preskes boyol kds

Upload: katou-jeffrey-shigehito

Post on 12-Oct-2015

42 views

Category:

Documents


0 download

DESCRIPTION

preskes anak boyolali

TRANSCRIPT

Presentasi KasusSeorang Anak Perempuan dengan Kejang Demam Sederhana

Oleh :

Luqma Prinata Widiantara G99131050

M. Idzham Rizza

G99132009

Pembimbing :

dr. Maria Lusia Susi Haryanti, M.Sc, Sp.A

KEPANITERAAN KLINIK ILMU KESEHATAN ANAK

FAKULTAS KEDOKTERAN UNS / RSUD PANDAN ARANG

BOYOLALI

2014

BAB I

PENDAHULUAN

Kejang demam merupakan penyakit kejang yang paling sering dijumpai di bidang neurologi khususnya anak. Kejang selalu merupakan peristiwa yang menakutkan bagi orang tua, sehingga bagi dokter kita wajib mengatasi kejang demam dengan tepat dan cepat. Kejang demam pada umumnya dianggap tidak berbahaya dan sering tidak menimbulkan gejala sisa; akan tetapi bila kejang berlangsung lama sehingga menimbulkan hipoksia pada jaringan Susunan Saraf Pusat (SSP), dapat menyebabkan adanya gejala sisa di kemudian hari.

Frekuensi dan lamanya kejang sangat penting untuk diagnosa serta tata laksana kejang, ditanyakan kapan kejang terjadi, apakah kejang itu baru pertama kali terjadi atau sudah pernah sebelumnya, bila sudah pernah berapa kali dan waktu anak berumur berapa . Sifat kejang perlu ditanyakan, apakah kejang bersifat klonik, tonik, umum atau fokal. Ditanya pula lama serangan, kesadaran pada waktu kejang dan pasca kejang. Gejala lain yang menyertai diteliti, termasuk demam, muntah, lumpuh, penurunan kesadaran atau kemunduran kepandaian. Pada neonatus perlu diteliti riwayat kehamilan ibu serta kelahiran bayi.1Kejang demam jarang terjadi pada epilepsi, dan kejang demam ini secara spontan sembuh tanpa terapi tertentu. Kejang demam ini merupakan gangguan kejang yang paling lazim pada masa anak, dengan pragnosa baik secara seragam.2 Jumlah penderita kejang demam diperkirakan mencapai 2 4% dari jumlah penduduk di AS, Amerika Selatan, dan Eropa Barat. Namun di Asia dilaporkan penderitanya lebih tinggi. Sekitar 20% di antara jumlah penderita mengalami kejang demam kompleks yang harus ditangani secara lebih teliti. Bila dilihat jenis kelamin penderita, kejang demam sedikit lebih banyak menyerang anak laki-laki.3BAB IISTATUS PENDERITAA. STATUS PASIEN

Nama

: An. Q

Usia

: 2 tahun

Jenis kelamin

: Perempuan

Alamat

: Wulurosari, Boyolali

Agama

: Islam

Tanggal Masuk

: 10 Februari 2014

Tanggal Pemeriksaan: 10 Februari 2014

Nomor Rekam Medis: 453331

BB

: 12 kg

B. ANAMNESIS

Alloanamnesis diperoleh dari ibu pasien pada tanggal 10 Februari 2014.

1. Keluhan Utama

Kejang

2. Riwayat Penyakit Sekarang

Pasien datang ke UGD diantar oleh keluarga dengan keluhan kejang. Kejang terjadi satu kali, 30 menit sebelum masuk rumah sakit. Kejang terjadi selama 3 menit. Saat kejang seluruh badan pasien kaku dan pasien tidak sadar. Setelah kejang pasien langsung menangis.

Keluarga juga mengeluhkan demam yang terjadi pada pasien sejak 2 hari sebelum masuk rumah sakit. Sebelum terjadi kejang demam dirasakan lebih tinggi dan belum sempat dibawa berobat. Sejak sehari sebelum masuk rumah sakit pasien diare, frekuensi 5x dalam sehari, konsistensi lembek, warna kuning kehijauan, volume cairan lebih besar dari pada ampas. tiap kali diare sebanyak setengah gelas belimbing, lendir (+), darah (-). Pasien juga mengalami muntah lebih dari 5x dalam sehari, muntah dirasakan saat makan makanan termasuk yang lunak. Saat di UGD pasien tidak nampak haus, batuk (-), pilek (-). BAK terakhir 1 jam sebelum masuk rumah sakit jumlah banyak, warna kuning jernih.3. Riwayat Penyakit Dahulu

a. Riwayat Penyakit Serupa: disangkal

b. Riwayat Mondok

: disangkal

c. Riwayat Trauma

: disangkal

d. Riwayat Alergi

: disangkal4. Riwayat Penyakit Keluargaa. Riwayat Kejang Keluarga: (+) pada keluarga besar bapak

b. Riwayat Alergi

: disangkalc. Riwayat diare

: disangkal

d. Riwayat demam

: disangkal5. Riwayat Pemeriksaan Kehamilan dan PrenatalPemeriksaan kehamilan dilakukan ibu penderita di bidan desa setempat. Frekuensi pemeriksaan pada trimester I dan II 1 bulan sekali, dan pada trimester III 1 kali tiap 2 minggu. Keluhan selama kehamilan (-). Obat-obatan yang diminum adalah vitamin dan tablet penambah darah.6. Riwayat Kelahiran

Pasien lahir spontan dengan berat lahir 2900 gram, lahir 9 bulan, menangis kuat, tidak biru, cukup bulan, ditolong dan diimunisasi oleh bidan.

7. Riwayat Postnatal

Rutin ke posyandu tiap bulan untuk menimbang badan dan mendapat imunisasi.8. Status Imunisasi

a. BCG: 1 bulanb. Polio: 1 hari, 2 bulan, 3 bulan, 4 bulanc. DPT: 2 bulan, 3 bulan, 4 bulan

d. Campak : 9 bulan

e. Hep-B: setelah lahir, 2 bulan, 3 bulan, 4 bulan.

Kesan : Imunisasi lengkap menurut DEPKES RI

9. Riwayat Pertumbuhan

a. Senyum

: 2 bulan

b. Mengangkat kepala: 3 bulan

c. Miring

: 3 bulan

d. Tengkurap

: 4 bulan

e. Duduk

: 6 bulan

f. Berdiri : 10 bulan

g. Berjalan : 12 bulan

Kesan: Perkembangan sesuai dengan usia10. Riwayat Makan dan Minum

Sejak lahir pasien menerima ASI saja sampai usia 8 bulan. Setiap hari menetek rata-rata 8 kali sehari bergantian kanan dan kiri, setelah menetek bayi tertidur. Makanan pendamping ASI mulai diberikan pada usia 8 bulan, penderita diberi bubur susu 2 kali sehari atau 1 mangkok kecil dan terkadang diberikan pisang. Nasi lembek diberikan sejak penderita berumur 1 tahun, sebanyak 3 kali per hari atau setengah piring dengan lauk dan sayur.

11. Pohon Keluarga

Keterangan

: laki-laki

: perempuan

: penderita

An Q, 2 th, 12 kgC. PEMERIKSAAN FISIK

Keadaan Umum: Compos mentis, gizi kesan baik

Vital Sign:

Suhu: 36,7 oC

Nadi: 119x/menit

RR: 24x/menit

BB : 12 kg

Kulit : warna kuning langsat, kelembaban baik, turgor baik.

Kepala: bentuk mesocephal, sutura sudah menutup, UUB datar, rambut

hitam tidak mudah rontok dan sukar dicabut.

Muka : sembab (-), wajah orang tua (-)

Mata : cowong (-), bulu mata hitam lurus tidak rontok, conjunctiva

anemis (-/-), strabismus (-), oedem palpebra (-/-).

Hidung: bentuk normal, napas cuping hidung(-/-), sekret (-/-), darah (-/-)

Mulut : sianosis (-), bibir kering (-), lidah kotor (-), gusi berdarah (-),

mukosa basah (+)Tenggorokan : uvula di tengah, tonsil T1 T1, faring hiperemis (+),

Telinga : bentuk aurikula dx et sn normal, kelainan MAE (-), serumen (-/-)

prosesus mastoideus tidak nyeri tekan, tragus pain (-), sekret (-).

Leher: bentuk normal, trachea ditengah, kelenjar thyroid tidak membesar.

Limfonodi : kelenjar limfe auricular, submandibuler, servikalis,

suparaklavikularis, aksilaris, dan inguinalis tidak membesar.

Thorax: bentuk normochest, retraksi (-), gerakan simetris ka = ki

Cor : Inspeksi : Ictus cordis tidak tampak

Palpasi

: Ictus cordis tidak kuat angkat

Perkusi

: Batas jantung kesan tidak melebar

Kiri atas: SIC II LPSS

Kiri bawah: SIC IV LMCS

Kanan atas: SIC II LPSD

Kanan bawah: SIC IV LPSD

Auskultasi: BJ I-II intensitas normal, reguler, bising tambahan (-)

Pulmo :Inspeksi: Pengembangan dada kanan = kiri

Palpasi : Fremitus raba kanan = kiri

Perkusi : Sonor / Sonor di semua lapang paru

Batas paru-hepar: SIC V kanan

Batas paru-lambung : SIC VI kiri

Redup relatif di: SIC V kanan

Redup absolut : SIC VI kanan (hepar)

Auskultasi: SDV (+/+) SDT (-/-)

Abdomen :Inspeksi : dinding dada sejajar dinding perut

Auskultasi : peristaltik (+) normal

Perkusi

: tympani

Palpasi

: supel, nyeri tekan (-), hepar tidak teraba, lien tidak teraba.

Urogenital : dalam batas normal

Ekstremitas :

akral dingin sianosis oedem

CRT < 2 detik

Kuku : keruh (-), spoon nail (-), konkaf (-)

D. PEMERIKSAAN PENUNJANGPemeriksaan Laboratorium Darah (tanggal 11-02-2014)HasilNilai Normal

Hb: 11,0 gr/d1

Hct: 30,8 %

Eosinofil: 0,1 %

Basofil: 0,0 %

Netrofil: 65,5 %

Limfosit: 19,8 %

Monosit : 14,6 %

Trombosit : 267/uL

Eritrosit : 4,16/uL

MCV : 74 fL

MCH: 26,4 pg

MCHC: 35,7 g/dl

RDW : 14,0 %Hb: 11,5-13,5 gr/d1

Hct: 34 40 %

Eosinofil : 1-3 %

Basofil : 0-1 %

Netrofil : 50-70 %

Limfosit : 20-40 %

Monosit : 2-8 %

Trombosit : 150-450/uL

Eritrosit : 3,9-5,9/uL

MCV : 80-100 fL

MCH: 27-32 pgMCHC: 32-36 g/dl

E. RESUME

Penderita perempuan 2 tahun 4 datang dengan keluhan kejang. Kejang terjadi satu kali, 30 menit sebelum masuk rumah sakit, kejang selama 3 menit. Saat kejang, seluruh badan pasien kaku dan pasien tidak sadar. Setelah kejang pasien langsung menangis. Keluarga juga mengeluhkan demam yang terjadi pada pasien sejak 2 hari sebelum masuk rumah sakit. Sejak sehari sebelum masuk rumah sakit pasien diare, frekuensi 5x dalam sehari, konsistensi lembek, warna kuning kehijauan, volume cairan lebih besar dari pada ampas. tiap kali diare sebanyak setengah gelas belimbing, lendir (+), darah (-).Pasien juga mengalami muntah lebih dari 5x dalam sehari, muntah dirasakan saat makan makanan termasuk yang lunak. Saat di UGD pasien tidak nampak haus, batuk (-), pilek (-). BAK terakhir 1 jam sebelum masuk rumah sakit jumlah banyak, warna kuning jernih.Pada pemeriksaan fisik didapatkan keadaan compos mentis, sakit sedang, kesan gizi baik, tidak nampak haus. Tanda vital suhu 36,7 0C, frekuensi nadi: 119x/menit, frekuensi nafas: 24x/menit. Pada pemeriksaan penunjang didapatkan Hb: 11,0 gr/d1 Hct : 30,8 %, MCV 74 fl, MCH 26,4 pg dan MCHC 35,7. Pada hitung jenis leukosit didapatkan eosinofil 0,1%.

F. DAFTAR MASALAH

1. Kejang 1x dalam 3 menit.

2. Demam 2 hari.

3. Muntah lebih dari 5 kali sehari.

4. Diare 5x, konsistensi lembek, warna kuning kehijauan, lendir (+)5. Hb 11,0 gr/dL, Hct 30,8%, MCV 74 fL.G. ASSESMENT

1. Kejang Demam Sederhana 2. Febris hari ke-2 ec DD TFA, ISK

3. Vomitus4. Diare Akut Tanpa Dehidrasi5. Gizi baikH. PENATALAKSANAAN

Terapi

1. Pro rawat inap bangsal

2. Diet nasi lauk

3. IVFD D S 12 tpm makro4. Inj Antrain 170 mg bila t > 380C5. Inj Ondansentron 1 mg / 8jam6. Interzink 1 x 1 cth po7. L-BLW 2 x 1 sach po8. Paracetamol 3x1 cth po9. Diazepam 3x1,5 mg po bila t > 380C, Diazepam IV 3,5 mg bila kejang

Edukasi : 1. Ketika anak demam kembali segera berikan obat penurun panas

2. Apabila anak kembali kejang segera bawa ke dokter atau rumah sakit

3. Motivasi keluarga tentang higienitas selama proses persiapan dan pembuatan makanan untuk anak

4. Istirahat yang cukupI. PROGNOSIS

Ad vitam

: dubia ad bonam

Ad sanam

: dubia ad bonam

Ad fungsionam

: dubia ad bonamBAB III

TINJAUAN PUSTAKA1. Definisia. Kejang

Sebelum kita memahami definisi mengenai kejang, perlu kita ketahui tentang seizure dan konvulsi. Yang dimaksud dengan seizure adalah cetusan aktivitas listrik abnormal yang terjadi secara mendadak dan bersifat sementara di antara saraf-saraf di otak yang tidak dapat dikendalikan. Akibatnya, kerja otak menjadi terganggu. Manifestasi dari seizure bisa bermacam-macam, dapat berupa penurunan kesadaran, gerakan tonik (menjadi kaku) atau klonik (kelojotan), konvulsi dan fenomena psikologis lainnya. Kumpulan gejala berulang dari seizure yang terjadi dengan sendirinya tanpa dicetuskan oleh hal apapun disebut sebagai epilepsi (ayan). Sedangkan konvulsi adalah gerakan mendadak dan serentak otot-otot yang tidak bisa dikendalikan, biasanya bersifat menyeluruh. Hal inilah yang lebih sering dikenal orang sebagai kejang. Jadi kejang hanyalah salah satu manifestasi dari seizure.4b. Kejang Demam

Kejang demam adalah bangkitan kejang yang terjadi pada kenaikan suhu tubuh (suhu rektal di atas 38o C) tanpa adanya infeksi susunan saraf pusat atau gangguan elektrolit akut, terjadi pada anak di atas umur 1 bulan, dan tidak ada riwayat kejang sebelumnya.

2. Epidemiologi 3,5Insiden terjadinya kejang demam terutama pada golongan anak umur 6 bulan sampai 4 tahun. Hampir 3 % dari anak yang berumur di bawah 5 tahun pernah menderita kejang demam. Kejang demam lebih sering didapatkan pada laki-laki daripada perempuan. Hal tersebut disebabkan karena pada wanita didapatkan maturasi serebral yang lebih cepat dibandingkan laki-laki.

Berdasarkan laporan dari daftar diagnosa dari lab./SMF Ilmu Kesehatan Anak RSUD Dr. Soetomo Surabaya didapatkan data adanya peningkatan insiden kejang demam. Pada tahun 1999 ditemukan pasien kejang demam sebanyak 83 orang dan tidak didapatkan angka kematian (0 %). Pada tahun 2000 ditemukan pasien kejang demam 132 orang dan tidak didapatkan angka kematian (0 %). Dari data di atas menunjukkan adanya peningkatan insiden kejadian sebesar 37%.

Jumlah penderita kejang demam diperkirakan mencapai 2 4% dari jumlah penduduk di AS, Amerika Selatan, dan Eropa Barat. Namun di Asia dilaporkan penderitanya lebih tinggi. Sekitar 20% di antara jumlah penderita mengalami kejang demam kompleks yang harus ditangani secara lebih teliti. Bila dilihat jenis kelamin penderita, kejang demam sedikit lebih banyak menyerang anak laki-laki.3. Etiologi

Etiologi dan pathogenesis kejang demam sampai saat ini belum diketahui, akan tetapi umur anak, tinggi dan cepatnya suhu meningkat mempengaruhi terjadinya kejang. Faktor hereditas juga mempunyai peran yaitu 8-22% anak yang mengalami kejang demam mempunyai orang tua dengan riwayat kejang demam pasa masa kecilnya.3

Semua jenis infeksi bersumber di luar susunan saraf pusat yang menimbulkan demam dapat menyebabkan kejang demam. Penyakit yang paling sering menimbulkan kejang demam adalah infeksi saluran pernafasan atas terutama tonsillitis dan faringitis, otitis media akut(cairan telinga yang tidak segera dibersihkan akan merembes ke saraf di kepala pada otak akan menyebabkan kejang demam), gastroenteritis akut, exantema subitum dan infeksi saluran kemih. Selain itu, imunisasi DPT (pertusis) dan campak (morbili) juga dapat menyebabkan kejang demam.64. Patofisiologi7Untuk mempertahankan hidupnya, sel otak membutuhkan energi yaitu senyawa glukosa yang didapat dari proses metabolisme sel. Sel-sel otak dikelilingi oleh membran yang dalam keadaan normal membran sel neuron dapat dilalui dengan mudah oleh ion Kalium (K+) dan sangat sulit dilalui oleh ion Natrium (Na+) dan elektrolit lain kecuali Clorida (Cl-). Akibatnya konsentrasi ion K+ di dalam sel neuron tinggi dan konsentrasi ion Na+ rendah. Keadaan sebaliknya terjadi di luar sel neuron. Karena perbedaan jenis dan konsentrasi ion di dalam dan di luar sel tersebut maka terjadi beda potensial yang disebut Potensial Membran Sel Neuron.

Gambar 2. Potensial Membran Sel Neuron

Untuk menjaga keseimbangan potensial membran sel diperlukan energi dan enzim Na-K-ATP ase yang terdapat di permukaan sel. Keseimbangan potensial membran sel dipengaruhi oleh:

1. Perubahan konsentrasi ion di ruang ekstraseluler.

2. Rangsangan yang datangnya mendadak baik rangsangan mekanis, kimiawi atau aliran listrik dari sekitarnya.

3. Perubahan patofisiologi dari membran karena penyakit atau faktor keturunan.

Sebuah potensial aksi akan terjadi akibat adanya perubahan potensial membran sel yang didahului dengan stimulus membrane sel neuron. Saat depolarisasi, channel ion Na+ terbuka dan channel ion K+ tertutup. Hal ini menyebabkan influx dari ion Na+, sehingga menyebabkan potensial membran sel lebih positif, sehingga terbentuklah suatu potensial aksi. Dan sebaliknya, untuk membuat keadaan sel neuron repolarisasi, channel ion K+ harus terbuka dan channel ion Na+ harus tertutup, agar dapat terjadi efluks ion K+ sehingga mengembalikan potensial membran lebih negative atau ke potensial membrane istirahat.

Renjatan listrik akan diteruskan sepanjang sel neuron. Dan diantara 2 sel neuron, terdapat celah yang disebut sinaps, yang menghubungkan akson neuron pre-sinaps dan dendrite neuron post sinaps. Untuk menghantarkan arus listrik pada sinaps ini, dibutuhkan peran dari suatu neurotransmitter.

Ada dua tipe neurotransmitter, yaitu :

1. Eksitatorik, neurotransmiter yang membuat potensial membrane lebih positif dan mengeksitasi neuron post sinaps

2. Inhibitorik, neuritransmiter yang membuat potensial membrane lebih negative sehingga menghambat transmisi sebuah impuls. Sebagai contoh : GABA (Gamma Aminobutyric Acid). Dalam medis sering digunakan untuk pengobatan epilepsy dan hipertensi.

Kejang terjadi akibat lepas muatan paroksismal yang berlebihan dari sebuah fokus kejang atau dari jaringan normal yang terganggu akibat suatu keadaan patologik. Aktivitas kejang sebagian bergantung kepada lokasi lepas muatan yang berlebihan tersebut. Lesi di otak tengah, talamus, dan korteks serebri kemungkinan besar bersifat epileptogenik sedangkan lesi di serebelum dan batang otak umumnya tidak memicu kejang. Ditingkat membran sel, fokus kejang memperlihatkan beberapa fenomena biokimiawi, termasuk yang berikut :

Instabilitas membran sel saraf, sehingga sel lebih mudah mengalami pengaktifan.

Neuron-neuron hipersensitif dengan ambang untuk melepaskan muatan menurun dan apabila terpicu akan melepaskan muatan secara berlebihan.

Kelainan polarisasi ( polarisasi berlebih, hipopolarisasi, atau selang waktu dalam repolarisasi ) yang disebabkan oleh kelebihan asetilkolin atau defisiensi GABA.

Pada keadaan demam, kenaikan suhu 1o C akan mengakibatkan kenaikan metabolisme basal 10-15% dan peningkatan kebutuhan oksigen sampai 20%. Jadi pada kenaikan suhu tertentu dapat terjadi perubahan keseimbangan dari membran dan dalam waktu yang singkat terjadi difusi ion Kalium dan Natrium melalui membran sel, dengan akibat lepasnya muatan listrik yang demikian besar sehingga dapat meluas ke seluruh sel maupun ke membran sel tetangga dengan bantuan neurotransmitter dan terjadilah kejang.

Pada anak dengan ambang kejang yang rendah kenaikan suhu sampai 38o C sudah terjadi kejang, Namun pada anak dengan ambang kejang yang tinggi, kejang baru terjadi pada suhu diatas 40o C. Terulangnya kejang demam lebih sering terjadi pada anak dengan ambang kejang rendah.

Kejang demam yang berlangsung singkat umumnya tidak berbahaya dan tidak meninggalkan gejala sisa. Tetapi kejang demam yang berlangsung lama (>15 menit) biasanya disertai dengan apneu, meningkatnya kebutuhan oksigen dan energi untuk kontraksi otot skeletal yang mengakibatkan hipoksemia, hiperkapneu, dan asidosis laktat. Hipotensi arterial disertai dengan aritmia jantung dan kenaikan suhu tubuh disebabkan meningkatnya aktivitas berakibat meningkatnya metabolisme otak. Awal (< 15 menit) Lanjut (15-30 menit) Berkepanjangan (>1jam)

Meningkatnya kecepatan denyut jantung Menurunnya tekanan darah Hipotensi disertai berkurangnya aliran darah serebrum sehingga terjadi hipotensi serebrum

Meningkatnya tekanan darah Menurunnya gula darah

Meningkatnya kadar glukosaDisritmia Gangguan sawar darah otak yang menyebabkan edema serebrum

Meningkatnya suhu pusat tubuhEdema paru nonjantung

Meningkatnya sel darah putih

Tabel 1. Efek Fisiologis Kejang

Rangkaian kejadian di atas adalah faktor penyebab terjadinya kerusakan neuron otak pada kejang yang lama. Faktor yang terpenting adalah gangguan peredaran darah yang mengakibatkan hipoksia sehingga berakibat meningkatnya permeabilitas vaskular dan udem otak serta kerusakan sel neuron. Kerusakan anatomi dan fisiologi yang bersifat menetap bisa terjadi di daerah medial lobus temporalis setelah ada serangan kejang yang berlangsung lama. Hal ini diduga kuat sebagai faktor yang bertanggung jawab terhadap terjadinya epilepsi.5. Klasifikasi

Tipe Kejang :Kejang diklasifiaksikan sebagai parsial atau generalisata berdasarkan apakah kesadaran utuh atau lenyap. Kejang dengan kesadaran utuh disebut sebagai kejang parsial. Kejang parsial dibagi lagi menjadi parsial sederhana (kesadaran utuh) dan parsial kompleks (kesadaran berubah tetapi tidak hilang).

1. Kejang parsial

Kejang parsial dimulai di suatu daerah di otak, biasanya korteks serebrum. Gejala kejang ini bergatung pada lokasi fokus di otak. Sebagai contoh, apabila fokus terletak di korteks motorik, maka gejala utama mungkin adalah kedutan otot; sementara, apabila fokus terletak di korteks sensorik, maka pasien mengalami gejala gejala sensorik termasuk baal, sensasi seperti ada yang merayap, atau seperti tertusuk-tusuk. Kejang sensorik biasanya disertai beberapa gerakan klonik, karena di korteks sensorik terdapat beberapa reprsentasi motorik. Gejala autonom adalah kepucatan, kemerahan, berkeringat, dan muntah. Gangguan daya ingat, disfagia, dan deJa vu adalah contoh gejala psikis pada kejang parsial. Sebagian pasien mungkin mengalami perluasan ke hemisfer kontralateral disertai hilangnya kesadaran. Lepas muatan kejang pada kejang parsial kompleks ( dahulu dikenal sebagai kejang psikomotot atau lobus temporalis ) sering berasal dari lobus temporalis medial atau frontalis inferior dan melibatkan gangguan pada fungsi serebrum yang lebih tinggi serta proses-proses pikiran, serta perilaku motorik yang kompleks. Kejang ini dapat dipicu oleh musik, cahaya berkedip-kedip, atau rangsangan lain dan sering disertai oleh aktivitas motorik repetitif involunta yang terkoordinasi yang dikenal sebagai perilaku otomatis ( automatic behavior ). Contoh dari perilaku ini adalah menarik-narik baju, meraba-raba benda, bertepuk tangan, mengecap-ngecap bibir, atau mengunyah berulang-ulang. Pasien mungkin mengalami perasaan khayali berkabut seperti mimpi. Pasien tetap sadar selama serangan tetapi umumnya tidak dapat mengingat apa yang terjadi. kejang parsial kompleks dapat meluas dan menjadi kejang generalisata. 2. Kejang Generalisata

Kejang generalisata melibatkan seluruh korteks serebrum dan diensefalon serta ditandai dengan awitan aktivitas kejang yang bilateral dan simetrik yang terjadi di kedua hemisfer tanpa tanda-tanda bahwa kejang berawal sebagai kejang fokal. Pasien tidak sadar dan tidak mengetahui keadaan sekeliling saat mengalami kejang. Kejang ini i muncul tanpa aura atau peringatan terlebih dahulu. Terdapat beberapa tipe kejang generalisata antara lain kejang absence, kejang tonik-klonik, kejang mioklonik, kejang atonik, kejang tonik dan kejang klonik.

a. Kejang absence ( petit mal )

Ditandai dengan hilangnya kesadaran secara singkat, jarang berlangsung lebih dari beberapa detik. Sebagai contoh, mungkin pasien tiba-tiba menghentikan pembicaraan, menatap kosong, atau berkedip-kedip dengan cepat. Pasien mungkin mengalami satu atau dua kali kejang sebulan atau beberapa kali sehari. Kejang absence hampir selalu terjadi pada anak; awitan jarang dijumpai setelah usia 20 tahun. Serangan-serangan ini mungkin menghilang setelah pubertas atau diganti oleh kejang tipe lain, terutama kejang tonik-klonik.

b. Kejang tonik-klonik ( grand mal )

Kejang tonik-klonik adalah kejang epilepsi yang klasik. Kejang tonik-klonik diawali oleh hilangnya kesadaran dengan cepat. Pasien mungkin bersuara menangis, akibat ekspirasi paksa yang disebabkan oleh spasme toraks atau abdomen. Pasien kehilangan posisi berdirinya, mengalami gerakan tonik kemudian klonik, dan inkontenesia urin atau alvi ( atau keduanya ), disertai disfungsi autonom. Pada fase tonik, otot-otot berkontraksi dan posisi tubuh mungkin berubah. Fase ini berlangsung beberapa detik. Fase klonik memperlihatkan kelompok-kelompok otot yang berlawanan bergantian berkontraksi dan melemas sehingga terjadi gerakan-gerakan menyentak. Jumlah kontraksi secara bertahap berkurang tetapi kekuatannya tidak berubah. Lidah mungkin tergigit; hal ini terjadi pada sekitar separuh pasien ( spasme rahang dan lidah ). Keseluruhan kejang berlangsung 3 sampai 5 menit dan diikuti oleh periode tidak sadar yang mungkin berlangsung beberapa menit sampai selama 30 menit. Setelah sadar pasien mungkin tampak kebingungan, agak stupor, atau bengong. Tahap ini disebut sebagai periode pascaiktus. Umumnya pasien tidak dapat mengingat kejadian kejangnya. Kejang tonik-klonik demam, yang sering disebut sebagai kejang demam, paling sering terjadi pada anak berusia kurang dari 5 tahun. Teori menyarankan bahwa kejang ini disebabkan oleh hipernatremia yang muncul secara cepat yang berkaitan dengan infeksi virus atau bakteri. Kejang ini umumnya berlangsung singkat, dan mungkin terdapat predisposisi familial. Pada beberapa kasus, kejang dapat berlanjut melewati masa anak dan anak mungkin mengalami kejag non demam pada kehidupan selanjutnya.

Gambar 1. Kejang Tonik-Klonik

c. Kejang mioklonik

Kontraksi mirip syok mendadak yang terbatas dibeberapa otot atau tungkai, cenderung singkat.

d. Kejang atonik

Hilangnya secara mendadak tonus otot disertai lenyapnya postur tubuh.

e. Kejang klonik

Gerakan menyentak, repetitif, tajam, lambat, dan tungal atau multipel di lengan, tungkai, atau torso.

f. Kejang tonik

Peningkatan mendadak tonus otot (menjadi kaku, kontaksi) wajah dan tubuh bagian atas, fleksi lengan dan ekstensi tungkai, mata dan kepala mungkin berputar ke satu sisi, dapat menyebabkan henti nafas.

Menurut Ikatan Dokter Anak Indonesia, membagi kejang demam menjadi dua41. Kejang demam sederhana (harus memenuhi semua kriteria berikut)

Berlangsung singkat

Umumnya serangan berhenti sendiri dalam waktu < 15 menit

Bangkitan kejang tonik, tonik-klonik tanpa gerakan fokal

Tidak berulang dalam waktu 24 jam

2. Kejang demam kompleks (hanya dengan salah satu kriteria berikut)

Kejang berlangsung lama, lebih dari 15 menit

Kejang fokal atau parsial satu sisi, atau kejang umum didahului dengan kejang parsial

Kejang berulang 2 kali atau lebih dalam 24 jam, anak sadar kembali di antara bangkitan kejang.6. Manifestasi Klinis8Terjadinya bangkitan kejang pada bayi dan anak kebanyakan bersamaan dengan kenaikan suhu badan yang tinggi dan cepat yang disebabkan oleh infeksi di luar susunan saraf pusat, otitis media akuta, bronkitis, furunkulosis dan lain-lain. Serangan kejang biasanya terjadi dalam 24 jam pertama sewaktu demam, berlangsung singkat dengan sifat bangkitan dapat berbentuk tonik-klonik, tonik, klonik, fokal atau akinetik. Umumnya kejang berhenti sendiri. Namun anak akan terbangun dan sadar kembali setelah beberapa detik atau menit tanpa adanya kelainan neurologik.

Gejala yang timbul saat anak mengalami kejang demam antara lain : anak mengalami demam (terutama demam tinggi atau kenaikan suhu tubuh yang terjadi secara tiba-tiba), kejang tonik-klonik atau grand mal, pingsan yang berlangsung selama 30 detik-5 menit (hampir selalu terjadi pada anak-anak yang mengalami kejang demam). Kejang dapat dimulai dengan kontraksi yang tiba-tiba pada otot kedua sisi tubuh anak. Kontraksi pada umumnya terjadi pada otot wajah, badan, tangan dan kaki. Anak dapat menangis atau merintih akibat kekuatan kontaksi otot. Anak akan jatuh apabila dalam keadaan berdiri.

Postur tonik (kontraksi dan kekakuan otot menyeluruh yang biasanya berlangsung selama 10-20 detik), gerakan klonik (kontraksi dan relaksasi otot yang kuat dan berirama, biasanya berlangsung selama 1-2 menit), lidah atau pipinya tergigit, gigi atau rahangnya terkatup rapat, inkontinensia (mengeluarkan air kemih atau tinja diluar kesadarannya), gangguan pernafasan, apneu (henti nafas), dan kulitnya kebiruan.

Saat kejang, anak akan mengalami berbagai macam gejala seperti :

1. Anak hilang kesadaran

2. Tangan dan kaki kaku atau tersentak-sentak

3. Sulit bernapas

4. Busa di mulut

5. Wajah dan kulit menjadi pucat atau kebiruan

6. Mata berputar-putar, sehingga hanya putih mata yang terlihat.7. Diagnosis6,9,10Diagnosis kejang demam dapat ditegakkan dengan menyingkirkan penyakit-penyakit lain yang dapat menyebabkan kejang, di antaranya: infeksi susunan saraf pusat, perubahan akut pada keseimbangan homeostasis, air dan elektrolit dan adanya lesi structural pada system saraf, misalnya epilepsi. Diperlukan anamnesis, pemeriksaan fisik, pemeriksaan laboratorium dan pemeriksaan penunjang yang menyeluruh untuk menegakkan diagnosis ini.

1. Anamnesis waktu terjadi kejang, durasi, frekuensi, interval antara 2 serangan kejang

sifat kejang (fokal atau umum)

Bentuk kejang (tonik, klonik, tonik-klonik)

Kesadaran sebelum dan sesudah kejang (menyingkirkan diagnosis meningoensefalitis)

Riwayat demam ( sejak kapan, timbul mendadak atau perlahan, menetap atau naik turun)

Menentukan penyakit yang mendasari terjadinya demam (ISPA, OMA, GE)

Riwayat kejang sebelumnya (kejang disertai demam maupun tidak disertai demam atau epilepsi)

Riwayat gangguan neurologis (menyingkirkan diagnosis epilepsi)

Riwayat keterlambatan pertumbuhan dan perkembangan

Trauma kepala 2. Pemeriksaan fisik Tanda vital terutama suhu

Manifestasi kejang yang terjadi, misal : pada kejang multifokal yang berpindah-pindah atau kejang tonik, yang biasanya menunjukkan adanya kelainan struktur otak.

Kesadaran tiba-tiba menurun sampai koma dan berlanjut dengan hipoventilasi, henti nafas, kejang tonik, posisi deserebrasi, reaksi pupil terhadap cahaya negatif, dan terdapatnya kuadriparesis flasid mencurigakan terjadinya perdarahan intraventikular.

Pada kepala apakah terdapat fraktur, depresi atau mulase kepala berlebihan yang disebabkan oleh trauma. Ubun ubun besar yang tegang dan membenjol menunjukkan adanya peninggian tekanan intrakranial yang dapat disebabkan oleh pendarahan sebarakhnoid atau subdural. Pada bayi yang lahir dengan kesadaran menurun, perlu dicari luka atau bekas tusukan janin dikepala atau fontanel enterior yang disebabkan karena kesalahan penyuntikan obat anestesi pada ibu.

Terdapatnya stigma berupa jarak mata yang lebar atau kelainan kraniofasial yang mungkin disertai gangguan perkembangan kortex serebri.

Transluminasi kepala yang positif dapat disebabkan oleh penimbunan cairan subdural atau kelainan bawaan seperti parensefali atau hidrosefalus.

Pemeriksaan untuk menentukan penyakit yang mendasari terjadinya demam (ISPA, OMA, GE)

Pemeriksaan refleks patologis

Pemeriksaan tanda rangsang meningeal (menyingkirkan diagnosis meningoensefalitis) 3. Pemeriksaan laboratorium

Darah tepi lengkap

Elektrolit, glukosa darah. Diare, muntah, hal lain yang dpt mengganggu keseimbangan elektrolit atau gula darah.

Pemeriksaan fungsi hati dan ginjal untuk mendeteksi gangguan metabolisme

Kadar TNF alfa, IL-1 alfa & IL-6 pada CSS, jika meningkat dapat dicurigai Ensefalitis akut / Ensefalopati.4. Pemeriksaan penunjang

Lumbal Pungsi jika dicurigai adanya meningitis, umur kurang dari 12 bulan sangat dianjurkan, dan umur di antara 12-18 bulan dianjurkan. EEG, tidak dapat mengidentifikasi kelainan yang spesifik maupun memprediksi terjadinya kejang yang berulang, tapi dapat dipertimbangkan pada KDK. Tetapi beberapa ahli berpendapat EEG tidak sensitif pada anak < 3 tahun. CT-scan atau MRI hanya dilakukan jika ada indikasi, misalnya: kelainan neurologi fokal yang menetap (hemiparesis) atau terdapat tanda peningkatan tekanan intrakranial.8. Penatalaksanaan4,10Dalam penanggulangan kejang demam ada 4 faktor yang perlu dikerjakan, yaitu :

1. Mengatasi kejang secepat mungkin

Biasanya kejang demam berlangsung singkat dan pada waktu datang, kejang sudah berhenti. Apabila pasien dating dalam keadaan kejang, obat paling cepat untuk menghentikan kejang adalah diazepam yang diberikan secara intravena dengan dosis 0,3-0,5 mm/kgBB perlahan-lahan dengan kecepatan 1-2mg.menit atau dalam waktu 3-5 menit. Obat yang praktis dan dapat diberikan oleh orang tua di rumah atau yang sering digunakan di rumah sakit adalah diazepam rektal. Dosis diazepam rektal adalah 0,5-0,75 mg/kgBB atau diazepam rektal 5 mg untuk anak dengan berat badan kurang dari 10 kg, dan 10 mg untuk berat badan lebih dari 10kg. atau diazepam rektal dengan dosis 5 mg untuk anak di bawah usia 3 tahun atau 7,5 mg mg untuk anak diatas usia 3 tahun.Jika kejang masih berlanjut :

1. Pemberian diazepam 0,2 mg/kgBB per infus diulangi. Jika belum terpasang selang infus, 0,5 mg/kg per rektal

2. Pengawasan tanda-tanda depresi pernapasanJika kejang masih berlanjut :

1. Pemberian fenobarbital 20-30 mg/kgBB per infus dalam 30 menit

2. Pemberian fenitoin 10-20mg/kgBB per infus dalam 30 menit dengan kecepatan 1 mg/kgBB/menit atau kurang dari 50mg/menit.

Jika kejang masih berlanjut, diperlukan penanganan lebih lanjut di ruang perawatan intensif dengan thiopentone dan alat bantu pernapasan. Bila kejang telah berhenti, pemberian obat selanjutnya tergantung dari jenis kejang demam sederhana atau kompleks dan faktor risikonya.2. Pengobatan penunjangPengobatan penunjang dapat dilakukan dengan memonitor jalan nafas, pernafasan, sirkulasi dan memberikan pengobatan yang sesuai. Sebaiknya semua pakaian ketat dibuka, posisi kepala dimiringkan untuk mencegah aspirasi lambung. Penting sekali mengusahakan jalan nafas yang bebas agar oksigenasi terjamin, kalau perlu dilakukan intubasi atau trakeostomi. Pengisapan lender dilakukan secara teratur dan pengobatan ditambah dengan pemberian oksigen. Cairan intavena sebaiknya diberikan dan dimonitor sekiranya terdapat kelainan metabolik atau elektrolit. Fungsi vital seperti kesadaran, suhu, tekanan darah, pernafasan dan fungsi jantung diawasi secara ketat. Pada demam, pembuluh darah besar akan mengalami vasodilatasi, manakala pembuluh darah perifer akan mengalami vasokontrisksi. Kompres es dan alkohol tidak lagi digunakan karena pembuluh darah perifer bisa mengalami vasokontriksi yang berlebihan sehingga menyebabkan proses penguapan panas dari tubuh pasien menjadi lebih terganggu. Kompres hangat juga tidak digunakan karena walaupun bisa menyebabkan vasodilatasi pada pembuluh darah perifer, tetapi sepanjang waktu anak dikompres, anak menjadi tidak selesa karena dirasakan tubuh menjadi semakin panas, anak menjadi semakin rewel dan gelisah. Menurut penelitian, apabila suhu penderita tinggi (hiperpireksi), diberikan kompres air biasa. Dengan ini, proses penguapan bisa terjadi dan suhu tubuh akan menurun perlahan-lahan. Tidak ditemukan bukti bahwa penggunaan antipiretik mengurangi resiko terjadinya kejang demam, namun para ahli di Indonesia sepakat bahwa antipiretik tetap dapat diberikan. Dosis parasetamol yang digunakan adalah 10 15 mg/kgBB/kali diberikan 4 kali sehari dan tidak lebih dari 5 kali. Dosis ibuprofen 5 10 mg/kgBB/kali, 3 4 kali sehari.3. Memberikan pengobatan rumat

Setelah kejang diatasi harus disusul dengan pengobatan rumat dengan cara mengirim penderita ke rumah sakit untuk memperoleh perawatan lebih lanjut. Kejang demam kompleks merupakan salah satu indikasi seorang pasien untuk dirawat di rumah sakit selain adanya hiperpireksia, pasien < 6 bulan, kejang demam yang pertama kali, dan terdapat kelainan neurologis. Pengobatan ini dibagi atas dua bagian, yaitu:

Profilaksis intermitten

Untuk mencegah terulangnya kejang di kemudian hari, penderita kejang demam diberikan obat campuran anti konvulsan dan antipiretika yang harus diberikan kepada anak selama episode demam. Antipiretik yang diberikan adalah paracetamol dengan dosis 10-15mg/kg/kali diberikan 4 kali sehari atau ibuprofen dengan dosis 5-10mg/kg/kali, 3-4 kali sehari. Antikonvulsan yang ampuh dan banyak dipergunakan untuk mencegah terulangnya kejang demam ialah diazepam, baik diberikan secara rectal dengan dosis 5 mg pada anak dengan berat di bawah 10kg dan 10 mg pada anak dengan berat di atas 10kg, maupun oral dengan dosis 0,3 mg/kg setiap 8 jam pada saat tubuh 38,50C. Profilaksis intermitten ini sebaiknya diberikan sampai kemungkinan anak untuk menderita kejang demam sedehana sangat kecil yaitu sampai sekitar umur 4 tahun. Fenobarbital, karbamazepin dan fenition pada saat demam tidak berguna untuk mencegah kejang demam. Profilaksis jangka panjang

Profilaksis jangka panjang gunanya untuk menjamin terdapatnya dosis teurapetik yang stabil dan cukup di dalam darah penderita untuk mencegah terulangnya kejang di kemudian hari. Pengobatan jangka panjang dapat dipertimbangan jika terjadi hal berikut:

1. Kejang demam 2 kali dalam 24 jam

2. Kejang demam terjadi pada umur < 12 bulan3. Kejang demam 4 kali per tahunObat yang dipakai untuk profilaksis jangka panjang ialah:1) Fenobarbital

Dosis 4-5 mg/kgBB/hari. Efek samping dari pemakaian fenobarbital jangka panjang ialah perubahan sifat anak menjadi hiperaktif, perubahan siklus tidur dan kadang-kadang gangguan kognitif atau fungsi luhur.2) Sodium valproat / asam valproat

Dosisnya ialah 20-30 mg/kgBB/hari dibagi dalam 3 dosis selama 1-2 tahun dan dihentikan secara bertahap selama 1-2 bulan. Efek samping yang dapat terjadi adalah gejala toksik berupa rasa mual, kerusakan hepar, pankreatitis.

3) Fenitoin

Diberikan pada anak yang sebelumnya sudah menunjukkan gangguan sifat berupa hiperaktif sebagai pengganti fenobarbital. Hasilnya tidak atau kurang memuaskan. Pemberian antikonvulsan pada profilaksis jangka panjang ini dilanjutkan sekurang-kurangnya 3 tahun seperti mengobati epilepsi. Menghentikan pemberian antikonvulsi kelak harus perlahan-lahan dengan jalan mengurangi dosis selama 3 atau 6 bulan.4. Mencari dan mengobati penyebab

Penyebab dari kejang demam baik sederhana maupun kompleks biasanya infeksi traktus respiratorius bagian atas dan otitis media akut. Pemberian antibiotik yang tepat dan kuat perlu untuk mengobati infeksi tersebut. Secara akademis pada anak dengan kejang demam yang datang untuk pertama kali sebaiknya dikerjakan pemeriksaan pungsi lumbal. Hal ini perlu untuk menyingkirkan faktor infeksi di dalam otak misalnya meningitis. Apabila menghadapi penderita dengan kejang lama, pemeriksaan yang intensif perlu dilakukan, yaitu pemeriksaan pungsi lumbal, darah lengkap, misalnya gula darah, kalium, magnesium, kalsium, natrium, nitrogen, dan faal hati.9. Prognosis 6,111. Kematian. Dengan penanganan kejang yang cepat dan tepat, prognosa biasanya baik, tidak sampai terjadi kematian. Dalam penelitian ditemukan angka kematian KDS 0,46 % s/d 0,74 %.

2. Terulangnya Kejang. Kemungkinan terjadinya ulangan kejang kurang lebih 25 s/d 50 % pada 6 bulan pertama dari serangan pertama.3. Epilepsi. Angka kejadian Epilepsi ditemukan 2,9 % dari KDS dan 97 % dari kejang demam kompleks. Resiko menjadi Epilepsi yang akan dihadapi oleh seorang anak sesudah menderita KDS tergantung kepada faktor :a.riwayat penyakit kejang tanpa demam dalam keluargab.kelainan dalam perkembangan atau kelainan sebelum anak menderita KDSc.kejang berlangsung lama atau kejang fokal.

Bila terdapat paling sedikit 2 dari 3 faktor di atas, maka kemungkinan mengalami serangan kejang tanpa demam adalah 13 %, dibanding bila hanya didapat satu atau tidak sama sekali faktor di atas.

4. Hemiparesis. Biasanya terjadi pada penderita yang mengalami kejang lama (berlangsung lebih dari setengah jam) baik kejang yang bersifat umum maupun kejang fokal. Kejang fokal yang terjadi sesuai dengan kelumpuhannya. Mula-mula kelumpuhan bersifat flacid, sesudah 2 minggu timbul keadaan spastisitas. Diperkirakan + 0,2 % KDS mengalami hemiparese sesudah kejang lama.

5. Retardasi Mental. Ditemuan dari 431 penderita dengan KDS tidak mengalami kelainan IQ, sedang kejang demam pada anak yang sebelumnya mengalami gangguan perkembangan atau kelainan neurologik ditemukan IQ yang lebih rendah. Apabila kejang demam diikuti dengan terulangnya kejang tanpa demam, kemungkinan menjadi retardasi mental adalah 5x lebih besar.

DAFTAR PUSTAKA

1. Haslam Robert H. A. Sistem Saraf, dalam Ilmu Kesehatan Anak Nelson, Vol. 3, Edisi 15. Penerbit Buku Kedokteran EGC, Jakarta. 2000; XXVII : 2059 20602. Hendarto S. K. Kejang Demam. Subbagian Saraf Anak, Bagian Ilmu Kesehatan Anak, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, RSCM, Jakarta. Cermin Dunia Kedokteran No. 27. 1982 : 6 8.3. Behrman dkk, (e.d Bahasa Indonesia), Ilmu Kesehatan Anak. Edisi 15, EGC, 2000. Hal 2059-2067.

4. Pusponegoro HD, Widodo DP, Sofyan I. Konsensus Penatalaksanaan Kejang Demam. Unit Kerja Koordinasi Neurologi Ikatan Dokter Anak Indonesia, Jakarta. 2006 : 1 14.5. Price, Sylvia, Anderson. Patofisiologi, Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit. EGC, Jakarta 2006.

6. Febrile Seizures: Causes, Symptoms, Diagnosis and Treatment. Diunduh pada tanggal 23 April 2012. Didapatkan dari: www.medicinenet.com/febrile_seizures/article.htm7. Mary Rudolf, Malcolm Levene. Pediatric and Child Health. Edisi ke-2. Blackwell pulblishing; 2006. Hal 72-90.

8. Rudolph AM. Febrile Seizures. Rudoplh Pediatrics. Edisi ke-20. Appleton dan Lange, 20029. Pudjaji AH, Hegar B, Handryastuti, Idris NS, Gandaputra EP, Harmoniati ED. Pedoman pelayanan medis. Ikatan Dokter Anak Indonesia; Jakarta. 2010. h. 150-2.10. Ministry of health service. Guidelines and protocols febrile seizure. British columbia medical association. 2010.

11. Febrile Seizures Fact Sheets: National Institutes of Neurology and Stroke Diunduh pada tanggal 23 April 2012. Didapatkan dari: www.ninds.nih.gov/disorders/febrile_seizures/detail_febrile_seizures.htmGambar 1. Lobus dan segmentasi paru (dikutip dari Atlas Anatomi Manusia Sobotta jilid 2,

halaman 98-99, 2000)4.

MEKANISME PERTAHANAN PARU

Saluran napas bagian bawah yang normal adalah steril, walaupun bersebelahan dengan sejumlah besar mikroorganisme yang menempati orofaring dan terpajan oleh mikroorganisme dari lingkungan di dalam udara yang dihirup. Sterilitas saluran napas bagian bawah adalah hasil mekanisme penyaringan dan pembersihan yang efektif.

1. PEMBERSIHAN UDARA

Temperatur dan kelembapan udara bervariasi, dan alveolus harus terlindung dari udara dingin dan kering. Mukosa hidung, turbinasi hidung, orofaring dan nasofaring, mempunyai suplai darah yang besar dan memiliki area permukaan yang luas. Udara yang terhirup melewati area-area tersebut

4

dan diteruskan ke cabang trakeobonkial, dipanaskan pada temperatur tubuh

dan dilembapkan.

2. PEMBAU

Reseptor pembau berada lebih banyak di posterior hidung dibandingkan dengan di trakhea n alveoli, sehingga seseorang dapat mencium untuk mendeteksi gas yang secara potensial berbahaya, atau bahan-bahan berbahaya di udara yang dihirup. Inspirasi yang cepat tersebut membawa udara menempel pada sensor pembau tanpa membawanya ke paru-paru.

3. MENYARING DAN MEMBUANG PARTIKEL YANG TERHIRUP

Udara yang melewati saluran traktus respiratorius awalnya difiltrasi oleh bulu hidung. Gerakannya menyebabkan partikel berukuran besar dapat dikeluarkan. Sedimentasi partikel berukuran lebih kecil terjadi akibat gravitasi di jalan nafas yang lebih kecil. Partikel-partikel tersebut terperangkap dalam mukus yang ada di saluran pernafasan atas, trakhea, bronkus dan bronkhiolus. Partikel kecil dan udara iritan mencapai duktus alveolaris dan alveoli. Partikel kecil lainnya disuspensikan sebagai aerosol dan 80% nya dikeluarkan.

Pembuangan partikel dilalui dengan beberapa mekanisme :

- Refleks jalan nafas : refleks batuk, refleks bersin dan refleks glottis

Stimulasi reseptor kimia dan mekanik di hidung, trakhea, laring, dan tempat lain di traktus respiratorius menyebabkan bronkokonstriksi untuk mencegah penetrasi lebih lanjut dari iritan ke jalan nafas dan juga menghasilkan batuk atau bersin. Bersin terjadi akibat stimulasi reseptor di hidung atau nasofaring, dan batuk terjadi sebagai akibat stimulasi reseptor di trakhea. Inspirasi yang dalam demi mencapai kapasitas paru total,

5

diikuti oleh ekspirasi melawan glotis yang terutup. Tekanan intrapleura dapat meningkat lebih dari 100mmHg. Selama fase refleks tersebut glotis tiba-tiba membuka dan tekanan di jalan nafas menurun cepat, menghasilkan penekanan jalan nafas dan ekspirasi yang besar, dengan aliran udara yang cdepat melewati jalan nafas yang sempit, sehingga iritan ikut terbawa bersama-sama mukus keluar dari traktus respiratorius. Saat bersin, ekspirasi melewati hidung; saat batuk ekspirasi melewati mulut. Kedua refleks tersebut juga membantu mengeluarkan mukus dari jalan nafas.

- Sekresi trakheobronkial dan transport mukosilier

Sepanjang traktus respiratorius dilapisi oleh epitel bersilia dimana terdapat mukus yang dihasilkan oleh sel goblet. Eskalator mukosilier adalah mekanisme yang penting dalam menghilangkan dalam menghilangkan partikel yang terinhalasi. Partikel terperangkap dalam mukus kemudian dibawa ke atas kefaring. Pergerakan tersebut dapat meningkat cepat selama batuk. Mukus yang mencapai faring dikentalkan atau dikeluarkan melalui mulut atau hidung. Karenanya, pasien yang tidak bisa mengeluarkan sekret trakheobronkial (misal tidak dapat batuk) terus menghasilkaan sekret yang apabila tidak dikeluarkan dapat menyebabkan sumbatan jalan nafas.

4. MEKANISME PERTAHANAN DARI UNIT RESPIRASI TERMINAL

- makrofag alveolar

- pertahanan imun

6

Paru merupakan struktur kompleks yang terdiri atas kumpulan unit-unit yang dibentuk melalui percabangan progresif jalan napas. Kurang lebih 80% sel yang membatasi jalan napas di bagian tengah merupakan epitel bersilia, bertingkat, kolumner dengan jumlah yang semakin berkurang pada jalan napas bagian perifer. Masing-masing sel bersilia memiliki kira-kira 200 silia yang bergerak dalam gelombang yang terkoordinasi kira-kira 1000 kali per menit, dengan gerakan ke depan yang cepat dan kembali dalam gerakan yang lebih lambat. Gerakan silia juga terkoordinasi antara sel yang bersebelahan sehingga setiap gelombang disebarkan ke arah orofaring.

Partikel infeksius yang terkumpul pada epitel skuamosa permukaan hidung sebelah distal biasanya akan dibersihkan pada saat bersin, sementara partikel yang terkumpul pada permukaan bersilia yang lebih proksimal akan disapukan ke sebelah posterior ke lapisan mukus nasofaring, saat partikel tersebut ditelan atau dibatukkan. Penutupan glottis secara refleks dan batuk akan melindungi saluran napas bagian bawah. Partikel infeksius yang melewati pertahanan di dalam saluran napas dan diendapkan pada permukaan alveolus dibersihkan oleh sel fagosit dan faktor humoral. Makrofag alveolar merupakan fagosit utama di dalam saluran napas bagian bawah. Makrofag alveolar akan menyiapkan dan menyajikan antigen mikrobial pada limfosit dan mensekresikan sitokin yang mengubah proses imun dalam limfosit T dan B.

KLASIFIKASI

7

1. Berdasarkan lokasi lesi di paruPneumonia lobarisPneumonia interstitialisBronkopneumonia

2. Berdasarkan asal infeksi

Pneumonia yang didapat dari masyarkat (community acquired pneumonia =

CAP)

Pneumonia yang didapat dari rumah sakit (hospital-based pneumonia)

3. Berdasarkan mikroorganisme penyebabPneumonia bakteriPneumonia virusPneumonia mikoplasmaPneumonia jamur

4. Berdasarkan karakteristik penyakitPneumonia tipikalPneumonia atipikal

5. Berdasarkan lama penyakitPneumonia akutPneumonia persisten

Klasifikasi Pneumonia Berdasarkan Lingkungan dan Pejamu

8

Tipe Klinis

Epidemiologi

Pneumonia Komunitas

Sporadis atau endemic; muda atau orang tua

Pneumonia Nosokomial

Didahului perawatan di RS

Pneumonia Rekurens

Terdapat dasar penyakt paru kronik

Pneumonia Aspirasi

Alkoholik, usia tua

Pneumonia pada gangguan imun

Pada pasien transplantasi, onkologi, AIDS

ETIOLOGI

Etiologi pneumonia sulit dipastikan karena kultur sekret bronkus merupakan

tindakan yang sangat invasif sehingga tidak dilakukan.

Hasil penelitian 44-85% CAP disebabkan oleh bakteri dan virus, dan 25-40% diantaranya disebabkan lebih dari satu patogen. Patogen penyebab pneumonia pada anak bervariasi tergantung :

- Usia

- Status lingkungan

- Kondisi lingkungan (epidemiologi setempat, polusi udara)

- Status imunisasi

- Faktor pejamu (penyakit penyerta, malnutrisi)

Sebagian besar pneumonia bakteri didahului dulu oleh infeksi virus.

Etiologi menurut umur, dibagi menjadi :

1. Bayi baru lahir (neonatus 2 bulan)

9

Organisme saluran genital ibu : Streptokokus grup B, Escheria coli dan kuman Gram negatif lain, Listeria monocytogenes, Chlamydia trachomatis tersering , Sifilis kongenital pneumonia alba.

Sumber infeksi lain : Pasase transplasental, aspirasi mekonium, CAP

2. Usia > 2 12 bulan

Streptococcus aureusdan Streptokokus grup A tidak sering tetapi fatal.

Pneumonia dapat ditemukan pada 20% anak dengan pertusis

3. Usia 1 5 tahun

Streptococcus pneumonia, H. influenzae, Stretococcus grup A, S. aureus

tersering

Chlamydia pneumonia : banyak pada usia 5-14 th (disebut pneumonia

atipikal)

4. Usia sekolah dan remaja

S. pneumonia, Streptokokus grup A,dan Mycoplasma pneumoniae(pneu monia

atipikal)terbanyak

PATOGENESIS

Normalnya, saluran pernafasan steril dari daerah sublaring sampai parenkim paru. Paru-paru dilindungi dari infeksi bakteri melalui mekanisme pertahanan anatomis dan mekanis, dan faktor imun lokal dan sistemik. Mekanisme pertahanan awal berupa filtrasi bulu hidung, refleks batuk dan mukosilier aparatus. Mekanisme pertahanan lanjut berupa sekresi Ig A lokal dan respon inflamasi yang diperantarai leukosit, komplemen, sitokin, imunoglobulin, makrofag alveolar, dan imunitas yang diperantarai sel.

10

Infeksi paru terjadi bila satu atau lebih mekanisme di atas terganggu, atau bila virulensi organisme bertambah. Agen infeksius masuk ke saluran nafas bagian bawah melalui inhalasi atau aspirasi flora komensal dari saluran nafas bagian atas, dan jarang melalui hematogen. Virus dapat meningkatkan kemungkinan terjangkitnya infeksi saluran nafas bagian bawah dengan mempengaruhi mekanisme pembersihan dan respon imun. Diperkirakan sekitar 25-75 % anak dengan pneumonia bakteri didahului dengan infeksi virus.

Invasi bakteri ke parenkim paru menimbulkan konsolidasi eksudatif jaringan ikat paru yang bisa lobular (bronkhopneumoni), lobar, atau intersisial. Pneumonia bakteri dimulai dengan terjadinya hiperemi akibat pelebaran pembuluh darah, eksudasi cairan intra-alveolar, penumpukan fibrin, dan infiltrasi neutrofil, yang dikenal dengan stadium hepatisasi merah. Konsolidasi jaringan menyebabkan penurunancompliance paru dan kapasitas vital. Peningkatan aliran darah yamg melewati paru yang terinfeksi menyebabkan terjadinya pergeseran fisiologis (ventilation-perfusion missmatching) yang kemudian menyebabkan terjadinya hipoksemia. Selanjutnya desaturasi oksigen menyebabkan peningkatan kerja jantung. Stadium berikutnya terutama diikuti dengan penumpukan fibrin dan disintegrasi progresif dari sel-sel inflamasi (hepatisasi kelabu). Pada kebanyakan kasus, resolusi konsolidasi terjadi setelah 8-10 hari dimana eksudat dicerna secara enzimatik untuk selanjutnya direabsorbsi dan dan dikeluarkan melalui batuk. Apabila infeksi bakteri menetap dan meluas ke kavitas pleura, supurasi intrapleura menyebabkan terjadinya empyema. Resolusi dari reaksi pleura dapat berlangsung secara spontan, namun kebanyakan menyebabkan penebalan jaringan ikat dan pembentukan perlekatan.

11

MANIFESTASI KLINIK

Gambaran klinik biasanya didahului oleh infeksi saluran nafas akut bagian atas selama beberapa hari, kemudian diikuti dengan demam, menggigil. Suhu tubuh kadang-kadang melebihi 400c, sakit tenggorok, nyeri otot, dan sendi. Juga disertai batuk dengan sputum mukoid atau purulen, kadang-kadang berdarah.

PEMERIKSAAN FISIK

Dalam pemeriksaan fisik penderita bronkhopneumoni ditemukan hal-hal

sebagai berikut :

a. Pada setiap nafas terdapat retraksi otot epigastrik, interkostal, suprasternal,

dan pernapasan cuping hidung.

Tanda objektif yang merefleksikan adanya distres pernapasan adalah retraksi dinding dada; penggunaan otot tambahan yang terlihat dan cuping hidung; orthopnea; dan pergerakan pernafasan yang berlawanan. Tekanan intrapleura yang bertambah negatif selama inspirasi melawan resistensi tinggi jalan nafas menyebabkan retraksi bagian-bagian yang mudah terpengaruh pada dinding dada, yaitu jaringan ikat inter dan sub kostal, dan fossae supraklavikula dan suprasternal. Kebalikannya, ruang interkostal yang melenting dapat terlihat apabila tekanan intrapleura yang semakin positif. Retraksi lebih mudah terlihat pada bayi baru lahir dimana jaringan ikat interkostal lebih tipis dan lebih lemah dibandingkan anak yang lebih tua.

Kontraksi yang terlihat dari otot sternokleidomastoideus dan

pergerakan fossae supraklavikular selama inspirasi merupakan tanda yang

12

paling dapat dipercaya akan adanya sumbatan jalan nafas. Pada infant, kontraksi otot ini terjadi akibat head bobbing, yang dapat diamati dengan jelas ketika anak beristirahat dengan kepala disangga tegal lurus dengan area suboksipital. Apabila tidak ada tanda distres pernapasan yang lain pada head

bobbing, adanya kerusakan sistem saraf pusat dapat dicurigai.

Pengembangan cuping hidung adalah tanda yang sensitif akan adanya distress pernapasan dan dapat terjadi apabila inspirasi memendek secara abnormal (contohnya pada kondisi nyeri dada). Pengembangan hidung memperbesar pasase hidung anterior dan menurunkan resistensi jalan napas atas dan keseluruhan. Selain itu dapat juga menstabilkan jalan napas atas dengan mencegah tekanan negatif faring selama inspirasi.

b. Pada palpasi ditemukan vokal fremitus yang simetris.

Konsolidasi yang kecil pada paru yang terkena tidak menghilangkan getaran fremitus selama jalan napas masih terbuka, namun bila terjadi perluasan infeksi paru (kolaps paru/atelektasis) maka transmisi energi vibrasi akan berkurang.

c. Pada perkusi tidak terdapat kelainan

d. Pada auskultasi ditemukancrackles sedang nyaring.

Crackles adalah bunyi non musikal, tidak kontinyu, interupsi pendek

dan berulang dengan spektrum frekuensi antara 200-2000 Hz. Bisa bernada tinggi ataupun rendah (tergantung tinggi rendahnya frekuensi yang mendominasi), keras atau lemah (tergantung dari amplitudo osilasi) jarang atau banyak (tergantung jumlah crackles individual) halus atau kasar (tergantung dari mekanisme terjadinya).

13

Crackles dihasilkan oleh gelembung-gelembung udara yang melalui

sekret jalan napas/jalan napas kecil yang tiba-tiba terbuka.

PEMERIKSAAN RADIOLOGI

Gambaran radiologis mempunyai bentuk difus bilateral dengan peningkatan corakan bronkhovaskular dan infiltrat kecil dan halus yang tersebar di pinggir lapang paru. Bayangan bercak ini sering terlihat pada lobus bawah.

PEMERIKSAAN LABORATORIUM

Pada pemeriksaan laboratorium terdapat peningkatan jumlah leukosit. Hitung

leukosit dapat membantu membedakan pneumoni viral dan bakterial.

Infeksi virus leukosit normal atau meningkat (tidak melebihi 20.000/mm3 dengan limfosit predominan) dan bakteri leukosit meningkat 15.000-40.000 /mm3 dengan neutrofil yang predominan. Pada hitung jenis leukosit terdapat pergeseran ke kiri serta peningkatan LED.

Analisa gas darah menunjukkan hipoksemia dan hipokarbia, pada stadium

lanjut dapat terjadi asidosis respiratorik.

Isolasi mikroorganisme dari paru, cairan pleura atau darah bersifat invasif

sehingga tidak rutin dilakukan.

KRITERIA DIAGNOSIS

Diagnosis ditegakkan bila ditemukan 3 dari 5 gejala berikut :

14

a. sesak nafas disertai dengan pernafasan cuping hidung dan tarikan dinding

dada

b. panas badan

c. Ronkhi basah sedang nyaring (crackles)

d. Foto thorax meninjikkan gambaran infiltrat difus

e. Leukositosis (pada infeksi virus tidak melebihi 20.000/mm3 dengan limfosit

predominan, dan bakteri 15.000-40.000/mm3 neutrofil yang predominan)

KOMPLIKASI

Komplikasi biasanya sebagai hasil langsung dari penyebaran bakteri dalam rongga thorax (seperti efusi pleura, empiema dan perikarditis) atau penyebaran bakteremia dan hematologi. Meningitis, artritis supuratif, dan osteomielitis adalah komplikasi yang jarang dari penyebaran infeksi hematologi.

PENATALAKSANAAN

a.Penatalaksaan umum

- Pemberian oksigen lembab 2-4 L/menit sampai sesak nafas hilang atau

PaO2 pada analisis gas darah 60 torr- Pemasangan infus untuk rehidrasi dan koreksi elektrolit.- Asidosis diatasi dengan pemberian bikarbonat intravena.

b.Penatalaksanaan khusus

15

- mukolitik, ekspektoran dan obat penurun panas sebaiknya tidak diberikan pada 72 jam pertama karena akan mengaburkan interpretasi reaksi antibioti awal.

Obat penurun panas diberikan hanya pada penderita dengan suhu tinggi,

takikardi, atau penderita kelainan jantung

- pemberian antibiotika berdasarkan mikroorganisme penyebab dan

manifestasi klinis

Pneumonia ringan amoksisilin 10-25 mg/kgBB/dosis (di wilayah dengan angka resistensi penisillin tinggi dosis dapat dinaikkan menjadi 80-90 mg/kgBB/hari).

Faktor yang perlu dipertimbangkan dalam pemilihan terapi :

a. Kuman yang dicurigai atas dasas data klinis, etiologis dan

epidemiologisb. Berat ringan penyakitc. Riwayat pengobatan selanjutnya serta respon klinisd. Ada tidaknya penyakit yang mendasari

Antibiotik:

Bila tidak ada kuman yang dicurigai, berikan antibiotik awal (24-

72 jam pertama) menurut kelompok usia.

a. Neonatus dan bayi muda (< 2 bulan) :

- ampicillin + aminoglikosid

- amoksisillin-asam klavulanat - amoksisillin + aminoglikosid - sefalosporin generasi ke-3

16

b. Bayi dan anak usia pra sekolah (2 bl-5 thn)

- beta laktam amoksisillin

- amoksisillin-amoksisillin klavulanat- golongan sefalosporin- kotrimoksazol- makrolid (eritromisin)

c. Anak usia sekolah (> 5 thn)- amoksisillin/makrolid (eritromisin, klaritromisin, azitromisin)- tetrasiklin (pada anak usia > 8 tahun)

Karena dasar antibiotik awal di atas adalah coba-coba (trial and

error) maka harus dilaksanakan dengan pemantauan yang ketat, minimal

tiap 24 jam sekali sampai hari ketiga.

Bila penyakit bertambah berat atau tidak menunjukkan perbaikan

yang nyata dalam 24-72 jam ganti dengan antibiotik lain yang lebih tepat sesuai dengan kuman penyebab yang diduga (sebelumnya perlu diyakinkan dulu ada tidaknya penyulit seperti empyema, abses paru yang menyebabkan seolah-olah antibiotik tidak efektif)

DAFTAR PUSTAKA

17

1. Correa Armando.G, Starke Jeffrey R. Kendigs Disorder of the Respiratory Tract in Children: Bacterial Pneumoniasi, Sixth Edition. WB. Saunders Company Philadelphia, London, Toronto, Montreal, Sydney, Tokyo. 1998.

2. Guyton, Hall. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Buku Kedokteran EGC.

Jakarta : 1997. Hal 633.

3. Konsensus Pneumonia. Bagian Pulmonologi FKUI/RSUP Persahabatan.

Jakarta : 2000.

4. OBrodovich Hugh M, Haddad Gabriel G. Kendigs Disorder of the

Respiratory Tract in Children: The Functional Basis of Respiratory

Pathology and Disease, Sixth Edition. WB. Saunders Company Philadelphia,

London, Toronto, Montreal, Sydney, Tokyo. 1998.

5. Pasterkamp Hans. Kendigs Disorder of the Respiratory Tract in Children :The History and Physical Examination , Sixth Edition. WB. Saunders Company Philadelphia, London, Toronto, Montreal, Sydney, Tokyo. 1998.

6. Pedoman Terapi Ilmu Kesehatan Anak, Unpad. Bandung : 2005.

7. Reinhard V. Putz, Reinhard Pabst. Atlas Anatomi Manusia Sobotta Jilid 2.

Edisi 21. Buku Kedokteran EGC. Jakarta : 2000. Hal 99.

8. Sectish Theodore C, Prober Charles G. Nelson Textbook of Pediatrics :

Pneumonia. Edisi ke-17. Saunders. 2004

-

-

-

-

-

-

-

-

-

-

-

-

8