presentasi kasus (repaired) (repaired)

47
I. PENDAHULUAN Cedera kepala merupakan penyebab kematian tertinggi pada kelompok umur di bawah 45 tahun (produktif) dan penyebab kematian pada lebih dari 70 % kasus. Keadaan cacat menetap setelah trauma sebagian besar disebabkan oleh cidera kepala dengan kerusakan susunan saraf pusat. Pada kasus-kasus cedera kepala yang datang ke rumah sakit, sebagian berlanjut menjadi hematom (perdarahan). Frekuensi perdarahan ini terdapat pada 75 % kasus yang datang sadar dan berakhir dengan kematian (Asep, 2004). Subdural hematom adalah salah satu perdarahan intrakranial yang sering terjadi karena fraktur cranium. Otak ditutupi oleh tulang cranium yang kaku dan keras. Otak sendiri memiliki pembungkus yang disebut dura. Pembungkus tersebut terdiri atas tiga lapisan yaitu duramater, arakhnoid, dan piamater. Selaput tersebut berfungsi untuk melindungi otak, menutupi sinus-sinus vena, dan membentuk periosteum tabula interna.. Ketika seorang mendapat benturan yang hebat di kepala kemungkinan akan terbentuk suatu lubang, pergerakan dari otak mungkin akan menyebabkan pengikisan atau robekan dari pembuluh darah (Heller et al., 2012). 1

Upload: mirzania-mahya-fathia

Post on 09-Jul-2016

62 views

Category:

Documents


2 download

DESCRIPTION

Medical

TRANSCRIPT

Page 1: Presentasi Kasus (Repaired) (Repaired)

I. PENDAHULUAN

Cedera kepala merupakan penyebab kematian tertinggi pada

kelompok umur di bawah 45 tahun (produktif) dan penyebab kematian pada

lebih dari 70 % kasus. Keadaan cacat menetap setelah trauma sebagian besar

disebabkan oleh cidera kepala dengan kerusakan susunan saraf pusat. Pada

kasus-kasus cedera kepala yang datang ke rumah sakit, sebagian berlanjut

menjadi hematom (perdarahan). Frekuensi perdarahan ini terdapat pada 75

% kasus yang datang sadar dan berakhir dengan kematian (Asep, 2004).

Subdural hematom adalah salah satu perdarahan intrakranial yang

sering terjadi karena fraktur cranium. Otak ditutupi oleh tulang cranium

yang kaku dan keras. Otak sendiri memiliki pembungkus yang disebut dura.

Pembungkus tersebut terdiri atas tiga lapisan yaitu duramater, arakhnoid,

dan piamater. Selaput tersebut berfungsi untuk melindungi otak, menutupi

sinus-sinus  vena, dan membentuk periosteum tabula interna.. Ketika

seorang mendapat benturan yang hebat di kepala kemungkinan akan

terbentuk suatu lubang, pergerakan dari otak mungkin akan menyebabkan

pengikisan atau robekan dari pembuluh darah (Heller et al., 2012).

Subdural hematoma adalah perdarahan di ruang duramater dan

arakhnoid yang dikarenakan oleh robeknya vena di ruang arakhnoid.

Trauma pada kepala merupakan keadaan gawat darurat sehingga perlu

segera ditangani. Trauma ini disebabkan gaya mekanik yang langsung

menghantam kepala dan dapat berakibat menjadi fraktur tulang tengkorak,

kontusio serebri, laserasi serebri, dan perdarahan intrakranial seperti

subdural hematom, epidural hematom, atau intraserebral hematoma (De

Jong et al., 2010).

1

Page 2: Presentasi Kasus (Repaired) (Repaired)

II. LAPORAN KASUS

A. Identitas Pasien

1. Nama : Tn. Herli

2. Usia : 42 tahun

3. No. CM : 00100733

4. Jenis Kelamin : Laki-laki

5. Pekerjaan : Buruh Petani

6. Alamat : Binangun 12/11 Pataruman

7. Tanggal Masuk : Sabtu, 12 Maret 2016

B. Anamnesis

1. Keluhan Utama

Penurunan kesadaran

2. Riwayat Penyakit Sekarang

Pasien datang ke IGD RSMS Margono Soekarjo dengan

penurunan kesadaran satu jam setelah kecelakaan sepeda motor. Pasien

pasca kecelakaan sepeda motor dengan sepeda motor jam 01.00 (12

Maret 2016) di daerah Binangun, tanpa menggunakan helm, dan ditubruk

dari belakang hingga jatuh ke samping kanan. Pasien mual (+) dan

muntah (+) pasca kecelakaan, pusing (+), keluar cairan dari telinga kanan

(+). Pasien tidak memiliki riwayat kejang, mulut pelo, kelumpuhan,

maupun pengeluaran cairan dari hidung sebelum dan setelah kecelakaan.

Alloanamnesis pada keluarga pasien didapatkan bahwa pasien

tidak memiliki riwayat jatuh ataupun kecelakaan sebelumnya. Riwayat

penyakit jantung, tumor, asma, darah tinggi, diabetes, dan alergi juga

disangkal. Keluarga pasien juga tidak memiliki riwayat penyakit jantung,

tumor, asma, darah tinggi, diabetes, dan alergi.

3. Riwayat Penyakit Dahulu

1. Penyakit Jantung : disangkal

2. Penyakit Diabetes Melitus : disangkal

3. Penyakit Hipertensi : disangkal

2

Page 3: Presentasi Kasus (Repaired) (Repaired)

4. Riwayat Trauma kepala : disangkal

5. Riwayat Tumor : disangkal

6. Riwayat Asma dan Alergi : disangkal

4. Riwayat Penyakit Keluarga

a. Penyakit Jantung : disangkal

b. Penyakit Diabetes Melitus : disangkal

c. Penyakit Hipertensi : disangkal

d. Riwayat Trauma kepala : disangkal

e. Riwayat Tumor : disangkal

f. Riwayat Asma dan Alergi : disangkal

5. Riwayat Sosial Ekonomi

Pasien sehari – hari bekerja sebagai seorang buruh tani. Pasien

dirujuk ke Rumah Sakit Margono Soekarjo dengan tidak menggunakan

jaminan kesehatan (umum).

C. Pemeriksaan Fisik

1. Keadaan Umum : Apatis

2. Kesadaran : GCS E2M4V2 (8)

3. Vital Sign

Tekanan Darah : 110/70 mmHg

Nadi : 70 x/menit

Pernapasan : 23 x/menit

Suhu : 37,3o C

4. Status Antropometri

Berat Badan : 55 kg

Tinggi Badan : 160 cm

5. Pemeriksaan kepala

Kepala : mesocephal, simetris, jejas (-)

Mata : konjungtiva anemis -/-, sklera ikterik -/-, reflek cahaya +/+, pupil

isokor Ø 3mm/3mm, strabismus -/-

6. Pemeriksaan Leher : dalam batas normal, krepitasi (-), edem (-)

3

Page 4: Presentasi Kasus (Repaired) (Repaired)

7. Pemeriksaan Thoraks

Paru

Inspeksi :Dada simetris, ketertinggalan gerak (-), retraksi intercostals

(-), jejas (-)

Palpasi :Nyeri tekan (-), krepitasi intercostae (-), lokal fremitus paru

kanan = paru kiri, ketertinggalan gerak (-)

Perkusi : Sonor pada seluruh lapang paru

Auskultasi : Suara dasar vesikuler +/+,Ronkhi basah halus di basal -/-,

Ronkhi basah kasar di parahiler -/-, Wheezing -/-

Jantung

Inspeksi : tampak pulsasi ictus cordis di SIC VI 2 jari medial LMCS

Palpasi : ictus cordis teraba SIC VI 2 jari medial LMCS

ictus cordis kuat angkat

Perkusi: batas jantung kanan atas SIC II LPSD

batas jantung kiri atas SIC II LPSS

batas jantung kanan bawah SIC IV LPSD

batas jantung kiri bawah SIC VI 2 jari medial LMCS

Auskultasi : S1>S2, regular, murmur (-), gallop (-)

8. Pemeriksaan Abdomen

Inspeksi : jejas (-), datar, supel

Auskultasi : Bising usus (+) normal

Perkusi : timpani (+)

Palpasi : nyeri tekan (-)

9. Pemeriksaan ekstermitas

Superior : edema (-/-), sianosis (-/-), akral hangat (+/+), kekuatan

motorik (5/5)

Inferior : edema (-/-), sianosis (-/-), akral hangat (+/+), kekuatan

motorik (5/5)

10. Pemeriksaan neurologis

Sistem Motorik

Trofi : eutrofi Reflek Fisiologi : Superior +/+, inferior +/+

Tonus: normotonus Reflek Patologi : Superior -/-, inferior -/-

4

Page 5: Presentasi Kasus (Repaired) (Repaired)

D. Diagnosis

Subdural hematoma akut os frontotemporoparietal sinistra

E. Pemeriksaan Tambahan

CT Scan Kepala

Gambar 1. CT Scan Tn Herli (9,40 cc)

Gambar 2. Foto Cervical AP Lateral Tn. Herli

5

Page 6: Presentasi Kasus (Repaired) (Repaired)

Laboratorium tanggal 12 Maret 2016 Pukul 06.57

Hb : 12,9 g/dL

Leukosit : 16590 U/L (H)

Ht : 38 % (L)

Trombosit: 179.000/uL

Eritrosit : 4,4 x 106/uL

Ureum : 22,7 mg/dL

Kreatinin : 0.73 mg/dL (L)

Na : 140 mmol/L

K : 3,6 mmol/L

PT : 13,3 detik (H)

APTT : 43,2 detik (H)

F. Terapi

Terapi di IGD tanggal 12 Maret 2106 pukul 01.40

IVFD RL 20 tpm

O2 8 lpm NRM

DC-UT, Naso Gastric Tube

Collar Neck, Head Up 30o

Inj Ceftriaxon 2x1 gr

Inj Ranitidine 2x50 mg

Inj Ketorolac 3x30 mg

Inj As Tranexamat 3x500 mg

Konsul dokter Spesialis Bedah Saraf tanggal 12 Maret 2016 pukul 08.50 :

a. IVFD NaCl 2000 cc/hari

b. Loading Manitol 250 cc lanjut maintenance 6x150 cc

c. Inj Ceftriaxon 2x1 gr

d. Inj Ranitidine 2x50 mg

e. Inj Ketorolac 3x30 mg

f. Inj Fenitoin 3x100 mg

g. Rawat konservatif HCU

6

Page 7: Presentasi Kasus (Repaired) (Repaired)

G. Follow up Pasien

Waktu Keluhan dan Pemeriksaan Fisik

13 Maret 2016

14 Maret 2016

Pasien berada di ruang HCU

S: Penurunan kesadaran

O: GCS E3M5V2 (10)

TD: 120/90, N: 84 x/m RR: 22x/m S: 36,4 C

Mata: reflex cahaya +/+, pupil bulat isokor

diameter 3mm/3mm, parese -

Mulut : parese -

Ekstrimitas: 5/5/5/5

A : SDH Akut os frontotemporoparietal sin

P: IVFD NaCl 2000 cc/hari

Manitol 6x150 cc

Inj Ceftriaxon 2x1 gr

Inj Ranitidine 2x50 mg

Inj Ketorolac 3x30 mg

Inj Fenitoin 3x100 mg

Pasien berada di ruang HCU

S: Penurunan kesadaran

O: GCS E4M5V2 (11)

TD: 109/73, N: 75 x/m RR: 20x/m S: 37,7 C

Mata: reflex cahaya +/+, pupil bulat isokor

diameter 3mm/3mm, parese –

Mulut : parese –

Ektrimitas 5/5/5/5

A : SDH Akut os frontotemporoparietal sin

P: IVFD NaCl 2000 cc/hari

Manitol 6x150 cc, Inj Ceftriaxon 2x1 gr

Inj Ranitidine 2x50 mg

Inj Ketorolac 3x30 mg Tramadol drip 2x1 amp

Inj Fenitoin 3x100 mg

7

Page 8: Presentasi Kasus (Repaired) (Repaired)

15 Maret 2016

16 Maret 2016

Pasien berada di ruang HCU

S: Penurunan kesadaran

O: GCS E4M5V2 (11)

TD: 120/90, N: 81 x/m RR: 22x/m S: 36,6 C

Mata: reflex cahaya +/+, pupil bulat isokor

diameter 3mm/3mm, parese –

Mulut : parese –

Ektrimitas 5/5/5/5

A : SDH Akut os frontotemporoparietal sin

P: IVFD NaCl 2000 cc/hari

O2 3 lpm

Manitol 6x100 cc

Inj Ceftriaxon 2x1 gr

Inj Ranitidine 2x50 mg

Inj Tramadol drip 2x1 amp

Inj Fenitoin 3x100 mg

Diit cair 6 x 300 cc/NGT

Rawat Cempaka

Pasien berada di ruang Cempaka

S: Pusing

O: GCS E4M5V2 (11)

TD: 120/80, N: 84 x/m RR: 20x/m S: 36,3 C

Mata: reflex cahaya +/+, pupil isokor diameter

3mm/3mm, parese (-)

Mulut : parese n. VII sinistra

Ektrimitas 5/5/5/5

A : SDH Akut os frontotemporoparietal sin

P: IVFD NaCl 2000 cc/hari

O2 3 lpm

Manitol 5x100 cc

Inj Ceftriaxon 2x1 gr

8

Page 9: Presentasi Kasus (Repaired) (Repaired)

17 Maret 2016

18 Maret 2016

Inj Ranitidine 2x50 mg

Inj Tramadol drip 2x1 amp

Inj Fenitoin 3x100 mg

Diit cair 6 x 300 cc/NGT

Pasien berada di ruang Cempaka

S: Pasien tidak dapat berbicara

O: GCS E4M5Vafasia

TD: 120/90, N: 88 x/m RR: 20x/m S: 36,5 C

Mata: reflex cahaya +/+, pupil isokor bulat

diameter 3mm/3mm, parese (-)

Mulut : parese n. VII sinistra

Ektrimitas 5/5/5/5

A : SDH Akut os frontotemporoparietal sin

P: Aff DC

Manitol 2x100 cc

Diit Lunak

(Terapi oral) Phenitoin 3x100 mg

As Mefenamat 3x500 mg

Vit B Complex 2x1 tab

Pasien rencana pulang besok

Pasien berada di ruang Cempaka

S: Pasien tidak dapat berbicara

O: GCS E4M5Vafasia

TD: 120/80, N: 80 x/m RR: 20x/m S: 36C

Mata: reflex cahaya +/+, pupil isokor bulat

diameter 3mm/3mm, parese (-)

Mulut : parese n. VII sinistra

Ektrimitas 5/5/5/5

A : SDH Akut os frontotemporoparietal sin

P: Aff DC

9

Page 10: Presentasi Kasus (Repaired) (Repaired)

Aff Infus

Diit Lunak

(Terapi oral) Phenitoin 3x100 mg

As Mefenamat 3x500 mg

Vit B Complex 2x1 tab

Pasien rencana pulang hari ini

10

Page 11: Presentasi Kasus (Repaired) (Repaired)

III. TINJAUAN PUSTAKA

A. Anatomi Otak

Sistem saraf pusat meliputi otak (ensefalon) dan sumsum tulang belakang

(Medula spinalis). Keduanya merupakan organ yang sangat lunak, dengan

fungsi yang sangat penting maka perlu perlindungan. Selain tengkorak dan

ruas-ruas tulang belakang, otak juga dilindungi 3 lapisan selaput meninges.

Bila membran ini terkena infeksi maka akan terjadi radang yang disebut

meningitis. Ketiga lapisan membran meninges dari luar ke dalam adalah

sebagai berikut (Scalon, 2007):

1. Durameter; terdiri dari dua lapisan, yang terluar bersatu dengan tengkorak

sebagai endostium, dan lapisan lain sebagai duramater yang mudah

dilepaskan dari tulang kepala. Di antara tulang kepala dengan duramater

terdapat rongga epidural. Lapisan endosteal merupakan periosteum yang

menutupi permukaan dalam tulang tengkorak. Pada foramen magnum,

lapisan ini tidak bersambung dengan dura mater medulla spinalis. Lapisan

meningeal merupakan lapisan duramater yang sebenarnya, merupakan

lapisan fibrosa kuat dan padat yang meliputi otak serta bersambung

dengan dura mater medulla spinalis melalui foramen magnum. Lapisan

meningeal ini membentuk selubung tubular untuk saraf kranial saat saraf

kranial tersebut melintasi foramina di tengkorak. Di luar kranium,

selubung ini menyatu dengan epineurium saraf. Lapisan meningeal

membentuk empat septa ke arah dalam yang membagi rongga kranium

menjadi ruang-ruang yang dapat berhubungan secara bebas dan

merupakan tempat bagian-bagian otak. Fungsi-fungsi septa ini adalah

untuk membatasi pergeseran otak akibat akselerasi dan deselerasi saat

kepala digerakkan (Snell, 2006).

a) Falx cerebri, merupakan lipatan duramater yang berbentuk bulan

sabit, terletak di garis tengah di antara kedua hemispherium cerebri.

b) Tentorium cerebella, merupakan lipatan dura mater yang berbentuk

bulan sabit, yang membentuk atap di atas fossa cranii superior,

memisahkan cerebrum dengan cerebellum.

11

Page 12: Presentasi Kasus (Repaired) (Repaired)

c) Falx cerebella, merupakan lipatan dura mater kecil berbentuk sabit,

melekat pada crista occipitalis interna dan menonjol ke depan di

antara kedua hemispherium cerebellii.

Sinus venosus dura mater terdiri atas (Snell, 2006):

a) Sinus sagitalis superior

b) Sinus sagitalis inferior

c) Sinus transverses

d) Sinus sigmoideus

e) Sinus occipitalis sinus cavernosus

f) Sinus petrosus superior

g) Sinus petrosus inferior

Gambar 3. Sinus Duramater

2. Arachnoidea mater; disebut demikian karena bentuknya seperti sarang

labah-labah. Di dalamnya terdapat cairan yang disebut liquor

cerebrospinalis; semacam cairan limfa yang mengisi sela sela membran

araknoid. Fungsi selaput arachnoidea adalah sebagai bantalan untuk

melindungi otak dari bahaya kerusakan mekanik. Di daerah tertentu,

arakhnoid menonjol ke dalam sinus venosus membentuk villi

arachnoidea. Villi arachnoidea paling banyak terdapat di sepanjang sinus

sagitalis superior. Kumpulan villi arachnoidea disebut granulationes

12

Page 13: Presentasi Kasus (Repaired) (Repaired)

arachnoideas. Villi arachnoidea berfungsi sebagai tempat difusi cairan

serebrospinal ke dalam aliran darah (Snell, 2006). 3.Piameter. Lapisan

terdalam yang mempunyai bentuk disesuaikan dengan lipatan-lipatan

permukaan otak. Struktur ini melekat erat pada otak, menutupi gyrus-

gyrus, dan turun mencapai bagian sulcus yang paling dalam. Lapisan ini

meluas keluar hingga mencapai saraf kranial dan menyatu dengan

epineuriumnya (Snell, 2006).

Otak dan sumsum tulang belakang mempunyai 3 materi esensial yaitu

badan sel yang membentuk bagian materi kelabu (substansi grissea), serabut

saraf yang membentuk bagian materi putih (substansi alba), sel-sel neuroglia,

yaitu jaringan ikat yang terletak di antara sel-sel saraf di dalam sistem saraf

pusat. Walaupun otak dan sumsum tulang belakang mempunyai materi sama

tetapi susunannya berbeda. Pada otak, materi kelabu terletak di bagian luar

atau kulitnya (korteks) dan bagian putih terletak di tengah. Pada sumsum

tulang belakang bagian tengah berupa materi kelabu berbentuk kupu-kupu,

sedangkan bagian korteks berupa materi putih (Scalon, 2007).

1. Otak

Otak terdiri dari dua belahan, belahan kiri mengendalikan tubuh

bagian kanan, belahan kanan mengendalikan belahan kiri. Mempunyai

permukaan yang berlipat-lipat untuk memperluas permukaan sehingga

dapat ditempati oleh banyak saraf. Otak juga sebagai pusat penglihatan,

pendengaran, kecerdasan, ingatan, kesadaran, dan kemauan. Bagian

dalamnya berwarna putih berisi serabut saraf, bagian luarnya berwarna

kelabu berisi banyak badan sel saraf. Otak besar mempunyai fungsi dalam

pengaturan semua aktivitas mental, yaitu yang berkaitan dengan

kepandaian (intelegensi), ingatan (memori), kesadaran, dan pertimbangan

(Scalon, 2007).

Otak besar merupakan sumber dari semua kegiatan/gerakan sadar

atau sesuai dengan kehendak, walaupun ada juga beberapa gerakan refleks

otak. Pada bagian korteks otak besar yang berwarna kelabu terdapat bagian

penerima rangsang (area sensor) yang terletak di sebelah belakang area

motor yang berfungsi mengatur gerakan sadar atau merespon rangsangan.

13

Page 14: Presentasi Kasus (Repaired) (Repaired)

Selain itu terdapat area asosiasi yang menghubungkan area motor dan

sensorik. Area ini berperan dalam proses belajar, menyimpan ingatan,

membuat kesimpulan, dan belajar berbagai bahasa. Di sekitar kedua area

tersebut dalah bagian yang mengatur kegiatan psikologi yang lebih tinggi.

Misalnya bagian depan merupakan pusat proses berfikir (yaitu mengingat,

analisis, berbicara, kreativitas) dan emosi. Pusat penglihatan terdapat di

bagian belakang (Scalon, 2007).

a. Otak Depan (Prosoncephalon)

Otak depan berkembang menjadi telencephalon dan diencephalon.

Telencephalon berkembang menjadi otak besar (Cerebrum).

Diencephalon berkembang menjadi thalamus, hipotamus.

Gambar 4. Otak Depan (Prosoncephalon)

b. Otak Besar (Cerebrum)

Otak besar mempunyai fungsi dalam pengaturan semua aktivitas

mental, yaitu yang berkaitan dengan kepandaian (intelegensi), ingatan

(memori), kesadaran, dan pertimbangan. Otak besar merupakan sumber

dari semua kegiatan/gerakan sadar atau sesuai dengan kehendak,

walaupun ada juga beberapa gerakan reflex otak. Pada bagian korteks

otak besar yang berwarna kelabu terdapat bagian penerima rangsang

(area sensor) yang terletak di sebelah belakang area motor yang

berfungsi mengatur gerakan sadar atau merespon rangsangan. Selain itu

terdapat area asosiasi yang menghubungkan area motor dan sensorik.

Area ini berperan dalam proses belajar, menyimpan ingatan, membuat

kesimpulan, dan belajar berbagai bahasa. Di sekitar kedua area tersebut

dalah bagian yang mengatur kegiatan psikologi yang lebih tinggi.

Misalnya bagian depan merupakan pusat proses berfikir (yaitu

14

Otak Depan (Prosoncephal

Page 15: Presentasi Kasus (Repaired) (Repaired)

mengingat, analisis, berbicara, kreativitas) dan emosi. Pusat penglihatan

terdapat di bagian belakang (Scalon, 2007).

Merupakan bagian terluas dan terbesar dari otak ,bentuk telur dan

mengisi penuh bagian atas rongga tengkorak. Adapun fungsi serebrum

yaitu : untuk pusat pengaturan semua aktivitas mental yaitu berkenaan

dengan kepandaian (Intelegensi), ingatan(memori), kesadaran, pusat

menangis, keinginan buang air besar maupun kecil. Terdiri atas :

1) Lobus frontalis (depan), sebagai area motorik yg membangkitkan

impuls untuk pergerakan volunteer. Area motorik kiri mengatur

pergeakan sisi kanan tubuh dan sebalikya.

2) Lobus oksipital (belakang),  untuk pusat penglihatan

3) Lobus temporal (samping), untuk pusat pendengaran

4) Lobus parietal (tengah), untuk pusat pengatur kulit dan otot

terhadap panas, dingin, sentuhan,tekanan.

Antara bagian tengah dan belakang merupakan pusat

perkembangan kecerdasan,ingatan,kemauan dan sikap.

Gambar 5 Otak Besar (Cerebrum)

Gambar 6. Otak Besar (Cerebrum), terdiri atas :

Lobus frontalis (depan), Lobus oksipital (belakang),

Lobus temporal (samping), dan Lobus parietal (tengah).

15

Page 16: Presentasi Kasus (Repaired) (Repaired)

c. Thalamus

Thalamus terdiri dari sejumlah pusat syaraf dan berfungsi sebagai

“tempat penerimaan untuk sementara” sensor data dan sinyal-sinyal

motorik, contohnya untuk pengiriman data dari mata dan telinga

menuju bagian yang tepat dalam korteks (Scalon, 2007).

Gambar 7. Thalamus

d. Hipotalamus

Hypothalamus berfungsi untuk mengatur nafsu makan dan syahwat

dan mengatur kepentingan biologis lainnya. Adapun fungsi lain dari

hypothalamus adalah (Scalon, 2007).:

1) Berperan penting dalam pengendalian aktivitas SSO yg

melakukan fungsi vegetative penting untuk kehidupan seperti

pengaturan frekuensi jantung, TD, Suhu tubuh, keseimbangan air,

selera makan, saluran pencernaan dan aktivitas seksual

2) Sebagai pusat otak untuk emosi seperti kesenangan, nyeri,

kegembiraan dan kemarahan.

3) Memproduksi hormone yang mengatur pelepasan atau inhibisi

hormion kelenjar hipofisis, sehingga mempengaruhi keseluruhan

system endokrin.

Gambar 8. Hipothalamus

16

Page 17: Presentasi Kasus (Repaired) (Repaired)

e. Otak Tengah (Mesencephalon)

Otak tengah terletak di depan otak kecil dan jembatan varol. Di

depan otak tengah terdapat talamus dan kelenjar hipofisis yang

mengatur kerja kelenjar-kelenjar endokrin. Bagian atas (dorsal) otak

tengah merupakan lobus optikus yang mengatur refleks mata seperti

penyempitan pupil mata, dan juga merupakan pusat pendengaran.

Otak tengah tidak berkembang dan tetap menjadi otak tengah (Scalon,

2007).

Gambar 9. Otak Tengah (Mesencephalon)

f. Otak Belakang (Rhombencephalon)

Otak belakang berkembang menjadi metencephalon dan

mielencephalon. Metencephalon berkembang menjadi cerebellum dan

pons varolli. Sedangkan mielencephalon berkembang menjadi

medulla oblongata (Scalon, 2007).

Gambar 10. Otak Belakang (Rhombencephalon)

17

Page 18: Presentasi Kasus (Repaired) (Repaired)

g. Otak Kecil (Serebelum)

Serebelum mempunyai fungsi utama dalam koordinasi gerakan

otot yang terjadi secara sadar, keseimbangan, dan posisi tubuh. Bila

ada rangsangan yang merugikan atau berbahaya maka gerakan sadar

yang normal tidak mungkin dilaksanakan. Terletak di bagian bawah

dan belakang tengkorak dipisahkan dengan cerebrum, diatas medula

oblangata, Adapun fungsinya yaitu (Scalon, 2007):

1) Pusat keseimbangan

2) Mengkoordinasi dan mengendalikan ketepatan gerakan otot dengan

baik

3) Menghantarkan impuls dari otot-otot bagian kiri dan kanan tubuh.

Gambar 11. Otak Kecil (Serebelum)

h. Sumsum Sambung (Medulla Oblongata)

Sumsum sambung berfungsi menghantar impuls yang datang dari

medula spinalis menuju ke otak. Sumsum sambung juga memengaruhi

jembatan, refleks fisiologi seperti detak jantung, tekanan darah,

volume dan kecepatan respirasi, gerak alat pencernaan, dan sekresi

kelenjar pencernaan. Selain itu, sumsum sambung juga mengatur

gerak refleks yang lain seperti bersin, batuk, dan berkedip (Scalon,

2007).

18

Page 19: Presentasi Kasus (Repaired) (Repaired)

Gambar 12. Sumsum Sambung (Medulla Oblongata)

j. Jembatan Varol (Pons Varoli)

Jembatan varol berisi serabut saraf yang menghubungkan otak

kecil bagian kiri dan kanan, juga menghubungkan otak besar dan

sumsum tulang belakang (Scalon, 2007).

Gambar 13. Jembatan Varol (Pons Varoli)

B. Definisi Subdural Hematom

Subdural hematoma (SDH) terjadi akibat robeknya vena-vena jembatan

(bridging vein), sinus venosus dura mater atau robeknya araknoidea.

Perdarahan terletak di antara duramater dan araknoidea. SDH ada yang akut

dan kronik Gejala klinis berupa nyeri kepala yang makin berat dan muntah

proyektil. Jika SDH makin besar, bisa menekan jaringan otak, mengganggu

ARAS, dan terjadi penurunan kesadaran (Soertidewi, 2012).

19

Page 20: Presentasi Kasus (Repaired) (Repaired)

C. Etiologi Subdural Hematom

Subdural hematoma dapat terjadi karena (Price, 2006, Sjamsuhidajat, 2004) :

1) Trauma

a) Trauma kapitis

Subdural hematoma disebabkan oleh trauma otak yang menyebabkan

robeknya vena di dalam ruang arakhnoid. Pembesaran hematom

karena robeknya vena memerlukan waktu yang lama, sehari sampai

beberapa minggu

b. Trauma di tempat lain pada badan yang berakibat terjadinya

pergeseran atau putaran otak terhadap duramater, misalnya pada

orang yang jatuh terduduk

c. Trauma pada leher karena guncangan pada badan. Hal ini lebih

mudah terjadi bila ruangan subdural lebar akibat atrofi otak,

misalnya pada orang lanjut usia dan anak – anak.

3) Non Trauma

a. Pecahnya aneurisma atau malformasi pembuluh darah di dalam

ruangan subdural

b. Gangguan pembekuan darah biasanya berhubungan dengan

perdarahan subdural yang spontan dan keganasan ataupun

perdarahan dari tumor intrakranial

c. Usia lanjut, alkoholik, gangguan hati dan penggunaan antikoagulan

D. Klasifikasi Subdural Hematom

Subdural hematoma dibagi menjadi berbagai tipe menurut onset terjadinya,

yaitu :

1. Subdural hematoma akut

Hematoma subdural akut secara klinis sukar dibedakan dengan

hematoma epidural yang berkembang lambat. Hematom subdural akut

dan kronik memberikan gambaran klinis suatu proses desak ruang yang

progresif sehingga tidak jarang dianggap sebagai neoplasma atau

demensi (Sjamsuhidajat, 2004).

20

Page 21: Presentasi Kasus (Repaired) (Repaired)

Subdural hematoma akut menimbulkan gejala neurologis yang

penting dan serius dalam waktu 24 – 48 jam setelah cedera. Hematoma

ini sering berkaitan dengan trauma otak berat dan juga mempunya angka

mortalitas yang tinggi. Defisit neurologik progresif disebabkan oleh

tekanan pada jaringan otak dan herniasi batang otak ke dalam foramen

magnum yang selanjutnya menimbulkan tekanan pada batang otak.

Keadaan ini cepat menimbulkan henti napas dan hilangnya kontrol atas

denyut nadi dan tekanan darah (Price, 2006).

2. Subdural hematoma subakut

Subdural hematoma subakut menyebabkan defisit neurologik

bermakna dalam waktu lebih dari 48 jam tetapi kurang dari dua minggu

setelah cedera. Seperti pada subdural hematoma akut, hematoma ini juga

disebabkan oleh perdarahan vena ke dalam ruang subdural (Price, 2006).

Riwayat klinis yang khas dari penderita subdural hematoma

subakut adalah adanya trauma kepala yang menyebabkan ketidaksadaran,

selanjutnya diikuti perbaikan status neurologik yang bertahap. Namun,

setelah jangka waktu tertentu penderita memperlihatkan tanda 0 tanda

status neurologik yang memburuk. Tingkat kesadaran menurun secara

bertahap dalam beberapa jam. Sejalan dengan meningkatnya TIK akibat

timbunan hematoma, pasien menjadi sulit dibangunkan dan tidak

berespons terhadap rangsangan verbal maupun nyeri (Price, 2006).

3. Subdural hematoma kronis

Pada subdural hematoma kronis awitan gejala pada umumnya

tertunda beberapa minggu, bulan bahkan tahun setelah cedera awal.

Trauma pertama merobek salah satu vena yang melewati ruang subdural

sehingga terjadi perdarahan lambat ke dalam ruang subdural. Dalam 7 –

10 hari setelah perdarahan, darah dikelilingi oleh membran fibrosa.

Terjadi kerusakan sel – sel darah dalam hematoma sehingga terbentuk

tekanan osmotik yang menyebabkan tertariknya cairan ke dalam

hematoma (Price, 2006).

Gejala subdural hematoma kronis tidak spesifik dan tidak

terlokalisasi. Beberapa penderita mengeluh sakit kepala. Gejala dan tanda

21

Page 22: Presentasi Kasus (Repaired) (Repaired)

yang paling khas adalah perubahan progresif dalam tingkat kesadaran

termasuk apatis, letargi, berkurangnya perhatian, dan menurunnya

kemampuan untuk mempergunakan kecakapan kognitif yang lebih tinggi.

Hemianopsia, hemiparesis dan kelainan pupil ditemukan pada kurang

dari 50% kasus (Price, 2006).

E. Patofisiologi Subdural Hematom

Perdarahan terjadi antara duramater dan arakhnoidea. Perdarahan

dapat terjadi akibat robeknya vena jembatan (bridging veins) yang

menghubungkan vena di permukaan otak dan sinus venosus di dalam

duramater atau karena robeknya araknoidea. Karena otak yang bermandikan

cairan cerebrospinal dapat bergerak, sedangkan sinus venosus dalam keadaan

terfiksir, berpindahnya posisi otak yang terjadi pada trauma, dapat merobek

beberapa vena halus pada tempat di mana mereka menembus duramater

Perdarahan yang besar akan menimbulkan gejala-gejala akut menyerupai

hematoma epidural (Price, 2006).

Perdarahan yang tidak terlalu besar akan membeku dan di sekitarnya

akan tumbuh jaringan ikat yang membentuk kapsula. Gumpalan darah lambat

laun mencair dan menarik cairan dari sekitarnya dan mengembung

memberikan gejala seperti tumor serebri karena tekanan intracranial yang

berangsur meningkat. Perdarahan sub dural kronik umumnya berasosiasi

dengan atrofi cerebral. Vena jembatan dianggap dalam tekanan yang lebih

besar, bila volume otak mengecil sehingga walaupun hanya trauma yang kecil

saja dapat menyebabkan robekan pada vena tersebut. Perdarahan terjadi

secara perlahan karena tekanan sistem vena yang rendah, sering

menyebabkan terbentuknya hematoma yang besar sebelum gejala klinis

muncul. Pada perdarahan subdural yang kecil sering terjadi perdarahan yang

spontan. Pada hematoma yang besar biasanya menyebabkan terjadinya

membran vaskular yang membungkus hematoma subdural tersebut.

Perdarahan berulang dari pembuluh darah di dalam membran ini memegang

peranan penting, karena pembuluh darah pada membran ini jauh lebih rapuh

sehingga dapat berperan dalam penambahan volume dari perdarahan subdural

22

Page 23: Presentasi Kasus (Repaired) (Repaired)

lkronik. Akibat dari perdarahan subdural, dapat meningkatkan tekanan

intrakranial dan perubahan dari bentuk otak. Naiknya tekanan intra kranial

dikompensasi oleh efluks dari cairan likuor ke axis spinal dan dikompresi

oleh sistem vena. Pada fase ini peningkatan tekanan intra kranial terjadi

relatif perlahan karena komplains tekanan intra kranial yang cukup tinggi.

Meskipun demikian pembesaran hematoma sampai pada suatu titik tertentu

akan melampaui mekanisme kompensasi tersebut. Komplains intrakranial

mulai berkurang yang menyebabkan terjadinya peningkatan tekanan intra

kranial yang cukup besar. Akibatnya perfusi serebral berkurang dan terjadi

iskemi serebral. Lebih lanjut dapat terjadi herniasi transtentorial atau

subfalksin. Herniasi tonsilar melalui foramen magnum dapat terjadi jika

seluruh batang otak terdorong ke bawah melalui incisura tentorial oleh

meningkatnya tekanan supra tentorial. (Price, 2006).

F. Penegakan Diagnosis Subdural Hematom

Gejala klinis (Satyanegara dkk, 2014) :

1. Anamnesis

Dari anamnesis ditanyakan adanya riwayat trauma kepala baik

dengan jejas di kepala atau tidak, jika terdapat jejas perlu ditanyakan ada

atau tidaknya kehilangan kesadaran atau pingsan. Untuk tambahan

ditanyakan apakah disertai muntah dan kejang setelah terjadinya trauma

kepala.. ada kelemahan anggota gerak atau tidak. Ditanyakan juga

penyakit lain yang sedang diderita dan obat – obatan yang sedang

dikonsumsi saat ini dan apakah dalam pengaruh alkohol.

2. Pemeriksaan Fisik

Pemeriksaan klinis meliputi pemeriksaan primer (primary survey)

yang mencakup jalan napas (airway), pernafasan (breathing), dan tekanan

darah atau nadi (circulation) yang dilanjutkan dengan resusitasi.

Pemeriksaan neurologik yang meliputi kesadaran penderita dengan

menggunakan Skala Koma Glasgow, pemeriksaan diameter kedua ouoil

dan tanda – tanda defisit neurologis fokal. Pada pemeriksaan sekunder

dilakukan pemeriksaan neurologi serial meliputi GCS, lateralisasi dan

23

Page 24: Presentasi Kasus (Repaired) (Repaired)

refleks pupil. Tanda awal dari herniasi lobus temporal adalah dilatasi pupil

dan hilangnya refleks pupil terhadap cahaya.

3. Pemeriksaan Penunjang (Satyanegara, 2014)

a. Laboratorium

Pemeriksaan darah rutin, elektrolit, profil hemostasis/koagulasi

b. Foto Rontgen

c. MRI

Umumnya konfigurasi SDH pada MRI adalah bentuk kresentis (‘bulan

sabit’), namun perlu diingat bahwa SDH yang kronik dapat memberi

gambaran berbentuk bikonveks yang serupa dengan gambaran EDH.

SDH hiperakut (yang terdiri dari campuran oksi Hb dan deoksi Hb)

akan menampilkan gambaran hipo/isointens pada T1 dan hipeintens

T2. SDH akut (terdiri dari deoksi Hb dalam sel darah merah yang

intak) memberi gambaran hipo/isointens pada T1 dan hipointens T2.

SDH subakut dini (dimana deoksi Hb intraseluler telah dioksidasi

menjadi metHb) akan memberi sinyal hiperintens T1 dan hipointens

T2. Pada SDH subakut lambat (telah terjadi lisis sel darah merah dan

menghasilkan metHb bebas) akan memberi sinyal hiperintens T1 dan

T2. Sedangakan pada SDH kronis dimana sudah terbentuk

hemosiderin, akan memberi sinyal hipointens pada T1 maupun T2.

d. CT Scan : bulan sabit (kresentik)

d. Akut (1-3 hari) : hiperdens

e. Subakut (4-21 hari) : isodens

f. Kronis (>21 hari) : hipodens menyelimuti permukaan otak

Dapat menyeberang sutura

Gambar 12. CT Scan Subdural Hematoma

24

Page 25: Presentasi Kasus (Repaired) (Repaired)

G. Penatalaksanaan Subdural Hematom

1. Penatalaksanaan Ruang Gawat Darurat

a. Jalan napas (Airway)

Jalan napas dibebaskan dari lidah yang turun ke belakang dengan

posisi kepala ekstensi. Jika perlu dipasang pipa orofaring atau pipa

endotrakheal. Bersihkan sisa muntahan, darah, lendir atau gigi palsu.

Jika muntah, pasien dibaringkan miring. Isi lambung dikosongkan

melalui pipa nasogastrik untuk menghindari aspirasi muntahan

(Soertidewi, 2012).

b. Pernapasan (Breathing)

Gangguan pernapasan dapat disebabkan oleh kelainan sentral atau

perifer. Kelainan sentral disebabkan oleh depresi pernapasan yang

ditandai dengan pola pernapasan Cheyne Stokes, hiperventilasi

neurogenik sentral. Kelainan perifer disebabkan oleh aspirasi, trauma

dada, edema paru, emboli paru, atau infeksi. Tata laksana (Soertidewi,

2012):

1) Oksigen dosis tinggi, 10-15 liter/menit, intermiten

2) Cari dan atasi faktor penyebab

3) Kalau perlu pakai ventilator

c. Sirkulasi (Circulation)

Hipotensi dapat terjadi akibat cedera otak. Hipotensi dengan tekanan

darah sistolik <90 mm Hg yang terjadi hanya satu kali saja sudah

dapat meningkatkan risiko kematian dan kecacatan. Hipotensi

kebanyakan terjadi akibat faktor ekstrakranial, berupa hipovolemia

karena perdarahan luar atau ruptur alat dalam, trauma dada disertai

tamponade jantung/ pneumotoraks, atau syok septik. Tata laksananya

dengan cara menghentikan sumber perdarahan, perbaikan fungsi

jantung, mengganti darah yang hilang, atau sementara dengan cairan

isotonik NaCl 0,9% (Soertidewi, 2012).

25

Page 26: Presentasi Kasus (Repaired) (Repaired)

d. Manajemen Tekanan Intra Kranial (TIK) Meningkat

Peninggian tekanan intrakranial terjadi akibat edema serebri dan/atau

hematoma intrakranial. Bila ada fasilitas, sebaiknya dipasang monitor

TIK. TIK normal adalah 0-15 mm Hg. Di atas 20 mm Hg sudah harus

diturunkan dengan cara (Soertidewi, 2012) :

1) Posisi tidur: Bagian kepala ditinggikan 30 derajat dengan kepala

dan dada pada satu bidang.

2) Terapi diuretik

a) Diuretik osmotik (manitol 20%) dengan dosis 0,5-1 g/kgBB

(1gr = 5cc), diberikan dalam 30 menit. Untuk mencegah

rebound, pemberian diulang setelah 6 jam dengan dosis 0,25-

0,5/kgBB dalam 30 menit (TIK fluktuatif setiap 4-6 jam).

Pemantauan: osmolalitas tidak melebihi 310 mOsm. Syarat

pemberian manitol adalah TD > 90 mmHg, Hmt <40%, Na

serum >125 mmol/L. Pemberisn hingga hari 5 – 6, tappering

off hingga dosis 75 cc, lalu stop karena pemberian harus

pelan-pelan menghindari rebound tenderness.

b) Loop diuretic (furosemid), pemberiannya bersama manitol,

karena mempunyai efek sinergis dan memperpanjang efek

osmotik serum manitol. Dosis: 40 mg/hari IV.

e. Nutrisi

Pada cedera kranioserebral berat, terjadi hipermetabolisme sebesar 2-

2,5 kali normal dan akan mengakibatkan katabolisme protein.

Kebutuhan energi rata-rata pada cedera kranioserebral berat

meningkat rata-rata 40%. Total kalori yang dibutuhkan 25-30

kkal/kgBB/ hari. Kebutuhan protein 1,5-2g/kgBB/hari, minimum

karbohidrat sekitar 7,2 g/kgBB/ hari, lipid 10-40% dari kebutuhan

kalori/hari, dan rekomendasi tambahan mineral: zinc 10- 30 mg/hari,

cuprum 1-3 mg, selenium 50-80 mikrogram, kromium 50-150

mikrogram, dan mangan 25-50 mg. Beberapa vitamin juga

direkomendasikan, antara lain vitamin A, E, C, ribofl avin, dan

vitamin K yang diberikan berdasarkan indikasi. (Soertidewi, 2012).

26

Page 27: Presentasi Kasus (Repaired) (Repaired)

Pada pasien dengan kesadaran menurun, pipa nasogastrik dipasang

setelah terdengar bising usus. Mula-mula isi perut dihisap keluar

untuk mencegah regurgitasi sekaligus untuk melihat apakah ada

perdarahan lambung. Bila pemberian nutrisi peroral sudah baik dan

cukup, infus dapat dilepas untuk mengurangi risiko flebitis

(Soertidewi, 2012).

f. Neurorestorasi

Posisi baring diubah setiap 8 jam, dilakukan tapotase toraks, dan

ekstremitas digerakkan pasif untuk mencegah dekubitus dan

pneumonia ortostatik (Soertidewi, 2012).

g. Penanganan Komplikasi

1) Kejang, kejang yang terjadi dalam minggu pertama setelah

trauma disebut early seizure, dan yang terjadi setelahnya disebut

late seizure. Early seizure terjadi pada kondisi risiko tinggi, yaitu

ada fraktur impresi, hematoma intrakranial, lesi didaerah

temporal, kontusio di daerah korteks; diberi profi laksis fenitoin

dengan dosis 3x100 mg/hari selama 7-10 hari (Soertidewi, 2012).

2) Infeksi, profi laksis antibiotik diberikan bila ada risiko tinggi

infeksi, seperti pada fraktur tulang terbuka, luka luar, fraktur basis

kranii. Pemberian profilaksis antibiotik ini masih kontroversial.

Bila ada kecurigaan infeksi meningeal, diberikan antibiotik

dengan dosis meningitis (Soertidewi, 2012).

3) Demam, setiap kenaikan suhu harus dicari dan diatasi

penyebabnya. Boleh diberikan tambahan antipiretik dengan dosis

sesuai berat badan (Soertidewi, 2012).

4) Gastrointestinal, pada pasien cedera kranio-serebral terutama

yang berat sering ditemukan gastritis erosi dan lesi

gastroduodenal lain, 10-14% di antaranya akan berdarah.

Kelainan tukak stres ini merupakan kelainan mukosa akut saluran

cerna bagian atas karena berbagai kelainan patologik atau stresor

yang dapat disebabkan oleh cedera kranioserebal. Umumnya

tukak stres terjadi karena hiperasiditas. Keadaan ini dicegah

27

Page 28: Presentasi Kasus (Repaired) (Repaired)

dengan pemberian antasida 3x1 tablet peroral atau H2 receptor

blockers (simetidin, ranitidin, atau famotidin) dengan dosis 3x1

ampul IV selama 5 hari (Soertidewi, 2012).

2. Tindakan non operatif

Pada kasus perdarahan yang kecil (volume kurang dari 30cc) dilakukan

tindakan konservatif. Terapi non-operatif ditujukan untuk (Soertidewi,

2012):

a. Mengontrol fisiologi dan substrat sel otak serta mencegah

kemungkinan terjadinya tekanan tinggi intracranial

b. Mencegah dan mengobati edema otak (cara hiperosmolar, diuretik)

c. Minimalisasi kerusakan sekunder

d. Mengobati simptom akibat trauma otak Mencegah dan mengobati

komplikasi trauma otak, misal kejang, infeksi (antikonvulsan dan

antibiotik)

3. Tindakan operatif

Apabila ditemukan gejala – gejala progresif, maka diperlukan tindakan

operasi untuk melakukan pengeluaran hematoma. Tujuannya untuk :

a. Evakuasi seluruh hematoma

b. Merawat sumber perdarahan

c. Reseksi parenkim otak yang nonviable

Tindakan operatif yang dapat dilakukan adalah burrhole craniotomy, twist

drill craniotomy, dan subdural drain. Pada subdural hematoma kronik sering

dilakukan burrhole craiotomy karena sudah terbntuk membran yang

membatasi hematoma dan teknik ini menunjukkan komplikasi yang minimal.

Indikasi operasi (Satyanegara, 2014) :

a. Tebal > 1cm atau midline shift>0,5 cm tanpa mempertimbangkan GCS

b. Tebal <1 cm dan MLS <0,5 cm dengan :

Penurunan GCS≥ 2 poin dan/atau

Pupil anisokor atau dilatasi atau

c. TIK > 20 mmHg

28

Page 29: Presentasi Kasus (Repaired) (Repaired)

IV. PEMBAHASAN

Penegakkan diagnosis pasien atas nama Tn. Herli usia 42 tahun dengan

penurunan kesadaran diperoleh dari hasil anamnesis, pemeriksaan fisik, dan

pemeriksaan penunjang. Diagnosis akhir diperoleh setelah melalui tahapan

lengkap anamnesis (alloanamnesis), pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan

tambahan seperti pemeriksaan CT ( gold standar) menunjukkan bahwa pasien

mengalami penurunan kesadaran dikarenakan Subdural Hematoma (perdarahan di

ruang subdura) oleh karena cidera kepala sedang.

Hasil pemeriksaan menunjukkan pasien mengalami penurunan kesadaran

setelah kecelakaan dengan GCS E2M4V2 (8) menunjukkan adanya cidera kepala

dengan tingkat sedang sesuai dengan kriteria cedera berdasarkan hasil

pemeriksaan GCS. Gejala mual dan muntah ditemukan postif menunjukkan

adanya iritasi pada trigger zone ataupun disebabkan peningkatan TIK karena

edem otak, namun belum dapat disimpulkan peningkatan tekanan intrakranial

yang masif karena gejala lain seperi kejang, nistagmus, dan penurunan GCS

drastis tidak muncul. Pengeluaran cairan dari telinga perlu dicurigai adanya tanda

kerusakan pada basis cranium. Gejala dan tanda defisit neurologis seperti pelo,

kelumpuhan atau kelemahan ekstrimitas, kejang, dan pupil anisokor belum

ditemukan, namun disini perlu diwaspadai adanya kejang karena lokasi jatuh yang

berada di samping (temporal). Usia pasien yang masih produktif dan tidak adanya

riwayat jatuh sebelumnya dapat menyingkirkan diagnosis Subdural hematoma

kronis (pada pemeriksaan penunjang akan ditunjukkan dengan hasil CT-Scan).

Pada pemeriksaan fisik didapatkan hemodinamika dalam keadaan stabil,

hanya saja suhu sub ferbris. Pemeriksaan kepala , mata, hidung, mulut didapatkan

tidak terdapat kelainan, pupil isokor, tidak ada strabismus, dan reflek cahaya

masih positif menunjukkan tidak ada defisit neurologis di batang otak, ataupun

yang berkaitan dengan N II, III, IV, VI. Pada pemeriksaan leher juga tidak

didapatkan krepitasi namun tetep perlu dipasang collar neck sampai benar-benar

terbukti dengan pemeriksaan foto servikal tidak didapatkan cedera servikal.

Pemeriksaan thorax dan abdomen dalam batas normal, tidak ditemukannya jejas,

nyeri tekan ataupun krepitasi yang menandakan cedera pada bagian tersebut.

29

Page 30: Presentasi Kasus (Repaired) (Repaired)

Begitupula dengan ekstrimitas, tidak didapatkan kelemahan gerak motorik atauun

keterbatasan gerak yang bisa disebabkan defisit neurologis ataupun fraktur pada

ekstrimitas.

Pemeriksaan penunjang yang diajukan adalah pemeriksaan laboratorium,

foto rontgen servical, dan CT Scan. Pemeriksaan laboratorium meliputi

pemeriksaan darah lengkap, PT APTT, kimia darah,dan elektrolit. Pemeriksaan

darah lengkap untuk memantau jumlah darah serta faktor pembekuan darah

karena terdapat perdarahan pada pasien ini. Pemeriksaan kimia darah dan

elektrolit untuk memantau fungsi biokimia tubuh yang dapat mengakibatkan

kelainan sistemik lainnya apabila abnormal dalam jumlah tertentu, seperti edema

(kekurangan protein), hiperglikemi (GDS meningkat), dan kejang (karena

kekurangan elektrolit). Pada pasien ini leukosit, PT, APTT meningkat yang

menunjukkan adanya suatu peradangan dan perdarahan yang mungkin berasal sari

bagian kepala. Penelitian di RSCM menunjukkan bahwa leukositosis dapat

dipakai sebagai salah satu indikator pembeda antara kontusio (CKS) dan komosio

(CKR). Leukosit >17.000 merujuk pada CT scan otak abnormal, sedangkan angka

leukositosis >14.000 menunjukkan kontusio (Andrews, 2000).

Pemeriksaan CT-Scan digunakan sebagai Gold Diagnosis perdarahan

pada cedera kepala dimana pada pasien ini terdapat gambaran hiperdens

mengikuti arah duramater di cranium (gambaran bulan sabit) sebanyak 9,40 cc

( kurang dari 20 cc perdarahan). Program terapi craniotomi evakuasi SDH tidak

dilakukan karena perdarahan dapat diserap sendiri karena memenuhi kriteria

penatalaksanaan konservatif yaitu kriteria perdarahan < 20 cc, pada pasien ini

tidak terdapat midline shift, tidak terdapat perdarahan intraventrikel, pupil isokor,

reflek cahaya positif, ventrikel masih terlihat walaupun terdapat edem cerebri

sehingga menyebabkan lesi desak ruang namun tidak terdapat tanda peningkatan

TIK yang progresif dan bermakna untuk dilakukan operasi, penurunan GCS >2

tidak terjadi sehingga pasien hanya dilakukan dengan tindakan konservatif dan

pemantauan intensif di HCU. Pada Foto cervical tidak didapatkan kelainan untuk

menyingkirkan adanya trauma cervical.

Terapi medikamentosa yang diberikan yaitu infus Nacl 0,9 % sebagai

pengganti cairan tubuh terutama elektrolit Na, manitol untuk mengurangi edem

30

Page 31: Presentasi Kasus (Repaired) (Repaired)

cerebri secara hiperosmolar, ceftriaxon dan ranitidin untuk mengurangi resiko

infeksi dan gastrointestinal, ketorolac sebagai antinyeri, fenitoin sebagai anti

kejang profilaksis karena lesi berada di temporal dan pada pasien SDH sebanyak

20 % pasien terjadi late epilepsi (Satyanegara, 2014) .Terapi non-medika mentosa

yaitu berupa ABCD. Pemasangan goedel dan suction perlu dilakukan untuk

membersihkan jalan nafas. Oksigen 10 lpm dengan NRM untuk perfusi adekuat

di otak, pemasangan collar neck untuk mencegah adanya trauma servikal lebih

parah, namun pada pasien ini collar neck sudah dapat dilepas karena hasil Ro

servical baik tidak terdapat fraktur atau stenosis canal servikal. Head up 30 untuk

menurunkan TIK. Pasang NGT supaya diit cair lebih mudah dan tidak terjadi

aspirasi pada paien. Pasang kateter untuk memantau cairan tubuh pasien dengan

urin output. Prognosis pasien mengalami perbaikan dari hari ke hari ditunjukkan

dengan GCS dan juga vital sign serta pemeriksaan fisik. Pasien datang dengan

GCS 8 dan pulang dengan GCS 15.

31

Page 32: Presentasi Kasus (Repaired) (Repaired)

DAFTAR PUSTAKA

Andrews PJD. 2000. Traumatic brain injury. In: Neurological Emergencies. Hughes R (ed.). 3rd ed. New York: BMJ books.

Asep, Usmanto. 2004. Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan Prognosis SDH. Skripsi. Semarang : Fakultas Kedokteran Universitas Dipenogoro

Davey, Patrick. 2003. At a Glance Medicine. Jakarta : Erlangga.

Liu, W., Nicolaas A.B., Rob J.M. 2014. Chronic subdural hematoma: a systematic review and meta-analysis of surgical procedures.Groningen : Journal of Neurosurgery. Volume 121 : 665-673.

Plaha, P., Malhotra., Heuer., Peter, W. 2008. Management of Chronic Subdural Haematoma. Plymouth : ACNR. Volume 8 Number 5.

Satyanegara, dkk. 2014. Ilmu Bedah Saraf Edisi V. Jakarta : Gramedia.

Soertidewi, L. 2012. Penatalaksanaan Kedaruratan Cedera Kranioserebral. Cermin Dunia Kedokteran: 39 (2) : 327 – 331

Sjamsuhidajat, R. 2004. Subdural Hematoma dalam Buku Ajar Ilmu Bedah Edisi Kedua. Jakarta : EGC.

Snell, R. S., 2006. Anatomi Klinik. Edisi 6. Jakarta:EGC.

Scalon, Valerie C. 2007.Essential of Anatomy and Physiology 5th edition. Philadelphia : F.A. Davis Company

32