presentasi kasus adhesi

Upload: al-azy

Post on 14-Jul-2015

240 views

Category:

Documents


25 download

TRANSCRIPT

BAB I LAPORAN KASUS Status pasienI.

IDENTITAS PASIEN Nama : Mr.X Jenis kelamin : Laki-Laki Alamat : Kalianger 1/10 batur bara Agama : Islam Pekerjaan : Petani No RM : 51 09 11 Dirawat Tanggal : 17 Oktober 2011 sampai 29 Oktober 2011 ANAMNESA Anamnesa dilakukan pada tanggal 20 oktober 2011 di bangsal bedah Bugenville kamar 307 A pada pukul 17.30 WIB. 1. Keluhan Utama Pasien datang dengan keluhan tidak bisa buang air besar. 2. Keluhan Tambahan Nyeri pada abdomen, Muntah (+), Mual (+) 3. Riwayat Penyakit Sekarang (RPS) Pasien datang ke Instalasi Gawat Darurat (IGD)dengan keluhan nyeri perut di bagian umbilical. Nyeri sudah dirasakan sejak 4 hari yang lalu. Sebelumnya pasien pernah mengalami penyakit yang serupa 5 bulan yang lalu. Nyeri dirasakan seperti ditusuk-tusuk dan nyeri dirasakan terus menerus. Nyeri pertama dirasakan pada saat sedang santai. Pasien sebelumnya sudah minum obat yang dibeli dari warung.4. Riwayat Penyakit Dahulu (RPD)

II.

Sebelumnya pasien pernah pernah di rawat di Rumah Sakit Umum Daerah KRT Setjonegoro 5 bulan yang lalu dengan keluhan yang sama nyeri pada abdomen. Pada saat itu keadaan pasien membaik dan diizinkan pulang , riwayat operasi sebelumnya (-), penyakit hipertensi (-), diabetes melitus (-).

5. Riwayat Penyakit Keluarga

1

Penyakit serupa pernah dialami oleh nenek pasien sekarang sudah almarhumah, bapak,ibu masi lengkap,saudara kandung tidak ada yang pernah mengalami penyakit serupa 6. Riwayat Sosial, Ekonomi dan Gizi Pasien bekerja sebagai petani kentang di daerah dieng yang digarap sendiri dan keluarga. Tidak ada konflik sosial dalam rumah tangga, riwayat makan 3 kali sehari. Merokok (-), minum minuman berakohol (-) 7. Riwayat Kehamilan Berdasarkan allowanamnesa langsung pada ibu kandung penderita saat mengandung penderita tidak ada kelainan yang menyertai. 8. Riwat Persalinan Pasien lahir normal dengan bantuan dukun 9. Riwayat Post Partum Imunisasi lengkap. I. ANANMNESIS SISTEM Kepala Mata Telinga Hidung Bibir dan mulut Leher Dan tenggorokan meningkat Thorax Pencernaan Genital Kaki dan tangan Kejiwaan Berat badan : tidak sesak nafas : tidak bisa buang air besar : BAK lancar : gerak bebas, tidak lemas : gelisah : normal : pusing (-), tidaknada kelainan bentuk kepala : konjungtiva anemis (-), reflek cahaya (+) : pendengaran baik, tidak ada tanda inflamasi : tidak keluar cairan,tidak gatal : tidak kering dan pecah-pecah : tenggorokan tidak ada benjolan, JVP tidak

2

II.

RESUME ANAMNESIS Mr. X berumur 31 tahun laki-laki datang ke IGD RSUD Setjonegoro dengan keluhan nyeri pada perut.nyeri dirasakan sejak 4 hari yang lalu. Nyeri dirasakan seperti di tususk-tusuk dan terus menerus.sebelumnya pasien pernah mengalami nyeri yang sama 5 bulan yang lalu dan di rawat di rumah sakit yang sama, pasien hanya di terapi obat kemudian sembuh dan diizinkan pulang.

III.

PEMERIKSAAN FISIK Status Generalisata 1. Keadaan Umum (KU) pasien tampak kesakitan, compos mentis, GCS E4V5M6 2. Vital sign TD N RR T : 120/80 mmH : 52 kali/menit :20 kali/menit : 37,2 0C

3. Status Generalisa. Kulit b. Kepala

: tidak pucat, tidak banyak keringat, tidak hiperpigmentasi : Bentuk mesocephal, simetris, tidak ada deformitas Ekspresi muka kesakitan Rambut keriting dan sedikit putih Facial : simetris Mata isokor. : konjungtiva tidak anemis, visus baik, reflek cahaya (+),

Telinga : serumen minimal, otore (-), tidk ada gangguan pendengaran. Hidung : nafas cuping hidung(-), tidak ada deviasi septum Mulut : bibir tidak sianosis, tidak kering, tidak ada stomatitis, tonsila palatina tidak membesar.

3

a. Leher JVP tidk mengalami peningkatan, tidak ada deviasi trachea, tidak ada pembesaran kelenjar tiroid, tidak ada pembesaran limponodi leher. b. Thorax Ispeksi Simetris, tidak ada ketinggalan gerak saat bernafas, bekas sikatrik (-), sifat pernafasan thorako abdominal, irama nafas normal, ictus cordis tak tampak. Palpasi Fokal fremitus seimbang antara paru kanan dan kiri, nyeri tekan (-), tidak terdapat massa, ictus cordis tidak teraba. Perkusi Seluruh lapang paru sonor,batas hepar SIC VI mid clavicula kanan, batas redup jantung atas kanan SIC II LPS kanan, batas atas kiri kiri bawah SIC V LMC kiri. Pekak hepar (-). Auskultasi Suara dasar paru vesikuler, tidak ada suara tambahan, bunyi jantung S1 dab S2 reguler, tidak ada bising jantung. a. Abdomen Inspeksi Abdomen lebih tinggi dari thorax, perut tampak cembung, distensi (+), darm kontur (+), tidak ada sikatrik, massa (-),dan ruam kemerahan (-). Auskultasi Peningkatan peristaltik usus di setiap lapang perut dan Metalic sound (+). Palpasi Defans muscular (-), nyeri tekan (-), tidak ada massa tumor, hepar dan lien tidak teraba. Perkusi Hipertimpani di seluruh lapang abdomen a. Pemeriksaan Anogenital Tidak ada tanda-tanda radang, dan tidak ada benjolan.4

b. Ekstremitas Tidak ada deformitas, tidak ada nyeri gerak aktif dan pasif, gerakan bebas dan pasien memiringkan badanya ke kiri karena kesakitan.akral hangat dan tidak oedem. 1. Status lokalis a. Rectal Toucher

Tonus M. Spincter ani menjepit baik. Prostat tidak teraba membesar Nyeri tekan (-) Sulcus medianus teraba Massa (-) Mukosa rektum licin Ampula recti kolaps Lendir (-) Feses (-) Darah (-)

I.

ASESSMENT Dx : Ileus Obstruksi et causa Band Adhesi DD : Ileus Paralitik, Peritonitis Appendiksitis Pankreatitis akut Enteritis iskemik

II.

PEMERIKSAAN PENUNJANG DIAGNOSTIK 1. BNO 2 Posisi5

Hasil foto BNO 2 Posisi Soft tissue tidak tampak adanya kelainan Preperitoneal fat line tidak dapat dinilai Renal outline dextra dan sisnistra tidak jelas Psoas line tidak tampak Jumlah udara dalam usus meningkat Terdapat gambaran hearing bone appearance Air fluid level (+) Step ledder pattern (+) Free air / udara bebas tidak ada

1. Foto Thorax

Hasil foto thorax AP/lat Cor : kesan tak melebar Pulmo : corakan bronkovaskular kasar, diapraghma dan sinus dalam batas normal Kesan :

Cor Paru

: tak membesar : aspect tenang

6

1. Pemeriksaan laboratorium pada tanggal 17-10-2011 Leukosit H 14 . 7 (3.8-10.6)

Eosinofil Netrofil Limfosit Trigliserida

L 0.00 H 89.20 L 7.70 L 24

(2.00-4.00) (50-70) (25-40) (70.0-140.0)

1. Usulan pemeriksaan tambahan USG I. Darah rutin dan kimia klinik

DIAGNOSIS Ileus Obstruktif Band Adhesi TERAPI SELAMA DI BANGSAL 1. Ringer laktat 2. Ranitidin 3. Aminovel 4. Metronidazole 5. Clindamycin 6. Movix

II.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

A. DEFENISI Adhesi intraperitoneal adalah perlengketan fibrosa (jaringan ikat) yang abnormal di antara permukaan peritoneum yang berdekatan, baik antara peritoneum vicerale, maupun antara peritoneum vicerale dengan parietale. Adanya adhesi tersebut dapat menyebabkan perlengketan diantara organ-organ intraperitoneal, misalnya

7

antara lengkung-lengkung usus yang berdekatan ataupun antara lengkung usus dengan dinding peritoneum parietale Walaupun etiologi adhesi intraperitoneal bermacam-macam, adhesi intraperitoneal yang terjadi setelah suatu pembedahan merupakan masalah yang paling sering dijumpai dan menimbulkan morbiditas maupun mortalitas yang tidak sedikit sehingga menyebabkan beban pelayanan bedah yang besar dalam segi waktu maupun biaya. B. EPIDEMIOLOGI Adhesi intraperitoneal merupakan penyebab utama obstruksi usus, terutama di negara-negara berkembang dan maju. Mc Iver dan Ellis menemukan 80% insidensi adhesi intraperitoneal disebabkan karena pembedahan. weibel dan majno mengemukakan bahwa 752 dari otopsi yang dilakukan, ditemukan adhesi pada 51% kasus laparotomi minor, 72% pada anak kasus laparotomi mayor dan 93% pada laparotomi multipel. Kasus yang terbanyak adalah appendiktomi dan operasi ginekologik.C. ETIOLOGI ADHESI

Adhesi peritoneal dapat terjadi akibat adanya trauma pada peritoneum. Pada operasi trauma pada peritoneum dan stimulasi respon inflamasi yang dapat disebabkan oleh hal-hal sebagai berikut 1. Trauma operasi Merupakan hal terpenting di dalam proses pembentukan adhesi yang permanen. Adanya trauma akan merangsang pembentukan eksudat inflamasi yang akhirnya akan berlanjut pada pembentukan adhesi temporer dan permanen. Selain akibat instrumen bedah, pada saat operasi trauma permukaan peritoneum dapat terjadi pula akibat abrasi, kekeringan, iritasi kimiawi dan perubahan tempratur misalnya pada penggunaan kauter 2. Iskemia jaringan Iskemia dan jaringan nekrotik pada peritoneum adalah stimulus yang sangat poten bagi pembentukan adhesi. Adanya iskemia akan merangsang pembentukan neovaskularisasi, termasuk adhesi di dalamnya keadaan ini bisa terjadi pada penjahitan atau ligasi peritoneum, serta devaskularisasi sepanjang anastomosis usus. 3. Infeksi, reaksi alergi, dan darah8

Merupakan juga stimulus inflamasi yang poten sehingga akan terbentuk adhesi permanen yang lebih banyak jika proses-proses tersebut terus berlangsung setelah pembedahan. Pada pembedahan, infeksi dapat terjadi karena penyakit yang menjadi indikasi pembedahanya sendiri, maupun sebagai akibat komplikasi operasi. Reaksi alergi tersering disebabkan oleh benda asing yang dipergunakan saat operasi seperti talk pada sarung tangan, kasa laparatomi atau benang yang digunakan. Darah yang tersisa dan tidak dibersihkan setelah suatu laparotomi akan menimbulkan stimulasi pembentukan adhesi. 4. Benda asing iritatif: peranan benda asing pada adhesi intraperitoneal telah banyak dikemukakan peneliti sebagai berikut:

Myllareniermi (1967) menemukan 61% dari 309 adhesi pasca bedah sebagai akibat reaksi benda asing, jenis benda asing yang sering diemukan adalah 50% talk, 25% benang kain laparotomi dan sisanya adalah butir tepung yang diserap, isi usus, benang jahit, dan lain-lain. Talk = talc yang banyak digunakan pada sarung tangan adalah hydrous magnesium silicate yang bersifat tidak larut dalam air, asam dan alkali.

Reaksi benda asing yang berupa adhesi, granuloma, dan akhirnya gangguan penyembuhan peritoneum Kain laparotomi yang sering dicuci dan dipergunakan berulang juga bahaya karena serat dan bulu mudah terlepas. Disamping itu detergen pencuci tersisa pada kain akan tercampur benda asing lain sewaktu dicuci.

Proses pembedahan menyebabkan trauma pada peritoneum, dan kemudian akan menimbulkan pelepasan berbagai sitokin sehingga akan berakibat pada reaksi inflamasi pada peritoneum. Tahap berikutnya, setelah proses inflamasi berlalu dan bersamaan dengan berjalanya proses penyembuhan peritoneum, maka akhirnya akan terbentuk adhesi fibrinous dan akhirnya menjadi adhesi permanen Proses penyembuhan luka pada peritoneum berbeda dengan

penyembuhan kulit dimana pada peritoneum, seluruh permukaan yang mengalami trauma akan mengalami reepitelisasi secara simultan. Hal ini berbeda dengan kulit dimana reepitelisasi dimulai dari tepi luka. Dengan

9

demikian defek peritoneum yang luas akibat trauma akan sembuh sempurna asal tidak mengalami iskemi ataupun ransangan dari benda asing. Akibat penyembuhan seperti hal tersebut diatas luka kecil maupun besar pada peritoneum akan mengalami reepitelisasi dengan waktu yang sama cepatnya. Sel- sel mesothelium yang berperan dalam penyembuhan luka dan pembentukan adhesi berasal baik dari tepi luka, maupun secara simultan dari tengah luka yang berasal dari lompatan dan proliferasi sel-sel mesothelium dan fibroblast subperitoneal. Menurut ellis dan hubbard, lamanya proses penyembuhan luka adalah 5-6 hari untuk peritoneum parietale dan 5-8 hari untuk peritoneum vicerale. Sel-sel PMN akan meningkat dalam 12 jam pertama pasca operasi dan berada pada fibrin-fibrin eksudat. Makrofag elemen penting dalam penyembuhan peritoneum muncul pada hari 1 sampai 2 pasca bedah dan berperan pada regulasi fungsi fibroblast dan sel mesothel. Pada hari ke 2, makrofag akan membentuk lapisan pada peritoneum yang mengalami trauma. Setelah hari ke 6 dan ke 7 pasca bedah seluruh permukaan peritoneum yang mengalami trauma akan tertutup oleh satu lapis sel-sel mesotel. Segera setelah trauma pada peritoneum, sel-sel PMN akan terdapat dalam jumlah yang banyak pada daerah pembedahan dan terbentuk pula matriks fibrin. Jika tidak terdapat infeksi, jumlah sel-sel tersebut akan meningkat sehingga setiap usaha prevensi adhesi pada keadaan tersebut tidak akan berguna. A. KLASIFIKASI ADHESI SECARA MAKROSKOPIK Secara makroskopik, derajat pembentukan adhesi permanen dapat dibagi menjadi berbagai tingkatan dan diklasifikasikan sebagai berikut:1. Grade I : adhesi ringan, tipis, serat fibrin dapat dilepas secara tumpul 2. Grade II : serat adhesi dapat dilepas secara tumpul ataupun tajam, telah terdapat

vaskularisasi ringan3. Grade III : serat adhesi lebih kuat, dilepas secara tajam. Vaskularisasi jelas 4. Grade IV : adhesi fibrotik tebal seperti callus, melengket ke organ, lysis harus

dilakukan tajam

10

A. PATOGENESIS ADHESI

Adhesi dimulai oleh adanya stimulasi pada peritoneum yang menyebabkan timbulnya respon inflamasi pada peritoneum. Proses ini sebetulnya merupakan bagian awal dari dinamika proses penyembuhan pada peritoneum. Proses penyembuhan peritoneum berbeda jika dibandingkan dengan proses penyembuhan kulit. Epitelisasi tidak hanya terjadi dari tepi luka namun terjadi dari semua arah, termasuk bagian tengah luka. Tahap awal respon yang terjadi adalah pelepasan berbagai sitokin dan mediator awal inflamasi oleh sel-sel mesothelium peritoneum maupun endotil pembuluh darah yang terluka. Sitokin yang diproduksi adalah sitokin sitokinin pro inflamasi yaitu interleukin-1, TNF-a, dan interleukin-6 Peranan sitokin pro inflamasi terlihat dengan tingginya konsentrasi mediator mediator tersebut mulai dari jam-jam pertama sampai dengan 24 jam pasca operasi. Akibat produksi sitokin-sitokin tersebut, maka selanjutnya akan menstimulasi proses aktifitas kaskade sistem koagulasi darah dan menekan aktifitas plasminiogen aktivator. Bersamaan dengan produksi mediator mediator tersebut, dirangsang pula aktivasi sistem kinin komplemen, jalur asam arakhidonat (termasuk prostaglandin), pembentuka thrombin, dan konversi fibrinogen menjadi fibrin.

Sistem kinin dan prostaglandin akan menstimulasi vasodilatasi, peningkatan permeabilitas kapiler, fagositosis bakteri dan benda asing lainya oleh sel-sel PMN dalam 24-48 jam, dan merangsang migrasi makrofag dan monosit melalui kemoatraktan sehingga proses debridement dan inflamasi menjadi sempurna. Jalur asam arakhidonat berhubungan erat dengan sintesis prostaglandin dan prosenya lihat pada gambar dibawah.fosfolipid pada membran sel mesotel dengan bantuan phospolipase akan menghasilkan asam arakhidonat yang kemudian akan menghasilkan leukotriene dan prostaglandin dengan bantuan enzim cyclooxygenase. Prostaglandin yang dihasilkan dapat berupa prostacylin, prostaglandin E-2, D2, F2a, dan thromboxane A2 prostacylin, prostaglandin E-2, D2, F2a, memiliki efek vasodilatasi, edema dan menghambat agregasi trombosit. Sedangkan thromboxane A2 akan menimbulkan vasokonstriksi dan agregasi thrombosit.11

Phospolipids (cell membrane) phospolipase Arachidonic acid cylooxygenase (COX-1, COX-2) Leukotriene Prostaglandin G 2

PGI2 (prostacytin) (6-keto PGF1a)

PGE2

PGD2

PGF2a

Thromboxane A2

Vasokonstriksi, Platelet agregation Vasodilation, edema, Inhibited platelet agregation

Lebih lanjut, sitokin-sitokin pro inflamasi akan menurunkan aktifitas plasminogen peritoneal-aktivator dan meningkatkan aktivitas inhibitornya yaitu (PAI1,2,3, Protease, Nexin) hasil dari aktifitas ini melalui sistem kaskade koagulasi akan menghasilkan fibrin pada rongga peritoneal. Adanya fibrin tersebut akan merangsang pembentukan adhesi melalui peningkatan aktifitas fibroblast yang distimulasi oleh growth factor yaitu PDGF (platelet-derived Growth Factor) dan TGF-B (transforming Growth Factor-B). Fibroblast dan juga sel sel mesotel akan mendesposisi serabut kolagen sehingga terbentuk fubrinous adhesion. Oleh karena itu proses ini sebetulnya merupakan fase awal dari proses bioseluler penyembuhan pada peritoneum. Teori klasik secara bioseluler proses tersebut dilukiskan pada gambar di bawah ini

Trauma12

Insult

infection Ischemia

Exudate (fibrin rich)

fibrin deposition

fibrinous adhesion peritoneal defect organisation

fibrous adhesion

B. PATOGENESIS ADHESI FIBROSA PERMANEN Eksudasi fibrin LUKA SEROSA dengan segera & formasi jaringan fibrin >10 menit formasi adhesi >3 jamEKSUDASI PLASMA KOAGULASI Eksudat max 24 jamADHESI

MIGRASI SEL FIBROBLAST

Sesudah 3 hari Terlihat hari ke 6

ANGIOGENESIS

13

1.

SINTESIS KOLAGEN ORGANISASI JAINGAN IKAT

2.

>3 hari >10 hari

ADHESI PERMANEN

Proses terbentuknya adhesi permanen tergantung dari kepada keseimbangan antara proses pro dan anti inflamasi serta aktifitas fibrinolitik. Jika faktor-faktor yang merangsang timbulnya inflamasi terus berlanjut pada saat pasca bedah maka proses yang berjalan adalah proses pembentukan adhesi yang permanen, dan aktifitas plasminogen yang penting di dalam lisis adhesi temporer dihambat seperti terlihat pada gambar di bawah ini

Inflamasi dan trauma peritoneum

Eksudat kaya fibrin

Fibrinous adhesion

Sistem fibrinolisis aktif

iskemia persisten Depresi sistem fibrinolisis

Resolusi fibrin Pertumbuhan vaskuler proliferasi fibroblast 14

adhesi permanen (-)

Adhesi permanen (+)

sedangkan

proses

histiogenesis

adhesi

secara

keseluruhan

sebenarnya merupakan hasil dari tahapan atau fase-fase penyembuhan peritoneum setelah itegrasi jaringan peritoneum dapat dipulihkan. Fasefase tersebut adalah sebagai berikut 1. Fase Inflamasi Dimulai pada hari pertama sampai dengan hari keempat. Pada tahap ini terjadi pengaktifan kaskade koagulasi, sistim kinin, komplemen, jalur asam arakhidonat dan prostaglandin, pembentukan thrombin, serta perubahan fibrinogen menjadi fibrin 2. Fase proliferasi Fase ini menghasilkan jaringan granulasi pada hari ke 3, fibroblast mengalami migrasi, dan dibawah pengaruh growth factor akan mempercepat deposisi kolagen dan ikatan antara serabut-serabut kolagen. Proses epitelisasi pun berjalan di bawah pengendalian growth factor dan inhibisi kontak antar sel. 3. Fase maturasi Fase ini terjadi mulai hari ke-8 sampai dengan ke 10setelah cidera. Proses ini akan berakhir pada beberapa bulan setelah cidera dan sangat bergantung pada jenis jaringanya. Serabut kolagen mengalami redistribusi dan pengaturan ulang, kemudian terbentuk jaringan adhesi permanen yang matur. Pada penyembuhan peritoneum terdapat hal khusus yang membedakanya dengan proses penyembuhan pada kulit, yaitu apabila ada proses inflamasi dan trauma fase awal telah teratasi atau dapat dihilangkan, maka fibrin yang terbentuk akan diuraikan kembali oleh proses fibrinolisis. Pengaturan keseimbangan pada proses tersebut dilakukan oleh peranan sitokin. Setelah sitokin pro inflamasi bekerja dan etilogi penyebab inflamasi dapat diatasi, maka sitokin-sitokin tersebut akan menurun konsentrasinya di dalam peritoneum karena tidak di produksi kembali oleh sel-sel yang terlibat di dalam inflamasi . selanjutnya yang beperanan adalah sitokin-sitokin tersebut adalah interleukin -4, dan interleukin -10. Akibat peningkatan konsentrasi dan 15

aktifitas sitokin-sitokin tersebut, maka aktifitas plasminogen activator akan meningkat, sedangkan plasminogen activator inhibitornya akan dihambat aktifitasnya. Hasil akhir proses tersebut adalah proses fibrinolisis, sehingga fibrinous adhesion diuraikan kembali dan tidak terbentuk adhesi permanen.

A. PENCEGAHAN

Adhesi dapat dicegah dengan melakukan usaha-usaha dalam teknik pembedahan pada laparotomi dan terapi adjuvan secara medikal. Teknik bedah yang yang harus dilakukan untuk mencegah adhesi adalah sebagai berikut:

Hemostasis yang baik. Dengan melakukan hemostasis yang baik akan akan mengurangi jumlah daran di intraperitoneal sehingga tidak terdapat ransangan bagi proses pro inflamasi yang menyebabkan adhesi permanen.

Pertahankan suplai darah Suplai darah yang adekuat di daerah peritoneum akan menghindari terjadinya iskemia jaringan peritoneum Hindari iskemi jaringan Dengan menghindari iskemia ransangan bagi terbentuknya proses inflamasi yang berlanjut dapat dihilangkan dan proses fibrinolisis dapat dirangsang. Pertahankan kelembaban jaringan Dalam keadaan normal, secara fisiologis lapisan sel-sel mesothel peritoneum dalam keadaan basah karena adanya cairan peritoneum yang melumasi permukaan tersebut. Adanya kekeringan akan menyebabkan kemungkinan mudah terjadi traum peritoneum

Hindari kasa kering Kasa kering akan menyebabkan mudah terjadinya abrasi pada peritoneum Manipulasi jaringan secara halus Dengan demikian, akan mengurangi trauma pada peritoneum, sehingga efek fibrinolisis dapat berjalan dengan baik. Manipulasi jaringan secara halus Benang yang demikian akan mengurangi efek benda asing pada peritoneum Hindari jahitan peritoneum yang ketat Jahitan yang ketat akan menyebabkan efek iskemia pada peritoneum Hindari benda asing16

Hadirnya benda asing akan meningkatkan reaksi inflamasi yang bertambah sehingga terbentuk suatu granuloma dan terjadinya adhesi bertambah tebal

Hindari ileus paralitik berlarut pasca bedah Usahakan peristaltik usus cepat kembali, karena dengan bergeraknya usus melalui proses peristaltik dan aktifitas fibrinolisis, adhesi yang temporer akan segera mengalami lisis karena kontak dengan permukaan serosa tidak terlalu lama

Mencegah timbulnya infeksi melalui tindakan asepsis dan antiseptik, serta antibiotika profilaksis Adanya proses infeksi yang berlanjut paa peritoneum akan terus merangsang proses inflamasi dan sintesis kolagen, dan aktifitas fibrinolisis akan dihambat, sehingga terjadi adhesi yang permanen

Jangan tinggalkan jaringan nekrotik Jaringan nekrotik akan merangsang proses migrasi sel-sel neutrophil dan pelepasan mediator lainya dan pada akhirnya proses inflamasi akan berlanjut dan aktifitas fibrinolisis dihambat. Jika telah melakukan teknik bedah yang baik dan jika adhesi tak dapat

dihindarkan, maka harus diusahakan agar adhesi tidak terjadi pada tempat-tempat yang berbahaya atau dapat menimbulkan komplikasi usus halus, daerah pelvik, tuba, dan ovaria. Selain dari teknik pembedahan terapi adjuvan dapat juga membantu mencegah adhesi antara lain :

Non Steroid Anti Inflamatory Drugs (NSID) Efek prevensi adhesi diperoleh melalui mekanisme penurunan permeabilitas vaskuler pada proses migrasi sel PMN, penurunan produksi hitamin dan adanya inhibisi platelet

Progestin Progestin akan menurunkan konsentrasi antibodi di dalam tubuh, dan akan menyebabkan inhibisi migrasi dan fungsi lekosit Fibrinolytic enzyme stimulating plasminogen activator

17

Enzim-enzim dari kelompok ini akan merangsang proses fibrinolisis, namun pada pemakaian klinis telah ditinggalkan karena efek samping perdarahan yang ditimbulkan pada pasien

Antibiotika Antibiotika akan menyebabkan matinya bakteri penyebab infeksi, sehingga pada giliranya akan mencegah induksi inflamasi dan adhesi permanen tidak terbentuk.

A. GEJALA KLINIS

Gejala utama dari ileus obstruksi antara lain : 1. Nyeri abdomen Nyeri abdomen biasanya yang bersifat cramping. Sifat cramping ini disebabkan periode hiperpelistaltik usus. Dalam usahanya untuk menghilangkan sumbatan. Sifatnya difus dan tak terlokalisir 2. Mual dan muntah Mual dan muntah biasanya muncul pada fase-fase awal obstruksi waktu muncul muntah bervarisi, tergantung pada letak obstruksi.pada obstruksi atas muntah basanya muncul lebih awal. Bahkan pada obstruksi kolon bila valvula iliosecal kompeten muntah bisa muncul terlambat. Isi muntah dapat bilous pada letak tinggi dan feses pada obstruksi letak rendah.

3. Perut distensi Distensi abdomen adalah penemuan klinis terakhir pada ileus obstruksi. Dapat pula tidak terdapat terdapat tanda disertai ini. Yaitu pada obstruksi usus level atas jika terjadi muntah dan mengkompresi sistem usus bagian proksimal sumbatan. 4. Tidak bisa buang air besar (obstipasi) Obstipasi adalah merupakan karakteristik obstruksi. Akan tetapi pasien dapat secara spontan flatus maupun defekasi segera setelah obstruksi karena masih adanya feses dan gas segmen usus sebelah distal obstruksi. Mual dan muntah umumnya terjadi pada obstruksi letak tinggi. Bila lokasi obstruksi di bagian distal maka gejala yang dominan adalah nyeri abdomen. Distensi abdomen terjadi bila obstruksi terus berlanjut dan bagian proksimal usus menjadi18

sangat dilatasi.Obstruksi pada usus halus menimbulkan gejala seperti nyeri perut sekitar umbilikus atau bagian epigastrium. Pasien dengan obstruksi partial bisa mengalami diare. Kadang kadang dilatasi dari usus dapat diraba. Obstruksi pada kolon biasanya mempunyai gejala klinis yang lebih ringan dibanding obstruksi pada usus halus. Umumnya gejala berupa konstipasi yang berakhir pada obstipasi dan distensi abdomen. Muntah jarang terjadi. Pada obstruksi bagian proksimal usus halus biasanya muncul gejala muntah. Nyeri perut bervariasi dan bersifat intermittent atau kolik dengan pola naik turun. Jika obstruksi terletak di bagian tengah atau letak tinggi dari usus halus (jejenum dan ileum bagian proksimal) maka nyeri bersifat konstan/menetap. Pada tahap awal, tanda vital normal. Seiring dengan kehilangan cairan dan elektrolit, maka akan terjadi dehidrasi dengan manifestasi klinis takikardi dan hipotensi postural. Suhu tubuh biasanya normal tetapi kadang kadang dapat meningkat. Dari pemeriksaan fisik didapatkan adanya demam, takikardi, hipotensi dan gejala dehidrasi yang berat. Demam menunjukkan adanya obstruksi strangulate. Pada pemeriksaan abdomen didapatkan abdomen tampak distensi, terdapat darm contour (gambaran usus), dan darm steifung (gambaran gerakan usus), pada auskultasi terdapat hiperperistaltik berlanjut dengan Borborygmus (bunyi usus mengaum) menjadi bunyi metalik (klinken) / metallic sound. Pada tahap lanjut dimana obstruksi terus berlanjut, peristaltik akan melemah dan hilang. Pada ileus paralitik, keadaan umum pasien tampak lemah hingga dehidrasi, tidak dapat flatus maupun defekasi. Dapat disertai muntah dan perut terasa kembung. Pada pemeriksaan abdomen didapatkan meteorismus, suara usus (-), peristaltik menghilang. Pada palpasi tidak terdapat nyeri tekan, defans muscular (-), kecuali jika ada peritonitis. Perkusi timpani diseluruh lapang abdomen. A. DIAGNOSIS Diagnosis ileus obstruktif ditegakkan berdasarkan pada anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan tambahan. Gambaran klinik obstruksi ileus sangat mudah dikenal, tidak tergantung kepada penyebab obstruksinya. Hanya pada keadaan strangulasi, nyeri biasanya lebih hebat dan menetap. Ileus obstruksi ditandai dengan gejala klinis berupa nyeri abdomen yang bersifat kolik, muntah-muntah dan obstipasi, distensi intestinalis, dan tidak adanya flatus. Rasa nyeri perut dirasakan seperti menusuk-nusuk atau rasa mulas yang hebat, umumnya nyeri tidak menjalar. Pada saat19

datang serangan, biasanya disertai perasaan perut yang melilit dan terdengar semacam suara dari dalam perut. Bila obstruksi tinggi, muntah hebat bersifat proyektil dengan cairan muntah yang berwarna kehijauan. Pada obstruksi rendah, muntah biasanya timbul sesudah distensi usus yang jelas (antibiotika). Pada umumnya persiapan penderita dapat sekali. Muntah tidak proyektil dan berbau feculent, warna cairan muntah kecoklatan. Pada penderita yang kurus /sedang dapat ditemukan dan contour atau darm steifung; biasanya nampak jelas pada saat penderita mendapat serangan kolik. Pada saat itu, dalam pemeriksaan bising usus dapat didengarkan bising usus yang kasar dan meninggi (borgorygmi dan metalic sound). Untuk mengetahui ada tidaknya strangulasi usus, beberapa gambaran klinik dapat membantu : 1. Rasa nyeri abdomen yang hebat, bersifat menetap, makin lama makin hebat. 2. Pada pemeriksaan abdomen didapatkan acites. 3. Terdapat abdominal tenderness. 4. Adanya tanda-tanda yang bersifat umum, demam, dehidrasi berat, tachycardihipotensi atau syok. 5. Pada penmeriksaan fisik ditemukan pada ileus obstruktif yaitu: Inspeksi : Perut distensi, dapat ditemukan kontur dan steifung. Benjolan pada regio inguinal, femoral dan skrotum menunjukkan suatu hernia inkarserata. Pada Intussusepsi dapat terlihat massa abdomen berbentuk sosis. Adanya adhesi dapat dicurigai bila ada bekas luka operasi sebelumnya. Auskultasi : Hiperperistaltik, bising usus bernada tinggi,

borborhygmi. Pada fase lanjut bising usus dan peristaltik melemah sampai hilang. Perkusi : timpani, redup hepar menghilang. Palpasi : Terkadang teraba massa seperti pada tumor, invaginasi, hernia.

A. TATALAKSANA20

Dasar pengobatan ileus obstruksi adalah koreksi keseimbangan elektrolit dan cairan, menghilangkan peregangan dan muntah dengan dekompresi, mengatasi peritonitis dan syok bila ada, dan menghilangkan obstruksi untuk memperbaiki kelangsungan dan fungsi usus kembali normal. Skema penatalaksaan ileus obstruksi.

Resusitasi Dalam resusitasi yang perlu diperhatikan adalah mengawasi tanda tanda vital, dehidrasi dan syok. Pasien yang mengalami ileus obstruksi mengalami dehidrasi dan gangguan keseimbangan ektrolit sehingga perlu diberikan cairan intravena seperti ringer laktat. Respon terhadap terapi dapat dilihat dengan memonitor tanda tanda vital dan jumlah urin yang keluar. Selain pemberian cairan intravena, diperlukan juga pemasangan nasogastric tube (NGT). NGT digunakan untuk mengosongkan lambung, mencegah aspirasi pulmonum bila muntah dan mengurangi distensi abdomen.

Farmakologis Pemberian obat obat antibiotik spektrum luas dapat diberikan sebagai profilaksis. Antiemetik dapat diberikan untuk mengurangi gejala mual muntah.

Operatif Operasi dilakukan setelah rehidrasi dan dekompresi nasogastrik untuk mencegah sepsis sekunder. Operasi diawali dengan laparotomi kemudian disusul dengan teknik bedah yang disesuaikan dengan hasil eksplorasi selama laparotomi.21

A. KOMPLIKASI Komplikasi yang dapat timbul antara lain nekrosis usus,perforasi usus, sepsis, syok, dehidrasi, malnutrisi, abses, pneumoni aspirasi dari proses muntah dan meninggal. B. PROGNOSIS Mortalitas obstruksi tanpa strangulata adalah 5% sampai 8% asalkan operasi dapat segera dilakukan. Keterlambatan dalam melakukan pembedahan atau jika terjadi strangulasi atau komplikasi lainya akan meningkatkan mortalitas sampai sekitar 35% atau 40%. Prognosisnya baik bila diagnosis dan tindakan dilakukan dengan cepat. BAB III KESIMPULAN Ileus adalah gangguan pasase isi usus yang merupakan tanda adanya obstruksi usus akut. Ileus Obstruktif adalah kerusakan atau hilangnya pasase isi usus yang disebabkan oleh sumbatan mekanik. 1. Gejala utama dari ileus obstruksi antara lain nyeri kolik abdomen, mual, muntah, perut distensi dan tidak bisa buang air besar (obstipasi). 2. Pada pemeriksaan abdomen didapatkan abdomen tampak distensi, terdapat darm contour (gambaran usus), dan darm steifung (gambaran gerakan usus), pada auskultasi terdapat hiperperistaltik berlanjut dengan Borborygmus (bunyi usus mengaum) menjadi bunyi metalik (klinken) / metallic sound. Pada tahap lanjut dimana obstruksi terus berlanjut, peristaltik akan melemah dan hilang. 3. Pemeriksaan radiologi: Posisi supine (terlentang) tampak herring bone appearance. Posisi setengah duduk : tampak step ladder appearance ataucascade. Adanya dilatasi dari usus disertai gambaran step ladder dan air fluid level pada foto polos abdomen dapat disimpulkan bahwa adanya suatu obstruksi. 4. Dari hasil anamnesis didapatkan keluhan nyeri perut, tidak dapat flatus dan BAB selama 3 hari, terasa mual dan muntah, perut terasa kembung. 5. Pada pemeriksaan fisik abdomen didapatkan: Inspeksi Auskultasi : perut distensi (+), darm countur (+) : peristaltik (+) meningkat, metallic sound (-)

22

Palpasi

: defans muscular (+), nyeri tekan (+) kwadran kiri bawah abdomen, hepar dan lien tak teraba

Perkusi 6.

: hipertimpani di seluruh lapang abdomen

Pada pemeriksaan penunjang didapatkan gambaran BNO 2 posisi berupa jumlah udara usus meningkat, dilatasi usus (+), air fluid level (+) dengan gambaran step ladder appearance, herring bone appearance (+), free air (-), tak tampak dilatasi usus menyeluruh dari gaster sampai rektum yang mendukung diagnosis ileus obstruktif et causa band adhesi pada kasus ini.

23