ppok ilham
DESCRIPTION
laporan kasus PPOKTRANSCRIPT
BAB IPENDAHULUAN
Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) merupakan penyakit kronik yang
ditandai dengan keterbatasan aliran udara didalam saluran napas yang tidak
sepenuhnya reversibel. Gangguan yang bersifat progresif ini disebabkan karena
terjadinya inflamasi kronik akibat pajanan partikel atau gas beracun yang terjadi
dalam kurun waktu yang cukup lama dengan gejala utama sesak nafas, batuk dan
produksi sputum.1
Akhir-akhir ini penyakit ini semakin menarik untuk dibicarakan karena
prevalensi dan angka mortalitasnya yang terus meningkat.2
Meningkatnya usia hidup manusia dan dapat diatasinya penyakit
degeneratif lainnya PPOK sangat mengganggu kualitas hidup di usia lanjut.
Bidang industri yang tidak dapat dipisahkan dengan polusi udara dan lingkungan
serta kebiasaan merokok merupakan penyebab utama
1
BAB IITINJAUAN PUSTAKA
1. DEFINISI
Penyakit Paru Obstruksi Kronis (PPOK) adalah suatu penyakit yang
dikarakteristikkan oleh adanya hambatan aliran udara secara kronis dan
perubahan-perubahan patologi pada paru, dimana hambatan aliran udara saluran
nafas bersifat progresif dan tidak sepenuhnya reversibel dan berhubungan dengan
respon inflamasi yang abnormal dari paru-paru terhadap gas atau partikel yang
berbahaya.1,2
2. EPIDEMIOLOGI
Pada studi populasi selama 40 tahun, didapati bahwa hipersekresi mukus
merupakan suatu gejala yang paling sering terjadi pada PPOK, penelitian ini
menunjukkan bahwa batuk kronis, sebagai mekanisme pertahanan akan
hipersekresi mukus di dapati sebanyak 15-53% pada pria paruh umur, dengan
prevalensi yang lebih rendah pada wanita sebanyak 8-22%. Studi prevalensi
PPOK pada tahun 1987 di Inggris dari 2484 pria dan 3063 wanita yang berumur
18-64 tahun dengan nilai VEP1 berada 2 simpang baku di bawah VEP prediksi,
dimana jumlahnya meningkat seiring usia, khususnya pada perokok.
Badan Kesehatan Dunia (WHO) memperkirakan bahwa menjelang tahun
2020 prevalensi PPOK akan meningkat sehingga sebagai penyebab penyakit
tersering peringkatnya meningkat dari ke-12 menjadi ke-5 dan sebagai penyebab
kematian tersering peringkatnya juga meningkat dari ke-6 menjadi ke-3. Pada 12
negara Asia Pasifik, WHO menyatakan angka prevalensi PPOK sedang-berat pada
usia 30 tahun keatas, dengan rerata sebesar 6,3%, dimana Hongkong dan
Singapura dengan angka prevalensi terkecil yaitu 3,5% dan Vietnam sebesar
6,7%.
2
Tabel 1. Prevalensi PPOK Pada negara-negara miskin, 1990
Indonesia sendiri belumlah memiliki data pasti mengenai PPOK ini sendiri,
hanya Survei Kesehatan Rumah Tangga DepKes RI 1992 menyebutkan bahwa
PPOK bersama-sama dengan asma bronkhial menduduki peringkat ke-6 dari
penyebab kematian terbanyak di Indonesia.1,2,7
Tingkat morbiditas dan mortalitas PPOK sendiri cukup tinggi di seluruh
dunia. Hal ini di buktikan dengan besarnya kejadian rawat inap, seperti di
Amerika Serikat pada tahun 2000 terdapat 8 juta penderita PPOK rawat jalan dan
sebesar 1,5 juta kunjungan pada Unit Gawat Darurat dan 673.000 kejadian rawat
inap. Angka kematian sendiri juga semakin meningkat sejak tahun 1970, dimana
pada tahun 2000, kematian karena PPOK sebesar 59.936 vs 59.118pada wanita vs
pria secara berurutan. Di bawah ini di gambarkan angka kematian pria per
100.000 populasi.
3
3. FAKTOR RISIKO
PPOK yang merupakan inflamasi lokal saluran nafas paru, akan ditandai
dengan hipersekresi mucus dan sumbatan aliran udara yang persisten. Gambaran
ini muncul dikarenakan adanya pembesaran kelenjar di bronkus pada perokok dan
membaik saat merokok di hentikan. Terdapat banyak faktor risiko yang diduga
kuat merupakan etiologi dari PPOK. Faktor-faktor risiko yang ada adalah genetik,
paparan partikel, pertumbuhan dan perkembangan paru, stres oksidatif, jenis
kelamin, umur, infeksi saluran nafas, status sosioekonomi, nutrisi dan
komorbiditas.1
a. Genetik.
PPOK merupakan suatu penyakit yang poligenik disertai interaksi
lingkungan genetik yang sederhana. Faktor risiko genetik yang paling besar dan
telah di teliti lama adalah defisiensi α1 antitripsin, yang merupakan protease serin
inhibitor. Biasanya jenis PPOK yang merupakan contoh defisiensi α1 antitripsin
adalah emfisema paru yang dapat muncul baik pada perokok maupun bukan
perokok, tetapi memang akan diperberat oleh paparan rokok. Bahkan pada
beberapa studi genetika, dikaitkan bahwa patogenesis PPOK itu dengan gen yang
terdapat pada kromosom 2q.1
b. Paparan Partikel Inhalasi.
Setiap individu pasti akan terpapar oleh beragam partikel inhalasi selama
hidupnya. Tipe dari suatu partikel, termasuk ukuran dan komposisinya, dapat
berkontribusi terhadap perbedaan dari besarnya risiko dan total dari risiko ini akan
terintegrasi secara langsung terhadap pejanan inhalasi yang didapat. Dari berbagai
macam pejanan inhalasi yang ada selama kehidupan, hanya asap rokok dan debu-
debu pada tempat kerja serta zat-zat kimia yang diketahui sebagai penyebab
PPOK. Paparan itu sendiri tidak hanya mengenai mereka yang merupakan
perokok aktif, bahkan pada perokok pasif atau dengan kata lain environmental
smokers itu sendiri pun ternyata risiko menderita PPOK menjadi tinggi juga. Pada
perokok pasif didapati penurunan VEP1 tahunan yang cukup bermakna pada
4
orang muda yang bukan perokok. Bahkan yang lebih menarik adalah pengaruh
rokok pada bayi jika ibunya perokok aktif atau bapaknya perokok aktif dan ibunya
menjadi perokok pasif, selain didapati berat bayi lebih rendah, maka insidensi
anak untuk menderita penyakit saluran pernafasan pada 3 tahun pertama menjadi
meningkat. Shahab dkk melaporkan hal yang juga amat menarik bahwa ternyata
mereka mendapatkan besarnya insidensi PPOK yangtelah terlambat didiagnosis,
memiliki kebiasaan merokok yang tinggi. PPOK yang berat berdasarkan derajat
spirometri, didapatkan hanya sebesar 46,8% ( 95% CI 39,1-54,6) yang
mengatakan bahwa mereka menderita penyakit saluran nafas, sisanya tidak
mengetahui bahwa mereka menderita penyakit paru dan tetap merokok. Status
merokok justru didapatkan pada penderita PPOK sedang dibandingkan dengan
derajat keparahan yang lain. Begitu juga mengenai riwayat merokok yang ada,
ternyata prevalensinya tetap lebih tinggi pada penderita PPOK yang sedang
(7,1%, p<0,02). Paparan lainya yang dianggap cukup mengganggu adalah debu-
debu yang terkait dengan pekerjaan ( occupational dusts ) dan bahan-bahan kimia.
Meskipun bahan-bahan ini tidak terlalu menjadi sorotan menjadi penyebab
tingginya insidensi dan prevalensi PPOK, tetapi debu-debu organik dan inorganik
berdasarkan analisa studi populasi NHANES III didapati hampir 10.000 orang
dewasa berumur 30-75 tahun menderita PPOK terkait karena pekerjaan. American
Thoracic Society (ATS) sendiri menyimpulkan 10-20% paparan pada pekerjaan
memberikan gejala dan kerusakan yang bermakna pada PPOK.
Polusi udara dalam ruangan yang dapat berupa kayu-kayuan, kotoran
hewan, sisa-sisa serangga, batubara, asap dari kompor juga akan menyebabkan
peningkatan insidensi PPOK khususnya pada wanita. Selain itu, polusi udara
diluar ruangan juga dapat menyebabkan progresifitas kearah PPOK menjadi tinggi
seperti seperti emisi bahan bakar kendaraan bermotor. Kadar sulfur dioksida
(SO2) dan nitrogen dioksida (NO2) juga dapat memberikan sumbatan pada
saluran nafas kecil (Bronkiolitis) yang semakin memberikan perburukan kepada
fungsi paru
5
c. Pertumbuhan dan Perkembangan Paru
Pertumbuhan dan perkembangan paru yang kemudian menyokong kepada
terjadinya PPOK pada masa berikutnya lebih mengarah kepada status nutrisi bayi
bayi pada saat dalam kandungan, saat lahir, dan dalam masa pertumbuhannya.
Dimana pada suatu studi yang besar didapatkan hubungan yang positif antara
berat lahir dan VEP1 pada masa dewasanya.
d. Stres Oksidatif
Paparan oksidan baik dari endogen maupun eksogen terus menerus dialami
oleh paru-paru. Sel paru-paru sendiri sebenarnya telah memiliki proteksi yang
cukup baik secara enzimatik maupun non enzimatik. Perubahan keseimbangan
antara oksidan dan anti oksidan yang ada akan menyebabkan stres oksidasi pada
paru-paru. Hal ini akan mengaktivasi respon inflamasi pada paru-paru. Ketidak
seimbangan inilah yang kemudian memainkan peranan yang penting terhadap
patogenesis PPOK.
e. Jenis Kelamin
Jenis kelamin sebenarnya belum menjadi faktor risiko yang jelas pada
PPOK. Pada beberapa waktu yang lalu memang tampak bahwa prevalensi PPOK
lebih sering terjadi pada Pria di bandingkan pada wanita, tetapi penelitian dari
beberapa negara maju menunjukkan bahwa ternyata saat ini insidensi antara pria
dan wanita ternyata hampir sama, dan terdapat beberapa studi yang mengatakan
bahwa ternyata wanita lebih rentan untuk dirusak oleh asap rokok dibandingkan
pria. Hal ini dikarenakan perubahan kebiasaan, dimana wanita lebih banyak yang
merupakan perokok saat ini.
f. Infeksi
Infeksi, baik viral maupun bakteri akan memberikan peranan yang besar
terhadap patogenesis dan progresifitas PPOK dan kolonisasi bakteri berhubungan
dengan terjadinya inflamasi pada saluran pernafasan dan juga memberikan
6
peranan yang penting terhadap terjadinya eksaserbasi. Kecurigaan terhadap
infeksi virus juga dihubungkan dengan PPOK, dimana kolonisasi virus seperti
rhinovirus pada saluran nafas berhubungan dengan peradangan saluran nafas dan
jelas sekali berperan pada terjadinya eksaserbasi akut pada PPOK. Riwayat
tuberkulosis juga dihubungkan dengan di temukannya obstruksi saluran nafas
pada dewasa tua pada saat umur diatas 40 tahun.
g. Status sosioekonomi dan nutrisi
Meskipun tidak terlalu jelas hubungannya, apakah paparan polutan baik
indoor maupun outdoor dan status nutrisi yang jelek serta faktor lain yang
berhubungan dengan kejadian PPOK, tetapi semua faktor-faktor tersebut
berhubungan erat dengan status sisioekonomi.
h. Komorbiditas
Asma memiliki faktor risiko terhadap kejadian PPOK, dimana didapatkan
dari suatu penelitian pada Tucson Epidemiologi Study of Airway Obstructive
Disease, bahwa orang dewasa dengan asma akan mengalami 12 kali lebih tinggi
risiko menderita PPOK.
4. Patologi, patogenesis dan patofisiologi
Perubahan patologi pada PPOK mencakup saluran nafas yang besar dan
kecil bahkan unit respiratori terminal. Secara gamblang, terdapat 2 kondisi pada
PPOK yang menjadi dasar patologi yaitu bronkitis kronis dengan hipersekresi
mukusnya dan emfisema paru yang ditandai dengan pembesaran permanen dari
ruang udara yang ada, mulai dari distal bronkiolus terminalis, diikuti destruksi
dindingnya tanpa fibrosis yang nyata.
Penyempitan saluran nafas tampak pada saluran nafas yang besar dan kecil
yang disebabkan oleh perubahan konstituen normal saluran nafas terhadap respon
inflamasi yang persisten. Epitel saluran nafas yang dibentuk oleh sel skuamous
akan mengalami metaplasia, sel-sel silia mengalami atropi dan kelenjar mukus
7
menjadi hipertropi. Proses ini akan direspon dengan terjadinya remodeling saluran
nafas tersebut, hanya saja proses remodeling ini justru akan merangsang dan
mempertahankan inflamasi yang terjadi dimana T CD8+ dan limfosit B
menginfiltrasi lesi tersebut. Saluran nafas yang kecil akan memberikan beragam
lesi penyempitan pada saluran nafasnya, termasuk hiperplasia sel goblet, infiltrasi
sel-sel radang pada mukosa dan submukosa, peningkatan otot polos.
Gambar 1. Gambaran Epitel saluran nafas pada PPOK dan orang sehat
Pada emfisema paru yang dimulai dengan peningkatan jumlah alveolar
dan septal dari alveolus yang rusak, dapat terbagi atas emfisema sentrisinar
(sentrilobular), emfisema panasinar (panlobular) dan emfisema periasinar
(perilobular) yang sering dibahas dan skar emfisema atau irreguler dan emfisema
dengan bulla yang agak jarang dibahas. Pola kerusakan saluran nafas pada
emfisema ini menyebabkan terjadinya pembesaran rongga udara pada permukaan
saluran nafas yang kemudian menjadikan paru-paru menjadi terfiksasi pada saat
proses inflasi.
8
Inflamasi pada saluran nafas pasien PPOK merupakan suatu respon
inflamasi yang diperkuat terhadap iritasi kronik seperti asap rokok. Mekanisme ini
yang rutin dibicarakan pada bronkitis kronis, sedangkan pada emfisema paru,
ketidak seimbangan pada protease dan anti protease serta defisiensi α 1 antitripsin
menjadi dasar patogenesis PPOK. Proses inflamasi yang melibatkan netrofil,
makrofag dan limfosit akan melepaskan mediator-mediator inflamasi dan akan
berinteraksi dengan struktur sel pada saluran nafas dan parenkim. Secara umum,
perubahan struktur dan inflamasi saluran nafas ini meningkat seiring derajat
keparahan penyakit dan menetap meskipun setelah berhenti merokok.
Peningkatan netrofil, makrofag dan limfosit T di paru-paru akan
memperberat keparahan PPOK. Sel-sel inflamasi ini akan melepaskan beragam
sitokin dan mediator yang berperan dalam proses penyakit, diantaranya adalah
leucotrien B4, chemotactic factors seperti CXC chemokines, interlukin 8 dan
growth related oncogene α, TNF α, IL-1ß dan TGFß. Selain itu
ketidakseimbangan aktifitas protease atau inaktifitas antiprotease, adanya stres
oksidatif dan paparan faktor risiko juga akan memacu proses inflamasi seperti
produksi netrofil dan makrofagserta aktivasi faktor transkripsi seperti nuclear
factor κß sehingga terjadi lagi pemacuan dari faktor-faktor inflamasi yang
sebelumnya telah ada.
Hipersekresi mukus menyebabkan abtuk produktif yang kronik serta
disfungsi silier mempersulit proses ekspektorasi, pada akhirnya akan
menyebabkan obstruksi saluran nafas pada saluran nafas yang kecil dengan
diameter < 2 mm dan air trapping pada emfisema paru. Proses ini kemudian akan
berlanjut kepada abnormalitas perbandingan ventilasi : perfusi yang pada tahap
lanjut dapat berupa hipoksemia arterial dengan atau tanpa hiperkapnia.
Progresifitas ini berlanjut kepada hipertensi pulmonal dimana abnormalitas
perubahan gas yang berat telah terjadi. Faktor konstriksi arteri pulmonalis sebagai
respon dari hipoksia, disfungsi endotel dan remodeling arteri pulmonalis
9
(hipertropi dan hiperplasi otot polos) dan destruksi Pulmonary capillary bad
menjadi faktor yang turut memberikan kontribusi terhadap hipertensi pulmonal.
5. INFLAMASI PADA PPOK
a. Inflamasi Lokal dan Sistemik.
Belakangan ini banyak bukti terhadap inflamasi sistemik pada PPOK
peningkatan kadar sitokin pro inflamasi dan protein fase akut tampak pada PPOK
yang stabil, dimana sebelumnya memang sudah diketahui luas bahwa kedua faktor
inflamasi itu terkait dengan eksaserbasi pada PPOK. Inflamasi ini kemudian akan
mempengaruhi banyak sistem sehingga menelurkan pendapat bahwa PPOK
sebagai penyakit multi komponen.
Hambatan aliran udara pada saluran nafas, terkait dengan perubahan-
perubahan seluler dan struktural pada PPOK ketika proses inflamasi tersebut
meluas keparenkim dan arteri pulmonalis. Asap rokok diamati memang
memancing reaksi inflamasi yang ditandai dengan infiltrasi limfosit T, neutropil
dan makrofag pada dinding saluran nafas. Disamping itu terjadi juga pergeseran
akan keseimbangan limfosit T CD4+/CD8+, dimana limfosit T sitotoksik (CD8+)
akan menginfiltrasi saluran nafas sentral dan perifer. Neutrofil yang juga
meningkat pada kelenjar bronkus pasien dengan PPOK memberikan peranan yang
penting juga terhadap hipersekresi mukus, dimana hal ini kemudian memacu
ekspresi gen IL-4 yang mengekspresikan sejumlah besar sel-sel inflamasi pada
subepitel bronkus dan kelenjar submukosa penghasil sekret.
TNF α yang merupakan sitokin proinflamasi yang potensial akan
berkoordinasi dan menyebabkan peningkatan sitokin-sitokin lainnya seperti IL-1
dan IL-6 yang kemudian akan menginduksi angiogenesis. Peningkatan sitokin-
sitoin diatas selain berada didalam saluran nafas, juga beredar di sirkulasi
sistemik. Peningkatan sitokin-sitokin proinflamasi pada saluran nafas sebagai
petanda inflamasi lokal, juga akan memberikan gambaran pada peningkatan sel-
10
sel inflamasi secara sistemik, termasuk didalamnya neutrofil dan limfosit pada
gambaran darah tepi.
Asal inflamasi sistemik pada PPOK sebenarnya tidaklah terlalu jelas
dimengerti, tetapi terdapat beberapa jalur yang diperhitungkan dapat menjelaskan
proses tersebut. Mekanisme pertama yang telah diketahui luas adalah salah satu
faktor risiko yaitu asap rokok.
Gambar 2. Mekanisme Inflamasi Pada PPOK
Selain menyebabkan inflamasi pada saluran nafas, asap rokok sendiri
secara independen menyebabkan efek ekstra pulmoner seperti kejadian
kardiovaskular dan inflamasi sistemik melalui stres oksidatif sistemik dan
disfungsi endotel vaskular perifer dan menariknya kejadian ini juga akan dialami
oleh perokok pasif meski hanya terpapar beberapa tahun. Mekanisme kedua yang
bertolak belakang dari mekanisme pertama menyatakan bahwa respon inflamasi
lokal ber diri sendiri, begitu juga inflamasi sistemik. Hal ini dibuktikan dari
penelitian akan kadar TNFαR dan IL8 pada sputum yang ternyata meskipun tinggi
pada sputum, ternyata tidak menunjukkan adanya inflamasi sistemik yang berat.
Begitu juga pada orang sehat yang dipaparkan akan produk bakterial yang pro
11
inflamasi, lipopolisakarida memang menunjukkan adanya proses inflamasi lokal
berupa kenaikan temperatur tubuh, reaktifitas saluran nafas dan penurunan FEV1,
hanya saja terjadi perbedaan dimana memang inflamasi sistemik tampak pada
subjek yang mengalami demam, tetapi tidak pada subjek yang hanya mengalami
gangguan saluran nafas tanpa demam. Mekanisme ketiga yang diduga adalah
hipoksia, dan ini merupakan masalah berulang pada PPOK, dimana hipoksia yang
terjadi akibat penyempitan saluran nafas, akan mengaktivasi sistem TNF dan
makrofag yang menyebabkan peningkatan sitokin proinflamasi pada sirkulasi
perifer.
Gambar 3. Lingkaran terjadinya proses kerusakan pada PPOK
b. TNF Alpha pada PPOK
TNF Alpha atau sinonim lainnya Lymphotoxin B, Cachectin adalah sitokin
inflamasi pleotropik . Teori tentang respon anti tumoral dari sistim imun secara in
vivo sudah di ketahui sejak 100 tahun yang lalu oleh seorang medis William B.
Coley. Pada tahun 1968 Dr. Gale A Granger dari University of California
melaporkan adanya faktor sitotoksik yang dihasilkan oleh lymphocyte dan diberi
nama Lymphotoxin (LT). Sesudah itu pada tahun 1975 Dr. Lloyd J. Old dari
Memorial Sloan-Kettering Cancer Center, New York , melaporkan faktor
12
sitotoksik lainnya yang diproduksi oleh makrofag dan diberi nama Tumor
Necrosis Factor (TNF).
Tumor Necrosis Factor (TNF)-α adalah sitokin pleotropik yang memiliki
efek yang bermacam-macam, seperti growth promotion, growth inhibition,
angiogenesis, cytotoxicity, inflammation, dan imunomodulation yang berimplikasi
terhadap beberapa kondisi inflamasi. Sitokin ini tidak hanya diproduksi oleh
aktivasi makrofag tetapi juga oleh sistim imun yang lainnya meliputi :
lymphocytes, natural killer cells, mast cells dan jaringan stromal meliputi :
endotelhelial cells, fibroblasts, microglial cells. TNF di sintesis oleh monomeric
Type-2 transmembrane protein (tmTNF) berada didalam membran homotrimer
dan membelah menjadi matrix metalloprotease TNF-α converting enzyme (TACE)
dan untuk soluble circulating trimer (solTNF). Dimana keduanya tmTNF dan
solTNF merupakan bentuk biologi yang aktif. Keseimbangan antara tmTNF dan
solTNF menberikan signal yang dapat mempengaruhi tipe dari sel, aktivasi dari
sel, dan menstimulus produksi dari TNF, aktifitas TACE, dan ekspresi dari
endogenous TACE inhibitors merupakan petunjuk efek dari penyimpangan TNF
mediated pada kelangsungan hidup sel.
Alveolar macrophages memainkan peranan yang penting sebagai imunitas
bawaan dan didapat yang berperan sebagai pertahanan patogen terhadap paru-
paru, pembersih dari partikel-partikel inhalasi dan respon inflamasi. Alveolar
macrophages memiliki tempat yang unik di dalam tubuh, karena mereka berlokasi
diantara penghubung yaitu udara dan jaringan paru-paru, dan bertindak sebagai
pertahan pertama terhadap pertikel-partikel inhalasi yang berasal dari udara.
Normalnya alveolar macrophages berjumlah kurang lebih 95% dari leukosit
airspace , serta 1 sampai 4% limphosit dan hanya 1% neutophil, ini adalah
alasannya bahwa alveolar macrophages berhubungan dengan sel phagositosis dari
sistem imun bawaan pada paru-paru. Sel ini memegang peranan sebagai poros
dari proses inflamasi pada PPOK. Alveolar macrophages mengalami kenaikan (5-
10 kali) pada saluran nafas, parenkim paru, Broncho Alveolar Lavage (BAL) dan
13
sputum pada penderita PPOK yang merokok dan peningkatan jumlah makrophag
ini juga berhubungan dengan tingkat keparahan dari PPOK.
Paparan asap rokok memang merupakan penyebab tersering dari PPOK, di
mana sebagai akibat dari asap rokok ini akan mengaktivasi makrofag untuk
melepaskan beberapa mediator inflamasi, salah satunya adalah TNFα. TNFα di
percaya memerankan peranan yang sangat penting terhadap patofisiologi dari
PPOK. TNFα di perlihatkan pada binatang percobaan yang dapat menginduksi
perubahan patologi pada PPOK, termasuk infiltrasi sel inflamasi pada paru-paru,
fibrosis paru dan emphisema. Secara In vivo peninggian kadar TNFα juga dapat di
jumpai pada darah perifer, biopsi bronkhial, induksi sputum dan BAL dari pasien-
pasien PPOK stabil yang dibandingkan dengan kontrol.
6. DIAGNOSIS
Penderita yang datang dengan keluhan klinis dispneu, batuk kronik atau
produksi sputum dengan atau tanpa riwayat paparan faktor risiko PPOK sebaiknya
dipikirkan sebagai PPOK. Diagnosis PPOK di pastikan melalui pemeriksaan
spirometri paksa bronkhodilator. Perasaan rasa sesak nafas dan dada terasa
menyempit merupakan gejala non spesifik yang dapat bervariasi seiring waktu
yang dapat muncul pada seluruh derajat keparahan PPOK.
Pemeriksaan fisik memainkan peranan penting untuk diagnosis PPOK.
Tanda fisik hambatan aliran udara biasanya tidak muncul hingga terdapat
kerusakan yang bermakna dari fungsi paru muncul, dan deteksi memiliki nilai
sensitifitas dan spesifisitas yang rendah. Pada inspeksi dapat di temukan sentral
sianosis, bentuk dada “barel-shaped”, takhipneu, edema tungkai bawah sebagai
tanda kegagalan jantung kanan. Perkusi dan palpasi jarang membantu diagnosis
PPOK kecuali tanda-tanda hiperinflasi yang akan mengaburkan batas jantung dan
menurunkan batas paru-hati. Auskultasi sering memberikan kelemahan saluran
nafas, dapat dengan disertai adanya mengi.
Uji faal paru dengan spirometri merupakan suatu hal yang wajib di lakukan
pada penderita yang memang sudah di curigai PPOK untuk lebih memastikan
14
diagnosa yang ada sekaligus memantau progresifitas penyakit. Perangkat ini
merupakan alat bantu diagnosis yang paling objektif, terstandarisasi dan most
reproducible akan adanya hambatan aliran nafas. Spirometri akan menilai
Kapasitas Vital Paksa (KVP) Paru dan Volume Ekspirasi Paksa 1 detik (VEP1)
yang didasarkan pada umur, tinggi badan, jenis kelamin dan ras. Diagnosa PPOK
ditegakkan bila didapati nilai paksa paska bronkodilatornya VEP1/KVP < 0,70
dan VEP1 < 80% prediksi, dan berdasarkan penilaian VEP1 tadi, dapat dinilai
derajat keparahan dari PPOK.
Gambaran foto dada yang abnormal jarang tampak pada PPOK, kecuali
adanya bulosa pada paru. Perubahan radiologis yang mungkin adalah adanya
tanda hiperinflasi (pendataran diafragma dan peningkatan volume udara pada
rongga retrosternal), hiperlusensi paru dan peningkatan corak vaskuler paru.
Selain itu radiologis membantu dalam melihat komorbiditas seperti gambaran
gagal jantung. Untuk kepentingan operatif, CT Scan paru juga memegang peranan
penting.
15
LAPORAN KASUS
1. IDENTITAS PASIEN
Nama pasien : Tn. H
Umur : 64 tahun
Jenis kelamin : laki-laki
Agama : Islam
Alamat : Lambhuk
Pekerjaan : Swasta
MRS : 27/03/2016
2. ANAMNESA
Keluhan utama:
Sesak nafas.
Riwayat penyakit sekarang:
Pasien datang ke RS dengan keluhan sesak nafas dirasakan sejak 1
tahun yang lalu, namun sesak nafas memberat sejak 1 hari sebelum
masuk RS, sesak memberat dengan aktifitas dan berkurang dengan
istirahat.
Pasien juga mengeluhkan batuk berdahak, awalnya batuk kering dan
lama kelamaan batuk berdahak dan memberat sejak 2 hari yang lalu,
batuk berdahak warna putih, kurang lebih 1 sendok, batuk darah (-),
dan tidak ada riwayat batuk darah sebelumnya.
16
Pasien tidak mengeluhkan adanya keluhan demam, berkeringat malam
hari ataupun penurunan berat badan, nafsu makan menurun sejak 3
hari yang lalu, demam (-), BAB dan BAK dalam batas normal.
Riwayat pengobatan
Pasien minum obat batuk yang dibeli diwarung untuk mengurangi
batuknya.
Riwayat penyakit dahulu
- Pasien pernah dirawat di RSUDZA sekitar 3 bulan yang lalu
dengan keluhan sesak nafas, batuk, serta mual.
- Riwayat asma (-)
- Riwayat penyakit jantung (-)
- Riwayat hipertensi (-)
- Riwayat diabetes melitus (-)
Riwayat penyakit keluarga :
- Tidak ada keluarga yang mengalami keluhan yang sama
- Anak pasien ada yang menderita asma
- Riwayat penyakit jantung (-)
- Riwayat hipertensi (-)
- Riwayat diabetes melitus (-)
Riwayat kebiasaan sosial:
- Pasien mempunyai riwayat merokok selama ± 52 tahun, dimulai
sejak umur 12 tahun, kurang lebih 3 bungkus (+/- 48 batang)
perhari, dan berhenti sejak 8 bulan yang lalu.
3. PEMERIKSAAN FISIK
17
Status generalis
Keadaan umum : Tampak sakit sedang
Kesadaran : Kompos mentis kooperatif
Vital sign
- TD : 140/90 mmHg
- RR : 22 kali / menit
- Nadi : 84 kali / menit
- Suhu : 36,7 ͦ C
Kepala
- Mata:
Konjungtiva kanan dan kiri tidak anemis
Sklera kanan dan kiri tidak ikterik
- Mulut
Bibir lembab
- Leher
Tidak ada pembesaran KGB
JVP 5±2 cmH2O
Pemeriksaan paru
- Depan
Inspeksi :Simetris (statis/dinamis)
Palpasi : Vokal fremitus kiri = kanan
Perkusi : sonor pada kedua lapangan paru
Auskultasi : ekspirasi memanjang, ronkhi (-/-),
wheezing (+/+)
- Belakang
Inspeksi :
Statis : simetris kiri dan kanan
Dinamis : pergerakan dinding dada
simetris kiri dan kanan
Palpasi : vokal fremitus kanan = kiri
18
Perkusi : sonor/hipersonor
Auskultasi : Ekspirasi memanjang, ronkhi (-/-),
wheezing (+/+)
Pemeriksaan jantung
Inspeksi : iktus kordis tidak terlihat
Palpasi : iktus kordis teraba satu jari medial di ICS V linea
midclavikularis sinistra
Perkusi :
Batas kanan : Linea parasternal dekstra
Batas kiri : ICS V satu jari medial linea
midclavicularis sinistra
Auskultasi : Suara jantung regular, gallop (-), murmur (-)
Pemeriksaan abdomen
Inspeksi : soepel
Palpasi : nyeri tekan epigastrium (-), H/L/R tidak
teraba
Perkusi : timpani
Auskultasi : bising usus (+) normal
Pemeriksaan ektremitas
Superior: akral hangat, edema (-)
Inferior: akral hangat, edema (-)
4. PEMERIKSAAN PENUNJANG
19
Tanggal 29 maret 2016
Darah lengkap
- Hb : 14 gr/dl
- Ht : 43 %
- Leukosit : 6,0 /mm3
- Trombosit : 222 /mm3
- Eritrosit : 4,6/mm3
Analisa lemak/Profil lipid
- Cholesterol total : 226 mg/dl
- Cholesterol HDL : 62 mg/dl
- Cholesterol LDL : 139 mg/dl
- Trigliserida : 87 mg/dl
Jantung :
- Troponin I : <10
- CK-MB : 30
Elektrolit :
- Na/K/Cl/Ca : 143/3,8/103/8,9
Ginjal Hipertensi :
- Ur/Cr : 20/0,93
EKG :
- Irama : sinus
- Axis : normoaxis
- Gel.P : 0.085s
- P-R interval : 0.165s
- QRS kompleks: 0.085s
20
- QRS rate : 84x/i
- ST elevasi : -
- ST depresi : -
Kesimpulan : normal sinus rithm Dengan HR 84x/i
Foto Toraks
5. RESUME
Pasien laki-laki, umur 87 tahun masuk melalui UGD dalam keadaan sesak
hebat dan dirawat di ruang rawat inap penyakit paru. Batuk berdahak sejak 1
minggu yang lalu, dahak berwarna putih, sebanyak satu sendok. Sesak bila
beraktifitas sejak 3 tahun yang lalu, batuk
Dari pemeriksaan fisik didapatkan ekspirasi memenjang dan wheezing di
kedua lapang paru. Pada pemeriksaan laboratorium, CK-MB mengalami
peningkatan, menunjukkan adanya proses kelainan jantung, rontgen paru
menunjukkan gambaran hiperlusen, diagfragma mendatar, sela iga melebar.
21
- Jantung tampak gambaran tear
drop appearence
- Hiperlusen di kedua lapangan
paru, dengan corakan paru kasar
- Diafragma mendatar
- Sela iga melebar
- CTR < 50%
- Sudut kostofrenikus lancip
6. DAFTAR MASALAH
PPOK (Penyakit paru obstruktif kronis)
CHF fc NYHA II-III
7. PENATALAKSANAAN
a. Non farmakologi
Makanan yang mengandung tinggi kalori dan tinggi protein,
rendah karbohidrat
Pola hidup sehat, berhenti merokok, olahraga, menjaga kebersihan
tempat tinggal dan lingkungan sekitar
b. Farmakologi :
- IVFD RL 20 tpm
-Combivent nebule 1 resp/8 jam
-Pulmicort nebule 1 resp/8 jam
-Inj. Methylprednisolon 62,5 mg/12 jam
-Vectrin 3x300 mg
-Salbutamol 3x4 mg
Terapi bagian kardiologi:
- Inj. Arixtra 2,5mg/12 jam
- Aspilet 1x80mg
- Platogrix 1x75mg
- Atorvoslatin 1x10mg
- Concor 1x2,5mg
- ISDN 3x5mg
8. ANALISIS MASALAH
22
Pada anamnesis didapatkan adanya keluhan sesak sejak 1 tahun yang lalu,
sesak muncul bila beraktifitas dan sejak 1 hari SMRS pasien mengalami sesak
yang semakin berat, sesak muncul saat pasien berkatifitas dan berkurang dengan
istirahat. Batuk juga muncul sejak 2 tahun yang lalu, awalnya batuk kering lama-
lama batuk berdahak, dahak berwarna putih dan sedikit. Pasien mempunyai
riwayat merokok selama ± 52 tahun, dimulai sejak umur 12 tahun, kurang lebih 3
bungkus (+/- 48 batang) perhari, dan berhenti sejak 8 bulan yang lalu. Dari
pemeriksaan fisik didapatkan ekspirasi memenjang dan wheezing di kedua lapang
paru. Dari pemeriksaaan foto thorax, pada jantung tampak gambaran tear drop
appearence hiperlusen di kedua lapangan paru, dengan corakan paru kasar,
diafragma mendatar, sela iga melebar, CTR < 50% , sudut kostofrenikus lancip.
Gejala-gejala tersebut merupakan gambaran gejala klinis pada penyakit paru
obstruktif kronis (PPOK)
Combivent nebule 1 resp/8 jam:
Salbutamol merupakan suatu obat agonis beta-2 adrenergik yang selektif. Pada
bronkus akan menimbulkan relaksasi otot polos bronkus secara langsung, efektif
untuk mengatasi gejala-gejala sesak napas pada penderita-penderita yang
mengalami bronkokonstriksi baik untuk penggunaan akut maupun kronik.
Salbutamol menghambat pelepasan mediator dari ”pulmonary mast cell”,
mencegah kebocoran kapiler dan udema bronkus serta merangsang pembersihan
mukosiliar.
Pulmicort nebule 1 resp/8 jam
Kortikosteroid bekerja dengan memblok enzim fosfolipase-A2, sehingga
menghambat pembentukan mediator peradangan seperti prostaglandin dan
leukotrien. Selain itu berfungsi mengurangi sekresi mukus dan menghambat
proses peradangan. Kortikosteroid tidak dapat merelaksasi otot polos jalan nafas
secara langsung tetapi dengan jalan mengurangi reaktifitas otot polos disekitar
saluran nafas, meningkatkan sirkulasi jalan nafas, dan mengurangi frekuensi
keparahan asma jika digunakan secara teratur.
23
Inj. Methylprednisolon 62,5 mg/12 jam
Metilprednisolon merupakan kortikosteroid dengan kerja intermediate yang
termasuk kategori adrenokortikoid, antiinflamasi dan imunosupresan.
Methylprednisolone bekerja dengan cara menembus membran sel sehingga akan
terbentuk suatu kompleks steroid-protein reseptor. Di dalam inti sel, kompleks
steroid-protein reseptor ini akan berikatan dengan kromatin DNA dan
menstimulasi transkripsi mRNA yang merupakan bagian dari proses sintesa
protein. Sebagai anti inflamasi, obat ini menekan migrasi neutrofil, mengurangi
produksi prostaglandin (senyawa yang berfungsi sebagai mediator inflamasi), dan
menyebabkan dilatasi kapiler. Hal ini akan mengurangi repon tubuh terhadap
kondisi peradangan (inflamasi).
Vectrin 3x300 mg
Mukolitik, sebagai pengencer lendir pada ganguuan saluran pernafasan akut dan
kronik. Mukolitik golongan thiol yang bekerja dengan cara memutus ikatan
disulfida pada mukus untuk gangguan saluran napas akut dan kronik, memiliki
efek sinergis yaitu efek anti-inflamasi, antioksidan, dan anti-adhesi bakteri pada
permukaan silia epitel mukosa saluran napas.
Pada anamnesis didapatkan adanya keluhan sesak sejak 1 tahun yang lalu,
sesak muncul bila beraktifitas dan sejak 1 hari SMRS pasien mengalami sesak
yang semakin berat, sesak muncul saat pasien berkatifitas dan berkurang dengan
istirahat. Batuk juga muncul sejak 2 tahun yang lalu, awalnya batuk kering lama-
lama batuk berdahak, dahak berwarna putih dan sedikit. Pasien mempunyai
riwayat merokok selama ± 52 tahun, dimulai sejak umur 12 tahun, kurang lebih 3
bungkus (+/- 48 batang) perhari, dan berhenti sejak 8 bulan yang lalu. Dari
pemeriksaan fisik didapatkan ekspirasi memenjang dan wheezing di kedua lapang
paru. Dari pemeriksaaan foto thorax, pada jantung tampak gambaran tear drop
appearence hiperlusen di kedua lapangan paru, dengan corakan paru kasar,
diafragma mendatar, sela iga melebar, CTR < 50% , sudut kostofrenikus lancip.
24
Gejala-gejala tersebut merupakan gambaran gejala klinis pada penyakit paru
obstruktif kronis (PPOK)
Pada pemeriksaan laboratorium, CK-MB mengalami peningkatan,
menunjukkan adanya proses kelainan jantung. CPK atau creatine
phosphokinase (atau kadang hanya disebut sebagai CK ataucreatine kinase)
adalah ensim yang dapat ditemukan pada berbagai sel, terutama pada sel otot.
Dilihat dari tipenya, ensim ini terdapat pada otot rangka (CK-MM), otot jantung
(CK-MB), otak dan usus (CK-BB), dan mitokondria (CK-mt). Apabila terjadi
kerusakan pada sel-sel ini, maka ensim CPK akan bocor keluar. Pada saat
terjadinya serangan jantung, CPK akan meningkat dalam 4-8 jam, mencapai
puncak dalam 18 jam, dan kembali normal dalam 48-72 jam. Pemeriksaan CPK
kurang spesifik pada jantung, karena juga meningkat pada penyakit otot rangka,
trauma, dan infark serebri.
Sedangkan CKMB, isoensim dari CPK, memiliki tingkat spesifisitas yang
lebih tinggi dari CPK. CKMB akan meningkat dalam 3-6 jam setelah terjadi
serangan jantung, mencapai puncak dalam 12-24 jam, dan kembali normal dalam
48-72 jam. Selain karena serangan jantung, CKMB juga meningkat pada
miokarditis, gagal jantung, dan trauma pada otot jantung.
Pada pemeriksaan laboratorium, CK-MB mengalami peningkatan,
menunjukkan adanya proses kelainan jantung. CPK atau creatine
phosphokinase (atau kadang hanya disebut sebagai CK ataucreatine kinase)
adalah ensim yang dapat ditemukan pada berbagai sel, terutama pada sel otot.
Dilihat dari tipenya, ensim ini terdapat pada otot rangka (CK-MM), otot jantung
(CK-MB), otak dan usus (CK-BB), dan mitokondria (CK-mt). Apabila terjadi
kerusakan pada sel-sel ini, maka ensim CPK akan bocor keluar. Pada saat
terjadinya serangan jantung, CPK akan meningkat dalam 4-8 jam, mencapai
puncak dalam 18 jam, dan kembali normal dalam 48-72 jam. Pemeriksaan CPK
kurang spesifik pada jantung, karena juga meningkat pada penyakit otot rangka,
trauma, dan infark serebri.
25
BAB IIIPENUTUP
26
Penyakit Paru Obstruksi Kronis (PPOK) adalah suatu penyakit yang
dikarakteristikkan oleh adanya hambatan aliran udara secara kronis dan
perubahan-perubahan patologi pada paru, dimana hambatan aliran udara saluran
nafas bersifat progresif dan tidak sepenuhnya reversibel dan berhubungan dengan
respon inflamasi yang abnormal dari paru-paru terhadap gas atau partikel yang
berbahaya.sss
Terdapat banyak faktor risiko yang diduga kuat merupakan etiologi dari
PPOK. Faktor-faktor risiko yang ada adalah genetik, paparan partikel,
pertumbuhan dan perkembangan paru, stres oksidatif, jenis kelamin, umur, infeksi
saluran nafas, status sosioekonomi, nutrisi dan komorbiditas.
Penderita yang datang dengan keluhan klinis dispneu, batuk kronik atau
produksi sputum dengan atau tanpa riwayat paparan faktor risiko PPOK sebaiknya
dipikirkan sebagai PPOK.
DAFTAR PUSTAKA
27
1. PDPI, PPOK Pedoman Praktis Diagnosis & Penatalaksanaan di Indosia, Jakarta:2006
2. Riyanto BS, Hisyam B. Buku ajar ilmu penyakit dalam Edisi 4. Obstruksi saluran pernafasan akut. Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen IPD FK UI, 2006
3. GOLD. Pocket Guide to PPOK Diagnosis, Management and Prevention. USA:2007
4. GOLD. Global Strategy for the Diagnosis, Management and Prevention of Chronic Obstructive Pulmonary Disease, USA:2007
5. Corwin EJ. Buku Saku Patofisiologi. Jakarta: EGC, 2001
6. PB PAPDI. Panduan Pelayanan Medik, Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen IPD FKUI,2006
28