presentasi case report asep kejang
DESCRIPTION
umum, khusus, medisTRANSCRIPT
BAB I
LEMBAR KASUS
I. IDENTITAS PASIEN
- Nama : Ny. KMI
- Jenis kelamin : Perempuan
- Usia : 43 th
- Alamat : Majalengka
- Pekerjaan : Bertani
- Agama : Islam
- Status perkawinan : Menikah
II. ANAMNESIS (aloanamnesis 20 Oktober 2014)
Keluhan Utama : Kejang sejak 1 jam SMRS
Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien datang dengan keluhan Kejang sejak 1 jam SMRS dan selama itu
pasien tidak dapat berbicara, setelah kejang pasien juga mengeluh pusing berputar
dan mual. Sebelum mengalami hal tersebut menurut keluarganya, pasien makan
agak banyak terutama daging dengan keluarga lalu tiba-tiba tangan tangan kiri
pasien kejang kemudian menjalar ke seluruh tubuh.
Saat keadaan seperti itu keluarga memutuskan mebawa pasien ke ke RSUD
Arjawinangun.
Riwayat trauma kepala 4 tahun yang lalu karena di serempet motor (+) dan
diabetes melitus dan hipertensi.. Buang air besar dan air kecil tidak ada kelainan.
Riwayat Penyakit Dahulu
Pasien belum pernah mengalami hal seperti ini sebelumnya. Riwayat
hipertensi (+), riwayat DM (+), post trauma kepala belakang 4 tahun yang lalu di
kepala bagian belakang. riwayat penyakit jantung disangkal, dan riwayat kejang
disangkal.
Riwayat Penyakit Keluarga
Tidak ada keluarga pasien yang menderita keluhan yang sama seperti pasien
PEMERIKSAAN FISIK
I. OBYEKTIF
Status Present
Kesadaran : compos mentis
GCS : E4 M6 V1
Tekanan darah : 140/90 mmHg
Nadi : 84 x/menit
Pernafasan : 20 x/menit
Suhu : 36,5˚C
Kepala : Normocephal, rambut hitam, tidak mudah dicabut
Wajah : Simetris, pucat (-), ikterik (-)
Mata : Exopthalmus -/-, edema palpebra -/-, pupil bulat, isokor,
conjungtiva anemis -/-, sklera ikterik -/-
Leher : Teraba pembesaran KGB, kaku kuduk (-)
Thoraks : Jantung : BJ I-II Reguler, Murmur (-), Gallop (-)
Pulmo : Vesikuler +/+, Rhonki -/-, Wheezing -/-
Abdomen : Datar, lembut, nyeri tekan (-), nyeri lepas (-), Bising usus (+)
Normal
Ekstremitas : Akral hangat, edema (-), sianosis (-)
Status Neurologis
Pupil
Kanan Kiri
Bentuk Bulat Bulat
Diameter 3 mm 3 mm
refleks cahaya langsung + +
refleks cahaya tak lansung + +
Tanda rangsang meningeal
Kanan kiri
Kaku kuduk -
Brudzinski I - -
Laseque - -
Kernig - -
Brudzinski II - -
Brudzinski III - -
Brudzinski IV - -
Saraf Kranial
Kanan Kiri
N. I (olfactorius) Baik Baik
N. II(opticus)
Visus
Lapang pandang
Warna
Funduskopi
Konfrontasi
Reflek cahaya langsung
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
N. III (oculomotorius) - -
N. VI(abdusen) - =
N. VII (facialis)
Siul
Kerut dahi
Tersenyum
Perasa lidah
Angkat alis
-
-
-
-
-
N. VIII(vestibulococlearis)
Tes rhinne
Tes weber
Tes swabach
Sulit di nilai
Sulit di nilai
Sulit di nilai
Sulit di nilai
Sulit di nilai
Sulit di nilai
N. IX (glossofaringeus)
Posisi uvula
Reflek muntah
Sulit
dilakukan
Sulit
dilakukan
N. X (vagus) + +
N. XI (asesorius)
Menengok
Mengangkat bahu
Sulit di nilai Sulit di nilai
N. XII (hipoglosus)
Menjulurkan lidah
Tremor
Kanan kiri
Sulit di nilai
-
-
Motorik6
Kanan Kiri
Kekuatan
ekstremitas atas
ekstremitas bawah
Sulit di nilai Sulit di nilai
Refleks fisiologis
biceps
triceps
patella
Achilles
+
+
+
+
-
-
-
-
Refleks patologis
Hoffman
Tromner
Babinski
Chaddok
Oppenheim
Gordon
Schifer
Gorda
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
Keseimbangan dan Koordinasi
kanan Kiri
Romberg - -
Disdiadokokinesis - -
Tes finger to nose - -
Tes tumit- lutut - -
Rebound phenomen - -
II. PEMERIKSAAN PENUNJANG
7
Laboratorium (20 oktober 2014)
LAB RESULT FLAGS UNIT NORMAL
WBC 13.07 10^3/ 4.0-12.0
HCT 36.9 g/dl/ 37-31
MCV 78.7 fL 80-99
RBC 4.76 10^6/ 4.0-6.20
HGB 12.2 g/dl 11.0-17.0
Neut 75,9 g 40-74
Lymp 14.2 g 19-48
mono 3.0 g 3.0
KGDS : 328 mg/dl
8
III. RESUME
Ny. KMI 42 tahun diantar keluarganya ke RSUD Arjawinangun dengan keluhan Kejang
sejak 1 jam SMRS dan selama itu pasien tidak dapat berbicara, setelah kejang pasien juga
mengeluh pusing berputar dan mual. Sebelum mengalami hal tersebut menurut keluarganya, pasien
makan agak banyak terutama daging dengan keluarga lalu tiba-tiba tangan tangan kiri pasien
kejang kemudian menjalar ke seluruh tubuh. Pasien belum pernah mengalami hal seperti ini
sebelumnya. Riwayat hipertensi (+), riwayat DM (+), post trauma kepala belakang 4 tahun yang
lalu di kepala bagian belakang.
Kesadaran : Compos Mentis
GCS : E4 M6 V1
Tekanan darah : 140/90 mmHg
Rangsang Meningeal : kaku kuduk (-)
- motorik. Tidak dilakukan
Keseimbangan dan Koordinasi (Tak Dilakukan)
Hasil lab
Kadar Gula Darah : 328 mg/dL meningkat
IV. DIAGNOSIS
DIAGNOSIS KLINIS
Epilepsi ec gangguan metabolik
DIAGNOSIS TOPIS
Tidak ada luka
9
DIAGNOSIS ETIOLOGI
Gangguan metabolik
V. DIAGNOSA BANDING
- epilepsi parsial e.c. infeksi
VI. PENATALAKSANAAN
1. IVFD RL 500cc 20 tpm + neurobion drip
2. Ranitidine 2x1
3. ondansentron 2x1
4. diazepam iu 1 amp
5. dexamethasone 3x1
VII. PROGNOSIS
Quo ad vitam : dubia ad bonam
Quo ad functionam : dubia ad bonam
Quo ad sanam : dubia ad bonam
10
FOLLOW UP
20 Oktober 2014
Kesadaran : Compos Mentis
Keadaan umum : tampak sakit berat
Kesadaran : GCS E4 M5 V1 = 11
Vital sign
Tekanan Darah : ``140/90 mmHg
Nadi : 76 x/menit
R : 22 x/menit
Temperatur : 36,50C
Kepala
1. Bentuk : normochepalic
2. Rambut : tidak mudah dicabut
3. Mata : konjungtiva ananemis -/-, sclera ikterik -/-
4. Telinga : telinga kiri dan kanan simetris, othoroe (-), nyeri (-)
5. Hidung : rhinore (-), septum deviasi (-)
6. Mulut : lidah tidak deviasi, atrofi (-), fasikulasi (-)
Thorax
Paru-paru
vesiculer +/+, ronkhi-/-, wheezing -/-
Jantung
Bunyi jantung I-II, murmur (-), gallop (-)
Abdomen
1. Inspeksi : Simetris, tampak datar
2. Palpasi : Hepar dan lien tak teraba, ginjal tak teraba, nyeri tekan (-), turgor
kulit baik
3. Perkusi : Timpani seluruh lapang abdomen, asites (-)
4. Auskultasi : Bising usus (+) normal
Ekstremitas
1. Superior : Oedem (-/-), sianosis (-/-), akral teraba hangat
2. Inferior : Oedem (-/-), sianosis (-/-), akral teraba hangat
11
Status Neurologik
• GCS 14 , E3M5V4
• Masih di kejang 15 menit sekali sampai 1 jam ,Kemampuan berbicara belum ada.
• Kepala : bentuk tidak ada kelainan, simetris.
• Leher : sikap dinamis, gerakan memalingkan kepala ke kiri dan ke kanan tidak bisa
• Pemeriksaan Rangsang Meningeal
- Kaku kuduk ( -)
- kuduk kaku (-)
- Lasegue ( - )
- Kernig ( - )
- Brudzinski I/Brudzinski’s neck sign ( - )
- Brudzinski II/Brudzinski’s contralateral leg sign ( - )
Kekuatan otot
meningkat meningkat
meningkat Meningkat
Refleks fisiologi
+ +
+ +
Refleks patologis
- -
- -
Babinski dan cadok positif
21 Oktober 2014
Kesadaran : compos menits
Keadaan umum : tampak sakit sedang
Kesadaran : GCS E4 M6 V4 = 14
Vital sign
Tekanan Darah : 140/90 mmHg
Nadi : 80 x/menit
R : 25 x/menit
Temperatur : 36,50C
Kepala
1. Bentuk : normochepalic12
2. Rambut : tidak mudah dicabut
3. Mata : konjungtiva ananemis -/-, sclera ikterik -/-
4. Telinga : telinga kiri dan kanan simetris, othoroe (-), nyeri (-)
5. Hidung : rhinore (-), septum deviasi (-)
6. Mulut : lidah tidak deviasi, atrofi (-), fasikulasi (-)
Thorax
Paru-paru
vesiculer +/+, ronkhi-/-, wheezing -/-
Jantung
Bunyi jantung I-II, murmur (-), gallop (-)
Abdomen
1. Inspeksi : Simetris, tampak datar
2. Palpasi : Hepar dan lien tak teraba, ginjal tak teraba, nyeri tekan (-), turgor
kulit baik
3. Perkusi : Timpani seluruh lapang abdomen, asites (-)
4. Auskultasi : Bising usus (+) normal
Ekstremitas
1. Superior : Oedem (-/-), sianosis (-/-), akral teraba hangat
2. Inferior : Oedem (-/-), sianosis (-/-), akral teraba hangat
Status Neurologik
• GCS 14 , E4M6V5
• kesadaran baik
• Tidak ada gerakan abnormal
• Kepala : bentuk tidak ada kelainan, simetris.
• Leher : sikap dinamis, gerakan memalingkan kepala ke kiri dan ke kanan kurang
• Pemeriksaan Rangsang Meningeal
- Kaku kuduk ( + )
- kuduk kaku (-)
- Lasegue ( - )
- Kernig ( - )
13
- Brudzinski I/Brudzinski’s neck sign ( - )
- Brudzinski II/Brudzinski’s contralateral leg sign ( - )
Kekuatan otot
5 5
5 5
Refleks fisiologi
+ +
+ +
Refleks patologis
- -
- -
Hasil laboratium 21 oktober 2014
GDS : 192 , Hb: 13 , trombo :323, leuko :13
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA14
2.1. DEFINISI
Kejang merupakan manifestasi berupa pergerakan secara mendadak dan tidak terkontrol
yang disebabkan oleh kejang involunter saraf otak.4
Menurut International League Against Epilepsy (ILAE) dan International Bureau for
Epilepsy (IBE) pada tahun 2005 epilepsi didefinisikan sebagai suatu kelainan otak yang ditandai
oleh adanya faktor predisposisi yang dapat mencetuskan kejang epileptik, perubahan neurobiologis,
kognitif, psikologis dan adanya konsekuensi sosial yang diakibatkannya. Definisi ini membutuhkan
sedikitnya satu riwayat kejang epilepsi sebelumnya. 5
Status epileptikus merupakan kejang yang terjadi > 30 menit atau kejang berulang tanpa
disertai pemulihan kesadaran kesadaran diantara dua serangan kejang.5
2.2 . EPIDEMIOLOGI
Epilepsi merupakan salah satu kelainan otak yang serius dan umum terjadi, sekitar lima
puluh juta orang di seluruh dunia mengalami kelainan ini. Angka epilepsi lebih tinggi di negara
berkembang. Insiden epilepsi di negara maju ditemukan sekitar 50/100,000 sementara di negara
berkembang mencapai 100/100,000.7
Di negara berkembang sekitar 80-90% diantaranya tidak mendapatkan pengobatan apapun.8
Penderita laki-laki umumnya sedikit lebih banyak dibandingkan dengan perempuan. Insiden
tertinggi terjadi pada anak berusia di bawah 2 tahun (262/100.000 kasus) dan uisa lanjut di atas 65
tahun (81/100.000 kasus). 9 Menurut Irawan Mangunatmadja dari Departemen Ilmu Kesehatan Anak
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (FKUI) Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM)
Jakarta angka kejadian epilepsi pada anak cukup tinggi, yaitu pada anak usia 1 bulan sampai 16
tahun berkisar 40 kasus per 100.000. 10
2.3. ETIOLOGI
Ditinjau dari penyebab, epilepsi dapat dibagi menjadi 3 golongan yaitu :11
• Epilepsi idiopatik : penyebabnya tidak diketahui, meliputi ± 50% dari penderita epilepsi
anak dan umumnya mempunyai predisposisi genetik, awitan biasanya pada usia > 3 tahun. Dengan
berkembangnya ilmu pengetahuan dan ditemukannya alat – alat diagnostik yang canggih kelompok
ini makin kecil
15
• Epilepsi simptomatik: disebabkan oleh kelainan/lesi pada susunan saraf pusat. Misalnya :
post trauma kapitis, infeksi susunan saraf pusat (SSP), gangguan metabolik, malformasi otak
kongenital, asphyxia neonatorum, lesi desak ruang, gangguan peredaran darah otak, toksik
(alkohol,obat), kelainan neurodegeneratif.
• Epilepsi kriptogenik: dianggap simtomatik tetapi penyebabnya belum diketahui, termasuk
disini adalah sindrom West, sindron Lennox-Gastaut dan epilepsi mioklonik
2.4. KLASIFIKASI
Klasifikasi Internasional Kejang Epilepsi menurut International League Against Epilepsy
(ILAE) 1981: 12
I . Kejang Parsial (fokal)
A. Kejang parsial sederhana (tanpa gangguan kesadaran)
1. Dengan gejala motorik
2. Dengan gejala sensorik
3. Dengan gejala otonomik
4. Dengan gejala psikik
B. Kejang parsial kompleks (dengan gangguan kesadaran)
1. Awalnya parsial sederhana, kemudian diikuti gangguan kesadaran
a. Kejang parsial sederhana, diikuti gangguan kesadaran
b. Dengan automatisme
2. Dengan gangguan kesadaran sejak awal kejang
a. Dengan gangguan kesadaran saja
b. Dengan automatisme
C. Kejang umum sekunder/ kejang parsial yang menjadi umum (tonik-klonik, tonik atau
klonik)
1. Kejang parsial sederhana berkembang menjadi kejang umum
2. Kejang parsial kompleks berkembang menjadi kejang umum
3. Kejang parsial sederhana berkembang menjadi parsial kompleks, dan
berkembang menjadi kejang umum
II. Kejang umum (konvulsi atau non-konvulsi)
16
A. lena/ absens
B. mioklonik
C. tonik
D. atonik
E. klonik
F. tonik-klonik
III. Kejang epileptik yang tidak tergolongkan
Klasifikasi Epilepsi berdasarkan Sindroma menurut ILAE 1989 :
I. Berkaitan dengan letak fokus
A. Idiopatik
Benign childhood epilepsy with centrotemporal spikes
Childhood epilepsy with occipital paroxysm
B. Simptomatik
o Lobus temporalis
o Lobus frontalis
o Lobus parietalis
o Lobus oksipitalis
II. Epilepsi Umum
A. Idiopatik
Benign neonatal familial convulsions, benign neonatal convulsions
Benign myoclonic epilepsy in infancy
Childhood absence epilepsy
Juvenile absence epilepsy
Juvenile myoclonic epilepsy (impulsive petit mal)
Epilepsy with grand mal seizures upon awakening
Other generalized idiopathic epilepsies
B. Epilepsi Umum Kriptogenik atau Simtomatik
West’s syndrome (infantile spasms)
Lennox gastaut syndrome
17
Epilepsy with myoclonic astatic seizures
Epilepsy with myoclonic absences
C. Simtomatik
Etiologi non spesifik
Early myoclonic encephalopathy
Specific disease states presenting with seizures
2.5. PATOFISIOLOGI
Dasar serangan epilepsi ialah gangguan fungsi neuron-neuron otak dan transmisi pada
sinaps. Ada dua jenis neurotransmitter, yakni neurotransmitter eksitasi yang memudahkan
depolarisasi atau lepas muatan listrik dan neurotransmitter inhibisi (inhibitif terhadap penyaluran
aktivitas listrik saraf dalam sinaps) yang menimbulkan hiperpolarisasi sehingga sel neuron lebih
stabil dan tidak mudah melepaskan listrik. Di antara neurotransmitter-neurotransmitter eksitasi
dapat disebut glutamate, aspartat, norepinefrin dan asetilkolin sedangkan neurotransmitter inhibisi
yang terkenal ialah gamma amino butyric acid (GABA) dan glisin. Jika hasil pengaruh kedua jenis
lepas muatan listrik dan terjadi transmisi impuls atau rangsang. Dalam keadaan istirahat, membran
neuron mempunyai potensial listrik tertentu dan berada dalam keadaan polarisasi. Aksi potensial
akan mencetuskan depolarisasi membran neuron dan seluruh sel akan melepas muatan listrik.
Oleh berbagai faktor, diantaranya keadaan patologik, dapat merubah atau mengganggu
fungsi membran neuron sehingga membran mudah dilampaui oleh ion Ca dan Na dari ruangan
ekstra ke intra seluler. Influks Ca akan mencetuskan letupan depolarisasi membran dan lepas
muatan listrik berlebihan, tidak teratur dan terkendali. Lepas muatan listrik demikian oleh sejumlah
besar neuron secara sinkron merupakan dasar suatu serangan epilepsi. Suatu sifat khas serangan
epilepsi ialah bahwa beberapa saat serangan berhenti akibat pengaruh proses inhibisi. Diduga
inhibisi ini adalah pengaruh neuron-neuron sekitar sarang epileptic. Selain itu juga sistem-sistem
inhibisi pra dan pasca sinaptik yang menjamin agar neuron-neuron tidak terus-menerus berlepas
muatan memegang peranan. Keadaan lain yang dapat menyebabkan suatu serangan epilepsi terhenti
ialah kelelahan neuron-neuron akibat habisnya zat-zat yang penting untuk fungsi otak.13
18
Silbernagl S. Color Atlas of Pathophysiology. New York: Thieme. 2000
2.6 GEJALA
Kejang parsial simplek
Seranagan di mana pasien akan tetap sadar. Pasien akan mengalami gejala berupa:
- “deja vu”: perasaan di mana pernah melakukan sesuatu yang sama sebelumnya.
- Perasaan senang atau takut yang muncul secara tiba-tiba dan tidak dapat dijelaskan
- Perasaan seperti kebas, tersengat listrik atau ditusuk-tusuk jarum pada bagian tubih
tertentu.
- Gerakan yang tidak dapat dikontrol pada bagian tubuh tertentu
- Halusinasi
Kejang parsial (psikomotor) kompleks
Serangan yang mengenai bagian otak yang lebih luas dan biasanya bertahan lebih lama. Pasien
19
mungkin hanya sadar sebagian dan kemungkinan besar tidak akan mengingat waktu serangan.
Gejalanya meliputi:
- Gerakan seperti mencucur atau mengunyah
- Melakukan gerakan yang sama berulang-ulang atau memainkan pakaiannya
- Melakukan gerakan yang tidak jelas artinya, atau berjalan berkeliling dalam
keadaan seperti sedang bingung
- Gerakan menendang atau meninju yang berulang-ulang
- Berbicara tidak jelas seperti menggumam.
Kejang tonik klonik (epilepsy grand mal).
Merupakan tipe kejang yang paling sering, di mana terdapat dua tahap: tahap tonik atau kaku
diikuti tahap klonik atau kelonjotan. Pada serangan jenis ini pasien dapat hanya mengalami
tahap tonik atau klonik saja. Serangan jenis ini biasa didahului oleh aura. Aura merupakan
perasaan yang dialami sebelum serangan dapat berupa: merasa sakit perut, baal, kunang-kunang,
telinga berdengung. Pada tahap tonik pasien dapat: kehilangan kesadaran, kehilangan
keseimbangan dan jatuh karena otot yang menegang, berteriak tanpa alasan yang jelas,
menggigit pipi bagian dalam atau lidah. Pada saat fase klonik: terjaadi kontraksi otot yang
berulang dan tidak terkontrol, mengompol atau buang air besar yang tidak dapat dikontrol,
pasien tampak sangat pucat, pasien mungkin akan merasa lemas, letih ataupun ingin tidur
setelah serangan semacam ini.14
20
2.7 DIAGNOSIS
Diagnosis epilepsi didasarkan atas anamnesis dan pemeriksaan fisik dengan hasil
pemeriksaan EEG dan radiologis. 15
1. Anamnesis
Anamnesis harus dilakukan secara cermat, rinci dan menyeluruh. Anamnesis menanyakan
tentang riwayat trauma kepala dengan kehilangan kesadaran, meningitis, ensefalitis, gangguan
metabolik, malformasi vaskuler dan penggunaan obat-obatan tertentu.
Anamnesis (auto dan aloanamnesis), meliputi:
- Pola / bentuk serangan
- Lama serangan
- Gejala sebelum, selama dan paska serangan
- Frekueensi serangan
- Faktor pencetus
- Ada / tidaknya penyakit lain yang diderita sekarang
- Usia saat serangan terjadinya pertama
- Riwayat kehamilan, persalinan dan perkembangan
- Riwayat penyakit, penyebab dan terapi sebelumnya
- Riwayat penyakit epilepsi dalam keluarga
2. Pemeriksaan fisik umum dan neurologis
Melihat adanya tanda-tanda dari gangguan yang berhubungan dengan epilepsi, seperti
trauma kepala, infeksi telinga atau sinus, gangguan kongenital, gangguan neurologik fokal atau
difus. Pemeriksaan fisik harus menepis sebab-sebab terjadinya serangan dengan menggunakan
umur dan riwayat penyakit sebagai pegangan. Pada anakanak pemeriksa harus memperhatikan
adanya keterlambatan perkembangan, organomegali, perbedaan ukuran antara anggota tubuh dapat
menunjukkan awal gangguan pertumbuhan otak unilateral.
3. Pemeriksaan penunjang
a. Elektro ensefalografi (EEG)
Pemeriksaan EEG harus dilakukan pada semua pasien epilepsi dan merupakan pemeriksaan
penunjang yang paling sering dilakukan untuk rnenegakkan diagnosis epilepsi. Akan tetapi epilepsi
bukanlah gold standard untuk diagnosis. Hasil EEG dikatakan bermakna jika didukung oleh klinis.
Adanya kelainan fokal pada EEG menunjukkan kemungkinan adanya lesi struktural di otak,
21
sedangkan adanya kelainan umum pada EEG menunjukkan kemungkinan adanya kelainan genetik
atau metabolik. Rekaman EEG dikatakan abnormal.
1) Asimetris irama dan voltase gelombang pada daerah yang sama di kedua hemisfer otak.
2) Irama gelombang tidak teratur, irama gelombang lebih lambat dibanding seharusnya misal
gelombang delta.
3) Adanya gelombang yang biasanya tidak terdapat pada anak normal, misalnya
gelombang tajam, paku (spike) , dan gelombang lambat yang timbul secara paroksimal.
b. Rekaman video EEG
Rekaman EEG dan video secara simultan pada seorang penderita yang sedang mengalami serangan
dapat meningkatkan ketepatan diagnosis dan lokasi sumber serangan. Rekaman video EEG
memperlihatkan hubungan antara fenomena klinis dan EEG, serta memberi kesempatan untuk
mengulang kembali gambaran klinis yang ada. Prosedur yang mahal ini sangat bermanfaat untuk
penderita yang penyebabnya belum diketahui secara pasti, serta bermanfaat pula untuk kasus
epilepsi refrakter. Penentuan lokasi fokus epilepsi parsial dengan prosedur ini sangat diperlukan
pada persiapan operasi.
c. Pemeriksaan Radiologis
Pemeriksaan yang dikenal dengan istilah neuroimaging bertujuan untuk melihat struktur
otak dan melengkapi data EEG. Bila dibandingkan dengan CT Scan maka MRl lebih sensitif dan
secara anatomik akan tampak lebih rinci. MRI bermanfaat untuk membandingkan hipokampus
kanan dan kiri serta untuk membantu terapi pembedahan.
22
2.8 TERAPI
Status epileptikus merupakan kondisi kegawatdaruratan yang memerlukan pengobatan yang
tepat untuk meminimalkan kerusakan neurologik permanen maupun kematian . Definisi dari status
epileptikus yaitu serangan lebih dari 30 menit, akan tetapi untuk penanganannya dilakukan bila
sudah lebih dari 5-10 menit
Algoritme manajemen status epileptikus
Tujuan terapi
epilepsi adalah
tercapainya kualitas
hidup optimal untuk
pasien. Prinsip terapi
farmakologi epilepsi
yakni:
OAE mulai
diberikan bila diagnosis epilepsi sudah dipastikan, terdapat minimal dua kali bangkitan
dalam setahun, pasien dan keluarga telah mengetahui tujuan pengobatan dan kemungkinan
efek sampingnya.
23
Terapi dimulai dengan monoterapi
Pemberian obat dimulai dari dosis rendah dan dinaikkan bertahap sampai dosis efektif
tercapai atau timbul efek samping; kadar obat dalam plasma ditentukan bila bangkitan tidak
terkontrol dengan dosis efektif.
Bila dengan pengguanaan dosis maksimum OAE tidak dapat mengontrol bangkitan,
ditambahkan OAE kedua. Bila OAE kedua telah mencapai kadar terapi, maka OAE pertama
diturunkan bertahap perlahan-lahan.
Penambahan OAE ketiga baru dilakukan setelah terbukti bangkitan tidak dapat diatasi
dengan pengguanaan dosis maksimal kedua OAE pertama.
Pasien dengan bangkitan tunggal direkomendasikan untuk dimulai terapi bila kemungkinan
kekambuhan tinggi , yaitu bila: dijumpai fokus epilepsi yang jelas pada EEG, terdapat riwayat
epilepsi saudara sekandung, riwayat trauma kepala disertai penurunan kesadaran, bangkitan
pertama merupakan status epileptikus. 16
Prinsip mekanisme kerja obat anti epilepsi :
Meningkatkan neurotransmiter inhibisi (GABA)
Menurunkan eksitasi: melalui modifikasi kponduksi ion: Na+, Ca2+, K+, dan Cl- atau
aktivitas neurotransmiter.
Penghentian pemberian OAE
Pada anak-anak penghentian OAE secara bertahap dapat dipertimbangkan setelah 2 tahun
bebas serangan .
Syarat umum menghentikan OAE adalah sebagai berikut:
Penghentian OAE dapat didiskusikan dengan pasien atau keluarganya setelah
minimal 2 tahun bebas bangkitan
Harus dilakukan secara bertahap, pada umumnya 25% dari dosis semula, setiap
bulan dalam jangka waktu 3-6 bulan
Bila digunakan lebih dari satu OAE, maka penghentian dimulai dari satu OAE yang
bukan utama
Obat ezogabine merupakan obat baru dan memiliki mekanisme kerja sebagai pembuka
saluran kalium, mengaktivasi gerbang saluran kalium di otak. Akan tetapi mekanisme unik ini
memiliki beberapa efek toksik yang biasanya tidak terdapat pada obat kejang lainnya seperti retensi
urin.Hal inilah yang menyebabkan US Food and Drug Administration's (FDA's) masih
mempertimbangkan obat ini.17
24
Berikut merupakan OAE pilihan pada epilepsi berdasarkan mekanisme kerjanya
1. Karbamazepin : Blok sodium channel konduktan pada neuron, bekerja juga pada reseptor
NMDA, monoamine dan asetilkolin.
2. Fenitoin : Blok sodium channel dan inhibisi aksi konduktan kalsium dan klorida dan
neurotransmitter yang voltage dependen
3. Fenobarbital : Meningkatkan aktivitas reseptor GABAA , menurunkan eksitabilitas glutamate,
emnurunkan konduktan natrium, kalium dan kalsium.
4. Valporat : Diduga aktivitas GABA glutaminergik, menurunkan ambang konduktan kalsium (T)
dan kalium.
5. Levetiracetam : Tidak diketahui
6. Gabapetin : Modulasi kalsium channel tipe N
7. Lamotrigin : Blok konduktan natrium yang voltage dependent
8. Okskarbazepin : Blok sodium channel, meningkatkan konduktan kalium, modulasi aktivitas
chanel.
9. Topiramat : Blok sodium channel, meningkatkan influks GABA-Mediated chloride, modulasi
efek reseptor GABAA.
10. Zonisomid : Blok sodium, potassium, kalsium channel. Inhibisi eksitasi glutamate.
Setelah bangkitan terkontrol dalam jangka waktu tertentu, OAE dapat dihentikan tanpa
kekambuhan. Pada anak-anak dengan epilepsi, pengehntian sebaiknya dilakukan secara bertahap
setelah 2 tahun bebas dari bangkitan kejang. Sedangkan pada orang dewasa penghentian
25
membutuhkan waktu lebih lama yakni sekitar 5 tahun. Ada 2 syarat yang penting diperhatika ketika
hendak menghentikan OAE yakni,
1. Syarat umum yang meliputi :
- Penghentian OAE telah diduskusikan terlebih dahulu dengan pasien/keluarga dimana penderita
sekurang-kurangnya 2 tahun bebas bangkitan.
- Gambaran EEG normal
- Harus dilakukan secara bertahap, umumnya 25% dari dosis semula setiap bulan dalam jangka
waktu 3-6bulan.
- Bila penderita menggunakan 1 lebih OAE maka penghentian dimulai dari 1 OAE yang bukan
utama.
2. Kemungkinkan kekambuhan setelah penghentian OAE
- Usia semakin tua, semakin tinggi kemungkinan kekambuhannya.
- Epilepsi simtomatik
- Gambaran EEG abnormal
- Semakin lamanya bangkitan belum dapat dikendalikan.
- Penggunaan OAE lebih dari 1
- Masih mendaptkan satu atau lebih bangkitan setelah memulai terapi
- Mendapat terapi 10 tahun atau lebih.
- Kekambuhan akan semaikn kecil kemungkinanya bila penderita telah bebas bangkitan selama 3-5
tahun atau lebih dari 5 tahun. Bila bangkitan timbul kembali maka pengobatan menggunakan dosis
efektif terakhir, kemudian evaluasi.
26
NOTE KHUSUS
Penatalaksanaan untuk status epileptikus
1. Stadium I (0-10 menit)
- memperbaiki fungsi kardio dan respirasi
- memperbaiki jalan nafas, oksigenasi dan resusitasi bilama diperlukan.
2. Stadium II (1-60 menit)
- pemeriksaan status neurologik
- pengukuran tekanan darah, nadi dan suhu
- pemeriksaan EEG
- pasang infus
- ambil 50-100cc darah untuk pemeriksaan laborat
- pemberian OAE cito : diazepam 0.2mg/kg dengan kecepatan pemberian 5 mg/ menit IV dapat
diulang lagi bila kejang masih berlangsung setelah 5 menit pemberian.
- Beri 50cc glukosa
- Pemberian tiamin 250mg intravena pada pasien alkoholisme
27
- Menangani asidosis dengan bikarbonat.
3. Stadium III 90-60/90 menit)
- menentukan etiologi
- bila kejang terus berkangsung setekah pemberian lorazepam/diazepam, beri phenitoin IV 15-
20mg/kg dengan kecepatan kuranglebih 50mg/menit sambil monitoring tekanan darah.
- Atau dapat pula diberikan Phenobarbital 10mg/kg dengan kecepatan kurang lebih 10mg/menit
(monitoring pernafasan saat pemberian)
- Terapi vasopresor (dopamin) bila diperlukan.
- Mongoreksi komplikasi
4. Stadium IV (30-90 menit)
- Bila tetap kejang, pindah ke ICU
- Beri propofol (2mg/kgBB bolus iv, diulang bila perlu)
Pemilihan OAE pada pasien anak berdasarkan bentuk bangkitan dan sindrom
28
DAFTAR PUSTAKA
1. http://www.epilepsy.ca/eng/content/sheet.html
2. http://www.searo.who.int/LinkFiles/Technical_documents_Ment-134.pdf
3. Tjahjadi,P.,Dikot,Y,Gunawan,D. Gambaran Umum Mengenai Epilepsi. In : Kapita Selekta
Neurologi. Yogyakarta : Gadjah Mada University Press. 2005. p119-127.
4. Heilbroner, Peter. Seizures, Epilepsy, and Related Disorder, Pediatric Neurology: Essentials
for General Practice. 1st ed. 2007
5. http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/15816939
6. Octaviana F. Epilepsi. In: Medicinus Scientific Journal of pharmaceutical development and
medical application. Vol.21 Nov-Des 2008. p.121-2.
7. http://www.who.int/mental_health/neurology/epilepsy_atlas_introdion.pdf
8. http://www.epilepsyfoundation.org/about/statistics.cfm
9. http://epilepsiindonesia.com/pengobatan/epilepsi-dan-anak/pahami-gejala-epilepsi-pada-
anak-2
10. http://www.epilepsysociety.org.uk/AboutEpilepsy/Whatisepilepsy/Causesofepilepsy
11. Shorvon SD. HANDBOOK OF Epilepsy Treatment Forms, Causes and Therapy in Children
and Adults.2nd ed. America: Blackwell Publishing Ltd. 2005
31
12. Price dan Wilson. 2006. Patofisiologi: Konsep Klinis Prose-Proses Penyakit. Ed: 6. Jakarta:
EGC
13. Aminoff MJ dkk. Clinical Neurology. 6th ed. New York: McGraw-Hill.
14. Wilkinson I. Essential neurology. 4th ed. USA: Blackwell Publishing. 2005
15. PERDOSSI. Pedoman Tatalaksana Epilepsi. Ed. 3. Jakarta. 2008
16. http://www.medscape.com/viewarticle/726809
17. Kliegman. Treatment of Epilepsy.Nelson Textbook of Pediatrics. Philadelphia:
Saundres Elsevier. 2008. 593(6)
32