Kena Pajaknya dihitung dengan menggunakan Norma Penghitungan Neto dengan contoh sebagai berikut :

- Peredaran bruto Rp. 4.000.000.000 - Penghasilan neto menurut Norma Penghitungan (misalnya 20%) Rp 800.000.000 - Penghasilanneto lainnya Rp 5.000.000.(+)

Page 88: PPh

PUSAT PENDIDIKAN DAN PELATIHAN PAJAK BADAN PENDIDIKAN DAN PELATIHAN KEUANGAN

MODUL PAJAK PENGHASILAN@DTS DASAR PAJAK II HALAMAN 83

- Jumlah seluruh penghasilan neto (usaha pokok + usaha lainnya) Rp 805.000.000 - Penghasilan Tidak Kena Pajak (isteri + 3 anak) �K/3 Rp 21.120.000.(-) - Penghasilan Kena Pajak Rp 783.880.000 Ayat (3) Bagi Wajib Pajak luar negeri yang menjalankan usaha atau melakukan kegiatan

melalui suatu bentuk usaha tetap di Indonesia, cara penghitungan Penghasilan Kena Pajaknya pada dasarnya sama dengan cara penghitungan Penghasilan Kena Pajak bagi Wajib Pajak badan dalam negeri. Karena bentuk usaha tetap berkewajiban menyelenggarakan pembukuan, Penghasilan Kena Pajaknya dihitung dengan cara penghitungan biasa.

Contoh : - Peredaranbruto Rp10.000.000.000

- Biaya untuk mendapatkan, menagih dan memelihara Penghasilan Rp 8.000.000.000 - Penghasilan neto Rp 2.000.000.000 - Penghasilan Bunga Rp 50.000.000 - Penjualan langsung barang yang sejenis dengan barang yang dijual Bentuk usaha tetap oleh Kantor Pusat Rp 2.000.000.000 - Biaya untuk mendapatkan, menagih dan memelihara penghasilannya Rp 1.500.000.000 - Penghasilan netonya Rp 500.000.000 - Deviden yang diterima atau diperoleh kantor pusat yang mempunyai efektif dengan bentuk usaha tetap Rp 1.000.000.000 - Jumlah Rp 3.550.000.000 - Biaya � biaya menurut Pasal 5 ayat (3) Rp 450.000.000 - Penghasilan Kena Pajak Rp 3.100.000.000 Ayat (4) Contoh : Orang pribadi tidak kawin yang kewajiban pajak subjektifnya sebagai subjek pajak

dalam negeri adalah 3(tiga) bulan dan dalam jangka waktu tersebut memperoleh penghasilan sebesar Rp 150.000.000. maka penghitungan Penghasilan Kena Pajaknya adalah sbb:

Penghasilan selama 3(tiga) bulan Rp 150.000.000. Penghasilan setahun sebesar (360 : (3 x 30) x Rp 150.000.000 = Rp 600.000.000. Penghasilan Tidak Kena Pajak Rp 15.840.000. Penghasilan Kena Pajak Rp 584.160.000. 11.4. TARIF (Pasal 17). (1) Tarif pajak yang diterapkan atas Penghasilan Kena Pajak bagi : a. Wajib Pajak orang pribadi dalam negeri adalah sebagai berikut ;

Page 89: PPh

PUSAT PENDIDIKAN DAN PELATIHAN PAJAK BADAN PENDIDIKAN DAN PELATIHAN KEUANGAN

MODUL PAJAK PENGHASILAN@DTS DASAR PAJAK II HALAMAN 84

Lapisan Penghasilan Kena Pajak Sampai dengan Rp. 50.000.000. (lima puluh juta rupiah) Diatas Rp 50.000.000. sampai dengan Rp 250.000.000. Diatas Rp 250.000.000 sampai dengan Rp 500.000.000. Diatas Rp 500.000.000. (lima ratus juta rupiah)

Tarif Pajak 5% (lima persen) 15 % (lima belas persen) 25% (dua puluh lima %) 30% (tiga puluh persen).

b. Wajib Pajak badan dalam negeri dan bentuk usaha tetap adalah sebesar

28% (dua puluh delapan persen). (2) Tarif tertinggi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dapat diturunkan

menjadi paling rendah 25% (dua puluh lima persen), yang diatur dengan Peraturan Pemerintah.

(2a) Tarif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, menjadi 25% (dua puluh lima persen) yang mulai berlaku sejak tahun pajak 2010.

(2b) Wajib Pajak badan dalam negeri yang berbentuk perseroan terbuka yang

paling sedikit 40% (empat puluh persen) dari jumlah keseluruhan saham yang disetor diperdagangkan dibursa di Indonesia, dan memenuhi persyaratan tertentu lainnya, dapat memperoleh tarif sebesar 5% (lima persen) lebih rendah daripada tarif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dan ayat (2a) yang diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Pemerintah.

(2c) Tarif yang dikenakan atas penghasilan berupa deviden yang dibagikan

kepada Wajib Pajak orang pribadi dalam negeri, adalah paling tinggi sebesar 10% (sepuluh persen) dan bersifat final.

(2d) Ketentuan lebih lanjut mengenai besarnya tarif sebagaimana dimaksud pada

ayat (2c), diatur dengan Peraturan Pemerintah. (3) Besarnya lapisan Penghasilan Kena Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat

(1) huruf a dapat diubah dengan Keputusan Menteri Keuangan. (4) Untuk keperluan penerapan tarif pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1),

jumlah Penghasilan Kena Pajak dibulatkan kebawah dalam ribuan rupiah penuh.

(5) Besarnya pajak yang terutang bagi Wajib Pajak orang pribadi dalam negeri

yang terutang pajak dalam bagian tahun pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (4), dihitung sebanyak jumlah hari dalam bagian tahun pajak yang terutang untuk 1(satu) tahun pajak.

(6) Untuk keperluan penghitungan pajak sebagaimana dimaksud dalam ayat (5),

tiap bulan yang penuh dihitung 30 (tiga puluh) hari. (7) Dengan Peraturan Pemerintah dapat ditetapkan tarif tersendiri atas

penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (2), sepanjang tidak melebihi tarif pajak tertinggi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1).

Page 90: PPh

PUSAT PENDIDIKAN DAN PELATIHAN PAJAK BADAN PENDIDIKAN DAN PELATIHAN KEUANGAN

MODUL PAJAK PENGHASILAN@DTS DASAR PAJAK II HALAMAN 85

Penjelasan Pasal 17

Ayat (1) Huruf a Contoh : Penghitungan Pajak terutang untuk Wajib Pajak orang pribadi: Jumlah Penghasilan Kena Pajak Rp 500.000.000. Pajak Penghasilan terutang : 5% x Rp 50.000.000. = Rp 2.500.000. 15% x Rp 200.000.000. = Rp 30.000.000. 25% x Rp 250.000.000. = Rp 62.500.000. 30% x Rp 100.000.000. = Rp 30.000.000. Jumlah = Rp125.000.000.

Huruf b Contoh : Penghitungan pajak terutang untuk Wajib Pajak badan dalam

negeri dan bentuk usaha tetap: Jumlah Penghasilan Neto Rp 1.250.000.000. Pajak Penghasilan terutang adalah : 28% x Rp 1.250.000.000. = Rp 350.000.000.

Ayat (2)

Perubahan tarif sebagaimana dimaksud pada ayat ini akan diberlakukan secara nasional, dimulai per 1(satu) Januari dan diumumkan selambat-lambatnya 2 (dua) bulan sebelum tarif baru ini berlaku efektif, serta dikemukakan oleh Pemerintah kepada Dewan Perwakilan Rajyat Republik Indonesia, untuk dibahas dalam rangka penyusunan Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara.

Ayat (3)

Besarnya lapisan Penghasilan Kena Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a tersebut, akan disesuaikan dengan faktor penyesuaian, antara lain tingkat inflasi, yang ditetapkan dengan Keputusan Menteri Keuangan.

Ayat (4)

Contoh : Penghasilan Kena Pajak sebesar Rp 5.050.900,- untuk penerpana tarif dibulatkan kebawah menjadi Rp 5.050.000.

Ayat (5) dan ayat (6)

Contoh : Penghasilan Kena Pajak setahun (dihitung sesuai dengan ketentuan dalam Pasal 16 ayat (4) sebesar Rp 584.160.000.

Pajak penghasilan terutang : 5% x Rp 50.000.000. = Rp 2.500.000. 15% x Rp 200.000.000. = Rp 30.000.000. 25% x Rp 250.000.000. = Rp 62.500.000. 30% x Rp 84.160.000. = Rp 25.248.000. J u m l a h = Rp120.248.000. Pajak penghasilan yang terutang dalam bagian tahun pajak

3(tiga) bulan = ( 3 x 30 ) x Rp 120.248.000. = Rp 30.062.000.- 360

Page 91: PPh

PUSAT PENDIDIKAN DAN PELATIHAN PAJAK BADAN PENDIDIKAN DAN PELATIHAN KEUANGAN

MODUL PAJAK PENGHASILAN@DTS DASAR PAJAK II HALAMAN 86

Ayat (7) Ketentuan dalam ayat ini memberi wewenang kepada Pemerintah

untuk menentukan tarif pajak tersendiri yang dapat bersifat final atas jenis penghasilan tertentu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (2), sepanjang tidak lebih tinggi dari tarif pajak tertinggi sebagaimana diatur dalam ayat (1). Penentuan tarif pajak tersendiri tersebut didasarkan atas pertimbangan kesederhanaan, keadilan, dan pemerataan dalam pengenaan pajak.

11.5. LATIHAN 1. Jelas apa yang dimaksud dengan Norma Penghitungan Penghasilan neto. 2. Persyaratan apa yang harus dipenuhi Wajib Pajak untuk dapat mengunakan

Norma Penghitungan dimaksud. 3. Uraikan batasan kegiatan usaha yang diperkenankan menggunakan

NormaPenghitungan 4. Terangkan bidang-bidang usaha yang telah ditetapkan memakai Norma

Peghitungan Khusus. 5. Jelaskan tatacara pelunasan pajak dalam tahun berjalan. 6. Terangkan jenis-jenis Pajak Penghasilan baik melalui pemotongan, maupun

melalui pemungutan. 7. Bagaimana penentuan tarif Pajak Penghasilan dalam Pasal 17, jelaskan. 8. Berikan contoh menghitung PPh. terutang bagi Wajib pajak orang pribadi dalam

negeri yang memiliki penghasilan kena pajak sebesar Rp 68.230.750. 9. Jelaskan tarif yang digunakan bagi penghasilan yang dimaksud dalam Pasal 4

ayat (2). 10. Terangkan tarif yang berlaku bagi Wajib Pajak badan dan bentuk usaha tetap.

11.6. RANGKUMAN 1. Bagi Wajib Pajak orang pribadi dalam negeri yang tidak sanggup

menyelenggarakan pembukuan, Undang-undang memberi kesempatan untuk menghitung Penghasilan Neto dengan mengunakan Norma Penghitungan Penghasilan Neto seperti yan diatur dalam Pasal 14, dengan beberapa yang harus dipenuhi Wajib Pajak antara lain penghasilan brutonya/omzet/peredaran usahanya tidak lebih Rp 4.800.000.000 dalam 1(satu) tahun.

2. Disamping Norma yang sifatnya umum, terdapat pula Norma Penghitungan

Khusus, seperti diatur dalam Pasal 15, yang digunakan untuk bidang-bidang usaha tertentu.

Page 92: PPh

PUSAT PENDIDIKAN DAN PELATIHAN PAJAK BADAN PENDIDIKAN DAN PELATIHAN KEUANGAN

MODUL PAJAK PENGHASILAN@DTS DASAR PAJAK II HALAMAN 87

3. Terdapat 2(dua) macam cara menghitung Penghasilan Kena Pajak bagi Wajib Pajak dalam negeri dan bentuk usaha tetap, yaitu melalui sistem pembukuan, dan menggunakan Norma Penghitungan Penghasilan Neto, termasuk yang menggunakan Norma Penghitungan Khusus.

4. Dalam Pasal 17 diatur ketentuan mengenai tarif bagi Wajib Pajak orang Pribadi

dalam negeri, dan badan termasuk bentuk usaha tetap, serta tarif untuk penghasilan yang bersifat final sesuai dengan Pasal 4 ayat (2).

5. Bagi Wajib Pajak yang menerima atau memperoleh penghasilan dalam bagian

tahun pajak, dihitung sesuai dengan bulan banyaknya penghasilan tersebut dikalikan dengan pajak yang terutang untuk 1(satu) tahun pajak.

Page 93: PPh

PUSAT PENDIDIKAN DAN PELATIHAN PAJAK BADAN PENDIDIKAN DAN PELATIHAN KEUANGAN

MODUL PAJAK PENGHASILAN@DTS DASAR PAJAK II HALAMAN 88

11.7. Test Formatif. 11.7.1. Pilihlah jawaban yang paling tepat. 1. Norma Penghitungan Penghasilan Neto digunakan oleh : a. Semua Wajib Pajak. b. Hanya bagi Wajib Pajak Orang Pribadi dalam negeri. c. Wajib Pajak orang pribadi dalam negeri yang peredaran usahanya tidak

melebihi Rp 4.800.000.000. dalam satu tahun.

2. Persyaratan menggunakan Norma Penghitungan : a. Harus memberitahukan ke Kantor Pelayanan Pajak dalam tempo 3(tiga)

bulan dari permulaan tahun pajak yang bersangkutan. b. Tidak disyaratkan adanya pemberitahuan. c. Wajib Pajak akan diberitahukan oleh Kantor Pelayanan Pajak setempat. 3. Bagi Wajib Pajak yang menggunakan Penghitungan Norma Penghasilan : a. Diwajibkan menyelenggarakan pembukuan yang lengkap. b.Wajib menyelenggarakan pencatatan mengenai peredaran

usaha/penerimaan penghasilan brutonya/omzet kegiatan usahanya selama satu tahun tersebut.

c. Tidak ada kewajiban pembukuan maupun pencatatan apapun.

4. Norma Penghitungan Khusus (Pasal 15), antara lain diberlakukan terhadap :

a. Jenis usaha dibidang perbankan. b. Usaha Pelayaran dan Penerbangan Luar Negeri. c. Kegiatan usaha dibidang perdagangan dalam negeri. 5. Penghasilan Kena Pajak bagi Wajib Pajak dalam negeri badan dan bentuk

usaha tetap diperoleh dari : a. Penghasilan menurut Pasal 4 ayat (1), dikurangi dengan pengurangan

seperti diatur dalam Pasal 6, ayat (1), dan ayat (2), dan Pasal 9 ayat (1) huruf c, s/d g.

b. Penghasilan bruto dikurangi dengan Penghasilan Tidak Kena Pajak. c. Penghasilan bruto sama dengan Penghasilan Neto. 6. Penghasilan Kena Pajak bagi Wajib Pajak orang Pribadi dalam negeri

yang menggunakan Norma Penghitungan Penghasilan Neto (Pasal 14 ) diperoleh dari

a. Penghasilan yang diterima atau diperoleh menurut catatan usaha, b. Penghasilan bruto dikurangi biaya-biaya yang diperkenankan. c. Penghasilan bruto dikalikan Norma Penghitungan dikurangi PTKP. 7. Penghasilan Kena Pajak bagi Wajib Pajak yang mengalami bagian tahun

pajak a. Penghasilan tersebut dijadikan penghasilan satu tahun. b. Penghasilan tersebut tidak menjadi objek pajak. c. Jawaban a dan b tidak ada yang benar. 8. Tarif Pajak Penghasilan berdasarkan Pasal 17 menggambarkan : a. Tarif Pajak yang progressif. b. Tarif Degressif. c. Tarif Tetap.

Page 94: PPh

PUSAT PENDIDIKAN DAN PELATIHAN PAJAK BADAN PENDIDIKAN DAN PELATIHAN KEUANGAN

MODUL PAJAK PENGHASILAN@DTS DASAR PAJAK II HALAMAN 89

9.Tarif Pajak Penghasilan yang tercantum dalam Pasal 17 terdiri dari : a. 5%, 10%, 15%, 25% dan 35%, untuk Wajib Pajak orang Pribadi, serta

10%, 15%, dan 30% untuk Wajib Pajak badan dan bentuk usaha tetap.

b. Hanya dikenakan 28% untuk Wajib Pajak badan dan bentuk usaha tetap,dan 5%, 15%, 25%, serta 30% untuk Wajib Pajak orang pibadi dalam negeri.

c. Jawaban a dan b tidak ada benar.

10. Guna penerapan tarif perhitungan, maka Penghasila Kena Pajak : a. Dihitung seperti apa adanya. b. Dilakukan pembulatan keatas, (mis.Rp 31.376.752.menjadi Rp 31.377.000.) c. Dilakukan pembulatan kebawah menjadi ribuan penuh.

11.7.2. Pilihan B(Betul) atau S(Salah). Tulislah (B) atau (S) pada kotak jawaban.

1. Norma Penghitungan Penghasilan Neto, dapat digunakan bagi semua

Wajib Pajak (tanpa pembatasan peredaran usaha) . (........) 2..Wajib Pajak yang akan menggunakan Norma Penghitungan,

memberitahukannya pada waktu menyampaikan SPT Tahunan (.......) 3. Wajib Pajak orang pribadi dalam negeri yang peredaran usahanya

setahun sebesar Rp 4.850.000.000. , wajib menyelenggarakan pembukuan (.........).

4. Tarif Pajak Penghasilan bagi Wajib Pajak badan dan bentuk usaha tetap,

ditetapkan 28%, dan akan menjadi 25% pada tahun 2010. (.........). 5. Tarif tersendiri untuk penghasilan yang bersifat final (Pasal 4 ayat (2),

diberlakukan baik untuk Wajib orang pribadi DN maupun badan. (.........) 6. Menghitung Penghasilan Kena Pajak bagi Wajib Pajak bagi yang

menggunakan Norma Penghitungan Khusus berdasarkan Laporan Rugi/Laba Fiskal. (.........).

7. Dalam perhitungan pajak bagi Wajib Pajak yang mengalami bagian tahun

pajak satu tahun dihitung jumlah hari yang sebenarnya. (...........) 8. Wajib Pajak orang pribadi dalam negeri yang menerima atau memperoleh

deviden, dikenakan Pajak Penghasilan sebesar 10%, dan final. (.........). 9. Norma Penghitungan Khusus bagi Wajib Pajak badan yang bergerak

dibidang usaha pelayaran dalam negeri dikenakan 1,2% x Penghasilan bruto. (.........).

10. Penghasilan Kena Pajak bagi Wajib Pajak orang pribadi dalam negeri

yang tidak menggunakan Norma Penghitungan Penghasilan Neto, tetap dihitung berdasarkan Norma Penghitungan. (........)

Page 95: PPh

PUSAT PENDIDIKAN DAN PELATIHAN PAJAK BADAN PENDIDIKAN DAN PELATIHAN KEUANGAN

MODUL PAJAK PENGHASILAN@DTS DASAR PAJAK II HALAMAN 90

11.8. Jawaban Test Formatif. 11.8.1. Jawaban yang paling tepat. 1. c. 6. c. 2. a. 7. c. 3. b. 8. a. 4. b. 9. b. 5. a. 10. c. 11.8.2. Jawabab B (Betul), atau S( Salah). 1. S. 6. S. 2. S. 7. S. 3. B. 8. B. 4. B. 9. B. 5. B. 10. S. 11.9. Umpan Balik. Cocokanlah jawaban Saudara dengan Kunci jawaban Test Formatif, dan

hitungalah jumlah jawaban Sdr. yang benar. Kemudian gunakan rumus dibawah ini untuk mengetahui tingkat penguasaan materi Kegiatan Belajar Saudara.

Rumus : Tingkat penguasaan = Jumlah jawaban Sdr. yang benar dibagi dengan

jumlah soal, hasilnya dikalikan dengan 100% (seratus persen). Artinya tingkat penguasaan yang dicapai : 90% - 100% = Baik sekali. 80% - 89% = Baik. 70% - 79% = Cukup. 69%, atau kurang = Kurang. Bila Saudara mencapai tingkat penguasaan 80% (delapan puluh persen),

Saudara dapat meneruskan dengan modul berikutnya. Tetapi bila tingkat penguasaan kurang dari 80% (delapan puluh persen), Saudara harus mempelajari kembali Kegiatan Belajar tersebut.

Page 96: PPh

PUSAT PENDIDIKAN DAN PELATIHAN PAJAK BADAN PENDIDIKAN DAN PELATIHAN KEUANGAN

MODUL PAJAK PENGHASILAN@DTS DASAR PAJAK II HALAMAN 91

Kegiatan Belajar 8. 12. PELUNASAN PAJAK DALAM TAHUN BERJALAN, ANGSURAN PPh Pasal 25. PERHITUNGAN PAJAK AKHIR TAHUN, DAN KETENTUAN LAINNYA. 12.1. Pelunasan pajak dalam tahun berjalan . Ketentuan ini diatur dalam Pasal 20 yang berbunyi : (1) Pajak yan diperkirakan akan terutang dalam suatu tahun pajak, dilunasi oleh

Wajib Pajak dalam tahun berjalan melalui pemotongan dan pemungutan pajak oleh pihak lain, serta pembayaran pajak oleh Wajib Pajak sendiri.

(2) Pelunasan pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan untuk setiap bulan atau masa lain yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan.

(3) Pelunasan pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan angsuran pajak yang boleh dikreditkan terhadap Pajak Penghasilan yang terutang untuk tahun pajak yang bersangkutan, kecuali untuk penghasilan yang pengenaan pajaknya bersifat final.

Penjelasannya. Ayat (1) Agar pelunasan pajak dalam tahun berjalan mendekati jumlah pajak yang

akan terutang untuk tahun pajak yang bersangkutan, maka pelaksanaannya dilakukan melalui :

a. pemotongan pajak oleh pihak lain dalam hal diperoleh penghasilan

oleh Wajib Pajak dari pekerjaan, jasa atau kegiatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21, Pemugutan pajak atas penghasilan dari usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22, dan pemotongan pajak atas penghasilan dari modal, jasa dan kegiatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23.

b. pembayaran oleh Wajib Pajak sendiri sebagaimana dimkasud dalam Pasal

25. Ayat (2) Pada dasarnya pelunasan pajak dalam tahun berjalan dilakukan untuk setiap

bulan, namun Menteri Keuangan dapat menentukan masa lain, seperti saat dilakukannya transaksi atau saat diterima atau diperolehnya penghasilan, sehinga pelunasan pajak dalam tahun berjalan dapat dilaksanakan dengan baik.

Ayat (3)

Pelunasan pajak dalam tahun berjalan merupakan angsuran pembayaran pajak yang nantinya boleh diperhitungkan dengan cara mengkreditkan terhadap Pajak Penghasilan yang terutang untuk tahun pajak yang bersangkutan.

Dengan pertimbangan kemudahan, kesederhanaan, kepastian, pengenaan pajak yang tepat waktu, dan pertimbangan lainnya, maka dapat diatur pelunasan pajak dalam tahun berjalan yang bersifat final atas jenis-jenis

Page 97: PPh

PUSAT PENDIDIKAN DAN PELATIHAN PAJAK BADAN PENDIDIKAN DAN PELATIHAN KEUANGAN

MODUL PAJAK PENGHASILAN@DTS DASAR PAJAK II HALAMAN 92

penghasilan tertentu seperti dimaksud dalam Pasal 4 ayat (2), Pasal 21, Pasal 22, dan Pasal 23. Pajak Penghasilan yang bersifat final tersebut tidak dapat dikreditkan dengan Pajak Penghasilan yang terutang.

12.2. ANGSURAN PAJAK PENGHASILAN Pasal 25. Dengan mengambil prinsip perpajakan �Pay as you earn� , artinya bayarlah ketika

punya penghasilan, maka diberi kesempatan kepada Wajib Pajak untuk mengansur pajak yang terutang melalui sistem pembayaran angsuran yang dinamakan �Angsuran PPh Pasal 25, yang ketentuannya diatur dalam Pasal 25

sebagai berikut :

(1) Besarnya angsuran pajak dalam tahun berjalan yang harus dibayar sendiri oleh Wajib Pajak untuk setiap bulan adalah sebesar Pajak Penghasilan yang terutang menurut Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan tahun pajak yang lalu dikurangi dengan :

a. Pajak Penghasilan yang dipotong sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 dan Pasal 23 serta Pajak Penghasilan yang dipungut sebagaimana dimaksud dlm Psl 22; dan

b. Pajak Penghasilan yang dibayar atau terutang diluar negeri yang boleh dikreditkan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24.

dibagi 12(dua belas) atau banyaknya bulan dalam bagian tahun pajak .

(2) Besarnya angsuran pajak yang harus dibayar sendiri oleh Wajib Pajak untuk bulan

bulan sebelum Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan, sama dengan besarnya angsuran pajak untuk bula teakhir tahun pajak yang lalu.

(3) dihapus.

(4) Apabila dalam tahun pajak berjalan diterbitkan Surat Ketetapan Pajak untuk tahun pajak yang lalu, maka besarnya angsuran pajak dihitung kembali baerdasarkan surat ketetapan pajak tersebut, dan berlaku mulai bulan berikutnya setelah bulan penerbitan surat ketetapan pajak.

(5) dihapus.

(6) Direktur Jenderal Pajak berwenang untuk menetapkan penghitungan besarnya angsuran pajak dalam tahun berjalan dalam hal-hal tertentu, sebagai berikut :

a. Wajib Pajak berhak atas kompensasi kerugian ; b. Wajib Pajak memperoleh penghasilan tidak teratur ;

c. Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan tahun pajak yang lalu disampaikan setelah lewat batas waktu yang ditentukan.

d. Wajib Pajak diberikan perpanjangan jangka waktu penyampaian Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan.

e. Wajib Pajak membetulkan sendiri Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan yang mengakibatkan angsuran bulanan lebih besar dari angsuran bulanan sebelum pembetulan, dan

f. Terjadi perubahan usaha atau kegiatan Wajib Pajak.

(7) Menteri Keuangan menetapkan penghitungan besarnya angsuran pajak bagi : a. Wajib Pajak baru ; b. bank, badan usaha milik negara, badan usaha milik daerah, Wajib Pajak

masuk

Page 98: PPh

PUSAT PENDIDIKAN DAN PELATIHAN PAJAK BADAN PENDIDIKAN DAN PELATIHAN KEUANGAN

MODUL PAJAK PENGHASILAN@DTS DASAR PAJAK II HALAMAN 93

bursa, dan Wajib Pajak lainnya berdasarkan ketentuan peraturan perundang

undangan harus membuat laporan keuangan berkala, dan c. Wajib Pajak orang pribadi pengusaha tertentu dengan tarif paling tinggi

0,75% (nol koma tujuh puluh lima persen) dari peredaran bruto. (8) Wajib Pajak orang pribadi dalam negeri yang tidak memiliki Nomor Pokok

Wajib Pajak dan telah berusia 21(dua puluh satu) tahun, yang bertolak keluar

negeri, Wajib membayar pajak yang ketentuannya diatur dengan Peraturan Pemerintah.

(8a) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (8) berlaku sampai dengan tanggal 31 Desember 2010.

Penjelasan Pasal 25. Ketentuan ini mengatur tentang penghitungan besarnya angsuran bulanan yang

harus dibayar oleh Wajib Pajak sendiri dalam tahun berjalan.

Ayat (1).

Contoh 1 : Pajak Penghasilan yang terutang berdasarkan Surat Pemberitahuan Tahunan

Pajak Penghasilan tahun 2009 Rp 50.000.000. dikurangi dengan : a. PPh. yang dipotong pemberi kerja (Pasal 21) Rp 15.000.000. b. PPh. yang dipungut oleh pihak lain (Pasal 22) Rp 10.000.000. c. PPh. yang dipotong pihak lain (Pasal 23) Rp 2.500.000. d. Kredit PPh. luar negeri (Pasal 24) Rp 7.500.000. Jumlah Kredit pajak Rp 35.000.000. Selisih (Pajak yang dibayar sendiri) Rp 15.000.000. Besarnya pajak yang harus dibayar sendiri setiap bulan untuk tahun 2010,

adalah sebesar 1/12 x Rp 15.000.000. = Rp 1.250.000.

Contoh 2. Apabila Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam contoh diatas

berkenaan dengan penghasilan yang diterima atau diperoleh untuk bagian tahun pajak yang meliputi masa 6(enam) bulan dalam tahun pajak 2009, besarnya angsuran bulanan yang harus dibayar sendiri setiap bulan dalam tahun 2010 adalah sebesar 1/6 x Rp 15.000.000. = Rp 2.500.000.

Ayat (2) Mengingat batas waktu penyampaian Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak

Penghasilan bagi Wajib Pajak orang pribadi bulan keempat tahun pajak berikutnya, besarnya angsuran pajak yang harus dibayar sendiri oleh Wajib Pajak untuk bulan-bulan sebelum Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan belum dapat dihitung sesuai dengan ketentuan pada ayat (1). Berdasarkan ketentuan ini, besarnya angsuran pajak untuk bulan-bulan sebelum waktu penyampaian SPT Tahunan PPh. tersebut adalah sama dengan bulan terakhir dari tahun pajak yang lalu.

Contoh . Apabila SPT Tahunan PPh. disampaikan oleh Wajib Pajak pada bulan

Pebruari 2010, besarnya angsuran pajak yang harus dibayar Wajib Pajak

Page 99: PPh

PUSAT PENDIDIKAN DAN PELATIHAN PAJAK BADAN PENDIDIKAN DAN PELATIHAN KEUANGAN

MODUL PAJAK PENGHASILAN@DTS DASAR PAJAK II HALAMAN 94

untuk bulan Januari 2010, adalah sebesar angsuran pajak bulan Desember 2009, misalnya sebesar RAP 1.000.000. (satu juta rupiah).

Apabila dalam bulan September 2009 diterbitkan keputusan pengurangan angsuran pajak menjadi nihil, besarnya angsuran pajak yang harus dibayar Wajib Pajak untuk bulan Januari 2010, tetap sama dengan angsuran bulan Desember 2009, yaitu nihil.

Ayat (4) Apabila dalam tahun berjalan diterbitkan surat ketetapan pajak, untuk tahun

pajak yang lalu, angsuran pajak dihitung berdasarkan surat ketetapan pajak tahun pajak tersbut. Perubahan angsuran pajak tersebut berlaku mulai bulan berikutnya setelah bulan diterbitkannya surat ketetapan pajak.

Contoh : Berdasarkan Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan tahun

pajak pajak 2009, yang disampaikan Wajib Pajak dalam bulan Pebruari 2010, perhitungan besarnya angsuran pajak yang harus dibayar adalah sebesar Rp 1.250.000. Dalam bulan Juni 2010 telah diterbitkan surat ketetapan pajak tahun 2009 yang menghasilkan besarnya angsuran pajak setiap bulan sebesar Rp 2.000.000.

Berdasakan ketentuan dalam ayat ini, maka besarnya angsuran pajak

mulai bulan Juli 2010 adalah sebesar Rp 2.000.000. Penetapan besarnya angsuran pajak berdasarkan surat ketetapan pajak tersebut bisa sama, lebih besar atau lebih kecil dari angsuran pajak sebelumnya berdasarkan Surat Pemberitahuan Tahunan.

Ayat (6) Pada dasarnya besarnya pembayaran angsuran pajak oleh Wajib Pajak

sendiri dalam tahun berjalan sedapat mungkin diupayakan mendekati jumlah pajak yang terutang pada akhir tahun. Oleh karena itu berdasarkan ketentuan ini, dalam hal-hal tertentu Direktur Jenderal Pajak diberikan wewenang untuk menyesuaikan penghitungan besarnya angsuran pajak yang harus dibayar sendiri oleh Wajib Pajak dalam tahun berjalan, apabila terdapat kompensasi kerugian, Wajib Pajak menerima atau memperoleh penghasilan tidak teratur, atau terjadi perubahan keadaan usaha atau kegiatan Wajib Pajak.

Contoh 1 : - Penghasilan PT X tahun 2009 Rp 120.000.000. - Sisa kerugian thn sebelumnya yg masih

dapat dikompensasikan Rp 150.000.000.

- Sisa kerugian yang belum dikompensasikan tahun 2009 Rp 30.000.000 Penghitungan Pajak Penghasilan Pasal 25 tahun 2010 adalah : Penghasilan yang dipakai sebagai dasar perhitungan angsuran Pajak

Penghasilan Pasal 25 = Rp 120.000.000. � Rp 30.000.000. = Rp 90.000.000. PPh. terutang 28 % x Rp 90.000.000. = Rp 25.200.000. Apabila pada tahun 2009 tidak ada PPh. yang dipotong atau dipungut oleh

pihak lain dan pajak yang dibayar atau terutang diluar negeri, sesuai dengan ketentuan Pasal 24, besarnya angsuran pajak bulanan PT X tahun 2010 = 1/12 x Rp 25.200.000. = Rp 2.100.000.

Page 100: PPh

PUSAT PENDIDIKAN DAN PELATIHAN PAJAK BADAN PENDIDIKAN DAN PELATIHAN KEUANGAN

MODUL PAJAK PENGHASILAN@DTS DASAR PAJAK II HALAMAN 95

Contoh 2 : Dalam tahun 2009, penghasilan teratur Wajib Pajak A dari usaha dagang

sebesar Rp 48.000.000. dan penghasilan tidak teratur sebesar Rp 72.000.000. Penghasilan yang dipakai sebagai dasar penghitungan Pajak Penghasilan Pasal 25, dari Wajib Pajak A pada tahun 2010 adalah dari penghasilan teratur tsb saja.

Contoh 3 : Perubahan keadaan usaha atau kegiatan Wajib Pajak dapat

terjadi karena penurunan atau peningkatan usaha. PT B. yang bergerak dibidang produksi benang dalam tahun 2009 membayar angsuran bulanan sebesar Rp 15.000.000. Dalam bulan Juni 2009 pabrik milik PT.B terbakar. Oleh karena itu berdasarkan Keputusan Direktur Jenderal Pajak mulai bulan Juli 2009 angsuran bulanan PT.B dapat disesuaikan menjadi lebih kecil dari Rp 15.000.000.

Sebaliknya apabila, apabila PT.B mengalami peningkatan usaha, misalnya adanya peningkatan penjualan dan diperkirakan Penghasilan Kena Pajaknya akan mengalami peningkatan dibandingkan dengan tahun sebelumnya, kewajiban angsuran bulanan PT.B dapat disesuaikan oleh Direktur Jenderal Pajak.

Ayat (7) Pada prinsipnya penghitungan besarnya angsuran bulanan dalam tahun

berjalan didasarkan pada Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan tahun yang lalu. Namun, ketentuan ini memberi kewenangan kepada Menteri Keuangan untuk menetapkan dasar perhitungan besarnya angsuran bulanan selain berdasarkan prinsip tesebut diatas. Hal ini dimaksudkan untuk lebih mendekati kewajaran perhitungan besarnya angsuran pajak karena didasarkan kepada data terkini kegiatan usaha perusahaan.

Huruf a Bagi Wajib Pajak baru yang mulai menjalankan usaha atau

melakukan kegiatan dalam tahun pajak berjalan perlu diatur perhitungan besarnya angsuran, karena Wajib Pajak belum pernah memasukan Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan, penentuan besarnya angsuran pajak didasarkan atas kenyataan usaha atau kegiatan Wajib Pajak.

Huruf b Bagi Wajib Pajak yang bergerak dalam bidang perbankan, badan

usaha milik negara, badan usaha milik daerah, serta Wajib Pajak masuk bursa, dan Wajib Pajak lainnya yang berdasarkan ketentuan diharuskan membuat laporan keuangan berkala perlu diatur perhitungan besarnya angsuran tersendiri karena terdapat kewajiban menyampaikan laporan yang berkaitan dengan pengelolaan keuangan dalam suatu periode tertentu kepada instansi Pemerintah yang dapat dipakai sebagai dasar penghitungan untuk menentukan besarnya angsuran pajak dalam tahun berjalan.

Page 101: PPh

PUSAT PENDIDIKAN DAN PELATIHAN PAJAK BADAN PENDIDIKAN DAN PELATIHAN KEUANGAN

MODUL PAJAK PENGHASILAN@DTS DASAR PAJAK II HALAMAN 96

Huruf c Bagi Wajib Pajak orang pribadi tertentu, yaitu Wajib Pajak orang

pribadi yang mempunyai 1(satu) atau lebih tempat usaha, besarnya angsuran pajak paling tinggi sebesar 0,75% (nol koma tujuh puluh lima persen) dari peredaran bruto.

12.3. PERHITUNGAN PAJAK PADA AKHIR TAHUN.

12.3.1. Perhitungan pada akhir tahun.(kurang bayar). Berdasarkan ketentuan Pasal 28 yang berbunyi sebagai berikut :

(1) Bagi Wajib Pajak dalam negeri dan bentuk usaha tetap, pajak yang terutang dikurangi dengan kredit pajak uantuk tahun pajak yang bersangkutan , berupa :

a. pemotongan pajak atas penghasilan dari pekerjaan, jasa, dan

kegiatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ; b. pemungutan pajak atas penghasilan dari kegiatan dibidang

impor atau kegitan usaha di bidang lain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 ;

c. pemotongan pajak atas penghasilan berupa deviden, bunga,

royalty, sewa, hadiah dan penghargaan, imbalan jasa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23.

d. pajak yang dibayar atau terutang atas penghasilan dari luar

negeri yang boleh dikreditkan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24.

e. pembayaran yang dilakukan oleh Wajib Pajak sendiri

sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 ; f. pemotongan pajak atas penghasilan sebagaimana dimaksud

dalam Pasal (26).ayat (5). (2) Sanksi Administrasi berupa bunga, denda, dan kenaikan serta sanksi

pidana berupa denda yang berkenaan dengan pelaksanaan peraturan perundang undangan di bidang perpajakan yang berlaku tidak boleh dikreditkan dengan pajak yang terutang sebagaimana dimkasud pada ayat (1).

Penjelasan Pasal 28 Ayat (1) Pajak yang telah dilunasi dalam tahun berjalan, baik yang dibayar

sendiri oleh Wajib Pajak, ataupun yang dipotong serta dipungut oleh pihak lain, dapat dkreditkan terhadap pajak yang terutang pada akhir tahun pajak yang bersangkutan :

Page 102: PPh

PUSAT PENDIDIKAN DAN PELATIHAN PAJAK BADAN PENDIDIKAN DAN PELATIHAN KEUANGAN

MODUL PAJAK PENGHASILAN@DTS DASAR PAJAK II HALAMAN 97

Contoh : Pajak Penghasilan yang terutang Rp 80.000.000. Kredit pajak :

- pemotongan pajak dari pekerjaan (Pasal 21) Rp 5.000.000. - pemungutan pajak oleh pihak lain (Pasal 22) Rp10.000.000. - pomotongan pajak dari modal (Pasal 23) Rp 5.000.000. - kredit pajak luar negeri (Pasal 24) Rp15.000.000. - dibayar sendiri oleh Wajib Pajak (Pasal 25) Rp10.000.000. Jumlah Pajak Penghasilan yang dapat dikreditkan Rp 45.000.000

Pajak Penghasilan yang masih harus dibayar (Pasal 29) Rp 35.000.000

12.3.2. PAJAK YANG LEBIH BAYAR (Pasal 28 A). Apabila pajak yang terutang untuk suatu tahun pajak ternyata lebih

kecil dari jumlah kredit pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat (1), maka setelah dilakukan pemeriksaan, kelebihan pembayaran pajak dikembalikan setelah diperhitungkan dengan utang pajak berikut sanksi-sanksinya.

Penjelasan Pasal 28 A Sesuai dengan ketentuan dalam Pasal 17 ayat (1) Undang-undang

tentang Ketentuan Umum dan Tatacara Perpajakan, Direktur Jenderal Pajak atau pejabat yang ditunjuk berwenang untuk mengadakan pemeriksaan sebelum dilakukan pengembalian atau perhitungan kelebihan pajak.

Hal-hal yang harus menjadi pertimbangan sebelum dilakukan

pengembalian atau perhitungan kelebihan pajak adalah :

a. kebenaran materil tentang besarnya Pajak Penghasilan yang terutang.

b. keabsahan bukti-bukti pungutan dan bukti-bukti potongan pajak serta bukti pembayaran pajak oleh Wajib Pajak sendiri selama dan untuk tahun pajak yang bersangkutan.

Oleh karena itu untuk kepentingan pemeriksaan pajak, Direktur Jenderal Pajak atau pejabat lain yang ditunjuk diberi wewenang untuk mengadakan pemeriksaan atas laporan keuangan, buku-buku, dan catatan-catatan lainnya serta pemeriksaan lain yang berkaitan dengan penentuan besarnya Pajak Penghasilan yang terutang, kebenaran jumlah pajak dan jumlah pajak yang telah dikreditkan, dan untuk menentukan besarnya kelebihan pajak yang harus dikembalikan.

Maksud pemeriksaan ini untuk memastikan bahwa uang yang akan dibayar kembali kepada Wajib Pajak sebagai restitusi itu adalah benar merupakan hak Wajib Pajak.

12.3.3. PAJAK YANG KEKURANGAN BAYAR (Pasal 29). Apabila pajak yang terutang untuk suatu tahun pajak ternyata lebih besar

dari pada kredit pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat (1), kekurangan pembayaran pajak yang terutang harus dilunasi sebelum Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan disampaikan.

Penjelasan Pasal 29

Page 103: PPh

PUSAT PENDIDIKAN DAN PELATIHAN PAJAK BADAN PENDIDIKAN DAN PELATIHAN KEUANGAN

MODUL PAJAK PENGHASILAN@DTS DASAR PAJAK II HALAMAN 98

Ketentuan ini mewajibkan Wajib Pajak untuk melunasi kekurangan pembayaran pajak yang terutang menurut ketentuan Undang-undang ini sebelum Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan disampaikan, dan paling lambat pada batas akhir penyampaian Surat Pemberitahuan Tahunan.

Apabila tahun buku sama dengan tahun kalender, kekurangan pajak tersebut wajib dilunasi paling lambat tanggal 31 Maret, bagi Wajib Pajak orang pribadi Atau 30 April bagi Wajib Pajak badan, setelah tahun pajak berakhir, sedangkan apabila tahun buku tidak sama dengan tahun kalender, misalnya dimulai tanggal 1 Juli sampai dengan 30 Juni, kekurangan pajak wajib dilunasi paling lambat tanggal 30 September bagi Wajib Pajak orang pribadi atau tanggal 31Oktober bagi Wajib Pajak badan.

12.4. KETENTUAN LAIN-LAIN. 12.4.1. FASILITAS PERPAJAKAN (Pasal 31 A) (1) Kepada Wajib Pajak yang melakukan penanaman modal di

bidang-bidang usaha tertentu dan atau didaerah-daerah tertentu yang mendapat prioritas tinggi dalam skala nasional, dapat diberikan fasilitas perpajakan dalam bentuk :

a. pengurangan penghasilan neto paling tinggi 30% (tiga puluh persen) dari jumlah penanaman yang dilakukan.

b. penyusutan dan amortisasi yang dipercepat; c. kompensasi kerugian yang lebih lama tetapi tidak lebih dari

10 (sepuluh) tahun; dan ; d. pengenaan Pajak Penghasilan atas deviden sebagaimana

dimaksud dalam Pasal 26 sebesar 10% (sepuluh persen), kecuali apabila tarif menurut perjanjian perpajakan yang berlaku menetapkan lebih rendah.

(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai bidang-bidang usaha tertentu dan/atau daerah-daerah tertentu yang mendapat prioritas tinggi dalam skala nasional serta pemberian fasilitas perpajakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah.

Penjelasan Pasal 31 A Ayat (1) Salah satu prinsip yang perlu dipegang teguh didalam

Undang-undang perpajakan adalah diterapkannya perlakuan yang sama terhadap semua Wajib Pajak atau terhadap kasus-kasus dalam bidang perpajakan yang hakikatnya sama, dengan berpegang pada ketentuan perundang-undangan. Oleh karena itu, setiap kemudahan dalam bidang perpajakan, jika benar-benar diperlukan harus mengacu kepada kaidah diatas, dan perlu dijaga agar didalam penerapannya tidak menyimpang dari maksud dan tujuan diberikannya kemudahan tersebut.

Page 104: PPh

PUSAT PENDIDIKAN DAN PELATIHAN PAJAK BADAN PENDIDIKAN DAN PELATIHAN KEUANGAN

MODUL PAJAK PENGHASILAN@DTS DASAR PAJAK II HALAMAN 99

Tujuan diberikannya kemudahan pajak ini adalah untuk mendorong kegiatan investasi langsung di Indonesia baik melalui penanaman modal asing maupun penanaman modal dalam negeri di bidang-bidang usaha tertentu, dan/atau didaerah-daerah tertentu yang mendapat prioritas tinggi dalam skala nasional.

Ketentuan ini juga dapat digunakan untuk menampung kemungkinan perjanjian dengan negara-negara lain dalam bidang perdagangan, investasi, dan bidang lainnya.

12.4.2. PEMBAGIAN PENERIMAAN PAJAK PENGHASILAN Berdasarkan Pasal 31 C, ayat (1) Penerimaan negara

dari Pajak Penghasilan orang pribadi dalam negeri dan Pajak Penghasilan Pasal 21 yang dipotong oleh pemberi kerja dibagi dengan imbangan 80% (delapan puluh persen), untuk Pemerintah Pusat, dan 20% (dua puluh persen) untuk Pmerintah Daerah tempat Wajib Pajak terdaftar.

12.4.3. KERINGANAN TARIF. (Pasal 31 E) (1) Wajib Pajak badan dalam negeri dengan peredaran bruto

sampai dengan Rp 50.000.000.000. (lima puluh milyar), mendapat fasilitas berupa pengurangan tarif sebesar 50% (lima puluh persen), dari tarif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (1) huruf b dan ayat (2a) yang dikenakan atas Penghasilan Kena Pajak dari bagian peredaran bruto sampai dengan Rp 4.800.000.000. (empat milyar delapan ratus juta),

(2) Besarnya bagian peredaran bruto sebagaimana dimaksud

pada ayat (1) dapat dinaikan dengan Peraturan Menteri Keuangan.

Penjelasan Pasal 31 E Ayat (1)

Contoh 1. Peredaran bruto PT Y dalam tahun pajak 2009 sebesar Rp 4.500.000.000.(empat milyar lima ratus juta rupiah), dengan Penghasilan Kena Pajak sebesar Rp 500.000.000. (lima ratus juta rupiah), Penghitungan pajak yang terutang : Seluruh penghasilan kena pajak yang diperoleh dari peredaran bruto tersebut dikenai tarif sebesar 50% (lima puluh persen) dari tarif Pajak Penghasilan badan yang berlaku karena jumlah peredaran bruto PT Y tidak melebihi Rp 4.800.000.000. (empat milyar delapan ratus juta rupiah). Pajak Penghasilan yang terutang = (50% x 28%) x Rp 500.000.000. = Rp 70.000.000.

Page 105: PPh

PUSAT PENDIDIKAN DAN PELATIHAN PAJAK BADAN PENDIDIKAN DAN PELATIHAN KEUANGAN

MODUL PAJAK PENGHASILAN@DTS DASAR PAJAK II HALAMAN 100

Contoh 2. Peredaran bruto PT X dalam tahun pajak 2009 sebesar Rp 30.000.000.000. (tiga puluh milyar), dengan Penghasilan Kena Pajak sebesar Rp 3.000.000.000.(tiga milyar rupiah). Penghitungan Pajak Penghasilan terutang : 1. Jumlah Penghasilan Kena Pajak dari bagian peredaran

bruto yang memperoleh fasilitas : Rp 4.800.000.000. x Rp 3.000.000.000.= Rp

480.000.000. Rp 30.000.000.000 2 Jumlah Penghasilan Kena Pajak dari bagian peredaran

bruto yang tidak memperoleh fasilitas: (Rp) 3.000.000.000 - 480.000.000 = 2.520.000.000. Pajak penghasilan terutang : (50% x 28%) x Rp 480.000.000.= Rp 67.200.000 28% x Rp 2.520.000.000. = Rp 705.600.000. Jumlah PPh. yang terutang = Rp 772.800.000.

12.5. LATIHAN. JAWABLAH PERTANYAAN INI DENGAN SINGKAT DAN JELAS.

1. Bagaimana sistem pelunasan pajak dalam tahun berjalan.

2. Jenis-jenis pelunasan pajak mana yang :

a. Melalui Pemotongan ; b. Melalui Pemungutan.

3. Terangkan juga kedudukan pemotongan dan pemungutan tersebut pada perhitungan pajak akhir tahun.

4. Apa yang mendasar pemikiran adanya kewajiban pembayaran pajak dalam

tahun berjalan. 5. Jelaskan Rumus umum dalam menetapkan besarnya angsuran PPh. Pasal

25 tahun berjalan. 6. Jika Wajib Pajak mendapatkan SKP untuk tahun pajak yang lalu,

bagaimana pengaruhnya terhadap besarnya angsuran PPh. Pasal 25. 7. Besarnya angsuran PPh. Pasal 25 mempunyai ketentuan tersendiri dalam

hal-hal tertentu, apa yang dimaksud dengan hal-hal tertentu tersebut. 8. Kapan timbulnya PPh. Pasal 28 A, dan apa pula yang dimaksud PPh.

Pasal 29. 9. Kepada Wajib Pajak yang bagaimana dapat diberikan fasilitas perpajakan,

dan sebutkan jenis-jenis fasilitas tersebut.

Page 106: PPh

PUSAT PENDIDIKAN DAN PELATIHAN PAJAK BADAN PENDIDIKAN DAN PELATIHAN KEUANGAN

MODUL PAJAK PENGHASILAN@DTS DASAR PAJAK II HALAMAN 101

10. PT D, Tahun 2010 memperoleh penghasilan bruto sebesar Rp 40.000.000.000. dengan Penghasilan Kena Pajak sebesar Rp 3.600.000.000. Jelaskan besarnya Pajak Penghasilan terutang berdasarkan aturan Pasal 31 E.

12.6. RANGKUMAN. 1. Pelunasan pajak dalam tahun berjalan dapat dilakukan oleh Wajib Pajak

melalui : a. Pemotongan, yaitu penghasilan dari hubungan kerja/pekerjaan/kegiatan,

yang disebut dengan PPh. Pasal 21, serta penghasilan dari modal dan harta serta kegiatan jasa, dan disebut pemotongan PPh.Pasal 23.

b. Pemungutan oleh pihak lain atas kegiatan Impor dan penjualan barang

kepada pemungut (PPh, Pasal 22), serta pajak yang dibayar/dipungut diluar negeri (PPh. Pasal 24.)

2. Seluruh pemotongan dan pemunugtan tersebut diatas, termasuk yang

dibayar sendiri oleh Wajib Pajak dikreditkan dengan PPh. yang terutang untuk tahun pajak yang bersangkutan.

3. Apabila dari hasil pengkreditan tersebut ternyata jumlah pajak yang terutang lebih besar dari kredit pajak maka terdapat pajak yang kurang bayar (PPh.Psl 29), sebaliknya kalau kredit pajak lebih besar dari pajak terutang, Wajib Pajak mengalami kelebihan pembayaran pajak (PPh. Pasal 28A).

4. Untuk meringankan beban utang pajak pada akhir tahun, atau mendekati

jumlah pajak terutang pada akhir tahun pajak, diintrodusir pembayaran pajak dalam tahun berjalan yang disebut angsuran PPh. Pasal 25.

5. Dalam menentukan besarnya angsuran PPh.Pasal 25 dipakai ketentuan,

jumlah pajak terutang menurut SPT Tahunan tahun pajak yang lalu, dikurangi dengan kredit pajak (Pasal 21, 22, 23, serta pajak yang diluar negeri-PPh.Pasal 24), hasilnya dibagi 12 (dua belas), atau sesuai dengan masa pajaknya, kecuali apabila Wajib Pajak mendapat Surat Ketetapan Pajak untuk tahun pajak yang lalu tersebut, maka jumlahnya disesuaikan dengan pajak terutang menurut SKP.

6. Menyimpang dari ketentuan seperti dimaksud pada angka (5) diatas,

angsuran PPh. Pasal 25 dihitung tersendiri dalam hal-hal tertentu, seperti Wajib Pajak yang terlambat menyampaikan SPT Tahunan, terjadi perubahan usaha/kegiatan Wajib Pajak, WP yang masih memperhitungkan kompensasi kerugian, adanya penghasilan tidak teratur, dan Wajib Pajak yang melakukan pembetulan SPT Tahunan Pajak Penghasilannya.

7. Bagi Wajib Pajak BUMN.BUMD, Bank, dan Wajib Pajak yang diwajibkan membuat laporan keuangan berkala, diatur tersendiri besarnya

pembayaran angsuran PPh. Pasal 25 untuk tahun berjalan. 8. Wajib Pajak orang pribadi pengusaha tertentu, ditetapkan besarnya

angsuran PPh. Pasal 25, sebesar 0,75 (nol koma tujuh puluh lima persen), dari peredaran bruto tiap bulan untuk setiap tempat (out let, grey).

Page 107: PPh

PUSAT PENDIDIKAN DAN PELATIHAN PAJAK BADAN PENDIDIKAN DAN PELATIHAN KEUANGAN

MODUL PAJAK PENGHASILAN@DTS DASAR PAJAK II HALAMAN 102

9. Wajib Pajak orang pribadi dalam negeri yang bepergian keluar negeri yang tidak memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP), diwajibkan membayar Fiskal luar negeri, yang ketentuannya diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.

10..Wajib Pajak badan dalam negeri yang peredaran usahanya sampai dengan

Rp 50.000.000.000. (lima puluh milyar rupiah), mendapat pengurangan tarif Pasal 17, sebesar 50% (lima puluh persen), untuk penghasilan kena pajak sampai dengan Rp 4.800.000.000. (empat milyar delapan ratus juta rupiah).

12.7. Test Formatif. 12.7.1. Pilihlah jawaban yang paling tepat diantara a, b, atau c. 1. Dalam memenuhi utang pajak yang akan terutang pada akhir tahun : a. Wajib pajak diberi kesempatan memenuhinya melalui pemtongan,

pemungutan, dan dibayar sendiri melalui angsuran bulanan. b. Membuat perjanjian dengan Direktur Jenderal Pajak akan dilunasi

pada akhir tahun. c. Menunggu diterbitkannya Surat Ketetapan Pajak oleh Direktorat

Jenderal Pajak. 2. Pelunasan PPh. Pasal 4 ayat (2), merupakan pembayaran pajak : a. Yang dapat dikreditkan dengan PPh. Terutang untuk tahun pajak

yang bersangkutan. b. Bersifat final dan tidak dapat dikreditkan dengan PPh. Terutang. c. Tidak ada kaitannya dengan pembayaran pajak tahun berjalan. 3. Besarnya angsuran PPh. Pasal 25 yang dibayar sendiri Wajib Pajak : a. Ditentukan oleh Wajib Pajak sendiri berdasarkan prinsip self-

assessment. b. Ditetapkan oleh Direktorat Jenderal Pajak melalui penerbitan Surat Ketetapan Pajak (SKP). c. Berdasarkan pajak terutang menurut SPT Tahunan tahun pajak

yang lalu, dikurangi dengan kredit pajak hasilnya dibagi 12, atau sesuai dengan masa pajaknya.

4. Wajib Pajak yang kepadanya diterbitkan Surat Ketetapan Pajak

tahun pajak yang lalu, angsuran PPh. Pasal 25 nya : a. Menurut besarnya pajak terutang menurut SKP tersebut dan

barlaku sejak batas terakhir penyampaian SPT Tahunan PPh. b. Sesuai dengan besarnya pajak terutang menurut SKP, dan

berlaku bulan berikutnya setelah terbitnya SKP tersebut. c. Wajib Pajak dapat mengajukan keberatan atas terbitnya SKP

tersebut, karena Wajib Pajak telah menyetor sesuai dengan SPT.

5. Apabila terjadi perubahan usaha/kegiatan Wajib Pajak, kaitannya

dengan angsuran PPh. Pasal 25 adalah ; a. Wajib Pajak tidak perlu melakukan perubahan perhitungan

Angsuran PPh. Pasal 25, karena ada pedoman pajak terutang menurut SPT Tahunan tahun pajak yang lalu.

Page 108: PPh

PUSAT PENDIDIKAN DAN PELATIHAN PAJAK BADAN PENDIDIKAN DAN PELATIHAN KEUANGAN

MODUL PAJAK PENGHASILAN@DTS DASAR PAJAK II HALAMAN 103

b. Wajib Pajak harus menyesuaikan besarnya angsuran PPh. Pasal 25 dengan perubahan yang terjadi ;

c. Diperhitungkan saja pada akhir tahun pajak, pada waktu akan menyampaikan SPT Tahunan Pajak Penghasilan.

6. Bagi Wajib Pajak baru yang menggunakan Norma Penghitungan Penghasilan Neto besarnya angsuran PPh.Pasal 25 ditetapkan :

a. Penghasilan neto menurut Norma Penghitungan yang disetahunkan, dikurangi Penghasilan Tidak Kena Pajak, kemudian ditarif dengan tarif Pasal 17, hasilnya dibagi 12 (dua belas).

b. Penghasilan neto menurut norma penghitungan ditarif dengan tarif Pasal 17.

c. Tidak ada kewajiban penyetoran PPh. Pasal 25 Wajib Pajak baru

karena belum ada Surat Pemberitahuan Tahunan. 7. Pajak yang terutang pada akhir tahun setelah Wajib Pajak mengisi

Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan : a. Tidak diperhitungkan dengan pembayaran PPh. yang berkaitan

dengan penghasilan yang diatur dalam Pasal 4 ayat (2). b. Diperhitungkan dengan kredit pajak pajak, dan apabila terdapat kelebihan bayar maka tidak dapat diminta pengembalian.

c. Apabila terdapat kekurangan bayar maka harus disetor lagi paling lambat 31 Desember dari tahun pajak yang bersangkutan

8. Sanksi administrasi perpajakan seperti bunga, denda dan kenaikan

pajak, yang berkaitan denga pelaksanaan Undang-undang perjakan

a. Dapat diperhitungkan sebagai pengurangan dari pajak terutang.

b. Dijadikan biaya usaha yang dapat mengurangkan penghasilan kena pajak.

c. Jawaban a dan b diatas tidak ada yang benar. 9. Penerimaan negara dari Pajak Penghasilan Wajib Pajak orang pribadi dalam negeri dan PPh. Pasal 21 dibagi sebagai berikut :

a. Sebesar 80% (delapan puluh pesen) untuk Pemerintah Daerah, dan sebesar 20% (dua puluh persen), untuk Pemerintah pusat.

b. Semuanya menjadi penerimaan Pemerintah Pusat. c. 80% (delapan puluh persen) untuk Pemerintah Pusat, dan

20% (dua puluh persen) untuk Pemerintah daerah, dimana WP bertempat tinggal.

10. Pengurangan tarif sebesar 50% Pajak Penghasilan diberikan

bagi Wajib Pajak badan dalam negeri yang : a. Peredaran usaha tidak lebih Rp 50.000.000.000.

untukPenghasilan Kena Pajak diatas Rp 4.800.000.000. b. Peredaran usaha sampai dengan Rp 50.000.000.000. untuk

Penghasilan Kena Pajak sampai dengan Rp 4.800.000.000. c. Untuk Penghasilan Kena Pajak sebesar Rp 4.800.000.000.

dengan peredaran bruto diatas Rp 50.000.000.000.

Page 109: PPh

PUSAT PENDIDIKAN DAN PELATIHAN PAJAK BADAN PENDIDIKAN DAN PELATIHAN KEUANGAN

MODUL PAJAK PENGHASILAN@DTS DASAR PAJAK II HALAMAN 104

12.7.2. Pilih jawaban B (Betul), atau S (Salah), dengan pengisian pada (.......).

1. Pelunasan pajak dalam tahun berjalan hanya dapat dilakukan oleh Wajib Pajak sendiri melalui penyetoran sendiri. (.......).

2 Pajak yang dibayar atau dipungut diluar negeri (Psl 24), dapat

dikreditkan dengan PPh yang terutang dalam negeri asal memenuhi ketentuan. (.......)

3. Apabila pajak yang terutang pada akhir tahun jumlahnya lebih

besar dari kredit pajak, maka Wajib Pajak harus menyetor kekurangannya yang dinamakan Pajak Penghasilan Pasal 28 A (........)

4. Angsuran PPh. Pasal 25 besarnya ditentukan menurut

peredaran usaha tahun pajak yang lalu, dibagi 12 (dua belas) atau banyaknya bulan dari bagian tahun pajak yang lalu. (........).

5. Wajib Pajak A, Pajak terutang tahun 2009, besarnya Rp

60.000.000. dengan kredit pajak (Pasal 21, Pasal 23) sebesar Rp 12.000.000., maka besarnya angsuran PPh. Pasal 25 tahun 2010 adalah Rp 5.000.000. (.....)

6. Besarnya angsuran PPh. Pasal 25 bagi Wajib Pajak orang pribadi

dalam negeri pengusaha tertentu ditetapkan 0.75% dari peredaran bruto (.........)

7. Pajak Penghasilan Pasal 29, adalah Pajak Penghasilan yang

dibayar pada waktu mengisi Surat Pemberitahun Tahunan apabila terjadi kekurangan bayar, sebagai akibat pajak terutang lebih besar dari kredit pajak (.......).

8. Kepada Wajib Pajak yang melakukan penanaman modal dibidang-

bidang usaha-usaha tertentu dan daerah tertentu diberikan fasilitas perpajakan antara lain penyusutan dan amortisasi yang dipercepat. (.......).

9. Ketentuan perpajakan dibidang usaha pertambangan minyak dan

gas bumi, diatur dengan Keputusan Direktur Jenderal Pajak (.......).

10. Ketentuan yang tercantum dalam Pasal 31 E ( pengurangan tarif

sebesar 50%) dari tarif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (1) huruf b dan ayat (2a), berlaku juga bagi Wajib Pajak luar negeri (.........)

Page 110: PPh

PUSAT PENDIDIKAN DAN PELATIHAN PAJAK BADAN PENDIDIKAN DAN PELATIHAN KEUANGAN

MODUL PAJAK PENGHASILAN@DTS DASAR PAJAK II HALAMAN 105

12.8. KUNCI JAWABAN Test Formatif. 12.8.1. Jawaban Pilihan yang paling tepat. 1. c. 6. c. 2. a. 7. c. 3. b. 8. a. 4. b. 9. b. 5. a. 10. c. 12.8.2. Jawaban B (Betul), atau S (Salah). 1. S (Salah). 6. S (Salah). 2. S (Salah). 7. S (Salah). 3. B (Betul). 8. B (Betul). 4. B (Betul). 9. B (Betul). 5. B (Betul). 10. S (Salah). 12.9. Umpan Balik. Cocokanlah jawaban Saudara dengan Kunci Jawaban Test Formatif, dan hitunglah jawaban Saudara yang benar. Kemudian gunakan rumus dibawah ini untuk mengetahui tingkat penguasaan Materi Kegiatan Belajar. Rumus ; Tingkat penguasaan = Jumlah jawaban Saudara yang benar dibagi dengan

jumlah soal, hasilnya dikalikan 100% (seratus persen). Arti tingkat penguasaan yang dicapai : 90% - 100% = Baik sekali. 80% - 89% = Baik. 70% - 79% = Cukup. 69% atau kurang = Kurang. Bila Saudara mencapai tingkat penguasaan 80% (delapan puluh persen), atau

lebih, Saudara dapat meneruskan dengan modul berikutnya. Tetapi bila tingkat penguasaan kurang dari 80% (delapan puluh persen), Saudara harus mempelajari kembali Kegiatan Belajar tersebut.

------Selamat belajar dan mencoba----- === fm===

Page 111: PPh

PUSAT PENDIDIKAN DAN PELATIHAN PAJAK BADAN PENDIDIKAN DAN PELATIHAN KEUANGAN

MODUL PAJAK PENGHASILAN@DTS DASAR PAJAK II HALAMAN 106

a. Daftar Kepustakaan.

1. Ordonansi PPs. 1925, Penerbit PT. Eresco, Bandung Tahun 1984.

2. Ordonansi PPd. 1944, Penerbit PT. Eresco, Bandung Tahun 1984.

3. Undang-Undang PBDR 1970, Penerbit PT. Eresco, Bandung 1978,

4. Undang-Undang No. 8 Tahun 1967, dan PP No.11 Tahun 1967, Tatacara pelaksanaan MPS-MPO. Direktorat Jenderal Pajak 1969.

5. Undang-Undang No. 7 Tahun 1983, sebagaimana telah dirubah dan

disempunakan terakhir dengan UU No. 36 Tahun 2008, Tentang Pajak Penghasilan.

6. Undang-Undang No. 6 Tahun 1983, sebagaimana telah dirubah dan

disempurnakan terakhir dengan UU No. 28 Thn 2007-KUP.

7. PP, Keputusan Presiden, Keputusan Menteri Keuangan, PMK, dan Keputusan Direktur Jenderal Pajak , Peraturan Dirjend Pajak, yang berkaitan dengan pelaksanaan Pajak Penghasilan.

8. Bahan ajaran dan panduan untuk mata pelajaran Pajak Penghasilan.

------fm----