praktek money politic pada pemilihan umum kepala …
TRANSCRIPT
PRAKTEK MONEY POLITIC PADA PEMILIHAN UMUM KEPALA
DAERAH GUBERNUR 2015-2020 PROVINSI KEPULAUAN RIAU
SKRIPSI
DI SUSUN OLEH:
DIANA RIZKI ANANDA
NIM.120563201059
PRODI ILMU ADMINISTRASI NEGARA
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS MARITIM RAJA ALI HAJI
TANJUNGPINANG
T.A. 2016
ABSTRAK
Politik uang adalah suatu bentuk pemberian atau janji menyuap seseorang
baik supaya orang itu tidak menjalankan haknya untuk memilih maupun supaya
ia menjalankan haknya dengan cara tertentu pada saat pemilihan umum.
Pemilihan kepala daerah gubernur Kepulauan Riau periode 2015-2020
merupakan suatu momentum utama demokrasi tingkat lokal di Provinsi
Kepulauan Riau. Didalam Pelaksaan pada setiap pemilihan umum berlangsung
setiap pasangan calon mengharapkan tidak terjadinya tindakan-tindakan
kecurangan yang dilakukan oleh pasangan calon agar terciptanya pemilihan
umum kepala daerah yang kondusif, namun pada pemilihan umum kepala
daerah yang telah berlangsung pada 9 Desember 2015 lalu masih terjadinya
kecurangan seperti praktek politik uang yang diberikan kepada masyarakat.
Pembelian bisa dilakukan menggunakan uang atau barang. Politik uang adalah
sebuah bentuk pelanggaran kampanye. Penelitian ini menggunakan metode
kualitatif untuk menggambarkan faktor-faktor penyebab masih terjadinya
praktek politik uang dalam pelaksaan pemilihan umum berlangsung
disebebabkan oleh adanya beberapa faktor yaitu faktor persaingan, faktor
ekonomi, dan faktor pengawasan. Para elit politik yang mempunyai tujuan dan
maksud tertentu agar perolehan suaranya banyak dan dapat menempati posisi
suatu jabatan yang diinginkan akan melakukan berbagai hal, dan berbagai cara
tanpa memperhatikan baik buruknya suatu dampak yang akan dirasakan, alas an
mereka melakukan hal seperti itu terkadang hanya tuntutan, karena telah masuk
dalam sebuah partai politik tertentu, sehingga mau tidak mau para individu atau
kelompok ini melakukan hal seperti itu, tujuannya banyak mungkin salah
satunya adalah nama baik dan elektabilitas partainya sendiri.
Kata Kunci : Pilkada, Politik Uang, Orientasi Pemilih
ABSTRACT
Political money is a form of bribe or promise a good person so that the
person does not exercise their right to vote and that he may exercise this right
in a certain way at a general election. The local elections governor of Riau
Islands 2015-2020 period is a major momentum local democracy in Riau
Islands province. In Implementation in every election takes place each pair of
candidates expect no occurrence of acts of fraud committed by a couple of
candidates for the creation of regional head elections are conducive, but the
regional head elections which was held on December 9, 2015 and is still fraud
as practice politics of money given to the community. Purchases can be made
using cash or goods. Political money is a form of campaign violations. This
study used qualitative methods to describe the factors that cause is still the
practice of money politics in the implementation of the general election
because by several factors such as competitive factors, economic factors, and
factors supervision. The political elite which has a goal and a purpose in
order to gain her voice a lot and be able to occupy the position of a position
you want to be doing things, and the various ways without regard to the merits
of an impact it will have, the reasons they do things like that sometimes just
demands, for entering into a political party, so inevitably these individuals or
groups do things like that, the objective may be one of them is a lot of good
name and elektabilitas own party.
Keywords: Elections, Political Money, Orientation Voters
I. Pendahuluan
1. Latar Belakang
Pemilihan kepala daerah adalah
sarana untuk melaksanakan
kedaulatan rakyat berdasarkan
asas langsung, umum, bebas, dan
rahasia (LUBER), serta jujur dan
adil (JURDIL). Dalam pesta
demokrasi. Komisi Pemilihan
Umum (KPU) merupakan garda
terdepan dalam sebuah negara.
Apalagi dalam penyelenggaraan
pemilu, komisi ini tidak berurusan
dengan partai politik peserta
pemilu, tetapi yang harus
berhadapan langsung dengan
pemerintah dan masyarakat luas.
Tugas dan wewenang Komisi
Pemilihan Umum (KPU) ini di
atur sedemikian rupa pada pasal 8
Undang-Undang No. 15 tahun.
Dalam proses pemilihan kepala
daerah tidak luput dari kampanye,
demi sosok yang sangat di idam-
idamkan kepala daerah kerap
menggunakan segala cara untuk
memperkenalakan dirinya sebagai
calon kepala daerah, minimnya
pengetahuan dan pemahaman
tentang politik di masyarakat
menjadikan para politisi seperti
kepala daerah menggunakan car-
cara yang kotor seperti halnya
money politic, yang mana
kegiatan money politic ini justru
direspon positif oleh masyarakat.
Faktor ekonomi, pendidikan ,
serta budaya menjadikan
masyarakat tak sungkan-sungkan
terlibat dalam aktifitas money
politic tersebut. Selain itu money
politic menjadi fenomena yang
cukup menarik dimasyarakat
sehingga masyarakat tertarik
untuk menunggu dijalan-jalan,
mengikuti aktivitas kampanye
yang memberikan uang.
Pengertian ini secara umum ada
kesamaan dengan pemberian uang
atau barang kepada seseorang
karena memiliki maksud politik
yang tersembunyi di balik
pemberian itu. Jika maksud
tersebut tidak ada, maka
pemberian tidak akan dilakukan
juga. Praktek semacam itu jelas
bersifat illegal dan merupakan
kejahatan. Perpolitikan lokal
selalu melahirkan dinamika. Hal
ini menuntut partai politik
(parpol) sebagai instrument
demokrasi harus menyelaraskan
platform politiknya terhadap
perubahan yang terjadi di
masyarakat.
Dengan adanya ketidakpercayaan
masyarakat terhadap para calon
pemimpin memberikan efek
negatif bagi para elit-elit dengan
menghambur-hamburkan uang
dalam waktu sekejap, demi
kekuasaan semata. Dan
sebaliknya adalah sangat
menggiurkan juga bagi
masyarakat meskipun sesaat,
karena itu juga masyarakat merasa
“berhutang budi” pada calon
kepala daerah yang memberikan
uang tersebut. Dengan cara money
politic hanya calon yang memiliki
dana besar yang dapat melakukan
kampanye dan sosialisasi.
Politik uang bukanlah hal baru di
dunia politik, bukan yang pertama
kali kita dengar. Money politic
sudah ada sejak negara ini berdiri,
akan tetapi money politic seakan-
akan menjadi hal yang tidak
penting untuk di bicarakan.
Money politic bukan lah uang
hibah dan juga bukan berupa
zakat ataupun hadiah. Uang
hanyalah sebagai media untuk
memperoleh dan mempengaruhi
seseorang untuk memberikan
suara maupun dukungan dan ini
sangat tidak diperbolehkan dalam
suatu pemilihan umum. Dengan
kondisi masyarakat indonesia
dibawah rata dengan ekonomi
yang lemah, tidak sedikit para
calon kandidat kepala daerah
memberikan sedikit uang kepada
rakyat agar mendapatkan suara
dari rakyat sehingga itu menjadi
senjata yang ampuh untuk
menarik simpatisan. Money politic
seharusnya tidak di jadikan sarana
dalam mensukseskan pemilihan
umum baik di tingkat desa,
kabupaten/kota, provinsi maupun
nasional.
Politik Uang seakan-akan di
perbolehkan, mungkin sah-sah
saja bagi mereka yang
berkepentingan, seolah-olah
hukum di Negara ini pun diam
dan membiarkan semua itu
terjadi. Sehingga seharusnya para
generasi muda tidak hanya diam
saja menanggapi permasalahan
tersebut, permasalahan ini bukan
hanya masalah lokal akan tetapi
sudah menjadi masalah nasional
yang membutuhkan kejelasan dari
berbagai pihak. Karena dampak-
dampak Politik Uang sudah
banyak sekali.
Pilkada serentak merupakan salah
satu perwujudan instrument
demokrasi dalam rangka
menciptakan pemerintahan lokal
yang lebih demokratis. Dengan
pilkada serentak maka harapan
terwujudnya kedaulatan rakyat
dalam sistem pemerintahan, serta
terwujudnya stabilitas politik dan
tujuan pembangunan nasional
diyakini terealisasi secara
menyeluruh, mengingat sistem
demokrasi merupakan perintah
langsung UUD 1945. Dalam
perjalanannya, sistem demokrasi
yang dianut bangsa Indonesia
tidak terlepas dari berbagai bentuk
rintangan yang tidak jarang
menimbulkan sikap apatis
masyarakat.
Justru situasi dan kondisi tersebut
harus dipahami sebagai bagian
dari demokrasi yang terus tumbuh
dan berkembang dalam transisi
politik yang mengalami tahap
pendewasaan perilaku politik
Negara dan rakyatnya.
Kompleksitas persoalan pilkada
harus dipandang sebagai bagian
dari proses pendewasaan politik
menuju kondisi perpolitikan yang
lebih ideal. Sejatinya proses
demokrasi akan terus menuntut
perubahan secara menyeluruh.
Sedemokratis apapun
pemerintahan dijalankan dan
setinggi apapun komitmen
perwujudan kedaulatan rakyat,
proses demokrasi tidak akan
pernah berhenti pada titik
kesempurnaan.
Namun, pada pilkada serentak
yang telah dilaksanakan 9
Desember lalu di Provinsi
Kepulauan Riau dalam
menentukan kepala daerah masih
saja terdapat kejanggalan yang
terjadi saat proses pemilu
berlangsung. Politik uang (money
politic) juga telah menjadi
fenomena dan realitas tersendiri
dalam pilkada. Beberapa
pernyataan dari masyarakat
bahwa para calon kepala daerah
dalam proses pemilu berlangsung
menjadikan money politic sebagai
alat untuk meraih suara, beberapa
warga mengakui saat proses
kampanye yang berlangsung pada
pilkada serentak kemarin
pasangan calon membagi-
bagikan kepada masyarakat yang
terlibat saat kampanye
berlangsung dengan menjanjikan
untuk memilih salah satu calon
tersebut saat pemilihan umum
berlangsung. Itu artinya praktek
money politic masih dilakukan
pada pilkada serentak 2015.
Dengan beberapa permasalahan
yang disampaikan pada latar
belakang diatas penulis
mengangkat judul “PRAKTEK
MONEY POLITIK PADA
PILKADA SERENTAK 2015-
2020 PROVINSI KEPULAUAN
RIAU”.
2. Perumusan Masalah
Berdasarkan permasalahan yang
dikemukakan pada latar belakang,
maka penulis memaparkan
perumusan masalah, yaitu sebagai
berikut “Mengapa Praktek Money
Politic Pada Pemilihan Kepala
Daerah Gubernur 2015-2020 di
Provinsi Kepulauan Riau Masih
Terjadi?”.
II. Landasan Teori
1. Pemilihan umum
Menurut Ali Moertopo pengertian
Pemilu sebagai berikut:
“Pada hakekatnya, pemilu adalah
sarana yang tersedia bagi rakyat
untuk menjalankn kedaulatannya
sesuai dengan azas yang
bermaktub dalam Pembukaan
UUD 1945. Pemilu itu sendiri
pada dasarnya adalah suatu
Lembaga Demokrasi yang
memilih anggota-anggota
perwakilan rakyat dalam MPR,
DPR, DPRD, serta Kepala Daerah
yang pada gilirannya bertugas
untuk bersama-sama dengan
pemerintah, menetapkan politik
dan jalannya pemerintahan
negara”.
Menurut Suryo Untoro “Bahwa
Pemilihan Umum (yang
selanjutnya disingkat Pemilu)
adalah suatu pemilihan yang
dilakukan oleh warga negara
Indonesia yang mempunyai hak
pilih, untuk memilih wakil-
wakilnya yang duduk dalam
Badan Perwakilan Rakyat.
Sebagai suatu bentuk implemen
tasi dari demokrasi, pemilihan
umum selanjutnya berfungsi
sebagai wadah yang menyaring
calon-calon wakil rakyat ataupun
pemimpin negara yang memang
benar-benar memiliki kapasitas
dan kapabilitas untuk dapat
mengatasnamakan rakyat. Selain
daripada sebagai suatu wadah
yang menyaring wakil rakyat
ataupun pemimpin nasional,
pemilihan umum juga terkait
dengan prinsip negara hukum
(Rechtstaat), karena melalui
pemilihan umum rakyat dapat
memilihwakilwakilnya yang b
erhak menciptakan produk h
ukum dan melakukan
pengawasan atau pelaksanaan
kehendak-kehendak
rakyat yang digariskan oleh
wakil-wakil rakyat tersebut.
Dengan adanya pemilihan umum,
maka hak asasi rakyat dapat
disalurkan, demikian juga halnya
dengan hak untuk sama di depan
hukum dan pemerintahan. M.
Mahfud, Didalam Buku Hukum
dan Pilar-Pilar Demokrasi,
Yogyakarta, 1999. Hal. 221-222.
Pemilihan umum ternyata telah
menjadi suatu jembatan dalam
menentukan bagaimana
pemerintahan dapat dibentuk
secara demokratis. Rakyat
menjadi penentu dalam memilih
pemimpin maupun wakilnya yang
kemudian akan mengarahkan
perjalanan bangsa. Pemilihan
umum menjadi seperti
transmission of belt, sehingga
kekuasaan yang berasal dari
rakyat dapat berubah menjadi
kekuasaan negara yang kemudian
menjelma dalam bentuk
wewenang-wewenang pemerintah
untuk memerintah dan mengatur
rakyat. Dalam sistem politik,
pemilihan umum bermakna
sebagai saran penghubung antara
infrastruktur politik dengan
suprastruktur politik, sehingga
memungkinkan terciptanya
pemerintahan dari oleh dan untuk
rakyat. Ronald Chilcotte, Op. cit.
Hal. 23.
Dari beberapa definisi diatas
maka dapat disimpulkan
mengenai pengertian pemilihan
umum secara luas yaitu sebagai
sarana yang penting dalam
kehidupan suatu negara yang
menganut azas Demokrasi yang
memberi kesempatan
berpartisipasi politik bagi warga
negara untuk memilih wakil-
wakilnya yang akan menyuarakan
dan menyalurkan aspirasi mereka.
2. Pemilihan Kepala Daerah
Secara eksplisit ketentuan
tentang PILKADA langsung
tercermin dalam penyelengaraan
PILKADA. Dalam Pasal 56 ayat (1)
disebutkan:
“Kepala daerah dan wakil kepala
daerah dipilih dalam satu
pasangan calon yang dilaksanakan
secara demokratis berdasarkan
asas langsung, umum, bebas,
rahasia, jujur dan adil”. Pilihan
terhadap sistem pemilihan
langsung menunjukkan koreksi
atas Pilkada terdahulu yang
menggunakan sistem perwakilan
oleh Dewan Perwakilan Rakyat
Daerah (DPRD), sebagaimana
tertuang dalam Undang-undang
No. 22 Tahun 1999 tentang
Pemerintahan Daerah dan
Peraturan Pemerintah No.151
Tahun 2000 tentang Tata Cara
Pemilihan, Pengesahan dan
Pemberhentian Kepala Daerah
dan Wakil Kepala Daerah.
Pelaksanaan PILKADA Langsung
merupakan sebuah peningkatan
demokrasi ditingkat lokal, dengan
adanya demokrasi dalam sebuah
negara, berarti dalam Negara
tersebut menjalankan demokrasi
yang menjunjung tinggi aspirasi,
kepentingan dan suara rakyatnya.
Menurut Winarno (2002: 11)
mengatakan bahwa: “sistem
pemilihan secara langsung
merupakan alternatif yang paling
realistis guna mendekatkan
aspirasi demokrasi rakyat dengan
kekuasaan pemerintah dan pada
saat yang sama memberikan basis
legitimasi politik kepada pejabat
eksekutif yang terpilih”.
Sementara menurut Bambang
Purwoko (2005: 10) menjelaskan
bahwa: “Dalam Pilkada
Langsung, demokrasi yang ada
berarti terbukanya peluang bagi
setiap warga masyrakat untuk
menduduki jabatan publik, juga
berati adanya kesempatan bagi
rakyat untuk menggunakan hak-
hak politiknya secara langsung
dan kesempatan untuk
menentukan pilihan dan ikut serta
mengendalikan jalannya
pemerintahan”.
Dengan demikian adanya Pilkada
secara langsung ini, proses
demokratisasi ditingkat lokal
sudah dapat diwujudkan sehingga
dapat diperoleh pemimpin yang
sesuai dengan pilihan yang dapat
diterima dan dikehendaki oleh
rakyat didaerahnya sehingga
pemimpin rakyat tersebut dapat
merealisasikan kepentingan dan
kehendak rakyatnya secara
bertanggung jawab sesuai potensi
yang ada untuk mensejahterakan
masyarakat daerahnya.
Dilaksanakannya pilkada secara
langsung pastilah memiliki suatu
tujuan, dimana untuk menjalankan
amanat atau berdasarkan pada
Pancasila dan UUD 1945 yakni
untuk melaksanakan kedaulatan
rakyat.
Didalam pemilihan kepala daerah
setiap daerah harus melakukan
persiapan semaksimal dan
memberdayakan masyarakat
daerahnya didalam proses pilkada
daerah berlangsung, Menurut
Fitriyah (2005:1), yaitu:
“Pentingnya PILKADA secara
langsung membuat semua daerah
harus mempersiapkan diri mereka
sebaik-baiknya dan berusaha
bagaimana dapat berlangsung
demokratis dan berkualitas
sehingga benar-benar
mendapatkan kepala daerah dan
wakil kepala daerah yang dapat
membawa kemajuan bagi daerah
sekaligus memberdayakan
masyarakat daerahnya. Selain itu,
salah satu tujuan
diselenggarakannya pilkada
secara langsung ini juga dapat
memberikan pendidikan politik
bagi masyarakat didaerah, dimana
nantinya mereka menjadi lebih
pengalaman dan ikut
berpartisipasi dalam kegiatan
politik”.
3. Money Politic
Politik uang adalah suatu bentuk
pemberian atau janji menyuap
seseorang baik supaya orang itu tidak
menjalankan haknya untuk memilih
maupun supaya ia menjalankan
haknya dengan cara tertentu pada saat
pemilihan umum. Pembelian bisa
dilakukan menggunakan uang atau
barang. Politik uang adalah sebuah
bentuk pelanggaran kampanye.
Politik uang umumnya dilakukan
simpatisan, kader atau bahkan
pengurus partai politik menjelang hari
H pemilihan umum. Praktik politik
uang dilakukan dengan cara
pemberian berbentuk uang, sembako
antara lain beras, minyak dan gula
kepada masyarakat dengan tujuan
untuk menarik simpati masyarakat
agar mereka memberikan suaranya
untuk partai yang bersangkutan.
Kehidupan politik sejatinya adalah
untuk mewujudkan idealisme bagi
masyarakat dan negara. Namun dalam
prakteknya politik adalah untuk
mempengaruhi dan menggiring
pilihan dan opini masyarakat dengan
segala cara. Sehingga, seseorang dan
sekelompok orang bisa meraih
kekuasaan dengan pilihan dan opini
masyarakat yang berhasil di bangunn
ya atau dipengaruhinya. Ini
memerlukan modal atau dukungan
pemilik modal. Sehingga wajar jika
seseorang dan partai perlu
mengarahkan dana yang tidak sedikit.
Oleh karena itulah muncul suatu
fenomena yang kita kenal dengan
politik uang (money politic). Pemilu
menjelma menjadi ajang pertaruhan
yang besar. Namun sangat sulit untuk
mengharapkan ketulusan dan
ketidakpamrihan dari investasi dan
resiko yang ditanggung politisi.
Peraturan yang bersifat yuridis
mengenai politik uang money politic
ini, yaitu larangan bagi para calon
kandidat pemilihan baik pemilihan
umum maupun pemilihan kepala
daerah yang akan mencalonkan diri
mereka dalam ajang pesta demokrasi
yang berlangsung.
Pasal 73 ayat 3 Undang Undang No. 3
tahun 1999 berbunyi:
"Barang siapa pada waktu
diselenggarakannya pemilihan umum
menurut undang-undang ini dengan
pemberian atau janji menyuap
seseorang, baik supaya orang itu tidak
menjalankan haknya untuk memilih
maupun supaya ia menjalankan
haknya dengan cara tertentu, dipidana
dengan pidana hukuman penjara
paling lama tiga tahun. Pidana itu
dikenakan juga kepada pemilih yang
menerima suap berupa pemberian
atau janji berbuat sesuatu.
Menurut M. Alfonso Aprilio
bahwasanya Politik Uang akan
menimbulkan dampak negatif yang
sangat merugikan seluruh lapisan
masyarakat karena kekuasaan yang
semestinya diberikan melalui suatu
trust telah dibeli dengan uang.
Dampaknya, pembangunan menjadi
tidak lancar dan kompetisi
internasional tidak terkejar.
Menurut Hamid (2009) yang melihat
dari kacamata ekonomi, menilai
money politic muncul karena adanya
hubungan mutualisme antara pelaku
(partai, politisi, atau perantara dan
korban/rakyat). Keduanya saling
mendapatkan keuntungan dengan
mekanisme money politic.
Sedangkan menurut Koswara (2012)
dalam makalahnya berjudul Money
Politic Mencederai Nilai-Nilai :
Demokrasi menyebutkan bahwa
money politic atau politik uang itu
merupakan tindakan penyimpangan
dari kampanye yang bentuknya
memberikan uang kepada simpatisan
ataupun masyarakat lainnya agar
mereka yang telah mendapatkan uang
itu mengikuti keinginan orang yang
memiliki kepentingan tersebut.
Merujuk pada Sheffer (1994),
mendefinisikan patronase sebagai
sebuah pembagian keuntungan di
antara politisi untuk mendistribusikan
sesuatu secara individual kepada
pemilih, para pekerja atau pegiat
kampanye, dalam rangka
mendapatkan dukungan politik
mereka.
Uang adalah sumber daya yang paling
dibutuhkan oleh masyarakat, menjadi
acuan bagi setiap transaksi atau
manuver Individual dan sebagai alat
tukar menukar. Uang merupakan
faktor urgen yang berguna untuk
mendongkrak personal seseorang,
sekaligus untuk mengendalikan
wacana strategis terkait dengan
sebuah kepentingan politik dan
kekuasaan. Karena dasarnya, politik
adalah seni. Dimana seseorang
leluasa mempengaruhi dan
memaksakan kepentingan pribadi dan
kelompoknya pada pihak lain melalui
berbagi sarana,termasuk uang
(Nugraha, 2001:95). Sementara itu
Hermawan Sulistiyo (2000:20)
mengatakan bahwa bahwa uang salah
satu modal politik dan uang
merupakan salah satu alat yang
digunakan untuk menghasilkan
kekuasaan politik, ini terjadi di
Indonesia, sehingga perputaran untuk
mendapatkan suara terbanyak maka
uang sebagai kebutuhan dasar
masyarakat dijadikan alat untuk
mendapatkan keuntungan dalam
mendapatkan kekuasaan.
III. Metode penelitian
1. Jenis Penelitian
Dalam penelitian ini jenis
penelitian yang digunakan oleh
peneliti adalah metode penelitian
kualitatif. Kualitatif adalah suatu
metode penelitian yang
menggambarkan situasi dan keadaan
dilokasi yang menjadi objek
penelitian dengan bercerita apa
adanya yang terjadi dilokasi..
Menurut Sugiyono (2008:9) metode
penelitian kualitatif adalah metode
penelitian yang berlandaskan pada
filsafat postpositivisme, digunakan
untuk meneliti pada kondisi obyek
yang alamiah, dimana peneliti adalah
sebagai instrumen kunci, analisis
bersifat induktif/kualitatif , dan hasil
penelitian kualitatif lebih
menekankan makna daripada
generalisasi.
2. Lokasi Penelitian
Lokasi penelitian adalah objek
tempat yang akan dilakukan
penelitian oleh peneliti. Dalam
penelitian ini peneliti melakukan
penelitian di Komisi Pemilihan
Umum Daerah Provinsi Kepulauan
Riau (KPUD), Bawaslu Kepulauan
Riau yang menjadi salah satu Kota di
Provinsi Kepulauan Riau yang
menjadi lokasi penelitian yang
mengalami Money Politic.
3. Jenis Data
Jenis data adalah suatu dokumen
penting dalam suatu penelitian. Maka
di dalam penelitian ini terdapat 2
macam jenis data, yaitu data primer
dan data sekunder.
3.1. Data Primer
Data primer adalah data yang
dihasilkan secara langsung
ataupun juga bisa dikatakan data
asli tanpa perantara. Data primer
dapat berupa opini subjek (orang)
secara individual atau kelompok,
hasil observasi, kejadian atau
kegiatan dan hasil pengujian.
3.2. Data Sekunder
Data sekunder merupakan
sumber data penelitian yaang
diperoleh peneliti secara tidak
langsung dengan melalui
perantara. Data sekunder yang
didapat berupa dari catatan atau
laporan yang telah disusun dalam
bentuk arsip yang dipublikasikan
maupun yang tidak
dipublikasikan.
4. Informan Penelitian
Informan penelitian adalah orang
yang dimanfaatkan untuk
memberikan informasi tentang situasi
dan kondisi latar belakang penelitian.
Informan merupakan orang-orang
yang benar mengetahui permasalahan
yang akan diteliti. Dalam penelitian
ini terdapat beberapa informan yang
di gunakan yaitu :
Tabel 1. Daftar Informan
Penelitian
N
O.
INFORMAN JU
ML
AH
1. Ketua Komisi Pemilihan
Umum Daerah (KPUD)
Kepulauan Riau
1
2. Kepala Bagiian Hukum
Bawaslu Kepri, Tenaga Ahli
Divisi Hukum
2
4. Tokoh Masyarakat, Masyarakat
Kota Tanjungpinang
8
5 Ketua KPPS 23 1
6 Partai Politik PDI-P 1
JUMLAH 13
5. Teknik dan Alat Pengumpulan
Data
Teknik adalah cara yang dilakukan
seseorang dalam rangka
mengimplementasikan suatu metode.
Dengan teknik maka sesorang dapat
mengumpulkan dan menganalisa
suatu data yang didapatkannya.
Menurut Arikunto (2002:136)
“metode penelitian adalah cara yang
digunakan oleh peneliti dalam
pengumpulan data penelitiannya”.
Berdasarkan pengertian tersebut dapat
disimpulkan bahwa metode penelitian
adalah suatu cara mengumpulkan data
untuk kepentingan penelitian. Dalam
penelitian ini penulis mengumpulkan
data dengan alat pengumpulan data
berupa:
5.1. Wawancara
Menurut Husaini dan
Purnomo (2009:55) wawancara
ialah tanya jawab lisan antara dua
orang atau lebih secara langsung.
Wawancara merupakan teknik
pengumpulan data yang dilakukan
melalui proses tatap muka dan
tanya jawab langsung antara
pengumpul data maupun peneliti
terhadap narasumber atau sumber
data. Dalam penelitian ini penulis
mengumpulkan data dengan alat
pengumpulan data berupa alat
perekam wawancara dan pedoman
wawancara. Keguanaan alat
perekam ini adalah untuk
mengumpulkan setiap wawancara
yang dilaksanakan kepada para
responden dan kemudian
dianalisis hasil dari wawancara
tersebut. Selain itu kegunaan
pedoman wawancara agar setiap
pertanyaan sesuai dengan
penelitian dan tidak keluar dari
kontek suatu penelitian.
5.2. Dokumentasi
Menurut Sugiyono
(2013:240) dokumen merupakan
catatan peristiwa yang sudah
berlalu. Dokumen bisa berbentuk
tulisan, gambar, atau karya-karya
documental dari seorang.
Dokumen yang berbentuk tulisan
misalnya catatan harian, sejarah
kehidupan (life histories), cerita,
biografi, peraturan, kebijakan.
Dokumen yang berbentuk gambar
misalnya foto, gambar hidup,
sketsa dan lain-lain. Dokumen
yang berbentuk karya misalnya
karya seni, yang dapat berupa
gambar, patung, film dan lain-
lain. Studi dokumen merupakan
pelengkap dari penggunaan
metode wawancara dalam
penelitian kualitatif.
6. Teknik Analisa Data
Teknik adalah cara yang
dilakukan seseorang dalam rangka
mengimplementasikan suatu metode.
Dengan teknik maka sesorang dapat
mengumpulkan dan menganalisa
suatu data yang didapatkannya.
Dalam penelitian ini peneliti
melakukan analisa data dengan
menggunakan teknik Miles and
Hubermen. Menurut Miles and
Hubermen dalam Sugiyono
(2011:246) mengemukakan bahwa
aktivitas dalam analisis data, yaitu
data reduction, data display dan
conclusion drawing/verification.
Dengan demikian teknik analisa data
yang akan digunakan oleh peneliti
dalam penelitian kualitatif ini adalah
tenik analisa data Miles dan
Hubermen.
IV. Pembahasan
1. Praktek Money Politic pada
Pilkada Gubernur 2015-2020
Money politic dalam Bahasa
Indonesia adalah suap, arti suap
dalam buku kamus besar Bahasa
Indonesia adalah uang sogok.
Menurut Yusril Ihza Mahendra,
definisi money politic sangat jelas,
yakni mempengaruhi massa
pemilu dengan imbalan materi.
Yusril mengatakan, sebagaimana
yang dikutip oleh Indra Ismawan
kalau kasus money politic bisa di
buktikan, pelakunya dapat dijerat
dengan pasal tindak pidana biasa,
yakni penyuapan. Tapi kalau
penyambung adalah figur anonim
(merahasiakan diri) sehingga
kasusnya sulit dilacak, tindak
lanjut secara hukum pun jadi
kabur.
Fuji Hastuti (2012)
berpendapat bahwa disadari atau
tidak, penggunaan politik uang
sebagai alat mencapai tujuan
politik telah mengesampingkan
uang dari posisi sebagai tujuan
utama pelaku transaksi politik
uang akhirnya mendapatkan uang
sebagai konsekuensi dari
kekuasaan. Tetapi ketika mereka
bertransaksi focus tidak tilakukan
pada uang itu sendiri melainkan
pada “kekuasaan”. Persoalan
yang terkesan remeh namun
memiliki implikasi negatif yang
sangat besar bagi perkembangan
demokrasi dan penegakan
hukum di Indonesia. Politik uang
membuat proses politik menjadi
bias. Akibat penyalahgunaan
uang, pemilu sulit menampakkan
ciri kejujuran, keadilan serta
persaingan yang fair. Pemilu
seperti itu akhirnya menciptakan
pemerintah yang tidak
memikirkan nasib dan
kesejahteraan rakyat.
Selain itu, politik uang adalah
mata rantai dari terbentuknya
kartel politik. Kartel hanya terjadi
bila kontrol keuangan dalam
sistem kapitalistik tidak
berlangsung dan praktek money
politics berlangsung liar.Pada
tahap selanjutnya, hal tersebut
akan memicu munculnya praktek
korupsi politik. Hamdan Zoelva
(2013) menyebutkan bahwa:
political corruption sendiri
melibatkan pembentuk undang-
undang yang berperan sebagai
pembentuk peraturan dan standar-
standar yang diberlakukan negara,
para pejabat menerima suap atau
dana untuk kepentingan politik
dan pribadi mereka dan
memberikan bantuan kepada
pendukung mereka dengan
mengorbankan kepentingan
publik yang lebih besar.
2. Faktor-Faktor terjadinya
Praktek Money Politic
Para elit politik yang
mempunyai tujuan dan maksud
tertentu agar perolehan suaranya
banyak dan dapat menempati posisi
suatu jabatan yang diinginkan akan
melakukan berbagai hal, dan
berbagai cara tanpa memperhatikan
baik buruknya suatu dampak yang
akan dirasakan, alasan mereka
melakukan hal seperti itu terkadang
hanya tuntutan, karena telah masuk
dalam sebuah partai politik
tertentu, sehingga mau tidak mau
para individu atau kelompok ini
melakukan hal seperti itu,
tujuannya banyak mungkin salah
satunya adalah nama baik dan
elektabilitas partainya sendiri. ada
beberapa faktor yang menjadikan
praktek money politic pada pilkada
serentan 2015-2020 yaitu:
2.1. Faktor Persaingan
Sebagai Negara yang
Demokrasi dan negara yang
menjunjung tinggi Hak Azasi
Manusia (HAM) maka tidak
heran di Indonesia banyak tokoh-
tokoh, kandidat-kandidat politik
yang ingin merebut kursi jabatan
atau menjadi penguasa di Negara
Kesatuan Indonesia ini. Dengan
banyaknya keinginan tersebut
maka timbulah persaingan di
antara masin-masing kelompok
politik yang mana masing masing
kelompok mempunyai strategi
masing masing dalam
memenagkan peperangan,
contohnya saja dalam mencuri
suara rakyat, dengan adanya
persaingan maka masing masing
kelompok politik menggempur
sebuah cara agar mendapatkan
suara rakyat terbanyak melalui
money politic seperti serangan
fajar misalnya.
Suap menyuap merupakan
tindakan menyalahgunakan
kekuasaan dalam rangka tujuan
pribadi atau kelompoknya dalam
rangka mempercepat proses
birokrasi. Tindakan ini tidak
dibenarkan karena bisa merugikan
negara. Disamping itu, bisa
menghambat pembangunan
karena anggaran yang seharusnya
digunakan untuk kepentingan
masyarakat jadi beralih untuk
kepentingan sendiri atau
kelompok. Maka tidak heran
bahwa Muhammad B. Ilyas
mengatakan pada jurnalnya
bahwa faktor persainganlah yang
terutama memicu munculnya
money politik di Indonesia
meskipun persaingan tersebut
tergolong persaingan yang tidak
sehat, tetapi dalam politik tidak
mengenal haram dan halalnya.
2.2. Faktor Ekonomi
Keterpurukan Ekonomi di
Indonesia dan masih banyaknya
angka kemiskinan yang menjadi
latar belakangnya praktek money
politic terjadi. Para tokoh politik
atau kandidat menganggap rakyat
adalah seorang yang matrealistis,
yang mudah terbuai oleh
Rupiah, sehingga suara rakyat
pun dapat di nilaunya dengan
uang.
Masyarakat yang memang sangat
membutuhkan uang, sangat
ikhlas dan rela suaranya di hargai
oleh para pelaku money politic,
menurut orang dari kalangan
ekonomi kurang hal tersebut
malah merupakan kesempatan
emas untuk memperoleh uang,
sangat rugi jika suaranga tidak di
hargai se sen pun. Oleh karena itu,
jangan heran orang dari kalangan
bawah justru menunggu adanya
money politic tersebut, lewat
serangan fajar misalnya.
2.3. Faktor Pengawasan
Kurangnya pengawasan atau
tidak jalannya pengawasan
terhadap pemilu merupakan latar
belakang yang membuat
berjamurnya politik uang di
Indonesia, hal tersebut terjadi
karena orang yang mengawas atau
aparat yang mengawas justru ikut
serta dalam pelaksanaan money
politik tersebut. Untuk mengetahui
sejauh mana pengawasan yang
dilakukan Bawaslu terhadap
praktek money politic yang
dilakukan oleh pasangan calon
tersebut maka peneliti melakukan
wawancara terhadap salah satu
anggota
3. Money Politic Terhadap
Orientasi Pemilih dalam
Pilkada Serentak
Pemilukada di Provinsi
Kepulauan Riau, jumlah masyarakat
yang terdaftar berjumlah 1.213.737
jiwa. Jumlah tersebut merupakan
hasil dari rekapitulasi yang mana
sebelumnya data pemilih hanya
sekitar 1.198.925 jiwa dan mengalami
penambahan atas DPTh sebanyak
32.868 jiwa. Menurut John Markoff
(2002), Indonesia saat ini mengalami
hybrid demokrasi. Yang dimaksud
hybrid demokrasi adalah mekanisme
demokrasi berlangsung secara
bersama-sama dengan praktek-
praktek non-demokratis. Pemilihan
umum sebagai salah satu pilar
demokrasi politik berjalan beriringan
dengan perilaku money politic yang
sejatinya merusak demokrasi itu
sendiri. Maka rasionalitas pemilih
menjadi layak untuk dipertanyakan.
Pemilih tidak memilih calon
berdasarkan program dan visi yang
ditawarkan tapi hanya berdasar
jumlah uang yang diterima menjelang
pemilihan. Dalam hal ini maka
menurut teori John Markoff maka
perilaku pemilih di Indonesia sangat
dipengaruhi oleh faktor-faktor non-
demokratis.
Dalam pemilihan kepala daerah
maupun pemilihan umum secara
umum, banyak terjadinya perbuatan
money politic yang ikut mewarnai
acara pesta dan peta demokrasi yang
berlangsung di negara ini. Money
Politic banyak membawa pengaruh
akan peta perpolitikan Nasional serta
juga dalam proses yang terjadi dalam
pesta politik. Dalam norma standar
demokrasi, dukungan politik yang
diberikan oleh satu aktor terhadap
aktor politik lainnya didasarkan pada
persamaan preferensi politik dalam
rangka memperjuangkan kepentingan
publik. Dan juga setiap warga negara
mempunyai hak dan nilai suara yang
sama (satu orang, satu suara, satu
nilai). Namun, melalui money politic
dukungan politik diberikan atas
pertimbangan uang dan sumber daya
ekonomi lainnya yang diterima oleh
aktor politik tertentu.
Dalam money politic pemilihan
kepala daerah baik untuk mengisi
jabatan Gubernur atau Wakil
Gubernur, jabatan Bupati dan Wakil
Bupati, Walikota dan Wakil Walikota
terdapat beberapa hal yang mungkin
tidak di ketahui oleh umum. Praktek
politik ini sangat tertutup yang hanya
di ketahui oleh para calon atau orang-
orang yang berada pada para calon
saja. Besarnya uang yang diperlukan
untuk membeli suara juga berbeda
antara satu daerah dengan daerah
lainnya. Besarnya harga suara sangat
tergantung pada pola hidup dan
tingkat ekonomi masyarakat daerah
tersebut. Persoalannya seorang calon
harus tahu benar kapan dana yang
dibutuhkan harus dikeluarkan.
V. Penutup
1. Kesimpulan
Pada Pilkada Gubernur Serentak
2015 Pasangan nomor urut 1 Sani-
Nurdin memperoleh suara total
347.515 suara. Sedangkan Soerya-
Ansar memperoleh suara 305.688
suara. Namun, pada proses pilkada
berlangsung masih terjadi nya
indikasi kecurangan berupa praktek
money politic yang di lakukan oleh
pasangan calon Gubernur-Wakil
Gubernur denga berbagai cara demi
mendapatkan kedudukan. Praktek
money politic yang dilakukan oleh
pasangan calon dengan memberi uang
transportasi, pemberian sembako dan
lainnya, dari penelitian yang
dilakukan aa beberapa faktor yang
menjadi penyebab nya di antaranya
adalah faktor persaingan diantara
kedua calon yang bersaing secara
tidak sehat dengan melakukan
berbagai cara demi mendapatkan
kedudukan, kemudian faktor ekonomi
juga mempengaruhi didalam praktek
money politic yang dilakukan oleh
pasangan calon, karena pada
umumnya masyarakat dalam hal ini
menjadikan alasan untuk menerima
pemberian. Setelah adanya faktor
ekonomi, praktek money politic juga
dapat terjadi karena kurangnya
pengawasan yang dilakukan oleh
pelaksanaan pemilu yang menjadikan
para calon sesuka hati menabur uang
demi mendapatkan kekuasaan, para
pelaksana pemilu sangatlah penting
dalam menjaga proses
berlangsungnya pemilu.
2. Saran
Ada beberapa saran yang dapat
penulis sampaikan dalam penelitian
ini diantaranya yaitu:
1. Setiap pasangan calon kepala
daerah tidak melakukan praktek
money politic didalam proses
pemilukada baik dalam bentuk
pemberian uang kepada masyarakat,
memberikan sembako, dan dalam
bentuk lainnya.
2. Masyarakat tidak lagi menerima
pemberian dalam bentuk uang, barang
dari pasangan calon kepala daerah
yang melakukan praktek money
politic tersebut.
3. Bawaslu sebagai sebuah institusi
yang melakukan pengawasan
terhadap Pemilu lebih
memaksimalkan dan memberikan
sanksi yang tegas dalam
menindaklanjuti pelaku money politic
dan perlunya mekanisme dan estándar
operasional pihak penyelenggara
dalam mengidentifikasi dan
menindaklanjuti pelaku money politic.
VI. Daftar Pustaka
Budiardjo, Miriam. (2003). Dasar-
Dasar Ilmu Politik. Jakarta:
Gramedia Pustaka Utama
Budiardjo, Miriam. (2003). Dasar-
Dasar Ilmu Politik. Jakarta:
Gramedia Pustaka Utama
Damsar, (2010). Penganantar
Sosiologi Politik. Jakarta:
Kencana
Fahmi, Khairul. (2012). Pemilihan
Umum & Kedaulatan Rakyat,
Jakarta, Rajawali Pers.
Gaffar, Janendjri M., (2013).
Demokrasi dan Pemilu di
Indonesia. Jakarta: Konstitusi
Press (KonPress).
Gatara, A.A. Said & Said Moh.
Dzulkiah (2007). Sosiologi
Politik Konsep dan Dinamika
Perkembangan Kajian.
Bandung: Pustaka Setia.
Isbandi, Rukminto Adi, (2007).
Perencanaan Partisipatoris
Berbasis Aset Komunitas: dari
Pemikiran Menuju Penerapan.
Depok: FISIP UI Press.
Ismawan, Indra. (1999). Money
Politic Pengaruh Uang Dalam
Pemilu, Yogyakarta: Media
Pressindo.
Keban, Yeremias T., (2008). Enam
Dimensi Strategis Admnistrasi
Publik Konsep, Teori dan Isu.
Yogyakarta: Gava Media.
Kumolo, Tjahjo, (2015). Politik
Hukum Pilkada Serentak.
Jakarta: Expose.
Rahman, A.H.I, (2007). Sistem Politik
Indonesia. Yogyakarta, Graha Ilmu.
Rifai, Amzulian. (2003). Politik Uang
dalam Pemilihan Umum Kepala
Daerah. Jakarta: Ghalia
Indonesia.
Rahman, A.H.I, (2007). Sistem Politik
Indonesia. Yogyakarta: Graha
Ilmu.
Rush, Michael dan Althoff. (2003).
Pengantar Sosiologi Politik. Jakarta:
Rajawali
Sahid, Komarudin, (2015).
Memahami Sosiologi Politik.
Bogor: Ghalia Indonesia.
Sanit, Arbi. (1997). Partai, Pemilu
dan Demokrasi. cetakan
pertama.. Pustaka Pelajar
Yogyakarta.
Setiadi, Elly M. & Kolip, Usman,
(2013). Pengantar sosiologi
Politik. Jakarta: Kencana.
Sigit, Pamungkas. (2009). Konsep-
Konsep Dasar Pemilu. Graha Ilmu
Subiakto, Henry & Ida Rachma,
(2014). Komunikasi Politik,
Media, dan Demokrasi.
Jakarta: Kencana.
Sugiyono, (2011). Metode Penelitian
Kuantitatif, Kualitatif dan
R&D, Bandung, Alfabeta.
Usman, Nurahmin Nahar, (2015).
Percepatan dan perlambatan
Demokrasi di Tingkat Lokal
Pemilihan Kepala Daerah
dalam Poliik Indonesia.
Jakarta: Eelex Media
Komputindo.
Wursanto, Ig, (2005). Dasar-Dasar
Ilmu Organisasi. Yogyakarta:
Andi
Undang-Undang, Peraturan
Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia tahun 1945
Undang-Undang No 8 tahun 2012
tentang Pemilihan Umum
Undang-Undang No 22 tahun 2007
tentang Penyelenggara Pemilihan
Umum
Undang-Undang No 22 tahun 2007
Pasal 8 ayat (2)
Peraturan KPU No. 66 tahun 2009
tentang penetapan standar, prosedur
dan kebutuhan pengadaan serta
pendistribusian perlengkapan
penyelenggaraan Pemilihan Umum
Kepala Daerah dan Wakil Kepala
Daerah